A. SKIZOFRENIA PARANOID

37
BAB I PENDAHULUAN A. SKIZOFRENIA PARANOID 1. Pengertian Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46). Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya delusi (paham) karja atau kebesaran dan halusinasi pendengaran , kadang-kadang individu tetrtekan, menjadi korban dan beanggapan diawasi, dimusuhi, dan agresif. (Townsend, 2005) Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran- pikiran yang absurd (tidak ada pegangannya) tidak logis, dan delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti halusinasi dengan akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan aneh tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang berperilaku yang berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini memiliki halusinasi dan delusi yang sangat mencolok,yang melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan kebesaran (toernry, 1995, Susan Nolen Hoeksema, 2004). Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau psikotik yang ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai realitas, adanya perilaku menarik diri dari interaksi social serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi, pikiran dan kognisi (Carson dan Butcher, 1992). Menurut MAramis:1982 skizofrenia paranoid sedikit berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalan penyakit. Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan Hebrefenia dan

Transcript of A. SKIZOFRENIA PARANOID

BAB I

PENDAHULUAN

A. SKIZOFRENIA PARANOID

1. Pengertian

Skizofrenia adalah suatu diskripsi sindrom dengan variasi

penyebab (banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak

selalu bersifat kronis atau deteriorating) yang luas, serta

sejumlah akibat yang tergantung pada pertimbangan pengaruh

genetik, fisik dan sosial budaya (Rusdi Maslim, 1997; 46).

Skizofrenia paranoid adalah karakteristik tentang adanya

delusi (paham) karja atau kebesaran dan halusinasi pendengaran

, kadang-kadang individu tetrtekan, menjadi korban dan

beanggapan diawasi, dimusuhi, dan agresif. (Townsend, 2005)

Skizofrenia paranoid yaitu pada tipe ini adanya pikiran-

pikiran yang absurd (tidak ada pegangannya) tidak logis, dan

delusi yang berganti-ganti. Sering diikuti halusinasi dengan

akibat kelemahan penilaian kritis (critical judgement)nya dan

aneh tidak menentu, tidak dapat diduga, dan kadang-kadang

berperilaku yang berbahaya. Orang-0rang dengan tipe ini

memiliki halusinasi dan delusi yang sangat mencolok,yang

melibatkan tema-tema tentang penyiksaan dan kebesaran

(toernry, 1995, Susan Nolen Hoeksema, 2004).

Skizofrenia merupakan kelompok gangguan psikosis atau

psikotik yang ditandai oleh distorsi-distorsi mengenai

realitas, adanya perilaku menarik diri dari interaksi social

serta disorganisasi dan fragmentasi dalam hal persepsi,

pikiran dan kognisi (Carson dan Butcher, 1992).

Menurut MAramis:1982 skizofrenia paranoid sedikit

berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam jalan penyakit.

Hebrefenia dan Katatonia sering lama-kelamaan Hebrefenia dan

Katatonia bercampuran. Tidal demikian dengan skizofrenia

paranoid yang jalannya agak konstan. Gejala-gejala yang

mencolok ialah waham primer , disertai waham-waham skunder,

dan Halusinasi. Baru dengan pemeriksaan yang teliti ternyata

adanya gangguan proses berfikir dan adanya gangguan afek

berfikir.

2. Etiologi

a.Faktor Biologis

1)Herediter ( Pengaruh Gen terhadap Skizofrenia)

Studi terhadap keluarga, anak kembar dan anak adopsi

melengkapi bukti-bukti bahwa gen terlibat dalam transmisi

(penyebaran) skizofrenia (Liohtermann, Karbe & Maier,

2000). Beberapa peneliti berpendapat bahwa banyak gen

(polygenic) model tambahan, yang membentuk jumlah dan

konfigurasi gen abnormal untuk membentuk skizofrenia

(Gottensman, 1991, Gottansman & Erlenmyer-kimling, 2001).

Adanya lebih banyak gen yang terganggu meningkatkan

kemungkinan berkembangnya skizofrenia dan menungkatakan

kerumitan gangguan tersebut. Individu yang lahir dengan

beberapa gen tetapi tidak cukup untuk menunjukkan simtom-

simtom bertaraf sedang atau ringan skizofrenia, seperti

keganjilan dalam pola bicara atau proses berpikir dan

keyakinan-keyakinan yang aneh.

Anak-anak yang memiliki kedua orang tuanya menderita

skizofrenia dan anak-anak kembar identik atau dari satu

zigot (monozigot) dari orangtua dengan skizofrenia,

mendapat sejumlah besar gen skizofrenia, memiliki resiko

sangat besar mendapatkan skizofrenia. Sebaliknya penurunan

kesamaan gen dengan orang-orang skizofrenia, menurunkan

resiko individu mengembangkan gangguan ini.

Jika aman dari orang skizofrenia mengembangkan

gangguan ini, tidak berarti bahwa hal itu dikirimkan atau

diwariskan secara genetic. Tumbuh bersama orangtua

skizofrenia dan secara khusus bersama dengan kedua

orangtua dengan gangguan tersebut, kemungkinan besar

berarri tumbuh berkembang dalam suasana yang penuh stress.

Jika orangtua psikotik, anak dapa terbuka untuk pemikiran-

pemikiran yang tidak logis, perubahan suasana hati dan

perilaku yang kacau.

Bahkan jika orangtua bukanlah psikotik akut, sisa-

sisa simtom negative akut skizofrenia, kurangnya motivasi,

dan disorganisasi mungkin mengganggu kamampuan orangtua

untuk peduli terhadap anak. Studi adopsi yang dilakukan

Leonard Heston di Amerika Serikat dan Kanada menunjukkan

bahwa anak-anak yang hidup bersama orangtua skizofrenia

yang diadopsi jauh dari ibu, mempunyai tingkat

pengembangan skizofrenia yang lebih rendah.

2) Pembesaran Ventrikel

Struktur utama otak yang abnormal sesuai dengan

skizofrenia adalah pembesaran ventrikel. Ventrikel adalah

ruang besar yang berisi cairan dalam otak. Perluasan

mendukung atropi (berhentinya pertumbuhan), deteriorasi di

jaringan otak lainnya. Orang-orang skizofrenia dengan

pembesaran ventricular cenderung menunjukkan penirinan

secara social, ekonomi, perilaku, lama sebelum mereka

mengembangkan simtom utama atau inti dati skizofrenia.

Mereka juga cenderung untuk memiliki simtom yang lebih

kuat dari pada orang skizofrenialainnya dan kurang

responsive terhadap pengobatan karena dianggap sebagai

pergantian yang buruk dalam pemfungsian otak, yang sulit

untuk ditangani/dikurangi melalui treatment. Perbedaan

jenis kelamin mungkin juga berhubungan dengan ukuran

ventricular. Beberapa studi menemukan bahwa laki-laki

dengan skizofrenia memiliki pelebaran ventrikel yang lebih

kuat.

3) Faktor Anatomis Neuron

Abnormalitas neuron secara otomatis pada skizofrenia

memiliki beberapa penyebab, termasuk abnormalitas gen yang

spesifik (khas), cedera otak berkaitan dengan cedera waktu

kelahiran, cedera kepala, infeksi virus defisiensi

(penurunan) dalam nutrisi dan defisiensi dalam stimulus

kognitif (Conklin & Lacono, 2002).

4) Komplikasi Kehamilan

Komplikasi serius selama prenatal dan masalah-

masalah berkaitan dengan kandungan pada saat kelahiran

merupakan hal yang lebih sering dalam sejarah orang-orang

dengan skizofrenia dan mungkin berperan dalam membuat

kesulitan-kesulitan secara neurologist. Komplikasi dalam

pelepasan berkombinasi dengan keluarga beresiko terhadap

terjadinya karena menambah derajad pembesaran ventricle.

Penelitian epidemiologi telah menunjukkan angka yang

tinggi dari skizofrenia dikalangan orang-orang yang

memiliki ibu terjangkit virus influenza ketika hamil.

Selain itu, apabila ada gangguan pada perkembangan

otak janin selama kehamilan(epigenetic faktor), maka

interaksi antara gen yang abnormal yang sudah ada

sebelumnya dengan faktor epigenetik tersebut dapat

memunculkan gejala skizofrenia.( Dadang Hawari,2007)

5) Neurotransmiter

Neurotransmiter dopamine dianggap memainkan peran

dalam skizpfrenia ( Coklin & Lacono, 2002 ). Teori awal

dari dopamine menyatakan bahwa simtom-simton skizofrenia

disebabkan oleh kelebihan jumlah dopamine di otak,

khususnya di frontal labus dan system limbic. Aktivitas

dopamine yang berlebihan / tinggi dalam system mesolimbik

dapat memunculkan simtom positif skizofrenia : halusinasi,

delusi, dan gangguan berfikir. Karena atipikal

antipsikotis bekerja mereduksi simtom-simtom skizofrenia

dengan mengikat kepada reseptor D4 dalam system

mesolimbik. Sebaliknya jika aktivitas dopamine yang

rendah dapat mendorong lahirnya simtom negative seperti

hilangnya motivasi, kemampuan untuk peduli pada diri

sendiri dalam aktivitas sehari-hari. Dan tidak adanya

responsivitas emosional. Hal ini menjelaskan bahwa

phenothiazines, yang mereduksi aktivitas dopamine, tidak

meredakan atau mengurangi simtom.

Dalam penelitian lain bahwa taraf abnormalitas

nuotansmiter glutamate dan gamma aminobutyric acid

( GABA ) tampak pada orang-orang dengan skizofrenia (Goff

& Coyle, 2001, Tsai & Coyle,2002 ). Glutamate dan GABA

terbesar di otak manusia dan defisiensi pada

neurotransmitter akan memberikan kontribusi terhadap

simtom-simtom kognitif dan emosioanal. Neuro glutamate

merupakan pembangkit jalan kecil yang menghubungkan

kekortek, system limbic dan thalamus bagian otak yang

membangkitkan tingkah laku abnormal pada orang-orang

dengan skizofrenia.

b. Faktor Psikososial

1)Teori Psikodinamika

Menurut Kohut & Wolf, ahli-ahli teori psikodinamika

berpendapat bahwa skizofrenia merupakan hasil dari paksaan

atau tekanan kekuetan biologis yang mencegah atau

menghalangi individu untuk mengembangkan dan

mengintegrasikan persaan atau pemahaman atas dirinya.

Freud(1942) berargumen bahwa jika ibu secara ekstrim atau

berlebihan kasar dan terus-menerus mendominasi, anak akan

mengalami taraf regresi dan kembali ke taraf perkembangan

bayi dalam hal pemfungsiannya, sehingga ego akan

kehilangan kemampuannya dalam membedakan realita.

Menurut Dadang Hawari, dalam teori homeostatis-

deskriptif, diuraikan gambaran gejala-gejala dari suatu

gangguan jiwa yang menjelaskan terjadinya gangguan

keseimbangan atau homeostatis pada diri seorang, sebelum

dan seseudah terjadinya gangguan jiwa tersebut. Sedangkan

dalam teori Fasilitatif etiologik, diuraikan faktor yang

memudahkan penyebab suatu penyakit itu muncul, bagaimana

perjalanan mekanisme psikologis dari penyakit yang

bersangkutan. Sebagai contoh misalnya menurut Melanie

Klein (1926),bahwa skizofrenia muncul karena terjadi

fiksasi pada fase paranoid-schizoid pada awal perkembangan

masa bayi.

2)Pola-Pola Komunikasi

Menurur Gregory Bateson & koleganya bahwa orangtua

(khususnya ibu) pada anak-anak sklizofrenia menempatkan

anak mereka dalam situasi ikatan ganda (double binds) yang

secara terus menerus mengkomunikasikan pesan-pesan yang

bertentangan pada anak-anak. Yang dimaksud ikatan ganda

adalah pemberian pendidikan dan informasi yang nilainya

saling bertentangan. Dalam teori doble-bind tentang pola-

pola komunikasi dalam keluarga orang-orang dengan

skizofrenia, menampakkan keganjilan. Keganjilan-keganjilan

itu membentuk lingkungan yang penuh ketegangan yang

membuat lebih besar kemungkinan seorang anak memiliki

kerawanan secara biologis terhadap skizofrenia.

Selain itu, anak dalam berbicara sering tidak

mneyambung atau kacau atau tidak jelas arah pembicaraan,

serta dalm berbicara disertai emosi yang tinggi dan suara

yang keras.

3)Stres dan Kekambuhan

Keadaan sekitar atau lingkungan yang penuh stress

(stresfull) mungkin tidak menyebabkan seseorang terjangkit

skizofrenia, tetapi keadaan tersebut dapat memicu episode

baru pada orang-orang yang mudah terkena serangan atau

rawan terhadap skizofrenia. Berdasarkan penelitian bahwa

lebih dari 50 % orang yang mengalami kekambuhan

skizofrenia adalah mereka yang dalam kehidupannya telah

mengalami kejadian-kejadian buruk sebelum mereka kambuh.

Menurut danang Hawari, stresor yang menyebabkan

stres atau kekambuhan skizofrenia paranoid adalah

perkawinan, masalah orang tua, hubungan interpersonal,

pekerjaan, lingkungan hidup, keuangan dan hukum.

4)Faktor Kesalahan Belajar

Yang dimaksud kesalahan belajar adalah tidak

tepatnya mempelajari yang benar atau dengan tepat

mempelajari yang tidak benar. Dalam hal ini penderita

mempelajari dengan baik perilaku orang-orang skizofrenia

atau perilaku yang baik dengan cara yang tidak baik

( Wiramaharja,2005)

3. Tanda dan Gejala

a.Gejala Primer

1)Gangguan proses pikiran (bentuk,langkah dan isi pikiran)

yang terganggu terutama aspek asosiasi, kadang-kadang

suatu ide belum selesai diutarakan, sudah muncul ide uang

lain. Sering ditandai oleh : menggunakan arti simbolik,

terdapat clang association, jalan pikirannya tidak dapat

dimengerti / inkoherensi, menyamakan hal-hal. Terjadi

bloking beberapa detik sampai beberapa hari, ada penderita

yang mengatakan bahwa seperti ada yang laindidalam dirinya

yang berfikir dan tanda sejenis lainnya.

2)Gangguan afek dan emosi

Dapat berupa :

Kedangkalan afek dan emosi, klien menjadi acuh tak acuh

pada hal-hal yang penting dalam hidupnya.

Parathimi ; merasa sedih atau marah yang seharusnya

timbul rasa tenang dan gembira.

Paramimi ; klien menangis padahal merasa senang dan

bahagia.

Emosi, afek dan ekspresinya tidak mengalami kesatuan.

Emosi yang berlebih. Hilang kemampuan untuk mengandalkan

hubungan emosi yang baik.

Ambivalensi pada afek : dua hal yang bertentangan berada

pada satu objek

3)Gangguan kemauan

Ditandai antara lain :

Tidak dapat mengambil keputusan

Tidak dapat bertindak dalam suatu keadaan

Melamun dalam waktu tertentu yang lama.

Negativisme ; perbuatan yang berlawanan dengan perlawanan

Ambivalensi kemauan ; menghendaki dua hal yang berlawanan

pada waktu yang sama

Otomatisme ; merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang

lain atau tenaga dari luar sehingga ia berbuat otomatis.

4)Gangguan psikomotor

Stupor : tidak bergerak dalam waktu yang lama.

Hiperkinesa; terus bergerak dan tampak gelisah

Stereotipi ; berulang melakukan gerakan atau sikap

Verbigerasi ; stereotipi pembicaraan

Manerisme ; stereotipi tertentu pada pada skizofrenia,

grimes pada muka atau keanehan berjalan dan gaya.

Katalepsi ; posisi badan dipertahankan dalam waktu yang

lama.

Fleksibilitas cerea ; bila anggota badan dibengkokkan

terasa suatu tahanan seperti lilin.

Negativisme ; menentang atau justru melakukan berlawanan

dengan apa yang disuruh.

Otomatisme komando ; kebalikan daari negativisme.

Echolalia; meniru kata-kata yang diucapkan orang lain.

b.Gejala Sekunder

1)Waham atau delusi

Keyakinan yang salah yang tidak dapat diubah dengan

penalaran atau bujukan. Sangat tidak logis dan kacau

tetapi klien tidak menyadari hal tersebut dan menganggap

sebagai fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun.

Jenis-jenis waham mencakup :

a)kebesaran ; seseorang memiliki suatu perasaan berlebih

dalam kepentingan atau kekuasaan.

b)curiga ; seseorang merasa terancam dan yakin bahwa

orang lain bermaksud untuk membahayakan atau

menncurigai dirinya.

c)Siar ; semua kejadian dalam, lingkungan sekitarnya

diyakini merujuk / terkait kepada dirinya.

d)kontrol ; seseorang percaya bahwa objek atau oang

tertentu mengontrol perilakunya.

2)Halusinasi ;

Istilah ini menggarbarkan persepsi sensori yang salah yang

mungkin meliputi salah satu dari kelima panca indra.

Halusinasi pendengaran dan penglihatan yang

sering,halusinasi penciuman, perabaan, dan pengecapan juga

dapat terjadi ( Towsend, Mary S, 1998).

Tanda gangguan yang berlangsung secara terus menerus

sedikitnya selama 6 bulan ( Stuard, 2006 )adalah :

a)Kecurigaan yang ekstrim terhadap orang lain.

b)Halusinasi

Modalitas sensori yang tercakup dalam halusinasi :

Pendengaran / auditorius

Mendengar suara atau bunyi, biasanya suara orang.

Suara dapat berkisar dari suara yang sederhana sampai

suara orang bicara mengenai pasien, untuk

menyelesaikan percakapan antara dua orang atau lebih

tentang pasien yang berhalusinasi. Jenis lain termasuk

pikiran yang dapat didengar pasien yaitu pasien

mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa

yang sedang dipikirkan oleh pasien dan memerintahkan

untuk melakukan sesuatu, kadang-kadang hal yang

berbahaya.

Penglihatan / visual

Stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,

gambar geometris, gambar kartun, dan gambar atau

panorama yang luas dan kopleks. Penglihatan dapat

berupa sesuatu yang menyenangkan atau yang menakutkan

( seperti melihat monster ).

B. Gambaran Umum Pasien dengan Resiko Perilaku Kekerasan

1. Pengertian

Perilaku kekerasan adalah perilaku individu yang dapat

membahayakan orang, diri sendiri baik secar fisik, emosional,

dan atau sexualitas ( Nanda, 2005 ). Perilaku kekerasan atau

Asertif

Respon Adaptif

Respon Maladaptif

Frustasi

Pasif

Agresif

Kekerasan

agresif merupakan suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis (Berkowitz,

1993 dalam Depkes, 2000). Marah merupakan perasaan jengkel

yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan, kebutuhan yang

tidak terpenuhi yang dirasakan sebagai ancaman ( Stuart dan

Sunden, 1997 ).

Perasaan marah normal bagi tiap individu, namun perilaku

yagn dimanifestasikan oleh perasaan marah dapat berfluktasi

sepanajang rentang adaptif dan maladaptiv. Rentang respon bagi

individu dengan perilaku kekerasan adalah sebagai berikut

Gambar 1. Rentang respon terhadap kemarahan (Stuart and

Sundeen, 1995 dalam Keliat, 2002).

Keberhasilan individu dalam berespon terhadap kemarahan

dapat menimbulkan respon asertif. Respon menyesuaikan dan

menyelesaikan merupakan respon adaptif. Kemarahan atau rasa

tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa menyakiti

orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan

menimbulkan masalah. Kegagalan yang menimbulkan frustasi dapat

menimbulkan respon pasif dan melarikan diri atau respon

melawan dan menantang. Respon melawan dan menantang merupakan

respon yang maladaptif yaitu agresif–kekerasan. Frustasi

adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan. Dalam

keadaan ini tidak ditemukan alternatif lain. Pasif adalah

suatu keadaan dimana individu tidak mampu untuk mengungkapkan

perasaan yang sedang dialami untuk menghindari suatu tuntutan

nyata. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan

merupakan dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan

masih terkontrol. Amuk atau kekerasan adalah perasaan marah

dan bermusuhan yang kuat disertai kehilangan kontrol diri.

Individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan (Stuart and Sundeen, 1997 dalam Depkes, 2001).

Faktor predisposisi dan faktor presipitasi dari perilaku

kekerasan (Keliat, 2002) adalah :

a. Faktor Predisposisi

Berbagai pengalaman yang dialami tiap orang yang

merupakan faktor predisposisi, artinya mungkin

terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika

faktor berikut dialami oleh individu:

1)Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan

frustasi yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk.

Masa kanak-kanak yang tidak menyenangkan yaitu perasaan

ditolak, dihina, dianiaya atau sanksi penganiayaan.

2)Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan

kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau

diluar rumah, semua aspek ini mestimulasi individu

mengadopsi perilaku kerasan.

3)Sosial budaya, budaya tertutup dan membahas secara diam

(pasif agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti

terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah

perilaku kekerasan diterima (permisive)

4)Bioneurologis, banyak pendapat bahwa kerusakan sistim

limbik, lobus frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan

neurotransmiter turut berperan dalam terjadinya perilaku

kekerasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan

atau interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti

kelemahan fisik (penyakit fisik), keputusasaan,

ketidakberdayaan, percaya diri yang kurang dapat menjadi

penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan situasi

lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada

penghinaan, kehilangan orang yang dicintai atau pekerjaan,

dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain.

2. Tanda dan Gejala

Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda-tanda marah adalah

sebagai berikut :

a. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah

(dendam), jengkel.

b. Fisik : muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keringat,

sakit fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.

c. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,

meremehkan.

d. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri,

keraguan, tidak bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.

e. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan,

ejekan dan humor.

Tanda ancaman kekerasan (Kaplan and Sadock, 1997) adalah:

a. Tindakan kekerasan belum lama, termasuk kekerasan terhadap

barang milik.

b. Ancaman verbal atau fisik.

c. Membawa senjata atau benda lain yang dapat digunakan sebagai

senjata (misalnya : garpu, asbak).

d. Agitasi psikomator progresif.

e. Intoksikasi alkohol atau zat lain.

f. Ciri paranoid pada pasien psikotik.

g. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak

semua pasien berada pada resiko tinggi.

h. Penyakit otak, global atau dengan temuan lobus fantolis, lebih

jarang pada temuan lobus temporalis (kontroversial).

i. Kegembiraan katatonik.

j. Episode manik tertentu.

k. Episode depresif teragitasi tertentu.

l. Gangguan kepribadian (kekerasan, penyerangan, atau

diskontrol implus).

3. Patofisiologi Terjadinya Marah

Depkes (2000) mengemukakan bahwa stress, cemas dan marah

merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi

oleh setiap individu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang

menimbulkan perasaan tidak menyenangkan dan terancam.

Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan yang mengarah pada

perilaku kekerasan. Respon terhadap marah dapat diekspresikan

secara eksternal maupun internal. Secara eksternal dapat

berupa perilaku kekerasan sedangkan secara internal dapat

berupa perilaku depresi dan penyakit fisik.

Mengekspresikan marah dengan perilaku konstruktif dengan

menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa

menyakiti orang lain, akan memberikan perasaan lega,

menurunkan ketegangan, sehingga perasaan marah dapat diatasi

(Depkes, 2000).

Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku

kekerasan, biasanya dilakukan individu karena ia merasa kuat.

Cara demikian tentunya tidak akan menyelesaikan masalah bahkan

dapat menimbulkan kemarahan yang berkepanjangan dan dapat

menimbulkan tingkah laku destruktif, seperti tindakan

kekerasan yang ditujukan kepada orang lain maupun lingkungan.

Perilaku yang tidak asertif seperti perasaan marah dilakukan

individu karena merasa tidak kuat. Individu akan pura-pura

tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya sehingga

rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan

menimbulkan rasa bermusuhan yang lama dan pada suatu saat

dapat menimbulkan kemarahan destruktif yang ditujukan kepada

diri sendiri (Depkes, 2000)

Ancaman

Stress

Cemas

Marah

Merasa kuat Mengungkapkan secaraverbal

Merasa tidakadekuat

Menantang Menjaga keutuhan oranglain

Melarikandiri

Masalah tidakselesai

Lega Mengingkarimarah

Marahberkepanjangan

Ketengangan menurun Marah tidakterungkap

Rasa marah teratasi

Muncul rasa bermusuhanRasa bermusuhan menahun

Marah pada diri sendiri Marah pada oranglain/lingkungan

Depresi/psikosomatik Agresi/Amuk

Gambar 2. Proses terjadinya marah (Rawlins and Beck, 1986 dalamKeliat dkk, 2001)

4. Penatalaksanaan

a.Tindakan Keperawatan

Keliat dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat

dilakukan keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :

1) Berteriak, menjerit, memukul

Terima marah klien, diam sebentar, arahkan klien untuk

memukul barang yang tidak mudah rusak seperti bantal,

kasur

2) Cari gara-gara

3) Bantu klien latihan relaksasi misalnya latihan fisik

maupun olahraga. Latihan pernafasan 2x/hari, tiap kali 10

kali tarikan dan hembusan nafas.

4) Bantu melalui humor

Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka

orang yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang

sesuai.

b.Terapi Medis

Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan

untuk mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa.

Menurut Depkes (2000), jenis obat psikofarmaka adalah :

1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)

Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :

agitasi, ansietas, ketegangan, kebingungan, insomnia,

halusinasi, waham, dan gejala-gejala lain yang bisanya

terdapat pda penderita skizofrenia, manik depresif,

gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa

kecil. Cara pemberian untuk kasus psikosa dapat diberikan

per oral atau suntikan intramuskuler. Dosis permulaan

adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga

mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama

satu minggu. Pemberian dapat dilakukan satu kali pada

malam hari atau dapat diberikan tiga kali sehari. Bila

gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan secara

perlahan-lahan sampai 600 – 900 mg perhari. Kontra

indikasi sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan

keadaan koma, keracunan alkohol, barbiturat, atau

narkotika dan penderita yang hipersensitif terhadap

derifat fenothiazine. Efek samping yang sering terjadi

misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut

kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenorrhae pada

wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala

ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non

psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala

penurunan kesadaran karena depresi susunan saraf pusat,

hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan

perubahan gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa

jarang sekali menimbulkan intoksikasi.

2) Haloperidol (Haldol, Serenace)

Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik,

sindroma gilles de la Tourette pada anak-anak dan dewasa

maupun pada gangguan perilaku yang berat pada anak-anak.

Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi

menjadi 6 – 15 mg untuk keadaan berat. Dosis parenteral

untuk dewasa 2 – 5 mg intramuskuler setiap 1 – 8 jam,

tergantung kebutuhan. Kontra indikasinya depresi sistem

saraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,

hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping yang

sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih,

gelisah, gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson.

Efek samping yang jarang adalah nausea diare, konstipasi,

hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik. Efek

samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi

hematologis. Intoksikasinya adalah bila klien memakai

dalam dosis melebihi dosis terapeutik dapat timbul

kelemasan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi, sedasi,

koma, depresi pernafasan.

3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)

Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa

khususnya gejala skizofrenia. Dosis dan cara pemberian

untuk dosis awal sebaiknya rendah (12,5 mg) diberikan

tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis

ditingkatkan 25 mg dan interval pemberian diperpanjang 3

– 6 mg setiap kali suntikan, tergantung dari respon

klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan

sebaiknya peningkatan perlahan-lahan. Kontra indikasinya

pada depresi susunan saraf pusat yang hebat,

hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat

sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi biasanya

terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek samping yang

hebat. Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan

terapi simptomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan

levarterenol hindari menggunakan ephineprine.

Terapi Medis ( Kaplan dan Sadock, 1997 )

Rang paranoid atau dlam keadaan luapan katatonik

memerlukan trankuilisasi. Ledakan kekerasan yang episodic

berespon terhadap lithium ( Eskalith ), penghambat –

beta, dan carbamazepine ( Tegretol ). Jika riwayat

penyakit mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian

klinis dilakukan untuk menegakkan diagnosis, dan suatu

pemeriksaan dilakukan untuk memastikan penyebabnya. Jika

temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau

dilakukan pembedahan yang sesuai ( sebagai contohnya,

pada masa serebral ). Untuk intoksikasi akibat zat

rekreasional, tindakan konservatif mungkin adekuat. Pada

beberapa keadaan, obat-obat seperti thiothixene

( Navane ) dan haloperidol, 5 smaapi 10 mg setiap

setengah jam samapai satu jam, adalah diperlukan sampai

pasien distabilkan. Benzodiazepine digunkan sebagai

pengganti atau sebgai tambahan antipsikotik. Jika obat

rekresinal memiliki sifat antikolinergik yang kuat,

benzodiazepine adalah lebih tepat dibandingkan

antipsikotik.

Pasien yang melakukan kekerasan dan melawan paling

efektif ditenangkan dengan sedative atau antipsikotik

yang sesuai. Diazepam ( valium ), 5 sampai 10 mg, atau

lorazepam ( Ativan ), 2 smapai 4 mg, dpat diberikan

intravena ( IV ) perlahan-lahan selama 2 menit. Klinis

harus memberikan mediksi IV dengan sangat hati-hati,

sehingga henti pernafsan tidak terjadi. Pasien yang

memerlukan medikasi IM dapat disedasi dengan haloperidol,

5 smapi 10 mg IM, atau dengan Chlorpromazine 25 mg IM.

Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian

dari gangguan psikomotor pascakejang, tidur yang

ditimbulkan oleh medikasi IV dengan jumlah relative kecil

dapat berlangsung selama berjam-jam. Saat terjaga, pasien

seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan biasanya

memiliki amnesia lengkap untuk episode kekerasan.

5. Penggolongan Diagnosa Pada Gangguan Jiwa

Menurut PPDGJ III diagnosa pada gangguan jiwa dapat

digolongkan menjadi 5 axis, yaitu:

a. Axis I (Diagnosis Utama)

Menunjukkan gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi

pusat perhatian, contohnya : skizofrenia residual

eksaserbasi akut. Skizofrenia residual eksaserbasi akut

adalah suatu keadaan residual yang menahun dari skizofrenia

dengan gejala-gejala yang tidak lengkap lagi dibidang

halusinasi, waham, proses pikir dan keadaan afektif (Kaplan

and Sadock, 1997).

b. Axis II (Tipe Kepribadian)

Menunjukan gangguan kepribadian, misalnya : cenderung

paranoid. Kepribadian paranoid ialah suatu gangguan

kepribadian dengan sikap curiga yang menonjol; orang seperti

ini mungkin agresif dan setiap orang lain yang dilihat

sebagai seorang agresor terhadapnya, ia harus mempertahankan

harga dirinya. Ia bersikap sebagai pemberontak dan angkuh

untuk mempertahankan harga dirinya, sering ia mengancam

orang lain sebagai akibat proyeksi rasa bermusuhan sendiri

(Maramis, 2004).

c. Axis III (Penyakit fisik)

Kondisi medis umum yang ditemukan disamping gangguan mental,

misalnya epilepsi. Kaplan and Sadock (1997) menyatakan bahwa

epilepsi ditandai oleh kejang yang berulang yang disebabkan

oleh disfungsi sistem saraf pusat. Epilepsi juga dapat

dikatakan sebagai gangguan faal listrik otak yang paroxismal

dan sejenak, timbul secara mendadak, dan berhenti secara

spontan serta cenderung untuk terulang (Brain, 1991 dalam

Depkes, 1983)

d. Axis IV (Stressor psikososial dan lingkungan)

Menunjukkan masalah psikologis dan lingkungan secara

bermakna, berperan pada perkembangan gangguan sekarang.

e. Axis V (Taraf fungsi satu tahun terakhir)

Mempertimbangkan keseluruhan tingkat fungsional klien.

6. Gambaran Umum Asuhan Keperawatan Klien dengan Risiko Perilaku

Kekerasan

Tahap-tahap proses keperawatan menurut Keliat (1998)

terdiri dari pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana

tindakan, pelaksaan dan evaluasi.

a. Pengkajian

Pengkajian pada klien dengan perilaku kekerasan (Depkes,

2000) adalah sebagai berikut :

1) Faktor predisposisi

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan masalah ekspresi

marah adalah : biologis, psikologis, dan sosial kultural.

a) Faktor Biologis

(1) Teori Dorongan Naluri (Instinctual drive theory) perilaku

agresif disebabkan oleh suatu dorongan kebutuhan

dasar yang sangat kuat.

(2) Teori Psikomatis (Psychosomatis theory) pengalaman

marah adalah akibat dari respons psikologis terhadap

stimulus eksternal, internal maupun lingkungan. Dan

sistem limbic berperan sebagai pusat untuk

mengekspresikan maupun menghambat rasa marah.

b) Faktor Psikologis

(1) Teori agresif dan frustasi (Frustation aggression theory).

Frustasi terjadi bila keinginan individu untuk

mencapai sesuatu gagal atau terhambat. Keadaan

tersebut dapat mendorong individu berperilaku

agresif.

(2) Teori Perilaku (Behavioral theory), kemarahan adalah

respons belajar, hal ini dapat dicapai apabila

tersedia fasilitas/situasi yang mendukung.

(3) Teori Eksistensi (Existential theory), bertingkah laku

adalah kebutuhan dasar manusia, apabila kebutuhan

tidak dapat dipenuhi melalui perilaku konstruktif,

maka individu akan melakukan dengan perilaku

destruktif.

c) Faktor Sosial Kultural

(1) Teori Lingkungan Sosial (Social Environment Theory),

lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu

dalam mengekspresikan marah. Norma kebudayaan dapat

mendukung individu untuk berespons asertif atau

kasar.

(2) Teori Belajar Sosial (Social Learning Theory), perilaku

agresif dapat dipelajari secara langsung maupun

imitasi melalui proses sosialisasi.

2) Faktor Presipitasi

Stressor yang mencetuskan rasa marah bagi setiap

individu sifatnya unik. Stressor tersebut dapat

disebabkan dari luar maupun dari dalam. Contoh stressor

yang berasal dari luar antara lain : serangan fisik,

kehilangan, kematian dan lain-lain. Sedangkan stressor

yang berasal dari dalam ialah : putus hubungan dengan

orang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan

pada penyakit fisik dan lain-lain.

3) Faktor Perilaku

Perilaku yang berkaitan dengan marah antara lain :

a) Menyerang atau menghindar (fight or flight)

Pada keadaan tersebut respons fisiologis timbul karena

kegiatan sistem saraf otonom bereaksi terhadap sekresi

epineprin menyebabkan tekanan darah meningkat,

tachikardi, wajah merah, pupil melebar, mual, sekresi

HCl meningkat, peristaltik gaster menurun, pengeluaran

urine dan saliva meningkat, kewaspadaan juga meningkat

disertai ketegangan otot, seperti rahang tertutup,

tangan terkepal, tubuh menjadi kaku dan disertai

refleks yang cepat.

b) Menyatakan dengan jelas (assertiviness)

Perilaku yang sering ditampilkan individu dalam

mengekspresikan kemarahannya yaitu dengan perilaku

pasif, agresif, dan asertif. Perilaku asertif adalah

cara yang terbaik untuk mengekspresikan marah

disamping dapat dipelajari juga akan mengembangkan

pertumbuhan diri pasien.

c) Memberontak (acting out)

Perilaku biasanya disertai kekerasan akibat konflik

perilaku acting out untuk menarik perhatian orang

lain.

d) Kekerasan, amuk (violence)

Perilaku dengan kekerasan atau amuk dapat ditujukan

pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan

Tabel 1. Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif, dan

Agresif

Pasif Asertif Agresif

Isi

Pembicaraan

Negatif,

merendahkan

diri

Positif,

menawarkan diri

(saya dapat,

saya akan)

Menyombongkan

diri,

merendahkan

orang lain

(kamu selalu,

kamu tidak

pernah)

Tekanan suara Cepat, lambat,

mengeluh

Sedang Keras, ngotot

Posisi badan Menundukkan

kepala

Tegap dan

santai

Kaku, condong

kedepan

Jarak Menjaga jarak

dengan sikap

acuh/mengabaik

an

Mempertahankan

jarak yang

nyaman

Siap dengan

jarak akan

menyerang

orang lain

Penampilan Loyo, tidak

dapat tenang

Sikap tenang Mengancam,

posisi

menyerang

Kontak mata Sedikit/sama

sekali tidak

Mempertahankan

kontak mata

sesuai dengan

hubungan yang

berlangsung

Mata melotot

dan

mempertahankan

Sumber : Depkes (2000)

4) Mekanisme Koping

Mekanisme yang umum digunakan adalah mekanisme

pertahanan ego antara lain : displacement, sublimasi,

proyeksi, represi, denial, reaksi formasi.

b. Diagnosa Keperawatan

Dari data yang dikumpulkan dengan format pengkajian,

perawat langsung merumuskan masalah keperawatan pada setiap

kelompok data yang terkumpul dan setelah diagnosa

keperawatan tersusun kemudian perawat menentukan masalah

utama dari diagnosa keperawatan. Dimana masalah utama

adalah prioritas masalah klien dari beberapa masalah yang

dimiliki oleh klien. Umumnya masalah utama berkaitan erat

dengan maslah utama klien atau ekluhan utama, alasan klien

saat masuk rumah sakit dan mengancam integritas diri

sendiri, orang lain dan lingkungan ( keliat, 1998 ).

Perawat kesehatan jiwa menganalisa data pengkajian dalam

menentukan diagnosa yang didukung oleh data serta pendapat

ilmiah terbaru. Dimana komponen rumusan pernyataan diagnosa

keperawatan meliputi : masalah dan pengkajian subyektif dan

obyektif ( SAK, 2006 )

Menurut Keliat (2002) diagnosa yang lazim muncul pada

pasien dengan perilaku kekerasan adalah :

a) Risiko mencederai orang lain berhubungan dengan perilaku

kekerasan.

b) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

Menurut Keliat dan kawan-kawan, (1998), menyatakan dignosa

yang lazim muncul pada klien dengan perilaku kekerasan

adalah

a) Resiko tinggi kekerasan

b) Koping individu tidak efektif

c) Harga diri rendah kronis

d) Intoleransi aktifitas

e) Koping keluarga tidak efektif

f) Ketegangan pemberi perawatan

Sedangkan diagnosa keperawatan yang lazim muncul (Carpenito,

1995 dalam Depkes, 2000) adalah :

a) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan

lingkungan berhubungan dengan perilaku kekerasan.

b) Perilaku kekerasan berhubungan dengan halusinasi.

c) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

d) Perilaku kekerasan berhubungan dengan koping individu

tidak efektif.

c. Perencanaan Keperawatan

Keliat (2002) mengemukakan perencanaan tindakan

keperawatan pada klien dengan perilaku kekerasan adalah

sebagai berikut :

a) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

berhubungan dengan perilaku kekerasan.

Tujuan umum (TUM) : Klien tidak menciderai dengan

melakukan manajemen kekerasan.

Tujuan khusus (TUK) 1: klien dapat membina hubungan

saling percaya

Kriteria hasil : klien mau membalas salam, mau menjabat

tangan, mau menyebutkan nama, mau tersenyum, mau kontak

mata, mau mengetahui nama perawat.

Intervensi : bina hubungan saling percaya dengan

menggunakan prinsip komunikasi terapeutik.

1) Beri salam/panggil nama.

2) Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan.

3) Jelaskan maksud hubungan interaksi.

4) Jelaskan tentang kontak yang akan dibuat.

5) Beri rasa aman dan sikap empati.

6) Lakukan kontak singkat tapi sering.

Rasional : sikap ramah, kejujuran, menepati janji,

memperkenalkan diri, dan menunjukkan sikap terbuka akan

meningkatkan kepercayaan antara klien dan perawat.

Tujuan khusus (TUK) 2 : klien dapat mendefinisikan

penyebab perilaku kekerasan.

Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaannya,

dapat mengungkapkan perasaan jengkel atau kesal dari diri

sendiri, orang lain, atau lingkungan.

Intervensi :

1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

Rasional : ungkapan perasaan sebagai bukti kepercayaan

klien terhadap perawat.

2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab perasaan

jengkel (kesal).

Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan

perasaannya.

Tujuan khusus (TUK) 3 : klien dapat mengidentifikasi

tanda-tanda perilaku kekerasan.

Kriteria hasil : klien dapat mengungkapkan perasaan saat

marah atau jengkel, dapat menyimpulkan tanda-tanda

jengkel atau kesal yang dialami.

Intervensi :

1) Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan

dirasakan saat jengkel atau kesal.

Rasional : ungkapan perasaan dapat menjelaskan dan

menyerahkan perasaannya.

2) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.

Rasional : dapat diketahui perilaku yang berhubungan

dengan kekerasan.

3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel (kesal)

yang dialami klien.

Rasional : klien belajar mengekspresikan perasaannya.

Tujuan khusus (TUK) 4 : klien dapat mengungkapkan

perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, dapat bermain

peran dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan,

dapat dilakukan cara yang biasa dapat menyelesaikan

masalah atau tidak.

Intervensi :

1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan

yang biasa dilakukan klien.

Rasional : mengidentifikasi perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan.

Rasional : klien perlu belajar mengekspresikan

perasaannya.

3) Bicarakan dengan klien apakah dengan cara yang klien

lakukan masalahnya selesai.

Rasional : klien dapat memilih cara yang dapat

dilakukan.

Tujuan khusus (TUK) 5 : klien dapat mengidentifikasi

akibat perilaku kekerasan.

Kriteria hasil : klien dapat menjelaskan akibat dari cara

yang digunakannya.

Intervensi :

1) Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan

klien.

Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang

kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.

2) Bersama klien menyimpulkan akibat cara yang digunakan

oleh klien.

Rasional : menunjukkan perhatian.

3) Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara

baru yang sehat ?”.

Rasional : klien dapat menentukan pilihan.

Tujuan khusus (TUK) 6 : klien dapat mengidentifikasi cara

konstruktif dalam berespon terhadap kemarahan.

Kriteria hasil : klien dapat melakukan cara berespon

terhadap kemarahan secara konstruktif.

Intervensi :

1) Tanyakan pada klien “Apakah ia ingin mempelajari cara

baru yang sehat”.

Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang cara

menyalurkan marah yang konstruktif.

2) Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang

sehat.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

3) Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat, misalnya

secara fisik, tarik nafas dalam, jika sedang

kesal/memukul bantal (kasur) atau olahraga atau

pekerjaan yang memerlukan tenaga, secara verbal :

katakan bahwa anda sedang kesal atau tersinggung atau

jengkel. Secara sosial : lakukan kelompok cara-cara

marah yang sehat, latihan asertif. Secara spiritual :

anjurkan klien sembahyang, berdoa/ibadah lain :

meminta pada Tuhan untuk diberi kesabaran.

Rasional : mengajak klien berfikir tentang cara

menyalurkan marah.

Tujuan khusus (TUK) 7 : klien dapat memdemonstrasikan

cara mengontrol perilaku kekerasan.

Kriteria hasil : klien dapat mendemonstrasikan cara

mengontrol perilaku kekerasan, misalnya dengan nafas

dalam, olah raga, pukul kasur maupun bantal, mengatakan

secara langsung dengan tidak menyakiti, sembahyang,

berdoa atau ibadah lain.

Intervensi :

1) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk

klien.

Rasional : klien mungkin mengalami kesulitan dalam

menentukan cara yang paling sesuai yang dapat

dilakukan.

2) Bantu klien mengindentifikasi manfaat cara yang telah

dipilih.

Rasional : klien perlu belajar mengidentifikasi

manfaat dari cara yang dipilih.

3) Bantu klien menstimulasi cara tersebut.

Rasional : klien perlu belajar melakukan cara yang

telah dipilih.

4) Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah

dipelajari saat jengkel atau marah.

Rasional : klien mungkin kesulitan dalam melakukan

cara yang telah ia pilih.

5) Susun jadwal melakukan cara yang telah dicapai.

Rasional : mengetahui perkembangan latihan klien.

Tujuan khusus (TUK) 8 : klien dapat menggunakan obat

dengan benar (sesuai program pengobatan).

Kriteria hasil : klien dapat menyebutkan obat-obatan yang

diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan efek).

Intervensi :

1) Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien.

Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang

obat.

2) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti

minum obat tanpa seizin dokter.

Rasional : klien dapat berfikir sesuai realita.

3) Jelaskan prinsip benar minum obat (baca nama yang

tertera pada botol obat, dosis obat, waktu dan cara

minum).

Rasional : meminimalkan efek samping dari obat yang

tidak diinginkan.

4) Jelaskan manfaat minum obat dan efek obat yang perlu

diperhatikan.

Rasional : menambah pengetahuan tentang manfaat dan

efek obat.

5) Anjurkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.

Rasional : obat yang diminum teratur membantu klien

untuk meningkatkan kualitas hidup.

6) Anjurkan klien melaporkan para perawat atau dokter

jika merasakan efek yang tidak menyenangkan.

Rasional : perawat dapat mengidentifikasi dan

melakukan penanganan terhadap efek samping yang tidak

diinginkan.

7) Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

Tujuan khusus (TUK) 9 : klien mendapat dukungan keluarga

mengontrol perilaku kekerasan.

Kriteria hasil : keluarga klien dapat menyebutkan cara

merawat klien yang berperilaku kekerasan dan

mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.

Intervensi :

1) Identifikasi kemampuan keluarga dalam merawat klien

dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap

klien selama ini.

Rasional : mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga

dalam merawat klien.

2) Jelaskan peran serta keluarga terhadap klien selama

ini.

Rasional : memberikan sistem pendukung pada klien.

3) Jelaskan cara-cara merawat klien terkait dengan cara

mengontrol perilaku marah secara konstruktif dari

sikap tenang.

Rasional : keluarga mengetahui cara yang tepat dalam

merawat klien.

4) Bicara tenang dan jelas serta membantu klien mengenal

penyebab marah.

Rasional : memberikan kesempatan untuk

mengidentifikasi penyebab marahnya.

5) Bantu keluarga mendeomonstrasikan cara merawat klien.

Rasional : mengingatkan keluarga tentang cara merawat

klien.

6) Bantu mengungkapkan perasaannya setelah melakukan

demontrasi.

Rasional : memberikan kesempatan keluarga untuk

menilai kemampuan klien.

b) Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.

Tujuan umum (TUM) : Klien dapat mengontrol perilaku

kekerasan pada saat berhubungan dengan orang lain.

Tujuan khusus (TUK) 1 : klien dapat membina hubungan

saling percaya.

Kriteria hasil : ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan

rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau

menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk

berdampingan dengan perawat.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan

prinsip komunikasi terapeutik:

(a) Sapa klien dengan ramah baik verbal maupun

non verbal.

(b) Perkenalkan diri dengan sopan.

(c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan

kesukaan klien.

(d) Jelaskan tujuan pertemuan.

(e) Jujur dan menepati janji.

(f) Tunjukkan sikap empati dan menerima klien

apa adanya.

(g) Beri perhatian kepada klien dan perhatian

kebutuhan dasar klien.

Rasional : sikap ramah, kejujuran, menepati janji,

memperkenalkan diri, dan menunjukkan sikap terbuka akan

meningkatkan kepercayaan antara klien dan perawat.

Tujuan khusus (TUK) 2 : klien dapat mengidentifikasi

kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

Kriteria hasil : daftar kemampuan yang dimiliki klien di

rumah sakit, rumah, sekolah, dan tempat kerja, daftar

positif keluarga klien dan daftar positif lingkungan

klien.

Intervensi :

1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

dan buat daftarnya.

Rasional : meningkatkan dan mengidentifikasi

pengetahuan klien tentang aspek positif yang

dimilikinya.

2) Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi

penilaian negatif, diutamakan memberi pujian.

Rasional : meningkatkan harga diri.

Tujuan khusus (TUK) 3 : klien dapat meniliai kemampuan

yang digunakan.

Kriteria hasil : klien menilai kemampuan yang dapat

digunakan di rumah sakit, dan dapat menilai kemampuan

yang dapat digunakan di rumah.

Intervensi :

1) Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat

digunakan selama sakit.

Rasional : meningkatkan pengetahuan klien tentang

kemampuan yang dimiliki.

2) Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaan

di rumah sakit.

Rasional : klien belajar mengidentifikasi kemampuan

yang dimilikinya.

3) Berikan pujian.

Rasional : meningkatkan harga diri.

Tujuan khusus (TUK) 4 : klien dapat menetapkan dan

merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang

menilai.

Kriteria hasil : klien bersedia akan dilatih, mau mencoba

dan membuat jadwal harian.

Intervensi :

1) Bantu klien untuk memilih satu kegiatan yang mau

dilakukan di rumah sakit.

Rasional : memberikan kesempatan pada klien untuk

menentukan pilihan.

2) Bantu klien melakukan jika perlu beri contoh.

Rasional : klien dapat berlatih secara mandiri.

3) Beri pujian atas keberhasilan klien.

Rasional : meningkatkan harga diri.

4) Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang

telah dipilih.

Rasional : perawat dapat mengobservasi dan mengawasi

latihan klien.

Tujuan khusus (TUK) 5 : klien dapat melakukan kegiatan

sesuai kondisi sakit dan kemampuannya.

Kriteria hasil : klien melakukan kegiatan yang telah

dilatih (mandiri, dengan bantuan atau tergantung) dan

mampu melakukan beberapa kegiatan secara mandiri.

Intervensi :

1) Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang

telah direncanakan.

Rasional : perawat mengetahui kegiatan yang dapat

dilakukan oleh klien.

2) Beri pujian atas keberhasilan klien.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.

Rasional : memberi kesempatan pada klien untuk

mandiri.

Tujuan khusus (TUK) 6 : klien dapat memanfaatkan sistem

pendukung.

Kriteria hasil : keluarga memberi dukungan dan pujian

serta memahami jadwal kegiatan harian klien.

Intervensi :

1) Beri pendidikan kesehatan pada keluar tentang cara

merawat klien dengan harga diri rendah.

Rasional : menambah pengetahuan keluarga tentang

perilaku menarik diri.

2) Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien

dirawat.

Rasional : keluarga adalah sistem pendukung utama bagi

klien.

3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

Rasional : lingkungan yang sesuai bagi klien

mempercepat proses penyembuhan.

4) Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di

rumah.

Rasional : klien belajar melaksanakan apa yang telah

direncanakan.

5) Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil.

Rasional : meningkatkan harga diri klien.

Depkes (2000) menguraikan delapan prinsip yang perlu

diperhatikan pada pengelolaan klien dengan perilaku

kekerasan adalah sebagai berikut :

a. Seluruh staf sebaiknya diberi latihan mengenai

pencegahan dan pengelolaan klien dengan perilaku

kekerasan termasuk latihan bermain peran atau role

playing.

b. Untuk memberikan intervensi keperawatan perbandingan

antara klien dan perawat adalah 1 : 1.

c. Untuk memberikan tindakan pengamanan staf sebaiknya

dilakukan secara kompak, tidak dibenarkan menghadapi

klien perilaku kekerasan seorang diri.

d. Berikan informasi atas tindakan yang akan dilakukan

ataupun pemberian obat yang berkaitan dengan perilaku

kekerasan.

e. Staf sebaiknya harus dapat melindungi bagian tubuh

yang vital dari upaya perlukaan.

f. Setelah situasi dapat diatasi, sesegera mungkin staf

mendiskusikan insiden yang terjadi.

g. Setelah klien tenang dan dapat mengontrol perilakunya

berikan kesempatan padanya untuk mengekspresikan

perasaannya.

h. Berikan penguatan positif apabila klien dapat

mengekspresikan perasaan