2.1 Proses Pengolahan Citra - Repository UIN SUSKA

31
II-1 II. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Proses Pengolahan Citra Pengolahan citra adalah suatu metode atau teknik dalam memperbaiki citra agar citra lebih mudah dimengerti oleh manusia maupun komputer. Pada proses pengolahan citra, diharapkan citra inputan akan mengalami peningkatan kualitas citra sehingga informasi yang terdapat didalam citra tersebut dapat dikenali dan dipahami dengan baik oleh manusia maupun komputer. Adapun proses pengolahan citra yang dilakukan pada penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut. Segmentasi Fuzzy Threshold Preprocessing Akuisisi Citra Ciri Warna: HSV Ciri Tekstur: GLCM Ekstraksi Ciri LVQ Klasifikasi Gambar 2.1 Proses Pengolahan Citra Berdasarkan gambar 2.1 diatas, dapat dilihat bahwa proses pengolahan citra terdiri dari akuisisi citra, prepocessing, ekstraksi ciri dan klasifikasi citra. 2.1.1 Pembentukan Citra (Akuisisi Citra) Secara umum ada empat komponen dalam proses pembentukan citra, yaitu (Gonzales, 2008 dikutip Cahyana, 2015): digitizer, komputer digital, piranti tampilan, dan media penyimpanan. Digitizer berungsi untuk menangkap citra digital yang akan di representasikan secara numerik sebagai inputan bagi komputer. Contoh dari digitizer adalah kamera digital. Komputer digital yang digunakan pada pengolahan citra digital merupakan seperangkat alat berupa perangkat keras maupun perangkat

Transcript of 2.1 Proses Pengolahan Citra - Repository UIN SUSKA

II-1

II. BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Proses Pengolahan Citra

Pengolahan citra adalah suatu metode atau teknik dalam memperbaiki citra

agar citra lebih mudah dimengerti oleh manusia maupun komputer. Pada proses

pengolahan citra, diharapkan citra inputan akan mengalami peningkatan kualitas

citra sehingga informasi yang terdapat didalam citra tersebut dapat dikenali dan

dipahami dengan baik oleh manusia maupun komputer.

Adapun proses pengolahan citra yang dilakukan pada penelitian ini dapat

dilihat pada gambar 2.1 berikut.

Segmentasi Fuzzy Threshold

PreprocessingAkuisisi Citra

Ciri Warna: HSVCiri Tekstur: GLCM

Ekstraksi Ciri

LVQ

Klasifikasi

Gambar 2.1 Proses Pengolahan Citra

Berdasarkan gambar 2.1 diatas, dapat dilihat bahwa proses pengolahan citra

terdiri dari akuisisi citra, prepocessing, ekstraksi ciri dan klasifikasi citra.

2.1.1 Pembentukan Citra (Akuisisi Citra)

Secara umum ada empat komponen dalam proses pembentukan citra, yaitu

(Gonzales, 2008 dikutip Cahyana, 2015): digitizer, komputer digital, piranti

tampilan, dan media penyimpanan.

Digitizer berungsi untuk menangkap citra digital yang akan di

representasikan secara numerik sebagai inputan bagi komputer. Contoh dari

digitizer adalah kamera digital. Komputer digital yang digunakan pada pengolahan

citra digital merupakan seperangkat alat berupa perangkat keras maupun perangkat

II-2

lunak yang mampu melakukan pengolahan secara digital. Piranti tampilan berguna

untuk merepresentasikan citra yang telah diolah dengan komputer digital.

Sedangkan media penyimpanan adalah perangkat dengan memori yang berguna

untuk menyimpan citra – citra digital untuk jangka waktu yang bersifat sementara

maupun dalam jangka waktu yang lama.

2.1.2 Preprocessing

Pada umumnya, operasi – operasi pada pengolahan citra diterapkan pada

citra bila (Munir, 2004):

1. Perbaikan atau memodifikasi citra perlu dilakukan untuk meningkatkan

kualitas penampakan atau menonjolkan beberapa aspek informasi yang

terkandung di dalam citra

2. Elemen di dalam citra perlu dikelompokkan, dicocokkan, atau diukur

3. Sebagian citra perlu digabung dengan bagian citra yang lain.

Secara umum, operasi pengolahan citra dapat diklasifikasikan dalam

beberapa jenis sebagai berikut:

1. Perbaikan kualitas citra (image enhancement), Operasi ini bertujuan

untuk memerbaiki kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter –

parameter citra. Seperti perbaikan kontras gelap atau terang, perbaikan tepian

objek (Edge Enhancement), penajaman (sharpening), pemberian warna semu

(pseudocoloring) serta penapisan derau (noisefiltering).

2. Pemugaran citra (image restoration), Operasi ini bertujuan untuk

menghilangkan atau meminimumkan cacat pada citra. Seperti penghilangan

kesamaran (deblurring) dan penghilangan derau (noise).

3. Kompresi citra (image compression), Operasi ini bertujuan untuk

merepresentasikan citra ke dalam bentuk yang lebih kompak sehingga

memerlukan memori yang lebih sedikit. Pada kompresi citra, kualitas citra

yang telah dikompresi harus tetap mempunyai kualitas citra yang bagus.

II-3

4. Segmentasi Citra (image Segmentation), Operasi ini bertujuan untuk

memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan suatu kriteria tertentu.

Operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola.

5. Analisis citra (image analysis), Operasi ini bertujuan untuk menghitung

besaran kuantitatif dari citra untuk menghasilkan deskripsinya. Analisis citra

diperlukan untuk melokalisasi objek yang diinginkan dari sekelilingnya.

Seperti pendeteksian tepi (edge detection), ekstraksi batas (boundary) dan

representasi daerah (region).

6. Rekonstruksi citra (image reconstruction), Operasi ini bertujuan untuk

membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Rekonstruksi citra

banyak digunakan pada bidang medis. Salah satunya yaitu foto rontgen dengan

sinar X digunakan untuk membentuk ulang gambar organ tubuh.

2.1.2.1 Segmentasi Citra

Segmentasi citra adalah proses pengolahan citra yang bertujuan untuk

memisahkan wilayah objek pada citra dengan wilayah background pada citra agar

operasi ekstraksi ciri pada wilayah objek di tahap selanjutnya dapat dihitung dengan

lebih mudah. Terdapat dua pendekatan utama dalam segmentasi citra yaitu

didasarkan pada tepi (edge-based) dandidasarkan pada wilayah (region-based).

Segmentasi didasarkan pada tepi membagi citra berdasarkan diskontinuitas di

antara sub-wilayah (sub-region), sedangkan segmentasi yang didasarkan pada

wilayah bekerja berdasarkan keseragaman yang ada pada sub-wilayah tersebut.

Hasil dari segmentasi citra adalah sekumpulan wilayah yang melingkupi citra

tersebut, atau sekumpulan kontur yang diekstrak dari citra (pada deteksi tepi)

(Murinto & Harjoko, 2009).

1. Segmentasi Fuzzy Threshold

Threshold adalah suatu teknik yang digunakan untuk segmentasi citra.

Teknik threshold ini digunakan untuk memisahkan antara objek dan

backgroundnya. Proses threshold sering disebut dengan proses binerisasi.

Pada beberapa aplikasi pengolahan citra, terlebih dahulu dilakukan

threshold terhadap citra grayscale untuk dapat menjadi citra biner (citra yang

II-4

memiliki nilai level keabuan 0 atau 255). Citra grayscale didapatkan dengan

melakukan konversi dari citra RGB. Untuk melakukan konversi citra RGB menjadi

citra grayscale, dapat menggunakan persamaan 2.1 berikut:

𝑔𝑟𝑎𝑦𝑠𝑐𝑎𝑙𝑒 = 0.3 ∗ 𝑅 + 0.5 ∗ 𝐵 + 0.2 ∗ 𝐵 (2.1)

Dengan R merupakan nilai Red (merah) suatu piksel pada citra, G

merupakan nilai Green (hijau) suatu piksel pada citra sedangkan B merupakan nilai

Blue (biru) suatu piksel pada citra.

Sebuah citra hasil proses threshold dapat disajikan dalam histogram citra

untuk mengetahui penyebaran nilai-nilai intensitas piksel pada suatu citra / bagian

tertentu dalam citra sehingga untuk citra bimodal, histogram dapat dipartisi dengan

baik (segmentasi objek dengan background) dan dapat ditentukan nilai threshold-

nya (Fauzi & Tjandrasa, 2010).

Menurut (Aja-Fernández et al, 2015) metode segmentasi fuzzy threshold

merupakan metode yang sangat baik digunakan untuk citra yang memiliki noise

jika dibandingkan dengan beberapa metode threshold lainnya.

Berikut adalah tahapan yang harus dilakukan untuk melakukan segmentasi

berdasarkan fuzzy threshold untuk suatu citra:

Citra Asli

Pre-processing Citra

Ekstraksi Centroid

Mendefinisikan fungsi keanggotaan

fuzzy[Nilai Parameter]

Menetapkan keanggotaan

Agregasi lokal

Segmentasi citra

Citra Threshold

Aturan Lokal

Gambar 2.2 Alur proses segmentasi fuzzy threshold

(Aja-Fernández et al, 2015)

Pada gambar 2.2 diatas dapat dijelaskan bahwa tahapan pertama dalam

melakukan segmentasi fuzzy threshold adalah dengan melakukan:

1. Ekstraksi sentroid, Area yang berbeda dimana gambar akan tersegmentasi

didefinisikan menggunkaan L sentroid. Dengan ketentuan L < N1. Jumlah

sentroid dapat diatur terlebih dulu untuk pencarian jumlah daerah yang

optimum.

II-5

2. Mendefinisikan fungsi keanggotaan fuzzy, fungsi keanggotaannya

adalahµ1(x), dengan I=1,…,L yang berhubungan dengan setiap kelas pada

sentroid yang telah ditetapkan sebelumnya. Ada dua cara untuk menentukan

fungsi keanggotaan:

a. Dari histogram gambar, metode ini mengikuti pendekatan klasik untuk

multiregion thresholding dimana tingkat utama dalam gambar yang diambil dari

histogram h(I), sebesar L didistribusikan ke dalam h(I):

h(I) ≈ ∑ 𝜔1. 𝑝1(𝑥; 𝜃1)𝐿𝐼=1 (2.2)

Dengan 𝑝1(𝑥; 𝜃1) adalah fungsi probabilititas density yang didefinisikan

oleh parameter 𝜃1, dan 𝜔1 adalah bobot yang memnuhi ∑ 𝜔1𝐼 = 1.

Untuk itu, fungsi keanggotaan fuzzy yang dipilih adalah dengan fungsi

keanggotaan trapesium. Seperti yang digambarkan pada gambar 2.3 berikut:

Wilayah1Wilayah2

0

1

a b 255

Gambar 2.3 Fungsi keanggotaan trapesium

b. Dari sentroid, jika fungsi keanggotaan yang dipilih adalah fungsi keanggotaan

trapesium, semua informasi dari histogram dapat diabaikan. Karena nilai – nilai

pada gambar 2.3 didapatkan secara langsung dari nilai ekstraksi sentroid pada

tahap sebelumnya. Keluaran pada tahap ini adalah fungsi keanggotaan yang

menggambarkan setiap set keluaran, µ1(x),1=1,…,L

Berdasarkan grafik fungsi keanggotaan trapezium pada gambar 2.3, dapat

ditentukan derajat keanggotaan suatu piksel didalam keanggotaan fuzzy

berdasarkan setiap wilayahnya seperti pada persamaan 2.3 dan 2.4 berikut:

II-6

𝜇𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ1(𝑥) = {

1 𝑥 ≤ 𝑎𝑏−𝑥

𝑏−𝑎 𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑎 < 𝑥 ≤ 𝑏

0 𝑏 < 𝑥 ≤ 255

} (2.3)

𝜇𝑤𝑖𝑙𝑎𝑦𝑎ℎ2(𝑥) = {

0 𝑥 ≤ 𝑎𝑥−𝑎

𝑏−𝑎 𝐽𝑖𝑘𝑎 𝑎 < 𝑥 ≤ 𝑏

1 𝑏 < 𝑥 ≤ 255

} (2.4)

Dimana x merupakan nilai grayscale pada suatu piksel yang akan ditentukan

keanggotaannya.

3. Menetapkan keanggotaan

Keanggotaan piksel r di dalam citra l(r) di dalam l kelas diberikan oleh,

µ1(l(r)). Dengan menggunakan fungsi keanggotaan trapesium yang telah

didefinisikan sebelumnya, diketahui bahwa:

∑𝜇𝐼(𝐼(𝑟))

𝐿

𝐼=1

= 1

Pada point ini, threshold pertama pada citra sudah bisa dilakukan:

𝑀(𝑟) = 𝑚𝑎𝑥𝐼{𝜇𝐼(𝐼(𝒓))} (2.5)

Dimana M(r) adalah hasil citra threshold. Pada tahap ini memiliki keluaran

pada setiap piksel, akan menjadi vektor keanggotaan :

𝜇(𝐼(𝑟)) = [𝜇1(𝐼(𝑟)) 𝜇2(𝐼(𝑟))… 𝜇𝐿(𝐼(𝑟))]

Jika fungsi keanggotaan yang dipilih berbentuk trapesium, maka hanya

ada 2 dari masing – masing elemen yang bernilai selain 0.

4. Agregasi lokal, pada langkah ini, informasi spasial akan dihitung sebelum

tahap akhir segmentasi. Nilai dari agrerasi lokal adalah:

𝜇𝑆(𝐼(𝑟)) = 𝑎𝑔𝑔𝑆∈ 𝜂(𝑟)

{𝜇(𝐼(𝑆))} (2.6)

Dimana agg adalah agregasi fuzzy ketetanggaan.

Berikut adalah beberapa agregasi untuk tujuan umum citra threshold.

a. Agregasi Median (MedAg): keanggotaan setiap piksel di dalam 𝜂(𝑟)

dikumpulkan menggunakan operator median

𝜇 𝑆𝐼(𝐼(𝑟)) = 𝑚𝑒𝑑𝑖𝑎𝑛

𝑆 ∈ 𝜂(𝑟){𝜇𝐼(𝐼(𝑆))} (2.7)

II-7

Ketetanggaan 𝜂(𝑟) dapat berorientasi untuk menemukan struktur pada

arah tertentu.

b. Agregasi Average (AvAg):Mendefinisikan rata – rata setiap fungsi

keanggotaan sebagai

𝜇 𝑆𝐼(𝐼(𝑟)) = ∑ 𝜔𝑖. 𝜇𝐼(𝐼(𝑟𝑖))𝑟𝑖 ∈ 𝜂(𝑟) (2.8)

Dengan 𝜔𝑖 merupakan bobot dari piksel yang bersangkutan.

c. Agregasi iterarif average (IterAg): Untuk menemukan struktur yang

lebih baik, dapat didefinisikan prosedur iteratif pada ruang

keanggotaan. Average yang kecil dapat didefinisikan sebagai:

ℎ = 1

3

0 0.5 00.5 1 0.50 0.5 0

Dan agregasi didefinisikan sebagai:

[𝜇𝐼(𝐼(𝑟))]𝑡+1 = [𝜇𝐼(𝐼(𝑟))]𝑡 ∗ ℎ (2.9)

Dengan * merupakan konvolusi spasial dan t = 0,….,T adalah jumlah

iterasi. Sehingga

𝜇𝐼𝑆(𝐼(𝑟)) = [𝜇1 (𝐼(𝑟))]𝑇

d. Absolut Maksimum (AbMax): Keanggotaan setiap piksel pada 𝜂(𝑟)

adalah agregasi yang menggunakan operator maksimum:

𝜇𝐼𝑆(𝐼(𝑟)) = 𝑚𝑎𝑥

𝑆 ∈ 𝜂(𝑟)(𝜇𝐼(𝐼(𝑆))) (2.10)

5. Segmentasi citra

Langkah terakhir adalah menghitung segmentasi citra akhir dari fungsi

keanggotaan yang telah dimodifikasi. Dengan menggunakan operator

maksimum:

𝑀(𝑟) = arg𝑚𝑎𝑥𝐼{𝜇𝐼

𝑆(𝐼(𝑟))} (2.11)

Meskipun defuzzifikasi yang lain dan perhitungan sentroid yang lain bisa

digunakan.

II-8

2.1.2.2 Cropping Citra

Cropping adalah proses pemotongan citra pada koordinat tertentu pada area

citra. Untuk memotong bagian dari citra digunakan dua koordinat, yaitu koordinat

awal yang merupakan awal koordinat bagi citra hasil pemotongan dan koordinat

akhir yang merupakan titik koordinat akhir dari citra hasil pemotongan. Sehingga

akan membentuk citra segi empat yang setiap pikselnya ada pada area koordinat

tertentu yang akan disimpan dalam citra yang baru.

Adapun proses pengolahan citra dapat terlihat seperti gambar 2.4 berikut.

2,2 2,3 2,4

3,2 3,3 3,4

4,2 4,3 4,4

5,2

1,1

2,1

3,1

4,1

5,1

1,2

5,3 5,4

1,3 1,4 1,5

2,5

3,5

4,5

5,5

2,2 2,3

3,2 3,3

1,1

2,1

3,1

1,2 1,3

Gambar 2.4 Cropping citra

Berdasarkan gambar 2.4 diatas, dapat diketahui bahwa terjadi cropping

terhadap citra berukuran 5x5 piksel menjadi citra 3x3 piksel dengan melakukan

pemotongan pada koordinat awal (2,2) dan koordinat akhir (4,4). Citra yang baru

ini memiliki nilai piksel dari koordinat citra awal yaitu (2,2) sampai koordinat (4,4).

Untuk melakukan cropping pada citra tersebut, dilakukan dengan

persamaan (2.10) dan (2.11) berikut.

𝑥′ = 𝑥 − 𝑥𝐿 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑥 = 𝑥𝐿 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑥𝑅 (2.12)

𝑦 = 𝑦 − 𝑦𝑇 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑦 = 𝑦𝑇 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑎𝑖 𝑦𝐵 (2.13)

II-9

Dimana (𝑥𝐿, 𝑦𝑇) dan (𝑥𝑅, 𝑦𝐵) adalah koordinat titik pojok kiri atas dan

pojok kanan bawah citra yang akan di-crop.

2.1.3 Ekstraksi Ciri

Ekstraksi ciri merupakan proses pengindeksan suatu database citra dengan

isinya. Secara matematik, setiap ekstraksi ciri merupakan encode dari vektor n

dimensi yang disebut dengan vektor ciri. Komponen vektor ciri dihitung dengan

pemrosesan citra dan teknik analisis serta digunakan untuk membandingkan citra

yang satu dengan citra yang lain (Kusumaningsih, 2009). Beberapa Informasi atau

ciri yang dapat digunakan untuk merepresentasikan citra adalah ciri warna, ciri

tekstur, ciri berdasarkan wilayah citra serta ciri berdasarkan informasi semantik

yang terdapat pada citra.

Pada penelitian ini, identifikasi citra daging babi dan citra daging sapi

terlihat jelas pada warna dan serat yang terdapat pada daging tersebut. Oleh karena

itu, ekstraksi ciri yang digunakan pada penelitian ini adalah ekstraksi ciri warna

untuk mengidentifikasi perbedaan warna daging babi dan daging sapi serta

ekstraksi ciri tekstur untuk mengidentifikasi perbedaan serat daging yang terdapat

pada daging babi dan daging sapi.

2.1.3.1 Ekstraksi ciri warna

Pada setiap citra, memiliki piksel – piksel yang berbeda gradasi warnanya.

Pada setiap pikselnya, sebuah citra berwarna dapat mempunyai kombinasi warna

sebanyak 28.28.28=224=16 juta lebih (Rakhmawati, 2013). Dari banyaknya

kombinasi warna yang bisa muncul inilah dilakukan ekstraksi ciri warna terhadap

suatu citra agar suatu citra dapat dibedakan dengan citra yang lainnya.

Untuk melakukan ekstraksi ciri warna tersebut, ada beberapa model warna

yang digunakan. Antara lain, Hue Saturation Intencity (HSI), HSL dan Hue

Saturation Value (HSV). Persamaan antara ketiga model warna tersebut adalah

ketiganya menggunakan citra berwarna. Citra berwarna adalah citra yang setiap

pikselnya mewakili warna yang merupakan kombinasi dari tiga warna dasar yaitu

merah, hijau dan biru atau biasa disebut dengan kombinasi RGB (Red, Green,

II-10

Blue). Setiap warna dasar ini menggunakan penyimpanan 8 bit atau 1 byte, yang

berarti setiap warna mempunyai gradasi warna sebanyak 256 warna.

Pada model warna HSI, komponen warna RGB terlebih dahulu dikonversi

kedalam model warna HSI yang mengandung hue, saturation dan intencity

(Kiswanto, 2012). Hue menyatakan warna sebenarnya seperti merah, violet dan

kuning. Hue digunakan untuk membedakan warna – warna dan menentukan

kemerahan (redness), kehijauan (greenness) dan sebagainya. Saturation

menyatakan tingkat kemurnian warna cahaya, yaitu mengindikasikan seberapa

banyak warna putih diberikan pada warna. Intencity adalah atribut yang

menyatakan banyaknya cahaya yang diterima oleh mata tanpa memperdulikan

warna. Kisaran nilainya adalah antara gelap (hitam) hingga terang (putih).

Pada model warna HSV, komponen warna RGB terlebih dahulu dikonversi

kedalam model warna HSV yang mengandung hue, saturation dan value. Sama hal

nya dengan model warna HSI, pada model warna HSV, hue dan saturation

memiliki fungsi yang sama. SedangkanValue adalah atribut yang menyatakan

banyaknya cahaya yang diterima oleh mata tanpa memperdulikan warna.

Dari beberapa model warna yang telah disebutkan diatas, pada penelitian ini

menggunakan model warna HSV dalam mengekstraksi ciri warna. Karena menurut

(Gonzalez et al, 2010 dikutip oleh Cahyana, 2015) model HSV adalah pengenalan

ciri warna yang terbaik.

1. Model Warna HSV

Pada model warna HSV, nilai hue berkisar antara 0 sampai 1 yang berarti

warna antara merah lalu memutar nilai – nilai spektrum warna tersebut hingga

kembali ke warna merah. Nilai saturation berkisar antara 0 sampai 1 yang berarti

tidak tersaturasi (keabuan) sampai tersaturasi (tidak putih). Nilai value atau

kecerahan berkisar antara 0 sampai 1 yang berarti warna semakin cerah

(Rakhmawati, 2013). Untuk menjelaskan hubungan antara Hue, Saturation dan

Value dapat dilihat pada gambar 2.5 berikut.

II-11

Gambar 2.5 Model Warna HSV

(Rakhmawati, 2013)

Pada gambar 2.5 diatas, dapat dilihat hubungan antara hue, saturation dan

value seperti yang telah dijelaskan diatas.

2. Konversi Citra RGB menjadi citra HSV

Untuk melakukan konversi citra RGB menjadi citra HSV, perlu dilakukan

persamaan berikut untuk setiap nilai Hue, Saturation dan value pada setiap

pikselnya.

𝑯 = 𝒕𝒂𝒏 [𝟑(𝑮−𝑩)

(𝑹−𝑮)+(𝑹−𝑩)] ..................... (2. 14)

𝑺 = 𝟏 −𝐦𝐢𝐧(𝑹,𝑮,𝑩)

𝑽 .................. (2. 15)

𝑽 =𝑹+𝑮+𝑩

𝟑 .................. (2. 16)

Pada rumus diatas, dalam kondisi tertentu nilai H tidak dapat ditentukan.

Oleh karena itu, perlu dilakukan normalisasi terhadap nilai RGB pada citra. Adapun

persamaan untuk menormalisasikan nilai RGB adalah sebagai berikut.

II-12

𝑟 =𝑅

𝑅+𝐺+𝐵 ..................... (2. 17)

𝑔 =𝐺

𝑅+𝐺+𝐵 ..................... (2. 18)

𝑏 =𝐵

𝑅+𝐺+𝐵 ..................... (2. 19)

Pada ketiga persamaan diatas, nilai R, G dan B menyatakan nilai RGB yang

belum dinormalisasi. Sedangkan nilai r,g dan b menyatakan nilai RGB yang telah

dinormalisasi.

Setelah nilai RGB dinormalisasi, maka persamaan untuk mengkonversi nilai

RGB menjadi citra HSV berubah menjadi berikut.

𝑽 = 𝒎𝒂𝒙(𝒓, 𝒈, 𝒃) ..................... (2. 20)

𝑺 = {𝑽−

𝒎𝒊𝒏(𝒓,𝒈,𝒃)

𝑽

𝟎 ; 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑽>𝟎𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑽=𝟎

............... (2. 21)

𝑯 =

{

𝟎 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑺 = 𝟎𝟔𝟎 𝒙 (𝒈−𝒃)

𝑺 𝒙 𝑽 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑽 = 𝒓

𝟔𝟎 𝒙 [𝟐 +(𝒃−𝒓)

𝑺 𝒙 𝑽] 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑽 = 𝒈

𝟔𝟎 𝒙 [𝟒 +(𝒓−𝒈)

𝑺 𝒙 𝑽] 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑽 = 𝒃

. (2. 22)

𝑯 = 𝑯+ 𝟑𝟔𝟎 𝑱𝒊𝒌𝒂 𝑯 < 𝟎 ............ (2. 23)

2.1.3.2 Ekstraksi Ciri Tekstur

Ekstraksi ciri tekstur biasanya dimanfaatkan sebagai proses antara untuk

melakukan klasifikasi dan interpretasi citra. Berdasarkan orde statistiknya,

ekstraksi ciri tekstur dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu orde satu, orde dua dan

orde tiga (Adi putra, 2013).

Statistik Orde – kesatu, merupakan metode pengambilan ciri yang

didasarkan pada karakteristik histogram citra. Histogram menunjukkan

kemungkinan kemunculan nilai derajat keabuan piksel pada suatu citra, dengan

mengabaikan piksel tetangga. Statistik orde – kesatu lebih baik dalam

mengekstraksi tekstur citra dengan parameter seperti mean, skewness, variance,

kurtosis dan entropy.

II-13

Statistik Orde – kedua, merupakan metode pengambilan ciri yang

mempertimbangkan hubungan antara dua piksel (piksel yang bertetangga) pada

citra. Statistik orde kedua memerlukan bantuan matriks kookurensi (matrix co-

occurence) untuk citra keabuan. Statistik orde kedua lebih baik dalam

mengekstraksi tekstur citra dengan parameter seperti kontras, korelasi, variansi,

entropi dan energi.

Statistik Orde – ketiga dan yang lebih tinggi, merupakan metode

pengambilan ciri yang mempertimbangkan hubungan antara tiga atau lebih piksel.

Hal ini memungkinkan secara teoritis, akan tetapi belum bisa diterapkan.

Pada penelitian ini, akan dilakukan ekstraksi ciri tekstur dengan statistik

orde kedua dengan bantuan matriks kookurensi untuk citra keabuan atau yang biasa

disebut dengan Gray Level Co-Occurence Matrix (GLCM).

1. GLCM (Gray Level Co-Occurence Matrix)

Matriks kookurensi merupakan matriks berukuran L x L (L menyatakan

tingkat keabuan) dengan elemen P(x1, x2) yang merupakan distribusi probabilitas

bersama (join probability distribution) dari pasangan titik – titik dengan tingkat

keabuan x1 yang berlokasi pada koordinat (j,k) dengan x2yang berlokasi pada

koordinat (m,n). Koordinat pasangan titik – titik tersebut berjarak r dengan dengan

sudut𝜃. Histogram tingkat kedua P(x1, x2) dihitung dengan persamaan berikut (Adi

putra, 2013):

𝑃(𝑥1,𝑥2) = 𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑝𝑎𝑠𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘−𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑡𝑖𝑛𝑔𝑘𝑎𝑡 𝑘𝑒𝑎𝑏𝑢𝑎𝑛 𝑥1 𝑑𝑎𝑛 𝑥2

𝑏𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ 𝑠𝑢𝑎𝑡𝑢 𝑐𝑖𝑡𝑟𝑎 (2.24)

GLCM adalah suatu matriks yang elemen – elemennya merupakan

pasangan piksel dengan tingkat kecerahan tertentu, dimana pasangan piksel itu

terpisah dengan jarak d dengan suatu sudut inklinasi 𝜃. Dengan kata lain, matriks

kookurensi adalah kemungkinan munculnya gray level i dan j dari dua piksel yang

terpisah jarak d dan sudut 𝜃.

II-14

Arah piksel tetangga untuk mewakili jarak dapat dipilih, misalnya 135˚, 90˚,

45˚ dan 0˚. Ilustrasi gambar piksel yang bertetanggaan dapat dilihat pada gambar 2.6

berikut.

(i-1, j-1) (i,j-1) (i+1, j-1)

(i-1, j) (i,j) (i+1, j)

(i-1, j+1) (i, j+1) (i+1, j+1)

45˚90˚

135˚

Gambar 2.6 Hubungan Ketetanggaan antar piksel

Setelah memperoleh matriks kookurensi tersebut, kemudian dapat

menghitung ciri statistik orde dua yang merepresentasikan citra yang diamati. Ciri

tekstur yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan 6 ciri statik orde dua,

yaitu Angular Second Moment (ASM), contrast, correlation, variance, Inverse

Difference Moment (IDM) serta entropy (Putra dkk , 2012).

a. Angular Second Moment(ASM)

ASM atau energy menyatakan tingkat keseragaman piksel – piksel suatu

citra. Semakin tinggi nilai ASM, maka semakin seragam teksturnya. Untuk

menghitung ASM, dapat menggunakan persamaan (2.25) berikut.

𝐴𝑆𝑀 = ∑ 𝑝(𝑖, 𝑗)2𝑖,𝑗 (2.25)

b. Contrast

Contrast menyatakan kandungan variasi lokal pada citra. Semakin tinggi

nilai contrast, maka semakin tinggi tingkat kekontrasannya. Persamaan (2.26)

digunakan untuk menghitung contrast.

𝐶𝑂𝑁 = ∑ | 𝑖 − 𝑗 |2𝑖,𝑗 𝑃(𝑖, 𝑗) (2.26)

II-15

c. Correlation

Correlation menyatakan ukuran hubungan linear dari nilai gray level piksel

ketetanggaan. Persamaan (2.27) digunakan untuk menghitung Correlation.

𝐶𝑂𝑅 =∑ ∑ (𝑖𝑗).𝑝(𝑖,𝑗)−µ𝑖𝑗𝑖 𝜇𝑗

𝜎𝑖𝜎𝑗 (2.27)

Dimana nilai 𝜇𝑥, 𝜇𝑦, σxdan σy didapatkan dengan persamaan berikut.

𝜇𝑖 = ∑ ∑ 𝑖 𝑝(𝑖, 𝑗)𝑗𝑖 (2.28)

𝜇𝑗 = ∑ ∑ 𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗)𝑗𝑖 (2.29)

σ𝑖 = ∑ ∑ 𝑝(𝑖, 𝑗)(𝑖 − 𝜇𝑖)2

𝑗𝑖 (2.30)

σ𝑗 = ∑ ∑ 𝑝(𝑖, 𝑗)(𝑗 − 𝜇𝑗)2

𝑗𝑖 (2.31)

d. Variance

Variance digunakan untuk menunjukkan variasi elemen – elemen matriks

kookurensi. Citra dengan transisi derajat keabuan kecil akan memiliki variansi yang

kecil pula. Persamaan (2.32) digunakan untuk menghitung variance.

𝑉𝐴𝑅 = ∑ (𝑖 − 𝜇𝑖)(𝑗 − 𝜇𝑗)𝑝(𝑖, 𝑗)𝑖,𝑗 (2.32)

e. Inverse Difference Moment (IDM)

IDM merupakan kebalikan dari contrast. Semakin tinggi nilai IDM maka

semakin rendah tingkat kekontrasannya. Nilai IDM bisa didapatkan dari persamaan

(2.33) berikut.

𝐼𝐷𝑀 = ∑1

1+(𝑖−𝑗)2𝑖,𝑗 𝑝(𝑖, 𝑗) (2.33)

f. Entropy

Entropy menyatakan tingkat keacakan piksel – piksel suatu citra. Semakin

tinggi nilai entropy, maka semakin acak teksturnya. Nilai Entropy bisa didapatkan

dari persamaan (2.34) berikut.

𝐸𝑁𝑇 = − ∑ 𝑃(𝑖, 𝑗) log(𝑃(𝑖, 𝑗))𝑖,𝑗 (2.34)

Keterangan:

𝑃(𝑖, 𝑗) = Elemen baris ke-i, kolom ke-j dari matriks kookurensi

𝜇𝑖 = nilai rata – rata baris ke-i pada matriks P

II-16

𝜇𝑗 = nilai rata – rata kolom ke-j pada matriks P

𝜎𝑖 = standard deviasi baris ke-I pada matriks P

𝜎𝑗 = standard deviasi kolom ke-j pada matriks P

2.1.4 Klasifikasi

Klasifikasi merupakan proses menemukan sekumpulan model yang

menggambarkan dan membedakan kelas – kelas data, dengan tujuan agar model

tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kelas dari suatu objek atau data yang

label kelasnya tidak diketahui. Klasifikasi terdiri atas duat tahap, yaitu pelatihan

dan pengujian. Pada tahap pelatihan, dibentuk sebuah model yang didapatkan dari

sekumpulan data yang telah diketahui labelnya. Sedangkan pada tahap pengujian

dilakukan prediksi terhadap model baru berdasarkan model yang telah diketahui

pada tahap pelatihan.

Pada pengklasifikasian menggunakana pembelajaran terarah, ada beberapa

metode klasifikasi yang digunakan. Diantaranya adalah backpropagation dan LVQ.

Backpropagation atau propagasi balik, merupakan metode klasifikasi

yang jaringannya terdiri dari banyak lapisan. Ketika jaringan diberikan pola

masukan sebagai pola pelatihan, maka pola tersebut akan menuju unit – unit lapisan

tersembunyi yang selanjutnya akan diteruskan kepada unit – unit lapisan keluaran.

Jika hasil keluaran tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan, maka keluaran akan

disebarkan mundur (backward) pada lapisan tersembunyi kemudian pola tersebut

akan dikembalikan ke lapisan masukan sebagai hasil akhir (Putra dkk, 2012).

LVQ merupakan metode klasifikasi pola yang outputnya mewakili kelas

tertentu. Pada LVQ, arsitektur jaringannya terdiri dari lapisan input, lapisan

kompetitif serta lapisan output. Lapisan kompetitif akan belajar secara otomatis

untuk melakukan klasifikasi terhadap vektor input yang diberikan. Apabila vektor

input memiliki jarak yang sangat berdekatan, maka vektor input tersebut akan

dikelompokkan dalam kelas yang sama (Nasir & Syahroni, 2012).

II-17

Pada penelitian ini, dilakukan klasifikasi menggunakan metode LVQ karena

LVQ memiliki tingkat akurasi yang tinggi untuk pengenalan pola. Bahkan ada

penelitian yang menggunakan metode klasifikasi LVQ memiliki tingkat akurasi

mencapai 100% (Harjunowibowo, 2010).

2.1.4.1 Arsitektur LVQ (Learning Vector Quantization)

Adapun arsitektur LVQ yang akan digunakan pada penelitian ini dapat

dilihat pada gambar 2.7 berikut:

X1

| X – W1| F1

X2

X3

X4

X5

X6

X7

X8

X9

| X – W2| F2

Y_in1

Y_in2

Y1

Y2

Gambar 2.7 Arsitektur LVQ

Gambar 2.7 merupakan arsitektur LVQ yang akan digunakan dalam

penelitian ini. Nilai X1, X2,...,X9 menyatakan nilai masukan pada LVQ. Nilai ini

didapatkan dari nilai mean H, mean S, mean V, Angular Second Moment(ASM),

contrast, correlation, variance, Inverse Difference Moment (IDM) serta entropy

dari citra yang akan dilatih dan diuji. Sedangkan X- W1, X-W2 adalah proses untuk

menghitung jarak antara data uji dan data yang telah dilatih seblumnya. Y_in adalah

masukan ke dalam lapisan kompetitif untuk pencarian bobot baru. F adalah lapisan

kompetitif yang nilainya diperoleh dari proses pencarian bobot baru. W merupakan

vektor bobot yang menyatakan kelas untuk unit keluaran. Sedangkan Y adalah nilai

II-18

dari vektor keluaran yang menyatakan kelas dari data yang diuji. Dalam penelitian

ini, kelas dinyatakan sebagai kelas daging babi dan kelas daging sapi. Daging

Oplosan diklasifikasikan sebagai daging babi.

1. Proses Pembelajaran LVQ

Proses pembelajaran pada LVQ bertujuan mencari nilai bobot yang sesuai

untuk mengelompokkan vektor – vektor input kedalam kelas yang sesuai dengan

inisialisasi bobot awal pada saat pembentukan jaringan. Adapun parameter –

parameter yang akan digunakan pada LVQ adalah sebagai berikut (Hidayati &

Warsito, 2010).

a. ∝ (Learning Rate), ∝ didefinisikan sebagai laju pembelajaran. Jika ∝ terlalu

besar, maka algoritma akan menjadi tidak stabil. Sebaliknya, jika ∝ terlalu

kecil, maka prosesnya akan terlalu lama. Nilai ∝ adalah 0 <∝< 1.

b. 𝐷𝑒𝑐 ∝ (Penurunan Learning Rate), 𝐷𝑒𝑐 ∝ adalah penurunan laju

pembelajaran. Didefinisikan sebagai (0.1 * ∝).

c. 𝑀𝑖𝑛 ∝ (Minimum Learning Rate), 𝑀𝑖𝑛 ∝ adalah nilai minimum laju

pembelajaran yang masih diperbolehkan.

d. 𝑀𝑎𝑥𝐸𝑝𝑜𝑐ℎ (Maksimum Epoch), 𝑀𝑎𝑥𝐸𝑝𝑜𝑐ℎ adalah jumlah epoch atau

iterasi maksimum yang boleh dilakukan selama pelatihan. Iterasi akan

berhenti jika nilai epoch mencapai epoch maksimum.

Adapun algoritma proses pembelajaran pada metode LVQ dijelaskan pada

gambar 2.8 berikut ini.

II-19

While epoch max epoch atau α min α

Kelas(i) = j

Mulai

Masukkan input dan target

Inisialisai bobot awal dan parameter

Set Epoch = 0

Epoch = epoch + 1

Baca Xi

for i = 1 to n

Hitung jarak eucledian

Temukan jarak terpendek xi dengan

bobot ditandai indeks vektor bobot

sebagai j

wj(baru) = wj(lama) + α (xi - wj)

Next i

Mengurangi nilai α:

α = α - Decα

w end

Bobot akhir

selesai

Ya Tidak

wj(baru) = wj(lama) - α (xi - wj)

Gambar 2.8 Algoritma proses pembelajaran pada metode LVQ

(Hidayati & Warsito, 2010)

Jarak eucledian di lambangkan dengan D. Adapun rumus untuk menghitung

D dapat dilihat pada persamaan (2.35) berikut.

II-20

𝐷 = √(𝑥1 −𝑤1)2+. . . . +(𝑥𝑛 −𝑤𝑛)2 (2.35)

Keterangan:

D adalah jarak eucledian antara data latih inputan dengan bobot kelas

x1, xn adalah nilai – nilai pada data latih inputan

w1, wn adalah bobot – bobot pada suatu kelas

Ketika jarak eucledian sudah didapatkan, maka akan dilakukan perbaikan

terhadap bobot kelas yang memiliki jarak eucledian paling kecil. Dengan ketentuan

sebagai berikut.

Jika kelas (i) = j, maka akan dilakukan perbaikan bobot seperti persamaan

(2.36) berikut.

𝑊𝑗(𝑏𝑎𝑟𝑢) = 𝑊𝑗(𝑙𝑎𝑚𝑎)+ ∝ (𝑥𝑖 −𝑊𝑗) (2.36)

Adapun jika kelas (i) ≠ j, maka akan dilakukan perbaikan bobot seperti persamaan

(2.37) berikut.

𝑊𝑗(𝑏𝑎𝑟𝑢) = 𝑊𝑗(𝑙𝑎𝑚𝑎)− ∝ (𝑥𝑖 −𝑊𝑗) (2.37)

2. Proses Pengujian LVQ

Setelah dilakukan proses pembelajaran pada LVQ, akan didapatkan bobot

akhir untuk setiap kelas. Bobot akhir inilah yang akan digunakan pada proses

pengujian. Adapun alur proses pengujian pada LVQ dapat dilihat pada gambar 2.9

berikut.

Mulai

Masukkan inputan data uji

dan bobot akhir

Hitung jarak eucledian

Pilih Kelas dengan jarak eucledian minimum

Kelas data uji

ditetapkan

selesai

Gambar 2.9 Algoritma proses pengujian pada metode LVQ

(Hidayati & Warsito, 2010)

II-21

Pada tahap pengujian, data uji diuji dengan mencari jarak eucledian terdekat

antara data uji dengan bobot akhir setiap kelas. Kelas dengan jarak yang terdekatlah

yang menyatakan kelas data citra uji yang dimasukkan.

2.2 Daging

Daging merupakan salah satu bahan pangan yang memiliki susunan asam

amino yang lengkap. Asam amino ini merupakan salah satu komponen yang

memiliki zat – zat gizi protein yang sangat diperlukan oleh manusia. Menurut

(Nugraheni, 2013) daging dapat didefinisikan sebagai urat daging (otot) yang

melekat pada kerangka. Setelah mengalami proses pemotongan, otot – otot yang

melekat pada kerangka mengalami penghentian fungsi fisiologisnya sehingga

mengakibatnya terbentuknya daging. Daging ini tersusun atas jaringan ikat,

epitelial, jaringan – jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak. Komponen –

komponen inilah yang membedakan antara otot dengan daging.

2.2.1 Daging Sapi

Di Indonesia, ternak sapi memiliki urutan teratas dari segi populasi serta

penyebaran daging. Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki peternakan

sapi. Baik dengan skala besar maupun dengan skala kecil. Secara umum, setiap

sapi dapat menghasilkan daging, namun berbeda mutunya antar satu jenis dengan

jenis lainnya. Secara garis besar, daging sapi di Indonesia dapat dibedakan

menjadi beberapa tipe, yaitu sapi lokal, sapi pedaging dan sapi perah. Selain itu,

juga terdapat jenis sapi peranakan hasil perkawinan silang antar jenis serta jenis

daging sapi impor. Hal inilah yang semakin menyebabkan banyaknya variasi jenis

daging sapi di Indonesia. Walaupun berbeda - beda variasi jenisnya, akan tetapi

bentuk daging dari bermacam jenis tersebut tetaplah sama.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membedakan daging sapi

dengan daging lainnya dapat dilakukan dengan mengamati warna, aroma, tekstur

(kasar halusnya serat daging), konsistensi dan lemak (Nugraheni, 2013). Pada

daging sapi, daging berwarna merah pucat, bau dan rasa aromatis, berserabut halus

dengan konsistensi liat, dan sedikit lemak.

II-22

2.2.2 Daging Babi

Babi merupakan ternak yang mempunyai daya pertumbuhan dan

perkembangan yang relatif pesat, selain itu babi merupakan sumber daging sangat

efisien sehingga arti ekonominya sebagai ternak potong sangat tinggi. Varietas babi

yang diketahui sebanyak 312 tetapi hanya 87 yang resmi diakui sebagai bangsa

babi. Beberapa varietas pada bangsa babi ini memiliki ciri khas dan menempati

daerah geografis tertentu (Nugraheni, 2013).

Adapun perbedaan antara daging babi dengan daging – daging ternak

lainnya adalah daging babi berwarna pucat hingga merah muda, otot punggung

yang mengandung lemak umumnya kelihatan kelabu putih, serabut halus,

konsistensi padat dan berbau spesifik. Pada umur tua, daging babi berwarna lebih

tua, sedikit lemak dan serabut kasar.

2.3 Mean Opinion Score (MOS)

Untuk melihat akurasi pada pengujian segmentasi, pada penelitian ini

menggunakan perhitungan nilai rata – rata Mean Opinion Score (MOS) untuk

pengujian kualitatif pada citra penelitian hasil segmentasi. Penilaian ini dilakukan

berdasarkan pengamatan mata manusia sehingga hasil dari pengujian ini bersifat

subjektif (Sa'adah dkk, 2009).

Pada penelitian ini, Penilaian pada citra hasil segmentasi dilakukan oleh

peneliti terhadap keseluruhan citra penelitian. Adapun kriteria penilaian pada MOS

yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Sangat baik, direpresentasikan dengan angka 6. Penilaian ini diberikan jika

citra hasil segmentasi memiliki kualitas yang sangat baik, yaitu dapat

membagi dengan tepat wilayah background dan wilayahobjek.

2. Baik, direpresentasikan dengan angka 5. Penilaian ini diberikan jika citra

hasil segmentasi memiliki kualitas yang baik, yaitu dapat membagi wilayah

background dan wilayah objek hampir tepat.

II-23

3. Cukup baik, direpresentasikan dengan angka 4. Penilaian ini diberikan jika

citra hasil segmentasi memiliki kualitas yang cukup baik, yaitu dapat

membagi wilayah background dan wilayah objek sedikit menyimpang.

4. Buruk, direpresentasikan dengan angka 3. Penilaian ini diberikan jika citra

hasil segmentasi memiliki kualitas yang buruk, yaitu dapat membagi

wilayah background dan wilayah objek menyimpang.

5. Sangat Buruk, direpresentasikan dengan angka 2. Penilaian ini diberikan

jika citra hasil segmentasi memiliki kualitas yang sangat buruk, yaitu dapat

membagi wilayah background dan wilayah objek dengan sangat

menyimpang.

6. Tidak tersegmentasi, direpresentasikan dengan angka 1. Penilaian ini

diberikan jika citra hasil segmentasi memiliki kualitas yang benar – benar

buruk, yaitu tidak dapat membagi antara wilayah background dan wilayah

objek.

2.4 Confussion Matrix

Untuk melihat akurasi pada pengujian klasifikasi, pada penelitian ini

menggunakan confussion matrix. Menurut (Gurunescu, 2011), Jika data yang akan

diuji memiliki class positif dan negatif, maka dapat dibuatkan tabel seperti tabel 2.1

berikut:

Tabel 2.1 Tabel Confussion matrix 2 class

Classification Predicted Class

Observed Class Class = Yes Class = No

Class = Yes (True Positive - TP) (False Negative -

FN)

Class = No (False Positive - FP) (True Negative - TN)

Keterangan:

True Positive – TP = Jumlah data kelas benaryang diklasifikasikan sebagai kelas

benar

True Negative – TN = Jumlah data kelas salah yang diklasifikasikan sebagai kelas

salah

II-24

False Positive – FP = Jumlah data kelas salah yang diklasifikasikan sebagai kelas

benar

False Negative – FN = Jumlah data kelas benar yang diklasifikasikan sebagai kelas

salah

Berdasarkan tabel 2.1 diatas, dapat dilakukan perhitungan akurasi seperti

persamaan 2.38 berikut:

𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 = 𝑇𝑃+𝑇𝑁

𝑇𝑃+𝐹𝑁+𝐹𝑃+𝑇𝑁× 100% (2.38)

2.5 Penelitian Terkait

Adapun penelitian – penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan

dilakukan adalah sebagai berikut:

2.5.1 Metode Segmentasi Fuzzy Threshold

Adapun beberapa penelitian mengenai metode segmentasi Fuzzy Threshold

dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut:

Tabel 2.2 Penelitian terkait segmentasi fuzzy threshold

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

1 Santiago Aja-

Fernandez et al

A local fuzzy

thresholding

methodology for

multiregion image

segmentation

2015 Pada penelitian ini

dilakukan

segmentasi

menggunakan fuzzy

threshold pada citra

noise dengan

membandingkan

hasil segmentasi

dengan beberapa

metode segmentasi.

II-25

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

2 Feng Zhao et al A multiobjective

spatial fuzzy

clustering

algorithm for

image

segmentation

2015 Pada penelitian ini

dilakuan segmentasi

citra yang noise dan

membandingkannya

dengan beberapa

metode fuzzy.

2.5.2 Metode Ekstraksi Ciri Warna HSV

Adapun beberapa penelitian mengenai metode ekstraksi ciri warna HSV

dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut:

Tabel 2.3 Penelitian terkait ekstraksi ciri warna HSV

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

1 R.D Kusumanto,

dkk

Klasifikasi warna

menggunakan

pengolahan model

warna HSV

2011 Penelitian

dilakukan dengan

menggunakan 6

jenis warna.

Dengan tingkat

error yang paling

kecil sebesar 10%

pada warna coklat.

2 Jati Sasongko

Wibowo

Deteksi dan

klasifikasi citra

berdasarkan warna

kulit

2011 Penelitian

dilakukan untuk

mengklasifikasikan

sebuah citra

termasuk

II-26

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

menggunakan

HSV

pornografi atau

tidak dengan

segmentasi warna

kulit manusia.

3 Rizqa Puji

Rakhmawati

Sistem Deteksi

Jenis Bunga

Menggunakan

nilai HSV dari

Citra Mahkota

Bunga

2013 Penelitian

dilakukan untuk

mendeteksi citra

mahkota bunga

menggunakan

metode HSV

dengan gabungan

nilai HS sebesar

26.67%, nilai HV

sebesar 33.33%,

nilai SV sebesar

20% dan HSV

sebesar 13.33%

tidak terdeteksi

2.5.3 Metode Ekstraksi Ciri Tekstur GLCM

Adapun beberapa penelitian mengenai metode ekstraksi ciri tekstur GLCM

dapat dilihat pada tabel 2.4 berikut:

II-27

Tabel 2.4 Penelitian terkait ekstraksi ciri tekstur GLCM

No Nama

Peneliti

Judul Penelitian Tahun

Peneliti

an

Hasil yang Didapatkan

1 Idaliana

Kusumanings

ih

Ekstraksi ciri

warna, bentuk dan

tekstur untuk

temu kembali

citra hewan.

2009 Penelitian ini dilakukan

untuk temu kembali pada

citra hewan dengan

melakukan ekstraksi ciri

warna Fuzzy color

histogram, ekstraksi ciri

tekstur GLCM serta

ekstraksi ciri bentuk edge

direction histogram

dengan operator sobel.

2 Toni

Wijarnako

Adi Putra

Pengenalan

Wajah dengan

Matriks

Kookurensi Aras

Keabuan dan

Jaringan Syaraf

Tiruan

Probabilistik

2013 Penelitian ini dilakukan

untuk melakukan

pengenalan wajah

menggunakan

penggabungan antara

metode GLCM dengan

Probabilistik Neural

Network (PNN) dengan

tingkat keberhasilan

pengenalan wajah secara

langsung sebesar 92%

sedangkan keberhasilan

pengenalan wajah secara

tidak langsung sebesar

93.33%.

II-28

No Nama

Peneliti

Judul Penelitian Tahun

Peneliti

an

Hasil yang Didapatkan

3 Refta Listia &

Agus Harjoko

Klasifikasi Massa

Pada Citra

Mammogram

Berdasarkan Gray

Level

Cooccurence

Matrix (GLCM)

2014 Hasil penelitian

menunjukkan bahwa fitur

ekstraksi GLCM 4 arah

(0˚,45˚,90˚,135˚) dengan

jarak d = 1 memiliki

akurasi terbaik dalam

mengklasifikasi

mammogram sebesar

81.1% dan khusus pada 0˚

akurasi diperoleh sebesar

100%.

2.5.4 Metode Klasifikasi LVQ

Adapun beberapa penelitian mengenai metode klasifikasi LVQ dapat dilihat

pada tabel 2.5 berikut:

Tabel 2.5 Penelitian terkait klasifikasi LVQ

No Nama

Peneliti

Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang Didapatkan

1 Muhammad

Nasir &

Muhammad

Syahroni

Pengujian Kualitas

Citra Sidik Jari

Kotor

Menggunakan

Learning Vector

Quantization(LVQ)

2012 Penelitian dilakukan

untuk pengujian kualitas

citra sidik jari yang kotor

dengan metode LVQ

yang menhasilkan

peningkatan akurasi

menjadi 87%.

II-29

No Nama

Peneliti

Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang Didapatkan

2 Abdul

Fadlil &

Surya Yeki

Sistem Verifikasi

Wajah

Menggunakan

Jaringan Syaraf

Tiruan Learning

Vector

Quantization

2010 Penelitian dilakukan

untuk menjelaskan

perancangan dan

pembuatan sistem

verifikasi wajah manusia

menggunakan metode

ekstraksi SPCA (Simple

Principle Component

Analysis) dan teknik

klasifikasi jaringan syaraf

tiruan LVQ.

3 Nurul

Hidayati &

Budi

Warsito

Prediksi

Terjangkitnya

Penyakit Jantung

dengan Metode

Learning Vector

Quantization

2010 Penelitian dilakukan

untuk memprediksi

terjangkitnya penyakit

jantung dengan LVQ

menghasilkan akurasi

sebesar 66.79%.

2.5.5 Identifikasi Citra Daging babi dan daging sapi

Adapun beberapa penelitian mengenai identifikasi citra daging babi dan

daging sapi dapat dilihat pada tabel 2.6 berikut:

II-30

Tabel 2.6 Penelitian terkait identifikasi citra daging babi dan daging sapi

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

1 Meiky Surya

Cahyana

Jaringan Saraf

Tiruan LVQ

(Learning Vector

Quantization)

Dalam

Mengidentifikasi

Citra Daging Babi

Dan Daging Sapi

2015 Akurasi pada

penelitian ini sebesar

94.81% dalam

mengidentifikasi citra

daging babi dan

daging sapi dengan

menggunakan metode

klasifikasi LVQ.

2 Ahamd Farid

Hartono dkk

Implementasi

Jaringan Syaraf

Tiruan

Backpropagation

Sebagai Sistem

Pengenalan Citra

Daging Babi Dan

Citra Daging Sapi

2012 Penelitian ini

dilakukan sebagai

sistem pengenalan

citra daging babi dan

daging sapi dengan

metode klasifikasi

backpropagation

menghasilkan Tingkat

akurasi sebesar 88.3

%.

3 Kiswanto Identifikasi Citra

Untuk

Mengidentifikasi

Jenis Daging Sapi

Dengan

Menggunakan

Transformasi

Wavelet Haar

2012 Penelitian ini

dilakukan untuk

mengidentifikasi jenis

daging sapi. Tingkat

akurasi pada penelitian

ini sebesar 80% pada

daging sapi segar,

daging sapi segar

II-31

No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun

Penelitian

Hasil yang

Didapatkan

dibekukan, daging

sapi busuk, daging

sapi busuk

dikeringkan.

Sedangkan pada

daging sapi busuk

dibekukan nilai

akurasi adalah 0%.