tumpukanfile.files.wordpress.com€¦ · Web viewPenyiasatan struktur ialah struktur kalimat dalam...
Transcript of tumpukanfile.files.wordpress.com€¦ · Web viewPenyiasatan struktur ialah struktur kalimat dalam...
PENGANTAR
Stilistika berasal dari kata stylistic dalam bahasa Inggris style yang berarti
gaya, sedangkan dalam KBBI (2008:1340) stilistika berarti ilmu tentang
penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra. Gaya yang dimaksud
ialah pemakaian atau penggunaan bahasa dalam karya sastra. Sebelum membahas
lebih jauh mengenai stilistika, seperti yang diketahui bahwa linguistik merupakan
ilmu yang mempelajari bahasa (Wijana, 2011:1). Kata mempelajari di sini ialah
berusaha memaparkan bagaimana bahasa digunakan, sedangkan stilistika berbeda
dengan linguistik. Turner dan Sayuti berpendapat bahwa stilistika adalah salah
satu cabang ilmu linguistik yang memusatkan perhatian pada variasi penggunaan
bahasa – yang meskipun tidak secara eksklusif – terutama dalam karya sastra
(Sulistyowati dan Tarsyad, 2011:77).
Meskipun kajian stilistika dilakukan hanya berfokus pada aspek gaya,
patut disadari bahwa aspek gaya secara esensial berkaitan dengan wujud
pemaparan karya sastra sebagai bentuk penyampaian gagasan pengarangnya
(Aminuddin, 1995:42). Teeuw (dalam Sulistyowati dan Tarsyad, 2011:77)
berpendapat bahwa stilistika pada prinsipnya selalu meneliti pemakaian bahasa
yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra,
atau yang menyimpang dari bahasa yang dianggap normal, baku, dan lain-lain.
Stilistika dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dari tanda-tanda
linguistik. Tanda-tanda linguistik tersebut dapat berupa jenis kalimat yang
digunakan (kalimat tunggal atau kalimat majemuk); afiksasi yang digunakan;
sampai kecermatan penulis dalam berbahasa seperti logika berbahasa dan lain
sebagainya, sedangkan gaya bahasa atau majas yang digunakan penulis berkaitan
dengan alasan-alasan penulis menggunakan gaya bahasa tersebut.
Nurgiyantoro (dalam Sulistyowati dan Tarsyad, 2011:78) berpendapat
bahwa unsur-unsur yang termasuk dalam gaya – terutama dalam kajian prosa –
yakni leksikal, gramatikal, pemajasan, penyiasatan struktur, pencitraan, dan
kohensi. Unsur leksikal berkaitan dengan diksi atau pemilihan kata yang tepat dan
selaras sesuai konteks. Unsur gramatikal berhubungan dengan tata bahasa.
Gaya bahasa atau majas atau seringkali juga disebut sebagai bahasa kiasan
menyebabkan suatu karya sastra menjadi menarik perhatian, menimbulkan
kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan gambaran angan
(Pradopo, 2010:62), sedangkan Aminuddin (1995:227) beranggapan bahwa
bahasa kias ialah bahasa figuratif yang terkait dengan cara pengolahan dan
pembayangan gagasan sehingga dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa atau majas
atau bahasa kias/kiasan merupakan gaya yang sengaja digunakan pengarang untuk
mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kiasan.
Penyiasatan struktur ialah struktur kalimat dalam suatu karya sastra secara
menyeluruh dan tidak dipengaruhi oleh gaya tertentu. Pembahasan mengenai
struktur kalimat dianalisis pada struktur kalimat yang menonjol dan mampu
memberi kesan lain dalam kata tersebut. Struktur dalam karya sastra biasanya
berupa penyimpangan, namun hal tersebut dapat merupakan kesengajaan yang
dilakukan pengarang yang bertujuan untuk memberi efek tertentu, sehingga
memberi kesan berbeda pada pembaca.
Unsur selanjutnya yakni pencitraan. Peneliti sering menemukan karya
sastra dengan unsur citraan yang sangat menonjol. Unsur citraan ialah ungkapan
yang disampaikan penulis agar pembaca dapat melihat yang digambarkan,
mendengarkan yang disuarakan, mencium yang dibaui, serta merasakan yang
disentuhi penulis melalui kata-kata. Unsur terakhir yang disampaikan
Nurgiyantoro yakni kohensi. Kohensi ialah hubungan antarklausa, antarkalimat,
antarparagraf, sehingga karya sastra tersebut menjadi satu kesatuan.
Cerpen “Duduk di Tepi Sungai” merupakan salah satu karya Seno Gumira
Ajidarma (selanjutnya, SGA) pada periode tahun 1982—1990. Peneliti akan
menganalisis cerpen menggunakan kajian stilistika. Dalam makalah ini akan
dibahas bagaimana bahasa cerpen dalam kajian stilistika? Serta bagaimana gaya
cerpen dalam kajian stilistika? Kedua pertanyaan tersebutlah yang akan
dipaparkan dalam makalah ini.
Analisis bahasa cerpen dilakukan secara kuantitatif yang dilihat dari
fungsinya, yakni menghitung keseluruhan penggunaan kalimat tunggal dan
majemuk dalam cerpen, kemudian untuk mengetahui makna atau tujuan awal
penulis menggunakan kalimat-kalimat tersebut dilakukan secara kualitatif.
Analisis gaya cerpen juga menerapkan hal yang sama seperti bahasa cerpen yakni
secara kuantitatif dan kualitatif. Hasil analisis yang dipaparkan meliputi bahasa
cerpen dan gaya cerpen baik secara kuantitatif atau secara kualitatif. Makalah ini
kemudian ditutup dengan simpulan yang ditarik dari analisis tersebut.
BAHASA CERPEN “DUDUK DI TEPI SUNGAI”
Cerpen “Duduk di Tepi Sungai” karya SGA merupakan salah satu cerpen
yang ia buat dalam periode tahun 1982—1990. Cerpen tersebut terdiri dari lima
halaman. Penyajian antara narasi dengan dialog seimbang. Terdapat beberapa
monolog yang ada di dalam narasi, seperti pada paragraf berikut.
“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu sambil terus memandang mata
cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya sendiri dalam diri cucunya.
“Tentu ada sesuatu dari diriku,” batinnya lagi, “seperti juga ada sesuatu dari diri
kakekku dalam diriku.”
Dan pada paragraf
“Ini sebuah tempat yang bagus,” pikir orang tua itu. Di seberang sungai
itu ada pohon-pohon yang rindang tempat remaja berpacaran dan di seberang
pohon-pohon rindang itu ada pagar tembok dan di luarnya membayang deretan
gedung-gedung bertingkat dan di atas gedung-gedung bertingkat itu bertengger
antena-antena parabola.
Dari segi bahasanya, cerpen tersebut banyak menggunakan kalimat
tunggal. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terjadi dari satu klausa bebas dan
kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri dari beberapa klausa bebas
(Kridalaksana, 1985:164). Hal tersebut terlihat dari delapan paragraf yang
diambil, menunjukkan 37 kalimat tunggal, sedangkan kalimat majemuk berjumlah
lima belas. Salah satu paragraf tersebut ialah:
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji
sama sekali?” Kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata
cucunya yang bening dan polos bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia
ajukan kepada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya
dengan jawaban kakeknya. Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan
cucunya itu, karena ia berpikir akan teringat sampai mati. Sering kali ia merasa
sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak
sesuai untuk cucunya. Selama ini ia memang sudah menemukan keyakinan,
namun ia juga ingin cucunya menemukan keyakinan sendiri.
Paragraf di atas terdiri dari lima kalimat tunggal, yakni
(1) Kakek itu terperangah.
(2) Keningnya berkerut.
(3) Ia menatap mata cucunya yang bening dan polos bercahaya.
(4) Itulah pertanyaan yang pernah ia ajukan kepada kakeknya dulu.
(5) Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Dan empat kalimat majemuk, yakni
(1) Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya dengan jawaban
kakeknya.
(2) Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan cucunya
itu, karena ia berpikir akan teringat sampai mati.
(3) Sering kali ia merasa sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu
merupakan jawaban yang tidak sesuai untuk cucunya.
(4) Selama ini ia memang sudah menemukan keyakinan, namun ia juga ingin
cucunya menemukan keyakinan sendiri.
Selain itu, pada cerpen ditemukan kalimat majemuk yang sebenarnya
terdiri atas beberapa kalimat tunggal, namun pengarang menggunakan konjungsi
sehingga kalimat tersebut menjadi kalimat majemuk. Salah satu konjungsi yang
terdapat dalam bahasa Indonesia ialah dan. Dan merupakan konjungsi atau kata
hubung untuk menjelaskan makna ‘penjumlahan’, yaitu hubungan makna yang
bersifat menjumlahkan, menambahkan, atau menggabungkan (Ramlan, 2005:53).
Penggunaan konjungsi yang sama yang ditemukan dalam cerpen adalah
sebagai berikut.
Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya
begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah perjalanan panjang
sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah memindahkan perjalanan kakeknya
dan perjalanannya sendiri dalam diri cucunya dan ia membayangkan apakah
cucunya kelak setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan leluhurnya
ke dalam diri cicitnya.
Kalimat majemuk di atas dapat menjadi kalimat tunggal, yakni sebagai berikut.
a) Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata kakeknya begitu
lama.
b) Waktu itu ia merasakan rekaman sebuah perjalanan panjang sedang
memasuki dirinya.
c) Kini ia tengah memindahkan perjalanan kakeknya
d) Perjalanannya sendiri dalam diri cucunya
e) Ia membayangkan apakah cucunya kelak setelah menjadi kakek akan
memindahkan perjalanan leluhurnya ke dalam diri cicitnya.
Selain mengenai kalimat tunggal atau kalimat majemuk, di dalam cerpen
ditemukan penggunaan afiks, kata, atau frasa yang berubah-ubah atau tidak
konsisten. Hal tersebut dapat merupakan kesangajaan dari penulis atau memang
merupakan kesalahan teknis. Penggunaan kata atau frasa yang berubah-ubah
tersebut sebagai berikut.
Ia meraup remah-remah roti dari telapak tangannya yang bergurat kasar.
Melemparkannya ke pasir putih. Lantas merpati itu mematukinya.
Pada kalimat di atas dapat diketahui bahwa afiks –nya pada tangannya
menunjukkan tangan si kakek. –nya yang kedua pada melemparkannya
menunjukkan remah-remah roti, sedangkan –nya yang terakhir pada mematukinya
juga menunjukkan remah-remah roti.
Penggunaan kata yang berubah-ubah juga ditunjukkan pada kutipan
berikut.
1) Cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Ia meraup remah-remah roti
dari telapak tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya ke pasir
putih. Lantas merpati itu mematukinya. Angin menggelepar ditingkah bunyi
sayap mereka, yang datang dan pergi sesekali. Suara sungai seperti aliran
mimpi.
2) Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Burung-
burung mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak kecil itu merasa
geli dan karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh. Kakek itu memandang cucunya
berlari-lari melintasi kerumunan burung-burung sehingga burung-burung itu
beterbangan sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah
roti di antara kerikil. Cucunya berlari-larian di atas kerikil bercampur pasir
putih yang bersih.
Pada kutipan (1) dan (2) pada frasa remah-remah dan remah merupakan salah
satu contoh penggunaan frasa yang berubah-ubah dalam cerpen. Selain
membandingkan penggunaan frasa remah-remah pada kutipan (1) dan kata remah
pada kutipan (2), dalam kutipan (2) juga dapat terlihat langsung bahwa dalam satu
paragraf penggunaan kata remah berubah menjadi frasa remah-remah.
Pembahasan selanjutnya mengenai penggunaan kata yang dirasa kurang
efektif dalam kalimat, sehingga lebih tepat jika diganti dengan yang lain.
Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata,
paruh, dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala macam hal tentang merpati
yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak.
Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.
Kalimat di atas merupakan kalimat majemuk, karena salah satu ciri kalimat
majemuk yakni adanya kata hubung atau konjungsi. Konjungsi dari kalimat di
atas ialah dan. Banyaknya penggunaan konjungsi dan pada kalimat di atas
dianggap kurang efektif, sehingga dapat dihilangkan menjadi kalimat tunggal atau
diubah dengan konjungsi lain seperti berikut.
(f) Lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata,
paruh, bulu-bulu, dan warna-warna, serta segala macam hal tentang merpati yang
diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak. Si
anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.
Kalimat (f) di atas yang telah diubah dirasa lebih efektif dengan menghilangkan
dan di awal kalimat, menghilangkan dan sebelum frasa warna-warna, dan
mengubah dan menjadi serta sebelum segala macam hal tentang merpati yang
diketahuinya.
Selanjutnya pada kutipan berikut.
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji
sama sekali?”
Frasa tidak pernah dan sama sekali pada kutipan di atas merupakan satu hal yang
sama, sehingga penulis dapat menggunakan salah satunya saja.
“Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu
beruntung sekali, Nak, kamu sangat beruntung ....”
Kata sekali dan sangat merupakan kata adverbia yang memiliki sifat dan tugas
yang sama, sehingga penulis dapat menggunakan salah satunya saja.
Burung-burung mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak kecil
itu merasa geli dan karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh.
Kutipan di atas menggunakan konjungsi sekaligus yakni dan serta karena. Hal
tersebut dirasa kurang tepat. Akan lebih tepat jika konjungsi dan dihapus,
sehingga menjadi kalimat sebagai berikut.
Burung-burung mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak kecil
itu merasa geli, karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh.
Kalimat yang dirasa kurang tepat selanjutnya yakni pada kutipan berikut.
Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumunan burung-
burung sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah
kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil.
Pada frasa yang dicetak miring dirasa kurang tepat, karena kerumunan merupakan
sekumpulan berjumlah lebih dari satu, begitu juga dengan burung-burung yang
berjumlah lebih dari satu, sehingga penulis dapat menggunakan kalimat yang
lebih tepat menjadi.
Kakek itu memandang cucunya berlari-lari melintasi kerumunan burung
sehingga burung-burung itu beterbangan sebentar sebelum merendah kembali
mematuki remah-remah roti di antara kerikil.
Analisis yang dilakukan peneliti pada tanda-tanda linguistik hanya
memaparkan tanpa menjustifikasi bahwa kutipan-kutipan yang kemudian diubah
merupakan suatu hal yang salah. Hal tersebut dikarenakan ada berbagai macam
faktor sampai penulis menuliskannya. Faktor tersebut bisa suatu kesengajaan atau
bukan suatu kesengajaan.
GAYA CERPEN “DUDUK DI TEPI SUNGAI”
Cerpen “Duduk di Tepi Sungai” memiliki bahasa kiasan yang dominan
yakni repetisi. Repetisi ialah majas yang melukiskan suatu keadaan dengan
pengulangan kata-kata yang digunakan dalam suatu karya sastra (EYD,
2012:125). Beberapa contoh kutipan yang terdapat repetisi yakni sebagai berikut.
Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata,
paruh, dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala macam hal tentang merpati
yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak.
Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.
Repitisi dari kutipan di atas ialah kata dan. Kata dan merupakan kojungsi dari
kalimat majemuk digunakan lebbih dari satu kali oleh pengarang.
“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu sambil terus memandang mata
cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya sendiri dalam diri cucunya.
“Tentu ada sesuatu dari diriku,” batinnya lagi, “seperti juga ada sesuatu dari diri
kakekku dalam diriku.”
Bentuk repetisi dari kutipan di atas ialah diriku.
Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya. Ia mengenal lumpur
sawah. Ia mengenal kerbau. Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling. Ia
mengenal suara sungai. Itu semua dari kakeknya. Lantas terpandang telapak
tangannya sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya. Telapak
tangannya sendiri dulu juga seperti telapak tangan cucunya.
Bentuk repetisi dari kutipan di atas ialah kata ia. Kata tersebut diulang beberapa
kali dalam kutipan di atas yang menunjukkan kakek sebagai subjek.
Selain bahasa kiasan, hal menonjol lain yang terdapat dalam cerpen ialah
citraan. Citraan adalah gambaran yang jelas, untuk menimbulkan suasana yang
khusus untuk membuat (lebih) hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan
dan juga untuk menarik perhatian (Pradopo, 2010:79). Dalam cerpen ditemukan
beberapa citraan dalam kutipan berikut.
Kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata cucunya
yang bening dan polos bercahaya.
Kutipan tersebut merupakan citraan ekspresi berupa gerakan muka si kakek.
Citraan lainnya yakni dalam kutipan berikut.
Anak kecil itu masih memandang mata kakeknya tanpa berkedip. Mereka
saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang panjang ke masa
lalu dan ke masa depan.
Kutipan tersebut merupakan citraan penglihatan melalui mata yang berkedip dan
saling bertatapan.
SIMPULAN
Jenis kalimat dalam cerpen “Duduk di Tepi Sungai” karya SGA ialah
kalimat tunggal. Dalam cerpen ditemukan beberapa logika berbahasa yang kurang
tepat, namun tanda-tanda linguistik yang dianalisis peneliti hanya memaparkan
saja tanpa menjustifikasi bahwa kutipan-kutipan yang kemudian diubah
merupakan suatu hal yang salah. Sama halnya dengan gaya cerpen yang
digunakan yakni repetisi. Hal tersebut dikarenakan ada berbagai macam faktor
sampai penulis menuliskannya. Faktor tersebut bisa suatu kesengajaan atau bukan
suatu kesengajaan.
DAFTAR PUSTAKA
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra.
Semarang: IKIP Semarang Press.
Buku Pintar EYD. 2012. Buku Pintar EYD. Jakarta: Cabe Rawit.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Keempat. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka.
Kridalaksana, Harimurti. Dkk.. 1985. Tata Bahasa Deskriptif Bahasa Indonesia:
Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Sulistyowati, Endang dan Tarman Efendi Tarsyad. 2011. Banjarmasin: Tahura
Media.
Wijana, I Dewa Putu. 2011. Berkenalan Dengan Linguistik. Yogyakarta: A. Com
Press.
LAMPIRAN
DUDUK DI TEPI SUNGAI
“Lihat merpati itu Nak,” kata kakek itu kepada cucunya, “ia datang dari
suatu tempat yang jauh. Terbangnya cepat dan tinggi, dan ia suka padamu.”
Cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Ia meraup remah-remah roti dari telapak
tangannya yang bergurat kasar. Melemparkannya ke pasir putih. Lantas merpati
itu mematukinya. Angin menggelepar ditingkah bunyi sayap mereka, yang datang
dan pergi sesekali. Suara sungai seperti aliran mimpi.
“Terbangnya cepat dan tinggi?” tanya si cucu, sambil terus memandangi
makhluk bersayap itu tanpa berkedip.
“Tentu saja, coba lihat matanya ....”
Dan lelaki tua yang telah merasuki hidup itupun bercerita tentang mata,
paruh, dan bulu-bulu dan warna-warna, dan segala macam hal tentang merpati
yang diketahuinya. Ia memindahkan seluruh pengalaman hidupnya pada si anak.
Dan si anak merekam seluruh pengalaman hidup orang tua itu.
“Merpati juga sering disebut burung dara, kamu tahu kenapa?”
“Tidak.”
“Aku juga tidak. Orang-orang tua seperti aku tidak pernah diberi pelajaran
Bahasa Indonesia. Mestinya kamu lebih tahu.”
“Aku akan tahu nanti, sekarang belum.” Anak itu menjawab sambil
menatap mata kakeknya. Mata anak itu bening, tajam dan bercahaya, bagaikan
memancar langsung dan menyelusup ke dalam mata kakeknya. Mata kakeknya
juga bercahaya, tapi tidak lagi begitu bening dan tidak lagi begitu tajam. Mata itu
juga menusuk langsung ke dalam mata cucunya. Kakek itu melihat masa lalu
lewat mata cucunya.
Dulu ia juga mengenal banyak hal dari kakeknya. Ia mengenal lumpur
sawah. Ia mengenal kerbau. Ia mengenal bunga rumput. Ia mengenal seruling. Ia
mengenal suara sungai. Itu semua dari kakeknya. Lantas terpandang telapak
tangannya sendiri yang keriput. Ia teringat telapak tangan kakeknya. Telapak
tangannya sendiri dulu juga seperti telapak tangan cucunya.
“Itu semua sudah berlalu,” batin kakek itu sambil terus memandang mata
cucunya. Ia seperti mencari sesuatu dari dirinya sendiri dalam diri cucunya.
“Tentu ada sesuatu dari diriku,” batinnya lagi, “seperti juga ada sesuatu dari diri
kakekku dalam diriku.”
“Apakah kakek dulu juga bersekolah seperti aku?”
“Aku tidak pernah sekolah Nak, aku dulu belajar mengaji.”
“Mengaji?”
“Ya, mengaji. Kamu tahu kan? Sebetulnya itu sekolah juga. Ayat-ayat
kitab suci mengajarkan bagaimana hidup yang benar.”
“Kenapa Bapak tidak mengajari aku mengaji sekarang?”
“Tanyakan saja sendiri. Mungkin karena waktumu habis untuk sekolah.
Kamu selalu pergi sampai sore.”
“Kalau memang kitab suci mengajarkan hidup yang benar, seharusnya
Bapak menyuruh aku belajar mengaji.”
“Ya, tapi banyak orang berpikir belajar mengaji itu aneh di zaman
sekarang. Mungkin bapakmu juga berpikir begitu. Ia berpikir kamu lebih baik
belajar bahasa Inggris.”
“Apakah hidup kita akan tidak benar kalau tidak pernah belajar mengaji
sama sekali?” Kakek itu terperangah. Keningnya berkerut. Ia menatap mata
cucunya yang bening dan polos bercahaya. Itulah pertanyaan yang pernah ia
ajukan kepada kakeknya dulu. Tapi ia tak ingin menjawab pertanyaan cucunya
dengan jawaban kakeknya. Ia sendiri sudah lama berusaha menjawab pertanyaan-
pertanyaan. Sekarang ia merasa harus berusaha keras menjawab pertanyaan
cucunya itu, karena ia berpikir akan teringat sampai mati. Sering kali ia merasa
sudah menemukan jawaban, tapi ia takut itu merupakan jawaban yang tidak sesuai
untuk cucunya. Selama ini ia memang sudah menemukan keyakinan, namun ia
juga ingin cucunya menemukan keyakinan sendiri.
“Tanyakan saja pada gurumu, Nak. Tentunya ia punya jawaban yang
bagus.”
“Guruku tidak pernah menjawab, Kek, ia hanya mengajarkan bagaimana
caranya aku menemukan jawaban.”
“Wah, kalau begitu sekolahmu itu pasti sekolah yang bagus. Kamu
beruntung sekali, Nak, kamu sangat beruntung ....”
Anak kecil itu masih memandang mata kakeknya tanpa berkedip. Mereka
saling bertatapan dan saling merasuki lorong kehidupan yang panjang ke masa
lalu dan ke masa depan. Orang tua itu teringat kembali ia dulu juga menatap mata
kakeknya begitu lama dan ia waktu itu merasakan rekaman sebuah perjalanan
panjang sedang memasuki dirinya dan kini ia tengah memindahkan perjalanan
kakeknya dan perjalanannya sendiri dalam diri cucunya dan ia membayangkan
apakah cucunya kelak setelah menjadi kakek akan memindahkan perjalanan
leluhurnya ke dalam diri cicitnya.
Sungai itu mendesah. Burung dara mengepakkan sayap. Desah sungai
selalu seperti itu dan kepak sayap burung juga selalu seperti itu tapi manusia
selalu berubah.
Kakek itu mendengar cucunya tertawa terkekeh-kekeh. Burung-burung
mematuki remah roti di telapak tangannya dan anak kecil itu merasa geli dan
karena itu ia tertawa terkekeh-kekeh. Kakek itu memandang cucunya berlari-lari
melintasi kerumunan burung-burung sehingga burung-burung itu beterbangan
sebentar sebelum merendah kembali mematuki remah-remah roti di antara kerikil.
Cucunya berlari-larian di atas kerikil bercampur pasir putih yang bersih.
“Ini sebuah tempat yang bagus,” pikir orang tua itu. Di seberang sungai itu
ada pohon-pohon yang rindang tempat remaja berpacaran dan di seberang pohon-
pohon rindang itu ada pagar tembok dan di luarnya membayang deretan gedung-
gedung bertingkat dan di atas gedung-gedung bertingkat itu bertengger antena-
antena parabola.
Mata orang tua itu berkedip-kedip karena silau.
“Kakek! Ke sini!”
Terdengar cucunya memanggil.
Orang tua itu duduk mendekat. Ia melihat cucunya duduk di tepi sungai.
Sungai itu airnya jernih. Dasarnya terlihat jelas. Terlihat ikan bergerak-gerak di
celah batu. Ia memandangi cucunya, ingin tahu anak itu mau berkata apa. Tapi
anak kecil itu cuma membenamkan dagu antara kedua lututnya. Seperti
mendengarkan sungai. Remah-remah roti yang mereka bagikan telah
habis. Burung-burung melayang pergi. Mereka berdua memandang burung-
burung itu beterbangan di langit. Makin lama makin menjauh dan menghilang
seperti masa yang berlalu. Tak terdengar lagi kepak sayap burung. Tinggal suara
sungai yang gemericik dan udara yang bergetar ditembus cahaya matahari.