Warta MPA 2015 Edisi I

4
8 8 Warta MPA 2015 Hindia Belanda. Serangan ini tidak hanya muncul melalui tokoh Hijdo. Tokoh lainnya, Raden Ajeng Woengoe, melakukan hal se- rupa. Dia menolak mentah- mentah cinta Controleur Walter. Woengoe lebih me- milih mempertahankan cin- tanya pada Hidjo, sekali pun pujaannya itu sudah bertu- nangan. Penolakan ini juga menyadarkan Walter bahwa dirinya tidak berdaya di ha- dapan perempuan Jawa. Bah- kan dengan derajatnya seba- gai bangsa Belanda sekaligus controleur–controleur meru- pakan jabatan yang bertugas mengawasi bupati, hanya diisi oleh orang-orang berke- bangsaan Belanda. Penolakan dan pencamp- akkan. Begitu lah cara Marco menghina Belanda dan mem- peroleh kemenangan ke- cilnya. Hal ini berhasil berkat gaya penceritaan Marco yang memposisikan semua to- kohnya setara. Atau malah, kesetaraan merupakan ga- gasan dasar dari ceritanya. Ini bisa dilihat sejak Marco menggambarkan Hidjo yang berusaha menaikkan derajat lewat pendidikan, bukan lagi melalui garis keturunan. Ke- mudian, pengalaman semasa Hijdo di Belanda bahwa dia bisa memerintah orang- orang di negeri tersebut. Hal yang tidak akan ditemukan di kampungnya, Hindia Be- landa. Novel pendek yang mengambil latar waktu 1913-1914 ini bisa memper- kaya imajinasi kita tentang situasi Jawa di tahun-tahun tersebut. Lebih dari itu, nov- el ini bisa menjadi jembatan untuk memahami cara pan- dang Marco tentang zaman- nya. Zaman yang membuat dia menolak menyerah me- nyerang kekuasaan kolonial. Meski berkali-kali dipenjara karena tuduhan presdelict –pasal karet yang dibuat un- tuk membendung kebebasan berpendapat yang dirayakan kaum pergerakan dengan mengkritik habis kekuasaan kolonial. Dan salah satu per- ayaannya, Student Hidjo. // Daniel (@batakdaniel) WWW.DIDAKTIKAUNJ.COM PANDUAN BERPIKIR KRITIS DAN MERDEKA KUNJUNGI WARTA MPA Edisi 1 2015 BUKAN HANYA RUTINITAS

description

 

Transcript of Warta MPA 2015 Edisi I

Page 1: Warta MPA 2015 Edisi I

88  Warta MPA 2015

Hindia Belanda.Serangan ini tidak hanya

muncul melalui tokoh Hijdo. Tokoh lainnya, Raden Ajeng Woengoe, melakukan hal se-rupa. Dia menolak mentah-mentah cinta Controleur Walter. Woengoe lebih me-milih mempertahankan cin-tanya pada Hidjo, sekali pun pujaannya itu sudah bertu-nangan. Penolakan ini juga menyadarkan Walter bahwa dirinya tidak berdaya di ha-dapan perempuan Jawa. Bah-kan dengan derajatnya seba-gai bangsa Belanda sekaligus controleur–controleur meru-pakan jabatan yang bertugas mengawasi bupati, hanya diisi oleh orang-orang berke-bangsaan Belanda.

Penolakan dan pencamp-akkan. Begitu lah cara Marco menghina Belanda dan mem-peroleh kemenangan ke-cilnya. Hal ini berhasil berkat gaya penceritaan Marco yang memposisikan semua to-kohnya setara. Atau malah, kesetaraan merupakan ga-gasan dasar dari ceritanya. Ini bisa dilihat sejak Marco menggambarkan Hidjo yang berusaha menaikkan derajat lewat pendidikan, bukan lagi melalui garis keturunan. Ke-mudian, pengalaman semasa Hijdo di Belanda bahwa dia bisa memerintah orang-orang di negeri tersebut. Hal yang tidak akan ditemukan di kampungnya, Hindia Be-landa.

Novel pendek yang mengambil latar waktu 1913-1914 ini bisa memper-kaya imajinasi kita tentang situasi Jawa di tahun-tahun tersebut. Lebih dari itu, nov-el ini bisa menjadi jembatan untuk memahami cara pan-dang Marco tentang zaman-nya. Zaman yang membuat dia menolak menyerah me-nyerang kekuasaan kolonial. Meski berkali-kali dipenjara karena tuduhan presdelict –pasal karet yang dibuat un-tuk membendung kebebasan berpendapat yang dirayakan kaum pergerakan dengan mengkritik habis kekuasaan kolonial. Dan salah satu per-ayaannya, Student Hidjo. // Daniel (@batakdaniel)

WWW.DIDAKTIKAUNJ.COM

PANDUAN BERPIKIR KRITIS DAN MERDEKA

KUNJUNGI

1Edisi 1

WARTA MPAEdisi 1 2015

BUKAN HANYARUTINITAS

Page 2: Warta MPA 2015 Edisi I

22  Warta MPA 2015

Salam setengah merdeka. Ya, setengah merdeka. Sebab bangsa Indonesia belum menunjukan kalau bangsanya benar-benar merdeka total. Pendidikan,

yang menjadi ruang untuk strategis untuk memerdekakan manusia, nyatanya masih mebentuk manusia-manusia robot yang patuh pada birokrasi.

Oleh sebab itu, kami kembali hadir melalui buletin ini dengan gagasan-gagasan untuk memerdekan manusia. Wa bil khusus buletin ini diperuntukan bagi kalian para maha-siswa baru Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Untuk edisi pertama, kami menampilkan tiga rubrik. Dalam rubrik berita ada berita seputar Masa Pengenalan Akademik (MPA). Untuk berita kali ini kami mengkritisi tema MPA. Tema MPA kali ini adalah Membangun Jiwa Muda yang Berprestasi dan Berwawasan Global. Frase terakhir dari tema tersebut menjadi perhatian kami.

Berwawasan global bisa memiliki seribu satu makna. Maknanya bisa saja membawa ke arah jurang keterpurukan bangsa Indonesia, atau justru malah membawa kesejahter-aan. Melihat situasi yang berkembang saat ini, jurang ket-erpurukan menjadi hal yang perlu dikhawatirkan. Untuk menambah referensi soal itu, dalam rubrik opini kami coba membongkar di balik frase “berwawasan global” tersebut.

Dan di rubrik resensi, masih satu garis tema besar soal wawasan global, kami meresensi buku Student Hijo karya Mas Marco. Pesan dari buku tersebut adalah soal kesetaraan antar manusia. Tentu ini kritikan keras terhadap wawasan global yang beraliran neoliberal, yaitu aliran yang justru mer-usak “kesetaraan” tersebut.

Selamat membaca dan memahami!

Dari Redaksi

Susunan RedaksiPemimpin Redaksi:Harsaid Yogo

Sekertaris Redaksi:Latifah

Editor:Daniel FajarVirdika Rizky

Reporter:Latifah,FahriNaswati

Layouter:Harsaid Yogo

Daftar IsiDaftar Isi

Dari Redaksi 2Dari Redaksi 2Liputan Utama 3-4Liputan Utama 3-4Opini 5-6Opini 5-6Resensi 7-8Resensi 7-8

Buletin WARTA MPA diterbitkan oleh Unit Kegiatan Maha-siswa Lembaga Pers Mahasiswa Didaktika. Universitas Negeri

Jakarta. Gedung G lantai 3 Ruang G 304//083894266589//Twitter@

lpmdidaktika//lpm. [email protected]

7Edisi 1

etra, itu pun terbatas pada kalangan yang mampu se-cara sosial dan ekonomi. Di antaranya, para bangsawan dan saudagar kaya. Ayah Hidjo, Raden Protonojo, ter-masuk dalam kelompok yang belakangan disebut tadi.

Tetapi, HBS dirasa belum cukup. Raden Protonojo ber-encana melanjutkan pendidi-kan Hidjo ke sekolah insiny-ur di Belanda. Ini merupakan upaya Protonojo untuk me-naikkan derajat anaknya set-ingkat dengan bangsawan pemerintah. Sebab, statusn-ya sebagai saudagar masih dipandang rendah diband-ingkan pegawai pemerintah.

Usul ini segera ditentang sang istri, Raden Nganten Protonojo. Dia takut Hidjo bakal rusak karena pen-garuh kebudayaan Belanda, khususnya soal perempuan. Dia sering mendengar tabiat buruk gadis-gadis di neg-eri tersebut. Apalagi, Hidjo sudah memiliki tunangan. Lebih dari itu semua, Raden Nganten sangat khawatir dengan keselamatan putra semata wayangnya itu.

Demi meredakan kekha-watiran sang istri, Raden Protonojo mengingatkan tentang kepribadian Hidjo yang kuat. Pemuda itu sangat suka belajar, tidak banyak waktu yang disisakan untuk bermain. Hidjo juga tidak

Resensi Buku

Judulnya Student Hid-jo, ditulis oleh Marco Kartodikromo semasa

penahanannya di Weltevre-den, Batavia, 1918. Novel ini berkisah tentang pemuda bernama Hidjo yang baru lulus dari Hogere Burger School (HBS). Pada masa penjajahan, HBS termasuk jenjang pendidikan tinggi yang bisa diakses bumipo-

banyak bicara, kecuali hal-hal yang dianggapnya perlu. Karakter yang kaku sekali. Untung kekakuan ini tidak membuat Hidjo tergagap saat mengungkapkan cintan-ya pada Raden Ajeng Biroe, tunangannya.

Dengan sejumlah kekha-watiran yang tersisa, sang ibu merestui kepergian anaknya. Sialnya, kekhawati-ran itu menjadi kenyataan. Di Belanda Hidjo berselingkuh dengan Betje. Perkenalan-nya dengan gadis ini dimulai saat perjalanan berangkat menuju negeri kincir angin tersebut. Lewat perkenalan itu, Hidjo diijinkan indekost di rumah keluarga Betje.

Hubungan keduanya pun berjalan makin intim. Modal kepribadian ternyata tak cukup membentengi Hidjo. Dia tidak mampu menahan hasrat seksualnya dengan Betje. Keadaan ini berlang-sung hingga Hidjo memu-tuskan untuk menghentikan studinya agar terbebas dari perbuatan tercela ini.

Meski tabu, perselingku-han Hidjo bisa dilihat sebagai serangan Marco terhadap Be-landa dalam novel ini. Marco menggambarkan betapa Betje, gadis dari bangsa pen-jajah itu, tergila-gila pada sosok Hidjo. Malah kemu-dian, Hidjo mencapakkannya begitu saja ketika pulang ke

Kemenangan Kecil Kemenangan Kecil Dari Sebuah FiksiDari Sebuah Fiksi

Judul : Student HidjoPengarang : Marco Kar todikromoPenerbit : NarasiTahun Terbit : Cetakan II, 2015Tebal : 140

Lagi, sebuah karya dari penjara yang patut dibaca.

Page 3: Warta MPA 2015 Edisi I

66  Warta MPA 2015

Sekali lagi saya tegaskan. Dua kebijakan itu diimple-mentasikan agar Negara-negara di dunia menerapkan wawasan liberal: wawasan yang melepaskan segala me-kanisme kehidupan kepada hukum alam. Siapa yang lebih kuat, dialah yang akan berkuasa, dialah yang akan meraup keuntungan besar, dialah yang mendapatkan kemakmuran. Tentu kita sepakat siapa pihak yang pal-ing kuat. Ya, mereka adalah pihak yang memiliki modal besar – kalangan ini sering disebut dengan istilah kaum kapitalis.

Dalam dunia modern sep-erti saat ini, ekonomi men-jadi panglima. Orang bekerja

keras untuk memperoleh harta sebesar-besarnya. Orang berpolitik untuk menimbun harta sedalam mungkin. Sebagian ustadz berceramah untuk memen-uhi kebutuhan ekonominya. Bahkan, Orang bersekolah untuk bekerja agar menda-patkan uang banyak. Maka tak heran, bila institusi pen-didikan, dalam hal ini Pergu-ruan Tinggi, memakai logika ekonomi: untuk memperoleh pendidikan kualitas, harus mengeluarkan uang banyak, seperti anda membeli barang berkualitas yang mengharus-kan merogoh kocek yang dalam.

Dan bahayanya lagi, ekonomi yang merasuk ke

dalam dunia pendidikan ada-lah ekonmi liberal. Ekonomi kerakyatan, yang berlandas-kan keadilan sosial, kini han-ya menjadi teks mati yang terpampang dalam kitab Undang-undang Dasar. Akses terhadap pengetahuan kian elitis. Yang pintar, ya, yang kaya. Yang kaya, ya, sudah pasti pintar.

Mungkin tepat apa yang dikatakan oleh guru besar Universitas Negeri Jakarta, H.A.R Tilaar, yang mengutip perkataan George Ritzer, bahwasanya globalisasi for nothing diisi dengan gloka-lisasi, yaitu nilai-nilai, po-tensi, kesempatan-kesempa-tan, yang terdapat di dalam masyarakatnya sendiri. Den-gan begitu kita bisa meng-hargai bangsa kita sendiri. “Jangan sampai kita men-jadi “kikuk” di Negera-nya sendiri,” begitlah pesan dari sastrawan W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul Seonggok Jagung.

Jangan Anda berargumen kalau nilai budaya lokal In-donesia tidak bisa mense-jahterakan. Sebab, paham liberal juga bagian dari nilai budaya lokal AS. Lalu kena-pa kita tidak berani untuk menggunakan nilai-nilai bu-daya lokal? Seperti ekonomi kerakyatan.

Tugas institusi pendidi-kan untuk menggerakkan, agar masyarakat Indonesia berani dan percaya diri un-tuk menggali dan mengem-bangkan nilai-nilai budaya lokal menjadi pakaian jiwan-ya. Beranikah? // Yogo (@Yogohars)

3Edisi 1

Liputan Utama

Mahasiswa baru 2015 sedang mengikuti brie ing

Tahun ajaran baru identik dengan Masa Pengenalan Aka-

demik (MPA) yang menjadi ajang penyambutan bagi ma-hasiswa baru (maba) di selu-ruh universitas di Indonesia. Di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) sendiri MPA diadakan selama 8 hari. 2 hari masa brie ing dan 6 hari masa pelaksanaan sebagai peny-ambutan untuk 5.400 maha-siswa barunya.

Kegiatan ini didasarkan pada surat keputusan Direk-torat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 38/DIKTI/Kep/2000 tentang pedoman

penyelenggaraan peneri-maan mahasiswa baru pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) di lingkungan departemen pendidikan nasional. Kemu-dian, diperkuat dengan surat keputusan Rektor UNJ no-mor 347/SP/2000 tentang pedoman pelaksanaan MPA.

Tahun ini tema yang di-angkat yaitu “Membangun Jiwa Muda Berprestasi dan Berwawasan Global”. Menu-rut Ketua Pelaksana MPA Nadi Firas Huda tema terse-but merupakan gabungan dari ide panitia dan pihak re-ktorat. Sebelumnya, panitia

MPA,Bukan Hanya Rutinitas

Page 4: Warta MPA 2015 Edisi I

44  Warta MPA 2015

mengusulkan tema “Mem-bangun Jiwa Muda yang Merdeka dan Berprestasi”.Fi-ras mengatakan usul meng-hilangkan kata “merdeka” berangkat dari anggapan bahwa kita telah lama merde-ka. Penggantinya, “wawasan global” dirasa cocok dengan keadaan zaman saat ini.

Abdul Kholik selaku staf kemahasiswaan memiliki pendapat terkait tema ini. “Kita harapkan dari calon-calon mahasiswa baru ini yang masih memiliki ideal-isme dan jiwa muda mem-punyai prestasi sesuai bidan-gnya masing-masing, baik itu sosial, seni, olahragadan ber-wawasan global. Maksudnya, mereka sadar akan kondisi zamannya saat ini,” ucapnya panjang.

Untuk mencapai tujuan tersebut, maka diadakan MPA yang berlangsung sela-ma enam hari. Pelaksanaan-nya dibagi beberapa tahap, yaitu pembukaan pada Senin (24/08). Selasa (25/08) di-lanjutkan dengan gelom-bang pertama untuk Fakultas Ekonomi, Fakultas Matema-tika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Teknik (FT) dan Fakultas Ilmu Pendidi-kan. Kemudian, gelombang kedua untuk Fakultas Ilmu Sosial, Fakultas Ilmu Keolah-ragaan dan Fakultas Bahasa dan Seni dilanjutkan pada dua hari berikutnya. Terakh-ir, Sabtu (29/08) merupakan acara penutup.

Rencananya MPA akan di-

laksanakan di kampus UNJ. Namun, karena keterbatasan tempat, pihak kampus ter-paksa menyewa GOR Rawa-mangun untuk FT. Selain itu, permasalahan seperti ko-munikasi antar pihak kam-pus dengan panitia kampus, maupun panitia kampus dengan panitia fakultas dan jurusan masih sering ter-jadi. Contohnya, perbedaan tema yang diangkat kampus dengan fakultas dan jurusan, karena harus disesuaikan dengan latar budaya masing-masing fakultas dan jurusan. Meski begitu, menurut Firas hal ini tidak terlalu signi i-kan dan sedapat mungkin dihindari.

Terkait dengan isu per-ploncoan, Kholik merujuk pada keputusan yang dike-luarkan oleh dikti dan pihak rektorat. “Kita sangat meng-hindari kekerasan, apalagi sampai jatuh korban nyawa,” ungkapnya. Bila aturan ini dilanggar maka akan dikena-kan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang terjadi seperti yang tertera dalam buku panduan untuk maba 2015/2016, halaman 30 pasal 17.

Kemudian, Pembantu Rektor Bidang Akademik Mukhlis R.Luddin berpenda-pat bahwa MPA seharusnya diarahkan untuk memperke-nalkan mahasiswa baru den-gan semua komponen uni-versitas, baik itu lingkungan kampus, dosen, administrasi, maupun budaya akademikn-

ya seperti tulis menulis. Agar nantinya dapat menghasil-kan karya yang diakui secara nasional maupun interna-sional.

Hal ini berangkat dari keinginan untuk meningkat-kan kualitas UNJ yang minim produktivitas karya ilmiahn-ya. Bahkan, “budaya”copy-paste(plagiarisme) masih terdapat dalam diri sebagian civitas akademika. Tidak hanya di UNJ, melainkan seluruh kampus di Indone-sia.Berdasarkan penelitian dari The Chronicle of Higher Education menunjukkan 55 persen mahasiswa melaku-kan plagiat skripsi (kompasi-ana.com, 1/07/2013).

Untuk mencapai hal tersebut, Mukhlis yakin hal ini bisa dicapai mela-lui pengenalan etika kehidu-pan kampus, pembentukan karakter, ditambah dengan Masa Pembinaan Mahasiswa Baru. Kegiatan yang disebut belakangan berlangsung pas-ca MPA.

Tentunya, MPA dihara-pkan tidak hanya sebagai rutinitas tahunan dalam menyambut maba. Apalagi, menurut Firas pihak panitia universitas membutuhkan dana sekitar 50 juta rupiah untuk acara ini. Makanya, Fi-ras berharap melalui acara ini bisa menghasilkan ma-hasiswa yang mengenal UNJ, cinta UNJ dan membangga-kan UNJ. Selamat Berdiale-ktika. // FAHRI (@kareyst-g109ap)

5Edisi 1

Opini

Arus globalisasi kian mengalir deras menuju relung-re-

lung kehidupan masyarakat Indonesia. Kita makin su-lit untuk mengidenti ikasi identitas manusia Indonesia. Dalam ber-fashion misalnya, manusia Indonesia kerap mengadopsi fashion-fashion asing. Bahkan, perilaku pun ikut tergerus oleh perilaku asing. Hal itu bisa dilihat berapa besar presentase masyarakat Indonesia, khu-susnya di kota-kota besar seperti Jakarta, yang masih menganut nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, seperti kerjasama. Yang terjadi just-ru sebaliknya, persainganlah yang saat ini menjadi nilai luhurnya.

Dalam ranah perguruan tinggi misalnya, nilai per-saingan kini kian terlihat taringnya. Saling sikut antar teman pun bisa terjadi, bila keegoisan dikedepankan. Keegoisan atau mement-ingkan kepentingan dirinya sendiri merupakan ciri dari paham liberalisme. Dengan demikian, paham liberal-isme merupakan efek dari globalisasi.

Universitas Negeri Jakar-ta (UNJ), sejauh pengama-tan saya, kini makin terlihat bergerak menuju paham liberalisme tersebut. Hal ini

bisa terlihat di tema Masa Pengenalan Akdemik (MPA) yang salah satu pointnya ada-lah menciptakan mahasiswa berwawasan global. Dan di-awal sudah saya singgung, wawasan yang berkembang di dunia global adalah wa-wasan liberalisme.

Wawasan liberalism lahir dari Negara-negara Barat. Awal kemunculannya, wa-wasan liberal dipakai dalam ranah perekonomian. Diakh-ir 1920-an wawasan liberal menancapkan kakinya begitu dalam, sehingga sampai hari ini begitu sulit untuk kembali dicabut.

Diakhir 1920-an ekonomi global mengalami depresi besar-besaran. Para ahli ekonomi – khsusunya dari Amerika Serikat (AS) dan Inggris – mengklaim depresi tersebut disebabkan kontrol Negara yang terlalu besar terhadap aktivitas ekonomi. Maka solusinya adalah mem-berikan aktivitas ekonomi sepenuhnya kepada tiap-tiap pelaku usaha. Negara dilar-ang ikut campur dalam ak-tivitas ekonomi tersebut.

Ada beberapa metode yang dilakukan agar paham tersebut bisa menyebar ke seluruh Negara. Dianta-ranya adalah melalui ke-bijakan marshall plan dan dekolonisasi. Marshall plan

yang kita kenal sebagai pro-gram bantuan untuk Negara berkembang, nyatanya me-miliki peran penting dalam menginternasionalkan wa-wasan liberal.

Dibalik pemberian ban-tuan tersebut, AS mengingin-kan laju perekonomian Nega-ra berkembang bisa tumbuh. Harapanya agar masyarakat berkembang mampu mem-beli barang-barang dagangan maupun jasa. Sederhanya, melalui Marshall plan AS se-cara tidak langsung mencip-takan masyarakat yang kon-sumtif. Dan, benar. Saat ini, Negara-negara berkembang hanya menjadi konsumen saja. Keuntungan besar dida-pat oleh Negara-negara pro-dusen, dalam hal ini AS dan Negara-negara barat.

Sementara itu, ada kebi-jakan dekolonisasi. Dalam kebijakan itu, AS menentang Negara-negara yang masih menjajah. Kebijakan dekolo-nisasi tujuan utamanya bu-kan untuk membebaskan Negara-negara terjajah, tapi untuk menyebarluaskan wa-wasan liberal kepada Nega-ra-negara terjajah. Sebab, bila masih ada Negara yang dijajah, wawasan liberal akan sulit memasuki Negara yang dijajah tersebut. Hal itu dikarenakan terhalang oleh Negara penjajah.

Dibalik Wawasan Dibalik Wawasan GlobalGlobal