Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

88
Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

Transcript of Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Page 1: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016

TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

Page 2: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 15 Nomor 1, Juni 2016

TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

KATA PENGANTAR

Majalah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 memuat 6

artikel karya tulis ilmiah. Topik yang disajikan meliputi: (1) Abaka (Musa textilis Nee) Sebagai

Sumber Serat Alam; Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani, (2)

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia, (3)

Prospek Pengembangan Bioinsektisida Nucleopolyhedrovirus (NPV) Untuk Pengendalian Hama

Tanaman Perkebunan di Indonesia, (4) Prosfek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens

Hayati Pengendalian Nematoda Parasit Tanaman Perkebunan, (5) Pemanfaatan Teknologi

Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit, dan (6)

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional

Semoga artikel yang disajikan dapat memberikan tambahan ilmu pengetahuan dan bermanfaat

bagi para pembaca.

Bogor, Juni 2016

Ketua Dewan Redaksi

Prof. Dr. Deciyanto Soetopo

ISSN 1412-8004

Page 3: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 15 Nomor 1, Juni 2016

TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

Penanggung Jawab : Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Pemimpin Redaksi merangkap Anggota : Prof. Dr. Deciyanto Soetopo (Entomologi)

Anggota Redaksi :

Prof. Dr. Bambang Prastowo (Mekanisasi Pertanian) Prof. Dr. I Wayan Laba (Entomologi)

Prof. Dr. Elna Karmawati (Entomologi) Dr. Ir. I Ketut Ardana (Sosial Ekonomi)

Dr. Ir. Syafaruddin (Bioteknologi)

Redaksi Pelaksana :

Dr. Iwa Mara Trisawa Agus Budiharto

Bursatriannyo, S.Kom

Alamat Redaksi : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111 Telp. (0251) 8313083. Faks. (0251) 8336194

e-mail : [email protected], [email protected] Website: www.perkebunan.litbang.pertanian.go.id

Sumber Dana : DIPA 2016, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan

Foto Sampul Depan : Tanaman Abaka (Musa textilis Nee) (inset: Bibit hasil kultur jaringan dan serat abaka grade exelent)

Disain Sampul dan Tata Letak : Agus Budiharto

Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, memuat makalah tinjauan (review) penelitian tanaman perkebunan, terbit pertama kali Juni 2002 frekuensi terbit 2 (dua) kali setahun. Tulisan dan gambar yang dimuat dalam majalah ini dapat dikutip dengan mencantumkan (menuliskan) sumbernya.

ISSN 1412-8004

Page 4: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

REVIEW PENELITIAN TANAMAN INDUSTRI

Volume 15 Nomor 1, Juni 2016

TERAKREDITASI No. 609/AU3/P2MI-LIPI/03/2015

DAFTAR ISI

Abaka (Musa textilis Nee) Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil

Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani

BUDI SANTOSO, MASTUR, dan FITRININGDYAH TRI KADARWATI .................... 01 - 10

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika

Perkembangan Lada Dunia

ROSIHAN ROSMAN............................................................................................................ 11 - 17

Prospek Pengembangan Bioinsektisida Nucleopolyhedrovirus (NPV)

Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan di Indonesia

SAMSUDIN .......................................................................................................................... 18 - 30

Prosfek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati

Pengendalian Nematoda Parasit Tanaman Perkebunan

RITA HARNI .................................................................................................................... 31 - 49

Pemanfaatan Teknologi Genomika dan Transformasi Genetik Untuk

Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit

I MADE TASMA .................................................................................................................. 50 - 72

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional

AGUS WAHYUDI ................................................................................................................. 73 - 85

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN Jl. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111

2016

ISSN 1412-8004

Page 5: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 01 – 10 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.01-10

ISSN: 1412-8004

Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 1

ABAKA (Musa textilis Nee) SEBAGAI SUMBER SERAT ALAM,

PENGHASIL BAHAN BAKU PULP KERTAS DAN SUMBER

PENDAPATAN PETANI

Abaca (Musa textilis Nee) As Thesourceof Naturalfiber, Producingraw Materialfor

Pulp and Source of Farmer Income

BUDI SANTOSO, MASTUR, dan FITRININGDYAH TRI KADARWATI

Balai PenelitianTanaman Pemanis dan Serat

Indonesian Sweetener and Fiber Crops Research Institute

Jl. Raya Karangploso Km 4 PO Box 199 Malang, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Abaka penghasil serat alam yang menjadi bahan baku

pulp kertas uang. Serat alam yang berasal dari abaka,

mempunyai sifat ramah lingkungan dan berkearifan

lokal, sangat disukai oleh para konsumen pabrikan.

Dewasa ini kebutuhan serat abaka di dalam negeri

masih dipenuhi dari impor. Pulp dan kertas yang

berasal dari abaka mempunyai keunggulan di

antaranya tahan sobek, kalau sudah menjadi kertas

sulit dipalsukan atau kertas yang dihasilkan

digunakan untuk , kertas yang sulit ditiru, materai,

kertas dukomen(segel, sertifikat, ijazah dan kertas

penting lainnya). Bank Indonesia (BI) mulai tahun

2014 lebih serius untuk menggunakan bahan baku

serat kapas dan serat abaka dalam negeri. Hal ini

sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang N0. 7

Tahun 2011 pada pasal 9 (2) agar mengutamakan

bahan baku dalam negeri (lokal) dengan menjaga

mutu, keamanan dan harga yang bersaing dalam

mencetak Uang Rupiah. Panen perdana abaka pada

umur 18-20 bulan setelah tanam. Pada saat itu belum

ada pendapatan bagi petani, adanya tumpangsari

antara cabai + abaka memberikan sumber pendapatan,

karena cabai merupakan tanaman semusim sehingga

hasil panen cabai dapat membantu dalam memenuhi

kebutuhan petani dalam masalah keuangan.

Disamping itu masih ada tanaman tegakan (jabon,atau

sengon). Pola tumpangsari abaka + cabai kecil bisa

memberikan keuntungan sebesar Rp. 21.333.000,-

Dengan demikian pengembangan abaka mempunyai

prospek yang cukup baik. Tujuan dari pada penulisan

review ini untuk memberikan dukungan eksistensi

inovasi pengembangan abaka sebagai sumber serat

alam yang memberikan kontribusi dalam

menyediakan bahan baku kertas uang yang dicanakan

oleh Bank Indonesia (BI)dan membuka lapangan kerja

di pedesaan, serta memberikan sumber pendapatan

para petani.

Kata Kunci: Abaka, cabai kecil, sumber pendapatan

tumpangsari.

ABSTRACT

Abaca-producing natural fiber as raw material for

pulp paper money. Natural fibers derived from abaca,

have environmentally friendly nature and local

wisdom, highly favored by consumers manufacturer.

Nowadays the need for abaca fiber in the country is

still imported. Pulp and paper are derived from abaca

has advantages including a tear-resistant, when it

becomes difficult falsified paper or paper produced is

used for Paper that is difficult to imitate, stamp paper

dukomen (seals, certificates, diplomas and other

important papers). Bank Indonesia (BI) in 2014 is more

serious to use raw materials of cotton fiber and abaca

fiber in the country. This is in accordance with the

Currency Act N0. 7 Year 2011 on article 9 (2) in order to

give priority to domestic raw materials (local) to

maintain the quality, safety and competitive prices in

the printing Rupiah. The first harvest abaca at age 18-

20 months after planting. At that time there has been

no income for farmers, their inter-cropping between

chili + abaca provide a source of income, because chili

is a seasonal crop that yields chilli can assist in meeting

the needs of farmers in financial trouble. Besides, there

is no plant stand (Jabon, or sengon). The pattern of

intercropping abaca + small chilli may generate profits

of Rp. 21.333 million, - thus the development of abaca

Page 6: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

2 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10

has good prospects. The purpose of the writing of this

review is to provide support for the existence of abaca

development innovation as a source of natural fiber

which contribute in providing raw materials of paper

money dicanakan by Bank Indonesia and to create

employment in rural areas, and provide a source of

income of farmers

Key word: Abaca, cayenne pepper, source farmers

income, intercropping.

PENDAHULUAN

Abaka (Musa textilis Nee) merupakan

tanaman tahunan, penghasil serat alam.

Kekuatan serat kering abaka di atas rata-rata

komoditas serat lainnya (Bledzki et al., 2007).

Serat yang dihasilkan berasal dari pelepah batang

yang ramah terhadap lingkungan dan

berkelanjutan (Mwaikambo, 2006). Permasalahan

utama pada saat ini di antaranya kebutuhan serat

abaka nasional masih impor. Demkian pula

kebutuhan dunia akan serat abaka juga belum

terpenuhi. Produksi serat abaka internasional

sebesar 65.000 ton/tahun, sedang permintaan

sudah mencapai 85.000 ton/tahun, sehingga

masih kekurangan sekitar 20.000 ton/tahun. Serat

abaka banyak digunakan untuk bahan baku pulp

kertas (Manish Kumar dan Deepak Kumar, 2011).

Pulp dan kertas yang berasal dari abaka

mempunyai keunggulan di antaranya tahan

sobek, kalau sudah menjadi kertas sulit

dipalsukan atau kertas yang dihasilkan

digunakan untuk pkertas yang sulit ditiru,

materai, kertas dukomen (segel, sertifikat, ijazah

dan kertas pentinglainnya). Menurut Jose C. de

Rio dan Ana Gutierrez (2006); dikemukakan

bahwa serat abaka digunakan sebagai bahan

baku pulp kertas berkualitas tinggi. Bank

Indonesia (BI) mulai tahun 2014 lebih serius

untuk menggunakan bahan baku serat kapas dan

serat abaka dalam negeri. Hal ini sesuai dengan

Undang-Undang Mata Uang N0. 7 Tahun 2011

pada pasal 9 (2) agar mengutamakan bahan baku

dalam negeri (lokal) dengan menjaga mutu,

keamanan dan harga yang bersaing dalam

mencetak Uang Rupiah. Philipina dan Jepang

menggunakan kertas uang campuran serat abaka

(Suratos, 2001).

Hasil panen serat Abaka baru dapat

dinikmati oleh petani dalam kurun waktu sekitar

18-20 bulan. Selang waktu menunggu hasil panen

tersebut, petani memperoleh tambahan

pendapatan dari tanaman sela seperti cabai,

kacang tanah dan jagung. Usahatani cabai rawit

dalam waktu sekitar 6 bulan cukup memberikan

pendapatan yang menggembirakan. Pemanfaatan

lahan yang efisien melalui pola tumpangsari

cabai rawit + abaka dapat meningkatkan

pendapatan petani, baik penerimaan dari cabai

maupun penerimaan dari abaka. Secara umum

petani di Indonesia dikelompokan ke dalam

kategori petani subsisten artinya kepemilikan

lahan yang sempit (0,30 ha), modal sedikit dan

sulit menerima teknologi baru. Hadirnya abaka

membuka lapangan kerja di pedesan, selain itu

membantu dalam penyediaan serat nasional,

sehingga dapat menghemat devisa Negara.

Dasar pertimbangan lain bahwa lahan yang

sesuai untuk abaka di tanah air cukup luas.

Abaka tumbuh baik pada tanah subur, volcan

atau alluvial, retensi air tinggi, curah hujan 2.000-

3.000 mm/tahun (tidak ada bulan kering,

kelembaban udara 78-88%, suhu optimal 20oC-

27oC dan ketinggian tempat sampai 1.000 m di

atas permukaan laut (Bande etal., 2012). Secara

alami abaka tumbuh pada hutan tropis campuran

dengan tanaman lain.

Pada daerah gugusan kepulauan seperti

pulau Nias, Sangir Talaud dan dataran tinggi

(700 sampai dengan 900 m di atas permukaan

laut) sebagai tempat yang cocok untuk

kelangsungan pertumbuhan M. textilis. Lereng-

lereng gunung berapi yang umumnya mendapat

irupsi berupa abu, lahar dan belerang serta tanah

mineral memiliki tingkat kesuburan lahan yang

baik dan sangat ideal untuk pertumbuhan abaka

(Romel et al., 2011).

Pada budidaya abaka diperlukan naungan

agar tidak mendapat penetrasi matahari secara

langsung. Bande et al., (2012) melaporkan

pemberian naungan hingga 50% dapat

menghasilkan serat abaka yang lebih tinggi

dibandingkan tanpa naungan. Oleh karena itu

masuknya tanaman sengon, albasia, akasia bulat,

tanaman kayu berdaun menjari (pinus), jabon

dan kayu tegakan lunak pada pola tumpangsari

yang menghasilkan naungan baik bagi abaka.

Page 7: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 3

Cabai rawit sebagai tanaman musiman yang

ditanam di bawah abaka, dipanen saat umur 6

bulan setelah tanam. Ketiga komoditas tersebut

mempunyai habitus yang berbeda-beda. Kondisi

yang demikian cocok untuk ditanam secara

tumpangsari. Menurut Guritno (1996 dalam

Santoso, 2007) syarat suatu tanaman dapat

ditumpangsarikan bilamana ada ketidak samaan

dalam hal tinggi tanaman, kebutuhan cahaya, air,

CO2, pengambilan unsur hara, dan berbedaan

lintasan siklus karbon Dengan permasalahan

yang demikian kiranya tidak berlebihan

bilamana pengembangan abaka harus di

pertahanakan agar seluruh permasalahan yang

ada dapat di selesaikan dengan baik.

Tumpangsari adalah suatu bentuk pola

tanam dengan menanam lebih dari satu jenis

tanaman pada lahan yang sama dalam waktu

yang bersamaan atau hampir bersamaan

(Papendick et al., 1976 dalam Zulkarnain 2005).

Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam

pola tumpangsari yaitu jenis komoditas yang

diusahakan, susunan perakaran tanaman, habitat

tanaman, respon tanaman terhadap faktor

lingkungan seperti air, cahaya, hara, CO2 dan

suhu serta kelembaban udara. Komponen

lingkungan tersebut pada sistem tumpangsari,

masing-masing salin diperebutkan oleh tanaman.

Menurut Riajaya dan Kadarwati (2014)

dikemukanan bahwa pada sistem tumpangsari

selalu terjadi kompetisi akan ruang, CO2, cahaya,

air dan nutrisi antar tanaman. Abaka dalam pola

tumpangsari sebagai tanaman pokok atau utama.

Kerapatan tanaman abaka (jarak tanam 3 m x 3

m) dengan populasi tanaman sekitar 1.000 pohon

per ha, kondisi ini sudah termasuk saluran

drainase. Pada sistem penyerapan karbon

dioksidanya (CO2) abaka tergolong ke dalam

tanaman siklus C3 atau 3 karbon. Menurut

Ochie, 2010 bahwa tumbuhan dengan jalur C3

umumnya mempunyai laju fotosintesis yang

lebih rendah dibandingkan dengan tumbuhan

C4, terutama dalam intensitas cahaya tinggi.

Pada tumbuhan abaka terjadi peningkatan

efisiensi fotosintesis, penyebab utama yaitu tidak

adanya fotorespirasi yang dapat diukur. Hal ini

terjadi pada saat fotorespirasi mengalami

kehilangan CO2 dalam jaringan fotosintetik dan

membutuhkan naungan agar dapat tumbuh

dengan normal.

Tujuan dari pada penulisan review ini

untuk memberikan dukungan eksistensi inovasi

pengembangan abaka sebagai sumber serat alam

yang memberikan kontribusi dalam

menyediakan bahan baku kertas uang yang

dicanakan oleh Bank Indonesia dan membuka

lapangan kerja di pedesaan, serta memberikan

sumber pendapatan para petani.

POLA TUMPANGSARI ABAKA + CABAI

KECIL + KAYU TEGAKAN

Usahatani pola tumpangsari dengan harapan

mendapatkan hasil yang optimal. Untuk

mengukur hasil tersebut salah satunya adalah

dengan memanfaatkan penggunaan lahan yang

efisien. Pola tumpangsari disamping untuk

mendapatkan hasil ganda juga, bertujuan

memperoleh pendapatan yang berkesinam-

bungan dalam kurun waktu 18-20 bulan. Apakah

pola tumpangsari lebih menguntungkan dari

pada monkultur dapat didekati dengan Land

Equivalen Ratio (LER).

LER atau dikenal dengan istilah Nilai

Kesetaraan Lahan (NKL) dapat dirumuskan

sebagai berikut :

YSts YPts

NKL = +

YSm YPm

Sumber : Mulyaningsih dan Hariyono (2013)

Dimana :

NKL : Nilai Kesetaraan Lahan

YStm : Hasil tanaman sela tumpangsari

YSm : Hasil tanaman sela monokultur

YPts : Hasil tanaman Pokok tumpangsari

YPm : Hasil tanaman Pokok monokultur

Bila NKL >1, mempunyai arti bahwa

pertanaman tumpangsari lebih efisien dalam

memanfaatkan lahan dibanding pada

pertanaman monokultur, sebaliknya manakala

hasil yang diperoleh <1 monokultur sangat

efisien daripada tumpangsari.

Ketika hasilnya dihitung secara B/C ratio,

ternyata nilai antara tambahan pendapatan

Page 8: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

4 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10

(benefit) dibagi dengan tambahan biaya usahatani

(cost) dari pola monokultur ke pola tumpangsari

>1, maka pengembangan abaka secara

tumpangsari dapat diteruskan, karena sangat

menguntungkan.

Dalam sistem pola tanam tumpangsari

terdapat berbagai macam tipe (Lithourgidis et al.,

2011) yaitu :

1. Mixed cropping (pola tanam campuran,

tanam bersamaan atau ada jeda dalam

kurun waktu1 tahun)

2. Relay cropping (pola tanam pergiliran 2 atau

lebih komoditas dalam kurun waktu 1

tahun).

3. Strip cropping (pola tanam berbaris, 2 atau

lebih komoditas kurun waktu 1 tahun)

4. Multiple cropping (pola tanam bermacam–

macam komoditas, waktu tanam bersamaan

dalam kurun waktu 1 tahun

Pada umumnya di Indonesia tumpangsari

yang digunakan untuk abaka adalah Mixed

cropping (pola tanam campuran, tanam

bersamaan atau ada jeda dalam kurun waktu 1

tahun)

Peningkatan daya saing dan implementasi

pengembangan komoditas abaka dan cabai kecil

serta tanaman sela (sengon) secara tumpangsari,

mendukung pencapaian ketahanan pangan,

menghemat devisa negara dan sekaligus

menekan inflansi. Komoditas cabai merupakan

produk pertanian yang sering menganggu

stabilitas perekonomian. Pada saat tertentu harga

melambung tinggi dan dalam waktu yang

singkat harga merosot tajam. Oleh karena itu

cabai dikelompokan ke dalam komoditas

strategis yang harus dapat dikendalikan. Dalam

mendukung penyediaan cabai nasional yang

cukup, pola tumpangsari abaka + cabai kecil +

kayu tegakan (sengon) ikut memberikan

kontribusi terhadap program pemerintah

terutama keberadaan cabai.

Intensifikasi sektor pertanian sebagai upaya

dalam mengoptimalkan lahan untuk

mendapatkan produksi yang tinggi, perlu terus

ditingkatkan. Sementara ekstensifikasi, sulit

dilaksanakan dan tingkat keberhasilannya

rendah, karena banyak lahan-lahan produktif

beralih fungsi menjadi perumahan atau sarana

umum yang diperlukan oleh masyarakat banyak

dan konservasi lahan hutan sangat diperlukan

serta harus berhasil. Pendekatan melalui efisiensi

lahan dengan system pola tumpangsari sebagai

langkah yang sesuai, tanpa menambah perluasan

areal lahan baru.

Sengon tanaman kayu tegakan yang

digolongkan kedalam kelompok leguminose.

Laju pertumbuhan sengon, sangat cepat sehingga

sesuai digunakan sebagai tanaman naungan.

Abaka memperlukan pelindung dari intensitas

cahaya matahari secara langsung. Oleh karena itu

hadirnya sengon di pertanaman abaka dalam

bentuk tumpangsari, membantu sekali.

Disamping itu tanaman leguminose dapat

menarik nitrogen dari udara. Menurut Lay dan

Heliyanto (2013), dikemukakan bahwa abaka

tumbuh baik di bawah pohon akasia

(leguminose) karena tanaman ini menghasilkan

nitrogen. Secara umum nitrogen di dalam tanah

sedikit sekali, sehingga ada tambahan nitrogen

dari luar dapat meningkatkan tingkat kesuburan

lahan. Keunggulan dari tanaman kayu tegakan

(sengon) adalah menghasilkan humus, melalui

daun-daun yang jatuh ke tanah dan menjadi

bahan organik. Dampak yang nyata pada proses

tersebut pertumbuhan abaka menjadi lebih baik.

EKSISTENSI INOVASI TEKNOLOGI

PENGEMBANGAN ABAKA

Pada pengembangan abaka masalah yang

penting adalah dalam perbanyakan bibit dan

varietas unggul yang tahan terhadap penyakit

Fusarium (Teodora et al., 2012). Penggandaan

bibit abaka yang sembarangan, penyebab

kegagalan yang patal dalam pengembangan.

Disamping itu dalam pengelolaan pasca panen

diperlukan mesin dekortikasi untuk proses

penyeratan batang abaka. Kebutuhan bibit abaka

dengan populasi tanaman yang rapat dapat

mencapai 1.000 sampai dengan 1.100 tanaman

per ha. Model tanamnya bisa berupa single row

dengan jarak tanm (3 m x 3 m), atau ( 2,5 m x 2,5

m) (Marlito et al., 2012). Tetapi juga ada yang

menggunakan double row (2,75 x 2,75 m) + 5 m.

Bidang masalah adalah bagaimana dalam

menyediaakan bibit abaka dalam jumlah yang

banyak tersebut. Saat ini sudah tersedia teknologi

untuk mendukung pengembangan abaka yaitu

Page 9: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 5

perbanyakan bibit abaka dengan sistem kultur

jaringan (Gambar 1). Keunggulan bibit abaka

yang berasal dari kultur jaringan adalah cepat

dalam pengadaannya, walaupun dalam jumlah

yang banyak; bibit seragam karena diambil dari

bagian vegetatif tanaman; dan bebas serangan

hama dan penyakit.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian telah mempunyai klon-klon unggul

abaka dari hasil ekplorasi, karakterisasi, uji daya

hasil dan plasma nutfah. Pada tahun 20010 telah

dilakukan uji multi lokasi klon-klon abaka di

beberapa tempat untuk dilepas menjadi varietas

baru. Tahun 2016 direncanakan akan dilepas 2-3

varietas baru dari abaka.

Pertanaman abaka yang terserang penyakit

Fusarium yang dicirikan dengan kelayuan pada

bagian ujung daun, terus menyebar ke seluruh

tanaman dan berakhir dengan kematian.Pada

tahun 2007 Litbangtan mempergunakan mutasi

radiasi, berhasil memperoleh klon abaka yang

toleran terhadap Fusarium. Hasil penelitian

Purwati et al., (2007) menujukkan bahwa

perlakuan induksi mutasi penggunaan mutagen

kimia EMS dan seleksi in vitro dengan 40% fitrat

F. oxysporum isolate atau 50 mg/l fusarat

menghasilkan klon-klon abaka yang toleran

terhadap penyakit Fusarium. Menurut Lestari

(2013) dikemukakan bahwa kendala utama

dalam pengembangan tanaman abaka di daerah

tropis adalah penyakit layu yang disebabkan oleh

cendawan F. oxysporum. Lebih lanjut dikatakan

bahwa serangan jamur F. oxysporum ini

mengakibatkan kerusakan sebanyak 5% sampai

dengan 65%. Hasil penelitian Sulistyowati et al.,

(2009) menyebutkan bahwa untuk memperbaiki

sifat genetik abaka adalah melalui transfer gen

spesifik dengan vector Agrobacterium tumefaciens,

dan berhasil memperoleh 4% kalus transforman

yang mengandung Chilinase.

Panen abaka yang diambil berupa batang

tanaman, kemudian pelepah yang menempel

pada batang, dikelupas satu demi satu untuk

diambil seratnya. Hasil pelepah batang abaka

tersebut diproses dalam mesin dekortikator.

Badan Liitbang Pertanian sudah membuat

prototype mesin dekortikator dengan rendemen

serat sekitar 4 sampai dengan 4,5% (Gambar 2).

Di Philipina mesin dekortikator mempunyai

rendemen serat hanya 3 sampai dengan 3,5%

(Vijayalakshmi et al., 2014). Mesin giling serat

tersebut bisa dipindah-pindah atau fortable,

mendekati hasil panen batang abaka di lokasi

pertanaman, sehingga biaya pasca panen lebih

murah.

Berdasarkan kualitas serat kering abaka

dibedakan menjadi 4 kelas yaitu:1). Grade excellent

(kelas utama) S2, S3 (Gambar 4), 2). Grade good

(kelas baik) I, G,H, 3). Grade fair (Kelas sedang)

JK,M1, dan 4). Grade residual (kelas terjelek) Y, OT

(PT. Kertas Leces, 2013). Kualitas serat abaka

dibentuk sejak ada di pertanaman, mulai dari

pemilihan klon unggul abaka, pemeliharaan

tanaman abaka, pada saat panen sudah masak,

artinya tanaman abaka sudah mengakhiri masa

vegetatif dan memasuki masa generatif. Bilamana

Gambar 1. Hasil kultur jaringan abaka klon

tangangon

Foto

: R

ully

Gambar 2. Model mesin dekortikator abaka

prototipe

F

oto

: H

asto

no

et

al.

Page 10: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

6 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10

Tabel 1. Keragaan usahatani Abaka tumpangsari dengan cabai rawit (kecil) per ha di daerah Kabupaten

Tumanggung Jawa tengah.

Kegiatan abaka/ha Biaya /ha Kegiatan cabai/ha Biaya /ha

I. Biaya produksi I. Biaya produksi a. Sarana produksi a. Sarana produksi

Bibit Rp. 5.000.000,- Bibit Rp. 240.000,- Pupuk kandang Rp. 1.000.000,- Pupuk kandang Rp. 60.000,- Pupuk Urea Rp. 480.000,- Pupuk Urea Rp. 96.000,- Pupuk TSP Rp. 200.000,- Pupuk TSP Rp. 120.000,- Pupuk KCl Rp. 260.000,- Pupuk NPK Rp. 720.000,- Pestisida Rp. 150.000,- Pupuk daun Rp. 96.000,- Karbofuran 3 G Rp. 100.000,- Pestisida Rp. 75.000,- Fungisida Rp. 50.000,- Kapur pertanian

Kayu/bambu ajir Rp. 105.000,- Rp. 1.800.000,-

b. Pengolahan tanah dengan traktor Rp. 400.000,-

b.Pengolahan tanah Pembuatan surjan

Rp. 3.010.000,-

c.Tenaga kerja

Pengolahan bedengan Rp. 735.000,-

Pengajiran dan lubang tanam Rp. 2.625.000,- c. Tenaga kerja Penanaman Rp. 455.000,- Penanaman dan penyulaman Rp. 175,000,- Pemeliharaan (penyiangan, pemupukan, pembersihan daunkering dan penyulaman)

Rp. 875.000,- Pempukan Penyiraman Pemasangan ajir Perbaikan saluran Pengendalian HPT Panen dan angkut

Rp. 270.000,- Rp. 1.770.000,- Rp. 315.000,- Rp. 140.000,- Rp. 525.000,- Rp. 2.520.000,- Panen dan pasca panen Rp. 2.100.000,-

Total biaya produksi/ha (100%) Rp. 13.695.000,- Total biaya produksi/ha (60%) Rp. 10.972.000,-

II. Pendapatan II. Pendapatan Produksi abaka Rp. 16.000.000,- Produksi cabai Rp. 30.000.0000,- Keuntungan(II-I) Rp. 2.305.000,- Keutungan (II-I) Rp. 19.028.000,-

Keterangan : Populasi abaka 1 ha penuh 100%, sedang populasi cabai 1 ha hanya 60% karena ditumpangsari

dengan abaka

tanaman abaka dipanen masih umur muda maka,

kualitas serat yang dihasilkan kurang baik,

kekuatan seratnya mudah putus. Sebaliknya

manakala pada saat panen umur abaka terlalu

tua, sudah keluar ontong dan buah kecil-kecil,

serat yang dihasilkan juga jelek, rapuh dan warna

serat kecoklatan. Oleh karena itu panen abaka

harus tepat waktu, agar kualitas serat yang

dihasilkan bisa digolongkan kedalam kelas

utama atau kelas yang baik.Tanaman abaka yang

siap untuk dipanen disajikan pada Gambar 3.

USAHATANI TUMPANGSARI ABAKA

DAN CABAI RAWIT

Prinsip tumpangsari adalah untuk

mendapatkan hasil yang ganda artinya selain

panen tanaman utama juga memperoleh panen

tanaman selanya baik yang semusim maupun

yang tahunan. Hasil usahatani abaka

tumpangsari dengan cabai disajikan pada Tabel

1.

Gambar 3. Batang abaka siap dipanen

Sumber : Santoso dan Purwati, 2011.

Gambar 4. Serat abaka dengan grade excelent

Sumber : Fibra de abaca, 2014.

Page 11: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 7

Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen)

mempunyai tipe daun yang menjari, kecil-kecil

dan tajuk yang tidak rapat, sehingga sangat

sesuai untuk tumpangsari. Menurut Mugiyana

(2010) dikemukakan bahwa hal paling utama

dalam pola tumpangsari yaitu pengaturan jarak

tanam. Lebih lanjut dikemukakan bahwa jarak

tanam harus diatur dengan tujuan agar intensitas

cahaya matahari dan nutrisi harus mampu

mencukupi kebutuhanan tanaman pokok

ataupun tanaman sela yang lain. Jarak tanam

sengon 4 m x 1 m dengan populasi tanaman

sebanyak 2.500 tanaman per ha, tetapi selama

pertumbuhan harus dijarangi agar tanaman tidak

mengalami gangguan, baik tinggi maupun

diameter batang.

Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa pola

usahatani tumpangsari abaka + cabai kecil dapat

memberikan keuntungan sebesar Rp. 21.333.000/

ha.

Penjarangan (50% dari populasi) dilakukan

setelah umur 1 tahun, sisa tanaman dari

penjarangan tinggal 1.250 pohon per ha. Pada

pola tumpangsari abaka + cabai + sengon,

populasi tanaman sengon tidak terlalu banyak,

sekitar 275 pohon saja per ha. Jarak tanam segon

sangat jarang 6 m x 6 m, sehingga kebutuhan

bibit dapat dihemat. Hal ini terjadi karena

tanaman segon sebagai tanaman naungan abaka,

telah diatur sedemikian rupa jarak tanamnya,

sehingga tidak terlalu rapat. Kanopi dari

tanaman abaca dan cabai diharapkan masih

mampu berfungsi untuk meluruskan batang

kayu etiolasi.

Berdasarkan perhitungan pengukuran kayu,

setiap 5 pohon kayu segon yang berdiameter

batang sebesar 30 cm, berumur 6 tahun akan

menghasilkan kayu sebanyak 1 m3 (Mugiyana,

2010). Harga kayu segon dipasaran bebas Rp.

750.000,- setiap 1 m3. Pendapatan dari hasil kayu

sengon adalah 275/5 x Rp. 750.000 - Rp.

41.250.000,- per ha. Pada pola tumpangsari,

populasi tanaman sela di masing-masing

komoditas berkurang, kecuali pada tanaman

pokoknya. Menurut Suwarto et al., (2005)

dikemukakan bahwa sistem tumpangsari tetap

mampu meningkatkan produktivitas lahan,

walupun terjadi penurunan hasil pada masing-

masing komoditas, akibat dari kompetisi. Pola

tumpangsari abaka + cabai kecil + kayu tegakan

sengon disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Pola tumpangsari abaka + cabai kecil +

kayu tegakan

Keragaan usahatani pola tumpangsari

Pola tumpangsari abaka + cabai kecil + kayu

tegakan (sengon) diperagakan dalam kurun

waktu 1 tahun sebagai berikut :

Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Sumber : Untung et al. (2013).

Keterangan: Abaka berproduksi pada umur 16 bulan, sedang

cabai kecil berproduksi pada umur 6 bulan, kemudian

dilanjutkan musim tanam cabai berikutnya dan panen pada

selang 6 bulan. Sengon pada jangka waktu 1 tahun masih

belum terpanen diperkirakan umur berproduksi mencapai 6

tahun.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kebutuhan serat dalam negeri untuk abaka

masih dipenuhi dari impor. Pulp kertas dari serat

abaka mempunyai keunggulan komperatif.

Bank Indonesia (BI) mulai tahun 2014 lebih

serius untuk menggunakan bahan baku serat

kapas dan serat abaka dalam negeri. Hal ini

sesuai dengan Undang-Undang Mata Uang N0. 7

Tahun 2011 pada pasal 9 (2) agar mengutamakan

bahan baku dalam negeri (lokal) dengan menjaga

mutu, keamanan dan harga yang bersaing dalam

mencetak Uang Rupiah. Oleh karena itu

peningkatan produksi abaka nasional perlu

ABAKA

CABAI KECIL CABAI KECIL

KAYU TEGAKAN (SENGON)

Foto

: M

astu

r

Page 12: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

8 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10

dipacu, apalagi ditambah dengan program

swasembada bahan baku kertas uang pada tahun

2014 mulai diterapkan.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian telah mendapatkan teknologi

perbanyakan bibit abaka dengan sistem kultur

jaringan. Disamping itu klon-klon unggul abaka

dari hasil ekplorasi, karakterisasi, uji daya hasil

dan plasma nutfah telah dilaksanakan. Pada

tahun 2010 telah dilakukan uji multi lokasi klon-

klon abaka dibeberapa tempat untuk dilepas

menjadi varietas baru. Tahun 2016 direncanakan

akan dilepas 2-3 varietas baru dari abaka. Klon

unggul baru abaka tersebut toleran terhadap

penyakit Fusarium.

Teknologi mesin pasca panen berupa mesin

penyeratan secara fortable abaka dan dapat

meningkatkan rendemen serat sebesar 4 sampai

dengan 5%, serta kualitas serat yang diperoleh

dalam grade excellent.

Pengembangan abaka perlu dipertahankan

karena dapat membuka lapangan kerja di

pedesaan dan menghemat devisa negara.

Usahatani pola tumpangsari abaka + Cabai

kecil (rawit) dalam kurun waktu (16 bulan)

memberikan untungan sebesar Rp 21.333.000,-/ha

,.Nilai tambah pendapatan dari Cabai kecil dapat

digunakan untuk keperluan hidup petani sambil

menunggu hasil dari kayu tegakan. Secara

nasional ikut membantu dalam penyediaan cabai

kecil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

dan memperkuat ketahanan pangan.

Pengembangan abaka dengan pola

tumpangsari mempunyai prospek yang baik, dan

mempunyai nilai ekonomi yang kreatif, serta

secara makro dapat menekan inflasi. Cabai

tergolong komoditas yang harganya sulit untuk

dikendalikan oleh Pemerintah. Secara mikro bisa

meningkatkan sumber pendapatan petani di

pedesaan dan membuka lapangan kerja disektor

pertanian.

Pemerintah wajib ikut mendukung dalam

pengembangan abaka melalui program-program

yang ada di Kementerian Pertanian, terutama

pada daerah baru maupun sentra pengembangan

abaka. Di Kabupaten Kepulauan Talaud

membutuhkan sentuhan, agar percepatan

teknologi inovasi abaka yang sudah ada

disosialisakan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2014. Fibra de abaca.jpg.

http://commons.wikimedia.org/wiki/File:

Fibra_de_abaca. jpg. Diakses tanggal 25

Juni 2014.

Bande, M.B., J. Grenz, V.B. Asio and Saueborn

J.2012. Morphplogical and physiological

of Abaca (Musa textilis var. Laylay) to

shade, irrigation and fertilizer

supplication at different stages of plant

growth. International Journal of Agri

Science. 3(2):157-75.

Bande, M.M., J. Grenz, V.B. Asio and Saverborn.

2012. Production of high quality abaca

(Musa textilis Nee) fibre under different

shading, irrigation and fertilizer

management system in Leyte Philippine.

Paper presented at the Internasional

Sceintific Conference on Susainable Land

Use and Rural Development Morentani

Areas, Hohenhein, Stuttgart, 16-18 April

2012.

Bledzki, A.K., A.A. Mamun, and O. Faruk. 2007.

Abaca fibre reinforced PP composites and

comparison with jute and flax PP

composite. Express Polymer Letters 1(11):

755-762.

Guearte, R.C. 2014. Utilization of abaca of (Musa

textilis Nee) fibre in the automotion

industry. The case of the PPP abaca

Project in The Phillipina.

Herlina. 2011. Kajian Variasi Jarak dan Waktu

Tanam Jagung Manis dalam Sistem

Tumpangsari Jagung Manis (Zea mays

saecharata Sturt) dan Kacang Tanah

(Arachis hypogea L.). Tesis. Program Pasca

Sarjana Universitas Andalas Padang. 38

hlm.

Jose C. de Rio and Ana Gutierrez. 2006. Chemical

Composition of Abaca (Musa textilis) Leaf

Fibers Used for Manufacturing of High

Quality Paper Pulps. Abstract J. Agric.

Food Chem., 2006, 54 (13):4600-4610.

http://www.google.coiul/abaca fibre

product journal. Diakses tanggal 30 Juni

2014.

PT. Kertas Leces. 2013. Prospek Binis Serat Abaka

dalam Rangka Peningkatan Ekonomi

Page 13: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Abaka Sebagai Sumber Serat Alam, Penghasil Bahan Baku Pulp Kertas dan Sumber Pendapatan Petani (BUDI SANTOSO et al.) 9

Masyarakat di Kabupaten Daerah

Tertinggal. Workshop Percepatan

Pembangunan Daerah Tertinggal Melalui

Pengembangan Pisang Abaka. Hlm. 1-9.

PT. Antako Wisena. 2014. Usahatani cabai

rawit.www.antakowisena.com

antakowisena.indonetwork.net. Diakses

tanggal 20 Juni 2014.

Vijayalakshmi, K. ., Ch. Y.K. Neeraja, A. Kaviatha

and J. Hajavadana. 2014. Abaca Fibre

Transaction on Engineering and Sciences

2:16-19.

Kadarwati, F.T. 2013. Peningkatan Produktivitas

Pendapatan Petani Kapas. Dalam:

Teknologi Budidaya Kapas. IAARD

Press. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Hlm. 89-105.

Lay, A. dan B. Heliyanto. 2013. Abaka (Musa

textilis Nee) dan Prospek Pengembangan-

nya di Kabupaten Kepulauan Talaud

Sulawesi Utara. IPB Press. Bogor. 136

hlm.

Lestari, E.G. 2013. Pembentukan Galur Unggul

Tanaman Melalui Peningkatan Ke-

ragaman Genetik Dengan Metode Variasi

Somaklonal. Journal Pengembangan

Inovasi Pertanian. Pemuliaan Konven-

sional dan Non-Konvensional untuk

Tanaman dan Ternak. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian.

Kementerian Pertanian. 6 (2): 53-61.

Lithourgidis, A.S., C.A. Dordas, C.A. Damalas,

and D.N. Ulachostergias. 2011. Annual

intercops an alternative path way for

sustainable agriculture. Australian

Journal of Crop Science 5(4):396-410.

Manish Kumar and Deepak Kumar. 2011.

Comparative od pulping of banana stem.

International Journal of Fiber and Textile

Research 1(1) : 1-5.

Marlito, M., J. Bande, B. Grenz Victor, Ssio and J.

Saueborn. 2012. Nutriet Uptake Fiber

Yield of Abaca (Musa textilis var. Laylay)

as affected by shade, irrigation and

fertilizer application. Annals of Tropical

Research 34(1) : 1-28.

Mugiyana. 2010. Budidaya Sengon dengan

Sistem Tumpangsari. Http://accounts

google.Com/savicelogin.

mugiyana.blogspot.com/2010/08/blog-

post.html. Diakses tanggal 20 Juni 2014.

Mulyaningsih, S., dan B. Hariyono. 2013.

Pengaruh Macam Tanaman Sela

Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Jarak

Pagar (Jatropha curcas L.) Hasil

Rehabilitasi Tahun Ketiga. Buletin

Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak

Industri. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan.Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

5(2):69-77.

Mwaikambo L.Y. 2006. Review of the History

Properties and Aplication of Plant Fibres.

African Journal of Science and Tecnology.

Science and Engineering 7(2): 120-133.

Ochie. 2010. Tanaman C4. http://ssp09-unhaz.

Diakses tanggal 18 Juni 2014.

Purwati, R.L., U. Setyo-Budi dan Sudarsono.

2007. Penggunaan asam fusarat dalam

seleksi in vitro untuk resistensi abaka

terhadap Fusarium oxysporum f. sp.

cubense. Bogor. Journal Littri 13(2):64-72.

Romel, B., Armecin, Wilfredo, C. Cosico and B.B.

Rodrigo, 2011. Characterization of the

Different Abaca Based Agro-Ecosystem

in Leyte, Philippines. Taylor and Francis

Group. Journal of natural Fibers (8) : 111-

125.

Riajaya, P.D. dan Kadarwati, FT. 2014.

Kesesuaian Galur-Galur Harapan Kapas

Berdaun Okra dalam Sistem

Tumpangsari dengan Kedelai. Buletin

Tanaman Tembakau, Serat dan Minyak

Industri 6(1):11-20.

Santoso, B. 2007. Pengaruh Tanaman Kacang

Tanah dan Jagung Terhadap

Pertumbuhan Agave sisalana Perrine

dalam Sistem Tumpangsari di Lahan

Kering Berkapur.Journal Agritek.

15(6):1358-1363.

Santoso, B., dan R.D. Purwati. 2011. Abaka (Musa

textilis Nee) Bahan Baku Serat Alam

Berkualitas Tinggi. Penerbit Tunggal

Mandiri. Malang. 120:94 hlm.

Sridach, W. 2015. The environmentally benigu

pulping prosess of non wood fibers.

Suranarce. Sci. Technol 17(2):105-123.

Page 14: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

10 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 01 - 10

Sulistyowati L., R.D., Purwati, Suharsono dan G.

Iskarlia. 2009. Transformasi gen chitinase

dari jamur Trichoderma asperillum pada

kalus Abaka. Agrivita Jurnal Ilmu

Pertanian. 31(3):205-213.

Suratos, A.I. 2001. The use of abaca in the

manufacture of banknote paper. Ai paper

presented at the 2001 currency Confrence,

Barcelona, Spani, April 8-11.

Suwarto, Sudirman, Y., Handoko dan M.A.

Chezin. 2005. Kompetisi tanaman jagung

dan ubikayu dalam sistem tumpangsari.

Journal Agronomi Indonesia IPB.

http//journal ipb.acid. Diakses tanggal 26

Juni 2014. 33(2):1-7.

Teodora, O., D. Olivia, P. Damasco, Irish T.

Lobina, Marita, S., Pinili, G. Antonio,

Lalusin, T. Keiko, and Natsuanki. 2012.

Induction of putative resistant lines of

abaca (Musa textilis Nee) to banana

bunchy top virus and banana bract

mosaic virus throughin vitro mutagenesi.

J. ISSAAS 18(1) : 87-99.

Untung, SB., Marjani dan B. Santoso. 2013.

Evaluasi Potensi Produktivitas dan Mutu

Serat Abaka. Rencana Operasional

Penelitian Pertanian. Balai Penelitian

Tanaman Pemanis dan Serat. Hlm. 1-8.

Zulkarnain. 2005. Pertumbuhan dan Hasil Selada

pada Berbagai Kerapatan Jagung dalam

Pola Tumpangsari. Journal Ilmu-Ilmu

Pertanian 1(2):94-101.

Page 15: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 11 -17 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.11-17

ISSN: 1412-8004

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 11

STRATEGI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN MENGHADAPI

DINAMIKA PERKEMBANGAN LADA DUNIA Research and Development Strategy to Face World Dynamics of Development of Pepper

ROSIHAN ROSMAN

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute

Jalan Tentara Pelajar No 3 Bogor, 16111, Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia merupakan salah satu produsen utama lada

dunia. Saat ini, mengalami persaingan yang cukup

kuat dari negara lainnya. Permasalahan yang muncul

saat ini adalah rendahnya produktivitas dan mutu.

Produktivitas lada Indonesia masih di bawah 1000

kg/ha, sedangkan negara lain sudah lebih dari 2000

kg/ha. Rendahnya mutu disebabkan oleh cara

pengolahan yang masih tradisional. Rendahnya

produktivitas disebabkan banyaknya tanaman tua dan

rusak, serangan hama penyakit, dan kurangnya

pemeliharaan tanaman. Untuk menghadapi dinamika

perkembangan lada dunia diperlukan upaya-upaya

peningkatan produksi, produktivitas dan mutu agar

Indonesia mampu meningkatkan daya saing di pasar

Internasional. Peningkatan produksi dan mutu dapat

dilakukan dengan memperbaiki teknologi budidaya

dan pasca panen. Adapun strategi yang diperlukan

adalah (1) menyusun program penelitian dan

pengembangan yang lebih spesifik lokasi dan berbasis

pada kondisi agroekologi, terutama sifat fisik, kimia

dan biologi tanah serta iklim daerah pengembangan.

(2) Mensosialisasikan hasil penelitian dan

menginformasikan dinamika perkembangan lada

dunia ditingkat lapang.

Kata kunci : Lada, penelitian dan pengembangan.

ABSTRACT

Indonesia is one of the world’s main - pepper

producers. Now days, Indonesian pepper experienced

a fairly strong competition from other countries.

Problem arising to day is low productivity and quality.

Productivity of Indonesia pepper below 1000 kg/ha,

whereas other countries have more than 2000 kg/ha.

Low quality due to processing methods are still

tradisional. Low productivity because many older

plants, damaged, pests, and diseases, and lack of

maintenance. To face the dynamic development of the

world pepper, needed efforts to increase production,

productivity and quality, so that Indonesia can

improve the competitiveness in the international

market. Increasing of production and quality can do

the improvement of cultivation technology and post

harvest. As for the necessary policy are (1) establish of

research and development programs of a more site-

specific and based on agro-ecological conditions,

especially physical, chemical and biological

characterization of soil and climate of development

region, and (2) socialization result of the research and

inform pepper dynamic development in the field.

Key words : Pepper, research, development

PENDAHULUAN

Lada merupakan salah satu komoditas

pertanian Indonesia dalam menghasilkan devisa

negara, selain minyak sawit, karet, dan kopi.

Indonesia telah lama mengembangkan tanaman

lada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Kebutuhan akan lada terus meningkat, sejalan

dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia.

Lada sangat dibutuhkan terutama sebagai

rempah (Listyati, 2007).

Meskipun tanaman lada bukan tanaman asli

Indonesia peranannya dalam perekonomian

nasional sangatlah besar. Lada Indonesia berasal

dari pantai Ghats, Malabar, India (Wahid, 1996;

Setiawan dan Wahyudi, 2014; Hadipoentyanti,

2007). Tanaman lada (Piper nigrum L.) termasuk

ke dalam keluarga piperaceae (Nuryani, 1996)

Page 16: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

12 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17

dan saat ini telah menyebar di hampir seluruh

propinsi di Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu anggota

dari mesyarakat perladaan dunia (International

Pepper Community atau disingkat IPC). Lainnya

adalah India, Brazil, Srilanka, Malaysia dan

Vietnam. Menurut Ditjenbun (2015) bahwa tahun

2015 produksi lada Indonesia diperkirakan

mencapai 88,296 ribu ton dengan total volume

ekspor 33,645 ribu ton atau dengan nilai ekspor

sekitar USD 319,824 juta. Tahun 2016

diperkirakan produksi meningkat menjadi 89,303

ribu ton. Peningkatan produksi di tahun-tahun

mendatang diperlukan upaya peningkatan

perdagangan dan konsumsi untuk mengatasi

surplus berlebihan. Surplus berlebihan dapat

berdampak pada penurunan harga dan

menurunkan pendapatan petani. Harga lada

putih tahun 2016 berkisar antara Rp147.500-

Rp170.000 per kg. Namun di tingkat petani hanya

sekitar Rp125.000-Rp135.000 per kg, naik Rp.

25.000-Rp.35.000 dari dua tahun lalu , sedangkan

lada hitam Rp 120.000-Rp 122.000,- per kg dan

ditingkat petani Rp. 90.000,-.

Untuk meningkatkan produksi lada

Indonesia masih memungkinkan karena lahan

yang sesuai untuk lada masih cukup luas yaitu

lebih dari 100 ribu hektar (Wahid et al., 1985;

Wahid et al., 1993; Rosman et al., 1996), biaya

produksi juga lebih rendah dibanding negara

pesaing, teknologi budi daya lada secara efisien

serta peluang melakukan diversifikasi produk

masih memungkinkan.

Adanya permasalahan yang muncul di

lapang yang menyebabkan produktivitas rendah

perlu disikapi secara bijak. Munculnya hama dan

penyakit, sarana dan prasarana yang masih

lemah, serta teknologi yang masih konvensional

perlu mendapat perhatian. Hama penggerek

batang merupakan kendala produksi yang

penting dalam usaha tani lada (Soetopo, 1996),

sedangkan penyakit adalah busuk pangkal

batang lada (Manohara, 1996; Harni dan Amaria,

2012; Setiyono dan Nursalam, 2007), penyakit

kuning (Harni dan Ibrahim, 2011) dan penyakit

kerdil (Miftakhurohmah et al., 2016; Balfas et al.,

2007). Busuk pangkal batang lada sudah

menyebar di seluruh pertanaman lada (Manohara

et al., 2005). Saat ini muncul adanya masalah pada

sistim pengolahan yang tidak higienis. Adanya

ancaman dari negara pesaing. Pengolahan lada

masih tradisional dan menggunakan air bekas

tambang timah (Kemala dan Karmawati, 2007).

Selain itu menurut Yuhono (2007) juga adanya

kendala pada peran kelembagaan di tingkat

petani dan di tingkat pemasaran yang belum

berpihak kepada petani. Lebih detil pada bagian

berikutnya dari tulisan ini, pembahasan akan

lebih menekankan kepada perkembangan

tanaman lada, penelitian dan strategi

meningkatkan produktivitas tanaman lada

Indonesia.

PERKEMBANGAN LADA DUNIA

Produksi lada Indonesia menempati posisi

kedua, setelah Vietnam. Kebutuhan dunia sekitar

400.000 ton. Berdasarkan data FAO tahun 2015,

areal panen Indonesia pada tahun 2012, lada

luasnya 178.600 ha, dengan produksi 88.200

ton/ha, namun produktivitasnya rendah hanya

0,493 ton/ha. Jika dibandingkan dengan Vietnam

luas areal panen hanya 47.092 ha, produksinya

152300 ton/ha dan produktivitasnya 3,234 ton/ha

(FAO, 2015). Tingkat produktivitas lada

Indonesia dibanding Vietnam pada 20 tahun

terakhir (1993-2012) (Gambar 1). Dari tahun ke

tahun tingkat produktivitas Indonesia hanya di

bawah 1000 kg/ha, sedangkan Vietnam lebih dari

1500-3500 kg/ha. Lebih lanjut jika kita

bandingkan dengan negara penghasil lainnya

(Tabel 1), Produktivitas lada Indonesia hanya

sedikit di atas India yaitu 0,291 ton/ha.

Gambar 1. Produktivitas lada Indonesia dan

Vietnam tahun 1993-2012 (kg/ha)

Sumber : Diolah dari data FAO, 2015

Page 17: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 13

Rendahnya produktivitas mengharuskan

Indonesia untuk mengkaji ulang teknologi yang

diterapkan di lapang. Bila hal ini dibiarkan

lambat laun Indonesia akan tersusul oleh negara

lain dan tidak tertutup kemungkinan akan

menurun peringkatnya atau tidak lagi menjadi

produsen utama di dunia.

Jika dilihat dari sisi persentase area panen

dan produksi terhadap total area panen dan

produksi dunia (Tabel 2), ternyata sejak tahun

1985 Indonesia tidak memperlihatkan

kemampuan persentase produksi yang lebih baik

dengan meningkatnya persentase area panen.

Namun sebaliknya dengan Vietnam, persentase

area panen yang hanya 8,72% total area panen

dunia, bahkan tahun 1985 yang hanya 0,92%

mampu melejit melampaui persentase produksi

Indonesia yaitu 33% . Indonesia hanya 19,11%.

Kondisi ini menunjukkan bahwa ada kendala

yang terjadi pada perkembangan lada Indonesia.

Indonesia belum mampu menghasilkan lada

dengan produksi _lebih dari 1.500 ton/ha. Ada

dugaan bahwa rendahnya produktivitas akibat

rendahnya tingkat kesuburan tanah dan

munculnya serangan hama serta penyakit.

Namun parameter apa yang menyebabkan

rendahnya tingkat kesuburan dan berapa tingkat

serangan hama dan penyakit belum diketahui

secara pasti. Akan tetapi dari data _ statistik

diperoleh bahwa luas area yang rusak berkisar

antara 14-17% (Ditjenbun 2012). Bila ditinjau dari

sisi serangan penyakit, maka penyakit busuk

pangkal batang (BPB) dapat menyerang area

pertanaman sebesar 10-15% setiap tahunnya

(Kasim, 1990). Penyakit busuk pangkal batang

merupakan penyakit yang mematikan pada lada

di Indonesia (Chaerani et al., 2013; Wahyuno et

al., 2009). Selain itu, di Bangka terjadi alih fungsi

lahan, lahan produktif telah berubah menjadi

lahan sawit dan rusaknya tanaman lada akibat

ditelantarkan petani yang beralih ke

penambangan (Ferry et al., 2010; 2013).

PERMASALAHAN DAN PELUANG

PEMECAHAN MASALAH LADA

INDONESIA

Masalah rendahnya produktivitas lada

Indonesia yang hanya 0,493 ton/ha menurut FAO

(Tabel 1), berbeda dengan data yang ditunjukkan

oleh Direktorat Jenderal Perkebunan, luas areal

lada Indonesia tahun 2012 adalah 177.787 ha.

Produksi 87.841 ton, produktivitasnya 771 kg/ha

dari 113.978 ha areal panen. Meskipun adanya

perbedaan data, namun kedua data tersebut tetap

menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas lada

Indonesia di bawah 1.000 kg/ha. Ada beberapa

propinsi yang memiliki kemampuan antara

1.500-1.800 kg/ha, namun belum mendekati

kemampuan varietas unggul yang sesungguhnya

dan produktivitas negara lain seperti Vietnam.

Propinsi yang memiliki produktivitas tertinggi

adalah Propinsi Bangka Belitung sebesar 1.534

kg/ha, sedangkan kabupaten yang memiliki

produktivitas tertinggi adalah Kabupaten Bangka

Selatan sebesar 1.756 kg/ha, diikuti oleh Kota

Solok sebesar 1.667 kg/ha, Kabupaten Pontianak

1.539 kg/ha dan Kabupaten Bangka 1.591 kg/ha

selebihnya memiliki produktivitas di bawah 1500

kg/ha (Ditjenbun, 2013). Kondisi ini

menunjukkan bahwa setidaknya beberapa

wilayah lain juga berpotensi untuk menghasilkan

dengan tingkat produktivitas lebih dari 1.500

kg/ha, bila lahan dan iklim yang digunakan

Tabel 1. Sepuluh besar negara penghasil lada

dunia

No Negara

Areal

(ha)

Produksi

(ton)

Produktivitas

(ton/ha)*

1 Vietnam 47.092 152.300 3,234

2 Indonesia 178.600 88.200 0,493

3 India 185.000 54.000 0,291

4 Brazil 19.427 43.345 2,231

5 RRC 17.125 31.200 1,821

6 Malaysia 11.042 26.000 2,354

7 Srilanka 38.450 24.950 0.648

8 Madagascar 5.000 5.000 1,000

9 Thailand 1.200 4.500 3,750

10 Philippines 3.497 3.248 0.928

Sumber : FAO (2015).

Tabel 2. Persentase area panen dan produksi

Indonesia dan Vietnam terhadap dunia

Tahun

Area panen (%) Produksi (%)

Indonesia Vietnam Indonesia Vietnam

2012 33,09 8,72 19,11 33,00

2003 26,58 6,04 21,53 21,16

1994 19,55 1,80 24,17 5,17

1985 23,36 0,95 28,41 0,92

Sumber : FAO, 2015

Page 18: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

14 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17

memenuhi persyaratan tumbuh lada dan

menggunakan varietas unggul serta teknologi

yang tepat, terutama pemupukan.

Masih rendahnya wilayah lain perlu

dukungan diseminasi hasil penelitian, terutama

mengenai perlunya kesesuaian lahan dan iklim,

penggunaan varietas unggul dan pemupukan

yang tepat untuk diterapkan. Bila melalui ke tiga

cara ini tidak bisa dicapai berarti mengharuskan

adanya perbaikan teknologi secara menyeluruh.

Teknologi yang dimaksud adalah mulai dari

kesesuaian lahan, penanaman, pemeliharaan

sampai panen dan pasca panen.

Kesesuaian lahan dan iklim sangat

menentukan tingkat keberhasilan pengembangan

tanaman. Lahan dan iklim yang tidak sesuai akan

berpeluang besar menyebabkan kegagalan dalam

pengembangan. Sebelum mengembangkan

tanaman ada beberapa cara dalam memanfaatkan

teknologi yang ada yaitu dengan cara

menggunakan peta kesesuaian lada yang ada

(Wahid et al., 1985), sekaligus untuk arah

pengembangannya dan menggunakan model

simulasi (Rosman, 2014). Pada model simulasi

selain akan didapat tingkat kesesuaian lahan dan

iklim juga dapat menentukan kelayakan

ekonominya.

Penggunaan varietas unggul sangat penting.

Varetas unggul lada yang berdaya hasil tinggi

(1,97-4,67 ton/ha/tahun) yaitu Natar 1, Natar 2,

Petaling 1, Petaling 2, Cunuk, Lampung Daun

Kecil (LDK), dan Bengkayang (Dhalimi, 2011).

Ketujuh varietas unggul ini perlu diberdayakan

di berbagai wilayah pengembangan dengan

memperhatikan tingkat kesesuaian lahannya.

Varietas Natar 1 agak toleran terhadap penyakit

busuk pangkal batang (Nuryani et al., 2007) dan 3

nomor lada hibrida tahan penyakit busuk

pangkal batang hasil persilangan antar spesies

lada (Setiyono et al., 2010)

Pemupukan sebagai upaya perbaikan

tingkat kesuburan tanah akan membantu

tambahan unsur hara bagi tanaman lada. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa unsur hara yang

dibutuhkan tanaman lada tergantung jenis tanah.

Pemupukan pada jenis tanah Podsolik (Zaubin et

al., 1990) lebih tinggi dosisnya dari pada dosis

pupuk di Latosol (Wahid, 1984). Pupuk yang

dapat diberikan berdasarkan umur dapat dilihat

Tabel 3. Dosis diperkirakan akan lebih besar lagi

dengan meningkatnya umur tanaman (Tabel 3).

Yang menjadi pertanyaan adalah akankah upaya

ini menjadi masalah dalam penerapannya oleh

petani? Tentunya pemberian pupuk dengan dosis

tinggi akan mememerlukan biaya yang tinggi.

Hal ini akan memberatkan petani yang

umumnya memiliki keterbatasan dana. Ada cara

lain agar efisiensi dalam penggunaan pupuk

dapat diterapkan yaitu dengan menganalisis

tanah sebelum pemberian pupuk terhadap tanah.

Namun demikian akan muncul masalah pula

pada petani, karena akan sulit pelaksanaannya.

Petani yang jauh lokasinya dari institusi yang

menangani analisis menjadi kendala. Dengan

demikian diperlukan cara praktis untuk

menentukan dosis pemberian pupuk yang tepat.

Adanya peta kesuburan tanah dan penyuluh

sangat diperlukan. Peta kesuburan tanah untuk

setiap kecamatan atau kabupaten akan

memudahkan pelaksanaan penerapan dosis yang

dibutuhkan bagi tanaman lada. Penyuluh yang

handal di tingkat kecamatan untuk

menterjemahkan hasil penelitian akan membantu

petani berupaya lebih baik dalam mengelola

tanamannya.

Pendekatan dalam penggunaan dosis yang

tepat dapat diturunkan dengan memperhatikan

kandungan hara di tanah. Balai Penelitian Tanah

(2009) telah membagi 5 tingkat kesuburan tanah

untuk unsur N, P, K, Ca dan Mg di tanah.

Dengan pendekatan ke lima tingkatan ini dapat

dijadikan pedoman dalam upaya pemberian

pupuk. Bila kondisi N, P dan K di tanah sedang

Tabel 3. Pemupukan anjuran pada tanaman lada

(g/tahun) per pohon.

Umur

(tahun)

Dosis pupuk NPKMg Waktu

pemberian

<1 15-25 g Urea+10-15 g

TSP+5 g KCl+5 g kiserit

4 kali agihan,

interval 3 bulan

1-2 30-50 g Urea+20-30 g

TSP+10-30 g KCl+10 g

kiserit

4 kali agihan,

interval 3 bulan

2-3 100 g Urea+100 g

TSP+75 g KCl

4 kali agihan,

interval 3 bulan

>3 450 g Urea+450 g

TSP+450 gKCl

3 kali agihan,

interval 40 hari

Sumber : Wahid, (1984) ; Zaubin et al (1990);

Usman et al (1996)

Page 19: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 15

sampai tinggi yaitu N lebih dari 0,21 %, P lebih

dari 8 ppm, K lebih dari 21mg/100 g, Ca > 6

me/100 g tanah dan Mg > 1,1 me/100 g tanah,

maka dosis pupuk yang akan diberikan ke tanah

pada tanaman lada memungkinkan untuk

dikurangi. Pemberian pupuk dapat dikurangi

hingga ½ dosis (Tabel 3).

Cara lain yang bisa diupayakan dalam

meningkatkan kesuburan tanah adalah dengan

pola tanam. Selain meningkatkan kesuburan

tanah juga akan menambah pendapatan petani.

Hasil penelitian Dwiwarni dan Pujiharti (1994) di

Lampung pada lada dengan jarak 3 x 3 m, jenis

tanah podsolik merah kuning, ketinggian 100 m

di atas permukaan laut, dengan curah hujan 2160

mm/tahun. Pupuk yang digunakan tahun

pertama 480 g urea + 400 g TSP + 512 g KC + 256

g. Tahun kedua 960 g urea+960 g TSP+ 1056 g

KCL + 256 g kiserit. Tahun ketiga dan keempat

masing-masing 3980 g urea + 3980 g TSP + 4190 g

KCl + 1020 g kiserit. Pemupukan padi dan jagung

sesuai anjuran. Tanaman padi 900 g urea + 900 g

TSP + 300 g KCl. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa penanaman tanaman sela diantara

tanaman lada tidak berpengaruh negatif terhadap

pertumbuhan dan produksi lada. Sampai pada

tahun ketiga, pendapatan tertinggi tiap hektar

diperoleh dari pola tanam lada + (jagung-jagung)

diikuti lada + (padi-jagung). Pada penelitian ini

tidak diuraikan mengenai perubahan tingkat

kesuburan tanah. Namun adanya tanaman sela

menurut Dhalimi et al., (1996), dapat

memperbaiki iklim mikro. Selain itu, pupuk yang

diberikan untuk tanaman sela sebagian

dimanfaatkan pula oleh tanaman lada sehingga

pertumbuhannya lebih baik. Biomas tanaman

sela juga dapat sebagai sumber bahan organik.

Pengembangan pola tanam lada dengan

berbagai jenis tanaman lain sangat

memungkinkan. Berbagai pola tanam lada

dengan tanaman lain ada yang dilakukan yaitu

dengan kelapa, jahe, kunyit, temu lawak dan

kencur, papaya, pisang dan cabai.

STRATEGI PENGEMBANGAN LADA

INDONESIA DALAM MENGHADAPI

DINAMIKA LADA DUNIA

Semakin kuatnya persaingan lada dunia

mengharuskan Indonesia meningkatkan

produktivitas dan daya saing. Dinamika

perkembangan lada dunia perlu dipejari dan

diantisipasi kemungkinan dampaknya bagi

Indonesia. Sebetulnya, luas areal pengembangan

lada yang ada saat ini, sudah cukup luas, bahkan

bila mampu menghasilkan > 2,5 ton saja telah

dapat memenuhi kebutuhan lada dunia. Namun

berbagai permasalahan yang muncul belum

secara maksimal dapat diatasi. Hal ini terbukti

dari rendahnya produktivitas dan berkurangnya

jumlah petani lada. Jumlah tanaman yang

menghasilkan luasnya 113978 ha. Bila dari luasan

ini saja, dua tahun kedepan diusahakan

produktivitasnya mampu menghasilkan 1,5

ton/ha, maka produksi Indonesia akan meningkat

menjadi > 150000 ton. Namun, pada saat itu

Indonesia harus mampu bersaing dengan negara

lainnya di tingkat pasar.

Berdasarkan permasalahan lada dan

antusias sebagian besar petani untuk

mengembangkan tanaman lada, maka

pengembangannya perlu mendapat perhatian.

Arahan dan strategi yang mendukung

pengembangan sangat diperlukan. Untuk itu

beberapa hal yang perlu menjadi perhatian

dalam pengembangan lada adalah pentingnya

meningkatkan produktivitas dengan dukungan

varietas unggul dan teknologi yang tepat,

meningkatkan ketahanan petani lada,

meningkatkan kemampuan bersaing di pasar

dunia, memanfaatkan pasar domestik, dan

diversifikasi produk. Secara keseluruhan

pengembangan lada haruslah juga didukung oleh

sarana dan prasarana yang baik hingga

pemasaran hasil. Saat ini sarana jalan di sebagian

wilayah pertanaman masih perlu diperbaiki agar

pengangkutan ke tempat pengolahan maupun

pasar lebih efisien.

Strategi ke depan di bidang penelitian

adalah menyusun program penelitian yang

menekankan upaya meningkatkan produktivitas

lada, namun efisien dari segi biaya usahatani.

Upaya lain adalah meningkatkan kajian hasil

penelitian lada di berbagai wilayah sentra

produksi sebagai upaya sekaligus diseminasi

hasil penelitian untuk mendukung pengembang-

an lada. Hasil penelitian Karmawati dan Supriadi

(2007) bahwa pnyebab menurunnya produksi

Page 20: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

16 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 11 -17

lada di Lampung adalah kurangnya adopsi

teknologi.

Dukungan institusi terkait, dalam upaya

mendukung pengembangan tanaman lada perlu

lebih ditingkatkan. Menurut Kusuma dan

Haryanto (2007), koordinasi yang berkesinam-

bungan dari semua pemangku kepentingan yang

bergerak dalam industri lada sangat diperlukan.

Untuk itu, dalam upaya mendukung

pengembangan lada di Indonesia, maka

penelitian yang perlu mendapat prioritas adalah

penelitian ke arah perbaikan tingkat kesuburan

tanah dan pengendalian hama dan penyakit yang

berbasis pada efisiensi biaya.

KESIMPULAN

Dalam menghadapi dinamika perkem-

bangan lada dunia serta meningkatkan daya

saing lada Indonesia, maka Indonesia perlu

menyusun suatu program yang terpadu dengan

menekankan pada upaya peningkatan

produktivitas dan mutu lada. Produktivitas lada

Indonesia masih dibawah 1000 kg/ha, sedangkan

negara lain sudah lebih dari 2500 kg/ha. Untuk

meningkatkan daya saing lada Indonesia di pasar

dunia, maka strategi yang diperlukan adalah (1)

menyusun program penelitian dan

pengembangan yang lebih spesifik lokasi dan

berbasis pada kondisi agroekologi, terutama sifat

fisik, kimia dan biologi tanah serta iklim daerah

pengembangan. (2) Mensosialisasikan hasil

penelitian dan menginformasikan dinamika

perkembangan lada dunia di tingkat lapang hasil

penelitian yang mampu meningkatkan

produktivitas tanaman, efisien dan

meningkatkan pendapatan petani lada.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah. 2009. Analisis Kimia

Tanah, Tanaman, Air, dan Pupuk.

Petunjuk Teknis edisi 2. : 234 hlm.

Balfas R, I. Lakani, Samsudin dan Sukamto. 2007.

Penularan penyakit kerdil pada tanaman

lada oleh tiga jenis serangga vektor.

Jurnal Littri 13 (4) : 136-141.

Chaerani, S Koerniati dan D Manohara. 2013.

Analisis keragaman genetik Phytophthora

capsici asal lada (Piper nigrum L.)

menggunakan penanda molekuler. Jurnal

Littri 19 (1) : 23-32

Dhalimi A. 2011. Inovasi teknologi budidaya

tanaman dalam penerapan praktek

pertanian sehat pada lada. Makalah Orasi

pengukuhan Profesor Riset. Kementerian

Pertanian. 47 hlm.

Dhalimi. A, M. Syakir dan A Wahyudi. 1996. Pola

tanam lada. Monograf lada (1). P. 76-84.

Ditjenbun. 2012. Statistik Perkebunan Indonesia.

Lada 2011-2013. Direktorat Jenderal

Perkebunan.

Ditjenbun. 2013. Statistik Perkebunan Indonesia.

Lada 2012-2014. Direktorat Jenderal

Perkebunan. 41 hlm.

Ditjenbun. 2015. Statistik Perkebunan indonesia.

Lada. 2014-2016. Direktorat Jenderal

Perkebunan. 36 hlm.

Dwiwarni dan Pujiharti. 1994. Pemanfaatan lahan

di antara tanaman lada dengan tanaman

pangan. PembLittri 20 (1-2). P. 40-47

FAO, 2015. http://faostat.fao.org/site/567/

DesktopDefault.aspx?PageID=567#ancor

diunduh tgl 3-3-2015

Ferry Y, J Towaha dan K.D. Sasmita. 2010.

Perbaikan lahan bekas tambang timah :

Study kasus uji media campuran tanah

bekas tambang dengan beberapa macam

kompos untuk budidaya lada. Bul. Riset

Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman

Industri 1(6):295-308.

Ferry Y, J. Towaha dan K.D. Sasmita. 2013.

Pemanfaatan kompos tanaman air

sebagai pembawa inokulan mikoriza

pada budidaya lada perdu di lahan bekas

tambang timah. Jurnal Littri 19 (1) : 15-22.

Hadipoentyanti, E. 2007. Karakteristik lada

mutan hasil iradiasi. Prosiding Seminar

Nasional Rempah Hlm. 67-70.

Harni, R dan Ibrahim. 2011. Potensi bakteri

endofit menginduksi ketahanan tanaman

lada terhadap infeksi Meloidogyne

incognita. Jurnal Littri 17 (3) : 118-123.

Harni, R. dan W. Amaria. 2012. Potensi bakteri

kitinolitik untuk pengendalian penyakit

busuk pangkal batang lada (Phytophthora

capsici). Bul. Riset Tanaman Rempah dan

Industri 3(1): 7-12.

Page 21: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Penelitian dan Pengembangan Menghadapi Dinamika Perkembangan Lada Dunia (ROSIHAN ROSMAN) 17

Karmawati, E. dan H. Supriadi. 2007. Keragaan

usahatani lada di Lampung. Prosiding

Seminar Nasional Rempah Hlm. 196-202.

Kasim R. 1990. Pengendalian penyakit busuk

pangkal batang secara terpadu. Bul.

Tanaman Industri 1 : 16-20.

Kemala, S. dan E. Karmawati. 2007. Keragaan

agribisnis lada di Bangka. Prosiding

seminar Nasional Rempah Hlm. 183-187

Kusuma, D.E.I. dan N. Haryanto. 2007. Potensi

dan permasalahan lada. Prosiding

seminar Nasional Rempah Hlm. 13-20

Listyati D. 2007. Perkembangan luas areal,

produksi dan prospek agribisnis lada

Indonesia. Prosiding seminar nasional

Rempah. Hlm. 346-351.

Manohara D. 1996. Penyakit busuk pangkal

batang dan pengendaliannya. Monograf

tanaman lada No 1. Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat. 115-119.

Manohara D., D. Wahyuno dan R. Noveriza.

2005. Penyakit busuk pangkal batang

tanaman lada dan strategi

pengendaliannya. Perkembangan

Teknologi Tanaman Rempah dan Obat

17(2):41-57

Miftakhurohmah, M. Mariana dan D. Wahyuno.

2016. Deteksi piper yellow mottle virus

(PYMoV) penyebab penyakit kerdil pada

tanaman lada secara Polymerase Chain

Reaction (PCR). Bul Littro 27 (1) : 77-84.

Nuryani, Y. 1996. Klasifikasi dan karakteristik

tanaman lada (Piper nigrum L.). Monograf

tanaman lada No 1. Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat. Hlm. 33-46.

Nuryani, Y., R.T. Setiyono dan H. Supriadi.

Adaptabilitas nomor-nomor lada hibrida

tahan penyakit busuk pangkal batang.

Prosiding Seminar Nasional Rempah:

Hlm. 245-249.

Rosman, R. 2014. Model simulasi kelayakan lahan

pengembangan lada organic. Prosiding

Seminar Nasional Pertanian Organik.

Badan Litbang Pertanian. Hlm. 77-82.

Rosman, R., P. Wahid, dan R. Zaubin. 1996.

Pewilayahan pengembangan tanaman

lada di Indonesia. Monograf Tanaman

Lada. Monograf 1 : 67-75.

Setiawan dan A Wahyudi. 2014. Pengaruh

giberelin terhadap pertumbuhan

beberapa varietas lada untuk penyediaan

benih secara cepat. Bul. Littro 25(2).:111-

118.

Setiyono, R.T. dan Nursalam. 2007. Ketahanan

lada hibrida LH 4-5-5 dan LH 6-2

terhadap penyakit busuk pangkal batang.

Prosiding seminar Nasional Rempah.

Hlm. 79-86.

Setiyono, R.T., E.T. Bambang dan L. Udarno.

2010. Evaluasi daya tahan lada hibrida

terhadap penyakit busuk pangkal batang

(BPB). Buletin Ristri 1(5) : 261-270.

Usman, R. Zaubin dan P. wahid. 1996. Aspek

pemeliharaan dan budidaya lada. Balai

Penelitian Tanaman Rempah dan Obat.

Monograf Tanaman Lada 1: 85-92.

Wahid, P. 1996. Sejarah perkembangan dan

daerah penyebarannya. Balai Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat. Monograf

Tanaman Lada 1:1-11.

Wahid, P., I. Las dan R. Zaubin. 1985. Peta

Kesesuaian Iklim dan Lahan untuk

Tanaman Lada. Balai Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat.

Wahid, P., R Rosman dan Y. Baharsyah, 1993,

Pewilayahan pembangunan pertanian

Kalimantan. Bul. PERHIMPI 1(2).

Wahid, P. 1984. Pengaruh naungan dan

pemupukan terhadap pertumbuhan dan

produksi lada (Piper nigrum L.). Seminar

bulanan Balittri Tanjung Karang, 11

Februari 1984.

Wahyuno, D., D. Manohara dan R.T. Setiyono.

2009. Ketahanan beberapa lada hasil

persilangan terhadap Phytophthora capsici

asal lada. Jurnal Littri 15 (2) : 77-83.

Yuhono. 2007. Sistim agribisnis lada dan strategi

pengembangan. Jurnal Litbang Pertanian,

26(2):76-81.

Zaubin R, P Wahid dan Y. Nuryani. 1990.

Pengaruh pemupukan N,P dan K

terhadap pertumbuhan dan hasil lada di

Bangka. Pembr Littri 16(1) : 5-9.

Page 22: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No.12 /Jun 2016. Hlm 18 -30 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.18-30

ISSN: 1412-8004

18 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

PROSPEK PENGEMBANGAN BIOINSEKTISIDA

NUCLEOPOLYHEDROVIRUS (NPV) UNTUK PENGENDALIAN HAMA

TANAMAN PERKEBUNAN DI INDONESIA

Prospect of Development of Nucleopolyhedrovirus (NPV) Bioinsecticide Against Insect

Pests of Estate Crops in Indonesia

SAMSUDIN Balai Penelitian Tanaman Industri dan penyegar

Indonesian Research Institute for Industrial and Beverage Crops

Jalan Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi 43357, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penggunaan insektisida kimia untuk mengendalikan

hama tanaman perkebunan terbukti kurang efektif,

tidak praktis, mahal, dan mencemari lingkungan.

Virus patogen serangga (VPS) terutama

nucleopolyhedrovirus (NPV) memiliki potensi untuk

dikembangkan menjadi bioinsektisida yang efektif,

efesien dan ramah lingkungan. NPV memiliki

kemampuan bertahan di alam karena partikel virusnya

terbungkus oleh polihedra dan mampu menyebar

secara alami melalui proses penularan vertikal dan

horisontal. Larva yang mati terinfeksi NPV sering

ditemukan menggantung dengan kedua tungkai semu

bagian abdomen menempel pada daun atau ranting

tanaman. Penelitian untuk meningkatkan virulensi,

spektrum inang dan persistensinya telah dilakukan

untuk mengatasi beberapa kelemahan NPV apabila

dikembangkan menjadi bioinsektisida. Beberapa NPV

yang menginfeksi hama tanaman perkebunan dan

berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, antara

lain: Spodoptera litura NPV (SlNPV), S. exigua NPV

(SeNPV), Helicoverpa armigera NPV (HaNPV), Sethotosea

asigna NPV (SaNPV), Hyposidra talaca NPV (HtNPV)

dan Maenas maculifascia NPV (MmNPV). Berdasarkan

beberapa keunggulan NPV dibandingkan dengan

insektisida kimia, maka pengembangan bioinsektisida

NPV untuk pengendalian hama tanaman perkebunan

di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik.

Kata kunci: Nucleopolyhedrovirus, bioinsektisida,

hama, tanaman perkebunan.

ABSTRACT

Chemical insecticides for estate crop pests control are

ineffective, impractical, expensive, and causing

environmental pollutions. The entomopathogenic virus

(EPV) mainly the nucleopolyhedrovirus (NPV) can be

developed as an effective, efficient, and

environmentally friendly biopesticide. NPV can be

survived in the field in the form of polyhedra and

spread naturally through the vertical and horizontal

transmission process. The infected larvae usually hang

by pseudolegs to the leaves or entrees. Research to

increase virulence, host spectrum and its persistence

has been done to overcome some weaknesses of NPV if

developed as biopesticide. Some NPV isolates that

infect the estate crop pests and potential to be

developed in Indonesia, among others: Spodoptera litura

NPV (SlNPV), S. exigua NPV (SeNPV), Helicoverpa

armigera NPV (HaNPV), Sethotosea asigna NPV

(SaNPV), Hyposidra talaca NPV (HtNPV) and Maenas

maculifascia NPV (MmNPV). Based on several

advantages of NPV compared with the chemical

insecticides, the development of NPV biopesticide for

controlling estate crop pests in Indonesia has very

good prospects.

Keyword: Nucleopolyhedrovirus, bioinsecticide, pests,

estate crops.

PENDAHULUAN

Upaya pengendalian hama tanaman

perkebunan secara teknis menghadapi masalah

karena karakter tanaman perkebunan umumnya

berupa perdu dan pohon besar. Penggunaan

insektisida kimia selain membutuhkan volume

yang cukup besar, juga tidak efektif untuk

pengendalian hama yang menyerang bagian

kayu, ranting atau pucuk. Pemanfaatan musuh

Page 23: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 19

alami merupakan salah satu teknologi

pengendalian hama tanaman perkebunan yang

diharapkan akan lebih efesien dan efektif. Salah

satu musuh alami yang berpotensi untuk

dikembangkan sebagai agens hayati adalah virus

patogen serangga (VPS), karena memiliki tingkat

persistensi di alam dalam waktu yang cukup

lama dan dapat berkembang secara alamiah

melalui proses penularan baik secara vertikal

maupun horisontal.

Pemanfaatan VPS untuk pengendalian

hama tanaman mulai dikenal pada awal tahun

1900-an. Beberapa jenis Baculovirus telah

digunakan untuk pengendalian hama dari

kelompok Hymenoptera, Lepidoptera dan

Coleoptera pada tanaman kelapa, kapas dan

kubis (Bonning dan Hammock, 1996). Pada tahun

1943, nucleopolyhedrovirus (NPV) dimanfaatkan

untuk pengendalian hama Gilpinia hercyniae dan

mampu menekan populasi hama tersebut sampai

90% (Cunningham dan Entwistle, 1981). Pada

pertengahan tahun 1960 ditemukan nonoccluded

baculovirus yang merupakan patogen kumbang

badak Oryctes rhinoceros dari Malaysia (Huger,

1966). Virus tersebut digunakan untuk

mengendalikan kumbang kelapa di Kepulauan

Fiji, dan berhasil mengurangi populasi antara 40 -

90%, sehingga 4 - 6 tahun kemudian kerusakan

tanaman kelapa di seluruh kepulauan tersebut

selalu di bawah 20% (Bedford, 1981).

Nucleopolyhedrovirus (NPV) merupakan

VPS yang paling penting di antara famili

Baculoviridae, sebab sebagian besar diketahui

sebagai patogen dari berbagai hama tanaman,

khususnya pada stadia larva Lepidoptera

(Murillo et al., 2003). Beberapa negara maju telah

memproduksi bioinsektisida NPV dengan

menggunakan teknologi tinggi secara massal,

akan tetapi harga produknya masih sangat mahal

(Stair dan Fraser, 1981; Bull et al., 1979). Young

(1989) mengemukakan beberapa masalah yang

berkaitan dengan produksi dan pemanfaatan

bioinsektisida VPS, antara lain: permintaan pasar

yang masih kecil, regulasi dari pemerintah belum

ada, biaya produksi mahal, belum ada

standarisasi produk dan teknologi aplikasinya

yang masih terbatas. Oleh karena itu Lacey et al.

(2001) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV ini

sangat ideal untuk dikembangkan dalam skala

kecil di negara-negara berkembang, karena

sumber daya manusia yang banyak dan murah,

serta luasan areal lahan garapan yang kecil.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk

menguraikan bioekologi NPV, hasil-hasil

penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk

pengendalian hama, serta prospek pemanfaatan

dan pengembangannya menjadi bioinsektisida

untuk pengendalian hama perkebunan di

Indonesia.

BIOEKOLOGI NPV

Karakter Morfologi NPV

NPV merupakan salah satu anggota genus

Baculovirus, famili Baculoviridae. Berdasarkan

tipe morfologi luar baculoviridae terdiri atas 3

subgroup yaitu: nuclear polyhedrosis virus atau

nucleopolyhedrovirus (NPV), granulosis virus

atau granulo-virus (GV) dan non-occluded

baculovirus (NOB) yang tidak memiliki kristal

protein (Tanada dan Kaya, 1993; Narayanan,

2004). Kristal protein dari NPV berbentuk segi

banyak (polyhedral) dengan diameter 0.2 – 20.0

μm yang biasanya dapat dilihat di bawah

mikroskop cahaya biasa, dan umumnya

mengandung lebih dari satu virion (Pionar dan

Thomas, 1984).

Ciri khas NPV menurut Tinsley dan Kelly

(1985) adalah adanya nukleokapsid berbentuk

batang yang mengandung untaian ganda asam

deoksiribonukleat (DNA) dengan panjang 250–

400 nm dan lebar 40–70 nm. Berdasarkan jumlah

nukleokapsid, NPV dibedakan menjadi dua

kelompok, yaitu single nukleokapsid (SNPV) dan

multi nucleokapsid (MNPV) (Washburn et al.,

2003; Inceoglu et al., 2006). Pada kelompok SNPV

tiap envelop berisi satu nuckleokapsid,

sedangkan pada MNPV berisi 2 - 200

nukleokapsid (Kalmakoff dan Ward, 2003).

Menurut Ignoffo dan Couch (1981) pada

umumnya SNPV mempunyai inang yang lebih

spesifik dibandingkan dengan MNPV. Ciri khas

lain dari NPV adalah partikel virus atau

virionnya terbungkus oleh selubung protein

(occlusion bodies) yang disebut dengan polihedra

(Tanada dan Kaya, 1993). Polihedra merupakan

karakter morfologi NPV yang dapat bertahan di

alam dalam waktu yang cukup lama. Menurut

Page 24: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

20 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

Okada (1977) NPV dalam bentuk polihedra

tersebut dapat bertahan di dalam tanah selama 3

tahun.

Siklus Hidup NPV

NPV telah ditemukan menginfeksi lebih dari

600 spesies serangga (Beard et al., 1989; Woo et al.,

2007), terutama pada ordo Lepidoptera sebanyak

150 spesies (Tanada dan Hess dalam Adam dan

Bonami, 1991). Sebagian besar NPV bersifat

spesifik inang, oleh sebab itu penamaan NPV

umumnya disesuaikan dengan nama inang

dimana pertama kali diisolasi dan diidentifikasi

(CAB, 2000).

NPV memperbanyak diri di dalam inti sel

(nucleus) serangga inang. Untuk dapat

menginfeksi sel serangga inang, polihedra NPV

harus tertelan bersama dengan pakan yang

dikonsumsinya melalui alat mulut, kemudian

pada saluran pencernaan akan menginfeksi inti

sel inang (Adam dan Bonami, 1991). Menurut Li

dan Blissard (2009) gen gp64 yang terdapat pada

protein selubung NPV memegang peranan

penting sebagai reseptor pengikat sel serangga

inang yang kinerjanya dimediasi oleh kondisi pH

rendah dan masuk ke dalam sel inang melalui

proses endositosis.

Proses infeksi NPV pada sel inang melalui

dua tahap. Pada tahap pertama (primer) NPV

menyerang usus tengah (midgut), kemudian

pada tahap selanjutnya (sekunder) akan

menyerang sel-sel dari organ tubuh yang lain,

seperti sel darah (leucosit dan limfosit), trakea,

hypodermis, dan sel lemak (Ignoffo and Couch,

1981). Proses infeksi primer terjadi karena pada

kondisi alkalis pada usus tengah badan inklusi

akan melepas virion dari selubung proteinnya

(Etebari et al., 2007). Virion-virion tersebut

kemudian akan menembus jaringan peritrofik

dan mikrovili, dan akan memisahkan sel-sel

kolumnar dan goblet. Kemudian pada infeksi

sekunder, virion-virion yang baru terbentuk akan

menginfeksi seluruh sel jaringan serangga.

Pembentukan badan inklusi (polihedra) terjadi

sebagai hasil infeksi sekunder pada jaringan sel

darah, trakea, hypodermis, dan sel lemak

(Kalmakoff dan Ward, 2003). Pada akhir infeksi

tubuh larva menjadi rapuh dan hancur dengan

mengeluarkan cairan yang berisi partikel virus.

Pupa yang berasal dari larva yang terinfeksi NPV

menunjukkan adanya perubahan warna tubuh

menjadi kehitaman dengan tekstur rapuh dan

mengeluarkan cairan keruh (Samsudin dan

Santoso, 2014). Gambar 1 menunjukkan siklus

hidup NPV di alam dan menjadi cara penularan

horisontal dari serangga yang terinfeksi ke

serangga lain yang sehat.

Gambar 1. Proses penularan NPV secara

horisontal. (Sumber: Samsudin,

2011)

Gejala Infeksi NPV

Serangga inang yang terinfeksi NPV akan

mengalami abnormalitas secara morfologi,

fisiologi dan perilaku (Pionar dan Thomas, 1984).

Menurut Adam and McClintock dalam Adam dan

Bonami (1991) di alam kematian larva akibat

terinfeksi NPV sering ditemukan dengan tanda

tubuh larva menggantung dengan kedua tungkai

semu bagian abdomen menempel pada daun

atau ranting tanaman membentuk huruf ‚V‛

terbalik. Oleh karena itu Hoffmann dan

Frodsham (1993) menyatakan bahwa penyakit

yang diakibatkan oleh infeksi NPV sering disebut

dengan penyakit layu ulat (caterpillar wilt) atau

penyakit ulat ujung pohon (tree top) (Gambar 2).

Waktu yang dibutuhkan NPV untuk

mematikan inangnya dipengaruhi oleh banyak

faktor, antara lain: umur inang, suhu, dan jumlah

polihedra yang tertelan. Isolat-isolat virus yang

memiliki virulensi tinggi mampu mematikan

larva inangnya dalam waktu 2 – 5 hari, tetapi

isolat yang kurang virulen membutuhkan 2 – 3

minggu (Granados dan William, 1986). Menurut

Narayanan (2004) infeksi NPV juga dapat terjadi

Terinfeksi

Larva sehat

Partikel

Terinfeksi lanjut

Proses infeksi

Page 25: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 21

pada larva instar awal akibat kontaminasi pada

telur. Proses penularan NPV melalui telur

serangga inang merupakan salah bentuk

penularan alamiah secara vertikal.

Gambar 2. Gejala infeksi NPV pada larva

serangga inang (Sumber: Foto

Samsudin)

PENELITIAN UNTUK MENINGKATKAN

KINERJA NPV DALAM

MENGENDALIKAN HAMA

Kelemahan NPV apabila dikembangkan

menjadi bioinsektisida, antara lain:

membutuhkan waktu relatif lama untuk

mematikan inangnya, sehingga serangga yang

terinfeksi masih dapat menimbulkan kerugian

(Bonning dan Hammock, 1996; Dushoff dan

Dwyer, 2001), memiliki inang yang spesifik,

sehingga terlalu mahal untuk dikembangkan

dalam skala industri (McCutchen et. al., 1991) dan

cepat menjadi tidak aktif di lapangan akibat sinar

ultra violet (UV) dari matahari (Ignoffo et al.,

1991; Monobrullah, 2003; McIntosh et al., 2004;

Mondragon et al., 2007; Mehrvar et al., 2008).

Penelitian untuk mempercepat kinerja NPV

dan meningkatkan virulensi serta kisaran

inangnya telah dilakukan dengan memanfaatkan

teknologi biologi molekuler. Rekayasa genetik

pada Autographa californica NPV (AcNPV) dengan

membuang gen EGT dapat mengurangi aktifitas

makan dari S. frugiperda yang terinfeksi virus

rekombinan tersebut dan mematikan 30% lebih

cepat dari larva yang terinfeksi wild-type AcNPV

(O’Reilly dan Miller, 1991), sedangkan Lymantria

dispar NPV (LdNPV) yang dibuang gen EGT

dilaporkan mematikan larva L. dispar rata-rata

20% lebih cepat dibandingkan yang terinfeksi

LdNPV asalnya (Treacy, 1999). Rekombinan

AcNPV yang mengandung gen pengkode racun

syaraf (neurotoxin) kalajengking Androctonus

australis (AaIT) (rAcNPV-AaIT) dapat membunuh

serangga Lepidoptera kurang dari setengah

waktu yang dibutuhkan oleh AcNPV asalnya dan

mampu menghentikan makan 8-10 jam sebelum

mati (McCutchen et. al., 1991). Virus rekombinan

Bombyx mori NPV (rBmNPV) yang

mengekspresikan hormon diuretik Manduca sexta

dapat mematikan ulat sutera rata-rata 20% lebih

cepat daripada yang terinfeksi BmNPV asalnya

(Maeda, 1989). Gen yang mengkodekan enzim

juvenil hormone esterase (JHE) telah berhasil

disisipkan pada genom AcNPV dan rekombinan

AcNPV-JHE ini mampu menurunkan makan

sampai 66% dan mematikan larva T. ni 20% - 30%

lebih cepat dibandingkan dengan AcNPV asalnya

(Hammock et al., 1990; Bonning dan Hammock,

1996).

Beberapa gen yang menentukan kisaran

inang telah berhasil diidentifikasi dan diisolasi.

Salah satunya adalah gen host range factor 1 (hrf-1)

yang bertanggung jawab dalam menentukan

kisaran inang diisolasi dari LdNPV. Rekombinan

AcNPV-hrf-1 mampu menormalkan sintesis

protein dan meningkatkan keberhasilan replikasi

virus pada kultur sel line Ld652Y dan pada larva

L. dispar. Hasil ini menunjukkan bahwa hrf-1

berperan dalam keberhasilan replikasi dalam

kultur sel dan dapat memperluas kisaran inang

AcNPV (Ishikawa et al., 2004). Spenger et al.

(2002) melaporkan bahwa protein pembungkus

GP64 pada AcNPV menentukan aktifitas

permukaan partikel virus terikat pada sel inang

dan sangat penting dalam proses masuknya virus

pada sel inang. Penyisipan gen gp64 rekombinan

ini pada beberapa baculovirus dapat memperluas

kisaran inangnya dan meningkatkan daya tahan

partikel NPV terhadap sinar ultra violet di

lapang.

Hasil-hasil penelitian tentang bahan yang

menjadi UV protektan NPV telah mampu

menjawab salah satu kelemahan bioinsektisida

NPV setelah diaplikasikan. Beberapa bahan telah

diuji untuk mempertahankan persistensi NPV

terhadap paparan sinar ultraviolet (UV), antara

lain: pencerah fluorescen (fluorescent brightener)

pada Spodoptera frugiperda NPV (SfNPV) (Hamm

Page 26: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

22 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

et al., 1994; Martinez et al., 2003; Mondragon et al.,

2007), Lymantria dispar NPV (LdNPV) (Dougherty

et al., 2006), S. exigua NPV (SeNPV) (Kao et al.,

1991; Murillo et al., 2003; Lasa et al., 2007),

Titanium dioksida (TiO2) pada Helicoverpa zea NPV

(HzNPV) (Farrar et al., 2004), oksida besi pada

Homona magnanima GV (HomaGV) (Asano, 2005),

Congo red dan Tinopal LPW pada L. dispar NPV

(LdMNPV) (Shapiro dan Shepard, 2008), adjuvan

pada H. armigera NPV (HaNPV) (Mehrvar et al.

2008), ekstrak teh hijau pada S. exigua NPV

(SeNPV) (Shapiro et al., 2008), ekstrak teh, kopi

dan kakao pada S. exigua (SeNPV) (El Salamouny

et al., 2009), dan filtrat bengkuang pada S. exigua

(SeNPV) (Samsudin et al., 2011).

Hasil penelitian Martinez et al. (2003)

mendapatkan 5 bahan pelindung partikel NPV

dari paparan sinar UV dan mampu

meningkatkan prevalensi kematian larva 87,7 –

100%, yaitu: Blankophor BBH, Calcoflour M2R,

Leucophor AP, Leucophor SAC dan Leucophor

UO. Lasa et al. (2007) melaporkan bahwa

penambahan 0.1% Leucophor AP pada formulasi

SeNPV secara nyata meningkatkan mortalitas

larva S. exigua. Hasil penelitian Asano (2005)

menunjukkan bahwa penambahan oksida besi

(iron oxide) 1 - 4 mg/ml pada formula biopestisida

granulovirus (GV) dapat menurunkan inaktivasi

GV akibat penyinaran UV dengan perbandingan

1/6 sampai 1/18 dibandingkan kontrol. Shapiro

dan Shepard (2008) melaporkan bahwa

penambahan Congo red dan Tinopal LPW dapat

mengurangi nilai LC50 dari Lymantria dispar NPV

(LdMNPV) masing-masing 26 dan 360 kali lipat

daripada kontrol. Sementara itu hasil penelitian

Farrar et al. (2004) menunjukkan bahwa Titanium

dioksida (TiO2) dapat memantulkan cahaya UV

dan dapat meningkatkan persistensi polihedra

Helicoverpa zea nucleopolyhedrovirus (HzNPV) di

lapangan.

Upaya lainnya untuk meningkatkan kinerja

bioinsektisida NPV di lapangan dilakukan

dengan cara menambahkan bahan pemicu kinerja

(enhancer) (Lacey et al., 2001; Suhas et al., 2009;

Samsudin dan Santoso, 2012) dan

mengkombinasikan dengan bahan yang bekerja

secara sinergis (Dodin et al., 2001; Samsudin,

2001; Arifin, 2006). Hasil beberapa penelitian

menunjukkan bahwa NPV bekerja secara sinergis

dengan ekstrak biji mimba (Azadirachta indica)

(Dodin et al., 2001; Kumar et al., 2007), nematoda

Steinernema carpocapsae (Gothama et al., 1996),

bakteri Pseudomonas fluorescen (Jeyarani et al.,

2005) dan jamur Metarhizium anisopliae (Ramle et

al., 2005).

PENELITIAN PEMANFAATAN NPV

UNTUK MENGENDALIKAN HAMA

PERKEBUNAN DI INDONESIA

Penelitian tentang pemanfaatan NPV untuk

mengendalikan hama tanaman perkebunan di

Indonesia sudah mulai dilakukan sejak tahun

1980-an. Beberapa hasil penelitian menunjukkan

bahwa NPV efektif mengendalikan ulat grayak

Spodoptera litura dan S. exigua yang merupakan

hama utama tanaman tembakau dan kapas di

Indonesia. Arifin (1988) melaporkan bahwa

penggunaan S. litura NPV (SlNPV) dengan

konsentrasi 2,3 x 107 PIBs/ml dan volume semprot

sebesar 50 ml/m2, efektif untuk mengendalikan S.

litura instar 1-3, dengan waktu kematian awal

pada 6 hari setelah aplikasi (hsa) dan kematian

sebesar 80% terjadi pada 12 hsa. Arifin dan Bedjo

(2007) juga melaporkan bahwa dua isolat SlNPV

yaitu isolat B01 dan B02 dengan dosis 1,5 X 1012

PIBs/ha mampu menurunkan populasi S. litura

antara 90,0 – 94% pada 6 hsa. Shepard et al. (1996)

melaporkan penemuan dua isolat S. exigua NPV

(SeNPV) lokal Indonesia yang memiliki potensi

untuk dikembangkan menjadi bioinsektisida.

Hasil pengujian dua isolat tersebut yang

dilakukan oleh Samsudin (1999) menunjukkan

bahwa keduanya sangat patogenik terhadap

larva S. exigua di Laboratorium, dengan nilai LC50

terhadap larva instar 3 sebesar 9.9 x 104 PIBs/ml

dan LT50 selama 5 hari. Bahkan, SeNPV tersebut

saat ini telah dikembangkan menjadi

bioinsektisida dalam bentuk formula tepung

(powder) yang diperkaya dengan UV protectant

dan enhancer (Samsudin et al., 2011; Samsudin

dan Santoso, 2012).

Selain SlNPV dan SeNPV, pemanfaatan

Helicoverpa armigera NPV (HaNPV) untuk

pengendalian hama penggerek buah kapas dan

tembakau juga telah dilakukan. Beberapa isolat

HaNPV lokal Indonesia efektif mampu

mengendalikan H. armigera pada tanaman

Page 27: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 23

kedelai, kapas dan tembakau (Asri et al., 2003;

Bedjo, 2011; 2012). Penelitian dan pemanfaatan

VPS untuk pengendalian ulat api Sethotosea asigna

pada tanaman kelapa sawit sudah dilakukan

(Samsudin, 2012). Pusat Penelitian Kelapa Sawit

(PPKS) Medan saat ini telah menggunakan β-

nudaurelia virus dan Multiple Nucleopolyhedrovirus

(MNPV) untuk pengendalian ulat api khususnya

jenis S. asigna. Penggunaan kedua jenis virus

tersebut mampu menurunkan populasi S. asigna

sampai 98% (Sudharto et al., 2011). Menurut Azis

(2009) virus β-nudaurelia paling efektif

mengendalikan ulat api dan sangat potensial

untuk dikembangkan sebagai bioinsektisida

pengendali ulat api pada tanaman kelapa sawit

di Indonesia.

Beberapa penelitian tentang pemanfaatan

NPV untuk pengendalian hama penting tanaman

perkebunan di Indonesia lainnya masih pada

tahap laboratorium. Seperti virus ulat jengkal

pada tanaman teh Hyposidra talaca NPV (HtNPV)

dan virus ulat bulu pada tanaman Ylang-ylang

Maenas maculifascia NPV (MmNPV). Wijanarko

(1998) telah meneliti gejala infeksi HtNPV pada

ulat jengkal H. talaca. Sedangkan Atmadja et al.

(2009) melaporkan bahwa MmNPV efektif

mengendalikan larva instar 3 dari M. maculifascia

sampai 68,3% di laboratorium.

PROSPEK PEMANFAATAN DAN

PENGEMBANGAN NPV UNTUK

PENGENDALIAN HAMA PERKEBUNAN

DI INDONESIA

Pemanfaatan virus patogen serangga (VPS)

untuk pengendalian hama perkebunan

sebenarnya bukan merupakan hal yang baru.

Sejak tahun 1950an beberapa negara telah mulai

memproduksi bioinsektisida NPV untuk

mengendalikan hama tanaman hutan dan

perkebunan. Glare et al. (2003) melaporkan

bahwa bioinsektisida berbahan Lymantria dispar

NPV (LdNPV) dengan merk Gypchek diproduksi

di Amerika Serikat sejak tahun 1950 dan dipakai

pada lahan sekitar 20.000 hektar. Sedangkan

Disparvirus yang juga berbahan LdNPV

diproduksi di Canada sejak tahun 1995 dan

digunakan pada lahan sekitar 1.300 hektar.

Sementara itu Virin-Ensh diproduksi di Rusia

sejak tahun 1983 dan Biola diproduksi di

Republik Cehnya sejak tahun 1996. Beberapa

jenis NPV yang telah dikembangkan sebagai

agens hayati hama perkebunan di dunia terlihat

dalam Tabel 1.

Sejalan dengan tuntutan pasar global

terhadap produk-produk komoditas perkebunan

saat ini, maka teknologi pengendalian hama

tanaman perkebunan dengan mengandalkan

pestisida kimia sintetik sudah tidak relevan lagi.

Tabel 1. NPV yang dikembangkan sebagai bioinsektisida untuk pengendalian hama tanaman

perkebunan

Komoditas Hama sasaran Virus Nama produk

Tembakau

Kapas

Teh

Kelapa sawit

Ylang ylang

Spodoptera litura

Spodoptera exigua

Helicoverpa zea

Helicoverpa armigera

Heliothis virescens

Helicoverpa zea

Helicoverpa armigera

Spodoptera littoralis

Hyposidra talaca

Buzura suppessaria

Setothosea asigna

Maenas maculifascia

Lymantria dispar

SlNPV

SeNPV

HzNPV

HaNPV

HvNPV

HzNPV

HaNPV

SltNPV

HtNPV

BsNPV

SaMNPV

MmNPV

LdNPV

VITURA

Spod-X, VIREXI

Gemstar LC, Elcar

HELICOVEX

Biotrol

Gemstar LC, Elcar

HELICOVEX

Spodopterin

*

*

*

*

Gypcheck, Disparvirus

Keterangan: (* : belum ada nama produk)

Page 28: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

24 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

Menurut Chandler et al. (2011) penggunaan

biopestisida akan memegang peranan penting

dalam strategi tersebut karena secara nyata akan

meminimalkan penggunaan pestisida kimia.

Erayya et al. (2013) menyatakan bahwa NPV akan

menjadi biopestisida yang paling penting di masa

yang akan datang. Sementara itu, Beas-Catena et

al. (2014) menyatakan bahwa bioinsektisida NPV

memiliki peluang untuk menggantikan

insektisida kimia, karena selain ramah

lingkungan, juga dapat diproduksi massal,

diformulasi, dikemas, disimpan dan dipasarkan

sebagaimana pestisida kimia.

Beberapa keunggulan NPV dibandingkan

dengan insektisida kimia, antara lain: bersifat

spesifik inang sehingga tidak mengganggu

organisme bukan sasaran (Samsudin, 1999),

dapat menular secara horisontal dan vertikal

(Vilaplana et al., 2010) dapat ditularkan oleh

predator yang telah memangsa inang yang

terinfeksi (Gupta et al., 2014), mampu bertahan di

permukaan tanah selama beberapa tahun (Glare

et al., 2003), efektif menanggulangi resistensi

hama terhadap insektisida kimia (Duraimurugan

dan Regupathy, 2005), mampu melestarikan

musuh alami dan akan meningkatkan

biodiversitas (Young, 1989; Lacey et al., 2001;

Armenta et al., 2003), dapat diintegrasikan

dengan teknologi pengendalian lainnya

(Gothama et al., 1996; Castillejos et al., 2002;

Takatsuka dan Kunimi, 2002), bahkan bekerja

sinergis apabila dipadukan dengan pestisida

nabati (Kumar et al., 2007).

Upaya pengembangan bioinsektisida NPV

untuk pengendalian hama tanaman perkebunan

di Indonesia merupakan peluang sekaligus

menjadi tantangan bagi para peneliti. Indonesia

merupakan negara yang memiliki keragaman

hayati yang melimpah, sehingga kegiatan

eksplorasi dari hama-hama utama tanaman

perkebunan memiliki peluang untuk

mendapatkan isolat-isolat NPV baru yang lebih

virulen. Menurut Arifin (2010) inti dari proses

produksi bioinsektisida NPV ada 3 tahapan

kegiatan, yaitu: a) pembiakan masal serangga

inang dengan menggunakan pakan buatan, b)

perbanyakan NPV secara in vivo menggunakan

larva serangga inang, dan 3) pemformulasian

bioinsektisida.

Pembiakan massal serangga inang

merupakan tantangan yang paling berat dan

sulit, karena tidak semua serangga hama utama

tanaman perkebunan dapat dibiakkan secara

massal menggunakan pakan buatan. Menurut

Elvira et al. (2010) efesiensi dalam perbanyakan

massal ini merupakan kunci utama produksi

bioinsektisida NPV secara komersial. Tantangan

lain yang sering dihadapi dalam proses

perbanyakan NPV secara in vivo adalah

menghindari adanya kontaminasi mikroba

saprofit (Young, 1989; Lasa et al., 2008), karena

NPV tidak menghasilkan antibiotik yang dapat

menghambat tumbuhnya mikroba lain.

Pengembangan produk bioinsektisida NPV

dalam skala komersial juga harus

memperhatikan beberapa syarat, sebagaimana

yang disampaikan oleh Gasic dan Tanovic (2013),

yaitu: ekonomis diproduksi, memiliki stabilitas

persistensi di penyimpanan, aktifitas residual

yang tinggi, mudah diaplikasikan, dapat

dicampur dan digunakan serta memiliki

konsistensi keefektifan untuk mengendalikan

hama sasaran.

Pengembangan bioinsektisida NPV untuk

mengendalikan Spodoptera litura, S. exigua, dan

Helicoverpa armigera dalam skala luas sebenarnya

sudah dapat dilakukan di Indonesia. Isolat-isolat

NPV yang virulen untuk ketiga hama tersebut

telah ada dan teknologi perbanyakan massal

serangga inang, perbanyakan massal NPV dan

formulasinya juga telah tersedia (Arifin, 2010;

Bedjo, 2011; Samsudin, 2011). Beberapa masalah

yang mungkin akan dihadapi dalam upaya

pengembangan bioinsektisida NPV dalam skala

besar antara lain: permintaan pasar yang masih

kecil, regulasi dari pemerintah belum ada, biaya

produksi mahal, belum ada standarisasi produk

dan teknologi aplikasinya yang masih terbatas.

Oleh sebab itu keberlanjutan program ini akan

terjamin apabila dilakukan secara kolektif

melalui kelompok-kelompok tani yang difasilitasi

oleh pemerintah. Upaya untuk mengakselerasi

pengembangan bioinsektisida NPV tersebut

adalah mendorong pihak pemerintah melakukan

sosialisasi kepada para petani tentang keefektifan

dan manfaat penggunaan bioinsektisida NPV

untuk mengendalikan hama perkebunan.

Page 29: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 25

KESIM PULAN

NPV mampu bertahan cukup lama di alam

dalam bentuk polihedra dan dapat menyebar

secara alami melalui proses penularan vertikal

dan horisontal. Infeksi NPV sangat mudah

dikenali dari tandanya, yaitu tubuh larva

menggantung dengan kedua tungkai semu

bagian abdomen menempel pada daun atau

ranting tanaman membentuk huruf ‚V‛ terbalik.

Beberapa kelemahan NPV telah diatasi dengan

upaya peningkatan virulensi, kisaran inang, dan

persistensinya setelah aplikasi di lapangan.

Beberapa NPV yang telah diteliti dan

dimanfaatkan dalam skala terbatas untuk

mengendalikan hama perkebunan di Indonesia,

adalah: Spodoptera litura NPV (SlNPV), S. exigua

NPV (SeNPV), Helicoverpa armigera NPV

(HaNPV), Sethotosea asigna NPV (SaNPV),

Hyposidra talaca NPV (HtNPV) dan Maenas

maculifascia NPV (MmNPV). Dengan dukungan

teknologi perbanyakan massal serangga inang,

perbanyakan NPV dan formulasi yang ada serta

peran aktif pemerintah dan swasta, maka isolat-

isolat NPV tersebut dapat dikembangkan

menjadi bioinsektisida dalam skala besar.

Pengembangan bioinsektisida NPV untuk

mengendalikan hama perkebunan di Indonesia

cukup prospektif.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J.R. and J.R. Bonami. 1991. Atlas of

Invertebrata Viruses. CRC Press: Boca

Raton, Florida. 684 p.

Adams, J.R. and T.J. McClintock. 1991.

Baculoviridae. Nuclear polyhedrosis

virus. Part I. Nuclear polyhedrosis

viruses of insects. In Adam, J.R. and J.R.

Bonami. (Eds.) Atlas of Invertebrate

Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida.

87-204.

Arifin, M. 1988. Pengaruh konsentrasi dan

volume nuclear polyhedrosis virus

terhadap kematian ulat grayak kedelai

(Spodoptera litura F.). Penelitian Pertanian.

8(1): 12-14.

Arifin, M. 2006. Kompatibilitas SlNPV dengan

HaNPV dalam Pengendalian Ulat Grayak

dan Ulat Pemakan Polong Kedelai.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 25

(1): 65-70.

Arifin, M. dan Bedjo. 2007. Keefektifan beberapa

isolat SlNPV dan kombinasinya dalam

pengendalian ulat grayak pada kedelai.

Prosiding Seminar Nasional Komunikasi

Hasil-hasil Penelitian Pertanian dan

Peternakan dalam Sistem Usahatani

Lahan Kering. Kupang, 7-8 Desember

2007. Buku 1: 222-228.

Arifin, M. 2010. Bioinsektisida SlNPV untuk

mengendalikan ulat grayak mendukung

swasembada kedelai. Orasi Pengukuhan

Profesor Riset Bidang Entomologi (Hama

dan Penyakit Tanaman) pada Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian,

Kementerian Pertanian. Bogor, 6

September 2010. 54 p.

Armenta, R. dan A.M. Mertinez, J.W. Chapman,

R. Magallanes, D. Goulson, P. Caballero,

R.D. Cave, J. Cisneros, J. Valle, V.

Castillejos, D.I. Penagos, L.F. Garcia, and

T. William. 2003. Impact of a

nucleopolyhedrovirus bioinsecticide and

selected synthetic insecticides on the

abundance of insect natural enemies on

maize in Southern Mexico. J. Econ.

Entomol. 96(3): 649-661.

Asano, S. 2005. Ultraviolet protection of a

granulovirus product using iron oxide.

Appl Entomol Zool, 40(2): 359-364.

Asri, M.T., Isnawati, dan M.T. Hidayat. 2003.

Konsentrasi virus HaNPV isolat

Yogyakarta yang efektif untuk

mengendalikan ulat Helicoverpa armigera.

Jurnal Pendidikan Matematika dan Sains,

3(8): 150-154.

Atmadja, W.R., T.E. Wahyono, dan N. Tarigan.

2009. Efektivitas patogen serangga

sebagai agensia hayati untuk

mengendalikan Maenas maculifascia pada

tanaman ylang-ylang (Canangium

odoratum). Bull. Littro, 2(1): 68-76.

Page 30: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

26 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

Azis, A. 2009. Kajian potensi virus β-nudaurelia

untuk pengendalian hama ulat api

(Thosea asigna) pada tanaman kelapa.

Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 9(2):

90-94.

Beard, C.B., J.F. Butler, and J.E. Muriniak. 1989. A

Baculovirus in the flea, Pulex simulans. J.

Invert. Pathol., 54:128-131.

Beas-Catena, A., A. Sanchez-Miron, F. Garcia-

Camaacho, A. Contreras-Gomez, and E.

Molina-Grima. 2014. Baculovirus

biopesticides: an overview. The Journal of

Animal & Plant Sciences, 24(2): 362-373.

Bedford, G.O. 1981. Control of Rhinoceros beetle

by baculovirus In HD Burges (Eds.)

Microbial Control of Pest and Plant

Diseases 1970-1980. Academic Press, New

York. 409-426.

Bedjo. 2011. Pemanfaatan biopestisida SlNPV dan

HaNPV untuk pengendalian Spodoptera

litura dan Helicoverpa armigera pada

tanaman kedelai. Suara Perlindungan

Tanaman, 1(3): 7-12.

Bedjo. 2012. Evaluasi beberapa isolat Helicoverpa

amigera nuclear polyhedrosis virus

(HaNPV) untuk pengendalian hama

pemakan polong kacang hijau. Suara

Perlindungan Tanaman, 2(1): 1-5.

Bonning, B.C. and B.D. Hammock. 1996.

Development of recombinant

baculoviruses for insect control. Annu.

Rev. Entomol., 41: 191-210.

Bull, D.L., V.S. House, J.R. Ables, and R.K.

Morrison. 1979. Selective methods for

managing insect pests of cotton. J. Econ.

Entomol., 72:841-846.

CAB INTERNATIONAL. 2000. Crop Protection

Compendium. Wallingford, UK.

Castillejos, V., J. Trujillo, L.D. Ortega, J.A.

Santizo, J. Cisneros, D.I. Penagos, J. Valle,

and T. Williams. 2002. Granular

phagostimulant nucleopolyhedro-virus

formulations for control of Spodoptera

frugiperda in maize. Biol. Contr., 24: 300-

310.

Chandler, D., A. Bailey, G.M. Tatchell, G.

Davidson, J. Greaves, and W.P. Grant.

2011. The Development, Regulation and

Use of Biopesticides for Integrated Pest

Management. Philosophical Transaction

of The Royal Society B, 386: 2-13.

Cunningham, J.C. and P.F. Entwistle. 1981. Control

of Sawfly by Baculovirus, In Burges, H.D.

(Eds.) Microbial Control of Pest and Plant

Diseases 1970 - 1980. Academic Press, New

York. P. 379-407.

Dodin, K., M. Arifin, dan Harnoto. 2001.

Kompatibiltas SlNPV dengan ekstrak biji

mimba untuk mengendalikan ulat grayak

pada kedelai. Prosiding Seminar Hasil

Penelitian Rintisan dan Bioteknologi

Tanaman. 343-347.

Dougherty, E.M., N. Narang, M. Loeb, D.E. Lynn,

and M. Shapiro. 2006. Fluorescent

brightener inhibits apoptosis in

baculovirus-infected gypsy moth larval

midgut cells. Biocon. Sci. Tech. 16(1/2):

157-168.

Duraimurugan, P. and A. Regupathy. 2005. Push-

pull strategy with trap crops, neem and

nuclear polyhedrosis virus for insecticide

resistance management in Helicoverpa

armigera (Hubner) in cotton. American

Journal of Applied Sciences. 2(6): 1042-

1048.

Dushoff, J. and G. Dwyer. 2001. Evaluating the

risks of engineered viruses: modeling

pathogen competition. Ecol. Appl. 11(6):

1602 – 1609.

Elvira, S., N. Gorria, D. Munoz, T. Williams, and

P. Caballero. 2010. A simplified low-cost

diet for rearing Spodoptera exigua

(Lepidoptera: Noctuidae) and its effect on

S. exigua nucleopolyhedrovirus

production. J. Econ. Entomol. 103(1): 17-

24.

El Salamouny, S., D. Ranwala, M. Shapiro, B.M.

Shepard, and B.R. Farrar. 2009. Tea,

coffee, and cocoa as ultraviolet radiation

protectants for the beet armyworm

nucleopolyhedrovirus. J. Econ. Entomol.,

102(5):1767-1773.

Page 31: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 27

Erayya, J. Jagdish, P.K. Sajeesh, and V.

Upadhyay. 2013. Nuclear Polyhedrosis

Virus (NPV), A Potential Biopesticide: A

Review. Research Journal of Agriculture

and Forestry Sciences, 1(8): 30-33.

Etebari, K., L. Matindoost, S.Z. Mirhoseini, and

M.W. Turnbull. 2007. The effect of

BmNPV infection on protein metabolism

in silkworm (Bombyx mori) larva. ISJ, 4:

13-17.

Farrar Jr.R.R., M. Shapiro, and I. Javaid. 2004.

Photostabilized titanium dioxide and a

fluorescent brightener as adjuvants for a

nucleopolyhedrovirus. BioControl 48(4):

543-560.

Gasic, S. and B. Tanovic. 2013. Biopesticide

Formulations, Possibility of Application

and Future Trends. Pestic. Phytomed.

Belgrade, 28(2): 97-102.

Glare, T.R., P.J. Walsh, M. Kay, and N.D. Barlow.

2003. Strategies for the eradication or

control of gypsy moth in New Zealand.

Agresearch. 165 p.

Gothama, A.A.A., G.W. Lawrence, and P.P.

Sikorowski. 1996. Activity and

persistence of Steinernema carpocapsae and

Spodoptera exigua nuclear polyhedrosis

virus against S. exigua larvae on soybean.

J. Nematol. 28(1): 68-74.

Granados, R.R. and B.K. William. 1986. In Vivo

Infection and Replication of Baculviruses

in The Biology of Baculoviruses. CRC

Press. Boca Raton, Florida. 90-104.

Gupta, R.K., M. Gani, P. Jasrotia, K. Srivastava,

and V. Kaul. 2014. A comparison af

infectivity between polyhedra of the

Spodoptera litura multiple

nucleopolyhedro- virus before and after

passage through the gut of the stink bug

Eocanthecona furcellata. Journal of Insect

Science 14(96).

Hamm, J.J., L.D. Chandler, and H.R. Sumner.

1994. Field tests with fluorescent

brightener to enhance infectivity of fall

armyworm (Lepidoptera: Noctuidae)

nuclear polyhedrosis virus. Florida

Entomologist 77(4): 425-434.

Hammock, B.D., B.C. Bonning, R.D. Possee, T.N.

Hanzlik, and S. Maeda. 1990. Expression

and effects of juvenile hormone esterase

in a baculovirus vector. Nature 344: 458 –

461.

Hoffmann, M.P. and A.C. Frodsham. 1993.

Natural Enemies of Vegetable Insect Pest.

Cooperative Extention. Cornell

University. Ithaca. New York. 63 p.

Huger, A.M. 1966. A virus disease of the Indian

rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (L.)

caused by a new type of insect virus,

Rhabdionvirus oryctes gen. J. Invert.

Pathol. 8: 38-51.

Ignoffo, C.M. and T.L. Cough. 1981. The

Nucleopolyhedrosis virus of Heliothis

spp. as a microbial insecticide In Burges

HP (Ed.) Microbial Control of Pest dan

Plant Diseases 1970-1980. Academic Press

London dan New York, NY. 29-362.

Ignoffo, C.M., B.S. Shasha, and Shapiro. 1991.

Sunlight ultraviolet protection of Heliothis

nuclear polyhedrosis virus through

starch-encapsulation technology. J.

Invert. Pathol. 57: 134-136.

Inceoglu, A.B., S.G. Kamita, and B.D. Hammock.

2006. Genetically modified baculoviruses:

a historical overview and future outlook.

Adven. Vir. Res. 68: 323- 326.

Ishikawa, H., M. Ikeda, C.A.F. Alves, S.M. Theim,

and M. Kobayashi. 2004. Host range

factor 1 from Lymantria dispar

nucleopolyhedrovirus (NPV) is an

essential viral factor required for

productive infection of NPVs in IPLB-

Ld652Y cells derived from L. dispar. J.

Virol. 78(22):12703 – 12708.

Jeyarani, S. N. Sathiah, and P. Karuppuchamy.

2005. Influence of Pseudomonas fluorescens

and a Nucleopolyhedrovirus on Cotton

Bollworm Helicoverpa armigera (Hubner).

Tropical Agricultural Research, 17: 221-

230.

Kalmakoff and Ward. 2003. Baculoviruses.

Univerdity of Otago, Dunedin, New

Zealand. http://www.microbiology-

bytes.com/virology. [Desember 2011].

Page 32: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

28 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

Kao, S.S., W.T. Hsia, and L.H. Huang. 1991.

Effectiveness of adjuvants for nuclear

polyhedrosis virus against the beet

armyworm Spodoptera exigua

(Lepidoptera: Noctuidae). Chinese J.

Entomol. 11: 330-334.

Kumar, N. S., K. Murugan, and W. Zhang. 2007.

Additive interaction of Helicoverpa

armigera Nucleopolyhedrovirus and

Azadirachtin. Biocontrol, 53: 869-880.

Lacey, L.A., R. Frutos, H.K. Kaya, and P. Vail.

2001. Insect pathogens as biological

control agents: do they have a future?.

Biol. Cont. 21: 230-248.

Lasa, R., C. Ruiz-Portero, M.D. Alcazar, J.E.

Belda, P. Caballero, and T. William. 2007.

Efficacy of optical brightener

formulations of Spodoptera exigua multiple

nucleopolyhedrovirus (SeMNPV) as a

biological in greenhouse of Southern

Spain. Biol. Cont. 40: 89-96.

Lasa, R, T. William, and P. Caballero. 2008.

Insecticidal properties and microbial

contaminants in Spodoptera exigua

multiple nucleopolyhedrovirus

(Baculoviridae) formulation stored at

different temperatures. J. Econ. Entomol.

101(1):42-49.

Li, Z. and G.W. Blissard. 2009. The Autographa

californica multicapsid

nucleopolyhedrovirus GP64 protein:

Analysis of transmembrane domain

length and sequence requirements. J.

Virol. 89(9):4447-4461.

Maeda, S. 1989. Increased insecticidal effect of a

recombinant baculovirus carrying a

synthetic diuretic hormone. Biochem.

Biophys. Res. Comm. 165: 1177 – 1183.

Martinez, A.M., O. Simon, T. Williams, and P.

Caballero. 2003. Effect of optical

brighteners on the insecticidal activity of

a nucleopolyhedrovirus in three instars of

Spodoptera frugiperda. Ent. Exp. App. 109:

139-146.

McCutchen, B.F., P.V. Choudary, R. Crenshaw,

D.W. Maddox, K. Majima, B.D.

Hammock, and E. Fowler. 1991.

Insecticidal effects of an insect-specific

neurotoxin expressed by recombinant

baculovirus. Virol. 184: 777 – 780.

McIntosh, A.H., J.J. Grasela, L. Lua, and S.C.

Braunagel. 2004. Demonstration of the

effects of fluorescent proteins in

baculoviruses exposed to ultraviolet light

inactivation. J. Insect. Sci. 4:31-39.

Mehrvar, A., R.J. Rabindra, K. Veenakumari, and

G.B. Narabenchi. 2008. Evaluation of

adjuvants for increased of HearNPV

against Helicoverpa armigera (Hubner)

using suntest machine. J. Biol. Sci. 1-8.

Mondragon, G., S. Pineda, A. Martinez, and A.M.

Martinez. 2007. Optical brightener

Tinopal C1101 as an ultraviolet protectant

for a nucleopolyhedro-virus. Commun.

Agric. Appl. Biol. Sci. 72(3): 543-547.

Monobrullah, Md. 2003. Optical brighteners-

pathogenicity enhancers of entomo-

pathogenic viruses. Current Sci., 84(5):

640 – 645.

Murillo, R., R. Lasa, D. Goulson, T. Williams, D.

Munoz, and P. Caballero. 2003. Effect of

tinopal LPW on the insecticidal

properties and genetic stability of the

nucleopolyhedrovirus of Spodoptera

exigua (Lepidoptera: Noctuidae). J. Econ.

Entomol., 96(6): 841-846.

Narayanan, K. 2004. Insect defence: its impact on

microbial control of insect pests. Current

Sci. 86(6): 800-814.

Okada, M. 1977. Studies on the utilization and

mass production of SlNPV for control of

the tobacco cutworm, Spodoptera litura F.

Rev. Pl. Protec. Res. 10: 102-128.

O’Reilly, D.R. and L.K. Miller. 1991.

Improvement of a baculovirus pesticide

by deletion of the egt gene. Bio/Tech. 9:

1086-1089.

Pionar, O.G. Jr. and G.M. Thomas. 1984.

Laboratory Guide to Insect Pathogens

and Parasites. Plenum Press, New York.

392 p.

Page 33: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan NPV Untuk Pengendalian Hama Tanaman Perkebunan (SAMSUDIN) 29

Ramle, M., M.B. Wahid, K. Norman, T.R. Glare,

and T.A. Jackson. 2005. The incidence and

use of Oryctes virus for control of

rhinoceros beetle in oil palm Plantation in

Malaysia. Journal of Invertebrate

Pathology. 89: 85-90.

Samsudin. 1999. Karakterisasi virus patogen

dari ulat bawang Spodoptera exigua

(Lepidoptera: Noctuidae) isolat

indonesia. Tesis Program Magister

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian

Bogor. 56 h.

Samsudin. 2001. Keefektifan kombinasi

Anagrapha falcifera NPV (AfNPV) dengan

Spodoptera litura NPV (SlNPV) untuk

mengendalikan ulat grayak pada kedelai.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian

Rintisan dan Bioteknologi Tanaman,

Bogor, 26-27 Desember 2001. 348-351.

Samsudin. 2011. Uji patologi dan perbaikan

kinerja Spodoptera exigua

nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Disertasi

Program Doktor Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. 109 h.

Samsudin, T. Santoso, A. Rauf, dan Y.M.

Kusumah. 2011. Keefektifan bahan

pelindung alami dalam mempertahankan

infektifitas Spodoptera exigua

nucleopolyhedrovirus (SeNPV). Berita

Biologi. 10(6): 689-697.

Samsudin. 2012. Virus patogen serangga sebagai

agens hayati pengendali hama tanaman

perkebunan yang efektif. Info Tek. 4(4):

15.

Samsudin dan T. Santoso. 2012. Infektifitas

Spodoptera exigua nucleopolyhedrovirus

(SeNPV) yang diperkaya dengan bahan

pengaktif terhadap larva Spodoptera

exigua Huebner. Berita Biologi. 11(3): 297-

304.

Samsudin dan T. Santoso. 2014. Uji Patologi

Spodoptera exigua Nucleopolyhedrovirus

(SeNPV) pada Larva S. exigua Huebner

(Lepidoptera: Noctuidae). Jurnal Biologi

Indonesia. 10(2): 169-178.

Shapiro, M., and B.M. Shepard. 2008. Relative

efficacies of congo red and tinopal LPW

on the activity of the gypsy moth

(Lepidoptera: Lymantriidae) nucleopoly-

hedrovirus and cypovirus. J. Agric.

Urban. Entomol. 25(4): 233-243.

Shapiro, M., S.E. Salamouny, and B.M. Shepard.

2008. Green tea extracts as ultraviolet

protectants for the beet armyworm,

Spodoptera exigua, nucleopolyhedrovirus.

Biocon Sci. Tech. 18: 591-603.

Shepard, E.F., B.M. Shepard, and A. Rauf. 1996.

Virus of Spodoptera exigua. Palawija/

Vegetable IPM Newsletter. 1(1) : 2-3.

Spenger, A.R., Grabherr, L. Tollner, H. Katinger,

and W. Ernst. 2002. Altering the surface

properties of baculovirus Autographa

californica NPV by insertional

mutagenesis of envelope protein gp64.

Eur. J. Biochem. 269: 4458 – 4467.

Stairs, G.R. and T. Fraser. 1981. Changes in

growth dan virulence of nuclear

polyhedrosis virus. J. Inver. Pathol.

35:230-235.

Sudharto, A. Susanto, R.Y. Purba, dan B. Drajat.

2011. Teknologi Pengendalian Hama dan

Penyakit pada Kelapa Sawit: Siap Pakai

dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian

Kelapa Sawit. 3 h.

Suhas, Y., J.B. Gopali, B.V. Patil, and S. Lingappa.

2009. Effect of different adjuvants in

enhancing the efficacy of HaNPV against

Helicoperva armigera (Hubner) in

pigeonpea. Karnataka J. Agric. Sci. 22(3):

502-503.

Takatsuka, J. and Y. Kunimi. 2002. Lethal effects

of Spodoptera exigua nucleopoly-

hedrovirus isolated in Shiga Prefecture,

Japan, on larvae of the beet armyworm,

Spodoptera exigua (Lepidoptera:

Noctuidae). Appl. Entomol. Zool. 37(1):

93–101.

Tanada, Y. and R.T. Hess. 1991. Baculoviridae.

Granulosis viruses. In Adam, J.R. and J.R.

Bonami (Eds.). Atlas of Invertebrate

Viruses. CRC Press: Boca Raton, Florida.

227 – 257.

Page 34: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

30 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 18-30

Tanada, Y. and H.K. Kaya. 1993. Insect Pathology.

Academic Press. San Diego. California. p.

78-98.

Tinsley, T.W. and D.C. Kelly. 1985. Taxonomy

and Nomenclatures of Insect Pathogenic

Viruses. p. 3-26. In Maramorosch, K. and

Sherman, K.E. (Eds.). Viral Insectisides

for Biological Control. Academic Press.

London.

Treacy, M.F. 1999. Recombinant baculoviruses. In

Hall, F.R. and J.M. Julius. 1999.

Biopesticides Use and Delivery. Humana

Press. Totowa, New Jersey. 321 – 340.

Vilaplana, L., K. Wilson, E.M. Redman, and J.S.

Cory. 2010. Pathogen persitence in

migratory insects: high levels of

vertically-transmitted virus infection in

field populations of the African

armyworm. Evol. Ecol. 24: 147-160.

Washburn, J.O., D. Trudeau, J.F. Wong, and L.E.

Volkman. 2003. Early pathogenesis of

Autographa californica multiple

nucleopolyhedrovirus and Helicoverpa zea

single nucleopolyhedrovirus in Heliothis

virescens: a comparison of the ‘M’ and ‘S’

strategies for establishing fatal infection.

J. Gen Virol., 84: 343-351.

Wijarnako, A. 1998. Mengendalikan hama

dengan musuh alami. Institute For

Science and Technology Studies Chapter

Japan. htt://istecs.org/Publication/

Dimensi].

Woo, S.D., J.Y. Roh, J.Y. Choi, and B.R. Jin. 2007.

Propagation of Bombyx mori

nucleopolyhedrovirus in nonpermissive

insect cell lines. J. Microbiol., 45(2): 133-

138.

Young, S.Y. 1989. Problems associated with the

production and use of viral pesticides.

Mem. Inst. Oswaldo Cruz. 84(3): 67-73.

Page 35: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No.12 /Jun. 2016. Hlm 31 -49 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.31-49

ISSN: 1412-8004

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 31

PROSFEK PENGEMBANGAN BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS

HAYATI PENGENDALIAN NEMATODA PARASIT TANAMAN

PERKEBUNAN The Prospect of Developing Endophytic Bacteria as Nematodes Biological Control

Agents in Estate Crops

RITA HARNI

Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar

Indonesian Industrial and Beverage Crops Research Institute

Jalan Raya Pakuwon Km 2, Parungkuda, Sukabumi 43357. Jawa Barat, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Nematoda parasit tanaman merupakan salah satu

organisme pengganggu tumbuhan (OPT) penting yang

menyerang berbagai tanaman perkebunan seperti lada,

nilam, kopi, tembakau dan jahe. Nematoda

Meloidogyne, Pratylenchus, dan Radopholus merupakan

nematoda parasit yang paling merusak pada

komoditas tersebut. Kerugian akibat nematoda pada

tanaman lada dapat menurunkan produksi 32%, pada

tanaman nilam 75%, 58% pada jahe dan 57% pada

tanaman kopi. Pengendalian nematoda yang banyak

digunakan saat ini adalah penggunaan bakteri endofit.

Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup

mengkolonisasi jaringan tanaman inang tanpa

menimbulkan efek negatif, bahkan banyak memberi

keuntungan terhadap inangnya, karena berfungsi

sebagai agens hayati, dan pemicu pertumbuhan

tanaman. Mekanisme bakteri endofit dalam

mengendalikan nematoda adalah menginduksi

ketahanan, kompetisi ruang, dan menghasilkan

metabolit anti nematoda yang berpengaruh terhadap

penetrasi, reproduksi dan populasi nematoda.

Penggunaan bakteri endofit Achromobacter xylosoxidans,

Bacillus cereus, Alcaligenes faecalis, B subtilis dan

Pseudomonas putida pada tanaman nilam dapat

menekan populasi nematoda P. brachyurus sebesar

54,8-70,6%. Bakteri endofit Bacillus sp. dan Pseudomonas

sp. dapat menekan kejadian penyakit kuning, menekan

populasi nematoda R. similis dan M. incognita, serta

meningkatkan jumlah bunga per ruas dan bobot basah

pada tanaman lada. Bakteri endofit B. pumilus dan

Bacillus mycoides dapat menekan populasi dan jumlah

puru akar nematoda M. incognita 33 - 39% pada

tanaman kopi. Prospek pengembangan bakteri endofit

untuk mengendalikan nematoda parasit pada tanaman

perkebunan sangat menjanjikan karena bakteri endofit

sebagai agens hayati lebih unggul dari agens yang lain,

dapat diisolasi dari semua bagian tanaman, dan media

perbanyakannya murah, aplikasi mudah serta tidak

berulang-ulang. Bakteri endofit dapat bersifat sebagai

agens pengendali hayati dan pemicu pertumbuhan,

pengunaannya dapat mengurangi pengunaan pestisida

sintetis dan pupuk anorganik sehingga sangat

mendukung pertanian yang berkelanjutan.

Kata kunci: Bakteri endofit, nematoda parasit, tanaman

perkebunan, agens hayati

ABSTRACT

Plant parasitic nematodes are one of the most

important plant pests that attack a variety of estate

crops like pepper, patchouli, coffee, tobacco and

ginger. Meloidogyne, Pratylenchus, and Radopholus the

most destructive parasitic nematodes in these

commodities. Yield Losses due to nematodes on black

pepper can reduce the production of 32%, 75% in

patchouli, 58% ginger and 57% at the coffee.

Controlling nematodes are widely used at this time are

endophytic bacteria. Endophytic bacteria are live

bacteria that colonize the host plant tissues without

causing any negative effects, but giving many benefits

to their host, because it can be as biological agents, and

trigger the growth of plants. Mechanism of action

endophytic bacteria in controlling nematodes are

induce resistance, competition nische, and produce

anti-nematode metabolites, that affect on the

penetration, reproduction and nematode populations.

The use of endophytic bacteria Achromobacter

xylosoxidans (TT2), Bacillus cereus (MSK), Alcaligenes

Page 36: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

36 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

faecalis (NJ16), Bacillus subtilis (NJ57) and Pseudomonas

putida (EH11) on patchouli can suppress nematode

populations of P. brachyurus at 54.8 to 70.6 %.

Endophytic bacteria Bacillus sp. and Pseudomonas sp.

can reduce the incidence of yellow disease and

nematode populations of R. similis and M. incognita, as

well as increase the number of flowers/ node and the

wet weight of the black pepper, and endophytic

bacteria Bacillus pumilus and B. mycoides can suppress

the population and the number of root knot nematode

M. incognita 33 - 39% of the coffee plant. Development

of endophytic bacteria to control parasitic nematodes

in estate crop is very promising because of endophytic

bacteria as a biological control agent is superior to

another agent, can be isolated from all parts of the

plant, propagation media inexpensive, easy application

and not repetitive. Endophytic bacteria may be of

biological agents and plant growth promoters, its use

can reduce synthetic pesticides and synthetic fertilizers

so very supportive to sustainable agriculture.

Keywords: Endophytic bacteria, plant parasitic

nematodes, estate crops, biological

control

PENDAHULUAN

Nematoda parasit merupakan salah satu

jenis organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

penting yang menyerang berbagai jenis tanaman

utama di Indonesia dan negara-negara tropis

lainnya. Kerugian yang ditimbulkannya dapat

mencapai 25% dari potensi produksi. Di

Indonesia serangan nematoda parasit yang

merugikan sudah dilaporkan pada berbagai

tanaman baik pada tanaman pangan seperti padi,

kedelai dan jagung, pada tanaman holtikultura

seperti pisang, tomat, kentang maupun pada

tanaman perkebunan (nilam,lada, kopi, jahe dan

tebu).

Pada tanaman perkebunan, beberapa genus

nematoda parasit tanaman telah dilaporkan di

antaranya adalah Meloidogyne, Radopholus,

Pratylenchus, Rotylenchulus, dan Helicotylenchus.

Nematoda-nematoda tersebut menyerang

tanaman lada, nilam, jahe, kopi dan tebu. Pada

tanaman lada, nematoda parasit yang sering

dilaporkan adalah Radopholus similis dan

Meloidogyne incognita yang dikenal dengan

penyebab penyakit kuning. Akibat serangan

nematoda pada tanaman lada dapat menurunkan

hasil sampai 32% (Mustika, 1996). Pada tanaman

nilam, nematoda yang sangat merugikan adalah

Pratylenchus brachyurus, R. similis dan Meloidogyne

spp, serangan nematoda tersebut dapat

menurunkan hasil sampai 75% (Harni et al., 2007;

2012a). Pada tanaman kopi nematoda yang sering

menyerang adalah Pratylenchus coffeae, R. similis,

dan Meloidogyne spp (Harni, 2013). Serangan

nematoda ini dapat menyebabkan pertumbuhan

tanaman terganggu dan menurunkan produksi

baik kuantitas maupun kualitas. Serangan P.

coffeae pada kopi Robusta dapat menurunkan

produksi sampai 57%, sedangkan serangan R.

similis bersama-sama dengan P. coffeae pada kopi

Arabika dapat mengakibatkan kerusakan 80%

dan tanaman akan mati pada umur kurang dari 3

tahun (Wiryadiputra, 2006).

Pengendalian nematoda parasit yang banyak

dilakukan petani saat ini adalah mengunakan

nematisida sintetik karena cara pengendalian ini

yang dianggap dapat mengendalikan nematoda

secara cepat dan praktis. Pengendalian

menggunakan nematisida sintetik ternyata

kurang efektif karena memberikan beberapa

dampak negatif seperti pencemaran lingkungan,

berbahaya bagi kesehatan dan matinya

organisme bukan target. Untuk mengurangi

dampak tersebut perlu dicari alternatif

pengendalian lain yang ramah lingkungan salah

satunya adalah pengendalian biologi dengan

bakteri endofit.

Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup

mengkolonisasi jaringan bagian dalam tanaman

tanpa menyebabkan gangguan pada tanaman

tersebut dan kebanyakan dari bakteri endofit

adalah menguntungkan (Hallmann, 2001).

Keunggulan bakteri endofit sebagai agens hayati

nematoda adalah 1) bakteri endofit mudah

untuk dikulturkan pada media buatan; 2) dapat

digunakan sebagai seed treatments (perlakuan

benih); 3) mengurangi kerusakan akar lebih

awal; 4) terhindar dari kompetisi dengan

mikroba lain dan memiliki kemampuan dalam

mempengaruhi tanaman merespon serangan

patogen; 5) tidak bersifat fitotoksik (tidak

beracun bagi tanaman) ; 6) meningkatkan

pertumbuhan tanaman; 7) menggunakan eksudat

akar untuk perbanyakannya; dan 8) menginduksi

ketahanan tanaman (Hallmann, 2001; Siddiqui

Page 37: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 37

dan Saukat, 2003; Bacon dan Hinton 2007; Sikora

et al., 2007).

Penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda pada tanaman

perkebunan seperti kopi, lada, dan nilam telah

dilaporkan oleh Mekete et al. (2009), Harni dan

Ibrahim (2011), Harni dan Munif (2012), Harni

dan Khaerati (2013) serta Harni et al. (2014).

Penggunaan bakteri endofit dapat menekan

populasi nematoda P. brachyurus sebesar 54,8-

70,6% (Harni et al., 2012a) dan meningkatkan

terna nilam sebesar 23.62-57.48%. Bakteri endofit

dapat menekan kejadian penyakit kuning dan

menekan populasi nematoda, serta

meningkatkan jumlah bunga per ruas dan bobot

basah lada (Harni dan Munif, 2012). Selanjutnya

Mekete et al. (2009), menggunakan bakteri

endofit Bacillus pumilus dan B. mycoides untuk

mengendalikan nematoda M. incognita pada

tanaman kopi. Kedua bakteri tersebut dapat

menekan populasi dan jumlah puru akar

nematoda 33 dan 39%.

Tulisan ini membahas tentang nematoda

parasit pada tanaman perkebunan, dan

pengendaliannya mengunakan bakteri endofit

serta prospek pengembangan bakteri endofit

sebagai agens hayati nematoda.

BAKTERI ENDOFIT SEBAGAI AGENS

HAYATI NEMATODA

Bakteri endofit adalah bakteri yang hidup

bersimbiosis mutualisme dengan tanaman.

Menurut Kado (1992), bakteri endofit adalah

bakteri yang hidup dalam jaringan tumbuhan,

tetapi tidak merugikan tumbuhan inangnya,

sedangkan menurut Sikora et al. (2007), endofit

adalah bakteri yang sebagian dari siklus

hidupnya mengkolonisasi jaringan internal

tanaman. Penggunaan bakteri endofit sebagai

agens hayati nematoda memberikan keuntungan

lebih, karena memiliki relung yang sama dengan

patogen (Hallmann, 2001) yaitu dengan

mengkolonisasi jaringan akar. Hal ini sangat

menguntungkan untuk pengendalian patogen

yang menyerang akar seperti nematoda parasit

tanaman. Seluruh siklus hidup bakteri endofit

juga berada dalam jaringan akar seperti

nematoda parasit, sehingga target pengendalian

lebih cepat mencapai sasaran.

Penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda parasit tanaman relatif

masih baru. Awalnya Hallmann et al. (1995)

mengisolasi bakteri endofit dari akar mentimun

dan kapas, hasil isolasi diperoleh bakteri endofit

Aerococus viridans, Bacillus megaterium, B. subtilis,

Pseudomonas chlororaphis, P. vesicularis, Serratia

marcescens dan Sphingomonas pancimobilis.

Bakteri-bakteri tersebut dapat menekan jumlah

puru dan populasi M. incognita sampai 50%.

Selanjutnya Hallmann et al. (1997) melaporkan

bahwa perlakuan bakteri endofit melalui benih

dapat mengendalikan nematoda M. incognita

pada tanaman kapas. Setelah itu beberapa

peneliti melaporkan penggunaan bakteri endofit

untuk mengendalikan nematoda parasit di

antaranya Siddiqui dan Shaukat (2003)

menggunakan Pseudomonas. aeruginosa dan P.

fluorescens untuk mengendalikan M. javanica pada

tanaman tomat, dan kedele. Mahdy et al. (2001b)

menggunakan Rhizobium etli untuk

mengendalikan M. javanica, Globodera pallida, dan

Heterodera schachtii pada tomat, kedele dan

kentang. Saat ini sudah banyak peneliti yang

melaporkan penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda parasit tanaman baik

pada tanaman pangan, hortikultura dan

perkebunan.

Pada awalnya penggunaan bakteri endofit

sebagai agens hayati nematoda terfokus pada

nematoda endoparasit menetap (sedentary

endoparasitic) seperti nematoda puru akar

(Meloidogyne) dan nematoda sista (Globodera dan

Heterodera)( Siddiqui and Shaukat, 2003; Sikora et

al., 2007). Hal ini terjadi karena nematoda

endoparasit menetap seluruh siklus hidupnya

berada dalam jaringan akar dan bakteri endofit

juga berada dalam jaringan yang sama, sehingga

penggunaan bakteri endofit sebagai agens hayati

nematoda sangat tepat karena sasaran yang akan

dituju berada pada niche yang sama. Akhir-akhir

ini bakteri endofit juga dimanfaatkan untuk

mengendalikan nematoda migratory endoparasitic

(endoparasit berpindah) seperti Radophulus dan

Pratylenchus. Hackenberg et al. (2000)

menggunakan P. chlororaphis Sm3 untuk

mengendalikan nematoda peluka akar

Page 38: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

38 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

Pratylenchus penetrans pada tanaman strawberi.

Bakteri endofit dapat mengurangi populasi

sebesar 41-61% serta mampu meningkatkan

pertumbuhan tanaman. Mahdy et al. (2001)

menggunakan R. etli untuk mengendalikan

Pratylenchus zeae pada jagung. Selanjutnya Harni

et al. (2010; 2012a; 2014) mengunakan bakteri

endofit untuk mengendalikan nematoda P.

brachyurus pada tanaman nilam, serta Harni dan

Khaerati (2013) menggunakan bakteri endofit

untuk mengendalikan P. coffeae pada tanaman

kopi (Tabel 1).

MEKANISME BAKTERI ENDOFIT

MENGENDALIKAN NEMATODA

PARASIT TANAMAN

Mekanisme bakteri endofit dalam

mengendalikan nematoda di dalam akar adalah

menginduksi ketahanan, kompetisi ruang, dan

menghasilkan metabolit anti nematoda (Sikora et

al., 2007; Bacon dan Hinton, 2007; Tian et al.,

2007).

A. Induksi Ketahanan

Induksi ketahanan sistemik (IKS) adalah

ketahanan tanaman terinduksi oleh agen biotik

non-patogenik seperti rizobakteria, endofit dan

plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) (Van

Loon dan Baker 2006). Mikroorganisme ini

mengaktifkan lintasan transduksi signal yang

melibatkan asam jasmonik dan etilen tanaman

untuk mengaktifkan gen-gen ketahanan.

Belakangan ini dilaporkan bahwa ketahanan

terinduksi oleh PGPR/endofit sering dikaitkan

dengan IKS, namun beberapa spesies PGPR dan

endofit juga dapat memicu systemic acquire

resistance (SAR). SAR disebut juga dengan

ketahanan perolehan, ketahanan ini terinduksi

karena penambahan senyawa kimia atau

menginokulasikan patogen nekrotik. lnduksi

SAR dicirikan dengan terbentuknya akumulasi

asam salisilat dan PR protein (pathogenesis-related

proteins). Faktor yang dapat menicu IKS adalah

senyawa kimia (siderofor, antibiotik dan ion Fe)

yang dihasilkan bakteri, dan komponen sel

bakteri (dinding sel mikroba, flagella, filli,

membran lipopolisakarida) (Van Loon dan

Bakker, 2006).

Mekanisme bakteri endofit yang

menginduksi IKS adalah dengan menghasilkan

senyawa tertentu seperti lipopolysacharida (LPS).

Hasil percobaan Reitz et al. (2000) menggunakan

teknik split-root, menunjukkan bahwa perlakuan

sistem perakaran dengan LPS dari rhizobacteria

Rhizobium etli dapat menurunkan penetrasi akar

Tabel 1. Bakteri endofit sebagai agens hayati untuk mengendalikan nematoda parasit pada beberapa

jenis tanaman

Spesies nematoda Bakteri endofit Tanaman inang Pustaka

Meloidogine incognita Brevundimonas vesicularis, Burkholderia cepacia, Cedecea davisae, Pantoe agglomerans, Pseudomonas aeroginosa, P. fluorescens, P. putida, Rhizobium etli, Serratia marcescens, B. subtilis,

Kapas, ketimun, kedele, kacang tanah, cabai, kentang, tomato

Hallmann et al., (1995; 1997;2001); Mahdy et al., 2001b; Siddiqui and Shaukat 2003; Munif et al., 2013.

M. Javanica P. aeroginosa, P. fluorescens, R. etli Tomat, kedelai Mahdy et al., 2001; Siddiqui and Ehtesshamul Haque 2001; Siddiqui dan Shaukat 2003

Globodera pallida R. etli Kentang Rache dan sikora 1992; Mahdy et al., 2001a

Heterodera schachtii R. etli Sugar beet Mahdy et al., 2001a Pratylenchus brachyurus A. xylosoxidans, A. faecalis, P. putida,

Bacillus cereus, B. subtilis Nilam Harni et al., 2007; 2010; 2011;

2012a; 2014 R. similis Bacillus sp. Lada Harni dan Ibrahim 2011; Harni

dan Munif 2012; Munif dan Harni 2011; Munif dan Kristina 2012.

Pratylenchus. coffeae, M. incognita

Bacillus sp., B. pumilus dan B. mycoides Kopi Mekete et al., 2009; Harni dan Khaerati 2013; Harni, 214

Pratylenchus zeae Rhizobium etli Jagung Mahdy et al., 2001a

Page 39: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 39

oleh nematoda sista (Globodera pallida). Hasil

mereka menunjukkan LPS dari R. etli bertindak

sebagai senyawa penginduksi ketahanan

sistemik terhadap G. palida pada akar kentang.

Menurut Sikora et al. (2007), akibat dari IKS

akan mempengaruhi proses fisiologis di dalam

akar seperti mencegah proses makan nematoda,

mencegah terbentuknya feeding site, menghambat

penetrasi, dan reproduksi nematoda. Selain LPS

mekanisme bakteri endofit dalam menekan

perkembangan nematoda adalah menghasilkan

senyawa fenolik seperti asam salisilat dan

peroksidase (Harni et al., 2012b; Harni dan

Ibrahim, 2011; Harni dan Khaerati, 2013). Bakteri

endofit Achromobacter xylosoxidans TT2,

Alcaligenes faecalis NJ16 dan Pseudomonas putida

EH11 dapat menekan populasi nematoda P.

brachyurus dengan peningkatan aktivitas asam

salisilat dan peroksidase.

Induksi respon pertahanan fisik dan mekanik

Bakteri endofit berpengaruh terhadap

perubahan fisik tanaman inang berupa penebalan

dinding sel tanaman. Kimmons et al. (1989)

melaporkan terjadi penebalan dinding

endodermis akar tanaman tall fescue yang

terinfeksi endofit, sehingga mengurangi

kemampuan P. scribneri menginfeksi akar.

Penelitian lain yang mengindikasikan bahwa

bakteri endofit dapat menginduksi ketebalan

dinding sel adalah tanaman tall fescue yang

diinfeksi endofit dapat mengurangi infeksi M.

marylandi menembus stele akar.

Induksi respon pertahanan biokimia

Perubahan lain yang terjadi karena infeksi

endofit adalah terjadinya peningkatan akumulasi

senyawa fenol (Biggs, 1992). Fenol merupakan

senyawa aktif yang memegang peranan penting

terhadap penekanan mikroba termasuk

nematoda yang menyerang jaringan tanaman.

Senyawa ini membuat suatu lingkungan yang

toksik untuk perkembang biakan nematoda.

Anita et al. (2004) melaporkan bahwa terjadi

akumulasi senyawa fenol setelah tanaman

diinokulasi dengan P. fluorescens PfI agens

biokontrol M. incognita. Senyawa fenol juga

dapat meningkatkan hasil interaksi tanaman dan

mikroorganisme dengan aktifitas secara tidak

langsung sebagai signal untuk mekanisme

ketahanan. Sebagai contoh, flavonoid penting

dalam pembuatan interaksi mutualisme yang

terjadi antara akar legum dan Rhizobium serta

Bradyrhizobium sp.

Beberapa peneliti menjelaskan peranan

bakteri endofit menginduksi akumulasi senyawa

fenol. Compant et al. (2005) menunjukkan bahwa

bakteri endofit Burkholderia phytofirmans

menginduksi akumulasi senyawa fenol dan

penguatan dinding eksodermis pada tanaman

anggur. Schulz et al. (1999) melaporkan endofit

Cryptosporiopsis sp. dan Fusarium sp.

meningkatkan konsentrasi senyawa fenol pada

akar pinus (Larix larcina) dan barley (Holdeum

vulgare) dibanding tanpa endofit.

B. Produk Metabolit Sekunder Anti

Nematoda

Produksi senyawa metabolit sekunder yang

dihasilkan bakteri endofit biasanya terekpresi

pada saat bakteri endofit belum masuk ke dalam

jaringan tanaman. Mekanisme ini digunakannya

untuk bertahan hidup (survival) pada saat bakteri

berada di rizosfir. Metabolit yang dihasilkan

bakteri endofit dapat berupa antibiotik, enzim,

senyawa HCN, dan siderofor. Li et al. (2002)

melaporkan bahwa produksi metabolit toksik

dalam kultur filtrat dari isolat bakteri endofit

Bulkholderia ambifaria dari akar jagung dapat

menghambat penetasan telur dan mobilitas larva

stadia kedua M. incognita, sedangkan bakteri

Pseudomonas aeruginosa menghasilkan senyawa

toksik yang dapat membunuh larva M. javanica

(Sidiqui dan Ehteshamul-Haque, 2001). Produksi

antibiotik 2,4 diacetylpholoroglucinol oleh P.

fluorescens dalam kultur menurunkan penetasan

telur dan membunuh larva M. javanica (Siddiqui

dan Shaukat, 2003).

Enzim ektraseluler yang dihasilkan bakteri

endofit di antaranya adalah kitinase, protease

dan selulase. Enzim kitinase merupakan enzim

penting yang dihasilkan oleh bakteri antagonis

untuk mengendalikan patogen terutama patogen

tular tanah, karena enzim ini dapat

mendegradasi dinding sel patogen yang disusun

oleh senyawa kitin, seperti dinding sel cendawan,

nematoda dan serangga. Oku (1994) melaporkan

Page 40: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

40 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

bahwa aktivitas kitinase berkorelasi positif

dengan tingkat induksi ketahanan sistemik.

Peranan enzim ini dalam ketahanan terhadap

serangan patogen, melalui penghambatan

pertumbuhan dengan menghidrolisis dinding sel

patogen, dan pelepasan elicitor endogen yang

kemudian memacu reaksi ketahanan sistemik

pada tanaman inang, sehingga terjadi penurunan

atau penghambatan invasi patogen.

Enzim kitinase banyak dimanfaatkan untuk

mengendalikan nematoda karena enzim ini dapat

mendegradasi lapisan tengah dari telur nematoda

seperti Meloidogyne javanica, Rotylenchulus

reniformis, Tylenchulus semipenetrans dan

Pratylenchus minyus (Tian et al., 2000) serta lapisan

luar telur Heterodera schachtii dan H. glycines

(Perry and Trett, 1986 dalam Tian et al., 2000).

Kitinase juga dapat membunuh Tylenchus dubius

dengan menghasilkan senyawa yang dapat

merubah struktur kutikula nematoda (Tian et al.,

2000).

Peranan enzim protease yang dihasilkan

oleh bakteri endofit adalah mendegradasi

dinding sel patogen. Di samping berfungsi untuk

mendegradasi dinding sel patogen, protease

dapat digunakan oleh bakteri untuk melakukan

penetrasi secara aktif ke dalam jaringan tanaman,

terutama bakteri yang bersifat endofit. Benhamou

et al. (1996) melaporkan bahwa enzim selulase

dan pektinase yang dihasilkan oleh P. fluorescens

dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk

mengkolonisasi daerah intersellular jaringan

korteks akar, sehingga terjadi penghambatan

invasi patogen. Di samping itu, Siddiqui dan

Shaukat (2003) menjelaskan bahwa protease yang

dihasilkan bakteri P. fluorescens dapat

menghambat penetasan telur M. javanica.

C. Kompetisi Ruang

Bakteri endofit dapat menkolonisasi

tanaman dengan cepat menempati ruang antar

atau intraseluler dan tidak meninggalkan ruang

untuk patogen, sehingga dapat

menghambat/mencegah infeksi patogen pada

tanaman. Kolonisasi jaringan tanaman oleh

endofit dimulai dari perkecambahan, penetrasi

epidermis dan kolonisasi jaringan (Petrini, 1991)

Setelah endofit berhasil masuk dalam jaringan

inang, endofit akan menempati ruang dan

mendapatkan nutrisi yang disediakan oleh

tanaman berupa eksudat dan melindungi

tanaman inang dari serangan mikroorganisme

lainnya. Pemanfaatan eksudat/substrat oleh

bakteri endofit mengakibatkan tidak tersedia

nutrisi untuk patogen. Selain itu, setelah

kolonisasi bakteri endofit tanaman akan

menghasilkan lignin yang akan memperkuat

dinding sel sehingga patogen sulit untuk

menginfeksi tanaman (Gao et al., 2010).

Dalam aplikasinya bakteri endofit dapat

digunakan dalam mengurangi populasi

nematoda melalui metabolit sekunder yang

dihasilkan bakteri yang dikeluarkan melalui

eksudat akar tanaman. Menurut Hasky-Gunther

et al., (1998), Sifat antagonis dari bakteri endofit

terhadap nematoda parasit dapat menyebabkan

reaksi hipersensitif dalam tanaman sehingga akar

menjadi kurang menarik bagi nematoda. Perilaku

nematoda sangat tergantung pada komponen

tertentu dalam eksudat akar tanaman. Sikora dan

Hoffinann-Hergarten (1993) menyatakan bahwa

metabolisme bakteri merupakan komponen

penting sebagai elicitor antara parasit dan

tanaman. Bakteri endofit dapat menghasilkan

metabolit melalui eksudat akar yang bersifat

racun bagi nematoda seperti phytoalexins. Peran

dari metabolit yang dihasilkan bakteri terhadap

namatoda adalah dapat mengurangi reproduksi

seperti berkurangnya jumlah telur nematoda

(Sikora et al., 2007). Perlakuan P. aeruginosa ke

dalam tanah dapat mengurangi jumlah telur M.

javanica pada tanaman tomat (Siddiqui dan

Ehteshamul-Haque, 2000). Disamping itu aplikasi

bakteri endofit dapat melalui rotasi tanaman,

sebagai contoh tanaman koro benguk (Mucuna

deeringiana) digunakan sebagai tanaman perotasi

untuk mengendalikan nematoda karena

mengandung bakteri endofit yang mampu

menghambat penetrasi nematoda Meloidogyne

spp (Kloepper et al., 1999).

Page 41: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 41

EFIKASI BAKTERI ENDOFIT PADA

TANAMAN PERKEBUNAN

Lada

Lada merupakan tanaman rempah yang

mempunyai nilai ekonomi tinggi, salah satu

masalah yang dihadapi pada tanaman lada

adalah serangan nematoda parasit tanaman,

yaitu R. similis dan M. incognita, patogen

penyebab penyakit kuning di daerah Bangka dan

Kalimantan Barat (Mustika, 1990). Akibat dari

serangan penyakit ini dapat menimbulkan

kerugian yang sangat besar yaitu sekitar 32%

(Mustika, 2000).

Penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda M. incognita pada

tanaman lada telah dilaporkan oleh Harni dan

Ibrahim (2011). Hasil penelitian, bakteri endofit

dapat menekan jumlah puru dan populasi

nematoda di dalam akar, penekanan tertinggi

pada isolat MSK 97,93% tidak berbeda nyata

dengan isolat BAS, TT, dan NJ46 yaitu 97,35;

95,22 dan 92,14%. Selanjutnya Munif dan Harni

(2011) juga menguji bakteri endofit yang diisolasi

dari akar tanaman lada untuk mengendalikan

nematoda M. incognita pada tanaman lada. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa bakteri endofit

dapat menurunkan jumlah puru pada akar dan

populasi larva nematoda M. incognita di dalam

tanah hingga mencapai 90%.

Selanjutnya bakteri endofit diuji pada

tanaman lada yang terserang penyakit kuning

yang disebabkan oleh nematoda R. similis dan M.

incognita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

perlakuan agens hayati endofit dapat menekan

kejadian penyakit kuning dan populasi nematoda

di dalam akar (Tabel 2, Gambar 1). Penekanan

populasi nematoda oleh endofit lebih nyata pada

6 bulan setelah aplikasi. Penekanan populasi

nematoda tertinggi pada isolat ANIC dan TRI

Tabel 2. Pengaruh agens hayati endofit terhadap kejadian penyakit kuning dan populasi nematoda (3

dan 6 bulan setelah aplikasi)

Perlakuaan Persentase kejadian

penyakit kuning

Populasi nematoda 3

bulan setelah aplikasi

Populasi nematoda 6

bulan setelah aplikasi

MER7 13,3b 450 ab 260 b

AA2 3,3b 200 b 195 c

ANIC 6,7b 25 c 50 d

TT2 3,3b 380 ab 275 b

TRI 3,3b 30 c 50 d

Karbofuran 6,7b 50 c 70 d

Kontrol 33,3a 507 a 825 a

Angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Tukey pada

taraf 5%. Sumber Harni dan Munif, 2012.

A B

Gambar 1. Tanaman lada terserang penyakit kuning (A), tanaman lada diberi endofit (B).

Page 42: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

42 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

yaitu penekananya sama dengan nematisida

kimia karbofuran. Selain itu perlakuan agens

hayati endofit dapat meningkatkan jumlah bunga

per ruas dan bobot basah lada (Harni dan Munif

2012).

Nilam

Nematoda peluka akar (Pratylenchus

brachyurus) merupakan masalah utama yang

dihadapi oleh petani nilam di Indonesia,

terutama di daerah-daerah sentra produksi nilam

seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat,

Lampung, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Harni

dan Mustika, 2000). Kerusakan akibat serangan

nematoda tersebut pada tanaman nilam dapat

menurunkan hasil sampai 85% (Mustika et al.,

1995). Selain menghambat pertumbuhan

tanaman, infeksi P. brachyurus juga menurunkan

kandungan klorofil dan kadar minyak pada

kultivar yang rentan dan agak tahan (Sriwati

1999).

Penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda pada nilam pertama

kali dilaporkan oleh Harni et al. (2007) bahwa

bakteri endofit potensial digunakan sebagai

agens hayati nematoda P. brachyurus. Selanjutnya

Harni (2010), mengisolasi bakteri endofit dari

perakaran nilam dan diperoleh 5 jenis bakteri

endofit yaitu Achromobacter xylosoxidans (TT2),

Bacillus cereus (MSK), Alcaligenes faecalis (NJ16),

Bacillus subtilis (NJ57) dan Pseudomonas putida

(EH11). Bakteri endofit tersebut potensial

mengendalikan nematoda P. brachyurus pada

tanaman nilam. Mekanisme bakteri endofit

dalam mengendalikan nematoda P. brachyurus

pada nilam di antaranya adalah menghasilkan

metabolit sekunder yang bersifat nematisida

yaitu enzim kitinase dan antibiotik 2,4

diacetylpholoroglucinol (Harni et al., 2010). Senyawa

metabolit sekunder yang dihasilkan bakteri

endofit biasanya terekpresi pada saat bakteri

endofit belum masuk ke dalam jaringan tanaman.

Mekanisme ini digunakan untuk bertahan hidup

(survival) pada saat bakteri berada di rizosfir.

Metabolit yang dihasilkan bakteri endofit dapat

membunuh nematoda, menekan penetasan telur,

dan menurunkan mobilitas nematoda (Li et al.,

2002; Sidiqui dan Ehteshamul-Haque, 2001;

Siddiqui dan Shaukat, 2003). Di samping itu

bakteri endofit juga dapat mengkolonisasi

jaringan tanaman dan menginduksi ketahanan

tanaman dengan peningkatan kadar asam

salisilat, senyawa fenol dan peroksidase dalam

jaringan akar (Harni et al., 2012b).

Bakteri endofit sebagai biokontrol nematoda

akan mempengaruhi penetrasi, reproduksi, dan

populasi nematoda (Sikora et al., 2007). Proses

berkurangnya penetrasi nematoda ke dalam akar,

karena bakteri endofit mengkolonisasi epidermis

akar. Nematoda parasit berpindah seperti P.

brachyurus menimbulkan kerusakan bersifat

distruktif pada akar karena mereka

mengkonsumsi isi sel akibatnya sel akan rusak

dan mati. Rusaknya sel akar mengakibatkan

proses penyerapan air dan hara terganggu

sehingga kebutuhan tanaman tidak terpenuhi.

Tidak terpenuhinya nutrisi yang dibutuhkan

tanaman nilam menyebabkan pertumbuhan

tanaman terhambat, proses fotosintesa

terganggu, sehingga menyebabkan daun

berwarna kuning. Terhambatnya proses tersebut

mengakibatkan tanaman menjadi kerdil.

Pengaruh positif bakteri endofit terhadap

pertumbuhan tanaman nilam adalah tanaman

dapat tumbuh lebih baik dibanding dengan

tanaman tanpa bakteri endofit. Terjadinya hal

tersebut, karena bakteri endofit dapat menekan

perkembangan nematoda dan juga dapat

meningkatkan pertumbuhan tanaman dengan

menghasilkan hormon pertumbuhan seperti

indole acetic acid (IAA), sitokinin dan

meningkatkan kesediaan unsur hara seperti N, P

dan K (Khalid et al., 2004; Thakuria et al., 2004).

Perlakuan bakteri endofit pada tanaman nilam

dapat meningkatkan berat terna dan total minyak

nilam dibanding tanaman tanpa endofit (Tabel 4)

(Harni et al., 2014). Perlakuan bakteri endofit A.

xylosoxidans TT2, memberikan pengaruh tertinggi

terhadap produksi terna dan total minyak nilam

yaitu 4 kg dan 85 ml tetapi tidak berbeda nyata

dengan A. faecalis NJ16 dan P. putida EH11 yaitu

3,56 kg dan 81 ml; 2,9 kg dan 73 ml. Hasil ini

sama dengan karbofuran (nematoda sintetik)

yaitu 2,94 kg dan 74 ml.

Hasil analisis kadar minyak dan patchouli

alkohol pada perlakuan bakteri endofit tidak

berpengaruh nyata terhadap kadar minyak dan

patchouli alkohol (Tabel 3). Kadar minyak yang

Page 43: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 43

diperoleh adalah 2,55-3,25% dan kadar patchouli

alkohol 33,43-35,67%. Walaupun kadar minyak

dan patchouli alcohol tidak berbeda nyata, tetapi

lebih tinggi dari yang dilaporkan Nuryani et al.

(2005) yaitu 2,89% dan 32,95%.

Kopi

Rendahnya produktivitas kopi Indonesia

salah satunya disebabkan oleh serangan

nematoda parasit tanaman yaitu Pratylenchus

coffeae, R. similis dan Meloidogyne sp. Serangan

nematoda ini dapat menyebabkan pertumbuhan

tanaman terganggu dan menurunkan produksi

baik kuantitas maupun kualitas. Nematoda P.

coffeae merupakan nematoda endoparasit

berpindah yang menyerang akar tanaman kopi

dan menyebabkan terjadinya luka akar (root

lesion), sehingga pengangkutan hara tanaman

terganggu (Wiryadiputra, 2006; Harni, 2013).

Luka akibat serangan nematoda juga merupakan

jalan masuk bagi patogen lain, seperti jamur dan

bakteri.

Penggunaan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda pada tanaman kopi

telah dilaporkan oleh Mekete et al. (2009), bakteri

endofit Bacillus pumilus dan B. mycoides

digunakan untuk mengendalikan nematoda

Meloidogyne incognita pada tanaman kopi. Kedua

bakteri tersebut dapat menekan populasi dan

jumlah puru akar nematoda 33% dan 39%. Harni

dan Khaerati (2013) juga telah mengisolasi

beberapa isolat bakteri endofit dari perakaran

kopi di daerah Lampung, dan Jawa Barat. Hasil

isolasi diperoleh 422 isolat dan 3 di antaranya

potensial untuk mengendalikan nematoda

Pratylenchus coffea pada tanaman kopi di rumah

kaca. Bakteri endofit dapat menekan jumlah puru

dan populasi nematoda Meloidogyne spp. pada

tanaman kopi. Isolat terbaik yang dapat

menekan jumlah puru dan populasi nematoda

adalah Bacillus PG132 dan PG76 yaitu 59,8 dan

74,4%. Bakteri endofit juga dapat meningkatkan

pertumbuhan tanaman di banding dengan

kontrol (Tabel 4). Isolat terbaik dalam

Tabel 3. Pengaruh bakteri endofit terhadap produksi terna, kadar minyak dan patchouli alcohol tanaman

nilam

No. Isolat bakteri endofit

Terna (kg)

Kadar minyak

(%)

Kadar patchouli

alcohol (%)

Total minyak

nilam (ml)

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

A. xylosoxidans TT

B. cereus MSK

A. faecalis NJ16

B. subtilis NJ57

P. putida EH11

Karbofuran

Tanpa bakteri endofit

4,00 ± 1,40a

2,26 ± 0,84b

3,56 ± 0,36ab

2,60 ± 0,29b

2,90 ± 0,84ab

2,94 ± 0,37ab

2,54 ± 0,51b

3,03 a

3,25 a

3,10 a

2,62 a

2,55 a

3,03 a

2,81 a

33,43 a

34,35 a

34,84 a

35,67 a

34,03 a

34,12 a

33,15 a

84 a

59

81

66

73

74

66

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji

jarak berganda Duncan, α = 0,05. Sumber: Harni et al. (2014)

Tabel 4. Pengaruh beberapa isolat bakteri endofit terhadap jumlah puru dan populasi nematoda

Meloidogyne spp. pada tanaman kopi

No. Perlakuan Jumlah puru Pengurangan

jumlah puru

(%)

Populasi

(ekor)

Pengurangan

populasi (%)

1. LW 15 32,3 42,9 132,4 65,6

2. PG76 39,3 30,5 146,0 62,1

3. PG132 22,7 59,8 98,6 74,4

4. Karbofuran (pembanding) 32,3 42,9 150,0 61,1

5. Kontrol + 56,6 - 385,2 -

Sumber: Harni (2014).

Page 44: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

44 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

meningkatkan pertumbuhan tanaman kopi

adalah isolat Bacillus sp. PG76.

PROSPEK PENGEMBANGAN BAKTERI

ENDOFIT SEBAGAI AGENS HAYATI

NEMATODA

Prospek pengembangan bakteri endofit

sebagai agens hayati nematoda sangat

menjanjikan, sejalan dengan dukungan terhadap

pembangunan pertanian yang ramah lingkungan,

terutama pada sistem pertanian organik di

negara-negara maju atau pada pertanian secara

umum di negara-negara berkembang.

Penggunaan bakteri endofit sebagai agens hayati

mempunyai banyak kelebihan, di antaranya cara

isolasi yang mudah dan dapat dibiakkan pada

media buatan, cara aplikasinya mudah dan tidak

berulang-ulang, serta dapat memicu

pertumbuhan tanaman (Halmann, 2001; Siddiqui

dan Shaukat 2003).

Bakteri endofit dapat diisolasi dari semua

bagian tanaman seperti akar, batang, daun,

bunga dan buah. Metode isolasi sangat mudah

hanya dengan teknik sterilisasi permukaan

tanaman menggunakan desinfektan, seperti

sodium hipoklorit, etanol, hidrogen peroksida,

merkuri klorida, atau kombinasi dari dua atau

lebih senyawa tersebut (Pleban et al., 1995). Di

samping itu bakteri endofit dapat diperbanyak

pada media buatan seperti media Nutriens agar

(NA), Triptic soya Agar (TSA), Kings B, Lauria

Agar (LA).

Aplikasi bakteri endofit dapat dilakukan

melalui perlakuan benih, penyiraman ke tanah,

penyemprotan suspensi, dan perendaman akar.

Aplikasi bakteri endofit melalui perlakuan benih

dengan perendaman biji telah dilaporkan oleh

Munif dan Hipi (2011) bahwa perlakuan bakteri

endofit melalui perlakuan benih dapat

meningkatkan panjang akar dan tinggi tanaman

jagung. Selanjutnya Harni dan Khaerati (2013)

melaporkan perlakuan bakteri endofit terhadap

bibit kopi melalui seed treatment dapat

meningkatkan persentase tumbuh, tinggi

tanaman, jumlah daun, dan diameter batang.

Perlakuan bakteri endofit dapat juga di

aplikasikan melalui perendaman setek. Harni et

al. (2006) menyatakan pemberian bakteri endofit

nyata mempengaruhi pertumbuhan (tinggi

tanaman, jumlah daun, dan jumlah cabang akar)

dan kualitas bibit (tumbuh sangat baik, seragam,

daun subur).

Bakteri endofit dapat juga diaplikasikan

melalui penyiraman ke dalam tanah. Munif

(2001) mengaplikasikan bakteri endofit ke dalam

tanah pada bibit tomat, bakteri endofit dapat

meningkatkan panjang akar tomat dan menekan

populasi nematoda puru akar (Meloidogyne

incognita). Selanjutnya Harni et al. (2006)

melaporkan bahwa perlakuan bakteri endofit

penyiraman ke dalam tanah dapat menekan

populasi nematoda P. brachyurus dan

meningkatkan pertumbuhan, tetapi perlakuan

dengan perendaman akar lebih baik menekan

populasi nematoda dan lebih ekonomis.

Bakteri endofit sebagai agens hayati

nematoda telah terbukti efektif dalam

mengendalikan nematoda parasit tanaman

seperti pada tanaman lada, nilam, kopi, tomat,

kentang dan kedelai. Pengendalian nematoda

yang banyak dilakukan saat ini adalah

pengunaan nematisida sintetik. Pengunaan

nematisida sintetik selain harganya yang mahal

juga tidak dianjurkan untuk digunakan secara

terus menerus karena dapat mencemari

lingkungan, terbunuhnya organisme bukan

sasaran, dan terdapatnya residu pada produk

pertanian. Pembangunan pertanian saat ini

diarahkan kepada pembangunan yang

berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Pengunaan bakteri endofit salah satunya dapat

menjadi teknologi pengendalian nematoda

parasit tanaman sebagai pengganti nematisida

sintetis karena pengaruhnya sama dalam

mengendalikan nematoda. Di samping itu

produk ini ramah lingkungan dan harganya lebih

murah dibandingkan dengan penggunaan

pestisida sintetis.

Selain sebagai agens hayati bakteri endofit

juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman

karena dapat menghasilkan hormon tumbuh

seperti auxin, sitokinin dan pelarut P serta

beberapa dapat mengfiksasi N. Pengunaan

bakteri endofit juga dapat mengefisienkan

pengunaan pupuk buatan (an organik). Hasil

penelitian (Surette et al., 2003; Asghar et al., 2002),

bakteri endofit dapat meningkatkan

Page 45: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 45

pertumbuhan tanaman, baik secara langsung

ataupun tidak langsung. Secara langsung, bakteri

ini dapat menyediakan nutrisi bagi tanaman,

seperti nitrogen, fosfat, dan mineral lainnya serta

menghasilkan hormon pertumbuhan seperti

etilen, auxin dan sitokinin (Thakuria et al. 2004).

Efek lain dari bakteri endofit adalah peningkatan

penyerapan mineral seperti besi, fosfor dan

nitrogen (Sturz dan Nowak 2000; Surette et al.

2003). Beberapa jenis bakteri endofit seperti

Azospirillum, Enterobacter cloacae, Alcaligenes,

Acetobacter diazotrophicus, Herbaspirillum

seropedicae, Ideonella dechlorantans, dan Azoarcus

sp. telah terbukti meningkatkan fiksasi nitrogen

pada tanaman padi (Elbeltagy et al. 2001). Ladha

dan Reddy (1995) melaporkan bahwa sebanyak

200 kg N/ha/tahun dapat dihasilkan oleh bakteri

endofit.

Bakteri endofit dilihat dari fungsinya

sebagai agens hayati dan pemicu pertumbuhan

tanaman sangat prospek untuk digunakan pada

sistem pertanian yang ramah lingkungan

(pertanian organik). Pada saat ini produk-produk

pertanian untuk di ekspor harus bebas dari

bahan-bahan berbahaya bagi kesehatan seperti

pestisida maupun pupuk sintetis. Prospek

penggunaan biopestisida seperti agens hayati

sangat terbuka, terutama pada sistem pertanian

organik di negara-negara maju atau pada

pertanian secara umum di negara-negara

berkembang seiring dengan harga pestisida

sintetis yang semakin mahal. Salah satu

contohnya adalah, penggunaan biopestisida

(Niranjan Raj et al., 2005). Namun demikian,

pengembangan biopestisida masih menghadapi

kendala karena daya kerjanya lambat, dan

kurang stabilitas di lapangan.

Selain peluang yang ada tersebut dalam

pemanfaatan bakteri endofit sebagai agens

pengendali nematoda parasit tanaman terdapat

beberapa tantangan yang dapat menjadi kendala

dalam pemanfaatan pengendalian hayati patogen

tanaman, untuk itu perlu dicari pemecahannya.

Banyak informasi tentang kegagalan

pengendalian hayati di lapangan kondisi ini

timbul karena pada umumnya mereka tidak atau

kurang mempertimbangkan adanya tantangan di

dalam mengerjakan dan menerapkan

pengendalian hayati terhadap patogen tanaman.

Beberapa tantangan yang ada dalam bekerja

dengan pengendali hayati, di antaranya 1) masa

hidup agensia hayati yang terbatas, 2) agensia

hayati dapat berubah fungsi, 3) terjadinya

pencemaran lingkungan, dan 4) terbatasnya

penyebaran agensia hayati (Soesanto, 2009).

KESIMPULAN

Nematoda parasit tanaman merupakan

salah satu faktor pembatas dalam budidaya

tanaman perkebunan seperti lada, nilam, kopi,

jahe dan tebu. Pengendalian nematoda

mengunakan bakteri endofit mempunyai prospek

yang baik karena berada dalam nische yang sama

dengan patogen dan tidak harus bersaing dalam

ekosistem yang baru dan komplek. Keunggulan

lain dari bakteri endofit sebagai agens hayati

adalah dapat memicu pertumbuhan tanaman

dengan menghasilkan auxin, sitokinin dan

gibrelin dan merangsang pertumbuhan akar.

Bakteri endofit dalam mengendalikan nematoda

dengan mekanisme menginduksi ketahanan,

kompetisi nische dan menghasilkan metabolit

sekunder anti nematoda. Bakteri endofit akan

mempengaruhi penetrasi, reproduksi, dan

populasi nematoda di dalam akar. Prospek

pengembangan bakteri endofit kedepan sangat

terbuka karena bakteri endofit dapat diisolasi

dari semua bagian tanaman, media

perbanyakannya murah, aplikasi mudah dan

tidak berulang-ulang. Bakteri endofit dapat

bersifat agens pengendali hayati dan pemicu

pertumbuhan, pengunaannya dapat mengurangi

pengunaan pestisida sintetis dan pupuk an

organik sehingga sangat mendukung untuk

pertanian yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Anita, B., G. Rajendran, R. Samiyappan. 2004.

Induction of systemic resistance in

tomato against root-knot nematode,

Meloidogyne incognita by Pseudomonas

fluorescens. Nematologica Mediterranea 32:

47-51.

Asghar, H., Z. Zahir, M. Arshad, dan A. Khaliq.

2002. Relationship between in vitro

production of auxins by rhizobacteria

Page 46: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

46 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

and their growth-promoting activities in

Brassica juncea L. Biol and Fertil Soils 35:

231-237.

Bacon, C.W, and S.S. Hinton. 2007. Bacterial

endophytes: The endophytic nische, its

occupants, and its utility. Dalam:

Gnanamanickam SS. Gnanamanickam

(ed.). Plant-Associated Bacteria. Springer,

Berlin. pp. 155–194.

Benhamou, N., RR. Belanger, and Paulitz T. 1996.

Ultrastructural and cytochemical aspects

of the interaction between Pseudomonas

fluorescens and Ri T-DNA transformed

pea roots: host response to colonization

by Pythium ultimum Trow. Planta 199:105-

117.

Biggs, A.R. 1992. Anatomical and physiological

responses of bark tissue to mechanical

injury. Di dalam: Blanchette, RA and

Biggs, AR (ed). Defense Mechanisms of

Woody Plants Agains Fungi. Germany.

pp. 13-40.

Compant, S., B. Reiter, J. Nowak, and E. Ait

Barka. 2005. Endophytic colonization of

Vitis vinifera. Applied Enviromental

Microbiology 71: 1685-1693.

Elbeltagy, A., K. Nishioka, T. Salo, Ye B, T.

Hamada, T. Isawa, H. Mitsam, and K.

Minomusawa. 2001. Endophytic

colonization and in planta nitrogen

fixation by a Herbaspirillum sp. isolated

from wild rice species. Applied and

Environmental microbiology. 67: 5285-

5293.

Gao, FK, Dai, CC and Liu, XZ 2010, Mechanisms

of fungal endophytes in plant protection

against pathogens, African Journal of

Microbiology Research 4:1346–1351.

Hallmann J, Kloepper JW, Rodriguez-Kabana R,

Sikora RA. 1995. Endophytic

rhizobacteria as antagonists of

Meloidogyne incognita on cucumber.

Phytopathology 85: 1136.

Hallmann, J., A. Quadt-Hallmann, W.F.

Mahaffee, and J.W. Kloepper. 1997.

Bacterial endophytes in agricultural

crops. Canadian Journal of Microbiology

43: 895-914.

Hallmann, J. 2001. Plant interaction with

endophytic bacteria. Dalam: Jeger, MJ.

and NJ. Spence, editor. Biotic Interaction

In Plant-Pathogen Associations. CAB

International.

Harni, R. dan I. Mustika. 2000. Pengaruh

infestasi Pratylenchus brachyurus,

Meloidogyne incognita dan Radopholus

similis pada tanaman nilam. Bulettin

Balittro. 11(2): 47-54.

Harni, R., A. Munif, Supramana, dan I. Mustika.

2006. Pengaruh metode aplikasi bakteri

endofit terhadap perkembangan

nematoda peluka akar (Pratylenchus

brachyurus ) pada tanaman nilam. Jurnal

Littri 12(4):161 – 165.

Harni, R., A. Munif, Supramana, I. Mustika. 2007.

Pemanfaatan bakteri endofit untuk

mengendalikan nematode peluka akar

(Pratylenchus brachyurus) pada tanaman

nilam. Jurnal Hayati 14 (1): 7-12.

Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan

Supriadi. 2010. Pengaruh filtrat bakteri

endofit terhadap mortalitas, penetasan

telur dan populasi nematoda peluka akar

Pratylenchus brachyurus pada tanaman

nilam. Jurnal littri 16 (1): 43-47.

Harni, R. 2010. Bakteri endofit untuk

mengendalikan nematoda peluka akar

(Pratylenchus brachyurus ) pada tanaman

nilam. Disertasi Program Doktor IPB.

Bogor.

Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan

Supriadi. 2012b. Keefektifan bakteri

endofit untuk mengendalikan nematoda

Pratylenchus brachyurus pada tanaman

nilam. Jurnal Littri 17(1):6-10.

Harni, R. Supramana, and Supriadi. 2012a.

Potential use of endophytic bacteria to

control Pratylenchus brachyurus on

patchouli. Indonesian Journal of

Agricultural Science 13(2): 84-93.

Harni, R. dan M.S.D. Ibrahim. 2011. Potensi

bakteri endofit untuk menginduksi

ketahanan tanaman terhadap infeksi

Meloidogyne incognita pada tanaman lada.

Jurnal Littri 17(3):118-123.

Page 47: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 47

Harni, R., Supramana, S.M. Sinaga, Giyanto, dan

Supriadi. 2012b. Mekanisme bakteri

endofit mengendalikan nematoda

Pratylenchus brachyurus pada tanaman

nilam. Buletin Penelitian Tanaman

Rempah dan Obat 23(1):102-114.

Harni, R. dan A. Munif. 2012. Pemanfaatan Agens

hayati endofit untuk mengendalikan

penyakit kuning pada tanaman lada.

Buletin Riset Tanaman Rempah dan

Aneka Tanaman Industri 3 (3): 201-206.

Harni, R. dan Khaerati. 2013. Evaluasi bakteri

endofit untuk mengendalikan nematoda

Pratylenchus coffeae pada tanaman kopi.

Bulletin Ristri 4(2): 109-116.

Harni, R. 2013. Strategi pengendalian nematoda

parasit pada tanaman kopi di Indonesia.

Dalam: Bunga Rampai Inovasi Teknologi

Tanaman Kopi untuk Perkebunan

Rakyat. p107-114.

Harni, R. 2014. Pengaruh beberapa isolat bakteri

endofit terhadap nematoda puru akar

(Meloydogyne spp.) pada tanaman kopi.

Prosiding Perlindungan Tanaman II,

Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Harni, R., Supraman, and Supriadi. 2014. Eficacy

of endophytic bacteria in reducing plant

parasitic nematode Pratylenchus

brachyurus. Indonesian Journal of

Agricultural Science 15 (1):29-34.

Hackenberg, G, A. Muehlchen, T. Forge, and T.

Vrain. 2000. Pseudomonas chlororaphis

strain Sm3, bacterial antagonist of

Pratylenchus penetrans. J. Nematol

32:183-189.

Hasky-Gunther, K., S. Hoffmann-Hergarten, and

R.A. Sikora. 1998. Resistance against the

potato cyst nematode Globodera pallida

systemically induced by the rhizobacteria

Agrobacterium radiobacter (G12) and

Bacillus sphaericus (B43). Fundam. Appl.

Nematol. 21 (5):511-517.

Kado, C.I. 1992. Plant pathogenic bacteria. Dalam:

A. Balows, H. G. Truper, M. Dworkin, W.

Harder, K.-H. Schleifer (Eds.), The

Prokaryotes. New York. Springer-Verlag.

Khalid A, M. Arshad, and Z.A. Zahir. 2004.

Screening plant growth promoting

rhizobacteria for improving growth and

yield of wheat . App Microb 96:473-479.

Kimmons, C.A., K.D. Gwinn, and E.C. Bernard.

1989. Reproduction of selected nematode

spesies on endophyte infected tall fescue.

Phytophathology 79: 374.

Kloepper, JW, R. Rodriguez-Ubana, GW.

Zehnder, JF. Murphy, EA. Sikora, and C.

Fernández. 1999, Plant root-bacterial

interactions in biological control of

soilborne diseases and potential

extension to systemic and foliar diseases,

Australasian, Plant Pathology 28:21–26.

Ladha, J.K. and PM. Reddy. 1995. Introduction:

assessing opportunities for nitrogen

fixation in rice a frontier project. Plant

and Soil 194:1-10.

Li, W., DP. Roberts, PD. Dery, LSF. Meyer, S.

Lohrke, RD. Lumsden, and KP. Hebbar.

2002. Broad spectrum antibiotic activity

and disease suppression by the potential

biocontrol agent Burkholderia ambifaria

BC-F. Crop Protection 21:129-135.

Mahdy, M., J. Hallmann, and RA. Sikora. 2001a.

Influence of plant species on the

biological control activity of the

antagonistic rhizobacterium Rhizobium

etli strain G12 toward the root-knot

nematode Meloidogyne incognita. Meded

Rijksuniv Gent Fak Landbouwkd Toegep

Biol Wet 66: 655–662.

Mahdy, M., J. Hallmann., and RA. Sikora. 2001b.

Biological control of different species of

the root-knot nematode Meloidogyne with

the plant health-promoting rhizobac-

terium Bacillus cereus S18. Mededelingen

Landbouwkundige Faculteit Universiteit

Gent .

Mekete, T., J. Hallmann, K. Sebastian, and R.

Sikora. 2009. Endophytic bacteria from

Ethiopian coffee plants and their

potential to antagonise Meloidogyne

incognita. Nematology, 11(1):117-127.

Munif, A. 2001. Studies on the importance of

endophytic bacteria for the biological

control of the root-knot nematode

Meloidogyne incognita on tomato.

Inaugural-Dissertation. Institut fur

Page 48: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

48 Volume 15 Nomor 1,Juni 2016 : 31 -49

Pflanzenkrankheiten der Rheinischen

Friedrich – Wilhelms. Universitat Bonn.

Munif, A., J. Hallmann, and R.A. Sikora. 2013.

The influence of endophytic bacterie on

Meloidogyne incognita infection and

tomato plant growth. J. ISSAAS 19(2):68-

74.

Munif, A. dan R. Harni. 2011. Keefektifan bakteri

endofit untuk mengendalikan nematoda

Meloidogyne incognita pada tanaman lada.

Buletin Riset Tanaman Rempah dan

Aneka Tanaman Industri 2(3): 377-382.

Munif dan Hipi. 2011. Keragaman bakteri endofit

dan rizosfer dari tanaman jagung (Zea

mays) pada media tanam dan varietas

yang berbeda. Seminar Nasional Serealia,

Maros, 3-4 Oktober 2011.

Munif, A. dan Kristina. 2012. Hubungan bakteri

endofit dan nematoda parasit penyebab

penyakit kuning pada tanaman lada di

Provinsi Bangka Belitung. Buletin Riset

Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman

Industri 3(1):71-78.

Mustika I. 1990. Studies on the interaction of M.

incognita, R. similis and Fusarium solani on

black pepper (Piper nigrum L.).

Wageningen Agric Univ. Netherlands 127

p.

Mustika, I., A. Rahmat, dan Suyanto. 1995.

Pengaruh pupuk, pestisida dan bahan

organik terhadap pH tanah, populasi

nematoda dan produksi nilam. Medkom

Penelitian dan Pengembangan Tantri

15:70-74.

Mustika, I. 1996. Penyakit kuning lada dan upaya

pengendaliannya. Monograf lada.

Balittro. Hlm. 130-141.

Mustika I. 2000. Penyakit kuning dan cara

pengendaliannya. Dalam Hama dan

Penyakit Utama Tanaman Lada Serta

Teknik Pengendaliannya. Booklet. Proyek

Penelitian PHT Tanaman Perkebunan.

Hlm. 74-84.

Niranjan Raj, S., HS. SHETTY, and MS. Reddy.

2005. PGPR:Potential green alternative

for plant productivity. In; Z.A. Siddiqui

(ed.), PGPR: Biocontrol and

Biofertilization. Springer, Dordrecht, The

Netherlands. p. 197-216

Nuryani Y, Emizar, and Wiratno. 2005. Patchouli

Cultivation. Circular No. 12. Research

Institute for Medicinal and Aromatic

Crops. Bogor.

Oku, H. 1994. Plant Pathogenesis and Disease

Control. London: Lewis Publ.

Oostendorp, M. and RA. Sikora. 1990. 177 uitro

interrelationships between rhizosphere

bacteria and Heterodera schachtii. Revue de

Nématologie, 13: 269-274.

Pleban, S., F. Ingel, and I. Chet. 1995. Control of

Rhizoctonia solani and Sclerotium rolfsii in

the greenhouse using endophytic Bacillus

spp. European J. Plant Pathol 101:665-

672.

Petrini O. 1992. Fungall endhophytes of tree

leaves. Dalam: Andrews, J.H., and S.S.

Hirano, [editor]. Microbial Ecology of

Leaves. Berlin: Springer Verlag. [CABI]

Commonweal Agricultural Bureaux

International. 2004. Crop Protection

Compendium. P. 179 – 196

Racke, J, and R.A. Sikora. 1992. Isolation,

formulation and antagonistic activity of

rhizobacteria toward the potato cyst

nematode Globodera pallida. Soil Biology

and Biochemistry 24, 521-526.

Reitz, M., K. Rudolph, I. Schroder, S. Hoffmann-

Hergarten, J. Hallmann, and R.A. Sikora.

2000. Lipopolysaccharides of Rhizobium

etli G12 act in potato roots as an inducing

agent of systemic resistance to infection

by cyst nematode Globodera pallida.

Applied and Environ. Microbiol

66(8):3515-3518.

Schulz B, Rommert A, Dammann U, Aust H,

Strack D. 1999. The endophyte-host

interaction: a balanced antagonism.

Mycological Research 103: 1275-1283.

Siddiqui, I.A., and S.S. Shaukat. 2003. Endophytic

bacteria: prospects and opportunities for

the biological control of plant parasitic

nematodes. Nematological Mediterranca

31:111-120.

Siddiqui, I.A., S. Ehteshamul-Haque, and SS.

Shaukat. 2001. Use of rhizobacteria in the

control of root rot-root knot disease

complex of mungbean. Journal of

Phytopathology 149, 337–346.

Page 49: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Prospek Pengembangan Bakteri Endofit Sebagai Agens Hayati Pengendalian Nematoda Parasit ... (RITA HARNI) 49

Sikora, R.A., K. Schafer, and A.A. Dababat. 2007.

Modes of action associated with

microbially induced in planta

suppression of plant parasitic nematodes.

Australasian Plant Pathology 36:124-134.

Sikora, R.A. and S. Hoffmann-Hergarten. 1993.

Biological control of plant parasitic

nematodes with plant-health-promoting

rhizobacteria. Pp. 166-172. In: Pest

management: Biotechnology based

technologies. R.D. Lumsden and J.L.

Vaughn ieds). American Chemical

Society, Washington,USA.

Sriwati, R. 1999. Ketahanan beberapa kultivar

nilam (Pogostemon cablin Benth.) terhadap

Pratylenchus irachyurus (Godfrey) Filipjev.

& Stekhoven [tesis]. Bogor: Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sturz, A.V., B.R. Christie, B.G. Matheson, W.J.

Arsenault, and N.A. Buchanan. 1999.

Endophytic bacterial communities in the

periderm of potato tubers and their

potential to improve resistance to soil-

borne plant pathogens. Plant Pathol

48:360–369.

Sturz, A.V, and Nowak, J. 2000. Endophytic

communities of rhizobacteria and the

strategies required to create yield

enhancing associations with crops. Appl

Soil Ecol 15:183–190.

Soesanto, L. 2009. Pengendalian hayati patogen

tanaman : peluang dan Tantangan dalam

menunjang ketahanan pangan

berkelanjutan. Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar Pada Fakultas

Pertanian, Universitas Jenderal

Soedirman. Purwokerto. P 46.

Surette, M.A., AV. Sturz, RR. Lada, J. Nowak.

2003. Bacterial endophytes in processing

carrots (Daucus carota L. var. sativus):

their localization, population density,

biodiversity and their effects on plant

growth. Plant Soil 253:381–390

Thakuria, D., N.C. Talukdar, C. Goswami, S.

Hazarika, and R.C. Boro. 2004.

Characterization and screening of

bacteria from rhizosphere of rice grown

in acidic soils of Assam. Current Science

86:978-985.

Tian H, Riggs RD, Crippen DL. 2000. Control of

soybean cyst nematode by chitinolytic

bacteria with chitin subtrate. J.

Nematology 32:370-376.

Tian, B., J. Yang, and K. Zhang. 2007. Bacteria

used in the biological control of plant-

parasitic nematodes: populations,

mechanisms ofaction, and future

prospects. FEMS Microbiol Ecol 61 : 197–

213.

Van Loon L.C. and P.A.H.M Bakker. 2006.

Induced systemic resistance as a

mechanism of disease suppression by

rhizobacteria. Di dalam: Siddiqui ZA.

Publishing Springer. PGPR: Biocontrol

and Biofertilization. Nederland. p 39-66.

Wiryadiputra, S. 2006. World Reports Indonesia.

In Sauza R.M. Ed. Plant-Parasitic

Nematodes of Coffee. Springer. P. 277-

284.

Page 50: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 50 -72 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.50-72

ISSN: 1412-8004

50 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

PEMANFAATAN TEKNOLOGI GENOMIKA DAN TRANSFORMASI

GENETIK UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITAS KELAPA SAWIT

The Use of Genomic and Genetic Transformation Technologies for Oil Palm

Productivity Improvement

I MADE TASMA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian

Indonesian Center for Agricultural Biotechnology and Genetic Resources Research and Development

Jalan Tentara Pelajar 3A Bogor 16111- Indonesia

e-mail:[email protected].

ABSTRAK

Salah satu kendala budidaya kelapa sawit adalah

rendahnya produktivitas dengan rataan nasional 4 ton

minyak/ha/tahun jauh dari potensinya yang dapat

mencapai 18,5 ton minyak/ha/tahun. Pemuliaan

kelapa sawit secara konvensional sangat lambat dan

perlu waktu panjang. Diperlukan 10-12 tahun hanya

untuk menyelesaikan satu siklus pemuliaan. Aplikasi

teknologi genomika melalui pemuliaan berbantuan

marka dan rekayasa genetika mempercepat siklus

pemuliaan, mengurangi luas lahan untuk uji daya

hasil, dan mempercepat pelepasan varietas unggul

kelapa sawit. Tujuan dari tulisan ini untuk mengulas

pemanfaatan teknologi genomika dan transformasi

genetik untuk perbaikan produktivitas kelapa sawit

dan potensi aplikasinya untuk perbaikan produktivitas

kelapa sawit di Indonesia. Teknologi genomika telah

menghasilkan peta genom acuan dua spesies kelapa

sawit (Elaeis guineensis dan Elaeis oleifera) yang

menghasilkan gen Shell (Sh) yang mengendalikan

heterosis hasil minyak, ditemukan mekanisme

terbentuknya buah mantel, dan sebagai fondasi untuk

penemuan gen-gen unggul dan pengembangan marka

molekuler kapasitas tinggi yang mengakselerasi

program pemuliaan kelapa sawit. Pemanfaatan marka

gen Sh dan kit pendeteksi bibit penghasil buah mantel

mempercepat siklus pemuliaan kelapa sawit dan

sarana seleksi bibit tenera unggul untuk menjamin

peningkatan produktivitas kelapa sawit. Perbanyakan

individu tanaman unggul terpilih dengan teknik kultur

in vitro menjamin penggunaan bibit yang seragam di

lapang. Teknologi rekayasa genetika potensial

digunakan untuk perbaikan bahan tanaman kelapa

sawit dengan kualitas dan gizi minyak tinggi serta

produk kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai

bioplastik. Resekuensing tiga genotipe kelapa sawit

Indonesia menghasilkan jutaan variasi genom sebagai

sumberdaya pemuliaan bernilai tinggi untuk

percepatan program pemuliaan kelapa sawit nasional.

Teknologi genomika dan rekayasa genetika sangat

potensial diaplikasikan di Indonesia mendukung

program perbaikan produktivitas dan mutu minyak

kelapa sawit nasional.

Kata kunci: Kelapa sawit, Elaeis guineensis, Elaeis

oleifera, genomika, marka DNA,

transformasi genetik, seleksi berbantuan

marka.

ABSTRACT

One of the main constrains oil palm cultivation in

Indonesia is the low productivity with national yield

average of 4 ton oil/ha/year much lower than the yield

potential of up to 18.5 ton oil/ha/year. Conventional

breeding method is a slow process and time

consuming. It takes 10-12 years just to complete a

breeding cycle. Applying genomic together with DNA

tansformation methods should expedite oil palm

breeding program. The objective of this manuscript

was to review the application of genomic and DNA

transformation technologies to improve oil palm

productivity and its potential use for yield

improvement program in Indonesia. Genomic

technology has resulted reference genome sequence

map of two oil palm species (E. guineensis and E.

oleifera) that resulted the isolation of Sh gene

controlling oil yield heterosis, discovery of mantled

fruit mechanism, and as a foundation for superior gene

and tait-associated marker discoveries to accelerate oil

palm breeding program. The use of Sh gene markers

together with mantled fruit detection kit at early stages

of plant development accelerates oil palm breeding

Page 51: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 51

cycle and facilitates mantled seedling detection to

guarantee productivity improvement. Multiplication of

superior individual plants using in vitro culture should

guaranty plantation high productivity in the field.

Genetic engineering technique is potentially applied to

improve palm oil quality and nutrition content as well

as developing products useful for producing

bioplastics. Resequencing studies of three Indonesian

oil palm genotypes resulted millions of genomic

variations (SNPs and Indels) important for high valued

breeding resources to accelerate national oil palm

breeding programs. Genomic as well as DNA

transformation technologies are potentially applied in

Indonesia to support national oil palm productivity

and oil quality improvement programs.

Key words: Oil palm, Elaeis guineensis, Elaeis oleifera,

genomics, DNA marker, genetic

transformation, marker-assisted selection.

PENDAHULUAN

Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.)

merupakan tanaman penghasil minyak nabati

yang paling produktif di dunia apabila

dibandingkan dengan jenis tanaman penghasil

minyak nabati lainnya seperti kanola, kelapa,

kedelai, dan bunga matahari. Walaupun kelapa

sawit hanya ditanam pada areal sekitar 5% dari

total areal tanaman penghasil minyak nabati

dunia, tetapi kelapa sawit mampu menghasilkan

sekitar 33% dari total produksi minyak nabati

dunia dan menghasilkan sekitar 45% dari total

produksi minyak makan dunia (Singh et al.,

2013b; Pootakham et al., 2015).

Produktivitas minyak tanaman kelapa sawit

per satuan luas lahan 3-8 kali lebih tinggi jika

dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak

nabati lainnya. Pada tahun 2012, misalnya

sebanyak 56,2 juta ton minyak kelapa sawit

dihasilkan oleh lahan hanya seluas17,24 juta ha.

Pada tahun yang sama, pertanaman kanola seluas

36,4 juta ha hanya mampu menghasilkan minyak

kanola 23,6 juta ton (Singh et al., 2013b; Barcelos

et al., 2015). Dengan demikian kelapa sawit

diharapkan mampu memenuhi pertumbuhan

permintaan minyak nabati dunia dalam jumlah

besar dengan volume permintaan yang

diperkirakan mencapai 240 juta ton minyak

nabati pada tahun 2050 (Corley, 2009).

Produktivitas kelapa sawit rata-rata dunia

saat ini hanya sekitar 3,5 ton minyak/ha/tahun,

jauh dari potensinya yang diestimasi dapat

mencapai 18,5 ton minyak/ha/tahun dengan

mempertimbangkan semua atribut fisiologi

optimal (Corley, 1998). Potensi hasil tersebut di

atas adalah sekitar dua kali lipat dari

produktivitas varietas kelapa sawit terbaik yang

tersedia di pasar benih kelapa sawit saat ini.

Produktivitas kelapa sawit yang luar biasa tinggi

(12-13 ton minyak/ha/tahun) dapat diantisipasi

apabila individu-individu tanaman penghasil

tinggi tersebut dapat diperbanyak secara masal

dengan teknik klonal yang handal tanpa

menghasilkan buah abnormal (Sharma dan Tan,

1997; Ting et al., 2013). Namun perbanyakan

klonal menggunakan metode somatic

embryogenesis (SE) masih menghadapi kendala

lamanya proses untuk menghasilkan bibit klonal

kelapa sawit SE dan munculnya buah abnormal

(buah mantel) yang merugikan petani pekebun

(Ong-Abdullah et al., 2015).

Peta genom rujukan dua spesies kelapa

sawit (Singh et al., 2013a; Jin et al., 2016), yaitu

spesies asal Afrika (E. guineensis) dan kelapa

sawit asal Amerika (E. oleifera) merupakan modal

utama untuk menemukan gen-gen unggul

mendukung perbaikan varietas unggul

produktivitas tinggi melalui aplikasi pemuliaan

berdasarkan marker-assisted selection (MAS)

menggunakan materi genetik dari aksesi-aksesi

kedua spesies kelapa sawit (E. guineensis dan E.

oleifera) serta teknologi rekayasa genetika untuk

perbaikan varietas kelapa sawit untuk ketahanan

penyakit utama dan kualitas minyak yang lebih

sehat dan bernilai gizi tinggi untuk dikonsumsi

manusia. Dengan teknologi genomika dan

transformasi genetik, ketimpangan daya hasil

yang dicapai saat ini (4 ton/ha) dan potensi hasil

(18,5 ton/ha) dapat dipersempit (Seng et al., 2011;

Jin et al., 2016).

Tujuan dari tulisan ini untuk mengulas

status teknologi genomika dan aplikasinya pada

pemuliaan kelapa sawit dimulai dari

diselesaikannya sekuen genom acuan dua spesies

kelapa sawit, penemuan gen penyandi produksi

minyak (Sh), mekanisme terjadinya buah mantel,

pemetaan gen-gen penting, deteksi dan

pemanfaatan karakter unggul dari spesies

Page 52: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

52 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

kerabat liar (E. oleifera), teknik regenerasi in

vitro,dan pemanfaatan teknologi transformasi

genetik untuk perbaikan produktivitas dan mutu

dan gizi minyak kelapa sawit. Tujuan lainnya

adalah untuk menganalisis potensi pemanfaatan

teknologi genomika untuk digunakan pada

program perbaikan produktivitas pertanaman

kelapa sawit di Indonesia.

TIGA TIPE KELAPA SAWIT

Genus Elaeis termasuk famili Arecaceae,

merupakan salah satu famili tanaman berbunga

(flowering plants) tertua di dunia (Purseglove,

1972). Genus Elaeis terdiri dari dua spesies yaitu

E. guineensis yang berasal dari Afrika Barat dan E.

oleifera yang berasal dari Amerika Tengah dan

Amerika Selatan (Zeven, 1965; Meunier dan

Boutin, 1975; Cochard et al., 2005). E. guineensis

tipe tenera mempunyai kandungan minyak

tinggi sehingga spesies ini telah lama digunakan

dalam industri perkebunan kelapa sawit di

dunia. E. oleifera dipihak lain memiliki

kandungan asam lemak tak jenuh (unsaturated

fatty acid) lebih tinggi, kaya vitamin A dan

vitamin E, tanamannya lebih pendek dan tahan

serangan penyakit penting (Cochard et al., 2005;

Barcelos et al., 2015). Kedua spesies dapat

disilangkan untuk menghasilkan biji fertil

(Hardon dan Tan, 1969; Tandon et al., 2001).

Tanaman kelapa sawit pertama kali dibawa

ke Indonesia dari Afrika Barat melalui Mauritius

dan Amsterdam pada tahun 1884 (Corley dan

Tinker, 2003) ketika empat tanaman kelapa sawit

ditanam di Kebun Raya Bogor sebagai tanaman

hias. Industri perkebunan kelapa sawit dimulai

pada awal abad ke 20 (sekitar 1920) dan

walaupun tanaman memiliki siklus pemuliaan

yang panjang (10-12 tahun), memerlukan areal

luas untuk uji daya hasil, materi genetik dengan

produktivitas minyak tinggi (12 ton/ha/tahun)

telah berhasil diperoleh dalam waktu < 100 tahun

(Corley dan Tinker, 2003).

Buah kelapa sawit termasuk buah pelok

(drupe) terdiri dari mesocarp (mengandung

minyak kasar, CPO), endocarp (cangkang buah,

shell), dan kernel (biji) (Montoya et al., 2014;

Hartley, 1988; Billote et al., 2010). Berdasarkan

jenis ketebalan cangkang buahnya, dikenal tiga

tipe kelapa sawit yaitu dura, pisifera, dan tenera

dengan kandungan minyak setiap tipe berbeda,

tergantung pada ada atau tidak adanya gen

penyandi ketebalan cangkang (Shell gene, Sh)

yang menyandi jenis ketebalan lapisan lignin dari

cangkang yang membungkus biji (Purba et al.,

2000) (Gambar 1). Tipe kelapa sawit dura

memiliki cangkang tebal (2-8 mm) dan mampu

menghasilkan minyak sekitar 5,3 ton/ha/tahun.

Tipe pisifera, tidak memiliki cangkang, biasanya

memiliki bunga betina steril dan tandannya cepat

membusuk sebelum memproduksi minyak

(Singh et al. 2013b; Barcelos et al., 2015).

Persilangan antara tipe dura dan pisifera

menghasilkan kelapa sawit tipe tenera yang

merupakan turunan hibrida F1 dengan cangkang

berukuran tipis (0,5-3 mm). Tipe tenera ini

memiliki kemampuan menghasilkan minyak

lebih tinggi dibanding tipe dura, sekitar 7,4 ton

minyak/ha/tahun (Hartley, 1988). Karena

keunggulannya tersebut, maka tipe hibrida F1

tenera ini telah lama digunakan sebagai bibit

unggul untuk memproduksi minyak kelapa sawit

secara kommersial oleh berbagai jenis

perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara

(Rajanaidu et al., 2000; Purba et al., 2000; Seng et

al., 2011).

Gen Sh diwariskan secara kodominan

dimana ketiga genotipe tanaman (homosigot

dominan, heterosigot, dan homosigot resesif)

dapat dibedakan dengan jelas (Beirnaert dan

Vanderweyen, 1941; Singh et al., 2013b). Tipe

dura memiliki genotipe homosigot dominan

Sh/Sh dan tipe pisifera memiliki genotipe

homosigot resesif (sh/sh). Bunga betina tipe

pisifera biasanya steril. Tipe tenera yang

merupakan keturunan F1 dari tipe dura dan

pisifera, memiliki genotipe heterosigot (Sh/sh)

(Gambar 1) (Hartley, 1988; Billote et al., 2010;

Singh et al., 2013b).

Identifikasi tipe kelapa sawit secara

konvensional biasanya dilakukan dengan cara

membelah buah kelapa sawit secara melintang

(Gambar 1). Pengujian ini baru dapat dilakukan

setelah tanaman mulai berproduksi dan

menghasilkan tandan buah (Singh et al., 2013b;

Ting et al., 2014). Identifikasi dengan cara

konvensional ini, tidak dapat dilakukan pada

tanaman yang belum menghasilkan, apalagi

Page 53: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 53

tanaman yang masih pada fase pembibitan.

Padahal, kepastian jenis bahan tanam (dura,

pisifera, atau tenara) yang ditanam petani

pekebun sangat menentukan produktivitas

kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit.

Menanam bibit yang bukan tipe tenera (dura dan

pisifera) mengakibatkan berkurangnya produksi

tandan buah segar (TBS) dan produksi minyak

kelapa sawit kasar (crude palm oil, CPO) per

satuan luas.

Produktivitas pertanaman di kebun menjadi

tidak optimal karena pertanaman tidak hanya

tipe tenera tetapi bercampur dengan tipe lainnya

(dura atau pisifera), yang mengakibatkan tingkat

produktivitas TBS bisa mencapai hanya 50%,

sedangkan rendemen minyak CPO dapat

mencapai maksimal hanya 17-18% tergantung

tingkat kontaminasi pertanaman dari tipe non

tenera (Singh et al., 2013b). Untuk mengurangi

tingkat kerugian petani pekebun sebagai akibat

dari kontaminasi bibit bukan tenera, identifikasi

tanaman bukan tenera tersebut harus dapat

dilakukan pada saat fase bibit (nursery). Disinilah

kekuatan teknologi genomika yang mengisolasi

gen ketebalan cangkang (Sh). Identifikasi marka

molekuler gen Sh tersebut akan membantu

deteksi tanaman non tenera pada fase bibit yang

menghindari kerugian petani dan menjamin

produktivitas tinggi bibit unggul yang ditanam

petani pekebun.

GENOM, BAHAN TANAM, DAN

PEMULIAAN KONVENSIONAL KELAPA

SAWIT

Genom Kelapa Sawit

Kelapa sawit termasuk tanaman diploid

yang memiliki 16 kromosom (2n=32) dengan

ukuran genom 1,8 miliar basa (giga basa, Gb)

(Bennett dan Smith, 1991; Singh et al., 2013a).

Analisis sekuen genom total E. guineensis tipe

pisifera dan E. oleifera menunjukkan bahwa

genom kelapa sawit sangat kaya dengan genom

duplikasi (duplicated regions) mengindikasikan

bahwa kelapa sawit mempunyai riwayat genom

tetraploid (paleo tetraploid) (Singh et al., 2013a).

Sebanyak 57% genom E. guineensis merupakan

sekuen berulang (repeated sequences) dimana 73%

dari elemen berulang tersebut absen pada genom

E. oleifera. Analisis sekuen transkriptom dari 30

jaringan tanaman kelapa sawit menunjukkan

bahwa genom kelapa sawit diprediksi

mengandung sedikitnya 34.802 gen (Singh et al.,

2013a). Namun, analisis sekuen genom total E.

guineensis tipe dura memprediksi bahwa kelapa

Keterangan:

Panel (a), tipe buah dari genotipe dura (Sh/Sh) memiliki

cangkang berbahan lignin (lignified shell) tebal yang

mengelilingi kernel dalam buah kelapa sawit dimana

cangkang serupa absen pada genotipe pisifera (sh/sh). Hasil

persilangan tipe dura dan tipe pisifera menghasilkan

genotipe hibrida F1 tenera (Sh/sh) yang memiliki ketebalan

cangkang tipis/medium. Panel (b), cangkang (lapisan lignin)

buah dari tipe dura, tenera, dan pisifera yang diwarnai

dengan zat pewarna phloroglucinol untuk pewarnaan lignin

(warna merah) dari cangkang buah. Sumber: Singh et al.

(2013b).

Gambar 1. Tiga tipe buah kelapa sawit (Elaeis guineensis).

Page 54: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

54 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

sawit E. guineensis tipe dura memiliki 36.015 gen

dan 75% gen tersebut mengkode protein yang

ada di data base genom berbagai spesies tanaman

(Jin et al., 2016).

Bahan tanam unggul

Bahan tanam kelapa sawit unggul

merupakan modal utama untuk mendapatkan

produktivitas tinggi. Dengan bahan tanam

unggul maka produksi tandan buah segar (TBS)

dan produksi minyak jauh lebih tinggi

dibandingkan penggunaan bibit asalan. Varietas

tenera merupakan bahan tanam yang paling

banyak digunakan dalam perkebunan kelapa

sawit komersial saat ini (Toruan-Mathius et al.,

1997; Purba et al., 2000; Barcelos et al., 2015), sebab

hibrida F1menunjukkan keragaan fenotipe

superior melebihi kedua tetuanya. Tipe tenera

lebih disukai untuk digunakan sebagai bahan

tanam komersial karena mempunyai proporsi

kandungan minyak di dalam mesocarp buahnya

30% lebih tinggi dibandingkan dengan tipe dura

(Setiyo et al., 2001, Fauzi et al., 2012). Beberapa

tenera unggul persentase daging buahnya dapat

mencapai 90% dan kandungan minyak per

tandannya dapat mencapai 28% (Purba et al.,

2000; Singh et al., 2013b).

Meskipun target produsen kelapa sawit

adalah untuk menanam hanya bibit tenera, tetapi

kontaminasi non-tenera dapat terjadi karena

beberapa sebab, termasuk diantaranya

penggunaan serbuk sari dari tanaman non

pisifera tanpa sengaja, penyerbukan sendiri pada

bunga tetua betina tipe dura, dan penyerbukan

dari bunga tanaman tipe dura yang ada di sekitar

kebun persilangan (Corley, 2009). Kontaminasi

ini menjadi masalah karena fenotipe buah dari

bibit yang ditanam baru dapat diidentifikasi

setelah tanaman mulai berproduksi dan

menghasilkan buah normal, yaitu pada saat

tanaman di lapang sudah berumur sekitar 5-6

tahun. Pada kondisi tanaman sudah mulai

menghasilkan, penggantian kontaminasi non

tenera sangat sulit dilakukan karena tanaman

muda pengganti tidak akan tumbuh normal

sebagai akibat tanaman muda tersebut tertutup

oleh kanopi dari pertanaman di sekitarnya yang

jauh lebih tua dengan perkembangan kanopi

yang sudah maksimal. Oleh sebab itu, metode

deteksi bibit yang bukan tipe tenera pada fase

pembibitan menjadi sangat penting. Aplikasi

teknologi genomika membantu mendesain marka

molekuler gen Sh yang dapat digunakan untuk

identifikasi tanaman non tenera pada fase bibit

(Singh et al., 2013b).

Pemuliaan Kelapa Sawit Konvensional

Kelapa sawit termasuk tanaman tahunan

menyerbuk silang dan industri perkebunan

kelapa sawit di dunia sampai saat ini umumnya

mengaplikasikan metode pemuliaan

konvensional yang diadopsi dari metode

pemuliaan jagung yang merupakan tanaman

semusim menyerbuk silang dengan metode

pemuliaannya yang sangat maju. Ada dua jenis

metode pemuliaan yang diaplikasikan pada

kelapa sawit yaitu metode modified recurrent

selection (MRS) yang diaplikasikan di Timur Jauh

(Far East) pertama kali dikembangkan oleh

Unilever, dan metode modified reciprocal recurrent

selection scheme (MRRS) yang diaplikasikan di

Afrika Barat dan Indonesia yang pertama kali

dikenalkan oleh CIRAD (Centre de Co-operation

Internationale en Recherche Agronomique pour le

Development, France) (Purba et al., 2000; Soh et al.,

2003; Soh at al., 2009).

Pada metode MRRS, tetua Dura (D) dan

Tenera (T) diidentifikasi melalui keragaan dari uji

progeni (progeny test) dari turunan silangan D x T.

Tetua D dan T yang menunjukkan keragaan

terbaik dari hasil uji progeni kemudian diserbuk

sendirikan atau diserbuk secara terbuka (sibbed)

dan D dan pisifera (P) yang dihasilkan digunakan

sebagai pasangan tetua unggul untuk

dikomersialkan. Untuk mempercepat program

pemuliaan, penyerbukan sendiri dan

penyerbukan terbuka dibuat bersamaan dengan

uji progeni, namun metode ini memerlukan lahan

yang sangat luas, sumberdaya pemuliaan dan

biaya yang sangat mahal (Soh, 1999).

Pada pemuliaan menggunakan teknik MRS,

genotipe tipe dura (D) diseleksi berdasarkan

keragaan famili dan keragaan individu tanaman

sehingga metode ini juga dikenal dengan metode

seleksi berdasarkan famili dan individu tanaman

(Rosenquist, 1990) tanpa adanya uji keturunan

(progeny test) dari tipe D. Tanaman genotipe

pisifera (P) dipilih berdasarkan keragaan

Page 55: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 55

pesilangan setetua (sib) tipe T pada persilangan T

x T/P. Genotipe tipe P yang terpilih kemudian

disilangkan dengan tipe D terpilih untuk

membentuk genotipe tipe hibrida T yang

digunakan pada uji keturunan dan T yang

menunjukkan keragaan superior (unggul)

dianggap bahwa tetua P terpilih dapat digunakan

untuk pembentukan benih unggul D x P

menggunakan tipe D yang menunjukkan daya

gabung umum terbaik dengan tipe P terpilih.

Kombinasi persilangan D x P terbaik tersebut

kemudian digunakan untuk membuat

persilangan untuk pembentukan benih tipe T

komersial. Keuntungan dari metode ini, bahwa

sistem pemuliaan ini dapat dengan cepat

menghasilkan varietas unggul kelapa sawit tipe T

walaupun tetua D belum sempat diuji

keturunannya (Soh dan Hor, 2000)

Sebagai tanaman tahunan, kelapa sawit

mempunyai siklus generasi yang panjang. Buah

kelapa sawit menjadi matang setelah berumur 5

bulan sejak dilakukan penyerbukan. Perlu waktu

100-120 hari untuk mengecambahkan benih

termasuk 40-60 hari perlakuan panas pada benih

(heat treatment), diikuti 10-12 bulan

menumbuhkannya di pembibitan. Tanaman

kemudian baru mulai berbuah pada umur 2-3

tahun setelah penanaman di lapang (Mayes et al.,

2008). Pada umur pertanaman di lapang 2-3

tahun ini, tipe buah (dura, pisifera, atau tenera)

kemudian baru dapat diidentifikasi dan

pengamatan komponen hasil baru dapat dimulai.

Secara keseluruhan, dengan demikian akan

diperlukan setidaknya 8-10 tahun bahkan

umumnya 10-12 tahun untuk menyelesaikan satu

siklus pemuliaan (Wong dan Bernardo, 2008),

agar data pengamatan materi genetik yang diuji

lengkap dan tanaman yang terpilih dapat

diperoleh untuk digunakan pada siklus

pemuliaan berikutnya.

Rival (2007) melaporkan beberapa kendala

utama yang dihadapi oleh pemulia kelapa sawit

konvensional pada pemuliaan kelapa sawit

secara konvensional, diantaranya adalah

panjangnya setiap generasi dan siklus seleksi (10-

12 tahun) yang memerlukan areal penelitian yang

luas; terbatasnya pengetahuan diversitas genetik

dan tingkat heterosigositas dari materi genetik

yang diuji; kompleksnya ekspresi fenotipik dari

karakter kuantitatif yang diinginkan menjadi

target pemuliaan; dan tidak tersedianya metode

untuk menentukan ketiga tipe kelapa sawit

(dura, pisifera, atau tenera) sejak dini

pertumbuhan tanaman yaitu pada level bibit

sebelum bibit tersebut ditanam di lapang.

Konfirmasi tipe kelapa sawit (bentuk buah

dan ketebalan cangkang) yang dimiliki pada level

bibit menggunakan marka molekuler untuk

ketebalan cangkang menjadi sangat penting.

Sebagai contoh, hanya 50% tipe pisifera

diharapkan diperoleh pada persilangan T x P.

Jika identitas P dapat diketahui sejak dini pada

level bibit, maka hanya tipe P yang akan ditanam

di lapang sehingga pemuliaan dan uji individu P

akan dapat dilakukan dengan lebih fokus dan

akan mendapatkan tipe P unggul lebih cepat dan

dengan cara yang jauh lebih efektif dan efisien.

Dengan bantuan marka molekuler gen ketebalan

cangkang buah (Sh) akan menghemat

penggunakan sumber daya pemuliaan, karena

penggunaannya akan lebih efisien dan efektif

sehingga varietas unggul baru akan diperoleh

lebih cepat dengan biaya yang lebih murah

dibandingkan dengan pemuliaan metode

konvensional.

SEKUEN GENOM ACUAN UNTUK

AKSELERASI PROGRAM PEMULIAAN

KELAPA SAWIT

Untuk mengeksplorasi kandungan genetik

total dan potensi genetiknya secara utuh

diperlukan melakukan pengurutan susunan basa

genom total (whole genome sequencing) dari genom

kelapa sawit. Langkah awal untuk identifikasi

urutan basa komprehensif tersebut, diperlukan

adanya peta genom acuan (reference genome

sequence) kelapa sawit seperti telah dilakukan

pada spesies tanaman penting lainnya seperti

padi (Yu et al., 2002), jagung (Schnable et al.,

2009), kedelai (Schmutz et al., 2010), kakao

(Argout et al., 2011), kentang (Xu et al., 2011), date

palm (Al-Dous et al., 2011), dan pisang (D’Hont et

al., 2012). Sekuen genom acuan ini menjadi

pedoman untuk studi lanjutan dari berbagai

individu aksesi/genotipe anggota spesies

maupun spesies yang berkerabat dekat dengan

kelapa sawit. Revolusi teknologi sekuensing

Page 56: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

56 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

DNA dengan teknologi NGS menurunkan biaya

sekuensing genom yang memungkinkan

menyekuen lebih banyak genom spesies tanaman

dengan biaya yang terjangkau (Varsney et al.,

2009; Varsney et al., 2012; Tasma 2015b; Tasma

2016a).

Saat ini sekuen genom acuan kelapa sawit

dari dua spesies kelapa sawit telah tersedia untuk

umum (Singh et al., 2013a; Jin et al., 2016).

Ukuran genom kelapa sawit diperkirakan sebesar

1,8 GB dan dari ukuran genom tersebut 1,54 GB

sudah selesai disekuen dan urutan basanya telah

tertata dengan baik. Sekuen genom acuan ini

menggunakan genotipe kelapa sawit E. guineensis

tipe pisifera AVROS dan spesies kerabat liar

kelapa sawit (E. oleifera) yang telah dipublikasi

dan sekuennya dapat diakses oleh publik (Singh

et al., 2013a). Akhir-akhir ini dilaporkan juga

sekuen genom E. guineensis tipe dura (Jin et al.,

2016) yang memperkaya informasi data sekuen

genom kelapa sawit secara keseluruhan.

Ketersediaan sekuen genom acuan dari dua

spesies kelapa sawit tersebut sangat penting

dalam studi genom komparasi (comparative

genomic study) antara kedua spesies, dimana

kedua spesies tersebut dapat disilangkan untuk

introgresi karakter penting yang dimiliki E.

oleifera, namun karakter tersebut tidak dimiliki

oleh spesies E. guineensis, karena hasil silangan

kedua spesies menghasilkan biji fertil (Hardon

dan Tan, 1969; Tandon et al., 2001). Spesies E.

oleifera dilaporkan memiliki beberapa keunggulan

fenotipe seperti misalnya batangnya yang pendek

(laju pertumbuhan batang yang lambat); tahan

terhadap serangan beberapa penyakit penting;

komposisi minyaknya yang kaya akan vitamin A

dan vitamin E; minyaknya lebih sehat untuk

dikonsumsi karena kandungan asam lemak tak

jenuh (unsaturated fatty acid) yang tinggi (Barcelos

et al., 2015). Pengetahuan sekuen acuan E. oleifera

melalui studi genomika modern, dengan

demikian menjadi sangat penting untuk

mengetahui potongan-potongan DNA yang

mengendalikan karakter-karakter unggul

tersebut untuk digunakan pada program

pemuliaan untuk memperbaiki kelemahan dari

varietas unggul spesies E. guineensis yang

tersedia saat ini.

Genom kedua spesies juga kaya dengan area

duplikasi genom (genome duplication regions) yang

mengindikasikan bahwa kelapa sawit pada

awalnya merupakan tanaman tetraploid (paleo

tetraploid) dan pada proses evolusinya genom

kelapa sawit berubah menjadi tanaman dengan

genom diploid. Sekitar 57% sekuen E. guineensis

adalah sekuen berulang (repeated elements),

dimana 73% dari element berulang tersebut absen

pada genom E. oleifera (Singh et al., 2013a) yang

menunjukkan bahwa telah terjadi spesiasi tingkat

molekuler (molecular speciation) yang intensif

yang juga kelihatannya berpengaruh terhadap

tingkat fertilitas dari benih yang dihasilkan dari

persilangan kedua spesies tersebut (Barcelos et

al., 2015).

Genom kelapa sawit diprediksi memiliki

sedikitnya 34.802 gen berdasarkan analisis data

sekuen genom dan data sekuen transcriptome dari

30 tipe jaringan tanaman kelapa sawit (Singh et

al., 2013a). Untuk mempelajari tingkat metilasi

genom kelapa sawit yang terkait dengan studi

epigenetika, telah juga disekuen pustaka genom

dari E. guineensis yang telah difilter kandungan

metilnya (methylated-filter libraries) (Low et al.,

2014). Dari data tersebut telah ditemukan

mekanisme terjadinya fenomana buah mantel

kelapa sawit yang diakibatkan oleh hilangnya

senyawa metil pada retrotransposon Karma pada

gen DEFICIENS (Ong-Abdullah et al., 2015).

Analisis penemuan SNP melalui penjajaran data

resekuen genom pada masing-masing spesies

diperoleh berturut-turut sebanyak 2,30 dan 2,83

variasi single nucleotide polymorphisms (SNPs)

untuk E. guineensis dan E. oleifera pada setiap 100

basa sekuen.

GEN TUNGGAL PENGENDALI

KANDUNGAN MINYAK PADA BUAH

DIISOLASI

Gen mayor tunggal yang dikenal dengan

gen ketebalan cangkang (Shell gene, Sh) telah

diisolasi dari genom kelapa sawit berkat bantuan

teknologi sekuensing dan genomika modern serta

regulasi gen tersebut mengendalikan daya hasil

minyak tanaman kelapa sawit (Singh et al.,

2013b). Identifikasi gen pengendali ketebalan

cangkang buah kelapa sawit dan mutasinya

Page 57: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 57

memunculkan tipe buah dura, tenera dan pisifera

menjelaskan fenomena heterosis gen tunggal

pada tanaman kelapa sawit tipe tenera (Singh et

al., 2013b). Protein dari gen Shell adalah protein

faktor transkripsi MADS box tipe II yang

memiliki homologi dengan protein Seedstick

(STK) pada tanaman model Arabidopsis thaliana

dan protein OsMADS13 pada tanaman padi.

Protein-protein tersebut merupakan anggota

jaringan protein faktor transkripsi yang

mengendalikan proses diferensiasi bakal biji

(ovule), biji, dan endocarp yang memiliki lignifikasi

pada A. thaliana serta diferensiasi bakal biji (ovule)

dan fertilitas pada tanaman padi (Favaro, 2003;

Pinyopich, 2003; Dinneny dan Yanofsky, 2005).

Protein MADS-box berfungsi melalui proses

heterodimerisasi dengan protein anggota MADS-

box keluarga lainnya. Seperti yang diperkirakan

dari analisis homologi, protein Shell tipe liar (wild

type) melakukan proses heterodimerisasi atau

bergandengan dengan protein Sepallata MADS-

box dari tanaman padi yang bernama OsMADS24

dari hasil pembuktian menggunakan analisis

yeast two hybrid system (Singh et al., 2013b). Alel

dari mutan shMPOB ditemukan di antara progeni

turunan tenera T128 dari Nigeria yang memiliki

perubahan nukleotida ‚T‛menjadi ‚C‛ yang

berakibat pada perubahan asam amino ‘leusin’

menjadi ‘prolin’ pada lokasi penting yaitu lokasi

terkonservasi (conserved region) dari domain

protein MADS-box. Alel mutan shAVROS yang

teridentifikasi dari silsilah 50 tahun persilangan

yang memisahkan alel pisifera AVROS yang

berasal dari Kongo (Afrika) memiliki perubahan

nukleotida ‚A‛ menjadi ‚T‛ yang menyebabkan

perubahan asam amino ‘lysine’ menjadi ‘arginin’

(Singh et al., 2013b). Kedua mutasi ini terjadi

dalam struktur alfa heliks (alpha helix structure)

dari protein MADS-box. Struktur ini biasa

ditemukan pada semua domain MADS-box yang

terlibat untuk proses heterodimerisasi dan ikatan

untuk DNA.

Kelapa sawit dengan tipe buah dura yang

bercangkang tebal adalah homozygot untuk

nukleotida tipe liar atau wild type (ShDeliDura) pada

masing-masing dua posisi varian nukleotida.

Heterosigositas baik untuk alel shMPOB atau

shAVROS (ShDeliDura/ shMPOB atau ShDeliDura/shAVROS)

menghasilkan tipe buah tenera bercangkang

medium atau tipe tenera. Kelapa sawit

homozigot untuk masing-masing mutasi atau

heteroallelic untuk kedua mutasi (heterozygot

untuk mutasi shAVROS pada satu kromosom dan

mutasi heterozigot shMPOB pada kromosome yang

lainnya) menghasilkan tipe buah pisifera yang

tidak bercangkang. Kasus dimana tipe pisifera

tanpa cangkang yang memiliki kedua alel shAVROS

dan shMPOB yang tidak saling melengkapi

fungsinya membuktikan identitas dari gen Shell

(Singh et al., 2013b).

Penemuan pendeteksi gen Shell dan gen

mutan yang terlibat dalam penentuan tipe bentuk

buah memungkinkan pengujian secara molekuler

yang lebih akurat dan lebih tepat untuk

memprediksi tipe bentuk buah pada fase

pembibitan sebelum bibit kelapa sawit ditanam

di lapangan. Deteksi ini dapat menentukan

tingkat persentase kontaminasi non tenera (dura

atau pisifera) di perkebunan sehingga dapat

digunakan untuk mengukur dampak ekonomi

akibat ketidakmurnian (kontaminasi) bibit tenera

oleh bibit non tenera yang ditanam di lapang. Kit

untuk deteksi kemurnian bibit tenera secara

akurat yang disintesis berdasarkan sekuen gen Sh

telah dikembangkan berkat tersedianya data

sekuen genom rujukan kelapa sawit yang

memfasilitasi penemuan dan isolasi gen penting

ini. Metode deteksi akurat ini telah ditemukan

untuk membantu industri perkebunan kelapa

sawit untuk deteksi materi genetik unggul kelapa

sawit pada fase awal pertumbuhan tanaman

(pada fase pembibitan) yang mencegah

penanaman bibt yang bukan tenera unggul.

Teknologi genomika modern telah mampu

mengisolasi gen vital (Sh) yang menentukan

tinggi rendahnya hasil minyak suatu genotipe

kelapa sawit.

Anggota famili gen Mad-box lainnya selain

gen Sh yang perlu menjadi perhatian untuk

perbaikan bahan tanaman kelapa sawit ke depan

antara lain Agamous-like15 (Agl15) yang

meregulasi peningkatan keberhasilan

embriogenesis somatik pada Arabaidopsis. Fungsi

gen ini adalah mengkatabolisme asam giberelat

yang sangat relevan dengan proses

embriogenesis somatik dengan target gen-gen

yang dipengaruhi ekspresinya adalah Leafy

Cotyledon2, Fusca3, dan ABA Insensitive3, yang

Page 58: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

58 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

proteinnya merupakan regulator kunci pada

proses embriogenesis somatik tanaman (Zheng et

al., 2009). Gen dengan fungsi mirip dengan Agl15

yang menstimulasi proses embrio somatik pada

tanaman dikenal dengan gen Baby Boom (BBM)

yang diisolasi dari genom Brassica napus, dan Bn-

BBM hanya diekspresikan pada proses

embriogenesis dan perkembangan biji (Boutilier

et al., 2002). Overekspresi gen ini pada Brassica

napus dan Arabidopsis menginduksi

embryogenesis pada kedua tanaman tanpa

diperlukan adanya tambahan zat pengatur

tumbuh dari luar kultur (Boutilier et al., 2002).

Transformasi genetik kedua gen ini (Agl15 dan

Bn-BBM) ke genom kelapa sawit unggul

diharapkan mampu meningkatkan keberhasilan

perbanyakan klonal kelapa sawit melalui teknik

embrio somatik yang saat ini tingkat keberhasilan

dan efisiensinya masih sangat rendah.

REGENERASI IN VITRO KELAPA SAWIT

UNTUK PERBANYAKAN

KLONAL DAN TRANSFORMASI GENETIK

GEN UNGGUL

Regenerasi tanaman kelapa sawit secara in

vitro sangat penting untuk memperbanyak

individu tanaman unggul secara klonal. Individu

tanaman unggul dengan produktivitas tinggi

individu terpilih yang dapat mencapai 12-13 ton

minyak/ha/tahun dapat dilakukan secara

vegetatif menggunakan teknik in vitro. Bahan

tanam yang ditanam di lapang menjadi seragam

dan merupakan klon dari individu unggul

terpilih. Penguasaan metode regenerasi in vitro

yang handal dan dengan pengulangan metode di

laboratorium masih tetap menghasilkan bahan

tanaman dengan kualitas dan kuantitas yang

sama (reproducibilty tinggi) juga merupakan

prasyarat mendasar agar dapat melaksanaan

penelitian transformasi genetik menggunakan

teknik rekayasa genetika untuk merakit tanaman

transgenik yang memiliki karakter unggul target

pemuliaan.

Perbanyakan individu terpilih tanaman

kelapa sawit unggul melalui kultur in vitro

meningkatkan produktivitas tanaman di lapang

sekitar 30% lebih tinggi dibandingkan dengan

menggunakan benih hibrida komersial D x P

(Wahid et al., 2005). Namun demikian, secara

umum perbanyakan tanaman kelapa sawit

dengan teknik kultur in vitro saat ini masih belum

efisien karena memerlukan waktu panjang dan

tenaga banyak untuk memproduksi bibit klonal.

Hanya sekitar 15% eksplan yang digunakan akan

menghasilkan kalus dan hanya 3% kalus akan

menghasilkan embrio somatik (Soh et al., 2006).

Induksi, pematangan, dan tingkat

pengecambahan embrio somatik pada tanaman,

termasuk kelapa sawit dipengaruhi oleh

beberapa faktor diantaranya adalah komposisi

media, vitamin, asam amino, dan zat pengatur

tumbuh seperti auksin dan sitokinin (Asad et al.,

2009).

Somatik embriogenesis kelapa sawit sudah

berhasil dilakukan oleh cukup banyak peneliti

menggunakan metode yang berbeda-beda baik

dari segi komposisi media, zat pengatur tumbuh,

dan sumber eksplan yang digunakan (Mariska et

al., 2012; Marbun et al. 2015; Kerdsuwan dan Te-

Chato, 2015). Mariska et al. (2012) sebagai contoh,

menguji berbagai komposisi media kultur untuk

menghasilkan embrio somatik menggunakan

eksplan spear (daun muda yang belum

membentuk klorofil) yang diuji pada lingkungan

kultur berbeda. Komposisi media terbaik untuk

proliferasi kalus embrionik adalah MS diperkaya

dengan casein hidrolisat 500 mg/l, sukrosa 30 g/l,

arang aktif 3 g/l dan 2,4-D 50 mg/l. Formulasi

media optimum untuk pendewasaan tunas

adalah MS modifikasi diperkaya dengan BA 0,5

mg/l, kinetin 0,05 mg/l dan arang aktif 3 g/l. Dari

penelitian ini telah dihasilkan ratusan struktur

embrio somatik kelapa sawit dengan kotiledon

dan tunas (Mariska et al., 2012). Marbun et al.

(2015) melaporkan peningkatan induksi embrio

somatik kelapa sawit menggunakan teknik

temporary immersion system (TIS) menggunakan

media dan interval waktu perendaman yang

berbeda. Komposisi media terbaik untuk

meningkatkan proliferasi kalus embriogenik

menggunakan TIS adalah MSD dengan interval

waktu perendaman setiap tiga jam selama tiga

menit. Kerdsuwan dan Te-Chato (2015) berhasil

mengiduksi embrio somatik kelapa sawit

menggunakan eksplan akar yang ditumbuhkan

pada media OPCM yang diperkaya dengan 3%

sukrosa, 200 mg/l asam askorbat dan 0,5 mg/l

Page 59: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 59

NAA. Telah diperoleh sebanyak 1,2 embrio

somatik dari setiap eksplan akar dengan

persentase pembentukan embrio somatik yang

dapat mencapai 80%.Keberahasilan perbanyakan

in vitro kelapa sawit ini merupakan modal dasar

dan fondasi sangat penting untuk dapat

melakukan penelitian transformasi genetik gen-

gen penting dalam rangka perakitan tanaman

transgenik kelapa sawit pembawa gen-gen

unggul yang menjadi target pemuliaan.

MEKANISME BUAH MANTEL

DIKETAHUI DAN DETEKSI MUTAN

MANTEL PADA FASE BIBIT

DIKEMBANGKAN

Mekanisme terjadinya abnormalitas buah

kelapa sawit (yang lebih dikenal dengan buah

mantel) telah diketahui dan telah dilaporkan

pada majalah Nature 2015 (Ong-Abdullah et al.,

2015). Abnormalitas buah merupakan masalah

utama perbanyakan tanaman kelapa sawit

dengan menggunakan teknik kultur in vitro yang

dapat menghasilkan variasi somaklonal pada

bibit. Celakanya lagi, bahwa abnormalitas dari

bibit yang ditanam tersebut baru dapat diketahui

setelah tanaman berproduksi yaitu setelah

tanaman berumur sekitar 4-6 tahun setelah tanam

di lapang. Dengan diketahuinya mekanisme

terjadinya buah mantel tersebut, terbuka jalan

untuk mengembangkan metode deteksi bahan

tanam yang berpotensi menghasilkan buah

mantel pada fase awal pertumbuhan tanaman

(fase bibit) sehingga bahan tanaman hasil

perbanyakan dengan teknik kultur in vitro dapat

dianalisis pada level bibit tingkat

abnormalitasnya dan bibit yang ditanam oleh

petani pekebun adalah benar-benar bibit normal

yang menghasilkan tanaman kelapa sawit yang

berbunga dan berbuah normal di lapang. Metode

deteksi dini ini tentu menghemat waktu, biaya,

dan meyakinkan petani pekebun bahwa bibit

yang mereka tanam adalah bibit unggul yang

berbuah normal, yang akan berdampak pada

produktivitas per hektar dan berpengaruh juga

pada produksi kelapa sawit nasional, pendapatan

petani pekebun dan pendapatan negara dari

pajak. Dengan diketahuinya bibit yang ditanam

unggul (benar-benar tipe tenera normal) dan

dapat berbunga dan berbuah normal,

menguntungkan petani pekebun dan juga negara

produsen minyak kelapa sawit.

Terjadinya buah mantel karena fenomena

epigenetik selama proses perbanyakan bahan

tanam dengan teknik in vitro. Epigenetik

menghasilkan fenotipe berbeda bukan karena

perbedaan sekuen pada gen pengendali karakter

pembungaan atau buah tetapi karena perbedaan

ekspresi gen pengendali karakter tersebut.

Ekspresi gen ditentukan salah satunya pada ada

tidaknya metilasi pada sekuen gen. Analisis

epigenetic wide association study (EWAS) dan

bisulfite sequencing genom kelapa sawit berbuah

normal dan yang berbuah mantel menunjukkan

bahwa proses epigenetik pada buah mantel

kelapa sawit ini terjadi karena hilangnya gugus

metil (hypomethylated) pada retrotransposon yang

diberi nama ‘karma’ berlokasi pada intron

(tepatnya pada tempat pemotongan intron, intron

splicing site) dari sekuen gen pembungaan yang

dinamakan dengan gen DEFISIENS (Ong-

Abdullah et al., 2015). Hilangnya gugus metil

pada tempat pemotongan intron (inton splicing

site) tersebut menyebabkan proses pemotongan

intron pada pembentukan messenger RNA

(mRNA) gen tidak menggunakan normal exon

untuk pemotong intron, tetapi sebagai gantinya

menggunakan retrotransposon ‘karma’ dan

produk pemotongan intron ini menghasilkan

bacaan mRNA gen DEFISIENS berbeda dari pada

cara pemotongan intron normal dan sebagai

akibatnya menghasilkan protein mutan dan

fenotipe bunga mantel (Gambar 2c) (Ong-

Abdullah et al. 2015). Tanaman dengan buah

mantel yang memiliki ‘karma’ dengan tanpa

gugus metil pada splicing site intron gen

DDEFISIENS disebut dengan karma jelek (bad

karma). Dipihak lain, adanya gugus metil pada

intron splicing site ‘karma’ yang menghasilkan

bunga dan buah normal disebut dengan karma

baik (good karma) (Gambar 2a).

Mekanisme epigenetik buah mantel diatas

menghasilkan metode uji sederhana untuk

membedakan tanaman yang mampu

menghasilkan buah normal dari tanaman yang

berpotensi menghasilkan buah mantel. Uji

epigenetik sederhana (simple epigenetic test), mirip

dengan metode deteksi murah pada orang hamil

Page 60: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

60 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

untuk mendeteksi panel penyakit pada bayi yang

masih dalam kandungan sedang dikembangkan

untuk dapat mendeteksi tanaman yang

berpotensi menghasilkan buah mantel pada fase

bibit dan bahkan pada fase planlet pada

perbanyakan bibit yang akan meningkatkan

produktivitas kelapa sawit. Dengan metode

deteksi ini bibit unggul akan dapat diperbanyak

dengan cepat menggunakan teknik kultur in vitro

(in vitro culture) tanpa ada kekhawatiran akan

menghasilkan tanaman mantel. Metode deteksi

ini dan bibit normal yang terseleksi berdampak

pada peningkatan produktivitas kelapa sawit per

satuan luas dan peningkatan produktivitas

minyak kelapa sawit nasional termasuk juga

peningkatan pendapatan petani pekebun dan

pendapatan negara dari pajak disamping juga

mengurangi luasan lahan yang dipergunakan

untuk perluasan perkebunan kelapa sawit.

Dampak penemuan mekanisme buah mantel

sebagai hasil pemanfaatan teknologi genomika

modern dari sekuen genom rujukan kelapa sawit,

teknologi EWAS untuk pemetaan metilasi pada

genom total, dan bisulfite resequencing genom

untuk genotipe dengan buah normal dan

genotipe dengan buah mantel telah

menghasilkan teknologi yang secara nyata akan

meningkatkan produktivitas kelapa sawit per

satuan luas yang akan mengurangi pemanfaatan

lahan untuk menghasilkan tonase minyak kelapa

sawit yang sama.

PENGEMBANGAN VARIETAS KELAPA

SAWIT TIPE IDEAL

Pemanenan buah kelapa sawit yang

umumnya dilakukan secara manual biayanya

sangat mahal, sulit dilakukan terutama pada

tanaman kelapa sawit berumur lanjut yang

ketinggiannya bisa mencapai 25-30 m perlu

tenaga intensif (Corley dan Tinker, 2003). Perlu

sistem mekanisasi untuk memanen buah kelapa

sawit dengan batang tinggi, tandan buah jatuh ke

tanah ada yang terlepas dari tandan buah sebagai

akibat benturan buah dengan tanah disaat buah

jatuh dari ketinggian. Diperlukan tenaga kerja

tambahan untuk memungut buah yang terlepas

pada saat panen.

Alternatif yang lebih menarik adalah

merakit varietas unggul dengan batang pendek

(laju pertumbuhan batang lambat) yang menjadi

tantangan tersendiri bagi pemulia kelapa sawit.

Tanaman dengan batang pendek lebih ekonomis

dibudidayakan disamping memperpanjang masa

produktivitas tanaman kelapa sawit di lapang.

A B C

Gambar 2. Keragaan buah kelapa sawit normal

(gambar paling kiri) dan buah

mantel (mantled fruit, gambar paling

kakan).

Keterangan: Panel A, buah normal; panel B, buah mantel

fertil; panel C, buah mantel partenokarpi. Keragaan buah

utuh (gambar paling atas), irisan buah longitudinal

(gambar tengah), dan irisan buah melintang (gambar paling

bawah). Panah warna hitam menunjukkan karpel semu

(pseudocarpels), dan panah warna putih menunjukkan biji

(kernel) buah kelapa sawit. Peneliti genomika telah

menemukan mekanisme terjadinya buah mantel yaitu

hilangnya unsur metil pada transposon ‚Karma‛ yang

berlokasi pada gen DEFICIENS yang dapat menyebabkan

terjadinya buah mantel (mantled fruit) karena mekanisme

epigenetik (epigenetic mechanism). Menggunakan

mekanisme epigenetik tersebut, test kit sederhana

dikembangan dan bisa digunakan petani pekebun untuk

mengidentifikasi bibit tanaman mutan yang potensiall

menghasilkan buah abnormal pada fase awal pertumbuhan

tanaman (pada fase bibit) bahkan tanaman masih pada fase

kultur jaringan dan memisahkan tanaman abnormal

(dengan buah mantel) dari tipe bibit yang menghasilkan

buah normal. Sumber: Ong-Abdullah et al. (2015).

Page 61: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 61

E. guineensis yang berasal dari Afrika Barat

saat ini banyak dibudidayakan oleh industri

perkebunan kelapa sawit di dunia khususnya

yang dominan di Asia Tenggara mempunyai laju

pertumbuhan batang (height increment) cukup

cepat, yaitu 45-75 cm/tahun. Laju pertumbuhan

batang E. oleifera yang berasal dari Amerika

Selatan jauh lebih lambat yaitu sekitar 5-10

cm/tahun (Corley dan Tinker, 2003). Hibrida F1

hasil persilangan E. guineensis dan E. oleifera

mempunyai laju pertumbuhan batang medium

(mid-parent heigh increment) berkisar 15 – 25

cm/tahun yang menunjukkan kemanfaatan dari

introgresi gen batang pendek dari spesies kerabat

liar E. oleifera ke genom kelapa sawit budidaya E.

guineensis. Strategi ini memungkinkan industri

kelapa sawit di dunia untuk menciptakan

berbagai genotipe F1 hasil silangan kedua

spesies, salah satunya adalah seri genotipe kelapa

sawit berbatang pendek di Malaysia dengan laju

pertumbuhan batang 40 cm/tahun dengan

potensi hasil 7 ton/ha/tahun (Rajanaidu, 1994;

Rajanaidu et al., 2000). Di Kosta Rika juga telah

dikembangkan genotipe kelapa sawit berbatang

pendek dan toleran temperatur rendah dan

kekeringan hasil persilangan antara E. guineensis

Ekona dan E. oleifera Bamenda (Barcelos et al.,

2015).

Quantitative trait loci (QTL) yang

mengendalikan karakter laju pertumbuhan

batang sudah dipetakan pada kromosom (linkage

group) 5 pada genom kelapa sawit dan QTL

tersebut dapat menjelaskan 51% varian fenotipik

tinggi batang yang dikatagorikan sebagai QTL

mayor yang berperan penting dalam menentukan

fenotipe tinggi batang (Lee et al., 2015). Analisis

lokasi QTL lebih detil pada sekuen genom

rujukan menunjukkan bahwa QTL tersebut

berada pada kisaran sekuen DNA sepanjang 65,6

kb, pada area sekuen tersebut ditemukan delapan

gen, salah satunya adalah gen penyandi

asparagine synthase-related protein yang diduga

sebagai gen pengendali QTL tinggi batang pada

progeni tenera pada penelitian ini (Lee et al.,

2015).

Satu progeni tanaman hibrida F1 hasil

persilangan E. oleifera dengan E guineensis yang

dilakukan di Kosta Rika menunjukkan fenotipe

selain batangnya pendek juga menunjukkan

fenotipe daun yang jauh lebih pendek

dibandingkan dengan varietas kelapa sawit E

guineensis standar dura x pisifera.

Pengembangan hibrida ini lebih lanjut

menghasilkan bahan tanam unggul COMPACT

yang dijual secara komersial. Laju pertumbuhan

batang varietas COMPACT < 40 cm/tahun

(Escobar dan Alvarado, 2004). Dibandingkan

dengan panjang daun (7-8 m) pada bibit unggul

standar dura x pisifera, varietas COMPACT

mempunyai panjang daun 6,5 m yang

meningkatkan jumlah populasi menjadi 180-200

tanaman/ha dibandingkan dengan 138-143

tanaman pada perkebunan standar

menggunakan bibit hibrida F1 dura x pisefera

(Corley dan Tinker, 2003; Escobar dan Alvarado,

2004).

Hasil persilangan COMPACT dengan

standar E. guineensis seperti Deli Dura

menghasilkan panjang daun 6,5-6,9 m yang juga

masih lebih baik dibandingkan standar varietas

kelapa sawit E. guineensis. Varietas baru yang

mendekati tipe ideal tersebut tentu

menguntungkan petani pekebun karena

meningkatkan jumlah populasi yang ditanam per

hektar yang berimplikasi pada kenaikan

produktivitas kelapa sawit/ha dan efisiensi dalam

pemanfaatan lahan. Pemanfaatan teknologi

genomika modern dan tersedianya sekuen

genom rujukan dua varietas kelapa sawit sangat

menentukan keberhasilan dan kecepatan

identifikasi dan isolasi gen-gen penting ini (gen

pengendali batang pendek dan gen pengendali

panjang daun yang menentukan masa

produktivitas, kemudahan panen, lebar kanopi

pertanaman dan jumlah pohon yang bisa

ditanam per satuan luas). Marka DNA yang

didesain berdasarkan gen-gen penting ini

digunakan untuk mempercepat introgresi

karakter unggul dan menyeleksinya

menggunakan teknik MAS. Teknologi genomika

mengakselerasi pemuliaan tanaman tipe ideal

dengan produktivitas tinggi ini yang

berimplikasi pada perbaikan produktivitas

kelapa sawit.

Page 62: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

62 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

PENGEMBANGAN VARIETAS DENGAN

MUTU MINYAK TINGGI

Delapan puluh persen minyak kelapa sawit

dunia digunakan untuk industri makanan dan

20% sisanya digunakan untuk industri

oleochemical seperti sabun, deterjen, pelarut,

bahan pelumas (lubricant), bioplastik dan

biodiesel (Rosillo-Calle et al., 2009). Akhir-akhir

ini dengan berkembangnya industri bahan bakar

terbarukan, minyak kelapa sawit bersama-sama

dengan minyak nabati lainnya juga dimanfaatkan

sebagai bahan bakar substitusi solar (biodiesel).

Jenis minyak kelapa sawit dengan

kandungan lemak tak jenuh (unsaturared fatty

acid) tinggi lebih disukai untuk digunakan

sebagai produk makanan karena lebih sehat,

demikian juga untuk tujuan biodiesel minyak

kelapa sawit dengan kandungan lemak tak jenuh

tinggi juga lebih diminati (Oguma et al., 2012;

Barcelos et al., 2015). Minyak kelapa sawit

mengandung sekitar 50% asam lemak jenuh

(saturated fatty acid) yang terdiri dari 40% asam

palmitat (C14:0), 5% asam stearat (C18:0) dan

sejumlah kecil asam miristat/miristic acid (C14:0).

Sebagian porsi lainnya adalah asam lemak tak

jenuh (unsaturated fatty acid) yang terdiri 40%

asam oleat (C18:1) dan 10% asam linoleat tak

jenuh poli/polyunsaturated linoleic acid (C18:2)

(Sabanthamurthi et al., 2000; Noh et al., 2002;

Prada et al., 2011).

Pada program pemuliaan perbaikan kualitas

minyak kelapa sawit, karakter minyak dengan

kandungan asam lemak tidak jenuh (unsaturated

fatty acid) yang tinggi menjadi target pemulia

untuk mendapatkan minyak kelapa sawit dengan

mutu tinggi. Indeks iodin (iodine index) biasanya

digunakan untuk mengukur tingkat ketidak

jenuhan asam lemak pada genotipe kelapa sawit

(Cadena et al., 2013). Minyak dari E. guineensis

mempunyai nilai iodin (iodine value) sekitar 50-

60% sedangkan minyak E. oleifera memiliki nilai

iodin 70-80% (Chavez dan Sterling, 1991).

Hibrida F1 hasil silangan E. guineensis dan

E.oleifera menghasilkan minyak dengan nilai

iodin 58-71% (Ong et al., 1981). Hasil penelitian

Montoya et al. (2014) menunjukkan bahwa gen-

gen pengendali karakter komposisi minyak ini

tidak berpautan dengan komponen hasil biomas

seperti hasil TBS dan persentase minyak pada

buah (mesocarp). Informasi ini menggembirakan

pemulia karena memudahkan pemulia

memperbaiki komposisi minyak kelapa sawit

untuk meningkatkan kandungan asam lemak

tidak jenuh minyak kelapa sawit.

Telah ditemukan beberapa SNP yang berada

pada gen kandidat yang berasosiasi dengan QTL

karakter biosintesis lemak tak jenuh asam oleat

(C18:1), hasil analisis sekuen intensif dari sekuen

genom kelapa sawit (Singh et al., 2013a; Montoya

et al., 2014). Hal ini memfasilitasi introgresi gen-

gen pengendali karakter komposisi minyak

kualitas tinggi dari E. oleifera ke genom kelapa

sawit E. guineensis menggunakan teknik MAS

atau metode seleksi genom (genomic selection).

Aplikasi teknologi genomika mempercepat

transfer gen unggul kualitas minyak tinggi dari

genom E. oleifera ke genom E. guineensis.

KEMAJUAN DAN POTENSI APLIKASI

TEKNOLOGI REKAYASA

GENETIKA PADA TANAMAN KELAPA

SAWIT

Teknologi rekayasa genetika dengan

semua kelebihannya dibandingkan teknik

pemuliaan konvensional adalah alat untuk

menciptakan produk dengan nilai tambah tinggi

dari tanaman produk rekayasa genetika (PRG)

kelapa sawit. Teknik rekayasa genetika

mengatasi masalah rendahnya keragaman

sumber gen (gene pool) kelapa sawit dengan

sejarah cikal bakal varietas yang ada saat ini

diawali dari pemanfaatan empat tanaman koleksi

Kebun Raya Bogor untuk program pemuliaan

kelapa sawit. Pemanfaatan sumber-sumber gen

dari luar termasuk lintas genus dan kingdom

memungkinkan dilakukan dengan teknik

transformasi genetik. Namun rekayasa genetika

juga memerlukan teknik transformasi dan sistem

regenerasi in vitro yang handal. Sistem

regenerasi tersebut telah tersedia pada kelapa

sawit dan dengan modal sistem regenerasi in

vitro yang cukup handal tersebut, tanaman

transgenik kelapa sawit telah berhasil dirakit

pada tahun 1996 yang pada mulanya diarahkan

untuk karakter mutu minyak tinggi kelapa sawit

(Kadir, 2003).

Page 63: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 63

Perakitan varietas kelapa sawit tansgenik

pada mulanya diarahkan untuk perbaikan mutu

minyak dengan komposisi minyak yang lebih

sehat dengan kandungan asam lemak tidak jenuh

yang tinggi menggunakan gen-gen yang

berperan penting pada proses biosintesis asam

lemak. Untuk meningkatkan komposisi asam

oleat (asam lemak tak jenuh) dengan teknik

rekayasa genetika dari gen yang menyandi enzim

kunci pada biosintesis asam palmitat yaitu b-

ketoacyl-ACPsynthaseII (KASII) atau gen

penyandi palmitoyl-ACP thio esterase

(Sambanthamurthi et al., 2009). Aktivitas enzim

KASII dilaporkan berkorelasi positif dengan

kandungan asam lemak tak jenuh pada seri

genotip kelapa sawit PORIM di Malysia

(Sambanthamurthi et al., 2009).

Hasil studi pada tanaman model A. thaliana

menunjukkan bahwa penurunan tingkat aktivitas

enzim KASII sudah mencukupi untuk

mengkonversi minyak pada biji Arabidopsis

menyerupai karakteristik minyak kelapa sawit

(Pidkowich et al., 2007). Penggunaan promoter

yang diekspresikan spesifik pada mesocarp kelapa

sawit (mesocarp-specific promoter) dan aplikasi

metode antisense RNA dari gen KASII dan gen

palmitoyl-ACP thio esterase diharapkan

menghasilkan tanaman transgenik dengan

komposisi minyak yang kaya akan asam lemak

tak jenuh seperti asam oleat. Teknologi rekayasa

genetika, disamping aplikasi teknologi genomika,

dengan demikian juga berperan penting dan

cukup prospekstif untuk menghasilkan bahan

tanaman unggul kelapa sawit dengan

karakteristik minyak katagori sehat dan

berkualitas tinggi untuk tujuan industri karena

kandungan asam lemak tak jenuhnya yang

tinggi.

Kegiatan rekayasa genetik lainnya adalah

penciptaan produk bioplastik dengan

mentransformasikan tiga gen dari bakteri yang

mengkode enzim 3-ketothiolase (bktB), acetoacetyl-

CoA reductase (phaB) dan PHB synthase (phaC)

yang terlibat pada biosintesis PHB dari Acetyl-

COA pada bakteri ditransformasi ke kalus

embriogenik kelapa sawit (Parveez et al., 2008).

Untuk menghasilkan copolymer

polyhydroxybutyrate–co-valerate (PHBV), gen

threonine dehydratase (tdcB) dari Escherichia coli

ditransformasi ke kalus embriogenik kelapa sawit

untuk menghasilkan propionyl-CoA, substrat dari

hydroxyvalerate. Gen-gen ini diekspresikan di

bawah kendali promoter Ubiquitin dari jagung.

Penelitian ini menghasilkan ratusan planlet

transgenik mengandung transgen stabil yang

dipelihara pada fasilitas uji terbatas (FUT).

Dengan kontroversi pemanfaatan PRG

untuk pangan dan pakan, dalam jangka pendek,

pemanfaatan hasil penelitian rekayasa genetika

kelapa sawit masih menghadapi tantangan

pemasaran global, khususnya untuk ekspor ke

negara-negara Uni Eropa (UE) termasuk Inggris

yang kebanyakan anggota UE masih belum dapat

menerima pangan PRG. PRG kelapa sawit yang

dihasilkan sampai saat ini masih pada tahapan

penelitian dan belum memasuki tahapan

komersialisasi diantaranya karena kontroversi

PRG untuk pangan. Dengan demikian, hasil PRG

ini ke depan sebaiknya perlu lebih diarahkan

untuk produk-produk kelapa sawit bernilai

tinggi non pangan seperti misalnya minyak sawit

yang diolah untuk tujuan biodiesel dan bukan

untuk tjuan produk pangan. PRG yang

dihasilkan dengan demikian, sebaiknya lebih

diarahkan untuk perakitan produk-produk

industri yang non pangan. Ke depan dengan

semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia,

berkurangnya ketersediaan lahan pertanian,

meningkatnya cekaman lingkungan, dan

berkurangnya ketersediaan air, kecukupan

pangan dunia kelihatannya salah satunya akan

dicukupi oleh pangan PRG. Dengan semakin

ketatnya uji keamanan produk PRG, pangan PRG

ke depan kemungkinan akan menjadi salah satu

alternatif mengatasi defisit pangan dunia,

sehingga penelitian rekayasa genetika menjadi

sangat penting untuk dikuasai yang

pelaksanaannya mesti dimulai dari saat sekarang

ini kalau tidak mau ketinggalan aspek

penguasaan teknologinya.

RESEKUENSING GENOM TOTAL

GENOTIPE KELAPA SAWIT INDONESIA UNTUK AKSELERASI PEMULIAAN

KELAPA SAWIT NASIONAL

Tersedianya sekuen genom acuan (reference

genome sequence) kelapa sawit (Singh et al. 2013a;

Jin et al., 2016) membuka strategi untuk

Page 64: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

64 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

meresekuen berbagai genotipe kelapa sawit

menggunakan teknologi next generation sequencing

(NGS). Sekali suatu peta genetik sekuen genom

acuan suatu spesies tanaman tersedia, peneliti

genomika dapat melakukan resekuensing

individu aksesi kedua, ketiga, keempat, kelima,

dan seterusnya dari anggota spesies yang sama

menggunakan very low-cost short read technologies

(NGS) seperti HiSeq dari Illumina (Thomson,

2014; Tasma 2014a; Tasma 2015b; Tasma 2016a).

Untaian sekuen pendek (100 -150 bp) tidak perlu

diassembly satu dengan yang lainnya, tetapi

dipetakan kembali ke sekuen genom acuan untuk

mengidentifikasi perbedaan genetik antara

sekuen acuan dan sekuen individu kedua, ketiga,

dan seterusnya. Dengan demikian, sejumlah

perbedaan dapat didokumentasikan dan

perbedaan genetik ini digunakan untuk

menjelaskan perbedaan antar genotipe (varietas)

dalam suatu spesies, misalnya daya hasil,

ketahanan hama dan penyakit, tinggi batang,

panjang kanopi, waktu pembungaan, komposisi

asam lemak pada minyak, serta toleransi

kekeringan (Tasma, 2015a; Tasma 2016a).

Penelitian resekuensing dapat digunakan dalam

survey keragaman dalam spesies, penemuan

metode genotyping marka SNP kapasitas tinggi

untuk percepatan pelabelan gen/QTL unggul

dengan populasi persilangan atau populasi

plasma nutfah diversitas luas melalui metode

genome wide association studies (GWAS).

Tersedianya peta genom acuan

memungkinkan penelitian resekuensing untuk

mengerti lebih baik terhadap susunan genom

individu koleksi plasma nutfah (Tasma, 2015b;

2016a). Informasi genotipe individu plasma

nutfah memfasilitasi percepatan penemuan

berbagai variasi genetik untuk mendukung

program pemuliaan tanaman yang terarah, lebih

cepat dan lebih akurat menggunakan metode

pemuliaan paradigma baru yaitu pemuliaan

tanaman berbasis data genomika (Tasma 2014a;

Tasma 2015a). Hal ini didukung oleh tersedianya

peta genetik marka molekuler densitas tinggi

kelapa sawit untuk mempercepat pelabelan gen-

gen/QTL unggul serta karakterisasi secara akurat

koleksi plasma nutfah kelapa sawit (Bilotte et al.,

2005; Tasma dan Arumsari, 2013; Tasma, 2014b).

Program pemuliaan tanaman ke depan akan

lebih berfokus pada komparasi komposisi genom

individu plasma nutfah yang membuka peluang

penggunaan kombinasi strategi baru pemetaan

genetik dan analisis evolusi untuk penemuan dan

pemanfaatan variasi genetik SDG tanaman

dengan lebih optimal dan lebih komprehensif

untuk menunjang program pemuliaan tanaman

yang sinambung dan lestari (Tasma, 2015a;

Tasma 2015b). Resekuensing berbagai galur

unggul (superior lines) dan individu aksesi plasma

nutfah juga dapat mengidentifikasi keunikan

setiap genotipe SDG tanaman. Hal ini akan

menjadi identitas dari varietas, galur, maupun

individu aksesi sebagai sidik jari dari individu

tersebut seperti telah dilaporkan sebelumnya

(Tasma, 2015a; Tasma 2016a).

Di Indonesia penelitian resekuensing genom

kelapa sawit sudah dilakukan di Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang

dimulai sejak tahun 2011. Resekuensing

dilakukan terhadap tiga genotipe kelapa sawit

Indonesia yaitu tipe dura, pisifera, dan spesies

kerabat liar kelapa sawit E. oleifera asal Brasil

menggunakan teknologi NGS Hiseq. Penjajaran

data resekuen tersebut dengan sekuen genom

rujukan kelapa sawit (Singh et al., 2013a)

menghasilkan lebih dari 3,34 juta variasi genom

yang terdiri dari 3,0322 juta single nucleotide

polymorphism (SNP) dan 303.109 insersi dan delesi

(Indel) (Tasma 2015b; Tasma et al. 2015; Tasma et

al., 2016b). Dari penjajaran data sekuen tersebut

telah diperoleh satu variasi genom pada setiap

197 basa pada genom kelapa sawit (Tabel 1).

Dari 3,34 juta variasi genom yang terdeteksi

berdistribusi pada berbagai lokasi pada genom

kelapa sawit [di hulu lokasi gen, di hilir,

intergenik, dan pada gen (exon dan intron)].

Namun, kebanyakan varian DNA yang

diidentifikasi berada di luar gen (Tabel 2; Tasma

et al. 2016b). Hanya 55.772 SNP dan Indel (1,25%)

yang ditemukan berada pada protein coding region

(exon). Diantara variasi DNA yang ada pada exon

tersebut, 30.493 SNP menyebabkan mutasi

missense (mutasi yang merubah komposisi asam

amino) dan 824 SNP menyebabkan mutasi

nonsense (mutasi yang menghasilkan stop codon),

yang akan mempengaruhi fenotipe tanaman,

serta 22.224 SNP merupakan silent mutation

(mutasi yang tidak mempengaruhi fenotipe).

Page 65: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 65

Tabel 1. Variasi genom yang terdeteksi pada setiap kromosom kelapa sawit hasil analisis penjajaran sekuen genom tiga genotipe kelapa sawit Indonesia (dura, pisifera dan E. oleifera asal Brasil) dengan sekuen genom rujukan kelapa sawit E. guineensis

Kromosom* Panjang sekuen (pb)

Jumlah basa berubah (pb) *

Laju perubahan (Change rate) **

Eg_Chr01 68,432,966 325,213 210

Eg_Chr02 65,556,141 347,672 188

Eg_Chr03 60,058,032 300,326 199

Eg_Chr04 57,248,047 291,200 196

Eg_Chr05 51,953,839 282,277 184

Eg_Chr06 44,354,769 200,964 220

Eg_Chr07 43,453,266 211,879 205

Eg_Chr08 40,192,799 198,996 201

Eg_Chr09 38,054,796 182,000 209

Eg_Chr10 31,889,635 147,495 216

Eg_Chr11 30,067,610 157,672 190

Eg_Chr12 28,799,275 169,641 169

Eg_Chr13 27,816,170 147,132 189

Eg_Chr14 24,378,543 139,278 175

Eg_Chr15 24,313,565 125,175 194

Eg_Chr16 21,370,583 108,391 197

Total/Rataan 657,940,036 3,335,311 197

Keterangan: *Eg = Elaeis guineensis Jacq. **Laju perubahan rata-rata = 197, artinya rata-rata ditemukan satu variasi DNA pada setiap 197 basa pada genom kelapa sawit hasil penelitian ini. pb=pasang basa. Sumber: Tasma et al. (2016b).

Variasi pada exon ini sangat penting karena

dapat berujung pada penemuan dan isolasi gen-

gen unggul (Tasma 2015b; Tasma 2016a).

Diperlukan studi genomika fungsional (functional

genomics) untuk menguji fungsi variasi genom

tersebut khususnya variasi genom yang merubah

susunan asam amino dan stop codon yang dapat

merubah fenotip tanaman dan pada ujungnya

peneliti dapat mengisolasi gen-gen penting

bernilai ekonomi tinggi (Tasma 2015a; Tasma

2016b). Marka yang didesain dari gen-gen

unggul yang diisolasi dari penelitian ini

digunakan untuk percepatan seleksi karakter

unggul dengan teknik MAS yang mempercepat

program pemuliaan kelapa sawit. Teknologi

transformasi genetik dapat juga diaplikasikan

pada gen-gen unggul untuk mengintegrasikan

karakter tersebut ke genom varietas unggul

kelapa sawit yang belum memiliki karakter

unggul tersebut.

Variasi-variasi DNA yang diidentifikasi di

atas, dengan demikian merupakan sumber daya

pemuliaan yang bernilai sangat tinggi untuk

tujuan penemuan gen dan juga untuk

pengembangan marka DNA yang mendukung

percepatan program pemuliaan kelapa sawit

nasional. Jutaan SNP yang telah diidentifikasi

pada penelitian ini, setelah diverifikasi dapat

digunakan untuk mensintesis sistem genotyping

kapasitas tinggi (high throughput genotyping

system) seperti SNP chip kelapa sawit densitas

tinggi untuk percepatan pelebelan gen/QTL

unggul (Tasma 2015b; Tasma 2016a). SNP chip ini

akan memperkaya SNP chip yang sudah ada saat

ini yang terdiri dari 4.451 SNP (Ting et al., 2014).

Genotying 199 individu F1 populasi persilangan

interspesifik E guineesis x E. Oleifera dapat

diselesaikan hanya dalam waktu tiga bulan dan

menghasilkan peta genetik dengan kandungan

marka molekuler yang padat dibanding peta

genetik kelapa sawit sebelumnya berdasarkan

marka AFLP dan SSR (Barcelos et al., 2002; Singh

et al., 2009; Billotte et al., 2010; Ting et al., 2013).

SNP chip tersebut memfasilitasi percepatan

pelabelan gen-gen unggul dan aplikasinya pada

pemuliaan yang pada akhirnya mempersingkat

siklus pemuliaan tanaman kelapa sawit (Yang et

al., 2014).

Tabel 2. Lokasi terjadinya perubahan variasi

DNA pada genom kelapa sawit yang diperoleh pada penelitian resekuensing tiga genotipe kelapa sawit Indonesia

Tipe perubahan Jumlah perubahan (bp)

Frekuensi perubahan (%)

Downstream 551,772 12.340

Exon 55,870 1.249

Intergenic 2,782,751 62.232

Intron 492,316 11.010

None 4,234 0.095

Splice_site_acceptor 284 0.006

Splice_site_donor 285 0.006

Upstream 584,063 13.062

Sumber: Tasma et al. (2016b)

Page 66: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

66 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

Teknologi genomika maupun teknologi

rekayasa genetika, dengan demikian sangat

potensial untuk diaplikasikan di Indonesia untuk

akselerasi program pemuliaan kelapa sawit

nasional dalam rangka meningkatkan

produktivitas kelapa sawit nasional diantaranya

dengan memanfaatkan karakter-karakter unggul

dari E. oleifera untuk diintegrasikan ke varietas

unggul E. guineensis menggunakan teknik

genomika didukung oleh teknologi transformasi

genetik.

Diselesaikannya sekuen genom rujukan

dua spesies kelapa sawit, merevolusi metode

pemuliaan kelapa sawit global. Ditemukannya

gen pengendali hasil minyak buah sawit (Sh) dan

teknik deteksinya mempercepat siklus

pemuliaan. Diketahuinya mekanisme buah

mantel dan kit deteksinya mencegah penggunaan

bibit yang berpotensi menghasilkan buah mantel.

Kedua karakter bernilai ekonomi tinggi tersebut,

berperan penting untuk meningkatkan

produktivitas kelapa sawit global.

Pengembangan tanaman kelapa sawit tipe ideal

meningkatkan populasi tanaman per satuan luas.

Semua ini dalam rangka untuk meningkatkan

ketahanan pangan dan ketahanan energi nasional

serta untuk menjaga kelestarian lingkungan

global.

KESIMPULAN

Teknologi genomika telah menghasilkan

peta genom rujukan dua spesies kelapa sawit E.

guineensis dan E. oleifera yang menghasilkan gen

Shell (Sh) yang mengendalikan produktivitas

minyak, mekanisme terbentuknya buah mantel,

dan sebagai fondasi untuk pengembangan marka

molekuler dan penemuan gen-gen unggul untuk

akselerasi program pemuliaan kelapa sawit.

Resekuensing tiga genotipe kelapa sawit

Indonesia telah menghasilkan jutaan variasi SNP

dan Indel sebagai sumberdaya pemuliaan

bernilai tinggi untuk identifikasi gen dan QTL

unggul dan pengembangan marka DNA untuk

mempercepat pelabelan gen-gen unggul bernilai

ekonomi tinggi. Marka DNA memfasilitasi

introgresi karakter unggul dari spesies E. oleifera

ke genom E. guineensis menggunakan teknologi

MAS. Pemanfaatan marka DNA gen ketebalan

cangkang mempercepat siklus pemuliaan kelapa

sawit dan kit pendeteksi bibit berpotensi

menghasilkan buah mantel dan sarana seleksi

bibit tenera unggul pada level bibit untuk

menjamin peningkatan produktivitas kelapa

sawit. Perbanyakan individu bahan tanaman

unggul dengan teknik kultur in vitro menjamin

penggunaan bibit unggul yang seragam dan

peningkatan produktivitas pertanaman kelapa

sawit di lapang. Teknologi rekayasa genetika

potensial digunakan untuk perbaikan bahan

tanaman yang menghasilkan minyak dengan

kualitas dan kandungan gizi tinggi serta produk

kelapa sawit yang dapat digunakan sebagai

bioplastik, sehingga penelitian transformasi gen

yang mengendalikan karakter di atas perlu

dilakukan. Dengan aplikasi teknologi genomika,

produktivitas kelapa sawit meningkat untuk

mendekati potensi hasil 18,5 ton

minyak/ha/tahun. Teknologi genomika dan

rekayasa genetika sangat potensial diaplikasikan

di Indonesia untuk memperbaiki produktivitas

kelapa sawit nasional disertai mutu minyak yang

lebih baik untuk kesehatan manusia dan untuk

tujuan industri.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Dous, E.K., B. George, M.E. Al-Mahmoud,

M.Y. Al-Jaber, H. Wang, Y.M. Salameh,

E.K. Al-Azwani, S. Chaluvadi, A.C.

Pontaroli, J. DeBarry, V. Arondel, J.

Ohlrogge, I.J. Saie, K.M. Suliman-Elmeer,

J.K. Bennetzen, R.R. Kruegger, and J.A.

Malek. 2011. De novo genome sequencing

and comparative genomics of date palm

(Phoenix dactylifera). Nat. Biotechnol. 29:

521-527.

Argout, X., J. Salse, J.M. Aury, M.J. Guiltiman, G.

Droc, J. Gouzy, M. Allegre, C. Chaparro,

T. Legavre, S.N. Maximova, et al. [68

authors]. 2011. The genome of Theobroma

cacao. Nature Genetics 43: 101-108.

Asad, S., M. Arshad, S. Mansoor, and Y. Zafar.

2009. Effect of various amino acids on

shoot regeneration of sugarcane

(Sacchrum officinarum L.). Afr. J.

Biotechnol. 8:1214–1218.

Page 67: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 67

Barcelos, E., P. Amblard, J. Berthaud, and M.

Seguin. 2002. Genetic diversity and

relationship in American and African oil

palm as revealed by RFLP and AFLP

molecular markers. Pesqui. Agropecu.

Brasileira 37: 1105–1114.doi:

10.1590/S0100-204X2002000800008.

Barcelos, E., S. de A. Rios, R. N. V. Cunha, R.

Lopes, S. Y. Motoike, E. Babiychuk, A.

Skirycz and S. Kushnir. 2015. Oil palm

natural diversity and the potential for

yield improvement. Frontiers Plant Sci. 6:

1-15.

Beirnaert, A. and R. Vanderweyen. 1941.

Contribution a l’etude genetique et

biometrique des varietes d’Elaeis

guineensis Jacq. Publications de l’institut

national pour l’etude agronomique du

Congo Belge, serie scientifique 27.

Bennett, M.D. and J.B. Smith. 1991. Nuclear DNA

amounts in angiosperm. Phylosophical

Transactions of the Royal Society London

B 334: 309-345.

Benor, S., M. Zhang, Z. Wang, H. Zhang. 2008.

Assessment of genetic variation in tomato

(Solanum lycopersicum L.) inbred lines

using SSR molecular markers. J. Genet.

Genomics 35:373-379.

Billotte, N., N. Marseillac, A.M. Risterucci, B.

Adon, P. Brotteir, F.C. Baurens, R. Singh,

A. Herran, H. Asmady, C. Billot, P.

Amblard, T. Durrand-Gasselin, B.

Courtois, D. Asmono, S.C. Cheah, W.

Rohde, and A. Charrier. 2005.

Microsatellite-based high density linkage

map in oil palm (Elaeis guineensis Jacq.).

Theor. Appl. Genet. 110 (4) : 754–765.

Billotte, N., M.F. Jourjon, N. Marseillac, A. Berger,

A. Flori, H. Asmady, B. Adon, R. Singh,

B. Nouy, and F. Potier. 2010. QTL

detection by multi-parent linkage

mapping in oil palm (Elaeis guineensis

Jacq.). Theor. Appl. Genet. 120: 1673–

1687.

Boutilier, K., R. Offringa, V.K. Sharma, H. Kieft,

T. Ouellet, L. Zhang, J. Hattori, C.-M. Liu,

A.A.M. van Lammeren, B.L.A. Miki,

J.B.M. Custers, and M.M. van Lookeren

Campagne. 2002. Ectopic expression of

BABY BOOM triggers a conversion from

vegetative to embryonic growth. Plant

Cell 14: 1737–1749.

Cadena, T., F. Prada, A. Perea, and H.M. Romero.

2013. Lipase activity, meso- carp oil

content, and iodine value in oilpalm

fruits of Elaeis guineensis, Elaeis oleifera,

and the interspecific hybrid O x G (E.

oleifera x E. guineensis). J. Sci. Food Agric.

93: 674–680. doi:10.1002/jsfa.5940.

Chavez, C., and F. Sterling. 1991.Variation in the

total of unsaturated fattyacids in oi

extracted from different oil palm

germplasm. ASD Oil Palm Papers 3: 5–8.

Cochard, B., P. Amblard, and T. Durand-

Gasselin. 2005. Oil palm genetic

improvement and sustainable

development. Oleagineux Corps Gras

Lipides 12: 141–147.

Corley, R.H.V. dan I. H. Law. 1997. The future for

oil palm clones. Dalam: Pushparajah, E.,

editor. Plantation management for the

21st century. Incorp. Soc. Planters; Kuala

Lumpur. p. 279-289.

Corley, R.H.V. 1998. ‚What is the upper limit to

oil extraction ratio?‛, In Proceedings of

International Conferenceon Oil and

Kernel Production in Oil Palm–AGlobal

Perspective, eds N. Rajanaidu, I.E.

Henson, and B.S. Jalani (Kuala Lumpur:

Palm Oil Research Institute of Malaysia),

pp. 256–269.

Corley, R. H. V. and P.B. Tinker. 2003. In: The

Oil Palm 4th edn, pp. 1–26. Blackwell

Science.

Corley, R.H.V. 2009. How much palm oil do we

need? Environ. Sci. Policy 12: 134–139.

doi:10.1016/j.envsci.2008.10.011

D’Hont, A., F. Denoeud, J. MarcAury, et al. [62

authors]. 2012. The banana (Musa

acuminata) genome and the evolution of

monocotyledonous plants. Nature 488:

213-219.

Dinneny, J. R. and M.F. Yanofsky. 2005. Drawing

lines and borders: how the dehiscent fruit

of Arabidopsis is patterned. Bioessays 27:

42–49.

Page 68: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

68 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

Escobar, R. and A. Alvarado. 2004. Strategies in

production of oil palm compact seeds

and clones. Exp. Agric. 27: 13–26.

Fauzi, Y., Y.E. Widyastuti, I. Setyawibawa., dan

R.H. Paeru. 2012. Kelapa Sawit:

Budidaya, Pemanfaatan Hasil dan

Limbah, Analisis Usaha dan Pemasaran.

Penebar Swadaya, Jakarta. 234 hal.

Favaro, R., A. Pinyopich, R. Battaglia, M. Kooiker,

L. Borghi, G. Ditta, M.F. Yanofsky, M.M.

Kater, and L. Colombo. 2003. MADS-box

protein complexes control carpel and

ovule development in Arabidopsis. Plant

Cell 15: 2603–2611.

Fofana, I.J., D. Ofori, M. Poitel, D. Verhaegen.

2009. Diversity and genetic structure of

teak (Tectona grandis L.f) in its natural

range using DNA microsatellite markers.

New Forests 37:175-195.

Hardon,J., and G. Tan. 1969. Interspecific hybrids

in the genus Elaeis I. cross-ability,

cytogenetics, and fertility of F1 hybrids of

E. guineensis X E. oleifera. Euphytica 18:

372–379. doi: 10.1007/BF00397784.

Hartley, C.W.S. 1988. The botany of oil palm. In:

The oil palm. 3rd edition. pp. 47-94.

Longman, London.

Jin, J., M. Lee1, B. Bai, Y. Sun, J. Qu,

Rahmadsyah, Y. Alfiko, C. H. Lim, A.

Suwanto, M. Sugiharti, L. Wong, J. Ye,

N.-H. Chua, and G. H. Yue. 2016. Draft

genome sequence of an elite Dura palm

and whole-genome patterns of DNA

variation in oil palm. DNA Research 23

(4): 1-7. doi: 10.1093/dnares/dsw036.

Kadir, A.P.G. 2003. Novel products from

transgenic oil palm. AgBiotechNet 113

(1): 1-9.

Kerdsuwan, S. and S. Te-Chato. 2015. Direct

somatic embryo formation from roots of

in vitro-seedlings of oil palm (Elaeis

Guineesis Jacq.). Walailak J. Sci. & Tech.

13(1): 45-53.

Lee, M., J. H. Xia, Z. Zou, J. Ye, Rahmadsyah, Y.

Alfiko, J. Jin, J. V. Lieando, M. I.

Purnamasari, C. H. Lim, A. Suwanto, L.

Wong, N.-H. Chua, and G. H. Yue. 2015.

A consensus linkage map of oil palm and

a major QTL for stem height. Sci.Rep. 5:

8232. doi: 10.1038/srep08232.

Low, E.T., R. Rosli, N. Jayanthi, A.H. Mohd-

Amin, N. Azizi, K.L. Chan. 2014.

Analyses of hypomethylated oil palm

gene space. PLoS ONE 9: e86728.

doi:10.1371/journal.pone.0086728.

Marbun, C. L. M., N. Toruan-Mathius, Reflini, C.

Utomo, and T. Liwang. 2015.

Micropropagation of embryogenic callus

of oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) using

Temporary Immersion System. Procedia

Chemistry 14: 122 – 129.

Mariska, I., I.M. Tasma, A. Warsun, D. Satyawan,

E.G. Lestari, R. Purnamaningsih, R.

Yunita, B. Martono, P. Lestari, H.

Rijzaani, R. Purba, D. Asmono,

Syafaruddin, I. Roostika, dan N. Nova.

2012. Penelitian peningkatan

produktivitas kelapa sawit (>15%) dan

kadar minyak (>10%) dengan

abnormalitas < 2% melalui molecular

breeding. Laporan Akhir Penelitian APBN

Puslitbangbun. 67 hal.

Mayes, S., F. Hafeez, Z. Price, D. Macdonald, N.

Billotte, and J. Roberts. 2008. Molecular

research in oil palm, the key oil crop for

the future. In: Genomcs of Tropical Crop

Plants, pp. 371-404 (Eds. P. H. Moore and

R. Ming) Springer.

Meunier, J. and D. Boutin. 1975. L’Elaeis

melanococca et l’hybride Elaeis

melanococca x Elaeis guineensis. premie`res

donne´es. Ole´agineux 30: 5–8.

Montoya, C., B. Cochard, A. Flori, D. Cros, R.

Lopes, T. Cuellar, S. Espeout, I. Syaputra,

P. Villeneuve, M. Pina, E. Ritter, T. Leroy,

and N.Billotte. 2014. Genetic architecture

of palm oil fatty acid composition in

cultivated oil palm (Elaeis guineensis Jacq.)

compared to its wild relative E. oleifera

(H.B.K) Corte´s. PLoS ONE 9 (5): e95412.

doi:10.1371/journal.pone.009541214.

Noh, A., N. Rajanaidu, A. Kushairi, M.Y. Rafil,

and M. A. Din A. 2002. Variability in

fatty acid composition, iodine value and

carotene content in the MPOB oil palm

germplasm collection from Angola. J. Oil

Palm Res. 14: 18–23.

Page 69: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 69

Oguma, M., Y.J. Lee, and S. Goto. 2012. An

overview of biodiesel in Asian countries

and the harmonization of quality

standards. Int. J. Automotive

Technology 13: 33–41. doi:10.1007/s12239

Ong, S.H., C.C. Chuah, and H.P. Sow. 1981.The

co-dominance theory: genetic

interpretations of analyses of mesocarp

oils from elaein Elaeis guineensis, Elaeis

oleifera, and their hybrids. J. Am. Oil

Chemists Soc. 58: 1032–1038.doi:

10.1007/BF02679320.

Ong-Abdullah, M., J. M. Ordway, N. Jiang, O.

Siew–Eng, K. Sau-Yee, N. Sarpan, N.

Azimi, A. T. Hashim, Z. Ishak, S. K.

Rosli, F. A. Malike, N. A. A. Bakar, M.

Marjuni, N. Abdullah, Z. Yaakub, M. D.

Amiruddin, R. Nookiah, R. Singh1, E.T.

L. Low, K.L. Chan, N. Azizi, S. W. Smith,

B. Bacher, M. A. Budiman, A. V. Brunt, C.

Wischmeyer, M. Beil, M. Hogan, N.

Lakey, C. C. Lim, X. Arulandoo, C. K.

Wong, C. N. Choo, W. C. Wong, Y. Y.

Kwan, S. S. R. S. Alwee, R.

Sambanthamurthi, and R. A.

Martienssen. 2015. Loss of Karma

transposon methylation underlies

the mantled somaclonal variant of oil

palm. Nature 525 (7570): 533–537.

doi:10.1038/nature15365.

Parveez, G. K.A., B. Bohari, N.H. Ayub, A.M.M.

Yunus, O.A. Rasid, A.T. Hashim, Z.

Ishak, M.A.A. Manaf, A.K. Din, G. York,

Y.B. Jo and A.J. Sinskey. 2008.

Transformation of phb and phbv genes

driven by maize ubiquitin promoter into

oil palm for the production of

biodegradable plastics. Journal of Oil

Palm Research Special Issue on Malaysia-

MIT Biotechnology Partnership

Programme 2: 77-86

Pidkowich, M.S., H.T. Nguyen, I. Heilmann, T.

Ischebeck,and J. Shanklin. 2007.

Modulating seed b-ketoacyl-acyl carrier

protein synthase II level converts the

composition of a temperate seed oil to

that of a palm-like tropical oil. Proc.Natl.

Acad.Sci.U.S.A. 104: 4742–

4747.doi:10.1073/pnas.0611141104.

Pinyopich, A., G.S. Ditta, B. Savidge, S. J.

Liljegren, E. Baumann, E. Wisman, and

M.F. Yanofsky. 2003. Assessing the

redundancy of MADS-box genes during

carpel and ovule development. Nature

424: 85–88.

Pootakham, W., N. Jomchai, P. Ruangareerate, J.

R. Shearman, C. Sonthirod, D.

Sangsrakru, S. Tragoonrung, and S.

Tangphatsornruang. 2015. Genome-wide

SNP discovery and identification of QTL

associated with agronomic traits in oil

palm using genotyping-by-sequencing

(GBS). Genomics 105: 288–295.

Prada, F., I.M. Ayala-Diaz, W. Delgado, R. Ruiz-

Romero, and H.M. Romero. 2011. Effect

of fruit ripening on content and chemical

composition of oil from three oil palm

cultivars (Elaeis guineensis Jacq.) grown in

Colombia. J Agric. Food Chem. 59: 10136–

10142. doi:10.1021/jf201999d.

Purba, A., J. Noyer, L. Baudouin, X. Perrier, S.

Hamon, and P. Lagoda. 2000. A new

aspect of genetic diversity of Indonesian

oil palm (Elaeis guineensis Jacq.) as

revealed by isoenzyme and AFLP

markers and its consequences for

breeding. Theor. Appl. Genet. 101: 956–

961.

Purseglove, J. W. 1972. In Tropical Crops

(Monocotyledons). Longman, London.

pp 416–510.

Rajanaidu, N. 1994. PORIM Oil Palm Genebank:

Collection, Evaluation, Utilization, and

Conservation of Oil Palm Genetic

Resources. Kuala Lumpur: Palm Oil

Research Institute of Malaysia.

Rajanaidu, N., A. Kushairi, M. Rafii, M. Din, I.

Maizura, and B. Jalani. 2000. ‚Oil palm

breeding and genetic resources,‛in

Advances in Oil Palm Research, eds

Y.Basiron, B.S.Jalani, and K.W.Chan

(KualaLumpur: Malaysian Palm Oil

Board). pp.171–227.

Sambanthamurthi, R., K. Sundram , and Y. Tan.

2000. Chemistry and biochemistry of

palm oil. Prog. Lipid Res. 39: 507–558.

Schmutz, J., S.B. Cannon, J. Schlueter, J. Ma, et al.

[44 authors]. 2010. Genome sequence of

Page 70: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

70 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

the paleopolyploid soybean. Nature 463:

178-183.

Schnable, P.S., D. Ware, R.S. Fulton, J.C. Stein, et

al. [152 authors]. 2009. The B73 maize

genome: complexity, diversity, and

dynamics. Science 326: 1112-1115.

Sharma, M., and Y. Tan. 1997. Oil palm breeding

programme and the performance of D x P

planting materials at United Plantations

Berhad. Planter 73: 591–610.

Rival, A. 2007. Oil Palm. In: Transgenic Crops VI,

Biotechnology in Agriculture and Forestry.

Volume 61, pp. 59_80 (Eds. E.C. Pua and

M.R. Davey) Springer_Verlag Berlin

Heidelberg, New York.

Rosenquist, E.A. 1990. An overview of breeding

technology and selection in Elaeis

guineesis. In: Proceedings of the 1989

International Palm Oil Development

Conference – Agriculture. pp.5_26. Palm

Oil Research Institute Malaysia, Kuala

Lumpur, Malaysia.

Rosillo-Calle, F., L. Pelkmans, and A. Walter.

2009. A global overview of vegetable

oils, with reference to biodiesel. IEA Task

40. A Report.

Sambanthamurthi, R., R. Singh, A.P.G. Kadir,

M.O. Abdullah, and A. Kushairi. 2009.

‚Opportunities for the oil palm via

breeding and biotechnology,‛ in Breeding

Plantation Tree Crops: Tropical Species,

eds S.Mohan Jain and P.M. Priyadarshan

(NewYork:Springer), pp. 377–421.

doi:10.1007/978-0-387- 71201-7

Seng, TY, M.S.S. Hawa, C.W. Chin, N.C. Ting, R.

Singh, Q.Z. Faridah, S.G.Tan, S.S.R.

Alwee. 2011. Genetic linkage map of a

high yielding FELDA Deli x Yangambi oil

palm cross. PLoS ONE 6 (11): e26593. doi:

10.1371/journal.pone.0026593.

Setiyo, I.E., Sudarsono, dan D. Asmono. 2001.

Pemetaan dan keragaman genetik RAPD

pada kelapa sawit Sungai Pancur (Rispa)

(Tesis). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

56 hlm.

Singh, R., S.G. Tan, J.M. Panandam, R.A.

Rahman, L.C. Ooi, and E.T. Low. 2009.

Mapping quantitative trait loci (QTLs) for

fatty acid composition in an interspecific

cross of oil palm. BMC Plant Biol. 9: 114.

doi:10.1186/1471-2229- 9-114.

Singh, R., M. Ong-Abdullah, E.-T. L. Low, M. A.

Manaf, R. Rosli, R. Nookiah, L. C.-L.

Ooi, S.E. Ooi, K.L. Chan, M.A. Halim, N.

Azizi, J. Nagappan, B. Bacher, N. Lakey,

S.W. Smith, D. He, M. Hogan, M. A.

Budiman, E.K. Lee, R. Desalle, D.

Kudrna, J.L. Goicoechea, R.A. Wing, R.K.

Wilson, R.S. Fulton, J.M. Ordway, R.A.

Martienssen, and R. Sambanthamurthi.

2013a. Oil palm genome sequence reveals

divergence of interfertile species in Old

and New worlds. Nature 500: 335-339.

Singh, R., L. L. Eng-Ti, L. C. L. Ooi, M. Ong-

Abdullah, N. C. Ting, J. Nagappan, R.

Nookiah, M. D. Amiruddin, R. Rosli, M.

A. A. Manaf, K. L. Chan, M. A. Halim, N.

Azizi, N. Lakey, S. W. Smith, M. A.

Budiman, M. Hogan, B. Bacher, A. V.

Brunt, C. Wang, J. M. Ordway, R.

Sambanthamurthi, and R. A.

Martienssen. 2013b. The oil palm Shell

gene controls oil yield and encodes a

homologue of SEEDSTICK. Nature 500:

340–344. doi:10.1038/nature12356.

Soh, A.C. 1999. Breeding of plants and selection

methods in oil palm. In:Proceeding of the

Symposium on the Science of Oil Palm

Breeding, pp.65_95 (Eds. N. Rajanaidu and

B.S. Jalani). Palm Oil Research Institute,

Kuala Lumpur, Malaysia.

Soh, A.C. and T. Y. Hor. 2000. Combining ability

correlations for bunch yield and its

component components in outcrossed

populations in oil palm. In: Proceedings

of the International Symposium on Oil

Palm Genetic Resources and

Utilization.pp. M1_M14 (Eds. N.

Rajanaidu and D. Ariffin) Malaysian

Palm Oil Board, Kuala Lumpur,

Malaysia.

Soh, A.C., C.K. Wong, Y. W. Ho, and C. W.

Choong. 2009. Oil Palm. In: Oil Crops,

Handbook of Plant Breeding 4, Chapter 11,

pp. 333-368 (Eds. J. Vollmann and I.

Rajcan) Springer Science.

Soh, A.C., G. Wong, T.Y. Hor, C.C. Tan, and P.S.

Chew. 2003. Oil palm genetic

Page 71: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Pemanfaatan Tekn. Genomika dan Transformasi Genetik Untuk Meningkatkan Produktivitas Kelapa Sawit (I MADE TASMA) 71

improvement. In: Plant Breeding Reviews,

pp. 165_219 (Eds. J. Janick) John Wiley &

Sons, Inc.

Soh, A.C., G. Wong, and C.C. Tan CC. 2006.

Progress and challenges in commercial

mass propagation of clonal oil palm. In:

Sutarta, editor. Proceedings International

Oil Palm Conference, Bali. p. 226-240.

Tandon, R., T.N. Manohara, B.H.M. Nijalingappa,

and K.R. Shivanna. 2001. Pollination and

pollen-pistil interaction in oil palm, Elaeis

guineensis. Ann.Bot. 87: 831–838.

doi:10.1006/anbo.2001.1421.

Tasma, I.M. 2014a. Single nucleotide polymorphism

(SNP) sebagai marka DNA masa depan.

Warta Biogen 10 (3): 7-10.

Tasma, I.M., H. Rijzaani, D. Satyawan, P. Lestari,

D. W. Utami, I. Rosdianti, A. R. Purba, E.

Mansyah, A. Sutanto, R. Kirana,

Kusmana, A. Anggraeni, M. Pabendon,

and, Rubiyo. 2015. Next-Gen-Based DNA

Marker Development of Several

Importance Crop and Animal Species.

Manuscript Presented at the 13th

SABRAO Congress and International

Conference, 14-16 September 2015, IPB

International Convention Center, Bogor,

Indonesia. 8 pp.

Tasma, I.M., dan S. Arumsari. 2013. Analisis

diversitas genetik aksesi kelapa sawit

Kamerun berdasarkan marka SSR. Jurnal

Littri 19(4): 194-202.

Tasma, I.M. 2014b. Skrining marka SSR dan

Analisis filogenetik aksesi kelapa sawit

menggunakan marka mikrosatelit.

Buletin Palma 15 (1): 1-13.

Tasma, I.M. 2015a. Pemanfaatan teknologi

sekuensing genom untuk mempercepat

program pemuliaan tanaman. J. Litbang

Pertanian 34 (4): 159-168.

Tasma, I.M. 2015b. The use of advanced genomic

platforms to accelerate breeding

programs of the Indonesian Agency for

Agricultural Research and Development

Internat. J. Biosci. Biotechnol. 2 (2): 43-53.

Tasma, I.M., D. Satyawan, H. Rijzaani, I.

Rosdianti, P. Lestari, and Rubiyo. 2016a.

Genomic variation of five Indonesian

cacao (Theobroma cacao L.) varieties based

on analysis using next generation

sequencing. Indonesian J. of Agric. Sci.

(Accepted).

Tasma, I.M., H. Rijzaani, A. R. Purba, and D.

Satyawan. 2016b. Characterization of

genomic variation on three Indonesian oil

palm (Elaeis guineensis Jacq.) genotypes

using next generation sequencing.

Manuscript in preparation.

Tasma, I.M. 2016a. Resekuensing genom, metode

baru karakterisasi variasi SDG tanaman

secara komprehensif mendukung

akselerasi program pemuliaan tanaman.

Warta Biogen 12 (1): 2-6.

Tasma, I.M. 2016b. Pemanfaatan teknologi DNA

untuk akselerasi program pemuliaan

ketahanan tanaman kakao terhadap

hama dan penyakit utama. J. Litbang

Pert. 35 (Accepted).

Thomson, M.K. 2014. High throughput SNP

genotyping to accelerate plant breeding.

Plant Breed. Biotech. 2 (3): 195-212.

Ting, N.-C., J. Jansen, J. Nagappan, Z. Ishak, C.-

W. Chin, S.-G. Tan, S.-C. Cheah, R. Singh.

2013. Identification of QTLs associated

with callogenesis and embryogenesis in

oil palm using genetic linkage maps

improved with SSR markers. PLoS ONE

8(1): e53076. doi:10.1371/journal.pone.

0053076.

Ting, N.C. , J. Jansen, S. Mayes, F. Massawe, R.

Sambanthamurthi, L. C.-L. Ooi1, C.W.

Chin, X. Arulandoo, T.-Y. Seng, S. S. R. S.

Alwee, M. Ithnin and R. Singh. 2014.

High density SNP and SSR-based genetic

maps of two independent oil palm

hybrids. BMC Genomics 15: 309-320.

Toruan-Mathius, N., T. Hutabarat, U. Djulaicha,

A.R. Purba, and T. Hutomo. 1997.

Identification of oil palm (Elaeis guineensis

Jacq.) Dura, Pisifera, and Tenera by

RAPD markers. Proc. IBC. 97: 237 – 248.

Varshney, R.K., S.N. Nayak, G.D. May, and J.A.

Jackson. 2009. Next-generation

sequencing technologies and their

implications for crop genetics and

breeding. Trends in Biotechnology 9: 522-

530.

Page 72: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

72 Volume 15 Nomor 1, Jun 2016 : 50 -72

Varshney, R.K., W. Chen, Y. Li, A.K. Bharti, R.K.

Saxena, J.A. Schlueter, M.T.A. Donoghue,

S. Azam, G. Fan, A.M. Whaley, D.

Andrew et al. [31 authors]. 2012. Draft

genome sequence of pigeonpea (Cajanus

cajan), an orphan legume crop of

resource-poor farmers. Nature

Biotechnology 30: 83-89.

doi:10.1038/nbt.2022.

Wahid, M.B., S.N.A. Abdullah, and I.E. Henson.

2005. Oil palm-achivements and

potential. Plant Prod. Sci. 8:288–292.

Wong, C.K., and R. Bernardo. 2008. Genome

wide selection in oil palm:increasing

selection gain per unit time and cost with

small populations. Theor. Appl. Genet.

116: 815–824. doi:10.1007/s00122-008-

0715-5.

Xu, X., S. Pan, S. Cheng, B. Zhang, et al. [94

authors]. 2011. Genome sequence and

analysis of the tuber crop potato. Nature

475: 189-195.

Yang, W., Z. Guo, C. Huang, L. Duan, G. Chen,

and N. Jiang. 2014. Combining high-

throughput phenotyping and genome-

wide association studies to reveal natural

genetic variation in oil palm.

Nat.Commun. 5: 5087. doi:10.1038/

ncomms6087.

Yu J, Hu S, Wang J, Wong GK, et al. [85 authors].

2002. A draft sequence of the rice genome

(Oryza sativa L. ssp. indica). Science 296:

79-92.

Zeven. 1965. On the origin of the oil palm (Elaeis

guineensis Jacq.). J. Niger. Inst. Oil Palm

Res. 4: 218.

Zheng, Y., N. Ren, H. Wang, A. J. Stromberg, and

S. E. Perry. 2009. Global identification of

targets of the Arabidopsis MADS domain

protein AGAMOUS-Like15. Plant Cell 21:

2563–2577.

Page 73: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Perspektif Vol. 15 No. 1 /Juni 2016. Hlm 73 -85 DOI: http://dx.doi.org/10.21082/psp.v15n1.2016.73-85

ISSN: 1412-8004

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 73

STRATEGI STABILISASI KINERJA PASAR CENGKEH NASIONAL

Stabilitation Strategy of National Clove Market Performance

AGUS WAHYUDI

Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat

Indonesian Spice and Medicinal Crops Research Institute

Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111, Indonesia

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Cengkeh (Syzigium aromaticum L. Marr. and Perr.)

merupakan salah satu bahan baku industri rokok

kretek di Indonesia. Kinerja pasar cengkeh mengalami

pasang surut dalam empat dasawarsa terakhir.

Permintaan cengkeh untuk industri rokok kretek

mengalami pertumbuhan, sedangkan produksi

cengkeh berfluktuasi dalam jangka pendek dan

cenderung meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.

Tinjauan ini bertujuan untuk menganalisis strategi

stabilisasi kinerja pasar cengkeh melalui

pengembangan program dan kebijakan manajemen

pasok cengkeh nasional. Kerangka analisis yang

digunakan dalam mengembangkan strategi adalah (1)

analisis situasi, (2) analisis strategi untuk mencapai

situasi yang diinginkan, dan (3) analisis kebijakan

untuk percepatan terwujudnya situasi tersebut. Situasi

pasar cengkeh menunjukkan hampir seimbangnya

permintaan industri rokok dengan produksi nasional

dalam jangka panjang. Strategi yang dapat dilakukan

adalah dengan mendorong produktivitas tanaman

melalui program intensifikasi dan rehabilitasi

tanaman. Perluasan areal secara alami akan terjadi jika

situasi keseimbangan antara permintaan dan pasok

diupayakan terjaga. Fluktuasi harga yang terjadi

jangka pendek karena adanya fluktuasi produksi

tahunan ditangani melalui manajemen rantai pasok.

Kebijakan teknis, kelembagaan dan keuangan

diperlukan dengan memfasilitasi akses petani untuk

memperoleh pembiayaan perbankan seperti

pembiayaan panen dan pasca panen serta penerapan

sistem resi gudang untuk memberi alternatif kepada

petani pada saat harga turun.

Kata kunci: Cengkeh, Syzigium aromaticum L. Marr.

and Perr, kinerja pasar, industri rokok

kretek, permintaan, produksi nasional,

intensifikasi dan rehabilitasi.

ABSTRACT

Clove (Syzigium aromaticum L. Marr. and Perr.) is one

of the main raw materials in the kretek cigarette

industry. The development of the clove market

performance experienced ups and downs in the last

four decades. The demand for clove almost

consistently grew, while the production fluctuate in the

short term and tends to increased in the last ten years.

This review is aimed to analyze the market

performance stabilization strategy through the

development of national program and supply

management policies. The analytical framework used

in developing the strategy are (1) the analysis of the

situation, (2) analysis of strategies for achieving the

desired situation, and (3) analysis of the policies

needed to accelerate the realization of the situation.

Clove market situation that occurs at this time shows

nearly balanced, in which the demand for cigarette

industry can almost be met from national production

in the long term. Therefore, the strategies are to

encourage national production by pushing plant

productivity through intensification and rehabilitation

of existing plants. Area extention will naturally happen

if the situation of balance between demand and supply

maintained in the long term. Price fluctuations that

occur because of their short-term fluctuations in the

production of each year handled through supply chain

management. Therefore technical policy, institutional

and financial required to facilitate the access of farmers

to acquire bank financing such schemes to harvest and

post-harvest financing and implementation of

warehouse receipt system to provide alternatives to

farmers when the price fall.

Keywords: Clove (Syzigium aromaticum L. Marr. and

Perr.), market performance, clove cigarette

industry, demand, national production,

intensification and rehabilitation.

Page 74: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

74 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

PENDAHULUAN

Cengkeh (Syzigium aromaticum L. Marr. and

Perr.) adalah tanaman yang bunganya digunakan

sebagai rempah dalam berbagai kuliner terutama

di Asia. Di Indonesia cengkeh selain sebagai

rempah juga merupakan bahan baku penting

dalam industri rokok kretek. Dalam sejarah,

tercatat bahwa pencampuran tembakau dengan

cengkeh sudah dicatat Rumphius di Ambon pada

abad ke 17. Industri rokok kretek yang sangat

banyak memerlukan cengkeh, baru berkembang

di Jawa mulai 1927. Pabrik-pabrik rokok kretek

dibangun di Kudus, Kediri, Blitar, Tulungagung

dan Mojokerto. Kebutuhan cengkeh meningkat

pesat, sehingga pada dasawarsa 1950-1960an

Indonesia kadang harus mengimpor cengkeh

(Semangun, 2014). Mengingat devisa yang

dibutuhkan untuk mengimpor sangat besar maka

pada tahun 1990 ditetapkan program

swasembada cengkeh.

Produksi rokok kretek telah berkembang

dari sebuah industri tradisional ke sektor

manufaktur bernilai tambah, menyerap tenaga

kerja dan sumber pendapatan pemerintah.

Perusahaan rokok kretek telah mampu bersaing

dengan perusahaan rokok besar asing penghasil

rokok "putih”, yang berasal dari akhir abad ke-

19, industri hanya tumbuh setelah Perang Dunia

II. Keberhasilan ini terbatas terutama untuk

empat perusahaan terbesar yang sangat

terkonsentrasi di Jawa Tengah dan Jawa Timur,

namun konsumsi tersebar luas di seluruh

nusantara didukung intervensi pemerintah,

dalam tenaga kerja, perpajakan (cukai), harga

dan investasi (Tarmidi, 1996).

Tembakau dan sektor industri rokok,

mempunyai kaitan ke belakang (backward

linkages) dan ke depan (forward linkages) dengan

sektor hilirnya (Hadi dan Friyatno, 2008).

Industri tembakau Indonesia dihadapkan kepada

situasi dilematik dan kontroversi perannya

dalam perekonomian nasional dan dampak

negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan dan

lingkungan (Rachmat, 2010).

Mengingat populasi dan prevalensi merokok

yang besar, Indonesia menempati urutan kelima

di antara negara-negara dengan konsumsi

tembakau tertinggi secara global. Lebih dari 62%

laki-laki dewasa Indonesia merokok secara

teratur, dan berkontribusi terhadap beban

penyakit tidak menular dan tuntutan yang besar

pada sistem perawatan kesehatan. Kebijakan

pengendalian tembakau tetap rendah dalam

agenda politik kesehatan publik selama

bertahun-tahun. Salah satu alasan adalah

kontribusi tembakau terhadap pendapatan

pemerintah dan penyerapan tenaga kerja sektor

industri (Achadi et al., 2005).

Saat ini industri rokok kretek Indonesia

merupakan industri besar dan telah lama

berkembang serta sumber pendapatan negara,

maka penyediaan bahan baku cengkeh secara

kontinu menjadi sangat penting. Industri rokok

kretek dikuasai oleh empat perusahaan besar dan

lebih dari 1000 perusahaan kecil dan menengah.

Keempat perusahaan tersebut adalah Gudang

Garam, Djarum, Sampoerna, dan Bentoel dengan

pangsa pasar total sekitar hampir 80% (Tabel 1).

Perusahaan menengah dan kecil makin

menyusut, dari semula lebih dari 3000

perusahaan menjadi kurang dari 1000 yang masih

bertahan.

Produksi rokok kretek Indonesia mengalami

pertumbuhan yang positif walaupun dengan

adanya kampanye anti rokok, pertumbuhan

Tabel 1. Pangsa pasar perusahaan rokok kretek

Tahun Gudang

Garam

Djarum Sampoerna Bentoel Lainnya

2008 47.9 % 12.8 % 11.9 % 10.3 % 17.1 %

2009 39.1 % 15.6 % 13.1 % 11.0 % 21.2 %

2010 35.5 % 18.0 % 15.2 % 11.9 % 19.4 %

2011 35.6 % 16.9% 16.6% 10.7% 20.2%

2012 33.7 % 15.3% 16.4% 10.1% 24.5%

Rerata 38.36% 15.72% 14.64% 10.80% 20.48%

Sumber: Poniran (2013) diolah dari GAPPRI

Page 75: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 75

tersebut agak melambat terutama dalam dua

tahun terakhir. Proporsi produksi Sigaret Kretek

Mesin (SKM) termasuk rokok ringan semakin

tinggi dibandingkan dengan Sigaret Kretek

Tangan (SKT) dan Sigaret Klobot (SKL). Hal ini

sesuai dengan perkembangan konsumsi rokok

dunia seperti yang dilaporkan oleh Gilmore

(2012) bahwa volume rokok global sudah

menurun, namun keuntungan industri terus

meningkat. Hal ini karena kekuatan perusahaan

rokok untuk meningkatkan harga lebih tinggi

daripada penurunan volume. Kondisi tersebut

berpengaruh terhadap kebutuhan bahan baku

cengkeh. Pertumbuhan kebutuhan cengkeh pada

masa yang akan datang diperkirakan semakin

berkurang.

Produksi cengkeh nasional sesuai karakter

tanamannya mengalami fluktuasi, sehingga

dikenal produksi cengkeh dengan panen raya,

panen sedang dan panen kecil. Pada saat penen

raya produksi cengkeh dapat mencapai 600

kg/ha, panen sedang sekitar 300 kg/ha, dan panen

kecil sekitar 100 kg/ha. Rata-rata produktivitas

cengkeh diperkirakan mencapai 250-350 kg/ha

(Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,

2014).

Rendahnya produktivitas cengkeh

disebabkan oleh kondisi tanaman kurang

terawat, terutama karena masih endemiknya

penyakit bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC)

dan hama penggerek batang cengkeh. Penyakit

BPKC dikenal juga dengan sebutan “penyakit

Sumatera” yang disebabkan oleh bakteri

Pseudomonas syzygii, sementara “mati bujang”,

yang lebih bersifat non patogenik oleh faktor

tanah dan lingkungan. Selain itu juga ada

penyakit gugur daun cengkeh (GDC) di Sulawesi

Utara dan cacar daun cengkeh (CDC) yang

bermula dari Lampung. Hama penggerek terdiri

atas penggerek batang (Nothopeus hemipterus, N.

fasciatipennis, dan Hexamitodera semivelutina),

penggerek cabang (Xyleborus sp. dan Ardela sp.),

dan penggerek ranting (Coptocercus biguttatus)

(Ruhnayat et al. 2014).

Saat ini aplikasi Sistem Pakar Diagnosis

Penyakit Tanaman Cengkeh dengan Metode

Inferensi Forward Chaining, dapat membantu

mengidentifikasi penyakit cengkeh dan langkah-

langkah yang harus diambil dalam penanganan

atau pencegahan penyakit (Hananto et al., 2014).

Selain itu pemeliharaan yang pada umumnya

minimum, terutama pemeliharaan cengkeh

setelah panen raya. Kondisi tanaman setelah

panen sangat memerlukan pemupukan untuk

memulihkan kondisi pucuk yang rusak akibat

pemetikan bunga. Pada saat harga cengkeh

rendah karena panen raya mengakibatkan

pendapatan petani tidak mencukupi untuk

melakukan pemeliharaan yang diperlukan. Pada

musim panen berikutnya produksi turun karena

kondisi tanaman masih belum pulih.

Produksi cengkeh yang berfluktuasi dan

kebutuhan cengkeh yang meningkat secara

konsisten mengakibatkan kondisi pasar cengkeh

tidak stabil, yang ditunjukkan oleh fluktuasi

harga yang tinggi antar periode, yaitu harga yang

sangat rendah pada dasawarsa tahun 1990an dan

meningkat tajam dalam lima tahun pertama

dasawarsa 2000an, kemudian turun lagi pada

lima tahun kedua, pada akhirnya merambat

meningkat pada lima tahun pertama dasawarsa

2010an (Tabel 2).

Tabel 2. Fluktuasi harga cengkeh antar periode*

(Rp/kg)

Tahun Harga

Nominal

Harga

Konstan**

1991-95 6.400 7.122

1996-00 14.700 16.391

2001-05 39.220 42.375

2006-10 46.900 47.738

2011-15 55.490 53.961

Keterangan: Diolah dari Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian (2014); **tahun

dasar 2010

Kinerja pasar yang tidak stabil

mengakibatkan risiko berusahatani yang

ditanggung petani maupun pengguna cengkeh

(industri rokok kretek). Risiko usahatani yang

paling besar adalah risiko kerugian pada saat

harga rendah, sedangkan upah panen cengkeh

meningkat. Seringkali petani membiarkan

cengkeh tidak dipanen karena harga cengkeh

lebih murah daripada biaya panen. Misalnya

pada saat ini upah petik cengkeh basah di

Sulawesi Utara mencapai Rp 10.000/kg, yang

setara dengan Rp 40.000/kg cengkeh kering. Jika

Page 76: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

76 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

harga jual kurang dari Rp 40.000/kg, lebih baik

petani membiarkan cengkehnya tidak dipanen.

Risiko ketidakstabilan harga ini juga dihadapi

oleh industri rokok yang harus mengelola stok

cengkeh dalam jumlah besar sehingga

menimbulkan biaya gudang yang tinggi.

Upaya stabilisasi harga cengkeh pernah

dilakukan oleh pemerintah melalui Badan

Pemasaran dan Penyangga Cengkeh (BPPC) pada

awal tahun 1990an (1992-1994), karena harga

jatuh sangat rendah dalam waktu yang cukup

lama akibat program pengembangan yang tidak

terkontrol. Upaya pengendalian harga tersebut

mengalami kegagalan kemungkinan karena

pengelolaan stok yang kurang baik, sehingga

sebagian petani tidak hanya membiarkan

cengkehnya tidak dipanen tetapi juga ditebang

diganti dengan tanaman lain.

Karakter pasar cengkeh yang tidak stabil

tersebut dan pelajaran tentang kegagalan pasar

yang pernah terjadi, maka tinjauan ini dilakukan

untuk menganalisis strategi stabilisasi kinerja

pasar melalui pengembangan program dan

kebijakan manajemen pasok cengkeh nasional.

KERANGKA STRATEGI STABILISASI

KINERJA PASAR

Strategi adalah konsep dasar untuk

mencapai tujuan melalui pelaksanaan program

dan kebijakan untuk mengatasi permasalahan

yang dihadapi. Dengan demikian tujuan yang

diinginkan dalam jangka panjang dapat

diwujudkan. Strategi berisi program yang

terstruktur dalam rantai rencana aksi yang terdiri

atas mata rantai kegiatan yang harus

dilaksanakan oleh para pelaku untuk mencapai

tujuan. Dalam rantai rencana aksi dan mata

rantai kegiatan tersebut umumnya terdapat

kendala dan permasalahan, sehingga diperlukan

kebijakan yang relevan untuk mengatasinya.

Perencanaan strategi seringkali mengacu pada

metode tertentu seperti perencanaan strategi

untuk sistem informasi menggunakan metode

Ward dan Peppard (Wedhasmara, 2014).

Secara umum pengembangan strategi harus

merespon perkembangan lingkungan yang

bergejolak maupun relatif stabil. Menurut

Fiegener (1997), meskipun desain proses

pengkajian strategi serupa baik lingkungan yang

dinamis maupun stabil, hubungan antara

variabel desain dan efektivitas, pengendalian

strategis bervariasi sesuai dengan kondisi

lingkungan. Ada dua pilar yang membentuk

dasar dari strategi pembangunan (1) menciptakan

iklim yang baik untuk investasi dan

pertumbuhan produktivitas, dan (2)

memberdayakan orang untuk berpartisipasi

dalam pertumbuhan itu (Stern, 2002).

Suatu entitas pasti menginginkan perbaikan

situasi dari situasi yang terjadi pada saat ini.

Situasi akhir yang diinginkan dari suatu periode

tersebut disebut sebagai tujuan akhir. Perbedaan

antara situasi saat ini dengan situasi yang

diinginkan disebut sebagai kesenjangan situasi.

Untuk menjembatani kesenjangan situasi tersebut

perlu program-program pengembangan yang

masing-masing program mengandung rencana

aksi yang harus dilaksanakan setiap tahun.

Dalam pelaksanaan rencana aksi dapat

diperkirakan permasalahan yang akan timbul,

sehingga merupakan keharusan untuk disiapkan

kebijakan yang tepat, jika permasalahan tidak

bisa diselesaikan oleh entitas yang bersangkutan.

Kebijakan tersebut dapat melibatkan berbagai

pihak untuk mengatasinya (Gambar 1).

Pasar komoditas adalah entitas lembaga

yang memfasilitasi transaksi jual beli antara

penjual dan pembeli. Secara teoritik

kesanggupan untuk membeli komoditas pada

berbagai tingkat harga disebut sebagai

permintaan, sedangkan kesediaan untuk

menjualnya disebut pasokan. Indikator kinerja

Gambar 1. Kerangka umum pengembangan strategi

Page 77: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 77

pasar komoditas adalah tingkat harga dan

stabilitas harga. Tingkat harga yang sesuai

adalah harga minimum yang dapat menutup

biaya produksi, sekaligus pembeli sanggup

membeli sesuai dengan jumlah yang diinginkan.

Stabilitas harga menjadi sangat penting agar

pembeli dan penjual dapat merencanakan

pembelian dan produksi dengan baik.

Strategi stabilisasi pasar dapat dirumuskan

dengan mempelajari situasi pasar, terutama yang

berkaitan dengan kinerja pasar cengkeh dari

aspek tingkat harga dan stabilitas harga. Selain

itu perlu dipelajari kecenderungan harga dalam

periode yang akan datang. Jika kecenderungan

harga tersebut kurang sesuai dengan yang

diinginkan maka perlu strategi untuk

menyesuaikan. Permasalahan yang umumnya

diperkirakan muncul dalam pelaksanaan dapat

disiapkan kebijakan yang sesuai.

SITUASI PASAR CENGKEH

Harga Cengkeh

Dalam tiga tahun terakhir (2013-2015),

perkembangan pasar cengkeh bergejolak relatif

terbatas dengan variasi harga kurang dari 25%,

dengan rata-rata harga sekitar Rp 100 ribu.

Pergerakan harga cenderung meningkat pada

sepuluh tahun sebelumnya (2003-2012) dari

kurang dari Rp 30 ribu pada 2003 menjadi sekitar

Rp 60 ribu pada 2012. Lima tahun sebelumnya

(1998-2003) pergerakan harga secara nominal

mengalami kecenderungan yang meningkat dari

sekitar Rp 10 ribu pada 1998 menjadi lebih dari

Rp 30 ribu pada 2003 (Gambar 2). Mengingat

bahwa harga menentukan kinerja produksi maka

pada umumnya petani kurang bergairah dalam

memelihara pertanaman cengkeh, karena dalam

jangka panjang harga cengkeh cenderung rendah.

Menurut penelitian Situmeang (2008)

peningkatan harga cengkeh domestik sebesar 20

persen menyebabkan produktivitas, luas areal,

produksi, ekspor, dan penawaran cengkeh

mengalami peningkatan, sedangkan impor,

konsumsi industri rokok kretek, produksi rokok

kretek, harga cengkeh impor, dan harga cengkeh

ekspor menurun.

Secara teoritik ada dua penjelasan untuk

dinamika harga hasil pertanian. Pertama,

fluktuasi harga mengikuti logika sarang laba-laba

dan model yang didorong adanya kesalahan

ekspektasi yang menimbulkan dinamika yang

kompleks dan mungkin kekacauan. Kedua

berasal dari tradisi dinamika ekspektasi rasional

yang didorong oleh guncangan nyata. Bukti

empiris cenderung mendukung yang terakhir,

tetapi tidak konklusif (Gouel, 2012).

Cengkeh adalah tanaman tahunan, analisis

harganya harus jangka panjang. Pasar cengkeh

yang digambarkan oleh perkembangan dalam

kurun waktu 2001-2015 mencerminkan bahwa

pasar tidak stabil. Pasar yang tidak stabil

menyulitkan petani untuk secara konsisten

memelihara tanamannya. Bagi konsumen

(perusahaan rokok kretek) ketidakstabilan harga

menyulitkan perencanaan pemasaran terutama

dalam penentuan harga jual karena harga pokok

berubah-ubah.

Harga cengkeh yang sangat rendah selama

dua dasawarsa hingga tahun 2000, menjadikan

kinerja pasar cengkeh tidak mampu mendorong

para petani untuk sekedar mempertahankan

kebunnya. Areal yang pernah mencapai 700 ribu

ha menyusut hingga 400 ribu, akibatnya

kecenderungan peningkatan harga sejak awal

2000an secara perlahan dapat mendorong

terjadinya kembali peningkatan areal menjadi 500

ribu ha pada 2015 (Gambar 3).

Fluktuasi produksi cengkeh menunjukkan

perilaku musiman yang memiliki siklus empat

tahunan terjadi panen raya. Produksi cengkeh

yang tinggi tidak langsung diikuti oleh harga

yang rendah sebaliknya produksi cengkeh yang

Gambar 2. Perkembangan harga nominal cengkeh

nasional (Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian, 2014)

Page 78: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

78 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

rendah langsung diikuti oleh harga yang tinggi.

Dalam jangka panjang, harga mengarah ke titik

keseimbangan (siklus konvergen). Harga di

tingkat pabrik rokok lebih berfluktuasi

dibandingkan di tingkat petani (Duakaju, 2004).

Telah dikemukakan bahwa ketidakstabilan

pasok disebabkan terutama oleh karakter

produksi tanaman cengkeh yang cenderung tidak

stabil. Setelah panen raya, hampir seluruh pucuk

mengalami kerusakan, sehingga pada umumnya

tahun berikutnya panen kecil. Hal ini karena

proses pemulihan akibat panen belum tuntas.

Sejalan dengan pemulihan yang berlangsung

pada tahun berikutnya panen sedang dan disusul

panen raya kembali. Tentu hal demikian tidak

selalu konsisten, karena banyak faktor

lingkungan yang berpengaruh seperti ketepatan

iklim dan ketersediaan unsur hara (Gambar 4).

Selain itu faktor-faktor perdagangan luar negeri

seperti ekspor dan impor, harga produk yang

relevan juga berpengaruh terhadap kestabilan

pasok dan harga. Menurut Nazlioglu dan Soytas

(2012) harga minyak dan nilai tukar berpengaruh

langsung terhadap harga komoditas pertanian.

Studi Byerlee et al. (2006) mengemukakan

bahwa mengelola risiko harga merupakan

tantangan di tengah reformasi pasar yang sedang

berlangsung. Hal ini menyangkut (i) sumber dan

besaran ketidakstabilan harga; (ii) biaya ekonomi

dan sosial dari ketidakstabilan harga; (iii)

pelajaran dari reformasi pasar; (iv) desain

reformasi kebijakan yang efisien, stabil dan

melindungi kepentingan orang miskin; dan (v)

respon kebijakan potensi ketidakstabilan harga

pangan di lingkungan liberalisasi pasar.

Gambar 4. Perkembangan produksi cengkeh

1980-2013 (Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian, 2014)

Gambar 5. Perkembangan impor dan ekspor

cengkeh 1980-2013 (Pusat Data dan

Sistem Informasi Pertanian, 2014).

Produksi cengkeh saat ini hingga beberapa

tahun kedepan diperkirakan antara 100–120 ribu

ton. Pertumbuhan produksi yang terjadi

diperkirakan lebih karena peningkatan intensitas

pemeliharaan daripada perluasan areal. Harga

yang membaik dalam beberapa tahun terakhir

mendorong petani untuk melakukan

pemeliharaan tanaman intensif. Mengingat

bahwa tanaman cengkeh pada saat panen

mengalami kerusakan pada pucuk-pucukmya

karena pemetikan bunga, maka untuk pemulihan

memerlukan hara tanah. Oleh karena itu

pemupukan setelah panen menjadi sangat

menentukan kecepatan pemulihan, sehingga

pembungaan pada periode berikutnya dapat

terpenuhi kebutuhan haranya.

Selain dari produksi dalam negeri, pasokan

ada yang berasal dari impor, yang hingga saat ini

Gambar 3. Perkembangan areal cengkeh 1980-2013

(Pusat Data dan Sistem Informasi

Pertanian, 2014)

Page 79: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 79

dikendalikan pemerintah. Izin impor dikeluarkan

oleh Kementerian Perdagangan dengan

memperhatikan kondisi pasokan terutama

produksi dalam negeri. Dengan demikian

lonjakan harga yang terlalu tinggi dapat

dihindari. Negara produsen cengkeh selain

Indonesia yang mendominasi sekitar 70% dari

produksi dunia adalah Madagaskar, Tanzania,

India dan lainnya dengan jumlah yang relatif

kecil. Impor yang agak signifikan pada 2011-2012

yang mencapai 15 ribu ton (Gambar 5).

Permintaan Cengkeh

Kestabilan harga cengkeh secara mendasar

tergantung pada stabilitas permintaan untuk

rokok kretek dan stabilitas pasokan yang

dihasilkan oleh petani. Walaupun banyak faktor

yang menyebabkan ketidakstabilan permintaan

cengkeh sebagai turunan permintaan dari

permintaan rokok kretek, tetapi secara umum

daya beli masyarakat dan kebijakan pemerintah

untuk meningkatkan kesadaran masyarakat

tentang bahaya rokok dalam jangka panjang juga

akan berdampak pada pertumbuhan produksi

rokok.

Dari sisi permintaan, sebagian besar, sekitar

95% dari produksi cengkeh digunakan untuk

bahan baku industri rokok kretek, yang

mengalami pertumbuhan positif sekitar 4.7% per

tahun. Walaupun demikian, pertumbuhan

tersebut disertai dengan perubahan komposisi

yang sangat signifikan. Produksi rokok ringan

(mild) mengalami pertumbuhan yang paling

pesat dibandingkan dengan SKM (sigaret kretek

mesin) apalagi SKT (sigaret kretek tangan), yang

pada akhirnya dapat diperkirakan bahwa

produksi rokok ringan akan mendominasi.

Mengingat bahwa kebutuhan cengkeh untuk

rokok ringan kurang jauh daripada SKM apalagi

SKT, maka kebutuhan cengkeh nasional pun

tidak bertumbuh linear terhadap pertumbuhan

produksi rokok kretek.

Studi Sugiharti et al. (2015), menunjukkan

bahwa perilaku merokok di Indonesia

berdasarkan data IFLS tahun 2000 dan 2007,

berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan.

Individu berpendidikan setara sekolah dasar (SD)

mempunyai kecendrungan merokok lebih

banyak dibanding dengan yang berpendidikan

lebih tinggi. Dikaitkan dengan tingkat

pendapatan dan status kepemilikan rumah, studi

ini menemukan bahwa perilaku merokok

berkaitan dengan penduduk berpendapatan

rendah dan menengah. Dengan demikian dengan

semakin baiknya tingkat pendidikan dan

pendapatan, permintaan rokok kretek semakin

berkurang dan demikian pula kebutuhan

cengkeh.

Produksi rokok kretek diperkirakan tumbuh

4-5% per tahun, tetapi kebutuhan cengkeh per

batang akan berkurang sejalan dengan

meningkatnya proporsi produk rokok ringan

(mild). Penurunan kebutuhan cengkeh per

batang rokok diperkirakan sekitar 3%.

Diperkirakan dalam beberapa tahun kedepan

kebutuhan cengkeh rata-rata kurang dari 5 ton

per milyar batang. Perkiraan penggunaan

cengkeh untuk industri rokok kretek jika target

produksi total 360 milyar batang pada 2015,

dengan kebutuhan rata-rata tertimbang sebesar 3-

4 ton per milyar batang, diperoleh kebutuhan

cengkeh sebesar 108-144 ribu ton per tahun,

dengan nilai tengah 126 ribu ton per tahun.

Permintaan cengkeh untuk rempah boleh

dikatakan relatif kecil, tidak linear terhadap

pertumbuhan penduduk, karena hanya beberapa

etnis penduduk Indonesia yang menggunakan

cengkeh sebagai rempah utama (Badan Litbang

Pertanian, 2007). Seperti dicatat dalam sejarah

bahwa bunga cengkeh merupakan salah satu

rempah yang diburu bangsa Eropa di wilayah

timur Kepulauan Nusantara, sebagai daerah asal

tanaman cengkeh. Perkembangan permintaan

rempah ini menjadi relatif minor sejak awal 1970,

sejak pesatnya perkembangan industri rokok

kretek.

Selain permintaan dalam negeri, ada juga

permintaan cengkeh untuk ekspor ke beberapa

negara Asia dan Eropa. Menurut Segarani dan

Martini (2015) dan Irawan dan Darsono (2012)

luas lahan, jumlah produksi dan kurs dollar

secara simultan berpengaruh signifikan pada

volume ekspor cengkeh Indonesia tahun 1993-

2012. Berati ada peluangu untuk membuka

ekspor jika terjadi kelebihan produksi dalam

negeri, walaupun daya serap pasar ekspor

relative kecil, hanya sekitar 5.000 ton tiap tahun.

Page 80: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

80 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

Situasi Pasar Ideal

Situasi pasar yang diinginkan oleh semua

pihak baik produsen maupun konsumen adalah

situasi pasokan dan permintaan sedemikian

sehingga harga cengkeh stabil pada kisaran harga

yang dapat memberikan insentif produksi dan

sekaligus tidak memberatkan harga pokok rokok

kretek secara berlebihan. Berdasarkan

pengalaman dalam lima tahun terakhir, harga

bergerak di sekitar Rp 100 ribu/kg. Petani

cengkeh mulai bergairah untuk melakukan

intensifikasi dan rehabilitasi, tetapi untuk

penanaman di kebun baru belum terlihat. Hal ini

menunjukkan bahwa harga cengkeh tersebut

merupakan keinginan petani untuk dapat

mempertahankan dan memelihara pertanaman

cengkehnya secara baik.

Menurut Rumagit (2007) harga riil cengkeh

lima tahun sebelumnya sangat berpengaruh

terhadap perkembangan areal dan produktivitas

tanaman. Pengaruh harga dan produksi bersifat

timbal balik. Harga tinggi dapat mendorong

petani untuk melakukan perluasan secara

berlebihan. Pada gilirannya harga dapat turun

lagi karena produksi berlebih. Dengan demikian

agar harga tetap terjaga pada tingkat yang

diinginkan maka produksi dalam jangka

menengah, lebih baik ditingkatkan dari kebun

yang ada pada saat ini, melalui intensifikasi dan

rehabilitasi.

Pada saat ini petani harus menghadapi

kenyataan bahwa biaya produksi cengkeh relatif

tinggi. Hal ini terutama karena upah yang sangat

tinggi terutama panen. Di daerah sentra

produksi cengkeh biaya panen cengkeh

merupakan komponen biaya terbesar dari biaya

produksi. Seperti di Sulawesi Utara biaya panen

mencapai Rp 10.000 per kg basah atau Rp 40.000

per kg kering. Bahkan Simbar et al. (2014)

menyatakan besarnya biaya panen di Kecamatan

Tareran mencapai Rp. 40.352,47 per kg dan rata-

rata produksi 468,3 kg. Jika produksi kebunnya

tidak banyak maka biaya panen akan semakin

tinggi. Dengan asumsi bahwa biaya

pemeliharaan untuk cengkeh sebessar Rp 20.000

per kg kering maka harga pokok cengkeh di

tingkat petani sudah mencapai Rp 60.000. Jika

keuntungan petani yang layak untuk

mempertahankan kondisi tanaman cengkeh

sebesar 25% maka harga yang pantas diterima

petani minimum sekitar Rp 75.000 per kg.

STRATEGI STABILISASI PASAR DAN

HARGA

Dari sisi pasok, saat ini lebih dari 90 %

cengkeh dihasilkan dari kebun milik petani.

Menurut Statistik dari Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian (2014) luas total kebun pada

2014 hampir mencapai 500 ribu ha dengan

perkiraan luas kebun produktif sekitar 400 ribu

ha. Dengan produktivitas rata-rata dalam

beberapa tahun terakhir 250-350 kg/ha (Gambar

5), maka potensi produksi nasional rata-rata

mencapai 100-135 ribu ton per tahun, dengan

nilai tengah 117,5 ribu ton. Jika dibandingkan

dengan kebutuhan cengkeh yang diperkirakan

sekitar 108-144 ribu ton dengan nilai tengah 126

ribu ton maka kekurangan cengkeh yang terjadi

saat ini sekitar 8-9 ribu ton per tahun.

Berdasarkan situasi tersebut dapat diketahui

bahwa kebutuhan dan produksi hampir

berimbang dengan kecenderungan defisit

terutama pada saat terjadinya panen kecil dan

panen sedang. Dengan gambaran tersebut,

sebenarnya dengan peningkatan produktivitas

rata-rata katakanlah sebesar 10%, kebutuhan

dapat terpenuhi dari produksi dalam negeri.

Selain itu karena terjadi fluktuasi produksi maka

diperlukan manajemen rantai pasok agar pada

saat panen raya harga tidak jatuh.

Gambar 5. Perkembangan produktivitas cengkeh

1980-2013 (Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian, 2014)

Page 81: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 81

Program

Stabilisasi kinerja pasar cengkeh dengan

indikator kestabilan harga jangka panjang

merupakan suatu keniscayaan. Upaya yang

harus dilaksanakan untuk dapat mencapai harga

yang stabil dalam jangka panjang dan jangka

pendek adalah pengendalian pasok. Secara

umum upaya pengendalian harga jangka panjang

dapat ditempuh dengan pengendalian areal dan

produktivitas dan pengendalian harga jangka

pendek melalui manajemen rantai pasok.

Situasi yang terjadi saat ini, harga rata-rata

sekitar Rp 100.000 per kg dengan gejolak sekitar

25%. Pada kondisi harga ini terlihat petani

bergairah untuk kembali ke kebun dengan

memelihara tanamam, untuk peningkatkan

produktivitas. Jika situasi ini dianggap sebagai

situasi yang mendekati ideal bagi petani dan

pabrik rokok, maka agar kondisi tersebut dapat

dipertahankan perlu diprogramkan kegiatan

yang sesuai. Untuk program jangka panjang

agar areal cengkeh tidak mengalami peningkatan

atau penurunan yang drastis maka perluasan

areal dijaga agar terjadi secara alami saja, tidak

perlu didorong dengan upaya khusus.

Program yang harus dilaksanakan adalah

peningkatan produktivitas, melalui intensifikasi

dan rehabilitasi tanaman yang tua, rusak dan

yang mati disulam. Diperkirakan melalui kedua

program ini produktivitas tanaman bisa

mencapai 500 kg/ha pada saat panen raya dan

300 kg/ha pada saat panen kecil. Melalui

intensifikasi diharapkan perbedaan produktivitas

antara panen besar dan panen kecil tidak terlalu

jauh. Dengan produktivitas rata-rata 400 kg/ha

dan areal tanaman menghasilkan 400.000 ha

maka produksi nasional sudah mencapai 160.000

ton. Hal ini didukung oleh hasil penelitian

Adyatma dan Budiana (2013) bahwa peningkatan

penggunaan pupuk dan pemeliharaan

berpengaruh nyata terhadap produktivitas

cengkeh.

Berdasarkan perkiraan kecenderungan

permintaan dalam lima tahun mendatang yang

paling tinggi dapat mencapai 144.000 ton, maka

kebutuhan nasional dapat dipenuhi dan sebagian

untuk stok dan kemungkinan ekspor. Melalui

program penyeimbangan pasok dan permintaan

diharapkan harga akan dapat stabil dalam jangka

panjang.

Mengingat produksi cengkeh yang

berfluktuasi, pada saat panen raya pasok jangka

pendek dan bisa secara lokal mendadak

meningkat tajam. Hal ini terjadi jika para petani

melepas langsung semua hasil panen pada saat

yang bersamaan. Dorongan ini sangat kuat

mengingat biaya panen yang dikeluarkan oleh

petani cukup besar dan seringkali membiayainya

dengan hutang jangka pendek. Pada gilirannya

harga dapat turun walaupun bersifat sementara.

Untuk kestabilan harga jangka pendek

program yang harus dijalankan adalah

“manajemen rantai pasok”. Rantai pasok

cengkeh, pada umumnya petani menjual cengkeh

hasil panennya kepada pedagang pengumpul

yang kemudian menjualnya kepada pedagang

antar pulau yang sebagian besar merupakan

kepanjangan tangan pabrik rokok kretek di Jawa.

Saat paling kritis pelepasan cengkeh milik petani

kepada pedagang pengumpul selepas panen.

Hal ini karena untuk membiayai panen petani

pada umumnya hutang, sehingga penjualan

setelah panen karena terdesak oleh telah jatuh

temponya hutang tersebut. Agar hal tersebut

tidak terjadi maka diperlukan manajemen rantai

pasok, terutama peran petani untuk dapat

menyimpan sementara cengkehnya pada saat

harga turun, melalui kebijakan resi gudang yang

sudah diundangkan tetapi belum dilaksanakan.

Rencana Kegiatan

Intensifikasi merupakan program perbaikan

dan pemeliharaan kebun cengkeh untuk kondisi

kebun yang sebagian besar kondisi tanamannya

masih baik (minimum 75%). Rehabilitasi

tanaman seperti program intensifikasi tetapi

kondisi tanamannya hanya sebagian kecil yang

masih baik (minimum 40%) dan masih

memungkinkan untuk diperbaiki kondisinya.

Untuk mendukung pengembangan, perlu

diperhatikan kondisi lahan dan iklim yang

dibutuhkan tanaman cengkeh. Pengembangan

cengkeh sebaiknya ke arah wilayah yang sesuai

dengan persyaratan tumbuh tanaman. Peta

kesesuaian lahan dan iklim dapat dijadikan

pedoman ke arah mana sebaiknya tanaman

dikembangkan. Berdasarkan peta lahan dan iklim

Page 82: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

82 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

ditentukan arah perluasan dan teknologi yang

dibutuhkan untuk suatu daerah (Setiawan dan

Rosman, 2015).

Untuk melaksanakan program intensifikasi

dan rehabilitasi (perbaikan dan pemeliharaan

kebun) perlu adanya rencana kegiatan yang

terstruktur. Secara sekuensial kegiatan perbaikan

dan pemeliharaan kebun cengkeh dimulai

dengan perbaikan kondisi tanah, penanaman

kembali untuk melengkapi tanaman sehingga

populasi kembali utuh, diikuti perbaikan

pemeliharaan tanaman dengan pemupukan dan

perlakuan lainnya, serta panen dan penanganan

pasca panen.

Dari kegiatan tersebut, faktor kritis yang

harus dipecahkan agar program intensifikasi dan

rehabilitasi tersebut dapat berhasil dan

berkelanjutan adalah penyediaan benih bermutu

untuk penanaman kembali, penyediaan pupuk

dan pestisida, dan penyediaan tenaga kerja

terutama untuk pemeliharaan, panen dan pasca

panen.

Penyediaan benih bermutu dapat dilakukan

petani sendiri dari varietas unggul seperti tipe

Zanzibar atau Sikotok dari kebun sendiri yang

baik. Ini merupakan salah satu bentuk

pembangunan partisipatif melalui pemberdayaan

petani untuk peningkatan pendapatan.

Penyediaan pupuk organik dan agensia hayati

dapat menjadi kegiatan pemberdayaan petani

melalui pengembangan produksi kompos dan

pupuk kandang. Penggunaan kompos dan

agensia hayati atau pestisida nabati dapat

menghemat biaya dan memperbaiki lingkungan

mikro tanaman, karena tanpa substitusi tersebut

biaya pupuk dan pestisida kimia cukup besar.

Panen dan pasca panen merupakan kegiatan

yang memerlukan biaya yang besar. Misalkan

untuk kebun dengan produktifitas 400 kg/ha

membutuhkan biaya panen Rp 16 juta. Petani

yang pada saat panen tidak memiliki uang tunai,

biasanya berhutang untuk segera dibayar setelah

cengkeh selesai dikeringkan. Kondisi ini yang

tidak diinginkan karena akan terjadi kelebihan

pasok sehabis panen sehingga harga dapat turun.

Konsep resi gudang kiranya dapat digunakan

untu menangatasi kebutuhan harga untuk

menghindari turunnya harga.

KEBIJAKAN

Menurut Gouel (2013) kebijakan stabilisasi

harga timbul sebagai akibat dari koordinasi

internasional dan domestik. Demi kepentingan

nasional banyak negara menyesuaikan kebijakan

perdagangan untuk mengambil keuntungan dari

pasar dunia. Hansen et al. (2009) menyatakan

bahwa kebijakan perdagangan komoditas

pertanian dapat diarahkan untuk menahan

penurunan harga atau mendorong peningkatan

harga, agar diperoleh harga yang stabil. Hal ini

memungkinkan untuk cengkeh mengingat

bahwa Indonesia merupakan produsen cengkeh

dengan pangsa pasar mencapai lebih dari 90%.

Bellemare (2015) mengemukakan, untuk

produk pangan di Amerika, harga yang stabil

memberikan kepastian kepada petani untuk

mengalokasikan sumberdaya. Siregar (2011)

fluktuasi harga cengkeh dalam waktu singkat

menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku usaha.

Perusahaan tembakau kesulitan memperoleh

cengkeh dengan harga wajar. Sedangkan petani

sulit memastikan perencanaan produksi dalam

waktu panjang karena tidak memiliki prediksi

penghasilan di masa yang akan datang.

Kebijakan yang diperlukan untuk dapat

menunjang keberhasilan intensifikasi dan

rehabilitasi adalah kebijakan teknis, kelembagaan

dan keuangan terutama untuk penyediaan input

produksi dan pemasaran produk.

Kebijakan input yang diperlukan terutama

kebijakan untuk menjamin ketersediaan benih

bermutu secara berkelanjutan yang meliputi

kebijakan untuk pengembangan penangkaran

benih. Kebijakan ini meliputi tersedianya sumber

benih yang memenuhi standar teknis, tersedianya

sistem produksi benih bermutu yang efektif dan

murah, serta adanya sistem pengawasan

peredaran benih. Kebijakan ini dapat berjalan

dengan baik jika sistem kelembagaan perbenihan

yang dapat berbasis pada usaha individu atau

kelompok dapat berjalan dengan baik.

Mengingat bahwa produksi benih yang efektif

dan efisien harus mencapai skala usaha tertentu

maka tersedianya modal usaha menjadi penting.

Oleh karena itu kebijakan untuk

mengembangkan skema kredit mikro atau kecil

sangat diperlukan.

Page 83: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 83

Kebijakan teknis untuk penyediaan pupuk

organik dan pestisida nabati juga agensia hayati

sangat diperlukan agar petani dapat

menyediakan sebagian besar pupuk dan pestisida

secara mandiri. Pupuk dan pestisida kimia masih

sangat diperlukan hanya dalam jumlah yang

lebih sedikit sehingga biaya produksi dapat

ditekan.

Kebijakan teknis dan keuangan sangat

diperlukan untuk penyediaan tenaga kerja panen

dan penanganan pasca panen. Panen bersamaan

memerlukan tenaga kerja yang banyak, sehingga

upah juga meningkat. Diperlukan kebijakan

teknis, tersedianya peralatan panen untuk

mempercepat proses panen sehingga kelangkaan

tenaga kerja bisa dikurangi. Selain itu panen

cengkeh membutuhkan biaya yang besar

sehingga sangat diperlukan pengembangan

skema pembiayaan panen dan penanganan pasca

panen agar petani tidak berhutang kepada

pelepas uang. Kebijakan ini sekaligus untuk

mengatasi penjualan cengkeh segera setelah

panen sehingga pasok dalam jangka pendek

dapat meningkat tajam dan harga turun.

Stabilitas harga sangat penting dalam

produksi cengkeh secara berkelanjutan. Oleh

karena itu penerapan sistem resi gudang yang

telah diundangkan sangat penting untuk

dilaksanakan manakala harga cengkeh turun.

Melalui pengelolaan sistem resi gudang ini

diharapkan harga cengkeh dalam jangka

menengah dan pendek dapat lebih stabil.

Kegagalan Kebijakan Pasar

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa

harga cengkeh sangat rendah terutama pada

periode awal tahun 1990an. Kondisi tersebut

mendorong pemerintah melakukan intervensi

untuk memperbaiki harga di tingkat petani. Hal

ini karena pemerintah melihat bahwa struktur

pasar cengkeh nasional sangat timpang, petani

yang jumlahnya sangat banyak harus

berhadapan dengan industri rokok kretek yang

80% dikuasai oleh empat perusahaan besar,

Gudang Garam, Djarum, Sampoerna, dan

Bentoel.

Kebijakan pemerintah melalui Keputusan

Presiden Nomor 20/1992 tentang tataniaga

cengkeh menetapkan pembentukan Badan

Pemasaran dan Penyangga Cengkeh (BPPC)

sebagai lembaga yang diberikan kewenangan

untuk membeli dan menjual hasil produksi

cengkeh dari petani. Unsur BPPC terdiri atas

Inkud (koperasi), PT Kerta Niaga (BUMN), dan

PT Kembang Cengkeh Nasional (swasta). Modal

BPPC diperoleh dari Kredit Likuiditas Bank

Indonesia (KLBI) untuk membeli cengkeh petani

dan kemudian menjual ke perusahaan rokok

kretek. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 1

tahun 1992 yang mengatur harga pembelian dan

penjualan cengkeh, selisih harganya menjadi

Dana Penyertaan Modal (DPM) dan Simpanan

Wajib Khusus Petani (SWKP). Dalam prakteknya

Instruksi Presiden tersebut tidak dilaksanakan

dengan baik, hingga BPPC bubar sebagian besar

dana tersebut tidak dibayarkan.

Sebagai akibat gagalnya kebijakan

pemerintah tersebut, harga cengkeh tidak

beranjak, sebagian petani merasa bahwa cengkeh

bukan tanaman yang menguntungkan sehingga

terjadi konversi areal yang besar menjadi

tanaman lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa

pasar cengkeh telah gagal mengalokasikan

sumberdaya dan manfaat secara adil kepada

produsen dan konsumen cengkeh. Faktor utama

penyebab kegagalan kebijakan ini adalah

pelaksana kebijakan publik yang seharusnya

menjadi domain pemerintah diserahkan kepada

badan usaha yang mencari keuntungan, sehingga

perilaku BPPC dipastikan tidak seperti yang

diharapkan pemerintah. Sebagaimana

dikemukakan Birkland (2014), masalah publik

dan privat harus dipilah demikian pula

solusinya, masalah publik harus ditangani oleh

pemerintah.

Sebuah penelitian sejarah membandingkan

BPPC dengan VOC pada zaman Belanda di

Maluku, menemukan bahwa pertama, monopoli

pasar yang dilakukan oleh VOC bertujuan untuk

menguasai ekspor cengkeh sedangkan BPPC

bertujuan menguasai pasar perdagang cengkeh

dalam negeri. Kedua, VOC mengkondisikan

pasar perdagangan cengkeh di Maluku Selatan

pada posisi oligopsoni, monopsoni sekaligus

monopoli. Untuk BPPC, pasar terkondisikan

pada level politik/agregat menjadi monopolis-

monopsonis yang sering disebut sebagai bilateral

monopoli. Di tingkat lokal, pasar terkondisikan

Page 84: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

84 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

pada Monopoli-monopsoni dan monopoli-

oligopsoni. Ketiga, ketika intervensi pasar, VOC

menerapkan pola beaurocratic and armed trade,

(berdagang yang didasari birokrasi dan tentara).

BPPC mengintegrasikan power and business yaitu

merealisasikan kepentingan dengan

memanfaatkan kekuasaan (La Rahman dan

Suryo, 2011).

KESIMPULAN

Pasar cengkeh saat ini menunjukkan situasi

yang hampir seimbang, permintaan industri

rokok kretek hampir dapat dipenuhi produksi

nasional dalam jangka panjang. Strategi

stabilisasi harga pada tingkat harga yang

diinginkan memerlukan upaya jangka panjang

dan jangka pendek. Kebutuhan industri rokok

kretek dalam jangka panjang dapat dipenuhi dari

produksi dalam negeri dengan upaya dengan

mendorong produktivitas melalui intensifikasi

dan rehabilitasi. Perluasan secara alami akan

terjadi jika harga dirasakan cukup memadai bagi

petani untuk menutup biaya produksi dan

memperoleh marjin keuntungan.

Mengingat karakter produksi cengkeh yang

berfluktuasi tiap tahun maka diperlukan adanya

manajemen rantai pasok agar fluktuasi tersebut

lebih kecil pengaruhnya terhadap harga.

Manajemen rantai pasok ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan petani untuk

menahan cengkeh pada saat harga rendah

dengan mengembangkan skema kredit untuk

pembayaran tenaga panen dan penanganan

pasca panen. Selain itu sistem resi gudang perlu

dilaksanakan terutama untuk antisipasi jatuhnya

harga pada saat panen raya. Kegagalan

kebijakan pasar cengkeh yang pernah

dilaksanakan oleh BPPC merupakan pelajaran

berharga dan berdampak luas.

Kebijakan teknis, kelembagaan dan

keuangan diperlukan sebagai pendukung dan

pendorong program intensifikasi dan rehabilitasi.

Kebijakan yang harus diimplementasikan dengan

baik adalah kebijakan perbenihan cengkeh,

kebijakan pengembangan produksi pupuk

organik, pestisida nabati dan agensia hayati, serta

tenaga kerja untuk panen cengkeh.

DAFTAR PUSTAKA

Achadi, A., W. Soerojo, and S. Barber. 2005. The

relevance and prospects of advancing

tobacco control in Indonesia. Health

policy 72(3):333-349.

Adyatma, I., dan D. N. Budiana. 2013. Analisis

Efisiensi Penggunaan Faktor Produksi

pada Usahatani Cengkeh di Desa

Manggissari. E-Jurnal Ekonomi Pem-

bangunan Universitas Udayana 2(9):1-9

Badan Litbang Pertanian. 2007. Prospek dan Arah

Pengembangan Agribisnis Cengkeh. Badan

Litbang Pertanian Jakarta. 72 hlm.

Birkland, T.A. 2014. An introduction to the

policy process: Theories, concepts and

models of public policy making.

Routledge. 312p.

Bellemare, M. F. 2015. Rising food prices, food

price volatility, and social unrest.

American Journal of Agricultural

Economics 97(1):1-21.

Byerlee, D., T. S. Jayne, and R. J. Myers. 2006.

Managing food price risks and instability

in a liberalizing market environment:

Overview and policy options. Food Policy

31(4):275-287.

Duakaju, N. N. 2004. Perilaku harga dalam

pemasaran cengkeh di Indonesia. Jurnal

Ekonomi Pertanian 1(1):1-24.

Fiegener, M. K. 1997. The control of strategy in

dynamic versus stable environments.

Journal of Managerial Issues p 72-85.

Gilmore, A. B. 2012. Understanding the vector in

order to plan effective tobacco control

policies: an analysis of contemporary

tobacco industry materials. Tobacco

Control 21(2):119-126.

Gouel, C. 2012. Agricultural price instability: a

survey of competing explanations and

remedies. Journal of Economic Surveys

26(1):129-156.

Gouel, C. 2013. Food price volatility and domestic

stabilization policies in developing

countries (No. w18934). National Bureau of

Economic Research.

Hadi, P.U. dan S. Friyatno. 2008. Peranan sektor

tembakau dan industri rokok dalam

perekonomian Indonesia. Analisis Tabel I-

Page 85: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

Strategi Stabilisasi Kinerja Pasar Cengkeh Nasional (AGUS WAHYUDI) 85

O Tahun 2000. Jurnal Agro Ekonomi 20(1):

90-121.

Hananto, P. E., P. S. Sasongko, and A. Sugiharto.

2014. Sistem Pakar Diagnosis Penyakit

Tanaman Cengkih Dengan Metode

Inferensi Forward Chaining. Journal of

Informatics and Technology 1(3), 1-14.

Hansen, J., F.Tuan, A. Somwaru, and R. Seeley.

2009. Impact of China’s agriculture policies

on domestic and world commodity

markets. In Contributed Paper prepared

for presentation at the International

Association of Agricultural Economics

Conference, Beijing, China, August. Pp. 16-

22).

Irawan, R.S dan E.W.R. Darsono, 2012. Analisis

Ekspor Cengkeh di Indonesia. Sumber, 72:

5-941.

Kario, N.H., 2014. Analisis Usaha Panen Cengkeh

Di Kabupaten Minahasa Tenggara Propinsi

Sulawesi Utara. AGRITECH 16(2).

La Raman, S. dan D. Suryo. 2011. Kompani dan

BPPC; Perbandingan Praktek Monopoli

Pasar Dalam Perdagangan Cengkih Di

Maluku Selatan Masa VOC dan Orde Baru

Disertasi Doktor, Universitas Gadjah

Mada. 247p.

Nazlioglu, S. and U. Soytas. 2012. Oil price,

agricultural commodity prices, and the

dollar: A panel cointegration and causality

analysis. Energy Economics, 34(4):1098-

1104.

Poniran, P. 2013. Strategi The Boston Consulting

Group Untuk Memastikan Kesinambungan

Produk PT Gudang Garam Tbk Kediri.

WACANA, Jurnal Sosial dan Humaniora,

16(1):1-14.

Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 2014.

Outlook Komoditi Cengkeh. Pusat Data

dan Sistem Informasi Pertanian. Sekretariat

Jenderal Kementerian Pertanian. 63p

Rachmat, M. 2010. Pengembangan Ekonomi

Tembakau Nasional: Kebijakan Negara

Maju dan Pembelajaran Bagi Indonesia.

Analisis Kebijakan Pertanian. Maret. 8(1): :

67-83

Ruhnayat, A., D. Wahyuno, D. Manohara, dan R.

Rosman. 2014. Budidaya Cengkeh dalam

buku Cengkeh: Sejarah, Budidaya dan

Industri. Indesso dan Magister Biologi

Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga. 388p

Rumagit, G. A. 2007. Kajian ekonomi keterkaitan

antara perkembangan industri cengkeh

dan industri rokok kretek nasional.

Disertasi Program Pascasarjana IPB. 198 p.

Segarani, L.P.M. dan D.P. Martini, 2015.

Pengaruh Luas Lahan, Jumlah Produksi,

dan Kurs Dollar pada Ekspor Cengkeh di

Indonesia. E-Jurnal Ekonomi Pem-

bangunan Universitas Udayana, 4(4). P.

272-283.

Semangun, H. 2014. Sejarah Cengkeh dalam

buku Cengkeh: Sejarah, Budidaya dan

Industri. Indesso dan Magister Biologi

Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga. 388 hlm.

Setiawan, S., dan R. Rosman, 2015. Status

Penelitian, Penerapan Teknologi dan

Strategi Pengembangan Tanaman Cengkeh

Berbasis Ekologi. Perspektif, 14(1). p27 -36

Simbar, R., E. O. Laoh, W. M. Wangke and E. G.

Tangkere. 2014. Struktur Biaya Panen

Cengkeh Di Desa Kaneyan Kecamatan

Tareran Kabupaten Minahasa Selatan. In

COCOS, 5(3).

Stern, N. 2002. A Strategy for Development.

In World Bank Conference on

Development Economics. Pp 11-17.

Siregar, A. R. 2011. Analisis Disparitas Harga Dan

Potensi Persaingan Tidak Sehat Pada

Distribusi Cengkeh. Jurnal AGRIBISNIS 10

(3) :32-37.

Situmeang., T. H. 2008. Analisis Produksi,

Konsumsi, dan Harga Cengkeh Indonesia.

Fakultas Pertanian. Institut Pertanian

Bogor. Skripsi. 160p.

Sugiharti, L., N. M. Sukartini, dan T.Handriana.

2015. Konsumsi Rokok Berdasarkan

Karakteristik Individu di Indonesia. Jurnal

Ekonomi Kuantitatif Terapan 8(1):34-45.

Tarmidi, L. T. 1996. Changing structure and

competition in the kretek cigarette

industry. Bulletin of Indonesian Economic

Studies 32(3), 85-107

Wedhasmara, A. 2014. Langkah-langkah

perencanaan strategis sistem informasi

dengan menggunakan metode Ward and

Peppard. Jurnal Sistem Informasi 1(1):14-

22.

Page 86: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

86 Volume 15 Nomor 1, Juni 2016 : 73 -85

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih dan penghargaan diberikan kepada para pakar yang telah bersedia sebagai

penelaah Perspektif Review Penelitian Tanaman Industri. Berikut ini nama pakar yang telah

berpartisipasi:

Nama Alamat Disiplin Ilmu

Prof. Dr. Ir. I Wayan

Rusastra, MS

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Pertanian, Balitbang Pertanian, Kementerian

Pertanian,

Jl. Tentara Pelajar No. 3C, Cimanggu, Bogor

16111, Jawa Barat, Indonesia.

Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Agus Wahyudi, MS Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,

Puslitbang Perkebunan, Balitbang Pertanian,

Kementerian Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 3, Cimanggu, Bogor

16111, Jawa Barat, Indonesia

Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Pudjianto, M.Si. Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas

Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Jl. Kamper, Kampus IPB Dramaga, Bogor

16680, Jawa Barat, Indonesia

Hama dan Penyakit

Tanaman

Prof. Dr. Supriadi, M.Sc. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat,

Puslitbang Perkebunan, Balitbang Pertanian,

Kementerian Pertanian

Jl. Tentara Pelajar No. 3, Cimanggu, Bogor

16111, Jawa Barat, Indonesia

Penyakit Tanaman

Prof. Dr. Ir. Ika Mariska Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perkebunan, Badan Litbang Pertanian,

Kementerian Pertanian.

Jl. Tentara Pelajar No. 1, Cimanggu, Bogor

16111, Jawa Barat, Indonesia

Bioteknologi Pertanian

Dr. Ir. Pasril Wahid, MS Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Bangsa

Jl. KH. Sholeh Iskandar KM. 4, Cibadak,

Tanah Sereal, Cibadak, Tanah Sereal, Kota

Bogor, Jawa Barat 16166

Agronomi

Page 87: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian

PEDOMAN BAGI PENULIS

Pengertian : Review Penelitian Tanaman Industri merupakan karya

tulis tinjauan yang berisi suatu kajian hasil-hasil penelitian yang

berupa olah pikir analisis dan sintesis sejumlah hasil penelitian

yang telah diterbitkan, agar diperoleh informasi yang benar, valid,

dan relevan dengan tujuan untuk memacu dan memberi informasi

perkembangan ilmu dan teknologi di Indonesia.

Bahasa : Review memuat tulisan dalam Bahasa Indonesia dan

Bahasa Inggris dengan baik sesuai kode etik penulisan serta

mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Struktur : Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut : judul

tulisan, nama penulis dengan alamat instansinya, abstrak dalam

Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris (200 – 300 kata) dan kata

kunci (Bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, topik-topik yang

dibahas, kesimpulan dan saran, serta daftar pustaka.

Bentuk Naskah : Naskah diketik di atas kertas kuarto putih pada

satu permukaan saja, memakai dua spasi dan bentuk huruf Arial

ukuran 12 pt. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong

minimal 3,5 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya tidak

melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.

Judul Naskah : Judul tulisan merupakan suatu ungkapan yang dapat

menggambarkan fokus masalah yang dibahas dalam tulisan tersebut,

dan dicantumkan dengan dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Nama

dan instansi tempat kerja penulis dengan alamat yang jelas

dicantumkan di bawah judul. Apabila penulisnya lebih dari satu maka

penulisannya disesuaikan dengan kode etik penulisan.

Pendahuluan: Berisi suatu pengantar atau paparan tentang latar

belakang topik, ruang lingkup bahasan dan tujuan review. Jika

diperlukan, sajikan pengertian-pengertian dan cakupan bahasan.

Topik bahasan : Informasi tentang topik yang dibahas dan disusun

dengan urutan logika secara sistematis, termasuk sintesis dan

analisis. Misalnya, pengungkapan status perkembangan ilmu dan

teknologi, penjelasan tentang perbedaan pendapat, pengungkapan

konsepsi baru, pengungkapan pemecahan masalah untuk bahan

kebijakan, dan pengungkapan aspek yang perlu dibuktikan

kebenarannya atau yang perlu memperoleh dukungan disiplin lain.

Kesimpulan dan Saran : Merupakan inti sari pembahasan dan

dapat berisi himbauan tergantung dari materi bahasan.

Daftar Pustaka : Pustaka yang dirujuk hendaknya rujukan yang

terbaru dan mutakhir yaitu rujukan yang terbit dalam 5-10 tahun

terakhir. Pustaka primer diharapkan lebih banyak daripada pustaka

sekunder. Jumlah rujukan tergantung pada luasnya topik atau

banyaknya penelitian dari topik yang dibahas dan disarankan karya

tulis tinjauan kurang lebih menggunakan 30 rujukan yang relevan,

agar topik yang dibahas terdiri atas hasil penelitian yang cukup

banyak. Contoh Penulisan Sumber Acuan :

Jurnal

Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro. 2003. Identifikasi

lokus karakter kuantitatif ketahanan penyakit bulai pada

jagung menggunakan RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian

8(1) : 8-14.

Trisawa, I.M. dan I.W. Laba. 2006. Keefektifan Beauveria bassiana

dan Spicaria sp. terhadap kepik renda lada Diconocoris

hewetti (Dist.) (Hemiptera: Tingidae). Bulletin Penelitian

Tanaman Rempah dan Obat XVII(2) : 99-106.

Buku

Bradbury, J.F. 1986. Guide to Plant Pathogenic Bacteria. CAB

International Mycological Institute. Ferry Lane, Kew Surrey,

England. 329 pp.

Bab dalam buku

Weiss, R. 1984. Experimental biology and assay of RNA tumor

viruses. Dalam : R. Weiss, N. Teich, H. Varmus, and Coffin

J. (ed). RNA Tumor Viruses. Vol. 1, New York : Cold Spring

Harbor Laboratory. p. 209-260.

Abstrak

Rusmana I., R.S. Hadioetomo 1991. Bacillus thuringiensis Berl. dari

peternakan ulat sutera dan toksisitasnya. Abstrak Pertemuan

Ilmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia. Bogor,

2-3 Des 1991, A-26, hlm 26.

Prosiding

Raffiudin, R., D. Nandika, M. Amir, and N. Sugiri. 1991. Populasi

flagelata pada usus rayap Captotermes curvignatus

Holmgren dengan pemberian pakan tiga jenis kayu. Dalam

Prosiding Seminar Ilmiah dan Kongres Nasional Biologi X,

Vol. 2. Bogor, 24-26 September 1991. Hlm 482-487.

Skripsi/Tesis/Disertasi

Tjahyadi, M.R. 1994. Bakteri penghambat Vibrio harveyi untuk

menanggulangi penyakit berpendar pada larva udang windu

(Panacus monodon Fab.). Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

45 hlm.

Informasi dari Internet

Anonymous. 2006. Bukholderia cepacia and other Burkholderia.

http://www3.nbnet.nb.ca/normap/bcepacia.htm.[Sept 2006]

Chen, H.J., W.C. Hou, and Y.H. Lin. 2000. Isolation and charac-

terization of a cDNA clone for type II metallo-thionein-like

protein from senescent leaves of sweet potato (Ipomoea

batatas cv. Tainong 57). (PGR00-001) Plant Physiol

122:291. http://www.tarweed.com/ pgr/. [18 Jan 2001].

Tabel : Judul tabel singkat dan jelas, dengan catatan bawah

termasuk sumbernya (apabila data atau angka-angka dalam tabel

tersebut berasal dari sumber lain).

Gambar dan Grafik : Gambar dan grafik disajikan dengan jelas.

Keterangan gambar dan grafik dibuat dalam bentuk catatan bawah

disertai dengan sumbernya. Foto hitam putih atau berwarna dicetak

ukuran poscard dengan mutu tajam dan jelas dengan posisi

berdiri/vertikal disertai dengan asal sumber dan keterangannya.

Lain-lain : Redaksi hanya menerima naskah yang belum pernah

dipublikasikan dan tidak dalam proses penerbitan pada publikasi lain.

Dewan Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah

format sesuai dengan sifat Review yang informatif tanpa mengubah

arti dari naskah. Dewan Redaksi akan mengembalikan naskah

kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi redaksi.

Naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai dengan

keputusan rapat Dewan Redaksi akan diberitahukan kepada penulis

melalui surat.

Surat Menyurat : Naskah tulisan dikirim rangkap dua dan diberi

pengantar dari Kepala Satuan Kerja, serta dialamatkan kepada :

Redaksi Pelaksana Perspektif, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Perkebunan, Jl. Tentara Pelajar No.1 Bogor 16111, Telp. 0251-

8313083, Fax. 0251– 8336194.

Page 88: Volume 15 - Nomor 1 Juni 2016 - Pertanian