BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni...
Transcript of BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni...
BU
LETIN H
UK
UM
KEB
AN
KSEN
TRA
LAN
Volume 13, N
omor 1, Januari - Juni 2016
ISSN : 1693 - 3265
Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sebagai Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya
Retno Widati, S.H., M.H.
Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak Keagenan (Agency)Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.
Pertanggungjawaban Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan HukumDwiki Oktobrian, S.H., M.H.
Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan KreditIswi Hariyani, S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari – Juni 2016 (berikut ringkasan)Departemen Hukum, Bank Indonesia
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN
Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabRosalia Suci H., Libraliana Badilangoe, Sukarelawati Permana, Imam Subarkah
Pemimpin RedaksiSukarelawati Permana
Sekretaris RedaksiAmy Rachmi Budiati
Dewan RedaksiAgus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Amy Rachmi Budiati, Bambang Sukardi Putra, Doharman Sidabalok,
Hari Sugeng Raharjo, Panji Achmad, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi
Redaksi PelaksanaDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M
Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Penanggung Jawab DistribusiDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitian dalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Mulai tahun 2015, Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungi Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected].
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukum kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi,
kemudian pilih sub menu Buletin
ISSN : 1693 - 3265
i
���Pembaca Buletin Hukum Kebanksentralan yang berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa di semester pertama tahun 2016 ini redaksi kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan Volume 13 Nomor
1 Tahun 2016. Buletin Hukum Kebanksentralan ini kami harapkan dapat menjadi bentuk kontribusi Bank Indonesia dalam
menyebarluaskan informasi dan kajian hukum khususnya terkait kebanksentralan kepada masyarakat. Informasi dan
kajian hukum terkait kebanksentralan mencakup berbagai pemikiran berkenaan dengan kebijakan bank sentral, baik
itu di bidang moneter, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta makroprudensial. Selain itu, isu-isu hukum
lainnya terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik, kontrak, ketenagakerjaan/kepegawaian, dan pengadaan
barang/jasa yang relevan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akan menjadi salah satu topik yang dapat dimuat
dalam Buletin Hukum Kebanksentralan ini. ���
Dalam Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini dimuat 1 (satu) artikel dari penulis internal Bank Indonesia yaitu
Retno Widati, S.H., M.H. dengan judul Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan Sebagai Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya.
Selain itu, dimuat pula 3 (tiga) artikel dari penulis eksternal Bank Indonesia yaitu Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak
Keagenan (Agency), yang ditulis oleh Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S. dari Universitas Diponegoro; Pertanggungjawaban
Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan Hukum yang ditulis oleh Dwiki Oktobrian, S.H., M.H
dari Universitas Komputer Indonesia; dan Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan Kredit, yang ditulis oleh Iswi Hariyani,
S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H dari Universitas Jember. ���
Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai
produk Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Januari sampai dengan Juni 2016, terdiri
atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya. ���
Besar harapan kami, informasi yang dimuat dalam Buletin ini akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka
pengembangan ilmu hukum, serta memberikan akses informasi bagi pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi
yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca. ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
Jakarta, Juni 2016 ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���
Redaksi
DARI MEJA REDAKSI
iii
���Halaman
Dari Meja Redaksi......................................................................................................................................��� i
Daftar Isi...................................................................................................................................................��� iii
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sebagai
Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya.........��� 1 - 16
Retno Widati, S.H., M.H.
Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak Keagenan (Agency) ..................................................................��� 17 - 30
Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.
Pertanggungjawaban Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan Hukum.............��� 31 - 42
Dwiki Oktobrian, S.H., M.H.
Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan Kredit........................................................................................��� 43 - 52
Iswi Hariyani, S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H.
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari – Juni 2016
(berikut ringkasan)....................................................................................................................................��� 53 - 87
Departemen Hukum, Bank Indonesia
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN
VOLUME 13, NOMOR 1, JANUARI - JUNI 2016
ISSN : 1693 - 3265
1
PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
SEBAGAI UPAYA PENGATURAN KEMBALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASINYA
Disusun oleh:
Retno Widati1
Departemen Hukum, Bank Indonesia
1��� Penasehat Hukum Senior, Departemen Hukum, Bank Indonesia, Jakarta
Abstract: ���
This study aims to review the substance of Law No. 30 of 2014 concerning the Government Administration
associated with regulation and law enforcement of the stipulation of the decisions and actions of Government Administration
based on the Law No. 5 of 1986 concerning the State Administrative Court. The research method used in this study is
normative juridical. The results shows that the Law No. 30 of 2014 is the material law of the judicial system of the State
Administration, while the Law No. 5 of 1986 is the procedural law containing the rules that governs the ways to implement
and maintain the Law No. 30 Year 2014 as material law. The adminstrative decisions that become the object settings
of the Law No. 30 of 2014 covers the decisions made by judicial, legislative institution, and executive institution which
includes the actions of the Government Administration Officials. While, the Law No. 5 of 1986 regulates different object.
It governs decisions making procedure in the executive sphere and only covers written official determination. The legal
bases of the source of authority from the Government Administration»s official governed within the Law No. 30 of 2014
and the Law No. 5 of 1986 have similiarity. It may come from an attribution, delegation, and mandate system. That
shows that the Law No. 30 of 2014 concerning the Government Administration has a close relationship with the Law
No. 5 of 1986 concerning State Administrative Court.
Key Word: administration, the decision of the state administration, public administration officials, the administration
official actions.
Abstrak:���
Penelitian ini bertujuan mengulas substansi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan dikaitkan dengan pengaturan dan penegakan hukum terhadap permasalahan penerbitan keputusan dan
tindakan administrasi pemerintahan yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian
A.��� PENDAHULUAN
Dukungan kelembagaan dan sistem hukum (rule of
law) serta sistem etika (rule of ethics) yang mengatur
dan mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan
secara efektif dan efisien diperlukan agar tujuan
untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan
merata sebagaimana tujuan bernegara Indonesia
sebagai welfare state dapat dicapai dengan sebaik-
baiknya. Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam
menyelenggarakan tugas Pemerintah, selain harus
tunduk pada ketentuan hukum tertinggi, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar desain hukum
konstitusi (constitutional law) juga perlu berpedoman
pada etika konstitusi (constitutional ethics) yang
harus menjadi landasan sistem dan kebijakan
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan.2
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagai
welfare state, penyelenggaraan pemerintahan
dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum
(rechstaat), karena tugas dan kewenangan Pemerintah
dalam negara hukum modern tidak hanya sekedar
menjaga ketertiban dan keamanan tetapi juga
mengupayakan kesejahteraan umum. Philipus M.
Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh
dua prinsip yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip
negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap
hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat
dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum.3
Pembangunan nasional untuk mencapai tujuan
bernegara dilakukan oleh negara dengan mengatur
pembagian secara jelas peran dari masing-masing
lembaga negara yang dilengkapi dengan
kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan dalam berbagai peraturan perundang-
undangan lainnya. Pembagian kekuasaan tersebut
dimaksudkan agar setiap elemen kekuasaan negara
dapat didayagunakan sesuai kewenangannya masing-
masing untuk mencapai tujuan negara yang telah
dicita-citakan bersama. Demikian juga kewenangan
dari masing-masing elemen kekuasaan negara dibatasi
agar tidak terjadi suatu bentuk tirani kekuasaan.
Sesuai dengan semangat penyelenggaraan negara
yang baik yang harus dilaksanakan sesuai dengan
konstitusi negara berdasarkan kedaulatan rakyat,
Pemerintah telah melakukan penyesuaian dan
penyempurnanan dalam penyelenggaraan
pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
2
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 merupakan hukum material dari sistem peradilan Tata
Usaha Negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formil yang berisi aturan yang
mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 sebagai
hukum materialnya. Keputusan yang menjadi obyek pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 meliputi
lingkup lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif, serta mencakup Keputusan dan Tindakan Pejabat Administrasi
Pemerintahan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki perbedaan, hanya mencakup Keputusan
bidang eksekutif dan hanya meliputi penetapan badan atau pejabat yang dibuat secara tertulis. Untuk sumber wewenang
Pejabat Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 memiliki kesamaan yaitu mencakup atribusi, delegasi, dan mandat. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan
antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
2��� Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai “Welfare Constitution”, Februari 2014, hlm. 1.
3��� Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Ed. Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 2.
Administrasi Pemerintahan, yang mulai berlaku pada
tanggal 17 Oktober 2014. Undang-Undang tersebut
memberikan paradigma baru dalam penyelenggaraan
administrasi pemerintahan, dalam pengaturan dan
penegakan hukum terhadap keputusan dan tindakan
administrasi pemerintahan yang selama ini tunduk
pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan memberikan ketentuan
mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang lebih
menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, kepastian hukum bagi masyarakat
dari penyalahgunaan wewenang, dan memberikan
kepastian hukum bagi aparatur pemerintahan.
Undang-Undang tersebut juga telah melengkapi
upaya Pemerintah dalam meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan
meningkatkan pelayanan negara kepada publik,
sebagaimana telah dilakukan dengan pemberlakuan
beberapa Undang-Undang, antara lain Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008
tentang Kementerian Negara, dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
B.��� PERMASALAHAN
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014) dalam
beberapa hal merupakan penyempurnaan atau
perbaikan atas ketentuan mengenai kewenangan
badan atau pejabat administrasi negara sebagai
penyelenggara pemerintahan yang merupakan bagian
dari pelaksanaan reformasi birokrasi. Beberapa
paradigma baru diusung dalam Undang-Undang
tersebut, antara lain menempatkan masyarakat bukan
sebagai obyek keputusan dan tindakan administrasi
pemerintahan, melainkan sebagai subyek yang aktif
terlibat dalam penyelenggaraan administarsi
pemerintahan, memberikan jaminan perlindungan
hukum bagi masyarakat melalui upaya administrasi
berupa pengajuan keberatan dan banding administrasi
sebelum pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara, dan meningkatkan kualitas pelayanan
pemerintah kepada publik dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang baik.4
Dari sisi badan atau pejabat administrasi pemerintahan,
pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 menjadi penegasan dan sebagai landasan
hukum untuk mengenali keputusan dan/atau tindakan
sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan
wewenang yang dapat diproses melalui pemeriksaan
tindak pidana. Penegasan tersebut perlu dilakukan
dengan mempertimbangkan banyaknya
kecenderungan keputusan dan tindakan badan atau
pejabat administrasi pemerintahan yang berujung
pada proses hukum pidana, yang sesungguhnya
penyelesaiannya harus dilakukan dalam ranah
administrasi. Dengan pemberlakuan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014, kecenderungan kriminalisasi
kebijakan diatur secara tegas dan berkepastian hukum.
Kriminalisasi terhadap kebijakan penyelenggara
pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk
keputusan atau tindakan administrasi pemerintahan
berdampak pada keragu-raguan badan atau pejabat
administrasi pemerintahan dalam melaksanakan
kewenangannya dan sekaligus melemahkan badan
atau pejabat administrasi pemerintahan dalam
melakukan inovasi pemerintahan. Selain itu, kehadiran
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 sekaligus
menjaga agar badan atau pejabat administrasi
pemerintahan tidak mengambil keputusan atau
tindakan yang sewenang-wenang dan tetap
melindungi masyarakat dari tindakan badan atau
pejabat administrasi yang sewenang-wenang dan
praktek mal-administrasi.
Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 selain membawa pengaruh positif dan telah
menyempurnakan ketentuan terkait dengan
3
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
4��� Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
pelaksanaan wewenang dalam penyelenggaraan
pemerintahan, di sisi lain juga oleh beberapa kalangan
dianggap belum memberikan kejelasan dan
menimbulkan perbedaan pendapat. Hal-hal tersebut
khususnya apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
(selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986) yang ketentuan pengaturannya berbeda dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014.
Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah dikemukakan
di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah:
1.��� Bagaimana keterkaitan antara ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 ?;
2.��� Bagaimana pengaturan mengenai cakupan dan
sumber wewenang pejabat administrasi
pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 dan dalam Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 ?; dan
3.��� Bagaimana penyelesaian keputusan atau tindakan
badan atau pejabat pemerintahan berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 ?
C.��� PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30
TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI
PEMERINTAHAN SEBAGAI UPAYA PENGATURAN
KEMBALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN
DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASINYA
1.��� Keterkaitan antara Ketentuan Dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 dengan
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986.
Dari aspek hukum administrasi negara, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 menjadi hukum
materil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara,
sedangkan hukum formilnya adalah Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 memperkuat konstruksi hukum untuk
mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan berkualitas, memberikan penjelasan
dan mengelaborasi teori mengenai wewenang
penyelenggara negara dalam memberikan
pelayanan publik dan sekaligus menjamin pejabat
negara dan pejabat pemerintahan dari kekuatiran
dan keragu-raguan dalam menjalankan segala
tindakan sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
atau dalam ketentuan berbagai Undang-Undang.
Pernyataan bahwa Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 menjadi hukum materil, sejalan dengan
rumusan dalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 yang menyatakan dengan tegas
bahwa Undang-Undang tersebut dapat disebut
dengan Undang-Undang Peradilan Administrasi
Negara. Rumusan Pasal 144 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 menurut Lintong O. Siahaan
merupakan hasil kompromi untuk memberikan
solusi terhadap keinginan pemberian nama
Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan
Administrasi Negara pada saat pembahasan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara di DPR RI.5
Indroharto yang memberikan pendapat mengenai
rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, menyatakan bahwa tata usaha
negara adalah administrasi negara yang
melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan di pusat maupun di daerah,
sehingga menyimpulkan bahwa tata usaha negara
adalah sama dengan administrasi negara.
4
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
5��� Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005), hlm. 1-2.
Tata usaha negara atau administrasi negara adalah
suatu fungsi atau tugas untuk menyelenggarakan
urusan pemerintahan dalam negara. Dengan
demikian hukum tata usaha negara atau hukum
administrasi negara adalah keseluruhan aturan-
aturan hukum yang berkaitan dengan
penyelenggaraan urusan pemerintahan (negara)
atau disebut hukum pemerintahan (negara).6
Sejalan dengan hal tersebut, badan atau pejabat
tata usaha negara sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sama
dengan badan atau pejabat pemerintahan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014. Pendapat tersebut juga dikuatkan
dengan rumusan Pasal 87 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014.7
Negara merupakan lembaga hukum publik yang
terdiri dari jabatan administrasi negara dimana
pejabat administrasi negara menjalankan urusan
pemerintahan, yang dalam menjalankan urusan
pemerintahan tersebut harus berdasarkan pada
hukum (wetmatigheid van bestuur).8 Van Wijk-
Konijnenbelt dalam bukunya Hoofdstukken van
Administratiefrecht menyatakan bahwa hukum
administratif, hukum tata pemerintahan, semuanya
menyangkut administratie, bestuur, bestuuren.
Secara umum dapat dikatakan hukum administrasi
merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk
secara aktif terlibat dalam masyarakat dan pada
sisi lain hukum administrasi merupakan hukum
yang memungkinkan anggota masyarakat
mempengaruhi penguasa dan memberikan
perlindungan terhadap penguasa.9
2.��� Cakupan dan Sumber Wewenang Badan atau
Pejabat Administrasi Pemerintahan Dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tidak
Hanya Mencakup Kekuasan Eksekutif dan
Tidak Hanya Mencakup PenetapanTertulis.
Perbedaan cakupan keputusan yang menjadi
obyek pengaturan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 dibandingkan dengan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:
a.��� Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah
kegiatan yang bersifat eksekutif, sedangkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ruang
lingkupnya mencakup lingkup lembaga
eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
b.��� Keputusan yang menjadi obyek Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
meliputi keputusan dan/atau tindakan badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
Terdapat 2 (dua) sarjana yang memberikan
pendapat mengenai urusan pemerintahan yang
hanya bersifat eksekutif atau ruang lingkupnya
yang mencakup lingkup lembaga eksekutif,
yudikatif, dan legislatif. Bachsan Mustafa
menyatakan bahwa tindak administrasi negara
dalam bidang hukum publik merupakan tindakan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
5
6��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha ���Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2004), hlm. 27.
7��� Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:a.��� Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;b.��� Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, danc.��� penyelenggara negara lainnya;d.��� Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;e.��� Bersifat final dalam arti lebih luas;f.��� Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/ataug.��� Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
8��� Safri Nugraha, et. al., Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisisi, (Jakarta: Center For Law And Good Governance Studies Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 32.
9��� Philipus M. Hadjon, et.al. Pengantar Hukum Administrasi Negara cet. ���kesembilan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 27.
hukum sepihak yang dilakukan pemerintah dan
khusus melaksanakan tugas-tugas pemerintahan
berdasarkan wewenang yang luar biasa. Dengan
demikian beberapa unsur dalam tindak administrasi
negara dalam bidang hukum publik adalah:10
a.��� Tindakan hukum, yang melahirkan hak dan
kewajiban;
b.��� Sepihak, tindakan tersebut harus mengatur
dan memaksa;
c.��� Di bidang pemerintahan, tidak dapat merambah
pada bidang lain, yaitu legislatif atau yudikatif;
d.��� Berdasarkan wewenang luar biasa, yang
menurut Prins kekuasaan diperoleh dari
Undang-Undang yang diberikan khusus kepada
pemerintah, tidak diberikan kepada swasta.
Pendapat Bachsan Mustafa tersebut sesuai dengan
paradigma yang dianut dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yang hanya mencakup
tindakan penyelenggara pemerintahan di bidang
pemerintahan (eksekutif), dan tidak termasuk
legislatif dan yudikatif. Sementara itu, Philipus M.
Hadjon menyatakan, dengan mendasarkan pada
pertimbangan bahwa pada dasarnya pemerintah
tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi
atas dasar freies ermessen dapat melakukan
perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum
diatur secara tegas dalam undang-undang dan
memperhatikan dalam kepustakaan Belanda
bahwa kegiatan/lapangan bestuuren adalah
seluruh lapangan kegiatan negara setelah dikurangi
regelgeving dan rechtspraak sehingga pengertian
tata usaha negara diartikan urusan pemerintahan
maka urusan pemerintahan tersebut tidak hanya
meliputi kegiatan yang bersifat eksekutif saja.11
Cakupan keputusan badan atau pejabat
pemerintahan yang dapat dipermasalahkan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 lebih luas dari pada cakupan keputusan tata
usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986. Perluasan cakupan
tersebut adalah yang sebelumnya hanya mencakup
keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara
yang dibuat secara tertulis, diperluas juga mencakup
tindakan administrasi pemerintahan lainnya.
Sempitnya cakupan kewenangan Pengadilan Tata
Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 di samping karena batasan
keputusan badan atau pejabat tata usaha negara
yang hanya mencakup ketetapan tertulis
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3, juga
karena terdapat ketentuan yang mengecualikan
yang bukan termasuk dalam keputusan tata usaha
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Pembatasan dan pengecualian dalam keputusan
tata usaha negara tersebut telah menimbulkan
perdebatan mengenai luas atau sempitnya
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, dan
pada saat itu pemerintah tidak menghendaki
kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terlalu
luas seperti pada sistem hukum di Perancis.12
Perdebatan mengenai sempitnya kewenangan
Pengadilan Tata Usaha Negara juga dikaitkan
dengan batasan sengketa tata usaha negara dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, antara
lain dikemukakan oleh Prajudi Admosudirdjo dan
Philipus M. Hadjon. Menurut Prajudi Admosudirdjo,
pengertian sengketa administrasi negara dalam
Undang-Undang tersebut termasuk ke dalam
pengertian hukum administrasi yang sempit
ditambah dengan hukum tata usaha negara dalam
arti hukum birokrasi, sedangkan hukum tata
pemerintahan yang berdasarkan kewenangan
hukum publik yang berasal dari kedaulatan rakyat
tidak termasuk dalam pengertian sengketa
administrasi negara.13 Philipus M. Hadjon juga
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
6
10��� Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 61-66.
11��� Ibid. hlm. 138.
12��� Lintong O. Siahaan., op. cit. hlm. 5.
13��� Ibid., hlm 24-25.
berpendapat sama dengan Prajudi Admosudirdjo,
yang menyatakan pengertian sengketa administrasi
negara dalam Undang-Undang tersebut terlalu
sempit sehingga perlu diperluas dengan pengertian
perbuatan-perbuatan pemerintah yang
berdasarkan wewenang publik.14
Sejalan dengan kritikan dari para sarjana mengenai
sempitnya cakupan sengketa administrasi negara,
dalam perkembangan pengaturan perundang-
undangan, maka cakupan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 merupakan 2 (dua) hal
baru dalam paradigma ketentuan mengenai
administrasi negara, yaitu tidak hanya berlaku
terhadap lingkup lembaga eksekutif namun juga
terhadap lembaga legislatif dan yudikatif, serta
cakupan perbuatan administrasi pemerintahan
yang diatur tidak hanya keputusan badan atau
pejabat pemerintahan yang dibuat secara tertulis
namun juga meliputi keputusan dan tindakan
administrasi pemerintahan. Dua hal baru dalam
paradigma ketentuan mengenai administrasi
negara tersebut berbeda dengan pengaturan
yang selama ini diketahui oleh masyarakat. Oleh
karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi
secara baik dan tepat kepada masyarakat pencari
keadilan maupun kepada praktisi dan penegak
hukum. Urgensi yang perlu dilakukan, khususnya
terkait dengan penyusunan ketentuan atau
pedoman yang dapat menjelaskan secara lebih
rinci mengenai penyelesaian dan kriteria keputusan
atau tindakan yang bersifat administrasi dalam
lingkup lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.
Secara umum wewenang administratif atau
pemerintahan merupakan kekuasaan untuk
melakukan semua tindakan hukum publik.15
Kewenangan memberikan legitimasi kepada badan
publik, lembaga negara, dan penyelenggara
pemerintahan dalam menjalankan fungsinya.
Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk
melakukan hubungan dan perbuatan hukum.16
Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan
hukum publik adalah adanya kewenangan
(bevoegdheid, legal power, competence) yang
berkaitan dengan suatu jabatan (ambt), yang
bersumber dari atribusi, delegasi, dan mandat.17
Jabatan (ambt) adalah suatu lembaga dengan
lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk
waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan
wewenang.18 Sejalan dengan hal tersebut, badan
atau pejabat tata usaha negara memperoleh
wewenang pemerintahan dengan jalan atribusi,
delegasi, dan mandat. Pendapat mengenai sumber
wewenang pemerintahan tersebut secara konsisten
dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yang
sebelumnya menyatakan bahwa setiap tindakan
pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas
kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh
melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan
mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan
melalui pembagian kekuasaan negara oleh
undang-undang dasar, sedangkan kewenangan
delegasi dan mandat adalah kewenangan yang
berasal dari pelimpahan.19
Pada atribusi terjadi pemberian wewenang
pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan
dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
7
14��� Disampaikan oleh Philipus M. Hadjon dalam ceramah di depan hakim PTUN pada acara Penyelenggaraan Diskusi Intern dalam Retrospeksi 11 Tahun Peratun yang berlangsung di Hotel Wisata Internasional Jakarta pada tanggal 5-9 Mei 2002.
15��� Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 76.
16��� S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 154.
17��� Philipus M. Hadjon, et. al. opcit., hlm. 139-140.
18��� N. E. Algra en H. C. J. G Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het ���Recht, (Groningen: H. D. Tjeenk Willink bv, 1974), hlm. 175.
19��� Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 7.
pada delegasi dilakukan pelimpahan wewenang
dari badan atau pejabat tata usaha negara yang
telah memperoleh wewenang pemerintahan secara
atribusi kepada badan atau pejabat tata usaha
negara lainnya. Sementara itu dalam mandat tidak
terjadi pemberian wewenang maupun pelimpahan
wewenang, dan dalam mandat tidak terjadi
perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang
yang telah ada. Perbedaan antara mandat dengan
delegasi adalah dalam hal mandat pemberi mandat
(mandans) dapat sewaktu-waktu memberikan
petunjuk kepada penerima mandat (mandataris)
dan mandans dapat mengambil keputusannya
sendiri, sedangkan dalam delegasi, pemberi
delegasi (delegans) telah kehilangan wewenang
(yang telah diberikan kepada badan atau jabatan
Tata Usaha Negara lainnya).20 Berkaitan dengan
pelimpahan kewenangan delegasi yang tidak
dapat dilakukan oleh delegans, Nomensen Sinamo
menyatakan, akibat hukum terhadap kewenangan
delegasi adalah tanggung jawab berada pada
penerima delegasi (delegataris) dan wewenang
tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi
wewenang (delegans) kecuali pemberi wewenang
menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan
dalam menjalankan wewenang tersebut sehingga
wewenang dicabut oleh pemberi delegasi dengan
berpegang pada asas contrarius actus.21
Sebagai konsekuensi atas sumber kewenangan
atributif, delegasi, dan mandat dalam hal terjadi
gugatan atas keputusan dimaksud adalah22:
a.��� Dalam hal atribusi maka yang digugat adalah
badan atau pejabat tata usaha negara yang
mendapat kewenangan atributif dalam
undang-undang dasar atau undang-undang;
b.��� Dalam hal delegasi maka yang digugat adalah
badan atau pejabat tata usaha negara yang
menerima delegasi; dan
c.��� Dalam hal mandat maka yang digugat adalah
tetap badan atau pejabat tata usaha negara
yang mengeluarkan keputusan yang
bersangkutan yaitu pemberi mandat
(mandans), bukan mandataris.
Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat sebagai
sumber kewenangan badan atau pejabat
pemerintahan sebagaimana diatur dalam bagian
keempat Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014, pada pokoknya
diatur secara sama yaitu kewenangan atribusi tidak
dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam UUD
1945 atau Undang-Undang, serta kewenangan
delegasi atau mandat dapat digunakan sendiri
oleh pemberi delegasi atau mandat.
R. J. H. M. Huisman dalam Algemeen Bestuursrecht
membedakan delegasi dan mandat sebagai berikut:
Delegasi, merupakan pelimpahan wewenang
(overdracht van bevoegdheid), kewenangan tidak
dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang
memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan door
hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel
uitgoefend worden), terjadi peralihan tanggung
jawab (overgang van verantwoordelijkheid), harus
berdasarkan undang-undang (wetelijk basis
vereist), harus tertulis (moet schriftelijk). Sementara
itu, mandat menurut Huisman, merupakan
perintah untuk melaksanakan (opdracht tot
uitvoering), kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan
door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend
worden), tidak terjadi peralihan tanggung jawab
(behooud van verantwoordelijkheid), tidak harus
berdasarkan undang-undang (geen wetelijke basis
vereist), dapat tertulis, dapat pula secara lisan.23
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
8
20��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, op. cit., hlm. 91-92.
21��� Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2015), hlm.106.
22��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2004), hlm. 31-32.
23��� Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Makasar: Universitas Hasanuddin, 2013), hlm. 131.
Dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 diatur bahwa badan dan/atau
pejabat pemerintahan yang memberikan delegasi
dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah
diberikan melalui delegasi, kecuali ditentukan lain
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Rumusan Pasal 13 ayat (4) tersebut kurang sejalan
dengan pendapat para sarjana mengenai konsep
delegasi yang tidak dapat digunakan oleh pemberi
delegasi (delegans) apabila wewenang telah
dilimpahkan kepada penerima delegasi
(delegataris). Pemberi delegasi (delegans) hanya
dapat melakukan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan kepada delegataris apabila terjadi
penyimpangan atau pertentangan dalam
menjalankan wewenang oleh delegataris
(contrarius actus) dengan terlebih dahulu mencabut
wewenang delegataris oleh delegans. Selain itu,
wewenang delegasi menurut pendapat beberapa
sarjana tidak dinyatakan secara spesifik merupakan
pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih
tinggi kepada pejabat yang lebih rendah
sebagaimana diamaksud dalam Pasal 1 angka 23
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Sejalan dengan pendapat para sarjana tersebut,
maka kejelasan mengenai kriteria delegasi yang
dapat dilakukan oleh delegans dan penegasan
mengenai perlunya pencabutan wewenang
sebelum dilakukan sendiri oleh delegans penegasan
lebih lanjut mengenai pelimpahan dari pejabat
yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah
dalam delegasi, perlu diatur lebih lanjut dalam
rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014. Hal tersebut perlu dilakukan
mengingat dalam delegasi tanggung jawab beralih
kepada penerima delegasi (delegataris), sehingga
dalam hal delegans sewaktu-waktu dapat
melakukan sendiri wewenang yang telah
dilimpahkan kepada delegataris maka berpotensi
menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
delegataris dan pihak lain yang menerima akibat
hukum atas tindakan legataris. Dalam rangka
memberikan kejelasan dan kepastian hukum
mengenai wewenang delegasi yang dapat
dilakukan sendiri oleh delegans, perlu diberikan
aturan yang jelas mengenai kapan atau dalam
kriteria apa saja delegans dapat melakukan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan kepada
delegataris.
3.��� Penyelesaian Terhadap Keputusan atau
Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan
Pasal 75 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
mengatur mengenai penyelesaian terhadap
keputusan atau tindakan badan atau pejabat
pemerintahan yang dilakukan melalui upaya
administrasi berupa keberatan dan banding
sebelum diajukan gugatan kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara. Pengaturan tersebut berbeda
dengan pengaturan dalam Pasal 48 jo Pasal 51 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
mengatur 2 (dua) mekanisme penyelesaiannya,
yaitu dapat melalui upaya administrasi berupa
keberatan dan banding administrasi sebelum
pengajuan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara atau langsung mengajukan gugatan Tata
Usaha Negara kepada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara dalam hal tidak tersedia upaya
administrasi. Kedua ketentuan yang berbeda
tersebut berpotensi menimbulkan ketidakjelasan
dalam penerapannya, meskipun dalam Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan
bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
merupakan hukum materil dari sistem Peradilan
Tata Usaha Negara sedangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formilnya.
Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi
pencari keadilan dan bagi para penegak hukum
tata usaha negara terhadap pengaturan yang
berbeda mengenai upaya hukum dalam
penyelesaian keputusan dan tindakan badan atau
pejabat pemerintahan maka Pemerintah perlu
melakukan upaya positif yang memberikan
kepastian hukum dalam penerapan kedua
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
9
peraturan perundang-undangan tersebut. Upaya
yang perlu dilakukan adalah melakukan
penyesuaian atau perubahan terhadap Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 untuk diselaraskan
dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan
hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku
(rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki
agar ketika terjadi perbuatan hukum yang
menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi
pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek
hukum lain maka perlu diselesaikan melalui
lembaga peradilan untuk melakukan penegakan
hukum. Dalam kaitan dengan penegakan hukum
terhadap keputusan dan tindakan pemerintahan,
beberapa sarjana menyatakan pendapat mengenai
keterkaitan antara hukum administrasi negara
dengan hukum pidana khususnya dalam
penyelesaian terhadap perbuatan hukum dalam
bidang hukum administrasi negara yang dapat
dilakukan melalui penegakan secara hukum
pidana. Kedua bidang hukum tersebut memiliki
kesamaan yaitu hukum administrasi negara dengan
hukum pidana keduanya terletak dalam bidang
hukum publik. Hukum pidana berfungsi sebagai
hulprecht (hukum pembantu) bagi hukum
administrasi negara, dalam arti setiap ketentuan
dalam hukum administrasi negara selalu disertai
dengan sanksi pidana agar ketentuan hukum
administrasi negara ditaati oleh masyarakat.24
Berdasarkan keterkaitan antara hukum administrasi
negara dengan hukum pidana tersebut dalam
penerapannya sanksi pidana digunakan dalam
law enforcement hukum administrasi negara.
Sejalan dengan keterkaitan antara hukum
administrasi negara dengan hukum pidana, hal
yang perlu mendapat perhatian bagi pembentuk
undang-undang dengan pemberlakuan Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 adalah adanya
paradigma mengenai proses penyelesaian terhadap
permasalahan keputusan dan tindakan badan
atau pejabat pemerintahan yang diperiksa dan
diselesaikan dalam ranah hukum pidana. Dalam
penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 apakah penegak hukum akan secara
konsekuen menyelesaikan di Pengadilan Tata
Usaha Negara terlebih dahulu sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014, sehingga terhadap peputusan atau tindakan
pemerintahan tersebut terlebih dahulu dinyatakan
sah atau tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha
Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
(inkracht van gewijsde). Dalam hal telah dikeluarkan
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang menyatakan keputusan atau tindakan
badan atau pejabat pemerintahan tersebut tidak
sah karena melampaui batas wewenang atau
sewenang-wenang maka selanjutnya baru dapat
diajukan tuntutan kepada Pengadilan Negeri untuk
dilakukan pemeriksaan secara pidana.
Penyelesaian terhadap tindakan administrasi
penyelenggara pemerintahan yang terlebih dahulu
dilakukan dalam ranah administrasi negara
sebelum dilakukan penyelesaian secara pidana
adalah sesuai dengan salah satu azas yang terdapat
dalam hukum pidana yaitu ultimum remedium,
sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan
hukum. Ultimum remidium bermakna sanksi
pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang
lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain,
dalam suatu undang-undang sanksi pidana
dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah
sanksi perdata ataup sanksi administratif, atau
apabila sanksi administratif dan sanksi perdata
belum mencukupi untuk mencapai tujuan
memulihkan kembali keseimbangan di dalam
masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi
pidana sebagai senjata terakhir.25 Namun azas
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
10
24��� Nomensen Sinamo, op. cit. hlm. 35.
25��� Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), paper sebagai bahan bacaan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2015, hlm. 1-2.
hukum pidana ultimum remedium dalam
perkembangan penerapannya di Indonesia telah
berkembang sedemikian rupa sehingga berubah
menjadi premium remedium.
Perlindungan terhadap keputusan atau tindakan
badan atau pejabat pemerintahan adalah sesuai
dengan asas yang terdapat dalam Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu prae sumptio
iustae causa. Asas ini berarti bahwa keputusan
pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah
serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan
hukum yang berkekuatan hukum tetap yang
menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku.26
Dalam kaitan dengan kewenangan pejabat publik
dalam melaksanakan kekuasaannya dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan, dalam bidang
hukum administrasi negara terdapat beberapa
sarjana yang memberikan pendapat mengenai hal
tersebut. Pejabat administrasi negara dalam bertindak
atau menjalankan tugas-tugasnya harus dilandasi
wewenang yang sah yang diberikan peraturan
perundang-undangan.27 Hal tersebut sesuai
dengan pendapat dari Wade yang menyatakan
bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse
of power maka semua kekuasaan harus dibatasi
oleh hukum atau peraturan perundang-undangan.28
Menurut Prins, keputusan adalah tindakan sepihak
dalam bidang pemerintahan, dilakukan oleh suatu
badan pemerintah berdasarkan wewenangnya
yang luar biasa.29
Van der Pot menyatakan 4 (empat) syarat yang
harus dipenuhi agar keputusan dapat berlaku sah
yaitu dibuat oleh organ yang berwenang,
pembentukannnya tidak boleh memuat
kekurangan yuridis, harus diberi bentuk, dan isi
dan tujuan harus sesuai dengan peraturan
dasarnya.30 Selanjutnya dinyatakan pula bahwa
dalam pembentukan kehendak dari organ
pemerintahan yang mengeluarkan keputusan
tidak boleh ada kekurangan yuridis. Kekurangan
yuridis dapat disebabkan oleh salah kira (dwaling),
paksaan, dan tipuan. Arifin P. Soeria Atmadja
berpendapat bahwa suatu kebijakan tidak mungkin
diajukan ke Pengadilan apalagi dikarenakan hukum
pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan
menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada.
Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya
berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam
peraturan perundang-undangan.31
Meskipun beberapa sarjana hukum administrasi
negara telah mengemukakan pendapat dan teori
mengenai kewenangan lembaga hukum publik
atau penyelenggara pemerintahan, namun dalam
penegakan hukum terkait dengan keputusan dan
tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang
menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara
belum terdapat kesatuan pemahaman di antara
para sarjana hukum administrasi negara dengan
hukum pidana. Penegakan hukum dan mekanisme
penyelesaian terhadap permasalahan keputusan
dan tindakan badan atau pejabat pemerintahan
yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu
dalam ranah hukum administrasi negara telah
menimbulkan perbedaan pendapat antara para
akademisi khususnya akademisi hukum administrasi
negara dengan akademisi hukum pidana. Hal
tersebut ternyata dalam diskusi yang dihadiri para
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
11
26��� Supandi, Op. cit., hlm. 4. Dalam makalah tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Prae sumptio iustae causa bahwa keputusan tata usaha negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public servis) dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (schorsing).
27��� Safri Nugraha, et al., opcit. hlm. 29.
28��� H.W.R. Wade and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 5.
29��� W.F. Prins-R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1978), hlm. 42.
30��� E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. Keempat. 1960, hlm. 77. Lihat juga Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 61-65.
31��� Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; ���Teori, Kritik, dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 198.
narasumber akademisi dari kedua bidang hukum
tersebut.
Sarjana hukum administrasi negara berpendapat
bahwa penyelesaian atas ranah hukum administrasi
negara adalah sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 yaitu melalui
penyelesaian administrasi negara dan tidak serta
merta dengan penyelesaian secara pidana. Selain
hal tersebut sesuai dengan asas ultimum
remedium, pendapat yang menguatkan adalah
bahwa dalam tindakan administrasi dikenal dengan
tindakan administrasi yang tidak teratur karena
salah kira apabila terdapat salah kira (dwaling),
paksaan (dwang) dan suap, serta tipu muslihat,
yang penyelesaiannya telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014, dan pengadilan
umum tidak dapat menilai/memeriksa kebijakan
administrasi negara adalah sah atau tidak.32
Menanggapi pendapat dari sisi hukum administrasi
negara tersebut, akademisi di bidang hukum
pidana memiliki pemahaman yang berbeda.
Menurut pendapat akademisi hukum pidana,
penyelesaian terhadap keputusan dan tindakan
badan atau pejabat pemerintahan sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 dapat menghambat upaya pemerintah dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam kaitannya dengan penegakan hukum
dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, Maruarar Siahaan
menyatakan bahwa telah terjadi dualisme dalam
penanganan tindak pidana korupsi. Adanya
dualisme kelembagaan yang menggunankan
standar kerja dan mekanisme yang berbeda diakui
telah menghasilkan keputusan yang amat berbeda
dalam putusan pengadilan di lingkungan yang
sama, yang dipandang sebagai pelanggaran
prinsip equality before the law.33
Sejalan dengan pendapat Maruarar Siahaan
mengenai pelanggaran prinsip equality before the
law, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan
Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang
dalam pertimbangannya antara lain menyatakan
bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 yang melahirkan dua lembaga jelas
bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah
Konstitusi memberikan jangka waktu 3 (tiga)
tahun untuk memperbaiki/merubah, dan apabila
jangka waktu tersebut dilalui tanpa perubahan,
pengadilan tindak pidana korupsi hapus dengan
sendiri. Teknik tersebut digunakan oleh Mahkamah
Konstitusi di negara-negara lain sebagai upaya
pemaksa pembuat undang-undang untuk
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi
secara efektif karena Mahkamah Konstitusi tidak
memiliki instrumen memaksakan implementasi
putusannya.34
Pendapat mantan hakim Mahkamah Konstisusi,
Maruarar Siahaan dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 telah
memberikan koreksi terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002. Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 menyebutkan korupsi sebagai
kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime),
sehingga diperlukan penegakan hukum yang luar
biasa pula, dengan pembentukan lembaga negara
yang memiliki kewenangan yang luas, independen
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
12
32��� Dian Puji N. Simatupang, Pengambilan Keputusan/Kebijakan Pejabat Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, materi yang disampaikan dalam Focus Group Discussion di Bank Indonesia tanggal 25 Maret 2015 yang dihadiri akademisi dan mantan penegak hukum Komariah Emong ���S., Bismar Siregar, Mahmul Siregar, dan Iqbal Asnawi.
33��� Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 629-631.
34��� Ibid., 630-631.
serta bebas dari intervensi kekuasaan manapun,
yang dalam penerapannya telah menimbulkan
dualisme penanganan tindak pidana korupsi.
Pendapat Maruarar Siahaan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-
IV/2006 telah memberikan penegasan bahwa
pemberantasan tindak pidana korupsi tetap perlu
memperhatikan prinsip equality before the law,
sehingga semangat yang luar biasa terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi tidak
dilakukan dengan melanggar prinsip hukum yang
penting yang justru dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum yang seharusnya menjadi
salah satu pertimbangan dalam putusan hakim
pengadilan tindak pidana korupsi.
Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung
telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung
(Perma) No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman
Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang. Berdasarkan Perma tersebut yang
berlaku sejak 21 Agustus 2015 diatur mengenai
dukungan Mahkamah Agung dalam menegakkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan dalam menerima,
memeriksa dan memutuskan ada atau tidak
adanya unsur penyelahgunaan wewenang dari
pejabat administrasi pemerintah, sebelum adanya
proses pidana. Hakim wajib memutuskan dalam
jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sedang
pertama dilakukan, dan atas Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara dapat diajukan banding.
Putusan banding bersifat final dan mengikat.
D.��� PENUTUP
1.��� Kesimpulan
Berdasarkan paparan sebagaimana diuraikan
sebelumnya, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut:
a.��� Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan, yang
berlaku sejak tanggal 17 Oktober 2014 telah
membawa paradigma baru dalam pengaturan
dan penegakan hukum terhadap permasalahan
keputusan dan tindakan administrasi
pemerintahan, yang selama ini diatur dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
merupakan hukum materil dari sistem peradilan
tata usaha negara sedangkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formil
yang berisi aturan yang mengatur bagaimana
cara-cara melaksanakan dan mempertahankan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
sebagai hukum materialnya. Hal tersebut
membawa konsekuensi yuridis logis bahwa
kedua Undang-Undang tersebut substansi
pengaturannya harus sejalan dan tidak saling
bertentangan.
b.��� Pengaturan mengenai cakupan Keputusan
yang menjadi obyek pengaturan dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki
perbedaan, yaitu:
1)��� semula hanya mencakup bidang eksekutif
berubah menjadi mencakup lingkup
lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
2)��� semula hanya meliputi penetapan badan
atau pejabat yang dibuat secara tertulis
berubah menjadi mencakup keputusan
dan tindakan pejabat administrasi
pemerintahan.
Sementara itu, sumber wewenang pejabat
administrasi pemerintahan dalam Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki
kesamaan yaitu mencakup atribusi, delegasi,
dan mandat, namun dalam pengaturan lebih
lanjut mengenai ketiga sumber kewenangan
tersebut terdapat beberapa hal yang berbeda.
13
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perbedaan dimaksud memerlukan penjelasan
atau pedoman lebih lanjut, sehingga dapat
memberikan kepastian hukum dan kejelasan
baik bagi pencari keadilan maupun bagi
penegak hukum.
c.��� Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 dengan paradigma baru
memberikan perubahan dan koreksi terhadap
aturan lama dan praktek penegakan hukum
dalam bidang administrasi pemerintahan, serta
mengembalikan atau menegakkan kembali
asas hukum pidana ultimum remedium dan
asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara yaitu prae sumptio iustae causa, yang
tercermin antara lain melalui cara penyelesaian
permasalahan keputusan atau tindakan badan
atau pejabat pemerintahan yang
dipermasalahkan oleh pihak yang
berkepentingan atau dirugikan.
Paradigma baru dalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 dalam kenyataannya belum
sepenuhnya dipahami oleh masyarakat,
akademisi, penegak hukum, dan praktisi
hukum, sehingga perlu dilakukan upaya dari
Pemerintah agar terdapat kesatuan pemahaman
dan menghilangkan hambatan dan kendala
dalam penegakan hukum (law enforcement)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.
2.��� Saran
Saran atas paparan yang dikemukakan sebelumnya
adalah sebagai berikut:
a.��� Mempertimbangkan bahwa substansi Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang
merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan
Tata Usaha Negara berbeda dengan substansi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
merupakan hukum formil yang berisi aturan
yang mengatur bagaimana cara-cara
melaksanakan dan mempertahankan hukum
materil maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 perlu segera disesuaikan atau diubah
agar sejalan dengan Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014.
b.��� Beberapa penyesuaian substansi pengaturan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang
perlu dilakukan antara lain mencakup - obyek
yang dapat diperiksa oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara, penyelesaian terhadap
permasalahan keputusan atau tindakan badan
atau pejabat pemerintahan yang dilakukan
melalui upaya hukum administrasi berupa
keberatan dan banding sebelum diajukan
gugatan kepada Pengadilan Negeri Tata Usaha
Negara, dan jangka waktu proses
penyelesaiannya.
c.��� Pemerintah perlu melakukan sosialisasi
mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 kepada masyarakat, akademisi, penegak
hukum, dan praktisi hukum agar terdapat
kesatuan pemahaman dan menghilangkan
hambatan dan kendala dalam penegakan
hukum (law enforcement) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014.
d.��� Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 perlu diatur lebih lanjut
dan lebih detail untuk memberikan pedoman
dalam penerapannya agar lebih memberikan
kepastian hukum bagi masyarakat, akademisi,
penegak hukum, dan praktisi hukum, antara
lain mengenai:
1)��� Keputusan dan/atau tindakan badan
dan/atau pejabat pemerintahan yang
mencakup lingkup lembaga eksekutif,
yudikatif, dan legislatif.
2)��� Yang dimaksud dengan tindakan badan
dan/atau pejabat pemerintahan.
3)��� Kejelasan mengenai kriteria delegasi yang
dapat dilakukan oleh delegans dan
penegasan mengenai perlunya pencabutan
wewenang sebelum dilakukan sendiri oleh
delegans.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
14
4)��� Penegasan lebih lanjut mengenai
pelimpahan dari pejabat yang lebih tinggi
kepada pejabat yang lebih rendah dalam
delegasi.
5)��� Penyelesaian terhadap keputusan atau
tindakan badan atau pejabat pemerintahan
yang dilakukan melalui upaya administrasi
berupa keberatan dan banding sebelum
diajukan gugatan kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
15
Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai “Welfare Constitution”, 2014.
Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Ed. Revisi, 2005.
Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, 2005.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, 2004.
Safri Nugraha, et. al., Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisisi, 2007.
Philipus M. Hadjon, et.al. Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. kesembilan, 2005.
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 1979.
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1988.
S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, 1997.
N. E. Algra en H. C. J. G Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het Recht, 1974.
Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, 2004.
Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi Negara, 2015.
Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, 2013.
Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), 2015.
H.W.R. Wade and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., 1994.
W.F. Prins-R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1978.
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. Keempat. 1960.
Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 1979.
Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Kritik, dan Praktik, 2008.
Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup, 2008.
DAFTAR PUSTAKA
16
A.��� PENDAHULUAN
Organisasi bisnis membuka lebar-lebar seseorang
untuk bekerja secara bersama-sama untuk mencapai
tujuan tertentu dalam bisnis. Apabila seseorang dapat
mewujudkan tujuan bisnisnya dengan caranya sendiri
tanpa bantuan pihak lain maka ia tidak perlu bekerja
sama dengan orang lain untuk maksud tersebut.
Namun demikian hal tersebut sangat jarang terjadi,
bahkan untuk seseorang yang menjalankan usaha
kecil sekalipun. Untuk itu bekerja secara bersama
dengan menggaji orang lain untuk mencapai tujuan
bisnis tertentu adalah suatu hal yang lazim dilakukan.
Bekerja secara bersama dengan pihak lain untuk
mencapai tujuan bisnis tertentu dapat dilakukan
dengan dua cara. Pertama, menunjuk orang lain
untuk melakukan pekerjaan tertentu untuk dan atas
nama pemberi kerja serta di bawah pengawasan
pemberi kerja, tipe semacam ini akan tunduk pada
ketentuan yang berkaitan dengan aturan keagenan
(agency law). Kedua, dengan cara membentuk sebuah
organisasi bisnis tertentu, tipe seperti ini akan tunduk
pada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
corporation juga agency law.
17
TANGGUNG JAWAB PRINCIPAL DALAM KONTRAK KEAGENAN (AGENCY)
Disusun oleh:
Budi Santoso1
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang
Abstract: ���
The legal consequences of agency relationship between the principal to the agent, makes the principal responsible
for the losses incurred to third parties as a result of actions performed by agents with the provisions of the act was
committed within the limits of the authority given to him. Thus the presence or absence of authority on the actions of
the agent is the element to determines whether there is a principal responsibility for losses incurred. This shows the
authority with the responsibility of not only the relationship of correlation but also a causal relationship.
Keywords: Authority, responsibility, principal
Abstrak:���
Akibat hukum hubungan keagenan antara principal dengan agen, menjadikan principal bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul pada pihak ketiga sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh agen dengan ketentuan tindakan
tersebut dilakukan dalam batas kewenangan yang diberikan padanya. Dengan demikian ada atau tidaknya authority
pada tindakan agen merupakan unsur yang menentukan ada tidaknya tanggung jawab principal terhadap kerugian yang
timbul. Hal ini menunjukkan antara authority dengan tanggung jawab tidak saja merupakan hubungan korelasional
tetapi juga hubungan sebab akibat.
1��� Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Mengundang pihak lain untuk turut serta terlibat
dalam pencapaian tujuan bisnis tertentu, sebagaimana
format keagenan, dapat juga disebut sebagai
partnerships. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat,
khususnya dalam The Uniform Partnership Act (UPA)
secara khusus dinyatakan bahwa ketentuan hukum
yang berkaitan dengan keagenan diterapkan juga
untuk ketentuan UPA dan partners pada umumnya
dipertimbangkan sebagai agen untuk partners yang
lain serta untuk partnership itu sendiri2. Istilah agen
diartikan sebagai “a fiduciary relationship by which
a party confides to another the management or some
business to be transacted in the former»s name or on
his account, and by which such other assumes to do
the business and render an account of it“.
Dengan demikian sebenarnya menggolongkan agency
sebagai bagian dari partnership merupakan sebuah
perkecualian dari ketentuan partnership pada
umumnya, hal itu disebabkan pengertian partnership
adalah:
“An association of two or more persons to carry on
as co-owners a business for profit.
Hal ini berarti bahwa elemen utama untuk adanya
partnership adalah adanya dua atau lebih orang,
melaksanakan sesuatu, bersama-sama memiliki, dan
untuk tujuan bisnis mencari keuntungan. Syarat co-
owner, diartikan bahwa partners memiliki hak yang
sama untuk berpartisipasi dalam manajemen dari
partnership tersebut serta berhak untuk mendapatkan
bagian dalam keuntungan ataupun kerugian dari
partnership tersebut, hal inilah yang tidak terjadi pada
agency, karena agen hanya ditunjuk untuk melakukan
sesuatu untuk atas nama orang lain, untuk keuntungan
orang lain, dan untuk itu agen diberikan kompensasi
berupa komisi.
Dengan demikian menunjuk partner untuk bertindak
selaku agen dari partner yang lain haruslah secara
spesifik disebutkan dalam perjanjian partnership
atau apabila hal tersebut secara jelas diatur
dalam peraturan tertentu. Untuk itu partner yang
ditunjuk selaku agen harus secara jelas diberikan
kewenangan (actual authority) untuk bertindak
selaku agen, dalam kaitannya melakukan transaksi
dengan pihak ketiga yang akan mengikat partnership.
Actual authority tersebut dapat secara jelas
disebutkan dalam partnership agreement, hal ini
sering dikenal dengan express authority, tetapi
dapat juga tidak secara jelas disebutkan dalam
partnership agreement, hal ini didasarkan pada nature
of partnership relationship, yang sering dikenal dengan
implied authority.
Terdapat sebuah ungkapan yang menarik dalam
sebuah buku business law sebagai berikut:
“It is a universal principle in the Law of agency, that
the power of the agent are to be excercised for the
benefit of the principal only, and not the agent or
third parties“.3
“sudah menjadi rahasia umum dalam hukum
keagenan bahwa kekuatan atau kewenangan agen
hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi
principal dan bukan untuk agen atau pihak ketiga”
Dalam sebuah kamus, Black»s Law Dictionary, agency
diartikan sebagai:
“a relationship between two persons, by agreement
or otherwise, where one (the agent) may act on
behalf of the other (the principal) and bind the
principal by words and actions. Relation in which one
person acts for or represents another by letter»s
authority, either in the relationship of principal and
agent, master and servant, or employer or proprietor
and independent contractor. It also designates a place
at which business of company or individual is
transacted by an agent. The relation created by express
or implied contract or by law, whereby one party
delegates the transaction of some lawful business
18
3��� Joseph Story 1779-1845 (Associate Justice of the United States Supreme Court, 1811-1844) dalam Roger LeRoy Miller, Gaylord A. Jentz, Business Law Today, West t Publishing Company, 1994, p 558
2��� Angela Schneeman., The Law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorships, Lawyers Cooperative Publishing., Delmar Publishers Inc, 1993, p 29
with more or less discretionary power to another,
who undertakes to manage the affair and render to
him an account thereof. Or relationship where one
person confides the managenet of some affair, to be
transacted on his account, to other party. Or where
one party is authorized to certains act for, or in relation
to the rights or property of the other. But means
more than tacit permission, and involves request,
instruction, or command. The consessual relation
existing between two persons, by virtue of which one
is subject to other»s control.4
Lebih lanjut disebutkan bahwa: “agency is the
fiduciary relation wich results from the manifestation
of consent by one person to another that the other
shall act on his behalf and subject to his control, and
consent by the other so to act”5.
Dengan demikian agency adalah hubungan yang
didasarkan pada sebuah kepercayaan penuh yang
merupakan manifestasi dari kesepakatan para pihak
yang mana seseorang menyetujui untuk melakukan
tindakan atau perbuatan hukum tertentu untuk dan
atas nama orang lain, serta di bawah pengawasan
dan persetujuan orang lain.
Dalam kamus lain, disebutkan bahwa “Agency relation
which one person, the agent, act on behalf of another
with the authority of the latter, the principal;
a fiduciary relation wich results from the
manifestation of consent by one person that another
shall act on the former«s behalf and subject to his
control, and consent by the other so to act, the act
of the agent will be binding on his principal.”6
Berdasarkan rumusan di atas maka kata kunci yang
merupakan ciri utama terdapatnya hubungan
keagenan adalah:
1.��� adanya pihak yang memberikan kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum tertentu pada
pihak lain, yaitu principal;
2.��� adanya pihak yang diberikan kewenangan untuk
melakukan perbuatan atau tindakan hukum
tertentu untuk dan atas nama orang lain, yaitu
agen; dan
3.��� hubungan hukum tersebut menimbulkan sebuah
hak dan kewajiban tertentu bagi para pihak, yang
bertumpu pada sebuah doktrin fiduciary duties.
B.��� KONTRAK HUBUNGAN KEAGENAN
Agency adalah keterikatan hubungan antara dua
pihak yang mana pihak satu sering disebut dengan
agen, yaitu pihak yang diberikan kewenangan untuk
melakukan perbuatan untuk dan atas nama serta di
bawah pengawasan pihak lain, yaitu principal. Principal
adalah pihak yang memberikan kewenangan pada
agen untuk melakukan tindakan tertentu serta
melakukan pengawasan tindakan agen. Sedangkan
pihak yang melakukan transaksi dengan agen disebut
dengan third party.
Lebih lanjut, Black»s Law Dictionary memberikan
pengertian:
Agent, a person authorized by another (principal) to
act for or in place of him; one intrusted with another»s
business. One who represent and acts for another
under the contract or relation of agency. A business
representative, whose function is to bring about,
modify, affect, accept performance of, or terminate
contractual obligations between principal and third
persons. One who undertakes to transact some
business, or to manage some affair, for another, by
the authority and on account of the letter, and to
render an account of it. One who acts for or in place
of another by authority from him; a substitute, a
deputy, appointed by principal with power to do the
things which principal may do. One who deals not
only with things, as does a servant, but with a persons,
using with own discretion as to means, and frequently
establishing contractual relation between his principal
and third persons. One authorized to transact all
19
4��� Henry Campbell Black, M.A., Black”s Law Dictionary, ST. Paul , Minn. West Publishing Co, 1991, P 40
5��� Ibid
6��� Steven H. Gifis,. Law Dictionary, Barron»s Educational Series, INC, 1984, p 16
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
business of principal, or all principal»s business of
some particular kind, or all business at some particular
place.7
Keterikatan hubungan dua pihak tersebut dituangkan
dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan
perjanjian keagenan (agency agreement), yang mana
dengan mendasarkan pada perjanjian tersebut agen
diberikan kewenangan untuk melakukan transaksi,
negosiasi kontrak dengan pihak ketiga yang akan
mengikat pihak principal dalam kontrak tersebut.
Namun demikian, agency secara umum dapat terjadi
baik dengan cara dibuatkan perjanjian tertulis (written
agreement) ataupun terjadi dengan cara lisan (orally),
walaupun perjanjian tertulis lebih menjamin keamanan
para pihak. Di beberapa negara, perjanjian tertulis
dipersyaratkan untuk adanya keagenan yang akan
berlangsung lebih dari satu tahun.
Dengan demikian dalam agency terdapat tiga pihak
utama yaitu principal, agen, dan third party. Principal,
sering juga disetarakan dengan istilah master atau
employer, yaitu pihak yang memiliki hak untuk
memberikan instruksi pada agen, baik untuk
melakukan perbuatan hukum tertentu, juga
bagaimana seharusnya perbuatan tersebut dilakukan,
sedangkan pihak yang lainnya adalah agen. Agen
sendiri sebenarnya dapat dikelompokkan ke dalam
kelas servants atau employees.8. Selain itu terdapat
pihak lain di antara hubungan keagenan antara
principal dengan agen, yaitu pihak ketiga.
Siapakah yang dapat bertindak selaku agen? Pada
dasarnya setiap orang yang mempunyai kapasitas
untuk membuat kontrak dapat ditunjuk selaku agen.
Dengan demikian golongan personal yang tidak dapat
menandatangi kontrak, seperti halnya anak di bawah
umur, dalam pengampuan, pada dasarnya tidak dapat
ditunjuk selaku agen. Namun demikian dapat saja
pengadilan menunjuk pengampu atau wali, untuk
mewakilinya.
Sedangkan pihak yang dapat bertindak selaku
principal, pada dasarnya semua orang kecuali anak
di bawah umur atau di bawah pengampuan, serta
mempunyai kapasitas untuk membuat kontrak,
mempunyai kapasitas untuk mempekerjakan
pembantu dalam kapasitasnya sebagai agen atau
pembantu bukan agen, mempunyai kapasitas secara
hukum untuk memberikan persetujuan operasional
pada pembantunya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa
hubungan keagenan haruslah sesuatu yang dibolehkan
oleh hukum (a lawful purpose), bukan sesuatu yang
dilarang oleh ketentuan hukum (prohibited by law)
atau bertentangan dengan public policy9. Beberapa
hubungan keagenan yang dilarang oleh hukum, antara
lain:
1.��� Professionals licensed, agen yang tidak berlisensi
tidak dapat ditunjuk untuk menjalankan kewajiban
tertentu yang dilakukan profesi tertentu yang
berlisensi, misalnya dokter, pengacara, dan
seterusnya;
2.��� Agen tidak dapat ditunjuk untuk mewakili principal
dalam kaitan dengan hak memberikan suara dalam
pemilihan umum atau ditunjuk untuk melakukan
tindak kriminal tertentu; dan
20
7��� Ibid p 41
8��� Pada umumnya dalam kaitannya dengan legal definitions maka servants atau employees adalah sinonim. Terminologi “servant“ digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang tunduk pada pengawasan dari master atau employer.
9��� Henry R. Cheeseman., Contemporary Essentials of Business Law, Prentice Hall 199, p 434
Principal
Agenkontrak dengan pihak ketiga
untuk dan atas nama principalPihak ketiga
kewajiban principalmelaksanakan kontrak
Agency Contract
Bagan 1
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
3.��� Agen tidak dapat ditunjuk untuk menjalankan
tugas pelayanan yang bersifat personal, misalnya
bintang film, atlet profesional.
Dalam hubungan keagenan (agency), dapat terjadi
adanya general agent atau special agent. Perbedaan
di antara keduanya sebenarnya hanya pada persoalan
derajat persoalan yang didelegasikan. Special agent
ditunjuk untuk melakukan satu transaksi atau
beberapa transaksi yang simpel, serta jangka
waktunya terbatas dan seringkali tidak berkelanjutan.
Sedangkan general agent digaji oleh principal untuk
melakukan serangkaian transaksi untuk jangka waktu
yang lama. Selain itu kewenangan dan sejumlah
tindakan diskresi (discretion)10 juga dapat dijadikan
pembedaan antara special agent dengan general
agent. General agent lebih banyak mempunyai
kewenangan untuk melakukan diskresi, hak untuk
memilih satu pertimbangan di antara berbagai
alternatif pertimbangan yang ada padanya, daripada
special agent.
Dalam memutuskan apakah general agent ataukah
special agent, pengadilan sebaiknya
mempertimbangkan beberapa hal di bawah ini:
1.��� jumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai
hasil akhir dari kewenangan yang didelegasikan
tersebut;
2.��� jumlah personal yang dibutuhkan kaitannya
dengan persiapan untuk mencapai hasil yang
diinginkan; dan
3.��� lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai
hasil yang diinginkan.
Seorang manajer perusahaan kartu kredit adalah
general agent, tetapi orang yang tugasnya mengantar
barang pada pembeli dari sebuah toko, rumah makan,
yang bersifat free time, adalah special agent.
Dalam Black»s Law Dictionary disebutkan bahwa:
“general agent”, one who authorized to act for his
principal in all matters concerning particular business
or employment of particular nature. Sedangkan
special agent, one to employed conduct a particular
transaction or piece of business for his principal or
authorized to perform a specified act. An agent
authorized to conduct a single transaction or a series
of transaction not involving continuity of service.11
Di Amerika Serikat, permasalahan-permasalahan yang
timbul di bidang keagenan harus dilihat dari beberapa
ketentuan yang mengatur masalah tersebut, yaitu
agency law, contract law, tort law. Selain itu juga
sangat diperhatikan Restatement (Second) of Agency.12
Menurut Restatement of Agency disebutkan bahwa
konsep dasar agency adalah:
1.��� Hubungan atas dasar kepercayaan yang
merupakan manifestasi dari kesepakatan bersama
para pihak yang bersepakat bahwa salah satu
pihak akan melakukan perbuatan hukum tertentu
untuk dan atas nama pihak lain serta tunduk pada
pengawasan dan persetujuan pihak lain;
2.��� Pihak yang mengalihkan perbuatan hukum
tersebut pada pihak lain disebut principal;
3.��� Pihak yang menerima pengalihan disebut dengan
agent.13
Dengan demikian karakter yang melekat pada
keagenan adalah:
1.��� Merupakan hubungan hukum dua pihak, yaitu
principal dan agen;
21
10��� Discretion, the right to use one»s own judgement in selecting between alternatives.
11��� Black»s Law Dictionary, opcit p 41-42
12��� Restatement Agency are treaties that summarize detailed ���recomendation of what the law should be on particular subject. Restatement are not legislature or court made law, they become part of legal precedents when court rely on them and incorporate them into court decisions.
13��� Davidson, Knowles, Forsythe., Business Law; Principles and cases in the Legal Environment, South Western College Publishing, 1996, p 761
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
2.��� Principal adalah pihak yang memberi kerja dan
agen adalah pihak yang menerima pekerjaan dari
principal;
3.��� Hubungan hukum para pihak tersebut lazimnya
dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis
(written agreement);
4.��� Dengan dibuatnya perjanjian tertulis tersebut
secara otomatis pemberi kerja/principal
mendelegasikan kewenangan (authority) pada
penerima kerja, yaitu agen, untuk mengambil
keputusan dalam melakukan transaksi dengan
pihak ketiga;
5.��� Agen bertindak tidak untuk diri sendiri tetapi
bertindak untuk dan atas nama principal;
6.��� Agen melakukan pekerjaan di bawah pengawasan
principal;
7.��� Principal akan bertanggung jawab penuh atas
tindakan yang dilakukan oleh agen selama
tindakan tersebut dilakukan dalam batas
kewenangan yang diberikan sesuai dengan
perjanjian yang telah disepakati;
8.��� Agen mempunyai kedudukan yang berbeda
dengan pembantu (servant) ataupun
karyawan/pekerja perusahaan (employee).
Agency berkaitan dengan tanggung jawab seseorang
atas tindakan orang lain yang dilakukan untuk
kepentingan principal atau master. Problem utamanya
adalah tanggung jawab principal untuk komitmen
terhadap apa yang sudah dilakukan oleh agennya.
Singkat kata, agency lazimnya hanya berkaitan dengan
transaksi bisnis dan bersifat komersial.
Filosofi dasar keagenan (agency) berakar pada tradisi
hukum Romawi kuno, yang dalam bahasa latin: Qui
facit per alium facit per se – (He who acts through
another acts himself)- siapa yang melakukan
perbuatan/tindakan melalui pihak lain maka seperti
halnya melakukan perbuatan/tindakan sendiri.14
Mendasarkan pada filosofi dasar tersebut, principal
dapat memanen keuntungan dari aktifitas yang
dilakukan agen untuk dan atas nama principal nya.
Sebagai contoh, seorang agen yang ditunjuk dan
disepakati dibayar sejumlah $100 untuk melakukan
penjualan barang tertentu maka principal dapat
memperoleh keuntungan bersih dari aktifitas penjualan
yang dilakukan agennya, baik nilai penjualan tersebut
hanya $100 ataukah $1000.15
Dalam perjanjian keagenan, yang mana principal
memberikan authority pada agen untuk melakukan
pekerjaan tertentu di bawah pengawasan dan
tanggung jawabnya, terdapat kondisi tertentu yang
tetap menuntut principal untuk melakukan pekerjaan
itu sendiri dan tidak dapat didelegasikan pada agen.
Kewajiban untuk principal melakukan tindakan sendiri
tersebut sering dikenal dengan istilah non delegable
obligations16, yaitu suatu kewajiban tertentu yang
mengharuskan principal melakukannya sendiri,
contohnya pembuatan atau penyusunan pernyataan
di bawah sumpah, penandatanganan sebuah
kebijakan, membuat kontrak dengan lawyers, hadir
sebagai saksi di pengadilan dan seterusnya.
C.��� TANGGUNG JAWAB PRINCIPAL DALAM KONTRAK ���
KEAGENAN
Terdapat tiga hubungan hukum yang berbeda, dalam
kaitannya dengan pertanggungjawaban principal
terhadap pihak ketiga:
1.��� the employer/master – employee/servant
relationship;
2.��� the employer – agent relationship; dan
3.��� the employer – independent contractor
relationship.
22
14��� Charles F. Hemphill, Jr., Judy A. Long, Basic Business Law, Second Edition, Regents/Prentice Hall, Englewood Cliffs, New jersey, 1994, p 150
15��� Henry R. Cheeseman,. Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Inc, 2000. P 237
16��� Mallor, Barnes, Bowers, Langvardt, Business Law; The Ethical, Global, ���and E Commerce Environment, Mac Graw Hill, 2004. P 735
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Pada dasarnya terdapat perbedaan
pertanggungjawaban principal/master/employer
terhadap posisi agen, pembantu (servant),
pekerja/karyawan (employee) di satu pihak dengan
pertanggungjawaban principal/master/employer
terhadap tindakan yang dilakukan oleh independent
contractor. Berdasarkan doktrin respondeat
superrior17 maka principal, master, employer
bertanggung jawab atas kerugian yang timbul
terhadap pihak ketiga yang diakibatkan
kesalahan tindakan dari agen, pembantu,
pekerja, selama perbuatan tersebut dilakukan
masih dalam lingkup pekerjaannya. Sedangkan
principal, employer lazimnya tidak bertanggung jawab
atas tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap
pihak ketiga atas kesalahan yang dilakukan oleh
independent contractor.18
Dalam bahasa lain, doktrin respondeat superior sama
dengan teori vicarious liability dalam sebuah korporasi,
bahwa seorang manajer dari sebuah perusahaan akan
bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan
oleh bawahannya, bahkan walaupun manajer telah
mengatakan pesan pada karyawannya untuk tidak
melakukan pelanggaran hukum.19
Kapan respondeat superior20 diterapkan? Pada saat
menentukan apakah doktrin respondeat superior
akan diterapkan atau tidak, maka pengadilan
mendasarkan pada 2 (dua) persyaratan yang harus
ada:
1.��� hubungan master-servant atau employer-employee
antara individual yang menimbulkan kerugian
dengan employer yang akan bertanggung jawab
terhadap kerugian tersebut; dan
2.��� perbuatan yang salah dari pembantu atau pegawai
dilakukan dalam lingkup pekerjaannya.
Pada dasarnya doktrin respondeat superior muncul
karena 3 (tiga) problematika pertanyaan yang tidak
mudah dijawab, yaitu:21
1.��� Tipe atau bentuk agen yang seperti apa yang
dapat menciptakan tanggung jawab bagi principal
atas kesalahan yang dilakukan agen?
2.��� Apakah principal bertanggung jawab atas
kesalahan yang disengaja oleh agennya?
3.��� Apakah agen melakukan kesalahan tersebut dalam
lingkup pekerjaan yang didelegasikan padanya?
Secara umum, justifikasi tanggung jawab master
terhadap kesalahan yang dilakukan oleh servant
(pembantunya), termasuk di dalamnya tanggung
jawab principal terhadap agennya, adalah:
1.��� bahwa master akan lebih berhati-hati dalam
memilih pembantu kaitannya untuk mengurangi
risiko atau menghindari tanggung jawabnya;
2.��� bahwa master akan lebih meningkatkan
pengawasan atas perbuatan yang dilakukan
pembantunya untuk menghindari tanggung
jawabnya;
3.��� bahwa tanggung jawab terhadap pembantu adalah
persoalan biaya dalam melakukan aktifitas bisnis;
4.��� bahwa master adalah pihak yang mendapat
keuntungan atas tindakan yang dilakukan
pembantunya;
5.��� bahwa orang yang mempunyai kekuasaan
melakukan pengawasan atas suatu tindakan
seharusnya adalah orang yang bertanggung jawab
di bidang finansial; dan
6.��� bahwa master dapat mengasuransikan tanggung
jawabnya pada perusahaan asuransi.22
23
17��� Respondeat Superior adalah suatu prinsip dasar yang menyebutkan bahwa “An employer is liable for the torts of an agent commited in the scope of the employment.
18��� Ibid p.230
19��� Constance E. Bagley., Managers and the Legal Environment, Strategies ���for the 21 st Century, West Publishing Company, 1995, p 155
20��� Respondeat superior sama dengan vicarious liability, bahwa prinsipal akan bertanggung jawab atas semua tindakan agen yang dilakukan sebagai bentuk komitmen serta dilakukan dalam lingkup pekerjaan yang didelegasikan padanya. Dalam istilah lain sringkali juga disebut dengan the “deep pocket“ theory: the principal (usually a corporation) has deeper pockets than the agent, meaning that it has the wherewithal to pay the injuries traceable one way or another to events it set in motion.
21��� Jetro K. Lieberman, George J. Siedel, Business Law and the Legal ���Environment, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1985, p 834
22��� Davidson, Knowles and Forsythe, opcit, p 807.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Dengan demikian doktrin respondeat superior tidak
didasarkan pada suatu ide bahwa master telah
melakukan suatu kesalahan, tetapi hal ini adalah
suatu kekhususan dari sebuah doktrin strict liability23,
bahwa tanggung jawab atas suatu perbuatan yang
merugikan hanya didasarkan karena telah terjadinya
perbuatan atau tindakan tertentu dan bukan
didasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh orang
yang harus mengganti rugi karena perbuatan tertentu.
Filosofi sederhananya bahwa master telah menggaji
pembantu untuk melakukan perbuatan tertentu,
apabila pembantu melakukan kesalahan maka master
seharusnya membayar ganti kerugian yang timbul
karena perbuatan pembantunya. Dengan kata lain,
seseorang seharusnya membayar dan master adalah
pihak yang pada posisi terbaik dapat melakukan
pembayaran tersebut dan menanggung kerugian
yang timbul. Namun demikian respondeat superior
mensyaratkan adanya wrongful act, tindakan yang
salah menurut hukum yang dilakukan oleh pembantu.
Respondeat superior, tidak menjadikan master menjadi
penanggung semua perbuatan pembantunya. Master
hanya akan bertanggung jawab atas tindakan
pembantunya bila tindakan yang dilakukan dalam
menjalankan tugasnya dan dalam lingkup
pekerjaannya. Dengan demikian prinsip dasarnya
pembantu bertanggung jawab atas kesalahan yang
dibuatnya, sedangkan master bertanggung jawab
bila terjadi perkara di pengadilan. Urusan tanggung
jawab master terhadap kesalahan yang dilakukan
pembantunya, berkaitan erat dengan hak yang dimiliki
master untuk melakukan kontrol atau pengawasan
terhadap perbuatan yang dilakukan pembantunya.
Hak melakukan pengawasan yang dimiliki master
tersebut yang membedakan antara pembantu dengan
bukan pembantu. Principal yang mempunyai hak
melakukan kontrol terhadap pembantunya disebut
dengan master, dan pekerja yang diawasi disebut
dengan pembantu (servant).
Doktrin respondeat superior hanya diterapkan pada
pembantu dan tidak diterapkan pada bukan
pembantu, karena master tidak mempunyai hak
melakukan kontrol terhadap nonservant, dan karena
tidak ada kewenangan melakukan pengawasan
terhadap perbuatan yang dilakukan servant maka
pihak ini bukan master.
Dengan demikian prinsip dasarnya berpijak pada
situasi dimana agen harus berposisi sebagai pembantu
(servant) sebelum doktrin respondeat superior
diterapkan, namun demikian dapat saja principal
langsung bertanggung jawab atas kerugian yang
timbul pada pihak ketiga karena kesalahan yang
dilakukan agennya, bahkan walaupun agen tidak
berposisi sebagai pembantu (servant). Sebagai contoh
dalam situasi dimana principal memberikan instruksi
pada agen dalam melakukan kesalahan tindakan,
atau pada situasi dimana principal tidak secara cukup
melakukan pengawasan atau kontrol tindakan yang
dilakukan oleh agennya, atau principal memberikan
persetujuan atau memberikan pengakuan atas
kesalahan yang dilakukan agennya.
Menyimak prinsip dasar doktrin respondeat superior,
yang menjadi pertanyaan adalah apakah respondeat
superior tersebut konstitusional ataukah
inkonstitusional, apakah respondeat superior tersebut
fair ataukah unfair? Di Amerika Serikat, khususnya
US Supreme Court memandang bahwa respondeat
Superior bukanlah tindakan yang unfair ataupun
unconstitusional.
Dalam ketentuan The Restatement (Second) of Agency
di Amerika Serikat, penentuan apakah servant,
pembantu, agen, melakukan perbuatan dalam lingkup
pekerjaannya (scope of authority), faktor-faktor yang
dipertimbangkan adalah:
1.��� Perbuatan tersebut merupakan salah satu jenis
pekerjaan untuk mana dia dipekerjakan untuk
melakukan suatu pekerjaan;
2.��� Perbuatan tersebut secara substansial terjadi dalam
rentang waktu untuk mana ia diberikan
kewenangan dan terjadi dalam waktu yang terbatas;
24
23��� Strict Liability = Liability of an action simply because it occurred, ���not because it is the fault of the person who must pay.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
3.��� Perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka
memberikan pelayanan pada master; dan
4.��� Jika terdapat niat pemaksaan kehendak dari servant
terhadap pihak ketiga maka penggunaan
pemaksaan kehendak tersebut adalah suatu yang
tidak diharapkan oleh master.
Sedangkan pengadilan di Amerika Serikat telah
menerapkan standart yang lebih fleksibel dalam
menentukan apakah perbuatan yang dilakukan agen
dalam lingkup kewenangan yang diberikan principal
padanya atau tidak, beberapa faktor yang
dipertimbangkan adalah:
1.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen secara
khusus diminta atau diberikan kewenangan oleh
principal?
2.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen merupakan
bagian dari pekerjaan untuk mana agen
dipekerjakan?
3.��� Apakah tindakan tersebut secara substansial terjadi
dalam jangka waktu pekerjaan yang didelegasikan
oleh principal?
4.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen tersebut
terjadi pada lokasi untuk mana pekerjaan tersebut
dilakukan?
Lebih lanjut beberapa hal yang dipertimbangkan
dalam menentukan apakah perbuatan tersebut dalam
lingkup pekerjaannya, dalam batas kewenangannya
atau tidak, adalah sebagai berikut;
1.��� Apakah tindakan tersebut biasa dilakukan oleh
pembantu tersebut atau tidak;
2.��� Waktu, tempat, dan tujuan perbuatan tersebut
dilakukan oleh pembantu tersebut;
3.��� Hubungan yang terjadi sebelumnya antara master
dan servant;
4.��� Apakah terdapat alasan bahwa master memang
berharap tindakan tersebut akan dilakukan oleh
servant;
5.��� Persamaan dalam kualitas atas tindakan yang
telah dilakukan servant dengan tindakan yang
secara legal diberikan kewenangan;
6.��� Apakah master telah memberikan pengarahan,
pedoman sebelum terjadinya perbuatan servant
yang dianggap keliru tersebut;
7.��� Apakah perbuatan servant tersebut tergolong
kriminal yang serius.24
Dalam banyak kasus, faktor-faktor tertentu
kemungkinan mengindikasikan bahwa apa yang
diperbuat servant adalah dalam lingkup pekerjaannya
sedangkan faktor-faktor yang lain kemungkinan
mengindikasikan sebaliknya.
Dua hal yang sering dijadikan bahan analisis pengadilan
dalam menentukan apakah tindakan yang dilakukan
servant dalam menjalankan pekerjaan dan dalam
lingkup pekerjaannya, adalah waktu dan tempat
tindakan atau peristiwa yang mengakibatkan kerugian
pada pihak ketiga tersebut terjadi. Faktor yang
dipertimbangkan adalah apakah kesalahan yang terjadi
tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dengan
pekerjaannya dan apakah kesalahan tersebut terjadi
dalam waktu atau saat jam kerja.
Berkaitan dengan tindakan pengawasan yang
dilakukan master terhadap tindakan servant maka
berlaku sebuah pedoman bahwa kegagalan master
melakukan pengawasan yang cukup atas tindakan
atau perbuatan yang diserahkan pada pembantu
(servant) akan menimbulkan tanggung jawab atas
kerugian yang timbul pada pihak ketiga yang
ditimbulkan oleh tindakan pembantu.
Bagaimana bila terjadi servant gagal melakukan
perbuatan yang telah diinstruksikan oleh master
padanya? Umumnya master bertanggung jawab atas
kegagalan servant melakukan tindakan yang telah
diinstruksikan padanya. Prinsip dasar respondeat
superior bahwa doktrin ini tidak bermaksud
mengurangi tanggung jawab pelaku, dalam hal ini
servant (pembantu), tetapi doktrin tersebut hanya
menambah pihak lain yang akan bertanggung jawab
2925
24��� Davidson, ibid hal. 809, 810
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
atas peristiwa yang merugikan yang dilakukan oleh
pembantu, yaitu master.
Permasalahan lain barangkali akan muncul pada saat
menentukan siapakah master yang bertanggung
jawab atas kesalahan yang dilakukan pembantu
(servant) pada saat terjadi peminjaman pembantu
(borrowed servant). Pada saat terjadi kesalahan yang
dilakukan oleh pembantu yang dipinjamkan pada
pihak lain, siapakah master yang bertanggung jawab
dalam peristiwa ini? Dalam kondisi meminjamkan
pembantu pada pihak lain, terjadilah dua master
dalam situasi ini, yaitu master yang meminjamkan
pembantu (lending master) dan master yang dipinjami
pembantu (borrowing master), ataukah kedua master
tersebut bertanggung jawab?
Prinsip dasarnya bahwa master, employer, principal
adalah pihak yang tidak hanya diberikan kewenangan
untuk memberikan perintah untuk melakukan
tindakan tertentu tetapi juga diberikan kewenangan
untuk memberikan perintah atau petunjuk bagaimana
tindakan tersebut seharusnya dilakukan. Dalam situasi
terdapat dua master maka pada dasarnya master
tersebut dapat dikelompokkan dalam dua golongan
yaitu general master25 dan special master.
Dalam kondisi peminjaman pembantu atau servant
dan mengakibatkan terdapatnya dua master, apabila
terjadi kesalahan yang dilakukan pembantu tersebut
yang mengakibatkan kerugian pada pihak ketiga
maka pengadilan kemungkinan akan memutuskan
berbeda satu pengadilan dengan yang lain. Beberapa
pengadilan mungkin akan menetapkan dua master
tersebut bertanggung jawab atas kesalahan yang
dilakukan pembantu yang dipinjamkan tersebut,
dengan dasar alasan bahwa perbuatan pembantu
tersebut di bawah pengawasan kedua master tersebut
dan pekerjaan yang dilakukan pembantu yang
dipinjamkan tersebut adalah untuk keuntungan dua
master tersebut. Pengadilan lain barang kali
memutuskan lain, special masterlah yang bertanggung
jawab atas kesalahan yang diperbuat pembantu yang
dipinjamkan dikarenakan faktanya pembantu tersebut
bekerja untuk kepentingan special agent pada saat
kesalahan tersebut terjadi. Pengadilan yang lain
barangkali akan memutuskan bahwa general agent
yang bertanggung jawab atas kesalahan yang
dilakukan pembantu yang dipinjamkan disebabkan
karena pada akhirnya pembantu yang dipinjamkan
tersebut tunduk pada pengawasan atau kontrol
general master dan digaji oleh general master.
Apabila situasi tersebut dipandang dari sisi pembantu
yang dipinjamkan, patut dijadikan tolok ukur adalah
sebenarnya siapa yang mempekerjakan pembantu
yang dipinjamkan yang melakukan kesalahan dan
mengakibatkan kerugian pada pihak lain? Untuk
menghindari kerumitan tersebut, sebenarnya secara
bijak dapat diperjanjikan terlebih dahulu dalam sebuah
perjanjian tentang siapa yang akan bertanggung
jawab apabila terjadi kerugian yang ditimbulkan oleh
pembantu yang dipinjamkan tersebut, lebih lanjut
ditentukan siapa yang harus menanggung asuransi
pertangungjawaban perbuatan pembantu apabila
menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila risiko
kerugian tersebut akan dilimpahkan pada perusahaan
asuransi.
Melihat konsep pekerjaan agen sebagaimana disebut
pada uraian di atas maka sebenarnya konsep pekerjaan
agen mirip tetapi berbeda dengan pembantu (servants)
dan pekerja/karyawan (employee). Pembantu (servants)
adalah seseorang yang menerima pekerjaan untuk
dan di bawah pengawasan dari principal/master.
Pekerja adalah seseorang yang menerima sebuah
pekerjaan untuk tujuan memperoleh gaji/penghasilan
dan bekerja di bawah pengawasan pemberi kerja
(employer). Baik pembantu ataupun pekerja lebih
bersifat memberikan pelayanan yang bersifat pribadi
(personal service). Pembantu dan pekerja biasanya
bekerja lebih sedikit membutuhkan pertimbangan
atau diskresi sebagai hasil akhir untuk mana dia
26
25��� Pengertian general master dan special master sama halnya dengan pengertian general agent dan special agent. Special agent is employed to complete one transaction or a simple series of transaction. A general ���agent is hired to conduct a series of transaction over the time.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
dipekerjakan. Pembantu dan pekerja umumnya
digaji karena waktu yang dibutuhkan untuk
melakukan pekerjaan26. Sedangkan agen
umumnya digaji bukan karena waktu yang
dibutuhkan untuk suatu pekerjaan, tetapi agen
digaji utamanya karena keahliannya dalam
bekerja.
Selain agen, pembantu (servants), karyawan/pegawai
(employee), terdapat juga pekerja dengan karakter
khusus yang mirip dengan karakter agen, yaitu
independent contractor. Independent contractor
adalah mereka yang mengikatkan diri dalam suatu
kontrak dengan pihak lain untuk bekerja dengan
metoda yang mereka miliki sendiri dan tanpa adanya
pengawasan atau kontrol dari pemberi kerja, kecuali
hasil pekerjaannya. Selain itu ciri yang lain dari
independent contractor adalah melakukan sebagian
dari sebuah pekerjaan besar, misalnya kontraktor
bangunan. Lebih dari itu ciri utama dari independent
contractor adalah tidak mewakili pemberi pekerjaan
dalam kaitannya dengan hubungan atau transaksi
dengan pihak ketiga, sedangkan agen bekerja untuk
dan atas nama serta merepresentasikan/mewakili
kepentingan principal dalam hubungannya dengan
pihak ketiga.
Independent contractor boleh jadi merupakan agen,
tetapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan
untuk menjadi independent contractor. Independent
contractor yang juga bertindak selaku agen wajib
untuk:
1.��� menjalankan fiduciary duties, yaitu the legal duty
to exercise the highest degree of loyalty and good
faith in handling the affairs of the person to whom
the duty is owed; dan
2.��� can bind their principals to contract.27
Pengadilan di Amerika Serikat, telah membuat
beberapa pengecualian bahwa dalam kondisi tertentu
maka principal bertanggung jawab terhadap tindakan
yang dilakukan oleh independent contractor dalam
beberapa situasi, yaitu:
1.��� Apabila sesuatu yang telah diperjanjikan antara
principal dengan independent contractor dilakukan
oleh independent contractor secara melawan
hukum.
2.��� Apabila tindakan yang dilakukan oleh kontraktor
tersebut menimbulkan gangguan terhadap publik.
3.��� Apabila kewajiban yang dilakukan kontraktor
diancam sanksi hukum.
4.��� Apabila pekerjaan yang dilakukan tersebut
menunjukkan terdapat inherently dangerous28,
sifat berbahaya yang timbul yang merupakan ciri
bawaan dari pekerjaan tersebut, contohnya adalah
blasting (pengunaan dinamit untuk memecahkan
sesuatu).
5.��� Apabila employer telah lalai dalam melakukan
seleksi, membuat instruksi, atau melakukan
supervisi terhadap kontraktor.
6.��� Apabila employer telah mempunyai pengetahuan
akan terjadinya situasi yang membahayakan
dengan dibuatnya kontrak dengan kontraktor
tetapi gagal untuk mencegahnya atau
menghentikan sementara waktu atau gagal
mengkoreksinya.29
Sedangkan pertanggungjawaban principal terhadap
tindakan yang dilakukan agen pada dasarnya
didasarkan pada sebuah pedoman bahwa apakah
terdapat authority pada tindakan agen tersebut.
Artinya tindakan agen baru akan mengikat principal
apabila tindakan agen tersebut masuk dalam authority
yang diberikan oleh principal-nya. Dengan demikian
tidak semua tindakan agen menjadi tanggung jawab
principal.
27
26��� Sifat pekerjaan pembantu dan pegawai/karyawan lebih bersifat “ministerial in nature“, dalam Robert T. Cheng and Robert D.Upp, ���Business Law, 1990, West Publishing and Co, p 230.
27��� Davidson., opcit p 767.
28��� Inherently dangerous diartikan sebagai “dangerous from the nature of the work it self”.
29��� Robert T. Cheng and Robert D. Upp, ibid p 231.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Apakah authority itu? Authority is an agent»s ability
to affect his principal»s legal relation30. Dengan
demikian authority adalah kemampuan yang dimiliki
oleh agen untuk mempengaruhi hubungan hukum
yang dimiliki oleh principal, artinya hubungan hukum
yang dilakukan antara agen dengan pihak ketiga,
yang semestinya menjadi tanggung jawab agen
sendiri, karena authority menjadi berpindah tanggung
jawabnya pada principal.
Pada dasarnya authority terjadi melalui dua bentuk
utama, yaitu actual authority dan apparent authority.
Keduanya didasarkan pada suatu pernyataan yang
jelas mengenai persetujuan dari principal bahwa agen
dibolehkan melakukan tindakan tertentu dan mengikat
principal. Untuk actual authority maka pernyataan
pesetujuan dari principal tersebut haruslah
dikomunikasikan pada agen. Sedangkan untuk
apparent authority maka pernyataan persetujuan dari
principal tersebut haruslah dikomunikasikan pada
pihak ketiga.31
Actual authority terbagi dalam dua bentuk, yaitu
express authority dan implied authority. Actual
authority tercipta karena adanya pernyataan yang
jelas dari principal, baik secara tertulis ataupun lisan.
Agen yang memiliki perintah yang dinyatakan dengan
jelas oleh principal akan mengikat principal atas
tindakannya terhadap pihak ketiga.
Namun demikian dalam praktek, tidak jarang terjadi
principal tidak secara jelas dan tegas memberikan
pernyataan memberikan authority pada agen. Untuk
itu aturan keagenan juga telah melengkapinya dengan
memberikan implied authority pada agen. Agen pada
umumnya mempunyai implied authority dengan
berpedoman pada situasi apakah tindakan tersebut
wajar diasumsikan bahwa principal juga
menginginkan agen melakukan tindakan
tersebut, termasuk di dalamnya adalah tindakan
wajar yang dibutuhkan untuk dilakukan dalam
kaitannya dengan bisnis keagenan, tindakan yang
biasanya dilakukan pada saat melakukan bisnis
keagenan tersebut.
Kadang terjadi agen yang tidak mempunyai actual
authority tetapi masih dapat memberikan kesan
seolah-olah agen mempunyai authority dan hal
tersebut dipercaya oleh pihak ketiga. Untuk melindungi
pihak ketiga dalam situasi seperti ini aturan keagenan
masih memungkinkan mengikat principal dengan
mendasarkan pada apparent authority.
Apparent authority muncul manakala tindakan
principal mengakibatkan pihak ketiga secara wajar
mempercayai bahwa agen diberikan kewenangan
untuk melakukan tindakan tertentu pada pihak ketiga.
Apparent authority sangat tergantung pada apa yang
dikomunikasikan principal pada pihak ketiga, baik
secara langsung atau mengkomunikasikannya melalui
agen. Principal kemungkinan memberikan apparent
authority pada agen dengan cara memberikan
pernyataan langsung pada pihak ketiga, atau
memberikan pernyataan pada agen hal yang serupa
dinyatakan pada pihak ketiga, atau memberikan izin
pada agen untuk berbuat sesuatu yang memberikan
kesan adanya authority pada agen. Agen tidak dapat
memberikan pada dirinya sendiri apparent authority
dan apparent authority tidak terjadi tanpa adanya
persetujuan dari principal. Pada akhirnya pihak ketiga
haruslah secara bijak mempercayai kewenangan agen.
Namun demikian perlu ditegaskan bahwa “apparent
authority” hanya terjadi pada situasi dimana
“menampakkan kesan terdapatnya authority”
dan bukan pada situasi terdapatnya authority
yang sebenarnya, dan hal itu terjadi atau diciptakan
oleh principal.
Tanggung jawab principal terhadap agennya,
kemungkinan tidak saja didasarkan pada aturan
hukum keperdataan, kemungkinan dapat saja terjadi
pertanggungjawaban terhadap hal-hal yang
menyangkut aturan hukum pidana, yaitu pada saat30��� Mallor, Barnes, opcit P 785.
31��� Ibid.
28
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
agen melakukan tindakan yang menyangkut masalah
pidana. Dalam hal seperti ini, principal dapat saja
tersangkut masalah pidana atas kesalahan yang
diperbuatnya sendiri menyangkut hal-hal yang
berkaitan dengan keagenan, yaitu dalam hal principal
memberikan perintah atau mendorong agen
melakukan tindakan yang diancam pidana.
Beberapa perbuatan yang dapat menyeret principal
dalam masalah pidana antara lain, conspiracy,
solicitation, atau accessory to the crime.32
Conspiracy, an unlawful situation in which two or
more people or corporation plant to engage in an
ilegal act or to use ilegal means to achieve a lawful
objective. Solicitation, a situation in which one
person convinces another to engage in criminal
activity. Accessory to the crime, a situation in which
one person assists another in the commission of a
crime, without being the primary actor.
D.��� PENUTUP
Hubungan antara principal dengan agen dalam
keagenan adalah hubungan hukum berdasarkan
prinsip fiduciary duties, yaitu hubungan yang
didasarkan atas dasar kepercayaan. Dengan demikian
tanggung jawab principal terhadap perbuatan hukum
agen tidak saja didasarkan aturan formal, normatif,
tetapi juga didasarkan pada landasan moral.
29
32��� Davidson, Knowles and Forsythe, opcit p 816.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
30
Angela Schneeman, The Law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorships, Lawyers Cooperative Publishing,
Delmar Publishers Inc, 1993.
Charles F. Hemphill,Jr. , Judy A. Long, Basic Business Law, Second Edition, Regents/Prentice Hall, Englewood Cliffs, New
jersey, 1994.
Constance E. Bagley, Managers and the Legal Environment, Strategies for the 21 st Century, West Publishing Company,
1995.
Davidson, Knowles, Forsythe., Business Law; Principles and cases in the Legal Environment, South Western College
Publishing, 1996.
Davidson, Knowles, Business Law; Principles and Cases in the Legal Environment, South Western College Publishing, 1996.
Hanry Camphel Black, M.A,. Black»s Law Dictionary, ST. Paul.Minn, West Publishing Co, 1991.
Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Inc, 2000.
Henry R. Cheeseman, Contemporary Essentials of Business Law, Prentice Hall, 1999.
Jetro K. Lieberman, George J. Siedel, Business Law and the Legal Environment, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1985.
Kenneth W.Clarkson, Roger LeRoy Miller dkk, West Business Law: Text Cases, legal and Regulatory environment, West ���
Publishing Company, St.Paul Newyork Los Angeles San Francisco, Fifth Edition, 1992.
Len Young Smith, Richard A. Mann, Barry S. Roberts, Essentials of Business Law and the Legal Environment, West
Publishing Company, 1992.
Mallor, Barnes, Bowers, Langvardt, Business Law; The Ethical, Global, and E Commerce Environment, Mac Graw Hill, 2004.
Roger LeRoy Miller, Gaylord A. Jentz., Business Law Today, Text & Summarized Cases - Legal, Ethical, Regulatory and
International Environtment, West Publishing Co, 1997.
Steven H. Gifis, Law Dictionary, Barron»s Educational Series, INC, 1984.
William G., James M. McHugh, Susan M. Mchugh, Understanding Business, Irwin, 1990.
DAFTAR PUSTAKA
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK ATAS TINDAKAN AGENSI PENAGIH HUTANG YANG
MELAWAN HUKUM
Disusun oleh:
Dwiki Oktobrian1
Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia
Abstrac ���
Banks are institutions that collect and distribute public funds. In the matter of funds or credit, appeared several
problems, one of which is the payment of credit problems. Banks often use such issues Agency Debt collectors so that
customers can pay off troubled loans. The fact shows that this agency often uses various methods against the law to
charge such as the use of both physical and verbal violence which is actually a criminal offense such as in the case of
Irzen Octa and Muji Harjo. Related to the case, this article was about finding solutions can be criminally Bank for Debt
Collectors Agency action against the law. Through research normative approach to law and conceptual approaches, and
then analyzed deduction, this article produced some important things. At the moment, there are no penal provisions
that could ensnare the Bank acts in the use of Agency Debt Collectors are against the law. In the future, the Bank acts
that use the Agency Debt Collectors are against the law needs to be criminalized because it acts as a despicable act,
harmful to society, and degrade public trust in the banking world.
Keywords: corporate criminal liability, the agency debt collectors, and unlawful
Abstrak���
Bank merupakan lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam persoalan menyalurkan
dana atau kredit, muncul beberapa persoalan, salah satunya adalah pembayaran kredit yang bermasalah. Persoalan
demikian seringkali Bank menggunakan Agensi Penagih Hutang agar nasabah bisa melunasi kredit yang bermasalah
tersebut. Faktanya menunjukkan bahwa Agensi ini seringkali menggunakan berbagai metode yang melawan hukum
untuk menagih seperti penggunaan kekerasan baik fisik dan verbal yang sesungguhnya merupakan tindak pidana seperti
dalam kasus Irzen Octa dan Muji Harjo. Terkait dengan kasus tersebut, artikel ini hendak menemukan jawaban atas
persoalan bisakah Bank dipertanggungjawabkan secara pidana karena tindakan Agensi Penagih Hutang yang melawan
hukum. Melalui penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, untuk
kemudian dianalisis secara deduksi, artikel ini menghasilkan beberapa hal penting. Pada saat ini, belum ada ketentuan
pidana yang dapat menjerat perbuatan Bank dalam penggunaan Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum. Pada
masa mendatang, perbuatan Bank yang mempergunakan Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum perlu
dikriminalisasikan karena perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tercela, merugikan masyarakat, dan mendegradasi
kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan.
31
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
A.��� PENDAHULUAN
Beragamnya kebutuhan manusia menjadikan
kemampuan keuangan menjadi hal penting dari setiap
individu, salah satu cara untuk menunjang hal ini
adalah pengambilan kredit pada bank. Bank sebagai
lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat,
bertugas menyalurkan dana tersebut kepada
masyarakat dengan kredit. Kredit berasal dari bahasa
Yunani “Credere” yang berarti kepercayaannya (truth
atau faith). Karena itu dasar dari kredit adalah
kepercayaan. Definisi kredit menurut Pasal 1 angka
11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan berbunyi:
Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit
pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan,
artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur)
percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup
memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.
Persoalannya, seringkali kredit nasabah tidak bisa
membayar tagihan kepada bank. Bank akan
dihadapkan dengan dua pilihan dalam kacamata
normatif, bernegosiasi atau litigasi. Ketika negosiasi
atau non litigasi yang merupakan pilihan pertama
tidak berhasil, tidak serta merta bank menggunakan
upaya litigasi karena upaya demikian membutuhkan
waktu lama dan biaya yang mahal. Kondisi demikian
menjadikan bank tidak jarang menggunakan jasa
Agensi Penagih Hutang atau debt collector (Thomas
Suyatno (1988: 12)).
Agensi Penagih Hutang dalam melakukan penagihan
kartu kredit macet, tercatat beberapa kali melakukan
tindakan melawan hukum seperti penganiayaan pada
29 Maret 2011 di Jakarta seperti sebagaimana
dipublikasikan inilah.com tanggal 30 Juli 2012.
Irzen Octa selaku nasabah Citibank meninggal karena
perlakuan tidak manusiawi oleh Agensi Penagih
Hutang Citibank karena macetnya kredit yang ia
ambil. Nasib lebih baik dialami Muji Harjo selaku
nasabah kartu kredit bank UOB Buana pada 27
Oktober 2009, Muji Harjo menderita luka parah
karena keretakan pada tulang mata dan tulang kening
akibat kekerasan Agensi Penagih Hutang sehingga
harus menjalani rawat inap, sebagaimana
dipublikasikan tribunnews.com tanggal 14 Februari
2012. Perbuatan penganiayaan merupakan perbuatan
yang bersifat melawan hukum, karena penganiayaan
adalah perbuatan yang dilarang dalam KUHP.
Berdasarkan Pasal 351 ayat (2), penganiayaan yang
mengakibatkan luka berat diancam dengan pidana
penjara maksimal lima tahun. Dalam Pasal 351 ayat
(3) mengatur bahwa penganiyaan yang mengakibatkan
kematian diancam dengan pidana penjara maksimal
tujuh tahun.
Makalah ini akan mengkaji bagaimanakah hukum
pidana memandang pertanggungjawaban pidana
bank atas penggunaan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum. Makalah ini disusun berdasarkan
hasil amatan sekilas bahwa banyak terjadi kasus
mengenai kekerasan yang dilakukan Agensi Penagih
Hutang namun tidak pernah ada pemidanaan terhadap
bank selaku pihak yang menyuruh melakukan
perbuatan yang dilakukan Agensi Penagih Hutang.
Atas hal tersebut lah, makalah ini disusun dengan
judul Pertanggungjawaban Bank Atas Tindakan
Agensi Penagih Hutang Yang Melawan Hukum.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar
belakang, dirumuskanlah beberapa permasalahan
berikut:
1.��� Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Bank
atas tindakan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum pada saat ini?
32
1��� Dosen tidak tetap pada Universitas Komputer Indonesia, Bandung
2.��� Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Bank
atas tindakan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum pada saat yang akan datang?
B.��� TINJAUAN PUSTAKA
1.��� Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Terdapat tiga permasalahan pokok dalam hukum
pidana yakni perbuatan, pertanggungjawaban,
dan pidana (Tongat (2009: 4)). Dalam membahas
pertanggungjawaban pidana, terdapat dua
permasalahan yang dikaji yakni kedudukan pelaku
sebagai subjek hukum pidana dan kesalahan
pelaku dalam terjadinya tindak pidana. Subjek
hukum pidana semula hanya sebatas mengakui
individu, sehingga tertutup kemungkinan
pengaturan lain selain individu. Hal demikian akan
nampak dalam rumusan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) melalui rumusan
“barangsiapa”. Perkembangan sejak tahun 1955,
melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955
tentang Tindak Pidana Ekonomi, telah terjadi
pergeseran pemikiran bahwa selain individu,
hukum pidana sudah mengakomodir korporasi
sebagai subjek hukum pidana.
Loebby Loqman memandang bahwa pengertian
korporasi yang diatur dalam perundang-undangan
umumnya dirumuskan sebagai kumpulan orang
dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan
hukum. Rumusan demikian nampak dalam Pasal
1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Loebby (2002:32)). Korporasi sebagai subjek
hukum didasarkan pada teori organ yang
mendalilkan perbuatan pengurus atau pegawai
korporasi (bank) dipersamakan dengan perbuatan
korporasi itu sendiri (Setiyono (2013:63)).
Menurut Otto von Gierke, korporasi membentuk
kehendaknya dengan perantaraan organ-organnya
seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya
melalui organ mulutnya atau melalui organ
tangannya jika kehendak itu hendak dituliskan.
Sehingga apa yang diputuskan oleh manusia
sebagai organ korporasi menjadi cerminan dari
kehendak korporasi itu sendiri (Setiyono (2013:60)).
Pada saat ini, berbagai undang-undang yang
disahkan telah mengakomodir konsep demikian
sehingga pada akhirnya dengan sendirinya telah
disepakati bahwa subjek hukum pidana kini terdiri
dari individu dan korporasi.
Dalam menentukan kesalahan korporasi, dapat
ditentukan dengan teori vicarious liability. Menurut
Nyoman Serikat Putra Jaya, vicarious liability
dimaknai sebagai atasan (the master) baik dalam
bentuk individu atau korporasi bertangungjawab
terhadap perbuatan dari seorang bawahan
(subordinate, the servant) dalam kerangka
pekerjaan bawahan tersebut (Nyoman (2014:25)).
Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menentukan
kesalahan korporasi dapat ditentukan dari
perbuatan pekerja korporasi tersebut, atau dengan
kata lain kesalahan pekerja korporasi dianggap
sebagai kesalahan dari korporasi itu sendiri
Muladi berpandangan bahwa konsep demikian
bertujuan untuk mengatur kompensasi terhadap
pihak ketiga yang dirugikan oleh bawahan dari
atasan, sedangkan bawahan tersebut sedang
menjalankan pekerjaan yang ditugaskan oleh
atasan tersebut (Muladi, 2004: 4)). Cristina de
Maglie mengemukakan bahwa terdapat beberapa
syarat yang diperlukan agar suatu korporasi dapat
dipertanggungjawabkan secara pidana
berdasarkan vicarious liability, adapun beberapa
syarat yang dimaksud adalah berikut:
a.��� Agen korporasi melakukan kejahatan,
b.��� Ketika bertindak dalam ruang lingkup
kepegawaian atau pekerjaan, dan
c.��� Dengan tujuan menguntungkan korporasi
(Setiyono (2013:77)).
Korporasi merupakan suatu entitas yang memiliki
aset ekonomi yang relatif besar dan identik dengan
33
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
kebal terhadap tuntutan hukum. Pemidanaan
terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi
justru dapat membuktikan kepada masyarakat
bahwa konsep negara hukum memang berlaku
di Indonesia, sekalipun pelaku memiliki kedudukan
ekonomi yang besar.
2.��� Hubungan Hukum antara Bank dan Agensi
Penagih Hutang
Penggunaan Agensi Penagih Hutang oleh Bank
menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum
antara kedua pihak tersebut. Hubungan hukum
tersebut berbentuk suatu perjanjian kerja sama.
Perjanjian kerja sama demikian perlu dianalisis
lebih lanjut mengenai bentuknya, apakah tergolong
sebagai pemberian kuasa ataukah sebagai
pendelegasian wewenang.
Dalam bentuk pemberian kuasa, Bank bertindak
selaku pemberi kuasa dan Agensi Penagih Hutang
bertindak bertindak selaku Penerima Kuasa.
Cakupan kuasa dituangkan dalam Perjanjian
Pemberian Kuasa. Dalam hal ini, Agensi Penagih
Hutang bertindak atas nama Bank sesuai dengan
cakupan kuasa yang diterimanya dari Bank, maka
tanggung jawab pelaksanaan pekerjaan penagihan
piutang bank oleh Agensi Penagih Hutang menjadi
tanggung jawab Bank.
Dalam bentuk Pendelegasian Kewenangan, Bank
bertindak selaku Pemberi Kerja dan Agensi Penagih
Hutang bertindak selaku Pelaksana Kerja. Cakupan
pekerjaan dituangkan dalam perjanjian kerja sama.
Dalam hal ini, Bank dalam posisi sebagai penerima
hasil kerja yang dilakukan oleh Agensi Penagih
Hutang. Perbuatan Agensi Penagih Hutang
menagih piutang Bank, menjadi tanggung jawab
Agensi Penagih Hutang. Agensi Penagih Hutang
bertindak untuk Bank, tapi bukan atas nama Bank.
Menurut Auria Darsil, hubungan hukum yang
terjadi antara Bank dengan Agensi Penagih Hutang
bisa berbentuk dua hubungan hukum yakni
pengalihan hutang piutang (cessie) yang diatur
dalam Pasal 316 KUHperdata atau hubungan
pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792
KUHPerdata (Kukuh (2012: 25)).
Pasal 316 KUHPerdata
Penyerahan piutang-piutang atas nama dan
barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan
dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah
tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-
barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak
ada akibatnya bagi yang berutang sebelum
penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau
disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.
Pasal 1792 KUHPerdata
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang
berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain
yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu
atas nama orang yang memberikan kuasa.
Hubungan hukum model demikian, dalam dunia
perbankan hanya diakui sebatas pada kartu kredit.
Penggunaan Agensi Penagih Hutang dalam
perkreditan diatur dalam Surat Edaran Bank
Indonesia No.11/10/DASP tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu sebagaimana telah diubah beberapa kali,
terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia
No.16/25/DKSP. Pada BAB VII, Hurud D, Angka 4
dinyatakan bahwa:
Dalam bekerja sama dengan perusahaan penyedia
jasa penagihan Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib
memperhatikan dan memenuhi ketentuan:
a.��� penagihan Kartu Kredit dapat dilakukan oleh
Penerbit Kartu Kredit dengan menggunakan
tenaga penagihan sendiri atau tenaga
penagihan dari perusahaan penyedia jasa
penagihan;
b.��� dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik
menggunakan tenaga penagihan sendiri atau
tenaga penagihan dari perusahaan penyedia
jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib
memastikan bahwa:
34
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
1)��� tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan
yang memadai terkait dengan tugas penagihan
dan etika penagihan sesuai ketentuan yang
berlaku;
2)��� identitas setiap tenaga penagihan
ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit
Kartu Kredit;
3)��� tenaga penagihan dalam melaksanakan
penagihan mematuhi pokok-pokok etika
penagihan sebagai berikut:
a)��� menggunakan kartu identitas resmi yang
dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang
dilengkapi dengan foto diri yang
bersangkutan;
b)��� penagihan dilarang dilakukan dengan
menggunakan cara ancaman, kekerasan
dan/atau tindakan yang bersifat
mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;
c)��� penagihan dilarang dilakukan dengan
menggunakan tekanan secara fisik maupun
verbal;
d)��� penagihan dilarang dilakukan kepada pihak
selain Pemegang Kartu Kredit;
e)��� penagihan menggunakan sarana
komunikasi dilarang dilakukan secara terus
menerus yang bersifat mengganggu;
f)��� penagihan hanya dapat dilakukan di tempat
alamat penagihan atau domisili Pemegang
Kartu Kredit;
g)��� penagihan hanya dapat dilakukan pada
pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00
wilayah waktu alamat Pemegang Kartu
Kredit; dan
h)��� penagihan di luar tempat dan/atau waktu
sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan
huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar
persetujuan dan/atau perjanjian dengan
Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.
Selain memenuhi pokok-pokok etika penagihan
sebagaimana dimaksud pada huruf a) sampai
dengan huruf h), Penerbit Kartu Kredit juga
harus memastikan bahwa pihak lain yang
menyediakan jasa penagihan yang bekerja
sama dengan Penerbit Kartu Kredit juga
mematuhi etika penagihan yang ditetapkan
oleh asosiasi penyelenggara APMK.
c.��� dalam hal penagihan Kartu Kredit dilakukan
menggunakan tenaga penagihan dari
perusahaan penyedia jasa penagihan, maka
selain berlaku ketentuan sebagaimana
dimaksud pada huruf b, juga berlaku ketentuan
sebagai berikut:
1)��� penagihan Kartu Kredit menggunakan
tenaga penagihan dari perusahaan
penyedia jasa penagihan hanya dapat
dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit
dimaksud telah termasuk dalam kualitas
macet berdasarkan kriteria kolektibilitas
sesuai ketentuan Bank Indonesia yang
mengatur mengenai kualitas kredit;
2)��� kerja sama antara Penerbit Kartu Kredit
dengan perusahaan penyedia jasa
penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan
Bank Indonesia yang mengatur mengenai
prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang
melakukan penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain,
dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
3)��� Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin
kualitas pelaksanaan penagihan Kartu
Kredit oleh perusahaan penyedia jasa
penagihan sama dengan jika dilakukan
sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit.
Menurut Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank
Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR, pengertian
kolektibilitas diragukan mengandung arti bila
menunggak lebih dari 120 hari hingga 180 hari,
sedangkan pengertian kolektibilitas macet bila
tunggakan di atas 180 hari (6 bulan). Surat Edaran
Bank Indonesia No.11/10/DASP tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No.16/25/DKSP memberikan
35
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
perintah kepada Bank selaku penerbit kartu kredit
menjamin penagihan oleh pihak lain yakni Agensi
Penagih Hutang menunjukkan bahwa perjanjian
kerja sama antara keduanya tergolong sebagai
bentuk perjanjian kerja sama pemberian kuasa.
Dengan demikian, segala macam akibat hukum
yang timbul dari perjanjian ini menjadi tanggung-
jawab Bank selaku penerbit kartu kredit.
Hal demikian pun dibenarkan dalam Surat Edaran
Bank Indonesia No.11/10/DASP tentang
Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah
diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran
Bank Indonesia No.16/25/DKSP. Dalam surat edaran
tersebut, terdapat perintah agar perjanjian antara
Bank dan Agensi Penagih Hutang perlu
mencantumkan klausula yang berisi Bank selaku
Penerbit Kartu Kredit bertanggung jawab terhadap
segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja
sama dengan pihak lain tersebut. Bank menjadi
tidak bertanggung jawab secara hukum manakala
Agensi Penagih Hutang bertindak di luar hubungan
perjanjian antara dirinya dengan Bank.
C.��� HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1.��� Hasil Penelitian
Dalam penyelesaian tagihan kartu kredit
bermasalah, bank dapat melakukan dua upaya
baik litigasi maupun non litigasi. Namun di
samping dua alternatif tersebut, bank terkadang
melakukan upaya lain yakni menggunakan jasa
Agensi Penagih Hutang. Agensi ini adalah pihak
ketiga yang menghubungkan kreditur dan debitur
dalam penagihan kredit telah masuk dalam
kategori kolektabilitas diragukan atau macet.
Bank mempunyai alasan tersendiri dalam
penggunaan Agensi Penagih Hutang, bahwa
penggunaan upaya litigasi ketika non litigasi
gagal, senyatanya membutuhkan waktu lama
atau dengan kata lain ada aspek kepraktisan yang
dipandang oleh Bank.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun
1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan
Tinggi dan Pengadilan Negeri membutuhkan
waktu maksimal 6 bulan. Kalaupun waktu
maksimal tersebut digunakan untuk menyelesaikan
persolalan kredit dengan kategori diragukan atau
macet, diperlukan biaya dan waktu yang tidak
sedikit dalam melakukan upaya eksekusi atau
pelaksanaan putusan, belum termasuk upaya
hukum selanjutnya yang sangat mungkin
dipergunakan oleh nasabah (Masrudi (2013: 1-
2)). Dengan demikian, terdapat aspek kepraktisan
yang dikejar oleh Bank dalam menghadapi tagihan
kredit yang bermasalah.
Alasan tersebut menurut hemat penulis adalah
masuk akal, namun tetap tidak dapat dibenarkan.
Kebijakan menggunakan Agensi Penagih Hutang
bisa digolongkan sebagai kebijakan yang melawan
hukum dalam pengerjaan tugas penagihan kredit
terdapat nuansa pidana semacam kekerasan fisik
atau verbal. Asumsi yang dapat diajukan perihal
demikian, bahwa agensi ini akan menggunakan
segala macam cara untuk mendapatkan bayaran
tagihan nasabah.
Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DADP
Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran
Dengan Menggunakan Kartu, mengatur syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh bank dalam
penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan
kredit macet, syarat tersebut adalah:
a.��� Kualitas tagihan kartu kredit telah masuk
kolektabilitas diragukan atau macet;
b.��� Penagihan pihak lain dilakukan dengan cara
yang tidak melanggar hukum;
c.��� Dalam perjanjian kerja sama antara penerbit
dan pihak lain untuk melakukan penagihan
transaksi kartu kredit tersebut harus memuat
klausul tentang tanggung jawab penerbit
terhadap segala akibat hukum yang timbul
akibat dari kerja sama dengan pihak lain.
36
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Ketentuan demikian pun dipertegas dalam
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/2009
tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat
Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Dalam
Pasal 17 ayat (5) dinyatakan bahwa penerbit kartu
kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas
transaksi kartu kredit, baik yang dilakukan oleh
penerbit kartu kredit sendiri atau menggunakan
jasa pihak lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan dengan Surat Edaran Bank
Indonesia.
Penggunaan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum oleh Bank merupakan suatu
tindak pidana, karena Bank terkategori sebagai
“penyuruh” dalam tindak pidana tersebut. Bank
adalah korporasi yang merupakan subjek hukum
dalam hukum pidana. Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan,
mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 46 sampai
Pasal 50 A dan dikualifikasikan secaca yuridis
sebagai kejahatan. Ketentuan pidana dalam pasal-
pasal tersebut berisi beberapa tindak pidana, di
antaranya:
a.��� Menghimpun dana dari masyarakat secara
ilegal, yang diatur dalam Pasal 46;
b.��� Sengaja memaksa bank memberikan
keterangan mengenai nasabah penyimpan
dan simpanannya, yang diatur dalam Pasal 47;
c.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau
pegawai bank yang sengaja tidak memberikan
keterangan yang wajib dipenuhi, yang diatur
dalam Pasal 48;
d.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau
pegawai bank yang sengaja memanipulasi
pencatatan, yang diatur dalam Pasal 49 ayat
(1);
e.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau
pegawai bank yang sengaja menerima sesuatu
untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya
agar mengeluarkan kebijakan bank, yang diatur
dalam Pasal 49 ayat (2);
f. ��� Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak
melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan bank
terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku bagi bank, yang diatur dalam
Pasal 50;
g.��� Pemegang saham yang dengan sengaja
menyuruh dewan komisaris, direksi, atau
pegawai bank untuk melakukan atau tidak
melakukan tindakan yang mengakibatkan
bank tidak melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku bagi bank,
yang diatur dalam Pasal 50A.
Mencermati semua tindak pidana yang diatur
dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang
Perbankan, menunjukkan bahwa tidak ada
pengaturan sama sekali mengenai tindak pidana
penggunaan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum. Hal demikian dirasa kurang,
mengingat beberapa peristiwa menunjukkan
bahwa Bank seringkali menggunakan jasa
demikian. 29 Maret 2011 di Jakarta, Irzen Octa
selaku nasabah Citibank meninggal karena
perlakuan tidak manusiawi oleh Agensi Penagih
Hutang Citibank karena macetnya kredit yang ia
ambil. Ironisnya, locus delcti dari peristiwa
memilukan ini berada di ruang negosiasi Citibank
sendiri, sebagaimana dipublikasikan vivanews.co.id
19 Januari 2012. Sedangkan Muji Harjo selaku
nasabah kartu kredit bank UOB Buana pada 27
Oktober 2009, karena macetnya kredit sebesar
Rp12.000.000,- maka UOB menunjuk PT. Goti
Wai Surut untuk mengerahkan Agensi Penagih
Hutang. Akibat perbuatan melawan hukum ini,
Muji Harjo menderita luka parah karena keretakan
pada tulang mata dan tulang kening sehingga
harus menjalani rawat inap di RS Boromeus
Bandung selama 3 hari dengan dengan biaya
jauh lebih besar dari total hutangnya yakni
Rp70.000.000,- sebagaimana dipublikasikan
detik.com 1 April 2011.
37
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Hal lain yang perlu dipahami juga, Undang-
Undang Perbankan yang berlaku saat ini belum
mengakomodir konsep korporasi sebagai subjek
hukum pidana. Subjek hukum pidana yang diatur
baru sebatas individu berupa “barangsiapa”,
“pihak terafiliasi”, “Anggota Dewan Komisaris”,
“Direksi”, “pegawai bank”. Pembentuk Undang-
Undang Perbankan nampak membuat undang-
undang yang tertinggal dari perkembangan
hukum, padahal korporasi sebagai subjek sudah
diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt
Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.
Ketiaadaan pengaturan penggunaan Agensi
Penagih Hutang yang melawan hukum oleh Bank,
menjadikan Bank tidak dapat dituntut secara
pidana dengan dalil pertanggungjawaban pidana
korporasi. Adapun yang bisa didalilkan adalah
dengan menerapkan ketentuan penyertaan dalam
Pasal 55 ayat (1) KUHP yang sesungguhnya hanya
berlaku bagi individu, bukan berlaku untuk
korporasi. Adapun rumusan pasal tersebut adalah
sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu
perbuatan pidana:
Ke-1��� mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan dan yang turut serta melakukan
perbuatan;
Praktik penggunaan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum oleh Bank perlu dilakukan
kriminalisasi karena perbuatan demikian adalah
perbuatan yang tercela dan mencederai iklim
perbankan yang sangat membutuhkan
kepercayaan dari masyarakat untuk dapat
menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat.
Instrumen hukum pidana harus dapat digunakan
terhadap perbuatan tercela. Hukum pidana
memiliki kedudukan sebagai seperangkat norma,
dogma, dan sistem ukuran yang menempatkan
tingkah laku individu manusia sebagai objek
sekaligus subjek utama dalam pengaturannya
sehingga berfungsi mempertahankan ketertiban
dan memelihara ketenteraman yang ada dalam
pergaulan masyarakat (Najih (2008:18)).
Hukum Pidana Indonesia pada saat ini berpegang
teguh pada Asas Legalitas yang diatur dalam asal
1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan
aturan pidana dalam peraturan perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu
dilakukan”. Asas ini memiliki dua pemahaman,
dimana:
a.��� Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut sudah dirumuskan
dalam undang-undang sebagai perbuatan
yang diancam pidana.
b.��� Hal yang dapat menghapus sifat melawan
hukumnya perbuatan hanyalah dapat
dilakukan melalui pencabutan oleh undang-
undang (Tongat (2009: 196)).
Tiadanya ketentuan pidana yang dapat menjerat
perbuatan Bank yang mempergunakan Agensi
Penagih Hutang yang melawan hukum, membuat
perbuatan Bank tersebut tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.
Manakala negara memaksakan jeratan pidana
terhadap Bank, maka berdasarkan asas legalitas
justru tindakan demikian tidak dibenarkan. Kondisi
demikian membuat pemahaman bahwa tidak ada
sarana pidana yang disediakan negara untuk
menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh
Agensi Penagih Hutang yang diperintah oleh Bank.
Muladi dan Barda Nawawi Arief pernah
mengemukakan bahwa ketiadaan sarana pidana
dalam menanggulangi kejahatan dapat berakibat
pada meningkatnya angka kriminalitas kejahatan
tersebut (Muladi dan Barda (1984:159). Apa yang
dialami Irzen Octa dan Muji Harjo bisa jadi
merupakan hanya sebagian kecil saja korban
Agensi Penagih Hutang, artinya tidak menutup
kemungkinan potensi terjadinya korban lainnya
yang belum diketahui. Menghadapi nasabah
kredit yang bermasalah tentu bukan hal yang
38
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
menyenangkan bagi Bank, hanya saja terhadap
penggunaan kekerasan baik fisik atau verbal dalam
penagihan kredit bermasalah tersebut tidaklah
dibenarkan. Manakala perbuatan penggunaan
kekerasan tersebut terjadi, sudah seyogyanya
sebagai negara hukum yang diatur dalam Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 maka negara perlu hadir melalui
penggunaan aparat penegak hukum.
Penggunaan sarana pidana merupakan bagian
dari kebijakan kriminal yang mengandung makna
usaha rasional dari masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan (Heru (2011:5)).
Kebijakan kriminal sendiri merupakan bagian
daripada kebijakan perlindungan sosial, negara
melindungi masyarakatnya dari kejahatan melalui
kebijakan kriminal (Barda (2011:34)).
Dengan mengacu pada fakta negara tidak
mengatur perbuatan Bank menggunakan Agensi
Penagih Hutang yang melawan hukum, dapat
diartikan bahwa negara tidak memberikan
perlindungan hukum bagi nasabah.
Perlu dipahami bahwa munculnya nasabah yang
kreditnya terkategori “diragukan” atau “macet”,
dapat ditafsirkan sebagai fenomena dimana Bank
tidak mampu menganalisis kemampuan
membayar calon nasabahnya sendiri. Hal demikian
juga merupakan pelanggaran salah satu prinsip
dalam dunia perbankan yakni prinsip kehati-
hatian yang diatur dalam Pasal 29 Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dalam
penjelasannya mengandung makna bahwa “bank
wajib memiliki dan menerapkan sistem
pengawasan intern dalam rangka menjamin
terlaksananya proses pengambilan keputusan
dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan
prinsip kehati-hatian.” Perbuatan Bank dalam
menggunakan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut didasarkan bukan pada aspek rasio,
melainkan pada aspek emosional pimpinan Bank
yang menganggap sudah tidak memiliki metode
lain dalam penagihan kredit dengan kolektabilitas
diragukan atau macet.
2.��� Pembahasan
Dalam ilmu hukum pidana yang berkembang saat
ini, baik dimensi nasional ataupun dimensi global
telah menunjukkan perkembangan untuk
memperluas subjek tindak pidana yang tidak
sebatas individu, melainkan juga korporasi.
Braithwaite menjelaskan bahwa urgensi memidana
korporasi (dalam hal ini Bank) karena motivasi
tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi bukan
bertujuan untuk kepentingan pribadi, melainkan
untuk mencari keuntungan korporasi melalui
seperangkat kebijakan yang dirumuskan
pimpinannya (Rufinus (2013: 3)).
Pemidanaan terhadap korporasi diperlukan dalam
rangka memberikan efek jera bagi korporasi yang
melakukan kejahatan (Fuady, (2013:197)).
Friedman berpandangan bahwa pemidanaan
terhadap korporasi tidak dilihat sebagai akibat
dari kerugian personal dan banyaknya kasus
kejahatan yang dilakukan korporasi, melainkan
pemindaan terhadap korporasi dilihat sebagai
penghinaan publik dan stigma yang melekat pada
perbuatan yang didakwakan terhadapnya (Dwidja
(2002:4). Landasan teoritis yang dapat
dipergunakan dari argumentasi demikian dibagi
dalam dua aspek yakni landasan korporasi sebagai
subjek hukum dan landasan pertanggungjawabaan
pidana korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum
didasarkan pada teori organ yang mendalilkan
perbuatan pengurus atau pegawai korporasi (bank)
dipersamakan dengan perbuatan korporasi itu
sendiri (Setiyono (2013:63)).
Dalil mengenai pembenar pertanggungjawaban
pidana korporasi dapat ditemukan melalui teori
imputasi dari Nina H.B. Jorgensen bahwa korporasi
bertanggungjawab atas perbuatan dan kesalahan
dari pelayannya yang bertindak atas nama
korporasi (Nyoman (2014: 25)). Teori ini dikenal
39
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
juga dengan nama lain The Doctrine of Respondeat
Superior atau Vicarious Liability, doktrin klasik
yang berasal dari pengadilan Inggris dan Perancis
yang mengatur bahwa perbuatan dari seorang
bawahan akan dikaitkan dengan korporasi dimana
bawahan itu bekerja (Muladi dan Dyah (2013:
16)). Bahkan di Amerika, doktrin ini berkembang
dengan melepaskan diri dari mens rea atau sikap
batin jahat sehingga tidak dibutuhkan jawaban
atas pertanyaan apakah korporasi memiliki sikap
batin jahat yang penting adalah unsur si pegawai
bekerja dalam lingkup pekerjaannya (Muladi dan
Dyah (2013: 16)). Model Amerika demikian
dinamakan sebagai strict liability.
Agensi Penagih Hutang sebagai pihak ketiga yang
mengurusi urusan penyelesaian kredit bermasalah,
bekerja berdasarkan perintah bank selaku
korporasi. Hubungan demikian menjadikan setiap
tindakan Agensi ini yang berkaitan dengan tugas
penagihan menjadi tanggung jawab Bank,
termasuk bila Agensi ini melakukan tindak pidana
dalam penagihan tersebut. Berdasarkan apa yang
dialami Irzen Octa dan Muji Harjo, Agensi memiliki
kecenderungan melakukan segala macam cara
yang digunakan untuk menagih. Hal demikian
terlalu berisiko hukum bagi Bank, Bank seyogyanya
berkenan mempergunakan sarana penyelamatan
kredit yang telah ditentukan Pasal 1 angka 25
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005
tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
yakni restrukturisasi. Restrukturisasi adalah upaya
perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan
perkreditan terhadap debitur yang mengalami
kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang
dilakukan antara lain melalui:
a.��� Penurunan suku bunga Kredit;
b.��� Perpanjangan jangka waktu Kredit;
c.��� Pengurangan tunggakan bunga Kredit;
d.��� Pengurangan tunggakan pokok Kredit;
e.��� Penambahan fasilitas Kredit; dan atau
f.��� Konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal
Sementara.
Ketentuan pertanggungjawaban pidana bagi bank
yang menggunakan Agensi Penagih Hutang yang
melawan hukum perlu dilakukan pembaharuan
melalui kriminalisasi. Kriminalisasi merupakan
tindakan atau penetapan penguasa mengenai
perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh
masyarakat atau golongan-golongan masyarakat
dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana
menjadi perbuatan pidana (Soerjono (1981:62)).
Perbuatan yang sepatutnya dapat dipidana atau
dikriminalisasikan pada umumnya adalah perbuatan
yang dipandang merugikan atau membahayakan
suatu kepentingan hukum (Fitriana (2007:161).
Menurut Sudarto kiranya perlu dipenuhi beberapa
syarat dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan,
yakni: (Sudarto (1977:44)
a.��� Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk
menanggulangi kejahatan dan mengadakan
pengugeran terhadap tindakan
penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b.��� Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah
atau ditanggulangi dengan hukum pidana
harus merupakan “perbuatan yang tidak
dikehendaki” yaitu perbuatan yang
mendatangkan kerugian (materiil dan atau
spirituil) atas warga masyarakat.
c.��� Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”
(cost – benefit principle).
d.��� Penggunaan hukum pidana harus pula
memperhatikan kapasitas atau kemampuan
daya kerja dari badan-badan penegak hukum,
yaitu jangan sampai ada kelampauan beban
tugas (overblsating).
Kriminalisasi demikian diperlukan karena
penggunaan kekerasan dalam menagih kredit
bermasalah merupakan suatu kejahatan sehingga
dengan sendirinya merupakan suatu perbuatan
tercela. Terhadap perbuatan demikian, aparat
penegak hukum tidak akan mengalami kesulitan
dalam menindak, sehubungan dengan perbuatan
demikian sudah terkategori sebagai tindak pidana
40
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
dalam KUHP, hanya saja KUHP tidak diberlakukan
terhadap korporasi. Sehubungan dengan kejahatan
demikian bukan hal baru maka dapat predikisi
bahwa kriminalisasi ini akan efektif ditegakkan
oleh penegak hukum. Hal penting lainnya dalam
kriminalisasi ini adalah tidak membatasi kriminalisasi
terhadap bidang kartu kredit, melainkan ditujukan
terhadap kredit secara umum. Contoh dalam hal
ini adalah pengambilan secara sepihak kendaraan
yang pembayaran kreditnya bermasalah atau
pengusiran secara sepihak penghuni rumah yang
pembayaran kreditnya bermasalah .
Beberapa kejahatan yang sering dilakukan dan
telah ada pengaturannya dalam KUHP adalah
penganiayaan (Pasal 351 ayat (1), (2), (3)),
penganiayaan berat dan penganiayaan yang
mengakibatkan matinya orang lain (Pasal 354 ayat
(1), (2)), pencurian dengan kekerasan (Pasal 365
ayat (1), (2), (3), (4)), pemerasan (Pasal 368),
pengancaman (pasal 369), penyerangan dengan
tenaga bersama terhadap orang atau barang
(Pasal 170 ayat (1), (2)). Penanggulangan kejahatan
korporasi semacam ini, diprediksi akan efektif
dilaksanakan karena kejahatan yang dilakukan
oleh Agensi Penagih Hutang bukanlah kejahatan
baru. Dengan kata lain, aparat penegak hukum
sudah berpengalaman dalam menangani berbagai
kejahatan yang mengancam harta benda dan
nyawa masyarakat.
Salah satu negara di dunia yang memiliki undang-
undang khusus dalam penagihan yang dilakukan
oleh Agensi Penagih Hutang adalah Inggris melalui
Fair Debt Collection Act. Inggris merumuskan
undang-undang demikian karena terdapat bukti
bahwa adanya penggunaan praktek-praktek
penagihan hutang yang tidak wajar, penuh tipu
daya dan kasar oleh pada debt collector. Praktek
demikian memberikan dampak terhadap
kebangkrutan personal, terganggunya perkawinan,
kehilangan pekerjaan, dan serangan terhadap
privasi individu (Masrudi (2013: 112)). Article 186
Fair Debt Collection Act memberikan batasan
terhadap Agensi Penagih Hutang agar tidak
melakukan tindakan berikut:
a.��� The use of threat of use of violence or other
criminal means to harm rhe physical person,
reputation, or property of any person,
b.��� The use of obsence of profane language or
language the natural consequence of which
is to abuse the hearer or reader,
c.��� The publication of a list of consumers who
allgedly refuse to pay debts, except to a
consumer reporting agency or to persons
meeting the requirements of section 603(f) or
604(3) 1 of this act,
d.��� The advertisement for sale of any debt to
coerce payment of the debt,
e.��� Causing a telephone to ring or enganging any
person in telephone conversation repeatedly
or continuously with intent to annoy, abuse,
or harass any person at the called number.
D.��� PENUTUP
1.��� Pertanggungjawaban pidana Bank atas tindakan
Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum
pada saat ini belum memiliki pengaturan sebagai
tindak pidana. Bank tidak dapat dipertanggung-
jawabkan secara pidana di hadapan pengadilan
atas tindakan demikian, sekalipun perbuatan
demikian secara nyata terjadi dan menyebabkan
keresahan bagi masyarakat sehingga mengganggu
kondusifitas perbankan.
2.��� Pertanggungjawaban pidana Bank atas tindakan
Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum
pada saat yang akan datang, perlu dilakukan
kriminalisasi yang tidak terbatas pada persoalan
penagihan kartu kredit, melainkan terhadap setiap
produk kredit perbankan. Indonesia perlu memiliki
undang-undang pidana yang mengatur penagihan
kredit secara melawan hukum seperti Fair Debt
Collection Act di Inggris, urgensinya untuk
membuat Agensi Penagih Hutang menahan diri
terhadap penagihan yang bernuansa kriminal
dalam rangka menciptakan iklim perbankan yang
kondusif.
41
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
42
Buku:
Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana.
Hotmaulana Hutauruk, Rufinus, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Perdekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Loqman, Loebby, 2002, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta: Datacom
Muchtar, Masrudi, 2013, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana, Yogyakarta, Aswaja Pressindo.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni.
Muladi dan Dyah Sulistyani, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), Bandung, Alumni.
Najih, Muhammad, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Malang, Trans Publisher.
Nawawi Arief, Barda, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.
Permana, Heru, 2011, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atman Jaya.
Priyatno, Dwidja, Jenis-Jenis Sanksi (Pidana) yang Dapat Dijatuhkan terhadap Korporasi, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 7, No. 1, Maret 2002, Bandung, STHB.
Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2014, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang, Badan Penerbit Undip.
Setiyono, 2013, Teori-Teori dan Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawbaan Pidana Korporasi, Malang, Bayumedia Publishing.
Soekanto, Soerjono 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Semarang, Yayasan Sudarto.
Suyatno, Thomas, 1988, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.
Artikel Ilmiah
Kukuh Wijatmoko, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Bank Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Debt Collector ���Dalam Penagihan Kredit Bermasalah (Skripsi), Purwokerto, Fakultas Hukum Unsoed.
Muladi, 2004, Corporate Criminal Liability (Makalah), Semarang: Universitas Diponegoro.
Murniati, Fitriana, 2007, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi Dalam Bidang Kesehatan Di Indonesia (Tesis), Semarang, Magister Ilmu Hukum Undip.
DAFTAR PUSTAKA
A.��� PENDAHULUAN
Di masa kini, kekuatan ide/gagasan lebih menonjol
dibandingkan kekuatan materi dan kekuasaan.
Ide cerdas yang terwujud dalam bentuk ciptaan baru,
inovasi baru dan desain baru, dalam banyak kasus
justru lebih efektif mengubah peradaban umat
manusia. Sejarah dunia membuktikan betapa dahsyat
peran individu-individu yang kreatif dan inovatif dalam
mengubah arah peradaban. Hal inilah yang mendorong
negara-negara maju sangat peduli terhadap HKI dan
ekonomi kreatif.
Ekonomi kreatif diyakini akan menjadi sektor andalan
ekonomi dunia di masa depan, setelah era ekonomi
pertanian, ekonomi perdagangan, ekonomi industri,
dan ekonomi informasi. Negara industri maju sudah
menyadari pentingnya pengembangan ekonomi kreatif
sehingga memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan
kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan membuat
regulasi perlindungan HKI. Sejumlah insentif dan
dukungan anggaran negara pun diberikan kepada
para pelaku ekonomi kreatif agar mampu bersaing
di pasar global.
Presiden Joko Widodo telah membentuk lembaga
negara setingkat menteri bernama Badan Ekonomi
Kreatif (BEKRAF) yang khusus menangani ekonomi
kreatif, sebab ke-16 sub-sektor ekonomi kreatif
tersebar di banyak kementerian dan lembaga
pemerintah/swasta. Pembentukan badan khusus ini
43
PEMANFAATAN HAK CIPTA SEBAGAI JAMINAN KREDIT
Disusun oleh:
Iswi Hariyani1, Cita Yustisia2
Abstract���
Today, Copy Right in Indonesia have been utilized as debt collateral based on Copy Right Act number 28 year
2014. Refer to section 16 of UU 28/2014, Copy Right can be utilized as debt collateral by Fiduciary scheme. Besides that,
Copy Right also can be utilized as debt collateral by Pawning scheme. This research examine utilization of the
Intellectual Property Right especially Copy Right as the debt collateral by Fiduciary scheme.
Key words : copy right, collateral, debt, pawning, fiduciary
Abstrak���
Saat ini, hak cipta di Indonesia telah dapat dijadikan jaminan utang berdasarkan UU Hak Cipta terbaru (UU
28/2014). Merujuk Pasal 16 UU tersebut, hak cipta dapat dijadikan jaminan utang melalui skema Fidusia. Hak cipta
sebenarnya juga dapat dijadikan jaminan utang melalui skema Gadai. Penelitian ini membahas pemanfaatan Hak Kekayaan
Intelektual (HKI) khususnya hak cipta sebagai jaminan utang melalui skema Fidusia.
1��� Iswi Hariyani, SH, MH adalah Dosen Jurusan Perdata Fakultas Hukum Universitas Jember.
2��� Cita Yustisia Serfiyani, SH, MH, adalah Mahasiswa S-3 Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya.
dinilai lebih tepat dibandingkan memasukkan ekonomi
kreatif ke dalam Kementerian Pariwisata.
Saat ini ekonomi kreatif menjadi sektor strategis dalam
pembangunan nasional karena sektor ini berhasil
menyumbang 7% PDB Indonesia. Ekonomi kreatif
berhasil menyerap 11,8 juta orang tenaga kerja atau
setara dengan 10,72% dari total tenaga kerja nasional.
Sektor unggulan baru ini juga sukses mendulang
devisa negara hingga Rp119 triliun atau setara 5,72%
dari total ekspor nasional.3
Pada tahun 2013, ekonomi kreatif Indonesia berhasil
tumbuh 5,76%, sementara pertumbuhan ekonomi
nasional berada di angka 5,74%. Kini ada 5.420
perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi kreatif
atau 9,48% dari total perusahaan di Indonesia.
Dengan dorongan kuat dari Presiden Joko Widodo,
kita pantas berharap ekonomi kreatif Indonesia akan
tumbuh lebih pesat, sehingga tidak kalah dengan
sesama negara Asia seperti Korea Selatan, India,
Jepang, China, Hongkong, dan Taiwan yang industri
kreatifnya lebih dulu mampu menembus pasar global.4
Dalam setahun terakhir (2015-2016), ekonomi kreatif
telah menyumbang Rp642 triliun atau 7,05% dari
total PDB Indonesia. Saat ini baru tiga subsektor yang
memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan
ekonomi kreatif yaitu kuliner sebesar 32,4%, fesyen
27,9%, dan kerajinan 14,88%. Pada tahun 2019,
pemerintah menargetkan kontribusi ekonomi kreatif
bisa mencapai 12%.5
Meskipun menggembirakan namun perkembangan
ekonomi kreatif nasional masih kalah dibandingkan
negara tetangga Malaysia dan Singapura. Kontribusi
ekonomi kreatif Indonesia terhadap ekonomi kreatif
global baru mencapai 0,68%, sementara Malaysia
0,98%, dan Singapura 1,69%. Pemerintah
menargetkan dalam kurun waktu 5 – 10 tahun ke
depan ekonomi kreatif Indonesia dapat menyumbang
7,5 – 8% terhadap PDB nasional dan menumbuhkan
lapangan kerja 1 – 2% per tahun. Target ini sebenarnya
masih jauh dibandingkan kontribusi sektor ekonomi
kreatif di negara-negara maju yang saat ini mencapai
30% dari PDB.
B.��� PERAN HKI DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR
EKONOMI KREATIF
Ekonomi kreatif tidak dapat dilepaskan dari investasi
HKI. Ekonomi kreatif adalah sektor ekonomi yang
sangat mengandalkan SDM yang kreatif dan inovatif.
Kreatif artinya memiliki daya cipta, sedangkan inovatif
artinya mampu menemukan inovasi teknologi atau
desain baru. Kreatifitas manusia di bidang ilmu
pengetahuan, seni dan sastra dilindungi HKI berbentuk
hak cipta. Sedangkan inovasi dilindungi HKI berbentuk
Hak Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak
Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang, dan
Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).
Ekonomi kreatif dan HKI juga berkaitan dengan
waralaba (franchise). Para pelaku ekonomi kreatif
adalah juga pemilik HKI yang dapat mengembangkan
usahanya melalui format bisnis waralaba. Pemilik HKI
(pencipta, penemu, pendesain) memiliki hak eksklusif
untuk memanfaatkan sendiri HKI-nya atau mengajak
pihak lain bekerja sama dalam bentuk perjanjian lisensi
atau perjanjian waralaba. Pemilihan format bisnis
waralaba saat ini sudah jamak dilakukan di berbagai
subsektor ekonomi kreatif seperti kuliner, musik, film,
fotografi, seni pertunjukan, acara televisi, gim (games),
jasa komputer, percetakan, hingga litbang (penelitian
dan pengembangan).6
44
3��� Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, “Buku Pintar Investasi Ekonomi Kreatif”, Penerbit Andi, Yogyakarta.
4��� Ibid.
5��� Dikutip dan diedit dari berita “Dari 16 Subsektor Ekonomi Kreatif, Baru 3 yang Berkembang”, Selasa, 15 Maret 2016, Majalah Tempo (m.tempo.co).
6��� Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, “Franchise Top Secret : Ramuan Sukses Bisnis Waralaba Sepanjang Masa”, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
HKI dapat berwujud tiga macam, yaitu:
1.��� HKI milik privat (hak cipta, paten, merek, desain
industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST),
rahasia dagang, Perlindungan Varietas Tanaman
(PVT)).
2.��� HKI milik publik yaitu warisan budaya (cagar
budaya, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya
lokal, sumberdaya genetika).
3.��� HKI milik komunitas (indikasi geografis dan indikasi
asal).7
Investasi ekonomi kreatif saat ini dibagi dalam 16
subsektor yaitu: aplikasi dan pengembangan game,
arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual,
desain produk, fesyen, film, animasi video, fotografi,
kriya (kerajinan tangan), kuliner, musik, penerbitan,
periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televise, dan
radio.
Investasi HKI, warisan budaya, waralaba, dan ekonomi
kreatif dapat dilakukan oleh perorangan, komunitas
(kelompok masyarakat), perusahaan swasta, BUMN,
BUMD, pemerintah pusat/daerah, lembaga negara,
lembaga swasta (yayasan, perkumpulan, koperasi),
media massa, sekolah/universitas, dan lembaga
penelitian. Sedangkan investasi waralaba umumnya
dilakukan oleh perorangan dan perusahaan swasta.
Kemajuan ekonomi kreatif masih terhalang masalah
pendanaan. Meskipun ekonomi kreatif berawal dari
ide namun diperlukan dana untuk mewujudkan ide
menjadi nyata, apalagi pelaku ekonomi kreatif
didominasi oleh perseorangan dan UMKM. Pemerintah
telah mencoba menyusun berbagai macam cara
pendanaan untuk mendukung kemajuan ekonomi
kreatif, antara lain pemberian kredit perbankan dengan
menggunakan sertifikat HKI sebagai jaminan kredit
dan sekuritisasi HKI. Kedua cara itu hanya bisa
dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif yang karyanya
telah terwujud dan memiliki sertifikat HKI, namun
tidak bisa membantu pelaku ekonomi kreatif yang
karyanya masih dalam tahap blueprint dan belum
terwujud.
Untuk karya yang belum terwujud, dapat didanai
melalui skema crowdfunding. Crowdfunding berakar
dari konsep crowdsourcing yang memanfaatkan
"kerumunan" orang untuk memberikan umpan balik
dan solusi bagi pengembangan usaha rintisan (start-
up). Dalam crowdfunding, tujuannya adalah
mengumpulkan dana yang dilakukan dengan
menggunakan jaringan media sosial (Twitter, Facebook,
LinkedIn, dan situs blogging). Tujuan utama
crowdfunding adalah memberikan alternatif bagi
pengusaha industri kreatif untuk memperoleh
pendanaan.8
C.��� PEMANFAATAN HAK CIPTA SEBAGAI JAMINAN
KREDIT
Perlindungan hukum terhadap HKI saat ini telah
menjadi perhatian utama banyak negara di dunia,
khususnya negara industri maju seperti Amerika
Serikat, Inggris, Korea Selatan, dan Jepang. Mereka
memiliki kepentingan melindungi hasil ekspor
negaranya khususnya produk-produk industri kreatif
berbasis HKI.
Menurut Ignatius Haryanto (2002) dari data ekspor
Amerika Serikat tahun 1997 tampak industri berbasis
hak cipta telah berhasil menduduki peringkat pertama,
mengalahkan ekspor produk kimia, otomotif,
pertanian, peralatan dan komponen elektronik,
manufaktur pesawat udara, komputer, dan lain-lain.9
Berdasarkan data tersebut maka wajar jika Amerika
Serikat termasuk negara yang paling gencar
mendorong perlindungan HKI di dunia internasional.
45
7��� Cita Yustisia Serfiyani, Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2016, “Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya”, Penerbit UGM Press, Yogyakarta.
8��� Paul Belleflame, dkk., 2010. Crowdfunding: An Industrial Organization Perspective, dipublikasikan di seminar workshop “Digital Business Models: Understanding Strategies', h. 1 – 2.
9��� Ignatius Haryanto, 2002, “Penghisapan Rezim HAKI”, Penerbit debt- ���Watch Indonesia dan Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal.22-23.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Banyak negara di dunia kini mulai menyadari peran
penting pengembangan industri kreatif berbasis HKI
karena beberapa alasan: (a) industri kreatif tidak
bergantung kepada sumber daya alam, (b) industri
kreatif bersifat terbarukan, (c) industri kreatif dapat
menjadi sumber devisa utama, (d) industri kreatif
dapat memberi nilai tambah terhadap produk barang
dan jasa, (e) industri kreatif dapat mengangkat citra
dan harga diri bangsa, (f) industri kreatif tergolong
industri yang bersih karena tidak mengotori
lingkungan, (g) industri kreatif mampu menyerap
banyak tenaga kerja, (h) industri kreatif dapat
mendorong semangat kreatifitas anak bangsa, dan
(i) industri kreatif dapat digunakan untuk
menanamkan nilai-nilai moral bangsa.10
Guna mengantisipasi hal-hal tersebut di atas,
diperlukan terobosan hukum guna menjadikan obyek
HKI sebagai jaminan kredit, sehingga para pemilik
HKI dapat semakin mudah mengakses kredit dan
pembiayaan untuk memajukan usahanya.
Industri kreatif di Indonesia sejak era reformasi mulai
berkembang pesat. Contoh, novel dan film tetralogi
“Laskar Pelangi” mampu menghasilkan royalti besar
bagi penciptanya (Andrea Hirata) hingga miliaran
Rupiah. Begitu pula di industri hiburan tanah air
(musik, film, televisi), kita pun kini semakin jamak
menemukan “orang-orang kaya baru” dengan aset
puluhan miliar rupiah berkat karya kreatifnya.
Lukisan karya pelukis muda I Nyoman Masriadi berjudul
“The Man from Bantul – Final Round” bahkan mampu
terjual hingga Rp10 miliar di Hong Kong pada tahun
2008. Saat ini banyak orang kaya dan perusahaan
besar yang rela membeli lukisan dan patung sebagai
salah satu cara menyimpan aset. Lukisan Masriadi
yang awalnya hanya berharga puluhan juta rupiah
kini telah melonjak menjadi puluhan miliar. Hal ini
membuktikan bahwa investasi lukisan bisa jauh lebih
menguntungkan. Semakin maju suatu negara, semakin
besar pula penghargaan masyarakat terhadap karya
cipta.
HKI, khususnya hak cipta, saat ini telah dapat dijadikan
sebagai jaminan utang atau jaminan kredit berdasarkan
UU Hak Cipta terbaru (UU 28/2014). Dalam Pasal 16
ayat (3) dan (4) UU 28/2014 dinyatakan bahwa hak
cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak cipta saat
ini dapat dijadikan sebagai obyek jaminan utang
dengan skema jaminan fidusia sesuai UU Fidusia (UU
42/1999). Sedangkan pemanfaatan hak cipta sebagai
jaminan kredit perbankan masih harus menunggu
keluarnya revisi peraturan Bank Indonesia atau
peraturan otoritas yang berwenang mengenai agunan
kredit perbankan.
Hak cipta sesungguhnya juga bisa dijadikan obyek
jaminan gadai, selain fidusia. Obyek hak cipta ada
yang bersifat benda (tangible) dan tak-benda
(intangible). Kebanyakan hak cipta bersifat tak-benda
(intangible) sehingga lebih tepat dijadikan obyek
jaminan fidusia. Namun ada pula hak cipta yang
bersifat benda (tangible) seperti lukisan atau patung
yang bisa dijadikan obyek jaminan fidusia dan gadai.
Hingga saat ini, bentuk-bentuk agunan kredit yang
diakui Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian
Kualitas Aset Bank Umum, Pasal 43, meliputi :
1.��� Surat Berharga dan saham yang aktif
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau
memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;
2.��� tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat
dengan hak tanggungan;
3.��� mesin yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah yang diikat dengan hak tanggungan;
4.��� pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di
atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan
hipotek;
46
10��� Iswi Hariyani, 2010, “Prosedur Mengurus HAKI”, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.13.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
5.��� kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat
secara fidusia; dan/atau
6.��� resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas
resi gudang.
Pengikatan agunan melalui hak tanggungan
berdasarkan UU 4/1996, hanya ditujukan untuk obyek
tidak bergerak yaitu agunan berbentuk tanah, gedung,
dan rumah tinggal. Pengikatan jaminan gadai diatur
dalam KUH Perdata Pasal 1150 hingga Pasal 1160,
dan dipakai untuk obyek agunan berbentuk surat
berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di
Bursa Efek Indonesia atau memiliki peringkat investasi.
Pengikatan jaminan fidusia diatur berdasarkan UU
42/1999 tentang Jaminan Fidusia, dan dipakai untuk
obyek bergerak yaitu agunan berbentuk kendaraan
bermotor dan barang persediaan (inventory).
Pengikatan hak jaminan atas resi gudang diatur
berdasarkan UU 9/2006 jo. UU 9/2011 tentang Sistem
Resi Gudang, dan khusus diperuntukkan bagi obyek
agunan berupa hasil pertanian, perkebunan, dan
perikanan. Pengikatan hipotek diatur berdasarkan
UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 1/2009 tentang
Penerbangan, serta hanya diperuntukkan bagi obyek
agunan berupa kapal laut dan/atau pesawat udara
dengan ukuran di atas 20 meter kubik.
Pemberian kredit bank di samping harus didasarkan
perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus
diikuti perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan
(accessoir). Pemberlakuan perjanjian jaminan
mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya.
Perjanjian jaminan berkaitan dengan pengikatan
jaminan kredit atau agunan kredit yang pada
umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat
baku dan bersifat eksekutorial.
Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung
konsekuensi jika debitor wanprestasi (ingkar janji)
maka bank langsung dapat mengajukan permohonan
eksekusi agunan via Pengadilan Negeri, tanpa harus
melalui proses peradilan biasa yang panjang dan
berbelit-belit. Perjanjian jaminan dibuat pihak bank
47
Pengikatan Dasar HukumNo. Jenis Agunan
Gadai
Hak Tanggungan
Hak Tanggungan
Hipotek
Fidusia
Hak Jaminan atas Resi Gudang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Surat Berharga dan Saham yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau yang memiliki peringkat investasi
Tanah, Gedung, Rumah Tinggal
Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan Tanah
Pesawat Udara/Kapal Laut ukuran di atas 20 meter kubik
Kendaraan Bermotor dan Persediaan (Inventory)
Resi Gudang (Warehouse Receipt)
KUH Perdata Pasal 1150 - 1160
UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan
UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan
UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 1/2009 tentang Penerbangan
UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia
UU 9/2006 jo UU 9/2011 tentang Sistem Resi Gudang
Tabel : Jenis Agunan Kredit yang Diakui Bank Indonesia sesuai Pasal 48 PBI No. 9/6/PBI/2007
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan prinsip
kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak
ada jaminan pengembalian kredit secara utuh.
Pengertian “agunan” menurut UU 10/1998 tentang
Perbankan, Pasal 1 angka 23, adalah “jaminan
tambahan” yang diserahkan nasabah debitur kepada
bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam
praktek perbankan, agunan atau ”jaminan tambahan”
lebih diutamakan dibandingkan ”jaminan pokok”
yaitu ”keyakinan bank” atas kemampuan debitur
untuk melunasi utang sesuai perjanjian.
Bentuk agunan, sesuai Penjelasan Pasal 8 UU 10/1998,
dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih
yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.
Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum
adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa
girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga
digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta
agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung
dengan objek yang dibiayai yang lazim dikenal dengan
agunan tambahan.
D.��� PENGIKATAN HAK CIPTA MELALUI SKEMA
JAMINAN FIDUSIA
Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU 28/2014 tentang
Hak Cipta dapat disimpulkan bahwa hak cipta kini
telah dapat dijadikan jaminan utang dengan
menggunakan skema jaminan fidusia. Namun sayang
ketentuan semacam ini hingga kini belum diberlakukan
terhadap HKI selain hak cipta, meskipun semua jenis
HKI pada prinsipnya bisa dijadikan jaminan utang
dengan skema jaminan fidusia.
“Fidusia” adalah pengalihan hak kepemilikan suatu
benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan
tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
“Jaminan Fidusia” adalah hak jaminan atas benda
bergerak yang berwujud maupun tidak bewujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.11
Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan hak
cipta dapat dijadikan obyek jaminan fidusia karena
hak cipta tergolong benda bergerak yang tidak
berwujud nyata (immaterial). Disamping itu, hak cipta
juga dapat dialihkan, baik seluruhnya atau sebagian,
karena sebab: pewarisan, hibah, wakaf, wasiat,
perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang
dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Meskipun sertifikat hak cipta dipegang oleh kreditor
(bank), tetapi obyek jaminan (yaitu hak cipta yang
berwujud tak-benda) tetap berada di tangan debitor
(selaku pencipta), sehingga debitor masih bisa
melaksanakan hak eksklusif (misal: membuat perjanjian
lisensi atau perjanjian waralaba) asalkan dengan seijin
kreditor (bank).
Salah satu sebab pengalihan hak cipta adalah karena
“sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan”. sebab-sebab lain tersebut,
misalnya, adanya pengalihan hak cipta karena
terjadinya kepailitan yang menimpa pemilik dan
pemegang hak cipta. Sesuai UU 37/2004 tentang
Kepailitan dan PKPU, semua harta milik debitor pailit
dapat dialihkan kepada kreditor, khususnya kreditor
yang memiliki hak preferen.
Sebab-sebab lain tersebut juga bisa terjadi berkaitan
dengan adanya penjaminan hak cipta melalui jaminan
fidusia. artinya, jika debitor (pemilik dan pemegang
hak cipta) wanprestasi maka pihak kreditor (bank)
dapat mengeksekusi dan mengalihkan hak atas obyek
jaminan hak cipta tersebut.
48
12��� Lihat Pasal 1 angka 1 dan 2 UU 42/1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Karena hak cipta bisa bersifat tak-benda (intangible)
dan tak-nyata (immaterial), maka diperlukan
pengakuan negara dalam bentuk sertifikat hak cipta.
Sertifikat inilah yang dijadikan obyek jaminan fidusia.
Karena sertifikat hak cipta belum memiliki “nilai
ekonomi” maka kreditor (bank) juga dapat meminta
pengikatan atas perjanjian lisensi/perjanjian waralaba
yang dibuat oleh pemilik hak cipta.
Melalui perjanjian lisensi/waralaba, pemilik dan
pemegang hak cipta mendapatkan penghasilan nyata
berupa royalti. Dari sudut pandang UU Perbankan
(UU 10/1998), sertifikat hak cipta dapat digolongkan
sebagai agunan pokok, sedangkan perjanjian
lisensi/waralaba dapat digolongkan sebagai agunan
tambahan.
Kecuali diperjanjikan lain, jaminan fidusia dapat
meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia. Jaminan Fidusia juga dapat meliputi klaim
asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan
fidusia diasuransikan.12 Berdasarkan ketentuan ini
maka hak cipta yang dijadikan obyek jaminan fidusia
dapat juga termasuk perjanjian lisensi dan penghasilan
royalti yang diterima pemilik hak cipta. Tentu saja hal
ini harus disebutkan secara jelas dalam perjanjian
jaminan.
Sebelum ada UU 42/ 1999 tentang Jaminan Fidusia,
benda yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia
pada umumnya adalah benda bergerak yang terdiri
dari benda dalam persediaan (inventory), benda
dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan
bermotor. Jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia
sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk
jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan
fidusia digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-
meminjam karena proses pembebanannya dianggap
sederhana, mudah, dan cepat, meskipun pada masa
itu belum didukung kepastian hukum yang kuat.
Lembaga jaminan fidusia memungkinkan para pemberi
fidusia (debitor) untuk menguasai benda yang
dijaminkan, dan melakukan kegiatan usaha yang
dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan
fidusia. Pada awalnya, obyek jaminan fidusia terbatas
pada kekayaan berupa benda bergerak yang berwujud
peralatan. Dalam perkembangan lebih lanjut, obyek
jaminan fidusia juga termasuk kekayaan berupa benda
bergerak yang tidak berwujud maupun benda tidak
bergerak.
UU 42/1999 juga mengatur pendaftaran jaminan
fidusia untuk memberikan jaminan dan kepastian
hukum kepada pihak yang berkepentingan, serta
memberikan hak preferen kepada penerima fidusia
terhadap kreditor lain. Selanjutnya, eksekusi jaminan
fidusia diatur dalam Pasal 29 UU 42/1999, yaitu jika
debitor wanprestasi (ingkar janji) maka pihak kreditor
(bank) dapat mengeksekusi obyek jaminan fidusia
dengan tiga cara: (a) mengajukan permohonan
eksekusi melalui fiat/penetapan Ketua Pengadilan
Negeri, (b) melaksanakan eksekusi tanpa fiat Ketua
Pengadilan Negeri atau yang lazim dikenal sebagai
“parate eksekusi”, dan (c) melakukan “penjualan di
bawah tangan” untuk mendapatkan harga tertinggi.
Hak cipta meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni
dan sastra. Obyek hak cipta kebanyakan berwujud
tak-benda dan tak-nyata (seperti musik, film, novel,
games, dan lain-lain). Obyek hak cipta seperti ini
dapat diikat dengan jaminan fidusia meliputi: (a)
sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dan (b)
perjanjian lisensi atau perjanjian waralaba yang dapat
menghasilkan royalti (sebagai Agunan Tambahan).
Khusus obyek hak cipta yang bersifat benda dan
nyata (seperti lukisan atau patung), dapat dijadikan
obyek jaminan fidusia dan gadai. Hak cipta atas
lukisan atau patung pada umumnya dialihkan melalui
cara jual-beli putus, bukan melalui perjanjian lisensi
yang menghasilkan royalti. Hal ini menyebabkan
penjaminan atas obyek hak cipta yang berwujud
nyata (seperti lukisan atau patung) jauh lebih mudah.
49
12��� Lihat Pasal 10 UU 42/1999 beserta Penjelasannya.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Pengikatan jaminan fidusia atas hak cipta harus
dibuat berdasarkan akta notaris dan didaftarkan ke
Kantor Pendaftaran Fidusia di bawah Kemenkumham.
Karena sertifikat hak cipta dipegang oleh kreditor,
jika debitor (pemilik hak cipta) hendak melaksanakan
hak eksklusifnya (membuat perjanjian lisensi/perjanjian
waralaba) maka debitor harus terlebih dahulu
mendapatkan ijin dari pihak kreditor (bank).
Jika kemudian debitor (pemilik dan pemegang hak
cipta) melakukan wanprestasi maka kreditor (bank)
dapat melakukan eksekusi agunan berdasarkan
ketentuan Pasal 29 UU 42/1999. Pengalihan hak
cipta akibat eksekusi agunan tidak menghapus hak
moral dari pemilik hak cipta untuk tetap dicantumkan
namanya sebagai pencipta.
E.��� PENUTUP
1.��� Kesimpulan
Hak cipta kebanyakan bersifat tak-benda
(intangible) dan tak-nyata (immaterial) seperti film,
musik, novel, games, dan lain-lain. Hak cipta jenis
ini dapat dijadikan jaminan utang melalui fidusia.
Di sisi lain, hak cipta yang bersifat benda (tangible)
dan nyata (material) seperti lukisan atau patung
dapat dijaminkan via fidusia dan gadai.
Saat ini penjaminan hak cipta hanya bisa dilakukan
melalui skema fidusia sesuai Pasal 16 UU Hak Cipta
terbaru (UU 28/2014). Namun sayang implementasi
aturan ini di perbankan masih terkendala karena
belum ada revisi terhadap Peraturan Bank Indonesia
(PBI) Nomor 14/15/PBI/2012 yang mengatur
tentang agunan kredit bank.
2.��� Saran
Pemerintah dan DPR diharapkan dapat merevisi
UU Hak Cipta, agar hak cipta tidak hanya dapat
dijadikan obyek jaminan fidusia tetapi juga obyek
jaminan gadai. UU HKI selain hak cipta juga perlu
direvisi sehingga semua jenis HKI dapat dijadikan
obyek jaminan utang melalui skema fidusia dan
gadai.
Otoritas yang berwenang perlu merevisi ketentuan
tentang agunan kredit bank dengan memasukkan
Hak Cipta sebagai obyek jaminan kredit sebagai
implementasi Pasal 16 UU Hak Cipta terbaru (UU
28/2014).
50
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Buku Terbitan Nasional :
Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, Franchise Top Seret : Ramuan Sukses Bisnis
Waralaba Sepanjang Masa, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, Buku Pintar Investasi Ekonomi Kreatif, Penerbit
Andi, Yogyakarta.
Cita Yustisia Serfiyani, Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2016, Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya,
Penerbit UGM Press, Yogyakarta.
Ignatius Haryanto, 2002, Penghisapan Rezim HAKI, Penerbit debt-Watch Indonesia dan Kreasi Wacana, Yogyakarta
Iswi Hariyani, 2010, Resi Gudang : Sebagai Jaminan Kredit dan Alat Perdagangan, Penerbit Sinar Grafika (Bumi Aksara
Group), Jakarta.
Iswi Hariyani, 2010, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar, Penerbit Pustaka Yustisia (Media Pressindo Group), Yogyakarta.
Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Penerbit PT Elex Media Komputindo (Gramedia
Group), Jakarta.
Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2010, Bebas Jerat Utang-Piutang, Penerbit Pustaka Yustisia (Media Pressindo
Group), Yogyakarta.
Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2010, Buku Pintar Hukum Bisnis Pasar Modal, Penerbit PT VisiMedia,
Jakarta.
Iswi Hariyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2011, Merger, Konsolidasi, Akuisisi dan Pemisahaan
Perusahaan : Cara Cerdas Mengembangkan dan Memajukan Perusahaan, Penerbit PT VisiMedia, Jakarta.
R Serfianto Dibyo Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas,
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
2951
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Ilmiah Nasional :
Iswi Hariyani, 2009, Hapus Tagih Kredit Macet Debitor UMKM di Bank BUMN Sesuai Mekanisme Korporasi, dalam Buletin ���
Hukum Perbankan dan Kebank-sentralan, Volume 7, Nomor 3, September 2009, Bank Indonesia, hal. 35 – 46.
Iswi Hariyani, 2010, Hari Kekayaan Intelektual Sedunia Ke-10 (26 April 2010) : Menemukan Kembali Jati Diri Bangsa, ���
dalam Media HKI, Vol.VII, No.02, April 2010, Ditjen HKI, Kemenkumham RI, Jakarta, hal.7
Iswi Hariyani, 2010, Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Kredit, dalam Media HKI, Vol. VII, No. 03, Juni 2010,
Ditjen HKI, Kemenkumham RI, hal.12.
Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2015, Peran HKI dalam Pengembangan Waralaba dan Ekonomi Kreatif, Media
HKI, Edisi September dan November 2015, Ditjen HKI, Kemenkumham RI, Jakarta.
Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2015, Perlindungan Hukum Sistem Donation Based Crowdfunding pada Pendanaan
Industri Kreatif di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12 No. 4, Desember 2015, Ditjen Peraturan Perundang-
undangan, Kemenkumham RI, Jakarta.
Undang-Undang dan Peraturan:
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
52
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
1.
2.
18/1/PBI/2016
18/2/PBI/2016
53
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIABESERTA RINGKASAN
PERIODE JANUARI - JUNI 2016
1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan Peraturan Bank Indonesia Nomor18/1/PBI/2016 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015.
2.��� PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan PBI Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah yang mengatur jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali.
3.��� Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi:a.��� Kriteria uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank
Indonesia;b.��� Pemusnahan uang Rupiah dituangkan dalam suatu
berita acara;c.��� Tata cara pemusnahan uang Rupiah;d.��� Informasi jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang
dimusnahkan ditempatkan dalam LNRI secara periodik, yakni 1 (satu) tahun sekali;
e.��� Data uang Rupiah yang dimusnahkan menurut jenis pecahan, jumlah bilyet dan keping dan nilai nominal, serta disajikan per triwulan;
f.��� Periode informasi uang Rupiah yang dimusnahkan adalah tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 yang tercantum dalam lampiran PBI.
4.��� Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 28 Januari 2016.
I.��� Latar belakang dan Tujuan
Pengaturan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara nilai rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah sehingga mitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar menjadi suatu keniscayaan. Hal ini membutuhkan dukungan pasar
Perihal RingkasanNo. Peraturan
54
keuangan yang likuid dan dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Pelaku transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai pemberi dan pemohon, nasabah sebagai pemohon dan Bank Umum Konvensional (BUK) sebagai pemberi transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah.
2.��� Transaksi lindung nilai syariah harus didahului dengan forward agreement atau rangkaian forward agreement. Forward agreement adalah saling berjanji (muwa»adah) untuk melakukan transaksispot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji (saat melakukan forward agreement) dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Apabila forward agreement tidak dipenuhi maka pihak yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi (ta»widh).
3.��� Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemohon dan pemberi transaksi lindung nilai berdasarkan syariah antara lain:a.��� Transaksi lindung nilai syariah tidak boleh dilakukan
untuk tujuan yang bersifat spekulatif sehingga wajib memiliki underlying transaksi.
b.��� Dokumen dari forward agreement juga dilarang untuk diperjualbelikan.
c.��� Nilai nominal transaksi lindung nilai syariah paling banyak sebesar nilai nominal underlying transaksi yang tercantum dalam dokumen underlying transaksi.
d.��� Jangka waktu transaksi lindung nilai syariah paling lama sama dengan jangka waktu underlying transaksi yang tercantum dalam dokumen underlying transaksi.
e.��� Penyelesaian transaksi lindung nilai syariah wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.
f.��� Pembatalan terhadap transaksi lindung nilai syariah yang telah diikuti dengan pemindahan dana wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh.
4.��� Transaksi lindung nilai syariah dilakukan dengan transaksi lindung nilai sederhana («Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau transaksi lindung nilai kompleks («Aqd al Tahawwuth al- Murakkab).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
5.��� Underlying Transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah seluruh kegiatan:a.��� perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar
negeri; dan/ataub.��� investasi berupa direct investment, portfolio
investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri
Namun tidak termasuk: c.��� penempatan dana pada bank antara lain berupa
tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD).
d.��� kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana.
e.��� fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby financing dan undisbursed financing.
I.��� Latar Belakang Pengaturan:
1.��� Kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin baik, khususnya laju inflasi yang terkendali, memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran kebijakan moneter.
2.��� Tantangan dari sisi eksternal yang utamanya bersumber dari kemungkinan kenaikan Suku Bunga Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Funds Rate, FFR) semakin mereda. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang belum solid mengakibatkan perkiraan kenaikan FFR bergeser mundur dengan besaran kenaikan yang lebih rendah.
3.��� Menurunnya tekanan kenaikan FFR yang tidak seagresif perkiraan sebelumnya, juga menurunkan risiko yang mungkin timbul dari keberagaman kebijakan moneter global mengingat beberapa maju di Kawasan Eropa dan Jepang masih menerapkan kebijakan moneter yang longgar melalui quantitative easing (QE). Hal ini karena keberagaman kebijakan moneter dapat mendorong pergeseran likuiditas global yang dapat berdampak pada aliran modal masuk (capital inflows) ke negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia.
4.��� Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang longgar dengan menurunkan BI Rate yang diperkuat dengan penurunan GWM Primer dalam Rupiah yang diharapkan dapat meningkatkan kondisi likuiditas dan kapasitas pembiayaan perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
55
Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
3. 18/3/PBI/2016
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
II.��� Substansi Pengaturan:
1.��� Rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah diturunkan sebesar 1% dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.
2.��� Penurunan rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah sebesar 1% tersebut atas bagian giro yang remunerated. Untuk itu, bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah yang mendapat jasa giro diturunkan dari 2,5% (dua koma lima pesen) menjadi sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. Adapun jasa giro tetap sebesar 2,5% (dua koma lima persen) yang merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate).
3.��� Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi tetap sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 6,5% (enam koma lima persen) berubah menjadi sebesar 5,5% (lima koma lima persen).
I.��� Latar Belakang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank dilakukan dengan mempertimbangkan perlunya harmonisasi pengaturan antar otoritas, namun dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Di samping itu, perubahan juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk tetap mendukung kegiatan pembiayaan dan pengembangan ekspor di Indonesia.
II.��� Pokok-pokok pengaturan mencakup:
1.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Perusahaan Pembiayaan, sepanjang:
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 Tentang Penerapan Prinisip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Hutang Luar Negeri Korporasi Non Bank
4. 18/4/PBI/2016
56
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
a.��� memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan
b.��� memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK.
2.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
3.��� Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 2016.
1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan penyempurnaan atas PBI Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia.
2.��� Penyempurnaan PBI ini dilakukan dalam rangka:a.��� adanya penyempurnaan pelaksanaan setelmen dana
dan pihak yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan
b.��� adanya penyesuaian ketentuan mengenai sanksi atas pemenuhan kewajiban penyediaan dana dalam penyelenggaraan SKNBI.
3.��� Pokok-pokok penyempurnaan dalam PBI ini meliputi:a.��� Penyesuaian prinsip same day settlement dalam rangka
Setelmen Dana dimana pembukuan hasil perhitungan SKNBI oleh Peserta kepada nasabah dilakukan dengan tanggal valuta yang sama dengan tanggal Setelmen Dana yang dilakukan oleh Penyelenggara. Namun demikian, khusus untuk Layanan Pembayaran Reguler, dapat tidak menerapkan prinsip tersebut apabila:1)��� pendebitan rekening nasabah pengirim dilakukan
pada satu hari kerja sebelum tanggal Setelmen Dana; dan
2)��� pengkreditan rekening nasabah penerima dilakukan dengan tanggal yang sama dengan tanggal valuta Setelmen Dana,
3)��� sepanjang terdapat perjanjian antara Peserta pengirim dengan nasabah pengirim.
b.��� Layanan Transfer Dana hanya dapat memproses transfer dana kepada nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta Penerima.
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 Tentang Penyelenggaraan Transfer Dana Dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia
5. 18/5/PBI/2016
57
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
c.��� Penyesuaian sanksi terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan Prefund, yaitu dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 per hari kerja bagi Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund yang dihitung di setiap Prefund layanan dalam SKNBI.
4.��� Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2016.
Latar Belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka mendukung upaya Pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu dilakukan pembatasan terhadap nasabah yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Dengan adanya kebijakan pembatasan tersebut maka transfer dana melalui Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah hanya dapat ditujukan kepada nasabah yang mempunyai rekening di Peserta penerima.
I.��� Latar Belakang dan Tujuan
Dengan telah ditandatanganinya perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas moneter negara lain (BCSA), Bank Indonesia dapat menyelenggarakan transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA (Transaksi) untuk memenuhi kebutuhan valuta asing Bank. Hal tersebut sejalan dengan upaya menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dengan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang tertentu dan mendukung kelancaran pembayaran yang dibutuhkan dalam kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi pada hari kerja melalui mekanisme lelang dan/atau non lelang.
2.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan.
3.��� Persyaratan bagi Bank yang akan mengajukan Transaksi adalah sebagai berikut:
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 Tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika
Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement
6.
7.
18/6/PBI/2016
18/7/PBI/2016
58
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
a.��� termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia; dan
b.��� tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter.
4.��� Pengaturan terkait Underlying Transaksi, yaitu sebagai berikut:a.��� Bank yang mengajukan Transaksi wajib memiliki
Underlying Transaksi dengan nilai nominal pengajuan Transaksi paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi.
b.��� Underlying Transaksi yang digunakan antara lain berupa kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung.
c.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) transaksi.
d.��� Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi.
5.��� Pengaturan terkait pengajuan transaksi, yaitu sebagai berikut:a.��� Pengajuan transaksi dilakukan melalui sarana dealing
system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b.��� Bank dilarang membatalkan transaksi yang telah diajukan.
c.��� Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan transaksi pada hari yang sama untuk masing-masing jangka waktu.
6.��� Dalam rangka penyelesaian kewajiban transaksi, bank wajib menyediakan dana yang cukup, menyediakan surat berharga yang mencukupi, dan/atau melakukan transfer valuta asing yang cukup.
7.��� Bank dilarang melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination).
8.��� Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) apabila Bank yang bersangkutan tidak memenuhi peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia, dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam PBI ini.
9.��� Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar.
59
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
I.��� Latar Belakang dan Tujuan
Sistem keuangan internasional yang semakin terintegrasi telah memudahkan pergerakan arus modal antar negara yang berpengaruh terhadap kondisi likuiditas dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko nilai tukar, perlu dikembangkan aktivitas lindung nilai, antara lain melalui penggunaan instrumen swap.Dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan dalam negeri dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan likuiditas, Bank Indonesia melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan memperluas jenis valuta asing yang dapat ditransaksikan sebagai bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Menambahkan valuta asing selain Dolar Amerika Serikat ke dalam jenis mata uang yang dapat digunakan dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
2.��� Nilai nominal minimum pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai serta kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia melalui sarana informasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan nilai nominal pengajuan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi.
3.��� Penggunaan Underlying Transaksia.��� Underlying Transaksi dengan satu jenis valuta asing
hanya digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
b.��� Underlying Transaksi yang memiliki lebih dari satu jenis valuta asing digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing.
c.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan memiliki lebih dari satu jenis valuta asing untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan lebih dari satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama.
Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 Tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
8. 18/8/PBI/2016
60
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
4. ��� Penggunaan Kurs Spota.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap
Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
b.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah.
5.��� Sanksia.��� Sanksi untuk pelanggaran atas pasal kewajiban
pemenuhan persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, pelanggaran atas pasal kewajiban pemenuhan persyaratan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai, pelanggaran atas pasal kewajiban pemenuhan persyaratan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, dan pelanggaran atas pasal pelarangan terkait penggunaan Underlying Transaksi adalah sebagai berikut:1)��� Teguran tertulis; dan2)��� Kewajiban membayar sebesar 0,1% dari nilai
transaksi, dengan nilai sanksi paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 per transaksi.
Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
b.��� Sanksi untuk pelanggaran atas pasal kewajiban mencantumkan nomor referensi Kontrak Lindung Nilai pada saat perpanjangan transaksi dan pelanggaran atas pasal kelengkapan dokumen adalah berupa sanksi teguran tertulis.
c.��� Sanksi untuk pelanggaran atas kewajiban penyelesaian transaksi (kegagalan setelmen) adalah sebagai berikut:1)��� Teguran tertulis; dan2)��� Kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:
a)��� Rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat.Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing Bank pada Bank Indonesia.
61
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
b)��� Rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.
c)��� Rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di Negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat.Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia dengan konversi nilai ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.
1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang Bank Indonesia yang menegaskan cakupan kewenangan dan fungsi Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah. Selain PBI ini, telah terdapat ketentuan lain yang mengatur kewenangan dan fungsi BI di bidang: a.��� Sistem Pembayaran, antara lain: i) Undang-Undang
tentang Bank Indonesia; ii) Undang-Undang tentang Transfer Dana; iii) Peraturan Bank Indonesia tentang Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu; iv) Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik (Eletronic Money); dan v) Peraturan Bank Indonesia tentang Transfer Dana); dan
b.��� Pengelolaan Uang Rupiah, antara lain: i) Undang-Undang tentang Bank Indonesia; ii) Undang-Undang tentang Mata Uang; dan iii) PBI tentang Pengelolaan Uang Rupiah.
2.��� PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter melalui Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal; Pengelolaan Uang Rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah
Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah
9. 18/9/PBI/2016
62
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan didukung oleh Kegiatan Layanan Uang yang sehat dengan tata kelola yang baik dan memenuhi peraturan perundang-undangan.
3.��� Ruang Lingkup PBI ini mencakup pengaturan dan pengawasan:a.��� Sistem Pembayaran (SP);b.��� Pengelolaan Uang Rupiah (PUR); danc.��� Kegiatan Layanan Uang (KLU).
4.��� Prinsip yang diterapkan dalam pengaturan dan pengawasan SP dan PUR yang didukung dengan pengaturan dan pengawasan KLU, yaitu:a.��� tata kelola yang baik (good governance);b.��� berorientasi pada manajemen risiko; c.��� mengedepankan kepentingan nasional (national
interest); dand.��� memperhatikan peraturan perundang-undangan,
standar, dan praktik internasional.5.��� PengaturanSPmencakup antara lain:
a.��� instrumen pembayaran;b.��� kelembagaan;c.��� mekanisme penyelenggaraan Sistem Pembayaran; dand.��� infrastruktur,yang berlaku bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan SP di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6.��� Pengaturan PUR mencakup antara lain:a.��� perencanaan;b.��� pencetakan;c.��� pengeluaran;d.��� pengedaran;e.��� pencabutan dan penarikan; danf.��� pemusnahan.
7.��� Jenis KLU meliputi:a.��� kegiatan penukaran valuta asing bukan bank;b.��� penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;c.��� pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau
ke luar daerah pabean Indonesia; dand.��� KLU lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
8.��� Pengaturan KLU mencakup antara lain:a.��� jasa yang disediakan;b.��� penyelenggara;c.��� mekanisme penyelenggaraan KLU; dand.��� infrastruktur.
63
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
9.��� Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang SP antara lain mencakup:a.��� penyelenggaraan SP oleh Bank Indonesia;b.��� kepesertaan SP Bank Indonesia;c.��� penyelenggaraan SP oleh industri; dand.��� pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara
jasa SP.10.���Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang PUR mencakup
penyelenggaraan PUR yang dilakukan oleh bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.
11.���Objek pengawasan Bank Indonesia atas KLU mencakup antara lain:a.��� penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta
asing bukan bank;b.��� penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;c.��� pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau
ke luar daerah pabean Indonesia; dand.��� penyelenggaraan KLU lainnya yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.12.���PBI ini mulai berlaku pada tanggal 3 Juni 2016.
I.��� Latar Belakang
Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa (LLD) yang dilakukan oleh penduduk. Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, makroprudensial, maupun sistem pembayaran. Di samping itu, keterangan dan data tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya, serta untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE).
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah merupakan penyempurnaan dari PBI sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan LLD dimana perlu diatur kembali mengenai
Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah
10. 18/10/PBI/2016
64
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
penyampaian keterangan dan data, termasuk ketentuan dimana transaksi penggunaan devisa perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung oleh nasabah.
II.��� Pokok-pokok Pengaturan
a.��� Pelaporan Kegiatan LLD Bank1)��� Ruang Lingkup Pelaporan
Bank wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum meliputi:a)��� Transaksi bank dan/atau nasabah yang
mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) bank dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank.
b)��� Posisi dan mutasi AFLN bank dan/atau KFLN bank.
c)��� Rincian transaksi ekspor dan dokumen pendukung terkait transaksi ekspor dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah.
2)��� Batas Waktu Penyampaian Laporana)��� Bankwajib menyampaikan laporan LLD setiap
bulan secara online paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (Masa Penyampaian Laporan/ MPL) dengan masa koreksi paling lambat tanggal 20 pada bulan laporan yang bersangkutan (Masa Penyampaian Koreksi Laporan/MPKL). Bank dinyatakan telah menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD telah diterima oleh Bank Indonesia serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
b)��� Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD disampaikan melampaui MPL sampai dengan akhir bulan.
c)��� Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan.
3)��� Sanksi Administratifa)��� Bank yang terlambat menyampaikan laporan
LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.
b)��� Bank yang tidak menyampaikan laporan LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
65
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
c)��� Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD dengan benar dikenakan sanksi administratif berupa denda mulai sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
b.��� Kewajiban Penyampaian Dokumen Pendukung1)��� Penyampaian Keterangan, Data, dan Dokumen
Pendukung oleh Nasabaha)��� Keharusan bagi nasabah menyampaikan
dokumen pendukung untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) dalam valuta asing dengan nilai > USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya, kecuali untuk:i.��� transaksi yang dilakukan oleh bank untuk
kepentingan bank itu sendiri; dan ii.��� transaksi yang bertujuan untuk pemindahan
simpanan oleh nasabah yang sama di dalam negeri.
b)��� Bank hanya dapat melakukan pengaksepan perintah transfer dana untuk transaksi LLD sebagaimana dimaksud dalam poin a) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung.
c)��� Nasabah wajib menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada bank dengan benar.
d)��� Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) sebagaimana dimaksud pada poin a) yang mengakibatkan berkurangnya giro bank di luar negeri.
2)��� Sanksi Administratifa)��� Bank yang melakukan pengaksepan perintah
transfer dana untuk transaksi LLD tanpa dilengkapi dokumen pendukung dari nasabah sebagaimana dimaksud dalam poin 1). b) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana.
66
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
b) ��� Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dengan benar kepada bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana. Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung dengan benar kepada bank dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberitahuan kepada instansi terkait.
c. ��� Penelitian Kebenaran Laporan1) ��� Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat
melakukan penelitian kebenaran kepada bank dan/atau nasabah. Bank dan/atau nasabah harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dokumen pendukung, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dalam rangka penelitian kebenaran dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.
2) ��� Dalam hal bank tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam poin 1), bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD dengan benar.
3) ��� Dalam hal nasabah tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam poin 1), keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan nasabah kepada bank dinyatakan tidak benar.
d. ��� Pembebasan Sanksi Administratif Berupa DendaBank atau nasabah yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda, dapat diberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda, dengan ketentuan: 1) ��� bank atau nasabah mengajukan permohonan
pembebasan sanksi administratif berupa denda dalam waktu yang ditentukan; dan
2) ��� berdasarkan penelitian Bank Indonesia, bank atau nasabah tidak melakukan pelanggaran.
67
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
e.��� Ketentuan Penutup1)��� Keharusan penyampaian dokumen pendukung
sebagaimana dimaksud pada poin b berlaku setelah diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari PBI ini.
2)��� Ketentuan mengenai sanksi sehubungan dengan kewajiban penyampaian dokumen pendukung mulai berlaku untuk untuk data periode laporan bulan Maret 2017 yang disampaikan bulan April 2017.
Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Juni 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
68
Perihal RingkasanNo. Peraturan
I.��� Latar Belakang
Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara karena adanya penyesuaian dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203/PMK.08/2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 Tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik.
II.��� Materi Pengaturan
Penyempurnaan ketentuan dengan pokok-pokok perubahan sebagai berikut:1.��� Pengajuan penawaran pembelian Obligasi Negara pada
Lelang SUN dalam Rupiah dan Lelang SUN dalam valuta asing oleh Dealer Utama untuk dan atas nama diri sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS dilakukan secara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).
2.��� Pengajuan penawaran pada Lelang SUN Tambahan dibatasi paling banyak sebesar Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam lelang SUN pada masing-masing seri SUN yang ditawarkan.
I.��� Latar Belakang
Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini diterbitkan dengan pertimbangan sebagai berikut:1.��� Dalam rangka meningkatkan tata kelola
penyelenggaraan sarana elektronik serta meningkatkan kualitas layanan jasa perbankan oleh Bank Indonesia.
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara
Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking
1.
2.
18/1/DPSP
18/2/DPTP
69
DAFTAR SURAT EDARAN BANK INDONESIA BESERTA RINGKASAN
PERIODE JANUARI - JUNI 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
2.��� Dalam rangka mengakomodir kepesertaan BIG-eB yang saat ini menjadi multi-institusional serta sebagai dasar pengaturan bagi Peserta Sistem BIG-eB dalam menggunakan Sistem BIG-eB.
II.��� Materi Pengaturan
Materi Pengaturan dalam Surat Edaran (SE) ini sebagai berikut:1) ketentuan Umum; 2) tugas dan tanggung jawab (baik bagi Penyelenggara dan Peserta); 3) tata cara menjadi peserta; 4) hak akses pada peserta; 5) penatausahaan rekening dan kode transaksi; 6) layanan Sistem BIG-eB; 7) penanganan keadaan tidak normal dan keadaan darurat; dan 8) ketentuan lain-lain.
I.��� Latar Belakang Pengaturan:
1.��� Sebagai tindak lanjut atas keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 18 Februari 2016 mengenai penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam Rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/3/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
2.��� Atas perubahan PBI tersebut, maka perlu dilakukan perubahan kedua atas Surat EdaranBank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.
II.��� Substansi Pengaturan:
1.��� Perubahan Bagian II Tata Cara Perhitungan GWM Primer, dimana kewajiban GWM Primer dalam Rupiah diturunkan dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah. Perubahan ini juga berdampak pada beberapa contoh perhitungan GWM dalam Lampiran.
2.��� Perubahan Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional
3. 18/3/DKEM
70
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
a.��� Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah.
b.��� Penyesuaian contoh perhitungan jasa giro bagi bank yang dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah dan contoh perhitungan sanksi bagi bank yang tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah.
3.��� Perubahan Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger. Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger, baik sebelum merger maupun setelah merger berlaku efektif.
I.��� Latar Belakang
Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini diterbitkan dengan pertimbangan untuk mengaturpelaksanaan kegiatan penyediaan layanan Sub-Registry Bank Indonesia kepada Pemerintah Daerah Republik Indonesia dalam rangka konversi penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau DanaAlokasi Umum dalam bentuk nontunai.
II.��� Materi Pengaturan
Materi Pengaturan dalam Surat Edaran (SE) ini sebagai berikut:1) ketentuan Umum; 2) prinsip umum; 3) layanan Sub-Registry BI dalam penatausahaan SBN konversi; 4) kewajiban Nasabah SBN konversi; 5) tata cara menjadi nasabah SBN Konversi Sub-Registry BI; 6) biaya; 7) laporan; 8) penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat; 9) korespondensi; dan 10) ketentuan lain-lain.
71
Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam Rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam bentuk Nontunai berupa Surat Berharga Negara
4. 18/4/DPTP
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
1.��� Surat Edaran Nomor 18/5/DSta perihal Penerimaan Devisa Utang Luar Negeri merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.17/23/PBI/2015 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
2.��� Pokok-pokok Pengaturana.��� Ketentuan mengenai kewajiban penerimaan Devisa
Utang Luar Negeri (DULN), yang mencakup:1)��� Setiap penarikan DULN wajib diterima oleh debitur
ULN melalui bank devisa;2)��� Nilai setiap penerimaan DULN harus sama dengan
nilai setiap penarikan ULN;3)��� Nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama
dengan nilai komitmen ULN.b.��� Ketentuan mengenai penyampaian laporan, dokumen
pendukung, dan penjelasan tertulis, yang mencakup:1)��� Penerimaan DULN wajib dilaporkan oleh debitur
ULN kepada Bank Indonesia;2)��� Informasi penerimaan DULN harus disampaikan
oleh debitur ULN kepada bank devisa secara akurat;3)��� Penyampaian dokumen pendukung atas penerimaan
DULN melalui bank devisa;4)��� Penyampaian dokumen pendukung yang
membuktikan selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui bank devisa dengan nilai penarikan ULN;
5)��� Penyampaian dokumen pendukung dan penjelasan tertulis yang membuktikan selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN melalui bank devisa dengan nilai komitmen ULN.
c.��� Ketentuan mengenai tata cata pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DULN, yang mencakup:1)��� Mekanisme pengenaan sanksi administratif berupa
denda;2)��� Mekanisme pembebasan sanksi administratif berupa
denda;3)��� Mekanisme pengenaan sanksi administratif berupa
teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada kreditur/instansi berwenang.
d.��� Kewajiban penerimaan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2016 tetap mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/10/DSta tanggal 26 Mei 2014 perihal Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sampai dengan berakhirnya perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk
Penerimaan Devisa Utang Luar Negeri
5. 18/5/DSta
72
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
penerimaan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendemen) yang ditandatangani sejak tanggal 2 Januari 2016.
e.��� Ketentuan pengenaan sanksi administratif mulai berlaku untuk penarikan ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016 atas perjanjian ULN yang ditandatangani sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.
Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6 April 2016.
I.��� Latar Belakang
1.��� Perubahan atas PBI No. 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.
2.��� Perubahan cakupan Proyek Infrastruktur oleh BAPPENAS melalui PERMEN BAPPENAS No.4 tahun 2015.
3.��� Pemberhentian kegiatan Pemeringkat Efek oleh PT ICRA Indonesia.
II.��� Pokok-pokok pengaturan mencakup:
1.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Perusahaan Pembiayaan, sepanjang:a.��� memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan
b.��� memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK.
2.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
3.��� Melakukan pengkinian Lampiran I tentang Daftar Lembaga Pemeringkat yang Diakui Bank Indonesia untuk digunakan dalam Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.
Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM Tanggal 30 Desember 2014 Perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank
6. 18/6/DKEM
73
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
4.��� Menambahkan dan mengkinikan Lampiran III tentang Daftar Cakupan Proyek Infrastruktur yang sebelumnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.
III.��� Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 2016.
1.��� Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SEBI No. 18/7/DPSP diterbitkan sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia No. 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 18/5/PBI/2016. SEBI No. 18/7/DPSP ini mencabut SEBI No. 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia.
2.��� Pokok-pokok perubahan ketentuan yang diatur dalam SEBI No.18/7/DPSP antara lain sebagai berikut:
Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia
7. 18/7/DPSP
74
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP
Perubahan data kepesertaan
Perubahan status Peserta karena pengunduran diri, self liquidation, penggabungan, dan peleburan
Persyaratan Bank Penerus
Beberapa perubahan data kepesertaan dilakukan melalui pemberitahuan kepada Penyelenggara
Diatur secara umum
Kategori BUKU 2, BUKU 3, dan BUKU 4 sesuai penilaian terakhir yang dilakukan oleh otoritas pengawas Bank.
Beberapa perubahan data kepesertaan dilakukan melalui permohonan kepada Penyelenggara
Diatur secara lebih detail
Kategori BUKU 4 sesuai penilaian terakhir yang dilakukan oleh otoritas pengawasan Bank.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
75
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP
Perubahan waktu operasional dalam Layanan Kliring Warkat Debit
Perubahan periode waktu kegiatan pengiriman DKE oleh Peserta
Perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit dilakukan apabila terjadi Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat.
Hanya dapat diajukan oleh Koordinator PWD.
Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu pengiriman DKE kepada Penyelenggara dalam hal terdapat keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat.
Tetap.
Dapat diajukan oleh Koordinator PWD dan Peserta.
Pengajuan perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit oleh Peserta hanya dapat dilakukan apabila Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat terjadi di beberapa Wilayah Kliring.
Peserta dapat mengajukan mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, DKE Pembayaran, dan DKE Penagihan.
Permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan paling lambat 30 menit sebelum periode waktu kegiatan berakhir dan Penyelenggara dapat menetapkan lain dalam kondisi tertentu.
Permohonan terbatas 30 menit dan dapat diperpanjang 30 menit, kecuali ditentukan lain oleh Penyelenggara.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
76
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP
Jam Layanan Transfer Dana
Surat Penyataan terkait dengan Penyediaan mininum Prefund
Batas nominal nota debit
Standing Instruction
Fasilitas kontijensi
Biaya retur
06.30 – 16.30.
Peserta harus menyampaikan surat pernyataan mengenai tidak disediakannya Prefund di awal hari berikut alasannya.
Tidak dibatasi
Dalam Layanan Penagihan Reguler, nasabah tertagih harus membuat standing instruction kepada Peserta tertagih untuk melakukan pendebitan rekening sesuai ketentuan yang ditetapkan Penyelenggara.
Penyelenggara menyediakan fasilitas kontijensi berupa:fasilitas guest bank; danfasilitas upload DKE.
Untuk transaksi yang diretur oleh Peserta paling lambat pada esok harinya tidak dikenakan biaya retur.Apabila retur dilakukan lebih dari 1 hari kerja, dianggap sebagai transaksi baru dan dikenakan biaya proses.
06.30 – 16.00.
Tidak diatur.
Di bawah Rp10.000.000,-
Tidak diatur.
Fasilitas kontijensi yang disediakan oleh Penyelenggara hanya fasilitas guest bank.
Transaksi yang di-retur oleh Peserta pada Layanan Transfer Dana, Layanan Penagihan Reguler & Layanan Pembayaran Reguler dikenakan biaya.
Perihal RingkasanNo. Peraturan
3.��� SE ini mulai berlaku tanggal 2 Mei 2016
1.��� Surat Edaran Bank Indonesia No.18/8/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement diterbitkan sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia No.17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.
2.��� Pokok-pokok perubahan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalahsebagai berikut: a.��� Penyempurnaan ketentuan kepesertaan dalam Sistem
BI-RTGS terkait dengan perubahan data kepesertaan yang mencakup perubahan penggunaan infrastruktur Sistem BI-RTGS, perubahan participant code, perubahan nama Peserta, perubahan kegiatan usaha, perubahan nomor Rekening Giro, perubahan alamat kantor Peserta, perubahan lokasi RPP Utama dan JKD Utama, perubahan Pimpinan, dan perubahan kuasa.
b.��� Perubahan alamat korespondensi terkait kegiatan penyelenggaraan dan pemantauan kepatuhan Peserta.
c.��� Penambahan prosedur pengajuan permohonan perpanjangan waktu.
77
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP
Biaya Proses
Biaya Fasilitas Kontijensi
Biaya Proses DKE Rp1000,/DKE.
Biaya Proses Transaksi Bulk Payment Rp500,/transaksi.
Tetap
Fasilitas Upload DKE = 2 juta.
Biaya Proses DKE Rp750/DKE.
Biaya Proses Transaksi Bulk Payment Rp100/transaksi.
Fasilitas Guest Bank = Rp5jt
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP Tanggal 13 November 2015 Perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settelment
8. 18/8/DPSP
Perihal RingkasanNo. Peraturan
d.��� Ketentuan mengenai biaya dalam penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, antara lain:1)��� Perubahan Biaya pengiriman instruksi Setelmen
Dana dalam rangka pengembalian dana; dan2)��� Perubahan ketentuan mengenai tidak
memberlakukan dan pembebasan biaya tertentu kepada Peserta apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.
e.��� Perubahanjam operasional Sistem BI-RTGS sebagai dampak dari perubahan jam layanan transfer dana melalui SKNBI.
f.��� Penambahan kode transaksi (TTC) dalam Sistem BI-RTGS untuk setelmen hasil perhitungan Layanan Pembayaran Reguler dan Layanan Penagihan Reguler dalam penyelenggaraan SKNBI.
1.��� Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 18/5/PBI/2016 dan penyempurnaan dari Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 17/14/DPSP tanggal 5 Juni 2015.
2.��� Beberapa perubahan dalam SE BI ini antara lain mengenai: a.��� Layanan Transfer Dana hanya dapat memproses transfer
dana kepada nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta Penerima, sehingga pengaturan mengenai penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima dihapus.
b.��� Pengiriman DKE Transfer Dana pada Layanan Transfer Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan perintah transfer dana dan wajib dilakukan sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. Pengiriman DKE Transfer Dana tersebut harus didukung dengan dana yang cukup.
c.��� Dalam rangka penerusan dana kepada nasabah penerima dalam Layanan Pembayaran Reguler, Peserta penerima wajib mengkredit rekening nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelenggara melakukan Setelmen Dana dan harus dilakukan sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak Penyelenggara melakukan Setelmen Dana.
3.��� SE BI ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2016.
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/14/DPSP Tanggal 5 Juni 2015 Perihal Perlindungan Nasabah Dalam Pelaksanaan Tranfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
9. 18/9/DPSP
78
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
1.��� Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap nasabah yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Dengan adanya kebijakan pembatasan tersebut maka transfer dana melalui Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah hanya dapat ditujukan kepada nasabah yang mempunyai rekening di Peserta penerima.
2.��� Dengan diberlakukannya SEBI ini maka ketentuan mengenai penerusan dana kepada nasabah yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima dicabut.
I.��� Latar belakang dan Tujuan
Pengaturan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara nilai rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah sehingga mitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar menjadi suatu keniscayaan. Hal ini membutuhkan dukungan pasar keuangan yang likuid dan dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Pelaku transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah nasabah, Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Syariah (BUS). Transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah hanya dapat dimohonkan oleh: (i) Nasabah kepada BUS atau UUS, (ii) BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS lainnya; atau (iii) BUS atau UUS kepada BUK.
2.��� Transaksi lindung nilai syariah dilakukan dengan transaksi lindung nilai sederhana («Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau transaksi lindung nilai kompleks («Aqd al Tahawwuth al-Murakkab).
3.��� Transaksi lindung nilai syariah harus didahului dengan forward agreement atau rangkaian forward agreement. Forward agreement adalah saling berjanji (muwa»adah) untuk melakukan transaksi spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/34/DPSP Tanggal 13 November 2015 Perihal Perlidungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement
Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah
10.
11.
18/10/DPSP
18/11/DEKS
79
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
berjanji. Apabila forward agreement tidak dipenuhi maka pihak yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi (ta»widh).
4.��� Batasan-batasannya antara lain: (i) berdasarkan prinsip syariah dan apabila terdapat kebutuhan nyata, (ii) memiliki underlying transaksi yang didukung dokumen underlying transaksi, (iii) Nilai nominal dan jangka waktu transaksi hedging syariah maksimal sama dengan underlying transaksi, (iv) Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar ditentukan saat forward agreement.
5.��� Underlying transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah seluruh kegiatan: (i) Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau (ii) Investasi berupa direct investment, portfolio investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri.
I.��� Latar Belakang dan Tujuan
1.��� Surat Edaran ini diterbitkan sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5880).
2.��� Surat Edaran ini mengatur Transaksi CNY/IDR Repo BCSA antara lain terkait karakteristik, surat berharga yang dapat digunakan, mekanisme transaksi dan pengenaan sanksi.
3.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dalam rangka memenuhi kebutuhan Chinese Yuan Bank Umum dalam pembayaran perdagangan internasional dan investasi langsung.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dapat dilakukan dengan mekanisme nonlelang atau lelang dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yaitu antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia.
Transaksi Repurchase Agreement Surat berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement
12. 18/12/DPM
80
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
2.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara non lelang dilakukan pada hari Jumat atau hari kerja lain yang ditetapkan Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat meniadakan window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara non lelang.
3.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mekanisme lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender).
4.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA memiliki jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan/atau 6 bulan.
5.��� Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditentukan sebagai berikut:a.��� Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia, tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan.
b.��� Jenis Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA diatur sebagai berikut: 1)��� SBI dan SDBI
a)��� Sisa jangka waktu paling singkat 7 hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
b)��� Haircut ditetapkan sebesar 15%;c)��� Jangka waktu pledge adalah sesuai dengan
jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 6 hari kerja.
2)��� SBN a)��� Sisa jangka waktu paling singkat 16 hari
kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;
b)��� Haircut ditetapkan sebesar 20% untuk SUN dan 21,5% untuk SBSN;
c)��� Jangka waktu pledge untuk SBN adalah sesuai dengan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 14 hari kerja
d)��� Pledge atas Surat Berharga dilakukan pada 1 hari kerja setelah tanggal transaksi, paling lambat pada pukul 13.00 WIB.
6.��� Bank Umum mengajukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA berdasarkan Underlying Transaksi dengan ketentuan sebagai berikut:a.��� Underlying Transaksi mencakup milik Bank Umum
dan/atau nasabah;
81
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
b.��� Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran dokumen Underlying Transaksi dan dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
7. Bank Umum menyampaikan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan ketentuan sebagai berikut:a.��� dilakukan secara langsung tanpa melalui lembaga
perantara, paling sedikit sebesar CNY500,000 dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi;
b.��� Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA untuk masing-masing jangka waktu;
c.��� Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan/penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dan dilarang membatalkan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
8.��� Bank Umum wajib memenuhi kewajiban setelmen sebagai berikut: a.��� memiliki kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri
Surat Berharga yang di-pledge pada saat first leg.b.��� mentransfer kembali dana Chinese Yuan ke rekening
Bank Indonesia di People»s Bank of China pada saat second leg.
9.��� Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kewajiban second leg, Bank Indonesia melakukan pencairan sebelum jatuh waktu atas SBI/SDBI yang direpokan dan/atau penjualan atas SBN yang direpokan sejak 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.
10.���Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) terhadap Transaksi CNY/IDR Repo BCSA apabila Bank Umum yang bersangkutan mengalami penurunan peringkat komposit di bawah 3 (tiga) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam ketentuan ini.
11.���Sanksia.��� Dalam hal Bank Umum tidak melakukan kewajiban
pledge yang mencukupi terkait nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, tidak memiliki Underlying Transaksi, menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, tidak menatausahakan dokumen Underlying Transaksi, dan/atau membatalkan
82
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang telah diajukan kepada Bank Indonesia maka Bank Umum dikenakan sanksi berupa:1)��� teguran tertulis dan 2)��� kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai
Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi.
b.��� Dalam hal pada tanggal jatuh waktu (second leg) Bank Umum tidak mentransfer dana Chinese Yuan sebesar nilai setelmen second leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ke rekening Bank Indonesia di People Bank»s of China, Bank Umum dikenakan sanksi berupa:1)��� teguran tertulis; dan2)��� kewajiban membayar dengan perhitungan
sebagai berikut:
1.��� Dokumen underlying milik Bank dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah:a.��� Perjanjian kredit (loan agreement) apabila Underlying
Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit.
b.��� Laporan penjualan surat utang yang dkeluarkan oleh global custody apabila Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk penerbitan surat utang.
c.��� Surat dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) dari kantor pusat Bank atau dari Bank kepada otoritas yang berwenang apabila Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang tidak mengalami perubahan.
d.��� Surat persetujuan otoritas yang berwenang atas perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang disampaikan kantor pusat Bank atau Bank apabila Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang nilainya mengalami perubahan.
2.��� Dokumen underlying milik nasabah dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia berupa dokumen transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dalam bentuk deal ticket atau kontrak swap.
Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 29 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia
13. 18/13/DPM
83
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
3.��� Untuk Underlying Transaksi dengan satu jenis valuta asing, Underlying Transaksi yang sama hanya digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.
4.��� Untuk Underlying Transaksi dengan lebih dari satu jenis valuta asing, Underlying Transaksi yang sama dapat digunakan untuk satu pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan satu pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing sebagaimana yang tercantum dalam Underlying Transaksi.
5.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan memiliki lebih dari satu jenis valuta asing untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan lebih dari satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama.
6.��� Bank bertanggung jawab atas penatausahaan kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi dan dokumen fotokopi underlying transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dengan penerimaan dokumen paling lambat satu bulan setelah tanggal transaksi.
7.��� Untuk pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, Bank Indonesia mengumumkan antara lain hal-hal sebagai berikut:a.��� Jenis valuta asing yang digunakan dalam Transaksi
Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. b.��� Jumlah minimum penawaran dan kelipatan penawaran
transaksi.8.��� Menambahkan informasi mengenai jenis valuta asing pada
Kontrak Lindung Nilai yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia pada saat pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai.
9.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).
10.���Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah.
11.���Nilai setelmen first leg dihitung sebesar nilai nominal valuta asing yang diajukan dikalikan dengan kurs spot JISDOR dalam hal valuta asing yang digunakan adalah Dolar Amerika Serikat atau dengan kurs tengah transaksi Bank Indonesia dalam hal valuta asing yang digunakan adalah selain Dolar Amerika Serikat.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
84
Perihal RingkasanNo. Peraturan
I.��� Latar belakang dan Tujuan
Dalam rangka mempercepat upaya pendalaman pasar uang, salah satu faktor penunjang adalah adanya reference rate (JIBOR) yang dapat dipercaya (kredibel) dan digunakan secara luas oleh pelaku pasar.
Upaya peningkatan kredibilitas JIBOR telah dilakukan pada awal tahun 2015 yaitu dengan penyempurnaan kuotasi JIBOR yang dapat ditransaksikan oleh sesama bank kontributor selama 10 menit sejak terdapat pengumuman kuotasi, jumlah transaksi hingga Rp10 milyar dengan tenor sampai dengan 1 bulan. Penyempurnaan JIBOR dimaksud diatur melalui PBI No. 17/2/PBI/2015 dan SE No. 17/6/DPM tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (JIBOR), dan SE No. 17/5/Dsta terkait penyesuaian ketentuan mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Dengan penyempurnaan dimaksud bank dapat mengetahui secara transparan suku bunga kuotasi JIBOR masing-masing individu bank kontributor, mekanisme pembentukan JIBOR, dan metode pemilihan kontributor JIBOR. Pemberlakuan mekanisme JIBOR transactable terbukti cukup efektif dalam mendorong penciptaan likuiditas pasar uang.
Guna mendorong penciptaan likuiditas pasar lebih lanjut dengan tenor transaksi yang lebih panjang, JIBOR kembali disempurnakan. Penyempurnaan dimaksud diatur melalui perubahan peraturan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank angka V.
II.��� Materi Pengaturan
1.��� Permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 10.20 WIB.
2.��� Jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama 3 (tiga) bulan.
3.��� Permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
4.��� Total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) per hari, dan
5.��� Ketersediaan dana (availability of fund) dan credit limit dari Quoting Bank kepada Asking Bank.
Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank
14. 18/14/DPPK
85
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
6.��� Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal penolakan.
7.��� Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2016.
8.��� Ketentuan mengenai batasan jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah untuk tenor 3 bulan mulai berlaku pada tanggal 1 September 2016.
1.��� Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/52/DKSP tanggal 30 Desember 2015 perihal Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia (SEBI No.17/52/DKSP) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai kepemilikan dan penetapan standar nasional serta pengaturan mengenai tugas, tanggung jawab, dan kewajiban pengelola standar nasional.
2.��� Secara garis besar, SEBI No. 18/15/DKSP mengatur hal-hal sebagai berikut:a.��� kepemilikan dan penetapan standar nasional;b.��� persetujuan sebagai pengelola standar nasional;c.��� tugas, wewenang, dan kewajiban pengelola standar
nasional; sertad.��� pengawasan, laporan, dan evaluasi pengelolaan standar
nasional. 3.��� Pengaturan mengenai kepemilikan dan penetapan standar
nasional adalah sebagai berikut:a.��� Kepemilikan standar nasional berada pada Bank
Indonesia, dengan tujuan melindungi kepentingan publik dalam penggunaan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.
b.��� Dalam rangka penetapan standar nasional oleh Bank Indonesia, pihak yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam SEBI No. 17/52/DKSP dan telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagai pengelola standar nasional harus menyerahkan kepemilikan standar teknologi chip Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang telah disepakati penggunaannya oleh industri kepada Bank Indonesia.
Pengelolaan Standar Nasional Teknologi Chip untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debit
15. 18/15/DKSP
86
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016
Perihal RingkasanNo. Peraturan
4.��� Pengaturan mengenai persetujuan sebagai pengelola standar nasional adalah sebagai berikut:a.��� Pengelola standar nasional adalah pihak yang memenuhi
persyaratan yang ditetapkan dalam SEBI No. 17/52/DKSP dan disetujui oleh Bank Indonesia.
b.��� Pengelola harus menyusun dan menyampaikan rencana kerja awal pengelolaan Standar Nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet secara tertulis kepada Bank Indonesiasetelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
5.��� Pengaturan mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban pengelola standar nasional adalah sebagai berikut: a.��� Pengelola bertugas melakukan fungsi manajemen
sertifikasi, manajemen spesifikasi, manajemen vendor, certificate authority, dan tugas lain yang diamanatkan oleh Bank Indonesia.
b.��� Pengelola memiliki wewenang antara lain untuk menetapkan jenis dan besarnya biaya, menetapkan persyaratan dan prosedur pelaksanaan pengelolaan, memperoleh data dan informasi yang diperlukan, serta melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.
c.��� Pengelola wajib memiliki struktur organisasi dan sumber daya manusia yang memadai dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap standar nasional, dengan memerhatikan prinsip keamanan, efisiensi, kepentingan nasional, dan tata kelola yang baik.
6.��� Pengaturan mengenai pengawasan, laporan, dan evaluasi pengelolaan standar nasional adalah sebagai berikut:a.��� Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan
tidak langsung terhadap kegiatan yang dilakukan pengelola.
b.��� Pengelola wajib menyampaikan laporan berkala maupun insidental kepada Bank Indonesia.
c.��� Berdasarkan hasil evaluasi, Bank Indonesia dapat meminta pengelola melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu, dan/atau membatalkan persetujuan sebagai pengelola.
87
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016