BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni...

95
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari Juni 2016 Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sebagai Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya Retno Widati, S.H., M.H. Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak Keagenan (Agency) Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S. Pertanggungjawaban Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan Hukum Dwiki Oktobrian, S.H., M.H. Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan Kredit Iswi Hariyani, S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H. Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari Juni 2016 (berikut ringkasan) Departemen Hukum, Bank Indonesia BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

Transcript of BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni...

Page 1: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

BU

LETIN H

UK

UM

KEB

AN

KSEN

TRA

LAN

Volume 13, N

omor 1, Januari - Juni 2016

ISSN : 1693 - 3265

Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sebagai Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya

Retno Widati, S.H., M.H.

Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak Keagenan (Agency)Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.

Pertanggungjawaban Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan HukumDwiki Oktobrian, S.H., M.H.

Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan KreditIswi Hariyani, S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari – Juni 2016 (berikut ringkasan)Departemen Hukum, Bank Indonesia

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

Page 2: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabRosalia Suci H., Libraliana Badilangoe, Sukarelawati Permana, Imam Subarkah

Pemimpin RedaksiSukarelawati Permana

Sekretaris RedaksiAmy Rachmi Budiati

Dewan RedaksiAgus Susanto P., Amsal Chandra Appy, Amy Rachmi Budiati, Bambang Sukardi Putra, Doharman Sidabalok,

Hari Sugeng Raharjo, Panji Achmad, Pulih Widayaningrum, Rika S. Dewi

Redaksi PelaksanaDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia

Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M., Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M., Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M, Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M, Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M

Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia

Penanggung Jawab DistribusiDivisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitian dalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Mulai tahun 2015, Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungi Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, email: [email protected].

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukum kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Penelitian, Pengembangan, dan Informasi Hukum, Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.

Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi,

kemudian pilih sub menu Buletin

ISSN : 1693 - 3265

Page 3: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016
Page 4: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

i

���Pembaca Buletin Hukum Kebanksentralan yang berbahagia, dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha

Esa di semester pertama tahun 2016 ini redaksi kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan Volume 13 Nomor

1 Tahun 2016. Buletin Hukum Kebanksentralan ini kami harapkan dapat menjadi bentuk kontribusi Bank Indonesia dalam

menyebarluaskan informasi dan kajian hukum khususnya terkait kebanksentralan kepada masyarakat. Informasi dan

kajian hukum terkait kebanksentralan mencakup berbagai pemikiran berkenaan dengan kebijakan bank sentral, baik

itu di bidang moneter, sistem pembayaran dan pengelolaan uang Rupiah, serta makroprudensial. Selain itu, isu-isu hukum

lainnya terkait asas-asas umum pemerintahan yang baik, kontrak, ketenagakerjaan/kepegawaian, dan pengadaan

barang/jasa yang relevan dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akan menjadi salah satu topik yang dapat dimuat

dalam Buletin Hukum Kebanksentralan ini. ���

Dalam Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini dimuat 1 (satu) artikel dari penulis internal Bank Indonesia yaitu

Retno Widati, S.H., M.H. dengan judul Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan Sebagai Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya.

Selain itu, dimuat pula 3 (tiga) artikel dari penulis eksternal Bank Indonesia yaitu Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak

Keagenan (Agency), yang ditulis oleh Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S. dari Universitas Diponegoro; Pertanggungjawaban

Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan Hukum yang ditulis oleh Dwiki Oktobrian, S.H., M.H

dari Universitas Komputer Indonesia; dan Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan Kredit, yang ditulis oleh Iswi Hariyani,

S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H dari Universitas Jember. ���

Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan pengkinian informasi mengenai

produk Peraturan Perundang-undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Januari sampai dengan Juni 2016, terdiri

atas Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia Ekstern, beserta ringkasannya. ���

Besar harapan kami, informasi yang dimuat dalam Buletin ini akan memperkaya wacana dan kajian dalam rangka

pengembangan ilmu hukum, serta memberikan akses informasi bagi pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi

yang diterbitkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca. ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���

Jakarta, Juni 2016 ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ��� ���

Redaksi

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016
Page 6: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

iii

���Halaman

Dari Meja Redaksi......................................................................................................................................��� i

Daftar Isi...................................................................................................................................................��� iii

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan Sebagai

Upaya Pengaturan Kembali Penyelenggaraan Pemerintahan dan Tantangan Dalam Implementasinya.........��� 1 - 16

Retno Widati, S.H., M.H.

Tanggung Jawab Principal dalam Kontrak Keagenan (Agency) ..................................................................��� 17 - 30

Prof. Dr. Budi Santoso, S.H., M.S.

Pertanggungjawaban Pidana Bank atas Tindakan Agensi Penagih Hutang yang Melawan Hukum.............��� 31 - 42

Dwiki Oktobrian, S.H., M.H.

Pemanfaatan Hak Cipta sebagai Jaminan Kredit........................................................................................��� 43 - 52

Iswi Hariyani, S.H., M.H. dan Cita Yustisia S., S.H., M.H.

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia, Januari – Juni 2016

(berikut ringkasan)....................................................................................................................................��� 53 - 87

Departemen Hukum, Bank Indonesia

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

VOLUME 13, NOMOR 1, JANUARI - JUNI 2016

ISSN : 1693 - 3265

Page 7: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016
Page 8: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

1

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

SEBAGAI UPAYA PENGATURAN KEMBALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASINYA

Disusun oleh:

Retno Widati1

Departemen Hukum, Bank Indonesia

[email protected]

1��� Penasehat Hukum Senior, Departemen Hukum, Bank Indonesia, Jakarta

Abstract: ���

This study aims to review the substance of Law No. 30 of 2014 concerning the Government Administration

associated with regulation and law enforcement of the stipulation of the decisions and actions of Government Administration

based on the Law No. 5 of 1986 concerning the State Administrative Court. The research method used in this study is

normative juridical. The results shows that the Law No. 30 of 2014 is the material law of the judicial system of the State

Administration, while the Law No. 5 of 1986 is the procedural law containing the rules that governs the ways to implement

and maintain the Law No. 30 Year 2014 as material law. The adminstrative decisions that become the object settings

of the Law No. 30 of 2014 covers the decisions made by judicial, legislative institution, and executive institution which

includes the actions of the Government Administration Officials. While, the Law No. 5 of 1986 regulates different object.

It governs decisions making procedure in the executive sphere and only covers written official determination. The legal

bases of the source of authority from the Government Administration»s official governed within the Law No. 30 of 2014

and the Law No. 5 of 1986 have similiarity. It may come from an attribution, delegation, and mandate system. That

shows that the Law No. 30 of 2014 concerning the Government Administration has a close relationship with the Law

No. 5 of 1986 concerning State Administrative Court.

Key Word: administration, the decision of the state administration, public administration officials, the administration

official actions.

Abstrak:���

Penelitian ini bertujuan mengulas substansi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi

Pemerintahan dikaitkan dengan pengaturan dan penegakan hukum terhadap permasalahan penerbitan keputusan dan

tindakan administrasi pemerintahan yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara. Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian

Page 9: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

A.��� PENDAHULUAN

Dukungan kelembagaan dan sistem hukum (rule of

law) serta sistem etika (rule of ethics) yang mengatur

dan mengarahkan penyelenggaraan pemerintahan

secara efektif dan efisien diperlukan agar tujuan

untuk mewujudkan kesejahteraan yang adil dan

merata sebagaimana tujuan bernegara Indonesia

sebagai welfare state dapat dicapai dengan sebaik-

baiknya. Sejalan dengan tujuan tersebut, dalam

menyelenggarakan tugas Pemerintah, selain harus

tunduk pada ketentuan hukum tertinggi, yaitu

Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar desain hukum

konstitusi (constitutional law) juga perlu berpedoman

pada etika konstitusi (constitutional ethics) yang

harus menjadi landasan sistem dan kebijakan

pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan.2

Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagai

welfare state, penyelenggaraan pemerintahan

dilakukan sesuai dengan prinsip negara hukum

(rechstaat), karena tugas dan kewenangan Pemerintah

dalam negara hukum modern tidak hanya sekedar

menjaga ketertiban dan keamanan tetapi juga

mengupayakan kesejahteraan umum. Philipus M.

Hadjon menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi

rakyat terhadap tindak pemerintahan dilandasi oleh

dua prinsip yaitu prinsip hak asasi manusia dan prinsip

negara hukum. Pengakuan dan perlindungan terhadap

hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat

dikatakan sebagai tujuan dari pada negara hukum.3

Pembangunan nasional untuk mencapai tujuan

bernegara dilakukan oleh negara dengan mengatur

pembagian secara jelas peran dari masing-masing

lembaga negara yang dilengkapi dengan

kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan dalam berbagai peraturan perundang-

undangan lainnya. Pembagian kekuasaan tersebut

dimaksudkan agar setiap elemen kekuasaan negara

dapat didayagunakan sesuai kewenangannya masing-

masing untuk mencapai tujuan negara yang telah

dicita-citakan bersama. Demikian juga kewenangan

dari masing-masing elemen kekuasaan negara dibatasi

agar tidak terjadi suatu bentuk tirani kekuasaan.

Sesuai dengan semangat penyelenggaraan negara

yang baik yang harus dilaksanakan sesuai dengan

konstitusi negara berdasarkan kedaulatan rakyat,

Pemerintah telah melakukan penyesuaian dan

penyempurnanan dalam penyelenggaraan

pemerintahan sesuai dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

2

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

menunjukkan bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 merupakan hukum material dari sistem peradilan Tata

Usaha Negara, sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formil yang berisi aturan yang

mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 sebagai

hukum materialnya. Keputusan yang menjadi obyek pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 meliputi

lingkup lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif, serta mencakup Keputusan dan Tindakan Pejabat Administrasi

Pemerintahan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki perbedaan, hanya mencakup Keputusan

bidang eksekutif dan hanya meliputi penetapan badan atau pejabat yang dibuat secara tertulis. Untuk sumber wewenang

Pejabat Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 memiliki kesamaan yaitu mencakup atribusi, delegasi, dan mandat. Hal tersebut menunjukkan adanya keterkaitan

antara Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

2��� Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai “Welfare Constitution”, Februari 2014, hlm. 1.

3��� Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Ed. Revisi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 2.

Page 10: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Administrasi Pemerintahan, yang mulai berlaku pada

tanggal 17 Oktober 2014. Undang-Undang tersebut

memberikan paradigma baru dalam penyelenggaraan

administrasi pemerintahan, dalam pengaturan dan

penegakan hukum terhadap keputusan dan tindakan

administrasi pemerintahan yang selama ini tunduk

pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan memberikan ketentuan

mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang lebih

menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi

pemerintahan, kepastian hukum bagi masyarakat

dari penyalahgunaan wewenang, dan memberikan

kepastian hukum bagi aparatur pemerintahan.

Undang-Undang tersebut juga telah melengkapi

upaya Pemerintah dalam meningkatkan

penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan

meningkatkan pelayanan negara kepada publik,

sebagaimana telah dilakukan dengan pemberlakuan

beberapa Undang-Undang, antara lain Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil

Negara, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara, dan Undang-Undang

Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

B.��� PERMASALAHAN

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014) dalam

beberapa hal merupakan penyempurnaan atau

perbaikan atas ketentuan mengenai kewenangan

badan atau pejabat administrasi negara sebagai

penyelenggara pemerintahan yang merupakan bagian

dari pelaksanaan reformasi birokrasi. Beberapa

paradigma baru diusung dalam Undang-Undang

tersebut, antara lain menempatkan masyarakat bukan

sebagai obyek keputusan dan tindakan administrasi

pemerintahan, melainkan sebagai subyek yang aktif

terlibat dalam penyelenggaraan administarsi

pemerintahan, memberikan jaminan perlindungan

hukum bagi masyarakat melalui upaya administrasi

berupa pengajuan keberatan dan banding administrasi

sebelum pengajuan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha

Negara, dan meningkatkan kualitas pelayanan

pemerintah kepada publik dalam rangka mewujudkan

pemerintahan yang baik.4

Dari sisi badan atau pejabat administrasi pemerintahan,

pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 menjadi penegasan dan sebagai landasan

hukum untuk mengenali keputusan dan/atau tindakan

sebagai kesalahan administrasi atau penyalahgunaan

wewenang yang dapat diproses melalui pemeriksaan

tindak pidana. Penegasan tersebut perlu dilakukan

dengan mempertimbangkan banyaknya

kecenderungan keputusan dan tindakan badan atau

pejabat administrasi pemerintahan yang berujung

pada proses hukum pidana, yang sesungguhnya

penyelesaiannya harus dilakukan dalam ranah

administrasi. Dengan pemberlakuan Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014, kecenderungan kriminalisasi

kebijakan diatur secara tegas dan berkepastian hukum.

Kriminalisasi terhadap kebijakan penyelenggara

pemerintahan yang diwujudkan dalam bentuk

keputusan atau tindakan administrasi pemerintahan

berdampak pada keragu-raguan badan atau pejabat

administrasi pemerintahan dalam melaksanakan

kewenangannya dan sekaligus melemahkan badan

atau pejabat administrasi pemerintahan dalam

melakukan inovasi pemerintahan. Selain itu, kehadiran

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 sekaligus

menjaga agar badan atau pejabat administrasi

pemerintahan tidak mengambil keputusan atau

tindakan yang sewenang-wenang dan tetap

melindungi masyarakat dari tindakan badan atau

pejabat administrasi yang sewenang-wenang dan

praktek mal-administrasi.

Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 selain membawa pengaruh positif dan telah

menyempurnakan ketentuan terkait dengan

3

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

4��� Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Page 11: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

pelaksanaan wewenang dalam penyelenggaraan

pemerintahan, di sisi lain juga oleh beberapa kalangan

dianggap belum memberikan kejelasan dan

menimbulkan perbedaan pendapat. Hal-hal tersebut

khususnya apabila dikaitkan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

(selanjutnya disebut Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986) yang ketentuan pengaturannya berbeda dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014.

Berdasarkan hal-hal sebagaimana telah dikemukakan

di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam

makalah ini adalah:

1.��� Bagaimana keterkaitan antara ketentuan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 ?;

2.��� Bagaimana pengaturan mengenai cakupan dan

sumber wewenang pejabat administrasi

pemerintahan dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 dan dalam Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 ?; dan

3.��� Bagaimana penyelesaian keputusan atau tindakan

badan atau pejabat pemerintahan berdasarkan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 ?

C.��� PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30

TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI

PEMERINTAHAN SEBAGAI UPAYA PENGATURAN

KEMBALI PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN

DAN TANTANGAN DALAM IMPLEMENTASINYA

1.��� Keterkaitan antara Ketentuan Dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 dengan

ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986.

Dari aspek hukum administrasi negara, Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 menjadi hukum

materil dari sistem Peradilan Tata Usaha Negara,

sedangkan hukum formilnya adalah Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan

Tata Usaha Negara. Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 memperkuat konstruksi hukum untuk

mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan

yang baik dan berkualitas, memberikan penjelasan

dan mengelaborasi teori mengenai wewenang

penyelenggara negara dalam memberikan

pelayanan publik dan sekaligus menjamin pejabat

negara dan pejabat pemerintahan dari kekuatiran

dan keragu-raguan dalam menjalankan segala

tindakan sesuai dengan kewenangannya

berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

atau dalam ketentuan berbagai Undang-Undang.

Pernyataan bahwa Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 menjadi hukum materil, sejalan dengan

rumusan dalam Pasal 144 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 yang menyatakan dengan tegas

bahwa Undang-Undang tersebut dapat disebut

dengan Undang-Undang Peradilan Administrasi

Negara. Rumusan Pasal 144 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 menurut Lintong O. Siahaan

merupakan hasil kompromi untuk memberikan

solusi terhadap keinginan pemberian nama

Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan

Administrasi Negara pada saat pembahasan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara di DPR RI.5

Indroharto yang memberikan pendapat mengenai

rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986, menyatakan bahwa tata usaha

negara adalah administrasi negara yang

melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan di pusat maupun di daerah,

sehingga menyimpulkan bahwa tata usaha negara

adalah sama dengan administrasi negara.

4

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

5��� Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, (Jakarta: Perum Percetakan Negara RI, 2005), hlm. 1-2.

Page 12: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Tata usaha negara atau administrasi negara adalah

suatu fungsi atau tugas untuk menyelenggarakan

urusan pemerintahan dalam negara. Dengan

demikian hukum tata usaha negara atau hukum

administrasi negara adalah keseluruhan aturan-

aturan hukum yang berkaitan dengan

penyelenggaraan urusan pemerintahan (negara)

atau disebut hukum pemerintahan (negara).6

Sejalan dengan hal tersebut, badan atau pejabat

tata usaha negara sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sama

dengan badan atau pejabat pemerintahan

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014. Pendapat tersebut juga dikuatkan

dengan rumusan Pasal 87 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014.7

Negara merupakan lembaga hukum publik yang

terdiri dari jabatan administrasi negara dimana

pejabat administrasi negara menjalankan urusan

pemerintahan, yang dalam menjalankan urusan

pemerintahan tersebut harus berdasarkan pada

hukum (wetmatigheid van bestuur).8 Van Wijk-

Konijnenbelt dalam bukunya Hoofdstukken van

Administratiefrecht menyatakan bahwa hukum

administratif, hukum tata pemerintahan, semuanya

menyangkut administratie, bestuur, bestuuren.

Secara umum dapat dikatakan hukum administrasi

merupakan instrumen yuridis bagi penguasa untuk

secara aktif terlibat dalam masyarakat dan pada

sisi lain hukum administrasi merupakan hukum

yang memungkinkan anggota masyarakat

mempengaruhi penguasa dan memberikan

perlindungan terhadap penguasa.9

2.��� Cakupan dan Sumber Wewenang Badan atau

Pejabat Administrasi Pemerintahan Dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tidak

Hanya Mencakup Kekuasan Eksekutif dan

Tidak Hanya Mencakup PenetapanTertulis.

Perbedaan cakupan keputusan yang menjadi

obyek pengaturan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 dibandingkan dengan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu:

a.��� Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1986 menegaskan bahwa yang

dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah

kegiatan yang bersifat eksekutif, sedangkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 ruang

lingkupnya mencakup lingkup lembaga

eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

b.��� Keputusan yang menjadi obyek Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah

penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara, sedangkan

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

meliputi keputusan dan/atau tindakan badan

dan/atau pejabat pemerintahan.

Terdapat 2 (dua) sarjana yang memberikan

pendapat mengenai urusan pemerintahan yang

hanya bersifat eksekutif atau ruang lingkupnya

yang mencakup lingkup lembaga eksekutif,

yudikatif, dan legislatif. Bachsan Mustafa

menyatakan bahwa tindak administrasi negara

dalam bidang hukum publik merupakan tindakan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

5

6��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha ���Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2004), hlm. 27.

7��� Pasal 87 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 mengatur bahwa dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:a.��� Penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;b.��� Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan

eksekutif, legislatif, yudikatif, danc.��� penyelenggara negara lainnya;d.��� Berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;e.��� Bersifat final dalam arti lebih luas;f.��� Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/ataug.��� Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.

8��� Safri Nugraha, et. al., Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisisi, (Jakarta: Center For Law And Good Governance Studies Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007), hlm. 32.

9��� Philipus M. Hadjon, et.al. Pengantar Hukum Administrasi Negara cet. ���kesembilan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), hlm. 27.

Page 13: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

hukum sepihak yang dilakukan pemerintah dan

khusus melaksanakan tugas-tugas pemerintahan

berdasarkan wewenang yang luar biasa. Dengan

demikian beberapa unsur dalam tindak administrasi

negara dalam bidang hukum publik adalah:10

a.��� Tindakan hukum, yang melahirkan hak dan

kewajiban;

b.��� Sepihak, tindakan tersebut harus mengatur

dan memaksa;

c.��� Di bidang pemerintahan, tidak dapat merambah

pada bidang lain, yaitu legislatif atau yudikatif;

d.��� Berdasarkan wewenang luar biasa, yang

menurut Prins kekuasaan diperoleh dari

Undang-Undang yang diberikan khusus kepada

pemerintah, tidak diberikan kepada swasta.

Pendapat Bachsan Mustafa tersebut sesuai dengan

paradigma yang dianut dalam Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 yang hanya mencakup

tindakan penyelenggara pemerintahan di bidang

pemerintahan (eksekutif), dan tidak termasuk

legislatif dan yudikatif. Sementara itu, Philipus M.

Hadjon menyatakan, dengan mendasarkan pada

pertimbangan bahwa pada dasarnya pemerintah

tidak hanya melaksanakan undang-undang tetapi

atas dasar freies ermessen dapat melakukan

perbuatan-perbuatan lainnya meskipun belum

diatur secara tegas dalam undang-undang dan

memperhatikan dalam kepustakaan Belanda

bahwa kegiatan/lapangan bestuuren adalah

seluruh lapangan kegiatan negara setelah dikurangi

regelgeving dan rechtspraak sehingga pengertian

tata usaha negara diartikan urusan pemerintahan

maka urusan pemerintahan tersebut tidak hanya

meliputi kegiatan yang bersifat eksekutif saja.11

Cakupan keputusan badan atau pejabat

pemerintahan yang dapat dipermasalahkan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 lebih luas dari pada cakupan keputusan tata

usaha negara sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986. Perluasan cakupan

tersebut adalah yang sebelumnya hanya mencakup

keputusan badan atau pejabat Tata Usaha Negara

yang dibuat secara tertulis, diperluas juga mencakup

tindakan administrasi pemerintahan lainnya.

Sempitnya cakupan kewenangan Pengadilan Tata

Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 di samping karena batasan

keputusan badan atau pejabat tata usaha negara

yang hanya mencakup ketetapan tertulis

sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 3, juga

karena terdapat ketentuan yang mengecualikan

yang bukan termasuk dalam keputusan tata usaha

negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

Pembatasan dan pengecualian dalam keputusan

tata usaha negara tersebut telah menimbulkan

perdebatan mengenai luas atau sempitnya

kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, dan

pada saat itu pemerintah tidak menghendaki

kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara terlalu

luas seperti pada sistem hukum di Perancis.12

Perdebatan mengenai sempitnya kewenangan

Pengadilan Tata Usaha Negara juga dikaitkan

dengan batasan sengketa tata usaha negara dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, antara

lain dikemukakan oleh Prajudi Admosudirdjo dan

Philipus M. Hadjon. Menurut Prajudi Admosudirdjo,

pengertian sengketa administrasi negara dalam

Undang-Undang tersebut termasuk ke dalam

pengertian hukum administrasi yang sempit

ditambah dengan hukum tata usaha negara dalam

arti hukum birokrasi, sedangkan hukum tata

pemerintahan yang berdasarkan kewenangan

hukum publik yang berasal dari kedaulatan rakyat

tidak termasuk dalam pengertian sengketa

administrasi negara.13 Philipus M. Hadjon juga

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

6

10��� Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 61-66.

11��� Ibid. hlm. 138.

12��� Lintong O. Siahaan., op. cit. hlm. 5.

13��� Ibid., hlm 24-25.

Page 14: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

berpendapat sama dengan Prajudi Admosudirdjo,

yang menyatakan pengertian sengketa administrasi

negara dalam Undang-Undang tersebut terlalu

sempit sehingga perlu diperluas dengan pengertian

perbuatan-perbuatan pemerintah yang

berdasarkan wewenang publik.14

Sejalan dengan kritikan dari para sarjana mengenai

sempitnya cakupan sengketa administrasi negara,

dalam perkembangan pengaturan perundang-

undangan, maka cakupan dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 merupakan 2 (dua) hal

baru dalam paradigma ketentuan mengenai

administrasi negara, yaitu tidak hanya berlaku

terhadap lingkup lembaga eksekutif namun juga

terhadap lembaga legislatif dan yudikatif, serta

cakupan perbuatan administrasi pemerintahan

yang diatur tidak hanya keputusan badan atau

pejabat pemerintahan yang dibuat secara tertulis

namun juga meliputi keputusan dan tindakan

administrasi pemerintahan. Dua hal baru dalam

paradigma ketentuan mengenai administrasi

negara tersebut berbeda dengan pengaturan

yang selama ini diketahui oleh masyarakat. Oleh

karena itu, pemerintah perlu melakukan sosialisasi

secara baik dan tepat kepada masyarakat pencari

keadilan maupun kepada praktisi dan penegak

hukum. Urgensi yang perlu dilakukan, khususnya

terkait dengan penyusunan ketentuan atau

pedoman yang dapat menjelaskan secara lebih

rinci mengenai penyelesaian dan kriteria keputusan

atau tindakan yang bersifat administrasi dalam

lingkup lembaga legislatif dan lembaga yudikatif.

Secara umum wewenang administratif atau

pemerintahan merupakan kekuasaan untuk

melakukan semua tindakan hukum publik.15

Kewenangan memberikan legitimasi kepada badan

publik, lembaga negara, dan penyelenggara

pemerintahan dalam menjalankan fungsinya.

Wewenang adalah kemampuan bertindak yang

diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk

melakukan hubungan dan perbuatan hukum.16

Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan

hukum publik adalah adanya kewenangan

(bevoegdheid, legal power, competence) yang

berkaitan dengan suatu jabatan (ambt), yang

bersumber dari atribusi, delegasi, dan mandat.17

Jabatan (ambt) adalah suatu lembaga dengan

lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk

waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan

wewenang.18 Sejalan dengan hal tersebut, badan

atau pejabat tata usaha negara memperoleh

wewenang pemerintahan dengan jalan atribusi,

delegasi, dan mandat. Pendapat mengenai sumber

wewenang pemerintahan tersebut secara konsisten

dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon yang

sebelumnya menyatakan bahwa setiap tindakan

pemerintahan disyaratkan harus bertumpu atas

kewenangan yang sah. Kewenangan itu diperoleh

melalui tiga sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan

mandat. Kewenangan atribusi lazimnya digariskan

melalui pembagian kekuasaan negara oleh

undang-undang dasar, sedangkan kewenangan

delegasi dan mandat adalah kewenangan yang

berasal dari pelimpahan.19

Pada atribusi terjadi pemberian wewenang

pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

7

14��� Disampaikan oleh Philipus M. Hadjon dalam ceramah di depan hakim PTUN pada acara Penyelenggaraan Diskusi Intern dalam Retrospeksi 11 Tahun Peratun yang berlangsung di Hotel Wisata Internasional Jakarta pada tanggal 5-9 Mei 2002.

15��� Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 76.

16��� S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1997), hlm. 154.

17��� Philipus M. Hadjon, et. al. opcit., hlm. 139-140.

18��� N. E. Algra en H. C. J. G Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het ���Recht, (Groningen: H. D. Tjeenk Willink bv, 1974), hlm. 175.

19��� Philipus M. Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih, Pidato Penerimaan jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1994, hlm. 7.

Page 15: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

pada delegasi dilakukan pelimpahan wewenang

dari badan atau pejabat tata usaha negara yang

telah memperoleh wewenang pemerintahan secara

atribusi kepada badan atau pejabat tata usaha

negara lainnya. Sementara itu dalam mandat tidak

terjadi pemberian wewenang maupun pelimpahan

wewenang, dan dalam mandat tidak terjadi

perubahan apa-apa mengenai distribusi wewenang

yang telah ada. Perbedaan antara mandat dengan

delegasi adalah dalam hal mandat pemberi mandat

(mandans) dapat sewaktu-waktu memberikan

petunjuk kepada penerima mandat (mandataris)

dan mandans dapat mengambil keputusannya

sendiri, sedangkan dalam delegasi, pemberi

delegasi (delegans) telah kehilangan wewenang

(yang telah diberikan kepada badan atau jabatan

Tata Usaha Negara lainnya).20 Berkaitan dengan

pelimpahan kewenangan delegasi yang tidak

dapat dilakukan oleh delegans, Nomensen Sinamo

menyatakan, akibat hukum terhadap kewenangan

delegasi adalah tanggung jawab berada pada

penerima delegasi (delegataris) dan wewenang

tersebut tidak dapat digunakan lagi oleh pemberi

wewenang (delegans) kecuali pemberi wewenang

menilai terjadi penyimpangan atau pertentangan

dalam menjalankan wewenang tersebut sehingga

wewenang dicabut oleh pemberi delegasi dengan

berpegang pada asas contrarius actus.21

Sebagai konsekuensi atas sumber kewenangan

atributif, delegasi, dan mandat dalam hal terjadi

gugatan atas keputusan dimaksud adalah22:

a.��� Dalam hal atribusi maka yang digugat adalah

badan atau pejabat tata usaha negara yang

mendapat kewenangan atributif dalam

undang-undang dasar atau undang-undang;

b.��� Dalam hal delegasi maka yang digugat adalah

badan atau pejabat tata usaha negara yang

menerima delegasi; dan

c.��� Dalam hal mandat maka yang digugat adalah

tetap badan atau pejabat tata usaha negara

yang mengeluarkan keputusan yang

bersangkutan yaitu pemberi mandat

(mandans), bukan mandataris.

Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat sebagai

sumber kewenangan badan atau pejabat

pemerintahan sebagaimana diatur dalam bagian

keempat Pasal 12 sampai dengan Pasal 14 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014, pada pokoknya

diatur secara sama yaitu kewenangan atribusi tidak

dapat didelegasikan, kecuali diatur di dalam UUD

1945 atau Undang-Undang, serta kewenangan

delegasi atau mandat dapat digunakan sendiri

oleh pemberi delegasi atau mandat.

R. J. H. M. Huisman dalam Algemeen Bestuursrecht

membedakan delegasi dan mandat sebagai berikut:

Delegasi, merupakan pelimpahan wewenang

(overdracht van bevoegdheid), kewenangan tidak

dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang

memiliki wewenang asli (bevoegdheid kan door

hetoorsprokenlijk bevoegde orgaan niet incidenteel

uitgoefend worden), terjadi peralihan tanggung

jawab (overgang van verantwoordelijkheid), harus

berdasarkan undang-undang (wetelijk basis

vereist), harus tertulis (moet schriftelijk). Sementara

itu, mandat menurut Huisman, merupakan

perintah untuk melaksanakan (opdracht tot

uitvoering), kewenangan dapat sewaktu-waktu

dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan

door mandaatgever nog incidenteel uitgeofend

worden), tidak terjadi peralihan tanggung jawab

(behooud van verantwoordelijkheid), tidak harus

berdasarkan undang-undang (geen wetelijke basis

vereist), dapat tertulis, dapat pula secara lisan.23

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

8

20��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, op. cit., hlm. 91-92.

21��� Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi Negara, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2015), hlm.106.

22��� Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 2004), hlm. 31-32.

23��� Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, (Makasar: Universitas Hasanuddin, 2013), hlm. 131.

Page 16: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Dalam Pasal 13 ayat (4) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014 diatur bahwa badan dan/atau

pejabat pemerintahan yang memberikan delegasi

dapat menggunakan sendiri wewenang yang telah

diberikan melalui delegasi, kecuali ditentukan lain

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rumusan Pasal 13 ayat (4) tersebut kurang sejalan

dengan pendapat para sarjana mengenai konsep

delegasi yang tidak dapat digunakan oleh pemberi

delegasi (delegans) apabila wewenang telah

dilimpahkan kepada penerima delegasi

(delegataris). Pemberi delegasi (delegans) hanya

dapat melakukan sendiri wewenang yang telah

dilimpahkan kepada delegataris apabila terjadi

penyimpangan atau pertentangan dalam

menjalankan wewenang oleh delegataris

(contrarius actus) dengan terlebih dahulu mencabut

wewenang delegataris oleh delegans. Selain itu,

wewenang delegasi menurut pendapat beberapa

sarjana tidak dinyatakan secara spesifik merupakan

pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih

tinggi kepada pejabat yang lebih rendah

sebagaimana diamaksud dalam Pasal 1 angka 23

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.

Sejalan dengan pendapat para sarjana tersebut,

maka kejelasan mengenai kriteria delegasi yang

dapat dilakukan oleh delegans dan penegasan

mengenai perlunya pencabutan wewenang

sebelum dilakukan sendiri oleh delegans penegasan

lebih lanjut mengenai pelimpahan dari pejabat

yang lebih tinggi kepada pejabat yang lebih rendah

dalam delegasi, perlu diatur lebih lanjut dalam

rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014. Hal tersebut perlu dilakukan

mengingat dalam delegasi tanggung jawab beralih

kepada penerima delegasi (delegataris), sehingga

dalam hal delegans sewaktu-waktu dapat

melakukan sendiri wewenang yang telah

dilimpahkan kepada delegataris maka berpotensi

menimbulkan ketidakpastian hukum bagi

delegataris dan pihak lain yang menerima akibat

hukum atas tindakan legataris. Dalam rangka

memberikan kejelasan dan kepastian hukum

mengenai wewenang delegasi yang dapat

dilakukan sendiri oleh delegans, perlu diberikan

aturan yang jelas mengenai kapan atau dalam

kriteria apa saja delegans dapat melakukan sendiri

wewenang yang telah dilimpahkan kepada

delegataris.

3.��� Penyelesaian Terhadap Keputusan atau

Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan

Pasal 75 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

mengatur mengenai penyelesaian terhadap

keputusan atau tindakan badan atau pejabat

pemerintahan yang dilakukan melalui upaya

administrasi berupa keberatan dan banding

sebelum diajukan gugatan kepada Pengadilan

Tata Usaha Negara. Pengaturan tersebut berbeda

dengan pengaturan dalam Pasal 48 jo Pasal 51 ayat

(3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

mengatur 2 (dua) mekanisme penyelesaiannya,

yaitu dapat melalui upaya administrasi berupa

keberatan dan banding administrasi sebelum

pengajuan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha

Negara atau langsung mengajukan gugatan Tata

Usaha Negara kepada Pengadilan Tinggi Tata

Usaha Negara dalam hal tidak tersedia upaya

administrasi. Kedua ketentuan yang berbeda

tersebut berpotensi menimbulkan ketidakjelasan

dalam penerapannya, meskipun dalam Penjelasan

Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan dinyatakan

bahwa Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

merupakan hukum materil dari sistem Peradilan

Tata Usaha Negara sedangkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formilnya.

Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi

pencari keadilan dan bagi para penegak hukum

tata usaha negara terhadap pengaturan yang

berbeda mengenai upaya hukum dalam

penyelesaian keputusan dan tindakan badan atau

pejabat pemerintahan maka Pemerintah perlu

melakukan upaya positif yang memberikan

kepastian hukum dalam penerapan kedua

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

9

Page 17: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

peraturan perundang-undangan tersebut. Upaya

yang perlu dilakukan adalah melakukan

penyesuaian atau perubahan terhadap Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 untuk diselaraskan

dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.

Dalam konsepsi negara hukum, setiap perbuatan

hukum harus sesuai dengan hukum yang berlaku

(rechtmatigheid). Negara hukum juga menghendaki

agar ketika terjadi perbuatan hukum yang

menyimpang dan menimbulkan kerugian bagi

pihak lain atau terlanggarnya hak-hak subyek

hukum lain maka perlu diselesaikan melalui

lembaga peradilan untuk melakukan penegakan

hukum. Dalam kaitan dengan penegakan hukum

terhadap keputusan dan tindakan pemerintahan,

beberapa sarjana menyatakan pendapat mengenai

keterkaitan antara hukum administrasi negara

dengan hukum pidana khususnya dalam

penyelesaian terhadap perbuatan hukum dalam

bidang hukum administrasi negara yang dapat

dilakukan melalui penegakan secara hukum

pidana. Kedua bidang hukum tersebut memiliki

kesamaan yaitu hukum administrasi negara dengan

hukum pidana keduanya terletak dalam bidang

hukum publik. Hukum pidana berfungsi sebagai

hulprecht (hukum pembantu) bagi hukum

administrasi negara, dalam arti setiap ketentuan

dalam hukum administrasi negara selalu disertai

dengan sanksi pidana agar ketentuan hukum

administrasi negara ditaati oleh masyarakat.24

Berdasarkan keterkaitan antara hukum administrasi

negara dengan hukum pidana tersebut dalam

penerapannya sanksi pidana digunakan dalam

law enforcement hukum administrasi negara.

Sejalan dengan keterkaitan antara hukum

administrasi negara dengan hukum pidana, hal

yang perlu mendapat perhatian bagi pembentuk

undang-undang dengan pemberlakuan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 adalah adanya

paradigma mengenai proses penyelesaian terhadap

permasalahan keputusan dan tindakan badan

atau pejabat pemerintahan yang diperiksa dan

diselesaikan dalam ranah hukum pidana. Dalam

penerapan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 apakah penegak hukum akan secara

konsekuen menyelesaikan di Pengadilan Tata

Usaha Negara terlebih dahulu sebagaimana diatur

dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014, sehingga terhadap peputusan atau tindakan

pemerintahan tersebut terlebih dahulu dinyatakan

sah atau tidak sah oleh Pengadilan Tata Usaha

Negara yang telah berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde). Dalam hal telah dikeluarkan

putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap yang menyatakan keputusan atau tindakan

badan atau pejabat pemerintahan tersebut tidak

sah karena melampaui batas wewenang atau

sewenang-wenang maka selanjutnya baru dapat

diajukan tuntutan kepada Pengadilan Negeri untuk

dilakukan pemeriksaan secara pidana.

Penyelesaian terhadap tindakan administrasi

penyelenggara pemerintahan yang terlebih dahulu

dilakukan dalam ranah administrasi negara

sebelum dilakukan penyelesaian secara pidana

adalah sesuai dengan salah satu azas yang terdapat

dalam hukum pidana yaitu ultimum remedium,

sebagai upaya terakhir dalam hal penegakan

hukum. Ultimum remidium bermakna sanksi

pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang

lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain,

dalam suatu undang-undang sanksi pidana

dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah

sanksi perdata ataup sanksi administratif, atau

apabila sanksi administratif dan sanksi perdata

belum mencukupi untuk mencapai tujuan

memulihkan kembali keseimbangan di dalam

masyarakat, maka baru diadakan juga sanksi

pidana sebagai senjata terakhir.25 Namun azas

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

10

24��� Nomensen Sinamo, op. cit. hlm. 35.

25��� Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), paper sebagai bahan bacaan Mahasiswa Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2015, hlm. 1-2.

Page 18: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

hukum pidana ultimum remedium dalam

perkembangan penerapannya di Indonesia telah

berkembang sedemikian rupa sehingga berubah

menjadi premium remedium.

Perlindungan terhadap keputusan atau tindakan

badan atau pejabat pemerintahan adalah sesuai

dengan asas yang terdapat dalam Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara yaitu prae sumptio

iustae causa. Asas ini berarti bahwa keputusan

pemerintah harus selalu dianggap benar dan sah

serta segera dilaksanakan sebelum ada keputusan

hukum yang berkekuatan hukum tetap yang

menyatakan bahwa keputusan itu tidak berlaku.26

Dalam kaitan dengan kewenangan pejabat publik

dalam melaksanakan kekuasaannya dalam rangka

penyelenggaraan pemerintahan, dalam bidang

hukum administrasi negara terdapat beberapa

sarjana yang memberikan pendapat mengenai hal

tersebut. Pejabat administrasi negara dalam bertindak

atau menjalankan tugas-tugasnya harus dilandasi

wewenang yang sah yang diberikan peraturan

perundang-undangan.27 Hal tersebut sesuai

dengan pendapat dari Wade yang menyatakan

bahwa pada dasarnya untuk menghindari abuse

of power maka semua kekuasaan harus dibatasi

oleh hukum atau peraturan perundang-undangan.28

Menurut Prins, keputusan adalah tindakan sepihak

dalam bidang pemerintahan, dilakukan oleh suatu

badan pemerintah berdasarkan wewenangnya

yang luar biasa.29

Van der Pot menyatakan 4 (empat) syarat yang

harus dipenuhi agar keputusan dapat berlaku sah

yaitu dibuat oleh organ yang berwenang,

pembentukannnya tidak boleh memuat

kekurangan yuridis, harus diberi bentuk, dan isi

dan tujuan harus sesuai dengan peraturan

dasarnya.30 Selanjutnya dinyatakan pula bahwa

dalam pembentukan kehendak dari organ

pemerintahan yang mengeluarkan keputusan

tidak boleh ada kekurangan yuridis. Kekurangan

yuridis dapat disebabkan oleh salah kira (dwaling),

paksaan, dan tipuan. Arifin P. Soeria Atmadja

berpendapat bahwa suatu kebijakan tidak mungkin

diajukan ke Pengadilan apalagi dikarenakan hukum

pidana karena dasar hukum kebijakan yang akan

menjadi dasar hukum penuntutannya tidak ada.

Hal ini disebabkan suatu kebijakan pada umumnya

berjalan tidak seiring atau belum diatur dalam

peraturan perundang-undangan.31

Meskipun beberapa sarjana hukum administrasi

negara telah mengemukakan pendapat dan teori

mengenai kewenangan lembaga hukum publik

atau penyelenggara pemerintahan, namun dalam

penegakan hukum terkait dengan keputusan dan

tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang

menjadi kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara

belum terdapat kesatuan pemahaman di antara

para sarjana hukum administrasi negara dengan

hukum pidana. Penegakan hukum dan mekanisme

penyelesaian terhadap permasalahan keputusan

dan tindakan badan atau pejabat pemerintahan

yang seharusnya diselesaikan terlebih dahulu

dalam ranah hukum administrasi negara telah

menimbulkan perbedaan pendapat antara para

akademisi khususnya akademisi hukum administrasi

negara dengan akademisi hukum pidana. Hal

tersebut ternyata dalam diskusi yang dihadiri para

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

11

26��� Supandi, Op. cit., hlm. 4. Dalam makalah tersebut dinyatakan bahwa berdasarkan asas praduga Rechtmatig/Prae sumptio iustae causa bahwa keputusan tata usaha negara (KTUN) harus dianggap sah secara hukum sampai dengan adanya keputusan Pengadilan yang menyatakan sebaliknya, hal ini agar tugas pemerintahan khususnya dalam rangka memberikan perlindungan (protection), pelayanan umum (public servis) dan mewujudkan kesejahteraan (welfare) bagi masyarakat dapat berjalan, namun sebagai penyeimbang guna memberikan perlindungan hukum terhadap kepentingan penggugat, hakim dapat mengeluarkan penundaan pelaksanaan (schorsing).

27��� Safri Nugraha, et al., opcit. hlm. 29.

28��� H.W.R. Wade and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., (New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 5.

29��� W.F. Prins-R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1978), hlm. 42.

30��� E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. Keempat. 1960, hlm. 77. Lihat juga Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, (Bandung: Alumni, 1979), hlm. 61-65.

31��� Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; ���Teori, Kritik, dan Praktik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hlm. 198.

Page 19: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

narasumber akademisi dari kedua bidang hukum

tersebut.

Sarjana hukum administrasi negara berpendapat

bahwa penyelesaian atas ranah hukum administrasi

negara adalah sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 yaitu melalui

penyelesaian administrasi negara dan tidak serta

merta dengan penyelesaian secara pidana. Selain

hal tersebut sesuai dengan asas ultimum

remedium, pendapat yang menguatkan adalah

bahwa dalam tindakan administrasi dikenal dengan

tindakan administrasi yang tidak teratur karena

salah kira apabila terdapat salah kira (dwaling),

paksaan (dwang) dan suap, serta tipu muslihat,

yang penyelesaiannya telah diatur dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014, dan pengadilan

umum tidak dapat menilai/memeriksa kebijakan

administrasi negara adalah sah atau tidak.32

Menanggapi pendapat dari sisi hukum administrasi

negara tersebut, akademisi di bidang hukum

pidana memiliki pemahaman yang berbeda.

Menurut pendapat akademisi hukum pidana,

penyelesaian terhadap keputusan dan tindakan

badan atau pejabat pemerintahan sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 dapat menghambat upaya pemerintah dalam

pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam kaitannya dengan penegakan hukum

dalam tindak pidana korupsi sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2001, Maruarar Siahaan

menyatakan bahwa telah terjadi dualisme dalam

penanganan tindak pidana korupsi. Adanya

dualisme kelembagaan yang menggunankan

standar kerja dan mekanisme yang berbeda diakui

telah menghasilkan keputusan yang amat berbeda

dalam putusan pengadilan di lingkungan yang

sama, yang dipandang sebagai pelanggaran

prinsip equality before the law.33

Sejalan dengan pendapat Maruarar Siahaan

mengenai pelanggaran prinsip equality before the

law, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan

Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 yang

dalam pertimbangannya antara lain menyatakan

bahwa Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 yang melahirkan dua lembaga jelas

bertentangan dengan UUD 1945. Mahkamah

Konstitusi memberikan jangka waktu 3 (tiga)

tahun untuk memperbaiki/merubah, dan apabila

jangka waktu tersebut dilalui tanpa perubahan,

pengadilan tindak pidana korupsi hapus dengan

sendiri. Teknik tersebut digunakan oleh Mahkamah

Konstitusi di negara-negara lain sebagai upaya

pemaksa pembuat undang-undang untuk

melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi

secara efektif karena Mahkamah Konstitusi tidak

memiliki instrumen memaksakan implementasi

putusannya.34

Pendapat mantan hakim Mahkamah Konstisusi,

Maruarar Siahaan dan Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 012-016-019/PUU-IV/2006 telah

memberikan koreksi terhadap Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002. Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2002 menyebutkan korupsi sebagai

kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime),

sehingga diperlukan penegakan hukum yang luar

biasa pula, dengan pembentukan lembaga negara

yang memiliki kewenangan yang luas, independen

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

12

32��� Dian Puji N. Simatupang, Pengambilan Keputusan/Kebijakan Pejabat Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara, materi yang disampaikan dalam Focus Group Discussion di Bank Indonesia tanggal 25 Maret 2015 yang dihadiri akademisi dan mantan penegak hukum Komariah Emong ���S., Bismar Siregar, Mahmul Siregar, dan Iqbal Asnawi.

33��� Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 629-631.

34��� Ibid., 630-631.

Page 20: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

serta bebas dari intervensi kekuasaan manapun,

yang dalam penerapannya telah menimbulkan

dualisme penanganan tindak pidana korupsi.

Pendapat Maruarar Siahaan dan Putusan

Mahkamah Konstitusi No. 012-016-019/PUU-

IV/2006 telah memberikan penegasan bahwa

pemberantasan tindak pidana korupsi tetap perlu

memperhatikan prinsip equality before the law,

sehingga semangat yang luar biasa terhadap

pemberantasan tindak pidana korupsi tidak

dilakukan dengan melanggar prinsip hukum yang

penting yang justru dapat menimbulkan

ketidakpastian hukum yang seharusnya menjadi

salah satu pertimbangan dalam putusan hakim

pengadilan tindak pidana korupsi.

Dalam perkembangannya, Mahkamah Agung

telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung

(Perma) No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman

Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan

Wewenang. Berdasarkan Perma tersebut yang

berlaku sejak 21 Agustus 2015 diatur mengenai

dukungan Mahkamah Agung dalam menegakkan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang

Administrasi Pemerintahan dalam menerima,

memeriksa dan memutuskan ada atau tidak

adanya unsur penyelahgunaan wewenang dari

pejabat administrasi pemerintah, sebelum adanya

proses pidana. Hakim wajib memutuskan dalam

jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak sedang

pertama dilakukan, dan atas Putusan Pengadilan

Tata Usaha Negara dapat diajukan banding.

Putusan banding bersifat final dan mengikat.

D.��� PENUTUP

1.��� Kesimpulan

Berdasarkan paparan sebagaimana diuraikan

sebelumnya, dapat dirumuskan kesimpulan sebagai

berikut:

a.��� Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan, yang

berlaku sejak tanggal 17 Oktober 2014 telah

membawa paradigma baru dalam pengaturan

dan penegakan hukum terhadap permasalahan

keputusan dan tindakan administrasi

pemerintahan, yang selama ini diatur dalam

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor

9 Tahun 2004.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

merupakan hukum materil dari sistem peradilan

tata usaha negara sedangkan Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1986 merupakan hukum formil

yang berisi aturan yang mengatur bagaimana

cara-cara melaksanakan dan mempertahankan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014

sebagai hukum materialnya. Hal tersebut

membawa konsekuensi yuridis logis bahwa

kedua Undang-Undang tersebut substansi

pengaturannya harus sejalan dan tidak saling

bertentangan.

b.��� Pengaturan mengenai cakupan Keputusan

yang menjadi obyek pengaturan dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki

perbedaan, yaitu:

1)��� semula hanya mencakup bidang eksekutif

berubah menjadi mencakup lingkup

lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

2)��� semula hanya meliputi penetapan badan

atau pejabat yang dibuat secara tertulis

berubah menjadi mencakup keputusan

dan tindakan pejabat administrasi

pemerintahan.

Sementara itu, sumber wewenang pejabat

administrasi pemerintahan dalam Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 dan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 memiliki

kesamaan yaitu mencakup atribusi, delegasi,

dan mandat, namun dalam pengaturan lebih

lanjut mengenai ketiga sumber kewenangan

tersebut terdapat beberapa hal yang berbeda.

13

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 21: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perbedaan dimaksud memerlukan penjelasan

atau pedoman lebih lanjut, sehingga dapat

memberikan kepastian hukum dan kejelasan

baik bagi pencari keadilan maupun bagi

penegak hukum.

c.��� Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2014 dengan paradigma baru

memberikan perubahan dan koreksi terhadap

aturan lama dan praktek penegakan hukum

dalam bidang administrasi pemerintahan, serta

mengembalikan atau menegakkan kembali

asas hukum pidana ultimum remedium dan

asas Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara yaitu prae sumptio iustae causa, yang

tercermin antara lain melalui cara penyelesaian

permasalahan keputusan atau tindakan badan

atau pejabat pemerintahan yang

dipermasalahkan oleh pihak yang

berkepentingan atau dirugikan.

Paradigma baru dalam Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014 dalam kenyataannya belum

sepenuhnya dipahami oleh masyarakat,

akademisi, penegak hukum, dan praktisi

hukum, sehingga perlu dilakukan upaya dari

Pemerintah agar terdapat kesatuan pemahaman

dan menghilangkan hambatan dan kendala

dalam penegakan hukum (law enforcement)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014.

2.��� Saran

Saran atas paparan yang dikemukakan sebelumnya

adalah sebagai berikut:

a.��� Mempertimbangkan bahwa substansi Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2014 yang

merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan

Tata Usaha Negara berbeda dengan substansi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

merupakan hukum formil yang berisi aturan

yang mengatur bagaimana cara-cara

melaksanakan dan mempertahankan hukum

materil maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1986 perlu segera disesuaikan atau diubah

agar sejalan dengan Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2014.

b.��� Beberapa penyesuaian substansi pengaturan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang

perlu dilakukan antara lain mencakup - obyek

yang dapat diperiksa oleh Pengadilan Tata

Usaha Negara, penyelesaian terhadap

permasalahan keputusan atau tindakan badan

atau pejabat pemerintahan yang dilakukan

melalui upaya hukum administrasi berupa

keberatan dan banding sebelum diajukan

gugatan kepada Pengadilan Negeri Tata Usaha

Negara, dan jangka waktu proses

penyelesaiannya.

c.��� Pemerintah perlu melakukan sosialisasi

mengenai Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 kepada masyarakat, akademisi, penegak

hukum, dan praktisi hukum agar terdapat

kesatuan pemahaman dan menghilangkan

hambatan dan kendala dalam penegakan

hukum (law enforcement) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014.

d.��� Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 perlu diatur lebih lanjut

dan lebih detail untuk memberikan pedoman

dalam penerapannya agar lebih memberikan

kepastian hukum bagi masyarakat, akademisi,

penegak hukum, dan praktisi hukum, antara

lain mengenai:

1)��� Keputusan dan/atau tindakan badan

dan/atau pejabat pemerintahan yang

mencakup lingkup lembaga eksekutif,

yudikatif, dan legislatif.

2)��� Yang dimaksud dengan tindakan badan

dan/atau pejabat pemerintahan.

3)��� Kejelasan mengenai kriteria delegasi yang

dapat dilakukan oleh delegans dan

penegasan mengenai perlunya pencabutan

wewenang sebelum dilakukan sendiri oleh

delegans.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

14

Page 22: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

4)��� Penegasan lebih lanjut mengenai

pelimpahan dari pejabat yang lebih tinggi

kepada pejabat yang lebih rendah dalam

delegasi.

5)��� Penyelesaian terhadap keputusan atau

tindakan badan atau pejabat pemerintahan

yang dilakukan melalui upaya administrasi

berupa keberatan dan banding sebelum

diajukan gugatan kepada Pengadilan Tata

Usaha Negara.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

15

Page 23: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Jimly Asshiddiqie, UUD 1945 Sebagai “Welfare Constitution”, 2014.

Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Ed. Revisi, 2005.

Lintong O. Siahaan, Prospek PTUN Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia, Studi Tentang Keberadaan PTUN Selama Satu Dasawarsa 1991-2001, 2005.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I, Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, 2004.

Safri Nugraha, et. al., Hukum Administrasi Negara, Ed. Revisisi, 2007.

Philipus M. Hadjon, et.al. Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. kesembilan, 2005.

Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 1979.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, 1988.

S. F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, 1997.

N. E. Algra en H. C. J. G Janssen, Rechtsingang, een Orientatie in het Recht, 1974.

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, 2004.

Nomensen Sinamo, Hukum Administrasi Negara, Suatu Kajian Kritis Tentang Birokrasi Negara, 2015.

Aminuddin Ilmar, Hukum Tata Pemerintahan, 2013.

Supandi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (Relevansinya Terhadap Disiplin Penegakan Hukum Administrasi Negara dan Penegakan Hukum Pidana), 2015.

H.W.R. Wade and C.F. Forsyth, Administrative Law, 7th ed., 1994.

W.F. Prins-R. Kosim Adisapoetra, Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1978.

Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara, cet. Keempat. 1960.

Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, 1979.

Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif Hukum; Teori, Kritik, dan Praktik, 2008.

Maruarar Siahaan, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi Yang Hidup, 2008.

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 24: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

A.��� PENDAHULUAN

Organisasi bisnis membuka lebar-lebar seseorang

untuk bekerja secara bersama-sama untuk mencapai

tujuan tertentu dalam bisnis. Apabila seseorang dapat

mewujudkan tujuan bisnisnya dengan caranya sendiri

tanpa bantuan pihak lain maka ia tidak perlu bekerja

sama dengan orang lain untuk maksud tersebut.

Namun demikian hal tersebut sangat jarang terjadi,

bahkan untuk seseorang yang menjalankan usaha

kecil sekalipun. Untuk itu bekerja secara bersama

dengan menggaji orang lain untuk mencapai tujuan

bisnis tertentu adalah suatu hal yang lazim dilakukan.

Bekerja secara bersama dengan pihak lain untuk

mencapai tujuan bisnis tertentu dapat dilakukan

dengan dua cara. Pertama, menunjuk orang lain

untuk melakukan pekerjaan tertentu untuk dan atas

nama pemberi kerja serta di bawah pengawasan

pemberi kerja, tipe semacam ini akan tunduk pada

ketentuan yang berkaitan dengan aturan keagenan

(agency law). Kedua, dengan cara membentuk sebuah

organisasi bisnis tertentu, tipe seperti ini akan tunduk

pada ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan

corporation juga agency law.

17

TANGGUNG JAWAB PRINCIPAL DALAM KONTRAK KEAGENAN (AGENCY)

Disusun oleh:

Budi Santoso1

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang

[email protected]

Abstract: ���

The legal consequences of agency relationship between the principal to the agent, makes the principal responsible

for the losses incurred to third parties as a result of actions performed by agents with the provisions of the act was

committed within the limits of the authority given to him. Thus the presence or absence of authority on the actions of

the agent is the element to determines whether there is a principal responsibility for losses incurred. This shows the

authority with the responsibility of not only the relationship of correlation but also a causal relationship.

Keywords: Authority, responsibility, principal

Abstrak:���

Akibat hukum hubungan keagenan antara principal dengan agen, menjadikan principal bertanggung jawab atas

kerugian yang timbul pada pihak ketiga sebagai akibat tindakan yang dilakukan oleh agen dengan ketentuan tindakan

tersebut dilakukan dalam batas kewenangan yang diberikan padanya. Dengan demikian ada atau tidaknya authority

pada tindakan agen merupakan unsur yang menentukan ada tidaknya tanggung jawab principal terhadap kerugian yang

timbul. Hal ini menunjukkan antara authority dengan tanggung jawab tidak saja merupakan hubungan korelasional

tetapi juga hubungan sebab akibat.

1��� Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Page 25: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Mengundang pihak lain untuk turut serta terlibat

dalam pencapaian tujuan bisnis tertentu, sebagaimana

format keagenan, dapat juga disebut sebagai

partnerships. Di dalam sistem hukum Amerika Serikat,

khususnya dalam The Uniform Partnership Act (UPA)

secara khusus dinyatakan bahwa ketentuan hukum

yang berkaitan dengan keagenan diterapkan juga

untuk ketentuan UPA dan partners pada umumnya

dipertimbangkan sebagai agen untuk partners yang

lain serta untuk partnership itu sendiri2. Istilah agen

diartikan sebagai “a fiduciary relationship by which

a party confides to another the management or some

business to be transacted in the former»s name or on

his account, and by which such other assumes to do

the business and render an account of it“.

Dengan demikian sebenarnya menggolongkan agency

sebagai bagian dari partnership merupakan sebuah

perkecualian dari ketentuan partnership pada

umumnya, hal itu disebabkan pengertian partnership

adalah:

“An association of two or more persons to carry on

as co-owners a business for profit.

Hal ini berarti bahwa elemen utama untuk adanya

partnership adalah adanya dua atau lebih orang,

melaksanakan sesuatu, bersama-sama memiliki, dan

untuk tujuan bisnis mencari keuntungan. Syarat co-

owner, diartikan bahwa partners memiliki hak yang

sama untuk berpartisipasi dalam manajemen dari

partnership tersebut serta berhak untuk mendapatkan

bagian dalam keuntungan ataupun kerugian dari

partnership tersebut, hal inilah yang tidak terjadi pada

agency, karena agen hanya ditunjuk untuk melakukan

sesuatu untuk atas nama orang lain, untuk keuntungan

orang lain, dan untuk itu agen diberikan kompensasi

berupa komisi.

Dengan demikian menunjuk partner untuk bertindak

selaku agen dari partner yang lain haruslah secara

spesifik disebutkan dalam perjanjian partnership

atau apabila hal tersebut secara jelas diatur

dalam peraturan tertentu. Untuk itu partner yang

ditunjuk selaku agen harus secara jelas diberikan

kewenangan (actual authority) untuk bertindak

selaku agen, dalam kaitannya melakukan transaksi

dengan pihak ketiga yang akan mengikat partnership.

Actual authority tersebut dapat secara jelas

disebutkan dalam partnership agreement, hal ini

sering dikenal dengan express authority, tetapi

dapat juga tidak secara jelas disebutkan dalam

partnership agreement, hal ini didasarkan pada nature

of partnership relationship, yang sering dikenal dengan

implied authority.

Terdapat sebuah ungkapan yang menarik dalam

sebuah buku business law sebagai berikut:

“It is a universal principle in the Law of agency, that

the power of the agent are to be excercised for the

benefit of the principal only, and not the agent or

third parties“.3

“sudah menjadi rahasia umum dalam hukum

keagenan bahwa kekuatan atau kewenangan agen

hanya untuk mendatangkan keuntungan bagi

principal dan bukan untuk agen atau pihak ketiga”

Dalam sebuah kamus, Black»s Law Dictionary, agency

diartikan sebagai:

“a relationship between two persons, by agreement

or otherwise, where one (the agent) may act on

behalf of the other (the principal) and bind the

principal by words and actions. Relation in which one

person acts for or represents another by letter»s

authority, either in the relationship of principal and

agent, master and servant, or employer or proprietor

and independent contractor. It also designates a place

at which business of company or individual is

transacted by an agent. The relation created by express

or implied contract or by law, whereby one party

delegates the transaction of some lawful business

18

3��� Joseph Story 1779-1845 (Associate Justice of the United States Supreme Court, 1811-1844) dalam Roger LeRoy Miller, Gaylord A. Jentz, Business Law Today, West t Publishing Company, 1994, p 558

2��� Angela Schneeman., The Law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorships, Lawyers Cooperative Publishing., Delmar Publishers Inc, 1993, p 29

Page 26: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

with more or less discretionary power to another,

who undertakes to manage the affair and render to

him an account thereof. Or relationship where one

person confides the managenet of some affair, to be

transacted on his account, to other party. Or where

one party is authorized to certains act for, or in relation

to the rights or property of the other. But means

more than tacit permission, and involves request,

instruction, or command. The consessual relation

existing between two persons, by virtue of which one

is subject to other»s control.4

Lebih lanjut disebutkan bahwa: “agency is the

fiduciary relation wich results from the manifestation

of consent by one person to another that the other

shall act on his behalf and subject to his control, and

consent by the other so to act”5.

Dengan demikian agency adalah hubungan yang

didasarkan pada sebuah kepercayaan penuh yang

merupakan manifestasi dari kesepakatan para pihak

yang mana seseorang menyetujui untuk melakukan

tindakan atau perbuatan hukum tertentu untuk dan

atas nama orang lain, serta di bawah pengawasan

dan persetujuan orang lain.

Dalam kamus lain, disebutkan bahwa “Agency relation

which one person, the agent, act on behalf of another

with the authority of the latter, the principal;

a fiduciary relation wich results from the

manifestation of consent by one person that another

shall act on the former«s behalf and subject to his

control, and consent by the other so to act, the act

of the agent will be binding on his principal.”6

Berdasarkan rumusan di atas maka kata kunci yang

merupakan ciri utama terdapatnya hubungan

keagenan adalah:

1.��� adanya pihak yang memberikan kewenangan

untuk melakukan perbuatan hukum tertentu pada

pihak lain, yaitu principal;

2.��� adanya pihak yang diberikan kewenangan untuk

melakukan perbuatan atau tindakan hukum

tertentu untuk dan atas nama orang lain, yaitu

agen; dan

3.��� hubungan hukum tersebut menimbulkan sebuah

hak dan kewajiban tertentu bagi para pihak, yang

bertumpu pada sebuah doktrin fiduciary duties.

B.��� KONTRAK HUBUNGAN KEAGENAN

Agency adalah keterikatan hubungan antara dua

pihak yang mana pihak satu sering disebut dengan

agen, yaitu pihak yang diberikan kewenangan untuk

melakukan perbuatan untuk dan atas nama serta di

bawah pengawasan pihak lain, yaitu principal. Principal

adalah pihak yang memberikan kewenangan pada

agen untuk melakukan tindakan tertentu serta

melakukan pengawasan tindakan agen. Sedangkan

pihak yang melakukan transaksi dengan agen disebut

dengan third party.

Lebih lanjut, Black»s Law Dictionary memberikan

pengertian:

Agent, a person authorized by another (principal) to

act for or in place of him; one intrusted with another»s

business. One who represent and acts for another

under the contract or relation of agency. A business

representative, whose function is to bring about,

modify, affect, accept performance of, or terminate

contractual obligations between principal and third

persons. One who undertakes to transact some

business, or to manage some affair, for another, by

the authority and on account of the letter, and to

render an account of it. One who acts for or in place

of another by authority from him; a substitute, a

deputy, appointed by principal with power to do the

things which principal may do. One who deals not

only with things, as does a servant, but with a persons,

using with own discretion as to means, and frequently

establishing contractual relation between his principal

and third persons. One authorized to transact all

19

4��� Henry Campbell Black, M.A., Black”s Law Dictionary, ST. Paul , Minn. West Publishing Co, 1991, P 40

5��� Ibid

6��� Steven H. Gifis,. Law Dictionary, Barron»s Educational Series, INC, 1984, p 16

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 27: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

business of principal, or all principal»s business of

some particular kind, or all business at some particular

place.7

Keterikatan hubungan dua pihak tersebut dituangkan

dalam sebuah perjanjian yang dikenal dengan

perjanjian keagenan (agency agreement), yang mana

dengan mendasarkan pada perjanjian tersebut agen

diberikan kewenangan untuk melakukan transaksi,

negosiasi kontrak dengan pihak ketiga yang akan

mengikat pihak principal dalam kontrak tersebut.

Namun demikian, agency secara umum dapat terjadi

baik dengan cara dibuatkan perjanjian tertulis (written

agreement) ataupun terjadi dengan cara lisan (orally),

walaupun perjanjian tertulis lebih menjamin keamanan

para pihak. Di beberapa negara, perjanjian tertulis

dipersyaratkan untuk adanya keagenan yang akan

berlangsung lebih dari satu tahun.

Dengan demikian dalam agency terdapat tiga pihak

utama yaitu principal, agen, dan third party. Principal,

sering juga disetarakan dengan istilah master atau

employer, yaitu pihak yang memiliki hak untuk

memberikan instruksi pada agen, baik untuk

melakukan perbuatan hukum tertentu, juga

bagaimana seharusnya perbuatan tersebut dilakukan,

sedangkan pihak yang lainnya adalah agen. Agen

sendiri sebenarnya dapat dikelompokkan ke dalam

kelas servants atau employees.8. Selain itu terdapat

pihak lain di antara hubungan keagenan antara

principal dengan agen, yaitu pihak ketiga.

Siapakah yang dapat bertindak selaku agen? Pada

dasarnya setiap orang yang mempunyai kapasitas

untuk membuat kontrak dapat ditunjuk selaku agen.

Dengan demikian golongan personal yang tidak dapat

menandatangi kontrak, seperti halnya anak di bawah

umur, dalam pengampuan, pada dasarnya tidak dapat

ditunjuk selaku agen. Namun demikian dapat saja

pengadilan menunjuk pengampu atau wali, untuk

mewakilinya.

Sedangkan pihak yang dapat bertindak selaku

principal, pada dasarnya semua orang kecuali anak

di bawah umur atau di bawah pengampuan, serta

mempunyai kapasitas untuk membuat kontrak,

mempunyai kapasitas untuk mempekerjakan

pembantu dalam kapasitasnya sebagai agen atau

pembantu bukan agen, mempunyai kapasitas secara

hukum untuk memberikan persetujuan operasional

pada pembantunya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa

hubungan keagenan haruslah sesuatu yang dibolehkan

oleh hukum (a lawful purpose), bukan sesuatu yang

dilarang oleh ketentuan hukum (prohibited by law)

atau bertentangan dengan public policy9. Beberapa

hubungan keagenan yang dilarang oleh hukum, antara

lain:

1.��� Professionals licensed, agen yang tidak berlisensi

tidak dapat ditunjuk untuk menjalankan kewajiban

tertentu yang dilakukan profesi tertentu yang

berlisensi, misalnya dokter, pengacara, dan

seterusnya;

2.��� Agen tidak dapat ditunjuk untuk mewakili principal

dalam kaitan dengan hak memberikan suara dalam

pemilihan umum atau ditunjuk untuk melakukan

tindak kriminal tertentu; dan

20

7��� Ibid p 41

8��� Pada umumnya dalam kaitannya dengan legal definitions maka servants atau employees adalah sinonim. Terminologi “servant“ digunakan untuk mendeskripsikan seseorang yang tunduk pada pengawasan dari master atau employer.

9��� Henry R. Cheeseman., Contemporary Essentials of Business Law, Prentice Hall 199, p 434

Principal

Agenkontrak dengan pihak ketiga

untuk dan atas nama principalPihak ketiga

kewajiban principalmelaksanakan kontrak

Agency Contract

Bagan 1

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 28: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

3.��� Agen tidak dapat ditunjuk untuk menjalankan

tugas pelayanan yang bersifat personal, misalnya

bintang film, atlet profesional.

Dalam hubungan keagenan (agency), dapat terjadi

adanya general agent atau special agent. Perbedaan

di antara keduanya sebenarnya hanya pada persoalan

derajat persoalan yang didelegasikan. Special agent

ditunjuk untuk melakukan satu transaksi atau

beberapa transaksi yang simpel, serta jangka

waktunya terbatas dan seringkali tidak berkelanjutan.

Sedangkan general agent digaji oleh principal untuk

melakukan serangkaian transaksi untuk jangka waktu

yang lama. Selain itu kewenangan dan sejumlah

tindakan diskresi (discretion)10 juga dapat dijadikan

pembedaan antara special agent dengan general

agent. General agent lebih banyak mempunyai

kewenangan untuk melakukan diskresi, hak untuk

memilih satu pertimbangan di antara berbagai

alternatif pertimbangan yang ada padanya, daripada

special agent.

Dalam memutuskan apakah general agent ataukah

special agent, pengadilan sebaiknya

mempertimbangkan beberapa hal di bawah ini:

1.��� jumlah tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai

hasil akhir dari kewenangan yang didelegasikan

tersebut;

2.��� jumlah personal yang dibutuhkan kaitannya

dengan persiapan untuk mencapai hasil yang

diinginkan; dan

3.��� lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai

hasil yang diinginkan.

Seorang manajer perusahaan kartu kredit adalah

general agent, tetapi orang yang tugasnya mengantar

barang pada pembeli dari sebuah toko, rumah makan,

yang bersifat free time, adalah special agent.

Dalam Black»s Law Dictionary disebutkan bahwa:

“general agent”, one who authorized to act for his

principal in all matters concerning particular business

or employment of particular nature. Sedangkan

special agent, one to employed conduct a particular

transaction or piece of business for his principal or

authorized to perform a specified act. An agent

authorized to conduct a single transaction or a series

of transaction not involving continuity of service.11

Di Amerika Serikat, permasalahan-permasalahan yang

timbul di bidang keagenan harus dilihat dari beberapa

ketentuan yang mengatur masalah tersebut, yaitu

agency law, contract law, tort law. Selain itu juga

sangat diperhatikan Restatement (Second) of Agency.12

Menurut Restatement of Agency disebutkan bahwa

konsep dasar agency adalah:

1.��� Hubungan atas dasar kepercayaan yang

merupakan manifestasi dari kesepakatan bersama

para pihak yang bersepakat bahwa salah satu

pihak akan melakukan perbuatan hukum tertentu

untuk dan atas nama pihak lain serta tunduk pada

pengawasan dan persetujuan pihak lain;

2.��� Pihak yang mengalihkan perbuatan hukum

tersebut pada pihak lain disebut principal;

3.��� Pihak yang menerima pengalihan disebut dengan

agent.13

Dengan demikian karakter yang melekat pada

keagenan adalah:

1.��� Merupakan hubungan hukum dua pihak, yaitu

principal dan agen;

21

10��� Discretion, the right to use one»s own judgement in selecting between alternatives.

11��� Black»s Law Dictionary, opcit p 41-42

12��� Restatement Agency are treaties that summarize detailed ���recomendation of what the law should be on particular subject. Restatement are not legislature or court made law, they become part of legal precedents when court rely on them and incorporate them into court decisions.

13��� Davidson, Knowles, Forsythe., Business Law; Principles and cases in the Legal Environment, South Western College Publishing, 1996, p 761

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 29: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

2.��� Principal adalah pihak yang memberi kerja dan

agen adalah pihak yang menerima pekerjaan dari

principal;

3.��� Hubungan hukum para pihak tersebut lazimnya

dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis

(written agreement);

4.��� Dengan dibuatnya perjanjian tertulis tersebut

secara otomatis pemberi kerja/principal

mendelegasikan kewenangan (authority) pada

penerima kerja, yaitu agen, untuk mengambil

keputusan dalam melakukan transaksi dengan

pihak ketiga;

5.��� Agen bertindak tidak untuk diri sendiri tetapi

bertindak untuk dan atas nama principal;

6.��� Agen melakukan pekerjaan di bawah pengawasan

principal;

7.��� Principal akan bertanggung jawab penuh atas

tindakan yang dilakukan oleh agen selama

tindakan tersebut dilakukan dalam batas

kewenangan yang diberikan sesuai dengan

perjanjian yang telah disepakati;

8.��� Agen mempunyai kedudukan yang berbeda

dengan pembantu (servant) ataupun

karyawan/pekerja perusahaan (employee).

Agency berkaitan dengan tanggung jawab seseorang

atas tindakan orang lain yang dilakukan untuk

kepentingan principal atau master. Problem utamanya

adalah tanggung jawab principal untuk komitmen

terhadap apa yang sudah dilakukan oleh agennya.

Singkat kata, agency lazimnya hanya berkaitan dengan

transaksi bisnis dan bersifat komersial.

Filosofi dasar keagenan (agency) berakar pada tradisi

hukum Romawi kuno, yang dalam bahasa latin: Qui

facit per alium facit per se – (He who acts through

another acts himself)- siapa yang melakukan

perbuatan/tindakan melalui pihak lain maka seperti

halnya melakukan perbuatan/tindakan sendiri.14

Mendasarkan pada filosofi dasar tersebut, principal

dapat memanen keuntungan dari aktifitas yang

dilakukan agen untuk dan atas nama principal nya.

Sebagai contoh, seorang agen yang ditunjuk dan

disepakati dibayar sejumlah $100 untuk melakukan

penjualan barang tertentu maka principal dapat

memperoleh keuntungan bersih dari aktifitas penjualan

yang dilakukan agennya, baik nilai penjualan tersebut

hanya $100 ataukah $1000.15

Dalam perjanjian keagenan, yang mana principal

memberikan authority pada agen untuk melakukan

pekerjaan tertentu di bawah pengawasan dan

tanggung jawabnya, terdapat kondisi tertentu yang

tetap menuntut principal untuk melakukan pekerjaan

itu sendiri dan tidak dapat didelegasikan pada agen.

Kewajiban untuk principal melakukan tindakan sendiri

tersebut sering dikenal dengan istilah non delegable

obligations16, yaitu suatu kewajiban tertentu yang

mengharuskan principal melakukannya sendiri,

contohnya pembuatan atau penyusunan pernyataan

di bawah sumpah, penandatanganan sebuah

kebijakan, membuat kontrak dengan lawyers, hadir

sebagai saksi di pengadilan dan seterusnya.

C.��� TANGGUNG JAWAB PRINCIPAL DALAM KONTRAK ���

KEAGENAN

Terdapat tiga hubungan hukum yang berbeda, dalam

kaitannya dengan pertanggungjawaban principal

terhadap pihak ketiga:

1.��� the employer/master – employee/servant

relationship;

2.��� the employer – agent relationship; dan

3.��� the employer – independent contractor

relationship.

22

14��� Charles F. Hemphill, Jr., Judy A. Long, Basic Business Law, Second Edition, Regents/Prentice Hall, Englewood Cliffs, New jersey, 1994, p 150

15��� Henry R. Cheeseman,. Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Inc, 2000. P 237

16��� Mallor, Barnes, Bowers, Langvardt, Business Law; The Ethical, Global, ���and E Commerce Environment, Mac Graw Hill, 2004. P 735

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 30: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Pada dasarnya terdapat perbedaan

pertanggungjawaban principal/master/employer

terhadap posisi agen, pembantu (servant),

pekerja/karyawan (employee) di satu pihak dengan

pertanggungjawaban principal/master/employer

terhadap tindakan yang dilakukan oleh independent

contractor. Berdasarkan doktrin respondeat

superrior17 maka principal, master, employer

bertanggung jawab atas kerugian yang timbul

terhadap pihak ketiga yang diakibatkan

kesalahan tindakan dari agen, pembantu,

pekerja, selama perbuatan tersebut dilakukan

masih dalam lingkup pekerjaannya. Sedangkan

principal, employer lazimnya tidak bertanggung jawab

atas tindakan yang menimbulkan kerugian terhadap

pihak ketiga atas kesalahan yang dilakukan oleh

independent contractor.18

Dalam bahasa lain, doktrin respondeat superior sama

dengan teori vicarious liability dalam sebuah korporasi,

bahwa seorang manajer dari sebuah perusahaan akan

bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan

oleh bawahannya, bahkan walaupun manajer telah

mengatakan pesan pada karyawannya untuk tidak

melakukan pelanggaran hukum.19

Kapan respondeat superior20 diterapkan? Pada saat

menentukan apakah doktrin respondeat superior

akan diterapkan atau tidak, maka pengadilan

mendasarkan pada 2 (dua) persyaratan yang harus

ada:

1.��� hubungan master-servant atau employer-employee

antara individual yang menimbulkan kerugian

dengan employer yang akan bertanggung jawab

terhadap kerugian tersebut; dan

2.��� perbuatan yang salah dari pembantu atau pegawai

dilakukan dalam lingkup pekerjaannya.

Pada dasarnya doktrin respondeat superior muncul

karena 3 (tiga) problematika pertanyaan yang tidak

mudah dijawab, yaitu:21

1.��� Tipe atau bentuk agen yang seperti apa yang

dapat menciptakan tanggung jawab bagi principal

atas kesalahan yang dilakukan agen?

2.��� Apakah principal bertanggung jawab atas

kesalahan yang disengaja oleh agennya?

3.��� Apakah agen melakukan kesalahan tersebut dalam

lingkup pekerjaan yang didelegasikan padanya?

Secara umum, justifikasi tanggung jawab master

terhadap kesalahan yang dilakukan oleh servant

(pembantunya), termasuk di dalamnya tanggung

jawab principal terhadap agennya, adalah:

1.��� bahwa master akan lebih berhati-hati dalam

memilih pembantu kaitannya untuk mengurangi

risiko atau menghindari tanggung jawabnya;

2.��� bahwa master akan lebih meningkatkan

pengawasan atas perbuatan yang dilakukan

pembantunya untuk menghindari tanggung

jawabnya;

3.��� bahwa tanggung jawab terhadap pembantu adalah

persoalan biaya dalam melakukan aktifitas bisnis;

4.��� bahwa master adalah pihak yang mendapat

keuntungan atas tindakan yang dilakukan

pembantunya;

5.��� bahwa orang yang mempunyai kekuasaan

melakukan pengawasan atas suatu tindakan

seharusnya adalah orang yang bertanggung jawab

di bidang finansial; dan

6.��� bahwa master dapat mengasuransikan tanggung

jawabnya pada perusahaan asuransi.22

23

17��� Respondeat Superior adalah suatu prinsip dasar yang menyebutkan bahwa “An employer is liable for the torts of an agent commited in the scope of the employment.

18��� Ibid p.230

19��� Constance E. Bagley., Managers and the Legal Environment, Strategies ���for the 21 st Century, West Publishing Company, 1995, p 155

20��� Respondeat superior sama dengan vicarious liability, bahwa prinsipal akan bertanggung jawab atas semua tindakan agen yang dilakukan sebagai bentuk komitmen serta dilakukan dalam lingkup pekerjaan yang didelegasikan padanya. Dalam istilah lain sringkali juga disebut dengan the “deep pocket“ theory: the principal (usually a corporation) has deeper pockets than the agent, meaning that it has the wherewithal to pay the injuries traceable one way or another to events it set in motion.

21��� Jetro K. Lieberman, George J. Siedel, Business Law and the Legal ���Environment, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1985, p 834

22��� Davidson, Knowles and Forsythe, opcit, p 807.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 31: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Dengan demikian doktrin respondeat superior tidak

didasarkan pada suatu ide bahwa master telah

melakukan suatu kesalahan, tetapi hal ini adalah

suatu kekhususan dari sebuah doktrin strict liability23,

bahwa tanggung jawab atas suatu perbuatan yang

merugikan hanya didasarkan karena telah terjadinya

perbuatan atau tindakan tertentu dan bukan

didasarkan pada kesalahan yang dilakukan oleh orang

yang harus mengganti rugi karena perbuatan tertentu.

Filosofi sederhananya bahwa master telah menggaji

pembantu untuk melakukan perbuatan tertentu,

apabila pembantu melakukan kesalahan maka master

seharusnya membayar ganti kerugian yang timbul

karena perbuatan pembantunya. Dengan kata lain,

seseorang seharusnya membayar dan master adalah

pihak yang pada posisi terbaik dapat melakukan

pembayaran tersebut dan menanggung kerugian

yang timbul. Namun demikian respondeat superior

mensyaratkan adanya wrongful act, tindakan yang

salah menurut hukum yang dilakukan oleh pembantu.

Respondeat superior, tidak menjadikan master menjadi

penanggung semua perbuatan pembantunya. Master

hanya akan bertanggung jawab atas tindakan

pembantunya bila tindakan yang dilakukan dalam

menjalankan tugasnya dan dalam lingkup

pekerjaannya. Dengan demikian prinsip dasarnya

pembantu bertanggung jawab atas kesalahan yang

dibuatnya, sedangkan master bertanggung jawab

bila terjadi perkara di pengadilan. Urusan tanggung

jawab master terhadap kesalahan yang dilakukan

pembantunya, berkaitan erat dengan hak yang dimiliki

master untuk melakukan kontrol atau pengawasan

terhadap perbuatan yang dilakukan pembantunya.

Hak melakukan pengawasan yang dimiliki master

tersebut yang membedakan antara pembantu dengan

bukan pembantu. Principal yang mempunyai hak

melakukan kontrol terhadap pembantunya disebut

dengan master, dan pekerja yang diawasi disebut

dengan pembantu (servant).

Doktrin respondeat superior hanya diterapkan pada

pembantu dan tidak diterapkan pada bukan

pembantu, karena master tidak mempunyai hak

melakukan kontrol terhadap nonservant, dan karena

tidak ada kewenangan melakukan pengawasan

terhadap perbuatan yang dilakukan servant maka

pihak ini bukan master.

Dengan demikian prinsip dasarnya berpijak pada

situasi dimana agen harus berposisi sebagai pembantu

(servant) sebelum doktrin respondeat superior

diterapkan, namun demikian dapat saja principal

langsung bertanggung jawab atas kerugian yang

timbul pada pihak ketiga karena kesalahan yang

dilakukan agennya, bahkan walaupun agen tidak

berposisi sebagai pembantu (servant). Sebagai contoh

dalam situasi dimana principal memberikan instruksi

pada agen dalam melakukan kesalahan tindakan,

atau pada situasi dimana principal tidak secara cukup

melakukan pengawasan atau kontrol tindakan yang

dilakukan oleh agennya, atau principal memberikan

persetujuan atau memberikan pengakuan atas

kesalahan yang dilakukan agennya.

Menyimak prinsip dasar doktrin respondeat superior,

yang menjadi pertanyaan adalah apakah respondeat

superior tersebut konstitusional ataukah

inkonstitusional, apakah respondeat superior tersebut

fair ataukah unfair? Di Amerika Serikat, khususnya

US Supreme Court memandang bahwa respondeat

Superior bukanlah tindakan yang unfair ataupun

unconstitusional.

Dalam ketentuan The Restatement (Second) of Agency

di Amerika Serikat, penentuan apakah servant,

pembantu, agen, melakukan perbuatan dalam lingkup

pekerjaannya (scope of authority), faktor-faktor yang

dipertimbangkan adalah:

1.��� Perbuatan tersebut merupakan salah satu jenis

pekerjaan untuk mana dia dipekerjakan untuk

melakukan suatu pekerjaan;

2.��� Perbuatan tersebut secara substansial terjadi dalam

rentang waktu untuk mana ia diberikan

kewenangan dan terjadi dalam waktu yang terbatas;

24

23��� Strict Liability = Liability of an action simply because it occurred, ���not because it is the fault of the person who must pay.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 32: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

3.��� Perbuatan tersebut dilakukan dalam rangka

memberikan pelayanan pada master; dan

4.��� Jika terdapat niat pemaksaan kehendak dari servant

terhadap pihak ketiga maka penggunaan

pemaksaan kehendak tersebut adalah suatu yang

tidak diharapkan oleh master.

Sedangkan pengadilan di Amerika Serikat telah

menerapkan standart yang lebih fleksibel dalam

menentukan apakah perbuatan yang dilakukan agen

dalam lingkup kewenangan yang diberikan principal

padanya atau tidak, beberapa faktor yang

dipertimbangkan adalah:

1.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen secara

khusus diminta atau diberikan kewenangan oleh

principal?

2.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen merupakan

bagian dari pekerjaan untuk mana agen

dipekerjakan?

3.��� Apakah tindakan tersebut secara substansial terjadi

dalam jangka waktu pekerjaan yang didelegasikan

oleh principal?

4.��� Apakah tindakan yang dilakukan agen tersebut

terjadi pada lokasi untuk mana pekerjaan tersebut

dilakukan?

Lebih lanjut beberapa hal yang dipertimbangkan

dalam menentukan apakah perbuatan tersebut dalam

lingkup pekerjaannya, dalam batas kewenangannya

atau tidak, adalah sebagai berikut;

1.��� Apakah tindakan tersebut biasa dilakukan oleh

pembantu tersebut atau tidak;

2.��� Waktu, tempat, dan tujuan perbuatan tersebut

dilakukan oleh pembantu tersebut;

3.��� Hubungan yang terjadi sebelumnya antara master

dan servant;

4.��� Apakah terdapat alasan bahwa master memang

berharap tindakan tersebut akan dilakukan oleh

servant;

5.��� Persamaan dalam kualitas atas tindakan yang

telah dilakukan servant dengan tindakan yang

secara legal diberikan kewenangan;

6.��� Apakah master telah memberikan pengarahan,

pedoman sebelum terjadinya perbuatan servant

yang dianggap keliru tersebut;

7.��� Apakah perbuatan servant tersebut tergolong

kriminal yang serius.24

Dalam banyak kasus, faktor-faktor tertentu

kemungkinan mengindikasikan bahwa apa yang

diperbuat servant adalah dalam lingkup pekerjaannya

sedangkan faktor-faktor yang lain kemungkinan

mengindikasikan sebaliknya.

Dua hal yang sering dijadikan bahan analisis pengadilan

dalam menentukan apakah tindakan yang dilakukan

servant dalam menjalankan pekerjaan dan dalam

lingkup pekerjaannya, adalah waktu dan tempat

tindakan atau peristiwa yang mengakibatkan kerugian

pada pihak ketiga tersebut terjadi. Faktor yang

dipertimbangkan adalah apakah kesalahan yang terjadi

tersebut merupakan bagian tidak terpisahkan dengan

pekerjaannya dan apakah kesalahan tersebut terjadi

dalam waktu atau saat jam kerja.

Berkaitan dengan tindakan pengawasan yang

dilakukan master terhadap tindakan servant maka

berlaku sebuah pedoman bahwa kegagalan master

melakukan pengawasan yang cukup atas tindakan

atau perbuatan yang diserahkan pada pembantu

(servant) akan menimbulkan tanggung jawab atas

kerugian yang timbul pada pihak ketiga yang

ditimbulkan oleh tindakan pembantu.

Bagaimana bila terjadi servant gagal melakukan

perbuatan yang telah diinstruksikan oleh master

padanya? Umumnya master bertanggung jawab atas

kegagalan servant melakukan tindakan yang telah

diinstruksikan padanya. Prinsip dasar respondeat

superior bahwa doktrin ini tidak bermaksud

mengurangi tanggung jawab pelaku, dalam hal ini

servant (pembantu), tetapi doktrin tersebut hanya

menambah pihak lain yang akan bertanggung jawab

2925

24��� Davidson, ibid hal. 809, 810

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 33: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

atas peristiwa yang merugikan yang dilakukan oleh

pembantu, yaitu master.

Permasalahan lain barangkali akan muncul pada saat

menentukan siapakah master yang bertanggung

jawab atas kesalahan yang dilakukan pembantu

(servant) pada saat terjadi peminjaman pembantu

(borrowed servant). Pada saat terjadi kesalahan yang

dilakukan oleh pembantu yang dipinjamkan pada

pihak lain, siapakah master yang bertanggung jawab

dalam peristiwa ini? Dalam kondisi meminjamkan

pembantu pada pihak lain, terjadilah dua master

dalam situasi ini, yaitu master yang meminjamkan

pembantu (lending master) dan master yang dipinjami

pembantu (borrowing master), ataukah kedua master

tersebut bertanggung jawab?

Prinsip dasarnya bahwa master, employer, principal

adalah pihak yang tidak hanya diberikan kewenangan

untuk memberikan perintah untuk melakukan

tindakan tertentu tetapi juga diberikan kewenangan

untuk memberikan perintah atau petunjuk bagaimana

tindakan tersebut seharusnya dilakukan. Dalam situasi

terdapat dua master maka pada dasarnya master

tersebut dapat dikelompokkan dalam dua golongan

yaitu general master25 dan special master.

Dalam kondisi peminjaman pembantu atau servant

dan mengakibatkan terdapatnya dua master, apabila

terjadi kesalahan yang dilakukan pembantu tersebut

yang mengakibatkan kerugian pada pihak ketiga

maka pengadilan kemungkinan akan memutuskan

berbeda satu pengadilan dengan yang lain. Beberapa

pengadilan mungkin akan menetapkan dua master

tersebut bertanggung jawab atas kesalahan yang

dilakukan pembantu yang dipinjamkan tersebut,

dengan dasar alasan bahwa perbuatan pembantu

tersebut di bawah pengawasan kedua master tersebut

dan pekerjaan yang dilakukan pembantu yang

dipinjamkan tersebut adalah untuk keuntungan dua

master tersebut. Pengadilan lain barang kali

memutuskan lain, special masterlah yang bertanggung

jawab atas kesalahan yang diperbuat pembantu yang

dipinjamkan dikarenakan faktanya pembantu tersebut

bekerja untuk kepentingan special agent pada saat

kesalahan tersebut terjadi. Pengadilan yang lain

barangkali akan memutuskan bahwa general agent

yang bertanggung jawab atas kesalahan yang

dilakukan pembantu yang dipinjamkan disebabkan

karena pada akhirnya pembantu yang dipinjamkan

tersebut tunduk pada pengawasan atau kontrol

general master dan digaji oleh general master.

Apabila situasi tersebut dipandang dari sisi pembantu

yang dipinjamkan, patut dijadikan tolok ukur adalah

sebenarnya siapa yang mempekerjakan pembantu

yang dipinjamkan yang melakukan kesalahan dan

mengakibatkan kerugian pada pihak lain? Untuk

menghindari kerumitan tersebut, sebenarnya secara

bijak dapat diperjanjikan terlebih dahulu dalam sebuah

perjanjian tentang siapa yang akan bertanggung

jawab apabila terjadi kerugian yang ditimbulkan oleh

pembantu yang dipinjamkan tersebut, lebih lanjut

ditentukan siapa yang harus menanggung asuransi

pertangungjawaban perbuatan pembantu apabila

menimbulkan kerugian pada pihak lain, apabila risiko

kerugian tersebut akan dilimpahkan pada perusahaan

asuransi.

Melihat konsep pekerjaan agen sebagaimana disebut

pada uraian di atas maka sebenarnya konsep pekerjaan

agen mirip tetapi berbeda dengan pembantu (servants)

dan pekerja/karyawan (employee). Pembantu (servants)

adalah seseorang yang menerima pekerjaan untuk

dan di bawah pengawasan dari principal/master.

Pekerja adalah seseorang yang menerima sebuah

pekerjaan untuk tujuan memperoleh gaji/penghasilan

dan bekerja di bawah pengawasan pemberi kerja

(employer). Baik pembantu ataupun pekerja lebih

bersifat memberikan pelayanan yang bersifat pribadi

(personal service). Pembantu dan pekerja biasanya

bekerja lebih sedikit membutuhkan pertimbangan

atau diskresi sebagai hasil akhir untuk mana dia

26

25��� Pengertian general master dan special master sama halnya dengan pengertian general agent dan special agent. Special agent is employed to complete one transaction or a simple series of transaction. A general ���agent is hired to conduct a series of transaction over the time.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 34: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

dipekerjakan. Pembantu dan pekerja umumnya

digaji karena waktu yang dibutuhkan untuk

melakukan pekerjaan26. Sedangkan agen

umumnya digaji bukan karena waktu yang

dibutuhkan untuk suatu pekerjaan, tetapi agen

digaji utamanya karena keahliannya dalam

bekerja.

Selain agen, pembantu (servants), karyawan/pegawai

(employee), terdapat juga pekerja dengan karakter

khusus yang mirip dengan karakter agen, yaitu

independent contractor. Independent contractor

adalah mereka yang mengikatkan diri dalam suatu

kontrak dengan pihak lain untuk bekerja dengan

metoda yang mereka miliki sendiri dan tanpa adanya

pengawasan atau kontrol dari pemberi kerja, kecuali

hasil pekerjaannya. Selain itu ciri yang lain dari

independent contractor adalah melakukan sebagian

dari sebuah pekerjaan besar, misalnya kontraktor

bangunan. Lebih dari itu ciri utama dari independent

contractor adalah tidak mewakili pemberi pekerjaan

dalam kaitannya dengan hubungan atau transaksi

dengan pihak ketiga, sedangkan agen bekerja untuk

dan atas nama serta merepresentasikan/mewakili

kepentingan principal dalam hubungannya dengan

pihak ketiga.

Independent contractor boleh jadi merupakan agen,

tetapi hal ini bukan merupakan suatu keharusan

untuk menjadi independent contractor. Independent

contractor yang juga bertindak selaku agen wajib

untuk:

1.��� menjalankan fiduciary duties, yaitu the legal duty

to exercise the highest degree of loyalty and good

faith in handling the affairs of the person to whom

the duty is owed; dan

2.��� can bind their principals to contract.27

Pengadilan di Amerika Serikat, telah membuat

beberapa pengecualian bahwa dalam kondisi tertentu

maka principal bertanggung jawab terhadap tindakan

yang dilakukan oleh independent contractor dalam

beberapa situasi, yaitu:

1.��� Apabila sesuatu yang telah diperjanjikan antara

principal dengan independent contractor dilakukan

oleh independent contractor secara melawan

hukum.

2.��� Apabila tindakan yang dilakukan oleh kontraktor

tersebut menimbulkan gangguan terhadap publik.

3.��� Apabila kewajiban yang dilakukan kontraktor

diancam sanksi hukum.

4.��� Apabila pekerjaan yang dilakukan tersebut

menunjukkan terdapat inherently dangerous28,

sifat berbahaya yang timbul yang merupakan ciri

bawaan dari pekerjaan tersebut, contohnya adalah

blasting (pengunaan dinamit untuk memecahkan

sesuatu).

5.��� Apabila employer telah lalai dalam melakukan

seleksi, membuat instruksi, atau melakukan

supervisi terhadap kontraktor.

6.��� Apabila employer telah mempunyai pengetahuan

akan terjadinya situasi yang membahayakan

dengan dibuatnya kontrak dengan kontraktor

tetapi gagal untuk mencegahnya atau

menghentikan sementara waktu atau gagal

mengkoreksinya.29

Sedangkan pertanggungjawaban principal terhadap

tindakan yang dilakukan agen pada dasarnya

didasarkan pada sebuah pedoman bahwa apakah

terdapat authority pada tindakan agen tersebut.

Artinya tindakan agen baru akan mengikat principal

apabila tindakan agen tersebut masuk dalam authority

yang diberikan oleh principal-nya. Dengan demikian

tidak semua tindakan agen menjadi tanggung jawab

principal.

27

26��� Sifat pekerjaan pembantu dan pegawai/karyawan lebih bersifat “ministerial in nature“, dalam Robert T. Cheng and Robert D.Upp, ���Business Law, 1990, West Publishing and Co, p 230.

27��� Davidson., opcit p 767.

28��� Inherently dangerous diartikan sebagai “dangerous from the nature of the work it self”.

29��� Robert T. Cheng and Robert D. Upp, ibid p 231.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 35: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Apakah authority itu? Authority is an agent»s ability

to affect his principal»s legal relation30. Dengan

demikian authority adalah kemampuan yang dimiliki

oleh agen untuk mempengaruhi hubungan hukum

yang dimiliki oleh principal, artinya hubungan hukum

yang dilakukan antara agen dengan pihak ketiga,

yang semestinya menjadi tanggung jawab agen

sendiri, karena authority menjadi berpindah tanggung

jawabnya pada principal.

Pada dasarnya authority terjadi melalui dua bentuk

utama, yaitu actual authority dan apparent authority.

Keduanya didasarkan pada suatu pernyataan yang

jelas mengenai persetujuan dari principal bahwa agen

dibolehkan melakukan tindakan tertentu dan mengikat

principal. Untuk actual authority maka pernyataan

pesetujuan dari principal tersebut haruslah

dikomunikasikan pada agen. Sedangkan untuk

apparent authority maka pernyataan persetujuan dari

principal tersebut haruslah dikomunikasikan pada

pihak ketiga.31

Actual authority terbagi dalam dua bentuk, yaitu

express authority dan implied authority. Actual

authority tercipta karena adanya pernyataan yang

jelas dari principal, baik secara tertulis ataupun lisan.

Agen yang memiliki perintah yang dinyatakan dengan

jelas oleh principal akan mengikat principal atas

tindakannya terhadap pihak ketiga.

Namun demikian dalam praktek, tidak jarang terjadi

principal tidak secara jelas dan tegas memberikan

pernyataan memberikan authority pada agen. Untuk

itu aturan keagenan juga telah melengkapinya dengan

memberikan implied authority pada agen. Agen pada

umumnya mempunyai implied authority dengan

berpedoman pada situasi apakah tindakan tersebut

wajar diasumsikan bahwa principal juga

menginginkan agen melakukan tindakan

tersebut, termasuk di dalamnya adalah tindakan

wajar yang dibutuhkan untuk dilakukan dalam

kaitannya dengan bisnis keagenan, tindakan yang

biasanya dilakukan pada saat melakukan bisnis

keagenan tersebut.

Kadang terjadi agen yang tidak mempunyai actual

authority tetapi masih dapat memberikan kesan

seolah-olah agen mempunyai authority dan hal

tersebut dipercaya oleh pihak ketiga. Untuk melindungi

pihak ketiga dalam situasi seperti ini aturan keagenan

masih memungkinkan mengikat principal dengan

mendasarkan pada apparent authority.

Apparent authority muncul manakala tindakan

principal mengakibatkan pihak ketiga secara wajar

mempercayai bahwa agen diberikan kewenangan

untuk melakukan tindakan tertentu pada pihak ketiga.

Apparent authority sangat tergantung pada apa yang

dikomunikasikan principal pada pihak ketiga, baik

secara langsung atau mengkomunikasikannya melalui

agen. Principal kemungkinan memberikan apparent

authority pada agen dengan cara memberikan

pernyataan langsung pada pihak ketiga, atau

memberikan pernyataan pada agen hal yang serupa

dinyatakan pada pihak ketiga, atau memberikan izin

pada agen untuk berbuat sesuatu yang memberikan

kesan adanya authority pada agen. Agen tidak dapat

memberikan pada dirinya sendiri apparent authority

dan apparent authority tidak terjadi tanpa adanya

persetujuan dari principal. Pada akhirnya pihak ketiga

haruslah secara bijak mempercayai kewenangan agen.

Namun demikian perlu ditegaskan bahwa “apparent

authority” hanya terjadi pada situasi dimana

“menampakkan kesan terdapatnya authority”

dan bukan pada situasi terdapatnya authority

yang sebenarnya, dan hal itu terjadi atau diciptakan

oleh principal.

Tanggung jawab principal terhadap agennya,

kemungkinan tidak saja didasarkan pada aturan

hukum keperdataan, kemungkinan dapat saja terjadi

pertanggungjawaban terhadap hal-hal yang

menyangkut aturan hukum pidana, yaitu pada saat30��� Mallor, Barnes, opcit P 785.

31��� Ibid.

28

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 36: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

agen melakukan tindakan yang menyangkut masalah

pidana. Dalam hal seperti ini, principal dapat saja

tersangkut masalah pidana atas kesalahan yang

diperbuatnya sendiri menyangkut hal-hal yang

berkaitan dengan keagenan, yaitu dalam hal principal

memberikan perintah atau mendorong agen

melakukan tindakan yang diancam pidana.

Beberapa perbuatan yang dapat menyeret principal

dalam masalah pidana antara lain, conspiracy,

solicitation, atau accessory to the crime.32

Conspiracy, an unlawful situation in which two or

more people or corporation plant to engage in an

ilegal act or to use ilegal means to achieve a lawful

objective. Solicitation, a situation in which one

person convinces another to engage in criminal

activity. Accessory to the crime, a situation in which

one person assists another in the commission of a

crime, without being the primary actor.

D.��� PENUTUP

Hubungan antara principal dengan agen dalam

keagenan adalah hubungan hukum berdasarkan

prinsip fiduciary duties, yaitu hubungan yang

didasarkan atas dasar kepercayaan. Dengan demikian

tanggung jawab principal terhadap perbuatan hukum

agen tidak saja didasarkan aturan formal, normatif,

tetapi juga didasarkan pada landasan moral.

29

32��� Davidson, Knowles and Forsythe, opcit p 816.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 37: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

30

Angela Schneeman, The Law of Corporations, Partnerships, and Sole Proprietorships, Lawyers Cooperative Publishing,

Delmar Publishers Inc, 1993.

Charles F. Hemphill,Jr. , Judy A. Long, Basic Business Law, Second Edition, Regents/Prentice Hall, Englewood Cliffs, New

jersey, 1994.

Constance E. Bagley, Managers and the Legal Environment, Strategies for the 21 st Century, West Publishing Company,

1995.

Davidson, Knowles, Forsythe., Business Law; Principles and cases in the Legal Environment, South Western College

Publishing, 1996.

Davidson, Knowles, Business Law; Principles and Cases in the Legal Environment, South Western College Publishing, 1996.

Hanry Camphel Black, M.A,. Black»s Law Dictionary, ST. Paul.Minn, West Publishing Co, 1991.

Henry R. Cheeseman, Contemporary Business Law, Third Edition, Prentice Hall, Inc, 2000.

Henry R. Cheeseman, Contemporary Essentials of Business Law, Prentice Hall, 1999.

Jetro K. Lieberman, George J. Siedel, Business Law and the Legal Environment, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, 1985.

Kenneth W.Clarkson, Roger LeRoy Miller dkk, West Business Law: Text Cases, legal and Regulatory environment, West ���

Publishing Company, St.Paul Newyork Los Angeles San Francisco, Fifth Edition, 1992.

Len Young Smith, Richard A. Mann, Barry S. Roberts, Essentials of Business Law and the Legal Environment, West

Publishing Company, 1992.

Mallor, Barnes, Bowers, Langvardt, Business Law; The Ethical, Global, and E Commerce Environment, Mac Graw Hill, 2004.

Roger LeRoy Miller, Gaylord A. Jentz., Business Law Today, Text & Summarized Cases - Legal, Ethical, Regulatory and

International Environtment, West Publishing Co, 1997.

Steven H. Gifis, Law Dictionary, Barron»s Educational Series, INC, 1984.

William G., James M. McHugh, Susan M. Mchugh, Understanding Business, Irwin, 1990.

DAFTAR PUSTAKA

Page 38: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BANK ATAS TINDAKAN AGENSI PENAGIH HUTANG YANG

MELAWAN HUKUM

Disusun oleh:

Dwiki Oktobrian1

Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia

[email protected]

Abstrac ���

Banks are institutions that collect and distribute public funds. In the matter of funds or credit, appeared several

problems, one of which is the payment of credit problems. Banks often use such issues Agency Debt collectors so that

customers can pay off troubled loans. The fact shows that this agency often uses various methods against the law to

charge such as the use of both physical and verbal violence which is actually a criminal offense such as in the case of

Irzen Octa and Muji Harjo. Related to the case, this article was about finding solutions can be criminally Bank for Debt

Collectors Agency action against the law. Through research normative approach to law and conceptual approaches, and

then analyzed deduction, this article produced some important things. At the moment, there are no penal provisions

that could ensnare the Bank acts in the use of Agency Debt Collectors are against the law. In the future, the Bank acts

that use the Agency Debt Collectors are against the law needs to be criminalized because it acts as a despicable act,

harmful to society, and degrade public trust in the banking world.

Keywords: corporate criminal liability, the agency debt collectors, and unlawful

Abstrak���

Bank merupakan lembaga yang menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam persoalan menyalurkan

dana atau kredit, muncul beberapa persoalan, salah satunya adalah pembayaran kredit yang bermasalah. Persoalan

demikian seringkali Bank menggunakan Agensi Penagih Hutang agar nasabah bisa melunasi kredit yang bermasalah

tersebut. Faktanya menunjukkan bahwa Agensi ini seringkali menggunakan berbagai metode yang melawan hukum

untuk menagih seperti penggunaan kekerasan baik fisik dan verbal yang sesungguhnya merupakan tindak pidana seperti

dalam kasus Irzen Octa dan Muji Harjo. Terkait dengan kasus tersebut, artikel ini hendak menemukan jawaban atas

persoalan bisakah Bank dipertanggungjawabkan secara pidana karena tindakan Agensi Penagih Hutang yang melawan

hukum. Melalui penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual, untuk

kemudian dianalisis secara deduksi, artikel ini menghasilkan beberapa hal penting. Pada saat ini, belum ada ketentuan

pidana yang dapat menjerat perbuatan Bank dalam penggunaan Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum. Pada

masa mendatang, perbuatan Bank yang mempergunakan Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum perlu

dikriminalisasikan karena perbuatan demikian merupakan perbuatan yang tercela, merugikan masyarakat, dan mendegradasi

kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan.

31

Page 39: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

A.��� PENDAHULUAN

Beragamnya kebutuhan manusia menjadikan

kemampuan keuangan menjadi hal penting dari setiap

individu, salah satu cara untuk menunjang hal ini

adalah pengambilan kredit pada bank. Bank sebagai

lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat,

bertugas menyalurkan dana tersebut kepada

masyarakat dengan kredit. Kredit berasal dari bahasa

Yunani “Credere” yang berarti kepercayaannya (truth

atau faith). Karena itu dasar dari kredit adalah

kepercayaan. Definisi kredit menurut Pasal 1 angka

11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 Tentang Perbankan berbunyi:

Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang

dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan

persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam

antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah

jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Dengan demikian seseorang yang memperoleh kredit

pada dasarnya adalah memperoleh kepercayaan,

artinya pihak yang memberikan kredit (kreditur)

percaya bahwa penerima kredit (debitur) akan sanggup

memenuhi segala sesuatu yang telah diperjanjikan.

Persoalannya, seringkali kredit nasabah tidak bisa

membayar tagihan kepada bank. Bank akan

dihadapkan dengan dua pilihan dalam kacamata

normatif, bernegosiasi atau litigasi. Ketika negosiasi

atau non litigasi yang merupakan pilihan pertama

tidak berhasil, tidak serta merta bank menggunakan

upaya litigasi karena upaya demikian membutuhkan

waktu lama dan biaya yang mahal. Kondisi demikian

menjadikan bank tidak jarang menggunakan jasa

Agensi Penagih Hutang atau debt collector (Thomas

Suyatno (1988: 12)).

Agensi Penagih Hutang dalam melakukan penagihan

kartu kredit macet, tercatat beberapa kali melakukan

tindakan melawan hukum seperti penganiayaan pada

29 Maret 2011 di Jakarta seperti sebagaimana

dipublikasikan inilah.com tanggal 30 Juli 2012.

Irzen Octa selaku nasabah Citibank meninggal karena

perlakuan tidak manusiawi oleh Agensi Penagih

Hutang Citibank karena macetnya kredit yang ia

ambil. Nasib lebih baik dialami Muji Harjo selaku

nasabah kartu kredit bank UOB Buana pada 27

Oktober 2009, Muji Harjo menderita luka parah

karena keretakan pada tulang mata dan tulang kening

akibat kekerasan Agensi Penagih Hutang sehingga

harus menjalani rawat inap, sebagaimana

dipublikasikan tribunnews.com tanggal 14 Februari

2012. Perbuatan penganiayaan merupakan perbuatan

yang bersifat melawan hukum, karena penganiayaan

adalah perbuatan yang dilarang dalam KUHP.

Berdasarkan Pasal 351 ayat (2), penganiayaan yang

mengakibatkan luka berat diancam dengan pidana

penjara maksimal lima tahun. Dalam Pasal 351 ayat

(3) mengatur bahwa penganiyaan yang mengakibatkan

kematian diancam dengan pidana penjara maksimal

tujuh tahun.

Makalah ini akan mengkaji bagaimanakah hukum

pidana memandang pertanggungjawaban pidana

bank atas penggunaan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum. Makalah ini disusun berdasarkan

hasil amatan sekilas bahwa banyak terjadi kasus

mengenai kekerasan yang dilakukan Agensi Penagih

Hutang namun tidak pernah ada pemidanaan terhadap

bank selaku pihak yang menyuruh melakukan

perbuatan yang dilakukan Agensi Penagih Hutang.

Atas hal tersebut lah, makalah ini disusun dengan

judul Pertanggungjawaban Bank Atas Tindakan

Agensi Penagih Hutang Yang Melawan Hukum.

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam latar

belakang, dirumuskanlah beberapa permasalahan

berikut:

1.��� Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Bank

atas tindakan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum pada saat ini?

32

1��� Dosen tidak tetap pada Universitas Komputer Indonesia, Bandung

Page 40: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

2.��� Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana Bank

atas tindakan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum pada saat yang akan datang?

B.��� TINJAUAN PUSTAKA

1.��� Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Terdapat tiga permasalahan pokok dalam hukum

pidana yakni perbuatan, pertanggungjawaban,

dan pidana (Tongat (2009: 4)). Dalam membahas

pertanggungjawaban pidana, terdapat dua

permasalahan yang dikaji yakni kedudukan pelaku

sebagai subjek hukum pidana dan kesalahan

pelaku dalam terjadinya tindak pidana. Subjek

hukum pidana semula hanya sebatas mengakui

individu, sehingga tertutup kemungkinan

pengaturan lain selain individu. Hal demikian akan

nampak dalam rumusan Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) melalui rumusan

“barangsiapa”. Perkembangan sejak tahun 1955,

melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt 1955

tentang Tindak Pidana Ekonomi, telah terjadi

pergeseran pemikiran bahwa selain individu,

hukum pidana sudah mengakomodir korporasi

sebagai subjek hukum pidana.

Loebby Loqman memandang bahwa pengertian

korporasi yang diatur dalam perundang-undangan

umumnya dirumuskan sebagai kumpulan orang

dan atau kekayaan yang terorganisasi baik

merupakan badan hukum maupun bukan badan

hukum. Rumusan demikian nampak dalam Pasal

1 butir 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(Loebby (2002:32)). Korporasi sebagai subjek

hukum didasarkan pada teori organ yang

mendalilkan perbuatan pengurus atau pegawai

korporasi (bank) dipersamakan dengan perbuatan

korporasi itu sendiri (Setiyono (2013:63)).

Menurut Otto von Gierke, korporasi membentuk

kehendaknya dengan perantaraan organ-organnya

seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya

melalui organ mulutnya atau melalui organ

tangannya jika kehendak itu hendak dituliskan.

Sehingga apa yang diputuskan oleh manusia

sebagai organ korporasi menjadi cerminan dari

kehendak korporasi itu sendiri (Setiyono (2013:60)).

Pada saat ini, berbagai undang-undang yang

disahkan telah mengakomodir konsep demikian

sehingga pada akhirnya dengan sendirinya telah

disepakati bahwa subjek hukum pidana kini terdiri

dari individu dan korporasi.

Dalam menentukan kesalahan korporasi, dapat

ditentukan dengan teori vicarious liability. Menurut

Nyoman Serikat Putra Jaya, vicarious liability

dimaknai sebagai atasan (the master) baik dalam

bentuk individu atau korporasi bertangungjawab

terhadap perbuatan dari seorang bawahan

(subordinate, the servant) dalam kerangka

pekerjaan bawahan tersebut (Nyoman (2014:25)).

Berdasarkan hal tersebut, maka untuk menentukan

kesalahan korporasi dapat ditentukan dari

perbuatan pekerja korporasi tersebut, atau dengan

kata lain kesalahan pekerja korporasi dianggap

sebagai kesalahan dari korporasi itu sendiri

Muladi berpandangan bahwa konsep demikian

bertujuan untuk mengatur kompensasi terhadap

pihak ketiga yang dirugikan oleh bawahan dari

atasan, sedangkan bawahan tersebut sedang

menjalankan pekerjaan yang ditugaskan oleh

atasan tersebut (Muladi, 2004: 4)). Cristina de

Maglie mengemukakan bahwa terdapat beberapa

syarat yang diperlukan agar suatu korporasi dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana

berdasarkan vicarious liability, adapun beberapa

syarat yang dimaksud adalah berikut:

a.��� Agen korporasi melakukan kejahatan,

b.��� Ketika bertindak dalam ruang lingkup

kepegawaian atau pekerjaan, dan

c.��� Dengan tujuan menguntungkan korporasi

(Setiyono (2013:77)).

Korporasi merupakan suatu entitas yang memiliki

aset ekonomi yang relatif besar dan identik dengan

33

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 41: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

kebal terhadap tuntutan hukum. Pemidanaan

terhadap kejahatan yang dilakukan korporasi

justru dapat membuktikan kepada masyarakat

bahwa konsep negara hukum memang berlaku

di Indonesia, sekalipun pelaku memiliki kedudukan

ekonomi yang besar.

2.��� Hubungan Hukum antara Bank dan Agensi

Penagih Hutang

Penggunaan Agensi Penagih Hutang oleh Bank

menunjukkan bahwa terdapat hubungan hukum

antara kedua pihak tersebut. Hubungan hukum

tersebut berbentuk suatu perjanjian kerja sama.

Perjanjian kerja sama demikian perlu dianalisis

lebih lanjut mengenai bentuknya, apakah tergolong

sebagai pemberian kuasa ataukah sebagai

pendelegasian wewenang.

Dalam bentuk pemberian kuasa, Bank bertindak

selaku pemberi kuasa dan Agensi Penagih Hutang

bertindak bertindak selaku Penerima Kuasa.

Cakupan kuasa dituangkan dalam Perjanjian

Pemberian Kuasa. Dalam hal ini, Agensi Penagih

Hutang bertindak atas nama Bank sesuai dengan

cakupan kuasa yang diterimanya dari Bank, maka

tanggung jawab pelaksanaan pekerjaan penagihan

piutang bank oleh Agensi Penagih Hutang menjadi

tanggung jawab Bank.

Dalam bentuk Pendelegasian Kewenangan, Bank

bertindak selaku Pemberi Kerja dan Agensi Penagih

Hutang bertindak selaku Pelaksana Kerja. Cakupan

pekerjaan dituangkan dalam perjanjian kerja sama.

Dalam hal ini, Bank dalam posisi sebagai penerima

hasil kerja yang dilakukan oleh Agensi Penagih

Hutang. Perbuatan Agensi Penagih Hutang

menagih piutang Bank, menjadi tanggung jawab

Agensi Penagih Hutang. Agensi Penagih Hutang

bertindak untuk Bank, tapi bukan atas nama Bank.

Menurut Auria Darsil, hubungan hukum yang

terjadi antara Bank dengan Agensi Penagih Hutang

bisa berbentuk dua hubungan hukum yakni

pengalihan hutang piutang (cessie) yang diatur

dalam Pasal 316 KUHperdata atau hubungan

pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792

KUHPerdata (Kukuh (2012: 25)).

Pasal 316 KUHPerdata

Penyerahan piutang-piutang atas nama dan

barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan

dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah

tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-

barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak

ada akibatnya bagi yang berutang sebelum

penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau

disetujuinya secara tertulis atau diakuinya.

Pasal 1792 KUHPerdata

Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang

berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain

yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu

atas nama orang yang memberikan kuasa.

Hubungan hukum model demikian, dalam dunia

perbankan hanya diakui sebatas pada kartu kredit.

Penggunaan Agensi Penagih Hutang dalam

perkreditan diatur dalam Surat Edaran Bank

Indonesia No.11/10/DASP tentang Penyelenggaraan

Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan

Kartu sebagaimana telah diubah beberapa kali,

terakhir dengan Surat Edaran Bank Indonesia

No.16/25/DKSP. Pada BAB VII, Hurud D, Angka 4

dinyatakan bahwa:

Dalam bekerja sama dengan perusahaan penyedia

jasa penagihan Kartu Kredit, Penerbit APMK wajib

memperhatikan dan memenuhi ketentuan:

a.��� penagihan Kartu Kredit dapat dilakukan oleh

Penerbit Kartu Kredit dengan menggunakan

tenaga penagihan sendiri atau tenaga

penagihan dari perusahaan penyedia jasa

penagihan;

b.��� dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik

menggunakan tenaga penagihan sendiri atau

tenaga penagihan dari perusahaan penyedia

jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib

memastikan bahwa:

34

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 42: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

1)��� tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan

yang memadai terkait dengan tugas penagihan

dan etika penagihan sesuai ketentuan yang

berlaku;

2)��� identitas setiap tenaga penagihan

ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit

Kartu Kredit;

3)��� tenaga penagihan dalam melaksanakan

penagihan mematuhi pokok-pokok etika

penagihan sebagai berikut:

a)��� menggunakan kartu identitas resmi yang

dikeluarkan Penerbit Kartu Kredit, yang

dilengkapi dengan foto diri yang

bersangkutan;

b)��� penagihan dilarang dilakukan dengan

menggunakan cara ancaman, kekerasan

dan/atau tindakan yang bersifat

mempermalukan Pemegang Kartu Kredit;

c)��� penagihan dilarang dilakukan dengan

menggunakan tekanan secara fisik maupun

verbal;

d)��� penagihan dilarang dilakukan kepada pihak

selain Pemegang Kartu Kredit;

e)��� penagihan menggunakan sarana

komunikasi dilarang dilakukan secara terus

menerus yang bersifat mengganggu;

f)��� penagihan hanya dapat dilakukan di tempat

alamat penagihan atau domisili Pemegang

Kartu Kredit;

g)��� penagihan hanya dapat dilakukan pada

pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00

wilayah waktu alamat Pemegang Kartu

Kredit; dan

h)��� penagihan di luar tempat dan/atau waktu

sebagaimana dimaksud pada huruf f) dan

huruf g) hanya dapat dilakukan atas dasar

persetujuan dan/atau perjanjian dengan

Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.

Selain memenuhi pokok-pokok etika penagihan

sebagaimana dimaksud pada huruf a) sampai

dengan huruf h), Penerbit Kartu Kredit juga

harus memastikan bahwa pihak lain yang

menyediakan jasa penagihan yang bekerja

sama dengan Penerbit Kartu Kredit juga

mematuhi etika penagihan yang ditetapkan

oleh asosiasi penyelenggara APMK.

c.��� dalam hal penagihan Kartu Kredit dilakukan

menggunakan tenaga penagihan dari

perusahaan penyedia jasa penagihan, maka

selain berlaku ketentuan sebagaimana

dimaksud pada huruf b, juga berlaku ketentuan

sebagai berikut:

1)��� penagihan Kartu Kredit menggunakan

tenaga penagihan dari perusahaan

penyedia jasa penagihan hanya dapat

dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit

dimaksud telah termasuk dalam kualitas

macet berdasarkan kriteria kolektibilitas

sesuai ketentuan Bank Indonesia yang

mengatur mengenai kualitas kredit;

2)��� kerja sama antara Penerbit Kartu Kredit

dengan perusahaan penyedia jasa

penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai

prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang

melakukan penyerahan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain,

dan peraturan perundang-undangan yang

berlaku; dan

3)��� Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin

kualitas pelaksanaan penagihan Kartu

Kredit oleh perusahaan penyedia jasa

penagihan sama dengan jika dilakukan

sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit.

Menurut Pasal 4 Surat Keputusan Direktur Bank

Indonesia Nomor 30/267/KEP/DIR, pengertian

kolektibilitas diragukan mengandung arti bila

menunggak lebih dari 120 hari hingga 180 hari,

sedangkan pengertian kolektibilitas macet bila

tunggakan di atas 180 hari (6 bulan). Surat Edaran

Bank Indonesia No.11/10/DASP tentang

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran

dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah

diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran

Bank Indonesia No.16/25/DKSP memberikan

35

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 43: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

perintah kepada Bank selaku penerbit kartu kredit

menjamin penagihan oleh pihak lain yakni Agensi

Penagih Hutang menunjukkan bahwa perjanjian

kerja sama antara keduanya tergolong sebagai

bentuk perjanjian kerja sama pemberian kuasa.

Dengan demikian, segala macam akibat hukum

yang timbul dari perjanjian ini menjadi tanggung-

jawab Bank selaku penerbit kartu kredit.

Hal demikian pun dibenarkan dalam Surat Edaran

Bank Indonesia No.11/10/DASP tentang

Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran

dengan Menggunakan Kartu sebagaimana telah

diubah beberapa kali, terakhir dengan Surat Edaran

Bank Indonesia No.16/25/DKSP. Dalam surat edaran

tersebut, terdapat perintah agar perjanjian antara

Bank dan Agensi Penagih Hutang perlu

mencantumkan klausula yang berisi Bank selaku

Penerbit Kartu Kredit bertanggung jawab terhadap

segala akibat hukum yang timbul akibat dari kerja

sama dengan pihak lain tersebut. Bank menjadi

tidak bertanggung jawab secara hukum manakala

Agensi Penagih Hutang bertindak di luar hubungan

perjanjian antara dirinya dengan Bank.

C.��� HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1.��� Hasil Penelitian

Dalam penyelesaian tagihan kartu kredit

bermasalah, bank dapat melakukan dua upaya

baik litigasi maupun non litigasi. Namun di

samping dua alternatif tersebut, bank terkadang

melakukan upaya lain yakni menggunakan jasa

Agensi Penagih Hutang. Agensi ini adalah pihak

ketiga yang menghubungkan kreditur dan debitur

dalam penagihan kredit telah masuk dalam

kategori kolektabilitas diragukan atau macet.

Bank mempunyai alasan tersendiri dalam

penggunaan Agensi Penagih Hutang, bahwa

penggunaan upaya litigasi ketika non litigasi

gagal, senyatanya membutuhkan waktu lama

atau dengan kata lain ada aspek kepraktisan yang

dipandang oleh Bank.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun

1992 tentang Penyelesaian Perkara di Pengadilan

Tinggi dan Pengadilan Negeri membutuhkan

waktu maksimal 6 bulan. Kalaupun waktu

maksimal tersebut digunakan untuk menyelesaikan

persolalan kredit dengan kategori diragukan atau

macet, diperlukan biaya dan waktu yang tidak

sedikit dalam melakukan upaya eksekusi atau

pelaksanaan putusan, belum termasuk upaya

hukum selanjutnya yang sangat mungkin

dipergunakan oleh nasabah (Masrudi (2013: 1-

2)). Dengan demikian, terdapat aspek kepraktisan

yang dikejar oleh Bank dalam menghadapi tagihan

kredit yang bermasalah.

Alasan tersebut menurut hemat penulis adalah

masuk akal, namun tetap tidak dapat dibenarkan.

Kebijakan menggunakan Agensi Penagih Hutang

bisa digolongkan sebagai kebijakan yang melawan

hukum dalam pengerjaan tugas penagihan kredit

terdapat nuansa pidana semacam kekerasan fisik

atau verbal. Asumsi yang dapat diajukan perihal

demikian, bahwa agensi ini akan menggunakan

segala macam cara untuk mendapatkan bayaran

tagihan nasabah.

Surat Edaran Bank Indonesia No. 11/10/DADP

Perihal Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran

Dengan Menggunakan Kartu, mengatur syarat-

syarat yang harus dipenuhi oleh bank dalam

penggunaan jasa pihak ketiga untuk penagihan

kredit macet, syarat tersebut adalah:

a.��� Kualitas tagihan kartu kredit telah masuk

kolektabilitas diragukan atau macet;

b.��� Penagihan pihak lain dilakukan dengan cara

yang tidak melanggar hukum;

c.��� Dalam perjanjian kerja sama antara penerbit

dan pihak lain untuk melakukan penagihan

transaksi kartu kredit tersebut harus memuat

klausul tentang tanggung jawab penerbit

terhadap segala akibat hukum yang timbul

akibat dari kerja sama dengan pihak lain.

36

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 44: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Ketentuan demikian pun dipertegas dalam

Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/2009

tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat

Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu. Dalam

Pasal 17 ayat (5) dinyatakan bahwa penerbit kartu

kredit wajib menjamin bahwa penagihan atas

transaksi kartu kredit, baik yang dilakukan oleh

penerbit kartu kredit sendiri atau menggunakan

jasa pihak lain, dilakukan sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan dengan Surat Edaran Bank

Indonesia.

Penggunaan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum oleh Bank merupakan suatu

tindak pidana, karena Bank terkategori sebagai

“penyuruh” dalam tindak pidana tersebut. Bank

adalah korporasi yang merupakan subjek hukum

dalam hukum pidana. Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun1992 tentang Perbankan,

mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 46 sampai

Pasal 50 A dan dikualifikasikan secaca yuridis

sebagai kejahatan. Ketentuan pidana dalam pasal-

pasal tersebut berisi beberapa tindak pidana, di

antaranya:

a.��� Menghimpun dana dari masyarakat secara

ilegal, yang diatur dalam Pasal 46;

b.��� Sengaja memaksa bank memberikan

keterangan mengenai nasabah penyimpan

dan simpanannya, yang diatur dalam Pasal 47;

c.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau

pegawai bank yang sengaja tidak memberikan

keterangan yang wajib dipenuhi, yang diatur

dalam Pasal 48;

d.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau

pegawai bank yang sengaja memanipulasi

pencatatan, yang diatur dalam Pasal 49 ayat

(1);

e.��� Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau

pegawai bank yang sengaja menerima sesuatu

untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya

agar mengeluarkan kebijakan bank, yang diatur

dalam Pasal 49 ayat (2);

f. ��� Pihak terafiliasi yang dengan sengaja tidak

melaksanakan langkah-langkah yang

diperlukan untuk memastikan ketaatan bank

terhadap peraturan perundang-undangan

yang berlaku bagi bank, yang diatur dalam

Pasal 50;

g.��� Pemegang saham yang dengan sengaja

menyuruh dewan komisaris, direksi, atau

pegawai bank untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan yang mengakibatkan

bank tidak melaksanakan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku bagi bank,

yang diatur dalam Pasal 50A.

Mencermati semua tindak pidana yang diatur

dalam ketentuan pidana dalam Undang-Undang

Perbankan, menunjukkan bahwa tidak ada

pengaturan sama sekali mengenai tindak pidana

penggunaan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum. Hal demikian dirasa kurang,

mengingat beberapa peristiwa menunjukkan

bahwa Bank seringkali menggunakan jasa

demikian. 29 Maret 2011 di Jakarta, Irzen Octa

selaku nasabah Citibank meninggal karena

perlakuan tidak manusiawi oleh Agensi Penagih

Hutang Citibank karena macetnya kredit yang ia

ambil. Ironisnya, locus delcti dari peristiwa

memilukan ini berada di ruang negosiasi Citibank

sendiri, sebagaimana dipublikasikan vivanews.co.id

19 Januari 2012. Sedangkan Muji Harjo selaku

nasabah kartu kredit bank UOB Buana pada 27

Oktober 2009, karena macetnya kredit sebesar

Rp12.000.000,- maka UOB menunjuk PT. Goti

Wai Surut untuk mengerahkan Agensi Penagih

Hutang. Akibat perbuatan melawan hukum ini,

Muji Harjo menderita luka parah karena keretakan

pada tulang mata dan tulang kening sehingga

harus menjalani rawat inap di RS Boromeus

Bandung selama 3 hari dengan dengan biaya

jauh lebih besar dari total hutangnya yakni

Rp70.000.000,- sebagaimana dipublikasikan

detik.com 1 April 2011.

37

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 45: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Hal lain yang perlu dipahami juga, Undang-

Undang Perbankan yang berlaku saat ini belum

mengakomodir konsep korporasi sebagai subjek

hukum pidana. Subjek hukum pidana yang diatur

baru sebatas individu berupa “barangsiapa”,

“pihak terafiliasi”, “Anggota Dewan Komisaris”,

“Direksi”, “pegawai bank”. Pembentuk Undang-

Undang Perbankan nampak membuat undang-

undang yang tertinggal dari perkembangan

hukum, padahal korporasi sebagai subjek sudah

diatur melalui Undang-Undang Nomor 7 Drt

Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi.

Ketiaadaan pengaturan penggunaan Agensi

Penagih Hutang yang melawan hukum oleh Bank,

menjadikan Bank tidak dapat dituntut secara

pidana dengan dalil pertanggungjawaban pidana

korporasi. Adapun yang bisa didalilkan adalah

dengan menerapkan ketentuan penyertaan dalam

Pasal 55 ayat (1) KUHP yang sesungguhnya hanya

berlaku bagi individu, bukan berlaku untuk

korporasi. Adapun rumusan pasal tersebut adalah

sebagai berikut:

Dipidana sebagai pembuat (dader) sesuatu

perbuatan pidana:

Ke-1��� mereka yang melakukan, yang menyuruh

melakukan dan yang turut serta melakukan

perbuatan;

Praktik penggunaan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum oleh Bank perlu dilakukan

kriminalisasi karena perbuatan demikian adalah

perbuatan yang tercela dan mencederai iklim

perbankan yang sangat membutuhkan

kepercayaan dari masyarakat untuk dapat

menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali kepada masyarakat.

Instrumen hukum pidana harus dapat digunakan

terhadap perbuatan tercela. Hukum pidana

memiliki kedudukan sebagai seperangkat norma,

dogma, dan sistem ukuran yang menempatkan

tingkah laku individu manusia sebagai objek

sekaligus subjek utama dalam pengaturannya

sehingga berfungsi mempertahankan ketertiban

dan memelihara ketenteraman yang ada dalam

pergaulan masyarakat (Najih (2008:18)).

Hukum Pidana Indonesia pada saat ini berpegang

teguh pada Asas Legalitas yang diatur dalam asal

1 ayat (1) KUHP yang menyatakan “tiada suatu

perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan

aturan pidana dalam peraturan perundang-

undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu

dilakukan”. Asas ini memiliki dua pemahaman,

dimana:

a.��� Perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum

apabila perbuatan tersebut sudah dirumuskan

dalam undang-undang sebagai perbuatan

yang diancam pidana.

b.��� Hal yang dapat menghapus sifat melawan

hukumnya perbuatan hanyalah dapat

dilakukan melalui pencabutan oleh undang-

undang (Tongat (2009: 196)).

Tiadanya ketentuan pidana yang dapat menjerat

perbuatan Bank yang mempergunakan Agensi

Penagih Hutang yang melawan hukum, membuat

perbuatan Bank tersebut tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum pidana.

Manakala negara memaksakan jeratan pidana

terhadap Bank, maka berdasarkan asas legalitas

justru tindakan demikian tidak dibenarkan. Kondisi

demikian membuat pemahaman bahwa tidak ada

sarana pidana yang disediakan negara untuk

menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh

Agensi Penagih Hutang yang diperintah oleh Bank.

Muladi dan Barda Nawawi Arief pernah

mengemukakan bahwa ketiadaan sarana pidana

dalam menanggulangi kejahatan dapat berakibat

pada meningkatnya angka kriminalitas kejahatan

tersebut (Muladi dan Barda (1984:159). Apa yang

dialami Irzen Octa dan Muji Harjo bisa jadi

merupakan hanya sebagian kecil saja korban

Agensi Penagih Hutang, artinya tidak menutup

kemungkinan potensi terjadinya korban lainnya

yang belum diketahui. Menghadapi nasabah

kredit yang bermasalah tentu bukan hal yang

38

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 46: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

menyenangkan bagi Bank, hanya saja terhadap

penggunaan kekerasan baik fisik atau verbal dalam

penagihan kredit bermasalah tersebut tidaklah

dibenarkan. Manakala perbuatan penggunaan

kekerasan tersebut terjadi, sudah seyogyanya

sebagai negara hukum yang diatur dalam Pasal

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 maka negara perlu hadir melalui

penggunaan aparat penegak hukum.

Penggunaan sarana pidana merupakan bagian

dari kebijakan kriminal yang mengandung makna

usaha rasional dari masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan (Heru (2011:5)).

Kebijakan kriminal sendiri merupakan bagian

daripada kebijakan perlindungan sosial, negara

melindungi masyarakatnya dari kejahatan melalui

kebijakan kriminal (Barda (2011:34)).

Dengan mengacu pada fakta negara tidak

mengatur perbuatan Bank menggunakan Agensi

Penagih Hutang yang melawan hukum, dapat

diartikan bahwa negara tidak memberikan

perlindungan hukum bagi nasabah.

Perlu dipahami bahwa munculnya nasabah yang

kreditnya terkategori “diragukan” atau “macet”,

dapat ditafsirkan sebagai fenomena dimana Bank

tidak mampu menganalisis kemampuan

membayar calon nasabahnya sendiri. Hal demikian

juga merupakan pelanggaran salah satu prinsip

dalam dunia perbankan yakni prinsip kehati-

hatian yang diatur dalam Pasal 29 Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang dalam

penjelasannya mengandung makna bahwa “bank

wajib memiliki dan menerapkan sistem

pengawasan intern dalam rangka menjamin

terlaksananya proses pengambilan keputusan

dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan

prinsip kehati-hatian.” Perbuatan Bank dalam

menggunakan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum menunjukkan bahwa perbuatan

tersebut didasarkan bukan pada aspek rasio,

melainkan pada aspek emosional pimpinan Bank

yang menganggap sudah tidak memiliki metode

lain dalam penagihan kredit dengan kolektabilitas

diragukan atau macet.

2.��� Pembahasan

Dalam ilmu hukum pidana yang berkembang saat

ini, baik dimensi nasional ataupun dimensi global

telah menunjukkan perkembangan untuk

memperluas subjek tindak pidana yang tidak

sebatas individu, melainkan juga korporasi.

Braithwaite menjelaskan bahwa urgensi memidana

korporasi (dalam hal ini Bank) karena motivasi

tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi bukan

bertujuan untuk kepentingan pribadi, melainkan

untuk mencari keuntungan korporasi melalui

seperangkat kebijakan yang dirumuskan

pimpinannya (Rufinus (2013: 3)).

Pemidanaan terhadap korporasi diperlukan dalam

rangka memberikan efek jera bagi korporasi yang

melakukan kejahatan (Fuady, (2013:197)).

Friedman berpandangan bahwa pemidanaan

terhadap korporasi tidak dilihat sebagai akibat

dari kerugian personal dan banyaknya kasus

kejahatan yang dilakukan korporasi, melainkan

pemindaan terhadap korporasi dilihat sebagai

penghinaan publik dan stigma yang melekat pada

perbuatan yang didakwakan terhadapnya (Dwidja

(2002:4). Landasan teoritis yang dapat

dipergunakan dari argumentasi demikian dibagi

dalam dua aspek yakni landasan korporasi sebagai

subjek hukum dan landasan pertanggungjawabaan

pidana korporasi. Korporasi sebagai subjek hukum

didasarkan pada teori organ yang mendalilkan

perbuatan pengurus atau pegawai korporasi (bank)

dipersamakan dengan perbuatan korporasi itu

sendiri (Setiyono (2013:63)).

Dalil mengenai pembenar pertanggungjawaban

pidana korporasi dapat ditemukan melalui teori

imputasi dari Nina H.B. Jorgensen bahwa korporasi

bertanggungjawab atas perbuatan dan kesalahan

dari pelayannya yang bertindak atas nama

korporasi (Nyoman (2014: 25)). Teori ini dikenal

39

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 47: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

juga dengan nama lain The Doctrine of Respondeat

Superior atau Vicarious Liability, doktrin klasik

yang berasal dari pengadilan Inggris dan Perancis

yang mengatur bahwa perbuatan dari seorang

bawahan akan dikaitkan dengan korporasi dimana

bawahan itu bekerja (Muladi dan Dyah (2013:

16)). Bahkan di Amerika, doktrin ini berkembang

dengan melepaskan diri dari mens rea atau sikap

batin jahat sehingga tidak dibutuhkan jawaban

atas pertanyaan apakah korporasi memiliki sikap

batin jahat yang penting adalah unsur si pegawai

bekerja dalam lingkup pekerjaannya (Muladi dan

Dyah (2013: 16)). Model Amerika demikian

dinamakan sebagai strict liability.

Agensi Penagih Hutang sebagai pihak ketiga yang

mengurusi urusan penyelesaian kredit bermasalah,

bekerja berdasarkan perintah bank selaku

korporasi. Hubungan demikian menjadikan setiap

tindakan Agensi ini yang berkaitan dengan tugas

penagihan menjadi tanggung jawab Bank,

termasuk bila Agensi ini melakukan tindak pidana

dalam penagihan tersebut. Berdasarkan apa yang

dialami Irzen Octa dan Muji Harjo, Agensi memiliki

kecenderungan melakukan segala macam cara

yang digunakan untuk menagih. Hal demikian

terlalu berisiko hukum bagi Bank, Bank seyogyanya

berkenan mempergunakan sarana penyelamatan

kredit yang telah ditentukan Pasal 1 angka 25

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PBI/2005

tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

yakni restrukturisasi. Restrukturisasi adalah upaya

perbaikan yang dilakukan Bank dalam kegiatan

perkreditan terhadap debitur yang mengalami

kesulitan untuk memenuhi kewajibannya, yang

dilakukan antara lain melalui:

a.��� Penurunan suku bunga Kredit;

b.��� Perpanjangan jangka waktu Kredit;

c.��� Pengurangan tunggakan bunga Kredit;

d.��� Pengurangan tunggakan pokok Kredit;

e.��� Penambahan fasilitas Kredit; dan atau

f.��� Konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal

Sementara.

Ketentuan pertanggungjawaban pidana bagi bank

yang menggunakan Agensi Penagih Hutang yang

melawan hukum perlu dilakukan pembaharuan

melalui kriminalisasi. Kriminalisasi merupakan

tindakan atau penetapan penguasa mengenai

perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh

masyarakat atau golongan-golongan masyarakat

dianggap sebagai perbuatan yang dapat dipidana

menjadi perbuatan pidana (Soerjono (1981:62)).

Perbuatan yang sepatutnya dapat dipidana atau

dikriminalisasikan pada umumnya adalah perbuatan

yang dipandang merugikan atau membahayakan

suatu kepentingan hukum (Fitriana (2007:161).

Menurut Sudarto kiranya perlu dipenuhi beberapa

syarat dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan,

yakni: (Sudarto (1977:44)

a.��� Penggunaan hukum pidana bertujuan untuk

menanggulangi kejahatan dan mengadakan

pengugeran terhadap tindakan

penanggulangan itu sendiri, demi

kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.

b.��� Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah

atau ditanggulangi dengan hukum pidana

harus merupakan “perbuatan yang tidak

dikehendaki” yaitu perbuatan yang

mendatangkan kerugian (materiil dan atau

spirituil) atas warga masyarakat.

c.��� Penggunaan hukum pidana harus pula

memperhitungkan prinsip “biaya dan hasil”

(cost – benefit principle).

d.��� Penggunaan hukum pidana harus pula

memperhatikan kapasitas atau kemampuan

daya kerja dari badan-badan penegak hukum,

yaitu jangan sampai ada kelampauan beban

tugas (overblsating).

Kriminalisasi demikian diperlukan karena

penggunaan kekerasan dalam menagih kredit

bermasalah merupakan suatu kejahatan sehingga

dengan sendirinya merupakan suatu perbuatan

tercela. Terhadap perbuatan demikian, aparat

penegak hukum tidak akan mengalami kesulitan

dalam menindak, sehubungan dengan perbuatan

demikian sudah terkategori sebagai tindak pidana

40

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 48: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

dalam KUHP, hanya saja KUHP tidak diberlakukan

terhadap korporasi. Sehubungan dengan kejahatan

demikian bukan hal baru maka dapat predikisi

bahwa kriminalisasi ini akan efektif ditegakkan

oleh penegak hukum. Hal penting lainnya dalam

kriminalisasi ini adalah tidak membatasi kriminalisasi

terhadap bidang kartu kredit, melainkan ditujukan

terhadap kredit secara umum. Contoh dalam hal

ini adalah pengambilan secara sepihak kendaraan

yang pembayaran kreditnya bermasalah atau

pengusiran secara sepihak penghuni rumah yang

pembayaran kreditnya bermasalah .

Beberapa kejahatan yang sering dilakukan dan

telah ada pengaturannya dalam KUHP adalah

penganiayaan (Pasal 351 ayat (1), (2), (3)),

penganiayaan berat dan penganiayaan yang

mengakibatkan matinya orang lain (Pasal 354 ayat

(1), (2)), pencurian dengan kekerasan (Pasal 365

ayat (1), (2), (3), (4)), pemerasan (Pasal 368),

pengancaman (pasal 369), penyerangan dengan

tenaga bersama terhadap orang atau barang

(Pasal 170 ayat (1), (2)). Penanggulangan kejahatan

korporasi semacam ini, diprediksi akan efektif

dilaksanakan karena kejahatan yang dilakukan

oleh Agensi Penagih Hutang bukanlah kejahatan

baru. Dengan kata lain, aparat penegak hukum

sudah berpengalaman dalam menangani berbagai

kejahatan yang mengancam harta benda dan

nyawa masyarakat.

Salah satu negara di dunia yang memiliki undang-

undang khusus dalam penagihan yang dilakukan

oleh Agensi Penagih Hutang adalah Inggris melalui

Fair Debt Collection Act. Inggris merumuskan

undang-undang demikian karena terdapat bukti

bahwa adanya penggunaan praktek-praktek

penagihan hutang yang tidak wajar, penuh tipu

daya dan kasar oleh pada debt collector. Praktek

demikian memberikan dampak terhadap

kebangkrutan personal, terganggunya perkawinan,

kehilangan pekerjaan, dan serangan terhadap

privasi individu (Masrudi (2013: 112)). Article 186

Fair Debt Collection Act memberikan batasan

terhadap Agensi Penagih Hutang agar tidak

melakukan tindakan berikut:

a.��� The use of threat of use of violence or other

criminal means to harm rhe physical person,

reputation, or property of any person,

b.��� The use of obsence of profane language or

language the natural consequence of which

is to abuse the hearer or reader,

c.��� The publication of a list of consumers who

allgedly refuse to pay debts, except to a

consumer reporting agency or to persons

meeting the requirements of section 603(f) or

604(3) 1 of this act,

d.��� The advertisement for sale of any debt to

coerce payment of the debt,

e.��� Causing a telephone to ring or enganging any

person in telephone conversation repeatedly

or continuously with intent to annoy, abuse,

or harass any person at the called number.

D.��� PENUTUP

1.��� Pertanggungjawaban pidana Bank atas tindakan

Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum

pada saat ini belum memiliki pengaturan sebagai

tindak pidana. Bank tidak dapat dipertanggung-

jawabkan secara pidana di hadapan pengadilan

atas tindakan demikian, sekalipun perbuatan

demikian secara nyata terjadi dan menyebabkan

keresahan bagi masyarakat sehingga mengganggu

kondusifitas perbankan.

2.��� Pertanggungjawaban pidana Bank atas tindakan

Agensi Penagih Hutang yang melawan hukum

pada saat yang akan datang, perlu dilakukan

kriminalisasi yang tidak terbatas pada persoalan

penagihan kartu kredit, melainkan terhadap setiap

produk kredit perbankan. Indonesia perlu memiliki

undang-undang pidana yang mengatur penagihan

kredit secara melawan hukum seperti Fair Debt

Collection Act di Inggris, urgensinya untuk

membuat Agensi Penagih Hutang menahan diri

terhadap penagihan yang bernuansa kriminal

dalam rangka menciptakan iklim perbankan yang

kondusif.

41

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 49: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

42

Buku:

Fuady, Munir, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta: Kencana.

Hotmaulana Hutauruk, Rufinus, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Perdekatan Restoratif: Suatu Terobosan Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.

Loqman, Loebby, 2002, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta: Datacom

Muchtar, Masrudi, 2013, Debt Collector Dalam Optik Kebijakan Hukum Pidana, Yogyakarta, Aswaja Pressindo.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni.

Muladi dan Dyah Sulistyani, 2013, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Corporate Criminal Responsibility), Bandung, Alumni.

Najih, Muhammad, 2008, Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi, Malang, Trans Publisher.

Nawawi Arief, Barda, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Kencana.

Permana, Heru, 2011, Politik Kriminal, Yogyakarta: Universitas Atman Jaya.

Priyatno, Dwidja, Jenis-Jenis Sanksi (Pidana) yang Dapat Dijatuhkan terhadap Korporasi, Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 7, No. 1, Maret 2002, Bandung, STHB.

Serikat Putra Jaya, Nyoman, 2014, Hukum dan Hukum Pidana di Bidang Ekonomi, Semarang, Badan Penerbit Undip.

Setiyono, 2013, Teori-Teori dan Alur Pikir Penerapan Pertanggungjawbaan Pidana Korporasi, Malang, Bayumedia Publishing.

Soekanto, Soerjono 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Sudarto, 1977, Hukum dan Hukum Pidana, Semarang, Yayasan Sudarto.

Suyatno, Thomas, 1988, Dasar-Dasar Perkreditan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.

Tongat, 2009, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.

Artikel Ilmiah

Kukuh Wijatmoko, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Bank Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Debt Collector ���Dalam Penagihan Kredit Bermasalah (Skripsi), Purwokerto, Fakultas Hukum Unsoed.

Muladi, 2004, Corporate Criminal Liability (Makalah), Semarang: Universitas Diponegoro.

Murniati, Fitriana, 2007, Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Administrasi Dalam Bidang Kesehatan Di Indonesia (Tesis), Semarang, Magister Ilmu Hukum Undip.

DAFTAR PUSTAKA

Page 50: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

A.��� PENDAHULUAN

Di masa kini, kekuatan ide/gagasan lebih menonjol

dibandingkan kekuatan materi dan kekuasaan.

Ide cerdas yang terwujud dalam bentuk ciptaan baru,

inovasi baru dan desain baru, dalam banyak kasus

justru lebih efektif mengubah peradaban umat

manusia. Sejarah dunia membuktikan betapa dahsyat

peran individu-individu yang kreatif dan inovatif dalam

mengubah arah peradaban. Hal inilah yang mendorong

negara-negara maju sangat peduli terhadap HKI dan

ekonomi kreatif.

Ekonomi kreatif diyakini akan menjadi sektor andalan

ekonomi dunia di masa depan, setelah era ekonomi

pertanian, ekonomi perdagangan, ekonomi industri,

dan ekonomi informasi. Negara industri maju sudah

menyadari pentingnya pengembangan ekonomi kreatif

sehingga memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan

kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dan membuat

regulasi perlindungan HKI. Sejumlah insentif dan

dukungan anggaran negara pun diberikan kepada

para pelaku ekonomi kreatif agar mampu bersaing

di pasar global.

Presiden Joko Widodo telah membentuk lembaga

negara setingkat menteri bernama Badan Ekonomi

Kreatif (BEKRAF) yang khusus menangani ekonomi

kreatif, sebab ke-16 sub-sektor ekonomi kreatif

tersebar di banyak kementerian dan lembaga

pemerintah/swasta. Pembentukan badan khusus ini

43

PEMANFAATAN HAK CIPTA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

Disusun oleh:

Iswi Hariyani1, Cita Yustisia2

[email protected]

Abstract���

Today, Copy Right in Indonesia have been utilized as debt collateral based on Copy Right Act number 28 year

2014. Refer to section 16 of UU 28/2014, Copy Right can be utilized as debt collateral by Fiduciary scheme. Besides that,

Copy Right also can be utilized as debt collateral by Pawning scheme. This research examine utilization of the

Intellectual Property Right especially Copy Right as the debt collateral by Fiduciary scheme.

Key words : copy right, collateral, debt, pawning, fiduciary

Abstrak���

Saat ini, hak cipta di Indonesia telah dapat dijadikan jaminan utang berdasarkan UU Hak Cipta terbaru (UU

28/2014). Merujuk Pasal 16 UU tersebut, hak cipta dapat dijadikan jaminan utang melalui skema Fidusia. Hak cipta

sebenarnya juga dapat dijadikan jaminan utang melalui skema Gadai. Penelitian ini membahas pemanfaatan Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) khususnya hak cipta sebagai jaminan utang melalui skema Fidusia.

1��� Iswi Hariyani, SH, MH adalah Dosen Jurusan Perdata Fakultas Hukum Universitas Jember.

2��� Cita Yustisia Serfiyani, SH, MH, adalah Mahasiswa S-3 Hukum Bisnis Universitas Airlangga, Surabaya.

Page 51: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

dinilai lebih tepat dibandingkan memasukkan ekonomi

kreatif ke dalam Kementerian Pariwisata.

Saat ini ekonomi kreatif menjadi sektor strategis dalam

pembangunan nasional karena sektor ini berhasil

menyumbang 7% PDB Indonesia. Ekonomi kreatif

berhasil menyerap 11,8 juta orang tenaga kerja atau

setara dengan 10,72% dari total tenaga kerja nasional.

Sektor unggulan baru ini juga sukses mendulang

devisa negara hingga Rp119 triliun atau setara 5,72%

dari total ekspor nasional.3

Pada tahun 2013, ekonomi kreatif Indonesia berhasil

tumbuh 5,76%, sementara pertumbuhan ekonomi

nasional berada di angka 5,74%. Kini ada 5.420

perusahaan yang bergerak di sektor ekonomi kreatif

atau 9,48% dari total perusahaan di Indonesia.

Dengan dorongan kuat dari Presiden Joko Widodo,

kita pantas berharap ekonomi kreatif Indonesia akan

tumbuh lebih pesat, sehingga tidak kalah dengan

sesama negara Asia seperti Korea Selatan, India,

Jepang, China, Hongkong, dan Taiwan yang industri

kreatifnya lebih dulu mampu menembus pasar global.4

Dalam setahun terakhir (2015-2016), ekonomi kreatif

telah menyumbang Rp642 triliun atau 7,05% dari

total PDB Indonesia. Saat ini baru tiga subsektor yang

memberikan kontribusi besar dalam pertumbuhan

ekonomi kreatif yaitu kuliner sebesar 32,4%, fesyen

27,9%, dan kerajinan 14,88%. Pada tahun 2019,

pemerintah menargetkan kontribusi ekonomi kreatif

bisa mencapai 12%.5

Meskipun menggembirakan namun perkembangan

ekonomi kreatif nasional masih kalah dibandingkan

negara tetangga Malaysia dan Singapura. Kontribusi

ekonomi kreatif Indonesia terhadap ekonomi kreatif

global baru mencapai 0,68%, sementara Malaysia

0,98%, dan Singapura 1,69%. Pemerintah

menargetkan dalam kurun waktu 5 – 10 tahun ke

depan ekonomi kreatif Indonesia dapat menyumbang

7,5 – 8% terhadap PDB nasional dan menumbuhkan

lapangan kerja 1 – 2% per tahun. Target ini sebenarnya

masih jauh dibandingkan kontribusi sektor ekonomi

kreatif di negara-negara maju yang saat ini mencapai

30% dari PDB.

B.��� PERAN HKI DALAM PENGEMBANGAN SEKTOR

EKONOMI KREATIF

Ekonomi kreatif tidak dapat dilepaskan dari investasi

HKI. Ekonomi kreatif adalah sektor ekonomi yang

sangat mengandalkan SDM yang kreatif dan inovatif.

Kreatif artinya memiliki daya cipta, sedangkan inovatif

artinya mampu menemukan inovasi teknologi atau

desain baru. Kreatifitas manusia di bidang ilmu

pengetahuan, seni dan sastra dilindungi HKI berbentuk

hak cipta. Sedangkan inovasi dilindungi HKI berbentuk

Hak Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak

Sirkuit Terpadu (DTLST), Rahasia Dagang, dan

Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).

Ekonomi kreatif dan HKI juga berkaitan dengan

waralaba (franchise). Para pelaku ekonomi kreatif

adalah juga pemilik HKI yang dapat mengembangkan

usahanya melalui format bisnis waralaba. Pemilik HKI

(pencipta, penemu, pendesain) memiliki hak eksklusif

untuk memanfaatkan sendiri HKI-nya atau mengajak

pihak lain bekerja sama dalam bentuk perjanjian lisensi

atau perjanjian waralaba. Pemilihan format bisnis

waralaba saat ini sudah jamak dilakukan di berbagai

subsektor ekonomi kreatif seperti kuliner, musik, film,

fotografi, seni pertunjukan, acara televisi, gim (games),

jasa komputer, percetakan, hingga litbang (penelitian

dan pengembangan).6

44

3��� Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, “Buku Pintar Investasi Ekonomi Kreatif”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

4��� Ibid.

5��� Dikutip dan diedit dari berita “Dari 16 Subsektor Ekonomi Kreatif, Baru 3 yang Berkembang”, Selasa, 15 Maret 2016, Majalah Tempo (m.tempo.co).

6��� Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, “Franchise Top Secret : Ramuan Sukses Bisnis Waralaba Sepanjang Masa”, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 52: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

HKI dapat berwujud tiga macam, yaitu:

1.��� HKI milik privat (hak cipta, paten, merek, desain

industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST),

rahasia dagang, Perlindungan Varietas Tanaman

(PVT)).

2.��� HKI milik publik yaitu warisan budaya (cagar

budaya, pengetahuan tradisional, ekspresi budaya

lokal, sumberdaya genetika).

3.��� HKI milik komunitas (indikasi geografis dan indikasi

asal).7

Investasi ekonomi kreatif saat ini dibagi dalam 16

subsektor yaitu: aplikasi dan pengembangan game,

arsitektur dan desain interior, desain komunikasi visual,

desain produk, fesyen, film, animasi video, fotografi,

kriya (kerajinan tangan), kuliner, musik, penerbitan,

periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, televise, dan

radio.

Investasi HKI, warisan budaya, waralaba, dan ekonomi

kreatif dapat dilakukan oleh perorangan, komunitas

(kelompok masyarakat), perusahaan swasta, BUMN,

BUMD, pemerintah pusat/daerah, lembaga negara,

lembaga swasta (yayasan, perkumpulan, koperasi),

media massa, sekolah/universitas, dan lembaga

penelitian. Sedangkan investasi waralaba umumnya

dilakukan oleh perorangan dan perusahaan swasta.

Kemajuan ekonomi kreatif masih terhalang masalah

pendanaan. Meskipun ekonomi kreatif berawal dari

ide namun diperlukan dana untuk mewujudkan ide

menjadi nyata, apalagi pelaku ekonomi kreatif

didominasi oleh perseorangan dan UMKM. Pemerintah

telah mencoba menyusun berbagai macam cara

pendanaan untuk mendukung kemajuan ekonomi

kreatif, antara lain pemberian kredit perbankan dengan

menggunakan sertifikat HKI sebagai jaminan kredit

dan sekuritisasi HKI. Kedua cara itu hanya bisa

dilakukan oleh pelaku ekonomi kreatif yang karyanya

telah terwujud dan memiliki sertifikat HKI, namun

tidak bisa membantu pelaku ekonomi kreatif yang

karyanya masih dalam tahap blueprint dan belum

terwujud.

Untuk karya yang belum terwujud, dapat didanai

melalui skema crowdfunding. Crowdfunding berakar

dari konsep crowdsourcing yang memanfaatkan

"kerumunan" orang untuk memberikan umpan balik

dan solusi bagi pengembangan usaha rintisan (start-

up). Dalam crowdfunding, tujuannya adalah

mengumpulkan dana yang dilakukan dengan

menggunakan jaringan media sosial (Twitter, Facebook,

LinkedIn, dan situs blogging). Tujuan utama

crowdfunding adalah memberikan alternatif bagi

pengusaha industri kreatif untuk memperoleh

pendanaan.8

C.��� PEMANFAATAN HAK CIPTA SEBAGAI JAMINAN

KREDIT

Perlindungan hukum terhadap HKI saat ini telah

menjadi perhatian utama banyak negara di dunia,

khususnya negara industri maju seperti Amerika

Serikat, Inggris, Korea Selatan, dan Jepang. Mereka

memiliki kepentingan melindungi hasil ekspor

negaranya khususnya produk-produk industri kreatif

berbasis HKI.

Menurut Ignatius Haryanto (2002) dari data ekspor

Amerika Serikat tahun 1997 tampak industri berbasis

hak cipta telah berhasil menduduki peringkat pertama,

mengalahkan ekspor produk kimia, otomotif,

pertanian, peralatan dan komponen elektronik,

manufaktur pesawat udara, komputer, dan lain-lain.9

Berdasarkan data tersebut maka wajar jika Amerika

Serikat termasuk negara yang paling gencar

mendorong perlindungan HKI di dunia internasional.

45

7��� Cita Yustisia Serfiyani, Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2016, “Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya”, Penerbit UGM Press, Yogyakarta.

8��� Paul Belleflame, dkk., 2010. Crowdfunding: An Industrial Organization Perspective, dipublikasikan di seminar workshop “Digital Business Models: Understanding Strategies', h. 1 – 2.

9��� Ignatius Haryanto, 2002, “Penghisapan Rezim HAKI”, Penerbit debt- ���Watch Indonesia dan Kreasi Wacana, Yogyakarta, hal.22-23.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 53: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Banyak negara di dunia kini mulai menyadari peran

penting pengembangan industri kreatif berbasis HKI

karena beberapa alasan: (a) industri kreatif tidak

bergantung kepada sumber daya alam, (b) industri

kreatif bersifat terbarukan, (c) industri kreatif dapat

menjadi sumber devisa utama, (d) industri kreatif

dapat memberi nilai tambah terhadap produk barang

dan jasa, (e) industri kreatif dapat mengangkat citra

dan harga diri bangsa, (f) industri kreatif tergolong

industri yang bersih karena tidak mengotori

lingkungan, (g) industri kreatif mampu menyerap

banyak tenaga kerja, (h) industri kreatif dapat

mendorong semangat kreatifitas anak bangsa, dan

(i) industri kreatif dapat digunakan untuk

menanamkan nilai-nilai moral bangsa.10

Guna mengantisipasi hal-hal tersebut di atas,

diperlukan terobosan hukum guna menjadikan obyek

HKI sebagai jaminan kredit, sehingga para pemilik

HKI dapat semakin mudah mengakses kredit dan

pembiayaan untuk memajukan usahanya.

Industri kreatif di Indonesia sejak era reformasi mulai

berkembang pesat. Contoh, novel dan film tetralogi

“Laskar Pelangi” mampu menghasilkan royalti besar

bagi penciptanya (Andrea Hirata) hingga miliaran

Rupiah. Begitu pula di industri hiburan tanah air

(musik, film, televisi), kita pun kini semakin jamak

menemukan “orang-orang kaya baru” dengan aset

puluhan miliar rupiah berkat karya kreatifnya.

Lukisan karya pelukis muda I Nyoman Masriadi berjudul

“The Man from Bantul – Final Round” bahkan mampu

terjual hingga Rp10 miliar di Hong Kong pada tahun

2008. Saat ini banyak orang kaya dan perusahaan

besar yang rela membeli lukisan dan patung sebagai

salah satu cara menyimpan aset. Lukisan Masriadi

yang awalnya hanya berharga puluhan juta rupiah

kini telah melonjak menjadi puluhan miliar. Hal ini

membuktikan bahwa investasi lukisan bisa jauh lebih

menguntungkan. Semakin maju suatu negara, semakin

besar pula penghargaan masyarakat terhadap karya

cipta.

HKI, khususnya hak cipta, saat ini telah dapat dijadikan

sebagai jaminan utang atau jaminan kredit berdasarkan

UU Hak Cipta terbaru (UU 28/2014). Dalam Pasal 16

ayat (3) dan (4) UU 28/2014 dinyatakan bahwa hak

cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka hak cipta saat

ini dapat dijadikan sebagai obyek jaminan utang

dengan skema jaminan fidusia sesuai UU Fidusia (UU

42/1999). Sedangkan pemanfaatan hak cipta sebagai

jaminan kredit perbankan masih harus menunggu

keluarnya revisi peraturan Bank Indonesia atau

peraturan otoritas yang berwenang mengenai agunan

kredit perbankan.

Hak cipta sesungguhnya juga bisa dijadikan obyek

jaminan gadai, selain fidusia. Obyek hak cipta ada

yang bersifat benda (tangible) dan tak-benda

(intangible). Kebanyakan hak cipta bersifat tak-benda

(intangible) sehingga lebih tepat dijadikan obyek

jaminan fidusia. Namun ada pula hak cipta yang

bersifat benda (tangible) seperti lukisan atau patung

yang bisa dijadikan obyek jaminan fidusia dan gadai.

Hingga saat ini, bentuk-bentuk agunan kredit yang

diakui Bank Indonesia berdasarkan Peraturan Bank

Indonesia (PBI) No. 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian

Kualitas Aset Bank Umum, Pasal 43, meliputi :

1.��� Surat Berharga dan saham yang aktif

diperdagangkan di bursa efek di Indonesia atau

memiliki peringkat investasi dan diikat secara gadai;

2.��� tanah, gedung, dan rumah tinggal yang diikat

dengan hak tanggungan;

3.��� mesin yang merupakan satu kesatuan dengan

tanah yang diikat dengan hak tanggungan;

4.��� pesawat udara atau kapal laut dengan ukuran di

atas 20 (dua puluh) meter kubik yang diikat dengan

hipotek;

46

10��� Iswi Hariyani, 2010, “Prosedur Mengurus HAKI”, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal.13.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 54: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

5.��� kendaraan bermotor dan persediaan yang diikat

secara fidusia; dan/atau

6.��� resi gudang yang diikat dengan hak jaminan atas

resi gudang.

Pengikatan agunan melalui hak tanggungan

berdasarkan UU 4/1996, hanya ditujukan untuk obyek

tidak bergerak yaitu agunan berbentuk tanah, gedung,

dan rumah tinggal. Pengikatan jaminan gadai diatur

dalam KUH Perdata Pasal 1150 hingga Pasal 1160,

dan dipakai untuk obyek agunan berbentuk surat

berharga dan saham yang aktif diperdagangkan di

Bursa Efek Indonesia atau memiliki peringkat investasi.

Pengikatan jaminan fidusia diatur berdasarkan UU

42/1999 tentang Jaminan Fidusia, dan dipakai untuk

obyek bergerak yaitu agunan berbentuk kendaraan

bermotor dan barang persediaan (inventory).

Pengikatan hak jaminan atas resi gudang diatur

berdasarkan UU 9/2006 jo. UU 9/2011 tentang Sistem

Resi Gudang, dan khusus diperuntukkan bagi obyek

agunan berupa hasil pertanian, perkebunan, dan

perikanan. Pengikatan hipotek diatur berdasarkan

UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 1/2009 tentang

Penerbangan, serta hanya diperuntukkan bagi obyek

agunan berupa kapal laut dan/atau pesawat udara

dengan ukuran di atas 20 meter kubik.

Pemberian kredit bank di samping harus didasarkan

perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, juga harus

diikuti perjanjian jaminan sebagai perjanjian tambahan

(accessoir). Pemberlakuan perjanjian jaminan

mengikuti perjanjian pokok yang mendasarinya.

Perjanjian jaminan berkaitan dengan pengikatan

jaminan kredit atau agunan kredit yang pada

umumnya diikat dengan akta notaris yang bersifat

baku dan bersifat eksekutorial.

Sifat eksekutorial dari perjanjian jaminan mengandung

konsekuensi jika debitor wanprestasi (ingkar janji)

maka bank langsung dapat mengajukan permohonan

eksekusi agunan via Pengadilan Negeri, tanpa harus

melalui proses peradilan biasa yang panjang dan

berbelit-belit. Perjanjian jaminan dibuat pihak bank

47

Pengikatan Dasar HukumNo. Jenis Agunan

Gadai

Hak Tanggungan

Hak Tanggungan

Hipotek

Fidusia

Hak Jaminan atas Resi Gudang

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Surat Berharga dan Saham yang aktif diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia atau yang memiliki peringkat investasi

Tanah, Gedung, Rumah Tinggal

Mesin yang merupakan satu kesatuan dengan Tanah

Pesawat Udara/Kapal Laut ukuran di atas 20 meter kubik

Kendaraan Bermotor dan Persediaan (Inventory)

Resi Gudang (Warehouse Receipt)

KUH Perdata Pasal 1150 - 1160

UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan

UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan

UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 1/2009 tentang Penerbangan

UU 42/1999 tentang Jaminan Fidusia

UU 9/2006 jo UU 9/2011 tentang Sistem Resi Gudang

Tabel : Jenis Agunan Kredit yang Diakui Bank Indonesia sesuai Pasal 48 PBI No. 9/6/PBI/2007

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 55: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

sebagai salah satu upaya untuk melaksanakan prinsip

kehati-hatian dalam penyaluran kredit sehingga kelak

ada jaminan pengembalian kredit secara utuh.

Pengertian “agunan” menurut UU 10/1998 tentang

Perbankan, Pasal 1 angka 23, adalah “jaminan

tambahan” yang diserahkan nasabah debitur kepada

bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dalam

praktek perbankan, agunan atau ”jaminan tambahan”

lebih diutamakan dibandingkan ”jaminan pokok”

yaitu ”keyakinan bank” atas kemampuan debitur

untuk melunasi utang sesuai perjanjian.

Bentuk agunan, sesuai Penjelasan Pasal 8 UU 10/1998,

dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih

yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan.

Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum

adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa

girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat juga

digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta

agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung

dengan objek yang dibiayai yang lazim dikenal dengan

agunan tambahan.

D.��� PENGIKATAN HAK CIPTA MELALUI SKEMA

JAMINAN FIDUSIA

Berdasarkan ketentuan Pasal 16 UU 28/2014 tentang

Hak Cipta dapat disimpulkan bahwa hak cipta kini

telah dapat dijadikan jaminan utang dengan

menggunakan skema jaminan fidusia. Namun sayang

ketentuan semacam ini hingga kini belum diberlakukan

terhadap HKI selain hak cipta, meskipun semua jenis

HKI pada prinsipnya bisa dijadikan jaminan utang

dengan skema jaminan fidusia.

“Fidusia” adalah pengalihan hak kepemilikan suatu

benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan

bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan

tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

“Jaminan Fidusia” adalah hak jaminan atas benda

bergerak yang berwujud maupun tidak bewujud dan

benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak

dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana

dimaksud UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan yang

tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,

sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang

memberikan kedudukan yang diutamakan kepada

penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.11

Berdasarkan definisi tersebut, dapat disimpulkan hak

cipta dapat dijadikan obyek jaminan fidusia karena

hak cipta tergolong benda bergerak yang tidak

berwujud nyata (immaterial). Disamping itu, hak cipta

juga dapat dialihkan, baik seluruhnya atau sebagian,

karena sebab: pewarisan, hibah, wakaf, wasiat,

perjanjian tertulis, atau sebab-sebab lain yang

dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.

Meskipun sertifikat hak cipta dipegang oleh kreditor

(bank), tetapi obyek jaminan (yaitu hak cipta yang

berwujud tak-benda) tetap berada di tangan debitor

(selaku pencipta), sehingga debitor masih bisa

melaksanakan hak eksklusif (misal: membuat perjanjian

lisensi atau perjanjian waralaba) asalkan dengan seijin

kreditor (bank).

Salah satu sebab pengalihan hak cipta adalah karena

“sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan

perundang-undangan”. sebab-sebab lain tersebut,

misalnya, adanya pengalihan hak cipta karena

terjadinya kepailitan yang menimpa pemilik dan

pemegang hak cipta. Sesuai UU 37/2004 tentang

Kepailitan dan PKPU, semua harta milik debitor pailit

dapat dialihkan kepada kreditor, khususnya kreditor

yang memiliki hak preferen.

Sebab-sebab lain tersebut juga bisa terjadi berkaitan

dengan adanya penjaminan hak cipta melalui jaminan

fidusia. artinya, jika debitor (pemilik dan pemegang

hak cipta) wanprestasi maka pihak kreditor (bank)

dapat mengeksekusi dan mengalihkan hak atas obyek

jaminan hak cipta tersebut.

48

12��� Lihat Pasal 1 angka 1 dan 2 UU 42/1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 56: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Karena hak cipta bisa bersifat tak-benda (intangible)

dan tak-nyata (immaterial), maka diperlukan

pengakuan negara dalam bentuk sertifikat hak cipta.

Sertifikat inilah yang dijadikan obyek jaminan fidusia.

Karena sertifikat hak cipta belum memiliki “nilai

ekonomi” maka kreditor (bank) juga dapat meminta

pengikatan atas perjanjian lisensi/perjanjian waralaba

yang dibuat oleh pemilik hak cipta.

Melalui perjanjian lisensi/waralaba, pemilik dan

pemegang hak cipta mendapatkan penghasilan nyata

berupa royalti. Dari sudut pandang UU Perbankan

(UU 10/1998), sertifikat hak cipta dapat digolongkan

sebagai agunan pokok, sedangkan perjanjian

lisensi/waralaba dapat digolongkan sebagai agunan

tambahan.

Kecuali diperjanjikan lain, jaminan fidusia dapat

meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia. Jaminan Fidusia juga dapat meliputi klaim

asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan

fidusia diasuransikan.12 Berdasarkan ketentuan ini

maka hak cipta yang dijadikan obyek jaminan fidusia

dapat juga termasuk perjanjian lisensi dan penghasilan

royalti yang diterima pemilik hak cipta. Tentu saja hal

ini harus disebutkan secara jelas dalam perjanjian

jaminan.

Sebelum ada UU 42/ 1999 tentang Jaminan Fidusia,

benda yang dapat dijadikan obyek jaminan fidusia

pada umumnya adalah benda bergerak yang terdiri

dari benda dalam persediaan (inventory), benda

dagangan, piutang, peralatan mesin, dan kendaraan

bermotor. Jaminan fidusia telah digunakan di Indonesia

sejak zaman penjajahan Belanda sebagai suatu bentuk

jaminan yang lahir dari yurisprudensi. Bentuk jaminan

fidusia digunakan secara luas dalam transaksi pinjam-

meminjam karena proses pembebanannya dianggap

sederhana, mudah, dan cepat, meskipun pada masa

itu belum didukung kepastian hukum yang kuat.

Lembaga jaminan fidusia memungkinkan para pemberi

fidusia (debitor) untuk menguasai benda yang

dijaminkan, dan melakukan kegiatan usaha yang

dibiayai dari pinjaman dengan menggunakan jaminan

fidusia. Pada awalnya, obyek jaminan fidusia terbatas

pada kekayaan berupa benda bergerak yang berwujud

peralatan. Dalam perkembangan lebih lanjut, obyek

jaminan fidusia juga termasuk kekayaan berupa benda

bergerak yang tidak berwujud maupun benda tidak

bergerak.

UU 42/1999 juga mengatur pendaftaran jaminan

fidusia untuk memberikan jaminan dan kepastian

hukum kepada pihak yang berkepentingan, serta

memberikan hak preferen kepada penerima fidusia

terhadap kreditor lain. Selanjutnya, eksekusi jaminan

fidusia diatur dalam Pasal 29 UU 42/1999, yaitu jika

debitor wanprestasi (ingkar janji) maka pihak kreditor

(bank) dapat mengeksekusi obyek jaminan fidusia

dengan tiga cara: (a) mengajukan permohonan

eksekusi melalui fiat/penetapan Ketua Pengadilan

Negeri, (b) melaksanakan eksekusi tanpa fiat Ketua

Pengadilan Negeri atau yang lazim dikenal sebagai

“parate eksekusi”, dan (c) melakukan “penjualan di

bawah tangan” untuk mendapatkan harga tertinggi.

Hak cipta meliputi bidang ilmu pengetahuan, seni

dan sastra. Obyek hak cipta kebanyakan berwujud

tak-benda dan tak-nyata (seperti musik, film, novel,

games, dan lain-lain). Obyek hak cipta seperti ini

dapat diikat dengan jaminan fidusia meliputi: (a)

sertifikat hak cipta (sebagai agunan pokok), dan (b)

perjanjian lisensi atau perjanjian waralaba yang dapat

menghasilkan royalti (sebagai Agunan Tambahan).

Khusus obyek hak cipta yang bersifat benda dan

nyata (seperti lukisan atau patung), dapat dijadikan

obyek jaminan fidusia dan gadai. Hak cipta atas

lukisan atau patung pada umumnya dialihkan melalui

cara jual-beli putus, bukan melalui perjanjian lisensi

yang menghasilkan royalti. Hal ini menyebabkan

penjaminan atas obyek hak cipta yang berwujud

nyata (seperti lukisan atau patung) jauh lebih mudah.

49

12��� Lihat Pasal 10 UU 42/1999 beserta Penjelasannya.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 57: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Pengikatan jaminan fidusia atas hak cipta harus

dibuat berdasarkan akta notaris dan didaftarkan ke

Kantor Pendaftaran Fidusia di bawah Kemenkumham.

Karena sertifikat hak cipta dipegang oleh kreditor,

jika debitor (pemilik hak cipta) hendak melaksanakan

hak eksklusifnya (membuat perjanjian lisensi/perjanjian

waralaba) maka debitor harus terlebih dahulu

mendapatkan ijin dari pihak kreditor (bank).

Jika kemudian debitor (pemilik dan pemegang hak

cipta) melakukan wanprestasi maka kreditor (bank)

dapat melakukan eksekusi agunan berdasarkan

ketentuan Pasal 29 UU 42/1999. Pengalihan hak

cipta akibat eksekusi agunan tidak menghapus hak

moral dari pemilik hak cipta untuk tetap dicantumkan

namanya sebagai pencipta.

E.��� PENUTUP

1.��� Kesimpulan

Hak cipta kebanyakan bersifat tak-benda

(intangible) dan tak-nyata (immaterial) seperti film,

musik, novel, games, dan lain-lain. Hak cipta jenis

ini dapat dijadikan jaminan utang melalui fidusia.

Di sisi lain, hak cipta yang bersifat benda (tangible)

dan nyata (material) seperti lukisan atau patung

dapat dijaminkan via fidusia dan gadai.

Saat ini penjaminan hak cipta hanya bisa dilakukan

melalui skema fidusia sesuai Pasal 16 UU Hak Cipta

terbaru (UU 28/2014). Namun sayang implementasi

aturan ini di perbankan masih terkendala karena

belum ada revisi terhadap Peraturan Bank Indonesia

(PBI) Nomor 14/15/PBI/2012 yang mengatur

tentang agunan kredit bank.

2.��� Saran

Pemerintah dan DPR diharapkan dapat merevisi

UU Hak Cipta, agar hak cipta tidak hanya dapat

dijadikan obyek jaminan fidusia tetapi juga obyek

jaminan gadai. UU HKI selain hak cipta juga perlu

direvisi sehingga semua jenis HKI dapat dijadikan

obyek jaminan utang melalui skema fidusia dan

gadai.

Otoritas yang berwenang perlu merevisi ketentuan

tentang agunan kredit bank dengan memasukkan

Hak Cipta sebagai obyek jaminan kredit sebagai

implementasi Pasal 16 UU Hak Cipta terbaru (UU

28/2014).

50

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 58: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Buku Terbitan Nasional :

Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, Franchise Top Seret : Ramuan Sukses Bisnis

Waralaba Sepanjang Masa, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2016, Buku Pintar Investasi Ekonomi Kreatif, Penerbit

Andi, Yogyakarta.

Cita Yustisia Serfiyani, Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2016, Buku Pintar HAKI dan Warisan Budaya,

Penerbit UGM Press, Yogyakarta.

Ignatius Haryanto, 2002, Penghisapan Rezim HAKI, Penerbit debt-Watch Indonesia dan Kreasi Wacana, Yogyakarta

Iswi Hariyani, 2010, Resi Gudang : Sebagai Jaminan Kredit dan Alat Perdagangan, Penerbit Sinar Grafika (Bumi Aksara

Group), Jakarta.

Iswi Hariyani, 2010, Prosedur Mengurus HAKI yang Benar, Penerbit Pustaka Yustisia (Media Pressindo Group), Yogyakarta.

Iswi Hariyani, 2010, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, Penerbit PT Elex Media Komputindo (Gramedia

Group), Jakarta.

Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2010, Bebas Jerat Utang-Piutang, Penerbit Pustaka Yustisia (Media Pressindo

Group), Yogyakarta.

Iswi Hariyani, dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2010, Buku Pintar Hukum Bisnis Pasar Modal, Penerbit PT VisiMedia,

Jakarta.

Iswi Hariyani, R Serfianto Dibyo Purnomo, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2011, Merger, Konsolidasi, Akuisisi dan Pemisahaan

Perusahaan : Cara Cerdas Mengembangkan dan Memajukan Perusahaan, Penerbit PT VisiMedia, Jakarta.

R Serfianto Dibyo Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas,

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

2951

DAFTAR PUSTAKA

Page 59: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Jurnal Ilmiah Nasional :

Iswi Hariyani, 2009, Hapus Tagih Kredit Macet Debitor UMKM di Bank BUMN Sesuai Mekanisme Korporasi, dalam Buletin ���

Hukum Perbankan dan Kebank-sentralan, Volume 7, Nomor 3, September 2009, Bank Indonesia, hal. 35 – 46.

Iswi Hariyani, 2010, Hari Kekayaan Intelektual Sedunia Ke-10 (26 April 2010) : Menemukan Kembali Jati Diri Bangsa, ���

dalam Media HKI, Vol.VII, No.02, April 2010, Ditjen HKI, Kemenkumham RI, Jakarta, hal.7

Iswi Hariyani, 2010, Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Kredit, dalam Media HKI, Vol. VII, No. 03, Juni 2010,

Ditjen HKI, Kemenkumham RI, hal.12.

Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2015, Peran HKI dalam Pengembangan Waralaba dan Ekonomi Kreatif, Media

HKI, Edisi September dan November 2015, Ditjen HKI, Kemenkumham RI, Jakarta.

Iswi Hariyani, dan Cita Yustisia Serfiyani, 2015, Perlindungan Hukum Sistem Donation Based Crowdfunding pada Pendanaan

Industri Kreatif di Indonesia, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12 No. 4, Desember 2015, Ditjen Peraturan Perundang-

undangan, Kemenkumham RI, Jakarta.

Undang-Undang dan Peraturan:

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Sistem Resi Gudang.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.

52

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 60: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015

Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah

1.

2.

18/1/PBI/2016

18/2/PBI/2016

53

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIABESERTA RINGKASAN

PERIODE JANUARI - JUNI 2016

1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan Peraturan Bank Indonesia Nomor18/1/PBI/2016 tentang Jumlah dan Nilai Nominal Uang Rupiah yang Dimusnahkan Tahun 2015.

2.��� PBI ini merupakan ketentuan yang diterbitkan untuk menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dan PBI Nomor 14/7/PBI/2012 tentang Pengelolaan Uang Rupiah yang mengatur jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank Indonesia ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) secara periodik setiap 1 (satu) tahun sekali.

3.��� Hal-hal yang diatur dalam PBI ini meliputi:a.��� Kriteria uang Rupiah yang dimusnahkan oleh Bank

Indonesia;b.��� Pemusnahan uang Rupiah dituangkan dalam suatu

berita acara;c.��� Tata cara pemusnahan uang Rupiah;d.��� Informasi jumlah dan nilai nominal uang Rupiah yang

dimusnahkan ditempatkan dalam LNRI secara periodik, yakni 1 (satu) tahun sekali;

e.��� Data uang Rupiah yang dimusnahkan menurut jenis pecahan, jumlah bilyet dan keping dan nilai nominal, serta disajikan per triwulan;

f.��� Periode informasi uang Rupiah yang dimusnahkan adalah tanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 31 Desember 2015 yang tercantum dalam lampiran PBI.

4.��� Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 28 Januari 2016.

I.��� Latar belakang dan Tujuan

Pengaturan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara nilai rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah sehingga mitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar menjadi suatu keniscayaan. Hal ini membutuhkan dukungan pasar

Page 61: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

54

keuangan yang likuid dan dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Pelaku transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) sebagai pemberi dan pemohon, nasabah sebagai pemohon dan Bank Umum Konvensional (BUK) sebagai pemberi transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah.

2.��� Transaksi lindung nilai syariah harus didahului dengan forward agreement atau rangkaian forward agreement. Forward agreement adalah saling berjanji (muwa»adah) untuk melakukan transaksispot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling berjanji (saat melakukan forward agreement) dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Apabila forward agreement tidak dipenuhi maka pihak yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi (ta»widh).

3.��� Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemohon dan pemberi transaksi lindung nilai berdasarkan syariah antara lain:a.��� Transaksi lindung nilai syariah tidak boleh dilakukan

untuk tujuan yang bersifat spekulatif sehingga wajib memiliki underlying transaksi.

b.��� Dokumen dari forward agreement juga dilarang untuk diperjualbelikan.

c.��� Nilai nominal transaksi lindung nilai syariah paling banyak sebesar nilai nominal underlying transaksi yang tercantum dalam dokumen underlying transaksi.

d.��� Jangka waktu transaksi lindung nilai syariah paling lama sama dengan jangka waktu underlying transaksi yang tercantum dalam dokumen underlying transaksi.

e.��� Penyelesaian transaksi lindung nilai syariah wajib dilakukan dengan pemindahan dana pokok secara penuh.

f.��� Pembatalan terhadap transaksi lindung nilai syariah yang telah diikuti dengan pemindahan dana wajib dilakukan dengan pengembalian dana secara penuh.

4.��� Transaksi lindung nilai syariah dilakukan dengan transaksi lindung nilai sederhana («Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau transaksi lindung nilai kompleks («Aqd al Tahawwuth al- Murakkab).

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 62: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

5.��� Underlying Transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah seluruh kegiatan:a.��� perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar

negeri; dan/ataub.��� investasi berupa direct investment, portfolio

investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri

Namun tidak termasuk: c.��� penempatan dana pada bank antara lain berupa

tabungan, giro, deposito, dan Negotiable Certificate of Deposit (NCD).

d.��� kegiatan pengiriman uang oleh perusahaan transfer dana.

e.��� fasilitas pembiayaan yang masih belum ditarik, antara lain berupa standby financing dan undisbursed financing.

I.��� Latar Belakang Pengaturan:

1.��� Kondisi stabilitas makroekonomi yang semakin baik, khususnya laju inflasi yang terkendali, memberikan ruang untuk dilakukan pelonggaran kebijakan moneter.

2.��� Tantangan dari sisi eksternal yang utamanya bersumber dari kemungkinan kenaikan Suku Bunga Kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat (Federal Funds Rate, FFR) semakin mereda. Pemulihan ekonomi Amerika Serikat yang belum solid mengakibatkan perkiraan kenaikan FFR bergeser mundur dengan besaran kenaikan yang lebih rendah.

3.��� Menurunnya tekanan kenaikan FFR yang tidak seagresif perkiraan sebelumnya, juga menurunkan risiko yang mungkin timbul dari keberagaman kebijakan moneter global mengingat beberapa maju di Kawasan Eropa dan Jepang masih menerapkan kebijakan moneter yang longgar melalui quantitative easing (QE). Hal ini karena keberagaman kebijakan moneter dapat mendorong pergeseran likuiditas global yang dapat berdampak pada aliran modal masuk (capital inflows) ke negara berkembang (emerging markets), termasuk Indonesia.

4.��� Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Bank Indonesia menerapkan kebijakan moneter yang longgar dengan menurunkan BI Rate yang diperkuat dengan penurunan GWM Primer dalam Rupiah yang diharapkan dapat meningkatkan kondisi likuiditas dan kapasitas pembiayaan perbankan untuk mendukung kegiatan ekonomi.

55

Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

3. 18/3/PBI/2016

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 63: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

II.��� Substansi Pengaturan:

1.��� Rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah diturunkan sebesar 1% dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah.

2.��� Penurunan rasio kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah sebesar 1% tersebut atas bagian giro yang remunerated. Untuk itu, bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam Rupiah yang mendapat jasa giro diturunkan dari 2,5% (dua koma lima pesen) menjadi sebesar 1,5% (satu koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah. Adapun jasa giro tetap sebesar 2,5% (dua koma lima persen) yang merupakan tingkat bunga efektif tahunan (effective annual rate).

3.��� Kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger atau konsolidasi tetap sebesar 1% (satu persen) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak merger atau konsolidasi berlaku efektif. Dengan pemberian kelonggaran atas kewajiban pemenuhan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 1% (satu persen) tersebut maka GWM Primer dalam Rupiah yang wajib dipenuhi oleh Bank yang semula sebesar 6,5% (enam koma lima persen) berubah menjadi sebesar 5,5% (lima koma lima persen).

I.��� Latar Belakang

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank dilakukan dengan mempertimbangkan perlunya harmonisasi pengaturan antar otoritas, namun dengan tetap mengedepankan prinsip kehati-hatian. Di samping itu, perubahan juga dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk tetap mendukung kegiatan pembiayaan dan pengembangan ekspor di Indonesia.

II.��� Pokok-pokok pengaturan mencakup:

1.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Perusahaan Pembiayaan, sepanjang:

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/21/PBI/2014 Tentang Penerapan Prinisip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Hutang Luar Negeri Korporasi Non Bank

4. 18/4/PBI/2016

56

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 64: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

a.��� memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan

b.��� memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK.

2.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

3.��� Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 2016.

1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan penyempurnaan atas PBI Nomor 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia.

2.��� Penyempurnaan PBI ini dilakukan dalam rangka:a.��� adanya penyempurnaan pelaksanaan setelmen dana

dan pihak yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia; dan

b.��� adanya penyesuaian ketentuan mengenai sanksi atas pemenuhan kewajiban penyediaan dana dalam penyelenggaraan SKNBI.

3.��� Pokok-pokok penyempurnaan dalam PBI ini meliputi:a.��� Penyesuaian prinsip same day settlement dalam rangka

Setelmen Dana dimana pembukuan hasil perhitungan SKNBI oleh Peserta kepada nasabah dilakukan dengan tanggal valuta yang sama dengan tanggal Setelmen Dana yang dilakukan oleh Penyelenggara. Namun demikian, khusus untuk Layanan Pembayaran Reguler, dapat tidak menerapkan prinsip tersebut apabila:1)��� pendebitan rekening nasabah pengirim dilakukan

pada satu hari kerja sebelum tanggal Setelmen Dana; dan

2)��� pengkreditan rekening nasabah penerima dilakukan dengan tanggal yang sama dengan tanggal valuta Setelmen Dana,

3)��� sepanjang terdapat perjanjian antara Peserta pengirim dengan nasabah pengirim.

b.��� Layanan Transfer Dana hanya dapat memproses transfer dana kepada nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta Penerima.

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/9/PBI/2015 Tentang Penyelenggaraan Transfer Dana Dan Kliring Berjadwal Oleh Bank Indonesia

5. 18/5/PBI/2016

57

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 65: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

c.��� Penyesuaian sanksi terhadap Peserta yang tidak memenuhi kewajiban penyediaan Prefund, yaitu dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp5.000.000,00 per hari kerja bagi Peserta yang tidak melakukan penambahan Prefund yang dihitung di setiap Prefund layanan dalam SKNBI.

4.��� Ketentuan dalam PBI ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2016.

Latar Belakang penerbitan PBI ini adalah dalam rangka mendukung upaya Pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, perlu dilakukan pembatasan terhadap nasabah yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Dengan adanya kebijakan pembatasan tersebut maka transfer dana melalui Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah hanya dapat ditujukan kepada nasabah yang mempunyai rekening di Peserta penerima.

I.��� Latar Belakang dan Tujuan

Dengan telah ditandatanganinya perjanjian Bilateral Currency Swap Arrangement dengan bank sentral dan/atau otoritas moneter negara lain (BCSA), Bank Indonesia dapat menyelenggarakan transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka BCSA (Transaksi) untuk memenuhi kebutuhan valuta asing Bank. Hal tersebut sejalan dengan upaya menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah dengan mengurangi ketergantungan terhadap mata uang tertentu dan mendukung kelancaran pembayaran yang dibutuhkan dalam kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi pada hari kerja melalui mekanisme lelang dan/atau non lelang.

2.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi dengan jangka waktu paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan.

3.��� Persyaratan bagi Bank yang akan mengajukan Transaksi adalah sebagai berikut:

Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 Tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika

Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement

6.

7.

18/6/PBI/2016

18/7/PBI/2016

58

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 66: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

a.��� termasuk dalam klasifikasi Bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia; dan

b.��� tidak sedang dikenakan sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter.

4.��� Pengaturan terkait Underlying Transaksi, yaitu sebagai berikut:a.��� Bank yang mengajukan Transaksi wajib memiliki

Underlying Transaksi dengan nilai nominal pengajuan Transaksi paling banyak sebesar nilai nominal Underlying Transaksi.

b.��� Underlying Transaksi yang digunakan antara lain berupa kegiatan perdagangan internasional dan/atau investasi langsung.

c.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) transaksi.

d.��� Bank wajib menatausahakan dokumen Underlying Transaksi.

5.��� Pengaturan terkait pengajuan transaksi, yaitu sebagai berikut:a.��� Pengajuan transaksi dilakukan melalui sarana dealing

system yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dalam window time yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

b.��� Bank dilarang membatalkan transaksi yang telah diajukan.

c.��� Bank hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan transaksi pada hari yang sama untuk masing-masing jangka waktu.

6.��� Dalam rangka penyelesaian kewajiban transaksi, bank wajib menyediakan dana yang cukup, menyediakan surat berharga yang mencukupi, dan/atau melakukan transfer valuta asing yang cukup.

7.��� Bank dilarang melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination).

8.��� Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) apabila Bank yang bersangkutan tidak memenuhi peringkat komposit paling rendah 3 (tiga) sesuai data terkini yang diterima Bank Indonesia, dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam PBI ini.

9.��� Bank yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar.

59

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 67: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

I.��� Latar Belakang dan Tujuan

Sistem keuangan internasional yang semakin terintegrasi telah memudahkan pergerakan arus modal antar negara yang berpengaruh terhadap kondisi likuiditas dan pergerakan nilai tukar Rupiah. Sebagai bagian dari pengelolaan likuiditas dan upaya untuk meminimalkan risiko nilai tukar, perlu dikembangkan aktivitas lindung nilai, antara lain melalui penggunaan instrumen swap.Dalam kondisi masih terbatasnya instrumen swap di pasar keuangan dalam negeri dengan jangka waktu menengah panjang, Bank Indonesia menyediakan instrumen swap Lindung Nilai bagi pelaku pasar domestik. Sejalan dengan meningkatnya kebutuhan likuiditas, Bank Indonesia melakukan pengembangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan memperluas jenis valuta asing yang dapat ditransaksikan sebagai bagian dari upaya pendalaman pasar keuangan.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Menambahkan valuta asing selain Dolar Amerika Serikat ke dalam jenis mata uang yang dapat digunakan dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

2.��� Nilai nominal minimum pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai serta kelipatannya diumumkan oleh Bank Indonesia melalui sarana informasi yang ditentukan oleh Bank Indonesia, dengan nilai nominal pengajuan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi.

3.��� Penggunaan Underlying Transaksia.��� Underlying Transaksi dengan satu jenis valuta asing

hanya digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

b.��� Underlying Transaksi yang memiliki lebih dari satu jenis valuta asing digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing.

c.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan memiliki lebih dari satu jenis valuta asing untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan lebih dari satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama.

Perubahan Kedua atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/17/PBI/2013 Tentang Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia

8. 18/8/PBI/2016

60

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 68: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

4. ��� Penggunaan Kurs Spota.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap

Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).

b.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah.

5.��� Sanksia.��� Sanksi untuk pelanggaran atas pasal kewajiban

pemenuhan persyaratan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, pelanggaran atas pasal kewajiban pemenuhan persyaratan perpanjangan Kontrak Lindung Nilai, pelanggaran atas pasal kewajiban pemenuhan persyaratan perpanjangan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, dan pelanggaran atas pasal pelarangan terkait penggunaan Underlying Transaksi adalah sebagai berikut:1)��� Teguran tertulis; dan2)��� Kewajiban membayar sebesar 0,1% dari nilai

transaksi, dengan nilai sanksi paling banyak sebesar Rp1.000.000.000,00 per transaksi.

Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.

b.��� Sanksi untuk pelanggaran atas pasal kewajiban mencantumkan nomor referensi Kontrak Lindung Nilai pada saat perpanjangan transaksi dan pelanggaran atas pasal kelengkapan dokumen adalah berupa sanksi teguran tertulis.

c.��� Sanksi untuk pelanggaran atas kewajiban penyelesaian transaksi (kegagalan setelmen) adalah sebagai berikut:1)��� Teguran tertulis; dan2)��� Kewajiban membayar yang dihitung atas dasar:

a)��� Rata-rata suku bunga efektif Fed Fund yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta Dolar Amerika Serikat.Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro valuta asing Bank pada Bank Indonesia.

61

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 69: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

b)��� Rata-rata suku bunga kebijakan Bank Indonesia (BI Rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam Rupiah. Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia.

c)��� Rata-rata suku bunga yang dikeluarkan oleh bank sentral atau otoritas moneter di Negara valuta yang bersangkutan (official rate) yang berlaku selama periode keterlambatan ditambah 200 bps dikali nominal transaksi dikali hari keterlambatan dibagi 360, untuk penyelesaian kewajiban pembayaran dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat.Penyelesaian sanksi kewajiban membayar dilakukan melalui pendebetan rekening giro Rupiah Bank pada Bank Indonesia dengan konversi nilai ke Rupiah menggunakan kurs tengah Bank Indonesia.

1.��� Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Undang-undang Bank Indonesia yang menegaskan cakupan kewenangan dan fungsi Bank Indonesia di bidang Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah. Selain PBI ini, telah terdapat ketentuan lain yang mengatur kewenangan dan fungsi BI di bidang: a.��� Sistem Pembayaran, antara lain: i) Undang-Undang

tentang Bank Indonesia; ii) Undang-Undang tentang Transfer Dana; iii) Peraturan Bank Indonesia tentang Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu; iv) Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik (Eletronic Money); dan v) Peraturan Bank Indonesia tentang Transfer Dana); dan

b.��� Pengelolaan Uang Rupiah, antara lain: i) Undang-Undang tentang Bank Indonesia; ii) Undang-Undang tentang Mata Uang; dan iii) PBI tentang Pengelolaan Uang Rupiah.

2.��� PBI ini diterbitkan dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan dan stabilitas moneter melalui Sistem Pembayaran yang lancar, aman, efisien, dan andal; Pengelolaan Uang Rupiah yang mampu memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah

Pengaturan dan Pengawasan Sistem Pembayaran dan Pengelolaan Uang Rupiah

9. 18/9/PBI/2016

62

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 70: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu, dan dalam kondisi yang layak edar serta aman dari upaya pemalsuan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan didukung oleh Kegiatan Layanan Uang yang sehat dengan tata kelola yang baik dan memenuhi peraturan perundang-undangan.

3.��� Ruang Lingkup PBI ini mencakup pengaturan dan pengawasan:a.��� Sistem Pembayaran (SP);b.��� Pengelolaan Uang Rupiah (PUR); danc.��� Kegiatan Layanan Uang (KLU).

4.��� Prinsip yang diterapkan dalam pengaturan dan pengawasan SP dan PUR yang didukung dengan pengaturan dan pengawasan KLU, yaitu:a.��� tata kelola yang baik (good governance);b.��� berorientasi pada manajemen risiko; c.��� mengedepankan kepentingan nasional (national

interest); dand.��� memperhatikan peraturan perundang-undangan,

standar, dan praktik internasional.5.��� PengaturanSPmencakup antara lain:

a.��� instrumen pembayaran;b.��� kelembagaan;c.��� mekanisme penyelenggaraan Sistem Pembayaran; dand.��� infrastruktur,yang berlaku bagi setiap pihak yang melakukan kegiatan SP di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

6.��� Pengaturan PUR mencakup antara lain:a.��� perencanaan;b.��� pencetakan;c.��� pengeluaran;d.��� pengedaran;e.��� pencabutan dan penarikan; danf.��� pemusnahan.

7.��� Jenis KLU meliputi:a.��� kegiatan penukaran valuta asing bukan bank;b.��� penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;c.��� pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau

ke luar daerah pabean Indonesia; dand.��� KLU lainnya yang ditetapkan oleh Bank Indonesia

8.��� Pengaturan KLU mencakup antara lain:a.��� jasa yang disediakan;b.��� penyelenggara;c.��� mekanisme penyelenggaraan KLU; dand.��� infrastruktur.

63

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 71: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

9.��� Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang SP antara lain mencakup:a.��� penyelenggaraan SP oleh Bank Indonesia;b.��� kepesertaan SP Bank Indonesia;c.��� penyelenggaraan SP oleh industri; dand.��� pihak-pihak yang bekerja sama dengan penyelenggara

jasa SP.10.���Objek pengawasan Bank Indonesia di bidang PUR mencakup

penyelenggaraan PUR yang dilakukan oleh bank atau pihak lain yang ditunjuk oleh Bank Indonesia.

11.���Objek pengawasan Bank Indonesia atas KLU mencakup antara lain:a.��� penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta

asing bukan bank;b.��� penyelenggaraan jasa pengolahan uang Rupiah;c.��� pembawaan uang kertas asing (UKA) ke dalam atau

ke luar daerah pabean Indonesia; dand.��� penyelenggaraan KLU lainnya yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia.12.���PBI ini mulai berlaku pada tanggal 3 Juni 2016.

I.��� Latar Belakang

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk meminta keterangan dan data mengenai kegiatan lalu lintas devisa (LLD) yang dilakukan oleh penduduk. Keterangan dan data yang diperoleh melalui sistem pemantauan tersebut diperlukan untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan baik di bidang moneter, makroprudensial, maupun sistem pembayaran. Di samping itu, keterangan dan data tersebut juga diperlukan untuk penyusunan statistik, yang meliputi statistik neraca pembayaran Indonesia, posisi investasi internasional Indonesia, dan statistik lainnya, serta untuk mendukung pelaksanaan ketentuan mengenai penerimaan devisa hasil ekspor (DHE).

Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 18/10/PBI/2016 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah merupakan penyempurnaan dari PBI sebelumnya. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka mendorong transparansi dan meningkatkan ketersediaan informasi kegiatan LLD dimana perlu diatur kembali mengenai

Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Nasabah

10. 18/10/PBI/2016

64

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 72: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

penyampaian keterangan dan data, termasuk ketentuan dimana transaksi penggunaan devisa perlu dilengkapi dengan dokumen pendukung oleh nasabah.

II.��� Pokok-pokok Pengaturan

a.��� Pelaporan Kegiatan LLD Bank1)��� Ruang Lingkup Pelaporan

Bank wajib menyampaikan laporan LLD yang secara umum meliputi:a)��� Transaksi bank dan/atau nasabah yang

mempengaruhi Aset Finansial Luar Negeri (AFLN) bank dan/atau Kewajiban Finansial Luar Negeri (KFLN) bank.

b)��� Posisi dan mutasi AFLN bank dan/atau KFLN bank.

c)��� Rincian transaksi ekspor dan dokumen pendukung terkait transaksi ekspor dalam hal terdapat transaksi terkait ekspor nasabah.

2)��� Batas Waktu Penyampaian Laporana)��� Bankwajib menyampaikan laporan LLD setiap

bulan secara online paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya (Masa Penyampaian Laporan/ MPL) dengan masa koreksi paling lambat tanggal 20 pada bulan laporan yang bersangkutan (Masa Penyampaian Koreksi Laporan/MPKL). Bank dinyatakan telah menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD telah diterima oleh Bank Indonesia serta memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

b)��� Bank dinyatakan terlambat menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD disampaikan melampaui MPL sampai dengan akhir bulan.

c)��� Bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD apabila laporan LLD tidak disampaikan sampai dengan akhir bulan.

3)��� Sanksi Administratifa)��� Bank yang terlambat menyampaikan laporan

LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap hari keterlambatan.

b)��� Bank yang tidak menyampaikan laporan LLD dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

65

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 73: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

c)��� Bank yang dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD dengan benar dikenakan sanksi administratif berupa denda mulai sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap rincian baris (field) yang tidak benar dengan denda paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

b.��� Kewajiban Penyampaian Dokumen Pendukung1)��� Penyampaian Keterangan, Data, dan Dokumen

Pendukung oleh Nasabaha)��� Keharusan bagi nasabah menyampaikan

dokumen pendukung untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) dalam valuta asing dengan nilai > USD100.000,00 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau ekuivalennya, kecuali untuk:i.��� transaksi yang dilakukan oleh bank untuk

kepentingan bank itu sendiri; dan ii.��� transaksi yang bertujuan untuk pemindahan

simpanan oleh nasabah yang sama di dalam negeri.

b)��� Bank hanya dapat melakukan pengaksepan perintah transfer dana untuk transaksi LLD sebagaimana dimaksud dalam poin a) sepanjang dilengkapi dengan dokumen pendukung.

c)��� Nasabah wajib menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung kepada bank dengan benar.

d)��� Bank harus meneruskan informasi kepada Bank Indonesia mengenai penyampaian dokumen pendukung untuk transaksi LLD berupa transfer dana keluar (outgoing transfer) sebagaimana dimaksud pada poin a) yang mengakibatkan berkurangnya giro bank di luar negeri.

2)��� Sanksi Administratifa)��� Bank yang melakukan pengaksepan perintah

transfer dana untuk transaksi LLD tanpa dilengkapi dokumen pendukung dari nasabah sebagaimana dimaksud dalam poin 1). b) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana.

66

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 74: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

b) ��� Nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung dengan benar kepada bank dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan/atau denda sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari nilai transaksi dengan nominal paling banyak sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap perintah transfer dana. Selain dikenakan sanksi administratif berupa denda, nasabah yang dinyatakan tidak menyampaikan dokumen pendukung dengan benar kepada bank dapat dikenakan sanksi administratif berupa pemberitahuan kepada instansi terkait.

c. ��� Penelitian Kebenaran Laporan1) ��� Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat

melakukan penelitian kebenaran kepada bank dan/atau nasabah. Bank dan/atau nasabah harus memberikan penjelasan, bukti, catatan, dokumen pendukung, dan/atau dokumen lainnya yang terkait dalam rangka penelitian kebenaran dalam jangka waktu yang ditentukan oleh Bank Indonesia.

2) ��� Dalam hal bank tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam poin 1), bank dinyatakan tidak menyampaikan laporan LLD dengan benar.

3) ��� Dalam hal nasabah tidak memberikan penjelasan, bukti, catatan, dan/atau dokumen lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam poin 1), keterangan, data, dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan nasabah kepada bank dinyatakan tidak benar.

d. ��� Pembebasan Sanksi Administratif Berupa DendaBank atau nasabah yang telah dikenakan sanksi administratif berupa denda, dapat diberikan pembebasan sanksi administratif berupa denda, dengan ketentuan: 1) ��� bank atau nasabah mengajukan permohonan

pembebasan sanksi administratif berupa denda dalam waktu yang ditentukan; dan

2) ��� berdasarkan penelitian Bank Indonesia, bank atau nasabah tidak melakukan pelanggaran.

67

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 75: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

e.��� Ketentuan Penutup1)��� Keharusan penyampaian dokumen pendukung

sebagaimana dimaksud pada poin b berlaku setelah diterbitkannya ketentuan pelaksanaan dari PBI ini.

2)��� Ketentuan mengenai sanksi sehubungan dengan kewajiban penyampaian dokumen pendukung mulai berlaku untuk untuk data periode laporan bulan Maret 2017 yang disampaikan bulan April 2017.

Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Juni 2016.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

68

Page 76: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

I.��� Latar Belakang

Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara karena adanya penyesuaian dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 203/PMK.08/2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 43/PMK.08/2013 Tentang Lelang Surat Utang Negara Dalam Mata Uang Rupiah dan Valuta Asing di Pasar Perdana Domestik.

II.��� Materi Pengaturan

Penyempurnaan ketentuan dengan pokok-pokok perubahan sebagai berikut:1.��� Pengajuan penawaran pembelian Obligasi Negara pada

Lelang SUN dalam Rupiah dan Lelang SUN dalam valuta asing oleh Dealer Utama untuk dan atas nama diri sendiri atau untuk dan atas nama pihak lain selain Bank Indonesia dan LPS dilakukan secara Penawaran Pembelian Kompetitif (Competitive Bidding) dan/atau Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding).

2.��� Pengajuan penawaran pada Lelang SUN Tambahan dibatasi paling banyak sebesar Penawaran Pembelian Nonkompetitif (Non-competitive Bidding) dalam lelang SUN pada masing-masing seri SUN yang ditawarkan.

I.��� Latar Belakang

Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini diterbitkan dengan pertimbangan sebagai berikut:1.��� Dalam rangka meningkatkan tata kelola

penyelenggaraan sarana elektronik serta meningkatkan kualitas layanan jasa perbankan oleh Bank Indonesia.

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/32/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Tata Cara Lelang Surat Berharga Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Berharga Negara

Penyelenggaraan Sistem Bank Indonesia Government Electronic Banking

1.

2.

18/1/DPSP

18/2/DPTP

69

DAFTAR SURAT EDARAN BANK INDONESIA BESERTA RINGKASAN

PERIODE JANUARI - JUNI 2016

Page 77: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

2.��� Dalam rangka mengakomodir kepesertaan BIG-eB yang saat ini menjadi multi-institusional serta sebagai dasar pengaturan bagi Peserta Sistem BIG-eB dalam menggunakan Sistem BIG-eB.

II.��� Materi Pengaturan

Materi Pengaturan dalam Surat Edaran (SE) ini sebagai berikut:1) ketentuan Umum; 2) tugas dan tanggung jawab (baik bagi Penyelenggara dan Peserta); 3) tata cara menjadi peserta; 4) hak akses pada peserta; 5) penatausahaan rekening dan kode transaksi; 6) layanan Sistem BIG-eB; 7) penanganan keadaan tidak normal dan keadaan darurat; dan 8) ketentuan lain-lain.

I.��� Latar Belakang Pengaturan:

1.��� Sebagai tindak lanjut atas keputusan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia tanggal 18 Februari 2016 mengenai penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer dalam Rupiah, Bank Indonesia telah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/3/PBI/2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/15/PBI/2013 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.

2.��� Atas perubahan PBI tersebut, maka perlu dilakukan perubahan kedua atas Surat EdaranBank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional.

II.��� Substansi Pengaturan:

1.��� Perubahan Bagian II Tata Cara Perhitungan GWM Primer, dimana kewajiban GWM Primer dalam Rupiah diturunkan dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi sebesar 6,5% (enam koma lima persen) dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam Rupiah. Perubahan ini juga berdampak pada beberapa contoh perhitungan GWM dalam Lampiran.

2.��� Perubahan Lampiran III mengenai Contoh Perhitungan GWM dalam Rupiah dan Perhitungan Sanksi Kewajiban Membayar.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015 perihal Perhitungan Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional

3. 18/3/DKEM

70

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 78: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

a.��� Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah.

b.��� Penyesuaian contoh perhitungan jasa giro bagi bank yang dapat memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah dan contoh perhitungan sanksi bagi bank yang tidak dapat memenuhi kewajiban GWM dalam Rupiah.

3.��� Perubahan Lampiran IV mengenai Contoh Perhitungan GWM bagi Bank yang Melakukan Merger. Penyesuaian contoh perhitungan pemenuhan GWM dalam Rupiah, baik GWM Primer, GWM Sekunder maupun GWM LFR sebagai dampak dari penurunan kewajiban Giro Wajib Minimum (GWM) dalam Rupiah dari 7,5% (tujuh koma lima persen) menjadi 6,5% (enam koma lima persen) dari DPK dalam Rupiah bagi Bank yang melakukan merger, baik sebelum merger maupun setelah merger berlaku efektif.

I.��� Latar Belakang

Surat Edaran (SE) Bank Indonesia ini diterbitkan dengan pertimbangan untuk mengaturpelaksanaan kegiatan penyediaan layanan Sub-Registry Bank Indonesia kepada Pemerintah Daerah Republik Indonesia dalam rangka konversi penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau DanaAlokasi Umum dalam bentuk nontunai.

II.��� Materi Pengaturan

Materi Pengaturan dalam Surat Edaran (SE) ini sebagai berikut:1) ketentuan Umum; 2) prinsip umum; 3) layanan Sub-Registry BI dalam penatausahaan SBN konversi; 4) kewajiban Nasabah SBN konversi; 5) tata cara menjadi nasabah SBN Konversi Sub-Registry BI; 6) biaya; 7) laporan; 8) penanganan keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat; 9) korespondensi; dan 10) ketentuan lain-lain.

71

Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam Rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil dan/atau Dana Alokasi Umum dalam bentuk Nontunai berupa Surat Berharga Negara

4. 18/4/DPTP

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 79: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

1.��� Surat Edaran Nomor 18/5/DSta perihal Penerimaan Devisa Utang Luar Negeri merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia No.17/23/PBI/2015 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

2.��� Pokok-pokok Pengaturana.��� Ketentuan mengenai kewajiban penerimaan Devisa

Utang Luar Negeri (DULN), yang mencakup:1)��� Setiap penarikan DULN wajib diterima oleh debitur

ULN melalui bank devisa;2)��� Nilai setiap penerimaan DULN harus sama dengan

nilai setiap penarikan ULN;3)��� Nilai akumulasi penerimaan DULN harus sama

dengan nilai komitmen ULN.b.��� Ketentuan mengenai penyampaian laporan, dokumen

pendukung, dan penjelasan tertulis, yang mencakup:1)��� Penerimaan DULN wajib dilaporkan oleh debitur

ULN kepada Bank Indonesia;2)��� Informasi penerimaan DULN harus disampaikan

oleh debitur ULN kepada bank devisa secara akurat;3)��� Penyampaian dokumen pendukung atas penerimaan

DULN melalui bank devisa;4)��� Penyampaian dokumen pendukung yang

membuktikan selisih kurang antara nilai penerimaan DULN melalui bank devisa dengan nilai penarikan ULN;

5)��� Penyampaian dokumen pendukung dan penjelasan tertulis yang membuktikan selisih kurang antara nilai akumulasi penerimaan DULN melalui bank devisa dengan nilai komitmen ULN.

c.��� Ketentuan mengenai tata cata pengenaan sanksi atas pelanggaran terhadap kewajiban penerimaan DULN, yang mencakup:1)��� Mekanisme pengenaan sanksi administratif berupa

denda;2)��� Mekanisme pembebasan sanksi administratif berupa

denda;3)��� Mekanisme pengenaan sanksi administratif berupa

teguran tertulis dan/atau pemberitahuan kepada kreditur/instansi berwenang.

d.��� Kewajiban penerimaan DULN yang berasal dari perjanjian ULN yang ditandatangani sebelum tanggal 2 Januari 2016 tetap mengacu pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/10/DSta tanggal 26 Mei 2014 perihal Penarikan Devisa Utang Luar Negeri sampai dengan berakhirnya perjanjian ULN dimaksud, kecuali untuk

Penerimaan Devisa Utang Luar Negeri

5. 18/5/DSta

72

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 80: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

penerimaan DULN yang berasal dari penambahan plafon ULN karena adanya perubahan perjanjian (amendemen) yang ditandatangani sejak tanggal 2 Januari 2016.

e.��� Ketentuan pengenaan sanksi administratif mulai berlaku untuk penarikan ULN yang dilakukan sejak tanggal 1 Maret 2016 atas perjanjian ULN yang ditandatangani sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/23/PBI/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/10/PBI/2014 tentang Penerimaan Devisa Hasil Ekspor dan Penarikan Devisa Utang Luar Negeri.

Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 6 April 2016.

I.��� Latar Belakang

1.��� Perubahan atas PBI No. 16/21/PBI/2014 tentang Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.

2.��� Perubahan cakupan Proyek Infrastruktur oleh BAPPENAS melalui PERMEN BAPPENAS No.4 tahun 2015.

3.��� Pemberhentian kegiatan Pemeringkat Efek oleh PT ICRA Indonesia.

II.��� Pokok-pokok pengaturan mencakup:

1.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Perusahaan Pembiayaan, sepanjang:a.��� memiliki Tingkat Kesehatan Keuangan minimum “Sehat” yang terakhir dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan

b.��� memenuhi gearing ratio maksimum sebagaimana diatur oleh OJK.

2.��� Menambahkan pengecualian atas kewajiban pemenuhan ketentuan minimum Peringkat Utang (Credit Rating) terhadap ULN dalam Valuta Asing Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).

3.��� Melakukan pengkinian Lampiran I tentang Daftar Lembaga Pemeringkat yang Diakui Bank Indonesia untuk digunakan dalam Penerapan Prinsip Kehati-Hatian Dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.

Perubahan Kedua Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/24/DKEM Tanggal 30 Desember 2014 Perihal Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Non Bank

6. 18/6/DKEM

73

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 81: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

4.��� Menambahkan dan mengkinikan Lampiran III tentang Daftar Cakupan Proyek Infrastruktur yang sebelumnya merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pengelolaan Utang Luar Negeri Korporasi Nonbank.

III.��� Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 April 2016.

1.��� Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/7/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia yang selanjutnya disebut SEBI No. 18/7/DPSP diterbitkan sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia No. 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No. 18/5/PBI/2016. SEBI No. 18/7/DPSP ini mencabut SEBI No. 17/13/DPSP tanggal 5 Juni 2015 perihal Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia.

2.��� Pokok-pokok perubahan ketentuan yang diatur dalam SEBI No.18/7/DPSP antara lain sebagai berikut:

Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia

7. 18/7/DPSP

74

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP

Perubahan data kepesertaan

Perubahan status Peserta karena pengunduran diri, self liquidation, penggabungan, dan peleburan

Persyaratan Bank Penerus

Beberapa perubahan data kepesertaan dilakukan melalui pemberitahuan kepada Penyelenggara

Diatur secara umum

Kategori BUKU 2, BUKU 3, dan BUKU 4 sesuai penilaian terakhir yang dilakukan oleh otoritas pengawas Bank.

Beberapa perubahan data kepesertaan dilakukan melalui permohonan kepada Penyelenggara

Diatur secara lebih detail

Kategori BUKU 4 sesuai penilaian terakhir yang dilakukan oleh otoritas pengawasan Bank.

Page 82: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

75

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP

Perubahan waktu operasional dalam Layanan Kliring Warkat Debit

Perubahan periode waktu kegiatan pengiriman DKE oleh Peserta

Perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit dilakukan apabila terjadi Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat.

Hanya dapat diajukan oleh Koordinator PWD.

Peserta dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu pengiriman DKE kepada Penyelenggara dalam hal terdapat keadaan tidak normal dan/atau keadaan darurat.

Tetap.

Dapat diajukan oleh Koordinator PWD dan Peserta.

Pengajuan perubahan jam Layanan Kliring Warkat Debit oleh Peserta hanya dapat dilakukan apabila Keadaan Tidak Normal atau Keadaan Darurat terjadi di beberapa Wilayah Kliring.

Peserta dapat mengajukan mengajukan permohonan perpanjangan periode waktu pengiriman DKE Transfer Dana, DKE Pembayaran, dan DKE Penagihan.

Permohonan perpanjangan periode waktu kegiatan paling lambat 30 menit sebelum periode waktu kegiatan berakhir dan Penyelenggara dapat menetapkan lain dalam kondisi tertentu.

Permohonan terbatas 30 menit dan dapat diperpanjang 30 menit, kecuali ditentukan lain oleh Penyelenggara.

Page 83: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

76

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP

Jam Layanan Transfer Dana

Surat Penyataan terkait dengan Penyediaan mininum Prefund

Batas nominal nota debit

Standing Instruction

Fasilitas kontijensi

Biaya retur

06.30 – 16.30.

Peserta harus menyampaikan surat pernyataan mengenai tidak disediakannya Prefund di awal hari berikut alasannya.

Tidak dibatasi

Dalam Layanan Penagihan Reguler, nasabah tertagih harus membuat standing instruction kepada Peserta tertagih untuk melakukan pendebitan rekening sesuai ketentuan yang ditetapkan Penyelenggara.

Penyelenggara menyediakan fasilitas kontijensi berupa:fasilitas guest bank; danfasilitas upload DKE.

Untuk transaksi yang diretur oleh Peserta paling lambat pada esok harinya tidak dikenakan biaya retur.Apabila retur dilakukan lebih dari 1 hari kerja, dianggap sebagai transaksi baru dan dikenakan biaya proses.

06.30 – 16.00.

Tidak diatur.

Di bawah Rp10.000.000,-

Tidak diatur.

Fasilitas kontijensi yang disediakan oleh Penyelenggara hanya fasilitas guest bank.

Transaksi yang di-retur oleh Peserta pada Layanan Transfer Dana, Layanan Penagihan Reguler & Layanan Pembayaran Reguler dikenakan biaya.

Page 84: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

3.��� SE ini mulai berlaku tanggal 2 Mei 2016

1.��� Surat Edaran Bank Indonesia No.18/8/DPSP tanggal 2 Mei 2016 perihal Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP tanggal 13 November 2015 perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement diterbitkan sebagai aturan pelaksanaan atas Peraturan Bank Indonesia No.17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia No.18/6/PBI/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika.

2.��� Pokok-pokok perubahan ketentuan yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini adalahsebagai berikut: a.��� Penyempurnaan ketentuan kepesertaan dalam Sistem

BI-RTGS terkait dengan perubahan data kepesertaan yang mencakup perubahan penggunaan infrastruktur Sistem BI-RTGS, perubahan participant code, perubahan nama Peserta, perubahan kegiatan usaha, perubahan nomor Rekening Giro, perubahan alamat kantor Peserta, perubahan lokasi RPP Utama dan JKD Utama, perubahan Pimpinan, dan perubahan kuasa.

b.��� Perubahan alamat korespondensi terkait kegiatan penyelenggaraan dan pemantauan kepatuhan Peserta.

c.��� Penambahan prosedur pengajuan permohonan perpanjangan waktu.

77

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

SEBI 17/13/DPSPKETENTUAN SEBI 18/7/DPSP

Biaya Proses

Biaya Fasilitas Kontijensi

Biaya Proses DKE Rp1000,/DKE.

Biaya Proses Transaksi Bulk Payment Rp500,/transaksi.

Tetap

Fasilitas Upload DKE = 2 juta.

Biaya Proses DKE Rp750/DKE.

Biaya Proses Transaksi Bulk Payment Rp100/transaksi.

Fasilitas Guest Bank = Rp5jt

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/30/DPSP Tanggal 13 November 2015 Perihal Penyelenggaraan Setelmen Dana Seketika Melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settelment

8. 18/8/DPSP

Page 85: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

d.��� Ketentuan mengenai biaya dalam penyelenggaraan setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS, antara lain:1)��� Perubahan Biaya pengiriman instruksi Setelmen

Dana dalam rangka pengembalian dana; dan2)��� Perubahan ketentuan mengenai tidak

memberlakukan dan pembebasan biaya tertentu kepada Peserta apabila terjadi Keadaan Tidak Normal dan/atau Keadaan Darurat.

e.��� Perubahanjam operasional Sistem BI-RTGS sebagai dampak dari perubahan jam layanan transfer dana melalui SKNBI.

f.��� Penambahan kode transaksi (TTC) dalam Sistem BI-RTGS untuk setelmen hasil perhitungan Layanan Pembayaran Reguler dan Layanan Penagihan Reguler dalam penyelenggaraan SKNBI.

1.��� Surat Edaran ini merupakan ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 17/9/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan Transfer Dana dan Kliring Berjadwal oleh Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PBI Nomor 18/5/PBI/2016 dan penyempurnaan dari Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) No. 17/14/DPSP tanggal 5 Juni 2015.

2.��� Beberapa perubahan dalam SE BI ini antara lain mengenai: a.��� Layanan Transfer Dana hanya dapat memproses transfer

dana kepada nasabah penerima yang memiliki rekening di Peserta Penerima, sehingga pengaturan mengenai penerusan dana kepada nasabah penerima yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima dihapus.

b.��� Pengiriman DKE Transfer Dana pada Layanan Transfer Dana dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan perintah transfer dana dan wajib dilakukan sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak pengaksepan perintah transfer dana. Pengiriman DKE Transfer Dana tersebut harus didukung dengan dana yang cukup.

c.��� Dalam rangka penerusan dana kepada nasabah penerima dalam Layanan Pembayaran Reguler, Peserta penerima wajib mengkredit rekening nasabah penerima pada tanggal yang sama dengan tanggal Penyelenggara melakukan Setelmen Dana dan harus dilakukan sesegera mungkin paling lama 2 (dua) jam sejak Penyelenggara melakukan Setelmen Dana.

3.��� SE BI ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2016.

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/14/DPSP Tanggal 5 Juni 2015 Perihal Perlindungan Nasabah Dalam Pelaksanaan Tranfer Dana dan Kliring Berjadwal melalui Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia

9. 18/9/DPSP

78

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 86: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

1.��� Latar Belakang penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) ini adalah dalam rangka mendukung upaya pemerintah dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme, maka perlu dilakukan pembatasan terhadap nasabah yang dapat menerima transfer dana melalui Sistem BI-RTGS. Dengan adanya kebijakan pembatasan tersebut maka transfer dana melalui Sistem BI-RTGS untuk kepentingan nasabah hanya dapat ditujukan kepada nasabah yang mempunyai rekening di Peserta penerima.

2.��� Dengan diberlakukannya SEBI ini maka ketentuan mengenai penerusan dana kepada nasabah yang tidak memiliki rekening di Peserta penerima dicabut.

I.��� Latar belakang dan Tujuan

Pengaturan transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah ini sejalan dengan upaya Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara nilai rupiah yang salah satunya dipengaruhi oleh stabilitas nilai tukar rupiah sehingga mitigasi risiko ketidakpastian pergerakan nilai tukar menjadi suatu keniscayaan. Hal ini membutuhkan dukungan pasar keuangan yang likuid dan dalam, khususnya pasar valuta asing domestik, dalam rangka menjaga kelangsungan kegiatan ekonomi nasional.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Pelaku transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah nasabah, Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Syariah (BUS). Transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah hanya dapat dimohonkan oleh: (i) Nasabah kepada BUS atau UUS, (ii) BUS atau UUS kepada BUS lainnya atau UUS lainnya; atau (iii) BUS atau UUS kepada BUK.

2.��� Transaksi lindung nilai syariah dilakukan dengan transaksi lindung nilai sederhana («Aqd al Tahawwuth al-Basith) atau transaksi lindung nilai kompleks («Aqd al Tahawwuth al-Murakkab).

3.��� Transaksi lindung nilai syariah harus didahului dengan forward agreement atau rangkaian forward agreement. Forward agreement adalah saling berjanji (muwa»adah) untuk melakukan transaksi spot dalam jumlah tertentu di masa yang akan datang dengan nilai tukar atau perhitungan nilai tukar yang disepakati pada saat saling

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/34/DPSP Tanggal 13 November 2015 Perihal Perlidungan Nasabah dalam Pelaksanaan Transfer Dana melalui Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement

Transaksi Lindung Nilai Berdasarkan Prinsip Syariah

10.

11.

18/10/DPSP

18/11/DEKS

79

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 87: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

berjanji. Apabila forward agreement tidak dipenuhi maka pihak yang tidak memenuhi dapat dikenakan ganti rugi (ta»widh).

4.��� Batasan-batasannya antara lain: (i) berdasarkan prinsip syariah dan apabila terdapat kebutuhan nyata, (ii) memiliki underlying transaksi yang didukung dokumen underlying transaksi, (iii) Nilai nominal dan jangka waktu transaksi hedging syariah maksimal sama dengan underlying transaksi, (iv) Nilai tukar dan perhitungan nilai tukar ditentukan saat forward agreement.

5.��� Underlying transaksi lindung nilai berdasarkan prinsip syariah adalah seluruh kegiatan: (i) Perdagangan barang dan jasa di dalam dan di luar negeri; dan/atau (ii) Investasi berupa direct investment, portfolio investment, pembiayaan, modal, dan investasi lainnya di dalam dan di luar negeri.

I.��� Latar Belakang dan Tujuan

1.��� Surat Edaran ini diterbitkan sebagai ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/7/PBI/2016 tentang Transaksi Bank kepada Bank Indonesia dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5880).

2.��� Surat Edaran ini mengatur Transaksi CNY/IDR Repo BCSA antara lain terkait karakteristik, surat berharga yang dapat digunakan, mekanisme transaksi dan pengenaan sanksi.

3.��� Bank Indonesia menyelenggarakan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dalam rangka memenuhi kebutuhan Chinese Yuan Bank Umum dalam pembayaran perdagangan internasional dan investasi langsung.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dapat dilakukan dengan mekanisme nonlelang atau lelang dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yaitu antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

Transaksi Repurchase Agreement Surat berharga dalam Rupiah Bank Umum kepada Bank Indonesia terhadap Chinese Yuan dalam rangka Bilateral Currency Swap Arrangement

12. 18/12/DPM

80

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 88: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

2.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara non lelang dilakukan pada hari Jumat atau hari kerja lain yang ditetapkan Bank Indonesia, tidak termasuk hari kerja terbatas Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat meniadakan window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA secara non lelang.

3.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan mekanisme lelang dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender).

4.��� Transaksi CNY/IDR Repo BCSA memiliki jangka waktu 1 bulan, 3 bulan, dan/atau 6 bulan.

5.��� Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditentukan sebagai berikut:a.��� Kriteria Surat Berharga yang dapat digunakan dalam

Transaksi CNY/IDR Repo BCSA adalah diterbitkan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia, tercatat di BI-SSSS dan tidak sedang diagunkan.

b.��� Jenis Surat Berharga yang dapat digunakan dalam Transaksi CNY/IDR Repo BCSA diatur sebagai berikut: 1)��� SBI dan SDBI

a)��� Sisa jangka waktu paling singkat 7 hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;

b)��� Haircut ditetapkan sebesar 15%;c)��� Jangka waktu pledge adalah sesuai dengan

jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 6 hari kerja.

2)��� SBN a)��� Sisa jangka waktu paling singkat 16 hari

kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA;

b)��� Haircut ditetapkan sebesar 20% untuk SUN dan 21,5% untuk SBSN;

c)��� Jangka waktu pledge untuk SBN adalah sesuai dengan jangka waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ditambah 14 hari kerja

d)��� Pledge atas Surat Berharga dilakukan pada 1 hari kerja setelah tanggal transaksi, paling lambat pada pukul 13.00 WIB.

6.��� Bank Umum mengajukan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA berdasarkan Underlying Transaksi dengan ketentuan sebagai berikut:a.��� Underlying Transaksi mencakup milik Bank Umum

dan/atau nasabah;

81

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 89: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

b.��� Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran dokumen Underlying Transaksi dan dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.

7. Bank Umum menyampaikan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dengan ketentuan sebagai berikut:a.��� dilakukan secara langsung tanpa melalui lembaga

perantara, paling sedikit sebesar CNY500,000 dan paling banyak sebesar nilai Underlying Transaksi;

b.��� Bank Umum hanya dapat melakukan 1 (satu) kali pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dalam window time Transaksi CNY/IDR Repo BCSA untuk masing-masing jangka waktu;

c.��� Bank Umum bertanggung jawab atas kebenaran data pengajuan/penawaran Transaksi CNY/IDR Repo BCSA dan dilarang membatalkan pengajuan Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.

8.��� Bank Umum wajib memenuhi kewajiban setelmen sebagai berikut: a.��� memiliki kecukupan nilai nominal, jenis, dan seri

Surat Berharga yang di-pledge pada saat first leg.b.��� mentransfer kembali dana Chinese Yuan ke rekening

Bank Indonesia di People»s Bank of China pada saat second leg.

9.��� Dalam hal Bank Umum tidak dapat memenuhi kewajiban second leg, Bank Indonesia melakukan pencairan sebelum jatuh waktu atas SBI/SDBI yang direpokan dan/atau penjualan atas SBN yang direpokan sejak 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal jatuh waktu Transaksi CNY/IDR Repo BCSA.

10.���Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu melakukan penghentian transaksi sebelum jatuh waktu (early termination) terhadap Transaksi CNY/IDR Repo BCSA apabila Bank Umum yang bersangkutan mengalami penurunan peringkat komposit di bawah 3 (tiga) dan/atau ditemukan adanya pelanggaran lain dalam ketentuan ini.

11.���Sanksia.��� Dalam hal Bank Umum tidak melakukan kewajiban

pledge yang mencukupi terkait nilai nominal, jenis, dan seri Surat Berharga pada 1 (satu) hari kerja setelah tanggal transaksi, tidak memiliki Underlying Transaksi, menggunakan Underlying Transaksi yang sama untuk lebih dari 1 (satu) Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, tidak menatausahakan dokumen Underlying Transaksi, dan/atau membatalkan

82

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 90: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

Transaksi CNY/IDR Repo BCSA yang telah diajukan kepada Bank Indonesia maka Bank Umum dikenakan sanksi berupa:1)��� teguran tertulis dan 2)��� kewajiban membayar sebesar 0,01% dari nilai

Transaksi CNY/IDR Repo BCSA, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) per transaksi.

b.��� Dalam hal pada tanggal jatuh waktu (second leg) Bank Umum tidak mentransfer dana Chinese Yuan sebesar nilai setelmen second leg Transaksi CNY/IDR Repo BCSA ke rekening Bank Indonesia di People Bank»s of China, Bank Umum dikenakan sanksi berupa:1)��� teguran tertulis; dan2)��� kewajiban membayar dengan perhitungan

sebagai berikut:

1.��� Dokumen underlying milik Bank dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia adalah:a.��� Perjanjian kredit (loan agreement) apabila Underlying

Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk perjanjian kredit.

b.��� Laporan penjualan surat utang yang dkeluarkan oleh global custody apabila Underlying Transaksi berupa Pinjaman Luar Negeri dalam bentuk penerbitan surat utang.

c.��� Surat dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) dari kantor pusat Bank atau dari Bank kepada otoritas yang berwenang apabila Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang tidak mengalami perubahan.

d.��� Surat persetujuan otoritas yang berwenang atas perubahan dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang disampaikan kantor pusat Bank atau Bank apabila Underlying Transaksi berupa dana usaha yang dinyatakan (declared dana usaha) yang nilainya mengalami perubahan.

2.��� Dokumen underlying milik nasabah dalam Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia berupa dokumen transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dalam bentuk deal ticket atau kontrak swap.

Perubahan Kedua atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 16/2/DPM tanggal 29 Januari 2014 perihal Transaksi Swap Lindung Nilai Kepada Bank Indonesia

13. 18/13/DPM

83

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 91: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

3.��� Untuk Underlying Transaksi dengan satu jenis valuta asing, Underlying Transaksi yang sama hanya digunakan untuk satu Kontrak Lindung Nilai dan satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia.

4.��� Untuk Underlying Transaksi dengan lebih dari satu jenis valuta asing, Underlying Transaksi yang sama dapat digunakan untuk satu pengajuan Kontrak Lindung Nilai dan satu pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai yang dinyatakan dalam masing-masing valuta asing sebagaimana yang tercantum dalam Underlying Transaksi.

5.��� Bank dilarang menggunakan Underlying Transaksi yang sama dan memiliki lebih dari satu jenis valuta asing untuk lebih dari satu Kontrak Lindung Nilai dan lebih dari satu Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dengan jenis valuta asing yang sama.

6.��� Bank bertanggung jawab atas penatausahaan kelengkapan dokumen asli Underlying Transaksi dan dokumen fotokopi underlying transaksi swap jual antara Bank dengan nasabah dengan penerimaan dokumen paling lambat satu bulan setelah tanggal transaksi.

7.��� Untuk pelaksanaan Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia, Bank Indonesia mengumumkan antara lain hal-hal sebagai berikut:a.��� Jenis valuta asing yang digunakan dalam Transaksi

Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia. b.��� Jumlah minimum penawaran dan kelipatan penawaran

transaksi.8.��� Menambahkan informasi mengenai jenis valuta asing pada

Kontrak Lindung Nilai yang disampaikan oleh Bank kepada Bank Indonesia pada saat pengajuan Transaksi Swap Lindung Nilai.

9.��� Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR).

10.���Kurs spot yang digunakan untuk Transaksi Swap Lindung Nilai kepada Bank Indonesia dalam valuta asing selain Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah adalah kurs tengah transaksi Bank Indonesia valuta asing terhadap Rupiah.

11.���Nilai setelmen first leg dihitung sebesar nilai nominal valuta asing yang diajukan dikalikan dengan kurs spot JISDOR dalam hal valuta asing yang digunakan adalah Dolar Amerika Serikat atau dengan kurs tengah transaksi Bank Indonesia dalam hal valuta asing yang digunakan adalah selain Dolar Amerika Serikat.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

84

Page 92: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

I.��� Latar belakang dan Tujuan

Dalam rangka mempercepat upaya pendalaman pasar uang, salah satu faktor penunjang adalah adanya reference rate (JIBOR) yang dapat dipercaya (kredibel) dan digunakan secara luas oleh pelaku pasar.

Upaya peningkatan kredibilitas JIBOR telah dilakukan pada awal tahun 2015 yaitu dengan penyempurnaan kuotasi JIBOR yang dapat ditransaksikan oleh sesama bank kontributor selama 10 menit sejak terdapat pengumuman kuotasi, jumlah transaksi hingga Rp10 milyar dengan tenor sampai dengan 1 bulan. Penyempurnaan JIBOR dimaksud diatur melalui PBI No. 17/2/PBI/2015 dan SE No. 17/6/DPM tentang Suku Bunga Penawaran Antarbank (JIBOR), dan SE No. 17/5/Dsta terkait penyesuaian ketentuan mengenai Laporan Harian Bank Umum (LHBU). Dengan penyempurnaan dimaksud bank dapat mengetahui secara transparan suku bunga kuotasi JIBOR masing-masing individu bank kontributor, mekanisme pembentukan JIBOR, dan metode pemilihan kontributor JIBOR. Pemberlakuan mekanisme JIBOR transactable terbukti cukup efektif dalam mendorong penciptaan likuiditas pasar uang.

Guna mendorong penciptaan likuiditas pasar lebih lanjut dengan tenor transaksi yang lebih panjang, JIBOR kembali disempurnakan. Penyempurnaan dimaksud diatur melalui perubahan peraturan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank angka V.

II.��� Materi Pengaturan

1.��� Permintaan transaksi oleh Asking Bank dilakukan dari pukul 10.00 WIB sampai dengan pukul 10.20 WIB.

2.��� Jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah paling lama 3 (tiga) bulan.

3.��� Permintaan transaksi dari Asking Bank paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

4.��� Total permintaan transaksi dari seluruh Asking Bank yang dipenuhi oleh Quoting Bank tidak melebihi Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) per hari, dan

5.��� Ketersediaan dana (availability of fund) dan credit limit dari Quoting Bank kepada Asking Bank.

Perubahan atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/6/DPM tanggal 31 Maret 2015 perihal Suku Bunga Penawaran Antarbank

14. 18/14/DPPK

85

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 93: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

6.��� Dalam hal Quoting Bank tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam angka 2, Asking Bank harus menyampaikan informasi mengenai penolakan tersebut secara tertulis dengan disertai bukti-bukti pendukung kepada Bank Indonesia c.q. Departemen Pengembangan Pasar Keuangan, paling lama 5 (lima) Hari Kerja sejak tanggal penolakan.

7.��� Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2016.

8.��� Ketentuan mengenai batasan jangka waktu meminjam atau meminjamkan rupiah untuk tenor 3 bulan mulai berlaku pada tanggal 1 September 2016.

1.��� Ketentuan ini merupakan tindak lanjut dari penerbitan Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/52/DKSP tanggal 30 Desember 2015 perihal Implementasi Standar Nasional Teknologi Chip dan Penggunaan Personal Identification Number Online 6 (Enam) Digit untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang Diterbitkan di Indonesia (SEBI No.17/52/DKSP) yang mengamanatkan pengaturan lebih lanjut mengenai kepemilikan dan penetapan standar nasional serta pengaturan mengenai tugas, tanggung jawab, dan kewajiban pengelola standar nasional.

2.��� Secara garis besar, SEBI No. 18/15/DKSP mengatur hal-hal sebagai berikut:a.��� kepemilikan dan penetapan standar nasional;b.��� persetujuan sebagai pengelola standar nasional;c.��� tugas, wewenang, dan kewajiban pengelola standar

nasional; sertad.��� pengawasan, laporan, dan evaluasi pengelolaan standar

nasional. 3.��� Pengaturan mengenai kepemilikan dan penetapan standar

nasional adalah sebagai berikut:a.��� Kepemilikan standar nasional berada pada Bank

Indonesia, dengan tujuan melindungi kepentingan publik dalam penggunaan standar nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet.

b.��� Dalam rangka penetapan standar nasional oleh Bank Indonesia, pihak yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam SEBI No. 17/52/DKSP dan telah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia sebagai pengelola standar nasional harus menyerahkan kepemilikan standar teknologi chip Kartu ATM dan/atau Kartu Debet yang telah disepakati penggunaannya oleh industri kepada Bank Indonesia.

Pengelolaan Standar Nasional Teknologi Chip untuk Kartu ATM dan/atau Kartu Debit

15. 18/15/DKSP

86

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 94: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016

Perihal RingkasanNo. Peraturan

4.��� Pengaturan mengenai persetujuan sebagai pengelola standar nasional adalah sebagai berikut:a.��� Pengelola standar nasional adalah pihak yang memenuhi

persyaratan yang ditetapkan dalam SEBI No. 17/52/DKSP dan disetujui oleh Bank Indonesia.

b.��� Pengelola harus menyusun dan menyampaikan rencana kerja awal pengelolaan Standar Nasional Kartu ATM dan/atau Kartu Debet secara tertulis kepada Bank Indonesiasetelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.

5.��� Pengaturan mengenai tugas, wewenang, dan kewajiban pengelola standar nasional adalah sebagai berikut: a.��� Pengelola bertugas melakukan fungsi manajemen

sertifikasi, manajemen spesifikasi, manajemen vendor, certificate authority, dan tugas lain yang diamanatkan oleh Bank Indonesia.

b.��� Pengelola memiliki wewenang antara lain untuk menetapkan jenis dan besarnya biaya, menetapkan persyaratan dan prosedur pelaksanaan pengelolaan, memperoleh data dan informasi yang diperlukan, serta melakukan kerja sama dengan pihak ketiga.

c.��� Pengelola wajib memiliki struktur organisasi dan sumber daya manusia yang memadai dan melakukan evaluasi secara berkala terhadap standar nasional, dengan memerhatikan prinsip keamanan, efisiensi, kepentingan nasional, dan tata kelola yang baik.

6.��� Pengaturan mengenai pengawasan, laporan, dan evaluasi pengelolaan standar nasional adalah sebagai berikut:a.��� Bank Indonesia melakukan pengawasan langsung dan

tidak langsung terhadap kegiatan yang dilakukan pengelola.

b.��� Pengelola wajib menyampaikan laporan berkala maupun insidental kepada Bank Indonesia.

c.��� Berdasarkan hasil evaluasi, Bank Indonesia dapat meminta pengelola melakukan dan/atau tidak melakukan tindakan tertentu, dan/atau membatalkan persetujuan sebagai pengelola.

87

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016

Page 95: BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN fileBULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN Volume 13, Nomor 1, Januari - Juni 2016 ISSN : 1693 - 3265 Volume 13, Nomor 1, Januari – Juni 2016