BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN · Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan •...

59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010 Volume 8, Nomor , Januari 200 BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Direktorat Hukum Bank Indonesia Pelindung Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia Penanggung Jawab Ahmad Fuad,, Heru Pranoto, Agus Santoso Pemimpin Redaksi Agus Santoso Sekretaris Redaksi Dyah Pratiwi Dewan Redaksi Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih, Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R. Redaksi Pelaksana Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan, Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto Mitra Bestari Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia. Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan Septem- ber. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email:[email protected] Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksen- tralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Ti- pikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan. “Bulen ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di hp://www. bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”

Transcript of BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN · Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan •...

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

Volume 8, Nomor �, Januari 20�0

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia

Pelindung

Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung Jawab

Ahmad Fuad,, Heru Pranoto, Agus Santoso

Pemimpin Redaksi

Agus Santoso

Sekretaris Redaksi

Dyah Pratiwi

Dewan Redaksi

Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih,

Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.

Redaksi Pelaksana

Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan,

Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto

Mitra Bestari

Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM

Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM

Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM

Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM

Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH

Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi

Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,

Direktorat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan

dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin

ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan Septem-

ber. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2

Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email:[email protected]

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksen-

tralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Ti-

pikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud,

Redaksi memberikan uang jasa penulisan.

“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2

halaman ini sengaja dikosongkan

i

Dari Meja Redaksi

Dengan semangat baru di awal tahun 2010, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 1, Edisi

Januari 2010, hadir dan menyapa pembaca sekalian.

Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house lawyer) merupakan sekelompok orang/pegawai dalam perusahaan

atau organisasi melakukan fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja untuk

menginformasikan kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi” (content) dan “penerapan” (application) hukum di

tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan. Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi menyesuaikan

kegiatannya dengan nasehat yang diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini penasehat hukum internal (in-house

lawyer) yang berada di satuan kerja hukum (law department) masih melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut

masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional” saat ini pula

terdapat perubahan dramatis yang dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja.

Menyoroti peran in house lawyer suatu institusi, edisi Buletin kali ini, secara khusus menghadirkan artikel utama mengenai

“Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In House Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi”. Buletin

juga menurunkan 3 artikel lainnya yaitu masing-masing mengenai “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga

Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”; “Kredit Macet : Antara

Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi” serta “Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit”

Dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan refleksi mengikuti sidang UNCITRAL terkait Insolvency Law dalam

risalah mengenai “Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.

Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku “Hukum E-Commerce dan Internet, Dengan

Focus Asia Pacific”.

Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat

daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan

Desember 2009, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin

mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.

Selamat membaca.

Jakarta, Januari 2010

Redaksi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

ii

halaman ini sengaja dikosongkan

iii

Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 8, Nomor �, Januari 20�0

Halaman

Dari Meja Redaksi ............................................................................................................................................... i

Daftar Isi......... ..................................................................................................................................................... iii

Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In house Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi .. 1 - 18

Bambang Djauhari, SH, LLM dan Dinia Fitrati, SH, LLM

(Penasehat Hukum Eksekutif Bank Indonesia dan Penasehat Hukum Bank Indonesia)

Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004

tentang Lembaga Penjamin Simpanan) ................................................................................................................ 19 - 24

Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH

(Kandidat Doktor FH UGM, Dosen Pasca Sarjana FH UKSW)

Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi ... .......................................................................... 25 - 30

Agus Santoso, SH, LLM

(Deputi Direktur Hukum)

Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit ................................................................................................................... 31 - 36

Hilman Tisnawan, SH

(Analis Hukum Bank Indonesia)

Resensi Buku:

Hukum E-Commerce dan Internet, dengan focus Asia Pacific ........... .................................................................. 37 -40

Mustika Bella Putri Pasaribu

(Mahasiswa FH Univ. Trisakti, PKL di Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Cakrawala Hukum:

Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (Refleksi Mengikuti Sidang Uncitral Insolvency Law) ............................................................... 41 - 46

(Redaksi)

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia September – Desember 2009 .......... 47 - 50

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia September – Desember 2009 ...................................................................... 51 - 53

Tim Informasi Hukum

(Direktorat Hukum Bank Indonesia)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

iv

halaman ini sengaja dikosongkan

Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In-house Lawyer) dalam Memberikan Kontribusi bagi OrganisasiOleh: Bambang Djauhari SH, LLM & Dinia Fitrati, SH, LLM*)

I. Pendahuluan

Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house

lawyer) yang merupakan sekolompok orang/pegawai

dalam perusahaan atau organisasi apapun melakukan

fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau

organisasi tempat dia bekerja untuk menginformasikan

kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi”

(content) dan “penerapan” (application) hukum di

tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan.

Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi

menyesuaikan kegiatannya dengan nasehat yang

diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini

penasehat hukum internal (in-house lawyer) yang

berada di satuan kerja hukum (law department) masih

melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut

masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat

hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional”

saat ini pula terdapat perubahan dramatis yang

dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja.

Perusahaan atau organisasi menghadapai “tantangan

baru” (new challenges). Perusahaan atau organisasi

menggantungkan diri pada in-house lawyer mereka

untuk menghadapi dan mengatasi tantangan baru

tersebut. James R. Jenkins menyatakan bahwa inti dari

tantangan baru ini adalah terkait dengan risiko

reputasi (reputational risk) dan untuk itu dibutuhkan

“champion of the reputation”. Sebagai tanggapan

terhadap tantangan baru ini, beberapa perusahaan/

lembaga telah menempatkan pimpinan satuan kerja

hukum (general counsel atau chief legal officer)

sebagai “champion of the reputation and ethical

culture”. Dengan demikian, tantangan baru yang

dihadapi ini tidak hanya terkait dengan ketaatan

(compliance) terhadap peraturan tetapi terkait dengan

isu yang lebih luas yaitu bagaimana perusahaan atau

organisasi dapat mengatur dirinya lebih baik dan

bagaimana pejabat perusahaan atau organisasi

seharusnya bertindak (good governance) dalam peran

baru yang penting tersebut.

In-house lawyer diharapkan menjaga agar perusahaan

atau organisasi dan pimpinannya berada pada jalur

yang benar, tidak saja dalam jalur hukum tetapi juga

etika. Oleh karena itu in-house lawyer menjadi bagian

dari program risk management yg lebih luas agar in-

house lawyer dapat bekerja dengan specialist lainnya

(spt internal auditor) dan dapat memahami interaksi

antara legal risk dan risiko lainnya (other forms of

risk), seperti credit risk dan market risk. Hal tersebut

dilakukan oleh in-house lawyer dengan cara

mengidentifikasi beserta dengan rincian impact &

consequences issues serta memberikan kontribusi

pemikiran dan solusi yang dapat dilaksanakan

(possible solution) tetapi tanpa harus mengambil alih

tanggung jawab for making business decision

Untuk menghadapi tantangan baru ini diperlukan

empowerment bagi in-house lawyer. Thomas C.

Baxter, pemimpin satuan kerja hukum (Executive Vice

President) sekaligus in-house lawyer paling senior

(general counsel) pada Federal Reserve of New York

memberikan saran bagaimana penasehat hukum

internal menjadi empowered. Pertama, peran in-house

lawyer bukan hanya memberikan nasehat hukum

(legal advice). In-house lawyer harus memainkan

peran yang lebih luas, yaitu sebagai manajer “risiko

hukum” dan “risiko reputasi” (legal and reputational

risk manager). In-house lawyer dituntut melihat diri

sendiri sebagai champion of the ethics dari

perusahaan/lembaga. Kedua, in-house lawyer perlu

menjaga kemampuannya untuk independent dan

informed sehingga dapat memainkan peran yang kuat

dan unik. Tidak seperti independensi auditor yang

sifatnya struktural (structural independence) kewajiban

professional in-house lawyer bersifat judgement

independence. In-house lawyer tidak dapat dipisahkan

dari kliennya. Kombinasi judgement independence *) Penasehat Hukum Eksekutif dan Penasehat Hukum Bank Indonesia

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2

Corporate Counsel, dll. Namun istilah Corporate

Lawyer sering digunakan untuk menunjuk pada

(eksternal) lawyer yang bekerja di kantor hukum

(law firm) yang mengkhususkan diri (specialist)

dalam penanganan di bidang hukum korporasi

(corporate law), tax law, bankruptcy law, securities

law, anti-trust law dan lain-lain. Dengan demikian

status In-house lawyer adalah sebagai karyawan

pada lembaga/ perusahaan, tidak mengenakan

atau meminta biaya atas jasa yang diberikan dan

tidak melakukan praktek hukum atau memberikan

jasa hukum di luar lembaga tempat dia bekerja

baik dengan atau tidak memungut biaya (not itself

engaged in the practice of law or rendering of

legal services outside such organization whether

for a fee or otherwise).

In-house lawyer dianggap dapat memberikan jasa

hukum untuk mendukung kegiatan organisasi

secara lebih cepat dan praktis, komprehensif dan

memberikan advis yang sesuai dengan kebutuhan

dibandingkan jika jasa hukum diberikan oleh

eksternal lawyer (outside counsel). Hal tersebut

disebabkan IHL memiliki pengetahuan tentang

pekerjaan atau kegiatan organisasi, mempunyai

akses kepada bagian-bagian dari organisasi dan

mempunyai kemampuan secara langsung

mempengaruhi pengambilan keputusan yang

diambil organisasi. Selain itu juga In-house lawyer

mempunyai kemampuan tentang kegiatan

organisasi disamping tentunya mempunyai

dan perannya sebagai manajer senior membuat

general counsel sebagai figur ideal sebagai champion

of the culture dan master of legal and reputational

risk dalam perusahaan atau organisasi tempat mereka

berada. General counsel merupakan figur yang sesuai

untuk mengatasi masalah yang menyangkut pejabat

senior yang tindakan atau perilakunya bertentangan

dengan budaya dan praktek yang baik.

Perkembangan terakhir tentang penempatan peran

in-house lawyer dalam bidang tatakelola (governance)

telah menimbulkan perdebatan. Di beberapa Negara,

terutama di Amerika Serikat, terdapat kecenderungan

arah bahwa pemimpin/direktur satuan kerja hukum

atau departemen hukum (general counsel of law

department) diberi tanggungjawab lebih besar,

dituntut untuk lebih vigilant atau lebih proaktif dalam

bidang tatakelola (governance). Kejadian akhir-akhir

ini baik di Amerika Serikat, Inggris maupun di tempat

lain telah mendorong diskusi yang bersifat global

tentang peran para in-house lawyer di dalam

perusahaan/lembaga mereka bekerja. Corporate

general counsel dan law department menghadapi

tanggungjawab yang baru, harapan yang lebih besar

dan tantangan yang tidak pernah dialami sebelumnya

dalam lingkungan bisnis yang baru. In-house lawyer

merasakan bahwa peran mereka sedang mengalami

perubahan dan mereka diharapkan untuk memikul

tanggungjawab ekstra.

Dengan demikian, semua in-house lawyer harus peka

terhadap kebutuhan untuk memberikan nilai tambah

(value added) pekerjaan mereka, mengkomunikasikan

hasil yang dapat dirasakan. Walaupun peran general

counsel dan law department sangat bervariasi antara

organisasi yang satu dengan lainnya. Tetapi terdapat

kecenderungan dengan arah yang pasti bahwa peran

mereka berubah sedemikian rupa. Peran mereka

dalam organisasi makin menjadi semakin penting bagi

jalan hidup organisasi dengan tanggungjawab,

pengaruh dan penghasilan yang meningkat.

II. PERKEMBANGAN IN-HOUSE LAWYER

A. In-house Lawyer

In-house lawyer merupakan istilah lain dari

Corporate Lawyer, Corporate Legal Department,

Inside Lawyer, Inside Counsel, In-House Counsel,

General Counsel/ Chief Legal Officer is

a senior, infuential and respected officer

of the organisation” and “member of

the organisation’s senior management,

recognized as having strong qualities of

independence, judgment and discretion”.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

keahlian hukum yang tinggi (excellent legal

experties) dan memiliki kemampuan untuk

berinteraksi dengan staf atau manajemen dari

organisasi.

Jasa hukum yang diberikan oleh In-house lawyer

mulai dari memberikan nasehat hukum (legal

advice) dan pendapat hukum (legal opinion),

hingga memberikan bantuan hukum (advocate)

dengan bertindak mewakili organisasi, perusahaan

atau lembaga tempat mereka bekerja baik dalam

peradilan pidana, perdata dan administratif. Dalam

peranannya sebagai legal advisor mereka

memberikan nasehat hukum (legal advice) kepada

klien mereka tentang hak dan kewajiban mereka.

Disamping fungsi dan peran tersebut di atas, di

beberapa organisasi atau lembaga in-house lawyer

juga melaksanakan fungsi dan peran lain seperti

legal drafting dan legal reviewing serta bertindak

selaku negosiator. Oleh karena itu tidak terdapat

keseragaman peran in-house lawyer di masing-

masing lembaga/perusahaan mengingat hal tersebut

tergantung dari besarnya organisasi dan ruang

lingkup aktivitas organisasi�.

Banyak perusahaan atau organisasi memiliki

satuan kerja hukum (law department) atau suatu

tim yang memberikan nasehat tentang ketentuan

tata kelola yang dalam menjalankan kegiatannya

biasanya dipimpin oleh seorang General Counsel

(GC) atau Chief Legal Officer (CLO). Bagi banyak

perusahaan/organisasi, ukuran law department

dapat besar dan berkembang sejalan dengan

peranannya yang makin menjadi penting. Ketika

law department makin besar dan berkembang,

bagi banyak perusahaan/organisasi legal department

menjadi beban biaya. Walaupun adanya kenyataan

ini, perusahaan tetap mengharapkan CLO mereka

dan legal team dalam legal departemen memainkan

peranan penting dalam memberikan nasehat

kepada menajemen puncak. Peran GC harus

ditetapkan dan dirumuskan secara jelas oleh Board

sehingga dapat memberikan peringatan (alerting

Board dan decision-maker yang lain) ttg significant

1 Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law Department Management”, 2009 http://www.acc.com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm

law violation dan potential damage to the

organization.

Dalam survey yang dilakukan Friedman and Stuart

(2000) dilaporkan bahwa walaupun peranan CLO

berbeda diantara berbagai perusahaan/organisasi,

peran utama CLO adalah memberikan nesehat

dan laporan kepada manajemen senior dan direksi

perusahaan/lembaga mengenai berbagai hal

seperti risiko litigasi, peraturan dan pengungkapan

informasi, keputusan penting, masalah etik dan

isu-isu lainnya seperti hubungan masyarakat moral

dan keuangan. Sejalan dengan peran yang

penting ini, CLO pada umumnya diberi status

sebagai seorang manager senior. Dalam survey

bersama yang dilakukan oleh Spherion Corp dan

ACCA (2001) dikemukakan bahwa CLO memberi-

kan nasehat/advis kepada Chief Executive Officer

(CEO) mengenai isu-isu hukum, masalah etika,

negosiasi kontrak bisnis, perencanaan strategis,

sumberdaya manusia, penyelesaian sengketa dan

manajemen risiko. Merefleksikan pentingnya

peran seorang CLO, CLO umumnya bertanggung-

jawab dan melapor langsung ke CEO. Dari survey

yang sama menunjukkan bahwa perusahaan

cenderung lebih menyukai menggunakan in-house

lawyer dibanding menggunakan counsel dari luar

(external lawyer) karena in-house lawyer lebih

memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey

tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari

responden menempatkan CLO diantara 10 top

executives di perusahaan/lembaga mereka.

Agar GC efektif melaksanakan fungsi dan peran

tersebut, GC harus dipandang dan ditempatkan

sebagai “a senior, infuential and respected officer

of the organisation” dan merupakan “member of

the organisation’s senior management, recognized

as having strong qualities of independence,

judgment and discretion”. Hubungan/struktur

pelaporan serta akses kpd manajemen dan Board

serta “sistem kompensasi” semuanya harus

mencerminkan atau sejalan dengan peran dan

statusnya dalam organisasi. Selain itu juga GC

harus mempunyai akses langsung yang cukup

kepada senior management & Board sehingga

semua masalah dapat diangkat dan diselesaikan

pada tingkat yg tepat. GC harus melapor kepada

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

“the highest ranked executive”. GC harus

menghadiri secara regular semua rapat Board,

Committee, dan semua rapat yg berkaitan dengan

legal compliance dan GC harus memiliki ultimate

authority berkaitan dgn pemilihan outside/external

lawyers yang dipergunakan organisasi�.

Harapan terhadap general counsel dan law

department telah berubah sejak kurun waktu dua

dekade yang lalu. Perkembagan law department

dalam periode akhir tahun 1970 -1980 pada

umumnya didorong oleh pengurangan biaya yang

disebabkan meningkatnya biaya jasa penasehat

hukum eksternal (outside legal services) dengan

mengembangkan atau meningkatkan kemampuan

lawyer dari dalam sendiri yang biayanya jauh lebih

murah. Dalam kurun waktu ini, difokuskan pada

membangun organisasi tim hukum dan kemampuan

memberikan jasa hukum internal yang efektif.

Dalam kurun waktu ini fungsi hukum jarang

diikutsertakan dari program/inisiatif manajemen

perusahaan/organisasi. Pada masa itu, law

department sering dijuluki sebagai “black box”

yang terasing dari satuan kerja (department)

lainnya dalam perusahaan atau organisasi mereka

berada.

B. Klien

“The client of an In-House Lawyer has always been

the company and not the company managers.

Companies, however, are run by people. If the best

interest of the company conflicts with the position

taken by its managers, the In-House Lawyer has a

unique responsibility to step in, due to his or her

professional responsibilities.�”

Dari pernyataan diatas in-house lawyer merupakan

karyawan dari organisasi. Hal ini membawa

implikasi. In-house lawyer menerima seluruh

kompensasi dari satu klien dan secara organisasi

mereka (in-house lawyer) dimonitor oleh non-

lawyer. Officers dan managers dari organisasi

memandang in-house lawyer berbeda dengan

eksternal lawyer. Mereka sering menganggap in-

2 Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance”

3 Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role as In-House Counsel.

house lawyer sebagai “team player” dan tidak

seperti eksternal lawyer yang waktu dan

kesetiaannya dibagi dengan clients mereka. in-

house lawyer sering diharapkan untuk

memberikan “business decision” disamping “legal

decision”.

In-house lawyer melaksanakan fungsi hukum pada

perusahaan/organisasi termasuk organ-organ atau

pejabat perusahaan/organisasi tempat mereka

bekerja sebagai klien mereka. Independensi mereka

berbeda dengan external lawyer yang berpraktek

swasta/pribadi. Penasehat hukum internal dianggap

berada pada sisi dan tempat yang sama dengan

pegawai di tempat mereka bekerja sehingga tidak

terdapat pembatas yang bersifat fisik sebagaimana

terdapat dalam hubungan antara klien external

lawyer. Pertanyaan tentang siapakah sebenarnya

yang merupakan “Client” dari in-house lawyer

merupakan pertanyaan yang sangat penting.

Berdasarkan “entity theory of the corporate

representation”, klien dari in-house lawyer adalah

badan hukum itu sendiri (legal entity)4, bukan

individu atau kelompok individu yang terkait dengan

badan/organisasi tersebut. Seorang in-house

lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak

melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk

kepentingan pejabat (officers), pegawai

(employees), pengurus (directors) atau siapapun

yang merupakan “constituent” dari badan tersebut.

Menurut James R. Jenkins, Senior Vice President

and General Counsel, Deere & Company, badan

hukum tidak dapat berkomunikasi secara langsung

dengan atau memberi perintah kepada seorang

(in-house lawyer). Komunikasi dan instruksi

perintah datang hanya dari orang-orang (natural

persons) yang bekerja (sebagai pengurus, pejabat

atau pegawai) untuk dan atas nama badan hukum

tersebut. Karena dalam praktek sulit menentukan

perbedaan antara badan hukum dengan para

constituent-nya, merupakan kewajiban dari in-

house lawyer untuk senantiasa memberikan

pemahaman kepada mereka yang mewakili badan

4 Texas Disciplinary Rules of Professional Conduct RULE 1.12 ORGANIZATION AS A CLIENT

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

hukum ttg perbedaan tersebut5. Pada saat yang

diperlukan, in-house lawyer harus menjelaskan

mengenai identitas posisi dari client (pengurus

atau pejabat yg mewakili badan hukum) apabila

in-house lawyer dalam berhubungan dengan atau

memberikan jasa kepada client tersebut mengetahui

dan menyadari bahwa kepentingan lembaga

bertentangan dengan kepentingan mereka (klien).

In-house lawyer hanya memiliki satu klien, yaitu

organisasi/entitas. Oleh karena itu, kelangsungan

pekerjaan dan hidup-nya tergantung pada mereka

yang mewakili klien (individuals who control &

manage the entity). Sedangkan eksternal lawyer

memiliki banyak klien dan berusaha melakukan

diversifikasi.

Hubungan antara lawyer dengan klien tergantung

pada jenis kegiatan dan kebutuhan klien. Selain

itu, hubungan tersebut juga tergantung pada

alasan yang mendasari sehingga klien

mempertahankan hubungannya dengan lawyer.

Pertama-tama hubungan tersebut terjalin karena

adanya kebutuhan klien agar keseluruhan

kegiatannya mendapat bantuan jasa hukum dari

lawyer. Disamping itu, beberapa klien juga

menginginkan keberadaan lawyer dalam rangka

pelaksanaan suatu kegiatan yang bersifat khusus.

Kemampuan untuk memberikan advis bisnis baik

secara umum maupun secara khusus akan

membuat lawyer menjadi lebih efektif sebagai

advisor kepada klien atau dalam mewakili

kepentngan klien.

Seorang lawyer yang dapat memberikan advis

dalam kaitan dengan masalah efisiensi biaya juga

dapat menjadi kunci keberhasilan yang luar biasa

dalam hubungan antar lawyer dengan klien.

Pelayanan prima oleh lawyer kepada kliennya,

pertama-tama dimulai dari kecepatan dalam

merespon kebutuhan klien. Kedua, lawyer harus

dapat segera mengidentifikasi dan mengatasi

risiko serta permasalahan yang dihadapi oleh klien

sesuai dengan harapan klien dan dalam keadaan

yang memungkinkan untuk dilakukan oleh klien.

5 James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration – Benefiting In-House Counsel And Their Corporation”

Ketiga, dokumentasi yang dihasilkan harus dapat

mencerminkan keadaan yang sesuai dan

memberikan perlindungan atas kepentingan klien.

Dalam hubungan antar lawyer dan klien, sangat

penting untuk diperhatikan adalah apakah klien

dapat mempercayai bahwa lawyer yang ia gunakan

dapat membantu klien dalam mengembangkan

kepentingan bisnis dari klien tersebut. Hal yang

penting diperhatikan berkaitan dengan kualitas

jasa hukum yang diberikan adalah tentang faktor

teknis dan tingkat responsifitas atas kebutuhan

klien. Oleh karena itu, bagi lawyer, penting untuk

memperhatikan tentang faktor kepercayaan atas

advis yang diberikan, advis tersebut diberikan

secara komprehensif dan meliputi keseluruhan

kebutuhan klien, mencerminkan kompetensi teknis

yang tinggi dari lawyer dan faktor kesesuaian

antara advis dengan kebutuhan klien.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka klien akan

merasakan adanya peran positif dari lawyer

memenuhi kepentingan klien dan lawyer secara

melekat dapat melindungi dan mengembangkan

kepentingan klien. Dengan demikian, faktor

kepercayaan klien yang tercermin dari integritas

lawyer terhadap klien adalah faktor mendasar

untuk mengembangkan dan memelihara

hubungan natara lawyer dengan klien. Apabila

kepercayaan tersebut berkurang maka akan

menimbulkan konsekuensi yang negatif dalam

hubungan antara lawyer dengan klien. Oleh

karena itu, yang penting dilakukan dalam rangka

hubungan antara lawyer dengan klien adalah

adanya hubungan keterbukaan yang luas agar

lawyer dapat menangani permasalahan atau

persoalahan secara benar karena hal tersebut tidak

akan mungkin dilakukan apabila informasi yang

diperoleh oleh lawyer tidak relevan dengan

permasalahan yang ditangani.

Dalam melaksanakan kewajiban, in-house lawyer

harus independen (….duties require his absolute

independence, free from all other influence,

especially such as may arise from his personal

interests or external pressure). Kewajiban utama

in-house lawyer adalah dalam batasan personal

and professional ethics, memberikan very “best”

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

advice yang dia dapat berikan (capable) kepada

client-nya. Kata “best” dalam konteks ini berarti

advice tersebut sudah merefleksikan the best

judgment-nya tentang akibat hukum yang timbul

dari fakta-fakta yang dikemukakan (oleh client)

kepadanya.

C. Peran In-house Lawyer

Traditional Role

Konsepsi in-house lawyer yang diterapkan secara

umum dewasa ini adalah memberikan fungsi

pelayanan jasa hukum yang dikelompokkan kedalam

2 (dua) kegiatan utama yaitu fungsi legal advising

dan fungsi advocating. Fungsi yang disebut pertama

(legal advising) merupakan fungsi yang dominan

dari lawyer atau sekelompok lawyer pada suatu

lembaga. Kegiatan yang menjadi bagian dari

fungsi ini adalah melakukan legal researching,

legal drafting, legal reviewing, dan legal advising

itu sendiri. Adapun kegiatan yang menjadi bagian

dari fungsi advocating meliputi litigating (beracara

didepan pengadilan) dan advocating itu sendiri

yaitu (sebagai pembela hukum). Disamping itu,

untuk menunjang pelaksanaan kedua fungsi

tersebut, perlu didukung oleh adanya suatu sistem

informasi hukum yang berbasis teknologi dan

kepustakaan, serta fungsi administrasi yang bersifat

dedicated pada pencapaian dan kelancaran

pelaksanaan fungsi jasa hukum tersebut. Gambaran

tradisional dari satuan kerja hukum adalah

penekanan pada pemberian jasa hukum yang

berkualitas dengan biaya yang efektif (cost-

effective, quality legal services).

Dual Role Corporate Lawyer

Peran ganda (dual role) in-house lawyer, di satu sisi

sebagai legal adviser dan di sisi lain sekaligus sebagai

business adviser telah menyebabkan perdebatan di

pengadilan dalam kasus the Three Rivers. Dalam

isu hukum mengenai “legal advice privilege” ini

terdapat pertanyaan fundamental mengenai peran

ganda dari penasehat internal: kacamata (spectacles)

apa atau topi (hat) mana yang dipakai/dipergunakan

oleh penasehat hukum internal ketika memberikan

nasehat kepada pimpinan perusahaan/organisasi

tempat dia bekerja?

Jauh sebelum perubahan yang akhir-akhir ini

terjadi dalam lingkungan bisnis, law department

berusaha mencari keseimbangan yang tepat

(proper) antara bekerja untuk mendukung tujuan

bisnis dan bertindak sebagai fungsi “conscience”

(menetapkan sesuatu sebagai benar dan salah)

dan “control” bagi perusahaan/organisasi. In-

house lawyer umumnya memiliki pengetahuan

yang luas tentang strategi bisnis, isu dan kebijakan

perusahaan/lembaga dan sering memiliki masa

jabatan yang lebih lama dibanding rekan manajer

lainnya.

Oleh karena itu, disamping memberikan kontribusi

keahlian tentang kebijakan bisnis dan hukum, in-

house lawyer dapat bertindak sebagai sumber

ingatan yang dapat dipercaya dalam perusahaan

atau lembaga. Lebih dari itu, karena law department

memiliki kepekaan dan tanggungjawab yang

tinggi terhadap perusahaan secara keseluruhan

dibanding hanya unit bisnis yang mementingkan

diri sendiri, in-house lawyer lebih peduli melindungi

kepentingan “ownership interest” dalam

perusahaan/lembaga tersebut.

Menyeimbangkan kedua tanggungjawab ini dapat

mengakibatkan perselisihan (tension) antara in-

house lawyer dan client eksekutif mereka. Untuk

meminimalkan tekanan ini, penting sekali untuk

memperjelas dan mengelola peranan in-house

lawyer untuk menghindari penyeberangan batas

(crossing the boundary) dari penasehat (adviser) ke

pengambil keputusan (decision-maker). Tetapi

control sering berarti mengidentifikasi dan

mengangkat isu, tidak berarti menghentikan

perusahaan/lembaga dari suatu aktifitasnya, kecuali

jika aktifitas tersebut mengandung pelanggaran

hukum (violation of law) atau melanggar kewenangan

yang diberikan (delegated authority).

Tanggungjawab law department untuk melindungi

perusahaan/lembaga dari risiko yang tidak semestinya

tidak berarti bahwa in-house lawyer harus membuat

keputusan mengenai risiko hukum (legal risk) yang

tidak merupakan pelanggaran hukum (violation of

the law) atau pelanggaran kewenangan yang

diberikan (a breach of delegated authority).

Pandangan yang telah menjadi kesepakatan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

adalah bahwa in-house lawyer diharapkan

mengidentifikasi lingkup risiko, dengan rincian

tentang dampak (impact) dan akibat (consequences)

dari risiko yang ada dan saran (suggestions) untuk

pilihan alternatif, tetapi menyerahkan sepenuhnya

kepada client untuk memutuskan. Diakui bahwa

client yang mengelola suatu multitude dari risiko

bisnis seharusnya diberi kepercayaan untuk

mengelola risiko hukum (legal risk) sepanjang in-

house lawyer mereka telah menyampaikan advise

dan counsel secara efektif.

Seorang general counsel pernah menyatakan

bahwa yang masih menjadi kesulitan (the great

riddle) adalah bagaimana menjadikan para lawyer

bagian dari the client team tanpa menjadikan

lawyer tersebut bagian dari client sehingga ikut

membuat keputusan. General counsel tersebut

mengarahkan para in-house lawyer nya untuk

memberikan advice dan assesment yang jelas

terhadap masalah yang dihadapi, tetapi tidak

dimaksudkan memberikan keputusan. Sebaliknya,

law department yang lain menghindari pembedaan

antara peranan in-house lawyer sebagai penasehat

hukum (legal advisory role of lawyer) dan penasehat

bisnis (business advisory role of lawyer). Sebagai

contoh, seorang general counsel menyatakan

bahwa “teaming orientation of the law department”

menjadikan in-house lawyer dan client

menanggung risiko bersama. In-house lawyer

berpartisipasi dalam menentukan risiko, memberikan

nasehat kepada client mereka untuk membuat

keputusan yang benar/tepat yang telah didasarkan

pada perencanaan dan strategi risiko hukum dari

in-house lawyer, dan mendukung (bukan

meninggalkan) client mereka ketika diputuskan

untuk menanggung risiko, tanpa mempedulikan

apakah lawyer itu sendiri akan membuat

keputusan yang sama.

General counsel tersebut selanjutnya mengatakan

bahwa in-house lawyer yang hanya memberikan

fakta-fakta saja dan penerapan yang kaku dari

hukum yang bersifat teknis, kurang bernilai

dibandingkan dengan in-house lawyer yang ikut

berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan

menanggung risiko bersama client. General

counsel lain setuju bahwa jika in-house lawyer

menjadi bagian dari tim bisnis, mereka

memberikan nasehat bisnis dengan suatu “legal

twist” yang tidak hanya dengan “legalese”,

dengan demikian menjadi sulit (namun bukannya

tidak bisa) membedakan antara nasihat bisnis

(business advice) dan nasehat hukum (legal advice)

serta pengambilan keputusan (decision making).

Jika risiko bisnis besar (dikaitkan dengan jumlah

nilai uang tertentu, pertimbangan kebijakan dan/

atau “legal propriety”), maka in-house lawyer

diharapkan mengidentifikasi isu dan mengemukakan

isu tersebut kepada client yang lebih senior dan/

atau in-house lawyer yang lebih senior untuk

meyakinkan bahwa isu tersebut memperoleh

perhatian yang semestinya. Tetapi, sepanjang

terdapat alasan yang dapat diterima agar client

mengambil tindakan yang diinginkan, bahkan

walaupun in-house lawyer tidak setuju dengan

tindakan tersebut, kebanyakan general counsel

berpendapat bahwa keputusan seharusnya

diserahkan kepada client pada tingkat yang tepat.

Pada akhirnya in-house lawyer diharapkan untuk

memenuhi tanggungjawabnya untuk

mengidentifikasi isu, dan dihargai untuk memberikan

kontribusi pemikiran dan solusi untuk menangani

isu tersebut dan mendukung kemajuan lembaga/

perusahaan. Disamping itu mereka diharapkan

melakukan ini tanpa mengambil alih

tanggungjawab membuat keputusan.

Namun terdapat beberapa hal yang perlu menjadi

perhatian atas peran ganda tersebut karena akan

membuat situasi dimana in-house lawyer �:

• Tidak membedakan antara legal dan business

advisory role of lawyer

• Tidak dapat dibedakan lagi antara business &

legal advice dan decision making

• Hilangnya garis batas yg tegas (bright line

separation) antara kedua peran tersebut.

• In-house lawyer menjadi bagian dari suatu

business team dan menimbulkan tension

antara in-house lawyer dan business executive

clients

• In-house lawyer ikut dalam decision making

6 Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

8

dan share the risk with the client oleh karena

itu perlu a balancing act walau sulit krn in-

house lawyer lebih suka clarity (menghindari

crossing the boundary from adviser to decision

maker).

• Dalam hal in-house lawyer membuat business

judgment untuk client, maka siapa yang

akan mengawasi atau memberikan advis atas

keputusan yang dibuat oleh in-house lawyer ?

• Mengaburkan kewajiban profesionalnya

(profesional obligation) sebagai in-house

lawyer (lawyer shall proceed as is reasonably

necessary in best interest of the organization).

• Mengkompromikan independensi, pengkajian

yang bebas & jujur dan legal judgment-

nya sebagai legal adviser yang mempunyai

profesional obligation

• Melakukan sesuatu diluar legal capacity-nya

karena the activity involves “a violation of law

or breach of delegated authority”.

Value-Added Contribution

Menurunnya pertumbuhan ekonomi pada 1990

dan disertai dengan biaya jasa hukum yang makin

meningkat menyebabkan terjadinya perubahan

dalam harapan dalam fungsi hukum perusahaan/

lembaga tersebut. Secara perlahan law department

diikutsertakan dalam seluruh program/inisiatif

manajemen perusahaan/lembaga. Satuan kerja

hukum (law department) makin terlibat dalam

“mainstream of management thinking, techniques

and, indeed, fads” yang merupakan karakteristik

pada dekade tersebut. Seperti fungsi lainnya

dalam perusahaan/lembaga, fungsi hukum juga

dievaluasi. General counsel bertanggungjawab

atas biaya/anggaran dan pengelolaan yang efektif,

disamping juga memberikan jasa ukum yang

berkualitas. Setiap in-house lawyer diharapkan

memberikan nilai tambah bagi perusahaan/

lembaga.

Peranan general counsel dan law department dan

pengertian “value-added contribution” (sumbangan

peranan lawyer yang memberikan nilai tambah

bagi lembaga) telah mengalami perubahan terus

menurus. Namun pada saat ini, in-house lawyer

memiliki peranan sangat penting yang belum

pernah dialami sebelumnya. Sangat mungkin

bahwa pengertian best practice dan faktor-faktor

keberhasilan akan terus berkembang di masa

datang sesuai dengan perkembangan lingkungan

bisnis.

Secara perlahan terdapat perubahan. Perusahaan

atau lembaga tempat mereka berada menyadari

adanya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas

pegawai mereka yang melaksanakan fungsi

hukum (legal staff). Perusahaan atau lembaga

ingin merekrut lawyer yang mempunyai bakat

hukum yang berkualitas tinggi. Untuk mencapai

tujuan ini, mereka menawarkan kompensasi yang

sebanding, bersaing dengan perusahaan jasa

hukum/kantor hukum (law firms) besar. Sejalan

dengan perkembangan tersebut, law department

meningkat dalam biaya anggarannya dan jumlah

pegawainya. Bersamaan dengan itu, kebutuhan

jasa penasehat hukum eksternal juga tetap

meningkat untuk menangani litigasi dan kebutuhan

kegiatan/transaksi yang terus meningkat.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka

in-house lawyer memberikan tambahan nilai (value

added) adalah sebagai berikut:

(i) Penetapan Misi Fungsi Hukum (Legal Function

Mission)

Banyak law department telah menyusun den-

gan sangat berhati-hati penuangan kata yang

merupakan pernyataan “misi” dari satuan

kerja hukum yang menetapkan maksud dan

tujuan dari satuan kerja hukum dan menetap-

kan budaya, perspektif dan pendekatan yang

diambil dalam memberikan dukungan hukum

bagi perusahaan/lembaga.

Pernyataan tentang misi dari in-house lawyer

ini dipublikasikan secara luas dan ditegaskan

kembali secara berkala dalam berbagai

kesempatan baik kepada pegawai satuan kerja

hukum maupun kepada client mereka. Banyak

pemimpin satuan kerja hukum (general counsel)

mengatakan bahwa kejelasan tentang peranan

tim hukum (legal team) sangat penting, tidak

hanya dalam memfokuskan dan

memprioritaskan kegiatan-kegiatan staf dari

in-house lawyer, tetapi juga untuk membantu

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

menyampaikan dan menegaskan kembali

kontribusi fungsi hukum kepada client.

Pernyataan misi yang progresif umumnya

memfokuskan pada client. Misi tersebut

menekankan pentingnya memfasilitasi

tercapainya tujuan client, dengan sikap lawyer

yang proaktif, berperan dalam tim client.

Dalam banyak contoh, misi satuan kerja

hukum (law department) berkembang pada

nilai-nilai perusahaan/lembaga yang sifatnya

umum, sebagian besar menitikberatkan pada

kepuasan client.

Sejalan dengan penekanan akhir-akhir ini pada

corporate governance, ethical behaviour dan

program kepatuhan (compliance),

kecenderungannya adalah bahwa satuan kerja

hukum (law department) terus akan

menyempurnakan dan memperluas misi dan

rencana strategis mereka untuk merefleksikan

pada penekanan ini. Pentingnya peran hukum

yang preventif oleh in house lawyer telah

dimengerti sejak dekade yang lampau. Tetapi

perubahan lingkungan yg baru menuntut

pemimpin satuan kerja hukum (general

counsel) mengalokasikan perhatian lebih besar

dan sumber daya kepada program dan

kegiatan pengelolaan risiko hukum (legal risk

management) yang lebih efektif.

(ii) Integrasi dengan Client

Konsep bahwa lawyer harus terintegrasi

dengan client mereka telah lama menjadi

prinsip/ajaran inti dari organisasi law department.

Client adalah “raison d’etre” dari lawyers.

Merefleksikan fakta ini, banyak law department

yang dianggap secara luas sebagai di antara

the best in class dalam kinerjanya secara

berkala mengkaji ulang dan menyempurnakan

bagaimana mereka mengelola fungsi hukum

untuk melayani client.

Walaupun adanya perbedaan client dalam

bidang kegiatan, budaya dan tujuan bisnis/

lembaga, umumnya para general counsel

menekankan pentingnya mengembangkan

lingkungan kerja dimana para lawyer

terintegrasi dengan client mereka dan anggota

dari tim bisnis/lembaga, tidak saja dalam

persepsi tetapi juga realitasnya. Jika para client

menganggap lawyer mereka dapat

memberikan “solusi hukum yang kreatif

dengan suatu perspektif kegiatan client”,

lawyer akan ditarik lebih dalam kedalam tim

bisnis client sebagai penasehat yang dapat

dipercaya dan pemberi kontribusi dengan nilai

tambah yang tinggi.

(iii) Penggunaan Kombinasi Inside-Outside Lawyer

yang Tepat

Hampir semua perusahaan/lembaga besar

menggunakan gabungan inside dan outside

lawyer untuk memenuhi kebutuhan hukum

mereka. Dengan demikian, pendekatan holistic

terhadap pengelolaan sumberdaya hukum

memerlukan pertimbangan terhadap kedua

komponen pemberian jasa hukum.

Banyak law department pada perusahaan/

lembaga yang besar mencoba sebanyak dan

sedapat mungkin menangani sendiri (in-house)

pekerjaan hukum yang penting. Umumnya in-

house lawyer menangani sebagian besar

pekerjaan hukum perusahaan/lembaga,

dengan perkecualian yang paling sering adalah

litigasi, investigasi, pekerjaan transaksi atau

pekerjaan internasional dimana law

department tidak/kurang memiliki

pengetahuan. Terdapat keadaan dimana

pengetahuan hukum yang canggih dan

perspektif pasar yang lebih luas membuat

outside counsel merupakan pilihan yang lebih

tepat. Tetapi inside lawyer lebih dipilih,

khususnya karena mereka dianggap lebih

menguasai tentang kegiatan perusahaan/

lembaga, strategi dan kesempatan

dibandingkan outside counsel.

(iv) Umpan balik (feedback) dari Client

Survey client adalah sarana utama bagi law

department untuk mengkalibrasi pengertian

mereka tentang harapan client dan memantau

kinerja mereka terhadap ekspektasi client

tersebut. Survey dapat berupa survey singkat

atau panjang, dan didistribusikan kepada

kelompok eksekutif inti/tertentu atau kepada

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�0

klien/responden yang lebih luas di setiap

tingkat/golongan jabatan.

Terdapat mekanisme lain yang dapat diterapkan

dalam survey umpan balik ini, yaitu

menitikberatkan pada individu penasehat hukum

tertentu (individual attorney) disamping survey

umum terhadap satuan kerja hukum itu sendiri.

(iv) Komunikasi Nilai (Value)

Diakui bahwa melakukan komunikasi yang

efektif tentang jasa yang diberikan dan

kontribusi fungsi hukum sama pentingnya

dengan memberikan jasa yang berkualitas

tinggi itu sendiri. Bentuk yang paling formal

dan tingkat paling tinggi, beberapa pemimpin

direktorat hukum menyiapkan laporan

tahunan tentang keseluruhan kinerja fungsi

hukum dan menyampaikan laporan tersebut

kepada komite eksekutif atau dewan direktur/

pimpinan perusahaan/lembaga.

Salah satu management tools yang dapat

diterapkan, sebagian atau seluruhnya, untuk

membantu mencapai tujuan ini adalah dengan

mengadopsi “balanced scorecard” performance

indicator dan system/pola pelaporan. Metode

ini mencakup berbagai pengukuran untuk

menetapkan, memantau dan memperbaiki

kinerja perusahaan/lembaga. Banyak

perusahaan/lembaga yang meminta bantuan

kepada perusahaan jasa konsultan manajemen

untuk mengembangkan pendekatan balanced

scorecard khusus untuk fungsi hukum. Disadari

bahwa mengembangkan dan

mengimplementasikan pendekatan ini

menuntut pengertian dan pemahaman yang

memadai. Pendekatan manajemen ini menuntut

tambahan pekerjaan, mengandung kesulitan

dan menimbulkan frustasi, dan jika ditangani

secara tidak benar dapat mengakibatkan

kemunduran bagi usaha-usaha penyempurnaan

yang dilakukan oleh law department. Tujuan

utama dari semua ini adalah memfokuskan

pada bidang dimana fungsi hukum dapat

menambah nilai (value) terbesar bagi

perusahaan/lembaga.

Faktor Sukses bagi In-house Lawyer

In-house lawyer secara individual dapat menggunakan

guidance dibawah ini dalam menetapkan value-

added role mereka7. Dua faktor pertama, yaitu

Kualitas (Quality) dan Orientasi Bisnis (Bussiness

Orientation) merupakan persyaratan pokok

(fundamental) dan diperlukan selamanya bagi

penasehat hukum internal. Sedangkan karakteristik

lainnya merupakan manajemen dan harapan client

yang timbul selama beberapa tahun yang lalu.

(i ) Kualitas

Konsep kualitas mencakup skill dan attribute,

yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

legal training, technical skill, profesionalisme,

pengalaman, judgment, client service,

komunikasi, dan negosiasi.

(ii) Orientasi pada Bisnis

Faktor sukses yang penting ini sejalan dengan

prinsip lawyer-client integration. Integrasi

demikian dapat dicapai melalui berbagai cara,

diluar cara penempatan di lokasi yang sama

secara fisik. Pendekatan alternatif termasuk

kunjungan terjadwal dan periodik di satuan

kerja client, secara berkala ikut dalam rapat tim

manajemen client, dan berkomunikasi dengan

e-mail atau sarana lainnya untuk menjaga

tetap dekat dengan client.

(iii) Sadar Biaya

General counsel dan in-house lawyer diharapkan

mengelola inside and outside cost, dan

menghindari duplikasi dengan sumberdaya

dari luar.

(iv) Efisiensi dan Produktifitas

• Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan

lawyer untuk pekerjaan administratif dan

pengawasan.

• Menyerahkan pekerjaan keluar dari law

department kepada department lain

dalam perusahaan/lembaga jika pekerjaan

tersebut tidak mensyaratkan legal skill.

• Menyerahkan pekerjaan yang kurang

bernilai hukum kepada tingkat/golongan

7 Jonathan P. Bellis, “The Evolving Role of In-House Counsel: Adding Value to the Business” ,Hildebrant International, Winter 2003

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

yang lebih rendah (seperti paralegal dan

staf non-lawyer).

• Merekrut/menempatkan staf pendukung

yang professional bagi fungsi hukum

untuk menangani sumberdaya manusia,

keuangan/anggaran dan manajemen

teknologi dari fungsi hukum.

(iv) Nasehat yang Strategis dan Proaktif

Client mengharapkan in-house lawyer lawyer

mereka memainkan peran lebih strategis dan

proaktif dan memberikan nilai tambah kepada

bisnis/kegiatan client. Berikut ini adalah contoh

kontribusi yang dapat disumbangkan in-house

lawyer :

• Mengintegrasikan ethics, compliance dan

preventive law efforts

• Mengintegrasikan legal dan public relation

• Mempengaruhi/memberikan masukan bagi

kebijakan pengaturan.

• Menjadi internal warning system dalam

mengidentifikasi risiko potensial terhadap

perusahaan/lembaga

Ben W Heineman JR, General Counsel (GC) dari

the General Electric (the GE), telah mendapat

apresiasi dari the Amerian Lawyer karena berhasil

membuat revolusi kedudukan GC dari peran

tradisional lawyer sebagai “legal advisor” menuju

“inside partnership” dalam proyek the GE “in-

house revolution”. Fokus kinerja yang dilakukan

oleh Heineman adalah “high performance with

high integrity” melalui budaya kerja8 yang terdiri

atas 5 prinsip yaitu:

(i) membangun kepemimpinan yang

berkomitmen dan konsisten,

(ii) perfomance integritas sebagai bagian dari

kegiatan rutin dalam bisnis proses, dengan

mengikuti seluruh proses sesuai dengan

aturan dengan melakukan penilaian risiko

dan manajemen risiko. Tahapan membangun

infrastruktur integritas ini dalam bisnis

proses berarti risiko menilai setiap proses dan

8 The economist: Sixth General Counsel Roundatble – the global GC: Managing complexity in uncertain times, Economist Conferences, Desembar 4th 2008

mengidentifikasi seluruh proses/tahapan yang

bersinggungan dengan semua ketentuan yang

ada baik local maupun internasional, dan

memberikan penilaian bagian mana dalam

proses tersebut yang memerlukan pemantauan

(to be controlled)

(iii) mengadopsi standar etika global, ketika

menghadapi situasi yang sulit, dengan

mengajukan pertanyaan pertama adalah

“is it legal?” dan selanjutnya mengajukan

pertanyaan terakhir adalah “is it right?”.

Jika sebuah perusahaan mengadopsi standar

etika yang tinggi, maka hal tersebut dapat

mengurangi risiko kehilangan integritas, serta

meningkatkan fungsi internal perusahaan

dalam membina reputasi dan keuntungan di

pasar, dan menciptakan kredibilitas. Standar

ini dapat dikembangkan melalui disiplin proses

sistematis dengan mengidentifikasi masalah

dan memilih orang yang menonjol.

(iv) Mengurangi pertentangan antara peran in-

house lawyer sebagai mitra dan “guardian”9.

GC terutama melayani CEO dan karena

itu, harus menjadi mitra yang membantu

mencapai kinerja tinggi. Namun GC tidak

bertanggung jawab kepada CEO, tapi kepada

perusahaan. Hal ini menciptakan konflik

untuk GC, terutama pada masalah yang

tidak jelas aturannya dan merupakan daerah

abu-abu. Dalam konteks ini, peran GC adalah

memahami fakta penting, alternatif, bagaimana

memberikan solusi yang paling aman dalam

rangka mengurangi risiko. Oleh karena itu GC

juga perlu melakukan due diligence mengenai

perusahaan mereka bekerja.

9 Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April

Single Role Dual Role Value Added Role

Legal

Adviser

Legal

Represen-

tation

Legal

Adviser

Business

Adviser

Legal Risk

Management

Compliance

Reputational

Risk

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�2

(v) Prinsip terakhir adalah suara karyawan. Skandal

tumbuh dalam budaya diam, di mana karyawan

mengetahui perilaku ilegal atau tidak etis tetapi

takut untuk maju. Jika karyawan percaya bahwa

mereka tidak diabaikan, maka mereka akan

membantu memberikan informasi tersebut.

Salah satu caranya adalah mendirikan sistem

ombudsman, meskipun mungkin hal tersebut

akan berbenturan dengan budaya setempat.

Dengan demikan, “high performance with high

integrity” merupakan upaya untuk membentuk

kembali sebagian besar perdebatan kontemporer

tentang korporasi, termasuk tata kelola perusahaan,

kewarganegaraan global dan bagaimana untuk

membayar kinerja dengan integritas. Menurut

Thomas C. Baxter, Jr. 10 value added role tersebut

bertujuan untuk mencegah senior officials

melakukan tindakan yang merusak/menghancurkan

reputasi institusi, sehingga dapat mengelola secara

efektif compliance risk & reputational risk.

Diharapkan institusi dapat mengatur dirinya sendiri

secara lebih baik & bagaimana pejabat-pejabatnya

harus bertindak, walau tindakan full compliance

with legal & rule tapi jika tidak sesuai dengan good

governance tindakan tersebut seharusnya tidak

dilakukan. Tanggung jawab in-house lawyer untuk

melindungi institusi thd inappropriate risk tidak

berarti bahwa in-house lawyer seharusnya yang

membuat keputusan mengenai hal-hal yang

mengandung legal risk .

Namun dalam prakteknya di bebarapa

perusahaan/lembaga in-house lawyer tidak terlibat

dalam risk management dan good governance

(Legal, Compliance & Reputational Risk Management).

Oleh karena itu, in-house lawyer tidak hanya

memfokuskan pada risiko yg timbul dari suatu isu,

kasus atau transaksi (walaupun ini tetap penting)

dan melakukan a comprehensive across-the- board

overview of an organisation’s legal risk profile

dengan tujuan agar dapat mengidentifikasi key

legal threats or trends across an organization��.

Namun disadari pula bahwa in-house lawyer tidak

10 Thomas C. Baxter, Jr. Executive Vice President and General Counsel Federal Reserve of New York (2004), “The New Governance and Compliance Challenges – Empowering Lawyers to Meet Them

11 Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye

dapat melakukan sendiri role ini. Terdapat beberapa

legal risks yang tidak dapat diidentifikasi atau

dikontrol seorang diri tanpa bantuan orang lain,

sehingga diperlukan metodologi seperti legal risk

management.

Manajemen Risiko Hukum

Dalam manajemen risiko, berkembang pemikiran

tentang perlunya suatu manajemen risiko hukum

(legal risk management) yang efektif dalam suatu

organisasi/institusi. Manajemen risiko hukum merupakan

salah satu sarana dalam pelaksanaan proses penilaian

mandiri suatu organisasi dan kegiatan yang

berkesinambungan menuju manajemen organisasi

yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen

risiko hukum juga dimaksudkan untuk

mengembangkan suatu pendekatan yang

berkelanjutan dalam pelaksanaan manajemen dengan

tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan

institusi yang pada akhirnya akan meminimalisir

tingginya biaya dalam pelaksanaan kegiatan institusi.

Satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum sangat

berperan dalam manajemen risiko hukum dan

bertanggung jawab terhadap urusan dan masalah

hukum dalam suatu organisasi dengan menggunakan

in-house lawyer sebagai sumber daya manusia

memberikan kontribusi yang penting dan

menentukan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, untuk dapat

membantu perusahaan/institusi dalam meminimalkan

risiko hukum dan agar in-house lawyer dapat

memberikan opini dan advis hukum yang efektif

diperlukan mekanisme identifikasi dan asesmen

terhadap risiko hukum.

In-house lawyer harus mengembangkan prosedur

untuk mengurangi (reducing), mengalihkan (transferring),

menghindari (avoiding) dan/atau memikul (assuming)

enforceability risk yang menjadi tanggungjawab in-

house lawyer dan menjamin bahwa prosedur tersebut

masuk atau telah menjadi bagian dari organisasi.

“Prosedur” dasar tersebut meliputi :

- Membatasi individu dalam organisasi yang berhak

mengikat organisasi secara finansial dan hukum,

dengan cara membuat daftar orang-orang yang

berhak menandatangani;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

- Memberikan pelatihan (training) dan pendidikan

(education), bahan-bahan (material) dan perangkat

alat (tools) untuk memberikan informasi kepada

semua staf yang terkait tentang enforcebility risks

dan issues.

- Memberikan pedoman (guidance) tentang

membangun struktur, menganalisis dan mengelola

hubungan saat ini dan di masa depan, dan

tentang proses negosiasi yang mengarah kepada

membuat komitmen, dan melembagakan proses

yang menjamin agar kontrak selalu updated,

ditandatangani kemudian dan merefleksikan

perubahan-perubahan dalam hubungan yang

terkait dengan kontrak.

- Mensyaratkan staf untuk berkonsultasi dengan

satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum

dan/atau proses yang telah ditetapkan dan/atau

menggunakan dokumen dan pedoman standar

sebelum membuat komitmen yang mengikat

organisasi atau menandatangani kontrak.

Secara berkala in-house lawyer memberikan nasehat/

advis tentang validity dan enforceability dari kontrak-

kontrak dan property right, dan tidak jarang

bertanggungjawab untuk menjamin agar hak-hak

tersebut dikelola secara strategis supaya dapat

mencapai tujuan-tujuan organisasi. In-house lawyer

juga membela kontrak-kontrak dan property rights

apabila kontrak-kontrak dan property right tersebut

pelaksanaannya dipermasalahkan oleh pihak ketiga.

GC atau Head of Legal Function dalam organisasi/

badan/perusahaan pada umumnya memiliki peranan

penting (key role) dalam mengidentifikasi (identifying)

dan mengelola (managing) enforceability risk yang

dihadapi organisasi, dan dapat/mungkin secara formal

diangkat sebagai pemilik dari enforceability risk. GC

harus mengidentifikasi enforceability risks yang spesifik

yang dihadapi organisasi, dan kemudian melakukan

asesmen (assesment) terhadap “significance” dan

“probability” dari risiko tersebut. In-house lawyer

melakukan hal ini dengan mengacu kepada

pengalaman/sejarah dari peristiwa sebelumnya dalam

organisasi atau pesaingnya, dan harus berkonsultasi

dengan pimpinan dan manajemen di tiap-tiap fungsi

organisasi dan bagian yang melaksanakan kegiatan

organisasi, Akan tetapi, in-house lawyer harus selalu

berpikir “luas” (think “big”), karena beberapa

enforceability risk tidak dapat diprediksi dengan

melihat

pada kesalahan masa lalu.Apabila terdapat enforceability

risk yang spesifik yang bukan merupakan tanggungjawab

in-house lawyer (sebagai contoh, kontrak kepegawaian

(employment contract) dan sengketa kepegawaian

(employment disputes) yang ditangani oleh fungsi

sumber daya manusia, in-house lawyer harus menjamin

bahwa risiko di fungsi tersebut secara formal direkam/

dicatat yang dapat mengakibatkan in-house lawyer

tidak diminta pertanggungjawaban terhadap kesalahan

yang terjadi dalam bidang tersebut.

In-house lawyer harus memperoleh arah kebijakan

dari manajemen senior terhadap proses

mengidentifikasi, mengasesmen, dan mengelola

enforceabilty risk yang dihadapi organisasi, karena

keputusan komersial/bisnis harus diambil, sebagai

contoh risiko-risiko yang mana saja yang boleh diterima

(assumed) dan risiko mana yang harus dihindari (avoided),

dan sumberdaya apa saja yang boleh dialokasikan dalam

proses tersebut. In-house lawyer sering berada dalam

tekanan dan tim-tim mereka overstretched. Jika ini

masalah dalam organisasi, in-house lawyer harus

mengungkapkan hal tersebut kepada manajemen

senior sebelum terjadi kesalahan.

Manajemen Risiko Peraturan/Kepatuhan

(Regulatory/Compliance Risks Management)

Regulatory risk relevan untuk seluruh organisasi, tidak

hanya institusi keuangan, dan banyak dari skandal

corporate governance terjadi karena ketidaktaatan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

terhadap peraturan. Tanggungjawab utama Board

adalah membangun “budaya patuh/taat” (compliance

culture) yang menekankan standard kejujuran (honesty)

dan integritas (integrity). Board dan senior management

harus memimpin dan memberikan contoh dalam

perbuatan dan tingkah laku keseharian dan mendukung

in-house lawyer (atau spesialis head of compliance jika

orangnya berbeda dengan head of in-house lawyer)

dalam mengelola regulatory risk pada tingkat bawah.

Konsep dasar regulatory risk tidak memerlukan

pengetahuan spesialis, pelatihan atau pengalaman

dalam bidang peraturan.

Jika suatu organisasi termasuk dalam highly regulated,

atau jika menjaga reputasi merupakan kunci terhadap

model bisnis, organisasi dapat mengangkat seorang

kepala spesialis kepatuhan (compliance) dimana

perannya adalah melakukan langkah proactive untuk

mengidentifikasi dan mengelola regulatory risk yang

dihadapi organisasi sehingga risiko tersebut tidak

mengakibatkan loss atau damage yang besar bagi

organisasi. Di organisasi lain, peran ini merupakan bagian

dari peran kepala atau pemimpin satuan kerja yang

melaksanakan fungsi hukum. Tetapi dalam kasus/

praktek apapun, peran ini akan jauh lebih mudah

dilaksanakan jika board dan senior management

melaksanakan tanggungjawab masing-masing secara

tepat.

Seseorang tidak dapat diharapkan untuk memikul

tanggungjawab utama untuk mengidentifikasi dan

mengelola semua area regulatory risk yang dihadapi

oleh organisasi. Oleh karena itu, dalam praktek

tanggungjawab aturan kepegawaian (employment

rules) sering diserahkan kepada kepala HR function,

tanggungjawab mengenai tax dan acounting rules

kepada Head of Finance, dan seterusnya, dan Head of

Compliance (actual atau de facto) bertanggungjawab

atas sisanya. Tetapi, organisasi mungkin menginginkan

seseorang untuk mengawasi keseluruhan regulatory

risk yang ada pada organisasi (misal, termasuk aturan

yang menjadi tanggungjawab utama orang lain)

sehingga tidak ada yang terlewatkan/terabaikan.

Head of compliance (actual atau de facto) memerlukan

kesepakatan dengan senior management tentang area

mana dari regulatory risk menjadi tanggungjawab

utama dari head of compliance, dan apakah head of

compliance diminta untuk mengawasi area dari

regulatory risk.

Menyusun prosedur untuk Mengelola Regulatory

(Compliance) Risk

Setelah mengidentifikasi dan mengases regulatory risk,

in-house lawyer mengembangkan prosedur untuk

mengelola regulatory risk yang telah diidentifikasi dan

diases. Mengelola risiko (managing risk) pada pokoknya

merupakan proses training/pelatihan staf dari organisasi

mengenai aturan terkait, dan bagaimana mereka

mentaati aturan tersebut, memonitor bahwa mereka

berbuat demikian (mentaati), menginvestigasi dugaan

pelanggaran, dan apabila ditemukan adanya

pelanggaran in-house lawyer melaporkan kepada

manajemen senior. Ada kalanya in-house lawyer

mengintervensi suatu kegiatan untuk mencegah

terjadinya pelanggaran. Ketegasan dan tingkat

perhatian (caution) yang dilakukan oleh in-house

lawyer dalam peran ini (managing enforceability risk)

tergantung pada nature dari organisasi, sejauh mana

organisasi tersebut diatur, atau karena alasan lain

organisasi tersebut sangat peduli dengan reputasinya,

dan apakah organisasi telah memiliki budaya ketaatan

yang baik (good compliance culture). Senyatanya

untuk melaksanakan peran tersebut in-house lawyer

harus memiliki atau diberi independensi, kewenangan,

sumberdaya dan akses informasi dan personnel yang

memadai.

III. Hubungan In-House Lawyer dan Eksternal Lawyer

Hubungan yang bersifat interpersonal akan

mempengaruhi bagaimana seorang profesional

berhubungan dan memperlakukan Client-nya. Karena

in-house lawyer bekerja di kantor yang sama dan

setiap hari bertemu dengan “the constituents of

organization” dan berkembang menjadi hubungan

pertemanan dan sosial dengan para manajer dari

entitas tersebut, maka faktor tersebut jelas dan

pasti akan mempengaruhi legal representation.

Situasi ini berbeda dengan yang dihadapi eksternal

lawyer.

In-house lawyer secara fundamental sangat berbeda

dengan outside lawyer. Memberikan “nasehat bisnis”

merupakan alasan utama keberadaan mereka (raison

d’etre) dan secara axiomatic (diakui sebagai suatu

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

asas), walaupun tidak selalu demikian, bahwa “the

more senior the in-house lawyer, the less law he or

she practises” Penasehat hukum yang berpraktek

swasta/pribadi memberikan nasehat komersial/bisnis

tetapi dalam hal tidak ada permintaan/perintah secara

jelas, mereka tidak wajib untuk memberikan nasehat

terhadap urusan bisnis dari clientnya.

Disatu sisi in-house lawyer memiliki lebih banyak

informasi dibanding dengan eksternal lawyer. Mereka

memiliki business dan legal information, disamping

informasi dari sumber informal tentang orang-orang

yang menjalankan organisasi. Informasi ini memberikan

kesempatan unik bagi in-house lawyer untuk

mempengaruhi decision maker agar menghindari

risiko yang dapat merugikan klien, yaitu entitas itu

sendiri.

Selain untuk menangani perkara litigasi, external/

outside Lawyer dapat digunakan oleh General Counsel

(Law Department) untuk memberikan second legal

opinion, apabila terdapat keragu-raguan tentang

suatu pending decision, potential issue, atau course of

action. Karena eksternal lawyerl tidak memiliki incentive

untuk membantu/mendukung atau terlibat dalam

tindakan yang melanggar hukum (unlawful conduct)

yang dilakukan klien. Oleh karena itu, pemanfaatan

private law firm dapat melindungi in-house lawyer

secara efektif dari kemungkinan criminal or civil

liability dan employment risk.

Salah satu tujuan menyewa eksternal lawyer adalah

untuk menghindari konflik kepentingan. Tren ini tidak

berarti penasihat hukum di luar perusahaan dapat

mengambil alih peran in-house lawyer. Sebaliknya

eksternal lawyer sebagai lawyer independen dapat

memberikan masukan kepada eksekutif perusahaan

apa yang seharusnya dilakukan dari sudut yang

berbeda untuk isu tertentu. Hal ini diperlukan, di

mana GC perlu untuk menghindari munculnya konflik

yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai rutinitas,

mengingat hal tersebut akan menjadikan

perpanjangan birokrasi.

GC mungkin menunjuk pengacara luar untuk

memberikan saran kepada dewan mengenai isu-isu

spesifik dalam parameter yang terbatas. Ini adalah

peran GC dalam membantu dewan dan mengatakan

bahwa tugas pertama adalah untuk membangun

hubungan kepercayaan. Meskipun GC tidak perlu

menghadiri semua rapat dewan ia harus secara rutin

terlibat dalam urusan dewan. Oleh karena itu seorang

GC harus memiliki 5 kualitas yang esensial yaitu

integritas, baik secara pribadi dan profesional;

penilaian, - kemampuan untuk menilai fakta yang

penuh dengan konflik yang rumit dan situasi dan

menyajikan alternatif; stature - sebuah gaya

kepribadian dan intelek yang menyebabkan orang

untuk mendengarkan; padat pengalaman hukum,

termasuk keahlian dalam bidang-bidang penting

In-house lawyer External lawyer

• The business of corporation /organization is its

business

• The business of a law firm is law

• While IHL must still provide the highest quality

work, they do not live and work in a community of

lawyers focused on the legal work product

• The sole focus of a law firm is producing legal work

with highest quality

• IHLs function within an organization whose focus is

to further its principal line of business

• The lawyers are the pre-eminent part of the

organization, and the effort and focus are directed to

work supporting them and delivering legal product

• IHLs are there as adjunct to the business people

and must work to advance the same goals within a

legal framework

• The success of a lawyer is evaluated on the quality of

work product

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

untuk korporasi, akhirnya pengetahuan yang kuat dari

bisnis12.

Hubungan dengan external lawyer dapat berupa semi-

longterm basis. External lawyer dapat diminta untuk

berlitigasi dalam hal in-house lawyer tidak dapat

mewakili perusahaan di depan pengadilan atau dalam

kasus yang memerlukan mereka (misal, untuk

memperoleh masukan yang bersifat spesifik pada

bidang hukum yang sangat khusus). Dalam praktek

keputusan untuk menggunakan external counsel

merupakan kewenangan Board atau pemimpin satuan

kerja fungsi/jasa hukum. Dari survey Friedman and

Stuart (2000) yang sama menunjukkan bahwa

perusahaan cenderung lebih menyukai menggunakan

in-house lawyer dibanding menggunakan counsel dari

luar (external lawyer) karena in-house counsel lebih

memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey

tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari

responden menempatkan CLO diantara 10 top

executives di perusahaan/lembaga mereka.

Dalam praktek di negara-negara yang professional

conduct sudah berjalan dengan baik confidentiality

agreement tidak selalu diperlukan jika mempekerjakan

external counsel karena demi hukum mereka

disumpah untuk menjaga kerahasian. Oleh karena itu,

pelanggaran terhadap hal tersebut dituntut

berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana dan

atau berdasarkan aturan professional conduct

V. PENUTUP

Telah terjadi perubahan yang significant dari peran in-

house lawyer di satu sisi sebagai legal adviser dan

disisi lain sekaligus sebagai business adviser. Selain itu

juga in-house lawyer dipercaya untuk mengelola risiko

hukum dan memperhatikan compliance, standar etika

dan juga good governance. Untuk dapat

menyeimbangkan tanggungjawab tersebut in-house

lawyer juga dituntut untuk menjadi bagian dari

manajemen (corporate management) dengan

menempatkan general counsel sebagai senior manager

dan mempunyai akses langsung yang cukup kepada

senior management & Board serta melapor kepada

“the highest ranked executive, sehingga semua

12 Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008

masalah dapat diangkat dan diselesaikan pada tingkat

yang tepat. Hal tersebut dikarenakan bahwa klien dari

in-house lawyer adalah badan hukum itu sendiri (legal

entity), bukan individu atau kelompok individu yang

terkait dengan badan/lembaga tersebut. Seorang in-

house lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak

melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk

kepentingan pejabat (officers).

Atas perubahan peran tersebut in-house lawyer

dituntut memberikan nilai tambah (value-added

contribution antara lain dengan melakukan reorganisasi

law department dengan menetapkan misi fungsi

hukum; melakukan integrasi dengan client, melakukan

umpan balik dari client, memberdayakan eksternal

lawyer dan mengkomunikasikan nilai (value).

Sementara itu, secara individual in-house lawyer

menggunakan guidance dalam memberikan nilai

tambah pada perusahaan/lembaga dengan meningkatkan

kualitas (skill dan attribute), orientasi pada bisnis,

sadar biaya dan melakukan efisiensi dan produktifitas.

Dengan demikian, legal advis yang diberikan

merupakan advis yang strategis dan proaktif yang

diberikan dengan memperhatikan flexibility dan

versality serta speed dan agility. Selain itu juga In-

house lawyer mengidentifikasi risk dan dengan rincian

impact & consequences issues serta memberikan

kontribusi idea dan possible solution tetapi tanpa

harus mengambil alih tanggung jawab for making

business decision.

Perkembangan lain di beberapa perusahaan/organisasi

in-house lawyer terlibat dalam risk management dan

good governance (Legal, Compliance & Reputational

Risk Management). Oleh karena itu, in-house lawyer

tidak hanya memfokuskan pada risiko yg timbul dari

suatu isu, tapi juga dapat mengidentifikasi risiko

hokum dengan melakukan legal risk management.

��

1. Andrew M Whittaker, et.all (2003): “ Lawyers as Risk Managers”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law.

2. Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye

3. Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law

Department Management”, 2009 http://www.acc.com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm

4. Association of Corporate Counsel- InfoPAK, “ The Role of General Counsel”, September 2009 http://www.acc.com/infopaks

5. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify legal Risks in Business Process”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.

6. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Focus Internal Communications About Legal Risk”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.

7. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify Business Process to Review for Legal Risks”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.

9. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Assess Legal Risks Management Practices”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.

10. Association of Corporate Counsel (2008): “The Role of General Counsel in Canada: Leading Practices in Law Department Management”, Leading Practices

Profiles http://www.acc.com/lpp

11. Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance”

12. Bruce Macmillan,et.all (2006): “A fine line”, Corporate Governance Committee, July http://www.ciggroup.org.uk

13. Bank for International Settlement (2008): “Legal risk policy”.

14. Bank for International Settlement (2007): “Risk Management in Central Banks: Organisation of risk management, and methods for managing non-financial

risk”, September.

15. Bank for International Settlement -Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Country Paper Federal Reserve Bank New York”.

16. Bank for International Settlement-Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Meeting Record Hongkong 28-29 February 2008”.

17. Basel Committee on Banking Supervision (2003): “Risk Management in Central Bank- Organization of Risk Management, and Methods for Managing Non-

Financial Risk, Report from a Study Group on Risk Management”.

18. Ben W. Heineman, Jr (2006), “In the Beginning”, Corporate Counsel, April

19. Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April

20. Christine A. Edwards (2002) :”The CLO’s Perspective on Managing Legal Risk”, Peer Review, Spring 2002.

21. Counsel to Counsel, “In-House lawyers: Rising to the Challenge”, volume 2- Issue 2- Spring 2002.

22. Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008.

23. European Central Bank Task Force on Legal Risks of Central Bank (2006), “Legal Risk of Central Banks” SEC/GovC/X/06/196-SEC/GenC/X/06/34.

24. GlaxoSmithKline (2001), “Risk Management and Legal Compliance”, Corporate Policy Pol-GSK-500 v01.

25. Hugh S. Pigott (2003): “Legal Risk”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law.

26. John Dzienkowski, “Evolving Issues For Corporate Lawyers and In-House Counsel”, University of Texas Continuing Legal Education, 2003

27. James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration

Daftar Pustaka

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�8

– Benefiting In-House Counsel And Their Corporation”

28. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management – Some Reflection”.

29. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management in Cross-Border E-Commerce”. http://www.legalriskmanagement.com.

30. Marina Paul (2006): “Risk and the in-house lawyer” available at http://www.journalonline.co.uk/Magazine/51-12/1003695.aspx.

31. New York Law (2006) “The Evolving Role of General Counsel Managing the Crisis, Internal and External Investigations, Dealing with Regulators, and the New World of

Discovery”, A Roundtable Discussion present by Price Waterhouse Coopers, April.

32. Patricia Brown Holmes: “Sleeping Through The Night: Tips to In-House Counsel to Avoid Personal Liability”.

33. Roger McCormick (2004) : “The Management of Legal Risk by Financial Institutions”.

34. Spencer Stuart, “ Lawyer at the Top Table -The evolution of the role of general counsel in UK listed companies”, 2005 http://content.spencerstuart.com/sswebsite/pdf/lib/

lawyersATTT.pdf

35. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel Leadership in Challenging Times” Keynote Speaker: James B. Comey-

General Counsel of Lockheed Martin Corporation, August.

36. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel” Keynote Speaker: Hans Peter Frick- Senior General Counsel of Nestle S.A,

February.

37. Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role

as In-House Counsel

38. Ricardo Noreno,et.all (2007): “Legal Risk Management Policies & Procedures -Association of Corporate Counsel”. 2010

��

Pendahuluan

Harian Kompas, 2 Pebruari 2010 menyoroti masalah

keuangan negara, dengan menilik pada kasus “dana bail

out Bank Century”. Apakah dana bail out tersebut

adalah keuangan negara atau bukan keuangan negara,

yang tentu saja akan mengandung implikasi yang berbeda.

Bila dana bail out Bank century bukan keuangan negara,

maka bail out itu bukanlah urusan publik, tapi privat,

bukan ranah hukum pidana melainkan perdata. Lebih

lanjut disebutkan bahwa apabila kasus dana bail out Bank

Century ini menjadi urusan perdata, bukan pidana, maka

kasus cessie Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia

(BDNI) dan kasus dana Yayasan Pengembangan

Perbankan Indonesia (YPPI) masuk dalam ranah hukum

privat juga. Berbagai pendapat yang berbeda

dikemukakan baik dari kalangan ahli hukum dan Pejabat

Negara mengenai modal Lembaga Penjamin Simpanan

(selanjutnya disingkat dengan LPS) dan uang premi yang

dibayarkan kepada LPS, apakah masuk dalam kategori

keuangan negara atau kekayaan negara yang telah

dipisahkan (seperti halnya kekayaan yayasan dalam kasus

YPPI, modal PT dalam kasus cessie Bank Bali). Apabila

masuk dalam kategori keuangan negara, akan

berimplikasi pada rezim hukum yang akan digunakan

sebagai dasar penyelesaian permasalahan hukum yang

muncul.

Lembaga Penjamin Simpanan

Bercermin dari kegagalan perbankan Indonesia tahun

1998 yang berdampak pada krisis ekonomi yang

berkepanjangan, dibubarkan dan dibekukannya banyak

bank diwaktu itu serta menurunnya tingkat kepercayaan

terhadap perbankan nasional secara keseluruhan, maka

pemerintah berkepentingan untuk menjaga kepercayaan

nasabah yang saat ini telah terbentuk. Pemberian

penjaminan secara penuh pada kewajiban bank (blanket

guarantee) berdasarkan Keputusan Presiden di masa lalu,

Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 2� Tahun 200� Tentang Lembaga Penjamin Simpanan).Oleh: Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH*)

*) Dosen FH UKSW Salatiga, Kandidat Doktor FH UGM

dilakukan dan berhasil mewujudkan kepercayaan

masyarakat terhadap industri perbankan pada masa krisis

moneter dan perbankan. Namun penjaminan secara

penuh tersebut, dari waktu kewaktu ternyata

membebani anggaran negara dan menimbulkan moral

hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank.

Dengan penjaminan kewajiban bank secara penuh dapat

berakibat pada kurangnya kehati-hatian pengelola bank

dalam menjalankan bisnis perbankan di satu sisi,

sementara di sisi yang lain nasabah dalam menggunakan

jasa perbankan perbankan tidak mencermati kondisi

kesehatan bank.

Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24 tahun

2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan diharapkan

mampu meminimalisir kekurangan dari pengaturan

dimasa lalu serta semakin meningkatkan kepercayaan

nasabah serta meminimalisir risiko yang membebani

anggaran negara ataupun risiko yang menimbulkan moral

hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut

diselenggarakan oleh LPS. LPS sebagai lembaga

independen memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan

nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau

penanganan Bank-Gagal. Mengingat fungsinya yang

sangat penting, LPS harus independen, transparan, dan

akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.

Bagaimana Kedudukan Hukum LPS?

UU No. 24/2004 jelas-jelas menyebutkan LPS berbentuk

badan hukum (Pasal 2 Ayat(2). LPS bertanggung jawab

pada Presiden dan sifatnya independen, transparan, serta

akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

(Pasal 3 UU No.24/2004). Dengan demikian, sebagai

badan hukum LPS haruslah memenuhi unsur-unsur yang

terdapat di dalam badan hukum, yang menurut Soenawar

Soekowati (dalam buku, Ali, Chaidir, 2005) yaitu:

1. Ada harta kekayaan yang terpisah, lepas dari

kekayaan anggota-anggotanya (penulis: pendiri);

2. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

20

hukum, serta bukan kepentingan satu atau beberapa

orang saja;

3. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil);

4. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang

tersendiri, yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi

juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-

kepentingan badan hukum yang terpisah dari

kepentingan angggota-anggotanya (penulis: pendiri)

Dengan mengesampingkan penetapan badan hukum LPS

berdasarkan UU, maka melihat pengaturan lebih lanjut

dalam UU No. 24/ 2004 dapat dibandingkan unsur-unsur

badan hukum di atas, sebagai berikut.

1. Tentang harta kekayaan yang terpisah, lepas dari

kekayaan pendirinya.

Kekayaan LPS merupakan kekayaan negara negara

yang dipisahkan dan pertanggungjawaban atas

pengelolaan dan penatausahaan semua kekayaannya

dilakukan oleh LPS (Pasal 81 Ayat (2) dan (3).

2. Adanya kepentingan

Unsur ini ada dalam LPS yang kepentingan tidak

untuk pendiri namun untuk kepentingan nasabah

penyimpan dan masyarakat agar terciptanya . turut

aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan

sesuai dengan kewenangannya (Pasal 4).

3. Kepentingan dalam jangka waktu yang panjang

Kepentingan di dalam LPS tidak untuk jangka waktu

yang pendek namun untuk jangka waktu yang

panjang.

4. Kekayaan yang dapat digunakan untuk memelihara

badan.

Unsur ini juga dapat ditemukan dalam LPS diatur dalam

Pasal 81 dan 83 Ayat (1).

Sebagai subyek hukum, dalam mejalankan tugas dan

kewenangan dilakukan oleh organ LPS yaitu Dewan

Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner

adalah pimpinan LPS yang Dewan Komisioner merumuskan

dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan

dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS

(Pasal 63). Salah satu anggota Dewan Komisioner ditetapkan

sebagai kepala eksekutif yang bertugas melaksanakan

kegiatan operasional LPS sesuai Keputusan Dewan

Komisioner. LPS sebagai badan hukum yang didirikan oleh

pemerintah maka dalam LPS terdapat unsur perwakilan

dari dari pemerintah yaitu dari Departemen Keuangan

dan Bank Indonesia di dalam organ LPS ( Pasal 65 Ayat

(1). Sementara itu, pengertian badan hukum bisa bersifat

perdata dan bisa pula bersifat publik. Apakah LPS termasuk

sebagai badan hukum publik atau perdata dengan melihat

kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Chidir Ali ( 2005):

1. Dilihat dari cara pendiriannya,

LPS diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu

didirikan oleh pemerintah dengan undang-undang;

2. Lingkungan kerjanya,

LPS dalam melaksanakan tugasnya bertindak yang

sama kedudukannya dengan publik walaupun dalam

beberapa hal LPS juga melakukan perbuatan-

perbuatan perdata;

3. Wewenang

LPS memiliki wewenang membuat dapat mengambil

keputusan-keputusan dan membuat peraturan-

peraturan yang mengikat orang lain yang tidak

tergabung dalam badan hukum.

Dengan dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut diatas maka

dapat disimpulkan bahwa LPS adalah badan hukum

publik (publiek rechts person).

Pengaturan Yang Saling Bersaing

Sembilan temuan BPK dalam laporan audit investigasinya

akhir tahun 2009, tidak tegas menyimpulkan, terkait

dengan proses merger, penyehatan melalui fasilitas

pendanaan jangka pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia

atau penyertaan modal sementara (PMS) oleh Negara

melalui LPS sebagai keuangan negara atau bukan

(Kompas, 2 Pebruari 2010). Pengertian keuangan negara

yang terdapat dalam UU No. 17 / 2003 tentang Keuangan

Negara, adalah semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang. Serta segala sesuatu, baik

berupa uang maupun berupa barang yang dapat

dijadikan milik negara yang berkaitan dengan

pelaksanaan hak dan kewajiban. Ruang lingkup dari

keuangan negara berdasarkan Pasal 2 UU 17/2003

adalah:

a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan

dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;

b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas

layanan umum pemerintahan negara dan membayar

tagihan pihak ketiga;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

c. penerimaan negara;

d. pengeluaran negara;

e. penerimaan daerah;

f. pengeluaran daerah;

g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola

sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,

piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai

dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan

pada perusahaan negara/perusahaan daerah;

h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah

dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan

dan/atau kepentingan umum;

i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan

menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 17/ 2003, negara

menguasai sekaligus memiliki keuangan publik, bahkan

keuangan privat sekalipun.

Ada empat pendekatan yang dipergunakan UU No. 17/

2003 dalam melihat apakah sesuatu masuk dalam

keuangan negara atau tidak yaitu:

Obyek, meliputi semua hak dan kewajiban negara yang

dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan

dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan

negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa

uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara

berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban

Subyek, adalah Pemerintah Pusat, Pemda, Perusahaan

Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan

keuangan negara.

Proses, adalah seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan

dengan pengelolaan obyek tersebut mulai dari perumusan

kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan

pertanggungjawaban.

Tujuan, Meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan

hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau

penguasaan obyek tersebut dalam rangka penyelenggaraan

pemerintahan negara.

Dengan demikian UU No.17/2003 mengalami perluasan

rumusan yang menggeser pemahaman yuridis bahwa

keuangan negara hanya dibatasi pada anggaran negara

(APBN). Menurut Arifin P. Soeria Admaja (2010)

pengaturan keuangan negara yang diperluas,

menunjukkan adanya imperpektivitas hukum keuangan

negara karena mengesampingkan esensi kemandirian

badan hukum (BUMN, BUMD dan badan hukum lainnya)

sehingga mengurangi konsepsi berpikir atas manfaat dan

kegunaan keuangan negara. Secara sistem, ketentuan

perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggung

jawaban keuangan badan hukum berbeda dengan APBN

sebagai keuangan negara.

Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20

tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi,

menggunakan rumusan keuangan negara adalah seluruh

kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan

atau tidak dipisahkan yang langsung dalam penguasaan

pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan

hukum. Menilik sepak terjang KPK selama ini, maka dapat

diketahui bahwa menjalankan fungsi penegakan hukum

antikorupsi KPK tidak pernah membedakan keuangan

negara dan keuangan Negara. Pengertian keuangan

Negara yang demikian luas, membawa konsekwensi

hukum tersendiri yang patut dicermati terkait dengan

kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah baik dalam

hal pendirian badan-badan hukum privat maupun badan

hukum publik.

Dalam keterkaitannya dengan LPS, apakah uang LPS

merupakan keuangan negara ataukah bukan

keuangan negara?

Guna menjawab pertanyaan dana yang terdapat dalam

LPS adalah keuangan negara ataukah keuangan negara,

petama-tama dapat dilihat dari modal pendirian LPS.

Mengenai Modal pendirian LPS diatur dalam Pasal 81

Ayat (1) UU No. 24/2004 mengatur bahwa modal awal

LPS ditetapkan sekurang-kurangnya

Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan

sebesar-besarnya Rp8.000.000.000.000,00 (delapan

triliun rupiah). Dalam penjelasannya disebutkan, modal

awal pendirian LPS bersumber dari kekayaan negara yang

dipisahkan. Dalam Pasal 81 ayat (3) diatur bahwa LPS

bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan

semua asetnya.

Dalam Pasal 81 tersebut di atas disebutkan bahwa modal

awal LPS berasal dari Kekayaan negara yang dipisahkan.

Dipisahkannya modal awal dari kekayaan negara berarti

keuangan Negara tersebut telah dipisahkan dari APBN,

diletakkan sebagai modal pendirian LPS yang tidak terbagi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

22

atas saham. Selanjutnya dalam Pasal 81 ayat (2) UU

24/2004 disebutkan bahwa kekayaan LPS merupakan aset

negara yang dipisahkan. Dengan dipisahkannya kekayaan

LPS dari kekayaan negara berarti kekayaan tersebut telah

dilepaskan dan menjadi kekayaan LPS sebagai badan

hukum. Dana penyertaan pemerintah sebagai modal

pendirian LPS merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan

dan dalam perjalanan LPS telah tercampur dengan premi

yang dibayarkan secara wajib (Pasal 12 UU 24/2004).

Mengenai kekayaan yang terpisah tersebut dikuatkan

dengan pengaturan bahwa LPS bertanggung jawab

terhadap pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.

Splitsing (pemisahan) adalah pembagian atau pembelahan

yang berarti terlepas satu dengan yang lain, sehingga

tidak tepat jika dikatakan bahwa bagian yang satu masih

merupakan bagian dari yang lain (Nindyo Pramono, 2007).

Kekayaan yang terpisah artinya terlepas dari yang

memegangnya (onpersoonlijk atau subjecttloos). Kekayaan

Negara yang telah dipisahkan berarti bahwa kekayaan

tersebut telah dipisahkan dan diberikan atau diletakkan di

dalam LPS sebagai suatu entitas hukum yang mandiri.

Erman Rajaguguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, menyatakan uang di badan hukum adalah

milik badan hukum itu, meski berasal dari APBN (http://

www.bisnis.com). Dengan demikian dana Rp. 4 triliun

yang bersumber dari kekayaan negara yang telah

dipisahkan, sudah menjadi modal LPS sehingga bukan

lagi keuangan negara. Hal ini selaras dengan apa yang

telah dikemukakan dalam penjelasan UU no. 24/ 2004

bahwa dengan didirikannya LPS oleh pemerintah

diharapkan mampu meminimalisir meminimalisir risiko

yang membebani anggaran negara. Karena dengan

kekayaan yang dipisahkan maka pembebanan terhadap

anggaran negara terhadap resiko yang mungkin muncul

dalam penyelenggaraan LPS dapat dibatasi.

Logika berpikir di atas relevan dengan perwujudan LPS

sebagai badan hukum. Badan hukum atau legal person

dalam Black’s Law Dictionary (2000:726) didefinisikan

sebagai :

“a body, other than a natural person, that can function

legally, sue or be sued, and make decisions through

agents”.

Badan hukum atau rechts persoone merupakan subyek

hukum bersama dengan manusia atau natuurlijke

personen yang dapat memikul hak dan kewajiban.

Hukum mengenai personenrecht memuat peraturan

kewenangan hukum atau rechtsbevoegdheid dan

kewenangan bertindak atau handelingsbevoegdheid dari

purusa (van Apeldoorn, 1983). Subyek hukum yang

berupa badan hukum ini mempunyai wewenang untuk

memiliki hak-hak subyektif dan dapat melakukan perbuatan

hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum.

Ada banyak teori badan hukum yang mendasari

perkembangan badan hukum yang antara lain Teori Fiksi

(Frederich Carl von Savigny), Teori Organ (Otto von Gierke),

Leer van het ambtelijk vermogen (Holder dan Binder),

Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering), Teori Kekayaan

Bertujuan ( A. Blinz dan diikuti oleh Van der Heijden), Teori

Kenyataan Yuridis (Meijers dan Paul Scholten), dan teori

badan hukum lainnya. Teori-teori badan hukum tersebut

di atas, pada dasarnya berpusat pada dua pandangan

yaitu:

1. Badan hukum sebagai wujud yang nyata, disamakan

dengan manusia. Badan hukum dianggap identik

dengan organ-organ pengurus yang oleh hukum

dianggap sebagai persoon;

2. Badan hukum tidak sebagai wujud yang nyata, tetapi

hanya manusia yang berada di belakang badan hukum

tersebut yang merupakan subyek hukum. Akibatnya

bila badan hukum melakukan kesalahan, merupakan

kesalahan manusia-manusia (oragan pengurus) yang

berada di belakang badan hukum tersebut secara

bersama-sama (Chidir Ali,2005).

Teori-teori badan hukum yang telah dikemukakan, bertumpu

pada filosofi pendirian badan hukum, bahwa dengan

kematian pendirinya maka harta kekayaan badan hukum

tersebut diharapkan masih bermanfaat bagi orang lain.

Kekayaan yang dipisahkan (splitsing), yang merupakan ciri

utama badan hukum, diartikan harta kekayaan badan

hukum terlepas/terpisah dari orang/pihak/pendiri badan

hukum tersebut (Nindyo Pramono, 2007). Dengan demikian

kekayaan yang dipisahkan tersebut digunakan dalam

badan hukum berinteraksi dengan pihak lain, menjalankan

hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum yang mandiri

guna mencapai tujuan dari pendirian badan hukum

tersebut.

Berdasarkan paparan di atas, maka kekayaan LPS bukanlah

keuangan negara namun merupakan kekayaan negara

yang dipisahkan. Walaupun negara memperoleh pendapatan

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

dari surplus yang diperoleh LPS, sebagai pendapatan non

pajak. Pendapatan dari surplus inilah yang masuk dalam

kategori keuangan negara. Surplus LPS yang dapat menjadi

pendapatan negara bukan pajak harus memenuhi

persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 83 UU No. 24/2004,

sebagai berikut.

(1) Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional

selama 1 (satu) tahun dialokasikan sebagai berikut:

a. 20% (dua puluh perseratus) untuk cadangan tujuan;

b. 80% (delapan puluh perseratus) diakumulasikan

sebagai cadangan penjaminan.

(2) Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai

tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu)

dari total simpanan pada seluruh bank, bagian surplus

sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan

Penerimaan Negara Bukan Pajak.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surplus dan

penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.

Konsekuensi yuridis LPS sebagai badan hukum independen

yang kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara atau

memiliki kekayaan sendiri, maka dalam LPS melakukan

pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan

akuntabilitas serta hubungannya dengan organisasi lain,

mendasarkan pada good corporate governance (penjelasan

UU No. 24/2004). Dengan demikian organ LPS dalam

menjalankan pengelolaannya haruslah mendasarkan pada

prinsip-prinsip yang terdapat dalam doktrin good

corporate governance.

Good Corporate Governance (Ruru, 2002) pada dasarnya

merupakan suatu mekanisme yang mengatur tentang tata

cara pengelolaan berdasarkan rules yang menaungi, seperti

anggaran dasar (articles of association) serta peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian sebenarnya GCG

bukan saja berkaitan dengan hubungan antara perusahaan

(badan hukum) dengan para pemiliknya tapi juga (dan

terutama) dengan para pihak yang mempunyai kepentingan

dengan badan hukum. Paling tidak terdapat empat prinsip

yang harus diterapkan dalam kepengurusan berdasarkan

GCG yaitu: responsibilitas, akuntabilitas, keadilan dan

kewajaran, serta transparansi.

Penutup

Berdasarkan paparan di atas maka dapat diketahui bahwa

kekayaan Negara yang dipisahkan dari APBN haruslah

diartikan sebagai kekayaan LPS, bukan lagi bagian dari

keuangan negara. LPS sebagai badan hukum memiliki

kemandirian dengan segala konsekuensi yuridis yang

dapat dipikulnya. Dengan demikian tidak tepat bila dalam

ketentuan LPS yang berlaku sebagai lex specialis

terhadap konstruksi badan hukum LPS diperhadapkan

dengan pengaturan tentang keuangan negara dengan

segala implikasi yuridisnya. Namun demikian haruslah

dipahami bahwa yang masuk sebagai keuangan negara

adalah segala keuntungan LPS yang disetorkan sebagai

penerimaan negara bukan pajak, sebagaimana yang

diatur dalam Pasal 83 UU LPS.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

Ali, Chaidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung.

Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.

Djafar Saidi, Muhammad, 2008, Hukum Keuangan Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Pieris, John, 2007, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Pelangi Cindekia, Jakarta.

Pramono, Nindyo, 2007, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis,

Witherell, Bill, May 2004. “Corporate Governance: Stronger principles for better market integrity”. The OECD Observer. Paris.

Makalah

Atmadja, Arifin P. Soeria, Hukum Keuangan Negara Pasca �0 Indonesia Merdeka, dalam http://www.pemantauperadilan.

com.

Ruru, Bacelius. Good Corporate Governance dalam Masyarakat Bisnis Indonesia, Sekarang dan Masa Mendatang. Dalam:

http:// www.nccg.indonesia. Orglokakarya.

Rajaguguk, Erman, Kekayaan BUMN Persero bukan Kekayaan Negara, http://www.bisnis.com.

Peraturan Perundangan

UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan

UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara

UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

PP No. 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan negara/Daerah

Koran

Kompas, 2 Pebruari 2010

Daftar Pustaka

2�

Pendahuluan

Sejatinya penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank

merefleksikan dua hal penting. Pertama, sebagai wujud

dari eksistensi bank itu sendiri, yaitu lembaga intermediari

yang salah satu esensi utamanya adalah menyalurkan

kembali dana masyarakat yang berhasil dihimpunnya,

dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan

kebutuhan perekonomian. Kedua, penyaluran kredit/

pembiayaan tersebut merupakan piranti utama bagi bank

untuk memperoleh pendapatannya sekaligus untuk

menjaga keberlangsungan hidupnyanya (going concern). 1

Salah satu indikator keberhasilan bank dalam penyaluran

kreditnya dapat dilihat dari rasio pemberian kredit terhadap

dana yang berhasil dihimpunnya (loan to deposit ratio-

LDR). Pencapaian LDR yang tinggi sekaligus menunjukkan

pula efektifitas kinerja bank sebagai lembaga intermediari2.

Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung

risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus

memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Bank

harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang

disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kembali oleh

debitur tepat pada waktunya. Untuk memperoleh keyakinan

tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan

mengikuti prosedur pemberian kredit (SOP)3 yang berlaku

di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama

atas kemampuan debitur yang lazim menggunakan

ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character), Kemampuan (Capacity),

Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan prospek usaha

(Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui

bahwa usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan

bankable.

*) Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia

1 Meskipun secara umum penyaluran kredit tersebut masih mendominasi struktur aktiva produktif bank saat ini, terlihat adanya kecenderungan shifting penyaluran dana bank dari Kredit ke jenis aktiva produktif lainnya yang dinilai lebih aman namun memberikan return yang tinggi, misalnya Surat Berharga.

2 Rasio 90% s.d 110% dianggap sebagai rasio yang ideal.

3 SK DIR BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum

Kredit Macet:Antara Kerugian Negara atau Kerugian KorporasiOleh: Agus Santoso, SH,LLM*)

Untuk mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi

kerugian, bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip

prudential, antara lain menjaga kualitas aktiva produktifnya

dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva

produktif. Sebagai acuan untuk menilai kualitas aktiva

produktif, Bank Indonesia menetapkan aturan penggolong

kredit ke dalam 5 kategori, yaitu Lancar, Dalam Perhatian

Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Dalam

kaitan ini, kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah

adalah kredit yang kondisinya dinilai sudah tidak lancar,

yang menggambarkan terganggunya usaha debitur.

Indikasinya antara lain terlihat dari kelancaran pembayaran

kembali kredit/pembiayaan tersebut (angsuran pokok

maupun bunga) dan atau prospek usaha dan kinerja

(performance) debitur yang dinilai buruk. Bila terjadi yang

demikian itu, bank selaku kreditur, akan mengupayakan

berbagai tindakan penyelamatan kredit.

Penyaluran Kredit & Kredit Bermasalah

Kredit merupakan salah satu bentuk dari Aktiva Produktif

bank4. Kondisi dan karakteristik Aktiva Produktif bank

dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola

secara efektif akan berpotensi mengganggu keberlangsungan

usaha bank. Oleh karena itu, bank perlu meminimalkan

potensi kerugian atas penyediaan dananya, misalnya

memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang

terukur resikonya.

4 Menurut PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Aktiva Produktif Bank adalah Penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaski rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan pengertian Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

Sebagaimana kita maklumi, fondasi bisnis perbankan

adalah kepercayaan. Masyarakat penyimpan dana percaya

bahwa bank memiliki kemampuan untuk mengelola

dananya secara aman. Begitu juga halnya dengan pemberian

kredit, walaupun diberikan melalui proses penilaian yang

seksama, tetap saja, pemberian kredit mengandung risiko,

sehingga bank harus dapat meyakini bahwa kredit yang

disalurkannya tersebut akan dipergunakan sesuai dengan

tujuannya oleh debitur dan dapat dikembalikan lagi tepat

pada waktunya, sehingga kepentingan dan kepercayaan

masyarakat dilindungi dan dipelihara oleh bank.

Apabila dilihat dari penyebabnya, kredit bermasalah dapat

terjadi karena faktor eksternal atau internal. Faktor eksternal

antara lain karena kondisi perekonomian/dunia usaha

yang mengalami krisis, terjadi huru-hara atau bencana

alam, adanya perubahan kebijakan Pemerintah, sedangkan

faktor internal antara lain salah urus usaha debitur,

perselisihan manajemen perusahaan debitur, penyalahgunaan

kredit (mis fasilitas Kredit Investasi digunakan untuk

KMK), praktek KKN atau memang terjadi pemberian

kredit yang tidak proper (lack of analisys),.

Kredit macet akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan

usaha bank. Akibat yang kritikal adalah terhentinya

pendapatan bank, dan akan mempengaruhi kemampuan

bank dalam mengelola likuiditasnya, yaitu terganggunya

bank untuk melakukan pemenuhan kewajiban terhadap

pihak ketiga, terutama terhadap dana-dana simpanan

masyarakat dan komitmennya kepada bank lain. Hubungan

yang bersifat “saling ketergantungan” antara bank dan

nasabah, serta diantara sesama bank, merupakan titik rentan

yang setiap saat mengancam integritas sistem perbankan itu

sendiri. Kejatuhan suatu bank dapat berimbas pada jatuhnya

bank lainnya (domino effect). Dalam skala yang lebih luas

dan makro, apabila hal tersebut terjadi secara masive, maka

dapat terjadi risiko sistemik yang dampaknya dipastikan

akan merusak perekonomian negara.

Hal yang penting disini adalah bahwa kredit macet (baca:

aktiva produktif bermasalah) harus diupayakan solusinya.

Berdasarkan kaedah-kaedah yang selama ini telah berlaku

bagi perbankan, bank akan melakukan pembinaan kredit

dan bila diperlukan akan melakukan upaya penyelamatan

kredit seperti suplesi (tambah kredit), atau restructuring

(perubahan kredit). Masuknya kaedah-kaedah “asing”

dalam penyelesaian kredit macet dikhawatirkan dapat

mengganggu sistem penyelesaian yang berlaku di

perbankan, terlebih lagi apabila kaedah “asing” tersebut

sifatnya berbeda secara fundamental, dalam hal ini

misalnya terjadi kecurigaan indikasi koruptif suatu kredit

menjadi kredit bermasalah. Cukup menarik untuk dibahas

lebih jauh apakah keengganan para bankir untuk

”berurusan dengan aparat penegak hukum”, telah

mengakibatkan rendahnya kinerja perkreditan Perbankan

Nasional.

Hantu Korupsi

Fenomena “ketakutan” para bankir menyalurkan kredit

dengan alasan ”enggan berurusan dengan aparat

penegak hukum” harus kita waspadai, karena

konsekuensinya terlalu mahal terhadap perekonomian.

Ketakutan atau keengganan tersebut tidak boleh dibaca

sebagai “ke-hati-hatian”, sehingga menghambat

pembiayaan bank terhadap proyek-proyek ekonomi vital

dan berskala besar yang sangat dibutuhkan untuk

menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat.

Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono, mantan Gubernur Bank

Indonesia, dalam salah satu tulisannya5, menengarai

bahwa sebagai akibat dari tindakan yang keliru atau

absennya tindakan benar, baik karena kekurang mampuan

aparat (sins of omission) atau karena kesengajaan dalam

rangka praktek-praktek KKN (sins of comission),

mengakibatkan hasil pembangunan di masa lalu tidak

berlanjut, hilang atau rusak. Lebih lanjut Soedrajad

mengemukakan bahwa peranan kelembagaan penunjang

sebagai pendukung bekerjanya perbankan yang sehat,

dalam hal ini hukum dan peradilan masih jauh dari

harapan. Kelambatan dan proses berbelit serta adanya

berbagai kepentingan (interest group), mengakibatkan

banyak masalah menjadi terbengkalai atau tidak kunjung

ada penyelesaiannya, sehingga terjadi gejala kemandegan

dalam berbagai aspek pembangunan. Sayangnya banyak

pihak kerapkali ikut menjadi bagian dari masalah,

bukannya menyumbang pada penyelesaian masalah6.

Harapan akan peran kredit untuk mendorong pertumbuhan

yang tinggi dengan demikian masih jauh dari harapan.

Pengucuran kredit oleh perbankan yang lambat padahal

suku bunga acuan BI (BI Rate) telah diturunkan pada level

yang relatif rendah (saat ini 6.50), menunjukkan adanya

masalah fundamental pada proses ini.

5 Soedrajad Djiwandono, “ Menuju Sistem Perbankan Untuk mendukung Pembangunan Nasional”, http:/Kolom.pacific.net.id.

6 Soedrajad Djiwandono, ibid

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

Dari data tersebut, terlihat bahwa perkembangan LDR

dalam 2 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan

stagnan pada angka 73%, padahal dalam periode tersebut

suku bunga acuan BI (BI rate) telah mengalami penurunan

yang siginifikan dari kisaran 11 % pada awal tahun 2008

menjadi 6,5% pada akhir tahun 2009.

Terkait hal ini, patut dipertanyakan juga apakah “ketakutan”

para bankir berurusan dengan masalah hukum juga ikut

andil dengan lambatnya pengucuran kredit ini? Pertanyaan

seperti itu akan menjadi valid jika pandangan institusi

penegak hukum, berbeda secara fundamental dari para

bankir dalam melihat persoalan kredit bermasalah. Kredit

bermasalah yang dipandang sebagai risiko bisnis oleh bank,

tetapi dipandang sebagai “kerugian negara”dari kacamata

penegak hukum akan menyulitkan posisi bankir. Tentu

saja kita juga tetap sepakat bahwa kesemuanya itu bukan

merupakan “excuse” untuk melepaskan jerat hukum

terhadap oknum-oknum yang memanfaatkan pemberian

kredit bank sebagai sarana untuk melakukan kejahatannya.

Namun yang paling penting disini adalah menemukan

pemahaman yang sama agar esensi atau tujuan keduanya

yakni pembangunan ekonomi dan pemberantasan

kejahatan perbankan dapat efektif dan tepat sasaran.

Terkait hal ini, tindakan hukum terhadap para bankir,

sejatinya harus ditujukan untuk mendorong pertumbuhan

kredit, sehingga dalam pelaksanaannya para penegak

hukum harus mampu memahami dunia bisnis perbankan.

Tindakan hukum yang bersifat parsial yang hanya

cenderung memandang dari kacamata “pelanggaran SOP

= terpenuhinya urusan melawan hukum” akan

berdampak kontra produktif terhadap penyaluran kredit

oleh perbankan domestik kepada dunia usaha.

Restrukturisasi Kredit vs Kriminalisasi Kredit

Dalam perjalanannya, meskipun bank telah berusaha

melakukan langkah-langkah pemberian kredit dengan

mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat,

namun bank tetap menghadapi risiko, antara lain debitur

mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya

kepada bank. Terkait hal ini, sesuai kelaziman, bank

biasanya melakukan beberapa tindakan antara lain dalam

bentuk restrukturisasi kredit berupa:

1. penurunan suku bunga;

2. perpanjangan jangka waktu kredit;

3. pengurangan tunggakan bunga kredit;

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

28

4. pengurangan tunggakan pokok kredit;

5. penambahan fasilitas kredit; dan atau

6. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal sementara.

Disadari bahwa upaya restrukturisasi kredit ini dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,

maka Bank Indonesia telah membatasi secara ketat

kriteria dan persyaratan pelaksanaannya, yaitu antara lain

upaya restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan

terhadap debitur-debitur yang dinilai masih memiliki

prospek untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu bank

dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan

hanya untuk menghindari penurunan penggolongan

kualitas kredit; peningkatan pembentukan Penyisihan

Pembentukan Aktiva (PPA) atau bertujuan untuk

menghentikan pengakuan pendapatan bunga secara

akrual.

Sedangkan bagi debitur-debitur macet yang sudah tidak

mempunyai prospek, maka dalam rangka membersihkan

aset bank (cleaning asset) dari aset bermasalah (bad asset),

bank dapat melakukan upaya hapus buku dan hapus tagih.

Hapus buku dan atau hapus tagih tersebut hanya dapat

dilakukan setelah bank melakukan berbagai upaya

penyelamatan.

Dengan demikian maka upaya restrukturisasi kredit dan

hapus buku/hapus tagih tersebut adalah hal yang wajar

dan normal bagi sebuah bank, dan marupakan bagian

dari pengelolaan aktiva produktifnya.

Terkait hal ini, hal yang patut dibahas adalah adanya

kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap langkah

penyelamatan tersebut, dalam hal ini adalah masuknya

unsur hukum pidana dalam hukum privat (perjanjian

kredit). Apakah kita ingin menggeser sebagian pengaturan

perjanjian kredit dari hukum perdata ke hukum pidana?.

Hal ini tentu perlu mendapat perhatian yang serius dari

para ahli hukum, agar kriminalisasi tersebut tidak merusak

sistem hukum yang ada, karena hal tersebut dapat

menjadi preseden di masa yang akan datang.

Pertanyaan lain adalah bagaimana bila kriminalisasi tersebut

dikaitkan dengan tindakan preventif untuk memberantas

korupsi dalam proses pemberian kredit oleh bank BUMN?

Hal ini tentu akan mendistorsi level playing field industri

perbankan nasional. Daya saing bank BUMN mengalami

penurunan dibandingkan bank swasta yang tidak dapat

dikenakan kriminalisasi tersebut. Selain itu, kriminalisasi

dimaksud juga akan menurunkan keberanian memutus

para bankir bank BUMN untuk memberikan kredit karena

adanya potensi ancaman pidana. Hal seperti ini tentu saja

kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk

mendorong perbankan dalam menyalurkan kredit/dana

kepada sektor riil. Namun apabila pengertian korupsi

diperluas dengan mencakup pula pemberian kredit yang

dilakukan oleh bank swasta, karena alasan bank swasta

juga mengelola dana masyarakat, maka hal ini akan

semakin mengaburkan batasan ranah perdata dan ranah

pidana.

Agunan vs Jaminan Kredit

Terkait dengan krimininalisasi pemberian kredit ini, di

masyarakat dan juga bahkan di kalangan penegak hukum,

pengertian jaminan dan agunan seringkali dipahami

secara keliru. Dalam UU Perbankan, yang dimaksud

dengan jaminan pemberian kredit adalah “keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan debitur” untuk melunasi

utangnya. Sedangkan agunan (collateral) adalah merupakan

salah satu unsur dari jaminan, sehingga apabila berdasarkan

unsur-unsur lain (watak, kemampuan, modal dan prospek

usaha) telah dapat diperoleh keyakinan, maka agunan

dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih dari

proyek yang dibiayainya tersebut. Dengan demikian

agunan tambahan (di luar proyek/barang yang dibiayai)

tidak mutlak harus disediakan oleh debitur, dan karenanya

kredit yang diberikan tanpa disertai dengan agunan

tambahan bukan merupakan perbuatan kriminal.

Berkaitan dengan aspek agunan ini, dalam rangka

pengamanan terhadap kredit yang diberikan tersebut,

selain di back up dengan jaminan yang memadai, untuk

proyek-proyek tertentu atau untuk jenis-jenis penyediaan

dana tertentu, bank juga meminta debitur untuk

mengasuransikan barang jaminannya dan jika diperlukan,

bank meminta debitur untuk dicover dengan asuransi

jiwa. Selain itu dalam rangka meminimalkan risko kredit,

maka untuk kredit-kredit tertentu bank juga melakukan

penutupan asuransi kredit melalui Askrindo dan Askrida di

daerah.

Paradigma baru Bank BUMN dalam pengelolaan

kredit bermasalah.

Dalam PP No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara

Penghapusan Piutang Negara/Daerah, pada bagian

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

2�

penjelasan PP ini, ditegaskan bahwa ”Selanjutnya dalam

Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. �9 Tahun �00�

tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan

“dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk

dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk

selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi

didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan

pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan

yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut,

seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai

akibat perjanjian dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas

perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara.

Sejalan dengan itu pengelolaan termasuk pengurusan

atas piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam

koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan

kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-

prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran

tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan

dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan/

penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang

bersangkutan...”.

Dengan berlakunya PP tersebut, ada beberapa hal yang

patut diperhatikan yaitu sbb:

Pertama, PP tsb bertujuan untuk menciptakan level playing

field yang sama bagi seluruh perbankan di Indonesia,

dimana sebelumnya Bank-bank BUMN selalu tersandera

oleh permasalahan ketidakbebasannya dalam penyelesaian

kredit bermasalahnya, karena piutang macetnya dianggap

sebagai kekayaan negara yang proses penyelesaiannya

harus melalui PUPN/BUPLN. Sementara itu para

kompetitornya, yaitu bank-bank swasta dapat dengan

leluasa menyelesaikan permasalahan kredit macetnya

dengan mengacu kepada praktik-praktik yang lebih luwes

dengan sasaran return rate yang optimum.

Kedua, PP ini menegaskan bahwa dengan pemisahan

kekayaan negara tersebut, piutang bank BUMN sebagai

akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh bank BUMN

selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai

piutang negara. Penegasan ini bermakna bahwa urusan

piutang bank BUMN tidak lagi menjadi ranah keuangan

negara.

Ketiga, Bank BUMN tidak dapat lagi dijadikan “sapi

perah”, atau berfungsi “sosial” namun harus mengelola

dirinya sebagai entitas yang mampu berorientasi bisnis.

Dengan demikian tidak ada lagi previlege atau “excuse”

yang dapat diberikan kepada para bankir BUMN dalam

menjalankan usahanya.

Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan

bahwa:

1. Penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank

merefleksikan dua hal, yaitu untuk mewujudkan

esensi utamanya sebagai penyedia dana untuk

pembangunan perekonomian, dan sebagai piranti

utama dalam menjaga keberlangsungan hidupnya

(going concern).

2. Harus ada pemahaman yang sama antara perbankan

dan lembaga penunjang bekerjanya perbankan yang

sehat, terutama lembaga auditor dan Penegak Hukum

dalam memandang suatu perbuatan yang dapat

digolongkan sebagai perbuatan kriminal (korupsi).

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�0

halaman ini sengaja dikosongkan

��

�. Pendahuluan

Para bankir sejatinya sangat menyadari bahwa Akta

Otentik1 merupakan suatu dokumen hukum yang

sangat penting bagi bank untuk mengamankan

transaksinya. Akta otentik mempunyai daya pembuktian

keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan.

Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai

kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda

tangannya tertera dalam akta di bawah tangan, dapat

mengingkari keaslian tanda tangan itu, dan bank

sebagai pihak yang akan mempergunakan akta tersebut

harus membuktikan bahwa memang tanda tangan

debitur adalah asli.

Namun demikian, meskipun sangat memahami

pentingnya akta otentik, dalam prakteknya, penggunaan

akta di bawah tangan tetap saja masih marak di

perbankan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya

penggunaan standard contract� dalam perjanjian

kredit antara bank dengan debitur. Terkait

penggunaan akta otentik dan akta di bawah tangan

ini terdapat suatu ungkapan lama yang sangat

terkenal yaitu “siapa yang hendak membuat akta di

bawah tangan, mengambil pena, siapa yang hendak

memperoleh akta otentik, mengambil notaris”.

Banyak alasan yang dikemukakan oleh para bankir

terkait penggunaan akta di bawah tangan ini.

Pertama, penggunaan akta di bawah tangan dalam

perjanjian kredit atau yang dikenal dengan standard

contract dirasakan sangat efisien dan murah, terutama

untuk fasilitas kredit/pembiayaan yang memiliki nilai

*) Analis Hukum Senior Bank Indonesia

1 Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Mr. A. Pitlo, akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang oleh dan dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu (Pembuktian dan Kadaluwarsa; alih bahasa oleh M. Isa Arief SH).

2 Menurut Black’s Law Dictionary, standard-form contract is A usual preprinted contract containing set clauses, used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight additions or modifications to meet the specific situatiom.

nominal relatif kecil. Kedua, dalam beberapa hal,

bagi bank-bank yang ada di daerah, terutama BPR-

BPR yang lokasinya berada di pelosok pedesaan, sulit/

mahal untuk membuat akta otentik karena ketiadaan

notaris di lokasi tersebut, sehingga seluruh perjanjian

kredit terpaksa dibuat di bawah tangan.

Pada sisi lain penggunaan standard contract

memberikan kemudahan bagi bank dalam memasukkan

seluruh klausula penting yang terkait dengan kepentingan

bank dalam melindungi kredit/pembiayaan yang telah

diberikan kepada debitur. Hanya hal-hal yang masih

memerlukan pembicaraan atau konfirmasi dengan

debitur saja yang masih dikosongkan, dan baru diisi

setelah dibicarakan dan disetujui debitur. Dalam

praktek, penggunaan akta otentik oleh perbankan

lebih banyak dimanfaatkan terutama untuk kredit/

pembiayaan yang mempunyai nilai nominal yang

relatif besar dan sangat besar.

Menyadari bahwa aspek hukum merupakan hal yang

sangat penting dalam melindungi bisnis bank (risk

mitigation), Bank Indonesia telah memasukkan risiko

hukum (termasuk legal document) sebagai bagian

dari penilaian manajemen risiko bank

Dalam makalah berikut akan diuraikan beberapa hal

yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang

terkait dengan manajemen risiko d.h.i legal risk dan

tinjauan terhadap praktek dan kendala-kendala

hukum dalam dokumentasi hukum pemberian kredit.

2. Kebijakan Bank Indonesia

Kebijakan Bank Indonesia terkait dengan pemberian

kredit oleh bank dan pengawasan Bank Indonesia

terhadap bank, khususnya dalam penilaian manajemen

risiko (legal risk) dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Regulasi Bank Indonesia terkait dengan pemberian

kredit bank

Akta Otentik dalam Pembuatan Perjanjian KreditOleh : Hilman Tisnawan*)

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�2

Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank

yang mengandung risiko yang sangat berpengaruh

terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha bank.

Di sisi lain, sebagian besar dana yang dimiliki oleh

bank adalah merupakan dana yang berasal dari

penghimpunan dana masyarakat. Oleh karena itu

maka pemberian kredit oleh perbankan harus

diatur secara hati-hati (prudent) oleh ketentuan

undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.

UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan

tegas mengatur agar bank senantiasa berpegang

pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan

kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan

kredit. Dalam implementasinya, Bank Indonesia

sebagai otoritas perbankan menetapkan berbagai

regulasi dan batasan-batasan kepada bank dalam

pemberian kreditnya. Beberapa regulasi dimaksud

antara lain adalah mengenai Kewajiban Penyusunan

dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan, Batas

Maksimum Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas

Aktiva Produktif, Sistem Informasi Debitur, dan

pembatasan lainnya dalam pemberian kredit

kepada sektor-sektor tertentu, termasuk pembatasan

kredit kepada pihak asing dan untuk tujuan

transaksi derivatif.

Dalam ketentuan tentang kewajiban bank untuk

memiliki kebijakan perkreditan bank, diatur

beberapa hal yaitu antara lain bahwa selain harus

tertulis dan mendapat persetujuan dewan komisaris,

kebijakan perkreditan bank sekurang-kurangnya

harus memuat dan mengatur hal-hal pokok

sebagai berikut :

1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;

2. organisasi dan manajemen perkreditan;

3. kebijakan persetujuan kredit;

4. dokumentasi dan administrasi kredit;

5. pengawasan kredit;

6. penyelesaian kredit bermasalah.

Dalam ketentuan kebijakan perkreditan bank,

pendokumentasian dan administrasi kredit,

termasuk di dalamnya legal documentation,

merupakan salah satu hal penting yang harus

mendapatkan pengaturan oleh bank. Pedoman

kebijakan perkreditan tersebut diperlukan dalam

rangka mendukung keyakinan bank dalam

memastikan keamanan penyaluran kreditnya.

Sejalan dengan hal tersebut, sesuai Pasal 8 UU

Perbankan, diatur bahwa dalam memberikan

kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip

syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan

berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad

dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah

Debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai

dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan Pasal

8 UU Perbankan tersebut ditegaskan bahwa

“.........Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan

pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan

prinsip syariah dalam arti keyakinan atas

kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur

untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan

yang diperjanjikan merupakan faktor penting

yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh

keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,

bank harus melakukan penilaian yang seksama

terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan

prospek usaha dari nasabah debitur.”

Terkait jaminan pemberian kredit ini, jaminan yang

dikehendaki oleh pemberi kredit atau bank, adalah

jaminan yang berdaya guna dan berhasil guna,

artinya jaminan tersebut harus mendapatkan

kepastian kepada pemberi kredit dan mudah

untuk dijual atau diuangkan, guna menutup

pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh debitur.

Jadi fungsi pemberian jaminan adalah memberi

hak dan kekuasaan kepada bank, untuk mendapatkan

pelunasan dari hasil lelang benda yang dijaminkan

itu, apabila debitur tidak membayar kembali

hutangnya tepat pada waktu yang telah ditentukan

dalam perjanjian. Dengan kata lain, fungsi jaminan

adalah dalam rangka memperkecil risiko kerugian

yang mungkin akan timbul apabila debitur inkar

janji3. Dalam praktek perbankan, perjanjian

jaminan selalu dituangkan dalam bentuk tertulis,

yaitu dituangkan dalam Akta Notaris atau akta di

bawah tangan.

3 Retnowulan Sutantio, SH, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustitia 1, 1996.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

b. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia

terhadap bank, khususnya dalam manajemen

risiko.

Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank

harus meminimalkan potensi kerugian atas

penyediaan dana, antara lain dengan memelihara

eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai

dan didukung dengan dokumentasi kredit yang

aman secara hukum. Dalam hal ini, pengurus bank

wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara

efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta

melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait

dengan transaksi-transaksi dimaksud.

Penyediaan dana dalam bentuk pemberian kredit

merupakan salah satu jenis aktiva produktif yang

paling penting bagi bank untuk memperoleh

penghasilan, disamping jenis penyediaan dana

lainnya seperti surat berharga, penempatan dana

antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat

berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali

(reverse repurchase agreement), tagihan derivatif,

penyertaan, pemberian garansi (bank garansi),

transaksi rekening administratif lainnya serta bentuk

penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan

dengan itu. Begitu juga halnya pemberian Bank

Garansi yang merupakan salah satu bentuk

pemberian kredit non tunai (non cash loan) juga

merupakan sumber pendapatan berbasis fee (fee

based income) yang cukup penting bagi bank4.

Mengingat eksposur risiko terhadap penyediaan

dana baik dalam bentuk-kredit maupun pemberian

4 Namun mengingat besarnya risiko dalam pemberian garansi tersebut, maka bank perlu memperhatikan beberapa hal sbb:• Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang

mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang me-nerima garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit.

• Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.

• Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit.

Sebagaimana halnya pemberian kredit, karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang mempen-garuhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dike-nakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.

garansi bank cukup tinggi, maka pendokumentasian

yang aman dari sisi hukum merupakan salah satu

hal penting yang wajib diperhatikan oleh bank.

Otentifikasi dokumen perjanjian dalam penyediaan

dana yang besar akan dapat memitigasi risiko,

khususnya apabila penyediaan dana tersebut

mengalami masalah di kemudian hari, sehingga

harus dilakukan eksekusi jaminan dalam

penyelesaiannya.

�. Kendala-kendala Dalam Praktek

Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan,

meskipun para bankir sangat menyadari pentingnya

otentifikasi dalam pendokumentasian pemberian

kredit, dalam praktek tetap saja hal tersebut belum

dapat dilakukan sepenuhnya, karena adanya

permasalahan yang terkait dengan biaya dibandingkan

dengan jumlah kredit yang akan diberikan. Di sisi lain,

dalam beberapa kasus yang dialami oleh perbankan,

ternyata meskipun pendokumentasian tersebut sudah

dilakukan “secara aman” dengan akta otentik notaris

sekalipun, namun hal tersebut ternyata tidak

menghilangkan terjadinya manipulasi (fraud) oleh

debitur dan/atau pengurus bank.

a. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam

praktek adalah sbb:

i. Untuk kredit yang nilai nominalnya relatif kecil,

pembebanan biaya otentifikasi dokumentasi

kredit (biaya notaris dan pengurusan

dokumentasi hukum di instansi terkait) dirasakan

memberatkan beban debitur kecil. Sebagai

solusinya bank biasanya akan melakukan

pendokumentasian di bawah tangan, dan

pengikatan agunan tidak dilakukan secara

sempurna.

ii. Pada daerah tertentu (di pelosok pedesaan),

lokasi bank dan kantor notaris berjauhan,

sehingga dirasakan tidak praktis untuk membuat

akta notaris karena harus meluangkan waktu

yang cukup dan biaya bagi bank dan debitur.

iii. Jangka waktu kredit relatif pendek (biasanya

untuk fasilitas kredit yang bersifat talangan/

bridging), sehingga otentifikasi dokumentasi

kredit dengan biaya yang relatif besar

dirasakan tidak efisien.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

iv. Dalam beberapa kasus, bank mengalami kendala

pada saat melakukan ekseskusi berdasarkan

grosse akte5, terutama karena adanya sanggahan

dari debitur mengenai jumlah hutang yang

sebenarnya. Dalam beberapa kasus sanggahan

debitur ini hanyalah merupakan akal-akalan

untuk menghalangi eksekusi.

b. Akta Notaris yang “Otentik tetapi tidak

otentik”

Dalam banyak kasus di perbankan, akta otentik

yang dibuat notaris, tidak selalu menjamin

kebenaran para pihak yang melakukan transaksi.

Hal ini misalnya terlihat dari kasus kredit fiktif

(kredit topengan) dengan memanfaatkan “peranan

notaris” untuk membuat “akta otentik yang tidak

otentik”. Kasus yang banyak terjadi adalah dengan

cara memalsukan identitas atau menggunakan

orang-orang tertentu (misalnya, sopir pribadi,

pegawai, sekretaris) yang bertindak seolah-olah

sebagai pengurus dan atau pemilik dalam pendirian

sebuah Perusahan Terbatas. Padahal dalam

kenyataannya para “pemilik dan atau pengurus”

yang tercantum dalam Akta Pendirian Perusahaan

tersebut adalah hanya merupakan topeng (boneka)

yang tidak mengetahui apa-apa dan sepenuhnya

dikendalikan oleh “pemilik asli” dari belakang

layar. Berbekal perusahaan “fiktif” tersebut

selanjutnya “pemilik asli” mengeruk kredit dari

bank dalam jumlah yang sangat besar. Dalam

kasus demikian biasanya bank merupakan korban

yang paling dirugikan. Terlepas bahwa kasus tersebut

dapat terjadi karena adanya kerjasama dengan

orang dalam bank, peranan notaris dalam kasus

ini menjadi demikian penting. Salah satu kasus

yang ditemukan dalam pemeriksaan oleh Bank

Indonesia6, debitur tersebut adalah paper

company, dimana alamat perusahaan adalah fiktif

dan nama-nama pengurus perusahaan tidak tahu

menahu tentang keberadaan perusahaan tersebut

5 Grosse Akte adalah Akta Otentik yang mempunyai kekuatan ekseku-torial. Berbeda dengan Akta Otentik dimana apabila akan dilakukan eksekusi maka kreditur harus terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka dengan Grosse Akte pihak kreditur tidak perlu mengajukan gugatan namun cukup mengajukan permohonan untuk melaksanakan isi dari grosse akte tersebut. Secara lengkap lihat dalam Pasal 224 HIR

6 Lihat kumpulan kasus dalam “Modus Operandi Kejahatan Perbankan di Indonesia”, Unit Khusus Inventigasi Perbankan Bank Indonesia, 2003

hanya karena KTP ybs pernah dipinjam dan ternyata

namanya dicantumkan sebagai pengurus perusahaan.

Dalam kasus perusahaan fiktif seperti ini, akta

notariil yang seharusnya merupakan dokumen

hukum penting yang bisa diyakini oleh bank dan

dapat dijadikan dasar dalam mencari kebenaran

(originalitas) suatu dokumen, ternyata menjadi

malapetaka bagi bank dan orang yang KTP-nya

dipinjam tersebut. Terkait hal ini, kiranya perlu

didorong terciptanya tanggungjawab moril dari

notaris pada saat membuat “akta otentik” ini.

Notaris seyogiyanya hanya akan menerbitkan

sebuah akta yang benar-benar telah diyakini

kebenarannya, baik tentang peristiwanya maupun

substansinya.

Kepastian isi akta notaris mencerminkan apa yang

dikehendaki oleh para pihak, dan juga isi akta itu

telah disaring oleh notaris bahwa tidak melanggar

hukum sebab notaris sesuai dengan sumpahnya,

akan menepati dengan seteliti-setelitinya semua

atau segala peraturan bagi jabatan notaris yang

sedang berlaku ataupun yang akan diadakan.

Apabila yang tertulis dalam akta itu melanggar

ketentuan hukum, maka notaris itu harus

menolaknya7. Selanjutnya terkait dengan kepastian

orang berarti bahwa yang menghadap kepada

notaris memang orang yang disebutkan dalam

akta notaris, bukan orang lain dan ditandatangani

oleh orang lain. Sebab setiap orang yang membuat

akta harus harus terlebih dahulu dikenal oleh

notaris. Apabila notaris tidak mengenal orang

tersebut, maka orang itu tidak dapat membuat

akta notaris. Tidak dikenal oleh notaris, orang

tersebut bisa membuat akta tetapi harus

diperkenalkan oleh dua orang saksi yang dikenal

oleh notaris8.

Sebagaimana diketahui bahwa akta otentik

mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan9, yakni:

a) kekuatan pembuktian formil, membuktikan

antara para pihak bahwa mereka sudah

7 Victor M. Situmorang, SH dan Dra. Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Penerbit Rineka Cipta 1993.

8 ibid9 Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH, “

Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” Penerbit CV. Mandar Maju, 2002

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

menerangkan apa yang tertulis dalam akta

tersebut;

b) kekuatan pembuktian materiil, membuktikan

antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa

yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.

c) Kekuatan mengikat, membuktikan antara para

pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal

yang tersebut dalam akta yang bersangkutan

telah menghadap kepada pegawai umum tadi

dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta

tersebut.

Berkenaan dengan akta otentik tersebut, kiranya

tidak berlebihan apabila notaris yang ditunjuk oleh

Undang-Undang sebagai pejabat negara dalam

penerbitan sebuah akta otentik tersebut, dapat

berperan lebih luas dalam melakukan penelitian

tentang kebenaran dari akta yang dibuatnya.

Dengan adanya kewajiban hadir bagi para pihak di

depan notaris, dan adanya pernyataan dalam akta

notaris bahwa notaris mengenal para pihak yang

menghadap kepadanya tersebut, maka kebenaran

isi akta tersebut seharusnya tidak lagi diragukan.

Dengan demikian maka “penggunaan lembaga

notaris” oleh para pihak yang bermaksud melakukan

kejahatan dengan memalsukan kebenaran akta,

dapat dihindari.

�. Penutup

a. Peranan akta otentik dalam pemberian kredit di

bank sangat penting, karena mempunyai daya

pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh

akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah

tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata

yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam

akta di bawah tangan tsb, dapat mengingkari

keaslian tanda tangan itu.

b. Dalam praktek diperbankan, penggunaan akta di

bawah tangan lazim digunakan terutama untuk

pemberian kredit yang nilai nominalnya relatif

kecil.

c. Meskipun peranan notaris dalam pembuatan

suatu akta otentik ini hanya untuk menerangkan

tentang kebenaran suatu peristiwa, namun

seyogianya peranan notaris yang sangat penting

dan terhormat tersebut tidak dimanfaatkan secara

negatif oleh para “pelaku kejahatan”.

��

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

halaman ini sengaja dikosongkan

��

Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun

yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan

sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat

terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan

elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir

ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang

menyatakan bahwa perkembangan Internet dan e-commerce

yang terus-menerus memiliki konsekuensi yang erat

dengan hukum yang ada, kebanyakan negara industri

(termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai

beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi

tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus

melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon

yang mungkin ditujukan kepadanya.

Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-

commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini

berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus

menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin

mengubah diri menjadi

Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun

yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan

sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat

terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan

elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir

ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang menyatakan

bahwa perkembangan Internet dan e-commerce yang terus-

menerus memiliki konsekuensi yang erat dengan hukum

yang ada, kebanyakan negara industri (termasuk negara-

*) Mahasiwa FH Trisakti, Jakarta

Judul : Hukum E-commerce dan Internet : dengan fokus Asia-Pasifik

Penulis : Assafa Endeshaw

Penerbit : Pustaka Pelajar, tahun 200�

Halaman : ��8

Oleh : Mustika Bella Putri Pasaribu*)

Resensi Buku

negara Asia-Pasifik) telah memulai beberapa jenis

reformasi hukum untuk menghadapi tantangan baru

meskipun ketidakpastian masih terus melingkupi sifat

reaksi balik yang muncul dan respon yang mungkin

ditujukan kepadanya.

Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-

commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini

berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus

menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin

mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku

ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan

gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam

dua bab, apabila Penulis berpendapat bahwasanya tidak

ada seorang pun yang dapat meramalkan pengaruh

potensial di lingkungan sosial-ekonomi umum dan bisnis

secara pasti dan akurat terkait dengan kemajuan pesat

internet dan perdagangan elektronik (e-commerce) dalam

beberapa tahun terakhir ini. Namun, ada sebuah konsensus

bersama yang menyatakan bahwa perkembangan Internet

dan e-commerce yang terus-menerus memiliki konsekuensi

yang erat dengan hukum yang ada, kebanyakan negara

industri (termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai

beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi

tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus

melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon

yang mungkin ditujukan kepadanya.

Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-

commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini

berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�8

menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin

mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku

ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan

gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam

dua bab, apabila diuraikan secara singkat, pembahasan

Bab Pertama dari buku ini diawali Penulis dengan

memperkenalkan permasalahan konseptual umum yang

berasal dari pengaruh kemajuan teknologi informasi (IT)

terhadap hukum yang semakin meningkat. Namun,

penulis membatasi pembahasannya dengan tidak

memberikan perincian pokok-pokok teknologi apa saja

yang terlibat dalam perubahan sosial-ekonomi tersebut

atau bagaimana hal tersebut akan berubah di tahun-

tahun mendatang, Penulis hanya memfokuskan pada

reaksi hukum serta reaksi dari para pengacara terhadap

kemajuan teknologi dan informasi. Bab Kedua buku ini

berisikan rangkuman Penulis dalam menggambarkan

situasi pada saat pembuatan cyberlaw di Singapura, yang

merupakan salah satu “the leading country” di bidang

teknologi dan informasi wilayah Asia-Pasifik, bab inipun

menggarisbawahi sampai dimana tingkatan pembuatan

hukum dan implementasinya di Singapura sejauh ini, serta

rencana-rencana apa yang akan dijalankan di masa yang

akan datang. Bab ini juga menjelaskan secara singkat

komponen-komponen yang berhubungan dengan

cyberlaw di Singapura, antara lain status serta praktik-

praktik yang menyertainya, tanpa menyelidiki latar

belakang, motivasi ataupun penjelasan masing-masing ini

secara luas. Untuk mempermudah penyampaian, Penulis

membagi bab ini menjadi lima bagian bersamaan dengan

jenis-jenis hukum baru, yaitu regulasi Internet, hukum

penyalahgunaan komputer, hukum transaksi elektronik,

hak milik intelektual, dan perlindungan konsumen. Terakhir,

Penulis ikut menyoroti banyaknya campur tangan yang

tidak terelakan dari lembaga legislatif terhadap

perkembangan cyberlaw di Singapura.

Bagian kedua dari buku ini berisikan tentang pengaturan

Internet yang terdiri atas empat bab, antara lain

membahas mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan

dengan kerangka aturan yang diperlukan Internet sebagai

suatu media komunikasi dan transmisi atau pertukaran

informasi. Secara singkat, pembahasan-pembahasan

terpenting pada bagian ini terdapat pada Bab Pertama

yang berisikan uraian yang bersifat meluas tentang

bagaimana Internet telah dibicarakan diseluruh bumi dan

persoalan yang dianggap berhubungan erat dengan

pengaturan media tersebut, serta Bab Ketiga dan Bab

Keempat, yang berturut-turut menggambarkan

bagaimana Penulis mempelajari pengalaman Singapura

dalam mengatur Internet dan penyalahgunaan komputer.

Bagian ini diakhiri dengan penyajian survey komprehensif

atas kondisi pengaturan Internet di wilayah Asia-Pasifik.

Bagian ketiga buku ini terdiri dari empat bab, dimana

Penulis terfokus pada pembahasan mengenai e-commerce,

yaitu implikasi ekonomi atau perdagangan dari internet.

Pada Bab Pertama, Penulis memberikan suatu kerangka

respon terhadap e-commerce menurut hukum, terutama

dalam pembuatan kontrak serta mengusulkan dibentuknya

suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk

memadukan undang-undang perdagangan di era informasi

ini. Sedangkan pada Bab Kedua dan Bab Ketiganya,

Penulis mencermati peraturan-peraturan di Singapura

yang menyangkut e-commerce dan percobaan untuk

mendapatkan kepercayaan konsumen dengan proses

pengenalan trustmarks guna membuat jaringan yang

lebih luas dan tepat untuk sifat internasional teknologi

internet dan e-commerce. Bab terakhir bagian ketiga

buku ini, tersusun menjadi dua sub bab, dimana pada sub

bab pertama, Penulis mengkaji mengenai perkembangan

umum undang-undang e-commerce di wilayah Asia Pasifik,

namun pembahasannya hanya terfokus pada status

penyusunan undang-undang atau implementasi yang

terkait dengan transaksi elektronis secara keseluruhan,

pembuktian kedua belah pihak dan integritas komunikasi

dalam sepuluh negara. Penulis juga membahas secara

ringkas rezim sistem baru di bidang perlindungan konsumen,

hak kekayaan intelektual dan penyelesaian sengketa.

Sedangkan pada sub bab keduanya, Penulis menunjukan

prestasi yang telah dicapai oleh negara-negara Asia Pasifik

yang menjadi “kelompok utama” dan menunjukan adanya

peningkatan titik temu dalam undang-undang yang

membahas status transaksi perdagangan, peran CA

(akuntan berlisensi) dan aturan pelaksanaan.

Pada bagian keempat buku ini, Penulis membahas

mengenai topik-topik khusus yang berkaitan dengan

pengaturan Internet dan undang-undang e-commerce

dalam tiga bab. Pada Bab Pertama dan Bab Kedua Penulis

membahas konflik antara nama domain dan merk dagang

serta solusi yang diusulkan oleh pengadilan, badan legislatif,

dan World Intelectual Property Organization (WIPO) di

dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Penulis

menguraikan kerancuan di dalam sistem merk dagang

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

yang telah ditetapkan sebagai akibat kemunculan nama

domain dan berpendapat bahwa satu-satunya langkah

logis sebagai solusi atas permasalahan ini ialah dengan

membentuk suatu perjanjian internasional yang komprehensif

yang menempatkan nama-nama domain setingkat merk

dan mempersingkat aturan administratif untuk keduanya

sedemikian rupa agar sama sekali tidak akan ada konflik

yang dapat timbul baik di satu negara maupun pada skala

global. Selanjutnya, pada Bab Ketiga Penulis membahas

mengenai perlindungan konsumen yang timbul di cyberspace.

Bagian Kelima, dalam satu bab, Penulis mencoba memberikan

pencerahan ke depan untuk cyberclaw dan mengusulkan

arah yang mungkin di masa mendatang. Menurutnya,

bentuk cyberclaw akan terus diterapkan oleh tiga kekuatan

aktif. antara lain perkembangan terakhir Internet dan

hukum e-commerce di Amerika Serikat dan Uni Eropa;

kebijakan dan proposal legislatif yang berasal dari organisasi

internasional; dan soft laws yang dihasilkan oleh entitas

bisnis di seluruh dunia. Demi kepentingan semua bangsa,

dalam bab ini Penulis mengusulkan berbagai cara yang

lebih disukai guna meniadakan jurang pemisah yang ada,

tumpang tindih, dan inkonsistensi dalam cyberclaw yang

muncul serta memecahkan persoalan yang belum

diselesaikan untuk mengadopsi perjanjian.

Seiring dengan perkembangan dan dampak teknologi

informasi yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan

hukum, perlu diperlengkapi dengan instrumen hukum

yang mengimbangi laju perkembangan teknologi yang

dinamis tersebut sehingga tercapai kepastian hukum.

Dalam kenyataannya, meskipun terdapat perbedaan sosio-

ekonomi, penguasaan teknologi, serta tingkat perhatian

(awareness), saat ini telah terdapat pengaturan mengenai

Internet dan e-commerce. Berkaitan dengan hal tersebut,

dalam pembahasan mengenai berbagai aspek regulasi

internet dan e-commerce, Penulis menyinggung perlunya

kesepakatan internasional agar seluruh negara, terutama

negara yang telah maju di bidang industri, menaruh

perhatian pada upaya mewujudkan e-commerce yang aman.

Dalam rangka menghadapi era globalisasi informasi,

Indonesia telah melakukan pengaturan mengenai pengelolaan

Informasi dan Transaksi Elektronik melalui Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik (ITE) pada tanggal 21 April 2008, agar

pembangunan TI dapat dilakukan secara optimal, merata,

dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Buku ini perlu untuk dibaca dan dapat dijadikan acuan

bagi para akademisi, praktisi atau para ahli dibidangnya

dan bahkan masyarakat umum guna memperdalam serta

melengkapi pemahaman mengenai aspek hukum kemajuan

Teknologi Informasi, antara lain permasalahan hukum

pemanfaatan internet, e-commerce termasuk perlindungan

konsumen dalam cyberspace. Penulis menyajikan

pembahasan dalam buku ini dengan baik, komprehensif

dan mendalam.terutama pada pembahasan mengenai

pengaturan e-commerce di Singapura yang dianggap

sebagai “the leading country” di bidang teknologi dan

informasi wilayah Asia-Pasifik.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�0

halaman ini sengaja dikosongkan

��

�. Pendahuluan

Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah

dimulai sejak lebih dari 100 tahun yang lalu yakni sejak

tahun 1906, yaitu berlakunya “verordening op het

faillissement en surceance van betaling voor de european

in Indonesia” sebagaimana Staatblads No. 217 jo.

Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening.

Dalam kurun waktu yang cukup lama (dengan awal

tahun 1990-an) tidak banyak kasus kepailitan yang

diajukan ke pengadilan. Namun demikian, krisis

moneter pada tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan

besar terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat

terkait perekonomian khususnya dunia usaha, terutama

dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada

kreditur, sehingga banyak utang tidak dapat dibayar

lunas meskipun telah dilakukan penagihan. Kondisi ini

dapat melahirkan akibat berantai, dan menimbulkan

dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya

kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan sosial

lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung

dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang

piutang tersebut secara adil, cepat, terbuka dan

efektif, sangat diperlukan sarana hukum yang

mendukung.

Pengaturan mengenai kepailitan yaitu Undang-

undang tentang Kepailitan (Faillissements-

Verordening, Staatsblad �905 Nomor 217 juncto

Staatsblad �90� Nomor 348), tidak sepenuhnya

memenuhi kebutuhan penyelesaian masalah

kepailitan termasuk masalah penundaan kewajiban

pembayaran utang. Sehubungan dengan hal

tersebut, Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal

22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah

menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang

Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan

(Perpu No. 1 Tahun 1998) yang kemudian disetujui

oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU No. 4

Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan

Cakrawala Hukum:Perubahan Undang-Undang Yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran UtangRefleksi mengikuti Sidang UNCITRAL Insolvency Law Tahun 200�

Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan

atas Undang-Undang tentang Kepailitan.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut tidak

sepenuhnya mengganti peraturan kepailitan yang

berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad

tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906

No. 308, melainkan sekedar mengubah dan menambah.

Dengan diundangkannya Perpu No. 1 Tahun 1998,

seolah-olah menghidupkan kembali Peraturan Kepailitan

(Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S.

1906 No. 348) yang lama sudah tidak digunakan lagi.

Sejak itu, banyak pengajuan permohonan pernyataan

pailit ke Pengadilan Niaga dan muncul berbagai

putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.

Dalam perkembangannya, UU No. 4 Tahun 1998

tersebut diubah dengan Undang-undang No. 37

Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

2. Hukum Kepailitan yang diatur dalam UNCITRAL

Legislative Guide on Secured Transaction

The legislative guide on insolvency law dipersiapkan

oleh UNCITRAL. Proyek tersebut berawal dari sebuah

proposal yang dibuat untuk UNCITRAL pada tahun

1999 yaitu UNCITRAL harus melaksanakan pekerjaan

lebih lanjut mengenai hukum kepailitan (insolvency),

khususnya insolvency perusahaan, untuk mendorong

pengadopsian rejim insolvensi perusahaan nasional

yang efektif. Pertemuan yang bersifat menjelaskan

untuk mempertimbangkan kelayakan proyek tersebut

diadakan pada bulan Desember tahun 1999. Berdasarkan

pertemuan tersebut, UNCITRAL memberikan mandat

kepada Working Group V (Insolvency Law) untuk

mempersiapkan comprehensive statement of key

objectives dan karakteristik utama untuk sebuah

insolvensi, rejim kreditur-debitur, termasuk restrukturisasi

diluar pengadilan dan sebuah legislative guide yang

mengandung pendekatan yang fleksibel tentang

pengimplementasian tujuan dan karakteristik tersebut

termasuk sebuah diskusi mengenai alternatif

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

�2

pendekatan yang memungkinkan, keuntungan serta

kerugian-kerugian dari pendekatan-pendekatan

tersebut. Untuk mencari masukan, sebuah colloqium

internasional yang diorganisir bekerjasama dengan

INSOL Internasional dan Internasional Bar Association

diadakan pada bulan Desember 2000.

Selanjutnya Working Group V pada bulan Juli 2001

telah mengembangkan draft pertama dari Legislative

Guide on insolvency law dan melalui seven one week

session, pertemuan akhir berlangsung pada akhir

Maret 2004. Disamping itu, perwakilan dari 36 negara

anggota UNCITRAL, observer, dan sejumlah organisasi

internasional baik lembaga pemerintah maupun non

pemerintah berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan

persiapan. Perkerjaan tersebut juga dilaksanakan

bekerjasama dengan Working Gorup VI (Security

Interest) untuk meyakinkan koordinasi perlakuan

security interest dalm insolvensi dengan legislative

guide atas secured transaction yang sedang

dikembangkan oleh UNCITRAL.

Negosiasi-negosiasi terakhir atas draft legislative guide

on insolvency law dilaksanakan selama sesi ke 37

UNCITRAL di New York dari tanggal 14 sampai dengan

21 Juni 2004 dan text yang diadopsi oleh konsensus

pada tanggal 25 juni 2004. Setelah itu, Majelis Umum

mengadopsi resolusi 59/40 pada tanggal 2 Desember

2004. General Assembly mengungkapkan apresiasinya

kepada UNCITRAL karena telah menyelesaikan dan

mengadopsi Legislative guide.

Tujuan the legislative guide on insolvency law adalah

untuk membantu pembentukan sebuah kerangka

hukum yang efektif dan efisien untuk memikirkan

tentang kesulitan keuangan dari debitur. The legislative

guide on insolvency law digunakan sebagai referensi

oleh otoritas nasional dan lembaga legislatif ketika

mempersiapkan peraturan dan perundang-undangan

yang baru atau mereview kecukupan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Advis dalam the

guide bertujuan untuk mencapai keseimbangan

diantara kebutuhan untuk memikirkan tentang kesulitan

keuangan secepat dan seefisien mungkin dan

kepentingan kreditur-debitur dan pihak lain. The guide

mendiskusikan isu-isu utama untuk merancang sebuah

hukum kepailitan yang efisien dan efektif walupun

terdapat perbedaan mengenai kebijakan dan perlakuan

legislatif dalam berbagai sistem hukum.

The guide memfokuskan pada proses insolvensi yang

dimulai berdasarkan hukum insolvensi dengan penekanan

pada reorganisasi, melawan debitur berupa legal

person atau natural person yang menjalankan kegiatan

ekonomi. Permasalahan insolvensi terhadap perorangan

yang tidak menjalankan kegiatan ekonomi tidak

dibahas.

The legislative Guide juga mendiskusikan penggunaan

dan pentingnya merumuskan sarana lain dalam

insovensi, khususnya mengenai negosiasi restrukturisasi

terhadap bisnis debitur secara sukarela antara debitur

dan kreditur-kreditur utama yang tidak diatur oleh

hukum insolvensi. Selain itu dalam merumuskan

tentang persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam

hukum insolvensi nasional, the Guide memasukkan

text dan pedoman untuk pengudangan UNICITRAL

Model Law on Cross Border Insovensi (the UNCITRAL

Model Law) untuk mengakomodasi isu-isu yang

terkait dengan cross border insolvensi. Harus dicatat,

bagaimanapun juga, bahwa sebuah model law umumnya

akan digunakan secara berbeda pada sebuah legislative

guide. Secara khusus, sebuah model law adalah sebuah

text legislative yang direkomendasikan kepada negara-

negara untuk diundangkan sebagai bagian dari hukum

nasional dengan atau tanpa modifikasi. Model law

pada umumnya mengusulkan satu set solusi legislatif

yang menyeluruh untuk merumuskan sebuah istilah

dan bahasa khusus yang ditujukan untuk memasukan

langsung ketentuan-ketentuan dari model law ke

dalam hukum nasional. Fokus dari legislative guide,

disisi lain memberikan petunjuk bagi perumus

undang-undang dan pengguna-pengguna yang lain

termasuk untuk mendiskusikan komentar dan

menganalisis isu-isu yang relevant. Rekomendasi dari

legislative guide tidak dimaksudkan untuk diundangkan

sebagai bagian dari hukum nasional. Dengan demikian,

model laws menggambarkan isu-isu penting yang perlu

dirumuskan dengan beberapa rekomendasi yang

memberikan pedoman yang spesifik tentang bagaimana

merancang ketentuan legislatif.

Secara garis besar Guide ini terdiri dari 2 (dua) bagian,

yaitu Bagian Pertama mengenai Merancang Tujuan-

tujuan Penting dan Struktur dari Hukum Kepailitan

yang Efektif dan Efisien, dan Bagian Kedua mengenai

Pengaturan-pengaturan Utama bagi Hukum Kepailitan

yang Efektif dan Efisien

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

a. Bagian pertama terdiri dari 3 (tiga) bab yaitu :

- Bab I, mengatur mengenai tujuan dari hukum

kepailitan yang efektif dan efisien.

- Bab II, mengatur mengenai mekanisme

mengatasi kesulitan keuangan debitur.

- Bab III, mengatur mengenai Kerangka institusi.

b. Bagian kedua terdiri dari 6 (enam) bab, yaitu :

- Bab I, mengatur mengenai aplikasi dan

permohonan.

- Bab II, mengatur mengenai Perlakuan atas

aset-aset dan permulaan dari proses kepailitan.

- Bab III, mengatur mengenai para pihak/Peserta.

- Bab IV, mengatur mengenai reorganisasi.

- Bab V, mengatur mengenai pengelolaan

proses.

- Bab VI, mengatur mengenai kesimpulan dari

proses.

�. Beberapa konsep kepailitan dalam UNCITRAL

Pembahasan diawali dengan kesepakatan untuk

memberikan tambahan (addendum) pada dokumen

Draft UNCITRAL Notes on Cooperation, communication

and coordination in cross-border insolvency proceedings.

Adapun inti dari addendum adalah menyoroti cross-

border insolvency proceedings, dimana perjanjian

lintas batas (cross-border agreements) antar negara

akan memberikan manfaat untuk memberikan ilustrasi

praktek yang sedang berjalan. Namun disadari bahwa

cross-border agreements akan beragam dari satu

jurisdiksi ke juriskdisi lainnya tergantung kepada

kewenangan para hakim, representasi insolvensi

(semacam kurator dalam kepailitan atau likuidator)

dan aturan hukum insolvensi masing-masing negara.

Oleh karena itu, cross-border agreements akan

memberikan manfaat untuk memfasilitasi koordinasi

dan kerjasama dalam hal terdapat kasus-kasus

insolvensi antar negara.

Setelah disepakati addendum pada dokumen Draft

UNCITRAL Notes on cooperation, communication and

coordination in cross-border insolvency proceedings,

pembahasan dilanjutkan pada dokumen mengenai

Treatment of enterprise groups in insolvency yang

menjadi pokok perhatian dalam international and

domestic issues.

a. Centre of main interest (COMI) yaitu place where

the debtor conducts the administration of its

interest on a regular basis and that is therefore

ascertainable by third parties.

Hal yang menonjol dalam pembahasan COMI di

atas adalah mengenai jurisdiction to commence

insolvency proceedings terhadap suatu grup

perusahaan yang memiliki perusahaan di negara

lain. Masih terdapat berbagai perbedaan pandangan

diantara negara anggota UNCITRAL mengenai

issues tersebut, terutama terkait dengan centre of

main interest suatu grup perusahaan yang memiliki

perusahaan di negara lain, mengenai hukum negara

yang dapat diberlakukan. Sidang masih belum

sepakat mengenai penerapan kriteria atas proses

pengajuan kasus insolvensi terhadap suatu

perusahaan yang memiliki perusahaan (satu grup)

di negara lain, khususnya mengenai jurisdiksi

seorang hakim terhadap kasus yang sedang

dihadapinya dengan grup perusahaan yang berada

dinegara lain. Mengingat belum ditemukannya

formula yang dapat disepakati mengenai hal ini,

disepakati untuk dilakukan studi/pembahasan

khusus mengenai COMI.

Dalam pembahasan mengenai pusat koordinasi/

coordination centre bagi suatu kelompok perusahaan,

beberapa delegasi mengidentifikasi suatu pusat

koordinasi dalam suatu kelompok perusahaan

dengan pusat kepentingan utama (centre of main

interest/COMI) dari seorang debitur (perusahaan).

Selain itu Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan

dimasing-masing negara dapat menspesifikasikan

kantor pendaftaran perusahaan yang mengendalikan

suatu kelompok perusahaan, sebagai pusat koordinasi

proses kepailitan kelompok perusahaan tersebut

yang berada di negara yang berbeda. Pokja juga

mengusulkan agar dalam pembahasan mendatang

mengenai pusat koordinasi juga dibahas antara

lain mengenai pentingnya mempercepat proses

penunjukan pusat koordinasi di kelompok perusahaan

guna menghindari kompleksitas masalah dan

meminimalisir adanya forum shopping. Disepakati

bahwa suatu induk perusahaan (parent company)

tidak serta merta dianggap sebagai suatu pusat

koordinasi suatu kelompok perusahaan dalam hal

terjadi kepailitan lintas batas.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

b. Post-commencement finance

Dalam kaitan ini, hal-hal pokok yang menjadi

sorotan adalah mengenai boleh tidaknya suatu

perusahaan yang sudah dimohonkan pailit ke

pengadilan (perkara insolvensi) menggunakan

tambahan dana segar dari grup perusahaannya

yang masih tergolong sehat guna menyelesaikan

kewajiban, misal menyelesaikan pesanan kliennya

sehingga masih ada dana masuk ke perusahannya.

Agar pembahasan mengenai ini lebih komprehensif,

delegasi negara-negara memandang perlu

dipertimbangkan mengenai biaya post-aplication

finance pada saat mambahas post-commencement

finance.

c. Coordination and cooperation

Dalam bahasan mengenai coordination and

cooperation terdapat pandangan untuk membuat

rekomendasi kepada legislator dan pengadilan

agar memperhatikan hasil kerja WG V agar

mereka dapat mengacu pada model-model yang

ditawarkan berkaitan dengan masalah insolvensi.

Mengenai rekomendasi penyempurnaan Model

Law on cross border insolvency, khususnya Pasal

25 ayat (1) mengenai fasilitas kerjasama dan

komunikasi antara pengadilan dan pengadilan

asing atau perwakilan asing dari pusat koordinasi,

Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan di

masing-masing negara wajib memberikan otorisasi

pengadilan yang berwenang mengadili kasus

kepailitan untuk bekerjasama semaksimal mungkin

dengan pengadilan asing atau perwakilan asing

dari pusat koordinasi.

Mengenai bentuk kerjasama dan komunikasi antar

pengadilan, Pokja menyepakati cakupan kerjasama

antar pengadilan selama diperbolehkan oleh hukum

yang berlaku di masing-masing Negara, termasuk

antara lain menyediakan dokumen terkait kepailitan

termasuk putusan dan transkrip persidangan serta

komunikasi melalui beberapa media. Pokja juga

menyetujui usulan beberapa Negara untuk

menghapus kata “two-way” sebelum komunikasi

untuk merefleksikan dan memfasilitasi adanya

kemungkinan komunikasi antar lebih dari dua

pengadilan.

d. Other issues

Terkait dengan other issues, terdapat kesepakan

bahwa terdapat aspek internasional dalam procedural

coordination, substantive consolidation, appointment

of single insolvency representatives dan a single

reorganization plan sehingga dalam memberikan

suatu rekomendasi, aspek internasional tersebut

harus mempertimbangkan domestic treatment.

Pokja juga mengadopsi rekomendasi penyempurnaan

Model Law on cross border insolvency, pasal 26

ayat (1) mengenai pentingnya hukum kepailitan di

masing-masing negara untuk mengotorisasikan

perwakilan kepailitan/insolvency representative

yang ditunjuk untuk mengadministrasikan proses

kepailitan bagi suatu perusahaan dalam kelompok

perusahaan. Lebih jauh, disepakati agar perwakilan

kepailitan juga memberikan otoritas bekerjasama

semaksimal mungkin dengan pengadilan asing

atau perwakilan pengadilan untuk memfasilitasi

koordinasi proses pengadilan kepailitan suatu

perusahaan di negara lain.

Dalam rekomendasi Pasal 25 ayat 2 dan pasal 26

ayat 2 dari Model Law on Cross-border Insolvency,

Pokja menyetujui bahwa hukum kepailitan di

masing-masing Negara wajib memberikan otorisasi

pengadilan yang berkompeten menangani kasus

kepailitan untuk mengkomunikasikan dan meminta

informasi atau bantuan dari pengadilan asing

dalam hal proses peradilan dilakukan di negara

lain untuk kepailitan suatu perusahaan dalam

kelompok perusahaan. Perdebatan terjadi pada

saat pembahasan rekomendasi mengenai safeguard

dalam Model Law on Insolvenscy. Beberapa Negara

menyatakan bahwa prinsip kerahasiaan bagi

dokumen pengadilan dalam rekomendasi tersebut

akan bertabrakan dengan tujuan dan kerjasama

kepailitan lintas batas yang mengutamakan

transparansi. Beberapa negara mengusulkan agar

prinsip kerahasiaan diberlakukan secara terbatas

hanya pada hal-hal administrasi serta memungkinkan

pihak-pihak yang berkepentingan untuk

menyampaikan keberatannya atas kerahasiaan

dokumen pengadilan. Pokja menyepakati bahwa

prinsip kerahasiaan dokumen pengadilan hanya

akan diterapkan untuk beberapa hal tertentu

seperti hal administrative. Guna melindungi

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

informasi rahasia di pengadilan. disepakati pula

point tambahan mengenai safeguard yang intinya

menghormati yurisdiksi masing-masing pengadilan

untuk melakukan komunikasi serta menghormati

hak-hak pihak yang berkepentingan dalam hal

kerahasiaan informasi sesuai dengan hukum dan

peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

e. Joint application

Dalam topik ini, dibahas mengenai pengajuan

kasus insolvensi atas suatu grup perusahaan yang

terletak di dua negara berbeda. Oleh karena itu,

Pokja (WG) mendiskusikan mengenai pengajuan

dan dimulainya kasus insolvensi dalam konteks

domestik.

f. Procedural coordination

Menyangkut permasalahan koordinasi sesama

pihak yang akan mengajukan perkara insolvensi

terhadap perusahaan yang memiliki tempat

kegiatan di dua negara yang berbeda.

Mengenai hal prosedural pemerksaan dalam

pengadilan, Pokja menyepakati bahwa hukum

kepailitan di masing-masing Negara dapat

mengotorisasi pengadilan untuk melakukan joint

hearing dengan pengadilan asing dalam memeriksa

kasus kepailitan. Terdapat usul agar rekomendasi

tersebut diperinci dengan prosedur yang lebih detail

sebagaimana tercantum dalam catatan kaki

rekomendasi tersebut. Pokja menyepakati

penambahan detail prosedural pemeriksaan

tersebut dalam text rekomendasi dengan

menggunakan catatan kaki dimaksud.

Khusus mengenai pembahasan cross-border

agreements, terdapat usulan agar otoritas yang

berwenang memberikan persetujuan/endorsement

atas cross-border agreements juga diperluas, tidak

hanya pengadilan setempat, namun mencakup

lembaga non pengadilan seperti Kementrian Luar

Negeri, mengingat praktek di beberapa pengesahan

suatu perjanjian internasional melibatkan

Kementerian Luar Negeri. Pokja menyepakati

usulan tersebut dengan menggunakan formula

kalimat yang lebih luas, tidak hanya Kementrian

Luar Negeri namun juga Kementerian/instansi

terkait lain sesuai hukum dan peraturan di masing-

masing negara.

g. The impact of insolvency on a security right in

intellectual property

Dalam pembahasan mengenai the impact of

insolvency on a security right in intellectual

property, sidang menyepakati berbagai rekomendasi

yang tertuang dalam dokumen yang disiapkan

oleh pihak sekretariat. Dalam pembahasan

mengenai pengaruh kepailitan dalam hak jaminan

atas hak kekayaan intelektual, Pokja menyepakati

masukan Pokja VI (Security Interest) UNCITRAL

yang pada intinya mengakui suatu hak jaminan

atas hak kekayaan intelektual dalam hal terjadi

kepailitan. Secara spesifik, Pokja mengakui

kepailitan terhadap pemberi maupun penerima

lisensi HAKI dalam hal lisensi hak kekayaan

intelektual tersebut dijaminkan kepada pihak lain.

�. Manfaat bagi Indonesia

Tujuan dari UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency

Law (Guide) adalah membantu negara-negara dalam

pengembangan hukum kepailitan modern, mengingat

tidak adanya keseragaman dalam proses kepailitan di

berbagai negara. Dalam pembahasanpun terdapat

perbedaan pandangan masing-masing delegasi negara.

Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya terdapat

perbedaan mendasar pada hukum kepailitan di

masing-masing negara, seperti Indonesia, belum

mengenal dan mengatur mengenai cross border

insolvency dalam hukum kepailitan

Perbedaan paling mendasar mengenai perlu tidaknya

mengatur hukum beracara bagi masing-masing

pengadilan dalam hal terjadi cross border insovency

dan mengenai pengadilan manakah yang akan

memegang peranan dalam mengambil keputusan

serta apakah keputusan pengadilan mengenai cross

border insolvency di negara tersebut dapat dilaksanakan

di yurisdiksi pengadilan negara lain. Menangani hal

ini, beberapa negara masih ragu dan menutup adanya

kemungkinan campur tangan pengadilan asing dalam

yurisdiksi pengadilan dalam negeri. Namun beberapa

negara yang mengusulkan adanya kerjasama dan

keterbukaan dalam hal kepailitan lintas batas, karena

tanpa adanya kerjasama dan keterbukaan di masing-

masing pengadilan terhadap pengadilan asing,

mustahil dapat menyelesaikan kepailitan lintas negara.

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

��

Mengenai kerjasama dan koordinasi antar pengadilan

kepailitan, mengingat hal tersebut tidak dikenal dan

diatur dalam hukum kepilitan di Indonesia, maka hal

tersebut perlu menjadi perhatian bagi Indonesia.

Mengingat hal tersebut terkait dengan aspek prosedural

dalam kepailitan lintas batas maka perlu koordinasi

antar instansi di Indonesia, seperti Depkumham,

Mahkamah Agung serta praktisi dan pakar kepailitan.

Mencermati perkembangan rezim hukum kepailitan

internasional sedemikian pesatnya, dipandang perlu

untuk menyesuaikan atau setidaknya mempersiapkan

perluasan cakupan kepailitan dalam UU No. 37 Tahun

2004 untuk mengantisipasi perkembangan tersebut.

Pada sisi lainnya, dikaitkan dengan ketentuan

kepalitan terhadap badan hukum bank dan sistem

hukum yang berlaku di Indonesia, perkembangan

rezim kepailitan dalam model law tersebut perlu untuk

dicermati. Dalam sistem hukum di Indonesia, undang-

undang kepailitan berlaku bagi perorangan dan badan

usaha. Dalam hal ini badan usaha yang berupa bank,

asuransi dan perusahaan efek, prosedur kepailitan

hanya dapat diajukan oleh otoritas masing-masing

badan usaha tersebut. Selain itu, bagi bank juga

berlaku ketentuan mengenai likuidasi. Dalam situasi

perekonomian saat ini, khususnya di Indonesia,

berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang No 4 Tahun 2008 (yang tidak disetujui oleh

DPR untuk disahkan sebagai UU) tentang Jaring

Pengaman Sistem Keuangan, suatu bank yang

mengalami kesulitan likuiditas atau insolven, dan yang

berdampak sistemik, apabila memenuhi persyaratan

dalam ketentuan tersebut tidak dilikuidasi melainkan

diselamatkan (bail-out) oleh Pemerintah. Tindakan

yang sama dilakukan pula oleh Pemerintah Amerika

dalam kasus Fannie Mae, Freddie Mac dan AIG, serta

Pemerintah Inggris dalam kasus Northern Rock.

Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi masukan dalam

pembahasan model law mengenai Insolvency Law

yang saat ini belum selesai masih sedang dibahas.

�. Penutup

a. Rezim hukum Kepailitan yang dikembangkan

dalam UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency

Law (Guide) ini sangat bermanfaat bagi

pembangunan hukum nasional di bidang ekonomi

seluruh negara, khususnya negara yang belum

mengatur mengenai ketentuan kepailitan lintas

batas negara, termasuk Indonesia. Dengan sistem

ekonomi pasar yang makin terbuka, sudah menjadi

suatu keniscayaan bahwa pembangunan hukum

nasional di bidang ekonomi, selain harus menyerap

nilai-nilai nasional, juga harus mengakomodasi

nilai-nilai yang bersifat universal dari praktek bisnis

internasional.

b. Proses Penyusunan UNCITRAL Legislative Guide on

Insolvency Law telah melalui proses pembahasan

yang komprehensif, sehingga menjadi Guide yang

komprehensif dan lengkap mengatur konsepsi-

konsepsi hukum kepailitan yang mengakomodir

kebutuhan-kebutuhan hukum yang diseusikan

dengan perkembangan.

c. Rezim hukum kepailitan Indonesia belum

mengatur mengenai kepailitan lintas batas

negara, yang memungkinkan adanya keputusan

pengadilan Indonesia dapat berlaku di negara

lain atau sebaliknya. Hal tersebut perlu dicermati

dan dikaji lebih lanjut oleh para akademisi, pakar

hukum dan instansi terkait yang berwenang.

��

Nomor Tanggal Satker Perihal

11/32/PBI/2009 30-9-2009 DASP

Perubahan Keempat Atas PBI No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern

11/33/PBI/2009 7-12-2009 DPbSPelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)September - Desember 200�

�8

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

halaman ini sengaja dikosongkan

��

Nomor Tanggal Satker Perihal

11/24/DPbS 29-9-2009 DPbSPerubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah

11/25/DPbS 29-9-2009 DPbSPerubahan Kegiatan Usaha BPR Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

11/26/DKBU 5-10-2009 DKBUPerubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK Tanggal 15 Januari 1999 Perihal Kredit Usaha Tani

11/27/DKBU 5-10-2009 DKBU

Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK Tanggal 12 Februari 1999 Perihal Kredit Kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum.

11/28/DPbS 5-10-2009 DPbS Unit Usaha Syariah

11/29/DPNP 16-10-2009 DPNPPerhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dalam Rupiah

11/30/DPNP 30-10-2009 DPNPPerubahan atas SE BI No.10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia

11/31/DPNP 30-11-2009 DPNPPedoman standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum

11/32/DPM 7-12-2009 DPMTata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara

Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaSeptember - Desember 200�

�0

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

11/33/DPNP 8-12-2009 DPNPPerubahan atas SE BI No.11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 tentang Pelaksanaan Pedoman Akutansi Perbankan Indonesia

11/34/DPbS 23-12-2009 DPbS Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

11/35/DPNP 31-12-2009 DPNP Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru

11/36/DPNP 31-12-2009 DPNP

Perubahan atas SE BI No.7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana

11/37/DKBU 31-12-2009 DKBUPenetapan Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat

��

Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor ��/��/PBI/200� tanggal � Desember 200� tentang

Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah

Berlaku : Tanggal � Januari 20�0

Ringkasan :

1. Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (BUS) paling kurang diwujudkan dalam:

a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;

b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern

BUS;

c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) ;

d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;

e. batas maksimum penyaluran dana; dan

f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS.

2. Pelaksanaan GCG bagi Unit Usaha Syariah (UUS) paling kurang diwujudkan dalam:

a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;

b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS;

c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti; dan

d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.

3. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk

paling kurang:

a. Komite Pemantau Risiko;

b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan

c. Komite Audit.

4. Anggota Komite Pemantau Risiko paling kurang terdiri dari:

a. seorang Komisaris Independen;

b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan syariah; dan

c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko.

5. Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi paling kurang terdiri dari :

a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan

b. seorang pejabat eksekutif yang membawahi sumber daya manusia

6. Anggota Komite Audit paling kurang terdiri dari :

a. seorang Komisaris Independen;

b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang akuntansi keuangan; dan

c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah.

7. Aspek transparansi pengungkapan kepemilikan saham 5% (lima persen); bagi Dewan Komisaris hanya berlaku pada BUS

yang bersangkutan, sementara bagi Direksi berlaku baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan

perusahaan lain di dalam negeri maupun luar negeri.

Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI)September - Desember 200�

�2

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

8. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang:

a. Audit Intern;

b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan

c. Kepatuhan.

dimana dalam rangka mendorong efektivitas implementasi pelaksanaan fungsi-fungsi dimaksud, Direksi dapat

membentuk satuan kerja tersendiri

9. Dalam rangka penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam RUPS bagi BUS, rencana penunjukan

dimaksud terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPbS.

10. Hal-hal yang diatur dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas DPS adalah :

a. Di BUS :

1) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti rekomendasi DPS

2) Direksi wajib menindaklanjuti rekomendasi DPS

3) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah disampaikan kepada DPS

4) BUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem informasi

manajemen yang memadai, dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan DPS

b. Di UUS :

1) Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil pengawasan DPS

2) Direkrut UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan

tepat waktu kepada DPS

3) UUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan data/informasi bagi DPS.

11. Hal-hal yang diatur terkait pelaksanaan GCG bagi DPS, antara lain :

a. Anggota DPS wajib menyediakan waktu yang cukup agar pelaksanaan tugasnya berjalan optimal, dan DPS wajib

menyelenggarakan rapat paling kurang 1(satu) kali dalam 1(satu) bulan.

b. Anggota DPS wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota DPS, dan remunasi serta fasilitas yang

diterima dalam laporan pelaksanaan GCG.

c. Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan diseluruh BUS dan/atau UUS, dengan masa transisi

pemberlakuan 1(satu) tahun setelah berlakunya PBI ini.

12. Ketua Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 3, hanya dapat merangkap jabatan sebagai ketua Komite paling

banyak pada 1 (satu) Komite lainnya pada BUS yang sama.

13. Laporan pelaksanaan GCG bagi BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir, dan paling

kurang meliputi:

a. kesimpulan umum dari hasil penilaian self assesment atas pelaksanaan GCG BUS;

b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan

Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali BUS serta

jabatan rangkap pada perusahaan atau lembaga lain;

c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan

anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi lain, dan/atau pemegang saham pengendali BUS;

d. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya;

e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh BUS;

f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS;

g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;

h. frekuensi rapat Dewan Komisaris;

i. frekuensi rapat DPS;

��

Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010

j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh BUS;

k. jumlah permasalahan hukum perdata maupun pidana dan upaya penyelesaian oleh BUS;

l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;

m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;

n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan

o. pendapatan non halal dan penggunaannya.

14. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS, paling kurang meliputi:

a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG UUS;

b. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya;

c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh UUS;

d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi DPS;

e. frekuensi rapat DPS;

f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaiannya oleh UUS;

g. jumlah permasalahan hukum perdata atau pidana dan upaya penyelesaiannya oleh UUS;

h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik nominal maupun penerima dana; dan

i. pendapatan non halal dan penggunaannya.

15. Laporan pelaksanaan GCG BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir; sedangkan

laporan pelaksanaan GCG UUS yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan GCG BUK disampaikan

kepada direktorat pengawasan bank/KBI dimana BUK dilakukan pengawasannya bersamaan dengan laporan pelaksanaan

GCG BUK dimana laporan GCG UUS merupakan bab (chapter) tersendiri didalamnya yang disampaikan pada periode

waktu sebagaimana ketentuan GCG yang berlaku bagi bank umum, serta disampaikan kepada DPbS dan/atau KBI

setempat paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.

16. Adanya ketentuan peralihan atas laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember 2009 yang tetap

mengacu pada PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi

Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas PBI

Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum

17. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan

Good Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS