SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN · Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan •...
-
Upload
phungquynh -
Category
Documents
-
view
253 -
download
1
Transcript of BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN · Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan •...
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
Volume 8, Nomor �, Januari 20�0
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia
Pelindung
Deputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung Jawab
Ahmad Fuad,, Heru Pranoto, Agus Santoso
Pemimpin Redaksi
Agus Santoso
Sekretaris Redaksi
Dyah Pratiwi
Dewan Redaksi
Zulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih,
Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.
Redaksi Pelaksana
Arief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan,
Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto
Mitra Bestari
Prof. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
Prof. Dr. Huala Adolf, SH, LLM
Dr. Inosentius Samsul, SH, LLM
Dr. Lastuti Abubakar, SH, MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan Distribusi
Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Direktorat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan
dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember. Mulai tahun 2004 buletin
ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletin diterbitkan pada bulan Januari, Mei, dan Septem-
ber. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2
Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629 facsimile (021) 350 1931, email:[email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukum perbankan dan kebanksen-
tralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum, Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Ti-
pikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile (021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud,
Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan publikasi, kemudian pilih publikasi”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2
halaman ini sengaja dikosongkan
i
Dari Meja Redaksi
Dengan semangat baru di awal tahun 2010, Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 1, Edisi
Januari 2010, hadir dan menyapa pembaca sekalian.
Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house lawyer) merupakan sekelompok orang/pegawai dalam perusahaan
atau organisasi melakukan fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau organisasi tempat dia bekerja untuk
menginformasikan kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi” (content) dan “penerapan” (application) hukum di
tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan. Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi menyesuaikan
kegiatannya dengan nasehat yang diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini penasehat hukum internal (in-house
lawyer) yang berada di satuan kerja hukum (law department) masih melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut
masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional” saat ini pula
terdapat perubahan dramatis yang dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja.
Menyoroti peran in house lawyer suatu institusi, edisi Buletin kali ini, secara khusus menghadirkan artikel utama mengenai
“Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In House Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi”. Buletin
juga menurunkan 3 artikel lainnya yaitu masing-masing mengenai “Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga
Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan)”; “Kredit Macet : Antara
Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi” serta “Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit”
Dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan refleksi mengikuti sidang UNCITRAL terkait Insolvency Law dalam
risalah mengenai “Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang”.
Selanjutnya, sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku “Hukum E-Commerce dan Internet, Dengan
Focus Asia Pacific”.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan memuat
daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan September sampai dengan
Desember 2009, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin
mempermudah pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, Januari 2010
Redaksi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
ii
halaman ini sengaja dikosongkan
iii
Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 8, Nomor �, Januari 20�0
Halaman
Dari Meja Redaksi ............................................................................................................................................... i
Daftar Isi......... ..................................................................................................................................................... iii
Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In house Lawyer) Dalam Memberikan Kontribusi Bagi Organisasi .. 1 - 18
Bambang Djauhari, SH, LLM dan Dinia Fitrati, SH, LLM
(Penasehat Hukum Eksekutif Bank Indonesia dan Penasehat Hukum Bank Indonesia)
Kekayaan Negara Yang Dipisahkan Dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 24 Tahun 2004
tentang Lembaga Penjamin Simpanan) ................................................................................................................ 19 - 24
Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH
(Kandidat Doktor FH UGM, Dosen Pasca Sarjana FH UKSW)
Kredit Macet : Antara Kerugian Negara atau Kerugian Korporasi ... .......................................................................... 25 - 30
Agus Santoso, SH, LLM
(Deputi Direktur Hukum)
Akte Otentik Dalam Perjanjian Kredit ................................................................................................................... 31 - 36
Hilman Tisnawan, SH
(Analis Hukum Bank Indonesia)
Resensi Buku:
Hukum E-Commerce dan Internet, dengan focus Asia Pacific ........... .................................................................. 37 -40
Mustika Bella Putri Pasaribu
(Mahasiswa FH Univ. Trisakti, PKL di Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Cakrawala Hukum:
Perubahan UU Yang mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (Refleksi Mengikuti Sidang Uncitral Insolvency Law) ............................................................... 41 - 46
(Redaksi)
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran (Ekstern) Bank Indonesia September – Desember 2009 .......... 47 - 50
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia September – Desember 2009 ...................................................................... 51 - 53
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
iv
halaman ini sengaja dikosongkan
�
Perubahan Peran Penasehat Hukum Internal (In-house Lawyer) dalam Memberikan Kontribusi bagi OrganisasiOleh: Bambang Djauhari SH, LLM & Dinia Fitrati, SH, LLM*)
I. Pendahuluan
Dua dekade lalu, penasehat hukum internal (in-house
lawyer) yang merupakan sekolompok orang/pegawai
dalam perusahaan atau organisasi apapun melakukan
fungsi hukum yang dibutuhkan oleh perusahaan atau
organisasi tempat dia bekerja untuk menginformasikan
kepada perusahaan atau organisasi tentang “isi”
(content) dan “penerapan” (application) hukum di
tempat perusahaan atau organisasi melakukan kegiatan.
Pada masa itu biasanya perusahaan atau organisasi
menyesuaikan kegiatannya dengan nasehat yang
diterimanya dari in-house lawyer mereka. Saat ini
penasehat hukum internal (in-house lawyer) yang
berada di satuan kerja hukum (law department) masih
melakukan “fungsi tradisional” ini, dan fungsi tersebut
masih tetap tidak berubah. Tetapi sementara penasehat
hukum internal tetap melaksanakan “peran tradisional”
saat ini pula terdapat perubahan dramatis yang
dihadapi perusahaan/lembaga tempat mereka bekerja.
Perusahaan atau organisasi menghadapai “tantangan
baru” (new challenges). Perusahaan atau organisasi
menggantungkan diri pada in-house lawyer mereka
untuk menghadapi dan mengatasi tantangan baru
tersebut. James R. Jenkins menyatakan bahwa inti dari
tantangan baru ini adalah terkait dengan risiko
reputasi (reputational risk) dan untuk itu dibutuhkan
“champion of the reputation”. Sebagai tanggapan
terhadap tantangan baru ini, beberapa perusahaan/
lembaga telah menempatkan pimpinan satuan kerja
hukum (general counsel atau chief legal officer)
sebagai “champion of the reputation and ethical
culture”. Dengan demikian, tantangan baru yang
dihadapi ini tidak hanya terkait dengan ketaatan
(compliance) terhadap peraturan tetapi terkait dengan
isu yang lebih luas yaitu bagaimana perusahaan atau
organisasi dapat mengatur dirinya lebih baik dan
bagaimana pejabat perusahaan atau organisasi
seharusnya bertindak (good governance) dalam peran
baru yang penting tersebut.
In-house lawyer diharapkan menjaga agar perusahaan
atau organisasi dan pimpinannya berada pada jalur
yang benar, tidak saja dalam jalur hukum tetapi juga
etika. Oleh karena itu in-house lawyer menjadi bagian
dari program risk management yg lebih luas agar in-
house lawyer dapat bekerja dengan specialist lainnya
(spt internal auditor) dan dapat memahami interaksi
antara legal risk dan risiko lainnya (other forms of
risk), seperti credit risk dan market risk. Hal tersebut
dilakukan oleh in-house lawyer dengan cara
mengidentifikasi beserta dengan rincian impact &
consequences issues serta memberikan kontribusi
pemikiran dan solusi yang dapat dilaksanakan
(possible solution) tetapi tanpa harus mengambil alih
tanggung jawab for making business decision
Untuk menghadapi tantangan baru ini diperlukan
empowerment bagi in-house lawyer. Thomas C.
Baxter, pemimpin satuan kerja hukum (Executive Vice
President) sekaligus in-house lawyer paling senior
(general counsel) pada Federal Reserve of New York
memberikan saran bagaimana penasehat hukum
internal menjadi empowered. Pertama, peran in-house
lawyer bukan hanya memberikan nasehat hukum
(legal advice). In-house lawyer harus memainkan
peran yang lebih luas, yaitu sebagai manajer “risiko
hukum” dan “risiko reputasi” (legal and reputational
risk manager). In-house lawyer dituntut melihat diri
sendiri sebagai champion of the ethics dari
perusahaan/lembaga. Kedua, in-house lawyer perlu
menjaga kemampuannya untuk independent dan
informed sehingga dapat memainkan peran yang kuat
dan unik. Tidak seperti independensi auditor yang
sifatnya struktural (structural independence) kewajiban
professional in-house lawyer bersifat judgement
independence. In-house lawyer tidak dapat dipisahkan
dari kliennya. Kombinasi judgement independence *) Penasehat Hukum Eksekutif dan Penasehat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2
Corporate Counsel, dll. Namun istilah Corporate
Lawyer sering digunakan untuk menunjuk pada
(eksternal) lawyer yang bekerja di kantor hukum
(law firm) yang mengkhususkan diri (specialist)
dalam penanganan di bidang hukum korporasi
(corporate law), tax law, bankruptcy law, securities
law, anti-trust law dan lain-lain. Dengan demikian
status In-house lawyer adalah sebagai karyawan
pada lembaga/ perusahaan, tidak mengenakan
atau meminta biaya atas jasa yang diberikan dan
tidak melakukan praktek hukum atau memberikan
jasa hukum di luar lembaga tempat dia bekerja
baik dengan atau tidak memungut biaya (not itself
engaged in the practice of law or rendering of
legal services outside such organization whether
for a fee or otherwise).
In-house lawyer dianggap dapat memberikan jasa
hukum untuk mendukung kegiatan organisasi
secara lebih cepat dan praktis, komprehensif dan
memberikan advis yang sesuai dengan kebutuhan
dibandingkan jika jasa hukum diberikan oleh
eksternal lawyer (outside counsel). Hal tersebut
disebabkan IHL memiliki pengetahuan tentang
pekerjaan atau kegiatan organisasi, mempunyai
akses kepada bagian-bagian dari organisasi dan
mempunyai kemampuan secara langsung
mempengaruhi pengambilan keputusan yang
diambil organisasi. Selain itu juga In-house lawyer
mempunyai kemampuan tentang kegiatan
organisasi disamping tentunya mempunyai
dan perannya sebagai manajer senior membuat
general counsel sebagai figur ideal sebagai champion
of the culture dan master of legal and reputational
risk dalam perusahaan atau organisasi tempat mereka
berada. General counsel merupakan figur yang sesuai
untuk mengatasi masalah yang menyangkut pejabat
senior yang tindakan atau perilakunya bertentangan
dengan budaya dan praktek yang baik.
Perkembangan terakhir tentang penempatan peran
in-house lawyer dalam bidang tatakelola (governance)
telah menimbulkan perdebatan. Di beberapa Negara,
terutama di Amerika Serikat, terdapat kecenderungan
arah bahwa pemimpin/direktur satuan kerja hukum
atau departemen hukum (general counsel of law
department) diberi tanggungjawab lebih besar,
dituntut untuk lebih vigilant atau lebih proaktif dalam
bidang tatakelola (governance). Kejadian akhir-akhir
ini baik di Amerika Serikat, Inggris maupun di tempat
lain telah mendorong diskusi yang bersifat global
tentang peran para in-house lawyer di dalam
perusahaan/lembaga mereka bekerja. Corporate
general counsel dan law department menghadapi
tanggungjawab yang baru, harapan yang lebih besar
dan tantangan yang tidak pernah dialami sebelumnya
dalam lingkungan bisnis yang baru. In-house lawyer
merasakan bahwa peran mereka sedang mengalami
perubahan dan mereka diharapkan untuk memikul
tanggungjawab ekstra.
Dengan demikian, semua in-house lawyer harus peka
terhadap kebutuhan untuk memberikan nilai tambah
(value added) pekerjaan mereka, mengkomunikasikan
hasil yang dapat dirasakan. Walaupun peran general
counsel dan law department sangat bervariasi antara
organisasi yang satu dengan lainnya. Tetapi terdapat
kecenderungan dengan arah yang pasti bahwa peran
mereka berubah sedemikian rupa. Peran mereka
dalam organisasi makin menjadi semakin penting bagi
jalan hidup organisasi dengan tanggungjawab,
pengaruh dan penghasilan yang meningkat.
II. PERKEMBANGAN IN-HOUSE LAWYER
A. In-house Lawyer
In-house lawyer merupakan istilah lain dari
Corporate Lawyer, Corporate Legal Department,
Inside Lawyer, Inside Counsel, In-House Counsel,
General Counsel/ Chief Legal Officer is
a senior, infuential and respected officer
of the organisation” and “member of
the organisation’s senior management,
recognized as having strong qualities of
independence, judgment and discretion”.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
keahlian hukum yang tinggi (excellent legal
experties) dan memiliki kemampuan untuk
berinteraksi dengan staf atau manajemen dari
organisasi.
Jasa hukum yang diberikan oleh In-house lawyer
mulai dari memberikan nasehat hukum (legal
advice) dan pendapat hukum (legal opinion),
hingga memberikan bantuan hukum (advocate)
dengan bertindak mewakili organisasi, perusahaan
atau lembaga tempat mereka bekerja baik dalam
peradilan pidana, perdata dan administratif. Dalam
peranannya sebagai legal advisor mereka
memberikan nasehat hukum (legal advice) kepada
klien mereka tentang hak dan kewajiban mereka.
Disamping fungsi dan peran tersebut di atas, di
beberapa organisasi atau lembaga in-house lawyer
juga melaksanakan fungsi dan peran lain seperti
legal drafting dan legal reviewing serta bertindak
selaku negosiator. Oleh karena itu tidak terdapat
keseragaman peran in-house lawyer di masing-
masing lembaga/perusahaan mengingat hal tersebut
tergantung dari besarnya organisasi dan ruang
lingkup aktivitas organisasi�.
Banyak perusahaan atau organisasi memiliki
satuan kerja hukum (law department) atau suatu
tim yang memberikan nasehat tentang ketentuan
tata kelola yang dalam menjalankan kegiatannya
biasanya dipimpin oleh seorang General Counsel
(GC) atau Chief Legal Officer (CLO). Bagi banyak
perusahaan/organisasi, ukuran law department
dapat besar dan berkembang sejalan dengan
peranannya yang makin menjadi penting. Ketika
law department makin besar dan berkembang,
bagi banyak perusahaan/organisasi legal department
menjadi beban biaya. Walaupun adanya kenyataan
ini, perusahaan tetap mengharapkan CLO mereka
dan legal team dalam legal departemen memainkan
peranan penting dalam memberikan nasehat
kepada menajemen puncak. Peran GC harus
ditetapkan dan dirumuskan secara jelas oleh Board
sehingga dapat memberikan peringatan (alerting
Board dan decision-maker yang lain) ttg significant
1 Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law Department Management”, 2009 http://www.acc.com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm
law violation dan potential damage to the
organization.
Dalam survey yang dilakukan Friedman and Stuart
(2000) dilaporkan bahwa walaupun peranan CLO
berbeda diantara berbagai perusahaan/organisasi,
peran utama CLO adalah memberikan nesehat
dan laporan kepada manajemen senior dan direksi
perusahaan/lembaga mengenai berbagai hal
seperti risiko litigasi, peraturan dan pengungkapan
informasi, keputusan penting, masalah etik dan
isu-isu lainnya seperti hubungan masyarakat moral
dan keuangan. Sejalan dengan peran yang
penting ini, CLO pada umumnya diberi status
sebagai seorang manager senior. Dalam survey
bersama yang dilakukan oleh Spherion Corp dan
ACCA (2001) dikemukakan bahwa CLO memberi-
kan nasehat/advis kepada Chief Executive Officer
(CEO) mengenai isu-isu hukum, masalah etika,
negosiasi kontrak bisnis, perencanaan strategis,
sumberdaya manusia, penyelesaian sengketa dan
manajemen risiko. Merefleksikan pentingnya
peran seorang CLO, CLO umumnya bertanggung-
jawab dan melapor langsung ke CEO. Dari survey
yang sama menunjukkan bahwa perusahaan
cenderung lebih menyukai menggunakan in-house
lawyer dibanding menggunakan counsel dari luar
(external lawyer) karena in-house lawyer lebih
memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey
tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari
responden menempatkan CLO diantara 10 top
executives di perusahaan/lembaga mereka.
Agar GC efektif melaksanakan fungsi dan peran
tersebut, GC harus dipandang dan ditempatkan
sebagai “a senior, infuential and respected officer
of the organisation” dan merupakan “member of
the organisation’s senior management, recognized
as having strong qualities of independence,
judgment and discretion”. Hubungan/struktur
pelaporan serta akses kpd manajemen dan Board
serta “sistem kompensasi” semuanya harus
mencerminkan atau sejalan dengan peran dan
statusnya dalam organisasi. Selain itu juga GC
harus mempunyai akses langsung yang cukup
kepada senior management & Board sehingga
semua masalah dapat diangkat dan diselesaikan
pada tingkat yg tepat. GC harus melapor kepada
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
“the highest ranked executive”. GC harus
menghadiri secara regular semua rapat Board,
Committee, dan semua rapat yg berkaitan dengan
legal compliance dan GC harus memiliki ultimate
authority berkaitan dgn pemilihan outside/external
lawyers yang dipergunakan organisasi�.
Harapan terhadap general counsel dan law
department telah berubah sejak kurun waktu dua
dekade yang lalu. Perkembagan law department
dalam periode akhir tahun 1970 -1980 pada
umumnya didorong oleh pengurangan biaya yang
disebabkan meningkatnya biaya jasa penasehat
hukum eksternal (outside legal services) dengan
mengembangkan atau meningkatkan kemampuan
lawyer dari dalam sendiri yang biayanya jauh lebih
murah. Dalam kurun waktu ini, difokuskan pada
membangun organisasi tim hukum dan kemampuan
memberikan jasa hukum internal yang efektif.
Dalam kurun waktu ini fungsi hukum jarang
diikutsertakan dari program/inisiatif manajemen
perusahaan/organisasi. Pada masa itu, law
department sering dijuluki sebagai “black box”
yang terasing dari satuan kerja (department)
lainnya dalam perusahaan atau organisasi mereka
berada.
B. Klien
“The client of an In-House Lawyer has always been
the company and not the company managers.
Companies, however, are run by people. If the best
interest of the company conflicts with the position
taken by its managers, the In-House Lawyer has a
unique responsibility to step in, due to his or her
professional responsibilities.�”
Dari pernyataan diatas in-house lawyer merupakan
karyawan dari organisasi. Hal ini membawa
implikasi. In-house lawyer menerima seluruh
kompensasi dari satu klien dan secara organisasi
mereka (in-house lawyer) dimonitor oleh non-
lawyer. Officers dan managers dari organisasi
memandang in-house lawyer berbeda dengan
eksternal lawyer. Mereka sering menganggap in-
2 Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance”
3 Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role as In-House Counsel.
house lawyer sebagai “team player” dan tidak
seperti eksternal lawyer yang waktu dan
kesetiaannya dibagi dengan clients mereka. in-
house lawyer sering diharapkan untuk
memberikan “business decision” disamping “legal
decision”.
In-house lawyer melaksanakan fungsi hukum pada
perusahaan/organisasi termasuk organ-organ atau
pejabat perusahaan/organisasi tempat mereka
bekerja sebagai klien mereka. Independensi mereka
berbeda dengan external lawyer yang berpraktek
swasta/pribadi. Penasehat hukum internal dianggap
berada pada sisi dan tempat yang sama dengan
pegawai di tempat mereka bekerja sehingga tidak
terdapat pembatas yang bersifat fisik sebagaimana
terdapat dalam hubungan antara klien external
lawyer. Pertanyaan tentang siapakah sebenarnya
yang merupakan “Client” dari in-house lawyer
merupakan pertanyaan yang sangat penting.
Berdasarkan “entity theory of the corporate
representation”, klien dari in-house lawyer adalah
badan hukum itu sendiri (legal entity)4, bukan
individu atau kelompok individu yang terkait dengan
badan/organisasi tersebut. Seorang in-house
lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak
melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk
kepentingan pejabat (officers), pegawai
(employees), pengurus (directors) atau siapapun
yang merupakan “constituent” dari badan tersebut.
Menurut James R. Jenkins, Senior Vice President
and General Counsel, Deere & Company, badan
hukum tidak dapat berkomunikasi secara langsung
dengan atau memberi perintah kepada seorang
(in-house lawyer). Komunikasi dan instruksi
perintah datang hanya dari orang-orang (natural
persons) yang bekerja (sebagai pengurus, pejabat
atau pegawai) untuk dan atas nama badan hukum
tersebut. Karena dalam praktek sulit menentukan
perbedaan antara badan hukum dengan para
constituent-nya, merupakan kewajiban dari in-
house lawyer untuk senantiasa memberikan
pemahaman kepada mereka yang mewakili badan
4 Texas Disciplinary Rules of Professional Conduct RULE 1.12 ORGANIZATION AS A CLIENT
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
hukum ttg perbedaan tersebut5. Pada saat yang
diperlukan, in-house lawyer harus menjelaskan
mengenai identitas posisi dari client (pengurus
atau pejabat yg mewakili badan hukum) apabila
in-house lawyer dalam berhubungan dengan atau
memberikan jasa kepada client tersebut mengetahui
dan menyadari bahwa kepentingan lembaga
bertentangan dengan kepentingan mereka (klien).
In-house lawyer hanya memiliki satu klien, yaitu
organisasi/entitas. Oleh karena itu, kelangsungan
pekerjaan dan hidup-nya tergantung pada mereka
yang mewakili klien (individuals who control &
manage the entity). Sedangkan eksternal lawyer
memiliki banyak klien dan berusaha melakukan
diversifikasi.
Hubungan antara lawyer dengan klien tergantung
pada jenis kegiatan dan kebutuhan klien. Selain
itu, hubungan tersebut juga tergantung pada
alasan yang mendasari sehingga klien
mempertahankan hubungannya dengan lawyer.
Pertama-tama hubungan tersebut terjalin karena
adanya kebutuhan klien agar keseluruhan
kegiatannya mendapat bantuan jasa hukum dari
lawyer. Disamping itu, beberapa klien juga
menginginkan keberadaan lawyer dalam rangka
pelaksanaan suatu kegiatan yang bersifat khusus.
Kemampuan untuk memberikan advis bisnis baik
secara umum maupun secara khusus akan
membuat lawyer menjadi lebih efektif sebagai
advisor kepada klien atau dalam mewakili
kepentngan klien.
Seorang lawyer yang dapat memberikan advis
dalam kaitan dengan masalah efisiensi biaya juga
dapat menjadi kunci keberhasilan yang luar biasa
dalam hubungan antar lawyer dengan klien.
Pelayanan prima oleh lawyer kepada kliennya,
pertama-tama dimulai dari kecepatan dalam
merespon kebutuhan klien. Kedua, lawyer harus
dapat segera mengidentifikasi dan mengatasi
risiko serta permasalahan yang dihadapi oleh klien
sesuai dengan harapan klien dan dalam keadaan
yang memungkinkan untuk dilakukan oleh klien.
5 James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration – Benefiting In-House Counsel And Their Corporation”
Ketiga, dokumentasi yang dihasilkan harus dapat
mencerminkan keadaan yang sesuai dan
memberikan perlindungan atas kepentingan klien.
Dalam hubungan antar lawyer dan klien, sangat
penting untuk diperhatikan adalah apakah klien
dapat mempercayai bahwa lawyer yang ia gunakan
dapat membantu klien dalam mengembangkan
kepentingan bisnis dari klien tersebut. Hal yang
penting diperhatikan berkaitan dengan kualitas
jasa hukum yang diberikan adalah tentang faktor
teknis dan tingkat responsifitas atas kebutuhan
klien. Oleh karena itu, bagi lawyer, penting untuk
memperhatikan tentang faktor kepercayaan atas
advis yang diberikan, advis tersebut diberikan
secara komprehensif dan meliputi keseluruhan
kebutuhan klien, mencerminkan kompetensi teknis
yang tinggi dari lawyer dan faktor kesesuaian
antara advis dengan kebutuhan klien.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka klien akan
merasakan adanya peran positif dari lawyer
memenuhi kepentingan klien dan lawyer secara
melekat dapat melindungi dan mengembangkan
kepentingan klien. Dengan demikian, faktor
kepercayaan klien yang tercermin dari integritas
lawyer terhadap klien adalah faktor mendasar
untuk mengembangkan dan memelihara
hubungan natara lawyer dengan klien. Apabila
kepercayaan tersebut berkurang maka akan
menimbulkan konsekuensi yang negatif dalam
hubungan antara lawyer dengan klien. Oleh
karena itu, yang penting dilakukan dalam rangka
hubungan antara lawyer dengan klien adalah
adanya hubungan keterbukaan yang luas agar
lawyer dapat menangani permasalahan atau
persoalahan secara benar karena hal tersebut tidak
akan mungkin dilakukan apabila informasi yang
diperoleh oleh lawyer tidak relevan dengan
permasalahan yang ditangani.
Dalam melaksanakan kewajiban, in-house lawyer
harus independen (….duties require his absolute
independence, free from all other influence,
especially such as may arise from his personal
interests or external pressure). Kewajiban utama
in-house lawyer adalah dalam batasan personal
and professional ethics, memberikan very “best”
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
advice yang dia dapat berikan (capable) kepada
client-nya. Kata “best” dalam konteks ini berarti
advice tersebut sudah merefleksikan the best
judgment-nya tentang akibat hukum yang timbul
dari fakta-fakta yang dikemukakan (oleh client)
kepadanya.
C. Peran In-house Lawyer
Traditional Role
Konsepsi in-house lawyer yang diterapkan secara
umum dewasa ini adalah memberikan fungsi
pelayanan jasa hukum yang dikelompokkan kedalam
2 (dua) kegiatan utama yaitu fungsi legal advising
dan fungsi advocating. Fungsi yang disebut pertama
(legal advising) merupakan fungsi yang dominan
dari lawyer atau sekelompok lawyer pada suatu
lembaga. Kegiatan yang menjadi bagian dari
fungsi ini adalah melakukan legal researching,
legal drafting, legal reviewing, dan legal advising
itu sendiri. Adapun kegiatan yang menjadi bagian
dari fungsi advocating meliputi litigating (beracara
didepan pengadilan) dan advocating itu sendiri
yaitu (sebagai pembela hukum). Disamping itu,
untuk menunjang pelaksanaan kedua fungsi
tersebut, perlu didukung oleh adanya suatu sistem
informasi hukum yang berbasis teknologi dan
kepustakaan, serta fungsi administrasi yang bersifat
dedicated pada pencapaian dan kelancaran
pelaksanaan fungsi jasa hukum tersebut. Gambaran
tradisional dari satuan kerja hukum adalah
penekanan pada pemberian jasa hukum yang
berkualitas dengan biaya yang efektif (cost-
effective, quality legal services).
Dual Role Corporate Lawyer
Peran ganda (dual role) in-house lawyer, di satu sisi
sebagai legal adviser dan di sisi lain sekaligus sebagai
business adviser telah menyebabkan perdebatan di
pengadilan dalam kasus the Three Rivers. Dalam
isu hukum mengenai “legal advice privilege” ini
terdapat pertanyaan fundamental mengenai peran
ganda dari penasehat internal: kacamata (spectacles)
apa atau topi (hat) mana yang dipakai/dipergunakan
oleh penasehat hukum internal ketika memberikan
nasehat kepada pimpinan perusahaan/organisasi
tempat dia bekerja?
Jauh sebelum perubahan yang akhir-akhir ini
terjadi dalam lingkungan bisnis, law department
berusaha mencari keseimbangan yang tepat
(proper) antara bekerja untuk mendukung tujuan
bisnis dan bertindak sebagai fungsi “conscience”
(menetapkan sesuatu sebagai benar dan salah)
dan “control” bagi perusahaan/organisasi. In-
house lawyer umumnya memiliki pengetahuan
yang luas tentang strategi bisnis, isu dan kebijakan
perusahaan/lembaga dan sering memiliki masa
jabatan yang lebih lama dibanding rekan manajer
lainnya.
Oleh karena itu, disamping memberikan kontribusi
keahlian tentang kebijakan bisnis dan hukum, in-
house lawyer dapat bertindak sebagai sumber
ingatan yang dapat dipercaya dalam perusahaan
atau lembaga. Lebih dari itu, karena law department
memiliki kepekaan dan tanggungjawab yang
tinggi terhadap perusahaan secara keseluruhan
dibanding hanya unit bisnis yang mementingkan
diri sendiri, in-house lawyer lebih peduli melindungi
kepentingan “ownership interest” dalam
perusahaan/lembaga tersebut.
Menyeimbangkan kedua tanggungjawab ini dapat
mengakibatkan perselisihan (tension) antara in-
house lawyer dan client eksekutif mereka. Untuk
meminimalkan tekanan ini, penting sekali untuk
memperjelas dan mengelola peranan in-house
lawyer untuk menghindari penyeberangan batas
(crossing the boundary) dari penasehat (adviser) ke
pengambil keputusan (decision-maker). Tetapi
control sering berarti mengidentifikasi dan
mengangkat isu, tidak berarti menghentikan
perusahaan/lembaga dari suatu aktifitasnya, kecuali
jika aktifitas tersebut mengandung pelanggaran
hukum (violation of law) atau melanggar kewenangan
yang diberikan (delegated authority).
Tanggungjawab law department untuk melindungi
perusahaan/lembaga dari risiko yang tidak semestinya
tidak berarti bahwa in-house lawyer harus membuat
keputusan mengenai risiko hukum (legal risk) yang
tidak merupakan pelanggaran hukum (violation of
the law) atau pelanggaran kewenangan yang
diberikan (a breach of delegated authority).
Pandangan yang telah menjadi kesepakatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
adalah bahwa in-house lawyer diharapkan
mengidentifikasi lingkup risiko, dengan rincian
tentang dampak (impact) dan akibat (consequences)
dari risiko yang ada dan saran (suggestions) untuk
pilihan alternatif, tetapi menyerahkan sepenuhnya
kepada client untuk memutuskan. Diakui bahwa
client yang mengelola suatu multitude dari risiko
bisnis seharusnya diberi kepercayaan untuk
mengelola risiko hukum (legal risk) sepanjang in-
house lawyer mereka telah menyampaikan advise
dan counsel secara efektif.
Seorang general counsel pernah menyatakan
bahwa yang masih menjadi kesulitan (the great
riddle) adalah bagaimana menjadikan para lawyer
bagian dari the client team tanpa menjadikan
lawyer tersebut bagian dari client sehingga ikut
membuat keputusan. General counsel tersebut
mengarahkan para in-house lawyer nya untuk
memberikan advice dan assesment yang jelas
terhadap masalah yang dihadapi, tetapi tidak
dimaksudkan memberikan keputusan. Sebaliknya,
law department yang lain menghindari pembedaan
antara peranan in-house lawyer sebagai penasehat
hukum (legal advisory role of lawyer) dan penasehat
bisnis (business advisory role of lawyer). Sebagai
contoh, seorang general counsel menyatakan
bahwa “teaming orientation of the law department”
menjadikan in-house lawyer dan client
menanggung risiko bersama. In-house lawyer
berpartisipasi dalam menentukan risiko, memberikan
nasehat kepada client mereka untuk membuat
keputusan yang benar/tepat yang telah didasarkan
pada perencanaan dan strategi risiko hukum dari
in-house lawyer, dan mendukung (bukan
meninggalkan) client mereka ketika diputuskan
untuk menanggung risiko, tanpa mempedulikan
apakah lawyer itu sendiri akan membuat
keputusan yang sama.
General counsel tersebut selanjutnya mengatakan
bahwa in-house lawyer yang hanya memberikan
fakta-fakta saja dan penerapan yang kaku dari
hukum yang bersifat teknis, kurang bernilai
dibandingkan dengan in-house lawyer yang ikut
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan dan
menanggung risiko bersama client. General
counsel lain setuju bahwa jika in-house lawyer
menjadi bagian dari tim bisnis, mereka
memberikan nasehat bisnis dengan suatu “legal
twist” yang tidak hanya dengan “legalese”,
dengan demikian menjadi sulit (namun bukannya
tidak bisa) membedakan antara nasihat bisnis
(business advice) dan nasehat hukum (legal advice)
serta pengambilan keputusan (decision making).
Jika risiko bisnis besar (dikaitkan dengan jumlah
nilai uang tertentu, pertimbangan kebijakan dan/
atau “legal propriety”), maka in-house lawyer
diharapkan mengidentifikasi isu dan mengemukakan
isu tersebut kepada client yang lebih senior dan/
atau in-house lawyer yang lebih senior untuk
meyakinkan bahwa isu tersebut memperoleh
perhatian yang semestinya. Tetapi, sepanjang
terdapat alasan yang dapat diterima agar client
mengambil tindakan yang diinginkan, bahkan
walaupun in-house lawyer tidak setuju dengan
tindakan tersebut, kebanyakan general counsel
berpendapat bahwa keputusan seharusnya
diserahkan kepada client pada tingkat yang tepat.
Pada akhirnya in-house lawyer diharapkan untuk
memenuhi tanggungjawabnya untuk
mengidentifikasi isu, dan dihargai untuk memberikan
kontribusi pemikiran dan solusi untuk menangani
isu tersebut dan mendukung kemajuan lembaga/
perusahaan. Disamping itu mereka diharapkan
melakukan ini tanpa mengambil alih
tanggungjawab membuat keputusan.
Namun terdapat beberapa hal yang perlu menjadi
perhatian atas peran ganda tersebut karena akan
membuat situasi dimana in-house lawyer �:
• Tidak membedakan antara legal dan business
advisory role of lawyer
• Tidak dapat dibedakan lagi antara business &
legal advice dan decision making
• Hilangnya garis batas yg tegas (bright line
separation) antara kedua peran tersebut.
• In-house lawyer menjadi bagian dari suatu
business team dan menimbulkan tension
antara in-house lawyer dan business executive
clients
• In-house lawyer ikut dalam decision making
6 Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
8
dan share the risk with the client oleh karena
itu perlu a balancing act walau sulit krn in-
house lawyer lebih suka clarity (menghindari
crossing the boundary from adviser to decision
maker).
• Dalam hal in-house lawyer membuat business
judgment untuk client, maka siapa yang
akan mengawasi atau memberikan advis atas
keputusan yang dibuat oleh in-house lawyer ?
• Mengaburkan kewajiban profesionalnya
(profesional obligation) sebagai in-house
lawyer (lawyer shall proceed as is reasonably
necessary in best interest of the organization).
• Mengkompromikan independensi, pengkajian
yang bebas & jujur dan legal judgment-
nya sebagai legal adviser yang mempunyai
profesional obligation
• Melakukan sesuatu diluar legal capacity-nya
karena the activity involves “a violation of law
or breach of delegated authority”.
Value-Added Contribution
Menurunnya pertumbuhan ekonomi pada 1990
dan disertai dengan biaya jasa hukum yang makin
meningkat menyebabkan terjadinya perubahan
dalam harapan dalam fungsi hukum perusahaan/
lembaga tersebut. Secara perlahan law department
diikutsertakan dalam seluruh program/inisiatif
manajemen perusahaan/lembaga. Satuan kerja
hukum (law department) makin terlibat dalam
“mainstream of management thinking, techniques
and, indeed, fads” yang merupakan karakteristik
pada dekade tersebut. Seperti fungsi lainnya
dalam perusahaan/lembaga, fungsi hukum juga
dievaluasi. General counsel bertanggungjawab
atas biaya/anggaran dan pengelolaan yang efektif,
disamping juga memberikan jasa ukum yang
berkualitas. Setiap in-house lawyer diharapkan
memberikan nilai tambah bagi perusahaan/
lembaga.
Peranan general counsel dan law department dan
pengertian “value-added contribution” (sumbangan
peranan lawyer yang memberikan nilai tambah
bagi lembaga) telah mengalami perubahan terus
menurus. Namun pada saat ini, in-house lawyer
memiliki peranan sangat penting yang belum
pernah dialami sebelumnya. Sangat mungkin
bahwa pengertian best practice dan faktor-faktor
keberhasilan akan terus berkembang di masa
datang sesuai dengan perkembangan lingkungan
bisnis.
Secara perlahan terdapat perubahan. Perusahaan
atau lembaga tempat mereka berada menyadari
adanya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas
pegawai mereka yang melaksanakan fungsi
hukum (legal staff). Perusahaan atau lembaga
ingin merekrut lawyer yang mempunyai bakat
hukum yang berkualitas tinggi. Untuk mencapai
tujuan ini, mereka menawarkan kompensasi yang
sebanding, bersaing dengan perusahaan jasa
hukum/kantor hukum (law firms) besar. Sejalan
dengan perkembangan tersebut, law department
meningkat dalam biaya anggarannya dan jumlah
pegawainya. Bersamaan dengan itu, kebutuhan
jasa penasehat hukum eksternal juga tetap
meningkat untuk menangani litigasi dan kebutuhan
kegiatan/transaksi yang terus meningkat.
Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam rangka
in-house lawyer memberikan tambahan nilai (value
added) adalah sebagai berikut:
(i) Penetapan Misi Fungsi Hukum (Legal Function
Mission)
Banyak law department telah menyusun den-
gan sangat berhati-hati penuangan kata yang
merupakan pernyataan “misi” dari satuan
kerja hukum yang menetapkan maksud dan
tujuan dari satuan kerja hukum dan menetap-
kan budaya, perspektif dan pendekatan yang
diambil dalam memberikan dukungan hukum
bagi perusahaan/lembaga.
Pernyataan tentang misi dari in-house lawyer
ini dipublikasikan secara luas dan ditegaskan
kembali secara berkala dalam berbagai
kesempatan baik kepada pegawai satuan kerja
hukum maupun kepada client mereka. Banyak
pemimpin satuan kerja hukum (general counsel)
mengatakan bahwa kejelasan tentang peranan
tim hukum (legal team) sangat penting, tidak
hanya dalam memfokuskan dan
memprioritaskan kegiatan-kegiatan staf dari
in-house lawyer, tetapi juga untuk membantu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�
menyampaikan dan menegaskan kembali
kontribusi fungsi hukum kepada client.
Pernyataan misi yang progresif umumnya
memfokuskan pada client. Misi tersebut
menekankan pentingnya memfasilitasi
tercapainya tujuan client, dengan sikap lawyer
yang proaktif, berperan dalam tim client.
Dalam banyak contoh, misi satuan kerja
hukum (law department) berkembang pada
nilai-nilai perusahaan/lembaga yang sifatnya
umum, sebagian besar menitikberatkan pada
kepuasan client.
Sejalan dengan penekanan akhir-akhir ini pada
corporate governance, ethical behaviour dan
program kepatuhan (compliance),
kecenderungannya adalah bahwa satuan kerja
hukum (law department) terus akan
menyempurnakan dan memperluas misi dan
rencana strategis mereka untuk merefleksikan
pada penekanan ini. Pentingnya peran hukum
yang preventif oleh in house lawyer telah
dimengerti sejak dekade yang lampau. Tetapi
perubahan lingkungan yg baru menuntut
pemimpin satuan kerja hukum (general
counsel) mengalokasikan perhatian lebih besar
dan sumber daya kepada program dan
kegiatan pengelolaan risiko hukum (legal risk
management) yang lebih efektif.
(ii) Integrasi dengan Client
Konsep bahwa lawyer harus terintegrasi
dengan client mereka telah lama menjadi
prinsip/ajaran inti dari organisasi law department.
Client adalah “raison d’etre” dari lawyers.
Merefleksikan fakta ini, banyak law department
yang dianggap secara luas sebagai di antara
the best in class dalam kinerjanya secara
berkala mengkaji ulang dan menyempurnakan
bagaimana mereka mengelola fungsi hukum
untuk melayani client.
Walaupun adanya perbedaan client dalam
bidang kegiatan, budaya dan tujuan bisnis/
lembaga, umumnya para general counsel
menekankan pentingnya mengembangkan
lingkungan kerja dimana para lawyer
terintegrasi dengan client mereka dan anggota
dari tim bisnis/lembaga, tidak saja dalam
persepsi tetapi juga realitasnya. Jika para client
menganggap lawyer mereka dapat
memberikan “solusi hukum yang kreatif
dengan suatu perspektif kegiatan client”,
lawyer akan ditarik lebih dalam kedalam tim
bisnis client sebagai penasehat yang dapat
dipercaya dan pemberi kontribusi dengan nilai
tambah yang tinggi.
(iii) Penggunaan Kombinasi Inside-Outside Lawyer
yang Tepat
Hampir semua perusahaan/lembaga besar
menggunakan gabungan inside dan outside
lawyer untuk memenuhi kebutuhan hukum
mereka. Dengan demikian, pendekatan holistic
terhadap pengelolaan sumberdaya hukum
memerlukan pertimbangan terhadap kedua
komponen pemberian jasa hukum.
Banyak law department pada perusahaan/
lembaga yang besar mencoba sebanyak dan
sedapat mungkin menangani sendiri (in-house)
pekerjaan hukum yang penting. Umumnya in-
house lawyer menangani sebagian besar
pekerjaan hukum perusahaan/lembaga,
dengan perkecualian yang paling sering adalah
litigasi, investigasi, pekerjaan transaksi atau
pekerjaan internasional dimana law
department tidak/kurang memiliki
pengetahuan. Terdapat keadaan dimana
pengetahuan hukum yang canggih dan
perspektif pasar yang lebih luas membuat
outside counsel merupakan pilihan yang lebih
tepat. Tetapi inside lawyer lebih dipilih,
khususnya karena mereka dianggap lebih
menguasai tentang kegiatan perusahaan/
lembaga, strategi dan kesempatan
dibandingkan outside counsel.
(iv) Umpan balik (feedback) dari Client
Survey client adalah sarana utama bagi law
department untuk mengkalibrasi pengertian
mereka tentang harapan client dan memantau
kinerja mereka terhadap ekspektasi client
tersebut. Survey dapat berupa survey singkat
atau panjang, dan didistribusikan kepada
kelompok eksekutif inti/tertentu atau kepada
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�0
klien/responden yang lebih luas di setiap
tingkat/golongan jabatan.
Terdapat mekanisme lain yang dapat diterapkan
dalam survey umpan balik ini, yaitu
menitikberatkan pada individu penasehat hukum
tertentu (individual attorney) disamping survey
umum terhadap satuan kerja hukum itu sendiri.
(iv) Komunikasi Nilai (Value)
Diakui bahwa melakukan komunikasi yang
efektif tentang jasa yang diberikan dan
kontribusi fungsi hukum sama pentingnya
dengan memberikan jasa yang berkualitas
tinggi itu sendiri. Bentuk yang paling formal
dan tingkat paling tinggi, beberapa pemimpin
direktorat hukum menyiapkan laporan
tahunan tentang keseluruhan kinerja fungsi
hukum dan menyampaikan laporan tersebut
kepada komite eksekutif atau dewan direktur/
pimpinan perusahaan/lembaga.
Salah satu management tools yang dapat
diterapkan, sebagian atau seluruhnya, untuk
membantu mencapai tujuan ini adalah dengan
mengadopsi “balanced scorecard” performance
indicator dan system/pola pelaporan. Metode
ini mencakup berbagai pengukuran untuk
menetapkan, memantau dan memperbaiki
kinerja perusahaan/lembaga. Banyak
perusahaan/lembaga yang meminta bantuan
kepada perusahaan jasa konsultan manajemen
untuk mengembangkan pendekatan balanced
scorecard khusus untuk fungsi hukum. Disadari
bahwa mengembangkan dan
mengimplementasikan pendekatan ini
menuntut pengertian dan pemahaman yang
memadai. Pendekatan manajemen ini menuntut
tambahan pekerjaan, mengandung kesulitan
dan menimbulkan frustasi, dan jika ditangani
secara tidak benar dapat mengakibatkan
kemunduran bagi usaha-usaha penyempurnaan
yang dilakukan oleh law department. Tujuan
utama dari semua ini adalah memfokuskan
pada bidang dimana fungsi hukum dapat
menambah nilai (value) terbesar bagi
perusahaan/lembaga.
Faktor Sukses bagi In-house Lawyer
In-house lawyer secara individual dapat menggunakan
guidance dibawah ini dalam menetapkan value-
added role mereka7. Dua faktor pertama, yaitu
Kualitas (Quality) dan Orientasi Bisnis (Bussiness
Orientation) merupakan persyaratan pokok
(fundamental) dan diperlukan selamanya bagi
penasehat hukum internal. Sedangkan karakteristik
lainnya merupakan manajemen dan harapan client
yang timbul selama beberapa tahun yang lalu.
(i ) Kualitas
Konsep kualitas mencakup skill dan attribute,
yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
legal training, technical skill, profesionalisme,
pengalaman, judgment, client service,
komunikasi, dan negosiasi.
(ii) Orientasi pada Bisnis
Faktor sukses yang penting ini sejalan dengan
prinsip lawyer-client integration. Integrasi
demikian dapat dicapai melalui berbagai cara,
diluar cara penempatan di lokasi yang sama
secara fisik. Pendekatan alternatif termasuk
kunjungan terjadwal dan periodik di satuan
kerja client, secara berkala ikut dalam rapat tim
manajemen client, dan berkomunikasi dengan
e-mail atau sarana lainnya untuk menjaga
tetap dekat dengan client.
(iii) Sadar Biaya
General counsel dan in-house lawyer diharapkan
mengelola inside and outside cost, dan
menghindari duplikasi dengan sumberdaya
dari luar.
(iv) Efisiensi dan Produktifitas
• Mengurangi jumlah waktu yang dihabiskan
lawyer untuk pekerjaan administratif dan
pengawasan.
• Menyerahkan pekerjaan keluar dari law
department kepada department lain
dalam perusahaan/lembaga jika pekerjaan
tersebut tidak mensyaratkan legal skill.
• Menyerahkan pekerjaan yang kurang
bernilai hukum kepada tingkat/golongan
7 Jonathan P. Bellis, “The Evolving Role of In-House Counsel: Adding Value to the Business” ,Hildebrant International, Winter 2003
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
yang lebih rendah (seperti paralegal dan
staf non-lawyer).
• Merekrut/menempatkan staf pendukung
yang professional bagi fungsi hukum
untuk menangani sumberdaya manusia,
keuangan/anggaran dan manajemen
teknologi dari fungsi hukum.
(iv) Nasehat yang Strategis dan Proaktif
Client mengharapkan in-house lawyer lawyer
mereka memainkan peran lebih strategis dan
proaktif dan memberikan nilai tambah kepada
bisnis/kegiatan client. Berikut ini adalah contoh
kontribusi yang dapat disumbangkan in-house
lawyer :
• Mengintegrasikan ethics, compliance dan
preventive law efforts
• Mengintegrasikan legal dan public relation
• Mempengaruhi/memberikan masukan bagi
kebijakan pengaturan.
• Menjadi internal warning system dalam
mengidentifikasi risiko potensial terhadap
perusahaan/lembaga
Ben W Heineman JR, General Counsel (GC) dari
the General Electric (the GE), telah mendapat
apresiasi dari the Amerian Lawyer karena berhasil
membuat revolusi kedudukan GC dari peran
tradisional lawyer sebagai “legal advisor” menuju
“inside partnership” dalam proyek the GE “in-
house revolution”. Fokus kinerja yang dilakukan
oleh Heineman adalah “high performance with
high integrity” melalui budaya kerja8 yang terdiri
atas 5 prinsip yaitu:
(i) membangun kepemimpinan yang
berkomitmen dan konsisten,
(ii) perfomance integritas sebagai bagian dari
kegiatan rutin dalam bisnis proses, dengan
mengikuti seluruh proses sesuai dengan
aturan dengan melakukan penilaian risiko
dan manajemen risiko. Tahapan membangun
infrastruktur integritas ini dalam bisnis
proses berarti risiko menilai setiap proses dan
8 The economist: Sixth General Counsel Roundatble – the global GC: Managing complexity in uncertain times, Economist Conferences, Desembar 4th 2008
mengidentifikasi seluruh proses/tahapan yang
bersinggungan dengan semua ketentuan yang
ada baik local maupun internasional, dan
memberikan penilaian bagian mana dalam
proses tersebut yang memerlukan pemantauan
(to be controlled)
(iii) mengadopsi standar etika global, ketika
menghadapi situasi yang sulit, dengan
mengajukan pertanyaan pertama adalah
“is it legal?” dan selanjutnya mengajukan
pertanyaan terakhir adalah “is it right?”.
Jika sebuah perusahaan mengadopsi standar
etika yang tinggi, maka hal tersebut dapat
mengurangi risiko kehilangan integritas, serta
meningkatkan fungsi internal perusahaan
dalam membina reputasi dan keuntungan di
pasar, dan menciptakan kredibilitas. Standar
ini dapat dikembangkan melalui disiplin proses
sistematis dengan mengidentifikasi masalah
dan memilih orang yang menonjol.
(iv) Mengurangi pertentangan antara peran in-
house lawyer sebagai mitra dan “guardian”9.
GC terutama melayani CEO dan karena
itu, harus menjadi mitra yang membantu
mencapai kinerja tinggi. Namun GC tidak
bertanggung jawab kepada CEO, tapi kepada
perusahaan. Hal ini menciptakan konflik
untuk GC, terutama pada masalah yang
tidak jelas aturannya dan merupakan daerah
abu-abu. Dalam konteks ini, peran GC adalah
memahami fakta penting, alternatif, bagaimana
memberikan solusi yang paling aman dalam
rangka mengurangi risiko. Oleh karena itu GC
juga perlu melakukan due diligence mengenai
perusahaan mereka bekerja.
9 Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April
Single Role Dual Role Value Added Role
Legal
Adviser
Legal
Represen-
tation
Legal
Adviser
Business
Adviser
Legal Risk
Management
Compliance
Reputational
Risk
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�2
(v) Prinsip terakhir adalah suara karyawan. Skandal
tumbuh dalam budaya diam, di mana karyawan
mengetahui perilaku ilegal atau tidak etis tetapi
takut untuk maju. Jika karyawan percaya bahwa
mereka tidak diabaikan, maka mereka akan
membantu memberikan informasi tersebut.
Salah satu caranya adalah mendirikan sistem
ombudsman, meskipun mungkin hal tersebut
akan berbenturan dengan budaya setempat.
Dengan demikan, “high performance with high
integrity” merupakan upaya untuk membentuk
kembali sebagian besar perdebatan kontemporer
tentang korporasi, termasuk tata kelola perusahaan,
kewarganegaraan global dan bagaimana untuk
membayar kinerja dengan integritas. Menurut
Thomas C. Baxter, Jr. 10 value added role tersebut
bertujuan untuk mencegah senior officials
melakukan tindakan yang merusak/menghancurkan
reputasi institusi, sehingga dapat mengelola secara
efektif compliance risk & reputational risk.
Diharapkan institusi dapat mengatur dirinya sendiri
secara lebih baik & bagaimana pejabat-pejabatnya
harus bertindak, walau tindakan full compliance
with legal & rule tapi jika tidak sesuai dengan good
governance tindakan tersebut seharusnya tidak
dilakukan. Tanggung jawab in-house lawyer untuk
melindungi institusi thd inappropriate risk tidak
berarti bahwa in-house lawyer seharusnya yang
membuat keputusan mengenai hal-hal yang
mengandung legal risk .
Namun dalam prakteknya di bebarapa
perusahaan/lembaga in-house lawyer tidak terlibat
dalam risk management dan good governance
(Legal, Compliance & Reputational Risk Management).
Oleh karena itu, in-house lawyer tidak hanya
memfokuskan pada risiko yg timbul dari suatu isu,
kasus atau transaksi (walaupun ini tetap penting)
dan melakukan a comprehensive across-the- board
overview of an organisation’s legal risk profile
dengan tujuan agar dapat mengidentifikasi key
legal threats or trends across an organization��.
Namun disadari pula bahwa in-house lawyer tidak
10 Thomas C. Baxter, Jr. Executive Vice President and General Counsel Federal Reserve of New York (2004), “The New Governance and Compliance Challenges – Empowering Lawyers to Meet Them
11 Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye
dapat melakukan sendiri role ini. Terdapat beberapa
legal risks yang tidak dapat diidentifikasi atau
dikontrol seorang diri tanpa bantuan orang lain,
sehingga diperlukan metodologi seperti legal risk
management.
Manajemen Risiko Hukum
Dalam manajemen risiko, berkembang pemikiran
tentang perlunya suatu manajemen risiko hukum
(legal risk management) yang efektif dalam suatu
organisasi/institusi. Manajemen risiko hukum merupakan
salah satu sarana dalam pelaksanaan proses penilaian
mandiri suatu organisasi dan kegiatan yang
berkesinambungan menuju manajemen organisasi
yang efektif dan efisien. Pelaksanaan manajemen
risiko hukum juga dimaksudkan untuk
mengembangkan suatu pendekatan yang
berkelanjutan dalam pelaksanaan manajemen dengan
tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan
institusi yang pada akhirnya akan meminimalisir
tingginya biaya dalam pelaksanaan kegiatan institusi.
Satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum sangat
berperan dalam manajemen risiko hukum dan
bertanggung jawab terhadap urusan dan masalah
hukum dalam suatu organisasi dengan menggunakan
in-house lawyer sebagai sumber daya manusia
memberikan kontribusi yang penting dan
menentukan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, untuk dapat
membantu perusahaan/institusi dalam meminimalkan
risiko hukum dan agar in-house lawyer dapat
memberikan opini dan advis hukum yang efektif
diperlukan mekanisme identifikasi dan asesmen
terhadap risiko hukum.
In-house lawyer harus mengembangkan prosedur
untuk mengurangi (reducing), mengalihkan (transferring),
menghindari (avoiding) dan/atau memikul (assuming)
enforceability risk yang menjadi tanggungjawab in-
house lawyer dan menjamin bahwa prosedur tersebut
masuk atau telah menjadi bagian dari organisasi.
“Prosedur” dasar tersebut meliputi :
- Membatasi individu dalam organisasi yang berhak
mengikat organisasi secara finansial dan hukum,
dengan cara membuat daftar orang-orang yang
berhak menandatangani;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
- Memberikan pelatihan (training) dan pendidikan
(education), bahan-bahan (material) dan perangkat
alat (tools) untuk memberikan informasi kepada
semua staf yang terkait tentang enforcebility risks
dan issues.
- Memberikan pedoman (guidance) tentang
membangun struktur, menganalisis dan mengelola
hubungan saat ini dan di masa depan, dan
tentang proses negosiasi yang mengarah kepada
membuat komitmen, dan melembagakan proses
yang menjamin agar kontrak selalu updated,
ditandatangani kemudian dan merefleksikan
perubahan-perubahan dalam hubungan yang
terkait dengan kontrak.
- Mensyaratkan staf untuk berkonsultasi dengan
satuan kerja yang melaksanakan fungsi hukum
dan/atau proses yang telah ditetapkan dan/atau
menggunakan dokumen dan pedoman standar
sebelum membuat komitmen yang mengikat
organisasi atau menandatangani kontrak.
Secara berkala in-house lawyer memberikan nasehat/
advis tentang validity dan enforceability dari kontrak-
kontrak dan property right, dan tidak jarang
bertanggungjawab untuk menjamin agar hak-hak
tersebut dikelola secara strategis supaya dapat
mencapai tujuan-tujuan organisasi. In-house lawyer
juga membela kontrak-kontrak dan property rights
apabila kontrak-kontrak dan property right tersebut
pelaksanaannya dipermasalahkan oleh pihak ketiga.
GC atau Head of Legal Function dalam organisasi/
badan/perusahaan pada umumnya memiliki peranan
penting (key role) dalam mengidentifikasi (identifying)
dan mengelola (managing) enforceability risk yang
dihadapi organisasi, dan dapat/mungkin secara formal
diangkat sebagai pemilik dari enforceability risk. GC
harus mengidentifikasi enforceability risks yang spesifik
yang dihadapi organisasi, dan kemudian melakukan
asesmen (assesment) terhadap “significance” dan
“probability” dari risiko tersebut. In-house lawyer
melakukan hal ini dengan mengacu kepada
pengalaman/sejarah dari peristiwa sebelumnya dalam
organisasi atau pesaingnya, dan harus berkonsultasi
dengan pimpinan dan manajemen di tiap-tiap fungsi
organisasi dan bagian yang melaksanakan kegiatan
organisasi, Akan tetapi, in-house lawyer harus selalu
berpikir “luas” (think “big”), karena beberapa
enforceability risk tidak dapat diprediksi dengan
melihat
pada kesalahan masa lalu.Apabila terdapat enforceability
risk yang spesifik yang bukan merupakan tanggungjawab
in-house lawyer (sebagai contoh, kontrak kepegawaian
(employment contract) dan sengketa kepegawaian
(employment disputes) yang ditangani oleh fungsi
sumber daya manusia, in-house lawyer harus menjamin
bahwa risiko di fungsi tersebut secara formal direkam/
dicatat yang dapat mengakibatkan in-house lawyer
tidak diminta pertanggungjawaban terhadap kesalahan
yang terjadi dalam bidang tersebut.
In-house lawyer harus memperoleh arah kebijakan
dari manajemen senior terhadap proses
mengidentifikasi, mengasesmen, dan mengelola
enforceabilty risk yang dihadapi organisasi, karena
keputusan komersial/bisnis harus diambil, sebagai
contoh risiko-risiko yang mana saja yang boleh diterima
(assumed) dan risiko mana yang harus dihindari (avoided),
dan sumberdaya apa saja yang boleh dialokasikan dalam
proses tersebut. In-house lawyer sering berada dalam
tekanan dan tim-tim mereka overstretched. Jika ini
masalah dalam organisasi, in-house lawyer harus
mengungkapkan hal tersebut kepada manajemen
senior sebelum terjadi kesalahan.
Manajemen Risiko Peraturan/Kepatuhan
(Regulatory/Compliance Risks Management)
Regulatory risk relevan untuk seluruh organisasi, tidak
hanya institusi keuangan, dan banyak dari skandal
corporate governance terjadi karena ketidaktaatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
terhadap peraturan. Tanggungjawab utama Board
adalah membangun “budaya patuh/taat” (compliance
culture) yang menekankan standard kejujuran (honesty)
dan integritas (integrity). Board dan senior management
harus memimpin dan memberikan contoh dalam
perbuatan dan tingkah laku keseharian dan mendukung
in-house lawyer (atau spesialis head of compliance jika
orangnya berbeda dengan head of in-house lawyer)
dalam mengelola regulatory risk pada tingkat bawah.
Konsep dasar regulatory risk tidak memerlukan
pengetahuan spesialis, pelatihan atau pengalaman
dalam bidang peraturan.
Jika suatu organisasi termasuk dalam highly regulated,
atau jika menjaga reputasi merupakan kunci terhadap
model bisnis, organisasi dapat mengangkat seorang
kepala spesialis kepatuhan (compliance) dimana
perannya adalah melakukan langkah proactive untuk
mengidentifikasi dan mengelola regulatory risk yang
dihadapi organisasi sehingga risiko tersebut tidak
mengakibatkan loss atau damage yang besar bagi
organisasi. Di organisasi lain, peran ini merupakan bagian
dari peran kepala atau pemimpin satuan kerja yang
melaksanakan fungsi hukum. Tetapi dalam kasus/
praktek apapun, peran ini akan jauh lebih mudah
dilaksanakan jika board dan senior management
melaksanakan tanggungjawab masing-masing secara
tepat.
Seseorang tidak dapat diharapkan untuk memikul
tanggungjawab utama untuk mengidentifikasi dan
mengelola semua area regulatory risk yang dihadapi
oleh organisasi. Oleh karena itu, dalam praktek
tanggungjawab aturan kepegawaian (employment
rules) sering diserahkan kepada kepala HR function,
tanggungjawab mengenai tax dan acounting rules
kepada Head of Finance, dan seterusnya, dan Head of
Compliance (actual atau de facto) bertanggungjawab
atas sisanya. Tetapi, organisasi mungkin menginginkan
seseorang untuk mengawasi keseluruhan regulatory
risk yang ada pada organisasi (misal, termasuk aturan
yang menjadi tanggungjawab utama orang lain)
sehingga tidak ada yang terlewatkan/terabaikan.
Head of compliance (actual atau de facto) memerlukan
kesepakatan dengan senior management tentang area
mana dari regulatory risk menjadi tanggungjawab
utama dari head of compliance, dan apakah head of
compliance diminta untuk mengawasi area dari
regulatory risk.
Menyusun prosedur untuk Mengelola Regulatory
(Compliance) Risk
Setelah mengidentifikasi dan mengases regulatory risk,
in-house lawyer mengembangkan prosedur untuk
mengelola regulatory risk yang telah diidentifikasi dan
diases. Mengelola risiko (managing risk) pada pokoknya
merupakan proses training/pelatihan staf dari organisasi
mengenai aturan terkait, dan bagaimana mereka
mentaati aturan tersebut, memonitor bahwa mereka
berbuat demikian (mentaati), menginvestigasi dugaan
pelanggaran, dan apabila ditemukan adanya
pelanggaran in-house lawyer melaporkan kepada
manajemen senior. Ada kalanya in-house lawyer
mengintervensi suatu kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelanggaran. Ketegasan dan tingkat
perhatian (caution) yang dilakukan oleh in-house
lawyer dalam peran ini (managing enforceability risk)
tergantung pada nature dari organisasi, sejauh mana
organisasi tersebut diatur, atau karena alasan lain
organisasi tersebut sangat peduli dengan reputasinya,
dan apakah organisasi telah memiliki budaya ketaatan
yang baik (good compliance culture). Senyatanya
untuk melaksanakan peran tersebut in-house lawyer
harus memiliki atau diberi independensi, kewenangan,
sumberdaya dan akses informasi dan personnel yang
memadai.
III. Hubungan In-House Lawyer dan Eksternal Lawyer
Hubungan yang bersifat interpersonal akan
mempengaruhi bagaimana seorang profesional
berhubungan dan memperlakukan Client-nya. Karena
in-house lawyer bekerja di kantor yang sama dan
setiap hari bertemu dengan “the constituents of
organization” dan berkembang menjadi hubungan
pertemanan dan sosial dengan para manajer dari
entitas tersebut, maka faktor tersebut jelas dan
pasti akan mempengaruhi legal representation.
Situasi ini berbeda dengan yang dihadapi eksternal
lawyer.
In-house lawyer secara fundamental sangat berbeda
dengan outside lawyer. Memberikan “nasehat bisnis”
merupakan alasan utama keberadaan mereka (raison
d’etre) dan secara axiomatic (diakui sebagai suatu
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
asas), walaupun tidak selalu demikian, bahwa “the
more senior the in-house lawyer, the less law he or
she practises” Penasehat hukum yang berpraktek
swasta/pribadi memberikan nasehat komersial/bisnis
tetapi dalam hal tidak ada permintaan/perintah secara
jelas, mereka tidak wajib untuk memberikan nasehat
terhadap urusan bisnis dari clientnya.
Disatu sisi in-house lawyer memiliki lebih banyak
informasi dibanding dengan eksternal lawyer. Mereka
memiliki business dan legal information, disamping
informasi dari sumber informal tentang orang-orang
yang menjalankan organisasi. Informasi ini memberikan
kesempatan unik bagi in-house lawyer untuk
mempengaruhi decision maker agar menghindari
risiko yang dapat merugikan klien, yaitu entitas itu
sendiri.
Selain untuk menangani perkara litigasi, external/
outside Lawyer dapat digunakan oleh General Counsel
(Law Department) untuk memberikan second legal
opinion, apabila terdapat keragu-raguan tentang
suatu pending decision, potential issue, atau course of
action. Karena eksternal lawyerl tidak memiliki incentive
untuk membantu/mendukung atau terlibat dalam
tindakan yang melanggar hukum (unlawful conduct)
yang dilakukan klien. Oleh karena itu, pemanfaatan
private law firm dapat melindungi in-house lawyer
secara efektif dari kemungkinan criminal or civil
liability dan employment risk.
Salah satu tujuan menyewa eksternal lawyer adalah
untuk menghindari konflik kepentingan. Tren ini tidak
berarti penasihat hukum di luar perusahaan dapat
mengambil alih peran in-house lawyer. Sebaliknya
eksternal lawyer sebagai lawyer independen dapat
memberikan masukan kepada eksekutif perusahaan
apa yang seharusnya dilakukan dari sudut yang
berbeda untuk isu tertentu. Hal ini diperlukan, di
mana GC perlu untuk menghindari munculnya konflik
yang sebaiknya tidak dilakukan sebagai rutinitas,
mengingat hal tersebut akan menjadikan
perpanjangan birokrasi.
GC mungkin menunjuk pengacara luar untuk
memberikan saran kepada dewan mengenai isu-isu
spesifik dalam parameter yang terbatas. Ini adalah
peran GC dalam membantu dewan dan mengatakan
bahwa tugas pertama adalah untuk membangun
hubungan kepercayaan. Meskipun GC tidak perlu
menghadiri semua rapat dewan ia harus secara rutin
terlibat dalam urusan dewan. Oleh karena itu seorang
GC harus memiliki 5 kualitas yang esensial yaitu
integritas, baik secara pribadi dan profesional;
penilaian, - kemampuan untuk menilai fakta yang
penuh dengan konflik yang rumit dan situasi dan
menyajikan alternatif; stature - sebuah gaya
kepribadian dan intelek yang menyebabkan orang
untuk mendengarkan; padat pengalaman hukum,
termasuk keahlian dalam bidang-bidang penting
In-house lawyer External lawyer
• The business of corporation /organization is its
business
• The business of a law firm is law
• While IHL must still provide the highest quality
work, they do not live and work in a community of
lawyers focused on the legal work product
• The sole focus of a law firm is producing legal work
with highest quality
• IHLs function within an organization whose focus is
to further its principal line of business
• The lawyers are the pre-eminent part of the
organization, and the effort and focus are directed to
work supporting them and delivering legal product
• IHLs are there as adjunct to the business people
and must work to advance the same goals within a
legal framework
• The success of a lawyer is evaluated on the quality of
work product
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
untuk korporasi, akhirnya pengetahuan yang kuat dari
bisnis12.
Hubungan dengan external lawyer dapat berupa semi-
longterm basis. External lawyer dapat diminta untuk
berlitigasi dalam hal in-house lawyer tidak dapat
mewakili perusahaan di depan pengadilan atau dalam
kasus yang memerlukan mereka (misal, untuk
memperoleh masukan yang bersifat spesifik pada
bidang hukum yang sangat khusus). Dalam praktek
keputusan untuk menggunakan external counsel
merupakan kewenangan Board atau pemimpin satuan
kerja fungsi/jasa hukum. Dari survey Friedman and
Stuart (2000) yang sama menunjukkan bahwa
perusahaan cenderung lebih menyukai menggunakan
in-house lawyer dibanding menggunakan counsel dari
luar (external lawyer) karena in-house counsel lebih
memahami mereka dan lebih dipercaya. Survey
tersebut juga menunjukkan bahwa 90% dari
responden menempatkan CLO diantara 10 top
executives di perusahaan/lembaga mereka.
Dalam praktek di negara-negara yang professional
conduct sudah berjalan dengan baik confidentiality
agreement tidak selalu diperlukan jika mempekerjakan
external counsel karena demi hukum mereka
disumpah untuk menjaga kerahasian. Oleh karena itu,
pelanggaran terhadap hal tersebut dituntut
berdasarkan kitab undang-undang hukum pidana dan
atau berdasarkan aturan professional conduct
V. PENUTUP
Telah terjadi perubahan yang significant dari peran in-
house lawyer di satu sisi sebagai legal adviser dan
disisi lain sekaligus sebagai business adviser. Selain itu
juga in-house lawyer dipercaya untuk mengelola risiko
hukum dan memperhatikan compliance, standar etika
dan juga good governance. Untuk dapat
menyeimbangkan tanggungjawab tersebut in-house
lawyer juga dituntut untuk menjadi bagian dari
manajemen (corporate management) dengan
menempatkan general counsel sebagai senior manager
dan mempunyai akses langsung yang cukup kepada
senior management & Board serta melapor kepada
“the highest ranked executive, sehingga semua
12 Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008
masalah dapat diangkat dan diselesaikan pada tingkat
yang tepat. Hal tersebut dikarenakan bahwa klien dari
in-house lawyer adalah badan hukum itu sendiri (legal
entity), bukan individu atau kelompok individu yang
terkait dengan badan/lembaga tersebut. Seorang in-
house lawyer yang mewakili suatu badan hukum tidak
melayani atau bertindak sebagai lawyer untuk
kepentingan pejabat (officers).
Atas perubahan peran tersebut in-house lawyer
dituntut memberikan nilai tambah (value-added
contribution antara lain dengan melakukan reorganisasi
law department dengan menetapkan misi fungsi
hukum; melakukan integrasi dengan client, melakukan
umpan balik dari client, memberdayakan eksternal
lawyer dan mengkomunikasikan nilai (value).
Sementara itu, secara individual in-house lawyer
menggunakan guidance dalam memberikan nilai
tambah pada perusahaan/lembaga dengan meningkatkan
kualitas (skill dan attribute), orientasi pada bisnis,
sadar biaya dan melakukan efisiensi dan produktifitas.
Dengan demikian, legal advis yang diberikan
merupakan advis yang strategis dan proaktif yang
diberikan dengan memperhatikan flexibility dan
versality serta speed dan agility. Selain itu juga In-
house lawyer mengidentifikasi risk dan dengan rincian
impact & consequences issues serta memberikan
kontribusi idea dan possible solution tetapi tanpa
harus mengambil alih tanggung jawab for making
business decision.
Perkembangan lain di beberapa perusahaan/organisasi
in-house lawyer terlibat dalam risk management dan
good governance (Legal, Compliance & Reputational
Risk Management). Oleh karena itu, in-house lawyer
tidak hanya memfokuskan pada risiko yg timbul dari
suatu isu, tapi juga dapat mengidentifikasi risiko
hokum dengan melakukan legal risk management.
��
1. Andrew M Whittaker, et.all (2003): “ Lawyers as Risk Managers”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law.
2. Antoine Henry de Frahan, Legal Management (�007) : Kissing “Legal Risk” Goodbye
3. Association of Corporate Counsel- Leading Pracitces Profiles Series, “ The Role of General Counsel and In-house Counsel in Europe: Leading Practices in Law
Department Management”, 2009 http://www.acc.com/legalresources/leading practicesprolies/index.cfm
4. Association of Corporate Counsel- InfoPAK, “ The Role of General Counsel”, September 2009 http://www.acc.com/infopaks
5. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify legal Risks in Business Process”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.
6. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Focus Internal Communications About Legal Risk”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.
7. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Identify Business Process to Review for Legal Risks”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.
9. Association of Corporate Counsel (2008): “How to Assess Legal Risks Management Practices”, ACC Value Challenge Tool Kit Resource http://www.acc.com.
10. Association of Corporate Counsel (2008): “The Role of General Counsel in Canada: Leading Practices in Law Department Management”, Leading Practices
Profiles http://www.acc.com/lpp
11. Bettina Plevan, NYC Bar Association, ”The Lawyer’s Role in Corporate Governance”
12. Bruce Macmillan,et.all (2006): “A fine line”, Corporate Governance Committee, July http://www.ciggroup.org.uk
13. Bank for International Settlement (2008): “Legal risk policy”.
14. Bank for International Settlement (2007): “Risk Management in Central Banks: Organisation of risk management, and methods for managing non-financial
risk”, September.
15. Bank for International Settlement -Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Country Paper Federal Reserve Bank New York”.
16. Bank for International Settlement-Central Bank Experts’ Meeting- Bank for International Settlement (2008) : “Meeting Record Hongkong 28-29 February 2008”.
17. Basel Committee on Banking Supervision (2003): “Risk Management in Central Bank- Organization of Risk Management, and Methods for Managing Non-
Financial Risk, Report from a Study Group on Risk Management”.
18. Ben W. Heineman, Jr (2006), “In the Beginning”, Corporate Counsel, April
19. Ben W. Heineman, Jr (2007), “Caught in the Middle”, Corporate Counsel, April
20. Christine A. Edwards (2002) :”The CLO’s Perspective on Managing Legal Risk”, Peer Review, Spring 2002.
21. Counsel to Counsel, “In-House lawyers: Rising to the Challenge”, volume 2- Issue 2- Spring 2002.
22. Economist Conference Executive Summary, Sixth General Counsel Roundtable “The global GC: Managing complexity in uncertain times”, Desember 4th 2008.
23. European Central Bank Task Force on Legal Risks of Central Bank (2006), “Legal Risk of Central Banks” SEC/GovC/X/06/196-SEC/GenC/X/06/34.
24. GlaxoSmithKline (2001), “Risk Management and Legal Compliance”, Corporate Policy Pol-GSK-500 v01.
25. Hugh S. Pigott (2003): “Legal Risk”, Butterworths Journal of International Banking and Financial Law.
26. John Dzienkowski, “Evolving Issues For Corporate Lawyers and In-House Counsel”, University of Texas Continuing Legal Education, 2003
27. James R. Jenkins, Senior Vice President and General Counsel, Deere & Company, The Metropolitan Corporate Counsel (2005), “ Value Added Collaboration
Daftar Pustaka
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�8
– Benefiting In-House Counsel And Their Corporation”
28. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management – Some Reflection”.
29. Jan Trzaskowski (2005), “Legal Risk Management in Cross-Border E-Commerce”. http://www.legalriskmanagement.com.
30. Marina Paul (2006): “Risk and the in-house lawyer” available at http://www.journalonline.co.uk/Magazine/51-12/1003695.aspx.
31. New York Law (2006) “The Evolving Role of General Counsel Managing the Crisis, Internal and External Investigations, Dealing with Regulators, and the New World of
Discovery”, A Roundtable Discussion present by Price Waterhouse Coopers, April.
32. Patricia Brown Holmes: “Sleeping Through The Night: Tips to In-House Counsel to Avoid Personal Liability”.
33. Roger McCormick (2004) : “The Management of Legal Risk by Financial Institutions”.
34. Spencer Stuart, “ Lawyer at the Top Table -The evolution of the role of general counsel in UK listed companies”, 2005 http://content.spencerstuart.com/sswebsite/pdf/lib/
lawyersATTT.pdf
35. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel Leadership in Challenging Times” Keynote Speaker: James B. Comey-
General Counsel of Lockheed Martin Corporation, August.
36. The National Law Journal (2006), A roundtable Discussion “The evolving role of General Counsel” Keynote Speaker: Hans Peter Frick- Senior General Counsel of Nestle S.A,
February.
37. Timothy W. Floyd (Texas Tech University School of Law) & Mitchel L. Winick (Texas Center for Legal Ethic and Profesionalism): A Guide of The Basics of Law Practice; Your Role
as In-House Counsel
38. Ricardo Noreno,et.all (2007): “Legal Risk Management Policies & Procedures -Association of Corporate Counsel”. 2010
��
Pendahuluan
Harian Kompas, 2 Pebruari 2010 menyoroti masalah
keuangan negara, dengan menilik pada kasus “dana bail
out Bank Century”. Apakah dana bail out tersebut
adalah keuangan negara atau bukan keuangan negara,
yang tentu saja akan mengandung implikasi yang berbeda.
Bila dana bail out Bank century bukan keuangan negara,
maka bail out itu bukanlah urusan publik, tapi privat,
bukan ranah hukum pidana melainkan perdata. Lebih
lanjut disebutkan bahwa apabila kasus dana bail out Bank
Century ini menjadi urusan perdata, bukan pidana, maka
kasus cessie Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia
(BDNI) dan kasus dana Yayasan Pengembangan
Perbankan Indonesia (YPPI) masuk dalam ranah hukum
privat juga. Berbagai pendapat yang berbeda
dikemukakan baik dari kalangan ahli hukum dan Pejabat
Negara mengenai modal Lembaga Penjamin Simpanan
(selanjutnya disingkat dengan LPS) dan uang premi yang
dibayarkan kepada LPS, apakah masuk dalam kategori
keuangan negara atau kekayaan negara yang telah
dipisahkan (seperti halnya kekayaan yayasan dalam kasus
YPPI, modal PT dalam kasus cessie Bank Bali). Apabila
masuk dalam kategori keuangan negara, akan
berimplikasi pada rezim hukum yang akan digunakan
sebagai dasar penyelesaian permasalahan hukum yang
muncul.
Lembaga Penjamin Simpanan
Bercermin dari kegagalan perbankan Indonesia tahun
1998 yang berdampak pada krisis ekonomi yang
berkepanjangan, dibubarkan dan dibekukannya banyak
bank diwaktu itu serta menurunnya tingkat kepercayaan
terhadap perbankan nasional secara keseluruhan, maka
pemerintah berkepentingan untuk menjaga kepercayaan
nasabah yang saat ini telah terbentuk. Pemberian
penjaminan secara penuh pada kewajiban bank (blanket
guarantee) berdasarkan Keputusan Presiden di masa lalu,
Kekayaan Negara yang Dipisahkan dan Lembaga Penjamin Simpanan (Tinjauan UU No. 2� Tahun 200� Tentang Lembaga Penjamin Simpanan).Oleh: Dyah Hapsari Prananingrum, SH, MH*)
*) Dosen FH UKSW Salatiga, Kandidat Doktor FH UGM
dilakukan dan berhasil mewujudkan kepercayaan
masyarakat terhadap industri perbankan pada masa krisis
moneter dan perbankan. Namun penjaminan secara
penuh tersebut, dari waktu kewaktu ternyata
membebani anggaran negara dan menimbulkan moral
hazard pada pihak pengelola bank dan nasabah bank.
Dengan penjaminan kewajiban bank secara penuh dapat
berakibat pada kurangnya kehati-hatian pengelola bank
dalam menjalankan bisnis perbankan di satu sisi,
sementara di sisi yang lain nasabah dalam menggunakan
jasa perbankan perbankan tidak mencermati kondisi
kesehatan bank.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 24 tahun
2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan diharapkan
mampu meminimalisir kekurangan dari pengaturan
dimasa lalu serta semakin meningkatkan kepercayaan
nasabah serta meminimalisir risiko yang membebani
anggaran negara ataupun risiko yang menimbulkan moral
hazard. Penjaminan simpanan nasabah bank tersebut
diselenggarakan oleh LPS. LPS sebagai lembaga
independen memiliki dua fungsi yaitu menjamin simpanan
nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau
penanganan Bank-Gagal. Mengingat fungsinya yang
sangat penting, LPS harus independen, transparan, dan
akuntabel dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Bagaimana Kedudukan Hukum LPS?
UU No. 24/2004 jelas-jelas menyebutkan LPS berbentuk
badan hukum (Pasal 2 Ayat(2). LPS bertanggung jawab
pada Presiden dan sifatnya independen, transparan, serta
akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
(Pasal 3 UU No.24/2004). Dengan demikian, sebagai
badan hukum LPS haruslah memenuhi unsur-unsur yang
terdapat di dalam badan hukum, yang menurut Soenawar
Soekowati (dalam buku, Ali, Chaidir, 2005) yaitu:
1. Ada harta kekayaan yang terpisah, lepas dari
kekayaan anggota-anggotanya (penulis: pendiri);
2. Adanya kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
20
hukum, serta bukan kepentingan satu atau beberapa
orang saja;
3. Kepentingan tersebut haruslah panjang (stabil);
4. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang
tersendiri, yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi
juga sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-
kepentingan badan hukum yang terpisah dari
kepentingan angggota-anggotanya (penulis: pendiri)
Dengan mengesampingkan penetapan badan hukum LPS
berdasarkan UU, maka melihat pengaturan lebih lanjut
dalam UU No. 24/ 2004 dapat dibandingkan unsur-unsur
badan hukum di atas, sebagai berikut.
1. Tentang harta kekayaan yang terpisah, lepas dari
kekayaan pendirinya.
Kekayaan LPS merupakan kekayaan negara negara
yang dipisahkan dan pertanggungjawaban atas
pengelolaan dan penatausahaan semua kekayaannya
dilakukan oleh LPS (Pasal 81 Ayat (2) dan (3).
2. Adanya kepentingan
Unsur ini ada dalam LPS yang kepentingan tidak
untuk pendiri namun untuk kepentingan nasabah
penyimpan dan masyarakat agar terciptanya . turut
aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan
sesuai dengan kewenangannya (Pasal 4).
3. Kepentingan dalam jangka waktu yang panjang
Kepentingan di dalam LPS tidak untuk jangka waktu
yang pendek namun untuk jangka waktu yang
panjang.
4. Kekayaan yang dapat digunakan untuk memelihara
badan.
Unsur ini juga dapat ditemukan dalam LPS diatur dalam
Pasal 81 dan 83 Ayat (1).
Sebagai subyek hukum, dalam mejalankan tugas dan
kewenangan dilakukan oleh organ LPS yaitu Dewan
Komisioner dan Kepala Eksekutif. Dewan Komisioner
adalah pimpinan LPS yang Dewan Komisioner merumuskan
dan menetapkan kebijakan serta melakukan pengawasan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang LPS
(Pasal 63). Salah satu anggota Dewan Komisioner ditetapkan
sebagai kepala eksekutif yang bertugas melaksanakan
kegiatan operasional LPS sesuai Keputusan Dewan
Komisioner. LPS sebagai badan hukum yang didirikan oleh
pemerintah maka dalam LPS terdapat unsur perwakilan
dari dari pemerintah yaitu dari Departemen Keuangan
dan Bank Indonesia di dalam organ LPS ( Pasal 65 Ayat
(1). Sementara itu, pengertian badan hukum bisa bersifat
perdata dan bisa pula bersifat publik. Apakah LPS termasuk
sebagai badan hukum publik atau perdata dengan melihat
kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Chidir Ali ( 2005):
1. Dilihat dari cara pendiriannya,
LPS diadakan dengan konstruksi hukum publik yaitu
didirikan oleh pemerintah dengan undang-undang;
2. Lingkungan kerjanya,
LPS dalam melaksanakan tugasnya bertindak yang
sama kedudukannya dengan publik walaupun dalam
beberapa hal LPS juga melakukan perbuatan-
perbuatan perdata;
3. Wewenang
LPS memiliki wewenang membuat dapat mengambil
keputusan-keputusan dan membuat peraturan-
peraturan yang mengikat orang lain yang tidak
tergabung dalam badan hukum.
Dengan dipenuhinya kriteria-kriteria tersebut diatas maka
dapat disimpulkan bahwa LPS adalah badan hukum
publik (publiek rechts person).
Pengaturan Yang Saling Bersaing
Sembilan temuan BPK dalam laporan audit investigasinya
akhir tahun 2009, tidak tegas menyimpulkan, terkait
dengan proses merger, penyehatan melalui fasilitas
pendanaan jangka pendek (FPJP) oleh Bank Indonesia
atau penyertaan modal sementara (PMS) oleh Negara
melalui LPS sebagai keuangan negara atau bukan
(Kompas, 2 Pebruari 2010). Pengertian keuangan negara
yang terdapat dalam UU No. 17 / 2003 tentang Keuangan
Negara, adalah semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang. Serta segala sesuatu, baik
berupa uang maupun berupa barang yang dapat
dijadikan milik negara yang berkaitan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban. Ruang lingkup dari
keuangan negara berdasarkan Pasal 2 UU 17/2003
adalah:
a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan
dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas
layanan umum pemerintahan negara dan membayar
tagihan pihak ketiga;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
c. penerimaan negara;
d. pengeluaran negara;
e. penerimaan daerah;
f. pengeluaran daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola
sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga,
piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai
dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah
dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan
dan/atau kepentingan umum;
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan
menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 17/ 2003, negara
menguasai sekaligus memiliki keuangan publik, bahkan
keuangan privat sekalipun.
Ada empat pendekatan yang dipergunakan UU No. 17/
2003 dalam melihat apakah sesuatu masuk dalam
keuangan negara atau tidak yaitu:
Obyek, meliputi semua hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang, termasuk kegiatan dan kebijakan
dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara
berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
Subyek, adalah Pemerintah Pusat, Pemda, Perusahaan
Negara/Daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan
keuangan negara.
Proses, adalah seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan
dengan pengelolaan obyek tersebut mulai dari perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan
pertanggungjawaban.
Tujuan, Meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan
hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek tersebut dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Dengan demikian UU No.17/2003 mengalami perluasan
rumusan yang menggeser pemahaman yuridis bahwa
keuangan negara hanya dibatasi pada anggaran negara
(APBN). Menurut Arifin P. Soeria Admaja (2010)
pengaturan keuangan negara yang diperluas,
menunjukkan adanya imperpektivitas hukum keuangan
negara karena mengesampingkan esensi kemandirian
badan hukum (BUMN, BUMD dan badan hukum lainnya)
sehingga mengurangi konsepsi berpikir atas manfaat dan
kegunaan keuangan negara. Secara sistem, ketentuan
perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggung
jawaban keuangan badan hukum berbeda dengan APBN
sebagai keuangan negara.
Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi,
menggunakan rumusan keuangan negara adalah seluruh
kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan
atau tidak dipisahkan yang langsung dalam penguasaan
pemerintah maupun yang dipisahkan dalam badan
hukum. Menilik sepak terjang KPK selama ini, maka dapat
diketahui bahwa menjalankan fungsi penegakan hukum
antikorupsi KPK tidak pernah membedakan keuangan
negara dan keuangan Negara. Pengertian keuangan
Negara yang demikian luas, membawa konsekwensi
hukum tersendiri yang patut dicermati terkait dengan
kegiatan-kegiatan yang dilakukan pemerintah baik dalam
hal pendirian badan-badan hukum privat maupun badan
hukum publik.
Dalam keterkaitannya dengan LPS, apakah uang LPS
merupakan keuangan negara ataukah bukan
keuangan negara?
Guna menjawab pertanyaan dana yang terdapat dalam
LPS adalah keuangan negara ataukah keuangan negara,
petama-tama dapat dilihat dari modal pendirian LPS.
Mengenai Modal pendirian LPS diatur dalam Pasal 81
Ayat (1) UU No. 24/2004 mengatur bahwa modal awal
LPS ditetapkan sekurang-kurangnya
Rp4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah) dan
sebesar-besarnya Rp8.000.000.000.000,00 (delapan
triliun rupiah). Dalam penjelasannya disebutkan, modal
awal pendirian LPS bersumber dari kekayaan negara yang
dipisahkan. Dalam Pasal 81 ayat (3) diatur bahwa LPS
bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan
semua asetnya.
Dalam Pasal 81 tersebut di atas disebutkan bahwa modal
awal LPS berasal dari Kekayaan negara yang dipisahkan.
Dipisahkannya modal awal dari kekayaan negara berarti
keuangan Negara tersebut telah dipisahkan dari APBN,
diletakkan sebagai modal pendirian LPS yang tidak terbagi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
22
atas saham. Selanjutnya dalam Pasal 81 ayat (2) UU
24/2004 disebutkan bahwa kekayaan LPS merupakan aset
negara yang dipisahkan. Dengan dipisahkannya kekayaan
LPS dari kekayaan negara berarti kekayaan tersebut telah
dilepaskan dan menjadi kekayaan LPS sebagai badan
hukum. Dana penyertaan pemerintah sebagai modal
pendirian LPS merupakan kekayaan Negara yang dipisahkan
dan dalam perjalanan LPS telah tercampur dengan premi
yang dibayarkan secara wajib (Pasal 12 UU 24/2004).
Mengenai kekayaan yang terpisah tersebut dikuatkan
dengan pengaturan bahwa LPS bertanggung jawab
terhadap pengelolaan dan penatausahaan semua asetnya.
Splitsing (pemisahan) adalah pembagian atau pembelahan
yang berarti terlepas satu dengan yang lain, sehingga
tidak tepat jika dikatakan bahwa bagian yang satu masih
merupakan bagian dari yang lain (Nindyo Pramono, 2007).
Kekayaan yang terpisah artinya terlepas dari yang
memegangnya (onpersoonlijk atau subjecttloos). Kekayaan
Negara yang telah dipisahkan berarti bahwa kekayaan
tersebut telah dipisahkan dan diberikan atau diletakkan di
dalam LPS sebagai suatu entitas hukum yang mandiri.
Erman Rajaguguk, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, menyatakan uang di badan hukum adalah
milik badan hukum itu, meski berasal dari APBN (http://
www.bisnis.com). Dengan demikian dana Rp. 4 triliun
yang bersumber dari kekayaan negara yang telah
dipisahkan, sudah menjadi modal LPS sehingga bukan
lagi keuangan negara. Hal ini selaras dengan apa yang
telah dikemukakan dalam penjelasan UU no. 24/ 2004
bahwa dengan didirikannya LPS oleh pemerintah
diharapkan mampu meminimalisir meminimalisir risiko
yang membebani anggaran negara. Karena dengan
kekayaan yang dipisahkan maka pembebanan terhadap
anggaran negara terhadap resiko yang mungkin muncul
dalam penyelenggaraan LPS dapat dibatasi.
Logika berpikir di atas relevan dengan perwujudan LPS
sebagai badan hukum. Badan hukum atau legal person
dalam Black’s Law Dictionary (2000:726) didefinisikan
sebagai :
“a body, other than a natural person, that can function
legally, sue or be sued, and make decisions through
agents”.
Badan hukum atau rechts persoone merupakan subyek
hukum bersama dengan manusia atau natuurlijke
personen yang dapat memikul hak dan kewajiban.
Hukum mengenai personenrecht memuat peraturan
kewenangan hukum atau rechtsbevoegdheid dan
kewenangan bertindak atau handelingsbevoegdheid dari
purusa (van Apeldoorn, 1983). Subyek hukum yang
berupa badan hukum ini mempunyai wewenang untuk
memiliki hak-hak subyektif dan dapat melakukan perbuatan
hukum yang dilakukan oleh organ badan hukum.
Ada banyak teori badan hukum yang mendasari
perkembangan badan hukum yang antara lain Teori Fiksi
(Frederich Carl von Savigny), Teori Organ (Otto von Gierke),
Leer van het ambtelijk vermogen (Holder dan Binder),
Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering), Teori Kekayaan
Bertujuan ( A. Blinz dan diikuti oleh Van der Heijden), Teori
Kenyataan Yuridis (Meijers dan Paul Scholten), dan teori
badan hukum lainnya. Teori-teori badan hukum tersebut
di atas, pada dasarnya berpusat pada dua pandangan
yaitu:
1. Badan hukum sebagai wujud yang nyata, disamakan
dengan manusia. Badan hukum dianggap identik
dengan organ-organ pengurus yang oleh hukum
dianggap sebagai persoon;
2. Badan hukum tidak sebagai wujud yang nyata, tetapi
hanya manusia yang berada di belakang badan hukum
tersebut yang merupakan subyek hukum. Akibatnya
bila badan hukum melakukan kesalahan, merupakan
kesalahan manusia-manusia (oragan pengurus) yang
berada di belakang badan hukum tersebut secara
bersama-sama (Chidir Ali,2005).
Teori-teori badan hukum yang telah dikemukakan, bertumpu
pada filosofi pendirian badan hukum, bahwa dengan
kematian pendirinya maka harta kekayaan badan hukum
tersebut diharapkan masih bermanfaat bagi orang lain.
Kekayaan yang dipisahkan (splitsing), yang merupakan ciri
utama badan hukum, diartikan harta kekayaan badan
hukum terlepas/terpisah dari orang/pihak/pendiri badan
hukum tersebut (Nindyo Pramono, 2007). Dengan demikian
kekayaan yang dipisahkan tersebut digunakan dalam
badan hukum berinteraksi dengan pihak lain, menjalankan
hak dan kewajibannya sebagai subyek hukum yang mandiri
guna mencapai tujuan dari pendirian badan hukum
tersebut.
Berdasarkan paparan di atas, maka kekayaan LPS bukanlah
keuangan negara namun merupakan kekayaan negara
yang dipisahkan. Walaupun negara memperoleh pendapatan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
dari surplus yang diperoleh LPS, sebagai pendapatan non
pajak. Pendapatan dari surplus inilah yang masuk dalam
kategori keuangan negara. Surplus LPS yang dapat menjadi
pendapatan negara bukan pajak harus memenuhi
persyaratan tertentu sesuai dengan Pasal 83 UU No. 24/2004,
sebagai berikut.
(1) Surplus yang diperoleh LPS dari kegiatan operasional
selama 1 (satu) tahun dialokasikan sebagai berikut:
a. 20% (dua puluh perseratus) untuk cadangan tujuan;
b. 80% (delapan puluh perseratus) diakumulasikan
sebagai cadangan penjaminan.
(2) Dalam hal akumulasi cadangan penjaminan mencapai
tingkat sasaran sebesar 2,5% (dua puluh lima perseribu)
dari total simpanan pada seluruh bank, bagian surplus
sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b merupakan
Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surplus dan
penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Konsekuensi yuridis LPS sebagai badan hukum independen
yang kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara atau
memiliki kekayaan sendiri, maka dalam LPS melakukan
pengelolaan kekayaan dan kewajiban, pelaporan dan
akuntabilitas serta hubungannya dengan organisasi lain,
mendasarkan pada good corporate governance (penjelasan
UU No. 24/2004). Dengan demikian organ LPS dalam
menjalankan pengelolaannya haruslah mendasarkan pada
prinsip-prinsip yang terdapat dalam doktrin good
corporate governance.
Good Corporate Governance (Ruru, 2002) pada dasarnya
merupakan suatu mekanisme yang mengatur tentang tata
cara pengelolaan berdasarkan rules yang menaungi, seperti
anggaran dasar (articles of association) serta peraturan
perundang-undangan. Dengan demikian sebenarnya GCG
bukan saja berkaitan dengan hubungan antara perusahaan
(badan hukum) dengan para pemiliknya tapi juga (dan
terutama) dengan para pihak yang mempunyai kepentingan
dengan badan hukum. Paling tidak terdapat empat prinsip
yang harus diterapkan dalam kepengurusan berdasarkan
GCG yaitu: responsibilitas, akuntabilitas, keadilan dan
kewajaran, serta transparansi.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas maka dapat diketahui bahwa
kekayaan Negara yang dipisahkan dari APBN haruslah
diartikan sebagai kekayaan LPS, bukan lagi bagian dari
keuangan negara. LPS sebagai badan hukum memiliki
kemandirian dengan segala konsekuensi yuridis yang
dapat dipikulnya. Dengan demikian tidak tepat bila dalam
ketentuan LPS yang berlaku sebagai lex specialis
terhadap konstruksi badan hukum LPS diperhadapkan
dengan pengaturan tentang keuangan negara dengan
segala implikasi yuridisnya. Namun demikian haruslah
dipahami bahwa yang masuk sebagai keuangan negara
adalah segala keuntungan LPS yang disetorkan sebagai
penerimaan negara bukan pajak, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 83 UU LPS.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
Ali, Chaidir, 2005, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
Apeldoorn, 1983, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta.
Djafar Saidi, Muhammad, 2008, Hukum Keuangan Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Pieris, John, 2007, Etika Bisnis dan Good Corporate Governance, Pelangi Cindekia, Jakarta.
Pramono, Nindyo, 2007, Permasalahan Seputar Hukum Bisnis,
Witherell, Bill, May 2004. “Corporate Governance: Stronger principles for better market integrity”. The OECD Observer. Paris.
Makalah
Atmadja, Arifin P. Soeria, Hukum Keuangan Negara Pasca �0 Indonesia Merdeka, dalam http://www.pemantauperadilan.
com.
Ruru, Bacelius. Good Corporate Governance dalam Masyarakat Bisnis Indonesia, Sekarang dan Masa Mendatang. Dalam:
http:// www.nccg.indonesia. Orglokakarya.
Rajaguguk, Erman, Kekayaan BUMN Persero bukan Kekayaan Negara, http://www.bisnis.com.
Peraturan Perundangan
UU No. 24 tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
PP No. 39 tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan negara/Daerah
Koran
Kompas, 2 Pebruari 2010
Daftar Pustaka
2�
Pendahuluan
Sejatinya penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank
merefleksikan dua hal penting. Pertama, sebagai wujud
dari eksistensi bank itu sendiri, yaitu lembaga intermediari
yang salah satu esensi utamanya adalah menyalurkan
kembali dana masyarakat yang berhasil dihimpunnya,
dalam bentuk kredit atau pembiayaan untuk pemenuhan
kebutuhan perekonomian. Kedua, penyaluran kredit/
pembiayaan tersebut merupakan piranti utama bagi bank
untuk memperoleh pendapatannya sekaligus untuk
menjaga keberlangsungan hidupnyanya (going concern). 1
Salah satu indikator keberhasilan bank dalam penyaluran
kreditnya dapat dilihat dari rasio pemberian kredit terhadap
dana yang berhasil dihimpunnya (loan to deposit ratio-
LDR). Pencapaian LDR yang tinggi sekaligus menunjukkan
pula efektifitas kinerja bank sebagai lembaga intermediari2.
Disadari bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung
risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Bank
harus memperoleh keyakinan bahwa kredit yang
disalurkannya tersebut dapat dikembalikan kembali oleh
debitur tepat pada waktunya. Untuk memperoleh keyakinan
tersebut, maka dalam proses pemberian kredit, bank akan
mengikuti prosedur pemberian kredit (SOP)3 yang berlaku
di internal bank untuk melakukan penilaian yang seksama
atas kemampuan debitur yang lazim menggunakan
ukuran 5’Cs yaitu Watak (Character), Kemampuan (Capacity),
Modal (Capital), Agunan (Collateral) dan prospek usaha
(Condition of economy), sehingga bank dapat mengetahui
bahwa usaha proyek yang dibiayainya layak (feasible) dan
bankable.
*) Deputi Direktur Hukum Bank Indonesia
1 Meskipun secara umum penyaluran kredit tersebut masih mendominasi struktur aktiva produktif bank saat ini, terlihat adanya kecenderungan shifting penyaluran dana bank dari Kredit ke jenis aktiva produktif lainnya yang dinilai lebih aman namun memberikan return yang tinggi, misalnya Surat Berharga.
2 Rasio 90% s.d 110% dianggap sebagai rasio yang ideal.
3 SK DIR BI No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang Kewajiban Penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank bagi Bank Umum
Kredit Macet:Antara Kerugian Negara atau Kerugian KorporasiOleh: Agus Santoso, SH,LLM*)
Untuk mengelola risiko kredit dan meminimalkan potensi
kerugian, bank wajib melaksanakan prinsip-prinsip
prudential, antara lain menjaga kualitas aktiva produktifnya
dan wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva
produktif. Sebagai acuan untuk menilai kualitas aktiva
produktif, Bank Indonesia menetapkan aturan penggolong
kredit ke dalam 5 kategori, yaitu Lancar, Dalam Perhatian
Khusus, Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet. Dalam
kaitan ini, kredit digolongkan sebagai kredit bermasalah
adalah kredit yang kondisinya dinilai sudah tidak lancar,
yang menggambarkan terganggunya usaha debitur.
Indikasinya antara lain terlihat dari kelancaran pembayaran
kembali kredit/pembiayaan tersebut (angsuran pokok
maupun bunga) dan atau prospek usaha dan kinerja
(performance) debitur yang dinilai buruk. Bila terjadi yang
demikian itu, bank selaku kreditur, akan mengupayakan
berbagai tindakan penyelamatan kredit.
Penyaluran Kredit & Kredit Bermasalah
Kredit merupakan salah satu bentuk dari Aktiva Produktif
bank4. Kondisi dan karakteristik Aktiva Produktif bank
dipengaruhi oleh risiko kredit, yang apabila tidak dikelola
secara efektif akan berpotensi mengganggu keberlangsungan
usaha bank. Oleh karena itu, bank perlu meminimalkan
potensi kerugian atas penyediaan dananya, misalnya
memelihara eksposur risiko kredit pada tingkat yang
terukur resikonya.
4 Menurut PBI No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005, tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, Aktiva Produktif Bank adalah Penyediaan dana Bank untuk memperoleh penghasilan, dalam bentuk kredit, surat berharga, penempatan dana antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali (reverse repurchase agreement), tagihan derivatif, penyertaan, transaski rekening administratif serta bentuk penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu. Sedangkan pengertian Kredit adalah Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, termasuk: a. Cerukan (overdraft), yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari; b. Pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang; c. Pengambilalihan atau pembelian kredit dari pihak lain.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
Sebagaimana kita maklumi, fondasi bisnis perbankan
adalah kepercayaan. Masyarakat penyimpan dana percaya
bahwa bank memiliki kemampuan untuk mengelola
dananya secara aman. Begitu juga halnya dengan pemberian
kredit, walaupun diberikan melalui proses penilaian yang
seksama, tetap saja, pemberian kredit mengandung risiko,
sehingga bank harus dapat meyakini bahwa kredit yang
disalurkannya tersebut akan dipergunakan sesuai dengan
tujuannya oleh debitur dan dapat dikembalikan lagi tepat
pada waktunya, sehingga kepentingan dan kepercayaan
masyarakat dilindungi dan dipelihara oleh bank.
Apabila dilihat dari penyebabnya, kredit bermasalah dapat
terjadi karena faktor eksternal atau internal. Faktor eksternal
antara lain karena kondisi perekonomian/dunia usaha
yang mengalami krisis, terjadi huru-hara atau bencana
alam, adanya perubahan kebijakan Pemerintah, sedangkan
faktor internal antara lain salah urus usaha debitur,
perselisihan manajemen perusahaan debitur, penyalahgunaan
kredit (mis fasilitas Kredit Investasi digunakan untuk
KMK), praktek KKN atau memang terjadi pemberian
kredit yang tidak proper (lack of analisys),.
Kredit macet akan mempengaruhi tingkat kesehatan dan
usaha bank. Akibat yang kritikal adalah terhentinya
pendapatan bank, dan akan mempengaruhi kemampuan
bank dalam mengelola likuiditasnya, yaitu terganggunya
bank untuk melakukan pemenuhan kewajiban terhadap
pihak ketiga, terutama terhadap dana-dana simpanan
masyarakat dan komitmennya kepada bank lain. Hubungan
yang bersifat “saling ketergantungan” antara bank dan
nasabah, serta diantara sesama bank, merupakan titik rentan
yang setiap saat mengancam integritas sistem perbankan itu
sendiri. Kejatuhan suatu bank dapat berimbas pada jatuhnya
bank lainnya (domino effect). Dalam skala yang lebih luas
dan makro, apabila hal tersebut terjadi secara masive, maka
dapat terjadi risiko sistemik yang dampaknya dipastikan
akan merusak perekonomian negara.
Hal yang penting disini adalah bahwa kredit macet (baca:
aktiva produktif bermasalah) harus diupayakan solusinya.
Berdasarkan kaedah-kaedah yang selama ini telah berlaku
bagi perbankan, bank akan melakukan pembinaan kredit
dan bila diperlukan akan melakukan upaya penyelamatan
kredit seperti suplesi (tambah kredit), atau restructuring
(perubahan kredit). Masuknya kaedah-kaedah “asing”
dalam penyelesaian kredit macet dikhawatirkan dapat
mengganggu sistem penyelesaian yang berlaku di
perbankan, terlebih lagi apabila kaedah “asing” tersebut
sifatnya berbeda secara fundamental, dalam hal ini
misalnya terjadi kecurigaan indikasi koruptif suatu kredit
menjadi kredit bermasalah. Cukup menarik untuk dibahas
lebih jauh apakah keengganan para bankir untuk
”berurusan dengan aparat penegak hukum”, telah
mengakibatkan rendahnya kinerja perkreditan Perbankan
Nasional.
Hantu Korupsi
Fenomena “ketakutan” para bankir menyalurkan kredit
dengan alasan ”enggan berurusan dengan aparat
penegak hukum” harus kita waspadai, karena
konsekuensinya terlalu mahal terhadap perekonomian.
Ketakutan atau keengganan tersebut tidak boleh dibaca
sebagai “ke-hati-hatian”, sehingga menghambat
pembiayaan bank terhadap proyek-proyek ekonomi vital
dan berskala besar yang sangat dibutuhkan untuk
menunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat.
Prof. Dr. Soedrajad Djiwandono, mantan Gubernur Bank
Indonesia, dalam salah satu tulisannya5, menengarai
bahwa sebagai akibat dari tindakan yang keliru atau
absennya tindakan benar, baik karena kekurang mampuan
aparat (sins of omission) atau karena kesengajaan dalam
rangka praktek-praktek KKN (sins of comission),
mengakibatkan hasil pembangunan di masa lalu tidak
berlanjut, hilang atau rusak. Lebih lanjut Soedrajad
mengemukakan bahwa peranan kelembagaan penunjang
sebagai pendukung bekerjanya perbankan yang sehat,
dalam hal ini hukum dan peradilan masih jauh dari
harapan. Kelambatan dan proses berbelit serta adanya
berbagai kepentingan (interest group), mengakibatkan
banyak masalah menjadi terbengkalai atau tidak kunjung
ada penyelesaiannya, sehingga terjadi gejala kemandegan
dalam berbagai aspek pembangunan. Sayangnya banyak
pihak kerapkali ikut menjadi bagian dari masalah,
bukannya menyumbang pada penyelesaian masalah6.
Harapan akan peran kredit untuk mendorong pertumbuhan
yang tinggi dengan demikian masih jauh dari harapan.
Pengucuran kredit oleh perbankan yang lambat padahal
suku bunga acuan BI (BI Rate) telah diturunkan pada level
yang relatif rendah (saat ini 6.50), menunjukkan adanya
masalah fundamental pada proses ini.
5 Soedrajad Djiwandono, “ Menuju Sistem Perbankan Untuk mendukung Pembangunan Nasional”, http:/Kolom.pacific.net.id.
6 Soedrajad Djiwandono, ibid
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
Dari data tersebut, terlihat bahwa perkembangan LDR
dalam 2 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
stagnan pada angka 73%, padahal dalam periode tersebut
suku bunga acuan BI (BI rate) telah mengalami penurunan
yang siginifikan dari kisaran 11 % pada awal tahun 2008
menjadi 6,5% pada akhir tahun 2009.
Terkait hal ini, patut dipertanyakan juga apakah “ketakutan”
para bankir berurusan dengan masalah hukum juga ikut
andil dengan lambatnya pengucuran kredit ini? Pertanyaan
seperti itu akan menjadi valid jika pandangan institusi
penegak hukum, berbeda secara fundamental dari para
bankir dalam melihat persoalan kredit bermasalah. Kredit
bermasalah yang dipandang sebagai risiko bisnis oleh bank,
tetapi dipandang sebagai “kerugian negara”dari kacamata
penegak hukum akan menyulitkan posisi bankir. Tentu
saja kita juga tetap sepakat bahwa kesemuanya itu bukan
merupakan “excuse” untuk melepaskan jerat hukum
terhadap oknum-oknum yang memanfaatkan pemberian
kredit bank sebagai sarana untuk melakukan kejahatannya.
Namun yang paling penting disini adalah menemukan
pemahaman yang sama agar esensi atau tujuan keduanya
yakni pembangunan ekonomi dan pemberantasan
kejahatan perbankan dapat efektif dan tepat sasaran.
Terkait hal ini, tindakan hukum terhadap para bankir,
sejatinya harus ditujukan untuk mendorong pertumbuhan
kredit, sehingga dalam pelaksanaannya para penegak
hukum harus mampu memahami dunia bisnis perbankan.
Tindakan hukum yang bersifat parsial yang hanya
cenderung memandang dari kacamata “pelanggaran SOP
= terpenuhinya urusan melawan hukum” akan
berdampak kontra produktif terhadap penyaluran kredit
oleh perbankan domestik kepada dunia usaha.
Restrukturisasi Kredit vs Kriminalisasi Kredit
Dalam perjalanannya, meskipun bank telah berusaha
melakukan langkah-langkah pemberian kredit dengan
mengikuti prinsip-prinsip pemberian kredit yang sehat,
namun bank tetap menghadapi risiko, antara lain debitur
mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya
kepada bank. Terkait hal ini, sesuai kelaziman, bank
biasanya melakukan beberapa tindakan antara lain dalam
bentuk restrukturisasi kredit berupa:
1. penurunan suku bunga;
2. perpanjangan jangka waktu kredit;
3. pengurangan tunggakan bunga kredit;
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
28
4. pengurangan tunggakan pokok kredit;
5. penambahan fasilitas kredit; dan atau
6. konversi Kredit menjadi Penyertaan Modal sementara.
Disadari bahwa upaya restrukturisasi kredit ini dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu,
maka Bank Indonesia telah membatasi secara ketat
kriteria dan persyaratan pelaksanaannya, yaitu antara lain
upaya restrukturisasi kredit hanya dapat dilakukan
terhadap debitur-debitur yang dinilai masih memiliki
prospek untuk memenuhi kewajibannya. Selain itu bank
dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan
hanya untuk menghindari penurunan penggolongan
kualitas kredit; peningkatan pembentukan Penyisihan
Pembentukan Aktiva (PPA) atau bertujuan untuk
menghentikan pengakuan pendapatan bunga secara
akrual.
Sedangkan bagi debitur-debitur macet yang sudah tidak
mempunyai prospek, maka dalam rangka membersihkan
aset bank (cleaning asset) dari aset bermasalah (bad asset),
bank dapat melakukan upaya hapus buku dan hapus tagih.
Hapus buku dan atau hapus tagih tersebut hanya dapat
dilakukan setelah bank melakukan berbagai upaya
penyelamatan.
Dengan demikian maka upaya restrukturisasi kredit dan
hapus buku/hapus tagih tersebut adalah hal yang wajar
dan normal bagi sebuah bank, dan marupakan bagian
dari pengelolaan aktiva produktifnya.
Terkait hal ini, hal yang patut dibahas adalah adanya
kecenderungan upaya kriminalisasi terhadap langkah
penyelamatan tersebut, dalam hal ini adalah masuknya
unsur hukum pidana dalam hukum privat (perjanjian
kredit). Apakah kita ingin menggeser sebagian pengaturan
perjanjian kredit dari hukum perdata ke hukum pidana?.
Hal ini tentu perlu mendapat perhatian yang serius dari
para ahli hukum, agar kriminalisasi tersebut tidak merusak
sistem hukum yang ada, karena hal tersebut dapat
menjadi preseden di masa yang akan datang.
Pertanyaan lain adalah bagaimana bila kriminalisasi tersebut
dikaitkan dengan tindakan preventif untuk memberantas
korupsi dalam proses pemberian kredit oleh bank BUMN?
Hal ini tentu akan mendistorsi level playing field industri
perbankan nasional. Daya saing bank BUMN mengalami
penurunan dibandingkan bank swasta yang tidak dapat
dikenakan kriminalisasi tersebut. Selain itu, kriminalisasi
dimaksud juga akan menurunkan keberanian memutus
para bankir bank BUMN untuk memberikan kredit karena
adanya potensi ancaman pidana. Hal seperti ini tentu saja
kontraproduktif terhadap upaya pemerintah untuk
mendorong perbankan dalam menyalurkan kredit/dana
kepada sektor riil. Namun apabila pengertian korupsi
diperluas dengan mencakup pula pemberian kredit yang
dilakukan oleh bank swasta, karena alasan bank swasta
juga mengelola dana masyarakat, maka hal ini akan
semakin mengaburkan batasan ranah perdata dan ranah
pidana.
Agunan vs Jaminan Kredit
Terkait dengan krimininalisasi pemberian kredit ini, di
masyarakat dan juga bahkan di kalangan penegak hukum,
pengertian jaminan dan agunan seringkali dipahami
secara keliru. Dalam UU Perbankan, yang dimaksud
dengan jaminan pemberian kredit adalah “keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan debitur” untuk melunasi
utangnya. Sedangkan agunan (collateral) adalah merupakan
salah satu unsur dari jaminan, sehingga apabila berdasarkan
unsur-unsur lain (watak, kemampuan, modal dan prospek
usaha) telah dapat diperoleh keyakinan, maka agunan
dapat hanya berupa barang, proyek atau hak tagih dari
proyek yang dibiayainya tersebut. Dengan demikian
agunan tambahan (di luar proyek/barang yang dibiayai)
tidak mutlak harus disediakan oleh debitur, dan karenanya
kredit yang diberikan tanpa disertai dengan agunan
tambahan bukan merupakan perbuatan kriminal.
Berkaitan dengan aspek agunan ini, dalam rangka
pengamanan terhadap kredit yang diberikan tersebut,
selain di back up dengan jaminan yang memadai, untuk
proyek-proyek tertentu atau untuk jenis-jenis penyediaan
dana tertentu, bank juga meminta debitur untuk
mengasuransikan barang jaminannya dan jika diperlukan,
bank meminta debitur untuk dicover dengan asuransi
jiwa. Selain itu dalam rangka meminimalkan risko kredit,
maka untuk kredit-kredit tertentu bank juga melakukan
penutupan asuransi kredit melalui Askrindo dan Askrida di
daerah.
Paradigma baru Bank BUMN dalam pengelolaan
kredit bermasalah.
Dalam PP No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2005 tentang Tatacara
Penghapusan Piutang Negara/Daerah, pada bagian
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
2�
penjelasan PP ini, ditegaskan bahwa ”Selanjutnya dalam
Penjelasan Pasal 4 Undang-Undang No. �9 Tahun �00�
tersebut juga ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan
“dipisahkan” adalah pemisahan kekayaan negara dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk
dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk
selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi
didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan
pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat. Dengan pemisahan kekayaan negara tersebut,
seharusnya piutang yang terdapat pada BUMN sebagai
akibat perjanjian dilaksanakan oleh BUMN selaku entitas
perusahaan tidak lagi dipandang sebagai piutang negara.
Sejalan dengan itu pengelolaan termasuk pengurusan
atas piutang BUMN tersebut tidak dilakukan dalam
koridor pengurusan piutang negara melainkan diserahkan
kepada mekanisme pengelolaan berdasarkan prinsip-
prinsip perusahaan yang sehat berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan pemikiran
tersebut, maka BUMN memiliki kewenangan/keleluasaan
dalam mengoptimalkan pengelolaan/pengurusan/
penyelesaian piutang yang ada pada BUMN yang
bersangkutan...”.
Dengan berlakunya PP tersebut, ada beberapa hal yang
patut diperhatikan yaitu sbb:
Pertama, PP tsb bertujuan untuk menciptakan level playing
field yang sama bagi seluruh perbankan di Indonesia,
dimana sebelumnya Bank-bank BUMN selalu tersandera
oleh permasalahan ketidakbebasannya dalam penyelesaian
kredit bermasalahnya, karena piutang macetnya dianggap
sebagai kekayaan negara yang proses penyelesaiannya
harus melalui PUPN/BUPLN. Sementara itu para
kompetitornya, yaitu bank-bank swasta dapat dengan
leluasa menyelesaikan permasalahan kredit macetnya
dengan mengacu kepada praktik-praktik yang lebih luwes
dengan sasaran return rate yang optimum.
Kedua, PP ini menegaskan bahwa dengan pemisahan
kekayaan negara tersebut, piutang bank BUMN sebagai
akibat perjanjian yang dilaksanakan oleh bank BUMN
selaku entitas perusahaan tidak lagi dipandang sebagai
piutang negara. Penegasan ini bermakna bahwa urusan
piutang bank BUMN tidak lagi menjadi ranah keuangan
negara.
Ketiga, Bank BUMN tidak dapat lagi dijadikan “sapi
perah”, atau berfungsi “sosial” namun harus mengelola
dirinya sebagai entitas yang mampu berorientasi bisnis.
Dengan demikian tidak ada lagi previlege atau “excuse”
yang dapat diberikan kepada para bankir BUMN dalam
menjalankan usahanya.
Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dikemukakan
bahwa:
1. Penyaluran kredit atau pembiayaan oleh bank
merefleksikan dua hal, yaitu untuk mewujudkan
esensi utamanya sebagai penyedia dana untuk
pembangunan perekonomian, dan sebagai piranti
utama dalam menjaga keberlangsungan hidupnya
(going concern).
2. Harus ada pemahaman yang sama antara perbankan
dan lembaga penunjang bekerjanya perbankan yang
sehat, terutama lembaga auditor dan Penegak Hukum
dalam memandang suatu perbuatan yang dapat
digolongkan sebagai perbuatan kriminal (korupsi).
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�0
halaman ini sengaja dikosongkan
��
�. Pendahuluan
Para bankir sejatinya sangat menyadari bahwa Akta
Otentik1 merupakan suatu dokumen hukum yang
sangat penting bagi bank untuk mengamankan
transaksinya. Akta otentik mempunyai daya pembuktian
keluar, yang tidak dipunyai oleh akta di bawah tangan.
Sedangkan akta di bawah tangan mempunyai
kelemahan yang sangat nyata yaitu orang yang tanda
tangannya tertera dalam akta di bawah tangan, dapat
mengingkari keaslian tanda tangan itu, dan bank
sebagai pihak yang akan mempergunakan akta tersebut
harus membuktikan bahwa memang tanda tangan
debitur adalah asli.
Namun demikian, meskipun sangat memahami
pentingnya akta otentik, dalam prakteknya, penggunaan
akta di bawah tangan tetap saja masih marak di
perbankan. Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya
penggunaan standard contract� dalam perjanjian
kredit antara bank dengan debitur. Terkait
penggunaan akta otentik dan akta di bawah tangan
ini terdapat suatu ungkapan lama yang sangat
terkenal yaitu “siapa yang hendak membuat akta di
bawah tangan, mengambil pena, siapa yang hendak
memperoleh akta otentik, mengambil notaris”.
Banyak alasan yang dikemukakan oleh para bankir
terkait penggunaan akta di bawah tangan ini.
Pertama, penggunaan akta di bawah tangan dalam
perjanjian kredit atau yang dikenal dengan standard
contract dirasakan sangat efisien dan murah, terutama
untuk fasilitas kredit/pembiayaan yang memiliki nilai
*) Analis Hukum Senior Bank Indonesia
1 Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata, suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Menurut Mr. A. Pitlo, akta otentik adalah akta yang dibuat menurut bentuk undang-undang oleh dan dihadapan seorang pegawai umum yang berwenang di tempat itu (Pembuktian dan Kadaluwarsa; alih bahasa oleh M. Isa Arief SH).
2 Menurut Black’s Law Dictionary, standard-form contract is A usual preprinted contract containing set clauses, used repeatedly by a business or within a particular industry with only slight additions or modifications to meet the specific situatiom.
nominal relatif kecil. Kedua, dalam beberapa hal,
bagi bank-bank yang ada di daerah, terutama BPR-
BPR yang lokasinya berada di pelosok pedesaan, sulit/
mahal untuk membuat akta otentik karena ketiadaan
notaris di lokasi tersebut, sehingga seluruh perjanjian
kredit terpaksa dibuat di bawah tangan.
Pada sisi lain penggunaan standard contract
memberikan kemudahan bagi bank dalam memasukkan
seluruh klausula penting yang terkait dengan kepentingan
bank dalam melindungi kredit/pembiayaan yang telah
diberikan kepada debitur. Hanya hal-hal yang masih
memerlukan pembicaraan atau konfirmasi dengan
debitur saja yang masih dikosongkan, dan baru diisi
setelah dibicarakan dan disetujui debitur. Dalam
praktek, penggunaan akta otentik oleh perbankan
lebih banyak dimanfaatkan terutama untuk kredit/
pembiayaan yang mempunyai nilai nominal yang
relatif besar dan sangat besar.
Menyadari bahwa aspek hukum merupakan hal yang
sangat penting dalam melindungi bisnis bank (risk
mitigation), Bank Indonesia telah memasukkan risiko
hukum (termasuk legal document) sebagai bagian
dari penilaian manajemen risiko bank
Dalam makalah berikut akan diuraikan beberapa hal
yang terkait dengan kebijakan Bank Indonesia yang
terkait dengan manajemen risiko d.h.i legal risk dan
tinjauan terhadap praktek dan kendala-kendala
hukum dalam dokumentasi hukum pemberian kredit.
2. Kebijakan Bank Indonesia
Kebijakan Bank Indonesia terkait dengan pemberian
kredit oleh bank dan pengawasan Bank Indonesia
terhadap bank, khususnya dalam penilaian manajemen
risiko (legal risk) dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Regulasi Bank Indonesia terkait dengan pemberian
kredit bank
Akta Otentik dalam Pembuatan Perjanjian KreditOleh : Hilman Tisnawan*)
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�2
Pemberian kredit merupakan kegiatan utama bank
yang mengandung risiko yang sangat berpengaruh
terhadap kesehatan dan kelangsungan usaha bank.
Di sisi lain, sebagian besar dana yang dimiliki oleh
bank adalah merupakan dana yang berasal dari
penghimpunan dana masyarakat. Oleh karena itu
maka pemberian kredit oleh perbankan harus
diatur secara hati-hati (prudent) oleh ketentuan
undang-undang dan ketentuan Bank Indonesia.
UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan dengan
tegas mengatur agar bank senantiasa berpegang
pada prinsip kehati-hatian dalam melaksanakan
kegiatan usahanya, termasuk dalam memberikan
kredit. Dalam implementasinya, Bank Indonesia
sebagai otoritas perbankan menetapkan berbagai
regulasi dan batasan-batasan kepada bank dalam
pemberian kreditnya. Beberapa regulasi dimaksud
antara lain adalah mengenai Kewajiban Penyusunan
dan Pelaksanaan Kebijaksanaan Perkreditan, Batas
Maksimum Pemberian Kredit, Penilaian Kualitas
Aktiva Produktif, Sistem Informasi Debitur, dan
pembatasan lainnya dalam pemberian kredit
kepada sektor-sektor tertentu, termasuk pembatasan
kredit kepada pihak asing dan untuk tujuan
transaksi derivatif.
Dalam ketentuan tentang kewajiban bank untuk
memiliki kebijakan perkreditan bank, diatur
beberapa hal yaitu antara lain bahwa selain harus
tertulis dan mendapat persetujuan dewan komisaris,
kebijakan perkreditan bank sekurang-kurangnya
harus memuat dan mengatur hal-hal pokok
sebagai berikut :
1. prinsip kehati-hatian dalam perkreditan;
2. organisasi dan manajemen perkreditan;
3. kebijakan persetujuan kredit;
4. dokumentasi dan administrasi kredit;
5. pengawasan kredit;
6. penyelesaian kredit bermasalah.
Dalam ketentuan kebijakan perkreditan bank,
pendokumentasian dan administrasi kredit,
termasuk di dalamnya legal documentation,
merupakan salah satu hal penting yang harus
mendapatkan pengaturan oleh bank. Pedoman
kebijakan perkreditan tersebut diperlukan dalam
rangka mendukung keyakinan bank dalam
memastikan keamanan penyaluran kreditnya.
Sejalan dengan hal tersebut, sesuai Pasal 8 UU
Perbankan, diatur bahwa dalam memberikan
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan
berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad
dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah
Debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai
dengan yang diperjanjikan. Dalam penjelasan Pasal
8 UU Perbankan tersebut ditegaskan bahwa
“.........Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah dalam arti keyakinan atas
kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan
yang diperjanjikan merupakan faktor penting
yang harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh
keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit,
bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal agunan dan
prospek usaha dari nasabah debitur.”
Terkait jaminan pemberian kredit ini, jaminan yang
dikehendaki oleh pemberi kredit atau bank, adalah
jaminan yang berdaya guna dan berhasil guna,
artinya jaminan tersebut harus mendapatkan
kepastian kepada pemberi kredit dan mudah
untuk dijual atau diuangkan, guna menutup
pinjaman yang tidak dapat dilunasi oleh debitur.
Jadi fungsi pemberian jaminan adalah memberi
hak dan kekuasaan kepada bank, untuk mendapatkan
pelunasan dari hasil lelang benda yang dijaminkan
itu, apabila debitur tidak membayar kembali
hutangnya tepat pada waktu yang telah ditentukan
dalam perjanjian. Dengan kata lain, fungsi jaminan
adalah dalam rangka memperkecil risiko kerugian
yang mungkin akan timbul apabila debitur inkar
janji3. Dalam praktek perbankan, perjanjian
jaminan selalu dituangkan dalam bentuk tertulis,
yaitu dituangkan dalam Akta Notaris atau akta di
bawah tangan.
3 Retnowulan Sutantio, SH, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustitia 1, 1996.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
b. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia
terhadap bank, khususnya dalam manajemen
risiko.
Untuk memelihara kelangsungan usahanya, bank
harus meminimalkan potensi kerugian atas
penyediaan dana, antara lain dengan memelihara
eksposur risiko kredit pada tingkat yang memadai
dan didukung dengan dokumentasi kredit yang
aman secara hukum. Dalam hal ini, pengurus bank
wajib menerapkan manajemen risiko kredit secara
efektif pada setiap jenis penyediaan dana serta
melaksanakan prinsip kehati-hatian yang terkait
dengan transaksi-transaksi dimaksud.
Penyediaan dana dalam bentuk pemberian kredit
merupakan salah satu jenis aktiva produktif yang
paling penting bagi bank untuk memperoleh
penghasilan, disamping jenis penyediaan dana
lainnya seperti surat berharga, penempatan dana
antar bank, tagihan akseptasi, tagihan atas surat
berharga yang dibeli dengan janji dijual kembali
(reverse repurchase agreement), tagihan derivatif,
penyertaan, pemberian garansi (bank garansi),
transaksi rekening administratif lainnya serta bentuk
penyediaan dana lainnya yang dapat dipersamakan
dengan itu. Begitu juga halnya pemberian Bank
Garansi yang merupakan salah satu bentuk
pemberian kredit non tunai (non cash loan) juga
merupakan sumber pendapatan berbasis fee (fee
based income) yang cukup penting bagi bank4.
Mengingat eksposur risiko terhadap penyediaan
dana baik dalam bentuk-kredit maupun pemberian
4 Namun mengingat besarnya risiko dalam pemberian garansi tersebut, maka bank perlu memperhatikan beberapa hal sbb:• Garansi dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang
mengakibatkan kewajiban membayar terhadap pihak yang me-nerima garansi apabila pihak yang dijamin wanprestasi. Dalam hal ini pemberian garansi dapat berupa Garansi Bank atau Standby Letter of Credit.
• Garansi dalam bentuk penandatanganan kedua dan seterusnya atas surat-surat berharga seperti aval dan endosemen dengan hak regres yang dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank apabila pihak yang dijamin wanprestasi, sebagaimana telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
• Garansi lainnya yang terjadi karena perjanjian bersyarat sehingga dapat menimbulkan kewajiban finansial bagi bank. Pemberian garansi tersebut adalah berupa surat yang dapat menimbulkan kewajiban membayar suatu jumlah tertentu apabila pihak yang dijamin wanprestasi dan Letter of Credit.
Sebagaimana halnya pemberian kredit, karena pemberian garansi dapat menimbulkan kewajiban membayar bagi bank, yang mempen-garuhi likuiditas dan solvabilitasnya, maka pemberian garansi dike-nakan ketentuan tentang BMPK dan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum.
garansi bank cukup tinggi, maka pendokumentasian
yang aman dari sisi hukum merupakan salah satu
hal penting yang wajib diperhatikan oleh bank.
Otentifikasi dokumen perjanjian dalam penyediaan
dana yang besar akan dapat memitigasi risiko,
khususnya apabila penyediaan dana tersebut
mengalami masalah di kemudian hari, sehingga
harus dilakukan eksekusi jaminan dalam
penyelesaiannya.
�. Kendala-kendala Dalam Praktek
Sebagaimana telah diuraikan dalam pendahuluan,
meskipun para bankir sangat menyadari pentingnya
otentifikasi dalam pendokumentasian pemberian
kredit, dalam praktek tetap saja hal tersebut belum
dapat dilakukan sepenuhnya, karena adanya
permasalahan yang terkait dengan biaya dibandingkan
dengan jumlah kredit yang akan diberikan. Di sisi lain,
dalam beberapa kasus yang dialami oleh perbankan,
ternyata meskipun pendokumentasian tersebut sudah
dilakukan “secara aman” dengan akta otentik notaris
sekalipun, namun hal tersebut ternyata tidak
menghilangkan terjadinya manipulasi (fraud) oleh
debitur dan/atau pengurus bank.
a. Beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam
praktek adalah sbb:
i. Untuk kredit yang nilai nominalnya relatif kecil,
pembebanan biaya otentifikasi dokumentasi
kredit (biaya notaris dan pengurusan
dokumentasi hukum di instansi terkait) dirasakan
memberatkan beban debitur kecil. Sebagai
solusinya bank biasanya akan melakukan
pendokumentasian di bawah tangan, dan
pengikatan agunan tidak dilakukan secara
sempurna.
ii. Pada daerah tertentu (di pelosok pedesaan),
lokasi bank dan kantor notaris berjauhan,
sehingga dirasakan tidak praktis untuk membuat
akta notaris karena harus meluangkan waktu
yang cukup dan biaya bagi bank dan debitur.
iii. Jangka waktu kredit relatif pendek (biasanya
untuk fasilitas kredit yang bersifat talangan/
bridging), sehingga otentifikasi dokumentasi
kredit dengan biaya yang relatif besar
dirasakan tidak efisien.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
iv. Dalam beberapa kasus, bank mengalami kendala
pada saat melakukan ekseskusi berdasarkan
grosse akte5, terutama karena adanya sanggahan
dari debitur mengenai jumlah hutang yang
sebenarnya. Dalam beberapa kasus sanggahan
debitur ini hanyalah merupakan akal-akalan
untuk menghalangi eksekusi.
b. Akta Notaris yang “Otentik tetapi tidak
otentik”
Dalam banyak kasus di perbankan, akta otentik
yang dibuat notaris, tidak selalu menjamin
kebenaran para pihak yang melakukan transaksi.
Hal ini misalnya terlihat dari kasus kredit fiktif
(kredit topengan) dengan memanfaatkan “peranan
notaris” untuk membuat “akta otentik yang tidak
otentik”. Kasus yang banyak terjadi adalah dengan
cara memalsukan identitas atau menggunakan
orang-orang tertentu (misalnya, sopir pribadi,
pegawai, sekretaris) yang bertindak seolah-olah
sebagai pengurus dan atau pemilik dalam pendirian
sebuah Perusahan Terbatas. Padahal dalam
kenyataannya para “pemilik dan atau pengurus”
yang tercantum dalam Akta Pendirian Perusahaan
tersebut adalah hanya merupakan topeng (boneka)
yang tidak mengetahui apa-apa dan sepenuhnya
dikendalikan oleh “pemilik asli” dari belakang
layar. Berbekal perusahaan “fiktif” tersebut
selanjutnya “pemilik asli” mengeruk kredit dari
bank dalam jumlah yang sangat besar. Dalam
kasus demikian biasanya bank merupakan korban
yang paling dirugikan. Terlepas bahwa kasus tersebut
dapat terjadi karena adanya kerjasama dengan
orang dalam bank, peranan notaris dalam kasus
ini menjadi demikian penting. Salah satu kasus
yang ditemukan dalam pemeriksaan oleh Bank
Indonesia6, debitur tersebut adalah paper
company, dimana alamat perusahaan adalah fiktif
dan nama-nama pengurus perusahaan tidak tahu
menahu tentang keberadaan perusahaan tersebut
5 Grosse Akte adalah Akta Otentik yang mempunyai kekuatan ekseku-torial. Berbeda dengan Akta Otentik dimana apabila akan dilakukan eksekusi maka kreditur harus terlebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan, maka dengan Grosse Akte pihak kreditur tidak perlu mengajukan gugatan namun cukup mengajukan permohonan untuk melaksanakan isi dari grosse akte tersebut. Secara lengkap lihat dalam Pasal 224 HIR
6 Lihat kumpulan kasus dalam “Modus Operandi Kejahatan Perbankan di Indonesia”, Unit Khusus Inventigasi Perbankan Bank Indonesia, 2003
hanya karena KTP ybs pernah dipinjam dan ternyata
namanya dicantumkan sebagai pengurus perusahaan.
Dalam kasus perusahaan fiktif seperti ini, akta
notariil yang seharusnya merupakan dokumen
hukum penting yang bisa diyakini oleh bank dan
dapat dijadikan dasar dalam mencari kebenaran
(originalitas) suatu dokumen, ternyata menjadi
malapetaka bagi bank dan orang yang KTP-nya
dipinjam tersebut. Terkait hal ini, kiranya perlu
didorong terciptanya tanggungjawab moril dari
notaris pada saat membuat “akta otentik” ini.
Notaris seyogiyanya hanya akan menerbitkan
sebuah akta yang benar-benar telah diyakini
kebenarannya, baik tentang peristiwanya maupun
substansinya.
Kepastian isi akta notaris mencerminkan apa yang
dikehendaki oleh para pihak, dan juga isi akta itu
telah disaring oleh notaris bahwa tidak melanggar
hukum sebab notaris sesuai dengan sumpahnya,
akan menepati dengan seteliti-setelitinya semua
atau segala peraturan bagi jabatan notaris yang
sedang berlaku ataupun yang akan diadakan.
Apabila yang tertulis dalam akta itu melanggar
ketentuan hukum, maka notaris itu harus
menolaknya7. Selanjutnya terkait dengan kepastian
orang berarti bahwa yang menghadap kepada
notaris memang orang yang disebutkan dalam
akta notaris, bukan orang lain dan ditandatangani
oleh orang lain. Sebab setiap orang yang membuat
akta harus harus terlebih dahulu dikenal oleh
notaris. Apabila notaris tidak mengenal orang
tersebut, maka orang itu tidak dapat membuat
akta notaris. Tidak dikenal oleh notaris, orang
tersebut bisa membuat akta tetapi harus
diperkenalkan oleh dua orang saksi yang dikenal
oleh notaris8.
Sebagaimana diketahui bahwa akta otentik
mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan9, yakni:
a) kekuatan pembuktian formil, membuktikan
antara para pihak bahwa mereka sudah
7 Victor M. Situmorang, SH dan Dra. Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Penerbit Rineka Cipta 1993.
8 ibid9 Retnowulan Sutantio, SH dan Iskandar Oeripkartawinata, SH, “
Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek” Penerbit CV. Mandar Maju, 2002
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
menerangkan apa yang tertulis dalam akta
tersebut;
b) kekuatan pembuktian materiil, membuktikan
antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa
yang tersebut dalam akta itu telah terjadi.
c) Kekuatan mengikat, membuktikan antara para
pihak dan pihak ketiga bahwa pada tanggal
yang tersebut dalam akta yang bersangkutan
telah menghadap kepada pegawai umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta
tersebut.
Berkenaan dengan akta otentik tersebut, kiranya
tidak berlebihan apabila notaris yang ditunjuk oleh
Undang-Undang sebagai pejabat negara dalam
penerbitan sebuah akta otentik tersebut, dapat
berperan lebih luas dalam melakukan penelitian
tentang kebenaran dari akta yang dibuatnya.
Dengan adanya kewajiban hadir bagi para pihak di
depan notaris, dan adanya pernyataan dalam akta
notaris bahwa notaris mengenal para pihak yang
menghadap kepadanya tersebut, maka kebenaran
isi akta tersebut seharusnya tidak lagi diragukan.
Dengan demikian maka “penggunaan lembaga
notaris” oleh para pihak yang bermaksud melakukan
kejahatan dengan memalsukan kebenaran akta,
dapat dihindari.
�. Penutup
a. Peranan akta otentik dalam pemberian kredit di
bank sangat penting, karena mempunyai daya
pembuktian keluar, yang tidak dipunyai oleh
akta di bawah tangan. Sedangkan akta di bawah
tangan mempunyai kelemahan yang sangat nyata
yaitu orang yang tanda tangannya tertera dalam
akta di bawah tangan tsb, dapat mengingkari
keaslian tanda tangan itu.
b. Dalam praktek diperbankan, penggunaan akta di
bawah tangan lazim digunakan terutama untuk
pemberian kredit yang nilai nominalnya relatif
kecil.
c. Meskipun peranan notaris dalam pembuatan
suatu akta otentik ini hanya untuk menerangkan
tentang kebenaran suatu peristiwa, namun
seyogianya peranan notaris yang sangat penting
dan terhormat tersebut tidak dimanfaatkan secara
negatif oleh para “pelaku kejahatan”.
��
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
��
Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun
yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan
sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat
terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan
elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir
ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang
menyatakan bahwa perkembangan Internet dan e-commerce
yang terus-menerus memiliki konsekuensi yang erat
dengan hukum yang ada, kebanyakan negara industri
(termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai
beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi
tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus
melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon
yang mungkin ditujukan kepadanya.
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-
commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini
berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus
menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin
mengubah diri menjadi
Penulis berpendapat bahwasanya tidak ada seorang pun
yang dapat meramalkan pengaruh potensial di lingkungan
sosial-ekonomi umum dan bisnis secara pasti dan akurat
terkait dengan kemajuan pesat internet dan perdagangan
elektronik (e-commerce) dalam beberapa tahun terakhir
ini. Namun, ada sebuah konsensus bersama yang menyatakan
bahwa perkembangan Internet dan e-commerce yang terus-
menerus memiliki konsekuensi yang erat dengan hukum
yang ada, kebanyakan negara industri (termasuk negara-
*) Mahasiwa FH Trisakti, Jakarta
Judul : Hukum E-commerce dan Internet : dengan fokus Asia-Pasifik
Penulis : Assafa Endeshaw
Penerbit : Pustaka Pelajar, tahun 200�
Halaman : ��8
Oleh : Mustika Bella Putri Pasaribu*)
Resensi Buku
negara Asia-Pasifik) telah memulai beberapa jenis
reformasi hukum untuk menghadapi tantangan baru
meskipun ketidakpastian masih terus melingkupi sifat
reaksi balik yang muncul dan respon yang mungkin
ditujukan kepadanya.
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-
commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini
berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus
menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin
mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku
ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan
gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam
dua bab, apabila Penulis berpendapat bahwasanya tidak
ada seorang pun yang dapat meramalkan pengaruh
potensial di lingkungan sosial-ekonomi umum dan bisnis
secara pasti dan akurat terkait dengan kemajuan pesat
internet dan perdagangan elektronik (e-commerce) dalam
beberapa tahun terakhir ini. Namun, ada sebuah konsensus
bersama yang menyatakan bahwa perkembangan Internet
dan e-commerce yang terus-menerus memiliki konsekuensi
yang erat dengan hukum yang ada, kebanyakan negara
industri (termasuk negara-negara Asia-Pasifik) telah memulai
beberapa jenis reformasi hukum untuk menghadapi
tantangan baru meskipun ketidakpastian masih terus
melingkupi sifat reaksi balik yang muncul dan respon
yang mungkin ditujukan kepadanya.
Berangkat dari hal tersebut, buku berjudul “Hukum E-
commerce dan Internet dengan fokus di Asia Pasific” ini
berupaya mengeksplorasi persoalan umum dan khusus
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�8
menurut hukum di negara-negara Asia-Pasifik yang ingin
mengubah diri menjadi masyarakat informasi dunia. Buku
ini dibagi ke dalam lima bagian. Bagian pertama menyajikan
gambaran umum yang diakhiri dengan diskusi ke dalam
dua bab, apabila diuraikan secara singkat, pembahasan
Bab Pertama dari buku ini diawali Penulis dengan
memperkenalkan permasalahan konseptual umum yang
berasal dari pengaruh kemajuan teknologi informasi (IT)
terhadap hukum yang semakin meningkat. Namun,
penulis membatasi pembahasannya dengan tidak
memberikan perincian pokok-pokok teknologi apa saja
yang terlibat dalam perubahan sosial-ekonomi tersebut
atau bagaimana hal tersebut akan berubah di tahun-
tahun mendatang, Penulis hanya memfokuskan pada
reaksi hukum serta reaksi dari para pengacara terhadap
kemajuan teknologi dan informasi. Bab Kedua buku ini
berisikan rangkuman Penulis dalam menggambarkan
situasi pada saat pembuatan cyberlaw di Singapura, yang
merupakan salah satu “the leading country” di bidang
teknologi dan informasi wilayah Asia-Pasifik, bab inipun
menggarisbawahi sampai dimana tingkatan pembuatan
hukum dan implementasinya di Singapura sejauh ini, serta
rencana-rencana apa yang akan dijalankan di masa yang
akan datang. Bab ini juga menjelaskan secara singkat
komponen-komponen yang berhubungan dengan
cyberlaw di Singapura, antara lain status serta praktik-
praktik yang menyertainya, tanpa menyelidiki latar
belakang, motivasi ataupun penjelasan masing-masing ini
secara luas. Untuk mempermudah penyampaian, Penulis
membagi bab ini menjadi lima bagian bersamaan dengan
jenis-jenis hukum baru, yaitu regulasi Internet, hukum
penyalahgunaan komputer, hukum transaksi elektronik,
hak milik intelektual, dan perlindungan konsumen. Terakhir,
Penulis ikut menyoroti banyaknya campur tangan yang
tidak terelakan dari lembaga legislatif terhadap
perkembangan cyberlaw di Singapura.
Bagian kedua dari buku ini berisikan tentang pengaturan
Internet yang terdiri atas empat bab, antara lain
membahas mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan kerangka aturan yang diperlukan Internet sebagai
suatu media komunikasi dan transmisi atau pertukaran
informasi. Secara singkat, pembahasan-pembahasan
terpenting pada bagian ini terdapat pada Bab Pertama
yang berisikan uraian yang bersifat meluas tentang
bagaimana Internet telah dibicarakan diseluruh bumi dan
persoalan yang dianggap berhubungan erat dengan
pengaturan media tersebut, serta Bab Ketiga dan Bab
Keempat, yang berturut-turut menggambarkan
bagaimana Penulis mempelajari pengalaman Singapura
dalam mengatur Internet dan penyalahgunaan komputer.
Bagian ini diakhiri dengan penyajian survey komprehensif
atas kondisi pengaturan Internet di wilayah Asia-Pasifik.
Bagian ketiga buku ini terdiri dari empat bab, dimana
Penulis terfokus pada pembahasan mengenai e-commerce,
yaitu implikasi ekonomi atau perdagangan dari internet.
Pada Bab Pertama, Penulis memberikan suatu kerangka
respon terhadap e-commerce menurut hukum, terutama
dalam pembuatan kontrak serta mengusulkan dibentuknya
suatu perjanjian internasional yang bertujuan untuk
memadukan undang-undang perdagangan di era informasi
ini. Sedangkan pada Bab Kedua dan Bab Ketiganya,
Penulis mencermati peraturan-peraturan di Singapura
yang menyangkut e-commerce dan percobaan untuk
mendapatkan kepercayaan konsumen dengan proses
pengenalan trustmarks guna membuat jaringan yang
lebih luas dan tepat untuk sifat internasional teknologi
internet dan e-commerce. Bab terakhir bagian ketiga
buku ini, tersusun menjadi dua sub bab, dimana pada sub
bab pertama, Penulis mengkaji mengenai perkembangan
umum undang-undang e-commerce di wilayah Asia Pasifik,
namun pembahasannya hanya terfokus pada status
penyusunan undang-undang atau implementasi yang
terkait dengan transaksi elektronis secara keseluruhan,
pembuktian kedua belah pihak dan integritas komunikasi
dalam sepuluh negara. Penulis juga membahas secara
ringkas rezim sistem baru di bidang perlindungan konsumen,
hak kekayaan intelektual dan penyelesaian sengketa.
Sedangkan pada sub bab keduanya, Penulis menunjukan
prestasi yang telah dicapai oleh negara-negara Asia Pasifik
yang menjadi “kelompok utama” dan menunjukan adanya
peningkatan titik temu dalam undang-undang yang
membahas status transaksi perdagangan, peran CA
(akuntan berlisensi) dan aturan pelaksanaan.
Pada bagian keempat buku ini, Penulis membahas
mengenai topik-topik khusus yang berkaitan dengan
pengaturan Internet dan undang-undang e-commerce
dalam tiga bab. Pada Bab Pertama dan Bab Kedua Penulis
membahas konflik antara nama domain dan merk dagang
serta solusi yang diusulkan oleh pengadilan, badan legislatif,
dan World Intelectual Property Organization (WIPO) di
dalam penyelesaian perselisihan tersebut. Penulis
menguraikan kerancuan di dalam sistem merk dagang
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
yang telah ditetapkan sebagai akibat kemunculan nama
domain dan berpendapat bahwa satu-satunya langkah
logis sebagai solusi atas permasalahan ini ialah dengan
membentuk suatu perjanjian internasional yang komprehensif
yang menempatkan nama-nama domain setingkat merk
dan mempersingkat aturan administratif untuk keduanya
sedemikian rupa agar sama sekali tidak akan ada konflik
yang dapat timbul baik di satu negara maupun pada skala
global. Selanjutnya, pada Bab Ketiga Penulis membahas
mengenai perlindungan konsumen yang timbul di cyberspace.
Bagian Kelima, dalam satu bab, Penulis mencoba memberikan
pencerahan ke depan untuk cyberclaw dan mengusulkan
arah yang mungkin di masa mendatang. Menurutnya,
bentuk cyberclaw akan terus diterapkan oleh tiga kekuatan
aktif. antara lain perkembangan terakhir Internet dan
hukum e-commerce di Amerika Serikat dan Uni Eropa;
kebijakan dan proposal legislatif yang berasal dari organisasi
internasional; dan soft laws yang dihasilkan oleh entitas
bisnis di seluruh dunia. Demi kepentingan semua bangsa,
dalam bab ini Penulis mengusulkan berbagai cara yang
lebih disukai guna meniadakan jurang pemisah yang ada,
tumpang tindih, dan inkonsistensi dalam cyberclaw yang
muncul serta memecahkan persoalan yang belum
diselesaikan untuk mengadopsi perjanjian.
Seiring dengan perkembangan dan dampak teknologi
informasi yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan
hukum, perlu diperlengkapi dengan instrumen hukum
yang mengimbangi laju perkembangan teknologi yang
dinamis tersebut sehingga tercapai kepastian hukum.
Dalam kenyataannya, meskipun terdapat perbedaan sosio-
ekonomi, penguasaan teknologi, serta tingkat perhatian
(awareness), saat ini telah terdapat pengaturan mengenai
Internet dan e-commerce. Berkaitan dengan hal tersebut,
dalam pembahasan mengenai berbagai aspek regulasi
internet dan e-commerce, Penulis menyinggung perlunya
kesepakatan internasional agar seluruh negara, terutama
negara yang telah maju di bidang industri, menaruh
perhatian pada upaya mewujudkan e-commerce yang aman.
Dalam rangka menghadapi era globalisasi informasi,
Indonesia telah melakukan pengaturan mengenai pengelolaan
Informasi dan Transaksi Elektronik melalui Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) pada tanggal 21 April 2008, agar
pembangunan TI dapat dilakukan secara optimal, merata,
dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna
mencerdaskan kehidupan bangsa.
Buku ini perlu untuk dibaca dan dapat dijadikan acuan
bagi para akademisi, praktisi atau para ahli dibidangnya
dan bahkan masyarakat umum guna memperdalam serta
melengkapi pemahaman mengenai aspek hukum kemajuan
Teknologi Informasi, antara lain permasalahan hukum
pemanfaatan internet, e-commerce termasuk perlindungan
konsumen dalam cyberspace. Penulis menyajikan
pembahasan dalam buku ini dengan baik, komprehensif
dan mendalam.terutama pada pembahasan mengenai
pengaturan e-commerce di Singapura yang dianggap
sebagai “the leading country” di bidang teknologi dan
informasi wilayah Asia-Pasifik.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�0
halaman ini sengaja dikosongkan
��
�. Pendahuluan
Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah
dimulai sejak lebih dari 100 tahun yang lalu yakni sejak
tahun 1906, yaitu berlakunya “verordening op het
faillissement en surceance van betaling voor de european
in Indonesia” sebagaimana Staatblads No. 217 jo.
Staatblads 1906 No. 348 Faillissementsverordening.
Dalam kurun waktu yang cukup lama (dengan awal
tahun 1990-an) tidak banyak kasus kepailitan yang
diajukan ke pengadilan. Namun demikian, krisis
moneter pada tahun 1997, telah menimbulkan kesulitan
besar terhadap berbagai sendi kehidupan masyarakat
terkait perekonomian khususnya dunia usaha, terutama
dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang kepada
kreditur, sehingga banyak utang tidak dapat dibayar
lunas meskipun telah dilakukan penagihan. Kondisi ini
dapat melahirkan akibat berantai, dan menimbulkan
dampak yang lebih luas, antara lain hilangnya
kesempatan kerja dan timbulnya kerawanan sosial
lainnya. Oleh karena itu, dalam rangka mendukung
dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang
piutang tersebut secara adil, cepat, terbuka dan
efektif, sangat diperlukan sarana hukum yang
mendukung.
Pengaturan mengenai kepailitan yaitu Undang-
undang tentang Kepailitan (Faillissements-
Verordening, Staatsblad �905 Nomor 217 juncto
Staatsblad �90� Nomor 348), tidak sepenuhnya
memenuhi kebutuhan penyelesaian masalah
kepailitan termasuk masalah penundaan kewajiban
pembayaran utang. Sehubungan dengan hal
tersebut, Pemerintah berdasarkan ketentuan Pasal
22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah
menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan
(Perpu No. 1 Tahun 1998) yang kemudian disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi UU No. 4
Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan
Cakrawala Hukum:Perubahan Undang-Undang Yang Mengatur Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran UtangRefleksi mengikuti Sidang UNCITRAL Insolvency Law Tahun 200�
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan
atas Undang-Undang tentang Kepailitan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tersebut tidak
sepenuhnya mengganti peraturan kepailitan yang
berlaku, yaitu Faillissements Verordening Staatsblad
tahun 1905 No. 217 juncto Staatblads tahun 1906
No. 308, melainkan sekedar mengubah dan menambah.
Dengan diundangkannya Perpu No. 1 Tahun 1998,
seolah-olah menghidupkan kembali Peraturan Kepailitan
(Faillissements Verordening S. 1905 No. 217 jo S.
1906 No. 348) yang lama sudah tidak digunakan lagi.
Sejak itu, banyak pengajuan permohonan pernyataan
pailit ke Pengadilan Niaga dan muncul berbagai
putusan pengadilan mengenai perkara kepailitan.
Dalam perkembangannya, UU No. 4 Tahun 1998
tersebut diubah dengan Undang-undang No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Hukum Kepailitan yang diatur dalam UNCITRAL
Legislative Guide on Secured Transaction
The legislative guide on insolvency law dipersiapkan
oleh UNCITRAL. Proyek tersebut berawal dari sebuah
proposal yang dibuat untuk UNCITRAL pada tahun
1999 yaitu UNCITRAL harus melaksanakan pekerjaan
lebih lanjut mengenai hukum kepailitan (insolvency),
khususnya insolvency perusahaan, untuk mendorong
pengadopsian rejim insolvensi perusahaan nasional
yang efektif. Pertemuan yang bersifat menjelaskan
untuk mempertimbangkan kelayakan proyek tersebut
diadakan pada bulan Desember tahun 1999. Berdasarkan
pertemuan tersebut, UNCITRAL memberikan mandat
kepada Working Group V (Insolvency Law) untuk
mempersiapkan comprehensive statement of key
objectives dan karakteristik utama untuk sebuah
insolvensi, rejim kreditur-debitur, termasuk restrukturisasi
diluar pengadilan dan sebuah legislative guide yang
mengandung pendekatan yang fleksibel tentang
pengimplementasian tujuan dan karakteristik tersebut
termasuk sebuah diskusi mengenai alternatif
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
�2
pendekatan yang memungkinkan, keuntungan serta
kerugian-kerugian dari pendekatan-pendekatan
tersebut. Untuk mencari masukan, sebuah colloqium
internasional yang diorganisir bekerjasama dengan
INSOL Internasional dan Internasional Bar Association
diadakan pada bulan Desember 2000.
Selanjutnya Working Group V pada bulan Juli 2001
telah mengembangkan draft pertama dari Legislative
Guide on insolvency law dan melalui seven one week
session, pertemuan akhir berlangsung pada akhir
Maret 2004. Disamping itu, perwakilan dari 36 negara
anggota UNCITRAL, observer, dan sejumlah organisasi
internasional baik lembaga pemerintah maupun non
pemerintah berpartisipasi secara aktif dalam pekerjaan
persiapan. Perkerjaan tersebut juga dilaksanakan
bekerjasama dengan Working Gorup VI (Security
Interest) untuk meyakinkan koordinasi perlakuan
security interest dalm insolvensi dengan legislative
guide atas secured transaction yang sedang
dikembangkan oleh UNCITRAL.
Negosiasi-negosiasi terakhir atas draft legislative guide
on insolvency law dilaksanakan selama sesi ke 37
UNCITRAL di New York dari tanggal 14 sampai dengan
21 Juni 2004 dan text yang diadopsi oleh konsensus
pada tanggal 25 juni 2004. Setelah itu, Majelis Umum
mengadopsi resolusi 59/40 pada tanggal 2 Desember
2004. General Assembly mengungkapkan apresiasinya
kepada UNCITRAL karena telah menyelesaikan dan
mengadopsi Legislative guide.
Tujuan the legislative guide on insolvency law adalah
untuk membantu pembentukan sebuah kerangka
hukum yang efektif dan efisien untuk memikirkan
tentang kesulitan keuangan dari debitur. The legislative
guide on insolvency law digunakan sebagai referensi
oleh otoritas nasional dan lembaga legislatif ketika
mempersiapkan peraturan dan perundang-undangan
yang baru atau mereview kecukupan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Advis dalam the
guide bertujuan untuk mencapai keseimbangan
diantara kebutuhan untuk memikirkan tentang kesulitan
keuangan secepat dan seefisien mungkin dan
kepentingan kreditur-debitur dan pihak lain. The guide
mendiskusikan isu-isu utama untuk merancang sebuah
hukum kepailitan yang efisien dan efektif walupun
terdapat perbedaan mengenai kebijakan dan perlakuan
legislatif dalam berbagai sistem hukum.
The guide memfokuskan pada proses insolvensi yang
dimulai berdasarkan hukum insolvensi dengan penekanan
pada reorganisasi, melawan debitur berupa legal
person atau natural person yang menjalankan kegiatan
ekonomi. Permasalahan insolvensi terhadap perorangan
yang tidak menjalankan kegiatan ekonomi tidak
dibahas.
The legislative Guide juga mendiskusikan penggunaan
dan pentingnya merumuskan sarana lain dalam
insovensi, khususnya mengenai negosiasi restrukturisasi
terhadap bisnis debitur secara sukarela antara debitur
dan kreditur-kreditur utama yang tidak diatur oleh
hukum insolvensi. Selain itu dalam merumuskan
tentang persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam
hukum insolvensi nasional, the Guide memasukkan
text dan pedoman untuk pengudangan UNICITRAL
Model Law on Cross Border Insovensi (the UNCITRAL
Model Law) untuk mengakomodasi isu-isu yang
terkait dengan cross border insolvensi. Harus dicatat,
bagaimanapun juga, bahwa sebuah model law umumnya
akan digunakan secara berbeda pada sebuah legislative
guide. Secara khusus, sebuah model law adalah sebuah
text legislative yang direkomendasikan kepada negara-
negara untuk diundangkan sebagai bagian dari hukum
nasional dengan atau tanpa modifikasi. Model law
pada umumnya mengusulkan satu set solusi legislatif
yang menyeluruh untuk merumuskan sebuah istilah
dan bahasa khusus yang ditujukan untuk memasukan
langsung ketentuan-ketentuan dari model law ke
dalam hukum nasional. Fokus dari legislative guide,
disisi lain memberikan petunjuk bagi perumus
undang-undang dan pengguna-pengguna yang lain
termasuk untuk mendiskusikan komentar dan
menganalisis isu-isu yang relevant. Rekomendasi dari
legislative guide tidak dimaksudkan untuk diundangkan
sebagai bagian dari hukum nasional. Dengan demikian,
model laws menggambarkan isu-isu penting yang perlu
dirumuskan dengan beberapa rekomendasi yang
memberikan pedoman yang spesifik tentang bagaimana
merancang ketentuan legislatif.
Secara garis besar Guide ini terdiri dari 2 (dua) bagian,
yaitu Bagian Pertama mengenai Merancang Tujuan-
tujuan Penting dan Struktur dari Hukum Kepailitan
yang Efektif dan Efisien, dan Bagian Kedua mengenai
Pengaturan-pengaturan Utama bagi Hukum Kepailitan
yang Efektif dan Efisien
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
a. Bagian pertama terdiri dari 3 (tiga) bab yaitu :
- Bab I, mengatur mengenai tujuan dari hukum
kepailitan yang efektif dan efisien.
- Bab II, mengatur mengenai mekanisme
mengatasi kesulitan keuangan debitur.
- Bab III, mengatur mengenai Kerangka institusi.
b. Bagian kedua terdiri dari 6 (enam) bab, yaitu :
- Bab I, mengatur mengenai aplikasi dan
permohonan.
- Bab II, mengatur mengenai Perlakuan atas
aset-aset dan permulaan dari proses kepailitan.
- Bab III, mengatur mengenai para pihak/Peserta.
- Bab IV, mengatur mengenai reorganisasi.
- Bab V, mengatur mengenai pengelolaan
proses.
- Bab VI, mengatur mengenai kesimpulan dari
proses.
�. Beberapa konsep kepailitan dalam UNCITRAL
Pembahasan diawali dengan kesepakatan untuk
memberikan tambahan (addendum) pada dokumen
Draft UNCITRAL Notes on Cooperation, communication
and coordination in cross-border insolvency proceedings.
Adapun inti dari addendum adalah menyoroti cross-
border insolvency proceedings, dimana perjanjian
lintas batas (cross-border agreements) antar negara
akan memberikan manfaat untuk memberikan ilustrasi
praktek yang sedang berjalan. Namun disadari bahwa
cross-border agreements akan beragam dari satu
jurisdiksi ke juriskdisi lainnya tergantung kepada
kewenangan para hakim, representasi insolvensi
(semacam kurator dalam kepailitan atau likuidator)
dan aturan hukum insolvensi masing-masing negara.
Oleh karena itu, cross-border agreements akan
memberikan manfaat untuk memfasilitasi koordinasi
dan kerjasama dalam hal terdapat kasus-kasus
insolvensi antar negara.
Setelah disepakati addendum pada dokumen Draft
UNCITRAL Notes on cooperation, communication and
coordination in cross-border insolvency proceedings,
pembahasan dilanjutkan pada dokumen mengenai
Treatment of enterprise groups in insolvency yang
menjadi pokok perhatian dalam international and
domestic issues.
a. Centre of main interest (COMI) yaitu place where
the debtor conducts the administration of its
interest on a regular basis and that is therefore
ascertainable by third parties.
Hal yang menonjol dalam pembahasan COMI di
atas adalah mengenai jurisdiction to commence
insolvency proceedings terhadap suatu grup
perusahaan yang memiliki perusahaan di negara
lain. Masih terdapat berbagai perbedaan pandangan
diantara negara anggota UNCITRAL mengenai
issues tersebut, terutama terkait dengan centre of
main interest suatu grup perusahaan yang memiliki
perusahaan di negara lain, mengenai hukum negara
yang dapat diberlakukan. Sidang masih belum
sepakat mengenai penerapan kriteria atas proses
pengajuan kasus insolvensi terhadap suatu
perusahaan yang memiliki perusahaan (satu grup)
di negara lain, khususnya mengenai jurisdiksi
seorang hakim terhadap kasus yang sedang
dihadapinya dengan grup perusahaan yang berada
dinegara lain. Mengingat belum ditemukannya
formula yang dapat disepakati mengenai hal ini,
disepakati untuk dilakukan studi/pembahasan
khusus mengenai COMI.
Dalam pembahasan mengenai pusat koordinasi/
coordination centre bagi suatu kelompok perusahaan,
beberapa delegasi mengidentifikasi suatu pusat
koordinasi dalam suatu kelompok perusahaan
dengan pusat kepentingan utama (centre of main
interest/COMI) dari seorang debitur (perusahaan).
Selain itu Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan
dimasing-masing negara dapat menspesifikasikan
kantor pendaftaran perusahaan yang mengendalikan
suatu kelompok perusahaan, sebagai pusat koordinasi
proses kepailitan kelompok perusahaan tersebut
yang berada di negara yang berbeda. Pokja juga
mengusulkan agar dalam pembahasan mendatang
mengenai pusat koordinasi juga dibahas antara
lain mengenai pentingnya mempercepat proses
penunjukan pusat koordinasi di kelompok perusahaan
guna menghindari kompleksitas masalah dan
meminimalisir adanya forum shopping. Disepakati
bahwa suatu induk perusahaan (parent company)
tidak serta merta dianggap sebagai suatu pusat
koordinasi suatu kelompok perusahaan dalam hal
terjadi kepailitan lintas batas.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
b. Post-commencement finance
Dalam kaitan ini, hal-hal pokok yang menjadi
sorotan adalah mengenai boleh tidaknya suatu
perusahaan yang sudah dimohonkan pailit ke
pengadilan (perkara insolvensi) menggunakan
tambahan dana segar dari grup perusahaannya
yang masih tergolong sehat guna menyelesaikan
kewajiban, misal menyelesaikan pesanan kliennya
sehingga masih ada dana masuk ke perusahannya.
Agar pembahasan mengenai ini lebih komprehensif,
delegasi negara-negara memandang perlu
dipertimbangkan mengenai biaya post-aplication
finance pada saat mambahas post-commencement
finance.
c. Coordination and cooperation
Dalam bahasan mengenai coordination and
cooperation terdapat pandangan untuk membuat
rekomendasi kepada legislator dan pengadilan
agar memperhatikan hasil kerja WG V agar
mereka dapat mengacu pada model-model yang
ditawarkan berkaitan dengan masalah insolvensi.
Mengenai rekomendasi penyempurnaan Model
Law on cross border insolvency, khususnya Pasal
25 ayat (1) mengenai fasilitas kerjasama dan
komunikasi antara pengadilan dan pengadilan
asing atau perwakilan asing dari pusat koordinasi,
Pokja menyepakati bahwa hukum kepailitan di
masing-masing negara wajib memberikan otorisasi
pengadilan yang berwenang mengadili kasus
kepailitan untuk bekerjasama semaksimal mungkin
dengan pengadilan asing atau perwakilan asing
dari pusat koordinasi.
Mengenai bentuk kerjasama dan komunikasi antar
pengadilan, Pokja menyepakati cakupan kerjasama
antar pengadilan selama diperbolehkan oleh hukum
yang berlaku di masing-masing Negara, termasuk
antara lain menyediakan dokumen terkait kepailitan
termasuk putusan dan transkrip persidangan serta
komunikasi melalui beberapa media. Pokja juga
menyetujui usulan beberapa Negara untuk
menghapus kata “two-way” sebelum komunikasi
untuk merefleksikan dan memfasilitasi adanya
kemungkinan komunikasi antar lebih dari dua
pengadilan.
d. Other issues
Terkait dengan other issues, terdapat kesepakan
bahwa terdapat aspek internasional dalam procedural
coordination, substantive consolidation, appointment
of single insolvency representatives dan a single
reorganization plan sehingga dalam memberikan
suatu rekomendasi, aspek internasional tersebut
harus mempertimbangkan domestic treatment.
Pokja juga mengadopsi rekomendasi penyempurnaan
Model Law on cross border insolvency, pasal 26
ayat (1) mengenai pentingnya hukum kepailitan di
masing-masing negara untuk mengotorisasikan
perwakilan kepailitan/insolvency representative
yang ditunjuk untuk mengadministrasikan proses
kepailitan bagi suatu perusahaan dalam kelompok
perusahaan. Lebih jauh, disepakati agar perwakilan
kepailitan juga memberikan otoritas bekerjasama
semaksimal mungkin dengan pengadilan asing
atau perwakilan pengadilan untuk memfasilitasi
koordinasi proses pengadilan kepailitan suatu
perusahaan di negara lain.
Dalam rekomendasi Pasal 25 ayat 2 dan pasal 26
ayat 2 dari Model Law on Cross-border Insolvency,
Pokja menyetujui bahwa hukum kepailitan di
masing-masing Negara wajib memberikan otorisasi
pengadilan yang berkompeten menangani kasus
kepailitan untuk mengkomunikasikan dan meminta
informasi atau bantuan dari pengadilan asing
dalam hal proses peradilan dilakukan di negara
lain untuk kepailitan suatu perusahaan dalam
kelompok perusahaan. Perdebatan terjadi pada
saat pembahasan rekomendasi mengenai safeguard
dalam Model Law on Insolvenscy. Beberapa Negara
menyatakan bahwa prinsip kerahasiaan bagi
dokumen pengadilan dalam rekomendasi tersebut
akan bertabrakan dengan tujuan dan kerjasama
kepailitan lintas batas yang mengutamakan
transparansi. Beberapa negara mengusulkan agar
prinsip kerahasiaan diberlakukan secara terbatas
hanya pada hal-hal administrasi serta memungkinkan
pihak-pihak yang berkepentingan untuk
menyampaikan keberatannya atas kerahasiaan
dokumen pengadilan. Pokja menyepakati bahwa
prinsip kerahasiaan dokumen pengadilan hanya
akan diterapkan untuk beberapa hal tertentu
seperti hal administrative. Guna melindungi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
informasi rahasia di pengadilan. disepakati pula
point tambahan mengenai safeguard yang intinya
menghormati yurisdiksi masing-masing pengadilan
untuk melakukan komunikasi serta menghormati
hak-hak pihak yang berkepentingan dalam hal
kerahasiaan informasi sesuai dengan hukum dan
peraturan yang berlaku di masing-masing negara.
e. Joint application
Dalam topik ini, dibahas mengenai pengajuan
kasus insolvensi atas suatu grup perusahaan yang
terletak di dua negara berbeda. Oleh karena itu,
Pokja (WG) mendiskusikan mengenai pengajuan
dan dimulainya kasus insolvensi dalam konteks
domestik.
f. Procedural coordination
Menyangkut permasalahan koordinasi sesama
pihak yang akan mengajukan perkara insolvensi
terhadap perusahaan yang memiliki tempat
kegiatan di dua negara yang berbeda.
Mengenai hal prosedural pemerksaan dalam
pengadilan, Pokja menyepakati bahwa hukum
kepailitan di masing-masing Negara dapat
mengotorisasi pengadilan untuk melakukan joint
hearing dengan pengadilan asing dalam memeriksa
kasus kepailitan. Terdapat usul agar rekomendasi
tersebut diperinci dengan prosedur yang lebih detail
sebagaimana tercantum dalam catatan kaki
rekomendasi tersebut. Pokja menyepakati
penambahan detail prosedural pemeriksaan
tersebut dalam text rekomendasi dengan
menggunakan catatan kaki dimaksud.
Khusus mengenai pembahasan cross-border
agreements, terdapat usulan agar otoritas yang
berwenang memberikan persetujuan/endorsement
atas cross-border agreements juga diperluas, tidak
hanya pengadilan setempat, namun mencakup
lembaga non pengadilan seperti Kementrian Luar
Negeri, mengingat praktek di beberapa pengesahan
suatu perjanjian internasional melibatkan
Kementerian Luar Negeri. Pokja menyepakati
usulan tersebut dengan menggunakan formula
kalimat yang lebih luas, tidak hanya Kementrian
Luar Negeri namun juga Kementerian/instansi
terkait lain sesuai hukum dan peraturan di masing-
masing negara.
g. The impact of insolvency on a security right in
intellectual property
Dalam pembahasan mengenai the impact of
insolvency on a security right in intellectual
property, sidang menyepakati berbagai rekomendasi
yang tertuang dalam dokumen yang disiapkan
oleh pihak sekretariat. Dalam pembahasan
mengenai pengaruh kepailitan dalam hak jaminan
atas hak kekayaan intelektual, Pokja menyepakati
masukan Pokja VI (Security Interest) UNCITRAL
yang pada intinya mengakui suatu hak jaminan
atas hak kekayaan intelektual dalam hal terjadi
kepailitan. Secara spesifik, Pokja mengakui
kepailitan terhadap pemberi maupun penerima
lisensi HAKI dalam hal lisensi hak kekayaan
intelektual tersebut dijaminkan kepada pihak lain.
�. Manfaat bagi Indonesia
Tujuan dari UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency
Law (Guide) adalah membantu negara-negara dalam
pengembangan hukum kepailitan modern, mengingat
tidak adanya keseragaman dalam proses kepailitan di
berbagai negara. Dalam pembahasanpun terdapat
perbedaan pandangan masing-masing delegasi negara.
Hal ini dapat dimaklumi karena pada dasarnya terdapat
perbedaan mendasar pada hukum kepailitan di
masing-masing negara, seperti Indonesia, belum
mengenal dan mengatur mengenai cross border
insolvency dalam hukum kepailitan
Perbedaan paling mendasar mengenai perlu tidaknya
mengatur hukum beracara bagi masing-masing
pengadilan dalam hal terjadi cross border insovency
dan mengenai pengadilan manakah yang akan
memegang peranan dalam mengambil keputusan
serta apakah keputusan pengadilan mengenai cross
border insolvency di negara tersebut dapat dilaksanakan
di yurisdiksi pengadilan negara lain. Menangani hal
ini, beberapa negara masih ragu dan menutup adanya
kemungkinan campur tangan pengadilan asing dalam
yurisdiksi pengadilan dalam negeri. Namun beberapa
negara yang mengusulkan adanya kerjasama dan
keterbukaan dalam hal kepailitan lintas batas, karena
tanpa adanya kerjasama dan keterbukaan di masing-
masing pengadilan terhadap pengadilan asing,
mustahil dapat menyelesaikan kepailitan lintas negara.
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
��
Mengenai kerjasama dan koordinasi antar pengadilan
kepailitan, mengingat hal tersebut tidak dikenal dan
diatur dalam hukum kepilitan di Indonesia, maka hal
tersebut perlu menjadi perhatian bagi Indonesia.
Mengingat hal tersebut terkait dengan aspek prosedural
dalam kepailitan lintas batas maka perlu koordinasi
antar instansi di Indonesia, seperti Depkumham,
Mahkamah Agung serta praktisi dan pakar kepailitan.
Mencermati perkembangan rezim hukum kepailitan
internasional sedemikian pesatnya, dipandang perlu
untuk menyesuaikan atau setidaknya mempersiapkan
perluasan cakupan kepailitan dalam UU No. 37 Tahun
2004 untuk mengantisipasi perkembangan tersebut.
Pada sisi lainnya, dikaitkan dengan ketentuan
kepalitan terhadap badan hukum bank dan sistem
hukum yang berlaku di Indonesia, perkembangan
rezim kepailitan dalam model law tersebut perlu untuk
dicermati. Dalam sistem hukum di Indonesia, undang-
undang kepailitan berlaku bagi perorangan dan badan
usaha. Dalam hal ini badan usaha yang berupa bank,
asuransi dan perusahaan efek, prosedur kepailitan
hanya dapat diajukan oleh otoritas masing-masing
badan usaha tersebut. Selain itu, bagi bank juga
berlaku ketentuan mengenai likuidasi. Dalam situasi
perekonomian saat ini, khususnya di Indonesia,
berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No 4 Tahun 2008 (yang tidak disetujui oleh
DPR untuk disahkan sebagai UU) tentang Jaring
Pengaman Sistem Keuangan, suatu bank yang
mengalami kesulitan likuiditas atau insolven, dan yang
berdampak sistemik, apabila memenuhi persyaratan
dalam ketentuan tersebut tidak dilikuidasi melainkan
diselamatkan (bail-out) oleh Pemerintah. Tindakan
yang sama dilakukan pula oleh Pemerintah Amerika
dalam kasus Fannie Mae, Freddie Mac dan AIG, serta
Pemerintah Inggris dalam kasus Northern Rock.
Hal-hal tersebut di atas dapat menjadi masukan dalam
pembahasan model law mengenai Insolvency Law
yang saat ini belum selesai masih sedang dibahas.
�. Penutup
a. Rezim hukum Kepailitan yang dikembangkan
dalam UNCITRAL Legislative Guide on Insolvency
Law (Guide) ini sangat bermanfaat bagi
pembangunan hukum nasional di bidang ekonomi
seluruh negara, khususnya negara yang belum
mengatur mengenai ketentuan kepailitan lintas
batas negara, termasuk Indonesia. Dengan sistem
ekonomi pasar yang makin terbuka, sudah menjadi
suatu keniscayaan bahwa pembangunan hukum
nasional di bidang ekonomi, selain harus menyerap
nilai-nilai nasional, juga harus mengakomodasi
nilai-nilai yang bersifat universal dari praktek bisnis
internasional.
b. Proses Penyusunan UNCITRAL Legislative Guide on
Insolvency Law telah melalui proses pembahasan
yang komprehensif, sehingga menjadi Guide yang
komprehensif dan lengkap mengatur konsepsi-
konsepsi hukum kepailitan yang mengakomodir
kebutuhan-kebutuhan hukum yang diseusikan
dengan perkembangan.
c. Rezim hukum kepailitan Indonesia belum
mengatur mengenai kepailitan lintas batas
negara, yang memungkinkan adanya keputusan
pengadilan Indonesia dapat berlaku di negara
lain atau sebaliknya. Hal tersebut perlu dicermati
dan dikaji lebih lanjut oleh para akademisi, pakar
hukum dan instansi terkait yang berwenang.
��
Nomor Tanggal Satker Perihal
11/32/PBI/2009 30-9-2009 DASP
Perubahan Keempat Atas PBI No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro antara Bank Indonesia Dengan Pihak Ekstern
11/33/PBI/2009 7-12-2009 DPbSPelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)September - Desember 200�
�8
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
halaman ini sengaja dikosongkan
��
Nomor Tanggal Satker Perihal
11/24/DPbS 29-9-2009 DPbSPerubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional Menjadi Bank Umum Syariah
11/25/DPbS 29-9-2009 DPbSPerubahan Kegiatan Usaha BPR Menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
11/26/DKBU 5-10-2009 DKBUPerubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/17/UK Tanggal 15 Januari 1999 Perihal Kredit Usaha Tani
11/27/DKBU 5-10-2009 DKBU
Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 31/20/UK Tanggal 12 Februari 1999 Perihal Kredit Kepada Pengusaha Kecil dan Pengusaha Mikro melalui Bank Umum.
11/28/DPbS 5-10-2009 DPbS Unit Usaha Syariah
11/29/DPNP 16-10-2009 DPNPPerhitungan Giro Wajib Minimum Sekunder dalam Rupiah
11/30/DPNP 30-10-2009 DPNPPerubahan atas SE BI No.10/19/DPNP tentang Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia
11/31/DPNP 30-11-2009 DPNPPedoman standar Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Umum
11/32/DPM 7-12-2009 DPMTata Cara Lelang Surat Utang Negara di Pasar Perdana dan Penatausahaan Surat Utang Negara
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank IndonesiaSeptember - Desember 200�
�0
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
11/33/DPNP 8-12-2009 DPNPPerubahan atas SE BI No.11/4/DPNP tanggal 27 Januari 2009 tentang Pelaksanaan Pedoman Akutansi Perbankan Indonesia
11/34/DPbS 23-12-2009 DPbS Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
11/35/DPNP 31-12-2009 DPNP Pelaporan Produk atau Aktivitas Baru
11/36/DPNP 31-12-2009 DPNP
Perubahan atas SE BI No.7/19/DPNP tanggal 14 Juni 2005 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Aktivitas Berkaitan dengan Reksa Dana
11/37/DKBU 31-12-2009 DKBUPenetapan Penggunaan Standar Akuntansi Keuangan bagi Bank Perkreditan Rakyat
��
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia Nomor ��/��/PBI/200� tanggal � Desember 200� tentang
Pelaksanaan Good Corporate Governance Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah
Berlaku : Tanggal � Januari 20�0
Ringkasan :
1. Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah (BUS) paling kurang diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris dan Direksi;
b. kelengkapan dan pelaksanaan tugas komite-komite dan satuan kerja yang menjalankan fungsi pengendalian intern
BUS;
c. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah (DPS) ;
d. penerapan fungsi kepatuhan, audit intern dan audit ekstern;
e. batas maksimum penyaluran dana; dan
f. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan BUS.
2. Pelaksanaan GCG bagi Unit Usaha Syariah (UUS) paling kurang diwujudkan dalam:
a. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direktur UUS;
b. pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS;
c. penyaluran dana kepada nasabah pembiayaan inti dan penyimpanan dana oleh deposan inti; dan
d. transparansi kondisi keuangan dan non keuangan UUS.
3. Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk
paling kurang:
a. Komite Pemantau Risiko;
b. Komite Remunerasi dan Nominasi; dan
c. Komite Audit.
4. Anggota Komite Pemantau Risiko paling kurang terdiri dari:
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang keuangan syariah; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang manajemen risiko.
5. Anggota Komite Remunerasi dan Nominasi paling kurang terdiri dari :
a. 2 (dua) orang Komisaris Independen; dan
b. seorang pejabat eksekutif yang membawahi sumber daya manusia
6. Anggota Komite Audit paling kurang terdiri dari :
a. seorang Komisaris Independen;
b. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang akuntansi keuangan; dan
c. seorang pihak independen yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah.
7. Aspek transparansi pengungkapan kepemilikan saham 5% (lima persen); bagi Dewan Komisaris hanya berlaku pada BUS
yang bersangkutan, sementara bagi Direksi berlaku baik pada BUS yang bersangkutan maupun pada bank dan
perusahaan lain di dalam negeri maupun luar negeri.
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI)September - Desember 200�
�2
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
8. Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang:
a. Audit Intern;
b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan
c. Kepatuhan.
dimana dalam rangka mendorong efektivitas implementasi pelaksanaan fungsi-fungsi dimaksud, Direksi dapat
membentuk satuan kerja tersendiri
9. Dalam rangka penunjukan Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik dalam RUPS bagi BUS, rencana penunjukan
dimaksud terlebih dahulu dikonsultasikan dengan DPbS.
10. Hal-hal yang diatur dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas DPS adalah :
a. Di BUS :
1) Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi menindaklanjuti rekomendasi DPS
2) Direksi wajib menindaklanjuti rekomendasi DPS
3) Laporan hasil audit intern terkait pelaksanaan pemenuhan Prinsip Syariah disampaikan kepada DPS
4) BUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan pelaporan internal yang didukung oleh sistem informasi
manajemen yang memadai, dalam rangka meningkatkan kualitas proses pengawasan DPS
b. Di UUS :
1) Direktur UUS wajib menindaklanjuti rekomendasi dari hasil pengawasan DPS
2) Direkrut UUS wajib menyediakan data dan informasi terkait pemenuhan Prinsip Syariah yang akurat, relevan dan
tepat waktu kepada DPS
3) UUS wajib memastikan ketersediaan dan kecukupan data/informasi bagi DPS.
11. Hal-hal yang diatur terkait pelaksanaan GCG bagi DPS, antara lain :
a. Anggota DPS wajib menyediakan waktu yang cukup agar pelaksanaan tugasnya berjalan optimal, dan DPS wajib
menyelenggarakan rapat paling kurang 1(satu) kali dalam 1(satu) bulan.
b. Anggota DPS wajib mengungkapkan rangkap jabatan sebagai anggota DPS, dan remunasi serta fasilitas yang
diterima dalam laporan pelaksanaan GCG.
c. Anggota DPS dilarang merangkap jabatan sebagai konsultan diseluruh BUS dan/atau UUS, dengan masa transisi
pemberlakuan 1(satu) tahun setelah berlakunya PBI ini.
12. Ketua Komite sebagaimana dimaksud dalam angka 3, hanya dapat merangkap jabatan sebagai ketua Komite paling
banyak pada 1 (satu) Komite lainnya pada BUS yang sama.
13. Laporan pelaksanaan GCG bagi BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir, dan paling
kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil penilaian self assesment atas pelaksanaan GCG BUS;
b. kepemilikan saham anggota Dewan Komisaris, hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Dewan
Komisaris dengan anggota Dewan Komisaris lain, anggota Direksi, dan/atau pemegang saham pengendali BUS serta
jabatan rangkap pada perusahaan atau lembaga lain;
c. kepemilikan saham anggota Direksi serta hubungan keuangan dan hubungan keluarga anggota Direksi dengan
anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi lain, dan/atau pemegang saham pengendali BUS;
d. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya;
e. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh BUS;
f. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi Dewan Komisaris, Direksi, dan DPS;
g. rasio gaji tertinggi dan gaji terendah;
h. frekuensi rapat Dewan Komisaris;
i. frekuensi rapat DPS;
��
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 1, Januari 2010
j. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaian oleh BUS;
k. jumlah permasalahan hukum perdata maupun pidana dan upaya penyelesaian oleh BUS;
l. transaksi yang mengandung benturan kepentingan;
m. buy back shares dan/atau buy back obligasi BUS;
n. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik jumlah maupun pihak penerima dana; dan
o. pendapatan non halal dan penggunaannya.
14. Laporan pelaksanaan GCG bagi UUS, paling kurang meliputi:
a. kesimpulan umum dari hasil self assesment atas pelaksanaan GCG UUS;
b. rangkap jabatan sebagai anggota DPS pada lembaga keuangan syariah lainnya;
c. daftar konsultan, penasihat atau yang dipersamakan dengan itu yang digunakan oleh UUS;
d. kebijakan remunerasi dan fasilitas lain (remuneration packages) bagi DPS;
e. frekuensi rapat DPS;
f. jumlah penyimpangan (internal fraud) yang terjadi dan upaya penyelesaiannya oleh UUS;
g. jumlah permasalahan hukum perdata atau pidana dan upaya penyelesaiannya oleh UUS;
h. penyaluran dana untuk kegiatan sosial baik nominal maupun penerima dana; dan
i. pendapatan non halal dan penggunaannya.
15. Laporan pelaksanaan GCG BUS disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir; sedangkan
laporan pelaksanaan GCG UUS yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan GCG BUK disampaikan
kepada direktorat pengawasan bank/KBI dimana BUK dilakukan pengawasannya bersamaan dengan laporan pelaksanaan
GCG BUK dimana laporan GCG UUS merupakan bab (chapter) tersendiri didalamnya yang disampaikan pada periode
waktu sebagaimana ketentuan GCG yang berlaku bagi bank umum, serta disampaikan kepada DPbS dan/atau KBI
setempat paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun buku berakhir.
16. Adanya ketentuan peralihan atas laporan pelaksanaan GCG BUS untuk posisi laporan akhir Desember 2009 yang tetap
mengacu pada PBI Nomor 8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum sebagaimana diubah dengan PBI Nomor 8/14/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Perubahan atas PBI
Nomor 8/4/PBI/2006 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum
17. Dengan berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini maka PBI No.8/4/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 tentang Pelaksanaan
Good Corporate Governance bagi Bank Umum beserta ketentuan perubahannya dinyatakan tidak berlaku bagi BUS