Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi...

149
ISSN : 1693 - 3265 Volume 15, Nomor 1, Januari Juni 2018 Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Publik Doharman Sidabalok dan Andi Savanto Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Nasional Lastuti Abubakar dan Tri Handayani Implikasi Dari Central Bank Digital Currency Menurut Hukum Indonesia Andi Savanto, Chandra Herwibowo, dan Doharman Sidabalok Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur, Januari - Juni 2018 (Berikut Ringkasan) Departemen Hukum, Bank Indonesia BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

Transcript of Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi...

Page 1: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

ISSN : 1693 - 3265

Volume 15, Nomor 1,Januari – Juni 2018

Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum PublikDoharman Sidabalok dan Andi Savanto

Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga KomersialCita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani

Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak NasionalLastuti Abubakar dan Tri Handayani

Implikasi Dari Central Bank Digital Currency Menurut Hukum IndonesiaAndi Savanto, Chandra Herwibowo, dan Doharman Sidabalok

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur, Januari - Juni 2018 (Berikut Ringkasan)Departemen Hukum, Bank Indonesia

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

Page 2: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Volume 15, Nomor 1, Januari – Juni 2018

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia

PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia

Penanggung JawabRosalia Suci H., Imam Subarkah, Rika S. Dewi

Pemimpin RedaksiRika S. Dewi

Sekretaris RedaksiRosmarini Arundati

Dewan RedaksiRosmarini Arundati, Bambang Sukardi Putra, Pulih Widayaningrum, Agus Susanto P.,Amsal Chandra Appy, Panji Achmad, Doharman Sidabalok, Dyah Pratiwi, Dieni E. Putri

Redaksi PelaksanaRosmarini Arundati, Doharman Sidabalok, Ellia Syahrini, Nurtjipto. Chandra Herwibowo,

Andi Savanto, Yuli Anitasari

Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M.,

Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M.,Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M,Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M,

Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M

Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia

Penanggung Jawab DistribusiDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia

Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitiandalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungiDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7,Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 e-mail: [email protected].

Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukumkebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum,Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensibuku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.

Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesiadi http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi,

kemudian pilih sub menu Buletin Hukum Kebanksentralan

ISSN : 1693 - 3265

Page 3: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan
Page 4: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

i

Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali

menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan Volume 15 Nomor 1 Tahun 2018 pada semester pertama tahun 2018 ini.

Empat artikel dalam volume Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini, mencoba mengekplorasi topik kebanksentralan

dari beberapa sudut hukum terkait.

Artikel mengenai Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan dengan Kedudukan Bank Indonesia sebagai Badan

Hukum Publik, mencoba mengulas status Bank Indonesia sebagai badan hukum yang secara terminologi masuk dalam

pengertian korporasi sehingga rawan menghadapi tuntutan pidana yang ditujukan kepada Bank Indonesia. Dalam artikel

ini diuraikan bahwa meskipun secara teori Bank Indonesia memenuhi unsur korporasi namun mengingat Bank Indonesia

sebagai badan hukum publik maka Bank Indonesia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Pasar uang dan pasar modal sebagai unsur pembentuk pasar keuangan menjadi topik yang menarik untuk dibahas

dari sisi hukum kebanksentralan. Transaksi Surat Berharga Komersial di pasar uang melahirkan hubungan antara investor

dan pencari dana. Artikel Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial mengulas upaya

perlindungan hukum terhadap investor dan penerbit surat berharga, termasuk ketika terjadi sengketa dalam transaksi

surat berharga komersial. Sedangkan artikel Perkembangan Transaksi di Sektor Jasa Keuangan dan Konstribusinya

terhadap Pembaruan Hukum Kontrak Nasional mengulas kontrak-kontrak yang timbul dalam transaksi jasa keuangan

termasuk dalam pasar keuangan yang telah memperkaya keragaman jenis kontrak di Indonesia.

Di era teknologi finansial saat ini topik mengenai penggunaan private digital currency sebagai alat pembayaran

barang dan jasa menjadi concern tersendiri bagi bank sentral untuk mengkajinya. Artikel Implikasi dari Central Bank

Digital Currency (CBDC) Menurut Hukum Indonesia akan membahas beberapa model CBDC yang sedang diuji oleh bank

sentral dan kerangka hukum kemungkinan pemberlakuan CBDC di Indonesia.

Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan ringkasan Peraturan Perundang-

undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Januari sampai dengan Juni 2018, terdiri atas Peraturan Bank Indonesia

dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.

Selamat membaca.

Jakarta, Juni 2018

Redaksi

DARI MEJA REDAKSI

Page 5: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan
Page 6: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

iii

Halaman

Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................... i

Daftar Isi.................................................................................................................................................... iii

Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan

Hukum Publik............................................................................................................................................ 1 - 28

Doharman Sidabalok dan Andi Savanto

Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial.............................................. 29 - 48

Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani

Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum

Kontrak Nasional....................................................................................................................................... 49 - 67

Lastuti Abubakar dan Tri Handayani

Implikasi Dari Central Bank Digital Currency Menurut Hukum Indonesia..................................................... 69 - 93

Doharman Sidabalok dan Chandra Herwibowo

Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur, Januari - Juni 2018

(Berikut Ringkasan).................................................................................................................................... 95 - 141

Departemen Hukum, Bank Indonesia

BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN

VOLUME 15, NOMOR 1, JANUARI - JUNI 2018

ISSN : 1693 - 3265

Page 7: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan
Page 8: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Abstrak:

Pengakuan korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia masih baru sehingga menimbulkan pro dan kontra

di kalangan pemerhati hukum pidana. Sebagian menyatakan tidak setuju jika korporasi diakui sebagai subyek hukum

pidana. Sebagian lagi menyatakan setuju jika korporasi ditempatkan sebagai subyek hukum pidana. Masing-masing

pihak yang setuju dan tidak setuju dengan pengaturan pada beberapa ketentuan undang-undang yang mengadopsi

korporasi sebagai subyek hukum mempunyai alasan dengan berbagai argumentasi.

Sesuai kedudukan Bank Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai korporasi atau badan hukum berdasarkan

ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.6

Tahun 2009, Bank Indonesia dalam menjalankan tugasnya tidak tertutup kemungkinan menghadapi pemeriksaan dan/atau

penuntutan dari penegak hukum jika atas dasar pertimbangan tertentu dianggap telah memenuhi syarat perbuatan melawan

hukum pidana. Selanjutnya, keputusan dan/atau kebijakan Bank Indonesia sebagai badan hukum atau korporasi dapat

dianggap salah atau melanggar ketentuan yang berlaku sehingga dapat diminta pertanggungjawaban dari sisi hukum pidana.

Kata kunci: kriminal, hukum, korporasi, Bank Indonesia

Abstract:

The recognition of the corporation as the subject of criminal law in Indonesia is still new, thus raising the pros

and cons among criminal law observers. Some observers disagree if corporations are recognized as a criminal law subject.

Others agree if corporations are placed as criminal law subjects. Each party has reasons with various arguments.

In accordance with the position of Bank Indonesia that may be categorized as a legal entity under the provisions

of the Article 4 paragraph (3) of Law No.23 of 1999 concerning Bank Indonesia as amended the latest by Law No.6 of

2009, Bank Indonesia in performing its duties may face an examination and / or prosecution of law enforcement should

for certain reason it is deemed to have fulfilled the requirement of the act against the criminal law. Further, the decisions

and / or policies of Bank Indonesia as legal entity may be considered wrong or may violate the prevailing provisions so

as to be held accountable from the side of the criminal law.

Keywords: criminal, law, corporation, Bank Indonesia

1

KETENTUAN TINDAK PIDANA KORPORASI DIKAITKANDENGAN KEDUDUKAN BANK INDONESIA SEBAGAI

BADAN HUKUM PUBLIK

Ditulis oleh:

Doharman Sidabalok, Andi Savanto1

[email protected], [email protected]

1 Tim Analis pada Divisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum Bank Indonesia.

Page 9: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

A. PENDAHULUAN

Korporasi sebagai subyek hukum pidana di Indonesia

masih menimbulkan pro dan kontra terutama di

kalangan pemerhati hukum pidana seperti akademisi

dan praktisi hukum pidana. Sebagian pemerhati hukum

pidana tidak sependapat korporasi diakui sebagai

subyek hukum pidana. Sebagian lagi menyatakan

sependapat jika korporasi diperlakukan sebagai subyek

hukum pidana.

Penentang korporasi sebagai subyek hukum pidana

memiliki beberapa argumentasi yang antara lain

disebutkan berikut ini. Pertama, kejahatan dianggap

hanya ada pada diri manusia alamiah. Kedua, suatu

tindakan yang sifatnya merampas kemerdekaan orang

lain hanya dapat dilakukan manusia. Ketiga, tindakan

yang bersifat materi yang merupakan salah satu syarat

suatu tindakan dapat dihukum seperti mencuri,

membunuh, dan menganiaya hanya bisa dilakukan

oleh manusia. Keempat, menghukum satu korporasi

dengan sendirinya dapat menghukum orang lain yang

tidak bersalah. Kelima, dalam kenyataan ada kalanya

sulit menentukan pihak mana yang dihukum apakah

pengurus korporasi atau korporasi itu sendiri.2

Di sisi lain, pihak yang mendukung korporasi

diperlakukan sebagai subyek hukum pidana juga

memiliki argumentasi yang meyakinkan. Pertama,

dalam hal suatu tindak pidana melibatkan korporasi,

pemidanaan pengurus korporasi dianggap tidak cukup

sebagai pembalasan terhadap tindakan pidana yang

dilakukan oleh atau dengan melibatkan korporasi.

Kedua, dalam kehidupan sosio-ekonomi, korporasi

semakin memainkan peran yang dominan dan penting.

Ketiga, dalam kehidupan bermasyarakat hukum pidana

diharapkan memainkan peran dalam melindungi

masyarakat dan menegakkan hukum yang berlaku.

Dalam kaitan alasan ini, pihak pendukung korporasi

dapat dinyatakan sebagai subyek hukum berpendapat

bahwa jika hukum pidana hanya ditujukan kepada

perorangan (manusia) maka tujuan hukum pidana

untuk melindungi masyarakat menjadi tidak efektif.

Terkait pro kontra terhadap korporasi sebagai subyek

hukum pidana di Indonesia, Mahkamah Agung sebagai

lembaga tinggi yang menaungi sistem peradilan di

Indonesia memberikan perhatian khusus. Hal tersebut

dapat dimaklumi karena berbagai bentuk korporasi

termasuk berbagai badan publik sebagai subyek hukum

memberikan kontribusi besar dalam meningkatkan

pertumbuhan ekonomi di Indonesia, namun di sisi

lain ada kalanya korporasi terlibat melakukan tindak

pidana (corporate crime) yang membawa dampak

kerugian bagi negara dan masyarakat. Di samping

itu, perhatian khusus dari Mahkamah Agung tersebut

cukup beralasan karena ada kalangan yang menduga

bahwa korporasi dapat menjadi tempat untuk

menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana

yang tidak tersentuh proses hukum dalam

pertanggungjawaban pidana (corporate liability).

Selain Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung salah

satu pilar penegakan hukum pidana di Indonesia juga

turut memberi perhatian atas pengakuan korporasi

sebagai subyek hukum pidana. Kedua institusi

penegakan hukum ini sama-sama memberikan

perhatian terhadap hal tersebut karena akhir-akhir

ini semakin bertambah undang-undang di Indonesia

yang mengadopsi korporasi sebagai subyek pidana

yang dapat diminta pertanggungjawaban, namun

perkara pidana dengan subyek hukum korporasi

masih terbatas. Ditengarai salah satu penyebabnya

adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi

sebagai pelaku tindak pidana belum jelas. Menyikapi

hal tersebut Kejaksaan Agung sebagai institusi tertinggi

yang menaungi penuntutan atas tindak pidana di

Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung

No.028/A/JA/10/2014 tanggal 1 Oktober 2014 tentang

Pedoman Penanganan Perkara Pidana dengan Subjek

Hukum Korporasi. Sementara itu, Mahkamah Agung

sebagai intitusi tertinggi yang menaungi badan

peradilan di Indonesia juga memberikan pedoman

bagi aparat pengadilan dalam penanganan perkara

2

2 Sutan Remi Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi &Seluk Beluknya, Edisi Kedua, cetakan ke-1, Maret 2017, Jakarta, Halaman71 s.d 72.

Page 10: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan

mengeluarkan Tata Cara Penanganan Perkara Tindak

Pidana Korporasi dalam Peraturan Mahkamah Agung

No.13 Tahun 2016. Dengan adanya Peraturan Jaksa

Agung dan Peraturan Mahkamah Agung tersebut

diharapkan penanganan perkara pidana yang

melibatkan korporasi menjadi lebih jelas bagi para

penegak hukum dan kekosongan hukum acara

mengenai penanganan perkara pidana yang diduga

dilakukan korporasi dan/atau pengurus dapat terisi.

Kedudukan Bank Indonesia sebagai korporasi atau

badan hukum ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) UU

No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

sebagaimana diubah terakhir dengan UU No.6 Tahun

2009 (UU Bank Indonesia) yang berbunyi: “Bank

Indonesia adalah Badan Hukum berdasarkan Undang-

undang ini.” Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4

ayat (3) ditegaskan bahwa: “Bank Indonesia dinyatakan

sebagai badan hukum dengan Undang-undang ini

dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang

Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri

yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan

hukum publik berwenang menetapkan peraturan dan

mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya“.

Dalam melaksanakan tugas Bank Indonesia berdasarkan

ketentuan dalam UU Bank Indonesia, tidak tertutup

kemungkinan keputusan dan/atau kebijakan yang

dijalankan Pejabat Bank Indonesia menghadapi

pemeriksaan dan/atau penuntutan dari penegak

hukum karena dianggap memenuhi syarat perbuatan

melawan hukum pidana. Jika hal demikian terjadi,

dalam perjalanannya, keputusan dan/atau kebijakan

Bank Indonesia sebagai badan hukum dapat dianggap

salah atau melanggar ketentuan yang berlaku sehingga

dapat diminta pertanggungjawaban pidana, khususnya

hukum pidana korupsi.

Dalam UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan

UU No.20 Tahun 2001, tidak terdapat pengecualian

bahwa Bank Indonesia karena kedudukannya sebagai

badan hukum (korporasi) publik tidak dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana. Terkait dengan hal

tersebut dan mengingat keadaan seperti diuraikan

pada latar belakang di atas, perlu dilakukan

pembahasan topik mengenai keterkaitan ketentuan

pidana korporasi dengan kedudukan Bank Indonesia

sebagai badan hukum publik. Adapun pembahasan

mengenai topik tersebut didasarkan pada beberapa

pokok pertanyaan berikut ini. Pertama, apakah

berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, Bank

Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban

pidana korporasi? Kemudian, jika pertanggungjawaban

pidana korporasi juga berlaku kepada badan hukum

publik seperti Bank Indonesia, pihak mana yang dapat

diminta pertanggungjawaban jika pidana kurungan

dan/atau denda dibebankan kepada badan hukum

publik? Di samping itu, apa risiko apabila badan

hukum publik seperti Bank Indonesia dalam satu atau

beberapa undang-undang yang mengatur mengenai

kegiatan korporasi tertentu ditetapkan dapat diminta

pertanggungjawaban korporasi? Selain itu, jika dalam

suatu perkara pidana yang menyangkut kebijakan

yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas

sebagai badan hukum publik seperti Bank Indonesia,

seorang atau beberapa Pejabat Bank Indonesia

menjalani proses hukum pidana dan dinyatakan

bersalah dalam putusan pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum, apakah ada risiko hukum bagi

badan publik seperti Bank Indonesia untuk diminta

pertanggungjawaban korporasi?

B. KORPORASI SEBAGAI SUBYEK HUKUM PIDANA

DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA

KORPORASI

1. Pengertian Korporasi Dalam Kerangka Ilmu

Hukum Pidana

Pengertian kata “korporasi” dalam hukum pidana

tidak bisa dilepaskan dari pengertian “badan

hukum” yang sering digunakan dalam bidang

hukum perdata. Menurut Rudi Prasetya, istilah

"korporasi" adalah sebutan yang lazim

dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana

3

Page 11: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

untuk menyebut apa yang biasa dalam bidang

hukum lain, khususnya bidang hukum perdata,

sebagai badan hukum, atau yang dalam bahasa

Belanda disebut sebagai rechtspersoon atau dalam

bahasa lnggris disebut legal entities atau

corporation.3

Dalam buku berjudul Corporation Law, Kenneth

S. Ferber menulis: "A corporation is an artificial

person. It can do anything a person can do. It can

buy and sell property, both real and personal, in

its own name. It can sue and be sued in its own

name. It is formal".4 Apabila pendapat tersebut

diterjemahkan dengan bebas, kurang lebih berarti:

“Korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat

melakukan apa saja yang dapat dilakukan oleh

manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual

properti, baik yang nyata secara pribadi dan atas

namanya sendiri. Hal ini menyebabkan korporasi

dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas

namanya sendiri”.

Menurut H. Setiyono dalam buku berjudul

"Kejahatan Korporasi", pengertian korporasi

terlihat dari pengertian subyek hukum pada

umumnya yang meliputi manusia dan segala

sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan

masyarakat yang diakui hukum sebagai pendukung

hak dan kewajiban. Pengertian kedua inilah yang

dinamakan dengan badan hukum atau korporasi.5

Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan korporasi

secara sempit dan luas. Disebutkan bahwa:

"Menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai badan

hukum, korporasi merupakan figur hukum yang

eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau

berwenang melakukan perbuatan hukum diakui

oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah

yang mengakui eksistensi dari korporasi dan

memberikannya hidup untuk dapat berwenang

melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur

hukum. Demikian juga halnya dengan "matinya"

korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara

hukum apabila matinya korporasi itu diakui oleh

hukum".6 Adapun pengertian korporasi secara

luas sebagai pengertian korporasi dalam hukum

pidana, Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan

korporasi sebagai berikut: "Dalam hukum pidana,

korporasi meliputi baik badan hukum maupun

bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan

hukum seperti perseroan terbatas, yayasan,

koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan

sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai

korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga

firma, persekutuan komanditer atau CV, dan

persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan

usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu

badan hukum".7

Dari berbagai pendapat di atas, terlihat bahwa

terdapat perbedaan ruang lingkup korporasi

sebagai subyek hukum dalam hukum perdata

dengan korporasi sebagai subyek hukum dalam

hukum pidana. Pengertian korporasi dalam hukum

perdata adalah "badan hukum", sedangkan dalam

hukum pidana, pengertian korporasi bukan hanya

yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak

berbadan hukum. Dengan demikian, cakupan

korporasi dalam hukum pidana jauh lebih luas

dibandingkan dengan cakupan badan hukum

dalam bidang hukum perdata.

2. Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku

tindak pidana tidak sederhana. Permasalahan ini

berpangkal pada asas tiada pidana tanpa kesalahan.

4

3 Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi DalamHukum Pidana, STHB, Bandung, 1991, hlm. 13.

4 Kenneth S. Ferber, Corporation Law, Prentice Hall, 2002, hlm. 18.

5 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Victimologi dan Pertanggung-jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi Kedua Cetakan Pertama,Malang, Banyumedia Publishing 2003, hlm. 3.

6 Sutan Remi Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, GrafittiPers, Jakarta, 2006, hlm. 43.

7 Ibid, hlm. 45.

Page 12: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Kesalahan adalah mens rea atau sikap kalbu, yang

secara alamiah hanya ada pada orang alamiah saja;

dan oleh sebab itu, maka dipandang hanya manusia

alamiah yang bisa dimintakan pertanggungjawaban

pidana.

Ada kalangan yang berpendapat bahwa terhadap

korporasi sebagai subyek hukum, pengaruh asas

tiada pidana tanpa kesalahan sebagai dasar

pertanggungjawaban telah ditinggalkan. Menurut

kalangan yang berpendapat demikian itu, asas

tiada pidana tanpa kesalahan tetap berlaku,

sepanjang tindak pidana dilakukan oleh pengurus,

sehingga kalau suatu tindak pidana benar dilakukan

oleh korporasi (pembuat fiktif), maka asas tiada

pidana tanpa kesalahan tidak berlaku.8 Pendapat

demikian menurut Hasbullah F. Sjawie9 hanya sahih

bila suatu tindak pidana yang terjadi itu adalah

tindak pidana yang tidak mensyaratkan adanya

unsur kesalahan. Dengan kata lain, bilamana unsur

kesalahan dipersyaratkan harus ada dalam suatu

tindak pidana, maka unsur tersebut harus juga

dipenuhi oleh korporasi yang diduga melakukan

tindak pidana dimaksud. Unsur kesalahan pada

korporasin dimaksud akan ada apabila directing

mind and will dari orang yang dianggap dan

diidentifikasikan sebagai korporasi itu sendiri

mempunyai unsur kesalahan. Pertanggungjawaban

pidana hanya melekat pada perbuatan yang telah

ditetapkan oleh hukum sebagai tindak pidana

karena tidak ada pertanggungjawaban pidana kalau

tidak ada delik yang dilanggar. Hal ini sesuai dengan

asas dalam hukum pidana, tiada pidana tanpa

kesalahan, actus nonfacit reum, nisi mens sit rea.10

Tindak pidana korporasi pada dasarnya adalah

perbuatan yang dilakukan oleh direksi dan/atau

pegawai dari korporasi, pada setiap tingkatan yang

menjalankan tugas dan fungsi serta bisa mewakili

korporasi, yang dapat mengakibatkan tanggung

jawab pidana. Baik kepada korporasinya maupun

bersama dengan pegawainya secara pribadi dapat

diminta pertanggungan jawab secara pidana.

a. Pengertian subyek hukum

Berbeda dengan subyek hukum perdata,

subyek hukum pidana bukan berkaitan dengan

hak dan kewajiban, tetapi berkaitan dengan

perilaku pidana (criminal conduct) yang dalam

hukum pidana Indonesia dikenal sebagai tindak

pidana (criminal act).

Sebelum tahun 1990-an, hukum pidana hanya

mengakui manusia (individu atau perorangan)

sebagai subyek hukum pidana. Tegasnya,

hukum pidana hanya mengakui manusia saja

yang dapat menjadi pelaku tindak pidana.

Dengan kata lain, hanya manusia yang dapat

dibebani pertanggungjawaban pidana (criminal

liability). Namun perkembangan hukum pidana

menunjukkan bahwa di tahun 1990-an, korporasi

juga diakui sebagal subyek hukum pidana.11

b. Subyek Hukum Pidana: Manusia dan Korporasi

1) Manusia sebagai subyek hukum pidana

Dari rumusan Pasal 59 KUHP, dapat

dimaknai bahwa korporasi tidak dikenal

sebagai subyek hukum pidana dalam KUHP.

Rumusan lengkap dari Pasal 59 KUHP

berbunyi: “Dalam hal-hal dimana

pelanggaran ditentukan pidananya

diancamkan kepada pengurus, anggota-

anggota badan pengurus atau komisaris-

komisaris, maka tidak dipidana pengurus,

5

11 Sutan Remi Sjahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi &Seluk Beluknya, Op. cit. hlm. 16.

8 A. A. Ngurah Wirajaya, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Asas Kesalahan)Dalam Hubungannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,dalam: http:// www:google.com/url?sa=t&rct=J&q=&esrc=s&source=web&cd=98&cad=rja&ved=oCG QQ JAHOFo&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php% 2FKerthanegara%2Farticle%2Fdownload%2F5283%2F404o&ei=jwxqUq-8M6jtiAfmxYGw Bw& usg=AFQjCNFVsUuZA-Zlcjxf3Xz17ok6l--yUA&bvm=bv.55123115,d.bmk., hlm. 5.

9 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TindakPidana Korupsi, cetakan ke-2 Januari 2017, Jakarta, hlm. 67.

10 Sowmya Suman, Corporate Criminal Liability An Analysis,Sumber: http://www. legalserviceindia.com/article/l101-Corporate-Criminal-Liability-An-Analysis.html, hlm. 8.

Page 13: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

anggota badan pengurus atau komisaris

yang ternyata tidak ikut campur melakukan

pelanggaran tersebut.” Memperhatikan

bunyi Pasal 59 KUHP tersebut, apabila

pengurus korporasi melakukan tindakan

dalam rangka mewakili atau dilakukan

untuk dan atas nama korporasi yang

dipimpinnya dan kemudian dapat

dikategorikan sebagai tindak pidana, maka

pertanggungjawaban atas tindak pidana

dimaksud dibebankan hanya kepada

pengurus yang melakukan tindak pidana

itu. Korporasi tidak dibebani pertanggung-

jawaban pidana. Semangat yang dimuat

dalam Pasal 59 KUHP adalah bahwa tindak

pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi

tetapi dilakukan oleh pengurusnya.

Konsekuensinya, sekalipun pengurus dalam

melakukan perbuatan itu bertindak untuk

dan atas nama korporasi, atau untuk

kepentingan korporasi, atau bertujuan

untuk memberikan manfaat bagi korporasi

dan bukan bagi pribadi pengurusnya,

pengurus itu saja yang dapat dibebani

pertanggungjawaban pidana.

Di luar Pasal 59 KUHP tidak terdapat satu

pasal pun yang menentukan korporasi

sebagai subyek hukum pidana. Dengan kata

lain, tidak terdapat satu pasal pun dalam

KUHP yang menentukan tindak pidana

dapat dilakukan oleh suatu korporasi.

Dalam KUHP, tentang manusia sebagai

pelaku tindak pidana selain dengan

menggunakan istilah "barang siapa" juga

dimunculkan dalam berbagai istilah yang

lain, misalnya "setiap orang" (vide Pasal 2

dan Pasal 4 KUHP), "warga negara

Indonesia" (vide Pasal 5 KUHP), "pejabat"

(atau "pegawai”) (vide Pasal 7 KUHP),

"dokter" (vide Pasal 267 KUHP), "orang

yang telah cukup umur" (atau "orang

dewasa") (vide Pasal 292 KUHP),

"pengusaha" (vide Pasal 392 KUHP),

"pengacara" (vide Pasal 393 bis).

2) Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Pembebanan pertanggungjawaban pidana

kepada korporasi merupakan konsep yang

baru muncul di tahun 1990-an.12 Konsep

pertanggungjawaban pidana tersebut

di Perancis baru muncul pada tahun 1994,

di Belgia muncul pada tahun 1999, di Italia

muncul pada tahun 2001, di Polandia

muncul pada tahun 2003, di Rumania

muncul pada tahun 2006, dan di Luxemburg

serta Spanyol muncul pada tahun 2012.

Sekalipun di Inggris, dimana pertanggung-

jawaban pidana bagi korporasi telah eksis

sejak lama, tetapi tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi baru dituntut pada

beberapa tahun terakhir. Di Belanda, sampai

tahun 1976 hanya tindak pidana pajak saja

yang dapat dibebankan pertanggung-

jawaban pidananya kepada korporasi.13

Dalam perkembangan hukum pidana di

Indonesia, undang-undang pidana di luar

KUHP atau undang-undang pidana khusus

telah memperluas subyek hukum pidana,

yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia

saja tetapi juga kepada korporasi.

Perkembangan ini sejalan dengan

perkembangan hukum pidana di negara-

negara lain. Diadopsinya korporasi sebagai

subyek bukum pidana di Indonesia terlihat

dari berbagai undang-undang yang dibuat

akhir-akhir ini.14

6

12 Henry N. Pontell & Gilbert Geis dalam tulisan berjudul lnternationalHandbook of White-Collar and Corporate Crime, antara lain menulisbahwa"Corporate crime is hardly new".

13 Clifford Chance, “Corrporate Liability in Europe,” January 2012.www.cliffordchance.com/content/dam/cliffordchance/PDFs/Corporat_Liability_in_Europe.pdf.

14 Pemikiran bahwa korporasi dapat menjadi subyek hukum pidana untukpertama kali telah dimunculkan pada tahun 1951, yaitu ketika UU DaruratNo. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang diberlakukan.

Page 14: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi

yang diakui di Indonesia melalui pengadopsian

dalam berbagai undang-undang pidana khusus

dipatrikan ke dalam RUU KUHP 2018.15 Dalam

rumusan Pasal 52 RUU KUHP 2018 tersebut

disebutkan:

(1) Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.

(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) mencakup badan hukum yang

berbentuk perseroan terbatas, yayasan,

koperasi, badan usaha milik negara/daerah,

atau yang disamakan dengan itu, serta

perkumpulan baik yang berbadan hukum

maupun tidak berbadan hukum atau badan

usaha yang berbentuk firma, persekutuan

komanditer, atau yang disamakan dengan

itu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Remmelink bahwa:16

“Meskipun demikian pembuat undang-undang

dalam merumuskan delik sering terpaksa turut

memperhitungkan kenyataan bahwa manusia

melakukan tindakan di dalam atau melalui

organisasi yang, dalam hukum keperdataan

maupun di luarnya (misalnya dalam hukum

administrasi), muncul sebagai satu kesatuan

dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan

sebagai badan hukum/korporasi. Dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana, pembuat

undang-undang akan merujuk pada pengurus

atau komisaris korporasi jika mereka

berhadapan dengan situasi seperti itu.”

c. Sistem pemidanaan dan jenis sanksi pidana

korporasi

Oleh karena korporasi tidak mempunyai wujud

badan secara lahiriah, maka sanksi pidana

yang bisa diberikan kepadanya bukanlah sanksi

pidana klasik, kecuali sanksi yang berkaitan

dengan denda atau pinalti.17 Pada umumnya

pengenaan denda kepada korporasi ini akan

optimal, mengingat pengeksekusiannya cukup

mudah18 apalagi bila sebelumnya telah dilakukan

penyitaan terhadap harta korporasi yang

dianggap cukup erat bersinggungan dengan

tindak pidana yang terbukti telah dilakukannya.

Selain pengenaan hukuman pokok berupa

denda, kepada korporasi bisa saja diberikan

hukuman tambahan dalam berbagai bentuk,

misalnya pencabutan izin sementara waktu,

atau pelarangan melakukan kegiatan usaha

tertentu dalam waktu tertentu, ataupun

pembubaran korporasi yang bersangkutan.

Di samping pengenaan hukuman pokok

berupa sanksi keuangan atau denda kepada

korporasi yang terbukti melakukan tindak

pidana, yang telah digunakan secara umum

di berbagai negara, dikenal pula apa yang

dinamakan dengan "corporate imprisonment",

antara lain berupa pembatasan bertindak dalam

bidang tertentu bagi korporasinya, termasuk

di dalamnya tindakan pembatasan untuk

memperoleh pekerjaan atau mengikuti tender

pemerintah, ataupun penutupan sementara

terhadap korporasi yang bersangkutan, hingga

sanksi penglikuidasian bagi korporasi itu19.

7

17 Zoltan Andras Nagy, Some Problems of the Criminal Liability of LegalEntity in Criminal Dogmatics, dalam:http://www.law.muni.cz/sbomiky/dpo8/files/pdf/trest/nagy.pdf, hlm. 3.

18 V. S. Khanna, , Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?Dalam: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=803867.,hlm. 21.

19 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability: National and InternationalResponses. Dalam: http://www.icclr.law.ubc.ca/publication/report/corporatecriminal.pdf, hlm. 8-9.

15 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukumdan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesiatentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2018.

16 Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar Atas Pasal-Pasal Terpentingdari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannyadalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 97.

Page 15: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

3. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana

Korporasi

a. Pengertian tindak pidana korporasi

Istilah "tindak pidana korporasi" dalam beberapa

literatur disebut dengan "kejahatan korporasi".20

Tindak pidana korporasi atau kejahatan korporasi

tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul

seiring perkembangan zaman dan perkembangan

di masyarakat. Awal lahirnya istilah tindak pidana

korporasi ini bermula dari pendapat Edwin

Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis

kejahatan atau tindak pidana baru yang dikenal

dengan white collar crime (kejahatan kerah putih).

Terkait dengan white collar crime ini, Hazel Croal

menjelaskan bahwa: "white collar crime sering

diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia

keuangan dan bisnis (financial and bussines world)

dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para

eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior

executives) yang di dalamnya termasuk apa yang

secara popular dikenal sebagai tindak pidana atau

kejahatan korporasi (corporate crime).21

Selanjutnya, mengenai corporate crime atau

kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan

tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan

oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan

tindak pidana atau kejahatan konvensional pada

umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang

lingkup tindak pidana atau kejahatan korporasi

melingkupi 3 (tiga) hal sebagai berikut:22

1) Crimes for Corporation yakni kejahatan atau

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan

tertentu guna memperoleh keuntungan;

2) Criminal Corporation yaitu korporasi yang

bertujuan semata-mata untuk melakukan

kejahatan (dalam hal ini korporasi hanya

sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan);

3) Crimes Against Corporation yaitu kejahatan-

kejahatan yang dilakukan terhadap korporasi

seperti pencurian atau penggelapan barang

milik korporasi. Dengan demikian, dalam hal

ini korporasi bukanlah pihak yang melakukan

tindak pidana melainkan sebagai korban.

Pengertian korban yang lebih spesifik dikemukakan

Muladi yang mendefinisikan korban sebagai:

"seseorang yang telah menderita kerugian sebagai

akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa

keadilannya secara langsung telah terganggu

sebagai akibat pengalamannya sebagai target

atau sasaran kejahatan (A victim is a person who

has suffered damage as a result of a crime and/or

whose sense of justice has been directly disturbed

by the experience of having been target of a

crime).23

Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) dalam "Declaration of Basic Principles of

Justice for Victims of Crime and Abuse of Power"

tahun 1985; korban disebut dengan “victims”.

Dalam deklarasi PBB tersebut ditulis "Victims means

persons who, individually or collectivelly, have

suffered harm, including physical or mental injury

emotional suffering, economic loss or substantial

impairment of their fundamental rights, through

acts or omission of criminal laws operative within

Member States, including those laws Proscribing

criminal abuse of power, ... through acts or

omissions that do not yet constitute violations of

8

20 Pada bagian ini kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian sesuaikeperluan pembahasan.

21 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44.

22 Lihat juga dalam: Muladi dan Dwija Priyatno, Op. cit., hlm. 29 danbandingkan juga dengan: Hamzah Hatrik, Asas PertanggungjawabanKorporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan VicariousLiability), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 41.

23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 2007, hlm. 84.

Page 16: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

national criminal laws but of internationally

recognized norms relating to human rights".24

Dari beberapa pengertian korban di atas dapat di

tarik garis besar mengenai definisi korban kejahatan

yaitu orang perorangan maupun kelompok orang

yang menderita kerugian baik berupa kerugian

fisik, mental, emosional, pengabaian, pengurangan,

perampasan hak, kerugian ekonomi, bahkan

nyawanya sendiri, kehilangan harta atau bahkan

kehilangan nyawanya, sebagai akibat dari kejahatan

atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh

orang lain baik langsung maupun tidak langsung,

baik sadar maupun tidak sadar termasuk juga

keluarga korban yang ikut mengalami penderitaan

atau kerugian.

b. Faktor yang mendorong korporasi melakukan

tindak pidana (kejahatan)

Steven Box menyatakan setidaknya terdapat 5

(lima) faktor yang mendorong korporasi untuk

melakukan tindak pidana atau kejahatan yaitu:25

(a) persaingan; (b) pemerintah; (c) karyawan;

(d) konsumen; dan (e) publik.

c. Ruang lingkup tindak pidana korporasi

Dalam studi mengenai kejahatan korporasi, Clinard

dan Yeager antara lain mengemukakan jenis

kejahatan yang sering dilakukan korporasi, yaitu

kejahatan korporasi yang berkaitan dengan

administratif, lingkungan, keuangan, tenaga kerja,

dan praktik-praktik perdagangan tidak jujur.

4. Bentuk-Bentuk Kejahatan Korporasi Dalam

Berbagai Konvensi Internasional

Bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan

korporasi juga dapat ditemukan dalam berbagai

konvensi internasional yang mengatur mengenai

sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.

Konvensi internasional dimaksud di antaranya

adalah:

a. Council of Europe Criminal Law Convention

on Corruption;

b. Council of Europe Criminal Law Convention

on Cybercrime;

c. International Telecommunication Union Toolkit

for Cybercrime Legislation;

d. Sixty-Sixth Ordinary Session of The Council of

Ministers - Directive C/Dir. 1/08/11 on Fighting

Cyber Crime Within ECOWAS;

e. Convention on The Protection of The

Environment Through Criminal Law;

f. European Union Action to Fight Enviromental

Crime-Directive 2008/99/Ec on Environmental

Crime and Directive 2009/123/Ec on Ship-

Source Pollution;

g. Council of Europe Committee of Ministers

Recommendation No. R (88) 18 of The

Committee Of Ministers To Member States

Concerning Liability of Enterprises Having Legal

Personality for Offences Committed In The

Exercise Of Their Activities;

h. Convention on Combating Bribery of Foreign

Public Officials in International Business

Transactions;

i. Council of Europe Committee of Ministers

Recommendation No. R (82) 15 of The

Committee of Ministers To Member States on

The Role of Criminal Law in Consumer

Protection;

j. OECD Guidelines for Multinational Enterprises;

k. The United Nations Global Compact (UNGC);

l. Seventh United Nations Congress on The

Prevention of Crime and The Treatment of

Offenders;

9

24 Ibid, hlm. 48. Korban yang dimaksud dalam deklarasi PerserikatanBangsa-Bangsa (PBS) tersebut adalah orang-orang, baik secara individualmaupun kolektif, yang mengalami penderitaan, termasuk penderitaanfisik dan mental, emosi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknyayang fundamental, melalui perbuatan atau kelalaian yang melanggarhukum pidana dalam suatu negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.Korban juga diperluas menjadi korban perbuatan atau kelalaian yangwalaupun belum diatur sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional,tetapi dalam dunia internasional merupakan norma yang berhubuingandengan hak asasi manusia.

25 I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP UNDIP, Semarang, 1995, hlm. 30,mengutip dari Steven Box, Power Crime and Mystification, TavistockPublications, Limited, 1983, hlm. 212.

Page 17: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

m. The United Nations Convention Against

Corruption (UNCAC);

n. The United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime (UNCATOC);

o. Draft Norms on The Responsibilities of

Transnational Corporations and Other Business

Enterprises With Regard To Human Rights, El

Cn.4/Sub.2/2003/12 (2003);

p. Council of Europe Committee of Ministers

Recommendation No. R (81) 12 of The

Committee of Ministers To Member States on

Economic Crime;

q. Organized and Serious Crimes Ordinance.

C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

1. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana

a. Asas tiada pidana tanpa kesalahan

Salah satu asas penting dalam hukum pidana

adalah “tiada pidana tanpa kesalahan” atau

“geen strafzonder schuld” atau “keine Strafe

ohne Schuld” atau “actus nonfacit reum nisi

mens sir rea”.26 Asas ini memberi pemahaman

bahwa suatu dugaan tindak pidana belum

tentu akan diikuti dengan pemberian hukuman

bagi pelakunya. Selain asas tersebut dalam

hukum dikenal beberapa dasar atau prinsip

dari tanggung jawab hukum, yaitu:27

1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan

adanya unsur kesalahan (fault liability,

liability based onfault principle). Prinsip ini

membebankan pada korban untuk

membuktikan bahwa pelaku itu telah

melakukan perbuatan melawan hukum

yang merugikan dirinya.

2) Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya

praduga (rebuttable presumption of liability

principle). Prinsip ini menegaskan bahwa

tanggung jawab si pelaku bisa hilang jika

dapat membuktikan tidak bersalah kepada

korbannya.

3) Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault

liability, absolute atau strict liability principle)

yaitu tanggungjawab tanpa harus

membuktikan kesalahannya.

b. Pertanggungjawaban pidana

Unsur yang mutlak harus ada yang bisa

mengakibatkan pelaku tindak pidana diminta

pertanggungjawaban pidana adalah unsur

perbuatan dan unsur kesalahan yang

terkandung di dalamnya. Unsur kesalahan

harus ditemukan karena sangat terkait dengan

elemen mental dari pembuatnya (mens rea).

Unsur kesalahan ini harus ada bersamaan

dengan perbuatan seseorang dalam melakukan

tindak pidana, yang disebut dengan actus

reus.28

Dalam hukum pidana, kesalahan sangat penting

karena dalam hukum pidana dikenal asas

legalitas yaitu tiada hukuman kalau tak ada

kesalahan atau nullum delictum nulla poena

sige lege.29 Asas ini berlaku universal. Dalam

KUHP Indonesia, asas nullum delictum nulla

poena sige lege ini secara implisit tercantum

dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:

"Tiada suatu perbuatan boleh dihukum,

melainkan atas kekuatan ketentuan pidana

dalam undang-undang, yang ada terdahulu

daripada perbuatan itu".

10

26 Lihat, Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993,hlm. 153.

27 Lengkapnya lihat E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab PengangkutDalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Yogyakarta,Liberty, 1989, hlm. 19-46.

28 Zoltan Andras Nagy, Op. cit, hlm. 2.

29 Dalam bahasa Lathin asas ini disebut "nullum crimen sine lege stricta",yang bila diterjemahkan berarti bahwa tidak ada delik tanpa ada ketentuanyang tegas sebelumnya. Asas ini juga sekaligus melarang dimungkinkanberlaku surutnya suatu peraturan pidana.

Page 18: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Makna dari asas legalitas ini adalah bahwa

tiada seorang pun dapat dihukum tanpa adanya

suatu peraturan pidana yang mendahului

terjadinya perbuatan itu dan bahwa peraturan

dimaksud harus telah mencantumkan suatu

ancaman hukuman, serta peraturan pidana itu

tidak boleh berlaku surut. Di Indonesia, pada

umumnya ahli hukum memandang bahwa

Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai dasar dari asas

legalitas.30

c. Teori pertanggungjawaban pidana korporasi

Untuk mendalami pemahaman mengenai

kelayakan suatu korporasi dapat diminta

pertanggungjawaban pidana, penulis hukum

pidana mengemukakan beberapa teori yang

mencoba menjelaskan bahwa korporasi dapat

atau pada akhirnya layak diminta

pertanggungjawaban pidana. Beberapa teori

terkait pertanggungjawaban pidana korporasi

dikemukakan oleh beberapa penulis hukum.

Pada awalnya teori-teori yang membahas

mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi berkembang di negara-negara

common law. Teori-teori tersebut kemudian

banyak diikuti oleh negara-negara lainnya dan

bisa dikatakan telah bersifat universal. Di antara

teori dimaksud adalah:31

i. Teori pertanggungjawaban ketat/mutlak

(Strict liability/absolute liability);

ii. Teori pertangggungjawaban pengganti

(Vicarious liability);

iii. Teori identifikasi/pertanggungjawaban

langsung (Identification theory/direct liablity);

iv. Teori pelaku fungsional;

v. Teori agregat.

2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam

Undang-Undang Pidana Indonesia

a. Awal pengaturan korporasi sebagai subyek

hukum pidana di Indonesia

KUHP Indonesia yang berlaku saat ini hanya

mengakui manusia (natural person) sebagai

subyek hukum pidana (pelaku tindak pidana).

KUHP belum mengakui korporasi, termasuk

badan hukum (legal persons), sebagai subyek

hukum pidana (pelaku tindak pidana).

Adopsi korporasi sebagai subyek hukum pidana

(pelaku tindak pidana) dalam hukum pidana

Indonesia dilakukan tidak dengan cara

menambahkan ketentuan tindak pidana

korporasi dalam KUHP, seperti yang terjadi

di beberapa negara civil law lain. Di Indonesia,

adopsi ketentuan dalam rangka mitigasi tindak

pidana korporasi dilakukan dengan

pengundangan berbagai undang-undang di

luar KUHP yang mengatur tindak pidana khusus.

Korporasi selaku subyek hukum pidana (pelaku

tindak pidana) di Indonesia secara resmi

diperkenalkan untuk pertama kalinya pada

tahun 1951 dengan diundangkannya UU

Darurat No.17 Tahun 1951 tentang Penimbunan

Barang-Barang. Dalam UU Darurat ini antara

lain diatur cara melakukan tuntutan atau

menjatuhkan hukuman terhadap suatu badan

hukum atau korporasi dalam hal melakukan

tindakan penimbunan barang dan siapa atau

pihak mana yang harus tampil di muka

pengadilan apabila badan hukum atau korporasi

didakwa sebagai pelaku tindak pidana.

b. Perkembangan pengaturan korporasi sebagai

sebagai subyek hukum pidana di Indonesia

Perkembangan hukum pidana secara global

menunjukkan bahwa akhir-akhir ini semakin

banyak negara yang mengadopsi konsep

11

30 Lihat misalnya E. Utrecht, Hukum Pidana I, Bandung, Balai LektureMahasiswa, 1990, hlm. 193. Lihat pula H. A. Zainal Abidin Farid, HukumPidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 35. Demikian juga, lihat AndiHamzah, Asas-Asas Hukum Pidana., Op. cit., hlm. 39. Lihat pula AndiHamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,

31 Hasbullah F. Sjawie, Loc. cit. hlm. 24 s.d. 61.

Page 19: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

pertanggungjawaban pidana korporasi. Tidak

dapat dipungkiri, hal tersebut juga menginspirasi

pembuat undang-undang di Indonesia untuk

mengakomodir korporasi sebagai subyek

hukum pidana dalam beberapa undang-

undang yang mengatur tindak pidana khusus

di Indonesia sekalipun KUHP Indonesia yang

berlaku sekarang belum mengatur

pertanggungjawaban pidana korporasi.

Berbagai undang-undang tindak pidana khusus

di Indonesia, setelah diundangkannya UU

Darurat No.17 Tahun 1951 tentang

Penimbunan Barang-Barang, telah menjadikan

korporasi juga sebagai subyek tindak pidana

selain manusia. Dengan kata lain, dalam

beberapa undang-undang yang diterbitkan

setelah berlakunya UU Darurat No. 17 Tahun

1951 telah diatur bahwa korporasi juga dapat

dibebani pertanggungjawaban pidana.

Undang-undang pidana di luar KUHP lainnya

setelah berlakunya UU Darurat No.17 Tahun

1951 tentang Penimbunan Barang-Barang

yang telah menerima konsep pertanggung-

jawaban pidana korporasi antara lain:

1. UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang

Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan

Tindak Pidana Ekonomi;

2. UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.10 Tahun 1998;

3. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;

4. UU No.10 Tahun 1995 tentang

Kepabeanan sebagaimana telah diubah

dengan UU No.17 Tahun 2006;

5. UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.3 Tahun 2007;

6. UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

7. UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.35 Tahun 2009;

8. UU No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.20 Tahun 2001;

9. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen;

10. UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktik

Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha

Tidak Sehat;

11. UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan,

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.45 Tahun 2009;

12. UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak

Pidana Perdagangan Orang;

13. UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik;

14. UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah;

15. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

16. UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak

Pidana Pencucian Uang;

17. UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;

18. UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Perusakan Hutan;

19. UU No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;

20. UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;

21. UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten;

22. UU No.20 Tahun 2016 tentang Merek dan

Indikasi Geografis.

Dari hasil penelitian terhadap UU Darurat No.

17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-

Barang dan 22 (dua puluh dua) Undang-

Undang pidana khusus lainnya dan dikaitkan

dengan teori-teori pertanggungjawaban

pidana, dapat dikemukakan bahwa:

1. Empat undang-undang yaitu (i) UU No.32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, (ii) UU

No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang, (iii) UU No.11 Tahun

1995 tentang Cukai sebagaimana telah

diubah dengan UU No.3 Tahun 2007, dan

(v) UU No.10 Tahun 1995 tentang

12

Page 20: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Kepabeanan sebagaimana telah diubah

dengan UU No.17 Tahun 2006

menggunakan pola perumusan

pertanggungjawaban pidana sesuai doktrin

identifikasi (doctrine of identification) dan

doktrin agregasi (doctrine of aggregation).

2. UU No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan UU

No.20 Tahun 2001 menggunakan doktrin

vicarious liability yang melihat hubungan

kerja atau hubungan lain antara korporasi/

majikan dengan pelaku (vide Pasal 20).

3. Satu undang-undang yaitu UU No.8 Tahun

2010 tentang Tindak Pidana Pencucian

Uang menggunakan pola perumusan

pertanggungjawaban pidana sesuai doktrin

teori identifikasi (doctrine of identification).

4. Tujuh belas undang-undang lainnya tidak

tegas pola perumusan pertanggungjawaban

pidananya.

c. Perumusan & pembahasan ketentuan korporasi

sebagai subyek hukum pidana di Indonesia

Dalam penyusunan Rancangan KUHP (RKUHP

2018) yang akan menggantikan KUHP yang

berlaku sekarang, konsep pertanggungjawaban

pidana korporasi telah diadopsi. Pada saat kajian

atas topik dalam artikel ini ditulis, Komisi DPR

yang menangani perumusan dan pembahasan

perubahan KUHP sedang dalam proses

membahas RKHUP. Diperoleh informasi bahwa

salah satu isu yang banyak diperdebatkan dan

dibahas oleh DPR adalah mengenai adopsi

korporasi sebagai subyek tindak pidana.

Untuk memastikan perumusan tindak pidana

korporasi dalam RKUHP terkini, penulis meneliti

rumusan ketentuan terkait tindak pidana

korporasi dalam buku ke-1 RKUHP hasil

pembahasan Tim Perumus pada akhir Mei

2018. Dalam RKUHP tersebut dirumuskan hal-

hal sebagai berikut:

(1) Definisi Korporasi

Dalam Pasal 179 disebutkan bahwa:

”Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari

orang dan/atau kekayaan, baik merupakan

badan hukum yang berbentuk perseroan

terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi,

badan usaha milik publik, badan usaha milik

daerah, badan usaha milik desa, atau yang

disamakan dengan itu, atau badan usaha yang

berbentuk firma, persekutuan komanditer,

atau yang disamakan dengan itu.”

(2) Subjek Hukum

Dalam rumusan Pasal 52 ayat (1) disebutkan

bahwa: "Korporasi merupakan subyek tindak

pidana”. Sedangkan pada Pasal 52 ayat (2)

disebutkan bahwa: “Korporasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) mencakup badan

hukum yang berbentuk perseroan terbatas,

yayasan, koperasi, badan usaha milik negara/

daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta

perkumpulan baik yang berbadan hukum

maupun tidak berbadan hukum atau badan

usaha yang berbentuk firma, persekutuan

komanditer, atau yang disamakan dengan itu

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

(3) Definisi Tindak Pidana Korporasi

Dalam Pasal 53 RKUHP disebutkan bahwa:

“Tindak Pidana oleh Korporasi adalah Tindak

Pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang

mempunyai kedudukan fungsional dalam

struktur organisasi Korporasi yang bertindak

untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak

demi kepentingan Korporasi, yang berdasarkan

hubungan kerja atau berdasarkan hubungan

lain dalam lingkup usaha atau kegiatan

Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri

maupun secara bersama-sama.”

Selain dapat dilakukan oleh orang-orang yang

mempunyai kedudukan fungsional dalam

struktur organisasi korporasi, dalam RKUHP

13

Page 21: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

juga dirumuskan bahwa tindak pidana korporasi

juga dapat dilakukan oleh personil pengendali

korporasi dan pemberi perintah di luar struktur

organisasi tetapi dapat mengendalikan

korporasi (konsep rumusan Pasal 54 ayat (1)).

(4) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Hal penting lain yang dapat berdampak

terhadap badan hukum atau korporasi yang

adalah mengenai pertanggungjawaban dalam

konsep Pasal 55 dan Pasal 56 yang masing-

masing berbunyi sebagai berikut.

Pasal 55 berbunyi:

“Jika Tindak Pidana dilakukan oleh Korporasi,

pertanggungjawaban pidana dikenakan

terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya,

pemberi perintah, atau pemegang kendali

Korporasi”.

Selanjutnya, Pasal 56 berbunyi:

“Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban

secara pidana atas suatu perbuatan yang

dilakukan untuk dan/atau atas nama Korporasi

jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup

usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan

dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang

berlaku bagi Korporasi yang bersangkutan atau

jika perbuatan tersebut dilakukan di luar lingkup

usaha atau kegiatan yang menguntungkan

atau dilakukan demi kepentingan Korporasi.”

Dengan adanya definisi atau penjelasan dari

istilah “korporasi” dalam Pasal 179 RKUHP

2018 dan rumusan ketentuan cakupan

korporasi dalam Pasal 52 di satu sisi, namun

di sisi lain tidak ada pengecualian yang tegas

dari ketentuan mengenai pertanggungjawaban

tindak pidana korporasi terhadap badan hukum

publik, dapat menimbulkan multitafsir.

Dengan konsep rumusan Pasal 52 ayat (1)

yang berbunyi:

“Korporasi merupakan subyek tindak pidana”,

dan rumusan Pasal 52 ayat (2) yang berbunyi:

“Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) mencakup badan hukum yang berbentuk

perseroran terbatas, yayasan, koprasi, badan

usaha milik negara/daerah, atau yang

disamakan dengan itu, serta perkumpulan

baik yang berbadan hukum maupun tidak

berbadan hukum atau badan usaha yang

berbentuk firma, persekutuan komanditer,

atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan”,

tidak tertutup kemungkinan ada orang yang

berpandangan bahwa badan hukum publik

seperti Bank Indonesia merupakan korporasi.

Pandangan demikian masuk akal karena badan

hukum yang berbentuk perseroan terbatas,

yayasan, koperasi, badan usaha milik

negara/daerah, atau yang disamakan dengan

itu, serta perkumpulan baik yang berbadan

hukum ataupun yang tidak berbadan hukum

atau badan usaha yang berbentuk firma,

persekutuan komanditer, atau yang disamakan

dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan adalah tambahan

cakupan dari korporasi. Di sisi lain, tidak tertutup

kemungkinan orang dapat menganggap

bahwa yang dimaksud dengan korporasi dalam

konsep rumusan Pasal 52 RKUHP adalah hanya

badan hukum yang berbentuk perseroan

terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik

negara/daerah, atau yang disamakan dengan

itu, serta perkumpulan baik yang berbadan

hukum maupun yang tidak berbadan hukum

atau badan usaha yang berbentuk firma,

persekutuan komanditer, atau yang disamakan

dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Untuk memastikan bahwa badan hukum publik

seperti Bank Indonesia, Lembaga Penjamin

Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pusat

Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

tidak termasuk dalam kategori atau cakupan

dari korporasi sebagaimana dimaksud dalam

14

Page 22: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

RKUHP 2018, perlu penjelasan yang tegas atau

pengecualian dari pembuat undang-undang.

Adanya penjelasan yang tegas atau

pengecualian mengenai hal tersebut dalam

KUHP akan memberi kepastian bahwa badan

hukum publik tidak akan menghadapi proses

hukum dalam menjalankan tugas yang menjadi

tanggung jawabnya. Pengecualian ini diperlukan

karena ada kepentingan umum yang besar

yang dipertaruhkan kalau mengenakan sanksi

kepada badan hukum publik seperti ini. Dengan

pengenaan sanksi, baik pidana pokok maupun

tambahan dapat mencoreng reputasi badan

hukum tersebut, bahkan dapat membuat

badan hukum publik tidak dapat melaksanakan

tugasnya dengan baik. Menurut ahli hukum

Belanda, di Belanda Badan Usaha Milik Negara

tidak diperlakukan sama dengan korporasi

swasta biasa. Terhadap BUMN tidak dikenakan

pertanggungjawaban pidana, karena hal itu

hanya memindahkan uang negara dari kantong

kanan ke kantong kiri. Menurut seorang

pejabat The Office of Overseas Prosecutorial

(OPDAT) pada Kedutaan Amerika Serikat di

Jakarta, bahwa di Amerika serikat kalau ada

pejabat publik seperti pejabat partai politik

melakukan pelanggaran, yang dihukum hanya

individunya saja dan badan hukumnya/partai

tidak dipidana. Kita dapat mengambil contoh

misalnya pada sekitar tahun 1972-1974, terjadi

kasus Watergate yaitu pejabat partai Republik

termasuk presiden Nixon melakukan perbuatan

melawan hukum yang merugikan calon Partai

Demokrat George Mc Govern. Pada kasus ini

yang dihukum hanyalah pejabat partai Republik

termasuk upaya impeachment terhadap

Presiden Nixon yang menolak memberikan

rekaman-rekaman pembicaraan yang disadap

secara melawan hukum. Akhirnya pada tanggal

8 Agustus 1974 Presiden. Nixon mengundurkan

diri. Partai Republik tidak dihukum dalam kasus

ini. Pada waktu kasus ini terjadi di sana sudah

dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi

yang sudah diterapkan sejak tahun 1909 dalam

kasus NY Central & Hudson River Railroad

Versus United States.

d. Ketentuan undang-undang yang telah

mengadopsi korporasi sebagai subyek hukum

pidana yang banyak mendapat perhatian di

Indonesia

Sejak dimulainya pengadopsian korporasi

sebagai subyek hukum pidana di Indonesia

pada tahun 1951, semakin banyak undang-

undang di Indonesia yang mengatur tindak

pidana korporasi. Dari sekian banyak undang-

undang yang mengatur tindak pidana korporasi

di Indonesia, yang banyak mendapat perhatian

dari instansi pemerintah atau lembaga negara

adalah UU No.31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana telah diubah dengan UU No.20

Tahun 2001 (UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi).

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

mengadopsi korporasi sebagai subyek tindak

pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat pada

rumusan Pasal 20 yang berbunyi:

(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan

oleh atau atas nama suatu korporasi, maka

tuntutan dan penjatuhan pidana dapat

dilakukan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya.

(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh

korporasi apabila tindak pidana tersebut

dilakukan oleh orang-orang baik

berdasarkan hubungan kerja maupun

berdasarkan hubungan lain, bertindak

dalam lingkungan korporasi tersebut baik

sendiri maupun bersama-sama.

(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan

terhadap suatu korporasi, maka korporasi

tersebut diwakili oleh pengurus.

(4) Pengurus yang mewakili korporasi

sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)

dapat diwakili oleh orang lain.

15

Page 23: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

(5) Hakim dapat memerintahkan supaya

pengurus korporasi menghadap sendiri di

pengadilan dan dapat pula memerintahkan

supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang

pengadilan.

(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan

terhadap korporasi, maka panggilan untuk

menghadap dan penyerahan surat

panggilan tersebut disampaikan kepada

pengurus di tempat tinggal pengurus atau

di tempat pengurus berkantor.

(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan

terhadap korporasi hanya pidana dengan

denda, dengan ketentuan maksimum

pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).

Menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan

"korporasi" adalah "kumpulan orang dan/atau

kekayaan yang terorganisasi baik merupakan

badan hukum maupun bukan badan hukum".

Mengacu pada definisi korporasi dalam UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

suatu tindak pidana dapat dibebankan

pertanggungjawaban pidananya kepada

korporasi hanya apabila perbuatan itu

dilakukan oleh orang-orang "yang memiliki

hubungan kerja" maupun "yang hubungan

lain" dengan korporasi yang bersangkutan.

Selain itu, perbuatan itu harus dilakukan

"dalam lingkungan korporasi tersebut".

Sayangnya, undang-undang tersebut tidak

menjelaskan apa yang dimaksud dengan

"orang-orang baik berdasarkan hubungan

kerja maupun berdasarkan hubungan lain"

maupun yang dimaksud dengan"bertindak

dalam lingkungan korporasi". Baik di dalam

Pasal 1 maupun dalam Penjelasan Pasal 20

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

tidak terdapat definisi atau penjelasannya.

Dengan demikian, pengertian frasa tersebut

harus diberikan dengan melakukan penafsiran

hukum.

Berdasarkan ajaran pertanggungjawaban

korporasi yang berkembang dan telah diterima

secara global, mereka yang memiliki hubungan

kerja tersebut tidak harus memiliki kewenangan

bertindak untuk dan atas nama korporasi,

seperti pegawai korporasi. Orang-orang yang

tidak memiliki kewenangan untuk bertindak

untuk dan atas nama korporasi juga dapat

diminta pertanggungjawabahn karena mereka

memiliki status sebagai "personel pengendali

korporasi” (directing mind of the corporation).

Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

sepanjang orang atau orang-orang itu memiliki

hubungan kerja atau memiliki hubungan lain

selain hubungan kerja dengan korporasi, seperti

hubungan kuasa, maka tindak pidana korupsi

orang tersebut dapat diatributkan kepada

korporasi sebagai perbuatan korporasi. Hal ini

didasarkan pada doktrin Vicarious Liability

seperti diatur juga dalam Pasal 3 Peraturan

Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016. Doktrin

ini dikenal juga dalam Hukum Perdata

sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 paragraf

3 Kitab Undang-undng Hukum Perdata.

D. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

DIKAITKAN DENGAN KEDUDUKAN BANK

INDONESIA SEBAGAI BADAN HUKUM PUBLIK

1. Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Publik

Status Bank Indonesia sebagai badan hukum di-

tegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Bank Indonesia

yang berbunyi:

“Bank Indonesia adalah Badan Hukum berdasarkan

Undang-undang ini.”

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) UU

tersebut ditegaskan bahwa:

“Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum

dengan Undang-undang ini dan dimaksudkan

agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia

dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas

16

Page 24: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum

publik berwenang menetapkan peraturan dan

mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya”.

Sifat Bank Indonesia dapat dikatakan cukup unik

(sui generis)32 karena merupakan suatu lembaga

negara, berbadan hukum dan juga bersifat

independen, dimana 3 (tiga) kombinasi sifat

tersebut tidak banyak ditemukan dalam lembaga

negara lainnya. Sifat ini merupakan sifat dasar dari

bank sentral di dunia yang dapat ditemukan pada

kebanyakan bank sentral, seperti Central Bank of

the United Arab Emirates (Bank Sentral Uni Emirat

Arab)33 Monetary Authority of Singapore (Bank

Sentral Singapura)34, dan De Nederlandsche Bank

(Bank Sentral Belanda).

Bank Indonesia, sebagai lembaga negara dan juga

badan hukum publik di Indonesia, menjadi salah

satu badan yang memiliki status yang dapat

diinterpretasikan sebagai 'korporasi'. Hal tersebut

mengacu pada beberapa ciri yang dimiliki seperti

identitasnya sebagai badan hukum.

2. Prinsip Imunitas Dalam Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Dan Penerapan Ketentuan

Imunitas Pada Bank Sentral

Dalam hukum pidana, paling tidak terdapat dua

postulat mengenai imunitas. Pertama, impunitas

continuum affectum tribuit delinquendi yang

berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa

kecenderungan kepada orang tersebut untuk

melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper

ad deteriora invitat yang berarti imunitas

mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan

yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu,

imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak

dikenal.35 Imunitas dalam hukum pidana hanya

diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana

yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Seorang

kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah

teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat par

in parem non hebet imperium bahwa kepala negara

tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum

negara lain. Postulat ini pun sudah disimpangi

berdasarkan Pasal 27 Statuta Roma yang menurut

Bruce Broomhall merupakan karakteristik hukum

pidana internasional bahwa tanggung jawab

individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi

jabatan resmi.

Konsep imunitas telah ada sejak ratusan tahun

lalu yang dirumuskan para ahli hukum pidana.

Karena itu, dalam hukum pidana dikenal alasan

penghapus pidana yang secara garis besar terdiri

dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.

KUHP China sejak tahun 1997, secara tegas

menyatakan pertanggungjawaban pidana korporasi

dapat dikenakan pada lembaga-lembaga negara.

Hal ini dapat dilihat pada sistem pertanggung-

jawaban pidana korporasi yang diatur dalam

bagian umum (ketentuan umum) dari KUHP China

khususnya Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut:36

"Companies, enterprises, institutions, state organs

and social organisations when committing acts

endangering the society shall assume criminal

17

32 Disampaikan Sulistiowati sebagai narasumber/ahli hukum perdata dariUGM dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasi yangdiseleggarakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia pada tanggal9 Nopember 2017. Sui generis merupakan istilah dalam bahasa Latinyang berarti unik atas jenisnya sendiri dan bisa digunakan untukmendeskripsikan suatu bentuk perlindungan hukum yang berbeda denganperlindungan hukum pada umumnya. Lihat: Terjemahan dari Nolo'sPlain English Law Dictionary, diakses dari situs resmi Cornell Law School,United States melalui https://www.law.cornell.edu/wex/sui_generis padatanggal 5 November 2017 pukul 17.00.

33 Pasal 2 dari Union Law of United Arab Emirates No.10 of 1980: Concerningthe Central Bank, the Monetary System and Organization of Banking.

34 Monetary Authority of Singapore Act Chapter 186, Original Enactment:Act 42 of 1970, revised on 30th December 1999.

35 Eddy O. S. Hiariej, Imunitas Dalam Hukum Pidana, Kompas.com - 18Februari 2015.

36 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and InternationalResponses, International Society for the Reform of Criminal Law 13thInternational Conference Commercial and Financial Fraud: A ComparativePerspective, Malta, 8-12 July 1999, hlm. 6.

Page 25: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

liability when prescribed by law" yang jika

diterjemahkan kurang lebih berarti:

“Perusahaan, perusahaan dagang, lembaga-

lembaga negara dan organisasi sosial ketika

melakukan atau bertindak sesuatu yang

membahayakan masyarakat dapat dipertanggung-

jawabkan secara pidana sebagaimana ditentukan

oleh hukum”.

Di Indonesia, pemberian pengecualian atau imunitas

dari pertanggungjawaban pidana bagi badan

hukum publik belum diatur. Namun demikian

dalam undang-undang yang mengatur mengenai

lembaga atau badan publik tertentu terdapat

pengaturan imunitas. Hal seperti ini dapat dilihat

pada ketentuan yang mengatur mengenai imunitas

Pejabat Bank Indonesia sebagaimana diatur pada

Pasal 45 UU Bank Indonesia yang berbunyi:

“Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi

Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak

dapat dihukum karena telah mengambil keputusan

atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan

wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan

itikad baik”.

Dalam tataran praktis, imunitas yang diberikan

secara khusus tidak ada gunanya selama yang

bersangkutan memenuhi unsur-unsur pasal dalam

suatu ketentuan pidana. Seorang mantan Anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia tetap dituntut

Komisi Pemberantasan Korupsi dan dinyatakan

terbukti bersalah di pengadilan dalam permasalahan

dana talangan Bank Century kendati Pasal 45 UU

Bank Indonesia memberi imunitas kepada gubernur,

deputi gubernur senior, dan deputi gubernur

dalam mengambil kebijakan sesuai tugas dan

wewenang menurut undang-undang. Dalam kasus

“Aliran Dana Bank Indonesia” atau kasus “Dana

Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesa”,

Gubernur dan beberapa Deputi Gubernur Bank

Indonesia dihukum pidana karena dianggap

bertanggung jawab di dalam pemberian dana

kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Contoh dari peraturan mengenai bank sentral

yang secara tegas mengatur bahwa bank sentral

tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban

institusi atau korporasi dapat ditemukan pada

undang-undang di Singapura yang mengatur

mengenai bank sentral Singapura (Monetary

Authority of Singapore). Dalam Pasal 3 ayat (1)

Monetary Authority of Singapore Act Chapter

186, Original Enactment: Act 42 of 1970, revised

on 30 December 1999 diatur bahwa:

“Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah

badan hukum dengan keberadaannya

berkelanjutan tanpa batas dan dapat menggugat

serta digugat (di pengadilan)”.

Selanjutnya, dalam Pasal 22 Monetary Authority

of Singapore Act Chapter 186 diatur bahwa:

“Tidak ada gugatan dan proses hukum lainnya

yang dapat dikenakan terhadap Monetary Authority

of Singapore (MAS) atas apa yang dilakukannya

atau tidak dilakukan olehnya (omission) termasuk

atas segala pernyataan yang dibuat olehnya yang

dilakukan atas itikad baik terkait:

(i) Perwujudan atau tindakan yang dimaksudkan

sebagai perwujudan dari segala kekuasaan

(MAS) yang diberikan berdasarkan undang-

undang ini atau berdasarkan sumber hukum

tertulis lainnya;

(ii) Pelaksanaan atau tindakan yang dimaksudkan

sebagai pelaksanaan dari fungsi atau tugas

(MAS) berdasarkan undang-undang ini atau

berdasarkan sumber hukum tertulis lainnya;

atau

(iii) Kepatuhan atau tindakan yang dimaksudkan

sebagai kepatuhan atas undang-undang ini

atau atas sumber hukum tertulis lainnya”.

Dari rumusan pasal di atas dapat diinterpretasikan

bahwa 'proses hukum lainnya' adalah termasuk di

dalamnya tuntutan pidana. Terlihat bahwa hukum

di Singapura telah memberikan perlindungan atas

berbagai jenis proses hukum termasuk tuntutan

pidana terhadap MAS sepanjang tindakan MAS

dilakukan dengan itikad baik.

18

Page 26: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Tentang imunitas bank sentral di Indonesia,

Sulistiowati37 mengatakan bahwa Bank Indonesia

sebagai lembaga negara dan badan hukum publik

juga memerlukan pengaturan yang secara tegas

mengatur bahwa Bank Indonesia tidak dapat

dibebani tanggung jawab pidana. Menurutnya,

dewasa ini beberapa negara telah memberikan

imunitas kepada pejabat bank sentral dari

kriminalisasi kebijakan dan imunitas pejabat bank

sentral tersebut dihormati oleh penegak hukum.

Mengenai hal tersebut Eddy O.S. Hiariej

berpendapat sama dan menyarankan agar Pasal

45 UU Bank Indonesia yang memberikan imunitas

kepada Pejabat Bank Indonesia hendaknya sinkron

dengan undang-undang pidana khusus, sehingga

pasal tersebut dapat diterapkan efektif.38

Mengenai hak imunitas ini, Yos Yohan Utama

berpendapat bahwa terkait pelaksanaan tugas

Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, Bank

Indonesia dapat mengusulkan adanya imunitas

terhadap lembaga dan Pejabat Bank Indonesia

dari kriminalisasi kebijakan yang dilakukan dengan

itikad baik. Usulan ini sebaiknya diatur lebih tegas

dalam revisi UU Bank Indonesia dan atau perubahan

KUHP. Selanjutnya, disarankan Bank Indonesia

agar memanfaatkan forum pembahasan RKUHP

khususnya yang menyangkut substansi ketentuan

tindak pidana korporasi untuk menyampaikan

concern Bank Indonesia bahwa badan publik

seperti Bank Indonesia dan Pejabat Bank Indonesia

dikecualikan dari tindak pidana korporasi yang

saat ini masih ditunda pembahasannya.39

Mengenai perkembangan pembahasan RKUHP,

Eddy O. S. Hiariej yang merupakan salah satu

anggota Tim Pakar RKUHP menginformasikan

bahwa dalam pertemuan Tim Perumus RKUHP

pada bulan Oktober 2017 salah satu pokok

pembahasannya adalah mengenai rumusan

ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi

khususnya badan hukum publik dan dalam

pembahasan dimaksud telah dicapai kesepahaman

di kalangan anggota Tim Perumus bahwa:

(i) Badan hukum publik akan dikecualikan

terhadap pertanggungjawaban pidana

korporasi. Hal tersebut dilandasi pemikiran

bahwa pidana pada hakikatnya adalah nestapa

yang diberikan oleh negara kepada para

pelakunya. Oleh karena badan hukum publik

adalah milik negara maka negara dianggap

tidak mungkin menghukum dirinya sendiri.

(ii) Korporasi atau badan hukum atau kumpulan

orang yang dapat diminta pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam RKUHP hanya badan

hukum privat seperti PT, CV, Fa, dan Yayasan.

(iii) Jika mengikuti doktrin kekayaan terpisah, maka

BUMN dan BUMD dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana korporasi.

(iv) Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap

korporasi hanya denda.

(v) Jika suatu tindak pidana yang dilakukan badan

hukum publik menimbulkan kerugian keuangan

negara, maka pihak yang dapat dimintakan

pertanggungjawaban hanya pengurus.

3. Perkara-Perkara Pidana Dimana

Pejabat/Pegawai Bank Indonesia Menjadi

Tersangka/Terdakwa/Terpidana

Dalam pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia,

tidak tertutup kemungkinan bahwa keputusan

dan/atau kebijakan Bank Indonesia menghadapi

pemeriksaan dan/atau penuntutan dari penegak

hukum karena dianggap telah memenuhi syarat

perbuatan melawan hukum pidana. Jika hal

demikian terjadi, dalam perjalanannya, keputusan

dan/atau kebijakan Bank Indonesia sebagai badan

19

37 Ahli Hukum Perdata UGM, disampaikan dalam Focus Group DiscussionTindak Pidana Korporasi yang dilaksanakan oleh Departemen HukumBank Indonesia di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 2017.

38 Eddy O.S. Hiariej adalah Pakar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UGM.Pendapat tersebut disampaikan dalam Focus Group Discussion TindakPidana Korporasi yang dilaksanakan oleh Departemen Hukum BankIndonesia di Yogyakarta pada 26 Oktober 2017.

39 Yos Yohan Utama adalah Pakar Hukum Administrasi Negara di FakultasHukum UNDIP. Pendapat tersebut disampaikan dalam Focus GroupDiscussion Tindak Pidana Korporasi yang dilaksanakan oleh DepartemenHukum Bank Indonesia di Yogyakarta pada 26 Oktober 2017.

Page 27: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

hukum dapat dinyatakan salah atau melanggar

ketentuan publik sehingga dapat diminta

pertanggungjawaban dari sisi hukum publik atau

pidana khususnya hukum pidana korupsi.

Hal tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa sejak

tahun 1998 beberapa anggota Direksi/Dewan

Gubernur Bank Indonesia menjadi

tersangka/terdakwa/terpidana dan diminta

pertanggungjawaban secara pribadi sebagai

Anggota Direksi/Dewan Gubernur Bank Indonesia

yang ikut dalam mengambil keputusan dan/atau

kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas Bank

Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:

a. Perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia

(BLBI)

Tiga mantan anggota Direksi Bank Indonesia

ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 1998

dan kemudian menjalani proses persidangan

di pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap

berdasarkan putusan Mahkamah Agung di

tingkat kasasi pada bulan Juni 2005. Ketiga

mantan anggota Direksi Bank Indonesia tersebut

dinyatakan bersalah melanggar ketentuan

Pasal 1 ayat (1) sub b jo. Pasal 28 jo. Pasal 34

huruf c UU No. 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal

55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.

b. Perkara Yayasan Pengembangan Perbankan

Indonesia (YPPI)

Lima mantan anggota Dewan Gubernur Bank

Indonesia dan 2 (dua) Pejabat Bank Indonesia

ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2008

dan menjalani proses persidangan di Pengadilan

sampai berkekuatan hukum tetap berdasarkan

putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi

pada bulan Maret tahun 2010.

Kelima anggota Dewan Gubernur Bank

Indonesia dan kedua Pejabat Bank Indonesia

tersebut dinyatakan bersalah melanggar

ketentuan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun

2001.

c. Perkara Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek

(FPJP) Bank Century

Satu mantan anggota Dewan Gubernur Bank

Indonesia ditetapkan sebagai tersangka pada

tahun 2012 dan menjalani proses persidangan

di pengadilan sampai berkekuatan hukum

tetap berdasarkan putusan Mahkamah Agung

di tingkat kasasi pada bulan April tahun 2015.

Perkara yang menyangkut kebijakan Bank Indonesia

tersebut di atas memiliki unsur kesamaan dalam

pertimbangan putusan majelis hakim yang antara

lain menyatakan bahwa:

a. Perbuatan para terdakwa dilakukan secara

bersama-sama dan berlanjut dengan anggota

direksi/anggota dewan gubernur lainnya dalam

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia;

b. Rapat Dewan Direksi/Dewan Gubernur Bank

Indonesia adalah organ pengambil keputusan

tertinggi dan bersifat kolektif kolegial;

c. Kebijakan yang diambil dalam RDG adalah

untuk kepentingan Bank Indonesia.

4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia

Sebagai Badan Hukum Publik

Dalam pembahasan mengenai pertanggung-

jawaban pidana di atas, disebutkan bahwa ajaran

pertanggunggungjawaban pidana korporasi yang

diterapkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dapat dilihat pada Pasal 20 ayat (2) yang

berbunyi:

“Tindak pidana korporasi dilakukan oleh korporasi

apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh

orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja

maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak

dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri

maupun bersama-sama”.

20

Page 28: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Dari rumusan Pasal 20 ayat (2) tersebut tampak

bahwa suatu tindak pidana dapat dibebankan

pertanggungjawabannya kepada korporasi

hanyalah apabila perbuatan itu dilakukan oleh

orang-orang "yang memiliki hubungan kerja"

maupun "yang hubungan lain" dengan korporasi

yang bersangkutan. Selain itu, perbuatan itu harus

dilakukan "dalam lingkungan korporasi tersebut".

Yang dimaksud dengan "orang-orang berdasarkan

hubungan kerja" adalah orang-orang yang memiliki

hubungan kerja sebagai pengurus atau sebagai

pegawai atau hubungan berdasarkan perjanjian

kuasa. Dengan demikian, hubungan tersebut

adalah:

1. Berdasarkan Anggaran Dasar dan

perubahannya,

2. Berdasarkan surat keputusan pengangkatan

sebagai pegawai korporasi, atau

3. Berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai

yang memuat kewenangan dari pegawai yang

dipekerjakan.

4. Berdasarkan surat kuasa untuk dapat bertindak

mewakili korporasi dan batas-batas

kewenangannya.

Dalam putusan perkara BLBI, perkara YPPI dan

perkara FPJP Bank Century khususnya pada bagian

pertimbangan majelis hakim disebutkan bahwa

kebijakan Bank Indonesia yang dipermasalahkan

diambil dalam Rapat Direksi/Dewan Gubernur

Bank Indonesia secara bersama-sama dan bersifat

kolektif kolegial dimana Rapat Direksi/Dewan

Gubernur tersebut merupakan forum pengambil

keputusan tertinggi di Bank Indonesia. Anggota

Direksi/Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia

yang hadir dan ikut mengambil keputusan adalah

Pejabat tertinggi di Bank Indonesia yang masuk

klasifikasi personil pengendali korporasi.

Mencermati pokok pertimbangan majelis hakim

dalam ketiga perkara dimaksud dikaitkan dengan

perkembangan teori pertanggungjawaban

korporasi, maka anggota Direksi/Dewan Gurbernur

Bank Indonesia dianggap sebagai sebagai "personil

pengendali korporasi", sehingga kepada Bank

Indonesia juga dapat dibebankan pertanggung-

jawaban pidana.

Menyitir pendapat Sutan Remy Syahdeini bahwa

“dalam menjalankan peraturan perundang-

undangan publik, Badan Hukum Publik tidak dapat

dituntut melakukan tindak pidana karena dalam

menjalankan fungsinya Badan Hukum Publik

tersebut adalah dalam rangka menjalankan

peraturan perundang-undangan publik yang

bertujuan untuk kepentingan umum, sehingga

dengan demikian perbuatannya itu tidak pernah

bersifat melawan hukum”. Pendapat yang sama

disampaikan oleh Sulistiowati yang mengatakan

bahwa Bank Indonesia pada dasarnya bukan

merupakan korporasi karena menurut Pasal 4 ayat

(2) dan ayat (3) UU Bank Indonesia, Bank Indonesia

adalah lembaga negara dan badan hukum. Karena

Bank Indonesia adalah lembaga negara yang

merupakan bagian dari Negara, maka tidak

mungkin negara menuntut dan menghukum

bagian dari negara.40

Sutan Remy Syahdeini secara khusus memberikan

pendapat terhadap kedudukan Bank Indonesia

sebagai badan hukum publik bahwa “sebaiknya

pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh

personel pengendali (directing mind) Bank

Indonesia, yaitu anggota Dewan Gubernur Bank

Indonesia, pertanggungjawaban pidananya hanya

dibatasi kepada manusia yang menjadi pelaku

tindak pidana itu saja sekalipun tindak pidana itu

dilakukan untuk dan atas nama serta untuk

kepentingan Bank Indonesia”.41 Pendapat tersebut

sejalan dengan pendapat Sulistiowati42 yang

menyatakan bahwa dalam hal Pegawai/Pejabat

Bank Indonesia didakwa dan diadili melakukan

21

40 Ibid.

41 Sutan Remy Syahdeini, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasidan Seluk Beluknya, Kencana, 2017, hlm. 241.

42 Ibid.

Page 29: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

tindak pidana, pertanggungjawaban pidana

sepenuhnya berada pada Pejabat/Pegawai Bank

Indonesia yang bersangkutan.

Pendapat berbeda disampaikan oleh Undang

Mugopal43 yang menyatakan bahwa Bank

Indonesia dapat dikenakan tindak pidana korporasi

apabila memenuhi syarat sebagai korporasi dan

memiliki bukti-bukti yang cukup.

Dalam perkara dimana penuntutan terhadap

pengurus korporasi dilakukan terlebih dahulu dan

kemudian dipertimbangkan untuk melakukan

penuntutan terhadap pengurus/personil pengendali

korporasi, maka proses penyidikan dalam rangka

pertanggungjawaban pidana korporasi harus tetap

memperhatikan hukum pidana yang berlaku di

antaranya ketentuan mengenai daluwarsa sebagai-

mana diatur dalam Pasal 78 KUHP yang berbunyi:

1. Kewenangan menuntut pidana hapus karena

daluwarsa:

(1) Mengenai semua pelanggaran dan

kejahatan yang dilakukan dengan

percetakan sesudah satu tahun;

(2) Mengenai kejahatan yang diancam dengan

pidana denda, pidana kurungan, atau

pidana penjara paling lama tiga tahun,

sesudah enam tahun;

(3) Mengenai kejahatan yang diancam dengan

pidana penjara lebih dari tiga tahun,

sesudah dua belas tahun;

(4) Mengenai kejahatan yang diancam dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, sesudah delapan belas tahun.

2. Bagi orang yang pada saat melakukan

perbuatan umurnya belum delapan belas tahun,

masing-masing tenggang daluwarsa di atas

dikurangi menjadi sepertiga.

Penanganan tindak pidana korporasi setelah

pengurus ditetapkan sebagai tersangka dapat

dilihat pada perkara penetapan PT Duta Graha

Indah (PT DGI) yang telah berubah menjadi PT

Nusa Konstruksi Engineering oleh Komisi

Pemberantasan Korupsi RI dalam kasus korupsi

proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan

Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas

Udayana Tahun Anggaran 2009-2010 dengan

kerugian negara sebesar Rp 25.000.000.000,00

(dua puluh lima milyar rupiah). Pasal ketentuan

yang disangkakan/didakwakan adalah Pasal 2 ayat

(1) atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Penetapan PT DGI sebagai tersangka

korporasi merupakan pengembangan dari

pemeriksaan terhadap tersangka DP yang

merupakan Direktur Utama PT DGI. Dalam kasus

ini, penetapan tersangka PT DGI sebagai tersangka

korporasi tidak berselang jauh dari penetapan

tersangka DP sebagai pengurus pengendali

perusahaan sehingga daluwarsa penanganan

pertanggungjawaban pidana korporasi tidak

menjadi persoalan.

Bagaimana dengan perkara-perkara yang

melibatkan Pejabat Bank Indonesia dan telah

menjalani hukuman atau pidana? Waktu kejadian

perkara (tempus delicti) perkara BLBI (1997-1998),

perkara YPPI (2002) dan perkara FPJP Bank Century

(2008) berbeda-beda dan pidana yang dijatuhkan

terhadap mantan Pejabat Bank Indonesia dalam

perkara tersebut juga telah berkekuatan hukum

tetap (inkracht van gewijsde). Pada perkara BLBI,

3 (tiga) mantan Anggota Direksi Bank Indonesia

memperoleh dan menjalani putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap pada bulan Juni 2005.

Pada perkara YPPI, 5 (lima) mantan Anggota Dewan

Gubernur Bank Indonesia telah memperoleh dan

menjalani putusan yang telah berkekuatan hukum

tetap pada 2010. Sedangkan pada perkara FPJP

Bank Century, mantan anggota Dewan Gubernur

Bank Indonesia telah memperoleh putusan yang

telah berkekuatan hukum tetap pada bulan April

2015.

22

43 Kasubdit Peran HAM Direktorat Penuntutan, Jaksa Agung Muda TindakPidana Khusus, Wakil Kejagung dalam penyusunan PERMA No. 13 tahun2016 tanggal 21 Desember 2016 tentang Tata Cara Penanganan TindakPidana Oleh Korporasi dan Narasumber dalam seminar KADIN 2017“Menuju Best Practice dan Clean Practice Sinergi BUMN dan Swasta:Memahami Tindak Pidana Korporasi & Konflik Regulasi Terkait PengelolaanKeuangan BUMN”, 16 November 2017.

Page 30: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Setelah masing-masing perkara tersebut

memperoleh putusan yang berkekuatan hukum

dan hukuman dijalankan, persoalan selanjutnya

adalah bagaimana perhitungan daluwarsa tuntutan

terhadap lembaga jika lembaga atau institusi dari

para pihak yang telah menjalani putusan pidana

dimaksud turut dihukum bertanggung jawab atas

kerugian negara yang diputuskan oleh pengadilan.

Apakah perhitungannya dimulai sejak perkara

pertama kali terjadi atau sejak adanya putusan

yang telah berkekuatan hukum tetap?

Menurut Eddie O. S, Hiariej, daluwarsa penuntutan

terhadap korporasi mengikuti daluwarsa

penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan

pengurus yang dipidana. Artinya adalah daluwarsa

dihitung sejak terjadinya peristiwa pidana yang

menyebabkan dilakukannya penuntutan terhadap

Pejabat Bank Indonesia dalam perkara BLBI, perkara

YPPI dan perkara FPJP Bank Century.

Memperhatikan pendapat Eddie O.S. Hiariej dan

ketentuan Pasal 78 KUHP maka daluwarsa perkara

tersebut adalah sebagai berikut:44

a. Untuk perkara BLBI dimana ancaman pidana

yang dikenakan pada 3 (tiga) mantan Anggota

Direksi Bank Indonesia adalah hukuman penjara

seumur hidup atau penjara selama-lamanya

20 (dua puluh) tahun, maka daluwarsa

penuntutannya adalah sesudah 18 (delapan

belas) tahun sejak munculnya peristiwa pidana.

Bila perbuatan pidana dihitung waktu kejadian

awalnya pada tahun 1997 maka daluwarsanya

adalah pada tahun 2015 (tahun 1997 + 18

tahun).

b. Untuk Perkara YPPI dimana ancaman pidana

yang dikenakan pada 5 (lima) mantan Anggota

Dewan Gubernur Bank Indonesia adalah

hukuman pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, maka

daluwarsa penuntutannya adalah sesudah 18

(delapan belas) tahun sejak munculnya peristiwa

pidana. Bila perbuatan pidana dihitung waktu

kejadian awalnya pada tahun 2002, maka

daluwarsanya adalah pada tahun 2020 (tahun

2002 + 18 tahun).

c. Untuk Perkara FPJP Bank Century dimana

ancaman pidana yang dikenakan pada 1 (satu)

mantan Anggota Dewan Gubernur adalah

hukuman pidana penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, maka

daluwarsa penuntutannya adalah sesudah 18

(delapan belas) tahun sejak munculnya peristiwa

pidana. Bila perbuatan pidana dihitung waktu

kejadian awalnya pada tahun 2008, maka

daluwarsanya adalah pada tahun 2026 (tahun

2008 + 18 tahun).

Pendapat berbeda mengenai daluwarsa

disampaikan oleh Sulistiowati yang mengatakan

bahwa ketentuan daluwarsa penuntutan tidak

dapat diterapkan kepada Bank Indonesia. Daluwarsa

penuntutan kepada Bank Indonesia tidak mungkin

ada jika dari awal tidak ada kewenangan

penuntutan terhadap Bank Indonesia.45

5. Risiko Hukum Penerapan Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi Terhadap Bank Indonesia

Sebagai Badan Hukum Publik Dan Langkah-

Langkah Yang Dapat Dilakukan

a. Risiko hukum pemidanaan terhadap Bank

Indonesia sebagai badan hukum publik

Sehubungan dengan hukuman pokok bagi

korporasi dalam kasus korupsi, pada Pasal 20

ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi dinyatakan secara tegas bahwa pidana

pokok yang dapat dijatuhkan terhadap

23

44 Disampaikan dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasiyang dilaksanakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia di Yogyakartatanggal 26 Oktober 2017.

45 Disampaikan dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasiyang dilaksanakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia di Jakartapada tanggal 9 Nopember 2017.

Page 31: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

korporasi hanya berupa pidana denda semata

dengan ketentuan bahwa maksimum pidananya

ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)-nya. Untuk

tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh

korporasi di Indonesia, selain ketentuan

hukuman tambahan sebagaimana yang diatur

pada Pasal 10 huruf b KUHP, berdasarkan

ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi terhadap korporasi juga

dapat dikenakan pidana tambahan lainnya

yang dapat berupa:

1. Perampasan barang bergerak yang

berwujud atau yang tidak berwujud atau

barang tidak bergerak yang digunakan

untuk atau yang diperoleh dari tindak

pidana korupsi, termasuk perusahaan milik

terpidana dimana tindak pidana korupsi

dilakukan, begitu pula dari barang yang

mengantikan barang-barang tersebut;

2. Pembayaran uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama

dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi;

3. Penutupan seluruh atau sebagian

perusahaan untuk waktu paling lama 1

(satu) tahun;

4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-

hak atau penghapusan seluruh atau

sebagian keuntungan tertentu, yang telah

atau dapat diberikan oleh Pemerintah

kepada terpidana.

Menurut penjelasan huruf c dari Pasal 18 ayat

(1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

yang dimaksud dengan penutupan seluruh

atau sebagian perusahaan adalah pencabutan

izin usaha atau penghentian kegiatan untuk

sementara waktu sesuai dengan putusan

pengadilan. Penggunaan istilah "perusahaan"

dalam hal ini dianggap kurang tepat karena

penjelasannya tidak merujuk kepada kata

perusahaan.46

Selanjutnya, Pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa

jika terpidana tidak membayar uang pengganti

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf

b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, maka

harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan

dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut.

Bisa dibayangkan apabila pidana pokok dan

atau tambahan dari pertanggungjawaban

pidana korporasi tersebut dikenakan kepada

Bank Indonesia selaku Bank Sentral Republik

Indonesia yang memiliki tugas dan kewenangan

strategis di bidang moneter, sistem pembayaran

dan stabilitas sistem keuangan. Bukan hanya

reputasi Bank Indonesia saja yang dipertaruhkan,

namun risiko finansial yang harus ditanggung

Bank Indonesia dan negara Republik Indonesia

apabila terjadi defisit keuangan Bank Indonesia

untuk menutupi pidana denda, karena apabila

mengacu kepada perkara-perkara yang

melibatkan Bank Indonesia di atas tercantum

angka nominal denda yang sangat besar. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 62 ayat (3) UU Bank

Indonesia, bahwa: “Apabila modal menjadi

kurang dari Rp 2.000.000.000.000,00 (dua

triliun rupiah) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 6 ayat (1), Pemerintah wajib menutup

kekurangan tersebut, yang pelaksanaannya

dilakukan setelah mendapat persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat.”

Oleh karena itu, pendapat Sutan Remy

Syahdeini yang dikutip sebelumnya bahwa:

“sesuai dengan asas dalam hukum pidana,

seyogyanya penjatuhan pidana yang akan

dapat menimbulkan lebih banyak mudharatnya

bagi masyarakat (kepentingan umum) daripada

manfaatnya, harus dihindarkan. Dengan

demikian, sebaiknya proses penyelidikan dan

penyidikan terhadap tindak pidana yang lebih

24

46 Hasbullah F. Sjawie, Op. cit. hlm. 155.

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Page 32: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

banyak mudharatnya bagi kepentingan umum

daripada manfaatnya itu tidak dilakukan atau

dihentikan apabila sudah terlanjur diproses.

ltu sebabnya dalam hukum pidana dikenal

asas yang disebut asas oportunitas” menurut

penulis tepat.

Pendapat dari pakar dan akademisi yang pada

pokoknya menyatakan bahwa badan hukum

publik seperti Bank Indonesia tidak dapat

dimintakan pertanggungjawaban pidana

korporasi bukan hal mutlak karena apabila

diminta pendapat dari pakar lainnya, terdapat

kemungkinan perbedaan pendapat sesuai

penafsiran masing-masing. Hal yang sama bisa

terjadi antara akademisi dengan penegak

hukum. Oleh karena itu, Bank Indoensia tetap

perlu mengantisipasi upaya kriminalisasi

terhadap Bank Indonesia sebagai institusi atau

badan hukum publik. Selama aturan

pertanggungjawaban pidana korporasi yang

berlaku saat ini dalam sejumlah undang-undang

pidana khusus maupun KUHP masih belum

secara tegas mengecualikan badan hukum

publik dari pertanggungjawaban pidana, maka

sangat terbuka peluang melakukan proses

hukum terhadap badan hukum publik seperti

Bank Indonesia.

b. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh

Bank Indonesia

Pada pembahasan di atas telah disebutkan

bahwa dalam melaksanakan tugas Bank

Indonesia, tidak tertutup kemungkinan bahwa

keputusan dan/atau kebijakan Bank Indonesia

menghadapi proses hukum (pemeriksaan

dan/atau penuntutan dari penegak hukum)

karena dianggap telah memenuhi syarat

perbuatan melawan hukum pidana. Jika hal

demikian terjadi, dalam perjalanannya,

keputusan dan/atau kebijakan Bank Indonesia

sebagai badan hukum publik dapat dinyatakan

salah atau melanggar ketentuan pidana

sehingga dapat diminta pertanggungjawaban

dari sisi hukum pidana khususnya hukum

pidana korupsi. Menyikapi keadaan seperti itu,

beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Bank

Indonesia yaitu:

1) Tindakan pencegahan:

(a) Menerapkan corporate governance yang

baik dan selalu dilakukan updating;

(b) Memperketat fungsi audit internal;

(c) Mengupayakan agar badan hukum atau

korporasi publik seperti Bank Indonesia

dikecualikan dari pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam Rancangan

KUHP atau ketentuan undang-undang

pidana khusus lainnya;

(d) Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah

Agung menganut ajaran strict libility

seperti halnya Pasal 7 United Kingdom

Bribery Act. Walaupun demikian Pasal

4 ayat (2) memberikan alasan pemaaf,

apabila korporasi melakukan langkah-

langkah yang diperlukan untuk

melakukan pencegahan, mencegah

dampak yang lebih besar dan

memastikan kepatuhan terhadap

ketentuan hukum yang berlaku guna

menghindari terjadinya tindak pidana.

Sehubungan dengan itu harus memiliki

setidaknya 3 (tiga) hal: good corporate

governance yang baik, risk management

yang efektif, dan program kepatuhan,

yang ketiganya berjalan dengan efektif.

Alasan pemaaf semacam ini juga ada

pada Pasal 7 UK Bribery Act.

2) Tindakan pembelaan hukum

Dengan berlakunya UU No.30 Tahun 2014

tentang Administrasi Pemerintahan (UU

Administrasi Pemerintahan) pada tanggal

17 Oktober 2014, juga terjadi diskursus

atau perdebatan tentang gugurnya

kewenangan penyidik dalam menilai suatu

perbuatan apakah termasuk dalam ranah

25

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Page 33: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

penyalahgunaan wewenang karena

berdasarkan UU tersebut kewenangan

menilai ada tidaknya penyalahgunaaan

wewenang perlu diuji terlebih dahulu di

atau oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.

Hal tersebut didasarkan pada ketentuan

Pasal 21 ayat (1) UU Administasi

Pemerintahan yang berbunyi: “Pengadilan

berwenang menerima, memeriksa, dan

memutuskan ada atau tidak ada unsur

penyalahgunaan wewenang yang dilakukan

oleh Pejabat Pemerintahan”.

Adapun yang dimaksud dengan pengadilan

pada ayat di atas adalah Pengadilan Tata

Usaha Negara sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1 angka 1 UU Administrasi

Pemerintahan yaitu Pengadilan Tata Usaha

Negara. Dengan demikian, walaupun atas

dugaan penyalahgunaan wewenang pada

badan hukum publik, penyidik melakukan

langkah penuntutan berdasarkan Pasal 3

UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

namun pihak yang terduga melakukan

kesalahan berdasarkan ketentuan dalam

UU Administrasi Pemerintahan dapat

terlebih dahulu meminta pengujian

mengenai keabsahan penetapan dugaan

penyalahgunaan wewenang yang

disimpulkan dan dilaporkan oleh pihak

auditor kepada Pengadilan Tata Usaha

Negara sebagaimana diatur dalam Pasal

21 ayat (1) UU tersebut.

UU Administrasi Pemerintahan merupakan

salah dasar yang dapat digunakan untuk

mengatasi risiko yang timbul dari dugaan

tindak pidana korporasi yang ditujukan

kepada badan hukum publik seperti Bank

Indonesia. Dengan demikian, Bank

Indonesia diharapkan cermat dan teliti

setiap membaca dan mempelajari laporan

hasil audit/pemeriksaan Badan Pemeriksa

Keuangan RI (BPK RI) yang dalam laporan

temuannya mengindikasikan adanya

dugaan penyalahgunaan wewenang yang

berindikasi tindak pidana. Dalam hal

Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tersebut

menyatakan adanya penyalahgunaan

kewenangan, Bank Indonesia dapat segera

menindaklanjutinya dengan mengajukan

gugatan kepada Peradilan Tata Usaha

Negara untuk memastikan ada tidanya

penyalahgunaan kewenangan yang

berindikasi tindak pidana tersebut. Disadari

langkah ini tidak mudah dilakukan.

E. PENUTUP

1. Kesimpulan

a. Tindak pidana korporasi pada dasarnya adalah

perbuatan yang dilakukan oleh pejabat

tertinggi dan/atau pegawai dari korporasi pada

setiap tingkatan yang menjalankan tugas dan

mewakili korporasi, yang dapat mengakibatkan

tanggung jawab pidana bagi korporasi.

b. Suatu korporasi dapat dimintakan

pertanggungjawaban dan mengenai hal

tersebut di Indonesia secara resmi diperkenalkan

untuk pertama kalinya pada tahun 1951

dengan diundangkannya UU Darurat No.17

Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-

Barang. UU Darurat No. 17 Tahun 1951

tentang Penimbunan Barang-Barang adalah

titik awal pengaturan bahwa di Indonesia

badan hukum atau korporasi secara yuridis

dapat dituntut dan dihukum jika melakukan

tindakan pidana walaupun sifatnya masih

terbatas pada ketentuan penimbunan barang.

c. Pengakuan korporasi sebagai subyek hukum

pidana (pelaku tindak pidana) dalam hukum

pidana Indonesia dilakukan tidak dengan cara

menambahkan ketentuan tindak pidana

korporasi dalam KUHP, seperti yang terjadi

di beberapa negara civil law lain. Adopsi

26

Page 34: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

ketentuan untuk mitigasi tindak pidana

korporasi dilakukan melalui pengundangan

berbagai undang-undang di luar KUHP yang

mengatur tindak pidana khusus.

d. Dalam perkembangan hukum pidana di

Indonesia, walaupun KUHP yang berlaku

sekarang belum mengenal kejahatan korporasi,

namun konsep pertanggungjawaban pidana

korporasi telah diadopsi dalam berbagai UU

pidana khusus. Dari sekian banyak UU yang

dikeluarkan yang telah mengadopsi kejahatan

korporasi dan pertanggungjawaban pidana

korporasi di dalam pasal-pasalnya, yang paling

perlu mendapat perhatian dari instansi

pemerintah atau lembaga negara (badan

hukum publik atau korporasi) adalah UU No.31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

dengan UU No.20 Tahun 2001. Hal tersebut

dikarenakan sifat ketentuan dalam UU tersebut

yang bersifat umum yaitu dapat dihadapkan

kepada hampir semua aktivitas/kegiatan pada

intansi pemerintah atau negara.

e. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan

untuk suatu korporasi maka penuntutannya

dapat dilakukan dan pidananya dapat

dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau

korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya

saja.

f. Bank Indonesia sebagai badan hukum publik

termasuk dalam kategori korporasi yang

merupakan subyek hukum pidana sehingga

secara teori yuridis dapat menghadapi proses

hukum pidana berdasarkan ketentuan undang-

undang hukum pidana yang mengatur

mengenai tindak pidana korporasi seperti UU

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

g. Untuk kepastian hukum bahwa Bank Indonesia

sebagai badan hukum publik tidak dapat

dituntut atau diminta pertanggungjawaban

pidana koporasi, perlu ada pengaturan yang

secara tegas mengatur bahwa badan hukum

publik seperti Bank Indonesia tidak termasuk

sebagai korporasi yang dapat diminta

pertanggungjawaban pidana dalam KUHP

yang akan datang atau dikecualikan dari

pertanggungjawaban atas ketentuan tindak

pidana korporasi dalam undang-undang pidana

(KUHP) atau dalam undang-undang pidana

khusus lainnya.

2. Saran

Mengingat pentingnya penegasan pengecualian

dimaksud dituangkan dalam KUHP dan sesuai

informasi yang tercatat dalam konsep RKUHP

2018 bahwa rumusan dari ketentuan mengenai

cakupan korporasi dalam RKUHP masih akan

dibahas dalam Tim Sinkronisasi selanjutnya, kiranya

perlu dilakukan komunikasi atau kordinasi dengan

Tim Perumus dan/atau Tim Sinkronisasi RKUHP.

27

Page 35: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

28

DAFTAR PUSTAKA

Amrullah, M. Arief., Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.

Ferber, Kenneth S., Corporation Law. Prentice Hall, 2002.

Garner, Bryan A., Black's Law Dictionary (Second Pocket Edition), 2003.

Gillies, Peter, (Penyunting: Barda Nawawi Arief), Criminal Law. 1990.

Hornby AS., Oxford Advance Learner's Dictionary of Current English, 1984.

Jefferson, Michael, Criminal Law 9th. Essex England: Pearson Longman, 2009.

Kristian, Kejahatan Korporasi Di Era Modern Dan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Buku Satu, CetakanKesatu, PT. Refika Aditama. Bandung, Desember 2016.

Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau Dari Berbagai Konvensi Internasional - Buku Tiga, CetakanKesatu, PT. Refika Aditama, Bandung. Februari 2017.

Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis Dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara-Buku Dua, Cetakan Kesatu, PT. Refika Aditama, Bandung, Juni. 2016.

Loqman, Loebby, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002.

Muladi dan Dwidja Prijatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Edisi Ketiga, Cetakan Ke-5. Prenadamedia, Jakarta,2015.

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.

Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi keduaCetakan Pertama, Malang, Banyumedia Publishing, 2003.

Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus), PT Citra Aditya Bakti, Bandung,2005.

Sjahdeini, Sutan Remy, Ajaran Pemidanaan: Tindak Pidana Korporasi Dan Seluk Beluknya, Cetakan Ke-2, Kencana, Depok,Agustus 2017.

Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, 2006.

Sjawie, Hasbullah F., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama, Cetakan kedua,Kencana, Jakarta, Januari 2017.

Solomon, Lewis D. Alan R. Palmiter, Corporation (Examples and Explanations), Little-Brown & Company, 1994.

Sudti-autasilp, Bhomtip, Corporate Crime and the Criminal Liability of Corporate Entities in Thailand. dalam:http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No76/ No76_11PA.

Page 36: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Abstrak:

Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa Surat Berharga Komersial (SBK).

Rumusan masalah meliputi tiga hal yaitu: apa bentuk perlindungan hukum penerbitan SBK di Indonesia, apa bentuk

perlindungan konsumen bagi investor pembeli SBK, dan apa bentuk penyelesaian SBK macet sesuai koridor hukum.

Penelitian normatif ini memakai pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan penerbitan

SBK diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Investor pembeli SBK dilindungi

Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia, dan peraturan terkait lainnya. SBK macet dapat

diselesaikan melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Penyelesaian non-litigasi melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)

dengan cara Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi dan Arbitrasi, sebaiknya lebih

diutamakan.

Kata kunci: surat berharga komersial, perlindungan hukum, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa

Abstract:

This study aims to examine the legal protection and dispute resolution of Commercial Paper (CP). The problem

formulation includes three areas: what is the form of legal protection for CP issuance in Indonesia, what is the form of

consumer protection for CP buyers, and what is the form of settlement defaulted CP in accordance with the law. This

normative study uses statutory and conceptual approaches. The results show that CP issuance is regulated under Bank

Indonesia Regulation and the Trade Law Code. CP buyer are protected by the Consumer Protection Act, Bank Indonesia

Regulation, and other related regulations. CP defaults can be settled through litigation and non-litigation processes. Non-

litigation settlement through Alternative Dispute Resolution (ADR) such as Negotiation, Consultation, Legal Binding

Opinion, Mediation, Conciliation, Adjudication and Arbitration, should take precedence.

Keywords: commercial paper, legal protection, consumer protection, dispute resolution

29

PERLINDUNGAN HUKUM DAN PENYELESAIAN SENGKETASURAT BERHARGA KOMERSIAL

Ditulis oleh:

Cita Yustisia Serfiyani1 dan Iswi Hariyani2

[email protected]

1 Dosen Fakultas Hukum, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya

2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember

Page 37: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perusahaan non-bank berskala besar saat ini

semakin didorong oleh Bank Indonesia untuk

menerbitkan Surat Berharga Komersial (SBK) atau

Commercial Paper (CP). Bank Indonesia (BI) telah

menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor

19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Penerbitan

SBK diharapkan dapat meningkatkan volume

transaksi perdagangan di pasar uang, menambah

likuiditas perusahaan penerbit SBK serta

memperluas instrumen investasi perbankan.

SBK merupakan surat berharga bersifat utang yang

diterbitkan Korporasi Non Bank (KNB) berjangka

1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan hingga 12

bulan. KNB yang ingin mencari dana jangka pendek

(kurang dari satu tahun) dapat menerbitkan SBK

minimal Rp10 miliar atau 1 juta dollar AS.

Perbankan dan perusahaan asuransi yang memiliki

kelebihan dana dapat membeli SBK sebagai salah

satu instrumen pasar uang. Tingkat diskonto SBK

relatif lebih besar dibandingkan instrumen pasar

uang lain seperti Sertifikat Deposito, Sertifikat

Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang,

Surat Perbendaharaan Negara, dan lain-lain.

Penerbitan SBK lebih menguntungkan dibandingkan

kredit bank, sebab SBK tidak perlu didukung

jaminan khusus (agunan) seperti kredit bank.

Namun demikian, SBK tetap harus didukung

jaminan umum yaitu seluruh harta milik perusahaan

penerbit berdasarkan ketentuan KUH Perdata.

Penerbitan SBK harus terdaftar di BI dengan

memenuhi persyaratan performa perusahaan

seperti laporan keuangan yang sehat. Instrumen

SBK harus memperoleh rating dari lembaga

pemeringkat yang terdaftar di BI. Penerbitan SBK

juga harus melibatkan pihak arranger berupa bank

atau perusahaan efek yang terdaftar di BI selaku

otoritas pasar uang.

Pengaturan SBK bertujuan mengaktifkan kembali

instrumen SBK untuk pembiayaan jangka pendek

melalui pasar uang oleh perusahaan non-bank.

Pengaturan juga dilakukan untuk meningkatkan

tata kelola penerbitan dan transaksi SBK,

mempercepat pendalaman pasar keuangan serta

mendukung efektivitas transmisi kebijakan

moneter. Penerbitan PBI Nomor 19/9/PBI/2017

diharapkan dapat melengkapi instrumen pasar

uang yang telah ada sehingga pelaku ekonomi

yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek

mempunyai alternatif sumber pendanaan selain

kredit perbankan. Setelah pasar SBK terbangun

dan likuiditas pasar telah tercipta dengan baik,

diharapkan pembiayaan dunia usaha akan lebih

efisien sehingga dapat bermanfaat mendukung

pembangunan perekonomian nasional.3

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi 3

(tiga) hal pokok:

1. Apa bentuk perlindungan hukum penerbitan

SBK di Indonesia ?

2. Apa bentuk perlindungan konsumen bagi

investor pembeli SBK ?

3. Apa bentuk penyelesaian SBK macet sesuai

koridor hukum ?

C. Metode Penelitian

Penelitian hukum ini bersifat normatif yang

mengkaji isu hukum yang terkait dengan aspek

perlindungan hukum penerbitan SBK, perlindungan

konsumen bagi para investor pembeli SBK dan

cara penyelesaian SBK macet sesuai koridor hukum.

Bahan hukum primer yang digunakan meliputi

Undang-Undang, KUH Perdata, KUHD, Peraturan

Pemerintah (PP), Peraturan BI dan Peraturan OJK.

Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi

buku, jurnal ilmiah dan artikel ilmiah di internet.

30

3 Dikutip dari berita “Korporasi Bisa Terbitkan Commercial Paper MulaiRp10 Miliar”, CNN Indonesia.com, Rabu, 26 Juli 2017.

Page 38: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Bahan hukum primer dan sekunder kemudian

dianalisa untuk mencari keterkaitan dan kesesuaian

dengan ketiga rumusan masalah dalam penelitian

ini. Data-data empiris yang dikutip dalam penelitian

ini tidak akan dijadikan bahan analisa hukum,

namun hanya berfungsi untuk menggambarkan

kondisi di lapangan.

Metode penelitian ini meliputi pendekatan undang-

undang (statue approach) dan pendekatan

konseptual (conceptual approach). Pendekatan

undang-undang (statue approach) dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan

regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual

(conceptual approach) beranjak dari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

di dalam ilmu hukum.4

II. PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Penerbitan SBK

di Indonesia

Pasar keuangan dan pasar komoditi memiliki peran

penting mendukung stabilitas makro ekonomi.

Kondisi perekonomian negara dapat dilihat pada

indikator pasar modal (IHSG dan kapitalisasi pasar

modal) serta indikator pasar uang (nilai tukar, inflasi,

cadangan devisa dan likuiditas). Pasar keuangan

(financial market) terdiri dari pasar uang dan pasar

modal. Instrumen yang diperdagangkan di pasar

uang adalah surat berharga berjangka pendek

(kurang dari satu tahun), sedangkan instrumen

yang diperdagangkan di pasar modal adalah surat

berharga berjangka lebih dari satu tahun. Pasar

modal memiliki tempat transaksi yang nyata yaitu

bursa efek, sedangkan pasar uang tidak mempunyai

tempat transaksi yang nyata. Pasar komoditi juga

mempunyai tempat transaksi yang nyata bernama

Bursa Berjangka.

Instrumen surat berharga yang diperdagangkan

di pasar modal ada yang bersifat utang (contoh:

obligasi) dan ada pula yang bersifat ekuitas (contoh:

saham). Surat berharga yang diperdagangkan di

pasar uang semuanya bersifat utang (utang uang)

dan tidak ada yang bersifat ekuitas. Surat berharga

yang diperdagangkan di pasar komoditi tidak ada

yang bersifat ekuitas sehingga semuanya bersifat

utang, baik utang berupa uang maupun barang.

Setiap perusahaan membutuhkan modal yang

bisa didapatkan dengan berbagai cara seperti

mengajukan permohonan kredit bank, meminta

pembiayaan barang modal ke perusahaan sewa

guna usaha, meminta pembiayaan ke perusahaan

modal ventura, mencari utang ke perorangan atau

perusahaan lain, dan lain-lain. Perusahaan yang

sudah besar dapat mencari pinjaman dana publik

dengan cara menerbitkan obligasi di pasar modal

dan SBK di pasar uang.

Kredit bank tidak mudah dialihkan karena bukan

tergolong surat berharga. Pengalihan kredit hanya

bisa dilakukan via cessie dan subrogasi yang butuh

proses panjang. Hal ini berbeda dengan surat utang

berbentuk obligasi dan SBK. Obligasi dan SBK

dapat diperdagangkan di pasar keuangan karena

tergolong surat berharga yang mudah dialihkan

berkali-kali seperti uang. Sifat inilah yang membuat

obligasi dan SBK dapat dijadikan instrumen

investasi. Investor mendapat manfaat bunga dan

margin keuntungan jual-beli surat berharga.

Penerbit mendapat manfaat dana pinjaman publik

berbunga lebih rendah dari bunga kredit bank.

Sistem pengaturan dan pengawasan pasar

keuangan di Indonesia dilakukan berdasarkan

pendekatan kelembagaan (institutional approach)

yang melibatkan banyak otoritas, sehingga

memungkinkan terjadinya potensi tumpang tindih

(overlapping) dalam pelaksanaannya. Misalnya,

penerbitan obligasi harus seijin OJK selaku otoritas

pasar modal, sedangkan penerbitan SBK harus

seijin BI selaku otoritas pasar uang.

31

4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-12, PenerbitKencana, Jakarta, 2016, hlm. 133-136.

Page 39: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Pasar keuangan di Indonesia diawasi oleh BI dan

OJK. BI berperan mengawasi sektor moneter,

makroprudensial dan sistem pembayaran,

sedangkan OJK mengawasi mikroprudensial yaitu

mengawasi perbankan, pasar modal, asuransi,

dana pensiun, perusahaan pembiayaan (leasing,

modal ventura, perusahaan penjaminan, usaha

kartu kredit), pegadaian dan lembaga keuangan

mikro. Pengawasan pasar komoditi dilakukan oleh

Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi

(Bappebti) di bawah Menteri Perdagangan.

Dalam rangka menjaga sinergi tugas dan

kewenangan otoritas terkait dan dalam rangka

mencegah terjadinya krisis keuangan, maka

diperlukan koordinasi yang baik antar regulator.

Sebagaimana dimanatkan UU 9/2016 tentang

Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem

Keuangan, BI bersama-sama dengan OJK,

Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite

Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berperan

penting melakukan monitoring dan memelihara

stabilitas sistem keuangan.

Mencari dana publik dengan cara menerbitkan

obligasi dan SBK memiliki kelebihan:

1. bunganya lebih murah dibandingkan bunga

kredit bank.

2. bunganya lebih murah dibandingkan bunga

perusahaan pembiayaan.

3. jumlah dana publik yang dapat dihimpun bisa

lebih besar dibanding kredit bank.

4. obligasi dan SBK tidak butuh agunan (jaminan

khusus) namun dijamin seluruh harta

perusahaan penerbit (jaminan umum).

5. perusahaan penerbit obligasi dan SBK harus

memiliki reputasi yang baik.

Jika perusahaan ingin menerbitkan surat utang

berbentuk obligasi yang berjangka lebih dari satu

tahun, maka harus mendapat ijin OJK selaku

otoritas pasar modal. OJK berwenang mengatur

dan mengawasi calon emiten yang hendak

menerbitkan saham atau obligasi yang akan

diperdagangkan di pasar modal. Mekanisme “go

public” di pasar modal tergolong tidak mudah

dan biayanya mahal sehingga sulit dilakukan

perusahaan UMKM. Pengawasan pasar modal

kini dialihkan dari Bapepam-LK kepada OJK

berdasarkan UU 21/2011.

Perusahaan yang ingin menerbitkan surat utang

berjangka pendek (kurang dari satu tahun) dapat

menerbitkan SBK di pasar uang. Penerbitan SBK

dinilai lebih menguntungkan dibandingkan kredit

bank, sebab SBK tidak perlu agunan (jaminan

khusus) sebagaimana kredit bank. Penerbitan SBK

harus melibatkan pihak bank atau perusahaan

efek selaku arranger dan agen pembayaran serta

harus mendapat ijin BI selaku otoritas pasar uang.

Adapun instrumen surat berharga yang

diperdagangkan di pasar uang, meliputi:

1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI),

2. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU),

3. Sertifikat Deposito/Certificate of Deposit

4. Surat Sanggup (Promes/Promissory Notes),

5. Surat Berharga Komersial (SBK)/Commercial

Paper (CP),

6. Surat Wesel (Bill of Exchange atau Banker's

Acceptance),

7. Surat Perbendaharaan Negara (Treasury Bill /

T-Bill),

8. Pasar Uang Antar Bank (PUAB)/Inter Bank Call

Money,

9. Repo/Repurchase Agreement,

10. Produk Derivatif Keuangan,

11. Produk Terstruktur (Structured Product).5

Surat Berharga Komersial (SBK) atau Commercial

Paper (CP) sejatinya sama dengan “surat sanggup”

(promissory notes/promes) namun penerbitannya

diatur BI secara ketat. SBK diterbitkan tanpa disertai

32

5 R Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013,“Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 85.

Page 40: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

jaminan khusus oleh perusahaan non-bank berskala

besar yang memiliki reputasi baik guna memperoleh

dana jangka pendek. Namun demikian SBK tetap

didukung jaminan umum berupa seluruh harta

perusahaan penerbit. Di samping itu, penerbitan

SBK juga harus memenuhi persyaratan korporasi,

laporan keuangan, manajemen, tidak gagal bayar,

pedoman internal, keterbukaan informasi, dan

lain-lain. Penerbitan SBK harus didasarkan penilaian

dari lembaga pemeringkat utang yang terdaftar

di BI, sebab surat utang ini tidak didukung jaminan

khusus yang mudah dieksekusi jika terjadi utang

macet.

Penerbitan surat berharga bersifat utang (contoh:

SBK) memiliki akibat hukum yang berbeda dengan

penerbitan surat berharga bersifat ekuitas (contoh:

saham). Jika perusahaan penerbit SBK melakukan

wanprestasi, maka para investor pembeli SBK

dapat mengajukan gugatan perdata via Pengadilan

Negeri atau mengajukan permohonan pailit via

Pengadilan Niaga. Sebaliknya, para investor pembeli

saham tidak bisa mengajukan permohonan pailit

manakala perusahaan penerbit melakukan

wanprestasi atau tidak mampu memberikan imbal

hasil.

Kondisi pasar uang dapat mempengaruhi pasar

modal. Pasar uang dan pasar modal sama-sama

dapat dijadikan lahan berinvestasi bagi perorangan

atau perusahaan. Perbedaannya, instrumen pasar

modal berjangka lebih dari satu tahun, sedangkan

instrumen pasar uang berjangka kurang dari satu

tahun. Di pasar uang, ada instrumen bersifat

simpanan seperti tabungan dan deposito. Instrumen

semacam ini tidak dijumpai di pasar modal, sebab

instrumen pasar modal hanya bersifat ekuitas

dan/atau utang. Instrumen simpanan dijamin LPS,

sehingga nasabah tidak akan kehilangan uang

jika bank-nya bangkrut.6

Pasar keuangan dan pasar komoditi sama-sama

mengenal instrumen derivatif (turunan). Di pasar

modal, instrumen derivatif merupakan turunan

efek bersifat ekuitas dan/atau utang. Instrumen

derivatif di pasar uang berasal dari turunan efek

bersifat simpanan dan/atau utang. Di sisi lain,

instrumen derivatif di pasar komoditi semuanya

merupakan turunan efek bersifat utang. Transaksi

di pasar keuangan dan pasar komoditi sudah bisa

dilakukan melalui internet (online trading), tanpa

warkat (scriptless trading) dan dari jarak jauh

(remotre trading).

Pengawasan pasar modal sepenuhnya menjadi

kewenangan OJK. Pengawasan pasar uang

(termasuk pasar valas) dilakukan BI. BI bertugas

mengawasi sistem moneter, stabilitas sistem

keuangan, makroprudensial dan sistem

pembayaran serta pengelolaan uang rupiah,

sedangkan OJK bertugas mengawasi

mikroprudensial seperti mengawasi lembaga

perbankan. BI fokus pada pengelolaan likuiditas

jangka pendek guna mencapai stabilitas nilai tukar.

Transasi keuangan yang dilakukan dalam tenor

pendek (kurang dari setahun) dilakukan di pasar

uang. Dengan demikian sesuai Pasal 10 UU BI, BI

memiliki kewenangan di pasar uang.

BI bertugas menjaga inflasi dan stabilitas nilai

tukar mata uang Rupiah. Dari sisi makroprudensial,

terdapat irisan kewenangan BI terhadap perbankan

untuk memastikan aktivitas perbankan tetap dalam

koridor pencapaian tujuan stabilitas keuangan

nasional yang sehat. BI juga bertanggung jawab

penuh menjaga kelancaran sistem pembayaran

nasional agar semua transaksi di pasar uang dan

pasar modal dapat berjalan lancar.

Penerbitan SBK diatur dalam PBI Nomor

19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Pihak

yang dapat menerbitkan SBK adalah Korporasi

Non-Bank (KNB) yang telah tercatat atau belum

tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia

33

6 Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto D. Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2017,“Capital Market - Top Secret: Ramuan Sukses Bisnis Pasar Modal Indonesia”,Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 33.

Page 41: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

(BEI). KNB yang tercatat sebagai emiten di BEI harus

memenuhi persyaratan pernah menjadi emiten

saham, obligasi atau sukuk di BEI dalam lima

tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan

permohonan pendaftaran penerbitan SBK.7

Penerbitan SBK juga bisa dilakukan oleh perusahaan

(KNB) yang belum tercatat sebagai emiten di BEI.

Perusahaan jenis ini harus memenuhi persyaratan:

(a) telah beroperasi paling singkat tiga tahun atau

kurang dari tiga tahun sepanjang memiliki

penjaminan atau penanggungan; (b) memiliki

ekuitas paling sedikit Rp 50 miliar; dan

(c) menghasilkan laba bersih untuk satu tahun

terakhir.8 Penjaminan atau penanggungan dapat

dilakukan oleh bank atau korporasi (perusahaan)

yang menjadi induk dari KNB yang akan

menerbitkan SBK.9

Penerbitan SBK diatur dan diawasi oleh BI selaku

otoritas pasar uang, sebab SBK tergolong instrumen

surat utang berjangka pendek. Hal ini diatur dalam

Pasal 70 UU 8/1995 tentang Pasar Modal beserta

penjelasannya. Dalam pasal tersebut diatur SBK

sebagai salah satu bentuk efek yang merupakan

instrumen pasar uang dikecualikan dari kewajiban

penawaran umum dengan pertimbangan

pembinaan, pengaturan dan pengawasan efek

berjangka waktu sampai dengan satu tahun

dilaksanakan oleh instansi lain (dalam hal ini BI,

bukan OJK).

KNB yang akan menerbitkan SBK harus memenuhi

persyaratan: (a) memiliki laporan keuangan yang

memperoleh pendapat “wajar tanpa modifikasian”

(WTM) secara berturut-turut dari akuntan publik

terdaftar di BI untuk periode tiga tahun terakhir

atau sejak KNB beroperasi untuk KNB yang

beroperasi kurang dari tiga tahun; (b) tidak pernah

mengalami kondisi gagal bayar selama tiga tahun

terakhir sampai dengan tanggal pengajuan

permohonan pendaftaran penerbitan SBK atau

tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar

untuk KNB yang beroperasi kurang dari tiga

tahun; (c) KNB yang pernah mengalami gagal

bayar dapat menerbitkan SBK paling singkat tiga

tahun setelah tanggal pernyataan penyelesaian

gagal bayar sepanjang penyelesaian dilakukan

secara wajar; (d) memiliki manajemen dengan

rekam jejak yang baik; (e) memiliki pedoman

penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen

risiko; dan (f) memenuhi persyaratan administratif

yang ditetapkan BI.10

SBK harus memenuhi kriteria: (a) diterbitkan dan

ditatausahakan dalam bentuk tanpa warkat

(scripless); (b) dialihkan secara elektronik; (c)

diterbitkan dengan sistem diskonto; (d) diterbitkan

dalam denominasi rupiah atau valuta asing; (e)

nilai setiap penerbitan paling sedikit Rp 10 miliar

atau 1 juta dollar AS atau ekuivalennya dalam

valuta asing lainnya; (f) pembelian SBK oleh investor

paling sedikit Rp 500 juta atau 50 ribu dollar AS

atau ekuivalennya dalam valuta asing lainnya; (g)

memiliki tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan,

atau 12 bulan; dan (h) memiliki peringkat instrumen

yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang

terdaftar di BI, dengan batasan minimum tertentu

yang ditetapkan BI.11

SBK harus memenuhi persyaratan “surat sanggup”

sebagaimana diatur Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang (KUHD) kecuali untuk hal yang diatur

tersendiri dalam PBI ini dan peraturan pelaksanaan,

serta ketentuan peraturan perundang-undangan

terkait lainnya.12 Surat Sanggup dapat digunakan

sebagai bukti utang dan alat bayar. Penerbitan surat

34

7 Lihat Pasal 3 ayat 1 huruf a PBI Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitandan Transaksi SBK di Pasar Uang.

8 Lihat Pasal 3 ayat 1 huruf b PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

9 Lihat Pasal 3 ayat 3 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

10 Lihat Pasal 3 ayat 2 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

11 Lihat Pasal 4 ayat 1 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

12 Lihat Pasal 4 ayat 2 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

Page 42: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

sanggup sesuai Pasal 174 KUHD harus memuat

kesanggupan tanpa syarat untuk membayar uang

dalam jumlah tertentu, penetapan hari dan tempat

pembayaran, nama penerima pembayaran, tanggal

dan tempat penandatanganan, serta tanda tangan

orang penerbit surat sanggup.

Surat Sanggup (Promes) diatur Pasal 174-177

KUHD, namun pengertian surat sanggup tidak

disebutkan secara tegas dalam KUHD, sehingga

para ahli merumuskan definisi surat sanggup dari

syarat formal surat sanggup yang diatur Pasal 174

KUHD. Surat sanggup adalah surat tanda

kesanggupan atau surat persetujuan tanpa syarat

untuk membayar sejumlah uang kepada Pemegang

atau Pengganti pada hari tertentu. Surat Sanggup

dikenal dengan beragam istilah. Dalam bahasa

Indonesia, istilah lain surat sanggup yakni “surat

aksep” dan “surat promes” sedangkan dalam

istilah bahasa Inggris dikenal dengan sebutan

promissory notes. Sementara dalam ilmu akuntansi,

Surat Sanggup disebut juga “nota yang dapat

diuangkan”13

Penerbit SBK harus menggunakan jasa Lembaga

Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di BI.

Lembaga pendukung tersebut meliputi: (a) Bank

atau Perusahaan Efek yang berfungsi sebagai

arranger atau penata laksana penerbitan;

(b) lembaga pemeringkat; (c) konsultan hukum;

(d) akuntan publik; (e) notaris; dan (f) lembaga

lain yang ditetapkan BI.14

Secara besar dapat disimpulkan bahwa penerbitan

SBK dilindungi oleh peraturan perundang-undangan

yang bersifat umum (seperti KUH Perdata dan

KUHD) dan peraturan perundang-undangan yang

bersifat khusus (seperti UU Bank Indonesia dan

Peraturan Bank Indonesia). Penerbitan SBK saat

ini diatur secara khusus dalam Peraturan BI Nomor

19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

Perjanjian SBK tidak boleh melanggar “asas

kebebasan berkontrak” dan “syarat sah perjanjian”

sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Asas

Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari

ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang

berbunyi: ”semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak

memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

1. membuat atau tidak membuat perjanjian,

2. mengadakan perjanjian dengan siapapun,

3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan

persyaratannya,

4. menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis

atau lisan.15

Perjanjian SBK harus memenuhi ketentuan Pasal

1320 KUH Perdata tentang ”Syarat Sahnya

Perjanjian” yang meliputi:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

(unsur kesepakatan).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

(unsur kecakapan).

3. Suatu hal tertentu (unsur kejelasan obyek).

4. Suatu sebab yang halal (unsur tidak melanggar

hukum).

Syarat ke-1 dan ke-2 disebut Syarat Subyektif

karena menyangkut subyek perjanjian atau para

pihak yang membuat perjanjian. Syarat ke-3 dan

ke-4 disebut Syarat Obyektif karena menyangkut

obyek perjanjian. Jika Syarat Obyektif tidak

terpenuhi, maka perjanjian otomatis dinyatakan

”batal demi hukum”, artinya perjanjian itu

dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada

35

13 R Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013,“Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 91.

14 Lihat Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 3 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.15 Salim H.S, 2006, “Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”,

Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

Page 43: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

dasar untuk saling menuntut di pengadilan.

Sebaliknya, jika Syarat Subyektif tidak terpenuhi,

maka perjanjian itu tidak otomatis batal demi

hukum, namun ”dapat dibatalkan” jika salah satu

pihak meminta pembatalan kepada pengadilan.16

Suatu Perjanjian harus mempunyai obyek jelas

yang dapat ditentukan jenisnya, sedangkan

jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu

dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung

atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUH

Perdata). Hakim akan berusaha mencari tahu obyek

perjanjian agar perjanjian dapat dilaksanakan. Jika

obyek perjanjian tidak dapat ditentukan, maka

perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum (tidak

sah).

Suatu perjanjian yang tidak halal atau perjanjian

yang dibuat karena sebab yang palsu atau perjanjian

yang dilarang undang-undang dianggap tidak

mempunyai kekuatan hukum sehingga perjanjian

itu dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi

hukum (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUH Perdata).17

Perjanjian SBK juga harus mengikuti “Asas

Perjanjian” yang meliputi:

1. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 ayat

1 KUH Perdata).

2. Asas Konsensualisme (Pasal 1320 ayat 1 KUH

Perdata).

3. Asas Kepastian Hukum (Pasal 1338 ayat 1 KUH

Perdata).

4. Asas Iktikad Baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH

Perdata).

5. Asas Kepribadian (Pasal 1315 dan Pasal 1340

KUH Perdata).18

Perjanjian SBK antara perusahaan penerbit SBK

dengan para investor pembeli SBK pada prinsipnya

sama dengan perjanjian-piutang atau perjanjian

pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal

1754 hingga Pasal 1769 KUH Perdata. Perusahaan

penerbit SBK bertindak selaku debitor, sedangkan

para investor pembeli SBK bertindak selaku kreditor.

Jika debitor wanprestasi (ingkar janji), maka kreditor

dapat mengajukan gugatan perdata via Pengadilan

Negeri atau permohonan pailit atas debitor via

Pengadilan Niaga.

B. Perlindungan Konsumen bagi Investor Pembeli

SBK

Perlindungan konsumen merupakan aspek penting

dalam kegiatan bisnis SBK. BI harus menjamin

penerbitan SBK dilakukan oleh perusahaan yang

benar-benar sehat secara finansial sehingga

meminimalkan terjadinya kasus gagal-bayar.

Perusahaan jasa pemeringkat utang juga harus

obyektif memberikan penilaian terhadap kondisi

finansial perusahaan penerbit SBK. Jika hal ini

dilakukan dengan benar, maka SBK dapat menjadi

instrumen pasar uang yang layak diperdagangkan,

sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan

penerbit, para investor dan pihak terkait.

Para investor pembeli SBK harus dilindungi agar

tidak menjadi korban praktik bisnis yang tidak

sehat, seperti pembagian keuntungan yang tidak

sesuai kontrak yang dijanjikan. Dana investor SBK

tidak dilindungi LPS sebab dana tersebut bukan

tergolong simpanan di bank. Investasi SBK,

sebagaimana investasi pada umumnya, dapat

berdampak untung atau rugi. Sengketa perdata

yang terjadi antara investor dan penerbit SBK

dapat diselesaikan via jalur litigasi (pengadilan)

atau non-litigasi (di luar pengadilan). Penyelesaian

sengketa non-litigasi via Alternatif Penyelesaian

Sengketa (APS) harus lebih diutamakan sebab

cara ini tergolong sederhana, cepat, murah dan

dapat menghasilkan solusi sama-sama menang.

36

16 Iswi Hariyani, “Perjanjian Kredit & Penyelesaian Piutang Macet”, PenerbitCV. Give Me Colours (GMC), Surabaya, 2018, hal. 34-35.

17 Ibid.

18 Salim H.S., 2006, “Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”,Cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.

Page 44: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Perjanjian SBK dapat digolongkan sebagai

perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam

sebagaimana diatur Pasal 1756 hingga Pasal 1769

KUH Perdata. Perjanjian utang-piutang antara

penerbit SBK (selaku debitor) dengan para investor

pembeli SBK (selaku kreditor) harus dilakukan

sesuai peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Perjanjian SBK pada umumnya berbentuk kontrak

baku (standard contract) yang telah disusun

penerbit SBK. Klausula Baku adalah setiap aturan

atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah

dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara

sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam

suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat

dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pembuatan

kontrak baku tersebut tidak boleh melanggar UU

8/1999.

Pasal 18 ayat 1 UU 8/1999 tentang Perlindungan

Konsumen menyatakan Pelaku Usaha dalam

menawarkan barang/jasa untuk diperdagangkan

dilarang membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian

apabila:

1. menyatakan pengalihan tanggung jawab

pelaku usaha;

2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak

menolak penyerahan kembali barang yang

dibeli konsumen;

3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak

menolak penyerahan kembali uang yang

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang

dibeli oleh konsumen;

4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen

kepada pelaku usaha baik secara langsung

maupun tidak langsung untuk melakukan

segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan

barang yang dibeli oleh konsumen secara

angsuran;

5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya

kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang

dibeli oleh konsumen;

6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk

mengurangi manfaat jasa atau mengurangi

harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek

jual beli jasa;

7. menyatakan tunduknya konsumen kepada

peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,

lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang

dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa

konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa

kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak

tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan

terhadap barang yang dibeli oleh konsumen

secara angsuran.

Pasal 18 ayat 2 UU 8/1999 menyatakan pelaku

usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang

letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat

dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya

sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah

ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan ayat (1) dan

ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Pelaku

usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang

bertentangan dengan UU 8/1999 tentang

Perlindungan Konsumen.19

BI dan OJK peduli terhadap perlindungan

konsumen jasa keuangan. BI telah menerbitkan

PBI Nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan

Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran.

Namun demikian, BI belum membuat PBI khusus

yang mengatur perlindungan konsumen SBK dan

instrumen pasar uang lainnya. Aspek perlindungan

konsumen SBK hanya diatur secara umum dalam

Pasal 33 hingga Pasal 35 PBI Nomor 19/9/PBI/2017

tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga

Komersial di Pasar Uang.

OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor

1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen

37

19 Lihat Pasal 18 Ayat 2 - 4 UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Page 45: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Sektor Jasa Keuangan serta Surat Edaran OJK

Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan

Penyelesaian Pengaduan Konsumen pada Pelaku

Usaha Jasa Keuangan. BI sebaiknya membuat PBI

khusus perlindungan konsumen SBK dan instrumen

pasar uang lainnya yang isinya pada prinsipnya

dapat merujuk pada PBI Nomor 16/1/PBI/2014.

Penyelenggara dilarang mencantumkan klausula

baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat

atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti oleh

konsumen.20 Ketentuan ini senada dengan aturan

Pasal 18 ayat 2 UU 8/1999 tentang Perlindungan

Konsumen. Klausula baku yang melanggar

peraturan perundang-undangan dapat dinyatakan

tidak sah atau batal demi hukum (Pasal 1320 dan

Pasal 1335 KUH Perdata).

Perlindungan konsumen juga diatur secara umum

dalam PBI Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan

dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar

Uang. Pasal 33 PBI tersebut mengatur Penerbit

SBK wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan

manajemen risiko. Prinsip kehati-hatian tersebut

paling sedikit mencakup:

1. Transparansi dan keterbukaan informasi;

2. Perlindungan konsumen; dan

3. Mekanisme penyelesaian sengketa.

Pemenuhan prinsip kehati-hatian dan penerapan

manajemen risiko oleh Penerbit SBK dimulai sejak

persiapan penerbitan, penerbitan, dan pasca

penerbitan sampai dengan pelunasan kewajiban

Penerbit SBK. Pemenuhan prinsip kehatian-hatian

dan penerapan manajemen risiko bertujuan untuk

memastikan bahwa Penerbit SBK dapat memenuhi

kewajiban Penerbit SBK terutama terkait

pembayaran SBK.21

Pemenuhan prinsip transparansi dan keterbukaan

informasi antara lain dilakukan melalui

pengungkapan informasi kondisi korporasi saat

penerbitan maupun pascapenerbitan. Pemenuhan

prinsip transparansi dan keterbukaan informasi

antara lain dilakukan untuk melindungi kepentingan

konsumen yang merupakan investor SBK.22

Prinsip perlindungan konsumen oleh Penerbit SBK

dilakukan melalui penerapan tata kelola yang baik

dalam proses persiapan penerbitan, penerbitan,

dan pelunasan. Mekanisme penyelesaian sengketa

perlu ditegaskan dan disepakati di awal antara

lain melalui pengungkapan di dalam memorandum

informasi dan/atau dokumen lainnya.23

Manajemen risiko yang dilakukan Penerbit SBK

antara lain terhadap risiko kredit yang berpotensi

menyebabkan tidak terbayarnya SBK dan risiko

usaha yang berpotensi mengganggu kelangsungan

usaha Penerbit SBK sehingga mempengaruhi

kemampuan Penerbit SBK melakukan pembayaran

SBK. Prinsip manajemen risiko oleh Penerbit SBK

yang paling sedikit mencakup identifikasi risiko

dan upaya mitigasi risiko merupakan salah satu

aspek keterbukaan informasi penerbitan SBK.

Dalam menyusun prinsip manajemen risiko,

Penerbit SBK dapat mengacu pada ketentuan yang

diterbitkan otoritas terkait.24

Penawaran produk jasa keuangan termasuk SBK

dapat dilakukan secara konvensional via darat

(offline) maupun via internet (online). Penawaran

SBK via internet dapat dilakukan melalui situs

perusahaan penerbit dan situs perusahaan

broker/dealer. Penawaran produk jasa keuangan

saat ini mulai banyak dilakukan via internet dengan

menggandeng perusahaan teknologi finansial

38

20 Pasal 8 PBI Nomor 16/1/PBI/2014.

21 Penjelasan Pasal 33 ayat 1 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

22 Penjelasan Pasal 33 ayat 2 huruf a PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

23 Penjelasan Pasal 33 ayat 2 huruf b dan c PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

24 Penjelasan Pasal 33 ayat 3 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.

Page 46: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

(tekfin/fintech) sebagai perantara, namun

perusahaan tekfin tersebut harus terdaftar di BI.

Penawaran produk (barang/jasa) via internet tidak

boleh bertentangan dengan UU 11/2008 tentang

Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Pelaku usaha yang menawarkan produk

(barang/jasa) melalui Sistem Elektronik harus

menyediakan informasi yang lengkap dan benar

berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan

produk yang ditawarkan. “Informasi yang lengkap

dan benar” meliputi:

1. Informasi yang memuat identitas serta status

subjek hukum dan kompetensinya, baik sebagai

produsen, pemasok, penyelenggara maupun

perantara;

2. Informasi lain yang menjelaskan hal tertentu

yang menjadi syarat sahnya perjanjian serta

menjelaskan barang dan/atau jasa yang

ditawarkan, seperti nama, alamat, dan deskripsi

barang/jasa.25

Aspek perlindungan konsumen juga diatur dalam

PP 82/2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan

Transaksi Elektronik (PSTE). Pasal 49 PP 82/2012

menyatakan bahwa:

1. Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui

sistem elektronik wajib menyediakan informasi

yang lengkap dan benar berkaitan dengan

syarat kontrak, produsen, dan produk yang

ditawarkan.

2. Pelaku usaha wajib memberikan kejelasan

informasi tentang penawaran kontrak atau

iklan.

3. Pelaku usaha wajib memberikan batas waktu

kepada konsumen untuk mengembalikan

barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan

perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi.

4. Pelaku usaha wajib menyampaikan informasi

mengenai barang yang telah dikirim.

5. Pelaku usaha tidak dapat membebani

konsumen mengenai kewajiban membayar

barang yang dikirim tanpa dasar kontrak.

C. Penyelesaian SBK Macet Sesuai Koridor Hukum

Perjanjian yang melandasi kerjasama antara

penerbit surat utang dengan para investor adalah

perjanjian utang-piutang. Perusahaan penerbit

surat utang bertindak selaku penerima utang

(debitor), sedangkan para investor pembeli surat

utang bertindak selaku pemberi utang (kreditor).

Alhasil, jika perusahaan penerbit surat utang ingkar

janji, maka para investor dapat mengajukan

gugatan perdata via Pengadilan Negeri atau

permohonan pailit via Pengadilan Niaga. Pembeli

surat utang juga punya hak mengajukan klaim

atas harta pailit debitor. Akibat hukum ini membuat

penerbit surat utang harus berhati-hati mengelola

portofolio utangnya.

Dalam Hukum Jaminan dikenal adanya Jaminan

Umum dan Jaminan Khusus. Jaminan Umum

meliputi semua harta debitor saat ini atau yang

ada di masa depan, dapat digunakan sebagai

tanggungan untuk pelunasan utang. Jaminan

Umum sulit dieksekusi karena obyek harta yang

akan dieksekusi tidak spesifik. Jaminan Umum

juga sulit dieksekusi karena banyaknya kreditor

yang berebut hak untuk melakukan eksekusi.

Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam Hukum

Jaminan juga dikenal adanya Jaminan Khusus.

Jaminan Umum diatur Pasal 1131 KUH Perdata

yang menyatakan “segala kebendaan si berpiutang,

baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak,

baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada

di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk

segala perikatan perseorangan”. Berdasarkan

aturan ini dapat disimpulkan semua harta debitor

saat ini dan di masa depan dapat dijadikan jaminan

utang meskipun perjanjian utang-piutang tidak

diikuti perjanjian jaminan. Jaminan Umum

39

25 Pasal 9 UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik besertaPenjelasannya.

Page 47: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

digunakan antara lain pada penerbitan instrumen

surat utang berbentuk SBK di pasar uang atau

obligasi di pasar modal.

Jaminan Khusus terdiri Jaminan Perorangan dan

Jaminan Kebendaan. Jaminan Perorangan atau

Penanggungan (borgtocht) diatur Pasal 1820 KUH

Perdata yang menyatakan “Penanggungan adalah

suatu perjanjian dengan mana seorang pihak

ketiga, guna kepentingan si berpiutang (kreditor),

mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si

berutang (debitor) manakala orang ini sendiri tidak

memenuhinya”. Jaminan Perorangan diatur secara

lengkap dalam Pasal 1820 hingga Pasal 1850 KUH

Perdata. Jaminan non kebendaan dapat berupa

jaminan perseorangan (personal guaranty), jaminan

perusahaan (corporate guaranty) atau jaminan

negara/pemerintah (state guaranty). Kredit yang

dijamin negara contohnya KUR.

Di samping Jaminan Perorangan, dalam Hukum

Jaminan juga dikenal adanya Jaminan Kebendaan

yang meliputi:

1. Jaminan Gadai,

2. Jaminan Fidusia,

3. Jaminan Hak Tanggungan,

4. Jaminan Hipotek,

5. Jaminan Resi Gudang,

6. Jaminan Repo Surat Berharga

7. Jaminan Hak Kekayaan Intelektual (Hak Cipta

dan Paten).26

Jika terjadi pinjaman macet, maka para investor

pembeli SBK (selaku kreditor) dapat menempuh

upaya penyelamatan dana pinjaman seperti yang

dilakukan lembaga perbankan yaitu melalui tiga

tahap:

(a) Penjadwalan Kembali (Rescheduling),

(b) Persyaratan Kembali (Reconditioning),

(c) Penataan Kembali (Restrukturisasi/Restructuring).

Namun demikian, jika upaya penyelamatan tidak

berhasil, maka kreditor dan penerbit SBK dapat

menempuh upaya penyelesaian melalui jalur litigasi

(pengadilan) atau non-litigasi (di luar pengadilan).

Penyelesaian non-litigasi via APS dengan cara

Negosiasi dan Mediasi sebaiknya lebih diutamakan

dibandingkan cara litigasi karena cara tersebut

lebih murah dan lebih mudah.

Penyelamatan pinjaman dapat dilakukan dengan

cara:

1. Penjadwalan Kembali (Rescheduling) yaitu

perubahan syarat pinjaman yang hanya

menyangkut jadwal pembayaran dan/atau

jangka waktunya;

2. Persyaratan Kembali (Reconditioning) yaitu

perubahan sebagian atau seluruh syarat

pinjaman, yang tidak terbatas pada perubahan

jadwal pembayaran, jangka waktu, dan/atau

persyaratan lain sepanjang tidak menyangkut

perubahan maksimum saldo pinjaman;

3. Penataan Kembali (Restructuring) yaitu

perubahan syarat pinjaman yang menyangkut:

a. Penambahan dana pinjaman, dan/atau

b. Konversi seluruh atau sebagian tunggakan

bunga menjadi pokok pinjaman baru;

c. Konversi seluruh atau sebagian pinjaman

menjadi penyertaan dalam perusahaan,

yang dapat disertai dengan penjadwalan

kembali dan/atau persyaratan kembali.27

Penyelesaian pinjaman macet di luar pengadilan

(non-litigasi) dapat ditempuh dengan menggunakan

10 cara, sebagai berikut:

1. Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS).

2. Pengambilalihan Agunan Debitor (Asset-

Settlement).

3. Penjualan Piutang Macet (Cessie).

4. Penggantian Kreditor (Subrogasi).

5. Pembaharuan Kredit (Novasi).

40

26 Iswi Hariyani, 2018, “Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang”,Penerbit CV Give Me Colours, Surabaya, hal. 69.

27 Rachmadi Usman, 2001, “Aspek Hukum Perbankan di Indonesia“, PenerbitPT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 293-294.

Page 48: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

6. Pelunasan via Penjamin Utang.

7. Penjualan Agunan oleh Debitor Secara Sukarela.

8. Pelelangan Agunan Melalui Lelang Sukarela.

9. Penjualan Agunan di Bawah Tangan.

10.Penjualan Agunan Melalui Parate Eksekusi.28

Tidak semua cara tersebut bisa diterapkan pada

kasus SBK macet. Penyelesaian SBK macet di luar

pengadilan (non-litigasi) hanya dapat dilakukan

melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS),

penjualan piutang macet (cessie), penggantian

kreditor (subrogasi), pembaharuan pinjaman (novasi)

dan pelunasan via penjamin utang. Penyelesaian

non-litigasi via APS lebih diutamakan karena

prosesnya lebih mudah, lebih murah dan lebih cepat.

Penyelesaian pinjaman macet melalui jalur litigasi

(pengadilan) dapat dilakukan dengan menggunakan

5 (lima) cara sebagai berikut:

1. Eksekusi Sertifikat Hak Tanggungan melalui

Pengadilan Negeri,

2. Eksekusi grosse Akta Pengakuan Utang melalui

Pengadilan Negeri,

3. Gugatan perdata melalui Pengadilan Negeri

atas dasar wanprestasi,

4. Pelelangan agunan debitor melalui Lelang

Eksekusi,

5. Mengajukan permohonan pailit atas debitor

melalui Pengadilan Niaga.29

Dari kelima cara penyelesaian melalui jalur litigasi

tersebut, SBK macet hanya bisa diselesaikan melalui

gugatan perdata di Pengadilan Negeri atas dasar

wanprestasi atau mengajukan permohonan pailit

atas debitor (penerbit SBK) di Pengadilan Niaga.

BI dan OJK mendorong penggunaan APS untuk

menyelesaikan sengketa di industri jasa keuangan.

OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor

1/POJK.07/2014 tentang Lembaga APS di Sektor

Jasa Keuangan. Peraturan OJK tersebut disusul

Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal

21 Januari 2016 yang mengesahkan 6 Lembaga

APS yaitu:

1. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perbankan Indonesia (LAPSPI)

2. Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI)

3. Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia

(BMAI)

4. Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan

Penjaminan Indonesia (BAMPPI)

5. Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian

Indonesia (BMPPI)

6. Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Persengketaan yang bisa diselesaikan Lembaga

APS harus memenuhi syarat:

1. Hanyalah persengketaan perdata yang timbul

di antara para pihak sehubungan dengan

kegiatan di sektor industri jasa keuangan;

2. Terdapat kesepakatan di antara para pihak

yang bersengketa bahwa persengketaan akan

diselesaikan melalui Lembaga APS yang terkait;

3. Terdapat permohonan tertulis dari pihak yang

bersengketa kepada Lembaga APS;

4. Persengketaan tersebut bukan merupakan

perkara pidana (contoh: penipuan,

penggelapan, manipulasi pasar, perdagangan

orang dalam/insider trading);

5. Persengketaan tersebut tidak terkait dengan

pelanggaran administratif (contoh: pembekuan

usaha, pencabutan izin usaha).

Lembaga APS menawarkan empat jenis

penyelesaian sengketa yang dapat dipilih para

pihak yaitu: Pendapat Mengikat, Mediasi,

Adjudikasi dan Arbitrase. Konsiliasi tidak diterapkan

sebab cara ini dianggap mirip Mediasi. Para pihak

diharuskan lebih dulu menempuh cara Negosiasi

sebelum meneruskan penyelesaian sengketa

di Lembaga APS. Lembaga APS pada umumnya

beroperasi via darat (offline) sehingga masih sulit

diakses para investor pembeli SBK yang tinggal

berjauhan di dalam negeri dan/atau luar negeri.

41

28 Iswi Hariyani, “Perjanjian Kredit & Penyelesaian Piutang Macet”, CVGive Me Colours, Surabaya, 2018, hal. 153.

29 Iswi Hariyani, Ibid, hal. 164.

Page 49: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Selain Lembaga APS di industri jasa keuangan,

pelaku bisnis juga bisa menggunakan jasa Lembaga

APS lain seperti BANI, BAKTI, BPSK, BaMI, PMN,

PAMI, dan lain-lain. Perselisihan bisnis antar negara

bisa diselesaikan melalui Lembaga APS

internasional. Sengketa bisnis yang melibatkan

pengusaha Indonesia dan pengusaha asing juga

bisa diselesaikan via Lembaga APS nasional (contoh

BANI) asalkan disepakati para pihak. Masing-

masing Lembaga APS menerapkan peraturan dan

tata cara serta biaya yang berbeda-beda, sehingga

pelaku bisnis harus dapat menyikapi dengan

cerdas.30 Penyelesaian sengketa SBK via APS dapat

dilakukan melalui Lembaga APS seperti BANI, BaMI,

PMN dan PAMI, sebab keempat lembaga tersebut

dapat melayani sengketa bisnis secara luas.

Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau

Alternative Dispute Resolution (ADR) saat ini semakin

banyak digunakan oleh para pelaku bisnis sebagai

cara penyelesaian sengketa di luar peradilan (non-

litigasi). Para pelaku bisnis semakin enggan

menggunakan jalur litigasi (peradilan) dalam

penyelesaian sengketa karena reputasi sistem

peradilan di Indonesia yang kurang kondusif bagi

pengembangan bisnis di masa depan. Meskipun

MA telah mendorong proses peradilan dapat

berlangsung secara cepat, sederhana dan murah,

namun faktanya tidak demikian. Proses peradilan

di Indonesia masih tergolong lama, berbelit-belit,

biayanya mahal, dan putusannya sulit dieksekusi.

Keengganan para pelaku bisnis menggunakan

jalur peradilan juga disebabkan proses peradilan

bersifat menang-kalah, sehingga dapat merusak

hubungan bisnis. Proses persidangan kebanyakan

juga bersifat terbuka untuk umum, sehingga tidak

ada jaminan kerahasiaan bagi para pihak.31

Penyelesaian sengketa di luar peradilan melalui

APS lebih diminati pelaku bisnis karena dinilai

lebih efisien dan efektif. Para pelaku bisnis dapat

menggunakan beberapa model APS seperti:

Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi,

Konsiliasi, Adjudikasi, Arbitrase dan Penyelesaian

Sengketa Daring (PSD). Penyelesaian sengketa

melalui APS telah memiliki dasar hukum yang kuat

sejak diterbitkan UU 30/1999 tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada awal

sengketa, para pihak dianjurkan menempuh

Negosiasi (perundingan/musyawarah) tanpa

melibatkan pihak ketiga. Jika Negosiasi gagal,

para pihak dapat mengundang pihak ketiga untuk

membantu menyelesaikan sengketa. Pihak ketiga

dapat berstatus sebagai konsultan, ahli hukum,

mediator, konsiliator, adjudikator dan arbiter. Pihak

ketiga yang dipilih haruslah netral dan menguasai

masalah.32

Konsultasi mirip dengan Pendapat Mengikat karena

melalui kedua cara APS ini para pihak meminta

pendapat dari ahli hukum dan ahli bisnis terkait.

Perbedaannya, saran dari hasil konsultasi tidak

bersifat mengikat para pihak. Sebaliknya, pendapat

ahli dari hasil Pendapat Mengikat harus dipatuhi

para pihak karena bersifat mengikat. Mediasi mirip

dengan Konsiliasi karena keduanya melibatkan

pihak ketiga sebagai penengah atau pendamai.

Perbedaannya, mediator lebih aktif mengajak para

pihak menemukan titik temu hingga mencapai

kesepakatan perdamaian, sedangkan konsiliator

lebih bersikap pasif dan hanya bertindak sebagai

fasilitator pertemuan. Mediator dan konsiliator

tidak berhak membuat kesepakatan perdamaian,

sebab hal itu adalah hak para pihak yang

bersengketa. Mediator dan konsiliator juga tidak

berhak membuat putusan layaknya hakim atau

arbiter.

42

30 Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani dan R Serfianto Dibyo Purnomo,2018, “Penyelesaian Sengketa Bisnis”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 4.

31 Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2016, “Perlindungan Hukumbagi Nasabah Kecil dalam Proses Adjudikasi di Industri Jasa Keuangan”,Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 4 Desember 2016, Ditjen PeraturanPerundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 421

32 Iswi Hariyani, dkk, 2018, “Penyelesaian Sengketa Bisnis”, Penerbit PTGramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 2.

Page 50: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Adjudikasi mirip dengan Arbitrase karena

adjudikator memiliki wewenang membuat putusan

seperti arbiter. Bedanya, putusan adjudikator harus

ditawarkan lebih dulu kepada Pemohon, dan jika

Pemohon setuju maka putusan boleh diberlakukan.

Adjudikasi ditempuh guna melindungi Pemohon

nasabah kecil agar memiliki posisi setara dengan

lembaga jasa keuangan. Putusan Adjudikasi dan

putusan Arbitrase sama-sama bersifat final dan

mengikat.

Jika sengketa bisnis diselesaikan lewat Arbitrase,

para pihak bebas memilih arbiter, hukum materiil,

hukum acara, tempat beracara dan jangka waktu

penyelesaian sengketa. Jika menggunakan Mediasi,

dan Konsiliasi, para pihak dapat memilih mediator

atau konsiliator dan tata cara penyelesaian sengketa

serta menentukan format perdamaian berdasarkan

kesepakatan para pihak. Arbitrase mirip Pengadilan

sehingga disebut semi-pengadilan (quasi-judicial).

Eksekusi putusan Arbitrase tidak dapat langsung

dilaksanakan karena harus lebih dulu diajukan

permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri

setempat.

Ada beberapa hal penting dari UU Arbitrase dan

APS (UU 30/1999) diantaranya putusan Arbitrase

dinyatakan sebagai putusan yang telah berkekuatan

hukum tetap dan dapat langsung dimintakan

eksekusi ke Pengadilan Negeri (sesuai Pasal 60 jo

62, UU 30/1999) dan secara eksplisit menetapkan

bahwa Arbitrase memiliki kewenangan mutlak

terhadap kewenangan Peradilan Umum sesuai

Pasal 3 UU 30/1999 yang berbunyi “Pengadilan

Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa

yang memiliki klausula Arbitrase”.33

Arbitrase mirip dengan litigasi di Pengadilan,

namun memiliki beberapa keunggulan antara lain

para pihak dapat memilih arbiter dan memilih

peraturan arbitrasi. Sebagai contoh, pengusaha

nasional yang bermitra dengan pengusaha asing

dapat memilih Lembaga Arbitrase di Indonesia

(contoh BANI) namun dengan prosedur arbitrase

dari Lembaga Arbitrase manca negara. Begitu

pula sebaliknya, para pihak dapat memilih

Lembaga Arbitrase manca negara (contoh SIAC

dari Singapura) tetapi dengan memakai prosedur

arbitrase dari BANI. Hal ini membuktikan bahwa

asas kebebasan berkontrak benar-benar diterapkan

di Arbitrase.

Eksekusi putusan Arbitrase tergolong sederhana

dan cepat. Putusan Arbitrase nasional dapat

dieksekusi setelah didaftarkan ke Pengadilan

Negeri (PN) setempat, sedangkan putusan Arbitrase

asing harus didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Ketua

PN berwenang memeriksa berkas pendaftaran

dan membuat penetapan eksekusi atau menolak

eksekusi. Sebelum ada penetapan eksekusi,

putusan Arbitrase tidak boleh dijalankan. Eksekusi

putusan tidak perlu didaftarkan ke PN jika para

pihak secara sukarela mau melaksanakan putusan.

Ada beberapa sebab yang masih menjadi kendala

eksekusi putusan Arbitrase yaitu: (a) pihak

termohon eksekusi tidak bersedia menjalankan

eksekusi secara sukarela, (b) pihak termohon

eksekusi mengajukan permohonan pembatalan

putusan Arbitrase meski tidak terdapat bukti-bukti

dan alasan yang kuat, (c) pihak termohon eksekusi

mengajukan perlawanan (verzet) atas eksekusi

yang hendak dijalankan oleh Pengadilan, (d) pihak

termohon eksekusi mangkir dari putusan dan

tidak menjalankan putusan secara sukarela, (e)

prosedur eksekusi rumit, lambat dan berbelit-belit,

(f) biaya eksekusi mahal, (g) adanya perlawanan

fisik dari termohon eksekusi atau pihak ketiga atas

suruhan termohon eksekusi.34

43

33 Aria Suyudi, dkk, 2004, “Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis HukumKepailitan di Indonesia“, Cetakan ke- 2, Pusat Kajian Hukum & KebijakanIndonesia, Jakarta, hal. 61-62.

34 M. Khoidin, 2017, “Hukum Arbitrase Bidang Perdata - Eksistensi,Pengaturan dan Praktik”, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 189.

Page 51: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Pasal 29 huruf e POJK Nomor 77/POJK.01/2016

mengamanatkan penyelesaian sengketa pengguna

harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya

terjangkau. Prinsip ini seharusnya dapat pula

digunakan sebagai dasar membentuk Lembaga

APS via internet melalui model Penyelesaian

Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute

Resolution (ODR). Lembaga PSD dapat

menggunakan cara Negosiasi, Pendapat Mengikat,

Mediasi, Adjudikasi dan Arbitrase. Konsiliasi tidak

diperlukan karena mirip Mediasi, sedangkan

Arbitrase hanya layak digunakan untuk sengketa

bisnis di atas Rp 500 juta. Semua proses

penyelesaian sengketa dilakukan via internet,

sehingga para pihak tidak perlu bertemu muka.35

Pembentukan Lembaga PSD diharapkan dapat

mempermudah penyelesaian sengketa antara

pengguna jasa keuangan dengan perusahaan jasa

keuangan. Lembaga PSD di industri jasa keuangan

sebaiknya dibentuk bersama-sama oleh BI dan OJK

agar dapat menyelesaikan sengketa bisnis di pasar

uang dan pasar modal. Para investor pembeli SBK

dan obligasi akan lebih diuntungkan karena APS

online lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat

dibandingkan APS offline. Dengan APS online, BI

dan Lembaga APS akan lebih mudah menangani

sengketa yang melibatkan ribuan investor pembeli

SBK dari dalam negeri dan luar negeri.

PSD adalah hasil kolaborasi APS dengan Teknologi

Informasi dan Komunikasi. Penyelesaian sengketa

dilakukan via internet sehingga prosesnya cepat,

mudah dan murah. PSD telah dipraktekkan di AS,

Canada, Uni Eropa, Australia, China, Jepang,

Hongkong, Singapura dan India. PSD juga

dinamakan “internet Dispute Resolution (iDR)”,

“Electronic Dispute Resolution (EDR)”, “electronic

ADR (e-ADR)” dan “online ADR (oADR)”.

Sejarah ODR dimulai ketika National Center for

Automated Information Research (NCAIR)

mengadakan konferensi ODR tahun 1996. Tahun

ini dianggap periode signifikan dalam pencapaian

ODR. Proyek pertama yang disponsori NCAIR tahun

1996 yaitu Virtual Magistrase Project di Villanova

University. Keputusan yang dihasilkan saat itu

menyatakan iklan yang ditempatkan pada American

On Line (AOL) dalam bentuk email yang dikirimkan

kepada jutaan alamat email dianggap menyalahi

kesepakatan layanan yang diberikan sehingga

iklan tersebut harus dihilangkan dari AOL. Saat

ini PBB selalu mengadaan konferensi ODR tahunan

dan telah membentuk Expert Group on ODR. ODR

semakin diterima sebagai proses penting yang

dapat digunakan menyelesaikan sengketa online.36

Lembaga ODR di bidang mediasi konsumen bisnis

online terkemuka di dunia adalah “SquareTrade”.

Lembaga ini banyak dipakai menyelesaikan

sengketa di eBay dan PayPal. SquareTrade tidak

menangani sengketa pengguna dengan eBay,

melainkan sengketa penjual dan pembeli di eBay,

dengan menawarkan dua tahap penyelesaian

sengketa yaitu Negosiasi dan Mediasi. Dalam

beberapa tahun terakhir, SquareTrade telah berhasil

menyelesaikan jutaan kasus sengketa bisnis online

yang terjadi di 120 negara dalam 5 bahasa yang

berbeda. SquareTrade telah membuktikan proses

negosiasi online atau mediasi online dapat menjadi

alat yang efisien untuk menyelesaikan sengketa

bisnis online.37

Pembentukan Lembaga PSD dimungkinkan

berdasarkan UU ITE karena semua informasi dan

data eletronik dapat dijadikan bukti hukum. Dasar

hukum pembentukan PSD diatur Pasal 41 UU ITE

44

36 Adel Chandra, 2014, “Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik MelaluiOnline Dispute Resolution (ODR) Kaitan dengan UU ITE No. 11 Tahun2008”, Jurnal Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer Universitas EsaUnggul, Edisi September 2014, hal. 82.

37 S. Abernethy, 2003, “Building Large-Scale Online Dispute Resolutionand Trustmark Systems”, Proceeding of the UNECE Forum on ODR 2003,www.odr.info dan Wikipedia.org

35 Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, “Perlindungan Hukum danPenyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin”, Jurnal Legislasi Indonesia,Vol.14, No. 3, September 2017, Ditjen Peraturan Perundang-undangan,Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 355.

Page 52: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

beserta penjelasannya. Masyarakat dapat berperan

meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi

melalui penggunaan dan penyelenggaraan sistem

elektronik dan transaksi elektronik sesuai UU ITE.

Peran masyarakat dapat diselenggarakan melalui

lembaga ITE yang dibentuk masyarakat yang dapat

memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.

PSD juga diatur secara tidak langsung dalam Pasal

18 ayat 4 dan 5 UU ITE. Para pihak memiliki

kewenangan menetapkan forum pengadilan,

arbitrase atau lembaga penyele-saian sengketa

alternatif lainnya yang berwenang menangani

sengketa yang mungkin timbul dari transaksi

elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para

pihak tidak melakukan pilihan forum, maka

penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau

lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya

didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.

PSD adalah penyelesaian sengketa alternatif yang

selaras dengan Hukum Perdata Internasional yang

diakui PBB melalui konferensi ODR tahunan dan

pembentukan Expert Group on ODR.

III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini

meliputi:

1. SBK merupakan surat berharga bersifat utang

yang diterbitkan Korporasi Non Bank (KNB)

berdasarkan ijin dari Bank Indonesia. Penerbitan

SBK diatur dalam PBI Nomor 19/9/PBI/2017

tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga

Komersial di Pasar Uang. SBK merupakan

bentuk lain dari Surat Sanggup (Promes) yang

juga diatur dalam Pasal 174-177 KUHD. SBK

berjangka waktu kurang dari satu tahun

sehingga dikecualikan dari kewajiban “go

public” sebagaimana diatur dalam Pasal 70

UU Pasar Modal.

2. Perlindungan konsumen bagi para investor

pembeli SBK harus merujuk Pasal 18 UU

Perlindungan Konsumen, Pasal 1338 ayat 1

KUH Perdata tentang Asas Kebebasan

Berkontrak dan Pasal 1320 KUH Perdata

tentang Syarat Sah Perjanjian. Namun BI belum

membuat PBI khusus yang mengatur

perlindungan konsumen SBK dan instrumen

pasar uang lainnya. BI baru mengatur

perlindungan konsumen sistem pembayaran

melalui PBI Nomor 16/1/PBI/2014 tentang

Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem

Pembayaran. Aspek perlindungan konsumen

SBK hanya diatur secara umum dalam Pasal

33 hingga Pasal 35 PBI Nomor 19/9/PBI/2017

tentang Penerbitan dan Transaksi Surat

Berharga Komersial di Pasar Uang.

3. Perjanjian SBK adalah perjanjian utang-piutang.

Penerbit SBK bertindak selaku penerima utang

(debitor), sedangkan para investor pembeli

SBK bertindak selaku pemberi utang (kreditor).

Jika perusahaan penerbit SBK ingkar janji, para

investor dapat mengajukan gugatan perdata

via Pengadilan Negeri atau permohonan pailit

via Pengadilan Niaga. Pembeli surat utang

(SBK) juga punya hak mengajukan klaim atas

harta pailit debitor. Akibat hukum ini membuat

penerbit SBK harus berhati-hati mengelola

portofolio utangnya. SBK macet pertama kali

dapat diselamatkan melalui upaya Rescheduling,

Reconditioning dan Restrukturisasi. Jika upaya

penyelamatan tidak berhasil maka SBK macet

dapat diselesaikan melalui jalur litigasi

(pengadilan) atau non-litigasi (di luar

pengadilan). Penyelesaian non-litigasi via

Negosiasi dan Mediasi sebaiknya lebih

diutamakan karena cara ini dianggap lebih

mudah, cepat, murah dan bermartabat.

45

Page 53: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

B. Saran

Saran-saran yang dihasilkan dari penelitian ini

meliputi:

1. BI sebaiknya terus melakukan sosialisasi kepada

para pelaku bisnis agar maumenerbitkan SBK

untuk menambah modal jangka pendek

maupun sebagai instrumen investasi di pasar

uang yang aman dan memiliki imbal hasil

tinggi.

2. BI dan OJK sebaiknya menggalang kerjasama

erat untuk mengawasi pasar SBK karena

penerbitan SBK juga melibatkan perbankan

dan perusahaan efek.

3. BI sebaiknya membuat mekanisme pengaduan

konsumen SBK melalui internet (online) agar

lebih mudah diakses para investor di dalam

negeri dan luar negeri. Cara ini dapat lebih

mempercepat BI untuk mengantisipasi masalah

SBK.

4. BI dan OJK sebaiknya merancang mekanisme

penyelesaian SBK macet melalui Lembaga APS

dengan cara offline maupun online.

Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) sebaiknya

segera diwujudkan karena cara ini dianggap

dapat menyelesaikan sengketa lebih cepat,

mudah, murah dan dapat diakses dari mana

saja.

46

Page 54: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

47

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Hukum

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/ 2/ PBI/ 2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum

Peraturan Bank Indonesia nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran.

Peraturan Bank Indonesia nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor

Jasa Keuangan.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen

pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.

Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Kep-01/ D.07/ 2016 Tanggal 21 Januari 2016 tentang Pengesahan Lembaga

APS di Sektor Jasa Keuangan.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Buku

Aria Suyudi, 2004, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetakan ke- 2, Pusat Kajian Hukum

& Kebijakan Indonesia, Jakarta.

Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto Dibyo Purnomo dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Bisnis Online dan Transaksi

Elektronik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 55: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

48

Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto D. Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2017, Capital Market -Top Secret : Ramuan Sukses

Bisnis Pasar Modal Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta.

Iswi Hariyani, 2018, Perjanjian Kredit dan Penyelesaian Piutang Macet, Penerbit CV. Give Me Colours Surabaya dan

Penerbit Andi Yogyakarta.

Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2018, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit PT

Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Iswi Hariyani, 2018, Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang, Penerbit CV Give Me Colours (GMC) Surabaya dan

Penerbit Andi Yogyakarta.

M. Khoidin, 2017, Hukum Arbitrase Bidang Perdata - Eksistensi, Pengaturan dan Praktik, Penerbit Laksbang Pressindo,

Yogyakarta.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2016, Cetakan ke-12, Penerbit Kencana, Jakarta.

Rachmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

R. Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Pasar Uang & Pasar Valas, Penerbit

PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Jurnal Ilmiah

Adel Chandra, 2014, “Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Melalui Online Dispute Resolution (ODR) Kaitan dengan

UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008”, Jurnal Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer

Universitas Esa Unggul, Jakarta, Edisi September 2014.

Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2016, “Perlindungan Hukum bagi Nasabah Kecil dalam Proses Adjudikasi di

Industri Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016, Direktorat Jenderal

Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.

Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2017, “Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin”, Jurnal

Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 3, September 2017, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta

S. Abernethy, “Building Large-Scale Online Dispute Resolution and Trustmark Systems”, Proceeding of the UNECE Forum

on ODR 2003, www.odr.info dan Wikipedia.org

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Page 56: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Abstrak:

Sektor jasa keuangan banyak mengembangkan jenis-jenis perjanjian baru yang tidak diatur dalam KUHPerdata

atau perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomsten). Selain jenis perjanjian tidak bernama, transaksi di sektor

jasa keuangan lazim menggunakan bentuk perjanjian baku dan perjanjian berbasis elektronik (bentuk elektronis) serta

sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum Indonesia. Beberapa isu hukum yang muncul antara lain apakah

perjanjian baku memenuhi asas keseimbangan dan keadilan, kapan kesepakatan dan peralihan aset terjadi dalam transaksi

elektronis, dan bagaimana implementasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia lainnya seperti sistem hukum Islam

dalam transaksi di sektor jasa keuangan? Berdasarkan analisis diperoleh hasil bahwa perkembangan transaksi di sektor

jasa keuangan memberikan kontribusi positif dalam pembaruan hukum kontrak nasional; proses pembaruan hukum

perjanjian dapat dilakukan baik melalu proses adopsi (penerimaan secara utuh) maupun proses adopsi (penyesuaian

dengan sistem hukum) untuk mengatasi kendala dalam implementasinya; Hukum perjanjian (kontrak) nasional yang

akan dibentuk harus memperhatikan asas-asas hukum perjanjian, khususnya asas kebebasan berkontrak dan konsensualisme

sebagai syarat untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum. Selain itu, pembaruan hukum kontrak nasional perlu

mempertimbangkan pengaturan tentang perjanjian baku (kontrak standar) sebagai salah satu upaya untuk menciptakan

keadilan bagi para pihak sebagai tujuan dibuatnya perjanjian.

Kata kunci: sektor jasa keuangan- pembaruan hukum kontrak nasional

Abstract:

The financial services sector has developed new kinds of agreements that are not set in KUHPerdata or 'untitled

agreements' (onbenoemde overeenkomsten). In addition to this kind of untitled agreements, transactions in the financial

services sector customarily uses a standard set of agreements and electronic based agreements (electronic form), as well

as legal systems different from the Indonesia's legal system.

49

PERKEMBANGAN TRANSAKSI DI SEKTOR JASA KEUANGANDAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBARUAN HUKUM

KONTRAK NASIONAL

Ditulis oleh:

Lastuti Abubakar, Tri Handayani 1

[email protected]

1 Departemen Hukum Ekonomi - FH Unpad

Page 57: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

I. PENDAHULUAN

Perbincangan tentang pembaruan hukum perjanjian2

atau hukum kontrak nasional3 tidak akan pernah

ada ujungnya, semakin dibicarakan semakin luas

aspek yang perlu akomodasikan dalam konsep

pembaruannya. Perkembangan jenis-jenis dan bentuk

perjanjian dalam praktik merupakan konsekuensi

sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak yang

dianut dalam Buku III KUHPerdata Tentang Hukum

Perikatan. Tidak dapat dipungkiri, perkembangan

hukum perjanjian bermula dari asas yang melandasi

hukum perjanjian itu sendiri, yang membuka peluang

berkembangnya bentuk dan jenis-jenis perjanjian

baru, termasuk di sektor jasa keuangan.4 Ada 2 Pasal

kunci dalam hukum perjanjian yang menjadi landasan

hukum perkembangan perjanjian yaitu Pasal 1338

Ayat (1) KUHPerdata yang memuat asas kebebasan

berkontrak dan Pasal 1319 KUHPerdata yang

mengatur tentang sistem terbuka hukum perjanjian.

Ke dua Pasal ini memberi kebebasan bagi para pihak

untuk membuat perjanjian selain yang telah diatur

dalam KUHPerdata, dengan tetap mengacu pada

Buku III KUHPerdata Tentang Hukum Perikatan sebagai

lex generale. Sektor jasa keuangan secara optimal

menggunakan landasan hukum ini untuk

mengembangkan produk dan layanan jasanya.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis

perkembangan sistem hukum, jenis- jenis perjanjian

yang digunakan di sektor jasa keuangan, dan

penggunaan bentuk perjanjian baku dan bentuk

perjanjian elektronis dalam aktivitas sektor jasa

keuangan. Lingkup sektor jasa keuangan dalam artikel

ini mengacu pada Pasal 1 Angka (4 ) UU No. 21 Tahun

2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur

bahwa “lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga

yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan,

Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga

Pembiayaan, dan lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Berdasarkan Pasal 7 dan Penjelasan Pasal 7 UU No.

21 Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan

mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-

hatian dan pemeriksaan bank merupakan lingkup

pengaturan dan pengawasan microprudential yang

menjadi tugas dan wewenang OJK, sedangkan

pengaturan dan pengawasan selain hal tersebut,

merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.

Dalam rangka pengaturan dan pengawasan

moacroprudential, OJK membantu Bank Indonesia

50

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Some of the legal issues that arise such as whether such agreements meets the principles of balance and justice,

when this agreement and the transfer of assets occur in electronic transactions, and how the implementation of other

legal systems within transactions in the financial services sector? Based on the analysis, the obtained result is that the

development of the transactions in the financial services sector contributes positively to the reformation of the national

contract law; the process of reformation of legal agreements can be done through the process of adoption either in the

forms of full acceptance or adjustment to the legal system, to address the obstacles on its implementation; the proposed

amendment of the national contract law shall pay a special attention to the principles of making contracts, in particular

the principle of freedom of contracts and consensualism as a condition for providing justice and legal certainty. In addition,

the reformation of national contract law will need to consider the regulation concerning standard contract as an effort

to create 'justice for the parties' as the purpose of an agreement.

Keywords: financial services sector - contract law reform

2 Penulis menggunakan istilah hukum perjanjian untuk memberikanlingkup yang lebih luas dari istilah hukum kontrak yang lazimditerjemahkan sebagai perjanjian dalam bentuk tertulis.

3 Istilah hukum kontrak nasional digunakan dalam Naskah Akademis RUUKontrak Nasional yang diajukan oleh Tim Badan Pembinaan HukumNasional.

4 Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas perkembangan perjanjiandi sektor jasa keuangan, walaupun perkembangan bentuk dan jenisperjanjian banyak ditemukan di sektor lainnya.

Page 58: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

untuk melakukan himbauan moral (moral suasion)

kepada Perbankan. dengan demikian, perkembangan

perjanjian juga muncul dari regulasi yang diterbitkan

oleh Bank Indonesia. Beberapa perjanjian dalam

perkembangan lahir dari Peraturan Bank Indonesia

(PBI), antara lain dalam PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang

Uang Elektronik. Pasal 1 Angka 6 Huruf a PBI Uang

Elektronik mewajibkan para pihak, yaitu Prinsipal dan

Penerbit/Acquirer untuk menyusun perjanjian kerja

sama secara tertulis. Selain itu, dalam PBI No.

19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi Surat

Berharga Komersial di Pasar Uang yang memunculkan

perjanjian antara lembaga Pendukung Transaksi Surat

Berharga Komersial dengan investor Surat Berharga.

Pengembangan sistem hukum Islam di sektor jasa

keuangan dipertegas dengan diundangkannya UU

No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan

digunakan untuk sektor jasa keuangan lain seperti

efek syariah, asuransi syariah, Reksadana syariah dan

aktivitas ekonomi berbasis syariah lainnya. Berlakunya

sistem hukum Islam (syariah ) ini telah menyebabkan

terjadinya dualisme sistem hukum di sektor jasa

keuangan. Sistem hukum Islam (syariah) yang mengatur

sektor jasa keuangan ini diatur dalam peraturan

perundangan-undangan, baik dengan undang-undang

maupun peraturan yang dikeluarkan oleh regulator

yaitu OJK dan Bank Indonesia, dan bersumber pada

Fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional-

Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Sektor jasa keuangan banyak mengembangkan

perjanjian-perjanjian baru yang dalam implementasinya

kadang-kadang memerlukan penafsiran dan

penyesuaian dengan sistem hukum perjanjian

Indonesia. Berdasarkan Pasal 1338 Ayat (1), makna

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi para pihak”, harus

diartikan bahwa kebebasan para pihak untuk

membuat perjanjian digantungkan pada syarat sahnya

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Dalam perjanjian dalam perkembangan, ke 4 syarat

sah perjanjian ini perlu ditafsirkan secara baik guna

mengikuti perkembangan jenis, bentuk, dan objek

perjanjian, termasuk perkembangan perjanjian di sektor

jasa keuangan. Penggunaan perjanjian baku (kontrak

standar), memunculkan pertanyaan sederhana apakah

bentuk perjanjian baku yang lazim digunakan di sektor

jasa keuangan memenuhi syarat “kesepakatan para

pihak”? Pertanyaan ini muncul karena syarat “adanya

kesepakatan”dimaknai sebagai “adanya kehendak

bebas dari para pihak untuk terikat dalam perjanjian”,

sehingga memenuhi asas keseimbangan.5 Beberapa

pakar berpendapat bahwa perjanjian baku (kontrak

standar) dinilai tidak mencerminkan kedudukan yang

seimbang di antara para pihak. Akibatnya dirasakan

ada perlakuan yang tidak adil bagi salah satu pihak

serta memberikan celah pada pihak yang mempunyai

posisi tawar yang kuat untuk menyalahgunakan

keadaan (misbruik van omstandigheden)6. Persoalan

hukum lainnya berkenaan syarat sahnya perjanjian

adalah syarat “kecakapan bertindak” dalam transaksi

sektor jasa keuangan yang dilakukan dalam bentuk

elektronis, yaitu sulitnya mengidentifikasi secara tepat

dan cepat, apakah para pihak cakap melakukan

perbuatan hukum? Implikasi yuridis lainnya dari bentuk

perjanjian elektronis berkaitan pula dengan saat

terjadinya kesepakatan dan peralihan kepemilikan

atas objek transaksi. Selain penggunaan bentuk

perjanjian baku dan bentuk elektronis, objek perjanjian

di sektor jasa keuangan mengalami perkembangan

yang pesat, khususnya di perbankan dan pasar modal.

Objek transaksi di pasar uang berkembang dengan

adanya surat berharga komersial di pasar uang yang

diatur dalam PBI No. 19/9/PBI/2018 Tentang Penerbitan

dan Transaksi Surat Berharga Komersial. Selain

menambah jenis surat berharga pasar uang, PBI ini

juga mensyaratkan bahwa surat berharga diterbitkan,

ditatausahakan secara scripless dan dialihkan secara

elektronik.

51

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

5 Pasal 1321 KUHPerdata mengatur “tiada sepakat yang sah apabilasepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya denganpaksaan atau penipuan”.

6 Agus Satori, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalamTransaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinyadi Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, 2015, hlm.277.

Page 59: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Pengembangan instrumen derivatif di pasar modal

Indonesia menambah keberagaman surat berharga

sebagai objek transaksi di pasar modal, sekaligus

menerbitkan jenis transaksi baru yang berkembang

di pasar modal, yaitu transaksi derivatif. Transaksi

derivatif ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pasar

modal untuk memenuhi standar internasional yang

direkomendasikan oleh IOSCO. Keberadaan derivatif

sebagai jenis surat berharga ini pun sudah diamanatkan

dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor: 8

Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UU PM) yang

mengatur:

“efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan

utang, surat berharga komersial, saham, obligasi,

tanda bukti utang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi

Kolektif, Kontrak Berjangka Atas Efek dan setiap

derivatif dari efek”.

Selanjutnya penjelasan pasal 1 Angka 5 UU PM

menjelaskan derivatif sebagai turunan dari efek, baik

efek yang bersifat utang maupun yang bersifat ekuitas

seperti opsi dan waran. Walaupun derivatif sudah

diamanatkan dalam UU PM dan diatur secara khusus

dalam peraturan otoritas pasar modal, pada awalnya

masih ada mispersepsi tentang transaksi derivatif

akibat lemahnya pemahaman sebagian pihak tentang

transaksi derivatif.7 Instrumen derivatif juga digunakan

oleh perbankan sebagai sarana lindung nilai mata

uang (currency hedging) untuk melakukan pendalaman

pasar dalam rangka mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah.8 Berbagai instrumen derivatif

di sektor jasa keuangan seperti option dan futures ,

dan assets backed securities di pasar modal maupun

di pasar uang dengan maraknya sekuritisasi aset

seperti, collateralized debt obligation (CDO) merupakan

pengembangan surat berharga yang menjadi “objek

tertentu” dalam transaksi di sektor jasa keuangan?

Sekuritisasi ini merupakan bagian dari keuangan yang

direkayasa (structured finance) dimana penerbitan

sekuritasnya didukung antara lain oleh sekumpulan

pinjaman, obligasi, piutang atau piutang yang akan

datang.9

Berkenaan dengan syarat “kausa yang halal”, dalam

praktik perbankan masih ada pertanyaan apakah

pedoman perkreditan atau kebijakan perkreditan atau

pembiayaan yang dibuat oleh Bank masuk dalam

lingkup peraturan perundang-undangan, sehingga

perjanjian kredit yang bertentangan dengan kebijakan

perkreditan atau pembiayaan bank dapat

diklasifikasikan sebagai perbuatan yang bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan? Persoalan-

persoalan hukum di atas tidak dapat dilepaskan dari

pentingnya penafsiran sistematis atau metode

penafsiran lainnya untuk memperoleh pemahaman

peraturan perundang-undangan secara tepat, benar

dan sesuai dengan tujuan dibuatnya undang-undang.

Berdasarkan penafsiran sistematis, Penulis tidak ragu

mengatakan bahwa setiap perjanjian kredit atau

pembiayaan yang dibuat oleh perbankan tidak boleh

bertentangan dengan pedoman standar operasional

atau kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank,

karena masuk ke dalam lingkup “seluruh peraturan

perundang-undangan yang berlaku“. Hal ini dapat

disimpulkan dari pasal-pasal dalam UU Perbankan,

khususnya Pasal 8 Ayat (2) , Pasal 29 Ayat (3) dan

Pasal 49 Ayat (2.b) UU Perbankan.10 Berdasarkan ke

3 Pasal di atas, UU Perbankan mengatur pelanggaran

terhadap pedoman standar operasional atau kebijakan

kredit/pembiayaan ini harus ditafsirkan sebagai

pelanggaran prinsip kehati-hatian bank (prudential

banking principle) yang diklasifikasikan sebagai tindak

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

52

7 Kasus transaksi derivatif di pasar uang yang terjadi antara Bank Niagadan Surya Duta Makmur Tbk yang diputus oleh Mahkamah Agung RIberdasarkan Putusan Nomor: 2461 K/Pdt/1999 merupakan contohmispersepsi tentang transaksi derivatif.

8 Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Transaksi Lindung Nilai (hedging) DalamPraktik Perbankan dan Implikasinya Terhadap Pembaruan Hukum KontrakNasional, Jurnal Rechtidee, Vol. 11, No. 1, 2016, hlm. 85-101,http://journal.trunojoyo.ac.id/rechtidee/article/view/1964/1957

9 Janet M Tavakoli, Collateralized Debt Obligations & Structured Finance-New Developments in Cash & Synthetic Securitization, Wiley, 2003, hlm.14.

10 Ketentuan yang sama di atur dalam Pasal 34 Ayat (2), Pasal 36 dan Pasal64 Undang- Undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah(UU Perbankan Syariah).

Page 60: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

pidana perbankan.11 Isu-isu hukum strategis di atas

hanya sebagian kecil dari topik diskusi yang

menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi

bahan masukan dalam pembaruan hukum kontrak

nasional, khususnya untuk menentukan asas-asas

yang akan melandasi hukum kontrak nasional yang

akan dibentuk. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan

yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana

perkembangan transaksi di sektor jasa keuangan dari

perspektif hukum perjanjian dan kontribusi sektor

jasa keuangan terhadap pembaruan hukum kontrak

nasional.

II. PERKEMBANGAN PERJANJIAN DI SEKTOR JASA

KEUANGAN

A. Dualisme hukum perjanjian di sektor jasa

keuangan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,

perkembangan perjanjian di sektor jasa keuangan

bergerak cepat dengan digunakannya prinsip

syariah sebagai alternatif lain yang dapat dipilih

oleh masyarakat ketika bertransaksi dengan

lembaga jasa keuangan. Berlakunya Undang-

undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan

Syariah (UU Perbankan Syariah) dan peraturan-

peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas jasa

keuangan untuk mengatur transaksi berdasarkan

prinsip syariah telah mengubah tatanan hukum

sektor jasa keuangan, yaitu terjadi dualisme sistem

hukum, dimana berlakunya lebih dari satu sistem

hukum yang mengatur hal yang sama. Dualisme

sistem hukum ini memunculkan terminologi seperti

perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi

syariah, dan perusahaan pembiayaan syariah

lainnya dengan menggunakan akad syariah sebagai

dasar hubungan hukumnya. Kegiatan berbasis

prinsip syariah ini juga dilakukan di pasar uang

dalam rangka operasi pasar terbuka syariah yang

dilakukan oleh Bank Indonesia dengan pihak lain12

atau transaksi pinjam meminjam atau pendanaan

dengan menggunakan instrumen pasar uang

berdasarkan prinsip syariah.13

Ada perbedaan yang substansial antara perjanjian

dalam KUHPerdata dan perjanjian (akad)

berdasarkan prinsip syariah. Pertama, eksistensi

prinsip syariah harus difatwakan oleh Dewan

Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (MUI),

yang selanjutnya dituangkan dalam Peraturan OJK

atau Peraturan BI. Sebagian besar dasar hukum

transaksi atau aktivitas berdasarkan prinsip syariah

di sektor jasa keuangan dituangkan dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) atau

Peraturan Bank Indonesia dengan merujuk pada

Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI sebagai

sumber hukumnya. Berdasarkan data 2018, DSN-

MUI sudah menerbitkan 121 Fatwa DSN,

diantaranya kurang lebih 29 Fatwa di bidang

Perbankan, 17 di bidang Pasar Modal, 11 Fatwa

di bidang industri keuangan syariah, dan selebihnya

Fatwa di bidang bisnis dan umum.14 Ini berarti,

makin banyak kegiatan di sektor jasa keuangan

yang menggunakan prinsip syariah, dan akan

terus meningkat sejalan dengan inovasi produk

dan layanan perbankan dan lembaga keuangan

syariah. Hal ini sejalan dengan politik hukum

pemerintah, yang memasukkan keuangan syariah

ke dalam arus utama strategi nasional untuk

mencapai tujuan pembangunan.15

53

11 Lihat Lastuti Abubakar & Tri Handayani,” Telaah Yuridis TerhadapImplementasi Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Aktivitas PerbankanIndonesia”, Jurnal De Lega Lata, Vol. 2, No. 1, 2017,http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/1157/pdf_14

12 lihat Peraturan Anggota Gubernur No.19/17/PDAG/2017 Tentang Kriteriadan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara DalamOperasi Moneter Syariah.

13 Lihat Peraturan Bank Indonesia No. 18/11/PBI/2016 Tentang Pasar Uang.

14 Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia,https://dsnmui.or.id/info/,diunduh 14 juni 2018.

15 BAPPENAS, Master Plan Arsitektur Kuangan Syariah Indonesia, Juli 2016,hlm. 3.

Page 61: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Ke dua, akad-akad (perjanjian) ini tidak boleh

bertentangan dengan prinsip syariah16, yaitu tidak

mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram

dan zalim. Untuk memastikan kepatuhan pada

prinsip syariah, kewenangannya berada pada MUI,

yang direpresentasikan oleh Dewan Pengawas

Syariah (DPS), yang wajib dibentuk oleh masing-

masing Lembaga Jasa Keuangan. Ketentuan umum

tentang kewajiban adanya DPS bagi perseroan

yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan

prinsip syariah diatur dalam Pasal 109 Undang-

undang Nomor: 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan

Terbatas (UU PT). Dewan Pengawas Syariah ini

bertugas memerikan nasihat dan saran kepada

Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar

sesuai dengan prinsip syariah.

Implementasi akad syariah dalam produk dan

layanan jasa di sektor jasa keuangan,

memungkinkan adanya penggunaan ketentuan

perundang-undangan konvensional sebagai

pelengkap, sehingga menimbulkan keraguan

apakah pranata tersebut sudah sesuai dengan

prinsip syariah (sharia compliance). Menurut

pendapat penulis, tidak semua peraturan

perundang-undangan yang mengatur sektor jasa

keuangan konvensional tidak dapat digunakan

untuk aktivitas berbasis prinsip syariah, namun

tetap diperlukan kehati-hatian untuk menghindari

potensi bahwa produk atau layanan tersebut tidak

patuh terhadap prinsip syariah. Oleh karena itu,

dualisme hukum di sektor jasa keuangan ini sudah

seharusnya menjadi salah satu pertimbangan

urgensi pembaruan hukum perjanjian atau hukum

kontrak nasional. Bukan hanya hukum kontrak

nasional, aktivitas berdasarkan prinsip syariah ini

memerlukan landasan hukum yang lebih kokoh

sebagai aturan umum yang akan menjadi payung

hukum bagi pengembangan ekonomi syariah

di Indonesia. Selama ini, sebagai besar aktivitas

di sektor jasa keuangan berbasis prinsip syariah

diatur dalam POJK dan PBI yang mengacu pada

Fatwa DSN-MUI. Saat ini, baru sektor perbankan

syariah yang memiliki undang-undang yang terpisah

dari konvensional. Selebihnya, sektor jasa keuangan

syariah lainnya diatur secara bersama-sama

(berdampingan) dengan konvensional dalam satu

undang-undang. Menurut pendapat penulis, tidak

ada yang salah dengan model regulasi menggunakan

POJK atau PBI sebagai dasar hukum, yang menjadi

masalah apabila dalam pelaksanaannya dipaksa

atau terpaksa menggunakan regulasi yang sudah

ada (baca: konvensional) sebagai “cantolan” akibat

ketiadaan undang-undang atau peraturan umum

yang dapat dijadikan dasar hukum. Contoh

sederhana, salah satu produk perbankan syariah

adalah Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) sebagai

pembiayaan kepemilikan rumah yang terdiri dari

akad musyarakah/syirkah dan akad jual beli (ba'i).

Musyarakah Mutanaqishah ini mendudukkan para

pihak sebagai mitra (partner), bukan sebagai

kreditur dan debitur.17 Ketika Bank menggunakan

Hak Tanggungan untuk memastikan atau menjamin

bahwa nasabah sebagai mitra akan terus membeli

porsi (hishshah) maka digunakan Hak Tanggungan

sebagai jaminan untuk memberikan perlindungan

hukum bagi bank. Penggunaan Hak Tanggungan

ini ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan akad

MMQ nya, sehingga menjadi rancu ketika para

pihak dalam Hak Tanggungan adalah Kreditur dan

Debitur, diterapkan pada para pihak dalam MMQ

yang mendudukkan para pihak sebagai mitra.18

54

17 Lihat Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang MusyawakahMutanaqishah.

18 Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Telaah Yuridis Terhadap pembiayaanPerumahan melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) SebagaiAlternatif Pembiayaan Perumahan Dalam Upaya Pengembangan ProdukPerbankan Syariah, Jurnal Hukum Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 1, 2017,hlm. 210.

16 Pasal 1 Angka 12 UU Perbankan Syariah mengatur bahwa Prinsip Syariahadalah “prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkanFatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalampenetapan fatwa di bidang syariah.

Page 62: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Banyak contoh lain, yang dalam praktik memerlukan

penafsiran dan kebijakan untuk menghasilkan

tujuan yang baik. Melihat pada permasalahan

yang timbul dalam praktik, akan lebih baik kalau

regulasi atau hukum yang dibuat lebih memberikan

kepastian dan perlindungan hukum bagi

masyarakat, dan pada akhirnya akan menciptakan

keadilan bagi para pihak. Oleh karena itu, dualisme

sistem hukum di sektor jasa keuangan ini seharusnya

masuk ke dalam agenda pembaruan hukum

perdata nasional, atau khususnya ke dalam hukum

benda dan hukum perikatan nasional. Sejatinya,

sistem hukum Islam (prinsip syariah) ini memang

sejak lama diakui sebagai salah satu sumber dalam

pembentukan hukum nasional, termasuk hukum

perjanjian.19 Oleh karena itu, bukan hal yang sulit

untuk menggagas hukum kontrak syariah, hukum

benda syariah atau bahkan hukum perdata syariah

sebagai payung hukum untuk seluruh aktivitas

berdasarkan prinsip syariah. Atau bukan tidak

mungkin menggagas Undang-undang Jasa

Keuangan Syariah sebagai kebutuhan jangka

pendek.20 Gagasan pembentukan undang-undang

di bidang keuangan syariah yang bersifat parsial

ini tidak dapat dihindari mengingat perkembangan

bisnis dan sektor jasa keuangan syariah yang cepat.

Selain itu, kodifikasi parsial sudah menjadi politik

hukum perundang-undangan dalam pembaruan

hukum nasional selama ini.

B. Perjanjian-Perjanjian yang Berkembang

di sektor jasa keuangan

Selain dualisme hukum, sektor jasa keuangan

banyak mengembangkan jenis-jenis perjanjian

tidak bernama (onbenoemde overeenskomsten).

Sebagian besar perjanjian tersebut diadopsi atau

diadaptasi dari jenis-jenis perjanjian yang digunakan

dalam aktivitas keuangan global. Asas kebebasan

berkontrak dan sistem terbuka dalam sistem

hukum perjanjian tidak serta merta membuat

perjanjian-perjanjian tidak bernama ini lancar dalam

implementasinya. Kendala yuridis muncul ketika

perjanjian-perjanjian yang di adopsi atau di adaptasi

ini memuat unsur yang tidak dikenal dalam sistem

hukum perjanjian atau hukum benda dalam

KUHPerdata, sehingga membutuhkan pendefinisian

dan pengaturan kembali serta penyesuaian dengan

sistem hukum perjanjian di Indonesia.

Sebagian besar perjanjian yang berkembang

di sektor jasa keuangan tersebut diatur dalam

peraturan yang tersebar, mulai dari Undang-undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan OJK dan Peraturan

BI. Berikut beberapa jenis perjanjian tidak bernama

yang digunakan dalam praktik jasa keuangan.

Tabel 2.2. Beberapa Perjanjian yang Berkembang

di Sektor Jasa Keuangan

55

19 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem HukumNasional, Alumni, Bandung, hlm. 57-63.

20 Bandingkan dengan Islamic Financial Services Act 2013 (IFSA 2013)Malaysia yang menandai pembaruan hukum di sektor jasa keuanganMalaysia.

No.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

dan POJK.

Jenis perjanjian Dasar Pengaturan

1. Perjanjian Perwaliamanatan

Kontrak Investasi Kolektif

Perjanjian Kepialangan/keperantaraan

Transaksi Derivatif ( Kontrak Opsi Saham,

Kontrak Berjangka Indeks Efek)

Page 63: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Perjanjian-perjanjian di atas digunakan antara lain

karena tuntutan untuk memenuhi standar

internasional dan perkembangan transaksi di sektor

jasa keuangan yang juga dikenal di negara-negara

lain, khususnya negara dengan sistem common

law. Sebagai bagian dari organisasi internasional,

Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentu

berkomitmen mematuhi standar atau pedoman

yang disepakati bersama. Dalam praktik, ada

kebijakan atau standar dan pedoman yang dapat

langsung diterapkan dan diberlakukan melalui

POJK dan PBI (proses adopsi), namun ada kalanya

memerlukan penyesuaian dengan kondisi Indonesia

(proses adaptasi). Penulis sependapat dengan

Mochtar Kusumaatmadja, bahwa untuk bidang-

bidang yang netral, termasuk sektor jasa keuangan,

proses adopsi dan adaptasi ini dapat dilakukan.21

Dengan demikian, sektor jasa keuangan dapat

dengan cepat mengikuti perkembangan keuangan

regional dan global. Sebagai ilustrasi, Pasar modal

Indonesia telah mengembangkan pasar derivatif

sejak tahun 2000, ketika Bursa Efek Surabaya

(BES) mengembangkan instrumen baru yaitu

Kontrak Berjangka Indeks Efek (KBIE) yang dikenal

dengan LQ45 Futures. Selanjutnya, diikuti dengan

Kontrak Opsi Saham di Bursa Efek Jakarta pada

tahun 2004. Regulasi dan pengembangan pasar

derivatif di pasar modal merupakan upaya untuk

menciptakan pasar modal yang berstandar

internasional sesuai dengan rekomendasi IOSCO.

Regulasi pasar sekuritas dan derivatif diperlukan

sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai 3

tujuan utama IOSCO, yaitu perlindungan investor;

memastikan bahwa pasar berlangsung wajar, efisien,

dan transparan; dan mengurangi risiko sistemik.

Regulasi yang tidak tepat atau tidak kuat akan

membebani pasar sehingga akan menghambat

pertumbuhan dan perkembangan pasar.22

56

21 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,Alumni, Bandung, 2002, hlm. 24.

No.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

POJK, PBI.

Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga

Pembiayaan, dan POJK.

PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik

PBI No. 19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

KUHPerdata dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi

dan Transaksi Elektronik.

Jenis perjanjian Dasar Pengaturan

2.

3.

4.

5.

Transaksi Lindung Nilai

Perjanjian Trust (Kegiatan Penitipan dengan

Pengelolaan)

Perjanjian Perwaliamanatan

Perjanjian Keagenan

Perjanjian Anjak Piutang (Factoring)

Perjanjian Leasing

Perjanjian Anjak Piutang (Factoring)

Perjanjian Modal Ventura

Perjanjian Kerjasama Terkait Uang Elektronik

Perjanjian dalam Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial

Transaksi berbasis elektronik

Sumber: diolah oleh Penulis

22 International Organization of Securities Commissions, Methodology forAssessing Implementation of The IOSCO Objectives and Principles ofSecurities Regulation, OICV-IOSCO, May, 2017.

Page 64: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Penggunaan jenis perjanjian tidak bernama lainnya

adalah perjanjian tentang kegiatan penitipan

dengan pengelolaan (trust) yang digagas oleh

Bank Indonesia pada tahun 2012 dan dituangkan

dalam PBI No. 14/17/PBI/2012 Tentang Kegiatan

Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan

(Trust).23 Perjanjian trust ini merupakan upaya di

bidang hukum perbankan untuk memanfaatkan

peluang dalam pengelolaan aset keuangan yang

selama ini dilakukan oleh trust bank atau trust

company di luar negeri untuk dapat dikelola dan

dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pembangunan

ekonomi nasional. Penulis berpendapat bahwa

perkembangan perjanjian di sektor jasa keuangan

ini perlu direspon positif, dengan menyiapkan

regulasi yang tepat. Gagasan pembaruan hukum

perjanjian atau hukum kontrak nasional

merupakan upaya memberikan landasan hukum

bagi pengembangan perjanjian dalam berbagai

aktivitas, termasuk sektor jasa keuangan.

III. BEBERAPA ISU HUKUM DALAM TRANSAKSI

DI SEKTOR KEUANGAN

Selain perkembangan jenis atau nama perjanjian di

sektor jasa keuangan, isu hukum lain dalam transaksi

di sektor jasa keuangan adalah penggunaan kontrak

standar dan perkembangan bentuk perjanjian, yaitu

perjanjian berbentuk elektronis, disamping perjanjian

tertulis dan perjanjian lisan. Penggunaan bentuk

perjanjian elektronis ini mendominasi perjanjian-

perjanjian dalam tranksasi sektor jasa keuangan.

A. Penggunaan perjanjian baku (kontrak standar)

dalam transaksi sektor jasa keuangan.

Penggunaan perjanjian baku (kontrak standar)

sudah lazim digunakan oleh lembaga jasa

keuangan. Perbankan, perusahaan pembiayaan

seperti sewa guna usaha (leasing), anjak piutang

(factoring), dan perusahaan modal ventura

menggunakan perjanjian baku sebagai dasar

hubungan hukumnya dengan nasabah. Berbeda

dengan bentuk perjanjian tertulis pada umumnya,

perjanjian baku memuat klausul yang telah terlebih

dahulu ditentukan oleh salah satu pihak, dalam

hal ini lembaga jasa keuangan, sehingga nasabah

tidak mempunyai kesempatan untuk

menegosiasikan klausul-klausul dalam perjanjian.

Nasabah dihadapkan pada pilihan apakah akan

menerima atau tidak menerima perjanjian tersebut,

atau dikenal dengan prinsip take it or leave it. Ciri

dari perjanjian baku ini, antara lain: a) isi ditetapkan

secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)

kuat; b) masyarakat (debitur) sama sekali tidak

ikut bersama sama menentukan isi perjanjian;

c) terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa

menerima perjanjian tersebut; d) bentuknya tertulis;

e) dipersiapkan secara massal dan kolektif.24

Di sektor jasa keuangan, perjanjian baku ini dapat

dilihat dalam perjanjian kredit perbankan, polis

asuransi, perjanjian leasing, dan perjanjian modal

ventura.

Isu hukum pertama dalam penggunaan perjanjian

baku adalah keragu-raguan apakah unsur

kesepakatan sebagai salah satu syarat sah perjanjian

tidak cidera karena dianggap tidak memberikan

kebebasan bagi nasabah debitur? Untuk menjawab

keragu-raguan tersebut mari dikaji kembali latar

belakang mengapa perjanjian baku ini lazim

digunakan dalam transaksi bisnis? Melihat

perjalanan sejarahnya, semula perjanjian di bidang

bisnis semata-mata bertumpu pada asas kebebasan

berkontrak, dan digunakan oleh pelaku usaha

untuk meminimalkan risiko dan membebankan

tanggung jawab pada pihak yang lemah, dengan

57

23 PBI No. 14/17/PBI/2012 Tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipandengan Pengelolaan (Trust) ini dicabut dan dinyatakan tidak berlakuoleh POJK No. 27/POJ.03/2015 Tentang Kegiatan Usaha Bank BerupaPenitipan dengan Pengelolaan (Trust), yang selanjutnya diubah denganPOJK No. 25/POJK.03/2016.

24 Mariam Darus dalam Abdul Munthe, Penggunaan Perjanjian Baku DalamTransaksi Bisnis Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam, Vol. XV, No. 2,Juli 2015, hlm. 218.

Page 65: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

mengabaikan keadilan. Baru pada abad ke 20,

muncul ajaran hukum fungsional yang melahirkan

paham negara kesejahteraan. Dengan dukungan

teknologi, perkembangan ekonomi menuju

produksi masal, yang akhirnya menimbulkan

perkembangan baru dengan digunakannya

kontrak standar (standard contract atau contract

d'adhesion). Dengan demikian, pranata hukum

kontrak tidak lagi sepenuhnya tunduk pada asas

kebebasan berkontrak dalam hukum perdata,

tetapi sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh

unsur kepentingan umum dan hukum administrasi

negara. Itu sebabnya hukum kontrak di bidang

bisnis lebih tepat dikatakan merupakan bagian

hukum ekonomi (droit de l'economie) daripada

hukum perdata.25 Akan sangat tidak efisien bagi

lembaga jasa keuangan seperti perbankan,

perusahaan asuransi, atau perusahaan leasing jika

harus membuat dan menegosiasikan setiap kontrak

dengan nasabah.

Namun demikian, perjanjian baku tetaplah

perjanjian, sehingga berlaku seluruh ketentuan

umum dalam Buku III KUHPerdata, termasuk harus

memenuhi asas- asas hukum dalam hukum

perjanjian. Pertama, semua perjanjian, baik

bernama maupun tidak bernama, apa pun

bentuknya, harus dilaksanakan dengan itikad

baik.26 Itikad baik ini harus dimaknai bahwa

perjanjian harus dilaksanakan secara rasional dan

patut/pantas (rational en bilijk) yang hidup di dalam

masyarakat. Selain itu, itikad baik harus diartikan

secara subjektif, yaitu kejujuran (subjectieve goede

trouw).27 Dengan demikian, itikad baik harus

melekat pada para pihak ketika akan, sedang

melaksanakan maupun mengakhiri perjanjian.

Selain itikad baik, penulis melihat setidaknya ada

2 asas perjanjian yang relevan dan lebih menonjol

dibandingkan dengan asas lainnya dalam

penggunaan perjanjian baku, yaitu asas

keseimbangan dan asas kepatutan.

Asas keseimbangan menghendaki ke dua belah

pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian

itu. Kreditur (lembaga jasa keuangan) mempunyai

kekuatan untuk menuntut prestasi dari debitur

dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan

prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur

berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian

dengan itikad baik, dengan demikian kedudukan

kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya

untuk melaksanakan itikad baik, sehingga

kedudukan kreditur dan debitur seimbang.28

Asas keseimbangan harus diartikan bahwa tujuan

membuat perjanjian adalah untuk memberikan

keadilan bagi ke dua belah pihak, sehingga sudah

seharusnya perjanjian baku tidak digunakan untuk

menguntungkan salah satu pihak.

Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan

mengenai isi perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman

berpendapat bahwa asas ini harus dipertahankan

karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan

ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam

masyarakat.29 Penulis berpendapat, dengan

menggunakan metode penafsiran hukum yang

tepat terhadap aturan, asas dan prinsip-prinsip

yang terkandung dalam ketentuan perundang-

undangan, penggunaan perjanjian baku di sektor

jasa keuangan merupakan hal yang lazim dan

dapat diterima. Namun demikian, untuk

memberikan perlindungan dan kepastian hukum

yang optimal, khususnya kepada masyarakat

terhadap penyalahgunaan perjanjian baku, ada

baiknya perjanjian baku ini ditegaskan dengan

58

25 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,Alumni, 1991, hlm. 120.

26 Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa “Perjanjian-perjanjianharus dilaksanakan dengan itikad baik”.

27 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH PerdataYurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Citra Aditya Bakti, 2015, hlm.123.

28 Ibid, hlm. 90.

29 Ibid, hlm. 91.

Page 66: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

memberi rambu-rambu penggunaannya dalam

pembaruan hukum kontrak nasional. Untuk itu,

dapat dilihat pengaturan perjanjian baku dalam

Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) Belanda sebagai

perbandingan, mengingat sebelumnya Indonesia

memberlakukan BW Belanda berdasarkan asas

konkordansi. Beberapa ketentuan dalam NBW

yang mengatur perjanjian baku dengan ketentuan

sebagai berikut:30

1) Bidang-bidang usaha yang dapat menggunakan

perjanjian baku ditentukan dengan peraturan;

2) Perjanjian baku dapat ditetapkan, diubah, dan

dicabut, jika disetujui oleh Menteri kehakiman

melalui panitia yang ditentukan untuk itu.

Cara menyusun dan cara kerja panitia diatur

dengan undang-undang;

3) Penetapan, perubahan dan pencabutan

perjanjian baku hanya mempunyai kekuatan,

setelah ada persetujuan raja, dan keputusan

raja mengenai itu, diletakkan dalam berita

negara;

4) Perjanjian baku dapat dibatalkan, jika pihak

kreditur mengetahui atau seharusnya

mengetahui pihak debitur tidak akan menerima

perjanjian baku jika ia mengetahui isinya.

Di sektor jasa keuangan, itikad baik dari lembaga

jasa keuangan dalam penggunaan perjanjian baku

ini tidak perlu diragukan, mengingat seluruh

lembaga jasa keuangan wajib menerapkan

prudential principle dalam setiap aktivitasnya,

yang berarti wajib mematuhi seluruh ketentuan

perundang-undangan termasuk KUHPerdata,

yang pelaksanaannya diawasi oleh otoritas jasa

keuangan. Selain itu, untuk menghindari

penyalahgunaan perjanjian baku di sektor jasa

keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang

Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, mengatur

tentang upaya perlindungan konsumen dan/atau

masyarakat yang bertujuan untuk: 1) meningkatkan

kepercayaan investor dan konsumen dalam setiap

aktivitas dan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan

(market confidence), 2) memberikan peluang dan

kesempatan bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan

secara adil, efisien, dan transparan dan di sisi lain,

Konsumen memiliki pemahaman hak dan kewajiban

dalam berhubungan dengan pelaku Usaha Jasa

Keuangan mengenai karakteristik, layanan, dan

produk (level playing field). Selain itu, Pasal 8 PBI

No.16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen

Jasa Sistem Pembayaran melarang Penyelenggara

Jasa Sistem Pembayaran membuat atau

mencantumkan klausula baku pada perjanjian

atau dokumen yang sifatnya:

a. Menyatakan pelepasan/pengalihan tanggung

jawab Penyelenggara kepada Konsumen;

b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya

pemanfaatan jasa Sistem Pembayaran yang

digunakan oleh Konsumen;

c. Memberi hak kepada Penyelenggara untuk

mengurangi manfaat jasa Sistem Pembayaran

yang digunakan atau mengurangi harta

kekayaan Konsumen yang menjadi objek jual

beli menggunakan jasa Sistem Pembayaran;

dan/atau

d. Menyatakan tunduknya Konsumen kepada

peraturan Penyelenggara yang berupa aturan

baru, aturan tambahan, aturan lanjutan

dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

secara sepihak oleh Penyelenggara dalam

masa Konsumen memanfaatkan jasa Sistem

Pembayaran dari Penyelenggara.

Selain larangan klausula baku, Pasal 8 Ayat (2)

PBI ini juga melarang pencantuman klausula baku

yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau

tidak dapat dibaca secara jelas atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti oleh

Konsumen.

59

30 Wahyu Sasongko dalam Ahmad Jahri, Perlidungan Nasabah Debiturterhadap Perjanjian Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi PadaBank Umum di Bandar Lampung, Jurnal Fiat Justisia, Vol. 10, No. 1,January - March 2016, hlm. 140-141,http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/651/629

Page 67: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

B. Bentuk elektronis dalam transaksi di sektor

jasa keuangan.

Selain penggunaan perjanjian baku atau kontrak

standar, sektor jasa keuangan menjadi pelopor

dalam penggunaan bentuk perjanjian elektronis.

Sistem perdagangan tanpa warkat telah menjadi

hal yang umum di dunia perdagangan internasional

yang telah memasuki era e-commerce sebagai

strategi bisnis dengan menggunakan teknologi

seperti internet atau sarana lain, baik untuk

melayani konsumen, antar sesama pebisnis maupun

intern bisnis tertentu. E-commerce ini menyentuh

hampir semua sektor bisnis termasuk perbankan

dan pasar modal.31

Perkembangan transaksi berbasis elektronik sudah

menjadi kebutuhan bagi sektor jasa keuangan

untuk memenuhi standar internasional. Pasar modal

misalnya, menerapkan sistem perdagangan tanpa

warkat (scripless trading system) pada semester

ke 2 tahun 2000, setelah sebelumnya telah

menggunakan Jakarta Automated Trading System

(JATS) yang juga berbasis teknologi informasi dan

merupakan teknologi dasar dalam perdagangan

tanpa warkat. Perbedaannya, pada JATS, fisik efek

masih dicetak dan disimpan, sedangkan dalam

sistem perdagangan tanpa warkat, tidak ada lagi

fisik efek. Seluruh efek yang diperdagangkan di

Bursa Efek dikonversi menjadi bentuk elektronik

(data elektronik).

Sistem perdagangan tanpa warkat ini merupakan

standar yang telah ditetapkan oleh International

Organization of Securities Commissions (IOSCO)

untuk menciptakan perdagangan yang wajar,

teratur, dan efisien, yang telah diakomodasikan

dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun

1995 Tentang Pasar Modal (UU PM) bahwa

“Bursa Efek didirikan dengan dengan tujuan

menyelenggarakan pasar modal yang teratur,

wajar dan efisien”.32 Mekanisme perdagangan

tanpa warkat dilakukan dengan penyelesaian

pemindahbukuan (book-entry settlement), sehingga

tidak ada lagi fisik efek dan uang yang beralih.

Penyelesaian transaksi melalui pemindahbukuan

ini sudah diamanatkan dalam Pasal 55 UU PM

bahwa “Penyelesaian Transaksi Bursa dapat

dilaksanakan dengan penyelesaian pembukuan,

penyelesaian fisik, atau cara lain yang ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya

penjelasan Pasal 55 mengatur bahwa yang

dimaksud dengan “penyelesaian pembukuan

(book-entry settlement) dalam ayat ini adalah

pemenuhan hak dan kewajiban yang timbul akibat

adanya Transaksi Bursa yang dilaksanakan dengan

cara mengurangi efek dari rekening efek yang

satu dan menambahkan efek dimaksud pada

rekening efek yang lain pada Kustodian, yang

dalam hal ini dapat dilakukan secara elektronik”.

Dengan demikian, eksistensi sistem perdagangan

tanpa warkat sudah memiliki landasan hukum

yang kokoh dalam UU PM.

Peralihan kepemilikan dilakukan dengan mendebit

atau mengkreditkan efek atau dana nasabah.

Manfaat sistem perdagangan tanpa warkat ini

antara lain:33

a. Tidak membutuhkan proses registrasi karena

pemindahan hak dilakukan dengan pemindah-

bukuan (book-entry settlement);

b. Tidak memerlukan pencetakan efek dan

materai;

c. Mengurangi risiko kerugian (akibat efek hilang,

rusak atau palsu);

60

31 Goldberg, Beverly, Sifonis, John G dalam Lastuti Abubakar, Transaksiderivatif-Tinjauan Hukum Tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek,Books terrace & Library, Bandung, 2009, hlm. 247.

32 Penjelasan Pasal 7 UU PM memaknai perdagangan efek secara teratur,wajar dan efisien adalah suatu perdagangan yang diselenggarakanberdasarkan suatu aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten.Dengan demikian, harga yang terjadi mencerminkan mekanisme pasarberdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Perdagangan efekyang efisien tercermin dalam penyelesaian transaksi yang cepat denganbiaya yang murah.

33 Lastuti Abubakar, Loc.Cit, hlm. 238.

Page 68: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

d. Tidak memerlukan ruang penyimpanan (vault)

untuk menyimpan efek baik di kantor investor,

Bank Kustodian atau Anggota Bursa;

e. Proses penyelesaian transaksi yang sederhana

dan cepat sehingga memungkinkan

penyelesaian transaksi dalam volume besar

secara tepat waktu.

f. Informasi status penyelesaian lebih lengkap,

tepat dan akurat.

Mekanisme scripless trading tidak hanya terkait

dengan transaksi di Bursa, tetapi juga berkaitan

dengan proses kliring dan penjaminan oleh PT

KPEI; dan penyimpanan dan penyelesaian oleh PT

KSEI. Beberapa aspek hukum perjanjian dalam

scripless trading ini antara lain mengenai mekanisme

terjadinya kesepakatan para pihak, penentuan

peralihan kepemilikan atas efek yang ditransaksikan,

bahkan meluas hingga persoalan penjaminan yang

tepat bagi efek yang diperdagangkan melalui

scripless trading system atau saham tanpa warkat.34

Peraturan Perdagangan di Bursa Efek sudah

mengatur secara baik terkait permasalahan aspek

hukum, dan penulis berpendapat tidak ada yang

bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum

perjanjian, hukum kebendaan, dan hukum jaminan

selama penafsiran terhadap peraturan perundang-

undangan dilakukan secara tepat. Kesepakatan

dalam scripless trading system misalnya, terjadi

saat JATS memperjumpakan penawaran jual

dengan penawaran beli secara keseluruhan atau

sebagian berdasarkan price dan time priority.

Selanjutnya transaksi bursa terjadi dan mengikat

pada saat penawaran jual telah dijumpakan

dengan penawaran beli oleh JATS (matched).

Dapat disimpulkan bahwa perjanjian dalam scripless

trading system lahir saat penawaran jual dan

penawaran beli dijumpakan oleh JATS (matched).35

Selanjutnya, peralihan kepemilikan atas objek

transaksi di pasar reguler di Bursa terjadi pada

saat penyelesaian transaksi, yaitu pada hari Bursa

ke-3 setelah terjadi Transaksi Bursa (T+3) melalui

mekanisme pemindahbukuan. Keseluruhan efek

yang diperdagangkan di Bursa selanjutnya disimpan

di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dalam

bentuk elektronik. Sebelum diberlakukannya

Undang-Undang Nomor: 19 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008

Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU

ITE), pasar modal terlebih dahulu mengakui

dokumen elektronik sebagai dokumen hukum dan

alat bukti transaksi di pasar modal. Setelah berlaku

UU ITE, maka pengakuan dokumen elektronik

sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU

ITE, yang mengatur bahwa “Informasi Elektronik

dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil

cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Selanjutnya, pada tahun 2011 pasar modal juga

memperkenalkan shariah online trading system

(SOTS) yaitu sistem perdagangan syariah secara

online yang memenuhi prinsip-prinsip syariah

di pasar modal. Mekanisme SOTS mirip dengan

scripless trading system, yang berbeda adalah

prinsip syariah yang menjadi dasar transaksi.

Shariah Online trading System ini di sertifikasi oleh

DSN-MUI karena merupakan penjabaran dari

Fatwa DSN-MUI No. 80 Tahun 2008 Tentang

Penerapan Prinsip Syariah Dalam Mekanisme

Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler

Bursa Efek. Prinsip syariah dalam SOTS ini tercermin

dalam fitur utama SOTS, yaitu:36

61

34 Perihal Penjaminan Saham Tanpa Warkat ini, Lihat Lastuti Abubakar,Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasanpembaruan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebansentralan,Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2015, hlm. 1-16.https://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/hukum-kebanksentralan/Pages/bhpk_12010106.aspx

35 Lihat Peraturan No.II-A Tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, sebagailampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia No. Kep-00399/BEI/11-2012 yang telah diubah dengan Keputusan Direksi PT Bursa Efek IndonesiaNo. Kep-00071/BEI/11-2013 yang berlaku tanggal 6 Januari 2014.

36 Bursa Efek Indonesia, Transaksi Sesuai Syariah-Shariah Online TradingSystem (SOTS), Senin, 11 Juni 2018, http://www.idx.co.id/idx-syariah/transaksi-sesuai-syariah/

Page 69: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

a. Hanya saham syariah yang dapat ditransaksikan;

b. Transaksi beli saham syariah hanya dapat

dilakukan secara tunai (cash basis transaction)

sehingga tidak boleh ada transaksi margin

(margin trading);

c. Tidak dapat melakukan transaksi jual saham

syariah yang belum dimiliki (short selling);

d. Laporan kepemilikan saham syariah dipisah

dengan kepemilikan uang sehingga saham

syariah yang dimilik tidak dihitung sebagai

modal (uang).

Mengacu pada fitur SOTS di atas, maka tampak

perbedaan prinsip yang mendasari antara SOTS

dengan scripless trading system. Pertama, SOTS

tidak memperkenankan adanya transaksi marjin.

Sebagaimana diketahui, transaksi marjin adalah

transaksi pembelian efek untuk kepentingan

nasabah yang dibiayai oleh perusahaan efek.37

Transaksi marjin ini merupakan jasa yang diberikan

perusahaan efek kepada nasabahnya berupa

fasilitas pinjaman dana, sehingga nasabah hanya

perlu membayar sejumlah persentase tertentu dari

efek yang dibeli. Untuk itu nasabah diwajibkan

membayar bunga kepada perusahaan efek atas

dana pinjaman tersebut. Jelaslah bahwa transaksi

marjin bertentangan dengan larangan riba. Ke dua,

SOTS juga melarang transaksi short selling, yaitu

transaksi penjualan efek dimana efek dimaksud

tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi

dilaksanakan. Berdasarkan Fatwa DSN No. 80/DSN-

MUI/III/2011 Tentang penerapan prinsip Syariah

Dalam mekanisme Perdagangan Efek Bersifat

Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, Short selling

atau ba'i al ma'dum termasuk tindakan yang

bertentangan dengan prinsip syariah.

Sama halnya dengan pasar modal, perbankan

menyediakan layanan perbankan yang

mengedepankan sistem elektronik yang biasa

disebut dengan e-banking atau digital banking

melalui produk-produk seperti sms banking,

internet banking, phone banking, dan mobile

banking. Demikian juga halnya, dengan laku pandai

(branchless banking) yang mulai beroperasi tahun

2015, yang targetnya adalah perluasan akses dalam

layanan keuangan mengingat masih rendahnya

akses masyarakat pada terhadap layanan jasa

keuangan formal.38

Terkait penggunaan teknologi informasi, berkaitan

dengan tugas mengatur dan menjaga kelancaran

sistem pembayaran, Bank Indonesia juga telah

memperkenalkan kepada stakeholder yakni

perbankan nasional apa yang disebut dengan real

time gross settlement (RTGS). BI-RTGS adalah proses

penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang

dilakukan per transaksi (individually processed/gross

settlement) dan bersifat real time (electronically

processed). Melalui mekanisme BI-RTGS ini, rekening

peserta dapat didebit dan dikredit berkali-kali sesuai

dengan perintah pembayaran dan penerimaan

pembayaran. Selain untuk menyediakan sarana

transfer dana antar peserta yang lebih cepat,

efisien, andal dan aman, BI-RTGS bertujuan untuk

memberikan kepastian settlement dapat diperoleh

dengan lebih segera (irrevocable dan unconditional);

menyediakan informasi rekening peserta secara

real time dan menyeluruh; meningkatkan disiplin

dan profesionalisme peserta dalam mengelola

likuiditasnya; serta mengurangi risiko-risiko

settlement.39 Perkembangan sistem pembayaran

tidak dapat dilepaskan dari kesiapan infrastruktur,

terutama di era integrasi ekonomi baik regional

maupun global.

Regulasi terbaru di pasar modal terkait transaksi

berbentuk elektronis ini adalah diterbitkannya

62

37 Lihat Pasal I.10 Lampiran Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia No.Kep.00009/BEI.01/2009, diubah dengan Keputusan Direksi Bursa EfekNo.Kep.00023/BEI.02/2017. Peraturan Nomor II-H Tentang Persyaratandan Perdagangan Efek Dalam Transaksi Marjin dan Transaksi Short Selling.

38 Otoritas Jasa Keuangan, Perbankan-Seri Literasi Keuangan PerguruanTinggi, Jakarta, 2016, hlm. 42.

39 Biro Pengembangan Sistem pembayaran Nasional, Sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank Indnonesia, 2006.

Page 70: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

POJK Nomor: 77/POJK.01/2016 Tentang Layanan

Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi

Informasi atau yang populer dikenal dengan

Financial Technology (POJK Fintech). Melalui POJK

ini diharapkan dapat mendorong alternatif

pembiayaan bagi masyarakat dan mendukung

pertumbuhan lembaga keuangan berbasis

teknologi informasi sehingga dapat lebih

berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

Bank Indonesia merespon perkembangan fintech

melalui launching Bank Indonesia FinTech Office

(BI-FTO), yang juga memperkenalkan inisiatif yang

dinamakan regulatory sandbox, yang digunakan

sebagai sebuah laboratorium yang digunakan

bersama oleh pelaku fintech dan regulator untuk

menguji model bisnis dan produk/layanan sebelum

masuk ke rezim perizinan secara penuh. Selain

perkembangan fintech yang mencerminkan inovasi

teknologi di area keuangan, Bank Indonesia juga

mencermati kuatnya teknologi informasi dalam

aktivitas perdagangan. Pasar sebagai tempat

bertemunya penjual dan pembeli sepenuhnya telah

dapat diwujudkan secara maya, namun demikian

kebutuhan transaksi melalui sistem pembayaran

menjadi bagian yang tak terpisahkan dari aktivitas

jual beli. Oleh karena itu, Bank Indonesia merasa

perlu untuk melengkapi regulasi sistem

pembayaran yang sudah ada dengan menerbitkan

Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 18/40/PBI/2016

Tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi

Pembayaran, sebagai wujud komitmen Bank

Indonesia atas 4 hal yaitu: 1) mengakomodasikan

inovasi; 2) meningkatkan keamanan, termasuk

meningkatkan standar dan audit keamanan secara

berkala; 3) menjaga level of playing field, dan

4) perlindungan konsumen, di tengah ancaman

fraud dan cyber security yang berkejaran dengan

inovasi.40 Selanjutnya, Bank Indonesia menerbitkan

PBI No. 19/12/PBI/2017 Tentang Penyelenggaraan

Teknologi Finansial.

C. Urgensi Pembaruan Hukum Kontrak Nasional

Hukum perjanjian (kontrak) Indonesia pada

dasarnya terbuka terhadap perkembangan dan

tuntutan global, namun demikian mengingat

transaksi bisnis dan ekonomi, khususnya sektor

jasa keuangan banyak dipengaruhi oleh sistem

hukum lain, antara lain hukum yang berasal dari

negara-negara Anglo-saxon (common law system)

dan sistem hukum Islam, maka diperlukan kehati-

hatian dalam penerapannya ke dalam sistem

hukum perjanjian Indonesia. Namun harus diakui

bahwa perubahan tatanan hukum sektor jasa

keuangan dan ekonomi regional dan global

memberikan kontribusi besar dalam pembaruan

hukum perjanjian. Penulis sependapat dengan

pendapat beberapa ahli, khususnya Mochtar

Kusumaatmadja, yang secara tegas menyatakan

bahwa bidang hukum yang sifatnya netral (tidak

sensitif), termasuk hukum kontrak, penggunaan

model-model hukum asing tidak akan menimbulkan

masalah. Dengan demikian, penggunaan model

hukum asing ini merupakan salah satu cara dalam

pembaruan hukum perjanjian. Dalam hal terdapat

hambatan-hambatan terhadap penggunaan model

asing (baca: sistem hukum yang berbeda), maka

dapat dilakukan melalui proses adaptasi. Sektor

jasa keuangan menggunakan ke dua cara baik

adopsi atau penerimaan secara utuh, maupun

adaptasi. Proses adopsi banyak dilakukan di sektor

jasa keuangan terhadap standar dan pedoman

yang dikeluarkan oleh badan-badan internasional,

yang kemudian diatur kembali dalam POJK dan

PBI. Hal ini menjadi konsekuensi Indonesia sebagai

anggota dan ikut serta dalam berbagai lembaga

internasional di sektor jasa keuangan. Selain itu,

penulis berpendapat bahwa regulasi dan kebijakan

di sektor jasa keuangan berdasarkan prinsip syariah

merupakan proses “adopsi” terhadap prinsip dan

konsep hukum Islam yang dilakukan oleh DSN-

MUI sebagai sumber hukum. Proses adaptasi

dilakukan apabila pranata hukum tersebut berasal

dari sistem hukum yang berbeda dan memerlukan

penyesuaian. Model adaptasi ini dapat dilihat

63

40 Agus Martowardoyo, Sambutan Gubernur Bank Indonesia- LaunchingBank Indonesia Fintech Office, Jakarta, 14 November 2016.

Page 71: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

dalam substansi POJK No. 25/POJK.03/2016

Tentang Perubahan atas Peraturan Otoritas Jasa

Keuangan No. 27/POJK.03/2015 Tentang Kegiatan

Penitipan dengan Pengelolaan (Trust) yang berasal

dari sistem common law. Proses adaptasi diperlukan

agar perjanjian trust ini dapat digunakan sejalan

dengan kebutuhan dan tujuan POJK, yaitu untuk

mengoptimalkan dana-dana yang semula di kelola

oleh bank trust atau trust company di luar negeri

untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya guna

mempercepat pertumbuhan ekonomi dan

kepentingan pembangunan nasional untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat. Proses adaptasi

terhadap pranata trust ini menjadi keharusan,

mengingat pranata ini bertumpu pada konsep

dual-ownership, yaitu adanya pemilik secara hukum

(legal owner) dan pemilik penerima manfaat

(beneficial owner) terhadap satu aset, yang tidak

dikenal dalam sistem benda Indonesia. Penyesuaian

dilakukan dalam POJK dan klausul-klausul perjanjian

trust yang akan dibuat. Oleh karena itu, walaupun

dengan asas kebebasan berkontrak dan sistem

terbuka, para pihak dapat secara bebas menentukan

bentuk, isi, dan jenis perjanjian yang dikehendaki,

kadang-kadang diperlukan penyesuaian untuk

mengantisipasi hambatan-hambatan dalam

pelaksanaannya.

Pembaruan hukum perjanjian (kontrak) nasional

yang akan dibentuk tentu harus memperhatikan

asas-asas penting dalam hukum perjanjian,

khususnya asas konsensualisme dan asas

kebebasan berkontrak. Mariam Darus berpendapat

bahwa asas konsensualisme ini merupakan syarat

mutlak bagi hukum perjanjian yang modern dan

bagi terciptanya kepastian hukum.41 Selain itu,

pembaruan hukum kontrak nasional perlu

mempertimbangkan pengaturan tentang perjanjian

baku (kontrak standar) sebagai salah satu upaya

untuk menciptakan keadilan bagi para pihak

sebagai tujuan dibuatnya perjanjian. Penafsiran

terhadap asas-asas hukum perjanjian tampaknya

perlu dilakukan dengan melakukan penyesuaian

terhadap perkembangan dan praktik baik (best

practices) yang digunakan oleh para pelaku bisnis.

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat

disimpulkan beberapa hal:

a) Sektor jasa keuangan merupakan sektor yang

banyak mengembangkan hukum perjanjian, baik

berkaitan dengan penggunaan sistem hukum

(common law dan hukum Islam), bentuk perjanjian

baku dan elektronis, serta penggunaan jenis-jenis

perjanjian tidak bernama (onbenoemde

overeenkomsten) dalam layanan dan produknya.

Perkembangan perjanjian di sektor jasa keuangan

ini memberikan kontribusi yang besar dalam proses

pembaruan hukum perjanjian (kontrak nasional).

b) Belajar dari proses perkembangan perjanjian di

sektor jasa keuangan, proses pembaruan hukum

perjanjian dapat dilakukan baik melalu proses

adopsi (penerimaan secara utuh) maupun proses

adopsi (penyesuaian dengan sistem hukum) untuk

mengatasi kendala dalam implementasinya.

Perkembangan perjanjian yang diatur dalam

peraturan yang dikeluarkan OJK dan BI merupakan

merupakan model pembaruan hukum yang sejalan

dengan perubahan tatanan regulasi keuangan

regional dan global, namun tetap diperlukan

pembaruan hukum kontrak nasional sebagai

payung hukum bagi perkembangan transaksi,

termasuk transaksi di sektor jasa keuangan.

c) Hukum perjanjian (kontrak) nasional yang akan

dibentuk harus memperhatikan asas-asas hukum

perjanjian, khususnya asas kebebasan berkontrak

dan konsensualisme sebagai syarat untuk

memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Di sektor jasa keuangan, regulasi yang kuat dan

tepat merupakan kebutuhan untuk meningkatkan

kepercayaan masyarakat. Selain itu, pembaruan

64

41 Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 233.

Page 72: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

hukum kontrak nasional perlu mempertimbangkan

pengaturan tentang perjanjian baku (kontrak

standar) sebagai salah satu upaya untuk

menciptakan keadilan bagi para pihak sebagai

tujuan dibuatnya perjanjian.

65

Page 73: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buku-buku

Janet M Tavakoli, Collateralized Debt Obligations & Structured Finance - New Developments in Cash & Synthetic

Securitization, Wiley, 2003.

Lastuti Abubakar, Transaksi derivatif Di Indonesia - Tinjauan Hukum Tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek, Terrace

Book & Library, 2009.

Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata - Yurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Citra Aditya

Bakti, Bandung, 2015.

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Otoritas Jasa Keuangan, Perbankan - Seri Literasi Keuangan Perguruan Tinggi, Jakarta, 2016.

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991.

Artikel Jurnal/Makalah

Abdul Karim Munthe, Penggunaan Perjanjian Baku Dalam Transaksi Bisnis Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam, Vol.XV,

No. 2, Juli 2015.

Agus Satori, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalam Transaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan

Implementasinya di Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, 2015.

Agus Martowardoyo, Sambutan Gubernur Bank Indonesia - Launching Bank Indonesia Fintech Office, Jakarta, 14

November 2016.

Biro Pengembangan Sistem pembayaran Nasional, Sistem Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Bank

Indnonesia, 2006.

Lastuti Abubakar & Tri Handayani,” Telaah Yuridis Terhadap Implementasi Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Aktivitas

Perbankan Indonesia”, Jurnal De Lega Lata, Vol. 2, No. 1, 2017,

http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/1157/pdf_14

Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Telaah Yuridis Terhadap pembiayaan Perumahan melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah

(MMQ) Sebagai Alternatif Pembiayaan Perumahan Dalam Upaya Pengembangan Produk Perbankan Syariah, Jurnal

Hukum Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 1, 2017.

DAFTAR PUSTAKA

66

Page 74: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Lastuti Abubakar, Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasan pembaruan Hukum Jaminan

Nasional), Buletin Hukum Kebansentralan, Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2015, hlm. 1-16.

https://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/hukum-kebanksentralan/Pages/bhpk_12010106.aspx

Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Transaksi Lindung Nilai (hedging) Dalam Praktik Perbankan dan Implikasinya Terhadap

Pembaruan Hukum Kontrak Nasional, Jurnal Rechtidee, Vol. 11, No. 1, 2016,

Peraturan Hukum

Undang-undang Nomor: 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Undang-undang Nomor: 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Undang-undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik.

PBI No. 19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

Peraturan No. II-A Tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, sebagai lampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia

No. Kep-00399/BEI/11-2012 yang telah diubah dengan Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia No. Kep-

00071/BEI/11-2013 yang berlaku tanggal 6 Januari 2014.

Bursa Efek Indonesia, Transaksi Sesuai Syariah - Shariah Online Trading System (SOTS), Senin,11 Juni 2018,

http://www.idx.co.id/idx-syariah/transaksi-sesuai-syariah/

Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia No.Kep.00009/BEI.01/2009, diubah dengan Keputusan Direksi Bursa Efek

No.Kep.00023/BEI.02/2017. Peraturan Nomor II-H Tentang Persyaratan dan Perdagangan Efek Dalam Transaksi

Marjin dan Transaksi Short Selling.

67

Page 75: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

68

Page 76: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Abstrak:

Perkembangan teknologi dan inovasi model bisnis akhir-akhir ini telah membawa pengaruh yang signifikan pada

cara pemindahan nilai uang atau pembayaran. Bahkan, akhir-akhir ini terdapat beberapa pihak yang memanfaatkan

teknologi dan inovasinya untuk menghasilkan sesuatu yang diklaim dapat menjadi alat pembayaran barang atau jasa.

Hal tersebut ditandai dengan muncul dan berkembangnya berbagai Private Digital Currency yang memanfaatkan teknologi

yang disebut DLT atau blockchain. Kondisi ini mendorong banyak bank sentral untuk melakukan pengkajian penerbitan

Central Bank Digital Currency (CBDC) dan peluang pemanfaatan teknologi pendukungnya. Penerbitan CBDC oleh Bank

Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia dapat dilakukan melalui dua dasar hukum yaitu UU Mata Uang atau UU

Bank Indonesia. Jika CBDC hendak ditetapkan dan diterbitkan Bank Indonesia sebagai tambahan alat pembayaran yang

sah (legal tender), untuk saat ini penerbitan dan pemberlakuannya tidak mempunyai dasar hukum. Untuk legitimasi

penetapan dan penerbitan CBDC sebagai alat pembayaran yang sah (legal tender), perlu dilakukan amandemen terhadap

UU Mata Uang yang saat ini membatasi macam rupiah yaitu Rupiah Kertas dan Rupiah Logam. Di sisi lain, berdasarkan

ketentuan dalam UU Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan dan menerbitkan alat pembayaran lain untuk

digunakan di masyarakat dalam bentuk CBDC, namun statusnya bukan merupakan alat pembayaran yang sah (legal tender).

Kata kunci: Uang Digital, Central Bank Digital Currency (CBDC), Alat Pembayaran Yang Sah

Abstract:

Recently, the development of technology and business model innovations has had a significant influence on way

to transfer the value of money or the way to do payment process. In fact, lately there are some parties that use technology

and innovation to produce something that is claimed to be a means of payment of goods or services. This is marked by

the emergence and development of various private digital currency that utilize technology called DLT or blockchain. This

condition encourages many central banks to review the issuance of the Central Bank Digital Currency (CBDC) and the

opportunity to use its supporting technology. The issuance of CBDC by Bank Indonesia as central bank in Indonesia can

be carried out through two legal bases, that is, Currency Law and Bank Indonesia Law. If CBDC needs to be established

and issued by Bank Indonesia as additional legal tender, now its issuance and enforcement have no legal basis. To

legitimize the determination and the issuance of CBDC as a legal payment instrument (legal tender), it is necessary to

amend the prevailing Currency Law which limits the type of rupiah, that is, Rupiah Banknotes and Rupiah Coin. On the

other hand, based on provisions within Bank Indonesia Law, Bank Indonesia may determine and issue other payment

instrument to be used within community in the form of CBDC, but its status is not as legal tender.

Keywords: Digital Currency, Central Bank Digital Currency (CBDC), Legal Tender

69

IMPLIKASI DARI CENTRAL BANK DIGITAL CURRENCYMENURUT HUKUM INDONESIA

Ditulis oleh:

Doharman Sidabalok, Chandra Herwibowo1

[email protected], [email protected]

1 Tim Analis pada Divisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum Bank Indonesia.

Page 77: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi dan model bisnis akhir-

akhir ini telah menghasilkan banyak produk inovatif

dalam sektor pembayaran. Inovasi tersebut dapat

dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori yaitu:

(i) wrappers; (ii) mobile money; (iii) credit and local

currency; (iv) digital currency. Inovasi-inovasi

tersebut mendorong terjadinya perubahan besar

dalam lingkungan pembayaran retail, termasuk

semakin berkurangnya penggunaan uang tunai.

Guna dapat menjalankan tugas dalam situasi

lingkungan yang berubah tersebut, bank sentral

perlu memonitor perkembangan terbaru dan

mempelajari implikasinya.2 Dari empat kategori

inovasi tersebut, salah satu yang menarik perhatian

publik akhir-akhir ini adalah digital currency.

Di antara jenis digital currency yang beredar di

masyarkat yang banyak menarik perhatian publik

adalah Bitcoin, Litecoin dan Riple.

Perbedaan utama antara digital currency dengan

mata uang lokal adalah bahwa nilai tukar antara

digital currency dengan mata uang lainnya tidak

tetap. Digital currency saat ini tidak diterima secara

luas sebagai alat tukar. Popularitasnya sebagian

besar timbul dari kegunaannya sebagai suatu aset

(as an asset class). Dengan demikian, keberadaannya

lebih memiliki kesamaan dengan komoditas seperti

emas, dibanding dengan uang.

Generasi uang elektronik terbaru yang sering

disebut digital currency atau virtual currency

memunculkan concern bagi bank sentral, sistem

keuangan dan ekonomi. Contohnya, digital

currencies private, jika diterima secara luas dalam

proses pembayaran, dapat secara substansial

mengurangi permintaan terhadap uang kertas

dan bahkan account deposits pada bank-bank.

Oleh karena itu, menjadi penting bagi bank setral

untuk mencermati akibat dari perkembangan ini

antara lain pada: (i) penghasilan bank (seigniorage)

dan operasi kebijakan moneter; (ii) keamanan dan

efisiensi sistem pembayaran; (iii) kebijakan untuk

stabilitas keuangan. Yang tidak kalah penting, BI

sebagai bank sentral perlu menilai perannya dalam

menyikapi perkembangan ini, termasuk apakah

akan mengatur digital currency atau

mengembangkan digital currency-nya sendiri.3

B. Permasalahan

Saat ini sejumlah bank sentral sedang mengeksplor

kemungkinan penerbitan Central Bank Digital

Currency (CBDC) dengan menggunakan

distributed ledger technology (DLT) yang telah

dimanfaatkan oleh beberapa pihak dalam

menerbitkan dan operasi digital currency. Bank

Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia juga

berkepentingan untuk mengkaji apakah penerbitan

dan implementasi CBDC berdasarkan undang-

undang yang berlaku memenuhi syarat untuk

melengkapi macam mata uang Rupiah yang telah

ada dan berlaku di Indonesia yaitu uang Rupiah

kertas dan uang Rupiah logam.

Pokok pertanyaan yang melandasi penulisan artikel

ini adalah jika Bank Indonesia akan menerbitkan

atau mengimplementasikan CBDC, apakah

kerangka hukum yang berlaku saat ini di Indonesia

dapat melegitimasi penerbitan dan implementasi

CBDC di Indonesia? Hal yang dikritisi dalam artikel

ini terutama menyangkut apakah CBDC secara

yuridis dapat dianggap sebagai mata uang sebagai-

mana dimaksud dalam UU Mata Uang dan apakah

ketentuan dalam UU Bank Indonesia dan UU Mata

Uang dapat dianggap sebagai dasar penerbitan

dan pengelolaan CBDC ?

70

2 Ben S. C. Fung and Hanna Halaburda, Central Bank Digital Currencies:A Framework for Assessing Why and How, Staff Discussion Paper/Documend'analyse du personnel 2016-22, Bank Canada, November 2016, hal.1. 3 Ibid.

Page 78: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Di samping mencermati ketentuan dalam UU Bank

Indonesia dan UU Mata Uang, model penerbitan

CBDC juga menjadi obyek pembahasan. Selain

itu, dalam artikel ini juga dibahas kemungkinan

penerbitan penyediaan sistem pembayaran dengan

CBDC dikaitkan dengan ketentuan anti monopoli

dan persaingan usaha, ketentuan perlindungan

konsumen dan ketentuan perpajakan. Hal lainnya

yang diungkap dalam artikel ini adalah apabila

Bank Indonesia melakukan penerbitan CBDC dan

menatausahakan data pemegang rekening CBDC

di Bank Indonesia apakah ketentuan Undang-

Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Pencegahan

dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian

Uang (UU PPTPU) berlaku bagi Bank Indonesia ?

II. GAMBARAN UMUM CBDC

A. Pengertian Digital Currency

Uang tradisional yang dinilai dengan mata uang

tertentu, mencakup uang kertas, uang logam dan

berbagai jenis representasi uang elektronik

(e-money), seperti simpanan di bank sentral dan

bank komersial. Meskipun mata uang digital

(digital currency) yang dikeluarkan para

pengembangnya (private digital currency) mungkin

memenuhi konsep umum dari e-money, namun

secara legal private digital currency tidak memenuhi

definisi e-money. Sebagai contoh, untuk dapat

dikategorikan sebagai e-money secara legal nilai

yang disimpan dalam perangkat elektroniknya

dan dapat ditransfer harus memiliki denominasi

mata uang satu negara, sementara sebagian besar

private digital currency tidak didenominasi dalam

mata uang negara, melainkan dalam unit nilai

mereka sendiri.4

Dalam publikasi beberapa lembaga internasional

digital currency atau virtual currency telah

didefinisikan, antara lain sebagai berikut.5

• Menurut European Central Bank (2012): “virtual

currency is a type of unregulated, digital money,

which is issued and usually controlled by its

developers, and used and accepted among

the members of a specific virtual community”.

Dalam perkembangannya European Central

Bank (2015), memberikan pendapat bahwa

“virtual currency can therefore be defined as

a digital representation of value, not issued

by a central bank, credit institution or e-money

institution, which, in some circumstances, can

be used as an alternative to money.”

• The Financial Action Task Force (FATF, 2014)

menulis bahwa “digital currency can mean a

digital representation of either virtual currency

(non-fiat) or e-money (fiat)”.

• CPMI - BIS (2015) menyebutkan karakteristik

digital currency yaitu “typically do have some,

but not all the characteristics of currency, and

have characteristiscs of a commodity or other

asset.” Pada laporan sebelumnya, BIS

menggunakan istilah virtual currency sebagai

“uang” yang digunakan pada komunitas virtual

(BIS, 2014). Dalam artikel berjudul Central

Bank Cryptocurrencies yang dipublikasi BIS

pada bulan September 2017 disebutkan 3

(tiga) karakteristik kunci dari cryptocurrencies

atau digital currencies yaitu: they are electronic,

are not the liability of anyone; and feature

peer-to-peer exchange”. Dari karakteristik dasar

tersebut, karakteristik yang dimiliki uang hanya

karakteristik peer-to-peer exchange.

71

4 Sumber: Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank DigitalCurrency dan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 15.

5 European Central Bank, Virtual Currency Scheme - A Further Analysis,February 2015.

Page 79: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

• International Monetary Fund mendefinisikan

virtual currency sebagai “digital representation

of value, issued by private developers and

denominated in their own of unit account”.

Selanjutnya disebutkan bahwa “Virutal

Currencies can be obtained, stored, accessed,

and transacted electronically, and can be used

for a variety of purposes, as long as the

transacting parties agree to use them. The

concept of virtual currencies covers a wider

array of “currencies,” ranging from simple IOUs

of issuers (such as Internet or mobile coupons

and airline miles), Virtual currencies backed by

assets such as gold and “cryptocurrencies” such

as Bitcoin.”6

Dari berbagai definisi private digital currency

menurut lembaga internasional tersebut tampak

adanya persamaan yang mempersepsikan digital

currency atau virtual currency sebagai suatu mata

uang digital yang tidak di-back-up oleh fiat atau

sovereign currency karena memiliki standar nilai

sendiri.

Di balik inovasi private digital currency, terdapat

beberapa hal yang meningkatkan perhatian bank

sentral sebagai otoritas penerbit legal tender

terhadap private digital currency, antara lain sebagai

berikut:7

- Private digital currency tidak di back-up

sovereign currency negara manapun, sehingga

memiliki risiko kredit dan ketidakpastian aspek

legalitas bagi anggota masyarakat yang

memilikinya;

- Umumnya private digital currency bersifat

anonymous yang berpotensi dapat

dimanfaatkan untuk tindak pidana pencucian

uang, pendanaan terorisme, pengemplangan

pajak, dan lain-lain; dan

- Perkembangan private digital currency

menyebabkan adanya pengedaran uang di

luar bank sentral dalam jumlah signifikan yang

berpotensi mempengaruhi peran bank sentral

penerbit legal tender, efektivitas kebijakan

moneter, dan stabilitas sistem keuangan.

Inovasi dan karakter tersebut di atas mendorong

beberapa bank sentral untuk mempelajari,

mengekspolari dan bahkan melakukan uji coba

kemungkinan penerbitan dan pemberlakuan digital

currency yang dikembangkan oleh bank sentral

yang kemudian dikenal dengan istilah Central

Bank Digital Currency (CBDC).

B. Konsep CBDC di Berbagai Negara

1. Upaya memperkenalkan dan menerapkan

CBDC oleh Bank of England

Dalam Staf Working Paper yang dipublikasi

Bank of England pada bulan Juli 2016 digital

currency didefinisikan “as any electronic form

of money, or medium of exchange, that

features a distributed ledger and a decentralised

payment system.” Sebagai perbandingan,

disebutkan bahwa “existing electronic payment

systems are tiered and therefore centralised,

with central banks typically at their centre”.

Dalam kajian awal di tahun 2014, Bank of

England telah mencoba mengenali berbagai

aspek private digital currency, terutama

mendalami aspek teknis bitcoin sebagai salah

satu jenis cryptocurrency dan penggunaan

teknologi blockchain/DLT untuk pencatatan

transaksi.

Dari pendalaman awal tersebut, Bank of

England melihat bahwa keberadaan

cryptocurrency atau private digital currency

masih belum signifikan jumlah peredarannya

sehingga risiko terhadap stabilitas sistem

keuangan masih rendah. Dampak yang lebih

signifikan diperkirakan dapat terjadi apabila

72

6 IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond : InitialConsideration.

7 Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 34, 2016.

Page 80: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

jumlah pemakaian sudah cukup besar sehingga

terdapat risiko terhadap stabilitas moneter dan

juga risiko stabilitas sistem keuangan apabila

terjadi market crash. Bank of England juga

mengantisipasi bahwa DLT merupakan inovasi

teknologi yang memungkinkan sistem

pembayaran berjalan tanpa membutuhkan

adanya central authority (saat ini fungsi tersebut

dilakukan bank dan lembaga pendukung jasa

sistem pembayaran termasuk sistem

pembayaran). Selanjutnya, Bank of England

bekerja sama dengan University College London

untuk mengembangkan Central Bank Digital

Currency (CBDC) dalam format cryptocurrency

oleh bank sentral yang dikenal dengan nama

RSCoin (Danezis & Meiklejohn, n.d).8 Dalam

konsep RSCoin yang dikembangkan, perbedaan

utama dengan cryptocurrencies tradisional

adalah monetary supply yang terpusat, dimana

setiap unit mata uang diterbitkan oleh bank

sentral. Selain itu, RSCoin juga menyediakan

manfaat ledger transaksi yang transparan,

dimana bank sentral mendelegasikan otoritas

untuk memvalidasi transaksi ke sejumlah

institusi yang disebut mintettes.

Tidak seperti private digital currency yang

proses penerbitannya tersebar pada para

anggota komunitasnya, konsep digital currency

yang diuji coba Bank of England menggunakan

DLT tetapi menganut pola terpusat atau

tersentralisasi dalam penerbitannya. Dalam

penelitian yang dilakukan Bank of England,

CBDC dirumuskan sebagai “a universally

accessible and interest-bearing central bank

liability, implemented via distributed ledgers,

that competes with bank deposits as medium

of exchange”. Lebih lanjut ditegaskan bahwa

dengan CBDC, Bank of England mengacu

pada suatu bank sentral yang memberikan

denominasi mata uang nasional yang bersifat

universal, elektronik, dapat digunakan setiap

saat dan yang dapat dicek bunganya pada

neracanya.

2. Upaya memperkenalkan dan menerapkan

CBDC oleh Bank of Canada

Untuk mengetahui implikasi pemanfaatan

fintech dan DLT terhadap tugas Bank of Canada

sebagai bank sentral di bidang moneter,

pengedaran uang dan stabilitas keuangan

serta kemungkinan fintech digunakan untuk

pelaksanaan tugas lain, pada bulan Juni 2016

Payment Canada9 bersama Bank of Canada,

R310 dan beberapa bank komersial di Canada

anggota konsorsium R3 memulai suatu proyek

uji coba yang disebut dengan Proyek Jasper.11

Proyek Jasper adalah sebuah pekerjaan untuk

mengeksplor kemungkinan penerbitan, transfer

dan penyelesaian aset bank sentral dengan

menggunakan jaringan distributed ledger.12

Eksplorasi tersebut difokuskan pada sistem

pembayaran berskala besar (Large Value

73

8 Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 18.

9 Payment Canada adalah sebuah lembaga yang mewakili sistem pembayarandi Kanada yang ditunjuk oleh Bank of Canada dan bertanggung jawabatas insfrastruktur kliring dan setelmen, proses dan pokok pengaturandari transaksi sistem pembayaran di Kanada.

10 R3 adalah konsorsium internasional yang bertujuan mengembangkanpenerapan aplikasi DLT terhadap sektor keuangan. Di antara bank-bankdi Kanada dalam konsorsium R3 adalah BMO Bank of Montreal, CanadianImperial Bank of Commerce, HSBC, National Bank of Canada, Royal Bankof Canada, Scotiabank dan TD Canada Trust. Ketujuh lembaga tersebutjuga anggota dari Payments Canada, dan mereka semua merupakanpeserta LVTS (Large Value Transfer System). Lihat: James Chapman, dkk.,Project Jasper: Are Distributed Wholesale Payment System Fasicle Yet?Lihat catatan kaki nomor 7 pada hal. 3.

11 Pada tanggal 11 Mei 2017, Tim Bank Indonesia berdiskusi langsungdengan salah satu pejabat Bank of Canada yang terlibat dalam ProjectJasper yaitu Scott Hendry.

12 Dalam bahan presentasi yang disajikan Scott Hendry pada forum DiskusiTim BI dengan Tim Bank of Canada pada tanggal 11 Mei 2017 ditulisbahwa Project Jasper adalah “An ongoing collabaration initiated byPayments Canada and the Bank of Canada to explore the possibility ofissuing, transferring and settling central bank-issued assets on a distributedledger network”.

Page 81: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Transfer System/LTVS).13 Sistem pembayaran ini

disebut juga sebagai CADcoin atau settlement

coin.14 Tujuan Proyek Jasper pada awalnya

adalah membangun suatu sistem konsep

(proof-of-concept system) tanpa ada maksud

untuk meningkatkannya ke level produksi

(a production-level system) yang menghasilkan

suatu penyelesaian aset yang dikeluarkan dan

dikontrol oleh suatu bank sentral.15

Tim Pelaksana Proyek Jasper di Bank of Canada

menilai bahwa salah satu pelajaran penting

dari proyek tersebut adalah bahwa versi

distributed ledger yang tersedia saat ini tidak

dapat memberikan suatu keuntungan bersih

yang menyeluruh dibanding dengan sistem

pembayaran interbank yang terpusat yang ada

saat ini. Sistem pembayaran skala besar utama

berfungsi cukup efisien. Namun dari segi

efisiensi penghematan rekonsiliasi back-office

dan peningkatan interaksi dengan ekosistem

infrastruktur pasar keuangan, terdapat manfaat

yang lebih besar bagi peserta sistem pembayaran

dan bagi keseluruhan sistem keuangan dari

sebuah sistem pembayaran skala besar berbasis

DLT.16

Pada saat kajian mengenai CBDC ini ditulis,

proyek Jasper sudah melalui 2 (dua) tahap

pelaksanaan. Pada tahap pertama Proyek

Jasper, peserta membangun satu settlement

capability pada suatu platform Ethereum.

Hasilnya menunjukkan suatu kemampuan

untuk mempertukarkan suatu penyelesaian

asset antara para peserta. Uji coba tersebut

kemudian disempurnakan pada tahap kedua

yang berakhir pada bulan Juni 2017. Pada tahap

kedua Proyek Jasper, yang menggunakan pada

platform Corda, dibangun suatu mekanisme

penghematan likuiditas (a liquidity-saving

mechanism/LSM) yang memungkinkan para

peserta mengkoordinasikan pembayaran yang

dilakukan untuk mengurangi kebutuhan

likuiditas. Sebagai bagian dari tahap kedua

Proyek Jasper, para peserta menyiapkan white

paper yang lebih panjang, yang

menggambarkan implikasi teknik dan kebijakan

dari pekerjaan tersebut.17

Proyek Jasper memberikan pemahaman

penting tentang bagaimana satu bank sentral

dan lembaga keuangan yang menggunakan

suatu sistem penyelesaian pembayaran antar

bank pada distributed ledger. Proyek tersebut

juga menawarkan pemahaman tentang cara

memfungsikan sistem pembayaran skala besar

dengan menggunakan plaform DLT yang

berbeda dan bagaimana fitur sistem

pembayaran modern, seperti keadaan antri

(queues) dapat diciptakan untuk meningkatkan

efisiensi dengan mengurangi kebutuhan

jaminan. Akhirnya, pengembangan satu

prototype meningkatkan kesadaran akan

potensi risiko yang dapat terjadi dari sistem

berbasis DLT dan bagaimana risiko tersebut

dapat dikurangi.

74

13 James Chapman, Rodney Garratt, Scott Hendry, Andrew McCormackand Wade McMahon, Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystem Fasicle Yet?, hal. 3 termasuk catatan kaki nomor 7.

14 Carolyn Wilkins, Project Jasper: Lessons From Bank of Canada's FirstBlockchain Project, Published on February 10, 2017, hal. 2. Sumber:http://www.coindesk.com/projec-jasper-lessons-bank-of-canada-bl.

15 James Chapman, dkk., Op. cit., hal. 3.

16 James Chapman, dkk., Op. cit., hal. 4.

Settlement using Settlement using

Project JASPERPhase II

Project JASPERPhase I

Tahapan yang sudah dilalui PROJECT JASPER

17 James Chapman, dkk. , Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystem Feasible Yet?, hal. 3.

Page 82: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

3. Uji coba CBDC (Dinero Electronico) oleh Bank

of Ecuador

Dalam kerangka The National Good Living

Plan 2013-2017 bank sentral Ekuador yaitu

Bank of Ecuador mengembangkan dan

memperkenalkan mekanisme pembayaran

baru yang dikenal dengan sistem pembayaran

dengan menggunakan uang elektronik berbasis

servis yang disebut Sistema de Dinero

Electronico (Dinero Electronico). Dinero

electronico adalah metode pembayaran

elektronik yang diperkenalkan dan ditangani

secara khusus oleh Bank of Ecuador dengan

denominasi dalam dollar Amerika Serikat.

Hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam

Undang-Undang Keuangan dan Moneter Dasar

(Fundamental Monetary and Financial Code).

Uang elektronik tersebut dapat dipertukarkan

melalui peralatan elektronik, telepon seluler,

alat elektromagnetik, kartu pintar, komputer

dan alat lainnya. Hal ini diatur dalam Resolution

No.005-2014-M of the Monetary and Financial

Policy and Regulation Board.18 Sistem ini

memungkinkan pembayaran dalam dolar

Amerika Serikat melalui telepon seluler tanpa

internet atau sebuah rekening pada lembaga

keuangan. Uang elektronik diharapkan bekerja

sebagai sebuah metode atau alat pembayaran

di luar alat pembayaran yang beredar sah dan

digunakan dengan tingkat kepercayaan yang

tinggi dari seluruh warga negara, yang dapat

ditukar menjadi uang tunai setiap saat. Sistem

pembayaran dinero electronico ini

memungkinkan warga Ekuador melakukan

akses pada beberapa layanan jasa keuangan.

Kebijakan Bank of Ecuador memperkenalkan

sistem uang elektronik (dinero electronico) ini

dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Sucre

akibat krisis keuangan dan hiperinflasi yang

tercatat hingga 107.87% pada bulan

September 2000. Saat itu, Pemerintah Ekuador

memutuskan untuk melakukan dolarisasi

(menggunakan dollar Amerika Serikat) dalam

sistem moneternya (H., 2012). Penggunaan

dollar Amerika Serikat sebagai alat pembayaran

yang sah di Ekuador membawa konsekuensi

bahwa Bank of Ecuador menanggung beban

biaya manajemen uang yang besar untuk

mempertahankan persediaan dollar di negara

tersebut dan dalam memperbaharui uang

dollar kertas yang lusuh. Jika Dinero Electronico

semakin luas digunakan dan diterima, beban

manajemen uang tunai Pemerintah akan

berkurang, di sisi lain cadangan devisa Bank

of Ecuador secara potensial akan meningkat.

Beberapa hal penting terkait sistem pembayaran

dinero electronico:19

a. Uang Dinero Electronico tidak

menggantikan penggunaan dollar Amerika

Serikat di Ekuador. Nilainya adalah

merupakan penggantian dari jumlah dollar

yang sama yang disimpan di Bank of

Ecuador yang dapat ditransfer kepada

pengguna lainnya melalui alat elektronik.

Di dalam Pasal 94 Undang-Undang

Moneter Baru Ekuador ditegaskan bahwa

semua transaksi keuangan dan moneter

di Ekuador wajib dilakukan dalam mata

uang dollar Amerika Serikat.

b. Uang Dinero Electronico bukan merupakan

mata uang baru atau yang setara, dan uang

elektronik tidak dapat dibandingkan dengan

mata uang digital yang populer seperti

bitcoin. Dinero electronico lebih tepat

disebut sebagai sebuah sistem pembayaran

75

18 Lihat Website Bank Sentral Ekuador:Https://www.bce.fin.ec/en/index.php/electronic-money-system.

19 Embajada Del Ecuador, Wednesday 3 Mei 2017:http://eeuu.embajada.gob.ec/10-things-to-know-about-ecuadors-electronic-payment-system-s/.

Page 83: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

yang diimplementasikan Bank of Ecuador

yang sama dengan sistem dompet

elektronik yang diterapkan di beberapa

negara di dunia. Dengan pemberlakuan

dinero electronico, tidak ada uang baru

yang diciptakan. Dinero electronico yang

diterapkan lebih merupakan sebuah

metode atau alat baru dan yang lebih

murah untuk menyimpan dan mentransfer

uang yang telah ada dalam bentuk dollar

Amerika Serikat.

c. Sistem pembayaran dinero electronico di-

atur dengan Kitab Organik Keuangan dan

Moneter Ekuador (Ecuador's Monetary and

Financial Organic Code), yang mensyaratkan

uang digital 100% di-backup oleh aset

lancar. Artinya bahwa untuk setiap dollar

digital yang diciptakan harus disertai

dengan keberadaan fisik dollar Amerika

Serikat yang disimpan di Bank of Ecuador.

d. Sistem pembayaran dinero electronico

terbuka bagi seluruh warga Ekudador,

lembaga swasta dan publik. Hal tersebut

sesuai ketentuan yang berlaku di Ekuador

yang menjamin bahwa setiap warga

negara, terlepas dari status ekonomi dan

sosialnya dapat membuka rekening dinero

electronico dan memiliki akses pada layanan

keuangan elektronik. Sistem ini disediakan

untuk pembayaran atau transaksi retail

yang nilainya kecil. Oleh karena itu, sistem

penyelesaian pembayaran bernilai besar

seperti RTGS dan kliring nasional tetap

disediakan.

e. Pembayaran yang dilakukan oleh

pemerintah atau organisasi swasta yang

menggunakan sistem dinero electronico

wajib di-backup dengan jumlah dollar

Amerika Serikat yang sama yang disimpan

di Bank of Ecuador. Dalam praktek, para

pengguna harus menyimpan dollar Amerika

Serikat di Bank of Ecuador yang akan dapat

dibelanjakan oleh para penyimpannya

secara elektronik.

f. Sistem pembayaran dinero electronico

diharapkan dapat mengurangi tingkat

kemiskinan melalui pengurangan biaya

transfer dana dan penyediaan sarana bagi

orang yang belum pernah berhubungan

dengan bank terutama di pelosok, untuk

dapat melakukan akses yang lebih besar

ke pasar tenaga kerja, program Pemerintah,

dan kemampuan dagang yang sustain

dibanding dengan yang telah dimiliki

sebelumnya.

g. Penggunaan sistem pembayaran dinero

electronico di Ekuador diharapkan dapat

mendorong penciptaan jaringan ekonomi

baru antar segmen ekonomi yang sedang

berusaha memperluas pangsa pasar akibat

kurangnya jasa perbankan.

Selain itu, beberapa hal lain yang tidak kalah

penting mengenai penggunaan dinero

electronico diuraikan di bawah ini.

a. Bank of Ecuador dalam menjalankan

tugasnya pada dasarnya tidak menawarkan

jasa atau melakukan kegiatan layanan

perbankan retail. Namun, untuk kepentingan

umum yaitu untuk kepentingan sistem

pembayaran di Ekuador, nasabah dapat

membuka rekening dinero electronico

di Bank of Ecuador. Bank of Ecuador

menjadikan dirinya sebagai satu-satunya

penerbit uang elektronik di Ekuador.

b. Rekening dinero electronico di Bank of

Ecuador dapat dibuka dari jarak jauh

dengan menggunakan layanan perusahaan

telepon seluler dan nomor identitas

nasional. Semua biaya diatur oleh Bank of

Ecuador. Sebuah website yang menjelaskan

76

Page 84: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

jasa yang ditawarkan, harga, lokasi agen

disediakan bagi nasabah. Penentuan

distribusi uang elektronik merupakan usaha

bersama sektor publik dan swasta. Oleh

karena itu, koperasi keuangan, badan kredit

(credit union), jaringan pembayaran dan

operator media lokal mengadakan

perjanjian dengan Bank of Ecuador untuk

membangun jaringan agen. Dalam

penyelenggaraan sistem dinero electronico,

skema uang elektronik yang diterbitkan

dan diselenggarakan Bank of Ecuador,

sementar a perusahaan telekomunikasi dan

bank komersial berperan sebagai penyedia

jasa lain.

c. Dana di rekening dinero electronico yang

dibuka dan disimpan di Bank of Ecuador

tidak diberi bunga karena pembukaan dan

keberadaan rekening tersebut merupakan

amanat undang-undang.

d. Walaupun dinero electronico diperkenalkan

Bank of Ecuador dan telah diterapkan dalam

proses distribusi tunjangan Pemerintah

kepada masyarakat dan dalam akitivitas

ekonomi sejumlah warga Ekuador telah

memanfaatkannya, banyak warga Ekuador

belum mengetahui dinero electronico.

Menurut pihak Bank of Ecuador, hal tersebut

disebabkan adanya perbedaan kepentingan

ekonomi dan politik beberapa pihak di

pemerintahan dan parlemen Ekuador atas

kebijakan penerapan dinero electronico.

e. Penggunaan dinero electronico tidak dapat

dipaksakan kepada masyarakat karena

berdasarkan undang-undang yang mengatur

mengenai uang elektronik, pembukaan

rekening dalam rangka penggunaan dinero

electronico bersifat sukarela.

f. Dalam rangka pencegahan pencucian uang

dalam penggunaan dinero electronico,

Bank of Ecuador melakukan monitoring

terhadap transaksi yang mencurigakan.

4. The Riksbank's E-Krona Project

Tentang kemungkinan untuk mengeluarkan

CBDC sebagai pelengkap uang kertas dan

uang logam yang diterbitkan bank sentral dan

apakah pelengkap tersebut dapat mendukung

bank sentral tersebut dalam mempromosikan

sistem pembayaran yang aman dan efisien

juga dilakukan Bank Sentral Swedia (Sveriges

Riksbank) baru-baru ini. CBDC yang

dipertimbangkan sebagai pelengkap uang

tunai tersebut dinamakan “E-krona”. Oleh

karena itu, proyek pengkajian dan uji coba

yang dilakukan mengenai hal tersebut

dinamakan Proyek E-krona.

Proyek E-krona diharapkan dapat menjawab

berbagai masalah yang mungkin timbul di

bidang pembayaran pada masa yang akan

datang terkait dengan penggunaan uang tunai

yang semakin menurun di Swedia. Pengkajian

tentang penerbitan dan penggunaan E-krona

ini merupakan respon atas tren digitalisasi

pada masyarakat Swedia yang didorong oleh

sektor swasta, serta dikonsolidasikan di antara

sejumlah kecil peserta komersial, layanan

pembayaran, dan infrastruktur. Dengan sistem

pembayaran menggunakan E-krona, masyarakat

umum/publik Swedia diberi kesempatan untuk

memperoleh, memiliki dan menggunakan

E-krona yang akan diterbitkan dan dijamin

negara atau pemerintah Swedia. Selain itu,

para penyedia layanan sistem pembayaran

juga akan terhubung dengan sistem E-krona.

Namun dalam jangka panjang, konsentrasi ini

dapat menahan daya saing dalam pasar yang

membuat masyarakat menjadi rentan.20

77

20 Presentasi Eva Julin, Project Manager E-Krona Project / Deputy HeadGeneral Secretariat Sveriges Riksbank, dalam forum diskusi dengan DHKpada tanggal 2 November 2017, di Sveriges Riksbank-Stockholm Swedia.

Page 85: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Adapun yang melatarbelakangi proyek E-Krona

yang dilaksanakan Bank Sentral Swedia

(Sveriges Riksbank) adalah bahwa selama abad

ke-21 bank sentral tersebut telah mengamati

dan mencatat bahwa penggunaan uang kartal

di Swedia menurun sangat drastis. Sementara,

pada saat yang bersamaan pembayaran

dengan menggunakan kartu mengalami

peningkatan. Dalam beberapa tahun terakhir,

pembayaran menggunakan SWISH yaitu

layanan pembayaran mobile secara real time

bagi masyarakat Swedia (Swedish real time

mobile payment service) menjadi semakin

meningkat. Proporsi pembayaran tunai di

sektor ritel semakin turun dari hampir 40

persen di tahun 2010 menjadi sekitar 15 persen

di tahun 2016. Menurut survei yang dilakukan

di Swedia, dua pertiga konsumen mengatakan

bahwa mereka dapat mengelola pembayaran

tanpa uang tunai, rata-rata pembayaran non

tunai (menggunakan kartu) dilakukan untuk

pembayaran yang nilainya di bawah SEK 100

(Swedia Krona). Diperkirakan di masa yang

akan datang Swedia akan menjadi negara

di mana uang tunai tidak lagi diterima secara

umum.

E-krona dapat menjadi sebuah sarana

pembayaran yang dijamin pemerintah tanpa

adanya risiko kredit dan tersedia bagi

masyarakat umum dalam bentuk uang digital

sebagai pelengkap uang tunai yang saat ini

masih beredar. Uang digital E-krona juga dapat

dianggap sebagai modernisasi alat pembayaran

yang dikeluarkan Sveriges Riksbank saat

masyarakat tidak memiliki keinginan untuk

menggunakan uang kertas dan logam lagi

dalam melakukan pembayaran barang

dan/atau kegiatan menabung.

E-krona memiliki karakteristik: (a) ditentukan

dalam unit mata uang nasional, Krona Swedia

(SEK); (b) merupakan klaim pada bank sentral

(Riksbank); (c) tersedia dalam bentuk elektronik

secara real-time atau mendekati real-time (24

jam sehari dalam setiap tahun); dan (d) tersedia

untuk masyarakat umum, dimana dalam hal

ini lebih luas cakupannya daripada simpanan

di bank sentral yang hanya dapat dimiliki oleh

bank saja.

Beberapa potensi masalah atas penerbitan dan

penggunaan E-krona dalam sistem pembayaran

di kemudian hari yang diidentifikasi tim proyek

E-krona yaitu:

a) E-krona yang merupakan alat pembayaran

digital, tidak seperti uang tunai yang bersifat

fisik. Masyarakat yang ingin menggunakan

uang tunai mungkin akan terus memilih

uang tunai dibandingkan E-krona di masa

depan. Oleh karena itu, sulit untuk saat ini

melakukan penilaian bagaimana E-krona

dapat memberi dampak terhadap

penggunaan uang tunai di masa depan;

b) Sesuai sifat digitalnya, kecil kemungkinan

E-krona dapat berkontribusi mengurangi

masalah yang dialami beberapa kelompok

konsumen dan perusahaan saat terjadinya

penurunan penggunaan uang tunai. Di sisi

lain, Riksbank dapat menciptakan kondisi

bagi peserta lain untuk mengembangkan

layanan pembayaran yang disesuaikan

dengan kelompok tertentu di masyarakat

atau bahkan mendanai pengembangannya

sampai dengan batas tertentu.

Tugas Bank Sentral Swedia (Sveriges Riksbank)

mengenai pencetakan uang diatur dalam

Sveriges Riksbank Act. Ketentuan mengenai

tugas pencetakan uang yang diatur dalam

Sveriges Riksbank Act dianggap tidak sesuai

lagi dengan kondisi saat ini karena tidak

menyebutkan kewenangan bank sentral

tersebut menerbitkan alat pembayaran digital.

78

Page 86: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

C. CBDC Versus Legal Tender

1. Memahami status CBDC sebagai legal tender

Legal tender selama ini hanya dipahami secara

umum sebagai alat pembayaran yang sah,

namun mengenai definisi legal tender ini tidak

terdapat keseragaman. Beberapa definisi legal

tender dikemukakan berikut ini.

i. Dalam Black's Law Dictionary, legal tender

adalah uang (kertas dan logam) yang diakui

di suatu negara untuk pembayaran hutang,

pembelian barang, dan pertukaran nilai

lainnya (the money (bills and coins) apporved

in a country for the payment of debts, the

purchase of goods, and other exchanges

for value).21

ii. Menurut Oxford Dictionary, legal tender

berarti koin atau uang kertas yang menurut

hukum tidak dapat ditolak dalam

pembayaran hutang (Coins or banknotes

that must be accepted if offered in payment

of a debt).22

iii. Dalam kamus Merriam Webster legal tender

berarti “money that is legally valid for the

payment of debts and that must be

accepted for that purpose when offered”.23

iv. Dalam Coinage Act of 1965 US ditulis legal

tender adalah “United States coins and

currency (including federal reserve notes

and circulating notes of federal reserve

banks and national banks) are legal tender

for all debts, public charges, taxes and

dues. With respect to private transactions,

this has been construed to apply only to

payment for debts when tendered to a

creditor”24

Rumusan definisi legal tender dapat berbeda

di setiap negara. Di beberapa negara, dengan

legal tender debitur dapat mengajukan "tender"

yang valid - yaitu, mengambil langkah-langkah

yang diperlukan untuk menyelesaikan

pembayaran - namun tidak ada kewajiban

pihak kreditur untuk menerima tender tersebut.

Seorang kreditur, bagaimanapun, akan dilarang

memulihkan hutang di pengadilan, jika dia

menolak untuk menerima “tender” yang valid.

Di negara lain, keadaan bisa sebaliknya yaitu

melanggar hukum jika menolak legal tender

dalam pembayaran.

Mengenai definisi legal tender di wilayah Eropa,

Komisi Eropa mengadopsi sebuah rekomendasi

pada tahun 2010 bahwa konsep legal tender

harus memenuhi 3 (tiga) elemen utama25 26:

(i) Adanya kewajiban menerima uang kertas

dan uang logam yang diterbitkan

(mandatory acceptance of banknotes and

coins);

(ii) Dengan nilai nominal penuh atau sama

dengan yang tercatat pada uang kertas dan

uang logam (for their full face value); dan

(iii) Mempunyai kekuatan untuk melunasi

hutang (with a power to discharge debt).

Di Kanada legal tender mencakup banknotes

yang dikeluarkan oleh Bank of Canada dan

uang logam yang dikeluarkan The Royal

Canadian Mint. Undang-undang Bank Sentral

memberikan mandat kepada Bank of Canada

sebagai satu-satunya pihak yang berwenang

mengeluarkan banknotes di Kanada. Istilah

legal tender di Kanada menggambarkan uang

yang disetujui untuk membayar hutang atau

menyelesaikan transaksi komersial. Kondisi ini

79

21 Brian A. Garner, Black's Law Dictionary, New Pocket Edition, hal. 371.

22 https://en.oxforddictionaries.com/definition/legal_tender, diakses tanggal24 Oktober 2017.

23 www.merriam-webster.com, diakses tanggal 10 Agustus 2017.

24 Coinage Act of 1965 (as amended) sections 31 U.S.C 5103, United States,Treasury Of Departement, www.treat.gov/education/faq's/currency.

25 IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond: InitialConsiderations, January 2016, hal. 16.

26 European Commision IP/10/331, Commission adopts a recommendationon the scope and effects of legal tender of euro banknotes and coins,Brussels, 22 March 2010.

Page 87: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

tidak memaksa orang untuk menerima uang

tunai sebagai pembayaran. Metode pembayaran

dalam transaksi adalah soal kesepakatan pribadi

antara pembeli dan penjual27.

Di Swedia, pengaturan mengenai legal tender

diatur dalam Sveriges Riksbank Act. Dalam

chapter 5 Art 1 The Sveriges Riksbank Act

disebutkan bahwa “Banknotes and coins issued

by the Riksbank are legal tender”. Hal ini berarti

bahwa "setiap orang wajib menerima uang

kertas dan koin sebagai pembayaran"28

Meskipun dalam Sveriges Riksbank Act diatur

bahwa setiap pihak berkewajiban untuk

menerima uang kertas dan uang logam sebagai

pembayaran, dalam praktik ada sejumlah

pengecualian dari kewajiban ini. Pengecualian

yang sering digunakan adalah melalui

kesepakatan dan kontrak/perjanjian.

Dalam kaitan ini, para pihak dapat membuat

kesepakatan yang mengatur bagaimana

pembeli suatu barang atau layanan tertentu

melakukan pembayaran. Dalam prakteknya,

cukup bagi pengusaha untuk memberi tahu

pelanggan bahwa dia tidak siap menerima

uang tunai sebagai pembayaran atas barang

atau jasanya.29

Di Amerika Serikat legal tender diatur dalam

Coinage Act of 1965 yaitu pada Section 31

US Code 5103 yang berbunyi: “United States

coins and currency (including Federal reserve

notes and circulating notes of Federal reserve

banks and national banks) are legal tender for

all debts, pbulic charges, taxes and dues.”

This statute means that all United States money

as identified above is a valid and legal offer of

payment for debts when tendered to a creditor.

There is, however, no Federal statute mandating

that a private business, a person, or an

organization must accept currency or coins as

payment for goods or services. Private

businesses are free to develop their own policies

on whether to accept cash unless there is a

state law which says otherwise.30

2. Apakah CBDC yang diuji coba di beberapa

negara ditetapkan sebagai legal tender?

Dalam sistem pembayaran dinero electronico

yang diperkenalkan dan dikembangkan Bank

of Ecuador, dinero electronico tidak

menggantikan uang dollar Amerika Serikat

sebagai legal tender di Ekuador.31 Di dalam

Pasal 94 Undang-Undang Moneter Baru

Ekuador antara lain diatur bahwa semua

transaksi keuangan dan moneter di Ekuador

wajib menggunakan mata uang dollar

Amerika.32

Pada sebuah artikel yang dipublikasi Kedutaan

Besar Ekuador di Washington DC disebutkan

bahwa dinero electronico bukan merupakan

atau setara mata uang baru. Dinero electronico

lebih tepat disebut sebagai sebuah sistem

pembayaran yang diperkenalkan dan diterapkan

Bank Sentral Ekuador. Sifatnya sama dengan

sistem dompet elektronik pada beberapa negara

lain di belahan dunia. Dengan pemberlakuan

dinero electronico, tidak ada macam uang baru

yang diciptakan. Dinero electronico merupakan

80

27 Bank of Canada, The Many Faces of Canada's Currency, September2010, hal. 1.

28 Björn Segendorf and Anna Wilbe, Does cash have any future as legaltender?, Sveriges Riksbank, No. 9 2014, hal. 2.

29 Ibid.

30 The Fed - FAQs, Is it legal for a business in the United States to refusecash as a form of payment?

31 Citi, Ecuador Country Profile, hal. 2 & OSEC, Business Network Switzerland,Ecuador Legal Provisions, Compiled by: Embassy of Switzerland, Ecuador,hal. 1.

32 Embajada Del Ecuador, Estados Unidos, 10 Things To Know AbotuEcuador's Electronic Payment System, http://www.ecuador.org/blog/?p=4148 diunduh tanggal 20 September 2017.

Page 88: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

metode pembayaran baru yang lebih murah

untuk menyimpan dan mentransfer uang dalam

dollar Amerika Serikat yang telah disimpan di

bank sentral.

Dalam Proyek Jasper yang dikaji dan diuji coba

di Bank of Canada dan dianggap sebagai uji

coba CBDC oleh Bank of Canada, Tim Peneliti

pada dasarnya menguji coba mekanisme

penyelesaian pembayaran antar bank pada

suatu jaringan distributed ledger yang

difokuskan pada uji coba DLT sebagai sistem

penyelesaian transaksi atau pembayaran atau

bagaimana cara memindahkan nilai (how to

transfer value) antar Financial Market Institution

(FMI) berdasarkan Prinsiples of Financial Market

Institutions (PFMIs). Berdasarkan PFMIs, FMI

diwajibkan menyelesaikan transaksinya dalam

uang bank sentral sedapat mungkin. Untuk

terlaksananya prinsip tersebut, instrumen yang

dipakai adalah digital depository receipt (DDR)

yang merupakan deposit dari bank-bank di

Bank of Canada. DDR atau disebut juga dengan

istilah CAD-Coin adalah sebuah representasi

digital mata uang yang dikeluarkan Bank of

Canada. Hal ini dipandang jadi satu pendekatan

untuk penggunaan uang bank sentral yang

lebih luas di masa depan. DDR dikeluarkan

dalam sistem Bank of Canada dan didukung

satu per satu dengan uang tunai yang

ditempatkan di Bank of Canada oleh peserta.

Pertukaran DDR untuk uang bank sentral berarti

tidak ada kenaikan uang beredar di sistem

perbankan.

Walaupun DDR (CAD-coin) merupakan

representasi digital dari mata uang yang

dikeluarkan Bank of Canada (CBDC), namun

pada berbagai artikel yang membahas proyek

Jasper tidak ada satupun yang menyebutkan

bahwa CAD-coin tersebut merupakan legal

tender. Hal tersebut dapat dimaklumi karena

selain sifatnya masih dalam tahap uji coba, juga

karena DDRs (CAD-coin) tersebut digunakan

oleh para peserta dalam sistem pertukaran

dan penyelesaian pembayaran antar bank.33

Dalam beberapa artikel mengenai proyek CBDC

yang dilakukan Bank Sentral Swedia (Sveriges

Riksbank) yang disebut dengan proyek E-krona

dan diksusi langsung dengan beberapa personil

pelaksana proyek E-krona, belum terdapat

pembahasan mengenai apakah E-krona yang

dikaji akan diberlakukan sebagai legal tender

atau tidak.

Jika CBDC seperti CAD-coin dan E-krona

diterbitkan hanya untuk ditransaksikan antara

bank komersial (tidak berlaku atau tidak wajib

diterima seluruh anggota masyarakat dalam

transaksi yang membutuhkan pembayaran

dengan uang yang berlaku di suatu negara),

secara yuridis status CAD-coin dan E-krona

tidak dapat disebut sebagai legal tender.

Penggunaan suatu benda atau barang bernilai

uang untuk sekelompok atau golongan

tertentu lebih tepat disebut instrumen atau

alat pembayaran. Penerbitan CBDC (mata uang

digital yang dikeluarkan bank sentral) dengan

lingkup yang terbatas (misalnya hanya untuk

bank komersial) akan menimbulkan keraguan

mengenai statusnya sebagai legal tender.

Penerbitan CBDC oleh satu bank sentral dapat

dipandang sebagai perluasan macam uang

uang kertas dan logam. Oleh karena itu, untuk

kesamaan status CBDC yang diterbitkan dengan

uang kertas dan uang logam yang berlaku

untuk seluruh anggota masyarakat, status

CBDC perlu ditegaskan sebagai legal tender

(dapat dimiliki, digunakan dan tidak dapat

ditolak oleh anggota masyarakat).

81

33 Dalam Artikel berjudul: Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystems Fasible Yet?, oleh James Chapman, dkk, ditulis: “The DDRs areused by participantss in the system to exchange and settle interbankpayments. The processing cyle of Project Jasper achieved ultimatesettlement finality on the books of the Bank of Canada after exchangingDDRs with the Bank of Canada for Canadian dollars transferrred intotheir respective settlement accounts. For all intens and purposes, theseDDRs functioned as cash in the system.” Lihat hal. 8.

Page 89: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

D. Model Penerbitan/Distribusi CBDC oleh Bank

Sentral

Dari berbagai literatur34 yang menjadi rujukan

serta diskusi dengan pakar teknologi informasi

dan moneter35, kemungkinan alternatif penerbitan

CBDC oleh bank sentral dapat dibagi menjadi dua

model, yakni:

(1) Direct Access:

Dengan model direct access, CBDC diterbitkan

bank sentral dengan jangkauan sampai ke

penduduk. Jika CBDC diterbitkan dengan

model ini, bank sentral akan menatausahakan

rekening penduduk (G to C) pemilik CBDC.

Hal ini berarti bank sentral harus menyediakan

nomor rekening, kartu ATM atau internet

banking/mobile banking agar pemiliknya dapat

melakukan aktivitas terhadap rekening seperti

mengecek saldo, melakukan transaksi atas

sejumlah dana yang dimilikinya. Selain itu, bank

sentral juga harus menerapkan prinsip anti

pencucian uang. Pola ini dapat menimbulkan

persepsi bahwa bank sentral bersaing dengan

bank komersial dalam penyediaan layanan

sistem pembayaran. Jika hal ini dilakukan,

bank sentral secara alami tidak memiliki insentif

komersial untuk melakukan inovasi dalam

layanan sistem pembayaran dan oleh karena

itu terdapat kecenderungan memberikan

layanan minimal. Memperhatikan hal tersebut,

jika CBDC hendak diterapkan pendekatan direct

access ini kemungkinan tidak akan dilakukan

oleh bank sentral.36 Mengizinkan individu dan

perusahaan swasta memiliki rekening secara

langsung di bank sentral pada dasarnya pernah

dilakukan oleh sejumlah bank sentral pada

masa lalu.37

(2) Indirect Access:

Dengan model indirect access, CBDC diterbitkan

bank sentral dengan pola pendistribusian

melalui lembaga keuangan (bank dan lembaga

selain bank). Jika hal ini jadi pilihan, bank

sentral tidak perlu menatausahakan rekening

penduduk. Kegiatan tersebut akan dilakukan

82

34 Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks ShouldStart Issuing Electronic Money, Positive Money, Januari 2016, hal 16-23.

35 Diskusi dilakukan di Yogjakarta pada tanggal 31 Juli 2017 denganmelibatkan satuan kerja DHK, DRK , DKSP dengan melibatkan pakarekonomi moneter UGM Prof. Dr. Insukindro MA dan ahli ilmu komputerProf. Dr. R. Eko Indrajid MSc.

Hal yang harus disediakan Bank Sentral• Pembukaan rekening dari bank• Sebagai sentral pemprosesan sistem

pembayaran CBDC

Rekening Bank padaBank Sentral

INDIRECT ACCESS TO ACCOUNTS AT CENTRAL BANK

Hal yang harusdisediakan Bank• Costumer Service• Payment Cards• Internat Banking• Mobile Apps

BankBankBank

BS

Hal yang harus disediakan Bank Sentral• Costumer Service• Payment Cards• Internat Banking• Mobile Apps

Jual/Beli atauPembayaran

PerpindahanSejumlah Dana

RekeningIndividu

Masyarakatpada Bank

Sentral

DIRECT ACCESS TO ACCOUNTS AT CENTRAL BANK

BS

36 Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks ShouldStart Issuing Electronic Money, Positive Money, Januari 2016, hal.16-23.

37 Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency andthe future of Monetary Policy, hal. 1.

Page 90: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

bank sentral bekerja sama dengan lembaga

keuangan (G to B). Dengan model indirect

access ini perbankanlah yang akan

menatausahakan rekening CBDC penduduk

sebagaimana mekanisme dan proses yang

selama ini berjalan.

Secara teori penerbitan CBDC dengan model

indirect acces akan memiliki kriteria/sifat antara

lain38.

• Dana CBDC yang dibayarkan/disetorkan

masyarakat kepada bank komersial akan

didata secara elektronik di bank sentral

(tidak menjadi kepemilikan pihak bank

komersial). Konteks ini sangat berbeda

dengan pola penyimpanan dana masyarakat

pada bank, dimana dengan masyarakat

menyimpan dana di bank maka dana

tersebut menjadi milik dari pihak bank.

• Mengingat kepemilikan CBDC tidak beralih

kepada bank komersial maka kondisi ini

mengakibatkan bank tidak dapat berfungsi

sebagai intermediasi perbankan

(memberikan kredit pada pihak ketiga).

• Fungsi bank komersial lebih bersifat

mengadministrasikan CBDC untuk

kepentingan bank sentral.

• Mekanisme distribusi yang lain adalah akses

tidak langsung melalui akun khusus digital

currency pada bank komersial. Dengan

mekanisme ini, bank komersial akan tetap

bertanggung jawab untuk memberikan

layanan sebagaimana halnya yang diberikan

kepada rekening tabungan yang telah ada,

seperti customer service dan pemeliharaan

rekening. Mekanisme ini mirip dengan yang

telah ada sekarang ini berupa rekening

tabungan masyarakat. Hal ini tetap

mendorong adanya kompetisi dari bank

komersial dalam memberikan layanan

terbaik bagi nasabah dan untuk selalu

berinovasi. Selain itu, kerangka pengaturan

yang ada juga telah mendukung mekanisme

ini, dimana bank sentral tidak menata-

usahakan rekening masyarakat sehingga

menghindari konflik kepentingan sebagai

regulator dan pengawas sekaligus juga

penyelenggara. Tidak kalah pentingnya

adalah penyediaan akses ini tidak

menambah beban pengelolaan nasabah

oleh bank sentral.39

III. IMPLIKASI CBDC DALAM PERSPEKTIF HUKUM

INDONESIA

A. Perspektif UU Mata Uang

Di Indonesia, kerangka hukum mengenai status

keadaan mata uang Rupiah sebagai legal tender

dan kewenangan pengedarannya oleh Bank

Indonesia sebagai bank sentral diatur dalam UU

Mata Uang. Di dalam Pasal 2 UU disebutkan:

1) Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia

adalah rupiah.

2) Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan

Rupiah logam

3) Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

disimbulkan dengan Rp.

Kemudian dalam UU Mata Uang tersebut diatur

pula mengenai kewajiban penggunaan uang rupiah

yaitu pada Pasal 21 UU Mata Uang. Berdasarkan

Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, Rupiah wajib

digunakan dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan

pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus

dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya;

yang dilakukan di wilayah negara kesatuan

Republik Indonesia.

83

39 Farida Peranginangin, dkk, Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 38-39.

Page 91: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Selanjutnya, dalam Pasal 21 ayat (2) UU Mata

Uang diatur mengenai jenis transaksi yang dapat

menggunakan selain Rupiah yaitu:

a. Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan

anggaran pendapatan dan belanja negara;

b. Penerimaan atau pemberian hibah dari atau

ke luar negeri;

c. Transaksi perdagangan internasional;

d. Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing;

atau

e. Transaksi pembiayaan internasional.

Untuk kedaulatan pemberlakuan uang Rupiah,

dalam Pasal 23 UU Mata Uang lebih lanjut diatur

mengenai larangan untuk menolak rupiah yaitu:

1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima

Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan

sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan

kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah

dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di

wilayah negara kesatuan Republik Indonesia,

kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian

Rupiah.

2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk

penyelesaian kewajiban dalam valuta asing

yang telah diperjanjikan secara tertulis.

Oleh karena dalam UU Mata Uang telah dinyatakan

bahwa mata uang negara kesatuan Republik

Indonesia (legal tender) adalah Rupiah, yang terdiri

dari Rupiah logam dan Rupiah kertas, dalam

pembayaran ataupun penyelesaian kewajiban

dalam yurisdiksi Indonesia, setiap orang dilarang

menolak untuk menerima Rupiah. Dalam UU Mata

Uang tidak diatur mengenai penerbitan dan

pemberlakuan macam Rupiah dalam bentuk digital

(CBDC).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 dan Pasal

2 ayat (2) UU Mata Uang, yang dinyatakan sebagai

legal tender di Indonesia hanya uang Rupiah kertas

dan Rupiah logam. Dalam UU tersebut tidak ada

ketentuan yang mengatur mengenai CBDC. Jika

CBDC akan diterbitkan oleh Bank Indonesia dan

akan dikategorikan sebagai macam (jenis) Rupiah

di luar Rupiah kertas dan Rupiah logam, hal

tersebut memerlukan dasar hukum dalam undang-

undang. Hal ini sejalan dengan penjelasan dari

pihak Kementerian Keuangan dalam berbagai

forum/sosialisasi mengenai pelaksanaan UU Mata

Uang yang pada pokoknya menyatakan bahwa

ruang lingkup UU Mata uang terbatas pada

transaksi secara tunai (uang kartal).40

Jika CBDC dimaksudkan sebagai mata uang

tambahan macam (jenis) Rupiah di luar Rupiah

kertas dan Rupiah logam yang diberi status sebagai

legal tender dengan kewenangan penerbitan oleh

Bank Indonesia, hal tersebut juga memerlukan

dasar hukum dalam suatu undang-undang. Untuk

kekuatan memaksa dan menjamin legalitas dari

CBDC sebagai alat pembayaran yang sah sesuai

ketentuan Pasal 1 butir 2 UU Mata Uang yang

berbunyi: “Uang adalah alat pembayaran yang

sah”, maka perlu dilakukan

penyesuaian/amandemen terhadap UU Mata Uang

atau pembuatan undang-undang baru.

Secara substansi pengaturan, hal yang perlu

diperhatikan agar CBDC merupakan legal tender

adalah perlu menyatakan uang digital/CBDC sebagai

macam ketiga di luar Rupiah kertas dan Rupiah

logam dalam UU Mata Uang atau amandemennya.

Merujuk pada UU Mata Uang, jika perubahan pada

UU tersebut hendak dilakukan maka konstruksi

UU Mata uang akan mengalami penyesuaian pada

beberapa materi antara lain sebagai berikut:

84

40 Dalam kaitan hal tersebut di atas, Kementerian Keuangan (Pemerintah)telah menyampaikan pendapatnya dalam berbagai sosialisasi berkaitandengan pelaksanaan UU Mata Uang yang antara lain menyebutkan:

“Penggunaan Rupiah dalam pasal ini hanya terbatas pada transaksi uangsecara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Untuk pembayaran,penyelesaian kewajiban lainnya, dan transaksi keuangan di dalam pasalini terbatas pada penggunaan Rupiah kertas dan Rupiah logam sajatidak meliputi pembayaran dengan uang giral (antara lain seperti cek,letter of credit, dan uang modern lainnya). (Kementerian Keuangan,Sosialisasi UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Direktorat JendralPerbendaharaan, 2012, hal. 5.5.1.(2)).

Page 92: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

• Perlu ditambahkan macam Rupiah yang akan

terdiri dari Rupiah kertas, Rupiah logam dan

Rupiah digital (vide Pasal 2).

• Perlu dijelaskan ciri uang digital Rupiah yang

diterbitkan agar masyarakat tahu bahwa uang

digital yang diterima adalah uang digital yang

diterbitkan Bank Indonesia/otoritas yang

berwenang. Terkait hal ini perlu ada pengkajian

lebih lanjut dari segi teknologi (vide Pasal 4

sampai Pasal 7).

• Perlu dijelaskan mekanisme pengelolaan Rupiah

digital (mulai perencanaan, pencetakan,

pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan

penarikan sampai dengan pemusnahan) yang

tentu tidak akan sama dengan pengelolaan

rupiah dalam bentuk kartal (vide Pasal 11

sampai Pasal 20).

• Perlu disiapkan ketentuan yang dapat

menjangkau Rupiah digital palsu41 karena

terdapat kemungkinan terjadi Rupiah digital

palsu di kemudian hari (vide Pasal 36).

Jika untuk penerbitan dan implementasi CBDC

oleh bank sentral telah dibuat dibuat kerangka

hukum yang jelas dalam bentuk undang-undang,

maka kekuatiran akan terjadinya praktek monopoli

yang dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat menjadi tidak relevan dipersoalkan.

B. Perspektif UU Bank Indonesia

Dalam salah satu konsep CBDC yang sedang dikaji

saat ini yaitu Digital Depository Receipt atau yang

disebut CAD-coin (Proyek Jasper), CBDC diterbitkan

untuk keperluan setelmen pembayaran interbank.

Oleh karena itu, CBDC hanya dipakai untuk

keperluan transaksi antara antara bank sentral

dengan bank komersial atau antar sesama bank

komersial (belum untuk seluruh masyarakat).

Model uang digital seperti itu pada dasarnya sudah

dikenal di Indonesia sebagaimana untuk keperluan

real time gross settlement (RTGS) dan Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia (SKNBI) bank-bank

komersial menempatkan prefund atau cadangan

giro wajib di Bank Indonesia yang penggunaannya

secara elektronik atau digital. Namun peruntukan

prefund atau cadangan giro wajib bank komersial

di Bank Indonesia yang dapat digunakan secara

elektronik atau digital sangat terbatas misalnya

untuk keperluan setelemen RTGS dan SKNBI bank-

bank (tidak berlaku umum).

Dengan terbatasnya keberlakuan dari alat

pembayaran digital seperti DDR dan prefund atau

giro wajib minimum bank pada bank Bank

Indonesia seperti digambarkan di atas dan dengan

ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang yang

tidak mencakup Rupiah digital (CBDC), maka perlu

dicari bentuk alat pembayaran yang dapat

mengakomodir kebutuhan masyarakat yang saat

ini banyak menginginkan alat pembayaran digital

yang terpercaya yang dikeluarkan oleh otoritas

yang berwenang seperti Bank Indonesia.

CBDC selain dapat dipandang sebagai tambahan

macam Rupiah/legal tender (vide Pasal 2 ayat (1)

UU Mata Uang, juga dapat dipandang dan

dikeluarkan sebagai tambahan alat atau instrumen

pembayaran yang ada atau tambahan instrumen

pembayaran yang bersifat elektronik. CBDC dalam

bentuk alat atau instrumen pembayaran namun

bukan legal tender diterapkan dalam CBDC yang

diperkenalkan dan diberlakukan Bank of Ecuador

(dinero electronico).

Penambahan alat atau instrumen pembayaran

dapat dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada

ketentuan Pasal 8 dan Pasal 15 UU Bank Indonesia.

Pasal 8 UU Bank Indonesia pada pokoknya

mengatur bahwa Bank Indonesia memiliki

kewenangan untuk mengatur dan menjaga

kelancaran sistem pembayaran. Kewenangan Bank

85

41 Dalam diskusi dengan Prof. Dr. R. Eko Indrajit M.Sc, di Jogjakarta tanggal31 Juli 2017, suatu teknologi informasi (misal uang digital bitcoin), padadasarnya akan bisa di “hack” hanya soal waktu saja mengingat teknologiberkembang dengan cepat.

Page 93: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Indonesia di bidang sistem pembayaran merupakan

upaya untuk mendukung efektivitas pelaksanaan

tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan

nilai rupiah. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU

Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki

kewenangan antara lain:

• Melaksanakan dan memberikan persetujuan

dan izin untuk penyelenggaraan jasa sistem

pembayaran;

• Mewajibkan penyelenggara jasa sistem

pembayaran untuk menyampaian laporan

tentang kegiatannya;

• Menetapkan penggunaan alat pembayaran.

Di dalam penjelasan Pasal 15 tersebut, alat atau

instrumen pembayaran elektronik seperti: kartu

ATM, kartu debet, kartu kredit, kartu pra bayar

dan uang elektronik dan instrumen pembayaran

non elektronik seperti: bilyet giro, juga ditetapkan

dan diatur Bank Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Bank Indonesia,

jika karena urgensi menyikapi perkembangan

di masyarakat saat ini Bank Indonesia perlu

menetapkan dan menerbitkan (melakukan

pengaturan) CBDC sebagai tambahan instrumen

pembayaran yang bersifat elektronik, hal tersebut

dapat dilakukan Bank Indonesia. Selain didasarkan

pada Pasal tersebut, justifikasi juga didasarkan

pada prinsip kemanfaatan42 yang merupakan

bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang

Baik (vide Pasal 8 jo. Pasal 10 UU Administrasi

Pemerintahan).

Jika suatu saat CBDC ditetapkan sebagai alat

pembayaran, maka pengaturan mengenai uang

elektronik yang berlaku saat ini harus diubah karena

Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 Tahun

2009 tentang Uang Elektronik sebagaimana telah

diubah dengan PBI No.16/8/PBI/2014 (PBI Uang

Elektronik) berlaku untuk bank atau lembaga selain

bank yang menerbitkan uang elektronik. Adapun

Bank Indonesia tidak masuk dalam kategori penerbit

(berupa bank atau lembaga selain bank) sebagai-

mana dimaksud dalam PBI Uang Elektronik. Terkait

dengan hal ini, Bank Indonesia perlu melakukan:

(i) Mengubah ketentuan dalam PBI Uang Elektronik

agar dapat menjadi landasan operasional dari

penerbitan dan implementasi CBDC; atau

(ii) Membuat ketentuan baru yang mengatur

mengenai penerbitan dan pengimplementasian

CBDC dengan menyelaraskan ketentuan di

dalam PBI Uang Elektronik.

Dari segi ketentuan/formalitas pembentukan

perundang-undangan, kewenangan Bank

Indonesia untuk menetapkan CBDC sebagai alat

pembayaran dimungkinkan dengan adanya

ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU

tersebut, peraturan perundang-undangan diakui

keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan-

perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan. Perlu

ditambahkan, bahwa dalam hal CBDC yang akan

dikembangkan adalah alat pembayaran (uang

elektronik) baru, nantinya Bank Indonesia selain

berperan sebagai regulator juga akan berperan

sebagai penerbit CBDC.

Jika Bank Indonesia menerbitkan CBDC sebagai

alat pembayaran yang setara dengan alat

pembayaran yang digunakan masyarakat

berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Bank Indonesia,

maka dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1)

UU Mata Uang yang mengatur bahwa saat ini

86

42 Pasal 10 ayat 1 huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang AdminstrasiPemerintahan menyebutkan:

Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah manfaat yang harusdiperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yangsatu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individudengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakatasing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingankelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah denganWarga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dankepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia danekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.

Page 94: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

macam uang Rupiah adalah terdiri dari uang

Rupiah kertas dan uang Rupiah logam, status

CBDC tersebut tetap tidak sebagai legal tender.

C. Perspektif UU Terkait Lainnya

a. Hukum persaingan usaha dan larangan praktek

monopoli

Pada pembahasan di atas telah diungkapkan

bahwa CBDC dapat dipandang sebagai legal

tender atau alat pembayaran. Jika bank sentral

menerbitkan CBDC sebagai legal tender

sehingga CBDC menjadi jenis atau macam

mata uang, maka dalam menjalankan tugas

penerbitan sampai pengedaran CBDC bank

sentral bertindak sebagai representasi negara

atau pemerintah. Namun, jika bank sentral

menerbitkan CBDC sebagai alat pembayaran

sebagaimana kegiatan penerbitan uang

elektronik oleh bank komersial, maka

kedudukan bank sentral dalam penerbitan

CBDC dapat dipandang setara dengan bank

komersial yang bertindak sebagai pelaku usaha.

Apabila dihubungkan dengan ketentuan dalam

UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,

terdapat beberapa pasal yang dapat digunakan

sebagai landasan hukum untuk mengkritisi dan

bahkan menjadi dasar hukum mempersoalkan

penerbitan CBDC. Di dalam Pasal 1 butir f UU

tersebut, “Persaingan Usaha Tidak Sehat”

diartikan sebagai persaingan antar pelaku

usaha dalam menjalankan kegiatan produksi

dan atau pemasaran barang dan atau jasa

yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau

melawan hukum atau menghambat persaingan

usaha. Sebelumnya pada Pasal 1 butir e UU

tersebut, “Pelaku Usaha” dirumuskan sebagai

setiap orang perorangan atau badan usaha,

baik yang berbentuk badan hukum atau badan

hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan dalam wilayah hukum

negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun

bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi.

Jika rumusan pengertian “Pelaku Usaha” dalam

Pasal 1 butir e di atas dicermati, pada dasarnya

Bank Indonesia tidak termasuk kriteria pelaku

usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi

karena Bank Indonesia merupakan lembaga

negara yang independen, bebas dari campur

tangan pemerintah dan/atau pihak lainnya,

kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur

dalam Undang-Undang Bank Indonesia,

meskipun Bank Indonesia adalah badan hukum.

Apabila Bank Indonesia melakukan penerbitan

CBDC yang mempunyai karakteristik sama

dengan uang elektronik yang telah diterbitkan

bank komersial, tindakan Bank Indonesia dalam

hal tersebut bukan dalam konteks kegiatan

usaha yang bertujuan mencari profit melainkan

sebagai realisasi kewenangan pada bidang

sistem pembayaran yang diatur dalam Pasal

15 UU Bank Indonesia.

b. CBDC dan perlindungan konsumen

Apabila CBDC diterbitkan Bank Indonesia

dan digunakan masyarakat sebagai alat

pembayaran, masyarakat pengguna CBDC

termasuk dalam kategori konsumen dalam

UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen (UU Perlindungan Konsumen)

sehingga perlu dilindungi berdasarkan UU

tersebut. Sedangkan CBDC yang diterbitkan

dapat digolongkan sebagai “barang/jasa yang

tersedia di masyarakat”. Mengenai kedudukan

Bank Indonesia yang bagi orang awam akan

dianggap sebagai “pelaku usaha” menurut

UU Perlindungan Konsumen tersebut, perlu

dikaitkan dengan ketentuan yang mengatur

kedudukan Bank Indonesia dalam UU lainnya

yaitu UU Bank Indonesia. Jika kedudukan Bank

Indonesia yang diatur dalam UU Bank Indonesia

87

Page 95: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

dihadapkan dengan ketentuan mengenai

perlindungan konsumen khususnya mengenai

pelaku usaha dalam UU Perlindungan

Konsumen, maka terdapat beberapa hal dalam

UU Bank Indonesia dan UU Mata Uang yang

membuat perlindungan konsumen tidak dapat

sepenuhnya dilakukan Bank Indonesia

berdasarkan ketentuan UU Perlindungan

Konsumen.

c. CBDC dan penerapan ketentuan perpajakan

Jika CBDC diterbitkan berbasis rekening

simpanan masyarakat pada bank sentral (model

direct access), secara teori CBDC merupakan

dana pihak ketiga pada bank sentral.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 1992 tentang

Perbankan sebagaimana telah diubah dengan

UU No.10 Tahun 1998 (UU Perbankan),

simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh

masyarakat kepada bank berdasarkan

perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk

giro, deposito sertifikat deposito tabungan

dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu (Pasal 1 butir 5 UU Perbankan).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.131 Tahun

2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga

Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat

Bank Indonesia diatur menggenai pengenaaan

pajak terhadap bunga deposito, tabungan

maupun diskonto Sertifikat Bank Indonesia.

Oleh karena itu, dalam hal CBDC ditetapkan

sebagai alat pembayaran yang mempunyai

karakteristik yang sama dengan uang elektronik

berbasis simpanan sekalipun simpanan

ditempatkan di Bank Indonesia, pengenaan

pajak merupakan hal yang mungkin dan lazim

dilakukan. Hal tersebut semakin mungkin,

karena dalam ketentuan PP No.131 Tahun

2000, Bank Indonesia ditunjuk sebagai pihak

yang dapat melakukan pemotongan pajak

bunga serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia

(vide Pasal 4 ayat 1 PP No. 131 Tahun 2000).

Dalam kaitan ini, apabila terhadap CBDC akan

dikenakan pajak secara operasional tidak akan

terjadi permasalahan.

Dengan memperhatikan konstruksi CBDC dan

ketentuan PP No.131 Tahun 2000 dimana

Sertifikat Bank Indonesia merupakan obyek

pajak, apabila Bank Indonesia akan menerbitkan

CBDC sebagai uang elektronik berbasis rekening

simpanan yang diberikan bunga maka terhadap

bunga rekening simpanan tersebut dapat

dikenakan pajak. Sebaliknya, jika rekening

simpanan CBDC tidak diberikan bunga maka

terhadap simpanan CBDC tersebut tidak dapat

dikenakan pajak.

d. CDBC dan penerapan ketentuan UU

pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pencucian uang

Jika kepemilikan rekening CBDC yang dipilih

untuk dilaksanakan adalah model direct access'

approach (setiap warga negara diberi

kesempatan memiliki rekening di Bank

Indonesia secara langsung) maka dalam

implementasi CBDC, selain menetapkan

ketentuan pelaporan bagi para pelapor, Bank

Indonesia akan melakukan kegiatan/tindakan

pelaporan sesuai ketentuan dalam UU No.8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

(UU PPTPPU). Berdasarkan Pasal 18 ayat (3)

UU tersebut, penerapan prinsip mengenali

pengguna jasa dilakukan pada saat:

a) Melakukan hubungan usaha dengan

pengguna jasa;

b) Terdapat transaksi keuangan dengan mata

uang rupiah dan/atau mata uang asing

yang nilainya paling sedikit atau setara

dengan Rp100.000.000 (seratus juta

rupiah);

c) Terdapat transaksi keuangan mencurigakan

yang terkait tindak pidana pencucian uang

dan tindak pidana pendanaan terorisme;

88

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Page 96: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

d) Pihak pelapor meragukan kebenaran

informasi yang dilaporkan pengguna jasa.

Jika CBDC akan diterbitkan oleh Bank Indonesia

dengan model direct access kepada masyarakat,

pengawasan dapat dilakukan Bank Indonesia.

Untuk governance pengaturan dan

pengawasan, kewenangan untuk kedua hal

tersebut sebaiknya dilakukan oleh departemen

yang berbeda. Hal seperti ini telah diterapkan

oleh Bank of Ecuador.43 Namun demikian,

dalam pengaturan dan implementasinya, Bank

Indonesia perlu memperhatikan kewenangan

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) sebagai otoritas di bidang

PPTPPU.

Jika pola kepemilikan rekening CBDC yang

dipilih untuk dilaksanakan adalah model

indirect access (CBDC didistribusikan melalui

lembaga keuangan/bank), pelaksanaan

pemenuhan ketentuan UU PPTPPU dilakukan

oleh pihak lembaga keuangan. Sesuai model

indirect acces ini, kegiatan dalam rangka

pemenuhan prinsip know your customer (KYC)

dilakukan oleh pihak perbankan bukan oleh

bank sentral. Hal seperti didasarkan pada

ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban

untuk melaporkan kegiatan pelaksanaan prinsip

mengenali pengguna jasa dari nasabah (vide

Pasal 17-18 UU PPTPPU). Otoritas yang akan

melakukan pengawasan pelaksanaan prinsip

mengenali pengguna jasa CBDC terhadap

bank adalah Bank Indonesia, mengingat Bank

Indonesia merupakan otoritas pengatur dan

pengawas sistem pembayaran44 di Indonesia.

e. CDBC dikaitkan dengan ketentuan simpanan

dan rahasia bank

UU Bank Indonesia tidak mengatur/melarang

penatausahaan rekening masyarakat/individu

di bank sentral (Bank Indonesia). Di Indonesia,

kegiatan menerima/menyimpan dana dari

masyarakat walaupun tidak berlaku umum

dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal

15 UU Bank Indonesia yang pada pokoknya

mengatur kewenangan Bank Indonesia untuk

mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam

penjelasan umum UU Bank Indonesia.45

Dalam Peraturan Bank Indonesia

No.17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro

di Bank Indonesia (PBI Rekening Giro di Bank

Indonesia) diatur bahwa selain Pemerintah,

pihak lain yang menurut UU atau menurut

penilaian Bank Indonesia perlu memiliki

rekening giro di Bank Indonesia dapat memiliki

rekening di Bank Indonesia. Apabila menurut

kajian Bank Indonesia pembukaan rekening

individu dalam rangka CDBC berkorelasi dengan

hal tersebut di atas maka pembukaan rekening

individu atau badan hukum non bank di Bank

Indonesia dapat dilakukan. Memperhatikan

ketentuan Pasal 52 UU Bank Indonesia dan

PBI Rekening Giro Di Bank Indonesia, individu

atau badan hukum dapat memiliki rekening

di Bank Indonesia.

89

43 Penjelasan Tim CBDC Bank of Ecuador dalam diskusi mengenai CBDCi.e. Dinero Electronico pada bulan Mei 2017 di Bank of Ecuador.

44 Dalam diskusi di DHK pada tanggal 15 Oktober 2017, Dr. Paramita, SH,LLM (Ahli Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universias Diponegoro)menyatakan bahwa OJK sebagai otoritas pengaturan dan pengawasanperbankan akan mimiliki keinginan untuk dapat melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan CBDC di perbankan.

45 Di dalam penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesiadisebutkan: Sesuai dengan amanat UUD 1945, BI ditunjuk sebagailembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaranuang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Berhubung kelancaransistem pembayaran sangat penting bagi pelaksanaan kebijakan moneter,kepada BI diberikan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistempembayran. Agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif,kepada BI perlu diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang luasdalam mengatur dan melaksanakan kegiatan kliring dan jasa transferdana, serta penyelesaian akhir transaski pembayaran antar bank. Disamping itu, BI juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab yangberkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakatluas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat,tepat dan aman.

Page 97: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa

pola/model penerbitan CBDC dapat dibagi

dalam dua model yaitu direct access dan

indirect access. Masing-masing pola akan

memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap

ketentuan yang berlaku terkait rahasia bank.

Terkait pola direct access (bank sentral

mengadministrasikan rekening CBDC secara

langsung), bank sentral perlu tetap menjaga

rekaman penerbitan CBDC dan bahkan perlu

menjaga transaksi individu guna keperluan

otentifikasi dari transaksi yang pernah dilakukan

dan memberantas risiko cyber dan aktivitas

ilegal. Jika data CBDC, data pemiliknya dan

data transaksi CBDC dianggap sama dengan

data nasabah bank pada umumnya, maka

perlakuan kewajiban menjaga kerahasiaan

data CBDC pada bank sentral dan kewajiban

menjaga data simpanan pada bank komersial

menjadi dapat dianggap sama, yaitu sama-

sama diperlakukan sebagai rahasia bank. Jika

hal tersebut diberlakukan, maka untuk dapat

membuka data CBDC di bank sentral,

pembukaan rahasia bank pada bank sentral

perlu disesuaikan dengan ketentuan yang

berlaku pada bank umum. Untuk tahap awal,

implementasinya mungkin akan sulit karena

saat ini belum ada ketentuan yang mengatur

hal tersebut.

Dalam hal penerbitan CBDC menggunakan

model indirect access, dimana secara

administrasi CBDC dilakukan melalui pihak

perbankan maka pelaksanaan pemenuhan

ketentuan rahasia bank akan relatif lebih

mudah. Pihak perbankan sesuai dengan UU

Perbankan merupakan pihak yang wajib

mengikuti ketentuan kerahasiaan bank. Oleh

karena itu, pelaksanaannya tidak memerlukan

penyesuaian. Yang menjadi pertanyaan

kemudian adalah bagaimana perlakuan

ketentuan rahasia bank tersebut terhadap

Bank Indonesia sebagai bank sentral yang

secara teori/konsep akan mempunyai/memiliki

akses terhadap rekening CBDC (nasabah

individu). Mengenai hal ini, seharusnya

ketentuan kerahasiaan rekening nasabah akan

juga berlaku pada Bank Indonesia sehingga

memiliki perlakuan yang sama dengan pihak

perbankan.

IV. KESIMPULAN & SARAN

A. Kesimpulan

a. Kerangka hukum tentang kemungkinan

melakukan penetapan pemberlakuan dan

penerbitan CBDC di Indonesia dapat merujuk

pada ketentuan UU Mata Uang dan UU Bank

Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU

Mata Uang, yang disebut sebagai uang di

Indonesia adalah uang Rupiah yang terdiri dari

Rupiah kertas dan Rupiah logam. Jika CBDC

hendak ditetapkan dan diterbitkan Bank

Indonesia sebagai tambahan alat pembayaran

yang sah (legal tender), untuk saat ini

penerbitan dan pemberlakuannya tidak

mempunyai dasar hukum.

b. Eksistensi dari Pasal 2 UU Mata Uang yang

mengatur bahwa macam uang Rupiah terdiri

dari Rupiah kertas dan Rupiah logam tidak

berarti bahwa Bank Indonesia tidak dapat

menetapkan dan menerapkan CBDC berupa

alat pembayaran. Penetapan dan penerbitan

CBDC sebagai alat pembayaran dapat dilakukan

oleh Bank Indonesia berdasarkan Pasal 15 UU

Bank Indonesia. Namun, statusnya tidak sama

dengan uang Rupiah kertas dan Rupiah logam

(bukan legal tender).

c. Agar CBDC sebagai alat pembayaran semakin

kuat secara yuridis dan memiliki kekuatan yang

sama dengan legal tender, perlu adanya

penambahan ketentuan dalam UU Bank

Indonesia yang mengatur kewenangan Bank

Indonesia mengeluarkan CBDC sebagai alat

90

Page 98: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

pembayaran yang memiliki kekuatan sebagai

legal tender.

d. Jika CBDC sebagai alat pembayaran ditetapkan

mempunyai kekuatan sebagai legal tender,

hal tersebut membawa konsekwensi bahwa

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat dan UU Perlindungan

Konsumen tidak dapat dijadikan sebagai

landasan untuk mempersoalkan atau

menggugat penetapan dan pemberlakuan

CBDC.

e. Dalam menetapkan pemberlakuan dan

penerbitan CBDC dengan pola direct access,

Bank Indonesia perlu memperhatikan ketentuan

undang-undang perpajakan, UU PPTPPU dan

ketentuan terkait pemberantasan pendanaan

kejahatan global dan/atau kejahatan lainnya.

Dengan pola pendistribusian CBDC secara

direct access kepada Bank Indonesia berarti

Bank Indonesia selain menjadi pengatur juga

sebagai pihak yang wajib melaksanakan

ketentuan yang terkait untuk itu.

B. Saran

a. Apabila untuk mengakomodir kebutuhan di

masyarakat dipandang perlu untuk menetapkan

dan menerbitkan CBDC sebagai bagian dari

uang Rupiah yang merupakan legal tender di

Indonesia, perlu penambahan CBDC sebagai

tambahan macam (jenis) mata uang yang saat

ini telah diatur dalam UU Mata Uang, sehingga

UU Mata Uang menjadi mencakup macam

(jenis) Uang Rupiah digital selain Rupiah kertas

dan Rupiah logam.

b. Jika CBDC dipandang merupakan instrumen

pembayaran sesuai ketentuan Pasal 15 UU

Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat

mengeluarkan kebijakan menetapkan CBDC

sebagai tambahan instrumen pembayaran.

91

Page 99: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks Should Start Issuing Electronic Money, Positive Money,

Januari 2016.

Brian A. Garner, Black's Law Dictionary, New Pocket Edition.

Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency and the future of Monetary Policy.

Solikin & Suseno, Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Perannnya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan No. 1, Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPKSK) Indonesia.

Artikel

Adisda Daniel, Digitacurrency vs Fiatcurrency.

Bank of Canada, The Many Faces of Canada's Currency, September 2010

Ben S. C. Fung and Hanna Halaburda, Central Bank Digital Currencies: A Framework for Assessing Why and How, Staff

Discussion Paper/Documen d'analyse du personnel 2016-22, Bank Canada, November 2016.

Björn Segendorf and Anna Wilbe, Does cash have any future as legal tender?, Sveriges Riksbank, No.9 2014

Carolyn Wilkins, Project Jasper: Lessons From Bank of Canada's First Blockchain Project, 10 Februari 2017

Citi, Ecuador Country Profile & OSEC, Business Network Switzerland, Ecuador Legal Provisions, Compiled by: Embassy

of Switzerland

Embajada Del Ecuador, Estados Unidos, 10 Things To Know Abotu Ecuador's Electronic Payment System, 20 September

2017.

European Central Bank, Virtual Currency Scheme - A Further Analysis, February 2015.

European Commision IP/10/331, Commission adopts a recommendation on the scope and effects of legal tender of euro

banknotes and coins, Brussels, 22 March 2010.

Eva Julin, Project Manager E-Krona Project/Deputy Head General Secretariat Sveriges Riksbank, dalam forum diskusi

dengan DHK di Sveriges Riksbank - Stockholm Swedia tanggal 2 November 2017.

Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currency dan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia.

92

Page 100: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond: Initial Considerations, January 2016

James Chapman, Rodney Garratt, Scott Hendry, Andrew McCormack and Wade McMahon, Project Jasper: Are Distributed

Wholesale Payment System Fasicle Yet?

James Chapman, dkk. , Project Jasper: Are Distributed Wholesale Payment System Feasible Yet?.

Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency and the future of Monetary Policy

The Fed - FAQs, Is it legal for a business in the United States to refuse cash as a form of payment?

Scott Hendry, “An ongoing collabaration initiated by Payments Canada and the Bank of Canada to explore the possibility

of issuing, transferring and settling central bank-issued assets on a distributed ledger network”, forum Diskusi

Tim BI dengan Tim Bank of Canada pada tanggal 11 Mei 2017.

Peraturan

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia

UU No.30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan

93

Page 101: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

94

Page 102: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

I. Latar Belakang

1. Diperlukan adanya penyelarasan ketentuan, terutama sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA

dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain aturan kepabeanan dan

peraturan perundangan lainnya mengenai pembawaan uang tunai ke dalam dan ke luar daerah pabean

Indonesia.

2. Meningkatkan efektivitas penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran ketentuan

pembawaan UKA, sehingga dapat meminimalisir adanya aktivitas pembawaan UKA lintas batas dalam

jumlah besar, tanpa underlying yang wajar.

3. Memperkuat sarana monitoring aktivitas pembawaan UKA oleh Bank Indonesia (BI) melalui kewajiban

pelaporan secara berkala Badan Berizin kepada BI.

II. Substansi Perubahan

1. Perubahan sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA yang semula berupa penegahan menjadi sanksi

kewajiban membayar berupa denda.

95

DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIABESERTA RINGKASAN

PERIODE JANUARI - JUNI 2018

Tanggal JudulNomor

Jumlah Dan Nilai Nominal Uang Rupiah Yang

Dimusnahkan Tahun 2017

Berlaku: 30-01-2018

Ditetapkan: 26-01-2018

Diundangkan: 30-01-2018

No. 20/1/PBI/2018

Tanggal JudulNomor

Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia

No. 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang

Kertas Asing Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean

Indonesia.

Berlaku: 5 Maret 2018

Ditetapkan: 1 Maret 2018

Diundangkan: 5 Maret 2018

No. 20/2/PBI/2018

Page 103: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

2. Norma pengaturan sanksi denda berdasarkan PBI sebagai berikut:

a. Semua orang yang tidak memiliki izin dan/atau Persetujuan Pembawaan UKA dikenakan sanksi denda

10% dari seluruh UKA yang dibawa, maksimal eq. Rp.300 juta.

b. Badan Berizin yang membawa UKA yang melebihi jumlah UKA yang disetujui BI dikenakan denda

10% dari selisih jumlah antara UKA yang dibawa dengan yang disetujui BI, maksimal eq. Rp.300 juta.

c. Selain dikenakan sanksi denda, Badan Berizin juga dapat dikenakan sanksi administratif dari Bank

Indonesia berupa:

1) Teguran tertulis;

2) Penghentian sementara kegiatan Pembawaan UKA ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia;

dan/atau

3) Pencabutan Izin Pembawaan UKA.

3. Mekanisme pengenaan denda dilakukan sebagai berikut:

a. diambil langsung dari UKA yang dibawa;

b. dibayarkan dalam mata uang rupiah; dan/atau

c. dibayarkan dalam mata uang asing lainnya yang dapat ditukarkan di Indonesia.

4. Sanksi denda atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA akan disetorkan ke dalam kas negara pada akun

pabean lainnya.

5. Kurs yang digunakan terkait dengan PBI Pembawaan UKA adalah sebagai berikut:

a. Kurs yang digunakan terkait dengan penentuan ambang batas (threshold) adalah kurs Kementerian

Keuangan.

b. Kurs konversi yang digunakan terkait dengan pembayaran denda apabila dilakukan dengan rupiah

atau mata uang asing lainnya adalah kurs jual pasar (market price) yang berlaku pada saat itu.

6. Penyesuaian atas jangka waktu berlakunya ketentuan PBI Pembawaan UKA menjadi sebagai berikut:

a. Penyesuaian waktu untuk dimulainya pengajuan izin dan persetujuan pembawaan UKA kepada Bank

Indonesia menjadi tanggal 4 Juni 2018.

b. Penyesuaian waktu berlaku efektifnya pengenaan sanksi terkait PBI Pembawaan UKA menjadi tanggal

3 September 2018.

7. Penambahan kewajiban pelaporan bagi Badan Berizin atas realisasi kegiatan Pembawaan UKA ke dalam

dan ke luar daerah pabean Indonesia. Laporan tersebut disampaikan kepada Bank Indonesia paling

lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak akhir periode Pembawaan UKA.

96

Tanggal JudulNomor

Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta

Asing Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum

Syariah, Dan Unit Usaha Syariah

Berlaku: 16-07-2018

Ditetapkan: 29-03-2018

Diundangkan: 03-04-2018

No. 20/3/PBI/2018

Page 104: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

I. Latar Belakang

1. Sebagai kelanjutan dari Reformulasi Kerangka Operasional Kebijakan Moneter yang telah dicanangkan

sejak tahun 2016 dalam rangka meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, dilakukan langkah

percepatan penguatan manajemen likuiditas bank melalui penyempurnaan pengaturan Giro Wajib

Minimum (GWM) bagi lembaga perbankan konvensional dan syariah. Langkah penguatan tersebut

dilaksanakan dalam bentuk penambahan besaran GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Konvensional

(BUK) yang wajib dipenuhi secara rata-rata, pemberlakuan kewajiban pemenuhan dan perhitungan

GWM secara rata-rata untuk GWM dalam valuta asing bagi BUK dan pemberlakuan kewajiban pemenuhan

dan perhitungan GWM secara rata-rata untuk GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan

Unit Usaha Syariah (UUS).

2. Penguatan ini merupakan upaya meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan agar menjadi

lebih efisien sehingga dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan dan mendukung pendalaman

pasar keuangan selain dapat menopang stabilitas pergerakan suku bunga pasar uang sebagai sasaran

operasional kebijakan moneter.

II. Substansi Pengaturan

1. Penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUK dari 1,5% menjadi 2% dari dana pihak ketiga

(DPK) dalam rupiah BUK.

2. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK tidak berubah yaitu 6,5% dari DPK dalam

rupiah BUK.

3. Pemberlakuan GWM rata-rata dalam kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUK. Kewajiban pemenuhan

GWM dalam valas bagi BUK sebagian diubah dari pemenuhan secara harian menjadi secara rata-rata

sehingga pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK menjadi sebagai berikut:

a. GWM dalam valas yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 6% (enam persen) dari DPK dalam

valas BUK; dan

b. GWM dalam valas yang wajib dipenuhi secara rata-rata sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam

valas BUK

4. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUK tidak berubah yaitu 8% dari DPK dalam valas BUK.

5. Pemberlakuan GWM rata-rata dalam kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS. Kewajiban

pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS sebagian diubah dari pemenuhan secara harian menjadi

secara rata-rata sehingga pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah BUS dan UUS menjadi sebagai berikut:

a. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam

rupiah BUS dan UUS; dan

b. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam

rupiah BUS dan UUS

6. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS tidak berubah yaitu 5% dari DPK dalam

rupiah BUS dan UUS.

97

Page 105: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

7. Seluruh kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUS dan UUS tetap dipenuhi secara harian sebesar

1% dari DPK dalam rupiah BUS dan UUS.

8. Penyeragaman periode dalam penghitungan pemenuhan GWM. Calculation period, lag period, dan

maintenance period dalam penghitungan pemenuhan GWM Rupiah bagi BUK, GWM valas bagi BUK,

GWM Rupiah dan valas bagi BUS atau UUS menjadi masing-masing 2 minggu, 2 minggu, dan 2 minggu.

9. Pengecualian pemberlakuan GWM rata-rata dalam rupiah BUK yang menerima Pinjaman Likuiditas Jangka

Pendek (PLJP).

10. Pengecualian pemberlakuan GWM rata-rata dalam rupiah BUS yang menerima Pembiayaan Likuiditas

Jangka Pendek Syariah (PLJPS).

11. Perubahan pemberian jasa giro bagi GWM dalam rupiah BUK menjadi 0% (penihilan jasa giro).

12. Penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi bagi BUK, yakni terkait pemberlakuan GWM rata-rata bagi

GWM dalam valas BUK menjadi 2 jenis sanksi yaitu sanksi untuk pemenuhan GWM secara harian dan

sanksi untuk pemenuhan GWM secara rata-rata.

13. Penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi bagi BUS dan UUS, yakni terkait pemberlakuan GWM rata-

rata bagi GWM dalam rupiah BUS dan UUS menjadi 2 jenis sanksi yaitu sanksi untuk pemenuhan GWM

secara harian dan sanksi untuk pemenuhan GWM secara rata-rata.

14. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2018.

15. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valuta asing bagi BUK secara harian dan rata-rata mulai

berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.

16. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah secara harian dan rata-rata serta GWM dalam

valuta asing bagi BUS dan UUS mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.

I. Latar Belakang

1. Bank Indonesia memperkenalkan instrumen kebijakan makroprudensial yaitu Rasio Intermediasi

Makroprudensial (RIM d/h. GWM LFR) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM d/h. GWM

Sekunder) yang merupakan bagian dari kebijakan makroprudensial untuk mencegah dan mengurangi

risiko sistemik dan gangguan terhadap fungsi intermediasi perbankan. Instrumen kebijakan RIM diharapkan

dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan kepada sektor riil sesuai dengan kapasitas dan target

pertumbuhan ekonomi dengan tetap menjaga prinsip kehati-hatian. Sedangkan dengan instrumen

98

Tanggal JudulNomor

Rasio Intermediasi Makroprudensial dan Penyangga

Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum

Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit

Usaha Syariah

Berlaku: 03-04-2018

Ditetapkan: 29-03-2018

Diundangkan: 03-04-2018

No. 20/4/PBI/2018

Page 106: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

kebijakan PLM, diharapkan dapat mengatasi risiko likuiditas perbankan mengingat risiko likuiditas ini mampu

mengamplifikasi risiko lain menjadi risiko sistemik.

2. Kebijakan ini juga diimplementasikan pada perbankan syariah sehingga dapat memperkuat intermediasi

dan meningkatkan ketahanan perbankan syariah (RIM Syariah dan PLM Syariah).

3. Instrumen kebijakan makroprudensial ini bersifat countercyclical dan dapat disesuaikan dengan perubahan

kondisi ekonomi dan keuangan.

Kebijakan RIM dan PLM bagi bank konvensional telah dikenal sebelumnya melalui kebijakan GWM LFR dan

GWM sekunder yang merupakan bagian dari kebijakan GWM. Sedangkan bagi bank syariah, kebijakan RIM

Syariah telah diterapkan dalam bentuk rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga yang juga merupakan

bagian dari kebijakan GWM. Dalam perkembangannya instrumen-instrumen ini mengalami penyempurnaan

antara lain: 1) dengan menambahkan komponen surat berharga untuk menghasilkan perhitungan RIM dan

RIM Syariah; 2) fleksibilitas dalam penerapan PLM; dan 3) memperkenalkan instrumen kebijakan PLM Syariah

bagi bank syariah.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Instrumen Pengaturan dan Kewajiban Pemenuhan:

99

GWM Konvensional

GWM Syariah

GWM Primer

GWM Sekunder

GWM LFR

Insentif/DisinsentifRasio UMKM

GWM Primer

GWM FDR

GWM

PLM

RIM

Rasio UMKM*

GWM

RIM Syariah

PLM Syariah

InstrumenMoneter

InstrumenMakroprudensial

InstrumenMoneter

InstrumenMakroprudensial

No. Instrumen Pengaturan Kewajiban Pemenuhan

a. RIM Giro RIM

b. RIM Syariah Giro RIM Syariah

c. PLM PLM

d. PLM Syariah PLM Syariah

Page 107: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

2. Objek Pengaturan:

3. Hari Pemenuhan:

a. Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah wajib dilakukan pada saat BI

menyelenggarakan sistem Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement.

b. Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah dilakukan berdasarkan posisi akhir

hari.

4. Pemenuhan kewajban:

Pemenuhan kewajiban Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah adalah sebagai berikut:

a. Kewajiban pemenenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah dipenuhi setelah pemenuhan giro wajib

minimum dalam rupiah secara harian.

b. Giro RIM atau Giro RIM Syariah

- Giro RIM atau Giro RIM Syariah dipenuhi dengan saldo rekening giro rupiah bank di Bank Indonesia

setelah pemenuhan giro wajib minimum dalam rupiah secara harian.

- Giro RIM atau Giro RIM Syariah dipenuhi dengan membandingkan posisi saldo rekening giro

rupiah bank di Bank Indonesia setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap Giro

RIM atau Giro RIM Syariah yang dihitung menggunakan rata-rata harian DPK dalam rupiah 2

(dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporansebelumnya.

c. PLM dan PLM Syariah

- PLM dipenuhi dengan surat berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter (OM) atau

PLM Syariah dipenuhi dengan surat berharga yang dapat digunakan dalam Operasi Moneter

Syariah (OMS).

- Dalam kondisi tertentu, surat berharga yang digunakan untuk memenuhi PLM atau PLM Syariah

dapat digunakan dalam transaksi repo kepada Bank Indonesia dalam operasi pasar terbuka,

dengan jumlah paling banyak ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam rupiah.

- PLM atau PLM Syariah dihitung dengan membandingkan jumlah surat berharga yang dimiliki

pada setiap akhir hari selama 2 (dua) periode laporan terhadap rata-rata harian jumlah DPK dalam

rupiah selama 2 (dua) periode laporan pada 4 (empat) periode laporan sebelumnya.

100

No. Instrumen Pengaturan-Kewajiban Pemenuhan Objek Pengaturan

a. RIM-Giro RIM BUK

b. RIM Syariah-Giro RIM Syariah BUS dan UUS

c. PLM BUK (termasuk UUS)

d. PLM Syariah BUS

Page 108: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

5. Pengaturan Giro RIM dan Giro RIM Syariah:

101

Pengaturan RIM (BUK) RIM Syariah (BUS dan UUS)

Besaran dan Parameter

Cakupan Kredit/Pembiayaan dan DPKuntuk perhitunganRIM/RIM Syariah

Sumber Data

Batas atas 92%

Batas bawah 80%

KPMM sebesar 14%

Parameter disinsentif atassebesar 0,2

Parameter disinsentif bawahsebesar 0,1

Kredit: rupiah dan valas

DPK BUK dalam rupiah danvaluta asing yaitu: (i) giro, (ii)tabungan, dan (iii) simpananberjangka/ deposito, tidaktermasuk dana antarbank.

LBBU

Batas atas 92%

Batas bawah 80%

KPMM sebesar 14%Bagi UUS, KPMM mengikuti KPMM BUKyang menjadi induk UUS.

Parameter disinsentif atas sebesar 0,2

Parameter disinsentif bawah sebesar 0,1

Pembiayaan: rupiah dan valas

DPK BUS atau UUS: dalam rupiah danvaluta asing yaitu: (i) dana simpananwadiah dan (ii) dana investasi tidakterikat, tidak termasuk dana antarbank.

LBBUS

Kriteria SB yang Dimiliki

% Surat Berharga yangDimiliki

Dalam bentuk obligasikorporasi dan/atau sukukkorporasi;

Dalam bentuk sukuk korporasi;

Diterbitkan oleh korporasi bukan bank dan oleh penduduk;

Ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering);

Memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling rendahsetara dengan peringkat investasi; dan

Ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasapenyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.

100%

Page 109: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

102

Pengaturan RIM (BUK) RIM Syariah (BUS dan UUS)

Kriteria SB yangDiterbitkan

Pelaporan suratberharga

Dalam bentuk MTN, FRN, dan/atau obligasi selain obligasisubordinasi;

Dalam bentuk MTN syariah dan/atausukuk selain sukuk subordinasi;

Cakupan DPK untukpemenuhan GiroRIM/Giro RIM Syariah

Kelonggaran atasPemenuhan GiroRIM/Giro RIM Syariah

BI dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan Giro RIMatau Giro RIM Syariah terkait dengan penyaluran kredit/pembiayaan danpenghimpunan dana.

Pemberian kelonggaran tersebut dilakukan atas dasar permintaan BUK,BUS, dan UUS serta mempertimbangkan rekomendasi OJK.

Bagi BUK, BUS, dan UUS yang mendapatkan kelonggaran tersebut makaakan dikecualikan dari pengenaan sanksi.

Dimiliki bukan bank baik penduduk dan bukan penduduk;

Ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering);

Memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling rendahsetara dengan peringkat investasi; dan

Ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasapenyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.

Mekanisme penyampaian dilakukan secara offline (email).

Rata-rata harian total DPK BUKdalam rupiah pada seluruhkantor BUK di Indonesia, yangmeliputi kewajiban dalamrupiah kepada pihak ketigabukan bank, yang terdiri atas(i) giro, (ii) tabungan, (iii)simpanan berjangka/deposito,dan (iv) kewajiban lainnya.

Rata-rata harian total DPK BUS dalamrupiah atau DPK UUS dalam rupiah padaseluruh kantor BUS dan UUS di Indonesiayang meliputi kewajiban dalam rupiahkepada pihak ketiga bukan bank, baikkepada penduduk maupun bukanpenduduk, yang terdiri atas (i) danainvestasi wadiah, (ii) dana investasi tidakterikat, dan (iii) kewajiban lainnya.

Page 110: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

103

6. Pengaturan PLM dan PLM Syariah:

Pengaturan PLM (BUK, termasuk UUS) PLM Syariah (BUS)

Besaran

Komponen

Pemenuhan

Formula

Perhitungan

Fleksibilitas

Sumber Data

4% dari DPK BUK dalam rupiah

(termasuk DPK UUS).

Surat berharga dalam rupiah yang dimiliki

BUK yang dapat digunakan dalam

operasi moneter (antara lain

SBI/SDBI/SBN); dan surat berharga dalam

rupiah yang dimiliki UUS yang dapat

digunakan dalam operasi moneter syariah

(antara lain SBIS/SBSN).

Persentase kepemilikan surat berharga

dalam rupiah yang dimiliki oleh BUK dari

DPK dalam rupiah.

Dalam kondisi tertentu, surat berharga

yang digunakan untuk memenuhi PLM

dapat digunakan dalam transaksi repo

kepada Bank Indonesia dalam operasi

pasar terbuka, dengan jumlah paling

banyak ditetapkan sebesar 2% (dua

persen) dari DPK BUK dalam rupiah.

DPK BUK dalam rupiah untuk

pemenuhan PLM diperoleh dari LBBU.

DPK BUK dalam rupiah untuk perhitungan

PLM adalah rata-rata harian total DPK

BUK dalam rupiah pada seluruh kantor

BUK di Indonesia.

DPK BUK dalam rupiah meliputi (i) giro,

(ii) tabungan, (iii) simpanan berjangka/

deposito, dan (iv) kewajiban lainnya.

4% dari DPK BUS dalam rupiah.

Surat berharga syariah dalam rupiah yang

dimiliki BUS yang dapat digunakan dalam

operasi moneter syariah (antara lain

SBIS/SBSN).

Persentase kepemilikan surat berharga

syariah dalam rupiah yang dimiliki oleh

BUS dari DPK dalam rupiah.

Dalam kondisi tertentu, surat berharga

yang digunakan untuk memenuhi PLM

Syariah dapat digunakan dalam transaksi

repo kepada Bank Indonesia dalam

operasi pasar terbuka, dengan jumlah

paling banyak ditetapkan sebesar 2%

(dua persen) dari DPK BUS dalam rupiah.

DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan

PLM Syariah diperoleh dari LBBUS.

DPK BUS dalam rupiah untuk perhitungan

PLM Syariah adalah rata-rata harian total

DPK BUS dalam rupiah pada seluruh

kantor BUS di Indonesia.

DPK BUS dalam rupiah meliputi (i) dana

simpanan wadiah, (ii) dana investasi tidak

terikat, dan (iii) kewajiban lainnya.

Page 111: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

7. Kewajiban pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah tetap berlaku bagi:

a. Bank penerima PLJP/PLJP Syariah;

b. BUK/BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan;

c. BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS; dan

d. BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS, dimana khusus untuk kewajiban PLM Syariah

akan berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS.

8. Pemberlakuan:

a. Kewajiban pemenuhan Giro RIM dan PLM mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2018.

b. Kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.

c. Kewajiban penyampaian laporan surat berharga bagi BUK dalam rangka pemenuhan kewajiban Giro

RIM mulai berlaku untuk laporan posisi bulan Mei 2018.

d. Kewajiban penyampaian laporan surat berharga syariahbagi BUS dan UUS dalam rangka pemenuhan

kewajiban Giro RIM Syariahmulai berlaku untuk laporan posisi bulan Agustus 2018.

I. Latar Belakang dan Tujuan

Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,

Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter yang

terintegrasi dengan kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang

rupiah. Kebijakan moneter tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan Operasi Moneter yang dapat

dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Untuk memperkuat efektivitas transmisi

kebijakan moneter, diperlukan upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter yang berkesinambungan.

Upaya reformulasi yang dilakukan antara lain dalam bentuk penguatan ketentuan operasi moneter yang

mengatur tentang perizinan kepesertaan dalam operasi moneter.

II. Materi Pengaturan

1. Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter.

2. Operasi Moneter dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi.

3. Operasi Moneter dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.

104

Tanggal JudulNomor

Operasi MoneterBerlaku: 16 April 2018

Ditetapkan: 12 April 2018

Diundangkan: 16 April 2018

No. 20/5/PBI/2018

Page 112: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

4. Operasi Moneter dilaksanakan melalui:

a. Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang dapat dilaksanakan pada setiap Hari Kerja; dan

b. Standing Facilities, yang dilaksanakan pada setiap Hari Kerja.

5. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sedangkan

Standing Facilities hanya dapat diikuti oleh Bank.

6. Operasi Moneter Konvensional (OMK) dilakukan dalam bentuk:

a. OPT Konvensional; dan

b. Standing Facilities Konvensional.

7. OPT Konvensional dilaksanakan dengan cara melakukan:

a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas;

b. transaksi repurchase agreement (repo) dan/atau reverse repo surat berharga;

c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga secara outright;

d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah;

e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing;

f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan/atau

g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.

8. Standing Facilities Konvensional dilaksanakan melalui:

a. penyediaan dana rupiah (lending facility), yang dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima

repo surat berharga dalam rupiah (SBI, SDBI, SBN, dan/atau surat berharga lain yang berkualitas

tinggi dan mudah dicairkan, yang ditetapkan oleh Bank Indonesia) dari peserta Standing Facilities

Konvensional; dan

b. penempatan dana rupiah (deposit facility), yang dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia

menerima penempatan dana rupiah dari peserta Standing Facilities Konvensional tanpa menerbitkan

surat berharga.

9. Operasi Moneter Syariah (OMS) dilakukan dalam bentuk:

a. OPT Syariah; dan

b. Standing Facilities Syariah.

10. OPT Syariah dilaksanakan dengan cara melakukan:

a. penerbitan SBIS;

b. transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga yang memenuhi prinsip syariah;

c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara

outright;

d. penempatan berjangka (term deposit) syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; dan/atau

e. transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta

asing.

11. Standing Facilities Syariah dilaksanakan melalui:

a. penyediaan dana rupiah (financing facility), yang dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia

menerima repo surat berharga dalam rupiah yang memenuhi prinsip syariah (SBIS dan/atau SBSN)

dari peserta Standing Facilities Syariah; dan

105

Page 113: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

b. penempatan dana rupiah (deposit facility), yang dilakukan dengan mekanisme Bank Indonesia menerima

penempatan dana rupiah dari peserta Standing Facilities Syariah tanpa menerbitkan surat berharga.

12. Penyediaan dana rupiah (financing facility) berupa repo surat berharga sebagaimana dimaksud pada

angka 11 huruf a diatur sebagai berikut:

a. apabila berupa repo SBIS maka menggunakan akad qard yang diikuti dengan rahn;

b. apabila berupa repo SBSN maka menggunakan akad al ba'i yang diikuti dengan wa'd.

13. Penempatan dana rupiah (deposit facility) dalam rangka Standing Facilities Syariah sebagaimana dimaksud

pada angka 12 huruf b salah satunya dilakukan dalam bentuk Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah

(FASBIS) yang menggunakan akad wadi'ah atau titipan.

14. Peserta Operasi Moneter terdiri atas:

a. peserta OPT, yaitu Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

b. peserta Standing Facilities, yaitu Bank,

yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia.

15. Lembaga perantara dalam Operasi Moneter terdiri atas:

a. pialang pasar uang rupiah dan valuta asing (PPU); dan/atau

b. perusahaan efek yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia sebagai dealer utama,

yang sudah memperoleh izin dari Bank Indonesia.

Lembaga perantara dalam Operasi Moneter hanya dapat mengajukan penawaran transaksi OPT untuk

dan atas nama peserta OPT.

16. Izin dari Bank Indonesia untuk mengikuti Operasi Moneter wajib diajukan oleh:

a. pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter;

b. peserta Operasi Moneter berupa Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar serta yang

berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter;

c. Bank baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus mengajukan izin

sebagai peserta Operasi Moneter;

d. lembaga perantara dalam Operasi Moneter yang melakukan langkah strategis dan mendasar; atau

e. lembaga perantara baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang.

Pengajuan izin sebagai peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter disampaikan melalui

permohonan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan

kepesertaan Operasi Moneter.

17. Bank Indonesia menetapkan persyaratan untuk memperoleh izin sebagai peserta dan lembaga perantara

dalam Operasi Moneter. Penetapan persyaratan dimaksud dilakukan dengan mempertimbangkan aspek

kapasitas, aspek kapabilitas, dan aspek reputasi.

18. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam

Operasi Moneter meliputi:

a. aspek kelembagaan;

b. aspek infrastruktur;

c. aspek kompetensi sumber daya manusia; dan

d. aspek manajemen risiko.

106

Page 114: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Pemenuhan aspek kompetensi sumber daya manusia sebagaimana pada huruf c dilakukan dengan

mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai sertifikasi tresuri dan penerapan

kode etik pasar.

19. Peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau

keterangan apabila terdapat perubahan data dan/atau informasi terkait pemenuhan persyaratan

sebagaimana pada angka 18.

20. Bank Indonesia dapat mencabut izin peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter dalam hal

peserta dan lembaga perantara dalam Operasi:

a. dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait;

b. melakukan langkah strategis dan mendasar; dan/atau

c. mengajukan pencabutan izin sebagai peserta atau lembaga perantara dalam Operasi Moneter atas

permintaan sendiri.

21. Peserta Operasi Moneter harus memiliki:

a. rekening giro Rupiah di Bank Indonesia;

b. rekening giro valuta asing di Bank Indonesia terkait penyelesaian transaksi OPT di pasar valuta asing;

dan

c. rekening surat berharga di Bank Indonesia dan/atau di lembaga kustodian yang ditetapkan oleh

Bank Indonesia.

22. Peserta Operasi Moneter yang mengikuti kegiatan Operasi Moneter wajib:

a. menyediakan dana yang cukup pada rekening giro rupiah di Bank Indonesia; dan/atau

b. menyediakan surat berharga dalam rupiah yang cukup pada rekening surat berharga di Bank Indonesia

atau di lembaga kustodian,

untuk penyelesaian kewajiban pada tanggal penyelesaian transaksi.

23. Apabila peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban pada angka 22 maka transaksi Operasi

Moneter dinyatakan batal.

24. Peserta Operasi Moneter yang mengikuti transaksi OPT dalam valuta asing wajib:

a. menyediakan dana yang cukup di rekening giro rupiah di Bank Indonesia;

b. menyediakan dana yang cukup di rekening giro valuta asing di Bank Indonesia; atau

c. melakukan transfer dana dalam valuta asing yang cukup ke rekening Bank Indonesia di bank

koresponden,

untuk penyelesaian transaksi.

25. Apabila peserta Operasi Moneter tidak memenuhi kewajiban pada angka 24 maka:

a. untuk transaksi penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing dan

SBBI Valas, dinyatakan batal; dan

b. untuk transaksi OPT di pasar valuta asing selain transaksi penempatan berjangka (term deposit) di

Bank Indonesia dalam valuta asing dan SBBI Valas, tetap wajib diselesaikan setelah tanggal penyelesaian

transaksi.

26. Dalam rangka mendukung pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pemantauan

pasar keuangan melalui monitoring transaksi secara langsung atau secara tidak langsung.

107

Page 115: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

27. Pemantauan pasar keuangan terdiri atas pemantauan pasar uang, pasar uang berdasarkan prinsip

syariah, pasar valuta asing, pasar SBN, dan/atau pasar keuangan lainnya.

28. Terhadap pelaksanaan Operasi Moneter, Bank Indonesia melakukan pengawasan tidak langsung dan/atau

pemeriksaan (apabila diperlukan). Bank Indonesia dapat meminta peserta dan lembaga perantara dalam

Operasi Moneter untuk menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang

diperlukan oleh Bank Indonesia.

29. Bank Indonesia mengenakan sanksi dalam Operasi Moneter yang terkait:

a. penyelesaian transaksi Operasi Moneter;

b. pembatasan transaksi SBI dan SDBI di pasar sekunder;

c. pengaturan dan pengawasan moneter dan/atau pengaturan dan pengawasan makroprudensial;

d. kepesertaan dalam Operasi Moneter.

30. Selama periode pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek

syariah, BUK, BUS, atau UUS hanya dapat mengikuti OMK atau OMS yang bersifat ekspansi. OMK yang

bersifat ekspansi antara lain transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka OPT dan transaksi

lending facility dalam rangka Standing Facilities Konvensional. OMS yang bersifat ekspansi antara lain

transaksi repurchase agreement (repo) dalam rangka OPT Syariah dan transaksi financing facility dalam

rangka Standing Facilities Syariah.

31. Bank dan/atau PPU yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum berlakunya Peraturan Bank Indonesia

ini, wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan Bank

Indonesia ini berlaku, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. bagi Bank dan/atau PPU yang telah mengikuti Operasi Moneter namun belum memenuhi persyaratan

yang ditetapkan, wajib menyusun rencana tindak (action plan);

b. rencana tindak (action plan) disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 3 (tiga) bulan setelah

Peraturan Bank Indonesia berlaku; dan

c. rencana tindak (action plan) harus disetujui oleh Bank Indonesia.

d. rencana tindak (action plan) harus diimplementasikan paling lambat 6 (enam) bulan setelah Peraturan

Bank Indonesia ini berlaku.

32. Bank dan/atau PPU yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku

yang tidak dapat memenuhi persyaratan perizinan sampai dengan jangka waktu 6 (enam) bulan sejak

Peraturan Bank Indonesia berlaku, Bank dan/atau PPU tersebut dikenakan sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis;

b. pembatasan kepesertaan dalam Operasi Moneter; dan/atau

c. pelarangan keikutsertaan dalam Operasi Moneter sampai dengan pemenuhan persyaratan yang

ditetapkan terpenuhi.

33. Bagi Bank dan PPU yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum Peraturan Bank Indonesia ini berlaku,

yang tidak mengajukan izin dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak Peraturan Bank Indonesia ini

berlaku, Bank dan PPU tersebut tidak dapat mengikuti Operasi Moneter.

34. Pada saat Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku, semua peraturan yang merupakan peraturan

pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tanggal 10 November 2015 tentang

108

Page 116: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015

Nomor 264, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753), dinyatakan masih tetap

berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini.

35. Peraturan Bank Indonesia ini mencabut:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/12/PBI/2014 tanggal 24 Juli 2014 tentang Operasi Moneter

Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 178, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5567);

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/17/PBI/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Surat Berharga

Bank Indonesia dalam Valuta Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 264,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5753); dan

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/12/PBI/2016 tanggal 15 Agustus 2016 tentang Operasi Moneter

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5919).

36. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yaitu tanggal 16 April 2018.

1. Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (PBI Uang Elektronik) diterbitkan

dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. model bisnis penyelenggaraan Uang Elektronik (UE) semakin berkembang dan bervariasi seiring

dengan perkembangan inovasi teknologi dan peningkatan kebutuhan masyarakat dalam penggunaan

Uang Elektronik;

b. disparitas kinerja penyelenggara berizin dan makin beragamnya pihak yang mengajukan permohonan

izin UE perlu disikapi dengan penguatan aspek kelembagaan guna menyaring penyelenggara UE

yang kredibel, antara lain melalui pengaturan minimum modal disetor, komposisi kepemilikan saham,

pengelompokan perizinan, penambahan modal disetor seiring dengan perkembangan kegiatan,

serta mekanisme pengelolaan dana float yang lebih rinci;

c. penyelenggaraan UE perlu didasarkan pada kondisi keuangan yang baik agar mampu memberikan

manfaat yang optimal bagi perekonomian Indonesia, dengan senantiasa mengedepankan penguatan

perlindungan konsumen dan pencegahan pencucian uang dan pendanaan terorisme, serta minimalisasi

risiko sistemik;

109

Tanggal JudulNomor

Uang ElektronikBerlaku: 4 Mei 2018

Ditetapkan: 3 Mei 2018

Diundangkan: 4 Mei 2018

No. 20/6/PBI/2018

Page 117: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

d. keterkaitan antara penyelenggaraan kegiatan UE dan penyelenggaraan kegiatan bisnis lain yang

makin erat dan kompleks, khususnya yang dilakukan dalam satu entitas atau kelompok bisnis yang

sama, menuntut penguatan pelaksanaan pengawasan secara terintegrasi terhadap penyelenggara

UE dan pihak terafiliasi yang berpotensi mempengaruhi kelangsungan penyelenggaraan uang

elektronik.

2. Cakupan pengaturan PBI Uang Elektronik ini meliputi:

a. ketentuan umum;

b. prinsip dan ruang lingkup penyelenggaraan UE;

c. perizinan dan persetujuan penyelenggaraan UE, antara lain mencakup kewajiban dan pengelompokan

izin, persyaratan umum dan aspek kelayakan, tata cara pengajuan dan pemrosesan permohonan

izin dan persetujuan, penilaian kemampuan dan kepatutan; pemegang saham pengendali, evaluasi

izin; serta kebijakan perizinan dan persetujuan;

d. penyelenggaraan UE, antara lain mencakup penerapan manajemen risiko, standar keamanan sistem

informasi, pemrosesan transaksi UE di wilayah Indonesia, interkoneksi dan interoperabilitas, penerapan

anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme, penerapan prinsip perlindungan konsumen,

penyelenggaraan kegiatan UE, dan penyelenggaraan Layanan Keuangan Digital (LKD);

e. penggabungan, peleburan, pemisahan, dan pengambilalihan;

f. laporan dan pengawasan;

g. sanksi; ketentuan lain-lain; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.

3. Dalam PBI Uang Elektronik ini, UE dibedakan sebagai berikut:

a. berdasarkan lingkup penyelenggaraannya, dibedakan menjadi UE closed loop dan UE open loop;

b. berdasarkan media penyimpan Nilai UE, dibedakan menjadi UE server based dan UE chip based);

dan

c. berdasarkan pencatatan data identitas Pengguna, dibedakan menjadi UE unregistered dan UE

registered.

4. Setiap pihak yang bertindak sebagai Penyelenggara UE open loop atau UE closed loop dengan jumlah

Dana Float paling kurang Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) wajib terlebih dahulu memperoleh

izin dari Bank Indonesia.

5. Pengajuan izin sebagai Penyelenggara UE dilakukan sesuai dengan pengelompokan Penyelengara Jasa

Sistem Pembayaran (PJSP) yang terdiri atas:

a. kelompok penyelenggara front end, yaitu penerbit, acquirer, penyelenggara payment gateway,

penyelenggara dompet elektronik, dan penyelenggara transfer dana; dan

b. kelompok penyelenggara back end, yaitu prinsipal, penyelenggara switching, penyelenggara kliring,

dan penyelenggara penyelesaian akhir)

Setiap pihak hanya dapat menjadi Penyelenggara UE dalam 1 (satu) kelompok PJSP yang sama.

6. Pihak berupa Lembaga Selain Bank yang akan mengajukan izin sebagai Penerbit wajib 51% (lima puluh

satu persen) sahamnya dimiliki oleh:

a. warga negara Indonesia; dan/atau

b. badan hukum Indonesia.

110

Page 118: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Dalam hal terdapat kepemilikan asing pada Lembaga Selain Bank tersebut maka perhitungan porsi

kepemilikan asing tersebut meliputi kepemilikan secara langsung maupun kepemilikan secara tidak

langsung sesuai dengan penilaian Bank Indonesia.

7. Pihak yang mengajukan izin sebagai Penyelenggara UE harus memenuhi persyaratan:

a. aspek umum, yaitu entitas berupa Bank atau Lembaga Selain Bank (LSB) yang berbentuk perseroan

terbatas; dan

b. aspek kelayakan, yang meliputi aspek kelembagaan dan hukum, aspek kelayakan bisnis dan kesiapan

operasional, aspek tata kelola, risiko, dan pengendalian.

Selain itu, Penyelenggara UE harus menyampaikan surat pernyataan dan jaminan (representations and

warranties).

8. Penyelenggara UE yang telah memperoleh izin dan akan melakukan pengembangan produk, aktivitas

UE, dan/atau melakukan kerja sama dengan pihak lain, wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan

dari Bank Indonesia.

9. Izin sebagai Penyelenggara UE yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berlaku selama 5 (lima) tahun, dan

dapat diperpanjang berdasarkan permohonan dari Penyelenggara yang disampaikan paling lambat 6

(enam) bulan sebelum masa berlaku izin berakhir.

10. Dalam pemrosesan permohonan izin sebagai Penyelenggara UE berupa Lembaga Selain Bank, Bank

Indonesia berwenang melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap: pemegang saham

pengendali; anggota direksi; dan anggota dewan komisaris. Penilaian kemampuan dan kepatutan juga

dapat dilakukan dalam hal terdapat rencana perubahan pemegang saham pengendali, direksi atau

komisaris, atau terdapat hasil pengawasan yang mengindikasikan terjadinya pelanggaran atau fraud

yang signifikan.

11. Dalam penyelenggaraan UE, Bank Indonesia berwenang:

a. melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan kepada Penyelenggara UE; dan

b. menetapkan kebijakan perizinan dan/atau persetujuan penyelenggaraan UE.

12. Dalam penyelenggaraan UE, Penyelenggara memiliki kewajiban:

a. penerapan manajemen risiko secara efektif dan konsisten;

b. penerapkan standar keamanan sistem informasi;

c. pemenuhan kewajiban pemrosesan transaksi Uang Elektronik secara domestik;

d. penerapan interkoneksi dan interoperabilitas; dan

e. penerapan anti pencucian uang, prinsip pencegahan pendanaan terorisme, dan prinsip perlindungan

konsumen (khusus bagi Penerbit UE).

13. Batas Nilai UE yang dapat disimpan ditetapkan sebagai berikut:

a. untuk UE unregistered paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah); dan

b. untuk UE registered paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),

dengan batas nilai transaksi UE dalam 1 (satu) bulan paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta

rupiah) yang diperhitungkan dari transaksi incoming.

14. Pengaturan mengenai Dana Float diatur sebagai berikut:

a. Penerbit wajib mencatat Dana Float pada pos kewajiban segera atau rupa-rupa pasiva.

111

Page 119: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

b. Penerbit wajib menempatkan Dana Float, dengan ketentuan:

1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari Dana Float ditempatkan pada kas (bagi Penerbit UE

berupa bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) 4), atau pada giro di Bank yang merupakan

BUKU 4 (bagi penerbit lainnya); dan

2) paling banyak 70% (tujuh puluh persen) dari Dana Float ditempatkan pada surat berharga/instrumen

keuangan yang diterbitkan oleh Pemerintah/Bank Indonesia, atau pada rekening di Bank Indonesia.

15. Penerbit berupa LSB wajib meningkatkan modal disetor sesuai dengan peningkatan Dana Float.

Penghitungan Dana Float dilakukan dengan menghitung rata-rata nilai Dana Float selama 12 (dua belas)

bulan pada bulan Januari sampai dengan bulan Desember tahun sebelumnya. Peningkatan modal

disetor dilakukan Penerbit paling lambat akhir bulan Juni tahun berjalan.

16. UE yang diterbitkan di Indonesia wajib menggunakan satuan uang rupiah dan transaksi menggunakan

UE di wilayah NKRI Indonesia wajib menggunakan rupiah.

17. Biaya yang dapat dikenakan dalam penyelenggaraan UE oleh Penerbit UE, meliputi:

a. biaya pembelian media UE untuk penggunaan pertama kali atau penggantian media UE yang rusak

atau hilang;

b. biaya pengisian ulang (top up);

c. biaya tarik tunai yang dilakukan melalui pihak lain atau kanal pihak lain (off us); dan

d. biaya transaksi transfer dana antar-Pengguna pada UE dari Penerbit UE yang berbeda.

18. Penerbit yang akan menjadi Penyelenggara LKD wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan Bank

Indonesia. Penyelenggaraan LKD dilakukan oleh Penyelenggara LKD melalui kerja sama dengan Agen

LKD yang dapat berupa badan usaha berbadan hukum Indonesia dan/atau individu.

19. Bank Indonesia melakukan pengawasan, baik secara langsung maupun tidak langsung, kepada

Penyelenggara UE. Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan secara terintegrasi terhadap

Penyelenggara dan perusahaan induk, perusahaan anak, pihak yang bekerja sama dengan Penyelenggara,

dan/atau pihak terafiliasi lainnya.

20. Agar PBI Uang Elektronik ini dapat diimplementasikan dengan baik oleh seluruh pihak terkait, diatur

ketentuan peralihan bagi:

a. Penyelenggara UE yang telah memperoleh izin;

b. pihak yang sedang dalam proses perizinan sebagai Penyelenggara UE; dan

c. pihak yang telah menjadi pemegang saham pengendali pada Penyelenggara UE,

sebelum PBI Uang Elektronik ini berlaku.

21. PBI Uang Elektronik ini mencabut:

a. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money);

b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia

Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money); dan

c. Peraturan Bank Indonesia Nomor 18/17/PBI/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Bank

Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money).

112

Page 120: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

113

DAFTAR PERATURAN ANGGOTA DEWAN GUBERNURBESERTA RINGKASAN

PERIODE JANUARI - JUNI 2018

I. Latar Belakang

Pembangunan perekonomian nasional membutuhkan sumber-sumber pembiayaan yang semakin besar dan

terdiversifikasi. Selain dari perbankan dan pasar modal, sumber pembiayaan dapat berasal dari pasar uang,

termasuk Surat Berharga Komersial (SBK) yang dapat diterbitkan oleh korporasi non-bank sebagai alternatif

sumber pendanaan jangka pendek. Sehubungan dengan hal tersebut dan dalam upaya pengembangan

instrumen SBK di pasar keuangan, Bank Indonesia melakukan pengaturan SBK yang pruden dengan mitigasi

risiko yang mencukupi. Adapun pengaturan pasar SBK meliputi:

1. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 19/9/PBI/2017 tanggal 19 Juli 2017 tentang Penerbitan dan Transaksi

Surat Berharga Komersial di Pasar Uang,

2. Sebagai peraturan pelaksanaan dari PBI No. 19/9/PBI/2017, Bank Indonesia menerbitkan:

a) Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) No. 19/9/PADG/2017 tentang Lembaga Pendukung

Pasar Uang yang Melakukan Kegiatan terkait Surat Berharga Komersial di Pasar Uang pada tanggal

4 September 2017. PADG ini berfungsi sebagai pedoman pendaftaran lembaga pendukung di pasar

SBK serta pelaporan.

b) PADG No. 20/1/PADG/2018 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar

Uang. PADG ini berfungsi sebagai pedoman pelaksanaan bagi proses penerbitan Surat Berharga

Komersial di pasar perdana serta pelaksanaan transaksi SBK di pasar sekunder, kewajiban keterbukaan

informasi dan pelaporan oleh Penerbit SBK.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Persyaratan Penerbit dan Instrumen Surat Berharga Komersial

Bank Indonesia mengatur tata cara perhitungan tenor SBK yang dapat diterbitkan yang diterjemahkan

dalam hitungan hari kalender, dengan maksimum hari kalender sebesar 365 hari kalender untuk tenor

12 bulan. Sementara itu, Bank Indonesia mengatur bahwa minimum peringkat SBK (peringkat jangka

pendek) yang dapat diterbitkan di pasar uang adalah berada di level minimum idA3, F3 (idn), atau level

yang setara dalam hal peringkat merupakan peringkat nasional dan/atau level minimum A-3, F3, P-3,

atau level yang setara dalam hal peringkat merupakan peringkat internasional.

Tanggal JudulNomor

Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial

di Pasar Uang

Berlaku: 02-01-2018

Ditetapkan: 02-01-2018

No. 20/1/PADG/2018

Page 121: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

114

2. Pendaftaran Penerbitan Surat Berharga Komersial

Bank Indonesia mengatur mengenai penerbitan SBK melalui 2 (dua) alternatif mekanisme penerbitan

yakni (i) penerbitan secara tunggal atau individual dimana Penerbit SBK hanya dapat menerbitkan SBK

sebanyak 1 kali, dan (ii) penerbitan secara berkelanjutan dimana Penerbit Surat Berharga Komersial

dapat menerbitkan SBK secara bertahap (tahap lanjutan). Untuk setiap pendaftaran penerbitan

(pendaftaran untuk memperoleh status terdaftar baik untuk penerbitan secara individual maupun untuk

penerbitan secara berkelanjutan, dan pendaftaran penerbitan tahap lanjutan pada penerbitan secara

berkelanjutan), Bank Indonesia mengatur dokumen pendaftaran yang harus disampaikan oleh calon

Penerbit SBK kepada Bank Indonesia guna mendapatkan persetujuan pendaftaran penerbitan SBK.

Dokumen dimaksud merupakan pemenuhan atas persyaratan kriteria penerbit, kriteria instrumen, dan

pemenuhan ketentuan mengenai keterbukaan informasi Penerbit SBK.

3. Memorandum Informasi Surat Berharga Komersial

Bank Indonesia mengatur cakupan informasi, kaidah penulisan dan penyusunan pada memorandum

informasi SBK yang berfungsi sebagai dokumen penawaran Surat Berharga Komersial oleh Penerbit

SBK kepada calon investor SBK. Memorandum informasi memuat informasi terkait Penerbit SBK, SBK

yang akan diterbitkan serta pembelian dan pemesanan SBK.

4. Pemrosesan Pendaftaran Penerbitan SBK

Dalam pemrosesan pendaftaran penerbitan SBK, Bank Indonesia melakukan penelahaan terhadap

dokumen yang diajukan terhadap pemenuhan persyaratan kriteria penerbit, kriteria instrumen, dan

pemenuhan ketentuan mengenai keterbukaan informasi Penerbit SBK. Bank Indonesia dapat meminta

klarifikasi dan/atau dokumen tambahan kepada calon Penerbit SBK yang harus ditanggapi oleh calon

Penerbit SBK.

Bank Indonesia memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dalam kurun waktu paling lambat

15 (lima belas) hari kerja atas permohonan calon Penerbit SBK untuk memperoleh status terdaftar

sejak surat permohonan dan dokumen pendukung diterima secara lengkap dan sesuai dengan yang

dipersyaratkan oleh Bank Indonesia, dan memberikan persetujuan pendaftaran penerbitan SBK dalam

kurun waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja atas permohonan calon Penerbit SBK untuk pendaftaran

penerbitan tahap lanjutan pada penerbitan secara berkelanjutan.

5. Penawaran Surat Berharga Komersial dan Akses terhadap Keterbukaan Informasi Penerbitan

Bank Indonesia mengatur mengenai (i) proses penawaran SBK yang dilakukan oleh Penerbit SBK dan/atau

penata laksana penerbitan (arranger) yang harus bertanggung jawab dan memiliki tata kelola yang baik

(ii) penerapan aspek penetapan nominal, pembayaran dan distribusi SBK dalam proses penawaran SBK,

(iii) penyampaian laporan hasil penawaran oleh Penerbit SBK kepada Bank Indonesia, (iv) mekanisme

penundaan penawaran oleh Penerbit SBK, dan (v) keterbukaan informasi oleh Penerbit SBK kepada

calon investor pada saat penerbitan SBK.

Page 122: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

115

6. Penerbitan dan Penatausahaan SBK

Bank Indonesia mengatur mengenai kewajiban dan tata cara penerbitan bukti penerbitan kolektif SBK

oleh Penerbit SBK. Bukti penerbitan kolektif harus diterbitkan oleh Penerbit SBK sesuai dengan persyaratan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 174 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan dibuat per seri

SBK yang diterbitkan.

7. Keterbukaan Informasi Pascapenerbitan

Bank Indonesia mengatur mengenai kewajiban terkait keterbukaan informasi pascapenerbitan SBK

meliputi cakupan informasi, waktu dan media pengungkapan kepada calon investor SBK.

Cakupan informasi meliputi informasi yang dikategorikan sebagai informasi maupun fakta material

yang dijelaskan lebih rinci dalam PADG, sehingga perlu diungkapkan keterbukaannya kepada calon

investor. Keterbukaan informasi dimaksud sekurang-kurangnya harus dilakukan oleh Penerbit Surat

Berharga Komersial melalui laman (website) Penerbit SBK.

8. Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Sekunder

Bank Indonesia mengatur bahwa pihak yang melakukan transaksi (pelaku transaksi) atas SBK menyetujui

untuk memberikan akses kepada Bank Indonesia atas detil data transaksi, penyelesaian transaksi, dan

posisi kepemilikan SBK.

Bank Indonesia mengatur bahwa transaksi SBK di pasar sekunder menggunakan konvensi perhitungan

hari (day-count convention) yaitu Actual/360, memiliki tanggal penyelesaian transaksi (setelmen) paling

lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal transaksi (T+3), dan menggunakan sarana pelaksanaan transaksi

yang aman dan handal.

9. Pelaporan

Bank Indonesia mengatur mengenai kewajiban pelaporan oleh (i) Penerbit SBK, (ii) pelaku transaksi

SBK, dan (iii) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian (LPP), kepada Bank Indonesia.

Pelaporan oleh Penerbit SBK meliputi laporan realisasi penerbitan (distribusi dan penggunaan dana)

dan laporan perubahan informasi serta data posisi kepemilikan investor atas SBK yang diterbitkan, yang

disampaikan secara berkala dan insidentil sesuai dengan cakupan informasinya. Implementasi penyampaian

data posisi kepemilikan investor atas SBK oleh Penerbit SBK dilakukan oleh LPP.

Pelaporan transaksi SBK meliputi data dan informasi menyangkut transaksi dan penyelesaian transaksi

atas SBK. Pihak yang melapor adalah (i) Bank dan/atau Perusahaan Efek, dalam hal pelaku transaksi

adalah Bank dan/atau Perusahaan Efek, dan (ii) Bank, Lembaga Pendukung Transaksi SBK (Perusahaan

Efek, Pialang Pasar Uang), dan/atau Lembaga Pendukung Penatausahaan dan Penyelesaian Transaksi

SBK (Perusahaan Efek, Bank yang melaksanakan kegiatan kustodian), dalam hal pelaku transaksi adalah

nasabah diluar Bank dan Perusahaan Efek. Detil pelaporan transaksi SBK akan diatur dalam ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum dan pelaporan transaksi oleh

Non-Bank.

Page 123: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

116

10. Korespondensi

Pengajuan permohonan pendaftaran penerbitan, penyampaian laporan dan/atau dokumen ke Bank

Indonesia ditujukan kepada:

Departemen Pengembangan Pasar Keuangan

Bank Indonesia

Gedung C Lantai 5

Jl. M.H. Thamrin No. 2

Jakarta 10350

Surat elektronik: [email protected]

Bentuk penyampaian adalah dalam bentuk hardocpy dan softcopy, yang dijelaskan secara rinci dalam

PADG.

11. Pengawasan

Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Penerbit SBK dan Pelaku Transaksi SBK yang dalam

hal ini termasuk juga didalamnya Lembaga Pendukung Transaksi SBK dan Lembaga Pendukung Penata-

usahaan dan Penyelesaian Transaksi SBK. Pengawasan dilakukan dalam bentuk:

(i) pengawasan tidak langsung, dan/atau

(ii) pemeriksaan.

Bank Indonesia dapat berkoordinasi dengan otoritas lain yang berwenang dan/atau lembaga profesi

terkait serta dapat menugaskan pihak lain untuk melakukan pemeriksaan.

12. Pengenaan Sanksi

Bank Indonesia mengenakan sanksi berupa:

a) sanksi teguran tertulis dan/atau sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan,

bagi Penerbit SBK; dan

b) sanksi teguran tertulis dan/atau sanksi terkait pelaporan transaksi SBK yang diatur dalam ketentuan

Bank Indonesia yang mengatur mengenai laporan harian bank umum dan pelaporan transaksi oleh

Non-Bank, bagi pelaku transaksi SBK.

Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis bagi Penerbit SBK untuk pelanggaran atas kewajiban

untuk memenuhi ketentuan mengenai prinsip keterbukaan dan kebenaran informasi, pelanggaran

terkait penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko, penyampaian pelaporan, dan/atau

tambahan informasi yang diperlukan oleh Bank Indonesia terkait pelaporan dan/atau pengawasan.

Penerbit SBK yang telah menerima sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu

1 (satu) tahun, dikenakan sanksi tidak dapat menerbitkan SBK selama 1 (satu) tahun ke depan. Bank

Indonesia dapat langsung mengenakan sanksi bagi Penerbit SBK berupa sanksi tidak dapat menerbitkan

SBK selama 1 (satu) tahun ke depan atas pelanggaran yang berdampak signifikan terkait kebenaran

informasi, pengungkapan dan kebenaran informasi dalam keterbukaan informasi pascapenerbitan,

serta penyampaian data dan informasi sehubungan dengan pengawasan oleh Bank Indonesia, tanpa

harus Penerbit SBK menerima sanksi teguran tertulis sebanyak 3 (tiga) kali terlebih dahulu.

Page 124: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

117

Bank Indonesia mengenakan sanksi teguran tertulis bagi pelaku transaksi SBK untuk pelanggaran atas

kewajiban penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dan pemberian informasi tambahan

yang diperlukan oleh Bank Indonesia terkait pengawasan. Sementara sanksi sehubungan dengan

pelaporan transaksi SBK oleh pelaku transaksi SBK diatur lebih lanjut dalam ketentuan Bank Indonesia

yang mengatur mengenai laporan harian bank umum dan pelaporan transaksi oleh Non-Bank.

Penyampaian surat pengenaan sanksi teguran tertulis ditembuskan kepada otoritas lain yang berwenang,

instansi, asosiasi, dan/atau lembaga profesi yang terkait. Pengenaan sanksi diatas tidak menghilangkan

kewajiban Penerbit SBK sebagaimana diatur dalam PBI No. 19/9/PBI/2017 dan PADG ini.

13. Tanggal Efektif Berlakunya PADG

PADG tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang mulai berlaku pada tanggal 2 Januari 2018.

1. Untuk mendukung terwujudnya penyelenggaraan sistem pembayaran yang efisien, lancar, aman, dan

andal, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan kebijakan mengenai Fasilitas Likuiditas Intrahari (FLI).

Kebijakan tersebut antara lain penyediaan FLI bagi Bank Peserta Sistem BI-RTGS untuk memperlancar

Setelmen Dana khususnya dalam mengatasi permasalahan likuiditas intrahari (intraday liquidity mismatch).

2. Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG) ini berisi pengaturan pelaksanaan atas materi ketentuan

mengenai FLI yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 17/18/PBI/2015 tentang Penyelenggaraan

Transaksi, Penatausahaan Surat Berharga, dan Setelmen Dana Seketika sebagaimana telah beberapa

kali diubah, terakhir dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/14/PBI/2017.

3. Penyempurnaan kebijakan FLI yang mendasar adalah semula FLI harus di-cover dengan agunan dan

dikenakan biaya (priced and collateralized), dengan penerbitan PADG ini diatur menjadi harus di-cover

dengan agunan namun tidak dikenakan biaya (free but collateralized).

4. Adapun pemberlakuan PADG ini mulai berlaku efektif terhitung mulai tanggal 1 Januari 2019.

Tanggal JudulNomor

Tata Cara Penggunaan Fasilitas Likuiditas IntrahariBerlaku: 01-01-2019

Ditetapkan: 01-03-2018

No. 20/2/PADG/2018

Page 125: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

118

I. Latar Belakang

1. PADG ini diterbitkan dalam rangka perluasan pemberian layanan kepada:

a. Kementerian Keuangan cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dalam rangka pengelolaan kas

pemerintah dan pengejawantahan hubungan keuangan antara Bank Indonesia dengan pemerintah.

b. lembaga lain yang menurut pertimbangan Bank Indonesia dapat memperoleh layanan Sub-Registry,

untuk mengakomodir kebutuhan pemberian layanan Sub-Registry di masa yang akan datang.

2. Saat ini Bank Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Bank Indonesia No.18/4/DPTP tanggal 28 Maret

2016 perihal Layanan Sub-Registry Bank Indonesia dalam rangka Konversi Penyaluran Dana Bagi Hasil

dan/atau Dana Alokasi Umum dalam bentuk Nontunai berupa Surat Berharga Negara, yang pemberian

layanannya bersifat khusus dan terbatas kepada pemerintah daerah (pemda) selaku Nasabah Sub-Registry

BI.

3. Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan penyesuaian dan perluasan pengaturan ekstern mengenai

layanan Sub-Registry BI agar dapat mengakomodir penyediaan layanan kepada pihak sebagaimana

dimaksud pada angka 1.

4. Dengan diterbitkannya PADG ini maka Surat Edaran Bank Indonesia No.18/4/DPTP tanggal 28 Maret

2016 sebagaimana dimaksud pada angka 2, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1) Ketentuan Umum;

2) Ruang Lingkup;

3) Tugas dan Tanggung Jawab Sub-Registry BI;

4) Tanggung Jawab Nasabah;

5) Persyaratan dan Tata cara menjadi Nasabah;

6) Spesimen Tanda Tangan;

7) Evaluasi Kepemilikan Rekening Surat Berharga Negara (SBN);

8) Perubahan dan Penutupan Rekening SBN;

9) Mekanisme Pelaksanaan Setelmen;

10) Biaya;

11) Penyediaan Informasi;

12) Keadaan Tidak Normal Dan/Atau Keadaan Darurat;

13) Korespondensi;

14) Ketentuan Lain-Lain; dan

15) Ketentuan Penutup.

Tanggal JudulNomor

Layanan Sub-Registry Bank IndonesiaBerlaku: 29-03-2018

Ditetapkan: 29-03-2018

No. 20/3/PADG/2018

Page 126: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

119

1. Latar belakang penerbitan PADG tentang penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS

antara lain untuk mengatur mengenai perubahan status kepesertaan yang dikarenakan pengalihan aset

dan kewajiban dari pihak yang telah menjadi Peserta BI-SSSS sebagai Sub-Registry kepada pihak yang belum

menjadi Peserta BI-SSSS. Selain itu, dalam rangka mendukung kebijakan Bank Indonesia untuk memberikan

pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi Bank umum, pengaturan mengenai

tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan mendasar dalam penyelenggaraan

BI-SSSS dilakukan secara tersentralisasi.

2. Pokok-pokok pengaturan yang berubah dari Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) Nomor 17/31/DPSP perihal

Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement

System adalah sebagai berikut:

a. Pengaturan terkait dengan kepesertaan Sub-Registry sehubungan dengan adanya pengalihan aset dan

kewajiban yang terjadi karena aksi korporasi selain penggabungan, peleburan dan pemisahan yang telah

disetujui oleh otoritas yang berwenang;

b. Pengaturan mengenai tata cara permohonan dan perubahan kepesertaan yang bersifat strategis dan

mendasar dalam Pelayanan perizinan secara terpadu dalam hubungan operasional bagi Bank umum

dalam penyelenggaraan BI-SSSS yang dilakukan secara tersentralisasi;

c. Pengaturan terkait penatausahaan surat berharga untuk fasilitas likuiditas intrahari dan penghapusan

penatausahaan surat berharga dalam rangka collateral prefund;

d. Batas waktu kewajiban pelaksanaan security audit dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan sejak terjadi

perubahan sistem teknologi informasi internal Peserta BI-SSSS;

e. Penambahan pengaturan kewajiban Peserta BI-SSSS untuk ikut serta dalam uji coba sistem cadangan

yang diselenggarakan Penyelenggara. Hal ini ditujukan agar Peserta berkomitmen mengikuti uji coba

untuk mendukung kelancaran sistem pembayaran;

f. Penyesuaian mekanisme pengagunan surat berharga dalam rangka pinjaman likuiditas jangka pendek;

dan

g. Pelaksanaan pembebanan biaya instruksi setelmen yang tidak lolos validasi sistem dilakukan pada 1

(satu) hari kerja berikutnya.

3. PADG ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, kecuali:

a. Ketentuan mengenai kewajiban Sub-Registry untuk mengelola dan melaporkan data nasabah khusus

informasi berupa prinsip usaha, mulai berlaku pada tanggal 1 Juni 2018;

b. Ketentuan mengenai instruksi Setelmen atas transaksi Surat Berharga Peserta yang akan masuk dalam

mekanisme antrian atau dibatalkan, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019;

Tanggal JudulNomor

Penyelenggaraan Penatausahaan Surat Berharga Melalui

Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System

Berlaku: 05-04-2018

Ditetapkan: 05-04-2018

No. 20/4/PADG/2018

Page 127: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

c. Ketentuan mengenai Setelmen atas transaksi antar-Peserta untuk transaksi repo, SLB, PUAB dan PUAS

yang jatuh waktu (second leg), mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019; dan

d. Ketentuan mengenai Penatausahaan Surat Berharga untuk FLI, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari

2019.

I. Latar Belakang

Peraturan Anggota Dewan Dewan Gubernur (PADG) ini disusun sebagai salah satu ketentuan pelaksanaan

terkait Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang

Operasi Moneter (PBI OM) yang mengatur mengenai instrumen-instrumen yang digunakan dalam pelaksanaan

Operasi Pasar Terbuka (OPT) baik OPT Konvensional maupun OPT Syariah.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Pelaksanaan OPT oleh Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam PBI OM, dilaksanakan sebagai salah

satu upaya untuk mencapai tujuan Operasi Moneter yaitu mendukung pencapaian stabilitas moneter,

yang dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi.

2. OPT dapat dilakukan pada Hari Kerja yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

3. Window time OPT dapat dilakukan antara pukul 08.00 WIB sampai dengan pukul 16.00 WIB atau waktu

lain yang ditetapkan Bank Indonesia.

4. Bank Indonesia melakukan OPT melalui Sistem BI-ETP atau sarana dealing system yang ditetapkan Bank

Indonesia.

5. Bank Indonesia melakukan OPT dengan mekanisme lelang dan/atau nonlelang, dimana:

a. mekanisme lelang dapat dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate tender) atau metode

harga beragam (variable rate tender); dan

b. mekanisme nonlelang dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan peserta OPT.

6. Pelaksanaan OPT dengan mekanisme lelang dapat dilakukan dengan metode harga tetap (fixed rate

tender) atau metode harga beragam (variable rate tender).

7. Pelaksanaan OPT dengan mekanisme nonlelang, dilakukan secara bilateral antara Bank Indonesia dengan

peserta OPT.

120

Tanggal JudulNomor

Instrumen Operasi Pasar TerbukaBerlaku: 20-04-2018

Ditetapkan: 20-04-2018

No. 20/5/PADG/2018

Page 128: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

8. Pelaksanaan OPT Konvensional dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut:

a. Penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas;

b. Transaksi repurchase agreement (repo) dan/atau transaksi reverse repo;

c. Transaksi pembelian dan/atau penjualan SBN secara putus (outright);

d. Transaksi term deposit di Bank Indonesia dalam rupiah;

e. Transaksi term deposit di Bank Indonesia dalam valuta asing;

f. Transaksi spot, swap, dan/atau forward ; dan/atau

g. Transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.

9. Pelaksanaan OPT Syariah dilaksanakan melalui instrumen sebagai berikut:

a. Penerbitan SBIS;

b. Transaksi repo dan/atau reverse repo surat berharga yang memenuhi prinsip syariah;

c. Transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga yang memenuhi prinsip syariah secara putus

(outright);

d. Term deposit syariah di Bank Indonesia dalam valuta asing; dan/atau

e. Transaksi lainnya yang memenuhi prinsip syariah baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.

I. Latar Belakang

Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,

Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter melalui pelaksanaan operasi moneter baik secara

konvensional atau berdasarkan prinsip syariah. Operasi Moneter salah satunya dilakukan oleh Bank Indonesia

melalui pelaksanaan operasi pasar terbuka, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Tahapan pelaksanaan OPT Konvensional dan OPT Syariah secara umum terdiri dari:

a. pengumuman;

b. pengajuan penawaran;

c. penetapan pemenang;

d. pengumuman hasil; dan

e. setelmen.

121

Tanggal JudulNomor

Pelaksanaan Operasi Pasar TerbukaBerlaku: 20-04-2018

Ditetapkan: 20-04-2018

No. 20/6/PADG/2018

Page 129: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

2. Untuk beberapa transaksi OPT dalam valuta asing, selain mengikuti tahapan yang bersifat umum tersebut,

juga terdapat tahapan khusus yang harus dilakukan peserta OPT Konvensional dan peserta OPT Syariah

sebelum pelaksanaan transaksi (lelang), yaitu berupa pendaftaran dan pengkinian informasi untuk

mengikuti transaksi (lelang).

3. Transaksi OPT dalam valuta asing yang memerlukan tahap pendaftaran dan pengkinian informasi adalah

untuk transaksi lelang penerbitan SBBI Valas, Transaksi Term Deposit OPT Konvensional dalam valuta

asing, Transaksi Swap secara lelang, dan Transaksi Term Deposit OPT Syariah dalam valuta asing.

4. Pelaksanaan Transaksi OPT Konvensional:

a. Dalam mengajukan penawaran kepada Bank Indonesia, Peserta OPT Konvensional dan Lembaga

Perantara:

1) bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran OPT Konvensional yang diajukan; dan

2) dilarang membatalkan penawaran OPT Konvensional yang diajukan.

b. Bank Indonesia mengatur mekanisme pelaksanaan transaksi untuk masing-masing instrumen OPT

Konvensional sebagai berikut:

1) penerbitan SBI;

2) penerbitan SDBI;

3) penerbitan SBBI Valas;

4) transaksi repo OPT Konvensional;

5) transaksi reverse repo OPT Konvensional;

6) transaksi pembelian dan penjualan SBN secara putus (outright) di pasar sekunder;

7) transaksi term deposit OPT Konvensional dalam rupiah;

8) transaksi term deposit OPT Konvensional dalam valuta asing;

9) transaksi spot;

10) transaksi forward; dan

11) transaksi swap.

c. Pemilik SBI dilarang mentransaksikan SBI yang dimilikinya dengan pihak lain dalam jangka waktu 7

(tujuh) hari kalender sejak tanggal setelmen pembelian (minimum holding period).

d. BUK dilarang memindahtangankan atau mentransaksikan SDBI yang dimilikinya dengan pihak selain

BUK. Sub-Registry wajib menatausahakan SDBI milik nasabahnya dengan memenuhi ketentuan

tersebut.

e. Peserta OPT Konvensional dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian

informasi sebelum mengikuti pelaksanaan lelang SBBI Valas, transaksi term deposit OPT Konvensional

dalam valuta asing, dan transaksi swap.

f. Bank Indonesia mengatur mekanisme early redemption untuk transaksi term deposit OPT Konvensional

baik dalam rupiah maupun valuta asing.

g. Bank Indonesia mengatur mekanisme pengalihan term deposit OPT Konvensional dalam valuta asing

menjadi transaksi swap jual Bank Indonesia.

122

Page 130: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

5. Pelaksanaan Transaksi OPT Syariah:

a. Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara: i) bertanggung jawab atas kebenaran data penawaran

OPT Syariah yang diajukan kepada Bank Indonesia; dan ii) dilarang membatalkan penawaran OPT

Syariah yang diajukan kepada Bank Indonesia.

b. Bank Indonesia mengatur mekanisme pelaksanaan transaksi untuk masing-masing instrumen OPT

Syariah sebagai berikut:

1) penerbitan SBIS;

2) transaksi repo OPT Syariah;

3) transaksi reverse repo OPT Syariah;

4) transaksi pembelian dan penjualan SBSN secara putus (outright) di pasar sekunder; dan

5) transaksi term deposit OPT syariah dalam valuta asing.

c. Peserta OPT Syariah dan Lembaga Perantara melakukan pendaftaran dan/atau pengkinian informasi

sebelum mengikuti pelaksanaan lelang transaksi term deposit OPT Syariah dalam valuta asing.

d. Peserta OPT Syariah menyampaikan dokumen janji (wa'd) dan dokumen pendukung sesuai persyaratan

Bank Indonesia untuk dapat mengikuti lelang transaksi repo OPT Syariah dan transaksi reverse repo

OPT Syariah.

e. Bank Indonesia mengatur mekanisme early redemption untuk transaksi term deposit OPT Syariah

dalam valuta asing.

6. Pelaksanaan OPT dalam Keadaan Tidak Normal.

a. Bank Indonesia mengatur bahwa pelaksanaan transaksi OPT dalam rupiah dalam keadaan tidak

normal mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai penyelenggaraan Sistem

BI-ETP, penyelenggaraan penatausahaan surat berharga melalui BI-SSSS, dan/atau penyelenggaraan

setelmen dana seketika melalui Sistem BI-RTGS.

b. Bank Indonesia mengatur bahwa dalam hal terjadi keadaan tidak normal pada sistem otomasi lelang

Operasi Moneter dalam valuta asing yang memengaruhi pelaksanaan transaksi term deposit OPT

Konvensional dalam valuta asing, transaksi term deposit OPT Syariah dalam valuta asing dan/atau

transaksi swap secara lelang, Bank Indonesia dapat menyesuaikan window time transaksi, membatalkan

proses lelang, atau melakukan transaksi secara manual.

c. Bank Indonesia mengatur mekanisme pelaksanaan transaksi secara manual untuk transaksi term

deposit OPT Konvensional dalam valuta asing, transaksi term deposit OPT Syariah dalam valuta asing

dan transaksi swap secara lelang dalam hal terjadi keadaan tidak normal.

7. Pengenaan Sanksi dalam Transaksi OPT

Bank Indonesia mengenakan sanksi terkait pelaksanaan transaksi OPT dalam hal:

a. Peserta OPT Konvensional tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Konvensional

dalam rupiah;

b. Peserta OPT Konvensional tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Konvensional

dalam valuta asing;

c. BUK dan/atau Sub-Registry tidak memenuhi ketentuan kewajiban minimum holding period SBI;

123

Page 131: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

d. BUK dan/atau Sub-Registry melanggar ketentuan terkait larangan memindahtangankan atau

mentransaksikan SDBI dengan pihak selain BUK;

e. Peserta OPT Syariah tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Syariah dalam rupiah;

f. Peserta OPT Syariah tidak dapat memenuhi kewajiban setelmen transaksi OPT Syariah dalam valuta

asing.

8. Dengan berlakunya Peraturan Anggota Dewan Gubernur ini maka beberapa ketentuan terkait dinyatakan

dicabut dan tidak berlaku, yaitu:

a. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/40/DPM perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement

Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;

b. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/41/DPM perihal Tata Cara Transaksi Reverse Repurchase Agreement

Surat Berharga Syariah Negara Dengan Bank Indonesia Dalam Rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;

c. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/44/DPM perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia

Syariah Melalui Lelang dalam rangka Operasi Pasar Terbuka Syariah;

d. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/46/DPM perihal Tata Cara Pembelian dan Penjualan Surat Berharga

Syariah Negara Secara Outright Dari Bank Indonesia di Pasar Sekunder Dalam Rangka Operasi Pasar

Terbuka Syariah;

e. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/24/DPM perihal Operasi Pasar Terbuka;

f. Surat Edaran Bank Indonesia No. 18/31/DPM perihal Tata Cara Penempatan Berjangka (Term Deposit)

Syariah dalam Valuta Asing; dan

g. Surat Edaran Bank Indonesia No. 17/48/DPD perihal Penerbitan, Tata Cara Lelang, dan Penatausahaan

Surat Berharga Bank Indonesia dalam Valuta Asing.

I. Latar Belakang

Peraturan Anggota Dewan Dewan Gubernur ini merupakan aturan teknis pelaksanaan Operasi Moneter

sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi Moneter (PBI

OM). Penyusunan PADG ini juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan aspek tata kelola, standarisasi,

dan kepatuhan kepesertaan dalam pelaksanaan Operasi Moneter, dipandang perlu untuk mengatur perizinan

dan pengawasan terkait kepesertaan dalam Operasi Moneter.

Tanggal JudulNomor

Kepesertaan Operasi MoneterBerlaku: 30-04-2018

Ditetapkan: 30-04-2018

No. 20/7/PADG/2018

124

Page 132: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Peserta Operasi Moneter terdiri atas peserta OPT dan peserta Standing Facilities, yang sudah memperoleh

izin dari Bank Indonesia. Peserta OPT dan peserta Standing Facilities adalah Bank.

2. Peserta OPT dapat mengikuti OPT secara langsung, maupun secara tidak langsung yaitu melalui lembaga

perantara.

3. Peserta Standing Facilities hanya dapat mengikuti Standing Facilities secara langsung.

4. Lembaga Perantara adalah Pialang Pasar Uang dan Perusahaan Efek, yang telah memperoleh izin dari

Bank Indonesia sebagai lembaga perantara dalam Operasi Moneter.

5. Izin bagi Bank sebagai peserta Operasi Moneter yang diberikan oleh Bank Indonesia terdiri atas:

a. izin sebagai peserta OMK dalam rupiah;

b. izin sebagai peserta OMK dalam valuta asing;

c. izin sebagai peserta OMS dalam rupiah; dan

d. izin sebagai peserta OMS dalam valuta asing.

6. Sedangkan izin sebagai Lembaga Perantara berupa:

a. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam rupiah; dan/atau

b. izin sebagai Lembaga Perantara OPT Konvensional dan OPT Syariah dalam valuta asing.

7. Lembaga Perantara hanya dapat mengajukan penawaran transaksi OPT untuk dan atas nama peserta

OPT.

8. Bank yang akan menjadi peserta Operasi Moneter dan/atau Pialang uang dan/atau Perusahaan Efek

yang akan mengikuti OPT harus memenuhi persyaratan yang meliputi:

a. aspek kelembagaan;

b. aspek infrastruktur;

c. aspek sumber daya manusia; dan

d. aspek manajemen risiko.

9. Penetapan untuk memperoleh izin sebagai peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter

dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. aspek kapasitas;

b. aspek kapabilitas; dan

c. aspek reputasi.

10. Izin untuk mengikuti Operasi Moneter wajib diajukan oleh:

a. pihak yang akan menjadi peserta dan lembaga perantara dalam Operasi Moneter;

b. peserta Operasi Moneter berupa Bank yang melakukan langkah strategis dan mendasar serta

berdampak pada hubungan operasional Bank dengan Bank Indonesia di bidang moneter;

c. Bank baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang, harus mengajukan izin

sebagai peserta Operasi Moneter;

d. lembaga perantara dalam Operasi Moneter yang melakukan langkah strategis dan mendasar; atau

e. lembaga perantara baru yang telah memperoleh izin usaha dari otoritas yang berwenang.

125

Page 133: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

11. Pengajuan izin sebagai Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter disampaikan melalui

permohonan kepada Bank Indonesia disertai dengan dokumen pendukung pemenuhan persyaratan

kepesertaan Operasi Moneter.

12. Dalam rangka memproses permohonan izin Bank sebagai peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga

Perantara, Bank Indonesia melakukan:

a. penelitian administratif;

b. analisis kelayakan Bank, Pialang Pasar Uang, dan/atau Perusahaan Efek yang akan mengikuti Operasi

Moneter; dan/atau

c. melakukan pemeriksaan.

13. Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau

keterangan apabila terdapat perubahan data dan/atau informasi terkait pemenuhan persyaratan dalam

Operasi Moneter.

14. Izin sebagai peserta dan/atau Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter dapat dicabut apabila:

a. peserta dan/atau Lembaga Perantara dicabut izin usahanya oleh otoritas terkait;

b. peserta dan/atau Lembaga Perantara mengajukan permohonan pencabutan izin kepesertaan dalam

Operasi Moneter.

15. Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara

melalui pengawasan tidak langsung dan/atau pemeriksaan.

16. Dalam rangka pengawasan tidak langsung, peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara wajib

menyediakan dan menyampaikan data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan oleh Bank

Indonesia.

17. Dalam rangka pemeriksaan, peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara wajib memberikan

kepada Bank Indonesia:

a. dokumen dan/atau data yang diminta;

b. informasi dan keterangan yang berkaitan dengan kegiatan yang diperiksa, baik lisan maupun tertulis;

dan/atau

c. hal lain yang diperlukan dalam pemeriksaan

18. Sanksi administratif yang dikenakan kepada peserta Operasi Moneter dan/atau Lembaga Perantara

terkait pelanggaran atas pemenuhan persyaratan sebagai peserta dan/atau Lembaga Perantara dalam

Operasi Moneter adalah berupa:

a. teguran tertulis;

b. pembatasan kepesertaan Operasi Moneter; dan/atau

c. pencabutan izin kepesertaan Operasi Moneter.

19. Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum PBI OM berlaku,

wajib mengajukan izin kepada Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sejak PBI OM berlaku.

20. Dalam hal Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum PBI OM

berlaku belum memenuhi persyaratan kepesertaan Operasi Moneter, Bank dan/atau Pialang Pasar Uang

dimaksud wajib menyusun rencana tindak dan diimplementasikan dalam jangka waktu 6 (enam) sejak

PBI OM berlaku.

126

Page 134: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

21. Apabila Bank dan/atau Pialang Pasar Uang yang telah mengikuti Operasi Moneter sebelum PBI OM

berlaku tidak memenuhi persyaratan perizinan kepesertaan Operasi Moneter dalam jangka waktu

implementasi rencana tindak dalam angka 20, Bank dan/atau Pialang Pasar Uang dikenakan sanksi

sebagaimana dalam angka 18.

22. OM berlaku tidak mengajukan permohonan izin keikutsertaan dalam Operasi Moneter hingga masa

transisi berakhir, maka Bank dan/atau Pialang Pasar Uang tidak dapat mengikuti Operasi Moneter.

23. PADG ini mencabut pengaturan terkait kriteria dan persyaratan peserta dan lembaga perantara dalam

Operasi Moneter sebagaimana diatur dalam:

a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/29/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Kriteria dan

Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter; dan

b. Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/17/PADG/2017 tanggal 28 Desember 2017 tentang

Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter

Syariah.

I. Latar Belakang

PADG ini merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari PBI Nomor 20/5/PBI/2018 tentang Operasi

Moneter (PBI OM) yang mengatur tentang kriteria dan persyaratan surat berharga yang dapat menjadi

underlying dalam transaksi Operasi Moneter. PADG ini merupakan penyatuan dari pengaturan-pengaturan

sebelumnya yang berisi substansi terkait kriteria dan persyaratan surat berharga dalam Operasi Moneter

Konvensional (OMK) dan Operasi Moneter Syariah (OMS).

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Kriteria surat berharga yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter Konvensional (OMK) adalah

sebagai berikut:

a. Surat berharga dalam mata uang rupiah, dengan kriteria:

1) diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia;

2) tercatat di BI-SSSS; dan

3) tidak sedang diagunkan.

127

Tanggal JudulNomor

Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga dalam

Operasi Moneter

Berlaku: 30-04-2018

Ditetapkan: 30-04-2018

No. 20/8/PADG/2018

Page 135: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

b. Surat berharga dalam valuta asing, dengan kriteria:

1) diterbitkan oleh pemerintah negara lain yang bank sentralnya memiliki kerja sama dengan Bank

Indonesia;

2) sesuai denominasi asal negara penerbit;

3) tercatat pada aktiva peserta OMK yang tercatat pada rekening surat berharga milik peserta OMK

di lembaga kustodian yang disepakati;

4) memiliki peringkat investasi (investment grade); dan

5) tidak sedang diagunkan.

2. Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria untuk dapat dipergunakan dalam OMK terdiri atas:

a. SBI;

b. SDBI;

c. SBN, yang meliputi:

1) SUN, meliputi SPN dan Obligasi Negara termasuk ZCB dan ORI; dan

2) SBSN, yang meliputi SBSN Jangka Pendek dan SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel; dan

d. surat berharga dalam valuta asing jangka pendek atau jangka panjang yang diterbitkan oleh

pemerintah negara lain (sovereign bond).

3. Persyaratan sisa jangka waktu surat berharga dalam OMK diatur sebagai berikut:

a. untuk SBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) hari kerja pada saat second leg Transaksi

Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility.

b. untuk SDBI, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg

Transaksi Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility;

c. untuk SBN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi

Repo OPT Konvensional dan Transaksi Lending Facility; dan

d. untuk surat berharga dalam valuta asing, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 30 (tiga puluh)

hari kalender pada saat second leg Transaksi Repo OPT Konvensional.

4. Kriteria surat berharga yang dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter Syariah (OMS) adalah sebagai

berikut:

a. diterbitkan dengan memenuhi prinsip syariah;

b. diterbitkan oleh Bank Indonesia, dan/atau Negara Republik Indonesia;

c. diterbitkan dalam mata uang rupiah;

d. tercatat di BI-SSSS; dan

e. tidak sedang diagunkan.

5. Jenis surat berharga yang memenuhi kriteria untuk dapat dipergunakan dalam Operasi Moneter Syariah

terdiri atas:

a. SBIS;

b. SBSN, yang meliputi:

1) SBSN Jangka Pendek; dan

2) SBSN Jangka Panjang termasuk SBSN Ritel.

128

Page 136: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

6. Persyaratan sisa jangka waktu surat berharga dalam OMS diatur sebagai berikut:

a. untuk SBIS, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 2 (dua) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi

Financing Facility; dan

b. untuk SBSN, memiliki sisa jangka waktu paling singkat 3 (tiga) Hari Kerja pada saat second leg Transaksi

Repo OPT Syariah dan Transaksi Financing Facility.

7. SBN yang diperoleh peserta Operasi Moneter dari Bank Indonesia dalam Transaksi Reverse Repo OPT

Konvensional atau Transaksi Reverse Repo OPT Syariah dapat digunakan kembali dalam transaksi di

pasar sekunder dengan tetap memperhatikan ketentuan yang dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang.

8. Bank Indonesia menetapkan harga dan haircut surat berharga yang digunakan dalam Operasi Moneter.

9. Bank Indonesia dapat mengubah besaran haircut dan perubahannya.

I. Latar Belakang

PADG tentang Standing Facilities terbit sebagai peraturan pelaksanaan dari PBI Nomor 20/5/PBI/2018 tentang

Operasi Moneter. Dengan diterbitkannya PADG ini, peraturan pelaksanaan Standing Facilities konvensional

dan Standing Facilities syariah yang sebelumnya diatur dalam berbagai ketentuan terpisah, saat ini menjadi

disatukan dalam satu PADG tentang Standing Facilities.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana rupiah dari Bank Indonesia kepada Bank dan

penempatan dana rupiah oleh Bank di Bank Indonesia untuk Operasi Moneter.

2. Standing Facilities memiliki karateristik sebagai berikut:

a. disediakan oleh Bank Indonesia pada setiap Hari Kerja;

b. dilakukan dengan mekanisme nonlelang;

c. pengajuan transaksi dilakukan melalui Sistem BI-ETP;

d. jangka waktu:

1) Lending Facility dan Financing Facility adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight);

2) Deposit Facility:

129

Tanggal JudulNomor

Standing FacilitiesBerlaku: 30-04-2018

Ditetapkan: 30-04-2018

No. 20/9/PADG/2018

Page 137: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

a) yang dilakukan secara konvensional adalah 1 (satu) Hari Kerja (overnight);

b) yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah paling lama 14 (empat belas) hari kalender dihitung

dari 1 (satu) hari setelah tanggal setelmen sampai dengan tanggal jatuh waktu;

e. jumlah hari dalam perhitungan:

1) nilai bunga repo dalam Lending Facility;

2) Biaya Repo SBIS atau nilai Margin Repo SBSN dalam Financing Facility; dan

3) nilai diskonto atau imbalan dalam Deposit Facility,

dihitung berdasarkan hari kalender.

f. ditatausahakan pada Rekening Surat Berharga di BI-SSSS.

3. Standing Facilities konvensional dapat diikuti oleh BUK yang telah memperoleh izin dari Bank Indonesia

sebagai peserta Operasi Moneter konvensional sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia

yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.

4. Standing Facilities syariah dapat diikuti oleh BUS dan/atau UUS yang telah memperoleh izin dari Bank

Indonesia sebagai peserta Operasi Moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kepesertaan operasi moneter.

5. Bank Indonesia melaksanakan Standing Facilities konvensional melalui:

a. Transaksi Lending Facility yang dilakukan dengan mekanisme repurchase agreement (repo) surat

berharga, yaitu penjualan surat berharga oleh Peserta Standing Facilities Konvensional kepada Bank

Indonesia dengan kewajiban pembelian kembali oleh Peserta Standing Facilities Konvensional sesuai

dengan harga dan jangka waktu yang disepakati. Adapun Surat berharga yang dapat di-repo-kan

dalam transaksi Lending Facility adalah SBI, SDBI, dan SBN.

b. Transaksi Deposit Facility konvensional yang dilakukan dengan mekanisme penempatan dana rupiah

oleh Peserta Standing Facilities konvensional secara berjangka di Bank Indonesia, tanpa disertai

dengan penerbitan surat berharga.

6. Bank Indonesia melaksanakan Standing Facilities syariah melalui:

a. Transaksi Financing Facility yang dilakukan dengan mekanisme repo surat berharga berupa:

1) SBIS yang dilakukan dengan prinsip collateralized borrowing; atau

2) SBSN yang dilakukan dengan prinsip sell and buyback.

b. Transaksi Deposit Facility syariah dilakukan dengan mekanisme penempatan dana rupiah oleh Peserta

Standing Facilities Syariah secara berjangka di Bank Indonesia, tanpa disertai dengan penerbitan

surat berharga.

7. Sebelum mengikuti transaksi Financing Facility dengan surat berharga SBIS (Repo SBIS), Peserta Standing

Facilities Syariah harus menyampaikan Perjanjian yang disertai dengan surat pengantar dan dokumen

pendukung.

8. Sebelum mengikuti transaksi Financing Facility dengan surat berharga SBSN (Repo SBSN), Peserta Standing

Facilities Syariah harus menyampaikan dokumen janji (wa'd) yang disertai dengan surat pengantar dan

dokumen pendukung.

9. Window time transaksi Lending Facility dan Financing Facility adalah dari pukul 16.00 WIB sampai dengan

pukul 18.00 WIB atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

130

Page 138: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

10. Window time transaksi Deposit Facility adalah dari pukul 16.00 WIB sampai dengan pukul 17.30 WIB

atau waktu lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.

11. Setelmen transaksi Standing Facilities dilakukan pada tanggal transaksi (same day settlement) pada awal

periode pre cut-off Sistem BI-RTGS.

12. Setelmen Standing Facilities jatuh waktu dilakukan pada tanggal jatuh waktu, yaitu sejak Sistem BI-

RTGS dibuka sampai dengan sebelum periode cut-off warning Sistem BI-RTGS.

13. Peserta Standing Facilities wajib memiliki dana di Rekening Giro dan/atau surat berharga di Rekening

Surat Berharga yang mencukupi untuk memenuhi kewajiban setelmen Standing Facilities. Dalam hal

Peserta Standing Facilities tidak dapat memenuhi kewajiban pada saat dilakukan setelmen sehingga

menyebabkan batalnya transaksi Standing Facilities, Peserta Standing Facilities dikenakan sanksi berupa:

a. teguran tertulis, dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan;

b. kewajiban membayar sebesar 0,01% (nol koma nol satu persen) dari nilai transaksi Standing Facilities

yang dinyatakan batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling

banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Dalam hal transaksi memiliki second leg,

maka nilai transaksi yang dinyatakan batal yang dijadikan dasar perhitungan sanksi kewajiban

membayar adalah nilai transaksi pada saat first leg;

c. sanksi penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan Operasi Moneter selama 5 (lima) hari kerja

berturut-turut apabila transaksi Operasi Moneter, yang meliputi transaksi Operasi Pasar Terbuka dan

transaksi Standing Facilities, batal untuk ketiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan;

d. khusus untuk pembatalan transaksi Financing Facility yang menggunakan surat berharga berupa

SBSN dengan harga SBSN pada saat second leg lebih rendah dari harga SBSN pada saat transaksi

first leg, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, dan/atau angka

3, Peserta Standing Facilities Syariah dikenakan sanksi tambahan berupa kewajiban membayar

sebesar selisih antara harga pada transaksi first leg dan harga pada transaksi second leg setelah

dikalikan dengan nominal SBSN yang di-repo-kan.

14. Pada saat PADG ini mulai berlaku:

a. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 18/30/DPM tanggal 29 November 2016 perihal Koridor Suku

Bunga (Standing Facilities);

b. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/42/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara Transaksi

Repurchase Agreement Surat Berharga Syariah Negara dengan Bank Indonesia Dalam Rangka

Standing Facilities Syariah,

c. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/43/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara

Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah; dan

d. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 17/45/DPM tanggal 16 November 2015 perihal Tata Cara

Transaksi Repurchase Agreement Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia Dalam

Rangka Standing Facilities Syariah.

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

15. PADG ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

131

Page 139: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Tanggal JudulNomor

Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta

Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank

Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah

Berlaku: 16-07-2018

Ditetapkan: 31-05-2018

No. 20/10/PADG/2018

I. Latar Belakang

Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Bank Indonesia No. 20/3/PBI/2018 tentang Giro Wajib Minimum

dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha

Syariah, diperlukan penerbitan peraturan pelaksana bagi PBI tersebut. PADG ini merupakan peraturan

pelaksana Giro Wajib Minimum dalam rupiah dan valuta asing, baik untuk Bank Umum Konvensional

maupun untuk Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Selain memuat peraturan pelaksana, PADG

ini juga memuat 12 lampiran berisi contoh-contoh perhitungan pemenuhan GWM.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

Pengaturan dalam PADG ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Ketentuan Umum

2. Besaran dan tata cara perhitungan GWM dalam Rupiah dan dalam Valuta Asing bagi BUK, BUS dan

UUS.

3. Besaran dan tata cara perhitungan GWM dalam Valuta Asing bagi BUK, BUS dan UUS.

4. Tata cara pemenuhan GWM bagi BUK dan BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan.

5. Tata cara pemenuhan GWM bagi BUK, BUS dan UUS yang Baru Mendapatkan Izin Melakukan Kegiatan

Usaha dalam Valuta Asing.

6. Tata cara pemenuhan GWM bagi BUS Hasil Pemisahan UUS dari BUK.

7. Tata cara pemenuhan GWM bagi BUS Hasil Perubahan Kegiatan Usaha BUK.

8. Tata cara pemenuhan GWM bagi BUK Menerima Pinjaman Likuditas jangka Pendek (PLJP) dan bagi BUS

dan UUS yang Menerima Pembiayaan Likuditas jangka Pendek Syariah (PLJPS).

9. Sanksi bagi BUK, BUS dan UUS.

10. Contoh perhitungan Pemenuhan GWM bagi BUK, BUS dan UUS.

11. Ketentuan Penutup

132

Page 140: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

I. Latar Belakang

Sehubungan dengan penerbitan Peraturan Bank Indonesia No. 20/4/PBI/2018 tentang Rasio Intermediasi

Makroprudensial dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum

Syariah, dan Unit Usaha Syariah, diperlukan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Bank Indonesia tersebut

yang mengatur hal-hal teknis mengenai mekanisme pelaksanaan ketentuan rasio intermediasi makroprudensial

dan penyangga likuiditas makroprudensial dalam bentuk Peraturan Anggota Dewan Gubernur (PADG).

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. PADG RIM dan PLM mengatur secara teknis antara lain terkait pengaturan mengenai penggunaan

sumber data dalam perhitungan RIM dan PLM, formula dan contoh perhitungan RIM dan PLM, tata cara

penyampaian laporan surat berharga yang dibutuhkan dalam perhitungan RIM, evaluasi kebijakan RIM

dan PLM, serta pengenaan sanksi.

2. Adapun, struktur pengaturan dari PADG RIM dan PLM yaitu:

a. Ketentuan umum

b. Kewajiban Pemenuhan Giro RIM dan Giro RIM Syariah

1) Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM

2) Tata Cara Pemenuhan Kewajiban Giro RIM Syariah

3) Pemberian Kelonggaran atas Pemenuhan Giro RIM atau Giro RIM Syariah

4) Tata Cara Penyampaian Laporan Surat Berharga

5) Evaluasi Kebijakan RIM dan RIM Syariah

c. Tata cara Pemenuhan PLM dan PLM Syariah

1) Tata Cara Pemenuhan PLM

2) Tata Cara Pemenuhan PLM Syariah

3) Evaluasi Kebijakan PLM dan PLM Syariah

d. Tata Cara Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah untuk Penggabungan atau

Peleburan BUK atau BUS, Perubahan Kegiatan Usaha BUK Menjadi BUS, dan Pemisahan UUS Menjadi

BUS

133

Tanggal JudulNomor

Rasio Intermediasi Makroprudensial dan

Penyangga Likuiditas Makroprudensial bagi

Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah,

dan Unit Usaha Syariah

Berlaku: 31-05-2018

Ditetapkan: 31-05-2018

No. 20/11/PADG/2018

Page 141: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

1) BUK yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan

2) BUS yang Melakukan Penggabungan atau Peleburan

3) Perubahan Kegiatan Usaha BUK Menjadi BUS

4) BUK yang Melakukan Pemisahan UUS Menjadi BUS

e. Tata Cara Pengenaan Sanksi

f. Contoh Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah

g. Ketentuan Peralihan

h. Ketentuan Penutup

i. Lampiran PADG

1) Format Laporan Surat Berharga

2) Daftar Alamat Surat Elektronik Penyampaian Laporan Surat Berharga dan Surat Berharga Syariah

Bank

3) Contoh Pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah, serta Sanksi Kewajiban

Membayar

4) Contoh Pemenuhan Giro RIM dan PLM bagi BUK yang Melakukan Penggabungan

3. Khusus terkait tata cara penyampaian laporan surat berharga yang dibutuhkan dalam perhitungan RIM

dan RIM Syariah, berikut beberapa hal yang perlu mendapat perhatian:

a. Laporan surat berharga yang dibutuhkan dalam perhitungan RIM dan RIM syariah meliputi laporan

surat berharga korporasi yang dimiliki bank dan laporan surat berharga yang diterbitkan oleh bank

dengan kriteria surat berharga sebagaimana yang telah diatur di dalam PBI RIM dan PLM. Adapun

format laporan surat berharga dapat dilihat pada Lampiran I PADG RIM dan PLM.

b. Bagi bank umum konvensional (BUK), laporan surat berharga ini telah menjadi kewajiban sebelumnya

pada perhitungan GWM loan to funding ratio, dimana bank diminta menyampaikan laporan surat

berharga yang diterbitkan oleh bank dengan kriteria surat berharga yang telah ditetapkan dalam

ketentuan terkait. Dalam RIM, maka terdapat tambahan surat berharga yang perlu dilaporkan yaitu

surat berharga korporasi yang dimiliki bank.

c. Adapun bagi bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS), laporan surat berharga ini

menjadi kewajiban baru sejalan dengan diberlakukannya RIM Syariah.

d. Laporan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a, pertama kali dilaporkan kepada Bank

Indonesia untuk posisi bulan:

1) Mei 2018, untuk surat berharga korporasi yang dimiliki BUK dalam rupiah dan valuta asing dan

surat berharga yang diterbitkan BUK dalam rupiah dan valuta asing, yang wajib disampaikan

oleh BUK paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya bulan laporan, yaitu tanggal

27 Juni 2018; dan

2) Agustus 2018, untuk surat berharga syariah korporasi yang dimiliki BUS dan UUS dalam rupiah

dan valuta asing serta surat berharga syariah yang diterbitkan BUS dan UUS dalam rupiah dan

valuta asing, yang wajib disampaikan oleh BUS dan UUS paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja

setelah berakhirnya bulan laporan, yaitu tanggal 17 September 2018.

134

Page 142: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

I. Latar Belakang

Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 20/12/PADG/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembawaan

Uang Kertas Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia (PADG Pembawaan UKA) diterbitkan

dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Aktivitas kegiatan pembawaan Uang Kertas Asing (UKA) ke dalam dan ke luar daerah Pabean Indonesia

saat ini cukup tinggi. Untuk itu, diperlukan ketersediaan data dan informasi yang dimiliki Bank Indonesia

terkait jumlah UKA yang masuk dan keluar daerah pabean Indonesia berikut underlying atas kegiatan

pembawaan UKA tersebut, sehingga dapat mendukung upaya BI dalam menjaga kestabilan rupiah.

Ketersediaan informasi terkait pembawaan UKA lintas batas tersebut dirasakan belum memadai sehingga

dipandang perlu untuk adanya mekanisme untuk pengendalian aktivitas pembawaan UKA dimaksud.

b. Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 19/7/PBI/2017 tanggal 3 Mei 2017

sebagaimana diubah dengan PBI No. 20/2/PBI/2018 tanggal 1 Maret 2018 tentang Pembawaan Uang

Kertas Asing Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean Indonesia (PBI Pembawaan UKA). Untuk memastikan

implementasi yang efektif atas PBI dimaksud, diperlukan ketentuan lebih lanjut sebagai pedoman

pelaksanaan bagi Badan Berizin yaitu Bank dan Penyelenggara Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing

Bukan Bank (KUPVA BB) atas pembawaan UKA.

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Cakupan pengaturan PADG Pembawaan UKA meliputi:

a. Ketentuan Umum

b. Izin sebagai Badan Berizin yang dapat melakukan Pembawaan UKA

1) Persyaratan Badan Berizin

2) Tata Cara Pengajuan Permohonan Sebagai Badan Berizin

3) Pemrosesan Permohonan Sebagai Badan Berizin

4) Perpanjangan Izin Sebagai Badan Berizin

c. Persetujuan Pembawaan UKA

1) Bentuk Persetujuan Pembawaan UKA (Persetujuan Kuota dan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan

UKA)

2) Persetujuan Kuota

a) Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kuota

b) Persetujuan Kuota oleh Bank Indonesia

c) Tata Cara Penambahan Kuota

135

Tanggal JudulNomor

Pedoman Pelaksanaan Pembawaan Uang Kertas

Asing ke Dalam dan ke Luar Daerah Pabean Indonesia

Berlaku: 04-06-2018

Ditetapkan: 04-06-2018

No. 20/12/PADG/2018

Page 143: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

3) Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA

a) Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA Melalui Barang Bawaan

Penumpang

b) Tata Cara Pengajuan Persetujuan untuk Setiap Pembawaan UKA Melalui Jalur Kargo

d. Persyaratan dan Tata Cara Pembawaan UKA oleh Badan Berizin

1) Pembawaan UKA Secara Langsung oleh Badan Berizin dan/atau Melalui PJPUR Terdaftar

2) Pembawaan UKA Melalui Barang Bawaan Penumpang

3) Pembawaan UKA Melalui Jalur Kargo

e. Tata Cara Penyampaian Perubahan Data dan/atau Informasi Bagi Bank

f. Tata Cara Penyampaian Laporan

g. Tata Cara Pengenaan Sanksi

h. Ketentuan Penutup

2. Tata cara pengajuan Izin sebagai Badan Berizin Pembawaan UKA oleh Bank dan Penyelenggara KUPVA

BB, meliputi hal-hal sebagai berikut:

a. Persyaratan Untuk Memperoleh Izin sebagai Badan Berizin Pembawaan UKA

Bank dan/atau Penyelenggara KUPVA BB yang dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh

izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia, antara lain memiliki izin sebagai Bank Devisa atau izin dari otoritas untuk melakukan

kegiatan penukaran uang kertas asing. Sementara itu, Penyelenggara KUPVA BB harus memenuhi

persyaratan permodalan minimum sebesar Rp 2 Miliar dan persyaratan operasional lainnya.

b. Tata Cara Pengajuan Izin sebagai Badan Berizin Pembawaan UKA

Bank dan Penyelenggara KUPVA BB mengajukan izin pembawaan UKA melalui sistem aplikasi

pembawaan UKA atau melalui surat dalam hal sistem aplikasi pembawaan UKA tidak dapat digunakan.

Bank dan Penyelenggara KUPVA BB juga wajib menyampaikan dokumen yang dipersyaratkan

sebagaimana diatur dalam PADG Pembawaan UKA dimaksud.

Tata cara pemrosesan izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA yang dilakukan oleh Bank Indonesia

baik oleh kantor pusat (DKSP) maupun kantor perwakilan dalam negeri dan dilakukan melalui tahapan

berikut:

1) pemeriksaan kelengkapan dokumen,

2) analisis kesesuaian dokumen,

3) pemeriksaan kesiapan operasional (dalam hal diperlukan).

c. Satuan Kerja yang Melakukan Pemrosesan Izin sebagai Badan Berizin Pembawaan UKA

Pemrosesan izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA dilakukan secara desentralisasi sebagai berikut:

1) bagi Bank dan Penyelenggara KUPVA BB yang berkantor pusat di wilayah Jakarta, Bogor, Depok,

Bekasi, dan Karawang (Jabodebeka), pemrosesan permohonan izin sebagai Badan Berizin dilakukan

oleh Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP); dan

2) bagi Bank dan Penyelenggara KUPVA BB yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodebeka,

pemrosesan permohonan izin sebagai Badan Berizin dilakukan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia

Dalam Negeri (KPwDN) yang membawahi kantor pusat Bank dan Penyelenggara KUPVA BB tersebut.

136

Page 144: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

d. Perpanjangan Izin sebagai Badan Berizin Pembawaan UKA

Perpanjangan izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA disampaikan kepada Bank Indonesia

sebagai berikut:

1) paling cepat 6 (enam) bulan sebelum izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA berakhir; dan

2) paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum izin sebagai Badan Berizin pembawaan UKA berakhir.

Secara umum, mekanisme perpanjangan izin serupa dengan mekanisme pengajuan izin sebagai

Badan Berizin pembawaan UKA pertama kali, namun dokumen yang disampaikan adalah dokumen

yang mengalami perubahan.

3. Tata Cara Pengajuan Persetujuan Pembawaan UKA oleh Badan Berizin, yang meliputi hal-hal sebagai

berikut:

a. Bentuk Persetujuan Pembawaan UKA

Persetujuan pembawaan UKA yang diberikan oleh Bank Indonesia berupa:

1) Persetujuan pembawaan UKA dalam bentuk kuota per mata uang setiap tiga bulan; dan

2) Persetujuan untuk setiap kali pembawaan UKA.

b. Persetujuan Kuota Pembawaan UKA

1) Persetujuan kuota pembawaan UKA mencakup tata cara bagi Badan Berizin pembawaan UKA

untuk mengajukan permohonan persetujuan kuota kepada Bank Indonesia, mekanisme proses

persetujuan kuota oleh Bank Indonesia, serta tata cara penambahan kuota.

2) Periode persetujuan kuota pembawaan UKA diberikan setiap tiga bulan, yaitu:

a) Periode Januari - Maret;

b) Periode April - Juni;

c) Periode Juli - September; dan

d) Periode Oktober - Desember.

3) Permohonan persetujuan pembawaan UKA dalam bentuk kuota diajukan oleh Badan Berizin

paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tanggal pelaksanaan pembawaan UKA melalui sistem

aplikasi pembawaan UKA.

4) Persetujuan pembawaan UKA dalam bentuk kuota dilakukan secara desentralisasi sebagai berikut:

a) bagi Badan Berizin yang berkantor pusat di wilayah Jabodebeka, pemrosesan permohonan

persetujuan akan dilakukan oleh Departemen Surveilans Sistem Keuangan (DSSK); dan

b) bagi Badan Berizin yang berkantor pusat di luar wilayah Jabodebeka, pemrosesan permohonan

persetujuan akan dilakukan oleh KPwDN yang membawahi kantor pusat Badan Berizin.

5) Kuota yang diberikan oleh Bank Indonesia kepada Badan Berizin berupa kuota per mata uang

yang dibedakan untuk kepentingan pembawaan UKA masuk (impor) dan kepentingan pembawaan

UKA ke luar (ekspor).

6) Badan Berizin dapat mengajukan permohonan penambahan kuota kepada Bank Indonesia paling

banyak 1 (satu) kali dalam periode persetujuan pembawaan UKA yang sama.

c. Persetujuan Setiap Kali Pembawaan UKA

1) Tata cara pengajuan persetujuan untuk setiap kali pembawaan UKA dibedakan antara pembawaan

UKA melalui barang bawaan penumpang dengan melalui jalur kargo.

137

Page 145: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

2) Permohonan persetujuan setiap kali pembawaan UKA oleh Badan Berizin dilakukan melalui:

a) sistem aplikasi pembawaan UKA bagi pembawaan UKA yang dilakukan melalui barang bawaan

penumpang; atau

b) sistem aplikasi ekspor dan impor yang dimiliki oleh otoritas kepabeanan bagi pembawaan

UKA melalui jalur kargo. Pembawaan UKA ke luar (ekspor) menggunakan aplikasi Pemberitahuan

Ekspor Barang (PEB), sedangkan pembawaan UKA masuk (impor) menggunakan aplikasi

Pemberitahuan Impor Barang (PIB).

3) Persetujuan untuk setiap kali pembawaan UKA diberikan dalam bentuk:

a) Dokumen pelengkap kepabeanan yang dicetak melalui sistem aplikasi pembawaan UKA bagi

pembawaan UKA melalui barang bawaan penumpang.

b) Dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) atau Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang

dicetak melalui sistem aplikasi ekspor-impor bagi pembawaan UKA melalui jalur kargo.

4. Persyaratan dan Tata Cara Pembawaan UKA

a. Pembawaan UKA dapat dilakukan secara langsung oleh pegawai Badan Berizin yang bersangkutan

atau menggunakan Penyelenggara Jasa Pengelolaan Uang Rupiah (PJPUR) Terdaftar. Dalam hal Badan

Berizin akan menggunakan jasa PJPUR Terdaftar maka PJPUR Terdaftar tersebut harus memiliki surat

perintah dari Badan Berizin yang bersangkutan.

b. Tata cara pembawaan UKA sendiri dibedakan antara yang melalui barang bawaan penumpang

dengan melalui jalur kargo.

c. Secara umum, Badan Berizin yang melakukan pembawaan UKA melalui barang bawan penumpang

perlu menunjukkan dokumen pelengkap kepabeanan yang berfungsi sebagai persetujuan setiap kali

pembawaan UKA kepada petugas Dirjen Bea Cukai (DJBC). Selanjutnya, petugas DJBC akan melakukan

pemeriksaan terhadap kesesuaian dokumen dengan fisik UKA yang dibawa.

d. Secara umum, tata cara pembawaan UKA melalui jalur kargo mengikuti mekanisme pembawaan

UKA berdasarkan ketentuan kepabeanan yang selama ini telah berlangsung.

5. Tata Cara Penyampaian Perubahan Data dan/atau Informasi Bagi Bank

a. Penyampaian perubahan data dan/atau informasi wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling

lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak dokumen perubahan tersebut disetujui oleh otoritas yang

berwenang.

b. Sehubungan dengan harmonisasi ketentuan Pelayanan Perizinan Terpadu, maka laporan perubahan

data dan informasi bagi bank akan disampaikan kepada DSSK.

6. Tata Cara Penyampaian Laporan

a. Badan Berizin wajib menyampaikan laporan seluruh realisasi pembawaan UKA (termasuk pembawaan

UKA dengan nilai dibawah Rp 1 miliar) untuk setiap periode pembawaan UKA.

b. Laporan realisasi pembawaan UKA disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 10 (sepuluh)

hari kerja sejak akhir periode pembawaan UKA.

7. Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif oleh Bank Indonesia

Secara umum, ketentuan terkait sanksi administratif telah diatur dalam PBI, namun dalam PADG ditambahkan

penjelasan sebagai berikut:

138

Page 146: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

a. Dalam mengenakan sanksi administratif, Bank Indonesia mempertimbangkan:

1) Tingkat kepatuhan Badan Berizin Berizin terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan;

dan/atau

2) faktor lainnya.

b. Pengenaan sanksi administratif oleh Bank Indonesia disampaikan kepada Badan Berizin melalui surat,

yang mana sanksi administratif dimaksud dapat berupa penghentian sementara Pembawaan UKA

dan pencabutan Izin Pembawaan UKA.

c. Pengenaan sanksi administratif dapat disertai dengan kewajiban untuk melakukan atau tidak

melakukan sesuatu dalam rangka pelaksanaan kegiatan pembawaan UKA.

I. Latar Belakang

Ketentuan ini terkait dengan implementasi terbitnya ketentuan sebagai berikut:

a. PBI No.18/18/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak

Domestik

b. PBI No.18/19/PBI/2016 tentang Transaksi Valuta Asing terhadap Rupiah antara Bank dengan Pihak Asing.

c. PBI No.20/5/PBI/2015 tentang Operasi Moneter.

Ketentuan ini terkait dengan implementasi terbitnya ketentuan sebagai berikut:

II. Cakupan perubahan Laporan Harian Bank

Umum adalah sebagai berikut:

139

Tanggal JudulNomor

Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur

Nomor 19/18/PADG/2017 perihal Laporan Harian

Bank Umum

Berlaku: 02-07-2018

Ditetapkan: 26-06-2018

No. 20/13/PADG/2018

No. Form Deskripsi Perubahan

1. Form 202 - Forward,

Swap, Option

1. Menambahkan Sandi “Jenis Option”, yaitu Call Spread Option.

2. Menambahkan kolom “Strike Price 2”, “Nomor Referensi CSO

Terakhir”, “Tanggal Transaksi CSO Terakhir”, dan “Volume CSO”.

3. Penyesuaian validasi di kolom “Jenis Option” dan “Strike Price”

terkait penambahan transaksi Call Spread Option.

Page 147: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

Ketentuan ini mulai berlaku pada 2 Juli 2018.

I. Latar Belakang

Ketentuan ini terkait dengan implementasi ketentuan sbb:

a. PBI No.18/11/PBI/2016 tentang Pasar Uang.

b. PBI No.19/2/PBI/2017 tentang Transaksi Sertifikat Deposito.

c. PBI No.19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.

140

No. Form Deskripsi Perubahan

1. Penyesuain validasi di kolom “Sandi Bank Pembeli” dan “Sandi

Bank Penjual”.

2. Penambahan panjang karakter untuk kolom “Tenor” dan “Jangka

Waktu” menjadi 4 (empat) karakter.

3. Penambahan Jenis Surat Berharga, yaitu Surat Berharga Bank

Indonesia dalam Valuta Asing (SBBI Valas).

4. Penyesuaian nama kolom “Diskonto/Suku Bunga/Imbalan” menjadi

“Repo Rate/Imbalan”.

5. Penambahan kolom “Mata Uang”, “Nomor Surat Berharga”,

“Yield”, dan “Harga”.

6. Penyesuian validasi di kolom “Jenis Surat Berharga” dan “Repo

Rate/Imbalan”, khususnya terkait jenis transaksi repo dan outright.

1. Penyesuaian sandi Bank.

2. Penyesuaian sandi nasabah/perusahaan dalam negeri.

Form 301 -

Perdagangan Surat

Berharga di Pasar

Sekunder

Daftar Sandi

2.

3.

Tanggal JudulNomor

Laporan Pasar Uang Nonbank dan KustodianBerlaku: 01-07-2018

Ditetapkan: 29-06-2018

No. 20/14/PADG/2018

Page 148: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan

Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018

II. Pokok-Pokok Pengaturan

1. Laporan Pasar Uang Nonbank dan Kustodian (LPU) adalah laporan yang disusun dan disampaikan oleh

Pelapor secara mingguan kepada Bank Indonesia, yang meliputi data perdagangan Instrumen Pasar Uang

di pasar sekunder.

2. Ketentuan ini mengatur Pelapor yang terdiri dari Perusahaan Efek, Perusahaan Pialang, dan Bank yang

melaksanakan kegiatan Kustodian.

3. Bagi pelapor yang belum memiliki username dan password, pelapor dapat menyampaikan surat permohonan

hak akses kepada Bank Indonesia dengan mengikuti format dan tata cara sebagaimana tercantum dalam

ketentuan ini.

4. Laporan yang disampaikan Pelapor meliputi transaksi yang dilakukan oleh:

a. Perusahaan Efek, dengan rincian sebagai berikut :

1) seluruh transaksi untuk kepentingan sendiri, kecuali:

- lawan transaksi berupa Bank, atau

- salah satu perantara transaksi yaitu Bank.

2) seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek menjadi perantara transaksi untuk kepentingan

nasabah, kecuali:

- nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek,

- lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek, atau

- perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank.

3) seluruh transaksi dalam hal Perusahaan Efek bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan

secara langsung oleh nasabah, kecuali:

- nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek, atau

- lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek.

b. Perusahaan pialang yang menjadi perantara transaksi untuk kepentingan nasabah, kecuali:

1) nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek,

2) lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek, atau

3) perantara transaksi pihak lawan yaitu Bank atau Perusahaan Efek.

c. Bank yang bertindak sebagai Kustodian dan transaksi dilakukan secara langsung oleh nasabah,

kecuali:

1) nasabah berupa Bank atau Perusahaan Efek; atau

2) lawan transaksi yaitu Bank atau Perusahaan Efek.

5. Ketentuan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2018.

6. Apabila dalam pelaksanaan penyusunan dan penyampaian LPU terdapat hal-hal yang kurang jelas, Bank

Pelapor dapat menyampaikan pertanyaan dimaksud kepada BICARA Bank Indonesia, Jl. M.H. Thamrin

Nomor 2 Jakarta 10350, Telp 021-131 atau melalui surat elektronik: [email protected].

141

Page 149: Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan