Volume 3, Nomor 3, Juni 2016 - FMI
Transcript of Volume 3, Nomor 3, Juni 2016 - FMI
Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
VOL. 3JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS INDONESIA NO. 3 HAL.303-459 JUNI 2016 ISSN 2338-4557
Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
Fax: 031 502 6288, E-mail: [email protected]
ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN
KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE
Sisilia Devina Permatasari, Supatmi
PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJARAN SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG
Joeliaty, Yayan Firmansyah
Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
303-318
319-333
EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS RUTE SURABAYA-SINGAPURA
DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT
T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti
334-346
PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN MANCANEGARA
PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO
Cahyani Tunggal Sari, BRM Suryo Triono
347-356
ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA
PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA
Rudy Hartanto, Helni Mutiarsih Jumhur
357-369
THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW GROWTH PERSPECTIVE
TOWARDS EARNING MANAGEMENT
Marika Suma Raya Sembiring, Kathleen Kusuma Nugroho
380-397
STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN MENGGUNAKAN VOTING
DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENAMPUNG IDE INOVASI
DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KOTA SURABAYA
Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal
370-379
KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI
PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
TERHADAP KINERJA PEGAWAI
Prima Kartika Sari, Euis Soliha
398-426
STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA
PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG
Fani Firmansyah, Refila Aulina
427-437
ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS BANK
Apriangga Rachmandinur, Purwanto438-459
Fax: 031 502 6288
E-mail: [email protected]
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
303
ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL
RESPONSIBILITY (CSR) DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN
PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE
Sisilia Devina Permatasari
Supatmi
Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
Abstract
This study aims to prove the difference in the level of disclosure of Corporate Social
Responsibility (CSR) and financial performance among the industry's high-profile and low-
profile. This study also proved that if there is a relationship between the level of CSR and
financial performance. Financial performance is measured using the Return On Equity
(ROE) and Tobin's Q. The samples are 346 companies listed in Indonesia Stock Exchange
(IDX) in 2012, where the industry as much as 167 high-profile and low-profile companies as
much as 179 companies. The sampling method used is purposive sampling. The analyze used
to test Mann-Whitney test first, while the second test using Spearman correlation test. The
results of this study indicate that there are differences in the level of disclosure of CSR and
financial performance as measured by Tobin's Q between industrial high-profile and low-
profile, but did not differ when performance is measured by ROE. In addition, this study
proves that there is a positive relationship between the level of CSR and financial
performance as measured by ROE, but there is no relationship between the level of CSR and
financial performance as measured by Tobin's Q.
Keywords : Corporate Social Responsibility Disclosure, ROE, Tobin’s Q, high-profile and
low-profile industries.
Pendahuluan
Kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang menjadi perhatian investor dalam
membeli saham di pasar modal. Laporan keuangan yang dipublikasikan merupakan cerminan
kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, kinerja keuangan juga berarti sebagai penentu
dalam mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan organisasi yaitu laba
(Stoner et al. 1995:9). Selain laba (profit), ada hal yang sama pentingnya yaitu
keberlangsungan atau sustainability (Sembiring 2005).
Keberlangsungan yang dilakukan perusahaan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan
eksternalnya, sehingga memunculkan konsep memunculkan konsep Corporate Social
Responsibility (CSR) di mana komitmen perusahaan untuk memperhatikan aspek ekonomi,
sosial dan lingkungan (triple bottom line). Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan
klaim agar perusahaan tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham
(shareholders), tetapi juga untuk pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja,
komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan (Dahlia dan Siregar 2008).
Perusahaan tidak hanya mementingkan kesejahteraan shareholders, tetapi juga kepada
stakeholders. Perusahaan yang menerapkan aktivitas CSR akan memperhatikan dampak dari
kegiatan operasional perusahaan terhadap kondisi masyarakat, karyawan dan lingkungan.
Dengan adanya konsep ini, maka pemerintah mengharapkan kerusakan lingkungan dapat
diminimalkan. Penerapan CSR awalnya bersifat sukarela, akan tetapi dalam beberapa tahun
ini telah dikeluarkan aturan bahwa perusahaan wajib melaksanakan CSR yang tertuang dalam
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
304
PP No. 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan pada Perseroan
Terbatas.
Kesadaran stakeholders meningkat terkait pentingnya informasi penerapan CSR demi
keberlangsungan perusahaan sehingga mendorong perusahaan untuk mengungkapkan
penerapan CSR di dalam laporan tahunan. Tingkat pengungkapan yang dilakukan oleh
perusahaan ditemukan masih berbeda-beda. Hackston dan Milne (1996), Utomo (2000), dan
Yap dan Widyaningdyah (2009) membuktikan bahwa peruhsaan pada industri high-profile
akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahan low-profile.
Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), industri high-profile memiliki
tingkat sensitivitas tinggi terhadap lingkungan sehingga mereka memiliki tekanan besar dari
pihak luar untuk melakukan CSR sebagai bentuk dari pertanggungjawaban sosial perusahaan
atas aktivitasnya yang berdampak buruk pada lingkungan. Sedangkan industri low-profile
memiliki tingkat sensitivitas rendah terhadap lingkungan sehingga tekanan untuk melakukan
CSR pun rendah. Adanya perbedaan karakteristik antara industri high-profile dan low-profile
memiliki dampak yang berbeda dalam tingkat pengungkapan CSR.
Tingkat pengungkapan CSR yang berbeda pada industri high-profile dan low-profile
memiliki dugaan bahwa kinerja keuangan perusahaan juga mengalami perbedaan. Ada
beberapa peneliti yang telah menyelidiki pengaruh tingkat pengungkapan CSR terhadap
kinerja perusahaan. Penelitian Dahlia dan Siregar (2008) dan Syahnaz (2012) menemukan
tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap kinerja keuangan yang diproksikan dengan
Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE), tetapi tidak berpengaruh terhadap
CAR. Namun penelitian Cahyono dan Nur (2010), dan Yaparto dan Frisko (2013)
membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap kinerja
keuangan perusahaan yang diproksikan dengan ROE, ROA, Earning Per Share (EPS), dan
Return Realisasi. Sedangkan penelitian Nurhayati dan Medyawati (2012) serta Muhammady
dan Akbar (2012) membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh
terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q. Namun penelitian Gunawan
dan Utami (2008), Kusumadilaga (2010), dan Bidhari (2013) membuktikan bahwa tingkat
pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s
Q.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten sehingga penelitian ini
ingin meneliti lebih lanjut untuk melihat adanya perbedaan tingkat pengungkapan CSR dan
kinerja keuangan pada industri high-profile dan low-profile. Penelitian ini mereplikasi
penelitian yang dilakukan Utomo (2000), dengan perbedaan penelitian ini akan membahas
lebih lanjut perbedaan tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan antara industri high-
profile dan low-profile di Indonesia pada tahun 2012, serta menguji hubungan antara tingkat
pengungkapan CSR dengan kinerja keuangan. Kinerja keuangan diukur menggunakan ROE
dan Tobin’s Q sehingga dapat menunjukkan ukuran profitabilitas dari sudut pandang
pemegang saham dan nilai perusahaan. Penelitian ini bermanfaat dalam pemberian informasi
mengenai pentingnya tingkat pengungkapan CSR dan sebagai bahan pertimbangan dalam
pembuatan kebijakan perusahaan di masa datang. Selain itu, penelitian ini memberikan
informasi yang berguna bagi investor sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan
keputusan.
Tinjauan Literatur dan Perumusan Hipotesis
Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR)
Menurut Clarkson (1995) dalam buku karangan Lawrence dan James (2011: 7), teori
stakeholder adalah sekelompok orang atau individu yang diidentifikasi dapat mempengaruhi
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
305
atau dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan. Perusahaan harus mampu menjaga hubungan baik
dengan cara memenuhi kebutuhan dan keinginan stakeholder-nya (Lawrence dan James
2011: 7)). Salah satu cara untuk menjaga hubungan baik dengan stakeholder adalah dengan
menerapkan CSR dan mengungkapkannya dalam laporan tahunan.
Menurut ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility (draft 3 2007), CSR
adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-
keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan
dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan
dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan
dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi
dengan organisasi secara menyeluruh. Aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan butuh untuk
diungkapkan. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut
sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting merupakan proses
pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap
kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal
tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran
tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya
pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai
tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray
et al. 1995).
Pengungkapan Corporate Social Responsibility terdiri dari beberapa komponen
menurut Global Reporting Initiatives (GRI) tahun 2006. GRI merupakan standar yang
pelaporan yang berstandar Internasional yang secara umum diterima dan diakui secara luas
(William 2012). Komponen dan indikator untuk melihat pengungkapan Corporate Social
Responsibility menurut GRI tahun 2006 dapat dibaca di lampiran.
Tipe Industri High-Profile dan Low-Profile
ISO 26000 menyediakan standar pedoman mengenai tanggung jawab sosial semua
institusi. Pedoman tersebut ditujukan pada perusahaan yang memiliki tipe high-profile dan
low-profile. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), tipe high-profile
memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, resiko politis dan tingkat
persaingan yang tinggi. Industri ini merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan
masyarakat karena aktivitas operasinya memilki potensi untuk bersinggungan dengan
kepentingan masyarakat luas. Ciri-cirinya adalah perusahaan yang memiliki tenaga kerja
yang besar, proses produksinya mengeluarkan residu seperti limbah cair atau polusi dan bila
perusahaan mengalami kelalaian dalam pengamanan produksi dan hasil produksi akan
membawa akibat fatal bagi masyarakat dan lingkungan. Industri yang termasuk tipe high-
profile antara lain perusahaan perminyakan dan pertambangan lain, kimia, hutan, kertas,
otomotif, penerbangan, agrobisnis, tembakau dan rokok, produk makanan dan minuman,
media dan komunikasi, energi (listrik), engineering, kesehatan serta transportasi dan
pariwisata.
Di sisi lain, Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008) menyatakan bahwa tipe
low-profile memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap lingkungan, resiko politis dan
tingkat persaingan yang rendah. Industri ini merupakan perusahaan yang tidak terlalu
mendapat sorotan luas dari masyarakat, saat operasi yang mereka lakukan mengalami
kegagalan atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Ciri-
cirinya adalah perusahaan yang memiliki tenaga kerja yang lebih kecil, tidak memiliki sisa
residu (seperti limbah) dan biasanya mendapat toleransi dari masyarakat dari kegagalan
dalam produksi/ aktivitas kerja mereka. Industri tipe low-profile meliputi bangunan,
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
306
keuangan dan perbankan, supplier peralatan medis, properti, retailer, tekstil dan produk
tekstil, produk personal, dan produk rumah tangga.
Perumusan Hipotesis
Tingkat Pengungkapan CSR pada Industri High-Profile dan Low-Profile
Kepentingan stakeholder adalah hal yang diutamakan bagi perusahaan demi
kelangsungan hidupnya. Perusahaan tidak hanya berfokus untuk memenuhi kepentingan
pemegang saham, tetapi juga kepentingan stakeholder. Hal tersebut sesuai dengan teori
stakeholder yaitu keberlangsungan perusahaan ditentukan oleh stakeholders, bukan
shareholders (Gray et al. 1995). Pengungkapan CSR merupakan salah satu cara untuk
menjaga hubungan baik antara perusahaan dan stakeholder-nya agar perusahaan tetap
bertahan.
Tiap perusahaan memiliki tingkat pengungkapan CSR yang berbeda. Umumnya,
perusahaan mengungkapkan aktivitas CSR karena ada tekanan dari lingkungan sekitar akibat
aktivitas operasi yang dilakukan. Industri high-profile menurut Robert (1992) dalam
Gunawan dan Utami (2008), memiliki tekanan yang besar dari lingkungannya sehingga akan
mengungkapkan CSR lebih banyak dibandingkan industri low-profile yang memiliki tekanan
yang lebih kecil. Di samping itu, resiko politis pada industri high-profile lebih tinggi daripada
low-profile. Menurut UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, industri
high-profile berada di bawah pengawasan pemerintah yang cukup ketat, sedangkan low-
profile relatif rendah pengawasannya kecuali sektor perbankan. Muncul dugaan bahwa
industri high-profile yang berada di bawah pengawasan pemerintah yang ketat akan
mengungkapkan CSR lebih banyak daripada industri low-profile. Berdasarkan perbedaan
karakterikstik tersebut menyebabkan tingkat pengungkapan CSR dalam laporan tahunan pada
industri high-profile lebih banyak daripada industri low-profile.
Di sisi lain, pengungkapan CSR juga berkaitan dengan biaya pengungkapan. Ada
kemungkinan industri low-profile lebih banyak mengungkapkan CSR dibandingkan high-
profile ketika industri high-profile dikaitkan dengan biaya pengungkapan yang besar. Industri
high-profile yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi antar perusahaan dihadapkan
dengan biaya pengungkapan CSR yang besar, dimana untuk memenangkan kompetisi
dibutuhkan biaya yang besar. Biaya operasional yang besar mengakibatkan industri ini tidak
mampu untuk mengungkapkan CSR sehingga lebih banyak tingkat pengungkapan CSR pada
industri low-profile dibandingkan high-profile. Penelitian Utomo (2000), Yap dan
Widyaningdyah (2009), menemukan tingkat pengungkapan CSR pada perusahaan high-
profile lebih tinggi daripada low-profile. Sehingga dapat diajukan hipotesis :
H1 : Ada perbedaan tingkat pengungkapan CSR pada industri high- profile dan low-profile
Kinerja Keuangan pada Industri High-Profile dan Low-Profile
Kinerja keuangan merupakan salah satu tolak ukur untuk mengukur keberhasilan
suatu perusahaan. Tiap perusahaan memiliki kinerja keuangan yang berbeda. Begitu pula
dengan perusahaan yang termasuk dalam industri high-profile dan low-profile yang diduga
memiliki kinerja yang berbeda. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008),
karakteristik industri high-profile memiliki tingkat kompetisi yang tinggi daripada low-profile
dimana mereka berlomba-lomba dan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan penjualan
dan laba perusahaan. Ketika industri high-profile mendapat tekanan yang besar, perusahaan
akan berusaha untuk meningkatkan penjualan sehingga laba yang dihasilkan lebih tinggi dan
pada akhirnya ROE meningkat. Namun, akibat tekanan besar yang dihadapi industri high-
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
307
profile, maka akan menyebabkan beban yang tinggi pula sehingga laba yang dihasilkan tidak
lebih tinggi, bahkan menjadi lebih rendah (Kieso et al. 2011: 148). Selain itu, ketika industri
high-profile memiliki tekanan yang besar dan tingkat kompetisi yang tinggi, dapat
dimungkinkan akan memiliki respon pasar yang berbeda dimana dengan tekanan yang besar,
maka respon pasar dapat tercermin dalam perubahan harga saham sehingga dapat
mempengaruhi nilai Tobin’s Q.
Adapun penelitian yang dilakukan oleh Susenohaji (2011) membuktikan bahwa
terdapat perbedaaan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE pada sektor agrobisnis, dan
properti, sedangkan pada sektor pertambangan, industri kimia, industri makanan dan
minuman, jasa dan perdagangan dan industri tekstil tidak memiliki perbedaan yang
signifikan. Sehingga hipotesisi yang dapat diajukan :
H2 : Ada perbedaan kinerja keuangan pada industri high-profile dan low-profile
Hubungan antara Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja Keuangan pada Industri
High-Profile dan Low-Profile
Muncul dugaan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan
kinerja keuangan. Argumen tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa perusahaan
menggunakan sustainability reporting framework untuk mengkomunikasikan kinerja
manajemen kepada para stakeholder dalam mencapai keuntungan jangka panjang (Finch
(2005) dalam Dahlia dan Siregar (2008)). Perusahaan mengungkapkan CSR merupakan
bentuk pertanggungjawaban perusahaan, dimana perusahaan tidak hanya berfokus pada aspek
bisnis, tetapi juga pada aspek sosial. Diharapkan dengan banyak mengungkapkan CSR,
masyarakat mengetahui bahwa perusahaan sadar tentang kepentingan sosial. Ditambah lagi,
setelah masyarakat mengetahui bahwa perusahaan peduli terhadap lingkungan dan aspek
sosial, maka dimungkinkan perusahaan juga peduli terhadap produknya. Dapat dikatakan
bahwa semakin tinggi pengungkapan CSR akan memiliki relevansi semakin bagus pula
kualitas produknya. Dengan produk berkualitas, maka masyarakat akan setia dengan produk
perusahaan, dimana dalam jangka panjang akan meningkatkan pendapatan dan kinerja
keuangan perusahaan pun akan meningkat.
Selain itu, dengan adanya pengungkapan CSR dapat meningkatkan reputasi
perusahaan sehingga dapat memperbaiki hubungan dengan pihak bank, investor,
pemerintahan, dan masyarakat (McGuire (1998) dalam Dahlia dan Siregar (2008)). Perbaikan
hubungan yang terjadi tercermin pada peningkatan keuntungan perusahaan dan harga saham.
Kenaikan harga saham merupakan indikasi meningkatnya nilai perusahaan. Semakin tinggi
pengungkapan CSR, hal itu berarti perusahaan sadar akan tujuan jangka panjang, sehingga
menunjukkan kemampuan going concern perusahaan di masa datang. Di sisi lain, kinerja
keuangan yang baik sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk membiayai kegiatan dan
pengungkapan CSR. Semakin baik kinerja keuangan perusahaan, maka semakin mampu
perusahaan dalam membiayai pengungkapan CSR.
Berbagai penelitian yang menyelidiki hubungan tingkat pengungkapan CSR dan
kinerja keuangan dapat diringkas sebagai berikut:
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
308
Tabel 1. Review Penelitian Terdahulu
Penelitian Hasil
Dahlia dan Siregar (2008) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh positif dan signifikan
terhadap ROE, namun tidak berpengaruh terhadap CAR
dengan menggunakan leverage, size, growth dan unexpected
return sebagai variabel control pada perusahaan di BEI tahun
2005 dan 2006.
Syahnaz (2012) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap ROA dan
ROE, tetapi tidak berpengaruh terhadap CAR pada Perusahaan
Perbankan pada tahun 2009-2011.
Cahyono dan Nur (2010) Tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap ROE
dan CAR dengan kepemilikan asing sebagai variabel
moderating pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2006-
2008.
Yaparto dan Frisko (2013) Tingkat pengungkapan CSR tidak memiliki pengaruh terhadap
ROA, ROE, dan EPS pada sektor manufaktur di BEI tahun
2010-2011.
Muhammady dan Akbar
(2012)
Tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh signifikan
terhadap Tobin’s Q pada perusahaan manufaktur di BEI tahun
2008-2010.
Nurhayati dan Medyawati
(2012)
Tingkat pengungkapan CSR secara parsial tidak berpengaruh
dengan nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q
pada perusahaan yang terdaftar dalam LQ45 tahun 2009-2011.
Gunawan dan Utami (2008)
Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai
perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q dengan
presentase pengelolaan kepemilikan dan jenis industri sebagai
variabel moderator pada perusahaan yang terdaftar di BEI pada
tahun 2005-2006.
Kusumadilaga (2010) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai
perusahaan yang diukur menggunakan Tobin’s Q dengan
profitabilitas sebagai variabel moderating pada perusahaan
manufaktur di BEI tahun 2006 dan 2008.
Bidhari (2013) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap nilai
perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q pada
perusahaan perbankan di Indonesia tahun 2008-2010
Sumber : Dari berbagai jurnal.
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat hasil penelitian tingkat pengungkapan CSR
dan kinerja keuangan yang tidak konsisten. Maka peneliti ingin membuktikan kembali
dengan hipotesis sebagai berikut:
H3 : Tingkat pengungkapan CSR memiliki hubungan dengan kinerja keuangan pada industri
high-profile dan low-profile.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan populasi perusahaan high-profile dan low -profile yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2012. Pengambilan sampel ditentukan
secara purposive sampling. Tabel 2 menunjukkan penentuan sampel penelitian:
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
309
Tabel 2. Kriteria Penentuan Sampel
Sumber : Data diolah, 2014
Kriteria perusahaan yang tidak mempublikasikan CSR yaitu ketika di dalam Laporan
Tahunan tidak terdapat sama sekali item-item dari kriteria pengungkapan CSR menurut GRI.
Selanjutnya, perusahaan yang tidak memiliki data lengkap meliputi perusahaan yang
menggunakan satuan dollar dan tidak terdapatnya harga saham dalam Yahoo Finance.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa laporan
tahunan dari industri high-profile dan low-profile di Bursa Efek Indonesia tahun 2012. Data
tersebut berasal dari situs resmi di http://www.idx.co.id dan ICMD (Indonesian Capital
Market Directory) serta bahan pendukung lainnya seperti data dari penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Selain itu juga menggunakan metode
dokumentasi atau kutipan dari berbagai sumber.
Teknik analisis yang digunakan untuk pengujian hipotesis menggunakan Uji Mann-
Whitney dan Spearmen Correlation. Sedangkan untuk variabel-variabel dalam penelitian ini
adalah tingkat pengungkapan CSR perusahaan dan kinerja keuangan. CSR Disclosure diukur
menggunakan indikator dari Global Reporting Initiative (GRI) dengan jumlah 79 item
pengungkapan yang terdiri dari tiga kategori yaitu Economics Performance Indicators,
Environmental Performance Indicators, dan Social Performance Indicators (lihat lampiran).
Pendekatan untuk menghitung jumlah item yang diungkapkan oleh perusahaan menggunakan
dikotomi (Dummy) yaitu setiap item yang mengungkapkan CSR diberi nilai 1 dan item yang
tidak diungkapkan diberi nilai 0 (Sayekti dan Wondabio 2007). Sedangkan tingkat
pengungkapan diukur dengan jumlah pengungkapan yang dilakukan dibagi dengan total
pengungkapan maksimal (79 item).
Kinerja keuangan diukur menggunakan Return On Equity (ROE) dan Tobin’s Q.
Menurut Widayanti et al. (2006), ROE merupakan kemampuan dari modal sendiri untuk
menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang saham dengan membagi laba setelah pajak
dengan total ekuitas. Sedangkan Tobin’s Q menurut Smithers dan Wright (2000:37) dalam
Gunawan dan Utami (2008), dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Q = EMV + D
EBV + D
Keterangan :
Q = Nilai Perusahaan
EMV = Nilai pasar ekuitas (harga saham akhir tahun x jumlah saham beredar)
EBV = Nilai buku dari total ekuitas
D (Debt) = Nilai buku dari total hutang
No Kriteria Penentuan Sampel Jumlah
High-Profile
Jumlah
Low-Profile
Total
1. Perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2012 260 212 472
2. Perusahaan yang tidak mempublikasikan
Laporan Tahunan tahun 2012 di BEI
(30) (12) (42)
3. Perusahaan yang tidak mempublikasikan
CSR dalam Laporan Tahunan pada tahun
2012
(6) (7) (13)
4. Perusahaan yang memiliki data tidak lengkap
pada tahun 2012
(57) (14) (71)
Total sampel yang digunakan 167 179 346
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
310
Analisis Data dan Pembahasan Hasil
Statistik Deskriptif
Berdasarkan tabel 3, nilai rata-rata tingkat pengungkapan CSR pada semua
perusahaan di BEI pada tahun 2012 sebesar 0,41. Hasil ini lebih besar dibandingkan oleh
penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) yang mengambil sampel seluruh perusahaan di BEI
yaitu sebesar 0,2.
Tabel 3. Statistik Deskriptif
Variabel Penelitian N Mean Max Min St Dev
CSR 346 0,41 0,82 0,09 0,14
• High-Profile 167 0,45 0,82 0,09 0,15
• Low-Profile 179 0,36 0,75 0,11 0,12
ROE 346 0,1 2,07 -3,97 0,34
• High-Profile 167 0,08 1,66 -3,97 0,42
• Low-Profile 179 0,12 2,07 -1,18 0,25
TOBIN’S Q 346 1,78 52,70 0,11 3,15
• High-Profile 167 2,17 52,70 0,25 4,28
• Low-Profile 179 1,42 14,10 0,11 1,37
Sumber : Data diolah, 2014
Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak perusahaan mengungkapkan aktivitas
CSR yang dilakukannya. Selain itu, perusahaan juga semakin menyadari bahwa investor
mulai menaruh perhatian pada aktivitas CSR yang dilakukan sehingga perusahaan
mengungkapkan aktivitas tersebut dalam laporan tahunan demi memenuhi kebutuhan
informasi bagi investor. Tabel tersebut juga menunjukkan rata-rata tingkat pengungkapan
CSR pada industri high-profile lebih tinggi daripada industri low-profile yaitu 0,45 dan 0,36.
Dari sisi kinerja keuangan, dihasilkan bahwa nilai rata-rata ROE pada industri low-profile
lebih tinggi dibandingkan industri high-profile, sedangkan nilai rata-rata Tobin’s Q industri
high-profile lebih tinggi dari industri low-profile.
Pengujian Hipotesis
Tingkat Pengungkapan CSR pada Industri High-Profile dan Low-Profile
Berdasarkan tabel 4, hasil penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis pertama
diterima yaitu terdapat perbedaan tingkat pengungkapan CSR yang signifikan pada industri
high-profile dan low-profile tahun 2012.
Tabel 4. Hasil Analisis Uji Beda Tingkat Pengungkapan CSR
Test Statisticsa
CSR
Mann-Whitney U 9.686E3
Wilcoxon W 2.580E4
Z -5.661
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: KODING_CSR
Sumber : Diolah dari SPSS, 2014
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
311
Hal ini juga sejalan dengan temuan dalam statistik deskriptif rata-rata tingkat
pengungkapan CSR dalam industri high-profile lebih tinggi daripada low-profile. Perbedaan
tingkat pengungkapan CSR antar kedua kelompok industri tersebut terjadi sejalan dengan
pendapat Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), terkait dengan karakteristik dari
kedua industri tersebut yang berbeda. Industri high-profile memiliki tekanan yang lebih besar
untuk mengungkapkan CSR akibat aktivitas bisnisnya memiliki tingkat sensitivitas yang
tinggi terhadap lingkungan. Selain itu, industri high-profile mendapat sorotan lebih luas
daripada industri low-profile karena aktivitasnya lebih bersinggungan dengan kepentingan
masyarakat. Ditambah lagi, pada industri high-profile apabila perusahaan mengalami
kelalaian dalam pengamanan produksi dan hasil produksi akan membawa akibat fatal bagi
masyarakat dan lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Utomo (2000) dan Yap dan Widyaningdyah (2009) yang membuktikan bahwa tingkat
pengungkapan CSR pada industri high-profile lebih tinggi daripada industri low-profile.
Kinerja Keuangan pada Industri High-Profile dan Low-Profile
Berdasarkan tabel 5, hasil pengujian ini menemukan bahwa ada perbedaan kinerja
keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q antara industri high profile dan low profile, namun
tidak ada perbedaan jika kinerja keuangan diukur dengan ROE.
Tabel 5. Hasil Analisis Uji Beda Kinerja Keuangan
Test Statisticsa
TOBIN ROE
Mann-Whitney U 1.166E4 1.489E4
Wilcoxon W 2.778E4 2.892E4
Z -3.530 -.059
Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .953
a. Grouping Variable: KODING_ROE
Sumber: Diolah dari SPSS, 2014
Hal tersebut berarti bahwa dari sudut pandang pasar, dalam hal ini investor, industri
high profile dengan tingkat pengungkapan CSR-nya yang tinggi dianggap juga memiliki
keberlangsungan hidup yang lebih baik daripada industri low profile. Meski risiko politis
yang dihadapai industri high profile tinggi, namun industri ini ditopang oleh pihak
pemerintah sehingga dapat dikatakan memiliki kemampuan going concern yang baik,
mengingat industri ini banyak terkait dengan pengeloaan sumber daya alam.
Namun dari sudut pandang kinerja profitabilitas jangka pendek, yaitu ROE, antara
industri high profile dan low profile tidak terdapat perbedaan. Hal tersebut diduga disebabkan
tingginya tingkat penjualan diiringi oleh tingginya beban yang dihasilkan untuk industri high-
profile. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), industri high-profile
memiliki tingkat kompetisi yang tinggi sehingga perusahaan berusaha meningkatkan
penjualan dengan meningkatkan biaya iklan, pada akhirnya laba belum tentu meningkat. Di
sisi lain, ada banyak faktor yang mempengaruhi komponen laba. Pembagian perusahaan
menjadi dua kelompok industri yaitu high-profile dan low-profile merupakan pembagian
berdasarkan kegiatan operasi perusahaan (Robert dalam Gunawan dan Utami (2008)). Laba
yang bagus tidak hanya selalu dilihat dari tingkat persaingan, tetapi juga dapat terjadi karena
kinerja perusahaan itu memang bagus disamping laba tersebut dapat di-manage. Apabila
industri low-profile memiliki laba tinggi dan kinerja yang bagus, maka tingkat ROE pada
industri ini tetap lebih bagus daripada industri high-profile. Hasil statistik penelitian ini pun
menyatakan bahwa kinerja keuangan industri low-profile lebih tinggi daripada high-profile.
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
312
Komponen laba bersih termasuk laba operasi dan laba diluar usaha (Kieso et al. 2011: 148),
sehingga kemungkinan laba di luar operasi pada industri low-profile lebih tinggi dari laba
usaha sehingga dapat menghasilkan laba yang tinggi. Sebagai contoh adalah sektor perbankan
yang memiliki berbagai produk yang ditawarkan di luar kegiatan operasi utamanya, misalkan
asuransi. Kemungkinan pendapatan asuransi lebih tinggi daripada pendapatan utama
perbankan. Hasil penelitian ini sejalan oleh hasil penelitian Susenohaji (2011), dimana secara
garis besar kinerja keuangan yang diukur dengan ROE tidak memiliki perbedaan yang
signifikan antara industri high-profile dan low-profile.
Hubungan Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja Keuangan
Berdasarkan tabel 6 ditemukan bahwa tingkat pengungkapan CSR berhubungan
positif dengan kinerja keuangan yang dilihat dari ROE, namun tidak berhubungan dengan
Tobins’Q.
Tabel 6. Hasil Analisis Uji Korelasi Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja
Keuangan
Spearman’s rho CSR ROE TOBIN
CSR
CSR
HIG
H
CSR
LOW
RO
E
RO
E
HIG
H
RO
E
LO
W
TOBI
N
TOBI
N
HIG
H
TOBI
N
LOW
CSR Correlation
Coefficient
1.00
0
1.00
0 1.000
.121*
.135 .121 .070 .022 -.019
Sig. (2-
tailed) . . . .024 .083 .107 .192 .777 .800
N 346 167 179 346 167 179 346 167 179
ROE Correlation
Coefficient
.121*
.135 .121 1.00
0
1.00
0
1.00
0 .222
** .298
** .146
Sig. (2-
tailed) .024 .083 .107 . . . .000 .000 .051
N 346 167 179 346 167 179 346 167 179
TOBI
N
Correlation
Coefficient .070 .022 -.019
.222**
.298**
.146 1.000 1.000 1.000
Sig. (2-
tailed) .192 .777 .800 .000 .000 .051 . . .
N 346 167 179 346 167 179 346 167 179
Sumber : Diolah dari SPSS, 2014
Semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR, menunjukkan bahwa perusahaan sadar
akan kepentingan sosial dan kualitas produknya, sehingga dapat dikatakan perusahaan
dengan tingkat pengungkapan CSR yang tinggi, produknya semakin berkualitas. Masyarakat
akan dengan setia membeli produk yang berkualitas, sehingga akan meningkatkan penjualan
dan laba perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, perusahaan yang memiliki kinerja
keuangan yang baik, akan mampu untuk mengungkapkan CSR sehingga semakin tinggi
tingkat pengungkapan CSR-nya.
Namun, ketika dikaitkan dengan pengelompokan industri, ditemukan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dengan kinerja keuangan yang diukur dengan
ROE maupun Tobin’s Q baik pada industri high-profile dan low-profile. Hal ini berarti bahwa
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
313
tingkat pengungkapan CSR tidak berhubungan dengan tinggi rendahnya ROE dan Tobin’s Q.
Diduga kinerja ROE dan Tobin’s Q dipengaruhi oleh variabel lain, dimana tingkat
pengungkapan CSR dikatakan manfaat yang diperoleh masih belum jelas dan pengungkapan
CSR sendiri masih bersifat sukarela sehingga kinerja keuangan yang diukur dengan ROE dan
reaksi pasar yang tercermin pada harga saham yang diukur dengan Tobin’s Q tidak
memperoleh dampaknya. Harga saham relatif tetap menunjukkan bahwa nilai perusahaan
tidak berkembang. Perbedaan Tobin’s Q dalam perusahaan belum tentu disebabkan oleh CSR
karena ternyata tingkat pengungkapan CSR dan Tobin’s Q tidak berhubungan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dahlia dan Siregar
(2008) dan Syahnaz (2012) yang membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR dan
kinerja keuangan yang diukur dengan ROE memiliki hubungan yang signifikan. Selain itu,
penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Muhammady dan Akbar (2012) dan Nurhayati
dan Medyawati (2012) yang membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR dan kinerja
keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q tidak memiliki hubungan yang signifikan.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara
tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q antara
industri high-profile dan low-profile, tetapi tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan yang
diukur dengan ROE. Penelitian ini juga membuktikan terdapat hubungan positif antara
tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE, tetapi tidak
terdapat hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur
dengan Tobin’s Q. Antara industri high-profile dan low-profile, ditemukan juga tidak terdapat
hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan, baik diukur dengan ROE
dan Tobin’s Q.
Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran bagi perusahaan bahwa tingkat
pengungkapan CSR merupakan salah satu pertimbangan penting bagi investor dalam
membuat keputusan investasi. Oleh karena itu, semakin banyak perusahaan mengungkapkan
CSR, maka semakin baik perusahaan di mata investor. Informasi tingkat pengungkapan CSR
dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan di bidang sosial di masa
depan sehingga dapat membawa keuntungan baik bagi perusahaan, masyarakat, dan
lingkungan. Investor akan lebih diuntungkan bila berinvestasi pada industri high-profile
karena industri ini lebih direspon pasar dan memiliki tekanan yang besar untuk melaksanakan
dan mengungkapkan CSR sehingga dampak dari tingkat pengungkapan CSR secara
berkelanjutan akan memberi manfaat jangka panjang bagi perusahaan. Manfaat tersebut dapat
meningkatkan profitabilitas perusahaan di masa depan sehingga dapat dikatakan perusahaan
memiliki going concern yang baik.
Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Mendatang
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dihadapi yaitu ada unsur
subjektifitas dalam penilaian tingkat pengungkapan CSR, serta sedikit subjektifitas pada
pengelompokan beberapa kelompok di ICMD yaitu untuk sektor Holding and Other
Investment dan Others. Selain itu, penelitian ini tidak menunjukkan dampak berkelanjutan
dari tingkat pengungkapan CSR karena hanya dilihat dalam jangka waktu penelitian setahun.
Dengan adanya keterbatasan dalam penelitian ini, maka ada beberapa saran untuk
penelitian mendatang. Pertama, menambah periode penelitian sehingga dampak dari tingkat
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
314
pengungkapan CSR secara berkelanjutan dapat lebih terlihat misalnya dalam rentang 3 tahun.
Kedua, mempertimbangkan penyempurnaan daftar penilaian tingkat pengungkapan CSR
sehingga alat tersebut dapat menghasilkan informasi yang sesuai kondisi saat ini dan lebih
teliti. Ketiga, penggunaan informasi lain selain dari laporan tahunan sebagai dasar menilai
tingkat pengungkapan CSR perusahaan. Contohnya yaitu sustainability reporting (Laporan
Keberlanjutan) dan survei dari badan organisasi tertentu mengenai aktivitas CSR.
Daftar Pustaka
Bidhari, S, C. 2013. Effect of Corporate Social Responsibility Information Disclosure on
Financial Performance and Firm Value in Banking Industry Listed at Indonesia Stock
Exchange. Faculty of Economics and Business Brawijaya University.
http://www.iiste.org/Journals/index.php/EJBM/article/viewFile/6642/6786 (diakses
11 Januari 2014, 6:15 PM)
Cahyono, Budi dan Etna Nur. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap
Kinerja Perusahaan dengan Kepemilikan Asing Sebagai Variabel Moderating.
Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/26643/1/SKRIPSI(r).pdf (diakses 11 Januari 2014, 8:13 PM)
Dahlia, Lely dan Sylvia Veronica Siregar. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility
terhadap Kinerja Perusahaan. Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi
XI, Pontianak.
Gray R, Kouhy and Lavers . 1995. Corporate social and environmental reporting: A
review of the literature and a longitudinal study of UK disclosure. Accounting,
Auditing & Accountability Journal 8 (2): 78-101.
http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=869644 (diakses 13 Januari
2014, 6:30 PM)
Gunawan, Barbara dan Suharti Sri Utami. 2008. Peranan Corporate Social Responsibility
dalam Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/843/07-
Barbara%20_174-185_.pdf?sequence=1 (diakses 13 Januari 2014, 7:35 PM).
Hackston, David and Markus J. Milne. 1996. Some Determinants of Social and
Environmental Disclosure in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and
Accountability Journal. Vol. 9, No. 1, p. 77-108.
http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1509110 (diakses 13 Januari
2014, 8:10 PM).
Kieso, Donald E, Jerry J. Weygandt, and Terry D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting
Vol 1 IFRS Edition. United States of America: Graphics.
Kusumadilaga, Rimba. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai
Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variabel Moderating. Fakultas Ekonomi
Universitas Diponegoro Semarang.
http://eprints.undip.ac.id/22572/1/SKRIPSI_Rimba_Kusumadilaga.PDF (diakses 14
Januari 2014, 7:30 PM).
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
315
Lawrence, Anne T. dan James Weber. 2011. Business and Society Stakeholders, Ethics,
Public Policy, Thirteenth Edition. New York: McGraw-Hill.
Muhammady, El dan Faddly Akbar. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan dan Corporate
Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur
Yang Terdaftar di BEI. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma.
http://publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6167/1/JURNAL%20SKRIP
SI.pdf (diakses 12 Januari 2014, 7:20 PM)
Nurhayati, Miranty dan Henny Medyawati. 2012. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan,
Good Corporate Governance, dan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai
Perusahaan yang Terdaftar dalam LQ45 pada tahun 2009-2011. Fakultas Ekonomi
Universitas Gunadarma.
http://publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/5532/1/JurnalOK.pdf
(diakses 14 Januari 2014, 7:33 PM).
Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSR Disclosure terhadap
Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang terdaftar
di Bursa Efek Jakarta). Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X,
Makassar.
Sembiring, Eddy Rismanda. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung
Jawab Sosial. Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo.
Stoner, James A. F., Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert. 1995. Management, Sixth
Edition. United States of America: Prentice Hall.
Susenohaji. 2011. Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Atas Ungkapan (Disclosure)
Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan (Studi Empiris Penerapan Regulasi pada
Perusahaan Go-Publik di Indonesia.)
http://www.academia.edu/6406277/Judul_Analisis_Kinerja_Keuangan_Perusahaan_A
tas_Ungkapan_Disclosure_Tanggungjawab_Lingkungan_Perusahaan_Studi_Empiris_
Penerapan_Regulasi_pada_Perusahaan_Go-Publik_di_Indonesia (diakses tanggal 16
Juli 2014, 16:00 PM)
Syahnaz, Melisa. 2012. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja
Keuangan Perusahaan Perbankan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Brawijaya. http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/352/299 (diakses
23 Januari 2014, 7:45 PM).
Utomo, Muhammad Muslim. 2000. Praktek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan
Perusahaan di Indonesia (Studi Perbandingan antara Perusahaan High-Profile dan
Low-Profile). Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi IV, Bandung.
Widayanti, Rita, Henny Ekawati, Apriani Dorkas Rambu Atahau, Usil Sis Sucahyo, dan
Maria Rio Rita. 2006. Manajemen Keuangan. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga.
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
316
William. 2012. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility berdasarkan
Pedoman Global Reporting Initiative terhadap Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia. www.ui.ac.id (diakses 26 September 2014, 15:25 PM)
Yaparto, Marissa dan Dianne Frisko. 2013. Pengaruh Corporate Social Responsibility
terhadap Kinerja Keuangan pada Sektor Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia pada Periode 2010-2011. Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas
Surabaya. https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/viewFile/111/91 (diakses
25 Januari 2014, 9:15 PM).
Yap, Raldy dan Agnes Widyaningdyah. 2009. Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial
pada Laporan Tahunan Perusahaan Yang Go Public di Bursa Efek Indonesia (Studi
Empiris atas Perusahan High dan Low Profile). Universitas Katolik Widya Mandala.
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18498&val=1144&title (diakses
23 Januari 2014, 8:40 PM).
www.globalreporting.org (diakses tanggal 2 Februari 2014, 7:30 PM)
Lampiran 1
Daftar Item Pengungkapan CSR menurut GLOBAL REPORTING INITIATIVE (GRI)
Lingkungan
1. Pengendalian polusi kegiatan operasi, pengeluaran riset dan pengembangan untuk
mengurangi polusi.
2. Operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan
peraturan polusi.
3. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi.
4. Pencegahan atau perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sumber alam,
misalnya reklamasi daratan atau reboisasi.
5. Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas.
6. Penggunaan material daur ulang
7. Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan.
8. Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan.
9. Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindah lingkungan.
10. Kontribusi dalam pemugaran bangunan sejarah.
11. Pengelolaan limbah.
12. Riset mengenai pengelolaan limbah.
13. Mempelajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan.
14. Perlindungan lingkungan hidup.
Energi
15. Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi.
16. Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi.
17. Penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang.
18. Membahas upaya perusahaan dalam mengurangi konsumsi energi.
19. Peningkatan efisiensi energi dan produk.
20. Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi energi dari produk.
21. Mengungkapkan kebijakan energi perusahaan.
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
317
Kesehatan dan Keselamatan Kerja
22. Mengurangi polusi, iritasi, atau resiko dalam lingkungan kerja.
23. Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental.
24. Mengungkapkan statistik kecelakaan kerja.
25. Mentaati peraturan standar kesehatan dengan keselamatan kerja.
26. Menerima penghargaan berkaitan dengan keselamatan kerja.
27. Menetapkan suatu komite keselamatan kerja.
28. Melaksanakan riset untuk meningkatkan keselamatan kerja.
29. Mengungkapkan pelayanan kesehatan tenaga kerja.
Lain-lain Tentang Tenaga Kerja
30. Perekrutan atau memanfaatkan tenaga kerja wanita / orang cacat.
31. Mengungkapkan persentase/jumlah tenaga kerja wanita / orang cacat dalam tingkat
manajerial.
32. Mengungkapkan tujuan penggunaan tenaga kerja wanita / orang cacat dalam pekerjaan.
33. Program untuk kemajuan tenaga kerja wanita / orang cacat.
34. Pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di tempat kerja.
35. Memberikan bantuan keuangan pada tenaga kerja dalam bidang pendidikan.
36. Mendirikan suatu pusat pelatihan tenaga kerja.
37. Mengungkapkan bantuan atau bimbingan untuk tenaga kerja yang dalam proses
mengundurkan diri atau yang telah membuat kesalahan.
38. Mengungkapkan perencanaan kepemilikan rumah karyawan.
39. Mengungkapkan fasilitas untuk aktivitas rekreasi.
40. Pengungkapan persentase gaji untuk pensiun.
41. Mengungkapkan kebijakan penggajian dalam perusahaan.
42. Mengungkapkan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan.
43. Mengungkapkan tingkatan manajerial yang ada.
44. Mengungkapkan disposisi staff dimana staff ditempatkan.
45. Mengungkapkan jumlah staff, masa kerja dan kelompok usia mereka.
46. Mengungkapkan statistik tenaga kerja, misalnya penjualan per tenaga kerja.
47. Mengungkapkan kualifikasi tenaga kerja yang direkrut.
48. Mengungkapkan rencana kepemilikan saham oleh tenaga kerja.
49. Mengungkapkan rencana pembagian keuntungan lain.
50. Mengungkapkan informasi hubungan manajemen dengan tenaga kerja dalam
meningkatkan keputusan dan motivasi kerja.
51. Mengungkapkan informasi stabilitas pekerjaan tenaga kerja dan masa depan perusahaan.
52. Membuat laporan tenaga kerja yang terpisah.
53. Melaporkan hubungan perusahaan dengan serikat buruh.
54. Melaporkan gangguan dan aksi tenaga kerja.
55. Mengungkapkan informasi bagaimana aksi tenaga kerja dinegosiasikan.
56. Peningkatan kondisi kerja secara umum.
57. Informasi reorganisasi perusahaan yang mempengaruhi tenaga kerja.
58. Informasi dan statistik perputaran tenaga kerja.
Produk
59. Pengungkapan informasi pengembangan produk perusahaan, termasuk pengemasan.
Sisilia Devina Permatasari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Supatmi Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
318
60. Gambaran pengeluaran riset dan pengembangan produk.
61. Pengungkapan informasi proyek riset perusahaan untuk memperbaiki produk.
62. Pengungkapan bahwa produk memenuhi standar keselamatan.
63. Membuat produk lebih aman untuk konsumen.
64. Melaksanakan riset atas tingkat keselamatan produk perusahaan.
65. Pengungkapan peningkatan kebersihan / kesehatan dalam pengolahan dan penyiapan
produk.
66. Pengungkapan informasi atas keselamatan produk perusahaan.
67. Pengungkapan informasi mutu produk yang dicerminkan dalam penerimaan
penghargaan.
68. Informasi yang dapat diverifikasi bahwa mutu produk telah meningkat (misalnya, ISO
9000).
Keterlibatan Masyarakat
69. Sumbangan tunai, produk, pelayanan untuk mendukung aktivitas masyarakat,
pendidikan, dan seni.
70. Tenaga kerja paruh waktu (part-time employment) dari mahasiswa/pelajar.
71. Sebagai sponsor untuk proyek kesehatan masyarakat.
72. Membantu riset media.
73. Sebagai sponsor untuk konferensi pendidikan, seminar atau pameran seni.
74. Membiayai program beasiswa.
75. Membuka fasilitas perusahaan untuk masyarakat.
76. Mensponsori kampanye nasional.
77. Mendukung pengembangan industri lokal.
Umum
78. Pengungkapan tujuan. Kebijakan perusahaan secara umum berkaitan dengan tanggung
jawab sosial perusahaan kepada masyarakat.
79. Informasi hubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan selain yang disebut di
atas.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
319
PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI
PEMBELAJARAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI
PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG
JOELIATY
FEB Universitas Padjadjaran
YAYAN. FIRMANSYAH
STIE INABA
Abstract
Changes of business environment that is increasingly fast encountered by PT.KAI
(PERSERO) DAOP II Bandung. It requires this company to be adapted. Adapting with this is
condition is a must. The company's ability to address the challenges of current and future
become one of the power that must be owned by the company.
The purpose of this research is to discover to discover effect change management on
learning organization and its implication on employee performance in PT.KAI (PERSERO)
DAOP II Bandung. This research used survey method by distributing questionnaires to 100
respondents. The result of Effect of change management on employee performance through
learning organization is about 41.11%.
Keywords : change management, learning organization, employee performance
Pendahuluan
Seiring dengan perubahan jaman dengan lingkungan yang penuh turbulensi dan dinamika, membentuk arena kompetisi yang semakin kuat dan ketat. Penulis menyitir pendapat Charles Darwin tentang perusahaan yang mampu mempunyai umur panjang, berpendapat “bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif” (Rhenald Kasali, 17 : 2007). Perubahan dalam organisasi apapun memainkan peran yang penting untuk meraih kesuksesan di banyak organisasi (Dumpy dan Stace : 1993 ; Reib: 2012 ; Alireza Shirvani at al : 2013; 1751). Perubahan menjadi salah satu kebutuhan organisasi yang sangat vital dilakukan, perubahan yang terjadi sekarang ini lebih cenderung disebabkan perubahan yang direncanakan daripada perubahan yang tidak direncanakan (Greenberg dan Baron 1997 :550; Wibowo 2012 :88). Kemampuan untuk mengelola perubahan akhirnya menjadi kunci sukses dalam mencapai tujuan dari dilakukannya perubahan tersebut. Salah satu sasaran manajemen perubahan adalah mengupayakan agar proses transformasi tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif cepat dan akurat dengan meminimalisasi kesulitan-kesulitan.
PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) DAOP 2 Bandung, sebagai entitas bisnis, yang dewasa ini persaingan hypercompetitive dalam industri jasa transportasi, diharuskan dapat menjawab kebutuhan para stakeholders ini juga sesuai dengan visi PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) yaitu “Menjadi penyedia jasa perkeretaapian terbaik yang fokus pada pelayanan pelanggan dan memenuhi harapan stakeholders”. Dorongan untuk berubah pada PT. Kereta Api (PERSERO) DAOP II Bandung, Perubahan yang dilakukan disini adalah perubahan yang terencana menurut Geernberg dan Baron (1997 : 550) dalam Wibowo (2012 : 88) perubahan terencana karena adanya dorongan seperti : perubahan dalam produk atau jasa,
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
320
perubahan dalam ukuran dan struktur organisasi, perubahan dalam sistem administrasi, dan yang terakhir adalah pengenalan teknologi baru.
Perubahan merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan organisasi, meskipun banyak yang berpendapat bahwa kecepatan dan besaran perubahan telah meningkat secara signifikan beberapa tahun belakangan ini. Penelitian yang dilakukan The Institute of Management tahun 1991 menunjukkan bahwa 90% organisasi menjadi lebih ramping dan datar. Pada tahun 1992 dilaporkan bahwa 80% manajer merespon dengan merestruktur perusahannya dalam lima tahun terakhir. Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam waktu yang relatif pendek, kebanyakan organisasi dan pekerjaannya telah mengalami perubahan secara substansial tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya (Burnes, 2000:250).
Manajemen perubahan tidak akan berhasil tanpa adanya implemtasi organisasi pembelajaran yang menyediakan ruang untuk selalu improvement, diharapakan menjadi atau mempertahankan sebagai leader market, salah satu saran untuk mencapinya dengan kinerja pegawai yang baik, disini diperlukan peranan organisasi pembelajaran agar keberhasilan perubahan oraganisasi dapat berjalan efektif dan efesien sehingga akan tercapai visi perusahaan. Fokus proses perubahan membentuk organisasi pembelajaran, dan membentuk mental model untuk memahami kegiatan organisasi dan megambil kebijakan yang sesuai untuk mengelola kualitas antara semua eksekutif, manajer dan key staff. (Albert, Michael: 47 :2005). Hasil studi empirik yang dilakukan oleh Albert, Michael (2006) mendapatkan temuan adanya pengaruh manajemen perubahan terhadap terbentuknya organisasi pembelajaran, studi ini dilakukan di Laboraturium Hewlett-Packard Company. Dari pengamatan penulis di PT KAI (PERSERO) DAOP II belum terlihat adanya prasarana yang menunjang secara utuh untuk organisasi pembelajaran diduga ini merupakan salah satu faktor kenapa kinerja karyawan tidak dapat tercapai, seperti yang dikemukakan sebelumnya manajemen perubahan
dapat berjalan efektif dan efisien jika didukung dengan organisasi pembelajaran. Kita mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan Jepang telah mencapai kemajuan sehubungan dengan posisi mereka dalam persaingan internasional. Menurut Ikujiro Nonaka, keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang bukanlah disebabkan keberhasilan mereka dalam bidang produksi : karena dapat mencapi harga murah: karena mereka memiliki hubungan dekat : serta erat dengan pelanggan mereka. Perusahaan-perusahaan di Jepang telah mencapai keberhasilan yang luar biasa karena keterampilan-keterampilan dan keahlian mereka dalam hal “menciptakan pengetahuan keorganisasian” (Nonaka, 1995 :3) dalam Winardi 2010, yang dimaksud olehnya dengan penciptaan pengetahuan keorganisasian yaitu kemampuan pengetahuan baru-kemudian menyebarkanya melalui seluruh organisasi tersebut dan “memasukannya”ke dalam produk-produk, servis-servis, serta sistem-sistem.
Organisasi pembelajaran, dimana setiap individu menunjukan perilaku perbaikan dalam berbagai aspek melalui proses belajar, maka kinerja individu dapat diperbaiki secara terus menerus yang pada akhirnya akan berdampak pula pada peningkatan kinerja pegawai. Hal ini senada dengan William Looney dan Air Force Lt Gen. Charles L. Johnson, II (dikutip oleh Anderson et.al, 2004 : 1) yang berpendapat bahwa : organisasi pembelajaran sebagai cara untuk memperbaiki efisiensi kerja, membagi informasi dengan baik lagi, mengembangakan akses yang lebih fleksibel pada pelatihan, memperluas sumber untuk pemecahan masalah ; meningkatkan pilihan dalam belajar dan akhirnya membuat belajar menjadi bagian keseharian dalam lingkungan kerja. Komitmen pemimpin sangat dibutuhkan untuk keberhasilan implementasinya. Penelitian Pool (2002) dalam Agapita Sri H (2006) menunjukan adanya pengaruh positif dan signifikan antara penetapan organisasi pembelajaran dengan motivasi manajer untuk meningkatkan kinerjanya.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
321
Kajian Pustaka
Salah satu pendekatan proses perubahan yang menjadi rujukan di kemukakan oleh seorang ilmuwan John P. Kotter dari Harvard Bussines School, Massachusetts, United States dalam bukunya Leading Change: Why Transformation Efforts Fail, dalam bukunya John P.Kotter mengapa proses transformasi mengalami kegagalan, dan sekaligus memberikan solusi agar proses transformasi berhasil, model ini lebih dikenal dengan nama Kotter’s 8-step
method. Model ini sudah di uji dibeberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Amin Soebagyo (2009) model di uji secara empirik pada PT TELKOM, mendapatkan temuan bahwa kedelapan tahap proses transformasi, tahapan pencariran status quo dan tahap penanaman akar perubahan secara kokoh dalam kultur perusahaan dari Kotter yang dimplementasikan secara baik berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberhasilan proses tranformasi. Pada tahun 2011 penelitian tentang proses manajemen perubahan yang di lakukan oleh, Ledy Primasary, mendapatkan temuan adanya pengaruh positif proses manajemen perubahan terhadap program transformasi bisnis. Hal ini dikuatkan oleh bukti penelitian yang dilakukan oleh Alireza Shirvani et al (2013) yang melakukan penelitan pada perusahaan distribusi gas di Provinsi Esfahan, Iran. Hasil dari studi ini mengungkapkan bahwa perusahaan ini, dengan menggunakan Kotter’s 8-step method, sukses dalam membuat keadaan mendesak, membentuk kekuatan koalisi, membuat perubahan visi, mengkomunikasikan visi, membuat kemenangan jangka pendek, dan membangun perubahan. Tetapi organisasi ini tidak berhasil memindahkan hambatan-hambatan yang ada dan perubahan dalam budaya perusahaan. Langkah keenam, membuat kemenangan-kemenangan jangka pendek, menghasilkan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang bisa meminimalkan tingkat kesuksesan, dengan menerapakan Kotter’s 8-step method , mampu menghadapi perubuhan. Selain itu ada literature study tentang Kotter’s 8-step method yang dilakukan oleh Appelbaum, Steven H et al (2012) dalam studi ini mendapatkan temuan bahwa Kotter’s change management model dapat menjadi rujukan terbaik dan implemtatif dalam tahapan proses perubahan, dan banyak para ilmuan yang konsensus bahwa Kotter’s change management model merupakan pendekatan yang terbaik untuk mengurangi kesalahan dalam proses perubahan, walaupun model ini jika tidak dimodifikasi yang tepat mempunyai kelemahannya karena terlalu rigid. Walaupun ada sisi kekurangan dari model ini Stagalas, Nicole. (2010;37), menyakini dan menguatkan bahwa model Kotter memberikan wawasan mendalam langkah-langkah tindakan yang lebih rinci yang dapat menjamin aplikasi yang sesuai dan relevan dari proses yang diuraikan.
Kemampuan perusahaan dalam menjalankan mengelola proses perubahan berpengaruh terhadap implementasi organisasi pembelajaran yang dilakukan oleh organisasi (Albert, Michael 2005 & 2006), salah satu cara organisasi berhasil dalam mengelola proses perubahan harus terciptanya organisasi pembelajaran yang baik, hal ini sudah di uji secara empirik oleh berapa peneliti seperti Haque, Md Mahbubul (2008) dalam desertasinya pada Graduate School of Education and Psychology Pepperdine University. USA. Menguji model organisasi pembelajaran model Watkins dan Marsick, mendapat temuan bahwa organisasi pembelajar berpengaruh dan signifikan terhadap kemampuan organisasi dalam menghadapai perubahan, hal senada juga penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Traheri R. et al (2013), dengan temuan hubungan yang signifikan antara organisasi pembelajaran dan kesiapan organisasi untuk perubahan, studi ini dilakukan di Agricultural Bank of Borujed City, Iran. Kemampuan organisasi untuk belajar berjalan salah satu sumber yang benar keunggulan kompetitif.
Beberapa peneliti sebelumnya mengenai organisasi pembelajar seperti yang dilakukan oleh Small (2006 ; 284) membuat kajian menyeluruh literatur yang melibatkan studi Argyris
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
322
dan Schön (1978); Boud dan Middleton (2003); Brown dan Duguid (1996); De Geus (1999), Gibson dan Vermeulen (2003); Huber (1996); Keating, Robinson, dan Clemson (1996); Kock, McQueen, dan Corner (1997); Lave dan Wenger (1991); Loewen dan Loo (2004); Moilanen (2001); Örtenblad (2004); Pedler, Burgyne, dan Boydell (1997); Beberapa penulis murni berfokus pada pengembangan pendekatan yang ditujukan untuk individu sebagai titik awal dalam rantai interaksi yang bisa pergi untuk membentuk proses selanjutnya belajar dalam kelompok, praktek masyarakat, organisasi belajar dan kemungkinan hasil dari menciptakan sebuah organisasi pembelajaran.
Penelitian ini mendukung perspektif Watkins dan Marsick (1993 , 1996, 1999 ), yang mencatat bahwa dalam organisasi pembelajaran, belajar terjadi pada individu, kelompok, dan tingkat organisasi. Penulis mencoba untuk mengukur pembelajaran dalam organisasi untuk mencakup semua ketiga tingkatan untuk mencapai perspektif yang komprehensif (Rush, Rosalee Billingslea. 2011; 48-49). Calvert et al .(1994; Haque, Md Mahbubul 2008 ; 55) menjelaskan bahwa aspek yang saling berhubungan belajar di berbagai tingkatan menciptakan berbagai persepsi, yang membuat kontribusi berguna dalam memahami konsep. Sejumlah faktor mendorong penulis untuk pilih model ini. Pertama, Redding ( 1997) dan Örtenblad ( 2002) didalam Md Mahbubul (2008 ; 55) mencatat bahwa kerangka dikembangkan oleh Watkins dan Marsick adalah salah satu dari beberapa alat yang mengukur belajar ditingkat individu, tingkat tim, dan tingkat organisasi. Kedua, kerangka kerja ini memerlukan seperangkat lintas dimensi yang divalidasi dalam pendekatan organisasi pembelajaran terkemuka lainnya (Senge,1990; . Marquardt, 2002). Ketiga, kerangka telah dikenakan luas keandalannya dan pengujian validitas dibandingkan dengan model organisasi pembelajaran lain ( Yang, 2003; Yang,Watkins , & Marsick , 2004, Song, Ji Hoon,at al.2009) . Keempat, kerangka telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti dalam berbagai pengaturan penelitian ( Dymock , 2003; David, A. Herrera. 2007; Haque, Md Mahbubul, 2008; Rowe, Allen, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian Kohli et al (1998) dalam Agapita Sri Haryanti. (2006) menunjukan bahwa karyawan yang tumbuh dalam organisasi yang mendukung pembelajaran ternyata mampu mencapai peningkatan kinerja yang lebih baik, hal ini menjadi bukti bahwa organisasi pembelajaran ternyata memiliki pengaruh positif dan signifikan guna meningkatkan kinerja karyawan. Ini dikuatkan oleh penelitian oleh Akhmad Supriadi (2007) memperoleh hasil emprik bahwa organisasi pembelajaran memberikan kontribusi positif dalam upaya manajemenen meningkatkan kinerja karyawan, dari sini dapat dianalisis bahwa untuk meningkatkan kinerja karyawan di perlukan penerapan organisasi pembelajaran. Kinerja menurut Bernardin (2013 : 241) adalah sebagai hasil pekerjaan yang telah dilakukan berdasarkan fungsi pekerjaan atau aktivitas tertentu pada jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini mengukapkan kriteria kinerja pegwai menggunakan teori Gomes (2003:142), dikarenakan teori ini sudah di uji secara empirik dan dibanyak tempat, beberapa penelitian yang menggunakan model ini seperti yang dilakukan oleh Agapita Sri Haryanti (2012) mengukapkan bahwa model yang diungkapkan gomes menjadi pendekatanya sistematis sehingga dapat menjadi acuan dalam penlian kinerja karyawan, demensi kierja pegawai dengan teori gomes (2003) mengungkapkan ada delapan kriteria yang menjadi perhatian untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik dalam kinerja karyawan yang berdasarkan perilaku yang spesifik.
Gambaran paradigma penelitian pengaruh manajemen perubahan terhadap penerapan organisasi pembelajaran serta dampaknya terhadap kinerja pegawai, seperti gambar 1
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
323
Gambar 1
Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survey explanotary
dikarenakan untuk mengetahui hubungan kausal antara variabel dan gambaran umum antar variabel, dalam penelitian ini variabelnya adalah manajemen perubahan (X), organisasi pembelajaran (Y) dan kinerja pegawai (Z). Survey explanotary merupakan riset awal, riset ini ditindaklanjuti kepada metode deskritif dan verifikatif (Istijanto, 2006 :20). Metode verifikatif digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel independent (X), variabel intervening (Y) terhadap variabel dependent (Z), serta mengetahui hubungan antara variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan menggunakan perhitungan statistik (Nazir, 2005). Tipe penelitian ini adalah penelitian kausal yang bertujuan untuk menguji pengaruh dan atau hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian. Dalam penelitian ini juga dijaring dengan menggunakan alat pengumpulan data tertentu, yaitu kuesioner (Mudrajat Kuncoro, 2003:8)
Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara simple Sratified
propotional random sampling. Dimana Sratified propotional random sampling yaitu mengambil sampel pada setiap tingkatan pada penelitian ini terdiri dari tujuh kelompok kerja, setiap kelompok kerja diambil sampel yang secara proposional Mengingat besarnnya populasi, maka peneliti mengambil sampel 100 pegawai PT KAI (PERSERO) DAOP 2 Bandung.
Ukuran sampel ditentukan berdasarkan metode pengukuran sampel yang dikemukakan oleh Slovin dan Sevilla dengan rumus sebagai berikut: = 95.02 100
Dimana : i = ukuran sampel minimal N = ukuran populasi e = tingkat kesalahan yang ditolerir Dalam sampel penelitian ini, menetapkan tingkat kesalahan sebesar 10%. Maka ukuran sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu sebesar 100 responden dari populasi sebesar 1909 pegawai. Dan yang memenuhi kriteria yang bisa di ambil sebagai
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
324
sampel adalah pegawai yang masa kerjanya minimal lima tahun masa kerja yaitu sebesar 1345.
Analisis Jalur (Path Analysis)
Analisis jalur adalah suatu metode grafik dalam mengkaji pengaruh-pengaruh langsung dan akibat tidak langsung dari variabel penyebab (eksogenuos) terhadap variabel akibat (endogenous). Metode ini untuk memotret dan menguji “teori” analisis jalur adalah suatu bentuk terapan dari analisis multi regresi, membantu menguji hipotesis yang kompleks, dengan menggunakanya dapat menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung.
Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antar variabel independent/endogen atau akibat. Oleh karena itu analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis jalur (path analysis)
Gambar 2
Diagram jalur antara variabel
Dimana : X = Manajemen Perubahan (Change Management) Y = Organisasi pembelajaran (Learning Organization) Z = Kinerja Pegawai
Gambar 2 menjelaskan diagram jalur yang menyatakan hubungan kausal X dan Y sebagai penyebab dan Z sebagai akibat, dimana Y adalah variabel intervening, teknik perhitungan analisis jalur (path analysis) dengan menggunakan software SPSS 22 for windows. Berdasarkan teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dua, tiga, dan empat, maka diagram jalurnya memiliki dua persamaan sub struktur, yaitu :
Y= Pxy X+ε1 Z= PzxY+ε2 Keterangan : Pxy X+ε1 : Koefisien jalur X terhadap Y PzxX+ε2 : Koefisien jalur Y terhadap Z ε : epsilon Hipotesis
Hipotesis penelitian ini sebagai berikut :
1. Manajemen perubahan berpengaruh terhadap organisasi pembelajaran pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung
2. Organisasi Pembelajaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung
3. Manajemen perubahan berpengaruh terhadap kinerja pegawai baik langsung maupun tidak langsung melalui organisasi pembelajaran pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
325
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Manajemen Perubahan terhadap Organisasi Pembelajaran
Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh Manajemen Perubahan (X) terhadap Organisasi Pembelajaran (Y) Atau pengujian hipotesis digunakan uji F, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 22.0 for Windows. Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 1
Tabel 1
ANOVAa
Model Sum of Squares df
Mean Square F Sig.
1 Regression 2761,325 1 2761,325 62,178 ,000b Residual 4352,189 98 44,410 Total 7113,514 99
a. Dependent Variable: Organisasi Pembelajaran b. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan
Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014
Berdasarkan tabel ANOVA tabel 1. Dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 62,178 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (62,178 >3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya Y dipengaruhi oleh X atau organisasi pembelajaran dipengaruhi oleh manajemen perubahan.
Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan Tabel 2, berikut:
Tabel 2
Output Regresi XY
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 ,623a ,388 ,382 6,66409
a. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan b. Dependent Variable: Organisasi Pembelajaran
Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan Tabel 2. Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,388. Nilai ini
dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 38,8%. Nilai residunya adalah 0,612 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran sebesar 38,8%, sedangkan 61,2% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,623)(0,623) = 0,388,
dan besarnya koefisien residu 388,01ei = 0.782. Maka dapat ditentukan persamaan
struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut:
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
326
Y= 0,623+0.782 ε1
Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh manajemen perubahan (variabel X) terhadap organisasi pembelajaran (variabel Y). Seperti dijelaskan pada Gambar 3
Gambar 3
Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Kedua
Pengaruh Organisasi Pembelajaran terhadap Kinerja Pegawai
Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh Organisasi Pembelajaran (Y) terhadap Kinerja Pegawai (Z). Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 3
Tabel 3
ANOVA YZ
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 5594,584 1 5594,584 75,928 ,000b
Residual 7220,949 98 73,683 Total 12815,532 99
a. Dependent Variable: Kinerja Pegawai b. Predictors: (Constant), Organisasi Pembelajaran
Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014
Berdasarkan tabel ANOVA tabel 3, dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 75,928 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (75,928>3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya variabel Z dipengaruhi oleh variabel Y atau kinerja pegawai dipengaruhi oleh organisasi pembelajaran.
Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan Tabel 4, berikut:
Tabel 4
Output Regresi YZ
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 ,661a ,437 ,431 8,58389
a. Predictors: (Constant), Organisasi Pembelajaran Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
327
Berdasarkan Tabel 4 Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,437. Nilai ini
dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 43,7%. Nilai residunya adalah 0,563 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai sebesar 43,7%, sedangkan 56,3% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,661)(0,661) = 0,437,
dan besarnya koefisien residu 437,01ei = 0.750. Maka dapat ditentukan persamaan
struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut:
Y= 0,661+0.750 ε2
Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh organisasi pembelajaran (variabel Y) terhadap kinerja pegawai (variabel Z). Seperti dijelaskan pada Gambar 4
Gambar 4
Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Ketiga
Pengaruh Manajemen Perubahan terhadap Kinerja Pegawai melalui Organisasi
Pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung
Dalam bagian ini akan dijabarkan pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap
kinerja pegawai dan pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai, yaitu dengan melalui organisasi pembelajaran. Pengaruh langsung dan tidak langsung tersebut adalah sebagai berikut :
Pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai
Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh
Manajemen Perubahan (X) terhadap Kinerja Pegawai (Z). Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5
ANOVA XZ
ANOVAa
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 5991,377 1 5991,377 86,041 ,000b Residual 6824,155 98 69,634 Total 12815,532 99
a. Dependent Variable: Kinerja Pegawai b. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan
Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014
Berdasarkan tabel ANOVA tabel 5, dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 86,041 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
328
penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (86,041 >3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya variabel Z dipengaruhi oleh variabel X atau kinerja pegawai dipengaruhi oleh manajemen perubahan.
Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan 6, berikut;
Tabel 6
Output Regresi XZ
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 ,684a ,468 ,462 8,34471 a. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan
Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan Tabel 6 Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,468. Nilai ini
dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 46,8%. Nilai residunya adalah 0,532 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai sebesar 46,8%, sedangkan 53,2% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,684)(0,684) = 0,468,
dan besarnya koefisien residu 468,01ei = 0.729. Maka dapat ditentukan persamaan
struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut:
Y= 0,684+0.729 ε3
Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh manajemen perubahan (variabel X) terhadap kinerja pegawai (variabel Z). Seperti dijelaskan pada Gambar 5
Gambar 5
Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Kempat
Pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui
organisasi pembelajaran
Pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran dapat dilihat dari
koefisien jalur X terhadap Y (Pyx). Pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai dapat dilihat dari koefisien jalur Y terhadap Z (Pzy). Pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai dapat dilihat dari koefisien jalur X terhadap Z (Pzx). Besarnya pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajar dapat dihitung melalui formula sebagai berikut :
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
329
Pzx = Pyx x Pzy
Pzx = 0,623 x 0,661 = 0,411
Dari perhitungan tersebut di dapat sebesar 0,411. Ini berarti besarnya pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran sebesar = 41,1%. Dari keseluruhan hasil penelitian maka dapat digambarkan dengan analisis jalur sebagai berikut :
Gambar 6
Diagram Jalur Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian ini maka persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut :
1. Persamaan struktural pertama 2. Persamaan struktural kedua Y = Pyx X + py Ɛ1 Z = PzyY+pz Ɛ2 Y = 0,623 X + 0,782 Ɛ1 Z = 0,661 Y + 0,750 Ɛ2 Dari hasil penelitianyang terlihat pada gambar 6, dapat disimpulkan bahwa besar
pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran adalah 0,623, yang berarti jika manajemen perubahan naik 1, maka organisasi pembelajaran akan naik sebesar 0,623. Besar pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai adalah 0,661, yang berarti jika organisasi pembelajaran naik 1, maka kinerja pegawai naik sebesar 0,661. Besar pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai sebesar 46,8%, sedangkan penagaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran sebesar 41,1%.
Total pengaruh langsung lebih besar daripada total pengaruh tidak langsung. Ini berarti bahwa hubungan antara manajemen perubahan dengan kinerja pegawai dipengaruhi oleh organisasi pembelajaran, namun pengaruhnya rendah. Ini berarti adanya organisasi pembelajaran dalam manajemen perubahan hanya sedikit mempengaruhi kinerja pegawai. Hal ini disebabkan masih belum optimalnya penerapan organisasi pembelajaran yang diterapkan pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung. Sehingga tidak dapat meningkatkan pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai. Penerapan organisasi pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, belum dirasakan seluruh pegawai, seperti studi banding hanya sebagaian kecil pegawai yang mendapatkan kesempatan dan belum adanya forum resmi knowledge sharing. Permintaan dan dialog yang sudah diwadahi oleh DPD 2 SPKA DAOP II Bandung, dalam aktivitasnya SPKA masih belum optimal, ini dilihat dari tidak semua tuntutan inti pegawai dapat dikabulkan oleh pihak manajemen, selain itu pemberdayaan pegawai dalam penentuan rancangan kerja dan anggara (RKA) tidak semua pegawai bisa secara langsung memberikan masukan untuk perusahaan, dan masih kurang dukungan dari pimpinan dalam menggunakan pembelajaran untuk menciptakan perubahan dan untuk memindahkan organisasi ke arah yang baru.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
330
Simpulan dan Saran
Simpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen perubahan berpengaruh terhadap
organisasi pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung adalah 38,8%. Dilihat dari nilai koefisien determinasi pengaruhnya tergolong kuat. Pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran berbanding lurus berarti ketika manajemen perubahan tinggi maka organisasi pembelajar juga tinggi.
2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa organisasi pembelajaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung adalah 43,7%. Dilihat dari nilai koefisien determinasi pengaruhnya tergolong kuat. Pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai berbanding lurus berarti ketika organisasi tinggi maka kinerja pegawai juga tinggi.
3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, total pengaruh tidak langsung adalah 41,1%. Sedangkan manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai pembelajaran PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, total pengaruh langsung adalah 46,8%. Berarti pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai lebih besar daripada pengaruh tidak langsungnya melalui organisasi pembelajaran. Hal ini Hal ini disebabkan masih belum optimalnya penerapan organisasi pembelajaran yang diterapkan pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung.
Saran
1. Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan pada objek dengan skala yang lebih luas dengan mengambil semua DAOP dan Sub Divre PT KAI.
2. Penelitian selanjutnya hendaknya mengadakan FGD (Focus Group Discussion) baik dari pihak manajemen, pegawai, pelanggan dan pemerintah, dalam menjalankan manajemen perubahan yang sedang dilakukan.
3. Penelitian selanjutnya dapat mengkaitkan organisasi pembelajaran dengan variabel baru seperti readiness to change, karena kesiapan perubahan tidak akan optimal tanpa adanya dukungan organisasi pembelajaran yang secara terus menerus melakukan perbaikan.
4. PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, dalam upaya melakukan proses manajemen perubahan lebih intensif dalam melakukan penyebaran visi dengan melakukan komunikasi dua arah, agar dapat menjaring aspirasi pegawai lebih banyak, dan saluran komunikasi berjalan baik. Dengan baiknya saluran komunikasi ini akan pegawai lebih dihargai oleh perusahaan sehingga akan menilngkatkan rasa memiliki perusahaan.
5. PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, dalam upaya melakukan proses manajemen perubahan, hendaknya perusahaan menyakinkan bahwa arah perubahan kearah yang positf, seperti dengan meningkatnya keuntungan perusahaan, hendaknya perusahaan lebih menyakinkan pegawai bahwa proses perubahan ini berjalan positif, dengan cara salah satunya meningkatkan kesejahtraan pegawai baik berupa materil dan non materil, sehingga proses perubahan dapat terus berjalan.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
331
Daftar Pustaka
Agapita Sri Haryanti. 2006. Analisis Faktor - Faktor yang Menjadi Prediktor Organisasi
Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan (Study Kasus Pada PT.
Gramedia Pustaka Utama Jakarta).Tesis. Semarang : Undip. Akhmad Supardi 2007. Analisis Implementasi Learning Orgnization Dalam Upaya
Mendukung Peningkatan Kinerja Karyawan di PT KH. Tidak dipublikasikan (Tesis). Bandung : Unpad.
Albert, Michael. 2005. Managing Change: Creating a Learning Organization Focused on
Quality. Problems and Perspectives in Management Journal, 1/2005. Albert, Michael. 2006. Managing Change at HP Lab: Perspectives for Innovation,
Knowledge Management and Becoming a Learning Organization. Journal The Business Review, Cambridge 5.2 (Summer 2006): 17-22.
Alireza Shirvani, Mashallah Valikhani Dehaghani, Seyed Hassan Mossavi. 2013. Change
Management in Public Sector : A case Study of Gas Distribution Firm. Iran : Management Science Letters Journal 3 (2013) 1751-1756.
Amin Soebagyo. 2009. Kajian Atas Pengaruh Tahapan Proses Transformasi Dari Koter
Pada Keberhasilan Proses Transformasi Perusahaan Dalam Perspektif Manajemen
dan Karyawan. Tidak dipublikasikan (Tesis). Bandung : Unpad. Anderson, Frank. Rob Dare & Rich Stillman. 2004. The Hanscorn Learning Organization :
a solution for the information age, Defense AT & L Journal, September-Oktober, 2004.
Appelbaum, Steven H., Habashy, Sally., Malo, Jean-Luc & Shafiq, Hisham. 2012. Back to
the future: revisiting Kotter's 1996 change model. Journal of Management Development, Vol. 31 Iss: 8 pp. 764 – 782. © Emerald Group Publishing Limited
Bernardin. H John & Joyce. E.A. Russell. 2013. Human Resources Management, An
Experiential Approach. Sixth Edition. New York : McGraw-Hill International Edition.
Burnes, Bernard. 2000. Managing Change. Essex-England : Pearson Edication Limited. David, A. Herrera. 2007. A Validation of The Learning Organization as a Driver of
Performance Improvement. UMI by ProQuest Information and Learning Company. United States. Dissertation. Capella University.
Gomes, Faustic C. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : CV. Andi Offset. Haque, Md Mahbubul. 2008. A Study of The Relationship Between The Learning
Organization And Organizational Readiness For Change. UMI by ProQuest LLC. United States. Dissertation. Graduate School of Education and Psychology Pepperdine University.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
332
Istijanto. 2006. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Kotter, John P.2000. Leading Change: Why Transformation Efforts Fail. HBR OnPoint .
USA : Harvard Business School Publishing Corporation. Marquardt, Michael.J. 2002. Building The Learning Organization. Mastering The 5 Elements
For Corporate Learning. 2nd Edition. Davies-Black Publishing, Inc. Palo Alto, CA. Mathis, R.L & Jackson, J.H., 2004. Human Resource Management. International Student
Edition ed. Mohammad Taheri R. Majid Khazai. Elahe Nasiri F. Saeed Mahdavi Nasr. 2013. The
Relationship between Learning Organization and Organizational Readiness for
Change According to Seven Dimensions of Learning Organization. Journal of Basic and App;ied Scientific Research. 3(5)631-636, 2013. ISSN 2090-4304. Text Road Publication.
Mudrajat Kuncoro. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga Muhamad Haniv 2012. Peran Sumber Daya Manusia dan Sistem Model Organisasi
pembelajaran (Learning Organization) Dalam Reformasi Birokrasi Perpajakan di
Kantor Direktorat Jenderal Pajak (Studi Kasus Pelayanan Pajak di Kanwil DJP jakarta). Bogor : Manajemen Bisnis (Disertasi) Sekolah Pascasarjana IPB.
Nazir. 2005. Metode penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Omar Al-Jaradat. Mohammed Nagresh. Abdullah Al-Shegran & Nura Jadellah. 2013. Impact
of change management on the performance of employees in university libraries in
Jordan. European Journal of Business and Management ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol.5, No.2, 2013. www.iiste.org.
Rhenald Kasali.2007. Change (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan). Jakarta :
PT Ikrar Mandiri abdi. Rowe, Allen. 2010. Looking at Extension as a Learning Organization. Journal of Extension
August 2010 Volume 48 Number 4 Article Number 4 RIB, 1-7. Rush, Rosalee Billingslea. 2011. Learning Organization Principles: The Impact On a
Midwest State Government as Perceived by Its Employees. A Dissertation Faculty of The Graduate College Western Michigan University. USA. UMI Disssertation Publishing Copyright 2011 by ProQuest LL.
Small, A. 2006. Towards A Framework For Organizational Learning. The Learning
Organization, 13(3), 276–299.
Song, Ji Hoon,. Joo, Baek-Kyoo (Brian), & Chermack, Thomas J.2009. The Dimensions of
Learning Organization Questionnaire (DLOQ): A Validation Study in a Korean
Context. Human Resource Development Quarterly, vol. 20, no. 1, Spring 2009 © Wiley Periodicals, Inc.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Yayan. Firmansyah Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
333
Stagalas, Nicole. 2010. Improving Change Implementation Practical adaptation of Kotter’s
Model. OD Practitioner vol.42 no. 1 2010. P 31-38. Watkins, K., & Marsick, V.1993. Sculpting the learning organization: Lessons in the art and
science of systemic change. San Francisco: Jossey-Bass.
Watkins, K., & Marsick, V. 1996. In action: Creating a learning organization. Alexandria, VA: American Society for Training and Development.
Watkins, K. E., & Marsick, V. J. 1999. Sculpting the learning community: New forms of
working and organizing. National Association of Secondary School Principals: NASSP Bulletin, 83(604), 78–87.
Wibowo. 2012. Manajemen Perubahan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Winardi. 2010. Manajemen Perubahan (Management of Change). Jakarta : Prenada Media
Group. Yang, B. 2003. Identifying Valid And Reliable Measures For Dimensions Of A
Learningculture. Advances in Developing Human Resources, 5(2), 152–162. Yang, B., Watkins, K. E., & Marsick, V. J. 2004. The Construct of The Learning
Organization: Dimensions, Measurement, and Validation. Human Resource Development Quarterly, 15(1), 31–56. Wiley Periodicals, Inc.
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
334
EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS
RUTE SURABAYA-SINGAPURA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM
KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT
T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti
Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga
Email: [email protected]
Abstract
Pengguna transportasi udara akan memilih penerbangan yang paling cepat, tepat,
aman, dan nyaman dengan tidak mengabaikan unsur-unsur keselamatan. Salah satu maskapai
yang menerapkan konsep Low Cost Carrier (LCC) dan tidak mengabaikan unsur-unsur
keselamatan adalah Tiger Airways. Dengan semakin menjamurnya jumlah pesawat terbang
menyebabkan overcapacity dan antrian pesawat baik di darat maupun di udara semakin lama
dan semakin panjang. Hal ini menjadi salah satu penyebab jadwal penerbangan terkadang
sering tertunda (delay). Alasan yang sering muncul ketika pesawat terlambat (delay) adalah
alasan teknis, cuaca, komersial, dan gangguan operasional. Penelitian ini dilakukan dengan
mengevaluasi data monthly report on time performance Tiger Airways selama periode yang
ditentukan. Perhitungan dengan menggunakan diagram pareto untuk mengidentifikasi
prioritas utama penyebab delay dan diagram sebab-akibat untuk mencari akar penyebab
masalah utama terjadinya delay. Hasil evaluasi menggunakan metode diagram pareto
menunjukkan bahwa 80% dari tingkat delay yang terjadi disebabkan oleh tiga macam delay
yaitu: late arrival of aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Kemudian menggunakan
metode diagram sebab-akibat ditemukan akar penyebab dari tiga macam delay yang dihadapi
maskapai Tiger Airways. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa delay yang terjadi di
setiap kali penerbangan diakibatkan kurang optimalnya kinerja operasional baik dari faktor
internal maupun eksternal.
Kata Kunci: ketepatan waktu, on-time performance, delay, kualitas jasa
Pendahuluan
Pada saat ini pesawat udara merupakan salah satu moda transportasi yang sudah
banyak digunakan oleh masyarakat. Kebutuhan manusia sekarangpun sudah merujuk pada
penggunaan pesawat udara yang dapat beroperasi dalam jangka waktu yang singkat dan
mampu mengantarkan mereka ke tempat tujuan dengan cepat dan efektif.
Perkembangan teknologi yang begitu pesat, faktor kenyamanan dan keselamatan
sebagai prioritas utama, serta menyediakan cara untuk melakukan perjalanan dari satu tempat
ke tempat yang lain dengan waktu yang lebih singkat, yaitu perjalanan udara melalui
maskapai penerbangan. Oleh karena itu maskapai penerbangan selalu menjadi pilihan
masyarakat dalam melakukan perjalanan, baik dengan tujuan rekreasi maupun tujuan bisnis.
Industri jasa transportasi di Indonesia yang sedang berkembang selama beberapa
tahun terakhir, terjadi akibat meningkatnya jumlah penumpang penerbangan baik domestik
maupun internasional. Hal ini tidak terlepas dari munculnya kategori pelayanan maskapai
penerbangan Low Cost Carrier (LCC) yang beroperasi secara efisien sehingga jasa
penawaran penerbangan mencapai biaya yang rendah. Salah satu maskapai yang menerapkan
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
335
konsep Low Cost Carrier (LCC) ini adalah Tiger Airways yang merupakan sebuah maskapai
penerbangan bertarif rendah Singapura.
Ketepatan waktu atau On-Time Performance sudah menjadi tolak ukur kepercayaan
dari pemakai jasa yang menjadi pilihan untuk melakukan perjalanan. On-Time Performance
adalah suatu keadaan ketika waktu keberangkatan dan waktu kedatangan sesuai dengan yang
telah ditetapkan. Suatu pesawat udara memiliki nilai guna saat pesawat udara tersebut berada
di udara. Semakin lama pesawat udara mengudara, semakin banyak keuntungan yang
dihasilkan. Oleh karena itu ketepatan waktu penerbangan atau on-time performance sangat
diperhitungkan.
Keberhasilan kinerja sebuah bandar udara berdasarkan kualitas keselamatan,
keamanan penerbangan, kualitas ketepatan waktu penerbangan, dan kualitas pelayanan secara
umum. Ketepatan waktu penerbangan saat ini dinilai masih kurang. Pengguna transportasi
udara akan memilih penerbangan yang paling cepat, tepat, aman, dan nyaman dengan tidak
mengabaikan unsur-unsur keselamatan. Operator penerbangan di Indonesia saat ini dinilai
semakin berkembang pesat, terlihat dari bertambahnya pesawat-pesawat baru setiap bulannya.
Dengan semakin menjamurnya jumlah pesawat terbang menyebabkan overcapacity dan
antrian pesawat baik di darat maupun di udara semakin lama dan semakin panjang. Hal ini
menjadi salah satu penyebab jadwal penerbangan terkadang sering tertunda (delay). Alasan
yang sering muncul ketika pesawat terlambat (delay) adalah alasan teknis, cuaca, komersial,
dan gangguan operasional.
Landasan Teori
Kualitas
Garvin dalam Foster (2007:4) mendefinisikan kualitas ke dalam lima dimensi atau
lebih populernya dimensi kualitas, mencakup transcendent, product-based, user based,
manufacturing based, atau value-based, diantaranya:
1. Transcendent, menunjukkan kualitas sebagai suatu hal yang hanya bisa dipahami
dengan intuisi, tetapi hampir tidak mungkin untuk dikomunikasikan.
2. Product-based, dinyatakan dalam suatu komponen-komponen dan atribut-atribut yang
melekat pada suatu produk.
3. User based, suatu produk dikatakan berkualitas bagus, jika konsumen mendapatkan
kepuasan.
4. Manufacturing based, kualitas suatu produk dapat dicapai apabila produk tersebut
sesuai dengan spesifikasi desain yang diinginkan.
5. Value-based, jika suatu produk memberikan nilai yang baik untuk harga yang telah
dibayar oleh konsumen.
Jasa
Jasa mencakup semua aktivitas ekonomi yang hasilnya bukanlah produk atau
konstruksi fisik, yang secara umum konsumsi dan produksinya dilakukan pada saat
bersamaan, dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk (kenyamanan, hiburan,
kecepatan, dan kesehatan) yang secara prinsip tidak berwujud pada pembeli pertamanya
(Zeithaml, 2003:3).
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
336
Karakteristik Jasa
Philip Kotler (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya jasa memiliki empat
karakteristik utama yang sangat mempengaruhi desain program pemasaran di antaranya:
1. Tidak berwujud (intangibility), karena jasa tidak berwujud. Biasanya jasa dirasakan
secara subjektif dan ketika jasa di deskripsikan oleh pelanggan, ekspresi seperti
pengalaman, kepercayaan, perasaan, dan keamanan adalah tolak ukur yang di pakai.
Inti dari suatu jasa adalah ketidak berwujudan dari fenomena itu sendiri. Oleh karena
tingginya derajat ketidakberwujudannya maka jasa sulit di evaluasi oleh pelanggan.
2. Tidak terpisahkan (inseparability), biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara
bersamaan. Hal ini tidak berlaku bagi barang-barang fisik, yang diproduksi, disimpan
sebagai persediaan, didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi
kemudian.jika seseorang memberikan jasa tersebut, pemyediaan adalah bagian dari
jasa itu.
3. Bervariasi (variability), karena bergantung pada siapa yang memberikannya, kapan
dan dimana diberikannya, jasa sangat bervariasi. Selain itu karena proses produksi dan
penyampaiannya dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia mempunyai sifat yang
tidak konsisten sehingga penyampaian suatu jasa belum tentu sama terhadap tiap-tiap
pelanggan.
4. Tidak tahan lama (perishabity), jasa tidak dapat disimpan. Sifat jasa sangat mudah
rusak (perishability) teresebut tidak akan menjadi masalah apabila permintaan tetap
berjalan lancar. Jika perusahaan berfluktuasi, perusahaan-perusahaan jasa menghadapi
masalah yang rumit.
Kualitas Jasa
Kualitas jasa didefinisikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan
konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen
(Tjiptono, 2011).
Faktor-faktor Buruknya Kualitas Jasa
Untuk menarik konsumen maka sebuah perusahaan baik perusahaan jasa atau produk
wajib memberikan suatu kualitas jasa yang baik untuk konsumennya. Namun terkadang
perusahaan belum bisa melakukan hal tersebut dikarenakan masih ada beberapa faktor yang
menyebabkan kualitas suatu jasa menjadi buruk. Faktor – faktor tersebut meliputi:
1. Produksi dan Konsumsi yang terjadi secara simultan
Salah satu karakteristik jasa yang penting adalah Inseparability, artinya jasa
diproduksi dan di konsumsi pada saat yang bersamaan. Beberapa kekuranggan yang
mungkin ada pada karyawan pemberi jasa dan dapat berpengaruh terhadap persepsi
pelanggan pada kualitas jasa misalnya:
a. Tidak terampil dalam melayani pelanggan.
b. Cara berpakaian tidak sesuai.
c. Tutur katanya tidak sopan dan kurang menyenangkan.
2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi.
3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang memadai.
4. Kesenjangan – kesenjangan komunikasi.
Kesenjangan komunikasi yang sering terjadi:
a. Perusahaan memberikan janji yang berlebihan, sehingga tidak dapat
memenuhinya.
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
337
b. Perusahaan tidak bisa selalu menyajikan informasi terbaru kepada pelanggan,
misalnya yang berkaitan dengan perubahan prosedur/aturan.
5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama karena pelanggan adalah
manusia yang bersifat unik, karena memiliki perasaan dan emosi.
6. Perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan.
7. Visi bisnis jangka pendek.
Lima Dimensi dari Kualitas Jasa
Barry dan Parasuraman (1994) mengidentifikasi lima dimensi yang digunakan oleh
para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa, yaitu seperti berikut:
1. Bukti Langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan
sarana komunikasi.
2. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan
dengan segera dan memuaskan.
3. Daya Tanggap (Responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para
pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.
4. Jaminan (Assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya
yang dimiliki staf; bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan.
5. Empati (Empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi
yang baik, dan memahami kebutuhan para pelanggan.
Kelima dimensi diatas dapat disebut juga SERVQUAL yang berfungsi sebagai alat
analisis untuk mengukur kualitas pelayanan (Parasuraman, et al., 1985).
Statistical Quality Control
Statistical Quality Control (SQC) adalah alat statistik yang digunakan untuk
mengevaluasi kualitas organisasi. Alat pengendalian kualitas secara statistik merupakan
metode statistik yang menerapkan teori probabilitas dalam pengujian atau pemeriksaan
sampel pada kegiatan pengendalian kualitas suatu produk atau pelayanan (Nasution, 2005).
Statistical quality control bisa dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut:
1. Statistik Deskriptif (Descriptive Statistics) – digunakan untuk menggambarkan
karakteristik kualitas dan hubungan.
2. Statistical process control (SPC) – melibatkan pemeriksaan sampel secara acak dari
output sebuah proses dan memutuskan apakah proses ini menghasilkan produk
dengan karakteristik yang berada dalam kisaran standar yang telah ditentukan.
3. Acceptance sampling – proses pemeriksaan sampel barang secara acak dan
memutuskan apakah akan menerima seluruh barang berdasarkan hasil. Sampling
penerimaan menentukan apakah batch barang harus diterima atau ditolak.
Ketiga kategori statistical quality control sangat membantu dalam mengukur dan
mengevaluasi kualitas produk atau pelayanan. Namun, alat pengawasan kualitas statistical
process control yang paling sering digunakan karena mereka mengidentifikasi masalah
kualitas selama proses produksi (Reid, 2010). Tujuan pengawasan kualitas secara statistik
adalah untuk menunjukkan tingkat reliabilitas sampel dan bagaimana cara mengawasi risiko.
Teknik pengawasan kualitas secara statistik juga membantu pengawasan pemrosesan melalui
pemberian peringatan apabila terjadi penyimpangan (Nasution, 2005).
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
338
Diagram Kontrol (Control Chart)
Diagram kontrol merupakan salah satu metode pengawasan kualitas, dikembangkan
oleh Walter Shewhart (1924), yang dapat mengukur kinerja kualitas. Diagram kontrol
dipergunakan untuk mengukur rata-rata, variabel dan atribut. Variabel berhubungan dengan
rata-rata dan besarnya deviasi serta untuk mengetahui sumbu terjadinya variasi proses
(Nasution, 2005). Besarnya deviasi (sigma) yang dapat digunakan dalam diagram kontrol
yaitu dari 1-3 sigma untuk menentukan batas kontrol. Kegunaan alat analisis diagram kontrol
untuk melihat penyimpangan yang terjadi pada pelaksaan kegiatan operasional. Terdapat lima
macam metode diagram kontrol yaitu sebagai berikut:
1. Diagram kontrol p atau Np (sampel size konstan)
2. Diagram kontrol rata-rata (x bar)
3. Diagram kontrol Range (R)
4. Diagram kontrol cacat C
5. Diagram kontrol cacat 100% inspeksi (p-chart) (size tidak konstan)
Pareto Chart
Pareto chart digunakan untuk memperbandingkan berbagai kategori kejadian yang
disusun menurut ukurannya, dari yang paling besar di sebelah kiri ke yang paling kecil di
sebelah kanan. Susunan tersebut akan membantu kita untuk menentukan pentingnya atau
prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian yang dikaji atau untuk
mengetahui masalah utama dalam prosesnya (Nasution, 2005). Pareto chart dapat
menunjukkan prioritas penyimpangan dan memusatkan perhatian pada persoalan utama yang
harus ditangani dalam upaya perbaikan.
Kegunaan Pareto Chart
Pareto Chart bertujuan untuk menemukan atau mengetahui prioritas utama dari
masalah yang dihadapi dan merupakan kunci dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dan
perbandingan terhadap keseluruhan. Kegunaan pareto chart antara lain:
1. Menunjukkan masalah utama dengan menunjukkan urutan prioritas dari beberapa
masalah.
2. Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan.
3. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah terbatas.
4. Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah perbaikan.
Diagram Sebab-Akibat
Diagram sebab-akibat atau sering disebut juga sebagai fishbone diagram atau
ishikawa diagram, sesuai dengan nama Prof. Kaoru Ishikawa dari Jepang yang
memperkenalkan diagram ini. Diagram sebab-akibat adalah suatu pendekatan terstruktur
yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebab-
penyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang terjadi (Nasution, 2005).
Kegunaan dari diagram sebab-akibat adalah untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dari
permasalahan kualitas agar dapat diperbaiki.
Pada dasarnya diagram sebab-akibat dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan
berikut (Gaspersz, 1998):
1. Membantu mengidentifikasi akar penyebab suatu masalah
2. Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
339
3. Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut
Metodelogi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode
studi kasus eksploratif karena studi ini harus dilaksanakan dengan melakukan wawancara
pada partisipan (perwakilan manager Tiger Air station Juanda Airport Surabaya), dalam
periode waktu tertentu, di sebuah tempat tertentu yaitu kantor operasional Tiger Airways di
Terminal 2 Bandara Internasional Juanda Surabaya.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu
dengan melakukan observasi dan wawancara (in-depth-interview) langsung (face-to-face)
pada informan terpilih selanjutnya melakukan penelaahan dokumen terpilih. Observasi
merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses
biologis dan psikologis (Yin, 2011:133-140). Wawancara adalah suatu percakapan yang
diarahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan di mana dua
orang atau lebih berhadapan secara fisik (Yin, 2011:133-140). Wawancara dapat dilakukan
dengan (1) tanpa daftar pertanyaan; (2) menggunakan kerangka yang dipakai pedoman
tentang apa yang akan ditanyakan; dan (3) menggunakan daftar pertanyaan.
Pembatasan permasalahan ini bertujuan agar penelitian lebih terfokus pada pokok
permasalahan. Batasan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini hanya dilakukan pada PT. Gapura Angkasa sebagai perusahaan
penyedia jasa ground handling sekaligus ground staff yang memberikan pelayanan
sejak penumpang lapor ke check in counter sampai di baggage claim/terminal
kedatangan penumpang pesawat. Dan maskapai Tiger Airways sebagai salah satu
maskapai yang dipilih untuk mengetahui bagaimana penanganan pelayanan yang
diberikan selama proses pre-flight hingga post flight.
2. Penelitian hanya dilakukan di Terminal 2 Bandar Udara Internasional Juanda
Surabaya dan dibantu oleh PT. Gapura Angkasa sebagai perusahaan yang membantu
kegiatan operasional maskapai Tiger Airways sejak penumpang lapor ke check in
counter sampai di baggage claim/terminal kedatangan penumpang pesawat.
3. Penelitian juga berfokus pada proses pelayanan penumpang jika terjadi delay yang
dilakukan oleh PT. Gapura Angkasa terhadap maskapai Tiger Airways di Terminal 2
Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya.
4. Evaluasi yang dilakukan menggunakan data berupa data jumlah penerbangan setiap
bulan, jumlah delay per bulan, total nilai on-time performance per bulan, serta data
penyebab delay yang terdapat pada OTP report and summary maskapai Tiger
Airways.
5. Evaluasi dilakukan dengan alat kualitas diagram kontrol, diagram pareto, dan diagram
sebab-akibat.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis pada penelitian ini mencakup jawaban mengenai bagaimana evaluasi
dari on-time performance sebagai upaya untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas jasa
pada maskapai Tiger Airways sebagai maskapai dengan konsep LCC, Sehingga dapat
diketahui apa penyebab menurunnya nilai on-time performance dan terjadinya delay.
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
340
Diagram Kontrol
Diagram kontrol akan digunakan untuk melihat adakah penyimpangan yang terjadi
pada pelaksanaan kegiatan operasional maskapai, sehingga peneliti akan menggunakan
diagram kontrol cacat 100% inspeksi sebagai bahan evaluasi. Besarnya sigma yang
digunakan dalam metode ini adalah 3 sigma untuk menentukan batas kontrol. Untuk
menyusun diagram kontrol ini menurut A.V. Feigeumbaum (1996) yaitu sebagai berikut:
1. Menentukan data yang dibutuhkan
Tabel 4.2
Data Penerbangan Bulanan Tiger Airways Rute Surabaya - Singapura Tahun 2015-
2016
Sumber: Data Sekunder Diolah
Setelah ditentukan data maka dengan itu dapat menentukan Garis Sentral (CL), Batas
Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) yaitu sebagai berikut:
2. Menghitung rata-rata penerbangan per periode (ā) (ā) = jumlah penerbangan per periode / period
(ā) = 281/12 = 23.42
3. Kemudian, menghitung rata-rata delay per periode (ĉ) (ĉ) = jumlah delay per periode / period
(ĉ) = 74/12 = 6.12
4. Setelah diketahui (ĉ), lalu hitung delay maksimum dan delay minimum
Delay maksimum = ĉ + 3√ĉ = 6.12 + 3√6.12 = 13.54
Delay minimum = ĉ - 3√ĉ = 6.12 - 3√6.12 = -1.30 = 0
5. Setelah diketahui ā, ĉ, delay maksimum, dan delay minimum, tentukan garis sentral
(CL), batas kontrol atas (BKA), dan batas kontrol bawah (BKB).
CL = ĉ/ā x 100%
CL = 6.12/23.42 x 100% = 26.13%
BKA = delay maksimum / ā x 100%
BKA = 13.54 / 23.42 x 100% = 57.81%
BKB = delay minimum / ā x 100%
BKB = -1.30 / 23.42 x 100% = -5.55% = 0
Bulan Jumlah
Penerbangan
Jumlah
Delay
Persentase
Delay
Mei 2015 22 2 9.09%
Juni 2015 23 4 17.39%
Juli 2015 26 0 0.00%
Agustus 2015 26 1 3.85%
September 2015 22 2 9.09%
Oktober 2015 23 2 8.70%
November 2015 20 6 30.00%
Desember 2015 26 14 53.85%
Januari 2016 23 14 60.87%
Februari 2016 25 7 28.00%
Maret 2016 27 13 48.15%
April 2016 18 9 50.00%
Jumlah 281 74
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
341
Setelah ditentukan garis sentral, batas kontrol atas, dan batas kontrol bawah, maka
dapat dibuat diagram kontrol sebagai berikut:
Sumber: Data Sekunder Diolah
Gambar 4.5
Diagram Kontrol Tahun 2015-2016
Berdasarkan gambar 4.5 diketahui bahwa ada satu titik yang terjadi delay melewati
batas kontrol atas ( BKA) yaitu pada bulan Januari 2016. Pada bulan Januari 2016 tingkat
delay sebesar 60.87% lebih besar daripada BKA sebesar 57.81%, hal ini disebabkan akibat
pada bulan Januari ini sudah memasuki musim penghujan, dimana keadaan di sekitar bandara
akan mempengaruhi keberangkatan maupun kedatangan penerbangan. Pada bulan Juli 2015
persentase delay sebesar 0.00% sama dengan nilai BKB sebesar 0.00% yang menandakan
bahwa tidak terjadi delay di waktu tersebut meskipun pada bulan Juli biasanya merupakan
peak season karena musim liburan.
Pareto Chart
Pareto Chart dalam penelitian ini menunjukkan prioritas penyimpangan dan
memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan.
Untuk dapat menyusun Pareto Chart dibutuhkan data mengenai permasalahan yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4.3
Data Penyebab Delay Tahun 2015-2016
Penyebab Delay Frekuensi Jumlah
Kumulatif
Persentase
Jumlah
Kumulatif
Persentase
Kumulatif
Late Arrival of
Aircraft
57 57 79.17% 79.17%
ATC (Air Traffic
Control)
11 68 15.27% 94.44%
Teknis 2 70 2.80% 97.24%
Fuel Uplift 1 71 1.38% 98.62%
Equipment
Shortage
1 72 1.38% 100.00%
Jumlah 72 100.00%
Sumber: Data Sekunder Diolah
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
342
Berdasarkan data penyebab delay pada tabel 4.3, maka dapat dibuat Pareto Chart
yaitu sebagai berikut:
Sumber: Data Sekunder Diolah
Gambar 4.6
Penyebab Delay Tahun 2015-2016
Berdasarkan gambar 4.6 diatas, terlihat bahwa delay yang terjadi disebabkan dari tiga
macam delay yaitu: Late Arrival of Aircraft, ATC (Air Traffic Control), dan Teknis. Tingkat
delay yang disebabkan oleh late arrival of aircraft selama 12 bulan sebesar 79,17%. Tingkat
delay yang disebabkan oleh ATC sebesar 15,27%. Tingkat delay yang disebabkan oleh
Teknis sebesar 2,80%. Hasil ini membantu memusatkan penyelesaian masalah dari ketiga
masalah utama yang ada. Ketiga masalah tersebut merupakan masalah yang berasal dari
faktor internal, sehingga dapat dilakukan tindakan korektif secara langsung. Selanjutnya,
perlu dicari akar penyebab dari ketiga masalah utama menggunakan diagram sebab-akibat.
Diagram Sebab-Akibat
Untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan kualitas agar dapat
diperbaiki, maka perlu di analisis menggunakan diagram sebab-akibat. Berdasarkan hasil dari
Pareto Chart dapat dicari akar penyebab masalah dari ketiga masalah utama dengan
menggunakan diagram sebab-akibat. Data mentah didapatkan dari hasil wawancara dengan
manager supervisor maskapai Tiger Air (Lampiran 2). Gambar diagram sebab-akibat tersebut
merupakan gambaran penyebab terjadinya delay yang sebagaimana telah diidentifikasi
menggunakan Pareto Chart. Penyebabnya adalah:
1. Late Arrival of Aircraft
a. Delay dari stasiun/bandara sebelumnya.
Keterlambatan kedatangan pesawat biasanya disebabkan karena delay yang terjadi
sebelumnya di bandara asal atau bandara sebelumnya. Namun, penyebab delay
dari bandara sebelumnya ini sangat erat kaitannya dengan masalah yang terjadi
yaitu:
a. Listrik padam, kejadian tersebut mempengaruhi kegiatan operasional bandara
sebab banyak kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan bantuan tenaga
listrik. Apabila listrik padam maka tidak bisa dihindari masalah akan timbul
salah satunya delay, sebab jika saat proses check in hingga penumpang akan
melakukan boarding mengalami gangguan akan mempengaruhi proses
keberangkatan karena petugas akan kesulitan mengecek manifest
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
343
penumpangnya. Dan petugas ATC pun akan mengalami gangguan dalam
pengaturan penerbangan pesawat.
b. Tidak mendapat aviobridge, jika pesawat landing/take off lalu tidak mendapat
aviobridge (garbarata) maka akan memperlambat kegiatan operasional baik
dari sisi petugas maskapai maupun ground handling dan penumpang.
Sehingga hal tersebut dapat memperlambat waktu yang digunakan dan akan
mempersulit penumpang jika ada penumpang yang harus menggunakan kursi
roda.
2. ATC (Air Traffic Control)
a. VVIP
ATC akan memastikan tidak ada pesawat yang landing/take off saat ada VVIP,
sehingga semua penerbangan akan di tahan dan hal ini akan menyebabkan
terjadinya delay pada penerbangan yang akan terbang dari bandara Juanda
maupun menuju bandara Juanda. Yang termasuk VVIP disini biasanya Presiden
dan Wakil Presiden serta Tamu Kenegaraan.
b. Cuaca
Pengaruh cuaca sangat mempengaruhi penerbangan karena apabila cuaca buruk
maka ATC berhak untuk tidak mengizinkan adanya penerbangan menuju dan dari
bandara Juanda. Dan bila hal tersebut sudah terlanjur terjadi biasanya akan ada
pengalihan pendaratan di bandara sebelumnya bandara yang dituju.
c. Antrian take off/landing
Antrian akan terjadi saat ada VVIP dan cuaca buruk sehingga akan berimbas pada
terlambatnya beberapa penerbangan. Dan antrian dapat terjadi pula bila keadaan
parkir pesawat saat itu penuh sehingga mau tidak mau pesawat yang akan landing
harus menunggu.
3. Teknis
Dalam kegiatan operasional penerbangan masalah teknis sering terjadi dan biasanya
masalah kerusakan mesin, hal ini akan sangat mengganggu penerbangan bila masalah
teknis tersebut terjadi saat penerbangan berlangsung. Meskipun demikian bila
masalah kerusakan mesin sebelum penerbangan terjadi juga akan menimbulkan
keterlambatan dari jadwal penerbangan yang seharusnya.
Gambar 4.7
Diagram Sebab-Akibat
Cuaca
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
344
Mengevaluasi on-time performance sebagai upaya mengawasi dan meningkatkan
kualitas jasa, membutuhkan sebuah metode yang dapat menelusuri dan mengkaji penyebab-
penyebab di dalamnya. Penggunaan the basic seven tools of quality dapat mengetahui dan
membuka penyebab masalah yang sering mengganggu maskapai Tiger Air dalam menjaga
kualitas jasa yang diberikan kepada penumpang. The basic seven tools of quality yang
digunakan hanya tiga tools saja, yaitu control chart, pareto chart, dan cause and effect
diagrams. Alasan pemakaian tiga alat metode dikarenakan minimnya data yang akan
digunakan untuk mengevaluasi data bila harus menggunakan ketujuh alat metode yang ada.
Hasil penelitian menunjukkan, pada gambar 4.5, bahwa pada bulan Januari 2016
terdapat tingkat delay yang melewati batas kontrol atas (BKA) dan tidak terdapat tingkat
delay yang melewati batas kontrol bawah (BKB). Delay dalam hal ini sudah menjadi
ancaman bagi pihak maskapai sebab mereka mentargetkan OTP diatas 95% sehingga sekecil
apapun tingkat delay yang terjadi akan menjadi masalah yang mengakibatkan penyimpangan.
Berdasarkan gambar 4.6, ditemukan tiga masalah yang mengakibatkan penyimpangan yaitu:
late arrival of aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Selanjutnya, pada gambar 4.7,
ditemukan akar penyebab dari ketiga masalah yang dapat dilakukan tindakan korektif secara
efektif sebagai alternarif bagi Tiger Air agar tetap dapat mempertahankan nilai on-time
performance diatas 95%.
Permasalahan on-time performance berkaitan dengan lima dimensi kualitas jasa yaitu
bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Dimensi bukti langsung
dalam maskapai penerbangan merupakan cara menunjukkan tangibles ke pelanggan, seperti
kebersihan di dalam pesawat mengingat Tiger Air merupakan maskapai penerbangan
Internasional sehingga hal tersebut penting diperhatikan. Dimensi keandalan dalam maskapai
penerbangan merupakan ketepatan penyampaian pelayanan pada kegiatan operasional kepada
pelanggan. Dimensi daya tanggap merupakan tingkat kecepatan layanan dengan permintaan
pelanggan. Dimensi jaminan merupakan cara maskapai penerbangan untuk membuat nyaman
dan tenang saat terbang serta percaya dengan pelayanan yang diberikan pihak maskapai.
Dimensi empati dalam maskapai penerbangan merupakan cara kru bersikap baik kepada
pelanggan.
Permasalahan on-time performance sangat berhubungan dengan dimensi keandalan,
dimana dalam hal ini ketepatan penyampaian pelayanan pada kegiatan operasional
mempengaruhi kepercayaan pelanggan yang mempunyai harapan terhadap pelayanan yang
diberikan pihak maskapai penerbangan. Pelanggan mengharapkan agar maskapai
penerbangan dapat diandalkan dalam menyediakan jasa yang diberikan. Ketika pelanggan
memutuskan untuk melakukan sebuah penerbangan, maka pelanggan berharap bahwa
penerbangan itu tepat waktu baik keberangkatan maupun kedatangan. Pelanggan memilih
melakukan perjalanan udara karena saat ini penerbangan dianggap cara yang tepat untuk
dapat sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan pelanggan memutuskan untuk mendapat
pelayanan tepat waktu. Apabila maskapai penerbangan tidak mampu menyediakan pelayanan
tepat waktu, maka hal itu akan ditandai oleh pelanggan sebagai ketidakandalan pelayanan
yang diberikan.
Simpulan
1. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung, wawancara, dan arsip data yang
dilakukan pada maskapai Tiger Airways, diketahui bahwa on time performance
merupakan indikator utama bagi maskapai penerbangan dan faktor krusial sebab
berhubungan dengan groundtime dan kepuasan pelanggan. Dimana waktu pelayanan
telah tertuang dalam sebuah perjanjian atau SLA (Service Level Agreement) dan bisa
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
345
saja jika OTP tidak tercapai maka akan timbul kerugian baik berupa materiil maupun
non materiil.
2. OTP atau on time performance adalah salah satu penilaian kualitas pelayanan ground
handling bagi PT. Gapura Angkasa untuk dapat mengukur kinerja dalam memberikan
pelayanan kepada pelanggan. Termasuk pada maskapai Tiger Airways sebagai salah
satu maskapai yang pelayanan pelanggannya dilakukan oleh PT. Gapura Angkasa.
Jika OTP satu penerbangan tidak tercapai artinya terjadi delay. Dan jika delay terjadi
tentunya akan berdampak pada dimensi keandalan sebagai ukuran kualitas jasa yang
diharapkan pelanggan mengalami penurunan, karena pelanggan akan merasa tidak
nyaman dengan penerbangan yang akan dilakukannya.
3. Kasus delay yang terjadi diakibatkan oleh tiga masalah yaitu: Late Arrival of Aircraft,
ATC (Air Traffic Control), dan Teknis.
4. Dalam hasil evaluasi menggunakan metode diagram kontrol menunjukkan bahwa
tingkat delay yang melewati BKA terjadi pada bulan Januari 2016 dengan persentase
sebesar 60,87% dimana pada bulan itu jumlah delay yang terjadi sebanyak 14 kali
dengan jumlah penerbangan sebanyak 23 kali. Hal ini merupakan ancaman bagi
maskapai karena standar nilai OTP yang ditargetkan 95% sehingga hal seperti itu
tidak seharusnya terjadi dan hal ini menjadi bahan pengawasan untuk tidak
menurunkan harapan pelanggan terhadap maskapai Tiger Airways.
5. Hasil evaluasi menggunakan metode diagram pareto menunjukkan bahwa 80% dari
tingkat delay yang terjadi disebabkan oleh tiga macam delay yaitu: late arrival of
aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Kemudian menggunakan metode
diagram sebab-akibat ditemukan akar penyebab dari tiga macam delay yang dihadapi
maskapai Tiger Airways, sehingga pihak maskapai dapat memberikan pengawasan
lebih mendalam dan melakukan koordinasi dengan pihak bandara serta pihak ground
handling. Tiger Airways dapat melakukan kontrol bagi pelayanan yang diberikan dan
mengontrol kegiatan operasional lainnya guna menjaga kualitas jasanya.
Saran
1. Bagi pihak penyedia jasa ground handling yaitu PT. Gapura Angkasa Cabang
Surabaya agar dapat menempatkan sumber daya manusia (karyawan) sesuai dengan
kualifikasi tugas yang dibebankan agar dapat melayani pelanggan dalam hal ini
penumpang maskapai Tiger Airways dengan sebaik mungkin. Berusaha memenuhi
tanggung jawab yang tertuang dalam SLA (Servive Level Agreement).
2. Bagi pihak maskapai Tiger Airways dapat menyusun struktur organisasi yang sesuai
dengan tugas masing-masing agar tidak terjadi ketimpangan dalam memenuhi
tanggung jawabnya, kemudian melakukan pengawasan dan peningkatan agar
pelayanan yang diberikan kepada penumpang dapat sesuai dengan harapan
penumpang. Mempertahankan kualitas jasa pelayanan yang sesuai standar
penerbangan internasional. Dan mengupayakan koordinasi dengan pihak ground
handling dan bandara agar dapat meminimalisir terjadinya delay pada setiap
penerbangan.
T. Aria Auliandri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mutiya Kurniastuti Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
346
Daftar Pustaka
Berry, Leonard, A. Parasuraman, dan Valerie A. Zeithaml. 1994. Improving service quality in
America: Lesson learned dalam Academy of Management Executive, Vol. 8, No.2, h.
32-52
Boone, Captain Pat. 2009. IATA Delay Codes. (Online), (www.b737mrg.net, diakses tanggal
22 Oktober 2016).
Chowdary, Nimit dan Monika Prakash. 2007. Prioritizing service quality dimensions dalam
Managing Service Quality, Vol. 17, No.5, h. 493-509
Foster, S. Thomas. 2007. Managing Quality: Integrating the Supply Chain. Third Edition.
United States: Pearson Education, Inc.
Kotler, Philip. 2005. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Erlangga.
Nasution, M. 2005. MANAJEMEN MUTU TERPADU (Total Quality Management). Edisi
kedua, Bogor: Ghalia Indonesia.
Niehues, Alexander et al. 2001. Punctuality: How Airlines Can Improve On-Time
Performance. Booz-Allen & Hamilton., (Online), h. 1-16,
(http://www.aviation.go.th/rbm/Punctuality.pdf , diakses tanggal 16 Oktober
2016).
Parasuraman, A., Valarie A. Zeithaml, dan Leonard L. Berry. 1985. A Conceptual Model of
Service Quality and Its Implications for Future Research dalam Journal of
Marketing, Vol. 49, h. 41-50
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
347
PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN
MANCANEGARA PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO
Cahyani Tunggal Sari1
BRM. Suryo Triono2
STIE-AUB Surakarta
Jalan MR. Sartono No.97, Nusukan, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah 57135, Indonesia
Phone: +62 271 854904
Abstrak
Kemasan merupakan proses melindungi produk dalam rangka mendukung distribusi,
penyimpanan, penjualan. Penentuan kemasan sebuah produk melalui proses merancang,
mengevaluasi, dan memproduksi kemasan tersebut. Materi yang terdapat dalam sebuah
kemasan sangat mendukung bagaimana produk tersebut dapat sampai pada konsumen dengan
baik. Materi legalitas produk menjadi salah satu acuan utama konsumen dalam menilai dan
memilih produk hingga konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian produk tersebut.
Kedua hal itulah yang saat ini menjadi permasalahan yang banyak dihadapi oleh pelaku usaha
mikro kecil menengah khususnya produk oleh-oleh khas daerah. Pelaku usaha produk oleh-
oleh khas lebih banyak tergolong pada industri rumah tangga dengan proses pengemasan
yang sederhana dan legalitas yang minimal untuk dapat menjangkau pasar nasional maupun
mancanegara. Kota Solo atau Surakarta saat ini sudah menjadi tujuan wisata baik dari dalam
negri maupun luar negri. Berbagai agenda budaya menjadi daya tarik kota Solo bagi para
wisatawan. Hal ini juga menjadi media peningkatan ekonomi masyarakat Solo terutama
untuk produk oleh-oleh.
Kata Kunci: kemasan, legalitas, pemasaran, produk kuliner oleh-oleh, industri rumah tangga
Abstract
Packaging is the process of protecting in order to support the product distribution,
storage, and sale. The packaging process includes designing, evaluating, and producing the
package. The material contained in a package will support of how the products can be
delivered and arrived at the customers well. The material of the product legality to be one of
the main references for customers in assessing, selecting, and purchasing the product.
Product packaging and legality, are currently the problems faced by Micro Small Medium
Enterprises, especially culinary products souvenirs from local home industry. Culinary
souvenirs business is categorized as homebase industry with a simple packaging and
minimum legality. This has made it difficult to reach national and international markets.
Keywords: packaging, legal, marketing, culinary product souvenirs, home industry
Pendahuluan
Pemerintah Indonesia khususnya Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil
Menengah saat ini tengah mengajak masyarakat untuk kreatif dalam mengembangkan usaha
mikro kecil dalam rangka pengembangan kewirausahaan. Mariana Kristiyanti (2012)
1 Cahyani Tunggal Sari S.E., M.A., M.M. Dosen Manajemen, STIE-Adi Unggul Bhirawa, Surakarta
2 BRM. Suryo Triono S.S., M.Hum. Dosen Manajemen, STIE-Adi Unggul Bhirawa, Surakarta
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
348
menyebutkan bahwa sejumlah UMKM di Indonesia memiliki peran yang strategis dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, hal tersebut kurang didukung
dengan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan pemasaran produk UMKM khususnya
usaha mikro bagi industri rumah tangga. Endang Purwanti (2012), mengungkapkan bahwa
kepedulian pemerintah terhadap UMKM sangat diperlukan demi perkembangan usaha dari
UMKM.
Masyarakat baik pedesaan maupun perkotaan, mulai dari usia muda hingga yang
sudah lanjut banyak yang menjalankan industri rumah tangga. Produk kuliner oleh-oleh khas
daerah menggunakan berbagai bahan baik pertanian maupun peternakan. Pengolahannya pun
beragam, dari yang sederhana hingga yang sangat kreatif baik dari segi rasa, proses, maupun
kemasan. Para pelaku usaha kuliner berlomba-lomba untuk membuat kemasan se-menarik
mungkin sehingga mudah dilirik oleh konsumen. Dewi Shanti Nugrahani (2011)
mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi UMKM adalah masalah
permodalan dan pemasaran. Pelaku UMKM perlu mencari terbosan baru untuk dapat
meningkatkan omzet penjualan. Saat ini pemasaran yang paling efektif bagi pelaku kuliner
oleh-oleh ini melalui toko oleh-oleh setempat. Namun, dengan ruang yang tidak begitu luas,
menjadikan setiap merk dari produk kuliner oleh-oleh khas daerah harus bersaing dari
kemasannya.
Peluang usaha kuliner oleh-oleh khas daerah saat ini cukup menjanjikan bagi daerah-
daerah tujuan wisata, salah satunya kota Solo. Saat ini Solo menjadi salah satu sorotan bagi
masyarakat Indonesia. Beberapa hal yang menjadikan Solo menjadi salah satu daya tarik
media maupun wisatawan adalah: (1) Presiden Indonesia, Jokowi berasal dari kota Solo, (2)
Agenda budaya baik nasional maupun internasional, (3) Kraton Kasunanan dan
Mangkunegaran yang menjadi obyek wisata di kota Solo, (4) Kuliner kota Solo yang sudah
menyebar melalui sosial media, (5) Batik Solo yang menjadi alternatif pakaian formal.
Keunggulan kota Solo tersebut hendaknya dapat mendukung pemilihan strategi pemasaran
produk kuliner oleh-oleh khas Solo. Sebagaimana disebutkan dalam Dimas Hendika Wibowo
(2015) bahwa pemasaran perlu mendapat perhatian serius dari UMKM, terutama dalam
penetapan strategi pemasarannya sehingga dapat menembus pasar baik domestik maupun
mancanegara.
Keberhasilan sebuah usaha juga tergantung pada bagaimana industri atau perusahaan
tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sebagaimana diungkapkan oleh Gendut
Sukarno (2009). Indonesia saat ini tengah berada di era MEA dan UMKM diharapkan
mampu mengikuti perkembangan ini dengan meningkatkan kinerja pemasaran melalui
berbagai inovasi produk. Inovasi produk tersebut dapat berupa inovasi dalam bentuk kemasan
dan juga proses pengolahannya. Selain itu, untuk ikut serta dalam era MEA, UMKM juga
dituntut untuk berperan aktif dalam mengurus legalitas terkait dengan usaha. Sehingga
produk dari UMKM tidak hanya menembus pasar domestik tetapi juga mancanegara.
Pentingnya inovasi produk, terutama kemasan serta legalitas usaha bagi pelaku
UMKM khususnya pelaku usaha kuliner oleh-oleh khas Solo di era MEA ini, mendorong
untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan peran
kemasan dan legalitas usaha dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas Solo dalam
pasar domestik maupun mancanegara.
Kajian Pustaka dan Hipotesis
Berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil
Menengah, pengertian dari usaha adalah sebagai berikut:
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
349
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan
usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini.
2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan
atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang
memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
ini.
3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang
dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian
baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar
dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang ini. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang
dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan
tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik
negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan
ekonomi di Indonesia.
Berdasarkan modalnya, jenis usaha dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah).
2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah).
3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut:
a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar
lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00
(lima puluh milyar rupiah).
Hingga saat ini, jika dikategorikan kedalam pengertian maupun besar modalnya, maka
pelaku usaha kuliner oleh-oleh khas daerah sebagian besar masih termasuk dalam indusri
mikro yang belum memiliki modal besar dan omzet yang besar. Hal tersebut juga
dikarenakan dukungan sarana prasarana yang kurang meningkatkan nilai jual produk kuliner
oleh-oleh khas daerah. Keuntungan yang diambil dari harga jual juga tidak terlalu besar.
Kemasan Produk
Kemasan sebuah produk merupakan salah satu hal penting bagi konsumen dalam
mempertimbangkan keputusan membeli terhadap sebuah produk. Saat ini sudah banyak
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
350
beragam kemasan untuk produk kuliner oleh-oleh yang menarik dan dari berbagai bahan.
Berbagai jenis bahan kemasan produk oleh-oleh diantaranya plastik dengan berbagai
ketebalan, box karton, kaleng, kertas.
Kemasan sebagai salah satu media komunikasi visual dari produk membutuhkan
sebuah kreativitas dalam menyampaikan isi dari kemasan tersebut. Visualisasi sebuah
kemasan produk kuliner hendaknya dapat mencerminkan isi dari kemasan tersebut. Kemasan
produk yang baku biasanya berisi tentang: (1) Nama produk atau brand; (2) Bahan-bahan
yang digunakan untuk produksi; (3) Tanggal kadaluarsa; (4) Nomor produksi; (5) Tanggal
produksi; dan (6) Alamat produksi.
Designer kemasan produk mempunyai peran penting dalam menuangkan keinginan
dari pemilik produk terkait dengan visualisasi pada kemasan. Kreativitas designer kemasan
akan teruji pada saat produk tersebut sudah masuk di pasaran dan bersaing dengan kemasan
produk baik produk sejenis maupun berbeda jenis. Menurut Christine Suharto Cenadi (2000),
kemasan harus dapat memberikan impresi spontan yang mempengaruhi tindakan positif
konsumen di tempat penjualan.
Fungsi dari kemasan sebuah produk adalah melindungi isi atau produk itu sendiri,
terutama jika produk tersebut adalah produk makanan. Namun, sebagaimana disampaikan
Hermawan Kartajaya (1996), seiring dengan perkembangan dunia desain dan pemasaran,
fungsi dari kemasan tidak hanya melindungi dari isinya tetapi juga menjual dari isinya.
Penampilan sebuah kemasan perlu memiliki daya tarik agar bagi pembeli produk.
Daya tarik pada kemasan dapat digolongkan menjadi dua yaitupertama, daya tarik visual
(estetika) yang berhubungan dengan faktor emosi dan psikologis yang terletak pada bawah
sadar manusia. Menurut Christine Suharto Cenadi (1999), sebuah desain yang baik harus
mampu mempengaruhi konsumen untuk memberikan respons positif tanpa disadarinya dan
kedua, daya tarik praktis (fungsional) yang merupakan efektivitas dan efisiensi suatu
kemasan yang ditujukan kepada konsumen maupun distributor.
Aspek Legal untuk Pemasaran Produk Dalam Negri
1. Sertifikat P-IRT
Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur
bahwa tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah untuk tersedianya
pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan
manusia. Meng ingat hal tersebut diatas maka SP-IRT (Sertifikat Produksi Industri Rumah
Tangga) dan izin Dinas Kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas Industri
Rumah Tangga pangan, meletakkan Industri Rumah Tangga pangan dalam posisi strategis
dan sehat.
Dinas Koperasi dan UMKM saat ini sudah memberikan fasilitas kepada pelaku
UMKM untuk mendapatkan P IRT gratis. Adapun syarat-syarat untuk mendapatkan izin edar
P IRT ini antara lain:
1. Sudah pernah mengikuti program penyuluhan tentang ketahanan pangan bagi industri
rumah tangga dari Dinas Kesehatan setempat. Keikutsertaan dalam kegiatan ini
dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kesehatan. Apabila
mengikuti kegiatan penyuluhan ini secara mandiri, maka pelaku industry rumah
tangga dikenakan biaya sekitar Rp 100.000,-. Sertifikat dari kegiatan penyuluhan
tentang ketahanan pangan nantinya wajib disertakan pada saat pengumpulan formulir
pengajuan izin P IRT.
2. Mengisi formulir pendaftaran izin P IRT yang dapat diambil di Dinas Kesehatan
setempat dan melampirkan beberapa kelengkapan seperti data terkait produk (nama
produk, lokasi produksi, data pemilik, fotokopi KTP pemilik usaha)
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
351
3. Melakukan uji bakteriologi produk di laboratorium Dinas Kesehatan setempat. Hasil
dari uji bakteriologi ini harus dilampirkan pada saat pengumpulan formulir
permohonan izin P IRT.
Apabila kelengkapan sudah terpenuhi dan diterima oleh Dinas Kesehatan setempat,
maka tim dari Dinas Kesehatan akan melakukan kunjungan ke lokasi produksi untuk
meninjau apakah lokasi usaha sudah memenuhi standar layak dan sehat untuk melakukan
produksi makanan. Jika sudah sesuai standar, maka Dinas Kesehatan akan menerbitkan ijin P
IRT bagi industry rumah tangga tersebut. Jika belum, maka industri rumah tangga tersebut
hendaknya memperbaiki beberapa masukan dari Dinas Kesehatan dan akan ditinjau ulang
oleh Dinas Kesehatan.
Permohonan tidak dapat dipenuhi apabila pangan yang diproduksi berupa : susu dan hasil
olahannya, daging, ikan, unggas dan hasil olahanya yang memerlukan proses dan atatu
penyimpanan beku, pangan kaleng, pangan bayi, minuman berakohol, air minum dalam
kemasan (AMDK), pangan lain yang wajib memenuhi persyaratan SNI, dan pangan lain yang
ditetapkan oleh Badan POM.
2. Perijinan Badan Pengawasan Obat dan Makanan
a. Proses Pendaftaran
Sejauh ini pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah Indonesia
ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Untuk
makanan dalam negeri diperlukan fotokopi izin industri dari Departemen Perindustrian dan
Perdagangan. Formulir Pendaftaran dapat diperoleh di Bagian Tata Usaha Direktorat
Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Setelah formulir ini diisi dengan lengkap,
kemudian diserahkan kembali bersama contoh produk dan rancangan label yang sesuai
dengan yang akan diedarkan. Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut
penilaian keamanan pangan.
b. Ijin Edar Produk Dalam Negri dari BPOM (MD)
Pelaku usaha atau pemilik produk yang tidak termasuk dalam criteria makanan atau
minuman dalam ijin edar P IRT wajib mengajukan ijin edar dari BPOM. Adapun syarat
pendaftaran produk MD antara lain : (1) Fotokopi ijin industri dari Departemen Perindustrian
dan Perdagangan atau Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM); (2) Hasil analisa
laboratorium (asli) yang berhubungan dengan produk antara lain zat gizi (klaim gizi), zat
yang diklaim sesuai dengan label, uji kimia, cemaran mikrobiologi dan cemaran logam; (3)
Rancangan label sesuai dengan yang akan diedarkan dan contoh produk; (4) Formulir
pendaftaran yang telah diisi dengan lengkap.
c. Ijin Edar Produk Luar Negri dari BPOM (ML)
Pelaku usaha atau pemilik produk yang tidak termasuk dalam criteria makanan atau
minuman dalam ijin edar P IRT wajib mengajukan ijin edar dari BPOM. Adapun syarat
pendaftaran produk ML antara lain : (1) Surat penunjukkan dari pabrik asal (surat asli
ditunjukkan sedangkan yang fotokopi dilampirkan); (2) Health certificate atau free sale dari
instansi yang berwenang di negara asal (surat asli ditunjukkan sedangkan yang fotokopi
dilampirkan); (3) Hasil analisa laboratorium (asli) yang berhubungan dengan produk antara
lain zat gizi (klaim gizi), zat yang diklaim sesuai dengan label, uji kimia, cemaran
mikrobiologi dan cemaran logam; (4) Rancangan label sesuai dengan yang akan diedarkan
dan contoh produk; dan (5) Formulir pendaftaran yang tekah diisi dengan lengkap.
3. Sertifikat Halal LP POM MUI
Sertifikat Halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Pusat atau Propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman,
obat-obatan, dan kosmetika. Suatu produk dinyatakan halal oleh MUI apabila sudah diteliti
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
352
dan dinyatakan bahwa produk tersebut terbuat dari bahan-bahan yang halal dan diproses
dengan cara yang halal.
Pernyataan sertifikasi halal bermanfaat dalam pemasaran produk. Produk yang
memiliki sertifikat halal dan dipasarkan di kalangan masyarakat muslim membantu untuk
memilah produk yang bisa dikonsumsi sesuai syariat Islam dengan yang haram. Produk yang
memiliki sertifikat halal MUI juga dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat dan ada
kepercayaan tersendiri dari konsumen terhadap produk-produk yang sudah bersertifikat halal.
Menurut Muhammad Ibnu Elmi As Pelu (2009) dalam KN Sofyan Hasan (2014),
Fungsi sertifikat halal dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu fungsi bagi konsumen dan fungsi
bagi produsen.Fungsi sertifikat halal bagi konsumen antara lain : (1) Perlindungan bagi
konsumen muslim terhadap produk-produk yang haram; (2) Memberikan rasa tenang dalam
mengkonsumsi bagi konsumen; dan (3) Memberikan kepastian dan perlindungan hukum.
Fungsi sertifikat halal bagi produsen antara lain : (1) Merupakan pertanggungjawaban
produsen bagi konsumen muslim, dikarenakan halal merupakan salah satu prinsip hidup; (2)
Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen; (3) Meningkatkan citra dan daya saing
perusahaan; (4) Sebagai alat pemasaran dan memperluas jaringan pemasaran; dan (5)
Meningkatkan omzet penjualan.
4. Ijin Usaha Industri Kecil
Setiap usaha yang bergerak dalam sektor industri wajib memiliki izin dalam bidang
industri. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 peraturan menteri Perindustrian No.
41/M-IND/PER/2008 mengenai ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin
Perluasan dan tanda daftar Industri (PERMENRIND 41/-M-IND/PER/2008), dijelaskan
bahwa:
1. Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI),
kecuali bagi Industri Kecil.
2. Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Tanda Daftar
Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI.
Industri kecil, sebagaimana dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2 PERMENRIND 41/-
M-IND/PER/2008mengenai ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin
Perluasan dan tanda daftar Industri:
1. Industri keci l yang wajib memiliki TDI sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat
(2), meliputi jenis industri yang tercantum dalam lampiran huruf D Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 07/M-IND/PER/5/2005 dan atau perubahaannya, dengan nilai
perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan.
2. Industri kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan nilai investasi seluruhnya
sebagai berikut:
a. sampai dengan Rp.5.000.000,-(lima Juta rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tepat usaha, tidak wajib Tanda Daftar Industri (TDI), kecuali
perusahaan yang bersangkutan menghendaki TDI.
b. di atas Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua
ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib
memiliki TDI
Dengan demikian, industri kecil yang memiliki nilai investasi kurang dari Rp.
5.000.000 ke bawah tidak mempunyai kewajiban untuk memiliki Tanda Daftar Industri
(TDI). Namun apabila industri kecil tersebut ingin memiliki TDI, dapat mengajukan
permohonan izin meskipun nilai investasi kurang dari Rp. 5.000.000.
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
353
5. Prosedur Ekspor
Kegiatan ekspor barang merupakan sistem perdagangan yang memungkinkan
seseorang mengadakan trading lintas negara. Saat ini pemerintah berupaya meningkatkan
devisa dengan menggenjot arus Ekspor barang. Prosedur ekspor sebenarnya lebih mudah
daripada kegiatan prosedur impor karena saat ini lebih banyak aturan yang mengatur tentang
impor daripada tentang ekspor, terutama untuk masalah pembayaran pajak.
Pada kegiatan impor hampir semua barang dikenakan bea masuk dan pajak impor
lainnya, sedangkan pada saat ekspor lebih banyak barang yang tidak dikenakan pajak ekspor
maupun bea keluar. Untuk pajak ekspor yang dikenakan diantaranya pada kegiatan ekspor
kayu, rotan, juga CPO (crude palm oil). Untuk kegiatan ekspor yang lainnya saat ini tidak
dikenakan pajak ekspor antaral lain adalah ekspor ikan, jagung, pisang, pakaian, alat
elektronik dll.
Dokumen yang perlu dipersiapkan oleh eksportit antara lain dokumen Pemberitahuan
Barang Ekspor (PEB). PEB tersebut berisi data barang ekspor diantaranya : (1) Data
Eksportir; (2) Data penerima barang; (3) Data Customs Broker (bila ada); (4) Sarana
pengangkut yang akan mengangkut; (5) Negara Tujuan; dan (6) Detil barang, seperti jumlah
dan jenis barang, dokumen yang menyertai,nomor kontainer yang dipakai.Setelah PEB
diajukan ke kantor Bea Cukai setempat, akan diberikan persetujuan Ekspor dan barang bisa
dikirim ke pelabuhan yang selanjutnya bisa dimuat ke kapal atau sarana pengangkut menuju
negara tujuan. Eksportir juga perlu membayar pendapatan negara bukan pajak dengan
besaran yang berbeda-beda ditentukan dengan keputusan menteri keuangan. Aturan
pengiriman barang berbeda-beda sesuai dengan jenis barang. Sebagai contoh, barang yang
berupa kayu memerlukan dokumen Laporan Surveyor, endorsement dari Badan Revitalisasi
Industri Kayu. Namun banyak juga ekspor yang tanpa persyaratan atau ijin dari instansi
terkait, misalnya ekspor sepeda, plastik, sirup, sepatu, kabel, besi, baja, mainan plastik, dan
yang lain.
Prosedur ekspor di Indonesia bisa melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1)
Mencari tahu terlebih dahulu apakah barang yang akan diekspor tersebut termasuk barang
yang dilarang untuk di ekspor, diperbolehkan untuk diekspor tetapi dengan pembatasan, atau
barang yang bebas diekspor (Menurut undang-undang dan peraturan di Indonesia). Untuk
mengetahuinya bisa dilihat di www.insw.go.id; (2) Memastikan apakah barang diperbolehkan
untuk masuk ke negara tujuan ekspor; (3) Jika sudah mendapatkan pembeli (buyer),
menentukan sistem pembayaran, menentukan quantity dan spek barang, dll, maka selanjutnya
mempersiapkan barang yang akan diekspor dan dokumen-dokumennya sesuai kesepakatan
dengan buyer; (4) Melakukan pemberitahuan pabean kepada pemerintah (Bea Cukai) dengan
menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) beserta dokumen
pelengkapnya; (5) Setelah eksportasi disetujui oleh Bea Cukai, maka akan diterbitkan
dokumen NPE (Nota Persetujuan Ekspor). Jika sudah terbit NPE, maka secara hukum barang
sudah dianggap sebagai barang ekspor; (6) Melakukan stuffing dan mengapalkan barang
menggunakan moda transportasi udara (air cargo), laut (sea cargo), atau darat; (7)
Mengasuransikan barang / kargo Anda (jika menggunakan term CIF); dan (8) Mengambil
pembayaran di Bank (Jika menggunakan LC atau pembayaran di akhir).
Adapun syarat untuk menjadi eksportir antara lain : (1) memiliki badan hukum
(CV,PT, Firma, Persero, Perum, Perjan, Koperasi); (2) memiliki NPWP; dan (3) mempunyai
salah satu izin yang dikeluarkan pemerintah seperti Surat Izin Usaha Perdagangan dari Dinas
Perdagangan, Surat Izin Industri dari Dinas Perindustrian, atau Izin Usaha Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) yang dikeluarkan oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
354
Pengembangan Hipotesis
Pelaku UMKM khususnya industri rumah tangga produk kuliner oleh-oleh masih
kesulitan untuk mendapatkan legalitas produk dan membuat kemasan yang dapat
meningkatkan pemasaran domestik maupun mancanegara.
Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan sebagai berikut :
1. Apa saja peran kemasan dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas daerah?
2. Apa saja peran legalitas produk dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas
daerah?
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksploratif deskriptif dengan menganalisis
strategi pemasaran Usaha Mikro khususnya industri rumah tangga produk kuliner oleh-oleh
khas daerah Solo ke wilayah domestik dan mancanegara. Karya ilmiah dikembangkan dengan
menggunakan pendekatan kajian literatur atau studi putaka. Metode observasi juga dilakukan
pada anggota forum komunikasi kuliner pada UMKM di kota Surakarta. Pendekatan teori
merujuk dari beberapa sumber seperti buku, jurnal ilmiah, dan internet.
Pembahasan
Peran Kemasan dalam Pemasaran Dalam Negri dan Luar Negri
1. Media pengaman
Kemasan untuk produk kuliner yang beragam warna dan bentuk menarik bagi
konsumen. Namun, yang utama dari sebuah kemasan, khususnya untuk produk
kuliner oleh-oleh adalah dalam menjaga keamanan produk dari udara maupun
cuaca sehingga tidak mudah hancur dan busuk. Dalam proses pengiriman juga
membutuhkan kemasan yang kuat dan tahan banting, terutama jika sasaran
pasarnya adalah pasar luar negri. Produk akan melewati proses pengiriman yang
cukup lama. Salah satu kuliner oleh-oleh khas Solo yang saat ini mempunyai
inovasi kemasan yang mampu menembus pasar internasional yaitu produk sambel
pecel “Bu Jayus” dengan kemasan kaleng. Kemasan kaleng mempunyai daya tahan tinggi dan tahan banting, apalagi untuk pengiriman ke mancanegara. Selain
itu, kemasan kaleng juga mampu memperpanjang masa kadaluarsa dari produk,
dibandingkan dengan kemasan plastik.
2. Media pemasaran
Pemasaran yang inovatif juga perlu melibatkan kemasan yang menarik karena
secara visual, kemasan produk menjadi faktor utama dalam menarik konsumen
untuk membeli. Kemasan merupakan media pemasaran yang sangat efektif.
Sesuai dengan salah satu strategi pemasaran, yaitu segmentasi pasar, kemasan
dapat menjadi salah satu media untuk segmentasi pasar. Desaign kemasan dapat
disesuaikan dengan segmentasi pasar dari produk. Sebagai contoh, produk dengan
segmentasi pasar anak-anak, maka desain kemasan mengikuti tema yang sedang
tren di kalangan anak-anak seperti desain animasi disney atau film anak-anak
yang sedang diputar di media televisi. Begitu pula dengan desain kemasan produk
kuliner oleh-oleh khas Solo, sebaiknya juga mencerminkan budaya dan pariwisata
kota Solo seperti dengan menampilkan gambar salah satu obyek wisata kota Solo
sebagai daya tarik konsumen. Salah satu produk kuliner oleh-oleh khas Solo yang
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
355
menggunakan media pariwisata kota Solo pada kemasannya yaitu produk intip
“Intip Buntel”. Kemasan produk Intip Buntel menggunakan gambar keraton Kasunanan Surakarta dan juga maskot dengan pakaian adat Jawa sebagai salah
satu daya tarik bagi konsumen.
3. Media komunikasi
Kemasan produk tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus dari produk itu
sendiri tetapi juga sebagai media komunikasi bagi produk di dalamnya.
Gambaran produk beserta keterangan produk perlu disampaikan seperti :
deskripsi singkat produk, komposisi produk, keterangan terkait legalitas, masa
produksi dan kadaluarsa. Kuliner oleh-oleh khas Solo, sebaiknya juga
mencantumkan keterangan bahwa produk tersebut merupakan makanan khas
Solo, sehingga konsumen yakin untuk membeli dan menjadikannya buah tangan
untuk dibawa ke kota ataupun negara lain. Kemasan yang difungsikan secara
efektif sebagai media komunikasi produk mampu menarik segmen pasar dari
produk tersebut sehingga mengundang konsumen untuk melakukan pembelian
produk. Produk Intip Buntel yang merupakan produk UMKM kuliner juga
mencantumkan tulisan “oleh-oleh saking Solo” sebagai salah satu media komunikasi kepada konsumen bahwa produk tersebut merupakan produk oleh-
oleh.
Peran Legal dalam Pemasaran Dalam Negri dan Luar Negri
1. Aset kepercayaan : meningkatkan kepercayaan konsumen
Produk yang telah memiliki legalitas yang lengkap mampu meyakinkan pasar
untuk mengkonsumsi produk tersebut. Legalitas minimal yang perlu dimiliki oleh
produk kuliner oleh-oleh khas yaitu Ijin P IRT yang dikeluarkan oleh dinas
Kesehatan. Dengan dimilikinya ijin tersebut oleh pelaku usaha kuliner,
membuktikan bahwa produk tersebut layak untuk dikonsumsi. Masyarakat
menjadi lebih yakin untuk membeli suatu produk makanan jika produk tersebut
baik untuk dikonsumsi. Keberadaan sertifikat halal juga menjadi salah satu faktor
kepercayaan masyarakat muslim untuk mengkonsumsi suatu produk.
2. Syarat edar
Legalitas usaha seperti ijin usaha, ijin P IRT, dan badan hukum usaha di
Indonesia menjadi salah satu syarat untuk dapat dipasarkan. Beberapa produk
kuliner oleh-oleh khas Solo ada sudah dapat masuk ke supermarket, toko oleh-
oleh, dan toko online diantaranya perlu memiliki ijin P IRT. Sedangkan untuk
pemasaran mancanegara diperlukan ijin usaha, ijin Badan POM dan harus sudah
berbadan hukum. Salah satu produk oleh-oleh khas Solo yang sudah memiliki
syarat lengkap untuk prosedur ekspor (pemasaran mancanegara) yaitu sambel
pecel “Bu Jayus” yang diproduksi oleh PT Sri Wiji Utami.
Kesimpulan
Keberhasilan sebuah industri diawali dari kemauan pelaku usahanya untuk
berkembang. Begitu pula dengan pelaku usaha UMKM produk kuliner oleh-oleh khas Solo.
Salah satu pelaku usaha yang berhasil naik kelas dari industri rumah tangga hingga berbadan
hukum yaitu sambel pecel “Bu Jayus”. Kemauan pemiliknya untuk mengurus segala hal
perijinan maupun mengembangkan produk dengan berbagai macam kemasan mampu
Cahyani Tunggal Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
BRM. Suryo Triono Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
356
membuahkan hasil yang saat ini mampu menembus pasar mancanegara. Kemasan dan
Legalitas sebuah produk menjadi salah satu faktor utama dalam pengembangan pemasaran
produk kuliner oleh-oleh khas terutama oleh-oleh khas Solo. Namun, untuk mengupayakan
kemasan yang menarik dan legalitas yang memenuhi kebutuhan pemasaran domestik maupun
mancanegara juga membutuhkan modal yang tidak sedikit. Peran pemerintah khususnya
Dinas Koperasi dan UMKM dibutuhkan bagi perkembangan UMKM menuju pasar
internasional.
Daftar Pustaka
Cenadi, Christine Suharto. 1999. Elemen-Elemen Dalam Desain Komunikasi Visual.
Nirmana Vol.1 No.1.
Cenadi, Christine Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan Dalam Dunia Pemasaran.
Nirmana Vol.2 No.1.
Hasan, KN Sofyan. 2014. Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan.
Jurnal Dinamika Hukum Vol.14 No. 2.
Kartajaya.Hermawan. (1996). Marketing Plus 2000 Siasat Memenangkan Persaingan Global.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Kristiyanti, Mariana. (2012). Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) Dalam
Pembangunan Nasional. Majalah Ilmiah INFORMATIKA, 3(1).
Nugrahani, Dewi Shanti. (2011). E-commerce untuk Pemasaran Untuk Produk Usaha Kecil
dan Menengah. SEGMEN Jurnal Manajemen dan Bisnis. (1).
Pelu, Muhammad Ibnu Elmi As. (2009). Label Halal; Antara Spiritualitas Bisnis dan
Komoditas Agama. Malang : Madani.
Peraturan Menteri Perindustrian. (2008). Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha
Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri. No. 41/M-IND/PER/2008.
Purwanti, Endang. (2012). Pengaruh Karakteristik Wirausaha, Modal Usaha, Strategi
Pemasaran Terhadap Perkembangan UMKM Di Desa Dayaan dan Kalilondo Salatiga.
Among Makarti, 5 (9).
Sukarno, Gendut. 2009. Meningkatkan Kinerja Pemasaran UMKM Melalui Peran
Lingkungan, Inovasi Produk dan Kreatifitas Strategi Pemasaran. EKUITAS ISSN
1411-0393 Akreditasi No.110/DIKTI/Kep/2009.
Undang-Undang Republik Indonesia. (2012). tentang Pangan. Nomor 18 Tahun 2012.
Wibowo, Dimas Hendika., Arifin, Zainul.,& Sunarti. 2015. Analisis Strategi Pemasaran
Untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM (Studi pada Batik Diajeng Solo). Jurnal
Administrasi Bisnis (JAB). 29 (1).
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
357
ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE
PADA PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA
IMPLEMENTATION ANALYSIS OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE IN PT
INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA
Rudy Hartanto¹, Helni Mutiarsih Jumhur ²
¹Prodi S1 Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informatika, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis,Universitas Telkom
²Staff Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom
¹[email protected], ²[email protected]
Abstrak
Salah satu upaya perusahaan dalam memaksimalkan nilai adalah melalui pemisahan
kepemilikan dari pengelolaan perusahaan. Melalui pemisahan ini kegiatan pengelolaan
diharapkan lebih fokus dengan ditangani oleh pihak yang profesional. Meskipun mampu
memberikan efektifitas dalam pengelolaan perusahaan, pemisahan ini juga menimbulkan
masalah yang dikenal sebagai agency problem. Untuk melindungi kepentingan pemegang
saham dibutuhkan suatu struktur dan proses yang mengarahkan dan mengelola kegiatan
perusahaan secara menyeluruh untuk kepentingan pemegang saham dan tetap memperhatikan
kepentingan pemangku kepentingan lain. Struktur dan proses inilah yang disebut Good
Corporate Governance (GCG). Penelitian ini bertujuan mengetahui implementasi GCG
melalui penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG. Prinsip-prinsip yang
digunakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang
Penerapan Praktik GCG pada BUMN yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, dan kewajaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif
kuantitatif. Analisis data menggunakan penghitungan sesuai corporate governance self
assessment checklist. Untuk interpretasi hasil perhitungan presentase menggunakan ketentuan
Dean J Champion. Hasil penelitian menunjukkan implementasi prinsip transparansi,
akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran berada pada kategori sangat memadai,
hanya prinsip kemandirian yang penerapannya cukup memadai. Untuk implementasi GCG
secara keseluruhan presentase nilai yang didapatkan adalah 83,70% yang berarti penerapan
GCG pada PT INTI telah sangat memadai.
Kata kunci : Good Corporate Governance, Corporate Governance Self Assessment
Checklist.
Abstract
One of the company's efforts in maximizing the value is through separation of
ownership from management companies. Through this separation, management activities are
expected to be more focused and to be handled by the professionals. Although the separation
is able to provide effectiveness in managing the company, this also creates a problem known
as the agency problem. To protect the interests of shareholders we need a structure and
process of directing and managing the overall activities of the company for the sake of
shareholders and still consider the interests of other stakeholders. The structure and the
process is called Good Corporate Governance (GCG). This study aims to determine the GCG
implementation through application of the principles contained in the GCG. The principles
used by the Minister of State-Owned Enterprises No. "Kep-117 / M-MBU / 2002" concerning
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
358
the Implementation and Practice of GCG in SOEs which include transparency, independence,
accountability, responsibility, and fairness. The type of the research is descriptive quantitative
research. Data analysis using appropriate calculation of corporate governance self-assessment
checklist. For the interpretation of the results of the calculation of the percentage is based on
the provision Dean J Champion. The results show the implementation of the principles of
transparency, accountability, responsibility and fairness in the category is more than
adequate, only the application of the principle independence that category is just adequate.
For the overall implementation GCG, the percentage of the value obtained was 83.70%,
which means the application of GCG at PT INTI has been very adequate.
Keywords: Good Corporate Governance, Corporate Governance Self-Assessment Checklist.
Pendahuluan
Peningkatan nilai perusahaan yang tinggi tentu menjadi harapan dan tujuan jangka
panjang bagi setiap perusahaan. Dalam proses memaksimalkan nilai tersebut, pengelolaan
perusahaan harus ditangani secara tepat dan profesional. Salah satunya adalah dengan
memisahkan kepemilikan dari pengelolaan perusahaan. Dengan pemisahan ini kegiatan
pengelolaan diharapkan lebih fokus dengan ditangani oleh pihak yang profesional. Meskipun
mampu memberikan efektifitas dalam pengelolaan perusahaan, pemisahan antara
kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah yang dikenal
sebagai agency problem. Seperti yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling (Warsono et
al, 2009:10), agency problem adalah masalah yang muncul karena perbedaan informasi
antara pemegang saham sebagai pihak yang memberikan amanat dengan manajemen sebagai
pihak yang menerima amanat untuk mengelola perusahaan. Salah satu masalah dalam agency
problem adalah perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen. Sebagai
contoh, untuk meningkatkan bonus maka manajemen mungkin akan memoles laporan
keuangannya sehingga kinerja perusahaan tampak lebih baik dari yang sebenarnya. Apabila
laporan keuangan tidak akurat maka keputusan investasi yang diambil oleh pemegang saham
menjadi tidak tepat. Pada akhirnya hal ini menyebabkan keinginan pemegang saham untuk
memperoleh tingkat keuntungan tertentu menjadi tidak tercapai. Untuk melindungi
kepentingan pemegang saham harus terdapat suatu struktur dan proses yang mengarahkan
dan mengelola kegiatan perusahaan secara menyeluruh untuk kepentingan pemegang saham
dan dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan lain. Struktur dan proses
inilah yang disebut dengan Good Corporate Governance. Secara umum, Good Corporate
Governance (GCG) dapat dijabarkan menjadi beberapa prinsip yaitu Transparansi,
Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Independensi, serta Kesetaraan dan Kewajaran (Komite
Nasional Kebijakan Governance, 2006).
Di Indonesia, konsep GCG mulai banyak dibicarakan ketika terjadi krisis moneter
pada tahun 1997. Krisis yang terjadi di Indonesia mengakibatkan banyak perusahaan tidak
mampu bertahan, hal tersebut tercermin dari 16 bank yang dengan terpaksa harus dilikuidasi
karena tidak mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Dalam kajiannya, Bank
Pembangunan Asia menarik kesimpulan bahwa krisis ekonomi yang menimpa negara-negara
di Asia Tenggara utamanya disebabkan karena sistem corporate governance yang buruk
dalam perekonomian. Praktik-praktik corporate governance yang kurang terpuji sering
ditandai dengan ciri-ciri dewan direksi yang tidak efektif, kontrol internal yang lemah, audit
yang buruk, kurangnya disclosure yang seimbang, dan kurangnya penegakan hukum (Sutedi,
2011:50).
Tuntutan pelaksanaan GCG di Indonesia utamanya ditujukan kepada Badan Usaha
Milik Negara (BUMN). Hal ini didorong oleh komitmen pemerintah untuk menciptakan
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
359
BUMN yang berkualitas global dan efisien dalam pengelolaannya. Banyaknya jumlah
BUMN di Indonesia dengan hasil kinerja secara keseluruhan yang kurang menggembirakan
dianggap hanya akan membebani anggaran negara (APBN). Menghadapi kondisi tersebut
pemerintah Indonesia melakukan tindakan dengan perampingan jumlah BUMN yang telah
dimulai sejak tahun 2007. Secara perlahan namun pasti jumlah BUMN mulai dikurangi dari
semula berjumlah 140 tersisa 104 ditahun 2007, kemudian turun menjadi 87 pada tahun 2008,
lalu tinggal 69 ditahun 2009 dan direncanakan hanya akan tersisa sebanyak 25 BUMN di
Indonesia pada tahun 2015. BUMN perlu diatur serta dikelola secara efektif dan efisien
sesuai dengan mekanisme GCG karena memiliki peran yang signifikan terhadap
perekonomian nasional sebagai aparatur perekonomian negara. Namun, pada kenyataannya
belum semua BUMN di Indonesia telah melaksanakan praktek GCG dengan sepenuhnya.
Umumnya pelaksanakan GCG dikarenakan tuntutan regulasi saja tanpa praktik yang benar
dan berkesinambungan dari nilai yang terkandung dalam prinsip GCG. Guna memaksimalkan
implementasi GCG pada BUMN, pemerintah Indonesia menerbitkan Surat Keputusan
Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 Tangal 31 Juli Tahun 2002 tentang Penerapan
Praktik GCG pada BUMN. Konsep terkait GCG juga tertuang dalam pion IV dan poin VI
dari penjelasan atas Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN (Effendi, 2009:61).
GCG merupakan hal yang esensial untuk diterapkan pada BUMN. Implementasi GCG
serta tanggungjawab sosial perusahaan diyakini mampu menjadikan sebuah perusahaan lebih
bernilai dan dihargai. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Kinsey & Company (Mukharomah,
2010) membuktikan bahwa para manajer dana di Asia akan membayar 26-30% lebih untuk
saham-saham perusahaan dengan GCG yang lebih baik daripada untuk saham-saham
perusahaan dengan GCG yang meragukan. Hal senada juga disampaikan oleh Komite
Nasional Kebijakan Governance (KNKG) bahwa pedoman GCG yang disusun oleh lembaga
tersebut antara lain bertujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan nilai perseroan bagi
pemegang saham dengan penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG.
PT INTI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri dan rekayasa
telekomunikasi. Pada tahun 1990-an PT INTI adalah perusahaan besar yang berjaya pada
sektor manufaktur telekomunikasi. Namun memasuki tahun 2000 PT INTI mengalami
penurunan kinerja dan oleh Kementrian BUMN digolongkan kedalam BUMN yang kurang
berkembang. PT INTI juga sempat akan dimasukkan kedalam sebuah strategic holding
bersama BUMN lainnya seperti PT Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT LEN Industri
dan PT PAL Indonesia. Berbanding terbalik dengan keadaan tersebut, sekarang PT INTI
kembali tumbuh dengan kinerja perusahaan yang terus meningkat. Kinerja PT INTI yang
terus meningkat dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan yang terus mengalami
peningkatan pada pendapatan dan juga keuntungan perusahaan. Berikut gambaran
peningkatan kinerja PT INTI dalam Tabel 1 :
(Juta Rupiah)
No. Uraian 2010 2011 2012
1. Penjualan 647.815,0 723.117,0 1.227.699,7
2. Laba Bersih 4.586 10.226 16.331,7
3. Ekuitas 412.932,0 419.669,7 434.569,8
4. Jumlah Aset 637.941,6 1.001.006,4 1.070.232,1
Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 19 Februari 2014)
Dari data yang disajikan pada Tabel 1 diperoleh informasi bahwa selama kurun waktu
tiga tahun yaitu tahun 2010 sampai dengan 2012, penjualan PT INTI selalu mengalami
kenaikan yang cukup signifikan dan tentunya hal tersebut diikuti oleh laba yang diperoleh
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
360
perusahaan yang juga terus mengalami peningkatan. Hal tersebut membuktikan bahwa PT
INTI masih menunjukan eksistensinya dalam persaingan bisnis di sektor industri
telekomunikasi.
Sebagai BUMN, PT INTI telah menerapkan GCG dalam kegiatan pengelolaan
perusahaan. Bagi PT INTI, GCG telah menjadi bagian dalam strategi perusahaan yang
digunakan sebagai peningkat keberhasilan usaha. Proses pelaksanaan GCG telah dimulai
sejak tahun 2004 dengan dibentuknya Komite Tata Kelola Perusahaan untuk membangun
dasar penerapan GCG. Implementasi GCG INTI dapat dilihat pada kegiatan sehari-hari
perusahaan yang antara lain telah menerapkan E-auction guna transparansi pengadaan barang
dan jasa, memberdayakan website INTI untuk keterbukaan informasi, publikasi laporan
keuangan perusahaan, perbaikan berbagai peraturan. Untuk mempertahankan dan bahkan
meningkatkan standar pencapaian praktek GCG pada PT INTI dilakukan kegiatan monitoring
dan evaluasi praktek GCG secara teratur dan berkesinambungan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran implementasi GCG yang
dilakukan oleh PT INTI. Pengukuran variabel GCG dilakukan menggunakan pedoman
Corporate Governance Self Assessment Checklist yang dikeluarkan oleh KNKG. Pedoman
tersebut digunakan karena manfaat dari Corporate Governance Self Assessment Checklist ini
secara internal perusahaan cukup besar sehingga mampu menggambarkan implementasi yang
dilakukan oleh perusahaan serta mampu mengidentifikasi bagian dari implementasi GCG
yang masih lemah pada perusahaan agar dapat ditanggulangi.
Tinjauan Pustaka
Gede Raka dalam Effendi (2009:6) menjelaskan pada konsep Good Corporate
Governance (GCG) memiliki arti secara tersirat bahwa sebuah perusahaan bukanlah sekedar
mesin pencetak keuntungan bagi pemiliknya, akan tetapi perusahaan adalah sebuah entitas
yang diharapkan dapat menciptakan nilai bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Konsep
yang dibawa GCG sesungguhnya mencerminkan pentingnya sikap berbagi, peduli dan
melestarikan.
Kata ”governance” berasal dari bahasa perancis yaitu “gubernance” yang berarti
pengendalian. Kemudian kata tersebut digunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau
jenis organisasi yang lain menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate
governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan (Effendi,
2009:1). Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 Tanggal 31 Juli
2002 tentang penerapan GCG pada BUMN memberikan pengertian bahwa GCG adalah
sebuah proses dan struktur yang digunakan BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha
dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika. Secara singkat GCG diartikan sebagai seperangkat sistem
yang digunakan guna mengatur dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan untuk
menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan (Effendi, 2009:2).
Sejalan dengan yang tertera dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance
Indonesia (2006) yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG)
bahwa guna menjaga kesinambungan (sustainability) usaha serta tetap memperhatikan
kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders), perusahaan harus memastikan bahwa
setiap prinsip dalam GCG yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban dan kewajaran telah diterapkan pada setiap aspek bisnis dan disemua
jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut memiliki peran sebagai pijakan bagi perusahaan
dalam memilih dan menetapkan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh perusahaan
dalam penerapan GCG (Warsono et al, 2009:63).
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
361
Tabel 2 Definisi Prinsip-Prinsip GCG
Prinsip GCG Definisi
Transparansi Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan
keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan
bagi perusahaan.
Kemandirian Suatu keadaaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa
benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun
yang tidak sesuai dengan pearturan perundang-undangan yang
berlaku dan prinsip korporasi yang sehat.
Akuntabilitas Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ
perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara
efektif.
Pertanggungjawaban Kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan
yang sehat.
Kewajaran Keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Sumber : Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002
Instrumen utama yang digunakan dalam proses analisis penelitian ini adalah
Corporate governance self assessment checklist yang disusun oleh KNKG. Tujuan
penyususnan Corporate governance self assessment checklist adalah sebagai alat penilaian
mandiri bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia guna mengetahui implementasi GCG di
masing-masing perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam corporate
governance self assessment checklist tidak hanya ditujukan untuk memperoleh jawaban “ya”
atau “tidak” tetapi menekankan pada proses implementasi GCG perusahaan. Jawaban untuk
pertanyaan-pertanyaan dalam corporate governance self assessment checklist memiliki nilai
nol dan sepuluh. Indikator dalam corporate governance self assessment checklist antara lain
(Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006) :
1. Nilai-nilai perusahaan, merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi
perusahaan. Nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam
merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak
geografis dari masing-masing perusahaan.
2. Hak pemegang saham, hak pemegang saham harus dilindungi dan dapat dilaksanakan
sesuai peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan.
3. Dewan Komisaris, sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab
melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan
bahwa perusahaan melaksanakan GCG.
4. Dewan Direksi, sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab dalam
mengelola perusahaan.
5. Pemangku kepentingan, antara lain mereka yang memiliki kepentingan terhadap
perusahaan dan mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan strategis
dan operasional perusahaan serta masyarakat sekitar perusahaan. Perusahaan harus
menjalin hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan kesetaraan berdasarkan
ketentuan yang berlaku bagi masing-masing pihak.
6. Pengungkapan, setiap perusahaan perlu membuat pernyataan tentang kesesuaian
penerapan GCG dengan pedoman GCG dalam laporan tahunannya.
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
362
7. Pedoman pelaksanaan GCG, pelaksanaan GCG perlu dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan. Untuk itu diperlukan pedoman praktis yang dapat dijadikan acuan
oleh perusahaan dalam implementasi GCG.
Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, menurut Sekaran
(2007:158) metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui serta menjelaskan karakter
variabel yang diteliti pada suatu kondisi. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk
memberikan gambaran aspek-aspek yang relavan dengan fenomena dari perspektif seseorang,
organisasi, orientasi industri dan lainnya. Sedangkan menurut Sugiyono (2012:11) metode
kuantitatif diartikan sebagai “Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme,
digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”.
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah GCG dalam penerapannya oleh
PT INTI. Skala yang digunakan adalah skala Guttman. Penelitian menggunakan skala
Guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan
yang ditanyakan.
Tabel 3 Variabel Operasional
Variabel Subvariabel Indikator Skala
Good
Corporate
Governan
ce
Transparansi Pengungkapan
Ordin
al
Kemandirian Nilai-nilai perusahaan
Akuntabilitas Kinerja Dewan Direksi
Kinerja Dewan Komisaris
Pertanggungjawa
ban
Hak pemegang saham
Pedoman pelaksanaan Corporate
Governance
Kewajaran Hubungan perusahaan dengan Pemangku
kepentingan
Sekaran (2007:241) menjelaskan populasi adalah keseluruhan kelompok orang,
peristiwa, atau hal lain yang di investigasi oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah
Divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI. Sedangkan sampel menurut Zikmund (2010:42)
adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga
dapat mewakili populasinya. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus dimana seluruh
anggota populasi dijadikan sebagai responden untuk memperoleh data penelitian. Populasi
dalam penelitian ini adalah pegawai pada divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI yang
berjumlah 12 orang. Untuk teknik pengumpulan data, penulis menggunakan dua sumber
informasi yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini
didapat dari penyebaran kuesioner kepada responden penelitian yaitu pegawai yang berada
pada Divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI, sedangkan data sekunder didapat dari studi
pustaka dan dokumentasi.
Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mentransformasikan hasil
penelitian yang berupa nilai dari jawaban responden dengan menggunakan Skala Guttman
menjadi angka-angka dalam bentuk persen (%). Untuk interpretasi hasil perhitungan
presentase, menggunakan ketentuan sebagaimana dijelaskan oleh Dean J Champion (Ulfa,
2011), sebagai berikut :
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
363
Tidak Memadai Sangat Memadai
25%
4
Cukup Memadai Kurang Memadai
50%
1
1) 0% - 25% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) tidak
memadai.
2) 26% - 50% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) kurang
memadai.
3) 51% - 75% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) cukup
memadai.
4) 76% - 100% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) sangat
memadai.
Untuk mengetahui tanggapan responden penelitian mengenai implementasi GCG pada
PT INTI dilakukan dengan analisis statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah teknik
analisis yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan data yang
telah terkumpul sesuai dengan hasil yang sebenarnya (Sugiyono, 2013:206). Setelah data
ditabulasi dan dilakukan pengolahan selanjutnya hasil pengolahan tersebut digolongkan
kedalam nilai jenjang dengan empat kriteria sesuai dengan ketentuan Champion.
Hasil dan Pembahasan
Hasil analisis berkaitan dengan tujuan untuk mendeskripsikan implementasi GCG
oleh PT INTI. Kuesioner yang dibagikan kepada 12 responden telah terkumpul sejumlah
sepuluh kuesioner yang menunjukkan tingkat pengembalian kuesioner adalah 83%.
Dari lima subvariabel, empat subvariabel diantaranya berada pada kategori sangat
memadai. Hanya satu subvariabel yang berada pada kategori cukup memadai yaitu
subvariabel kemandirian. Seperti dijelaskan pada garis jenjang penilaian masing-masing
subvariabel dari variabel GCG mulai dari persentase tertinggi sampai dengan yang terendah
berikut ini :
Gambar 1
Garis Nilai Jenjang Subvariabel GCG
Keterangan Gambar 1 :
1 = Transparansi (83%) 4 = Pertanggungjawaban (98%)
2 = Kemandirian (74,44%) 5 = Kewajaran (95%)
3 = Akuntabilitas (75,65%)
Pertanggungjawaban
Subvariabel pertanggungjawaban memiliki presentase skor paling tinggi diantara
keempat subvariabel lainnya sebesar 98%. Hal ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban
berada pada kategori sangat memadai, berdasarkan pernyataan yang disampaikan dalam
kuesioner PT INTI dalam pengelolaannya telah mematuhi kebijakan atau peraturan terkait
prinsip-prinsip korporasi yang sehat, serta telah mampu mempertanggungjawabkan kebijakan
0% 75% 100%
2 3 5
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
364
perusahaan kepada seluruh stakeholders dengan berpegang pada prinsip
pertanggungjawaban.
Kewajaran
Presentase skor yang diperoleh subvariabel kewajaran setelah melalui pengolahan
data adalah 95%. Penerapan prinsip kewajaran PT INTI telah mampu memberikan perlakuan
yang setara kepada seluruh stakeholders seperti pemegang saham, kreditor, supplier,
konsumen, karyawan, pemerintah, masyarakat dan lingkungan tentang ketentuan kerjasama,
survei kepuasan, program pengembangan serta akses ke informasi lain terkait kepentingan
masing-masing stakeholders.
Transparansi
Hasil analisis menunjukan subvariabel transparansi mendapatkan presentase skor
sebesar 83% yang menjelaskan bahwa implementasi prinsip transparansi pada PT INTI
masuk kedalam kategori sangat memadai. Hal tersebut terlihat melalui kemudahan bagi
stakeholders untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan dan untuk menjaga
objektivitas dalam menjalankan bisnis, pengungkapan informasi yang sesuai dengan apa yang
terjadi dalam perusahaan telah dilaksanakan oleh PT INTI untuk mewujudkan penerapan
prinsip transparansi dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip korporasi yang sehat dalam
kegiatan operasional perusahaan.
Akuntabilitas
Subvariabel akuntabilitas memperoleh hasil presentase skor sebesar 75,65%.
Penerapan prinsip akuntabilitas yang dilaksanakan PT INTI termasuk dalam kategori sangat
memadai. Berdasarkan hal tersebut pengelolaan PT INTI dapat dikatakan telah terlaksana
secara efektif dan efisien melalui pelaksanaan fungsi serta tanggungjawab manajemen
perusahaan yang profesional. Profesionalitas yang dibangun sebagai wujud penerapan prinsip
akuntabilitas tercermin pada kode etik dan budaya yang dibangun PT INTI serta struktur
organisasi yang secara jelas menggambarkan tugas, wewenang, dan tanggungjawab masing-
masing pegawai dalam perusahaan.
Kemandirian
Subvariabel kemandirian memperoleh presentase skor paling rendah diantara keempat
subvariabel lainnya yaitu sebesar 74,44%. Meskipun memperoleh hasil presentase paling
rendah akan tetapi penerapan prinsip kemandirian pada PT INTI masih sesuai karena
tergolong dalam kategori cukup baik. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan dalam
kuesioner menggambarkan masih adanya potensi komisaris dan direksi serta jajaran
perusahaan sering menerima hadiah dan donasi dari mitra bisnis, masih terjadi
penyalahgunaan informasi perusahaan untuk kepentingan pribadi komisaris, direksi ataupun
seluruh jajaran perusahaan yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan serta intervensi
dari pihak-pihak yang bersangkutan baik dari internal maupun eksternal perusahaan. Prinsip
kemandirian diwujudkan PT INTI antara lain melalui kebijakan perusahaan terkait benturan
kepentingan, auditor independen, serta kebijakan tentang larangan dan penerimaan hadiah.
Pada analisis variabel GCG secara keseluruhan implementasi GCG pada PT INTI
menghasilkan skor 83,70%. Skor tersebut menunjukkan implementasi GCG masuk kedalam
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
365
Tidak Memadai Kurang Memadai Cukup Memadai Sangat Memadai
kategori sangat memadai. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan PT INTI telah berhasil
menerapkan GCG dalam pengelolaan perusahaan secara maksimal. Hal ini tentu akan
mendukung perusahaan dalam pencapaian tujuan seperti yang tertera dalam Keputusan
Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG di BUMN
terkait tujuan penerapan GCG dalam perusahaan.
Gambar 2
Garis Nilai Jenjang Variabel GCG
Meskipun secara simultan implementasi GCG PT INTI telah berada pada kategori
sangat memadai, akan tetapi jika ditinjau secara parsial terdapat satu subvariabel yang
implementasinya dapat dikatakan belum maksimal karena masih berada pada kategori cukup
memadai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya subvariabel kemandirian adalah yang
implementasinya belum maksimal. Untuk mampu mewujudkan nilai-nilai tata kelola
perusahaan yang sehat tentunya PT INTI harus mengupayakan kelima prinsip GCG tersebut
agar dapat masuk kedalam kategori sangat memadai.
Setelah pemaparan hasil penelitian, berikut dijelaskan pembahasan mengenai
implementasi GCG berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan melalui presentase
skor yang didapat dari masing-masing subvariabel dan variabel GCG secara keseluruhan
dalam implementasi GCG yang dilakukan oleh PT INTI.
1. Transparansi, prinsip pertama dalam implementasi GCG di PT INTI ini memperoleh
presentase skor sebesar 83% yang tergolong kedalam kategori sangat memadai. Bukti
dari implementasi prinsip transparansi dapat dilihat pada kegiatan yang dilaksanakan
PT INTI seperti vendor gathering, komunikasi internal atau forum komunikasi
karyawan, pemberdayaan website INTI untuk keterbukaan informasi, penerapan E-
auction guna transparansi pengadaan barang dan jasa, serta publikasi laporan
keuangan perusahaan.
Gambar 3. Website PT INTI
Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
Gambar 3 menunjukan pemberdayaan website PT INTI guna keterbukaan informasi
sebagai wujud implementasi prinsip transparansi dalam kegiatan bisnis perusahaan.
2. Kemandirian, prinsip kedua dalam perwujudan GCG di PT INTI ini memperoleh
presentase skor sebesar 74,44% yang tergolong kedalam kategori cukup memadai.
0% 25% 50% 75% 100%
GCG PT INTI (83,70%)
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
366
Implementasi prinsip kemandirian pada PT INTI digambarkan melalui auditor
independen, RUPS, Kebijakan terkait benturan kepentingan, kebijakan pemberian
donasi, dan kebijakan tentang larangan serta penerimaan hadiah. Prinsip kemandirian
mendapatkan presentase skor paling rendah diantara prinsip-prinsip GCG lainnya
yang mengindikasikan kurang maksimalnya upaya PT INTI dalam penerapan prinsip
ini.
3. Akuntabilitas, prinsip ketiga dalam implementasi GCG di PT INTI ini memperoleh
presentase skor sebesar 75,65% dan memasukannya dalam kategori sangat memadai.
Penerapan prinsip akuntabilitas terlihat dari penentuan tugas dan tanggungjawab
setiap lini perusahaan secara jelas dalam struktur organisasi. Selain itu, didukung pula
dengan hadirnya kode etik dan budaya perusahaan dalam PT INTI, kemudian adanya
key performance indicator, kebijakan terkait whistle blower serta implementasi ISO
sebagai upaya untuk pengelolaan perusahaan yang efektif dan efisien sesuai visi dan
misi yang diusung perusahaan.
Gambar 4
Struktur Organisasi PT INTI
Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
Pada Gambar 4 menunjukan tugas dan tanggungjawab setiap lini dalam
perusahaan secara jelas dalam bentuk struktur organisasi sebagai wujud
implementasi prinsip akuntabilitas.
4. Pertanggungjawaban, prinsip keempat dalam perwujudan GCG di PT INTI ini
memperoleh presentase tertinggi dengan skor sebesar 98% yang menggolongkannya
kedalam kategori sangat memadai. Berdasarkan hasil tersebut pertanggungjawaban
merupakan prinsip yang implementasinya paling optimal di PT INTI. Bukti dari
implementasi prinsip pertanggungjawaban dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan
PT INTI seperti laporan manajemen, anggaran dasar dan perubahannya, pengawasan
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
367
internal, perbaikan kesejahteraan karyawan, program kemitraan dan bina lingkungan,
serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Gambar 5
Mitra Binaan PT INTI
Sumber : www.pkblinti.org/modules/mitrabinaan (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
Pada Gambar 5 menjelaskan beberapa mitra binaan PT INTI yang juga menjadi salah
satu perwujudan implementasi prinsip pertanggungjawaban dengan pelaksanaan
Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) INTI sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara RI No. PER-5/MBU/2007 tentang
Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program
Bina Lingkungan.
5. Kewajaran, adalah prinsip kelima dalam implementasi GCG di PT INTI. Prinsip
kewajaran memperoleh presentase skor sebesar 95%. Bukti implementasi dari prinsip
kewajaran dapat dilihat dari kegiatan perusahaan antara lain perjanjian kerjasama,
sistem karir, e-auction, dan job tender. Dengan hasil itu pula dapat dikatakan PT INTI
telah mampu menghadirkan kesetaraan terhadap seluruh stakeholders.
Berdasarkan hasil analisis penghitungan terhadap variabel GCG secara keseluruhan
melalui penentuan bobot pada masing-masing subvariabel sesuai dengan GCG self
assessment checklist oleh KNKG, implementasi GCG pada PT INTI memperoleh skor
sebesar 83,70%. Jumlah skor tersebut menggolongkan implementasi GCG pada PT INTI
kedalam kategori sangat memadai. PT INTI telah melaksanakan GCG sejak tahun tahun
2004. Implementasi GCG pada PT INTI berpedoman pada Keputusan Menteri BUMN No.
KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG di BUMN. Pelaksanaan penerapan
GCG oleh PT INTI diatur secara sistematis melalui Road Map GCG INTI yang dimulai
dengan langkah membentuk Komite Tata Kelola Perusahaan (GCG).
Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI jika dilihat melalui analisis secara
parsial dan diurutkan dari prinsip yang memiliki jumlah presentase skor yang paling
tinggi adalah prinsip pertanggungjawaban, kemudian prinsip kewajaran, prinsip
transparansi, prinsip akuntabilitas dan yang memperoleh presentase skor paling
rendah adalah prinsip kemandirian, serta hanya prinsip kemandirian yang tergolong
dalam kategori cukup memadai sedangkan ke empat prinsip lainnya berada pada
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
368
kategori sangat memadai. Hasil tersebut dapat dikatakan mewakili pendapat
responden yang menggambarkan bahwa implementasi kelima prinsip GCG pada PT
INTI telah memadai. Prinsip pertanggungjawaban mendapat penilaian yang paling
memadai implementasinya sedangkan prinsip kemandirian mendapatkan penilaian
yang kurang dibandingkan dengan prinsip lainnya.
2. Implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI jika dilihat dari analisis secara
simultan sesuai dengan penghitungan dalam GCG self assessment checklist yang
disusun oleh KNKG mendapatkan skor sebesar 83,70%. Skor tersebut
menggolongkan implementasi GCG pada PT INTI kedalam kategori sangat memadai.
Dari hasil tersebut dapat mewakili pendapat responden yang menggambarkan bahwa
implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI telah memadai. Implementasi GCG
pada PT INTI yang telah memadai tercermin dari kegiatan sehari-hari perusahaan
seperti pemberdayaan website PT INTI guna ketrebukaan informasi, Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk memenuhi tanggungjawab sosial perusahaan
serta pengaturan pelaksanaan GCG secara sistematis melalui Road Map GCG INTI.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian, maka saran yang dapat
disampaikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan yang dapat berguna bagi PT INTI
ataupun pihak lain adalah sebagai berikut :
1. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada kelima prinsip GCG untuk mengungkapkan
implementasi GCG dalam perusahaan, karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan
mengenai variabel-variabel lain yang dapat menjelaskan implementasi GCG lebih
lanjut misalnya dibahas juga mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
perusahaan sehingga hasil penelitian dapat semakin luas.
2. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu Corporate governance self assessment
checklist memiliki kelemahan berupa subjektifitas data, karena itu guna mendukung
tingkat keabsahan data yang lebih baik untuk penelitian selanjutnya dapat
menggunakan instrumen tambahan seperti melakukan wawancara lebih mendalam
atau dapat juga dengan melakukan observasi yang lebih mendalam terkait pelaksanaan
GCG disebuah perusahaan.
3. Pada implementasi prinsip kemandirian yang dilaksanakan PT INTI memiliki hasil
yang paling rendah dan menjadi satu-satunya prinsip yang pelaksanaannya masuk
dalam kategori cukup memadai. Hal tersebut menggambarkan penilain responden
bahwa implementasi prinsip kemandirian pada PT INTI harus dilaksanakan dengan
lebih maksimal, misalnya dengan meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan-
kebijakan perusahaan terkait prinsip kemandirian seperti kebijakan pemberian donasi
dan kebijakan tentang larangan serta penerimaan hadiah. Melalui hal tersebut
diharapkan implementasi GCG pada PT INTI dapat lebih optimal untuk kedepannya
dengan tetap mempertahankan serta meningkatkan implementasi GCG untuk
mewujudkan tata kelola perusahaan yang sehat dan mendukung kegiatan bisnis PT
INTI menuju tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Daftar Pustaka
Effendi, Muh. Arief. (2009). The Power of Good Corporate Governance : Teori dan
Implementasi. Jakarta : Salemba Empat.
Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate
Governance Indonesia. Jakarta : Komite Nasional Kebijakan Governance.
Rudy Hartanto Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Helni Mutiarsih Jumhur Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
369
Mukharomah, Wafiatun. (2010). Meningkatkan Kinerja Perusahaan Melalui Praktek
Corporate Governance pada Industri Kecil dan Menengah. Jurnal Manajemen dan
Bisnis Vol. 14 No. 2. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Retno, Reni Diah dan Denies Priantinah. (2012). Pengaruh Good Corporate Governance dan
Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan (Studi
Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa efek Indonesia Periode 2007-
2010). Jurnal Nominal Vol. 1 No. 1. Yogyakarta : Fakultas Ekonomi Universitas
Negeri Yogyakarta.
Sekaran, Uma. (2007). Research Methods for Business. Jakarta : Salemba Empat.
Siregar, Syofian. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif (Dilengkapi dengan Perbandingan
Perhitungan Manual dan SPSS). Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta.
Sutedi, Adrian. (2011). Good Corporate Governance. Jakarta : Sinar Grafika.
Ulfa, Umi Maria. (2011). Evaluasi Sistem Pegendalian Intern Pengeluaran Kas Pada PT
Global Engineering Technology Jakarta. Jurnal Akuntansi Vol. 11 No. 2. Semarang :
Universitas Diponegoro
Warsono, Sony; Fitri Amalia, dan Dian Kartika Rahajeng. (2009). Corporate Governance
Concept and Model: Preserving True Organization Welfare. Yogyakarta : Center for
Good Corporate.
Zikmund, William G; Barry J. Babin, Jon C. Carr, Mitch Griffin. (2010). Business Research
Method 8th Edition. Canada : Cengage Learning.
www.inti.co.id (diakses tanggal 19 Februari dan 21 Agustus 2014)
www.pkblinti.org/modules/mitrabinaan (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
370
STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN
MENGGUNAKAN VOTING DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK
MENAMPUNG IDE INOVASI DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN
KOTA SURABAYA
Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal
Universitas Ciputra
Abstract
The problem is how to design and make E-Innovation technology prototype using
Analytical Hierarchy Process. The purpose of this project is designing and making the E-
Innovation prototype which gives solution to increase quantity and quality of Innovation
ideas at Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. The Methods used to design
and making the E-Innovation prototype are interview, observation, and experiment. The goal
is to increase quantity and quality of Innovation ideas at Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kota Surabaya.
Keywords: Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya, Innovation, E-Innovation,
Analytical Hierarchy Process.
Latar Belakang
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya merupakan salah satu lembaga
pelayanan publik terbaik yang dipunyai oleh Kota Surabaya berdasarkan penilaian dari
lembaga independen yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Surabaya. Dinas ini telah berkali-
kali memenangkan penghargaan sebagai lembaga dengan pelayanan terbaik terhadap
masyarakat Kota Surabaya. Mereka terkenal dengan inovasi layanan yang terus menerus
diperbaharui untuk pelayanan yang lebih baik. Inovasi adalah hal dasar yang diandalkan oleh
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya.
Pada pelaksanaannya, masih banyak hambatan yang menghalangi Dinas Perdagangan
dan Perindustrian Kota Surabaya melakukan inovasi. Pertama, berdasarkan hasil observasi
pada tanggal 24 – 28 Oktober 2011 terlihat bahwa pegawai negeri sipil di Dinas Perdagangan
dan Perindustrian Kota Surabaya sendiri cenderung hanya melakukan pekerjaan standard
yang telah ditetapkan. Hal ini mengakibatkan kurang munculnya inovasi untuk menghasilkan
layanan yang lebih baik. Sistem saat ini tidak memberikan kredit lebih bagi mereka yang
terus-menerus menciptakan inovasi layanan yang bagus. Dampaknya, jumlah inovasi yang
muncul sangat sedikit untuk diolah menjadi layanan baru yang bagus.
Kedua, hambatan struktural yang ada sangat mengekang pegawai yang mempunyai
potensi lebih. Pegawai yang mempunyai ide inovasi, harus melapor kepada Kepala Seksi atau
Kepala Bidang. Apabila Kepala Seksi atau Kepala Bidang tidak menyampaikan ide inovasi
tersebut terhadap Kepala Dinas dalam rapat, maka ide inovasi tersebut tidak akan pernah
terwujud. Sering juga Kepala Seksi atau Kepala Bidang mengklaim ide pegawai tersebut
sebagai ide mereka, sehingga merekalah yang mendapatkan kredit, bukan pegawai yang
bersangkutan.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem baru yang memungkinkan karyawan yang
awalnya malas menjadi termotivasi untuk mengeluarkan ide inovasi sekaligus menemukan
karyawan berpangkat rendah namun berpotensi tinggi yang selama ini tertutupi oleh Kepala
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
371
Seksi atau Kepala Bidang mereka. Ide E-Innovation akan menyelesaikan masalah ini. Sebuah
internal web-based system yang dapat diakses seluruh pegawai Disperdagin dengan fitur-fitur
khusus yang memungkinkan sebuah ide inovasi dapat diolah secara bersama-sama serta
pemilik ide mendapatkan kredit khusus berupa penambahan poin.
Sebuah ide inovasi akan dapat divoting oleh karyawan lain. Bobot nilai setiap voting
akan berbeda dan ditentukan dengan metode Analytical Hierarchy Process. Apabila sudah
mendapatkan jumlah poin tertentu, maka pegawai tersebut dapat menukarkannya dengan
point E-Performance, sebuah software yang telah tersedia di pemerintahan Kota Surabaya
untuk dapat menambah penghasilan mereka.
Dengan dapat menukarkan point E-Innovation dengan point E-Performance,
diharapkan dapat menyelesaikan masalah motivasi pegawai negeri dalam memberikan ide
inovasi baru. Semakin banyak dan berkualitas ide inovasi yang mereka keluarkan, semakin
besar kemungkinan mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Pada akhir setiap cycle,
pegawai negeri berhak memasukkan kontribusi mereka dari E-Innovation ke E-Performance
secara manual.
Pada sistem Analytical Hierarchy Process, diharapkan proses pemilihan ide inovasi
dapat berjalan secara adil. Fitur ini akan membuat karyawan bertalenta tinggi yang
sebelumnya tertutupi oleh atasan langsungnya, kini dapat menunjukkan kemampuan mereka
kepada semua orang di organisasi. Apabila mereka terus-menerus memberikan ide inovasi
melalui E-Innovation, maka bakat mereka pasti akan diketahui oleh Kepala Dinas dan bisa
mendapatkan penghasilan tambahan atau malah kenaikan pangkat.
Metode
Metodologi penelitian yang digunakan dalam pembuatan tugas akhir ini adalah :
1. Studi literatur mengenai metode Analytical Hierarchy Process, penilaian sistem
kinerja karyawan, dan bagaimana cara meningkatkan inovasi dalam sebuah
perusahaan.
2. Pembuatan pertanyaan wawancara untuk mendapatkan data-data, informasi yang
diperlukan, dan fitur-fitur yang diminta.
3. Perhitungan metode Analytic Hierarchy Process berdasarkan data-data yang
didapatkan serta menentukan bobot nilai voting tiap pangkat/jabatan.
4. Proses perancangan dan pembuatan software requirements specification untuk
teknologi E-Innovation.
5. Melakukan testing menggunakan prototype low-fidelity.
6. Membuat kesimpulan dari hasil testing.
7. Penulisan laporan.
Hasil dan Pembahasan
Model Innovation Tournament
Apabila organisasi mengecek dan menganalisa ide inovasi yang diberikan oleh
anggota satu per satu, tentunya akan memakan waktu cukup lama. Tentu sistem ini tidak akan
cocok diterapkan dalam organisasi besar dengan ratusan atau bahkan ribuan karyawan di
dalamnya yang ingin memberikan sumbangan terhadap kemajuan perusahaan. Untuk
mempercepat proses seleksi inovasi, digunakan Innovation tournament.
Innovation tournament biasanya digunakan untuk menyaring ribuan ide inovasi
menjadi beberapa ide yang sangat kuat. Di dalam Innovation tournament, terdapat beberapa
level filter yang akan membantu organisasi mencari ide inovasi yang terbaik. Organisasi
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
372
hanya perlu untuk mencari jenis filter yang tepat di masing-masing levelnya. Berikut adalah
contoh model Innovation tournament yang sederhana.
Gambar 1
Contoh Model Innovation tournament
Sumber: Terwiesch and Ulrich, 2009
Aplikasi E-Innovation akan menggunakan Innovation tournament sebagai kerangka
dasar pembuatannya. E-Innovation akan mampu untuk menyediakan dua buah filter untuk
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Filter pertama akan berupa power vote
dan filter kedua berupa Analytical Hierarchy Process menggunakan dimensi bisnis Fontana.
Inovasi-inovasi yang telah lolos dari dua filter ini kemudian akan menjadi masukan untuk
rapat tentang kemungkinan inovasi yang dapat diterapkan di Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kota Surabaya.
Power Vote
Sistem power vote adalah filter pertama untuk mewujudkan teori Innovation
tournament dalam aplikasi E-Innovation untuk Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota
Surabaya. Seperti namanya, power vote tidak sama dengan sistem vote biasa. Apabila sistem
vote dalam forum yang standard, semua vote bernilai 1, maka dalam power vote, nilai vote
bisa berbeda-beda tergantung dengan siapa yang memberikan vote. Sistem vote biasa sangat
tidak cocok dengan hasil wawancara yang menunjukkan struktur organisasi yang cukup
dalam dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya.
Pertama, ada banyak sekali level yang memisahkan antara Kepala Dinas dengan
karyawan biasa. Pola piramida juga ditemukan dalam struktur organisasi ini, menyebabkan
semakin tinggi jabatan, semakin sedikit orang yang mendudukinya. Jabatan yang lebih tinggi
menunjukkan pengalaman dan pengetahuan seseorang di bagiannya. Posisi karyawan
operasional mempunyai jumlah karyawan yang sangat banyak, namun tentunya dengan
pengalaman dan pengetahuan yang jauh dibawah atasan mereka.
Masalah kedua datang dari struktur organisasi yang memisahkan masing-masing
department juga menyebabkan karyawan menjadi sangat spesialis, hanya mengerjakan apa
yang di departmentnya kerjakan. Karyawan tidak boleh mengerjakan hal lain yang selain
tanggung jawabnya yang telah ditulis di undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah
terbit. Hal ini menyebabkan karyawan hanya mempunyai pengetahuan tentang departmennya
dan sedikit atau bahkan tidak sama sekali pengetahuan tentang department lain.
. Berikut adalah daftar nilai vote yang akan dipakai untuk dasar power vote dalam E-
Innovation yang sudah disetujui oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya:
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
373
Tabel 1
Nilai power vote yang sudah ditentukan
Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing
Pengadministrasian Umum 3 0,5
Pengadministrasian Umum 2 0,5
Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing
Pengadministrasian Umum 1 1
Pengadministrasian Tertentu 3 1
Pengadministrasian Tertentu 2 1
Pengadministrasian Tertentu 1 1,5
Petugas Operasional 3 1,5
Petugas Operasional 2 1,5
Petugas Operasional 1 2
Penyelia Teknis 3 2
Penyelia Teknis 2 2
Penyelia Teknis 1 2,5
Perencana Teknis 3 2,5
Perencana Teknis 2 3
Perencana Teknis 1 3
Verifikator 3
Analis 3 4
Analis 2 5
Analis 1 6
Sub Bagian Tata Usaha 7
UPTD Pasar Turi 8
Seksi Perdagangan Dalam Negeri 7
Seksi Perdagangan Luar Negeri 7
Kepala Bidang Perdagangan 8
Seksi Logam, Mesin, Elektronika
& Aneka
7
Seksi Industri Kimia, Agro &
Hasil Hutan
7
Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing
Kepala Bidang Industri 8
Seksi Promosi 7
Seksi Pendaftaran Perusahaan 7
Kepala Bidang Promosi &
Pendaftaran Perusahaan
8
Sub Bagian Umum &
Kepegawaian
7
Sub Bagian Keuangan 7
Kepala Bidang Perdagangan 8
Kepala Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kota Surabaya
10
Sumber: Berdasarkan data yang diolah
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
374
Tabel 2
Nilai power vote apabila pengguna berada di bagian lain
Jabatan Value Dalam Bagian Lain
Pengadministrasian Umum 3 0,25
Pengadministrasian Umum 2 0,25
Jabatan Value Dalam Bagian Lain
Pengadministrasian Umum 1 0,5
Pengadministrasian Tertentu 3 0,5
Pengadministrasian Tertentu 2 0,5
Pengadministrasian Tertentu 1 0,75
Petugas Operasional 3 0,75
Petugas Operasional 2 0,75
Petugas Operasional 1 1
Penyelia Teknis 3 1
Penyelia Teknis 2 1
Penyelia Teknis 1 1,25
Perencana Teknis 3 1,25
Perencana Teknis 2 1,5
Perencana Teknis 1 1,5
Verifikator 1,5
Analis 3 2
Analis 2 2,5
Analis 1 3
Sub Bagian Tata Usaha 3,5
UPTD Pasar Turi 4
Seksi Perdagangan Dalam Negeri 3,5
Seksi Perdagangan Luar Negeri 3,5
Kepala Bidang Perdagangan 4
Jabatan Value Dalam Bagian Lain
Seksi Logam, Mesin, Elektronika &
Aneka
3,5
Seksi Industri Kimia, Agro & Hasil
Hutan
3,5
Kepala Bidang Industri 4
Seksi Promosi 3,5
Seksi Pendaftaran Perusahaan 3,5
Kepala Bidang Promosi & Pendaftaran
Perusahaan
4
Sub Bagian Umum & Kepegawaian 3,5
Sub Bagian Keuangan 3,5
Kepala Bidang Perdagangan 4
Kepala Dinas Perdagangan dan
Perindustrian Kota Surabaya
10
Sumber: Berdasarkan data yang diolah
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
375
Analytical Hierarchy Process
Analytical Hierarchy Process adalah hal utama yang ditekankan dalam aplikasi E-
Innovation ini. Metode Analytical Hierarchy Process dapat menilai secara objektif mengenai
hal-hal yang sebelumnya sulit diukur seperti kualitas dari ide inovasi. Dalam E-Innovation,
akan digunakan tiga level Analytical Hierarchy Process. Level satu adalah tujuan, yaitu
menyaring tiga ide terbaik yang akan dibahas lebih lanjut oleh beberapa pimpinan teratas di
rapat bulanan. Level dua berisi lima dimensi bisnis yang dapat diterapkan dalam E-Innovation
di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Level tiga adalah enam ide inovasi
terbaik yang akan diperoleh dari sistem web-based power vote dari E-Innovation.
Berdasarkan hasil wawancara, maka dimensi bisnis Fontana yang akan dipakai
sebagai variabel level dua adalah konsumen, pengalaman konsumen, proses, rantai pasok, dan
pasar. Bentuk dasar dari konstruksi Analytical Hierarchy Processnya adalah sebagai berikut:
Gambar 2
Bentuk dasar konstruksi Analytical Hierarchy Process Sumber: Avanti Fontana 2009
Langkah pertama, kita harus menentukan perbandingan skala fundamental dari
masing-masing faktor yang berada di level kedua.
Setelah menentukan nilai kepentingan masing-masing, maka tiap kolom harus
dijumlah untuk memudahkan perhitungan proses Analytical Hierarchy Process yang
selanjutnya dengan tiga angka di belakang koma. Berikut adalah tabel yang menjelaskan
perbandingan nilai kepentingan dari masing-masing faktor level dua dalam Analytical
Hierarchy Process di E-Innovation.
Tabel 3
Perbandingan nilai kepentingan Analytical Hierarchy Process
Sumber: Berdasarkan data diolah.
Goal Pengalaman
Konsumen
Konsumen Proses Pasar Rantai
Pasok
Pengalaman
Konsumen
1 2 4 5 7
Konsumen 1/2 1 3 3 6
Proses 1/4 1/3 1 2 5
Pasar 1/5 1/3 1/2 1 3
Rantai
Pasok
1/7 1/6 1/5 1/3 1
Jumlah 2,093 3,826 8,700 11,330 22
Tujuan
Konsumen Pengalaman
Konsumen
Proses Rantai Pasok Pasar
Ide 1 Ide 3 Ide 5 Ide 4 Ide 6 Ide 2
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
376
Proses selanjutnya dalam Analytical Hierarchy Process adalah perhitungan bobot
relatif yang dinormalkan pada masing-masing faktor diatas. Berikut adalah perhitungan untuk
tiap faktor dengan lima angka di belakang koma.
Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil perhitungan bobot relatif dan
eigenvector utama masing-masing faktor.
Tabel 4
Hasil perhitungan bobot relatif dan eigenvector utama masing-masing faktor.
Sumber: Berdasarkan data yang diolah
Perhitungan level tiga tinggal memasukkan angka yang sudah dihitung diatas. Dengan Yi
sebagai prosentase dari alternatif moda i dan V sebagai prosentase vote level kedua
berdasarkan dimensi bisnis, maka rumus Analytical Hierarchy Process yang akan digunakan
untuk E-Innovation adalah:
Y1 = ( Vpengalaman konsumen(1) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(1) x 0,27652 ) + ( Vproses(1)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(1) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(1) x 0,04170 )
Y2 = ( Vpengalaman konsumen(2) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(2) x 0,27652 ) + ( Vproses(2)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(2) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(2) x 0,04170 )
Y3 = ( Vpengalaman konsumen(3) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(3) x 0,27652 ) + ( Vproses(3)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(3) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(3) x 0,04170 )
Y4 = ( Vpengalaman konsumen(4) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(4) x 0,27652 ) + ( Vproses(4)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(4) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(4) x 0,04170 )
Y5 = ( Vpengalaman konsumen(5) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(5) x 0,27652 ) + ( Vproses(5)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(5) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(5) x 0,04170 )
Y6 = ( Vpengalaman konsumen(6) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(6) x 0,27652 ) + ( Vproses(6)
x 0,14488 ) + ( Vpasar(6) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(6) x 0,04170 )
Goal Pengalaman
Konsumen
Konsumen Proses Pasar Rantai
Pasok
Eigenvector
Utama
Pengalaman
Konsumen
0,47778 0,52274 0,45977 0,44131 0,31818 0,44396
Konsumen 0,23889 0,26137 0,34483 0,26478 0,27273 0,27652
Proses 0,11945 0,08625 0,11494 0,17652 0,22727 0,14488
Pasar 0,09556 0,08704 0,05747 0,08826 0,13636 0,09294
Rantai
Pasok
0,06832 0,04260 0,02299 0,02913 0,04546 0,04170
Jumlah 1 1 1 1 1 1
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
377
Berikut adalah contoh perhitungan nilai Analytical Hierarchy Process dalam PHP:
Kesimpulan
Berdasarkan perancangan dan prototype yang telah dibuat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa:
1. Aplikasi E-Innovation dapat memberikan satu platform bagi Dinas Perdagangan
dan Perindustrian Kota Surabaya untuk menilai sebuah ide inovasi secara lebih
objektif menggunakan power vote dan Analytical Hierarchy Process.
2. Aplikasi E-Innovation telah berhasil dibuat prototypenya dengan fitur-fitur
sebagai berikut:
a. Fitur memberikan ide inovasi telah berhasil dibuat untuk memungkinkan
semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya
dapat memberikan ide inovasi mereka untuk kemudian dinilai menggunakan
E-Innovation.
b. Fitur memberikan komentar dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk
memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Kota Surabaya bisa memberikan komentar terhadap ide inovasi dan
berdiskusi tentang hal tersebut.
c. Fitur memberikan vote dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk
memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian
Kota Surabaya bisa memberikan vote terhadap ide inovasi yang mereka
sukai.
d. Fitur power vote dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk
memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian
mempunyai nilai votenya sendiri-sendiri tergantung dengan jabatan dan
department mereka.
e. Fitur Analytical Hierarchy Process telah berhasil dibuat untuk
memungkinkan semua ide inovasi yang sudah lolos pada tahap vote akan
dinilai menggunakan metode Analytical Hierarchy Process sesuai dengan
nilai faktor yang dihitung secara akurat berdasarkan hasil wawancara.
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
378
3. Aplikasi E-Innovation tidak dapat memasukkan pengalaman seseorang dalam
bagian lain.
4. Aplikasi E-Innovation tidak dapat melakukan perbaikan secara berjenjang pada
ide awal.
Saran
Dari perancangan dan prototype yang telah dilakukan, maka didapatkan beberapa
saran untuk penelitian-penelitian kedepan antara lain:
1. Penggunaan faktor-faktor lain untuk Analytical Hierarchy Process selain dimensi
bisnis Fontana.
2. Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk melakukan testing dalam aplikasi.
3. Membuat desain yang jauh lebih menarik.
4. Pembuatan aplikasi E-Innovation ke dalam platform lain seperti iPhone, iPad,
Windows Mobile, dan Android.
Daftar Pustaka
Barton Rabe, Cynthia. 2006. The Innovation Killer. New York: Amacom.
Beighley, Lynn & Michael Morrison,.2009. Head First PHP and MySQL.USA: O‟Reilly.
Duarte, Deborah L & Nancy Tennant Snyder. 2008. Unleashing Innovation, how whirlpool
transformed an industry. San Francisco: Jossey-Bass.
Fontana, Avanti. 2009. Innovate We Can! How to Create Value Through Innovation in Your
Organization and Society. Jakarta: Cipta Inovasi Sejahtera.
Heller, Robert, & Herbayu Noerlambang. 2008. Bill Gates: Jenius Revolusi Software dan
Master Abad Informasi. Jakarta: Esensi.
Kroenke, David M. 2004.Database Processing Fundamental, Design and Implementation.
USA: Pearson.
Mulyana, Deddy, Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian
Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Munadi, Ernawati, & Wayan R. Susila. 2007. Penggunaan Analytical Hierarchy Process
Untuk Penyusunan Prioritas Penelitian. Jurnal Informatika Pertanian Volume 16 No
2.
Peraturan Walikota Surabaya Nomor 91 Tahun 2008 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi
Dinas Kota Surabaya.
Powell, Gavin.2006. Beginning Database Design. USA: Wiley Publishing.
Revisi Usulan Jabatan Staf Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya Tahun 2012.
Richardson, Adam.2010. Why a Company Toughest Problems are its Greatest Advantage.
San Francisco: Jossey-Bass.
Adhika Dwi Pramudita Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Rinabi Tanamal Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
379
Sevilla, Consuelo G [et al.], Alimuddin Tuwu. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia.
Siswanto, Hendro, & Sebastianus Ari Yudhanto. 1999. Penggunaan Metode Analytic
Hierarchy Process Dalam Menganalisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pemilihan Moda ke Kampus. Jurnal Dimensi Teknik Sipil Volume 1, No. 1.
Terwiesch, Christian, & Karl T.Ulrich. 2009. Innovation Tournaments: Creating and
Selecting Exceptional Opportunities. Boston: Harvard Business Press.
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
380
THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW
GROWTH PERSPECTIVE TOWARDS EARNING MANAGEMENT
Marika Suma Raya Sembiring
Fakultas Bisnis Universitas Presiden
Kathleen Kusuma Nugroho
Fakultas Bisnis Universitas Presiden
Abstract
This research aims to investigate whether firms with excess of free cash flow and low
growth perspective are tend to engage in earnings management with several control variables included. We predict the relationship between each variable using multiple regressions model. The data sample used is manufacturing companies listed in IDX from the year of 2012 to 201. The result of this research presents that there is no significant relationship between excess of free cash flow and earnings management. The reasons behind this result might be a difference in type of agency problem, in dividend policy, and in organization behavior widespread across the countries. However, we found a significant relationship between control variables to the dependent variable by means of discretionary accruals, which are firm size, IFRS implementation and audit quality towards earnings management.
Keywords: Agency Problem, Earnings management, Excess Free Cash Flow, Dividend Payment. Background
According to Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1, earnings
information is fundamental and important information for creditors, investors, and other users of financial statements which aims to evaluate the performance of management, estimate “earning power” of a firm, forecast future earnings, and asses the investing and borrowing risk. In regards with this issue, the primary accounting standard-setting bodies – the International Accounting Standards Boards (IASB) and the Financial Accounting Standards Boards (FASB) requires that an entity should present its financial statements using the accrual basis of accounting, except for cash flow information. The accrual basis of accounting is an accounting system trying to combine current cash inflows or outflows with the future expected cash inflows or outflows to provide a clearer image of a company’s current financial condition. The research of Dechow, Richardson & Tuna (2003) indicates that accruals significantly influence the earnings quality. Despite that the standard setters require the implementation of accrual basis in a firm, at the same time it allows the management to have some flexibility in accounting discretion over the recognition of accruals. This discretion may lead the management to opportunistically manipulate earnings (Dechow, 1994) and to its expected level that potentially could mislead the users of financial statements. This earnings manipulation latter known as earnings management. Earnings management refers to apply accounting method under generally accepted accounting principles (GAAP) intentionally in order to have discretion over discretionary account to achieved a desired earnings (Bhundia, 2012). The extreme action of earnings management may lead to a financial fraudulent or even a
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
381
bankruptcy of a firm. For example, the scandal of Satyam Computer Service (IND), which is also called the Enron of India leads to a huge lost for its investor as much as $2.2 billion as Satyam’s shares shrunk responding to the company’s former chairman’s confession that he had manipulated the company’s earnings nearly $1.1 billion (Balachandran, 2015). There are many factors which might influence the management to have discretion over accruals account in order to achieve desired earnings, one of them is agency problem between management and shareholders. Jensen & Meckling (1976) describe the shareholders of firm as the principal, and the management as the agent. The agent acts as the representative of the principals within the firm and is responsible to them by disclosing the performance of a firm during one accounting period in the form of financial statements. However, if both management and principal have self interest in maximizing their own wealth, thus it is quite reasonable to believe that an agent does not always act on behalf of the principal and in the best interest of the principal. Instead, an agent might act to maximize their interest at the expensed of the principals. Companies with high level of free cash flow have bigger chance to engage in earnings management. Previous researches indicate that companies with high level of free cash flow and low investment opportunity are more often facing the major agency problem (Chung, Firth & Kim, 2005). According to Jensen, dividend distribution to shareholders creates a conflict between management and shareholders since it reduces the available resource of fund which is in the control of managers. As well as Jensen, lots of financial analysts raise the same argument that the available resource in cash should be invested in fixed assets only (cash used in investing activities), but should also be distributed as dividend to shareholders. This reduction of available resource might impact to the power of managers within the firm, and thus makes managers do monitoring of the capital market in order to obtain new fund. In order for the resources not leaving the firm, in the absence of shareholders’ supervision, manager may use this opportunity to maximize their wealth by investing the available free cash flow in unprofitable projects, misuse the funds over investments (Jensen, 1986). Meanwhile, it is by no means that the shareholders would like to forgo dividend but do not require a higher return on this investment. Yet, keeping a promise to give higher return is not that easy and simple, therefore, earnings management plays role as a tool to camouflage the impact of negative investment to soothe the shareholders and preserve the managers’ position at the same time (Cardoso, Martinez, & Teixeira, 2014).
Equally important, there will be so many factors which might influence earnings management, thus the researcher tries to consider other factors such as shareholder’s concentration, the size of the firm, leverage, audit quality, loss, and IFRS implementation to support this research. The result from previous studies done by Chung, Firth, Kim (2005), Bukit and Iskandar (2009), Bundhia (2012), and Cardoso et al (2014) support the theory of Jensen (1986) that it is found a positive relationship and significant influence between excess of free cash flow to earnings managements which is measured by discretionary accruals in firms with excess of free cash flow and low growth firms. Thus, it can be concluded that the theory of free cash flow by Jensen (1986) might still be relevant to current condition.
However, this study does not aim to proof the relevancy theory of Jensen to current condition, instead this study aims to give another perspective regarding the relationship between free cash flow and earnings management according to free cash flow theory by Jensen especially in Indonesia where there still few researches discussing about this topic.
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
382
Literature Review and Hypothesis Development
Literature Review
Earnings Management
According to Healy and Whalen (1999) in Bukit and Iskandar (2009), companies
facing major agency problems are very common to engage in earnings manipulation. It may involve manipulation on accounting documents, intentional omission or misuse of accounting principles. It gets severe when earnings manipulation leads to earnings fraud which is a fraudulent in financial reporting by presenting misleading information in financial statements to deceive the users (MIA, 2002). “Earnings management occurs when managers use judgment in financial reporting and in structuring transactions to alter financial reports to either mislead some stakeholders about the underlying economic performance of the company or to influence contractual outcomes that depend on reported accounting numbers” (Healy & Wahlen, 1999; p.6).
According to Bukit & Iskandar (2009), direct rewards in the form of compensation and bonus or indirect rewards by offering a future promotion, a prestigious position or job, and job security are often motivating managers to gain personal benefits. Mostly, these rewards are given based on company’s earnings achievement. If it is, then managers will be likely to perform in order to fulfill their self interest as to gain personal benefits offered by presenting a good performance of the company to shareholders through earnings management. The ability of managers to manage accruals in order to affect the reported earnings as well as affect the managers’ compensation may lead to major agency problem. As a result of earnings management, the financial reporting does not faithfully present and reflect the real economic conditions of the company. In the other side, the users of financial statements use the financial information to make decisions which are reflected in the share price. The decisions made based on the “managed” accounting information may cause the shares undervalued.
There have been many researches studied about earnings management and thus the proxies of earnings management are developing. The researchers use discretionary accrual proxy such as Healy (1985) uses total accruals, DeAngelo (1986) uses changes in total accruals, Jones (1991) uses residual from regression of total accruals on changing in sales and property, plant and equipment, and Modified Jones Model from Dechow et al.(1996) uses residual from regression of total accruals on change in sales and property, plant and equipment, when revenue is adjusted for change in receivables in the event period. In this research, researcher applies The Modified Jones Model by Dechow (1996) to detect earnings management practice since this model includes the changes in total receivables which believed to be potentially manipulated. Therefore, this model might be the most effective one to detect earnings management since there are many studies which had been used this model already. Hyphotesis Development
The Relationship between Free Cash Flow and Earning Management
Jensen (1986), in Bhundia (2012), introduced the theory of free cash flow and defined
it as the cash from operating activities after deducting any payment in cash in order to have excess cash to be invested in project with positive net present (NPV) value when it is discounted with weighted averaged cost of capital (WACC). According to Len and Poulsen
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
383
(1989) in Cardoso et al (2014) free cash flow is operating income before depreciation expense after tax, interest expense and preferred and common stock dividend payment. For Dechow and Ge (2006) free cash flow is the cash flows from operating activities plus the cash flows from the investment activities.
According to Bundhia (2012) and Jensen (1986), allocating free cash flow is the most common agency problem faced by the company. Agency problem is raised when free cash flow available in the company is not used for the best interest of shareholders. Instead, in the absence of direct monitoring from the shareholders the managers choose to invest in unprofitable projects for their self interest at the expense of shareholders. The negative impact of this unprofitable investment may lower the growth of the company (Bhundia, 2012) and lead to lower stock price which might adversely affect the company’s financial position and possibly cause the managers to be replaced (Nikhili, Amar, Chtioui, & Lakhal, 2016).
The asymmetry gap between the management and shareholder may allow the managers to cover the negative impact of unprofitable investment by presenting as minimal disclosure as possible regarding the activities or manipulating the accounting number (Bukit & Iskandar, 2009). As a result, investors do not have any access of information whether the investment is giving benefit or loss to their wealth (Chung et al, 2005).
Nekhili et al (2016) finds out that availability of free cash flow allows manager to have the opportunity to manage earnings. Cardoso et al (2014) and Bundhia’s (2012) studies result the same findings that firms with excess of free cash flow and low growth perspective tend to engage in earnings management. However, Rusmin et al (2014) documented a positive relationship between free cash flow and earnings management, however this relationship is partially applicable in Singapore, yet it is not applicable in Indonesia. Selahudin et al (2016) recently also conducted a research to seek relationship between free cash flow and earnings management in Thailand and Malaysia, and found no significant relationship between earnings management and free cash flow. Taking all of these into accounts, these arguments lead to our hypothesis: H1: There is a significant relationship between firms with excess of free cash flow and
low growth perspective towards discretionary accruals by means of earnings
management.
Control Variables of Earnings Management.
Leverage
Debt covenant hypothesis in Positive Accounting Theory presented that the higher the
debt to equity ratio of a firm, the closer it may violate the debt covenant, and thus managers are motivated to select accounting method which may allow them to drag reported income from next period to the current period. This is because higher net earnings will reduce the probability of a firm to breach debt covenant since if the firms are violating the debt agreement, they might be fined some penalties by the debtors. Lambert (2001) in Cardoso et al (2014) suggests that to avoid breaching a debt covenant, managers may exercise their influence over financial reporting. Beatty and Weber (2003) in Bhundia (2012) suggests that leveraged firms engage in earnings management to avoid debt covenant default. Firm Size
Relationship between firm size and earnings management suggested that larger firms
are usually under pressure of capital market monitoring and thus show more tendency towards earnings management (Lusi & Swastika, 2013). Consistently, Barton and Simko
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
384
(2002) in Cardoso et al (2014) indicate that larger firms encounter higher pressure on meeting or beating the analyst’s expectations. Large firms usually have higher current assets which turn to give discretion to manage earnings. Watts & Zimmerman (1986) suggested that firm size might lead to higher political cost. Larger firms usually face higher political costs and therefore are motivated to apply accounting discretion in order to reduce unwanted political views. Government also requires large company to do more corporate social responsibilities. Hence, larger company has probability to lower its profit in order to evade the control from government and reduce political cost. It concludes that the larger the firms are, the higher the political costs and the scale cost. Audit Quality
The existence of asymmetry gap between principal and management in agency
problem creates a demand for external audit. The responsible of external auditors are to verify the conformity of financial statements to GAAP and whether the information disclosed is faithfully reflecting the company’s economic true condition (Lin & Hwang, 2010). The audit opinion given by the external auditors adds credibility to the company’s financial statements. In addition, auditing standards require the external auditors to discus and communicate with audit committee not only the acceptability of accounting principles applied but also the quality. Therefore, it is expected that audit quality will reduce the risk of material misstatement or omissions in financial statements as well as to reduce earnings management.
IFRS
Accounting theory argues in order to reduce the information asymmetry; firm should
disclose the financial statements which reflect the firm’s economic true condition in a timely basis (S.Soderstrom & Sun, 2007). Before the implementation of IFRS is adopted widespread across the countries, companies followed a variety GAAP of every country. The implementing of IFRS gives a shared set of standard which can help to easily having a big picture about the financial performance and condition of companies across different countries. This may enhance the transparency of financial reporting disclosed and improve its quality so that the reliable accounting number may be presented to users (Jeanjean & Stolowy, 2008). The higher quality of financial reporting may lower the possibility of earnings management.
Shareholder’s Concentration
Managerial ownership can be defined as the share owned by stakeholders who are
actively taking roles in decision making. Management ownership is aiming to give reward to the management for their dedication and performance. It is believed that management ownership may reduce agency costs as managers with relatively large share are more in line with shareholder’s motivation and interests, and thus may reduce earnings management (Chung, Firth, & Kim, 2005).
Absolute Total Accrual
According to Becker et al (1998) in Rusmin et al (2014) the absolute total accrual is
included to be the control variable in this research in order to control a firm’s “accrual-generating potential”. The theory developed is firms with higher total accrual are likely to
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
385
engage in earnings management (Krishnan, 2003). Thus, we would expect a positive relationship between absolute total accruals and discretionary accruals.
Cash Flow
Cash flow is the net amount of cash and cash-equivalents which flow into and out of a
business. Amount of positive cash flow indicates that a firm’s liquid assets is increasing which enables it to pay for debts, invest this resources into new project or business, and pay dividends. According to Bukit and Iskandar (2012), a higher level of cash flow might motivate managers to use discretionary accruals to smooth earnings in order to meet analyst’s projections and increasing stock price. Chung et al (2005) also argues the same thing with Bukit and Iskandar (2012), that these authors expect a positive relationship between cash flow and discretionary accruals by means of earnings management.
Research Methodology
Sample
The sample of this research is manufacturing companies listed in Indonesian Stock exchange in the period year from 2012 to 2015. The criteria applied are in these following:
1. Companies which are continually listed from 2012 to 2015. 2. Companies which continually published a complete set of financial statements from
2012 to 2015. 3. Companies which provide the necessary information used in data processing
(calculation of each variable measurement). 4. Companies whose accounting period ends in December 31 from 2012 to 2015.
Operational Definition and Variable Measurement
Dependent Variable: Earning Management
The proxy used to measure earnings management is discretionary accruals (DA). The
model applied is Modified Jones Model by Dechow (1996) to separate non-discretionary accrual (NDA) components from discretionary accruals component (NDA) in the total accrual (TA). According to Dechow, Sloan and Sweeney (1996), Modified Jones Model provides the most powerful test of earnings management. In Cornett et al (2008), Modified Jones Model defined as follow:
NDAi.t = 1 [1/Ai.t-1] + 2 [(REVt – RECt)/Ai.t-1)] + 3 [PPEt/Ai.t-1] Where: NDA = non-discretionary accrual items at year t
REVt = revenues in year t less revenue in year (t-1)
RECt = net receivables in year t less net receivables in year (t-1) PPEt = gross property, plant and equipment in year t Ai.t-1 = total assets of firm i at year (t-1)
1, 2, 3 = firm-specific parameters and calculated by following equation:
TAt/Ait-1 = 1[1/Ai.t-1] + 2[REVt/ Ai.t-1] + 3[PPEt/Ai.t-1] + e TA is a proxy for total accrual items at year t. Total accrual items is calculated by following equation: TAit = NI – CFO
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
386
In addition, discretionary accruals (DAit) are calculated by the difference between total accruals (TAit) and non-discretionary accruals (NDAit) as following: DAit = TAit / Ait-1 – NDAit
%DA = TAit / Ait-1 – (1 [1/Ai.t-1] + 2 [(REVt – RECt)/Ai.t-1)] + 3 [PPEt/Ai.t-1] Independent Variable: EFCF
According to Cardoso et al (2014), EFCF is the variable to measure whether there is a
relationship between FCF in firms with low growth perspective and earnings management by means of discretionary accruals. It is a dummy variable consists of two other dummy variables. The first of these compares whether the value of FCF calculated of a firm is greater than the median FCF value for all firms in a specific year. If the FCF value is greater than the median, the dummy variable assumes value of 1, and 0 otherwise.
The second of these dummy variables is the price-to-book ratio. The logic behind the use of this ratio is that the market recognizes the firms with greater growth perspectives, by bidding up the stock price above the book value. Thus, to capture the firms with low growth perspective in a certain year, we calculated the price-to-book ratio of all firms, and assume value of 1 for the P/B ratio which is below the median and 0 otherwise. The variable EFCF is obtained by multiplying the dummy variable FCF and P/B ratio, with value 1 when there is excess FCF in a firm with low growth perspectives and 0 otherwise.
In order to clarify, there is a different between excess cash and excess free cash flow. Excess cash shows how much the cash from operating activity after combined or deducted with cash from investing and financing activities. The excess of free cash flow shows how much firm cash in hand after deducted with several expenditures such as dividend and interest.
As in Bundhia (2012), Len and Pulson model (1989) is applied in order to measure free cash flows. According to this model FCF is measured as operating income before depreciation deducted by total of taxes, interest cost and dividend from operating income, standardized by dividing it to assets.
FCFi.t = (INCi.t – TAXi.t – INTEPi.t – PSDIVi.t – CSDIVi.t) / TAi.t-1
P/B ratio = Market price / (BV/share) BV = TAt – TLt
BV/Share = (TAt – TLt) / Outstanding sharest
Where, FCF = free cash flow firm of year t INCi.t = operating income after depreciation of firm i at year t TAXi.t = total taxes of firm i at year t INTEPi.t = interest expense of firm i at year t PSDIVi.t = preferred stock holders dividends of firm i in year t CSDIVi.t = common stock holders dividends of firm i in year t TAi.t-1 = total asset of firm i in year (t-1) P/B ratio = price-to-book value of firm i at year t BV = book value of firm i at year t TAt = total asset of firm i in year t TLt = total liabilities of firm i in year t
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
387
Control Variable
1. Leverage (LEV)
Debt covenant is measured by financial leveraged which Cardoso (2014) defined as total debt divided by total assets in previous year (book leverage).
2. Firm Size (SIZE) Firm size is one of the most common variables used in earnings management research (Francis, Nanda, & Olsson, 2008). Firm size is measured by natural logarithm of total assets in year t.
3. Cash Flow (CF) Difference between the firm’s cash flow and the annual median of the sample divided by total assets in the previous year.
4. Shareholder Concentration (ESC) Dummy variable for shareholding concentration, with value 1 when the percentage of common shares held by the largest shareholder is above the annual median of the sample and 0 otherwise.
5. Absolute Total Accruals (AB_TACC) Absolute value of total accruals divided by total assets of previous year.
6. IFRS Dummy variables that assume 1 for observation in 2012, 2 in 2013, 3 in 2014, and 4 in 2015 due to requirement to use IFRS in those years.
7. IFRS*EFCF Dummy variable that seeks to capture the interaction of the influence of adopting IFRS and the excess of free cash flow.
8. Audit Quality (AQ) Dummy variable that assume value of 1 when a firm is audited by BIG Four Accounting Public (Pricewaterhouse Coopers, Delloitte, KPMG, Ernst & Young), and 0 otherwise.
Research Model
According to operational proxy of independent and dependent variables that have
been explained above, this study develops the research model as follow,
DAi.t = 0 + 1EFCFi,t + 2ESCi,t + 3 SIZEi.t + 4LEVi.t + 5CFi.t +
6AB_TACC + 7IFRSi,t + 8IFRS*EFCFi,t + 9AQ + e
Result And Discussion
There are 95 companies that meet the sampling criteria. However, in order for data to be normally distributed, we tried to eliminate the outliers. Outliers are data whose values is higher than maximum value and lesser than minimum value calculated. The maximum value is calculated by using this formula: average + (3 x standard deviation); while the minimum value is calculated by using this formula: average – (3 x standard deviation). After the outliers are omitted, the final samples of this research are 40
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
388
Total Population 144
Eliminated due to year of IPO 17
Eliminated due to unavailability of Financial Statements (2012 – 2015)
2
Eliminated due to difference of accounting period year end
4
Eliminated due to unavailability of data related to variable measurement
26
Outliers 55
Total Final Sample 40
Table 1. Sample Detail
Before testing the relationship between variables, we first performed a descriptive statistical analysis of each variable. The results are presented in the following table.
Variable N Mean Median Max Min Std.Dev Skewnes
s
Kurtosis
DA 160
3.138479 2.314336
13.67330
-13.0006
7
5.577197 -0.376139
3.017618
EFCF 160
0.187500 0.00000 1.000000
0.000000
0.391538 1.601282 3.564103
ESC 160
0.506250 1.00000 1.000000
0.000000
0.501531 -0.025002
1.000625
SIZE 160
28.71645 28.43611
32.20598
25.63481
1.510211 0.271647 2.170533
LEV 160
0.425582 0.397315
2.488213
0.001085
0.385868 2.963935 15.37859
CF 160
0.006686 -0.00026
4
0.392398
-0.16455
0
0.055127 2.491978 18.88457
AB_TACC 160
0.062795 0.047907
0.449304
0.000107
0.057700 2.7988674
15.89083
IFRS 160
3.500000 3.500000
5.000000
2.000000
1.121544 0.000000 1.640000
IFRS*EFC
F
160
0.687500 0.000000
5.000000
0.000000
1.513825 1.946783 5.209739
AQ 160
0.500000 0.500000
1.000000
0.000000
0.501570 0.000000 1.000000
Dummy Variable Dummy = 1 Dummy = 0
EFCF 18.75% 81.25%
ESC 56% 44%
AQ 55.56% 44.44%
Table 2. Statistic Descriptive
The mean of discretionary accrual in order to measure earnings management is 3.13 with the maximum value is 13.67 and minimum value is -13.67. The closer the value to 0 indicates that the company is doing lower accruals management or we can say that the
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
389
intention to engage in earnings management is lower. The company which has the maximum value of 13.67 is PT. Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO), while the company which has the minimum value -13.00 is PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). The descriptive data shown above is obtained after some outliers are omitted. Before the outliers are omitted, the highest value of discretionary accrual is 469.51 which owned by PT PT. Citra Tubindo Tbk (CTBN). EFCF is the variable used to capture whether there is a relationship between free cash flow in the firms with low growth perspective with earnings management. Value of 1, 18.75% of total samples, indicates the firm with excess free cash flow and low growth perspective. Meanwhile, the value of 0, 81.25% of total samples, indicates the firms with less free cash flow and high growth perspective. According to this descriptive table, it is informed that mostly of our samples are firms with lower free cash flow and high growth perspective.
ESC is the variable to capture the relationship between shares ownership and earnings management. The proportion dummy variable with value 1 indicates that 56% of firms have greater ownership concentration than the annual median of the sample, and value of 0 indicates that 44% of firms have lower ownership concentration.
The maximum value of SIZE is 32.20 which belong to PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) with total assets in 2015 Rp 97,024,509,420. Meanwhile the minimum value is 25.63 which belong to PT Intanwijaya International Tbk (INCI) with total assets in 2012 Rp 132,278,839,080.
Leverage is to measure the proportion of debt used to fund the company. The more debt financing a company uses, the higher the financial leverage is. High debt level may lead company to breach debt covenant, credit downgrades, or even bankruptcy. The maximum value of leverage is 2.5 (250%) belongs to PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW) with total debt approximately 650 billion rupiah while the total asset is only approximately 287 billion rupiah in 2014. In the other hand, the minimum value is 0.001085 (0.11%) which belongs to PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) with total debt approximately 1.2 billion rupiah and total assets 1.1 trillion rupiah. Compare to the mean of leverage of all samples, 42.5%, PT. Jakarta Kyoei Steel Works Tbk might be considered to have very high financial risk.
CF is the variable to measure the level of high cash flow by subtracting the cash flow of firm and the annual median of the sample, divided by total assets year t-1. The maximum value of cash flow is 0.39 belongs to PT Pan Brothers (PBRX) in 2012 and the lowest is -0.16 belongs to PBRX as well in 2015. The higher level of cash flow might tend to use discretionary accruals to smooth income in order to meet analyst’s projection.
Absolute Accrual (AB_TACC) indicates the total value of accruals within net income. The maximum value of total accrual is 0.45 which might indicate that 45% of net income is containing accruals. PT Panasia Indo Resources Tbk in 2013 owns the maximum value of total accrual. Accruals itself is the amount you are yet to pay or receive. Meanwhile, the minimum value of total accrual is 0.000107 which indicates that there is very small percentage of accrual. The minimum value of total accrual owned by PT Nipress Tbk in 2012. This is also marked by the lower level of leverage which is only 5%, and value of discretionary accruals is -10.97.
IFRS and IFRS*EFCF are the variable used to see whether the implementation of IFRS in accounting discretions is more being used every year. The enhancement of accounting information is believed to be aligned with the implementation of IFRS.
AQ refers to audit quality which aims to capture whether there is influence to earnings management between companies audited by big four accounting firms and non big four accounting firms. 55.56% of total samples is audited by big four accounting firms, and the remaining samples are audited by non big four accounting firms. It is wished that the audit
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
390
quality will reduce the earnings management intention since it is believed that better audit quality report is resulted from big four accounting firms.
The Influence of Free Cash Flow to Earnings Management
The result of regression shows the Prob t-test of our independent variable, which is
free cash flow (EFCF) 0.3404. The value of Prob t-test indicates whether the independent variable significantly influence the dependent variable. It gives significant influence if the value of Prob two-tailed is lower than alpha. In here, the Prob two-tailed value of EFCF is 0.3404 which is higher than 0.05 (α = 5%). This means that the independent variable, EFCF, does not have any significant influence to earnings management by means of discretionary accruals.
Variable Coeffici
ent Std. Error t-Statistic Prob.
EFCF 3.51489
9 3.675171 0.956391 0.3404
ESC -0.01368
0
0.925292 -0.014785 0.9882
**SIZE 0.687716
0.325617 2.112041 0.0363
LEV 0.577683
1.174836 0.491714 0.6236
CF -10.1909
0
7.618932 -1.337576 0.1831
AB_TACC 4.298915
7.327211 0.586706 0.5583
***IFRS 1.811632
0.413281 4.383534 0.0000
IFRS_X_EFCF -0.97963
9
0.970371 -1.009551 0.3143
*AQ -1.78953
0
0.992447 -1.803149 0.0734
C -22.4825
0
9.213022 -2.440296 0.0158
R-squared 0.17097
9 Mean dependent var
3.138479
Adjusted R-
squared
0.121238
S.D. dependent var 5.577197
S.E. of regression 5.228192
Akaike info criterion
6.206470
Sum squared
resid
4100.099
Schwarz criterion 6.398668
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
391
Log likelihood -486.517
6
Hannan-Quinn criter.
6.284515
F-statistic 3.437377
Durbin-Watson stat 1.941046
Prob(F-statistic) 0.000709
Table 3. Regression Result
The result of our finding is on the contrary with several previous researches. Cardoso
et al (2014) and Bundhia’s (2012) findings show that firm with high level of free cash flow and low growth perspective tends to engage in earnings management by means of discretionary accruals. Their findings show the positive relationship between free cash flow and earnings management. Meanwhile, the result of our finding also bears a positive relationship between free cash flow and earnings management. Which might indicate that there is possibility of firms with high free cash flow and low growth perspective in Indonesia to engage in earnings management? However excess of free cash flow itself does not significantly influence the discretionary accruals. Positive relationship shows that the firms with high free cash flow and low growth perspective have possibility to engage in earnings management. The positive coefficient explains when the coefficient increase by value of 1, the discretionary accruals is also increase. Nevertheless, there is no significant influence between EFCF and DA eventhough positive relationship is shown. Bottom line, that EFCF does not significantly influence the discretionary accruals.
In order to support our finding, we refer to Rusmin et al’s (2014) research which aims to investigate the same issues, whether firms with higher level of free cash flow and low growth perspective are related to earnings management. The study focuses on companies listed in Indonesian Stock Exchange, Bursa Malaysia, and Singapore Stock Exchange. The result of the study does support the hypothesis that firms with high free cash flow and low growth perspectives tend to manage their earnings. However, this relationship found only in firms listed in Bursa Malaysia, and partially in Singapore. Yet, the relationship is not valid for firms listed in Indonesia Stock Exchange. The result conducted by Rusmin et al (2014) supports the finding of this research that it is not found any significant influence between free cash flow and earnings management in Indonesia. Another research by Selahudin et al (2014) was also conducted to examine the relationship between earnings management and leverage, financial distress, and free cash flow in Malaysia and Thailand. The finding of the research is free cash flow does not significantly affect the earnings management in Malaysia as well as in Thailand.
Eversince a research to seek for relationship between free cash flow and earnings management is rarely done in Indonesia, therefore the possible explanation is that the agency problems rise in every country might be different, and another factor such as organisation culture and factors related country of origin may affect the manager’s behaviour. As our research is closely related to agency problem where Jensen & Meckling (1976) suggest that the conflict arises when both agent and principle seek to maximise their own wealth, thus it is reasonable if agent acts for their own interest at the expense of principal. Hence, in its free cash flow theory, Jensen (1986) in Cardoso et al (2014) said that dividend payment is one major conflict in agency problem. Instead of paying dividend to shareholders, the manager will try to invest the money in negative net present value in order to maintain their power over the available resources. Maintaining their power same as maintaining their position in a firm. Earnings management plays role to camouflage the impact of negative investment by
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
392
having discretion over accrual to present smoother financial reports to shareholders in exchange of unpaid dividend.
Responding to this issue, Bae et al (2012) suggest that cultural aspects are suggested as possible reasons to explain the cross-country differences in dividend distribution policy. Another study conducted by Baker & Powell (2012) regarding dividend policy in Indonesia, presents findings that managers view dividend distribution is one of the most important determinant for earnings stability and the level of current and future earnings. The managers also believe that dividend payment has significant influence on stock prices and thus the effect of dividends payment is also becomes the important determinant of a firm market value. The evidence shows that managers of Indonesia firms perceive that dividend policy affects the firm value. In addition, information asymmetry exist between management and shareholders is also believed to be other determinant for dividend policy since dividend payment may be perceived as a signal of future profitability of a firm (Breurer, Rieger, & Soypak, 2014).
Compare to Jensen’s theory regarding dividend distribution as one of major agency problem faced by firms with high free cash flow, from this research findings we can conclude that dividend distribution matters for the sake of the firm value and thus it might minimise the possibility of agency problem happens in firm with high free cash flow as predicted by Jensen in Cordoso et al (2014) and Bundhia (2012). In regards with this finding, the data of dividend payment extracted by the researcher shows a stable dividend payment from 2012 to 2015 of forty manufacturing companies in Indonesia in point of 50%. The dividend payment data is presented in the appendix table 4.3.4.1. In addition, after we do a data processing to obtain the number of firms with high free cash flow and low growth perspective, we found that only 18.75% from total sample forty companies which marked as firms with high level of free cash flow and low growth perspective. The data can be seen in table 4.2.1 descriptive statistic in appendix. Thus, we might draw a conclusion that a firm with high free cash flow is also take account for dividend payment. At the same time, this might explain why there is no significant influence between free cash flow and earnings management since mostly dividend is distributed to shareholders.
Taking all of these into account, the hypothesis of this result is rejected that there is no significant relationship between firms with excess of free cash flow and low growth perspective towards discretionary accruals by means of earnings management.
The Influence of Control Variables to Earnings Management
There are three variables controls which found to be significantly influence earnings
management. The first control variable is SIZE which positive and significant at 5%. The positive relationship between SIZE and DA by means of earnings management indicates that the bigger size of a firm, the higher possibility of a firm to engage in earnings management. This finding is as predicted by Cardoso et al (2014) and Swastika (2013). Relationship between firm size and earnings management suggested that larger firms are usually under pressure of capital market monitoring and thus show more tendency towards earnings management (Lusi & Swastika, 2013). Consistently, Barton and Simko (2002) in Cardoso et al (2014) indicate that larger firms encounter higher pressure on meeting or beating the analyst’s expectations. Large firms usually have higher current assets which turn to give discretion to manage earnings. Hence, larger company has probability to lower its profit in order to evade the control from government and reduce political cost.
The variable of IFRS is also positive and significant at 1%. Unlike the research conducted by Cordoso et al (2014) which expect a negative relationship between IFRS and earnings management, our research results a positive relationship which means that the
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
393
implementation of IFRS in subsequent years do not significantly reduce earnings management. Thus a reasonable implementation is that since IFRS is implemented, manager has flexibility in accounting options to have discretion over accruals accounts. This result is in line with the arguments raised by Jeanjean & Stolowy (2008) that there is evidence that accounting standards give only few and limited contribution in determining the quality of financial reporting. They said that the implementation of accounting standard involves reasonable judgment and the use of private or insider information, and as a result, IFRS may provide managers with substantial discretion. How far this discretion might be used depends on the firm’s culture and characteristics (Jeanjean & Stolowy, 2008).
Another variable found to be significant is audit quality (AQ). It is negative and significant at 10%. It is in line with the finding from Lin & Hwang (2010) who found significant and negative relationship between audit quality and earnings management. It’s consistent with a theory when auditor provides better audit quality report, earnings management is less likely. This finding also supported by recent research done by Chee at al (2016) who found that audit quality significantly influences the earnings management in Malaysia.
The other variable such as shareholders concentration, leverage, total accrual, cash flow, and interaction between IFRS and free cash flow do not have any significant influence to earnings management. The shareholders concentration (ESC) bears negative relationship to earnings management, which means that the greater shares ownership a management has the lower possibility of earnings management. This finding is in line with Cardoso et al (2014). Leverage also does not significantly influence the earnings management as Ardison et al (2012) research result that found no significant influence between leverage and earnings management. The possible explanation the higher leverage leads to higher financial risk of a firm. Higher financial risk leads to a higher chance of a firm to breach debt covenant, and thus earnings management plays a role in order for a firm to avoid breaching debt covenant. However, there is a moderator variable which is debt covenant which might be more related to leverage. Therefore, perhaps the relationship between leverage and earnings management is clearer when relationship between leverage and debt covenant is observed as well. In addition according to Ardison et al (2012), there is beneficial consequence of debt because the increased debt might reduce manager’s discretionary spending, and in turn, reduce earnings management.
Total accrual also does not have any significant influence over discretionary accruals. However, it bears a positive relationship between total accruals and discretionary accruals, means that when total accruals increase by value of one, the possibility of earnings management is also higher as Chung et al (2005) and Bhundia (2012) predicted.
Cash flow as well as the other control variables, does not have any significant influence over earnings management. Our result shows that greater cash flow tend to reduce earnings management. A plausible explanation might be a firm with higher level of cash flow does not always reinvest their money in unprofitable project. The management might raise more concern on dividend distribution to shareholders or investing the cash to expand the firm or buy new assets.
Conclusion
One of major problem may be faced by every company is agency problem. According
to Jensen and Meckling (1986), agency problem happens when both management and principal are in their own interest to maximise their own wealth. Thus, there is a reason not to believe that management always act on behalf of the shareholders. Jensen suggest that dividend distribution is one of the most often meet agency problem in a company since by
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
394
distributing the dividend, the available resource in cash of a firm is decreasing, and while managers would like to maintain their position and power in a company, instead of paying dividend, they try to invest the available resource in negative present value project by promising the shareholders higher return in the future. However, keeping the promise of giving higher return to investors is not that easy when manager invest in unpromising investment. Therefore, in order to camouflage the impact of negative investment, earnings management plays role to allow manager having discretion over accruals to present better financial report to the investors. In this study, the researcher would like to investigate whether firm with high free cash flow and low growth perspective are more often engage in earnings management behaviour along with several control variables included to enrich the research. Our results show that there is no significant influence between higher level of free cash flow and low growth perspective to earnings management. However, we found a positive relationship between free cash flow and discretionary accruals by means of earnings management as other previous researches did. A positive relationship tells us that the higher level of free cash flow, the higher possibility of a firm to engage in earnings management. In Indonesia, we found it to be insignificant eventhough a positive relationship is shown. Possible explanation might be a different type of agency problem, dividend policy and organisation culture a cross-country. In addition, several control variables such as SIZE, IFRS and AQ (Audit Quality) are found to be significant. Means that these three control variables have significant influence to discretionary accruals by means of earnings management.
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
395
References
Ardison, K.M.M., Martinez, A.l., Galdi, FC. (2012), “The effect of leverage on earnings management in Brazil”, Journal of Scientific and Appiled Accounting, Vol 5, No. 3, pp. 305-324. Bae, S.C., Chang, K., and Kang, E. (2012), “Culture, corporate governance, and dividend policy: international evidence”, Journal of Finance Research, Vol 35, pp. 298-316. Balachandran, M. (2015, April 9). The Satyam scandal: How India's biggest corporate fraud unfolded. India. Bukit, R.Br. and Iskandar, J.M. (2009), “Surplus free cash flow, earnings management and audit committee”, International Journal of Economics and Management, Vol. 3 No. 1, pp. 204-223. Baker, H.K. and Powell, G.E. (2012), “Dividend policy in Indonesia: survey evidence from executives”, Journal of Asia Business Studies, Vol 6 No.1, pp. 79-92 Bhundia, A. (2012). A comparative study between free cash flow and earnings management. Nikhili, M., Amar, I. F., Chtioui, T., & Lakhal, F. (2016). Free cash flow and earnings management: the moderating role of governance and ownership. The Journal of
Applied Business Research , 32. Breurer, W., Rieger, O., & Soypak, C. (2014). The behavioral foundations of corporate dividend policy: a cross-country analysis (Vol. 42). Elsevier. Bukit, Rina. and Nasution, Fahmi N. (2015), “Employee diff, free cash flow, corporate governance, and earnings management”, Journal of Social and Behavioral Sciences, Vol. 211, pp. 585-594. Cardoso, F. T., Martinez, A. L., & Teixeira, A. J. (2014). Free Cash Flow and Earnings Managemetn in Brazil: The negative side of financial slack. Global Journal of
Management and Business Research: Accounting and Auditing , 14. Bukit, R. B., & Iskandar, T. M. (2009). surplus free cash flow, earnings managemement, and audit committee. International Journal of Economics and Management .
Chee, H.K., Phua, L.K., Yau, D.L.I. (2016), “The relationship between audit quality, board of independence and audit committee independence on earnings management before and after full convergence of IFRS”, Journal of Social Science, Vol. 11 No. 20, pp. 4902- 4906. Chung, R., Firth, M., & Kim, J.-B. (2005). Earnings management, surplus free cash flow, and external monitoring. Journal of Business Research , 58, 766-776. Cornett, M.M., Marcus, A.J., Tehranian, H. (2008), “Corporate governance and pay-for- performance: The impact of earnings management”, Journal of Financial
Economics,Vol. 87, pp.357-373.
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
396
Dechow, P.M., Sloan, R.G. and Sweeney, A.P. (1995), “Detecting earnings management”, The Accounting Review, Vol. 70 No. 2, pp. 193-225. Dechow, P. M. (1994). Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of Accounting Accruals. Journal of Accounting & Economics , 18, 3-42. Francis, J., Nanda, D., & Olsson, P. (2008). Volentary disclosure, earning quality and cost of capital. Journal of accounting research , 46 no 1, 53-99. Ghozali, I. (2013). Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Semarang, Central Java, Indonesia: Universitas Diponegoro. Gorganlidavaji, J., & Vakilifard, H. (2014). The Effect of Firm Size and Growth
Opportunity on Accounting Discretion and Its Relationship with Future Stock Return. European Online Journal of Natural and Social Sciences , 3 , 511-521.
Hair J. F., Black, W.C., Babin, Barry J., Anderson, R.E. (2009). Multivariate Data Analysis. Prentice Hall. Healy, P.M. and Palepu, K.G. (1990), “Effectiveness of accounting-based dividend covenants”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 12 Nos 1/3, pp. 97-123. Healy, P. M., & Wahlen, J. M. (1999). A review of the earnings management literature and its implications for standard setting. Accounting Horizons , 13 No 4, 365-383. Healy, P. M. (1985), The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions, Journal of
Accounting and Economics, vol. 7, no.3, page 85-107; Jensen, M.C. (1986), “Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers”, American Economics Review, Vol. 76 No. 2, pp. 323-329. Jeanjean, T., & Stolowy, H. (2008). Do accounting standards matter? An exploratory analysis of earnings management before and after IFRS adoption. Journal of account.public
policy , 27, 480-494. Jiraporn, P., Kim, Y., & Mathur, I. (2008). Does Corporate Diversification Exacerbate or Mitigate Earnings Managament?: An empirical analysis. International review of financial analysis , 17 no 5, 1087-1109. Kim, Y., Liu, C., & Rhee, S. (2003). The Effect of Firm Size on Earnings Management. University of Hawai'i, College of Business Administration. Kouki, M., Elkhaldi, A., Atri, H., & Souid, S. (2011). Does Corporate Governance Constrain Earnings Management? Evidence from US Firms.
European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences , 35. Krishnan, G. (2003). Does big 6 auditor industry expertise constrain earnings management? Accounting Horizons , 17, 1-16.
Marika Suma Raya Sembiring Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Kathleen Kusuma Nugroho Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
397
Lin, J. W., & Hwang, M. I. (2010). Audit quality, corporate governance, and earnings management: A meta-analysis. International Journal of Auditing , 14, 57-77. Lusi, D., Swastika, T. (2013). Corporate Governance, Firm Size, and Earning Management: Evidence in Indonesia Stock Exchange. Journal of Business and Management. Vo. 10(4), 77- 82. Nikhili, M., Amar, I. F., Chtioui, T., & Lakhal, F. (2016). Free cash flow and earnings management: the moderating role of governance and ownership. The Journal of
Applied Business Research , 32. Roychowdhury, S. (2006). Earnings Management through real activities manipulation. Journal of Accounting and Economics , 42, 335-370. Rusmin Rusmin Emita W. Astami Bambang Hartadi , (2014),"The impact of surplus free c ash flow and audit quality on earnings management", Asian Review of Accounting,
Vol. 22 Iss 3 pp. 217 – 232. Sarwono, J. (2016). Prosedur-prosedur analisis populer aplikasi riset skripsi dan tesis dengan Eviews. Gava Media. Selahudin, N.F., Zakaria, N.B., Sanusi, Z.M. and Budsaratragoon, P. (2014), “Monitoring financial risk ratios and earnings management: evidence from Malaysia and Thailand”, Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 14, pp. 51-60. S.Soderstrom, N., & Sun, K. J. (2007). IFRS Adoption and Accounting Quality: A Review. European Accounting Review , 16, 675-702. Sidney Davidson, J. S. (1987). Accounting Magic. In J. S. Sidney Davidson, Accounting: The
Language of Business (10th Edition ed.). Sun Lakes Arizona: Thomas Horton and Daughter. Ujah, N. U., & Brusa., J. (2014). Earnings Management, Financial Leverage, and Cash Flow Volatilation: An analysis by Industry. Journal of Business and Economics , 5 No 3, 338-348. Wang, Y. S., & Huang, P. C. Earnings Manipulation and Profitability. University of Science and Technology, Taiwan, Department of Money and Banking, National Kaohsiung First, Taiwan. Watts, R.L. and Zimmerman, J.L. (1986), Positive Accounting Theory, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ. Watts, R. L., & Zimmerman, J. L. (1990). Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective. The Accounting Review , 65, 131-156. Widyaningdyah, A. U. (2001). Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earnings management pada perusahaan go public di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan , 3, 89 - 101.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
398
KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP
BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA
KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KINERJA PEGAWAI
( Studi pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang )
Prima Kartika Sari
Euis Soliha
Alumni Pascasarjana
Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Stikubank Semarang
Email: [email protected]
Abstract
This study aimed to analyze the effect of transformational leadership style to the
organizational commitment, transformational leadership style to organizational citizenship
behavior, organizational commitment on organizational citizenship behavior, organizational
commitment to employee performance, transformational leadership style on employee
performance and organizational citizenship behavior on employee performance. The sample
used in this research is census method, the number of respondents was 103 employees at
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Data testing techniques used include
test the validity of factor analysis, reliability test with Cronbach alpha formula, multiple
regression analysis to validate the research hypothesis and test the mediation. From the test
results show the transformational leadership style positive and significant effect on
organizational commitment. Transformational leadership positive and significant effect on
organizational citizenship behavior. Organizational commitment has no effect on
organizational citizenship behavior. Organizational commitment positive and significant
effect on employee performance. Transformational leadership style has no effect on employee
performance. Organizational citizenship behavior positive and significant impact on
employee performance. Organizational commitment and organizational citizenship behavior
perfect mediate the effect of transformational leadership style on employee performance.
Keywords: Transformational Leadership Style, Organizational Commitment, Organizational
Citizenship Behavior, Employee Performance.
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan
trnsformasional terhadap komitmen organisasional, gaya kepemimpinan transformasional
terhadap organizational citizenship behavior, komitmen organisasional terhadap
organizational citizenship behavior, komitmen organisasional terhadap kinerja pegawai, gaya
kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai, dan organizational citizenship
behavior terhadap kinerja pegawai. Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode sensus, dengan jumlah responden sebanyak 103 orang pegawai di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Teknik pengujian data yang digunakan
meliputi uji validitas dengan analisis factor, uji reliabilitas dengan rumus alpha cronbach,
analisis regresi berganda untuk membuktikan kebenaran hipotesis penelitian serta uji mediasi.
Dari hasil pengujian menunjukkan gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif
dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Gaya kepemimpinan transformasional
berpengaruh positif dan signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Komitmen
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
399
organisasional tidak berpengaruh terhadap organizational citizenship behavior. Komitmen
organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Gaya
kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Organizational
citizenship behavior berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Komitmen
organisasional dan organizational citizenship behavior memediasi sempurna pengaruh gaya
kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai.
Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional,
Organizational Citizenship Behavior, Kinerja Pegawai
Pendahuluan
Gaya kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena
tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Jika seorang
pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu
memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat
mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Perilaku seorang
pemimpin memiliki dampak yang besar, terkait dengan sikap bawahan, perilaku bawahan
yang akhirnya pada kinerja.
Gaya kepemimpinan merupakan faktor penting dalam memberikan pengarahan kepada
karyawan apalagi pada saat-saat sekarang ini di mana semua serba terbuka, maka
kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang bisa memberdayakan
karyawannya. Kepemimpinan yang bisa menumbuhkan motivasi kerja karyawan adalah
kepemimpinan yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri para karyawan dalam menjalankan
tugasnya masing-masing.
Peran pemimpin dalam segala situasi organisasi merupakan suatu faktor yang sangat
strategis. Sampai saat ini penelitian-penelitian banyak dilakukan oleh ilmuwan sebagai salah
satu upaya peningkatan efisiensi, dan efektivitas kerja organisasi. Pemimpin harus dapat
menyampaikan visi dan misi organisasi secara persuasif dengan bahasa yang mudah
dipahami dan dimengerti agar kinerjanya meningkat. Menurut Robbins (2008), bahwa
keberhasilan suatu orgasnisasi dalam pencapaian tujuan melalui usaha menggerakkan orang
lain dalam organisasi atau instansi tidak terlepas dari kapasitas, peranan, perilaku, dan
karakteristik seseorang pimpinan.
Isu yang muncul terkait dengan otonomi daerah adalah bagaimana kemampuan
Pemerintah Daerah dilihat dari sumber daya manusia aparatnya mampu mewadahi aktivitas
pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan. Banyak daerah yang mengakui bahwa
kemampuan sumber daya manusia aparaturnya masih perlu ditingkatkan. Pemerintah akhir –
akhir ini memberikan perhatian yang besar pada upaya-upaya peningkatan kompetensi
aparatur dalam melaksanakan tugas–tugasnya, yakni memberikan pelayanan yang sebaik-
baiknya kepada rakyat sesuai perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat.
Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting dari keberhasilan
atau kegagalan organisasi. Demikian juga keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi baik
yang berorientasi bisnis maupun publik, biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau
kegagalan pemimpin. Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga isu mengenai pemimpin
menjadi faktor yang menarik perhatian para peneliti bidang perilaku keorganisasian. Hal ini
akan membawa konsistensi bahwa setiap pemimpin berkewajiban memberikan perhatian
yang sungguh-sungguh untuk membina, menggerakkan, mengarahkan semua potensi pegawai
di lingkungannya agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan
Beberapa fenomena yang dihadapi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang yaitu: banyak para pegawai menganggap sukses organisasi tidak tergantung pada
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
400
pimpinannya saja, tetapi keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi tetap diperlukan
sebagai penentu kebijakan; banyak para pegawai menganggap pelatihan kurang penting
disebabkan menyita waktu tugas harian, padahal pelatihan berguna untuk meningkatkan
kompetensi pegawai; distribusi pekerjaan yang ada tidak merata sehingga tingkat kinerja
masing-masing pegawai tidak berimbang.
Permasalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: apakah Gaya Kepemimpinan
Transformasional berpengaruh terhadap Komitmen Organisasional pada Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Gaya Kepemimpinan Transformasional
berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap
Organizational Citizenship Behavior OCB pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang; apakah Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap Kinerja pada Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Gaya Kepemimpinan
Transformasional berpengaruh terhadap Kinerja pada Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Rembang; apakah Organizational Citizenship Behavior (OCB) berpengaruh
terhadap Kinerja pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang?
Landasan Teori Dan Pengembangan Hipotesis
1. Kepemimpinan Transformasional
Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan, selain
melahirkan definisi kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori kepemimpinan yang
beragam pula. Setiap pendekatan yang digunakan melahirkan berbagai macam teori
kepemimpinan. Luthans (2006) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses,
kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapai tujuan, interaksi,
perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut.
Menurut Rivai dan Mulyadi (2012) kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang
lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota
kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan
untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat sifat umum yang
mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu: (1) kecerdasan,
(2) kedewasaan, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap hubungan
kemanusiaan.
James MacGregor Burns dalam Luthans (2006) mengidentifikasikan dua jenis
kepemimpinan politis, yaitu transaksional hubungan pertukaran antara pemimpin dan
pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan
kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah
resep bagi keadaan seimbang, sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan
menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan.
Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006)
1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha yang
dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian atau
prestasi.
2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu:mengawasi dan mencari pelanggaran
terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif.
3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika standar tidak
dipenuhi.
4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
401
Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpinan transformasional yaitu
(Luthans,2006)
1) Karisma, yaitu: memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan
respek dan kepercayaan.
2) Inspirasi, yaitu: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol-simbol
untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang
sederhana.
3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah
secara hati-hati.
4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi,
memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati.
2. Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional didefinisikan oleh Durkin dan Bennet (1999) sebagai
perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam
hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya percapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut.
Luthans (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasional merupakan sikap yang
menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang
anggota organisasi mengepresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan
organisasinya. Lebih lanjut sikap loyalitas ini diindikasikan dengan tiga hal, yaitu (1)
keinginan kuat seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasinya; (2) kemauan untuk
mengerahkan usahanya untuk organisasi; (3) keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasional akan membuat pekerja
memberikan yang terbaik kepada organisasi tempat dia bekerja. Pekerja dengan komitmen
yang tinggi akan lebih berorientasi pada kerja. pekerja yang memiliki komitmen
organisasional tinggi akan cenderung senang membantu dan dapat bekerjasama.
Curtis dan Wright (2001) mengemukakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai
kekuatan identifikasi individu yang berada dalam sebuah organisasi. Jika seseorang memiliki
komitmen untuk organisasi, ia akan memiliki identifikasi yang kuat dengan organisasi, ia
akan memiliki identifikasi yang kuat dengan organisasi, memiliki nilai-nilai keanggotaan,
setuju dengan tujuan dan sistem nilai, kemungkinan akan tetap di dalamnya, dan akhirnya,
siap untuk bekerja keras demi organisasinya.
John dan Taylor (1999); Allen dan Meyer (1991); Sopiah (2008) mengemukakan
suatu model anteseden (faktor-faktor yang mendahului) dari komitmen organisasional yaitu :
1) Karakteristik Pribadi
Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen
organisasional yaitu usia dan masa kerja, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan jenis
kelamin.
2) Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan merupakan posisi pekerjaan, yaitu karakteristik yang berkaitan
dengan peran, self-employment, otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta
tingkat kesulitan dalam pekerjaan.
3) Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang mempunyai
pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan organisasi.
4) Karakteristik Struktural
Karakteristik struktural adalah karakteristik yang dikembangkan untuk meningkatkan
komitmen individu kepada organisasi, meliputi kemajuan karis dan peluang promosi di
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
402
masa yang akan datang, besar atau kecilnya organisasi, bentuk organisasi, dan tingkat
pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan.
Tett dan Meyer (1993); Meyer et al (2002); Karatus dan Aslan (2008); Luthans (2008);
Aydogdu dan Asikgil (2011) mengemukakan tiga dimensi dari komitmen organisasional yaitu
sebagai berikut:
1) Komitmen efektif (affective comitment)
Komitmen afektif adalah keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan seorang
karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila
pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan
kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Komitmen efektif menunjukkan kuatnya keinginan
seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan
organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya. Karyawan yang mempunyai
komitmen efektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi karena mereka menginginkan
untuk bekerja pada organisasi itu.
2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment)
Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang didasarkan pada
pertimbangan apa yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi dan kerugian yang
akan diperoleh karyawan jika tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi. Tindakan
meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berisiko tinggi karena karyawan merasa
takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada tanamkan pada organisasi
itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya. Karyawan yang
mempunyai komitmen kontinuan yang tinggi akan berada dalam organisasi karena mereka
memang membutuhkan untuk bekerja pada organisasi itu.
3) Komitmen normatif (normative commiment)
Komitmen normatif merupakan komitmen karyawan terhadap organisasinya karena
kewajibannya untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis, atau
dengan kata lain keyakinan yang memiliki karyawan tentang tanggung jawabnya terhadap
organisasi. Tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Komitmen ini
berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam
organisasi. Oleh karena itu, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi akan
bertahan dalam organisasi karena merasa wajib atau sudah seharusnya untuk loyal kepada
organisasi tersebut.
3. Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi,
terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan
bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta(3) melakukan
aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori
terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB)
Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak
menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung
berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2009) menyatakan
bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan
kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan
imbalan apapun.
Kumar et al (2009) mendifinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan
kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem
reward organisasi. Kumat et al (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan :
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
403
1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlakukan, oleh karena
itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku
tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut.
2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak
secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal
organisasi.
3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun
menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja.
4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan
organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara
keseluruhan.
Organ et al (2006) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat
bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari
sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan
efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut
tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut
berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal, Organ et al
(2006) menguraikan definisi tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut :
1) Perilaku individu yang bebas.
Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks
tertentu bukan merupakan persyaratan muthak yang tercantum dalam deskripsi
pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan
setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB
atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempratekkan
perilaku tersebut.
2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal.
Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman,
pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara
tertulis. Ketika berbagai tuntutan tersebut dicantumkan dalam diskripsi
pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka
memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Dalam hal ini bukan
berarti perilaku yang termasuk OCB tidak akan mendapatkan penghargaan sama
sekali. Sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang
dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam
mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan
kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh
atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan
atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Organ et al. Menyatakan bahwa
perbedaan penting yang mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang
diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam
kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat
alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan
imbalan tersebut.
3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi.
Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada
setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas.
Organ et al, mengungkapkan bahwa beberapa penelitian mengenai OCB secara
umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi
seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan
pendapatan.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
404
OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi,
terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al (2000), OCB mempengaruhi
keefektifan organisasi karena beberapa alasan: (1) OCB dapat membantu meningkatkan
produktivitas rekan kerja; (2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial;
(3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuan-
tujuan produktif; (4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber
daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan; (5) OCB dapat
dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggota-
anggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja; (6) OCB dapat meningkatkan kemampuan
organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal; (7)
OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi; (8) OCB dapat meningkatkan
kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan
lingkungannya.
Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif berupa
kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya:
1) Disposisi individu dan motif individu
Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity,
conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control memainkan peranan
penting dalam menentukan tingkat OCB yang ditampilkan oleh pegawai. Selain
disposisi individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik
untuk menunjukkan OCB.
2) Kohesivitas kelompok
Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam
pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku
pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB yang
bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi kuat dan
efektif.
3) Sikap Pegawai
OCB tergantung pada sikap positif karyawan terhadap pekerjaan mereka serta
terhadap organisasi, yang meliputi:
a. Komitmen Organisasi
Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi mempengaruhi timbulnya
OCB. Tingginya tingkat komitmen organisasi tercermin dalam keterlibatan
pegawai dalam permasalahan organisasi di luar penugasan secara umum.
b. Kepuasan Kerja
Berbagai studi menunjukkan hubungan yang potitif antara kepuasan kerja
dengan OCB
4) Pegawai yang paling mungkin terlibat dalam OCB adalah dalam kondisi manajer
menampilkan perilaku kepemimpinan transformasional seperti mempunyai visi,
menjadi teladan, menyegarkan intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan
harapan kinerja yang tinggi. Jelas sekali bahwa perhatian pada munculnya OCB
pegawai tergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan dalam
organisasi.
5) Keadilan Organisasi
Keadilan organisasi mencerminkan sejauh mana pegawai merasa diperlakukan
adil oleh organisasi. Organisasi yang mengikuti prinsip-prinsip umum keadilan
organisasi akan memastikan bahwa keadilan distributif, keadilan prosedural, dan
keadilan interaksional telah memiliki ukuran yang baik dalam organisasi.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
405
Masing-masing komponen dalam keadilan organisasi memberikan kontribusi
yang sangat penting dalam membentuk OCB pegawai dalam organisasi.
4. Kinerja
a. Pengertian Kinerja
Hani Handoko (2002) mengistilahkan kinerja (performance) dengan prestasi kerja
yaitu proses melalui mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan.
Gibson (2009) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait
dengan tujuan organisasi seperti kualitas dan kuantitas. Kualitas kerja dinilai dari tanggung
jawab dan inisiatif yang dimiliki oleh pegawai dalam menyelesaikan tugasnya sedangkan
kuantitas kerja dapat dinilai dari target capaian kerja dan ketepatan waktu dalam penyelesaian
pekerjaan.
Hasil kerja seseorang akan memberikan umpan balik bagi orang itu sendiri untuk
selalu aktif melakukan pekerjaannya secara baik dan diharapkan akan menghasilkan mutu
pekerjaan yang baik pula. Pendidikan mempengaruhi kinerja seseorang karena dapat
memberikan wawasan yang lebih luas untuk berinisiatif dan berinovasi dan selanjutnya
berpengaruh terhadap kinerjanya.
Sopiah (2008) menyatakan lingkungan juga bisa mempengaruhi kinerja seseorang.
Situasi lingkungan yang kondusif, misalnya dukungan dari atasan, teman kerja, sarana dan
prasarana yang memadai akan menciptaka kenyamanan tersendiri dan akan memacu kinerja
yang baik. Sebaliknya, suasana kerja yang tidak nyaman karena sarana dan prasarana yang
tidak memadai, tidak adanya dukungan dari atasan, dan banyak terjadi konflik akan memberi
dampak negatif yang mengakibatkan kemerosotan pada kinerja seseorang.
b. Penilaian Kinerja
Penilaian kinerja (performance appraisal) memainkan peranan yang sangat penting
dalam peningkatan motivasi di tempat kerja. Karyawan menginginkan dan memerlukan
balikan berkenaan dengan prestasi mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk
memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan standar, maka penilaian
memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana
peningkatan kinerja. Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan prestasi aktual
karyawan dengan prestasi kerja dengan yang diharapkan darinya (Dessler 2000).
Dalam penilaian kinerja karyawan tidak hanya menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan
pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja,
kerajinan, kedisiplinan, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level
pekerjaan yang dijabatnya.
Menurt Dessler (2000) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu:
1. Prestasi pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, keterampilan, dan penerimaan
keluaran
2. Kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi
3. Kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan atau perbaikan
4. Kedisiplinan, meliputi: kehadiran, sanksi, warkat, regulasi, dapat dipercaya/
diandalkan dan ketepatan waktu
5. Komunikasi, meliputi: hubungan antar karyawan maupun dengan pimpinan, media
komunikasi.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
406
Menurut Hani Handoko (2002) pengukuran kinerja adalah usaha untuk merencanakan
dan mengontrol proses pengelolaan pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan
yang telah ditetapkan, penilaian prestasi kerja juga merupakan proses mengevaluasi dan
menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu atau untuk memprediksi prestasi kerja di
waktu yang akan datang dalam suatu organisasi.
Hani Handoko (2002) menyebutkan bahwa penilaian kinerja terdiri dari 3 kriteria,
yaitu :
1. Penilaian berdasarkan hasil yaitu penilaian yang didasarkan adanya target-target dan
ukurannya spesifik serta dapat diukur.
2. Penilaian berdasarkan perilaku yaitu penilaian perilaku-perilaku yang berkaitan dengan
pekerjaan.
.
Model Penelitian
Y1 = a 1 + b 1 X 1 + e1 (1)
Y2 = a 2 + b 2 X 1 + b 3 Y 1 + e2 (2)
Y3 = a3 + b 4 Y 1 + b5 X1 + b6 Y2 + e3 (3)
Keterangan :
Y3 = Kinerja Pegawai
X 1 = Kepemiminan Transformasional
Y1 = Komitmen Organisasional
Y2 = OCB
a 1-3 = konstanta
b 1-5 = koefisien regresi
e = standar error
Hubungan Antar Variabel
a. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Komitmen Organisasi
Kepemimpinan Transformasional menyangkut nilai-nilai yang relevan bagi proses
pertukaran seperti: kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan pertukaran imbalan (Burns,
1978). Untuk menghubungkan pemimpin dengan bawahannya diperlukan gaya
Karakteristik
Individu
(X1)
Motivasi
(Y1)
Kepuasan
(Y2)
Kinerja Pegawai
(Y3)
1
2
3
4
5
6
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
407
kepemimpinan sehingga akan membentuk suatu hubungan bawahan dengan organisasi dan
mempunyai implikasi dalam keputusan bawahan untuk meneruskan atau tidak meneruskan
hubungannya dalam organisasi. Komitmen organisasi sebagai kekuatan dari identifikasi
intividu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk menggunakan upaya yang sungguh-sungguh
untuk kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam
organisasi.
Hasil penelitian Kaihatu dan Rini (2007) menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan hipotesis 1 sebagai berikut:
Hipotesis 1: Gaya Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap komitmen
organisasional pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
b. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap OCB
Dalam konteks perilaku keorganisasian, perilaku ekstra peran atau perilaku baik
warga organisasi yang populer dikenal sebagai organizational citizenship behavior (OCB)
amat penting dimiliki karena turut memberikan kontribusi positif terhadap kualitas kehidupan
kerja dan kinerja organisasi pada saat organisasi diharapkan pada berbagai situasi yang
kurang kondusif dan kualitas kehidupan kerja menurun maka perilaku (OCB) perlu didukung.
Bentuk dapat diimplementasikan dalam perilaku yaitu : Altruism (perilaku membantu dengan
segera terhadap orang lain), Conscientiousness, (sikap berhati-hati/mendengarkan kata hati),
Sportmanship (sikap sportif seperti toleransi terhadap dihindari tanpa adanya komplain),
Courtesy (kesopanan seperti memberitahu yang lain dalam mencegah kejadian dalam kerja
yang menimbulkan suatu masalah), Civic virtue, (berpartisipasi dan memperhatikan
kelangsungan hidup perusahaan).
Seorang pemimpin dalam lingkungan organisasi diharapkan dapat menunjukkan
kewibawaan dan menimbulkan rasa hormat bagi pengikutnya sehingga membuat para
pengikut merasa terinspirasi untuk mengikuti dan menunjukkan perilaku ekstra peran
sebagai warga yang baik untuk mengikuti dan menunjukkan perilaku ekstra peran sebagai
warga yang baik bagi organisasinya. Keefektifan kepemimpinan akan mendorong
meningkatnya perilaku ekstra pengikutnya.
Hasil penelitian Lamidi (2008) menyatakan bahwa Kepemimpinan transformasional
berpengaruh signifikan terhadap Organization Citizenship Behavior (OCB) para dosen di
Unisri Surakarta. Semakin tinggi persepsi dosen terhadap kepemimpinan transformasional,
maka para dosen akan menunjukkan perilakuekstra peran (OCB) yang semakin tinggi.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 2 sebagai berikut:
Hipotesis 2: Gaaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap OCB pada
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
c. Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap OCB
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat timbul dari berbagai faktor dalam
organisasi, di antaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan dan komitmen
organisaasi yang tinggi (Robbin & Judge, 2007). Ketika karyawan merasakan kepuasan
terhadap pekerjaan yang dilakukannya, maka karyawan tersebut akan bekerja secara
maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya, bahkan melakukan beberapa hal yang
mungkin di luar tugasnya. Begitu juga dengan ketika seseorang mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap organisasinya, maka orang tersebut akan melakukan apapun untuk
memajukan perusahaannya karena keyakinannya terhadap organisasinya (Luthans, 1995).
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
408
Ketika seseorang mendapatkan kepuasan kerja dan mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap organisasi, karyawan akan memberikan pelayanan yang baik dan begitu juga
sebaliknya, ketika karyawan saja tidak mengalami kepuasan maka pelayanan yang diberikan
kepada konsumen, dalam hal ini para pegawai bisa tidak memuaskan. Kepuasan kerja
diartikan sebagai tanggapan emosional seseorang terhadap aspek-aspek di dalam atau pada
keseluruhan pekerjaannya (Nawawi, 1998). Keadaan emosional atau sikap seseorang
tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk tanggung jawab, perhatian, serta perkembangan
kinerjanya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 3 sebagai berikut:
Hipotesis 3: Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap OCB pada Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang.
d. Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja
Komitmen Organisasional kadang-kadang disebut komitmen kerja, mencerminkan
identifikasi dan ikatan seorang individu pada organisasi. Seseorang yang sangat
berkomitmen mungkin akan melihat dirinya sebagai anggota sejati dari sebuah perusahaan,
mengabaikan sumber ketidakpuasan kecil, dan melihat dirinya tetap sebagai anggota
organisasi. Sebaliknya, seseorang yang kurang berkomitmen lebih berkemungkinan melihat
dirinya sendiri sebagai orang luar.
Organisasi dapat melakukan beberapa hal definitif untuk meningkatkan kepuasan dan
komitmen, tetapi tersedia beberapa panduan spesifik. Untuk satu hal, jika organisasi
memperlakukan karyawannya dengan adil dan memberikan penghargaan yang masuk akal
serta keamanan kerja, karyawannya lebih berkemungkinan untuk merasa puas dan
berkomitmen.
Hasil penelitian Fakhrizal, Yunus dan Amri (2012) menyatakan bahwa komitmen
organisasi baik secara parsial maupun simultan berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas
Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 4 sebagai berikut:
Hipotesis 4: komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
e. Pengaruh Gaya Kepemimpinan Tranformasional terhadap Kinerja
Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok
dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat
dalam organisasi yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa mutu
kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat
dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam menyelenggarakan berbagai
kegiatannya terutama terlihat dalam kinerja para pegawainya (Siagian, 1999)
Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi kondisi kerja,
dimana akan berhubungan dengan bagaimana karyawan menerima suatu gaya
kepemimpinan, senang atau tidak, suka atau tidak. Di satu sisi gaya kepemimpinan tertentu
dan menyebabkan peningkatan kinerja disisi lain dapat menyebabkan penurunan kinerja.
Hasil penelitian Marjam (2010) menyatakan bahwa Kepemimpinan transformasional
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai. Penerapan kepemimpinan
transformasional yang semakin efektif, ditunjukkan dari kepuasan kerja dan kepercayaan
bawahan yang semakin tinggi, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, serta semakin
tingginya motivasi bawahan untuk meningkatkan prestasi kerja.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 5 sebagai berikut:
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
409
Hipotesis 5: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja
pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
f. Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap Kinerja
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan suatu perilaku sukarela yang
tampak dan dapat diamati. OCB merupakan suatu perilaku. Oleh karena itu, sebenarnya
OCB didasari oleh suatu motif/nilai yang dominan. Kesukarelaan dalam bentuk perilaku
bentuk tentu mencerminkan kerelaan yang sebenarnya. Memang untuk mengetahui nilai-
nilai diri karyawan tidak selalu mudah. Oleh karena itu, secara pragmatis praktek manajemen
dalam organisasi sering berorientasi pada apa yang dapat diamati yaitu perilaku.
Pembentukan perilaku pun sering didasarkan pada reward dan punishment yang bersifat
eksternal.
OCB memiliki lingkup yang luas dibandingkan dengan komitmen karyawan secara
pribadi karena arti dari citizen itu sendiri adalah kewarganegaraan sehingga memiliki
tanggung jawab dan rasa cinta terhadap pekerjaan secara sukarela dan tanpa diawali.
Perilaku OCB tidak terdapat pada job description karyawan, tetapi sangat diharapkan, karena
mendukung peningkatan efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi, khususnya dalam
lingkungan bisnis yang persaingannya semakin tajam. Karyawan yang memiliki OCB akan
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja, dan dengan sendirinya
akan merasa nyaman dan aman terhadap pekerjaannya.
Hasil pembahasan Marita menyatakan bahwa OCB mempunyai pengaruh yang
signifikan pada kinerja organisasi dan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Sehingga
seharusnya organisasi memberikan perhatian lebih pada OCB anggotanya untuk lebih
mendukung kelancaran organisasi mencapai tujuannya.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 6 sebagai berikut:
Hipotesis 6: OCB berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang
Metode Penelitian
Populasi dan Sampel
Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002). Berdasarkan
pengertian tersebut dapat dijelaskan populasi merupakan keseluruhan obyek yang diteliti,
dapat berupa manusia, gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai karakteristik
tertentu serta merupakan sumber data dan menentukan keberhasilan penelitian.Dalam
penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh pegawai di Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang sebanyak 103 orang pegawai.
Sampel merupakan bagian terkecil dari suatu populasi. Dengan mempertimbangkan
bahwa elemen populasi relatif sedikit dan variabilitas setiap elemen relatif tinggi (heterogen),
maka pengambilan sampel untuk dijadikan responden dalam penelitian ini adalah
menggunakan metode sensus, dimana setiap anggota populasi secara keseluruhan dijadikan
sebagai sampel. Jumlah responden yang diambil sebagai sampel adalah sebanyak 103
pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang.
Definisi Konsep dan Operasional
Kepemimpinan transformasional yang mencakup perubahan organisasi yang
memprediksi hubungan emosional pengikut pada pimpinannya dan stimulasi emosional dan
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
410
motivasional pengikut sebagai konsekuensi dari perilaku pimpinan (House, Woycke, dan
Fodor, 1988 dalam Hartog dan Van Muijen, 1997. Kepemimpinan transformasional memiliki
dimensi yaitu : kharisma, Motivasi Inspirasional, Stimulasi Intelektual, Perhatian Individual.
Komitmen organisasional adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh pegawai yang
dapat menimbulkan perilaku yang positif yang kuat terdapat organisasi kerja yang dimiliki
dalam bentuk affective commitment, continueance commitment , normative commitmen
(Allen dan Meyer, 1993). Variabel Komitmen organisasional terdiri dari tiga dimensi yaitu
affective commitment (Komitmen Efektif), continueance commitment (Komitmen
Continueance) , normative commitmen (Komitmen Normatif)
Menurut Organ (1988) dalam Bolino, Turnley dan Bloodgood (2002), OCB adalah
Perilaku karyawan yang melebihi peran yang diwajibkan yang tidak secara langsung atau
eksplisit diakui oleh sistem reward.. Variabel OCB terdiri dari lima dimensi yaitu Alturism,
Civic Virtue, Conscientiousness, Sportsmanship, Courtesy.
Gibson (1997) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait
dengan tujuan organisasi seperti kualitas dan kuantitas Variabel Kinerja terdiri dari tiga
dimensi yaitu pengetahuan kemampuan dan ketrampilan kerja, kualitas hasil kerja dan
efisiensi kerja.
Hasil Analisis dan Pembahasan
Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 April 2014 sampai
dengan 17 April 2014, Pengambilan sampel menggunakan metode sensus dengan
membagikan 103 kuesioner, diisi dengan benar oleh responden sesuai dengan petunjuk
pengisian.
Deskripsi Responden
Gambaran identitas responden akan memberikan deskripsi mengenai keadaan
responden. Sesuai dengan data kuesioner, responden diidentifikasikan menurut jenis kelamin,
umur, masa kerja, dan pendidikan terakhir, dengan rincian sebagai berikut:
Tabel 1
Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir dan Masa
Kerja
Frekuensi Prosentase (%)
Jenis Kelamin Pria 79 76,70
Wanita 24 23,30
Usia < 30 Tahun 3 2,91
30-40 Tahun 33 32,04
>40 Tahun 67 65,05
Pendidikan Terakhir SLTA 46 44,66
Diploma 4 3,89
Sarjana (S1) 48 46,60
Pasca Sarjana (S2) 5 4,85
Masa Kerja 1-5 Tahun 13 12,60
5-10 Tahun 23 22,30
11-15 Tahun 22 21,40
>15 Tahun 45 43,70
Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
411
Dari Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa responden pria sejumlah 79 orang atau
sebesar 76,7 % sedangkan responden wanita sejumlah 24 orang atau sebesar 23,3%. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh responden pria.
Untuk jumlah responden dengan umur kurang dari 30 tahun sebesar 2,9% yaitu ada 3
orang, umur 30-40 tahun sebesar 32% yaitu ada 33 orang dan umur diatas 40 tahun sebesar
65% yaitu ada 67 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan umur responden
penelitian ini didominasi oleh umur lebih dari 40 tahun. Sedangkan untuk responden dengan
jumlah terkecil adalah pegawai dengan umur dibawah 30 tahun.
Selain itu juga diketahui bahwa jumlah responden dengan tingkat pendidikan SLTA
sebesar 44,7% yaitu sejumlah 46 orang. Untuk latar belakang pendidikan Diploma sebesar
4% yaitu sejumlah 4 responden, pegawai dengan latar pendidikan Sarjana atau Strata 1
sebesar 46,6% atau sejumlah 48 orang. Dan untuk pegawai dengan latar belakang pendidikan
Pasca Sarjana atau S2 sebesar 4,9% atau sejumlah 5 orang. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan latar belakang pendidikan responden penelitian yang merupakan pegawai
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang didominasi oleh lulusan Sarjana S1.
Dari tabel diatas juga menunjukkan bahwa jumlah responden terbesar berdasarkan masa kerja
adalah selama 1-5 tahun sejumlah 13 orang atau sebesar 12,6%, masa kerja 5-10 tahun
sejumlah 23 orang atau sebesar 22,3 %, masa kerja 10-15 tahun sejumlah 22 orang atau 21,4
% dan masa kerja lebih dari 15 tahun ada 45 orang atau 43,7%. Untuk responden dengan
jumlah masa terkecil adalah pegawai dengan masa kerja 1-5 tahun 12,6 % sejumlah 13 orang,
lebih dari 15 tahun 43,7 % sejumlah 45 orang masa kerja paling banyak
Deskripsi Variabel
Tabel 2
Deskripsi Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1)
X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X1.11 X1.12
Mean 5.82 5.03 6.10 5.94 5.69 5.70 5.43 6.12 6.07 5.57 5.83 5.88
Med 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
Mod 6 5 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6
Min 2 2 3 4 1 3 4 5 4 1 4 5
Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam
kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Gaya Kepemimpinan
Transformasional (X1) adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju.
Tabel 3
Deskripsi Variabel Komitmen Organisasional (Y1)
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y1.8 Y1.9 Y1.10 Y1.11 Y1.12
Mean 5.37 5.89 5.83 5.46 6.16 5.10 5.18 5.84 5.13 5.08 4.16 4.64
Med 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 5.00 6.00 5.00 5.00 4.00 5.00
Mod 6 6 6 6 6 6 5 6 6 5 4 4
Min 2 1 1 2 4 2 3 4 1 2 1 1
Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 7
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
412
Y1.13 Y1.14 Y1.15 Y1.16 Y1.17 Y1.18 Y1.19 Y1.20 Y1.21 Y1.22 Y1.23 Y1.24
Mean 5.86 4.94 4.70 5.83 4.92 5.99 4.48 5.94 4.96 5.87 6.03 6.00
Med 6.00 5.00 5.00 6.00 5.00 6.00 4.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00
Mod 6 6 5 6 5 6 4 6 4 6 6 6
Min 2 2 2 1 1 2 1 1 2 4 4 4
Max 7 7 6 7 6 7 6 7 7 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam
kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Komitmen Organisasional (Y1)
adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju.
Tabel 4
Deskripsi Variabel OCB (Y2)
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6 Y2.7 Y2.8 Y2.9
Mean 5.82 5.73 5.87 5.75 5.33 5.72 5.79 5.83 6.18
Med 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00
Mod 6 6 6 6 5 6 6 6 6
Min 4 4 4 5 4 4 2 4 5
Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Y2.10 Y2.11 Y2.12 Y2.13 Y2.14 Y2.15 Y2.16 Y2.17 Y2.18
Mean 5.92 5.74 6.10 6.36 5.98 5.19 6.15 5.83 6.14
Med 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00
Mod 6 6 6 6 6 5 6 6 6
Min 4 4 4 5 2 2 4 4 4
Max 7 7 7 7 7 6 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam
kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel OCB (Y2) adalah nilai dengan
bobot 6 yaitu Setuju.
Tabel 5
Deskripsi Variabel Kinerja (Y3)
Y3.1 Y3.2 Y3.3 Y3.4 Y3.5 Y3.6 Y3.7 Y3.8 Y3.9 Y3.10 Y3.11
Mean 6.06 5.61 6.10 5.55 5.83 5.83 6.02 5.69 5.90 6.13 6.15
Med 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00
Mod 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6
Min 5 4 4 2 3 4 4 4 4 3 5
Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
413
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam
kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Kinerja Pegawai (Y3) adalah
nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju.
Uji Validitas
Uji validitas digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh ketepatan dan kecermatan
suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya. Dalam pengujian validitas dibantu dengan
program SPSS untuk menentukan apakah kuesioner tersebut sudah valid atau belum.
Pengujian validitas menggunakan metode analisis faktor. Untuk mengetahui valid
tidaknya suatu variabel yang diuji, dilakukan dengan membandingkan nilai component
matriks atau faktor loading-nya dengan 0,4. Jika hasilnya lebih besar dari 0,4 berarti valid
dan jika lebih kecil maka item dari variabel yang diuji di drop dulu kemudian diuji kembali.
Sedangkan untuk mengetahui kecukupan sampel, ditentukan dengan nilai KMO (Kaiser-
Meyer-Olkin) and Bartlett’s Test lebih besar dari 0,5. Adapun hasil uji validitas dari masing-
masing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel gaya kepemimpinan transformasional adalah
0,604 sehingga kecukupan sampel pada variabel kepemimpinan tranformasional telah
memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5. Dan diketahui bahwa nilai Component Matrix atau
Loading Factor dari 12 indikator gaya kepemimpinan transformasional (X2) 8 indikator valid
karena telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,4.
Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel komitmen organisasional adalah 0,721
sehingga kecukupan sampel pada variabel komitmen organisasional telah memenuhi
persyaratan yaitu diatas 0,5. Sedangkan untuk nilai Component Matrix atau Loading Factor
dari 24 indikator komitmen organisasional (Y1) 15 indikator valid karena telah memenuhi
persyaratan yaitu diatas 0,4.
Variabel OCB memiliki nilai KMO dan Bartlett’s Test adalah 0,618 sehingga
kecukupan sampel pada variabel OCB telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5.
Selanjutnya diketahui bahwa nilai Component Matrix atau Loading Factor dari 18 indikator
OCB (Y2) 11 indikator valid karena telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,4.
Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel Kinerja setelah dilakukan analisi ulang
dikarenakan terdapat beberapa indikator yang memiliki loading factor yang tidak valid adalah
sebesar 0,762 sehingga kecukupan sampel pada variabel kinerja telah memenuhi persyaratan
yaitu diatas 0,5. Untuk nilai komponen matrix atau Loading Factor dari 11 indikator yang
terukur secara keseluruhan diperoleh nilai lebih dari 0,4 dan 10 indikator yang valid.
Uji Reliabilitas
Variabel atau konstruk dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap
pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Suatu konstruk atau variabel
dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,7. Adapun hasil
uji reliabilitas dari masing-masing variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada hasil
perhitungan dari SPSS sebagai berikut:
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
414
Tabel 6
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Nama Variabel Cronbach’s alpha Nilai Keterangan
X1 Gaya Kepemimpinan
Transformasional
0,799 0,7 Reliabel
Y1 Komitmen
Organisasional
0,821 0,7 Reliabel
Y2 OCB 0,782 0,7 Reliabel
Y3 Kinerja 0,831 0,7 Reliabel
Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Dari Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa terdapat nilai Cronbach alpha dari variabel
Gaya Kepemimpinan Transformasional adalah sebesar 0,799 atau lebih besar dari 0,7.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Untuk
variabel Komitmen Organisasional adalah sebesar 0,821 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Nilai Cronbach alpha
dari variabel OCB adalah sebesar 0,782 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel.
Sedangkan untuk variabel Kinerja atau Y3 memiliki nilai Cronbach alpha dari
sebesar 0,831 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat
ukurnya baik atau reliabel.
Analisis Regresi
Analisis regresi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya pengaruh variabel bebas
terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Gaya Kepemimpinan
Transformasional (X1) sedangkan variabel terikatnya adalah Komitmen Organisasional (Y1),
OCB (Y2) dan Kinerja (Y3). Adapun hasil analisis regresi yang diperoleh adalah sebagai
berikut:
Tabel 7
Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen
Organisasional
Variabel Adj
R-Square Hasil Uji F Sig
Koefisien
Beta
Hasil
t-Hitung Sig
Gaya
Kepemimpinan
Transformasional
0,516 107,768 0,00 0,718 10,381 0,000
Variabel Dependen: Komitmen Organisasional
Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Adapun hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan
Transformasional terhadap variabel Komitmen Organisasional adalah sebesar 0,516. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan kontribusi
sebesar 51,6% terhadap variabel Komitmen Organisasional. Dan berdasarkan Uji F diperoleh
nilai F hitung sebesar 107,768 dengan signifikansi 0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan
bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional dikarenakan nilai Signifikansi kurang dari
0,05.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
415
Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 8 diatas adalah:
Y1 = 0,718 X1
Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai serikut:
Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional dengan koefisien Beta sebesar
0,718 atau β1.
Tabel 8
Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional , Komitmen
Organisasional terhadap OCB
Variabel Adj
R-Square Hasil Uji F Sig
Koefisien
Beta
Hasil
t-Hitung Sig
Gaya
Kepemimpinan
Transformasional
0,193 11,968 0,00 0,276 2,138 0,035
Komitmen
Organisasional
0,197 1,524 0,131
Variabel Dependen: OCB
Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional
dan Komitmen Organisasional terhadap variabel OCB adalah sebesar 0,193. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen
Organisasional secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 19,3% terhadap variabel
OCB. Dan berdasarkan Uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 11,968 dengan signifikansi
0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan
Transformasional dan Komitmen Organisasional secara bersama-sama memberikan pengaruh
yang positif dan signifikan terhadap OCB dikarenakan nilai signifikansi kurang dari 0,05.
Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 9 diatas adalah:
Y2 = 0,276 X1
Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai serikut:
Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif
dan signifikan terhadap OCB dengan koefisien Beta sebesar 0,276 atau β2. Variabel Komitmen Organisasional tidak berpengaruh terhadap OCB
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
416
Tabel 9
Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional , Komitmen
Organisasional dan OCB terhadap Kinerja
Variabel
Adj
R-
Square
Hasil
Uji F Sig
Koefisien
Beta
Hasil
t-Hitung Sig
Komitmen
Organisasional
0,411 24,719 0,00 0,299 2,709 0,008
Kepemimpinan
Transformasional
0,128 1,143 0,256
OCB 0,373 4,411 0,001
Variabel Dependen: Kinerja
Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional,
Komitmen Organisasional, OCB terhadap variabel Kinerja adalah sebesar 0,411. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen
Organisasional dan OCB secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 41,1%
terhadap variabel Kinerja . Dan berdasarkan Uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 24,719
dengan signifikansi 0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya
Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional dan OCB secara bersama-sama
memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja dikarenakan nilai
Signifikansi kurang dari 0,05.
Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 4.10 diatas adalah:
Y3 = 0,299 Y1 + 0,373Y2
Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
Variabel Komitmen Organisasional memberikan pengaruh yang positif dan signifikan
terhadap Kinerja dengan koefisien Beta sebesar 0,299.
Variabel Kepemimpinan Transformasional tidak berpengaruh terhadap Kinerja dengan
koefisien Beta sebesar 0,128.
Variabel OCB memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja dengan
koefisien Beta sebesar 0,373 atau β6.
Uji Hipotesis (Uji t)
a. Uji Hipotesis I
Hipotesis I berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif
dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional. Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui
bahwa Gaya Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh positif dan
signifikan terhadap Komitmen Organisasional, yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi
0,00 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang
menyatakan Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif terhadap
komitmen organisasional pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
terbukti, sehingga hipotesis I diterima.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
417
b. Uji Hipotesis II
Hipotesis II berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif
dan signifikan terhadap OCB. Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa Gaya
Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
OCB, yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,035 nilai signifikasi kurang dari 0,05.
Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Gaya Kepemimpinan
Transformasional berpengaruh positif terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga hipotesis II diterima.
c. Uji Hipotesis III
Hipotesis III berbunyi Komitmen Organisasional berpengaruh positif dan signifikan
terhadap OCB. Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa Komitmen Organisasional tidak
signifikan terhadap OCB yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,131 nilai signifikasi
lebih besar dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan
Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang tidak terbukti, sehingga hipotesis III ditolak.
d. Uji Hipotesis IV
Hipotesis IV berbunyi Komitmen Organisasional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa Komitmen
Organisasional pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja yang ditunjukkan oleh
nilai signifikasi 0,008 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa
hiposesis yang menyatakan Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap Kinerja
pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga
hipotesis IV diterima.
e. Uji Hipotesis V
Hipotesis V berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh
positif dan signifikan terhadap Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa Gaya
Kepemimpinan Transformasional tidak signifikan terhadap Kinerja yang ditunjukkan
oleh nilai signifikasi 0,256 nilai signifikasi lebih besar dari 0,05. Hasil ini membuktikan
bahwa hiposesis yang menyatakan Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh
terhadap Kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang tidak
terbukti, sehingga hipotesis V ditolak.
f. Uji Hipotesis VI
Hipotesis VI berbunyi OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap
Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa OCB pengaruh positif dan signifikan
terhadap Kinerja yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,001 nilai signifikasi kurang
dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan OCB berpengaruh
terhadap Kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti,
sehingga hipotesis VI diterima.
Uji Mediasi
Mediasi merupakan variabel antara yang berfungsi memediasi hubungan antara
variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mengetahui efek mediasi dari suatu
variabel intervening digunakan analisis jalur atau path analysis. Analisis jalur adalah
penggunaan analisis regresi untuk menaksir hubungan kausalitas antar variabel yang telah
ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori. Apa yang dapat dilakukan oleh analisis jalur adalah
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
418
menentukan pola hubungan antara 3 atau lebih variabel dan tidak dapat digunakan untuk
mengkonfirmasi atau menolak hipotesis kasualitas imajiner (Ghozali, 2006). Dari model
grafis dalam penelitian ini, terdapat 3 analisis jalur path sebagaimana berikut ini :
1) Komitmen Organisasional sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional terhadap Kinerja Pegawai
Hubungan langsung variable Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap
Kinerja ternyata tidak signifikan. Sedangkan hubungan tidak langsung signifikan,
sehingga pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja
dimediasi variable Komitmen Organisasional.
2) OCB sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap
Kinerja Pegawai
Hubungan langsung variable Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap
Kinerja ternyata tidak signifikan. Sedangkan hubungan tidak langsung signifikan,
sehingga pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja
dimediasi variable OCB.
3) Komitmen Organisasional sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional terhadap OCB
Hubungan variable Komitmen Organisasional terhadap OCB ternyata tidak signifikan
karena signifikansinya sebesar 0,131 jauh di atas 0,05. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa variable Kepemimpinan Transformasional terhadap OCB dengan mediasi variable
Komitmen Organisasional tidak bisa di uji
Pembahasan
1. Deskripsi variabel Penelitian
Deskripsi variabel penelitian di dalam penelitian ini dikategorikan dalam 7 (tujuh)
tingkat jawaban, yang tersusun kategori variabel sebagai berikut: sangat setuju (SS=7), setuju
(S=6), agak setuju (AS=5), netral (N=4), agak tidak setuju (ATS=3), dan sangat tidak setuju
(STS=1). Pada analisis pendapat responden diukur dengan tujuh skala tersebut guna
mengetahui derajat kesetujuan dan ketidaksetujuan responden terdapat serangkaian
pernyataan. Adapun analisis ini sebagai berikut :
a.Variabel gaya kepemimpinan transformasional
Dari variabel gaya kepemimpinan transformasional menunjukkkan mode frekuensi
observasi 6 (enam) yang sering muncul dari 12 indikator adalah jawaban setuju. Ini
bermakna bahwa pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang,
mempersepsikan kepemimpinan sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti
kepercayaan kepada atasan, atasan sebagai simbul kesuksesan, motivasi dari
sesama,mendapat penghargaan kalau kerja dengan baik. Beberapa responden memberikan
jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil.
Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 12 indikator variabel gaya kepemimpinan
yaitu indikator optimisme bawahan (6,10) hal ini menandakan bahwa pimpinan
mempercayahi bawahannya dalam melaksanakan tugas. Sedangkan skor rata-rata terendah
adalah indikator atasan sebagai simbul kesuksesan (5,03). Hal ini menandakan bahwa
responden menganggap sukses organisasi tidak tergantung pada pimpinan saja.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
419
b. Variabel Komitmen Organisasional
Dari variabel Komitmen Organisasional menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam)
yang sering muncul dari 24 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan komitmen organisasional
sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti menghabiskan sisa karier di organisasi,
bangga pada organisasi, masalah organisasi, tidak terikat pada organisasi, emosional, organisasi
memiliki arti yang sangat besar, perasaan takut berhenti dari pekerjaan, sulit meninggalkan
organisasi, banyak hal terganggu di organisasi, kerugian besar jika meninggalkan organisasi,
bekerja merupakan kebutuhan, memiliki sedikit pilihan, perasaan tidak mungkin meninggalkan
organisasi, melanjutkan pekerjaan, sering pindah organisasi, loyal pada organisasi, pindah
organisasi adalah tidak etis, pentingnya loyalitas, tawaran pindah. Beberapa responden
memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil.
Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 24 indikator variabel Komitmen Organisasional
yaitu indikator menekuni pekerjaan (6,03) hal ini menandakan bahwa responden tekun dalam
melaksanakan tugas di organisasi. Sedangkan skor rata-rata terendah adalah indikator banyak hal
terganggu (4,16). Hal ini menandakan bahwa responden menganggap di organisasi bekerja tidak
ada hal yang mengganggu dalam menyelesaikan tugas.
c. Variabel OCB
Dari variabel OCB menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering
muncul dari 17 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan OCB sudah baik meskipun
masih terdapat kekurangan seperti tidak pernah membolos, sukarela melaksanakan tugas
ekstra, bersedia mengikuti pelatihan tambahan. Beberapa responden memberikan jawaban
tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil.
Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 17 indikator variabel OCB yaitu indikator
tidak memaksakan kehendak atas ide-ide yang disampaikan (6,36) hal ini menandakan bahwa
responden merasa bebas menyampaikan ide-idenya Sedangkan skor rata-rata terendah
adalah indikator bersedia mengikuti pelatihan (5,19). Hal ini menandakan bahwa responden
mengganggap pelatihan kurang penting disebabkan menyita waktu tugas harian.
d. Variabel Kinerja
Dari variabel kinerja menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering
muncul dari 11 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan kinerja sudah baik
meskipun masih terdapat kekurangan seperti distribusi pekerjaan. Beberapa responden
memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil.
Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 11 indikator variabel kinerja yaitu indikator
kepatuhan kerja (6,15) hal ini menandakan bahwa responden patuh pada aturan yang ada di
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang Sedangkan skor rata-rata terendah
adalah indikator distribusi pekerjaan (5,55). Hal ini menandakan bahwa responden
mengganggap distribusi pekerjaan yang ada kurang seimbang.
2. Deskripsi Uji Hipotesis
a. Hipotesis I
Hipotesis pertama dapat diterima, hal ini berarti mendukung penelitian
terdahulu yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) yang menyatakan bahwa
kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap
Komitmen Organisasional. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika Gaya
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
420
Kepemimpinan di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang,
dikaitkan dengan Komitmen Organisasional, maka seorang pemimpin harus mampu
memotivasi bawahan dengan mengembangkan visi dan misi organisasi dan
memaksimalkan potensi pegawai sehingga meningkatkan komitmen secara optimal.
b. Hipotesis II
Hipotesis kedua dapat diterima, hal ini berarti mendukung penelitian terdahulu
yang dilakukan oleh Lamidi (2008) yang menyatakan bahwa kepemimpinan
transformasional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Terbuktinya
hipotesis ini dapat dinyatakan jika Gaya Kepemimpinan di lingkungan Dinas Pertanian
dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan OCB, maka seorang pemimpin
harus mampu memberi petunjuk bawahan dalam bekerja sehingga meningkatkan
kinerja..
c. Hipotesis III
Hipotesis ketiga ditolak, hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh
Darmawati, Hidayati, dan Herlina S (2013) yang menyatakan bahwa Komitmen
Organisasional memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap OCB pada
karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
Karyawan yang ada pada Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagian besar tenaga teknis
yang ada di lapangan sehingga komitmen terhadap organisasi dinilai masih kurang,
karena mereka bisa bertahan diluar organisasi untuk melaksanakan kewajibannya.
OCB merupakan perilaku yang melebihi apa yang distandarkan karyawan, sehingga
komitmen yang tinggi tidak selalu menyebabkan seorang melakukan OCB.
d. Hipotesis IV
Hipotesis keempat diterima, hal ini mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Fakhrizal, Yunus, Amri (2012) yang menyatakan bahwa komitmen
organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja Dinas Pengelolaan
Keuangan dan Kekayaan Aceh. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika
Komitmen Organisasional di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang, dikaitkan dengan Kinerja Pegawai, maka seorang pegawai selalu menekuni
pekerjaan yang diterima dan loyal di organisasi sehingga meningkatkan kinerja.
e. Hipotesis V
Hipotesis kelima ditolak, hal ini tidak mendukung hasil penelitian yang
dilakukan oleh Marjam (2010) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada
Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan
jika kepemimpinan, di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang, dikaitkan dengan kinerja pegawai, maka seorang pemimpin harus dapat
menjadi simbol keberhasilan dan prestasi bagi pegawainya, selain itu pemimpin harus
pula mendistribusi pekerjaan secara merata dan berimbang sesuai dengan kapasitas
pegawai, pemimpin selalu memberi saran, petunjuk dan arahan kepada bawahan
dalam menyelesaikan pekerjaan, pemimpin dapat memberikan penghargaan kepada
bawahan yang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Pegawai lebih baik
dikasih pelatihan sehingga mampu bekerja lebih cepat dan tepat.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
421
f. Hipotesis VI
Hipotesis keenam dapat diterima, hal ini berarti mendukung hasil penelitian
yang dilakukan oleh Linda Kartini Ticoalu (2013), yang menyatakan bahwa OCB
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada PT Bank Tabungan
Pensiunan Nasional (BPTPN). Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika OCB
di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan
Kinerja Pegawai, maka seorang pegawai selalu membantu rekan kerja yang memiliki
masalah dalam menyelesaikan tugas, pegawai selalu tepat waktu dalam
menyelesaikan tugas , tidak suka mengeluh dalam melaksanakan tugasnya sehingga
perilaku pegawai ini bisa meningkatkan kinerja.
Kesimpulan, Saran, Keterbatasan, dan Rekomendasi
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data mengenai peran karakteristik individu dan
karakteristik pekerjaan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang melalui komitmen organisasional dan OCB sebagaimana telah dijelaskan pada bab
sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan hasil hipotesis 1 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional
di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa
gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap
komitmen organisasional.
2. Berdasarkan hasil hipotesis 2 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan
transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pegawai Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa gaya
kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan
Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap perilaku
pegawai.
3. Berdasarkan hasil hipotesis 3 secara parsial diketahui bahwa komitmen organisasional
tidak berpengaruh terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen organisasional yang ada di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata tidak mampu mempengaruhi
perubahan positif terhadap OCB pegawai.
4. Berdasarkan hasil hipotesis 4 secara parsial diketahui bahwa komitmen organisasional
tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen organisasional yang ada di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata tidak mampu mempengaruhi
perubahan positif terhadap kinerja pegawai.
5. Berdasarkan hasil hipotesis 5 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan
transformasional tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan
Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa gaya kepemimpinan yang
dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang
ternyata tidak mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap kinerja pegawai.
6. Berdasarkan hasil hipotesis 6 secara parsial diketahui bahwa OCB berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten
Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa perilaku pegawai yang ada di Dinas Pertanian
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
422
dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif
terhadap kinerja pegawai.
7. Variabel komitmen organisasional menjadi variabel mediasi pengaruh kepemimpinan
transformasional terhadap kinerja pegawai. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen
organisasional yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata
mampu memediasi sempurna kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai.
8. Variabel OCB menjadi variabel mediasi pengaruh kepemimpinan transformasional
terhadap kinerja pegawai. Hasil ini memberi arti bahwa OCB yang ada di Dinas
Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu memediasi sempurna
kepemimpinan tranformasional terhadap kinerja pegawai.
Saran
Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan kesimpulan dan
keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
1. Pegawai akan meningkat kinerjanya apabila pemimpin tidak sebagai simbol
kesuksesan, pemimpin bisa menjelaskan tujuan pekerjaan, menunjukkan cara baru
menyelesaikan masalah, pemimpin menggunakan penalaran dalam bekerja.
2. Berdasarkan Hasil Uji Regresi diketahui bahwa kepemimpinan transformasional
berpengaruh secara langsung terhadap kinerja sehingga untuk meningkatkan kinerja
pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Penerapan
kepemimpinan transformasional yang semakin efektif, ditunjukkan dari kepuasan
kerja dan kepercayaan bawahan yang semakin tinggi, loyalitas dan rasa hormat
kepada atasan.
3. Pada dasarnya secara organisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor, salah satunya melalui perilaku kepemimpinan.
Keterbatasan
Dalam penelitian ini, permasalahan hanya dibatasi pada variabel gaya kepemimpinan
transformasional, Komitmen organisasional, organizational citizenship behavior (OCB), dan
Kinerja.
Penelitian ini juga terbatas pada obyek pengamatan yang sempit, yaitu hanya dibatasi
pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dimana sampel yang diteliti yang
diambil dengan metode sensus mengingat populasi yang terbatas.
Rekomendasi Penelitian Mendatang
Rekomendasi untuk penelitian yang akan datang dapat penulis sampaikan
berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah :
1. Perlu dilakukan penelitian lain atau lanjutan dengan memasukkan variabel-
variabel lain misalkan variabel kepemimpinan transformasional, analisis beban
kerja dan sebagai variabel yang kemungkinan juga berpengaruh terhadap kinerja
pegawai.
2. Mengembangkan populasi dengan wilayah yang lebih luas sehingga lebih dalam
dalam melakukan pembahasan dalam penelitian yang tidak hanya terbatas pada
wilayah Kabupaten Rembang.
3. Melakukan pengambilan sampel dengan membatasi tingkat beban kerja sehingga
dapat diketahui perbedaan yang lebih signifikan antara staf dan atasan.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
423
Daftar Pustaka
Allen,N.J. and Meyer, J.P. 1991. A Three-Component Conceptualization of Organizational
Commitment, Human Resource Management Review, Vol 1, No 1, pp. 61-89.
Antonakis,J., Avolio,B.J., and Sivasubramaniam, N. 2003. Context and Leadership : An
Examination of the Nine Factor Full-Range Leadership Theory Using the Multifactor
Leadership Questionnaire, The Leadership Quarterty, Vol 14, No 2, pp. 261-295.
Arum Darmawati, Lina Nur Hidayati, dan Dyna Herlina S, 2013. Pengaruh Kepuasan Kerja
dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB),
“Jurnal Economia” Vol 9, No 1.
Aydogdu,S., and Asikgil, B. 2011. An Empirical Study of the Relationship Among Job
Satisfaction, Organizational Commitment and Turnover Intention, International
review of Management and Marketing, Vol 1, No 3, pp. 43-53.
Bolon, D.S. 1997. Organizational citizenship behavior among hospital employees: A
Multidimensional Analysis Involving Job Satisfaction and Organizational
Commitment, Hospital & Health Services Administration,, Vol 42, No 42, No 2, pp
221-241.
Cavazotte, F., Moreno, V., Hickmann, M. 2012. Effects of Leader Intelligence, Personality
and Emotional Intelligence on Transformational Leadership and Managerial
Performance, The Leadership Quarterly, Vol 23, pp. 443-455. Greenberg, j. Wright,
D. 2001. Retaining employees – the fast track to commitment, Management Research
News, Vol 24, No 8, pp. 59-64.
Curtis, S., and W, (1984), Organization and Environment, Homewood, IL : Richard D.
Irwin.
Curtis, S., and Wright, D. 2001. Retaining Employees – The Fast Track to Commitment,
Management Research News, Vol 24, No 8, pp. 59-64.
Greenberg, j. Wright, D. 2001. Retaining employees – the fast track to commitment,
Management Research News, Vol 24, No 8, pp. 59-64.
Debora Eflina Purba dan Ali Nina Liche Seniati, 2004. Pengaruh Kepribadian dan Komitmen
Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB), “Makara, Sosial,
Humaniora” Vol 8, No 3, pp. 105-111
Dessler,G, 2000, Human Resource Management 8 th edition, New Jersey : Prentice Hall inc.
Durkin,M., and Bennet, H, 1999. Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and
Exploring Hidden Dangers, The International Journal of Bank Marketing, Vol 17, No
3, pp. 124-137.
Ferdinand, A. 2002, Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen. Semarang:
BP UNDIP.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
424
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly Jr. 2009. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses,
Edisi Bahasa Indonesia, Tangerang: Binarupa Aksara.
Goodwin, V.L., Wofford, J.C., and Whittington, J.L. 2001. A Theoretical and Empirical
Extension to the Transformational Leadership Construct, . Journal of Organizational
Behavior, Vol 22, No 7, pp. 759-774.
Ghozali, Imam, 2009, Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 20, Badan
Penerbit UNDIP. Semarang
Handoko, Hani, 2002, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE.
Yogyakarta.
Huang, C.C., You, C.S., and Tsai, M.T.2012. A Multidimensional Analysis of Ethical
Climate, Job Satisfaction, Organizational Commitment, and Organizational
Citizenship Behaviors, Nursing Ethics, Edisi Ketujuh, Jakarta: Salemba Humanika.
Hughes, R.L., Ginnett, R.C and Curphy, G.J. 2012. Leadership: Memperkaya Pelajaran dari
Pengalaman, Edisi Ketujuh, Jakarta: Salemba Humanika.
John, M.C., and Taylor J.W. 1999. Leadership Style, School Climate, and the Institutional
Commitment of Teachers. International Forum Vol 2, No 1, pp. 25-57.
Karakus, M., and Aslan, B. 2008. Teachers’ commitment focuses: a three-dimensioned view,
Journal of Management Development, Vol 28, No 5, pp. 425-438.
Khuntia, R., and Suar, D. 2004. A Scale to Assess Ethical Leadership of Indian Private and
Public Sector Managers, Journal of Business Ethies, Vol 49, No 1, pp. 13-26.
Krishnan R., Arumugam, N., Chandran, V., and Kanchymalay, K. 2009. Examining the
Relationship between Job Satisfaction and Organizational Citizenship Behavior: A
Case Study among Non Academic Staffs in A Public Higher Learning Institution in
Malaysia, Global Business Summit Conference, Vol 2, No 43,pp. 221-232
Kumar, K., Bakhshi, A., and Rani, E. 2009. Linking the ‘Big Five’ Personality Domains to Organizational Citizenship Behavior, International Journal of Psychological Studies,
Vol 1, No 2, pp. 73-81.
Lamidi, 2008. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational
Citizenship Behavior: dengan Variabel Intervening Komitmen Organisasional,
“Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan” Vol 8, No 1, pp. 25-37.
Linda Kartini Ticoalu, 2013. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan Komitmen
Organisasi Pengaruhnya terhadap Kinerja Karyawan, “Jurnal EMBA” Vol 1, No 4,
pp. 782-790.
Luthans, F. 2006, Perilaku Organisasi, Edisi Sepuluh, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
425
MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M., and Ahearne, M. 1998. Some Possible Antecedents and
Consequences of In-Role and Extra-Role Salesperson Performance The Journal of
Marketing, Vol 62, No 3, pp. 87-98.
Marjam Desma Rahadhini, 2010. Efek Moderasi Budaya Organisasi pada Pengaruh
Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Pegawai, “Jurnal Manajemen
Sumberdaya Manusia” Vol 4, No 1, pp. 20-26.
Marita Ahdiyana, 2010. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam Kinerja
Organisasi, “Jurnal Efisiensi” Vol X, ISSN; 1412-1131.
Meyer, J.P., Stanley, D.J., Herscovitch, L., and Topolnytsky, L. 2002. Affective,
Continuance, and Normative Commitment to the Organization: A Meta analysis of
Antecedents, Correlates, and Consequences, Journal of Vocational Behavior, Vol 61,
pp. 20-52.
Nurul Fakhrizal, Mukhlis Yunus, dan Amri, 2012. Pengaruh Komitmen Individu, Organisasi
dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai serta Dampaknya pada Kinerja
Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh, “Jurnal Manajemen Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala” Vol 2, No 1, pp. 68-84
Nguni, S.C., 2005. A Study of the Effects of Transformational Leadership on Teachers Job
Satisfaction, Organizational Commitment and Organizational Citizenship Behaviour
in Tanzanian Primary and Secondary Schools, Doctoral thesis, Universiteit Nijmegen.
Organ, D.W., Podsakoff, P.M., and MacKenzie, S.B. 2006, Organizational Citizenship
Behavior: Its Nature, Antecedents, and Consequences, SAGE Publications.
Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B., and Bachrach, D.G. 2000. Organizational
Citizenship Behaviors: A Critical Review of the Theoretical and Empirical Literature
and Suggestions for Future Research, Journal of Management, Vol 26, No 3, pp. 513-
563.
Rivai, V., dan Mulyadi. D. 2012, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali
Pers.
Robbins, S.P., and Judge, T.A. 2008, Perilaku Organisasi. Edisi Kedua belas, Jakarta:
Salemba Empat.
Shweta, J., and Srirang, J. 2010. Determinants of Organizational Citizenship Behavior: A
Review of Literature, Journal of Management and Public Policy, Jakarta : Vol 1, No
2, pp. 27-36.
Sopiah, 2008, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: Penerbit Andi.
Siagian, S.P., 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta: Rineke Cipta.
Tett, R.P., and Meyer, J.P. 1993. Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover
Intention, and Turnover: Path Analyses Based on Meta-Analytical Findings,
Personnel Psychology, Vol 1, No 1, pp. 35-49.
Prima Kartika Sari Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Euis Soliha Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
426
Thomas Stefanus Kaihatu, 2007. Kepemimpinan Transformasional dan Pengaruhnya
terhadap Kepuasan atas Kualitas Kehidupan Kerja, Komitmen Organisasi, dan
Perilaku Ekstra Peran: Studi pada Guru-Guru SMU di Kota Surabaya, “Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan” Vol 98, No 1, pp. 49-61.
Yukl, G. 2010, Kepemimpinan dalam Organisasi, Edisi Indonesia. Jakarta: Penerbit PT
Indeks.
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
427
STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK
TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG
Fani Firmansyah
Refila Aulina
Fakultas Ekonomi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
email : [email protected]
Abstrak
Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan, menghimpun dana dari masyarakat
yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk giro tabungan deposito dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Dalam menyalurkan pembiayaan haruslah
melalui proses analisi kredit. Itu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pembiayaan
bermasalah (Macet) atau dalam dunia perbankan syariah biasa disebut dengan NPF (Non
Performing Financing). Bank BTN Syariah adalah salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) dari
bank BTN konvensional. Bank BTN sebagai salah satu yang ditunjuk untuk lembaga
pembiayan kredit perumahan masyarakat menengah kebawah. Bank BTN selama ini menjadi
integrator stakeholder strategi dalam pemecahan permasalahan perumahan Indonesia. Tujuan
penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah pada KPR di
Bank BTN Syariah Malang periode tahun penelitian 2014-2015.
Latar Belakang
Bank BTN Syariah adalah salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank BTN
konvensional. Bank BTN sebagai salah satu yang ditunjuk untuk lembaga pembiayan kredit
perumahan masyarakat menengah kebawah. Bank BTN selama ini menjadi integrator
stakeholder strategi dalam pemecahan permasalahan perumahan Indonesia. Di Bank BTN
penyaluran pembiayaan KPR adalah salah satu sumber utama pendapatan bank. Oleh karna itu
pembiayaan KPR memiliki peran penting dalam terciptanya kesehatan bank. Dalam
menyalurkan pembiayaan haruslah melalui proses analisi kredit. Itu dilakukan untuk
meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah (Macet) atau dalam dunia perbankan syariah
biasa disebut dengan NPF (Non Performing Financing)
Jika telah terjadi pembiayaan bermasalah (macet) setiap Bank pastilah memiliki
kebijakan-kebijakan dalam mengatasi hal tersebut. Dalam membuat suatu keijakan, bank
haruslah taat pada peraturan otoritas terkait. Semisal pada Bank Syariah harus mengikuti
peraturan atau fatwa yang diatur oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) serta mengunkan acuan
dan peraturan Bi.
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak di jumpai pengertian
dari “Pembiayaan bermasalah”. Begitu juga istilah Non Perfoming Financings (NPFs) untuk
fasilitas pembiayaan maupun istilah Non perfoming Loan (NPL) untuk fasilitas kredit idak di
jumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap statistic
perbankan syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat di
jumpai Istilah Non performing Financings (NPFs) yang diartikan sebagai “pembiayaan Non
lancer mulai dari kurang lancer sampai dengan macet”. (Djamali, 2012:66)
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
428
Dalam hal pembiayaan macet pihak bank perlu melakukan penanganan (penyelamatan),
sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Penanganan yang dilakuikan apakah dengan
memberikan keringanan berupa jangka waktu atau angsuran terutama bagi pembiayaan terkena
musibah atau melakukan penyitaan bagi pembiayaan yang sengaja lalai untuk membayar.
Kemungkinan pembiayaan tersebut macet pasti ada hal ini 1) dari pihak perbankan. 2) Dari pihak
nasabah. 3) Adanya unsur tidak sengaja.
Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Malang dalam melakukan penyelamatan atas
pembiayaan bermasalah pada pembiyaan KPR, Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah
pasti memiliki strategi untuk mencapai targetnya. Ditahun 2015 mengalami perkembangan yang
pesat dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah. Hal ini dapat dilihat dari table jumlah
nasabah dari tahun ke tahun yang mengalami penurunan dalam pembiayaan bermasalah (kredit
macet). Berikut adalah grafik penurunan pembiayaan bermasalah (macet) pada tahun 2014-2015
di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang.
Gambar 1.1
Grafik Penurunan Pembiayaan Bermasalah
Sumber: PT. Bank Tabungan Negara KCS Malang 2016
Dari grafik diatas dapat di jelaskan bahwa jumlah nasabah pembiayaan bermasalah
(macet) pada tahun 2014-2015 di Bank Tabungna Negara Kantor Cabang Syariah Malang
mengalami penurunan. Sesuai sumber dari Ary Irawan menyatakan bahwa ditahun 2014
banyaknya nasabah pembiayaan bermasalah disebabkan oleh adanya beberapa nasabah yang
mengalami penunggakan diatas 4 bulan. Kemudian mengalami penurunan ditahun 2015
disebabkan oleh banyaknya nasabah yang melakukan pelunasan tunggakan dan melakukan
pelelangan. Dari beberapa uraian diatas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti dengan judul
“STRATEGI PENANGANA PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG”.
Berdasarkan latar belakang di atas. Maka masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini
adalah bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah pada KPR di Bank BTN Syariah Malang
periode 2014-2015.
0.00%
0.50%
1.00%
1.50%
2014 2015
Tahun
Tahun
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
429
Kajian Teoritis
Pengertian Bank Syariah
Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan, menghimpun dana dari masyarakat
yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk giro tabungan deposito dan menyalurkan kembali
kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Menurut Muhammad (2005:1) Bank Syariah
adalah bank yang bereoprasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa
disebut dengan Bank Tanpa Bunga, adalah loembaga/perbankan yang oprasional dan produknya
dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadist Nabi SAW.
Pengertian Pembiayaan
Islam mengajurkan kepada manusia agar membantu ataukerja sama dalam kebaikan atau
kegiatan usaha yang mendatangkan manfaat bersama serta kemaslahatan. Hal ini sebagaimna
yang termaktub dalam Q.S Al Maidah ayat 2 sebagai berikut:
تو واع ن ناىوتعاو ن و ن ى ن ن و ن ى نن ن و لت و وت ن وتمع ع ناىلت ن ع
“… Bertong-tolonglah (kerja sama) kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan
janganlah bertong-tolong dalam dosa dan permusuhan”
Menurut undang-undang perbankan No.10 tahun 1998 ayat 12 tentang pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah adalah:
Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau
keepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
menembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangaka waktu tertentu dengan imbalan atau
bagi hasil.
Pada tahun 1992, Indonesia memasuki era dual banking system dengan dimungkinkan
suatu bank beroperasi dengan prinsip bagi hasil berdasarkan pasal 13 huruf (c) Undang-Undang
No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa salah satu Bank Perkreditan
Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 6 Peraturan Pemerintahan No.72 Tahun 1992
tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil ( selanjutnya ditulis PP No.72 Tahun 1992) dan
diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran Negara RI Nomor 119 Tahun 1992.
Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak
lain untuk mendukung investasi yang tealah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun
lembga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung
investasi yang telah dirncanakan. (Muhammad 2005:17)
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
beredasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan/ atau lembaga
keuangan lainya dengan pihak lain yang mewjibkan pihak peminjam untuk melinasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau hasil (Veithz rivai dan Arviyan Arifin
2009:700).
Pembiayaan Bermasalah
Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak di jumpai pengertian
dari “pembiayaan bermasalah”. Begitu juga istilah Non Perfoming Financings (NPFs) untuk
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
430
fasilitas pembiayaan maupun istilah Non perfoming Loan (NPL) untuk fasilitas kredit idak di
jumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap statistic
perbankan syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat di
jumpai Istilah Non performing Financings (NPFs) yang diartikan sebagai “pembiayaan Non
lancer mulai dari kurang lancer sampai dengan macet”. (Djamali, 2012:66)
Menurt Dunil (2005:263) “istilah kredit macet juga sering dipakai untuk kredit bermasalah yang sudah dihapus dari pembukuan bank. Agar tidak menimbulkan kerancuan untuk
selanjutnya dipakai istilah yang lebih teknis yaitu Non Performing Loan NPL.
Penggolongan Kolekmbilitas Pembiayaan.
Menurut Muhammad (2005:165) ketidak lancaran nasabah membayar angsuran pokok
maupun bagi hasil/profit margin pembiayaan menyebabkan adanya kolektabilitas pembiayaan.
Secara umum kolektabilitas pembiayaan dikategorikan menjadi lima macam, yaitu: Lancar atau
kolektabilitas 1, Kurang lancar atau kolektabilitas 2, Diragukan atau kolektabilitas 3, Perhatian
khusus atau kolektabilitas 4, Macer atau kolektabilitas 5
Faktor Pembiayaan Bermasalah
Menurut Djamil (2005:73) secara umum pembiayaan bermasalah disebabkan oleh factor-
faktor intern dan factor-faktor ekstern. Faktor intern adalah factor yang ada di dalam perusahaan
sendiri, dan factor utama yang paling dominan adalah factor manajerial. Timbulnya kesulitan-
kesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh factor manajerial dapat dilihat dari
beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembellian dan penjualan, lemahnya
pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang
berlebihan pada aktiva tetap, permodalan yang tidak cukup. Factor ekstern adalah factor-faktor
yang berbeda di luar kekusaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangsn,
perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan
lain-lain.
Penyelesaian/Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah
Menurut Kasmir (2012: 110) penyelematan krdit bermasalah dilakukan dengan beberpa
metode yaitu: Rescheduling, Reconditioning, Restructurin, serta Kombinasi.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan
desktiptif. Penelitian ini dilakukan pada PT.Bank Tabungan Negara PT. Bank Tabungan Negara
Tbk. Cabang Kota Malang Jawa Timur. Jl. Bandung No. 40. Adapun subyek penelitian ini
melibatkan 3 informasi penting yaitu: Collection and work out (CWO) serta Nasabah. Sumber
data di dalam penelitian merupakan fakto yang sangat penting, karena sumber data akan
menyangkut kualitas dari hasil penelitian, yaitu berupa Data primer serta Data skunder.
Dalam penelitian ini pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi, observasi
dan wawancara. Analisis yang digunakan terdri dari : data reduksi, penyajian data, serta
penarikan kesimpulan.
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
431
Pembahasan Hasil Penelitian
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko bagi jasa keuangan yang
memberikan pembiayaan kepada nasabahnya dan nasabah tidak mampu untuk melakukan
pelunasan angsuran atau sengaja tidak melakukan pengembalian angsuran kepada pihak bank.
Pembiayaan bermasalah hal yang wajar terjadi di dalam jasa keuangan manapun yang
memberikan pembiayaan. Pembahasan penelitian terkait pembiayaan bermasalah semakain
jelaas setelah melakukan wawancara di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah
Malang dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1
juni 2016 mengatakan bahwa:
“Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang dibaerikan kepada nasabah yang
mengangalami gagal bayar untuk memenuhi kewajibannya, untuk membayar angsuran (cicilan)
atau margin yang telah disepakati kedua belahpihak dalam perjanjian pembiayaan. Meskipun
pembiayaan itu pasti ada, setidaknya pihak bank dapat meminimalisir pembiayaan bermasalah
yang ada.” Dapat disimpulkan dari penjelasn yang ada bahwa pembiayaan bermasalah adalah
pembiayaan (pinjaman) yang belum dilunasi oleh nasasbah sampai batas akhir yang telah
ditentukan atau jatuh tempo, dan ini adalah masalah yang pasti ada dan harus ditindak lanjuti
agar pembiayaan bermasalah dapat mengurangi pendapatan dan menambah biaya percadangan,
dalam memberikan pembiayaan harus berdasarkan prinsip syariah,
Ketidak lancaran nasabah membayara angsuran pokok (cicilan) maupun bagi hasil
kepada pihak bank, hal semacam ini meyebabkan kolektabilitas pembiyaan yang secara umum
dikategorikan menjadi lima macam sesuai dengan teori Muhammad (2005:165) yaitu , lancar,
kurang lancar, diragukana, perhatian khusus, dan pembiayaan macet. Dalam wawancara peneliti
dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016
mengatakan bahwa:
“Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, mengelompokan menjadi lima terhadap pembiayaan bermasalah ini di sesuaikan dengan kriteria yang ada, pertama
dikelompokan dalam kategori Kol 1(lancar) tidak terdapat tungakan. Kol 2 (Dalam Perhatia
Khusus) terdapt tunggakan pokok yang melampui 2bulan. Kol 3 (Kurang Lancar) Kol 4
(Diragukan) yang mana pembiayaan dapat diselamatkan dan agunannys msdih memiliki nilai,
Kol 5 (Macet) tidak memenuhi kriteriabkurang lancar dan diragukan.”
Lembaga jasa keuangan pasti sudah mempunyai strategi untuk menyelamatkan
pembiayaan yang telah diberikan, dalam artian penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat
dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat pencegahan dan upaya-upaya yang bersifat
penyelamatan yang telah sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/4/BPPP tanggal 29
Mei 1993 dan berpedoman pada teori Kasmir (2012:110) sebagai berikut:
A. Rescheduling:
Berkaitan dengan pembahasan mengenai strategi penanganan pembiayaan bermasalah
peneliti melakukan wawancara dengan dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out
(CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa
“Strategi penangana pembiayaan bermasalah dengan melihat dari lis pembayaran apakah setiap jatuh tempo nasabah membayar tepat waktu, nasabah yang mengalami penunggakan
maka pihak bank akan melakukan pengingatan dengan telpon, sms dan kunjungan. Dalam tahap
awal penanganan pembiayaan bermasalah Di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
432
Malang melakukakan rescheduling (penjadwalan kembali) dengan menawarkan kepada nasabah
penjadwalan ulang pinjaman (PUSP)”. Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and
work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi
penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor
Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
“Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, melakukan penyelamatan pembiyaan
(rescheduling) dengan melakukan perubahan syart-syarat perjanjian pembiayaan yang
berkenang dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka waktu, termaksud dengan grace
periode.
Strategi penanganan pembiayaan bermaslah melalui metode rescheuling (penjadwalan
kembali) suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit
yang berkenaan dengan penjadwalan kembali /jangka waktu kredit termaksuk tentanggang, dan
tidak termasuk perubahan jumlah angsuran
Strategi penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang
Syariah Malang melakukan tunggakan Penjadwalan ulang sisa pinjaman (PUSP) yaitu jangak
waktunya lebih panjang dan angsurannya bisa mengalami penurunan dengan asuransi bisa
dikover dan tidak dikove.
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa rescheduling dua macam yaitu:
1. Memperpanjang jangka waktu kredit
Dalam hal ini debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu kredit,
misalnya perpanjang jangka waktu kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun sehingga debitur
mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikanya
2. Memperpanjang waktu angsuran
Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu angsuran kredit. Dalam
hal ini jangka waktu angsuran kreditnya dipanjang pembayarannya. Misalnya dari 36
kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah angsuranpun menjadi mengecil seiring
dengan penambahan jumlah angsuran.
Penanganan pembiayaan bermasalah yang yang ada di PT. Bank Tabungan Negara
Kantor Cabang Sayariah Malang mengunakan metode rescturturing, yang mengubah
jangkka waktua angsuran dan menambah jangsangat membantu nasabah dalam
penyelesaian pembiayaan bermaalah
B. Reconditioning
Resconditioning (persyaratan kembalai), dengan melakukan perubahan atas sebagian atau
seluruh persyartan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau
jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit.
Resconditioning dalam syariah biasanya biasanya dilakukan dengan penundaan
pembayaran atau grespriot, untuk tunggakan berjalan dihentikan contohnya nasabah tidak
mampu untuk melakukan pembayaran dalam satu tahun dan pembayaran dihentikan dan
mengalami perubahan.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and
work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi
penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor
Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
433
“Startegi penanagan pembiayaab bermasalah Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah
Malang berupaya menyelamatkan pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan perubahan
atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian pembiyaan
Dalam strategi penanganan pembiaan bermasalah metode reconditioning peneliti
melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam
16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa:
“Strategi penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Tabungan Negara Kamtor Cabang Syariah Malang, tahap selanjutnya mengunakan proses persyaratan kembali (reconditioning)
yang mana persyaratan ini hanya diberikan kepada nasabah tertentu.
Peneliti melakukan wawancara dengan Okta Yuda nasabah Bank tabungan Negara
tentang penanganan pembiayaan bermasalah dengan metode reconditioning mengatakan
“saya sempat mengalami terlambat bayar karena usaha saya usaha saya mengalami kemacetan, sehingga rumah saya mau distiker oleh bank,dan pihank bank sempat memberikan saya solusi
pokok penyelesaian anggsuran setau saya itu resconditioning , sepenjelasan mas yang datang
kepada saya resconditioning anggsuranya turun jangka waktunya bertambah, akan tetapi saya
hampir menunggu tiga minggu untuk prosespelaksanaannya, saya ingginkan proses itu
dipercepatagar nasabah kayak saya bisa menrima kejelasan.”
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa reconditioning dengan caramengubah
berbagai persyaratan yang ada seperti:
a. Kapitalisasi bunga, yaitu dengan cara bunga dijadikan hutang pokok.
b. Penundaan pembayaran bunga sampai wktu tertentu
Maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda pembauaran s edangkan
pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa
c. Penurunan suku bunga
Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban bnasabah.
Sebagai contoh jika bunga pertahun sebelumnya 15%. Hal ini tergantung
pertimbangan bank bersangkutan. Penurunan suku bungga akan
mempengaruhi jumlah anagsuran yang semakain mengecil, sehingga
diharapkan dapat membantu meringankan nasabah,
d. Pembebsan bunga
Dalam pembebasan suku bunga yang di berikan pada nasabah denga
pertimbangan nasabah sudah tidak mampu lagi membayarkredit tersebut. akan
tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar kredit tersebut.
Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok
pinjaman sasmapai lunas.
Dari wawanncara diatas dapat disimpulkan bahwa Langkah penyelesaian kredit
bermasalah yang dilakukan bank bagi nasabah yang masih mempunyai prospek dan mempunyai
iktikad baik. Penanganan pembiayaan bermasalah di bank dengan penerapan metode
reschonditioning, yang mana upya untuk melakukan penyelamatan atau penjegahan pembiayaan
bermasalah dengan melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh perjanjian pembiayaan yang
tidak terbatas hanya pada perubahan jadwal angsuran saja.
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
434
C. Restructuring
Menganai penanganan pembiayaan bermasalah restrukturing dapat dilakukan dengan
berpedoman kepada Surat Edaran Bannk Indonesia No.26/4/BPP tanggal 29Mei 1993, Melalui
restructuring (penataan kembali) upaya untuk berupa melakukan perubahan syarat-syarat
perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluru atau
sebagian kredit, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning.Penataan
kembali menyangkut:
1. Penurunan sukuk bunga kredit
2. Perpajang jangka waktu kredit
3. Pengurangan tunggakan bunga kredit
4. Pengurangan tungakan pokok
5. Penambahan fasilitas kredit
6. Konversi kredit menjadi pernyataan modal sementara
Dalam strategi penanganan pembiaan bermasalah metode restructuring peneliti
melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam
16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa:
“Setelah itu, proses (restructuring) yang mana di Bank Tabugan Negara Kantor Cabang Syariah malang rescheduling dan restructuring memppunyai kesamaan, restructuring dapat
dilakukan dengan pengalihan piutang dan melakukan perhitungan lagi dengan tidak menambah
jangaka waktu.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and
work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi
penanganan pembiayaan bermasalah pada tanggal 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di
kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
“Restructuring di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, bisa dilakukan
dengan pengalihan piutang dan akhirnya yang tadinya pembiayaan bermasalah selesai.
Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah juga melakukan penjadwalan ulang sisa
tunggakan. (PUST) dalam strategi Restructuring lebih pada pencegahan pembiayaan bermasalah
dengan tidak menambah jangka waktu akan tetapi jumlah angsurannya bertambah, dengan
asuransi tetap terkover, ketika pembiayaan ada asuransi jaminan, asuransi kebakaran dan
angsuransi jiwa,ketika orang di asuransi meninggal maka bisa diclemkan atau hutang yang ada
dinyatakan lunas meskipun nasabah masih mempunyai tunggakan, untuk penambahan jumlah
kredit tidak di lakukan di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang karena
penambahan jumlah kredit hanya ada pada Bank konvesional. Restructuring yang di lakukan di
bank syariah yang sudah dilakukan adalah penambahan fasilitas kredit, perpanjang jangka waktu
kredit. Untuk penurunan bunga kredit dan penambahan equity tidak dilakukankan karena tidak
sesuai dengan syariah.
Peneliti melakukan wawancara dengan Sandi Pratama Putra, nasabah Bank tabungan
Negara tentang penanganan pembiayaan bermasalah dengan metode restructuring mengatakan:
“Solusi PUST (reconditioning) itu sangat membantu saya jangka waktu saya tidak tambah tetapi
anggusaran saya bertambah, dengan program itu saya bisa tepat waktu untuk pelunasan saya.
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
435
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa restructuring
Yaitu dangan cara:
a. Menambah jumlah kredit
b. Menambah equity yaitu:
1). Dengan menyetor uang tunai
2). Tambahan dari pemilik
D. Kombinasi
Dalam strategi penanganan pembiaaan bermalsah metode kombinasi peneliti melakukan
wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu,
1 juni 2016 mengatakan bahwa:
Metode (Kombinasi) di gunakan di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang
atau mengabungankan dari rescheduling, dan reconditioning, atau restructuring dari tiga tahup
it saling bersinambungan.
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and
work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi
penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor
Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
“Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan kombinasi kepada nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah biasanya rescheduling berkombinasi dengan
restructuring sesuai dengan permasalahan yang di amlami oleh nasabah
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa kombinasi
Merupakan kombinasi dari ketiga jenis metode yang di atas misalnya komninasi
Retruturing dengan Reconditioning atau Rescheduling dengan Restructuring
E. Penyitaan jaminan
Dalam strategi penanganan pembiaaan bermalsah metode kombinasi peneliti melakukan
wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu,
1 juni 2016 mengatakan bahwa:
”Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan penyitaan jaminan
sebagai metode terakhir dalam penanganan pembiayaan bermasalah, melalui pelelangan atau
mengunakan surat kuasa menjual (SKM) dari notaris
Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and
work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang penyitaan
jaminan pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara
Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
“Sebelum melakukan penyitaan jaminan (pelelangan) Bank Tabungan Negara Kantor Cabang
Syariah Malang melakukan beberapa tahap yaitu pemberkasan terdiri dari SP 1,SP 2 dan SP 3,
pemberitahuan kepada nasabah (somasi) surat pengekosongan rumah seblum hari
pelelangandan mengajukan KPKML”
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa kombinasi
Penyitaan jaminan merupk jalan terakhir apabila nasabah suadah benar-benar tidak punya
etikad atau sudah tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutang.
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
436
Kesimpulan
Penelitian ini di lakukan oleh peneliti pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang
Syariah Malng, Unutk mengetahui bagaimana penenganan pembiayaan bermasalah pada KPR
di Bank BTN Syariah Malang periode 2014-2015. Dengan manfaat dapat menambah
penegtahuan ilmu tentang penangana pembiayaan bermasalah, dan melatih penulis untuk dapat
menerapkan teori-teori yang dapat diperkuliahan maka peneliti berharap akan menambah refrensi
dan bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi pebaca yang membutuhalan informasi tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian analisis teori yang diperoleh, maka dapat disimpulkan, untuk
strategi penanganan pembiayaan bermaasalah, pihak Bank Tabungan Negara Kantor Cabang
Syariah sudah sesuai dengan SOP dan teori kasmir, yaitu dangan cara: rescheduling,
reconditioning, restructuring, kombinasi dan penyitaan jaminan. Bank juga mengunakan
restructuring pembiayaan untuk membantu nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya.
Namum pada kenyataannya masih ada kekurangan dan yang terjadi. Kekurangan yang terjadi
kurangannya pengawasan sehingga proses pelaksanaan penangana terhadap nasabah yanag
mengalami pembiayaan bermasalah mengalami kelambatan dalam mentindak lanjuti.
Saran
Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis ingin memberikan beberapa saran yang
mungkin dapat dijadikan pertimbangan dan masukanbagi perbankan syariah pada umumnya dan
khususnya pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang.Agar strategi
penanganan pembiayaan bermasalah brjalan dengan baik harus terciptanya kondisi yang efektif
dan efisien antara dengan pihak bank maka diperlukan peningkaytan pelayanan dan pengawasan
Fani Firmansyah Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Refila Aulina Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
437
Daftar Pustaka
Antonio,Safi’I Muhammad, 2012, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
dan Tazkia Cendikia.
Asyhuri, Muhammad, (2013) Strategi Penanganan Pembiayaan di BMT Aamal Mulia Suruh
Skripsi (tidak di publikasikan)
Basrowi, Suwandi, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta
Djamil, Faturrahman. 2012. Penyelesaian pembiayaan bermasalah Di Bank Syariah. Jakarta:
Sinar Grafik
Inaya, Nur (2009). Strategi Penanganan Pembiayaan Bermasalah pada Pembiayaan
Murahbahah di BMT Bina Ihsanul Fikri Yogyakarta Skripsi (tidak di publikasikan)
Kasmir, 2012. Bank dan lembaga keuangan lainya. Jakarta: Rajawali Pers
Muhammad, 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: Unit Penerbitan dan
percetakan Akademik Manajemen Perusahaan YKPN
Machmud Amir.,Rukmana. 2010. Bank syariah. Jakarta: Penerbitan Erlangga
Rival Veithzal, Arviyan 2010. Islamic Banking. Jakarta: PT Bumi Aksara
Supriyono, Maryono, 2012. Buku pintar perbankan, Yogyakarta: C.V Andi Offiset
Prabowo. Bagya Agung, 2012, Aspek Hukum pembioayaam murabahah pada perbankan
Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press
Purhantara, Wahyu.2010. Metode Penelitian Kualitatif Unit Bisnis. Yogyakarta: Graha Ilmu
Prastowo, Andi (2010.) Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian
Jogjakarta: Ar-ruzz Media
Taufik, Akmat,(2015) Strategi Penanganan Pembiayaan Bermasalah pada Jasa Keuangan
Syariah Koperai BMT-MASLAHA skripsi (tidak di publikasikan)
Yulianto, Dwi, (2014), Penyelamatan Dan Penyelesaian Pembiayaan Kpr Bermasalah Mulai
Restrukturisasi Pada Bank Btn (Studi Pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang
Syariah Solo) Skripsi (tidak di publikasikan)
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
438
ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS
BANK
Apriangga Rachmandinur1, Purwanto
1,2
1Fakultas Bisnis, Universitas Presiden, Bekasi, Indonesia
2Faculty of Economic and Business, Padjajaran University, Bandung, Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh CAR, BOPO, NPL, dan NIM
terhadap profitabilitas bank dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan kepustakaan
dengan menggunakan tekhnis analisis regresi linear berganda. Subyek dalam penelitian ini
adalah 9 bank yaitu OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB
Niaga tahun 2010-2014. Berdasarkan uji t yang dilakukan diketahui bahwa BOPO, NPL,
NIM terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas bank. Berdasarkan tabel
koefisien determinasi dapat dilihat bahwa nilai Adjusted R2
adalah sebesar 0,609. Hal ini
dapat diketahui presentase pengaruh variable BOPO, NPL, NIM terhadap variable
profitabilitas sebesar 60,9% sedangkan sisanya sebesar 39,1% dipengaruhi oleh faktor lain di
luar model dalam penelitian ini.
Kata kunci : Profitabilitas, CAR, BOPO, NPL, NIM
Abstract
This research has a purpose to analyze the influence of CAR, BOPO, NPL, and NIM
toward the bank profitability with use quantitative method research. Data collection method
used in this research is documentation and literature and the analysis technique in this
research is multiple regression. The subject on this research is 9 bank that is OCBCNISP,
Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga at 2010-2014. Based on t
test used on this research known that BOPO, NPL, and NIM proven has influential in
significant on bank profitability. Based on the coefficient of determinant tabel known that It
appears that the adjusted is of 0,609 This thing can be known percentage influence of
variable BOPO, NPL, NIM toward variable bank profitability is 60,9% while 39,1%
influence by the others factor Outside a model in this research
Keywords :Profitability, CAR, BOPO, NPL, NIM
1. Latar Belakang
Kondisi ekonomi di Indonesia sebelum masa krisis moneter 1997-1998, pertumbuhan
ekonomi Indonesia sangatlah pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Stabilnya nilai rupiah
ini membuat para investor dan pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam
pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing,
khususnya Dollar Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah,
membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi ekonomi secara global pada
tahun 1997.
Krisis itu diawali dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang USD. Hal
ini membuat banyak bank di Indonesia mengalami kesulitan keuangan, terutama yang
mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Hal ini berakibat pada kebijakan
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
439
pemerintah untuk melikuidasi 16 bank pada masa itu, sehingga mendorong sejumlah nasabah
menarik dananya dari bank secara besar-besaran.
Menurut Booklet Perbankan 2014, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Selain itu bank merupakan salah satu industri yang memegang peran penting dalam
perekonomian nasional. Perbankan di Indonesia dituntut untuk memiliki kinerja yang baik
untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan investor sehingga dapat memicu pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan maka dari itu bank berperan sebagai perantara antara pihak yang
memiliki dana lebih (surplus unit) dan pihak yang memerlukan dana (deficit unit) dan juga
sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar aliran lalu lintas pembayaran.
Fungsi dan peran bank sangat penting bagi perekonomian suatu negara karena
masyarakat menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau meminjam dana guna investasi.
Keberadaan bank sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat dan merambah sampai ekonomi
suatu negara bahkan dalam lingkup internasional, sehingga bank akan selalu berkembang
seiring dengan aktivitas ekonomi. Modal utama bank adalah kepercayaan masyarakat yang
menyimpan dana di bank yang bersangkutan, kepercayaan masyarakat penting untuk
menghindari terjadinya rush and panic dimana masyarakat menarik dananya secara besar-
besaran. Peristiwa rush and panic terjadi di Indonesia pada tahun 1998 saat terjadi krisis
moneter. Berdasarkan "Global Financial Inclusion Index" yang dirilis oleh World Bank tahun
2013, hanya 20% dari masyarakat dewasa di Indonesia yang memiliki akses ke dunia
perbankan. Dengan pertumbuhan jumlah kantor bank yang tersebar di seluruh daerah di
Indonesia tersebut, diharapkan dapat memudahkan akses masyarakat ke dunia perbankan
yang pada ujungnya mampu mendorong produktifitas perekonomian dan pertumbuhan
ekonomi.
Tabel 1. Jumlah bank dan kantor yang ada di Indonesia
Indikator 2010 2011 2012 2013 2014
Bank Umum 122 124 120 120 119
Bank Perkreditan Rakyat 1.706 1.669 1.653 1635 1643
Jumlah Bank 1.828 1.793 1.773 1.755 1.762
Bank Umum 13.387 14.797 16.625 18.558 19.948
Bank Perkreditan Rakyat 3.910 4.172 4.425 4.678 4895
Jumlah kantor 17.747 18.969 21.050 23.236 24.834
Sumber : SPI Vol 13 No.9 Agustus 2015 data diolah peneliti, 2016
Jika kita melihat kondisi masyarakat sekarang, sangat jarang orang yang tidak
berhubungan dengan bank. Semakin lama bank semakin mendominasi perkembangan
ekonomi dan bisnis suatu negara, tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara
berkembang. Perkembangan dunia perbankan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat
dan moderen sehingga menyebabkan adanya persaingan antar bank.
Persaingan ini makin dirasakan oleh masyarakat dengan ditawarkannya produk-
produk dan jasa-jasa perbankan yang menggiurkan seperti bonus, hadiah, dan penawaran-
penawaran lainnya. Selain itu, bank mulai meningkatkan kualitas pelayanannya serta
teknologi yang dimiliki masing-masing bank berusaha untuk mendapatkan nasabah
sebanyak-banyaknya. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat profitabilitas adalah
dengan mencermati laporan kinerja keuangan bank. Bank yang memiliki kinerja keuangan
yang bagus menandakan bahwa bank tersebut dapat menghasilkan profitabilitas yang
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
440
maksimal. Profitabilitas merupakan indikator penting dalam laporan kinerja keuangan
perusahaan karena memiliki berbagai kegunaan.
Profitabilitas pada umumnya digunakan untuk menilai kondisi suatu perusahaan,
pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Profitabilitas yang
tinggi menunjukkan apakah perusahaan tersebut memiliki prospek yang bagus di masa
mendatang. Semakin tinggi profitabilitas yang dicapai suatu perusahaan maka semakin
terjamin kelangsungan hidup perusahaan. Selain itu tingginya profitabilitas dapat digunakan
sebagai bahan pengambilan keputusan bagi investor untuk menanamkan modalnya. Apabila
profitabilitas yang dihasilkan tinggi maka investor akan beranggapan bahwa perusahaan
tersebut memiliki perkembangan yang bagus sehingga modal yang ditanamkan dapat
bertambah dan tingkat pengembalian investasi tinggi.
Ukuran profitabilitas bank yang digunakan pada umumnya adalah Return On Equity
(ROE) dan Return On Asset (ROA). ROE hanya menghitung return yang diperoleh dari
investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut, sedangkan ROA memfokuskan
kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dari operasi perusahaan sehingga dapat
digunakan sebagai analisis rasio kemampuan perusahaan dalam mengelola asset yang
dimilikinya (Siamat, 2008). Pengukuran ROA menurut SE BI No 13/30/DPNP tanggal 16
Desember 2011 adalah dengan cara membandingkan laba sebelum pajak terhadap rata-rata
total aset. Semakin tinggi ROA menunjukkan kinerja keuangan yang baik, kerena bank
menjalankan kegiatan usahanya dengan lancar sehingga tingkat pengembalian modal tinggi.
Faktor pertama yang diduga berpengaruh terhadap ROA yaitu Capital Adequacy
Ratio (CAR). CAR adalah rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank
dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam
mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol resiko-resiko yang timbul yang
dapat berpengaruh pada besarnya modal bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011). CAR
menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank masih dapat ditutupi oleh equity bank yang
tersedia (Taswan, 2010). Bank Indonesia menetapkan modal minimal suatu bank adalah 8%,
hal tersebut tercantum dalam SE BI No 15/11/DPNP tanggal 8 April 2013. Semakin tinggi
CAR maka semakin banyak modal yang dimiliki oleh bank untuk manutupi penurunan aset.
Faktor kedua yang diduga mempengaruhi ROA adalah Beban Operasional
Pendapatan Operasional (BOPO). Pada laporan laba rugi sendiri terdapat dua pos utama,
yakni pendapatan operasional dan biaya operasional. Jika pendapatan operasional merupakan
hasil yang diperoleh dari kegiatan operasional maka, biaya operasional adalah biaya yang
dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan operasional tersebut. Jika biaya operasional besar
namun hanya menghasilkan pendapatan operasional yang sedikit maka bank tersebut
tergolong tidak efisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Di lain pihak, biaya
operasional yang besar nantinya akan mengurangi jumlah laba bersih yang dapat diperoleh
karena biaya operasional merupakan faktor pengurang dalam laporan laba rugi.
Bank yang nilai rasio BOPO-nya tinggi menunjukkan bahwa bank tersebut tidak
beroperasi dengan efisien sehingga, memungkinkan suatu bank berada dalam kondisi
bermasalah semakin besar. Nilai rasio BOPO yang ideal atau dikategorikan sangat sehat
berada antara 50-75% sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31
Mei 2004. BOPO yang menujukan tingkat efisiensi bank dalam menjalakan operasional
seharusnya memiliki dampak terhadap pertumbuhan ROA semakin tinggi BOPO maka
semakin tidak efisien bank tersebut. Fee Based Income yang berasal dari kegiatan
operasional bank juga termasuk di dalam BOPO.
Faktor ketiga yang diduga mempengaruhi ROA adalah Non Performing Loan (NPL).
Dilihat kembali dari fungsi bank untuk menyalurkan dana kepada masyarakat guna menaikan
taraf hidup masyarakat memiliki resiko yang cukup tinggi karena, dapat mengakibatkan
kredit bermasalah meskipun pengalokasian terbesar dari perbankan adalah dalam bentuk
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
441
kredit yang dapat meningkatkan keuntungan pada bank. Tingkat resiko yang dimiliki bank
dalam penyaluran dana kembali kepada masyarakat dapat dilihat dari rasio NPL.
NPL adalah rasio untuk mengetahui kemampuan bank dalam hal menutupi ketidak
mampuan dari kewajiban debitur untuk mengembalikan dana yang di berikan dalam bentuk
kredit oleh bank. Bank harus berhati-hati dalam pemberian dana kreditnya agar tidak memacu
tinggi tingkat NPL karena akan mempengaruhi biaya operasional dari bank yang akan
meningkat sehingga berpengaruh buruk pada kinerja dan kesehatan dari bank. Semakin
tinggi rasio ini, maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah
kredit bermasalah semakin besar dan menyebabkan kerugian, sebaliknya jika semakin rendah
NPL maka laba atau profitabilitas bank tersebut akan semakin meningkat (Puspitasari, 2009).
Bank Indonesia dalam PBI No 15/2/PBI/2013 menetapkan bahwa kategori bank sehat NPL
tidak melebihi dari 5 %.
Faktor keempat yang diduga mempengaruhi ROA adalah Net Interest Margin (NIM).
SE BI No 13/13/DPNP tanggal 16 Desember 2011, menyatakan bahwa NIM merupakan
perbandingan persentase pendapatan bunga dan rata-rata aset produktif. Rasio ini digunakan
untuk menghitung kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan
penempatan aset yang tersedia. Semakin besar hasil bunga yang didapatkan bank atas
pengelolaan asetnya maka hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya masalah. NIM
bertujuan untuk mengevaluasi kinerja bank dalam mengelola berbagai resiko yang mungkin
terjadi pada suku bunga. Semakin tinggi NIM yang diperoleh bank maka semakin tinggi pula
ROA bank karena pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank semakin
bertambah. Apabila selisih antara pendapatan bunga dengan biaya bunga yang didapat besar,
maka profitabilitas yang didapat pun akan semakin besar (Taswan, 2010).
Bank yang diteliti adalah 9 bank BUKU III yaitu singkatan dari Bank Umum
Kelompok Usaha III (PBI Nomor 14/26/PBI/2012) bank di BUKU III tersebut diantaranya
OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga yang namanya
sudah tercatat dalam Bursa Efek Indonesia dengan rentan waktu 5 tahun dari tahun 2010
sampai dengan 2014. Selama periode tersebut terdapat fluktuasi terhadap rasio-rasio
keuangan perbankan. Berikut adalah perkembangan rasio-rasio keungan perbankan
diantaranya ROA, CAR, BOPO, NPL, NIM pada bank OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega,
Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga dan rentan waktu periode 2010-2014 dengan sumber
yang didapat dari laporan tahunan bank yang sudah dipublikasi.
Sebagai pembuktian bahwa adanya pengaruh yang signifikan dari masing-masing
rasio keuangan serta dapat memberi bukti empirik. Pada kesempatan ini peneliti mengambil
contoh 9 bank umum devisa yang berada pada kategori Bank BUKU III dengan modal rata-
rata di bawah 30 Trilliun dan namanya tercatat dalam Bursa
Efek Indonesia yaitu OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB,
BTN, dan CIMB Niaga. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka identifikasi
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Profitabilitas merupakan dasar kunci dari tingkat kesehatan sebuah bank. Untuk
mengukur profitabilitas sebuah bank pada umumnya biasa menggunakan ROA
dimana hasil dari besar ROA akan menunjukan seberapa besar keuntungan pada bank
dalam suatu periode.
2. Modal inti bank menunjukan tingkat kesehatan bank yang memicu tingkat
kepercayaan dari masyarakat untuk menghimpun dana pada bank dan investor yang
menanamkan modal pada bank.
3. Tingkat efisiensi bank dalam menjalankan kegiatan operasional merupakan hal yang
memiliki pengaruh pada peningkatan profitabilitas bank.
4. Kemampuan bank dalam mengelola kredit bermasalah dalam era persaingan bisnis
perbankan yang semakin ketat dalam upaya peningkatan profitabilitas bank.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
442
5. Kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya dalam rangka
menghasilkan pendapatan bunga bersih menujukan tingkat profitabiltas bank.
6. Untuk mengetahui tingkat profitabilitas dari bank dapat diukur dari ROA yang
dipengaruhi oleh tinggi rendah rasio CAR, BOPO, NPL, NIM.
2. Landasan Teori
Profitabilitas ( Return on Asset / ROA)
Profitabilitas bank adalah hal yang sangat penting karena pendapatan bank ini
merupakan sasaran utama yang harus dicapai sebab, bank didirikan untuk mencapai tujuan
profit atau laba dimana laba merupakan kunci utama dalam kontinuitas atau perkembangan
bank. Kemampuan bank dalam memperoleh laba tercermin dalam laporan keuangan bank.
Profitabilitas perusahaan merupakan unsur yang mempengaruhi kebijakan investor atas
investasinya. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dapat menarik para investor
untuk menanamkan dananya guna menambah modal. Apabila profitabilitas suatu perusahaan
rendah maka investor akan menarik dananya. Bagi perusahaan profitabilitas digunakan
sebagai bahan evaluasi atas usaha yang didirikan.
Ukuran profitabilitas pada industri perbankan biasa digunakan umumnya dengan
Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). ROA memfokuskan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh profitabilitas dalam kegiatan operasinya sedangkan ROE
hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis
tersebut (Siamat, 2008). Pada penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah ROA.
Alasan penggunaan ROA sebagai salah satu rasio yang mengukur profitabilitas bank
dikarenakan Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mementingkan
aset yang dananya berasal dari masyarakat (Buyung, 2009).
ROA adalah rasio yang menunjukan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan
dalam perusahaan. Selain itu, ROA memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas
perusahaan karena menunjukan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk
memperoleh pendapatan (Kasmir, 2012). Retutrn on Asset adalah sama dengan Return on
Investment dalam analisa keuangan mempunyai arti yang sangat penting sebagai salah satu
teknik analisa keuangan yang bersifat menyeluruh (komprehensif). Return on Asset juga
sering disebut sebagai rentabilitas ekonomis yang merupakan ukuran kemampuan perusahaan
dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan (Sutrisno, 2009).
Analisis ini sudah merupakan teknik analisa yang lazim di gunakan oleh pimpinan
perusahaan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan (Munawir,
2010).
ROA menggambarkan perputaran aktiva diukur dari penjualan. Semakin besar rasio
ini maka semakin baik dan dalam hal ini berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan
meraih laba (Harahap, 2010). Return on asset sering juga disebut sebagai Return on
Investment, karena ROA ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu
memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan dan investasi tersebut
sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditanamkan atau ditempatkan (Fahmi, 2012).
Rasio ini menunjukkan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan bila diukur dari nilai
asetnya. Menurut Bank Indonesia, ROA merupakan perbandingan antara laba sebelum pajak
dengan rata-rata total aset dalam suatu periode.
Salah satu faktor dipilihnya rasio ini mengingat keuntungan yang diperoleh dari
penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efisiensi usaha suatu bank. Semakin besar
ROA suatu bank semakin besar pula keuntungan yang dicapai bank tersebut serta semakin
baik posisi penggunaan aset di dalam bank.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
443
ROA dapat dirumuskan sebagai berikut :
…………(1)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio permodalan yang menunjukkan
kemampuan bank dalam mengembangkan usaha dan menampung resiko kerugian yang
diakibatkan oleh kegiatan operasional perusahaan. Semakin banyak modal yang dihimpun
bank maka operasional bank dapat berjalan lancar. CAR juga dapat digunakan sebagai rasio
permodalan yang digunakan untuk melindungi nasabah sehingga mempertahankan
kepercayaan terhadap bank. Setiap bank diwajibkan untuk memelihara rasio kecukupan
modal atau CAR. Fungsi modal bagi bank adalah (Taswan, 2010) :
a. Melindungi deposan dengan menangkal semua kerugian usaha
perbankan sebagai akibat salah satu resiko usaha.
b. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan kemampuan bank untuk
memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo.
c. Membiayai kebutuhan aktiva tetap.
d. Mengusahakan kekurangan modal tersebut dari luar.
Dengan kata lain, semakin kecil resiko suatu bank dengan modal yang besar maka
semakin besar keuntungan yang diperoleh bank. Seperti diketahui bahwa CAR juga biasa
disebut dengan rasio kecukupan modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan
untuk menutup resiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang
mengandung resiko serta membiayai seluruh benda tetap dan inventaris.
Rasio kecukupan modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam rangka
mengembangkan usaha dan menampung kerugian serta mencerminkan kesehatan bank yang
bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan, melindungi dana
masyarakat pada bank bersangkutan. Faktor permodalan sangat penting dalam menjalankan
kegiatan operasional bank dan menunjang kebutuhannya, dengan kualitas pihak manajemen
dalam pengelolaan kegiatan perbankan akan mendapatkan tingkat laba yang diharapkan.
Dengan pengelolaan yang baik suatu bank akan terus meningkatkan modal dengan
memperhatikan indikator kesehatan permodalan yaitu CAR.
CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang
mengandung unsur resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) yang
ikut dibiayai dari modal sendiri bank, disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber
diluar bank. Semakin bersar CAR maka keuntungan bank juga akan semakin besar
(Dendawijaya, 2009). CAR adalah kecukupan modal yang menunjukan kemampuan bank
dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam
mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol resiko-resiko yang timbul yang
dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011).
Dengan kata lain, semakin kecil resiko suatu bank maka semakin besar keuntungan
yang diperoleh bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011). Dengan ini maka, CAR adalah rasio
kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva
yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalkan kredit yang diberikan. CAR
��� =������ ℎ
�������� ���100%
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
444
merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya
sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang beresiko.
Secara sistematis CAR dapat dirumuskan sebagai berikut :
……………(2)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011.
Modal terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal inti terdiri dari modal
disetor dan cadangan tambahan modal yang terdiri dari faktor penambah (agio, modal
sumbangan, cadangan umum modal, cadangan tujuan modal dll). Sedangkan modal
pelengkap terdiri dari cadangan revaluasi aktiva tetap, modal pinjaman, pinjaman subordinasi
dan peningkatan nilai penyertaan pada portofolio. ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut
Resiko) terdiri dari aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar resiko kredit yang
melekat. ATMR diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva dengan bobot resiko.
Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO)
Pada penelitian ini variabel BOPO diambil sebagai salah satu variabel atau faktor
yang mempengaruhi kinerja keuangan bank, karena bagaimanapun juga jika kita berbicara
mengenai kinerja suatu perusahaan pastilah juga berhubungan dengan efisiensi operasi
perusahaan tersebut. Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan
operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang
dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi
bermasalah semakin kecil.
Semakin besar BOPO maka akan semakin kecil atau menurun kinerja keuangan
perbankan. Begitu juga sebaliknya, jika BOPO semakin kecil, maka dapat disimpulkan
bahwa kinerja keuangan perbankan semakin meningkat atau membaik (Ambo, 2013). Beban
Operasional terhadap Pendapatan Operasional rasio ini mengindikasikan efisiensi operasional
suatu bank. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin tidak efisien operasional bank
(Taswan, 2010), BOPO merupakan rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan
operasional (Dendawijaya, 2009). Mengingat kegiatan utama bank adalah sebagai perantara
pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana, maka beban dan pendapatan
operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga. Biaya operasi merupakan
biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya
seperti biaya bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja dan biaya operasional lainnya.
Pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan yang
diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan pendapatan operasi lainnya seperti
biaya mutasi rekening, biaya surat referensi bank dan surat konfirmasi bank. Semakin kecil
BOPO menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya. Bank yang
sehat rasio BOPO-nya kurang dari satu sebaliknya bank yang kurang sehat, rasio BOPO-nya
lebih dari satu. Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO.
Bank yang sehat ketentuan dari BI harus memiliki BOPO < 93,52%. Rasio Beban
Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) sering disebut rasio efisiensi digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap
pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional
yang dikeluarkan bank tersebut.
��� = �����
�����100%
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
445
Secara sistematis BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut:
..……….(3)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011.
Non Performing Loan (NPL)
Menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 5 Tahun 2003 resiko adalah potensi
terjadinya peristiwa (event) yang menimbulkan kerugian. Seperti diketahui bahwa perbankan
di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Non Performing Loan (NPL) adalah rasio
kredit bermasalah yang menurut Peraturan BI No 15/2/PBI/2013, NPL tidak lebih dari 5 %
total kredit dan penyelesaiannya bersifat kompleks. Kredit bermasalah yang tinggi dapat
menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena harus membentuk
cadangan penghapusan yang besar (Siamat, 2005). Seiring dengan perkembangan pesat
tersebut juga diiringi dengan resiko tinggi yang harus dihadapi oleh bank. Salah satu resiko
yang dapat mempengaruhi profitabilitas atau tingkat keuntungan yang diraih oleh bank yaitu
resiko kredit.
Resiko kredit didefinisikan sebagai resiko kerugian yang dikaitkan dengan
kemungkinan kegagalan klien membayar kewajibannya atau resiko dimana debitur tidak
dapat melunasi hutangnya (Ghozali, 2011). Rasio keuangan yang digunakan sebagai proxy
dari resiko kredit adalah rasio NPL. Rasio ini menunjukkan kemampuan bank dalam
mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Salah satu resiko yang muncul akibat
semakin kompleksnya kegiatan perbankan adalah munculnya NPL yang semakin besar.
Semakin kecil NPL semakin kecil pula resiko kredit yang ditanggung bank. Bank dengan
NPL yang tinggi akan memperbesar biaya baik pencadangan aktiva produktif maupun biaya
lainnya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank (Mawardi, 2005).
Kredit bermasalah adalah pinjaman yang mengalami kesulitan akibat faktor
kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali debitur (Siamat,
2005). Tingginya NPL akan meningkatkan premi resiko yang berdampak pada tingginya suku
bunga kredit yang terlampau tinggi akan mempengaruhi permintaan masyarakat akan kredit
(Arma, 2010). Peningkatan Non Performing Loan dalam jumlah yang banyak dapat
menimbulkan masalah bagi kesehatan bank, oleh karena itu bank dituntut untuk selalu
menjaga kredit tidak dalam posisi NPL yang tinggi. Sebuah bank yang dirongrong oleh kredit
bermasalah dalam jumlah besar akan cenderung menurunkan profitabilitasnya (Sutojo, 2008).
kredit bermasalah secara umum adalah semua kredit yang mengandung resiko tinggi atau
kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang mengandung kelemahan atau tidak memenuhi
standar kualitas yang telah ditetapkan oleh bank (Arthesa, 2006).
Dalam dunia perbankan internasional, kredit dapat dikategorikan ke dalam kredit
bermasalah jika terjadinya keterlambatan pembayaran bunga dan atau kredit induk lebih dari
90 hari sejak tanggal jatuh temponya, tidak dilunasi sama sekali, atau diperlukan negosiasi
kembali atas syarat pembayaran kembali kredit dan bunga yang tercantum dalam perjanjian
kredit (Sutojo, 2008). Agar dapat menentukan tingkat wajar atau sehat maka ditentukan
ukuran standar yang tepat untuk NPL. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan naik
turunnya NPL suatu bank, diantaranya kemauan atau itikad baik debitur dan kebijakan
pemerintah dan Bank Indonesia terakhir adalah kondisi perekonomian. Bank Indonesia
melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan rasio NPL adalah sebesar 5%.
��� = �������� ����
�������������� �����100%
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
446
Semakin tinggi nilai NPL maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi
menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank. Menurut perhitungan rasio
keuangan Bank Indonesia, NPL didapat dari perbandingan antara kredit bermasalah dengan
total kredit. Kredit bermasalah meliputi kredit kurang lancar, diragukan, dan macet.
Secara sistematis NPL dapat dirumuskan sebagai berikut: (SE BI No13/30/DPNP Tanggal 16
Desember 2011).
……...(4)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011.
Net Interest Margin (NIM)
Net Interest Margin (NIM) merupakan rasio pendapatan bunga bersih yang didapat
oleh bank. Pendapatan tersebut diperoleh bank dari bunga yang diterima dari pinjaman atau
jasa-jasa yang diberikan bank kepada nasabah kemudian dikurangi oleh beban bunga dari
sumber dana yang telah dikumpulkan. Menurut SE BI No 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004,
Net Interest Margin adalah perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata
aktiva produktifnya. Rasio NIM merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan
pendapatan bunga bersih (Pandia, 2012).
Rasio NIM juga digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
menghasilkan pendapatan dari bunga dengan melihat kinerja bank dalam menyalurkan kredit,
mengingat pendapatan operasional bank sangat tergantung dari selisih bunga dari kredit yang
disalurkan (Mahardian, 2008). NIM merupakan selisih bunga simpanan DPK (Dana Pihak
Ketiga) dengan bunga pinjaman (Ghani dan Sugiyanto, 2008). NIM merupakan perbandingan
antara presentase hasil bunga terhadap total asset atau terhadap total earning asset (Riyadi,
2006).
Semakin besar NIM suatu bank, mengindikasikan semakin baik kinerja dalam
pemberian jasa-jasa perbankan. Untuk dapat meningkatkan NIM suatu bank perlu dilakukan
penekanan terhadap beban bunga. Dalam hal ini beban bunga adalah bunga yang dibayarkan
bank kepada masing-masing sumber dana yang bersangkutan. Tingkat suku bunga yang
diberikan oleh bank menentukan besarnya NIM. Menurut Surat Edaran No.6/23/DPNP
tanggal 31 Mei 2004 Bank Indonesia menetapkan kriteria rasio NIM adalah 6 %. Semakin
besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola
bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil.
Secara sistematis NIM dapat dirumuskan sebagai berikut:
…...(5)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011.
Metode Penelitian dan Hipotesis
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif, yaitu
menganalisis pengukuran fenomena ekonomi yang merupakan gabungan antara teori
ekonomi (informasi laporan keuangan), model matematika dan statistika yang
diklasifikasikan dalam kategori tertentu dengan menggunakan tabel-tabel tertentu guna
�� = !�� ��"�����ℎ
�����!�� ��100%
#� =����������$�%���� ℎ
���� − ������� ������$�� '�100%
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
447
mempermudah dalam menganalisis dengan menggunakan program IBM SPSS versi 22.
Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis regresi linier berganda,
untuk melihat hubungan antara satu variabel terikat dengan lebih satu variabel bebas.
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data untuk mempermudah pekerjaan dan hasil yang didapatkan lebih cermat,
lebih lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2010). Instrumen
penelitian digunakan untuk melakukan pengukuran dengan tujuan menghasilkan data yang
akurat.
Instrumen yang digunakan adalah :
1. Studi literatur
Studi literatur diperlukan untuk mencari data sekunder yang diperlukan dalam
penelitian dan juga untuk mengetahui sampai dimana ilmu yang berhubungan dengan
penelitian sudah berkembang (Nazir, 2013). Sumber studi literatur yang digunakan berasal
dari beberapa sumber, diantaranya adalah (Nazir, 2013) :
a. Buku teks
Buku teks adalah tulisan ilmiah yang digunakan sebagai buku wajib dalam mata kuliah
tertentu.
b. Jurnal
Jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi hasil seminar atau tulisan ilmiah yang
diterbitkan oleh himpunan profesi ilmiah. Abstract jurnal adalah majalah ilmiah yang
berisi singkatan atau ikhtisar (judul, metode serta kesimpulan) dari artikel pada jurnal
terbaru.
c. Periodical
Periodical adalah majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala yang berisi hasil
penelitian yang dikerjakan.
d. Yearbook
Yearbook adalah buku yang berisi fakta dan statistik selama satu tahun dan diterbitkan
tiap tahun oleh lembaga pemerintah atau swasta. Yearbook yang dikeluarkan dapat
juga membahas suatu masalah bidang ilmu.
e. Buletin
Buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang berisi tentang catatan ilmiah mengenai suatu
kegiatan operasional dan diterbitkan secara berkala.
f. Annual Review
Annual review berisi ulasan tentang literatur yang telah diterbitkan selama setahun atau
beberapa tahun sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan dua instrumen pengumpulan data, yaitu:
Studi Pustaka
Penelitian ini menggunakan data dan teori yang relevan terhadap permasalahan yang
akan diteliti dengan melakukan studi pustaka terhadap literatur dan bahan pustaka lainnya
seperti artikel, jurnal, buku dan penelitian terdahulu. Studi kepustakaan berkaitan dengan
kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang
berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
448
dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literatur-
literatur ilmiah ( Sugiyono, 2012)
2. Studi Dokumentasi
Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara
mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang memiliki hubungan
dengan masalah yang sedang diteliti. Studi dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar, dan karya monumental dari seseorang
(Sugiyono, 2012). Studi dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data
yang berupa laporan tahunan yang diperoleh dari laporan keuangan yang sudah dipublikasi
oleh perusahaan dan Bank Indonesia. Hal ini dilakukan agar informasi dan data yang
diperoleh benar bersumber dari objek yang akan dijadikan penelitian.
Desain sampel
a. Populasi
Populasi adalah suatu kumpulan individu yang mempunyai kualitas dan ciri-ciri yang
telah ditetapkan (Nazir, 2013). Keterangan mengenai suatu populasi dapat dikumpulkan
dengan dua cara, yaitu :
1) Sensus atau complete enumeration
Sensus adalah menghitung setiap unit populasi
2) Sampel atau sample enumeration
Perhitungan yang hanya dilakukan pada bagian unit populasi saja. Keterangan tentang
sesuatu hal diambil dari wakil populasi atau sampel.
Populasi merupakan keseluruhan objek peneletian dan populasi dalam penelitian ini
merupakan populasi terbatas, karena sumber data yang diperoleh secara kuantitatif dan
jumlahnya dapat dihitung. Populasi dalam penelitian ini adalah bank kategori BUKU (Bank
Umum Kelompok Usaha) III yang tercatat namanya di Bursa Efek Indonesia.
b. Sampel
Sampel adalah objek penelitian yang diambil dari suatu populasi dan memiliki
karakteristik yang sama dengan populasi tersebut. Sampel adalah bagian dari populasi yang
memiliki karakteristik yang sama dengan populasi (Sugiyono, 2012). Sampel yang
digunakan dalam penelitian adalah 9 bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) III yang
namanya tercatat dalam Bursa Efek Indonesia yaitu, OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega,
Permata, UOB, BJB, BTN, dan CIMB Niaga. Penelitian ini menggunakan data pengamatan
selama lima tahun yaitu tahun 2010-2014.
Uji Asumsi Klasik
Model regresi yang digunakan dalam menguji hipotesis haruslah menghindari
kemungkinan terjadinya penyimpangan asumsi klasik. Asumsi klasik regresi menurut
Ghozali (2011) terdiri dari uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji multikolineritas, dan uji
autokorelasi.
Regresi Linier Berganda
Dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau
lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
449
independen (Ghozali, 2011). Model regresi linear berganda (multiple linier regresion
method), digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari satu
variabel terikat (dependen) dan lebih dari satu variabel bebas (independen). Penelitian ini
menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan 9 Bank BUKU (Bank
Umum Kelompok Usaha) III OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB,
BTN, dan CIMB Niaga periode 2010 – 2014 yang dipublikasikan dan dikutip dari laporan
tahunan serta tercantum dalam Direktori Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia. Data penelitian adalah gabungan antara deret waktu (time series) dan cross section
selama kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2014. Jangka waktu tersebut dipandang
cukup untuk mengikuti perkembangan kinerja bank. Dalam penelitian ini yang menjadi
variabel terikat adalah profitabilitas (ROA), sedangkan yang menjadi variabel bebas CAR,
BOPO, NPL dan NIM. Model hubungan ROA dengan CAR, BOPO, NPL, dan NIM dapat
disusun dalam persamaan linear sebagai berikut :
………………………….(6)
Sumber : Ghozali, 2011 diolah peneiliti
Y = Return On Asset (ROA)
a = konstanta
β1- β4 = koefisien regresi, merupakan besarnya perubahan variabel terikat akibat perubahan
tiap-tiap unit variabel bebas.
X1 = Capital Adequacy Ratio (CAR)
X2 = Beban Oprasional Pendapatan Oprasional (BOPO)
X3 = Non Performing Loan (NPL)
X4 = Net Interest Margin (NIM)
e = Kesalahan residual (error)
Hipotesis
Adapun hipotesis yang akan diuji kebenarannya adalah sebagai berikut :
a. Hipostesis 1 : CAR memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
b. Hipostesis 2 : BOPO memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
c. Hipostesis 3 : NPL memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
d. Hipostesis 4 : NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
e. Hipostesis 5 : Secara simultan CAR, BOPO, NPL, NIM berpengaruh
signifikan terhadap ROA
3. Hasil Penelitian dan Diskusi
Analisa Deskriptif
Pada bagian ini akan dideskripsikan data dari masing-masing variabel yang diolah
mengunakan SPSS versi 22. Adapun hasil olahan data dari SPSS dalam bentuk deskriftif
statistik akan menampilkan karakteristik dari sampel yang digunakan antara lain yaitu;
jumlah sampel (n), mean, minimum, maksimum serta, standar deviasi dari masing-masing
variabel sebagai berikut :
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
450
Tabel 2. Statistik deskriptif ROA, CAR, BOPO, NPL, NIM
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean
Std.
Deviation
ROA 45 0,67% 3,31% 1,97% 0,62%
CAR 45 11,70% 22,85% 15,87% 2,39%
BOPO 45 44,76% 93,03% 78,79% 11,38%
NPL 45 0,73% 4,36% 2,29% 0,97%
NIM 45 3,63% 7,96% 5,28% 0,95%
Valid N
(listwise) 45
Sumber : Data Sekunder diolah menggukana SPSS versi 22, 2016
Bedasarkan tabel 2 dapat dilihat statistik deskriptif dari masing-masing variabel. Dari
45 data sampel ini variabel CAR memiliki nilai minimum sebesar 11,70%, maksimum
sebesar 22,85% dan standar deviasi 2,39 % yang jauh lebih kecil dari mean yang sebesar
15,87% membuktikan bahwa variabel CAR terdistribusi secara baik. Lalu pada variabel
BOPO dapat dilihat nilai minimum sebesar 44,76%, maksimum 93,03%, dan standar deviasi
sebesar 11,38% lebih kecil dari nilai mean yang sebesar 78,79% dikatakan juga baik
terdistribusi. Pada variabel NPL nilai minimum sebesar 0,73%, maksimum 4,36%, dan
standar deviasi 0,97% lebih kecil dari nilai mean yang sebesar 2,29% menunjukan NPL juga
terdistribusi secara baik hal ini di dukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang membatasi
rasio NPL adalah 5% jika lebih dari itu maka dapat dikatakan bank tidak sehat. Untuk
pendapatan dari bunga bersih yaitu variabel NIM juga dapat dilihat nilai minimum sebesar
3,63%, maksimum 7,96%, dan standar deviasi sebesar 0,95% lebih kecil dari nilai rata-rata
mean 5,28% menujukan pendapatan dari bunga bersih juga terdistribusi secara baik. Variabel
ROA memilki nilai minimum 0,67%, nilai maksimum 3,31%, dan standar deviasi sebesar
0,62% berada di bawah nilai mean sebesar 1,97% membuktikan juga bahwa tidak ada
penyimpangan yang terlalu jauh atau terdistribusi secara baik. Nilai standar deviasi yang
lebih besar dari mean akan menunjukan adanya penyimpangan (Outlier) yang biasanya
muncul karna data yang terlalu ekstrim (Ghozali, 2009).
Hasil Pengujian Regresi Berganda
Tabel 3. Pengujian Regresi Berganda
Coefficientsa
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
B Std. Error Beta
1 (Constant) 2,110 ,665
CAR ,020 ,027 ,078
BOPO -,030 ,006 -,541
NPL -,193 ,062 -,302
NIM ,439 ,069 ,669
a. Dependent Variable: ROA
Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
451
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dirumuskan persamaan regresi berganda sebagai berikut :
………(6)
Dari persamaan analisis regresi berganda diatas maka dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Nilai konstan dari regresi berganda adalah 2,110 yang menunjukan bahwa nilai dari
CAR, BOPO, NPL, NIM diabaikan atau sama dengan nol (X1=X2=X3=X4=0) ketika
nilai ROA adalah 2,110
2. Capital Adequacy Ratio memiliki nilai positif unstaderdized coefficient beta sebesar
0,20. Nilai positif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa CAR
memiliki pengaruh positif terhadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1%
kenaikan dari CAR akan menambah sebesar 0,20 nilai dari ROA.
3. Beban Operasional Pendapatan Operasional memiliki nilai negatif unstaderdized
coefficient beta sebesar 0,30. Nilai negatif dari unstaderdized coefficient beta
mengindikasikan bahwa BOPO memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil
tersebut berarti setiap 1% kenaikan BOPO akan mengurangi sebesar 0,30 nilai dari
ROA.
4. Non Performing Loan memiliki nilai negatif unstaderdized coefficient beta sebesar
0,193. Nilai negatif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa NPL
memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% dari
kenaikan NPL akan mengurangi sebesar 0,193 nilai dari ROA.
5. Net Interest Margin memiliki nilai positif unstaderdized coefficient beta sebesar
0,439. Nilai positif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa NIM
memiliki pengaruh positif tehadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% dari
kenaikan NIM akan menambah sebesar 0,439 nilai ROA
Unstandardized coefficient beta digunakan karena data yang diuji adalah berskala
rasio murni, dan memiliki nilai nol mutlak. Selain itu Unstandardized coefficient beta
digunakan karena satuan pengukuran sama, yaitu satuan persen.
Uji Siginfikan Parameter Individual (Uji Statistik t)
Uji T-test digunakan untuk mengetahui tiap-tiap dari variabel mana saja yang
memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Secara parsial pengaruh dari empat variabel
independen tersebut terhadap ROA ditunjukkan pada tabel 4. sebagai berikut:
Tabel 4. Uji Statistik t
Coefficientsa
Model T Sig.
1 (Constant) 3,175 ,0,03
CAR 0,759 ,452
BOPO -5,345 ,000
NPL -3,114 ,003
NIM 6,393 ,000
a. Dependent Variabel: ROA
Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016
ROA = 2,110 + 0,20 CAR - 0,30 BOPO - 0,193 NPL +0,439 NIM
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
452
Hasil pengujian parameter individual diatas dapat dilihat variabel mana yang
signifikan dengan melihat kolom Sig. jika nilai tersebut tidak melebihi dari angka 5%
maka variabel bebas yang uji memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel terikat
maka dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Nilai signifikasi dari CAR adalah 0,452 dimana nilai signifikasi lebih besar dari 5%.
Dari hasil tersebut H01 diterima (Ha1 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa CAR
memiliki pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap ROA. Nilai positif dari t
mengindikasikan bahwa CAR memliki pengaruh positif terhadap ROA.
2. Nilai siginifikasi dari BOPO adalah 0.000 dimana signifikasi kurang dari 5%. Dari
hasil tersebut Ha2 diterima (H02 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa BOPO memiliki
pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai negatif dari t mengindikasikan bahwa
BOPO memiliki pengaruh negatif terhadap ROA.
3. Nilai siginifikasi dari NPL adalah 0.003 dimana signifikasi kurang dari 5%. Dari hasil
tersebut Ha3 diterima (H03 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa NPL memiliki
pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai negatif dari t mengindikasikan bahwa NPL
memiliki pengaruh negatif terhadap ROA.
4. Nilai signifikasi dari NIM adalah 0,000 dimana nilai signifikasi kurang dari 5%. Dari
hasil tersebut Ha4 diterima (H04 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa NIM memiliki
pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai positif dari t mengindikasikan bahwa NIM
memliki pengaruh positif terhadap ROA.
Hasil T-test tersebut, dapat dilihat bahwa Capital Adequacy Ratio tidak memilki
pengaruh signifikan terhadap Return on Asset. Jadi persamaan CAR dalam regresi berganda
dieliminasi sehingga persamaan baru dari regresi berganda tersebut setelah uji hipotesis
adalah :
………………….(7)
Persamaan tersebut maka dapat dikatakan nilai konstan adalah 2,110 yang
menunjukan nilai BOPO, NPL, NIM adalah nol ketika ROA berada pada nilai sebesar 2,110.
Uji Signifikan Simultan F (Uji Statistik F)
Berdasarkan output SPSS nampak bahwa pengaruh secara bersama-sama empat
variabel independen pada CAR, BOPO, NPL, NIM terhadap ROA seperti ditunjukkan pada
tabel 4.5 sebagai berikut :
Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016
Tabel 5. Uji statistik F
ANOVAa
Model
Sum of
Squares df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 11,090 4 2,773 18,144 ,000b
Residual 6,112 40 ,153
Total 17,203 44
a. Dependent Variabel: ROA
b. Predictors: (Constant), NIM, BOPO, NPL, CAR
ROA = 2,110 - 0,30 BOPO - 0,193 NPL +0,439 NIM
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
453
Hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 18,144 dan nilai signifikansi sebesar
0,000. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari tingkat kepercayaan yang digunakan 5%, dari
hasil tersebut maka Ha5 diterima (H05 ditolak) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan
dari variabel CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap ROA 2010-2014 dan dapat
disimpulkan bahwa model layak untuk diteliti.
Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi merupakan kemampuan prediksi dari keempat variabel
independen (CAR, BOPO, NPL, NIM) terhadap variabel dependen ROA (Profitabiltas). Hasil
dari pengujian ini menunjukan seberapa besar presentase yang menjelaskan pengaruh
variabel independen terhadap variabel dependen dengan melihat Adjusted R2
sebaga fator
pengaruhnya (1-Adjusted R2)
Tabel 6. Adjusted R2
Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22
Pada tabel 6, nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,609 atau 60,9% hal
ini berarti 60,9% perubahan Profitabilitas (ROA) yang bisa dijelaskan oleh dari keempat
variabel bebas yaitu: CAR, BOPO, NPL, NIM sedangkan sisanya sebesar 39,1% dijelaskan
oleh sebab-sebab lain diluar model. Pengaruh keempat variabel cukup besar terhadap
perubahan laba dengan range tahun penelitian yang hanya 5 tahun laporan keuangan
dikatakan cukup baik untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Selain itu rasio keuangan
yang digunakan sebagai variabel independen juga dapat menjadi penyebabnya.
Diskusi
Dari hasil hitung statisktik regresi berganda diatas untuk menganalisa pengaruh dari
variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil tersebut dapat diinterpretasikan
dengan melihat nilai dari nilai unstanderdized coefficient beta dari hasil regresi berganda
sebagai berikut:
1. Pengaruh CAR terhadap ROA
Pengujian (Ha1) membuktikan variabel CAR memiliki pengaruh tetapi tidak signifikan
terhadap ROA yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar 0,078
dan tingkat signifikansi yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,452. Hal tersebut tidak sesuai
dengan hipotesis yang menyebutkan CAR berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga
hipotesis 1 menyatakan CAR memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap ROA. Hasil
dari uji parsial ini tidak sejalan dengan hasil dari Dendawijaya (2009) dan Kuncoro (2011)
Model Summaryb
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 ,803a ,645 ,609 0,39091%
a. Predictors: (Constant), NIM, BOPO, NPL, CAR
b. Dependent Variabel: ROA
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
454
yang menyatakan bahwa semakin besar dan tingginya tingkat rasio dari CAR akan
mempengaruhi tingkat besar dan tingginya keuntungan dari sebuah bank. Hal ini
bertentangan dengan peneilitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi (2014) yang
mendapatkan hasil bahwa CAR berpengaruh signifikan terhadap ROA akan tetapi hal ini
sejalan dengan penelitian lain yang diteliti oleh Hutagalung (2013) bahwa CAR tidak
memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
2. Pengaruh BOPO terhadap ROA
Pengujian (Ha2) membuktikan variabel BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA
yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar -0,541 dan tingkat
signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,000. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis
yang menyebutkan BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 2
menyatakan BOPO memilki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil dari
perhitungan uji parsial BOPO yang signifikan didukung dengan teori dari Ambo (2013) yang
menyebutkan bahwa jika BOPO semakin kecil, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja
keuangan perbankan semakin meningkat atau membaik. Hal ini sejalan dengan penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Widiastuti (2014) bahwa BOPO memilki pengaruh negatif
signifikan terhadap ROA.
3. Pengaruh NPL terhadap ROA
Pengujian (Ha3) membuktikan variabel NPL berpengaruh signifikan terhadap ROA
yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar -0,302 dan tingkat
signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,003. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis
yang menyebutkan NPL berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 3
menyatakan NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil ini sejalan
dengan teori dari Sutojo (2008) yaitu sebuah bank yang dirongrong oleh kredit bermasalah
dalam jumlah besar akan cenderung menurunkan profitabilitasnya. Dari penelitian
sebelumnya yang dilakukan oleh Mitasari (2014) juga menyebutkan bahwa NPL berpangaruh
signifikan terhadap ROA, hal ini juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Randy
(2014) yang juga menyatakan bahwa NPL juga memilki pengaruh yang signifikan terhadap
ROA.
4. Pengaruh NIM terhadap ROA
Pengujian (Ha4) membuktikan variabel NIM berpengaruh signifikan terhadap ROA
yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar 0,669 dan tingkat
signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,000. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis
yang menyebutkan NIM berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 4
menyatakan NIM memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ROA diterima. Hasil dari uji
parsial NIM sejalan dengan teori dari Mahardian (2008) NIM digunakan untuk mengukur
kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari bunga dengan melihat
kinerja bank dalam menyalurkan kredit, mengingat pendapatan operasional bank sangat
tergantung dari selisih bunga dari kredit yang disalurkan dan teori dari Pandia (2012) yang
menyebutkan Rasio Net Interest Margin (NIM) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk
menghasilkan pendapatan bunga bersih. Dari penelitian yang dilakukan Tan Sau Eng (2013),
Sulindawati dkk (2015) juga menyatakan bahwa NIM memilki pengaruh signifikan terhadap
ROA sehingga mendukung hasil dari penelitian yang dilakukan.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
455
5. Pengaruh secara simultan CAR, BOPO, NPL,NIM terhadap ROA
Pengujian F-tes diperoleh nilai F sebesar 18,44 dan nilai signifikasi sebesar 0,000
yang tidak lebih besar dari 5%. Dari hasil tersebut maka Ha5 diterima (H05 ditolak) yang
berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel CAR, BOPO, NPL, NIM secara
simultan terhadap ROA. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa
CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap ROA memiliki pengaruh signifikan
diterima. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung
(2013) dan Mitasari (2014) juga menyatakan bahwa secara simultan CAR, BOPO, NPL, NIM
memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA sehingga mendukung hasil dari penelitian ini.
Sementara dari hasil perhitungan koefisien determinasi R2
didapatkan hasil Adjusted R2
sebesar 0,609 atau 60,9%. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengaruh dari
variable CAR, BOPO, NPL dan NIM memiliki pengaruh sebesar 60,9% terhadap ROA yang
berarti 39,1% di pengaruhi oleh faktor lain di luar variable yang ditelilti.
5. Kesimpulan
1. Pengaruh CAR terhadap ROA melalui uji-T, CAR dengan nilai t hitung sebesar 0,759
dan taraf signifikasi sebesar 0,452 lebih besar dari 0,05 tersebut maka CAR bengaruh
positif tetapi tidak signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara statistik
membuktikan bahwa CAR memiliki positif pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap
ROA. Artinya kecukupan modal tidak memiliki pengaruh positif signifikan terhadap
profitabilitas sebuah bank.
2. Pengaruh BOPO terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T,
BOPO dengan nilai t hitung sebesar -5,345 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih
kecil dari 0,05 tersebut maka BOPO memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap
ROA. Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa BOPO memiliki pengaruh
signifikan terhadap ROA. Artinya efisiensi memiliki pengaruh signifikan terhadap
profitabilitas sebuah bank.
3. Pengaruh NPL terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T, NPL
dengan nilai t hitung sebesar -3,114 dan taraf signifikasi sebesar 0,003 lebih kecil dari
0,05 tersebut maka NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA.
Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa NPL memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap ROA. Artinya resiko kredit bermasalah memiliki pengaruh negatif
signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank.
4. Pengaruh NIM terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T dengan
nilai t hitung sebesar 6,393 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05
tersebut maka NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara
statistik membuktikan bahwa NIM memiliki pengaruh positif signifikan terhadap
ROA. Artinya pendapatan dari bunga bersih memiliki pengaruh positif signifikan
terhadap profitabilitas sebuah bank.
5. Pengaruh variabel independen CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap
profitabilitas yang diukur dengan ROA melalui uji-F dengan nilai F hitung sebesar
18,144 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 tersebut maka CAR,
BOPO, NPL, NIM yang secara simultan memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
456
Nilai dari Adjusted R2 menunjukan besarnya pengaruh dari variable independen
terhadap variable dependen adalah 60,9% yang sisanya 39,1% dipengaruhi faktor
eksternal diluar dari variablel yang diteliti. Dapat disimpulkan pengaruh dari
kecukupan modal, efisiensi, kredit bermasalah, dan pendapatan bunga bersih secara
bersamaan memiliki pengaruh signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
457
Daftar Pustaka
Agus Salim (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Aldridge, John.E Siswanto Sutojo. (2008). Good Corporate Governance. Jakarta: PT.Damar
Mulia Pustaka.
Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta:
Rineka Cipta.
Arthesa, Ade dan Edian Handiman. (2006). Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank.
Jakarta: Indeks.
Dahlan, Siamat. (2008). Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat. Lembaga Penerbit
FE Universitas Indonesia, Jakarta.
Fahmi, Irham. (2012). Analisis Laporan Keuangan. Cetakan Ke-2. Bandung: Alfabeta.
Frianto, Pandia, (2012). Manajemen Dana dan Kesehatan Bank. Jakarta: Rineka Cipta.
Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi Ke-5.
Semarang: BP Universitas Diponogoro.
Harahap, Sofian Safitri. (2010). Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: Rajawali
Persada.
Istijanto, (2009). Aplikasi Praktis Riset Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kasmir, (2012). Analisis Laporan Keuangan. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Kuncoro, Mudrajad., Suharjono. (2011). Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Edisi
Kedua. Yogyakarta: BPFE
Lukman, Dendawijaya. (2009). Manajemen Perbankan.Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Mudrajad, Kuncoro dan Suhardjono. (2011). Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Munawir. (2010). Analisis laporan Keuangan. Edisi 4. Yogyakarta: Liberty.
Nazir, Mohamad. (2013). Metode Penelitian. Jakarta: Balai Aksara.
Riyadi Selamet, (2006). Banking asset and liability management. Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.
Sugiyono. (2012). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D. Bandung:
Alfabetha.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
458
Sutrisno, Edi. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Taswan. (2010). Manajemen Perbankan Konsep, Teknik, dan Aplikasi. Edisi Kedua.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN
Ambo, Aman. (2013). Analisis Kinerja Keuangan Dengan Menggunakan Metode Camel
Pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa Di Indonesia Tahun 2007-2011,
SKRIPSI. NHAS Makasar.
Billy Arma Pratama. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan
Penyaluran Kredit Perbankan ( Studi Pada Bank Umum di Indonesia Periode tahun
2005-2009). Semarang: Universitas Dipenogoro, 397-403. ISSN 1907-9958.
Nusantara, Ahmad Buyung. (2009). Analisis Pengaruh NPL, CAR, LDR, DAN BOPO
Terhadap Profitabilitas Bank (Perbandingan Bank Umum Go Publik dan Bank Umum
Non Go Publik di Indonesia Periode Tahun 2005-2007. Tesis Program e-Journal Ak.
Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi (Volume 2 No.1 Tahun 2014)
Studi Magister Manajemen. Universitas Diponegoro.
Puspitasari, Diana. (2009). Analisi pengaruh CAR, NPL, PDN, NIM, BOPO, LDR, Dan Suku
Bunga Sbi Terhadap ROA. Tesis. Magister Manajemen, Universitas Diponegoro
Semarang.
Talattov, Abra Puspa Ghani. dan FX Sugiyanto. (2011). Analisis Struktur, Perilaku dan
Kinerja Industri Perbankan di Indonesia Tahun 2003-2008. Semarang. Universitas
Diponegoro.
Booklet Perbankan Indonesia Edisi Maret 2014, Bank Indonesia
Peraturan BI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan
Modal Inti Bank.
Peraturan BI No 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan
Bank Umum Konvensional.
PSAK No. 31 Akuntansi Perbankan.
SE BI No 13/13/DPNP tanggal 16 Desember 2011 perihal Perubahan Ketiga atas Surat
Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan
Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia.
SE BI No 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011 perihal Laporan Keuangan Publikasi
Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan
kepada Bank Indonesia.
SE BI No 15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi
Bank Umum.
Apriangga Rachmandinur Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Purwanto Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
459
SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank
umum dan lampiran.
UU Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
Agency Problem
Analytical Hierarchy Process
BOPO
CAR
Change management
Corporate Governance Self Assessment Checklist.
Corporate Social Responsibility Disclosure
Culinary product souvenirs
Delay
Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya
Dividend Payment
Earnings management
E-Innovation
Employee Performance
Excess Free Cash Flow
Good Corporate Governance
High-profile and low-profile industries
Home industry
Industri rumah tangga
Innovation
Kemasan
Learning organization
Legal
Legalitas
Marketing
NIM
NPL
On time performance
Organizational Citizenship Behavior
Organizational Commitment
Packaging
Pemasaran
Produk kuliner oleh-oleh
Profitabilitas
Profitability
Punctuality
Quality of services
ROE
Tobin’s Q
Transformational Leadership Style
380, 381, 382, 383, 384, 391, 392, 393, 394
370, 371, 372, 375, 376, 377, 378
438, 440, 441, 442, 444, 445, 449, 450, 451, 452, 453, 454,
455, 456, 458
438, 440, 441, 442, 443, 444, 449, 450, 451, 452, 453, 454,
455, 456, 458
319, 321, 324, 331, 332
357, 360, 361, 368
303
347
334, 335, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346
370, 372, 373, 374, 375, 377, 378
380, 383, 391, 392
380, 381, 382, 383, 384, 385, 386, 387, 388, 389, 390, 391,
392, 393, 394, 395, 396, 397
370, 371, 372, 375, 376, 377, 378
319, 398
380, 386, 389
357, 358, 360, 362, 363, 368, 369
303
347
347, 348, 350, 351, 354, 355
370, 371, 372, 375, 376, 377, 378, 379
347, 348, 350, 351, 354, 355, 356
319, 324, 331, 332, 333
347, 350, 355
347, 348, 354, 355, 356
347, 356
438, 441, 442, 446, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 455, 456,
458
438, 440, 441, 442, 445, 446, 449, 450, 451, 452, 453, 454,
455, 456, 458
334, 344, 345
398, 399, 400, 402, 407, 409, 422, 423, 424, 425
398, 423, 424, 425
347
347, 348, 350, 352, 354, 355, 356
347, 348, 349, 350, 354, 355, 356
438, 439, 440, 441, 442, 445, 449, 454, 455, 456, 458
438
334, 346
334
303
303, 304, 307, 308, 309, 310, 311, 313
398
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Sisilia Devina Permatasari, Supatmi
ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE
303
Joeliaty, Yayan Firmansyah
PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJARAN SERTA
DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG
319
T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti
EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS RUTE SURABAYA-SINGAPURA
DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT
334
Cahyani Tunggal Sari, BRM Suryo Triono
PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN MANCANEGARA
PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO
347
Rudy Hartanto, Helni Mutiarsih Jumhur
ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA
PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA
357
Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal
STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN MENGGUNAKAN VOTING
DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENAMPUNG IDE INOVASI
DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KOTA SURABAYA
370
Marika Suma Raya Sembiring, Kathleen Kusuma Nugroho
THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW GROWTH PERSPECTIVE
TOWARDS EARNING MANAGEMENT
380
Prima Kartika Sari, Euis Soliha
KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)
SEBAGAI PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL
TERHADAP KINERJA PEGAWAI
398
Fani Firmansyah, Refila Aulina
STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA
PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG
427
Apriangga Rachmandinur, Purwanto
ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS BANK
438
Fax: 031 502 6288
E-mail: [email protected]