JBM Volume 9 No. 3 Mei 2013
Transcript of JBM Volume 9 No. 3 Mei 2013
Jurnal
BISNIS & MANAJEMEN Jurnal Ilmiah Berkala Empat Bulanan, ISSN 1411 - 9366 Volume 9 No. 3, Mei 2013
GAYA KEPEMIMPINAN DAN BERBAGI PENGETAHUAN Arie F. Kawulur, Nikolas Fajar Wuryaningrat
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN
ORGANISASIONAL TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEGAWAI HOTEL BERBINTANG EMPAT DI KOTA BANDUNG
(Survei terhadap Pegawai Customer Services) Rismi Somad
PENGARUH CAUSE-RELATED MARKETING DAN PROMOSI
PENJUALAN TRADISIONAL PADA NIAT KONSUMEN UNTUK LOYAL TERHADAP MEREK YANG DIMODERASI OLEH KETERLIBATAN
KONSUMEN TERHADAP PRODUK Dwi Asri Siti Ambarwati
PERAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAN INTELLECTUAL
CAPITAL TERHADAP EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT DALAM MENINGKATKAN KUALITAS JASA
PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERGURUAN TINGGI
Siti Maghfiroh
PENGARUH ASIMETRI INFORMASI, PERASAAN BERTANGGUNG JAWAB, DAN REPUTASI TERHADAP KEPUTUSAN REINVESTMENT
PADA ANGGARAN MODAL Yenni Agustina
KONTRIBUSI RASIO KEUANGAN TERHADAP PERUBAHAN LABA
PERBANKAN DI BURSA EFEK JAKARTA Abdul Naser
JURNAL BISNIS dan
MANAJEMEN Vol. 9 No. 3 Hal. 300 - 462
Bandarlampung Mei 2013
ISSN 1411 - 9366
Jurnal Bisnis & Manajemen, Volume 9 No. 3, Mei 2013
JJUURRNNAALL BBIISSNNIISS DDAANN MMAANNAAJJEEMMEENN
TIM REDAKSI
Penanggung Jawab : Prof. Dr. Hi. Satria Bangsawan, S.E., M.Si. (Dekan FEB Unila) Pemimpin Redaksi : Dr. Ayi Ahadiat, S.E., M.B.A. Wakil Pemimpin Redaksi : Hj. Aida Sari, S.E., M.Si. (Ketua Jurusan Manajemen FEB Unila) Redaksi Pelaksana : Yuningsih, S.E., M.M. (Sekretaris Jurusan Manajemen FEB Unila) Dewan Redaksi : Hi. Habibullah Jimad, S.E., M.Si. : Mudji Rachmat Ramelan, S.E., M.B.A. : Rinaldi Bursan, S.E., M.Si. : Driya Wiryawan, S.E., M.M. : Prakarsa Pandjinegara, S.E., M.E. : Roslina, S.E., M.Si. : Yuniarti Fihartini, S.E., M.Si.
Staf Redaksi : Prayugo Alamat Redaksi : Gedung A Lantai 2 Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung Jl. Prof. Dr. Soemantri Brodjonegoro No. 1 Gedung Meneng Bandar Lampung 35145 Telepon/Fax : (0721)773465 Email : [email protected] Website : http://fe-manajemen.unila.ac.id/jbm Jumal Bisnis dan Manajemen merupakan media komunikasi ilmiah, diterbitkan tiga kali setahun oleh Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung, berisikan ringkasan hasil penelitian, skripsi, tesis, dan disertasi.
Volume 9 No. 3, Mei 2013 ISSN 1411 - 9366
JJUURRNNAALL BBIISSNNIISS DDAANN MMAANNAAJJEEMMEENN
DAFTAR ISI GAYA KEPEMIMPINAN DAN BERBAGI PENGETAHUAN Arie F. Kawulur, Nikolas Fajar Wuryaningrat ..................................................... 300 PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KUALITAS PELAYANAN PEGAWAI HOTEL BERBINTANG EMPAT DI KOTA BANDUNG (Survei terhadap Pegawai Customer Services) Rismi Somad………………………………………………………............................ 320 PENGARUH CAUSE-RELATED MARKETING DAN PROMOSI PENJUALAN TRADISIONAL PADA NIAT KONSUMEN UNTUK LOYAL TERHADAP MEREK YANG DIMODERASI OLEH KETERLIBATAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK Dwi Asri Siti Ambarwati .......................................................................................... 342 PERAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAN INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT DALAM MENINGKATKAN KUALITAS JASA PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERGURUAN TINGGI Siti Maghfiroh ............................................................................................................. 370 PENGARUH ASIMETRI INFORMASI, PERASAAN BERTANGGUNG JAWAB, DAN REPUTASI TERHADAP KEPUTUSAN REINVESTMENT PADA ANGGARAN MODAL Yenni Agustina ........................................................................................................... 423 KONTRIBUSI RASIO KEUANGAN TERHADAP PERUBAHAN LABA PERBANKAN DI BURSA EFEK JAKARTA Abdul Naser ................................................................................................................ 435
Volume 9 No. 3, Mei 2013 ISSN 1411 - 9366
GAYA KEPEMIMPINAN DAN BERBAGI PENGETAHUAN
Arie F. Kawulur1 Nikolas Fajar Wuryaningrat2
ABSTRACT
Knowledge sharing is an important part in knowledge management literature to optimize firm knowledge resources. However knowledge sharing is not easily to produce because knowledge sharing can not happen automatically. Leadership factor is an important factor to encourage knowledge sharing.
The purpose of this study was to examine the role of transformational and transactional leadership of the owner or manager of SMEs to encourage knowledge sharing activity. Survey was conducted in the SME production sector in Province of North Sulawesi. 176 samples were succees to collect. Than data were analyzed with Structural Equation Model based on variants which is PLS-SEM.
The research result showed that only individual consideration and individusl inspirational had a positive effect to encourage knowledge sharing. Contingent reward, intellectual stimulaton, and inspirational motivation were no effect to encourage knowledge sharing.
Keywords: Innovation capabilities, knowledge sharing, leadership style
PENDAHULUAN
Sumber daya pengetahuan saat ini sudah menjadi sumber daya yang utama untuk
peningkatan daya saing perusahaan kecil ataupun besar (Davenport dan Prusak,
1998). Menurut Darroch (2005) perusahaan yang mampu mengelola pengetahuan
dengan efektif akan menjelma menjadi perusahaan yang lebih inovatif. Pengelolaan
pengetahuan yang baik dan efektif dapat diartikan sebagai bentuk upaya perusahaan
untuk meningkatkan sumberdaya pengetahuan.
Menurut Argote et al. (1999 dalam Srivastava et al., 2006) aktivitas berbagi
pengetahuan adalah bagian dari manajemen pengetahuan yang sangat penting
karena berhubungan dengan optimalisasi sumber daya pengetahuan. Berbagi
pengetahuan memiliki kemampuan untuk melahirkan pengetahuan baru.
Pengetahuan baru ini yang, diharapkan dapat dimanfaatkan misalnya untuk
meningkatkan kemampuan inovasi (Miller, 2007; Srivastava et al., 2006).
1 Staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Manado 2 Staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Manado
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
301
Walaupun berbagi pengetahuan sangat penting bagi perusahaan, masalah mendasar
dari berbagi pengetahuan terletak pada kenyataan bahwa berbagi pengetahuan
bukanlah suatu hal yang dapat berjalan otomatis. Menurut Szulanski (1996, 2000)
berbagi pengetahuan adalah sebuah proses yang sangat sulit, karena terkendala
dengan adanya perbedaan pemahaman antara pemberi pengetahuan dan penerima
pengetahuan. Untuk mengatasi kendala atau kesulitan tersebut salah satunya
dibutuhkan faktor peran pemimpin untuk memastikan berbagi pengetahuan dapat
berjalan efektif (Srivastava et al., 2006).
Penelitian empiris terdahulu mendukung bahwa pemimpin dengan gaya
kepemimpinannya menjadi faktor pendorong utama berbagi pengetahuan dalam
organisasi (Xue et al., 2010; Singh, 2008; Srivastava et al., 2006). Studi yang telah
dilakukan oleh Xue et al. (2010) dan Srivastava et al. (2006) mengungkapkan bahwa
pemimpin dengan gaya empowering berpengaruh positif pada berbagi pengetahuan.
Penelitian Singh (2008) mengungkapkan bahwa gaya kepemimpinan yang
mendukung, konsultatif dan delegatif berpengaruh signifikan terhadap praktik-
praktik manajemen pengetahuan termasuk di dalamnya berbagi pengetahuan.
Dalam penelitian ini diarahkan untuk mengangkat peran kepemimpinan
transformasional dan transaksional karena belum banyak studi yang mengangkat
peran kepemimpinan ini dalam manajemen pengetahuan termasuk berbagi
pengetahuan (Crawford, 2005). Menurut Bass (1985, dalam Yukl, 2006) seorang
pemimpin dalam organisasi dimungkinkan mempunyai jiwa kepemimpinan yang
berbeda (i.e. transformasional dan transaksional) yang menyatu dalam dirinya.
Dengan menggunakan model yang dikembangkan oleh Bass (1985) memberikan
kesempatan melihat pengaruh gaya kepemimpinan secara spesifik dan
komprehensif terhadap berbagi pengetahuan dan pengaruhnya terhadap inovasi
perusahaan. Dalam penelitian ini akan melihat hubungan antar dimensi yang ada
dalam kepemimpinan transformasional dan transaksional pada sehingga dapat
memberikan gambaran dan informasi yang lebih detail dan terperinci tentang
pengaruh kepemimpinan transformasional dan transaksional dalam berbagi
pengetahuan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
302
Penelitian ini dilakukan pada sektor usaha kecil menengah (UKM) dengan alasan
UKM dalam pengendalian manajemennya biasanya dipegang oleh satu orang yang
berperan sebagai pemilik sekaligus pengelola (Stanworth dan Curran, 1976; dalam
Indarti 2010). Hal ini menjadikan pemilik atau manajer menjadi aktor utama dalam
pengembangan karyawan dan perusahaan. Berdasarkan pendapat tersebut
diharapkan dapat menguji peran kepemimpinan dengan lebih baik dibandingkan
manajemen perusahaan besar.
LATAR BELAKANG TEORI DAN HIPOTESIS
Berbagi Pengetahuan
Berbagi pengetahuan menurut Kamasak dan Bulutlar (2009) sangat erat
hubungannya dengan penciptaan pengetahuan. Nonaka et al. (2006) mendefinisikan
penciptaan pengetahuan sebagai proses belajar terus-menerus dengan cara
mengakusisi konteks baru, pandangan baru dan pengetahuan baru. Berbagi
pengetahuan dalam hal ini merupakan suatu aktivitas sosial (Dalkir, 2005) yang
membutuhkan sikap,perilaku dan motivasi mendukung terciptanya berbagi
pengetahuan (Xue et al., 2010; Liao et al., 2007). Tanpa berbagi pengetahuan maka
pengetahuan tidak dapat dimanfaatkan dengan baik (underutilized) (Srivastava et al.,
2006).
Berbagi pengetahuan dalam organisasi bisa didefinisikan sebagai proses terjadi
pertukaran pengetahuan baik tacit ataupun eksplisit untuk menghasilkan
pengetahuan baru (Van den Hoof dan Ridder, 2004). Bentuk berbagi pengetahuan
adalah aktivitas individu memberikan ide, usul, saran, informasi, pengalaman dan
keahlian kepada anggota tim lainnya dalam organisasi (Van den Hoof dan Rider,
2004; Bartol dan Srivastava, 2002; Davenport dan Prusak, 1998). Menurut Van den
Hoof dan Rider (2004) dalam aktivitas berbagi pengetahuan terbagi dalam dua
dimensi yang yaitu mendonasikan pengetahuan dan mengumpulkan pengetahuan.
Mendonasikan pengetahuan adalah proses membawa atau memberikan
pengetahuan melalui komunikasi antar individu. Mengumpulkan pengetahuan
didefinisikan sebagai proses mendapatkan pengetahuan dari individu lain melalui
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
303
jalan konsultasi atau membujuk dan mengajak individu lain untuk bersedia
membagikan pengetahuannya.
Berbagi pengetahuan merupakan kunci sukses dalam proses menterjemahkan
pembelajaran individu menjadi kapabilitas organisasional (Frey and Oberholzer-Gee,
1997; Nahapiet dan Ghoshal, 1998; dalam Lam dan Lambermont-Ford, 2008). Akan
tetapi Lam dan Lambermont-Ford (2008) mengingatkan bahwa berbagi pengetahuan
merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan karena hal tersebut tergantung
kebersediaan individu untuk berbagi (share). Kesulitan tersebut oleh Szulanski (1996,
2000) disebutkan sebagai kelengketan pengetahuan (stickiness of knowledge) karena
merupakan suatu proses sosial yang memiliki kompleksitas kesulitan dan causal
ambiguity. Banyak penelitian sebelumnya baik kualitatif dan kuantitatif memberikan
contoh bahwa berbagi pengetahuan memberikan banyak manfaat salah satunya
adalah peningkatan kemampuan inovasi dan peningkatan kinerja tim (Tsai, 2001;
Dyer dan Nobeoko, 2000; Darroch, 2005; Srivastava et al., 2006; Liao et al., 2007; Lin,
2007; Hu et al., 2009).
Teori Gaya Kepemimpinan
Kepemimpinan Transformasional dan Berbagi Pengetahuan
Menurut pendapat orisinil dari Bass (1985 dalam Yukl, 2006) pemimpin
transformasional berusaha memotivasi bawahan untuk dapat mempunyai kinerja
yang melebihi ekspektasi dari organisasi itu sendiri. Oleh karena itu, Yukl (2006)
mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi
karyawannya, yaitu dengan:
a. mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;
b. mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan
c. meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan
aktualisasi diri.
Menurut Bass (1985, 1990; dalam Yukl, 2006) ada empat dimensi dari kepemimpinan
transformasional yaitu : sumber motivasi, sumber inspirasi, sumber pertimbangan
dari individu, dan stimulus intelektual.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
304
Yukl (2006) dan Northouse (1997) mengungkapkan sumber inspirasi atau bisa
disebut juga sebagai pemimpin yang karismatik adalah pemimpin yang berlaku
sebagai panutan bagi bawahannya. Pemimpin yang seperti ini biasanya memiliki
standar moral yang tinggi dan sangat dihormati dan dipercayai oleh bawahannya.
Pemimpin transformasional merupakan sumber motivasi dari bawahan karena
pemimpin ini sangat komunikatif menjelaskan dengan semangat visi kedepannya.
Stimulus intelektual adalah tipe gaya kepemimpinan transformasional yang mampu
mendorong karyawan menjadi lebih kreatif dan inovatif. Pemimpin dengan tipe ini
dapat mendorong karyawan untuk mengembangkan cara-cara baru untuk
menyelasaikan masalah dalam organisasi (Northouse, 1997). Sumber pertimbangan
adalah faktor kepemimpinan yang dapat menciptakan iklim kerja yang baik.
Pemimpin bersedia mendengarkan keluh kesah atau kebutuhan dari bawahannya.
Pemimpin yang seperti ini bertindak seperti pelatih dan penasihat atau konsulen
(Yukl, 2006 dan Northouse 1997).
Menurut Deluga (1990) gaya kepemimpinan transformasional mendorong suatu
hubungan atasan-bawahan sebagai hubungan ikatan emosional, berupa bentuk
kepercayaan dan keyakinan atas pengaruh dan kemampuan atasannya. Manajer
yang mampu menonjolkan gaya kepemimpinan transformasionalnya dapat
menjadikan karyawan merasakan ikatan emosional yang kuat dengan atasannya.
Terjalinnya ikatan emosional yang kuat antara atasan dan bawahan ini dapat
membantu pemilik atau manajer UKM saat meminta karyawannya
mengembangkan pengetahuannya untuk digunakan bagi kepentingan perusahaan.
Melalui jalinan emosional ini diharapkan karyawan dengan senang hati memberikan
pengetahuan yang sudah dipelajarinya bahkan tanpa diminta sekalipun.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilik atau manajer UKM yang
memiliki kepemimpinan transformasional bisa mempunyai kemampuan mengubah
perilaku bawahannya untuk mau membuka dirinya terhadap pengetahuan yang
dimiliknya, dan secara bersama–sama menciptakan aktivitas berbagi pengetahuan.
Pendapat ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Bryant (2003) dan
Crawford (2005) yang membuktikan bahwa gaya kepemimpinan transformasional
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
305
berpengaruh positif pada manajemen pengetahuan termasuk aktivitas berbagi
pengetahuan.
Secara ringkas hal tersebut dapat dituliskan sebagai hipotesis-hipotesis berikut:
H1 : Seluruh dimensi kepemimpinan transformasional berpengaruh positif pada
aktivitas berbagi pengetahuan.
Kepemimpinan Transasksional dan Berbagi Pengetahuan
Menurut Bass (1985, dalam Yukl, 2006) kepemimpinan transaksional dapat
dikonsepkan sebagai proses transaksi antara atasan dan bawahan. Manajer yang
transaksional mendorong bawahan untuk mau bekerja sesuai dengan kesepakatan
eksplisit atau implisit yang terjadi antara atasan dan bawahan (Deluga, 1990). Dalam
kepemimpinan transaksional biasanya bawahan sudah diberikan target pekerjaan
yang jelas. Apabila target tersebut sudah tercapai maka pemimpin akan memberikan
penghargaan berupa upah atau insentif. Tetapi apabila target tersebut tidak dapat
tercapai maka manajer dapat memberikan tindakan evaluasi seperti pemberian
sanksi. Menurut Bass (1985, 1990 dalam Yukl, 2006) gaya kepemimpinan manajer
transaksional dapat dibagi dalam dua dimensi yaitu adalah imbalan kontingen dan
eksepsi manajemen. Imbalan kontingen mengarahkan diri pada proses pertukaran
antara atasan dan bawahan dengan melibatkan suatu imbalan atau penghargaan
(reward) dalam proses pertukaran tersebut (Northouse, 1997). Lebih lanjut dijelaskan
oleh Northouse (1997) melalui tipe atau dimensi tersebut pemimpin bisa membentuk
suatu kesepakatan dengan karyawan mengenai apa yang harus dikerjakan oleh
karyawan dan apa yang bisa didapat oleh karyawan jika pekerjaan yang disepakati
bisa terlaksana. Sedangkan eksepsi manajemen merupakan bentuk koreksi atau
evaluasi dari pemimpin ketika terjadi suatu kesalahan yang dilakukan oleh
karyawan (Northouse, 1997; Bass et al., 2003).
Senada dengan pendapat Northouse (1997), Yukl (2006) mengemukakan bahwa
manajer yang memiliki gaya kepemimpinan transaksional dengan karyawan
tercermin dari tiga hal yakni:
a. pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelaskan apa
yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
306
b. pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan
imbalan; dan
c. pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama
kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan
karyawan.
Menurut Deluga (1990) manajer yang memiliki gaya kepemimpinan transaksional
menganggap hubungan atasan dan bawahan sebagai hubungan ikatan kerja atau
kesepakatan kerja baik implicit ataupun eksplisit. Kemudian dijelaskan oleh Deluga
(1990) bahwa ketika karyawan mengikuti kesepakatan kerja tersebut maka karyawan
bisa mendapatkan imbalan dan ketika karyawan menyimpang dari kesepakatan
dapat dikenai sanksi.
Berbeda dengan gaya kepemimpinan transformasional, gaya kepemimpinan
transaksional menjadikan hubungan atasan bawahan sebagai hubungan ikatan kerja
atau kesepakatan bukan ikatan emosional. Saat pemimpin menonjolkan gaya
kepemimpinan transaksional, pemimpin dapat menganggap pengetahuan karyawan
adalah milik perusahaan. Petigrew dan Mechanic (1972, 1962 dalam Deluga 1990)
mengungkapkan informasi dan keahlian yang dimiliki bawahan dapat menjadi
bahan negosiasi untuk mencapai kesepakatan kerja.
Menurut Bock dan Kim (2002) aktivitas berbagi pengetahuan sangat erat
hubungannya dengan teori pertukaran ekonomi. Pendapat tersebut dapat diartikan
bahwa aktivitas berbagi pengetahuan tergantung dari manfaat yang didapat dan
biaya yang dikeluarkan oleh karyawan. Menurut Bartol dan Srivastava (2002) untuk
mendorong aktivitas berbagi pengetahuan maka manajemen perusahaan perlu
memberikan sistem yang baik dalam pemberian penghargaan ekstrinsik seperti
kenaikan gaji, bonus dan insentif. Hal ini dimaksudkan oleh Bartol dan Srivastava
(2002) untuk memberikan stimulus bagi karyawan untuk meningkatkan
pengembangan pengetahuan perusahaan melalui aktivitas berbagi pengetahuan.
Dengan kata lain semakin tinggi partisipasi karyawan dalam berbagi pengetahuan
maka semakin tinggi pula penghargaan yang dapat diterimanya.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
307
Apabila pendapat di atas dihubungkan dengan gaya kepemimpinan transaksional
maka pemimpin dengan gaya kepemimpinan transaksional dapat memperluas
pengaruhnya melalui pemberian harapan misalnya: kenaikan gaji, promosi dan
lainnya, ataupun bahkan pemberian sanksi apabila karyawan melakukan kesalahan
(Yukl, 2006). Melalui cara pemberian penghargaan dan pemberian sanksi tersebut
diharapkan karyawan dapat terdorong untuk aktivitas mengumpulkan dan
mendonasikan pengetahuan baru yang didapatnya. Menurut Bock dan Kim (2002)
praktik-praktik pemberian penghargaan dan sanksi merupakan hal yang biasa
dilakukan perusahaan untuk mendorong aktivitas berbagi pengetahuan. Pendapat
ini dapat diilustrasikan sebagai bentuk hubungan antara guru dan murid. Ketika
guru memberikan pekerjaan rumah murid akan mengerjakan perkerjaan rumah
tersebut dengan harapan dia akan mendapatkan nilai yang baik ataupun untuk
menghindari hukuman dari gurunya apabila pekerjaan rumahnya tidak dikerjakan.
Berdasarkan pendapat dan contoh di atas diharapkan selama karyawan percaya
bahwa karyawan bisa mendapatkan tambahan penghasilan, promosi dan
kesempatan mengembangkan diri ataupun untuk menghindari sanksi manajemen
maka keinginan dari manajemen dapat terpenuhi (Yukl, 2006; Bass et al., 2003)
termasuk juga aktivitas berbagi pengetahuan.
Secara ringkas pernyataan di atas dapat dirumuskan dalam hipotesis-hipotesis
berikut:
H2 : Seluruh dimensi kepemimpinan transaksional berpengaruh positif pada
aktivitas berbagi pengetahuan.
MODEL KONSEPTUAL
Kepemimpinan Transformasional: 1. Inspirasi individu 2. Stimulus intelektual 3. Pertimbangan individu 4. Sumber motivasi
Berbagi Pengetahuan: 1. Mengumpulkan 2. Mendonasikan
Kepemimpinan Transaksional: 1. Imbalan kontingen 2. Eksepsi manajemen
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
308
METODE PENELITIAN
Sampel dan Prosedur
Survei dilakukan di UKM sektor produksi di Provinsi Sulawesi Utara. Pemilihan
sampel didasari oleh kriteria UKM yang memiliki karyawan tetap 5-99 orang yang
merupakan klasifikasi BPS dalam menentukan skala usaha kecil dan menengah.
Pemilik atau manajer UKM dalah aktor utama dalam tugas dan tanggung jawab
terhadap perkembangan pengetahuan dan inovasi perusahaan (Stanworth dan
Curran, 1976; dalam Indarti, 2010). Oleh karena itu pemilik atau manajer UKM
diasumsikan bisa memberikan gambaran atau informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian ini.
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Provinsi Sulut adalah
salah satu daerah yang memiliki pertumbuhan ekonomi 7,1% di atas rata-rata
pertumbuhan ekonomi national yang hanya mencapai 6,3% (BPS, 2012). Menurut
Menteri Koperasi dan UKM Indonesia saat berkunjung ke Manado beliau
mengatakan keberhasilan Sulut tidak lepas dari peran UKM (ManadoGo.com).
Pengukuran
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah instrumen yang digunakan
dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Setiap konstruk diukur dengan beberapa
item pertanyaan. Seluruh item kuesioner diukur dengan menggunakan 5 skla likert
(1=jarang sekali/hamper tidak pernah s/d 5=sering sekali/hamper selalu).
Self report gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional diukur dengan
instrumen penelitian MLQ-1992. Gaya kepemimpinan transformasional diukur
dengan 12 pertanyaan dan gaya kepemimpinan transaksional diukur dengan 6 item
pertanyaan. Aktivitas berbagi pengetahuan diukur dengan 10 item. Instrumen ini
diadaptasi dari Hoof dan Ridder (2004). Seberapa sering dimensi gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional dipraktikkan oleh pemilik atau
manajer UKM, seberapa aktif aktivitas berbagi pengetahuan dijalankan di UKM
adalah dipersepsikan oleh pemilik atau manajer UKM adalah fokus pengukuran
penelitian ini.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
309
Instrumen penelitian ini diterjemahkan dari versi bahasa aslinya kemudian
dikonsultasikan kebeberapa akademisi di dua universitas yang memiliki reputasi
baik di Sulut. Selain itu para ahli yang kompeten dalam bidang UKM di Sulut juga
dimintai bantuannya untuk menilai instrumen penelitian ini. Setelah instrumen
penelitian selesai dikonsultasikan kemudian instrument penelitian ini
dikonsultasikan langsung ke pelaku usaha. Setelah instrumen dinyatakan baik
kemudian instrumen penelitian kuesioner mulai didistribusikan langsung ke
responden.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini memakan waktu dua bulan dari bulan Mei
s/d Juni 2012. Total kuesioner yang didistribusikan secara langsung ke responden
sebanyak 250. Data yang kembali atau berhasil dikumpulkan sebanyak 207 buah
tetapi hanya 176 data yang dapat diolah karena tidak dapat memenuhi kriteria
sampel dan pengisian data yang tidak lengkap. Tingkat partisipasi responden sangat
baik 70,4% hal tersebut mungkin terjadi karena metode pengumpulan data yang
dilakukan dengan mendistribusikan kuesioner langsung kepada responden.
Profil responden dan profil usaha
Berdasarkan data dalam Tabel 1, sebagian besar (69,31%) pemilik atau manajer UKM
berpartisipasi dalam penelitian ini adalah pria. Sebagian besar berada pada rentang
usia matang yaitu 36-40 tahuan (54%) dan cukup banyak juga responden yang
berada pada rentang usia 40 tahun keatas (22,7%). Secara keseluruhan rata-rata usia
responden adalah 40 tahun. Tingkat pendidikan pemilik atau manajer UKM dalam
sampel penelitian ini sebagian besarnya (40,90%) adalah SMU/sederajat. Dari tabel 1
juga. dapat diketahui responden telah memiliki pengalaman yang baik karena telah
berdiri cukup lama yaitu rata-rata 15 tahun. Usaha yang digeluti sebagian besar
bergerak pada usaha produksi kerajinan dan umum (33,52%), seperti pembuatan
aksesoris dari berbagai macam bahan baku. Sebagian besar UKM sektor produksi
sebagian besar berlokasi di pedesaan (60,79%) dengan karyawan yang biasanya
berasal dari desa dimana UKM tersebut melakukan aktivitas usahanya.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
310
Jumlah karyawan UKM sektor produksi dalam sampel ini bervariasi, tetapi secara
rata-rata jumlah karyawan tetapnya berjumlah 11 orang, dengan jumlah karyawan
paruh waktunya rata-rata 13 orang. Dari jumlah karyawan tersebut dapat diketahui
bahwa sebagian besar usaha dapat diklasifikasikan sebagai usaha kecil (Klasifikasi
BPS). Responden UKM sektor produksi sebagian besar memiliki aset dikisaran 5 s/d
50 juta rupiah (50,56%). Sementara jumlah omset bulanan UKM sektor produksi
dalam sampel ini sebagian besar berada pada angka dibawah 50 juta rupiah
(61,71%). Dari kisaran omset dan pendapatan responden dapat dikategorikan UKM
sektor produksi di Provinsi Sulut sebagai usaha kecil (Lihat UU no.20 tahun 2008).
Tabel 1. Profil Responden dan Usaha
Dimensi Kategori Jumlah responden Prosentase
Jenis kelamin : a. Pria b. Wanita
122 54
69,31 29,54
Rentang usia
a. <25 tahun b. 26–30 tahun c. 31-35 tahun d. 36-40 tahun e. > 40 tahun
13 12 16 95 40
7,4 6,8 9,1 54
22,7
Tingkat Pendidikan
a. SD b. SMP c. SMU d. Diploma e. S1 f. Lainnya (S2)
32 31 72 8
32 1
18,18 17,61 40,90 4,54
18,18 0,56
Bidang usaha
a. Kerajinan dan Umum b.Kimia&BahanBangunan c. Logam&Elektronika d. Pengolahan pangan e. Sandang&Kulit
52 16 34 44 30
29,54 9,09
18,89 19,31 17,04
Lokasi a. Desa b. Kota c. Daerah pinggiran
107 57 12
60,79 32,86 6,81
Rata-rata Jumlah Karyawan a. Tetap b. Paruh waktu
11 13
Jumlah aset (2 tahun terakhir)
a. Kurang dari 5 juta b. 5 juta s/d 50 juta c. >50 s/d 100 juta d. >100 s/d 150 juta e. >150 juta
59 89 13 5
10
33,52 50,56 7,38 2,84 5,68
Omset per bulan
a. <50 juta b. >50 s/d 100 juta c. >100 s/d 150 juta d. >150 juta
108 37 21 10
61,71 21,02 11,93 5,68
Sumber : data primer diolah (2011)
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
311
ANALISIS DATA DAN HASIL
Metode analisis data dalam penelitian ini digunakan Structural Equation Model (SEM)
berbasis varian atau Partially least square (PLS-SE) dengan program SmartPLS 2.0.
Metode analisis data ini dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk
mengembangkan teori. Dengan kata lain pengujian dengan PLS-SEM sangat tepat
ditujukan bagi penelitian yang memiliki dasar teori ataupun bukti-bukti empiris
yang kurang (Hair et al., 2011). Selain itu PLS-SEM cocok untuk penelitian yang
menghadapi masalah pada pengukuran. PLS-SEM bisa dijalankan dengan baik
dengan minimal dua indikator (Hair et al., 2010). Hal tersebut akan menjadi masalah
apabila analisis data dijalankan misalnya dengan SEM berbasis kovarian (Hair et al.,
2010). Pengujian dengan PLS meliputi pengujian validitas dan reliabilitas dan
kemudian dilakukan pengujian hipotesis. Selain itu PLS-SEM sangat robust terhadap
masalah asumsi klasik seperti normalitas dan multikolinieritas (Jogiyanto dan
Abdillah, 2009).
Pengujian Instrumen
Validitas Konstruk dan Reliabilitas
Hasil pengujian ini didapati dari 28 item pertanyaan 12 item harus dihilangkan
dalam pengukuran, sehingga hanya 16 item pertanyaan yang dapat digunakan
dalam pengukuran penelitian ini. Item pertanyaan yang harus dihilangkan atau
dikurangi disebabkan oleh nilai factor loading tidak dapat mencapai batas minimal
instrumen dapat dikatakan valid, yaitu 0,5 atau idealnya 0,7 dan atau mengalami
masalah cross loading (Hair et al., 2010). Dari pengujian ini dimensi kepemimpinan
transaksional yang valid hanya imbalan kontingen, sedangkan dimensi eksepsi
manajemen semua nilai factor loadingnya dibawah batas minimal 0,5 atau mengalami
masalah cross loading sehingga variabel ini harus dihilangkan.
Pengujian validitas konstruk dalam penelitian ini terdiri dari validitas konvergen
dan diskriminan. Kedua pengujian validitas ini dimaksudkan untuk mengetahui
sejauh mana instrumen dalam pengukuran merefleksikan konstruk teoritikalnya
yang ditunjukkan dengan bukti-bukti empiris (Hair et al., 2010; Cooper dan
Schindler, 2008).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
312
Hasil Pengujian Validitas Konvergen dan Reliabilitas
Pengujian validitas konvergen dilakukan untuk mengetahui korelasi antar konstruk
penelitian. Indikator yang digunakan dalam validitas konvergen adalah nilai factor
loading yang mengumpul dalam konstruknya, dan nilai AVE (Hair et al., 2010). Selain
itu pengujian reliabilitas diikutkan dalam pengujian validitas konvergen ini karena
menurut Hair et al. 2010 reliabilitas adalah salah satu indikator validitas konvergen.
Secara lengkap hasil pengujian validitas konvergen dan reliabilitas dapat dilihat di
tabel 2.
Tabel 2. Pengujian Pengukuran Validitas Konvergen dan Reliabilitas
Variabel Jumlah
item Validitas Konvergen Komposit
reliabilitas Loading factor AVE
Inspirasi individu (INDV) Stimulus intelektual (ISTM)
2 2
0,742-0,851 0,729-0,842
0,637 0,620
0,777 0,765
Sumber motivasi (MOTV) 3 0,762-0,859 0,639 0,841 Pertimbangan individu (ICON) Imbalan kontingen (CR)
2 2
0,824-0,914 0,778-0,884
0,757 0,692
0,861 0,817
Berbagi pengetahuan (KS) 5 0,717-0,802 0,570 0,869
Sumber: Data primer diolah (2011)
Tabel 2 menunjukkan seluruh variabel penelitian memiliki nilai factor loading yang
valid dan ideal yaitu lebih besar dari 0,7 (Hair et al., 2010). Seluruh nilai AVE tiap
konstruk semua diatas saran dari Hair et al. (2010; 2011) yaitu lebih besar dari 0,5.
Hair et al. (2010; 2011) mengungkapkan bahwa dalam PLS-SEM pengujian reliabilitas
yang paling tepat untuk mengukur konsistensi internal adalah composite reliability
karena composite reliability mencerminkan nilai yang sesungguhnya reliabilitas
konstruk penelitian. Pengujian reliabilitas ini menunjukkan hasil yang baik. Hal
tersebut dapat dilihat tabel 2. yang menunjukkan seluruh variabel penelitian
memiliki nilai composite reliability lebih besar dari 0,7 (Hair et al., 2011).
Pengujian validitas diskriminan
Chin (1998; dalam Hair et al., 2011) menyebutkan konstruk yang memiliki nilai factor
loading pada satu konstruk lebih besar dari konstruk lainnya dapat dinyatakan setiap
konstruk berbeda dengan konstruk lainnya. Dengan kata lain tidak ada nilai factor
loading yang cross loading dengan konstruk lainnya menandakan bahwa antar
konstruk berbeda.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
313
Mengacu dari pengujian validitas konvergen dan diskriminan dapat diputuskan
instrumen penelitian dinyatakan dapat memenuhi validitas konstruknya. Oleh
karena itu 16 item variabel ini sudah dapat digunakan untuk menguji hubungan
kausalitas yang dihipotesiskan.
HASIL PENELITIAN
4.4. PENGUJIAN HIPOTESIS
Pengujian hipotesis dilakukan untuk menganalisis hubungan sebab-akibat
(kausalitas) antar variabel dalam model berdasarkan nilai critical ratio (C.R) lebih
besar dari 1,96 dan1,645 (sig. 5% two tailed dan one tailed) dan arah hubungan yang
sesuai dengan hipotesis berarti dapat didukung. Hasil pengujian hipotesis dapat
dicermati di tabel 6.
Tabel 3. Pengujian Hipotesis
Hipotesis Hubungan Koefisien S.E C.R Keterangan
H1
H2
INDV�KS ICON�KS ISTM�KS
MOTV�KS CR�KS
0,326 0,246 0,061 0,062 0,004
0,101 0,081 0,092 0,103 0,092
3,220 3,008 0,670 0,605 0,048
Didukung Didukung
Tidak didukung Tidak didukung Tidak didukung
Sumber: data primer diolah (2011) Ket: INDV: inspirasi individu, ICON: pertimbangan individu, ISTM: stimulus
intelektual, MOTV: sumber motivasi, CR: imbalan kontingent, KS: berbagi pengetahuan.
Tabel 3 menunjukkan bahwa hipotesis satu yang mengungkapkan seluruh dimensi
kepemimpinan transformasional memberi pengaruh positif pada berbagi
pengetahuan hanya terdukung sebagian (Partially support). Hal tersebut ditunjukkan
dengan hanya dimensi inspirasi individu dan pertimbangan individu saja yang
terdukung karena memiliki nilai C.R > 1,96. Sedangkan stimulus intelektual dan
sumber motivasi memiliki nilai C.R < 1,96. Pada hipotesis dua tidak didukung
karena nilai C.R < 1,96 untuk seluru variabel yang diteliti.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
314
DISKUSI DAN KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dimensi gaya kepemimpinan
transformasional yaitu sumber inspirasi dan pertimbangan pribadi berpengaruh
positif pada aktivitas berbagi pengetahuan. Inspirasi individu atau karisma dan
perhatian dari atasan kepada bawahan akan menciptakan hubungan afiliasi yang
kuat antara atasan dan bawahan (Northouse, 1997). Oleh karena itu dimungkinkan
membentuk kepercayaan yang tinggi antara atasan dan bawahan sehingga hal ini
dapat mendorong karyawan mau berbagi pengetahuan. Ketika atasan menunjukkan
bahwa dengan berbagi pengetahuan dapat mengembangkan kemampuan dirinya
maka dimungkinkan karyawan akan percaya pula bahwa dengan berbagi
pengetahuan mereka bisa merasakan manfaat yang sama. Menurut Davenport dan
Prusak (1998) faktor kepercayaan (trust) merupakan faktor penting agar seseorang
mau berbagi pengetahuan.
Sedangkan dimensi sumber motivasi tidak dapat mempengaruhi aktivitas berbagi
pengetahuan. Hal ini mungkin lebih disebabkan pemilik dan manajer UKM tidak
cukup komunikatif dalam menyampaikan visi kedepan organisasinya. Oleh karena
itu maksud dan tujuan dari berbagi pengetahuan tidak sampai kepada bawahannya.
Begitu pula dengan dimensi stimulus intelektual tidak pula dapat mempengaruhi
berbagi pengetahuan. Hal ini mungkin disebabkan pemimpin tidak cukup inovatif
atau tidak cukup memiliki pengetahuan yang cukup sehingga tidak mampu
mendorong proses belajar yang bisa dicapai melalui berbagi pengetahuan (Lihat
Nonaka dan Takeuchi, 1995. Hal ini diperkuat dengan tingkat pendidikan dari
sebagian besar responden pemilik UKM yang tergolong rendah (Lihat Tabel 1.).
Imbalan kontingen dalam penelitian ini tidak dapat mempengaruhi berbagi
pengetahuan. Hal ini mungkin disebabkan sebagian besar UKM sektor produksi di
Sulut berlokasi di pedesaan dengan karyawan banyak berasal dari penduduk desa
(lihat tabel 1). Hal tersebut memungkinkan membentuk suatu ikatan emosional yang
kuat antara atasan dan karyawan, karena biasanya ikatan kekeluargaan dan
silaturahmi di pedesaan relatif masih sangat kuat. Oleh karena itu pendekatan
penghargaan bukan pendekatan yang tepat untuk diterapkan pada UKM sektor
produksi di Provinsi Sulut.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
315
Kohn (1993) mengungkapkan bahwa ada hubungan yang kuat antara pemberian
sanksi dan pemberian penghargaan. Menurut Kohn (1993) pemberian harapan akan
penghargaan (reward) oleh manajemen bisa menjadi bentuk-bentuk pemberian
sanksi karena dapat menyebabkan karyawan sulit membedakan dirinya telah
mendapat sanksi atau tidak jika karyawan gagal mendapatkan target yang telah
ditetapkan. Kohn (1993) juga menjelaskan bahwa pemberian penghargaan dapat
merusak hubungan baik yang sudah terbangun dengan menciptakan persaingan
tidak sehat antar karyawan. Oleh karena itu gaya kepemimpinan transaksional yang
mengedepankan pendekatan penghargaan jika diterapkan dalam jangka panjang
bisa menyebabkan ikatan emosional yang sudah terbangun antara atasan dan
bawahan yang juga merupakan penduduk desa bisa terputus. Hasil penelitian sesuai
dengan Lin (2007) yang mengungkapkan pemberian pengahargaan (reward system)
tidak berpengaruh positif pada berbagi pengetahuan.
Implikasi Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi pada dua aspek, yaitu
aspek perkembangan teori dan aspek perkembangan dunia UKM. Pada aspek
perkembangan teori, hasil penelitian ini dapat melengkapi penelitian sebelumnya
yang secara garis besar mengungkapkan kepemimpinan dapat mempengaruhi
berbagi pengetahuan (Misalnya Srivastava et al., 2006). Seperti sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa kepemimpinan transformasional dan transaksional belum
banyak dibicarakan dalam kaitannya dengan manajemen pengetahuan khususnya
berbagi pengetahuan.
Pada aspek perkembangan dunia usaha UKM, hasil ini diharapkan dapat menjadi
refleksi bagi pemilik atau manajer untuk semakin menguatkan peran
kepemimpinannya. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan usaha UKM dapat
berkembang melalui jalinan kerjasama yang lebih baik dengan karyawan dan
seluruh elemen usaha. Dari kerjasama tersebut diharapkan berbagi pengetahuan
dapat terus dipertahankan agar terus bermunculan informasi, ide-ide baru,
keterampilan baru, yang pada gilirannya menjadikan UKM di Provinsi DIY lebih
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
316
inovatif di saat dunia usaha telah dipenuhi dengan persaingan dan keterbukaan
akibat era globalisasi.
Keterbatasan dan Saran Penelitian Selanjutnya
Penelitian inipun tidak terlepas dari berbagai keterbatasan. Metode survei cross
sectional yang digunakan hanya mampu menjelaskan suatu fenomena pada satu
waktu saja, sehingga tidak dapat diketahui pengaruh perubahan waktu.
Kepemimpinan adalah suatu hal yang bisa berubah seiring dengan waktu, sehingga
penelitian mendatang sebaiknya dapat menguji kepemimpinan dengan riset
longitudinal.
Penelitian ini menggunakan pengukuran gaya kepemimpinan, berbagi pengetahuan
dan kemampuan inovasi yang didasari oleh persepsi subjektif dari pemilik atau
manajer UKM. Hal tersebut berpotensi menyebabkan bias walaupun dalam konteks
penelitian ini pendekatan inilah yang paling baik. Kelemahan lainnya adalah
banyak instrumen penelitian harus dihilangkan dari pengukuran. Oleh karena itu di
masa mendatang peneliti sebaiknya harus lebih konsentrasi dalam melakukan
validitas wajah dan isi dengan banyak melibatkan banyak ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Acs, Z.J., R. Morck, J.M. Shaver and B. Yeung. 1997. The Internationalization of Small and Medium-Sized Enterprises: A Policy Perspective. Small Business Economics 9: 7–20.
Appleyard, M.M. 1996. How does knowledge flow? Interfirm patterns in the semiconductor industry. Strategic Management Journal 17(winter): 137-154
Argote, L., B. McEvily, and R. Reagans. 2003. Managing knowledge in organizations: an integrative framework and review of emerging themes. Management Science49: 571-82.
Bagozzi, R.P., and U.M. Dholakia. 2002. Intentional Social Action in Virtual Communities. Journal of Interactive Marketing. 16: 2–21.
Barney, J. 1991. Firm resources and sustained competitive advantage. Journal of Management. 17: 99-120.
Bartol, K.M. and A. Srivastava. 2002. Encouraging knowledge sharing: the role of organizational reward system. Journal of Leadership and Organizations Studies, 9: 64-76.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
317
Bass, B.M., B.J., Avolio, D.I., Jung, and Y. Berson, 2003. Predicting Unit Performance by Assessing Transformational and Transactional Leadership. Journal of Applied Psychology, 88: 207-218.
Bock, G.W. and Y. Kim. 2002. Breaking the myth of reward: an exploratory study of attitude about knowledge sharing. Information Resources Management Journal 15: 14-21.
Bryant, S.E. 2003. The role of transformational and transactional leadership in creating, sharing, and exploiting knowledge. Journal of Leadership & Organizational Studies 94: 32-44.
Cooper, D.R., and P.S. Schindler. 2010. Business Research Methods (10th Edition). Singapore: McGraw-Hill.
Crawford, C.B., 2005. Effects of Transformational Leadership and Organizational Position on Knowledge Management. Journal of Knowledge Management, 9: 6-16.
Dalkir, K., 2005. Knowledge Management in Theory and Practice. Oxford, UK: Burlington, MA.
Darroch, J. 2005. Knowledge Management, innovation, and firm performance. Journal of Knowledge Management, 9: 101-115.
Davenport, T.H. and L. Prusak. 1998. Working Knowledge: How Organizations Manage What They Know. Harvard Business School Press, Boston, MA.
Deluga, R.J. 1990. The effect of transformational, transactional and laissez faire leadership on subordinate influencing behavior. Basic and Applied Social Psychology 11: 191-203.
Dyer, J.H, and K. Nobeoka. 2000. Creating and managing a high-performance knowledge sharing network: The Toyota case. Strategic Management Journal 21: 345–368.
Gorelick, C., N. Milton, and K. Apri. 2004. Performance Through Learning: Knowledge Management in Practice. USA: Elesevier
Grant, R.M. 1996. Toward a knowledge-based theory of the firm. Strategic Management Journal 17: 109-122.
Hair, J.F, M. Sarstedt, C.M. Ringle, and J.A. Mena. 2011. An assessment of the use of partial least squares structural equation modeling in marketing research. Academic of Marketing Science, 10: 1-20.
Hair, J.F., A.R.L., Tatham, and W.C., Black. 2010. Multivariate Data Analysis: Global Perspective (7th edition). New Jersey: Prentice Hall.
Judge, T.A., and E.A. Locke. 1993. Effect of Dysfunctional Thought Processes on Subjective Well-Being and Job Satisfaction. Journal of Applied Psychology 78: 475-490.
Kluge, J., Stein, W. and Licht, T. 2001. Knowledge Unplugged, Bath Press, Bath.
Koh, W.L., R.M. Steers and J.R. Terborg. 1995. The Effect of transformational leadership on teacher attitudes and student performance in Singapore. Journal of Organizational Behavior, 16: 319-333.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
318
Kohn, A. 1993. Why Incentives Plans Cannot Work. Harvard Bussiness Review, Sept-Oct, 54-63.
Lam, A., Lambermont-Ford. 2010, Knowledge sharing in organizational contexts: a motivation-based perspective. Journal of Knowledge Management 14: 51-66.
Liao, S., W.C. Fei, and C.C. Chen. 2007. Knowledge sharing, absorptive capacity, and innovation capability: an empirical study of Taiwan’s knowledge intensive industries. Journal of Information Science, 33: 340-359.
Lin, H. 2007. Knowledge sharing and firm innovation capability: an empirical study. Journal of Manpower. 28: 315-332.
Nonaka, I. and H. Takeuchi. 1995. The Knowledge-Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation. New York: Oxford University Press.
Northouse, P.G. 1997. Leadership: Theory and Practices. Sage Publication, USA.
Pelham, A.M., 2000. Marketing orientation and other potential influences on performance in small and medium-sized manufacturing firms. Journal of Small Business Management. 38: 48-67.
Politis, J.D. 2004. Transformational and transactional leadership predictors of the ‘Stimulant’ determinants to creativity in organisational work environments. Electronic Journal of Knowledge Management 2: 23-34.
Robbins, S.P. 2001. Organizational Behavior. Prentice Hall International, Inc.
Singh, S.K., 2008, Role of leadership in knowledge management. Journal of Knowledge Management, 12: 3-15
Srivastava, A., K.M. Bartol, and E.A. Locke. 2006. Empowering leadership in management teams: Effects on knowledge sharing, efficacy, and performance. Academy of Management Journal 49: 1239–1251
Sveiby, K. 2001. A knowledge based theory of the firm to guide in strategy formulation. Journal of Intelectual Capital, 2: 344-358.
Szulanski, G. 1996. Exploring internal stickness: Impediments to the transfer of best practice within the firm. Strategic Management Journal 17: 27-43.
Szulanski, G. 2000. The process of knowledge transfer: A diachronic analysis. Organizational Behavior and Human Decision Process 82:, 9-27.
Tsai, W. 2001. Knowledge transfer in intraorganizational network: Effect of network position and absorptive capacity on business unit innovation and performance. Academy of Management Journal 44: 996-1004.
Van den Hooff, B. and J.A. de Ridder. 2004. Knowledge sharing in context: the influence of organizational commitment, communication climate and CMC use on knowledge sharing. Journal of Knowledge Management 8: 117-30.
Wiklund, J. and D. Shepherd. 2003. Knowledge-based resources, entrepreneurial orientation and the performance of small and medium-sized businesses. Strategic Management Journal 24: 1307-1314.
Xue, Y., J. Bradley and H. Liang. 2010. Team Climate, Empowering leadership, and Knowledge Sharing. Journal Of Knowledge Management, emeraldpublihing.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
319
Yeh, C.M., H.N. Hu and S.H. Tsai. 2010. A Conceptual Model of Knowledge Sharing and Market Orientation in the Tourism Sector. American Journal of Applied Sciences, 8: 343-347.
Yukl, G. 2006. Leadership in Organizations (6th edition). New Jersey, Prentice Hall.
LAMPIRAN VALIDITAS DISKRIMINAN
Cross Loadings
CR ICON INDV ISTM KS MOTV
CR1 0.787788 0.336953 0.428563 0.402065 0.219862 0.385849
CR3 0.873830 0.350548 0.544541 0.465295 0.278510 0.551147
ICON3 0.359389 0.824399 0.337254 0.614737 0.272704 0.508112
ICON4 0.362896 0.914341 0.385927 0.500842 0.381168 0.532302
INDVB2 0.562210 0.344066 0.741666 0.553111 0.305478 0.531944
INDVB3 0.404982 0.327668 0.851115 0.369852 0.390320 0.555045
ISTM2 0.430652 0.564144 0.398443 0.842364 0.280032 0.609524
ISTM3 0.394586 0.408758 0.502835 0.729444 0.220624 0.448546
KC1 0.285978 0.219867 0.403336 0.191896 0.796661 0.273557
KC2 0.238887 0.370035 0.321529 0.274736 0.801847 0.262924
KC3 0.216264 0.225922 0.261514 0.242432 0.707381 0.272995
KC4 0.079992 0.312004 0.262835 0.215963 0.750549 0.290741
KD1 0.294980 0.305580 0.383834 0.279823 0.716521 0.369108
MOTV1 0.305527 0.331066 0.499888 0.440279 0.304366 0.773581
MOTV2 0.569136 0.549862 0.595333 0.675045 0.340844 0.859413
MOTV3 0.488712 0.544964 0.529109 0.500667 0.291387 0.762308
Sumber: Output Smart PLS
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
320
PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASIONAL TERHADAP KUALITAS PELAYANAN
PEGAWAI HOTEL BERBINTANG EMPAT DI KOTA BANDUNG (Survei terhadap Pegawai Customer Services)
Rismi Somad3
ABSTRACT
This study aims to analyze the influence of organizational culture and organizational commitment to the employees services quality of four star hotels at Bandung City. This research used descriptive and explanatory survey method. Population of this study is employee of four star hotels at Bandung City. Based on calculations using formulas samples from Slovin, obtained the unit analysis of this research is 170 samples and are distributed proportionally. The sampling technique used is simple random sampling (SRS). Research using a questionnaire instrument. Techniques of data analysis using path analysis with SPSS 20.00.
Based on these results, it can be concluded that organizational culture has a positive and significant impact to the employees services quality; organizational commitment has a positive and significant impact to the employees services quality; also organizational culture and organizational commitment has a positive and significant impact to the employees services quality.
This study suggests stability as an indicator of organizational culture; normative commitment as an indicator of organizational commitment and empathy as an indicator of employees services quality to be more optimized in order to improve employees service quality of four star hotels at Bandung City.
Keywords: Organizational Culture, Organizational Commitment, and Employee Service Quality
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (the largest archipelago),
yang memiliki luas 5.120 km dari barat ke timur dan 1.750 km dari selatan ke utara.
Indonesia juga memiliki keanekaragaman budaya dan destinasi pariwisata yang
menakjubkan. Potensi tersebut berhasil memperkenalkan Indonesia dalam
percaturan global. Menurut World Economic Forum (WEF), Indonesia menempati
peringkat 74 pariwisata dunia dari 139 negara. Pada Tahun 2011, sektor pariwisata
menghasilkan devisa yang mencapai 8,5 miliar dolar, sedangkan pada tahun 2012
3 Dosen PNS Kopertis Wilayah IV, dpk pada STMIK Bandung
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
321
menghasilkan devisa sebesar 9 miliar dolar. Selain itu, pariwisata juga merupakan
salah satu faktor penarik (pull factor) orang asing untuk datang ke Indonesia
(www.kompasiana.com).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS) dan P2DSJ Tahun 2012 diketahui
bahwa jumlah wisatawan mancanegara (wisman) meningkat setiap tahunnya,
bahkan di tahun 2011 berhasil menembus angka 7.649.731 wisman. Selain itu,
pertumbuhan jumlah wisman dari tahun 2010 ke tahun 2011 mencapai angka 9,24%
dengan rata-rata lama tinggal selama 7,84 hari. Wisman juga mengeluarkan uang
sebesar 1,118,26 dollar per kunjungan atau setara dengan menghabiskan 142,69
dollar per hari. Hal tersebut telah memberikan sumbangan devisa yang mencapai
8.554,39 juta dollar atau sekitar 8,5 miliar dolar dengan pertumbuhan mencapai
12,51%.
Selain wisman, terjadi pula peningkatan jumlah wisatawan nusantara (wisnus) ke
berbagai tempat wisata di Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis Pusat Data dan
Informasi Kemenparekraf dan BPS Tahun 2012, diketahui bahwa jumlah wisnus pun
mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan di tahun 2011 berhasil menembus
angka 131.022.000 wisnus atau sama dengan 13 juta wisnus dengan perjalanan
sebanyak 272.917.000 atau sama dengan 27 juta perjalanan atau rata-rata mencapai
1,94 perjalanan. Tingkat pengeluaran perjalanan pun mengalami peningkatan,
dimana pada tahun 2011 mencapai Rp. 701.120.000 per perjalanan dengan
pengeluaran total di tahun 2011 sebesar 165,59 triliun.
Provinsi Jawa Barat sebagai salah satu Daerah Tujuan Wisata (DTW) di Indonesia
memiliki beragam daya tarik, meliputi pegunungan, kawah, gua, pantai, sungai,
danau, seni budaya, wisata ilmu pengetahuan dan teknologi, sejarah, museun.
Semua itu merupakan daya tarik wisata yang membuat wisman dan wisnus selalu
tertarik untuk berkunjung ke Provinsi Jawa Barat serta dapat menambah pendapatan
asli daerah (PAD). Hal tersebut didukung oleh data yang dirilis Dinas Pariwisata
Kab/Kota di Jawa Barat Tahun 2012 bahwa jumlah wisman dan wisnus yang
berkunjung ke Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan setiap tahunnya, bahkan
di tahun 2011 jumlah wisatawan mencapai 430.813.37 orang, yang terdiri dari
wisman sebanyak 503.452 orang dan wisnus mencapai 42.577.885 orang.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
322
Industri akomodasi tidak dapat dipisahkan dengan industri pariwisata, karena
keduanya saling membutuhkan. Wisatawan yang berkunjung tentunya
membutuhkan akomodasi hotel. Perkembangan hotel berbintang di Provinsi Jawa
Barat semakin meningkat. Menurut data Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat,
diketahui bahwa pada tahun 2006 jumlah hotel berbintang mencapai 141 hotel;
Tahun 2007 mencapai 155 hotel; Tahun 2008 mencapai 162 hotel; Tahun 2009
mencapai 175 hotel; Tahun 2010 mencapai 185 hotel; Tahun 2011 mencapai 195 hotel;
dan tahun 2012 mencapai 208 hotel (Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Barat). Data
tersebut juga menggambarkan bahwa tingkat persaingan bisnis perhotelan di
Provinsi Jawa Barat semakin meningkat.
Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat (2013), diketahui bahwa
tingkat penghunian kamar (TPK) tertinggi di Provinsi Jawa Barat saat ini dipegang
oleh hotel bintang 5 (45,99 persen) diikuti oleh hotel bintang 2 (41,35 persen).
Penurunan terbesar terjadi pada kelas hotel bintang 4 dengan besaran 25,00 poin,
dari besaran TPK 63,28 persen di bulan Desember 2012 menjadi 38,28 persen di bulan
Desember. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda dengan di Kota Bandung, dimana
tingkat penghunian kamar (TPK) untuk bintang empat mengalami kecenderungan
menurun.
Berdasarkan data Dinas Pariwisata Kota Bandung Tahun 2012, diketahui bahwa
secara keseluruhan jumlah hotel berbintang di Kota Bandung yang secara umum
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Pada Tahun 2011 jumlah hotel di Kota
Bandung terdiri dari 9 hotel berbintang lima, 18 hotel berbintang empat, 29 hotel
berbintang tiga, 22 hotel berbintang dua, dan 6 hotel berbintang satu. Data tersebut
menunjukkan semakin prospektifnya bisnis perhotelan di Kota Bandung, sekaligus
semakin kompetitifnya bisnis perhotelan di Kota Bandung. Semakin kompetitifnya
bisnis perhotelan di Kota Bandung ditandai dengan perkembangan pangsa pasar
(market share) bisnis perhotelan di Kota Bandung.
Beberapa alasan yang mendasari pentingnya penelitian ini dilakukan adalah: a)
Hotel berbintang empat di Kota Bandung membutuhkan informasi secara empirik
mengenai budaya organisasi, komitmen organisasional, serta kualitas pelayanan
pegawai, untuk itu perlu dilakukan penelitian; b) Kualitas pelayanan pegawai hotel
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
323
berbintang empat di Kota Bandung belum optimal, sehingga perlu dicari faktor
penyebabnya; c) Peneliti hendak membuktikan teori-teori yang dipakai dalam
penelitian ini dan menghasilkan suatu konsep baru meskipun menggunakan metode
lama (re-konseptualisasi).
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini dirumuskan dalam rumusan masalah
sebagai berikut: a) Apakah budaya organisasi berpengaruh terhadap kualitas
pelayanan pegawai; b) Apakah komitmen organisasional berpengaruh terhadap
kualitas pelayanan pegawai; dan c) Apakah budaya organisasi dan komitmen
organisasional berpengaruh terhadap kualitas pelayanan pegawai. Dengan mengacu
pada rumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas pelayanan pegawai; pengaruh
komitmen organisasional terhadap kualitas pelayanan pegawai; dan pengaruh
budaya organisasi dan komitmen organisasional terhadap kualitas pelayanan
pegawai.
TINJAUAN PUSTAKA
Budaya Organisasi
Budaya organisasi merupakan sistem nilai yang dikembangkan dan berlaku dalam
suatu organisasi, yang menjadikannya ciri khas sebagai sebuah organisasi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Robbins dan Judge (2007:511) yang menyatakan
bahwa: “Organizational culture is a system of shared meaning held by members that
distinguishes the organization from other organizations.” Budaya organisasi
merupakan sistem berbagi nilai yang dilakukan oleh para anggota organisasi
sehingga membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lain. McShane dan Von
Glinow (2008:460) menyatakan bahwa: “Organizasitional culture is the basic pattern
of shared values and assumptions governing the way employees within an
organizational think about and act on problems and opportunities.” Budaya
organisasi merupakan pola dasar dari nilai dan asumsi organisasi yang
mengarahkan pegawai dalam organisasi untuk berpikir dan bertindak terhadap
masalah dan kesempatan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
324
Lebih lanjut Schein (2004:17) menyatakan bahwa budaya organisasi sebagai: “A
pattern of shared basic assumptions that was learned by a group as it solved
problems of external adoption and internal integration, that has worked well enough
to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct
way to perceive, think, and feel in relation to those problems.” Asumsi dasar yang
dipelajari oleh kelompok karena dapat memecahkan masalah adaptasi eksternal dan
integrasi internal, yang bekerja cukup baik dan dianggap valid, oleh karena itu
budaya organisasi diajarkan kepada anggota baru sebagai cara merasa yang benar,
berpikir dan merasakan hubungan dengan masalah-masalah tersebut.
Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan budaya organisasi adalah sistem dan nilai yang dirasakan oleh
anggota organisasi sebagai bagian dari organisasi. Dalam konteks penelitian ini,
maka yang dimaksud dengan budaya organisasi adalah sistem dan nilai yang
dirasakan oleh pegawai hotel berbintang empat di Kota Bandung.
Susanto (2004:14-16) mengemukakan beberapa fungsi budaya organisasi, yaitu: a)
Pengikat organisasi, budaya organisasi berfungsi sebagai pengikat seluruh
komponen organisasi terutama pada saat organisasi menghadapi guncangan baik
dari dalam maupun dari luar akibatnya terdapat perubahan; b) Integerator, budaya
organisasi merupakan alat untuk menyatakan beragam sifat, karakter, bakat dan
kemampuan yang ada di dalam organisasi; c) Identitas organisasi, budaya organisasi
merupakan salah satu identitas organisasi seperti logo perusahaan yang memiliki
lambang tersendiri; d) Energi, untuk mencapai kinerja yang tinggi, budaya
organisasi berfungsi sebagai suntikan energi untuk mencapai kinerja yang tinggi.
Jika energi di anggota-anggota menghasilkan output yag luar biasa; e) Ciri Kualitas,
budaya organisasi merupakan resperentasi dari ciri kualitas yang berlaku dalam
organisasi tersebut; f) Motivator, budaya organisasi merupakan pemberi semangat
bagi para anggota organisasi yang kuat akan menjadi motivator yang kuat bagi
anggotanya; g) Pedoman gaya kepemimpinan, Seiring adanya perubahan, disengaja
ataupun tidak membawa pandangan baru tentang kepemimpinan. Pemimpin
dikatakan berhasil apabila mampu membawa anggota organisasi keluar dari krisis
akibat perubahan yang terjadi; h) Meningkatkan Nilai, salah satu fungsi organisasi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
325
adalah untuk meningkatkan nilai dari stackholder-nya yaitu anggota organisasi,
pelanggan, pemasok, dan pihak-pihak yang berhubungan dengan organisasi.
Pengukuran budaya organisasi dalam penelitian ini menggunakan tujuh dimensi
yang dikembangkan oleh Robbins dan Judge (2007:514), yaitu: a) Inovasi dan
Pengambilan Resiko, berkenaan dengan sejauhmana para pegawai didorong agar
inovatif dan mengambil resiko dalam melaksanakan pekerjaannya; b) Perhatian
terhadap Detail, berkenaan dengan sejauhmana para pegawai diharapkan
memperlihatkan posisi (kecermatan), analisis, dan perhatian terhadap detail; c)
Orientasi Hasil, berkenaan dengan sejauhmana manajemen memusatkan perhatian
pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil
itu; d) Orientasi orang, berkenaan dengan sejauhmana keputusan manajemen
memperhitungkan dampak hasil-hasil pada orang-orang dalam organisasi itu; e)
Orientasi tim, berkenaan dengan sejauhmana kegiatan diorganisasikan berdasarkan
tim, bukannya berdasarkan individu; f) Keagresifan, berkenaan dengan sejauhmana
orang-orang itu argesif dan kompetitif dan bukannya santai-santai; dan g)
Kemantapan, berkenaan dengan sejauhmana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannnya status quo bukannya pertumbuhan.
Komitmen Organisasional
Para ahli umumnya memberikan pandangan yang beragam mengenai pengertian
komitmen organisasional. Dessler (2003:17) menyatakan bahwa komitmen
organisasional sebagai: “An employee’s identification with and agreement to pursue
the company’s or the unit’s mission”. Merupakan suatu identifikasi karyawan
dengan sebuah persetujuan untuk mencapai misi unit atau misi organisasi.
Sementara Ivacevich, Konopaske, dan Matteson (2008:184) menyatakan bahwa
komitmen organisasional adalah: “A sense of identification, involvement, and loyalty
expressed by an employee toward the company.” Suatu rasa identifikasi,
keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh karyawan kepada
perusahaannya.
Lebih lanjut lagi, Gary Yulk (2006:149) menyatakan bahwa komitmen organisasional
adalah: “The term organizational commitment describes an outcome in wich the
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
326
target person internally agress wiht a decision or request from the agent and makes a
great effort to carry out the request or implement the decision effectively. For a
complex, difficult task, commitment is usually the most successful outcome from the
prespective of the agent who makes an influence attempt.” Komitmen
organisasional adalah sebuah hasil dimana orang yang dituju secara internal
menyetujui sebuah keputusan atau permintaan dari pelaku dan membuat sebuah
usaha besar untuk menjalankan permintaan atau menerapkan keputusan tersebut
secara efektif.
Colquitt, LePine, dan Wesson menjelaskan (2009:67) bahwa: “Organization
commitment influences whether an employee stays a member of the organization (is
retained) or leaves to pursue another job (turn over). It is turn over to acknowledge
that turnover can be both voluntary and involuntary. Voluntary turnover occurs
when employees themselves decide to quit; involuntary turnover occurs when
employees are fired by the organization for some reason.” Komitmen organisasional
mempengaruhi apakah seorang karyawan tetap bertahan menjadi anggota organisasi
atau meninggalkan organisasi untuk mengejar pekerjaan lain. Karyawan
meninggalkan organisasi bisa karena terpaksa atau sukarela, meninggalkan
organisasi secara sukarela terjadi ketika karyawan memutuskan untuk berhenti dari
organisasi sedangkan karyawan yang meninggalkan organisasi karena terpaksa bisa
terjadi ketika karyawan dipecat oleh organisasi untuk beberapa alasan.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah diuraikan tentang komitmen
organisasional, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan komitmen
organisasional adalah loyalitas seseorang dalam melibatkan dirinya terhadap
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi tersebut. Loyalitas tersebut dapat
ditunjukkan dengan kesedian dan kemauan untuk berusaha untuk menjadi bagian
dari organisasi, serta keinginan untuk bertahan dalam organisasi tersebut. Dalam
penelitian ini, maka komitmen organisasional terkait loyalitas pegawai hotel
berbintang empat di Kota Bandung.
Dampak komitmen organisasional menurut Sopiah (2008:19) dapat ditinjau dari dua
sudut yaitu: a) Ditinjau dari Sudut Organisasi/ Perusahaan. Karyawan yang
berkomitmen rendah akan berdampak pada turnover, tingginya absensi,
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
327
meningkatnya kelambanan kerja dan kurang intensitas untuk bertahan sebagai
karyawan di organisasi/perusahaan tersebut, rendahnya kualitas kerja, dan
kurangnya loyalitas pada perusahaan. Apabila komitmen karyawan rendah maka
hal tersebut dapat memicu perilaku karyawan yang kurang baik, misalnya tindakan
kerusahan yang dampak lebih lanjutnya yaitu terhadap reputasi organisasi
menurun, kehilangan kepercayaan dari klien dan dampak yang lebih jauh lagi yaitu
menurunnya laba perusahaan; dan b) Ditinjau dari Sudut Karyawan. Komitmen
karyawan yang tinggi akan berdampak pada peningkatan karir karyawan tersebut.
Pengukuran komitmen organisasional dalam penelitian ini menggunakan tiga
dimensi yang diperkenalkan oleh Allen dan Meyer (Luthan, 2008:147), yaitu a)
Komitmen Afektif (Affective Commitment), berkenaan dengan keterikatan
emosional, identifikasi, dan keterlibatan dalam suatu organisasi (involves the
employee’s emotional attachment to identification with is involvement in the
organization). Dalam hal ini individu menetap dalam suatu organisasi karena
keinginannya sendiri; b) Komitmen Berkelanjutan (Continuance Commitment),
berkenaan dengan pertimbangan tentang apa yang harus dikorbankan bila akan
meninggalkan organisasi (involves commitment based on the cost that the employee
associated with leaving the organization). Dalam hal ini individu memutuskan
menetap pada suatu organisasi karena menganggapnya sebagai suatu pemenuhan
kebutuhan; dan c) Komitmen Normatif (Normative Commitment), berkenaan
dengan tanggung jawab terhadap organisasi (involves employee’s feeling of
obligation to stay with the organization). Individu tetap tinggal pada suatu
organisasi karena merasa wajib untuk loyal pada organisasi tersebut.
Kualitas Pelayanan Pegawai
Kualitas dapat dilihat dari perspektif produsen dan konsumen. Dalam pikiran
pelanggan, kualitas mempunyai banyak dimensi dan mungkin diterapkan dalam
satu waktu (Krajewski dan Ritzman, 1999:215). Apabila jasa yang diterima atau
dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, maka kualitas jasa dipersepsikan baik
dan memuaskan. Jika jasa yang diterima lebih rendah dari pada yang diharapkan,
maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Sebaliknya jika jasa yang diterima
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
328
melampaui harapan konsumen, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas
yang ideal. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada
kemampuan penyediaan jasa dalam memenuhi harapan konsumennya secara
konsisten.
American Society for Quality Control (Render, B. dan Heizer, J., 2001:92) menyatakan
bahwa: “Kualitas adalah totalitas bentuk dan karkateristik barang atau jasa yang
menunjukkan kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang
tampak jelas maupun yang tersembunyi”. Pasuraman et. al., (Fandy Tjiptono,
2005:133) menyatakan kualitas pelayanan sebagai ukuran seberapa bagus tingkat jasa
yang diberikan, sesuai dengan ekspekatasi pelanggan.
Lebih lanjut lagi John Sviokla (Rambat L. dan A. Hamdani, 2007:181) menyatakan
bahwa: “Kualitas pelayanan adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan
layanan kepada peanggan. Melalui kualitas layanan yang terdiri dari tangible,
empaty, responsiveness, reliability, dan assurance, perusahaan dapat mengetahui
persepsi konsumen terhadap penyampaian layanan jasa yang diberikan. Selanjutnya
Olson dan Dover (Fandy Tjiptono, 2005:122) menyatakan bahwa harapan/ekpektasi
pelanggan merupakan keyakinan pelanggan sebelum mencoba atau membeli suatu
produk, yang dijadikan standar atau acuan dalam menilai kinerja produk
bersangkutan. Setiap konsumen yang berbeda dapat menerapkan tipe ekspektasi
yang berbeda untuk situasi yang berbeda.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kualitas pelayanan
adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan layanan bagi pelanggannya
melalui serangkaian aktivitas yang dilaksanakan oleh pegawai. Kualitas pelayanan
juga merupakan ukuran seberapa bagus tingkat jasa yang diberikan oleh perusahaan
bila diukur dengan ekspekatasi pelanggan. Dalam penelitian ini, maka kualitas
pelayanan pegawai adalah kemampuan hotel berbintan empat di Kota Bandung
untuk memberikan pelayanan bagi pelanggannya melalui serangkaian aktivitas yang
dilaksanakan oleh pegawai. Kualitas pelayanan juga merupakan ukuran seberapa
bagus tingkat jasa yang diberikan oleh hotel berbintang empat di Kota Bandung bila
diukur dengan ekspekatasi pelanggan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
329
Pengukuran kualitas pelayanan dalam penelitian ini menggunakan dimensi yang
dikembangkan oleh Zeithaml dan Berry (Fandy Tjiptono, 2005:133) yang
menyatakan bahwa dimensi yang dapat diukur dari kualitas pelayanan adalah: a)
Keberwujudan (Tangible), berkenaan dengan daya tarik meliputi fasilitas fisik,
perlengkapan, dan material yang digunakan perusahaan, serta penampilan
karyawan; b) Keandalan (Reliability), berkenaan dengan kemampuan perusahaan
untuk memberikan layanan yang akurat sejak pertama kali tanpa membuat
kesalahan apapun dan menyampaikan jasanya sesuai dengan waktu yang
disepakati; c) Daya Tanggap (Responsiveness), berkenaan dengan kesediaan dan
kemampuan para karyawan untuk membantu para pelanggan dan merespons
permintaan mereka, serta menginformasikan kapan jasa akan diberikan dan
kemudian memberikana jasa secara tepat; d) Jaminan (Assurance), berkenaan
dengan perilaku karyawan-karyawan yang mampu menumbuhkan kepercayaan
pelanggan terhadap perusahaan dan perusahaan bisa menciptakan rasa aman bagi
pelanggannya. Jaminan juga berarti bahwa para karyawan selalu bersikap sopan dan
menguasai pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk menangani
setiap pertanyaan atau masalah pelanggan; dan e) Empati (Emphaty), berkenaan
dengan kemampuan perusahaan untuk memahami masalah para pelanggannya dan
bertindak demi kepentingan pelanggan, serta memberikan perhatian personal
kepada para pelanggan dan memiliki jam operasi yang nyaman.
Keterkaitan Budaya Organisasi, Komitmen Organisasional, dan Kualitas
Pelayanan Pegawai
McShane dan Von Glinow (2008:460); Susanto (2004:4); dan Dessler (2003:17)
menyatakan adanya hubungan antara budaya organisasi, komitmen organisasional,
dan kualitas layanan pegawai. Lebih lanjut lagi budaya organisasi merupakan salah
satu faktor penting yang dapat mempengaruhi komitmen organisasional dan
kualitas layanan. Bahkan Roos dan Eeden (2012:54-63) mengutip hasil penelitian
empirik yang dilakukan oleh Coster (1992); Johnson and McIntye (1998); serta Odom
et al, (1990); yang menyatakan adanya hubungan yang pararel antara komitmen
organisasional, kualitas pelayanan, dan budaya organisasi. Selain itu, Qaisar,
Rehman, dan Suffyan (2012:249) menyatakan bahwa hasil penelitian empirik yang
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
330
dilakukan oleh para ahli, misalnya Bashaw dan Grant (1994); Kalleberg dan Marden
(1995); Benkhoff, (1997); Suliman dan Lles (2000); serta Meyer et al. (2002)
menyatakan adanya hubungan yang positif antara komitmen organisasional dengan
kualitas pelayanan pegawai.
Berdasarkan hasil tinjauan pustaka dan analisis yang telah dilakukan, selanjutnya
disajikan model kausalitas penelitian.
Gambar 1 Model Kausalitas Variabel Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah, hasil tinjauan pustaka, dan model kausalitas variabel
penelitian, selanjutnya disajikan hipotesis penelitian yang disajikan berikut ini:
Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan
pegawai.
Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelayanan pegawai.
Budaya organisasi dan komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelayanan pegawai.
Budaya Organisasi
Komitmen Organisasi
Kualitas Layanan
Susanto (2004:4)
Dessler (2003:17)
McShane dan Von Glinow (2008:460)
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
331
METODE PENELITIAN
Berdasarkan jenisnya, maka penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dan
verifikatif. Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai customer services hotel
berbintang empat di Kota Bandung. Berdasarkan hasil perhitungan sampel dengan
menggunakan rumus Slovin, diperoleh unit analisis sebesar 170 pegawai customer
services hotel berbintang empat yang didistribusikan secara proporsional
menggunakan ukuran proporsional strata populasi.
Penelitian ini menggunakan dua jenis analisis, yaitu: (1) analisis deskriptif,
khususnya bagi variabel yang bersifat kualitatif dan (2) analisis verifikatif berupa
pengujian hipotesis dengan menggunakan uji statistik bagi data yang bersifat
kuantitatif. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat faktor penyebab sedangkan
analisis verifikatif menitikberatkan pada pengungkapan perilaku variabel yang
diteliti. Penelitian ini terdiri dari jaringan variabel yang mempunyai keterkaitan satu
sama lainnya. Untuk dapat menganalisis secara lebih mendalam, maka perlu
dideteksi hubungan antara variabel yang diteliti. Teknik analisis data dan pengujian
hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini ialah menggunakan analisis jalur
(path analysis) atau disebut juga the causal models for directly observed variables
(Joreskog dan Sorbom, 1996) dengan bantuan program komputer SPSS versi 20.00.
Model analisis jalur seperti dungkapkan oleh Bohrnstedt (Kusnendi, 2008:3)
digunakan untuk menganalisis pola hubungan antar variabel dengan tujuan untuk
mengetahui pengaruh langsung maupun tidak langsung seperangkat variabel
penyebab (variabel eksogen) terhadap satu set variabel akibat (variabel endogen).
Analisis jalur ialah suatu teknik untuk menganalisis hubungan sebab akibat yang
terjadi pada regresi berganda jika variabel bebasnya mempengaruhi variabel
tergantung tidak hanya secara langsung, tetapi juga secara tidak langsung. Dalam
penggunaan analisis jalur (path analysis), menurut Solimun (2004:49) ada beberapa
asumsi yang harus dipenuhi, antara lain: a) Hubungan antar variabel dalam model
analisis jalur adalah linear dan aditif; b) Hanya model rekursif (sistem aliran kausal
ke satu arah) yang dapat dipertimbangkan sedangkan pada model yang
mengandung kausal resiprokal (sistem aliran kausal timbal balik) tidak
dipertimbangkan; c) Variabel endogen dan eksogen minimal dalam ukuran skala
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
332
ukur interval; d) Observed variable diukur tanpa kesalahan (instrumen pengukuran
valid dan reliabel); e) Model yang dianalisis dispesifikasikan (diidentifikasi) dengan
benar berdasarkan teori-teori dan konsep yang relevan.
Teknik statistik analisis jalur mensyaratkan sekurang-kurangnya data yang berskala
interval. Oleh karena itu, data variabel penelitian yang berskala ordinal
ditransformasikan ke dalam skala interval dengan menggunakan MSI (methods of
successive intervals) seperti yang diungkapkan oleh Hays (1969:39), dengan langkah
kerja sebagai berikut: a) memperhatikan setiap item pertanyaan atau pernyataan; b)
menghitung setiap frekuensi jawaban; c) menentukan proporsi membagi frekuensi
dengan jumlah responden; d) menghitung proporsi kumulatif dengan jumlah
responden; e) menghitung nilai Z untuk setiap proporsi kumulatif yang diperoleh
dengan menggunakan tabel normal; dan f) menentukan nilai skala untuk setiap nilai
Z; dan g) Langkah terakhir ialah menghitung nilai skala setiap kategori jawaban
dengan rumus: Nilai skala = SV + | SVminimal| + 1
HASIL PENELITIAN
Uji normalitas data dalam penelitian ini menggunakan tes kolmogorov smirnov
dengan bantuan program komputer SPSS versi 20.00. Berdasarkan hasil pengujian
normalitas data, dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi memiliki data yang
bersifat normal; komitmen organisasional memiliki data yang bersifat normal; dan
kualitas layanan pegawai memiliki data yang bersifat normal.
Selain uji normalitas data, dilakukan juga uji linearitas data. Uji linieritas dilakukan
dilakukan dengan mencari persamaan garis regresi variabel bebas budaya organisasi
dan komitmen organisasional terhadap variabel terikat kualitas pelayanan pegawai.
Hasil pengujian linearitas data menunjukkan bahwa: budaya organisasi dan
komitmen organisasional memiliki hubungan yang linear; budaya organisasi dan
kualitas pelayanan pegawai memiliki hubungan yang linear; serta komitmen
organisasional dan kualitas pelayanan pegawai memiliki hubungan yang linear.
Berdasarkan tabel klasifikasi koefisien korelasi variabel penelitian, dapat diketahui
bahwa budaya organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan komitmen
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
333
organisasional; budaya organisasi memiliki hubungan yang kuat dengan kualitas
pelayanan pegawai; dan komitmen organisasional memiliki hubungan yang kuat
dengan kualitas pelayanan pegawai.
Hipotesis ketiga merupakan hipotesis yang menguji pengaruh secara simultan,
berbunyi: Budaya organisasi dan komitmen organisasional berpengaruh positif dan
signifikan terhadap kualitas pelayanan pegawai. Hipotesis tersebut disajikan dalam
struktur Y = ρyx1 X1 + ρyx2 X2 + ρyε.
Gambar 2 Struktur Kausal Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Komitmen Organisasional
Sumber : Hasil Pengolahan Data Tahun 2013
Berdasarkan tabel 1 diperoleh nilai F untuk model 1 sebesar 231,316 dengan nilai
probabilitas (sig) = 0,000. Karena nilai sig < 0,05, maka budaya organisasi dan
komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelayanan pegawai.
Tabel 1 Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Komitmen Organisasional secara Simultan
ANOVAb
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 8718.724 2 4359.362 231.316 .000a
Residual 3147.261 167 18.846
Total 11865.986 169
a. Predictors: (Constant), Iklim Organisasi, Budaya Organisasi
b. Dependent Variable: Komitmen Organisasional
Sumber : Hasil Pengolahan Data Tahun 2013
0,735
Y
X1
X2
ε1
0,852
0,258
0,627
0,265
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
334
Pengujian parsial dilakukan untuk menguji hipotesis pertama: Budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan pegawai.
Berdasarkan tabel coefficients diperoleh nilai t untuk model 1 budaya organisasi
sebesar 3,395 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,001. Karena nilai sig < 0,05, maka
keputusannya adalah Ha diterima dan Ho ditolak, artinya budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan pegawai. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Susanto (2004:4) yang menyatakan bahwa: “Budaya
organisasi adalah nilai-nilai yang menjadi pegangan sumber daya manusia dalam
menjalankan kewajiban dan juga perilakunya dalam perusahaan”. Pendapat tersebut
dikuatkan oleh Wirawan (2007:10) yang menyatakan bahwa budaya organisasi
sebagai norma, nilai-nilai, asumsi, kepercayaan, filsafat dan sebagainya (isi budaya
organisasi) yang dikembangkan dalam waktu yang diajarkan kepada anggota baru
serta diterapkan dalam aktivitas organisasi sehingga mempengaruhi pola pikir,
sikap, dan perilaku anggota organisasi dalam memproduksi produk, melayani para
konsumen dan mencapai tujuan organisasi.
Tabel 2 Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Komitmen Organisasional secara Parsial
Correlations
Budaya Organisasi
Iklim Organisasi
Komitmen Organisasional
Budaya Organisasi Pearson Correlation 1 .852** .792**
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 170 170 170
Iklim Organisasi Pearson Correlation .852** 1 .846**
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 170 170 170
Komitmen Organisasional Pearson Correlation .792** .846** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000
N 170 170 170
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Pengujian parsial juga dilakukan untuk menguji hipotesis ketiga: Komitmen
organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan
pegawai. Berdasarkan tabel coefficients diperoleh nilai t untuk model 2 komitmen
organisasional sebesar 8,238 dengan nilai probabilitas (sig) = 0,000.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
335
Karena nilai sig < 0,05, maka keputusannya adalah Ha diterima dan Ho ditolak,
artinya komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kualitas pelayanan pegawai. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Dessler (2003:17)
yang menyatakan bahwa komitmen organisasional merupakan suatu identifikasi
karyawan dengan sebuah persetujuan untuk mencapai misi unit atau misi
organisasi. Dalam hal ini, maka misi unit dan misi organsiasi dalam bentuk layanan
bisa terwujud dengan adanya komitmen organisasional yang memadai dari para
pegawainya. Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat Ivacevich, Konopaske,
dan Matteson (2008:184) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional adalah
suatu rasa identifikasi, keterlibatan, dan kesetiaan yang diekspresikan oleh
karyawan kepada perusahaannya.
Temuan Penelitian
Berdasarkan hasil pengujian pengaruh budaya organisasi dan komitmen
organisasional terhadap kualitas pelayanan pegawai, baik secara simultan maupun
parsial, diperoleh temuan:
ρyx1 = Beta = 0,258 ( t = 3,395 dan probabilitas {sign} = 0,001 )
ρyx2 = Beta = 0,627 ( t = 8,238 dan probabilitas {sign} = 0,000 )
Nilai koefisien jalur pengaruh budaya organisasi terhadap kualitas pelayanan
pegawai sebesar 0,258 dan pengaruh komitmen organisasional terhadap kualitas
pelayanan pegawai sebesar 0,627. Selanjutnya Tabel 3 berikut ini menyajikan
koefisien determinan budaya organisasi dan komitmen organisasional terhadap
Kualitas Pelayanan Pegawai.
Tabel 3 Koefisien Determinan Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai
Model Summary
Model R R Square Adjusted R Square Std. Error of the Estimate
1 .857a .735 .732 4.34118
a. Predictors: (Constant), Komitmen Organisasional, Budaya Organisasi
Sumber : Hasil Pengolahan Data Tahun 2013
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
336
Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa kontribusi koefisien determinan atau
kontribusi budaya organisasi dan komitmen organisasional terhadap kualitas
pelayanan pegawai (Rsquare = R2 YX1, X2) adalah sebesar 0,735 dan besaran
koefisien residu ialah sebesar:
PYε1 = 1 – 0,735 = 0,265
Berdasarkan perhitungan tersebut maka koefisien residu dalam penelitian ini adalah
sebesar 0,265. Dengan demikian, maka pengaruh budaya organisasi dan komitmen
organisasional terhadap kualitas pelayanan pegawai adalah sebesar 73,5% dan
besaran koefisien residu ialah sebesar 26,5%. Dengan demikian, maka diperoleh
persamaan struktur sebagai berikut:
Y = ρyx1 X1 + ρyx2 X2 + ρyε1 dan R2Yx1x2
0,258 X1 + 0,627 X2 + 0,265 ε1 dan R2Yx1x2 = 0,735
Hasil pengujian koefisien jalur budaya organisasi dan komitmen organisasional
terhadap kualitas pelayanan pegawai, serta pengaruh langsung maupun tidak
langsungnya, disajikan pada tabel 4.
Tabel 4 Hasil Pengujian Koefisien Jalur, Pengaruh Langsung, dan Tidak Langsung dari Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai
Variabel
Pengaruh Langsung terhadap Kualitas Pelayanan Pegawai (%)
Pengaruh Tidak Langsung Melalui:
R2YX1,YX2 Budaya Organisasi (%)
Komitmen Organisasional (%)
Budaya Organisasi 6,66 - 13,78 20,44
Komitmen Organisasional
39,31 13,78 - 53,09
R2 73,53
Sumber : Hasil Pengolahan Data Tahun 2013
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, maka pengaruh budaya organisasi dan
komitmen organisasional secara simultan terhadap kualitas pelayanan pegawai ialah
sebesar 73,53% dan sisanya sebesar 26,47% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak
diteliti dalam penelitian ini, misalnya rekrutmen pegawai. Berdasarkan tabel kriteria
penafsiran tinggi rendahnya pengaruh variabel, maka pengaruh budaya organisasi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
337
dan komitmen organisasional terhadap kualitas pelayanan pegawai termasuk dalam
kriteria pengaruh yang kuat.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil riset empiris yang telah dilakukan oleh Trias
Prilyanti (2009) yang menyatakan bahwa budaya organisasi dan komitmen
organisasional, baik secara simultan maupun parsial, berpengaruh signifikan
terhadap kualitas pelayanan bagi pelanggan jasa perhotelan Garuda Plaza Medan;
Hasil penelitian Lia Witasari (2009) yang menemukan bahwa budaya organisasi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasi, komitmen
organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan; serta
McShane dan Von Glinow (2008:460); Susanto (2004:4); dan Dessler (2003:17)
menyatakan adanya hubungan antara budaya organisasi, komitmen organisasional,
dan kualitas layanan pegawai. Lebih lanjut lagi budaya organisasi merupakan salah
satu faktor penting yang dapat mempengaruhi komitmen organisasional dan
kualitas layanan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa:
Budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas pelayanan
pegawai. Semakin kuat budaya organisasi, maka kualitas pelayanan pegawai hotel
berbintang empat di Kota Bandung akan semakin meningkat.
Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas
pelayanan pegawai. Semakin tinggi komitmen organisasional, maka kualitas layanan
pegawai hotel berbintang empat di Kota Bandung akan semakin meningkat.
Budaya organisasi dan komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan
terhadap kualitas pelayanan pegawai. Semakin kuat budaya organisasi dan semakin
tinggi komitmen organisasional, maka kualitas pelayanan pegawai hotel berbintang
empat di Kota Bandung akan semakin meningkat.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
338
Saran
Berdasarkan simpulan tersebut, dapat disajikan saran terkait dengan penelitian ini,
yaitu:
Berdasarkan tujuh indikator yang digunakan untuk mengukur budaya organisasi,
kemantapan merupakan indikator yang paling rendah. Untuk itu terkait dengan
kemantapan, maka hotel berbintang empat di Kota Bandung perlu untuk
melaksanakan: a) Sosialiasi standar operasional prosedur (SOP) pekerjaan secara
berkesinambungan kepada pegawai; dan b manajemen hotel perlu untuk membuat
kebijakan terkait dengan pelaksanaan SOP yang melibatkan pihak manajemen dan
partisipasi pegawai secara langsung, karena selama ini SOP disusun oleh manajemen
tanpa melibatkan pegawai secara langsung.
Berdasarkan tiga indikator yang digunakan untuk mengukur komitmen
organisasional, komitmen nomatif merupakan indikator yang paling rendah. Untuk
itu, terkait dengan komitmen normatif, maka hotel berintang empat di Kota
Bandung perlu untuk mengoptimalkan: a) Penegakan tata tertib yang ada dan
berlaku di hotel; b) Kegiatan pemanasan (briefing) pagi yang menekankan
pentingnya ketaatan kepada pimpinan, karena selama ini kegiatan pemanasan
(briefing) pagi belum dijalankan secara konsisten; c) Kegiatan pemanasan (briefing)
pagi yang menekankan pentingnya pegawai untuk menepati kontrak kerja dirinya
dengan hotel, karena selama ini pegawai jarang diingatkan; d) Mengingatkan
pegawai tentang pentingnya menjaga citra dan wibawa hotel dengan memberikan
pelayanan terbaik bagi pelanggan, karena selama ini pegawai belum mampu
menjaga citra dan wibawa hotel dengan optimal.
Berdasarkan lima indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas layanan,
empati merupakan indikator yang paling rendah. Untuk itu, terkait dengan empati,
maka hotel berbintang empat di Kota Bandung perlu untuk mengoptimalkan: a)
Kemampuan pegawai untuk memahami kebutuhan pelanggan, misalnya melalui
pelatihan tentang “Memahami Kebutuhan dan Keinginan Pelanggan Hotel”, karena
selama ini kemampuan pegawai untuk memahami kebutuhan pelanggan belum
optimal; b) Kemampuan untuk memperhatikan pelanggan, misalnya melalui
pelatihan “Customer Oriented for Customer”, karena selama ini kemampuan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
339
pegawai untuk memperhatikan pelanggan belum optimal; dan b) Kemampuan
pegawai untuk memberikan pelayanan yang mampu memenuhi dan memuaskan
harapan dari pelanggan, misalnya melalui pelatihan “Pelayanan Prima untuk Tamu
Hotel”, karena selama ini kemampuan pegawai untuk memberikan pelayanan belum
optimal.
DAFTAR PUSTAKA
A.B. Susanto. (2004). Menjadi Supercompany Melalui Budaya Organisasi yang Tangguh dan Futuristik. Jakarta: Pustaka Mizan.
Asep Hermawan. (2006). Penelitian Bisnis Paradigma Kuantitatif. Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia.
Barry Render. (2001). Prinsip-prinsip Manajemen Operasi. Jakarta: PT. Salemba Empat.
Biyantu.(2007). Manajemen Pembelajaran (Studi tentang Pengaruh Kinerja Kepala Sekolah, Iklim Kerja Guru, Penghasilan Guru dan Teknologi, Pembelajaran terhadap Kinerja Guru dan Kualitas Belajar Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Pekanbaru). Bandung: UPI. Disertasi tidak diterbitkan.
Colqiutt, LePine, dan Wesson. (2009). Organization Behavior Improving Performance and Commitment in the Workplace. New York: McGraw-Hill International.
Cooper, Donald R dan Pamela S Schindler (2001). Business Research Methode. 7th. Boston: McGraw Hill International Edition.
Davis, Keith dan John W. Newstrom. (2001). Perilaku dalam Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Dermawan Wibisono. (2005). Riset Bisnis: Panduan bagi Praktisi dan Akademisi. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.
Dessler, Gary. (2003). Human Resource Management. New Jersey: Prentice Hall.
Fandy Tjiptono (2005). Pemasaran Jasa. Malang: Bayumedia Publishing.
Fandy Tjiptono dan Gregorius Chandra. (2005). Service Quality & Satisfaction. Yogyakarta: Andi.
Hadari Nawawi. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis yang Kompetitif. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Husein Umar. (2002). Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
340
Ivancevich, Konopaske, dan Matteson. (2008). Organizational Behavior and Management. New York: McGraw-Hill International.
Joreskog, K.G dan Dag Sorbom. (1996). Lisrel 8: User’s Reterence Quide. Chicago: Scientific Software International. Inc.
Krajewski, L.J. (1999). Operations Management: Strategy and Analysis. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing Company, Inc.
Kusnendi. (2008). Model-Model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung: CV. Alfabeta.
Kusnendi. (2008). Model-Model Persamaan Struktural: Satu dan Multigroup Sampel dengan LISREL. Bandung: CV. Alfabeta.
Lia Witasari. (2009). Analisis Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Kualitas Pelayanan (Studi Empiris pada Novotel Semarang). Tesis UNDIP.
Luthan, Fred. (2006). Perilaku Organisasi. Edisi 10. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Luthan, Fred. (2008). Organization Behavior, 11th edition. Boston: Mc. Graw Hill.
McShane, Steven L., dan Mary Ann Von Glinow. (2008). Organizational Behavior. New York: McGraw-Hill.
Publikasi Badan Pusat Statistik dan P2DSJ Tahun 2012.
Publikasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten dan Kota di Jawa Barat Tahun 2012.
Publikasi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung Tahun 2012 dan 2013.
Publikasi Pusat Data dan Informasi Kemenparekraf dan Badan Pusat Statistik Tahun 2012.
Qaisar, Rehman, dan Suffyan. (2012). Exploring Effects of Organizational Commitment on Employee Performance: Implications for Human Resources Strategy. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, March 2012, Vol.3, No.11, p.249.
Rambat Lupiyoadi. (2007). Manajemen Jasa. Jakarta: Prenhalindo.
Robbins, Stephen P., dan Timothy A Judge. (2007). Organizational Behavior. New Jersey: Pearson Education Inc.
Roos dan Eeden. (2012). The Relations Between Employee Motivation, Job Satisfaction, and Corporate Culture. SA Journal of Industrial Psychology, 2012, Vol.34, No.1, p.54-63.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
341
Rutherford, Robert D dan Minja Kim Choe. (1993). Statistical Model For Causal Analysis. New York: John Wiley & Sons.Inc.
Saifuddin Azwar. (2003). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schein, Edgar. (2004). Organizational Culture and Leadership. San Fransisco: John Wiley & Son.
Solimun. (2004). Pemodelan Statistika: Structural Equation Modeling Aplikasi AMOS. Malang: Universitas Brawijaya.
Sopiah. (2008). Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Penerbita Andi.
Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.
Trias Prilyanti. (2009). Pengaruh Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasional terhadap Kualitas Layanan Karyawan di Hotel Garuda Plaza Medan. Tesis USU.
Ulber Silalahi. (2006). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Universitas Parahyangan Press.
Uma Sekaran (2006). Metodologi Penelitian untuk Bisnis. Jakarta: Salemba 4.
Wirawan. (2007). Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Yulk, Gary. (2006). Leadership in Organization. New Jersey: Prentice Hall.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
342
PENGARUH CAUSE-RELATED MARKETING DAN PROMOSI PENJUALAN TRADISIONAL PADA NIAT KONSUMEN UNTUK LOYAL TERHADAP
MEREK YANG DIMODERASI OLEH KETERLIBATAN KONSUMEN TERHADAP PRODUK
Dwi Asri Siti Ambarwati4
INTISARI
Cause Related Marketing (CRM) adalah salah satu bagian dari tanggung jawab perusahaan yang berhubungan langsung dengan penjualan, yaitu sebuah perusahaan yang bermitra dengan sebuah organisasi nirlaba, menciptakan hubungan saling menguntungkan yang dirancang untuk meningkatkan penjualan produk tertentu dan untuk mendapatkan dukungan keuangan untuk amal.
CRM dihipotesiskan akan memiliki pengaruh pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek. Niat konsumen untuk loyal terhadap merek dalam hal ini memiliki empat tahapan yaitu: loyalitas kognitif, loyalitas afektif, loyalitas konatif dan loyalitas perilaku. Pada penelitian ini kampanye CRM akan dibandingkan pengaruhnya pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek dengan promosi penjualan tradisional yang berupa promosi undian berhadiah. Hal ini disebabkan promosi penjualan tradisional dalam konteks Indonesia masih lebih popular dibandingkan dengan kampanye CRM itu sendiri.
Pengaruh CRM dan promosi penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek akan dimoderasi oleh keterlibatan konsumen terhadap produk, hal ini penting karena jenis produk yang dipasarkan sangat menentukan persepsi konsumen dalam mengapresiasikan suatu strategi pemasaran perusahaan. Keterlibatan konsumen terhadap produk ada yang rendah (low involvement) dan tinggi (high involvement), keterlibatan tersebut rendah bila konsumen memiliki sedikit pertimbangan dalam membeli produk tersebut dan keterlibatan akan tinggi bila konsumen memiliki banyak pertimbangan ketika akan membeli suatu produk.
Desain penelitian pada penelitian ini menggunakan desain eksperimen. Variabel yang dimanipulasi dalam eksperimen ini adalah kampanye CRM dan promosi penjualan tradisional pada dua produk dengan keterlibatan tinggi (tas laptop mahal dan berkualitas) dan keterlibatan rendah (tas laptop murah dan kualitas seadanya), menggunakan partisipan mahasiswa S1 di Universitas Lampung. Pengujian hipotesis menggunakan alat analisis one way ANOVA dan two way ANOVA.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa kampanye CRM strategik dan promosi penjualan tradisional memiliki pengaruh pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek.
Pengujian menggunakan one way ANOVA menunjukkan bahwa pengaruh kampanye CRM strategik pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek lebih besar dibandingkan dengan pengaruh dari promosi penjualan tradisional. 4 Dosen Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
343
Pengujian menggunakan two way ANOVA untuk menguji adanya pengaruh moderasi dari jenis produk dengan keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah menunjukkan bahwa keterlibatan konsumen terhadap produk memoderasi pengaruh dari kampanye CRM strategik dan promosi penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek.
Kata kunci: Cause-related marketing (CRM), loyalitas, promosi penjualan, produk dengan keterlibatan rendah, produk dengan keterlibatan tinggi
PENDAHULUAN
Strategi pemasaran selalu mengalami perubahan dan perkembangan, dan salah
satu hal yang sedang berkembang saat ini adalah Corporate Social responsibility (CSR)
yang juga biasa disebut tanggung jawab sosial perusahaan sebagai strategi untuk
mendukung tercapainya tujuan perusahaan (Kotler dan Lee, 2005:9). Perusahaan
yang menerapkan CSR ke dalam strategi perusahaan memungkinan perusahaan
mendapat keuntungan yang bersaing dan tidak hanya menguntungkan para
pemegang saham tetapi juga bermanfaat bagi publik dan masyarakat sekitar
(Galbreath, 2009). Menurut Daniri (2008), CSR yang melekat dengan strategi bisnis
perusahaan meningkatkan daya saing melalui reputasi dan kesetiaan merek
(loyalitas) atau citra perusahaan.
Aktivitas CSR yang berhubungan langsung dengan pemasaran adalah strategi
Cause-Related Marketing (CRM) yang menggabungkan inisiatif kepedulian sosial
perusahaan dengan aktivitas pemasaran. CRM adalah strategi pemasaran yang
berkolaborasi dengan kegiatan sosial yang dilakukan oleh perusahaan, karena
berhubungan langsung dengan penjualan maka CRM akan memiliki pengaruh
langsung terhadap perilaku konsumen (Sen dan Bhattacharya, 2001) yang berarti
akan mengubah respon konsumen atas suatu merek produk yang melakukan
strategi CRM. Respon konsumen itu dapat berupa persepsi, perasaan, dan keputusan
pembelian oleh konsumen terhadap suatu merek produk. Persepsi konsumen yang
baik terhadap produk, perasaan konsumen yang positif terhadap produk, dan
perilaku konsumen dengan melakukan pembelian produk secara berkelanjutan
merupakan penggambaran dari loyalitas merek yang sesungguhnya (true brand
loyalty) (Amine, 1998).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
344
CRM yang dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama akan meningkatkan
loyalitas merek terhadap merek produk yang melakukan strategi CRM (Till dan
Nowak, 2000) begitu pula kesesuaian antara bisnis inti dari perusahaan dan isu
sosial yang bergabung dalam kegiatan kampanye CRM (Pracejus dan Olsen, 2004)
dapat meningkatkan keefektifan dari kampanye CRM yang diselenggarakan. Hal
tersebut tentu akan menguntungkan bagi perusahaan untuk kelangsungan
perusahaan itu sendiri dan keuntungan perusahaan secara finansial. Loyalitas merek
yang tercipta dapat mengakibatkan perusahaan melakukan harga premium terhadap
produk tanpa membuat konsumen meninggalkan merek produk tersebut, selain itu
perusahaan dapat mengambil keuntungan bila terdapat promosi dari mulut ke
mulut yang positif yang dilakukan oleh para konsumen yang loyal.
Penulis dalam hal ini memasukkan moderasi dari keterlibatan konsumen terhadap
produk (product involvement) dalam pengaruh CRM pada niat untuk loyal terhadap
merek disebabkan karena jenis produk yang digabungkan dengan isu sosial pada
kampanye CRM sangat penting dalam menentukan kesuksesan kampanye CRM
tersebut. Keterlibatan konsumen terhadap produk ada yang rendah (low involvement)
dan tinggi (high involvement), keterlibatan tersebut rendah bila konsumen memiliki
sedikit pertimbangan dalam membeli produk tersebut dan keterlibatan akan tinggi
bila konsumen memiliki banyak pertimbangan ketika akan membeli suatu produk.
Kegiatan CRM di Indonesia pernah dilakukan oleh Unilever terkait dengan merek
produk sabun Lifebuoy yang bekerja sama dalam kegiatan perbaikan sanitasi
sekolah, dan Dove Hair Therapy dengan program ‘Dove Sisterhood’nya, perusahaan
Danone dengan produk air minum dalam kemasan merek Aqua dengan program 1
liter untuk 10 liter. Penulis berpendapat bahwa kegiatan CRM di Indonesia masih
belum banyak dilakukan, perusahaan-perusahaan di Indonesia lebih cenderung
melakukan kewajiban CSRnya secara umum dan melakukan promosi penjualan
secara tradisional seperti diskon (potongan harga) dan kupon undian berhadiah.
Promosi penjualan seperti undian berhadiah akan penulis istilahkan sebagai
promosi penjualan tradisional karena merupakan promosi penjualan yang dilakukan
perusahaan jauh lebih dulu dibandingkan dengan kampanye CRM, dan ternyata
sampai saat ini masih lebih banyak digunakan oleh perusahaan-perusahaan dalam
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
345
meningkatkan penjualannya. Oleh sebab itu penulis ingin meneliti tentang pengaruh
kegiatan CRM dan membandingkannya dengan pengaruh promosi penjualan
tradisional.
TINJAUAN PUSTAKA, DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Niat Konsumen untuk Loyal terhadap Merek
Pengertian loyalitas merek adalah ukuran dari kesetiaan konsumen terhadap suatu
merek (Rangkuti, 2008:60). Penelitian dalam tesis ini menggunakan desain
eksperimen. Desain penelitian eksperimen adalah sebuah tehnik yang mencoba
untuk menemukan hubungan sebab dan akibat (Christensen, 1988:61). Desain ini
mengontrol banyak aspek yang dapat mempengaruhi hubungan sebab akibat
tersebut, sehingga penulis melakukan manipulasi pada partisipan menggunakan
produk yang baru dan fiktif sehingga tidak menimbulkan confounding effect. Hal ini
berarti partisipan tidak memiliki pengalaman yang sesungguhnya dalam pembelian
produk, untuk itu penulis menyebut loyalitas merek sebagai niat konsumen untuk
loyal terhadap merek.
Loyalitas memiliki tahap-tahap sebagai berikut:
1. Loyalitas kognitif (keyakinan) yaitu informasi merek yang dipegang oleh
konsumen (yaitu, keyakinan konsumen) harus menunjuk pada merek yang
dianggap superior dalam persaingan.
2. Loyalitas sikap (afektif) artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih
tinggi daripada merek saingan, sehingga ada preferensi afektif yang jelas
pada merek.
3. Loyalitas niat (konatif) konsumen terhadap merek, artinya konsumen harus
memiliki niat untuk membeli merek tersebut bukannya merek lain, ketika
keputusan beli dilakukan.
4. Loyalitas tindakan (behavioral), perilaku konsumen telah melakukan
pembelian.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
346
Cause Related Marketing (CRM)
Dalam kampanye CRM, sebuah perusahaan berkomitmen untuk membuat
kontribusi atau menyumbangkan persentase dari pendapatan untuk alasan tertentu
berdasarkan penjualan produk (Kotler dan Lee, 2005:81). Kampanye CRM bertujuan
untuk : 1) untuk mendukung isu sosial dan 2) untuk meningkatkan kinerja
pemasaran (Varadarajan dan Menon, 1988).
CRM yang berlangsung lama (berkelanjutan) dan dapat menimbulkan niat
konsumen untuk loyal terhadap merek adalah jenis dari CRM strategik, yang selain
berdurasi lama juga memberi investasi dalam jumlah yang besar untuk isu sosial,
memiliki harmonisasi antara bisnis dan isu sosial serta keterlibatan manajemen
senior yang tinggi, sehingga hipotesis yang dibuat oleh penulis adalah:
Hipotesis 1: CRM strategik berpengaruh pada niat konsumen untuk loyal
terhadap merek.
Promosi Penjualan Tradisional
Promosi penjualan sebagai unsur utama dalam kampanye pemasaran, adalah
berbagai kumpulan alat-alat insentif yang sebagian besar berjangka pendek, yang
dirancang untuk merangsang pembelian produk atau jasa tertentu dengan lebih
cepat dan lebih besar oleh konsumen atau pedagang. Promosi penjualan
menawarkan insentif untuk membeli (Kotler, Keller, 2009:554).
Saat ini ada promosi penjualan yang berkaitan dengan CSR perusahaan yang
merupakan bentuk promosi penjualan yang baru yaitu CRM, yang mana bentuk
promosi penjualan ini tidak hanya mementingkan keuntungan perusahaan semata
tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat sekitar. Munculnya CRM
ini mengakibatkan penulis menyebut promosi penjualan yang terdahulu, yang tidak
memikirkan kesejahteraan masyarakat sekitar sebagai promosi penjualan tradisional
(Henderson dan Arora, 2010).
Bravo, Mugica dan Sanz (2009) mengemukakan bahwa promosi penjualan yang
dilakukan secara berkelanjutan juga dapat meningkatkan niat konsumen untuk loyal
terhadap merek tersebut. Hal ini disebabkan promosi yang sama bila dilakukan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
347
terus-menerus akan melekat dalam benak konsumen sehingga terjadi awareness
pada konsumen bahwa produk tersebut tersebut identik dengan promosi penjualan
tertentu.
Hipotesis 2: Promosi penjualan tradisional berpengaruh pada niat konsumen
untuk loyal terhadap merek.
Promosi penjualan tradisional dan kampanye CRM memiliki tujuan yang sama
yaitu untuk meningkatkan penjualan produk suatu perusahaan, namun banyak yang
berpendapat bahwa promosi penjualan tradisional tidak dapat mengubah konsumen
menjadi loyal (Kotler dan Keller, 2009:555), tetapi kampanye CRM yang
berkelanjutan dapat lebih mengena di hati konsumen serta meningkatkan citra
konsumen terhadap merek, apalagi untuk konsumen yang memiliki keterkaitan
terhadap isu sosial yang tergabung dalam kampanye CRM sehingga akan lebih
meningkatkan niat konsumen untuk loyal terhadap merek produk tersebut, sehingga
penulis dalam hal ini merumuskan hipotesis sebagai berikut:
Hipotesis 3: CRM stategik menciptakan niat konsumen untuk loyal terhadap
merek yang lebih tinggi dibandingkan oleh promosi penjualan tradisional.
Product Involvement (keterlibatan konsumen terhadap produk)
Hipotesis sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan upaya
CRM mungkin berdampak pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek, namun
ada kemungkinan efek utama tersebut dimoderatori oleh keterlibatan konsumen. De
Wulf et al. (2001) mendefinisikan kategori keterlibatan produk (product
involvement) sebagai persepsi abadi konsumen tentang pentingnya kategori produk
berdasarkan kebutuhan konsumen, nilai, dan ketertarikan.
Traylor (1981) menemukan hubungan positif antara keterlibatan dan loyalitas
merek. Demikian pula, Amine (1998) berpendapat keterlibatan sebagai sumber tidak
langsung loyalitas merek (Amine, 1998), yang dapat ditafsirkan sebagai moderator
hubungan antara suatu pendahuluan dan loyalitas merek. Peran moderator dari
keterlibatan konsumen telah divalidasi secara empiris dalam studi oleh De Wulf et
al. (2001). Keterlibatan konsumen terhadap produk terbagi menjadi dua, yaitu
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
348
keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah, maka penulis merumuskan hipotesis
sebagai berikut:
Hipotesis 4a: Keterlibatan konsumen terhadap produk yang tinggi memoderasi
pengaruh kampanye CRM strategik pada niat konsumen untuk loyal terhadap
merek.
Hipotesis 4b: Keterlibatan konsumen terhadap produk yang rendah memoderasi
pengaruh kampanye CRM strategik pada niat konsumen untuk loyal terhadap
merek.
Penulis dalam tesis ini juga membandingkan pengaruh kampanye CRM strategik
yang dilakukan satu perusahaan dengan pengaruh promosi penjualan tradisional
yang dilakukan perusahaan tersebut, apakah kampanye CRM strategik lebih
berpengaruh pada loyalitas merek dibandingkan promosi penjualan tradisional.
Oleh karena niat konsumen untuk loyal terhadap merek juga dipengaruhi secara
tidak langsung atau dimoderasi oleh keterlibatan konsumen terhadap produk maka,
hipotesis selanjutnya yang dirumuskan penulis adalah:
Hipotesis 5a: Keterlibatan konsumen terhadap produk yang tinggi memoderasi
pengaruh promosi penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal
terhadap merek.
Hipotesis 5b: Keterlibatan konsumen terhadap produk yang rendah memoderasi
pengaruh promosi penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal
terhadap merek.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan ialah eksperimen laboratorium. Menurut Sekaran
dan Bougie (2010:228). Selain itu, peneliti turut melengkapi pelaksanaan eksperimen
laboratorium dengan between-subject design. Between-subject design merupakan
desain eksperimen yang menggunakan partisipan yang berbeda untuk setiap kondisi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
349
eksperimen yang ada. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya testing effect
pada partisipan.
Prosedur Eksperimen
Penelitian ini dilakukan dengan memberikan treatment (perlakuan) kepada
partisipan berupa stimulus pemasaran, yaitu kampanye CRM strategik dan promosi
penjualan tradisional undian berhadiah serta penjelasan dari peneliti tentang
kampanye dan promosi yang dilakukan perusahaan. Eksperimen yang dilakukan
menggunakan desain faktorial 2x2 dan variabel yang menjadi variabel perlakuan
adalah kampanye CRM strategik dan promosi penjualan tradisional serta jenis
produk (keterlibatan tinggi dan keterlibatan rendah). Treatment level (tingkat
perlakuan) pada penelitian ini terdiri atas format kampanye CRM dengan produk
keterlibatan tinggi, kampanye CRM dengan produk keterlibatan rendah, promosi
undian berhadiah dengan produk keterlibatan tinggi, dan promosi undian berhadiah
dengan keterlibatan produk yang rendah.
Pengembangan Treatment
Pengembangan treatment (perlakuan) dalam penelitian ini dilakukan dengan
mempertimbangkan kategori produk dan jenis kampanye CRM dan promosi
penjualan tradisional yang dihubungkan dengan produk tersebut. Produk yang
dikampanyekan atau dipromosikan merupakan produk tas laptop dengan harga
yang mahal, desain yang bagus dan kualitas yang tinggi sebagai produk keterlibatan
tinggi dan produk tas laptop dengan harga murah, desain sederhana dan kualitas
yang standar (kurang bagus) sebagai produk keterlibatan rendah.
Pretest
Pretest merupakan tes awal yang diberikan kepada subyek guna mengukur variabel
terikat sebelum memberinya suatu perlakuan (Sekaran dan Bougie, 2010:243). Pretest
dalam penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan menentukan produk
keterlibatan tinggi dan produk keterlibatan rendah bagi mahasiswa S1.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
350
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam pretest ini adalah kuesioner.
Ukuran sampel yang digunakan dalam pelaksanaan pretest adalah sebanyak 25
responden yang merupakan mahasiswa S1 dari Fakultas Ekonomi Jurusan
Manajemen Universitas Lampung. Pada kuesioner, setiap responden diberikan
gambar mengenai produk, spesifikasi produk dan merek produk akan diiklankan.
Dari kedua gambar produk yang ditampilkan, partisipan diminta untuk
mengurutkan (memberi peringkat) dari angka 1 sampai 5 sebagai refleksi dari
pendapat dan preferensi mereka akan keterlibatan mereka terhadap produk tersebut.
Cek Manipulasi
Cek manipulasi dilakukan untuk mengetahui apakah perlakuan yang dilakukan
tepat atau tidak dan apakah partisipan mampu membedakan tingkat perlakuan yang
dikenakan pada diri mereka.
Validitas Eksperimen
Pada penelitian ini, validitas internal dihasilkan dengan mengontrol exogenous
variables melalui pelaksanaan random assignment. Sedangkan untuk memperoleh
validitas eksternal, penelitian ini merupakan eksperimen laboratorium dengan
between-subject design sehingga tidak terdapat testing effect dari partisipan.
Kontrol (Prosedur random assignment)
Dalam penelitian dengan desain eksperimen diperlukan adanya suatu kontrol
terhadap variabel-variabel yang memiliki kemungkinan untuk mempengaruhi
hubungan kausal antara variabel independen dan variabel dependen yang biasa
disebut dengan confounding variables. Salah satu cara yang dilakukan guna
mengontrol variabel-variabel tersebut ialah dengan melakukan random assignment
(Neuman, 2006:249). Tujuan dari pelaksanaan random assignment adalah guna
menghomogenkan partisipan yang digunakan dalam penelitian ini.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
351
Prosedur Penetapan Subyek Eksperimen
Prosedur untuk penyampelan acak partisipan eksperimen secara prinsip sama
dengan pemilihan responden pada survei. Dengan menggunakan between-subject
design, partisipan dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam empat kelompok
melalui pelaksanaan random assignment; jumlah kelompok yang ada disesuaikan
dengan desain faktorial dari eksperimen ini (2x2). Partisipan yang digunakan adalah
mahasiswa S1 Universitas Lampung sebanyak 100 partisipan.
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah niat konsumen untuk
loyal sebagai variabel terikat (Y), sedangkan CRM strategik (X1), promosi penjualan
tradisional (X2), dengan tambahan keterlibatan konsumen terhadap produk (X3)
muncul sebagai variabel pemoderasi.
Niat konsumen untuk loyal terhadap merek sebagai variabel terikat
Skala niat konsumen untuk loyal terhadap merek diambil dari Quester and Lim
(2003) yang membagi loyalitas sikap merek ke dalam tiga komponen yang diadaptasi
untuk mencapai tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
1. Komponen kognitif:
a. Kerelaan konsumen ketika membeli produk “X” dibandingkan merek lain.
b. Pemikiran konsumen tentang merek produk “X” dibandingkan merek lain.
c. Pertimbangan konsumen tentang produk “X.”
d. Perhatian konsumen untuk membeli produk “X” dibandingkan merek lain.
2. Komponen afektif :
a. Perasaan suka atau tidak konsumen terhadap merek produk “X.”
b. Perasaan konsumen jika produk “X” tidak tersedia.
c. Perasaan gembira konsumen dengan produk “X” dibandingkan dengan merek
lain.
d. Perasaan sangat suka pada produk “X” sehingga akan terus membeli produk
tersebut.
e. Perasaan yang baik tentang produk “X.”
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
352
f. Perasaan terikat dengan produk “X.”
g. Perasaan tertarik dengan produk “X” dibandingkan dengan merek lain.
3. Komponen konatif dan perilaku:
a. Niat konsumen untuk membeli produk “X.”
b. Niat konsumen untuk membeli merek produk “X” walaupun produk lain
sedang diobral.
c. Niat konsumen untuk membeli produk “X secara terus-menerus.
d. Keputusan konsumen untuk menggunakan produk “X.”
e. Niat konsumen untuk tidak membeli produk merek lain bila produk “X” tidak
tersedia.
Variabel bebas
1. CRM strategik adalah kampanye CRM yang dilakukan dalam jangka waktu yang
lama, adanya kesesuaian antara inti bisnis perusahaan dengan isu sosial yang
digabungkan dan investasi yang besar yang dilakukan oleh perusahaan.
Timbangan untuk mengukur CRM strategik diadaptasi dari pengukuran Van
Den Brink et al. (2006) yaitu perusahaan sejalan dengan isunya, program
termasuk dalam program jangka panjang, investasi sumber daya perusahaan
tinggi, dan manajer senior terlibat dalam kampanye CRM.
2. Promosi penjualan dibandingkan dengan CRM strategik menggunakan cek
manipulasi untuk memastikan bahwa treatment yang dilakukan sudah tepat.
Pengukuran tersebut menggunakan pertanyaan 1) kampanye atau promosi
tersebut merupakan pemasaran sosial dan 2) kampanye atau promosi tersebut
bertujuan untuk meningkatkan niat konsumen untuk loyal sekaligus
menyumbang untuk sebuah isu sosial
Variabel pemoderasi
Keterlibatan konsumen diukur dengan lima aspek dari Kapferer dan Laurent
(1985). Timbangan untuk mengukur keterlibatan produk konsumen adalah minat,
kesenangan, tanda, pentingnya risiko dan probabilitas risiko.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
353
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian
Uji validitas dilakukan guna mengetahui apakah sekumpulan soal pertanyaan
mampu mengukur secara akurat konsep atau konstruk yang ingin diukur, bukan
konsep atau konstruk lain (Sekaran dan Bougie, 2010:158). Validitas dari instrumen
penelitian ini diuji berdasarkan validitas isi, validitas wajah, dan validitas konstruk.
Validitas wajah dianggap sebagai dasar dan indeks yang sangat minimum dari
validitas isi. Validitas wajah menunjukkan bahwa soal pertanyaan yang
dimaksudkan untuk mengukur sebuah konsep, dapat diliat keabsahannya hanya
dengan melihat soal pertanyaan tersebut sebagaimana seperti melakukan
pengukuran aslinya. Beberapa peneliti tidak melihat adanya kesesuaian dari
perlakuan validitas wajah sebagai komponen yang sah dari sebuah validitas isi
(Sekaran dan Bougie, 2010:159). Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji validitas
isi dan validitas wajah melalui penilaian seorang yang dianggap mengerti dan ahli
dibidang pemasaran, yaitu Prof. Dr. Basu Swastha Dharmmesta, MBA.
Selanjutnya, peneliti melakukan uji validitas konstruk. Validitas konstruk
dilakukan untuk menunjukkan seberapa baik hasil yang diperoleh dari penggunaan
alat ukur sesuai dengan teori, yang mana pengukuran tersebut disusun dengan
menggunakan validitas konvergen. Validitas konvergen menunjukkan bahwa nilai-
nilai yang diperoleh dari butir-butir instrumen yang mengukur konsep yang sama
akan memiliki korelasi yang tinggi (Sekaran dan Bougie, 2010:160). Metode yang
digunakan adalah Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan software
SPSS 15.0 for Windows. Dalam melakukan analisis faktor, Hair et al. (2010:117)
menetapkan nilai loading factor sebesar 0,4 sebagai cutting point. Analisis faktor
juga dilakukan untuk menilai variabel dan soal pertanyaan yang dianggap layak
untuk dimasukkan dalam analisis selanjutnya. Hal ini dapat diketahui dari hasil
analisis Kaiser_Meyer_Olkin (KMO) dan Bartlett’s Test of Sphericity (BTS), yaitu
apabila nilai KMO = 0.5 (Hair et al., 2010:105) dan signifikansi dari BTS < 0.05 (Hair
et al., 2010:105) , maka soal-soal pertanyaan yang ada dapat dianalisis lebih lanjut.
Pengujian validitas konstruk untuk niat loyal dilakukan dua kali karena pada
pengujian awal masih terdapat cross loading pada salah satu soal pengukuran,
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
354
setelah soal pengukuran tersebut dihilangkan maka dilakukan pengujian validitas
yang kedua dan hasilnya menunjukkan bahwa seluruh soal pengukuran telah
memiliki nilai faktor diatas 0,5 dan tidak terdapat cross loading. Hasil validitas akhir
menunjukkan nilai KMO sebesar 0,891, nilai BTS dengan nilai chi-Square sebesar
848,137 dan signifikan pada 0,000.
Reliabilitas suatu ukuran merupakan suatu indikasi stabilitas dan konsistensi dari
suatu instrumen dalam mengukur konsep serta membantu mengukur “goodness”
dari suatu ukuran (Sekaran dan Bougie, 2010:161). Uji reliabilitas untuk instrumen
yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan Cronbach’s Alpha (a )
menggunakan software SPSS 15.0 for Windows. Nilai koefisien reliabilitas yang
semakin mendekati 1,0 dianggap semakin baik. Hair et al. (2010:125) menyatakan
bahwa sebuah soal pertanyaan dapat dipertahankan jika memiliki nilai a = 0.6. Hasil
akhir dari pengujian reliabilitas niat loyal memiliki koefisien Cronbach’s Alpha
sebesar 0,915 yang menunjukkan bahwa soal pengukuran yang ada reliabel.
Metode Analisis Data
Metode analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini adalah
One Way ANOVA dan Two Way ANOVA. ANOVA (Analysis of Variance)
merupakan metode untuk menguji pengaruh dari satu atau lebih variabel
independen (memiliki skala nonmetrik atau kategorikal) pada satu variabel
dependen (memiliki skala metrik). One Way ANOVA digunakan ketika terjadi
pengaruh dari satu variabel independen pada satu variabel dependen, sedangkan
Two Way ANOVA digunakan ketika terjadi pengaruh dari dua variabel independen
pada satu variabel dependen, dan metode ini mampu mengakomodasi terjadinya
interaksi antara variabel independen. One Way ANOVA digunakan untuk menguji
hipotesis 1, hipotesis 2 dan hipotesis 3 sedangkan Two Way ANOVA digunakan
untuk menguji hipotesis 4 dan hipotesis 5.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
355
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Pretest
Hasil tersebut dihitung dengan menggunakan paired sample T-test. Tas laptop
merek “Emerald” memperoleh nilai rata-rata sebesar 3,46 dan tas laptop merek
“Lappy” memperoleh nilai rata-rata sebesar 2,88. Perbedaan untuk kedua nilai rata-
rata tersebut sebesar 0,568. Berdasarkan hasil ini, dapat diinterpretasikan bahwa
nilai rata-rata tas laptop merek “Emerald” lebih besar daripada tas laptop merek
“Lappy” yang menunjukkan bahwa dari kedua produk tas laptop tersebut, tas
laptop yang mahal dan berkualitas tinggi (Emerald) merupakan produk dengan
keterlibatan tinggi, sedangkan tas laptop yang murah, bermodel sederhana dan
berkualitas kurang baik (Lappy) sebagai produk dengan keterlibatan rendah. Selain
itu, hasil paired sample T-test juga menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 dan
lebih kecil dari nilai a =5% yang berarti terdapat perbedaan antara nilai rata-rata tas
laptop merek “Emerald” dan tas laptop merek “Lappy.”
Cek Manipulasi
Hasil cek manipulasi diperoleh hasil nilai rata-rata untuk kampanye CRM sebesar
3,83 dan nilai rata-rata untuk promosi penjualan tradisional sebesar 2,60. Perbedaan
untuk kedua nilai rata-rata tersebut sebesar 1,23. Berdasarkan hasil ini, dapat
diinterpretasikan bahwa nilai rata-rata untuk kampanye CRM lebih besar daripada
promosi undian berhadiah. Selain itu, hasil paired sample T test juga menunjukkan
nilai signifikansi sebesar 0,000 yang berarti terdapat perbedaan antara nilai rata-rata
dari kampanye CRM dan promosi undian berhadiah.
Karakteristik Partisipan
Berdasarkan hasil analisis descriptive dengan menggunakan software SPSS 15.0 for
Windows, proporsi partisipan yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 47
orang (47%), sedangkan proporsi partisipan yang memiliki jenis kelamin perempuan
sebanyak 53 orang (53%).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
356
Hasil analisis descriptive dengan menggunakan software SPSS 15.0 for Windows,
proporsi partisipan yang memiliki jumlah uang saku per bulan kurang dari atau
sama dengan Rp 200.000,00 sebesar 12 orang (12%), jumlah uang saku Rp 200.001,00-
Rp 500.000,00 sebesar 53 orang (53%), jumlah uang saku Rp 500.001,00-Rp
1000.000,00 sebesar 25 orang (25%), jumlah uang saku Rp 1000.001,00-Rp 1500.000,00
sebesar 9 orang (9%), dan jumlah uang saku per bulan lebih besar atau sama dengan
Rp 1500.000,00 sebesar 1 orang (1%).
Uji Homogenitas Data
Hasil pengujian homogenitas untuk keempat kelompok partisipan untuk kategori
jenis kampanye atau promosi berdasarkan karakteristik jenis kelamin partisipan
menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,841, uji homogenitas untuk kategori
keterlibatan konsumen terhadap produk berdasarkan karakteristik jenis kelamin
partisipan menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,548, uji homogenitas untuk
kategori kampanye atau promosi berdasarkan karakteristik jumlah uang saku per
bulan partisipan menghasilkan nilai signifikan sebesar 0,841, sedangkan uji
homogenitas untuk kategori keterlibatan konsumen terhadap produk berdasarkan
karakteristik jumlah uang saku per bulan partisipan menghasilkan nilai signifikan
sebesar 0,050.
Terdapat tiga nilai signifikansi yang lebih besar dari a=5%, yang memberikan arti
bahwa jenis kelamin tidak menjadi confounding variabel yang dapat mempengaruhi
hubungan antara variabel independen (kampanye CRM dan promosi penjualan
tradisional) dan variabel pemoderasi (product involvement) dengan variabel
dependen (niat untuk loyal).
Sedangkan nilai dari uji homogenitas untuk kategori keterlibatan konsumen
terhadap produk (product involvement) memiliki nilai signifikan yang sama dengan
a=5% yang berarti jumlah uang saku dapat menjadi confounding variable yang
dapat mempengaruhi hubungan antara variabel independen dan variabel
pemoderasi dengan variabel dependen, sehingga jumlah uang saku per bulan
partisipan akan dimasukkan ke dalam analisis.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
357
Pengujian Hipotesis
Uji Homogeneity of Variance
Hasil pengujian homogeneity of variance untuk variabel dependen niat loyal bahwa
nilai Levene Test adalah 1,158 dengan nilai signifikansi sebesar 0,330, dikarenakan
nilai signifikansi yang dihasilkan lebih besar dari a=5%, maka hal ini berarti tidak
terdapat perbedaan variansi niat loyal untuk setiap kategori kampanye CRM atau
promosi penjualan tradisional dan product involvement, sehingga uji ANOVA
dengan menggunakan uji F bisa dilakukan (Ghozali, 2006:67).
Uji ANOVA
Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan hasil uji One Way ANOVA yang
dilakukan untuk menguji hipotesis 1, 2 dan 3.
Tabel 1 Hasil Uji One Way ANOVA
Mean F Sig. CRM Strategik 3,772
56,605 0,000 Promosi Penjualan Tradisional
2,965
Karena hasil pada Tabel 1 menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,000 (lebih kecil
dari a =5%), maka niat konsumen untuk loyal terhadap merek dipengaruhi oleh
kampanye CRM strategik. Sehingga dapat dibuktikan bahwa hipotesis 1 terdukung.
Niat konsumen untuk loyal terhadap merek juga dipengaruhi oleh promosi
penjualan tradisional. Sehingga dapat dibuktikan bahwa hipotesis 2 terdukung.
Hal tersebut menunjukkan bahwa niat konsumen untuk loyal terhadap merek
diciptakan oleh CRM strategik dan oleh promosi penjualan tradisional tetapi nilai
rata-rata CRM strategik (3,772) lebih tinggi dari nilai rata-rata promosi penjualan
tradisional kupon undian berhadiah (2,965). Sehingga dapat dibuktikan bahwa CRM
strategik meningkatkan niat konsumen untuk loyal terhadap merek yang lebih tinggi
dibandingkan oleh promosi penjualan tradisional dan mengakibatkan hipotesis 3
terdukung.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
358
Peran Pemoderasi Product Involvement
Berikut ini merupakan tabel yang menunjukkan hasil uji Two Way ANOVA yang
dilakukan untuk menguji hipotesis 4 dan 5.
Tabel 2 Hasil Uji Two Way ANOVA
Mean Square F Sig.
Kampanye atau promosi
16,279 67,745 0,000
Keterlibatan konsumen terhadap produk
0,056 0,234 0,630
Kampanye atau promosi*keterlibatan konsumen terhadap produk
0,5059 21,052 0,000
Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis kampanye atau promosi yang dilakukan
mempengaruhi niat konsumen untuk loyal terhadap merek, hal ini ditunjukkan dari
nilai signifikan sebesar 0,000 (lebih kecil dari a=0,050), sedangkan variabel
keterlibatan konsumen terhadap produk (product involvement) tidak memiliki
pengaruh langsung pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek dilihat dari
nilai signifikan yang lebih besar dari a =0,050 (0,630), tetapi bila jenis kampanye atau
promosi diinteraksikan dengan product involvement maka nilai signifikan menjadi
0,000 yang berarti product involvement mempengaruhi secara tidak langsung pada
niat konsumen untuk loyal terhadap merek. Hal ini membuktikan bahwa variabel
product involvement memoderasi pengaruh dari kampanye CRM dan promosi
penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek yang
mendukung hipotesis 4a, hipotesis 4b hipotesis 5a dan hipotesis 5b.
Tabel 3 berikut menjelaskan bagaimana perbedaan nilai rata-rata yang
dihasilkan dari setiap tingkat perlakuan yang diberikan pada eksperimen.
Tabel 3 Perbedaan Nilai Rata-rata Tiap Tingkat Perlakuan
Mean
CRM-High Involvement Product 3,5233
Kupon-High Involvement Product 3,1662
CRM-Low Involvement Product 4,0206
Kupon-Low Involvement Product 2,7638
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
359
Tabel 4 berikut merupakan perbandingan nilai rata-rata dari setiap tingkat perlakuan
yang dilakukan dalam eksperimen.
Tabel 4 Hasil Bonferroni dan Tukey
(I)treatment (J)treatment Mean Difference
(I-J) Sig.
Tukey dan Bonferroni
Crm-high Crm-high 0,3571 0,055
Crm-low -0,4972* 0,003
Kupon-low 0,7596* 0,000
Kupon-high Crm-high -0,3571 0,055
Crm-low -0,8544* 0,000
Kupon-low 0,4024* 0,023
Crm-low Crm-high 0,4972* 0,003
Kupon-high 0,8544* 0,000
Kupon-low 1,2568* 0,000
Kupon-low Crm-high -0,7596* 0,000
Kupon-high -0,4024* 0,023
Crm-low -1,2568 0,000
Hasil dari Tabel 3 menunjukkan bahwa kombinasi kampanye CRM strategik dan
produk dengan keterlibatan tinggi memiliki nilai rata-rata yang lebih kecil (3,5233)
dibandingkan kombinasi kampanye CRM strategik dan produk dengan keterlibatan
rendah (4,0206). Sedangkan kombinasi promosi penjualan tradisional dan produk
dengan keterlibatan tinggi memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi (3,1662)
dibandingkan kombinasi promosi penjualan tradisional dan produk dengan
keterlibatan rendah (2,7638).
Hasil dari Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan nilai rata-rata pada
kombinasi perlakuan antara CRM strategik dan produk dengan keterlibatan tinggi
dengan kombinasi perlakuan antara CRM strategik dan produk dengan keterlibatan
rendah memiliki perbedaan sebesar yaitu 0,4972 yang nilai signifikannya 0,003 (lebih
kecil dari a =5%) yang berarti antara kedua perlakuan tersebut terdapat perbedaan
yang signifikan. Pada kombinasi perlakuan antara promosi penjualan tradisional dan
produk dengan keterlibatan tinggi dengan kombinasi perlakuan promosi penjualan
tradisional kupon undian berhadiah dan produk dengan keterlibatan rendah
memiliki perbedaan sebesar yaitu 0,4024 yang nilai signifikannya 0,023 (lebih kecil
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
360
dari a =5%) yang berarti antara kedua perlakuan tersebut terdapat perbedaan yang
signifikan.
Hasil dari perhitungan ANOVA menunjukkan nilai adjusted R Squared sebesar
0,465 berarti variabel kampanye CRM strategik, promosi penjualan tradisional,
produk high involvement dan produk low involvement menjelaskan variabel niat
konsumen untuk loyal terhadap merek sebesar 46,5%. Pada Tabel 4 juga terlihat
bahwa perbedaan nilai rata-rata antara kampanye CRM strategik dengan high
involvement product dan promosi penjualan tradisional dengan high involvement
product tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan nilai yaitu 0,055 yang
lebih besar dari a =0,050. Hal ini berarti tidak ada perbedaan berarti dari niat
konsumen untuk loyal terhadap merek pada produk high involvement bila
diberikan kampanye CRM strategik ataupun promosi penjualan tradisional,
disebabkan konsumen akan lebih memperhatikan atribut produk itu sendiri
dibandingkan kampanye atau promosi yang melekat pada merek produk tersebut.
Penghitungan uji homogenitas partisipan yang telah dilakukan sebelumnya
menunjukkan bahwa jumlah uang saku per bulan yang diperoleh partisipan ternyata
tidak homogen dan hal ini mengakibatkan harus dimasukkannya variabel jumlah
uang saku perbulan dalam analisis, karena dapat menjadi extraneous variable.
Hasil dari perhitungan ANOVA menunjukkan bahwa jumlah uang saku per bulan
tidak mempengaruhi niat konsumen untuk loyal terhadap merek karena memiliki
nilai signifikan sebesar 0,220 yang lebih besar dari a=5%, begitu juga dengan hasil
interaksi antara jenis kampanye atau promosi dengan jumlah uang saku perbulan
yang lebih besar dari a=5% yaitu sebesar 0,842. Hal ini membuktikan bahwa jumlah
uang saku tidak mempengaruhi niat konsumen untuk loyal terhadap merek secara
langsung dan tidak langsung.
Pembahasan
Pengujian hipotesis 1 memperoleh hasil bahwa niat konsumen untuk loyal terhadap
merek dipengaruhi oleh CRM strategik. Hal ini mendukung penelitian dari Van Den
Brink et al. (2006) dengan obyek celana panjang (high involvement product) dan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
361
staples (low involvement product) yang membuktikan bahwa CRM strategik
berpengaruh positif pada loyalitas konsumen. Konsumen akan memiliki respon yang
baik pada kampanye yang bertujuan sosial karena merasa perusahaan yang
melakukan kampanye CRM tersebut telah berbuat kebaikan (Webb dan Mohr, 1998)
dan akan lebih mendukung kampanye CRM tersebut apabila isu sosial yang akan
mendapat donasi memiliki keterkaitan tinggi dengan konsumen tersebut.
Hasil pengujian hipotesis 2 bahwa niat konsumen untuk loyal terhadap merek
dipengaruhi oleh promosi penjualan tradisional juga terbukti sesuai dengan
penelitian Bravo et al. (2009) yang meneliti promosi penjualan yang dilakukan
perusahaan majalah yang dilakukan dalam waktu yang lama pada peningkatan
loyalitas. Promosi penjualan yang dilakukan perusahaan dalam jangka waktu lama
akan melekat pada citra produk perusahaan tersebut, sehingga konsumen akan
memiliki respon yang baik pada produk bila merasa bahwa dirinya akan
memperoleh keuntungan dari insentif yang diberikan perusahaan bila membeli dan
loyal pada produk tersebut dan semakin konsumen tersebut loyal semakin banyak
insentif yang diperoleh oleh konsumen dan karena pada penelitian ini menggunakan
undian berhadiah maka konsumen merasa kemungkinannya untuk memperoleh
hadiah akan lebih besar bila dirinya loyal pada produk tersebut.
Pengujian hipotesis 3 juga membuktikan bahwa niat konsumen untuk loyal
terhadap merek akan lebih tinggi bila dipengaruhi oleh kampanye CRM strategik
dibandingkan dengan promosi penjualan tradisional. Niat konsumen untuk loyal
terhadap merek menghasilkan nilai rata-rata yang lebih tinggi bila dipengaruhi oleh
kampanye CRM strategik dibandingkan bila dipengaruhi oleh promosi penjualan
tradisional berupa kupon undian berhadiah. Hasil dari pengujian hipotesis ini
mendukung beberapa hasil penelitian terdahulu. Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Henderson dan Arora (2010) dengan obyek berupa produk sampo, sabun mandi
dan body lotion (dengan merek imajiner). Hasil dari penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa konsumen memiliki respon yang lebih baik untuk sebuah
produk yang dikaitkan dengan donasi pada isu sosial (CRM) tertentu dibandingkan
dengan produk yang dipromosikan dengan potongan harga (promosi penjualan
tradisional). Begitu pula dengan penelitian dari Strahilevitz dan Myers (1998) dengan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
362
obyek permen (frivolous luxuries) yang akan memiliki respon lebih baik bila
menggunakan promosi dengan menyumbang bagi suatu isu sosial dibandingkan
dengan potongan harga. Hasil penelitian ini juga turut mengungkapkan bahwa saat
ini konsumen sudah semakin cerdas dan mampu membedakan antara strategi
pemasaran yang sosial dan strategi pemasaran yang tidak berhubungan dengan isu
sosial serta semakin meningkatnya nilai–nilai sosial dan kepedulian sosial yang
dimiliki oleh masyarakat saat ini (altruism). Kondisi ini menyebabkan adanya saran
bagi pemasar untuk secara serius melakukan kampanye CRM pada produknya.
Pada penelitian ini hipotesis 4 (hipotesis 4a dan hipotesis 4b) juga terdukung.
Hasil pengujian hipotesis 4 menunjukkan hasil bahwa pengaruh kampanye CRM
strategik pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek dimoderasi oleh
keterlibatan konsumen terhadap produk. Pada Tabel 3, kampanye CRM strategik
dengan produk dengan keterlibatan rendah memiliki nilai yang tertinggi. Hasil
penelitian ini juga sesuai dengan penelitian terdahulu oleh Van Den Brink et al.
(2006) menyatakan bahwa kampanye CRM strategik dengan produk high
involvement memiliki nilai rata-rata yang lebih kecil dari kampanye CRM strategik
dengan produk low involvement yang berarti loyalitas konsumen akan lebih efektif
pada kampanye CRM strategik dengan low involvement product dibandingkan
dengan high involvement product.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti setelah melakukan
eksperimen diperoleh alasan mengapa kombinasi kampanye CRM strategik dengan
produk dengan keterlibatan rendah memiliki nilai rata-rata yang tertinggi pada niat
konsumen untuk loyal terhadap merek. Konsumen yang pada awalnya tidak tertarik
untuk loyal pada produk dengan keterlibatan rendah akan menjadi loyal setelah
produk dengan keterlibatan rendah tersebut diberikan kampanye CRM strategik, hal
ini disebabkan karena konsumen merasa senang dapat ikut terlibat memberikan
donasi kepada isu sosial yang ditunjuk; yang dalam penelitian ini adalah beasiswa
bagi anak-anak yatim dan tidak mampu, hanya dengan membeli produk keterlibatan
rendah yang harganya murah. Perasaan senang melakukan donasi tersebut adalah
yang biasa disebut dengan sifat altruism manusia (Strahilevitz, 1999).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
363
Pada hipotesis 5 (hipotesis 5a dan hipotesis 5b) penelitian ini juga terdukung.
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa produk dengan keterlibatan tinggi
memoderasi pengaruh promosi penjualan tradisional kupon undian berhadiah pada
niat konsumen untuk loyal terhadap merek begitu pula bahwa produk dengan
keterlibatan rendah memoderasi pengaruh promosi penjualan tradisional kupon
undian berhadiah pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti setelah melakukan
eksperimen diperoleh alasan mengapa kombinasi promosi penjualan tradisional
dengan produk dengan keterlibatan rendah memiliki nilai rata-rata yang terendah
pada niat konsumen untuk loyal terhadap merek. Konsumen tidak tertarik untuk
loyal pada produk dengan keterlibatan rendah meskipun telah dikombinasikan
dengan promosi penjualan tradisional, hal ini disebabkan karena konsumen merasa
kemungkinan mereka untuk memenangkan undian tersebut sangat kecil bahkan
menurut pengalaman para partisipan yang peneliti wawancarai belum ada satupun
dari mereka yang pernah memenangkan undian berhadiah.
Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kombinasi kampanye CRM strategik dan produk dengan keterlibatan tinggi dengan
kombinasi promosi penjualan tradisional kupon undian berhadiah dengan produk
dengan keterlibatan tinggi. Hal ini berdasarkan hasil wawancara peneliti pada
partisipan disebabkan karena pada produk dengan keterlibatan tinggi konsumen
akan lebih memperhatikan atribut dari produk tersebut, sehingga kampanye atau
promosi yang melekat pada produk tersebut tidak akan banyak mempengaruhi niat
konsumen untuk loyal terhadap merek. Pada produk dengan keterlibatan tinggi
konsumen juga telah memiliki merek favorit pilihan mereka sendiri yang sudah
sesuai dengan selera, kebutuhan dan konsep diri mereka, sehingga walaupun ada
kampanye CRM atau promosi penjualan pada produk dengan keterlibatan tinggi
yang lain yang bukan merek favorit konsumen, maka konsumen tersebut tidak akan
mengubah loyalitasnya pada merek produk lain tersebut. Hal ini sesuai dengan
Amine (1998) yang menyatakan bahwa pada produk dengan keterlibatan tinggi,
konsumen memiliki loyalitas yang tinggi pada kelasnya dan kategorinya masing-
masing, berarti konsumen telah memiliki pilihan merek sendiri pada kelas produk
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
364
dan kategori produk tersebut. Hal ini mengakibatkan kampanye CRM atau promosi
penjualan tidak dapat mengganggu hubungan antara konsumen dengan produk
keterlibatan tinggi tersebut. Sedangkan pada produk dengan keterlibatan rendah
konsumen memiliki loyalitas yang rendah, sehingga mudah bagi konsumen untuk
berpindah merek apabila dikombinasikan dengan kampanye CRM atau promosi
tertentu.
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kampanye CRM strategik dan promosi penjualan tradisional yang dilakukan
perusahaan dapat meningkatkan niat konsumen untuk loyal terhadap merek.
Meskipun kampanye CRM strategik ternyata lebih efektif dalam meningkatkan niat
konsumen untuk loyal terhadap merek. Hal ini dikarenakan kampanye CRM
strategik lebih mengena di hati konsumen. Produk akan memiliki citra yang lebih
baik, apalagi bila konsumen memiliki karakteristik yang perduli pada lingkungan
sosialnya, dan memiliki keterlibatan pada isu sosial yang terkait dengan kampanye
CRM tersebut.
Pengaruh kampanye CRM strategik pada niat konsumen untuk loyal terhadap
merek dimoderasi oleh keterlibatan konsumen terhadap produk. Pada produk
dengan keterlibatan tinggi niat konsumen untuk loyal akan lebih rendah
dibandingkan dengan pada produk dengan keterlibatan rendah. Hal ini dikarenakan
pada produk dengan keterlibatan rendah konsumen akan lebih terpengaruh pada
kampanye CRM strategik yang dilakukan daripada dengan atribut yang melekat
pada produk tersebut, jadi bila pada awalnya konsumen tidak tertarik pada produk
low involvement tersebut tetapi karena produk terkait dengan kampanye CRM
strategik, konsumen menjadi tertarik dan berniat untuk loyal terhadap merek
produk tersebut. Sedangkan pada produk dengan keterlibatan tinggi konsumen
akan lebih memperhatikan atribut dari produk tersebut sehingga kampanye yang
melekat pada merek produk tidak akan berpengaruh besar pada niat konsumen
untuk loyal.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
365
Pengaruh promosi penjualan tradisional pada niat konsumen untuk loyal
terhadap merek dimoderasi oleh keterlibatan konsumen terhadap produk. Pada
produk dengan keterlibatan tinggi niat konsumen untuk loyal akan lebih tinggi
dibandingkan dengan pada produk dengan keterlibatan rendah. Hal ini dikarenakan
pada produk dengan keterlibatan tinggi konsumen akan lebih mempertimbangkan
atribut dari produk tersebut dan karena kualitas dan model memang bagus maka
akan lebih meningkatkan niat konsumen untuk loyal terhadap merek, sedangkan
pada produk dengan keterlibatan rendah konsumen tidak terlalu
mempertimbangkan atribut yang ada pada produk tersebut sehingga niat konsumen
untuk loyal juga lebih kecil. Berdasarkan hasil wawancara pada beberapa partisipan,
hal ini disebabkan karena berdasarkan pengalaman mereka (terutama untuk undian
berhadiah) kemungkinan untuk memenangkan hadiah sangat kecil.
Keterbatasan Penelitian
Kemampuan untuk menggeneralisasi hasil penelitian ini dibatasi oleh sejumlah
faktor, salah satunya adalah dalam kategori produk hanya menggunakan satu jenis
produk yaitu tas laptop, dan subyek yang digunakan sebagai partisipan adalah
mahasiswa yang ada pada lingkup yang kecil yaitu pada jurusan manajemen saja di
Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Manipulasi yang digunakan dalam
eksperimen ini juga menggunakan metode paper and pencil sehingga efek
naturalisasi produk tidak maksimal, serta bentuk promosi penjualan hanya dari
kupon undian berhadiah.
Implikasi
Bagi Penelitian Selanjutnya
Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan pemilihan kategori produk yang
digunakan dalam stimuli dengan lebih selektif (tidak hanya berdasarkan hasil
diskusi) dan beragam, subyek penelitian tidak hanya mahasiswa, sehingga penelitian
dapat digeneralisasikan. Misalnya, melibatkan para pekerja kantor yang juga sering
menggunakan tas laptop dan dilakukan pada daerah yang berbeda.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
366
Penelitian selanjutnya juga seharusnya melakukan manipulasi yang lebih natural,
misalnya dengan menampilkan produk yang sebenarnya dan bentuk dari promosi
penjualan tradisional dapat lebih bervariasi tidak hanya kupon undian berhadiah
tetapi juga potongan harga.
Bagi Pemasar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ka mpanye CRM strategik memiliki
pengaruh yang lebih tinggi dalam meningkatkan niat konsumen untuk loyal
terhadap merek, hal ini sebaiknya menjadi perhatian bagi para pemasar di Indonesia
yang masih lebih banyak menggunakan undian berhadiah daripada melakukan
kampanye CRM strategik. agar tercapai tujuan perusahaan memperoleh konsumen
yang loyal.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa niat konsumen untuk loyal terhadap merek
paling efektif bila dilakukan dengan pemilihan jenis produk yang tepat, yang mana
produk dengan keterlibatan rendah dikombinasikan dengan kampanye CRM
strategik akan meningkatkan niat konsumen untuk loyal terhadap merek yang
paling tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, David A (1991), Managing Brand Equity: Capitalizing on the Value of a Brand Name, New York: The Free Press. Amine, A (1998), “Consumers’ True Brand Loyalty: The Central Role of Commitment,” Journal of Strategic Marketing, Vol. 6, No. 4, pp. 305-319. Barone, M. J; Miyazaki, A. D. and Taylor, K. A (2000), “The Influence of Cause Related Marketing on Consumer Choice: Does One Good Turn Deserve Another,” Journal Acad Mark Sci, Vol. 28, No. 2, pp. 248-262. Bravo, Mercedes; Mugica, Jose and Sanz, Jose (2009), “Magazine Sales Promotion,” Journal of Advertising, Vol. 38, No.1, pp. 137-146. Christensen, Larry B (1988), Experimental Methodology,Newton, Massachusetts: Allyn and Bacon Inc.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
367
Daniri, Mas Achmad (2008), Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, www.madani-ri.com. 20-6-2011. Dewi, Ike Janita (2009), Creating and Sustaining Brand Equity: Aspek Manajerial dan Akademis dari Branding, Yogyakarta: Penerbit Amara Books. De Wulf, K; Odekersen-Schroder, G. J. and Iacobucci, D (2001), “Investments in Consumer Relationships: A Cross-Country and Cross-Industry Exploration,” Journal of Marketing, Vol. 14, No. 5, pp. 33-50. Dharmmesta, Basu Swastha (1999), “Loyalitas Pelanggan: Sebuah Kajian Konseptual sebagai Panduan bagi Peneliti,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 14, No. 3. Edmondson, Diane. R. and Lafferty, Barbara A (2007), “Cause Related Marketing: A Model of Consumer’s Attitude toward The Cause-Brand Alliance,” Society for Marketing Advances Proceedings, pp. 20-23. Galbreath, Jeremy (2009), “Building Corporate Social Responsibility into Strategy,” European Business Review, Vol. 21, No. 2, pp. 109-127. Ghozali, Imam (2006), Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: Badan Penerbit-Undip.
Hair, Joseph; Black, William; Babin, Barry and Andersen, Rolph (2010), Multivariate Data Analisys, 7th Ed, Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education Inc. Hajjat, Mahmood, M (2003), “Effect of Cause-Related Marketing on Attitudes and Purchase Intentions: The Moderating Role of Cause Involvement and Donation Size,” Journal of Nonprofit and Public SectorMarketing, Vol. 11, No. 1, pp. 93-109. Henderson, Ty and Arora, Neeraj (2010), “Promoting Brands Across Categories with a Social Cause: Implementing Effective Embedded Premium Programs,” Journal of Marketing, Vol. 74, No. 1, pp. 41-60. Irwin, R. L; Lachowetz, T; Cornwell, T. B. and Clark, J. S (2003), “ Cause-Related Sport Sponsorship: An Assessment of Spectator Beliefs, Attitudes, and Behavioral Intentions,” Sport Marketing Quarterly, Vol. 12, No. 3, pp. 131-139. Kapferer, J. and Laurent, G (1985), “Consumer Involvement Profile: a New Practical Approach to Consumer Involvement,” Journal of Advertising Research, Vol. 25, No. 6, pp. 35-50. Kotler, Phillip and Keller, Kevin Lane (2009), Principles of Marketing, 13th Ed, Upper Saddle River, New Jersey: Pearson Education Inc. Kotler, Phillip and Lee, Nancy (2005), Corporate Social Responsibility: Doing the Most Good for Your Company and Your Cause, Hoboken New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
368
Lafferty, Barbara. A. and Edmonson, Diane. R (2009), “Potraying The Cause Instead of The Brand in Cause-Related marketing Ads: Does it Really Matter?” Journal of marketing Theory and Practice, Vol. 17, No. 2, pp. 129-143. Neuman, W. Laurence (2006), Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, Boston: Pearson Education Inc. Pracejus, J. W. and Olsen, G. D (2004), “The Role of Brand/Cause Fit in the Effectiveness of Cause Related Marketing Campaigns,” Journal of Business Research, Vol. 57, pp. 635-640. Quester, P. and Lim, A. L (2003), “Product Involvement/Brand Loyalty: is there A Link?” Journal of Advertising Research, Vol. 12, No. 1, pp. 22-38. Rangkuti, Freddy (2008), The Power of Brands: Teknik Mengelola Brand Equity dan Strategi Pengembangan Merek Plus Analisis Kasus dengan Spss, Edisi ketiga, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Rodgers, W. C. and Schneider, K. C (1993), “An Empirical Evaluation of The Kapferer-Laurent Consumer Involvement Profile,” Journal Psychology and Marketing, Vol. 10, No. 4, pp. 333-345. Samy, Martin; Odemilin, G. and Bampton, R (2010), “CSR, Strategy for Sustainable Bussiness Success,” Corporate Governance, Vol. 10, No. 2, pp. 203-217. Sekaran, Uma and Bougie, Roger (2010), Research Methods for Business,5th Ed, West Sussex: John Willey and Sons Ltd. Sen, S. and Bhattacharya, C. B (2001), “Does doing good always lead to doing better? Custome r reations to corporate social responsibility,” Journal of Marketing Research, Vol. 38, No. 2, pp. 225-243. Shabbir, S; Kaufmann, H.R; Ahmad, I. and Qureshi, I. M (2010), “Cause Related Marketing Campaigns and Consumer Purchase Intentions: The Mediating Role of Brand Awarness and Corporate Image,” African Journal of Business Managemen, Vol. 4, No. 6, pp. 1229-1235. Sihombing, Sabrina Oktorio (2005), “Modeling and Testing The Effects of Cause Related Marketing, Corporate Reputation, and Brand Image on Buyer Attitude and Purchase Intention,” Simposium Riset Ekonomi II, Surabaya. Strahilevitz, M (1999), “The Effect of Product Type and Donation Magnitude o Willingness to Pay More for Charity-Linked Brand,” Journal of Consumer Psychology, Vol. 8, No. 3, pp. 215-241.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
369
Strahilevitz, M. and Myers, J.G (1998), “Donation to Charity as Purchase Incentives: How Well They Work May Depend on What You are Trying to Sell,” Journal of Consumer research, Vol.24, No. 4, pp. 434-446. Tangari, A. H; False, J. A. G; Burton, S. and Kees, J (2010), “The Moderating Influence of Consumers Temporal Orientation on The Framing of Societal Needs and Corporate Responses in Cause-Related Marketing Campaigns,” Journal of Advertising, Vol 39, No.2, pp. 35-50. Till, B. D. and Nowak, L. I (2000), “Toward Effective use of Cause Related Marketing Alliances,” Journal of Product & Brand Management , Vol. 9, No. 7, pp. 472-484. Traylor, M, B (1981), “Product Involvement and Brand Commitment,” Journal of Advertising Research, Vol. 21, No. 6, pp. 51-60. Van Den Brink, Douwe; Odekersen-Schoder, Gaby and Pauwels, Pieter (2006), “The Effect of Strategic and Tactical Cause Related Marketing on Consumers Brand Loyalty,” Journal of Consumer Marketing, Vol. 23, No. 1, pp. 15-25. Varadarajan, P. R. and Menon, A (1988), “Cause Related Marketing: A Co alignment of Marketing Strategy and Corporate Philanthopy,” Journal of Marketing, Vol. 52, No. 3, pp. 58-74. Verrghese, Anish K (2011), Partnerships and Cause-Related Marketing Building Brand for Future, www.brandchannel.com. 24-03-2011. Webb, Deborah and Mohr, Lois (1998), “A Typology of Consumer Responses to Cause-Related Marketing: from Skeptics to Socially Concern”, Journal of Public Policy and Marketing, Vol. 17, No. 2, pp. 226-238. Wymer, Walter and Samu, Sridhar (2009), “The Influence of Cause Marketing Associations on Product and Cause Brand Value,” International Journal of Nonprofit and Voluntary Sector Marketing, Vol. 14, No. 1, pp. 1-20.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
370
PERAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAN INTELLECTUAL CAPITAL TERHADAP EFEKTIFITAS IMPLEMENTASI TOTAL QUALITY MANAGEMENT
DALAM MENINGKATKAN KUALITAS JASA PENDIDIKAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA PERGURUAN TINGGI
Siti Maghfiroh5
ABSTRACT
Improvement of service quality for education institutions is one of the key factors in the competition international in this globalization era. Total Quality Management (TQM) is an approach to improvement the quality continually from every business aspect and organization totality. In its application, TQM implementation needs support from another factors that is: intellectual capital and management information system to increase service quality and performance of higher education. The purpose of this research are analyze and verify the effect of management information system and intellectual capital toward total quality management and their implication of toward service quality at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesia. The type of this research is descriptive and verification, while the method used both descriptive and verification survey. The technique of this research is cross section and using stratified sampling technique. The sample size was 30 department at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesia. The data will be analyzed by using descriptive analysis, simple regression and multiple regression. The results indicate that: 1) implementation of total quality management and academic service quality at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesia have been generally assessed at the high point, while management information system, intellectual capital and instructional service quality and performance at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesia have been generally assessed at the enough point, 2) implementation of total quality management have significant effect toward service quality at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesia, 3) Management information system and intellectual capital have effect to implementation of total quality management effectively in progressing service quality at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesian, 4) the service quality have effect toward higher education performance at higher education certificated of ISO 9001 in Indonesian.
Keywords: Total Quality Management, Management Information System, Intellectual Capital, Service Quality and Performance
Latar Belakang Penelitian
Era globalisasi sekarang menyebabkan kompetisi antar perguruan tinggi semakin
ketat, bukan hanya antara perguruan tinggi secara domestik, tetapi juga dari
perguruan tinggi asing. Pada kondisi persaingan yang demikian ketat, perguruan
tinggi harus memiliki satu atau beberapa dari faktor keunggulan bersaing. Menurut
5 Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
371
Porter & Skiner (1993) dalam Chase, et al. (2001) faktor keunggulan bersaing itu pada
dasarnya meliputi keunggulan kualitas, biaya murah, harga, proses cepat dan tepat
waktu, diferensiasi dan fleksibilitas. Untuk mencapai daya saing strategis
(keunggulan bersaing) dan memperoleh laba tinggi, perguruan tinggi harus memilih
strategi yang cocok untuk diterapkan.
Kualitas sebagai salah satu keunggulan bersaing memiliki dampak yang signifikan
terhadap sasaran perusahaan, karena kualitas mempunyai arti yang sangat penting,
baik untuk produk barang maupun jasa. Disatu sisi kualitas adalah alat strategis
untuk bersaing, dan disisi lain adalah alat untuk memuaskan pelanggan. Kualitas
merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya.
Bertolak dari kenyataan tersebut, kualitas dalam pendidikan akhirnya merupakan
hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, kualitas jelas
sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan institusi
pendidikan dalam meraih status di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan
yang keras, karena perguruan tinggi yang berkualitas baik merupakan perguruan
tinggi yang diinginkan oleh konsumen.
Kualitas perguruan tinggi berdampak pada kualitas lulusan perguruan tinggi. Saat
ini masih banyak ditemukaan adanya kesenjangan antara lulusan perguruan tinggi
dan kebutuhan industri (Gasperz, 2003), yang dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1.1 Kesenjangan lulusan perguruan tinggi dan kebutuhan industri di Indonesia
No. Lulusan Perguruan Tinggi No. Kebutuhan Industri
1 Hanya memahami teori 1 Kemampuan menentukan solusi masalah berdasarkan konsep ilmiah
2 Memiliki ketrampilan individual 2 Memiliki ketrampilan kelompok
3 Motivasi belajar hanya untuk lulus ujian
3 Mempelajari bagaimana belajar yang efektif
4 Hanya berorientasi pada pencapaian grade atau nilai tertentu
3 Berorientasi pada peningkatan terus-menerus dengan tidak dibatasi pada target tertentu saja. Setiap target yang tercapai akan terus-menerus ditingkatkan
5 Orientasi belajar hanya pada mata kuliah individual secara terpisah
5 Membutuhkan pengetahuan terintegrasi antar disiplin ilmu untuk mencari solusi masalah industri yang kompleks
6 Proses belajar bersifat pasif, hanya menerima informasi dari dosen
6 Bekerja adalah suatu proses berinteraksi dengan orang lain dan memproses informasi secara aktif
7 Penggunaan teknologi (mis. 7 Penggunaan teknologi merupakan bagian
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
372
No. Lulusan Perguruan Tinggi No. Kebutuhan Industri
komputer) terpisah dari proses belajar
integral dalam proses belajar untuk solusi masalah industri
Sumber : Gasperz (2003; 3)
Untuk menghilangkan kesenjangan tersebut dan untuk meningkatkan kualitas jasa
pendidikan, maka sebagai suatu industri jasa, perguruan tinggi harus dikelola
berdasarkan asas-asas manajemen. Perguruan tinggi bukan berorientasi pada profit,
dan bukan pula badan amal, melainkan sebuah industri jasa yang harus dikelola
secara efektif dan efisien. Sejalan dengan pernyataan tersebut, Clark Kerr dalam
Tilaar (1999; 242) menyatakan bahwa intellectual formation sebagai fungsi lembaga
perguruan tinggi masa depan hanya dapat terealisasi apabila perguruan tinggi
tersebut dikelola secara professional seperti dalam industri untuk menghasilkan
kualitas jasa yang terbaik. Untuk menghasilkan kualitas terbaik diperlukan upaya
perbaikan berkesinambungan terhadap kemampuan manusia, proses dan
lingkungan. Salah satu sistem manajemen stratejik industri yang dipandang sesuai
untuk perguruan tinggi agar dapat memperbaiki komponen-komponen tersebut
secara berkesinambungan adalah dengan menerapkan manajemen kualitas atau
pendekatan Total Quality Management (TQM) (Sallis, 2006).
TQM diakui sebagai pendekatan manajemen yang dapat memperbaiki kinerja dan
efisiensi, tidak terkecuali organisasi pendidikan (Saylor, 1996 dalam Sodikoglu et al.,
2004). Banyak perusahaan telah menerapkan sistem TQM untuk meningkatkan nilai
produksi dan produktivitas. Kualitas dikembangkan menitikberatkan perhatian
pelanggan pada peningkatan kinerja, kegunaan, dan reliabilitas produk/jasa (Hitt, et
al., 2001). Kesuksesan perusahaan manufaktur dalam mengimplementasikan TQM
mendorong pendidikan tinggi di US mengadopsi TQM ( Kanji et al., 1999). untuk
meningkatkan nilai pendidikan tinggi bagi stakeholder (Vazzana et al., 2000), untuk
menghadapi lingkungan bisnis global (Yen at al., 2002), untuk menangani perubahan
disegala aspek (Mergen at al., 2000), dan untuk mengantisipasi dan menyediakan
solisi permasalahan-permasalahan dalam perguruan tinggi (Cruickshank, 2003;
Sureshchandar et al., 2001), sehingga dapat meningkatkan competitive advantage (Yen
at al., 2002).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
373
Telah banyak penelitian yang menunjukkan bahwa total quality management
berpengaruh terhadap kualitas produk maupun jasa dan implikasinya terhadap
kinerja organisasi (Madu et. Al., 1996; Ahire, 1996; Hendriks & Singhal, 1997),
Sementara hasil penelitian Kanji et al. (1999), menemukan bahwa institusi perguruan
tinggi yang mengimplementasikan TQM akan mencapai kinerja yang tinggi melalui
peningkatan kualitas jasa. Akan tetapi dari beberapa penelitian ditemukan bahwa,
tidak semua organisasi baik manufaktur (Sim & Killough, 1998), maupun perguruan
tinggi yang mengimplementasikan TQM berhasil meningkatkan kinerjanya
(Baldwin, 2002). Yeung et al. (1998), menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di
Hongkong yang mengimplementasikan TQM tetap tidak mampu meningkatkan
efisiensi operasional dan peningkatan kinerja keuangan. Yen et al. (2002),
mengatakan bahwa dua dari tiga perusahaan yang mengimplementasikan TQM
mengalami kegagalan. Entin (1994) dalam Baldwin (2002) menemukan bahwa 5 dari
10 institusi pendidikan yang telah mengimplementasikan TQM, menghentikan
karena mengalami kegagalan.
Kegagalan organisasi untuk meningkatkan kualitas dan kinerja organisasi melalui
implementasi TQM bukan dikarenakan filosofi TQM-nya yang salah, tetapi banyak
organisasi yang menerapkan TQM tanpa berusaha untuk memperkirakan
keberadaan kendala-kendala yang ada (Ngai dan Cheng, 1997). Kegagalan juga
terjadi karena ketidaktepatan dalam mengadopsi prinsip-prinsip manajemen
kualitas ke dalam organisasi dan ketidakcocokan kondisi lingkungan untuk
implementasi manajemen kualitas (Gazpers, 2003). Kenyataan ini menunjukkan
bahwa tidak ada sistem manajemen kualitas yang secara universal selalu tepat untuk
bisa diterapkan pada seluruh organisasi pada setiap keadaan, namun sistem
manajemen kualitas tersebut tergantung juga pada faktor-faktor kondisional
(Kontinjen) yang ada dalam organisasi. Kinerja organisasi merupakan konsekuensi
fit atau match atau ke-pas-an antara dua atau lebih faktor-faktor (Teori Kontinjensi)
(Van De Ven & Drazin, 1985). Dengan kata lain bahwa efektivitas strategi organisasi
(sistem manajenen kualitas) dalam meningkatkan kinerja organisasi sangat
tergantung pada kesesuaian antara strategi dengan lingkungannya (Balkin &
Gomez-Mejia, 1986). Oleh karena itu efektifitas implementasi TQM dalam
meningkatkan kualitas dan kinerja, sesuai teori kontinjensi sangat tergantung
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
374
dengan lingkungannya (internal maupun eksternal), yaitu: sistem informasi
manajemen dan sumber daya manusia (intellectual capital). Hal ini sejalan dengan
hasil temuan beberapa peneliti, bahwa kegagalan implementasi TQM karena,
kesalahan menggunakan data dan informasi (Deming, 1991), jaringan
informasi/komunikasi internal kurang efektif (Ngai & Cheng, 1997). Untuk itu
agar implementasi TQM dapat secara efektif meningkatkan kualitas dan kinerja
perguruan tinggi, maka harus didukung oleh faktor-faktor lain yaitu: sistem
informasi manajemen, dan sumber daya manusia (intellectual capital).
Sistem Informasi Manajemen (SIM) merupakan salah satu alat atau sarana untuk
menghasilkan informasi yang berkualitas bagi kepentingan manajer di berbagai
tingkatan dan bagian dalam mengelola organisasi (Loudon, 1998, dalam Azhar
Susanto, 2003). Adanya dukungan sistem informasi manajemen (SIM) yang
terintegrasi yang mampu menangkap, mencipta dan memanipulasi informasi
internal dan eksternal secara efektif, akan memudahkan pihak manajemen untuk
mendeteksi secara efektif kapan perubahan kondisi membutuhkan suatu tanggapan
yang strategis, sehingga memungkinkan perusahaan untuk dapat melakukan
perbaikan secara terus-menerus (Rivers & Bae, 1999). Adanya peningkatan dalam
teknologi informasi dan sistem informasi manajemen yang diintegrasikan dengan
seluruh organisasi menjadi suatu hal yang penting dalam organisasi yang
mengimplementasikan TQM untuk mencapai kesuksesan (Hung, 2004). Berdasarkan
hasil observasi Azhar (2003) pada beberapa perguruan tinggi, diindikasikan ada
beberapa persoalan yang sering dihadapi oleh manajemen perguruan tinggi
diantaranya adalah :
1) ”Mahasiswa mengikuti semester pendek sambil mengikuti kegiatan kuliah
kerja nyata.
2) Pelaksanaan pengisian kartu rencana studi (KRS) saat ujian masih
berlangsung karena kurangnya koordinasi antara pusat dan fakultas dalam
jadwal pelaksanaan proses belajar-mengajar.
3) Pengendalian dosen wali terhadap mata kuliah yang diambil oleh mahasiswa
kurang efektif baik terhadap mata kuliah prasyarat, jumlah mata kuliah yang
boleh diambil dan setelah pengolahan di sub bagian administrasi.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
375
4) Banyak dosen wali yang kurang mengontrol serta membina mahasiswa yang
kurang aktif mengikuti perkuliahan.
5) Beberapa mahasiswa dengan indek prestasi kumulatif < 2 masih mengikuti
kuliah padahal sudah melebihi batas semester yang ditentukan.
6) Kontrol pembayaran registrasi kurang terintegrasi dengan baik untuk
mahasiswa yang terlambat atau yang lama tidak membayar, karena pengisian
KRS dilakukan di fakultas sedangkan registrasi dilakukan di pusat.
7) Keberadaan, keamanan dan pengendalian terhadap sistem database
mahasiswa kurang baik.
8) Integrasi antara nilai mahasiswa di fakultas atau program studi dengan di
pusat kurang baik.
9) Penanganan terhadap adanya perubahan kurikulum kurang terintegrasi dan
tuntas sehingga suatu perguruan tinggi sering memiliki beberapa kurikulum
yang berlaku. Hal ini terjadi karena adanya kurikulum baru sedangkan
mahasiswa pengikut kurikulum lama belum habis.
10) Penugasan terhadap dosen yang kurang merata
11) Penugasan mengajar dosen yang sering tidak didasarkan kepada spesialisasi,
kompetensi serta minat dosen sehingga menimbulkan variasi dalam isi
perkuliahan pada kelas pararel.
12) Adanya tim dosen yang dianjurkan dalam ‘applied approach’ kurang berjalan
dengan baik sehingga menambah beban jurusan dalam penempatan dosen
yang mungkin keliru.
13) Koordinasi mata kuliah tidak didasarkan pada kompetensi dan jabatan dosen
tapi berdasarkan pada di jurusan mana mata kuliah tersebut ditawarkan.
14) Sebagian fakultas belum begitu memperhatikan sarana akademik
(perpustakaan, internet, media pengajaran) yang sesuai dengan kebutuhan
saat ini karena keterbatasan dana pendidikan“.
Sumber: Azhar (2003, h. 16-18)
Permasalahan-permasalahan yang sering dihadapi oleh perguruan tinggi
sebagaimana disebutkan di atas terjadi karena kurang efektifnya sistem informasi
yang ada dan pada akhirnya akan mengganggu kinerja perguruan tinggi.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
376
Intellectual capital, merupakan produk dari interaksi antara komitmen, kompetensi
dan pengendalian pekerjaan (Burr & Girardi, 2002). Komitmen organisasi
merupakan suatu kekuatan relatif individu terhadap organisasi dan keterlibatannya
di dalam organisasi (Burr & Girardi, 2002). Kompetensi merupakan suatu uraian
keterampilan, pengetahuan dan sikap yang utama diperlukan untuk mencapai
kinerja yang efektif dalam pekerjaan (Moerad, 2003). Peningkatan relevansi dan
kualitas pendidikan membutuhkan dosen yang mempunyai kompetensi dan
kualifikasi tinggi. Pengendalian pekerjaan merupakan upaya pengembangan
aktivitas dan kreativitas pekerja pada pekerjaannya yang mengarah pada perbaikan
efektivitas operasi dan kepuasan kerja, karena pekerja dapat menggunakan semua
kemampuan yang dimiliki secara leluasa dan penuh (Newstrom & Davis, 2002).
Komitmen, kompetensi dan pengendalian pekerjaan saling beriinteraksi dalam
membentuk kepuasan kerja, dengan meningkatnya kepuasan kerja, maka kinerja
karyawan dalam melakukan tugas-tugasnya juga akan semakin meningkat (Burr &
Girardi, 2002). Keberadaan salah satu saja dari faktor-faktor tersebut (komitmen,
kompetensi dan pengendalian pekerjaan) tidaklah menjamin Intellectual Capital (IC)
yang tinggi, untuk itu harus didukung oleh ketiganya (komitmen, kompetensi dan
pengendalian pekerjaan). Interaksi Implementasi TQM dengan intellectual capital
akan meningkatkan kualitas, sebagaimana dikatakan oleh Djohan (2003) bahwa
efektifitas penerapan TQM pada perguruan tinggi dalam meningkatkan kualitas jasa
sangat tergantung pada sumber daya manusianya (intellectual capital), karena faktor
dominan yang mempengaruhi kualitas jasa perguruan tinggi adalah sumber daya
manusia terutama tenaga akademik (dosen). Tanpa intellectual capital yang tinggi,
efektivitas implementasi total quality management akan berkurang (Ulrich,1998).
Dengan mengimplementasikan TQM, maka kualitas jasa perguruan tinggi akan
meningkat sesuai dengan harapan pelanggan baik internal maupun eksternal, dan
pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi (Lovelock et al.,
1998). Hasil penelitian Kanji et al. (1999), menemukan bahwa institusi perguruan
tinggi yang mengimplementasikan TQM akan mencapai kinerja yang tinggi melalui
peningkatan kualitas. Sementara hasil penelitian Hendricks & Singhal (1997)
menemukan bahwa perusahaan pemenang quality awards terbukti kinerjanya akan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
377
meningkat, hal ini semakin memperkuat bukti bahwa kualitas jasa berpengaruh
terhadap kinerja organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, perguruan tinggi dapat meningkatkan
kinerjanya melalui melalui peningkatan kualitas dengan mengimplementasikan total
quality management. Beberapa penelitian menyebutkan sulit menerapkan total quality
management di perguruan tinggi. Hal ini disebabkan terdapatnya beberapa faktor
(misalnya; perubahan budaya, komitmen dan keterlibatan semua pihak, dan lain
sebagainya) yang dapat menghambat pelaksanaan total quality management di
perguruan tinggi. Meskipun demikian perlu dilakukan penelitian untuk
menggambarkan implementasi total quality management di perguruan tinggi (Ina
Primiana, 2002). Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian berkaitan dengan
pengaruh sistem informasi manajemen dan intellectual capital terhadap efektifitas
implementasi total quality management dalam meningkatkan kualitas jasa pendidikan
dan implikasinya terhadap kinerja perguruan tinggi. karena beberapa alasan sebagai
berikut: (1) kualitas merupakan syarat keberhasilan dalam berbagai sektor, seperti
manufaktur, jasa, kesehatan, pendidikan dan sektor pemerintah, sehingga sulit
untuk mengidentifikasikan kondisi organisasi bila isu kualitas tidak masuk dalam
agenda manajemen, (2) berdasarkan beberapa hasil penelitian dapat ditunjukkan
bahwa kualitas merupakan syarat utama bagi perguruan tinggi untuk menghasilkan
lulusan yang kompeten dan mampu bersaing dalam era globalisasi, (3) dari berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa total quality management merupakan model
yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi, (4)
keberhasilan implementasi total quality management pada perguruan tinggi
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: sistem informasi manajemen dan
intellectual capital.
1. Identifikasi Dan Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian dan identifikasi masalah yang telah diuraikan
di atas, maka dalam penelitian ini permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:
1) Apakah implementasi total quality management berpengaruh terhadap kualitas
jasa pendidikan pada Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001?
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
378
2) Apakah sistem informasi manajemen dan intellectual capital berpengaruh dalam
memoderasi hubungan antara implementasi total quality management dengan
kualitas jasa pendidikan pada Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001?.
• Apakah sistem informasi manajemen berpengaruh dalam memoderasi
hubungan antara implementasi total quality management dengan kualitas jasa
pendidikan pada Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001?.
• Apakah intellectual capital berpengaruh dalam memoderasi hubungan antara
implementasi total quality management dengan kualitas jasa pendidikan pada
Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001?.
3) Apakah kualitas jasa pendidikan berpengaruh terhadap kinerja perguruan tinggi
pada Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001?.
2. Kerangka Pemikiran Dan Perumusan Hipotesis
Dalam situasi persaingan global yang semakin kompetitif, kualitas mempunyai arti
yang sangat penting baik untuk produk barang maupun jasa. Kemampuan
perusahaan untuk menyediakan produk maupun jasa berkualitas akan menjadi
senjata untuk memenangkan persaingan, karena dengan memberikan produk
berkualitas, kepuasan konsumen akan tercapai. Total Quality Management (TQM)
merupakan suatu sistem yang terstruktur dengan serangkaian alat, teknik dan
filosofi yang didesain untuk menciptakan budaya perusahaan yang memiliki fokus
terhadap konsumen, melibatkan partisipasi aktif pekerja, dan perbaikan kualitas
terus-menerus dengan tujuan agar sesuai dengan harapan konsumen (Nursya’bani
Purnama, 2006; 51). TQM mencakup perbaikan terus-menerus proses organisasi
dengan hasil produk/jasa bermutu tinggi. TQM tidak hanya bertujuan untuk
memuaskan kebutuhan sekarang dari pelanggan, melainkan mengantisipasi
kebutuhan pelanggan di masa yang akan datang melalui perbaikan mutu
berkelanjutan (continouous quality improvement). Total quality management dapat
diterapkan juga dalam bidang kependidikan (Sallis, 2006). Implementasi total quality
management pada sistem pendidikan sering disebut sebagai Total Quality Management
in Education (TQME). TQME adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus-
menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi
pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, dan harapan para
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
379
pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang (Sallis, 2006; 73). Dengan
implementasi TQM, diharapkan dapat meningkatkan kepuasan konsumen melalui
perbaikan kualitas produk/jasa (Woller, 1992 dalam Nursya’bani Purnama, 2006).
Implementasi total quality management dapat menjamin kualitas dan standar dalam
pendidikan (Sallis, 2006).
Agar implementasi total quality management dapat meningkatkan kualitas secara
efektif, maka dalam implementasinya memerlukan perubahan mendasar pada
infrastruktur organisasional, yaitu: sistem informasi manajemen (Ahmed &
Ravinchandran, 1999). Keberhasilan implementasi TQM juga tergantung pada
kontribusi sumber daya manusianya, yaitu: tingkat intellectual capital karyawan
(komitmen, kompetensi dan pengendalian pekerjaan) (Nursya’bani Purnama, 2002).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa efektivitas implementasi TQM
membutuhkan perubahan dalam sistem informasi manajemen dan intellectual capital
sebagai variabel kontinjensi. Berdasarkan pendekatan kontinjensi variabel sistem
informasi manajemen dan intellectual capital merupakan variabel yang
memoderasi/memperkuat pengaruh implementasi TQM dalam meningkatkan
kualitas jasa.
3.1 Keterkaitan Total Quality Management (TQM) Dengan Kualitas Jasa
Pengukuran kualitas pada industri jasa sulit dilakukan karena karakteristik jasa pada
umumnya tidak nampak, karakteristik unik dari suatu industri jasa/pelayanan yang
sekaligus membedakannya dengan industri manufaktur, antara lain: pelayanan
merupakan output tidak berbentuk (intangible output); pelayanan merupakan output
variable (tidak standar); pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventory, tetapi
dapat dikonsumsi dalam produksi; terdapat hubungan langsung yang erat dengan
pelanggan melalui proses pelayanan; pelanggan berpartisipasi dalam proses
memberikan pelayanan; ketrampilan personil “diserahkan” atau “diberikan” secara
langsung kepada pelanggan; pelayanan tidak dapat diberikan secara masal;
membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan
pelayanan, pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subjektif. Meningkatkan
kualitas jasa yang ditawarkan tidak semudah usaha meningkatkan kualitas produk,
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
380
karena karakteristiknya yang unik. Peningkatan/perbaikan kualitas jasa akan
berdampak pada organisasi secara menyeluruh.
Selanjutnya, Pepard & Rowland (1997) menyatakan bahwa kualitas itu memiliki dua
dimensi yang berbeda dan harus dibedakan, yaitu konsistensi dan kapabilitas.
Konsistensi berkaitan dengan derajat kesesuaian secara berkelanjutan dari produk
atau jasa yang dihasilkan dengan spesifikasi yang diharapkan para pelanggan.
Sedang kapabilitas berkaitan dengan derajat kemampuan suatu produk atau jasa
untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan.
Dalam usaha untuk menjawab harapan pelanggan dimaksud di atas, sejak 1970-an di
negara-negara maju, khususnya di jepang dikembangkan metode pengendalian
mutu terpadu (Total Quality Control) dan kemudian manajemen mutu terpadu (Total
Quality Manajemen/TQM). TQM merupakan salah satu ilmu yang berorientasi pada
kualitas dan merancang ulang sistem organisasi dalam mencapai tujuannya untuk
memenangkan persaingan (Fandy Tjiptono, 2004). TQM merupakan landasan
kesuksesan dalam lingkungan persaingan sekarang ini. Perusahaan manufaktur dan
jasa, skala besar dan kecil telah menemukan fakta bahwa perhatian kepada kualitas
dapat memiliki dampak yang signifikan terhadap sasaran perusahaan. TQM adalah
suatu metode manajemen terhadap organisasi sebagai sebuah sistem dimana setiap
pekerjaan, setiap proses, dan setiap orang menjalankan perannya dengan benar, dan
terpadu sehingga organisasi mampu menghasilkan keluaran yang memenuhi
harapan pelanggan secara tepat waktu, tepat standar, dan bebas dari segala macam
cacat atau kerusakan. Sementara Kotler (1997) mendefinisikan total quality
management sebagai pendekatan organisasi untuk secara terus-menerus memperbaiki
kualitas secara keseluruhan dalam proses organisasi, produk dan jasa. Dengan
menerapkan TQM, perusahaan diharapkan akan dapat meningkatkan kepuasan
konsumen melalui perbaikan kualitas produk dan meningkatkan kepuasan
karyawan (Wolner, 1992 dalam Nursya’bani Purnama, 2006; 51). Banyak organisasi
yang memperoleh keberhasilan karena menerapkan total quality management. TQM
adalah sistem terstruktur dengan serangkaian alat, teknik dan filosofi yang didesain
untuk menciptakan budaya perusahaan yang memiliki fokus terhadap konsumen,
melibatkan partisipasi aktif pekerja, dan perbaikan kualitas terus-menerus dengan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
381
tujuan agar sesuai dengan harapan konsumen. TQM memberikan peralatan untuk
menjawab setiap tantangan global dan mengarahkan perusahaan pada perbaikan
kualitas yang berkesinambungan yang menunjang tercapainya kepuasan konsumen
secara total dan terus-menerus (Nursya’bani Purnama, 2006; 51). Total quality
management efektif dalam menghasilkan peningkatan kualitas dan mengurangi biaya.
Keberhasilan total quality management sebagai alat pemicu perbaikan kualitas telah
menarik perhatian dan motivasi perusahaan untuk menerapkan total quality
management, tak terkecuali institusi pendidikan tinggi.
Agar kualitas pendidikan yang tinggi dapat tercapai, maka perguruan tinggi juga
harus melakukan usaha perbaikan terus-menerus guna memenuhi kualitas yang
diinginkan oleh konsumen melalui implementasi total quality management. Total
quality management awalnya diterapkan pada dunia bisnis, kemudian diterapkan
pada dunia pendidikan. Konsep ini menekankan pada perbaikan secara
berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan sebagai sasaran
utama. Kepuasan pelanggan akan tercapai jika institusi memberikan jasa sesuai
dengan yang diinginkan oleh pelanggan, jasa yang yang diinginkan oleh pelanggan
tentu saja merupakan sesuatu yang berkualitas (Sallis, 2006). Hal ini diperkuat oleh
Maman Ukas, dkk. (2003) bahwa kualitas jasa dalam jasa pendidikan dapat didekati
dengan menerapkan total quality management. Oleh karena itu, hanya dengan
memahami proses dan pelanggan, maka perguruan tinggi dapat menyadari dan
menghargai makna kualitas. Semua usaha manajemen dalam TQM diarahkan pada
satu tujuan utama, yaitu terciptanya kepuasan pelanggan. Apapun yang dilakukan
manajemen tidak akan ada gunanya bila akhirnya tidak menghasilkan peningkatan
kepuasan pelanggan.
Banyak institusi pendidikan tinggi di dunia yang telah menerapkan total quality
management (TQM). Penerapan TQM pada perguruan tinggi harus dijalankan atas
dasar pengertian dan tanggung jawab bersama untuk mengutamakan efisiensi
pendidikan dan peningkatan kualitas dari proses pendidikan. Melalui penerapan
TQM dalam sistem pendidikan, maka perguruan tinggi akan mampu memenangkan
persaingan global yang amat sangat kompetitif melalui peningkatan kualitas dan
pada akhirnya akan mendatangkan manfaat yang dapat dipergunakan untuk
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
382
pengembangan perguruan tinggi dan peningkatan kesejahteraan semua personel
yang terlibat. Institusi pendidikan menerapkan total quality management untuk;
memperbaiki pengajaran (Mergen et al., 2000), mengukur kepuasan siswa (Long et
al., 1999), memperbaiki kurikulum (Drexler Jr. & Kleinsorge, 2000), mengukur
kepuasan pemilik (Bailey & Bennett, 1996), dan operasional universitas (Muse &
Burkhalter, 1998).
Beberapa usaha secara empiris telah dilakukan untuk menemukan hubungan antara
implementasi total quality management dengan prestasi kualitas. Flynn, et al. (1995)
menemukan bahwa manajemen kualitas yang didukung oleh manajemen puncak
dengan menciptakan kondisi dan infrastruktur berpengaruh langsung dan tidak
langsung terhadap peningkatan kinerja kualitas. Brah et al (2002), hasil penelitiannya
menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat antara konstruk manajemen
kualitas dengan kinerja kualitas, dan ada hubungan positif yang kuat antara kinerja
kualitas dan kepuasan konsumen. Daniel I. Prajogo & Sohal (2003), TQM
berhubungan secara signifikan dengan kinerja kualitas. Daniel I. Prajogo (2005),
menunjukkan adanya pengaruh praktek TQM terhadap kinerja kualitas pada
perusahaan manufaktur dan jasa. Dan pengaruh praktek TQM terhadap kinerja
kualitas antara perusahaan manufaktur dan jasa tidak berbeda. Sakthivel & Raju
(2006), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa implementasi TQM berpengaruh
terhadap hasil kualitas jasa dan hasil kualitas jasa berpengaruh terhadap kepuasan
konsumen. Sakthivel et al. (2005), menunjukkan bahwa institusi yang bersertifikasi
ISO berkembang ke arah implementasi TQM dan menawarkan kualitas pendidikan
yang lebih baik dari pada institusi yang non ISO dan ada hubungan yang signifikan
antara implementasi TQM dengan kepuasan mahasiswa terhadap kinerja akademik
dan kualitas jasa pendidikan.
3.2 Keterkaitan Total Quality Management, Sistem Informasi Manajemen
Dan Kualitas Jasa
Implementasi sistem informasi manajemen berperan dalam pemenuhan informasi
manajemen kepada setiap tingkatan pimpinan atau level organisasi perguruan
tinggi. Hal ini dipenuhi, karena dimensi sistem informasi manajemen sebagai
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
383
kumpulan sistem informasi yang diaplikasikan pada setiap tingkatan dan area
fungsional organisasi. Sebagai suatu sistem, sistem informasi manajemen adalah
kumpulan dari berbagai desain sistem informasi yang saling koordinatif. Sistem ini
meliputi kegiatan atau fungsi sistem dalam fase input-proses-output, dengan saling
ketergantungan (interfaces). Sistem informasi dibangun untuk menunjang
pengambilan keputusan manajemen, termasuk pengambilan keputusan yang
berkaitan dengan adanya perubahan selera konsumen atas kualitas suatu
produk/jasa. Oleh karena itu, pengambilan keputusan akan selalu berkaitan dengan
upaya menciptakan kualitas baru yang berkaitan dengan selera konsumen. Untuk
itu sistem informasi manajemen (SIM) harus didesain sesuai tujuan dan kebutuhan
organisasi. Adapun tujuan organisasi baik manufaktur maupun jasa saat ini adalah
menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas sesuai keinginan konsumen. Untuk
menghasilkan produk maupun jasa yang berkualitas perusahaan dapat menerapkan
total quality management.
Total quality management dalam implementasinya memerlukan suatu sistem informasi
yang mampu menangkap, mencipta dan memanipulasi informasi internal dan
eksternal secara efektif, sehingga pihak manajemen memiliki pengetahuan untuk
mendeteksi secara efektif kapan perubahan kondisi membutuhkan suatu tanggapan
yang strategis guna tercapainya tujuan kualitas, untuk itu diperlukan adanya suatu
infrastruktur perusahaan yang mendukung, yaitu; sistem informasi manajemen
(Flynn et al., 1995). Oleh karena itu Efektifitas implementasi total quality management
harus didukung adanya sistem informasi manajemen yang didukung oleh teknologi
informasi yang memadai (Rivers & Bae, 1999). Sistem informasi manajemen
merupakan salah satu alat atau sarana untuk menghasilkan informasi yang
berkualitas bagi kepentingan manajer di berbagai tingkatan dan bagian dalam
mengelola organisasi (Loudon, 1998, dalam Azhar Susanto, 2003). Sistem informasi
manajemen merupakan suatu infrastruktur yang memfasilitasi pihak manajemen
yang memerlukan informasi untuk pengambilan keputusan dalam organisasi
dengan basis total quality management dengan tujuan memenangkan persaingan
melalui pembuatan produk yang berkesesuaian mutu (conformance quality) dengan
konsumen /pelanggan (Suyudi Prawiro, 2002; 124). Sementara Rai, Song & Troutt
(1998) dalam Ahmed & Ravinchandran (1999) menyatakan bahwa dalam
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
384
implementasi total quality management seperti pengendalian kualitas secara statistik
dan penyebaran fungsi kualitas harus diadaptasi dan diaplikasikan pada
pengembangan software. Keterlibatan sistem informasi manajemen dalam TQM tidak
terbatas pada penyediaan informasi bagi pemakai internal sehingga perusahaan
dapat mencapai kualitas dalam produk dan jasanya, tetapi sistem informasi
manajemen juga diharapkan mempraktekkan manajemen kualitas (McLeod, 1996).
Sebagaimana dikatakan oleh Flynn et al., (1995) keberhasilan penerapan total quality
management menuntut adanya infrastruktur perusahaan yang mendukung.
Dukungan infrastruktur (integrated data system, information system capability) berperan
signifikan dalam implementasi quality improvement (Alexander, 2006). Sementara Rai,
Song & Troutt (1998) dalam Ahmed & Ravinchandran (1999) menyatakan bahwa
dalam implementasi total quality management seperti pengendalian kualitas secara
statistik dan penyebaran fungsi kualitas harus diadaptasi dan diaplikasikan pada
pengembangan software. Hasil penelitian Leng Ang et al. (2001), bahwa teknologi
informasi digunakan untuk mendukung proses total quality management. Hasil
menunjukkan bahwa penggunaan teknologi informasi bervariasi diantara dimensi-
dimensi TQM. Sementara hasil penelitian Douglas & Judge (2001), menunjukkan
adanya hubungan yang kuat antara tingkat implementasi TQM dengan competitive
advantage yang dicapai. Dan hasil penelitian juga menemukan bukti bahwa
hubungan implementasi TQM dan competitive advantage dimoderasi oleh struktur
organisasi, hal ini sesuai dengan dimensi kualitas sistem informasi manajemen
menurut Loudon & Loudon (2005) yaitu mencakup; organisasi, manajemen dan
teknologi informasi.
3.3 Keterkaitan Total Quality Management, Intellectual Capital, dan Kualitas Jasa
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan organisasi
adalah sumber daya manusia, dan bagaimana baiknya sumber daya manusia itu
difokuskan untuk memenuhi tujuan-tujuan organisasi. Penerapan total quality
management (TQM) pada perguruan tinggi merupakan tantangan yang sama
terhadap proses untuk memberdayakan seluruh sumber daya agar bertanggung
jawab terhadap apa yang dikerjakan (Ina Primiana, 2002). Schonberger (1994) dalam
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
385
Gazpers (2003) menyatakan bahwa agar total quality management dapat berhasil
diimplementasikan dan diinstitusionalisasikan, dibutuhkan perubahan-perubahan
dalam manajemen sumber daya manusia. Praktek-praktek manajemen sumber daya
manusia tidak dapat berdiri sendiri, tetapi berhubungan dengan TQM dan harus
selaras dengan perubahan-perubahan proses. Oleh karena itu salah satu kunci
keberhasilan implementasi total quality management dalam meningkatkan kualitas
jasa yang disediakan oleh perguruan tinggi untuk mencapai keunggulan kompetitif
yang diharapkan, sangat tergantung pada kontribusi sumber daya manusia yang
berada di dalamnya (Bowen & Lower, 1992 dalam Lucia Iswandari, 2000), yaitu;
tingkat intellectual capital dari karyawan. Intellectual capital (IC) sebagaimana
didefinisikan oleh Burr & Girrardi (2003) merupakan perkalian antara kompetensi,
komitmen dan pengendalian pekerjaan. Kompetensi dan komitmen merupakan
unsur dari modal intelektual yang melekat pada modal manusia (human capital)
sedangkan pengendalian pekerjaan (job control) termasuk modal struktural (structural
capital). Pekerja yang memiliki kompetensi dan komitmen organisasi tinggi tidak
akan menghasilkan kinerja optimal jika pekerja tidak diberikan kebebasan,
keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya baik yang
mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka waktu, maupun isi
yang berhubungan dengan substansi keputusan. Ainsworth et al. (2002)
mendefinisikan bahwa kompetensi individu adalah kapasitas dari pengetahuan,
ketrampilan, dan sikap yang dimiliki oleh seorang karyawan yang relevan dengan
standar pekerjaan yang akan dilakukan sehingga mampu melaksanakan pekerjaan
yang telah dirancang bagi dirinya baik untuk saat ini maupun dimasa yang akan
datang. Sedangkan Ulrich (1998) menegaskan keberadaan salah satu saja dari faktor
tersebut tidaklah menjamin terciptanya intellectual capital yang tinggi. Karena
persamaan tersebut berupa perkalian dan bukannya penjumlahan, maka skor yang
rendah pada salah satu aspek akan secara signifikan mengurangi intellectual capital
secara keseluruhan. Tingkat intellectual capital yang tinggi akan berpengaruh pada
tingkat kepuasan karyawan, dengan meningkatnya kepuasan karyawan akan
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja karyawan. Peningkatan kepuasan
karyawan dan kinerja karyawan akan berpengaruh terhadap kualitas jasa yang
diberikan karyawan kepada konsumen.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
386
Konsep total quality management berfokus pada komitmen seluruh anggota organisasi
(Cruickshank, 2003) terhadap perbaikan kualitas di semua aspek manajemen
perusahaan, oleh karena itu karyawan harus didorong untuk berpartisipasi aktif
dalam pembuatan keputusan (Lam, 1996) untuk mengembangkan kualitas secara
terus-menerus. Karyawan dengan komitmen organisasi yang tinggi akan memiliki
pengetahuan dan kepercayaan diri untuk mengatasi masalah yang timbul dan
memberikan kontribusi dalam team work maupun proses desain produk (Wasis
Budiarto, 2003). Komitmen merupakan ikatan emosional karyawan untuk selalu
memihak kepada organisasinya, serta kemudian berupaya mencapai tujuan-tujuan
organisasi (Caruana & Calleya, 1998), selain itu komitmen juga merupakan sesuatu
yang menyebabkan seseorang mampu untuk tetap bertahan bekerja di dalam suatu
perusahaan, dan hal tersebut dilakukan dengan ketulusan dan senang hati (Jacobsen,
2000). Pada perguruan tinggi kualitas jasa adalah hal yang esensial sebagai bagian
dari proses pendidikan. Untuk memberikan kualitas jasa terbaik kepada konsumen,
salah satunya dibutuhkan adanya komitmen tenaga akademik pada kualitas jasa
pendidikan. Komitmen untuk meraih kualitas dan selalu mengutamakan pelanggan
merupakan salah satu prinsip utama total quality management dalam pendidikan
(Syafaruddin , 2002; 47).
Faktor lain yang mendukung kesuksesan implementasi total quality management
adalah tingkat kompetensi karyawan dalam perguruan tinggi yang bersangkutan
untuk secara sungguh-sungguh merealisasikan total quality management (Fandy
Tjiptono, 2000). Kompetensi berhubungan dengan pengetahuan, keahlian,
kemampuan atau karakteristik pribadi yang memungkinkan pekerja mencapai
keberhasilan dalam menyelesaikan pekerjaan mereka melalui pencapaian hasil atau
keberhasilan dalam menyelesaikan tugas-tugas (Noe, 2002). Setiap orang yang
bekerja diharapkan dapat mencapai kinerja yang tinggi, dengan kinerja karyawan
tinggi, maka hasil yang dicapai akan berkualitas tinggi. Pencapaian kinerja karyawan
sangat tergantung dan ditentukan oleh beberapa aspek dalam melaksanakan
pekerjaan, salah satunya adalah tingkat kompetensi. Oleh karena itu setiap
organisasi perguruan tinggi perlu membangun sumber daya manusia yang
berkompetensi sesuai dengan kebutuhan, sehingga akan menjadi pusat keunggulan
organisasi dan pada akhirnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Kompetensi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
387
karyawan berpengaruh terhadap kinerja karyawan (Budi W Soetjipto, 2002), karena
karyawan yang mempunyai tingkat kompetensi yang tinggi biasanya memiliki
kemampuan dan kemauan yang cepat untuk mengatasi permasalahan kerja yang
dihadapi, melakukan pekerjaan dengan tenang dan penuh dengan rasa percaya diri,
memandang pekerjaan sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan dengan
ikhlas, dan secara terbuka meningkatkan kualitas diri melalui proses pembelajaran.
Karyawan selain dituntut untuk memiliki komitmen dan kompetensi, juga
dibutuhkan adanya pengendalian pekerjaan yang baik. Walaupun karyawan
memiliki kompetensi dan komitmen organisasi tinggi belum tentu akan
menghasilkan kinerja yang optimal jika pekerja tidak diberikan kebebasan,
keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya baik yang
mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka waktu, maupun isi
yang berhubungan dengan substansi keputusan. Pengendalian pekerjaan
berpengaruh terhadap kinerja karyawan, karena karyawan yang memperoleh
pengendalian pekerjaan yang memadai akan dapat melakukan tindakan secara
langsung pada lingkungan sehingga menghasilkan outcome yang dinginkan,
mengendalikan perilaku negatif pada dirinya, dan memilih dari kemungkinan
berbagai tindakan atau tugas yang diinginkan (Burr & Girardi, 2002). Semua ini pada
akhirnya akan meningkatkan kinerja karyawan baik secara kualitas maupun
kuantitas (Ulrich, 1997).
Salah satu kunci keberhasilan implementasi total quality management dalam
meningkatkan kualitas jasa yang disediakan oleh perguruan tinggi untuk mencapai
keunggulan kompetitif yang diharapkan, sangat tergantung pada sumber daya
manusia yang berada di dalamnya dalam hal ini yaitu; intellectual capital. Intellectual
capital (IC) sebagaimana didefinisikan oleh Burr & Girrardi (2002) merupakan
perkalian antara komitmen, kompetensi dan pengendalian pekerjaan.
Komitmen dan kompetensi merupakan unsur dari modal intelektual yang melekat
pada modal manusia (human capital) sedangkan pengendalian pekerjaan (job control)
termasuk modal struktural (structural capital). Pekerja yang memiliki kompetensi dan
komitmen organisasi tinggi tidak akan menghasilkan kinerja optimal jika pekerja
tidak diberikan kebebasan, keleluasaan, dan kemandirian dalam mengendalikan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
388
pekerjaannya baik yang mencakup keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan,
kerangka waktu, maupun isi yang berhubungan dengan substansi keputusan.
Sementara hasil penelitian Ramarapu, et al., (1993) menyatakan bahwa salah satu
faktor pendukung keberhasilan penerapan manajemen kualitas di Jepang adalah
pekerja yang sangat peduli terhadap kualitas. Dengan kualitas hasil kerja karyawan
meningkat, maka kinerja organisasi juga akan meningkat. Sebaliknya kurangnya
komitmen karyawan dapat menghambat penerapan total quality management (Ngai &
Cheng, 1995). Sedangkan hasil penelitian Jackson (2004), menunjukkan bahwa
komitmen karyawan adalah elemen penting dalam kualitas total. Peran komitmen
terhadap nilai-nilai perusahaan adalah sebagai moderator hubungan antara inisiatif
strategi organisasi dan karakteristik work design. Karyawan dengan komitmen yang
kuat diharapkan dapat membentuk Work design dapat memberikan kapabilitas untuk
melakukan apapun untuk mencapai kualitas yang diharapkan. Selain komitmen,
kompetensi karyawan juga berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Sebagaimana
hasil penelitian Mathews & Redman (1998) bahwa kompetensi berpengaruh positif
dan signifikan terhadap kinerja dan peningkatan kualitas pelayanan nasabah pada
perbankan. Ahmad & Schroeder (2002), hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pengaruh praktek manajemen kualitas terhadap competitive pabrik (kualitas produk)
dimoderasi oleh usaha pabrik selama rekruitmen untuk menjamin bahwa calon
karyawan memiliki ciri-ciri perilaku yang diinginkan pabrik dalam
mengimplementasikan praktek manajemen kualitas (kemampuan menyelesaikan
masalah). Karyawan selain dituntut untuk memiliki komitmen dan kompetensi, juga
dibutuhkan adanya pengendalian pekerjaan yang baik. Pengendalian pekerjaan
berpengaruh terhadap kinerja karyawan, karena karyawan yang memperoleh
pengendalian pekerjaan yang memadai mereka akan dapat melakukan tindakan
secara langsung pada lingkungan sehingga menghasilkan outcome yang dinginkan,
mengendalikan perilaku negatif pada dirinya, dan memilih dari kemungkinan
berbagai tindakan atau tugas yang diinginkan. Semua ini pada akhirnya akan
meningkatkan kinerja karyawan baik secara kualitas maupun kuantitas (Ulrich,
1998). Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Burr & Girardi (2002) yang
mengatakan bahwa pengendalian pekerjaan berpengaruh positif terhadap kinerja
individu karyawan. Sebagaimana hasil penelitian Batt (1999) bahwa karyawan yang
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
389
memiliki kebebasan dalam mengatur pekerjaannya dan berpartisipasi dalam
perbaikan kualitas akan mencapai kualitas jasa yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka yang tidak memiliki kebebasan.
3.4 Keterkaitan Kualitas Jasa Dengan Kinerja
Meningkatnya intensitas persaingan dan tingkat persaingan biasanya juga akan
diikuti dengan semakin tingginya kualitas para pesaing yang terlibat. Dengan
meningkatnya intensitas persaingan dan jumlah pesaing menuntut setiap perguruan
tinggi untuk makin kompetitif dalam melayani kebutuhan dan keinginan
masyarakat/pelanggan serta berusaha memenuhi apa yang mereka harapkan
dengan selalu berusaha meningkatkan kualitasnya agar kepuasan pelanggan dapat
terwujud melebihi kualitas dari pesaing. Karena nilai kompetitif perguruan tinggi
(kinerja) sesungguhnya terletak pada kemampuannya dalam melayani masyarakat
dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme tinggi melalui peningkatan
kualitas. Hal tersebut bisa dilakukan melalui penerapan total quality management
(TQM). Kualitas yang ingin dipenuhi harus dilihat dari sudut pandang pelanggan
agar sesuai dengan apa yang mereka harapkan melebihi dari apa yang dapat
disediakan oleh para pesaingnya. Perspektif TQM terhadap kepuasan pelanggan
pada hakekatnya adalah bahwa pelanggan merupakan penilai terakhir dari kualitas
sehingga prioritas utama dalam jaminan kualitas adalah memiliki piranti yang
handal mengenai penilaian konsumen terhadap perguruan tinggi. Kualitas bukanlah
hasil dari kombinasi faktor-faktor kebetulan, oleh karena itu kualitas harus
didefinisikan, dirancang, direncanakan, dan dilaksanakan secara tepat.
Setiap upaya perbaikan kualitas akan membuat proses atau sistem organisasi
menjadi lebih baik. Perhatian penuh pada kualitas akan memberikan dampak positif
kepada bisnis, salah satunya yaitu; dampak terhadap biaya produksi, melalui
penurunan biaya kualitas. Biaya kualitas merupakan biaya yang terjadi atau
mungkin akan terjadi karena kualitas yang buruk, yang berhubungan dengan
penciptaan, pengidentifikasian, perbaikan, dan pencegahan kerusakan. Setiap upaya
perbaikan kualitas akan menghilangkan atau mengurangi pemborosan yang ada
dalam sistem itu, sehingga biaya kualitas semakin menurun dan pada akhirnya
biaya per unit produk/jasa akan berkurang. Produktivitas total industri secara
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
390
keseluruhan akan meningkat karena pemborosan dan inefisiensi akan berkurang,
dan harga mampu bersaing. Oleh karena itu peningkatan kualitas sangat penting
bagi industri karena pasar menginginkan produk/jasa yang berkualitas baik dan
harganya bersaing.
Kualitas dan kepuasan pelanggan berkaitan sangat erat. Kualitas memberikan suatu
dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan yang kuat dengan perguruan
tinggi. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini memungkinkan perguruan tinggi
untuk dapat memahami dengan seksama harapan pelanggan serta kebutuhan
mereka. Perusahaan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan dengan
memaksimumkan pengalaman pelanggan yang menyenangkan dan meniadakan
pengalaman pelanggan yang kurang menyenangkan (Fandy & Anastasia, 2000).
Perusahaan dapat meningkatkan pangsa pasarnya melalui pemenuhan kualitas yang
bersifat customer-driven, yang akan memberikan keunggulan harga dan customer
value. Customer value merupakan kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang
terjadi apabila pelanggan menggunakan suatu produk atau jasa guna memenuhi
kebutuhan tertentu (Boands, et al., 1994). Bila kualitas yang dihasilkan superior dan
pangsa pasar yang dimiliki perusahaan besar, maka profitabilitas perusahaan akan
terjamin (pangsa pasar dan profotabilitas merupakan elemen untuk mengukur
kinerja organisasi). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kualitas dan
profitabilitas berhubungan sangat erat. Perusahaan baik manufaktur maupun jasa
yang menawarkan produk atau jasa superior pasti dapat mengalahkan pesaingnya
yang menghasilkan kualitas inferior. Adapun manfaat kualitas yang superior antara
lain; loyalitas pelanggan yang semakin besar, pangsa pasar yang lebih besar, dan
produktivitas yang lebih tinggi. Selain itu peningkatan kualitas juga dapat
mengurangi biaya, adanya pengurangan biaya ini pada gilirannya akan memberikan
keunggulan kompetitif berupa peningkatan profitabilitas dan pertumbuhan. Semua
manfaat di atas pada gilirannya mengarah pada peningkatan daya saing
berkelanjutan dan dalam jangka panjang akan meningkatkan kinerja organisasi.
Hal tersebut diperkuat oleh Al Ries (1996) dalam Nursya’bani Purnama (2006)
bahwa dari survey yang telah dilakukan terhadap para manajer di Amerika, hasilnya
sebanyak 80% manajer di Amerika berpendapat bahwa kualitas akan menjadi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
391
sumber fundamental keunggulan bersaing di abad 21, 87% menempatkan kualitas
sebagai faktor terpenting untuk meningkatkan kinerja. Hendrik & Singhal (1997)
melakukan penelitian terhadap 400 perusahaan dagang yang telah mendapatkan
Quality Award (proxy TQM), hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan-
perusahaan tersebut mengalami kenaikan kinerja keuangan. Arawati Agus et al.
(2000), hasil menunjukkan bahwa implementasi TQM dapat meningkatkan kepuasan
konsumen (atas kualitas produk) dan pada akhirnya akan memperbaiki kinerja
keuangan. Sodikoglu (2004), menemukan hubungan yang positif antara
implementasi TQM dengan performance melalui peningkatan kualitas dengan
variabel kontrol faktor organisasi. Arawati Agus (2004) menemukan hubungan yang
signifikan antara implementasi TQM, kualitas produk dan kinerja organisasi pada
perusahaan-perusahaan elektronik di Malaysia. Brah et al (2002), menemukan
adanya hubungan positif antara kinerja kualitas dengan kepuasan konsumen dan
kepuasan karyawan. Mukherjee et al. (2003), menemukan adanya hubungan antara
kualitas jasa yang superior dengan kinerja keuangan.
Bertitik tolak dari identifikasi masalah dan kerangka pemikiran yang telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:
1. Hipotesis 1
Implementasi total quality management berpengaruh terhadap kualitas jasa.
2. Hipotesis 2
Sistem informasi manajemen dan intellectual capital berpengaruh terhadap
efektivitas implementasi total quality management dalam meningkatkan kualitas
jasa.
3. Hipotesis 3
Kualitas Jasa berpengaruh terhadap kinerja perguruan tinggi
4. Metode Penelitian
4.1 Metode Pengumpulan Data
Populasi dalam penelitian ini adalah perguruan tinggi yang telah
mengimplementasikan total quality management (TQM) di Pulau Jawa dengan
menggunakan proxi perguruan tinggi bersertifikat ISO 9001. Total perguruan tinggi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
392
di Pulau Jawa yang telah mengimplementasikan total quality management,
berdasarkan daftar perusahaan yang mendapat sertifikat ISO 9001 (LIPBI, 2006)
sebanyak 25 perguruan tinggi. Dalam penelitian ini karena terbatasnya populasi
maka digunakan metode sensus dalam pengumpulan data, dimana semua populasi
dijadikan responden. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah metode survey
dengan menggunakan kuesioner. Kuesioner implementasi total quality management,
komitmen dosen dan pengendalian kerja dosen diberikan kepada dosen; kuesioner
sistem informasi manajemen dan kinerja perguruan tinggi diberikan kepada
pimpinan; kuesioner kualitas jasa akademik, kualitas instruksional dan kompetensi
dosen diberikan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001 di Pulau
Jawa yang terpilih menjadi responden.
4.2 Operasionalisasi Variabel Penelitian
Dalam penelitian ini, variabel-variabelnya dapat dijabarkan berikut ini:
1) Variabel bebas (independent variable)
• Total quality management yaitu: perbaikan terus menerus, yang melibatkan
semua dosen dan karyawan di setiap jenjang organisasi untuk mencapai
kualitas dalam semua aspek organisasi.
2) Variabel penguat (moderating variable)
(1) Sistem informasi manajemen yaitu: integrasi dari komponen organisasi,
manajemen dan teknologi yang dimiliki oleh perguruan tinggi yang dapat
memenuhi kebutuhan dan memuaskan pemakainya.
(2) Intellectual capital yaitu: interaksi antara kompetensi, komitmen dan
pengendalian pekerjaan dosen perguruan tinggi. Adapun uraian masing-
masing sub-variabel adalah sebagai berikut:
• Kompetensi dosen merupakan kemauan dan kemampuan dosen di
perguruan tinggi yang terbentuk dari sinergi antara watak, konsep diri,
motivasi internal, serta kapasitas pengetahuan kontektual.
• Komitmen merupakan tingkat keterikatan dan keinginan dosen untuk
secara terus-menerus berpartisipasi aktif pada perguruan tinggi.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
393
• Pengendalian kerja merupakan pengembangan aktivitas dan kreativitas
dosen di perguruan tinggi untuk dapat secara bebas, menggunakan
kapabilitas yang dimilikinya.
(3) Variabel antara (intervening variable)
• Kualitas jasa yaitu: penilaian mahasiswa terhadap perguruan tinggi atas
kesesuaian jasa yang disediakan oleh perguruan tinggi sebagaimana
diharapkannya.
(4) Variabel terikatnya (variable dependent)
• Kinerja perguruan tinggi yaitu: kemampuan perguruan tinggi untuk
mengembangkan sumber daya manusia, profesionalisme dan memenuhi
kebutuhan tenaga profesional di berbagai sektor pembangunan.
4.3 Metode Analisis Data
4.3.1 Pengujian Validitas Dan Reliabilitas Instrumen
Uji validitas dilakukan dengan analisis item. Dari hasil pengujian menunjukkan
bahwa semua item pertanyaan valid. Untuk melakukan uji reliabilitas instrument
menggunakan rumus Cronbach Alpha. Dari hasil pengujian menunjukkan bahwa
kuesioner adalah reliabel.
5.3.2 Uji Hipotesis
Analisis regresi sederhana dan regresi interaksi. Adapun variabel penelitian secara
lengkap dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2 Variabel Penelitian Secara Keseluruhan
Sebelum uji hipotesis dilakukan, semua data diuji normalitas data dan uji asumsi
klasik. Hasil pengujian normalitas data menujukkan bahwa data berdistribusi
Implementasi Total Quality Management (TQM)
Kualitas Jasa (KUAL)
Kinerja Perguruan Tinggi (KINERJA)
Sistem informasi manajemen (SIM) Intellectual Capital (IC)
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
394
normal. Sedangkan untuk pengujian asumsi klasik menunjukkan bahwa semua
asumsi klasik terpenuhi.
4.3.2.1 Uji Hipotesis Penelitian 1
Untuk hipotesis 1 digunakan uji regresi sederhana dengan persamaan sebagai
berikut:
KUAL = α + β1TQM + e
Keterangan:
KUAL = Kualitas jasa perguruan tinggi
TQM = Implementasi total quality management
4.3.2.2 Uji Hipotesis Penelitian 2
Untuk uji hipotesis penelitian 2 digunakan uji reresi interaksi dengan persamaan
sebagai berikut:
Y = β0 + β1TQM + β2SIM+ β3IC + β4TQM.SIM+
Β5TQM.IC + e
Keterangan:
KUAL = Kualitas jasa perguruan tinggi
TQM = Implementasi total quality management
SIM = Sistem informasi manajemen
IC = Intellectual capital
4.3.2.3 Uji Hipotesis Penelitian 3
Untuk hipotesis 3 digunakan uji regresi Sederhana
KINERJA = α+ β1KUAL + e
Keterangan:
KINERJA = Kinerja perguruan tinggi
KUAL = Kualitas jasa
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
395
5. Hasil Dan Pembahasan
5.1 Hasil Deskriptif Statistik
Tabel 2 Hasil Tanggapan Responden Mengenai Variabel Penelitian
Variabel Nilai Kategori
5 4 3 2 1 Total
TQM 5895 8189 819 408 43 15354 Tinggi
SIM 115 456 339 100 0 1010 Cukup
IC 3465 6544 3327 1836 230 15402 Cukup
KUAL 3095 21560 12972 4300 384 42311 Cukup
KINERJA 70 712 741 312 35 1870 Cukup
5.2 Pengaruh Total Quality Management (TQM) Terhadap Kualitas Jasa
Dalam penelitian ini nilai P value sebesar 0.00 (lihat lampiran) lebih kecil dari α
sebesar 0.05, dengan demikian maka H0 ditolak, artinya implementasi total quality
management berpengaruh terhadap kualitas jasa. Hasil penelitian ini mendukung
hasil penelitian Arawati, et al. (2000), Brah, et al. (2002), Daniel I. Prajogo & Sohal
(2003), Daniel I. Prajogo (2005), Sakthivel et al. (2005). Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa kualitas jasa dari suatu perguruan tinggi tidak terjadi dengan
sendirinya, tetapi harus dicapai melalui suatu usaha, salah satunya adalah melalui
penerapan total quality manajemen pada perguruan tinggi.
Hal tersebut menunjukkan bahwa aplikasi total quality management sangat
bermanfaat terhadap dunia pendidikan masa depan. Hal tersebut menunjukkan
bahwa aplikasi total quality management sangat bermanfaat terhadap dunia
pendidikan masa depan. Penerapan total quality management secara benar dapat
menjamin bahwa pemimpin-pemimpin lembaga pendidikan dapat mengendalikan
usahanya. Implementasi total quality management akan memberi petunjuk proses
penyelesaian masalah yang masuk akal, bersifat persuasif, mengidentifikasi
persoalan dan pertanggungjawaban. Adapun strategi yang dikembangkan dalam
penggunaan total quality management dalam dunia pendidikan adalah institusi
pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain
menjadi industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan sesuai dengan apa
yang diinginkan oleh pelanggan. Total quality management menekankan pada
perbaikan secara berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
396
sebagai sasaran utama. Kepuasan pelanggan akan tercapai jika institusi memberikan
jasa sesuai dengan yang diinginkan oleh pelanggan, jasa yang diinginkan oleh
pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang berkualitas. Penerapan total quality
management secara benar dapat menjamin bahwa pemimpin-pemimpin lembaga
pendidikan dapat mengendalikan usahanya. Implementasi total quality management
akan memberi petunjuk proses penyelesaian masalah yang masuk akal, bersifat
persuasif, mengidentifikasi persoalan dan pertanggungjawaban. Adapun strategi
yang dikembangkan dalam penggunaan total quality management dalam dunia
pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa
atau dengan kata lain menjadi industri jasa, yakni institusi yang memberikan
pelayanan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan. Total quality
management menekankan pada perbaikan secara berkelanjutan untuk mencapai
kebutuhan dan kepuasan pelanggan sebagai sasaran utama. Kepuasan pelanggan
akan tercapai jika institusi memberikan jasa sesuai dengan yang diinginkan oleh
pelanggan, jasa yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang
berkualitas.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, maka perguruan tinggi juga harus
melakukan usaha perbaikan terus-menerus guna memenuhi kualitas yang
diinginkan oleh konsumen, sebagaimana dilakukan oleh organisasi bisnis yaitu
melalui implementasi total quality management. Hal ini diperkuat oleh Maman Ukas,
dkk. (2003) bahwa kualitas jasa dalam pendidikan dapat dicapai dengan menerapkan
total quality management. Implementasi total quality management akan memberikan
beberapa manfaat bagi perguruan tinggi, antara lain:
• Memperkuat organisasi perguruan tinggi dan memberikan peta jalan atau arah
bagi perubahan.
• Mendorong kita untuk bekerja sebagai teman dalam kelompok kerja, bukan
sebagai musuh.
• Mengupayakan suatu program yang akan mengusahakan bukan hanya
penanganan satu aspek saja dari pendidikan, tetapi menjadi pendekatan yang
holistik dan menyebabkan segala unsur perguruan tinggi mengubah cara yang
mengarahkan dirinya kepada suatu perbaikan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
397
• Meningkatkan partisipasi setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan
perguruan tinggi (mahasiswa, fakultas, staf, alumni), dan usaha-usaha
masyarakat.
• Mengarahkan para orang tua dan mahasiswa untuk membuat saran-saran untuk
memajukan perguruan tinggi.
• Mengarahkan adanya komite perguruan tinggi dan organisasi mahasiswa dalam
membuat standard kualitas pendidikan bagi perguruan tinggi.
• Membuat semua unsur perguruan tinggi menjadi bersikap proaktif daripada
bersikap reaktif terhadap sesuatu yang mempengaruhi perguruan tinggi.
Dengan demikian hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi total
quality management pada perguruan tinggi dapat dijadikan sebagai salah satu strategi
dalam menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan persaingan yang semakin
kompetitif, teknologi semakin canggih, peraturan dan perundang-undangan yang
semakin ketat dan pelanggan yang semakin pintar. Total quality management
memberikan peralatan bagi manajemen perguruan tinggi untuk menjawab
tantangan global dan mengarahkan perguruan tinggi pada perbaikan kualitas yang
berkesinambungan yang menunjang tercapainya kepuasan konsumen secara total
dan terus menerus melalui peningkatan kualitas jasa pendidikan.
5.3 Pengaruh Sistem Informasi Manajemen Terhadap Efektifitas
Implementasi Total Quality Management Dalam Meningkatkan Kualitas
Jasa Pendidikan
Hasil t test menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar 3.025 dengan tingkat
signifikansi 0.007 lebih kecil dari 0.05, demikian maka H0 ditolak. Jadi terbukti
bahwa sistem informasi manajemen memperkuat pengaruh total quality management
terhadap peningkatan kualitas jasa. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian
Leng Ang et al. (2001); Chow & Lui (2003); Flynn et al., (1995); Rai, Song & Troutt
(1998) dalam Ahmed & Ravinchandran (1999).
Implementasi sistem informasi manajemen berperan dalam pemenuhan informasi
manajemen kepada setiap tingkatan pimpinan atau level organisasi perguruan
tinggi. Hal ini dipenuhi, karena dimensi sistem informasi manajemen sebagai
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
398
kumpulan sistem informasi yang diaplikasikan pada setiap tingkatan, dan area
fungsional organisasi. Sebagai suatu sistem, sistem informasi manajemen adalah
kumpulan dari berbagai disain sistem informasi yang saling koordinatif. Sistem ini
meliputi kegiatan atau fungsi sistem dalam fase input-proses-output, dengan saling
ketergantungan (interfaces). Sistem informasi manajemen (SIM) didesain sesuai
tujuan dan kebutuhan organisasi. Adapun tujuan organisasi baik manufaktur
maupun jasa saat ini adalah menghasilkan produk atau jasa yang berkualitas sesuai
keinginan konsumen. Untuk menghasilkan produk maupun jasa yang berkualitas
perusahaan dapat menerapkan total quality management.
Sistem informasi manajemen merupakan suatu infrastruktur yang memfasilitasi
pihak manajemen yang memerlukan informasi untuk pengambilan keputusan dalam
organisasi dengan basis total quality management dengan tujuan memenangkan
persaingan melalui pembuatan produk/jasa yang berkesesuaian mutu (conformance
quality) dengan konsumen (pelanggan) (Suyudi Prawiro, 2002; 124). Keterlibatan
sistem informasi manajemen dalam total quality management tidak terbatas pada
penyediaan informasi bagi pemakai internal sehingga organisasi dapat mencapai
kualitas dalam produk dan jasanya, tetapi sistem informasi manajemen juga
diharapkan mempraktekkan manajemen kualitas itu sendiri (McLeod, 1996).
Keterlibatan sistem informasi di dalam dunia pendidikan sudah tidak dianggap
sebagai pilihan, tetapi telah menjelma menjadi kebutuhan mutlak yang harus
dimiliki dan dimanfaatkan oleh perguruan tinggi jika ingin meningkatkan kualitas
penyelenggaraan pendidikannya melalui implementasi total quality management.
Perguruan tinggi kelas dunia seperti Harvard University, Stanford University, Oxford
University, Cambridge University, dan lain sebagainya telah menerapkan teknologi
tidak hanya untuk keperluan administrasi manajemen pendidikan melainkan
sebagai media utama dalam penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar, riset dan
pengembangan, serta pelayanan kepada masyarakat. Perencanaan, penerapan, dan
pengembangan sistem informasi manajemen yang tepat tidak hanya akan
memperkokoh penyelenggaraan perguruan tinggi, tetapi juga akan meningkatkan
penjaminan mutu atau kualitas pemberian pendidikan. Selain untuk memperbaiki
kinerja perguruan tinggi dalam mengelola proses yang dimilikinya, sejumlah studi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
399
telah memperlihatkan adanya hubungan yang kuat dan signifikan terhadap
peningkatan kualitas pendidikan setelah diimplementasikannya teknologi informasi
(sebagai bagian dari sistem informasi manajemen) (Eko Indrajit & Djokopranoto,
2006), terutama dalam kaitannya dalam menunjang implementasi total quality
management (McLeod, 1996).
5.4 Pengaruh Intellectual Capital Terhadap efektifitas Implementasi
Total Quality Management Dalam Meningkatkan Kualitas Jasa
Pendidikan
Berdasarkan hasil perhitungan dan pengujian hasil penelitian, menunjukkan bahwa
variabel intellectual capital merupakan variabel moderating dengan probabilitas
signifikansi sebesar 0.000 dibawah nilai α = 0.05, hasil penelitian ini menolak Ho,
dengan demikian hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi total quality
management akan lebih efektif dalam meningkatkan kualitas jasa pendidikan jika di
dukung oleh intellectual capital karyawan. Hasil Penelitian ini mendukung penelitian
Jackson (2004); Cruickshank, (2003); Ahmad & Schroeder (2002); Rice (1999) dalam
Ahmad & Schroeder (2002); Frese & Zapf (1998) dalam Burr & Girardi (2002); Batt
(1999).
Dari beberapa konsep, hasil penelitian terdahulu dan hasil penelitian Pada
Perguruan Tinggi bersertifikat ISO 9001di Pulau Jawa menunjukkan bahwa
implementasi total quality management harus didukung oleh peningkatan kompetensi
karyawan, komitmen karyawan dan pemberiaan tanggung jawab pada karyawan
untuk mengendalikan pekerjaannya agar efektif dalam meningkatkan kualitas jasa.
Salah satu kunci keberhasilan implementasi total quality management dalam
meningkatkan kualitas jasa yang disediakan oleh perguruan tinggi untuk mencapai
keunggulan kompetitif yang diharapkan, sangat memerlukan dukungan dari sumber
daya manusia (dalam hal ini dosen) yang ada di dalamnya.
Selain merupakan aset organisasi yang paling vital, sumber daya manusia (dosen)
juga merupakan pelanggan internal yang menentukan kualitas akhir suatu
produk/jasa dan organisasi. Oleh sebab itu, sukses tidaknya implementasi total
quality management sangat ditentukan oleh dukungan yang diberikan oleh dosen
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
400
melalui; kesediaannya (komitmen), dan kompetensinya untuk secara sungguh-
sungguh merealisasikannya dalam perguruan tinggi yang bersangkutan.
Sebagaimana dinyatakan oleh Schonberger (1994) dalam Retno (2000), agar total
quality management dapat berhasil diimplementasikan dan diinstitusionalisasikan,
dibutuhkan perubahan-perubahan dalam manajemen sumber daya manusia.
Praktek-praktek manajemen sumber daya manusia tidak bebas sendiri, tetapi terkait
dengan paket total quality management dan harus selaras dengan perubahan-
perubahan proses.
Salah satu perubahan yang dibutuhkan adalah peningkatan kompetensi, komitmen
dan pengendalian kerja dosen. Sebagaimana dikatakan Trianto & Titik Triwulan
(2006) bahwa kualitas manusia Indonesia yang unggul dapat dihasilkan melalui
penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Dosen mempunyai fungsi, peran,
dan kedudukan yang sangat strategis dan memegang peranan yang sangat penting,
karena dosen mempunyai kesempatan besar untuk mempengaruhi mahasiswa baik
pengaruh positif maupun negatif. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dosen
mempunyai peranan dan kedudukan kunci dalam keseluruhan proses pendidikan
dan sangat signifikan sebagai penentu keberhasilan proses pembelajaran.. Untuk
pencapaian hasil yang optimal dalam meningkatkan kualitas jasa pendidikan
melalui implementasi total quality management maka diperlukan dukungan
kompetensi dosen, komitmen dosen dan pengendalian kerja dosen secara utuh.
Sebagaimana didefinisikan oleh Burr & Girrardi (2003) bahwa Intellectual Capital (IC)
merupakan perkalian antara kompetensi, komitmen dan pengendalian pekerjaan.
Pekerja yang memiliki kompetensi dan komitmen organisasi tinggi tidak akan
menghasilkan kinerja optimal jika pekerja tidak diberikan kebebasan, keleluasaan,
dan kemandirian dalam mengendalikan pekerjaannya baik yang mencakup
keputusan inti berkenaan dengan pekerjaan, kerangka waktu, maupun isi yang
berhubungan dengan substansi keputusan. Keberadaan salah satu saja dari faktor
tersebut tidaklah menjamin terciptanya intellectual capital yang tinggi. Intellectual
capital dosen yang tinggi akan dapat meningkatkan kreativitas dan adaptasi dosen
untuk menciptakan inovasi baru dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan
baik pelanggan internal maupun eksternal perguruan tinggi. Jadi keberhasilan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
401
perguruan tinggi dalam mengimplementasikan total quality management
membutuhkan dukungan intellectual capital dari dosen agar tujuan implementasi total
quality management untuk meningkatkan kualitas jasa dapat tercapai dengan lebih
baik. Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Winarno Surakhmad
(1969) dalam Trianto & Titik Triwulan (2003), bahwa kekuatan dan kualitas
pendidikan suatu negara dapat dinilai dengan menggunakan faktor dosen sebagai
salah satu indek utama. Berdasarkan uraian tersebut di atas, intellectual capital
mempunyai peran penting (dukungan yang signifikan) bagi perguruan tinggi untuk
mencapai kualitas jasa pendidikan melalui implementasi total quality management,
untuk itu intellectual capital harus dikelola dengan baik, karena:
1) Intellectual capital adalah satu diantara sedikit aktiva perusahaan yang dapat
berkembang
Intellectual capital yang merupakan suatu aktiva yang melekat dalam otak dan
hati karyawan dapat dan harus bertumbuh jika perguruan tinggi menginginkan
peningkatan kualitas. Tugas pimpinan adalah menjadikan produktif
pengetahuan yang dikuasai karyawan dan mengubah intellectual capital untuk
menghasilkan value bagi pelanggan.
2) Intellectual capital mudah dibawa pergi
Dosen yang memiliki kompetensi tinggi dengan mudah dapat menemukan
peluang kerja di berbagai perguruan tinggi lain, sehingga mereka memiliki
kesempatan untuk memilih di mana mereka akan bekerja. Mereka hanya akan
memberikan komitmennya bila ia merasakan adanya ikatan emosional dengan
suatu perguruan tinggi. Untuk itu, pimpinan perguruan tinggi tidak cukup
menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk menjadikan suatu pekerjaan
terlaksana, tetapi juga harus mencari cara lain untuk mendapatkan komitmen
dari dosen yang memiliki kompetensi tinggi.
3) Intellectual capital dalam perguruan tinggi berhubungan langsung dengan
persepsi pelanggan terhadap perguruan tinggi.
Banyak perguruan tinggi mempekerjakan dosen yang kurang kompeten dan
tidak memiliki komitmen untuk mengajar tanpa bimbingan dan pengawasan,
sebagai akibatnya citra perguruan tinggi akan jatuh dimata pelanggan.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
402
4) Intellectual capital menarik sumber daya lain menjadi satu
Tidak ada satu pun aktiva perguruan tinggi yang memiliki kemampuan untuk
menggabungkan berbagai sumber daya guna menghasilkan sinergi. Sumber daya
manusia merupakan satu-satunya kekayaan perusahaan yang memiliki
kemampuan untuk menghasilkan sinergi dari penggabungan berbagai sumber
daya.
5.5 Pengaruh Kualitas Terhadap Kinerja
Dalam penelitian ini diperoleh nilai P value sebesar 0.000 (lihat lampiran) lebih kecil
dari α sebesar 0.05, maka H0 ditolak bahwa kualitas jasa berpengaruh terhadap
kinerja perguruan tinggi. Hasil penelitian ini berhasil mendukung penelitian Arawati
Agus (2004), Mukherjee, et al. (2003), Sakthivel & Raju (2006), Brah et al (2002), Flynn,
et al. (1995), Hendrik & Singhal (1997), Evan dan Dean (2003).
Berdasarkan pada temuan-temuan di atas, sangat beralasan jika saat ini kualitas telah
menjadi bahasa dunia dan menjadi tema sentral dalam setiap pembicaraan
manajemen bisnis. Begitu juga dalam dunia pendidikan kualitas adalah agenda
utama dan meningkatkan kualitas merupakan tugas yang paling penting. Kualitas
jasa memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan yang
kuat dengan perguruan tinggi. Dalam jangka panjang ikatan seperti ini
memungkinkan perguruan tinggi untuk memahami dengan seksama harapan
pelanggan serta kebutuhan mereka. Dengan demikian perguruan tinggi dapat
meningkatkan kepuasan pelanggan, dengan jalan memaksimumkan pengalaman
pelanggan yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman
pelanggan yang kurang menyenangkan. Pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat
menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perguruan tinggi yang
memberikan kualitas memuaskan.
Dengan meningkatnya loyalitas konsumen, perguruan tinggi dapat meningkatkan
pangsa pasarnya melalui pemenuhan kualitas yang bersifat customer-driven. Hal ini
akan memberikan keunggulan harga dan customer value. Customer value merupakan
kombinasi dari manfaat dan pengorbanan yang terjadi apabila pelanggan
menggunakan suatu produk atau jasa guna memenuhi kebutuhan tertentu (Boands,
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
403
et al., 1994). Bila kualitas yang dihasilkan superior dan pangsa pasar yang dimiliki
besar, maka profitabilitasnya terjamin (pangsa pasar dan profotabilitas merupakan
elemen untuk mengukur kinerja organisasi). Dengan memberikan jasa yang
berkualitas, maka kepuasan konsumen akan tercapai dan pada akhirnya pangsa
pasar akan meningkat. Untuk itu, agar perguruan tinggi mampu bertahan dalam
persaingan yang semakin meningkat, maka kemampuan perguruan tinggi untuk
menyediakan jasa yang berkualitas merupakan senjata bagi perguruan tinggi untuk
memenangkan persaingan. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain bagi perguruan
tinggi yang ingin bertahan dalam persaingan global selain harus bisa menghasilkan
produk berkualitas yang bisa diterima konsumen, karena kualitas memiliki beberapa
peran penting bagi perguruan tinggi dalam konteks persaingan, yaitu:
1) Kualitas akan meningkatkan reputasi perguruan tinggi
Perguruan tinggi yang mampu menghasilkan jasa berkualitas dan bisa diterima
masyarakat, sebutan sebagai perguruan tinggi yang mengedepankan kualitas
akan melekat pada perguruan tinggi tersebut. Jika hal ini bisa dipertahankan
secara konsisten, perguruan tinggi tersebut akan memiliki reputasi yang
meningkat di mata konsumen.
2) Kualitas akan menurunkan biaya
Peningkatan kualitas yang dilakukan perguruan tinggi harus berorientasi pada
kepuasan konsumen, baru kemudian menterjemahkannya ke dalam spesifikasi
jasa. Langkah seperti ini akan menghemat biaya karena jasa akan diterima baik
oleh konsumen.
3) Kualitas akan meningkatkan pangsa pasar
Konsumen saat ini semakin rasional, hanya akan memilih jasa berkualitas dengan
harga yang wajar atau bahkan rendah. Jika perguruan tinggi mampu memenuhi
kualitas jasa dengan harga rendah, maka pangsa pasar akan meningkat.
4) Pertanggungjawaban produk dan jasa
Pencapaian kualitas jasa yang diterima konsumen akan membawa implikasi
meningkatnya budaya kualitas pada perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang
telah menghasilkan jasa berkualitas dan diterima konsumen, akan selalu
berusaha menunjukkan pertanggungjawaban dan mempertahankan kualitas
dengan cara menentukan desain, proses, dan penyampaian jasa.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
404
5) Kualitas memiliki dampak internasional
Kualitas telah menjadi bahasa bisnis global. Jika kualitas jasa pendidikan diterima
konsumen dan mampu dipertahankan secara konsisten dan terus-menerus, maka
akan membawa dampak semakin dikenalnya perguruan tinggi tersebut dalam
lingkup yang semakin luas di tingkat internasional.
6) Penampilan jasa
Jasa pendidikan yang ditawarkan perguruan tinggi akan mudah dikenal
konsumen jika kualitas jasanya telah diuji dari waktu ke waktu. Jasa pendidikan
yang mampu secara konsisten memenuhi keinginan konsumen, maka konsumen
akan semakin percaya dengan jasa pendidikan yang dihasilkan perguruan tinggi
tersebut. Jika hal itu telah tercipta, maka kualitas jasa pendidikan perguruan
tinggi tersebut akan menjadi ikon yang mempunyai daya tarik.
7) Mewujudkan kualitas yang dinilai penting
Idealnya penentuan spesifikasi jasa pendidikan dilakukan setelah
mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan konsumen, serta atribut jasa
pendidikan yang dinilai penting oleh konsumen. Dengan demikian perguruan
tinggi yang terobsesi terhadap kualitas hanya akan mewujudkan kualitas yag
dinilai penting oleh konsumen.
Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis yang telah dibangun serta analisis hasil
penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Berdasarkan hasil analisis deskriptif mengenai variabel-variabel penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut: sistem penilaian kinerja, penghargaan, sistem
informasi manajemen, intellectual capital (kompetensi, komitmen, dan
pengendalian kerja), kualitas jasa dan kinerja perguruan tinggi pada Perguruan
Tinggi bersertifikat ISO 9001 di Pulau Jawa secara keseluruhan berada dalam
kategori cukup, kecuali implementasi total quality management pada Perguruan
Tinggi bersertifikat ISO 9001 di Pulau Jawa berada dalam kategori tinggi.
2) Berdasarkan hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa:
(1) Implementasi total quality management (TQM) berpengaruh terhadap kualitas
jasa pendidikan. Temuan penelitian ini mendukung teori yang ada bahwa
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
405
TQM merupakan filosofi manajemen yang bertujuan untuk memperbaiki
kualitas produk secara terus menerus untuk mencapai kepuasan konsumen
(Joseph et al., 1999; 1338).
(2) Sistem informasi manajemen, dan intellectual capital secara bersama-sama
berpengaruh dalam memoderasi hubungan antara implementasi total quality
management dengan kualitas jasa pendidikan. Adapun hasil secara parsial
adalah sbb:
• Sistem informasi manajemen berpengaruh dalam memoderasi hubungan
antara implementasi total quality management dengan kualitas jasa. Temuan
penelitian ini mendukung teori yang ada bahwa total quality management
dalam implementasinya memerlukan dukungan suatu sistem informasi
yang mampu menangkap, mencipta dan memanipulasi informasi internal
dan eksternal secara efektif guna tercapainya tujuan kualitas (Flynn et al.,
1995).
• Intellectual capital berpengaruh dalam memoderasi hubungan antara
implementasi total quality management dengan kualitas jasa. Hasil
penelitian ini mendukung teori yang ada bahwa salah satu kunci
keberhasilan implementasi total quality management dalam meningkatkan
kualitas jasa yang disediakan oleh perusahaan untuk mencapai
keunggulan kompetitif yang diharapkan, dimoderasi oleh intellectual
capital dosen yang berada di dalamnya (Bowen & Lower, 1992 dalam Lucia
Iswandari, 2000).
(3) Kualitas jasa berpengaruh terhadap kinerja perguruan tinggi. Temuan
penelitian ini mendukung teori yang ada bahwa kinerja kualitas berhubungan
erat dengan keunggulan bersaing perusahaan (Flynn, et al., 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Ahire, Sanjay L. 1996. TQM Age Versus Quality: An Empirical Investigation. Production and Inventory Management journal. Vol. 37. No. 1
_______& Damodar Y. Golhar . 1996. Quality management in Large vs Small Firms. Journal of Small Business Management. Vol. 34. No. 2
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
406
__________________________& Matthew A. Waller. 1996. Development and validation of TQM Implementation Contract. Decision Sciences. Vol. 27. No. 1
Ahmad, Sohal & Roger G. Schroeder. 2002. The Importance of Recruitment And Selection Process For Sustainability of Total Quality management. The International Journal of Quality & Reliability Management. Vol. 19. No. 5.
Ahmed, Nazim U & Ramarathnam Ravichandran. 1999. An Information Systems Design Framework For Facilitating TQM Implementation. Information Resources Management Journal. Vol. 12. No. 4. Okt-Des.
Ainsworth, Murray; Neville Smith & Anne Millership. 2002. Managing Performance Managing People: Understanding and Improving Team Performance, Australia. Griffin Press.
Alexander, Jeffrey A.; Bryan J. Weiner; Stephen M. Shortell; Laurence C. Baker & Mark P. Becker. 2006. The Role of Organizational Infrastructure in Implementation of hospital’Quality Improvement. Hospital Topics. Vol. 84. No. 1
Alles, M.; S. M. Datar & R. A. Lambert. 1995. Moral Hazard And Management Control In Just-In-Time Setting. Journal Of Accounting Research.
Al-Tamimi, Hussein A. hassan & Naceur Jabnoun. 2006. Service Quality & Bank Performance: A Comparison of The UAE National And Foreign Banks. Finance India. Vol. 20. No. 1
Ali Khomsam. 2000. Peringkat Perguruan Tinggi Kita, www.Zkarnain.tripod.com
Amstrong, Michael. 2003. Strategic Human Resource Management A Guide to Action. London. Kogan Page Limited.
Anthony, R.N.; Dearden, J. & Bedford. 1989. Management Control System. Homewood. Irwin
Antony, Jiju; Frenie Jiju Antony & Sid Ghosh. 2004. Evaluating Service Quality in A UK Hotel Chain. International Journal of Contemporary Hospitality Management. Vol. 16. No. 6
Anwar Prabu Mangkunegara. 2000. Manajemen Sumber daya Manusia. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Arawati Agus. 2004. The Structural Lingkage Between TQM, Product Quality Perfomance, and Business Prfomance: Preliminary empirical Study In Electronics Companies. Singapore Management Review. Vol. 27. No. 1.
____________; Suresh Kumar & Sharifah latifah Syed. Kadir. 2000. The Structural Impact of Total Quality Management on Financial Performance Relative to Competitors Through Customer Satisfaction: a Study of Malaysian Manufacturing companies. Total Quality management. Vol. 11. No. 4
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
407
Arcaro, Jerome. S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu. Alih Bahasa Oleh: Yosal Iriantara. Yogyakarta. Penerbit Pustaka Pelajar.
Atkinson, A. A.; R. J. Banker; R. S. Kaplan & S. M. Young. 1995. Management Accounting. New Jersey. Prentice Hall.
Avkiran, Helmi K. 1999. Quality Customer Service Demand Human Contact. The International Journal of Bank Marketing. Vo. 17. No. 2.
Azhar Susanto. 2003. Pengaruh Persepsi Manajer Mengenai Sistem Informasi Manajemen, Kualitas Sistem Informasi Manajemen, Kebutuhan Informasi Dan Kualitas Informasi Terhadap Kinerja Keputusan Manajer. Disertasi. Bandung. Universitas Padjadjaran. Tidak Dipublikasikan.
Baldwin, Linda M. 2002. Total Quality Management in Higher Education : The Implications of Internal and External Stakeholder Perceptions. New Mexico State University.
Balkin, David B & Gomez-Mejia, Luis R. 1987. Toward A Contingency Theory of Compensation Strategy. Strategic Management Journal.Vol 8.
Ball, Ben. 1997. Career Management Competences_The Individual Perspective. Career Development International. Vol. 2
Bailey, Duncan & Jerome V. Bannett. 1996. The Realistic Model of Higher Education. Quality Progress. Vol. 29. No. 11
Banker, R.; G. Potter & R. Schroeder. 1993. Reporting Manufacturing Performance Measure to Workers: An Empirical Study. Journal of Management Accounting Research.
Barnard, Janet. 1999. Using Total Quality Principles In Business Courses: The Effect On Student Evaluations. Business Communication Quarterly. Vol. 62. No. 2
Becker, Thomas E.; Robert S. Billing; Daniel M. Eveleth & Nicole L. Gilbert. 1996. Foci and bases of Employee Commitment: Implications For Job Performance. Academy of Management Journal. Vol. 39. No. 2
Becker, Brian; Mark Hoselid & Dave Ulrich. 2001. The Link Between People and Strategy Companies Often Treat Worker As a Cost, Rather Than As a Source of Competitive Advantage. Financial Times. Nov. 19..
Beer, Michael. 2003. Why Total Quality management Programs Do Not Persist: The Role of Management Quality and Implications for Leading a TQM Transformation. Decision Sciences. Vol. 34. Number 4..
Bennett, Joel B & Lehman Wayne E.K. 1999. The Relationship Between Problem Co-Workers and Quality Work Practices: a Case Study of Exposure to Sexual Harassement, Substance Abuse, Violence and Job Stress. Work & Stress. Vol. 13. No. 4. p. 299-311.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
408
Bergenhenegouwen, G. J. 1997. Competence Development – a Challenger for Human Resources Professional : Core Competences of Organizations Guidelines for The Development of Employees. Industrial and Commercial Training. Vol. 29.
Bernardin, H. John, & Joyce E. A. Russell. 1993. Human Resources management : An Expriential Approach. New York. McGraw-Hill.
Blau, Gary. 1999. Early-Career Job Factors Influencing The Professional Commitment of Medical Technologists. Academy of Management Journal. Vol. 42. No. 6.
Bontis, Nick; William Chua Chong Keow & Stanley Richardson. 2000. Intellectual Capital and business Performance in Malaysian Industries. Journal of Intellectual Capital. Vol. 1. No. 1
Bowen, Brayton. 1998. A Hands-on Look At intellectual Capital. American Management Association Internationl. January..
Boulter, Nick; Murray Dalziel & Jackie Hill. 1999. People and Competencies: The Route to Competitive Advantage. New Delhi. Crest Publishing House.
Boyett, J. H.; A. T. Kearney & H. P. Conn. 1992. What Wrong With Total Quality Management. Tapping Network Journal. September.
Boyle, Brett A. 1997. A Multi-Dimensional Perspective on Salesperson Commitment. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol. 12.
Brah, Shaukat; Serene S. L. Tee; B. Madhu Rao. 2002. Relathionship Between TQM and Performance of Singapore Companies. The International Journal of Quality & Reliability management. Vol. 19. No. 4
Bukowitz, Wendi. 2000. The Wealth if Knowledge: Intellectual Capital and Twenty Century Organization. New York. McGraw-Hill Company.
Budi W Soetjipto. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia: Sebuah Tinjauan Komprehensif (Bagian 1 dari 2 tulisan). Manajemen Usahawan Indonesia. No. 1 TH XXX. Nopember.
____________. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Sebuah Tinjauan Komprehensif (Bagian 2 dari 2 Tulisan). Manajemen Usahawan Indonesia. No. 12. TH XXX. Desember.
Burr, Renu & Antonia Girardi. 2002. Intellectual Capital: More Than The Interaction of Competence x Commitment. Australian Journal of Management. Vol. 27.
Bayr, Lloyd L. & Leslie Rue, (2000), Human Resources Management, International Edition, McGraw-Hill.
Cameron, Kim. 1978. Measuring Organizational Effectiveness in Institutions of Higher Education. Adminstrative Science Quartely. Vol. 23.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
409
Cardy, Robert L.; Gregory H. Dobbins & Kenneth P. Carson. 1995. Total Quality Management And Human Resourch Management: Improving Performance Appraisal Research, Theory & Practice. Revenue Canadienne Des Sciences Del’Administration. Vol. 12. No. 2
Carrel, Michael R.; Norbert F. Elbert & Robert D. Hatfield. 1995. Human Resources Management. Global Strategies for Managing A Diverse Work Force. Fifth Edition. Prentice-Hall. Englewood Cliffs.
Caruana, Albert & Peter Calleya. 1998. The Effect of Internal Marketing on Organizational Commitment Among Retail Bank Managers. The International Journal of Bank Marketing. Vol. 16. No. 3.
Casio, Wayne F. 1995. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work Life, Profits. McGraw-Hill International Edition.
_____________. 1996. Applied Psychology in Personal Management. Fourth Edition. New York.Mosby.
Chandra, Mahesh. 1993. Total Quality Management in Management Development. The Journal of Management Development. Vol. 12.
Chang, Hsin Hsin & David A. Sinclair. 2003. Assessing Workforce Perception of Total Quality-Based Performance Measurement: a Case Study of a Customer Equipment Servicing Organization. TQM & Business Excellence. Vol. 14. No. 10.
Chase, Richard B; N. J. Aquilano & F. R. Jacobs, 2001. Operations Management For Competitive Advantage. Boston. McGraw Hill Irwin.
Chow, Wing S & King H. Lui. 2003. A Structural Analysis of The Significance of A Set of The Original TQM Measurement Items in Information Systems Function. The Journal of Computer Information Systems. Vol. 43. No. 3.
Chenhall, Robert H. 1997. Reliance on Manufacturing Performance Measures, Total Quality Management And Organizational Performance. Management Accounting Research. Vol. 8. No. 2
Cheung, Catherine & Rob Lawa. 1998. Hospitality Service Quality And The Role of Performance Appraisal. Managing Service Quality. Vol. 8. No. 6
Claver, Enrique; Juan Jose Tari & Jose Francisco Molina. 2003. Critical Factor And Result of Quality Management: an Empirical Study. Total Quality Management. Vol. 14. No. 1.
Cohen, Aaron. 1999. Relationship Among Five Form of Commitment: An Empirical Assesment. Journal of Organizational Behavior. Vol. 20.
Comm, Clare L. & Dennis F.X Mathaisel. 2003. A Case Study of The Implications of Faculty Workload and Compensation for Improving Academic Quality. The International Journal of Educational management. Vol. 17. No. 5
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
410
Creech, Bill. 1996. Lima Pilar TQM. Alih Bahasa Oleh: A. Sindoro. Jakarta. PT. Binarupa Aksara.
Cruickshank, Mary. 2003. Total Quality Management in The Higher Education Sector: a literature Review From an International and Australian Perspective. TQM & Business Excellence. Vol. 14. No. 10.
Cullen, John; John Joyce; Trevor Hassall & Mick Broadbent. 2003. Quality in Higher Education: From Monitoring to Management. Quality Assurance in Education. Vol. 11. No. 1
Cushing, Barry E. & Marshal B. Romney. 1990. Accounting Information systems. Addison_Wesley Publishing Company.
Daniel, S. & W. Reitsperger. 1991. Linking Quality Strategy With Management Control System: Empirical Evidence From Japanese Industry. Accounting, Organization and Society. Vol. 17.
Daniel I. Prayogo. 2005. The comparative Analysis of TQM Practices And Quality Performance Between Manufacturing And Service Firms. International Journal of Service Industry Management. Vol. 16. No. 3
Daniel I. Prajogo & Amrik S. Sohal. 2003. The Relathionship Between Total Quality Management Practice, Qality Performance, And Inovation Performance. The International Journal of Quality & Reliability Management. Vol. 20. No. 8
Davies, Doug; Ruth Taylor & Lawson Savery. 2001, The Role of Appraisal, Remuneration, and Training in Improving Staff Relations In The Western Australian Accommodation Industry: a Comparative study. Journal of European Industrial Training. Vol. 25. No. 6
Daulat P. Tampubolon. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi tantangan Abad ke-21. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Decenzo, David A. & Stephen P. Robbins. 1999. Human Resources Management Sixth Edition. John Wiley and Sons Inc.
Deming, W. Edward. 1981. Improvement of Quality and Productivity Through Action by Management. National Productivity Review. Vol. 1. No. 1.
Djohan Sjarief. 2003. Strategi Pembinaan dan Pengembangan SDM Perguruan Tinggi Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Tinggi. Journal Ekonomi STEI. Vol. XII..
Dyah Sih Rahayu & Indira Januarti. 2002. Total Quality Management: Suatu Pendekatan Alternatif Dalam Penilaian Kinerja. Media Ekonomi dan Bisnis. Vol. XIV. No. 1
Dreher 2001. Human Resource Strategy, A Behavioral Perspective for The General Manager. New York. McGraw-Hill International Edition.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
411
Drexler Jr, John A & Ilene K. Kleinsorge. 2000. Using Total Quality Processes And Learning Outcome Assesments to Develop Management Curicula. Journal Of Management Education. Vol. 24. No. 2..
Drucker, P.F. 1997. Toward the New Organization. Leader to leader.
Durkin, Mark. 1999. Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden Dangers. International Journal of Bank Marketing. Vol. 17..
Edvinsson, L. 2000. Some Perspective on Intangible and Intellectual Capital. Journal of Intellectual Capital. Vol. 1.
Eko Indrajit & Djokopranoto. 2006. Manajemen Perguruan Tinggi Modern. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Engkoswara. 1999. Menuju Indonesia Modern 2020. Bandung. Yayasan Amal Keluarga.
Fandy Tjiptono. 2000. Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kontemporer. Yogyakarta.Penerbit Andi.
_____________ & Anastasia Diana. 2001. Total Quality Management. Yogyakarta.Penerbit ANDI.
Fitz-Enz, Jac. 2000. ROI of Human Capital: Measuring The Economic Value of Employee Performance. American Management Association.
Flynn, Barbara B.; Roger G. Schroeder & S. Sakakibara. 1995. The Impact of Quality Management Practices on Performance and Competitive Advantage. Decision Science Vol 26.
Forza, C. 1995. Quality Information System and Quality Management: A Reference Model and Associated Measures for Empirical. Industrial Management + Data Systems. Vol. 95
Gaspersz, Vincent. 2003. Penerapan Total Quality Management in Education (TQME) Pada Perguruan Tinggi di Indonesia: Suatu Upaya Untuk Memenuhi kebutuhan Industri Modern. http://www.pdk.go.id/Jurnal/29/penerapan_total_quality_management
Gauzali Saydam. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia, Human Resources Management, Suatu Pendekatan Mikro. Jakarta. Penerbit Gunung agung.
Georg, Von Krogh & Johan Roos. 1995. A Perspective on Knowledge Competence and Strategy. Personel Review. Vol. 24.
Gilbert, G. Ronald. 1991. Human Resource Management Practices to Improve quality: A Case Example of Human Resource Management Intervention in Government. Human Resource Management. Vol. 30. No. 2
Gilmore, Audrey & David Carson. 1996. Management Competences For Services Marketing. The Journal of Service Marketing. Vol. 10. No. 3
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
412
Gordon, L. A. & Miller. 1976. “A Contingency Framework For The Design Of Accounting Information System”. Accounting, Organization and Society.
Griffin, Mark A.; Malcolm G Patterson; & Michael A West. 2001. Job Satisfaction and Teamwork: The Role of Supervisor Support. Journal of Organizational Behavior. Vol. 22. No. 5. p. 537.
Gronroos, C. 1990. A Service Quality Model and Its Marketing Implications. European Journal of Marketing. Vol. 18.
__________. 2001. The Perceived Service Quality Concept. Managing Service Quality. Vol. 11. No. 3
Gudono, M. 1999. “Teori Akuntansi Keprilakuan”, Semiloka Sehari Metodologi Penelitian Akuntansi Keprilakuan. Yogyakarta.
Hadari Nawawi. 1998. Manajemen Sumber daya Manusia Untuk Bisnis Yang Kompetitif. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.
Hamel, Gary & C. K. Prahalad 1994. Strategy As A Field of Study: Why Search For A New Paradigm?. Strategic Management Journal. Vol. 15.
Hani Handoko. 2000. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Ed ISTI. Yogyakarta. BPFE.
Hannon, Paul D.; Dean Patton & Sue Marlow. 2000. Transactional Learning Relationship: Developing Management Competencies for Effective Small Firm Stakeholder Interactions. Education + Training. Vol. 42.
Harris, Michael. 2000. Human Resource Management, A Practical Approach. The Dryden Press.
Harvey, Don & Robert Bruce Bowin. 1996. Human Resources Management: An Experiental Approach. London. Prentice-Hall, International Inc.
Hayes, John. 2000. Senior Manager’ Perceptions of The Competencies They Require for Effective Performance: Implication for Training and Development. Personnel Review. Vol. 29.
Hebert, Frederic J; Scott A. Dellana & Kenneth E. Bass. 1995. Total Quality Management in The Business School: The Faculty Viewpoint. SAM Advanced Management Journal. Vol. 60. No. 4.
Hellsten, L. & B. Klefsjo. 2000. TQM As A Management System Consisting of Value, Techniques, And Tools. The TQM Magazine. Vol. 12. No. 4
Hendricks, Kevin B & Vinod R. Singhal. 1997. Does Implementing an Effective TQM Program Actually Improve Operating Perfomance? Empirical Evidence From Firms That Have Won Quality Awards. Management Science. Vol. 43. No. 9. September.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
413
Hoccut, Mary Ann. 1998. Relationship Dissolution Model: Antecedents of Relationship Commitment and The Likelihood of Dissolving a Relationship. International Journal of Service Industry Management. Vol. 9. p. 89-200.
Hornby, Tracey Leger. 2000. Nercomp 2000 – Technology And Renewal: Creating And Supporting The Learning Place, Library Hi-tech News. Academic Research Library. Vol. 17. No. 7.
Horton, Sylvia. 2000. Introduction-The Competency Movement: Its Origins and Impact on The Public Sector. The International Journal of Public Sector Mangement. Vol. 13.
Hugher, Richard L.; Robert C. Ginnett & Gordon J. Curphy. 2003. Leadership Enhancing The Lessons of Experience. McGraw-Hill Irwin.
Hung, Richard Yu-Yuan. 2004. The Implementation of Total Quality Management Strategy in Australia: Some Empirical Observations. The Journal of American Academy of Business. Cambridge. September.
Ichniowsski, C.K. Shaw. 1997. The Effects of Human Resource Management Practices on Productivity. The American Economic Review.
Ihalau, J. J. & Sunarto, H. 1998. Manajemen Mutu Perguruan Tinggi: Analisis TQM Pada Perguruan Tinggi di Indonesia. Penataran dan Lokakarya Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi.
Ina Primiana. 2001. Peran Karyawan Dalam Mendorong Keberhasilan Pelaksanaan TQM di BUMN. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 05. TH. XXX. Mei
____________. 2002. Penerapan Kualitas Di Perguruan Tinggi (Penggunaan Diagram Sebab Akibat, Diagram Pareto Dan QFD). Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol. 1, No. 1
Ip, W. H.; K. P. Chau & R. C. M. Yam. 1999 Enhancing Manufacturing Information Management Through Total Quality Management. Logistic Information Management. Vol. 12. No. 4
Ittner, C & Larcker D. F. 1995. Total Quality Management and The Choice of Information and Reward Systems. Journal for Accounting Research (Supplement).
Ivancevich, John M. 2001. Human Resources Management. Eighth Edition. McGraw-Hill.
Jackson, Paul. R. 2004. Employee To Commitment. The International Journal of quality & Reliability Management. Vol. 21. No. 6/7.
Jacobsen, Dag Ingvar. 2000. Managing Increased Part-Time: Does Part-Time Work Imply Part-Time Commitment ?. Managing Service Quality. Vol. 10.
Jaros, Stephen J.; John M. Jermier; Jerry W. Koehler & Terry Sincich. 1993. Effect of Continuance, Affective, and Moral Commitment on The Withdrawal Process: An
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
414
Evaluation of Eight Structural Equation Models. Academy of Management Journal. Vol. 36.
Joetata Hadihardaja. 2000. Kebijakan Pemerintah Mengenai Perguruan Tinggi. Kopertis Wilayah IV
Joia, Luiz Antonio. 2000. Measuring Intangible Corporate Assets Linking Business Strategy With Intellectual Capital. Journal of Intellectual Capital. Vol. 1
_______________. 2000. Using Intellectual Capital to Evaluate Educational Technology Projects. Journal of Intellectual Capital. Vol. 1. No. 4.
Joseph, I. Nelson; C. Rajendran; T.J. Kamalanabhan & R.N. Anantharaman. 1999. Organizational Factors And Total Quality Management – an Empirical Study. Int. J. Prod. Res. Vol. 37. No. 6.
Jusuf Irianto. 2000. Tema-tema Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Penerbit Bumi Aksara.
Kandampully, Jay. 2001. Service Guarantees: A Strategic Mechanism to Minimize Customers’Perceived Risk in Service Organization. Managing Service Quality. Vol. 11.
Kanji, Gopal. K & Abdul Malek Bin A. Tambi. 1999. Total Quality Management in UK Higher Education Institutions. Total Quality Management. Vol. 10.
______________ & William Wallace. 1999. A Comparative Study of Quality Practices in Higher Education Institutions in The US and Malaysia. Total Quality Management. Vol. 10. No. 3.
Kaplan R., & Norton, D. P. 1990. Measures For Manufacture Excellence. Boston. Harvard Business School Press.
_____________. 1996. Using The Balanced Scorecard As A Strategic Management System. Harvard Business Review. Vol. 74. No. 1
_____________. 1996. Balanced Scorecard : Trnslating Strategy Into Action. Boston. Harvard Bussiness School Press.
_____________. 2001. Transforming Balanced Scorecard From Performance Measurement to Strategic Management. Accounting Horizons. Vol. 15. No. 2.
_____________. 2004. Strategy MAPS: Converting Intangible Assets Into Tangible Outcomes. Boston. Harvard Business School Press.
Keeting, Mary & Denis Harrington. 2003. The Challenges of Implementing Quality in The Irish Hotel Industry. Journal of Europen Industrial Training. Vol. 27. No. 8.
Ketchand, Alicia A. & Jerry R Strawser. 1998. The Existence of Multiple Measure of Organizational Commitment and Experience – Related Differences in a Public Accounting Setting. Behavioral Research in Accounting. Vol. 10.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
415
Kleiman, Lawrence S. 1997. Human Resources Management: A Tool for Competitive Advantage. West Publishing Company.
Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran: Analisis, Perencanaan, Implementasi dan Pengawasan. 9th Edition. NY.Prentice Hall Inc: Englewood Cliffs.
Kettunen, Juha. 2005. Implementation of Strategies in Continuing Education. The International Journal of Educational Management. Vol. 19. No. 2
Lam, Simon. S. K. 1996. TQM & Its Impact on Middle Managers Mid Front-line Workers. The Journal of Management Development. Vol. 15. No. 7.
Lapierre, Jozee. 2000. Customer- Perceived Value in Industrial Contexts. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol. 15. No. 2
Long, P., T. Tricker; M. Rangecroft & P. Gilroy. 1999. Measuring the Satisfaction gap: Education in The Market-Place. Total Quality Management. Vol. 10.
Loudon, Kenneth C & Jane P. Loudon. 2005. Management Information System: New Approaches to Organization & Technology. Third Edition. Chicago.Irwin Inc.
Lovelock, C. H.; P. G. Patterson & R. H. Walker. 1998. Service Marketing: Australia and New Zealand. Sydney. Prentice-Hall.
Lucia Iswandari. 2000. Manajemen SDM Dengan Pemahaman Total Quality Service. ANTISIPASI. Vol. 4. No. 1
Malayu Hasibuan. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. Penerbit Bumi aksara.
Malhitra, Neeru & Avinandan Mukherjee. 2004. The Relative Influence of Organisational Commitment and Job Satisfaction on Servoce Quality of Customer-contact Employees in banking Call Centres. The Journal of Service Marketing. Vol. 18. No. 3
Maman Ukas; Edi Suryadi; Hendri Winata & Ating S. 2003. Kualitas Jasa Kependidikan Pada Perguruan Tinggi. Manajerial. N0. 2. Januari.
Matta, Khalil; Houn-Gee Chen & Joseph Tama. 1998. The Information Requirements of Total Quality management. Total Quality management. Vol. 9. No. 6
Mathieu, J. E. & Zajac D. 1990. A Review and Meta Analysis of The Antecedents, Correlates, and Consequences of Organizational Commitment. Psychological Bulletin. Vol. 94..
Mayer, Roger C. & F. David Scoorman. 1992. Predicting Participation and Production Outcomes Through A Two Dimensional Model of Organizational Commitment. Academy of Management Journal. Vol. 35. No. 3.
McKeown, P. G. & R. A. Leitch. 1993. Management Informational Systems: Managing With Computers. New York. Dryden.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
416
McKenna, Eugene & Nic Beech. 2001. The Essence Of human Resource Management. Pearson Education Asia Pte. Ltd.
McLeod, Raymond. 1996. Sistem Informasi Manajemen. Penerbit PT. Buana Ilmu Populer.
Mello, Jeffrey A. 2002. Book Review: Alliances, Outsourcing and the Learn Organization. Journal of Organizational Change Management. Vol. 15. No. 3.
Mergen, Erhan; Delvin Grant & Stanley M. Widrick. 2000. Quality Management Applied to Higher Education. Total Quality Management. Vol. 11. No. 3.
Meyer, J. P.; Allen N. J. & Gellaltly I. R. 1990. Affective and Continuance Commitment to The Organization: Evaluatio of Measures and Analysis of Concurrent and Time-Lagged Relation. Journal of Applied Psychology. Vol. 75.
Milakovich, Michael E. 1991. Total Quality Management in The Public Sector. National Productivity Review. Vol. 10. No. 2
Milakovich, G. T. & J. M. Newman 1996. Compensation. Boston. Ricard D. Irwin Inc.
Miller, Carl F. 1998. The Measurement of The Effectiveness of The Institution of A TQM Program In The Atlanta Region of The wage Hour Division of The U.S. Departement of Labour. PAQ. Winter..
Miner, Anne S. & Jan B Heide. 1992. The Shadows of The Future: effects of Anticipated Interaction & Frequency of Contact on Buyer – Seller Cooperation. Academy of Management Journal. Vol. 35. No. 2..
Mohamad As’ad. 2000. Psikologi Industri. Yogyakarta. Liberty.
Moerad Baso. 2003. Pembinaan SDM Berbasis Kompetensi. Manajemen Usahawan Indonesia. Vol. 02. Februari.
Mondy, R. Wayne; Robert M. Noe & Shane R. Premeaux. 2000. Human Resources Management. Seventh Edition. Prentice-Hall
Mowen, Maryanne M. & Hansen, Don R. 2000. “Management Accounting”. International Pubblising
Muhibin Syah. 2003. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Rosda Bandung
Mukherjee, A.; P. Nath & M. Pal. 2003. Resource, Service Quality and Performance triad: A framework For Measuring Efficiency of Banking services. Journal of The Operational Research Society. Vol. 54
Mulia Nasution. 2000. Manajemen Personalia Aplikasi dalam Perusahaan. Penerbit Djambatan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
417
Mulyadi. 1997. Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia, Lokakarya Pemerataan Kesempatan Belajar Dan Peningkatan Kualitas Pendidikan Tinggi. Kopertis V. Yogyakarta. 26 April.
Munro, Andrew & Andrew Brendan. 1994. Competences: Dialogue Without a Plot ? Providing Context Through Business Diagnostics. Executive Development. Vol. 7.
Murdifin Haming. 2005. Studi Pengaruh Berbagai Soft Elements Dalam TQM Terhadap Berbagai Dimensi Mutu Keluaran Manufaktur. Manajemen Usahawan Indonesia. No.03. TH XXXIV. Maret.
Murgiyono Purwanto; U. L. Torum; J. Malik & E. Wahyono. 2001. Sistem Penilaian Kinerja Pegawai Negeri sipil. Jakarta. Puslitbang Badan Kepegawaian Negara.
Muse, William V., & Bettye B Burkhalter. 1998. Restructuring Brings Quality Improvements to Auburn University. Total Quality Management. Vol. 9. No. 4/5.
Nahapiet, J. & Ghosal, S. 1998. Social Capital, Intellectual Capital, and the Organizational Advantage. Academy of Management Review. Vol. 23. No. 2.
Newstrom, John W., & Keith Davis. 1997. Human Behavior at Work : Organizational Work. New Delhi. McGraw-Hill. Series in Management.
_____________. 2002. Organizational Behavior: Human Behavior At Work. McGraw-Hill. International Edition.
Ngai, E. W. T., & T. C. E. Cheng. 1997. Identifying Potential Barriers to Total Quality management Using Principal Component Analysis and Correspondence Analysis. The International journal of quality & Reliability Management. Vol. 14. No. 4
Noe, Raymond A. 2002. Employee Training and Development. Second Edition. McGraw-Hill Irwin.
Nursya’bani Purnama. 2002. Kendala-kendala Potensial Penerapan TQM. Usahawan. Vol. 03.
_____________. 2006. Manajemen Kualitas: Perspektif Global. Yogyakarta. Penerbit Ekonisia
Nyhan, Ronald C. 1999. Increasing Affective Organizational Commitment in Public Organizations. Review of Public Personnel Administration. Vol. 19.
O’Brien, J. A. 1999. Management Information Systems: Managing Information Technology in The Internetworked Enterprise. Boston. McGraw-Hill.
Papenhausen, Chris & Walter Einstein. 2006. Insights From The Balanced Scorecard Implementing The Balanced Scorecard at a College og Business. Measuring Business Excellence. Vol. 10. No. 3
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
418
Parasuraman, A.; V. A. Zeithaml & L. L. Berry. 1988. SERVEQUAL: A Multiple-Item Scale For Measuring Consumer Perceptions of Service Quality. Journal of Retailing.Vol. 64.
Parasuraman A. 2002. Service Quality And Productivity: A Sinergistic Perspektive. Managing Service Quality. Vol. 12. No. 1
Parker, Shirley-Gore. 1996. Perception Is Reality: Using 360-Degree Appraisal Against Behavioral Competences to Effect Organizational Change and Improve management Performance. Career Development International. Vol. 1
Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage. New York. The Free Press. A Division of Macmillan Inc.
Puffer, S. M. & D. J. McCarty. 1996. A Framework for Leadership in a TQM Context. Journal of Quality Management. Vol. 1.
Quazi, Hesan, A; Chang Wing Hong & Chan Tuck Meng. 2002. Impact of ISO 9000 Certification on Quality management Practices. Total Quality Management. Vol. 13.
Redman, Tom & Brian P. Mathews. 1998. Service Quality And Human Resourch Management: A Review And research Agenda. Personel Review. Vol. 27. No. 1
Retno Kurnianingsih. 2000. Pengaruh Sistem Pengukuran Kinerja dan Sistem Penghargaan Terhadap Keefektifan Penerapan Total Quality Management: Studi Empiris Pada Perusahaan Manufaktur di Indonesia. Simposium Nasional Akuntansi III.
Rivers, Patrick Asubonteng & Sejong Bae. 1999. Aligning Information Systems For Effective Total Quality Management Implementation in Health care Organizations. Total Quality Management. Vol. 10. No. 2. Maret.
Robbin, Stephen P. 2002. Perilaku Organisasi. Alih Bahasa Oleh: Hadiyana Pujaatmaka. Bandung. PT Prenhallindo.
Ramarapu, N. K.; S. Mehra & M. N. Frolick. 1993. A Comparative Analysis and Review of JIT Implementation Research. Journal of Operations Management. Vol.15.
Sadgrove, Kit. 1995. Making TQM Work. London. Kogan Page Limited.
Sahney, Sangeeta; D. K. Banwet & S. Karunes. 2004. Conceptualizing Total Quality Management in Higher Education. The TQM Magazine. Vol. 16. No. 2
Sakthivel, P. B. & R. Raju. 2006. An Instrument For Measuring Engineering Education Quality From Students’Perspective. The Quality management Journal. Vol. 13. No. 3
___________; G. Rajendran & R. Raju. 2005. TQM Implementation and Students’Satisfaction of Academic Performance. The TQM Magazine. Vol. 17. No. 6
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
419
Sallis, Edward. 2006. Total Quality Management In Education. Alih Bahasa oleh: Ahmad Ali Riyadi. Yogyakarta. Penerbit IRCiSoD.
Scarnati, James T. 1999. Beyond Technical Competence: The Art of Leadership. Career Development International. Vol. 4
Schaffer, R. H. & H. Thomson. 1992. Successful Change Programs Begin With Results. Harvard Business Review. January/february.
Schuler, R. S. & V. I. Huber. 1996. Personnel and Human Resources Management. Wet Publishing Company. USA.
Scott, George M. 2001. Prinsip-Prinsip Sistem Informasi Manajemen. Alih Bahasa Oleh: Achmad Nasir Budiman. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.
Sekaran, Uma. 2000. Research Methods For Business. New York. John Wiley & Sons. Inc.
Sharma, Neeru & Paul G. Patterson. 2000. Switching Cost Alternative Attractiveness and Experience as Moderators of Relationship Commitment in Professional Consumer Services. International Journal of Operation and Production Management. Vol. 11.
Sherman, Arthur; George Bohlander & Scott Snell. 1998. Managing Human Resources. South-Western College. Publishing.
Shety, Y. K. 1991. Quality, Productivity And Profit Performance: Learning From research And Practice. National Productivity Review. Vol. 5. No. 2
Sila, Ismail & M. Ebrahimpour. 2003. Examination and Comparison of The Critical Factors of Total Quality management (TQM) Across Countries. International Journal of Productions Research. Vol. 41. No. 2.
Shim, Khim Ling & Larry N. Killough. 1998. The Performance Effect of Complementarities Between Manufacturing Practice and Management Accounting System. Journal of Management Accounting Research.
Simamora, Henry. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta.Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Singarimbun, Masri. 1995. Metode Penelitian Survei. LP3ES.
Sodikoglu, Esin, D.R. 2004. Total Quality Management: Context and Performance. The Journal of American Academy of Business. Cambridge. September.
Sondang P. Siagian. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta. PT. Bumi Aksara.
Spanbauer, Stanlet J. 1995. Reactiving Higher Education With Total Quality Management: Using Quality and Productivity Concept, Techniques and Tools to Improve Higher Education. Total Quality management. Vol. 6. No. 5
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
420
Stading, Gary L & Robert J. Vokurka. 2003. Building Quality Strategy Content Using The Process From National and International Quality Awards. TQM & Business Excellence. Vol. 14. No. 8. October.
Stewart, Thomas A. 2002. Modal Intelektual. Alih Bahasa Oleh Reza Gunawan. Jakarta. PT. Gramedia.
Sureshchandar, G.S., Chandrasekharan & Rajendran, R.N. Anantharaman. 2001. A Conceptual Model For Total Quality Management In Service Organizations. Total Quality Management. Vo. 12. No. 3.
_____________. (2001). A Holistic Model For Total Quality Service. International Journal of Service Industry Management. Vol. 12. No. 4
Surya, D. 2001. Kita Menderita Penyakit Diploma Disease. Manajemen Usahawan Indonesia. No. 08. TH. XXX. Agustus.
Suwandi & Nur Indrianto. 1999. Pengujian Model Turnover Pasewark: Studi Empiris Pada Lingkungan Akuntan Publik. Journal Riset Akuntansi Indonesia. Vol. 2.
Suyadi Prawirosentono. 2001. Manajemen Mutu Terpadu ABAD 21. Bandung. Penerbit: Bumi Aksara.
Syafarudin Alwi. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia: Strategi Keunggulan Kompetitif. Edisi Pertam. BPFE. Yogyakarta.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu Dalam Pendidikan: Konsep, Strategy, dan Aplikasi. Jakarta. PT. Grasindo.
Tari, J. J. 2005. Component of successful Total Quality Management. The TQM Magazine. Vol. 17. No. 2
Tata Sutabri. 2003. Sistem Informasi Manajemen. Yogyakarta. Penerbit Andi.
Taylor, Glen. 1993. Parallel Procesing: A Design Principle For System-Wide total Quality Management. Management International Review. Vol. 33
Tena, Ana Belen Escrig; Juan Carlos Bou Llusar & Vicente Roca Puig. 2001. Measuring the Relationship Between Total Quality Management and Sustainable Competitive Advantage: A Resource-based View. Total Quality Management. Vol. 12. No. 7.
Tett, Robert P & John P. Meyer 1993. Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover intention, and Turnover: Path Analysis Based on Meta – Analytical Findings. Personal Psychology. Vol. 46. No. 2.
Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional : Dalam Perspektif Abad 21. Magelang. Tera Indonesia.
_____________. 2001. Manajemen Pendidikan Nasional: Kajian Pendidikan Masa Depan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
421
Tjiptohadi Suwarjuwono. 1996. Suatu Analisa Krisis Penyebab Kegagalan TQM. Manajemen Usahawan Indonesia. Vol. 06.
Tri Sugiarti & Salamah Wahyuni. 2001. Pengaruh Karakteristik Individu dan Pekerjaan Terhadap komitmen Organisasional. Jurnal Bisnis dan Manajemen. Vol. 1.
Ulrich, Dave. 1998. Intellectual Capital = Competence X Commitment. Management Review.
Van De Ven, H. Andrew & Drazin, Robert. 1985. The Concept of Fit In Contingency Theory. Research in Organizational Behavior.
Vazzana, Gary; John Elfrink & Duane E. Bachmann. 2000. A Longitudinal Study of Total Quality Management Processes in Business Colleges. Journal of Education for Business. Vol. 76.
Virtanen, Turo. 2000. Changing competences of Public Managers: Tensions in Commitment. The International Journal of Public Sector Management. Vol. 13.
Wade, Recardo Ronald David. 2001. Corporate Performance Management. Butterwith-Heineman. Boston
Walker, J. W. 1992. Human Resources Strategy. New York. McGraw-Hill.
Wambsganss, J. R. & D. Kennett. 1995. Defining The Customer. Management Accounting.
Wang, Wen-Ying & Chingfu Chang. 2005. Intellectual capital and Performance in Causal Model. Journal of Intellectual Capital. Vol. 6. No. 2
Weill, Peter & Olson, Margrethe H. 1989. An Assessment of The Contingency Theory Of Management Information System. Journal Of MIS. Vol 6. No. 1
Werther, William B. & Keith David. 1996. Human Resources and Personal Management. Eighth Edition, McGraw-Hill Inc.
Wetzels, Martin. 1998. Marketing Service Relationship: The Role of Commitment. Journal of Business and Industrial Marketing. Vol. 13.
Wood, Jack; Joseph Wallace; Rachid M. Zeffane; Schrmerhorn; Hunt & Osborn. 2001. Organizational Behavior A Global Perspective. Australia. John Wiley & Sons.
Willy Susilo. 2001. Audit SDM: Perpaduan Komprehensif Auditor dan Praktisi Manajemen Sumber daya Manusia Serta Pimpinan Organisasi/Perusahaa., Percetakan Gema Amini.
Wilkinson. 2000. Accounting Information System: Essential Concept and Applications. New York. John Wiley and Sons.
Wruck, K. H. & M. C. Jensen. 1994. Science, Specific Knowledge and Total Quality Management. Journal of Accounting and Society. Vol. 13.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
422
Yen, Hsiu Ju; Dennis W. Krumwiede & Chwen Sheu. 2002. A Cross-Cultural Comparison of Top Management Personality for TQM Implementation. Total Quality Management. Vol. 13. No. 3..
Yeung, C. M.; Paul Humphreys & K. L. Mak. 1998. A Just-In-Time Evaluation Strategy For International Procurement, Supply Chain Management. Vol. 3.
Young, Mark, M, Sheild & G. Wolf. 1988. Manufacturing Control and Performance: An Experiment. Accounting, Organization and Society. Vol. 13.
Youndt, Mark A. & Scott A. Snell. 2004. Human Resource Configurations, Intellectual Capital, And Organizational Performance. Journal of Managerial Issues. Vol. 16. no. 3
Zaitun, Kituyi. 1996. Critical of Analysis of Service Quality Evaluation Customer Employee View Point. Yogyakarta. School of Graduate Studies Faculty of Economic Departement of Management Gadjah Mada University.
Zakaria Abas & Zulmaidi Yaacob. 2006. Exploring The Relathionsip Between Total Quality Management (TQM), Strategic Control Systems (SCS) and Organizational Performance (OP) Using a SEM framework. Journal of American Academy of Business. Vol. 9. No. 2
Zeithaml, Valarie A. 1988. Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End Model and Synthesis of Evidance. Journal of Marketing. Vol. 52. Juli.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
423
PENGARUH ASIMETRI INFORMASI, PERASAAN BERTANGGUNG JAWAB, DAN REPUTASI TERHADAP KEPUTUSAN REINVESTMENT
PADA ANGGARAN MODAL
Yenni Agustina6
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh asimetri informasi, perasaan bertanggung jawab, dan reputasi terhadap eskalasi komitmen. Penelitian ini dimotivasi atas dasar ketidak terdukungan hipotesa 2 yang dilakukan oleh Schulz dan Cheng (2002) yang menurut teori SJT semestinya hipotesa tersebut berpeluang besar untuk terdukung.
Hal ini tentu saja menimbulkan keterusikan bagi peneliti untuk mendesain ulang model penelitian yang ada dengan membuat suatu model yang sedikit berbeda dengan peneliti sebelumnya. Sehingga, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa penambahan wawasan yang dapat meningkatkan pemahaman kita mengenai konflik etika yang muncul.
Hipotesa yang peneliti ajukan sebanyak 5 hipotesa, yang pengujian atas hipotesa tersebut dilakukan dengan menggunakan metoda eksperimen yaitu dengan menggunakan desain factorial between subject 2x2x2 dengan menjadikan mahasiswa pasca sarjana MIA dan mahasiswa S1 sebagai responden dalam penelitian ini, alasannya yaitu karena mahasiswa tersebut dapat mewakili keadaan yang sesungguhnya.
Bedasarkan hasil pengujian hipotesa diperoleh hasil bahwa hipotesa pertama, ketiga, dan kelima secara statistik tidak terdukung sedangkan hipotesa kedua dan keempat terdukung. Ketidakterdukungan hipotesa satu, tiga, dan lima mungkin disebabkan oleh faktor karakteristik yang dimiliki oleh individu.
Keywords: Asimetri Informasi, Perasaan Bertanggung jawab, Reputasi, Eskalasi Komitmen, Self Justification Theory, Agency Theory.
A. LATAR BELAKANG
Anggaran modal merupakan salah satu alat yang penting dalam suatu perusahaan
sehingga, tak jarang banyak manajer yang melakukan tindakan disfungsional seperti
eskalasi komitmen sebagai akibat dari adanya moral hazard yang terdapat dalam
diri pribadi seseorang. Eskalasi komitmen merupakan kecenderungan pengambil
keputusan untuk bertahan atau mengeskalasi komitmennya pada serangkaian
tindakan yang gagal (Brockner: 1992), Sebagian pakar menyebutkan tindakan
eskalasi komitmen merupakan tindakan yang irasional, sedangkan sebagian lagi 6 Dosen Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
424
menyebutkan bahwa tindakan ini merupakan tindakan yang rasional ketika
seseorang berada dalam posisi yang dilematis.
Berkaitan dengan hal tersebut, tak sedikit peneliti yang mencoba melakukan
penelitian dibidang akuntansi keprilakuan, salah satunya yaitu penelitian yang
berusaha untuk menjelaskan faktor-faktor anteseden dari eskalasi komitmen, namun
perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh setiap individu tentu saja akan membuat
hasil yang berbeda pula (Schulz dan Cheng, 2002). Merujuk pada hal tersebut maka,
peneliti mencoba mengaji ulang hasil penelitian tersebut dengan maksud untuk
melihat kekonsistenan hasil penelitian dari peneliti-peneliti sebelumnya melalui
pengembangan model penelitian yang sudah ada. Hal ini yang kemudian menjadi
motivasi awal bagi peneliti sehingga, peneliti mencoba untuk mereplika penelitian
yang dilakukan oleh Schulz dan Cheng (2002). Schulz dan Cheng mencoba untuk
meneliti faktor anteseden dari eskalasi komitmen dengan menjadikan perasaan
bertanggung jawab dan asimetri informasi sebagai variabel independen (X) dan
eskalasi komitmen sebagai variabel dependen (Y), tak hanya itu mereka juga
mencoba mengajukan proposisi dengan menjadikan variabel asimetri informasi
sebagai variabel pemoderasi hubungan antara perasaan bertanggung jawab dengan
eskalasi komitmen. Namun, dari hipotesa yang diajukan ternyata hipotesa yang
menjadikan asimetri informasi sebagai pemoderasi tidak tedukung. Hal ini tentu
saja menjadikan keterunikan tersendiri bagi peneliti karena berdasarkan SJT hipotesa
tersebut memiliki peluang yang kuat untuk terdukung. Merujuk hal tersebut maka,
peneliti mencoba untuk mencari pembeda antara penelitian yang dilakukan oleh
Schulz dan Cheng pada tahun 2002 dengan sedikit merubah model penelitian yang
ada. Hal ini peneliti lakukan dengan bersandarkan kepada 2 hal yaitu self
justification theory atau yang lebih dikenal dengan SJT dan faktor internal dan
eksternal yang dikemukakan oleh Staw (1981).
SJT yaitu teori yang menerangkan bahwasannya ketika seorang pengambil
keputusan proyek dihadapkan dengan kemunduran selama proyek itu berlangsung,
maka mereka akan menaikkan komitmen yang mereka miliki sebagai upaya untuk
kembali ke proyek atau untuk menunjukkan rasionalitas dari sejumlah tindakan
yang mereka lakukan (Staw: 1981). Maka, hal ini semakin memperkuat keyakinan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
425
peneliti untuk mengembangkan model yang sudah dilakukan oleh Schulz dan
Cheng pada tahun 2002. Model yang peneliti kembangkan yaitu dengan menjadikan
asimetri informasi, perasaan bertanggung jawab, dan reputasi sebagai variabel
anteseden dari eskalasi komitmen, selain itu peneliti juga mencoba untuk
mengajukan proposisi dengan menjadikan variabel perasaan bertanggung jawab dan
reputasi sebagai veriabel pemoderasi hubungan antara asimteri informasi dengan
eskalasi komitmen.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empiris pengaruh asimetri
informasi yang diterima oleh manajer atas proyek yang sedang dijalankan berupa
pengetahuan atas informasi yang ada, yang pengetahuan tersebut tidak dimiliki oleh
prinsipal, perasaan bertanggung jawab, serta reputasi terhadap tingkat eskalasi
komitmen, selain itu juga penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh perasaan
bertanggung jawab dan reputasi sebagai variabel pemoderasi hubungan antara
asimetri informasi terhadap eskalasi komitmen. Sehingga diharapkan penelitian ini
dapat memberikan kontribusi dibidang teoritis yaitu berupa meningkatnya
pemahaman kita mengenai profesionalisme dan konflik etika ketika masalah
disfungsional terjadi, sehingga hal ini dapat meningkatkan wawasan khasanah
keilmuan bagi penelitti maupun yang lainnya dibidang akuntansi keprilakuan
maupun akuntansi manajemen. Metoda penelitian yang peneliti gunakan yaitu
dengan menggunakan pendekatan eksperimen semu dengan desain 2x2x2. Metoda
tersebut dimaksudkan untuk mencari hubungan sebab akibat atas variabel-variabel
yang peneliti gunakan. Ada pun pertanyaan yang peneliti rumuskan dalam
penelitian ini yaitu sebagai berikut:
1. Adakah pengaruh asimetri informasi terhadap eskalasi komitmen?
2. Adakah pengaruh perasaan bertanggung jawab terhadap eskalasi komitmen?
3. Adakah pengaruh reputasi terhadap eskalasi komitmen?
4. Adakah pengaruh asimetri informasi terhadap tingkat eskalasi komitmen
dengan perasaan bertanggung jawab sebagai pemoderasi?
5. Adakah pengaruh asimetri informasi terhadap tingkat eskalasi komitmen
dengan reputasi sebagai pemoderasi?
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
426
Menyadari banyaknya faktor anteseden yang mempengaruhi eskalasi komitmen
maka, peneliti mencoba untuk mengontrol hubungan dari variabel-variabel yang
peneliti ajukan dengan menjadikan pengalaman kerja, komitmen, konsistensian,
framing, dan preferensi resiko sebagai variabel kontrol.
B. TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESA
GRAND THEORY
Self Justification Theory
Penelitian ini menggunakan teori justifikasi diri sebagai grand teori dari penelitian
ini. Self justification theory yaitu teori yang paing kuat untuk menjelaskan mengenai
eskalasi komitmen (Brockner: 1992). Teori ini menjelaskan bahwa ketika seorang
pengambil keputusan proyek dihadapkan dengan kemunduran selama proyek itu
berlangsung, maka mereka akan menaikkan komitmen yang mereka miliki sebagai
upaya untuk kembali ke proyek atau untuk menunjukkan rasionalitas dari sejumlah
tindakan yang mereka lakukan (Staw: 1981). Teori ini mendukung teori cognitive
dissonance dari Festinger (1957) dan teori komitmen psikologi dari Kiesler (1971)
dalam menjelaskan motivasi yang menyebabkan terjadinya eskalasi komitemn
dalam diri seorang manajer dalam Santoso (2012).
SUPPORTING THEORY
Teori Keagenan
Teori keagenan dalam penelitian ini merupakan supporting theory. Teori ini dibangun
sebagai upaya untuk memahami dan memecahkan masalah yang muncul manakala
ada ketidaklengkapan informasi pada saat melakukan ikatan kontrak. Kontrak yang
dimaksudkan disini adalah kontrak antara prinsipal dan agen. Teori keagenan
meramal jika agen memiliki keunggulan informasi dibanding prinsipal dan
kepentingan agen dan prinsipal berbeda, maka akan terjadi agent-principal problem
yang dalam hal ini agen akan melakukan yang menguntungkan dirinya namun
merugikan prinsipal (Gudono, 2009, p.177).
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
427
DEFINISI
ESKALASI KOMITMEN
Eskalasi komitmen merupakan kecenderungan pengambil keputusan untuk
bertahan atau mengeskalasi komitmennya pada serangkaian tindakan yang gagal
(Brockner, 1992). Eskalasi komitmen merupakan bentuk kegagalan dalam membuat
keputusan yang rasional, yang dalam hal ini seseorang melanjutkan keputusan yang
sudah tampak rugi dalam beberapa periode. Bukti empiris menunjukkan bahwa
manajer yang memulai suatu proyek yang kemudian menjadi tidak menguntungkan
justru lebih cenderung untuk meneruskan proyek itu daripada manajer yang tidak
memulai proyek (Staw, 1976, 1981). Kreitner dan Kinicki (2002, dalam gudono, 2009,
p.72) menyebutkan beberapa kategori penyebab eskalasi komitmen, diantaranya
yaitu:
1. Faktor psikologis (misalnya: ego defense)
2. Faktor keorganisasian (misalnya: kegagalan komunikasi)
3. Faktor karakteristik proyek (misalnya: return yang tertunda)
4. Faktor kontekstual (misalnya: tekanan politik)
ASIMETRI INFORMASI
Asimetri informasi merupakan suatu kondisi yang terjadi yang dalam hal ini salah
satu pihak memiliki informasi yang lebih dibandingkan dengan pihak yang lain. Hal
ini biasanya sering terjadi antara agen dan prinsipal. Sehingga, konflik keagenan
pun muncul yang berujung pada rasa ketidak percayaan antara satu dengan yang
lainnya. Prinsipal sebagai pihak yang menyerahkan kekayaannya untuk diolah oleh
pihak agen sering kali merasa dirugikan. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya
dalam diri manusia ada sifat ingin memenuhi kebutuhan yang dialaminya, hal ini
tentu saja berimbas pada moral hazard.
Teori keagenan merupakan suatu teori yang sangat jelas menceritakan konflik
tersebut. Informasi yang berlebih yang dimiliki oleh pihak agen yang dalam hal ini
informasi tersebut tidak dimiliki oleh pihak prinsipal tak pelak akhirnya ditenggarai
sebagai salah satu penyebab dari munculnya perilaku disfungsional.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
428
PERASAAN BERTANGGUNG JAWAB
Perasaan bertanggung jawab memiliki kata dasar bertanggung jawab atau tanggung
jawab. Kata-kata ini sering kali kita dengar dalam kehidupan keseharian kita.
Secara harfiah bertanggung jawab memiliki arti yaitu keadaan wajib menganggung
segala sesuatu yang terjadi atas konsekuensi dari tindakan yang telah kita lakukan
baik disengaja maupun tidak disengaja.
REPUTASI
Banyak peneliti yang mendefinisikan reputasi sebagai bentuk pengendalian ekonomi
dan sosial sebagai wujud dari perilaku opportunistik (stevens:2002). Baiman:
1990,355-357 menjelaskan bahwa dalam mekanisme ekonomi keberadaan reputasi
dapat mendisiplinkan perilaku agen.
A. PENGEMBANGAN HIPOTESA
Berdasarkan teori justifikasi diri terlihat jelas bahwa perilaku eskalasi komitmen
sangat mungkin terjadi ketika seseorang memperoleh feedback information yang tidak
jelas atau informasi yang negatif. Teori ini menggambarkan dengan jelas adanya
upaya manajer sebagai pengambil keputusan untuk mempertahankan keputusan
awalnya yang telah gagal sebagai bentuk rasionalitas atas keputusan yang telah
diambil (Staw dan Fox: 1977). Upaya ini sangat memungkin sekali dipengaruhi oleh
faktor lain, yaitu faktor psikologi akibat dorongan dari internal maupun dari
eksternal.
Menurut para ahli psikologi bahwa setiap diri individu butuh untuk membenarkan
keputusan mereka terhadap diri mereka sendiri atau terhadap orang lain (Staw dan
Ross: 1987 dalam Schulz dan Cheng: 2002). Faktor psikologi yang sangat
memungkinkan sekali terjadi yaitu adanya asimetri informasi, perasaan bertanggung
jawab, dan reputasi. Terkait dengan asimetri informasi, terkadang manajer
bertindak sebagai seorang agen atau sebagai bagian dari prinsipal. Namun, dalam
konteks terjadinya asimetri informasi yang dalam hal ini manajer memperoleh
informasi yang lebih mengenai suatu keadaan baik dimasa lalu maupun dimasa
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
429
yang akan datang maka, biasanya manajer akan bertindak sebagai seorang agen
(Schulz dan Cheng: 2002). Meskipun asimetri informasi ini sangat erat kaitannya
dengan teori keagenan namun, peneliti memandang perilaku opportunistic dari
seorang manajer dari sisi self justification theory. Dari sudut teori ini sangat tergambar
dengan jelas peluang terjadinya eskalasi komitmen dari seorang manajer. Sehingga
berdasarkan teori tersebut maka, peneliti mengajukan hipotesa yang pertama yaitu:
Ha1: Meningkatnya eskalasi komitmen akan terjadi ketika asimetri informasi ada
dibandingkan dengan asimetri informasi tidak ada.
Ditinjau dari segi perasaan bertanggung jawab bahwasannya Staws (1976)
berargumen bahwa perasaan bertanggung jawab personal merupakan suatu
anteseden yang penting dalam menentukan tingkat eskalasi komitmen. Hasil
penemuan Staws menunjukkan keterdukungannya terhadap teori justifikasi diri dan
dukungannya terhadap eskalasi komitmen, hal ini dilihat dari hipotesa yang Staws
ajukan terdukung yaitu bahwasannya manajer akan kembali mengalokasikan
dananya kembali pada proyek yang telah gagal ketika seorang manajer berada
dalam perasaan bertanggung jawab tinggi dibandingkan dengan ketika seseorang
berada dalam perasaan bertanggung jawab yang rendah. Hasil penelitian Staws ini
pun didukung dengan hasil penelitian yang diajukan oleh Schulz dan Cheng (2002).
Meskipun demikian hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Bowen (1987) yang menemukan bahwa adanya dukungan yang
lemah terhadap perasaan bertanggung jawab sebagai anteseden dari eskalasi
komitmen. Hal ini kemudian menjadikan alasan bagi peneliti bahwasannya persaan
bertanggung jawab sangat dimungkinkan untuk menjadi variabel pemoderasi dari
adanya anteseden sebelumnya, yang mungkin saja dapat berupa asimetri informasi.
Sehingga berdasarkan argument tersebut dan teori justifikasi diri maka, peneliti
mengajukan hipotesa sebagai berikut:
Ha2: Manajer dengan perasaan bertanggung jawab tinggi akan suatu proyek yang
sedang dijalankan akan mendorong terjadinya eskalasi komitmen
dibandingkan dengan manajer dengan perasaan bertanggung jawab rendah.
Ha3: Eskalasi komitmen yang dihasilkan oleh keberadaan asimetri informasi akan
meningkat ketika seseorang berada dalam perasaan bertanggung jawab yang
tinggi dibandingkan dengan perasaan bertanggung jawab yang rendah.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
430
Menurut Staws (1981) eskalasi komitmen dapat disebabkan oleh adanya upaya
untuk menjaga reputasi didepan orang lain. Upaya ini dilakukan sebagai bentuk
rasionalitas dari seseorang. Sehingga, hal ini memicu seseorang untuk
mempertahankan keputusan awalnya. Secara teori justifikasi diri, hal ini sangat
memungkin sekali terjadi ketika seseorang berada dalam dilematis. Selain itu, ada
sebagian peneliti yang menyatakan bahwasannya reputasi dapat juga bertindak
sebagai pemoderasi antara hubungan variabel determinan dengan variabel
konsekuensis sebagai bentuk dari perilaku dari ketertarikan diri (Arrow: 1985 dalam
Stevens: 2002). Sehingga berdasarkan hal tersebut maka, hipotesa yang peneliti
ajukan yaitu:
Ha4: Eskalasi komitmen akan menigkat ketika seseorang berada dalam keadaan
upaya menjaga reputasiyang tinggi dibandingkan upaya menjaga reputasi yang
rendah
Ha5: Eskalasi komitmen yang dihasilkan oleh keberadaan asimetri informasi akan
meningkat ketika seseorang berada dalam upaya menjaga reputasi yang tinggi
dibandingkan dengan upaya menjaga reputasi yang rendah
C. METODA PENELITIAN
Populasi
Populasi dari penelitian ini yaitu mahasiswa pasca sarjana dilingkungan FEB Unila
beserta mahasiswa profesi dilingkungan FEB Universitas Lampung.
Metoda Pengambilan Sampel dan Sampel
Pengambilan sampel peneliti lakukan melalui metoda non probabilitas yaitu dengan
menggunakan teknik purposive sampling judgment. Adapun kriteria yang peneliti
berikan yaitu:
1. Mahasiswa pasca sarjana yang memiliki keilmuan dibidang akuntansi yaitu
mahasiswa MIA semester ketiga.
2. Mahasiswa S1 akuntansi yang telah duduk disemester 5 atau yang telah atau
sedang mengambil mata kuliah sistem pengendalian manajemen.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
431
Kriteria ini peneliti terapkan dengan asumsi bahwa mahasiswa tersebut telah
memiliki pemahaman yang lebih mendalam dibidang akuntansi khususnya dalam
proses pengambilan keputusan. Sehingga, hal ini diharapkan dapat mewakili
keadaan yang sesungguhnya. Selain itu, alasan peneliti menggunakan mahasiswa S1
yaitu karena mahasiswa tersebut masih tergolong naïf sehingga memungkinkan
untuk terdukungnya dilakukan eksperimen. Sedangkan alasan peneliti
menggunakan mahasiswa MIA yang sedang duduk disemester akhir yaitu pada
semester tersebut mahasiswa sedang berada dalam proses penyusunan tesis
sehingga animo mahasiswa untuk menjadi responden dalam penelitian ini secara
sukarela pun kemungkinan akan besar.
Variabel dan Alasan Pemilihan Variabel
Variabel yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu meliputi variabel
independen, variabel pemoderasi, serta variabel dependen. Variabel independen
dalam penelitian ini yaitu meliputi asimetri informasi, perasaan bertanggung jawab,
dan reputasi. Selain bertindak sebagai variabel independen, perasaan bertanggung
jawab dan reputasi juga bertindak sebagai variabel pemoderasi. Sedangkan eskalasi
komitmen bertindak sebagai variabel dependen.
Alasan penggunaan variabel tersebut karena masih jarangnya penelitian yang
menggunakan variabel asimetri informasi, reputasi, maupun perasaan bertanggung
jawab sebagai variabel independen maupun sebagai variabel pemoderasi dalam hal
kaitannya dengan eskalasi komitmen. Sehingga, hal ini membuat peneliti merasa
perlu untuk dikaji kembali.
Data yang Digunakan Dan Proses Pengambilan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan data primer. Proses
pengambilan data yaitu dengan menggunakan metoda eksperimen semu yaitu
desain factorial between subjek 2x2x2, hal ini peneliti lakukan karena keterbatasan
wewenang peneliti untuk merandom subjek yang akan menjadi responden dalam
eksperimen yang peneliti jalankan. Instrumen yang peneliti gunakan yaitu berupa
naskah yang peneliti adopsi dari Staw (1976) untuk perasaan bertanggung jawab dan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
432
asimetri informasi, sedangkan untuk instrumen reputasi peneliti adopsi dari Stevens
(2002). Namun, agar hasil penelitian sesuai dengan yang peneliti inginkan maka,
instrument tersebut akan peneliti sesuaikan dengan keadaan yang sengaja peneliti
desain.
Uji Reliabilitas dan Validitas
Uji ini dilakukan untuk mengukur kehandalan dan kevalidan dari instrument yang
digunakan dalam penelitian. Uji ini peneliti lakukan dengan menggunakan data
yang peneliti dapatkan dari hasil uji pilot. Uji pilot peneliti lakukan sebelum
ekseperimen yang sesungguhnya dilaksanakan. Uji ini menggunakan responden
lain yang bukan menjadi target dari penelitian. Responden dari uji pilot ini yaitu
mahasiswa ekonomi jurusan manajemen yang telah duduk dibangku semester V.
Pelaksanaan uji pilot ini dilaksanakan pada hari selasa jam 09.40 wib secara bergilir
di ruang E114 dengan melibatkan responden sebanyak 120 orang selama 15 menit.
Setelah melakukan pilot kemudian penelitian melakukan uji reliabilitas dengan
menggunakan Cronbach Alpha, standar yang peneliti gunakan untuk menggolongkan
bahwa instrumen yang peneliti gunakan reliabel yaitu dengan menggunakan standar
Nunnally (1960) dalam Ghazali (2007, p. 44) nilai Cronbach Alpha > 0,60 atau diatas
60%.
Berdasarkan hasil uji reliabel terhadap empat konstruk yang peneliti gunakan yaitu
eskalasi komitmen, perasaan bertanggung jawab, asimetri informasi, dan reputasi
diperoleh hasil cronbach alpha masing-masing senilai 0.737 untuk eskalasi komitmen,
0.729 untuk asimetri informasi, 0.810 untuk perasaan bertanggung jawab, dan 0.791
untuk reputasi. Hasil-hasil tersebut diatas 0.60 sehingga dapat disimpulkan bahwa
instrument tersebut reliabel. Untuk uji validitas, penguji menggunakan uji validitas
tampang yaitu dengan cara membentuk tim hakim untuk memeriksa makna yang
terselip dalam setiap kalimat pertanyaan agar tidak terjadi keambiguan makna. Tim
hakim ini terdiri dari 4 orang, yaitu 2 orang dari kalangan mahasiswa dan 2 orang
dari rekan sesama profesi.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
433
Pengujian Hipotesa
Pengujian hipotesa dilakukan dengan menggunakan uji anava yang akan peneliti
olah dengan menggunakan SPSS versi 21.
Task dan Prosedur Eksperimen
Eksperimen yang peneliti lakukan yaitu eksperimen semu, dengan menggunakan
mahasiswa MIA dan S1 akuntansi semester 5 tau yang sedang atau telah mengambil
mata kuliah sistem pengendalian manajamene. Eksperimen dilaksanakan dalam hari
yang berbeda yaitu hari Sabtu dan rabu pada pukul 9.55 wib di dua gedung terpisah
yaitu gedung E dan G. Alasan pelaksanaan dilakukan pada dua hari yang berbeda
dikarenakan waktu luang yang dimiliki oleh responden untuk memungkinkannya
dilakukan eksperimen.
Sebelum eksperimen dijalankan, peneliti terlebih dahulu membentuk tim
eksperimenter sebanyak empat orang yang berasal dari mahasiswa jurusan
akuntansi yang telah duduk disemester akhir. Keempat tim tersebut kemudian
peneliti arahkan untuk dapat menjadi eksperimenter dengan menjalan tugas sebagai
mana mestinya. Setelah tim ekperimenter dibentuk kemudian peneliti bersama tim
eksperimenter meminta kesediaan mahasiswa S1 dan MIA untuk menjadi responden
dalam penelitian ini. Namun, karena keterbatasan peneliti untuk merandom subyek
yang akan menjadi responden dalam setiap kelompok maka, hal ini membuat
peneliti untuk menjadikan eksperimen yang peneliti lakukan sebagai eksperimen
semu. Kelompok yang peneliti bentuk yaitu sebanyak delapan kelompok.
Pada saat pelaksanaan eksperimen, tim eksperimen memberikan pengarahan cara
pengisian serta mengambarkan keadaan atau kondisi perusahaan baik mengenai
kondisi keuangan maupun kondisi manajemen. Setelah itu tim eksperimen meminta
responden untuk dapat menjadi seperti yang tertera dalam instrumen dan kemudian
mengisi pertanyaan yang tertera dalam instrument tersebut. Kemudian setelah
responden menjawab pertanyaan dari satu bagian maka, responden dilarang untuk
membaca treatments tanpa ada instruksi dari tim eksperimenter. Setelah responden
selesai menjawab semua pertanyaan kemudian tim membagi soal cek manipulasi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
434
untuk diisi oleh responden dengan tujuan untuk mengetahui apakah responden
sudah memahami isi dari naskah yang diberikan. Setelah responden selesai mengisi
maka, responden dilarang untuk meninggalkan ruangan sebelum ada instruksi dari
tim. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya konsentrasi yang memudar
bagi responden yang belum selesai mengisi pertanyaan cek manipulasi. Instrumen
yang peneliti sebar yaitu sebanyak 200 angket dengan sebaran dimasing-maisng
kelompok sebanyak 25 instrumen namun yang lulus cek manipulasi yaitu sebanyak
155 angket. Sehingga yang masuk kedalam pengolahan data selanjutnya yaitu
sebanyak 155 angket dari 155 responden dengan sebaran masing-masing kelompok
yaitu 20 orang kelompok 1, kelompok 3, kelompok 4, dan kelompok 8. 19 responden
untuk kelompok 2, kelompok 6, kelompok 7, dan 18 responden untuk kelompok 5.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil uji manipulasi yang peneliti lakukan, ternyata dari 200 instrumen
yang peneliti sebar hanya 155 instrumen yang lulus atau 45 instrumen yang tidak
lulus manipulasi. Banyaknya instrument manipulasi yang tidak lulus ini disebabkan
karena 15 angket yang tidak terisi lengkap dan sisanya disebabkan karena
pemahaman responden yang tidak tepat mengenai kemauan dari yang ada dalam
instrumen yang berjumlah sebanyak 12 serta ada juga yang disebabkan karena
ketidak konsistenan reponden dalam menjawab yang berjumlah sebanyak 18 angket.
155 responden tersebut kemudian peneliti data biografinya sehingga dapat diperoleh
hasil seperti tabel yang ada berikut ini.
JENIS KELAMIN
Frequency Percent
Valid Laki-laki 46 29.7
Perempuan 109 70.3
Total 155 100.0
Dari tabel-tabel tersebut terlihat bahwa yang menjadi responden dalam
penelitian ini sebagian besar didominasi oleh perempuan sebanyak 70,3%
sedangkan laki-laki sebanyak 29,3%.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
435
Berdasarkan uji anava diperoleh hasil sebagai berikut: Source Type III Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Corrected Model Intercept Asimetri Informasi Error Total Corrected Total
.705a
3116.937 .705
556.005 3673.000
556.710
1 1 1
153 155 154
.705 3116.937
.705 3.634
.194 857.711
.194
.660
.000
.660
a. R Squared = ,001 (Adjusted R Squared = -,005)
Dari tabel tersebut terlihat hasil F sebesar 0.194 dengan tingkat signifikansi yaitu
0.660 yaitu lebih besar dari 0.05 atau 5%. Hal ini dapat disimpulkan bahwa secara uji
statistic hipotesa pertama tidak terdukung atau gagal untuk menolak Ho. Hasil ini
mendukung penelitian yang dilakukan oleh Schulz dan Cheng (2002). Hal ini
mungkin disebabkan karena keputusan untuk melakukan reinvestasi kembali
terhadap suatu proyek yang gagal tidak saja didorong akan adanya asimetri
informasi, namun juga faktor psikis berupa karakter yang dimiliki oleh seorang
manajer. Hal ini bisa dilihat dari R square yang diperoleh yaitu sebesar 1%.
Test of Between-Subjects Effects Dependent Variabel Eskalasi Komitmen
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model Intercept Bertanggung Jawab Error Total Corrected Total
11.471a
1891.775 11.471
223.719 2131.000
235.190
1 1 1
77 79 78
11.471 1891.775
11.471 2.905
3.948 651.116
3.948
.050
.000
.050
a. R Squared = ,049 (Adjusted R Squared = ,036)
Dari tabel diatas terlihat hasil signifikansi sebesar 0.05 atau sebesar 5% dengan
kemampuan untuk menjelaskan yaitu sebesar 4,9%. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa berdasarkan hasil uji statistic hipotesa kedua terdukung. Hasil ini
mendukung penelitian yang dilakukan oelh Schukz dan Cheng (2002) bahwa
eskalasi komitmen akan meningkat ketika seseorang memeiliki perasaan
bertanggung jawab yang tinggi.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
436
Test of Between-Subjects Effects Dependent Variabel Eskalasi Komitmen
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model Intercept Kelompok Error Total Corrected Total
5.142a
1496.401 5.142
356.934 1860.000
362.076
3 1 3
75 79 78
1.714 1496.401
1.714 4.759
.360 314.428
.360
.782
.000
.782
a. R Squared = ,014 (Adjusted R Squared = -,025) Berdasarkan hasil pengujian hipotesa ketiga diperoleh hasil tingkat siginifikansi
sebesar 0,782 diatas 0.05 maka, dapat disimpulkan bahwa secara statistic gagal untuk
menolak H0. Hasil ini mendukung dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Schulz
dan Cheng (2002). Hal ini mungkin disebabkan oleh lemahnya kemampuan asimetri
informasi yang berperan sebagai variabel idependen, sehingga hal ini membuat
ketidak terdukungan hipotesa yang peneliti ajukan.
Test of Between-Subjects Effects Dependent Variabel Eskalasi Komitmen
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model Intercept Reputasi Error Total Corrected Total
22.118a
1621.066 22.118
173.816 1817.000
195.934
1 1 1
74 76 75
22.118 1621.066
22.118 2.349
9.417 690.149
9.417
.003
.000
.003
a. R Squared = ,113 (Adjusted R Squared = ,101)
Berdasarkan tabel diatas untuk pengujian hipotesa ke empat diperoleh hasil R Square
yaitu sebesar 11,3% dengan tingkat signifikansi sebesar 0.003 yaitu lebih kecil dari
0.05, sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesa ke empat terdukung.
Test of Between-Subjects Effects Dependent Variabel Eskalasi Komitmen
Source Type III Sum of Squares
df Mean Square F Sig.
Corrected Model Intercept Kelompok Error Total Corrected Total
.868a
1573.026 .868
211.921 1788.000
212.789
3 1 3
72 76 75
.289 1573.026
.289 2.943
.098 534.434
.098
.961
.000
.961
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
437
a. R Squared = ,004 (Adjusted R Squared = -,037)
Berdasarkan hasil uji antar sel untuk pengujian hipotesa kelima diperoleh hasil yaitu
R Squared yaitu sebesar 0,004 dengan tingkat signifikansi yaitu sebesar 0.961 atau
lebih besar dari 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesa kelima tidak
terdukung. Hal ini mungkin disebabkan karena ketidakmampuan variabel asimteri
informasi sebagai variabel independen baik bertindak secara tunggal maupun
diinteraksikan dengan reputasi.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menguji secara empiris pengaruh langsung
antara variabel asimetri informasi, reputasi, dan perasaan bertangung jawab
terhadap eskalasi komitmen. Serta menguji pengaruh interaksi antara asimetri
informasi dan reputasi terhadap esakalsi komitmen serta menguji pengaruh interaksi
antara asimetri informasi dan perasaan bertanggung jawab terhadap eskalasi
komitmen.
Dari hasil uji hipotesa diperoleh kesimpulan bahwa perasaan bertanggung jawab
dan reputasi mempunyai pengaruh terhadap eskalasi komitmen, sedangkan asimetri
informasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap eskalasi komitmen.
Selain itu dari hasil uji interaksi ternyata hipotesa ketiga dan kelima tidak terdukung
tentu saja hal ini menimbulkan keterunikan yang semestinya secara teoritis dan
logika hubungan interaksi tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
eskalasi komitmen. Hal ini dimungkinkan karena adanya faktor psikologi yang lain
yang lebih berperan dalam interaksi tersebut seperti reward dan punishment sehingga
hal ini dimungkinkan menimbulkan kurangnya pengahayatan dari responden akan
kasus yang diberikan. Dari keterbatasan ini disarankan untuk mengkaji kembali dan
menambah faktor psikologis yang lain dalam pembentukan model.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
438
DAFTAR PUSTAKA
Baiman, S. 1990. Agency Research in managerial accounting: A second look. Accounting, Organizations and Society, 15 (4): 341-371.
Bowen. 1987. The escalation phenomenon reconsidered: decisions dilemmas or decisions errors?. Academy of management review, 12 (1), 52-66.
Brockner, J. 1992. The escalation of commitment to a failing course of action: toward theoretical progress. Academy of Management Review, 17 (1): 39-61.
Gudono. 2009. Teori Organisasi. Pensil, Yogyakarta
Santoso, A.B. 2012. Peranan locus of control, self-set dan organizational set, hurdle rates terhadap tingkat eskalasi komitmen pada level pengambilan keputusan pada penganggaran modal. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Akuntansi, 1 (3).
Schulz, Axel. Dan Cheng, Mandy. 2002. Persistence in capital budgeting reinvestment decisions-personal responsibility antecedent and information asymmetry moderator: A note. Accounting and Finance, 42: 73-86
Staw, B.M. 1976. Knee-deep in the big muddy: A study escalation commitment to chosen course of action. Organizational Behavior and Human Decision Processes, 16 (27-44)
Staw, B.M. 1981. The Escalation of Commitment to a Course Action, Academy of Management Review, 6 (4): 577-587.
Staw, B.M. dan F. Fox. 1977. Escalation: some determinants of commitment to a previously chosen course of action. Human Relations, 30 (431-450).
Stevens, D.E. 2002. The effects of reputation and ethics on budgetary slack. Journal of Management Accounting Research, Vol.14.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
439
KONTRIBUSI RASIO KEUANGAN TERHADAP PERUBAHAN LABA PERBANKAN DI BURSA EFEK JAKARTA
Abdul Naser7
ABSTRACT
This research aim to know influence of financial ratio which seen from ratio of CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K / D, BOPO, NIM by parsial and simultant to change of banking company earning in Indonesia and also to know dominant ratio influence change of banking company earning in Indonesia. Approach of research the used is functioning quantitative approach to test hypothesis which is raised in research and also to answer the problem of this research.
Population in this research amount to 23 company of banking which listing in Jakarta Stock Exchange. The analysis use multiple tinier regression analysis. Result of analysis indicate that financial ratio consisting of ratio of CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K / D, BOPO, NIM have an effect on simultant of change of banking company earning in Jakarta Stock Exchange. Result of research also indicate that financial ratio which have an effect on by parsial to change of banking company earning in Jakarta Stock Exchange is ratio of CAR, LDR and ROA. The dominant ratio influence change of banking company earning in Jakarta Stock Exchange is ROA.
Keywords: financial ratio, change of earnings, banking company
Pendahuluan
Perbankan merupakan salah satu sektor ekonomi yang semakin penting peranannya
dalam pembangunan ekonomi Indonesia terutama dalam menghadapi era
perdagangan bebas dan globalisasi, baik sebagai perantara antara sektor defisit dan
sektor surplus maupun sebagai agent of development. Pada tanggal 15 April 1994
perjanjian umum mengenai tarif dan perdagangan (GATT) telah ditandatangani di
Maroko dan berlaku sejak tahun 1995. Isi dari perjanjian tersebut adalah mengenai
liberalisasi perdagangan dunia yang bebas dari segala bentuk hambatan bukan tarif
(non tarif barrier). Oleh karena itu segala bentuk proteksi dan monopoli yang bisa
menghambat liberalisasi harus dihapuskan, sehingga banyak pihak terutama negara
yang sedang berkembang, seperti Indonesia merasa khawatir mengenai dampak
negatif dari persetujuan tersebut. Sejak Paket Oktober (Pakto) 1988, terlihat bahwa
perkembangan perbankan di Indonesia sangat luar biasa, dimana jumlah bank
7 Dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
440
sebelum Pakto 88 kurang lebih sebanyak dua puluhan kemudian sesudah Pakto
berkembang menjadi ratusan, tanpa memperhatikan bahwa mendirikan bank
tersebut tidak hanya mernbutuhkan modal saja, tetapi juga membutuhkan tenaga
kerja yang trampil dan mampu bekerja secara efektif dan efisien (Usman, 2004).
Persaingan yang sangat ketat membuat bank-bank sulit bergerak dalam Skala
ekonomi yang efisien, karena terlalu banyak kompetisi berlangsung sementara
nasabah yang diperebutkan tetap bersifat terbatas, akibatnya muncullah masalah
kredit macet, kekurangan modal kerja, sampai dilikuidasinya Bank Summa dan
BUMJ. Namun setelah tahun 1990 pemerintah mendinginkan perekonomian dengan
tight money policy dan selanjutnya otoritas moneter memberlakukan Prudential
Regulation yang berdasarkan Bank International Settlement pada Februari 1991. Dengan
diberlakukannya kebijakan-kebijakan ini, maka kondisi bank-bank di Indonesia saat
ini banyak yang menghadapi masalah, apalagi didukung oleh segmen pasar saat ini
yang begitu terfragmentasi, sehingga membuat bank-bank sulit bergerak dalam
Skala ekonomi yang efisien (Usman, 2004). Dari realitas kondisi dunia perbankan
dan kebijakan yang ditetapkan oleh pihak otoritas keuangan seperti diungkapkan di
atas, mendorong pars pelaku dunia perbankan di Indonesia berupaya meningkatkan
efisiensi secara maksimal. Peningkatan efisiensi ini bukan saja bisa diukur dengan
biaya intermediasi yang rendah, tetapi juga dalam kaitannya dengan persaingan non
harga.
Keadaan tersebut menuntut kebutuhan dana yang cukup bagi perusahaan
perbankan untuk bertahan dan bersaing. Salah satu cara yang diambil perusahaan
untuk memenuhi kebutuhan dana guna mengembangkan agar tetap dapat bersaing
adalah penjualan saham perusahaan kepada masyarakat melalui pasar modal. Pasar
modal memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan
ekonomi suatu Negara karena memiliki fungsi ekonomi dan fungsi keuangan
(Husnan, 2000 ). Sebagai fungsi ekonomi, pasar modal menyediakan fasilitas untuk
memindahkan dana dari pihak yang memiliki kelebihan dana kepada pihak yang
membutuhkan dana. Sebagai fungsi keuangan, pasar modal menyediakan dana yang
diperlukan oleh pihak yang membutuhkan dana. Pihak yang membutuhkan dana
dan pihak yang kelebihan dana tidak harus bertemu secara langsung dalam
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
441
transaksi di pasar modal, akan tetapi dibantu oleh pialang sekuritas, yaitu pihak
yang mempertemukan penjual dan pembeli sekuritas (Atmaja, 1999). Perusahaan
yang telah mencatat sahamnya di pasar modal harus mengeluarkan laporan
keuangan setiap tahun yang memuat informasi tentang kekayaan perusahaan,
termasuk laporan keuntungan dan pembayaran dividen perusahaan. Selain itu,
laporan keuangan mempunyai tujuan agar para investor mengetahui perkembangan
dan prospek perusahaan sehingga investor mengetahui tindakan yang seharusnya
diambil. Ada beberapa informasi laporan keuangan yang dapat diperhatikan yaitu
informasi tentang cash flow, earnings atau informasi-informasi lain yang berhubungan
dengan kebijakan perusahaan, misalnya informasi mengenai pembagian dividen dan
sebagainya (Husnan, 2000).
Untuk pengambilan keputusan ekonomi, para pelaku bisnis dan pemerintah
membutuhkan informasi tentang kondisi dan kinerja keuangan perusahaan. Analisis
laporan keuangan sangat dibutuhkan untuk memahami informasi laporan
keuangan. Analisis kinerja keuangan merupakan alternatif untuk menguji apakah
informasi keuangan bermanfaat untuk melakukan klasifikasi atau prediksi terhadap
harga saham. Analisis rasio keuangan didasarkan pada data keuangan historis yang
tujuan utamanya adalah memberi suatu indikasi kinerja perusahaan pada masa yang
akan datang.
Informasi akuntansi termasuk laporan keuangan memiliki sejumlah data yang dapat
dikaji sebagai bahan penelitian. Oleh karena itu, telah banyak dilakukan penelitian-
penelitian yang menggunakan laporan keuangan perusahaan sebagai bahan atau
data penelitian. Analisis rasio keuangan merupakan suatu alternatif untuk menguji
apakah informasi keuangan yang dihasilkan oleh akuntansi bermanfaat untuk
melakukan klasifikasi atau prediksi terhadap laba di pasar modal. Tingkat kesehatan
perusahaan penting artinya bagi penisahaan untuk meningkatkan efisiensi dalam
menjalankan usahanya, sehingga kemampuan untuk memperoleh keuntungan dapat
ditingkatkan yang akhirnya dapat menghindari adanya kemungkinan kebangkrutan
(terlikuidasi) pada perusahaan perbankan. Beaver ( 1966), membuktikan bahwa
secara empiris rasio keuangan dapat digunakan sebagai alas prediksi kegagalan
perusahaan, meskipun tidak semua rasio dapat memprediksi dengan sama baiknya
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
442
dan tidak dapat memprediksi dengan tingkat keberhasilan yang sama. Beaver
menggunakan Univariate Analysis. Beaver mempertemukan sampel perusahaan yang
gagal dengan yang tidak gagal kemudian meneliti rasio keuangan selama lima tahun
sebelum perusahaan gagal dan menemukan temyata rasio keuangan perusahaan
yang tidak gagal berbeda dengan yang gagal, lima tahun sebelum perusahaan gagal.
Pada perusahaan yang gagal cash flow to total debt lebih rendah, cadangan aktiva
lancar untuk melunasi kewajibannya lebih kecil dan hutangnya lebih besar
dibandingkan perusahaan yang tidak gagal.
Analisa rasio keuangan merupakan instrumen analisa perusahaan yang ditujukan
untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan perusahaan yang
bersangkutan. Dengan analisa rasio keuangan ini dapat diketahui kekuatan dan
kelemahan perusahaan di bidang keuangan. Analisa rasio keuangan dapat juga
dipakai sebagai sistem peringatan awal (early warning system) terhadap kemunduran
kondisi keuangan perusahaan yang mengakibatkan tidak akan memberikan
kepastian going concern perusahaan khususnya untuk perusahaan yang go public.
Perusahaan yang melakukan penjualan kepada masyarakat bertujuan untuk
menambah modal kerja perusahaan, perluasan usaha dan diversifikasi produk.
Untuk menarik investor, perusahaan perbankan harus mampu menunjukkan
kinerjanya. Pengukuran kinerja dapat dilakukan menggunakan rasio keuangan.
Investor tertarik dengan saham yang memiliki return positif dan tinggi karena akan
meningkatkan kesejahteraan investor. Investor sebelum melakukan investasi pada
perusahaan yang terdaftar di BEJ melakukan analisis kinerja perusahaan antara lain
menggunakan rasio keuangan sehingga kinerja keuangan perusahaan berkaitan
dengan return perusahaan (Husnan, 2000).
Penelitian yang dilakukan bertujuan mereplikasi penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh Zainuddin dan Hartono (1999) dan Resmi (2002). Hasil penelitian
diharapkan sebagai konfirmasi atas penelitian terdahulu, selain itu penelitian yang
dilakukan dengan memodifikasi rasio keuangan yang digunakan peneliti terdahulu
dengan menggunakan rasio keuangan versi Bank Indonesia (Info bank, 2006)
sehingga diharapkan lebih tepat dibandingkan penelitian sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
443
adalah:
1. Apakah kinerja keuangan yang terdiri dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA,
ROE, K/D, BOPO, NIM secara serentak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta?
2. Apakah kinerja keuangan yang terdiri dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA,
ROE, K/D, BOPO, NIM secara parsial memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta ?
3. Rasio apakah yang dominan mempengaruhi perubahan laba perusahaan per-
bankan di Bursa Efek Jakarta ?
Kerangka Teoretis dan Pengembangan Hipotesis
Rasio Keuangan Sebagai Indikator Kinerja Keuangan
Analisis rasio keuangan merupakan instrumen analisis prestasi perusahaan yang
menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan yang ditujukan untuk
menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu.
Makna dan kegunaan rasio keuangan dalam praktik bisnis pada kenyataannya
bersifat subyektif, bergantung pada untuk apa suatu analisis dilakukan dalam
konteks apa analisis tersebut diaplikasikan (Helfret, 1999).
Selanjutnya perkembangan yang terjadi pada pendekatan penyusunan teori
akuntansi telah mendorong dilakukannya studi akuntansi yang menghubungkan
rasio keuangan dengan fenomena akuntansi tertentu. Harapannya akan dapat
ditemukan berbagai kegunaan obyektif dari rasio keuangan. Beberapa yang telah
dilakukan diantaranya adalah yang menguji kegunaan rasio keuangan untuk
memprediksi kondisi keuangan perusahaan khususnya perusahaan yang mengalami
kebangkrutan dan memprediksi perubahan laba perusahaan (Machfoed, 1994;
Zainuddin dan Hartono, 1999).
Salah satu tahapan dalam proses akuntansi yang penting untuk keperluan
pengambilan keputusan manajemen adalah tahap interprestasi laporan akuntansi,
yang didalamnya mencakup rasio keuangan. Rasio keuangan yang merupakan
bentuk informasi akuntansi yang penting bagi perusahaan selama suatu periode
tertentu. Berdasarkan rasio tersebut, dapat dilihat informasi keuangan yang dapat
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
444
mengungkapkan posisi, kondisi keuangan, maupun kinerja ekonomis di masa
depan. Rasio keuangan memiliki keunggulan dan keterbatasan. Menurut Harahap
(2002) ada beberapa keunggulan dari analisa rasio yaitu:
1. Rasio merupakan angka-angka atau ikhtisar statistik yang lebih mudah dibaca dan
ditafsirkan.
2. Merupakan pengganti yang lebih sederhana dari informasi yang disajikan laporan
keuangan yang sangat rinci dan rumit.
3. Mengetahui posisi perusahaan di tengah industri lain.
4. Sangat bermanfaat untuk bahan dalam mengisi model-model pengambilan
keputusan dan model prediksi (Altman Z-score).
5. Menstandarisir ukuran perusahaan.
6. Lebih mudah memperbandingkan perusahaan dengan perusahaan lain atau
melihat perkembangan perusahaan secara periodik atau time series".
7. Lebih mudah melihat trend perusahaan serta melakukan prediksi di masa yang
akan datang.
Banyak penulis yang memberi masukan jenis rasio yang bisa digunakan untuk
memahami kondisi perusahaan. Beberapa rasio yang umumnya dikenal antara lain
rasio likuiditas, solvabilitas dan rentabilitas, akan tetapi masih banyak lagi rasio
yang dapat dihitung dari laporan keuangan perusahaan yang kemudian dapat
memberikan informasi bagi pars pemakai laporan keuangan. Salah satunya adalah J.
Courties sebagaimana yang dikutip dari Harahap (2002) memberikan kerangka rasio
keuangan secara kategori sebagai berikut:
1. Probabilitas. Kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang digambarkan oleh
Return on Investment (ROI).
2. Management Performance adalah rasio yang dapat menilai prestasi manajemen.
Dilihat dari segi kebijakan kredit, persediaan, administrasi, dan struktur harta
dan modal.
3. Solvency yatu kemampuan perusahaan melunasi kewajibannya. Solvency ini
digambarkan oleh arus kas baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Masih menurut Harahap (2002) adapun jenis rasio keuangan yang sering sekali
digunakan adalah:
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
445
1. Rasio likuiditas, rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan untuk
menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya.
2. Rasio solvabilitas, rasio ini menggambarkan kemampuan perusahaan dalam
membayar kewajiban jangka panjangnya atau kewajiban-kewajiban apabila
perusahaan dilikuidasi.
3. Rasio rentabilitas/profitabilitas, rasio ini menggambarkan kemampuan per-
usahaan mendapatkan laba melalui seluruh kemampuan, dan sumber yang ada
seperti kegiatan penjualan, kas, modal jumlah karyawan dan sebagainya.
4. Rasio Leverage, rasio ini menggambarkan hubungan antara hutang perusahaan
terhadap modal maupun asset.
5. Rasio Aktivitas, rasio ini menggambarkan aktivitas yang dilakukan perusahaan
dalam menjalankan operasinya baik dalam kegiatan penjualan, pembelian atau
kegiatan lainnya.
6. Rasio Pertumbuhan, rasio ini menggambarkan persentasi kenaikan penjualan
tahun ini dibanding dengan tahun lalu. Semakin tinggi berarti semakin baik.
7. Penilaian Pasar, rasio ini merupakan rasio yang khusus dipergunakan di pasar
modal yang menggambarkan situasi perusahaan di pasar modal.
8. Rasio Produktivitas, rasio ini menunjukkan tingkat produktivitas dari unit atau
kegiatan yang dinilai.
Banyaknya penelitian mengenai aplikasi analisa rasio keuangan dalam praktik bisnis
Berta pengkajian-pengkajian dan studi yang telah dilakukan mengantarkan kepada
pemikiran untuk menjadikan rasio keuangan sebagai indikator yang paling penting
dalam praktek bisnis dan ekonomi. Bahkan pernah terdapat kecenderungan untuk
menggunakan rasio keuangan tunggal seperti Price Earning Ratio (Suryaputri dan
Astuti, 2003).
Akan tetapi tidak semua peneliti beranggapan sama, Gilman sebagaimana dikutip
dari Pramuka (2002) menolak penggunaan rasio keuangan sebagai indikator yang
sangat penting dengan mengajukan, beberapa alasan yaitu:
1. Perubahan rasio keuangan sebenamya merupakan angka yang tidak dapat
diinterprestasikan karena pembilang dan penyebutnya bervariasi.
2. Pengukuran rasio keuangan yang bersifat artificial.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
446
3. Rasio keuangan mengalihkan perhatian analis dari pandangan terhadap per-
usahaan secara komprehensif.
4. Keandalan rasio keuangan sebagai indikator sangat bervariasi diantara setiap
rasio.
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa telah terdapat keragaman
pendapat mengenai analisis rasio keuangan dalam praktek bisnis dan ekonomi,
mulai dari yang menginginkan rasio keuangan tersebut dijadikan indikator paling
penting hingga yang beranggapan minimalis terhadap rasio keuangan tersebut.
Kenyataannya, praktek bisnis yang nyata masih mengaplikasikan analisa rasio
keuangan ini sebagai salah satu model analisis keuangan, meskipun relevansinya
tentu bersifat sangat subyektif, tergantung kepada tujuan dan kepentingan masing-
masing analis (Pramuka, 2002). Menurut Bank Indonesia (Infobank, 2006) ada
beberapa rasio keuangan yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan per-
bankan yaitu:
a. CAR (Capital Adequacy Ratio)
Merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur permodalan perusahaan
yang dibandingkan dengan aktiva menurut resiko yang ada. Rumus CAR sebagai
berikut:
CAR = ����������
� ��� �������������
b. LDR (Loan to Deposit Ratio)
Merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah kredit yang diberikan di-
bandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri yang digunakan.
Ratio ini merupakan rasio yang digunakan untuk melihat likuiditas perusahaan.
Besamya LDR maksimum yang diperkenankan oleh pemerintah adalah
110%.Rumus LDR sebagai berikut:
LDR = � ��� ��
� ���� ����������
c. ROA (Return on Assets)
Merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen dalam menghasilkan
pendapatan dari pengelolaan aset. Rumus ROA sebagai berikut:
ROA = ����������� ��
� �������
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
447
d. ROE (Return on Equity)
merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam
mengelola modal yang ada untuk mendapatkan net income. Rumus ROE sebagai
berikut:
ROE = ������ ��
����������
e. BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional)
merupakan rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan menanggung beban
operasional dengan pendapatan operasional perusahaan. Rumus BOPO sebagai
berikut:
BOPO = �������� ��
��� ������� ��
f. NPL (Non Performing Loans) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
kredit bermasah dari total kredit yang ada. Rumus NPL sebagai berikut:
BOPO = !�� ��������"(����)
� ��!�� ��
g. PPAP (Penghapusan dan Penyisihan Aktiva Produktif) merupakan rasio yang
digunakan untuk mengukur besarnya penyisihan aktiva produktif dibandingkan
aktiva produktif yang diklasifikasikan. Rumus NPL sebagai berikut:
PPAP = ����"���%��&� �%��'
(���"%��&� �%��'
)�� �%���*�%��%�
h. K/D (Pertumbuhan kredit/dana) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur pertumbuhan kredit dibandingkan dengan pertumbuhan dana.
Rumus K/D sebagai berikut:
K/D = ��������"�!�� ��
��������"� �(��+���� �����)
i. NIM (Net Interest Margin) merupakan rasio untuk mengukur pendapatan bunga
bersih dari aktiva produktif yang digunakan oleh perusahaan. Rumus NIM
sebagai berikut:
NIM = ��� �����������"
,�+��%��&� �%��'
Konsep Laba (Earnings)
Dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) disebutkan bahwa laba atau penghasilan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
448
bersih seringkali digunakan sebagai ukuran kinerja atau sebagai dasar bagi ukuran
yang lain seperti imbalan investasi (return of investment) atau penghasilan per saham
(earnings per share). Unsur yang langsung berkaitan dengan pengukuran penghasilan
bersih (laba) adalah penghasilan beban.
Financial Accounting Standard Boards (FASB) mendefinisikan laba ke dalam beberapa
definisi yaitu Earnings menitikberatkan pada apa yang telah diterima atau
diharapkan untuk diterima oleh suatu entitas dari suatu output (pendapatan) dan
apa yang telah dikorbankan untuk menghasilkan dan mendistribusikan output
tersebut (biaya). Earnings juga mencakup, transaksi tambahan atau insidentil dari
entitas tersebut dan efek dari kejadian dan keadaan lain yang bermula dari
lingkungan (laba dan rugi).
Earnings adalah konsep, laba yang mencerminkan laba saat ini. Jika suatu per-
usahaan menggunakan metode pengukuran atau taksiran yang berbeda,
dimungkinkan terjadinya dua angka laba yang berbeda yang ditunjukkan oleh laba.
Jadi laba dari perusahaan yang berbeda akan sulit dibandingkan, mengingat tiap
perusahaan berhak untuk memilih metode tertentu yang dirasakan paling tepat yang
sesuai dengan general accepted accounting principle.
Laba hanya salah satu jenis informasi akuntansi yang memiliki keterbatasan untuk
mengungkapkan informasi yang dibutuhkan oleh investor. Apa yang perlu
diperhitungkan untuk menghasilkan laba, tergantung pada tujuan yang ingin
dicapai dari pengujian laba itu sendiri. Tujuan utama penyajian laba adalah untuk
menyediakan informasi bagi mereka yang berkepentingan dengan laporan
keuangan.
Menurut SFAC No.5 tujuan penyajian laba yang lebih spesifik meliputi:
a. Penggunaan laba sebagai pengukur efisiensi manajemen.
b. Penggunaan laba historis untuk membantu dalam memprediksi perilaku
perusahaan di masa yang akan datang atau memprediksi dividen yang akan
dibagikan.
c. Penggunaan sebagai alat bantu untuk pengambilan keputusan manajemen.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
449
Berdasarkan SFAC No.5, ada dua konsep untuk menghitung laba, the current
operating concept (dirty surplus) dan the all inclusive concept (clean surplus). The current
operating concept memfokuskan pengukuran efisiensi badan usaha, yakni efisiensi
pada penggunaan sumber daya yang dimasukkan dalam laporan laba rugi suatu
periode hanya berasal dari usaha pokok perusahaan yang terjadi pada periode yang
bersangkutan. Jadi pos luar biasa dan korelasi laba tahun lalu sebagai akibat
perubahan metode akuntansi, atau perubahan penaksiran umur aktiva tidak
dimasukkan dalam laporan laba rugi. Menurut current operating concept, laba
merupakan hasil dari perubahan nilai dan peristiwa yang terkendali bagi manajemen
dan hasil dari keputusan periode saat ini. Hanya perubahan yang disebabkan oleh
operasi normal yang dimasukkan dalam perhitungan laba.
Metode yang kedua, the all inclusive concept, memperhitungkan semua transaksi dan
perubahan yang terjadi dalam suatu badan usaha selama periode tertentu, kecuali
distribusi dividen dan transaksi modal. Konsep ini yang dipakai oleh FASB untuk
mendefinisikan laba komprehensif. Jadi laba komprehensif dihitung atas dasar
asumsi bahwa penilaian efisiensi badan usaha dan prediksi kinerja perusahaan di
masa yang akan datang akan meningkat jika laba dihitung berdasarkan seluruh
peristiwa historis dari perusahaan selama tahun-tahun operasi perusahaan yang
bersangkutan.
Laba memang mungkin tidak memiliki makna sintaksis (tidak adanya aturan yang
konsisten dan pasti untuk menghasilkan angka laba). Juga mungkin tidak memiliki
makna semantik (karena tidak memiliki makna ekonomi dalam dunia nyata).
Namun paling tidak sampai saat ini informasi mengenai laba masih dipercaya oleh
banyak investor dan analisis saham sebagai salah satu indikator penting untuk
menilai kinerja suatu badan usaha. Pemerintah juga masih mempercayai laba,
terbukti adanya usaha dari manajemen untuk mengelabui masyarakat, misalnya
dengan merubah metode akuntansi atau taksiran, dengan tujuan untuk
meningkatkan laba.
Perubahan laba perusahaan dapat diukur sebagai berikut.
Rt = -.+-.
-/01
Keterangan:
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
450
Rt = Tingkat perubahan laba saham i pada periode t.
Pi = Laba saham i pada periode t.
Pt-1 = Laba saham sebelum periode t.
Keterkaitan Rasio Keuangan Sebagai Indikator Kinerja Keuangan Dengan Laba
Perusahaan
Husnan (2000) mengemukakan bahwa laba ataupun tingkat keuntungan saham lebih
tepat disebut sebagai persentase perubahan laba. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi harga saham ataupun laba adalah sebagai berikut :
a. Harapan investor terhadap tingkat keuntungan dividen untuk masa yang akan
datang. Jika pendapatan atau dividen suatu saham stabil maka harga saham
cenderung stabil. Sebaliknya jika pendapatan atau dividen suatu saham
berfluktuasi maka harga saham cenderung akan berfluktuasi.
b. Tingkat pendapatan perusahaan. Tingkat pendapatan perusahaan yang tercermin
dari EPS (Earning per share) berhubungan erat dengan peningkatan harga saham.
Apabila fluktuasi EPS makin tinggi maka semakin tinggi juga perubahan laba.
c. Kondisi perekonomian. Kondisi perekonomian saat ini dan sekarang salah
satunya dipengaruhi oleh kondisi perekonomian masa lalu. Apabila kondisi
perekonomian stabil dan mantap maka investor optimis terhadap kondisi
perekonomian yang akan datang sehingga harga saham cenderung stabil.
d. Di samping dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut di atas, harga saham ataupun
laba juga dipengaruhi oleh psikologis pembeli, tindakan irasional yaitu ikut-
ikutan membeli saham, kondisi perusahaan, tingkat suku bunga, harga
komoditas, kondisi perekonomian, faktor investasi, inflasi, permintaan dan
penawaran dan sebagainya. Koesno (1990) dalam Resmi (2000) mengatakan
bahwa salah satu faktor penting yang mempengaruhi pengharapan investor
adalah kinerja keuangan dari tahun ke tahun. Kinerja keuangan perusahaan
dapat menjadi petunjuk arah naik turunnya harga saham dan laba suatu
perusahaan melalui rasio keuangan. Membeli saham adalah membeli sebagian
atau suatu kekayaan atau keuntungan perusahaan serta hak-hak lain yang
melekat padanya. Oleh karena itu, nilai saham lebih banyak ditentukan oleh
reputasi atau performance perusahaan itu sendiri dibandingkan faktor-faktor
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
451
lainnya. Secara umum kinerja keuangan perusahaan ditunjukkan dalam laporan
keuangan yang dipublikasikan yang kemudian dianalisis menggunakan rasio
keuangan. Kerangka hubungan kinerja perusahaan dengan laba perusahaan
sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Pikiran
Pengembangan Hipotesis
Bertitik tolak dari permasalahan yang diajukan dan tujuan penelitian serta landasan
teori mengenai pengaruh antara kinerja keuangan terhadap perubahan laba
perusahaan perbankan di BEJ, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
HI : Kinerja keuangan yang dilihat dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA,
ROE, K/D, BOPO, NIM secara simultan berpengaruh signifikan terhadap
perubahan laba perusahaan perbankan di Indonesia.
H2 : Kinerja keuangan yang dilihat dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA,
ROE, K/D, BOPO, NIM secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
perubahan laba perusahaan perbankan di Indonesia.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yang
berfungsi untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian serta untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Jenis data dalam penelitian ini adalah
data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber-sumber lain,
seperti buku dan bacaan lain, hasil analisa pasar yang berhubungan dengan masalah
Rasio keuangan perbankan CAR NPL PPAP LDR ROA ROE K/D BOPO NIM
Perubahan laba
perusahaan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
452
yang diteliti. Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa laporan keuangan
perusahaan perbankan dan laba perusahaan melalui dokumentasi di perpustakaan
Bank Indonesia. Data laporan keuangan yang digunakan adalah yang memiliki
tahun akuntansi yang berakhir 31 Desember 2002-2004.
Populasi dalam penelitian ini adalah saham-saham Perusahaan Perbankan yang
terdaftar di BEJ sebanyak 23 perusahaan perbankan yang masih aktif selama tahun
penelitian.
Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional adalah batasan pengertian variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian. Definisi operasional diperlukan untuk menjelaskan supaya ada
kesamaan penaksiran dan tidak mempunyai arti yang berbeda-beda.
CAR (Capital Adequacy Ratio) (X1) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur permodalan perusahaan yang dibandingkan dengan aktiva menurut
resiko yang ada.
LDR (Loan to Deposit Ratio) (X2) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah
kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal
sendiri yang digunakan. Ratio ini merupakan rasio yang digunakan untuk melihat
likuiditas perusahaan. Besamya LDR maksimum yang diperkenankan oleh
pemerintah adalah 110%.
ROA (Return on Assets) (X3) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
manajemen dalam menghasilkan pendapatan dari pengelolaan asset.
ROE (Return on Equity) (X4) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan
manajemen bank dalam mengelola modal yang ada untuk mendapatkan net income.
BOPO (Beban Operasional Pendapatan Operasional) (X5) merupakan rasio untuk
mengukur kemampuan perusahaan menanggung beban operasional dengan
pendapatan operasional perusahaan.
NPL (Non Performing Loans) (X6) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
453
kredit bermasah dari total kredit yang ada.
PPAP (Penghapusan dan Penyisihan Aktiva Produktif (X7) merupakan rasio yang
digunakan untuk mengukur besamya penyisihan aktiva produktif dibandingkan
aktiva produktif yang diklasifikasikan.
K/D (Pertumbuhan kredit/dana) (X8) merupakan rasio yang digunakan untuk
mengukur pertumbuhan kredit dibandingkan dengan pertumbuhan dana.
NIM (Net Interest Margin) (X9) merupakan rasio untuk mengukur pendapatan bunga
bersih dari aktiva produktif yang digunakan oleh perusahaan.
Analisis Data
Uji Asumsi Klasik
Model persamaan regresi linear berganda dapat diterima secara ekonometrika jika
memenuhi syarat Best Linear Unbiased Estimation (BLUE) dan memenuhi asumsi
klasik antara lain bebas dari multikolinieritas, heteroskedastisitas dan autokorelasi
diantara variabel-variabel bebas dalam model regresi tersebut.
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinieritas dimaksudkan untuk mengetahui adanya hubungan yang
sempuma antar variabel dalam model regresi. Untuk mendeteksi adanya
multikolinieritas dalam penelitian ini maka digunakan korelasi matriks. Dari
perhitungan estimasi korelasi matrik dengan program SPSS versi 11, 0 dapat dilihat
pada tabel 1 berikut:
Tabel 1 Hasil Uji Multikolinieritas
Variabel bebas Nilai VIF
CAR NPL
PPAP LDR ROA ROE
1.815 3.732 2.345 1.559 2.663 4.642
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
454
BOPO NIM K/D
4.578 1.924 1.080
Sumber Data diolah 2011
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa nilai VIF dari variabel CAR sebesar 1,815,
NPL sebesar 3,732, PPAP sebesar 2,345, LDR sebesar 1,559, ROA sebesar 2,663, ROE
sebesar 4,642, BOPO sebesar 4,578, NIM sebesar 1,924 dan K/D sebesar 1,080 lebih
kecil dari 5, maka tidak terjadi multikolinieritas antar variabel. Berdasarkan hasil
perhitungan diatas dapat dilihat bahwa nilai VIF semua variabel bebas lebih kecil
dari 5, sehingga tidak terjadi gejala korelasi antar variabel.
Uji Heteroskedastisitas
Untuk mendeteksi terjadinya heteroskedastisitas dalam penelitian ini maka
digunakan Metode Rank Spearman dengan cara meregresikan variable-variabel bebas
dengan variabel residual yang kemudian dikorelasikan secara matriks. Apabila nilai
probabilitas dari residual lebih besar dari α = 0,05, maka tidak terjadi gejala
heteroskedastisitas begitu juga sebaliknya apabila nilai dari residual lebih kecil dari
α = 0,05, maka akan terjadi gejala heteroskedastisitas.
Berikut adalah tabel 2 yang menunjukkan estimasi matrik dengan metode Rank
Spearman.
Berdasarkan tabel diatas, dapat dianalisis hubungan antara residu dengan variabel
bebas. Koefisien korelasi antara residu CAR adalah sebesar -0,003 dengan
probabilitas 0,978 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa antara
residu dengan CAR tidak terjadi heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara residu
NPL adalah sebesar 0,033 dengan probabilitas 0,786 yang nilainya > 0,05 sehingga
dapat disimpulkan bahwa antara residu dengan NPL tidak terjadi
heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara residu PPAP adalah sebesar 0,068
dengan probabilitas 0,576 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
antara residu dengan PPAP tidak terjadi heteroskedastisitas. Koefisien korelasi
antara residu LDR adalah sebesar 0,228 dengan probabilitas 0,060 yang nilainya >
0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa antara residu dengan LDR tidak terjadi
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
455
heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara residu ROA adalah sebesar 0,731
dengan probabilitas 0,083 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan, bahwa
antara residu dengan ROA tidak terjadi heteroskedastisitas. Koefisien korelasi
antara residu ROE adalah sebesar 0,311
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
456
Tabel 2 Uji Heteroskedastisitas
Variable Residu Probalitias Α Keterangan
CAR
NPL
PPAP
LDR
ROA
ROE
BOPO
NIM
K/D
-0.003
0.033
0.068
0.228
0.731
0.311
-0.212
0.187
-0.057
0.978
0.786
0.576
0.060
0.083
0.070
0.080
0.124
0.644
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
0.05
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Tidak Terjadi Hteroskedastisitas
Sumber: Data Diolah, 2011
dengan probabilitas 0,070 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
antara residu dengan ROE tidak terjadi heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara
residu BOPO adalah sebesar -0,212 dengan probabilitas 0,080 yang nilainya > 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa antara residu dengan BOPO tidak terjadi
heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara residu NIM adalah sebesar 0,187
dengan probabilitas 0,124 yang nilainya > 0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa
antara residu dengan NIM tidak terjadi heteroskedastisitas. Koefisien korelasi antara
residu K/D adalah sebesar -0,057 dengan probabilitas 0,644 yang nilainya > 0,05
sehingga dapat disimpulkan bahwa antara residu dengan K/D tidak terjadi
heteroskedastisitas.
Uji Autokorelasi
Untuk mendeteksi autokorelasi dalam penelitian ini maka digunakan uji Durbin
Watson (DW) dengan melihat DW test. Menurut Algifari (2003:221) untuk
mengetahui terjadinya autokorelasi, maka digunakan tabel sebagai berikut:
Dari perhitungan SPSS for windows, nilai Durbin Watson (DW) sebesar 1,625. Nilai
DW terletak antara 1,55 sampai dengan 2,46 dengan kesimpulan tidak ada
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
457
autokorelasi antar masing-masing variabel bebas, sehingga model regresi yang
terbentuk dari nilai variabel terikat yaitu perubahan laba hanya dijelaskan oleh
variabel bebas yaitu rasio keuangan.
Pembahasan
Analisis Pengaruh Rasio Keuangan Terhadap Perubahan Laba
Adapun hasil regresi linier berganda pengaruh rasio keuangan terhadap perubahan
laba perusahaan perbankan yang terdaftar di BEJ adalah sebagai berikut :
Tabel 3 Pengukuran Autokorelasi
Durbin Watson Kesimpulan
Kurang dari 1.10 1.10 sampai dengan 1.54 1.55 sampai dengan 2.46 2.47 sampai dengan 2.90
Lebih dari 2.90
Ada autokorelasi Tanpa kesimpulan
Tidak ada autokorelasi Tanpa kesimpulan Ada autokorelasi
Sumber : Algifari (2000)
Tabel Hasil Analisis Regresi
Variabel Beta Std. Error T-Hitung Sig
(Constant) CAR NPL
PPAP LDR ROA ROE
BOPO NIM K/D
-1970.942 23.782 28.518 12.538 11.023 30.686 5.438 9.775
-23.308 -0.316
1030.680 11.732 22.517 61.498 4.370 6.045 3.776 8.686 41.138 2.895
-1.912 2.027 1.266 0.204 2.523 5.077 1.440 1.125 -0.567 -0.109
0.061 0.047 0.210 0.839 0.014 0.000 0.155 0.265 0.573 0.913
F-Hitung = 8.759 Sig = 0.000 R = 756 R2 = 0.572 Adj R2 = 0.507
Dari tabel di atas dapat dirumuskan suatu persamaan regresi untuk perubahan laba
perusahaan perbankan sebagai berikut:
Y = - 1970,942 + 23,782 X I + 28,518 X 2 + 12,538 X3 + 11,023 X4 + 30,686 X5 + 5,438
X6+ 9,775 X7 - 23,308 X8- 0,316 X9
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
458
Keterangan
Y : Perubahan laba
Xi : CAR
x 2 : NPL
X3 : PPAP
X4 : LDR
X5 : ROA
X6 : ROE
X7 : BOPO
X8 : NIM
X9 : K/D
Dari persamaan di atas dapat dilihat bahwa hubungan masing-masing nilai rasio
keuangan dengan perubahan laba ditunjukkan dengan besarnya koefisien masing-
masing variabel. Besarnya koefisien variabel CAR sebesar 23,782 yang berarti setiap
peningkatan CAR sebesar 1% akan meningkatkan laba sebesar 23,782%. Besarnya
koefisien variabel NPL sebesar 28,518 yang berarti setiap peningkatan NPL sebesar
1% akan meningkatkan laba sebesar 28,518%. Besarnya koefisien variabel PPAP
sebesar 12,538 yang berarti setiap peningkatan PPAP sebesar 1% akan meningkatkan
laba sebesar 12,538%. Besarnya koefisien variabel LDR sebesar 11,023 yang berarti
setiap peningkatan LDR sebesar 1% akan meningkatkan laba sebesar 11,023%.
Besamya koefisien variabel ROA sebesar 30,686 yang berarti setiap peningkatan ROA
sebesar 1% akan meningkatkan laba sebesar 30,686%. Besarnya koefisien variabel
ROE sebesar 5,438 yang berarti setiap peningkatan ROE sebesar 1% akan
meningkatkan laba sebesar 5,438%. Besarnya koefisien variabel BOPO sebesar 9,775
yang berarti setiap peningkatan.
BOPO sebesar 1% akan meningkatkan laba sebesar 9,775%. Besarnya koefisien
variabel NIM sebesar -23,308 yang berarti setiap peningkatan NIM sebesar 1% akan
menurunkan laba, sebesar 23,308%. Besarnya koefisien variabel K/D sebesar -0,316
yang berarti setiap peningkatan K/D sebesar 1% akan menurunkan laba sebesar
0,316%. Dengan demikian berdasarkan besarnya nilai koefisien variabel, variabel
rasio keuangan yang dominan mempengaruhi perubahan laba perusahaan
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
459
perbankan adalah rasio ROA dengan koefisien sebesar 30,707.
Untuk membuktikan hipotesis diterima atau ditolak dilakukan pengujian hipotesis
dengan uji-F dan uji-t. Hasil uji-F dan uji-t sebagai berikut :
a. Uji-F
Uji F digunakan untuk menguji pengaruh rasio keuangan yang terdiri dari rasio
CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K/D, BOPO, NIM terhadap perubahan laba
perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta secara bersama-sama. Berdasarkan
analisis data diketahui nilai F-hitung sebesar 8,759 dengan tingkat signifikansi
sebesar 0,000 lebih kecil dari a=5% dibandingkan nilai F-tabel (dfl=9 df2=59)
sebesar 2,01 yang berarti Fhitung>F-tabel. Dengan demikian dapat disimpulkan
Ha diterima yang berarti rasio keuangan yang terdiri dari rasio berpengaruh
secara serentak terhadap perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek
Jakarta.
b. Uji – t
Uji-t bertujuan untuk mengetahui pengaruh-pengaruh rasio keuangan yang
terdiri dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K/D, BOPO, NIM terhadap
perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta secara parsial.
Tabel 5 Hasil Uji-t
Variabel T-hitung Sig. Hasil
CAR 2.027 0.047 Ha diterima NPL 1.266 0.210 Ha ditolak
PPAP 0.204 0.839 Ha ditolak LDR 2.523 0.014 Ha diterima ROA 5.077 0.000 Ha diterima ROE 1.440 0.155 Ha ditolak
BOPO 1.125 0.265 Ha ditolak NIM -0.567 0.573 Ha ditolak K/D -0.109 0.913 Ha ditolak
Sumber: Data sekunder, 2011
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa rasio yang berpengaruh secara parsial
terhadap perubahan laba perusahaan adalah rasio CAR, LDR dan ROA karena
memiliki tingkat signifikansi < 0,05, sedangkan rasio keuangan lainnya secara
parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap perubahan laba perusahaan
perbankan di Bursa Efek Jakarta.
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
460
b. Koefisien Determinas
Melalui pengujian serentak dapat diketahui besamya koefisien determinasi (Adjusted
R squared). Dari koefisien determinan (Adjusted R squared) dapat diketahui derajat
ketepatan analisis regresi linier berganda yang menunjukkan besarnya variasi
sumbangan seluruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Besarnya nilai
pengaruh rasio keuangan ditunjukkan oleh nilai adjusted R squared sebesar 50,7%
yang artinya persentase pengaruh rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K/D,
BOPO, NIM terhadap perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta
adalah sebesar 50,7%. CAR merupakan perbandingan antara pemberian kredit
perusahaan dengan permodalan yang tersedia untuk memenuhi kewajiban tersebut.
Rasio ini membantu mengetahui posisi keuangan perusahaan (dalam pertimbangan
untuk berinvestasi dengan membeli saham atau obligasi yang dikeluarkan
perusahaan), CAR akan lebih bermanfaat. Keamanan keuangan perusahaan dijamin
apabila paling tidak jumlah modal harus dua kali lebih besar dari pada jumlah kredit
yang diberikan. Dengan begitu CAR yang lebih dari satu berarti keaadaan
perusahaan likuid maka kondisi perusahaan baik dan kecil kemungkinan untuk
delisting. Apabila CAR kurang dari satu berarti keadaan perusahaan rentan
mengalami bangkrut. CAR yang rendah menandakan bahwa perusahaan mengalami
kesulitan likuiditas sehingga suatu waktu dapat menimbulkan masalah yang
mengancam going concern perusahaan. CAR yang tinggi bermakna baik dari sudut
pandang perusahaan karena menunjukkan likuiditas tinggi namun dari sudut
pandang kreditur CAR tinggi mengindikasikan bahwa modal tidak didayagunakan,
dengan efektif sehingga aset yang ada menjadi besar. Sebaliknya CAR yang relatif
rendah lebih riskan. tetapi menunjukkan bahwa manajemen telah mengoperasikan
aktiva lancar secara efektif. CAR bermanfaat mendeteksi likuiditas perusahaan
sehingga rasio ini berperan terhadap perubahan laba perusahaan.
LDR (Loan to Deposit Ratio) merupakan rasio untuk mengukur komposisi jumlah
kredit yang diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal
sendiri yang digunakan. Ratio ini merupakan rasio yang digunakan untuk melihat
likuiditas perusahaan. Besarnya LDR maksimum yang diperkenankan oleh
pemerintah adalah 110%. Laba yang diterima perusahaan perbankan sebagian besar
berasal dari bunga pemberian kredit, semakin tinggi komposisi jumlah kredit yang
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
461
diberikan dibandingkan dengan jumlah dana masyarakat dan modal sendiri akan
mempengaruhi perubahan laba yang diterima perusahaan perbankan.
Return on Assets (ROA) termasuk dalam salah satu rasio margin laba, yang
menunjukkan bagian penjualan yang melebihi biaya (baik biaya variabel maupun
biaya tetap). ROA mengukur seberapa efektif aset perusahaan yang digunakan
untuk menghasilkan keuntungan. Oleh karena itu, ROA adalah alas ukur yang
sangat umum digunakan untuk mengukur kinerja sebuah pusat investasi. ROA
adalah rasio yang diperoleh dengan membagi Laba Rugi bersih dengan Total Assets.
Rasio ini digunakan untuk menggambarkan kemampuan manajemen bank untuk
memperoleh laba dan efisiensi manajerial secara keseluruhan. Semakin tinggi nilai
ROA semakin efektif pula pengelolaan aktiva perusahaan. Murtanto dan Arviana
(2002) mengemukakan penurunan profitabilitas dapat diartikan sebagai penurunan
kinerja perusahaan. Penurunan kinerja secara terus menerus dapat menyebabkan
terjadinya financial distress, yaitu keadaan yang sangat sulit bahkan dapat dikatakan
mendekati kebangkrutan yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak
kepada penilaian kinerja perusahaan di mata masyarakat. Walsh (1996) menjelaskan
kenaikan angka dari ROA yang baik akan menjamin kerangka keuangan yang
memungkinkan pertumbuhan sebuah perusahaan karena semakin besar ROA akan
semakin baik. Hal tersebut manandakan bahwa aktiva perusahaan akan dapat lebih
cepat berputar dan meraih laba. Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan
dengan seluruh modal yang ada didalamnya untuk dapat menghasilkan
keuntungan. Dengan demikian semakin tinggi ROA maka semakin tinggi juga
tingkat perubahan laba perusahaan.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis data diperoleh kesimpulan sebagai berikut pertama, rasio
keuangan yang terdiri dari rasio CAR, NPL, PPAP, LDR, ROA, ROE, K/D, BOPO,
NIM berpengaruh secara serentak terhadap perubahan laba perusahaan perbankan
di Bursa Efek Jakarta; kedua, rasio keuangan yang berpengaruh secara parsial
terhadap perubahan laba perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta adalah rasio
CAR, LDR dan ROA. Rasio yang dominan mempengaruhi perubahan laba
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
462
perusahaan perbankan di Bursa Efek Jakarta adalah rasio ROA.
Implikasi dan Keterbatasan
Berdasarkan hasil analisis data dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut
pertama, bagi investor, rasio keuangan di Bursa Efek Jakarta dapat dijadikan
parameter yang baik untuk memprediksi perubahan laba perusahaan perbankan
terutama menggunakan rasio CAR, ROA dan LDR. Rasio yang dominan
mempengaruhi perubahan laba perusahaan perbankan di BEJ adalah rasio ROA
sehingga rasio ini perlu menjadi pertimbangan investor dalam memprediksi
perubahan laba perusahaan. Kedua, Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai tambahan referensi bagi penelitian selanjutnya dibidang yang sama untuk
dikembangkan dan diperbaiki,misalnya dengan memperpanjang periode
pengamatan sehingga dapat lebih mencerminkan hasil penelitian. Selain itu,
penelitian ini dapat dikembangkan lagi dengan membandingkan jenis perusahaan
lainnya dan menggunakan indikator keuangan yang berbeda.
Daftar Referensi
Atmaja, Lukas Setia. (1999). Manajemen Keuangan, Edisi Revisi, Yogyakarta: Andi Offset.
Beaver, Williams. (1966). Financial Ratios as Predictor of Failure, Empirical Research in Accounting: Selected Studies Suplement, Journal of Accounting Research (2).
Financial Accounting Standards Board (FASB) (1984). Statement of Financial Accounting Concept, No 5. Financial Accounting Standards Boards.
Harahap, Sofyan Syafri. (2002). Analisa Kritis Atas Laporan Keuangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Helfert, E.A.(1999). Analisa Laporan Keuangan (Herman Wibowo, penterjemah), Edisi Ketujuh, Jakarta: Erlangga.
Husnan, Suad. (2000). Dasar-Dasar Teori Portofolio dan Analisis Sekuritas, Yogyakarta: BPFE-UGM.
Machfoed, M. (1994). Financial Ratio Analysis and The Earning Changes in Indonesia, Kelola, 114-147.
Murtanto dan Arfiana, Zeny. (2002). Analisis Laporan Keuangan dengan Menggunakan Metode Rasio Camel dan Metode Altman Sebagai Alat untuk
Jurnal Bisnis dan Manajemen, Vol. 9 No. 3, Mei 2013
463
Memprediksi Tingkat Kegagalan Usaha Bank, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi 2 (2) Agustus.
Pramuka, Bambang Agus. (2002). Evaluasi Kegunaan Rasio Keuangan Dalam
Memprediksi Perubahan Laba di Masa Yang Akan Datang: Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar di BEJ.
Resmi, Siti. (2002). Keterkaitan Kinerja Keuangan Perusahaan Dengan Return Sahara, Yogyakarta, Kompak 6, September
Suryaputri & Christina Dwi Astuti. (2003). Pengaruh Faktor Leverage Deviden Payout, Size, Earning Growth and Country Risk Terhadap Price Earning Ratio, Media Riset Akuntansi, Auditing dan Informasi 13 (1), April.
Usman, Umedi. (2004). Analisis Kinerja Keuangan Bank Umum Swasta Nasional Sebelum dan Sesudah Akuisisi, Jurnal Ekonomi Bisnis 3, Brawijaya
Walsh, Ciaran. (1996). Key Management Ratio, Prentice Hall, Inc. Bratain.
Zainuddin & Hartono, J. (1999). Manfaat Rasio Keuangan Dalam Memprediksi Pertumbuhan Laba, Studi Empiris pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEJ, Jurnal Riset Akuntansi Indonesia 2(1).
Majalah lnfobank. (2006). Edisi Juni, 327.