Tandan Sawit Volume 3/ 2009

24

description

This is an Indonesian bulletin that published by Sawit Watch and talk about palm oil issues in Indonesia

Transcript of Tandan Sawit Volume 3/ 2009

Page 1: Tandan Sawit Volume 3/ 2009
Page 2: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 2

RedaksiPenanggung JawabAbetnego Tarigan

Dewan RedaksiAbetnego Tarigan, Edi Sutrisno, NA Surambo, Jefri G. Saragih, Norman Jiwan.

Pemimpin RedaksiEdi Sutrisno

Redaksi PelaksanaJefri G. Saragih

RedaksiYan-Yan Hadiyana, Elsa Su-santi, Carlo Nainggolan, Eep Saepullah, Fatilda Hasibuan, Inda Fatinaware.

Sekretariat RedaksiVinna Saprina

Distribusi danPelayanan KomplainEep Saepullah danSahroel

KeuanganTina Sumartina, Supapan dan Sukardi

PenerbitPerkumpulan Sawit Watch

Alamat RedaksiJl. Sempur Kaler No. 28, BogorTelp : 0251-8352-171Fax : [email protected] foto :Sawit Watch

Komoditas

Saya petani Trans PIR Sawitdengan sawit saya bisa meng-kuliahkan anak saya ke Jawa. Menurut saya boleh saja ber-pikir lingkungan, tapi kalau nunggu program kehutanan macam GN-RHL jelas rakyat yang mati kelaparan. Seka-rang apa imbalan kita men-jaga lingkungan? Di Jawa rumah saya dekat hutan jati, masyarakat juga tetap miskin malah pegawai kehutanan yang kaya raya. Kami terpak-sa ikut tran karena tidak ada yang bisa dimakan di Jawa. Pekerjaan susah, sampeyan melarang sawit lalu buat penghasilan kami dari mana?

Bukankah sawit itu legal? bukan tanam ganja, tidak maling, tidak nyuri kayu gelondong? mohon dimuat jika sampeyan demokra-tis. Saya cuma lulusan STM yang saat ini sukses di daerah transmigrasi(darminto priyadi)---------------------------------------Re : Saya petani Trans PIR Sawit,

Pak DarmintoPriyadi,

Terima kasih atas komentar ba-pak di media kami, kami di Sawit Watch tidak pernah melarang masyarakat untuk menanam Kela-pa Sawit sebagai komoditas, yang kami persoalkan adalah sistem perkebunan kelapa sawit yang saat ini ada di Indonesia lebih merusak dari sistem perkebunan pada jaman VOC, maka dari itu yang Sawit Watch dorong kan

adalah adanya perubahan dari sistem perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai dari kebijakan perkebunan, proses pembukaan area untuk perkebunan hingga pengelolaan yang sangat tidak manusiawi. Dan mungkin jika Singkong atau ubi kayu di tanam pada area yang luasnya ribuan bahkan jutaan hektar dampak merusaknya akan sama.

Jadi Pak Darminto, kami juga di Sawit Watch mencoba melakukan pendampingan pada Kelompok Petani kelapa sawit dan buruh perkebunan kelapa sawit yang mungkin tidak seberuntung ba-pak, tetapi mereka terlibat lang-sung dalam sistem perkebunan kelapa sawit yang ada di Indo-nesia.

Salam(redaksi)

website : sawitwatch.or.id

3REDD dan Imple-mentasinya..

4Implementasi REDD..

12Nasib Buruh Kebun

6SKEMA REDD dalam kebun sawit..

10Siaran Pers Sawit Watch..

11Lahan Gambut Indonesia ..

19Dilema Petani Plasma..

DARI PEMBACA

18Nuklir Jelasbukan Jawaban..

Page 3: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

3 Edisi III/Mei ‘09-SW10

EDITORIAL

Apa itu REDD?

Gagasan dasar di belakang Reducing Emissions from Deforestation and (forest) Degradation ( Mengurangi

Emisi yang disebabkan oleh Penggundulan Hutan dan Degradasi (hutan) = (REDD) adalah sederhana: Negara yang bersedia dan dapat mengurangi emisi dari penggundu-lan hutan sebaiknya akan mendapatkan kompensasi secara finansial karena melakukan hal tersebut. Pendeka-tan sebelumnya untuk menahan laju penggundulan hutan secara global sampai sejauh ini sudah dapat dika-takan gagal, akan tetapi, REDD me-nyediakan kerangka kerja baru yang mengijinkan sebuah Negara yang hutannya ditebang sebagai jalan ke-luar dan menjadi sebuah trend yang bersejarah.

Apa Tujuan dari REDD ?

REDD utamanya berbicara mengenai pengurangan emisi. Bali Action Plan memutuskan pada Conference of Par-ties (COP) sesi ketiga belas bahwa 7 negara yang melakukan pendekatan menyeluruh pada mitigasi perubahan iklim sebaiknya mencakup: “ adanya pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk issu yang terkait pengurangan emisi dari penebangan hutan dan perubahan hutan di Negara berkembang”

Tetapi di kedepannya mekanisme REDD sangat potensial untuk mendapatkan lebih dari itu, REDD dapat secara simultan me-nahan laju perubahan iklim dan tingkat kemiskinan, selain memelihara keanekarag-aman hayati dan menjaga ekosistem utama. Walaupun keuntungan ini terlihat nyata dan

menjadi perhatian utama, pertanyaan kru-sialnya adalah seberapa luas pencantuman dari pembangungan dan tujuan konservasi ini akan dapat mengangkat seluruh keber-hasilan di masa depan dari kerangka REDD atau komplikasi yang kemungkinan akan merintangi proses yang sedang berjalan pada negosiasi REDD?

Implementasi REDD di Indonesia

Sementara di Indonesia sendiri mekanisme REDD baru sebatas dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) yang intinya mengatur tentang tata cara implementasi Reduksi Emisi Deforestasi dan Degradasi (REDD) dan melakukan stu-di-studi yang disiapkan untuk menunjang

implementasi REDD, Studi-studi tersebut berkaitan dengan metodologi, mekanisme, pembayaran, pasar dan pengkajian strategi yang menyangkut hutan produksi, konser-vasi, lahan gambut, lahan kelapa sawit dan lahan yang diperuntukkan bagi industri pulp dan kertas. Jadi jelas terlihat pemerin-tah Indonesia akan mendorongkan industri-industri perkebunan untuk mendapatkan keuntungan dari perdagangan karbon den-

gan mekanisme REDD.

Departemen Kehutanan terus men-gupayakan pencegahan kerusakan hutan dan berharap besar pada skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi(REDD) yang akan diputuskan pada pertemuan COP (Conference of the Parties) ke-15 tentang Perubahan Iklim di Ko-penhagen, Denmark 2009. "Skema REDD sangat menguntungkan se-cara ekonomi karena dapat memberi suntikan dana dari negara-negara maju sebesar 3,75 miliar dollar AS atau lebih dari Rp33,75 triliun per tahun," kata Menhut MS Kaban,

Melihat pernyataan seperti itu, kita yakin bahwa Republik ini dengan digawangi oleh Dephut akan men-coba meraup keuntungan dari keru-

sakan dan penebangan hutan yang sengaja dilakukan oleh perusahaan perkebunan, se-jatinya perusahaan perusak hutan diberikan sanksi tetapi dengan bertameng pada meka-nisme REDD mereka seakan mendapatkan “penghargaan” dari hasil karya mereka, dan pemerintah pun lupa bahwa kerusakan yang terjadi tidak dapat digantikan dengan uang! seberapapun besarnya. (oeyanz, dari berbagai sumber)

REDD dan Implementasinya

“Skema REDD sangat menguntungkan secara ekonomi karena dapat memberi suntikan dana

dari negara-negara maju sebesar

3,75 miliar dollar AS atau lebih dari Rp 33,75 triliun

per tahun,” kata Menhut MS Kaban

Page 4: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 4

LAPORAN KHUSUS

Versi resmi pemerintah Indonesia, yang dikeluar-kan melalui Departemen Kehutanan menyebutkan Reducing Emission from Deforestation and Degra-dation di Negara berkem-bang adalah mekanisme internasonal untuk mem-berikan insentif yang ber-sifat positif bagi negara berkembang yang berha-sil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD merupakan salah satu kegiatan miti-gasi perubahan iklim di sektor kehutanan, dan bersifat voluntary serta menghormati kedaulatan Negara (soveregnity).

REDD di Indonesia

Demi menanggapi dan mengentas-kan persoalan tersebut, pemerintah Indonesia membentuk IFCA (Indo-

nesia Forest Climate Alliance), sebuah lem-baga studi yang berfungsi untuk memper-siapkan metodologi dan strategi REDD di Indonesia. Berdasarkan studi tersebut dida-pati beberapa ketentuan tentang mekanisme REDD, antara lain:

REDD harus memenuhi persyaratan in-a. ternasional di bawah UNFCCC dan mes-ti sesuai dengan kebijakan serta prioritas nasional.

Metodologi untuk menentukan reference b. emission level/ baseline, penghitungan dan monitoring sebagai dasar untuk per-hitungan pengurangan emisi/ penghitun-gan insentif mesti credible. Strategi implementasi REDD harus c. memberikan manfaat bagi Indonesia.

Selain itu pemerintah Indonesia juga men-syaratkan agar REDD mendukung upaya pembangunan berkelanjutan maupun pri-oritas pembangunan nasional yang berori-entasi pada; pro-growth, pro-job and pro-poor, perbaikan pengelolaan hutan yang dijadikan sumber penghidupan dan sumber pendapatan.

Hal terakhir yang di inginkan pemerin-tah Indonesia dari mekanisme tadi adalah REDD mesti bisa mendukung upaya Indo-nesia mereformasi sektor kehutanan mela-lui aliran dana, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi

Tak lama berselang, pemerintah mengelu-arkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Pengurangan

Emisi dan Degradasi Hutan (Reducing Emis-sion from Deforestation and Degradation) yang memuat tentang pengerti, maksud dan tujuan, lokasi dan persyaratan, pelaku, tata cara permohonan, penilaian dan persetujuan jangka waktu, hak dan kewajiban, verifikasi , distribusi insentif dan liabilitas dan perali-han mekanisme dalam REDD.

Mekanisme REDD dan Orien-tasi Pembangunan di Indone-sia

Apabila dicermati dari tulisan di atas, pe-merintah Indonesia berkeinginan untuk segera melaksanakan mekanisme REDD karena beberapa alasan, antara lain:

Mengurangi emisi karbon akibat 1. pembukaan hutan (termasuk lahan gambut yang dikategorikan hutan menurut UU No 41 tentang Kehutanan tahun 1999) demi keberlanjutan lingkungan, menyelamatkan bumi dari persoalan pemanasan global dan perubahan iklim. Pemerintah berharap ada dana kompensasi 2. atas tindakannya menyelamatkan hutan Indonesia dari dunia internasio- nal. Mekanisme REDD bisa memberikan 3. kemajuan ilmu pengetahuan dan transfer teknologi dari dunia internasional kepada Indonesia.

Namun niat baik yang berpusat pada men-cari pelbagai keuntungan tadi, sering kali tidak sejalan bahkan bertolak-belakang den-gan tindakan pemerintah dalam melaksana-kan program pembangunan di Indonesia. Lihat saja buktinya. Berdasarkan data De-partemen Kehutanan tahun 2007, disebut-kan bahwa luas hutan alam di Indonesia mencapai 150 juta hektar, termasuk 26 juta hektar berupa hutan lahan gambut. Namun akibat orientasi pembangunan, sejak pe-

Implementasi REDDdan Persoalan Kebun Sawit di Indonesia

Jefri Gideon Saragih

Page 5: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

5 Edisi III/Mei ‘09-SW10

merintahan Orde Baru (1966) sampai pe-merintahan Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini, yang selalu menitik-beratkan pada pro-growth, pro-job and pro-poor, maka apapun kegiatan produksi yang bersi-fat massal/ massif diijinkan.

Salah satunya adalah konversi hutan secara besar-besaran untuk membangun industri kayu log baik yang legal maupun illegal lewat perusahaan hak pengelolaan hutan. Lalu pembangunan hutan tanaman indus-tri, pulp and paper industry dan perkebunan sawit skala besar. Proses inilah yang me-nyebabkan kerusakan hutan di Indonesia telah mencapai mencapai 60 jutaan hektar atau rata-rata kerusakan 2-3 juta hektar per tahun.

Pemerintah sangat yakin konversi hutan menjadi wilayah produksi akan men-ingkatkan pertumbuhan ekonomi, membuka peluang lapangan kerja bagi warga juga mampu mengentas-kan kemiskinan di Indonesia.

Konversi Hutan un-tuk Perkebunan Kelapa Sawit

Berdasarkan data Sawit Watch tahun 2008, setiap tahun terjadi konversi hutan tegakan pohon menjadi perke-bunan sawit sebesar 200-300 ribu ha per tahun. Misalnya saja pembukaan hutan perawan di sepanjang per-batasan Indonesia – Malaysia di Pu-lau Kalimantan yang sampai saat ini masih dilakukan.

Sedangkan konversi hutan rawa gam-but (swamp forest) menjadi perke-bunan sawit setiap tahun mencapai 50 – 100.000 ha. Misalnya saja di Provinsi Riau, Sawit Watch mencatat 792.618, 08 hektar hutan rawa gambut dikonversi oleh 110 pe-rusahaan menjadi perkebunan kelapa sawit. Apabila dihitung secara merata, setiap pe-rusahaan mengubah 7.205 ha hutan gambut jadi kebun sawit. Atau di daerah lain, te-patnya di Kalimantan Tengah, Sawit watch mendata 592.939 ha lahan gambut diubah menjadi kebun sawit skala besar oleh 178 perusahaan. Jumlah di atas belum termasuk pembukaan 1 juta ha lahan gambut yang diproyeksikan menjadi wilayah persawa-han terluas di Indonesia masa pemerintahan Suharto.

Ekspansi kebun sawit dalam jumlah gila-gi-laan tersebut, dilakukan dengan cara mem-babat hutan, membakar lahan, membangun kanal-kanal untuk mengeringkan air di la-han gambut dan menaburkan berbagai jenis bahan kimia termasuk kapur berzat fosfor untuk menyuburkan kebun sawit. Mekan-isme membuka lahan untuk ditanami sawit tadi, ternyata menghasilkan jutaan ton kar-bon dioksida (CO2) yang membuat Indone-sia menjadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga di dunia.

Sampai tahun ini luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 7,8 juta hektar, di-mana sekitar 2 juta hektar kebun sawit dimi-liki oleh petani dan selebihnya dikelola oleh perusahaan induk. Secara ekonomi pada ta-hun 2008 Indonesia telah memproduksi 18, 7 juta CPO dengan perhitungan; 4,5 sampai

5 juta ton CPO digunakan untuk kebutuhan domestik, dan sisanya memang ditujukan untuk diekspor ke Negara China, India, Uni Eropa, Pakistan dan Bangladesh.

Dari perdagangan CPO tadi, sektor perke-bunan sawit mampu menyumbang penda-patan Negara sebesar 12% (terbesar di luar pendapatan dari sektor minyak dan gas) dari total pendapatan sebesar Rp 700 triliun. Selain itu perkebunan sawit juga menam-pung lebih dari 4 juta tenaga kerja, di luar 2 juta kepala keluarga yang menjadi petani plasma.

Berdasarkan data-data di atas, pemerintah Indonesia melalui departemen pertanian

dan departemen keuangan selalu berusaha memberikan dukungan berupa kemudahan kebijakan dan pinjaman lunak kepada pe-rusahaan sawit untuk melakukan ekspansi perkebunan. Misalnya saja diterbitkan-nya Permentan No. 33 tahun 2006 tentang Pengembangan Perkebunan melalui Pro-gram Revitalisasi Perkebunan dan Pera-turan Menteri Keuangan Nomor 117 / pmk 06 / 2006 tentang kredit pengembangan energi nabati dan Revitalisasi perkebunan dimana kedua keputusan tersebut bertujuan untuk mempercepat pembangunan sektor perkebunan dan pengembangan perkebunan sawit rakyat demi peningkatan kesejahter-aan petani plasma dan buruh.

Selain itu UU NO 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009

tentang Pedoman Pemanfaatan La-han Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit (sebuah kebijakan kontroversial dan bertentangan dengan kebijakan REDD) merupakan jaminan terh-adap perusahaan kebun sawit untuk melakukan perluasan kebun di ber-bagai kabupaten/ provinsi di Indonesia yang masih memiliki hutan dan lahan gambut.

Sikap Mendua Pemerintah dalam Mekanisme REDD

Sebenarnya sikap pemerintah Indo-nesia mendua dalam mengimplemen-tasikan mekanisme REDD. Satu sisi pemerintah menyetujui mekanisme REDD, namun di sisi lain ia juga menerbitkan kebijakan yang memper-bolehkan pembukaan hutan dan lahan gambut untuk jadi wilayah produksi,

salah satunya adalah perluasan perkebunan sawit, demi orientasi pembangunan yang pro-growth, pro-job and pro-poor.

Selain itu, Peraturan Menteri Kehutanan no 30 tahun 2009 tentang Tata Cara Penguran-gan Emisi dan Degradasi Hutan, sangat sen-tralistik legal formal alias dikontrol penuh oleh pemerintah melalui Komisi REDD (se-bagai pelaksana REDD) tanpa memberikan ruang kepada masyarakat adat/ lokal (yang selama ini ikut menjaga keberlanjutan hu-tan melalui budaya dan kearifan lokalnya) untuk terlibat langsung dalam mengimple-mentasikan mekanisme REDD. Kecuali masyarakat yang memang telah diakui ke-beradaannya oleh undang-undang. Padahal

Mekanisme membuka lahan untuk ditanami

sawit terutama di lahan gambut, ternyata meng-hasilkan jutaan ton kar-bon dioksida (CO2) yang membuat Indonesia men-

jadi kontributor emisi CO2 terbesar ketiga

di dunia.

Page 6: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 6

sampai saat ini bisa dihitung ada berapa kelompok masyarakat adat yang diakui ke-beradaan oleh Negara ini.

Ironisnya dalam peraturan tersebut adalah perusahaan kayu yang mendapat ijin usaha pemanfaatan hasil hutan berupa kayu me lalui usaha hutan tanaman industri, hutan kemasyarakatan dan hutan tanaman rakyat serta hutan produksi lainnya jusru men dapat kompensasi dana dari mekanisme REDD di luar hutan alam, hutan lindung, hutan konservasi.

Apabila Peraturan Menteri Kehutanan ini benar-benar dijadikan peraturan (acuan) dalam pelaksanaan REDD, bisa dipastikan akan mendap-at penolakan dari masyarakat (atau malah pembiaran kar-ena kurang pengetahuan) kar-ena perusahaan kayu yang se-lama ini merusak hutan justru mendapatkan dana REDD. Sementara masyarakat adat/ lokal yang tinggal di seki-tar hutan serta ikut menjaga kelestariannya hanya bisa menjadi penonton sebelum keberadaannya diakui oleh undang-undang. Kalaupun dia mendapat pengakuan, menurut analisis penulis masyarakat adat paling banter mendapat efek menetes dari me kanisme REDD tadi alias uang kecil se-mata.

Dikhawatirkan implementasi REDD ini merupakan tindakan diskriminasi positif (affirmative actions) oleh Negara terhadap industri kehutanan di Indonesia tanpa keber-langsungan hak sipil dan politik, , ekonomi. sosial dan budaya rakyat Indonesia.

Rekomendasi untuk REDD di Indonesia

Apabila dikritisi selain untuk menjaga degradasi dan deforestasi, sebenarnya REDD cenderung menjadi proyek Re-lokasi Emisi dari negara-negara industri ke negara-negara berkembang yang masih memiliki hutan tropis (rainforest tropical developing countries). Relokasi emisi tadi mengharuskan negara-negara kaya mem-berikan kompensasi kepada Negara-negara

berkembang, salah satunya Indonesia, un-tuk mempertahankan keberadaan hutannya demi menampung gas buangan dari pabrik dan transportasi dari negara-negara industri tersebut.

Belajar dari kenyataan di atas, sebaiknya pemerintah Indonesia dan pemerintah rain-forest tropical developing countries lainnya, tidak lagi membuka hutan untuk menjaga kelestarian lingkungan tinggalnya. Namun kelompok Negara ini mesti mendesak dan membuat kesepatakan dengan negara-neg-

ara industri agar mengurangi emisi car-bonnya. Jadi Negara-negara pemilik hutan tropis tidak mendahulukan tuntutan dana kompensasi melalui mekanisme REDD ke-pada Negara-negara kaya. Hal ini penting dilakukan untuk membangun kesadaran bersama Negara-negara di dunia ini dalam menjaga keberlanjutan lingkungan, demi menyelamatkan bumi dan penghuninya.

Khusus untuk Indonesia, pemerintah se-mestinya mengadopsi Pedoman Prinsip da-lam Implementasi REDD yang sedang diuji

coba oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang menekankan

Human Rights Based Ap-proaches yaitu penghor-matan hak masyarakat adat, keadilan gender, keberlanjutan ling-kungan, pengelolaan berdasarkan hasil, dan pengembangan kapasi-tas. Juga Human Needs Based Approaches (menjamin hak ekono-mi, sosial dan budaya) yang tercantum dalam pembukaan UUD’45.

Diharapkan implemen-tasi REDD bisa dijadikan momentum un-tuk mengubah orientasi pembangunan yang selama ini selalu berdasarkan pro-growth, pro-job and pro-poor menjadi pro hak kon-stitusi. Demi melindungi dan memberdaya-kan kelompok mayoritas rentan yang se-lama ini dimarginalkan seperti masyarakat adat, buruh dan petani kecil.

Jefri Gideon Saragih, Departemen Kampa-nye dan Pendidikan Publik Sawit Watch

Dikhawatirkan implementasi REDD ini merupakan tindakan

diskriminasi positif (affirmative actions) oleh Negara terhadap industri kehutanan di Indonesia tanpa keberlangsungan hak sipil dan politik, ekonomi,sosial dan

budaya rakyat Indonesia.

Page 7: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

7 Edisi III/Mei ‘09-SW10

LAPORAN KHUSUS

1. PendahuluanMengapa Reduced Emis-sions from Deforestation and Degradation berubah menjadi Relokasi Emisi Degradasi dan Deforestasi? Karena, REDD gagal diter-apkan dengan baik, maka ini hanya akan menjadi upaya mengalihkan secara bertahap, berulang-ulang, sistematis, konsisten, flek-sibel dan permanen se-bagian atau bahkan seluruh tanggung jawab, penguran-gan dan penyerapan pence-maran emisi negara-negara industri pada negara-neg-ara hutan tropis sedang berkembang.

Emisi gas rumah kaca, bila benar asumsi bahwa 80% berasal dari in-dustri khususnya berbasis bahan ba-

kar fossil fuels, maka 20% kemudian baru berasal dari kehilangan dan kerusakan hu-tan. Artinya apabila REDD diimplementasi-kan hanya akan menutupi 20%? Bagaimana dengan emisi industri berbasis bahan bakar fossil?

Dengan skema kerja dan penerapan REDD yang dibangun dalam konsep pengurangan emisi dari kehilangan dan kerusakan hu-tan adalah mengandaikan seberapa banyak hutan yang rusak dan hilang berkontribusi dan melepaskan emisi gas rumah kaca, bila dapat diupayakan hutan tetap terjaga dari kerusakan dan kehilangan, maka sebesar itu pula potensi emisi yang akan terserap, ter-simpan dan terlindungi.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) secara legalitas formal hanya merupakan salah satu dari beberapa komitmen dan kewajiban inter-nasional Indonesia. Sampai saat ini REDD hanya merupakan (applicable pilot project) proyek multi-pihak global dalam kerangka operasionalnya harus aktual, berkelanjutan, ketercapaian, sahih dan terukur dalam pen-gurangan emisi.

Betulkan demikian dalam implementasin-ya dikemudian hari? Apa saja potensi dan implikasi bagi Indonesia? Apa peran dan tugas konstitusi Negara terutama pemer-intah sebelum REDD efektif dilaksanakan dan memastikan REDD berhasil dan efektif mencegah kehilangan dan kerusakan hutan di Indonesia sekaligus berkontribusi ter-hadap pengurangan emisi gas rumah kaca dan penyerapan serta perlindungan karbon dari hutan?

2. Perkebunan kelapa sawit Indonesia patut berbangga, menjadi pro-dusen minyak sawit mentah (CPO) terbesar didunia dengan output 17.2 juta ton menin-ggalkan Malaysia pada posisi kedua dengan produksi 16.4 juta ton pada tahun 2007 (the Jakarta Post). Gabungan produksi CPO In-donesia dan Malaysia menempatkan 82% dari output CPO dunia dimana 43% berasal dari kebun sawit petani kecil. Sementara produksi CPO Indonesia sendiri dihasil-kan dari kebun sawit seluas 7.4 juta hektar (Sawit Watch, 2008). Dari luas tanam ke-bun sawit yang ada, pemerintah telah men-etapkan lahan kurang dan membuka lahan lebih dari 21 juta ha untuk perluasan kebun sawit.

Keberhasilan Indonesia dan Malaysia da-lam pembangunan bisnis dan sektor min-yak sawit membawa reputasi positif dimata dunia terutama peran dalam upaya mendor-

ong tercapainya tujuan pembangunan mil-lennium (millennium development goals) pembukaan lapangan pekerjaan dan pen-gentasan kemiskinan melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit. Untuk Indonesia, output CPO tahun lalu mencapai 17,200 miliar kilogram menghasilkan nilai tran-saksi mencapai Rp. 173,496,400,000,000 atau Rp. 173.50 triliun mengacu pada harga jual domestik CPO lokal pada Rp. 10,087 (http://www.kpbptpn.co.id/, Mei 2008). Merupakan pencapaian yang cukup fantas-tis! Dengan penjualan tersebut untung men-jadi milik perusahaan swasta lokal, nasional dan multinasional serta BUMN pemerintah kususnya pemilik pabrik. Beberapa perusa-haan besar dalam laporan tahunan bahkan melaporkan pendapatan mereka rata-rata naik 2 kali lipat sepanjang tahun 2007 ber-samaan dengan naiknya harga dan permint-aan minyak sawit di pasar dunia. Salah satu raksasa eksporter CPO Indonesia, Wilmar Internasional melaporkan membayar pajak

Skema REDD dalam Kebun Sawit?Relokasi Emisi Degradasi dan Deforestasi (REDD)

Norman Jiwan, Ka. Departemen Inisiatif Mitigasi Resiko Sosial dan

Lingkungan, Sawit Watch

Page 8: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 8

gas yang terdapat pada atmosfir/lapisan tertentu muka bumi, baik alami maupun anthropogenik, menyerap dan melepaskan kembali radiasi inframerah. Artinya gas ru-mah kaca (greenhouse gasses/GHG) meru-pakan hasil dari dua proses yaitu proses alami bumi dan hasil perbuatan manusia (anthropogenic). Dalam siklus alami regu-lasi mekanis bumi memiliki kemampuan terpasang dalam melepaskan, menurunkan dan menyeimbangkan kadar gas-gas pada permukaan bumi sampai pada jumlah ter-tentu.

Perubahan iklim dalam bentuk naiknya suhu permukaan bumi telah diyakini men-jadi penyebab utama pencairan es abadi di kutub utara dan kutub selatan bumi, per-mukaan dan genangan air naik, kemarau panjang dan penggurunan, wabah penya-kit dan dampak-dampak lainnya termasuk pengungsian ekologis. Ini terjadi akibat gas rumah kaca semakin dari dampak aktifitas buatan manusia (anthropogenic) terlepas bebas ke udara permukaan bumi yang me-nyerap dan kemudian memantulkan cahaya matahari terutama sinar inframerah. Perang-kap atmosfir gas rumah kaca terhadap sinar matahari (sinar inframerah) dalam waktu tertentu mengakibatkan akumulasi suhu meningkat pada permukaan bumi menjadi lebih hangat.

Gas-gas yang berakumulasi membentuk efek rumah kaca adalah Carbon diox-ide (CO2), Methan (CH4), Nitrous oxide (N2O), Hydrofluorocarbons (HFCs), Per-fluorocarbons (PFCs), dan Sulphur hexaflu-oride (SF6). Gas-gas tersebut terutama dari dampak aktifitas manusia dapat bersumber dari penggunaan energi, pembakaran bahan bakar fosil, industri energi, industri manu-faktur dan konstruksi, transportasi dan sek-tor lainnya, kegiatan pemafaatan lahan, dan pembakaran.

Sebagai contoh, akibat pembukaan lahan untuk pemanfaatan pertanian atau pemban-gunan perkebunan kelapa sawit dalam me-lepaskan karbon dalam jumlah yang sangat signifikan. Dalam hitungan penilaian Wet-lands International terhadap emisi karbon Indonesia dari pengeringan akibat pembu-kaan dan pemanfaatan lahan gambut (tidak termasuk pembakaran atau kebakaran) menghasilkan emisi karbon 516 juta ton per tahun. Angka tersebut bisa mencapai 823 juta ton per tahun dimasa 5 sampai 10 tahun mendatang jika pengeringan dan pembu-kaan lahan gambut terus berlangsung tanpa upaya nyata konservasi dan pelestariannya.

Perdagangan Karbon (Car-bon Trade)?Ada dua jenis perdagangan karbon. Pertama perdagangan emisi atau gas buangan (emis-sion trading). Kedua perdagangan kredit berdasarkan proyek (trading in project-based credits). Seringkali kedua kategori perdagangan karbon tersebut dimasukan da-lam sistem perdagangan campuran (hybrid trading systems).

Perdagangan emisi (Emis-sion trading) Misalnya bila anda memiliki 2 perusahaan, A dan B. Masing-masing melepaskan gas (emisi) 100,000 karbondioksida (CO2) set-ahun.

Pemerintah bermaksud memotong emisi mereka sebesar 5%. Pemerintah memberi-kan hak kepada masing-masing perusahaan hak, atau ‘santunan’(allowance), untuk me-lepaskan emisi 95,000 ton tahun ini. Mas-ing-masing perusahaan harus mengurangi emisi 5000 ton atau membeli 5000 santunan dari orang lain.

Harga pasar atas tunjungan adalah US$ 10 per ton. Perusahaan A dapat mengurangi emisinya setengah biaya tunjangan per ton. Oleh karena itu mudah bagi perusahaan mengurangi emisi sampai 10,000 ton, jika perusahaan tersebut menjual kelebihan 5000 ton emisi untuk mendapatkan US$ 50,000 perusahaan dapat menutupi biaya pengelu-aran perusahaan. Dari upaya tersebut peru-sahaan dapat menabung US$ 25,000.

Untuk perusahaan B, mengurangi emisi sangat mahal. Mengurangi setiap ton emi-si menelan biaya US$ 15. oleh karena itu perusahaan memutuskan untuk tidak men-gurangi emisi namun sebaliknya membeli 5000 ton emisi kelebihan tunjangan dari yang ditawarkan oleh perusahaan A. Jika perusahaan B mengurangi emisinya sendiri biaya bisa mencapai US$ 75,000. tetapi jika perusahaan B membeli dari surplus tunjan-gan perusahaan A, biaya yang dikeluarkan hanya mencapai US$ 50,000. Jadi perusa-haan B juga mendapatkan US$ 25,000 dari kesepakatan tersebut.

Singkatnya kedua perusahaan tersebut mas-ing-masing mendapatkan keuntungan US$ 25,000 atas biaya harus dikeluarkan untuk tanpa perdagangan. Jika mereka hanya 2 perusahaan yang ada dinegara tersebut, ini berarti sektor industri di negara tersebut

ekspor CPO sebesar US$124,4 juta sepan-jang kuartal pertama 2008 (Bisnis Indone-sia, Mei 2008).

Sayang sekali, setelah 5 tahun kemudian terbukti Undang-Undang No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan disyahkan efektif terbukti gagal menjawab berbagai persoalan terkait dengan pembangunan perkebunan kelapa sawit diantaranya perubahan iklim dan krisis energi, krisis pemerintahan dan kebijakan pro rakyat dan lingkungan hidup, krisis ketahanan ekonomi petani masyarakat disekitar kebun sawit, emisi akibat ekspansi dan konversi hutan dan sumber daya alam, krisis keberpihakan dan penegakan hukum, kedaulatan dan ketahanan pangan menurun, kebijakan dan ekspansi investasi, transfor-masi total masyarakat adat, rendah jaminan hak-hak dasar buruh – upah dan kebebasan dasar, diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan, anak-anak dalam kebun sawit, dan petani sawit.

Fakta menunjukan, pada tahun 2004 konflik perkebunan kelapa sawit hanya 160 sam-pai akhir Januari 2009 konflik perkebunan kelapa sawit meningkat signifikan menjadi 576 konflik (Sawit Watch, Januari 2009). Krisis global melemahnya daya beli pasar internasional berdampak pada menurunnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit dari Rp. 1200 per kg menjadi Rp. 600 atau bahkan di Propinsi Jambi jatuh Rp. 80 per kg TBS (Jambi Ekspres, Oktober 2008).

Itulah sekilas kondisi sektor kelapa sawit di Indonesia secara nasional. bagaimana dan apa kaitan serta potensi implikasi apabila sektor ini ketiban ‘rezeki uang’ penerapan REDD dalam sektor perkebunan kelapa sawit?

Perubahan Iklim Diperkirakan perubahan iklim global telah berlangsung sekitar 150 tahun yang lalu sejak revolusi industri mulai menemukan bentuk sederhana sampai manifestasi in-dustrialisasi canggih dalam segala bentuk operasional yang menghasilkan dan me-lepaskan buangan gas (gaseous emissions) termasuk karbon. Kandungan gas karbon alami di atmosfir (udara-langit) dalam sik-lus bumi merupakan hasil dari proses pen-gaturan alami bumi secara mekanis dan biologis dalam sistem regulasi planet tanpa campur tangan manusia.

Gas karbon, salah satu gas rumah kaca (greenhouse gas) merupakan unsur-unsur

Page 9: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

9 Edisi III/Mei ‘09-SW10

berhasil memangkas emisi sama banyaknya dengan pemotongan biaya yang akan dike-luarkan negara. Dengan mendistribusikan/membagikan pengurangan emisi terhadap seluruh sektor swasta dinegara tersebut, maka biaya yang dikeluarkan oleh sektor swasta dinegara tersebut akan kurang dari US$ 50,000 bila mereka melakukannya.

Dalam beberapa pola perdagangan karbon memberikan kesempatan kepada perusa-haan untuk menyimpan surplus tunjangan yang mereka miliki untuk mereka gunakan tahun-tahun dimuka, daripada menjual sur-plus yang mereka miliki.

Perdagangan kredit ber-dasarkan proyek (trading in project-based credits)Misalkan anda memiliki dua perusahaan yang sama, A dan B, masing-masing memi-liki emisi 100,000 ton karbondioksida (CO2) per tahun. Pemerintah berniat me-mangkas emisi karbon sebesar 5%, dengan begitu pemerintah memberikan tunjangan emisi hanya 95,000 ton.

Pemerintah menyampaikan kepada peru-sahaan jika mereka tidak mau memangkas emisi masing-masing 5000 ton, perusa-haan punya pilihan lain. Perusahaan terse-but bisa menanamkan modal diluar negeri dalam proyek-proyek yang dapat ‘mengu-rangi’ emisi karbondioksida (CO2) sampai 5000 ton ‘dibawah apa yang akan terjadi’. Proyek semacam ini bisa termasuk mena-nam tanaman untuk menghasilkan bahan bakar nabati (biofuel) sebagai bahan ba-kar; memasang mesin atau alat pada pabrik kimia untuk menghancurkan atau mengu-raikan gas rumah kaca; membakar methan dari tambang batu bara sehingga tidak ter-lepas ke atmosfir; atau membangun genera-tor kincir-angin pembangkit listrik. Harga kredit dari proyek-proyek semacam ini ada-lah US$ 4 per ton karena upah buruh murah, pabrik kotor, subsidi pemerintah dan Bank Dunia juga mencakup biaya pembangunan proyek-proyek tersebut dan perhitungan terhadap berapa besar karbon yang dapat proyek-proyek tersebut serap.

Dalam situasi tersebut lebih masuk akal bagi kedua perusahaan untuk membeli kredit dari luar negeri daripada memangkas emisi perusahaan mereka. Perusahaan A mendap-atkan US$ 5000 dengan membeli kredit dari proyek-proyek diluar negeri dari pada me-mangkas emisi mereka sendiri. Perusahaan

B mendapatkan US$ 55,000. Jadi total sav-ing untuk sektor swasta dalam negeri adalah sebesar US$ 60,000.

Sistem perdagangan cam-puran (hybrid trading sys-tems)Beberapa sistem perdagangan polusi hanya menggunakan perdgangan emisi. Sistem gabungan menggunakan perdagangan emisi dan perdagangan ’off set’, dan mencoba un-tuk membuat ’tunjangan’ dapat dipertukar-kan untuk kredit-kredit berdasarkan proyek. Pasar sulphur dioxide di Amerika Serikat hanya sistem perdagangan emisi saja. Tetapi dalam Kyoto Protokol dan Sistem Perda-gangan Emisi Uni Eropa menggabungkan dua skema diatas, dan mencoba menjadikan kedua skema tersebut dapat dipertukarkan. Sistem semacam ini sangat rumit. Tidak hanya karena sulit menciptakan kredit yang ’dapat dipercaya’ dan menjadikan kredit tersebut sama dengan tunjangan. Peng-gabungan kedua pola tersebut juga merubah ekonomi.

Misalnya, bayangkan perusahaan A dan perusahaan B diatas dibiarkan menerapkan 3 pilihan digabungkan: memangkas emisi mereka sendiri, menjual tunjangan dengan satu sama lain atau membeli kredit-kredit dari luar negeri. Bagi perusahaan B, pilihan terbaik adalah untuk membeli kredit dari luar negeri sebesar US$ 20,000 daripada mengeluarkan biaya sebesar US$ 75,000 untuk memangkas emisi perusahaan. Bagi perusahaan A, pilihan terbaik adalah me-motong emisi perusahaan sampai 10,000 ton – tetapi hanya jika dapat dipastikan perusahaan B dapat menemukan pembeli yang akan membayar US$ 10 per ton un-tuk tunjangan sebesar 5000 ton yang harus telah tersedia. Lebih baik bagi perusahaan tidak bayar apa-apa, daripada membayar US$ 20,000 untuk kredit karbon dari luar negeri.

Dagang Karbon – Bukan Untuk Rakyat dan Keadilan IklimPerdagangan karbon merupakan salah satu ketentuan pasal 17 dari konvensi kerangka kerja perubahan iklim yang diwajibkan ke-pada negara anggota PBB untuk memang-kas emisi mereka. Turunan pelaksanaannya adalah Protokol Kyoto. Jika sukses diber-lakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050 (Na-ture, Oktober 2003).

Apakah harus menunggu sampai 2050? Penurunan cuaca global akan sangat ber-manfaat bagi seluruh umat manusia. Tetapi perdagangan karbon sendiri tidak memberi-kan manfaat atau keuntungan secara lang-sung bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Pendekatan dan pola penerapannya dirumuskan melalui kebijakan oleh pemer-intah tetapi pelaksanaannya diserahkan ke-pada para emitter, yakni perusahaan-perusa-haan besar. Singkatnya mengurangi emisi, perusahaan mendapat insentif tetapi tidak melakukan pengurangan emisi perusahaan juga tidak mendapatkan sanksi.

Lagi pula, pembagian jatah atau alokasi hak dan resiko perdagangan emisi (karbon mis-alnya) yang tidak merata semakin menunda perubahan mendasar dalam tubuh bisnis dan sektor industri tersebut yang menjadi faktor utama yang paling penting, dan dom-inasi solusi dengan pendekatan pasar dapat menggagalkan pendekatan politik lainnya. Jadi bila, industri dapat membayar mahal untuk meningkatkan produksi dan tidak memotong emisi karbon mereka tetap saja terjadi pencemaran udara.

Dalam sektor perkebunan, bila hutan tana-man industri atau kelapa sawit skala besar sudah masuk kedalam proyek menyerap karbon dalam jumlah besar dapat dipertu-karkan untuk kredit proyek-proyek yang setara dengan pengurangan emisi dinega-ra-negara maju, maka sektor dan industri minyak sawit mendapatkan peluang ke-untungan semakin besar. Jadi perdagan-gan karbon dibangun dalam sistem bahwa pengurangan emisi (gas rumah kaca) hanya bernilai pasar apabila penjual (emitter) dan pembeli berada dalam kesetaraan hubungan saling menguntungkan. Kalaupun skema ini dilaksanakan dalam proyek kabupaten kon-servasi dukungan Bank Dunia, tetap saja persoalan keadilan dan keamanan tenurial dan sumber kehidupan masyarakat belum tentu terjamin.

Larry Lohmann, penulis buku Carbon Trading, memandang perdagangan karbon adalah jebakan kerangka-kerja kebijakan neoliberal gaya Amerika Serikat dalam ru-musan 3 startegi utama untuk menghindari tanggung jawab langsung dan nyata terh-adap perubahan iklim dunia. Pertama strate-gi yang berkerja membentuk atau menekan pemahaman tentang persoalan iklim sehing-ga reaksi publik terhadap perubahan iklim akan mendatangkan berkurangnya ancaman tekanan politik terhadap perusahaan. Kedua,

Page 10: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 10

Semestinya, pemerintah Indonesia harus lebih maju dalam mengembangkan me-kanisme atau proyek implementasi prak-tis Human Rights Based Approaches dan dikombinasikan dengan Human Needs Based Approaches untuk penerapannya nyata instrumen hukum internasional lain-nya dimana Indonesia adalah negara pihak yang terikat tanggung jawab hukum. Mis-alnya konvensi hak sipil dan politik (sipol), hak ekonomi, sosial dan budaya (ecosoc rights)! Atau pedoman praktis implementasi Rekomendasi Komite CERD, penghapusan diskriminasi rasial terkait dengan rencana pengembangan kelapa sawit sawit sepan-jang perbatasan Kalimantan Barat dan Kali-mantan Timur dari sudah pandang deklarasi PBB mengenai hak-hak masyarakat adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples).

Akhirnya, Negara Indonesia seharusnya menjalankan mandat konstitusi terlebih dahulu sebelum berjibaku dengan REDD dan memastikan hak konstitusi rakyat, sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya ter-penuhi secara objektif, efektif dan berkuali-tas terutama kelompok rentan khususnya petani, buruh perkebunan dan masyarakat adat.

Norman Jiwan, Kepala Departemen Inisi-atif Mitigasi Resiko Sosial dan Lingkungan, Sawit Watch.

Sayang sekali, fakta menunjukan bahwa implementasi pilot project REDD merupak-an tindakan diskriminasi positif (affirmative actions) oleh Negara melalui departemen sektoral pemerintah yang akan memper-parah ketimpangan dan kemerosotan struk-tural karena tidak dibarengi upaya investasi keamanan dan keselamatan hak sipil dan politik, sosial, ekonomi dan budaya rakyat Indonesia.

4. Kesimpulan dan rekomen-dasiItulah sebabnya, REDD ada kecenderungan menjadi proyek Relokasi Emisi dari De-forestasi dan Degradasi (reducing emissions from deforestation and degradation) hutan sebagai pelarian atau melempar tanggung jawab Negara-negara industri kepada Neg-ara-negara hutan tropis berkembang (rain-forest tropical developing countries) dan akhirnya bukan komitmen utuh pelaksanaan dan upaya mitigasi dan adaptasi dampak pe-rubahan iklim dalam sektor kehutanan.

Sebenarnya PBB telah membuat Pedoman prinsip dalam implementasi REDD tetapi masih diuji keberlakuannya secara efektif dan populis berbasis HAM dengan pene-kanan khusus persoalan masyarakat adat, keadilan gender, keberlanjutan lingkungan, pengelolaan berdasarkan hasil, dan pengem-bangan kapasitas.

INDIGENOUS PEOPLES, LOCAL COMMUNITIES AND NGOs OUTRAGED AT THE REMOVAL OF RIGHTS FROM UNFCCC DECISION ON REDD

We, the undersigned representatives of indigenous peoples, local communities and non-governmental organizations monitoring the progress of negotiations in Poznan are outraged that the United States, Canada, Australia and New Zealand opposed the inclusion of recognition of the rights of indigenous peoples and local communities in a decision on REDD (Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation) drafted today by government delegates at the UN Climate Conference.

These four countries (often known as the ‘CANZUS Group’) want to include REDD in the future climate agreement, but they oppose protecting the rights of the indig-enous and forest peoples who will be directly affected by REDD measures. In discus-sions today, these countries insisted that the word “rights” and references to the UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples be struck from the text.

This is totally unacceptable for indigenous peoples, local communities and support-ing NGOs, as the forests which are being targeted for REDD are those which indig-enous peoples have sustained and protected for thousands of years. The rights of forests peoples to continue playing this role and being rewarded for doing so has to be recognized by the UNFCCC Parties. Any REDD mechanism that does not respect and protect the rights of indigenous peoples and local communities will fail.

We therefore demand that an unequivocal reference to rights and to the UN Decla-ration on the Rights of Indigenous Peoples be reinserted into the Draft COP14 Deci-sion text on REDD.

Poznan, December 9, 2008

Signatories: The Accra Caucus on Forests and Climate Change, Accion Ecologica, Friends of the Earth International, Indigenous Peoples’ Forum on Climate Change, Rainforest Foundation Norway, Rainforest Foundation UK, Tebtebba Foundation

mendorong teknologi pemulihan-pemuli-han sebagai cara untuk membatasi (bypass) perdebatan dampak bahan bakar fosil untuk mendorong inovasi atau penemuan yang dapat melayani sumber-sumber keuntungan baru. Ketiga, mendorong ‘pemulihan pasar’ (market fix) yang mengamankan hak-hak kepemilikan (property rights) dari peng-guna bahan bakar fosil negara-negara utara atas kemampuan dunia menyerap karbon sekaligus menciptakan peluang untuk keun-tungan perusahaan melalui perdagangan.

3. Skema REDD dan Implika- sinya terhadap Perkebunan Kelapa Sawit?Terkait perkebunan kelapa sawit, dan den-gan mengandaikan target dan tujuan utama mengurangi kehilangan dan kerusakan hu-tan (deforestation and degradation), maka akan dua skenario implikasi yang akan ter-jadi dalam sektor dan bisnis perkebunan ke-lapa sawit.

Pertama, disinsentif terjadi sebagai sanksi bagi perusahaan perkebunan yang tetap melakukan ekspansi, konversi dan pembu-kaan lahan-lahan baru dikawasan izin loka-si. Sampai sekarang belum terbukti bahwa masih terjadi efektif tindakan pencabutan izin-izin perkebunan oleh pemerintah.

Kedua, insentif atau penghargaan bagi pe-rusahaan yang tidak melakukan ekspansi, konversi dan aktifitas pembukaan lahan baru dikawasan hutan yang telah berstatus izin lokasi. Maka pemerintah dipastikan akan memberikan penghargaan dalam ben-tuk pengalihan fungsi izin-izin lokasi terse-but kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit sebagai legal holder (pemilik syah) atas izin lokasi tersebut. Implikasinya ada-lah dari 21 juta ha target penanaman kelapa sawit di Indonesia, 7.5 juta ha lahan yang te-lah tertanam sekarang tidak akan diperluas tetapi sisa sekitar 13 juta ha akan diserahkan pengusahaan dan pengusahaan REDD ke-pada kalangan swasta terutama perusahaan perkebunan besar yang telah menguasai izin-izin lokasi tersebut!

Dengan begitu, setidak-tidaknya diperlukan tindakan berani pemerintah untuk memasti-kan bahwa izin-izin lokasi tadi tidak masuk dalam skema REDD. Atau skenario kedua, izin-izin yang berada dalam kawasan hutan tersebut masuk dalam skema REDD dengan berbagai prasyarat-prasyarat utama berbasis hak dan kebutuhan aktual masyarakat.

Page 11: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

11 Edisi III/Mei ‘09-SW10

Siaran Pers Perkumpulan Sawit Watch

Hentikan!Penangkapan Aktifis yang

Menyuarakan Kepentingan Rakyat

Pada senin, 11 Mei 2009, sekitar pukul 11.00 Wita, dua aktifis Wahana Lingkungan Hidup Indo-nesia (Walhi) yaitu Berry Nahdian Furqon dan Erwin Usman ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian wilayah kota besar Manado karena melakukan aksi damai bersama para nelayan tra-disional Sulawesi Utara. Dalam aksi yang menyuarakan kepentingan rakyat, terutama kelom-pok nelayan tradisional, para aktifis tersebut menuntut pemerintah agar memberantas kegiatan illegal fishing, pencemaran laut dari limbah perusahaan pertambangan dan mencermati ulang niat pemerintah yang ingin menetapkan kawasan konservasi laut demi kesejahteraan nelayan tradisional.

Namun tuntutan itu malah ditanggapi dengan tindakan penangkapan dan pembubaran paksa aksi damai oleh aparat kepolisian. Hal ini sengaja dilakukan agar pelaksanaan Kongres Kelau-tan Dunia (World Ocean Conference) dan Coral Triangle Initiavtive (CTI) yang berlangsung sejak 11-15 Mei 2009, bebas dari aksi protes dan seruan dari organisasi masyarakat sipil dan nelayan tradisonal.

Atas tindakan represif dan berlebihan tersebut, Perkumpulan Sawit Watch menyatakan:

Pemerintah Indonesia selaku penyelenggara WOC dan CTI seharusnya menyediakan ruang 1. bagi banyak pihak, terutama organisasi masyarakat sipil dan nelayan tradisional, yang berkepentingan menjaga kelestarian laut untuk terlibat dalam pertemuan tersebut. Tindakan pemberhentian dan pembubaran paksa aksi damai tersebut memperlihatkan dengan 2. jelas kepada publik bahwa Pemerintah Indonesia masih anti kritik dan perbedaan pendapat. Cermin demokrasi Indonesia yang belum mampu menghormati hak sipil dan politik warga negara meski dijamin dalam konstitusi.Menghimbau kepada aparat kepolisian dan institusi penegak hukum lainnya agar membebaskan 3. kedua aktifis tersebut dan pelaku aksi damai lainnya, serta menuntut agar di waktu yang akan tindakan seperti ini tidak akan terjadi lagi.

Demikian pers ini dibuat untuk segera disiarkan dan disebarluaskan kepada publik.

Hormat Kami,

Jefri Gideon Saragih(Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik)

Page 12: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 12

Lahan Gambut

Menurut kamus besar Bahasa Indo-nesia, kata gambut berasal dari bahasa Banjar (bahasa sehari-hari

penduduk Kalimantan Selatan). Gambut terbentuk dari hasil dekomposisi bahan-ba-han organik seperti dedaunan, ranting serta semak belukar yang berlangsung dalam kecepatan yang lambat dan dalam keadaan anaerob atau jenuh air.

Berdasarkan ketebalannya, gambut dibeda-kan menjadi empat tipe :

Gambut Dangkal, dengan ketebalan 0.5 1. - 1.0 mGambut Sedang, memiliki ketebalan 1.0 2. - 2.0 m Gambut Dalam, dengan ketebalan 2.0 - 3. 3.0 mGambut Sangat Dalam, yang memiliki 4. ketebalan melebihi 3.0 m

Selanjutnya berdasarkan kematangannya, gambut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :

Fibrik• : bahan vegetatif aslinya masih dapat diidentifikasi atau sedikit menga-lami dekomposisiHemik• : apabila tingkat dekomposisinya sedangSaprik• :apabila bahan vegetasi aslinya mengalami tingkat dekomposisi lanjut/ tinggi.

Lahan gambut secara umum memiliki kadar keasaman (pH) tinggi, unsur hara dan ke-jenuhan basa (KB) yang rendah. Akibatnya produksi tanaman pertanian atau perkebu-nan di lahan gambut sangat rendah. Inilah karakteristik gambut di Indonesia.

Manfaat Lahan GambutMasyarakat yang tinggal di wilayah gambut secara turun-temurun memanfaatkan lahan-nya untuk budidaya pertanian, peternakan dan perikanan. Saat musim kemarau tiba, penduduk di lahan gambut biasanya menan-am padi dan sayur-mayur serta lidah buaya. Di bagian gambut lainnya, juga dibudidaya-kan tanaman keras yang menjadi penghasi-lan utama masyarakat tempatan seperti kar-

et dan kelapa. Saat musim penghujan tiba, penduduk lokal mulai membenihkan ikan dalam keramba serta mengembangbiakkan ternak seperti unggas-unggasan. Sebagian lain tetap rajin memelihara kerbau atau sapi yang dianggapnya sebagai simpanan (tabungan).

Selain itu, menurut para pakar lingkungan, lahan gambut sangat bermanfaat sebagai daerah sumber air, resapan dan cadangan air. Bahkan ketika pemanasan global dan pe-rubahan iklim menjadi permasalahan dunia saat ini, keberadaan lahan gambut semakin penting karena ia mampu menahan gas-gas rumah kaca (seperti karbon dan metan), salah satu penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.

Dampak Konversi Lahan Gambut jadi Perkebunan Sawit

Menurut lembaga Wetland International, Luas rawa-gambut di pulau-pulau besar In-donesia mencapai 26 juta ha. Diperkirakan setiap tahunnya ada 200 – 300 ribu ha la-han gambut dikonversi untuk pengemban-gan usaha HTI (hutan tanaman industri),

LAHAN GAMBUT INDONESIA DAN PENGEMBANGAN KEBUN SAWIT

Peta -1. Peta Kebun sawit di lahan gambut di Provinsi Riau

Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Sawit Watch

LAPORAN KHUSUS

Page 13: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

13 Edisi III/Mei ‘09-SW10

perkebunan sawit skala besar dan budidaya tanaman pangan oleh penduduk tempatan. Khusus untuk kebun sawit, berdasarkan penelitian pada tahun 2008, Sawit Watch mendapati setidaknya 100 ribu ha lahan gambut dikonversi menjadi perkebunan sawit setiap tahunnya.

Misalnya saja di Provinsi Riau, Sawit Watch mencatat 792.618, 08 hektar lahan gambut dikonversi oleh 110 perusahaan menjadi perkebunan kelapa sawit. Apabila dihitung secara merata, setiap perusahaan sawit men-gubah 7.205 ha lahan gambut mejadi kebun sawit. (Lihat Peta - 1)

Di Provinsi Kalimantan Barat terdapat 324.051 ha lahan gambut diubah menjadi perkebunan sawit skala besar yang dimiliki oleh 133 perusahaan kelapa sawit. Keda-laman lahan gambut yang dikonversi tadi berkisar 50 – 400 cm. setiap perusahaan ra-ta-rata mengelola 2.436 ha. Masih menurut data Sawit Watch, PT Berkah Tanjung Mu-lya merupakan perusahaan pemilik kebun sawit paling luas di lahan gambut Kaliman-tan Barat seluas 20.206 ha. (Lihat Peta - 2)

Di daerah lain, tepatnya di Kalimantan Tengah, Sawit watch mendata 592.939 ha lahan gambut diubah menjadi kebun sawit skala besar oleh 178 perusahaan. Bila dihi-tung secara merata, maka setiap perusahaan mengonversi 3.331 ha lahan gambut yang memiliki kedalaman 50 – 400 cm perkebu-nan kelapa sawit. (Lihat Peta - 3)Teknis pembukaan lahan gambut terutama untuk membangun kebun sawit baru, bi-

asanya dilakukan dengan cara membangun kanal untuk mengeringkan air lalu mem-bakar lahan. Tahapan selanjutnya adalah menaburi lahan dengan kapur dolomite dan pupuk kimia demi kesuburan tanah. Akibat konversi lahan gambut tersebut, menurut Wetlands International, Indonesia melepas-kan 2 miliar ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya. Ini sebanding dengan 8 persen dari emisi karbon manusia secara global. Sungguh tidak mengherankan ketika Indo-nesia diletakkan pada urutan ke-3 negara pembuang emisi karbon terbesar di dunia setelah Cina dan Amerika Serikat.

Meski telah diperingatkan dunia interna-sional perihal dampak negatif dari pem-bukaan lahan gambut terhadap perubahan iklim dan pemanasan global, pemerintah

Indonesia tetap tak bergeming. Demi alasan pertumbuhan ekonomi, pemerintah melalui menteri pertanian bahkan memberikan lan-dasan hukum bagi perusahaan dan banyak pihak lainnya yang berminat membuka la-han gambut di Indonesia. Peraturan baru yang memicu kontroversi tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedo-man Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Bu-didaya Kelapa Sawit.

Selain persoalan iklim, pembukaan kebun sawit di lahan gambut juga dapat memicu konflik sosial yang berkepanjangan antara masyakarakat adat/ tempatan yang pro maupun kontra terhadap keberadaan kebun sawit(vertical), juga antara masyarakat adat/ tempatan dengan perusahaan sawit dan pe-merintah lokal (horizontal). Konflik sosial ini biasanya berawal dari sengketa lahan yang berujung pada jatuhnya korban, baik nyawa maupun harta. Telaah terhadap Perluasan Kebun Sawit di Lahan Gambut

Kebijakan pemerintah, salah satunya Pera-turan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaa-tan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, akan menyebabkan perampasan hutan gambut dan lahan gambut milik masyarakat adat/ tempatan seluruh nusantara dan berpo-tensi meningkatkan pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi karbon yang terpapas oksigen lepas ke udara dari pem-bukaan lahan gambut.Indonesia telah menanam 7.8 juta ha lahan dengan sawit yang menghasilkan sekitar 19

Peta -2. Peta Kebun sawit di lahan gambut di Provinsi Kalimantan Barat

Peta-3. Peta Kebun sawit di lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah

Page 14: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 14

juta ton CPO. Bila dibandingkan dengan produksi CPO Malaysia, Indonesia masih kalah meski luas kebun sawit Indonesia leb-ih besar dibandingkan Malyasia. Jadi alasan ekspansi kebun sawit sampai mengonversi lahan gambut demi peningkatan produktifi-tas dan ekonomi sungguh sebuah argument yang terasa dibuat-buat.

Selain itu, pembangunan ekonomi yang he-bat lewat pembangunan kebun sawit ini te-lah mengakibatkan 576 konflik sosial yang bermula dari konflik lahan di 16 propinsi dari 23 propinsi yang mengembangkan ke-lapa sawit di Indonesia (Sawit Watch, Janu-ari 2009).

Emisi yang dihasilkan dari alih fungsi lahan dalam sektor sawit diperkirakan telah men-capai antara 3.1 dan 4.6 milliar ton CO2 – 46 sampai 68 kali pengurangan emisi karbon yang diharapkan Uni Eropa dengan menggunakan biofuels. Selain itu, produksi minyak sawit dari konversi lahan gambut tropis Indonesia, akan memerlukan 420 tahun produksi biofuel untuk membayar kembali hutang karbon yang telah terpapas oksigen akibat pembukaan lahan gambut (Oxfam, 2008).

Rekomendasi untuk Lahan GambutPemerintah mesti segera meninjau Pera-1. turan Menteri Pertanian No.14/Permen-tan/PL.110/2/2009;Pemerintah sebaiknya membuat mekan-2. isme dan tindakan cermat yang menjamin hak dan kebutuhan serta kesejahteraan masyarakat adat/ tempatan yang tinggal di daerah lahan gambut. Pemerintah bersama para pemangku ke-3. pentingan lainnya semestinya melaku-kan tindakan segera dan efektif untuk menyelesaikan semua konflik lahan dan sumber daya alam yang sedang terjadi, terutama di lahan gambut, akibat perlua-san kebun kelapa sawit.Pemerintah bekerja sama dengan para 4. pihak lainnya seharusnya menerapkan mekanisme resolusi konflik yang per-manen untuk mencegah eskalasi konflik sosial dan degradasi lingkungan hidup.

Dengan menerima dan melaksanakan reko-mendasi ini, pemerintah Indonesia sesung-guhnya telah melindungi hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat-nya sendiri. Juga menjaga keberlanjutan ling-kungan untuk kepentingan umat manusia.

(Abetnego Tarigan dan Jefri Gideon Saragih)

Contoh Kisah Nursiha ‘Potret Buram Kebun Sawit di Lahan Gambut’

Menurut data Sawit Watch tahun 2007, dari 513 konflik sosial yang muncul akibat ekspansi perkebunan sawit, terdapat 107 kasus yang muncul akibat konversi lahan gambut menjadi kebun sawit. Salah satu kasus perkebunan sawit di lahan gambut yang dianggap bisa menjadi pembelaja-ran bagi banyak pihak adalah kisah duka Nursiha, anggota masyarakat adat Melayu dari desa Rambai, kecamatan pangkalan Lampam, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan.

Ketika itu, februari 2005, PT PERSADA SAWIT MAS (PSM) mendapat ijin lokasi untuk membangun kebun sawit di lahan

gambut seluas 45 ribu ha dari Bupati ka-bupaten Ogan Komering Ilir. Tanpa melakukan sosialisasi yang cukup, perusahaan mi-lik Chandra Antonio Tan itu (tersangka kasus suap alih fungsi kawasan hutan untuk pelabuhan Tanjung Api-Api) langsung melakukan pembersihan lahan dan membangun kanal-kanal di lahan gambut milik masyarakat adat Melayu desa Rambai yang telah lama ditinggali secara turun-temurun. Merasa haknya terampas, Nursiha (37 tahun) bersama sekelompok warga berulang kali menemui pihak PT PSM dan pemerintah ka-bupaten bahkan pemerintah provinsi Sumatra Selatan agar tanah warga yang selama ini menjadi lahan sonor (persawaha/ padi), kebun karet dan tempat menggembalan ternak sapi atau kerbau tidak diambil secara sepihak oleh perusahaan itu. Warga tempatan ini merasa lahan gambut mampu menghidupinya.

Namun tuntutan Nursiha dan warga Rambai itu bak angin lalu di telinga perusahaan dan pemerintah daerah. Alat-alat berat milik perusahaan tetap bekerja membersihkan lahan warga untuk ditanami kepala sawit. Sesekali terlihat satu-dua polisi kecamatan memberikan jaminan keamanan terhadap pekerja.

Menyadari tuntutannya tak pernah ditanggapi, Nursiha bersama sebgain warga Rambai mulai diliputi rasa putus asa dan marah. Proses dialog yang awalnya tentram mulai berubah menjadi demonstrasi. Hingga suatu hari, di bulan Juni 2006, setelah setahun empat bulan merasa diperlakukan tidak adil dan semena-mena, puluhan warga desa melakukan unjuk rasa di depan basecamp PT PSM. Warga menuntut agar kegiatan perusahaan di wilayah adat Melayu itu segera dihentikan. Tiba-tiba aksi demonstrasi berubah anarkhis ketika sebagian warga merasa tidak puas dengan jawaban pimpinan basecamp yang plin-plan. Akibatnya 16 penduduk tempatan dijadikan tersangka oleh kepolisian resor OKI dengan tuduhan melakukan pengrusakan dan pembakaran aset perusahaan.

Tak lama setelah peristiwa itu, Ibu empat anak ini diperiksa di markas kepolisian dan selanjutnya menjalani proses peradilan. Majelis hakim Pengadilan Negeri Kayu Agung memvonis Nursiha divonis 3 tahun penjara. Merasa diperlakukan tidak adil, melalui kuasa hukumnya dari LBH Palembang, Nursiha mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, Sumatra Selatan.

Di bulan februari 2008, pengadilan banding mengurangi masa hukuman Nursiha men-jadi 1 tahun enam bulan penjara potong masa tahanan. Mendengar putusan tersebut, kejaksaan negeri Kayu Agung menyatakan tidak puas dan mengajukan kasasi. Saat ini Nursiha dan tim penasehat hukumnya sedang menanti putusan kasasi oleh Mahkamah Agung.

Derita Nursiha juga merupakan jeritan tak bertanggap dari jutaan masyarakat adat di In-donesia yang tinggal di lahan gambut. Kedamaian dan kebersahajaan hidup masyarakat adat/ tempatan ini mesti terampas akibat perluasan kebun sawit.

Page 15: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

15 Edisi III/Mei ‘09-SW10

Pendahuluan

Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit secara ekonomis telah memberi-kan harapan yang besar bagi para pemilik modal. Perluasan lahan perke-bunan kelapa sawit terus meningkat. Perluasan tanpa control, dimana hutan, lahan pertanian, bahkan pantai-pun diek-sploitasi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Di Sumut sampai saat ini tercatat luas seluruh perkebunan sekitar 967.000 ha (perkebunan kelapa sawit seki-

tar 600.000 ha, karet dll sekitar 367) (BPS, 2006) dengan jumlah buruh sekitar 2 juta buruh berdasarkan asumsi bahwa lahan seluas 100 ha dikerjakan oleh 22 buruh. Dengan demikian jumlah buruh di perkebu-nan kelapa sawit di Sumatera Utara sekitar 1.320.000 buruh.

Perluasan lahan kelapa sawit dengan mo-bilisanb buruh sebegitu banyaknya telah mendorong peningkatan produksi CPO dari Sumut. Hal ini membawa keuntungan yang besar bagi pemilik modal dan pemerintah.

Seharusnyalah kesejahteraan buruh menin-gkat seiring dengan peningkatan produksi dan keuntungan perkebunan dari waktu ke waktu. Tetapi fakta-fakta menunjukkan bahwa kesejahteraan buruh justeru menga-lami penurunan kualitas dimana daya beli buruh semakin menurun dibandingkan upah yang diterima setiap bulan.

Pada kesempatan Workshop Paralel yang diselenggarakan oleh Sawit Watch ini– Kami, Kelompok Pelita Sejahtera sebuah Ornop yang konsern pada pengorganisasian dan advokasi buruh di Sumut akan me-maparkan kondisi riel kehidupan buruh di Sumut meliputi tiga aspek yaitu : perikatan kerja, pengupahan dan kecelakaan kerja. Bentuk Perikatan Kerja di Perkebunan

Pola perikatan kerja yang longgar di perusa-haan perkebunan bersumber dari rekruitmen warisan yang telah berurat-berakar sejak ja-man kolonialisme. “Koeli kontrak” demiki-an pola perikatan kerja tempo dulu. Waktu itu, buruh perkebunan didatangkan dari luar daerah terutama suku Jawa, secara lambat laun “waktu” membaurkan mereka dengan buruh dari lingkungan sekitar perkebunan diikat dalam “kontrak 3,5 tahun”.

Lama kelamaan mereka dipaksa “betah” tinggal di emplasmen perkebunan tidak lain merupakan enclave yang membatasi mo-bilitas sosial mereka. Setelah habis masa kontrak kenyataanya mereka cuma diberi “makan”, tidak ada tabungan untuk modal beralih ke pekerjaan lain, atau pulang ke kampung halaman. Cara ditempuh memper-tahankan kelangsungan hidupnya (Coping Strategy) adalah menyetujui “rekruitmen” warisan melanjutkan “sistem kontrak”.

Baru di era awal orde lama ada pemba-haruan mendasar mengubah status “kuli kontrak” menjadi buruh tetap atau dikenal diperkebunan istilah “Buruh SKU (syarat kerja umum) lengkap dengan komponen penggajian upah pokok plus komponen kesejahtera disebut “catu 11”.

Jaman “kesejahteraan buruh” tidak berlang-sung lama. Kembali awal tahun 1970 mulai ada pembatasan pengangkatan buruh SKU

demi efisiensi cost produksi dan optimal-isasi profit perusahaan. Tahun 1970, peng-gunaan BHL di perkebunan mulai marak, dengan modus operansi “penangguhan penggangkatan menjadi buruh SKU”, Catu 11 dikonversikan dengan “uang” lahirlah konsep upah minimum (UM) menjadi dasar pengupahan untuk semua sektor produksi. Lahirlah pulalah Hubungan Industrial Pan-casila (HIP) berbasis “kuli kontrak”.

Perusahaan perkebunan mengambil keun-tungan dengan minimalisasi buruh tetap hanya untuk level managemen, sementara level buruh adalah optimalisasi BHL. Se-makin lengkap “penderitaan buruh” ketika di era reformasi, dimana Negara turut mem-beri andil menyengsarakan warganya ketika melegalkan “perbudakan modern” melalui intsrumen Undang-Undang No 13 tahun 2003.

Nasib Buruh Kebun : Kemiskinan Ditengah Rimbunan Buah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut

Gindo Nadapdap, Direktur Ekse-kutif KPS, Medan

BURUH KEBUN

Page 16: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 16

Kini, hasil eksperimen ini membuktikan bahwa pola perikatan kerja BHL saat ini, yang dikategorikan ‘permanen”, “semi-permanen” dan “bebas” dalam perburuhan kita. Pola perikatan kerja tersebut menjadi sentral bahkan menjadi variable pengaruh (indevendent variable) bagi rentetan sistem kerja, sistem penggajian, sistem penga-wasan dan pemenuhan hak-hak kesejahter-aan sosial. Suatu kongklusi bahwa ternyata “perbudakan modern” dalam praktek di sublimasikan dalam pola perikatan kerja tersebut, dibungkus rapi dalam istilah terke-nal “Hubungan Industrial Pancasila”.

Pengupahan yang tidak adilBagi buruh upah merupakan unsur funda-mental. Upah satu-satunya sumber peng-hasilan utama memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Besar kecilnya upah sangat menentukan kelangsungan hidup sekaligus ukuran kepuasan dan kesejahteraan mer-eka.

Tetapi realitasnya sepanjang sejarah tiada perubahan struktural sistem pengupahan perkebunan. Dasar pengupahan tetap ber-basis penghisapan karena polanya hampir sama dengan jaman ordonasi kuli berdasar-kan jam kerja dan target kerja ditentukan sepihak oleh perkebunan.

Pada awal kemerdekaan Indonesia memi-liki sejarah pengupahan buruh yang melind-ungi kehidupan buruh. Antara lain : Jami-nan kerja tetap dan pemberian upah kepada buruh berbasis kebutuhan pokok – dimana pengusaha diwajibkan Catu-11 (terdiri dari : beras, minyak makan, pakaian, ikan, susu, dll) kepada buruh disamping upah nominal dengan istilah “gaji besar” dan “gaji kecil”. Buruh melalui serikat buruh juga memiliki akses yang kuat terhadap penetapan upah di perburuhan melalui Dewan Perusahaan dimana unsure buruh/serikat buruh diako-modir di dalamnya.

Sejak Orde Baru perlindungan buruh terse-but bergeser total. Pengupahan kembali ber-basis penghisapan dengan “monoterisasi” sistem pengupahan dalam bentuk konversi jaminan sosial seperti fasilitas perumahan menjadi “uang kontrak” rumah. Sejak itu hi-langnya perlindungan negara terhadap pen-gupahan buruh berbasis kebutuhan pokok. Besaran upah pun hanya untuk “tetap ber-tahan hidup” bahkan untuk sekedar makan setiap bulannya. “upah kami untuk “taik” aja tak cukup”. Artinya upah riel yang mer-

eka peroleh untuk sekedar makan sehari-hari tidaklah cukup. “sementara binatang peliharaan saja seperti “anjing” dikasih ma-kan yang cukup oleh “tuanya” berarti kami ini lebih rendah dari pada anjing” demikian papar salah seorang buruh BHL lugas dan reflektif. Di tengah himpitan hidup, teruta-ma tekanan upah rendah, komunitas buruh umumnya, khususnya BHL juga “dipaksa” mengambil pilihan sulit terutama tidak tersedianya norma-norma sosial menjaga keseimbangan hidup mereka. Budaya ke-bun “hedonis” warisan sejarah masih ken-tal seperti pusat-pusat hiburan komunitas kebun nyaris vulgar (keybord bongkar) se-bagai satu-satunya media mengekpresikan dan mengapresiasi diri ditengah rutinitas kerja sehari-hari. Kondisi sosial memaksa mereka menjadi “korban” budaya konsum-erisme massa dalam bentuk kegandrungan memiliki hiburan visual ditengah keringnya arena rekreasi, dan kreasi budaya (ketoprak, wayang ludruk). Dari aspek kesejahteraan sosial dampak ke-hadiran perusahaan perkebunan juga tidak menunjukkan perbaikan. Pada hal dalam berbagai kesempatan pemerintah sering kali mengatasnamakan pengentasan pen-gangguran dan kemiskinan untuk perluasan perkebunan dengan cara mengundang in-vestasi asing.

Fakta-fakta di lapangan menunjukkan bah-wa kehidupan buruh, terutama Buruh Har-ian Lepas dan komunitas perkebunan juga memburuk. Mereka tinggal di emplasmen perkebunan dengan pondokan dan lingkun-gan nyaris kumuh, air minum yang tidak layak bagi kesehatan serta tidak dilengkapi sanitasi, irigasi yang baik serta rata-rata tidak mempunyai MCK. Akses mendap-atkan pelayanan kesehatan dilingkungan pekerjaan mereka dan pelayanan kesehatan dari pemerintah juga tidak memadai. Akses pendidikan bagi mereka dan anak-anak mereka juga cukup mahal jika dibandingkan dengan besar upah mereka sebagai buruh.

Tingginya tekanan upah yang rendah me-maksa mereka bekerja melebihi kemampuan rasional kerja manusia dengan merangkap berbagai pekerjaan sampingan hanya un-tuk mempertahankan kehidupan “sekedar makan” adalah suatu pandangan yang ironi ditengah luasnya perkebunan sawit, kualitas rendeman minyak dan ditengah tumpukan “dollar” yang dihasilkan dari keringat mer-eka. Itulah realitas perkebunan kita yang tidak berdampak bagi kesejahteraan buruh dan kesejahteraan komunitas masyarakat sekitar.

Karakteristik Kecelakaan Kerja di Perkebunan Isu Keselamatan dan kesehatan kerja (selan-jutnya disingkat K-3) merupakan masalah penting dalam dunia perburuhan. Selain sebagai hak dasar buruh, K-3 penting kar-ena pihak yang berkaitan dengan masalah tersebut harus berusaha untuk mengurangi kemungkinan resiko dan bahaya dalam bek-erja (aspek preventif), memungkinkan ter-capainya pengobatan (aspek kuratif) dan pemulihan kesehatan (aspek rehabilitatif) bagi buruh khususnya mereka yang menga-lami kecelakaan kerja.

Hal ini tercapai bila prinsip-prinsip ber-hubungan dengan hak dan kewajiban pe-merintah, pengusaha dan pihak buruh dit-erapkan secara baik. Secara normatif, hal tersebut menyangkut aspek regulasi dan pengawasan mempunyai kerangka yang ter-perinci dalam perundang-undangan.

Kebijakan relasi hubungan majikan-buruh yang jelas dalam bentuk peraturan-pera-turan dan tugas-tugas operasional yang ter-defenisikan serta otoritas dan kompetensi kelembagaan pengawas yang bertujuan mendukung upaya-upaya pengusaha dan pekerja memperbaiki tingkat K-3.

Managemen perusahaan perkebunan yang berusaha keras mematuhi semua hukum, peraturan dan kode etik yang relevan den-gan K-3, mensosialisasikan, mengiden-tifikasi potensi bahaya dan pengaruhnya terhadap K-3 memastikan bahwa mereka berusaha mengurangi bahaya (resiko kerja), yang terimplementasikan dalam kebijakan penanggulangan K-3 yang tersistematisir dalam managemen perusahaan.

Buruh yang bekerjasama erat dengan pen-gusaha dan otoritas pengawas regulasi mempromosikan keselamatan kerja. Para buruh/ pekerja melalui wakil mereka mem-punyai hak dan tugas berperan serta dalam semua hal yang terkait dengan K-3. Hal tersebut mencakup hak untuk memperoleh informasi yang tepat dan menyeluruh dari pengusaha tentang: resiko, memperhatikan tindakan dan kelalaian mereka di tempat kerja, memelihara alat kerja dan pelind-ung kerja, melaporkan bila buruh percaya bahwa pelindung K-3 yang disediakan pe-rusahaan tidak sesuai atau tidak cukup atau percaya bahwa pengusaha gagal memenuhi ketentuan hukum, aturan dan prosedur kode

Page 17: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

17 Edisi III/Mei ‘09-SW10

praktek K-3 dan membawa masalah ke ting-kat pengawas ketenagakerjaan atau badan lain yang berkompeten. Serta pekerja mem-punyai hak untuk pemeriksaan kesehatan tanpa dipungut biaya dan penanggulangan apabila oleh kondisi tertentu dalam kerja menyebabkan gangguan kesehatan dan atau kecelakaan kerja.

Data dilapangan menunjukkan masalah K-3 sebagai isu perburuhan masih relevan dipersoalkan. Temuan di 5 perusahaan perkebunan sawit dan Karet di Sumatera Utara antara lain; PT Lonsum Turangi Es-tate, Sofindo Mata Pao, PTPN II Langkat dan PT BSP dan PT Anglo Eastern Planta-tion di Asahan menunjujukan bahwa dari 47 kasus kecelakaan, 32 korban (68,08%) dikategorikan sebagai kecelakaan ringan, 11 korban (23,40%) cacat total akibat kena tatal (getah), tertimpa buah sawit, ketimpa kotoran getah karet dan kotoran berondolan ke dalam mata menyebabkan kebutaan dan 2 korban (4,25%) meninggal dunia karena sengatan listrik di area perbatasan kebun dan tertimpa tandan buah segar (KPS, 2008).

Hal ini berarti bahwa sistem K-3 belum ber-jalan dengan baik. Pihak yang mempunyai otoritas atas aspek regulasi dan pengawasan belum menegakkan pengawasan dan sanksi tegas terhadap pengusaha yang tidak mema-tuhi aturan-aturan, code etik yang berkaitan dengan K-3. Pada hal amanat UU No.1 Ta-hun 1970 tentang Keselamatan Kerja sudah mengatur syarat-syarat pelaksanaan K-3 berikut sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakanya.

Demikian juga pihak pengusaha belum melihat K3 sebagai budaya kerja beradap. Sikap sebagian perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru tentang program K-3 yakni semata-mata di lihat dalam perspektif biaya yang membebani perusahaan.

Pada hal mengeluarkan biaya untuk sosial-isasi dan pembelian alat-alat kerja, pelind-ung kerja, pelatihan-pelatihan kerja menin-gkatkan keterampilan kerja dapat menekan angka kecelakaan kerja yang berakibat pada berkurangnya biaya untuk penanggulangan kecelakaan kerja.

Bentuk Kecelakaan kerja PerkebunanBentuk kecelakaan kerja di perkebunan, khususnya perkebunan sawit dan karet ada-lah tertimpa pelepah dan buah, mata terkena

kotoran dan tatal (getah) bagi buruh bagian panen dan pembersihan lahan.Terkena tete-san gromoxone, roun-dup dan terhirup ra-cun pestisida, fungisida dan insektisida ter-utama pekerjaan yang berhubungan dengan penyemprotan.

Bentuk kecelakaan kerja tersebut ber-dampak pada resiko cacad anggota tubuh seperti mata buta bagi pemanen buah sawit dan penderes karet, cacad kelahiran teruta-ma bagi wanita penyemprot, bahkan menu-mui ajal ketika tertimpa tandan buah sawit (TBS).

Umumnya penyebab kecelakaan kerja karena tempat kerja yang tidak aman sep-erti lokasi yang tidak rata menyulitkan memanen, lokasi kerja bersemak tempat bersemainya binatang berbisa, jalan licin dan berlobang berpotensi buruh terpeleset sewaktu proses kerja, serta budaya kerja kurang beradap seperti alat pelindung kerja tidak cukup atau tidak memenuhi standart keselamatan kerja dan perilaku tidak meng-indahkan kerja yang benar terutama akibat minimnya sosialisasi dan pelatihan kerja bagi buruh perkebunan.Dengan demikian di sektor perkebunan, potensi kecelakaan kerja cukup tinggi. Sayangnya masih kerap terjadi di lingkun-gan perkebunan yang tidak mengidenti-fikasi potensi resiko, penyebaran informasi yang cukup bagi buruh tentang resiko dan penanggulangan kecelakaan terutama pe-nyediaan P3K dan pondok berlindung ke-tika cuaca buruk serta “pembiaran” buruh bekerja tanpa menggunakan peralatan per-lengkapan kesehatan dan keselamatan kerja (K3). Tidak ada antisipasi pencegahan kera-cunan dan perlindungan kesehatan buruh. Untuk mencegah kecelakaan kerja sehar-usnya pihak perkebunan memberikan pen-didikan tentang bahaya, resiko dan dampak zat-zat kimia yang digunakan, melakukan pemerikasaan kesehatan buruh kepada dok-ter ahli, dan merotasi buruh yang bekerja di bagian yang berhubungan dengan bahan kimia yang berbahaya. Hal ini mengakibatkan banyak buruh kebun belum mengerti K-3 termasuk hak dan ke-wajiban perusahaan perkebunan, pemerintah baik dalam bentuk pengetahuan dan kaitan-nya dengan operasi kerja mereka. Pada hal K-3 berfungsi untuk melindungi dan men-jaga diri buruh tersebut agar terhindar dari kecelakaan kerja yang merugikan mereka. Pemberiaan alat kerja dan pelindung kerja

yang tidak cukup dan tidak memenuhi stan-dart keselamatan kerja. Sebagai contoh, kaca mata yang diberikan perusahaan tidak menutup keseluruhan permukaan mata, dan kalau digunakan mudah terkena embun me-nyebabkan penglihatan kabur. Akibatnya rata-rata buruh tidak menggu-nakan karena mengganggu proses kerja sementara target-target yang tinggi juga menjadi salah satu pertimbangan buruh un-tuk menggunakannya. Sementara upah ren-dah yang diterima buruh seringkali menjadi kendala menyebabkan mereka bekerja tidak memperdulikan aspek keselamatan kerja. Banyak buruh perkebunan bekerja tanpa memiliki alat kerja dan pelindung kerja yang memadai. Dari sisi ekonomi, buruh tidak mampu me-nyediakan alat dan pelindung kerja karena upah rendah, membeli makanan bergizi untuk mengganti sel-sel tubuh mereka yang keracunan karena upah yang mereka terima sangat tidak mencukupi untuk me-menuhi kebutuhan minimum setiap hari. Oleh karena itu, buruh kebun akan bekerja sebanyak mungkin dengan melibatkan se-luruh anggota keluarga hanya untuk dapat memenuhi kebutuhan makan dengan kuali-tas yang memprihatinkan, sementara beban kerja memerlukan energi yang tinggi tidak sebanding dengan kualitas makanan yang dikonsumsi setiap hari. Itulah realitas ke-celakaan kerja yang tinggi di perkebunan di tengah tumpukan dollar yang dihasilkan oleh buruh kita.

PenutupDari paparan di atas tampak bahwa bagaima-na dinamika pergerakan modal (liberalisasi) mengkontruksi relasi kerja, dan peran Neg-ara diminimalisir yang berakibat pada ket-erpurukan nasib buruh. Dengan demikian maka solusi ke depan adalah mengemba-likan kebijakan perburuhan berbasis kes-ejahteraan sebagaimana amanat UUD, 45 “jaminan pekerjaan”, “hidup layak” dan “kebebasan berorganisasi”. Tidak ada pili-han lain bagi buruh, kecuali bangkit meng-konsolidasikan kekauatan kekuata serikat buruh. Dan mendorong pemerintah meng-kaji ulang peraturan perburuhan, penga-wasan terhadap perusahaan perkebunan dan peran perusahaan mengimplementasikan tanggung jawab sosialnya.

(Gindo Nadapdap, Dir. Eksekutif KPS)

Page 18: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 18

Nuklir jelas bukan sumber energi berkelanjutan kar-ena uranium yang merupa-kan bahan bakunya tidak berlimpah. Dengan kapa-sitas penggunaan energi nuklir saat ini, diperkira-kan uranium di dunia akan habis dalam kurun waktu 34 tahun ke depan. Niat Indonesia untuk menghasil-kan energi nuklir sebaiknya ditinjau kembali. Selain karena rentan terhadap ke-celakaan yang membinasa-kan, juga cadangan uranium yang dimiliki negeri ini sangat sedikit. Bila wacana pengembangan energi nuklir ini tetap dipaksakan men-jadi program kerja pemer-intah, bisa dipastikan un-tuk memenuhi bahan baku uranium Indonesia mesti mengimpornya dari negara Australia, Kanada, Kazakh-stan, Namibia, Niger, Rusia, Brasil dan Uzbekistan.

Bercermin dari pembangunan PLTN terbaru di negara maju, seperti di Finlandia dan Perancis, pemerintah

Indonesia mengklaim bahwa energi murah bisa dihasilkan dari PLTN dengan biaya 1.500 USD/kW. Namun klaim pemerintah tadi sangat wajar untuk diragukan. Ber-dasarkan riset literature, disebutkan bah-wa di Finlandia, misalnya, pembangunan PLTN Olkiluoto sejak tahun 2005 telah dihentikan dalam 3 tahun terakhir akibat

pembengkakan biaya konstruksi. Semula biaya pembangunan diperkirakan mencapai 4 miliar USD, ternyata pada saat pelaksan-aannya dibutuhkan tambahan dana sebesar 2,3 miliar USD. Berdasarkan kasus di atas, lembaga keuangan terkemuka AS, Moody's, memperkirakan biaya energi dari PLTN sebesar 7.500 USD/kW.

Selain membutuhkan dana konstruksi yang besar, persoalan lain yang kerap muncul dari PLTN adalah limbah radioaktif. Meski telah menghabiskan dana penelitian trili-unan rupiah, hingga saat ini belum ada neg-ara yang mempunyai metode pembuangan limbah radioaktif yang aman. Belum lagi faktor bahaya radiasi dari reaktor tersebut terhadap masyarakat. Sebuah penelitian resmi pemerintah Jerman menunjukkan, dalam keadaan normal, tingkat kanker dan leukemia pada balita yang tinggal di sekitar PLTN Jerman sangat menonjol, yaitu men-galami peningkatan cukup signifikan dari 54% menjadi 74%. Tentu saja, hal itu belum memperhitungkan bila terjadi kecelakaan nuklir seperti yang pernah dialami AS dan Soviet.

Dan jika dikaitkan dengan situasi global saat ini, persoalan perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan kehidupan di bumi akibat pelepasan gas rumah kaca (GRK), nuklir juga tidak mampu memberi-kan kontribusi berarti terhadap penguran-gan emisi tersebut. Meski kapasitas reaktor nuklir ditingkatkan empat kali lipat (dari 2.600 TWh/tahun menjadi 9.900 TWh/ta-hun di tahun 2050), emisi GRK tereduksi hanya akan berkurang 6%. Padahal untuk mencapai kapasitas itu pun nyaris mustahil, karena itu berarti, sejak saat ini hingga ta-hun 2050 harus dibangun 32 PLTN berka-pasitas 1.000 MW per tahun! Bandingkan dengan AS yang saat ini “hanya” memiliki 103 PLTN.

KEDAULATAN ENERGI

Berpaling ke nuklir jelaslah bukan jawaban bagi persoalan energi Indonesia. Sebaliknya, ia justru merupakan ancaman baru dalam membangun kedaulatan energi. Indonesia akan semakin mengalami ketergantungan dengan lingkar kapitalisme global di mana teknologi, sumber pembiayaan (utang luar negeri) dan bahan baku energi sepenuhnya dikendalikan oleh pihak asing. Pada saat yang sama, sumber energi Indonesia terus terkuras tanpa bisa dimanfaatkan untuk ke-makmuran rakyat.

Pemerintah Indonesia jelas keliru jika betul-betul memilih nuklir sebagai sumber energi. Patut diingat bahwa ke-439 reaktor nuklir komersial yang saat ini beroperasi diseluruh dunia, hanya mampu memenuhi kebutuhan listrik dunia sebesar 15%. Apabila jadi di bangun di Indonesia, penggunaan energi nuklir pun hanya akan menggantikan 2% penggunaan energi lainnya. Tentu saja hal ini tidak sebanding dengan biaya dan an-caman (resiko) dari pembangunan PLTN tersebut. Oleh karena itu, demi kemaslahatan bangsa dan kedaulatan energi Indonesia, penulis menghimbau kepada pemerintah untuk: pertama menghentikan rencana penggunaan nuklir sebagai sumber energy. Kedua men-galihkan segala pembiayaan dan tenaga ahli di bidang nuklir untuk mengembangkan sumber energi yang benar-benar terbarukan dan berkelanjutan yang memang dimiliki dari Sabang hingga Merauke, seperti mikro-hidro, angin, tenaga surya, geothermal, dll.

oleh : Dian Abraham(dikutip dari dokumentasi Kusnadi Wirasapu-tra).

Nuklir Jelas Bukan Jawaban Bagi Masalah Energi dan Perubahan Iklim

KEBIJAKAN

Page 19: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

19 Edisi III/Mei ‘09-SW10

Profil Perusahaan

A. Sejarah Perusahaan

PT.Perkebunan Nusantara XIII (Persero) disingkat PTPN XIII adalah perusa-haan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang didi-rikan tgl. 11 Maret 1996 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 tahun 1996. Akta pendirian perusahaan dibuat oleh no-taris Harun Kamil, SH No.46 tanggal 11 Maret 1996 Dan telah disahkan oleh Men-teri Kehakiman R.I melalui keputusan No. C2-8341.IIT.01.01.TII.96 tahun 1996 serta dimasukkan dalam LEMBAR BERITA NEGARA RI No. 81.

Pada awal operasinya (Maret s/d Juli 1996) Kantor Direksi PTPN XIII menempati Kantor Eks. LO PTP 7.

Karena gedung tersebut akan direhab maka Kantor Direksi berpindah sementara waktu ke Kantor PT. POS Indonesia selama tahun 1996 s/d 1998. Kemudian setelah pemban-gunan gedung Kantor Direksi yang baru selesai maka hingga saat ini Kantor Direksi PTPN 13 pindah ke Jalan Sultan Abdur-rachman No. 11 Pontianak, Kalimantan-Barat. PTPN 13 merupakan penggabungan dari Proyek Pengembangan 8 (delapan) Eks PTP yaitu PTP VI, VII, XII, XIII, XVIII, XXIV-V, XXVI DAN XXIX yang semuan-ya berlokasi di Kalimantan.

PTPN XIII bergerak pada bidang usaha agroindustri. Komoditas utama yang dikel-ola PTPN 13 yaitu Kelapa Sawit dan Karet. Arah pengembangan Kelapa Sawit dilaku-kan melalui usaha horisontal dan vertikal. Pengembangan horisontal melalui perlua-san areal terutama Kebun Plasma mengin-gat luas wilayah Kalimantan dengan iklim tropis sepanjang tahun masih terbuka un-tuk memperluas areal perkebunan. Sedang pengembangan yang bersifat vertikal meru-pakan strategi membangun Down Stream Industry, di mana di dalamnya terdapat In-dustri Fraksinasi, Refinery, Oleo Kimia,dan industri Pemanfaatan Sisa olahan.

Kondisi Masyarakat Sanggau Pasca Keberadaan PTPN XIII

PTPN XIII yang dulunya masih bernama PTP VII mulai masuk di daerah Ngabang dan Sanggau sejak tahun 1984. Khusus di Sanggau, kecamatan yang mulai dibuka

untuk kebun sawit terdapat di Parindu dan Kembayan. Dalam melakukan pembukaan kebun PTP VII sistem yang di gunakan pe-rusahaan adalah inti, dimana masayarakat tidak terlibat dalam aktivitas perusahaan hanya menjadi penonton saja. Demi me-menuhi tenaga kerja di daerah Meliau (ke-bun pengembangan baru) dan Kembayan didatangkan transmigran dari pulau Jawa. Akibat program transmigran, dibuatlah satu sistem perkebunan dengan pola PIR Trans sejak tahun 1987.

Melihat keistimewaan yang didapatkan para transmigran, masyarakat lokal kemudian menuntut hak-hak atas tanah yang diam-bil oleh PTPN XIII. Perjuangan ini sam-pai pada ditingkat nasioanal dengan men-emui fraksi golkar DPR-RI (memorandum 12 november tahun 1989) dan kemudian melakukan tuntutan hukum (litigasi) yang hingga saat ini belum tuntas. Setelah per-juangan yang dilakukan masayarakat, pihak manajemen PTP VII mulai menggunakan pola kemitraan dengan memberikan dan mengembalikan kebun masyarakat dengan pola plasma. Hingga saat ini ada 6 distrik kebun yang dibangun didaerah Kabupaten Sanggau yaitu Kebun Parindu, Kembayan, Rimba Belian, Sungai Dekan, Gunung Mas, dan Gunung Meliau. Sungguh aneh apabila perusahaan perkebunan yang beroperasi de-jak tahun 1986 ini, baru memperoleh HGU dari BPN pada tahun 2003. Dari sisi manajemen, dalam upaya mewujud-kan visinya PTPN XIII melakukan Program Transformasi Bisnis (PTB) yang dicanang-kan sejak Mei 2001. Salah satu produk dari PTB adalah Manajemen telah menetapkan Strategic Initiatives (SI) yang merupakan terobosan fundamental dalam upaya men-ingkatkan pola kerja konvensional (Busi-ness as Usual) menjadi perusahaan berbasis ilmu pengetahuan standar kelas dunia. Da-

DILEMA PETANI PLASMA

PTPN XIII DI SANGGAU

Jefri Gideon Saragih

PETANI

Page 20: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 20

lam proses Transformasi Bisnis, Strategic Initiatives menjadi penting karena menjadi pijakan untuk melakukan lompatan bisnis dalam keseluruhan operasional perusahaan.PTPN XIII berkantor pusat di Pontianak, Kalimantan Barat, sampai dengan akhir ta-hun ini mempekerjakan karyawan tetap dan honorer sebanyak 13 ribuan orang. Dengan dukungan ribuan karyawan tersebut, PTPN 13 telah menunjukkan pertumbuhan kinerja yang konsisten.

B. Landasan HukumLandasan Hukum PT Perkebunan Nusantara XIII (Persero) disingkat PTPN XIII adalah Suatu Badan Usaha Milik Negara yang didirikan pada tanggal 11 Maret 1996 ber-dasarkan Peraturan Pemerintah (PP)No. 18 Tahun 1996 dan Akte Notaris Harun Kamil, SH. No. 46 tanggal 11 Maret 1996, dan te-lah disyahkan oleh Menteri Kehakiman RI melalui Keputusan No. C2-8341.HT.01.01 TH 96 tanggal 8 Agustus 1996 serta LEM-

BAR Berita Negara RI tanggal 8 Oktober 1996 No. 81

C. Luasan

Sejak beroperasi dari tahun 1984, PTPN XIII baru mendapat HGU pada tahuan 2003, artinya hampir 20 tahun PTPN beroperasi tanpa ada HGU.Hingga saat ini ada berapa versi luasan yang ada berkaitan dengan ar-eal yang di kerjakan oleh PTPN XIII ini, ada beberapa data yang di peroleh terjadi perbedaan angka yaitu untuk areal kebun kembayan saja Ada empat versi tentang HGU PTPN XIII Kebun Kembayan yaitu versi bupati :1) 4,028,7 Ha, 2) HGU luas inti sebenarnya : 5,033,67 Ha 3) DMKB-2 : 5,414 Ha 4) SK BPN 21 juli 2003 surat ukur 75/ sanggau/ 2003 luas lahan 4.439,9529 Ha,

D. Sistem Perusahaan

Pada saat masuknnya perusahaan PTP VII di wilayah Prindu dan kembayan pola yang diterapkan oleh perusahaan adalah kebun inti tanpa ada keterlibatanan masyarakat

no Lokasi/ KebunData Luas dari

Dinas Perkebunan Kalbar

Data Sertifikat HGU BPN Sanggau

1 Kembayan 5.413 Ha 4.439,9529 HaNo. 75/Sanggau/ 2003

2 Meliau 9.531,25 Ha *)

3 Tayan Hilir 18.479 Ha *)

4 Sanggau Kapuas 1.615 Ha *)

5 Tayan Hulu *) 1. 80.03 HaNo. 74/Sanggau/ 20032. 893.46 HaNo. 76/Sanggau/2003

ket : *) = belum ada data

Tabel Jenis/ pola yang di terapkan oleh perusahaan PTPN XIII

No. Pola Tahun Keterangan1. Pola Inti 1984 Kebun Sawit seluruhnya digunakan oleh perusahaan (100 %) milik peru-

sahaan

2. Pola PIR tran 1987 Pengelolaan kebun sawit mendatangkan transmigarsi (program Pemerin-tah) untuk di jadikan buruh di kebun sawit, dimana para transmigran mem-peroleh kebun 1 kapling/ KK dan membayar kredit ke perusahaan

3. Pola KKPA(Kredit Koperasi Primer Anggota)

1999-2002 Kredit investasi dan/atau Kredit Modal Kerja yang diberikan oleh bank ke-pada koperasi primer KUD untuk diteruskan kepada anggota-anggotanya (petani sawit) guna membiayai usaha produktif anggota koperasi. Namun di lapangan pola ini banyak terjadi indikasai penyelewengan dana KKPA oleh KUD dan Perusahaan

4. Pola Kemitraan/ PIR-Bun 1997-sekarang Masyarakat di bagikan kapling dengan menyerahkan tanah (sesuai kese-pakatan luasan tanah yang akan di serahkan) dan akan memperoleh lahan 1 Kapling (2 Ha) kebun dan selanjutnya harus membayar kredit ke Bank.

Page 21: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

21 Edisi III/Mei ‘09-SW10

lokal. Untuk mendatangkan buruh dan pekerja di datangakan transmigran dari jawa sehingga dilakuakan pola PIR Trans. Hingga saat ini banyak kebun-kebun yang di peroleh di jual kemasyarakat lokal bah-kan ditinggalkan sama sekali. Namun set-elah ada tuntutan dari masyarakat lokal un-tuk di libatkan dalam perkebunan sawit dan menuntut hak-hak atas tanah yang dirampas maka mulai di terapkan pola kemitraan dan memberikan beberapa kebun inti untuk masyarakat. Pada tahun 1997 pihak PTPN XIII melakukan ekspansi dan pembukaan kebun baru dengan pola plasma (Pir-Bun), dimana masyarakat menyerahkan lahan 7,5 Ha dan akan mendapat kebun sawit 1 ka-pling ( 2 Ha). Namun masyarakat akan di bebankan dengan beban kredit ke Bank di-mana perusahaan sebagai penjamin kredit yang di potong dari hasil panen kebun sawit, sementara angka kredit dan jangka waktu pembayaaran sering tidak jelas dan transparan.

Pola Pir-Bun ( Plasma) ini banyak menemui kendala dimana pihak petani masih tergan-tung dengan KUD dan Perusahaan. Pada tahun 2000 dilaksanakan program pembu-kaan kebun baru dengan pola KKPA. Pola KKPA ini seharusnya murni milik petani melaui KUD pimer yang didirikan ang-

Tabel Kasus Petani Sawit Di Sanggau

Pihak yang berseng-keta

No. Nama Kasus Lokasi Komunitas

Lawan Seng-keta

Deskripsi Kasus

1 Kasus Rantau Dusun Rantau Kecamatan Kembayan

Masyarakat Dusun Rantau

Perusahaan PTPN XIII

Masyarakat dusun rantau (103 KK) hingga saat ini belum mendapat Kapling dan mengklaim inti IV kembayan (243 Ha) untuk di jadikan plasma

2 Kasus desa Bukong

Desa Bukong dan Sungai Dekan

Masyarakat Desa Bukong Dan Sungai Dekan

PTPN XIII Sejak tahun 1984 Masyarakat belum mem. Penduduk lokal kemudian menuntut kapling di daerah desa mereka sendiri, bukong bukan di tem-pat lain.

3 Kasus Desa Tanap

Desa Tanap Kecamatan Kembayan

Masyarakat Desa Tanap

PT. Ganda Prima (Salim Group)

Kebun yang di terlantarkan

4 Kasus Tan-jung Pinang

Desa Tan-jung Pinang Kecamatan Kembayan

Masyarakat Tanjung Pinang

PT.Ganda Prima

Panen Massal

5 E k s p a n s i PT.MAS

Desa Kampuh K e c a m a t a n Kembayan

M a s y a r a k a t Desa Kampuh dan Ds. Pinsam

PT.MAS

Kelompok 16 gantungan

S e m b a w a n g Bacong

16 masyarakat sembawang ba-cong

PTPN XIII 16 Masyarakat yang sudah menyerahkan tanah namun belum mempero-lah kapling kebun sawit

gotanya. Kebun yang di bangun seharusnya adalah murni milik petani yang dibangun di atas tanahnya sendiri, sementara perusahaan hanya pelaksa teknis untuk membangun ke-bun. Semantara dana kredit langsung di aju-kan oleh KUD ke BANK untuk membiayai kebun petani. Namun dalam pelaksannanya pola KKPA di Kembayan terjadi penyele-wengan dana dan tumpang tindih lahan, dimana seharusnya pola KKPA mewajibkan untuk membuka kebun baru, namun yang ada saat ini kebun sawit yang ada adalah kebun sawit tahun tanam 1996. jadi po-tongan terhadap masyarakat dimulai tahun 1996 hingga kredit petani nantinya akan lunas (perjanjian resminya 4 tahun) namun petani tidak tahu kapan kebunnya akan lu-nas, karena dia juga tak tahu berapa jumlah total kredit yang mesti dia bayarkan. Sedan-gkan fungsi KUD hanya menjadi tempat pembayaran dan proses administratif belaka kebun-kebun milik petani plasma.

PTPN XIII masih mengontrol mekanisme kerja KUD melalui orang-orang perusahaan yang ditempatkan di KUD, yaitu asisten kebun, mandor I (pengawas kebun plas-ma), kerani buah (penghitung TBS petani plasma) dan pembantu mandor (mengawasi pekerjaan para staf KUD). Yang aneh, ke-tika petani melalui KUD meminta pupuk,

pestisida dan obat-obatan tanaman, dan angkutan (truk), sampai saat ini pihak peru-sahaan tidak pernah mengabulkan permint-aan tersebut.

IV. Gambaran Umum

A. Gambaran Umum Wilayah Sang-gau

Kabupaten Sanggau merupakan salah satu daerah yang terletak di tengah-tengah dan berada dibagian utara Propinsi Kalimantan Barat dengan luas daerah 12,857,70 km2 dengan kepadatan penduduk per km2 rata-rata 29 jiwa.Dilihat dari letak geografisnya kabupaten sanggau terletak diantara 1 de-rajat 10 menit LU dan 0 derajat 35 menit LS. serta diantara 109 derajat 45 menit, 111 derajat 11 menit Bujur Timur.

Batas Wilayah Kabupaten Sanggau adalah :

Sebelah Utara berbatasan dengan 1. Malaysia Timur ( Serawak )Sebelah Selatan berbatasan dengan 2. Kabupaten KetapangSebelah Timur berbatasan dengan Kab. 3. Sintang, dan SekadauSebelah Barat berbatsan dengan Kab. 4. Landak

Page 22: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

TandanSawit 22

Kabupaten Sanggau merupakan daerah ter-luas dan berada diurutan ke 4 dari Kabu-paten / Kodya di Propinsi Kalimantan Ba-rat. Kecamatan yang terluas di Kabupaten Sanggau adalah :

Kecamatan Jangkan dengan luas • 1.589,20 km2Kecamatan Meliau dengan luas 1.495,70 • km2

IKLIMKabupaten Sanggau beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan tertinggi mencapai 196 mm terjadi pada bulan januari dan terendah mencapai 54 mm terjadi pada bulan juli.

Pada umumnya Kabupaten Sanggau meru-pakan daerah dataran tinggi yang berbukit dan rawa-rawa yang dialiri oleh beberapa sungai seperti Sungai Kapuas, Sungai Se-kayam.

Adapun jenis tanah yang terdapat dikabu-paten sanggau adalh jenis podsolik yang hampir merata diseluruh kecamatan.

TOPOGRAFI Jenis tanah yang terdapat di Kabuapten Sanggau adalah jenis tanah podsolid merah kuning batuan dan padat yg hampir seluruh Kecamatan dengan luas mencapai sekitar 576,910 ha

GEOLOGIFormasi geologi antara lainj adalah Formasi kwartir, Kapur, Trias, Pistosen, Instruksif dan Plutonik Basa menengah, Intruksif Plu-tonik Asam, Seksi Hablur Intruksif dan Plu-tonik Lapisan Batu dan Permo Karbon.A. Konflik dan persoalan yang dihadapi masyarakat dan Petani dalam pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit

a. Masyarakat lokal

Pengadaan lahan perkebunan tidak mem-1. perhatikan hak-hak dan tata cara/prose-dur masyarakat adat sebagai pemilik atas hak tanah adat/ulayat.Pengalihan hak atas tanah untuk perke-2. bunan/lahan inti tidak ada ganti rugi, dan derasa atas tanam tumbuh tidak jelas se-hingga merugikan dan melecehkan hak dan keberadaan masyarkat adat.Timbulnya konflik antar sesama ma-3. yarakat, masyarakat dengan pemerintah dan masyarakat dengan perusahaan.Proses pembangunan kebun tidak meng-4.

gunakan amdal sehingga menyebabkan pencemaran dan kerusaakan lingkun-gan.erjadinya pergeseran nilai sosial-budaya 5. yang berdampak negatif terhadap ke-hidupan bermasyarakat.Konversi lahan plasma tidak sesuai 6. aturan awal, tidak adil, tidak transparan baik secara hukum adat, kesepakatan awal dan aturan negara yang berlaku.Keberpihakan pemerintah terhadap peru-7. sahaan yang cenderung sebagai alat dan membela kepentingan perusahaan.Pembangunan Infrastruktur jalan pen-8. ghubung menuju kebun plasma tidak diperhatikan oleh perusahaan dan pe-merintah.Perusahaan tidak menghormati, mema-9. tuhi dan melecehkan hukum adat setem-pat.

Aparat keamanan cenderung men-10. jadi alat perusahaan dan mengintimidasi petani.

b. Persoalan Petani

Ada dua persoalan objektif yang di hadapi oleh petani yaitu persoalan internal yang di hadapai oleh petani sendiri dan persoalan eksternal yang mempengaruhi petani seta-lah meraka menjadi petani kelapa sawit.

A. Management Kebun

1. Permodalan (dukungan dana: credit/bantuan) Replanting• Mengembangkan usaha lain•

2. Kemampuan / pengetahuan mengelo-laan kebun rendah

3. Kebun yang diterima tidak layak4. Fasilitas kebun rusak

Alat transportasi (truck) tidak pasti• Jalan koleksi/utama buruk•

5. Organisasi KUD belum optimalAdministrasi tidak transparant• Dikendalikan oleh kelompok tertentu• Tidak berjalan dengan baik• Komunikasi antar pengurus dan ang-• gota

B. Tanggung Jawab Pihak Lain

1. Pemerintah

Berpihak kepada perusahaan bahkan • pihak pemerintah menjadi tim kampa-nye (satgas dan satlak) dalam pembu-kaaan lahan.Perhatian kepada petani rendah dan • sangat jarang melakuakn pelatihan un-tuk mengembangkan kapsitas petani. Pembinaan hanya di lakukan melaui

KUD dengan pendekatan proyek yang tidak pernah dinikmati oleh petani.

2. PerusahaanPelanggaran perjanjian• Terlambat konversi• Belum dikonversi• Tidak jelas status kebun plasma•

3. Tidak transparant4. Pembangunan/pengelolaan kebun

plasma

III. Konflik petani kelapa sawit dengan perusahaan yang ada di Kabupaten Sang-gau

A. Dalam perkembangan beberapa konflik dan kasus-kasus petani ke-lapa sawit yang berada di daerah Sanggau antara lain : (lihat tabel kasus petani sawit di sanggau)

B. Modus Penganan Konflik

a. Perusahaan Memberikan janji-janji ke masyarakat• Mendatangkaan pihak kepolisian dan • tentaraMelakukan negoisasi/pertemuaan den-• gan masyarakat namun tidak pernah mengimplementasikannya.Mengulur waktu dengan membuat kes-• pakatan yang tidak pastiDalam melakukan sosialisasi menguana-• kan pihak pemerintah dan menjanjikan kesejahteraan, sementara pola yang dit-erapkan tidak adil.Pendekatan elit ( tokoh masyarakat, ag-• amwan dan pemerintahan kecamatan dan desa)Memanfaatakan orang-orang fokal di • masyarakat dengan menjadikannya sebagai karyawan tidak tetap (Humas)• b. Pemerintah• Memfasilitasi pertemuan dan negoisasi • antara masyarakat dengan perusahaanCenderung berpihak pada perusahaan• Tidak pernah bersikap tegas terhadap • konflik yang terjadi antara masyarakat lokal dan perusahaan sawit.

b. MasyarakatMelakukan negosiasi dengan perusahaan • dan pemerintahMenutut penyelesaian persoalan tanah • dengan mengajukan surat tuntutan ke pemerintah.Mendatangi / audensi pemerintah dan • DPRMengklaim lahan dengan upacara adat • (pomang)Panen massal •

Page 23: Tandan Sawit Volume 3/ 2009

23 Edisi III/Mei ‘09-SW10

Mengorgnisir diri dengan membuat ser-• ikat petani kepa sawit (SPKS) Berdemonstrasi ke pemerintah dan pe-• rusahaan menuntut lahan atau bagi hasil yang adil.

c. Kondisi masyarakat sebelum masuknya sawit.

A. Sebelum masuknya sawit1. Belum banyak konflik di masyar-

kat2. Ketersediana sumberadaya

alam ( hutan) masih bisa di manfaatkan oleh masayrakat lokal

3. Nilai-nilai budaya lokal masih terjaga

B. Setelah masuknya Peru-sahaan1. Konflik meningkat di

masyarakat2. Peningakatan ekkonomi han-

ya dirasakan segelintir orang, perangkat desa dan pemangku adat serta masyarakat pen-datang yang menjadi pekerja atau bagian dari bisnis sawit.

3. hilangnya sumberdaya hutan ( Hewan, Tanaman Obat, Tem-bawang)

V. Kesimpulan

Perkebunan kelapa sawit hingga saat ini belum memberikan kontri-busi yang nyata dalam menunjang perekonomiann masyarakat lokal khususnya petani kebun sawit. Pada saat masuk ke wilayah Sang-gau, perusahaan banyak mengum-bar janji-janji kesejahteraan pada masyarakat sehingga masyarakat tertarik untuk menyerahkan tanah-nya untuk di jadikan kebun sawit.

Namun ada juga tanah-tanah masyarakat yang digusur secara paksa sehingga masyarakat tidak punya pilihan untuk meno-lak. Apabila masyarakat menolak menyer-ahkan lahan maka mereka akan intimidasai oleh pemerintah yang didukung militer dan polisi dengan tuduhan anti pembanguanan.Dalam perkembangannya setelah masyara-kaat masuk atau dipaksa masuk menjadi petani, petani justru di jerat oleh perso-alan-persoalan baru yang terkait dengan sistem perkebunan sawit yang memang tidak berpihak terhadap masyarakat. Per-soalan yang dialami oleh petani yang pal-ing umum adalah praktek penerapan kebun

sawit untuk melaksanakan prinsip-prinsip dasar yaitu keterbukaan dan dan keterliba-tan masyarakat dalam sistem dan pengelo-alan KUD, yang didalamnya ada kejelasan pembelian harga TBS (yang selalu dibeli perusahaan lebih rendah dari harga resmi di surat kabar), jumlah potongan kredit yang jelas, dan jangka waktu kredit pasti.

VI. Rekomendasi

1. Untuk memperoleh hasil maksimal petani perkebunan sawit harus ada peningakatan sumber daya manusia petani dalam mengelola kebun.

2. Seharusnya tanah untuk perkebu-nan sawit tidak cukup hanya dengan satu kapaliang (2 Ha) lahan/ kebun karena tidak akan mencukupi untuk menghidupi satu keluarga.

3. Petani di berikan kebebasan dalam menentukan penjualan TBS ke pabrik yang dianggapnya menguntungkan.

4. Petani harus mempunyai pabrik pen-golahan sendiri sehingga tidak terikat dengan perusahaan.

5. Infrastruktur kebun diperbaiki untuk menunjang lancarnya transportasi pengangkut TBS milik petani

6. Pengorganisasian di tingkat petani da-lam memperjuangkan hak-hak petani

7. Petani dilibatkan dalam penentuan harga TBS

8. Pihak pemerintah hen-daknya menata kembali sistem pembangunan perkebunan skala besar yang berpihak dan mensejahterakan petani.9. Menghapuskan beban kredit kebun plasma sebagai ganti rugi lahan inti yang dikel-ola perusahaan.10. Mendesak pemerintah untuk berpihak kepada petani dalam menyelesaikan konf-lik-konflik antara perusahaan dengan petani dengan tidak menggunakan kekerasan dan intimidasi.11. Dilakuakn audit indepen-dent oleh lembaga negara atau akuntan publik terhadap proses dan biaya dalam pembangunan perkebunan. Khususnya pola KKPA yang bermasalah. 12. Pihak LSM memfasilitasi dan memedisiasi konflik antar petani dengan perusahaan.Ungkapan Terimakasih kepaa-da para narasumber:a. Cion Alexander (Sekre-taris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit Kalimantan Ba-rat)b. Rio Rompas (Staf Khusus Sawit Watch bidang organisasi petani kelapa sawit)c. Para Koordinator Wilayah dan Kecamatan SPKS KAL-BAR.d. Masyarakat Desa Sungai

Jamak, Kecamatan Tayan Hilir, Sanggau.

e. Masyarakat Desa Ranto, Kecamatan Kembayan, Sanggau.

Penulis LaporanJefri Gideon Saragih(Campaigner Sawit Watch)

Perkebunan kelapa sawit hingga saat ini belum

memberikan kontribusi yang nyata dalam

menunjang perekonomian masyarakat lokal

khususnya petani kebun sawit. Pada saat masuk

ke wilayah Sanggau,perusahaan banyak

mengumbar janji-janji kesejahteraan pada masyarakat sehingga masyarakat tertarik untuk menyerahkan

tanahnya untuk dijadikan kebun sawit.

Page 24: Tandan Sawit Volume 3/ 2009