Usul Pkl Fix
-
Upload
deni-darmawan -
Category
Documents
-
view
284 -
download
2
description
Transcript of Usul Pkl Fix
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jagung (Zea mays L.) adalah komoditas pertanian penting kedua di
Indonesia setelah padi yang dimanfaatkan sebagai bahan pangan pokok karena
memiliki kandungan gizi seperti karbohidrat, vitamin, protein dan serat kasar yang
cukup memadai dan sebagai bahan baku industri gula jagung. Indonesia daerah-
daerah penghasil tanaman jagung adalah Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur,
Madura, Daerah Istimewa Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Selatan, dan Maluku. Khusus daerah Jawa Timur dan Madura, tanaman
jagung dibudidayakan cukup intensif karena selain tanah dan iklimnya sangat
mendukung untuk pertumbuhan tanaman jagung, di daerah tersebut khususnya di
Madura jagung banyak dimanfaatkan sebagai makanan pokok (Warisno, 2007).
Produksi jagung di Indonesia tahun 2014 sebesar 19.032.677 ton
mengalami peningkatan dibandingkan dengan produksi jagung tahun 2013
sebesar 18.506.287 ton (Badan Pusat Statistik, 2014). Luas panen jagung di
seluruh Indonesia tahun 2014 sebesar 3.838.015 ha dan masih melakukan impor
3-3,5 ton/tahun untuk mencukupi kebutuhan jagung dalam negeri baik sebagai
bahan pangan maupun sebagai pakan ternak. Indonesia dapat diprediksikan akan
bebas impor jagung pada tahun 2015.
Rendahnya produksi rata-rata jagung nasional, antara lain disebabkan
belum meluasnya penanaman varietas unggul dan belum memperhatikan teknik
pengelolaan tanaman jagung, misalnya teknik bercocok tanam, pemupukan,
1
pengendalian hama dan penyakit belum sesuai dengan teknologi maju yang
berkembang di lapangan atau teknologi hasil penelitian para pakar dibidangnya
(Purwono dan Hartono, 2005).
Hama dan penyakit merupakan faktor pembatas produksi pada tanaman
jagung, salah satu penyakit penting pada tanaman jagung adalah penyakit hawar
pelepah daun yang disebabkan oleh jamur Rhizoctonia solani. Intensitas tinggi,
penyakit ini mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman jagung hingga 100 %.
Selain hawar pelepah daun penyakit yang sering muncul pada tanaman jagung
adalah penyakit bulai, bercak daun, gosong bengkak, busuk tongkol, busuk batang
dan busuk biji.
Hama jagung diketahui menyerang pada seluruh fase pertumbuhan
tanaman jagung, baik vegetatif maupun generatif. Hama yang biasa ditemukan
pada tanaman jagung adalah lalat bibit (Atherigona sp.), penggerek batang
(Ostrinia furnacalis), penggerek tongkol (Helicoverpa armigera), pemakan daun
(Spodoptera litura), kutu daun (Aphis sp.) dan belalang (Locusta sp.)
(Kalshoven, 1981).
Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura Temanggung adalah institusi perlindungan tanaman yang
merupakan pusat peramalan, pengamatan, dan pengendalian hama penyakit
tanaman. Laboratorium ini juga melayani kegiatan bagi masyarakat yang
membutuhkan, seperti pelatihan dan pengembangan agensia hayati/nabati yang
berkonsentrasi pada tanaman pangan dan hortikultura, salah satunya adalah
tanaman jagung yang menjadi komoditi utama yang memiliki potensi produksi
2
yang cukup tinggi. Oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan praktik
kerja lapangan pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung untuk
mengetahui metode pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung yang baik
sebagai salah satu syarat praktik kerja lapangan yang akan dilaksanakan di
Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan
dan Hortikultura Temanggung.
B. Tujuan Praktik Kerja Lapangan
Praktik kerja lapangan ini mempunyai tujuan yaitu untuk :
1. Mengetahui kondisi geografis, sejarah, organisasi, dan kegiatan utama di
Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura Temanggung.
2. Mengetahui secara langsung proses dan pengendalian penyakit jagung di
Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman
Pangan dan Hortikultura Temanggung.
3. Mengetahui informasi permasalahan dan membantu memecahkan
permasalahan yang dihadapi di lapang yang berkaitan dengan penyakit
tanaman jagung di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan
Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura Temanggung.
C. Manfaat Praktik Kerja Lapangan
Manfaaat Praktik Kerja Lapang adalah sebagai berikut :
1. Bagi mahasiswa praktik kerja lapangan ini bermanfaat untuk latihan kerja
menambah pengetahuan hard skill dan soft skill, dan dapat
3
mengembangangkan ilmu yang sudah didapatkan selama kuliah maupun ilmu
yang akan diperoleh, hasil praktik kerja lapangan dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan untuk melaksanakan penelitian dan informasi bagi yang
membutuhkan.
2. Kehadiran mahasiswa dapat membantu dalam melengkapi data dan informasi
terkait penggunaan teknologi pengelolaan tanaman untuk mengendalikan hama
dan penyakit tanaman jagung.
3. Manfaat dari pelaksanaan praktik kerja lapangan ini bagi instansi perguruan
tinggi (fakultas pertanian) adalah langkah awal untuk melaksanakan kerjasama
sehingga dapat mendukung Tri Dharma perguruan tinggi dan pengkayaan
kurikulum serta pengembangan ilmu.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Biologi dan Ekologi Tanaman Jagung
Menurut Tjitrosoepomo (1991), tanaman Jagung (Zea mays L.) dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisio : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L.
Jagung berakar serabut, dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian
besar berada pada kisaran 2 m. Jagung mempunyai tiga macam akar serabut, yaitu
akar seminal, akar adventif, dan akar kait atau penyangga. Akar seminal adalah
akar yang berkembang dari radikula dan embrio. Akar adventif adalah akar yang
semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian berkembang dari tiap
buku secara berurutan dan terus ke atas antara 7-10 buku, semuanya di bawah
permukaan tanah. Akar kait atau penyangga adalah akar adventif yang muncul
pada dua atau tiga buku di atas permukaan tanah. Fungsi dari akar penyangga
adalah menjaga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi rebah batang.
Perkembangan akar jagung (kedalaman dan penyebarannya) bergantung pada
5
varietas, pengolahan tanah, fisik dan kimia tanah, keadaan air tanah, dan
pemupukan (Subekti dan Syafruddin, 2012).
Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin.
Tanaman jagung mempunyai batang yang tegak, berbentuk silindris, dan terdiri
atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang berkembang
menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol yang produktif.
Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit (epidermis), jaringan
pembuluh (bundles vaskuler), dan pusat batang (pith). Genotipe jagung yang
mempunyai batang kuat memiliki lebih banyak lapisan jaringan sklerenkim
berdinding tebal di bawah epidermis batang dan sekeliling bundles vaskuler
(Paliwal, 2000). Pada tanaman jagung yang sudah tua, jarak antar ruas semakin
berkurang. Batang tanaman jagung beruas-ruas dengan jumlah 10-40 ruas. Batang
memiliki dua fungsi yaitu sebagai tempat daun dan sebagai tempat pertukaran
unsur hara (Belfield dan Brown, 2008).
Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang, merupakan
bangun pita (ligulatus), ujung daun runcing (acutus), tepi daun rata (integer),
antara pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu
tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut, stomata pada
daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stomata
dikelilingi sel epidermis berbentuk kipas yang berperan penting dalam respon
tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Subekti dan Syafruddin, 2012).
Jagung disebut juga tanaman berumah satu (monoeciuos) karena bunga
jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman. Bunga betina, tongkol, muncul
6
dari axillary apices tajuk. Bunga jantan (tassel) berkembang dari titik tumbuh
apikal di ujung tanaman. Pada tahap awal, kedua bunga memiliki primordia bunga
biseksual. Selama proses perkembangan, primordia stamen pada axillary bunga
tidak berkembang dan menjadi bunga betina. Demikian pula halnya primordia
ginaecium pada apikal bunga, tidak berkembang dan menjadi bunga jantan
(Paliwal, 2000). Bunga jantan terletak dipucuk yang ditandai dengan adanya
rambut atau tassel dan bunga betina terletak di ketiak daun dan akan
mengeluarkan stil dan stigma. Bunga jagung tergolong bunga tidak lengkap
karena struktur bunganya tidak mempunyai petal dan sepal dimana organ bunga
jantan (staminate) dan organ bunga betina (pestilate) tidak terdapat dalam satu
bunga disebut berumah satu (Abror, 2010).
Subekti dan Syafruddin (2012) mengemukakan bahwa tongkol tumbuh dari
buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada umumnya, satu tanaman hanya
dapat menghasilkan satu tongkol produktif meskipun memiliki sejumlah bunga
betina. Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol
produktif, dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung
siap untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya (protandri).
Tongkol jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu
terbentuk dan lebih besar dibanding tongkol yang terletak pada bagian bawah.
Setiap tongkol terdiri atas 10-16 baris biji yang jumlahnya selalu genap. Biji
jagung disebut kariopsis, dinding ovari atau perikarp menyatu dengan kulit biji
atau testa, membentuk dinding buah. Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama,
yaitu (a) pericarp, berupa lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari
7
organisme pengganggu dan kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan
makanan, mencapai 75% dari bobot biji, didalamnya mengandung 90% pati dan
10% protein, mineral, minyak, dan lainnya; dan (c) embrio (lembaga), sebagai
miniatur tanaman yang terdiri atas plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil.
Jagung tumbuh di lahan kering, sawah dan pasang surut (Widyastuti dan
Adisarwanto, 2002). Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain andosol,
latosol, dan grumosol. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (latosol)
merupakan jenis tanah yang terbaik untuk pertumbuhan jagung. Tanaman jagung
akan tumbuh dengan baik pada tanah yang subur, gembur dan kaya humus. Pada
tanah berpasir, tanaman jagung manis hibrida bisa tumbuh dengan baik dengan
syarat kandungan unsur hara tersedia dan mencukupi. Pada tanah berat atau sangat
berat, misalnya tanah grumosol, jagung manis hibrida masih dapat tumbuh dengan
baik dengan syarat tata air dan tata udara diperhatikan (Warisno, 2007).
Daerah yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung yaitu daerah
beriklim sedang hingga beriklim subtropik/tropis basah. Jagung dapat tumbuh di
daerah yang terletak antara 500LU – 400LS. Pada lahan yang tidak beririgasi,
pertumbuhan tanaman memerlukan curah hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan.
Tanaman jagung membutuhkan pH tanah antara 5,6-7,5 dengan kemiringan tanah
kurang dari 8 % dengan ketinggian antara 1000-1800 mdpl dengan ketinggian
optimum antara 50-600 mdpl. Suhu yang dikehendaki tanaman jagung untuk
pertumbuhan terbaiknya antara 270C - 320C (Purwono dan Hartono, 2005).
8
B. Hama dan Penyakit Tanaman Jagung
serta Upaya Pengendalian
Tanaman jagung rentan dengan berbagai penyakit baik yang disebabkan
oleh bakteri maupun jamur. Penyakit pada tanaman jagung adalah :
1. Penyakit Bulai (Downy mildew)
Semangun (2004) menjelaskan bahwa penyakit bulai disebabkan oleh jamur
Peronosclerospora maydis dan P. javanica serta P. philippinensis. P. maydis
mempunyai konidia hialin yang berdinding tipis berukuran 24 – 46,6 x 12 – 20
mikrometer. Konidiofor berukuran 132 – 261 mikrometer. Oogonia berwarna
coklat kemerahan dan berbentuk elips tidak beraturan. Pada umumnya konidiofor
bercabang 3 atau 4. Cabang terakhir membentuk stigma. Konidia yang masih
muda berbentuk bulat, sedangkan yang sudah masak berbentuk jorong.
Suhu udara 270C serta keadaan yang lembap jamur ini akan merajalela.
Umur 2-3 minggu setelah tanam gejalanya dimulai dari daun meruncing, kecil,
kaku, pertumbuhan batang terhambat, warna menguning, sisi bawah daun terdapat
lapisan spora jamur warna putih; umur 3-5 minggu mengalami gangguan
pertumbuhan, daun berubah warna dari bagian pangkal daun, tongkol berubah
bentuk dan isi; pada tanaman dewasa, terdapat garis-garis kecoklatan pada daun
tua.
Pengendalian penyakit bulai pada tanaman jagung dapat dilakukan dengan
langkah-langkah secara terpadu yaitu dengan penanaman jenis-jenis jagung yang
tahan terhadap penyakit bulai (Balitsereal, 2005). Permulaan musim hujan
tanaman jagung tegalan ditanam agak awal secara serentak untuk suatu daerah
9
yang luas, segeralah mencabut tanaman yang menunjukkan gejala penyakit agar
tidak menjadi sumber infeksi bagi tanaman di sekitarnya, terutama untuk tanaman
yang lebih muda.
2. Karat (Rust)
Penyakit ini disebabkan oleh jamur Puccinia sorghi Schw dan P. polypora
Underw. Jamur ini memiliki banyak uredium (urediosorus) pada kedua sisi daun
dan upih daun, rapat atau jarang, tersebar tidak mementu, bulat dengan garis
tengah lebih kurang 1 mm, atau memanjang lebih kurang 10 mm panjang,
berwarna coklat epidermis daun yang menutupnya segera pecah. Urediospora
bulat atau jorong, 24-29 x 22-29 mikrometer, berdinding coklat kemerahan,
berduri-duri halus, tebal 1,5-2 mikrometer, pori 3-4, ekuatoral. Jamur membentuk
telium terbuka, berwarna hitam, di tempat yang sama dengan uredium; biasanya
pada waktu tanam menjelang masak. Teliospora jorong, berbentuk tabung atau
gada, tumpul atau agak meruncing, biasanya agak mengecil pada sekat, 35-50 x
16-23 mikrometer, dengan dinding berwarna coklat, dipangkalnya agak pucat,
halus, tebal, dinding samping 1-1,5 mikrometer, tebal dinding ujung 3-6
mikrometer; tangkai panjang, sampai 80 mikrometer, kuning pucat (Semangun,
2004).
Menurut Shurtleff (1980), gejala yang ditimbulkan pada tanaman dewasa
adalah daun tua terdapat titik-titik noda berwarna merah kecoklatan seperti karat
serta terdapat serbuk berwarna kuning kecoklatan, serbuk jamur ini berkembang
dan memanjang.
10
Varietas jagung di Indonesia cukup tahan terhadap penyakit karat, sehingga
penyakit karat dirasa kurang merugikan. Pengendalian penyakit dapat dilakukan
dengan penanaman jenis tahan atau cukup tahan terhadap penyakit karat seperti
metro, kania putih, harapan, harapan baru, arjuna, bromo, parikesit, rama, bisma,
surya, lamuru, dan srikandi. Selain penggunaan varietas diatas, penyakit karat
juga dapat dikendalikan dengan melakukan sanitasi, mengatur kelembapan pada
areal tanam, dan apabila diperlukan dapat menggunakan fungisida.
3. Hawar daun
Holliday (1980) menjelaskan bahwa, penyakit hawar daun turcicum
disebabkan oleh jamur E. turcicum (Pass.). Leonard et Suggs. Jamur membentuk
konidiofor yang keluar dari mulut daun (stomata), satu atau dua dalam kelompok,
lurus atau lentur, berwarna coklat, panjangnya sampai 300 µm, tebal 7-11 µm,
secara umum 8-9 µm. Konidia lurus atau agak melengkung, jorong atau berbentuk
gada terbalik, pucat atau berwarna coklat jerami, halus mempunyai 4-9 sekat
palsu, panjang 50-144 (115) µm, dan bagian yang paling lebar berukuran 18-33
µm. Konidia mempunyai hilum menonjol dengan jelas, yang merupakan ciri dari
marga Exserohilum, dalam biakan murni, E. turcicum membentuk askus dalam
peritesium.
Gejala awalnya muncul bercak kecil, jorong, hijau tua. Selanjutnya, bercak
tadi berubah warna menjadi coklat kehijauan. Bercak kemudian membesar dan
mempunyai bentuk yang khas, berupa kumparan atau perahu. Lebar bercak 1-2
cm dan panjang 5-10 cm. Spora banyak terbentuk pada kedua sisi bercak pada
11
kondisi banyak embun atau setelah turun hujan, yang menyebabkan bercak
berwarna hijau tua beledu, yang makin ke tepi warnanya makin muda.
Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam upaya pengendalian terhadap
hawar daun antara lain sanitasi lingkungan meliputi pengolahan tanah dan
penyiangan tanaman, penanaman jenis yang tahan antara lain jenis kalingga,
arjuna, dan hibrida. Jika diperlukan penyakit dapat dikendalikan dengan fungisida,
antara lain mankzoeb, sedangkan untuk jamur yang terbawa oleh biji dapat
dimatikan dengan thiram dan karboxin atau dengan perawatan udara panas selama
17 menit dengan suhu 540C-550C (Oka, 1993).
4. Gosong (Corn smut)
Menurut Semangun (2004), penyakit ini disebabkan jamur Ustilago maydis
(DC) Cda, Ustilago zeae (Schw) Ung, Uredo zeae Schw, Uredo maydis DC.
Teliosporanya berbentuk bulat sampai elips, berwarna coklat sampai hitam,
diameter 8-11 mikrometer. Spora diploid ini tumbuh membentuk promiselium
dengan empat atau lebih sporidia. Infeksi dapat dilakukan langsung oleh hipa
yang tumbuh dari teliospora atau dari hasil fusi antara sporidia dan hipa.
Gejala penyakit gosong yaitu pada tongkol ditandai dengan masuknya jamur
ini ke dalam biji pada tongkol sehingga terjadi pembengkakan dan mengeluarkan
kelenjar (gall), pembengkakan ini menyebabkan pembungkus rusak dan spora
tersebar. Pengendalian dilakukan dengan mengatur kelembaban areal pertanaman
jagung dengan cara pengeringan dan irigasi, memotong bagian tanaman yang
terkena kemudian dibakar. Untuk langkah pencegahan dapat dilakukan dengan
mencampur benih dengan fungisida secara merata.
12
5. Busuk tongkol dan busuk batang
Penyebabnya jamur Fusarium atau Gibberella antara lain Gibberella zeae
(Schw), Gibberella fujikuroi (Schw), Gibberella moniliforme. Patogen penyebab
penyakit busuk batang memproduksi spora pada permukaan tanaman inangnya.
Spora dapat disebarkan oleh angin, air hujan ataupun serangga. Jamur dapat
bertahan pada sisa-sisa tanaman yang terinfeksi dalam fase hifa atau piknidia dan
peritesia yang berisi spora. Pada kondisi lingkungan yang sesuai untuk
perkembangannya, spora akan keluar dari piknidia atau peritesia. Spora pada
permukaan tanaman jagung akan tumbuh dan menginfeksi melalui akar ataupun
pangkal batang. Infeksi awal dapat melalui luka atau membentuk sejenis
apresoria yang mampu masuk ke jaringan tanaman. Spora yang terbawa angin
dapat menginfeksi ke tongkol, dan biji yang terinfeksi bila ditanam dapat
menyebabkan penyakit busuk batang (Wakman et al., 2005).
Menurut Kaiser et al. (1997), tanaman jagung tampak layu atau seluruh
daunnya mengering, gejala tersebut umumnya terjadi pada stadia generatif.
Pangkal batang yang terinfeksi berubah warna dari hijau menjadi kecoklatan,
bagian dalam busuk, sehingga mudah rebah, dan bagian kulit luarnya tipis. Pada
pangkal batang yang terinfeksi tersebut terlihat warna merah jambu, merah
kecoklatan atau coklat.
Busuk tongkol banyak ditemukan pada tanaman yang lemah sehingga
penyakit dapat dikurangi dengan pemeliharaan tanaman yang baik, antara lain
dengan pemupukan yang seimbang. Tidak membiarkan tongkol terlalu lama
mengering diladang, dan jika akan turun hujan bagian batang dibawah tongkol
13
dipatahkan agar ujung tongkol tidak mengarah keatas. Dibanyak negara penyakit
dikendalikan dengan penanaman varietas yang tahan, sedangkan di Indonesia
belum tersedia varietas jagung yang tahan terhadap busuk tongkol dan busuk
batang.
Tanaman jagung juga rentan terhadap serangan hama yang menyerang pada
seluruh fase pertumbuhan tanaman, baik vegetatif maupun generatif. Hama yang
menyerang tanaman jagung antara lain,:
1. Penggerek Batang Jagung (Ostrina furnacalis Guen)
O. furnacalis merupakan hama utama jagung di Asia. Serangga ini
mempunyai lebih dari satu generasi dalam setahun karena didukung oleh curah
hujan yang memberikan pengaruh penting pada aktivitas ngengat dan
oviposisinya (Nafus and Schreiner 1987). Larva O. furnacalis berwarna putih
krem sampai merah jambu dengan bercak berbentuk setengah lingkaran serta
kepala berwarna hitam/coklat. Larva hidup melalui 5 stadium selama 18-30 hari.
Pupa atau kepompong berwarna coklat muda hingga coklat tua, dengan panjang
12-18 mm. Masa pupa selama 5-10 hari, setelah masa pupa larva akan berubah
menjadi ngengat, ukuran ngengat jantan biasanya lebih kecil dari betinanya.
Jantan memiliki sayap bergaris kuning kecoklatan, sedangkan betina bersayap
kuning pucat. Betina mampu memproduksi telur rata-rata 300 butir.
Gejala serangan O. furnacalis dapat terlihat dari kerusakan yang terdapat
pada setiap bagian tanaman jagung, yaitu lubang kecil pada daun, lubang gorokan
pada batang, bunga jantan, atau pangkal tongkol, batang serta tassel yang mudah
patah (Kalshoven, 1981).
14
Serangan O. furnacalis dapat dikendalikan secara kultur teknis, dengan
menentukan waktu tanam yang tepat, sistem tanam tumpang sari jagung dengan
kedelai atau kacang tanah, pemotongan sebagian bunga jantan (4 dari 6 baris
tanaman). Pengendalian secara hayati diantaranya yaitu memanfaatkan musuh
alami seperti parasitoid Trichogramma spp. yang dapat memarasit telur O.
furnacalis (Pabbage et al., 1999). Predator Euborellia annulata memangsa larva
dan pupa O. furnacalis. Bakteri Bacillus thuringiensis Kurstaki mengendalikan
larva O. furnacalis, jamur sebagai entomopatogenik adalah Beauveria bassiana
dan Metarhizium anisopliae dapat mengendalikan larva O. furnacalis.
Pengendalian kimiawi dilakukan dengan menggunakan insektisida yang berbahan
aktif monokrotofos, triazofos, diklhrofos, dan karbofuran yang efektif untuk
menekan penggerek batang jagung (Baco dan Yasin, 2001).
2. Ulat Grayak (Spodoptera litura F.)
S. litura meletakkan telur secara berkelompok di permukaan daun dan
ditutupi oleh bulu-bulu yang berwarna coklat muda dan setiap kelompok telur
terdiri atas 50-400 butir. Larva terdiri atas enam instar dan instar terakhir
mempunyai bobot mencapai 800 mg dan menghabiskan 80% dari total konsumsi
makanannya (Kalshoven, 1981). Larva bersembunyi dalam tanah pada siang hari
dan baru aktif pada malam hari. S. litura merupakan hama penting pada tanaman
pertanian di Asia Tenggara dan spesies ini juga terdistribusi luas ke seluruh Asia
tropis dan Asia subtropis, Australia, dan pulau-pulau di Pasifik (Kranz et al.,
1977). Spesies ini adalah serangga polipagous. Tanaman inangnya selain jagung
15
adalah tomat, kapas, tembakau, padi, kakao, jeruk, ubi jalar, kacang tanah, jarak,
kedelai, kentang, kubis, dan bunga matahari (Holloway, 1989).
Gejala serangan larva yang masih kecil merusak daun secara serentak dan
berkelompok. Dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan
dan meninggalkan tulang daun saja. Biasanya larva berada di permukaan bawah
daun, umumnya terjadi pada musim kemarau. Hama ini bersifat polifag, selain
jagung ulat grayak juga menyerang tanaman hortikultura, kekacangan, dan
tanaman hias (Holloway, 1989).
Pengendalian yang dilakukan untuk mengurangi populasi ulat grayak secara
kultur teknis yaitu dengan pengolahan tanah yang intensif. Pengendalian mekanis
dengan mengumpulkan larva atau pupa dan bagian tanaman yang terserang
kemudian memusnahkannya. Penggunaan perangkap feromon seks untuk ngengat
sebanyak 40 buah per hektar atau 2 buah per 500 m2 dipasang di tengah tanaman
sejak tanaman berumur 2 minggu. Pengendalian Hayati yaitu memanfaatkan
musuh alami seperti patogen SI-NPV (Spodoptera litura- Nuclear Polyhedrosis
Virus). Jamur Cordisep, Aspergillus flavus, Beauveria bassiana, Nomuarea rileyi,
dan Metarhizium anisopliae, bakteri Bacillus thuringensis, nematoda Steinernema
sp., predator Sycanus sp., Andrallus spinideus, Selonepnis geminada, parasitoid
Apanteles sp., Telenomus spodopterae, Microplistis similis, dan Peribeae sp.
Pengendalian secara kimiawi dianggap cukup efektif dengan menggunakan
insektisida seperti monokrotofos, diazinon, khlorpirifos, triazofos, dikhlorovos,
sianofenfos, dan karbaril.
16
3. Penggerek tongkol jagung (Helicoverpa armigera Hbn.)
Imago betina H. armigera meletakkan telur pada pucuk tanaman dan apabila
tongkol sudah mulai keluar maka telur diletakkan pada rambut jagung. Imago
betina mampu bertelur rata-rata 730 butir. Periode perkembangan larva sangat
bergantung pada suhu dan kualitas makanannya, khususnya pada jagung, masa
perkembangan larva pada suhu 240C-270C adalah 12,8-21,3 hari. Larva serangga
ini bersifat kanibal hal ini merupakan salah satu faktor yang menekan
perkembangan populasinya (Kalshoven, 1981).
Gejala serangan ulat penggerek tongkol dimulai saat pembentukan kuncup
bunga dan buah muda. Larva masuk ke dalam buah muda, memakan biji jagung,
karena larva hidup di dalam buah, biasanya serangan serangga ini sulit diketahui
dan sulit dikendalikan dengan insektisida.
Pengendalian secara kultur teknis dapat dilakukan dengan mengolah tanah
yang baik yang berfungsi untuk merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan
dapat mengurangi populasi H. Armigera berikutnya. Pengendalian secara hayati
dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh alami seperti parasitoid yang cukup
efektif untuk mengendalikan penggerek tongkol. Trchogramma spp. yang
merupakan parasit telur dan Eriborus argentiopilosa (Ichneumonidae) parasit
pada larva muda. Jamur Metarhizium anisopliae, bakteri Bacillus thuringensis
serta Virus Helicoverpa armigera Nuclear Polyhedrosis Virus (HaNPV) dapat
menginfeksi larva.
17
4. Lalat Bibit (Atherigona sp.)
Atherigona sp. biasanya meletakkan telur pada pagi hari atau malam hari.
Telur-telur tersebut diletakkan secara tunggal di bawah daun atau batang dekat
permukaan tanah. Telur menetas pada malam hari minimal 33 jam atau maksimal
empat hari setelah telur diletakkan. Telur spesies ini berwarna putih dengan
panjang 1,25 mm dan lebar 0,35 mm dan warnanya berubah menjadi gelap
sebelum menetas (CABI, 2001).
Gejala yang disebabkan oleh lalat bibit berupa daun yang berubah warna
menjadi kekuningan di sekitar bekas gigitan atau bagian yang terserang
mengalami pembusukan, akhirnya tanaman menjadi layu, pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil atau mati (Kalshoven, 1981).
Pengendalian secara hayati dilakukan dengan memanfaatkan parasitoid yang
memarasit telur seperti Trichogramma sp. dan parasit larva (Opius sp. dan
Tetrastichus sp.), predator Clubiona japonicola yang merupakan predator imago.
Pengendalian secara kultur teknis dan pola tanam dilakukan dengan mengubah
waktu tanam, pergiliran tanaman, serta dengan tanam serempak. Pengendalian
secara kimiawi dengan insektisida dapat dilakukan dengan perlakuan benih (seed
dressing).
18
III. METODE PRAKTIK KERJA LAPANGAN
A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Praktik kerja lapangan dilaksanakan selama 25 hari antara bulan Juli sampai
Agustus 2015 di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan Hama dan Penyakit
Tanaman Pangan dan Hortikultura Temanggung.
B. Materi Praktik Kerja Lapang
Materi praktik kerja lapangan ini adalah mengenai pengendalian penyakit
pada tanaman jagung yang dilakukan di Laboratorium Pengamatan dan Peramalan
Hama dan Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura Temanggung.
C. Metode Praktik Kerja Lapangan
1. Metode yang digunakan adalah metode observasi dan praktik lapangan untuk
memperoleh data dan informasi yang berhubungan dengan pengendalian
penyakit jagung.
2. Pengambilan data primer melalui pengamatan, praktik langsung, dan
wawancara dengan staff atau petugas lain yang turut serta dalam proses
budidaya.
3. Mencari sumber data sekunder dari arsip atau dokumen yang ada kaitannya
dengan pengendalian penyakit tanaman jagung di Laboratorium Pengamatan
dan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Pangan dan Hortikultura
Temanggung.
19
4. Studi pustaka yang mendukung.
D. Jadwal Pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
Pelaksanaan kerja praktik ini dilaksanakan selama ± 25 hari kerja, bulan Juli
sampai Agustus 2015 dengan pembagian kerja sebagai berikut:
Tabel 1. Jadwal pelaksanaan Praktik Kerja Lapangan
KegiatanMinggu Ke-
I II III IVOrientasi LapangPraktik LapangPengumpulan DataPenyusunan Laporan
20
DAFTAR PUSTAKA
Abror, Y.P. 2010. Teknis Budidaya Jagung. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Baco, D. dan M. Yasin. 2001. Pengendalian penggerek jagung (O. furnacalis) dengan predator dan patogen. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, Maros.
Balitsereal. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros.
Belfield, S. and C. Brown. 2008. Field Crop Manual : Maize (A Guide to Upland Production in Cambodia). Cambodian Agricultural Research and Development Institute and the State of New South Wales (NSW Department of Primary Industries), Canberra.
Badan Pusat Statistik. 2014. Produksi Tanaman Jagung. Badan Pusat Statistik, Jakarta.
CABI. 2001. Crop Protection Compendium. Commonwealth Agricultural Bureau International (CABI), Wallingford, UK.
Holliday, P. 1980. Fungus Disases of Tropical Crops. Cambridge Univ. Press, Cambridge.
Holloway, J.D. 1989. The moths of Borneo: family Noctuidae, trifine subfamilies: Noctuinae, Heliothinae, Hadeninae, Acronictinae, Amphipyrinae, Agaristinae. Malayan Nature Journal.
Kaiser, A., J. Colles, J. Lawson, and C. Nicholls. 1997. Weed Management : Australian Maize Kondinin Group: Cloverdale, WA.
Kranz, J., H. Schumutterer, and W. Koch. 1977. Diseases, Pests, and Weeds in Tropical Crops. Berlin and Hamburg, Germany: Verlag Paul Parley
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, Jakarta.
Nafus, D.M. and I.H. Schreiner. 1987. Location of Ostrinia furnacalis Gueene. Eggs and larvae on sweet corn in relation to plant growth. Journal of econ. Entomol.
21
Oka, I.N. 1993. Pengantar Epidemiologi Penyakit Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Pabbage, M.S., N. Nonci, dan D. Baco. 1999. Efektifitas Trichogramma evanescens pada berbagai umur telur penggerek batang jagung O. furnacalis. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, Maros.
Paliwal, R.L. 2000. Tropical Maize: Improvement and Production. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.
Purwono, dan R. Hartono. 2005. Bertanam Jagung Unggul. Penebar swadaya, Jakarta.
Semangun, H. 2004. Penyakit – Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of Corn Diseases. Second Edition. The American Phytopathological Society, USA.
Subekti, N.A., dan R.E. Syafruddin. 2012. Morfologi Tanaman dan Fase Pertumbuhan Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.
Tjitrosoepomo, C. 1991. Taksonomi Tumbuhan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Wakman, W., M.S. Kontong, dan Hasanuddin. 2005. Resistant maize varieties against leaf blight and gray leaf spot diseases in highland of North Sumatera. Presented at the 9th Asian Regional Maize Workshop. 4-10 Sept. 2005. Beijing China.
Warisno. 2007. Jagung Hibrida. Kanisius, Yogyakarta.
Widyastuti, Y.E., dan T. Adisarwanto. 2002. Meningkatkan Produksi Jagung di Lahan Kering, Sawah, dan Pasang Surut. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.
22