Naskah Akademik Usul Perubahan-fix Utk Dicetak

download Naskah Akademik Usul Perubahan-fix Utk Dicetak

of 55

Transcript of Naskah Akademik Usul Perubahan-fix Utk Dicetak

Naskah Akademis Usulan Amandemen Komprehensif

DASAR-DASAR PEMIKIRAN USULAN PERUBAHAN KELIMA UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

1. PENGANTARSalah satu agenda utama reformasi, yaitu perubahan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah dilaksanakan empat kali dalam periode 1999-2002 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Perubahan tersebut mendorong perbaikan kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Namun, bukan berarti konstitusi hasil perubahan tidak memerlukan perbaikan-perbaikan untuk sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan kehidupan berbangsa. Setelah Perubahan Pertama hingga Keempat dilakukan, perubahan tetap perlu diteruskan untuk menyempurnakan hukum dasar bernegara. Perubahan Kelima dilakukan agar UUD 1945 terus menjadi living and working constitution. Seiring dengan dinamisnya praktik sistem ketatanegaraan tentu konstitusi harus dapat menyesuaikan dengan kekinian dan masa depan. Oleh karenanya amandemen konstitusi dipandang tidak cukup hanya dengan perubahan yang parsial, namun hendaknya merupakan sebuah konsep perbaikan yang lebih komprehensif dan berorientasi masa depan. Berangkat dari perubahan konstitusi adalah keniscayaan zaman, serta perlunya dibuat perubahan yang lebih komprehensif, maka upaya menyempurnakan perubahan UUD 1945 perlu didukung oleh mayoritas kekuatan politik. Terlebih, jika mengacu pada jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) di bulan Juli 2007, maka jelas sekali dukungan rakyat kepada agenda perubahan konstitusi. Dari survei tersebut terekam 73 persen warga mendukung amandemen UUD untuk memperkuat wewenang DPD, utamanya dalam hal legislasi. Tentang keniscayaan perubahan UUD, Franscois Venter berpendapat konsep konstitusi itu dinamis. Menurutnya, konstitusi yang final itu tidak ada, karena konstitusi suatu negara itu bergerak bersama-sama dengan negara itu sendiri.1 Sedangkan John P. Wheeler, Jr. terang-terangan berpendapat bahwa perubahan konstitusi adalah satu keniscayaan.2 Romano Prodi bahkan mengatakan, konstitusi yang tak bisa diubah adalah konstitusi yang lemah, karena ia tidak bisa beradaptasi dengan realitas; padahal sebuah

1

2

Franscois Venter, Constitution Making and the Legitimacy of the Constitution in Antero Jyranki (ed), National constitutions in the Era of Integration (1999) hlm. 19. John P. Wheeler, Jr. (1961), Changing the Fundamental Law dalam John P. Wheeler, Jr. (ed), Salient Issues of Constitutional Revision 49.

1

konstitusi harus bisa diadaptasikan dengan realitas yang terus berubah.3 Bahkan, menurut Brannon P. Denning, sebuah mekanisme amendemen konstitusi sangat diperlukan untuk menjamin bahwa generasi-generasi yang akan datang punya alat untuk secara efektif menjalankan kekuasaan-kekuasaan mereka untuk memerintah.4 Tidak berbeda, Thomas Jefferson menegaskan hukum-hukum dan lembaga-lembaga harus seiring sejalan dengan perkembangan pemikiran manusia. Ketika pemikiran manusia menjadi lebih maju, lebih tercerahkan, ketika temuan-temuan baru dibuat, kebenaran-kebenaran baru ditemukan, dan sikap-sikap serta pendapat-pendapat berubah, sejalan dengan berubahnya situasi dan kondisi, maka lembaga-lembaga negara pun harus ikut maju agar tidak ketinggalan zaman.5 James L. Sundsquist mencatat bahwa tak lama setelah diberlakukannya konstitusi tertulis pertama di Amerika, James Madison menyatakan, Saya bukanlah salah satu di antara orang-orangkalau memang ada yang berpikir bahwa Konstitusi yang baru saja diberlakukan ini adalah sebuah karya tanpa cacat.6 Dua puluh delapan tahun kemudian, Gubernur Morris menulis, Segala yang manusiawi tak mungkin bisa sempurna.7 Menyuarakan hal serupa, Edward McWhinney berpendapat, seperti halnya sebuah konstitusi, konstitusionalisme adalah konsep yang juga dinamis.8 Hubungan antara konstitusionalisme dan pemerintah terus-menerus berubah, di mana konstitusi itu sendiri adalah bukti paling gamblang dari perubahan itu.9 Lebih jauh McWhinney menggarisbawahi bahwa tugas dan tanggung jawab utama elite-elite politik dalam sebuah pemerintahan yang konstitusional adalah mengantisipasi, mengoreksi, dan mengubah substansi-substansi sebuah konstitusi demi memastikan bahwa konstitusi itu berada di jalan yang sama ke arah sebuah proses menuju demokrasi.10 Karenanya, menurut Friedrich, dalam konstitusi-konstitusi modern, aturan-aturan untuk melakukan amendemen membentuk satu bagian yang vital.11 Sealur dengan Friedrich, McWhinney menyatakan: setiap sistem konstitusi harus selalu memiliki satu sifat inheren untuk selalu berubah; dan konstitusionalisme itu sendiri tidak semata-mata menjadi nilai-nilai3

4

5

6 7 8 9

Anthony Browne (2004), Prodi Fears Sceptics will Neuter EU Constitution Vote 2004, http://www.vote2004.com/mediacentre/display.asp?! IDNO=1395 15 Juni. Brannon P. Denning, Means to Amend: Theories of Constitutional Change, 65:155 Tennessee Law Review, hlm 160. Jefrey Reiman (1988), The Constitution, Rights, and the Conditions of Legitimacy dalam Alan S Rosenbaum (ed), Constitutionalism: the Philosophical Dimension 127. James L. Sundsquist (1986), Constitutional Reform and Efective Government 1. Ibid. Edward McWhinney (1981), Constitution-Making Principles, Process, Practices 132. James A. Curry (1989), Richard B Riley, dan Richard M Battistoni, Constitutional Government: the American Experience. McWhinney, loc. cit., hlm. 132. Carl J. Friedrich (1950), Constitutional Government and Democracy: Theory and Practice in Europe and America hlm. 135.

10 11

2

substantif yang dituliskan menjadi sebuah piagam konstitusi, melainkan prosesproses aktual perubahan-perubahan konstitusi itu sendiri.12 Dalam hal kondisi faktual Indonesia, setelah perubahan konstitusi 1999 2002, meskipun desain konstitusi yang dihasilkan lebih baik jika dibandingkan dengan UUD 1945 sebelum perubahan, tetap masih menyisakan problematika aturan main bernegara. Karenanya, perubahan kelima dan seterusnya wajib dilakukan untuk terus menyempurnakan hukum dasar yang menjadi pegangan kehidupan bernegara.

1.1.

Metode Perubahan

Perubahan-perubahan konstitusi hanyalah bagian dari pembuatan konstitusi.13 Wheeler membedakan antara amendemen (amendment) konstitusi dan revisi (revision) konstitusi.14 Dia mendefinisikan sebuah amendemen sebagai perubahan dalam lingkup yang terbatas, yang mencakup satu atau sejumlah terbatas aturan-aturan dalam sebuah konstitusi; sedangkan revisi didefinisikannya sebagai menimbang-ulang (reconsideration) keseluruhan atau sebagian besar dari sebuah konstitusi.15 Berangkat dari konsep reformasi konstitusi di atas, maka model perubahan sangat jelas direpresentasikan oleh Amerika Serikat; sedangkan cara revisi dilakukan berkali-kali oleh Perancis. Indonesia dengan Perubahan Pertama hingga Keempat sebenarnya melakukan model revisi tetapi dengan tetap mendeklarasikan dan mempertahankan format amandemen. Untuk agenda perubahan lanjutan, model perubahan ala Amerika Serikat yang dipadukan dengan model Perancis tersebut agaknya tetap menjadi pilihan. Penyebutan Perubahan Kelima adalah pilihan yang menunjukkan diadopsinya model Amerika; sedangkan substansi perubahan yang komprehensif, menunjukkan dipilihnya model perancis. Penggabungan kedua model tersebut dipilih karena, menegaskan sistem revisi saja yang berarti melahirkan UUD baru sulit dilakukan di tengah-tengah masih kuatnya hubungan emosional dengan UUD 1945. Dengan demikian format metode perubahan tetap addendum, melanjutkan pola sebelumnya. Maknanya amandemen selanjutnya menjadi perubahan kelima, dan seterusnya. Dengan format metode perubahan, maka amandemen lanjutan harus menggunakan ketentuan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD 1945. Itu maknanya yang harus melakukan perubahan adalah MPR. Keharusan itu menunjukkan kewenangan konstitusional perubahan konstitusi tetap merupakan kewenangan monopoli MPR. Meskipun demikian, bukan berarti naskah perubahan tidak dapat disiapkan oleh pihakpihak lain di luar MPR. Pengkajian perubahan konstitusi dapat dilakukan pihak lain, misalnya dari peruguruan tinggi. Karenanya, pemikiran yang pernah dikemukakan12 13 14 15

McWhinney, loc. cit., hlm. 132. Venter, op. cit., hlm. 19. Wheeler, op. cit., hlm. 50. Ibid.

3

Presiden SBY untuk membentuk Panitia Nasional atau dengan nama lain untuk melakukan pengkajian dan perumusan naskah perubahan UUD 1945 adalah suatu hal yang tidak keliru. Tentu saja, sepanjang naskah perubahan itu kemudian tetap dijadikan bahan usulan perubahan konstitusi di hadapan MPR. Hal lain yang perlu ditegaskan terkait metode perubahan adalah pentingnya partisipasi publik, karena sangat mempengaruhi tingkat demokratisnya proses reformasi konstitusi. Rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh Commonwealth Human Rights Initiatives kepada Commonwealth Heads of Government Meeting tahun 1999, misalnya, menetapkan dua belas prinsip pembuatan konstitusi yang bertalian sangat erat dengan partisipasi publik: (i) legitimasi; (ii) inklusifitas; (iii) pemberdayaan masyarakat sipil; (iv) keterbukaan dan transparansi; (v) aksesabilitas; (vi) pengkajian yang berkesinambungan; (vii) akuntabilitas; (ix) pentingnya proses; (x) peran partai-partai politik; (xi) peran masyarakat sipil, dan; (xii) peran para pakar.16 Wheare berpendapat bahwa urun rembug rakyat dalam mengamendemen konstitusi mereka adalah hal yang krusial.17 Bagi Rosen, rakyat tidak boleh diatur-atur oleh konstitusi yang tidak mereka pahami.18 Keterlibatan publik memungkinkan sebuah konstitusi dinyatakan sebagai sebuahproduk kedaulatan rakyat atas kehendak rakyat [sendiri], ketimbang sebuah pernyataan kepentingan-kepentingan penguasa-penguasa mereka.19 Lebih jauh, Ihonvbere menyatakan bahwa partisipasi akan membantu membangun rasa ikut memiliki konstitusi.20 Konstitusi itu akan menjadi teks milik rakyat yang akan selalu mereka bela dan pertahankan.21 Oleh karena itu, keterlibatan mereka bisa ikut memperkuat solidaritas dan identitas nasional.22 Bagi Wheeler, kekuasaan untuk membuat dan mengubah konstitusi sebuah negara tidak boleh terlalu bergantung kepada lembaga pembuat konstitusi.23 Bahkan, katanya, masalah prosedural utama dalam pembuatan konstitusi adalah memastikan kontrol rakyat terhadap kekuasaan konstituante.24 Dalam kalimat-kalimat Ihonvbere: ... sangat mudah membuat konstitusi yang benar-benar jelek. Yang perlu dilakukan oleh negara dan semua pejabatnya hanyalah memperlakukan proses itu16

17 18

19 20

Commonwealth Human Rights Initiatives (1999), Promoting a Culture of Constitutionalism and Democracy in Commonwealth Africa, background paper to accompany CHRIs recommendations to Commonwealth Health of Government Meeting 1999 13, hlm. 8-18. K.C. Wheare, Modern constitutions (1958) hlm. 22. Richard A. Rosen (1999), Constitutional Process, Constitutionalism, and the Eritrean Experience 24 North Carolina Journal of International Law & Commercial Regulation, hlm. 277. Ibid. Julius Ihonvbere (2000), How to Make an Undemocratic Constitution: The Nigerian Example 21:2 Third World Quarterly, hlm. 346-347. Ibid 347. Rosen, op. cit., hlm. 299. Wheeler, op. cit., hlm. 58. Ibid.

21 22 23 24

4

sebagai proses pribadi atau proses rahasia, tanpa perlu berembug dengan siapa pun, atau cukup dengan musyawarah minimal saja, dan lebih mengejar pengakuan legal ketimbang membangun legitimasi rakyat seputar konstitusi itu. Kalau proses semacam itu yang diikuti, bisa dijamin bahwa isi dari apa yang disebut konstitusi itu pasti tidak akan demokratis dan tidak akan tanggap terhadap kehendak mayoritas masyarakat...25 Menurut Saunders, konsultasi publik harus memenuhi sedikitnya dua aturan dasar: kontribusi yang aktif dan inklusif.26 Agar menjadi satu kontribusi aktif, konsultasi publik harus dimulai sebelum aspek-aspek konstitusi yang baru ditetapkan secara efektif.27 Aktivitas-aktivitas konsultasi atau musyawarah harus beranjak lebih dari sekadar mendidik publik yang pasif, dan harus melakukan segala usaha untuk bisa secara aktif melibatkan rakyat dalam proses pembuatan konstitusi.28 Aktivitas-aktivitas itu harus interaktif dan memberdayakan, mendorong rakyat untuk memberikan kontribusi yang konstruktif bagi proses tersebut.29 Jadi, tindak lanjut adalah sesuatu yang krusial untuk menunjukkan kepada rakyat bahwa urun rembug dari mereka sudah dipertimbangkan dengan serius.30 Untuk bisa menumbuhkan partisipasi publik yang inklusif, diperlukan strategi-strategi mengatasi dominasi kelompok-kelompok tertentu dan merangsang partisipasi dari kelompok-kelompok lain yang mungkin masih bungkam.31 Sayangnya, isu-isu konstitusi yang penting justru jarang diminati masyarakat luas.32 Oleh karenanya, bagi Wheeler, kelesuan publik terhadap persoalan-persoalan konstitusi harus dilawan.33 Untuk itu, partisipasi publik harus fokus dan kompetisi-kompetisi elektoral tidak boleh digelar pada saat yang sama dengan berjalannya proses pembuatan konstitusi.34 Lebih dari itu, Saunders berpendapat bahwa persoalan-persoalan konstitusi harus dihadirkan dalam satu bentuk yang bisa dipahami dengan mudah oleh masyarakat umum.35 Segala jenis media (televisi, cetak, dan radio) harus dimanfaatkan, karena bermacam-macam kelompok yang ada di masyarakat menggunakan media komunikasi yang berbeda-beda.3625 26

27 28 29 30 31 32 33 34 35 36

Ihonvbere, op. cit., hlm. 348-349. Cheryl Saunders (2002), Women and Constitution Making (Paper presented at the International Conference on Women Peace Building and constitution-making), Columbo, Sri Lanka 2 6 May, hlm. 11. Ibid. Rosen, op. cit., hlm. 294. Saunders, loc. cit. Ibid. Ibid. Wheeler, loc. cit. Ibid. Ibid. Saunders, loc. cit., hlm. 1. Ibid.

5

1.2.

Prinsip-Prinsip Dasar Perubahan

Prinsip yang menjadi pegangan perubahan disepakati bahwa nama hukum dasar tetap menggunakan UUD 1945, guna menjaga semangat perjuangan dan independensi yang melekat pada tahun kemerdekaan tersebut. Selanjutnya, hal-hal yang menjadi kesepakatan dasar MPR ketika melakukan Perubahan Pertama hingga Keempat, juga terus ditegaskan dalam Perubahan Kelima ini, yaitu tidak berubahnya pembukaan, negara kesatuan, dan penguatan sistem pemerintahan presidensial. Kesepakatan tersebut perlu ditegaskan untuk menyatakan perubahan ke depan tidak akan membongkar pondasi dasar kehidupan bernegara, khususnya yang berhubungan dengan Pancasila sebagai dasar negara. Kesepakatan-kesepakatan demikian disadari sebagai konsensus politik nasional yang menjadi prasyarat kemungkinan berlanjutnya perubahan UUD. Selanjutnya, secara substansi, perubahan lanjutan akan menyempurnakan saling kontrol saling imbang pada cabang-cabang kekuasaan. Di bidang eksekutif, pemilihan presiden langsung sebaiknya membuka peluang adanya calon independen, mengubah dominasi partai politik yang saat ini memonopoli pencalonan presiden. Sedangkan untuk menguatkan sistem presidensial yang efektif perlu desain konstitusi yang merangsang hadirnya sistem kepartaian sederhana. Dalam konteks demikian perlu dicatat peringatan dari Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart dalam Presidentialism and Democracy in Latin America. Menurut mereka, ketidakstabilan pemerintahan akan terjadi bila sistem presidensial dipadukan dengan sistem multi-partai yang cenderung melahirkan presidensial (minority president) dan pemerintahan terbelah (divided government). Yaitu, presiden yang hanya mendapatkan dukungan minoritas di parlemen. Hadirnya presiden minoritas dan pemerintahan terbelah, ditambah minimnya kekuasaan konstitusional, menyebabkan banyak sistem presidensial di negara-negara Amerika Latin gagal menghadirkan demokrasi yang stabil.37 Dalam upaya mendorong hadirnya kepartaian yang sederhana tersebut maka perlu didesain pencalonan presiden yang terjadi sebelum pemilu legislatif. Dengan demikian, partai-partai didorong untuk berkoalisi dengan dasar platform kepartaian, tidak semata-mata persamaan kepentingan kekuasaan. Di bidang legislatif, kewenangan DPD sebaiknya dikuatkan agar fungsinya sebagai penyeimbang DPR dapat dilaksanakan dengan lebih efektif. Pemilihan anggota DPD yang secara langsung melalui sistem perwakilan provinsi harus disinkronkan dengan kewenangannya yang lebih kuat. Fungsi pertimbangan yang saat ini melekat kepada DPD, dalam hal-hal yang berkaitan dengan daerah, sebaiknya ditingkatkan. Misalnya, dalam proses legislasi, DPD tidak hanya terbatas memberikan pertimbangan, tetapi turut mempunyai hak suara untuk menentukan lolos tidaknya RUU. Selain penguatan fungsional, perlu juga dilakukan penguatan struktural, terutama berhubungan dengan personal DPD. Proteksi personal adalah dengan mengangkat hak imunitas DPD yang saat ini ada dari tingkat UU ke tingkat konstitusi. Sehingga, sistem parlemen Indonesia ke depan sebaiknya mengarah pada sistem parlemen bikameral yang efektif.

37

Scott Mainwaring dan Matthew S. Shugart (1990), Presidentialism and Democracy in Latin America.

6

Di bidang yudikatif, sebaiknya ditegaskan konsep MK sebagai court of law dan MA sebagai court of justice. MK sebaiknya diberikan kewenangan untuk menguji semua peraturan perundangan. Sedangkan MA diberikan kewenangan forum previlegiatum untuk memutus kasus kejahatan pada tingkat pertama dan terakhir bagi pejabat negara. Kewenangan MK juga perlu ditambah untuk memeriksa permohonan constitutional complaint. Kewenangan demikian penting untuk menjamin aturan HAM di dalam konstitusi tidak hanya menjadi aturan kosong, tanpa perlindungan konkret kepada semua warga negara. Masih di bidang HAM, masih diperlukan perubahan lanjutan untuk menegaskan terwujudnya perlindungan HAM, misalnya terkait jaminan kebebasan pers, hak pekerja, dan hak perempuan. Yang juga perlu dilakukan, pemisahan kekuasaan di dalam konstitusi harus menampung lahirnya independent agencies yang memperkuat bangunan negara hukum. Artinya, Komisi Hak Asasi Manusia, KPK, Komisi Kebebasan Pers, KPU harus diangkat menjadi organ konstitusi, untuk melakukan fungsi kontrol penegakan HAM, pemberantasan korupsi, menjamin kebebasan pers dan pemilu yang luber dan jurdil.38 Penambahan empat lembaga independen itu melengkapi keberadaan Komisi Yudisial sebagai penjamin prinsip lembaga peradilan yang independen, dan akuntabel. Peletakan independent agencies ke dalam konstitusi tersebut di samping memperkokoh bangunan negara demokrasi konstitusional Indonesia juga untuk menjawab makin kompleksnya permasalahan ketatanegaraan modern. Dalam konteks tersebut, konsep klasik pemisahan kekuasaan ala Montesquieu (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) sudah relatif ketinggalan zaman. Bruce Ackerman dengan lugas mengatakan pemisahan ketatatanegaraan Amerika Serikat berdiri di atas lima cabang kekuasaan, tidak lagi tiga, yaitu: Presiden, Senate, House of Representatives, Mahkamah Agung, dan independent agencies.39 Akhirnya, reformasi hubungan pusat dan daerah juga harus diagendakan dalam perubahan konstitusi. Kuatnya tuntutan otonomi daerah harus diberikan jaminan konstitusi yang tegas untuk sejalan dengan bentuk negara kesatuan. Desain konstitusi harus menemukan formula yang tepat untuk terus mendorong desentralisasi yang tidak menumbuhkan potensi disintegrasi. Masih dalam konteks otonomi daerah, konstitusi juga mesti mempunyai norma yang berpihak kepada keberagaman dan kekhususan daerah, ataupun masyarakat adat setempat. Penjabaran lebih lanjut dari substansi perubahan di atas, akan lebih diuraikan dalam babbab berikut.

38

Denny Indrayana (2006), Komisi Negara: Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, Makalah yang disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan harian Kompas, Sewindu Reformasi Mencari Visi 2030, Jakarta 8 Mei. Bruce Ackerman ((2000), The New Separation of Powers, The Harvard Law Review vol. 113 728.

39

7

2. TENTANG KEKUASAAN PEMERINTAH NEGARAUUD 1945 mengatur kekuasaan pemerintah (eksekutif) negara dalam Bab III, yang meliputi Pasal-pasal: 4 6, 6A, 7, 7A C, 8 16. Ketentuan-ketentuan tersebut menegaskan, Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Tanpa bermaksud mengubah sistem pemerintahan tersebut, melainkan justru menyempurnakannya, diusulkan perubahan ketentuan UUD 1945 mengenai calon perseorangan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, ketentuan tentang pemakzulan Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, hak tolak (veto) Presiden terhadap legislasi yang menjadi wewenang lembaga legislatif dan diputuskan oleh DPR dan DPD, serta prerogatif Presiden sebagai kepala negara.

2.1. Sistem PemerintahanHasil amandemen UUD 1945 mengandung ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial,40 yaitu: a. Presiden-eksekutif berkedudukan terpisah dari legislatif. Meskipun UUD 1945 menganut pemisahan kekuasaan tersebut, masih terdapat peleburan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif dalam ketentuan Pasal 20 ayat (2), yaitu Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Ketentuan tersebut jelas berbeda dari ketentuan Pasal 11 ayat (2) bahwa Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Rumusan ini mengatur wewenang Presiden sebagai kepala negara dalam membuat perjanjian dengan negara lain, yang memerlukan persetujuan (ratifikasi) DPR agar menjadi bagian dalam sistem hukum nasional dan mengikat secara nasional. b. Tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Presiden kepala pemerintahan dan para menteri, karena para menteri bertanggung jawab secara penuh kepada kepala eksekutif (Pasal 17 ayat (3): Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden). c. Presiden kepala pemerintahan tidak dapat membubarkan lembaga legislatif (Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat). d. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A). Perumusan ini sejalan pula dengan kedudukan Presiden sebagai single chief executive.40

Lihat Arend Lijphart dan lainnya.

8

e. Ciri lain sistem presidensial adalah masa jabatan yang tetap (fixed terms). Pasal 7 menentukan: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. f. Dalam kaitan itu Presiden dan atau Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan di tengah masa jabatannya, berdasarkan alasan-alasan pemberhentian jabatan dan melalui tata cara pemberhentian yang ditentukan dalam konstitusi.41 g. Ciri selanjutnya adalah Presiden sekaligus berkedudukan sebagai kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (chief executive).42 Dengan demikian hasil amandemen UUD 1945 masih mengandung ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer dan tidak menempatkan lembaga legislatif (dalam hal ini DPR dan DPD) pada fungsi parlemen yang seharusnya dalam sistem presidensial.

2.2. Perekrutan, Sumpah Jabatan, dan Pemakzulan PresidenPasal 6A ayat (2) diubah dengan menambah calon independen bagi calon Presiden, sehingga tidak dibatasi pada aspirasi partai politik (termasuk gabungan partai politik) melainkan juga calon-calon di luar partai politik. Dengan persyaratan yang tidak selalu mudah bagi perorangan maka kehadiran calon independen akan mendorong partai-partai politik untuk memajukan calon-calon yang lebih berkualitas. Peluang calon independen dan calon dari partai politik diharapkan lebih mendorong kehidupan berdemokrasi yang lebih terbuka dan kompetitif. Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2) digabung menjadi satu pasal sebagai berikut Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan/atau Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Mahkamah Konstitusi dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan simbol kedaulatan rakyat, sedangkan Mahkamah Konstitusi merupakan simbol daulat konstitusi. Mengenai pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 7B hasil amandemen), diusulkan perubahan mengenai: (1). Peran Dewan Perwakilan Daerah; (2). Pemangkasan politisasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan mendorong mekanisme pemakzulan yang lebih ringkas tanpa perlu kembali lagi ke DPR; dan (3) jumlah kehadiran yang ditetapkan di tiap kamar, meskipun pada akhirnya putusannya diambil secara keseluruhan. Sesuai dengan usulan tentang calon independen maka pengisian lowongan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden mengalami perubahan pula: (1) Dewan Perwakilan41

42

Periksa Pasal 7A 7B jo. Pasal 24C ayat (1) UUD RI hasil amandemen. Bandingkan dengan ketentuan praamandemen pasal 8 jo. Eks njelasan UUD 1945, bagian tentang sistem pemerintahan negara angka VII dan V. Menjadi tidak tepat untuk mengatakan bahwa secara simbolik konstitusi adalah kepala negara dalam sistem pemerintahan presidensial. Amandemen UUD 1945 belum menormakan eks-Penjelasan UUD 1945 (praamandemen) tentang Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.

9

Daerah dilibatkan dalam proses; (2). Norma tentang cara pengisian lowongan jabatan dikorelasikan dengan putaran pemilihan presiden dan peringkat (perolehan suara) para calon presiden.

2.3. Presiden: Kepala PemerintahanPresiden sebagai kepala pemerintahan menjalankan fungsi-fungsi eksekutif seperti mengajukan RUU atau veto kepada legislatif, membuat perintah-perintah eksekutif (executive orders), menyusun kabinet, melaksanakan pemerintahan. Dalam konteks demokrasi dan negara hukum, pelaksanaan pemerintahan merupakan manifestasi dari mandat konstitusional dan undang-undang. Presiden dalam sistem presidensial bukanlah pemegang kekuasaan legislatif. Presiden adalah kepala pemerintahan (eksekutif), meskipun ia dapat diberi hak tertentu di bidang tersebut seperti mengajukan rancangan undang-undang dan mengundangkan produk legislatif. Karena itu kekuasaan legislatif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), sedangkan Presiden berhak dan dapat memajukan rancangan undang-undang. Sesuai dengan ciri sistem presidensial, bahwa eksekutif terpisah dari legislatif maka Pasal 7C (Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat) dihapus. Jika hasil amandemen tersebut hendak dipertahankan maka harus diubah dengan menyebut pula keberadaan Dewan Perwakilan Daerah.

2.4. Presiden: Kepala NegaraSistem presidensial menempatkan presiden dalam dua kedudukan dan fungsi, yaitu sebagai kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan (chief executive). Kedudukan dan fungsi ini disebutkan dan dijelaskan dalam eks-Penjelasan UUD 1945, tetapi belum dinormakan melalui amandemen konstitusi. Fungsi presiden sebagai kepala negara bersifat simbolik (seperti memberi gelar dan tanda jasa) dan terdapat pula kewenangan yang merupakan prerogatif, misalnya: sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas angkatan bersenjata, menyatakan perang dan keadaan bahaya, membuat perjanjian internasional; di bidang kekuasaan kehakiman berwenang memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi; mengangkat duta dan konsul. Dengan demikian Pasal 10 14 perlu dikembalikan kepada makna menurut eksPenjelasan UUD 1945, yaitu dikategorikan sebagai kekuasaan Presiden sebagai kepala negara. Hal ini didasarkan kepada pertimbangan sebagai berikut: Pertama, dalam Pasal 10 UUD 1945, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Dalam Pasal 11 ayat (1) Presiden, dengan persetujuan DPR dan DPD, menyatakan perang atau mengumumkan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain. Presiden sebagai kepala negara 10

dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi militer berkewajiban mewujudkan tujuan negara untuk ikut memelihara kedamaian dan ketertiban dunia, sehingga keputusannya dalam hal ini memerlukan keputusan Presiden bersama DPR dan DPD. Peran DPR dan DPD dimaksudkan sebagai legitimasi politik dari rakyat melalui wakil-wakilnya. Kedua, kekuasaan dan kewenangan Presiden dalam membuat perjanjian internasional memerlukan ratifikasi oleh lembaga perwakilan (dalam hal ini DPR dan DPD), lebihlebih karena substansi dan cakupannya dinilai penting bagi kehidupan negara dan rakyat banyak. Ketiga, terkait dengan prerogatif Presiden, sebagai kepala negara, dalam menentukan duta besar dan konsul di luar negeri maupun menerima duta negara lain, Pasal 11 dikembalikan kepada teks praamandemen. Keempat, Pasal 14 dirumuskan sebagai berikut: Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Prerogatif Presiden kepala negara di bidang yudikatif memerlukan pertimbangan Mahkamah Agung agar pemberian grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi tetap sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Selain itu, pertimbangan MA dilaksanakan dalam kaitan dengan fungsi kepenasihatan (advisory function) di bidang hukum yang dimilikinya.

3. LEMBAGA PERWAKILAN PERUBAHAN UUD 1945

INDONESIA

SETELAH

Di Indonesia, sistem bikameral bukan hanya perdebatan yang muncul selama era Reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, sistem bikameral sudah disepakati menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota. Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat.43 Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang

43

Bandingkan dengan Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta.

11

dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir.44 Gagasan sistem bikameral yang mengalami mati suri sekitar empat dasawarsa kembali menemukan momentum seiring dengan kuatnya desakan untuk melakukan reformasi total terhadap UUD 1945 pada awal era Reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001 berhasil mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk kamar kedua setelah DPR di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang berbeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat, yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.45 Sejalan dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar. a. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan. b. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat. c. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian, segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan dan menghindari disintegrasi. d. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.46 Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat di atas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga perwakilan rakyat (strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamar atau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya.44

45

Lebih jauh tentang hal ini, baca Adnan Buyung Nasution, (1992), The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia: A Socio-Legal Study of Indonesian Konstituante 1956-1959, Rijksuniversiteit, Utrecht. Ramlan Surbakti, (2002), Menuju Demokrasi Konstitusional: Reformasi Hubungan dan Distribusi Kekuasaan, dalam Maruto MD dan Anwari WMK (edit.), Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Kendala dan Peluang Menuju Demokrasi, LP3ES, Jakarta. Bagir Manan, (2003), Loc.cit.

46

12

Biasanya, dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antara kedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang. Terkait dengan hal ini, Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.47 Bahkan, menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.48 Semua kritik yang muncul terhadap lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945 sangat mendasar dan masuk akal. Alasannya, salah satu tujuan utama perubahan UUD 1945 adalah untuk menata keseimbangan (checks and balances) antarlembaga negara. Hubungan itu ditata sedemikian rupa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada salah satu institusi negara saja. Apalagi, the central goal of a constitution is to create the precondition for well-functioning democratic order.49 Dengan terjadinya penumpukan kekuasaan pada satu institusi negara, kehidupan ketatanegaraan yang lebih demokratis tidak mungkin diwujudkan. Beberapa penjelasan berikut dapat membuktikan superioritas DPR atas DPD. Pertama, dalam fungsi legislasi. Perubahan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 dari tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR menjadi DPR mempunyai kekuasaan membentuk undangundang dan penambahan Pasal 20A Ayat (1) bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan tidak saja berakibat pada melemahkan fungsi legislasi presiden tetapi memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Oleh karena itu, ruang untuk dapat mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam Pasal 22D Ayat (1) dan (2) UUD 1945 tidak cukup untuk mengatakan bahwa DPD mempuyai fungsi legislasi. Bagaimanapun, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai menyetujui sebuah rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Banyak pendapat mengatakan, perubahan Pasal 20 Ayat (1) dan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-

47

48

49

Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya. Cass R. Sunstein, (2001), Designing Democracy, What Constitution Do, Oxford University Press, New York.

13

undang hanya menjadi monopoli DPR.50 Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undangundang dari Majelis Rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan rancangan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.51 Di banyak negara yang memakai sistem bikameral, lembaga semacam DPD (senate atau upper house) diberikan kewenangan yang besar untuk mengimbangi posisi DPR (house of representative). Misalnya di Austarlia, paling tidak, senat mempunyai dua fungsi utama. Pertama, meneliti ulang setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh Majelis Rendah, yaitu House of Representatives (DPR). Dan, kedua, melalui three-fold committee system mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Dalam fungsi legislasi, senat mempunyai kekuasaan yang sama dengan DPR untuk mengajukan rancangan undang-undang. Bahkan, setiap anggota senat berhak mengajukan suatu rancangan undang-undang.52 Kedua, dalam fungsi anggaran. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undangundang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil saja penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, kalau kesempatan itu tidak ada, Majelis Tinggi seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.53 Ketiga, fungsi pengawasan. Tidak berbeda dengan fungsi legislasi dan fungsi anggaran, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas.54 Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan50

51

52 53 54

Saldi Isra, (2004), Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Loc.cit; Agus Heryadi, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta; dan Denny Indrayana (2002), Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September, Jakarta. Kevin Evans, (2002), Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta. Amzulia Rifai, ibid. Kevis Evans, (2002), Loc.cit. Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.

14

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dengan terbatasnya kewenangan yang dimiliki DPD, sulit dibantah bahwa keberadaan lembaga negara ini lebih merupakan subordinasi dari DPR. Keterbatasan itu memberi makna, gagasan menciptakan dua kamar dengan kekuatan berimbang untuk mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan gagal karena perubahan UUD 1945 yang bias kepentingan DPR. Kegagalan ini akan berdampak pada melemahnya artikulasi politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional. Dengan demikian sulit membantah sinyalemen bahwa keberadaan DPD hanya sebagai pelengkap dalam lembaga perwakilan rakyat. Di samping itu, munculnya rumusan reaktif Pasal 7C yang menyatakan bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR. Sulit dibantah, Pasal 7C muncul sebagai reaksi terhadap sikap mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang pernah berupaya untuk membubarkan DPR. Dalam konteks kebutuhan praktik ketatanegaraan ke depan, rumusan ini menjadi tidak masuk akal dengan adanya pilihan untuk tetap mempertahankan sistem presidensial. Di samping itu, rumusan Pasal 7C dapat menimbulkan pertanyaan mendasar lainnya, yaitu mengapa yang dilarang untuk dibekukan dan/atau dibubarkan hanya DPR? Lalu, apakah DPD boleh dibekukan dan/atau dibubarkan oleh Presiden?. Ketidakseimbangan antara DPD dan DPR juga dapat dicermati dalam proses pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden di tengah masa jabatannya (impeachment).55 Berdasarakan Pasal 7B Ayat (1) sampai Ayat (6) UUD 1945, usul pemberhentian dapat diajukan kepada MPR dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR apabila presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 7A UUD 1945. Kalau Mahkamah Konstitusi membenarkan pendapat DPR, maka MPR akan menyelenggarakan sidang untuk memutus usul DPR. Untuk itu, Pasal 7B Ayat (7) UUD 1945 menentukan, keputusan MPR atas usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Kalau ditelaah ketentuan kuorum yang dalam proses impeachment di MPR, peran DPD dapat diabaikan. Pada periode 2004-2009, jumlah anggota DPR 550 orang56 dan anggota55

56

Pasal 7A UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota (UU Susduk) menyatakan, anggota DPR berjumlah 550 orang.

15

DPD 128 orang57. Berarti anggota MPR berjumlah 678 orang. Menurut Refly Harun, impeachment dapat dilakukan tanpa melibatkan DPD karena jumlah anggota DPR yang 550 orang sudah lebih dari jumlah anggota MPR hanya berjumlah 508 orang. Hal yang sama juga berlaku dalam proses perubahan UUD 1945.58 Celakanya, menurut Refly Harun lagi, konstitusi menyatakan bahwa bahwa MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Artinya, kehadiran DPD dalam MPR tidak bersifat kelembagaan, melainkan perseorangan. Seandainya interpretasi konstitusi dipaksakan bahwa MPR ada apabila ada anggota DPR dan DPD yang hadir sekaligus, tanpa kehadiran anggota DPD maka forum MPR tidak absah, cukup bagi DPR untuk seorang saja anggota DPD agar forum MPR menjadi sah.59

3.1. Menuju Bikameral Yang EfektifSistem kamar (baik unikameral maupun bikameral) dalam lembaga perwakilan rakyat efektifitasnya ditentukan oleh perimbangan kewenangan antarkamar dalam pelaksanaan fungsi parlemen seperti fungsi legislasi, anggaran, kontrol, representasi, dan rekrutmen politik. Dari semua fungsi tersebut, perimbangan dalam fungsi legislasi menjadi faktor utama dalam mekanisme lembaga perwakilan rakyat. Bagaimanapun, dengan perimbangan itu, terutama dalam sistem dua kamar, dimaksudkan untuk melaksanakan mekanisme checks and balances antarkamar di lembaga perwakilan rakyat. Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.60 Bahkan, menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.61 Bahkan, dari segi produktifitas, kemungkinan sistem dua kamar (yang efektif) akan lebih produktif karena segala tugas dan wewenang dapat dilakukan oleh kedua kamar tanpa menunggu atau tergantung pada salah satu kamar saja.6257

58

59 60

Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Kemudian, Pasal 33 Ayat (1) UU Susduk menyatakan, anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak empat orang. Karena jumlah provinsi 32, maka jumlah anggota DPD 32x4 orang yaitu 128 orang. Refly Harun, (2004), Memperkuat Dewan Perwakilan Daerah, dalam Koran Tempo, 18 April 2005, Jakarta. Lihat juga, http://www.korantempo.com/news/2004/5/18/Opini/48.html Ibid Jimly Asshiddiqie, (1996), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta. Soewoto Mulyosudarmo, (2004), Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya. Bandingkan dengan Bagir Manan, (2003b), loc.cit.

61

62

16

Dalam Kongres Amerika Serikat, misalnya, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden (lihat gambar). Dengan demikian, dalam fungsi legislasi, Senat punya kewenangan yang relatif seimbang dengan DPR. Tidak hanya di Amerika Serikat, dalam praktik sistem dua kamar Inggris, House of Lord punya peran yang relatif berimbang dengan House of Commons. Hal ini dapat dibaca dalam The Work of the House of Lords: Its Roles, Functions, and Powers yang menyatakan: as a second chamber, House of Lords plays an important part in revising legislation and keeping a check on government by scrutinizing its activities. In legislation, the functions of the House of Lords are similar to those of the House of Commons which are that of debating and questioning the executive. All Bills go through both Houses before becoming Acts, and may start in either House. Normally, the consent of the Lords is required before Acts of Parliament can be passed, and the Lords can amend all legislation, with the exception of Bills to raise taxation, long seen as the responsibility of the Commons. Amendments have to be agreed to by both Houses. The House of Lords is as active as the Commons in amending Bills, and spends two-thirds of its time revising legislation. 63

63

Selengkapnya baca Saldi Isra (2006), The Role of the Second Chamber In the UK and Indonesia, Academic Essay dalam Short Course What Democracy Means di University of Birmingham UK (Januari-April 2006), diselenggarakan oleh Chevening Fellowship, UK.

17

How a Bill Become Law

Measure Introduction in the house Measure Referred to committee(s) which holds hearings and report measure to the House Most legislation Begins as Similar proposals in both houses

Measure Introduction in the senate Measure Referred to committee(s) which holds hearings and report measure to the Senate

Or Leadership schedules measure for floor consideration House debates and can amend measure

For impotant mesure special rule reported by the rules Committee and adopted by the House Leadership schedules measure for floor consideration Senate debates and can amend measure Senate passes measure

House passes measure

All measure must pass both the House and Senate in Identical form before being presented to the presidentOne house agrees to the other houses version House and Senate exchange amendments to bill and reach agreement

House and Senate members appointed to a conference committee and agree to a conference report

Conference report approved in the House

Conference report approved in the Senate

Legislation presented to the president If Congress is in session, mesure becomes law without the presidents signature after 10 days If Congress is not in session, measure fails to becomes law without the presidents signature after 10 days (pocket veto)

President signs measure into law

President vetoes legislation Congress can override veto by 2/3 vote in each house

Sumber: Gina Misiroglu, (2003), The Handy Politics Answer Book, Visible Ink Press, Detroit.

18

Di Indonesia, hubungan antarkamar dalam lembaga perwakilan rakyat tidak mungkin menciptakan dua kamar yang efektif. Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan pengawasan. Karena fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPR, Pasal 20A Ayat (1) UUD 1945 tetap memunculkan superioritas fungsi legislasi DPR terhadap DPD. Karenanya, banyak pendapat mengatakan kehadiran Pasal 20A Ayat (1) memberi garis demarkasi yang sangat tegas bahwa kekuasaan membuat undang-undang hanya menjadi monopoli DPR.64 Padahal, dalam lembaga perwakilan rakyat bikameral, kalau tidak berhak mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto) rancangan undang-undang dari Majelis rendah. Sekiranya hak itu juga tidak ada, Majelis Tinggi diberi hak menunda pengesahan undang-undang yang disetujui Majelis Rendah. Hak menunda pengesahan sering menjadi satu-satunya kekuatan jika Majelis Tinggi jika tidak mempunyai hak mengubah dan menolak rancangan undang-undang.65 Pasca-amandemen UUD 1945 terjadi perubahan mekanisme proses pembentukan undang-undang. Secara formal, rancangan undang-undang dapat disampaikan oleh presiden, DPR, dan DPD.66 Pembahasan rancangan undang-undang terdiri dari dua tingkat pembicaraan. Pembahasan tingkat pertama diadakan dalam rapat komisi, rapat badan legislasi ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua diadakan dalam Sidang Paripurna DPR untuk menyetujui RUU tersebut. Dalam kaitannya dengan posisi DPD, menurut ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 hasil Perubahan Pertama oleh MPR tahun 1999, DPR adalah lembaga yang berwenang membentuk undang-undang, sedangkan DPD sebagaimana ditentukan pengaturannya dalam Bab VIIA UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga tahun 2001 hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan mengajukan usul saran kepada DPR, dan mengawasi pelaksanaan UU tertentu. Peran sebagai ko-pembahas dilakukan oleh DPD dalam sidang DPR bersama pemerintah yang didahului oleh pembahasan dalam sidang DPD sendiri. Seperti ditegaskan dalam Pasal 20 Ayat (2), setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk..... Artinya, DPR dan Presiden bersama-sama membahas RUU untuk disahkan menjadi undang-undang. Sedangkan DPD, dalam Pasal 22D Ayat

64

Saldi Isra, Lembaga Legislatif Pasca-Amandemen UUD 1945, Sumbangan Tulisan dalam Soewoto Mulyosudarmo, 2004, Loc.cit; Agus Heryadi, Bikameral Setengah Hati, dalam Bambang Widjojanto, Saldi Isra dan Marwan Mas (Edit.), Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Pustaka Sinar Harapan dan Koalisi untuk Konstitusi Baru, Jakarta; dan Denny Indrayana, Ancaman Tirani DPR, dalam Kompas, 2 September 2002, Jakarta. Kevin Evans, Seputar Sistem Bikameral, dalam Bambang Subianto et.al (edit.), Menggagas Ulang Prinsip-prinsip Lembaga Kepresidenan, CPPS Paramadina dan Partnership for Governance Reform in Indonesia, Jakarta, 2002 Sesuai dengan Pasal 22D Ayat (1) UUD 1945, DPD dapat mengajukan kepada DPR rancangan undangundang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah

65

66

19

(2) UUD 1945 ditegaskan: Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah..... Melihat pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatur DPD, lembaga ini tidak memiliki wewenang membentuk undang-undang bersama-sama DPR dan Presiden. Wewenang DPD terbatas dan sempit, karena DPD hanya untuk memberi pertimbangan. Seolah-olah DPD hanya berposisi sebagai Dewan Pertimbangan DPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. UUD 1945 secara eksplisit telah memangkas penggunaan fungsi legislasi oleh DPD. Pasal 20 ayat (1) dan 20 A ayat (1) menentukan bahwa kekuasaan membuat undang-undang (legislasi) hanya dimiliki oleh DPR. DPD hanya ikut membahas RUU tertentu yang berkaitan dengan otonomi daerah dan dapat memberi pertimbangan kepada DPR saat DPR melaksanakan kewenangannya. Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa sistem bikameral yang dituangkan dalam UUD 1945 hasil amandemen tidak sesuai dengan prinsip bikameral yang umum dalam teori-teori ketatanegaraan, yaitu fungsi parlemen yang dijalankan oleh dua kamar secara berimbang (balance) dalam proses legislasi maupun pengawasan. Dengan demikian, DPD berfungsi sebagai ko-pembahas yang dalam hal ini tentulah dimaksud ikut membahas rancangan undang-undang dalam sidang DPR di mana rancangan yang bersangkutan dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. Artinya, dalam pelaksanaan fungsi legislasi, DPD tidak bisa sampai tahap persetujuan rancangan undang-undang. Selain itu, dalam bidang legislasi, DPD juga berfungsi sebagai pemberi pertimbangan atas perancangan dan pembahasan RUU di bidang-bidang tertentu; dan di bidang pengawasan, yaitu mengawasi pelaksanaan UU di bidang-bidang yang terkait dengan kepentingan daerah. Mencermati pengaturan dalam UUD 1945 dan pelaksanaan kewenangan DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian cukup menarik: The DPD is thus a quite unusual example of a second chamber because it represents the odd combination of limited powers and high legitimacy. Its role in lawmaking is limited to certain areas of policy, its powers are only advisory and no Bill is actually required to pass through it in order to be passed, yet at the same time it has the strong legitimacy that comes from being a fully elected chamber. This combination does not seem to be replicated anywhere else in the world.67 Berdasarkan penjelasan di atas, guna membangun prinsip checks and balances dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia harus ada perubahan radikal terhadap fungsi legislasi, yaitu dengan tidak lagi membatasi DPD seperti saat ini. Kalau ini dilakukan, gagasan menciptakan kamar kedua di lembaga perwakilan rakyat guna mengakomodasi kepentingan daerah dalam menciptakan keadilan distribusi kekuasaan menjadi dapat67

Stephen Sherlock, (2005), Indonesias Regional Representative Assembly: Democracy, Representation and the Regions, Centre for Democratic Institutions Research School of Social Sciences, Australian National University.

20

diwujudkan. Bagaimanapun, dengan pola legislasi sekarang, DPD tidak mungkin mampu mengartikulasikan kepentingan politik daerah pada setiap proses pembuatan keputusan di tingkat nasional, terutama dalam membuat undang-undang yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Dikaitkan dengan sistem pemerintahan presidensial,68 penataan fungsi legislasi amat diperlukan karena presiden begitu dominan dalam proses legislasi. Dalam sistem presidensial: The president has no formal relationship with the legislature. He is not a voting member, nor can he introduce bills (with the exception of Puerto Rico, where he can introduce a bill). However, in systems such as that of the United States, the President has the power to veto acts of the legislature, and in turn a supermajority of legislators may act to override the veto.69 Dari hasil telaah sejumlah konstitusi (baik dengan sistem pemerintahan presidensial dan pemerintahan parlementer, maupun dengan sistem satu kamar dan sistem dua kamar di negara kesatuan maupun federal) membuktikan bahwa presiden masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, namun keikusertaan presiden dalam pembahasan rancangan undang dengan lembaga perwakilan rakyat (parlemen) tidak seperti di Indonesia. Pada semua negara, persetujuan menjadi hak ekskulsif lembaga perwakilan rakyat (lembaga legislatif). Bahkan di Mauritinia, meski inisiasi dapat berasal dari pemerintah dan parlemen, pembahasan (perdebatan) rancangan undang-undang dilakukan oleh pemerintah (Council of Ministers), namun pesetujuan tetap menjadi hak ekslusif parlemen. Oleh karenanya, untuk menata fungsi legislasi, yang diperlukan tidak hanya terbatas pada penguatan fungsi legislasi DPD tetapi juga dengan membatasi peran atau keterlibatan presiden dalam fungsi legislasi. Kalau memang punya political will yang kuat untuk melakukan purifikasi sistem presidensial, presiden tidak lagi dilibatkan dalam proses pembahasan rancangan undang-undang. Dengan demikian, mekanisme checks and balances dalam pembahasan rancangan undang-undang hanya terjadi antara DPR dan DPD. Selain fungsi legislasi, sistem bikameral yang efektif juga dibangun dalam fungsi anggaran. Terkait dengan hal ini, hampir semua negara memberikan kewenangan kepada the second chamber untuk melakukan perubahan dan penundaan dalam waktu terbatas terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan yang terkait dengan keuangan negara. Misalnya di Puerto Rico, all bills for raising revenue shall originate in the House of Representatives, but the Senate may propose or concur with amendments as on other68

Sesuai dengan kesepakatan MPR Periode 1999-2004, perubahan UUD 1945 tetap dibatasi oleh lima kesepakatan dasar, yaitu: (1) tidak mengubah pembukaan UUD 1945, (2) tetap mempertahankan NKRI, (3) mempertegas sistem pemerintahan presidensial, (4) Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh UUD), dan (5) melakukan perubahan secara adendum. Lebih jauh baca Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, 2005, Panduan Pemsyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, Jakarta http://en.wikipedia.org/wiki/Presidential_system diakses terakhir 2 Juni 2007

69

21

bills.70 Sementara di Inggris, House of Lords diberikan wewenang melakukan perubahan terhadap rancangan undang-undang keuangan negara dan tidak dapat melakukan penundaan lebih satu bulan (the House of Lords cannot delay a money bill for more than one month).71 Tidak demikian halnya dengan Indonesia. Pasal 22D Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Sama dengan fungsi legislasi, dalam fungsi anggaran, DPD juga mempunyai fungsi anggaran yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undangundang APBN. Padahal, pertimbangan hanyalah sebagian kecil penggunaan hak dalam fungsi anggaran. Semestinya, DPD diberi kewenangan untuk mengusulkan, mempertimbangkan, mengubah, dan menetapkan anggaran seperti DPR. Menurut Kevin Evans, dalam sistem bikameral, bila mengubah dan menetapkan tidak dimiliki the second chamber, maka the second chamber seharusnya diberi hak menunda persetujuan rancangan APBN.72 Begitu juga halnya dengan fungsi kontrol atau pengawasan. Di samping melakukan pengawasan internal antarkamar di lembaga perwakilan rakyat, the second chamber juga punya kewenangan pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan. Misalnya di Australia, pada tahun 1970, dibentuk tiga komite di Senat yang mempunyai kekuasaan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Ketiga komite itu dikenal dengan three-fold committee system. Ketiga komite dimaksud adalah:73 (1) Standing Committees atau Permanent Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi jalannya administrasi seluruh departemen pemerintah. (2) Select Committees atau Special Inquiry Adhoc Committees. Komite ini membidangi urusan rumah sakit, kesehatan, peredaran obat, dan segala yang menyangkut penyalahgunaan obat-obatan, keamanan, hak-hak migran, dan pasar modal. (3) Estimates Committees. Komite ini bertanggung jawab mengawasi penggunaan dana yang dialokasikan ke berbagai departemen pemerintah. Sama halnya dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan, dalam fungsi pengawasan pun DPD mempunyai kewenangan yang sangat terbatas.74 Pasal 22D Ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai: (a) otonomi daerah, (b) hubungan pusat dan daerah, (c) pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, (d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber70 71 72 73 74

Article III Section 17 Konstitusi Puerto Rico. The House of Lords, http://www.parliament.uk/works/lords.cfm. Kevis Evans, (2002), Loc.cit. Amzulia Rifai, (1994). Pengantar Konstitusi Australia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, (2002), Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta.

22

daya ekonomi lainnya, (e) pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, (f) pajak, (g) pendidikan, dan (h) agama. Kemudian, hasil itu disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Dari ketentuan itu, fungsi pengawasan DPD seolah-olah menjadi subordinat (fungsi pengawasan) DPR. Oleh karenanya, untuk membangun bikameral yang efektif, fungsi pengawasan DPD menjadi sebuah keniscayaan. Dalam hal fungsi representasi, Pasal 22C Ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Kemudian, dalam Pasal 22C Ayat (2) ditegaskan lagi, anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Dari ketentuan itu, tidak bisa dinafikan bahwa DPD merupakan representasi daerah. Karena DPR lebih merupakan representasi partai politik, representasi daerah relatif lebih tepat untuk mengimbangi partai politik di lembaga perwakilan rakyat. Meskipun demikian, idealnya dikembangkan juga upaya untuk memikirkan bahwa DPD tidak hanya menjadi representasi daerah tetapi juga mampu merepsentasikan kelompok-kelompok marjinal dan minoritas. Sekalipun DPD merupakan representasi daerah, dalam fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publik DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung75 serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial.76 Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan pertimbangan DPR, seperti: pengangkatan duta77 dan menerima penempatan duta negara lain.78 Fungsi rekrutmen jabatan publik DPR bertambah besar dengan adanya kewenangan untuk mengisi beberapa jabatan strategis kenegaraan, seperti (1) memilih anggota Badan Pemeriksa Keuangan79, menentukan tiga dari sembilan orang hakim konstitusi80, dan (3) menjadi institusi yang paling menentukan dalam proses pengisian state auxiliary bodies lainnya, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Komisi Pemilihan Umum. Tidak hanya itu, masih ada keharusan untuk meminta pertimbangan DPR dalam pengisian jabatan Panglima TNI, Kapolri, dan lain-lain. Dengan gambaran tersebut, dalam hal fungsi rekrutmen jabatan publik, DPD tidak kalah memprihatinkan jika dibandingkan dengan fungsi legislasi, fungsi kontrol, dan fungsi anggaran di atas. Oleh karenanya, DPD seharusnya dilibatkan dalam proses rekrutmen jabatan publik. Pelibatan itu menjadi sebuah keniscayaan karena rekrutmen jabatan publik yang hanya dilakukan oleh DPR amat mungkin bias kepentingan politik partai

75 76

Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945. Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945. 77 Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945. 78 Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945. 79 Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945.80

Pasal 24B Ayat (3) UUD 1945.

23

politik. Artinya, jika DPD diberi ruang yang cukup dalam proses rekrutmen jabatan publik, kepentingan politik partai di DPR bisa diimbangi oleh DPD.

4. OTONOMI DAERAH, PEMERINTAH DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH 4.1. Negara Kesatuan dan Otonomi DaerahKonsep otonomi daerah dan pola pemerintahan di daerah mengikuti perkembangan teori negara dan pola hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dalam konteks bentuk negara, terdapat pola negara kesatuan dan negara federasi. Dalam model negara federal, pengalaman Amerika Serikat menunjukkan pola kenegaraan yang diinisiasi oleh daerah-daerah atau negara bagian untuk kemudian membentuk negara. 81 Sehingga, secara asal, kekuasaan itu berasal dari daerah yang kemudian diserahkan kepada negara federal.82 Sedangkan, konsep negara kesatuan memperlihatkan pola negara kesatuan yang kemudian membentuk dan membagi wilayah dan kewenangannya kepada daerah-daerah. Karenanya, konteks negara kesatuan membuat pola kekuasaan negara berada pada pusat lalu kemudian akan dibagi ke daerah.83 Namun, doktrin negara kesatuan ternyata membawa konsekuensi berbeda di tangan rezim Orde Baru. Selama di bawah Orde Baru, doktrin bentuk negara kesatuan diterjemahkan menjadi pola sentralistik. Apa yang terjadi di masa Orde Baru adalah totalitarianisme yang secara struktural oleh Hannah Arendt (1995) dianalisis dari beberapa faktor, pertama, terjadinya legitimasi dengan sangat mudah terjadinya pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) atas nama tujuan ideologi dengan simbol demi pembangunan dan kesuksesan bangsa. Kedua, monopoli informasi dengan alasan bahwa kerajaan atau pemerintahan tahu lebih baik apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dibaca, ditonton, dan didiskusikan oleh rakyat. Ketiga, adanya pembatasan organisasi-organisasi rakyat pada organisasi-organisasi resmi dan ini bisa menimbulkan praktik korporatisme negara.84 Yang dengan ini, pusat menjadi menguat sedangkan daerah melemah. Karenanya, pasca-Orde Baru tuntutan yang menguat terhadap model sentralisasi adalah desentralisasi. Sesungguhnya, desentralisasi bukan hanya fenomena locus Indonesia semata, tetapi juga merupakan tren pola pemerintahan di berbagai negara. Sangat banyak81

82 83 84

C.F. Strong menuliskan secara menarik bagaimana pertentangan di dalam negara federal yakni dualisme antara rasa kebangsaan sekaligus keengganan untuk menjadi satu wadah, atau adanya pertentangan antara kedaulatan nasional dan kedaulatan negara bagian. Karenanya, negara federal adalah suatu alat politik yang dimaksudkan untuk merekonsiliasi kekuasaan dan persatuan nasional dengan memelihara hak-hak negara. Lihat, C.F. Strong, Modern Political Constitutions, English Book Society and Sidgwick&Jackson Limited London, 1966. Ibid. Dalam bahasa C.F Strong, negara yang diorganisir di bawah satu pemerintahan terpusat. lihat Ibid. Hannah Arendt, Asal-Usul Totaliarianisme, Yayasan Obor Indonesia, (1995)

24

negara yang mengalami penguatan permintaan desentralisasi. Paling tidak, pengalaman empat negara terbesar Amerika Latin (Brasil, Argentina, Kolombia, dan Chile) menunjukkan kuatnya reformasi model desentralisasi dengan berbagai variannya.85 Tentunya tidak mudah menentukan pengertian desentralisasi. Konsepnya sangat dipengaruhi konsep keilmuan yang mendasari konteks tersebut. Namun, secara simpel, desentralisasi dapat diterjemahkan sebagai sebuah proses, it is a set of policy reforms aimed at transferring responsibilities, resources, or authority from higher to lower levels of government.86 Dalam konteks pemerintahan di Indonesia, diartikan sebagai pelimpahan urusan pemerintah pusat ke daerah dengan menggunakan beberapa asas. Secara teoretis, ada beberapa model desentralisasi, yakni pertama, dekonsentrasi, yakni distribusi wewenang administrasi dalam struktur pemerintahan; kedua, delegasi, yakni apa yang diartikan sebagai pendelegasian otoritas manajemen dan pengambilan keputusan atas fungsi-fungsi tertentu yang diberikan kepada organiasasi-organisasi yang secara langsung tidak di bawah kontrol pemerintah; ketiga, devolusi, yakni menyerahkan fungsi dan otoritas dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; keempat, privatisasi, yakni menyerahkan beberapa otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab administrasi tertentu kepada organisasi swasta (Rondinelli dan Cheema, 1983).87 Artinya, keempat model tersebut telah memayungi pengertian pelaksanaan desentralisasi dalam bentuk otonomi dan tugas pembantuan tersebut. Hanya saja, perlu untuk dipertahankan adanya kalimat otonomi yang merupakan gairah utama dari penguatan daerah yang ada selama ini. Sedangkan kata desentralisasi merupakan payung dari berbagai varian yang mungkin dari upaya mengurangi model sentralisasi.

4.2. Pusat dan DaerahPola hubungan antara Pusat dan Daerah tentunya menjadi hal penting lainnya yang harus diatur dalam konsep negara kesatuan. Satu hal keliru jika hanya menempatkan pola hubungan pusat dan daerah dalam kerangka pola hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pelaksanaan wewenang yang bersumber dari kedaulatan negara tentunya bukan hanya berada para ranah kewenangan pemerintah. Hal ini berhubungan dengan pembagian keuangan, pemanfaatan sumber daya alam, dan berbagai hal lainnya85 86

87

Michael Camdessus, 1999, Tulia G. Faletti memberikan catatan komparatif atas beberapa literature politik yang berbicara tentang desentralisasi sebagai sebuah proses. Ia menuliskan, the political science literature has advanced definitions of decentralization as a process. However, they tend to be too narrowincluding only one (Agrawal 2001, 3; Rondinelli and Nellis 1986, 5) or at most two dimensions of the process (Garman et al. 2001, 206; ONeill 1999, 2729; Treisman 2000, 837)or too encompassingincluding the devolution of authority to nonstate actors (Cheema and Rondinelli 1983, 2425; von Haldenwang 1991, 6062). Lihat: Tulia G. Faletti, A Sequential Theory of Decentralization and Its Effect on the Intergovermental Balance of Power: Latin American Cases in Comparative Perspectives, Working Paper, # 314, July 2004. Lihat, Rondinelli dan Cheema, 1983, Decentralization and Development: Policy Implementation in Developing Countries.

25

yang seharusnya dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan sesungguhnya. Apalagi, pemanfaatan hal-hal tersebut membutuhkan peran serta yang bukan hanya oleh pemerintah namun juga membutuhkan peran rakyat melalui perwakilan daerah yang terepresentasi melalui legislatif daerah. Nantinya, ada dua pola hubungan yang akan diatur, yaitu (1) pola hubungan antara pusat dan provinsi dan (2) pola hubungan antara provinsi dan kabupaten/kota. Dengan demikian, pusat hanya berhubungan dengan provinsi secara langsung, sedangkan dengan kabupaten/kota hubungannya tidak secara langsung, melainkan harus melalui provinsi. Dengan adanya pola hubungan yang bertingkat ini diharapkan terjadi efektivitas dalam berjalannya unit-unit pemerintahan dalam NKRI.

4.3. Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat DaerahPrinsip demokrasi yang berakar pada rakyat di daerah menjadikan model pemerintahan daerah pun harus direformulasi ulang. Meskipun secara teoretik pemerintahan daerah pada hakikatnya adalah perpanjangan tangan dari pemerintah pusat, tidak berarti dapat mengartikan pemerintahan daerah merupakan perpaduan unsur antara pemeritah daerah (eksekutif lokal) dan DPRD (legislatif lokal). Selayaknya, pemerintah daerah tetap ditetapkan dalam rumpun eksekutif, dengan menjadi rentang kendali pemerintah pusat. Sedangkan DPRD menjadi lembaga legislatif daerah yang tidak punya hubungan pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat. DPRD harus diberikan posisinya sebagai pelaksana fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang diperankan di daerah. Fungsi legislasinya adalah pemegang fungsi utama penyusunan peraturan daerah, fungsi anggarannya dalam menyusun anggaran daerah, dan pengawasannya adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah. Ketiga fungsi ideal lembaga representasi ini akan sulit berjalan ketika ia diposisikan sebagai unsur pemerintahan daerah yang punya pola hubungan pertanggungjawaban dengan pemerintah pusat.

4.4. Proses Legislasi DaerahMemang, hal ini berimplikasi langsung pada pola penyusunan legislasi di daerah. Penyusunan pola legislasi daerah haruslah mendapatkan porsi perhatian yang lebih. Pada prinsipnya, harus mampu mendamaikan kepentingan pusat melalui pemerintah pusat dengan kepentingan daerah yang terepresentasi melalui lembaga legislasi daerah. Pada pelaksanaannya, harus dapat menghindari kemungkinan deadlock ketika proses legislasi. Dalam hal legislasi daerah, usul perubahan ini mencontoh pola legislasi di pusat dengan model legislasi presidensial di mana eksekutif tidak ikut membahas rancangan peraturan daerah, tetapi dapat mengajukan raperda. Namun, eksekutif daerah tidak diberikan hak veto mengingat kontrol atas perda dapat dilakukan oleh pengadilan (MK) bila bertentangan dengan peraturan di atasnya.

26

4.5. Pemilihan Kepala Daerah Secara LangsungPrinsip pemilihan umum kepala daerah juga harus dinyatakan secara lebih tegas, yakni secara langsung. Perubahan Kedua UUD 1945 telah menempatkan model pemilihan kepala daerah yang terbuka dengan frase pemilihan demokratis. Pemilihan secara langsung menjadi pola pilihan yang paling mungkin dalam mengusung demokratisasi pemilihan kepala daerah di satu sisi, dan di sisi yang lain merupakan penghargaan tertinggi atas aspirasi daerah untuk memilih kepala daerahnya. Kendati demikian, untuk daerah-daerah khusus dan daerah-daerah istimewa, undang-undang dapat mengatur model pemilihan yang berbeda.

5. PEMILIHAN UMUMPemilihan umum merupakan salah satu hak asasi manusia (HAM) yang paling mendasar. Dalam suatu negara yang demokratis, pemilihan umum wajib diselenggarakan dalam setiap kurun waktu tertentu (secara periodik atau berkala), misalnya setiap lima tahun sekali. Pemilihan umum ini wajib dilakukan secara periodik atau berkala untuk menjamin terlaksananya kedaulatan rakyat. Dalam naskah UUD 1945 yang asli, tidak terdapat suatu pasal pun yang secara langsung mengatur mengenai pemilihan umum. Hal ini merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh UUD 1945 versi asli. Dalam naskah asli tersebut, hanya ada satu ayat yang mengatur mengenai kedaulatan rakyat, yang merupakan landasan filosofis dan teoretis dari penyelenggaraan pemilihan umum. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (2)-nya yang menegaskan sebagai berikut: Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.88 Kelemahan inilah yang kemudian diupayakan untuk diperbaiki. Dalam proses perubahan UUD 1945 tahun 1999-2002, khususnya dalam Perubahan Ketiga, dimasukkan beberapa ketentuan mengenai pemilihan umum sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum. Perubahan terpenting yang diusulkan adalah membagi pemilu ke dalam pemilu nasional dan pemilu lokal. Pemilu nasional diselenggarakan untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, anggota DPR, dan anggota DPD. Sementara pemilu lokal diselenggarakan untuk memilih gubernur, bupati/walikota, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota. Dengan demikian, nantinya hanya akan ada dua kali pemilu yang harus diikuti oleh rakyat dalam kurun waktu lima tahun, dengan pengecualian bila terjadi putaran kedua untuk pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan pemilihan gubernur atau bupati/walikota (catatan: untuk pemilihan kepala daerah, rancangan ini tidak menyebutkan apakah dilakukan satu putaran saja atau membuka kemungkinan dua putaran sebagaimana pemilihan Presiden. Hal tersebut diserahkan pada kebijakan legislasi DPR).88

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (2006), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, hal. 2.

27

Pemisahan pemilu nasional dengan pemilu lokal secara teknis dimaksudkan agar penyelenggaraan pemilu lebih sederhana. Secara politis dimaksudkan agar ada pemisahan antara isu-isu nasional dan isu-isu lokal dalam pemilu. Selama ini, dengan tidak dipisahkannya pemilu nasional dan pemilu lokal, isu-isu lokal tertutup dengan isu-isu nasional. Padahal, dalam memilih anggota DPRD, pemilih harus lebih memperhatikan agenda-agenda lokal yang ditawarkan oleh parpol atau calon. Sebab, agenda lokal itulah yang langsung berpengaruh pada hajat hidup orang banyak di daerah. Pemilu nasional dan pemilu lokal diselenggarakan pada tahun yang berbeda. Nantinya terlebih dahulu dilaksanakan pemilu nasional, dua-tiga tahun kemudian diselenggarakan pemilu lokal. Rancangan ini tidak memuat kapan pemilu nasional dan pemilu lokal itu diselenggarakan. Hal tersebut kiranya diatur dalam undang-undang yang nantinya dilahirkan setelah adanya perubahan konstitusi. Imajinasi pembuat rancangan perubahan ini, nantinya akan ada satu kitab undang-undang pemilu yang mengatur tentang pemilu nasional dan pemilu lokal tersebut. Sebelum adanya undang-undang tersebut, tentunya undang-undang yang ada masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan aturan peralihan yang juga dimuat dalam rancangan perubahan konstitusi ini.

6. KEUANGAN NEGARASecara umum tidak banyak perubahan pada Bab Keuangan Negara. Perubahan yang terjadi pada Pasal 23 ayat (1) sehingga berbunyi: Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari kedaulatan rakyat ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hanya diganti frase sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara. Penggantian ini perlu dilakukan untuk memperjelas norma dalam pasal ini, bahwa APBN harus mencerminkan kedaulatan rakyat sehingga harus disusun dengan memperhatikan kepentingan rakyat. Selain untuk kepentingan rakyat, diusulkan pula penambahan ayat bahwa APBN disusun dengan memperhatikan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Yang terkait juga dengan keuangan negara adalah keberadaan BPK. Secara substansial ketentuan mengenai BPK tidak memerlukan perubahan. Namun, dengan adanya perubahan pada skema ketatanegaraan yang berkaitan dengan peran DPD, proses pemilihan anggota BPK pun harus mengalami perubahan agar konsisten dengan dasar pemikiran dan konsep bikameral efektif yang diusulkan. Dalam Pasal 23F ayat (1) UUD yang mengatur mengenai pemilihan anggota BPK disebutkan bahwa anggota BPK oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden. Dalam usulan ini, frase memperhatikan pertimbangan diganti dengan persetujuan dalam hal peran DPD dalam pemilihan anggota BPK. Kedudukan DPD sebagai lembaga legislatif mengandung fungsi anggaran dan pengawasan yang mempunyai keterkaitan erat dengan tugas BPK sebagai pemeriksa pengelolaan keuangan negara. Dengan demikian nantinya DPR tidak lagi hanya memperhatikan pertimbangan DPD, melainkan harus menunggu apakah DPD setuju atau 28

tidak dengan anggota BPK yang didipilih oleh DPR. Pemilihannya nanti tidak dibuat secara paralel ataupun bersamaan. Pemilihan yang selama ini dipraktikkan tetap dilakukan oleh DPR. DPD berproses tersendiri untuk menyatakan kesetujuan atau ketidaksetujuannya. Ketentuan teknis mengenai hal ini selanjutnya diatur dalam undangundang. Selain itu, pengelolaan keuangan negara esensinya merupakan pengelolaan uang rakyat, sementara dalam konteks ketatanegaraan saat ini, baik DPR maupun DPD adalah wakil rakyat. Presiden dalam hal ini hanya meresmikan hasil pilihan DPR dan DPD karena BPK pada dasarnya adalah pengawas pelaksanaan tugas eksekutif-presiden dalam mengelola keuangan negara. Untuk menghindari konflik kepentingan, dalam konteks pemilihan anggota BPK ini, presiden hanya diposisikan sebagai lembaga yang tidak mengambil keputusan.

7. KEKUASAAN KEHAKIMANPerubahan Ketiga UUD 1945 telah memperkenalkan lembaga baru bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Seperti yang diatur dalam Pasal 24C Perubahan Ketiga UUD 1945, MK berwenang untuk (1) menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, (2) memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, (3) memutus pembubaran partai politik, (4) memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, dan (5) memberikan pendapat hukum terhadap dugaan DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden. Kehadiran MK telah menyebabkan bahwa ada dua pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia yang kedudukan sejajar, yaitu Mahkamah Agung (MA) berikut pengadilan di tingkat bawahnya dan MK yang hanya berada di ibukota negara dan tidak memiliki pengadilan tingkat bawah di daerah-daerah. Naskah perubahan UUD 1945 ini tetap mempertahankan dua pelaku kekuasaan kehakiman tersebut dan mengoptimalkan perannya dengan menambahkan beberapa kewenangan yang sebelumnya tidak diberikan di tingkat konstitusi. Dari sisi MA, kewenangan yang ditambahkan adalah kewenangan mengadili pada tingkat pertama dan terakhir pejabat negara selain presiden dan wakil presiden yang melakukan tindak pidana berat dalam masa jabatan (forum preveligiatum). Dari sisi MK, ada tiga kewenangan yang ditambahkan, yaitu (1) pengujian semua peraturan perundang-undangan, (2) perluasan subyek lembaga yang dapat bersengketa, yaitu tidak hanya lembaga konstitusional, melainkan lembaga yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang, dan (3) memutus perselisihan hasil pemilihan umum kepada daerah.

7.1. Optimalisasi Peran Mahkamah Agung: Forum PreveligiatumInstrumen forum preveligiatum bukanlah yang baru. Ia telah dikenal dalam Pasal 106 UUDS 1950 yang berbunyi, Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota, Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Jaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua, dan 29

Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank Sirkulasi dan juga pegawaipegawai, anggota-anggota Majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang. Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pejabat yang dapat diadili adalah sebagai berikut: (1) presiden, (2) wakil presiden, (3) menteri-menteri, (4) ketua DPR, (5) wakil ketua DPR, (6) anggota DPR, (7) ketua MA, (8) wakil ketua MA, (9) anggota MA, (10) jaksa agung pada MA, (11) ketua Dewan Pengawas Keuangan, (12) wakil ketua Dewan Pengawas Keuangan, (13) anggota Dewan Pengawas Keuangan, (14) presiden Bank Sirkulasi, dan (15) pegawai-pegawai anggota-anggota majelis-majelis tinggi dan pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang. Yang mengadili adalah MA untuk tingkat pertama dan tertinggi (first and final). Adapun obyek yang diadili adalah kejahatan dan pelanggaran jabatan serta kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang. Tempos delicti pelanggaran atau kejahatan tersebut adalah ketika dilakukan dalam masa jabatan. Ketentuan Pasal 106 UUDS 1950 itu juga menyatakan bahwa pengadilan tetap dapat dilakukan sekalipun yang bersangkutan telah berhenti dari jabatannya. Naskah perubahan UUD 1945 ini menentukan bahwa yang berhak mengadili adalah MA. Pada awalnya muncul ide agar forum previlegiatum diberikan kepada MK, tetapi mengingat hal ini terkait dengan masalah pidana dan yang dianggap lebih pas untuk mengadilinya adalah MA maka MA-lah yang kemudian diberikan kewenangan. Subyek yang dapat diadili dalam forum previlegiatum tidak ditentukan sebagaimana halnya ketentuan Pasal 106 UUDS 1950. Naskah perubahan hanya mengatakan yang dapat diadili adalah para pejabat negara dan mengecualikan presiden dan wakil presiden dari ketentuan forum previligiatum. Undang-undang nantinya harus menjelaskan secara rinci pejabat negara mana saja yang bisa diadili dalam forum previligiatum. Sementara untuk jabatan presiden dan wakil presiden telah diatur secara khusus sebagaimana tercermin dari ketentuan Pasal 7B Perubahan Ketiga UUD 1945, ketentuan yang juga dipertahankan dalam naskah perubahan ini dengan sedikit modifikasi. Adapun obyek kejahatan atau pelanggaran yang dapat diadili adalah kejahatan berat, yaitu kejahatan yang diancam tuntutan hukuman lima tahun atau lebih. Seandainya pejabat yang bersangkutan telah berhenti dari jabatannya, kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan akan diadili di pengadilan biasa, mulai dari tingkat peradilan pertama (pengadilan negeri), peradilan banding (pengadilan tinggi), hingga peradilan kasasi dan peninjauan kembali (MA). Dimasukkannya ketentuan forum previligiatum dalam naskah perubahan ini adalah untuk memberikan kepastian hukum dengan segera agar jangan sampai seorang pejabat negara terkatung-katung nasibnya karena menghadapi proses peradilan yang panjang karena 30

dugaan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukannya, yang pada gilirannya akan merugikan rakyat sendiri. Fakta ini misalnya pernah dihadapi oleh Ketua DPR 1999-2004 Akbar Tandjung yang dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi. Akbar Tandjung dinyatakan bersalah oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi sebelum akhirnya dibebaskan oleh MA. Proses pengadilan terhadap Akbar Tandjung itu sendiri memakan waktu lebih dari satu tahun dengan kontroversi yang mengiringinya.

7.2. Optimalisasi Peran Mahkamah KonstitusiDibandingkan dengan kekuasaan Mahkamah Agung (MA), kekuasaan MK bersifat limitatif, yaitu ditentukan secara jelas dan tegas dalam konstitusi. MK tidak boleh menangani perkara di luar konsitutsi seperti halnya MA yang dapat memiliki kewenangan selain yang diberikan konstitusi melalui undang-undang. Dalam perkembangan ketatanegaraan pascaperubahan UUD 1945 ternyata muncul penafsiranpenafsiran konstitusi yang memungkinkan MK diberikan kewenangan tambahan. Hal ini terkait dengan sengketa atau perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan bahwa MK memutuskan perselisihan tentang hasil pemilu. Yang dimaksud dengan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E UUD 1945 adalah untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, serta anggota DPRD. Pasal ini tidak menyebutkan bahwa pilkada masuk ke dalam rezim pemilu, melainkan diatur dalam bab pemerintahan daerah, yaitu dalam Pasal 18D yang berbunyi, Gubernur, bupati/walikota dipilih secara demokratis. Pada Maret 2005 MK mengeluarkan putusan pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) atas permohonan yang diajukan oleh beberapa LSM dan beberapa KPU provinsi dan kabupaten/kota. Permohonan itu intinya meminta MK menegaskan bahwa pilkada adalah masuk dalam rezim pemilu dengan konsekuensi sebagai berikut: (1) penyelenggaraan pilkada berada di tangan KPU secara nasional, sementara KPU provinsi atau kabupaten kota hanyalah pelaksana lapangan; (2) regulasi pilkada di bawah undang-undang dibuat oleh KPU melalui produk peraturan KPU, tidak oleh pemerintah melalui produk peraturan pemerintah; (3) sengketa hasil pilkada ditangani oleh MK, tidak oleh MA, karena UUD 1945 menyatakan bahwa MK memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Permohonan menjadikan pilkada masuk ke dalam rezim pemilu ditolak MK. Namun demikian, dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan bahwa soal masuk tidaknya pilkada ke dalam rezim pemilu terpulang pada kebijakan hukum (legal policy) DPR. Adapun kutipan pertimbangan hukum MK tersebut berbunyi sebagai berikut, Mahkamah berpendapat bahwa pembuat undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945 sebagai penyelenggara pilkada langsung mengingat KPU, selain memang merupakan lembaga yang sengaja dibentuk oleh UUD 1945 sebagai penyelenggara Pemilu, KPU juga telah membuktikan kemampuan dan independensinya dalam 31

penyelenggaraan Pemilu anggota DPR, DPRD, DPD, dan Presiden/Wakil Presiden pada tahun 2004, serta demi pertimbangan efisiensi penyelenggaraan Pemilu dan penciptaan sebuah kelembagaan dan kesisteman yang kuat dalam penyelenggaraan Pemilu di Indonesia.89 Pertimbangan hukum MK yang terkait dengan regulasi pilkada di bawah undang-undang adalah sebagai berikut: kewenangan pemerintah dalam penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Pilkada langsung bukan karena kehendak Pemerintah sendiri tetapi karena perintah undang-undang. Sekiranya pembentuk undang-undang memberikan kewenangan semacam itu kepada lembaga lain in casu KPU, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan UUD 1945.90 Putusan MK tersebut telah menjebol hambatan konstitusional (constitutional constraint) bahwa memasukkan pilkada ke dalam rezim pemilu bertentangan dengan UUD 1945. Munculnya pendapat ini karena UUD 1945 mengatur pemilu dan pilkada pada pasal yang berbeda. Tentang pemilu diatur dalam Pasal 22E, sedangkan tentang pilkada tercantum dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Jebolnya hambatan konstitusional tersebut kemudian diikuti dengan pengesahan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu pada tanggal 19 April 2007. Ketentuan umum undang-undang tersebut telah menyebut pilkada sebagai pemilihan umum kepala daerah. Sayangnya, pemberlakuan undang-undang tersebut tidak segera diikuti dengan lang