Urtikaria Akut Edit 1

download Urtikaria Akut Edit 1

of 18

Transcript of Urtikaria Akut Edit 1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urtikaria adalah kelainan pada kulit yang berbatas tegas berupa bintul (wheal) dan terkadang disertai angioedema. Meski manifestasinya sekilas terlihat sederhana, urtikaria adalah penyakit yang paling sering mengakibatkan gangguan pada kualitas hidup dan dapat membuat penderitanya dibawa ke bagian gawat darurat (Ferrer, 2009). Urtikaria akut dapat berlangsung selama berhari-hari sampai berminggu-minggu, memproduksi bentol yang nyata dan jarang hingga lebih dari 12 jam dengan resolusi sempurna dalam 6 minggu sejak onset pertama. Episode harian dari urtikaria atau angioedema yang lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronis (James, 2006). Berdasarkan The New European Academy of Allergiology and Clinical Immunology/Global Allergy and Asthma European Network/European Dermatology Forum (EAACI/GA2LEN/EDF), subtipe urtikaria bisa digolongkan ke dalam urtikaria spontan, termasuk di dalamnya urtikaria akut dan urtikaria kronik, urtikaria fisikal, and kelainan urtikaria lainnya, misalnya urtikaria kontak. (Zuberbier, 2006). Kebanyakan kasus urtikaria adalah self-limited dan durasinya pendek. Namun, ketika urtikaria menjadi kronik akan menjadi masalah bagi pasien dan dokter yang merawat (Sheikh dan Najib, 2009). Meskipun patogenesis dan beberapa penyebab yang dicurigai telah ditemukan, ternyata pengobatan yang diberikan kadang-kadang tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan (Djuanda, 2008). Penatalaksanaan utama urtikaria meliputi langkah-langkah umum untuk mencegah atau menghindari faktor pemicu dan farmakoterapi. Penatalaksanaan tersebut distratifikasikan menjadi first-line therapy, second-line therapy, dan third-line therapy (Poonawalla dan Kelly, 2009).

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab yang ditandai dengan adanya bintul (wheal) yang timbul dan kemudian berlahan-lahan menghilang (Anonimous, 2006), kadang disertai angioedema (Zuberbier, 2006). Penyebab dan onset timbulnya beragam. Ada tiga karakteristik penting dari edema yang timbul: i) adanya central swelling dengan ukuran yang beragam; ii) timbul rasa gatal dan terkadang seperti terbakar; iii) durasinya singkat, berkisar antara 1-24 jam (Zoberbier, 2007). Sedangkan urtikaria akut adalah urtikaria yang serangnannya berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu jika timbul setiap hari (Anonimous, 2006). 2.2 Epidemiologi Urtikaria sering dijumpai pada semua umur, orang dewasa lebih banyak mengalami urtikaria dibandingkan dengan usia muda. SHELDON menyatakan bahwa umur rata-rata penderita urtikaria ialah 35 tagun jarang dijumpai pada umur kurang dari 10 tahunatau lebih dari 60 tahun (Djuanda, 2008). Prevalensi urtikaria akut berkisar 12% sampai 15% dari total populasi, dan kadang bisa mencapai hingga 23,5%. Pada studi di Jerman, ditemukan kasus urtikaria akut pada anak usia 1 tahun dengan insidensi sebesar 0.154% (Zuberbier, 2006). Ditemukan 40% bentuk urtikaria saja, 49% urtikaria bersama angioedema, 11% angioedema saja (Djuanda, 2008). Di amerika kira-kira sekitar 15-20% populasi penduduk pernah menderita urtikaria. Untuk di Indonesia belum ada data yang pasti tentang populasi penduduk yang menderita urtikaria. Sedangkan untuk internasional hampir sama dengan keadaan di Amerika yaitu sekitar 15-20% (Wong, 2011). Sebuah penelitian epidemiologi urtikaria di Spanyol menunjukkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi urtikaria kronik yang signifikan pada perempuan2

(0.48%) daripada laki-laki (0.12%). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prevalensi urtikaria kronik berdasarkan status ekonomi, lokasi geografis, atau luas wilayah suatu kota. Sedangkan insidensi urtikaria akut pada suatu kota dengan penduduk lebih dari 500.000 orang mempunyai frekuensi urtikaria akut yang secara signifikan lebih tinggi daripada wilayah dengan jumlah penduduk kurang dari 500.000 (Gaig et al, 2004). 2.3 Anatomi dan Fisiologi Kulit 1. Anatomi Kulit Kulit adalah suatu organ pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Lapisan luar kulit adalah epidermis dan lapisan dalam kulit adalah dermis atau korium (Perdanakusuma, 2008). Epidermis terdiri atas lima lapisan yaitu stratum korneum, stratum lusidum, stratum granulosum, stratum spinosum, dan stratum basale (stratum germinativum). Fungsi epidermis sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitokin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel langerhans) (Perdanakusuma, 2008).

Gambar 1. Lapisan Kulit (Anonimous, 2009) Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan papiler dan lapisan retikuler yang merupakan lapisan tebal terdiri dari jaringan ikat padat. Fungsi dermis berfungsi sebagai struktur penunjang, mechanical strength, suplai nutrisi, menahan shearing forces dan respon inflamasi. Subkutis merupakan lapisan di bawah dermis atau hipodermis yang terdiri dari lapisan lemak, berfungsi menunjang suplai darah ke dermis untuk regenerasi (Perdanakusuma, 2008).

3

Gambar 2. Anatomi Kulit (Shimizu, 2007) 2. Fisiologi Kulit Kulit merupakan organ yang berfungsi sangat penting bagi tubuh diantaranya adalah memungkinkan bertahan dalam berbagai kondisi lingkungan, sebagai barier infeksi, mengontrol suhu tubuh (termoregulasi), sensasi, eskresi, dan metabolisme. Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma mekanik, ultraviolet dan sebagai barier dari invasi mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit (Perdanakusuma, 2008). Kulit mencatat tekanan, raba, getar (secara kolektif sensasi taktil), suhu, dan nyeri. Sensibilitas superfisial, bersama dengan sensasi proprioaseptif (dalam) (reseptor di otot, sendi, dan ligamen) dan sensibilitas nyeri dalam tubuh merupakan indera somatoviseral (Despopoulus dan Silbernagl, 2000).

2.4 Etiologi Penyebab dari urtikaria akut beragam, diantaranya: obat, makanan, gigitan serangga, hingga ke inhalan, psikis, genetik, dan penyakit sistemik (Anonimous,

4

2006). Namun dari kepustakaan, didapatkan bahwa urtikaria akut paling banyak disebabkan oleh karena alergi makanan dan parasit (Ferrer, 2009). Banyak jenis makanan yang dapat menyebabkan timbulnya urtikaria akut, seperti kacang, telur, makanan laut, dan berbagai jenis makanan lain yang mengandung zat tambahan seperti pewarna dan penyedap (Clarke, 2004). Sedangkan parasit yang dapat menyebabkan urtikaria akut diantaranya kutu binatang, cacing pita, cacing gelang, juga Schistosoma (Anonimous, 2006). 2.5 Klasifikasi Klasifikasi urtikaria lebih sering dibuat berdasarkan karakteristik klinis daripada etiologi karena sering kali sulit untuk menentukan etiologi atau patogenesis urtikaria dan banyak kasus karena idiopatik. Terdapat bermacammacam klasifikasi urtikaria, berdasarkan lamanya serangan berlangsung dibedakan urtikaria akut dan kronik (Poonawalla dan Kelly, 2009). Disebut akut apabila serangan berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu tapi berlangsung setiap hari, bila melebihi waktu tersebut digolongkan sebagai urtikaria kronik. Urtikaria akut sering terjadi pada usia muda, umumnya laki-laki lebih sering daripada perempuan. Urtikaria kronik lebih sering pada wanita usia pertengahan. Penyebab urtikaria akut lebih mudah diketahui, sedangkan urtikaria kronik lebih sulit ditemukan. Ada kecenderungan urtikaria lebih sering diderita oleh penderita atopik.

5

Gambar 1. Klasifikasi Urtikaria (Zuberbier, 2006)

2.6 Patofisiologi Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya, aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Bahan-bahan ini meningkatkan kemampuan degranulasi sel mast dan merangsang peningkatan aktivitas ELAM dan VCAM, yang memicu migrasi limfosit dan granulosit menuju tempat terjadinya lesi urtikaria (Anonimous, 2007). Peristiwa ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan bengkak pada lapisan dermal kulit. Urtikaria akut bisa terjadi secara sistemik jika allergen diserap kulit lebih dalam dan mencapai sirkulasi. Kondisi ini terjadi pada urtikaria kontak, misalnya urtikaria yang terjadi karena pemakaian sarung tangan latex, dimana latex diserap kulit dan masuk ke aliran darah, sehingga menyebabkan urtikaria sistemik. Urtikaria akut juga bisa terjadi pada stimulasi sel mast tanpa

6

adanya ikatan IgE dengan allergen. Misalnya, pada eksposure pada media radiocontrast, dimana pada saat proses radiologi berlangsung, akan terjadi perubahan osmolalitas pada lingkungan yang mengakibatkan sel mast berdegranulasi (Anonimous, 2007). Faktor imunologik maupun nonimunologik mampu merangsang sel mast atau basofil untuk melepaskan mediator tersebut. Pada yang nonimunologik mungkin sekali siklik AMP (adenosin mono phosphate) memegang peranan penting pada pelepasan mediator. Beberapa bahan kimia seperti golongan amin dan derivat amidin, obat-obatan seperti morfin, kodein, polimiksin, dan beberapa antibiotik berperan pada keadaan ini. Bahan kolinergik misalnya asetilkolin, dilepaskan oleh saraf kolinergik kulit yang mekanismenya belum diketahui langsung dapat mempengaruhi sel mast untuk melepaskan mediator. Faktor fisik misalnya panas, dingin, trauma tumpul, sinar X, dan pemijatan dapat langsung merangsang sel mast. Beberapa keadaan misalnya demam, panas, emosi, dan alcohol dapat merangsang langsung pada pembuluh darah kapiler sehingga terjadi vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas (Djuanda, 2008). Faktor imunologik lebih berperan pada urtikaria yang akut daripada yang kronik, biasanya IgE terikat pada permukaan sel mast dan atau sel basofil karena adanya reseptor Fc bila ada antigen yang sesuai berikatan dengan IgE maka terjadi degranulasi sel, sehingga mampu melepaskan mediator. Keadaan ini jelas tampak pada reaksi tipe I (anafilaksis), misalnya alergi obat dan makanan. Komplemen juga ikut berperan, aktivasi komplemen secara klasik maupun secara alternatif menyebabkan pelepasan anafilatoksin (C3a, C5a) yang mampu merangsang sel mast dan basofil, misalnya tampak akibat venom atau toksin bakteri. Ikatan dengan komplemen juga terjadi pada urtikaria akibat reaksi sitotoksik dan kompleks imun pada keadaan ini juga dilepaskan zat anafilatoksin. Urtikaria akibat kontak terjadi pemakaian bahan serangga, bahan kosmetik, dan sefalosporin.

7

Gambar 3. Patofisiologi Urtikaria

2.7 Manifestasi Klinis Lesi urtikaria akut biasanya berupa bintul (wheal) dan kadang disertai dengan angioedema (Anonimous, 2007). Lesi biasanya bulat, oval, dan seringkali disertai rasa gatal. Lesi bersifat sementara (transient) dan biasanya membesar atau mengecil dalam beberapa jam (Harrison, 2005). Jika lebih dari 24 jam, bisa dicurigai sebagai suatu urtikaria vaskulitis. Jika angioedema terjadi tanpa disertai urtikaria, mungkin bisa diawali dengan suatu trauma mekanik ringan sehingga menimbulkan edema subkutan yang cukup besar dan terasa nyeri. Edema ini bisa terjadi pada lapisan subkutan dan menimbulkan aneka manifestasi klinis (Anonimous, Ilmu Penyakit Dalam, 2007).

8

Gambar 2. Urtikaria Akut (Clarke, 2004) 2.8 Diagnosa Pada penegakan diagnosa urtikaria akut, anamnesis sangatlah penting. Pada anamnesis dicari riwayat paparan allergen (makanan, obat-obatan, gigitan lebah, dan latex) dan riwayat paparan pada agen yang mungkin menyebabkan timbulnya reaksi imun non-spesifik (bahan radio-kontras, NSAID, codeine). Di bawah ini adalah daftar pertanyaan yang dapat diajukan sebagai bahan anamnesis dalam menegakkan diagnosa urtikaria (Zuberbier, 2006): Waktu onset penyakit Frekuensi dan durasi dari bintul Timbulnya rasa gatal dan nyeri Ukuran, bentuk, dan distribusi bintul Timbulnya angioedema Riwayat keluarga Riwayat alergi, infeksi, penyakit sistemik

9

Riwayat trauma fisis pada aktivitas Penggunaan obat-obatan (NSAID, injeksi, imunisasi, hormon, pencahar, tetes telinga dan mata, dan sebagainya) Makanan Kebiasaan merokok Pekerjaan Hobi Riwayat berlibur atau travelling Operasi pemasangan implant Reaksi terhadap gigitan serangga Hubungan dengan siklus menstruasi Respon dari pengobatan Stress Kualitas hidup berhubungan dengan urtikaria Selain dari anamnesis untuk mencari faktor resiko dan penyebab,

pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan pada lesi seperti lokalisasi, efloresensi, ukuran, bentuk dan dermograpishm. Urtikaria akut juga bisa ditegakkan dengan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang, terutama tes-tes alergi. Skin-test untuk alergi makanan dan penisilin sangat membantu untuk mendapatkan gambaran penyebab terjadinya urtikaria akut (Anonimous, 2007). Biopsy kulit biasanya tidak membantu, karena hanya menunjukkan edema pada lapisan dermis, meski sangat membantu untuk menegakkan diagnosa jika yang terjadi adalah urtikaria vaskulitis (Anonimous, Ilmu Penyakit Dalam, 2007). 2.9 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang paling ideal untuk pengobatan urtikaria tentu saja mengobati faktor penyebabnya atau menghindari penyebab yang dicurigai. Urtikaria akut pada umumnya lebih mudah diatasi dan kadang-kadang sembuh dengan sendirinya tanpa memerlukan pengobatan. Lain halnya dengan urtikaria kronik yang sulit untuk diobati (Wong, 2011).

10

Sebelum dilakukan pengobatan dengan medikamentosa, pasien harus lebih dulu diedukasi tentang cara sederhana untuk mengurangi gejala, pengobatan yang dapat dilakukan dan harapan di masa yang akan datang. Terutama sekali adalah upaya pencegahan kontak dengan allergen (Anonimous, Ilmu Penyakit Dalam, 2007). Penggunaan obat-obatan lebih bersifat simptomatis, seperti pemberian anti histamin. Kortikosteroid hanya digunakan pada serangan-serangan berat tidak boleh digunakan lebih dari beberapa hari, selebihnya hanya digunakan untuk menghindari serangan jangka panjang (Anonimous, 2007). Penatalaksaan urtikaria dapat diuraikan menjadi first-line therapy, secondline therapy dan third-line therapy. 1. First-line therapy First-line therapy terdiri dari (Poonawalla dan Kelly, 2009; Sheikh dan Najib, 2009): a. Edukasi kepada pasien: Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit urtikaria dengan menggunakan bahasa verbal atau tertulis. Pasien harus dijelaskan mengenai perjalanan penyakit urtikaria yang tidak mengancam nyawa, namun belum ditemukan terapi yang adekuat, dan fakta jika penyebab urtikaria terkadang tidak dapat ditemukan. b. Langkah non medis secara umum: Menghindari faktor-faktor yang memperberat seperti terlalu panas, stres, alcohol, dan agen fisik. Menghindari penggunaan acetylsalicylic acid, NSAID, dan ACE inhibitor.

Menghindari agen lain yang diperkirakan dapat menyebabkan urtikaria. Menggunakan cooling antipruritic lotion, seperti krim menthol 1% atau 2%.

c. Antagonis reseptor histamin Antagonis reseptor histamin H1 dapat diberikan jika gejalanya menetap. Pengobatan dengan antihistamin pada urtikaria sangat bermanfaat. Cara kerja antihistamin telah diketahui dengan jelas yaitu menghambat histamin pada reseptorreseptornya. Secara klinis dasar pengobatan pada urtikaria dan angioedema dipercayakan pada efek antagonis terhadap histamin pada reseptor H1 namun

11

efektifitas tersebut acapkali berkaitan dengan efek samping farmakologik yaitu sedasi. Dalam perkembangannya terdapat antihistamin yang baru yang berkhasiat yang berkhasiat terhadap reseptor H1 tetapi nonsedasi golongan ini disebut sebagai antihistamin nonklasik (Djuanda, 2008). Antihistamin golongan AH1 yang nonklasik contohnya adalah terfenadin, aztemizol, cetirizine, loratadin, dan mequitazin. Golongan ini diabsorbsi lebih cepat dan mencapai kadar puncak dalam waktu 1-4 jam. Masa awitan lebih lambat dan mencapai efek maksimal dalam waktu 4 jam (misalnya terfenadin) sedangkan aztemizol dalam waktu 96 jam setelah pemberian oral. Efektifitasnya berlangsung lebih lama dibandingkan dengan AH1 yang klasik bahkan aztemizol masih efektif 21 hari setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Golongan ini juga dikenal sehari-hari sebagai antihistamin yang long acting. Keunggulan lain AH1 non klasik adalah tidak mempunyai efek sedasi karena tidak dapat menembus sawar darah otak (Djuanda, 2008). Antagonis reseptor H2 dapat berperan jika dikombinasikan dengan pada beberapa kasus urtikaria karena 15% reseptor histamin pada kulit adalah tipe H2. Antagonis reseptor H2 sebaiknya tidak digunakan sendiri karena efeknya yang minimal pada pruritus. Contoh obat antagonis reseptor H2 adalah cimetidine, ranitidine, nizatidine, dan famotidine (Poonawalla dan Kelly, 2009). 2. Second-line therapy Jika gejala urtikaria tidak dapat dikontrol oleh antihistamin saja, secondline therapy harus dipertimbangkan, termasuk tindakan farmakologi dan nonfarmakologi. a. Photochemotherapy Hasil fototerapi dengan sinar UV atau photochemotherapy (psoralen plus UVA [PUVA]) telah disimpulkan, meskipun beberapa penelitian menunjukkan peningkatan efektivitas PUVA hanya dalam mengelola urtikaria fisik tapi tidak untuk urtikaria kronis (Djuanda, 2008). b. Antidepresan Antidepresan trisiklik doxepin telah terbukti dapat sebagai antagonis reseptor H1 dan H2 dan menjadi lebih efektif dan lebih sedikit mempunyai efek sedasi daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria kronik. Doxepin dapat

12

sangat berguna pada pasien dengan urtikaria kronik yang bersamaan dengan depresi. Dosis doxepin untuk pengobatan depresi dapat bervariasi antara 25-150 mg/hari, tetapi hanya 10-30 mg/hari yang dianjurkan untuk urtikaria kronis. Mirtazapine adalah antidepresan yang menunjukkan efek signifikan pada reseptor H1 dan memiliki aktivitas antipruritus. Telah dilaporkan untuk membantu dalam beberapa kasus urtikaria fisik dan delayedpressure urticaria pada dosis 30 mg/hari (Poonawalla dan Kelly, 2009). c. Kortikosteroid Dalam beberapa kasus urtikaria akut atau kronik, antihistamin mungkin gagal, bahkan pada dosis tinggi, atau mungkin efek samping bermasalah. Dalam situasi seperti itu, terapi urtikaria seharusnya respon dengan menggunakan kortikosteroid. Jika tidak berespon, maka pertimbangkan kemungkinan proses penyakit lain (misalnya, keganasan, mastocytosis, vaskulitis). Kortikosteroid juga dapat digunakan dalam urticarial vasculitis, yang biasanya tidak respon dengan antihistamin. Sebuah kursus singkat dari kortikosteroid oral (diberikan setiap hari selama 5-7 hari, dengan atau tanpa tappering) atau dosis tunggal injeksi steroid dapat membantu ketika digunaka untuk episode urtikaria akut yang tidak respon terhadap antihistamin. Kortikosteroid harus dihindari pada penggunaan jangka panjang pengobatan urtikaria kronis karena efek samping kortikosteroid seperti hiperglikemia, osteoporosis, ulkus peptikum, dan hipertensi (Poonawalla dan Kelly, 2009; Sheikh dan Najib, 2009). Contoh obat kortikosteroid adalah prednison, prednisolone, methylprednisolone, dan triamcinolone. Prednisone harus diubah menjadi prednisolone untuk menghasilkan efek, dapat diberikan 25 dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO dibagi dalam 1-2 dosis/hari dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO dibagi menjadi 1-4 dosis/hari. Prednisolone dapat mengurangi permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 40-60 mg/hari PO (4 kali sehari atau dibagi menjadi 2 kali sehari) dan dosis anak-anak 0.5-2 mg/kgBB/hari PO (dibagi dalam 4 dosis atau 2 dosis). Methylprednisolone dapat membalikkan peningkatan permeabilitas kapiler, diberikan dengan dosis dewasa 4-48 mg/hari PO dan dosis anak-anak 0.16-0.8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis dan 4 dosis (Sheikh dan Najib, 2009). d. Leukotriene Receptor Antagonist

13

Leukotriene (C4, D4, E4) adalah mediator inflamasi yang poten dan mempunyai respon terhadap wheal dan flare pada pasien dengan urtikaria kronis atau pada individu yang sehat. Leukotriene receptor antagonist seperti montelukast, zafirlukast, dan zileuton menunjukkan keunggulan yang lebih dibandingkan dengan plasebo dalam perawatan pasien dengan urtikaria kronik (Poonawalla dan Kelly, 2009). e. Antagonis saluran kalsium Nifedipin telah dilaporkan efektif dalam mengurangi pruritus dan whealing pada pasien dengan urtikaria kronik bila digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan antihistamin. Mekanisme nifedipin berhubungan dengan modifikasi influks kalsium ke dalam sel mast kutaneus (Poonawalla dan Kelly, 2009). 3. Third-line therapy Third-line therapy diberikan kepada pasien dengan urtikaria yang tidak berespon terhadap first-line dan second-line therapy. Third-line therapy menggunakan agen immunomodulatori, yang meliputi cyclosporine, tacrolimus, methotrexate, cyclophosphamide, mycophenolate mofetil, dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Pasien yang memerlukan third-line therapy seringkali mempunyai bentuk autoimun dari urtikaria kronik. Third-line therapy lainnya meliputi plasmapheresis, colchicine, dapsone, albuterol (salbutamol), asam tranexamat, terbutaline, sulfasalazine, hydroxychloroquine, dan warfarin (Poonawalla dan Kelly, 2009). a. Immunomudulatory Agents Beberapa penelitian menunjukkan bahwa cyclosporine efektif dalam mengobati pasien dengan urtikaria kronik yang refrakter. Cyclosporine dengan dosis 3-5 mg/kgBB/hari menunjukkan manfaat pada dua pertiga pasien dengan urtikaria kronik yang tidak berespon terhadap antihistamin. Tacrolimus dengan dosis 20-g/mL setiap hari dapat mengobati pasien dengan corticosteroiddependent urticaria (Poonawalla dan Kelly, 2009). Intravenous immunoglobulin (IVIG) tampak efektif dalam manajemen pasien dengan urtikaria autoimun kronik yang parah. Meskipun mekanisme yang terlibat tidak jelas, namun telah diusulkan bahwa IVIG mungkin berisi anti-idiotypic antibody yang bersaing dengan IgG

14

endogen untuk reseptor H1 dan memblok pelepasan histamin atau memperbanyak klirens IgG endogen (Poonawalla dan Kelly, 2009). b. Plasmapheresis Plasmapheresis telah dilaporkan dapat bermanfaat dalam pengelolaan urtikaria autoimun kronik yang parah. Plasmapheresis saja tidak cukup untuk mencegah akumulasi kembali autoantibodi yang melepaskan histamine dan harus diselidiki dalam hubungannya dengan penggunaan immunosuppressant pharmacotherapy (Poonawalla dan Kelly, 2009). c. Obat lainnya Dapsone dan/atau colchicine mungkin dapat bermanfaat dalam mengelola urtikaria ketika infiltrat neutrophil terlihat secara histologis, tetapi mungkin paling berguna untuk urticarial vasculitis. Hydroxychloroquine juga telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam pengobatan urtikaria kronik idiopatik; dan telah dikaitkan dengan 27 respon yang baik pada hypocomplementemic urticarial vasculitis. Meskipun 2-adrenoceptor agonist terbutaline telah dievaluasi untuk manajemen urtikaria kronik, penggunaannya umumnya tidak dianjurkan karena efek samping seperti takikardia dan insomnia yang tidak dapat ditoleransi dengan baik oleh banyak pasien (Poonawalla dan Kelly, 2009). 2.10 Prognosis Prognosis pada urtikaria akut sangat baik, dimana pada kebanyakan kasus sembuh dalam beberapa hari. Biasanya urtikaria dapat dikendalikan dengan pengobatan simtomatis antihistamin. Jika faktor pencetus sudah diketahui, menghindari faktor tersebut merupakan terapi terbaik. Urtikaria akut menyebabkan ketidaknyamanan namun tidak menyebabkan kematian, kecuali berkaitan dengan penyakit angioedema yang menyerang saluran pernapasan atas, jika pasien sering terpapar faktor pemicu, dapat berubah menjadi urtikaria kronik (Djuanda, 2008). Derajat penyakit tergantung dari kondisi keparahan dan durasi penyakit. Sebuah penelitian menenmukan bahwa urtikaria dapat menyebabkan stress psikologis, sosial dan pekerjaan layaknya pasien yang akan dioperasi jantung (Wong, 2011). BAB III

15

PENUTUP

3.1 Kesimpulan Urtikaria adalah reaksi vaskular di kulit akibat bermacam-macam sebab

yang ditandai dengan adanya bintul (wheal) yang timbul dan kemudian perlahan-lahan menghilang. Urtikaria akut adalah urtikaria yang serangnannya berlangsung kurang dari 6 minggu, atau berlangsung selama 4 minggu jika timbul setiap hari. Penyebab timpulnya urtikaria beragam, namun urtikaria akut paling banyak disebabkan oleh karena alergi makanan dan parasit. Proses urtikaria akut dimulai dari ikatan antigen pada reseptor IgE yang

saling berhubungan dan kemudian menempel pada sel mast atau basofil. Selanjutnya, aktivasi dari sel mast dan basofil akan memperantarai keluarnya berbagai mediator peradangan. Sel mast menghasilkan histamine, triptase, kimase, dan sitokin. Peristiwa ini memicu peningkatan permeabilitas vascular dan menyebabkan terjadinya edema lokal yang dikenal sebagai bintul (wheal). Pasien merasa gatal dan bengkak pada lapisan dermal kulit. Lesi urtikaria akut biasanya berupa bintul (wheal) dan kadang disertai

dengan angioedema. Lesi biasanya bulat, oval, seringkali disertai rasa gatal, dan bersifat sementara. Untuk menegakkan diagnosa urtikaria akut diperlukan anamnesis yang terperinci, pemeriksaan fisik terutama pada lesi, dan pemeriksaan penunjang berupa tes-tes alergi. Penatalaksaan untuk kasus urtikaria akut dititikberatkan pada edukasi,

menhindari allergen dan medikamentosa hanya simptomatis. Sedangkan kortikosteroid tidak boleh diberikan kecuali pada kasus-kasus berat atau mencegah terjadinya serangan urtikaria fase lambat.

16

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2007. Allergic Diseases: Diagnosis and Treatment. New Jersey: Humana Press. Anonimous. 2007. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Penerbitan IPD FKUI Pusat. Anonimous. 2006. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Anonimous. 2009. Epidermal Layer. Wordpress, Gambar Diakses 8 Maret 2012, dari http://sekolahperawat.files.wordpress.com/2009/02/kulit1-copy.jpg 32 Clarke, P. 2004. Urticaria. Australian Family Physician, 33 (7), 501-503. Despopoulos, A. dan Silbernagl, S. 2000. Atlas Berwarna dan Teks Fisiologi. Jakarta: Hipokrates. Hal 276. Djuanda, A. 2008. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Ferrer, M. 2009. Epidemiology, Healthcare, Resources, Use and Clinical Features of Different Types of Urticaria. J Investig Allergol Clin Immunol , 2, 21-26. Gaig P. et al. 2004. Epidemiology of Urticaria in Spain. J Invest Allergol Clin Immunol; 14(3): 214-220. Harrison, T. R. 2005. Harrison's Principle of Internal Medicine. New York: McGraw-Hill. James, Wlliam D. et al. 2006. Erythema and Urticaria. Andrew's Disease of the Skin Clinical Dermathology 10th edition. Elseivier inc. p. 149-150. Poonawalla, T. dan Kelly, B. 2009. Urticaria-a review. Am J Clin Dermatol: 10(1): 9-21. Sheikh, J. dan Najib U. 2009. Urticaria. http://emedicine.medscape.com/article/137362-print Emedicine-articel.

Shimizu H. 2007. Shimizu's Textbook of Dermatology. Hokkaido University Press: Japan Wong H.K. 2011. Urticaria URL: http://emedicine.madscape.co/article/137362

17

Zoberbier, T. 2007. Urticaria: Current Opinions about Etiology, Diagnosis and Therapy. Acta Derm Venereol. 196-205. Zuberbier, T. 2006. EAACI/GA2LEN/EDF guideline: definition, classification and. Allergy , 316-320.

18