Upaya Menghidupkan Grace Kelly _ Jeda _ Tempo
-
Upload
angie-venus -
Category
Documents
-
view
9 -
download
3
description
Transcript of Upaya Menghidupkan Grace Kelly _ Jeda _ Tempo
8/21/2014 Upaya Menghidupkan Grace Kelly | jeda | Tempo.co
http://www.tempo.co/read/jeda/2014/08/19/127/Upaya-Menghidupkan-Grace-Kelly 1/3
Upaya Menghidupkan Grace KellySelasa, 19 Agustus 2014 | 10:12 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Film yang dijadikan pembukaan Festival Film Cannes tahun ini agak
mengecewakan. Bahkan Nicole Kidmanpun tak bisa menghidupkan keanggunan Grace Kelly.
***
Tak akan ada perempuan yang bisa memerankan seperti Grace dari Monaco selain Grace Kelly. Tak akan
ada perempuan yang bisa menyamai cahaya dan keanggunan Grace Kelly untuk bisa masuk ke dalam
Grace Kelly selain dirinya sendiri.
Tidak Nicole Kidman atau siapapun.
Upaya untuk mengangkat kisah para perempuan jelita, ratu di kerajaan Hollywood seperti Elizabeth Taylor
atau Puteri Inggris Diana yang didaulat menjadi Ratu di hati rakyat sejauh ini meninggalkan after taste yang
masam. Setelah menyaksikan film TV “Liz and Dick” (Lloyd Kramer,2012) di mana Lindsay Lohan
memerankan Elizabeth Taylor dan “Diana” (Oliver Hirschbiegel, 2013) yang diperankan Naomi Watts,
nampaknya kisah para aikon ini sebaiknya jangan diutak-atik kecuali sutradara, penulis skenario maupun
pemain bisa meyakinkan seperti yang dilakukan sutradara Phillyda Lloyd dengan “The Iron Lady” (2013)
bersama Merryl Streep sebagai Margaret Thatcher.
Film “Grace of Monaco” dimulai tahun 1962, ketika Grace Kelly (Nicole Kidman) sudah memasuki tahun
keenam pernikahannya dengan Pangeran Rainer III (Tim Roth). Dunia film sudah lama ditinggalkannya
ketika dia memutuskan menjadi isteri seorang pangeran dari Eropa. Pada saat itu, ketegangan antara
Monaco dan negara tetangga raksasa Prancis semakin memuncak. Presiden Prancis Charles de Gaulle
8/21/2014 Upaya Menghidupkan Grace Kelly | jeda | Tempo.co
http://www.tempo.co/read/jeda/2014/08/19/127/Upaya-Menghidupkan-Grace-Kelly 2/3
(Andre Penvern) jengkel dengan kebijakan bebas pajak di Monaco yang menyebabkan para pengusaha
Prancis menganggap negara kecil itu sebagai tempat suaka pahak. Presiden de Gaulle menuntut Monaco
untuk menerapkan sistem pajak kepada warganya dan meminta Monaco untuk mengembalikan dana ini
kepada Prancis.
Hubungannya dengan Grace, puteri jelita itu? Sebetulnya tak ada. Dalam film ini, Pangeran Rainer
melarang Grace untuk berbicara politik karena itu bukan urusannya. Ini hal sulit bagi Grace yang
dibesarkan di keluarga Amerika yang membiasakan politik menjadi diskusi sehari-hari. Pertengkaran pecah
di sana-sini, dan memuncak pada saat Alfred Hitchcock, sutradara terkemuka yang sudah ikut
melambungkan namanya melalui film Rear Window, menawarkan agar dia kembali ke seni peran dalam film
“Marnie”. Anak-anak masih dalam masa pertumbuhan; suami sibuk menangkis bully De Gaulle sedangkan
Grace sudah rindu kembali ke hadapan kamera. Itu semua hanya bisa dicurahkan kepada Pater Francis
Tucker (Frank Langella) yang mendengarkan keluh kesah sang puteri dengan sabar dan takzim.
Tetapi semua itu digambarkan dengan datar tanpa nyawa. Sesekali giliran kisah ingin mencapai puncak
dramatik, yang terjadi adalah adalah melodrama (puteri Grace berlari-lari di lorong istana dengan mahkota
di kepala) atau efek yang menggelikan tanpa bermaksud melucu (misalnya adegan klise dan karikatural
Presiden de Gaulle mengancam Monaco dengan aksen Prancis kental “back to ze Dark Ages’).
Protes keluarga kerajaan Monaco, terdiri dari putera-puteri Grace dan Rainer, telah mengeluarkan
pernyataan resmi bahwa film ini sama sekali tidak menggambarkan sang ibu dengan akurat. Tetapi dalam
dunia film (dan dunia penciptaan lainnya), sebuah interpretasi dan pengembangan plot dari kisah nyata –
meski itu berarti mengorbankan fakta, dianggap lazim sepanjang tidak mengkhianati logika dan
mengkhianati sosok yang ditampilkan. Problem film ini, di luar kritik akurasi historis dari pihak keluarga dan
sejarahwan, lebih bertumpu kepada bagaimana penulis skenario, sutradara dan produser menampilkan
sosok Grace. Apa yang ingin mereka tampilkan? Seorang aktris Amerika yang namanya sedang
melambung setelah antara lain karena film film “High Noon” (1952), “Rear Window” (1954), “Dial M for
Murder” (1954), “To Catch a Thief” (1955) yang tercapai impiannya menjadi seorang puteri kerajaan? Atau
seorang isteri pangeran yang menyadari ternyata perannya tidak memuaskannya dan kebebasannya
terpagar? Apapun yang ingin ditampilkan, semuanya tak berhasil. Nicole Kidman, meski cantik, tinggi,
mulus, bercahaya, tetap seperti Nicole Kidman di atas karpet merah, seorang aktris , seorang bintang film.
Bukan aktris yang kemudian menikah dengan seorang pangeran dan hidup di sebuah istana kecil di
negara kecil di Eropa yang penuh peraturan.
Di luar kostum Nicole Kidman sebagai Grace yang megah dan keemasan, film ini lebih cocok untuk
ditayangkan sebagai Film TV saja, bukan sebagai film bioskop apalagi sebagai pembukaan Festival Film
Cannes.
Leila S.Chudori
GRACE OF MONACO