Unud 868 1769482947 Ayu Prilia Diantari_tesis
-
Upload
arya-satya -
Category
Documents
-
view
46 -
download
0
description
Transcript of Unud 868 1769482947 Ayu Prilia Diantari_tesis
-
TESIS
KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORERDALAM SISTEM KEPEGAWAIAN
AYU PRILIA DIANTARI
NIM : 1090561018
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
2013
-
iKEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA HONORERDALAM SISTEM KEPEGAWAIAN
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)
Pada Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Udayana
AYU PRILIA DIANTARI
NIM : 1090561018
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
-
ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Ayu Prilia Diantari
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul tesis : Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari Plagiat. Apabila dikemudian hari
terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur
dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undang yang
berlaku.
Denpasar, 8 Juli 2013
Yang menyatakan
Ayu Prilia Diantari
-
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur saya panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha
Esa karena atas berkat dan rahmatNya tesis yang berjudul Kepastian Hukum Kedudukan
Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian dapat diselesaikan dengan baik.
Tesis ini dapat terselesaikan dengan baik, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari
semua pihak baik secara langsung maupun tidak langsung kepada penulis selama mengikuti
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Atas terselesaikannya tesis ini maka ijinkanlah penulis dengan segala kerendahan hati
menghaturkan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesarnya kepada :
1. Bapak Prof.Dr.dr. Ketut Suastika, SpPD (KEMD) sebagai Rektor Universitas
Udayana
2. Ibu Prof.Dr,dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) sebagai Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Udayana.
3. Bapak Prof.Dr.Drs. Johanes Usfunan, SH.MH, sebagai pembimbing I yang telah
berkenan meluangkan waktu untuk membimbing penulis hingga tesis ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Bapak Dr. Putu Gede Arya Sumertayasa,SH.MH sebagai pembimbing II yang telah
berkenan membimbing penulis untuk menyelesaikan tesis ini dengan baik.
5. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum.LLM sebagai Ketua Program Study
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
6. Bapak Dr. Putu Tuni Caka Bawa Landra, SH,MH sebagai sekretaris Program Study
Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
-
iv
7. Seluruh staf dan dosen pada Program Study Magister Ilmu Hukum Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana yang telah membantu dalam memberikan ilmu
pengetahuan dan membantu proses administrasi selama perkuliahan di Universitas
Udayana.
8. Bapak Gde Widarmika, SE.MM, selaku Kepala Bidang Data dan Perencanaan
Pegawai dan staf, dan seluruh staf BKD,DIKLAT Kabupaten Badung yang telah
mendukung dan memberikan toleransi yang sangat besar kepada penulis selama
menyusun tesis ini, sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik.
9. Terima kasih kepada keluarga tercinta,orang tua Bapak I Made Sidia Wedasmara,
SH.MH, Ibu I Gusti Ayu Rai Wardhani, SH, Kakak Putu Ayu Ratna Wulandari,
SE,AK, adik Komang Trisdia Mahindra Yogi, Mbok Nengah, Mertua dan suami
tercinta dr. I Made Pasek Soma Gauthama yang telah mendukung secara moril dan
senantiasa ada disaat tersulit dalam menyelesaikan tesis ini.
10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang ikut memberikan
dorongan, semangat untuk terus maju menyelesaikan tesis ini dan memberikan
sumbangan ide dalam penulisan tesis ini.
Semoga segala bantuan yang diberikan kepada penulis mendapatkan pahala oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Akhir kata penulis menyadari bahwa tesis ini masih belum sempurna namun
besar harapan penulis semoga tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kita semua.
Denpasar, 8 Oktober 2013
Penulis
-
vAbstrak
Penulisan tesis ini mengkaji tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian. Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu pertama : apakah
semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP
No. 48 Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun 2005) dan kedua : bagaimana tanggung
jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan
perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan berupa bahan hukum primer, sekunder serta
bahan hukum tersier .
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa tenaga honorer berdasarkan PP No. 48 Tahun
2005 tidak semua dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil, ada syarat-syarat yang
harus dipenuhi oleh tenaga honorer sebelum namanya diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri
Sipil, selain seleksi administrasi tenaga honorer juga harus melewati tes
disiplin,integritas,kesehatan.
Tanggung jawab yang diberikan pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat
diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil adalah dengan menggunakan pendekatan preventif yaitu :
pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah
bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dan memberikan santunan pensiun. Pemberian tanda
terima kasih tersebut dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan
kemampuan dari daerah masing-masing.
Kata Kunci : Tenaga Honorer, Pemerintah Daerah, Tanggung Jawab.
-
vi
abstract
This thesis examines the status of Honorary Power In Personnel System. The problems examined
in this study there are two: first: whether Honorary employee can be appointed as civil servants
and the second: how local government responsibilities for Honorary employee who are not
eligible for appointment as candidate for Civil Servants.
This research is a normative law using statutory approach and the conceptual approach.
Legal materials used in the study came from the research literature in the form of primary legal
materials, secondary and tertiary legal materials.
These results indicate that Honorary employee under PP. 48 of 2005 does not
automatically appointed as candidate for Civil Servants, there are requirements that must be met
by Honorary employee appointed before his name became candidates for Civil Servants, in
addition to the selection and administration of honorary workers also have to pass a test of
discipline, integrity, health.
Given the responsibility of government to Honorary employee who are not eligible for
appointment as Civil Servants is to use a preventive approach, namely: the government provides
job security for government agencies within the productive age for those who have a high
dedication and providing retirement benefits. Giving gratuities are charged to Expenditure
Budget and tailored to the capabilities of each area.
Keywords: Honorary employee, Local Government, Responsibility
-
vii
RINGKASAN
Tesis ini meneliti tentang Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian. Terdapat dua permasalahan yang diangkat dalam penyusunan tesis ini yakni :
1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48 Tahun 2005
2. Bagaimana tanggung jawab pemerintah daerah terhadap tenaga honorer yang tidak
dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Disamping membahas dua permasalahan tersebut juga membahas mengenai tujuan dan
manfaat dari penelitian ini guna kepentingan ilmu pengetahuan hukum khususnya dalam bidang
kepegawaian serta landasan teori yang menjadi dasar pemecahan permasalahan dengan
menggunakan konsep Negara hukum, teori kewenangan, asas desentralisasi, asas-asas umum
pemerintahan yang baik, teori penjenjangan norma.
Pada Bab II merupakan penjabaran dari landasan teori Bab I dengan membahas Tenaga
honorer, Pegawai Negeri Sipil, dan Pejabat Pembina Kepegawaian.
Tenaga honorer adalah Seseorang yang diangkat oleh Pejabat Pembina
Kepegawaian yaitu pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan
memberhentikan Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku atau pejabat lain dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu pada
instansi pemerintah atau yang penghasilannya menjadi Beban Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pegawai Negeri
Sipil adalah Pegawai Negeri adalah setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas
dalam suatu jabatan negeri atau diserahi tugas Negara lainnya dan digaji berdasarkan Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku, Pejabat Pembina Kepegawaian Pejabat yang berwenang
adalah pejabat yang mempunyai kewenangan mengangkat, memindahkan dan memberhentikan
Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Pada Bab III membahas atas permasalahan pertama yang terdiri dari dua pembahasan
yaitu : Pengaturan Tenaga Honorer yang dapat dilihat pada UU No.43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian, PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer
Menjadi CPNS, Peraturan Kepala BKN No. 21 Tahun 2005 tentang Pedoman 2005, Peraturan
-
viii
Kepala BKN No. 15 tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer serta Surat Edaran
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No. 5 Tahun 2010 tentang
Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di Lingkungan Instansi Pemerintah. Pembahasan
kedua tentang mekanisme pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS dimana tenaga honorer
dapat diangkat menjadi CPNS tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam
PP No. 48 Tahun 2005, salah satu syaratnya adalah tenaga honorer maksimal berusia 46 tahun
dan minimal 19 tahun dengan memiliki masa kerja yang telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah, selain itu pemeriksaan berkas dilakukan dengan sangat teliti melalui proses
batching, editing, coding, dimasukan nama-nama ke dalam data base, dilakukan verifikasi dan
validasi yang dilakukan oleh BKN, Menpan, BKD dan Inspektorat daerah, sub bab ketiga
membahas mengenai kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005, dimana
dengan berlakunya PP No. 48 tahun 2005, Pasal 8 yang melarang pengangkatan tenaga honorer
setelah tahun 2005 maka kedudukan tenaga honorer yang diangkat setelah tahun 2005 tetap
berkedudukan sebagai tenaga honorer dan tidak bisa diangkat menjadi CPNS.
Pada Bab IV membahas dua permasalahan yaitu : Tanggung jawab pemerintah daerah
terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS secara preventif dengan cara
pemerintah memberikan jaminan kerja selama usia produktif di lingkungan instansi pemerintah
bagi mereka yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan
pensiun dalam kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk uang ataupun cindera mata
sebagai tanda terima kasih daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada
Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
Pembahasan kedua mengenai pengaturan sengketa tenaga honorer, dimana apabila terjadi
tuntutan karena ketidakpuasan terhadap tindakan pemerintah dengan melakukan pengangkatan
tenaga honorer tersebut maka berdasarkan Pasal 1365 KUHP tenaga honorer dapat menutut ganti
rugi terhadap tindakan pemeritah yang dianggap merugikan tersebut dan berdasarkan Pasal 1
angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN Surat Keputusan yang dikeluarkan
pemerintah dapat digugat di PTUN dan dimohon pembatalan terhadap Surat Keputusan
pengangkatan tenaga honorer tersebut karena sifatnya illegal.
Pada Bab V Kesimpulan pertama : bahwa tidak semua tenaga honorer dapat diangkat
menjadi CPNS, tenaga honorer yang dapat diangkat apabila telah memenuhi syarat-syarat pada
PP No. 48 Tahun 2005 yaitu : Usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah
-
ix
19 (sembilan belas) tahun, Masa kerja sebagai tenaga honorer paling sedikit 1 (satu) tahun
sebelum tahun 2005 dan dilakukan secara terus menerus, SK Pengangkatan dikeluarkan oleh
Pejabat yang berwenang, Lulus seleksi administrasi dari Tim audit yang terdiri dari Menpan,
BKN, inspektorat dan Badan kepegawaian daerah pada pengecekan dokumen berupa :
DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja)
SPM (Surat Perintah Membayar)
SPJ ( Surat Pertanggungjawaban) Cek fisik keberadaan tenaga honorer
Daftar absensi
Kesimpulan kedua : Tanggung jawab pemerintah terhadap tenaga honorer yang tidak dapat
diangkat menjadi CPNS dengan memberikan tanggung jawab secara preventif yaitu pemerintah
memberikan jaminan kerja selama usia produktif dilingkungan instansi pemerintah bagi mereka
yang memiliki dedikasi tinggi dalam pekerjaannya dan memberikan santunan pensiun dalam
kedudukan sebagai tenaga honorer dalam bentuk bonus berupa uang ataupun cinderamata
sebagai tanda terima kasih daerah karena telah mengabdikan hidupnya untuk bekerja dan
bersama-sama membangun daerah. Pemberian tanda terima kasih tersebut dibebankan pada
Anggaran Belanja Daerah dan disesuaikan dengan kemampuan dari daerah masing-masing.
Berdasarkan kesimpulan tersebut disarankan pertama : Pemerintah daerah diharapkan tidak
melakukan pengangkatan tenaga honorer sesuai dengan Pasal 8 PP No. 48 tahun 2005, agar tidak
menimbulkan permasalahan dikemudian hari, perekrutan pegawai untuk memenuhi formasi yang
kosong dilingkungan pemerintah daerah dilakukan dengan penerimaan pegawai melalui jalur
umum saja, Kedua : Pemerintah daerah hendaknya memenuhi tanggung jawabnya secara
preventif terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi CPNS untuk menjamin
kesejahteraan pegawai tetap terjamin dan pemerintah berpedoman pada Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik dalam menjalankan pemerintahan agar tidak menimbulkan masalah
dikemudian hari.
-
xDAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul
Halaman Persyaratan Gelar Megister i
Surat Persyaratan Bebas Plagiat .. ii
Halaman Ucapan Terima Kasih ... iii
Halaman Abstrak . v
Halaman Abstract . vi
Ringkasan . vii
Halaman Daftar Isi x
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang ................................................................................. 1
2. Rumusan Masalah ............................................................................. 7
3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
3.1. Tujuan Umum ............................................................................ 7
3.2. Tujuan Khusus ........................................................................... 7
4. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
-
xi
4.1. Manfaat Teoritis ........................................................................ 8
4.2. Manfaat Praktis ......................................................................... 8
5. Originalitas Penelitian ...................................................................... 8
6. Landasan Teoritis ............................................................................. 15
6.1. Konsep Negara Hukum ............................................................. 15
6.2. Teori Kewenangan .................................................................... 22
6.3. Asas Desentralisasi .................................................................... 29
6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik ... 32
6.5 Teori Penjenjangan Norma . 35
7. Metode Penelitian ............................................................................ 37
7.1. Jenis Penelitian .......................................................................... 37
7.2. Jenis Pendekatan ........................................................................ 39
7.3. Sumber Bahan Hukum .............................................................. 41
7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................ 44
7.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................. 45
BAB II PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA
1. Tenaga Honorer ............... 47
-
xii
2. Pegawai Negeri Sipil .................... 55
3. Pejabat Pembina Kepegawaian .................... 74
BAB III PENGANGKATAN TENAGA HONORER SEBAGAI .
CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL ..
1. Peraturan Tenaga Honorer ... 82
2. Mekanisme Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil ............................................ 89
3. Kedudukan Tenaga Honorer .... 99
BAB IV TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH ...
TERHADAP TENAGA HONORER ...
1. Penyelesaian Masalah Tenaga Honorer Oleh Pemerintah Daerah
Secara Preventif 108
2.Pengaturan Tentang Penyelesaian Sengketa Tenaga Honorer . 132
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan ................................................................................. 131
2. Saran .............................................................................................. 132
DAFTAR BACAAN
-
1BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Bupati diberi wewenang baik
secara terikat maupun wewenang bebas untuk mengambil keputusan-keputusan untuk
melakukan pelayanan umum, wewenang terikat artinya segala tindakan yang
dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan aturan dasar, sedangkan wewenang bebas
artinya pemerintah secara bebas menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan
yang akan dikeluarkan karena aturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima
wewenang1.
Wewenang pemerintah tersebut adalah penyelenggaraan pembangunan di
segala aspek termasuk didalamnya adalah pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dan
pengangkatan tenaga honorer di daerah. Hal ini sesuai dengan amanat dari Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 32
Tahun 2004).
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 memberikan hak otonomi
kepada daerah untuk mengatur urusan pemerintahan di daerah. hal ini
1 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Hukum Administrasi, Laksbang Presindo, Yogyakarta, hlm 59-60
-
2dapat dilihat pada Pasal 21 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
yang menyatakan bahwa :
Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak :
1. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.2. Memilih pimpinan daerah3. Mengelola aparatur daerah4. Mengelola kekayaan daerah5. Memungut pajak dan retrebusi daerah6. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.7. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah8. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Selain UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur urusan pemerintahan, Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (yang selanjutnya disebut PP No. 38 Tahun 2007), juga mengatur
tentang pembagian urusan pemerintahan. Pada Bab III tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan, Pasal 5 ayat (1) menyatakan :
Pemerintah mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang menjadikewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
Kewenangan pemerintah berdasarkan Pasal 2 ayat (2) adalah : Politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama, sedangkan
yang menjadi urusan pemerintahan adalah : Pasal 2 ayat (4) menyatakan :
Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas 31 (tigapuluh satu) bidang urusan pemerintahan meliputi :a. pendidikanb. kesehatanc. pekerjaan umum
-
3d. perumahane. penataan ruangf. perencanaan pembangunang. perhubungan,h. lingkungan hidupi. pertahananj. kependudukan dan catatan sipilk. pemberdayaan perempuan dan perlindungan anakl. keluarga berencana dan keluarga sejahteram. sosialn. ketenagakerjaan dan ketransmigrasiano. koperasi dan usaha kecil dan menengahp. penanaman modalq. kebudayaan dan pariwisatar. kepemudaan dan olah ragas. kesatuan bangsa dan politik dalam negerit. otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat
daerah, kepegawaian, dan persandianu. pemberdayaan masyarakat dan desav. statistikw. kearsipanx. perpustakaany. komunikasi dan informatikaz. pertanian dan ketahanan panganaa. kehutananbb. energy dan sumber daya mineralcc. kelautan dan perikanan,dd. perdaganganee. perindustrian.
Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil di daerah sesuai dengan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU No. 43 Tahun 1999).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999
menyatakan:
-
4ayat (1) : Pegawai Negeri terdiri dari :a. Pegawai Negeri Sipilb. Anggota Tentara Nasional Indonesiac. Anggota kepolisian Negara Republik Indonesia
ayat (2) : Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf aterdiri dari :a. Pegawai Negeri Sipil Pusat, danb. Pegawai Negeri Sipil Daerah.
ayat (3) : Di samping Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap.
Manajemen Kepegawaian yang mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil
diatur pada UU No. 43 Tahun 1999) sedangkan pegawai yang tidak berkedudukan
sebagai Pegawai Negeri diatur lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah.
Perekrutan terhadap tenaga honorer secara hukum memang diatur tetapi masih
bersifat terbatas, kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah dalam hal ini
Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk untuk itu berdasarkan pada Peraturan
Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 (yang selanjutnya disebut PP No. 48 tahun
2005) yang sekarang sudah dirubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43
tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
2005 Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil.
Salah satu masalah tenaga honorer ini adalah ketika diterbitkannya
PP No. 48 Tahun 2005 pada Pasal 8 yang menyatakan :
Sejak ditetapkan Peraturan Pemerintah ini semua Pejabat PembinaKepegawaian dan pejabat lain di Lingkungan instansi, dilarangmengangkat tenaga honorer atau yang sejenis kecuali ditetapkandengan Peraturan Pemerintah.
-
5Permasalahan yang penulis temukan adalah pengangkatan tenaga
honorer di daerah dilakukan secara bertahap sesuai dengan masa kerja dari
tenaga honorer, pengangkatan tenaga honorer ini telah dibatasi sampai
dengan tahun 2005 karena setelah tahun 2005 sudah tidak ada lagi
pengangkatan tenaga honorer ataupun sejenisnya, namun pada
kenyataannya masih banyak terjadi pengangkatan tenaga honorer maupun
kontrak di lingkungan pemerintahan yang diangkat oleh kepala instansi
dalam bentuk Surat Keputusan (SK) Kepala instansi terkait, ini
menimbulkan pertentangan norma antara Peraturan Pemerintah dengan
Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh kepala instansi terkait, salah
satunya SK Kepala Dinas Pendidikan No. 1751 Tahun 2012 tentang Guru
Kontrak Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung Tahun 2012 serta
Keputusan Bupati Badung No. 1316/01/HK/2005 tentang Pengangkatan
Tenaga Honorer Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung. Hal ini
menyebabkan kepastian hukum kedudukan tenaga honorer sangat lemah.
Status hukum tenaga honorer perlu diperjelas dan dijamin kepastian
hukumnya karena disatu pihak pengangkatan tenaga honorer maupun
kontrak tetap dilakukan sedangkan dipihak lain muncul peraturan yang
melarang pengangkatan tenaga honorer setelah tahun 2005, hal ini
menimbulkan permasalahan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum
bagi mereka yang diangkat menjadi tenaga honorer setelah tahun 2005
sedangkan tenaga mereka sangat dibutuhkan didalam kelancaran
-
6administrasi pemerintahan, Pegawai yang berstatus bukan sebagai pegawai
negeri inilah yang harus mendapat perhatian karena kedudukannya sebagai
pegawai sangat tidak memiliki jaminan kepastian hukum. Hal ini sangat
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pada Pasal 27 Ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
Pemerintah dalam hal ini harus memperhatikan kesejahteraan tenaga
honorer karena sampai kapan mereka akan berstatus sebagai tenaga
honorer dan sampai kapan penggajian tenaga honorer yang dibebankan
kepada APBD akan diberikan, semua itu tidak ada kejelasan. Walaupun
pemerintah memiliki kewenangan diskresi atau Freies Ermessen yaitu
kebebasan yang dimiliki pemerintah untuk melakukan penyimpangan terhadap asas
legalitas, tetapi tindakan pemerintah juga harus dibatasi dan senantiasa bersandar
kepada asas-asas umum pemerintahan yang baik agar membawa manfaat bagi
masyarakat. Pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat
mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat kepada masyarakat. Dari
pemaparan diatas maka penulis tertarik untuk meneliti masalah tersebut
dengan judul KEPASTIAN HUKUM KEDUDUKAN TENAGA
HONORER DALAM SISTEM KEPEGAWAIAN.
-
72. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah tersebut, maka
rumusan masalah yang akan dikaji sebagai berikut :
1. Apakah semua tenaga honorer sudah pasti dapat diangkat
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan PP No. 48
Tahun 2005 ?
2. Bagaimana tanggung jawab Pemerintah Daerah terhadap tenaga
honorer yang tidak dapat diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil ?
3. Tujuan Penelitian
Secara garis besar tujuan penulisan dapat digolongkan menjadi dua
(2) macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Sesungguhnya kedua
tujuan ini saling berkaitan, saling mengisi antara yang satu dengan yang
lainnya.
3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui, mengkaji dan
menganalisa mengenai proses pengangkatan tenaga honorer
menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di lingkungan pemerintah
daerah.
-
83.2 Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi antara PP No. 48
tahun 2005 dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh
Pejabat instansi di lingkungan pemerintah daerah.
b) Untuk mengetahui tanggung jawab yang dilakukan pemerintah
terhadap tenaga honorer yang tidak dapat diangkat menjadi
Calon Pegawai Negeri Sipil.
4. Manfaat Penelitian
4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum. Khususnya hukum kepegawaian sehingga
nantinya dapat merumuskan pemikiran yang bersifat teoritis dalam hal
pembuatan peraturan tentang kepegawaian.
4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan
bagi aparatur pemerintah daerah dalam menjalankan pemerintahan untuk
mewujudkan keadilan di bidang kepegawaian.
5. Orisinalitas Penelitian
Masalah dalam hal kepegawaian sangat menarik untuk dijadikan
objek penelitian terlebih lagi pegawai yang berstatus sebagai tenaga
honorer karena di Indonesia masih banyak terdapat pegawai yang berstatus
tenaga honorer yang sampai saat sekarang ini belum jelas statusnya dan
-
9tuntutan mereka belum dipenuhi oleh pemerintah. Oleh sebab itu penulis
sangat tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Kepastian Hukum
Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem Kepegawaian, sejauh ini belum dilakukan
oleh orang lain dalam penelitian hukum, oleh karena itu judul penelitian ini belum
dikaji oleh peneliti-peneliti lainnya sehingga orisinalitas penelitian ini dapat penulis
pertanggungjawabkan.
Pertama : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Haryuni yang berjudul
Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS Di
Lingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan2.
Perbandingan :
Haryuni : Dalam penelitian yang dilakukan oleh Haryuni membahas
mengenai permasalahan yang terjadi dalam pengangkatan
tenaga honorer menjadi CPNS di Aceh Selatan, kendala yang
ditemukan dalam penelitian tersebut adalah persepsi
implementator yang berbeda terhadap tenaga honorer yang
bisa masuk database, tidak adanya koordinasi dengan setiap unit
organisasi dalam proses verifikasi dan penyusunan formasi, Hasil
2 Haryuni, Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS DiLingkungan Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan , diakses darihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.
-
10
seleksi tidak dijadikan sebagai pertimbangan dalam pengangkatan
tenaga honorer, Penempatan tenaga honorer tidak sesuai dengan
kebutuhan riil masing-masing instansi.
Penulis : dalam penelitian ini penulis menitikberatkan pembahasan pada tenaga
honorer yang tidak dapat diangkat menjadi PNS yang disebabkan
pengangkatan honorer tersebut dilakukan melebihi batas tahun yang
ditentukan di dalam PP No. 48 Tahun 2005.
Kedua : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2009, atas nama Rosanti, yang berjudul Kebijakan Rekrutmen
Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 Di
Kabupaten Morowali3.
Perbandingan :
Rosanti : Dalam penulisan tesis ini Rosanti meneliti tentang alasan Kabupaten
Morowali melakukan pengangkatan tenaga honorer pasca PP No. 48
Tahun 2005 alasannya adalah : adanya pertumbuhan organisasi
pemerintahan daerah dengan berdirinya Kabupaten Morowali pada tahun
1999 yang menimbulkan konflik pemindahan Ibukota, sehingga
berdampak pada kebutuhan jumlah pegawai, penerapan PP No. 41 tahun
3 Rosanti, Kebijakan Rekrutmen Tenaga Honorer Pasca Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor48 Tahun 2005 Di Kabupaten Morowali, diakses darimorowali://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=opac&act=view&typ=html&perpus_id-&perpus=searcing=tenaga honorer,pada tanggal 20 Agustus 2011.
-
11
2007 membuka peluang bagi pegawai untuk mengembangkan karir dan
kegiatan mutasi pegawai menyediakan ruang kosong bagi kebutuhan
Sumber Daya Manusia yang cukup besar untuk menunjang pelaksanaan
tugas pemerintahan. Hal ini kemudian menjadi alasan pemerintah daerah
melalui masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah melakukan
rekrutmen tenaga honorer. Namun demikian rekrutmen yang dilakukan
belum dilaksanakan secara baik sehingga menjadi kurang terkendali.
Dampak dari kebijakan ini terhadap pelaksanaan tugas pemerintahan
secara umum kualitas sumber daya manusia membaik, kualitas pelayanan
publik cenderung membaik, namun jumlah tenaga honorer yang terus
bertambah memberikan tekanan besar pada APBD Kabupaten Morowali
sehingga melebihi kemampuan anggaran keuangan daerah. dalam tesis
tersebut Penulis menyarankan agar pemerintah daerah dalam memenuhi
kebutuhan SDM, rekrutmen tenaga honorer dilakukan perencanaan yang
matang dengan mempertimbangkan keadaan organisasi pemerintah
daerah, kemampuan keuangan daerah, visi dan misi daerah, kondisi sosial
masyarakat dan kebijakan pemerintah pusat dan propinsi. Perencanaan
pegawai harus betul-betul mencerminkan kebutuhan riil organisasi pemda,
sehingga diharapkan tidak terdapat lagi tenaga honorer yang tidak
memiliki kompetensi tetapi menjadi beban pemda.
Penulis : Dalam penelitian Kepastian Hukum Kedudukan Tenaga Honorer Dalam
Sistem Kepegawaian disini lebih khusus membahas mengenai bagaimana
-
12
kedudukan tenaga honorer yang telah diangkat setelah tahun 2005, dengan
berlakunya PP No. 48 Tahun 2005 ini kepastian hukum kedudukan tenaga
honorer tersebut tidak jelas dan tidak memiliki kepastian hukum, karena
pengangkatan mereka tidak sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005 yang
telah dikeluarkan, dan membahas sejauh mana tanggung jawab yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah sebagai pelaku yang melakukan
tindakan hukum pengangkatan tenaga honorer tersebut.
Ketiga : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2007, atas nama David Yudia Putra yang berjudul Implementasi
Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah
Propinsi Sumatera Barat4.
Perbandingan :
David : Dalam tesis ini membahas mengenai bagaimana implementasi kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil serta
faktor-faktor apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan
pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Hasil dari penelitian ini
4 David Yudia Putra yang berjudul Implementasi Kebijakan Pengangkatan Tenaga Honorermenjadi CPNS Di Lingkungan Pemerintah Propinsi Sumatera Barat, diakses darihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac&act=view&typ=html&perpus_id=&perpus=1&searchstring=Tenaga%20honorer&self=1&op=review, pada tanggal 20 Agustus 2011.
-
13
adalah pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS tidak dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, hal ini terjadi karena :1.
Persepsi implementor yang keliru menyebabkan terdapat beberapa tenaga
honorer yang tidak masuk data base. 2. Konsitensi dan koordinasi yang
lemah menyebabkan Formasi tahun 2006 yang telah ditetapkan, dari sisi
komposisinya tidak sesuai dengan prioritas pengangkatan Tenaga Honorer
menjadi CPNS. 3. Pengumuman dalam proses perekrutan tidak
menyebutkan bahwa formasi yang lowong harus dilamar oleh para tenaga
honorer, hal ini mengakibatkan beberapa tenaga honorer yang memenuhi
kualifikasi yang dipersyaratkan dalam formasi tersebut tidak bisa diangkat
menjadi CPNS, 4.Evaluasi yang tidak dilaksanakan secara benar dan tepat,
menyebabkan terdapat tenaga honorer yang tidak memenuhi syarat tetap
diusulkan menjadi CPNS.
Penulis : Dalam penelitian ini penulis lebih menekankan pembahasan terhadap tenaga
honorer yang tidak masuk ke dalam data base karena pengangkatannya tidak
sesuai dengan PP No. 48 Tahun 2005.
Keempat : penulis menemukan penelitian untuk tesis di Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, Tahun 2010, atas nama Padmawati dengan judul penelitian Kajian
Yuridis Status Hukum Tenaga Guru Honorer Pemerintah Kota Surakarta Pada Dinas
-
14
Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Kota Surakarta Menurut Undang-Undang Nomor
43 Tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian5.
Perbandingan :
Padmawati : Dalam penelitian ini meneliti tentang keberadaan guru honorer di
Pemerintah Kota Surakarta tujuannya adalah untuk mengetahui
pengaturan tenaga guru honorer Pemerintah Kota Surakarta pada Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Surakarta menurut Undang-
Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Kepegawaian di Pemerintah
Kota Surakarta pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota
Surakarta menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Kepegawaian. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada tesis
tersebut dapat disimpulkan bahwa di Kota Surakarta telah diselesaikan
pada tahun 2009 dimana guru honorer diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil dengan berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 43
Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan dirinci dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
5 Padmawati, Loc.cit
-
15
Penulis : Dalam penelitian ini penulis membahas keberadaan tenaga honorer dengan
permasalahan yang terjadi, baik itu tenaga honorer yang berasal dari
tenaga guru, administrasi, kesehatan. Dimana keberadaan mereka tidak
masuk dalam data base dan tidak dapat diangkat menjadi CPNS karena
pengangkatan mereka bertentangan dengan PP No. 48 Tahun 2008.
6. Landasan Teoritis
Sebagai landasan dalam upaya pembahasan penelitian ini maka
penulis menggunakan teori-teori, konsep-konsep, asas-asas dan pandangan
sarjana sebagai dasar untuk menjawab permasalahan yang dipaparkan
dalam penelitian ini. Adapun landasan teoritis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Konsep Negara hukum
2. Teori Kewenangan
3. Asas Desentralisasi
4. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
5. Teori Penjenjangan Norma
6.1 Konsep Negara Hukum
Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional
(sebagai lawan dari tatanan hukum internasional). Negara sebagai badan hukum
adalah suatu personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas,
oleh sebab itu dari sudut pandang hukum persoalan Negara tampak sebagai persoalan
-
16
tatanan hukum nasional6. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 pasal 1 ayat 3 disebutkan Negara Indonesia adalah Negara Hukum, ini
artinya bahwa mekanisme kehidupan perorangan, masyarakat dan Negara diatur
oleh hukum (baik itu hukum tertulis maupun tidak tertulis) sehingga baik anggota
masyarakat maupun pemerintah wajib mematuhi hukum tersebut7.
Konsep negara hukum dianggap sebagai konsep universal, pada
implementasi memiliki karakter yang beragam hal ini disebabkan karena falsafah
bangsa, ideoligi negara dan lain-lain8. Dalam sistem hukum eropa kontinental (civil
law) negara hukum dikenal dengan istilah rechtsstaat, negara hukum menurut eropa
kontinental ini harus memenuhi empat syarat seperti yang dikatakan Freidrich Julius
Stahl dalam bukunya Ridwan HR adalah :
1. Perlindungan Hak Asasi Manusia
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu
3. Pemerintahan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan
4. Peradilan administrasi negara9
6 Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, Nusamedia dan Nuansa,Bandung, hlm.261.
7 Baharuddin Lopa, 1987, Permasalahan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Bulan Bintang,Jakarta, hlm 101.
8 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,hlm 1
9 Ibid, hlm 3
-
17
Unsur-unsur negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana disampaikan oleh Sri
Soemantri meliputi :
1. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harusberdasarkan atas hukum.
2. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia (warga negara)3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara4. Adanya pengawasan dan badan-badan peradilan (rechterlijke controle)10
Penjelasan unsur-unsur negara hukum yang dikemukakan oleh Sri Soemantri
diatas memperjelas bahwa Negara Republik Indonesia bersistem konstitusional tidak
absolut (kekuasaan yang tidak terbatas). Dengan konsep unsur dari negara hukum ini
pemerintah daerah yang telah mendapat hak otonomi tidak boleh sewenang-wenang
menjalankan kekuasaannya, pemerintah daerah harus tetap mengacu kepada
pemerintah pusat karena negara kita adalah negara kesatuan.
Unsur-unsur negara hukum pada konsep civil law yang dikemukakan oleh
para sarjana diatas memiliki kesamaan satu dengan yang lain, dengan adanya negara
hukum tugas pemerintah sangat luas yaitu mengutamakan kepentingan seluruh
masyarakat, setiap tindakan pemerintah harus dibatasi oleh Undang-Undang agar
tidak berbuat sewenang-wenang.
Sedangkan konsep negara hukum menurut anglo saxon (common law)
dikenal dengan istilah rule of law, menurut A.V Dicey dalam bukunya Ridwan HR,
10 Sri Soemantri, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni Bandung,Bandung, hlm 29.
-
18
yang lahir dalam naungan sistem anglo saxon mengemukakan unsur-unsur Negara
hukum (rule of law) :
1. Supremasi aturan-aturan hukum (supremasi of the law) yaitu tidak adanyakekuasaan yang sewenang-wenang (absence of arbitrary power) dalam artibahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum.
2. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain olehundang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.11
Dalam kaitan dengan penelitian ini kedua konsep negara hukum baik dari
civil law maupun common law sama-sama digunakan sebagai dasar teori dalam
penelitian ini, dalam konsep civil law dasar yang digunakan adalah Asas Legalitas
dan Perlindungan Hak Asasi Manusia sedangkan dalam common law syarat yang
digunakan untuk memperkuat argumen teoritik dalam kaitan dengan judul penelitian
ini adalah supremasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia. Kedua konsep
civil law (rechtsstaat) dan common law (rule of law) sangat relevan dipergunakan
sebagai dasar pembenaran akademik.
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan dasar dalam
setiap penyelenggaraan pemerintah dan Negara, secara normatif bahwa setiap
tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan atau
berdasarkan pada kewenangan dianut setiap Negara hukum selain itu tindakan
pemerintah tidak boleh dilakukan secara retroactive yaitu Asas yang melarang suatu
aturan berlaku surut.
11 Ridwan HR, Loc.cit.
-
19
Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum
pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada
suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan).
Dengan penerapan asas legalitas ini oleh pemerintah maka tindakan yang
dilakukan akan jelas dan memiliki kepastian hukum karena asas legalitas menjadi
dasar legitimasi tindakan pemerintah sehingga persamaan perlakuan pada setiap
orang terutama pegawai, baik itu yang berstatus pegawai negeri maupun tenaga
honorer akan terwujud sehingga hak asasi mereka sebagai pegawai akan terjaga.
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki, diperoleh dan dibawa
bersama dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat. Hak
Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai makhluk Tuhan
oleh karena itu menjadi kewajiban semua orang untuk menghormati, menjunjung
tinggi dan melindungi HAM12. Dengan berpedoman kepada asas legalitas maka tidak
akan terjadi pelanggaran terhadap HAM, oleh sebab itu pemerintah daerah dalam
mengelola aparaturnya harus berdasarkan pada peraturan yang ada agar tidak terjadi
pelanggaran terhadap HAM, namun apabila pemerintah daerah dalam
pelaksanaannya melanggar peraturan yang ada maka tindakan pemeritah tersebut
dapat dituntut ke Badan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adminitrative law
12 Dasril Radjab,2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.176.
-
20
takes several forms agencies can act somewhat like legislatures and somewhat like
court they may promulgate binding regulation goverment areas of their expertise or
they may decide matters involving particular litigants on a case by case basis.13
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara baik di pusat maupun di daerah, sebagai dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di
daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum tata usaha
negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha negara yang bersumber
pada suatu ketentuan hukum tata usaha negara yang dapat menimbulkan hak dan
kewajiban pada orang lain.14
Negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila15.
Negara tidak hanya bertugas memelihara ketertiban masyarakat akan tetapi dituntut
untuk peran serta aktif dalam semua aspek kehidupan dan penghidupan rakyat.
Sebagai negara hukum yang berdasarkan atas hukum maka supremasi hukum harus
ditegakkan, segala tindakan pemerintahan tidak bertentangan dengan hukum yang
13 Morris L Cohen and Kent C Olson, 2000, Legal Research, West Group,hlm 206
14 Johanes Usfunan, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Di Gugat, Penerbit Djambatan, Jakarta,hlm 6-7.
15 Sjachran Basah, 1985, Eksistensi Dan Tolak Ukur Badan Peradilan Adminitrasi Di Indonesia,Penerbit Alumni Bandung, Bandung, hal 11.
-
21
berlaku, tindakan pemerintah tidak boleh sewenang-wenang, tidak ada tindakan yang
tidak berdasarkan atas hukum dan seseorang hanya dapat dihukum apabila melanggar
hukum, begitu juga dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak
boleh bertentangan dengan apa yang sudah diberikan oleh pemerintah pusat hal ini
dilakukan untuk menjaga kesatuan bangsa.
Menurut Soehino melihat konsep negara kesatuan dari segi susunannya,
negara kesatuan adalah :
Negara yang tidak tersusun dari negara dengan demikian didalam negara kesatuanini hanya ada satu pemerintahan yaitu pemerintahan pusat yang mempunyaikekuasaan dan wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.Pemerintah pusat inilah yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskansegala sesuatu didalam negara itu16.
Dalam negara kesatuan kekuasaan negara terletak pada pemerintah pusat
bukan pada pemerintah daerah tetapi pemerintah pusat dapat menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada pejabat daerah berdasarkan hak otonom (dalam rangka
desentralisasi)17.
Menurut Moh. Mahfud MD konstitusi tidak boleh memberi pembatasan atas
HAM atau menjadikannya sebagai sisa kekuasaan pemerintahan semata sebaliknya
kekuasaan pemerintah harus dibatasi oleh konstitusi agar HAM warganya tidak
16 Soehino, 1980, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hlm 224.
17 Mustari Pide, 1999, Otonomi Daerah Dan Kepala Daerah Memasuki Abad XXI, Penerbit GayaMedia Pratama, Jakarta, hlm 29.
-
22
dilanggar baik oleh pemerintah maupun oleh sesama warganya.18 Dengan
berpedoman kepada aturan maka kepastian hukum akan terjadi karena suatu
peraturan dapat membuat semua tindakan yang akan dilakukan pemerintah dapat
diramalkan atau diperkirakan lebih dahulu, dengan melihat kepada peraturan-
peraturan yang berlaku maka pada asasnya dapat dilihat dan diharapkan apa yang
akan dilakukan pemerintah sehingga masyarakat dapat menyesuaikan dengan
keadaan.
6.2 Teori Kewenangan
Kewenangan (authority,gezag) dan wewenang (competence bevoegdheid),
wewenang berasal dari kata wenang yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
wenang (wewenang) diartikan sebagai hak dan kekuasaan (untuk melakukan sesuatu),
sedangkan kewenangan juga diartikan sama.19 Dalam bukunya Ridwan HR tentang
Hukum Adminitrasi Negara, H.D Stout mengatakan:
Bevoegdheid is een begrip uit het berstuurlijke organisatierecht, wat kanworden omschreven als het geheel van regels dat betrekking heft op deverkrijging en uitoefening van bertuursrechtelijke bevoegdheden doorpubliekrechtlijke rechtsubjecten in het bestuursrechtelijke rechtsverkeer(wewenang merupakan pengertian dari hukum organisasi pemerintahan yangdapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan denganperolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hubungan hukum publik).
18 Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka LP3ES,Jakarta, hlm 159.
19 Poerwadarminta, 1987, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1150
-
23
Dengan adanya wewenang maka pemerintah pusat maupun daerah dapat
melakukan tindakan hukum pemerintahan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
kewenangan memiliki kedudukan yang penting dalam kajian Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara karena didalamnya terkandung hak dan kewajiban dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dengan adanya kewenangan ini maka
pemerintah daerah khususnya dapat mengatur daerahnya baik dalam hal urusan
rumah tangga daerah, aparatur pemerintahan daerah, mengelola kekayaan alamnya,
dll.
Menurut F.P.C.L Tonnaer pengertian kewenangan dalam bukunya Ridwan
HR menyatakan :
Overheidsbevoeghdheid wordt in dit verband opgevat als het vermogen ompositief recht vast te stellen en Aldus rechtsbetrekkingen tussen burger onderlingen tussen overhead en te scheppen (kewenangan pemerintah dalam kaitan inidianggap sebagai kemampuan untuk melaksanakan hukum positif dan denganbegitu dapat menciptakan hubungan hukum antara pemerintah dengan warganegara).20
Pengertian kewenangan menurut Ridwan H.R. adalah Kewenangan yang
biasanya terdiri dari beberapa wewenang, adalah kekuasaan terhadap segolongan
orang-orang tertentu ataupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan atau
bidang urusan tertentu yang bulat, seperti urusan-urusan pemerintahan. Menurut
Achmad Sanusi pada dasarnya, dapat diterima bahwa setiap manusia (menselijk
wezen) dianggap sebagai orang (persoon) atau subjek-hukum. Ia mempunyai
20 Ridwan HR, Op cit , hlm 101.
-
24
wewenang hukum, yaitu wewenang untuk memiliki hak-hak subjektif.21 Menurut S.F
Marbun wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan
hukum publik atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh
undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.22 Jadi
kewenangan (authority) adalah hak untuk melakukan sesuatu atau memerintah orang
lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tercapai tujuan tertentu.
Didalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (recht bevoegdheid).
Hebert A Simon memberikan pengertian wewenang adalah sebagai kekuasaan
untuk mengambil keputusan yang membimbing tindakan-tindakan individu lainnya.
Wewenang merupakan hubungan antara dua individu satunya atasan dan yang
lainnya bawahan23. Philipus M Hadjon mengatakan wewenang terdiri atas
sekurang-kurangnya tiga komponen yaitu pengaruh, dasar hukum, dan konformitas
hukum24. Komponen pengaruh menekankan penggunaan wewenang dimaksudkan
untuk mengendalikan perilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum dimaksudkan
21 Satria, Pengertian Wewenang, http://satriagosatria.blogspot.com/2009/12/pengertian-wewenang.html.
22 SF. Marbun, 1997, Peradilan Adminitrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia,Liberty, Yogyakarta, hlm 154-155.
23 Herbert A Simon, 1984, Perilaku Adminitrasi, terjemahan Cetakan kedua, Penerbit PT. BinaAksara, Jakarta, hlm 195.
24 Philipus M Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia(Introduction to the Indonesia Administrative Law), Gadjah Mada University Press,Yogyakarta, hlm 135.
-
25
bahwa wewenang itu haruslah mempunyai dasar hukum yang jelas, sedangkan
komponen konformitas hukum dimaksudkan bahwa wewenang itu haruslah
mempunyai standar yaitu standar umum untuk semua jenis wewenang dan standar
khusus untuk wewenang tertentu.
Secara teoritis kewenangan bersumber dari Peraturan Perundang Undangan,
Dalam bukunya Ridwan HR, HD Van Wijk/Willem Konijnenbelt menjelaskan
kewenangan diperoleh melalui tiga cara yaitu :
1. Atribusi
2. Delegasi
3. Mandat25
Menurut Van Wijk dalam bukunya Hoofdstukken Van Administratif Recht
mengatakan :
Van delegative van bestuursbevoegdheden is sprake wanneer een bevoegdheid vaneen bestuursorgaan wordt overgedragen aan een ander orgaan, dat diebevoegdheid gaat uitoefenen in plaats van het oorspronkelijk bevoegde orgaan.delegatie impliceert dus overdracht wat aanvankelijke bevoegd heid van a was is
25 Ridwan HR, Op.cit, hlm 105, 1) atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan olehpembuat undang-undang kepada organ pemerintahan, ini artinya bahwa wewenang untuk membuatkeputusan langsung bersumber pada Undang-Undang, kewenangan ini disebut dengan kewenanganasli, 2) delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepadaorgan pemerintahan lainnya, ini artinya adalah adanya penyerahan wewenang untuk membuatkeputusan oleh Pejabat Pemerintahan kepada pihak lain, pemindahan tanggung jawab dari yangmemberi delegasi (delegans) kepada yang menerima delegasi (delegataris). 3) mandat terjadi ketikaorgan pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Ini artinyamemberikan wewenang kepada bawahan untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang memberimandat dan tanggung jawab pemberi mandat bukan tanggung jawab mandataris
-
26
voortaan bevoegdheid van b.26( terjemahan sendiri : kekuatan delegatif terjadiketika kekuatan dari sebuah badan administratif awal ditransfer/diberikan ketubuh yang akan menjalankan kekuasaan yang akan menjadi kekuatan yangdimiliki oleh pihak yang menerima transferan/pihak yang diberi kekuatan).
Dalam kaitan dengan teori kewenangan dalam penelitian ini delegasi
merupakan wewenang yang paling tepat digunakan dalam penelitian ini, pemerintah
pusat melimpahkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur wilayah
dan aparatur di wilayahnya masing-masing. Namun dalam pelaksanaannya
pemerintah daerah tidak boleh menciptakan wewenang baru namun hanya
menjalankan wewenang yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat.
Setiap perbuatan pemerintah harus bertumpu pada suatu kewenangan yang
sah, tanpa adanya kewenangan yang sah pejabat atau badan usaha negara dalam hal
ini tidak akan dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintah.27
Selain kewenangan tersebut pemerintah juga memiliki kebebasan bertindak
melalui Freies Ermessen atau kewenangan diskresi. Kewenangan diskresi ini tidak
dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan atau wewenang pemerintahan yang
melekat untuk bertindak secara bebas dengan pertimbangannya sendiri dan
tanggungjawab atas tindakan tersebut. Freies Ermessen berasal dari bahasa Jerman
26 Van Wijk, 1988, Hoofdstukken Van Administratif Recht, Uitgeverij Lemma B.V, Culemborg,hlm. 60
27 Lutfi Effendi, 2004, Pokok-Pokok Hukum Adminitrasi, Banyumedia Publising, Malang, hlm77.
-
27
dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan discretion, yang artinya kebebasan
bertindak.
Laica Marsuki mengatakan Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang
diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, diembankan dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.28 Menurut Nata
Saputra Freies Ermessen adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat
administrasi yaitu kebebasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi
Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada
berpegang teguh kepada ketentuan hukum.29
Syachran Basah tersebut, tersimpulkan bahwa unsur-unsur yang harus
dipenuhi oleh suatu diskresi adalah:
1. Ada karena adanya tugas-tugas public service yang diemban oleh
administratur negara
2. Dalam menjalankan tugas tersebut, para administratur negara diberikan
keleluasaan dalam menentukan kebijakan-kebijakan
3. Kebijakan-kebijakan tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara
moral maupun hukum.
28 Sadjijono, Op.cit, hlm 70.
29 M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm.5
-
28
Terhadap diskresi perlu ditetapkan adanya batas toleransi. Hal ini diperlukan
agar tidak terjadi kewenangan yang tidak terbatas, yaitu adanya kebebasan atau
keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri, untuk
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi, kewenangan pemerintah ini tidak boleh
mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat dipertanggungjawabkan
secara hukum dan juga secara moral.
Menurut Prof. Muchsan, pelaksanaan diskresi oleh aparat pemerintah (eksekutif)
dibatasi oleh 4 (empat) hal, yaitu:
1. Apabila terjadi kekosongan hukum
2. Adanya kebebasan interprestasi
3. Adanya delegasi perundang-undangan
4. Demi pemenuhan kepentingan umum. 30
Dari penjelasan tersebut diketahui pemerintah memiliki kewenangan diskresi
tetapi tetap pada batas-batas yang ditentukan, batas-batas diskresi seorang pejabat
administrasi pemerintahan adalah memperhatikan :
1. Tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan
2. Tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
3. Untuk kepentingan umum
4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam.
30 http://justkazz.blogspot.com/2010/02/penggunaan-asas-diskresi-dalam.html
-
29
5. Konstitusi Undang-Undang belum jelas atau belum ada yang mengatur
6. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi
7. Adanya persetujuan dari masyarakat jika diskresi akan merugikan.
8. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
6. 3 Asas Desentralisasi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 18 menentukan bahwa
:
Pemerintah Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Kota mengatur danmengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugaspembantuan.
Ini artinya bahwa pemerintah daerah dapat menjalankan dan mengatur
pemerintahannya tanpa campur tangan dari pemerintah pusat, kewenangan ini
diberikan agar pemerintah daerah lebih dapat memperhatikan dan memajukan
daerahnya dengan sumber pendapatan asli daerah yang dimiliki, setiap permasalahan
yang terjadi didaerah dapat segera teratasi dengan adanya hak otonomi tersebut.
J in het veld menyajikan beberapa kebaikan dari asas desentralisasi yaitu :
1. Desentralisasi memberikan penilaian yang lebih tepat terhadap daerahdan penduduk yang beraneka ragam;
2. Desentralisasi meringankan beban pemerintah, karena pemerintahpusat tidak mungkin mengenal seluruh dan segala kepentingan dankebutuhan setempat dan tidak mungkin mengetahui bagaimanamemenuhi kebutuhan tersebut;
3. Dengan desentralisasi dapat meringankan beban yang melampaui batasdari perangkat pusat yang disebabkan tunggakan kerja;
4. Pada desentralisasi unsur individu atau daerah lebih menonjol karenadalam ruang lingkup yang sempit seseorang dapat lebihmempergunakan pengaruhnya daripada masyarakat luas;
-
30
5. Pada desentralisasi masyarakat setempat dapat kesempatan ikut sertadalam penyelenggaraan pemerintah tidak hanya sebagai objek;
6. Desentralisasi meningkatkan turut sertanya masyarakat setempat dalammelakukan kontrol terhadap segala tindakan dan tingkah lakupemerintah, ini dapat menghindari pemborosan dalam hal tertentu,desentralisasi dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna31.
Daerah Otonomi adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat. Pemberian otonomi ini bertujuan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat karena pemerintah pusat tidak
mungkin dapat menjalankan pemerintahan dengan baik tanpa bantuan pemerintah
daerah.
Bagir Manan menyatakan dalam kaitan dengan otonomi daerah hak
mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan
mengelola sendiri (zelbesturen) sedangkan kewajiban secara horizontal berarti
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Secara
vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan dalam satu tertib ikatan
pemerintahan Negara secara keseluruhan.32
Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Pasal 1 angka 7 disebutkan bahwa :
31 J.In Het Veld, Niewevormen Van Decentralisaties,P.Sikke en A Zadel dalam Beknopt leerbookvoor het gemeente Recht, dalam Victor Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, page 42.
32 Bagir Manan, 2000, Wewenang Propinsi, Kabupaten dan Kota Dalam Rangka Otonomi Daerah,Makalah Pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum Unpad, Bandung 13 Mei.
-
31
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintahkepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam systemNegara Kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun terjadi penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah dalam penyelenggaraan pemerintah tidak boleh mengingkari makna Negara
kesatuan. Pemerintahan yang dibentuk sebagai akibat adanya pemisahan kekuasaan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pemerintah pusat dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
Hazairin dalam bukunya Fauzan menyatakan desentralisasi adalah suatu cara
pemerintahan yang sebagian kekuasaan mengatur dan mengurus dari pemerintah
pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan misalnya kepada daerah-
daerah dalam Negara sehingga daerah-daerah tersebut mempunyai pemerintahan
sendiri.33 Dari sudut ketatanegaraan yang dimaksud dengan desentralisasi adalah
pelimpahan kekuasaan pemerintah dari pusat kepada daerah-daerah yang mengurus
rumah tangganya sendiri.34 Menurut Siswanto Sunaryo desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem NKRI35. Kemantapan
33 Muhammad Fauzan, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah, Kajian Tentang Hubungan KeuanganAntara Pusat dan Daerah, UII Press, Yogyakarta, hlm 45.
34 Viktor M Situmorang, 1994, Hukum Administrasi Pemerintahan di Daerah, Sinar Grafika,Jakarta, hlm 38.
35 Siswanto Sunaryo, 2006, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,hlm.7
-
32
penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara termasuk pemerintahan daerah
sampai kelurahan/desa berhubungan langsung oleh kemantapan dasar dan kecermatan
pengaturan prinsip negara kesatuan dan desentralisasi36.
Berdasarkan uraian diatas Indonesia menganut otonomi yang seluas-luasnya,
nyata dan bertanggung jawab, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
mengatur semua urusan pemerintah pusat, kecuali masalah politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional serta agama.
Dengan asas desentralisasi pemerintah daerah dituntut untuk dapat
meningkatkan daerahnya baik dari segi pendapatan maupun sumber daya manusianya
sehingga dengan asas ini Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah diberikan
kewenangan untuk mengatur aparatur daerahnya dengan baik, berupaya untuk terus
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui program-program pemerintah
seperti perekrutan pegawai baik dari jalur umum maupun pengangkatan tenaga
honorer.
6.4 Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
Istilah asas umum pemerintahan yang baik pertama diperkenalkan oleh De
Monchy di Belanda dalam laporan itu dipergunakan istilah Algemene Beginselen Van
Behoorlijke Bestuur yang berkenaan dengan usaha peningkatan perlindungan hukum
36 Arief Mulyadi, 2005, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah Dalam Negara KesatuanRI, Prestasi Pustaka,hlm 266.
-
33
bagi rakyat terhadap pemerintah37. Asas-asas ini harus diperhatikan oleh pemerintah
karena asas-asas ini diakui dan diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan
dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yakni setelah adanya Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik adalah meliputi : kepastian hukum, tertib
penyelenggaraan negara, keterbukaan, proporsional, professional dan akuntabilitas
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 20 ayat 1 menentukan :
Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas-asas umumpenyelenggaraan negara yang terdiri dari : asas kepastian hukum, asas tertibpenyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas efisiensi,asas efektivitas.
Crince le Roy menyebutkan beberapa asas umum pemerintahan yang baik
yaitu :
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security recht zakerheidsbeginsel)2. Asas keseimbangan (principle of proportionality evenredigheidsbeginsel)3. Asas kesamaan (principle of equality, gelijkheids beginsel)4. Asas kecermatan (principle of carefulness, zorgvuldigheids beginsel)5. Asas motivasi pada setiap keputusan pemerintah (principle of motivation,
motiveringsbeginsel).6. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan (principle of non misuse of
competence, verbord van detournament depouvoir).7. Asas permainan yang wajar (principle of fair play, fair play beginsel)8. Asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of
arbitrariness, redelijkgeids beginsel of verbod van willkeur).
37 Amrah Muslimin, 1982 , Beberapa Asas-Asas Dan Pengertian-Pengertian Pokok TentangAdministrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, hlm 140.
-
34
9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle ofmeeting raised expectation of gewekte verwachtingen).
10.Asas peniadaan akibat keputusan yang batal (principle of undoing theconsequences of an annulled decision herstel beginsel
11.Asas perlindungan atas pandangan hidup atau cara hidup pribadi (principle ofprotecting the personal way of life, bescherming van de personlijklevenssfeer).38
Dari uraian asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas sangat relevan
digunakan untuk mendukung penelitian ini, pemerintah daerah harus menerapkan
asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menjalankan pemerintahannya
terutama pada asas kepastian hukum dan asas keadilan khususnya dalam hal
perekrutan pegawai baik itu melalui jalur umum maupun pengangkatan pegawai
honorer. Penulis dalam penelitian ini menggunakan asas kepastian hukum dan asas
keadilan karena :
1. Asas kepastian hukum adalah asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan Negara.39 Asas kepastian hukum memiliki dua
aspek yaitu : aspek material yang berkaitan dengan kepercayaan, dimana asas
kepastian hukum menghalangi badan pemerintah menarik kembali keputusan
dan merubahnya. Aspek formal memberikan hak kepada yang berkepentingan
38 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2005, Hukum Pemerintah Daerah, Pustaka Setia, Bandung,hlm 81.
39 Riawan Tjandra, 2008, Hukum Administrasi Negara, Universitas Atmajaya Yogyakarta,Yogyakarta, hlm 75.
-
35
untuk mengetahui dengan tepat apa yang dikehendaki daripadanya secara
tepat dan tidak adanya berbagai tafsiran.
2. Asas keadilan menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat
administrasi negara selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran, asas
keadilan menuntut tindakan pemerintah harus proposional, sesuai, seimbang
dan selaras dengan hak setiap orang.
6.5 Teori Penjenjangan Norma
Ajaran Stufenbau Theorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen yang
menganggap bahwa proses hukum digambarkan sebagai hierarki norma-norma.
Validitas (kesahan) dari setiap norma (terpisah dari norma dasar) bergantung pada
norma yang lebih tinggi.40 Hans Kelsen mengungkapkan hukum mengatur
pembentukannya sendiri karena satu norma hukum menentukan cara untuk membuat
norma hukum yang lain. Norma hukum yang satu valid karena dibuat dengan cara
ditentukan dengan norma hukum yang lain dan norma hukum yang lain ini menjadi
validitas dari norma hukum yang dibuat pertama.
Hubungan antara norma yang mengatur pembentukan norma lain lagi adalah
superordinasi dan subordinasi. Norma yang menentukan pembentukan norma lain
adalah norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang dibuat adalah norma yang
40 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Maullang, Pengantar Ke Filsafat Hukum, KencanaPrenada Media Group, Jakarta, 2007, hlm. 83.
-
36
lebih rendah.41 Jenjang Perundang-Undangan adalah urutan-urutan mengenai tingkat
dan derajat daripada Undang-Undang yang bersangkutan, dengan mengingat badan
yang berwenang yang membuatnya dan masalah-masalah yang diaturnya. Undang-
Undang juga dibedakan dalam Undang-Undang tingkat atasan dan tingkat bawahan
yang dikenal dengan hierarki. Undang-Undang yang lebih rendah tingkatannya tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi.42
Dalam penyelenggaraan pemerintah banyak ditemukan norma konflik, antara
satu peraturan yang lebih rendah dengan peraturan yang lebih tinggi, maupun konflik
norma secara horizontal antara pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam
Undang-Undang atau antara satu Undang-Undang dengan Undang-Undang yang lain.
Dalam menghadapi masalah hukum seperti ini maka diperlukan penyelesaian dengan
menggunakan asas-asas preverensi yang meliputi:
a) Lex superior derogat legi inferiori artinya, peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturanperundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.
b) Lex specialis derogat legi generali artinya, peraturan perundang-undanganyang bersifat khusus (special) mengenyampingkan berlakunya peraturanperundang-undangan yang bersifat umum (general).
c) Lex posterior derogat legi priori artinya, peraturan perundang-undangan yangbaru mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yanglama.43
41 Hans Kelsen, Op cit, hlm 179
42 Soeroso, 2005, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.131
43 Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 6-7.
-
37
Keberadaan teori penjenjangan norma hukum pada tesis ini sangat
penting karena dengan teori ini akan menjawab permasalahan yang terjadi
secara akademis, dalam penelitian ini terjadi konflik norma antara
peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah yaitu
antara Peraturan Pemerintah dengan Surat Keputusan, sehingga pada teori
penjenjangan norma ini yang dipergunakan adalah lex superior derogat legi
inferiori yang artinya dengan sistem piramida, peraturan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, peraturan
yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah.
7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah :
7.1 Jenis Penelitian
Penelitian tentang Kedudukan Tenaga Honorer Dalam Sistem
Kepegawaian merupakan jenis penelitian hukum normatif, menurut
Soejono Soekanto penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka dapat dikatakan penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif atau kepustakaan mencangkup : penelitian terhadap asas-
asas hukum, penelitian terhadap sistematik hukum, penelitian terhadap
taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum serta
-
38
sejarah hukum.44 Morris L Cohen dan Kent C Olson legal research is an
essential component of legal practice. It is the process of finding the law
governs an activity and materials that explain or analyze that law45
(penelitian hukum merupakan bagian terpenting dari praktek hukum.
Penelitian hukum digunakan dalam proses penemuan hukum dalam hal
mengatur dan menerangkan isi hukum). Dalam penelitian ini mengkaji
tentang sistematik hukum yaitu konflik norma antara PP No. 48 tahun 2005
dengan Surat Keputusan Kepala Instansi. Menurut Amiruddin dan Zainal
Asikin menyatakan penelitian hukum positif disebut juga penelitian
hukum doctrinal dimana acap kali hukum dikonsepkan sebagai apa yang
tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in book) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan perilaku
manusia. Sumber datanya adalah bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier.46
44 Soejono Soekanto dan Sri Mamudji, 2001, Penelitian Hukum Normatif, Suatu TinjauanSingkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 14.
45 Morris L Cohen, Kent C Olson, 2000, Legal Research In a Nutshell, Seventh Edition, WestGroup,ST.Paul,Minn page 1.
46 Amiruddin, dkk, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Penerbit PT. RajagrafindoPersada, Jakarta, hlm 118.
-
39
7.2 Jenis Pendekatan
Macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum adalah :
1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)
Penelitian ini dilakukan dengan menelaah semua Undang-
Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani, pendekatan ini juga bertujuan untuk mengetahui
sinkronisasi peraturan perundang-undangan secara vertikal maupun
horizontal, secara vertikal melihat bagaimana hierarkis peraturan
perundang-undangan tersebut, sedangkan secara horizontal diteliti
sejauh mana peraturan perundang-undangan yang mengatur
berbagai bidang itu mempunyai hubungan fungsional secara
konsisten. Tujuannya adalah agar dalam penelitian ini dapat
mengetahui kelemahan pada peraturan perundang-undangan yang
digunakan dalam mengatur bidang-bidang tertentu.
2. Pendekatan Kasus (Case Approach)
Dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang
berkaiatan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap, yang menjadi kajian pokok
dalam pendekatan kasus ini adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu
pertimbangan pengadilan untuk sampai pada suatu keputusan. Ratio
decidendi atau reasoning ini digunakan sebagai referensi bagi penyusunan
argumentasi dalam pemecahan isu hukum. if you have one case name in a
-
40
subjek area, you should be able to use this piece of information to locate :
other cases, trough the case digests and citators, relevant legislation through
the encyclopaedias47 (jika anda memiliki suatu kasus maka harus
dibandingkan dengan kasus lain yang ada, melalui kasus tersebut dicerna
dengan peraturan yang relevan dan dengan ensiklopedia).
3. Pendekatan Historis (Historical Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah latar belakang mengenai
apa yang dipelajari dan perkembangan peraturan mengenai isu yang sedang
dihadapi. Pendekatan ini mengungkap filosofi dan pola pikir yang
melahirkan sesuatu yang sedang dipelajari.
4. Pendekatan Komparatif (Comparative Approach)
Pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan Undang-Undang
suatu negara dengan Undang-Undang dari satu atau lebih negara lain
mengenai hal yang sama. Pendekatan ini bertujuan untuk mengetahui
persamaan dan perbedaan diantara Undang-Undang tersebut.
5. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach)
Dalam pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum,
dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di
47 Terry Hutchinson, 2002, Researching and Writing in Law, Lawbook, Australia, page 35.
-
41
dalam ilmu hukum peneliti akan menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum,
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Ini akan
dijadikan dasar untuk membangun argumentasi hukum dalam
memecahkan isu yang dihadapi48.
Dalam penelitian ini penulis penggunakan pendekatan undang-undang
dan pendekatan konseptual, karena dalam penelitian ini menelaah semua
peraturan yang berkaitan dengan isu hukum yang sedang ditangani dan
mencari sinkronisasi peraturan baik secara vertikal maupun horizontal, selain
itu dalam penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual mengkaji
terhadap teori-teori, definisi tertentu yang dipakai sebagai landasan
pengertian dan landasan dalam pelaksanaan yang berkaitan dengan
kepegawaian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
Konsep Negara hukum, Teori Kewenangan, Asas Desentralisasi,
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, Teori Penjenjangan
Norma.
7.3 Sumber Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti
norma dan kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan,
48 Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya,hlm.93-95
-
42
bahan hukum yang tidak dikodifikasi dan yurisprudensi dalam penelitian ini
bahan hukum primer yang digunakan adalah :
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang No. 43 tahun 1999 (yang selanjutnya disebut
UU No. 43 tahun 1999) tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI No. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75).
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (yang selanjutnya
disebut UU No. 32 tahun 2004) yang telah diubah menjadi
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 59).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160).
Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2005 (yang selanjutnya
disebut PP No. 48 tahun 2005) yang sekarang sudah dirubah
-
43
dengan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005
Tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil. (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 122).
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82).
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21
Tahun 2005 tentang Pedoman Pendataan Dan Pengolahan
Tenaga Honorer Tahun 2005.
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 15
Tahun 2008 tentang Pedoman Audit Tenaga Honorer.
Surat Edaran Menteri Negara PAN dan RB Nomor 5 Tahun
2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer Yang Bekerja di
Lingkungan Instansi Pemerintah.
2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti : buku-buku
hukum, hasil-hasil penelitian, pendapat pakar hukum. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan buku, makalah, hasil penelitian
-
44
dalam bidang hukum, internet yang berkaitan dengan penelitian
yang penulis lakukan.
3. Bahan Hukum Tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti : kamus hukum, ensiklopedia.49
7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan sistem kartu (card system). Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji
berpendapat bahwa kartu yang perlu dipersiapkan ada dua yaitu50 :
a. Kartu kutipan yang digunakan untuk mencatat atau mengutip sumber bahanbacaan tersebut diperoleh (nama pengarang/penulis, judul buku atau artikel,impesum, halaman dan sebagainya)
b. Kartu bibliografi dipergunakan untuk mencatat sumber bahan bacaan yangdipergunakan. Kartu ini sangat penting dan berguna pada waktu penelitimenyusun daftar kepustakaan sebagai bagian penutup dari laporanpenelitian.
Dalam penelitian ini bahan hukum primer dicatat dalam kartu kutipan
mengenai substansi yang terkait dengan masalah yang dibahas. Selanjutnya dalam
kartu kutipan atas bahan hukum sekunder dicatat mengenai pendapat para ahli yang
dikemukakan dalam kepustakaan yang dibahas beserta komentar atas pendapatnya.
49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, Suatu TinjauanSingkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13
50 ibid, hlm 53
-
45
Selanjutnya bahan hukum sekunder yang diperoleh melalui study kepustakaan
digunakan sebagai pendukung hasil penelitian.
7.5 Teknik Analisa Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh terkait dengan permasalahan yang dibahas
selanjutnya dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, sistematisasi
evaluasi, argumentasi.
Pendeskripsian atau penggambaran yang dilakukan untuk menentukan isu dan
makna dari suatu bahan hukum yang disesuaikan dengan pokok permasalahan yang
diteliti. Pada tahap ini dilakukan pemaparan serta penentuan terhadap makna dari
hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
masalah kepegawaian baik dalam bentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Surat Keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Tahap interpretasi dilakukan untuk memahami makna dari suatu norma
terutama dalam hal ditemukan konflik norma. Dalam hal ini maka untuk
menyelesaikan konflik norma diantaranya dengan : pengingkaran (disavowal),
reinterpretasi, pembatalan (invalidation), pemulihan (remedy).
Setelah bahan hukum dapat diindentifikasi dengan jelas maka kemudian
dilakukan sistematisasi, pada tahap sistematisasi ini akan dilakukan pemaparan
berbagai pendapat hukum dan hubungan hierarki antara aturan-aturan hukum yang
berkaitan dengan isu hukum dalam penelitian ini. Pada tahap ini juga dilakukan
koherensi antara berbagai aturan hukum dengan pendapat hukum dari para sarjana
yang berhubungan agat dapat dipahami dengan baik. Bahan hukum yang sudah
-
46
tersistematisasi, baik yang berasal dari pendapat sarjana maupun peraturan perundang
hukum lainnya selanjutnya dilakukan evaluasi dan diberikan pendapat atau
argumentasi disesuaikan dengan koherensi terhadap permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini.
-
47
BAB II
PENGATURAN KEPEGAWAIAN REPUBLIK INDONESIA
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kepegawaian yaitu : pengertian tenaga honorer, penggunaan
beberapa istilah yang berbeda di dalam menyebutkan tenaga yang bukan
berstatus sebagai Pegawai Negeri, adanya pengangkatan tenaga honorer
setelah tahun 2005 yang menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap
kedudukan tenaga honorer yang diangkat tersebut serta pengangkatan
tenaga honorer menjadi Pegawai Negeri Sipil yang tidak sesuai dengan
Pasal 3 ayat (1) PP No. 48 Tahun 2005), selain itu juga akan membahas
pengertian Pegawai Negeri Sipil serta Pejabat Pembina Kepegawaian.
1. Tenaga Honorer
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi
kewibawaan yang harus memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu yaitu
harus ada pemerintahan yang berdaulat, wilayah tertentu, dan rakyat yang
hidup dengan teratur sehingga merupakan suatu nation51.
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk membuat Undang-
Undang dan melaksanakannya dengan semua cara yang tersedia. Negara
mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa semua penduduknya agar
51 C.S.T. Kansil,1992, Ilmu Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 12
-
48
mentaati Undang-Undang serta Peraturan lainnya, untuk mewujudkan
kedaulatan tersebut dibutuhkan pemerintah yang berdaulat artinya bahwa
negara memiliki pemerintahan yang berwibawa, pemerintah harus diakui
oleh rakyatnya sehingga mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
negara lain, untuk memiliki suatu pemerintahan yang berwibawa
dibutuhkan aparatur yang baik dan handal untuk menggerakkan
pemerintahan52.
Sebagai suatu negara hukum, Indonesia dalam menjalankan setiap
tindakan pemerintahannya harus berdasarkan atas hukum, tujuannya agar
setiap tindakan pemerintah memiliki legitimasi sehingga kepastian hukum
tetap ditegakkan, hanya ada satu negara yang berkuasa yaitu pemerintah
pusat yang mempunyai kekuasaan tertinggi, pemerintahan pusat inilah
yang pada tingkat akhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu di
dalam negara tersebut walaupun dalam negara Indonesia terdapat asas
desentralisasi, kewenangan tetap ada pada pemerintah pusat, pemerintah
daerah yang dilimpahkan kekuasaan tidak boleh sewenang-wenang dalam
menjalankan pemerintahannya, segala tindakan pemerintah daerah harus
sesuai dengan aturan yang dimiliki oleh pemerintah pusat, inilah yang
disebut sebagai hukum administrasi negara dimana pemerintah sebagai
52 Nimatul Huda,2010, Ilmu Negara, Rajagrafindo,hlm32
-
49
penggerak negara harus sejalan antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah untuk menciptakan negara yang kuat. Neil Hawke menyatakan
Administrative law deals with the legal control of government and related
administrative powers53 artinya hukum administrasi berkaitan dengan kontrol
terhadap pemerintah dan berkaitan dengan kekuasaan administrasi (terjemahan
sendiri). It has been seen that the essential task of administra