Ujian Tengah Semester Pengantar Ilmu Hukum
Click here to load reader
-
Upload
erika-angelika -
Category
Documents
-
view
1.450 -
download
12
Transcript of Ujian Tengah Semester Pengantar Ilmu Hukum
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 1
UJIAN TENGAH SEMESTER
SEMESTER PENDEK TAHUN AJARAN 2007/2008 – PENGANTAR ILMU HUKUM
Nama : Erika
NPM : 0706291243
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
1. a. Kaidah sosial adalah pedoman, patokan, atau ukuran untuk berperilaku atau bersikap
dalam kehidupan bersama. Sementara menurut Sudikno Mertokusumo, kaidah sosial
adalah pandangan mengenai perilaku atau sikap tindak yang seyogyanya dilakukan
atau yang seyogyanya tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan
tidak dijalankan. Kaidah sosial sebagai pedoman memiliki dua unsur, yaitu:
pedoman bertingkah laku, mengenai hal yang dianjurkan untuk dijalankan
ataupun yang dilarang dijalankan.
Patokan nilai, bahwa terdapat keyakinan tentang hal yang seyogyanya atau
seharusnya demikian, ada keyakinan tentang nilai-nilai yang seharusnya
dilakukan atau dilarang dilakukan.
Tata kaidah sosial dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
1. Tata kaidah kehidupan pribadi
Tata kaidah kehidupan pribadi ini bertujuan untuk penyempurnaan manusia (agar
manusia tidak menjadi jahat). Isi dari tata kaidah kehidupan pribadi ini lebih
ditujukan pada sikap batin manusia. Kesadaran untuk menaati kaidah kehidupan
pribadi ini berasal dari diri sendiri. Tata kaidah kehidupan pribadi terdiri dari dua
kaidah, yaitu:
Kaidah kepercayaan atau agama, yaitu kaidah yang bersumber dari Tuhan, dan
oleh karenanya sanksi dari kaidah ini juga bersumber dari Tuhan. Daya kerja
pada kaidah agama atau kepercayaan ini bersifat membebani. Contoh kaidah
kepercayaan ini adalah kewajiban bagi umat Kristen/Katolik untuk beribadah
ke Gereja setiap hari Minggu, kewajiban bagi umat Kristen/Katolik untuk
berpantang dan berpuasa selama 1 bulan sebelum hari raya Kebangkitan Yesus
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 2
Kristus. Bagi umat Kristen/Katolik, bila tidak melaksanakan
kewajiban ini, kami (termasuk saya), akan mendapat sanksi dari Tuhan berupa
dosa yang akan kami tanggung di akhirat nanti.
Kaidah kesusilaan, berasal dari dalam diri individu, sanksi dari kaidah ini juga
bersumber dari dalam diri individu. Kaidah kesusilaan ini bekerja seperti
halnya kewajiban. Contoh dari kaidah kesusilaan yang pernah saya langgar
adalah ketika saya menyontek. Ketika saya menyontek, dan setelah saya
menyontek, saya terus-menerus merasa tidak tenang, dan merasa bersalah.
Rasa tidak tenang dan rasa bersalah itulah sanksi yang saya terima karena
sudah melanggar kaidah kesusilaan, yaitu dengan menyontek.
2. Tata kaidah kehidupan antar pribadi
Berbeda dengan tata kaidah kehidupan pribadi, tata kaidah kehidupan antar pribadi
bertujuan untuk menciptakan ketertiban masyarakat, untuk mengatur interaksi
dalam masyarakat. Isi dari tata kaidah kehidupan antar pribadi ini lebih ditujukan
pada sikap lahir manusia. Kesadaran untuk menaati kaidah kehidupan antar pribadi
berasal dari luar diri individu, jadi kesadarannya dipaksakan oleh suatu kelompok
di luar dirinya. Tata kaidah kehidupan antar pribadi ini dibagi menjadi dua, yaitu:
Kaidah sopan santun (adat), berasal dari nilai adat-istiadat dan diperoleh secara
turun-temurun, berasal dari kebiasaan, kepatutan, dan kepantasan yang berlaku
dalam masyarakat. Asal-usul kaidah sopan-santun ini berupa kekuasaan yang
memaksa, sanksi bila melanggar kaidah ini berasal dari masyarakat secara
tidak resmi. Daya kerja dari kaidah sopan-santun ini adalah dengan
membebani individu dengan kewajiban. Contoh dari kaidah sopan-santun ini
misalnya pada suku bangsa Tionghua, yaitu pada saat sebelum pernikahan.
Sebelum pernikahan, kedua keluarga mempelai akan saling memberikan mas
kawin. Hal ini berbeda dengan adat pada suku bangsa-suku bangsa lain di
mana biasa hanya pihak keluarga laki-laki yang memberi mas kawin pada
keluarga perempuan. Pada suku bangsa Tionghua, keluarga dari kedua
mempelai akan saling memberi mas kawin. Bila hal ini dilanggar (ada salah
satu pihak yang tidak memberikan mas kawin), maka keluarga tersebut akan
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 3
dianggap tidak tahu adat, dan selanjutnya akan dipergunjingkan
oleh warga lainnya.
Kaidah hukum, berasal dari rumusan pendapat atau pandangan tentang
bagaimana seharusnya atau seyogyanya seseorang bertingkah laku. Sama
seperti kaidah sopan-santun, asal-usul kaidah hukum ini berupa kekuasaan
yang memaksa. Sanksi bila melanggar kaidah hukum ini berasal dari
masyarakat secara resmi. Daya kerja kaidah hukum ini adalah dengan
membebani individu dengan kewajiban, dan memberi hak. Kaidah hukum
bersifat normatif dan memerintah. Kaidah hukum ini dibedakan dengan kaidah
kepercayaan, kesusilaan, dan sopan-santun, akan tetapi kaidah hukum tidak
dapat dipisahkan dari ketiganya. Masing-masing kaidah ini saling
mempengaruhi satu sama lain, dan terkadang saling memperkuat. Terkadang,
kaidah susila, kepercayaan dan sopan-santun mendasari terbentuknya berbagai
aturan dalam kaidah hukum, sehingga dapat dikatakan kaidah hukum
bersumber dari kaidah kepercayaan, kesusilaan, dan sopan-santun. Contoh
kaidah hukum adalah berbagai peraturan yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, serta dalam peraturan perundang-undangan
lainnya, misalnya bila kita menghina seseorang, yang kemudian menyebabkan
kehormatan dan nama baik orang itu tercemar. Perbuatan menghina itu
kemudian bisa mendapat sanksi hukum berupa pidana penjara atau diwajibkan
membayar sejumlah uang.
Kaidah
Kepercayaan
Kaidah
Kesusilaan
Kaidah Sopan
Santun
Kaidah Hukum
Tujuan
Penyempurnaan manusia (jangan
sampai manusia jahat)
Perbuatan kongkret untuk
ketertiban masyarakat (jangan
sampai ada korban)
Isi Ditunjukkan pada sikap batin Ditunjukkan pada sikap lahir
Asal Usul Dari Tuhan Diri sendiri Kekuasaan yang memaksa
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 4
Sanksi Dari Tuhan Diri sendiri
Masyarakat
secara tidak
resmi
Masyarakat
secara resmi
Daya Kerja membebani Kewajiban Membebani
kewajiban
Membebani
kewajiban dan
memberi hak
b. Perkembangan dunia yang semakin pesat telah menyebabkan dunia yang sekarang
benar-benar berbeda dengan dunia yang dahulu. Hal ini menyebabkan berbagai
norma/kaidah sosial yang ada dirasa tidak cukup lagi untuk menjaga keseimbangan
proses sosial/ketertiban. Kaidah sosial yang sering dirasa tidak cukup lagi untuk
menjaga ketertiban dalam hal ini adalah kaidah kepercayaan, kesusilaan, dan
sopan-santun (adat). Sementara kaidah hukum relatif dapat dikatakan mudah
menyesuaikan diri dengan perkembangan jaman. Hal ini dikarenakan sifat dari
hukum itu sendiri, yaitu hukum bersifat dinamis. Karena sifatnya yang dinamis,
hukum senantiasa berubah mengikuti perkembangan jaman, sehingga aturan-aturan
yang ada pun dapat mengakomodasi perubahan-perubahan dalam masyarakat. Hal
ini tidak terjadi pada kaidah sosial yang lainnya, karena ketiga kaidah sosial yang
lainnya tersebut (kepercayaan, susila, dan sopan-santun) merupakan kaidah yang
sifatnya statis dan tidak mengikuti perubahan jaman. Selain itu, dibanding ketiga
kaidah lainnya, kaidah hukum merupakan kaidah yang lebih dapat menciptakan
ketertiban dan melindungi kepentingan orang lain, karena sanksi dari kaidah
hukum lebih tegas, tepat sasaran, dan bersifat mengikat. Hal ini berbeda dengan
sanksi pada kaidah kepercayaan, susila, dan sopan-santun, di mana :
Kaedah kepercayaan tidaklah memberi sanksi yang dapat dirasakan secara
langsung di dunia ini.
Kalau kaedah kesusilaan dilanggar hanyalah akan menimbulkan rasa malu,
rasa takut, rasa bersalah atau penyesalan saja pada si pelaku. Apabila
seorang pengedar narkoba tidak ditangkap dan diadili, tetapi dibiarkan
untuk berkeliaran, masyarakat akan merasa tidak aman meskipun si
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 5
pengedar narkoba tersebut dicekam oleh rasa penyesalan yang
sangat mendalam dan dirasakan sebagai suatu penderitaan.
Kalau kaedah sopan santun dilanggar atau diabaikan hanyalah menimbulkan
celaan, umpatan atau cemohan saja, sanksi ini pun masih kurang cukup
memuaskan.
(Sudikno Mertokusumo: hal. 10)
Di sinilah kaidah hukum berperan penting dalam masyarakat, karena sanksi yang
diberikannya lebih tegas dan mengikat, maka kaidah hukum relatif lebih dapat
menciptakan ketertiban dibanding kaidah lainnya. Oleh karena itu, ketika kaidah
sosial yang ada sudah dirasa tidak dapat menjaga keseimbangan proses
sosial/ketertiban, kaidah hukum berperan penting, lewat sifatnya yang dinamis
sehingga terus mengikuti perkembangan gejala sosial dalam masyarakat, serta lewat
sanksinya yang bersifat tegas, mengikat, dan langsung pada sasaran.
c. Hukum sebagai gejala sosial dipahami sebagai penggunaan hukum untuk
memahami berbagai gejala sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam
memahami berbagai gejala sosial yang pernah terjadi maupun yang sedang terjadi
dalam masyarakat, kita bisa melihatnya dari hukum yang sudah ada dalam
masyarakat tersebut. Hukum yang sudah ada tersebut kemudian akan memberikan
gambaran mengenai gejala sosial yang pernah, sedang, dan mungkin akan terjadi
dalam masyarakat tempat hukum tersebut berlaku. Peraturan-peraturan dalam
kaidah hukum merupakan hasil dari usaha perbaikan gejala sosial yang pernah
terjadi sebelumnya. Sehingga dengan melihat hukum di suatu tempat, kita akan
dapat memahami berbagai gejala sosial yang pernah, sedang, dan mungkin akan
terjadi dalam masyarakat di tempat tersebut.
Selain dapat digunakan untuk memahami gejala sosial yang terjadi dalam
masyarakat, hukum juga dapat digunakan sebagai sarana rekayasa sosial.
Maksudnya adalah hukum dapat digunakan untuk menciptakan suatu keadaan
dalam masyarakat, yang tadinya tidak ada. Pendek kata, hukum dapat
menimbulkan perubahan dalam masyarakat, sehingga terciptanya masyarakat yang
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 6
baru dan berbeda. Senada dengan anggapan tersebut, Prof. Dr. Satjipto Rahardjo
dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hukum” mengatakan bahwa hukum tetap bisa
dipakai sebagai instrumen yang dipakai secara sadar untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu1
. Hukum dapat digunakan untuk merubah, atau malah menghapus
norma-norma sosial yang ada di masyarakat. Hanya saja, prosesnya akan
berlangsung cukup panjang, dan efek yang ditimbulkannya merupakan efek yang
berantai. Contohnya adalah Peraturan Daerah di Jakarta yang melarang
penduduknya untuk memberikan uang pada pengemis dan peminta-minta di
jalanan. Peraturan ini dibuat untuk menertibkan keadaan kota Jakarta, yang
semakin hari dirasa semakin banyak pengemis dan peminta-mintanya. Adanya
Perda ini jelas menimbulkan perubahan dalam masyarakat. Walaupun tidak terlalu
signifikan, namun telah terjadi pengurangan jumlah pengemis dan peminta-minta
di Jakarta.
2. Radbruch (1961 : 36) dalam buku “Ilmu Hukum” karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo,
S.H. mengatakan ada tiga nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga nilai dasar tersebut
adalah :
a) Nilai Keadilan. Nilai keadilan mengatakan hukum ditujukan untuk menciptakan
keadilan dalam masyarakat, untuk menjadi norma yang ideal, yang menghendaki
terbentuknya manusia yang sempurna agar menjadi masyarakat ideal.
b) Nilai Kegunaan. Nilai kegunaan melihat hukum dari segi efektivitasnya dalam
masyarakat, hukum dianggap sebagai hal yang mendasari ukuran-ukuran untuk
menilai tingkah laku dan hubungan-hubungan antar orang dalam masyarakat. Nilai
kegunaan ini menerangkan hukum sebagai sesuatu yang bersifat sangat lokal, yang
bergantung pada kondisi di masyarakat.
c) Nilai Kepastian Hukum. Pada nilai ini, yang utama dari hukum adalah adanya
peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu harus adil dan mempunyai
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 209.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 7
kegunaan bagi masyarakatnya, adalah di luar pengutamaan nilai
kepastian hukum2.
Meskipun ketiga nilai dasar tersebut merupakan nilai dasar dari hukum, namun antara
mereka terdapat suatu ketegangan satu sama lain, yang disebabkan karena ketiganya
berisi tuntutan yang berlain-lainan dan yang satu sama lain mengandung potensi untuk
bertentangan. Ketiga nilai-nilai dasar dari hukum ini kemudian mendasari tujuan-tujuan
hukum yang ada. Ditinjau dari sudut pandangnya, terdapat tiga sudut pandang dalam
hukum, yaitu :
a. Dari sudut pandang ilmu hukum positif normatif atau yuridis dogmatik (Kekuatan
Yuridis/Yuritische Geltung) menitikberatkan tujuan hukum pada sisi kepastian
hukumnya, yaitu suatu peraturan hukum hanya berlaku apabila dibuat oleh badang
atau orang berwenang/terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Hukum
mempunyai kekuatan untuk berlaku bila penetapannya berdasarkan/sesuai dengan
kaidah yang lebih tinggi tingkatnya. Di sini Hans Kelsen mengemukakan bahwa
hukum adalah suatu sistem kaidah yang hierarkis di mana terdapat Grundnorm
(norma dasar) yang mendasari berlakunya seluruh kaidah hukum.
b. Dari sudut pandang filsafat hukum (kekuatan filosofis/filosofische geltung), yang
menitikberatkan pada posisi keadilan. Di sini hukum bertujuan untuk menciptakan
cita-cita hukum sebagai nilai positif (filsafat hidup) yang tertinggi bagi kemanusiaan.
Sehingga suatu kaidah hukum hanya akan berlaku bila sesuai dengan tujuan dan
cita-cita negara.
c. Dari sudut pandang sosiologi hukum (kekuatan sosiologis/sosiologische geltung), di
mana tujuan hukum dititikberatkan pada segi kemanfaatannya. Kekuatan berlakunya
hukum mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kekuatan
berlakunya hukum dalam masyarakat ini kemudian melahirkan dua teori :
Teori kekuatan, yang mengatakan hukum mempunyai kekuatan berlaku dengan
disandarkan pada kekuatan penguasa, yaitu bila keberlakuannya dipaksakan oleh
penguasa, terlepas diterima ataupun tidak oleh warga masyarakat.
2 Ibid, hal. 19.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 8
Teori pengakuan, yang mengatakan hukum mempunyai kekuatan
berlaku apabila ada penerimaan dan pengakuan secara sukarela dari warga
masyarakat terhadap hukum.
Selain dari ketiga sudut pandang tersebut, tujuan hukum juga dapat diklasifikasikan
menjadi ajaran konvensional dan ajaran modern. Pada ajaran konvensional, terdapat tiga
ajaran; di mana ketiga ajaran itu merupakan ajaran yang ekstrem karena ketiganya
menganggap tujuan hukum hanya semata-mata untuk satu tujuan saja. Ketiga ajaran
konvensional itu adalah:
a) Teori Etis, yang menganggap bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk mencapai
keadilan. Teori ini menganggap hukum sebagai pengejawantahan keadilan dalam
masyarakat, sehingga isi dari hukum harus berdasar pada keadilan. Di sini timbul
satu kelemahan, yaitu mengenai pengertian keadilan itu sendiri, karena ternyata apa
yang adil untuk A belum tentu adil juga untuk B. Mengenai keadilan sendiri,
Aristoteles membagi keadilan menjadi tiga, yaitu keadilan komutatif, keadilan
distributif, dan keadilam umum. Keadilan komutatif mengatur hubungan orang
dengan orang dan badan hukum dengan badan hukum (hubungan antar subjek
hukum), sedang keadilan distributif mengatur hubungan antara masyarakat dengan
warganya. Pembagian yang terakhir, keadilan umum, mengatur hubungan
orang-orang dengan masyarakat merata. Sementara Joseph Hoffner menyebutkan
istilah “keadilan sosial”, yang dipahami sebagai memberi masing-masing haknya
(“Tribuere jus suum curique”).
b) Teori Utiliti, yang menganggap bahwa hukum bertujuan semata-mata untuk
menciptakan kemanfaatan atau kebahagiaan sebesar-besarnya bagi
sebanyak-banyaknya warga. Hukum bertujuan untuk mewujudkan apa yang
berfaedah bagi warga, namun di sini timbul satu masalah, yaitu apa yang berfaedah
bagi A belum tentu berfaedah bagi B. Oleh karena itu, maka hukum kemudian
bertujuan untuk mencari apa yang berguna bagi mayoritas warganya. Penanganan
teori utiliti ini didasarkan pada falsafah sosial bahwa setiap warga masyarakat
mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu alat untuk mencapai
kebahagiaan. Salah satu pakar teori utiliti, Jeremy Bentham mengemukakan bahwa
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 9
adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu
kebahagiaan mayoritas masyarakat.
c) Teori Normatif-Dogmatif, yang menganggap bahwa pada dasarnya tujuan hukum
adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Aliran ini bersumber dari
pemikiran positivis di dunia hukum, yang cenderung melihat hukum sebagai sesuatu
yang otonom dan mandiri, sehingga tidak berhubungan dengan masyarakat dan
nilai-nilai lainnya. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain hanya sekedar
untuk menjamin terwujudnya kepastian hukum.
Berbeda dengan ajaran konvensional yang ekstrem dan menekankan bahwa tujuan
hukum hanya salah satu di antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum; ajaran
modern yang terdiri dari dua teori utama menerima ketiga nilai dasar hukum tersebut
sebagai tujuan dari adanya hukum. Hanya saja yang dipermasalahkan dalam ajaran
modern adalah prioritas dari ketiga nilai dasar tersebut. Persoalan prioritas inilah yang
kemudian membedakan antara ajaran prioritas baku dengan ajaran prioritas kasuistis.
a) Ajaran Prioritas Baku. Dalam ajaran prioritas baku, Gustav Radbruch mengatakan
adanya tiga asas prioritas dalam memutuskan suatu perkara hukum. Asas yang
pertama adalah keadilan, yang kedua adalah kemanfaatan, baru yang terakhir adalah
asas kepastian hukum. Melalui ajaran ini, Radbruch mengingatkan agar dalam setiap
perkara, yang pertama harus dilihat adalah nilai keadilannya. Setelah nilai
keadilannya dilihat, barulah nilai kemanfaatannya yang diperhatikan, baru setelah
kedua nilai itu diperhatikan, nilai kepastian hukum-lah yang kemudian diperhatikan.
b) Ajaran Prioritas yang Kasuistis, ajaran ini lahir karena didasari pemikiran bahwa
dunia saat ini sudah semakin kompleks, sehingga pilihan prioritas yang sudah
dibakukan sepertu ajaran Radbruch mulai dirasa tidak sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan hukum dalam kasus tertentu. Di sinilah lahir ajaran prioritas
yang kasuistis, yang menekankan pada pentingnya memperhatikan kasus yang
terjadi sebelum menentukan prioritas dalam hukum. Ajaran ini menekankan prioritas
langkah yang akan diambil tergantung pada jenis kasus yang terjadi, karena tidak
semua kasus cocok dengan prioritas pada kasus lainnya.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 10
3. Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu
peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya
lalu diwujudkan3. Sementara menurut Van Apeldooren, peristiwa hukum adalah suatu
peristiwa yang didasarkan pada hukum, menimbulkan atau menghapuskan hak. Lebih
lanjut lagi, Bellefroid mengatakan peristiwa hukum adalah suatu peristiwa sosial yang
tidak secara otomatis dapat menimbulkan hukum, karena suatu peristiwa dapat
merupakan peristiwa hukum apabila peristiwa tersebut oleh hukum dijadikan sebagai
suatu peristiwa hukum. Dari pengertian tersebut, dapat kita simpulkan bahwa tidak setiap
peristiwa merupakan peristiwa hukum, hanya peristiwa yang dapat menimbulkan akibat
hukum serta yang menimbulkan hak dan kewajiban sajalah yang kemudian dapat
digolongkan sebagai peristiwa hukum.
a. Bagan peristiwa hukum :
Peristiwa Hukum Perbuatan Subjek Perbuatan Hukum
Hukum (PSH)
Sepihak
Peristiwa Ganda
Perbuatan Subjek
Hukum Lainnya
Melawan Hukum Sah
Bukan PSH
(Kejadian, Keadaan, Lampaunya Waktu)
Bukan Peristiwa Hukum
Pada bagan di atas, peristiwa hukum dibagi menjadi perbuatan subjek hukum dan bukan
perbuatan subjek hukum. Perbuatan subjek hukum didefinisikan sebagai perbuatan
3 Ibid, hal. 35.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 11
manusia atau badan hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban4. Perbuatan
subjek hukum sendiri kemudian dibagi menjadi perbuatan hukum dan perbuatan subjek
hukum lainnya. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang dilakukan orang dengan maksud
guna menimbulkan suatu akibat hukum yang dikehendaki dan diperkenankan oleh hukum5.
Sehingga dengan kata lain perbuatan hukum adalah perbuatan subjek hukum yang ditujukan
untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum itu sendiri.
Perbuatan hukum ini kemudian dibagi menjadi 2, yaitu secara sepihak dan ganda. Perbuatan
hukum sepihak adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh seseorang melalui
pernyataan kehendaknya, sehingga menimbulkan akibat hukum6. Contoh perbuatan hukum
yang dilakukan secara sepihak misalnya adalah pemberian hibah untuk pembangunan sekolah,
atau tempat-tempat umum lainnya. Sedang perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda
adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang menimbulkan akibat
hukum7, yang kemudian menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah
pihak tersebut secara timbal-balik. Contoh perbuatan hukum yang dilakukan secara ganda
adalah perjanjian balik nama, yang memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang dari
seseorang kepada orang lain. Namun perlu diingat bahwa perjanjian balik nama tidak hanya
memindahkan hak kepemilikan atas suatu barang, melainkan juga kewajiban-kewajiban yang
terkait dengan kepemilikan barang tersebut.
Pembagian kedua dari perbuatan subjek hukum adalah perbuatan subjek hukum lainnya.
Perbuatan subjek hukum lainnya ini kemudian dibagi 2, yaitu perbuatan yang sah dan
perbuatan yang melawan hukum. Adapun perbuatan yang sah (“zaakwaarneming”) adalah
perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang mendatangkan hak dan kewajiban dan
akibat hukum, akan tetapi tidak melanggar hukum, dan oleh karenanya disebut sah secara
hukum. Contoh dari perbuatan sah adalah perkawinan. Perkawinan yang dilakukan antar
kedua individu akan sah bila tercatat pada catatan sipil, dan bila perkawinan itu telah sah,
maka kedua individu akan memperoleh berbagai hak dan kewajiban baru yang tadinya tidak
mereka peroleh akibat hukum. Sedang perbuatan yang melawan hukum adalah perbuatan
4 Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004).
5 H. F. A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996).
6 H. Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006).
7 Ibid.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 12
yang bertentangan dengan berbagai kaidah hukum. Substansi dari perbuatan
melawan hukum
adalah sebagai berikut:
a. bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
b. melanggar hak subyektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede
zeden), atau
c. bertentangan dengan azas “Kepatutan”, ketelitian serta sikap hati-hati dalam
pergaulan hidup masyarakat8.
Contoh perbuatan melawan hukum adalah tindak pembunuhan berencana, yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bab XIX Pasal 340. Dalam pasal 340 disebutkan
bahwa “barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”9. Dari
pasal tersebut jelas terlihat bahwa tindak pembunuhan berencana merupakan perbuatan yang
melanggar hukum, dan pelaku yang melakukannya akan ditindak sesuai hukum yang berlaku.
Pembagian kedua dari peristiwa hukum adalah bukan perbuatan subjek hukum. Peristiwa
yang termasuk bukan perbuatan subjek hukum adalah peristiwa yang menimbulkan akibat
hukum tetapi terjadi di luar kehendak subjek hukum, dan tidak dapat dikendalikan oleh
subjek hukum. Peristiwa bukan perbuatan subjek hukum ini kemudian dibagi menjadi tiga,
yaitu kejadian, keadaan, dan lampaunya waktu (daluarsa). Yang dimaksud dengan kejadian
adalah terjadinya suatu peristiwa yang tidak dikehendaki/diduga sebelumnya, dan berakibat
pada munculnya hak dan kewajiban serta menimbulkan akibat hukum. Contohnya ketika
terjadi kecelakaan pada A, di mana A sudah mengasuransikan dirinya lewat sebuah
perusahaan asuransi, yang mengakibatkan A menjadi cacat total. Di sini perusahaan asuransi
kemudian berkewajiban memberikan santunan dan sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan
perjanjian dalam asuransi tersebut, sementara A kemudian berhak meminta haknya pada
perusahaan asuransi, sesuai dengan kesepakatan perjanjian sebelumnya. Jenis peristiwa
8 Perbuatan Melawan Hukum. http://ppk.or.id/downloads/Perbuatan%20Melawan%20Hukum.pdf, diakses pada
28 Juni 2008, pukul 23.31. 9 Prof. Moeljatno, S.H. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003), hal.123.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 13
bukan perbuatan subjek hukum yang kedua adalah keadaan, yaitu suatu
peristiwa yang menimbulkan akibat hukum yang disebabkan oleh keadaan/berlangsungnya
suatu proses. Contoh dari keadaan adalah pendewasaan seseorang, yang kemudian
menimbulkan munculnya hak dan kewajiban baru bagi orang tersebut, karena orang itu
dianggap sudah menjadi subjek hukum yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya
(subjek hukum cakap). Jenis ketiga adalah lampaunya waktu (daluarsa), yaitu ketika
tercapainya jangka waktu tertentu yang kemudian menimbulkan hak dan kewajiban yang
baru bagi seseorang, serta menimbulkan akibat hukum baru yang sebelumnya tidak ada.
Contohnya pada kasus warisan, ketika seluruh pihak keluarga meninggal kecuali seorang
anak yang masih di bawah umur, dan tidak ada sanak keluarga lain. Pada kasus ini, warisan
akan jatuh pada anak yang belum dewasa tersebut, akan tetapi karena sang anak belum
dewasa, warisan akan disimpan dahulu oleh pihak lain (misalnya pengacara sang ayah),
sampai jangka waktu tertentu, yaitu ketika anak itu sudah dianggap dewasa secara hukum.
Ketika tercapainya jangka waktu itu, sang anak kemudian akan memperoleh haknya sebagai
ahli waris.
b. Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam
lalu lintas hukum10
. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam
hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kecakapan dalam hukum ini kemudian
disebut sebagai subjek hukum yang tidak cakap. Subjek hukum yang tidak cakap
adalah subjek hukum yang dianggap mempunyai kemampuan pertanggungjawaban
rendah, sehingga ia dibebaskan dari hak dan kewajiban tertentu, terutama yang
berhubungan dengan hukum. Subjek hukum yang digolongkan “tidak cakap” oleh
hukum digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
Orang-orang yang belum dewasa atau anak yang belum mencapai usia 18 tahun,
atau belum melangsungkan pernikahan. Sehingga walaupun seseorang belum
mencapai usia 18 tahun, tetapi ia sudah melangsungkan pernikahan, maka ia
sudah dianggap sebagai subjek hukum yang cakap oleh hukum. 10
Status Hukum Anak Hasil Perkawinan Campuran, Berdasarkan Hukum Indonesia.
http://leeriem.blogspot.com/2008/01/status-hukum-anak-hasil-perkawinan.html, diakses pada 28 Juni 2008,
pukul 23.38.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 14
Orang-orang yang berada di bawah pengampuan (curatele).
Pengampuan sendiri adalah suatu permohonan yang dilakukan oleh sekelompok
orang (biasa oleh pihak keluarga) terhadap seseorang yang dianggap tidak bisa
menilai apa perbuatannya salah/benar, sehingga ia tidak dapat bertanggung jawab
pada perbuatannya sendiri. Golongan orang yang biasa dimintakan pengampuan
adalah orang yang mengalami keterbelakangan mental, orang sakit jiwa, pecandu,
pemabuk, penjudi, dan lain-lain. Tiga contoh yang terakhir adalah pihak yang
biasa dimintakan pengampuan dalam lapangan hukum harta kekayaan.
Orang-orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk melakukan perbuatan
hukum tertentu, dan oleh karenanya ia dianggap “tidak cakap” secara hukum.
Contohnya adalah orang yang telah dinyatakan pailit secara hukum. Oleh
Undang-Undang, orang yang telah dinyatakan pailit dibebaskan dari hukum, dan
dilarang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu.
Timbulnya penggolongan subjek hukum sebagai “cakap” dan “tidak cakap” secara hukum,
menurut saya, didasarkan pada pemikiran bahwa tidak semua orang dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, dan oleh karenanya orang tersebut
pantas mendapat perlindungan dan privilege tertentu dari hukum.
4. Secara umum, hak mengandung pengertian sebagai kewenangan atau kekuasaan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Sementara Prof. Mr. L.J. Van Apeldoorn mengatakan
hak adalah hukum yang dihubungkan dengan seseorang manusia atau subjek hukum
tertentu yang menjelma menjadi suatu kekuasaan dan suatu hal yang timbul apabila
hukum mulai bergerak. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan Van Apeldoorn
berpendapat bahwa hak merupakan hukum subjektif yang diaplikasikan oleh
individu-individu.
Berbeda dengan Van Apeldoorn, Prof. Utrech berpendapat bahwa hak adalah jalan untuk
memperoleh kekuatan, akan tetapi yang perlu diingat di sini hak bukanlah sebuah
kekuatan, melainkan hanya berupa jalan untuk memperolehnya. Sebuah pengertian
mengenai hak yang dianggap cukup dimengerti ditawarkan oleh Fitzgerald (1966 :
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 15
224-233) dalam buku “Ilmu Hukum” karangan Prof. Dr. Satjipto Rahardjo. Ia
menyebutkan adanya empat pengertian dalam hak, yaitu:
a. Hak dalam arti sempit, yaitu pengertian hak yang berkorelasi dengan kewajiban.
Dalam pengertian hak dalam arti sempit ini, seseorang akan memperoleh hak bila ia
telah melaksanakan kewajibannya. Hak berjalan seiring dengan kewajiban yang
telah dituntaskan oleh seseorang. Contohnya adalah ketika seseorang makan di
restoran; pada kasus ini, orang tersebut menikmati haknya, yaitu menikmati
makanan enak di restoran. Akan tetapi yang perlu diperhatikan di sini adalah, orang
tersebut harus melaksanakan kewajibannya, yaitu membayar sejumlah uang sesuai
dengan makanan yang ia santap. Bila orang tersebut tidak melaksanakan
kewajibannya (tidak membayar), maka orang tersebut tidak diperkenankan
mendapatkan haknya (menikmati makanan di restoran tersebut). Begitu juga dari sisi
pemilik restoran, bila orang telah membayar sejumlah uang untuk makanan tersebut
(yang berarti si pemilik restoran telah menerima haknya), maka pemilik restoran
berkewajiban untuk menyediakan makanan bagi orang tersebut.
b. Kemerdekaan. Pengertian hak dalam arti kemerdekaan di sini mengandung
pengertian sebagai kebebasan/kewenangan seseorang untuk melakukan berbagai hal
yang disenangi atau ingin dilakukan. Perbedaan unsur kemerdekaan di sini jelas
berbeda dengan unsur sebelumnya, yaitu hak dalam arti sempit. Pada unsur hak
dalam arti sempit, hak berhubungan dengan hal-hal yang harus dilakukan oleh orang
lain untuk subjek hukum, sementara dalam unsur kemerdekaan, hak hanya berurusan
dengan hal-hal yang boleh dilakukan subjek hukum untuk dirinya sendiri. Pada
pengertian kemerdekaan ini sebenarnya juga ditemui adanya korelasi dengan
kewajiban, yaitu kemerdekaan pada seorang subjek hukum berkorelasi pada
kewajiban subjek hukum lain untuk tidak mengganggu kemerdekaan tersebut.
Contohnya adalah hak untuk mengeluarkan pendapat, yang kini telah dijamin dalam
pasal 28 UUD 1945. Sehubungan dengan unsur kemerdekaan dalam pengertian hak,
maka setiap subjek hukum memiliki kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya,
yang tidak boleh diganggu oleh subjek hukum lainnya.
c. Kekuasaan, berupa hak yang diberikan kepada seseorang untuk, melalui jalan
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 16
hukum, mewujudkan kemauannya guna mengubah hak-hak,
kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban atau lain-lain hubungan hukum, baik
dari dirinya sendiri maupun orang lain11
. Pengertian kekuasaan di sini bisa bersifat
perdata maupun publik. Kekuasaan yang terletak di bidang publik disebut
kewenangan, sedang kekuasaan di bidang perdata disebut kecakapan. Perbedaan
unsur kekuasaan dan kemerdekaan adalah pada unsur kemerdekaan, subjek hukum
berhak melakukan perbuatan sesuai dengan keinginannya, asal tidak bertentangan
dengan hukum; sedang pada unsur kekuasaan, hak membuat subjek hukum dapat
mensahkan suatu perbuatan sehingga tidak bertentangan dengan hukum, sehingga
dapat dikatakan unsur hak sebagai kekuasaan dapat diartikan sebagai kemampuan
untuk mengubah hubungan-hubungan hukum.
d. Imunitas, yaitu hak dalam arti kekebalan terhadap kekuasaan hukum orang lain. di
sini, kekebalan mempunyai kedudukan yang sama dalam hubungan dengan
kekuasaan, seperti antara kemerdekaan dengan hak dalam arti sempit: kekebalan
adalah pembebasan dari kekuasaan orang lain, sedang kemerdekaan merupakan
pembebasan dari hak orang lain12
. Contoh dari unsur imunitas dalam hak ini adalah
hak-hak diplomatik, yang diberikan dengan (salah satu) tujuan agar para diplomat
dapat melaksanakan tugas mewakili negaranya dengan sebaik-baiknya tanpa harus
terganjal oleh masalah hukum di negara tempatnya diutus.
Telah disebutkan di atas bahwa hak mengandung pengertian sebagai kewenangan/kekuasaan
yang dimiliki seseorang untuk melakukan/tidak melakukan sesuatu. Secara sepintas, dapat
kita tangkap bahwa hak merupakan milik seseorang secara sepenuhnya. Akan tetapi harus
diingat bahwa hak juga harus tetap memiliki fungsi sosial, yaitu bahwa pelaksanaan hak
individu itu jangan sampai bertentangan dengan hak dan kepentingan individu lainnya.
Sehubungan dengan fungsi sosialnya, Leon Duguit berpendapat hak adalah fungsi sosial
dalam arti bahwa kekuasaan yang dimiliki seseorang dibatasi oleh kepentingan
masyarakatnya. Lebih lanjut lagi, Duguit mengatakan bahwa perseorangan tidak memiliki
hak, tapi tiap-tiap orang mempunyai tugas tertentu dalam masyarakat, sehingga fungsi sosial
11
Satjipto Rahardjo, op.cit., hal. 57. 12
Ibid, hal. 58.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 17
harus dipenuhinya. Ini menyebabkan pelaksanaan dan pemanfaatan hak tidak
dapat dilakukan secara sepenuhnya dan sebebas-bebasnya, karena setiap subjek hukum juga
harus memperhatikan dampak dari pelaksanaan haknya terhadap kepentingan subjek lainnya.
Bila ternyata pelaksanaan hak tersebut bertentangan dan merugikan hak orang lain, maka
perbuatan (hak)-nya tersebut dapat digolongkan bersalah dalam hukum. Di sinilah pentingnya
kaidah hukum dalam masyarakat. Hukum berfungsi untuk mengatur kewenangan yang
dimiliki masyarakat agar jangan sampai kewenangan/perbuatannya tersebut bertentangan
dengan kepentingan dan hak orang lain.