Pembahasan Ujian Sekolah Matematika Kelompok Akuntansi dan Pemasaran
Ujian Tengah Semester Pemasaran
-
Upload
fristy-yuanita -
Category
Documents
-
view
1.540 -
download
70
description
Transcript of Ujian Tengah Semester Pemasaran
UJIAN TENGAH SEMESTER
MATA KULIAH PEMASARAN AGRIBISNIS
TAHUN 2012/2013
Takehome Exam
SOAL-SOAL UTS Pemasaran Agribisnis
1. Jelaskan peranan pemasaran dalam sistem agribisnis , berikan contoh kasus
nya pada agribisnis di Indonesia?
2. Apakah yang dimaksud dengan pendekatan kelembagaan (institutional
approach) dan fungsional (functional approach) dalam analisis pemasaran
agribisnis, jelaskan dan berikan contohnya berdasarkan studi kasus yang telah
anda lakukan?
3. Apakah yang dimaksud dengan Struktur-Perilaku_Kinerja (Structure-
Conduct-Performance) dalam mengevaluasi sistem pemasaran suatu
komoditas hasil pertanian! Berikan contoh kasus berdasarkan studi kasus yang
anda lakukan!
4. Apakah yang dimaksud dengan marjin pemasaran? Apakah analisis marjin
permasaran dapat dikombinasikan dengan pendekatan kelembagaan dan
fungsional? Jelaskan dengan studi kasus yang ada lakukan!
5. Jelaskan faktor penyebab terjadinya fluktuasi harga pada komoditas pangan
strategis, (kedelai dan daging sapi) pada bulan ramadhan lalu? Saran apakah
yang dapat dilakukan untuk mengatasi fluktuasi harga tersebut!
Jawaban UTS Pemasaran Agribisnis
1. Peranan pemasaran dalam sistem agribisnis adalah
- Membantu produsen lebih mengetahui kebutuhan konsumen.
- Bagi Konsumen dapat mengetahui harga berapa untuk produk tertentu
yang pada akhirnya tercapai kepuasan konsumen, dan produsen
mendapatkan keuntungan.
- Memberikan pilihan berbagai jenis makanan dan produk lainnya dengan
harga murah dan mudah ditemukan.
- Berperan penting dalam perekonomian, dengan menjembatani gabungan
antara kebutuhan produsen dan konsumen (dari ruang,waktu,
informasi,nilai, serta kepemilikan).
- 80% tenaga kerja dalam bidang agribisnis terlibat dalam pemasaran.
- 76% dari uang makanan setiap konsumen dibelanjakan untuk pemasaran.
- Aktivitas pemasaran agribisnis menghasilkan lebih 16% pada GNP
tahunan Amerika.
contoh kasusnya pada agribisnis di Indonesia adalah
Meliputi kegiatan untuk memahami kebutuhan pelanggan dan secara efektif
melakukan upaya pemasaran di tempat penjualan (pasar) dimana kebutuhan
itu dirasakan. Khol (1980) mendefinisikan pemasaran produk pertanian
sebagai seluruh kinerja kegiatan perusahaan dalam aliran barang,mulai dari
titik dimana dihasilkan hingga ke tangan pelanggan. Kata seluruh mewakili
lingkup pemasaran pertanian yang luas, sedangkan interval kegiatan
menunjukkan adanya saling-ketergantungan antar pelaku. Dalam kegiatan
demikian fungsi pemasaran pertanian juga menghubungkan antara daerah
penghasil dengan lokasi dimana produk dibutuhkan. Bila kegiatan agribisnis
dapat dibedakan menjadi sektor produk makanan (food), industri dan sektor
input; maka kegiatan pemasaran terlibat dalam sektor tersebut. Kegiatan ini
meliputi penjualan, periklanan, penelitian pemasaran, pengembangan produk
baru, pelayanan pelanggan, distribusi fisik, dan penentuan harga –
keseluruhannya fokus kepada kebutuhan dan keinginan pelanggan, dan
akhirnya berupaya menciptakan kepuasan pelanggan. Kegiatan pemasaran
pertanian sering juga disebut sebagai sistem pemasaran pertanian, karena
melibatkan banyak pihak mulai dari petani, broker, pengolah, penjual partai
besar, grosir, hingga kepada pelanggan. Masing-masing kegiatan berbeda
fungsi dalam memberikan pelayanannya.
2. Yang dimaksud dengan pendekatan kelembagaan (institutional approach)
adalah Pendekatan yang mempelajari fungsi pemasaran dilihat dari segi
organisasi/kelembagaan yang terlibat dalam kegiatan pemasaran,adapun
kegiatan pemasarannya antara lain:
- Produsen sebagai penghasil barang jadi
- Supplier sebagai penyedia bahan baku
- Perantara Pedagang
- Perusahaan Saingan
- Konsumen, dan sebagainya
Contoh kasus yang telah saya lakukan adalah :
Peranan lembaga pemasaran dan distribusinya menjadi tolok ukur keber
hasilan pengembangan agribisnis sayuran. Hal ini dapat dijelaskan karena
fungsinya sebagai fasilitator yang menghubungkan antara defisit unit
(konsumen) dan surplus unit (produsen). Pembinaan terhadap lembaga
tersebut sangat diperlukan karena serangkaian aktivitasnya menjadi penentu
besarnya margin antara harga ditingkat petani dan konsumen, namun tidaklah
berarti lembaga pemasaran itu tidak memper- oleh untung (Gumbira, 2001).
Hasil kajian terhadap permasalahan pemasaran di desa penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar para petani (60 %) menjual hasil
produksinya kapada pengepul atau pedagang perantara, sebanyak 30 %
menjual kepada pedagang pengecer di pasar-pasar tradisional terdekat (pasar
lokal) dan sisanya yaitu sebesar 10 % menjual langsung kepada konsumen.
Selanjutnya pedagang pengepul (pedagang antar kabupaten) lebih banyak
mendistribusikan barang dagangannya diluar kabupaten dibandingkan dalam
kabupaten bahkan ada yang menjualnya antar pulau yaitu ke pulau Jawa.
Biasanya kelompok pedagang ini sebagian besar menjual ke pasar induk
Kumbasari atau pasar Badung dan hanya sebagian kecil saja yang mengirim
ke luar daerah Bali. Beberapa permasalahan pokok yang masih dijumpai di
daerah basis produksi antara lain masih kuatnya peran dan pengaruh tengkulak
(para spekulan) sehingga sering memaksa produsen harus menjual hasil nya
kepada pihak-pihak tertentu. Kondisi seperti ini tanpa disadari sering
merugikan para petani mengingat harga transaksi /harga pasar terlalu rendah.
Beberapa alasan pihak petani melakukan hal tersebut adalah adanya
kepentingan keuangan modal atau kepentingan mendesak yang lainnya serta
kadang-kadang terjerat oleh kemudahan-kemudahan peminjaman modal oleh
tengkulak. Dalam hal harga, masih sering terjadi fluktuasi yang sangat tinggi,
salah satu diantaranya disebabkan terjadinya prilaku-prilaku yang bersifat
spekulatif yang dilakukan oleh hampir semua pihak baik petani sendiri,
pedagang, maupun pengusaha dengan alasan yang relatif bervariasi. Usaha-
usaha penangan pasca panen masih relatif rendah baik yang dilakukan oleh
petani ataupun dari pihak pemasar sendiri, dengan alasan belum terjaminnya
stabilitas harga di daerah produksi. Kehadiran perusahaan yang berteknologi
tinggi, dengan fasilitas pendingin (cold storage) belum mampu meningkatkan
nilai tambah produk dalam arti keseluruhan, mengingat keterbatasan kapasitas
yang dimiliki perusahan itu sendiri.
Pendekatan fungsional (functional approach) adalah pendekatan yang
mempelajari pemasaran yang dilakukan. Adapun yang dilakukan. Adapun
kegiatan pokok pemasaran adalah
a) Pembelian
Pembelian ini bisa diartikan pembeli barang-barang untuk dijual
maupun pembelian barang-barang yang merupakan bahan masukan
lainnya untuk menghasilkan produk suatu perusahaan. Fungsi
pembelian akan sangat penting artinya bagi perusahaan karena
menyangkut hasil produk yang nanti dijual dipasar. Hal yang penting
untuk diperhatikan di sini adalah bahwa kegiatan pembelian sangat
berhubungan dengan bagaimana penanganan persediaan, kualitas dan
keahlian dalam menganalisa pasar.
b) Pengangkutan
Pengangkutan adalah kegiatan memindahkan barang baik dari bahan
baku ke proses produksi maupun setelah menjadi barang jadi dari
pabrik ke konsumen. Kegunaan fungsi ini adalah mempercepat proses
pendistribusian barang ke segmen-segmen pasar yang dipilih maupun
memperlancar proses produksi dan kontinuitas kegiatan operasional
perusahaan sehari-hari.
c) Penjualan
Penjualan adalah kegiatan pemasaran yang paling pokok karena
penjualan dapat mempengaruhi naik turunnya pendapatan
perusahaan,sedangkan mati hidupnya perusahaan amat bergantung
pencapaian target penjualan yang diharapkan dapat menambah
masukan pendapatan perusahaan. Cara-cara apapun akan dilakukan
agar penjualan produksi perusahaan dapat dipertahankan atau bahkan
dapat ditingkatkan.
d) Penyimpanan
Penyimpanan adalah menyimpan barang produksi perusahaan atau
barang yang akan dijual untuk semnetara waktu sebelum dipasarkan.
Kegunaan fungsi penyimpanan baik untuk konsumen, penyalur,
maupun perusahaan adalah:
a. Produsen atau perusahaan bertujuan untuk menstabilkan harga
b. Spekulasi penentuan harga produksi
c. Efisiensi dana
e) Pembelanjaan
Pembelanjaan merupakan fungsi untuk mendapatkan dana atau modal,
baik dari supplier bahan baku, maupun dana (kredit) jangka pendek
dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
f) Penanggungan Resiko
Fungsi ini merupakan kegiatan untuk menghindari dan mengurangi
resiko yang berkaitan dengan pemasaran,misalnya: risiko akibat gempa
bumi, banjir,turunnya kualitas, dan melesetnya pasar,dll.
g) Standardisasi dan grading
Standardisasi adalah penentuan batas-batas dasar dalam bentu khusus
terhadap barang-barang baik berdasarkan jumlah, kualitas, kapasitas,
kekuatan, ataupun ukuran fisik barang. Sedangkan grading adalah
kegiatan mengelompokkan barang ke dalam kelompok standar kualitas
yang sudah diakui secara Internasional.
h) Pengumpulan Informasi Pasar
Informasi pasar menyangkut secara keseluruhan situasi pasar yang
akan dimasuki perusahaan untuk menawarkan barang. Informasi pasar
ini biasanya meneliti dan mengevaluasi bagaimana tingkah laku
konsumen yang akan dilayani,penentuan harga jual barang agar dapat
bersaing dengan barang sejenis, bagaimana daya beli konsumen, dan
sebaliknya.
contohnya berdasarkan studi kasus yang telah anda lakukan?
Secara normatif teridentifikasi ada beberapa komponen sistem yang mempunyai
hubungan kontekstual dengan sistem manajemen pemasaran agribisnis sayuran
tersebut. Hasil kajian elemen berikut dianggap sebagai unsur penting. Elemen –
elemen sistem yang dimaksud antara lain: 1) elemen pelaku langsung; 2) elemen
kebutuhan; 3) elemen tujuan; 4) tolok ukur ; 5) elemen kendala; 6) aktivitas yang
dibutuhkan dan 7) lembaga terkait. Kendatipun elemen tersebut dikatakan mempunyai
hubungan kontekstual terhadap system namun bahasan harus ditekankan terhadap
unsur yang mempunyai hubungan fungsional dan keterkaitan kinerja antar komponen.
Dengan demikian diperlukan penajaman lebih lanjut terhadap masing-masing elemen,
selanjutnya disebut dengan sub-elemen dari sistem. Pembandingan antar sub-elemen
dari semua elemen sistem secara keseluruhan dapat ditentukan beberapa sub-elemen
kunci seperti petani (elemen pelaku), pembinaan pelaku usaha, jaminan modal, dan
dukungan pemerintah (elemen kebutuhan), distribusi keuntungan dan resiko yang
kurang adil (elemen kendala), peningkatan pangsa pasar (elemen tujuan), dan
meningkatnya kualitas SDM pelaku usaha (elemen tolok ukur pencapaian tujuan)
serta pengembangan sistem insentif sebagai aktivitas yang dibutuhkan. Analisis
terhadap elemen pelaku agribisnis ditemukan bahwa petani sebagai pelaku langsung
produksi teridentifikasi sebagai sub-elemen kunci. Hasil pembandingan antar sub-
elemen dari elemen pelaku agribisnis, mengindikasikan bahwa petani mempunyai
tingkat hubungan fungsional yang tertinggi, dibandingkan pelaku lainnya seperti :
pedagang, pengumpul, pengusaha jasa transportasi, eksportir/pedagang antar pulau
dan konsumen. Implikasinya, subelemen petani mempunyai kekuatan penggerak yang
terbesar ter- hadap sistem, sehingga diklasifikasikan kedalam sektor indipendent.
Karenanya, untuk mewujudkan kinerja sistem yang efektif harus diprioritaskan
terhadap sub-elemen petani tersebut. Prioritas kepentingan, baik dalam pembinaan,
pelayanan maupun penyediaan fasilitas sesuai dengan kebutuhan petani itu sendiri.
Berbeda dengan petani sebagai pelaku produksi, pelaku langsung lainnya apakah itu
pedagang, pengusaha jasa transportasi, pedagang antar pulau selaku pihak pemasar
mempunyai keterkaitan yang bersifat linkage terhadap konsumen dan masyarakat
sekitar. Klasifikasi sub-elemen kedalam sektor linkage menunjukkan bahwa
terjadinya hubungan yang begitu kuat antar sub-elemen, implikasinya, sub-elemen ini
harus dikaji secara hati-hati. Hubungan antar peubah tidak stabil, artinya setiap
tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap yang lainnya dan
umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak. Dari kajian yang telah
dilakukan ternyata tidak ada satupun sub-elemen dari elemen pelaku agribisnis yang
terklasifikasi kedalam sektor dependent atau autonomous. Hal ini menunjukkan
bahwa adanya hubngan fungsional yang kuat antar sub-elemen, atau hubungan saling
mempengaruhi (linkage).
3. Pendekatan ini pertama diperkenalkan oleh J.S. Bain 1964 yang didasarkan
pada tiga hal yang berkaitan struktur, perilaku, dan penampilan pasar. Struktur
pasar akan mempengaruhi tingkah laku pasar, selanjutnya tingkah laku
perusahaan di pasar akan mempengaruhi penampilan pasar. Pendekatan SCP
banyak dikritisi oleh beberapa ahli seperti Scherer (1990), kalau terlalu
bersifat seterministik untuk memahami fungsi ketidaksempurnaan pasar. Suatu
kondisi yang sering terjadi di Negara yang sedang berkembang, seperti
Indonesia. Model SCP dinamik, diasumsikan memiliki hubungan interdepensi
atau simultan diantara struktur pasar, perilaku pasar, dan penampilan pasar.
Contoh kasus:
Pemasaran komoditas anggur (Vitis sp) dianalisa tentang struktur, perilaku dan
kinerja pasarnya dengan metode SCP (Structure, Conduct, Performance). Model ini
pertama kali dikembangkan dalam bidang organisasi industri, memiliki keunggulan
antara lain analisis yang lebih komprehensif dan kesimpulan yang dihasilkan jauh
lebih baik jika dibandingkan dengan menggunakan analisis tradisionil yang memiliki
kecenderungan menggunakan analisis parsial (Stifel, 1975).
Komoditas anggur (Vitis sp) banyak membutuhkan waktu dan melibatkan
banyak lembaga pemasaran sejak diproduksi sampai akhirnya ke konsumen akhir.
Peranan dan aktifitas lembaga pemasaran disini sangatlah penting. Dari lembaga
pemasaran akan membentuk struktur pasar. Struktur pasar merupakan dimensi yang
menjelaskan tentang jumlah penjualan dan distribusinya dalam berbagai ukuran,
jumlah pembeli dan distribusinya dengan berbagai bentuk, differensiasi produk dan
hambatan untuk keluar masuk pasar. Dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi
struktur pasar, di lihat dari: jumlah penjual dan pembeli, hambatan keluar masuk
pasar, konsentrasi rasio, elastisitas transmisi harga, dan pengetahuan informasi pasar.
Hasil beberapa penelitian terdahulu, sebagian besar menyatakan struktur pasar
berbagai macam produk pertanian yang diteliti, mengarah pada struktur pasar
persaingan tidak sempurna yang bercorak monopsoni dan oligopsoni. Dalam kondisi
demikian, maka jumlah produsen yang banyak akan berhadapan dengan satu atau
beberapa orang pembeli, sehingga penentuan harga lebih didominasi oleh pembeli
(produsen sebagai penerima harga), sehingga mengakibatkan kerugian pada petani.
Dilain pihak juga dengan adanya struktur pasar dan perilaku pasar, maka akan
mempengaruhi kinerja pasar, dalam hal ini adalah share harga yang diterima petani,
distribusi margin dan share biaya dan keuntungan yang diterima oleh lembaga-
lembaga pemasaran yang terlibat dalam aktivitas pemasaran. Marjin pemasaran
adalah selisih antara harga di tingkat konsumen dengan harga di tingkat produsen.
Apabila bagian harga yang diterima petani rendah, marjin pemasaran yang tinggi dan
distribusi keuntungan antara lembaga pemasaran tidak merata. Dengan demikian
marjin pemasaran juga diperoleh dengan menjumlahkan biaya pemasaran dan
keuntungan, sehingga semakin besar biaya pemasaran dan keuntungan pemasaran
makin besar marjin pemasaran akan mempengaruhi kinerja pasara pada komoditas
anggur.
4. Menurut Tomek dan Robinson (1977), marjin pemasaran adalah perbedaan
harga antara harga yang dibayar oleh konsumen dengan harga yang diterima
oleh produsen. Di dalam marjin pemasaran terdapat dua komponen, yakni :
1. Marketing cost, yaitu imbalan terhadap faktor yang dipakai di dalam
proses pemasaran yang terdiri dari upah, sewa, bunga dan laba.
2. Marketing charge, yaitu imbalan terhadap jasa yang diberikan oleh
lembaga pemasaran mulai dari pedagang pengumpul, pedagang besar,
prosesor, maupun pengecer.
Dalam proses pengaliran barang dari produsen ke konsumen, masing-masing
lembaga pemasaran mengeluarkan biaya pemasaran dan menarik keuntungan
sebagai balas jasa, maka jika petani produsen komoditi pertanian
mengharapkan untuk memperoleh harga yang lebih tinggi, dapat ditempuh
cara, yaitu :
1. Menaikkan harga eceran di tingkat konsumen dengan syarat biaya
pemasaran dan keuntungan adalah tetap.
2. Menurunkan biaya pemasaran dan keuntungan lembaga pelaku
pemasaran dipungut oleh masing-masing lembaga pemasaran, dengan
syarat harga eceran pada tingkat konsumen adalah tetap.
3. Harga di tingkat konsumen dan biaya pemasaran tetap, tetapi
keuntungan lembaga pelaku pemasaran diturunkan.
4. Harga di tingkat konsumen dan keuntungan lembaga pelaku
pemasaran tetap, tetapi biaya pemasaran diturunkan.
Tingginya marjin pemasaran bukanlah ukuran yang pasti bahwa kinerja pasar
adalah inefisien. Bila marjin pemasaran cukup besar, maka perlu diperhatikan
hal-hal sebagai berikut :
1. Digunakannya teknologi baru yang menyebabkan rendahnya biaya
produksi, sehingga marjin pemasaran yang telah tertentu nampak amat
tinggi jika dibandingkan dengan biaya produksi.
2. Sebagai akibat spesialisasi geografis dalam berproduksi
menyebabkan bertambah tingginya biaya pengangkutan (place utility),
dan akibatnya marjin pemasaran bertambah besar.
3. Meningkatnya kegunaan waktu (time utility) dalam produk
pertanian yang mengakibatkan adanya tambahan biaya untuk
penyimpangan dan pengolahan.
4. Adanya kecenderungan konsumen, terutama di negara-negara maju
untuk mengkonsumsi komoditas dalam bentuk yang lebih siap atau
instant (form utility), sehingga mengakibatkan marjin pemasaran
bertambah besar.
5. Tingginya upah buruh terutama dalam perdagangan eceran, dapat
juga meningkatkan nilai marjin pemasaran.
Dari yang telah diuraikan, temyata tingginya nilai marjin pemasaran adalah
sebagai akibat dari ditingkatkannya atau diperbaikinya kegunaan tempat,
kegunaan waktu dan bentuk dalam kegiatan pemasaran. Hal ini
mencerminkan jasa-jasa yang diinginkan oleh konsumen dan itu konsumen
bersedia membayarnya serta keterkaitan pendekatan kelembagaan dan
pendekatan fungsional dalam analisa marjin pemasaran.
Contoh kasus:
Susiyana (2005) melakukan analisis rantai persediaan komoditas
jerukmedan dengan melakukan studi kasus di Pasar Induk Kramat jati dan
Carrefour Cempaka Mas Jakarta. Data primer pada penelitian tersebut
diperoleh dari hasil wawancara dengan 4 pedagang grosir Kramat jati, 3
pedagang pengecer grosir Cililitan, 7 pedagang pengecer serta pihak
marketing Carrefour. Data sekunder diperoleh dari BPS, Pasar Induk Kramat
Jati, Dirjen Perkebunan, Departemen Pertanian, Dinas Pertanian, Dirjen
Tanaman Pangan dan Hortikultura, dan instansi-instansi lain. Penelitian
tersebut membahas struktur jaringan, aktivitas dan marjin pemasaran rantai
pasokan serta elastisitas transmisinya. Elastisitas transmisi yaitu perbandingan
perubahan nisbi dari harga di tingkat pengecer dengan perubahan harga di
tingkat petani.
Anggota primer SC jeruk medan adalah pedagang antar pulau (PAP),
pedagang grosir, pedagang eceran, perusahaan pemasok dan swalayan.
Anggota sekunder SC ini yaitu distributor dan supermarket collector. Marjin
pemasaran dihitung berdasarkan ketiga saluran pemasaran yang terjadi, yaitu :
1. Petani – PAP – Grosir Pasar Induk Kramat Jati – Pengecer
2. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Pengecer
3. Petani – PAP – Grosir Cililitan – Perusahaan Pemasok – Swalayan
Pola saluran 3 memiliki marjin pemasaran yang paling besar. Saluran
pemasaran 1 memperoleh total keuntungan yang terbesar. Pola saluran
pemasaran 1 juga yang paling efisien karena memiliki total biaya, keuntungan
dan marjin pemasaran yang terendah serta rasio keuntungan dan biaya
tertinggi. Pola saluran pemasaran 1 dapat memberikan nilai lebih bagi petani
karena menghasilkan farmer’s share (bagian petani) yang tinggi. Korelasi
harga antara pedagang pengecer dan hipermarket dengan agennya adalah
positif dan nyata berdasarkan perhitungan koefisien korelasi harga dan uji
statistik. Nilai elastisitas transmisi harga yang tidak sama dengan satu
menunjukkan sistem pemasaran komoditas jeruk medan belum efisien.
5. Dalam empat tahun belakangan ini tercatat tiga kali terjadi lonjakan
harga kedelai. Setiap krisis tersebut, solusi jangka pendek menjadi senjata
penenang. Persoalan mendasar untuk mewujudkan swasembada kedelai tidak
pernah diwujudkan dan selalu menjadi slogan para elit negeri ini. Tekad dan
janji pemerintah agar 2014 bisa tercapai swasembada kedelai bakal menjadi
slogan dan isapan jempol belaka. Sebagaimana beras, jagung, gula, garam,
ikan, serta buah-buahan tropis lainnya, kedelai pun bernasib sama dengan
sejumlah janji tanpa solusi. Hampir setiap tahun persoalan yang sama terus
berulang. Untuk krisis kedelai, tercatat pada Januari 2008 dan Februari 2011
juga pernah terjadi lonjakan harga akibat pasokan yang menipis.
Ketidakberdayaan negara atas pasar menjadi persoalan mendasar yang
berdampak pada ketergantungan impor dan fluktuasi harga.
Melonjaknya harga kedelai akibat pasokan yang terbatas menjadi bukti bahwa
berbagai program dan upaya yang dirancang beberapa tahun lalu tidak efektif.
Lonjakan harga kedelai yang berakibat pada meningkatnya biaya produksi
tahu dan tempe tersebut sebenarnya sudah berulang kali terjadi. Selama
lonjakan itu pula, belum pernah ada solusi tepat dalam produksi dan tata niaga
untuk mengatasi lonjakan harga kedelai. Ketergantungan Indonesia pada
kedelai impor sangat tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS)
2011, produksi kedelai lokal hanya 851.286 ton atau 29 persen dari total
Indonesia harus mengimpor kedelai 2.087.986 ton untuk memenuhi 71 persen
kebutuhan kedelai dalam negeri. Pada 2012, total kebutuhan kedelai nasional
2,2 juta ton. Jumlah tersebut akan diserap untuk pangan atau perajin 83,7
persen; industri kecap, tauco, dan lainnya 14,7 persen; benih 1,2 persen; dan
untuk pakan 0,4 persen. Impor kedelai terbesar Indonesia dari Amerika Serikat
dengan jumlah 1.847.900 ton pada 2011.
Kemudian, impor dari Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay
16.825 ton, dan Brasil 13.550 ton. Anomali cuaca di Amerika Serikat dan
Amerika Selatan menyebabkan pasokan kedelai pun turun dan harganya
melonjak. Harga kedelai internasional pada minggu ke-3 Juli 2012 mencapai
622 dolar AS per ton atau Rp 8.345 per kilogram (kg) untuk harga impor di
dalam negeri.
Harga ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tertinggi pada
2011, yaitu bulan Februari sekitar 513 dolar AS per ton atau harga paritas
impor di dalam negeri sekitar Rp 6.536 per kg. Dengan harga kedelai impor
yang menembus Rp 8.000 per kg menyebabkan para perajin tempe dan tahu
terancam gulung tikar karena daya beli konsumen yang terbatas. Harga kedelai
tersebut meningkat dari rata-rata Rp 5.500-Rp 6.500 per kg. Di tengah gejolak
harga kedelai, perlu dipahami bahwa ada dua persoalan dalam pasokan
kedelai, yakni produksi dan distribusi. Untuk produksi, sekalipun banyak janji
ada jutaan hektare (ha) lahan terlantar, Indonesia selalu kesulitan dalam
ekspansi lahan sampai pada tingkat pemanfaatan.
Selain perluasan lahan, pemerintah juga menargetkan peningkatan produksi
kedelai dengan sistem tumpang sari dengan potensi lahan setara 200 ribu ha.
Selain perluasan lahan, Kementerian Pertanian juga mengupayakan
peningkatan produktivitas dari 1,3 ton per ha menjadi 1,54 ton per ha,
pemberian bantuan benih unggul, meningkatkan penggunaan pupuk, dan
pengendalian organisme pengganggu tanaman. Saat ini, jika berbicara soal
kedelai pada tingkat petani, maka minat budidaya sangat rendah. Petani lebih
memilih padi dan jagung dibandingkan kedelai yang minim insentif dan sulit
dalam pemasarannya. Sebenarnya, faktor harga jual yang rendah pun
menyebabkan petani enggan untuk menanam kedelai. Untuk itu, ketika harga
kedelai melonjak justru lebih banyak disuarakan oleh para konsumen dan
produsen tahu serta tempe.
Sebaliknya, petani justru berharap pada harga yang layak dibandingkan
dengan rata-rata Rp 5.000 per kg di tingkat petani saat ini. Berbagai faktor
yang kurang menunjang peningkatan produksi tersebut adalah akibat dari
dibukanya keran impor kedelai sejak satu dekade silam. Indonesia pernah
swasembada kedelai pada 1992 dengan proteksi. Tetapi setelah krisis moneter
1998, Dana Moneter Internasional (IMF) mendikte Indonesia agar tidak
memberikan proteksi kepada kedelai. Dengan konsumsi kedelai dalam negeri
yang mencapai 1,9 juta ton per tahun, hal itu menjadi peluang bisnis yang
sangat menguntungkan. Dalam letter of intent (LoI) IMF, proteksi impor yang
selama ini dipegang Badan Urusan Logistik (Bulog) harus dihapuskan
sehingga impor bisa masuk. Awalnya, kemampuan impor kedelai Indonesia
tidak terlalu besar karena kapasitas finansialnya terbatas, sedangkan produksi
kedelai di negara-negara produsen berlimpah.
Sejauh ini harus diakui bahwa hampir tidak ada kebijakan pemerintah yang
menyentuh persoalan tata niaga kedelai yang pada praktiknya hanya dikuasai
segelintir orang. Menurunkan dan menaikkan bea masuk (BM) hanyalah cara
jangka pendek untuk mensiasati situasi darurat. Setelah itu, pemerintah
kembali berkutat pada program peningkatan produksi. Praktik kartel yang
sudah diketahui banyak kalangan elit bangsa ini, termasuk DPR pun, nyaris
tidak mampu dicarikan solusinya. Pola yang mirip ada pada impor beras, gula,
garam, dan produk impor lainnya.
Sebenarnya, Indonesia mampu memproduksi sendiri berbagai komoditas
pertanian yang terlanjur diimpor. Persoalannya terletak pada kemauan para
pemimpin bangsa ini dalam bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) selama bulan Januari-Juni 2011
menunjukkan bahwa impor pangan Indonesia mencapai 11,33 juta ton dengan
nilai sekitar Rp 45 triliun. Komoditas impor itu bervariasi, seperti beras,
jagung, kedelai, dan terigu. Angka tersebut menunjukkan betapa negara yang
tergolong miskin anggaran ini, terpaksa menguras segala sumber daya untuk
membayar komoditas impor yang seharusnya bisa diproduksi sendiri.