UJI POTENSI AKTIVITAS LARVASIDA LARUTAN...
-
Upload
truongquynh -
Category
Documents
-
view
221 -
download
0
Transcript of UJI POTENSI AKTIVITAS LARVASIDA LARUTAN...
35
UJI POTENSI AKTIVITAS LARVASIDA LARUTAN EKSTRAK BAWANG
PUTIH (ALLIUM SATIVUM LINN) TERHADAP LARVA VEKTOR FILARIASIS
CULEX SP SECARA IN VITRO
Oleh
Siti Zulaikah
Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya larvasida dari ekstrak bawang
putih (Allium sativum Linn) terhadap pertumbuhan larva Culex sp. Penelitian ini
merupakan penelitian dengan rancangan true experimental-post test only control group
design. Hewan coba yang digunakan adalah larva Culex sp pada instar 3 dan 4.
Konsentrasi larutan ekstrak yang digunakan adalah 0 ppm (kontrol negatif), 500 ppm,
1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Hasil yang didapatkan , tidak
terdapat larva yang mati pada kontrol negative. Dan didapatkan kematian larva sebanyak
11,5 % pada konsentrasi 500 ppm dan 15 %, 23,5 %, 30 %, 38,5 %, 41,5 % berturut turut
1000 ppm, 1500 ppm,2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm. Data yang didapatkan dianalisa
dengan Uji One Way ANOVA (α < 0,05) untuk mengetahui signifikansi rata-rata daya
larvaasida perlakuan terhadap kontrol. Didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,007 . uji
post hoc Duncan menunjukkan bahwa antara kontrol negative dengan perlakuan
konsentrasi 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm terdapat perbedaan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat efek larvasida dari ekstrak bawang putih
terhadap pertumbuhan larva Culex sp.
Kata kunci :Culex sp, ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn), Larvasida
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara tropik mempunyai kelembaban dan suhu optimal yang
menguntungkan bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan larva, dan penularan parasit.
Oleh karenanya penyakit yang disebabkan oleh parasit banyak dijumpai. Penularannya
dapat melalui kontak langsung atau tidak langsung, melalui makanan, air, tanah, hewan
vertebrata, dan vektor arthropoda (Lane, 1995).
Nyamuk Culex sp. termasuk kelas Insecta, ordo Diptera dan famili Culicidae.
Terdapat lebih dari 2500 spesies nyamuk di seluruh dunia. Jumlah spesies di daerah
tropik lebih banyak dibandingkan dengan di daerah dingin. Nyamuk Culex sp. selain
dapat mengganggu manusia dan binatang melalui gigitannya, juga dapat berperan sebagai
vektor penyakit pada manusia dan binatang (Staf Pengajar Parasitologi, 2000). Penyakit
kaki gajah (Filariasis), Chikungunya dan Japanese B Encephalitis adalah penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk Culex sp. sebagai vektor atau perantara penularannya (Ganguly,
2003).
Data yang didapatkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Propinsi Jawa Timur, pada
beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung mengalami
peningkatan jumlah kasus maupun kematiannya. Kasus Filariasis di Jawa Timur telah
dilaporkan sejak tahun 1981 di Kabupaten Malang, kemudian tahun 1992 dilaporkan
36
sebanyak 27 kasus terdapat di 7 kabupaten/kota, kemudian pada tahun 2003 dilaporkan
sebanyak 175 kasus yang menyebar di 32 kabupaten/kota (Huda, 2005).
Faktor penyebab timbulnya masalah adalah karena semakin berkurangnya
kepedulian masyarakat terhadap masalah kesehatan lingkungan yang merupakan tempat
berkembangbiaknya nyamuk penular penyakit tersebut, sehingga secara tidak langsung
dapat meningkatkan jumlah kasus penyakit-penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
Terlebih sejak otonomi daerah dukungan finansial untuk pemberantasan penyakit yang
ditularkan nyamuk semakin berkurang, karena prioritas pembangunan daerah-daerah
ternyata lebih diarahkan ke sektor lain (Huda, 2005).
Pengendalian nyamuk memegang peran penting dalam upaya penanggulangan
Mosquito Born Disease. Pengendalian nyamuk bisa dilakukan dengan berbagai cara,
salah satu yang paling sederhana dan sering dilakukan masyarakat adalah penggunaan
insektisida (Utama, 2003).
Insektisida adalah bahan yang mengandung persenyawaan kimia yang digunakan
untuk membunuh serangga baik bentuk dewasa maupun bentuk larva. Terdapat berbagai
macam golongan insektisida buatan, antara lain karbamat (sulfur organik), klorin organik
dan fosfor organik. Dalam hal efektivitas, sebenarnya kemampuan insektisida-insektisida
tersebut tidak diragukan lagi. Permasalahannya adalah selain toksik terhadap serangga,
ternyata insektisida-insektisida tersebut juga mempunyai efek terhadap manusia (Staf
Pengajar Parasitologi, 2000). Pencemaran lingkungan, biological magnification pada
rantai makanan dengan segala akibatnya, serta penyakit degenerasi dan keganasan
semakin banyak dilaporkan (Utama, 2003).
Pemakaian insektisida secara terus menerus juga dapat mengakibatkan keracunan
pada manusia, hewan ternak, polusi lingkungan, dan serangga menjadi resisten. Pada
umumnya nyamuk diberantas dengan cara penyemprotan menggunakan insektisida
sintesis sebagai racun serangga. Obat nyamuk semprot, obat nyamuk bakar, atau obat anti
nyamuk yang dioleskan, tentunya mengandung insektisida yang mengandung beberapa
senyawa kimia. Bagi warga yang tidak tahan, insektisida ini menimbulkan bau yang
menyengat dan bisa menimbulkan sesak napas atau alergi pada kulit sehingga akan
berpengaruh terhadap kesehatan (Rinjani, 2007).
Salah satu cara pemberantasan Culex sp yang dapat dilakukan secara sederhana
dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan adalah pemberantasan larva
menggunakan senyawa kimia alami. Oleh karena itu, perlu diupayakan adanya insektisida
alternatif yang berupa senyawa kimia alami yang berasal dari tumbuh-tumbuhan serta
ramah lingkungan.
Tanaman merupakan sumber komponen kimia yang sampai saat ini manfaat
setiap komponennya belum semua terungkap. Gerakan back to nature atau gerakan hidup
sehat dengan kembali ke alam sangat mendorong ke arah penggunaan tanaman sebagai
bahan obat, kosmetik, pestisida, ataupun kebutuhan keluarga lainnya (Kardinan, 2003).
Banyak tumbuhan yang diduga dapat membunuh larva nyamuk. Salah satu
tumbuhan yang di duga bisa membunuh larva nyamuk adalah bawang putih. Bawang
putih juga telah digunakan di banyak negara untuk membasmi nyamuk pada tempat
perindukannya. Siklus hidup nyamuk di antaranya terdiri dari stadium larva yang terdapat
dalam genangan air. Minyak dari bawang putih dalam konsentrasi yang sangat rendah
dicampur dengan bahan detergen dan disemprotkan diatas permukaan air. Campuran ini
menyebabkan penggumpalan struktur struktur protein tertentu sehingga larva tersebut
mati sebelum dewasa. Efektivitas bawang putih sebagai insektisida pada kebun-kebun
domestik mungkin terjadi akibat proses yang sama (Roser, 1997). Menurut penelitian,
larutan bawang putih dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh larva Aedes aegypti
(Sulistyoningsih et al, 2009).
37
Dari uraian di atas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian tentang
efektivitas bawang putih dalam membunuh larva nyamuk Culex sp secara in vitro. Hal ini
perlu dilakukan untuk membuktikan efektifitas larvasida dari bawang putih tersebut,
sehingga diharapkan ekstrak bawang putih dapat digunakan sebagai bahan bioinsektisida
alternatif untuk mengurangi kejadian filariasis.
Berdasarkan uraian di atas permasalahan dalam penelitian ini adalah Apakah
ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dapat membunuh larva nyamuk Culex sp?
Dan Berapakah konsentrasi terefektif dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn)
yang dapat membunuh larva nyamuk Culex sp?
Tinjauan Pustaka
Penyakit Filariasis
Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang
ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab
Filariasis yaitu: Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori . Semua spesies
tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia
disebabkan oleh Brugia malayi (Kemenkes, 2010). Penyakit filariasis disebut juga
elephantiasis atau kaki gajah. Infeksi penyakit ini terutama pada bagian tungkai atau
tangan yang menyebabkan pembengkakan dan deformasi organ tubuh. pembengkakan
dan deformasi organ terjadi karena bentuk dewasa parasit cacing filaria ( umumnya
adalah Wuchereria bancrofti ) yang hidup dalam kelenjar betah bening pada bagian
tungkai. Karena parasit tersebut menutup sistem getah bening, timbunan kelenjar getah
bening mengalami akumulasi (Sembel, 2009).
Penyakit kaki gajah (Filariasis) terdapat hampir di seluruh dunia terutama di
daerah tropis dan beberapa daerah sub tropis. Pada tahun 2004, filariasis telah
menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia. Sedangkan di Asia
filariasis menjadi penyakit endemik di Indonesia, Myanmar, India dan Srilanka
(Widoyono, 2008).
Filariasis dapat ditularkan oleh seluruh jenis spesies nyamuk. Di Indonesia
diperkirakan terdapat lebih dari 23 spesies vektor nyamuk penular filariasis yang terdiri
dari genus Anopheles, Aedes, Culex, Mansonia, dan Armigeres. Untuk menimbulkan
gejala klinis penyakit filariasis diperlukan beberapa kali gigitan nyamuk terinfeksi filaria
dalam waktu yang lama (Kemenkes, 2010).
Filariasis menjadi masalah kesehatan masyarakat dunia sesuai dengan resolusi
World Health Assembly (WHA) pada tahun 1997. Program eleminasi filariasis di dunia
dimulai berdasarkan deklarasi WHO tahun 2000. Di Indonesia program eliminasi
filariasis dimulai pada tahun 2002. Untuk mencapai eliminasi, di Indonesia ditetapkan
dua pilar yang akan dilaksanakan yaitu: Memutuskan rantai penularan dengan pemberian
obat massal pencegahan filariasis (POMP filariasis) di daerah endemis dan Mencegah dan
membatasi kecacatan karena filariasis (Kemenkes, 2010).
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis akibat infeksi dengan cacing ini terbentuk beberapa bulan
sampai beberapa tahun setelah infeksi, tetapi ada beberapa orang yang hidup di daerah
endemis tetap asimptomatik selama hidupnya. Mereka yang menunjukkan gejala akut
biasanya mengeluh demam, lymphangitis, lymphadenitis, orchitis, sakit pada otot,
anoreksia, dan malaise. Tidak jarang ditemukan adanya eosinofilia dan mikrofilaremia
(Sandjaja, 2007).
Cacing dewasa yang mati biasanya menimbulkan reaksi peradangan sampai
terjadi nekrosis. Pada keadaan ini lumen pembuluh limfe tersumbat dan pada saat yang
38
bersamaan terjadi fibrosis di sekitar cacing yang mati tadi. Microfilaria cacing ini
biasanya melekat erat di antara vena dan arteri di paru. Hal ini yang diperkirakan menjadi
sebab timbulnya periodisitas. Mikrofilaria yang masih hidup umumnya tidak
menimbulkan kerusakan, namun bila mikrofilaria ini mati dan mengalami disintegrasi,
terjadilah peradangan akut sebagai reaksi imunologis dari tubuh (Sandjaja, 2007).
Elephantiasis tidak terjadi pada setiap orang yang terinfeksi. Hanya pada mereka
yang hipersensitif elephantiasis ini dapat terjadi, namun tidak ditemukan adanya
mikrofilaria dalam darahnya. Kemungkinan hipersensitifitas ini yang menyebabkan
mikrofilaria tidak terbentuk atau difagositosis. Elephantiasis kebanyakan terjadi di daerah
genital dan tungkai bawah yang biasanya diikuti infeksi sekunder dengan fungi dan
bakteri. Suatu sindrom yang khas terjadi pada infeksi dengan Wuchereria bancrofti
dinamakan Weingartner’s syndrome atau tropical pulmonary eosinophilia (Sandjaja,
2007).
Gejala Filariasis
Gejala klinis akut berupa demam berulang-berulang selama 3-5 hari, demam
dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat. Pembengkakan kelenjar
getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiak (lymphadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit. Radang saluran kelenjar getah bening terasa panas dan sakit
yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis) (Zulkoni, 2010).
Gejala klinis yang kronis berupa pembesaran yang menetap pada tungkai
(elephantiasis), lengan, buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti), dan pembesarn
tersebut dapat pecah, mengeluarkan darah dan nanah (Zulkoni, 2010).
Semua jenis nyamuk membutuhkan air untuk kelangsungan hidup karena larva-
larva (jentik-jentik) nyamuk melanjutkan hidupnya di air dan hanya bentuk dewasa yang
hidup di darat. Nyamuk betina biasanya memilih tipe air tertentu untuk meletakkan
telurnya di permukaan air, ada yang meletakkan telur pada air bersih, air kotor, air payau,
atau tipe air lainnya. Bahkan ada nyamuk yang meletakkan telurnya pada axil tanaman,
lubang kayu, tanaman yang berkantung yang dapat menampung air, atau dalam kontainer-
kontainer bekas yang menampung air hujan atau air bersih (Sembel, 2009).
Telur nyamuk menetas dalam air dan menjadi larva atau jentik. Larva-larva
nyamuk hidup dengan memakan organisme-organisme kecil, tetapi ada juga yang bersifat
sebagai predator seperti larva Toxorhynchites sp yang memangsa jenis nyamuk lainnya
yang hidup di dalam air. Kebanyakan nyamuk betina harus menghisap darah manusia
atau hewan lain seperti kuda, sapi, babi, dan burung dalam jumlah yangcukup sebelum
perkembanagan telurnya terjadi. Bila tidak mendapatkan cairan darah yang cukup,
nyamuk betina ini akan mati. Namun ada jenis nyamuk yang bersifat spesifik dan hanya
menggigit manusia atau mamalia. Bentuk jantan nyamuk biasanya hidup dengan
memakan cairan tumbuhan. Tingkah laku dan aktivitas nyamuk pada saat terbang
berbeda-beda menurut jenisnya (Sembel, 2009).
2). Siklus Hidup Nyamuk Culex sp
Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorphosis
sempurna dengan bentuk siklus hidup berupa telur, larva (beberapa instar), pupa, dan
dewasa. Perbedaan siklus hidup nyamuk-nyamuk Culex, Anopheles, dan Aedes dapat
disimak melalui gambar 1
39
Sumber ; Sembel, 2009
Gambar 1 Perbedaan dalam gambar siklus hidup nyamuk Culex pipiens,
Anopheles maculipennis dan Aedes aegypti
a. Telur
Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air satu per satu atau dalam
kelompok. Telur-telur dari jenis Culex dan Culiseta, telur-telurnya biasa diletakkan
berkelompok (Raft). Dalam satu kelompok biasa terdapat puluhan atau ratusan butir telur
nyamuk. Telur dapat bertahan hidup dalam waktu yang cukup lama dalam bentuk
dorman. Namun, bila air cukup tersedia, telur-telur itu biasanya menetas 2-3 hari setelah
diletakkan (Sembel, 2009).
b. Larva
Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Berbeda dengan
larva dari anggota-anggota dipteral yang lain seperti lalat yang larvanya tidak bertungkai,
larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup
jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air.
Untuk mendapatkan oksigen dari udara, jentik-jentik nyamuk Culex dan Aedes
menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Kebanyakan larva
nyamuk menyaring mikroorganisme dan partikel-partikel lainnya dalam air. Larva
biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 hari
(Sembel, 2009).
Gambar 2 morfologi dari Larva nyamuk Culex sp.
Sumber : http://www.en.wikipedia.org/wiki/culex
c. Pupa
Sesudah melewati pergantian kulit ke empat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk
agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu.
Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa
40
sudah sempurna, yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk
dewasa keluar serta terbang (Sembel, 2009).
d. Dewasa
Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan
air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu
mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan
istirahat bentuk dewasa dari Culex dan Aedes hinggap dalam keadaan sejajar dengan
permukaan, sedangkan Anopheles hinggap tegak lurus dengan permukaan (Sembel,
2009).
3).Morfologi Larva Culex sp.
Larva Culex sp tubuhnya terdiri dari kepala, toraks (3 ruas/segmen), abdomen (10
ruas), siphon, dan ruas anal. Pada ruas abdomen VIII terdapat duri-duri (comb teeth) yang
berjumlah lebih dari dua baris. Siphon berbentuk seperti
kerucut, langsing dan panjang. Bulu siphon (hairtuft) terdapat lebih dari satu pasang.
Pada ujung siphon terdapat alat pernapasan (Pusarawati et al, 2008).
4).Tempat Perkembangbiakan Nyamuk Culex sp.
Nyamuk Culex sp ada yang aktif pada waktu pagi, siang, dan ada yang aktif pada
waktu sore atau malam. Nyamuk-nyamuk ini meletakkan telur dan berbuak di selokan-
selokan yang berisi air bersih ataupun selokan air pembuangan domestik yang kotor (air
organik), serta di tempat-tempat penggenangan air domestik atau air hujan di atas
permukaan tanah. Jentik-jentik nyamuk Culex sering kali terlihat dalam jumlah yang
sangat besar di selokan-selokan air kotor. Jenis nyamuk seperti Culex pipien dapat
menularkan penyakit filariasis, ensefalitis, dan virus chikungunya (Sembel, 2009).
Bawang Putih (Allium sativum Linn)
\
Gambar 3. gambar umbi bawang putih
Sumber : www.wikipedia.org/wiki/bawangputih
Bawang putih mempunyai nama latin Allium sativum Linn. Allium sativum Linn
termasuk family Amaryllidaceae, golongan spermatophyte, subgolongan Angiospermae,
ordo Lilliflorae, dan kelas Monocotyledone (tanaman berkeping satu).
Tanaman bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh
tegak dan bisa mencapai ketinggian 30-60 cm. Disebabkan letaknya yang tersebar di
seluruh dunia, orang menyebutnya berbeda-beda, tergantung dari bahasa yang dipakai di
41
wilayah tersebut. Di Indonesia karena bahasa daerah yang ada cukup banyak, sebutan
untuk bawang putih juga banyak antara lain bawang bodhas (Sunda), bhabang pote
(Madura), lasuna (Karo), dasun putih (Minang), lasuna (Bali), bawang pulak, lasuna
moputih, pia moputi, lasuna kebo, kosai boti, bawa de are (Halmahera), bawa fiufer
(Irian jaya). Sementara dalam bahasa Inggris, umbi ini dikenal dengan nama Garlic
(Syamsiah dan Tajudin, 2003).
Bawang putih bukan merupakan bahan asing. Hampir semua masakan yang ada
di nusantara ini memakai umbi berwarna putih ini sebagai penyedap rasa. Di dunia
pengobatan tradisional, bawang putih juga sudah dikenal, bahkan sering dipakai
masyarakat kita. Bawang putih sebenarnya bukan tanaman asli Indonesia. Tanaman ini
diperkirakan berasal dari Asia Tengah, seperti Jepang dan Cina yang beriklim subtropik.
Dari sini, bawang putih menyebar ke seluruh Asia, Eropa, dan akhirnya ke seluruh dunia.
Di Indonesia, bawang putih dibawa oleh pedagang Cina dan Arab, kemudian di
budidayakan di daerah pesisir atau daerah pantai. Seiring dengan berjalannya waktu
kemudian masuk ke daerah pedalaman dan akhirnya bawang putih akrab dengan
kehidupan masyarakat Indonesia (Syamsiah dan Tajudin, 2003).
Sebagai bahan obat-obatan, umbi bawang putih berkhasiat menyembuhkan penyakit
tekanan darah tinggi (hipertensi), penyakit kencing manis (diabetes), penyakit infeksi
saluran pernafasan, penyakit cacingan, penyakit infeksi pada usus, penyakit infeksi pada
kulit, luka gigitan binatang berbisa, penyakit batuk, gatal-gatal, penyakit tipus, penyakit
meningitis karena jamur Erytococcus neoformens, penyakit kelamin (gonorhoe), penyakit
maag, penyakit infeksi pada vagina karena jamur Candidas albicans, penyakit kanker, dan
mata bengkak karena angin (Samadi, 2000).
Bawang putih adalah antibiotik dengan spektrum luas. Ia membunuh varietas luas
bakteri, baik bakteri gram positif maupun gram negatif. Dr. tariq Abdulah, seorang tokoh
peneliti dari Akbar Klinik and Research Center di Panama City, Florida, mengatakan
dalam majalah Prevention bulan Agustus 1987: " bawang putih mempunyai spektrum
paling luas dibanding anti mikroba yang sudah kita kenal, ia adalah anti bakteri, anti
jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus (Benedict, 2006).
Bawang putih yang dikeringkan yang digunakan sebagai ramuan memiliki bau
menyengat dan panas alaminya mampu memproduksi efek terapi melalui meridian-
meredian paru-paru, limpa dan perut dan dapat menyembuhkan edema dan
pembengkakan, menawarkan keracunan, membunuh parasit, mengeluarkan dahak dan
meningkatkan keluarnya urin ( Fuchun dan Yuhua, 2002).
1).Karakteristik Tanaman Bawang Putih (Allium sativum Linn)
Bawang putih bisa ditemukan dalam bentuk terna (bergerombol), tumbuh tegak,
dan bisa mencapai ketinggian 30-60 cm. Daun bawang putih berupa helai-helai (seperti
pita) memanjang ke atas. Jumlah daun setiap tanaman bisa mencapai lebih dari 10 helai.
Bentuknya pipih rata, tidak berlubang, berbentuk runcing di ujung atasnya, dan agak
melipat ke dalam ( kearah panjang atau membujur), serta membentuk sudut di permukaan
bawahnya. Pelepah atau kelopak daun ini tipis tetapi kuat, membungkus kelopak daun
yang lebih muda yang berada di bawahnya, sehingga membentuk batang semu yang
panjang. Batang bawang putih merupakan batang semu yang panjang ( bisa mencapai 30
cm) dan tersusun dari pelepah daun yang tipis tetapi kuat. Pelepah daun pada dasarnya
juga kelopak daun, membungkus kelopak-kelopak daun yang lebih muda yang berada di
bawahnya hingga pusat batang pokok dan membentuk batang semu yang tersembul
keluar. Batang pokok tanaman ini sebenarnya merupakan batang pokok tidak sempurna
(rundimeter) dengan pangkal atau bagian dasarnya berbentuk cakram. Akar bawang putih
terletak di batang pokok, tepatnya di bagian dasar umbi atau pangkal umbi yang terbentuk
42
cakram. Sistem perakarannya berupa akar serabut (monokotil) yang pendek-pendek dan
menghujam kedalam tanah tidak terlalu dalam, sehingga mudah goyah oleh angin dan air
yang berlebihan (Syamsiah dan tajudin, 2003).
Di dekat batang pokok bagian bawah, tepatnya antara daun muda dekat pusat
batang pokok, terdapat tunas-tunas. Dari tunas inilah akan tumbuh umbi-umbi kecil yang
disebut suing. Siung ini tumbuh secara bergerombol membentuk umbi. Umbi bawang
putih berbentuk mirip gasing. Setiap umbi mempunyai 3-36 siung. Bunga bawang putih
berupa bunga majemuk, bertangkai, berbentuk bulat, dan menghasilkan biji untuk
keperluan generatif (Syamsiah dan tajudin, 2003).
2).Kandungan Kimia Bawang Putih
Bawang putih mengandung minyak asiri yang sangat mudah menguap di udara
bebas. Minyak asiri dari bawang putih ini diduga mempunyai kemampuan sebagai
antibakteri dan antiseptik. Sementara zat yang diduga berperan memberi aroma yang khas
adalah alisin karena alisin mengandung sulfur dengan struktur tidak jenuhdan dalam
beberapa detik saja akan terurai menjadi senyawa dialil-disulfida. Di dalam tubuh, alisin
merusak protein kuman penyakit, sehingga kuman penyakit tersebut mati. Alisin
merupakan zat aktif yang mempunyai daya antibiotika cukup ampuh. Banyak yang
membandingkan zat ini dengan si raja antibiotik, yakni penisilin. Bahkan, banyak yang
menduga kemampuan alisin 15 kali lebih kuat daripada penisilin (Syamsiah dan tajudin,
2003).
Scordinin berperan sebagai enzim pertumbuhan dalam proses germinasi
(pembentukan tunas) dan pengeluaran akar bawang putih. Scordinin diyakini dapat
memberikan atau meningkatkan daya tahan tubuh (stamina) dan perkembangan tubuh.
Hal ini disebabkan kemampuan bawang putih dalam bergabung dengan protein dan
menguraikannya, sehingga protein tersebut mudah dicerna oleh tubuh (Syamsiah dan
Tajudin, 2003).
Kandungan kimia lain yang ada dalam bawang putih per 100 g sebagai berikut
(1) air dengan jumlah 66,2-71,0 g, (2) kalori 95,0-122 kal, (3) kalsium yang bersifat
menenangkan sehingga cocok sebagai pencegah hipertensi, sebesar 26-42 mg, (4)
saltivine yang bisa mempercepat pertumbuhan sel dan jaringan serta merangsang susunan
sel, (5) sulfur 60-120 mg, (6) protein 4,5-7 g, (7) lemak 0,2-0,3g, (8) karbohidrat 23,1-
24,6 g. (9) fosfor 15-109 mg, (10) besi 1,4-1,5 mg, (11) vit A,B, dan C, (12) kalium 346-
377 mg, (13) selenium, (14) scordinin (Syamsiah dan tajudin, 2003).
Kerangka Konsep
Berdasarkan teori yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disajikan dalam
kerangka konsep uji potensi aktivitas larvasida larutan bawang putih (Allium sativum
Linn) terhadap larva vektor filariasis Culex sp secara in vitro :
43
Keterangan : : variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
Dr. tariq Abdulah, seorang tokoh peneliti dari Akbar Klinik and Research Center
di Panama City, Florida, mengatakan dalam majalah Prevention bulan Agustus 1987 :
“bawang putih mempunyai spektrum paling luas dibanding anti mikroba yang sudah kita
kenal, ia adalah anti bakteri, anti jamur, anti parasit, anti protozoa dan anti virus”
(Benedict, 2006).
Minyak bawang putih juga telah digunakan di banyak negara untuk membasmi
nyamuk pada tempat perindukannya. Minyak bawang putih dalam konsentrasi yang
sangat rendah dicampur dengan bahan detergen dan disemprotkan diatas permukaan air.
Campuran ini menyebabkan penggumpalan struktur-struktur protein tertentu sehingga
larva tersebut mati sebelum dewasa. Efektivitas bawang putih sebagai insektisida pada
kebun-kebun domestik mungkin terjadi akibat proses yang sama (Roser, 1997).
Hipotesis
Ho : Tidak ada efek larvasida dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap
larva Culex sp.
Ha : Ada efek larvasida dari ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) terhadap larva
Culex sp.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang terdiri atas kelompok
perlakuan dan kelompok sampel. Dengan rancangan true experimental-post test only
control group design yaitu pengukuran dilakukan setelah diberikan perlakuan ekstrak
bawang putih. Dalam penelitian ini kelompok perlakuan adalah pemberian ekstrak
bawang putih.
Populasi dari penelitian ini adalah keseluruhan larva nyamuk Culex sp yang
diambil dari pembiakan larva nyamuk di laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya
Malang tahun 2014.
Sampel pada penelitian ini adalah larva nyamuk Culex sp yang diambil dari
laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya Malang yang diberi perlakuan dengan
pemberian ekstrak bawang putih. Tekhnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Bawang putih (Allium
sativum Linn)
antiparasit
Aedes sp Culex sp Anopheles
sp
antibakteri antioksidan
44
non probability sampling jenis purposive sampling, yaitu sampel yang diambil didasarkan
pada pertimbangan pribadi dari peneliti sendiri berdasarkan sifat populasi yang sudah
diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2005).
Penghitungan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan
rumus seperti dibawah ini :
Penghitungan besar sampel menggunakan rumus :
(pn-1) – (p-1) ≥ 15
(3n-1) – (3-1) ≥ 15
(3n-1) – (2) ≥ 15
3n – 2 ≥ 15 + 1
3n ≥ 15 + 1 + 2
3n ≥ 18
n ≥ 18/3 = 6 (Basuki , 2004 )
Ket :
p = Perlakuan
n = Jumlah sampel per perlakuan
Jadi jumlah sampel untuk tiap perlakuan adalah minimal 6. Total larva yang
digunakan pada penelitian kali ini adalah 20 ekor untuk tiap kelompok, sehingga sampel
keseluruhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 380 ekor larva.
Variabel penelitian terdiri dari:
a. Variabel Bebas, adalah pemberian beberapa konsentrasi ekstrak bawang putih
(Allium sativum Linn)
b. Variabel terikat, adalah Pertumbuhan Larva nyamuk Culex sp
c. Variabel pengganggu, adalah Suhu, Lama pemaparan dan Ph air.
Alat dan Bahan, antara lain;
a. Alat untuk membuat ekstrak bawang putih adalah; Oven,Neraca Analitik, Gelas,
Erlenmeyer, Corong gelas, Kertas saring whatman, Shaker, Labu evaporator, Labu
penampung etanol, Rotary Evaporator, Pendingin spiral,Selang water pump, Water
pump, Water bath, Vacuum pump, Vial (botol kaca).
b. Alat untuk uji larvasida, antara lain; Gelas plastik transparan, Kain kasa, Pipet filler,
Pipet tetes, Pipet Volume, Labu ukur, Beaker glass.
c. Bahan Penelitian, adalah; Larva nyamuk Culex sp, Ekstrak bawang putih segar
dengan konsentrasi 500 ppm, 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm
dan Aquadest.
Metode pengumpulan data, yaitu; Sampel yang berupa larva Culex sp diambil
dari laboratorium Parasitologi Universitas Brawijaya Malang. Penelitian ini
menggunakan data primer yang meliputi pengujian variasi konsentrasi larutan bawang
putih terhadap jumlah kematian larva Culex sp. Metode yang digunakan yaitu
eksperimental laboratory, yaitu melihat hasil pemberian ekstrak terhadap pertumbuhan
larva nyamuk Culex sp.
Metode analisis data yang dipilih yaitu metode eksperimental, maka data-data
hasil yang telah diperoleh, dikelompokkan dan dimasukkan dalam tabel dan diuji
kemaknaannya dengan menggunakan Uji One Way ANOVA untuk menggambar grafik
dan meramal nilai variabel numerik dengan nilai variabel numerik lainnya. Variabel yang
ingin diprediksi adalah variabel tergantung, sedang yang diukur adalah variabel bebas.
45
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pengamatan efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) sebagai
larvasida Culex sp
Penelitian uji larvasida in vitro ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas ekstrak
bawang putih (Allium sativum Linn) dengan berbagai konsentrasi (500 ppm, 1000 ppm,
1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm) terhadap larva Culex sp dengan melihat
banyaknya larva yang mati setelah dipapar larutan ekstrak bawang putih selama 2 x 24
jam.
Tabel 1 Rata-rata larva yang mati setelah 2 x 24 jam
Keterangan : Kontrol negatif (-) : perlakuan tanpa pemberian ekstrak bawang putih
Hasil dari efektivitas larvasida ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) dilihat
dari banyaknya larva yang mati. Hasil pengamatan efektivitas larvasida disajikan pada
tabel 1 diatas. Setelah data diatas di uji ke normalannya dengan uji normalitas data,
didapatkan hasil uji normalitas 0,065 ( p > α ) (lihat lampiran 3). Data hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antar data. Maka, dapat
disimpulkan bahwa data terdistribusi secara normal.
Hasil pada tabel menunjukkan bahwa konsentrasi terkecil yang memperlihatkan efek
larvasida yaitu 500 ppm dengan jumlah larva mati rata-rata 11,5 %. Selanjutnya pada
konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, rata-rata jumlah larva mati
berturut-turut 15 %, 23,5%, 30%, 38,5%. Sedangkan pada konsentrasi 3000 ppm jumlah
rata-rata larva mati yaitu 8 atau 41,5%. Data hubungan antara konsentrasi ekstrak bawang
putih dengan jumlah larva Culex sp yang mati pada tabel 1 diatas diperjelas dengan
gambar grafik 1. Pada grafik 1 dapat dilihat bahwa perlakuan kontrol negatif tidak
terdapat larva yang mati. Ini menandakan bahwa penggunaan aquades tidak memberikan
efek apa-apa terhadap pertumbuhan larva Culex sp dan semakin tinggi konsentrasi larutan
ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) semakin meningkat hasil prosentrase jumlah
rata-rata larva mati.
Sehingga hubungan antara peningkatan konsentrasi ekstrak bawang putih
berbanding lurus dengan jumlah rata-rata larva mati. Hal ini bisa dilihat pada grafik 4.1.
Konsentrasi
(PPM)
Jumlah Larva Pengulangan Rata-
rata
Rata-rata
(%) 1 2 3
kontrol - 20 0 0 0 0 0
500 20 3 2 2 2,3 11,5
1000 20 4 3 2 3,0 15
1500 20 6 4 4 4,7 23,5
2000 20 8 5 5 6,0 30
2500 20 12 7 4 7,7 38,5
3000 20 5 13 7 8,3 41,5
46
Gambar 1 Grafik Hubungan Konsentrasi Ekstrak Bawang Putih dan Prosentase rata-
rata Jumlah Kematian Larva Culex sp
Pada konsentrasi 500 ppm sudah terlihat efek larvasida dari larutan ekstrak
bawang putih bila dibandingkan dengan kontrol negatif. Pada konsentrasi terkecil sudah
bisa menyebabkan kematian larva kemungkinan disebabkan karena kurangnya kandungan
oksigen dalam air sehingga larva kesulitan untuk bernafas hingga menyebabkan kematian
larva. Jika dibandingkan antar konsentrasi, persentase terlihat semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn).
Analisa Data
Data efek larvasida ekstrak bawang putih terhadap kematian larva Culex sp
dianalisis menggunakan program SPSS 16.0 dengan Uji One Way ANOVA. Uji One
Way ANOVA digunakan untuk mengetahui signifikansi rata-rata daya larvasida
perlakuan terhadap kontrol. Dari Uji One Way ANOVA didapatkan nilai p sebesar 0,007.
Maka, p < α sehingga terdapat perbedaan kadar bawang putih diantara ketujuh perlakuan.
Kemudian untuk mengetahui signifikansi perbedaan tiap-tiap kelompok perlakuan
dilakukan Uji Post Hoc Duncan.
Tabel 2 Hasil Uji Duncan Daya Larvasida Ekstrak Bawang Putih
Kelompok
perlakuan
N Subset for alpha = 0.05
1 2 3
kontrol 3 0.0000
500 ppm 3 2.3333 2.3333
1000 ppm 3 3.0000 3.0000
1500 ppm 3 4.6667 4.6667
2000 ppm 3 6.0000 6.0000
2500 ppm 3 7.6667
3000 ppm 3 8.3333
signifikansi 3 0.163 0.101 0.101
Keterangan :
N : Jumlah Pengulangan perlakuan
Kontrol : Perlakuan tanpa penambahan larvasida
Hasil analisa statistik yang ditunjukkan pada tabel 2 menunjukkan bahwa
kelompok perlakuan kontrol terdapat perbedaan signifikan dengan perlakuan pada
konsentrasi 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Yang mana ditunjukkan
dengan nilai yang terletak pada kolom yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa
0
12% 15%
24% 30%
39% 42%
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0 500 1000 1500 2000 2500 3000Jum
lah
larv
a ya
ng
mat
i
konsentrasi ekstrak bawang putih (PPM)
Prosentase Kematian Larva
% Kematian Larva
47
pemberian ekstrak bawang putih pada dosis 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000
ppm memberikan efek beda signifikan terhadap larva Culex sp dibandingkan dengan
kontrol negatif, 500 ppm dan 1000 ppm.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya perbedaan yang signifikan
antara larva Culex sp yang diberi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn )
dengan larva yang tidak diberi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn).
Tanaman bawang putih (Allium sativum Linn) yang digunakan pada penelitian ini
didapat dari pasar tradisional yang ada di Malang. Bagian tanaman yang digunakan
adalah bagian umbi. Umbi tanaman tersebut diiris tipis kemudian dikeringkan di oven
hingga kering. Setelah itu umbi yang sudah kering tadi di haluskan dengan cara di blender
hingga didapatkan serbuk bawang putih yang siap digunakan untuk pembuatan ekstrak
bawang putih yang digunakan untuk keperluan penelitian.
Hewan coba yang digunakan pada penelitian ini adalah larva nyamuk Culex sp
pada instar 3 atau 4 dengan keadaan sehat. Digunakan larva stadium 3 dan 4 karena pada
stadium ini larva sudah cukup besar sehingga sistem pertahanannya sudah cukup kuat
daripada larva instar 1 dan 2 . Dan demikian diasumsikan ekstrak yang dapat membunuh
larva instar 3 dan 4 dapat membunuh larva instar 1 dan 2. Jumlah hewan coba sebanyak
380 ekor larva masing masing perlakuan 20 ekor.
Pada penelitian ini digunakan ekstrak etanolik bawang putih (Allium sativum
Linn). Penggunaan larutan etanol sebagai pelarut dalam pengekstrakan bertujuan agar
didapatkan senyawa Allisin yang diduga mempunyai daya larvasida terhadap lava Culex
sp. Penggunaan larutan etanol dipilih karena sifat toksiknya yang lebih rendah daripada
pelarut lainnya seperti eter dan methanol.
Pada perlakuan kontrol negatif hanya diberi larutan aquades. Hal ini dilakukan
untuk menghilangkan asumsi bahwa larva mati karena pemberian aquades. Pada
perlakuan kontrol negative tidak didapatkan larva yang mati. Hal ini menandakan bahwa
penggunaan larutan aquades sebagai pelarut tidak memberi efek apapun terhadap larva
Culex sp.
Pada tiap-tiap pengulangan di masing-masing konsentrasi didapatkan hasil yang
tidak sama. Hal ini bisa disebabkan karena kondisi tiap-tiap larva yang berbeda-beda.
Variabel-variabel pengganggu yang tidak diteliti bisa menjadi penyebab perbedaan tiap-
tiap pengulangan. Variabel pengganggu tersebut antara lain keadaan larva yang berbeda-
beda sebelum dilakukannya penelitian serta kondisi larva yang trauma akibat pemindahan
dengan menggunakan pipet. Variabel pengganggu ini yang diduga bisa menyebabkan
kematian larva pada dosis yang kecil. Larva yang mengalami trauma pada saat pemipetan
dapat terlihat dengan pergerakannya yang kurang aktif.
Uji larvasida dilakukan selama 2 x 24 jam. Selama 2 x 24 jam larva dipaparkan
dengan ekstrak bawang putih (Allium sativum linn) dengan berbagai dosis. Setelah 2x24
jam dilihat berapa banyak larva yang mati akibat pemaparan larutan ekstrak bawang
putih.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa hasil rata-rata larva yang mati setelah
pemaparan ekstrak bawang putih setelah 2 x 24 jam untuk semua perlakuan lebih tinggi
dari kontrol negatif. Pada hasil dapat dilihat konsentrasi terkecil dari pemberian ekstrak
bawang putih pada dosis 500 ppm mempunyai rata-rata larva yang mati sebanyak 11,5 %.
Pada konsentrasi 1000 ppm, 1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, 3000 ppm menimbulkan
kematian larva sebanyak berturut- turut 15%, 23,5%, 30%, 38,5%, dan 41,5%.
Pada tabel 1 juga menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol tidak terdapat
larva yang mati. Hal ini berbeda dengan kelompok-kelompok perlakuan lain yang terlihat
48
beberapa larva yang mati. Untuk membuktikan adanya perbedaan signifikan antara
kelompok kontrol dengan kelompok-kelompok perlakuan maka dilakukan Uji One Way
ANOVA. Setelah dilakukan Uji One Way ANOVA didapatkan nilai p sebesar 0,007
dengan α (0,05). Dengan nilai p kurang dari α maka tidak ada alasan untuk menerima Ho
dan menolak Ha. Maka terdapat perbedaan signifikan antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan.
Hasil Uji Duncan memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara berbagai konsentrasi hal ini dapat dilihat pada tabel 2 . Kelompok kontrol
mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok perlakuan dengan konsentrasi
1500 ppm, 2000 ppm, 2500 ppm, dan 3000 ppm. Kelompok konsentrasi 500 ppm dan
1000 ppm mempunyai perbedaan yang signifikan dengan kelompok konsentrasi 2500
ppm, dan 3000 ppm. Kelompok konsentrasi 2500 ppm dan 3000 ppm mempunyai
perbedaan yang signifikan dengan kelompok konsentrasi 500 ppm dan 1000 ppm.
Mekanisme larvasida dari bawang putih diduga diperankan oleh zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Kandungan allicin dan dialil sulphide memiliki sifat bakterisida
dan bakteristatik (Rukmana dalam Agnetha, 2005).
Allicin bekerja dengan cara
menggangu sintesis membran sel parasit sehingga parasit tidak dapat berkembang lebih
lanjut (Nok dalam Agnetha, 2005).
Allicin juga bersifat toksik terhadap sel parasit
maupun bakteri. Allicin bekerja dengan merusak sulfhidril (SH) yang terdapat pada
protein. (bawang putih) Diduga struktur membran sel larva terdiri dari protein dengan
sulfhidril (SH) Allicin akan merusak membran sel larva sehingga terjadi lisis. Toksisitas
allicin tidak berpengaruh pada sel mamalia karena sel mamalia memiliki glutathione yang
dapat melindungi sel mamalia dari efek allicin (Anki dalam Agnetha, 2005).
Berdasarkan
mekanisme tersebut maka allicin dapat menghambat perkembangan larva stadium 3
menjadi larva stadium 4 atau larva stadium 4 tidak akan berubah menjadi pupa dan
akhirnya mati karena membran selnya telah dirusak.
Garlic oil bekerja dengan mengubah tegangan permukaan air sehingga larva
mengalami kesulitan untuk mengambil udara dari permukaan air. Hal ini diduga
menyebabkan larva tidak mendapat cukup oksigen untuk pertumbuhannya sehingga
menyebabkan kematian larva (Tvedten dalam Agnetha, 2005).
Kandungan dari bawang putih lain yang diduga berperan dalam kematian larva
adalah flavonoid. Zat ini bekerja sebagai inhibitor pernapasan.
Flavonoid diduga
mengganggu metabolisme energi di dalam mitokondria dengan menghambat sistem
pengangkutan elektron. Adanya hambatan pada sistem pengangkutan elektron akan
menghalangi produksi ATP dan menyebabkan penurunan pemakaian oksigen oleh
mitokondria (Bloomquist dalam Agnetha, 2005).
Dengan demikian penelitian ini telah dapat membuktikan bahwa pemberian
ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn) memberikan perbedaan signifikan antara
kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Efek larvasida ekstrak bawang putih terhadap
Culex sp dapat dicapai dosis minimal 500 ppm dengan rata-rata kematian 11,5 % dan
dosis maksimal 3000 ppm dengan rata-rata kematian 41,5 %. Jumlah kematian larva
berhubungan dengan konsentrasi larutan ekstrak bawang putih (Allium sativum Linn ) .
Artinya, semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak bawang putih yang diberikan semakin
tinggi pula angka kematian larva.
49
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Terdapat daya larvasida dalam ekstrak bawang putih.
2. Konsentrasi yang terefektif yang dapat membunuh larva adalah pada konsentrasi 3000
ppm.
3. Terdapat hubungan yang berbanding lurus antara peningkatan konsentrasi ekstrak
dengan jumlah kematian larva. Artinya, semakin tinggi konsentrasi larutan ekstrak
bawang putih semakin tinggi pula tingkat kematian larva.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui dosis yang lebih efektif
untuk larvasida Culex sp.
2. Perlu dilakukan penelitian yang lebih lanjut untuk mengetahui kandungan dari bawang
putih yang mempunyai efek larvasida terhadap larva Culex sp.
3. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai pembuatan larvasida ekstrak bawang
putih yang lebih aplikatif untuk masyarakat.
4. Masyarakat harap menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Serta memberantas tempat
berkembang biak nyamuk. Sehingga bisa memutus siklus hidup nyamuk agar
menurunkan tingkat perkembang biakan nyamuk.
DAFTAR PUSTAKA
Agnetha, Andi Yuliana. 2005. Efek Ekstrak Bawang Putih (Allium Sativum L) Sebagai
Larvasida Nyamuk Aedes Sp.Jurnal Kedokteran Brawijaya.
Basuki N. 2004. Perhitungan Besar Sampel. Lembaga Penelitian Universitas
Airlangga Surabaya.
Bernasconi, G.et al. 1995. Teknologi Kimia. Jakarta. Pradnya Paramita.
Fuchun Wang, Duan Yuhua. 2002. Khasiat Jahe, Bawang Putih & Bawang Hijau
untuk Pengobatan Berbagai Penyakit. Jakarta .Prestasi Pustaka.
Gandahusada, Srisasi. (2000). Parasitologi Kedokteran edisi ke 3. Jakarta: EGC
Ganguly, N.K., Meddapa, N., Srivastava, V.K. 2003. Prospect of Using Herbal Products
in Control of Mosquito Vectors. ICMR Bulletin.
http://www.wikipedia.org/wiki/culex
Kardinan, Agus. 2003. Tanaman Pengusir dan Pembasmi Nyamuk. Jakarta: AgroMedia
Pustaka.
Kemenkes RI, Pusat Data dan Surveilans Epidemilogi. 2010. Filariasis di Indonesia,
volume 1. Jakarta.
Lane R, Crosskey. 1995. Medical Insect and Archnids, Rep. of Entomologi Chapman and
Hall : London UK.
Notoatmodjo, Soekidjo . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Pusarawati, Suhantam., Bariah I., Kusmartinawati., Indah S.T., Sukmawati B. 2009. Atlas
Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Rinjani .F. 2007. Ekstrak Serai, Pengusir Nyamuk Alamiah http://fattahrinjani.
multiply.com/journal/item / 7/ Ekstrak_Serai_Pengusir_ Nyamuk_Alamiah.
Roser, David. 1997. Bawang Putih Untuk Kesehatan, Cetakan Pertama. Jakarta: Bumi
Aksara.
50
Sandjaja, Bernardus. 2007. Parasitologi Kedokteran, buku kedua. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
Samadi, B. 2000. Usaha Tani Bawang Putih. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
Sembel, Dantje T, 2009. Entomologi Kedokteran.Yogyakarta: Andi offset
Staff Pengajar Parasitologi. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Sulistyoningsih, Dwi., Santosa, Budi., Sumanto, Didik., 2009. Efektivitas Larutan
Bawang Putih Dalam Membunuh Larva Aedes Aegypti. Jurnal kesehatan.
Syamsiah , iyam siti., Tajudin. 2005. Khasiat & manfaat bawang putih. Jakarta.
Agromedia Pustaka.
Utama,Andi. 2003. Nyamuk Transgenik, Strategi Baru Pengontrol Malaria,
http://www.beritaiptek.com/messages/artikel
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan
Pemberantasannya. Erlangga.
World Health Organization.2000. Preparing and Implementing a national plan to
eliminate lymphatic filariasis.Geneva