IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS...

14
1 IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA LALAPAN DAUN SELADA (Lactuca sativa L.) YANG DIJUAL DI KELURAHAN MADYOPURO KOTA MALANG TAHUN 2015 Oleh Agustiana Dwi I.V Akademi Analis Kesehatan Malang ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi lalapan daun selada yang terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan mengidentifikasi adanya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.). Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015. Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun selada, sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus. Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk mengetahui adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel. Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan. Hasil penelitian dapat disimpul;kan bahwa Terdapat telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.) yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 ABSTRACT The purpose is to review research singer determine the proportion of leaf lettuce vegetables contaminated by worm eggs Its intestinal nematodes and identify the presence of intestinal nematode eggs IN vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.). Research Populasai singer is whole leaf lettuce The vegetables sold in the village Madyopuro Malang Year 2015.Sample Research is mostly vegetables lettuce leaves as many as 20 samples What is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015. Research variables consisted From variable Free (Independent) is the lettuce leaf vegetables, while the bound variable (dependent) is their intestinal nematode worm eggs. The data collection techniques TIN Form Of Research Singer: The laboratory tests performed in the Laboratory of the Academy of Health Analyst Malang to review determine contamination intestinal nematode eggs ON sample. Data analysis is descriptive WITH Counting The sample proportion contaminated eggs intestinal nematode worms commercial articles displayed hearts Forms OR table diagram, discussion CONCLUSION As well taken. Results can be knotted; the worm eggs that are intestinal nematodes ON vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.) that is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015 PENDAHULUAN Penyakit cacingan biasa disebut dengan penyakit cacing perut, penyakit ini banyak sekali terjadi pada masyarakat terutama di daerah kumuh atau pedesaan. Penyakit

Transcript of IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS...

1

IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA LALAPAN DAUN

SELADA (Lactuca sativa L.) YANG DIJUAL DI KELURAHAN MADYOPURO

KOTA MALANG TAHUN 2015

Oleh

Agustiana Dwi I.V

Akademi Analis Kesehatan Malang

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi lalapan daun selada yang

terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan mengidentifikasi adanya telur cacing

nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.).

Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di

kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan

daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun

2015. Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun

selada, sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus.

Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji laboratorium

yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk mengetahui

adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel.

Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang

terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau

diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan. Hasil penelitian dapat disimpul;kan

bahwa Terdapat telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.)

yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015

ABSTRACT

The purpose is to review research singer determine the proportion of leaf lettuce

vegetables contaminated by worm eggs Its intestinal nematodes and identify the presence

of intestinal nematode eggs IN vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.).

Research Populasai singer is whole leaf lettuce The vegetables sold in the village

Madyopuro Malang Year 2015.Sample Research is mostly vegetables lettuce leaves as

many as 20 samples What is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015.

Research variables consisted From variable Free (Independent) is the lettuce leaf

vegetables, while the bound variable (dependent) is their intestinal nematode worm eggs.

The data collection techniques TIN Form Of Research Singer: The laboratory tests

performed in the Laboratory of the Academy of Health Analyst Malang to review

determine contamination intestinal nematode eggs ON sample.

Data analysis is descriptive WITH Counting The sample proportion

contaminated eggs intestinal nematode worms commercial articles displayed hearts

Forms OR table diagram, discussion CONCLUSION As well taken. Results can be

knotted; the worm eggs that are intestinal nematodes ON vegetables leaf lettuce (Lactuca

sativa L.) that is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015

PENDAHULUAN

Penyakit cacingan biasa disebut dengan penyakit cacing perut, penyakit ini

banyak sekali terjadi pada masyarakat terutama di daerah kumuh atau pedesaan. Penyakit

2

ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, berat badan, daya

konsentrasi dan kecerdasan anak, sehingga dapat menurunkan sumber daya manusia

(Onggowaluyo, 2002).

Tingginya prevalensi telur cacing parasit yang ditemukan pada siswa SD yang

terletak di sekitar IPAL Kota Malang adalah A. Lumbricoides yaitu sebesar 65,22%,

diikuti dengan telur E. Vermicularis sebesar 21,47%, kemudian T. trichiura sebesar

11,59%, dan prevalensi terkecil pada telur cacing A. duodenale sebesar 1,45% (Rahayu,

2006).

Jumlah infeksi cacingan yang sangat banyak di Asia Tenggara termasuk

Indonesia, di pengaruhi oleh kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi

sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan

pendidikan yang rendah (Kundain, 2012).

Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat kecacingan adalah anemia, obstruksi

saluran empedu, radang pankreas, usus buntu, alergi, dan diare, penurunan fungsi kognitif

(kecerdasan), kurang gizi, gangguan pertumbuhan, dan radang paru-paru (Widjaja 2014).

Sebagian besar penularan cacing melalui perantara tanah (Soil Transmited

Helminths). Sumber penularannya bisa melalui air dan lumpur yang digunakan dalam

budidaya sayuran. Tanah, sayur-sayuran, dan air merupakan media transmisi yang

penting. Kebiasaan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu)

penting dalam penyebaran infeksi (Suryani, 2012).

Kontaminasi (contamination) atau adanya agent menular pada permukaan

tubuh, pada atau dalam pakaian, termasuk semua yang berkaitan dengan tempat tidur

(beeding), mainan, alat-alat bedah atau baju operasi, maupun benda/zat mati termasuk air

dan makanan. Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu,

sayuran dan lain-lain), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah (Suryani, 2012).

Secara umum terdapat dua cara masuknya nematoda usus dalam menginfeksi

tubuh manusia, yaitu melalui mulut dan kulit. Adanya telur-telur atau larva, dalam

beberapa kasus ditemukan dari hasil pemeriksaan kasus infeksi. Telur-telur tersebut dapat

masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak bersih dalam mencuci sayuran

yang tidak dimasak sedangkan dari larva nematoda usus dapat dimungkinkan melalui air

yang terkontaminasi. Pada beberapa parasit, dijumpai salah satu cara yang penting dari

penularan (transmissi) nematoda usus, yaitu penularan melalui fecal-oral melalui jari

tangan yang tidak dicuci bersih. Penularan kepada hospes baru tergantung kepada

tertelannya telur matang yang infektif atau larva, atau menembusnnya larva ke dalam

kulit atau selaput lendir. Seringkali larva di dalam telur ikut tertelan dengan makanan

(Nugroho, 2010).

Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan memakan sayuran dalam bentuk

lalapan untuk campuran makanan lain. Kebiasaan memakan sayuran mentah (lalapan)

perlu hati-hati terutama jika dalam pencucian kurang baik sehingga memungkinkan masih

adanya telur cacing pada tanaman kubis. Parasit pada sayuran yang ditemukan adalah

Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, cacing tambang, larva Strongyloides

stercoralis, larva Rhabditidae, dan cercaria yang umumnya ditularkan melalui

makanan/minuman atau melalui kulit (Khomsan, 2005).

Ternyata meskipun kubis sudah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur

cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan cacing benang

(Muyassaroh, 2006).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di warung makan lesehan Wonosari

gunungkidul yogyakarta tahun 2010, ditemukan angka kontaminasi soil transmitted

helminths (STH) pada sayuran kubis yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur soil

transmitted helminths (STH) yaitu sebesar 38,89% dengan proporsi telur Ascaris

3

lumbricoides 50%, Trichuris trichiura 37,5% dan Cacing tambang 12,5% (Nugroho,

2010). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “ Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus Pada Lalapan Daun Selada (Lactuca

Sativa L.) Yang Dijual Di Kelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun 2015 “

LANDASAN TEORI

Definisi Penyakit Cacingan

Penyakit cacingan adalah penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau

sering disebut “Soil Transmitted Helminthes” (STH). Infeksi parasit usus ini bisa

disebabkan oleh cacing dan protozoa yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di

Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, dan cacing tambang (Depkes RI, 2006).

Cacingan adalah segala macam cacing yang ternyata hidup parasit dalam

lambung manusia. Mereka turut hidup parasit di dalam pencernaan manusia (Saydam,

2011). Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang mengalami infeksi di seluruh dunia di

antaranya sekitar 300 juta menderita infeksi helminth yang berat dan sekitar 150.000

kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi STH (Suriptiastuti, 2006).

Nematoda usus

Nematode usus siklus hidupnya melalui media tanah (Soil Transmitted

Helminths). Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non

infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Yang termasuk dalam kelompok

Soil Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris

trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus) (Suriptiastuti, 2006).

Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)

1 Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides

Ukuran ± 70 μm, berbentuk oval kadang bulat, kulit ganda berbatas jelas, kulit

luar kasar, tertutup tonjolan–tonjolan kecil. Kulit dalam halus, tebal tidak berwarna, berisi

masa bulat bergranula yang terletak di bagian tengah (Wahyuningsih, 2011).

Gambar 1. Telur Ascaris lumbricoides (Poetra, 2011)

Siklus hidup

Bila telur infektif yang berukuran 75 x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka

di bagian atas dari usus halus, dinding telur akan pecah dan larva akan keluar dari telur.

Kemudian larva akan menembus dinding usus halus, mamasuki vena porta dan bersama

aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam

paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus dinding

kapiler menuju alveoli. Dari alveoli larva menuju bronchi, trachea, laring, faring

kemudian dibatukkan dan tertelan masuk ke esophagus, selanjutnya turun ke lambung

dan akhirnya menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina berukuran 22–35 cm

dan lebih besar dibandingkan cacing jantan yang berukuran 10-31 cm (Palgunadi, 2010).

4

Gambar 2. Daur hidup Ascaris lumbricoides.( Depkes RI, 2006)

Patofisiologi

Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa

gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada

infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan

(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga

terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). Selain itu menurut Effendy yang

dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh

larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding

alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.

Gejala Klinis dan Diagnosis

Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat

menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan

lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan

pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari dudenum ke

orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis,

pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006). Pemeriksaan tinja sangat diperlukan

untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja

tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya

infeksi (Departemen Kesehatan RI, 2006).

Epidemiologi

Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak

terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif.

Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama

makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Departemen

Kesehatan RI, 2006).

Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.

Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat

piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anti cacing

untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu mudah diterima di

masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat

berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Departemen

Kesehatan RI, 2006).

Trichuris trichiura (Cacing cambuk)

1 Morfologi

Bentuk seperti cambuk, bagian anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya

berbentuk lonjong seperti rambut, 2/5 bagian tubuh yang posterior lebih tebal. Cacing

5

jantan panjang 3 – 4 cm bagian kaudal melengkung ke arah ventral dan mempunyai

spekulum ysng dilengkap selubung retraktil. Satu ekor cacing betina diperkirakan

menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32

mikron, berbentuk seperti tempayan dengan masing – masing kutub dilengkapi plug yang

transparan (Wahyuningsih, 2011).

Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (Al-Rasyid, 2012)

Siklus hidup

Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang

dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur

yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur

yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding

telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus

bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan

sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Departemen

Kesehatan RI, 2006).

Gambar 4. Daur Hidup Trichuris trichiura (Depkes RI, 2006)

Patofisiologi

Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan

di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar

diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami

prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan

kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan

peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di

samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan

anemia (Menteri Kesehatan, 2006).

6

Gejala Klinik dan Diagnosis

Infeksi cacing cambuk dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya

kolitis yang gejala-gejala kliniknya menyerupai inflammatory bowel syndrome seperti

rasa nyeri di abdomen yang kronik, diare, dan anemia (Suriptiastuti, 2006).

Epidemiologi

Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di

tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Infeksi

cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melaluimulut bersama makanan

atau minuman yang yang tercemar atau melalui tangan kotor (Menteri Kesehatan , 2006).

Pengobatan

Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris

trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Menteri Kesehatan,

2006).

Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing tambang)

Morfologi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing

tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina

menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Ukuran telur Ancylostoma duodenale 50-

60μ, bentuk oval salah satu kutub lebih mendatar, kulit sangat tipis nampak sebagian

garis hitam, bagian dalam berwarna abu-abu, pada tinja segar berisi 4, 8 atau 16

blastomer. Telur necator americanus ukuran lebih panjang 70μ, kutub lebih mendatar,

selalu berisi paling sedikit 8 blastomer (Wahyuningsih, 2011).

Gambar 5. Telur Cacing Tambang (Gandahusada. 2004)

Siklus hidup

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar

bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva

rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang

dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing

tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding

tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250

mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah

menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya

menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring,

larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi

terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri

Kesehatan , 2006).

7

Gambar 6. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Depkes RI,

2006).

Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing

tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi

oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga

penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah

kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering

terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)

Gejala Klinik dan Diagnosis

Kelainan patologi akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah

dari intestinal yang disebabkan invasi parasit ke mukosa dan submukosa usus halus.

Kehilangan darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi.

Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat menyebabkan

hipoproteinemia dan anasarka. Dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan

cacing dewasa dan telur (Suriptiastuti, 2006 )

Epidemiologi

Kejadian Spenyakit ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada

penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini

menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung

lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan

buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam

penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk

pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-

38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila

keluar rumah. (Menteri Kesehatan, 2006)

Pengobatan Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin,

Pyrantin), Mebendazole (Vermox, vermona, vircid), Albendazole (Menteri Kesehatan,

2006).

Manfaat Selada

Tumbuhan selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran yang sudah lama

dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, salah satu alasan masyarakat mengkonsumsi

sayuran selada yang akhir–akhir ini menunjukkan peningkatan karena selada mempunyai

penampilan yang sangat menarik minat konsumen dengan warna hijau segar, dapat

digunakan sebagai lalapan, mempunyai nilai tambah terhadap manfaat kesehatan yang

mengandung gizi cukup tinggi terutama kandungan mineralnya dan sayuran tersebut

mudah ditemukan dipasaran dengan harga yang terjangkau. Selada banyak dipilih oleh

masyarakat karena warna, tekstur dan aromanya yang menyegarkan penampilan makanan

sehingga mampu menambah selera makan (Sa’adah, 2012)

8

Morfologi Selada Selada merupakan jenis tanaman berumpun banyak, mengandung getah, mula–

mula dengan roset akar, daun tersebar, duduk, memanjang atau lanset, sangat berubah–

ubah bentuk dan ukurannya, bertepi rata atau bergigi tidak teratur, dengan pangkal

menyempit dan ujung runcing, 5-35 kali 1–1 cm. Daun batang teratas bentuk garis dan

makin keatas makin kecil. Bongkol bunga cukup kecil, berkumpul dalam karangan bunga

bentuk mulai rata yang besar, bercabang banyak, yang membentuk krop akibat

pertumbuhan daun yang bertumpang tindih yang akhirnya daun yang baru terbentuk

(Ashari, 1995). Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam,

bergantung varietasnya. Daun selada krop berbentuk bulat dengan ukuran daun yang

lebar, berwarna hijau terang dan hijau agak gelap. Daun selada memiliki tangkai daun

lebar dengan tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat kuat dan halus. Daun bersifat

lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki rasa agak manis. Daun selada

umumnya memiliki ukuran panjang 20-25 cm dan lebar 15 cm (Wicaksono, 2008).

Fungsi selada

Selada mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi bagi tubuh yaitu seperti

mineral kalium, natrium, magnesium, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, dan

vitamin C. Kalium, Natrium dan Magnesium merupakan mineral yang sangat banyak

dibutuhkan oleh tubuh karena termasuk dalam sumber unsur mineral makro. Jumlah dari

ke-3 kandungan mineral tersebut dalam 100 g selada adalah kalium 203 mg, natrium 15

mg, magnesium 6 mg (Almatsier, 2005). Mineral sebagai nutrisi berperan penting dalam

fungsi tubuh manusia. Unsur mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu unsur mineral

makro dan unsur mineral mikro. Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme.

Keseimbangan ion-ion mineral dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan kerja

enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu mentransfer ikatan-

ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharan kepekaan otot dan syaraf terhadap

rangsangan (Barasi, 2009). Di dalam cairan ekstraselular kalium dan natrium merupakan

kation penting yang berperan dalam keseimbangan pH dan osmolaritas (Kartasapoetra,

2008), serta magnesium yang memegang peranan penting pada kontraksi otot, dapat

mempertahankan tonus otot polos(Tjay, 2008).

Kandungan Gizi Selada

Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi gizi, zat – zat makanan yang

terkandung dalam setiap 100 g selada adalah sebagai berikut :

Tabel 1. Kandungan Gizi Selada Kandungan Gizi Jumlah

Air 94,91 g

Energi 15 kal

Protein 1,2 g

Lemak 18,10 g

Karbohidrat 2,37 g

Serat 1,7 g

Abu 0,9 g

Ca (Kalsium) 22 mg

Fe (Besi) 0,5 mg

Mg (Magnesium) 6 mg

P (Phospor) 25 mg

K (Kalium) 203 mg

Na (mg) 15 mg

Vitamin A 590 mg

Vitamin B 10,04 mg

Vitamin C 24 mg

Sumber: Almatsier, 2005.

9

Selada dikenal sebagai sumber mineral, pro-vitamin A, vitamin C dan serat

(Sa’adah, 2012). Selada yang memiliki banyak kandungan vitamin dan zat gizi yang

peting bagi kesehatan inilah yang membuat orang, banyak mengkonsumsi makanan ini,

apalagi dimakan sebagai lalapan rasanya lebih enak dan segar.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan

metode survey cross sectional yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah

dan jenis telur cacing pada lalapan daun selada (lactuca sativa l.) yang dijual dikelurahan

madyopuro kota malang tahun 2015.

Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di

kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan

daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun

2015

Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun selada,

sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus.

Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji

laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk

mengetahui adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel.

Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang

terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau

diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Sampel daun selada diambil dari pedagang lalapan daun selada yang dijual di

kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 sebanyak 20 sampel.

Dalam mencari persentase dari lalapan selada yang positif dan negatif terkontaminasi

telur cacing nematoda usus dapat digunakan rumus proporsi sebagai berikut :

Proporsi :

Keterangan : = Jumlah sampel yang dicari proporsinya

= Jumlah sampel keseluruhan

= Konstanta (100%)

Dari rumus di atas dapat diketahui proporsi persentase untuk keseluruhan sampel

yang positif dan negatif pada lalapan daun selada.

Sampel yang positif =

=

= 20 %

Sampel yang negatif =

=

= 80 %

10

Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang

dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 2 dan

Gambar 7.

Tabel 2. Persentase jumlah Telur Cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada

yang dijual Dikelurahan Madyopuro, Kota Malang Tahun 2015 (n = 20)

Kontaminasi telur N (%)

Positif 4 (20%)

Negatif 16 (80%)

Total 20 (100%)

Gambar 7. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada

yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015

Pada Tabel 2 dan gambar 7 dapat dilihat hasil pemeriksaan laboratorium terhadap

lalapan daun selada diperoleh bahwa dari 20 sampel, 4 sampel (20%) diantaranya

dinyatakan positif terkontaminasi telur cacing, sedangkan 16 sampel (80%) lainnya

dinyatakan negatif tidak terkontaminasi telur cacing nematoda usus.

Tabel 3. Distribusi jenis Telur cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual

dikelurahan madyopuro, kota malang tahun 2015 (n = 20)

Species N (%)

Ascaris lumbricoides 3 (50%)

Trichuris trichiura 1 (16,67%)

Ancylostoma duodenale 2 (33,33%)

Sumber: data diolah

Gambar 8. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus berdasarkan jenisnya pada

lalapan daun selada yang dijual Dikelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun

2015

0

20

40

60

80

Positif Negatif

Positif

20

%

80%

0%

20%

40%

60%

Ascarislumbricoides

Trichuristrichiura

Cacingtambang

Proporsi kontaminasi telur cacing Nematoda

usus berdasarkan jenisnya

33

%

50%

17

%

11

Pada tabel 3 dan gambar 8 dapat dilihat hasil pemeriksaan pada sampel yang

positif terkontaminasi telur cacing yaitu terdapat kontaminasi Ascaris lumbricoides

(50%), Trichuris trichura (16,67%) dan Cacing tambang (33,33%). Dari 4 sampel yang

positif terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda yaitu Ascaris

lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Cacing tambang.

Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing nematoda

usus pada lalapan daun selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun

2015. Dengan mengidentifikasi sampel, yang akan diperoleh hasilnya mengenai berapa

banyak proporsi lalapan daun selada yang terkontaminasi dengan telur cacing nematoda

usus yang dinyatakan dengan positif dan negatif terkontaminasi telur cacing.

Hasil pemeriksaan pada 20 sampel yang diperoleh dari penjual lalapan daun

selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 menunjukkan bahwa

proporsi lalapan daun selada yang positif terkontaminasi telur cacing sebesar 20%,

sedangkan yang negatif sebesar 80%. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Almi, 2011) berdasarkan penelitian yang

pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern Kota Bandar Lampung,

ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis dan

selada yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di

pasar tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 43,2%,

Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern angka kontaminasi

telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris

trichiura 19,7% dan keduanya 21,8%

Kontaminasi telur cacing pada lalapan daun selada dapat dipengaruhi oleh

tempat asal sampel dibeli, proses pencucian sampel yang kurang bersih dan penyajian

sampel. Dari hasil yang positif bisa dilihat dari proses pencucian sampel yang dilakukan,

apakah pencucianya sudah benar atau tidak, kebanyakan pedagang yang kurang mengerti

tentang kesehatan hanya mencuci sayurannya dengan semaunya, yang penting terkena air,

padahal cara seperti itu kurang benar karena dapat dipastikan telur cacing yang terdapat

pada sayuran mentah yang akan dikonsumsi masih melekat pada sayuran tersebut dan

akan ikut tertelan saat dikonsumsi .

Dari penelitian yang dilakukan (Wardhana, 2010) hasil wawancara dengan

pemilik warung, diketahui bahwa setengah dari jumlah warung yang diperiksa (7 warung)

belum melakukan pencucian sayuran dengan baik. Beberapa pedagang hanya mencuci

sayuran kubis pada bagian luarnya saja. Selain itu pencuciannya juga tidak dibawah air

yang mengalir. Ada juga pedagang yang mencuci sayuran kubis dengan cara merendam

kubis yang masih dalam bentuk utuh kedalam wadah yang berisi air. Proses pencucian

sayuran yang kurang baik ini memungkinkan masih tertinggalnya telur Soil Transmitted

Helminths (STH) pada sayuran sebelum disajikan sebagai lalapan.

Kualitas air yang digunakan untuk membersihkan sayuran mutlak diperlukan,

karena air juga sangat mempengaruhi keberadaan telur cacing pada saat pencucian

sayuran. Hal ini sesuai dengan pendapat (Widjaja, 2014) bahwa pencucian yang benar

adalah dengan air yang mengalir sehingga dapat membersihkan sisa kotoran dengan

maksimal. Karena itu, melakukan pencucian sayuran dengan air yang mengalir lebih baik.

Ditemukannya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual

di kelurahan madyopuro kota malang dapat juga disebabkan oleh petani sayur yang

menggunakan air tercemar telur cacing nematoda usus untuk menyiram tanaman , seperti

menggunakan air yang berasal dari sungai, dan sungai tersebut digunakan oleh warga

12

untuk membuang air besar. Bisa juga disebabkan penjual lalapan tidak mencuci sayur

dengan air bersih yang mengalir, atau pencuciannya kurang bersih.

Dilihat dari hasil penelitian yang diperoleh, sampel positif didapat dari

pedagang yang terlihat kurang menjaga kebersihan dari sayur yang digunakan sebagai

lalapan. Karena masih terlihat sayuran agak kotor dibagian lipatan atau lekukan daunya.

Hal ini dapat dipengaruhi pengetahuan yang kurang dari si penjual untuk menjaga

kebersihan sayur yang akan digunakan sebagai lalapan.

Untuk mengurangi dampak penyebaran yang ditimbulkan oleh parasit dapat

dilakukan dengan menjaga sanitasi lingkungan seperti tidak membuang air besar di

sungai yang nantinya air sungai tersebut akan dimanfaatkan oleh para petani untuk

menyiram tanaman, dan mencuci sayuran dengan air yang tidak tercemar parasit hingga

bersih.

Tabel 3 Menunjukkan bahwa prevalensi yang paling tinggi adalah Ascaris

lumbricoides (50%), kemudian Cacing tambang (33,33%) sedangkan Trichuris trichiura

(16,67%). Dari 4 sampel sayuran selada yang diketahui spesies telur nematoda ususnya,

terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda dalam satu sampel yaitu

Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Ancylostoma

duodenale. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang kebersihan dan

sanitasi masih kurang.

Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan pada masing-masing hasil penelitian

berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi yang menjadi

sumber infeksi (Mardiana, 2008). Penyakit yang disebabkan oleh cacing banyak tersebar

di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan faktor

cuaca dan tingkat sosial ekonomi masyarakat.

Penyebaran telur cacing bisa ditularkan bersamaan melalui feces penderita, tidak

hanya berkaitan dengan cuaca, suhu, dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi (Entjang, 2003). Kebiasaan

menggunakan feces sebagai pupuk tanaman akan dapat mencemari tanah dan juga akan

berdampak pada tanaman yang diberi pupuk, misalnya seperti sayuran, akan tercemari

dengan telur helminthiasis.

Pengetahuan masyarakat juga berperan penting dalam pencegahannya, kebiasaan

masyarakat yang memakan sayuran mentah dan setengah mentah juga akan mendukung

tertularnya penyakit cacingan, karena di dalam makanan tersebut bisa jadi terdapat kista

atau larva cacing.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Terdapat telur cacing

nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.) yang dijual di kelurahan

madyopuro kota malang tahun 2015. Jumlah sampel lalapan daun selada sebanyak 20

yang positif di Kelurahan madyopuro kota malang sebanyak 20 %, dan sampel negatif

sebanyak 80%. Proporsi sampel yang mengandung telur cacing Ascaris lumbriciodes

adalah 50%, mengandung telur cacing Trichuris trichiura adalah 16,67% dan yang

mengandung telur cacing Ancylostoma duodenale 33,33%, pada sampel juga ditemukan

infeksi ganda antara Ascaris lumbricoides dengan Trichuris trichiura, dan Ascaris

lumbricoides dengan Ancylostoma duodenale.

13

Saran

1. Untuk masyarakat / konsumen hendaknya memilih penjual lalapan yang terjaga

kebersihan dan kesegaran sayurnya.

2. Untuk masyarakat seharusnya sayuran dimasak dulu dengan air panas dan dikonsumsi

dalam keadaan matang tidak mentah.

3. Penjual lalapan seharusnya tidak mencuci sayuran dalam keadaan selada masih utuh

dan pada saat akan disajikan bagian terluar dibuang terlebih dahulu.

4. Penjual lalapan hendaknya mencuci sayuran yang akan dijual menggunakan air

bersih, dan air mengalir.

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. 37.

Almi DU, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada

di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar

Lampung. Hlm: 35-37.

Al-Rasyid, M. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk). (online:

http://maksumprocedure.blogspot.com/2012/05/trichuris-trichiura-cacing-

cambuk.html?m=1) diakses tanggal 20 Juni 2015.

Ashari, Semeru, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya.UI.Press.Jakarta.485 pp.

Astawan, Made. 2004. Modal Dasar Hidup Sehat. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 14

Juli 2015.

Barasi, M. (2009). At a Glance: Ilmu Gizi. Penerjemah: Hermin. Penerbit Erlangga.

Jakarta.

Gandahusada, Srisasi., Herry D., Wita Pribadi. 2004. Parasitologi kedokteran. Gaya baru.

Jakarta.

Entjang, indan. 2003. Mikrobiologi dan parasitologi untuk akademi keperawatan dan

sekolah tenaga kesehatan yang sederajat. Citra aditya bakti. Bandung.

Haryanto, E., T. Suhartini dan E. Rahayu. 1996. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.

Jakarta.

http://www.indonesian-publichealth.com/2014/08/infeksi-kecacingan-penyebab

anemia.html diakses 21 april 2015 pukul 18:27

Indriani A, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada

di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar

Lampung. Hlm: 34-35

Kartasapoetra, G., Drs, dan Marsetyo, Drs, Med. 2008. Ilmu Gizi : Korelasi Gizi,

Kesehatan & produktivitas kerja. Rineka cipta. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia

Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan.

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hlm: 3.

Khomsan, Ali. Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 25 juni

2015.

Kundain, F,. 2012. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada

Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten

Minahasa.http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/download/0/76.

Akses 10 juni 2015.

Kurniawan, B. 2014. Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminths Pada Lalapan Kubis

(Brassica Oleracea) Di Warung-Warung Makan Universitas Lampung. http://

juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download /223 /221.

Akses 15 juni 2015.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.

14

Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek

Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC.

Palgunadi, B.U. 2010. Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Usus Dalam Hubungannya

dengan Kejadian Infeksi Cacing Usus. Tesis. Unuversitas Airlangga.

Poetra, O.P. 2011. Ascaris lumbricoides (Cacing gelang). https://www.google.co.

id/search?q=gambar+telur+ascaris+lumbricoides diakses 15 juli 2015.

Pracaya. Kol Alias Kubis. Cetakan 9. Penerbar Swadaya. Jakarta. 1994 Ali Khomsan.

Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 19 Desember 2014

Sa’adah,F.N. 2012. Pengaruh Lamanya Penyimpanan Pupuk Kandang Sapi Yang Diberi

Biokompleks Terhadap Petumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa

L.) Varietas Brando. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 8 (3) : 97-104

Saydam. G. 2011. Memahami Berbagai Penyakit Pernafasan dan Gangguan Pencernaan.

Alfa Beta. Bandung.

Suriptiastuti. 2006. Infeksi soil-transmitted helminth : ascariasis, trichiuriasis dan cacing

tambang. Universa Medicina. 25 (2) : 84-93

Suryani, Dyah. 2012. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda

Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan

Warungboto Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD. 6 (2) : 162-232.

Tjay, Tan Hoan.(2008). Obat – Obat Penting. Alex Media Komputerind. Jakarta.

Wahyuningsih, sri .2011. Petunjuk laporan praktikum parasitologi. Jember.

Wicaksono, A. 2008. Penyimpanan Bahan Makanan Serta Kerusakan Selada. Skripsi .

Fakultas Politeknik Kesehatan. Yogyakarta.

World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections.

http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/,diakses 20 Desember 2014.