IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS...
Transcript of IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS...
1
IDENTIFIKASI TELUR CACING NEMATODA USUS PADA LALAPAN DAUN
SELADA (Lactuca sativa L.) YANG DIJUAL DI KELURAHAN MADYOPURO
KOTA MALANG TAHUN 2015
Oleh
Agustiana Dwi I.V
Akademi Analis Kesehatan Malang
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi lalapan daun selada yang
terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan mengidentifikasi adanya telur cacing
nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.).
Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di
kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan
daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun
2015. Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun
selada, sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus.
Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji laboratorium
yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk mengetahui
adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel.
Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang
terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau
diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan. Hasil penelitian dapat disimpul;kan
bahwa Terdapat telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.)
yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015
ABSTRACT
The purpose is to review research singer determine the proportion of leaf lettuce
vegetables contaminated by worm eggs Its intestinal nematodes and identify the presence
of intestinal nematode eggs IN vegetables leaf lettuce (Lactuca sativa L.).
Research Populasai singer is whole leaf lettuce The vegetables sold in the village
Madyopuro Malang Year 2015.Sample Research is mostly vegetables lettuce leaves as
many as 20 samples What is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015.
Research variables consisted From variable Free (Independent) is the lettuce leaf
vegetables, while the bound variable (dependent) is their intestinal nematode worm eggs.
The data collection techniques TIN Form Of Research Singer: The laboratory tests
performed in the Laboratory of the Academy of Health Analyst Malang to review
determine contamination intestinal nematode eggs ON sample.
Data analysis is descriptive WITH Counting The sample proportion
contaminated eggs intestinal nematode worms commercial articles displayed hearts
Forms OR table diagram, discussion CONCLUSION As well taken. Results can be
knotted; the worm eggs that are intestinal nematodes ON vegetables leaf lettuce (Lactuca
sativa L.) that is sold in the village of Malang city Madyopuro 2015
PENDAHULUAN
Penyakit cacingan biasa disebut dengan penyakit cacing perut, penyakit ini
banyak sekali terjadi pada masyarakat terutama di daerah kumuh atau pedesaan. Penyakit
2
ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, berat badan, daya
konsentrasi dan kecerdasan anak, sehingga dapat menurunkan sumber daya manusia
(Onggowaluyo, 2002).
Tingginya prevalensi telur cacing parasit yang ditemukan pada siswa SD yang
terletak di sekitar IPAL Kota Malang adalah A. Lumbricoides yaitu sebesar 65,22%,
diikuti dengan telur E. Vermicularis sebesar 21,47%, kemudian T. trichiura sebesar
11,59%, dan prevalensi terkecil pada telur cacing A. duodenale sebesar 1,45% (Rahayu,
2006).
Jumlah infeksi cacingan yang sangat banyak di Asia Tenggara termasuk
Indonesia, di pengaruhi oleh kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhannya, kondisi
sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang buruk serta keadaan sosial ekonomi dan
pendidikan yang rendah (Kundain, 2012).
Masalah kesehatan yang ditimbulkan akibat kecacingan adalah anemia, obstruksi
saluran empedu, radang pankreas, usus buntu, alergi, dan diare, penurunan fungsi kognitif
(kecerdasan), kurang gizi, gangguan pertumbuhan, dan radang paru-paru (Widjaja 2014).
Sebagian besar penularan cacing melalui perantara tanah (Soil Transmited
Helminths). Sumber penularannya bisa melalui air dan lumpur yang digunakan dalam
budidaya sayuran. Tanah, sayur-sayuran, dan air merupakan media transmisi yang
penting. Kebiasaan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun (di berbagai daerah tertentu)
penting dalam penyebaran infeksi (Suryani, 2012).
Kontaminasi (contamination) atau adanya agent menular pada permukaan
tubuh, pada atau dalam pakaian, termasuk semua yang berkaitan dengan tempat tidur
(beeding), mainan, alat-alat bedah atau baju operasi, maupun benda/zat mati termasuk air
dan makanan. Semakin banyak telur ditemukan di sumber kontaminasi (tanah, debu,
sayuran dan lain-lain), semakin tinggi derajat endemi di suatu daerah (Suryani, 2012).
Secara umum terdapat dua cara masuknya nematoda usus dalam menginfeksi
tubuh manusia, yaitu melalui mulut dan kulit. Adanya telur-telur atau larva, dalam
beberapa kasus ditemukan dari hasil pemeriksaan kasus infeksi. Telur-telur tersebut dapat
masuk ke dalam tubuh manusia, diantaranya melalui tidak bersih dalam mencuci sayuran
yang tidak dimasak sedangkan dari larva nematoda usus dapat dimungkinkan melalui air
yang terkontaminasi. Pada beberapa parasit, dijumpai salah satu cara yang penting dari
penularan (transmissi) nematoda usus, yaitu penularan melalui fecal-oral melalui jari
tangan yang tidak dicuci bersih. Penularan kepada hospes baru tergantung kepada
tertelannya telur matang yang infektif atau larva, atau menembusnnya larva ke dalam
kulit atau selaput lendir. Seringkali larva di dalam telur ikut tertelan dengan makanan
(Nugroho, 2010).
Masyarakat Indonesia mempunyai kebiasaan memakan sayuran dalam bentuk
lalapan untuk campuran makanan lain. Kebiasaan memakan sayuran mentah (lalapan)
perlu hati-hati terutama jika dalam pencucian kurang baik sehingga memungkinkan masih
adanya telur cacing pada tanaman kubis. Parasit pada sayuran yang ditemukan adalah
Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, cacing tambang, larva Strongyloides
stercoralis, larva Rhabditidae, dan cercaria yang umumnya ditularkan melalui
makanan/minuman atau melalui kulit (Khomsan, 2005).
Ternyata meskipun kubis sudah dicuci sebanyak 2 kali masih terdapat telur
cacing usus yaitu Ascaris lumbricuides, Trichuris trichiura, dan cacing benang
(Muyassaroh, 2006).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di warung makan lesehan Wonosari
gunungkidul yogyakarta tahun 2010, ditemukan angka kontaminasi soil transmitted
helminths (STH) pada sayuran kubis yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur soil
transmitted helminths (STH) yaitu sebesar 38,89% dengan proporsi telur Ascaris
3
lumbricoides 50%, Trichuris trichiura 37,5% dan Cacing tambang 12,5% (Nugroho,
2010). Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang “ Identifikasi Telur Cacing Nematoda Usus Pada Lalapan Daun Selada (Lactuca
Sativa L.) Yang Dijual Di Kelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun 2015 “
LANDASAN TEORI
Definisi Penyakit Cacingan
Penyakit cacingan adalah penyakit cacing usus yang ditularkan melalui tanah atau
sering disebut “Soil Transmitted Helminthes” (STH). Infeksi parasit usus ini bisa
disebabkan oleh cacing dan protozoa yang merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Cacing usus yang banyak ditemukan yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, dan cacing tambang (Depkes RI, 2006).
Cacingan adalah segala macam cacing yang ternyata hidup parasit dalam
lambung manusia. Mereka turut hidup parasit di dalam pencernaan manusia (Saydam,
2011). Diperkirakan lebih dari dua miliyar orang mengalami infeksi di seluruh dunia di
antaranya sekitar 300 juta menderita infeksi helminth yang berat dan sekitar 150.000
kematian terjadi setiap tahun akibat infeksi STH (Suriptiastuti, 2006).
Nematoda usus
Nematode usus siklus hidupnya melalui media tanah (Soil Transmitted
Helminths). Dalam hal ini berarti bahwa proses pematangan parasit dari bentuk non
infektif menjadi bentuk yang infektif terjadi di tanah. Yang termasuk dalam kelompok
Soil Transmitted Helminth adalah nematoda usus Ascaris lumbricoides, Trichuris
trichiura, Strongyloides stercoralis dan Cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan
Necator americanus) (Suriptiastuti, 2006).
Ascaris lumbricoides (Cacing gelang)
1 Morfologi telur cacing Ascaris lumbricoides
Ukuran ± 70 μm, berbentuk oval kadang bulat, kulit ganda berbatas jelas, kulit
luar kasar, tertutup tonjolan–tonjolan kecil. Kulit dalam halus, tebal tidak berwarna, berisi
masa bulat bergranula yang terletak di bagian tengah (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 1. Telur Ascaris lumbricoides (Poetra, 2011)
Siklus hidup
Bila telur infektif yang berukuran 75 x 40-50 mikron tertelan oleh manusia, maka
di bagian atas dari usus halus, dinding telur akan pecah dan larva akan keluar dari telur.
Kemudian larva akan menembus dinding usus halus, mamasuki vena porta dan bersama
aliran darah menuju jantung kanan untuk selanjutnya menuju sirkulasi paru. Di dalam
paru-paru larva tumbuh dan berganti kulit sebanyak 2 kali, kemudian menembus dinding
kapiler menuju alveoli. Dari alveoli larva menuju bronchi, trachea, laring, faring
kemudian dibatukkan dan tertelan masuk ke esophagus, selanjutnya turun ke lambung
dan akhirnya menjadi dewasa di usus halus. Cacing dewasa betina berukuran 22–35 cm
dan lebih besar dibandingkan cacing jantan yang berukuran 10-31 cm (Palgunadi, 2010).
4
Gambar 2. Daur hidup Ascaris lumbricoides.( Depkes RI, 2006)
Patofisiologi
Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Dapat berupa
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare dan konstipasi. Pada
infeksi berat, terutama pada anak-anak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan
(malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing menggumpal dalam usus sehingga
terjadi penyumbatan pada usus (Ileus obstructive). Selain itu menurut Effendy yang
dikutip Surat Keputusan Menteri Kesehatan (2006) gangguan juga dapat disebabkan oleh
larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding
alveolus yang disebut Sindroma Loeffler.
Gejala Klinis dan Diagnosis
Terdapatnya cacing Ascaris dewasa dalam jumlah yang besar di usus halus dapat
menyebabkan abdominal distension dan rasa sakit. Keadaan ini juga dapat menyebabkan
lactose intolerance, malabsorpsi dari vitamin A dan nutrisi lainnya. Hepatobiliary dan
pancreatic ascariasis terjadi sebagai akibat masuknya cacing dewasa dari dudenum ke
orificium ampullary dari saluran empedu, timbul kolik empedu, kolesistitis, kolangitis,
pankreatitis dan abses hepar (Suriptiastuti, 2006). Pemeriksaan tinja sangat diperlukan
untuk ketepatan diagnosis yaitu dengan menemukan telur-telur cacing di dalam tinja
tersebut. Jumlah telur juga dapat dipakai sebagai pedoman untuk menentukan beratnya
infeksi (Departemen Kesehatan RI, 2006).
Epidemiologi
Telur A. lumbricoides keluar bersama tinja, pada tanah yang lembab dan tidak
terkena sinar matahari langsung telur tersebut berkembang menjadi bentuk infektif.
Infeksi A. lumbricoides terjadi bila telur yang infektif masuk melalui mulut bersama
makanan atau minuman dan dapat pula melalui tangan yang kotor (Departemen
Kesehatan RI, 2006).
Pengobatan Pengobatan dapat dilakukan secara individu atau masal pada masyarakat.
Pengobatan individu dapat digunakan bermacam-macam obat misalnya preparat
piperasin, pyrantel pamoate, albendazole atau mebendazole. Pemilihan obat anti cacing
untuk pengobatan massal harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu mudah diterima di
masyarakat, mempunyai efek samping yang minimum, bersifat polivalen sehingga dapat
berkhasiat terhadap beberapa jenis cacing, harganya murah (terjangkau) (Departemen
Kesehatan RI, 2006).
Trichuris trichiura (Cacing cambuk)
1 Morfologi
Bentuk seperti cambuk, bagian anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya
berbentuk lonjong seperti rambut, 2/5 bagian tubuh yang posterior lebih tebal. Cacing
5
jantan panjang 3 – 4 cm bagian kaudal melengkung ke arah ventral dan mempunyai
spekulum ysng dilengkap selubung retraktil. Satu ekor cacing betina diperkirakan
menghasilkan telur sehari sekitar 3.000-5.000 butir. Telur berukuran 50-54 mikron x 32
mikron, berbentuk seperti tempayan dengan masing – masing kutub dilengkapi plug yang
transparan (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 3. Telur Trichuris trichiura (Al-Rasyid, 2012)
Siklus hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja, telur menjadi matang
dalam waktu 3–6 minggu di dalam tanah yang lembab dan teduh. Telur matang ialah telur
yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif. Cara infeksi langsung terjadi bila telur
yang matang tertelan oleh manusia (hospes), kemudian larva akan keluar dari dinding
telur dan masuk ke dalam usus halus sesudah menjadi dewasa cacing turun ke usus
bagian distal dan masuk ke kolon asendens dan sekum. Masa pertumbuhan mulai tertelan
sampai menjadi cacing dewasa betina dan siap bertelur sekitar 30-90 hari (Departemen
Kesehatan RI, 2006).
Gambar 4. Daur Hidup Trichuris trichiura (Depkes RI, 2006)
Patofisiologi
Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum dapat juga ditemukan
di dalam kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak cacing ini tersebar
diseluruh kolon dan rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektum yang mengalami
prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat menimbulkan perdarahan. Di
samping itu cacing ini juga mengisap darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan
anemia (Menteri Kesehatan, 2006).
6
Gejala Klinik dan Diagnosis
Infeksi cacing cambuk dewasa dalam jumlah besar dapat menyebabkan terjadinya
kolitis yang gejala-gejala kliniknya menyerupai inflammatory bowel syndrome seperti
rasa nyeri di abdomen yang kronik, diare, dan anemia (Suriptiastuti, 2006).
Epidemiologi
Penyebaran penyakit ini adalah kontaminasi tanah dengan tinja. Telur tumbuh di
tanah liat, tempat lembab, dan teduh dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Infeksi
cacing cambuk terjadi bila telur yang infektif masuk melaluimulut bersama makanan
atau minuman yang yang tercemar atau melalui tangan kotor (Menteri Kesehatan , 2006).
Pengobatan
Pengobatan yang dilakukan untuk infeksi yang disebabkan oleh Trichuris
trichiura adalah Albendazole, Mebendazole dan Oksantel pamoate (Menteri Kesehatan,
2006).
Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Cacing tambang)
Morfologi Necator americanus dan Ancylostoma duodenale adalah dua spesies cacing
tambang yang dewasa di manusia. Habitatnya ada di rongga usus halus. Cacing betina
menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Ukuran telur Ancylostoma duodenale 50-
60μ, bentuk oval salah satu kutub lebih mendatar, kulit sangat tipis nampak sebagian
garis hitam, bagian dalam berwarna abu-abu, pada tinja segar berisi 4, 8 atau 16
blastomer. Telur necator americanus ukuran lebih panjang 70μ, kutub lebih mendatar,
selalu berisi paling sedikit 8 blastomer (Wahyuningsih, 2011).
Gambar 5. Telur Cacing Tambang (Gandahusada. 2004)
Siklus hidup
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut, telur cacing akan keluar
bersama tinja, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva
rabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang
dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Telur cacing
tambang yang besarnya kira-kira 60x40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai dinding
tipis. Di dalamnya terdapat beberapa sel, larva rabditiform panjangnya kurang lebih 250
mikron, sedangkan larva filriform panjangnya kurang lebih 600 mikron. Setelah
menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru larvanya
menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari laring,
larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan (Menteri
Kesehatan , 2006).
7
Gambar 6. Daur hidup Necator americanus dan Ancylostoma duodenale (Depkes RI,
2006).
Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus. Selain mengisap darah, cacing
tambang juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan. Infeksi
oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-lahan sehingga
penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan gairah
kerja serta menurunkan produktifitas. Kekurangan darah akibat cacingan sering
terlupakan karena adanya penyebab lain yang lebih terfokus (Menteri Kesehatan, 2006)
Gejala Klinik dan Diagnosis
Kelainan patologi akibat infeksi cacing tambang dewasa adalah kehilangan darah
dari intestinal yang disebabkan invasi parasit ke mukosa dan submukosa usus halus.
Kehilangan darah yang kronik ini menyebabkan terjadinya anemia defisiensi zat besi.
Kehilangan protein secara kronik akibat infeksi cacing tambang dapat menyebabkan
hipoproteinemia dan anasarka. Dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menemukan
cacing dewasa dan telur (Suriptiastuti, 2006 )
Epidemiologi
Kejadian Spenyakit ankilostomiasis di Indonesia sering ditemukan pada
penduduk yang bertempat tinggal di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini
menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka gigitan yang berdarah akan berlangsung
lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia yang lebih berat. Kebiasaan
buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun sangat penting dalam
penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 2000). Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32ºC-
38ºC. Untuk menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila
keluar rumah. (Menteri Kesehatan, 2006)
Pengobatan Obat untuk infeksi cacing tambang adalah Pyrantel pamoate (Combantrin,
Pyrantin), Mebendazole (Vermox, vermona, vircid), Albendazole (Menteri Kesehatan,
2006).
Manfaat Selada
Tumbuhan selada (Lactuca sativa L.) merupakan sayuran yang sudah lama
dikenal baik oleh masyarakat Indonesia, salah satu alasan masyarakat mengkonsumsi
sayuran selada yang akhir–akhir ini menunjukkan peningkatan karena selada mempunyai
penampilan yang sangat menarik minat konsumen dengan warna hijau segar, dapat
digunakan sebagai lalapan, mempunyai nilai tambah terhadap manfaat kesehatan yang
mengandung gizi cukup tinggi terutama kandungan mineralnya dan sayuran tersebut
mudah ditemukan dipasaran dengan harga yang terjangkau. Selada banyak dipilih oleh
masyarakat karena warna, tekstur dan aromanya yang menyegarkan penampilan makanan
sehingga mampu menambah selera makan (Sa’adah, 2012)
8
Morfologi Selada Selada merupakan jenis tanaman berumpun banyak, mengandung getah, mula–
mula dengan roset akar, daun tersebar, duduk, memanjang atau lanset, sangat berubah–
ubah bentuk dan ukurannya, bertepi rata atau bergigi tidak teratur, dengan pangkal
menyempit dan ujung runcing, 5-35 kali 1–1 cm. Daun batang teratas bentuk garis dan
makin keatas makin kecil. Bongkol bunga cukup kecil, berkumpul dalam karangan bunga
bentuk mulai rata yang besar, bercabang banyak, yang membentuk krop akibat
pertumbuhan daun yang bertumpang tindih yang akhirnya daun yang baru terbentuk
(Ashari, 1995). Daun selada memiliki bentuk, ukuran dan warna yang beragam,
bergantung varietasnya. Daun selada krop berbentuk bulat dengan ukuran daun yang
lebar, berwarna hijau terang dan hijau agak gelap. Daun selada memiliki tangkai daun
lebar dengan tulang daun menyirip. Tangkai daun bersifat kuat dan halus. Daun bersifat
lunak dan renyah apabila dimakan, serta memiliki rasa agak manis. Daun selada
umumnya memiliki ukuran panjang 20-25 cm dan lebar 15 cm (Wicaksono, 2008).
Fungsi selada
Selada mempunyai kandungan mineral yang cukup tinggi bagi tubuh yaitu seperti
mineral kalium, natrium, magnesium, kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, vitamin B, dan
vitamin C. Kalium, Natrium dan Magnesium merupakan mineral yang sangat banyak
dibutuhkan oleh tubuh karena termasuk dalam sumber unsur mineral makro. Jumlah dari
ke-3 kandungan mineral tersebut dalam 100 g selada adalah kalium 203 mg, natrium 15
mg, magnesium 6 mg (Almatsier, 2005). Mineral sebagai nutrisi berperan penting dalam
fungsi tubuh manusia. Unsur mineral dibagi menjadi dua golongan, yaitu unsur mineral
makro dan unsur mineral mikro. Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme.
Keseimbangan ion-ion mineral dalam cairan tubuh diperlukan untuk pengaturan kerja
enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu mentransfer ikatan-
ikatan penting melalui membran sel dan pemeliharan kepekaan otot dan syaraf terhadap
rangsangan (Barasi, 2009). Di dalam cairan ekstraselular kalium dan natrium merupakan
kation penting yang berperan dalam keseimbangan pH dan osmolaritas (Kartasapoetra,
2008), serta magnesium yang memegang peranan penting pada kontraksi otot, dapat
mempertahankan tonus otot polos(Tjay, 2008).
Kandungan Gizi Selada
Menurut data yang tertera dalam daftar komposisi gizi, zat – zat makanan yang
terkandung dalam setiap 100 g selada adalah sebagai berikut :
Tabel 1. Kandungan Gizi Selada Kandungan Gizi Jumlah
Air 94,91 g
Energi 15 kal
Protein 1,2 g
Lemak 18,10 g
Karbohidrat 2,37 g
Serat 1,7 g
Abu 0,9 g
Ca (Kalsium) 22 mg
Fe (Besi) 0,5 mg
Mg (Magnesium) 6 mg
P (Phospor) 25 mg
K (Kalium) 203 mg
Na (mg) 15 mg
Vitamin A 590 mg
Vitamin B 10,04 mg
Vitamin C 24 mg
Sumber: Almatsier, 2005.
9
Selada dikenal sebagai sumber mineral, pro-vitamin A, vitamin C dan serat
(Sa’adah, 2012). Selada yang memiliki banyak kandungan vitamin dan zat gizi yang
peting bagi kesehatan inilah yang membuat orang, banyak mengkonsumsi makanan ini,
apalagi dimakan sebagai lalapan rasanya lebih enak dan segar.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan
metode survey cross sectional yaitu untuk mengetahui gambaran hasil identifikasi jumlah
dan jenis telur cacing pada lalapan daun selada (lactuca sativa l.) yang dijual dikelurahan
madyopuro kota malang tahun 2015.
Populasai penelitian ini adalah Seluruh lalapan daun selada yang dijual di
kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015.Sample penelitian adalah sebagian lalapan
daun selada sebanyak 20 sampel yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun
2015
Variabel penelitian terdiri dari Variabel bebas (Independent) adalah lalapan daun selada,
sedangkan Variabel terikat (dependent) adalah adanya telur cacing nematoda usus.
Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari penelitian ini berupa: Uji
laboratorium yang dilakukan di Laboratorium Akademi Analis Kesehatan Malang untuk
mengetahui adanya kontaminasi telur cacing nematoda usus pada sampel.
Analisa data bersifat Deskriptif dengan menghitung proporsi sampel yang
terkontaminasi telur cacing nematoda usus dan hasil ditampilkan dalam bentuk tabel atau
diagram, pembahasan serta diambil kesimpulan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Sampel daun selada diambil dari pedagang lalapan daun selada yang dijual di
kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 sebanyak 20 sampel.
Dalam mencari persentase dari lalapan selada yang positif dan negatif terkontaminasi
telur cacing nematoda usus dapat digunakan rumus proporsi sebagai berikut :
Proporsi :
Keterangan : = Jumlah sampel yang dicari proporsinya
= Jumlah sampel keseluruhan
= Konstanta (100%)
Dari rumus di atas dapat diketahui proporsi persentase untuk keseluruhan sampel
yang positif dan negatif pada lalapan daun selada.
Sampel yang positif =
=
= 20 %
Sampel yang negatif =
=
= 80 %
10
Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang
dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Gambar 7.
Tabel 2. Persentase jumlah Telur Cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada
yang dijual Dikelurahan Madyopuro, Kota Malang Tahun 2015 (n = 20)
Kontaminasi telur N (%)
Positif 4 (20%)
Negatif 16 (80%)
Total 20 (100%)
Gambar 7. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada
yang dijual di kelurahan madyopuro kota malang tahun 2015
Pada Tabel 2 dan gambar 7 dapat dilihat hasil pemeriksaan laboratorium terhadap
lalapan daun selada diperoleh bahwa dari 20 sampel, 4 sampel (20%) diantaranya
dinyatakan positif terkontaminasi telur cacing, sedangkan 16 sampel (80%) lainnya
dinyatakan negatif tidak terkontaminasi telur cacing nematoda usus.
Tabel 3. Distribusi jenis Telur cacing Nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual
dikelurahan madyopuro, kota malang tahun 2015 (n = 20)
Species N (%)
Ascaris lumbricoides 3 (50%)
Trichuris trichiura 1 (16,67%)
Ancylostoma duodenale 2 (33,33%)
Sumber: data diolah
Gambar 8. Proporsi kontaminasi telur cacing nematoda usus berdasarkan jenisnya pada
lalapan daun selada yang dijual Dikelurahan Madyopuro Kota Malang Tahun
2015
0
20
40
60
80
Positif Negatif
Positif
20
%
80%
0%
20%
40%
60%
Ascarislumbricoides
Trichuristrichiura
Cacingtambang
Proporsi kontaminasi telur cacing Nematoda
usus berdasarkan jenisnya
33
%
50%
17
%
11
Pada tabel 3 dan gambar 8 dapat dilihat hasil pemeriksaan pada sampel yang
positif terkontaminasi telur cacing yaitu terdapat kontaminasi Ascaris lumbricoides
(50%), Trichuris trichura (16,67%) dan Cacing tambang (33,33%). Dari 4 sampel yang
positif terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda yaitu Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Cacing tambang.
Pembahasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing nematoda
usus pada lalapan daun selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun
2015. Dengan mengidentifikasi sampel, yang akan diperoleh hasilnya mengenai berapa
banyak proporsi lalapan daun selada yang terkontaminasi dengan telur cacing nematoda
usus yang dinyatakan dengan positif dan negatif terkontaminasi telur cacing.
Hasil pemeriksaan pada 20 sampel yang diperoleh dari penjual lalapan daun
selada yang dijual dikelurahan madyopuro kota malang tahun 2015 menunjukkan bahwa
proporsi lalapan daun selada yang positif terkontaminasi telur cacing sebesar 20%,
sedangkan yang negatif sebesar 80%. Angka tersebut lebih rendah bila dibandingkan
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh (Almi, 2011) berdasarkan penelitian yang
pernah dilakukan di pasar tradisional dan pasar modern Kota Bandar Lampung,
ditemukan angka kontaminasi Soil Transmitted Helminths (STH) pada sayuran kubis dan
selada yang cukup tinggi. Angka kontaminasi telur Soil Transmitted Helminths (STH) di
pasar tradisional yaitu sebesar 76,1% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 43,2%,
Trichuris trichiura 10,2% dan keduanya 22,7%. Pada pasar modern angka kontaminasi
telur cacing sebesar 58,3% dengan proporsi telur Ascaris lumbricoides 16,6%, Trichuris
trichiura 19,7% dan keduanya 21,8%
Kontaminasi telur cacing pada lalapan daun selada dapat dipengaruhi oleh
tempat asal sampel dibeli, proses pencucian sampel yang kurang bersih dan penyajian
sampel. Dari hasil yang positif bisa dilihat dari proses pencucian sampel yang dilakukan,
apakah pencucianya sudah benar atau tidak, kebanyakan pedagang yang kurang mengerti
tentang kesehatan hanya mencuci sayurannya dengan semaunya, yang penting terkena air,
padahal cara seperti itu kurang benar karena dapat dipastikan telur cacing yang terdapat
pada sayuran mentah yang akan dikonsumsi masih melekat pada sayuran tersebut dan
akan ikut tertelan saat dikonsumsi .
Dari penelitian yang dilakukan (Wardhana, 2010) hasil wawancara dengan
pemilik warung, diketahui bahwa setengah dari jumlah warung yang diperiksa (7 warung)
belum melakukan pencucian sayuran dengan baik. Beberapa pedagang hanya mencuci
sayuran kubis pada bagian luarnya saja. Selain itu pencuciannya juga tidak dibawah air
yang mengalir. Ada juga pedagang yang mencuci sayuran kubis dengan cara merendam
kubis yang masih dalam bentuk utuh kedalam wadah yang berisi air. Proses pencucian
sayuran yang kurang baik ini memungkinkan masih tertinggalnya telur Soil Transmitted
Helminths (STH) pada sayuran sebelum disajikan sebagai lalapan.
Kualitas air yang digunakan untuk membersihkan sayuran mutlak diperlukan,
karena air juga sangat mempengaruhi keberadaan telur cacing pada saat pencucian
sayuran. Hal ini sesuai dengan pendapat (Widjaja, 2014) bahwa pencucian yang benar
adalah dengan air yang mengalir sehingga dapat membersihkan sisa kotoran dengan
maksimal. Karena itu, melakukan pencucian sayuran dengan air yang mengalir lebih baik.
Ditemukannya telur cacing nematoda usus pada lalapan daun selada yang dijual
di kelurahan madyopuro kota malang dapat juga disebabkan oleh petani sayur yang
menggunakan air tercemar telur cacing nematoda usus untuk menyiram tanaman , seperti
menggunakan air yang berasal dari sungai, dan sungai tersebut digunakan oleh warga
12
untuk membuang air besar. Bisa juga disebabkan penjual lalapan tidak mencuci sayur
dengan air bersih yang mengalir, atau pencuciannya kurang bersih.
Dilihat dari hasil penelitian yang diperoleh, sampel positif didapat dari
pedagang yang terlihat kurang menjaga kebersihan dari sayur yang digunakan sebagai
lalapan. Karena masih terlihat sayuran agak kotor dibagian lipatan atau lekukan daunya.
Hal ini dapat dipengaruhi pengetahuan yang kurang dari si penjual untuk menjaga
kebersihan sayur yang akan digunakan sebagai lalapan.
Untuk mengurangi dampak penyebaran yang ditimbulkan oleh parasit dapat
dilakukan dengan menjaga sanitasi lingkungan seperti tidak membuang air besar di
sungai yang nantinya air sungai tersebut akan dimanfaatkan oleh para petani untuk
menyiram tanaman, dan mencuci sayuran dengan air yang tidak tercemar parasit hingga
bersih.
Tabel 3 Menunjukkan bahwa prevalensi yang paling tinggi adalah Ascaris
lumbricoides (50%), kemudian Cacing tambang (33,33%) sedangkan Trichuris trichiura
(16,67%). Dari 4 sampel sayuran selada yang diketahui spesies telur nematoda ususnya,
terdapat dua kontaminasi tunggal dan dua kontaminasi ganda dalam satu sampel yaitu
Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan Ancylostoma
duodenale. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat tentang kebersihan dan
sanitasi masih kurang.
Tinggi rendahnya frekuensi kecacingan pada masing-masing hasil penelitian
berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan dan kebersihan pribadi yang menjadi
sumber infeksi (Mardiana, 2008). Penyakit yang disebabkan oleh cacing banyak tersebar
di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Hal ini dikarenakan berkaitan dengan faktor
cuaca dan tingkat sosial ekonomi masyarakat.
Penyebaran telur cacing bisa ditularkan bersamaan melalui feces penderita, tidak
hanya berkaitan dengan cuaca, suhu, dan kelembaban udara, tetapi juga berkaitan dengan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang sanitasi (Entjang, 2003). Kebiasaan
menggunakan feces sebagai pupuk tanaman akan dapat mencemari tanah dan juga akan
berdampak pada tanaman yang diberi pupuk, misalnya seperti sayuran, akan tercemari
dengan telur helminthiasis.
Pengetahuan masyarakat juga berperan penting dalam pencegahannya, kebiasaan
masyarakat yang memakan sayuran mentah dan setengah mentah juga akan mendukung
tertularnya penyakit cacingan, karena di dalam makanan tersebut bisa jadi terdapat kista
atau larva cacing.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa Terdapat telur cacing
nematoda usus pada lalapan daun selada (Lactuca sativa L.) yang dijual di kelurahan
madyopuro kota malang tahun 2015. Jumlah sampel lalapan daun selada sebanyak 20
yang positif di Kelurahan madyopuro kota malang sebanyak 20 %, dan sampel negatif
sebanyak 80%. Proporsi sampel yang mengandung telur cacing Ascaris lumbriciodes
adalah 50%, mengandung telur cacing Trichuris trichiura adalah 16,67% dan yang
mengandung telur cacing Ancylostoma duodenale 33,33%, pada sampel juga ditemukan
infeksi ganda antara Ascaris lumbricoides dengan Trichuris trichiura, dan Ascaris
lumbricoides dengan Ancylostoma duodenale.
13
Saran
1. Untuk masyarakat / konsumen hendaknya memilih penjual lalapan yang terjaga
kebersihan dan kesegaran sayurnya.
2. Untuk masyarakat seharusnya sayuran dimasak dulu dengan air panas dan dikonsumsi
dalam keadaan matang tidak mentah.
3. Penjual lalapan seharusnya tidak mencuci sayuran dalam keadaan selada masih utuh
dan pada saat akan disajikan bagian terluar dibuang terlebih dahulu.
4. Penjual lalapan hendaknya mencuci sayuran yang akan dijual menggunakan air
bersih, dan air mengalir.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, S. 2005. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hlm. 37.
Almi DU, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada
di Pasar Tradisional Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. Hlm: 35-37.
Al-Rasyid, M. Trichuris trichiura (Cacing Cambuk). (online:
http://maksumprocedure.blogspot.com/2012/05/trichuris-trichiura-cacing-
cambuk.html?m=1) diakses tanggal 20 Juni 2015.
Ashari, Semeru, 1995. Hortikultura Aspek Budidaya.UI.Press.Jakarta.485 pp.
Astawan, Made. 2004. Modal Dasar Hidup Sehat. http://www.gizi.net. Diakses tanggal 14
Juli 2015.
Barasi, M. (2009). At a Glance: Ilmu Gizi. Penerjemah: Hermin. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Gandahusada, Srisasi., Herry D., Wita Pribadi. 2004. Parasitologi kedokteran. Gaya baru.
Jakarta.
Entjang, indan. 2003. Mikrobiologi dan parasitologi untuk akademi keperawatan dan
sekolah tenaga kesehatan yang sederajat. Citra aditya bakti. Bandung.
Haryanto, E., T. Suhartini dan E. Rahayu. 1996. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya.
Jakarta.
http://www.indonesian-publichealth.com/2014/08/infeksi-kecacingan-penyebab
anemia.html diakses 21 april 2015 pukul 18:27
Indriani A, 2011. Identifikasi Soil Transmitted Helminths pada Sayuran Kubis dan Selada
di Pasar Modern Kota Bandar Lampung. Universitas Lampung. Bandar
Lampung. Hlm: 34-35
Kartasapoetra, G., Drs, dan Marsetyo, Drs, Med. 2008. Ilmu Gizi : Korelasi Gizi,
Kesehatan & produktivitas kerja. Rineka cipta. Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. 2006. Keputusan Menteri Kesehatan Rupublik Indonesia
Nomor 424/MENKES/SK/VI/2006 Tentang Pendoman Pengendalian Cacingan.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Hlm: 3.
Khomsan, Ali. Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 25 juni
2015.
Kundain, F,. 2012. Hubungan Antara Sanitasi Lingkungan dengan Infestasi Cacing pada
Murid Sekolah Dasar di Desa Teling Kecamatan Tombariri Kabupaten
Minahasa.http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/kesmas/article/download/0/76.
Akses 10 juni 2015.
Kurniawan, B. 2014. Identifikasi Telur Soil Transmitted Helminths Pada Lalapan Kubis
(Brassica Oleracea) Di Warung-Warung Makan Universitas Lampung. http://
juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/download /223 /221.
Akses 15 juni 2015.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
14
Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi) : Pendekatan Aspek
Indentifikasi, Diagnosis dan Klinik. EGC.
Palgunadi, B.U. 2010. Pencemaran Tanah Oleh Telur Cacing Usus Dalam Hubungannya
dengan Kejadian Infeksi Cacing Usus. Tesis. Unuversitas Airlangga.
Poetra, O.P. 2011. Ascaris lumbricoides (Cacing gelang). https://www.google.co.
id/search?q=gambar+telur+ascaris+lumbricoides diakses 15 juli 2015.
Pracaya. Kol Alias Kubis. Cetakan 9. Penerbar Swadaya. Jakarta. 1994 Ali Khomsan.
Pencucian Sayuran. http://www.google.com. Diakses tanggal 19 Desember 2014
Sa’adah,F.N. 2012. Pengaruh Lamanya Penyimpanan Pupuk Kandang Sapi Yang Diberi
Biokompleks Terhadap Petumbuhan Dan Hasil Tanaman Selada (Lactuca Sativa
L.) Varietas Brando. Jurnal Penelitian Bidang Ilmu Pertanian. 8 (3) : 97-104
Saydam. G. 2011. Memahami Berbagai Penyakit Pernafasan dan Gangguan Pencernaan.
Alfa Beta. Bandung.
Suriptiastuti. 2006. Infeksi soil-transmitted helminth : ascariasis, trichiuriasis dan cacing
tambang. Universa Medicina. 25 (2) : 84-93
Suryani, Dyah. 2012. Hubungan Perilaku Mencuci Dengan Kontaminasi Telur Nematoda
Usus Pada Sayuran Kubis (Brassica oleracea) Pedagang Pecel Lele di Kelurahan
Warungboto Kota Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD. 6 (2) : 162-232.
Tjay, Tan Hoan.(2008). Obat – Obat Penting. Alex Media Komputerind. Jakarta.
Wahyuningsih, sri .2011. Petunjuk laporan praktikum parasitologi. Jember.
Wicaksono, A. 2008. Penyimpanan Bahan Makanan Serta Kerusakan Selada. Skripsi .
Fakultas Politeknik Kesehatan. Yogyakarta.
World Health Organization. 2013. Soil-transmitted helminth infections.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/,diakses 20 Desember 2014.