PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK...

14
69 PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI PUSKESMAS BLIMBING MALANG Oleh Ma’rufah Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung. Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode pemeriksaan. Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan. Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara makroskopis maupun mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan konsistensi tinja. Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa infeksi soil transmitted helminths pada kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang menunjukkan semua hasil negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak. PENDAHULUAN Penyakit infeksi kecacingan masih banyak terjadi di masyarakat terutama di daerah tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Infeksi ini diakibatkan oleh kelompok cacing soil transmitted helminths (STH), yaitu kelompok cacing yang penularannya melalui tanah. Infeksi yang sering terjadi di daerah pedesaan dan daerah kumuh perkotaan ini, dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak ataupun orang dewasa, namun infeksi paling banyak terjadi pada anak usia balita karena pada usia tersebut anak paling sering kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. Individu dengan infeksi ringan cenderung mempunyai gejala ringan atau bahkan tanpa gejala sedangkan infeksi berat dan lama sering menunjukkan keluhan dan tanda klinis serta menimbulkan komplikasi. (Ideham, et al, 2007). Oleh sebab itu, penderita penyakit kecacingan, seringkali baru menyadari bahwa dirinya menderita penyakit kecacingan pada kondisi yang sudah kronis. (http://groups.yahoo.com/group/ pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi berat dan kronis, dapat terjadi diare terus menerus, malnutrisi dan anemia, pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia), serta gizi buruk. Hal ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia tiap individu juga menurun. (Sumanto, 2008). Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides, 46 juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang (Monstresor et al, 1998). Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia

Transcript of PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK...

Page 1: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

69

PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK BALITA DI

PUSKESMAS BLIMBING MALANG

Oleh

Ma’rufah

Prodi Analis Kesehatan-AAKMAL Malang

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di

laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup

keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng

Malang. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung.

Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data

penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode pemeriksaan.

Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di Puskesmas

Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu

melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan

pemeriksaan.

Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara makroskopis

maupun mikroskopis. Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan

konsistensi tinja. Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal

ini dikarenakan dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa

mempengaruhi hasil pemeriksaan.

Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa infeksi soil transmitted helminths pada

kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang menunjukkan semua hasil negatif.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk

hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak.

PENDAHULUAN

Penyakit infeksi kecacingan masih banyak terjadi di masyarakat terutama di

daerah tropik dan subtropik, termasuk di Indonesia. Infeksi ini diakibatkan oleh kelompok

cacing soil transmitted helminths (STH), yaitu kelompok cacing yang penularannya

melalui tanah. Infeksi yang sering terjadi di daerah pedesaan dan daerah kumuh

perkotaan ini, dapat terjadi pada semua umur, baik pada balita, anak ataupun orang

dewasa, namun infeksi paling banyak terjadi pada anak usia balita karena pada usia

tersebut anak paling sering kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka,

serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja.

Individu dengan infeksi ringan cenderung mempunyai gejala ringan atau bahkan

tanpa gejala sedangkan infeksi berat dan lama sering menunjukkan keluhan dan tanda

klinis serta menimbulkan komplikasi. (Ideham, et al, 2007). Oleh sebab itu, penderita

penyakit kecacingan, seringkali baru menyadari bahwa dirinya menderita penyakit

kecacingan pada kondisi yang sudah kronis. (http://groups.yahoo.com/group/

pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi berat dan kronis, dapat terjadi diare terus

menerus, malnutrisi dan anemia, pada akhirnya dapat mengakibatkan menurunnya daya

tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia), serta gizi buruk. Hal ini berdampak pada kualitas

sumber daya manusia tiap individu juga menurun. (Sumanto, 2008).

Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar orang menderita infeksi

cacing yang ditularkan melalui tanah, lebih dari 250 juta oleh Ascaris lumbricoides, 46

juta oleh Trichuris trichiura dan 151 juta oleh cacing tambang (Monstresor et al, 1998).

Cacing yang ditularkan melalui tanah yang prevalensinya cukup tinggi di Indonesia

Page 2: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

70

adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura dan cacing tambang. Sedangkan

Strongyloides stercoralis prevalensinya sangat rendah. Hasil survey Subdit diare pada

tahun 2002 dan 2003 pada 40 Sekolah Dasar (SD) di 10 provinsi menunjukkan prevalensi

kecacingan berkisar antara 2,2% - 90,3%. (Depkes R.I, 2004).

Spesies cacing yang termasuk dalam kelompok soil transmitted helminth (STH)

ialah Ascaris lumbricoides (cacing gelang), Necator americanus dan Ancylostoma

duodenale (cacing tambang), Trichuris trichiura (cacing cambuk), serta Strongyloides

stercoralis (cacing benang). (Sutanto, et al, 2008). Tinggi rendahnya infeksi kecacingan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi,

ada atau tidak ada dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi cacing.

Pencemaran tanah dengan tinja merupakan media penularan yang baik bagi penularan soil

transmitted helminths (STH). Telur yang dibuahi akan berkembang dengan cepat pada

keadaan lingkungan yang menguntungkan dan menajdi telur yang infektif dalam waktu

beberapa minggu. Infeksi pada manusia terjadi melalui tangan yang tercemar telur cacing

yang infektif, lalu masuk ke mulut bersama makanan atau larva menembus kulit pada

infeksi cacing tambang. (Ulukanligil et al, 2001).

Faktor kebersihan pribadi juga merupakan salah satu hal penting, karena

manusia sebagai sumber infeksi dapat mengurangi kontaminasi / pencemaran tanah oleh

telur ataupun larva cacing atau sebaliknya akan menambah polusi lingkungan sekitarnya.

Perilaku yang dapat membantu pencegahan kecacingan adalah memelihara kebersihan

kuku tangan dan kaki serta kebersihan sesudah buang air besar. (Maharani, 2005).

Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dikemukakan suatu rumusan masalah

yaitu, Berapa prevalensi infeksi kecacingan pada anak balita di Puskesmas Blimbing

Malang?

Tinjauan Pustaka

Nematoda

Nematoda berasal dari filum nemathelminthes. Nemathelminthes (cacing gilig)

mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, filariform, bilateral simetrik dengan

ukuran 2 mm – 30 cm. Cacing dari filum ini memiliki rongga tubuh serta alat pencernaan

yang lengkap, tetapi tidak dilengkapi sistem saraf dan sistem ekskresi yang sempurna.

Tubuhnya tidak bersegmen tetapi disertai kutikulum yang menutupi seluruh tubuhnya.

Nematoda bereproduksi dengan cara uniseksual. (Soedarto, 2008).

Nematoda memiliki daur hidup dan habitat yang berbeda dalam tubuh manusia,

di usus, jaringan atau organ manusia. (Gandahusada, 1998). Tiap spesies nematoda juga

mempunyai cara penularan atau transmisi yang berbeda, seperti per - oral (memakan

makanan yang terinfeksi telur berembrio atau kista berisi larva), subkutan (larva yang

menembus kulit), serta hewan perantara (arthropoda). Cacing dari kelas nematoda paling

banyak mengakibatkan soil transmitted helminthiasis, yaitu infeksi yang disebabkan oleh

penularan cacing melalui media tanah, seperti Ascaris lumbricoides, Ancylostoma

duodenale, Necator americanus, Trichuris trichiura, dan Strongyloides stercoralis.

(Onggowaluyo, 2002).

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa kelompok cacing nematoda yang hidup

di usus mempunyai tingkat penularan yang tinggi melalui media tanah atau yang biasa

disebut soil transmitted helminths, baik secara per - oral maupun secara subkutan. Bahkan

ada cacing nematoda yang transmisinya secara autoinfeksi, seperti Strongyloides

stercoralis. Adanya autoinfeksi bisa menyebabkan penderita terkena infeksi menahun.

(Prasetyo, 2002; Soedarto, 2008). Akan tetapi tidak semua cacing nematoda yang hidup

di usus merupakan kelompok soil transmitted helminths, seperti Trichinella spiralis dan

Enterobius

vermicularis. Sedangkan mekanisme penularan cacing nematoda yang hidup di jaringan

atau organ cenderung melalui hewan perantara (arthropoda), seperti Aedes culex,

Anopheles, dan Mansonia. (Prasetyo, 2002).

Page 3: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

71

Tinggi rendahnya infeksi kecacingan dipengaruhi oleh beberapa faktor,

diantaranya pencemaran lingkungan, keadaan sanitasi, ada atau tidak ada, aspek ekonomi,

tingkat pengetahuan, dan perilaku manusia sangat berperan pada penularan infeksi

cacing. (Maharani, 2005).

Soil Transmitted Helminths

Soil transmitted helminths merupakan kelompok cacing yang menyebabkan

infeksi kecacingan melalui media tanah. Sebagian besar nematoda merupakan soil

transmitted helminths. Penyebab soil transmitted helminths yang paling sering di

Indonesia adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, dan cacing tambang.

(Gandahusada, 1998; Margono, 2003).

Tanah yang lembab dan suhu optimum merupakan kondisi yang baik bagi

kelompok cacing ini untuk berkembang biak. (Ideham, et al, 2007). Pada suhu 25˚-

30˚C, telur Ascaris lumbricoides akan matang dalam waktu kurang dari 3 minggu pada

tanah dengan kelembaban tinggi. Pada suhu 25˚- 30˚C, telur Ancylostoma duodenale dan

Necator americanus akan menetas dalam waktu kurang dari 2 hari dan akan menjadi

larva rhabditiform, kemudian pada hari ke 5 - 8 larva rhabditiform akan menjadi larva

filariform pada tanah yang berpasir. Pada suhu 30˚C, telur Trichuris trichiura akan

matang dalam waktu 3 - 6 minggu pada tanah liat yang lembab. Sedangkan, pada suhu

23˚- 25˚C, larva filariform

Strongyloides stercoralis akan terbentuk dalam waktu kurang dari 2 hari di tanah yang

berpasir dan siklus bentuk bebas ada di tanah liat. (Sutanto, et al, 2008).

Tingginya prevalensi infeksi kecacingan atau soil transmitted helminthiasis di

beberapa negara, dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya letak geografis suatu

wilayah, kondisi iklim tropis atau subtropis, tingkat kelembaban yang tinggi, serta aspek

ekonomi sosial yang tergolong rendah, seperti di Indonesia. Oleh karena itu, tingkat

prevalensi soil transmitted helminthiasis di Indonesia sangat tinggi, terutama pada anak

usia balita. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering kontak dengan tanah,

sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan

yang mudah terkontaminasi parasit. (Onggowaluyo, 2002).

Kelompok Cacing Soil Transmitted Helminths

1 Ascaris lumbricoidess

Ascaris lumbricoides atau cacing gelang merupakan nematoda yang habitatnya di

lumen usus halus manusia. Memiliki masa hidup sekitar 12 – 18 bulan. Merupakan salah

satu nematoda yang transmisinya melalui media tanah. (Soedomo, 2008). Penyakit yang

disebabkan oleh cacing ini disebut askariasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain askariasis,

larva Ascaris lumbricoides juga bisa menyebabkan Loeffler Syndrome di paru.

(Gandahusada, 1998).

1) Epidemiologi

Ascaris lumbricoides bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di

semua tempat. Parasit ini merupakan salah satu penyebab soil transmitted helminths

yang paling banyak di Indonesia. Dari laporan WHO diketahui bahwa lebih dari 1 milyar

orang menderita soil transmitted helminthiasis, dan diantaranya lebih dari 250 juta orang

menderita askariasis. (Depkes R.I, 2004).

Penderita askariasis paling banyak adalah anak usia balita, hal ini dikarenakan

anak usia balita paling sering melakukan kontak dengan tanah, sering bermain di

lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi makanan sembarangan yang mudah

terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002). Parasit ini dapat berkembang dengan baik di

daerah yang panas dan lembab. (Ideham, et al, 2007).

Page 4: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

72

2) Morfologi dan Daur Hidup Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi (fertilized) berbentuk bulat agak

oval dengan ukuran 45 x 60 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang jelas. Kulit luar

kasar, berwarna coklat, dan kadang tertutup tonjolan kecil (corticated). Kulit dalam yang

halus, tebal dan tidak berwarna, berisi suatu masa tunggal, bulat, bergranula, tidak

berwarna dan terletak di tengah.

Telur Ascaris lumbricoides yang belum dibuahi (unfertilized) berbentuk oval

dengan ukuran 40 x 90 µm, memiliki kulit ganda dengan batas yang tidak nyata, kulit luar

berwarna coklat dan kadang disertai tonjolan seperti bergelombang (corticated). Kulit

dalam agak tipis dan tidak berwarna, berisi butiran bulat besar yang tampak membias.

Lapisan albumin pada telur Ascaris lumbricoides kadang tampak seperti tonjolan

bergelombang, tetapi kadang tidak dapat dilihat karena sudah tidak memiliki lapisan

albumin (decorticated). (Bruckner, 1996; Prasetyo, 1996).

Morfologi cacing dewasa mirip dengan cacing tanah, dengan kedua ujung tubuh

membulat. Tubuh berwarna kuning kecoklatan, mempunyai kutikulum yang halus

dengan garis halus. Cacing dewasa memiliki 3 bibir, satu di bagian dorsal, dan yang lain

di bagian subventral. Cacing betina memiliki ukuran 22 – 35 cm, dengan bentuk tubuh

yang lurus, dan membulat. Sedangkan cacing jantan memiliki ukuran lebih kecil dari

cacing betina, yaitu 10 – 30 cm, dengan kedua ujung posterior runcing dan memiliki 2

spikulum yang melengkung, dengan panjang 2 mm. (Prasetyo, 2002).

Telur Ascaris lumbricoides yang sudah dibuahi dapat berkembang biak dengan

baik pada lingkungan yang sesuai, yaitu tanah liat yang lembab dan suhu 25 – 30º C.

Telur akan berubah menjadi bentuk yang infektif , yaitu telur yang mengandung embrio

atau larva dalam waktu 3 minggu. (Soedarto, 2008). Bila bentuk infektif ini tertelan

manusia, maka akan menetas di dalam usus menjadi larva. Larva kemudian menembus

dinding usus halus, lalu terbawa aliran darah menuju jantung, paru, dan alveolus (lung

migration). Lung migration terjadi dalam kurun waktu 10 – 14 hari. Larva kemudian akan

menuju faring melalui trakea yang merangsang timbulnya batuk. Pada saat batuk, larva

akan tertelan ke dalam esofagus, dan kembali menuju usus halus. Di usus halus, larva

kemudian berkembang menjadi cacing dewasa. (Samad, 2009). Selain bermigrasi ke

paru, kadang cacing dewasa juga bermigrasi ke anus, mulut, dan hidung. (Onggowaluyo,

2002).

3) Patologi dan Gejala Klinis

Cacing Ascaris lumbricoides dewasa seringkali menimbulkan gejala yang

ringan, atau bahkan tanpa gejala. Kadang penderita hanya mengalami gangguan ringan

seperti dispepsia, yaitu rasa mual pada perut, diare, serta konstipasi. Lung migration

kadang bisa menyebabkan Loeffler Syndrome, yaitu penderita mengalami batuk darah,

demam, dan peningkatan jumlah eosinofil dalam tubuh (eosinofilia), dimana kondisi ini

sering disalah-artikan sebagai TBC. (Gandahusada, 1998).

Gejala yang lebih berat biasanya disebabkan oleh larva. Larva ini hidup dengan

menyerap sari makanan pada tubuh inang, sehingga menyebabkan penderita mengalami

malabsorbsi, yaitu suatu keadaan dimana kemampuan usus untuk menyerap sari makanan

menjadi berkurang. Infeksi ini dapat menjadi lebih berat bila terjadi obstruksi usus (ileus).

(Ideham, et al, 2007). Migrasi cacing dewasa ke organ tubuh , seperti hidung, anus, dan

mulut juga bisa menimbulkan kelainan yang serius. (Onggowaluyo, 2002).

Ringannya gejala menyebabkan penderita baru menyadari bahwa dirinya

menderita penyakit kecacingan pada kondisi yang sudah kronis dan berat.

(http://groups.yahoo.com/group/pelita/message/4586). Pada kondisi infeksi kronis dan

berat dapat mengakibatkan menurunnya daya tahan tubuh, kecerdasan (intelegensia),

serta gizi buruk. (Sumanto, 2008).

Page 5: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

73

4) Diagnosis

Diagnosis askariasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi , baik secara

makroskopik maupun secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan

bentuk diagnostik dari Ascaris lumbricoides, maka dapat disimpulkan bahwa pasien

menderita askariasis. Pemeriksaan imunologi dan radiologi juga bisa digunakan untuk

membantu menegakkan diagnosis askariasis. ( Brown Harold W, 1979).

Tabel 1. Pemeriksaan parasitologi Ascaris lumbricoides (Prasetyo, 2002)

No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik

Telur Larva Cacing dewasa

1. Pemeriksaan tinja

2. Pemeriksaan cairan empedu

3. Pemeriksaan bahan muntahan

4. Pemeriksaan biopsi jaringan paru

5. Pemeriksaan sputum √

5) Pencegahan dan Pengobatan

Upaya pencegahan dapat dilakukan dengan menghindari faktor yang dapat

menyebabkan infeksi kecacingan, melaksanakan prinsip-prinsip kesehatan lingkungan

yang baik, serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Pendidikan kesehatan pada

penduduk perlu dilakukan untuk menunjang upaya pencegahan penyebaran dan

pemberantasan askariasis. Pengobatan bisa dilakukan dengan memberi obat cacing

seperti mebendazol, piperasin, levamizol, pirantel pamoat, dan albendazol pada

penderita. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan massal juga perlu dilakukan, terutama di

daerah endemik, sehingga dapat memutus siklus hidup cacing ini. (Soedarto, 2008).

2 Necator americanus dan Ancylostoma duodenale Necator americanus dan Ancylostoma duodenale merupakan soil transmitted

helminths yang habitatnya di mukosa usus halus. Penyakit yang disebabkan oleh cacing

ini disebut nekatoriasis dan ankilostomiasis. (Onggowaluyo, 2002). Selain nekatoriasis

dan ankilostomiasis, cacing ini juga bisa menyebabkan kardiomegali, pneumositis, dan

AKB (Gandahusada, 1998).

1) Epidemiologi

Cacing ini bersifat kosmopolit, yang artinya bisa hidup hampir di semua tempat,

sama seperti Ascaris lumbricoides. Kedua cacing ini paling banyak ditemukan di daerah

tropis dan subtropis. Cacing ini bisa tumbuh dengan baik pada lingkungan dengan suhu

dan kelembaban yang tinggi, seperti daerah perkebunan dan pertambangan. Oleh karena

cacing ini sering mengakibatkan infeksi pada pekerja tambang, maka cacing ini juga

disebut cacing tambang (hookworm). (Onggowaluyo, 2002). Merupakan penyebab soil

transmitted helminthiasis paling tinggi setelah Ascaris lumbricoides. (Depkes R.I, 2004).

2) Morfologi dan Daur Hidup

Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale mempunyai bentuk yang

hampir sama, sehingga sulit dibedakan secara mikroskopik. Telur kedua cacing tambang

ini mempunyai ukuran 50 – 70 µm, berbentuk oval dengan kedua kutub agak mendatar.

Kulit telur ini sangat tipis, hanya tampak sebagai garis hitam. Bagian dalam berwarna abu

– abu, berisi 4 – 16 blastomer, tergantung tingkat maturitasnya. (Prasetyo, 2002).

Cacing tambang mempunyai 2 stadium larva, yaitu larva rhabditiform dan larva

filariform. Pada stadium larva rhabditiform, kedua cacing tambang ini memiliki bentuk

tubuh yang hampir sama, sehingga sulit dibedakan. Sedangkan pada stadium filariform

terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya.

Page 6: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

74

Tabel 2. Perbedaan larva rhabditiform & larva filariform Larva rhabditiform

Larva filariform

Necator americanus Ancylostoma duodenale

Gemuk Langsing Langsing

Panjang 250 µm Panjang 600 µm Panjang 600 µm

Rongga mulut panjang Rongga mulut panjang Rongga mulut panjang

Tidak infektif Infektif Infektif

Bulbus esofagus Tombak esofagus

menonjol, sering terbuka

Tombak esofagus tidak

menonjol, sering tertutup

- Ujung posterior lancip Ujung posterior tumpul

- Diselubungi sheat yang

bergaris melintang

Diselubungi sheat tanpa

garis melintang (polos)

(Prasetyo, 2002)

Pada fase dewasa, Necator americanus memiliki bentuk tubuh yang mirip dengan

huruf S, rongga mulut yang disertai plat pemotong, serta tidak ada spinal kaudal pada

ekor cacing betina. Sedangkan Ancylostoma duodenale memiliki bentuk tubuh yang mirip

dengan huruf C, rongga mulut yang disertai gigi, serta adanya spinal kaudal pada ekor

cacing betina. (Prasetyo, 2002).

Telur cacing tambang dapat berkembang biak dengan baik pada lingkungan yang

sesuai, yaitu pada tanah liat dengan kelembaban tinggi dan dengan suhu 25 – 30º C. Pada

kondisi lingkungan seperti ini, telur akan menetas menjadi larva rhabditiform dalam waku

kurang dari 2 hari, kemudian pada hari ke 5 - 8 larva rhabditiform akan berubah menjadi

bentuk yang infektif, yaitu larva filariform pada tanah yang berpasir. Larva filariform bisa

bertahan hidup di tanah dalam waktu 3 – 4 minggu. (Gandahusada, 1998).

Larva filariform menginfeksi manusia melalui media tanah secara per - oral

dan subkutan, berbeda dengan Ascaris lumbricoides yang menginfeksi manusia hanya

secara per - oral. Setelah masuk ke dalam kulit, larva ini akan terbawa aliran darah

menuju paru, kemudian larva akan menuju faring melalui trakea. Setelah di dalam faring,

larva akan tertelan ke dalam usus. (Prasetyo, 2002). Larva kemudian akan melekat pada

mukosa usus halus dengan menggunakan plat pemotong ataupun gigi dan menghisap

darah dari tubuh inang. Sedangkan bila larva filariform Ancylostoma duodenale masuk

melalui tubuh secara per - oral, maka larva filariform bisa langsung melekat pada mukosa

usus halus tanpa melalui peredaran darah, paru, trakea, serta faring. (Onggowaluyo,

2002).

3) Patologi dan Gejala Klinis

Gejala klinis bisa ditimbulkan oleh larva maupun cacing dewasa, semakin banyak

jumlah larva yang masuk ke dalam tubuh, maka semakin berat pula gejala yang

ditimbulkan. Bila larva masuk ke dalam tubuh secara subkutan, maka bisa menimbulkan

rasa gatal. Rasa gatal ini bisa menyebabkan infeksi sekunder bila lesi meluas dan

menjadi terbuka, yang disebut ‘ground itch’. (Soedarto, 2008).

Selain ‘ground itch’, cacing tambang juga bisa menyebabkan pneumositis dan

nekrosis jaringan usus. Pneumositis diakibatkan oleh lung migration yang dilakukan oleh

larva cacing tambang. Lung migration kadang juga bisa menyebabkan reaksi alergi yang

ringan. Sedangkan nekrosis jaringan usus diakibatkan oleh larva yang melekat pada

mukosa usus halus penderita, sehingga menyebabkan perdarahan terus menerus. Larva ini

hidup di dalam usus dengan cara menghisap darah dari tubuh inang, yang mengakibatkan

penderita mengalami AKB (anemia kurang besi). Penderita akan tampak pucat karena

mengalami penurunan kadar hemoglobin. (Gandahusada, 1998). Pada infeksi akut sering

disertai dengan gejala sakit perut, muntah, serta diare dengan tinja berwarna merah pekat

Page 7: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

75

akibat banyak darah yang keluar, dapat dijumpai eosinofilia perifer. (Ideham, et al, 2007;

Gandahusada, 1998)

4). Diagnosis

Diagnosis nekatoriais dan ankilostomiasis berdasarkan pemeriksaan parasitologi

secara mikroskopik. Bila pada spesimen yang diperiksa ditemukan bentuk diagnostik dari

cacing tambang, maka dapat disimpulkan bahwa penderita terinfeksi cacing tambang.

Pada pemeriksaan parasitologi cacing tambang perlu diperhatikan cara penanganan

spesimen. Spesimen tinja harus diperiksa dalam waktu 24 jam, agar telur tidak menetas

menjadi larva rhabditiform. Spesimen lebih baik diperiksa pada sediaan basah, karena

pewarnaan bisa berpengaruh pada hasil pemeriksaan. (Onggowaluyo, 2002).

Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan lebih memperhatikan kebersihan diri

dan lingkungan. Pembuatan jamban serta pemakaian alas kaki bisa mencegah terjadinya

infeksi akibat cacing tambang. Penyuluhan juga perlu dilakukan untuk menambah

pengetahuan masyarakat sehingga bisa mencegah terjadinya penyebaran infeksi cacing

tambang. Pengobatan bisa ditujukan untuk mengatasi anemia maupun memberantas

cacing dalam tubuh. Beberapa obat yang bisa diberikan pada penderita adalah

mebendazol, albendazol, dan juga levamisol. Sedangkan untuk terapi anemia bisa

digunakan folic acid dan preparat besi. (Soedarto, 2008).

3 Trichuris trichiura

Trichuris trichiura merupakan soil transmitted helminth yang habitatnya di

mukosa usus besar manusia. Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut trikuriasis.

(Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini sering terjadi bersamaan dengan infeksi Ascaris

lumbricoides. Selain menyebabkan trikuriasis, cacing ini juga bisa mengakibatkan

perdarahan dan anemia. (Gandahusada, 1998).

1) Epidemiologi

Trichuris trichiura bersifat kosmopolit, yaitu tersebar hampir di semua tempat,

terutama di daerah yang panas dan lembab. Frekuensi penyebaran tertinggi terjadi di

daerah tropis, dengan hujan lebat serta banyak kontaminasi tinja. Frekuensi infeksi cacing

cambuk relatif tinggi, tetapi biasanya bersifat ringan. Infeksi ini sering terjadi bersamaan

dengan infeksi Ascaris lumbricoides. Anak usia balita lebih rentan terkena infeksi

dibandingkan orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita lebih sering melakukan

kontak dengan tanah yang tercemar tinja. (Brown Harold W, 1979).

2) Morfologi dan Daur Hidup

Telur Trichuris trichiura berbentuk seperti tempayan dengan ukuran 50 µm x 32

µm. Memiliki 2 lapisan kulit, yaitu kulit tebal dan tipis yang berwarna oranye. Pada tiap

kutub dilengkapi tutup (plug) yang transparan. Berisi masa bergranula yang seragam

dengan warna kekuningan. (Prasetyo, 2002).

Cacing Trichuris trichiura dewasa memiliki bentuk seperti cambuk. Bagian

anterior merupakan 3/5 bagian tubuhnya, berbentuk lonjong seperti rambut. Sedangkan

2/5 bagian tubuh merupakan bagian posterior yang lebih tebal. Cacing jantan memiliki

panjang 3 - 4 cm, dengan bagian kaudal yang melengkung ke arah ventral. Memiliki

spikulum retraktil yang dilingkupi oleh selubung. Sedangkan cacing betina memiliki

panjang 4 – 5 cm, dengan bagian kaudal yang membulat dan tumpul seperti tanda koma.

(Prasetyo, 2002; Gandahusada, 1998).

Telur Trichuris trichiura yang sudah dibuahi akan berkembang menjadi telur

yang mengandung embrio atau larva dalam waktu 3 – 6 minggu. Telur bisa berkembang

jika berada pada lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah lembab dengan suhu 30˚C.

Bila telur yang berisi larva tertelan oleh manusia, maka telur akan menetas menjadi larva

di dalam usus halus. larva yang telah berkembang menjadi cacing dewasa akan masuk ke

Page 8: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

76

daerah kolon, terutama daerah sekum. Cacing ini tidak mempunyai siklus paru (lung

migration). (Gandahusada, 1998). Cacing ini mempunyai masa hidup 4 - 6 tahun, tetapi

dapat juga terjadi infeksi yang menetap pada tubuh penderita hingga 8 tahun. (Ideham, et

al, 2007).

3) Patologi dan Gejala Klinis

Gejala klinis yang diakibatkan oleh cacing ini bisa bersifat berat maupun ringan,

atau bahkan tanpa gejala, sesuai jumlah cacing yang menginfeksi. Cacing ini melekat

pada mukosa usus besar dan hidup dengan cara menghisap darah dari tubuh inang,

sehingga menimbulkan perdarahan pada tempat perlekatan. Perdarahan yang terjadi terus

– menerus bisa mengakibatkan anemia pada penderita dengan kadar hemoglobin kurang

dari 5 g/dl. Pada infeksi berat, cacing kadang terlihat di mukosa rektum yang

mengalami prolaps akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. (Soedarto, 2008).

4) Diagnosis

Diagnosis trikuriasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, baik secara

makroskopis maupun secara mikroskopik. Pada pemeriksaan secara makroskopis, dapat

ditemukan adanya cacing dewasa pada spesimen mukosa dan prolapsus rektum.

Sedangkan pada pemeriksaan secara mikroskopis, dapat ditemukan bentuk telur yang

khas pada spesimen tinja. (Prasetyo, 2002). Pada infeksi ringan, perlu dilakukan berbagai

cara konsentrasi. (Harold, 1979).

Tabel 3. Pemeriksaan parasitologi cacing Trichuris trichiura (Prasetyo, 2002) No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik

Telur Cacing dewasa

1. Pemeriksaan tinja

2. Pemeriksaan mukosa rektum

3. Pemeriksaan prolapsus rektum

(Prasetyo, 2002)

5). Pencegahan dan Pengobatan

Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya memberikan

penyuluhan, terutama pada anak usia balita , tentang sanitasi dan higiene seperti

membiasakan diri mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air. Pembuatan

jamban juga turut serta dalam upaya mencegah terjadinya soil transmitted helminthiasis.

Pengobatan pada penderita trikuriasis bisa dilakukan dengan memberi kombinasi pirantel

pamoat dan oksantel pamoat secara bersamaan dengan dosis pirantel pamoat 10 mg/kg

berat badan dan oksantel pamoat 10 – 20 mg/kg berat badan. (Soedarto, 2008).

4 Strongyloides stercoralis

Strongyloides stercoralis merupakan cacing nematoda yang penularannya melalui

media tanah secara subkutan. Selain itu cacing ini juga bisa menyebabkan autoinfeksi.

Penyakit yang disebabkan oleh cacing ini disebut strongiloidiasis. (Gandahusada, 1998;

Onggowaluyo, 2002). Infeksi cacing ini juga bisa menyebabkan kematian akibat

kerusakan otak, kegagalan pernafasan, dan peritonitis. (Bruckner, 1996).

1) Epidemiologi

Penyebaran infeksi cacing Strongyloides stercoralis sering ditemukan bersamaan

dengan infeksi cacing tambang, hanya saja frekuensinya lebih rendah di daerah beriklim

sedang. Cacing ini sering terdapat di daerah beriklim tropis dan subtropis, terutama di

daerah dengan sanitasi yang buruk. (Brown Harold W, 1979; Ideham, et al, 2007).

Page 9: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

77

2) Morfologi dan Daur Hidup

Larva rhabditiform Strongyloides stercoralis berukuran 200 – 250 µm, memiliki

mulut yang pendek dengan dua pembesaran esofagus. Larva filariform memiliki ukuran

yang lebih panjang, yaitu sekitar 700 µm, dengan bentuk tubuh yang langsing tidak

berselubung, bermulut pendek, memiliki esofagus silindris serta ekor yang bercabang.

(Soedarto, 2008; Prasetyo, 2002).

Cacing dewasa Strongyloides stercoralis memiliki 2 bentuk, yaitu bentuk

parasitik dan bentuk bebas. Cacing yang parasitik berukuran sekitar 2,2 mm, berbentuk

seperti benang halus, tidak berwarna dan semi transparan. Cacing ini juga dilengkapi

dengan sepasang uterus dan memiliki sistem reproduksi partenogenesis. (Prasetyo, 2002;

Gandahusada, 1998). Sedangkan cacing dewasa yang hidup bebas (free living) berukuran

lebih pendek daripada cacing yang parasitik, memiliki esofagus yang mirip dengan

esofagus pada stadium larva rhabditiform, cacing jantan memiliki ekor yang bengkok dan

dilengkapi dengan spikulum. (Prasetyo, 2002).

3) Patologi dan Gejala Klinis

Gejala klinis bisa bersifat ringan, sedang ataupun berat, tergantung jumlah cacing.

Bila larva yang masuk ke dalam kulit dalam jumlah besar, maka akan menimbulkan rasa

gatal, atau bahkan dapat menyebabkan kelainan kulit, yaitu creeping eruption. Infeksi

ringan biasanya tanpa gejala. Infeksi sedang sering menimbulkan rasa mual, muntah,

diare dan juga konstipasi. Infeksi yang lebih berat terjadi dalam jangka waktu yang

panjang. (Gandahusada, 1998). Pada saat tertentu, dimana penderita mengalami

penurunan imunitas dan keseimbangan, maka infeksi akan semakin meluas yang ditandai

dengan peningkatan produksi larva di dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan

peritonitis, kerusakan otak, dan juga kegagalan pernafasan yang bisa mengakibatkan

kematian. (Soedarto, 2008; Bruckner, 1996).

4) Diagnosis

Diagnosis strongiloidiasis berdasarkan pada pemeriksaan parasitologi, secara

mikroskopik. Pemeriksaan secara mikroskopik lebih baik menggunakan metode

konsentrasi atau metode biakan (Harada Mori), karena pada metode langsung jarang

ditemukan adanya bentuk diagnostik pada spesimen. Telur cacing lebih sering ditemukan

pada infeksi ringan, sedangkan pada infeksi berat kadang hanya bisa ditemukan

larvarhabditiform maupun larva filariform. (Onggowaluyo, 2002).

Tabel 4. Pemeriksaan parasitologi Strongyloides stercoralis. (Prasetyo, 2002) No Bahan Pemeriksaan Bentuk Diagnostik

Telur Larva Cacing

dewasa Rhabditiform Filariform

1. Pemeriksaan tinja

2. Pemeriksaan biakan free living

3. Pemeriksaan perianal

4. Pemeriksaan cairan

duodenum

5) Pencegahan dan Pengobatan

Upaya pencegahan lebih sulit dilakukan dibandingkan pencegahan terhadap

infeksi cacing tambang. Hal ini dikarenakan adanya hewan sebagai hospes reservoir,

selain itu terjadinya autoinfeksi serta siklus hidup bebas di tanah menyebabkan sulitnya

pemberantasan penyakit ini. (Soedarto, 2008). Meskipun demikian, penyebaran infeksi ini

bisa diminimalkan dengan membiasakan diri memakai alas kaki serta menghindari

defekasi di sembarang tempat. (Onggowaluyo, 2002). Pengobatan sendiri dapat

Page 10: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

78

dilakukan dengan memberikan tiabendazol dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap

hari, yang terbagi dalam 3 dosis dan diberikan selama 3 hari. Selain itu albendazol juga

dapat diberikan pada penderita dengan dosis tunggal 400 mg. (Soedarto, 2008).

5. Faktor Penyebab

1) Faktor Usia

Faktor usia sangat berpengaruh terhadap tingginya prevalensi infeksi

kecacingan. Pada umumnya, anak usia balita lebih rentan terkena infeksi kecacingan

daripada orang dewasa. Hal ini dikarenakan anak usia balita paling sering melakukan

kontak dengan tanah, sering bermain di lingkungan terbuka, serta sering mengkonsumsi

makanan sembarangan yang mudah terkontaminasi tinja. (Onggowaluyo, 2002).

Minimnya pengawasan orang tua juga turut berperan dalam penularan infeksi kecacingan,

terkadang orang tua tidak membiasakan anak untuk memakai alas kaki, sehingga anak

rawan terkena infeksi kecacingan.

2) Faktor Lingkungan

Keadaan lingkungan juga bisa berpengaruh terhadap penularan infeksi

kecacingan, baik lingkungan rumah maupun lingkungan luar. Ada tidaknya sumber air

bersih dan jamban yang memenuhi syarat kesehatan juga turut menjadi tolak ukur.

Lingkungan dengan sanitasi yang baik dapat mencegah terjadinya penularan infeksi

kecacingan.

3) Faktor Kebersihan Diri

Kebersihan diri merupakan hal yang sangat penting yang harus diperhatikan.

Usaha untuk senantiasa menjaga kebersihan diri merupakan usaha untuk melindungi,

memelihara, dan mempertinggi derajat kesehatan manusia, sehingga tidak sampai

menimbulkan gangguan terhadap kesehatan. Kebersihan diri sendiri meliputi kebersihan

kulit, seperti mandi minimal 2x sehari, mandi dengan menggunakan sabun, serta menjaga

kebersihan pakaian. Selain itu, tiap individu harus membiasakan diri untuk melakukan

kebiasaan baik, seperti :

1. Menghindari kontak langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai alas

kaki.

2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air.

3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.

4. Memotong kuku secara teratur.

5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat.

Kebersihan diri sangat berhubungan erat dengan sanitasi lingkungan, artinya bila

melakukan upaya untuk menjaga kebersihan diri, maka harus didukung oleh sanitasi

lingkungan yang baik, seperti saat mencuci tangan sebelum makan, maka dibutuhkan air

yang bersih, yang tentunya harus berasal dari sumber air yang bersih dan memenuhi

syarat kesehatan. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16404/4/

Chapter%20II.pdf).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisa hasil pemeriksaan di

laboratorium dan hasil pengamatan di lapangan. Penelitian ini mempunyai ruang lingkup

keilmuan parasitologi yang dilaksanakan pada anak usia balita di Puskesmas Blimbimng

Malang.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji

laboratorium, observasi, dan wawancara secara langsung.

Metode pengambilan data adalah metode yang digunakan untuk memperoleh

data penelitian, dalam hal ini termasuk cara pengumpulan spesimen dan metode

pemeriksaan.

Page 11: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

79

Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di

Puskesmas Blimbimng Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu

melakukan pengarahan kepada orang tua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan

pemeriksaan.

Metode Pemeriksaan parasitologi pada spesimen tinja dilakukan baik secara

makroskopis maupun mikroskopis.

Pemeriksaan makroskopis meliputi pengamatan bau, warna dan konsistensi tinja.

Pemeriksaan makroskopis sebaiknya dilakukan sesegera mungkin. Hal ini dikarenakan

dalam waktu tertentu spesimen akan mengalami perubahan yang bisa mempengaruhi

hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan mikroskopis terdiri dari 3 cara, yaitu :

1. Cara Langsung.

2. Cara Konsentrasi.

a) Metode Endapan.

b) Metode Apung.

c) Metode Biakan (Harada Mori).

3. Cara Pengenceran. (Prasetyo, 2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Pemeriksaan

Dari total 60 wadah penampung tinja yang dibagikan, didapatkan 24 sampel tinja

untuk pemeriksaan laboratorium, dengan rincian sebagai berikut : Jenis Kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 5 21%

Perempuan 19 79%

Total 24 100%

Dari tabel di atas, diketahui bahwa dari 24 sampel yang terkumpul didapatkan 5 sampel

dari anak laki – laki, dan 19 sampel dari anak perempuan.

Gambar . Diagram Sampel Pemeriksaan

Setelah dilakukan pemeriksaan parasitologi di laboratorium, didapatkan hasil

sebagai berikut :

Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

Laki-Laki Perempuan

Page 12: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

80

Hasil Frekuensi Persentase (%)

Positif 0 0

Negatif 24 100%

Total 24 100%

Sumberf: Data diolah

Dari tabel hasil pemeriksaan laboratorium diatas, dapat diketahui bahwa semua

sampel menunjukkan hasil yang negatif.

Pembahasan

Spesimen yang digunakan adalah spesimen tinja dari beberapa anak balita di

Puskesmas Blimbing Malang. Sebelum melakukan pemeriksaan, kami terlebih dahulu

melakukan pengarahan kepada orangtua balita untuk menjelaskan maksud dan tujuan

pemeriksaan. Setelah pengarahan, kami membagikan beberapa pot sampel kepada orang

tua balita , yang akan kami ambil secara berkala. Setelah didapatkan sampel pemeriksaan,

kami membawa sampel tersebut ke laboratorium Parasitologi Akademi Analis Kesehatan

Malang untuk dilakukan pemeriksaan makroskopis dan juga mikroskopis.

Dari hasil penelitian yang dilakukan di Puskesmas Blimbing Malang, kami

mendapatkan 24 sampel tinja dari 60 pot sampel yang dibagikan, dengan rincian 19

sampel anak perempuan dan 5 sampel anak laki – laki. Dari 24 sampel tersebut,

semuanya memberikan hasil yang negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh

lingkungan sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan

orang tua terhadap anak.

Lingkungan yang bersih, dimana tersedia sumber air bersih dan jamban yang

memenuhi syarat kesehatan, baik di lingkungan rumah, lingkungan bermain, maupun

lingkungan sekolah bisa meminimalkan risiko penularan penyakit kecacingan.

Kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua terhadap anak,

juga turut berperan dalam menekan angka penularan kecacingan. Orang tua berperan aktif

dalam mencegah penularan penyakit kecacingan, seperti mencegah anak untuk

melakukan kontak langsung dengan tanah, membiasakan anak untuk selalu memakai alas

kaki serta mengajarkan anak untuk melakukan kebiasaan baik seperti :

1. Menjaga kebersihan kulit dengan mandi minimal 2x sekali, mandi dengan

menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian.

2. Mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta setelah buang air.

3. Mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.

4. Memotong kuku secara teratur.

5. Mencuci buah dan sayur yang tidak dimasak dengan air hangat.

Dengan membiasakan diri untuk selalu hidup bersih, secara tidak langsung bisa

meningkatkan derajat kesehatan manusia sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan

terhadap kesehatan.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa infeksi

soil transmitted helminths pada kelompok anak balita di Puskesmas Blimbing Malang

menunjukkan semua hasil negatif. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh lingkungan

sekitar yang bersih, kebiasaan untuk hidup bersih dan tingginya pengawasan orang tua

terhadap anak.

Saran - Memberikan penyuluhan secara intensif pada orang tua agar lebih memperhatikan

lingkungan bermain anak.

Page 13: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

81

- Mencuci sayur dan buah yang tidak dimasak dengan air hangat.

- Senantiasa menjaga kebersihan kulit, seperti mandi minimal 3x sehari, mandi dengan

menggunakan sabun, serta menjaga kebersihan pakaian.

- Menghindari kontak secara langsung dengan tanah, membiasakan diri untuk memakai

alas kaki.

- Senantiasa memotong kuku secara teratur.

- Senantiasa membiasakan diri untuk mencuci tangan sebelum dan setelah makan, serta

setelah buang air.

- Membiasakan diri untuk mencuci kaki dan tangan sebelum tidur.

- Memberikan obat cacing secara berkala kepada anak, yaitu setiap 6 bulan sekali.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Klasifikasi Soil Transmitted Helminths. Diunduh dari

http://groups.yahoo.com/group/pelita/message/4586.pdf.

Anonim. 2011. Gambar Telur dan Cacing Dewasa Soil Transmitted Helminths. Diunduh

dari http://www.google.co.id.pdf.

Brown H. W. 1979. Basic Clinical Parasitology. Mereidith Corporation.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Cacingan.

Gandahusada S, et al. 1998. Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Gracia LS, Bruckner. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Ideham B dan Pusarawati S. 2007. Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Airlangga

University Press.

Institute of Tropical Disease Airlangga University. 2011. Hookworm Microscopy

Finding. Diunduh dari http://itd.unair.ac.id/files/ebook/DPD/DPDx/HTML/

Frames/GL/Hookworm/body _Hookworm_mic1. htm.

Laboratory identification of parasite of public health concern. 2011. Parasite of The

Intestinal Tract. http://www.dpc.cdc.gov/dpdx.pdf.

Maharani A. 2005. Infeksi Nematoda Usus pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Karang

Mulya 02 Kecamatan Pegandon Kabupatan Kendal. In : Samad H. Hubungan

Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang Ditularkan Melalui

Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan Tembung Kecamatan

Medan Tembung.

Margono S S. 2003. Impotan Human Helminthiasis in Indonesia. In : Crompton DWT,

Montressor A, Neisheim Mc, Savioli L, eds. Controlling Disease Due to Helminth

Infections. WHO. Geneva.

Notoatmodjo, S. 2002. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Onggowaluyo J S. 2002. Parasitologi Medik I Helminthologi. Jakarta : EGC.

Prasetyo R H. 2002. Pengantar Praktikum Helmintologi Kedokteran. Surabaya :

Airlangga University Press.

Page 14: PREVALENSI INFEKSI KECACINGAN PADA ANAK …journalhealthyscience.com/wp-content/uploads/2016/05/03-092014... · mempunyai ciri umum bentuk tubuh yang silindrik, ... (ileus). (Ideham,

82

Samad H. 2009. Hubungan Infeksi dengan Pencemaran Tanah oleh Telur Cacing yang

Ditularkan Melalui Tanah dan Perilaku Anak Sekolah Dasar di Kelurahan

Soedarto. 2008. Parasitologi Klinik. Jakarta : Sagung Seto.

Soedomo M. 2008. Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia. Jakarta :

Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska.

Sumanto D. 2010. Faktor Risiko Infeksi Cacing Tambang pada Anak Sekolah. Tesis

Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro.

Sutanto I, et al. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Tembung Kecamatan Medan Tembung. E journal Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatra Utara.

Ulukanligil M, et al. 2001. Environmental Pollution with Soil Transmitted Helminths in

Salinurfa.Turkey Mem Inst. Ozwaaldo Cruz, Rio de Janeiro.