Kecacingan Di Indonesia

36
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Askariasis adalah infeksi soil-transmitted helminthiasis (STH) yang disebabkan cacing Ascaris lumbricoides. Askariasis, salah satu dari infeksi STH yang paling umum, mengenai hampir satu juta orang di dunia. Hampir setengah populasi di daerah subtropik dan tropic terkena penyakit ini, yang mana menyebabkan kematian hampir 20.000 jiwa per tahun. Gejala pada derajat ringan penyakit ini tidak menunjukkan gejala, namun pada kasus berat dapat menyebabkan penyumbatan pada usus dan gangguan pertumbuhan pada anak. 1 Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah satu di antaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit penyakit ini. 2

description

kecacingan

Transcript of Kecacingan Di Indonesia

Page 1: Kecacingan Di Indonesia

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Askariasis adalah infeksi soil-transmitted helminthiasis (STH) yang

disebabkan cacing Ascaris lumbricoides. Askariasis, salah satu dari infeksi STH

yang paling umum, mengenai hampir satu juta orang di dunia. Hampir setengah

populasi di daerah subtropik dan tropic terkena penyakit ini, yang mana

menyebabkan kematian hampir 20.000 jiwa per tahun. Gejala pada derajat ringan

penyakit ini tidak menunjukkan gejala, namun pada kasus berat dapat

menyebabkan penyumbatan pada usus dan gangguan pertumbuhan pada anak.1

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan,

salah satu di antaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan

ini dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan

produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan

kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta

kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama

pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit

penyakit ini.2

Dalam rangka menuju Indonesia Sehat 2010, Pembangunan Kesehatan

merupakan bagian tidak terpisahkan dari pembangunan nasional, pembangunan

tersebut mempunyai tujuan untuk mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan

Page 2: Kecacingan Di Indonesia

2

mempunyai daya saing yang tinggi. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah

bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi dengan mutu kehidupan

yang berkualitas.2

Sesuai dengan Undang-Undang No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,

pada Pasal 3 dinyatakan bahwa: Setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perorangan, keluarga dan

lingkungannya.2

Karenanya penting bagi kita, khususnya orang yang bekerja di bidang

kesehatan untuk tidak hanya mengetahui mengenai cacingan ini namun juga

bagaimana usaha pengobatan, dan terutama pencegahannya sehingga penyakit ini

dapat diberantas dan peningkatan sumber daya manusia pun terlaksana.

1.2 Tujuan

Makalah ini dibuat guna meningkatkan nilai pretest pada Departemen Ilmu

Kesehatan Komunitas di samping pula menambah pengetahuan umum mengenai

kecacingan yakni masalah dan upaya penanggulangannya di Indonesia.

Page 3: Kecacingan Di Indonesia

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)

2.1.1 Definisi

Askariasis adalah infeksi yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides,

yang merupakan nematode usus terbesar. Angka kejadiannya di dunia lebih

banyak dari infeksi cacing lainnya, diperkirakan lebih dari 1 milyar orang di dunia

pernah terinfeksi dengan cacing ini. Infeksi paling sering pada anak prasekolah

atau umur sekolah awal. Askariasis berada paling banyak pada negara bermusim

panas. Meskipun demikian, didapati sekitar 4 juta individu, terutama anak, di

Amerika Utara.3,4

2.1.2 Epidemiologi

A.lumbricoides dijumpai di seluruh dunia dan diperkirakan 1,3 milyar

orang pernah terkena infeksi ini. Tidak jarang dijumpai infeksi dengan cacing

jenis lain, terutama Trichuris trchiura. Askariasis ditularkan melalui tanah,

tergantung pada penyebaran telur ke dalam keadaan lingkungan yang cocok untuk

pematangannya. Defekasi di tempat sembarangan dan menggunakan pupuk

manusia merupakan praktik tidak higienis yang menyebabkan endemisitas

askariasis. Manusia mendapat infeksi dengan cara tertelan telur cacing

A.lumbricoides yang mengandung larva. Prevalensi tertinggi askariasis di daerah

tropik pada usia 3-8 tahun.3,4

2.1.3 Manifestasi

Sebagian besar kasus tidak menunjukkan gejala, akan tetapi karena

tingginya angka infeksi; morbiditasnya perlu diperhatikan.

Gejala yang terjadi dapat disebabkan oleh3:

1. migrasi larva

2. cacing dewasa

Page 4: Kecacingan Di Indonesia

4

1. Migrasi Larva

Walaupun kerusakan hati dapat terjadi sewaktu larva melakukan siklus dari usus

melalui hati ke paru, tetapi organ yang sering dikenai adalah paru, yang masa

semua larva Ascaris lumbricoides harus melalui paru-paru sebelum menjadi

cacing dewasa di usus. Hal ini terjadi sewaktu larva menembus pembuluh darah

untuk masuk ke dalam alveoli paru. Pada infeksi yang ringan, trauma yang terjadi

bisa berupa perdarahan, sedangkan pada infeksi yang berat, kerusakan jaringan

paru dapat terjadi, sejumlah kecil darah mungkin mengumpul di alveoli dan

bronkial yang kecil yang bisa mengakibatkan terjadinya edema pada organ paru.

Selama hal ini disebut pneumonitis Ascaris. Pneumonitis Ascaris ini disebabkan

oleh karena proses patologis dan reaksi alergi berupa peningkatan temperature

sampai 39.5-400C, pernafasan cepat dan dangkal (tipe asmatik), batuk kering atau

berdahak (ditandai dengan Kristal Charcot-Leyden), ronki atau wheezing tanpa

krepitasi yang berlangsung 1-2 minggu, eosinofilia transien, infiltrate pada

gambaran radiologi (sindrom Loeffler) sehingga diduga sebagai pneumoni viral

atau tuberculosis.3

2. Cacing Dewasa

Cacing dewasa biasanya hidup di usus halus. Yokogawa dan Wakeshima

menyatakan bahwa pada anak yang terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides,

pertumbuhan fisik dan mentalnya akan terganggu dibandingkan anak yang tidak

terinfeksi.3

Gejala klinis yang paling menonjol adalah rasa tidak enak di perut, kolik

akut pada daerah epigastrium, gangguan selera makan, mencret. Ini biasanya

terjadi pada saat proses peradangan pada dinding usus. Pada anak kejadian ini bisa

diikuti demam. Komplikasi yang ditakuti adalah cacing migrasi dan menyebabkan

gejala akut. Pada keadaan infeksi berat, paling ditakuti bila terjadi muntah cacing

yang akan menimbulkan komplikasi penyumbatan saluran nafas usus oleh massa

cacing dewasa. Pada keadaan lain dapat terjadi ileus oleh karena sumbatan pada

usus oelh massa cacing, atau apendiksitis sebagai akibat masuknya cacing ke

Page 5: Kecacingan Di Indonesia

5

dalam lumen apendiks. Bisa dijumpai penyumbatan ampulla Vateri ataupun

saluran empedu dan terkadang masuk ke jaringan hati.3

Gejala lain adalah sewaktu masa inkubasi dan pada saat cacing menjadi

dewasa di dalam usus halus, yang mana hasil metabolism cacing dapat

menimbulkan fenomena sensitisasi seperti urtikaria, asma bronkial, konjungtivitis

akut, fotofobia dan terkadang hematuria. Eosinofilia 10%atau lebih sering pada

Ascaris lumbricoides tetapi hal ini tidak menggambarkan beratnya penyakit tetapi

lebih banyak menggambarkan proses sensitisasi dan eosinofilia ini tidak

patognomonis untuk infeksi Ascaris lumbricoides.3

2.1.4 Lingkaran Hidup

Telur A. lumbricoides A. lumbricoides

Cacing jantan berukuran 10-30 cm sedangkan betina 22-35 cm. Stadium

dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak

100.000-200.000 butir sehari; terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak

dibuahi.5

Telur yang dibuahi besarnya kurang lebih 60x45 mikron dan yang tidak

dibuahi 90x40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai telur yang dibuahi

berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang dari 3 minggu. Bentuk

infektif ini bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus

dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe lalu dialirkan ke

jantung kemudian mengikuti aliran darah ke paru. Larva di paru menembus

dinding pembuluh darah lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian

Page 6: Kecacingan Di Indonesia

6

naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke

faring sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena

rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam esophagus lalu menuju usus

halus. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang

tertelan sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.5

2.1.5 Patofisiologi

Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa

dan larva.5

Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada

orang yang rentan terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul

Page 7: Kecacingan Di Indonesia

7

gangguan pada paru yang disertai dengan batuk, demam, eosinofilia. Pada foto

toraks tampak infiltrate yang menghilang dalam waktu 3 minggu. Keadaan ini

disebut Sindrome Loeffler. Gangguan yang disebabkan cacing dewasa biasanya

ringan. Kadang penderita mengalami gejala gangguan usus ringan seperti mual,

nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.5

Pada infeksi berat terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi sehingga

memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing ini

menggumpal dan terjadi obstruksi usus (ileus).4

Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke saluran empedu,

apendiks, atau ke bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga

kadang-kadang perlu tindakan operatif.5

2.1.6 Diagnosis

Cara menegakkan diagnosis penyakit adalah dengan pemeriksaan tinja

secara langsung. Adanya telur dalam tinja memastikan diagnosis askariasis. Selain

itu diagnosis dapat dibuat bila cacing dewasa keluar sendiri baik melalui mulut

atau hidung karena muntah maupun melalui tinja.3,4

2.1.7 Pengobatan

Pada saat ini pemberian obat-obatan telah dapat mengeluarkan cacing dari

dalam usus. Obat-obatan yang dapat digunakan4:

Pirantel pamoat, dosis 10mg/kgBB/hari, dosis tunggal, memberikan hasil yang

memuaskan

Mebendazol, dosis 100mg, dua kali sehari, diberikan selama tiga hari berturut-

turut. Hasil pengobatan baik tetapi efek samping berupa iritasi terhadap

cacing, sehingga cacing dapat terangsang untuk bermigrasi ke tempat lain

harus di pertimbangkan

Oksantel-pirantel pamoat, dosis 10 mg/kgBB, dosis tunggal memberikan hasil

yang baik

Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 2 tablet Albendazol

(400mg) atau 20 ml suspense, berupa dosis tunggal. Hasil cukup memuaskan.

Page 8: Kecacingan Di Indonesia

8

2.2 Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)

2.2.1 Definisi

Trikuriasis adalah infeksi yang disebabkan cacing Trichuris trichiura,

salah satu cacing yang paling banyak pada manusia. Diperkirakan sekitar 900 juta

orang pernah terkena infeksi dengan cacing ini dan ini sama dengan cacing

tambang dan hanya sedikit di bawah askariasis. Penyakit ini sering dikaitkan

dengan terjadinya colitis dan sindrom disentri pada infeksi derajat sedang.3,4

2.2.2 Epidemiologi

Trikuriasis paling sering pada masyarakat pedesaan yang miskin yang

kekurangan fasilitas sanitasi. Manusia adalah hospes primer; prevalensi dan

intensitas infeksi paling tinggi terjadi pada anak. Umur yang paling rentan untuk

mendapat infeksi cacing ini adalah 5-15 tahun. Penularan telur yang mengandung

embrio terjadi melalui tangan, makanan atau minuman yang terkontaminasi. Telur

juga dapat dibawa oleh lalat atau insekta lain.3,4

2.2.3 Lingkaran Hidup

Cacing betina panjangnya kira-kira 5 cm, sedangkan jantan kira-kira 4 cm.

Bagian anterior langsing seperti cambuk, panjangnya kira-kira 3/5 dari panjang

seluruh tubuh. Bagian posterior bentuknya lebih gemuk, pada cacing betina

bentuknya membulat tumpul dan pada cacing jantan melingkar dan terdapat 1

spikulum. Cacing dewasa ini hidup di kolon asendens dan sekum dengan bagian

anteriornya yang seperti cambuk masuk ke dalam mukosa usus. Seekor cacing

betina diperkirakan menghasilkan telur setiap hari antara 3000-10.000 butir.5

Telur berukuran 50-54 mikron x 32 mikron, berbentuk seperti tempayan

dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua kutub. Kulit telur bagian luar

berwarna kekuningan dan bagian dalamnya jernih. Telur yang dibuahi dikeluarkan

dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi matang dalam waktu 3-6

minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada daerah yang lembab dan tempat

yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larv dan merupakan bentuk

infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.

Page 9: Kecacingan Di Indonesia

9

Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah

menjadi dewasa cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon,

terutama sekum. Jadi cacing ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan

mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan telur kira-

kira 30-90 hari.5

2.2.4 Manifestasi

Mekanisme pasti bagaimana cacing cambuk menimbulkan kelainan pada

manusia tidak diketahui, tetapi paling tidak ada 2 proses yang berperan yaitu

trauma oleh cacing dan efek toksik. Trauma (kerusakan) pada dinding usus terjadi

Page 10: Kecacingan Di Indonesia

10

oleh karena cacing ini membenamkan kepalanya pada dinding usus. Cacing ini

biasanya menetap di daerah sekum.4

Pada infeksi yang ringan, kerusakan dinding mukosa usus hanya sedikit.

Infeksi cacing ini memperlihatkan adanya respons imunitas humoral yang

ditunjukkan dengan adanya anafilaksis lokal yang dimediasi oleh IgE, akan tetapi

peran imunitas seluler tidak terlihat. Terlihat adanya infiltrasi lokal eosinofil di

submukosa dan pada infeksi berat ditemukan edema. Pada keadaan ini mukosa

akan mudah berdarah, namun cacing tidak aktif menghisap darah.4

Namun pada referensi yang berbeda, menyebutkan cacing ini memasukkan

kepalanya ke dalam mukosa dan menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa

usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu rupanya

cacing ini menghisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.5

Gejala pada infeksi ringan dan sedang ialah anak menjadi gugup, susah

tidur, nafsu makan menurun, bisa dijumpai nyeri epigastrik atau nyeri perut,

muntah atau konstipasi, perut kembung, buang angin. Pada infeksi berat dijumpai

mencret yang mengandung darah, lender; nyeri perut; tenesmus (nyeri sewaktu

buang air besar); anoreksia; anemia dan penurunan berat badan. Pada infeksi yang

berat dapat terjadi prolapsus rekti.4

Telur T. trichiura

T. Trichiura

2.2.5 Diagnosis

Dengan pemeriksaan tinja, dijumpai telur Trichuris trichiura ataupun

cacing dewasa.3,4,5

Page 11: Kecacingan Di Indonesia

11

2.2.6 Pengobatan

Pengobatan yang dapat diberikan antara lain:

Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut

Albendazol pada anak usia di atas 2 tahun diberikan dosis 400 mg (2tablet)

atau 20 ml suspense berupa dosis tunggal. Sedangkan di bawah 2 tahun

diberikan separuhnya

Gabungan pirantel pamoat dan Mebendazol

2.3 Cacing Tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)

2.3.1 Definisi

Ankilostomiasis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing

tambang yakni Ancylostoma duodenale sedangkan nekatoriasis adalah penyakit

infeksi yang disebabkan oleh cacing Necator americanus. Kedua parasit ini diberi

nama cacing tambang karena pada zaman dahulu cacing ditemukan di Eropa pada

pekerja pertambangan, yang belum mempunyai fasilitas yang memadai.4,5

2.3.2 Epidemiologi

Cacing tambang adalah penyakit yang penting pada manusia. Necator

americanus maupun A.duodenale ditemukan didaerah tropis dan subtropics

seperti Asia dan Afrika. Di Indonesia, N.americanus lebih sering dijumpai

daripada A.duodenale. Infeksi pada manusia umumnya dapat terjadi oleh

pengaruh beberapa faktor yaitu:4

1. Adanya sumber infeksi yang kuat di dalam populasi

2. Kebiasaan buang air besar yang jelek, yang mana tinja yang mengandung

telur cacing tambang ikut mencemari tanah

3. Kondisi setempat yang menguntungkan untuk dapat terjadinya

perkembangan telur menjadi larva

4. Kesempatan larva berkontak dengan manusia

Manusia merupakan tuan rumah utama infeksi cacing tambang.

Endemisitas infeksi tergantung pada kondisi lingkungan untuk menetaskan telur

dan maturasi larva. Kondisi yang optimal ditemukan di daerah pertanian di negara

Page 12: Kecacingan Di Indonesia

12

tropis. Morbiditas dan mortalitas infeksi cacing tambang terutama pada anak-

anak. Dari suatu penelitian di peroleh bahwa separuh dari anak-anak yang telah

terinfeksi sebelum 5 tahun, 90% terinfeksi pada usia 9 tahun. Intensitas meningkat

sampai usia 6-7 tahun dan kemudian stabil.3,4

2.3.3 Lingkaran Hidup

Cacing dewasa kecil, silinder. Cacing jantan berukuran 5-11mm x 0.3-

0.45mm dan cacing betina 9-13mm x 0.35-0.6mm, sedangkan A.duodenale sedikit

lebih besar dari N.americanus. N. americanus menghasilkan 10.000-20,000 telur

setiap harinya sedangkan A. duodenale 10.000-25.000 telur per hari. Ukuran telur

N. americanus 64-76mm x 36-40 mm dan A. duodenale 56-60 mm x 36-40 mm.

Telur cacing tambang terdiri dari satu lapis dinding yang tipis dan adanya ruangan

yang jelas antara dinding dan sel di dalamnya. Telur cacing tambang dikeluarkan

bersama tinja dan berkembang di tanah.4,5

Telur A. duodenale A. duodenale

Ancylostoma duodenale

Page 13: Kecacingan Di Indonesia

13

Dalam kondisi kelembaban dan temperature yang optimal (23-330C), telur

akan menetas dalam 1-2 hari dan melepaskan larva rhabditiform yang berukuran

250-300µm. Setelah dua kali mengalami perubahan, akan terbentuk larva

filariform. Perkembangan dari telur ke larva filariform adalah 5-10 hari.

Kemudian larva menembus kulit manusia dan masuk ke sirkulasi darah melalui

pembuluh darah vena dan sampai di alveoli. Setelah itu larva bermigrasi ke

saluran nafas atas yaitu bronkiolus ke bronkus, trakea, faring, kemudian tertelan,

turun ke esophagus dan menjadi dewasa di usus halus.4,5

Daur hidup adalah sebagai berikut:

telur larva rabditiform larva filariform menembus kulit kapiler darah

jantung kanan paru bronkus trakea laring usus halus.5

Infeksi terjadi bila larva filariform menembus kulit. Infeksi A. duodenale

juga mungkin dengan menelan larva filariform.5

N. americanus

N. americanus

Page 14: Kecacingan Di Indonesia

14

2.3.4 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Dalam

tinja yang lama mungkin ditemukan larva. Untuk membedakan spesies N.

americanus dan A. duodenale dilakukan biakan tinja misalnya dengan cara

Harada-Mori.5

2.3.5 Manifestasi

Migrasi Larva

1. Sewaktu menembus kulit, bakteri piogenik dapat terikut masuk pada saat

larva menembus kulit, menimbulkan rasa gatal pada kulit (ground itch).

Page 15: Kecacingan Di Indonesia

15

Creeping eruption (cutaneus larva migrans) umumnya disebabkan larva

cacing tambang yang berasal dari hewan seperti kucing ataupun anjing

yang kadang disebabkan oleh larva N. americanus ataupun A. duodenale.

2. Sewaktu larva melewati paru, dapat terjadi pneumonitis, tetapi tidak

sesering larva A. lumbricoides.4

Cacing Dewasa

Cacing dewasa umumnya hidup di sepertiga bagian atas usus halus dan melekat

pada mukosa usus. Gejala klinis yang sering terjadi tergantung pada berat

ringannya infeksi; makin berat infeksi manifestasi klinik yang terjadi semakin

mencolok seperti:4

1. Gangguan gastro-intestinal yaitu anoreksia, mual, muntah, diare,

penurunan berat badan, nyeri pada daerah sekitar duodenum, jejunum dan

ileum

2. Pada pemeriksaan laboratorium umumnya dijumpai anemia hipokromik

mikrositik

3. Pada anak dijumpai adanya korelasi positif antara infeksi sedang dan berat

dengan tingkat kecerdasan anak

Bila penyakit berlangsung kronis akan timbul gejala anemia,

hipoalbuminemia dan edema. Hemoglobin kurang dari 5 gr/dl dihubungkan

dengan gagal jantung dan kematian yang tiba-tiba. Patogenesis anemia pada

infeksi cacing tambang tergantung 3 faktor yaitu:4

1. kandungan besi dalam makanan

2. status cadangan besi dalam tubuh pasien

3. intensitas dan lamanya penyakit

Ketiga faktor ini bervariasi di negara tropis. Di Nigeria, dimana masukan

besi tinggi (20-30 mg per hari), perdarahan yang disebabkan oleh cacing tambang

tidak menunjukkan berkurangnya besi meskipun didalam tubuhnya terdapat

sampai 800 cacing tambang dewasa. Pada infeksi cacing tambang, kehilangan

darah yang terjadi adalah 0.03-0.05 ml darah/cacing/hari pada N. americanus dan

0.16-0.34 ml darah/cacing/hari pada A. duodenale.4

Page 16: Kecacingan Di Indonesia

16

2.3.6 Pengobatan

Pengobatan yang dapat dilakukan antara lain:4

1. Creeping eruption: krioterapi dengan liquid nitrogen atau kloretilen spray,

tiabendazol topical selama 1 minggu. Coulaud dkk (1982) mengobati 18 kasus

cutaneus larva migrans dengan albendazol 400 mg selama 5 hari berturut-

turut, mendapatkan hasil yang memuaskan

2. Pengobatan terhadap cacing dewasa: di bangsal anak RS Pirngadi di Medan,

pengobatan yang digunakan adalah gabungan pirantek-pamoat dengan

mebendazol, dengan cara pirantel pamoat dosis tunggal 10 mg/kgBB

diberikan pada pagi harinya diikuti dengan pemberian mebendazol 100 mg

dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hasil pengobatan ini sangat

memuaskan, terutama bila dijumpai adanya infeksi campuran dengan cacing

lain

Obat-obat lain yang dapat digunakan:4

1. Pirantel pamoat dosis 10 mg/kgBB

2. Mebendazol 100 mg dua kali sehari selama 3 hari berturut-turut

3. Albendazol, pada anak di atas 2 tahun dapat diberikan 400 mg (2 tablet)

atau setara dengan 20 ml suspense, sedangkan pada anak yang lebih kecil

diberikan dengan dosis separuhnya, dilaporkan cukup memuaskan

Page 17: Kecacingan Di Indonesia

17

2.4 Dampak Cacingan pada Masyarakat

2.4.1 Prevalensi dan Intensitas Infeksi

Penyakit cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Angka infeksi tinggi, tetapi infeksi (jumlah cacing dalam perut) berbeda. Hasil

survey cacingan di Sekolah Dasar di beberapa Provinsi di Indonesia pada tahun

1986-1991 menunjukkan prevalensi sekitar 60-80 % sedangkan untuk semua

umur berkisar antara 40-60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan

2003 pada 40 SD di 10 provinsi menunjukkan prevalensi berkisar antara 2.2-

96.3%.2

Page 18: Kecacingan Di Indonesia

18

2.4.2 Kerugian Akibat Cacingan

Cacingan mempengaruhi pemasukan (intake), pencernaaan (digestif),

penyerapan (absorbsi) dan metabolisme makanan. Secara kumulatif, infeksi

cacing atau cacingan dapat menimbulkan kerugian zat gizi berupa kalori dan

protein serta kehilangan darah. Selain dapat menghambat perkembangan fisik,

kecerdasan dan produktivitas kerja, dapat menurunkan ketahanan tubuh sehingga

mudah terkena penyakit lainnya. Kerugian kalori/protein dan darah tersebut bila

dihitung dengan jumlah penduduk 220.000.000 dapat diperkirakan sebagai

berikut.2

Kerugian Akibat Cacing Gelang

Di Indonesia dengan jumlah penduduk 220.000.000, prevalensi cacingan 60% dan

jumlah rata-rata cacing per orang 6 ekor cacing maka kerugian karbohidrat karena

cacing gelang sehari diperkirakan dengan rumus (Jumlah Penduduk x Prevalensi x

Rata-rata jumlah cacing/orang x kehilangan karbohidrat oleh 1 ekor cacing/hari)

(220.000.000 x 60% x 6 x 0.14 gram) : 1.000 =

110.880 kg karbohidrat per hari

Karena 0.8 gram karbohidrat setara dengan 1 gram beras, maka kerugian beras

setara dengan 138.660 kg beras per hari. Bila dihitung dalam Rupiah dengan

harga beras Rp 3.000/kg maka kerugian keuangan yang diperkirakan adalah:

138.660 kg x 365 x Rp 3000=

Rp 151.767.000.000 per tahun

Jika seekor cacing menghabiskan 0.035 gram protein maka perkiraan protein yang

hilang untuk seluruh penduduk:

(220.000.000 x 60% x 6 x 0.035 gram) :1.000=

27.720 kg protein per hari

Karena 1 gram daging sapi mengandung 0.19 gram protein maka kerugian daging

sapi adalah 145.895 kg per hari. Bila dihitung dengan Rupiah, dimana harga

daging sapi Rp 30.000 per kg maka kerugian uang yang diperkirakan:

145.895 kg x 365hr x Rp 30.000=

Rp 1.597.550.250.000 per tahun

Page 19: Kecacingan Di Indonesia

19

Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk

dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Karbohidrat = 21% x Rp 151.767.000.000 = Rp 31.871.070.000

2. Protein = 21% x Rp 1.597.550.250.000 = Rp 335.485.552.500

Kerugian Karena Cacing Tambang

Perkiraan jumlah kehilangan darah yang disebabkan oleh cacing tambang perhari

adalah

220.000.000 x 10% x 0.2 ccx 50 ekor=

220.000.000 cc darah = 220.000 liter darah per hari

Untuk satu tahun penderita Cacingan akan kehilangan darah sebanyak:

220.000 liter x 365 hari= 80.300.000 liter darah per tahun

Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk

dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia

tersebut adalah

21%x 80.300.000 ltr = 16.863.000 liter darah per tahun

Kerugian Karena Cacing Cambuk

Perkiraan jumlah kehilangan darah disebabkan cacing cambuk sehari sebanyak:

220.000.000 x 40% x 0.005 cc x 100 =

44.000.000 cc darah = 44.000 liter darah per hari

Kehilangan darah selama setahun:

44.000 ltr x 365 hari = 16.060.000 ltr darah per tahun

Jumlah anak usia sekolah tingkat dasar diperkirakan 21% dari jumlah penduduk,

dengan demikian kerugian yang diakibatkan oleh Cacingan pada anak usia

tersebut adalah:

21% x 16.060.000 ltr = 3.372.600 ltr darah per tahun

Page 20: Kecacingan Di Indonesia

20

2.5 Pengendalian Penyakit Cacingan

2.5.1 Tujuan Umum

Pengendalian penyakit Cacingan bertujuan untuk menurunkan prevalensi

dan intensitas Penyakit Cacingan sehingga dapat menunjang peningkatan mutu

sumber daya manusia, guna mewujudkan manusia Indonesia yang sehat. Dasar

utama untuk pengendalian cacingan adalah memutuskan mata rantai lingkaran

hidup cacing.2

2.5.2 Tujuan Khusus

1. Turunnya Prevalensi Cacingan menjadi < 10% pada tahun 2010

2. Meningkatkan kemitraan dalam penanggulangan Penyakit Cacingan di

masyarakat dengan melibatkan LP/LS/LSM/Swasta/masyarakat secara

aktif

3. Meningkatnya cakupan Program Pengendalian Penyakit Cacingan pada

anak SD menjadi 75% pada tahun 20102

2.5.3 Sasaran

Populasi sasaran pengendalian Penyakit Cacingan adalah masyarakat

dengan resiko tinggi terhadap infeksi cacing yaitu masyarakat yang sering

berhubungan dengan tanah antara lain yaitu:2

1. Anak usia sekolah dasar (7-15 tahun )

2. Petani, nelayan, pekerja perkebunan dan pekerja pertambangan

3. Anak balita (1-5 tahun) dan pra sekolah

4. Masyarakat resiko tinggi lain (ibu hamil, tenaga kerja perusahaan)

Sedangkan sasaran lokasi antara lain meliputi daerah pertanian, perkebunan,

pertambangan, daerah pantai dan pariwisata.2

2.6 Kebijakan dan Strategi Pemerintah Mengendalikan Cacingan

2.6.1 Kebijakan

Kebijakan pembangunan nasional sebagaimana diatur dalam Peraturan

Presiden Nomor 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Page 21: Kecacingan Di Indonesia

21

Nasional (RPJMN) 2004-2005, Bab 28 tentang Peningkatan Aksesibilitas

Pelayanan Kesehatan yang Berkualitas, ditetapkan antara program pencegahan

dan pemberantasan penyakit.2

Penyakit Cacingan merupakan salah satu penyakit menular yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama dikalangan anak

usia sekolah dasar. Hal ini dapat merugikan proses belajar-mengajar, oleh karena

itu Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Cacingan diarahkan untuk:2

1. Meningkatkan upaya pengendalian dengan menggali sumber daya secara

kemitraan, lintas program dan sector

2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan program

yang lebih professional

3. Mengembangkan dan menyelenggarakan metode tepat guna

4. Meningkatkan upaya pencegahan yang efektif bersama program dan sector

terkait

5. Melaksanakan bimbingan, pemantauan dan evakuasi

2.6.2 Strategi

Strategi Pengendalian Penyakit Cacingan yang dilakukan adalah memutus

mata rantai penularan baik dalam tubuh maupun luar tubuh manusia.

Dalam memutus rantai penularan ini ada dua program yang dilakukan yaitu:

1. PROGRAM JANGKA PENDEK

Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh manusia,

dengan demikian dapat menurunkan prevalensi dan intensitas infeksi

Cacingan dengan cara pengobatan (oelh sector kesehatan).

2. PROGRAM JANGKA PANJANG

Tujuan program ini untuk memutus rantai penularan di luar tubuh manusia,

yaitu dengan melaksanakan upaya pencegahan yang efektif.

Untuk mencapai hal-hal tersebut di atas yaitu program jangka pendek dan jangka

panjang ada beberapa kegiatan yang harus dilakukan yaitu:

a. Penentuan prioritas lokasi sasaran maupun penduduk sasaran

Page 22: Kecacingan Di Indonesia

22

b. Penegakkan diagnosis dengan melakukan pemeriksaan tinja secara

langsung dengan menggunakan metode Kato-katz

c. Penanggulangan

Menurut rekomendasi WHO bahwa dalam penanggulangan penyakit

cacingan ada tiga hal yang harus dilakukan yaitu:

1) Pengobatan

Pengobatan dilakukan dengan dua cara pendekatan yaitu “Blanket

Treatment” dan “Selective Treatment” dengan menggunakan obat

yang aman dan berspektrum luas, efektif, tersedia dan terjangkau

harganya serta dapat membunuh cacing dewasa, larva dan telur.

Pada awal pelaksanaan kegiatan pengobatan harus didahului

dengan survey untuk mendapat data dasar. Bila pemeriksaan tinja

dilakukan secara sampling dan hasil pemeriksaan tinja

menunjukkan prevalensi 30% atau lebih, dilakukan pengobatan

massal, sebaliknya bila < 30% maka dilakukan pemeriksaan tinja

secara menyeluruh (total screening). Apabila hasil pemeriksaan

total screening menunjukkan prevalensi > 30% dilakukan

pengobatan massal dan prevalensi < 30% dilakukan pengobatan

selektif yaitu yang positif saja.

2) Preventif

Tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian faktor

resiko yang meliputi kebersihan lingkungan, keberhasilan pribadi,

penyediaan air bersih yang cukup, semenisasi lantai rumah,

pembuatan dan penggunaan jamban yang memadai, menjaga

kebersihan makanan, pendidikan kesehatan di sekolah baik untuk

guru maupun murid.

3) Promotif

Pendidikan kesehatan dapat diberikan melalui penyuluhan kepada

masyarakat pada umumnya atau kepada anak-anak sekolah yaitu

melalui program UKS seadangkan untuk masyarakat dapat

Page 23: Kecacingan Di Indonesia

23

dilakukan penyuluhan secara langsung atau melalui media massa

baik cetak maupun media elektronik.

d. Kemitraan

Pengendalian Penyakit Cacingan bukan semata-mata merupakan tugas

Departemen Kesehatan melainkan menjadi tanggung jawab bersama baik

pemerintah, masyarakat ataupun sector lain sebagai mitra. Dalam

pelaksanaan program UKS telah diupayakan Surat Keputusan Bersama

(SKB) 4 menteri yaitu Departemen Kesehatan, Departemen Agama,

Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pendidikan Nasional. Untuk

itu peningkatan kerjasama dan koordinasi lintas program dan lintas sector

sangat penting dalam Pengendalian Penyakit Cacingan.

Kemitraan dapat digolongkan dalam tiga kelompok:

1) Kemitraan antar instansi pemerintah baik lintas program (dalam satu

departemen) dan lintas sector (lebih dari satu departemen)

2) Kemitraan di luar instansi pemerintah adalah swasta seperti LSM,

Industri, Perkebunan, Pertambangan dan Perusahaan yang pekerjanya

banyak terinfeksi cacing

3) Kemitraan masyarakat mandiri (peran serta aktif masyarakat sesuai

dengan keadaan social budaya setempat) Hal ini adalah program

jangka panjang (merubah perilaku) yang dapat dimulai dari murid

sekolah dasar

e. Peningkatan sumber daya manusia

Peningkatan Sumber Daya Manusia dapat dilakukan baik melalui

pendidikan formal maupun tidak formal misalnya melalui pelatihan.

Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan bagi petugas kesehatan sangat

diperlukan baik pengetahuan mengenai penyakitnya maupun ketrampilan

dalam bidang laboraturium, hal ini sangat menunjang pelaksanaan

Program Pengendalian Penyakit Cacingan.

Page 24: Kecacingan Di Indonesia

24

BAB 3

KESIMPULAN

Di Indonesia masih banyak penyakit yang merupakan masalah kesehatan, salah

satu di antaranya ialah cacing perut yang ditularkan melalui tanah. Cacingan ini

dapat menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan

produktivitas penderitanya sehingga secara ekonomi banyak menyebabkan

kerugian, karena menyebabkan kehilangan karbohidrat dan protein serta

kehilangan darah, sehingga menurunkan kualitas sumber daya manusia.

Prevalensi cacingan di Indonesia pada umumnya masih sangat tinggi, terutama

pada golongan penduduk yang kurang mampu mempunyai resiko tinggi terjangkit

penyakit ini.

Penyakit Cacingan merupakan salah satu penyakit menular yang masih

menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, terutama dikalangan anak

usia sekolah dasar. Hal ini dapat merugikan proses belajar-mengajar, oleh karena

itu Kebijakan Program Pengendalian Penyakit Cacingan diarahkan untuk:

1. Meningkatkan upaya pengendalian dengan menggali sumber daya secara

kemitraan, lintas program dan sector

2. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengelolaan program

yang lebih professional

3. Mengembangkan dan menyelenggarakan metode tepat guna

4. Meningkatkan upaya pencegahan yang efektif bersama program dan sector

terkait

5. Melaksanakan bimbingan, pemantauan dan evakuasi

Page 25: Kecacingan Di Indonesia

25

REFERENSI

1. Roundworm: Ascariasis downloaded from:

http://www.neglecteddiseases.gov/target_diseases/soil_transmitted_helminthias

is/roundworm/index.html#top available at 12nd March 2013 19.00 wib

2. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

424/MENKES/SK/VI/2006 tentang Pedoman Pengendalian Cacingan.

3. Behrman, Kliegman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15. 2000.

Jakarta: EGC. 1220-1230.

4. Soedarmo, S. Garna, H. Hadinegoro, S. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri

Tropis Edisi Kedua. Jakarta: FKUI. 370-383

5. Gandahusada. 1998. Parasitologi Kedokteran Edisi 3. Jakarta: FKUI.8-23