UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

101
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap Kultur Sel Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In Vitro SKRIPSI STEVANI SITORUS 108102000073 FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI FARMASI JAKARTA JANUARI 2013

Transcript of UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

Page 1: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap Kultur Sel

Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In Vitro

SKRIPSI

STEVANI SITORUS

108102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JANUARI 2013

Page 2: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

ii

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Sitotoksisitas Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap Kultur Sel

Kanker Payudara (MCF-7 Cell Line) secara In Vitro

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

STEVANI SITORUS

108102000073

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JANUARI 2013

Page 3: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Stevani Sitorus

NIM : 108102000073

Tanda Tangan : ......................

Tanggal : 15 Januari 2013

Page 4: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

iv

Page 5: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

v

Page 6: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

vi

ABSTRAK

Nama : Stevani Sitorus

Program Studi : Farmasi

Judul : UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris

angustifolia C. Presl TERHADAP KULTUR SEL

KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL LINE) SECARA IN

VITRO.

Kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita oleh

perempuan di seluruh dunia. Obat-obat kemoterapeutik yang ada, memiliki efek

samping dengan merusak sel sehat penderita. Pencarian obat yang berasal dari

tanaman diharapkan dapat menemukan antikanker yang efektif dengan efek

samping yang minimal. Tanaman Paku Angiopteris angustifolia C. Presl, suku

marattiaceae, merupakan tanaman yang digunakan oleh masyrakat Indonesia

sebagai tanaman hias. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji aktivitas

sitotoksik ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap MCF-7

cell line. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan melihat

penghambatan proliferasi MCF-7 cell line secara in vitro dengan metode analisa

MTT. Ekstraksi serbuk daun Angiopteris angustifolia C. Presl dilakukan dengan

etanol 70%, pelarut ekstraksi diuapkan dengan vacuum evaporator dan ekstrak

yang terbentuk dipekatkan menggunakan frezee drier. MCF-7 cell line dikultur

menggunakan metode monolayer dalam medium RPMI 1640 yang mengandung

10% FBS. Absorbansi pada panjang gelombang 540 nm – 600 nm yang diperoleh

dari pembacaan microplate reader dilakukan pengolahan data sehingga diperoleh

nilai IC50. Nilai IC50 yang diperoleh adalah 91.52 µg/mL. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun Angiopteris angustifolia C. Presl

memiliki aktivitas sitotoksik.

Kata Kunci : Angiopteris angustifolia C. Presl, uji sitotoksisitas, MCF-7, MTT.

Page 7: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

vii

ABSTRACT

Name : Stevani Sitorus

Program Study : Pharmacy

Title : CYTOTOXIC ACTIVITY OF Angiopteris angustifolia C.

Presl’s ETHANOLIC EXTRACT AGAINTS MCF-7 CELL

LINE ACCORDING TO IN VITRO METHOD.

Breast cancer is the commonest cause of cancer death in women worldwide.

Current chemoterapeutic drugs for breast cancer have side effects. So, there have

been an intense search on various biological source to find new anticancer to

combat this diseases. In Indonesia, fern Angiopteris angustifolia C. Presl

(marattiaceae) is used as ornamental. The aim of this reasearch is to examine the

cytotoxic activity of ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl againts

MCF-7 cell line. The cytotoxic activity was carried out by using MTT method.

Angiopteris angustifolia C. Presl (marattiaceae) leaf’s powder extraction was done

using ethanol 70%, the solvent of extraction was evaporated by vacuum

evaporator and frezee drier. MCF-7 cell line was cultured in RPMI 1640 medium

which contained 10% of FBS (fetal bovine serum). The absorbance that was

obtained from microplate reader was processed in order to get IC50 value. The

result showed that ethanol extract of Angiopteris angustifolia C. Presl inhibit

MCF-7 cell line with the IC50 value 91.52 µg/mL.

Keywords : Angiopteris angustifolia C. Presl, citotoxicity, MCF-7, MTT.

Page 8: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

viii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, rasa syukur serta pujian senantiasa kita panjatkan kehadirat

Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya serta segala

anugerah-Nya berupa kesehatan, pemikiran dan ide sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Salawat serta salam semoga selalu tercurah kepada

junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan pengikutnya yang

senantiasa mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.

Skripsi ini penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat menempuh

ujian akhir guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Program Studi Farmasi

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Adapun judul skripsi ini adalah “Uji Sitotoksisitas Ekstrak

Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Kultur Sel Kanker

Payudara (MCF-7 Cell Line) Secara In Vitro”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai dengan baik tanpa

bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Ismiarni Komala, M.Sc., PhD., Apt selaku Pembimbing I dan drg. Laifa

Annisa H., PhD selaku Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, tenaga

dan pikiran serta dengan sabar membimbing dan mengajari sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Pemerintah Daerah Kabupaten Musi Banyuasin Sumatera Selatan selaku

pemberi beasiswa, sehingga penulis dapat mengenyam pendidikan di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hening Herawati, M.Biomed selaku kepala Laboratorium Kultur Pusat

Penelitian dan Pengembangan RSKD, yang telah mengajari penulis

mengkultur sel kanker dengan penuh kesabaran serta memberikan

pengalaman dan nasehatnya selama penulis penelitian.

4. Prof. Dr, (hc) dr. M. K. Tadjudin, Sp.And selaku dekan Fakultas Kedokteran

dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 9: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

ix

5. Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas

kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Ibu/Bapak Dosen dan Staf Akademika Program Studi Farmasi Fakultas

Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Ayahanda tercinta M. Nimrot Sitorus dan Ibunda tercinta Yunita, terima kasih

atas doa yang selalu tercurah untukku, kasih sayang, semangat dan

dukungannya yang menguatkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Adikku tersayang Erica Febriany Sitorus yang dengan canda tawanya mampu

mengusir kepenatan penulis dalam menyusun skripsi ini.

9. Teman–teman seperjuangan Farmasi Angkatan 2008, terimakasih atas sebuah

persahabatan, kekeluargaan dan persaudaraan kita selama ini.

10. Dan kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama ini yang tidak

dapat disebutkan namanya satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini terdapat banyak kekurangan

dan masih jauh dari kesempurnaan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca untuk perbaikan dalam pembuatan skripsi.

Ciputat, 15 Januari 2013

Penulis

Page 10: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

x

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulllah

Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Stevani Sitorus

NIM : 108102000073

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Jenis Karya : Skripsi

demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya,

dengan judul :

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL Angiopteris angustifolia C.

Presl TERHADAP KULTUR SEL KANKER PAYUDARA (MCF-7 CELL

LINE) SECARA IN VITRO.

untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital

Library Perpustakan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta.

Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan

sebenarnya.

Dibuat di : Ciputat

Pada Tanggal : 15 Januari 2013

Yang menyatakan,

Stevani Sitorus

Page 11: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................ vi

ABSTRACT ...................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................. x

DAFTAR ISI ..................................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

1.1. Latar Belakang ...................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah .............................................................. 3

1.3. Tujuan Penelitian .. ................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 4

2.1. Tinjauan Botani .. ................................................................... 4

2.1.1. Klasifikasi Tanaman .................................................... 4

2.1.2. Deskripsi Tanaman ...................................................... 4

2.1.3. Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia .................... 4

2.2. Simplisia ................................................................................ 5

2.2.1. Tahapan Pembuatan Simplisia .................................... 6

2.3. Ekstraksi ................................................................................ 6

2.4. Metode Ekstraksi ................................................................... 8

2.5. Kanker ................................................................................... 10

2.6. Kanker Payudara .................................................................... 11

2.6.1. Faktor Etiologi Kanker Payudara ................................ 12

2.6.2. Faktor Risiko Kanker Payudara ................................... 12

2.6.3. Gejala Penyakit Kanker payudara ................................ 13

2.6.4. Pencegahan Kanker Payudara ...................................... 14

2.7. MCF-7 Cell Line ................................................................... 14

2.8. Antikanker ............................................................................. 14

2.8.1. Obat Antikanker .......................................................... 14

2.8.2. Mekanisme Kerja Obat Antikanker ............................ 15

2.8.3. Penggolongan Obat Antikanker .................................. 15

2.9. Kultur Sel .............................................................................. 17

2.10. Uji Sitotoksisitas ................................................................. 18

2.11. Metode Pengujian Sitotoksik .............................................. 19

2.12. Microplate Reader ............................................................... 20

Page 12: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

xii

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ................................................ 21

3.1. Alur Penelitian ....................................................................... 21

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................... 22

3.2.1. Waktu Penelitian ......................................................... 22

3.2.2. Tempat Penelitian ........................................................ 22

3.3. Alat dan Bahan ...................................................................... 22

3.3.1. Alat Penelitian .............................................................. 22

3.3.2. Bahan yang digunakan ................................................ 22

3.4. Metode Penelitian .................................................................. 23

3.4.1. Persiapan Simplisia ................................................... 23

3.4.2. Pembuatan Ekstrak ................................................... 23

3.4.3. Penapisan Fitokimia .................................................. 24

3.4.4. Sterilisasi Alat ........................................................... 26

3.4.5. Pembuatan Reagen .................................................... 26

3.4.6. Persiapan Larutan Uji dan Blanko DMSO ................ 27

3.4.7. Persiapan Kultur MCF-7 ............................................ 28

3.4.8. Pemeliharaan Kultur Sel Kanker ............................... 29

3.4.9. Uji Sitotoksisitas ....................................................... 30

3.4.10. Perhitungan Persentase Kematian Sel ....................... 30

3.4.11. Analisa Data .............................................................. 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 32

4.1. Hasil .................................................................................... 32

4.1.1. Determinasi ............................................................... 32

4.1.2. Hasil Ekstraksi ........................................................... 32

4.1.3. Hasil Penapisan Fitokimia .......................................... 32

4.1.4. Jumlah Kerapatan Sel ................................................ 33

4.1.5. Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia terhadap Sel MCF-7 ........... 33

4.2. Pembahasan ........................................................................... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 41

5.1. Kesimpulan ........................................................................... 41

5.2. Saran .................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 42

LAMPIRAN .................................................................................................... 47

Page 13: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl ..................................... 49

Gambar 2. Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ..................................... 49

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Log Konsentrasi dengan Probit Hasil

Uji Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel

MCF-7................................................................................ ......... 69

Gambar 4. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Pada

Saat Inkubasi 0 jam .................................................................... 70

Gambar 5. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 24 Jam. ........................................................... 71

Gambar 6. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 48 Jam. ............................................................ 72

Gambar 7. MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi

200 ppm dan inkubasi 24 jam..................................................... 73

Gambar 8. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT

Setelah Inkubasi 4 Jam. .............................................................. 74

Gambar 9. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan

Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.......... 75

Gambar 10. DMSO – Dimethyl Sulfoxide ...................................................... 76

Gambar 11. Trypsin - EDTA ......................................................................... 76

Gambar 12. Penicillin – Streptomycin ............................................................ 76

Gambar 13. Trypan Blue ................................................................................. 76

Gambar 14. PBS – Phosphate Buffered Saline .............................................. 77

Gambar 15. RPMI Medium 1640 .................................................................. 77

Gambar 16. MTT ........................................................................................... 77

Gambar 17. FBS – Fetal Bovine Serum ......................................................... 77

Gambar 18. Mikroskop Inverted with Camera .............................................. 78

Gambar 19. Tanki Nitrogen ........................................................................... 78

Gambar 20. Timbangan Analitik ................................................................... 78

Gambar 21. Sentrifuse ................................................................................... 78

Gambar 22. Mikropipet ................................................................................. 79

Gambar 23. Microwell Plate Reader ............................................................. 79

Gambar 24. Milipore 0.2 µm ......................................................................... 79

Gambar 25. Hamemocytometer ..................................................................... 79

Page 14: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Hasil Ekstraksi ................................................................................ 32

Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia .............................................................. 32

Tabel 3. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia ....................... 33

Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)................ 62

Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DMSO ............................................ 63

Tabel 6. Hasil Pengujian Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl

Terhadap Sel MCF-7 ....................................................................... 67

Tabel 7. Hasil Pengujian Sitotoksik DMSO Terhadap Sel MCF-7....... ........ 67

Tabel 8. Hasil Pengujian Kontrol Sel ............................................................ 69

Tabel 9. Transformasi Persen – Probit ......................................................... 82

Page 15: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Hasil Determinasi Angiopteris angustifolia C. Presl ................ 48

Lampiran 2. Pohon daun Daun Angiopteris angustifolia C. Presl ................ 49

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol Angiopteris

angustifolia C. Presl ................................................................. 50

Lampiran 4. Hasil Pengamatan Penapisan Fitokimia ................................... 51

Lampiran 5. Skema Proses Ekstraksi Serbuk Angiopteris angustifolia C.

Presl .......................................................................................... 54

Lampiran 6. Skema Kerja Thawing dan Kultur Sel MCF-7 ......................... 55

Lampiran 7. Skema Subkultivasi Sel MCF-7 ............................................... 56

Lampiran 8. Skema Platting .......................................................................... 57

Lampiran 9. Skema Uji MTT ........................................................................ 58

Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol) .................. 60

Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Kontrol DMSO ................................. 63

Lampiran 12. Perhitungan Kepadatan Sel ....................................................... 64

Lampiran 13. Skema pemetaan sampel........................................................... 65

Lampiran 14. Perhitungan dan Grafik Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7. ......... 67

Lampiran 15. Gambar MCF-7 Cell Line dalam Medium RPMI 1640

Berserum................................................................................... 70

Lampiran 16. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640

Berserum Setelah Inkubasi 24 Jam........................................... 71

Lampiran 17. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640

Berserum Setelah Inkubasi 48 Jam........................................... 72

Lampiran 18. Gambar MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel

Konsentrasi 200 ppm dan inkubasi 24 jam............................... 73

Lampiran 19. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT

dan Inkubasi 4 Jam. .................................................................. 74

Lampiran 20. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan

Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer. ....... 75

Lampiran 21. Gambar Bahan dan Alat yang Digunakan................................ 76

Lampiran 22. Deskripsi Medium RPMI 1640................................................. 80

Lampiran 23. Morfologi Sel MCF-7............................................................... 81

Lampiran 24. Transformasi Persen – Probit.................................................... 82

Page 16: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker, umum disebut juga neoplasma, secara harfiah berarti

pertumbuhan baru. Suatu neoplasma, sesuai definisi Wilis, adalah massa

abnormal jaringan yang pertumbuhannya berlebihan dan tidak

terkoordinasi walaupun rangsangan yang memicu pertumbuhan tersebut

telah berhenti. (Robbins, 1999).

Menurut laporan WHO berdasarkan data statistik IARC

(International Agency for Research on Cancer), angka kejadian kanker

payudara di Asia pada tahun 2008 terjadi sebanyak 528.927 kasus dengan

angka kematian sebanyak 193.497 juta jiwa setiap tahun (IARC, 2008).

Data rekam medis Rumah Sakit Kanker Dharmais (RSKD)

melaporkan insiden kanker payudara di Indonesia menduduki peringkat

pertama diantara jenis kanker lainnya. Pada tahun 2009 terjadi sebanyak

567 kasus, sedangkan pada tahun 2010 terjadi sebanyak 711 kasus.

Dimana pada setiap tahun terjadi peningkatan insiden kanker payudara

(Anonim, 2012).

Obat antikanker merupakan obat khusus dengan batas

keamanannya begitu sempit. Antikanker diharapkan memiliki toksisitas

selektif artinya menghancurkan sel kanker tanpa merusak sel jaringan

normal. Pada umumnya antikanker menekan pertumbuhan atau proliferasi

sel dan dapat menimbulkan toksisitas, karena menghambat pembelahan sel

normal yang proliferasinya cepat misalnya sumsum tulang, epitel

germinativum, mukosa saluran cerna, folikel rambut dan jaringan limfosit.

Terapi hanya dapat dikatakan berhasil baik, bila dosis yang digunakan

dapat mematikan sel tumor ganas dan tidak terlalu mengganggu sel normal

yang berproliferasi (Departemen Farmakologi dan Terapi, 2008). Hal

tersebut menjadi sebuah tantangan untuk terus melakukan studi dan

pencarian terhadap obat antikanker. Terutama yang berasal dari bahan

Page 17: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

alam khususnya tumbuh-tumbuhan, dengan harapan dapat menemukan

antikanker yang efektif dan dapat mengurangi efek samping yang

berbahaya.

Tumbuhan paku (Pteridophyta) merupakan salah satu divisi

tumbuhan yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Dari sekitar

10.000 spesies tumbuhan paku di dunia, diperkirakan 1.300 spesies di

antaranya tumbuh di kawasan Indonesia. Berbagai jenis spesies tumbuhan

paku telah dikenal dan dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai

tanaman hias, bahan obat tradisional, bahan makanan, tanaman pelindung,

dan pupuk hijau. Masyarakat pada umumnya telah mengenal manfaat

tumbuhan paku dan sebagian telah menggunakan tumbuhan ini sebagai

obat tradisional (Susiarti, 2009).

Adapun Msayoshi Hirohara, dkk telah menemukan senyawa

triterpenoid dari Goniophlebium mengtzeense dari suku Polypodiaceae,

serta telah mengisolasi senyawa triterpenoid dari tumbuhan tersebut

(Msayoshi Hirohara,.et.al, 1996)

Beberapa jenis tumbuhan paku telah terbukti memiliki aktivitas

sitotoksik dari penelitian yang telah dilakukan. Berdasarkan penelitian

yang dilakukan oleh Zulnely, dkk pada jenis Dictyopteris irregularis Preal

suku Gleicheniaceae menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan nilai LC50

sebesar 0,46 ppm. Adapun penelitian Fitrya dan Lenny Anwar (2009) pada

uji aktivitas sitotoksik secara in vitro menggunakan sel Murine P-388 dari

akar tumbuhan tunjuk langit Helmynthostachis zaeylanica (Linn) Hook

yaitu salah satu spesies tumbuhan paku dari Ophioglassaceae

menunjukkan aktivitas sitotoksik dengan LC50 sebesar 2,4 µg/mL.

Diantara tumbuhan paku yang banyak tumbuh di Indonesia adalah

Angiopteris angustifolia C. Presl. Penelitian tentang efek sitotoksik

Angiopteris angustifolia C. Presl. belum pernah dilakukan, sehingga perlu

dilakukan penelitian efek sitotoksik dari tumbuhan paku Angiopteris

angustifolia C. Presl. yang tumbuh di Indonesia secara in vitro terhadap

sel kanker payudara (MCF-7) menggunakan metode kolorimetri dengan

pewarnaan MTT.

Page 18: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

3

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl.

memiliki aktivitas sitotoksik terhadap kultur sel kanker payudara (MCF-7

cell line) secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui aktivitas sitotoksik dari tumbuhan paku Angiopteris

angustifolia C. Presl. terhadap kultur sel kanker payudara (MCF-7 cell

line) secara in vitro.

Page 19: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Botani

Angiopteris angustifolia C. Presl adalah sinonim dari Angiopteris

angustifolia (Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).

2.1.1 Klasifikasi Tanaman

Kingdom : Viridiplantae

Filum/Phylum : Streptophyta

Kelas/Class : Marattiopsida

Bangsa/Ordo : Marattiales

Suku/Family : Marattiaceae

Marga/Genus : Angiopteris

Jenis/Spesies : Angiopteris angustifolia

(Global Biodiversity Information Facility GBIF, 2010).

2.1.2 Deskripsi Tanaman

Merupakan paku yang besar, daun sampai 2-5 meter menyirip

ganda 2-4, anak daun menyerupai daun kedondong (spondias dulcis),

sorus memanjang, sporangium didalamnya bebas, membuka dengan satu

celah (Tjitrosoepomo, 2003).

Suku dari Marattiaceae ini memiliki daun amat besar, meyirip

ganda sampai beberapa kali. Sporangium pada sisi bawah daun,

mempunyai dinding yang tebal, tidak mempunyai cincin, membuka

dengan suatu celah atau liang. Kebanyakan paku ini berupa paku tanah

yang isospor. Protalium berumur panjang, mempunyai mikoriza endofitik,

tumbuh di atas tanah, berwarna hijau, bentuknya menyerupai talus lumut

hati yang terdiri atas beberapa lapis sel (Tjitrosoepomo, 2003).

2.1.3 Aktivitas Biologi dan Kandungan Kimia

Informasi mengenai aktivitas biologi serta kandungan kimia dari

tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. belum pernah

dilaporkan.

Page 20: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

5

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alam yang digunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga, kecuali dinyatakan lain,

berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi

simplisia nabati, simplisia hewani, simplisia pelikan atau mineral

(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia nabati

Simplisia nabati adalah simplisia berupa tanaman utuh, bagian tanaman

dan eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi yang spontan keluar dari

tanaman atau isi sel yang dikeluarkan dari selnya dengan cara tertentu atau

zat yang dipisahkan dari tanamannya dengan cara tertentu yang masih

belum berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia hewani

Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan atau

zat yang dihasilkan hewan yang masih belum berupa zat kimia murni

(Farmakope Indonesia edisi III, 1979).

o Simplisia mineral

Simplisia mineral adalah simplisia berasal dari bumi, baik yang telah

diolah atau belum, tidak berupa zat kimia murni (Farmakope Indonesia

edisi III, 1979).

Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan

tumbuhan liar (wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat

dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat

tumbuh, iklim, kondisi (umur dan cara) panen, serta proses pasca panen

dan preparasi akhir. Usaha untuk mengajegkan variabel tersebut dapat

dianggap sebagai usaha untuk menjaga keajegan mutu simplisia (DepKes,

2000).

2.2.1 Tahapan Pembuatan Simplisia

Pada umumnya pembuatan simplisia melalui tahapan seperti berikut :

(DepKes, 1985).

Page 21: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

a. Pengumpulan bahan baku

Pengumpulan bahan baku atau waktu pemanenan yang tepat adalah

pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif

dalam jumlah terbesar.

b. Sortasi basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran – kotoran atau

bahan asing lainnya dari bahan simplisia.

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor

lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian dilakukan

dengan air bersih.

d. Perajangan

Perajangan simplisia dilakukan untuk mempermudah proses

pengeringan, pengepakan, dan penggilingan.

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan adalah untuk mendapatkan simplisia yang

tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang

lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi

enzimatik akan dicegah penurunan mutu dan perusakan simplisia.

f. Sortasi kering

Sortasi setelah pengeringan merupakan tahap akhir pembuatan

simplisia. Tujuannya adalah untuk memisahkan benda-benda asing

seperti bagian-bagian tanaman yang tidak diinginkan.

2.3 Ekstraksi

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengektraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut

yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan

massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi

baku yang telah ditetapkan (Farmakope Indonesia edisi IV, 1995).

Ekstrak cair adalah sediaan cair simplisia nabati, yang

mengandung etanol sebagai pelarut atau sebagai pengawet atau sebagai

Page 22: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

7

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pelarut dan pengawet. Ekstrak cair yang cenderung membentuk endapan

dapat didiamkan dan disaring atau bagian yang bening dienaptuangkan.

Beningan yang diperoleh memenuhi persyaratan Farmakope (Farmakope

Indonesia edisi IV, 1995).

Proses pembuatan ekstrak terdiri dari beberapa tahap yaitu :

Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya, cairan pelarut, separasi dan

pemurnian, pemekatan / penguapan, dan pengeringan ekstrak (DepKes,

2000).

a) Pembuatan serbuk simplisia dan klasifikasinya

Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk

simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia

dengan peralatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses ini

dapat mempengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal. Seperti

semakin halus serbuk simplisia, maka proses ekstraksi makin efektif dan

efisien, namun makin halus serbuk, maka makin rumit secara teknologi

peralatan untuk tahap filtrasi (DepKes, 2000).

b) Cairan pelarut

Cairan pelarut dalam pembuatan ekstrak adalah pelarut yang baik

(optimal) untuk senyawa kandungan yang berkhasiat atau yang aktif,

dengan demikian senyawa tersebut dapat dipisahkan dari bahan dan dari

senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak hanya mengandung sebagian

besar senyawa kandungan yang diinginkan. Dalam ekstrak total, maka

cairan pelarut dipilih yang melarutkan hampir semua metabolit sekunder

yang terkandung (DepKes, 2000).

c) Separasi dan pemurnian

Tujuan dari tahap ini adalah menghilangkan (memisahkan) senyawa yang

tidak dikendaki semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada senyawa

kandungan yang dikehendaki, sehingga diperoleh ekstrak yang lebih

murni. Proses – proses pada tahap ini adalah pengendapan, pemisahan dua

cairan tak campur, sentrifugasi, dekantasi, filtrasi serta proses adsorbsi dan

penukar ion (DepKes, 2000).

Page 23: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

d) Pemekatan / Penguapan (vaporasi dan evaporasi)

Pemekatan berarti peningkatan jumlah partial solute (senyawa terlarut)

secara penguapan pelarut tanpa sampai menjadi kondisi kering, ekstrak

hanya menjadi kental/pekat (DepKes, 2000).

e) Pengeringan ekstrak

Pengeringan berarti menghilangkan pelarut dari bahan sehingga

menghasilkan serbuk, massa kering–rapuh, tergantung proses dan

peralatan yang digunakan (DepKes, 2000).

2.4 Metode Ekstraksi

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan 2 cara,

yaitu :

1. Cara Dingin, antara lain :

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan

menggunakan pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan

pada temperatur ruangan (kamar). Secara teknologi termasuk

ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada

keseimbangan. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan

yang kontinu (terus–menerus). Remaserasi berarti dilakukan

pengulangan penambahan pelarut setelah dilkukan penyaringan

maserat pertama, dan seterusnya (DepKes, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru

sampai sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya

dilakukan pada temperatur ruangan (DepKes, 2000).

2. Cara Panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur

titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas

yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (DepKes,

2000).

Page 24: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

9

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Soxlet

Soxlet adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi

ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan

adanya pendingin balik (DepKes, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan

kontinu) pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan

(kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 – 50 oC

(DepKes, 2000).

d. Infus

Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur

penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,

temperatur terukur 96–98 oC) selama waktu tertentu (15-20 menit)

(DepKes, 2000).

e. Dekok

Dekok adalah infus pada waktu yang lebih lama (> 30 menit) dan

temperatur sampai titik didih air (DepKes, 2000).

Faktor–faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak, antara lain : (DepKes,

2000).

1. Faktor biologi

a) Identitas jenis (species). Jenis tumbuhan dari sudut keragaman

hayati dapat dikonfirmasi sampai informasi genetik sebagai

faktor internal untuk validasi jenis (species).

b) Lokasi tumbuhan asal. Lokasi berarti faktor eksternal, yaitu

lingkungan (tanah dan atmosfer) dimana tumbuhan berinteraksi

berupa energi (cuaca, temperatur, cahaya) dan materi (air,

senyawa organik dan anorganik).

c) Periode pemanenan hasil tumbuhan. Faktor ini menentukan

kapan senyawa kandungan mencapai kadar optimal dari proses

biosintesisnya.

Page 25: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

d) Penyimpanan bahan tumbuhan. Merupakan faktor eksternal

yang dapat diatur karena dapat berpengaruh pada stabilitas

bahan serta adanya kontaminasi.

e) Umur tumbuhan dan bagian yang digunakan.

2. Faktor kimia

a) Faktor internal, yaitu jenis senyawa aktif dalam bahan,

komposisi kualitatif senyawa aktif, komposisi kuantitatif

senyawa aktif, kadar total rata – rata senyawa aktif.

b) Faktor eksternal, yaitu metode ekstraksi, perbandingan ukuran

alat ekstraksi, kekerasan dan kekeringan bahan, pelarut yang

digunakan, kandungan logam berat dan pestisida.

2.5 Kanker

Kanker atau neoplasma ialah penyakit pertumbuhan sel yang

terjadi karena dalam tubuh timbul dan berkembang biak sel-sel baru yang

bentuk, sifat dan kinetikanya berbeda dari sel normal asalnya. Sel yang

baru itu pertumbuhannya liar, terlepas dari sistem kendali pertumbuhan

normal sehingga merusak bentuk dan atau fungsi organ yang terkena. Kata

neoplasma berasal dari bahasa Yunani neos yang berarti baru dan plasein

yang berarti bentukan, yaitu bentukan baru berupa sel baru yang berbeda

dari sel asalnya. Sel neoplasma itu terjadi karena ada mutasi atau

transformasi sel normal akibat adanya kerusakan gen yang mengatur

pertumbuhan dan diferensiasi sel (Sukardja, 2000).

Segala sesuatu yang menyebabkan terjadinya kanker disebut

karsinogen. Dari berbagai penelitian dapat diketahui bahwa karsinogen

dapat dibagi menjadi 4 golongan : (Pringgoutomo,S.dkk.,2002)

a. Karsinogen kimia, contohnya : asap rokok, pewarna Azo,

pengawet makanan, dan beberapa unsur logam seperti nikel dan

plumbum.

b. Karsinogen virus, contohnya : Human Papiloma Virus (HPV)

penyebab karsinoma serviks, serta virus Hepatitis B (HBV)

penyebab karsinoma sel hati.

Page 26: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

11

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Karsinogen radiasi, contohnya : radiasi UV

d. Agen biologik, contohnya : beberapa jenis hormon, mikotoksin,

dan parasit.

Dari percobaan pada binatang diketahui bahwa terjadinya neoplasma

melalui 2 tahap transformasi sel yaitu tahap inisiasi dan tahap promosi

(Pringgoutomo,S.dkk.,2002)

Tahap Inisiasi

Pada tahap inisiasi sel normal berubah menjadi sel yang

mempunyai potensi untuk menjadi sel neoplastik. Pada tahap ini

karsinogen yang bekerja sebagai inisiator, cenderung berubah baik

langsung maupun melalui perubahan metabolik menjadi gugus

yang bereaksi dengan DNA, mengakibatkan DNA pecah,

mengalami metilasi atau hambatan perbaikan kerusakan DNA.

Tahap Promosi

Bahan kimia yang merangsang transformasi neoplastik pada sel

yang telah diinisiasi tetapi tidak menyebabkan transformasi

neoplastik oleh dirinya sendiri disebut promotor. Promotor bekerja

mengubah ekspresi informasi genetik sel. Promotor merangsang

proliferasi klonal pada sel yang telah diinisiasi dan mengubah cara

diferensiasi dan maturasi.

2.6 Kanker Payudara (Carsinoma Mammae)

Kanker payudara adalah keganasan yang bermula dari sel-sel

payudara. Kanker ini menyerang jaringan payudara, tumbuh di dalam

kelenjar susu, saluran susu, dan jaringan lemak. Terjadinya karena ada

pertumbuhan abnormal sel pada kelenjar payudara. Namun, pertumbuhan

kanker payudara jauh lebih lambat dibandingkan dengan jenis kanker

lainnya. Sistem getah bening adalah salah satu cara utama kanker payudara

menyebar. Sel-sel kanker payudara dapat memasuki pembuluh limfe dan

mulai tumbuh di kelenjar getah bening. Jika sel-sel kanker payudara telah

mencapai pembuluh getah bening di ketiak (node axilaris), tandanya

adalah pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak. Bila ini terjadi,

Page 27: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemungkinan besar sel-sel kanker telah masuk ke aliran darah dan

menyebar ke organ tubuh lainnya (Soebachman, 2011).

2.6.1 Faktor Etiologi Kanker Payudara

Kanker payudara terjadi akibat adanya mutasi tertentu pada DNA

sel payudara. Sebagian mutasi gen bersifat diwariskan (genetic).

Sementara sebagian yang lain tampak terjadi dengan sendirinya tanpa

diketahui penyebab pastinya (Soebachman, 2011).

2.6.2 Faktor Risiko Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Penyebab pasti dari kanker payudara belum diketahui. Namun, ada

beberapa faktor risiko yang bisa meningkatkan kemungkinan terjadinya

kanker payudara. Beberapa diantaranya sebagai berikut :

Riwayat Keluarga

Beberapa riwayat keluarga yang dianjurkan untuk pemeriksaan

deteksi dini yaitu ibu atau saudara perempuan terkena kanker

payudara, atau kanker yang berhubungan dari ibu atau ayah, kanker

ovarium, endometrium, kolorektal, prostat, tumor otak, leukimia,

dan sarkoma.

Faktor Hormon

Faktor hormon merupakan faktor yang banyak berpengaruh pada

timbulnya kanker payudara, seperti mendapat haid pertama

(menarke) sebelum umur 10 tahun, mati haid (menopause) setelah

umur 55 tahun, tidak menikah atau tidak melahirkan anak,

melahirkan anak pertama setelah umur 35 tahun, dan tidak pernah

menyusui anak.

Faktor Umur

Wanita berusia di atas 30 tahun mempunyai kemungkinan lebih

besar mendapat kanker payudara dan kemungkinan tersebut terus

bertambah sampai setelah menopause.

Pernah mengalami infeksi, trauma/benturan, operasi payudara

akibat tumor jinak (kelainan fibrokistik dan fibroadenoma), atau

tumor ganas payudara kontralateral.

Page 28: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

13

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Pernah menggunakan obat hormonal yang lama, seperti terapi sulih

hormon atau hormonal replacement therapy (HRT), dan

pengobatan kemandulan (infertilitas).

Pemakaian kontrasepsi oral pada penderita tumor payudara jinak

seperti kelainan fibrokistik.

Pernah mendapat radiasi sebelumnya pada payudara atau dinding

dada, misalnya untuk pengobatan keloid.

Peningkatan berat badan yang signifikan pada usia dewasa.

2.6.3 Gejala Penyakit Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Kanker payudara pada tahap dini biasanya tidak menimbulkan

keluhan. Penderita merasa sehat, tidak merasa nyeri, dan tidak terganggu

aktivitasnya. Tanda yang mungkin dirasakan pada stadium dini adalah

teraba benjolan kecil di payudara. Keluhan baru timbul bila penyakitnya

sudah lanjut. Beberapa keluhannya yaitu :

Teraba benjolan pada payudara.

Bentuk dan ukuran payudara berubah, berbeda dari sebelumnya.

Luka pada payudara sudah lama tidak sembuh walau diobati.

Eksim pada puting susu dan sekitarnya sudah lama tidak sembuh

walau diobati.

Keluar darah, nanah, atau cairan encer dari puting atau keluar air

susu pada wanita yang tidak sedang hamil atau tidak sedang

menyusui.

Puting susu tertarik kedalam.

Kulit payudara mengerut seperti kulit jeruk (peau d’orange).

2.6.4 Pencegahan Kanker Payudara (Dalimartha, 2004)

Kanker payudara bisa dicegah dengan beberapa tindakan seperti

berikut :

Penggunaan obat-obat hormonal harus dengan sepengetahuan

dokter.

Wanita dengan riwayat keluarga menderita kanker payudara atau

yang berhubungan, tidak menggunakan alat kontrasepsi yang

mengandung hormon, seperti pil, suntikan, dan susuk KB.

Page 29: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Melakukan pemeriksaan terhadap diri sendiri setiap bulan. Bagi

wanita berisiko tinggi, melakukan juga pemeriksaan mammografi

secara berkala, terutama pada usia di atas 49 tahun.

Memberikan air susu ibu (ASI) pada anak selama mungkin dapat

mengurangi faktor risiko terkena kanker payudara. Hal ini

disebabkan selama proses menyusui, tubuh akan memproduksi

hormon oksitosin yang dapat mengurangi produksi hormon

estrogen. Hormon estrogen dianggap memegang peranan penting

dalam perkembangan sel kanker payudara.

Mejaga kesehatan dengan mengonsumsi buah dan sayuran segar.

Kedelai beserta produk olahannya, seperti susu kedelai, tahu, dan

tempe, mengandung fitoestrogen bernama genistein yang dapat

menurunkan kejadian kanker payudara.

Menghindari makanan berkadar lemak tinggi. Dari hasil penelitian,

konsumsi makanan berkadar lemak tinggi berkorelasi dengan

peningkatan kanker payudara.

2.7 MCF-7 Cell line

Sel MCF-7 adalah salah satu model sel kanker payudara yang

banyak digunakan dalam penelitian. Sel ini diperoleh dari jaringan epitel

payudara dengan titik metastasis pleural effusion breast adenocarcinoma

seorang wanita berusia 69 tahun dengan etnis kaukasian bergolongan

darah O dengan Rh+. Sel MCF-7 bersifat adherent sehingga metode kultur

yang tepat adalah metode monolayer. Akronim dari MCF-7 yaitu

Michigan Cancer Foundation-7 (ATCC, 2012).

2.8 Antikanker

2.8.1 Obat Antikanker

Obat antikanker adalah senyawa kemoterapetik yang digunakan

untuk pengobatan tumor yang membahayakan kehidupan (kanker). Obat

antikanker sering dinamakan pula sebagai obat sitotoksik. Tujuan utama

Page 30: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

15

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pengobatan kanker adalah merusak secara selektif sel tumor yang

berbahaya tanpa menganggu sel normal (Siswandono, 2000)

2.8.2 Mekanisme Kerja Obat Antikanker

Banyak obat antikanker yang bekerja dengan cara mempengaruhi

metabolisme asam nukleat, terutama DNA, atau biosintesis protein. Obat

antikanker dapat mempengaruhi proses kehidupan sel (Siswandono, 2000)

Proses kehidupan sel merupakan suatu siklus yang terdiri dari

beberapa fase sebagai berikut : (Siswandono, 2000)

1. Fase mitotik (M) : fase dimana terjadi pembelahan sel aktif. Setelah

melalui fase ini ada 2 alternatif :

a. Menuju fase G1 dan memulai proses proliferasi.

b. Masuk ke fase istirahat (Go), pada fase istirahat (Go) kemampuan

sel untuk berproliferasi hilang,sel meninggalkan siklus secara tidak

terpulihkan.

2. Fase post mitotik (G1), pada fase ini tidak terjadi sintesis DNA, tetapi

terjadi sintesis RNA dan protein. Pada akhir fase G1 terjadi sintesis

RNA yang optimum.

3. Fase sintetik (S), pada fase ini terjadi replikasi DNA sel.

4. Fase post sintetik (G2), fase ini dimulai bila sel sudah menjadi

tetraploid dan mengandung 2 DNA, kemudian sintesis RNA dan

protein dilanjutkan. Selanjutnya sel kembali ke fase mitotik, demikian

seterusnya sehingga merupakan suatu siklus.

2.8.3 Penggolongan Obat Antikanker

Obat antikanker dibagi menjadi 5 kelompok yaitu senyawa

pengalkilasi, antimetabolit, antikanker produk alam, hormon dan golongan

lain-lain (Siswandono, 2000)

1) Senyawa Pengalkilasi

Senyawa pengalkilasi adalah senyawa reaktif yang dapat mengalkilasi

DNA, RNA dan enzim – enzim tertentu. Mekanisme kerjanya adalah

membentuk senyawa kationik antara yang tidak stabil, diikuti

pemecahan cincin membentuk ion karbonium reaktif. Ion ini bereaksi,

melalui reaksi alkilasi, membentuk ikatan kovalen dengan gugus –

Page 31: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

gugus donor elektron, seperti gugus karboksilat, amin, fosfat dan tiol,

yang terdapat pada struktur asam amino, asam nukleat dan protein,

yang sangat dibutuhkan untuk proses biosintesis sel. Reaksi ini

membentuk hubungan melintang (cross linking) antara dua rangkaian

DNA, akibatnya proses pembentukan sel terganggu dan terjadi

hambatan pertumbuhan sel kanker.

2) Antimetabolit

Antimetabolik adalah senyawa yang dapat menghambat jalur

metabolik yang penting untuk kehidupan dan reproduksi sel kanker,

melalui penghambatan asam folat, purin, pirimidin dan asam amino,

serta jalur nukleosida pirimidin, yang diperlukan pada sintesis DNA.

Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan struktur metabolit

normal dan bersifat sebagai antagonis.

3) Antikanker Produk Alam

Antikanker produk alam dibagi mejadi tiga kelompok yaitu antibiotika

antikanker, antikanker produk tanaman dan antikanker produk hewan.

Antibiotika Antikanker

Beberapa antibiotik yang mula – mula dikembangkan sebagai

senyawa antibakteri ternyata didapatkan memiliki efek sitotoksik

tinggi. Efek samping tersebut dievaluasi dan kemudian

dikembangkan menjadi obat – obat antikanker.

Antikanker Produk Tanaman

Mekanisme kerjanya sebagai antikanker adalah mengikat tubuli

dan menghambat pembentukan komponen mikrotubuli pada

kumparan mitosis sehingga metafase berhenti.

Antikanker Produk Rekayasa Genetika

Contohnya : antineoplaston, interferon α-2a, interferon α-2b.

4) Hormon

Beberapa neoplasma dapat dikontrol baik oleh hormon seks, seperti

hormon androgen, progestin dan estrogen, serta hormon

adrenokortikoid. Biasanya untuk pengobatan tambahan sesudah

pembedahan, dikombinasi dengan antikanker yang lain.

Page 32: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

17

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.9 Kultur Sel (Malole, 1990)

Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau

jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau secara enzimatis

menjadi suspensi sel. Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi

satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol,

tabung, cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh.

Monolayer tersebut kemudian diperbanyak lagi sesudah melalui proses

pemisahan sel secara enzimatis dan diencerkan dengan media penumbuh.

Teknik ini disebut subkultur atau pasase. Apabila dipasase terus menerus

maka dihasilkan sel lestrai (cell line).

Sel lestari memiliki beberapa sifat, yaitu : terjadi peningkatan

jumlah sel, sel-sel tersebut memiliki daya tumbuh yang tinggi, sel-sel

tersebut seragam, dan biasanya sel-sel tersebut mengalami perubahan

fenotipe dan transformasi.

Sebelum penambahan sel medium harus dipanaskan dahulu pada

temperatur 37 oC dan pHnya distabilkan. Bibit yang digunakan untuk

produksi sel hendaknya sel yang berada pada fase akhir pertumbuhan

logaritmis agar dapat dicapai tingkat produktivitas yang tinggi karena sel

tersebut masih aktif berbiak. Jumlah sel yang digunakan sebagai bibit

bervariasi antara jenis sel dan tergantung pada keadaan medium yang

digunakan, secara umum biasanya jumlah sel tersebut antara 50.000

sampai 200.000 sel/mL atau 5.000 sampai 20.000 sel/cm2. Pengadukan

suspensi sel dilakukan pada kecepatan yang optimum, walaupun kecepatan

tersebut bervariasi pada setiap jenis sel dan bentuk bejana, akan tetapi

secara umum dapat digunakan 100-500 rpm, untuk kultur yang memakai

microcarrier antara 20-100 rpm.

Produktivitas dari suatu sistem produksi sel dipengaruhi oleh

beberapa faktor, antara lain :

a. Medium dan Bahan Nutrisi

Kualitas dan kuantitas bahan nutrisi yang tersedia dalam

medium menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan pada

kultur tersebut. Medium yang digunakan harus komplit

Page 33: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(mengandung suplemen dan asam lemak). Untuk mempertahankan

kehidupan atau kultur sel perlu ada tambahan bahan nutrien serta

penggantian medium yang lama dengan medium yang baru secara

keseluruhan atau hanya sebagian atau dengan perfusi.

b. pH dan Dapar (buffer)

pH yang ideal untuk kultur jaringan adalah 7,4 dan

diusahakan agar selama proses pembiakan sel pH tersebut tidak

lebih rendah dari 7 karena pH yang lebih rendah biasanya

memperlambat pertumbuhan sel.

Sistem buffer yang biasa digunakan dalam media adalah

sistem karbondioksida bikarbonat yang sama seperti dalam darah.

Daya buffer dari medium ditingkatkan dengan adanya ion fosfat

yang terdapat pada larutan garam seimbang.

c. Oksigen

Peningkatan produksi sel pada kultur sangat tergantung

pada kecukupan penyediaan oksigen. Pemberian oksigen pada

kultur dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain pemberian

udara pada permukaan medium, difusi membran, perfusi medium

dan pemompaan oksigen langsung kedalam media.

2.10 Uji Sitotoksisitas

Uji sitotoksik adalah uji toksisitas secara in vitro menggunakan

kultur sel yang digunakan dalam evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat

tambahan makanan, pestisida dan digunakan untuk mendeteksi adanya

aktivitas antineoplastik dari suatu senyawa (Freshney, 1992).

Metode in vitro memberikan berbagai keuntungan, seperti: dapat

digunakan pada langkah awal pengembangan obat, hanya membutuhkan

sejumlah kecil bahan yang digunakan untuk kultur primer manusia dari

berbagai organ target (ginjal, liver, kulit) serta memberikan informasi

secara langsung efek potensial pada sel target manusia. Akhir dari uji

sitotoksik dapat memberikan informasi konsentrasi obat maksimal yang

masih memungkinkan sel mampu bertahan hidup. Penetapan jumlah sel

Page 34: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

19

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang masih bertahan hidup pada uji sitotoksisitas dapat dilakukan dengan

berbagai cara yang seringkali didasarkan pada parameter kerusakan

membran, gangguan sintesis dan degradasi makromolekul, modifikasi

kapasitas metabolisme serta perubahan morfologi sel. Metode lain yang

dapat digunakan adalah metode kolorimetrik menggunakan suatu substrat

yang akan dimetabolisme oleh sel menjadi produk berwarna misal MTT

{3-(4,5-dimetil tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida). Uji sitotoksik

dapat menggunakan parameter lC50. Nilai lC50 menunjukkan nilai

konsentrasi yang menghasilkan hambatan pertumbuhan sel sebesar 50%

dari populasi. Nilai lC50 dapat menunjukkan potensi suatu senyawa sebagai

sitotoksik. Semakin besar nilai lC50 maka senyawa tersebut semakin tidak

toksik (Heti, 2008).

2.11 Metode Pengujian Sitotoksik

a. MTT assay

MTT assay adalah teknik yang sering dipakai pada umumnya,

teknik ini menggunakan garam tetrazolium atau MTT {3-(4,5-dimetil

tiazol-2-il)-2,5-difenil tetrazolium bromida) yang berwarna kuning dimana

akan dimetabolisme oleh enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat

pada mitokondria sel menjadi kristal formazan berwarna ungu (Freshney,

1992). MTT dilarutkan dalam Phosphate Buffer Saline (PBS) 5 mg/ml dan

disaring untuk menghilangkan residu yang tidak larut. MTT ditambahkan

secara langsung pada plate yang berisi medium kultur sebanyak 10-100 µl

dan diinkubasi selama kurang lebih 4 jam pada 37o C. Kristal formazan

yang berwarna ungu yang terbentuk akan terlarut dengan penambahan

isopropanol asam (100 µl 0,04 N HCl dalam isopropanol) atau SDS 10%

dalam HCl 0,01 N. Selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang

gelombang 550 nm. Intensitas warna yang terbentuk berbanding langsung

dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme (Zakaria, 2010).

b. Metode Perhitungan Langsung

Metode Perhitungan Langsung dilakukan dengan pengecatan

menggunakan larutan biru tripan. Sel yang mati akan menyerap warna biru

Page 35: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

tripan, sedangkan yang mati tidak. Hal ini disebabkan karena sel yang mati

mengalami kerusakan pada membran selnya, mengakibatkan protein

didalam sel keluar dan berikatan dengan biru tripan. Pemberian biru tripan

dilakukan secara bertahap untuk menghindari kemungkinan kematian sel

yang disebabkan oleh biru tripan dan hasilnya sel yang mati akan tampak

keruh tidak bercahaya (Agoes, 1994).

c. Perubahan Integritas Membran

Metode ini terutama digunakan untuk senyawa toksik yang

memberikan efek dengan merusak membran sel yang tidak terjadi dalam

keadaan normal (seperti biru tripan dan eritrosin) dan pengeluaran isotop

atau pewarna dalam keadaan normal tidak dikeluarkan oleh sel, seperti

15Kromium dan diasetil fluoresin (Freshney, 1992).

d. Radioisotop

Pemasukan radioisotop seperti [3H]-timidin ke dalam DNA dan

[3H]-uridin ke dalam RNA (Freshney, 1992).

2.12 Microplate Reader

Microplate reader adalah jenis spektrofotometer khusus. Prinsip

kerjanya adalah cahaya lampu memancarkan panjang gelombang cahaya,

lalu disaring oleh monokromator menjadi cahaya monokromatik. Sebagian

cahaya tersebut kemudian diserap oleh sampel yang ada di dalam

microplate dan sebagian yang lainnya diteruskan oleh sampel menuju

detektor fotolistrik. Dari detektor fotolistrik serapan diubah menjadi sinyal

listrik hingga akhirnya didapat nilai absorbansi yang tertera pada komputer

(Anonim, 2012).

Page 36: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

21 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Daun tumbuhan paku

(Angiopteris angustifolia C. Presl.)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alur Penelitian

Simplisia

Maserasi dengan etanol 70 %

Ekstrak etanol dipekatkan

dengan evaporator

Ekstrak etanol

kental

Uji sitotoksisitas dengan

metode MTT

Perhitungan %

penghambatan proliferasi

Analisa data lC50

Sel MCF-7

Thawing

Subkultivasi

Perhitungan kepadatan

sel dengan

Haemocytometer

Analisa kandungan

kimia : Alkaloid,

Flavonoid, glikosida,

saponin, tanin, dll.

Ekstrak dipekatkan

dengan Frezee Dry.

Page 37: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

3.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni 2012 sampai bulan Desember

2012.

3.2.2 Tempat Penelitian

Pembuatan ekstrak etanol dilakukan di Laboratorium Product Natural

Analysist (PNA) FKIK Jurusan Farmasi UIN Jakarta. Penelitian Uji

Sitotoksisitas dilakukan di Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais –

Jakarta.

3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat Penelitian

Alat – alat yang digunakan adalah gunting, kertas koran, pisau,

erlenmeyer, gelas ukur, spatula, blender, labu ukur, kertas saring, rotari

evaporator, kapas, corong, cawan penguap, lemari es, vial, oven, satu set

tabung reaksi, timbangan analitik (Kern), inkubator CO2 (Memmert),

autoklaf (Hirayama), sentrifuge (Hettich), sentrifuge tube 15 mL dan 50

mL (Corning), Laminar Air Flow cabinet (LAF), biological safety cabinet

II (Esco), mikroskop inverted (Olympus), tangki nitrogen cair (Thermo),

culture flask (Corning), cryogenic vials (Nalgene), mikro pipet

(Eppendorf), pipet tips (Axygen), pipet tips 5 mL (Eppendorf), syiringe

200 cc (Terumo), syiringe filter (Minisart), vortex (Heidolph), tabung

conical (Nunclon), microplate 96 sumuran (Nunclon), haemocytometer

(Nebauer), microplate reader, tabung falcon, hot plate, kulkas 4 oC dan -

20oC (Toshiba), kulkas -80

oC (Thermo).

3.3.2 Bahan yang digunakan

a. Simplisia

Bahan utama dalam uji sitotoksisitas ini adalah bagian daun dari

tumbuhan paku yaitu Angiopteris angustifolia [C.Presl] yang diperoleh

dari hutan daerah bogor, dan telah diidentifikasi di Herbarium Bogoriense

Litbang LIPI Cibinong, Bogor.

Page 38: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

23

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Sel Uji

Sel yang digunakan untuk uji sitotoksik adalah sel MCF-7 yang

diperoleh dari stok Laboratorium Litbang RS. Kanker Dharmais Jakarta.

c. Bahan Kimia yang Digunakan

Bahan kimia yang digunakan pada penelitian ini adalah etanol

70%, klorofom, aquadest, HCl, dragendorf, meyer, serbuk Mg, amil

alkohol, FeCl3, pereaksi Stiasny (Formaldehid 30% : HCl pekat = 2 : 1),

Na asetat, NaOH, pereaksi Liebermann-Buchard (2 tetes asam asetat

anhidrat dan 1 tetes H2SO4 pekat), eter, ammonia (NH4OH) 10%, media

sel RPMI (Rosewell Park Memorial Institute) (Gibco), Phosphate Buffered

Salina (PBS), Penicillin-streptomisin, Fetal Bovine Serum (FBS) (Sigma),

Trypsin EDTA 5% (Sigma), MTT [3-(4,5 dimetiltiazol-2-yI)-2,5 difenil

tetrazolium bromide] (Sigma), Trypan Blue Stain 0,4% (Sigma), DMSO

(Dimetil Sulfoksida) (AppliChem), Sodium bikarbonat (NaHCO3).

3.4 Metode Penelitian

3.4.1 Persiapan Simplisia

Daun tumbuhan paku yang telah dipisahkan dari batang dan

tangkainya, kemudian dibersihkan menggunakan tissue untuk

menghilangkan kotoran yang melekat pada daun tumbuhan paku tersebut.

Kemudian dirajang dan dikering anginkan. Setelah kering, daun tumbuhan

paku diblender sehingga diperoleh simplisia halus.

3.4.2 Pembuatan Ekstrak

Pembuatan ekstrak etanol dilakukan dengan cara maserasi serbuk

daun tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl. menggunakan

etanol 70%. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia

dengan pelarut, penggantian pelarut dilakukan 3 hari sekali sampai cairan

pelarut tidak berwarna atau bening, dimana setiap hari labu maserasi

digoyang-goyangkanagar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan

sempurna. Setelah semua filtrat terkumpul dilakukan pemekatan dengan

evaporator pada suhu 50-60 oC sampai pelarut tidak lagi menetes. Akan

tetapi setelah dipekatkan ekstrak tersebut masih mengandung air,

Page 39: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemudian dilakukan teknik freezdry untuk mengangkat air tersebut

sehingga didapat ekstrak kental. Proses freezdry dilakukan selama 12 jam.

3.4.3 Penapisan Fitokimia

Penapisan fitokimia bertujuan untuk mengetahui kandungan

senyawa kimia seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, glikosida,

dan triterpenoid yang terdapat pada ekstrak.

a. Pemeriksaan Ekstrak (Ayoola et al., 2008)

1) Gula Pereduksi (Uji Fehling)

Larutan ekstrak etanol (0,5 gram ekstrak dalam 5 mL aquadest) lalu

ditambahkan larutan Fehling A dan B kemudian dididihkan dalam tabung

reaksi. Perubahan warna yang terjadi pada larutan mengindikasikan

adanya gula pereduksi.

2) Terpenoid (Uji Salkowski)

Sebanyak 0,5 gram ekstrak ditambahkan 2 mL kloroform, kemudian

ditambahkan 3 mL asam sulfat (H2SO4) untuk membentuk lapisan.

Adanya warna merah kecoklatan diantara lapisan mengindikasikan adanya

terpenoid.

3) Triterpenoid (Tiwari, 2011)

Uji Salkowskii: Ekstrak dilarutkan dengan kloroform dan disaring. Filtrat

kemudian ditambahkan beberapa tetes larutan asam sulfat, lalu dikocok

dan didiamkan. Terbentuk warna kuning keemasan mengindikasikan

adanya triterpenoid.

4) Flavonoid

Terdapat 3 metode yang digunakan untuk menguji keberadaan flavonoid :

Pertama: 5 ml larutan ammonia ditambahkan ke dalam filtrat air dari

ekstrak, lalu ditambahkan 1 mL asam sulfat. Terbentuk warna kuning

menunjukkan adanya flavonoid.

Kedua: Beberapa tetes dari larutan ammonia 1% ditambahkan ke dalam

filtrat ekstrak. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya flavonoid.

Ketiga: Sejumlah cuplikan ekstrak ditambahkan 10 mL etil asetat dan

dipanaskan atau menggunakan penangas air selama 3 menit. Campuran

Page 40: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

25

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

kemudian disaring, diambil 4 mL filtratnya dan ditambahkan dengan 1 mL

larutan ammonia. Terbentuk warna kuning menunjukkan adanya

flavonoid.

5) Saponin

0,5 gram ekstrak ditambahkan 5 mL aqua destilat dalam tabung reaksi.

Larutan kemudian dikocok dengan kuat, lalu diamati busa yang terbentuk

secara stabil. Ke dalam busa ditambahkan 3 tetes minyak zaitun lalu

dikocok kuat, terbentuknya emulsi mengindikasikan keberadaan saponin.

6) Tannin

0,5 gram ekstrak dididihkan dalam 10 mL aquadest dalam tabung reaksi,

lalu disaring. Kemudian kedalam filtrat ditambahkan beberapa tetes ferri

klorida 0,1%. Terbentuk warna hijau kecoklatan atau biru kehitaman

menunjukkan keberadaan tannin.

7) Alkaloid (Tiwari, 2011)

Ekstrak dilarutkan dalam HCl dan disaring, lalu filtratnya dikumpulkan.

Uji Meyer: Filtrat ditambahkan dengan reagent Meyer (potasium merkuri

iodida). Terbentuk endapan berwarna kuning mengindikasikan adanya

alkaloid.

Uji Dragendroff: Filtrat ditambahkan dengan reagent Dragendroff (larutan

potasium bismut iodida). Terbentuk endapan merah mengindikasikan

adanya alkaloid.

8) Glikosida Jantung (Uji Keller-Killani)

0,5 gram ekstrak dilarutkan dengan 5 mL aquadest dan ditambahkan 2 mL

asam asetat glasial yang mengandung satu tetes larutan ferri klorida. Lalu

ditambahkan pada lapisan bawah dengan asam sulfat. Terbentuknya cincin

coklat diantara lapisan menujukkan adanya deoxysugar yang merupakan

karakteristik dari kardeonolid. Cincin ungu dapat terlihat dibawah cincin

coklat, pada lapisan asam asetat dapat terbentuk cincin kehijauan sedikit

diatas cincin coklat lalu tersebar perlahan-lahan keseluruh lapisan tersebut.

9) Fenol (Tiwari, 2011)

Uji Ferri Klorida: Ekstrak ditambahkan 3-4 tetes larutan ferri klorida.

Terbentuk warna hitam kebiru-biruan mengindikasikan adanya fenol

Page 41: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

26

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

10) Protein (Tiwari, 2011)

Uji Xantoprotein: Ekstrak ditambahkan beberapa tetes dari larutan asam

nitrat. Terbentuk warna kuning mengindikasikan adanya protein.

b. Rendemen total ekstrak etanol tumbuhan paku

Rendemen ekstrak tumbuhan paku total dihitung dengan

membandingkan berat awal serbuk dengan berat akhir ekstrak tumbuhan

paku total yang dihasilkan.

3.4.4 Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan harus dalam keadaan steril. Untuk

senyawa yang tidak tahan terhadap pemanasan perlakuan dapat dilakukan

secara aseptis di dalam LAF (Laminar Air Flow), hal ini bukanlah proses

sterilisasi akan tetapi dilakukan untuk mencegah adanya kontaminasi.

Filter yang umumnya digunakan adalah syiringe filter membrane non

pyrogenic dengan ukuran pori 0,2 µM. Untuk alat-alat gelas dicuci bersih

lalu dikeringkan, selanjutnya dibungkus dengan kertas dan disterilkan

dalam autoklaf pada suhu 121 oC selama 15 menit.

3.4.5 Pembuatan Reagen

a. Pembuatan Larutan PBS (Phosphat Buffer Saline)

Ke dalam gelas becker dimasukkan aqua steril lalu ditambahkan

serbuk PBS secara perlahan-lahan dan diaduk menggunakan magnetic

stirrer sampai serbuk terlarut sempurna. Dilakukan pengecekan pH (7,2).

Kemudian dimasukkan ke dalam botol yang bertutup dan disterilisasi

menggunakan autoklaf selama 20 menit pada suhu 121o C. Lalu disimpan

pada suhu ruangan (Freshney, 2010). Adapun pembuatan secara manual

adalah dengan Sebanyak 2.16 gram hidrogen fosfat (Na2HPO4) ditimbang,

kemudian ditambahkan 0.20 gram kalium fosfat (KH2PO4), 8.0 gram

natrium klorida (NaCl) dan 0.20 gram kalium klorida (KCl). Kemudian

dilarutkan dalam aquadest steril hingga 1 liter. Larutan distabilkan pada

pH 7.2 dengan menggunakan alat pH meter kemudian disterilkan dengan

autoklaf dan disimpan pada suhu kamar.

Page 42: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

27

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Pembuatan Larutan MTT (3 – [4,5 – dimethylthiazol – 2Yi] – 2,5 –

diphenyl tetrazolium bromide)

Melarutkan 3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazolium

bromide (MTT) sebanyak 50 mg/mL dalam PBS. Kemudian disterilisasi

dengan filtrasi (Freshney, 2010). Filtrasi dilakukan menggunakan syiringe

filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori sebesar 0.2 μM.

c. Pembuatan Larutan Trypsin

25 gram Trypsin ditimbang dan ditambahkan NaCl 0,14 M hingga

1 liter kemudian diaduk hingga larut menggunakan magnetic stirrer

selama 1 jam pada suhu ruangan. Lalu disterilisasi dengan filtrasi.

Kemudian dibagi ke dalam 10-20 ml bagian dan disimpan pada suhu -20o

C. Sebelum digunakan dilarutkan terlebih dahulu dengan PBS

(perbandingan 1: 10). Larutan Trypsin yang disimpan pada suhu 4o C akan

stabil maksimal 3 minggu (Freshney, 2010).

d. Pembuatan Larutan Trypan Blue

0.4 % Trypan Blue dilarutkan ke dalam PBS (Freshney, 2010).

e. Pembuatan Medium RPMI Berserum

Sebanyak 500 mL medium RPMI ditambahkan 10% FBS yaitu 50

mL dan Penstrep (Penisilin-Streptomisin) sebanyak 5 mL kemudian

dihomogenkan. Selanjutnya larutan medium RPMI berserum disaring

dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan diameter pori

sebesar 0.2 μM dan disimpan pada suhu 4oC.

3.4.6 Persiapan Larutan Uji dan Blangko DMSO

a. Larutan Uji ekstrak etanol

200 mg ekstrak etanol ditimbang dalam microtube, kemudian

dilarutkan dengan 1.000 µl DMSO 99,5%, lalu disentrifus sampai

homogen. Larutan ini dijadikan larutan induk dengan konsentrasi 200.000

ppm (larutan induk 1). Selanjutnya dari larutan induk 1 dibuat konsentrasi

200 ppm (larutan induk 2), lalu dibuat larutan uji dengan seri 100 μg/mL,

50 μg/mL 25 μg/mL, 12,5 μg/mL, 6,25 μg/mL, 3,125 µg/mL dan 1,5625

µg/mL dengan mengencerkan beberapa µL dari larutan induk 2.

Page 43: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Kontrol DMSO (Kontrol Negatif)

Larutan DMSO dibuat dengan mengencerkan DMSO 99,5%

menjadi larutan DMSO dengan konsentrasi 0,1%. Selanjutnya larutan

DMSO disaring dengan syiringe filter membrane non pyrogenic dengan

diameter pori sebesar 0.2 μM. Digunakan DMSO pro Analysis.

3.4.7 Persiapan Kultur sel MCF-7 (Freshney, 2010)

a. Pengaktifan sel (Thawing Kultur Sel)

a) Bahan steril yang dibutuhkan : culture flask, tabung sentrifus, mikropipet

& tips 1 mL-10 mL, syiringe.

b) Bahan nonsteril yang dibutuhkan : waterbath suhu 37oC, alkohol swab

70%.

1) Tabung yang berisi cell line MCF-7 dikeluarkan dari tabung nitrogen

cair, kemudian dicairkan dalam waterbath pada suhu 37 oC sampai

gumpalan di dalam vial mencair.

2) Bagian luar dari ampul dibersihkan dengan alkohol swab 70%.

3) Di dalam laminar air flow, cairan sel dipipet sebanyak 1 mL dan

dimasukkan ke dalam tabung sentrifus, ditambahkan 10 mL medium

RPMI secara perlahan-lahan kemudian disentrifus dengan kecepatan

1000 ppm selama 5 menit.

4) Supernatan yang diperoleh dipisahkan, sedangkan pelet yang terbentuk

disuspensikan dengan 6 mL medium kultur RPMI dan FBS 10%.

5) Suspensi sel dipipet dan dimasukkan ke dalam culture flask, lalu

diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24 jam,

medium diganti setiap 3 – 4 hari untuk mendapatkan jumlah sel yang

cukup dengan tingkat kepadatan sekitar 70-80% menutupi culture flask.

b. Pengembangan sel (Sub Kultivasi)

1) Setelah diinkubasi selama 1 hari, cultur flask yang berisi sel dikeluarkan

dari inkubator.

2) Medium yang ada di dalam cultur flask dibuang kemudian dicuci dengan

PBS sebanyak ± 10-15 mL untuk mencuci sebanyak 3-4 kali. Larutan PBS

dibuang, lalu ditambahkan 2 mL tripsin yang telah diencerkan dengan PBS

(200 µL Tripsin + 1800 µL PBS = 2 mL).

Page 44: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

29

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3) Selanjutnya sel diinkubasi selama 3 menit dalam inkubator suhu 37 oC

dengan sedikit membuka tutup cultur flask.

4) Setelah 3 menit, cultur flask dikeluarkan dari inkubator kemudian diketuk-

ketuk bagian luar dari dinding cultur flask dengan tujuan agar sel terlepas

dari permukaan cultur flask. Sel dilihat di mikroskop untuk memastikan

bahwa sel sudah lepas dari permukaan dinding culture flask.

5) Culture flask kemudian dipindahkan ke dalam LAF ditambahkan RPMI

berserum kedalam culture flask sebanyak 400 µL untuk menonaktifkan

tripsin lalu dihomogenkan.

6) Larutan sel dimasukkan ke dalam tabung conical steril dan disentrifus

selama 5 menit dengan kecepatan 1000 rpm.

7) Supernatan dibuang dan diganti dengan medium RPMI ± 1 mL, kemudian

dihomogenkan dengan pipet sehingga sel menyebar ke seluruh media.

8) Larutan sel tersebut diencerkan dengan tripan blue (10 µL tripan blue + 10

µL sel) dan dihitung jumlah selnya menggunakan Haemocytometer. Syarat

jumlah sel dalam setiap sumuran adalah 5x103

sel.

9) Sel dihitung dari keempat bidang besar pada sudut seluruh permukaan

yang terbagi. Penghitungan dimulai dari sisi kiri atas kemudian ke kanan,

turun ke bawah dan dari kanan ke kiri. Cara tersebut dilakukan pada

keempat bidang besar. Sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau

atas harus dihitung. Sebaliknya sel yang menyinggung garis batas sebelah

kanan atau bawah tidak dihitung. Jumlah sel per ml dihitung menggunakan

rumus:

n = Jumlah sel dalam keempat bidang besar

4 = Jumlah bilik haemocytometer yang dihitung

P = Faktor pengenceran terhadap indikator warna

3.4.8 Pemeliharaan Terhadap Kultur Sel Kanker

Sel diamati setiap hari menggunakan mikroskop untuk memeriksa

kemungkinan adanya pencemaran mikroorganisme lain seperti bakteri dan

jamur. Apabila medium kultur telah berubah warna maka diganti dengan

medium RPMI berserum yang baru.

Page 45: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.9 Uji Sitotoksisitas

Uji sitotoksisitas menggunakan plat kultur jaringan 96 sumuran

sebagai media uji. Sebanyak 100 µL suspensi sel dalam medium RPMI

berserum dimasukkan kedalam setiap sumuran pada plat kultur jaringan,

lalu diinkubasi dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37oC selama 48 jam

untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik (Meiyanto, 2008). Setelah 48

jam sel akan melekat pada dasar mikroplate, lalu medium dibuang, ke

dalam masing-masing sumuran ditambahkan 200 µL larutan uji (ekstrak

etanol tumbuhan paku) dalam medium RPMI 1640 dan larutan kontrol

DMSO (kontrol negatif) dalam medium RPMI 1640 dengan konsentrasi

0,1% serta kontrol sel dalam medium sebanyak 200 µL (sebagai blanko).

Kemudian diinkubasi pada suhu 37oC dalam inkubator CO2 5% selama 24

jam. Sel diamati dengan mikroskop pada saat inkubasi 4, 8, dan 24 jam.

Didalam LAF masing-masing medium di dalam sumuran dibuang.

Kemudian ditambahkan 100 µL PBS lalu digoyang-goyangkan dan

dibuang. Sebanyak 100 µL RPMI berserum dan 10 µL MTT ditambahkan

ke dalam setiap sumur, kemudian diinkubasi dalam inkubator CO2 5%

pada suhu 37oC selama 4 jam, dikeluarkan dari inkubator dan dilihat

kristal formazan ungu yang terbentuk dengan mikroskop. Selanjutnya

ditambahkan 100 µL DMSO pada masing-masing sumuran dan diaduk

sampai homogen, Masing-masing sumur dibaca secara langsung setelah

penambahan DMSO menggunakan microplate reader pada panjang

gelombang 540-600 nm (CCRC, 2008).

3.4.10 Perhitungan Persentase Kematian Sel

Dengan menggunakan metode MTT presentasi kematian sel

merupakan selisih absorbansi kontrol negatif dengan absorbansi sampel uji

dibagi absorbansi kontrol negatif dikalikan 100%. Masing-masing

absorbansi telah dikoreksi dengan absorbansi dari larutan uji saja setiap

kadar. Perhitungan kematian sel dengan menggunakan metode MTT

menggunakan rumus sebagai berikut: (Zakaria, 2011)

Page 46: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

31

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.4.11 Analisa Data

Dari hasil perhitungan jumlah sel yang hidup dapat digunakan

untuk menghitung presentase kematian sel dengan tujuan untuk

mendapatkan nilai IC50 dengan analisa probit. Dari data ini dibuat regresi

linier hubungan antara logaritma konsentrasi sebagai X dengan probit

sebagai Y. IC50 diperoleh dengan memasukkan nilai 5 sebagai probit ke

dalam persamaan regresi linier tersebut, kemudian hasil subtitusi ini

diantilogaritma dan hasil tersebut merupakan nilai IC50. Persentase

kematian yang dibuat ke dalam angka probit digambarkan hubungannya

dengan logaritma konsentrasi. Penarikan garis lurus yang paling baik

melalui titik-titik yang ada (berdasarkan penglihatan) dan konsentrasi pada

garis ini yang menyatakan 50% kematian (probit -5). Antilog titik ini

disebut IC50.

Page 47: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

32 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Determinasi

Dari hasil determinasi yang diperoleh, tanaman yang digunakan

dalam penelitian ini adalah Angiopteris angustifolia C. Presl dengan

famili Marattiaceae. Hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 1.

4.1.2 Hasil Ekstraksi

Tabel 1. Hasil Ekstraksi

Karakter

Serbuk

Angiopteris angustifolia

C. Presl

Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia

C. Presl

Bobot 40,3 gram 3,8 gram

Warna Hijau Tua Hijau Tua

Rendemen - 9,5 %

4.1.3 Hasil Penapisan Fitokimia

Tabel 2. Hasil Penapisan Fitokimia

Golongan Senyawa Ekstrak Etanol

Terpenoid +

Triterpenoid +

Saponin +

Alkaloid +

Tannin +

Flavonoid +

Glikosida jantung -

Fenol +

Protein +

Keterangan : (+) mengandung senyawa yang diuji

(-) tidak mengandung senyawa yang diuji

Page 48: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

33

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Proses penapisan fitokimia dapat dilihat pada lampiran 4.

4.1.4 Jumlah Kerapatan Sel

Jumlah kepadatan sel dihitung pada saat sel MCF-7 telah mecapai

kepadatan 80% menutupi permukaan culture flask. Yaitu setelah sel

diinkubasi dalam inkubator CO2 5% dengan suhu 37o C selama 48 jam.

Perhitungan dilakukan dengan memipet 10 µL suspensi sel dan ditambah 10

µL trypan blue lalu diteteskan pada Haemocytometer (faktor pengenceran 2

kali). Jumlah kepadatan yang diperoleh adalah 1,97 x 106 sel/mL. Sedangkan

syarat jumlah sel tiap sumuran adalah 5x103

sel/mL, sehingga jumlah sel yang

harus dipipetkan tiap sumuran adalah 2,54 µL sel/sumuran. Namun, dalam

penelitian ini sel tidak dipipet satu per satu artinya sel tidak dimasukkan 2,54

µL sel/sumuran, tetapi sebanyak 254 µL sel (2,54 µL x 100 sumuran)

dilarutkan dalam medium RPMI 1640 berserum ad 10 mL. Lalu dipipet

sebanyak 100 µL suspensi sel ke dalam setiap sumuran. Perhitungan

kepadatan sel dapat dilihat pada lampiran 12.

4.1.5 Hasil Pengujian Sitotoksik Ekstrak Etanol Angiopteris

angustifolia terhadap Sel MCF-7

Tabel 3. Hasil Pengujian Antiproliferatif Angiopteris angustifolia terhadap Sel

MCF-7

*Perhitungan analisa probit dan grafik uji antiproliferatif Angiopteris

angustifolia dapat dilihat pada lampiran 14.

Konsentrasi

(µg/mL)

Log Konsentrasi

(x)

%

Inhibisi

Probit

(y)

IC50

200 2,301 57,54 5,1801 91,52

(µg/mL) 100 2 53,22 5,0803

50 1,699 33,33 4,5684

25 1,398 27,64 4,4052

12,5 1,097 23,89 4,2872

6,25 0,796 14,32 3,9331

3,125 0,495 9,13 3,6654

1,5625 0,194 0,44 2,3478

Page 49: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

34

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2 Pembahasan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas

antiproliferatif ekstrak etanol tumbuhan paku, yakni Angiopteris

angustifolia C. Presl terhadap sel MCF-7. Uji sitotoksik adalah uji

toksisitas secara in vitro menggunakan kultur sel yang digunakan dalam

evaluasi keamanan obat, kosmetik, zat tambahan makanan, pestisida dan

digunakan untuk mendeteksi adanya aktivitas antineoplastik dari suatu

senyawa (Freshney, 1992). Metode uji sitotoksik yang dipilih adalah

metode MTT. Alasan penggunaan MTT adalah metode ini cepat, sensitif

serta paling umum digunakan dalam pengujian secara in vitro (Freshney,

1992).

Bagian tumbuhan yang digunakan adalah bagian daun tua dan daun

muda secara keseluruhan. Penyiapan simplisia dengan cara

membersihkan seluruh bagian tanaman dari kotoran-kotoran seperti tanah

menggunakan tissue. Pada saat membersihkan dilakukan dengan hati-hati

agar spora yang terdapat pada permukaan daun tidak terlepas. Proses

pengeringan dilakukan dengan cara dikering anginkan pada suhu kamar

selama seminggu, proses pengeringan terhindar dari sinar matahari agar

senyawa-senyawa yang terkandung didalamnya tidak terurai, terutama

senyawa-senyawa yang sensitif terhadap pemanasan tinggi (Harborne, J.B,

1987).

Proses ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi menggunakan

etanol 70%. Alkohol dipilih karena merupakan pelarut serba guna yang

baik untuk ekstraksi pendahuluan (Harborne, J.B, 1987). Teknik

maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dengan

pelarut, penggantian pelarut dilakukan 3 hari sekali sampai cairan pelarut

tidak berwarna atau bening, dimana setiap hari labu maserasi digoyang-

goyangkan agar semua serbuk dapat menyentuh pelarut dengan sempurna.

Setelah semua filtrat terkumpul dilakukan pemekatan dengan evaporator

pada suhu 50-60 oC sampai pelarut tidak lagi menetes. Akan tetapi setelah

dipekatkan ekstrak tersebut masih mengandung air, kemudian dilakukan

Page 50: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

35

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

teknik freezdry untuk mengangkat air tersebut sehingga didapat ekstrak

kental. Proses freezdry dilakukan selama 12 jam.

Beberapa faktor penting yang sangat mempengaruhi produktivitas

kultur sel adalah kualitas dan kuantitas medium, pH, oksigen, dan nutrisi

(Malole, 1990). Medium yang digunakan dalam kultur adalah RPMI 1640

yang mengandung garam-garam anorganik, asam amino, vitamin-vitamin,

serta zat lainnya seperti d-glukosa (ATCC, 2002). Medium yang dipakai

untuk menumbuhkan kultur sel sangat cocok bagi pertumbuhan

mikroorganisme seperti bakteria, kapang dan ragi yang tingkat

pertumbuhannya lebih cepat daripada sel kultur sendiri (Malole, 1990).

Hal ini menyebabkan kultur sel sangat rentan terkontaminasi, sehingga

ruangan yang digunakan harus aseptis. Glukosa merupakan salah satu

faktor penentu dalam pertumbuhan sel dan termasuk bahan yang mudah

habis, sehingga untuk mempertahankan kehidupan dan produktivitas kultur

sel perlu ada tambahan bahan nutrien dengan penggantian media lama

dengan media baru baru secara keseluruhan atau hanya sebagian setiap

hari atau 2-3 hari sekali (Malole, 1990).

Tahap pertama yang dilakukan pada uji sitotoksisitas adalah proses

Thawing. Thawing adalah pengaktifan kembali sel dari pengawetan beku

(cryopreservation) untuk dapat dikembangkan dan digunakan dalam

pengujian. Cryopreservation adalah proses pengawetan sel dengan

dibekukan pada nitrogen cair suhu -196oC sehingga kerja enzim-enzim

dalam sel dapat dihentikan sementara, namun sel tidak mengalami

kematian (Freshney, 2010). Penyimpanan sel masih dapat ditoleransi

dengan rentang suhu -190oC sampai -110

oC, sedangkan penyimpanan pada

suhu -70oC dapat menyebabkan kerusakan dan kematian pada sel (ATCC,

2012). Sebagai cryoprotectant dapat digunakan DMSO dan gliserol.

Namun, DMSO dipilih karena dapat berpenetrasi kedalam sel secara baik

dibandingkan gliserol. Konsentrasi DMSO yang digunakan dalam

cryopreservation adalah 7,5% - 10%. Sedangkan konsentrasi serum yang

digunakan 40%-50%. Cryoprotectant harus dihilangkan secepat mungkin

Page 51: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

36

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

setelah thawing, karena mengandung DMSO dengan konsentrasi yang

cukup tinggi yaitu 10% bersifat toksik pada suhu kamar (Freshney, 2010).

Pengaktifan MCF-7 cell line dari sel beku didalam medium

berserum bertujuan untuk mendapatkan jumlah sel yang cukup untuk

digunakan dalam penelitian dengan tingkat kepadatan sekitar 70-80%.

Kultur sel yang optimal digunakan dalam uji adalah sel dalam kondisi 70-

80% menutupi permukaan dinding bawah culture flask, pada saat itu sel

telah konfluen untuk dipanen dan digunakan dalam uji (CCRC, 2008).

Medium penumbuh yang digunakan dalam kultur sel adalah RPMI

1640. Sistem dapar yang digunakan dalam RPMI 1640 adalah sistem

karbondioksida bikarbonat (NaHCO3) yang sama seperti dalam darah

(Malole, 1990). Diperlukan penambahan CO2 pada ruangan diatas medium

untuk mencegah keluarnya CO2 yang berarti meningkatkan konsentrasi

ion hidroksil. Daya buffer dari medium ditingkatkan oleh adanya ion

fosfat yang terdapat dalam medium dan larutan garam seimbang. Bila

diinginkan keseimbangan pH perlu ditambahkan CO2 dengan konsentrasi

5%. Pada konsentrasi 5%, CO2 dapat berinteraksi dengan NaHCO3 untuk

mempertahan pH ideal untuk kultur sel yaitu 7,4 (Malole, 1990).

Serum yang ditambahkan pada medium adalah FBS (Fetal Bovine

Serum) yang berfungsi sebagai nutrisi untuk kelangsungan hidup sel

kultur. FBS adalah serum yang paling sering digunakan pada umumnya.

Serum ini sebagai sumber mineral, lipid, dan hormon-hormon. Serum juga

mengandung faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) seperti EGF

(epidermal growth factor), PDGF (platelet derived growth factor), IGF-I

& IGF-II (insulin growth factor), serta FGF (fibroblast growth factor)

yang berfungsi untuk meningkatkan proliferasi kultur sel. Selain itu, serum

juga mengandung faktor pengikat (adhesion factor) yang berfungsi untuk

meningkatkan daya ikat sel pada culture flask serta antitrypsin (Freshney,

2010).

Pada tahap subkultivasi reagen yang digunakan adalah PBS

(Phosphat Buffer Saline) dan Tripsin. PBS berfungsi untuk

mempertahankan pH, pengatur tekanan osmose dalam medium serta

Page 52: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

37

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

sumber ion inorganik. Selain itu, PBS juga berfungsi sebagai larutan

pencuci sel untuk menghilangkan sisa serum yang masih menempel pada

sel serta mengangkat sel-sel yang telah mati (Malole, 1990). Adapun

Tripsin digunakan untuk melepaskan sel yang melekat pada dinding

culture flask. Tripsin adalah enzim protease, di mana matriks seluler pada

sel yang menempel pada dinding flask dipotong oleh Tripsin. Keuntungan

menggunakan Tripsin diantaranya adalah Tripsin dapat ditoleransi oleh

banyak jenis sel dan sisa Tripsin yang masih tertinggal dalam suspensi sel

dapat dinertalkan oleh serum dalam media (Malole, 1990). FBS di dalam

RPMI 1640 mengandung antitripsin, sehingga penambahan RPMI 1640

berserum kedalam culture flask sebanyak 400 µL atau 2 kali volume

Tripsin bertujuan untuk menonaktifkan Tripsin. Penggunaan Tripsin pada

proses pemisahan sel dilakukan dengan cara hangat, yaitu menggunakan

larutan Tripsin 0,25 % pada suhu 36,5oC. Dengan cara hangat dapat

dilakukan penguraian dalam waktu yang singkat, sehingga hanya

dibutuhkan inkubasi selama 3 menit untuk hasil yang optimal. Adapun

dengan cara dingin, yaitu metode tripsinasi pada suhu 4oC dibutuhkan

waktu yang sangat lama sekitar 6-18 jam (Malole, 1990).

Untuk mengetahui kepadatan sel dilakukan perhitungan

menggunakan haemocytometer dibawah mikroskop inverted perbesaran

100. Sel yang dihitung adalah sel yang hidup, di mana sebelumnya telah

dilakukan pewarnaan dengan tripan blue untuk membedakan antara sel

yang hidup dan yang mati. Sel hidup berbentuk bulat dan bening dengan

inti berbentuk bulat utuh ditengahnya, sedangkan sel mati memiliki bentuk

yang tidak beraturan dan berwarna biru serta tidak memiliki inti. Syarat

jumlah sel dalam setiap sumuran adalah 5x103

sel/mL. Sel dihitung dari

keempat bidang besar pada sudut seluruh permukaan yang terbagi.

Penghitungan dimulai dari sisi kiri atas kemudian ke kanan, turun ke

bawah dan dari kanan ke kiri. Cara tersebut dilakukan pada keempat

bidang besar. Sel yang menyinggung garis batas sebelah kiri atau atas

harus dihitung. Sebaliknya sel yang menyinggung garis batas sebelah

kanan atau bawah tidak dihitung. Jumlah sel yang didapat pada penelitian

Page 53: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

38

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

ini adalah 1,97 x 106 sel/mL. Sedangkan syarat jumlah sel tiap sumuran

adalah 5x103

sel/mL, sehingga jumlah sel yang harus dipipetkan tiap

sumuran adalah 2,54 µL sel/sumuran. Namun, dalam penelitian ini sel

tidak dipipet satu per satu artinya sel tidak dimasukkan 2,54 µL

sel/sumuran, tetapi sebanyak 254 µL sel dilarutkan dalam medium RPMI

1640 berserum ad 10 mL. Lalu dipipet sebanyak 100 µL suspensi sel ke

dalam setiap sumuran.

Pada preparasi sampel, ekstrak Angiopteris angustifolia dilarutkan

dalam DMSO (Dimetil Sulfoksida). Pengenceran larutan induk sampel

dalam DMSO dilakukan menggunakan Medium (CCRC, 2008).

Konsentrasi ekstrak etanol adalah 1,5625 µg/mL; 3,125 µg/mL; 6,25

µg/mL; 12,5 µg/mL; 25 µg/mL; 50 µg/mL; 100 µg/mL; dan 200 µg/mL.

Pemilihan DMSO sebagai pelarut sampel uji karena merupakan pelarut

yang dapat berpenetrasi secara baik ke dalam sel (Freshney, 2010).

Penggunaan DMSO sebagai kontrol (-) bertujuan untuk melihat pengaruh

DMSO terhadap hasil yang diperoleh. DMSO memiliki IC50 terhadap sel

otot polos sebesar 1%, dan terhadap sel endotel sebesar 2,9% (Layman,

1987) dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa DMSO memiliki

pengaruh terhadap proliferasi sel sehingga absorban DMSO digunakan

sebagai kontrol (-) untuk memperoleh IC50 ekstrak etanol Angiopteris

angustifolia. Pada tahun 1991, Grunt menyatakan batas keamanan

penggunaan DMSO adalah <0,5% (Grunt et al, 1991). Namun, beberapa

penelitian terbaru menyatakan bahwa batas keamanan penggunaan DMSO

yang diperbolehkan maksimal 0,1% baik untuk kontrol maupun untuk

melarutkan sampel (Arulvasu, 2010). Sehingga konsentrasi DMSO yang

digunakan pada setiap seri konsentrasi sampel dan kontrol DMSO adalah

0,1 %.

Pada uji sitotoksik sel MCF-7 ditanam pada microplate 96 well

dengan kepadatan 5 x 103 sel/sumuran dan dinkubasi selama 48 jam

(Meiyanto, 2008). Inkubasi digunakan agar sel mencapai fase logaritmik

yaitu fase dimana sel berada pada pertumbuhan yang optimum, fase

logaritmik ditandai dengan keadaan sel yang confluent 80% menutupi

Page 54: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

39

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

permukaan wadah medium (CCRC, 2008). Disamping itu, Inkubasi juga

berfungsi agar sel pulih kembali setelah panen, karena perlakuan sampel

harus dilakukan setelah sel kembali dalam keadaan normal (CCRC, 2008).

Pengujian menggunakan larutan MTT -(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-

diphenyltetrazolium bromide dilakukan dengan memasukkan larutan ini

kedalam setiap sumuran lalu di inkubasi selama 4 jam, pada saat inkubasi

ini MTT yang berwarna kuning dimana akan dimetabolisme oleh enzim

suksinat dehidrogenase yang terdapat pada mitokondria sel menjadi kristal

formazan berwarna ungu (Freshney, 1992). Kristal formazan yang

berwarna ungu yang terbentuk akan terlarut dengan penambahan DMSO.

DMSO juga berfungsi sebagai stopper reaction yang menghentikan

aktivitas MTT (Freshney, 1992). Selanjutnya dibaca absorbansinya pada

panjang gelombang 550 nm – 600 nm. Intensitas warna yang terbentuk

berbanding langsung dengan jumlah sel yang aktif melakukan

metabolisme (CCRC, 2008).

Berdasarkan hasil pengolahan data, nilai IC50 ekstrak etanol

tumbuhan paku Angiopteris angustifolia adalah 91.52 µg/mL. Menurut

Meiyanto (2008) nilai IC50 < 100 µg/mL pada senyawa campuran

menunjukkan aktivitas antikanker yang dapat menghambat proliferasi sel

serta sangat potensial sebagai agen kemoprevensi, yaitu senyawa yang

dapat mencegah proses karsinogenesis yang memicu kanker. Disamping

itu, nilai IC50 tersebut cukup menarik untuk dikembangkan sebagai agen

kemoprevensi mengingat pada percobaan ini digunakan sel MCF-7 yang

diketahui memiliki sifat resistensi terhadap beberapa agen kemoterapi

(Meiyanto, 2008).

Dari hasil skrining fitokimia diketahui bahwa Angiopteris

angustifolia mengandung terpenoid, triterpenoid, saponin, alkaloid,

tannin, flavonoid dan protein. Menurut Ye et al (2007) dalam Zakaria et al

(2011) senyawa flavonoid, tannin, saponin dan triterpenoid telah

dilaporkan memiliki aktivitas antitumor. Mekanisme kerja flavonoid

sebagai antikanker adalah dengan memodulasi penahanan siklus sel pada

fase G1 menuju fase S. Adapun mekanisme kerja saponin dan triterpenoid

Page 55: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

40

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

dengan cara merusak permeabilitas membran mitokondria pada sel atau

meyebabkan sel mengalami nekrosis dan kematian (Zakaria et al , 2011).

Penelitian ini adalah penelitian awal untuk mengungkapkan

aktivitas antikanker dari tumbuhan paku Angiopteris angustifolia. Oleh

karena itu, untuk memastikan mekanisme kerja antikanker pada tumbuhan

Angiopteris angustifolia serta mengetahui zat aktif yang bersifat

antikanker perlu dilakukan penelitian lanjutan, mengingat sangat

beragamnya karakteristik sel-sel kanker dan sangat beragam pula

mekanisme kerja senyawa antikanker tersebut.

Page 56: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

41 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian uji sitotoksisitas ekstrak etanol

tumbuhan paku Angiopteris angustifolia C. Presl terhadap sel MCF-7

dengan waktu inkubasi selama 24 jam nilai IC50 yang diperoleh yaitu

sebesar 91,52 µg/mL. Nilai IC50 dibawah 100 µg/mL menunjukkan bahwa

senyawa yang terkandung dalam Angiopteris angustifolia C. Presl

memiliki aktivitas sitotoksik.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian sitotoksik dengan penggandaan waktu

(doubling time) untuk melihat efek antiproliferatif berbanding waktu

inkubasi. Uji sitotoksisitas terhadap fraksi-fraksi polar, semi polar dan

non-polar juga diperlukan agar nantinya zat yang bersifat aktif sitotoksik

dapat diisolasi dan diidentifikasi. Disamping itu, untuk mengungkapkan

mekanisme kerja senyawa antikanker yang terkandung dalam Angiopteris

angustifolia C. Presl perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam serta

uji sitotoksik terhadap galur sel jenis lainnya.

Page 57: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

42

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR PUSTAKA

Agoes, A. (1994). Catatan Kuliah Farmakologi I Laboratorium Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Jakarta: EGC

Abdiyani, Susi. (2008). Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Bawah Berkhasiat

Obat di Dataran Tinggi Dieng. Jurnal Penelitian dan Pusat Konservasi Alam,

Volume V, No. 1, 79-92.

American Pharmacists Association. (2009). Drug Information Handbook 18th

Edition. Ohio: Lexi-Comp, 1424-1425.

Anonim. 2012. www.pl999.com/english/newsinfor.php?id=382&newclass=1

Aruvalsu, C. et al.. (2010). Induction of Apoptosis by The Aqueous and Ethanolic

Leaf Extract of Vitex negundo L. in MCF-7 Human Breast Cancer Cells.

International Journal of Drug Discovery, ISSN: 0975-4423, Volume 2, Issue 1,

2010, pp.01-07.

Australian National Herbarium. (2004). http://www.anbg.gov.au/fern/name_

changes.html. Diakses pada 08 Juni 2012, hari Jum’at, pukul 14:54.

Ayoola, G.A. et al.. (2008). Phytochemical Screening and Antioxidant Activities

of Some Selected Medicinal Plants Used for Malaria Therapy in Southwestern

Nigeria. Tropical Journal of Pharmaceutical Research, 7 (3): 1019-1024.

Baratawidjaya, Karnen. (2004). Imunologi Dasar Edisi Ketujuh. Jakarta: FKUI,

Hal. 492-494.

Cancer Chemoprevention Research Center, (2008). Protokol in vitro CCRC.

Yogyakarta: Fakultas Farmasi UGM, Hal. 1-12.

Page 58: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

43

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalimartha. (2004). Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Kanker. Jakarta:

Penebar Swadaya, Hal. 20-26.

Departemen Farmakologi dan Terapi. (2008). Farmakologi dan Terapi Edisi V.

Jakarta: Fakultas Kedokteran UI, Hal. 746.

Departemen Kesehatan RI. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Dirjen

POM Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Dirjen

POM Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2000). Parameter Standard Umum Ekstarak

Tumbuhan Obat. Jakarta: Dirjen POM, Hal. 1-12.

Fitrya dan L. Anwar. (2009). Uji Aktivitas Antikanker Secara In Vitro dengan Sel

Murine P-388 Senyawa Flavonoid dari Fraksi Etilasetat Akar Tumbuhan Tunjuk

Langit (Helminthostachis Zeylanica Linn. Hook). Jurnal Penelitian Sains, Vol.

12, No. 1 C, Hal. 1-4.

Freshney, R.I.. (1992). Animal Cell Culture. New York: Oxford University Press.

Freshney, R.I.. (2010). Culture Of Animal Cells A Manual Of Basic Technique

And Specialized Application 6th edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Hal.

144, 373, 600.

Globocan. (2008). Diambil dari: http://globocan.iarc.fr diakses pada 7 Mei 2012

Globocan (IARC) Section of Cancer Information. (2008). Diambil dari:

http://globocan.iarc.fr/factsheet.asp diakses pada 17 Januari 2013

Page 59: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

44

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Hariyadi, Bambang. (2000). Sebaran dan Keanekaragaman Tumbuhan Paku di

Bukit Sari Jambi. Tesis. Bogor: Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Heti, Dany. (2008). Uji Sitotoksik Ekstrak Etanol 70% Herba Sisik Naga

(Drymogolossum piloselloides Presl.) terhadap Sel T47D. Skripsi. Surakarta:

Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Hirohara, Msayoshi.,et.al. (1996). Triterpenoid from the fern Goniophlebium

mengtzeense. Phytochemisrty Journal, Vol. 45, No. 5.

Malole, M.B.M.. (1990). Kultur Sel dan Jaringan Hewan. Bogor: Institut

Pertanian Bogor, Hal. 4-5.

Meiyanto, Edy. dkk. (2008). Ekstrak Etanol Biji Buah Pinang (Areca catchu L.)

mampu menghambat proliferasi dan memacu apoptosis sel MCF-7. Jurnal

Farmasi Indonesia, 19 (1), 12 – 19, 2008.

Muhammad Da’i, Anis Fiveri1, dan Edy Meiyanto. 2007. Efek Sitotoksik Ekstrak

Tanaman Keladi Tikus (Typhonium Divaricatum L.) Terhadap Sel Hela. Jurnal

Farmasi Indonesia Vol. 3 No. 4 Juli 2007: 163 – 167.

Mutee, Ahmed Faisal. et al.. (2012). Apoptosis Induced in Human Breast Cancer

Cell Line by Acanthaster planci Starfish Extract Compared to Tamoxifen. African

Journal of pharmacy and Pharmacology. Vol. 6(3), pp. 129 – 134, 22 January

2012.

Rasjidi. (2007). Pendahuluan Penatalaksanaan Kanker Ginekologi. Jakarta: EGC.

Robbins dan Kumar. (1999). Buku Ajar Patologi I Edisi IV. Jakarta: EGC.

Siswandono dan Bambang. (2000). Kimia Medisinal Edisi II. Surabaya:

Universitas Airlangga Press.

Page 60: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

45

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Siti Susiarti, Y. Purwanto, dan F.I. Windadri. (2009). Pengetahuan Masyarakat

Pekurehua di Sekitar Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah tentang

Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya. Media Penelitian dan Pengembagan

Kesehatan Volume XIX Nomor 4. Bogor : Bidang Botani, Pusat Penelitian

Biologi – LIPI.

Soebachman, Agustina. (2011). 7 Kanker Paling Mematikan. Yogyakarta: Syura

Media Utama, hal. 37-38.

Sudarto Pringgoutomo, Sutisna Himawan, dan Achmad Tjarta. (2002). Buku Ajar

Patologi Umum edisi ke 1. Jakarta: Sagung Seto, hal. 201 – 205.

Sukardja, I Dewa Gede. (2000). Onkologi Klinik Edisi 2. Surabaya: Airlangga

University Press.

Sutherland, Robert L. et al.. (1983). Cell Proliferation Kinetics of MCF-7 Human

Mammary Carcinoma Cells in Culture and Effect of Tamoxifen on Exponentially

Growing and Plateu-Phase Cells. Cancer Research 43, 3996-4006, September

1963.

The Global Biodiversity Information Facility (GBIF). (2010). http://ecat-

dev.gbif.org/usage/106307449. Diakses pada 01 Mei 2012, hari Rabu pukul

14:28.

The Global Biodiversity Information Facility (GBIF). (2010). http://ecat-

dev.gbif.org/usage/106245410. Diakses pada 04 Mei 2012, hari Rabu pukul

11:01.

Tjitrosoepomo, Gembong. (2003). Taksonomi Tumbuhan (Schizophyta,

Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta) cetakan ke 6. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press, hal. 260 – 278.

Page 61: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

46

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

United States Departement of Agriculture (USDA). (2012).

http://plants.usda.gov/java/profile?symbol=DILI. Diakses pada 01 Mei 2012, hari

Rabu pukul 15:06.

Zakaria, et al. (2011). In vitro cytotoxic and antioxidant properties of the aqueous,

chloroform and methanol extracts of Dicranopteris linearis leaves. African

Journal of Biotechnology, Vol. 10 (2), 273-282.

Zulnely, S. dkk.. (2004). Komponen Aktif Dua Puluh Jenis Tumbuhan Obat di

Taman Nasional Gunung Halimun. Jurnal Penelitian Hasil Hutan Volume 22, No

1. 43-50.

Page 62: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

47

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Determinasi Angiopteris angustifolia C. Presl

Page 63: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

48

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Page 64: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

49

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 2. Pohon dan Daun Angiopteris angustifolia C. Presl

Gambar 1. Pohon Angiopteris angustifolia C. Presl

Gambar 2. Daun Angiopteris angustifolia C. Presl

spora

Page 65: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

50

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 3. Hasil Perhitungan Rendemen Ekstrak Etanol Angiopteris

angustifolia C. Presl

Berat serbuk Angiopteris angustifolia C. Presl kering : 40,3 gram

Berat ekstrak etanol Angiopteris angustifolia C. Presl : 3,846 gram

Rendemen = Berat ekstrak yang didapat x 100 %

Berat bahan baku

= 3,846 gram x 100 %

40,3 gram

= 9,543 %

Page 66: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

51

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 4. Hasil Pengamatan Penapisan Fitokimia

Golongan Hasil Pengamatan Gambar

Terpenoid + Setelah ditambahkan

H2SO4 terbentuk warna

merah kecoklatan diantara

2 lapisan.

Sebelum

ditambahkan H2SO4

Setelah

ditambahkan H2SO4

Triterpenoid + Terbentuk warna kuning

keemasan setelah

ditambah 2 tetes larutan

H2SO4.

Sebelum

ditambahkan H2SO4

Setelah ditambahkan

H2SO4

Saponin + Terbentuk busa yang stabil

selama lebih dari 10 menit

setelah dilakukan

pengocokan pada larutan

ekstrak.

Setelah 10 menit

Setelah 30 menit

Alkaloid + Terbentuk endapan merah

setelah filtrat ekstrak

ditambah dua tetes

pereaksi Dragendroff.

Sebelum ditambah

pereaksi Dragendroff

Setelah ditambah

pereaksi Dragendroff

Page 67: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

52

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tannin + Terbentuk warna hijau

kecoklatan setelah

ditambah 1 tetes ferri

klorida 0,1%.

Sebelum ditambah

FeCl3 0,1%.

Setelah ditambah

FeCl3 0,1%.

Flavonoid + Terbentuk warna kuning

setelah ditambah 2 tetes

larutan ammonia 1%.

Sebelum ditambah

ammonia 1%.

Setelah ditambah

ammonia 1%.

Glikosida

Jantung

_ Tidak terbentuk cincin

coklat maupun cincin ungu

diantara lapisan.

Sebelum

ditambahkan H2SO4

Setelah

ditambahkan H2SO4

Fenol + Terjadi perubahan warna

dari hijau menjadi hijau

kecoklatan setelah

ditambahkan FeCl3 0,1%.

Sebelum ditambah

FeCl3 0,1%.

Setelah ditambah

FeCl3 0,1%.

Page 68: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

53

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Gula

Pereduksi

+ Terjadi perubahan warna

setelah ditambahkan

pereaksi fehling A dan B

serta dididihkan

Sebelum ditambah

fehling A&B

Setelah ditambah

fehling A&B dan

dididihkan.

Protein + Terbentuk warna kuning

setelah ditambah asam

nitrat

Sebelum ditambah

asam nitrat.

Setelah ditambah

asam nitrat.

Page 69: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

54

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 5. Skema Proses Ekstraksi Serbuk Angiopteris angustifolia C. Presl

Daun Segar

Angiopteris angustifolia C.

Presl

Determinasi Tanaman

Uji di Herbarium

Bogoriense, Litbang -

LIPI, Bogor.

Sortasi Basah

Pengeringan dengan diangin-

anginkan pada suhu kamar.

Sortasi Kering

Penggilingan

Serbuk Angiopteris

angustifolia C. Presl

Maserasi dengan etanol 70%

(Penggantian pelarut 3 hari

sekali)

Maserat etanol

Dipekatkan dengan vacuum

evaporator pada suhu 50-60o C

Ekstrak belum kental

Dikeringkan menggunakan

Freeze Drier selama 12 jam

Ekstrak Etanol

Kental

Page 70: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

55

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 6. Skema Kerja Thawing dan Kultur Sel MCF-7

Sel dalam cryovial Dicairkan di waterbath

suhu 37oC

Sel dimasukkan

kedalam tabung

konikal yang berisi

6 mL RPMI + FBS

10%

Disentrifuse 1000

rpm selama 5 menit

Superntan dibuang.

Kemudian Pelet

disuspensikan dengan 6

mL RPMI 1640 + FBS

10%

Suspensi sel dimasukkan

kedalam culture flask

Diinkubasi pada inkubator suhu

37o C, CO2 5% hingga sel

mencapai kerapatan 70-80%

menutupi permukaan culture

flask.

Sel disubkultur apabila

kerapatan telah mencapai

70-80% menutupi

permukaan culture flask.

Page 71: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

56

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 7. Skema Subkultivasi Sel MCF-7

Subkultur dilakukan pada

saat sel telah mencapai

kerapatan 70-80% menutupi

permukaan culture flask

Sel diamati, medium dibuang, dicuci

dengan PBS 1X (2 kali), diberi tripsin

EDTA 1X sebanyak 200 µL lalu

ditambahkan PBS 1X 800 µL

Diinkubasi dalam inkubator suhu

37o C, CO2 5% selama ± 5 menit

Dimasukkan kedalam tabung

konikal, ditambahkan dg medium

RPMI + FBS 10% sebanyak 5 mL

Disentrifus dengan kecepatan

1000 rpm, selama 5 menit

Pelet yang terbentuk

disuspensikan ke dalam 6 mL

RPMI berserum. Lalu dimasukkan

ke dalam culture flask.

Diinkubasi pada inkubator

suhu 37o C, CO2 5% hingga

sel mencapai kerapatan 70-

80% menutupi permukaan

culture flask.

Page 72: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

57

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 8. Skema Platting

Dilakukan proses

subkultivasi sesuai

prosedur.

Hingga menjadi suspensi sel

dalam medium RPMI + FBS

10%

Diambil 10 µL suspensi sel + 10 µL

tripan blue, dihomogenkan lalu

diteteskan pada alat

Haemocytometer.

Dihitung jumlah sel pada

tiap kamar. Kemudian

dihitung berapa jumlah

sel yang harus dipipetkan

tiap sumuran.

Dipipet 100 µL @sumuran

Diinkubasi dalam

inkubator suhu 37o C,

CO2 5% selama 48

jam.

Page 73: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

58

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 9. Skema Uji MTT

Setelah inkubasi

selama 48 jam.

Plate diambil dari

inkubator, kemudian

medium dibuang.

Dimasukkan 200 µL sampel, kontrol (+) dan

kontrol DMSO (-) kedalam @sumuran.

Diinkubasi dalam

inkubator suhu 37o C,

CO2 5% selama 24

jam.

Dikeluarkan dari

inkubator, medium

dibuang, + 10 µL

larutan MTT, 100

µL medium.

Diinkubasi

dalam

inkubator

suhu 37o C,

CO2 5%

selama 4

jam.

Page 74: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

59

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Microwell plate diambil dari

inkubator setelah 4 jam. Terjadi

perubahan warna, dari warna

kuning menjadi ungu pucat.

Kedalam masing-masing

sumuran ditambahkan

100µL DMSO, lalu

terbentuk warna ungu

terang secara langsung.

Dilakukan pembacaan

absorbansi menggunakan

microplate reader

(pembacaan dilakukan

secara langsung setelah

ditambahkan DMSO,

karena DMSO bersifat

unstable jika terlalu lama

didiamkan).

Pembacaan absorbansi dilakukan pada panjang

gelombang 540 nm – 600 nm

Page 75: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

60

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)

200 mg ekstrak ditimbang dan dimasukkan ke dalam mikrotube,

ditambahkan 1 mL / 1000 µL DMSO 99,5 % divortex

200 mg / 1 mL = 200.000 µg / 1.000 µL

= 200.000 µg / mL atau 200.000 ppm

Dari larutan induk 1 diencerkan 10 kalinya menjadi konsentrasi 20.000

ppm (DMSO 10%), dengan rumus :

V1. N1 = V2. N2

Keterangan : V1 = Volume yang akan diambil dari larutan induk (µL)

N1 = Konsentrasi larutan induk (µg/mL)

V2 = Total volume larutan yang akan dibuat (µL)

N2 = Konsentrasi larutan yang diinginkan (µg/mL)

Maka :

V1. N1 = V2. N2

V1 x 200.000 µg/mL = 1.000 µL x 20.000 µg/mL

V1 = 1.000 µL x 20.000 µg/mL

200.000 µg/mL

= 200 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL

Diencerkan lagi 10 kalinya menjadi 2.000 ppm (DMSO 1%)

Maka :

V1. N1 = V2. N2

V1 x 20.000 µg/mL = 1.000 µL x 2.000 µg/mL

V1 = 1.000 µL x 2.000 µg/mL

20.000 µg/mL

= 200 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL

Page 76: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

61

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Diencerkan lagi 10 kalinya menjadi 2.00 ppm (DMSO 0,1%)

Maka :

V1. N1 = V2. N2

V1 x 2.000 µg/mL = 5.000 µL x 2.00 µg/mL

V1 = 5.000 µL x 2.00 µg/mL

2.000 µg/mL

= 500 µL + RPMI 1640 ad 5.000 µL atau 5 mL

Dari larutan induk 2 lalu diencerkan menjadi beberapa seri konsentrasi.

(200 ppm, 100 ppm, 50 ppm, 25 ppm, 12,5 ppm, 6,25 ppm, 3,125 ppm

dan 1,5625 ppm).

Konsentrasi DMSO pada tiap seri sampel adalah 0,1%, contoh :

Pembuatan konsentrasi 100 ppm

V1. N1 = V2. N2

V1 x 2.00 µg/mL = 1.000 µL x 1.00 µg/mL

V1 = 1.000 µL x 1.00 µg/mL

2.00 µg/mL

= 500 µL + RPMI 1640 ad 1.000 µL atau 1 mL

Kandungan DMSO:

V1. N1 = V2. N2

500 µL x 0,1 % = 1.000 µL x N2

N2 = 500 µL x 0,1 %

1.000 µg/mL

= 0,05 %

Maka ditambahkan 0,05 % DMSO sehingga menjadi 0,1 %.

Page 77: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

62

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Tabel 4. Hasil Perhitungan Konsentrasi Sampel (Ekstrak Etanol)

(*) : Pengenceran dilakukan menggunakan konsentrasi 100 µg/mL sebagai

larutan induk (N1).

(#) : Pengenceran dilakukan menggunakan konsentrasi 50 µg/mL sebagai

larutan induk (N1).

Konsentrasi

Larutan Induk

(N1)

(µg/mL)

Konsentrasi

Larutan Sampel

(N2)

(µg/mL)

Volume yang

Digunakan

(V1)

(µL)

Total Volume

Larutan yang Dibuat

(V2)

(µL)

200

200 1.000

1.000

100 500

50 250

25 125

12,5 200*

6,25 100#

3,125 62,5#

1,5625 31,25#

Page 78: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

63

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Kontrol DMSO

Dilakukan pengenceran bertingkat :

Larutan induk 1 = 100 %

Larutan induk 2 = 10 %

Volume DMSO yang akan dibuat = 1.000 µL

Pembuatan larutan induk 2 : (konsentrasi 10 %)

V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 100 % = 10 % . 1.000 µL

V1 = 10 % . 1.000 µL

100 %

V1 = 100 µL + RPMI ad 1.000 µL

Larutan induk 3 = 1 %

Pembuatan larutan induk 3 : (konsentrasi 1 %)

V1 . N1 = V2 . N2

V1 . 10 % = 1 % . 1.000 µL

V1 = 1 % . 1.000 µL

10 %

V1 = 100 µL + RPMI ad 1.000 µL

Tabel 5. Hasil Perhitungan Konsentrasi DMSO

Konsentrasi

Larutan Induk

(N1)

(%)

Konsentrasi

Larutan DMSO

(N2)

(%)

Volume yang

Digunakan

(V1)

(µL)

Total Volume

Larutan yang

Dibuat (V2)

(µL)

1 0,1 500 5000

Page 79: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

64

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 12. Perhitungan Kepadatan Sel

Kepadatan sel = Jumlah sel x P x 104

4

Keterangan :

P = Faktor pengenceran terhadap indikator warna

4 = Jumlah bilik haemocytometer yang dihitung

2 = Faktor pengenceran dengan tripan blue (10 µl sel + 10 µl tripan blue)

Kepadatan sel = 394 x 2 x 104

4

= 197 x 104

= 1,97 x 106

sel/mL

Artinya dalam 1 mL mengandung 1,97 x 106

sel/mL

Syarat : jumlah sel dalam tiap sumuran adalah 5 x 103

Maka :

1,97 x 106

sel = 1000 µl

5 x 103

sel = x µl

x = (5 x 103) . (1000 µl)

1,97 x 106

= 2,54 µl sel / sumuran

Jumlah sumuran yang digunakan adalah 96 sumuran, namun untuk mempermudah

perhitungan dibulatkan menjadi 100 sumuran, maka : 2,54 µl sel x 100

: 254 µl sel

Jumlah RPMI yang digunakan 100 µl tiap sumuran, sebanyak 100 sumuran,

maka: 100 µl RPMI x 100

= 10.000 µl RPMI 1640

Sehingga didalam tabung conical steril berisi : 254 µl sel + 10.000 µl RPMI 1640

lalu dihomogenkan, kemudian dipipet 100 µl setiap sumuran.

Page 80: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

65

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 13. Skema pemetaan sampel

Keterangan :

Sampel

2B, 3B, 4B : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 200 ppm

2C, 3C, 4C : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 100 ppm

2D, 3D, 4D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 50 ppm

2E, 3E, 4E : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 25 ppm

2F, 3F, 4F : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 12,5 ppm

2G, 3G, 4G : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 6,25 ppm

Page 81: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

66

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Sampel (lanjutan)

10B, 10C, 10D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 3,125 ppm

11B, 11C, 11D : Suspensi Sel + Sampel Konsentrasi 1,5625 ppm

Kontrol DMSO ( - )

10E, 10F, 10G : Suspensi Sel + DMSO 0,1% + RPMI berserum

Kontrol Sel

11E, 11F, 11G : Suspensi Sel + RPMI berserum

Page 82: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

67

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 14. Perhitungan dan Grafik Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol

Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7.

Tabel 6. Data Hasil Uji Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel

MCF-7

Angiopteris angustifolia C. Presl %

Inhibisi

%

Hidup

Log

Kons

(x)

Probit

(y) Kons

µg/mL

Absorbansi ̅ SD

200 0,0682 0,0664 0,0690 0,0679 0,001 57,54 42,26 2,301 5,1801

100 0,0799 0,0716 0,0730 0,0748 0,003 53,22 56,78 2 5,0803

50 0,1086 0,1089 0,1026 0,1066 0,002 66,67 66,67 1,699 4,5684

25 0,1159 0,1160 0,1151 0,1157 0,004 27,64 72,36 1,398 4,4052

12,5 0,1220 0,1214 0,1217 0,1217 0,002 23,89 76,11 1,097 4,2872

6,25 0,1391 0,1369 0,1351 0,1370 0,001 14,32 85,68 0,796 3,9331

3,125 0,1442 0,1476 0,1442 0,1453 0,001 9,13 90,87 0,495 3,6654

1,5625 0,1595 0,1586 0,1596 0,1592 0,0004 0,44 99,56 0,194 2.3478

Tabel 7. Data Hasil Uji Sitotoksik DMSO Terhadap Sel MCF-7

DMSO %

Inhibisi

%

Hidup

Log

Kons

(x)

Probit

(x) Kons

%

Absorbansi ̅ SD

0,1 0,1600 0,1599 0,1598 0,1599 0,002 2,97 97,02 -1 3,1043

Page 83: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

68

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Contoh perhitungan % inhibisi dan % hidup sel pada konsentrasi sampel

200 ppm :

% Inhibisi = Absorban DMSO – Absorban Sampel x 100%

Absorban DMSO

= 0,1599 – 0,0679 x 100%

0,1599

= 57,54 %

% Hidup = 100% - 57,54% = 42,46 %

Perhitungan IC50 Ekstrak Etanol Angiopteris angustifolia C. Presl :

a = 2,756

b = 1,144

r = 0,934

maka :

y = a +bx

y = 2,756 + 1,144 x

5 = 2,756 + 1,144 x

1,144x = 5 – 2,756

x = 1,962

IC50 = antilog x

= antilog 1,962

= 91,52 µg/mL

Page 84: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

69

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Log Konsentrasi dengan Probit Hasil Uji

Sitotoksik Angiopteris angustifolia C. Presl Terhadap Sel MCF-7

Tabel 8. Data Hasil Kontrol Sel

Kontrol Sel

Absorbansi ̅ SD

0,1627 0,1660 0,1658 0,1648 0,001

2,3479

3,6654 3,9331

4,2872 4,4052 4,5684

5,0803 5,1801

0,0000

1,0000

2,0000

3,0000

4,0000

5,0000

6,0000

0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000 2,5000

Pro

bit

Log Konsentrasi

Hubungan antara Log Konsentrasi dengan Probit

Page 85: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

70

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 15. Gambar MCF-7 Cell Line dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Gambar 4. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum Pada Saat

Inkubasi 0 jam.

Keterangan Gambar : Sel Dalam Keadaan Belum Pulih

Page 86: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

71

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 16. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 24 Jam.

Gambar 5. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 24 Jam.

Keterangan Gambar: Keadaan Sel Telah Normal

A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)

B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak

melekat pada permukaan dasar cultur flask)

A

B

Page 87: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

72

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 17. Gambar MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 48 Jam.

Gambar 6. MCF-7 Cell Line Dalam Medium RPMI 1640 Berserum

Setelah Inkubasi 48 Jam.

Keterangan Gambar: Sel Telah Mencapai 80% Konfluen Menutupi Dasar

Microwell plate dan Siap Diberi Perlakuan Sampel.

A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)

B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak

melekat pada permukaan dasar cultur flask)

A

B

Page 88: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

73

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 18.Gambar MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi

200 ppm dan inkubasi 24 jam.

Gambar 7. MCF-7 Cell Line Setelah Penambahan Sampel Konsentrasi

200 ppm dan inkubasi 24 jam.

Keterangan Gambar: Tampak Sel Mengalami Kematian

A : sel hidup (melekat pada permukaan dasar cultur flask)

B : sel mati (mengambang dalam medium dan tidak

melekat pada permukaan dasar cultur flask)

B

A

Page 89: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

74

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 19.Gambar Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan

MTT dan Inkubasi 4 Jam.

Gambar 8. Kristal Formazan yang Terbentuk Setelah Penambahan MTT Setelah

Inkubasi 4 Jam.

Keterangan Gambar : Tampak Kristal Formazan Berwarna Ungu

Page 90: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

75

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 20. Gambar MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan

Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.

Gambar 9. MCF-7 Cell Line Saat Dilakukan Perhitungan Dengan

Pewarnaan Tripan Blue Menggunakan Haemocytometer.

Keterangan Gambar: A : sel hidup (berwarna bening)

B : sel mati (berwarna biru dan bentuk tidak beraturan)

A

B

Page 91: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

76

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 21. Gambar Bahan dan Alat yang Digunakan

Gambar 10. DMSO – Dimethyl Sulfoxide Gambar 11. 5% Trypsin - EDTA

Molecular Biology Grade (AppliChem) (GIBCO)

Gambar 12. Penicillin – Streptomycin Gambar 13. Trypan Blue

(PAA) (WAKO)

Page 92: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

77

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Gambar 14. PBS – Phosphate Buffered Gambar 15. RPMI Medium 1640

Saline (Vivantis) (GIBCO)

Gambar 16. MTT (SIGMA) Gambar 17. FBS – Fetal Bovine

Serum (SIGMA)

Page 93: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

78

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Gambar 18. Mikroskop Inverted with Gambar 19. Tanki Nitrogen

Camera. (OLYMPUS) (LOCATOR JR.)

Gambar 20. Timbangan Analitik Gambar 21. Sentrifuse

(Precisa) (VS- 5500cFi)

Page 94: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

79

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

Gambar 22. Mikropipet Gambar 23. Microplate Reader

(eppendorf) (chem well)

Gambar 24. Milipore 0.2 µM Gambar 25. Haemocytometer (Neubauer)

(Minisart)

Page 95: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

80

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 22. Deskripsi Medium RPMI 1640

Page 96: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

81

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 23. Deskripsi Morfologi Sel MCF-7

Page 97: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

82

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 24. Transformasi Persen – Probit

Tabel 9. Transformasi Persen – Probit

% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

0 0.0 1.0098 2.1218 2.2522 2.3479 2.4242 2.4879 2.5427 2.5914 2.6344

1 2.6737 2.7096 2.7429 2.7738 2.8027 2.8299 2.8556 2.8799 2.3031 2.9251

2 2.9463 2.9665 2.9859 3.0646 3.0226 3.0400 3.0569 3.0732 3.0896 3.1043

3 3.1192 3.1337 3.1478 3.1616 3.1750 3.1881 3.2009 3.2134 3.2256 3.2376

4 3.2493 3.2608 3.2721 3.2831 3.2940 3.3046 3.3151 3.3253 3.3354 3.3454

5 3.3351 3.3648 3.3742 3.3836 3.3028 3.4018 3.4107 3.4105 3.4282 3.4368

6 3.4452 3.4536 3.4618 3.4699 3.4780 3.4850 3.4037 3.5015 3.5091 3.5167

7 3.5242 3.5316 3.5380 3.5462 3.5534 3.5605 3.5675 3.5745 3.5813 3.5882

8 3.5949 3.6016 3.6083 3.6148 3.6213 3.0278 3.0342 3.6405 3.6408 3.0531

9 3.6692 3.6654 3.6715 3.6775 3.6835 3.6894 3.6053 3.7012 3.7070 3.7127

10 3.7184 3.7241 3.7298 3.7354 3.7409 3.7464 3.7519 3.7574 3.7028 3.7681

11 3.7735 3.7784 3.7840 3.7893 3.7945 3.7996 3.8048 3.8099 3.8150 3.8200

12 3.8250 3.8300 3.8350 3.8399 3.8448 3.8497 3.8545 3.8503 3.8641 3.8089

13 3.8736 3.8783 3.8830 3.8877 3.8923 3.8069 3.9015 3.9061 3.9107 3.9152

14 3.9197 3.9242 3.9286 3.9331 3.9375 3.0419 3.9463 3.9506 3.9550 3.9593

15 3.9636 3.9678 3.9721 3.9763 3.8900 3.0848 3.0890 3.9931 3.9973 4.0014

16 4.0055 4.0096 4.0137 4.0178 4.0218 4.0259 4.0299 4.0339 4.0379 4.0410

17 4.0458 4.0408 4.0537 4.0576 4.001 5 4.0654 4.0693 4.0731 4.0770 4.0808

18 4.0846 4.0884 4.0922 4.0960 4.0998 4.1035 4.1073 4.1110 4.1147 4.1184

19 4.1221 4.1258 4.1295 4.1331 4.1367 4.1404 4.1440 4.1476 4.1512 4.1548

20 4.1684 4.1019 4.1035 4.1690 4.1726 4.1761 4.1796 4.1831 4.1866 4.1901

21 4.1936 4 1970 4.2005 4.2039 4.2074 4,2108 4.2142 4.2176 4.2210 4.2244

22 4.2278 4.2312 4.2345 4.2379 4.2412 4.2446 4.2479 4.2512 4.2546 4.2579

23 4.2612 4.2644 4.2677 4.2710 4.2743 4.2775 4.2808 4.2840 4.2872 4.2905

24 4.2937 4.2969 4.3001 4.3033 4.3065 4.3097 4.3129 4.3160 4.3192 4.3224

Page 98: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

83

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

25 4 3255 4.3287 4.3318 4.3349 4.3380 4.3412 4.3443 4.3474 4.3505 4.3536

26 4.3567 4.3597 4.3628 4.3659 4.3689 4.3720 4.3750 4.3781 4.3811 4.3842

27 4.3872 4.3902 4.3932 4.3962 4.3992 4.4022 4.4052 4.4082 4.4112 4.4142

28 4.4172 4.4201 4.4231 4.4260 4.4290 4.4319 4.4349 4.4378 4.4408 4.4437

29 4.4466 4.4405 4.4524 4.4554 4.4583 4.4612 4.4041 4.4670 4.4698 4.4727

30 4.4756 4.4785 4.4813 4.4842 4.4871 4.4899 4.4928 4.4956 4.4985 4.5013

31 4.5041 4.5070 4.5098 4.5126 4.5155 4.5183 4.5211 4.5230 4.5267 4.5295

32 4.5323 4.5351 4.5370 4.5407 4.5435 4.5462 4.5490 4.5518 4.5546 4.5573

33 4 .5601 4.5628 4.5656 4.5684 4.5711 4.5739 4.5766 4.5793 4.5821 4.5848

34 4.5875 4.5903 4.5930 4.5957 4.6984 4.6011 4.6039 4.0066 4.6093 4.6120

35 4.6147 4.6174 4.6201 4.6228 4.6255 4.6281 4.6308 4.6335 4.6362 4.6389

36 4.6415 4.6442 4.6469 4.6495 4.6522 4.6549 4.6575 4.6602 4.6628 4.6655

37 4.6681 4.6708 4.6734 4.6761 4.6787 4.6814 4.6840 4.6806 4.6893 4.6919

38 4.6945 4.6971 4.6998 4.7024 4.7050 4.7078 4.7102 4.7120 4.7155 4.7181

39 4.7207 4.7233 4.7259 4.7285 4.7311 4.7337 4.7363 4.7389 4.7415 4.7441

40 4.7467 4.7402 4.7518 4.7544 4.7570 4.7696 4.7622 4.7647 4.7673 4.7699

41 4.7725 4.7750 4.7776 4.7802 4.7827 4.7853 4.7870 4.7904 4.7930 4.7955

42 4.7981 4.8007 4.8032 4.8058 4.8083 4.8109 4.8134 4.8160 4.8185 4.8211

41 4.8230 4.8202 4.8287 4.8313 4.8338 4.8363 4.8389 4.8414 4.8440 4.8465

44 4.8490 4.8516 4.8541 4.8566 4.8592 4.8617 4.8642 4.8668 4.8093 4.8718

45 4.8743 4.8769 4.8704 4 8819 4.8844 4.8870 4.8805 4.8920 4.8945 4.8970

46 4.8996 4.9021 4.9046 4.9971 4.9996 4.9122 4.9147 4.9172 4.9197 4.0222

47 4.9247 4.9272 4.9298 4.9323 4.9318 4.9373 4.9308 4.9423 4.9448 4.9473

48 4.9408 4.0524 4.9549 4.9574 4.9599 4.9624 4.9649 4.9674 4.9699 4.9724

49 4.9740 4.9774 4.9799 4.9825 4.9850 4.0876 4.9900 4.9925 4.9950 4.9975

Page 99: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

84

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

50 5.0000 5.0025 5.0050 5.0075 5.0100 5.0125 5.1050 5.0175 5.0201 5.0226

51 5.0251 5.0276 5.0301 5.0326 5.0351 5.0376 5.0401 5.0426 5.0451 5.0476

52 5.0502 5.0527 5.0552 5.0577 5.0602 5.0627 5.0652 5.0677 5.0702 5.0728

53 5.0753 5.0778 5.0803 5.0828 5.0853 5.0878 5.0904 5.0929 5.0954 5.0279

54 5.1004 5.1036 5.1055 5.1080 5.1105 5.1196 5.1156 5.1181 5.1206 5.1231

55 5.1257 5.1282 5.1307 5.1332 5.1313 5.1383 5.1408 5.1434 5.1459 5.1484

56 5.1510 5.1535 5.1560 5.1586 5.1614 5.1637 5.1662 5.1687 5.1713 5.1738

57 5.1764 5.1789 5.1815 5.1840 5.1866 5.1801 5.1917 5.1942 5.1968 5.1993

58 5.2019 5.2045 5.2070 5.2096 5.2121 5.2147 5.2173 5.2198 5.2224 5.2250

59 5.2275 5.2301 5.2327 5.2353 5.2378 5.2404 5.2430 5.2468 5.2482 5.2508

60 5.2533 5.3359 5.2585 5.2611 5.2637 5.2663 5.2689 5.2715 5.2741 5.2767

61 5.2793 5.3819 5.2845 5.2871 5.2808 5.2024 5.2050 5.2976 5.3002 5.3029

62 5.3055 5.3081 5.3107 5.3134 5.3160 5.3186 5.3213 5.3239 5.3266 5.3202

63 5.3319 5.3345 5.3372 5.3398 5.3425 5.3451 5.3478 5.3505 5.3531 5.3658

64 5.3585 5.3811 5.3638 5.3665 5.3692 5.3719 5.3745 5.3772 5.3799 5.3826

65 5.3853 5.3880 5.8007 5.3934 5.3961 5.3980 5.4016 5.4043 5.4070 5.4097

66 5.4125 5.4152 5.4170 5.4207 5.4234 5.4261 5.4289 5.4316 5.4344 5.4372

61 5.4399 5.4427 5.4454 5.4482 5.4510 5.4538 5.4565 5.4593 5.4621 5.4649

68 5.4677 5.4705 5.4733 5.4761 5.4780 5.4817 5.4845 5.4874 5.4002 5.4930

69 5.4959 5.4987 5.5015 5.5044 5.5072 5.5101 5.5129 5.5158 5.5187 5.3215

70 5.5244 5.3273 5.5302 5.5830 5.5350 5.5388 5.5417 5.5446 5.5476 5.6505

71 5.5534 5.5503 5.3502 5.5622 5.5651 5.5681 5.5710 5.5740 5.5760 5.5799

72 5.5828 5.5858 5.0888 5.5918 5.5948 5.5978 5.0003 5.0038 5.0008 5.6098

73 5.6128 5.6158 5.0189 5.6219 5.6250 5.6280 5.6311 5.0341 5.6372 5.6403

74 5.6435 5.6464 5.0405 5.6926 5.6557 5.6588 5.6620 5.6651 5.6682 5.6713

Page 100: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

85

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lanjutan

% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

75 5.6745 5.6776 5.0808 5.6840 5.6871 5.6903 5.6935 5.6967 5.6998 5.7031

76 5.7083 5.7095 5.7128 5.7160 5.7102 5.7225 5.7257 5.7200 5.7323 5.7356

77 5.7388 5.7424 5.7454 5.7488 5.7521 5.7554 5.7508 5.7621 5.7699 5.7688

78 5.7722 5.7756 5.7796 5.7824 5.7858 5.7892 5.7926 5.7961 5.7995 6.8030

79 5.8834 5.8299 5.8134 5.8169 5.8204 5.8239 5.8274 5.8310 5.8215 6.0381

80 5.8416 5.5452 5.8188 5.8524 5.8560 5.8596 5.8633 5.8669 5.8705 6.8742

8I 5.8779 5.8516 5.8853 5.8890 5.8927 5.8905 5.9002 5.9040 5.9078 5.9116

82 5.9154 5.9192 5.9230 5.9269 5.9307 5.9346 5.9386 5.9424 5.9463 5.9502

83 5.9542 5.9581 5.9624 5.9661 5.9701 5.9741 5.9782 5.9822 5.6863 5.9904

84 5.9945 5.9986 6.0027 6.0069 6.0110 6.0152 6.0194 6.0237 6.0279 6.0222

85 6.0364 6.0407 6.0450 6.0494 6.0537 6.0581 6.0625 6.0069 6.0714 6.0758

86 6.0803 6.0818 6.0893 6.0939 6.0985 6.1031 6.1077 6.1123 6.1170 6.1217

87 6.1264 6.1311 6.1359 6.1407 6.1455 6.1503 6.1552 6.1601 6.1050 6.1700

88 6.1750 6.1800 6.1856 6.1101 6.1952 6.2004 6.2055 6.2107 6.2160 6.2212

89 6.2205 6.2319 6.2372 6.2426 6.2481 6.2536 6.2591 6.2646 6.2702 6.2750

90 6.2816 6.2813 6.2936 6.2988 6.3047 6.3106 6.3165 6.3225 6.3285 6.3346

91 6.3408 6.3469 6.8532 6.3595 6.3658 6.3722 6.3787 6.3852 6.3917 6.3984

92 6.4031 6.4118 6.4187 6.4255 6.4325 6.4395 6.4466 6.4538 6.4611 6.4684

93 6.4758 6.4833 6.4909 6.4985 6.5063 6.5141 6.5220 6.5301 6.5382 6.5464

94 6.8548 6.5632 6.5718 6.5805 6.5893 6.5982 6.6078 6.6164 6.6258 6.6352

95 6.6449 6.6546 6.6646 6.6747 6.6849 6.6954 6.7060 6.7169 6.7279 6.7302

97 100 101 102 105 106 109 110 113 116

96 6.7507 6.7624 6.7784 6.7806 6.7991 6.8119 6.8260 6.8084 6.8522 6.8063

117 120 122 125 128 131 134 138 141 145

97 6.8808 6.8957 6.9110 6.9268 6.9431 6.9600 6.9774 6.9254 7.0141 7.0335

140 153 158 103 169 174 180 187 194 202

Page 101: UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Uji Sitotoksisitas …

86

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Lampiran 24. Lanjutan

% 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9

98.0 7.6537 7.0556 7.0579 7.0660 7.0621 7.0612 7.0663 7.0684 7.9706 7.0727

98.1 7.6749 7.0770 7.0792 7.0814 7.0836 7.0858 7.0880 7 0992 7.0924 7.0947

98.2 7.0969 7.0992 7.1015 7.1038 7.1061 7.1084 7.1107 7.1130 7.1154 7.1177

98.3 7.1204 7.1224 7.1248 7.1272 7.1297 7.1321 7.1345 7.1370 7.1364 7.1419

98.4 7.1444 7.1469 7.1494 7.1520 7.1545 7.1571 7.1996 7.1622 7.1648 7.1675

98.5 7.1701 7.1727 7.1754 7.1781 7.1808 7.1835 7.1862 7.1890 7.1917 7.1945

98.6 7.1973 7.2001 7.2029 7.2058 7.2086 7.2115 7.2144 7.2173 7.2203 7.2232

98.7 7.2262 7.2292 7.2322 7.2353 7.2383 7.24 14 7.2445 7.2476 7.2508 7.2539

98.8 7.2374 7.2663 7.2636 7.2668 7.2701 7.2734 7.2768 7.2801 7.2835 7.2869

98.9 7.2904 7.2938 7.2973 7.3009 7.3044 7.3080 7.3116 7.3152 7.3189 7.3226

99.0 7.3263 7.3301 7.3339 7.3378 7.3416 7.3455 7.3495 7.3935 7.3575 7.3615

99.1 7.3656 7.3698 7.3739 7.3781 7.3824 7.3867 7.3911 7.3954 7.3099 7.4044

99.2 7.4059 7.4135 7.4181 7.4228 7.4276 7.4324 7.4372 7.4422 7.5474 7.4522

99.3 7. 4373 7.4624 7.4677 7.4730 7.4783 7.4838 7.4893 7.4040 7.5006 7.5063

99.4 7.5121 7.5181 7.5241 7.5302 7.5364 7.5427 7.5401 7.5550 7.5622 7.5690

99.5 7.5758 7.5828 7.5890 7.5972 7.6045 7.6121 7.6107 7.0276 7.6356 7.6437

99.6 7.6521 7.6606 7.6693 7.6783 7.0874 7.6968 7.7065 7.7104 7.7260 7.7370

99.7 7.7478 7.7589 7.7703 7.7822 7.7944 7.8070 7.8202 7.8338 7.8480 7.8027

99.8 7.8782 7.8043 7.9112 7.9299 7.9478 7.9677 7.9889 8.0115 8.0357 8.0618

99.9 8.0902 8.1214 8.1550 8.1847 8.2380 7.2905 8.3528 8.4316 8.5401 8.7190

Sumber: Pengujian Insektisida, 1988