Tugas Sejarah Wt

13
Aceh Dibawah Kepimimpinan Sultan Iskandar Tsani Oleh: Abdul Ghani Dewi Patona Pada tanggal 12 dzulqaidah 916 H (1511 M) Iskandar Tsani atau Ali Mughayat Syah dilantik (dinobatkan) menjadi Sulthan kerajaan Aceh dengan gelar Sultan Alauddin Ali Mghayat Syah, pada tanggal 12 dzulhijjah tahun 936 H (7 agustus 1530 M), Sultan Ali Mughayat Syah mangkat setelah beliau berhasil menyelesaikan program kerjanya yang utama yaitu berhasil mengusir protugis dari seluruh daratan Aceh. Setelah Aceh Berjaya menyerang Pahang pada tahun 1618, dan Sulthan Iskadar Tsani dari Pahang dibawa ke Aceh. Dan setelah permaisuri dari

description

oo

Transcript of Tugas Sejarah Wt

Page 1: Tugas Sejarah Wt

Aceh Dibawah Kepimimpinan Sultan Iskandar Tsani

Oleh:

Abdul Ghani

Dewi Patona

Pada tanggal 12 dzulqaidah 916 H (1511 M) Iskandar Tsani atau Ali Mughayat Syah dilantik

(dinobatkan) menjadi Sulthan kerajaan Aceh dengan gelar Sultan Alauddin Ali Mghayat

Syah, pada tanggal 12 dzulhijjah tahun 936 H (7 agustus 1530 M), Sultan Ali Mughayat Syah

mangkat setelah beliau berhasil menyelesaikan  program kerjanya yang utama yaitu berhasil

mengusir protugis dari seluruh daratan Aceh. Setelah Aceh Berjaya menyerang Pahang pada

tahun 1618, dan Sulthan Iskadar Tsani dari Pahang dibawa ke Aceh. Dan setelah permaisuri

dari Pahang menjadi janda Sultan Iskandar muda menikahi puteri Pahang tersebut, yang oleh

rakyat dikenal dengan sebutan “Putroe Phang” yang sangat cantik. Dan waktu itu Slthan

Iskandar Tsani masik berumur tujuh tahun dan dijadikan anak angkat oleh Sultan Iskandar

Page 2: Tugas Sejarah Wt

Muda. pada usia Sembilan tahun Iskandar Tsani dinikahkan oleh Sulthan Iskandar Muda

dengan putrinya Sri Alam , dan pada usia 10 tahun Sultan Tsani diresmikan menjadi putra

mahkota, unyuk menggatikan Sulthan Iskandar Muda kelak ( apabila beliau sudah tutup usia).

Aceh Di Bawah Pemimpinan Sulthan Iskandar Thsani

Sultan Iskandar Tsani

Penaklukan yang  dilakukan oleh Sulthan Iskandar Muda terhadap kerajaan Pahang pada

tahun 1618 oleh Nuruddin ar-Raniry dalam karyanya “Bustanus Salatin” disebutkan sebagai

suatu hikmah Allah untuk menganugerahkan kerajaan aceh kepada Sultan Iskandar Tsani

Aluddin Mughayat Syah. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Pahang yang dilahirkan pada

tahun 1611 . Ia dibawa ke Aceh bersama-sama dengan sebagian rakyat Pahang yang ditawan

oleh tentara Aceh dalam rangka memperbanyak rakyat penduduk kerajaan Aceh oleh Sultan

Iskandar Muda, pada tahun 1618 M.

Iskandar Thani dibawa ke Aceh ketika ia baru berumur 7 tahun. Dengan ilmu firasat yang

dipunyainya, Iskandar Muda melihat tanda-tanda kebahagiaan pada wajah anak Sultan

Pahang itu. Maka Iskandar Muda mengangkatnya sebagai anak dengan diberi gelar Raja

Bungsu. Di Aceh Sultan Iskandar thani diasuh oleh seorang kerabat istana Aceh yang

bernama Nenda Tun Kemala Setia. Ketika berumur 9 tahun Raja Bungsu dinikahkan dengan

anak Sultan Iskandar Muda yang bernama Seri Alam Permaisuri. 

Page 3: Tugas Sejarah Wt

Kepada menantunya ini Iskandar Muda memberi gelar baru Sultan Husein Syah. Kemudian

dalam suatu upacara yang dihadiri oleh Syamsuddin pasai, Khadi Malikul Adil dan para

pembesar lainnya, Sulthan Iskandar Muda menunjukkan Sulthan Husein Syah sebagai calon

penggantinya untuk memangku jabatan sultan kerajaan Aceh dengan di beri gelar sultan

Mongol. Ketika sultan iskandar muda mangkat dan sultan Mongol resmi menduduki tahta

kerajaan Aceh, maka ia bergelar sebagai sultan Iskandar Tsani Allaudin Mughayat Syah.

Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 desember 1636 ( 29 rajab

1046 H). Mungkin kematiannya  di sebabkan karena kena racun yang diberikan oleh para

wanita makasar kepadanya atas perintah orang-orang portugis. Hal ini dapat diketahui dari

laporan gubernur jenderal kompeni Belanda di Batavia., yakni Antonie van Diemen yang  di

tunjukkan kapada para penguasa kompeni india  timur di negeri Belanda pada tanggal 9

desember 1637 yang isi laporannya bahwa tidak mustahil ia  di  racun atas desakan orang

portugis oleh para wanita yang di kirim raja Makasar ke Aceh sebaagai

tanda  penghormatan. Kerajaan Aceh Darussalam ketika dibawah dipimpinan Sultan Iskandar

Page 4: Tugas Sejarah Wt

Muda menjadikan Aceh sebuah kerajaan yang terkuat diAsia Tenggara. Namun setelah

kremangkatan baginda pada tahun 1636 Aceh sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan.

Kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani

Pada zaman masa pemerintahan sultan Iskandar Tsani. Aceh dan semenanjung Tanah Melayu

telah melalui suatu zaman yang berbeda dari  yang pernah dialami sejak Sultan Iskandar

Muda  berkuasa. Khususnya,  kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Iskandar Tsani tidak lagi

mengikuti system pemerintahan pada waktu Sultan Iskandar Muda memerintah. Sebagai

seorang pemimpin Sultan Iskandar Tsani  menumpukkan perhatiannya ke arah pembangunan

masyarakat dan mengembangkan pendidikan islam.Usahanya untuk menyebarkan ajaran

islam tidak saja terbatas di daerah-daerah yang berdekatan dengan Aceh besar malah baginda

juga mengirimkan surat dan dua buah kitab yaitu “Surat al-Mustaqin” dan “Babun Nikah”,

karangan Syaikh Nuruddin ar-Raniry, seorang ulama besar Aceh abad ke 17 M, kepada sultan

kedah, ketika mengetahui bahwa islam telah berkembang dengan pesatnya disana.

Page 5: Tugas Sejarah Wt

Politik Sultan Iskandar Thani yang lebih lunak itu dengan menyebabkan kerajaan Aceh yang

berkaitan dengan semenanjung tanah melayu kian terjepit.Misalnya, Pahang, yang setuju

berdamai dengan Aceh karena sultannya itu adalah berasal dari keturunan raja-raja Pahang,

telah dicerobohi oleh tetangganya.

Peristiwa ini,sebenarnya telah bermula sejak awal 1636. Pada waktu itu atas persetujuan para

pembesar Pahang Iskandar Thani telah mengikatkan perdamaian dengan negeri itu dan

menerimanya sebagai wilayah naungan Aceh. Kejadian ini membangkitkan kemarahan Johor,

lebih-lebih lagi karena ia pernah menguasai negeri Pahang pada masa dahulu. Dengan alasan

tersebut,pada tahun 1638, dengan bantuan sekutunya V.O.C.yang berpusat di Batavia, jawa,

kerajaan Johor secara mengejutkan menyerang negeri Pahang.Pada saat terjadi kekacauan di

Pahang, Iskandar Thani telah mengirimkan satu rombongan dari Aceh untuk memasangkan

beberapa buah batu nisan di pekuburan kerabatnya di Pahang.

Page 6: Tugas Sejarah Wt

Meskipun demikian, Sultan Iskandar Thani tidak ikut campur tangan untuk mengamankan

suasana di Pahang. Selanjutnya juga tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa Sultan

Iskandar Thani pernah membantah terhadap serangan Johor tersebut dengan memberi teguran

kepada Sultan Johor secara pribadi. Sebaliknya, Sultan Isakndar Thani hanya menghantarkan

satu teguran keras kepada penguasa V.O.C. dan menarik kembali persetujuannya untuk

menolong pihak belanda menyerang kota  Malaka. Sikapnya yang kurang tegas terjadi karena

tidak mampu lagi untuk melibatkan dirinya dalam satu peperangan yang basar, dan

memandang bahwa armadanya telah lemah.

Sikap Sultan Iskandar Thani telah membuat  belanda semakin berani dan melakukan kerja

sama dengan Johor untuk menggepur Malaka pada Juni 1640. Walaupun kedudukan mereka

sungguh mencemaskan, namun para pejuang Portugis terus memberi tantangan yang hebat

terhadap tentara sekutu itu. Dalam keadaan yang demikian, Malaka jatuh juga akhirnya pada

bulan Januari 1641, peristiwa yang penting itu berlalu tanpa mendapat tantangan ataupun

reaksi dari kerajaan Aceh. 

Page 7: Tugas Sejarah Wt

Pada 15 Februari 1641 lebih kurang sebulan sesudah tamatnya kekuasaan Portugis di Malaka.

Sultan Iskandar Thani pun mangkat.Sejak itu, nasib kerajaan Aceh dan rakyatnya langsung

berubah, khususnya, pemerintahan Aceh tidak lagi merupakan satu kuasa yang benar-benar

disegani, melainkan daerah inti dan daerah pokok.Pemerintahan para Ratu yang berjalan 59

tahun bermula dari istri Sultan Iskandar Thani yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin

Syah ( 1641-1675 ), mengakibatkan kekuasaan Aceh kian menurun dalam aspek-aspek

politik, ekonomi,dan militer,tetapi masih berkembang dan meningkat dalam ilmu

pengetahuan, kebudayaan dan seni budaya.

Kesimpulan

Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah Ibni Almarhum Sultan Ahmad Shah II atau

nama sebenarnya Raja Husein adalah Sultan Aceh ke-13. Baginda merupakan anak kandung

Sultan Pahang, Sultan hmad Shah II. Pada tahun 1617, Kesultanan Aceh dibawah Sultan

Iskandar Muda telah menyerang Pahang di mana Sultan Ahmad bersama anggota

keluarganya memerintah seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Puteri Kamaliah (Putrie

Phang) yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda, dan Bendaharanya Tun

Muhammad, lebih akrab dengan nama samarannya“Tun Sri Lanang”. Dengan ini, berakhirlah

era pemerintahan Kesultanan Pahang yang berasal daripada zuriat Sultan Malaka secara

langsung. Dibawa ke Aceh, beliau dikawinkan dengan puteri Sultan Iskandar Muda, yang

kemudian bernama Sri Ratu Safiatuddin Taj ul-Alam. Selepas Sultan Iskandar Muda mangkat

Page 8: Tugas Sejarah Wt

pada 1637, Raja Husein menggantikan Sultan Iskandar Muda sebagai Sultan Kerajaan Islam

Ahceh Darussalam. (http://chaerolriezal.blogspot.com/2014/02/aceh-dibawah-kepimimpinan-

sultan.html )

Iskandar Tsani dari Aceh

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa

Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda. Ia menikah dengan puteri Sultan, yang kemudian bernama Ratu Safiatuddin, dan menggantikan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh ketika ia wafat pada tahun 1636. "Tsani" dalam bahasa Arab berarti "dua".

Memerintah sejak kemunduran dari Armada Aceh pada 1629, Iskandar Tsani tidak dapat melanjutkan kesuksesan pemerintah sebelumnya. Ia merupakan penguasa yang kuat, sanggup menekan orang kaya (bangsawan Aceh) dan berusaha untuk mensentralisasikan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Iskandar Muda.[1] Masa pemerintahannya terlalu pendek untuk membuat perubahan besar, bagaimanapun, setelah kematiannya kalangan elit memaksa pengaruh mereka, dan menempatkan jandanya, Ratu Safiatuddin, di kekuasaaan, sebagai yang pertama dari beberapa sultan yang lemah.[2]

Seperti Iskandar Muda, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat dari pendidikan Islam. Ia merupakan pelindung dari Nuruddin ar-Raniri, seorang cendikiawan Islam dari Gujarat yang datang ke Aceh pada tahun 1637. (http://id.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Tsani_dari_AceH )

Pengaruh Al-Raniri

Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek

Page 9: Tugas Sejarah Wt

mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994).

Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.

Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).

Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.

Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.

Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.

penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.

Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena

Page 10: Tugas Sejarah Wt

belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.

Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.

Selain di bidang keagamaan, Al-Raniri juga seorang sastrawan yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam. bahasa MelAyu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. Bahkan, ketika itu, cara yang paling mudah untuk memahami ajaran agama Islam adalah dengan menguasai bahasa Melayu. Bersamaan dengan populernya kitab kitab Al-Raniri yang berbabasa Melayu tersebut, bahasa Melayu telah diterima oleh masyarakat di kawasan Asia Tenggara sebagai lingua franca (bersambung...) (http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail//allsub/614/syekh-nur-al-din-al-raniri-bag-5.html )