Tugas Sejarah Wt
description
Transcript of Tugas Sejarah Wt
Aceh Dibawah Kepimimpinan Sultan Iskandar Tsani
Oleh:
Abdul Ghani
Dewi Patona
Pada tanggal 12 dzulqaidah 916 H (1511 M) Iskandar Tsani atau Ali Mughayat Syah dilantik
(dinobatkan) menjadi Sulthan kerajaan Aceh dengan gelar Sultan Alauddin Ali Mghayat
Syah, pada tanggal 12 dzulhijjah tahun 936 H (7 agustus 1530 M), Sultan Ali Mughayat Syah
mangkat setelah beliau berhasil menyelesaikan program kerjanya yang utama yaitu berhasil
mengusir protugis dari seluruh daratan Aceh. Setelah Aceh Berjaya menyerang Pahang pada
tahun 1618, dan Sulthan Iskadar Tsani dari Pahang dibawa ke Aceh. Dan setelah permaisuri
dari Pahang menjadi janda Sultan Iskandar muda menikahi puteri Pahang tersebut, yang oleh
rakyat dikenal dengan sebutan “Putroe Phang” yang sangat cantik. Dan waktu itu Slthan
Iskandar Tsani masik berumur tujuh tahun dan dijadikan anak angkat oleh Sultan Iskandar
Muda. pada usia Sembilan tahun Iskandar Tsani dinikahkan oleh Sulthan Iskandar Muda
dengan putrinya Sri Alam , dan pada usia 10 tahun Sultan Tsani diresmikan menjadi putra
mahkota, unyuk menggatikan Sulthan Iskandar Muda kelak ( apabila beliau sudah tutup usia).
Aceh Di Bawah Pemimpinan Sulthan Iskandar Thsani
Sultan Iskandar Tsani
Penaklukan yang dilakukan oleh Sulthan Iskandar Muda terhadap kerajaan Pahang pada
tahun 1618 oleh Nuruddin ar-Raniry dalam karyanya “Bustanus Salatin” disebutkan sebagai
suatu hikmah Allah untuk menganugerahkan kerajaan aceh kepada Sultan Iskandar Tsani
Aluddin Mughayat Syah. Iskandar Tsani adalah putra Sultan Pahang yang dilahirkan pada
tahun 1611 . Ia dibawa ke Aceh bersama-sama dengan sebagian rakyat Pahang yang ditawan
oleh tentara Aceh dalam rangka memperbanyak rakyat penduduk kerajaan Aceh oleh Sultan
Iskandar Muda, pada tahun 1618 M.
Iskandar Thani dibawa ke Aceh ketika ia baru berumur 7 tahun. Dengan ilmu firasat yang
dipunyainya, Iskandar Muda melihat tanda-tanda kebahagiaan pada wajah anak Sultan
Pahang itu. Maka Iskandar Muda mengangkatnya sebagai anak dengan diberi gelar Raja
Bungsu. Di Aceh Sultan Iskandar thani diasuh oleh seorang kerabat istana Aceh yang
bernama Nenda Tun Kemala Setia. Ketika berumur 9 tahun Raja Bungsu dinikahkan dengan
anak Sultan Iskandar Muda yang bernama Seri Alam Permaisuri.
Kepada menantunya ini Iskandar Muda memberi gelar baru Sultan Husein Syah. Kemudian
dalam suatu upacara yang dihadiri oleh Syamsuddin pasai, Khadi Malikul Adil dan para
pembesar lainnya, Sulthan Iskandar Muda menunjukkan Sulthan Husein Syah sebagai calon
penggantinya untuk memangku jabatan sultan kerajaan Aceh dengan di beri gelar sultan
Mongol. Ketika sultan iskandar muda mangkat dan sultan Mongol resmi menduduki tahta
kerajaan Aceh, maka ia bergelar sebagai sultan Iskandar Tsani Allaudin Mughayat Syah.
Sultan Iskandar Muda mangkat dengan tiba-tiba pada tanggal 27 desember 1636 ( 29 rajab
1046 H). Mungkin kematiannya di sebabkan karena kena racun yang diberikan oleh para
wanita makasar kepadanya atas perintah orang-orang portugis. Hal ini dapat diketahui dari
laporan gubernur jenderal kompeni Belanda di Batavia., yakni Antonie van Diemen yang di
tunjukkan kapada para penguasa kompeni india timur di negeri Belanda pada tanggal 9
desember 1637 yang isi laporannya bahwa tidak mustahil ia di racun atas desakan orang
portugis oleh para wanita yang di kirim raja Makasar ke Aceh sebaagai
tanda penghormatan. Kerajaan Aceh Darussalam ketika dibawah dipimpinan Sultan Iskandar
Muda menjadikan Aceh sebuah kerajaan yang terkuat diAsia Tenggara. Namun setelah
kremangkatan baginda pada tahun 1636 Aceh sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan.
Kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani
Pada zaman masa pemerintahan sultan Iskandar Tsani. Aceh dan semenanjung Tanah Melayu
telah melalui suatu zaman yang berbeda dari yang pernah dialami sejak Sultan Iskandar
Muda berkuasa. Khususnya, kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Iskandar Tsani tidak lagi
mengikuti system pemerintahan pada waktu Sultan Iskandar Muda memerintah. Sebagai
seorang pemimpin Sultan Iskandar Tsani menumpukkan perhatiannya ke arah pembangunan
masyarakat dan mengembangkan pendidikan islam.Usahanya untuk menyebarkan ajaran
islam tidak saja terbatas di daerah-daerah yang berdekatan dengan Aceh besar malah baginda
juga mengirimkan surat dan dua buah kitab yaitu “Surat al-Mustaqin” dan “Babun Nikah”,
karangan Syaikh Nuruddin ar-Raniry, seorang ulama besar Aceh abad ke 17 M, kepada sultan
kedah, ketika mengetahui bahwa islam telah berkembang dengan pesatnya disana.
Politik Sultan Iskandar Thani yang lebih lunak itu dengan menyebabkan kerajaan Aceh yang
berkaitan dengan semenanjung tanah melayu kian terjepit.Misalnya, Pahang, yang setuju
berdamai dengan Aceh karena sultannya itu adalah berasal dari keturunan raja-raja Pahang,
telah dicerobohi oleh tetangganya.
Peristiwa ini,sebenarnya telah bermula sejak awal 1636. Pada waktu itu atas persetujuan para
pembesar Pahang Iskandar Thani telah mengikatkan perdamaian dengan negeri itu dan
menerimanya sebagai wilayah naungan Aceh. Kejadian ini membangkitkan kemarahan Johor,
lebih-lebih lagi karena ia pernah menguasai negeri Pahang pada masa dahulu. Dengan alasan
tersebut,pada tahun 1638, dengan bantuan sekutunya V.O.C.yang berpusat di Batavia, jawa,
kerajaan Johor secara mengejutkan menyerang negeri Pahang.Pada saat terjadi kekacauan di
Pahang, Iskandar Thani telah mengirimkan satu rombongan dari Aceh untuk memasangkan
beberapa buah batu nisan di pekuburan kerabatnya di Pahang.
Meskipun demikian, Sultan Iskandar Thani tidak ikut campur tangan untuk mengamankan
suasana di Pahang. Selanjutnya juga tidak terdapat bukti yang menunjukan bahwa Sultan
Iskandar Thani pernah membantah terhadap serangan Johor tersebut dengan memberi teguran
kepada Sultan Johor secara pribadi. Sebaliknya, Sultan Isakndar Thani hanya menghantarkan
satu teguran keras kepada penguasa V.O.C. dan menarik kembali persetujuannya untuk
menolong pihak belanda menyerang kota Malaka. Sikapnya yang kurang tegas terjadi karena
tidak mampu lagi untuk melibatkan dirinya dalam satu peperangan yang basar, dan
memandang bahwa armadanya telah lemah.
Sikap Sultan Iskandar Thani telah membuat belanda semakin berani dan melakukan kerja
sama dengan Johor untuk menggepur Malaka pada Juni 1640. Walaupun kedudukan mereka
sungguh mencemaskan, namun para pejuang Portugis terus memberi tantangan yang hebat
terhadap tentara sekutu itu. Dalam keadaan yang demikian, Malaka jatuh juga akhirnya pada
bulan Januari 1641, peristiwa yang penting itu berlalu tanpa mendapat tantangan ataupun
reaksi dari kerajaan Aceh.
Pada 15 Februari 1641 lebih kurang sebulan sesudah tamatnya kekuasaan Portugis di Malaka.
Sultan Iskandar Thani pun mangkat.Sejak itu, nasib kerajaan Aceh dan rakyatnya langsung
berubah, khususnya, pemerintahan Aceh tidak lagi merupakan satu kuasa yang benar-benar
disegani, melainkan daerah inti dan daerah pokok.Pemerintahan para Ratu yang berjalan 59
tahun bermula dari istri Sultan Iskandar Thani yang bergelar Sultanah Tajul Alam Safiatuddin
Syah ( 1641-1675 ), mengakibatkan kekuasaan Aceh kian menurun dalam aspek-aspek
politik, ekonomi,dan militer,tetapi masih berkembang dan meningkat dalam ilmu
pengetahuan, kebudayaan dan seni budaya.
Kesimpulan
Sultan Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah Ibni Almarhum Sultan Ahmad Shah II atau
nama sebenarnya Raja Husein adalah Sultan Aceh ke-13. Baginda merupakan anak kandung
Sultan Pahang, Sultan hmad Shah II. Pada tahun 1617, Kesultanan Aceh dibawah Sultan
Iskandar Muda telah menyerang Pahang di mana Sultan Ahmad bersama anggota
keluarganya memerintah seperti Raja Husein (Iskandar Thani), Puteri Kamaliah (Putrie
Phang) yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Iskandar Muda, dan Bendaharanya Tun
Muhammad, lebih akrab dengan nama samarannya“Tun Sri Lanang”. Dengan ini, berakhirlah
era pemerintahan Kesultanan Pahang yang berasal daripada zuriat Sultan Malaka secara
langsung. Dibawa ke Aceh, beliau dikawinkan dengan puteri Sultan Iskandar Muda, yang
kemudian bernama Sri Ratu Safiatuddin Taj ul-Alam. Selepas Sultan Iskandar Muda mangkat
pada 1637, Raja Husein menggantikan Sultan Iskandar Muda sebagai Sultan Kerajaan Islam
Ahceh Darussalam. (http://chaerolriezal.blogspot.com/2014/02/aceh-dibawah-kepimimpinan-
sultan.html )
Iskandar Tsani dari Aceh
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perubahan tertunda ditampilkan di halaman iniBelum Diperiksa
Sultan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (meninggal tahun 1641) merupakan Sultan Aceh ketiga belas, menggantikan Sultan Iskandar Muda. Iskandar Tsani adalah putera dari Sultan Pahang, Ahmad Syah, yang dibawa ke Aceh ketika Aceh menguasai Pahang pada tahun 1617 oleh Sultan Iskandar Muda. Ia menikah dengan puteri Sultan, yang kemudian bernama Ratu Safiatuddin, dan menggantikan Iskandar Muda sebagai Sultan Aceh ketika ia wafat pada tahun 1636. "Tsani" dalam bahasa Arab berarti "dua".
Memerintah sejak kemunduran dari Armada Aceh pada 1629, Iskandar Tsani tidak dapat melanjutkan kesuksesan pemerintah sebelumnya. Ia merupakan penguasa yang kuat, sanggup menekan orang kaya (bangsawan Aceh) dan berusaha untuk mensentralisasikan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh Iskandar Muda.[1] Masa pemerintahannya terlalu pendek untuk membuat perubahan besar, bagaimanapun, setelah kematiannya kalangan elit memaksa pengaruh mereka, dan menempatkan jandanya, Ratu Safiatuddin, di kekuasaaan, sebagai yang pertama dari beberapa sultan yang lemah.[2]
Seperti Iskandar Muda, Istana Iskandar Tsani dikenal sebagai pusat dari pendidikan Islam. Ia merupakan pelindung dari Nuruddin ar-Raniri, seorang cendikiawan Islam dari Gujarat yang datang ke Aceh pada tahun 1637. (http://id.wikipedia.org/wiki/Iskandar_Tsani_dari_AceH )
Pengaruh Al-Raniri
Berdasarkan paparan sebelumnya, Al-Raniri merupakan sosok ulama yang memiliki banyak keahlian. Dia seorang sufi, teolog, faqih (ahli hukum), dan bahkan politisi. Keberadaan Al-Raniri seperti ini sering menimbulkan banyak kesalahpahaman, terutama jika dilihat dari salah satu aspek pemikiran saja. Maka sangat wajar, jika beliau dinilai sebagai seorang sufi yang sibuk dengan praktek-praktek
mistik, padahal di sisi lain, Al-Raniri adalah seorang faqih yang memiliki perhatian terhadap praktek-praktek syariat. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara benar, haruslah dipahami semua aspek pemikiran, kepribadian dan aktivitasnya (Azra: 1994).
Keragaman keahlian Al-Raniri dapat dilihat kiprahnya selama. di Aceh. Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Al-Raniri dalam perkembangan Islam Nusantara tidak dapat diabaikan. Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut. Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam di negeri ini, Al-Ranirilah yang menghubungkan satu mata rantai tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Al-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran doktrin dan praktek sufi yang salah dan benar. Upaya seperti ini memang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu, seperti Fadhl Allah Al-Burhanpuri. Namun, Al-Burhanpuri tidak berhasil merumuskannya dalam penjabaran yang sisternatis dan sederhana, malahan membingungkan para pengikutnya, sehingga Ibrahim Al-Kurani harus memperjelasnya. Upaya-upaya lebih lanjut tampaknya pernah juga dilakukan oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Al-Sumaterani, tetapi keduanya gagal memperjelas garis perbedaan antara Tuhan dengan alam dan makhluk ciptaannya (Azra: 1994).
Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Raniri, masalah besar yang dihadapi umat Islam, terutama di Nusantara, adalah aqidah. paham immanensi antara Tuhan makhluknya sebagaimana dikembangkan oleh paham wujudi"ah merupakan praktek sufi yang berlebihan. Mengutip doktrin Asy'ariyyah, Al-Raniri berpandangan bahwa antara Tuhan dan alam raya terdapat perbedaan (mukhalkfah), sementara antara manusia dan Tuhan terdapat hubunpn transenden.
Selain secara umum Al-Raniri dikenal sebagai syeikh Rifaiyyah, ia juga memiliki mata rantai dengan tarekat Aydarusiyyah dan Qadiriyyah. Dari tarekat Aydarusiyyah inilah Al-Raniri dikenal sebagai ulama yang teguh mernegang akar-akar tradisi Arab, bahkan simbol-simbol fisik tertentu dari budayanya, dalam menghadapi lokal. Tidak hanya itu, ketegasan Al-Raniri dalam menekankan adanya keselarasan antara praktek mistik dan syari'at merupakan bagian dari ajaran tarekat Aydarusiyyah.
Dari paparan di atas, sepintas memang belum banyak pembaruan yang telah dilakukan oleh Al-Raniri, kecuali mempertegas paham Asy'ariyyah, memperjelas praktek-praktek syariat, dan sanggahan terhadap paham wujudiyyah. Di sinilah dibutuhkaan kejelian untuk memandang Al-Raniri secara utuh, baik kirah, pikiran maupun karya-karyanya (Azra: 1994). Bahkan, dari catatan sanggahan Al-Raniri terhadap paham wujudiyyahlah dapat ditemukan, sejumlah pembaruanterutama dalam hal metodologi.
penulisan ilmiah, dimana beliau selalu mencantumkaan argumentasi berikut referensinya. Dari cara seperti ini pula dalam perkembangannya ditemukan sejumlah ulama -ulama baru yang belum pernah diungkap oleh penulis-penulis lain sebelumnya, berikut pemikiran-pemikiran yang baru.
Meski Al-Raniri berpengaruh besar dalam perkembangan Islam Nusantara, tetapi hingga kini belum ditemukan para muridnya secara langsung, kecuali Syeikh Yusuf Al-Maqassari. Al-Maqassari dalam kitabnya, Safinat al-Najah menjelaskan bahwa dari Al-Ranirilah diperoleh silsilah tarekat Qadiriyyah, karena Al-Raniri adalah guru sekaligus syeikhnya. Hanya saia, bukti ini belum dianggap valid, karena
belum diketahui kapan dan dimana mereka bertemu. Kesulitan lainnya juga akan muncul ketika dicari hubungan dan jaringan Al-Raniri dengan para ulama lain penyebar agama Islam di wilayah Nusantara, ataupun para ulama asli Nusantara yang berkelana sampai ke Timur-Tengah. Yang ada hanyalah kemungkinan bertemunya Al-Raniri dengan para jamaah haji dan para pedatang dari Nusantara yang kebetulan menuntut ilmu di tanah haram, tepatnya ketika Al-Raniri bermukim di Makkah dan Madinah (1621 M). Pertemuan inilah yang diduga adanya komunikasi langsung dengan para muridnya dari Nusantara, termasuk dengan Al-Maqassari.
Kesulitan ini juga terus berlanjut, jika dikaitkan dengan keingianan mencari hubungan Al-Raniri dengan dunia pesantren di wilayah Nusantara. Pasalnya, selain tiada literatur yang menunjukkan hal tersebut, manuskrip-manuskrip yang berkaitan dengan pesantren pun tidak menunjukkan adanya hubungan tersebut. Meski demikian, bukan berarti Al-Raniri tidak memiliki keterkaitan sama sekah dengan dunia pesantren. Setidaknya, peran Al-Maqassari dan para jamaah haji serta para muridnya di Makkah dan Madinah yang kemudian kembali ke tanah air merupakan keterkaitan tidak langsung Al-Raniri dengan dunia pesantren di Indonesia.
Selain di bidang keagamaan, Al-Raniri juga seorang sastrawan yang berjasa menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya banyak ditulis dalam. bahasa MelAyu, sehingga menjadikannya sebagai bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. Bahkan, ketika itu, cara yang paling mudah untuk memahami ajaran agama Islam adalah dengan menguasai bahasa Melayu. Bersamaan dengan populernya kitab kitab Al-Raniri yang berbabasa Melayu tersebut, bahasa Melayu telah diterima oleh masyarakat di kawasan Asia Tenggara sebagai lingua franca (bersambung...) (http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail//allsub/614/syekh-nur-al-din-al-raniri-bag-5.html )