Tugas Mata Kuliah Farmakokinetik Klinik Antiaritmia

download Tugas Mata Kuliah Farmakokinetik Klinik Antiaritmia

of 26

description

TDM Digoksin, Prokainamid, dan LidokainDisritmia adalah kelainan denyut jantung yang melipiti gangguan frekuensi atau irama atau keduanya.atau bisa di definisikan dengan menganalisa gelombang EKG. Disritmia dinamakan berdasarkan pada tempat dan asal impuls dan mekanisme hantaran yang terlibat. Misalnya disritmia yang berasal dari nodus sinus (nodus SA) dan frekuensinya lambat dinamakan sinus bradikardia. Ada empat kemungkinan tempat asal disritmia, yaitu nodus sinus, atria, nodus AV atau sambungan, dan frentrikel. Gangguan mekanisme hantaran yang mungkin dapat terjadi meliputi bradikardi, takikardi, flutter, fibrilasi, denyut prematur, dan penyekat jantung.B. Anatomi fisiologi1. Sifat Otot Jantung: Otot jantung memiliki sifat fisiologis yaitu eksitabilitas, otomatisitas, konduktivitas, dan kontraktilitas.2. Eksitabilitas adalah kemampuan sel miokardium untuk merespons stimulus3. Otomatisitas memungkinkan sel mencapai potensial ambang dan membangkitkan impuls tanpa adanya stimulasi dari sumber lain.4. Konduktivitas mengacu pada kemampuan otot untuk menghantarkan impuls dari satu sel ke sel lain.5. Kontraktilitas memungkinkan otot untuk memendek pada saat terjadi stimulasi apabila semua sifat tersebut utuh, otot jantung distimulasi oleh impuls yang berasal dari nodus sinus.Disritmia dapat muncul, apabila terjadi ketidak seimbangan pada salah satu sifat dasar jantung. Ketidak seimbangan pada salah satu sifat dasar jantung. Pada infark miokard, terjadi peningkatan respons miokardium terhadap estimulus akibat penurunan oksigenasi kemiokardium, yang menyebabkan peningkatan eksitabilitas. Hal ini merupakan salah satu contoh yang paling sering menyebabkan disritmia.Jalur hantaran Normal.ketika suatu impuls timbul pada nodus sinus, maka akan diikuti suatu jalur listrik normal impuls yang berjalan dari nodus sinus melalui atria ke nodus AV atau sambungan, yang juga meliputi berkas his. Impuls akan diperlambat dinodus AV agar fentrikel selesai terisi darah dari nodus AV impuls bejalan sangat cepat melalui cabang-cabang perkas his.berakhir di serat purkinje pada dinding untuk memulai sistole.Sistem Saraf Otonom.jantung bekerja di bawah kendali sisitem saraf otonom, yang terdiri dari serat simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis juga dikenal sebagai adrenegris, yang berasal dari kata dasar adrenal, jadi stimulasi sistem simpatis akan mempercepat prekuensi jantung, meningkatkan tekanan darah, dan memperkuat kontraksi miokard, sebaliknya stimulasi para simpatis, akan memperlambat jantung menurunkan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi kontraksi.C. Tipe- Tipe Disritmia1. Disritmia Nodus Sinusa. Bradikardi SinusBradikardi sinus bisa terjadi karena stimulasi vagal, intoksikasi digitalis, peningkatan tekanan intrakranial, atau invamiokard (MI). Bradikardi sinus juga di jumpai pada olah ragawan berat, orang yang sangat kesakitan, atau orang yang mendapat pengobatan (propranolol, reservin, metildopa) pada keadaan hipoendokrim (miksedema, penyakit adison, panhipopituitarisme) pada anoreksia nerposa, pada hipotermia, setelah kerusakan bedah nodus SAFrekuensi: 40-60 denyut per menitGelombang P: mendahului setiap kompleks QRS interval PR normalKompleks QRS: biasanya normalHantaran: biasanya normalIrama: regulerb. Takikardi SinusTakikardi sinus (denyut jantung cepat) dapat disebabkan oleh demam, kehilangan darah akut, anemia, syok, latihan, gagal jantung kongestif (CHF = congestive heart failuire), nyeri, keadaan hipermetabolisme, kecemasan, simpatomimetika atau pengobatan parasimpatolitik., pola EKG takitardi sinus adalah sebagai berikut:Frekuensi: 100 sampai 80 denyut per menitGelombang P: mendahului setiap kompleks QRS, dapat tenggelam dalamg3lombang T yang mendahuluinya; interval PR normalKompleks QRS: biasanya mempunyai durasi normalHantaran: biasanya normalIrama: regulerSemua aspek takikardi sinus sama dengan irama sinus normal kecuali frekuensinya tekanan sinus karotis, yang dilak

Transcript of Tugas Mata Kuliah Farmakokinetik Klinik Antiaritmia

TUGAS MATA KULIAH FARMAKOKINETIK KLINIK

PEMANTAUAN KADAR TERAPI OBAT ANTIARITMIADIGOKSIN, PROKAINAMID, DAN LIDOKAIN

disusun oleh :Sri Wulandah Fitriani, S. Farm., Apt.NPM: 1306343132

PROGRAM MAGISTER ILMU KEFARMASIANFAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS INDONESIAMEI 2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangAritmia adalah kelainan dalam kecepatan, irama, tempat asal dari impuls, atau gangguan konduksi yang menyebabkan perubahan dalam urutan normal aktivasi atrium dan ventrikel jantung. Secara klinis, aritmia ventrikel dibagi atas benigna dan maligna yang dapat menyebabkan kematian mendadak (Muchtar, 2007). Aritmia dapat timbul karena kelainan dalam pembentukan impuls, konduksi impuls, atau keduanya. Untuk mencegah terjadinya perburukan, diperlukan obat-obat antiaritmia.Obat antiaritmia dikelompokkan menurut efek elektrofisiologik dan mekanisme kerjanya (Tabel 2.1). Meski demikian, obat-obat dalam satu kelas yang sama belum tentu efektif dan aman bagi pasien yang sama (Dasgupta, 2012).

Tabel 1. Klasifikasi Obat AntiaritmiaKelasMekanisme KerjaObatKebutuhan TDMRentang Terapeutik

IAMenghambat sedang kanal Na+ProkainamidYa4.0 10.0 g/mL

KuinidinYa2.0 5.0 g/mL

DisopiramidYa1.5 5.0 g/mL

IBMenghambat lemah kanal Na+LidokainYa1.5 5.0 g/mL

MeksiletinYa0.5 2.0 g/mL

ICMenghambat kuat kanal Na+FlekainidYa0.2 1.0 g/mL

TokainidYa5.0 12.0 g/mL

PropafenonYa0.4 3.0 g/mL

IIMenyekat adrenoseptor beta (-blocker)AtenololTidak

PropranololYa50.0 100.0 ng/mL

Esmolol Tidak

TimololTidak

MetoprololTidak

BisoprololTidak

LabetalolTidak

PindololTidak

NadololTidak

IIIMenghambat kanal K+AmiodaronMungkin1.0 2.5 g/mL

SotalolMungkin0.5 2.0 g/mL

IbutilidTidak

DofetilidTidak

IVMenghambat kanal Ca2+DiltiazemTidak

VerapamilMungkin50 200 ng/mL

VLain-lainDigoxinYa0.8 1.8 ng/mL

Sebagian besar obat-obat golongan antiaritmia memiliki rentang terapeutik yang sempit. Inilah alasan kuat mengapa penggunaan obat-obat antiaritmia membutuhkan pengawasan ketat. Selain itu, obat-obat antiaritmia juga memiliki sifat-sifat berikut:1. Efek toksik cukup berbahaya yaitu dapat menyebabkan kerusakan organ yang irreversible, perpanjangan masa perawatan di rumah sakit, bahkan kematian.2. Terdapat variasi farmakokinetik obat pada pasien yang berbeda.3. Adanya hubungan yang jelas antara dosis yang diberikan dengan efek klinis yang ditimbulkan.Berdasarkan uraian tersebut, maka untuk memastikan keamanan dan memaksimalkan efektivitas penggunaan obat-obat antiaritmia, dibutuhkan adanya pemantauan kadar obat dalam darah atau yang biasa dikenal dengan Therapeutic Drug Monitoring (TDM). Pemantauan kadar obat di dalam darah adalah suatu teknik yang digunakan klinisi untuk mengoptimalkan dosis obat dengan memberikan dosis yang ditetapkan berdasarkan konsentrasi target dengan cara mengukur kadar obat dalam serum, plasma, atau sampel lain seperti saliva, urin, keringat, dsb. Pemantauan kadar obat dalam darah ini bertujuan untuk membantu meningkatkan penggunaan obat yang lebih rasional baik keamanan dan efektifitas dosis pada individu pasien dengan melakukan penyesuaian dosis.Keberhasilan suatu terapi dengan obat terletak pada pendekatan sejauh mana optimalisasi keseimbangan antara efek terapeutik yang diinginkan dengan efek samping atau efek toksik yang tidak diinginkan dapat dicapai. Untuk mencapai hasil terapi yang optimal, pemilihan obat dan rancangan regimen dosis yang tepat perlu dilakukan. Rancangan regimen dosis yang diberikan dokter pada penderita adalah berdasarkan tujuan untuk pengobatan individu, di mana dosis yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing penderita.

1.2 Tujuan PenulisanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk menelaah prinsip dan metode yang digunakan untuk pemantauan kadar obat dalam darah (Therapeutic Drug Monitoring/ TDM) serta penyesuaian dosis dan regimen terapi obat-obat antiaritmia yang dibatasi pada digoksin, prokainamid, dan lidokain.

1.3 Metoda PenulisanMetode penyusunan makalah adalah dengan studi literatur terkait prinsip dan metode TDM obat-obat antiaritmia serta kriteria farmakologi dan farmakokinetik masing-masing obat.

1.4 Sistematika PenulisanSistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :Bab 1 PendahuluanBab 2 Monitoring Terapi Obat DigoksinBab 3 Monitoring Terapi Obat ProkainamidBab 4 Monitoring Terapi Obat LidokainBab 5 Kesimpulan

BAB IIMONITORING TERAPI OBAT DIGOKSIN

2.1 Farmakologi Saat ini, digoksin merupakan satu-satunya glikosida jantung yang digunakan sebagai terapi antiaritmia dan gagal jantung. Digoksin menghambat pompa Na-K-ATPase pada membran sel otot jantung sehingga transportasi Na+ ke luar sel menjadi terhambat dan konsentrasi Na+ intraseluler meningkat. Hal ini menyebabkan berkurangnya pertukaran Na+ dengan Ca2+ melalui kanal Na+//Ca2+ selama repolarisasi dan relaksasi otot jantung sehingga Ca2+ tertahan dalam sel dan meningkatkan konsentrasi Ca2+ intrasel. Dengan demikian, Ca2+ yang tersedia dalam retikulum sarkoplasmik (SR) untuk dilepaskan ke dalam sitosol untuk kontraksi meningkat, sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat (Arini, 2007).

Gambar 1. Mekanisme kerja digoksin

Efek inotropik positif yang ditandai dengan peningkatan kekuatan dan kecepatan kontraksi sistolik miokard ini dikenal sebagai efek langsung digoksin. Selain efek tersebut, digoksin juga memiliki efek tidak langsung sebagai berikut (Kluwer, 2007):a. Mengurangi aktivitas saraf simpatis dan sistem renin-angiotensin sebagai efek deaktivasi neurohormonal.b. Memperlambat detak jantung.c. Mengurangi konduksi kecepatan melalui nodus AV atau yang dikenal sebagai efek vagotonik.Efek vagotonik yang dihasilkan menyebabkan penghambatan aliran kalsium di nodus AV dan aktivasi aliran kalium yang diperantarai asetilkolin di atrium. Efek elektrofisiologik yang ditimbulkan oleh efek tak langsung digoksin ini adalah hiperpolarisasi, pemendekan aksi potensial atrium dan peningkatan masa refrakter di nodus AV yang dimanfaatkan untuk mengakhiri aritmia arus pada nodus AV dan untuk mengendalikan denyut ventrikel pada fibrilasi atrium. Digoksin sangat bermanfaat pada fibrilasi atrium yang menyertai payah jantung, dimana pada keadaan ini pemberian antagonis kalsium atau -blocker sebagai antiaritmia dapat memperburuk fungsi jantung (Muchtar, 2007).

2.2 Farmakokinetik2.2.1 AbsorbsiDigoksin tersedia dalam bentuk sediaan tablet, kapsul, eliksir, dan injeksi. Dosis dan bioavailabilitas masing-masing bentuk sediaan dapat dilihat pada Tabel 2.2.Tabel 2. Dosis dan bioavailabilitas beberapa bentuk sediaan digoksin (Parker, 2008).Bentuk SediaanDosisBioavabilitas

Kapsul0,05; 0,1; 0,2 mg0,9 1,0

Tablet0,125; 0,25 mg0,5 0,9

Eliksir0,05 mg/mL0,75 0,85

Injeksi0,25; 0,1 mg/mL1,0

Untuk memperoleh efektivitas digoksin secara optimal, pasien yang mempunyai bakteri usus Eubacterium lentum memerlukan adanya peningkatan dosis. Hal ini disebabkan terjadinya pemecahan digoksin menjadi metabolit tidak aktif oleh bakteri tersebut (Arini, 2007).

2.2.2 DistribusiDigoksin memiliki volume distribusi yang besar, dimana sebagian besar obat berada di jaringan, khususnya pompa Na-K-ATPase di rangka dan otot jantung. Kurang lebih 25% digoksin berikatan dengan protein di plasma. Karena obat tidak banyak didistribusikan ke lemak tubuh, maka loading dose perlu dihitung berdasarkan berat badan ideal dan bukan berat badan pasien secara keseluruhan (Parker, 2008). Sebagian besar digoksin terakumulasi dalam jaringan dan bukan bersirkulasi dalam darah. Untuk itu, digoksin tidak tereliminasi secara efektif melalui proses dialisis, transfusi darah, atau kardiopulmonal bypass. Dengan demikian, tidak dibutuhkan adanya penyesuaian atau peningkatan dosis digoksin pada pasien yang mendapatkan hemodialisis (Arini, 2007 dan Kuwler, 2007).Digoksin dapat menembus sawar darah otak dan plasenta. Oleh karena itu, pemberian digoksin kepada ibu hamil memerlukan perhatian khusus (Kluwer, 2007).Pemberian digoksin memerlukan fase distribusi yang panjang, baik oral maupun intravena. Untuk mencapai onset, pemberian digoksin secara oral membutuhkan waktu 1,5 6 jam, sedangkan secara intravena membutuhkan waktu 15 30 menit. Peningkatan sementara kadar digoksin dalam serum selama fase distribusi tidak berkaitan dengan efek terapeutik atau efek samping obat (Parker, 2008). Untuk mencapai equilibrium kadar obat dalam serum dan jaringan, sampling darah sebaiknya dilakukan sesaat sebelum pemberian dosis berikutnya (Kluwer, 2007). Atau bila tidak memungkinkan, sampling darah dilakukan paling kurang 6 jam, atau disarankan lebih dari 12 jam setelah pemberian dosis digoksin terakhir (Parker, 2008).

2.2.3 MetabolismeKurang lebih hanya 16% dari dosis digoksin yang diberikan yang mengalami metabolisme (Kluwer, 2007). Metabolit utama dari digoksin adalah digoksigenin, digoksigenin bisdigitoksosida, digoksigenin monodigitoksosida, dan dihidrodigoksin.

2.2.4 EliminasiEliminasi digoksin dilakukan melalui ginjal. Pada pasien dengan fungsi ginjal normal, 60-80% dosis digoksin yang diberikan dieliminasi melalui filtrasi glomerular dan sekresi tubulus tanpa mengalami perubahan (Parker, 2008). Waktu paruh digoksin berkisar antara 36-48 jam sehingga diberikan sekali sehari dengan kadar mantap dicapai setelah satu minggu (Arini, 2007). Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, waktu paruh digoksin memanjang. Sebagai contoh, waktu paruh digoksin pada pasien anuria mencapai 5 hari (Parker, 2008). Dengan demikian, diperlukan adanya penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Selain itu, penyesuaian dosis digoksin juga perlu dilakukan pada pasien usia lanjut, karena volume distribusi dan klirens obat yang menurun (Arini, 2007).Pada pasien bayi dan anak kurang dari 10 tahun, klirens digoksin berkurang. Oleh karena itu, membagi dosis harian menjadi beberapa kali pemberian dapat menjadi salah satu pilihan (Kluwer, 2007).2.2.5 Interaksi ObatBeberapa interaksi obat yang berpengaruh besar pada efektivitas digoksin adalah sebagai berikut (Arini, 2007):a. Kuinidin, verapamil, dan amiodaron akan menghambat P-glikoprotein, yakni transporter di usus dan di tubulus ginjal sehingga terjadi peningkatan absorbsi dan penurunan sekresi digoksin, akibatnya kadar plasma digoksin meningkat 70-100%.b. Rifampisin menginduksi transporter P-glikoprotein di usus sehingga terjadi penurunan kadar plasma digoksin.c. Aminoglikosida, siklosporin, dan amfoterisin B menyebabkan gangguan fungsi ginjal sehingga ekskresi digoksin melalui ginjal terganggu akibatnya terjadi peningkatan kadar plasma digoksin.d. Kolestiramin, kaolin-pektin, dan antasida akan mengadsorpsi digoksin sehingga absorpsi digoksin menurun.e. Diuretik tiazid dan furosemid menyebabkan hipokalemia sehingga meningkatkan toksisitas digoksin.f. -blocker, verapamil, dan diltiazem bersifat aditif dengan digoksin dalam memperlambat konduksi AV dan mengurangi efek inotropik digoksin.

2.3 Toksisitas Pedoman American College of Cardiology/American Heart Association menyatakan bahwa pemberian digoksin kepada pasien rawat jalan dengan gejala dan tanda gagal jantung atau kepada pasien yang menerima terapi gawat darurat digoksin saat serangan memerlukan pengawasan khusus. Meski efek toksik diperoleh dengan kadar obat dalam serum > 2ng/mL, efek toksik mungkin saja terjadi pada pasien dengan gangguan keseimbangan cairan seperti hipokalemia, hipomagnesia, atau hipotiroid (Dasgupta, 2012). Digoksin memiliki berbagai tanda dan gejala efek toksik, baik yang berkaitan dengan organ jantung, maupun tidak, diantaranya sebagai berikut (Parker, 2008):a. Efek nonkardiak (sebagian besar berkaitan dengan CNS) Anoreksia, nausea, muntah, dan rasa nyeri pada bagian abdomen. Gangguan penglihatan. Fotofobia dan masalah dengan interpretasi warna. Fatique, lemah, pusing, neuralgia, bingung, delirium, dan psychosis.b. Efek kardiak akibat terjadinya penurunan potensial istirahat (akibat hambatan pompa Na) disertai terjadinya afterpotential yang mencapai ambang rangsang, penurunan konduksi AV dan peningkatan automatisitas. Aritmia ventrikular. Takikardi ventrikular, fibrilasi ventrikular Atrioventrikular (AV) blok Sinus bradikardiApabila pasien mengalami efek toksik, aritmia ventrikular menjadi penanda pertama sebelum penanda lain yang berkaitan dengan CNS atau sistem gastrointestinal teridentifikasi. Aritmia ventrikular berpotensi menyebabkan kematian mendadak (Parker, 2008). Oleh karena itu, perlu dilakukan pengawasan ketat terhadap kadar terapeutik digoksin dalam darah untuk mencegah terjadinya toksisitas.Pasien beresiko tinggi mengalami efek toksik digoksin, jika memenuhi satu atau lebih kriteria berikut (Parker, 2008):a. Gangguan fungsi ginjal.b. Berat badan kurang dari berat badan ideal.c. Pasien geriatri.d. Mengkonsumsi obat-obat yang berpotensi berinteraksi dengan digoksin, contohnya diuretik.e. Gangguan keseimbangan cairan seperti hipokalemia, hipomagnesia, dan hiperkalemia.f. Hipotiroid, iskemik jantung, dan asidosis.

2.4 Pemantauan Kadar Obat dalam DarahApabila dibandingkan dengan antiaritmia lain, konsentrasi terapeutik serum digoksin jauh lebih rendah yaitu 0,8 1,8 ng/mL, sementara konsentrasi serum antiaritmia lain dinyatakan dalam miligram per mililiter. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemantauan kadar terapeutik digoksin dalam serum, dimana pengukuran kadar obat harus dapat dilakukan seakurat mungkin (Dasgupta, 2012).Pengukuran dapat dilakukan melalui metode kromatografi (GC, MS, HPLC, LC/MS, LC/MS/MS) atau immunoassay komersial yang sudah banyak dilakukan di laboratorium klinik. Distribusi digoksin yang panjang mengharuskan pengambilan sampel dilakukan sesaat sebelum pemberian dosis berikutnya ( 24 jam) atau sebisa mungkin 6 jam setelah pemberian obat.Pengukuran kadar digoksin dalam darah dilakukan menggunakan metode immunoassay komersial yang sudah umum dilakukan di laboratorium klinik. Beberapa hal yang mempengaruhi metode pengukuran tersebut adalah sebagai berikut (Dasgupta, 2012):a. Senyawa Metabolit DigoksinMetabolit utama dari digoksin adalah digoksigenin, digoksigenin bisdigitoksosida, digoksigenin monodigitoksosida, dan dihidrodigoksin. Senyawa metabolit tersebut turut serta berikatan dengan antibodi yang digunakan dalam immunoassay, sehingga mengganggu pengukuran kadar obat dalam darah dan memberikan hasil yang kurang akurat. Jika dibandingkan dengan hasil pengukuran HPLC, besar kesalahan immunoassay sangat beragam, bergantung pada spesifitas antibodi yang digunakan dalam pengukuran. Namun umumnya, hasil pengukuran immunoassay memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan HPLC, contohnya digoksigenin memiliki cross-reactivity sebesar 0,7% dengan ACSTM Assay (Siemens Medical Diagnostic), 103% dengan StratusTM Assay (Baxter), dsb. Selain itu, hasil pengukuran dengan EIA (Johnson and Johnson) menunjukkan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan FPIA (Abbot Laboratories). Hal ini disebabkan adanya kehadiran HAMA (Human Anti Mouse Antibody) pada pengukuran EIA yang menggunakan antibodi tikus. Hasil penelitian menyebutkan bahwa pengukuran konsentrasi serum digoksin dengan metode imunoassay dapat disetarakan dengan metode kromatografi pada pasien jantung normal. Namun bagi pasien jantung dengan gangguan fungsi ginjal, hati, dan/atau mengalami diabetes, pengukuran dengan immunoassay memberikan hasil lebih tinggi ( 0,3 1,1 ng/mL) dibanding kromatografi.b. Senyawa Endogen Imunoreaktif Mirip Digoksin (Digoxin-Like Immunoreactive Substances/ DLIS)Hingga kini, belum diketahui dengan pasti peran DLIS, namun senyawa endogen ini diketahui dapat menghambat pompa Na-K-ATPase dan diprediksi sebagai hormon natriuretik dengan struktur pendukung mirip steroid. DLIS ditemukan pada pasien dengan gangguan hati, mengalami gejala uremia, hipertensi esensial, resipien transplantasi organ, dan eklamsia. Pengaruh DLIS paling besar terjadi pada pengukuran kadar digoksin dengan metode RIA dan FPIA. Namun gangguan ini dapat diminimalisasi dengan mengukur kadar digoksin bebas dalam darah, salah satunya dengan metode MEIA (Microparticel Enzyme Immunoassay).

c. Diuretik SpironolaktonSpironolakton (antagonis kompetitif aldosteron) seringkali diberikan bersamaan dengan digoksin pada pasien gagal jantung kongestif. Kemiripan struktur keduanya mempengaruhi pengukuran kadar digoksin dalam serum (Gambar 1.), baik interferensi positif, maupun negatif. Gambar 1. Struktur kimia Spironolakton dan DigoksinHasil pengamatan menyebutkan bahwa penggunaan spironolakton dosis rendah ( 25 mg/hari) tidak mempengaruhi pengukuran kadar serum digoksin menggunakan metode MEIA. Namun penggunaan spironolakton dosis tinggi ( 200 mg/hari) mempengaruhi konsentrasi digoksin secara signifikan. EMIT (Roche Diagnostics) dan ARCHITECT (Abbot Laboratories) dapat menjadi alternatif karena sama sekali tidak dipengaruhi oleh penggunaan spironolakton secara bersamaan.d. DigibindTM dan DigiFabTM (belum dipasarkan di Indonesia)DigibindTM dan DigiFabTM adalah fragmen antibodi antidigoksin yang diperkenalkan sejak tahun 2001 sebagai obat penyelamat pada pasien yang mengalami overdosis digoksin. Keduanya memiliki kemiripan struktur dengan digoksin sehingga mempengaruhi pengukuran kadar digoksin secara signifikan. Untuk itu, perlu dilakukan pengukuran kadar digoksin bebas dalam darah.e. Suplemen Herbal Hingga saat ini, baru Chan Su dan Lu-Shen-Wa yang dipastikan mengganggu pengukuran kadar digoksin. Kedua jenis suplemen herbal ini belum dipasarkan di Indonesia.

2.5 Penyesuaian Dosis2.5.1 Dosis AwalDosis awal digoksin dapat dihitung menggunakan data farmakokinetik populasi yang sudah dipercaya. Dosis awal digoksin masing-masing sediaan adalah sebagai berikut (Kluwer, 2007) :Tabel 3. Dosis Awal Beberapa Sediaan Digoksin

Bentuk SediaanDosis AwalOnsetEfek MaksimumInterval Waktu Pemberian Dosis Berikutnya

Tablet0,5 0,75 mg0,5 2 jam2 6 jam6 8 jam dengan dosis 0,125 0,375 mg

Kapsul0,4 0,6 mg0,5 2 jam2 6 jam6 8 jam dengan dosis 0,1 0,3 mg

Injeksi0,4 0,6 mg5 30 menit1 4 jam6 8 jam dengan dosis 0,1 0,3 mg

Apabila diinginkan untuk mengganti bentuk sediaan, bioavailabilitas masing-masing sediaan perlu diperhitungkan untuk menentukan dosis digoksin yang diberikan. Namun hal tersebut tidak diperlukan apabila ingin mengganti bentuk sediaan injeksi dengan kapsul (Kluwer, 2007).

2.5.2 Dosis Pemeliharaana. TabletTabel 4. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Tablet Digoksin pada Pasien Dewasa (mcg)Ccr terkoreksi (mL/menit/70 kg)aBerat Badan Ideal (kg/lbs)Waktu yang dibutuhkan sebelum steady-state tercapai (hari)b

50/11060/13270/15480/17690/198100/220

062,5125125125187,5187,522

10125125125187,5187,5187,519

20125125187,5187,5187,525016

30125187,5187,5187,525025014

40125187,5187,525025025013

50187,5187,525025025025012

60187,5187,525025025037511

70187,525025025025037510

80187,52502502503753759

90187,52502502503755008

1002502502503753755007

Keterangan: a. Perhitungan dosis berlaku bagi pasien dewasa dengan berat badan ideal 70 kg atau luas permukaan tubuh 1,73m2. b. Tidak diberikan loading dose terlebih dulu.

Tabel 5. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Tablet Digoksin pada Pasien AnakUsiaDosis Pemeliharaan Rutin Harian (mcg/kg)

2 5 tahun10 15

5 10 tahun7 10

> 10 tahun3 5

b. KapsulBesarnya bioavailabilitas digoksin dalam sediaan kapsul yang hampir sama dengan injeksi menghendaki dosis pemeliharaan cukup sebesar 80% dari tablet atau eliksir.Tabel 6. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Kapsul Digoksin pada Pasien Dewasa (mcg)Ccr terkoreksi (mL/menit/70 kg)Berat Badan Ideal (kg/lbs)Waktu yang dibutuhkan sebelum steady-state tercapai (hari)a

50/11060/13270/15480/17690/198100/220

05010010010015015022

1010010010015015015019

2010010015015015020016

3010015015015020020014

4010015015020020020013

5015015020020020020012

6015015020020020030011

7015020020020020030010

801502002002003003009

901502002002003003508

1002002002003003003507

Keterangan: a. Perhitungan dosis berlaku bagi pasien dewasa dengan berat badan ideal 70 kg atau luas permukaan tubuh 1,73m2. b. Tidak diberikan loading dose terlebih dulu.

Tabel 7. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Kapsul Digoksin pada Pasien AnakUsiaLoading Dose (mcg/kg)Dosis Pemeliharaan Rutin Harian (mcg/kg)

2 5 tahun25 3525 35% dari loading dose

5 10 tahun15 30

> 10 tahun8 12

c. EliksirSediaan eliksir biasa diberikan pada pasien anak dengan dosis sebagai berikut:Tabel 8. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Sediaan Digoksin Eliksir pada Pasien AnakUsiaLoading Dose Oral (mcg/kg)Dosis Pemeliharaan Rutin Harian (mcg/kg)

Prematur20 3020 30% dari loading dose oral

Cukup Bulan25 3525 35% dari loading dose oral

1 24 bulan35 60

2 5 tahun30 40

UsiaLoading Dose Oral (mcg/kg)Dosis Pemeliharaan Rutin Harian (mcg/kg)

5 10 tahun20 35 25 35% dari loading dose oral

> 10 tahun10 15

d. InjeksiTabel 9. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Sediaan Digoksin Injeksi pada Pasien Dewasa (mcg)Ccr terkoreksi (mL/menit/70 kg)Berat Badan Ideal (kg/lbs)Waktu yang dibutuhkan sebelum steady-state tercapai (hari)a

50/11060/13270/15480/17690/198100/220

0757510010012515022

107510010012515015019

2010010012515015017516

3010012515015017520014

4010012515017520022513

5012517517520022525012

6012517517520022525011

7015020020022525027510

801502002002502753009

901502002252503003258

1001752002502753003507

Keterangan: a. Perhitungan dosis berlaku bagi pasien dewasa dengan berat badan ideal 70 kg atau luas permukaan tubuh 1,73m2. b. Tidak diberikan loading dose terlebih dulu.

Tabel 10. Dosis Pemeliharaan Rutin Harian Sediaan Digoksin Injeksi pada Pasien Anak (mcg)UsiaLoading Dose IV (mcg/kg)Dosis Pemeliharaan Rutin Harian (mcg/kg)

Prematur15 - 2520 30% dari loading dose IV

Cukup Bulan20 3025 35% dari loading dose IV

1 24 bulan30 50

2 5 tahun25 35

5 10 tahun15 30

> 10 tahun8 12

Rekomendasi dosis pemeliharaan digoksin memerlukan beberapa pertimbangan. Hal ini dikarenakan pada beberapa pasien memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap digoksin, bergantung pada kondisi pasien dan/atau penggunaan obat lain secara bersamaan. Dalam menentukan dosis digoksin, beberapa faktor perlu diperhatikan, seperti (Kluwer, 2007):a. Berat Badan Perhitungan dosis dilakukan berdasarkan berat badan ideal pasien, bukan berat badan total.b. Fungsi Ginjal Perhitungan dosis dilakukan berdasarkan besarnya klirens kreatinin (Clcr) pasien.c. Usia Penetapan dosis digoksin untuk pasien bayi dan anak berbeda dengan geriatri.d. Adanya penyakit lain atau penggunaan obat tertentu secara bersamaan yang dapat mempengaruhi profil farmakokinetik atau farmakodinamik digoksin.Perhitungan Dosis (Bauer, 2008):a. Klirens Digoksin Cl (mL/menit) = 1,303 (Clcr (mL/menit) + Clm**Clm adalah klirens metabolik dimana Clm = 40 mL/menit pada pasien tanpa atau gangguan gagal jantung ringan, dan Clm = 20 mL/menit pada pasien dengan gangguan jantung menengah hingga berat.b. Volume DistribusiVolume distribusi digoksin ditentukan berdasarkan kondisi ginjal pasien, dimana:Vd (L) = 226 + [298(Clcr (mL/menit)/(29,1+Clcr (mL/menit).c. Rasio eliminasi (k) = Cl/Vdd. Dosis DigoksinD/ = (Css.Cl)/FCss ditentukan berdasarkan tingkat keparahan penyakit yang diderita pasien, target terapi, dan menghindari terjadinya efek samping. Umumnya bagi pasien gagal jantung diharapkan Css dosis awal mencapai 1 ng/mL atau kurang, sedangkan pada pasien fibrilasi atrial Css dosis awal mencapai 1 1,5 ng/mL.e. Penyesuaian Dosis

Keterangan: Dnew adalah dosis baru yang hendak dihitung, Dold adalah dosis yang biasa digunakan, Css adalah konsentrasi steady-state.Contoh perhitungan dosis (asumsi kadar obat dalam darah) :Bapak AN berusia 72 tahun, memiliki berat badan 83 kg dengan tinggi badan 167 cm. Bapak AN didiagnosis menderita fibrilasi atrium, beliau memperoleh digoksin dengan dosis 250 mg/hari. Berdasarkan hasil laboratorium, diketahui serum kreatinin (Scr) pasien adalah 2,5 mg/dL. Berapakah asumsi kadar obat dalam darah?

1. Clcr = (140 usia) BB/ usia (Scr)= (140 72)*83/(72*2,5)= 31 mL/menit

2. Cldigoksin = 1,303 (Clcr) + Clm= 1,303 (31 mL/menit) + 40 mL/menit= 80 mL/menit

3. Css = F (D/)/ Cldigoksin= 0,7 (250 mg/hari)/ 80 mL/menit*60 menit/1 jam*24 jam/hari= 175 mg/ 115.200 mL= 0,0015 mg/mL= 1,5 ng/mLBAB IIIMONITORING TERAPI OBAT PROKAINAMID

3.1 FarmakologiProkainamid merupakan salah satu obat antiaritmia yang tergabung dalam golongan IA bersama dengan obat lainnya, yaitu kuinidin dan disopiramid. Obat antiaritmia kelas IA menghambat arus masuk ion Na+, menekan depolarisasi fase 0, dan memperlambat kecepatan konduksi serabut Purkinje miokard ke tingkat sedang pada nilai Vmax istirahat normal (Muchtar, 2007).

3.2 Farmakokinetik Prokainamid diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna setelah pemberian peroral pada orang normal. Kadar puncak dicapai 45 70 menit setelah meminum kapsul, tetapi sedikit lebih lambat setelah meminum tablet. Dalam minggu pertama setelah infark miokard akut, absorbsi oral mungkin buruk, tercapainya kadar puncak mungkin sangat terlambat, dan kadar obat mungkin tidak cukup untuk mengontrol aritmia. Formulasi lepas lambat prokainamid dapat meningkatkan lama kerja menjadi 8 jam atau lebih, tetapi bioavailabilitasnya lebih rendah dari kapsul standar.Sekitar 20% prokainamid terikat protein dalam plasma. Obat ini dengan cepat didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh kecuali ke otak dan volume distribusinya adalah 2L/kg. Akan tetapi, nilai ini dapat menurun banyak pada pasien gagal jantung atau syok. Kompensasi terhadap perubahan ini harus diperhitungkan dalam penentuan dosis.Prokainamid dieliminasi melalui ekskresi ginjal dan metabolisme di hati. Jalur metabolisme utama adalah melalui N-asetilasi oleh enzim N-asetiltransferase yang pada populasi terdistribusikan secara bimodal. Akan tetapi, ada sistem asetilasi lain yang tidak memperlihatkan variasi genetik dan juga berperan dalam metabolisme prokainamid. Pada asetilator cepat atau pada insufisiensi ginjal, 40% atau lebih dosis prokainamid dapat diekskresikan sebagai N-asetil prokainamid (NAPA), dan kadar NAPA dalam plasma dapat menyamai atau melebihi kadar obat asal. Senyawaan ini yang telah diberi nama acecainide, efek antiaritmianya kurang kuat, dan secara kualitatif mempunyai efek antiaritmia yang berbeda. Walaupun acecainide memperpanjang lama potensial aksi serabut Purkinje, efeknya lebih kecil terhadap Vmax dan automatisitas. Oleh karena itu, untuk pengelolaan pasien secara optimal, sebaiknya tersedia data tentang kadar prokainamid dan NAPA.Sampai sekitar 70% dari dosis prokainamid dieliminasi dalam bentuk yang tak berubah dalam urin. Prokainamid adalah basa lemah yang mengalami filtrasi, ekskresi, dan reabsorbsi di ginjal. Peningkatan pH urin menyebabkan penurunan ekskresi prokainamid. Waktu paruh eliminasi prokainamid adalah 3 jam.Bila fungsi intrinsik ginjal menurun, kadar prokainamid dalam plasma meningkat nyata. Akan tetapi, bila ureum darah meningkat, fraksi dosis prokainamid yang dieksresi secara utuh menurun, dan NAPA dapat berakumulasi ke tingkat yang berbahaya.

3.3 Efek SampingEfek samping kardiovaskularKadar prokainamid dalam plasma yang berlebihan menimbulkan perubahan EKG yang mirip seperti pada kuinidin. Untungnya gejala perpanjangan QT yang nyata dan torsades de pointes lebih jarang terlihat dan biasanya terjadi pada pasien gagal ginjal ketika kadar NAPA dalam plasma meningkat tajam. Sama seperti kuinidin, prokainamid memperlambat frekuensi denyut atrium pada fibrilasi atrium, sebab itu dapat menimbulkan takikardia paradoksal di ventrikel.Bila prokainamid diberikan intravena dapat terjadi hipotensi. Infus intermitten atau kontinyu dengan dosis tidak melebihi 600 mg yang diberikan dalam 25 30 menit umumnya tidak menimbulkan hipotensi. Kadar toksik prokainamid dapat menurunkan kerja jantung dan mmepermudah timbulnya hipotensi.Efek samping nonkardiovaskularSelama pemberian prokainamid per oral, gejala saluran cerna seperti anoreksia, mual, muntah, dan diare dapat terjadi, tetapi gejala ini lebih jarang terjadi dibandingkan penggunaan kuinidin. Prokainamid dapat menimbulkan efek samping SSP seperti pusing, psikosis, halusinasi, dan depresi.Kadang-kadang demam muncul selang beberapa hari pengobatan dimulai, sehingga pemberian prokainamid tidak dapat dilanjutkan. Dalam beberapa minggu pertama dapat terjadi agranulositosis diikuti infeksi fatal. Sebanyak 20 - 25% kasus kematian disebabkan karena hal ini. Untuk itu, pada 3 bulan pertama pemberian prokainamid, perlu dilakukan perhitungan darah total dan leukosit terpisah setiap minggu, dan secara teratur pada bulan-bulan berikutnya. Jika terjadi tanda-tanda infeksi (demam, menggigil, radang tenggorokan, dan stomatitis), memar, dan pendarahan perlu dilakukan pengecekan segera. Mialgia, angioedema, rash, vaskulitis jari, dan fenomena Reynaud dapat juga ditimbulkan oleh prokainamid.Prokainamid dapat menyebabkan gejala yang menyerupai Lupus Eritematosus Sistemik (SLE). Hal ini bisa terjadi apabila prokainamid digunakan dalam jangka waktu yang panjang. Hal ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring terhadap titer ANA (Anti Nuclear Antibody). Artralgia merupakan gejala yang paling umum; perikarditis, gangguan pleura, demam, dan hepatomegali adalah gejala-gejala yang sering dijumpai. Komplikasi paling berat ialah terjadinya pendarahan perikardial. Gejala SLE hilang setelah pemberian prokainamid dihentikan.

3.4 Pemantauan Kadar Obat dalam DarahObat-obat dalam kelas IA mempunyai spektrum kerja yang luas dan efektif untuk pengobatan jangka panjang dan jangka pendek aritmia supraventrikel dan ventrikel. Individualisasi dosis biasanya diperlukan sejak dari permulaan pengobatan, sebab kadar plasma dan respons antiarimtik berbeda untuk tiap pasien. Rekaman Hotler EKG selama 24 jam perlu dilakukan beberapa kali untuk meyakinkan kontrol aritmia yang memadai. Demikian juga perlu dilakukan pengawasan cermat akan kemungkinan terjadinya reaksi toksik (Muchtar, 2007).Pemantauan kadar prokainamid perlu dilakukan karena rasio terapeutik dan toksisitasnya rendah. Selain itu, efek samping yang dimiliki prokainamid juga berbahaya, dimana prokainamid dapat menyebabkan hipersensitifitas dan perpanjangan QRS. Selain itu, efek toksik juga dapat terjadi pada pasien dengan gangguan ginjal dimana terjadi akumulasi prokainamid dan metabolit NAPA.Pengukuran kadar prokainamid dalam darah dapat dilakukan dengan metode immunoassay yang berkorelasi baik dengan pemeriksaan menggunakan kromatografi cair. Namun diperlukan pemantauan lebih ketat pada penggunaan prokainamid bersamaan dengan ofloksasin. Hal ini dikarenakan antibiotik flourokuinolon ini dapat menghambat klirens prokainamid di ginjal dan meningkatkan konsentrasi plasma hingga 21% (Dasgupta, 2012).

3.5 Penyesuaian DosisProkainamid hidroklorida tersedia dalam bentuk tablet dan kapsul (250 500 mg) dan sediaan lepas lambat (250 1000 mg). Suntikan prokainamid hidroklorida berisi 100 500 mg/mL dan digunakan untuk suntikan intramuskular dan intravena.

Dosis Prokainamid ParenteralDiberikan dalam keadaan emergensi (IV) atau bagi pasien dengan kegagalan oral (IM) dengan pengawasan ketat.Tabel 11. Dosis prokainamid parenteralJenis InfusKadar AkhirVolume InfusTotal Prokainamid Kecepatan Infus

Loading Infusion20 mg/mL50 mL1000 mg1 mL/menit (untuk pemberian 25 30 menit)

Maintenance Infusion2 mg/mL atau 4 mg/mL500 mL250 mL1000 mg1000 mg1 3 mL/menit0,5 1,5 mL/menit

Dosis Prokainamid TabletDosis normal: 50 mg/kg/hari dengan dosis terbagi tiap 3 jam sekali.Tabel 12. Dosis prokainamid tabletBerat Badan (kg)Dosis untuk pemberian dengan selang waktu 3 jam (formulasi standar)Dosis untuk pemberian dengan selang waktu 6 jam (formulasi standar dan sustained release)Dosis untuk pemberian dengan selang waktu 12 jam (formulasi sustained release saja)

40 50 250 mg500 mg1 g

60 70375 mg750 mg1,5 g

80 90500 mg1 g 2 g

>100625 mg1,25 g2,5 g

Pasien Pediatrik: 15 50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi 3-6 jam; maksimum 4g/hari.Kadar plasma yang dibutuhkan untuk memperoleh efek antiartimia biasanya antara 3 10 mcg/mL dan kadang-kadang lebih tinggi. Kemungkinan toksisitas menjadi lebih besar bila kadar plasma meningkat di atas 8 mcg/mL. Efek prokainamid terhadap jantung diperkuat bila kadar K+ plasma meningkat. Penyesuaian dosis diperlukan dengan mempertimbangkan:a) Usia pasienb) Perkembangan penyakit jantungc) Fungsi ginjalPada aritmia akut atau tidak stabil diperlukan prokainamid IV untuk kecepatan, ketepatan, dan efek yang jelas. Loading dose total tidak pernah diberikan secara IV tunggal karena dapat menyebabkan hipotensi. Suatu cara cepat dan aman untuk memperoleh kadar efektif dalam plasma adalah pemberian intravena intermitten: 100 mg disuntikkan selama 2 4 menit, tiap 5 menit sampai aritmia terkontrol, atau efek samping terlihat, atau sampai dosis total (1000mg) tercapai tanpa ada perbaikan. Interval pemberian setiap 5 menit memberikan kesempatan melakukan pemeriksaan tekanan darah dan EKG sehingga kemungkinan terjadinya hipotensi berat atau pelebaran QRS dapat dihindari.Untuk terapi oral jangka panjang, biasanya diperlukan dosis total 3 6 g/hari. Karena waktu paruh eliminasinya pendek (3 jam pada orang normal, 5-8 jam pada pasien penyakit jantung), obat ini perlu diberikan lebih sering. Akan tetapi, pemberian prokainamid setiap 6-8 jam biasanya memadai. Kadar mantap tercapai dalam satu hari karena waktu paruhnya pendek.Monitoring dilakukan dengan memantau beberapa faktor berikut ini:a) Kadar Prokainamid dalam darahb) Tanda Vital, khususnya tekanan darah. Pemberian prokainamid secara IV berpotensi besar menyebabkan hipotensi ekstrem.c) ECGDiperlukan perhatian lebih apabila terjadi pemanjangan kompleks QRS 25%. Jika kompleks QRS mengalami pemanjangan 50% dari kondisi normal, sebaiknya prokainamid dihentikan.d) Kadar NAPA, dimana akumulasinya berpotensi menyebabkan efek toksik.e) Perhitungan darah totalHal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya agranulositosis yang cenderung menyebabkan 20 - 25% kasus kematian.

BAB IVMONITORING TERAPI OBAT LIDOKAIN

4.1 FarmakologiBerbeda dengan obat antiaritmia golongan IB, lidokain bekerja dengan mempersingkat repolarisasi. Obat antiaritmia kelas ini sedikit sekali mengubah depolarisasi fase 0 dan kecepatan konduksi di serabut purkinje bila Vm normal. Akan tetapi efek penekanan obat kelas IB terhadap parameter ini sangat diperkuat bila membran terdepolarisasi atau bila frekuensi eksilasi dinaikkan (Muchtar, 2007). Lidokain hanya digunakan untuk pengobatan aritmia ventrikel, terutama di ruang perawatan intensif. Lidokain efektif terhadap aritmia ventrikel yang disebabkan oleh infark miokard akut, bedah jantung terbuka, dan digitalis.

4.2 FarmakokinetikWalaupun lidokain diserap dengan baik setelah pemberian peroral, obat ini mengalami metabolisme yang ekstensif sewaktu melewati hati (efek lintas pertama), dan hanya sepertiga yang dapat mencapai sirkulasi sistemik. Banyak pasien yang mengalami mual, muntah, dan gangguan perut setelah pemberian peroral, sehingga lidokain tidak diberikan secara oral. Namun obat ini hampir sempurna diserap setelah pemberian intramuskular.Tabel 13. Dosis lidokainCara PemberianDosis LidokainKeterangan

IM300 mg dengan konsentrasi cairan 10%Sebisa mungkin segera diganti ke IV atau antiaritmia oral lain; bila dibutuhkan dapat diberikan dosis IM kedua pada 60 90 menit setelahnya.

IVIV Bolus50 100 mg dengan kecepatan 25 50 mg/menitDosis maksimal: 200 300 mg/jam; dibutuhkan monitoring ECG ketat.

Infussion1 4 mg/menit (20 50 mcg/kg/menit)Pada pasien gagal jantung kongestif, berusia >70 tahun, dan mengalami gangguang fungsi ginjal dan hati, dosisnya sebaiknya diturunkan.

PediatrikIV IV Bolus1 mg/kgDosis maksimal: 5 mg/kg

Infussion30 mcg/kg/menit

Sekitar 70% lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan -1 acid glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume distribusi adalah 1 L/kg; volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada lidokain yang diekskresi secara utuh dalam urin. Deetilasi di hati menghasilkan metabolit yang aktif dan tidak aktif. Penyakit hati yang berat atau perfusi yang menurun ke hati menurunkan kecepatan metabolisme. Klirens lidokain mendekati kecepatan aliran darah di hati, sehingga perubahan aliran darah di hati akan mengubah kecepatan metabolisme. Klirens lidokain dapat menurun bila infus berlangsung lama. Waktu paruh eliminasi adalah sekitar 100 menit.Obat-obat yang bersifat basa dapat menggantikan lidokain dari ikatannya pada -1 acid glycoprotein. Kadar lidokain plasma meninggi pada pasien yang menerima simetidin.

4.3 ToksisitasObat antiaritmia kelas IB mempunyai efek samping kardiovaskular yang lebih ringan dibanding obat kelas IA. Efek samping kardiovaskular sangat sedikit. Efek samping utama lidokain adalah terhadap SSP. Pada kadar 5mcg/mL, gejala SSP seperti disosiasi, parestesia, mengantuk, dan agitasi tidak jelas terlihat. Namun pada kadar yang lebih tinggi dapat menyebabkan pendengaran berkurang, disorientasi, kedutan otot, kejang, dan henti napas. Bila terlihat gejala di atas, kecepatan infus harus diturunkan.

4.4 Pemantauan Kadar Obat dalam DarahPemantauan kadar lidokain dalam darah hanya dilakukan kepada pasien yang menggunakan lidokain dalam jangka waktu panjang, yaitu lebih dari 24 jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya efek toksik yang berbahaya bagi pasien. Pengukuran kadar obat dapat dilakukan melalui metode immunoassay, kromatografi gas, atau kromatografi HPLC yang bebas dari gangguan.Lidokain dimetabolisme menjadi metabolit aktif monoethylglycinexylidide dan glycinexylidide. Meski reaktivitasnya lebih kecil dibanding senyawa induk, namun hasil penelitian menyebutkan bahwa pengukuran kadar lidokain dalam darah dengan metode immunoassay dapat mengalami reaktivitas silang dengan 3-hydroxy monoethylglycinexylidide. Lidokain terikat kuat dengan -1 acid glycoprotein. Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal, disfungsi hati, infark miokard, dan pasien yang mengkonsumsi antikonvulsan, terjadi peningkatan konsentrasi -1 acid glycoprotein dalam serum. Dengan demikian, jumlah senyawa lidokain bebas dalam darah menjadi berkurang. Untuk itu dibutuhkan konsentrasi lidokain total yang lebih tinggi dari kadar obat yang direkomendasikan (1,5 5,0 mcg/mL). Direkomendasikan dilakukannya pengukuran kadar lidokain bebas dalam darah, khususnya bagi pasien infark miokard yang tidak menerima dosis terapi standar (Dasgupta, 2012).

BAB VKESIMPULAN

Sebagian besar obat-obat golongan antiaritmia memiliki rentang terapeutik yang sempit dan efek toksik berbahaya yang dapat mengancam keselamatan pasien. Oleh karena itu dibutuhkan adanya pemantauan kadar obat dalam darah atau yang biasa dikenal dengan Therapeutic Drug Monitoring (TDM), diantaranya digoksin, prokainamid, dan lidokain.Sebagian besar pemantauan terapi obat-obat tersebut dalam darah dilakukan melalui kit immunoassay yang sudah tersedia secara komersial dan/atau teknik kromatografi (HPLC, GC, GC / MS atau LC / MS) yang masih terbatas di rumah sakit besar atau pusat penelitian. Sedangkan antiaritmia lainnya memiliki margin terapi yang lebih luas dan risiko toksisitas yang lebih rendah di dosis terapi, sehingga tidak memerlukan pemantauan rutin konsentrasi obat di serum atau plasma.

DAFTAR PUSTAKA

Bauer, Larry A. (2008). Clinical Pharmacokinetics and Pharmacodynamics. Dalam: Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Weels, Barbara G., & Posey, L. Michael. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (Edisi 7, hal.24-25). United States: McGraw-Hill Companies, Inc.Dasgupta, A. (2012). Therapeutic Drug Monitoring. United States: Elsevier Inc.Kluwer, Wolters. (2007). Drug Facts and Comparison Pocket Version. United States: Wolters Kluwer Health.Muchtar, Armen, & Suyatna, F.D. (2007). Obat Antiaritmia. Dalam: Gunawan, S.G., R.Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5, hal. 314-340). Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Parker, Robert B., Rodgers, JO.E., & Cavallari, Larisa H. (2008). Heart Failure. Dalam: Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L., Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Weels, Barbara G., & Posey, L. Michael. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach (Edisi 7, hal.198-200). United States: McGraw-Hill Companies, Inc.Setiawati, Arini, & Nafrialdi. (2007). Obat Gagal Jantung. Dalam: Gunawan, S.G., R.Setiabudy, Nafrialdi, & Elysabeth. Farmakologi dan Terapi (Edisi 5, hal. 309-310). Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.