Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

103
UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG PROGRAM PASCASARJANA (S-2) PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL TAKE HOME Kode / Mata Kuliah : IPS 202 / Pengembangan Teori Sosial Semester : I Dosen Pembina : Drs. I Wayan Legawa, M.Si. SOAL : 1. PARADIGMA DALAM TEORI SOSIAL a. Apakah yang dimaksud dengan paradigma itu ? b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya perbedaan dalam paradigma ? c. Ada 4 varian teori yang berkaitan dengan paradigma fakta sosial, yang salah satunya adalah struktural fungsional ( Talcott parson, Robert K. Merton dan Niel Smelser ). Dalam teori itu dijelaskan bahwa prubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat didasarkan atas asumsi-asumsi. Sebut dan jelaskan asumsi-asumsi yang dimaksud dengan contoh perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. 2. Auguste Comte dianggap sebagai bapak Positivisme. Positivisme adalah faham filsafat yang cenderung membatasi pengetahuan manusia dengan memakai metode ilmu pengetahuan. a. Jelaskan peran Auguste Komte dalam merekonstruksi teori Positivisme ? b. Comte membedakan akal budi manusia dalam 3 tahap. Sebut dan Jelaskan !

description

Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Transcript of Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Page 1: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANGPROGRAM PASCASARJANA (S-2)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

TAKE HOME

Kode / Mata Kuliah : IPS 202 / Pengembangan Teori SosialSemester : IDosen Pembina : Drs. I Wayan Legawa, M.Si.

SOAL :

1. PARADIGMA DALAM TEORI SOSIAL

a. Apakah yang dimaksud dengan paradigma itu ?b. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya

perbedaan dalam paradigma ?c. Ada 4 varian teori yang berkaitan dengan paradigma

fakta sosial, yang salah satunya adalah struktural fungsional ( Talcott parson, Robert K. Merton dan Niel Smelser ). Dalam teori itu dijelaskan bahwa prubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat didasarkan atas asumsi-asumsi. Sebut dan jelaskan asumsi-asumsi yang dimaksud dengan contoh perubahan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia.

2. Auguste Comte dianggap sebagai bapak Positivisme. Positivisme adalah faham filsafat yang cenderung membatasi pengetahuan manusia dengan memakai metode ilmu pengetahuan.

a. Jelaskan peran Auguste Komte dalam merekonstruksi teori Positivisme ?

b. Comte membedakan akal budi manusia dalam 3 tahap. Sebut dan Jelaskan !

c. Masyarakat dalam Positivisme adalah masyarakat Industri. Bagaimana pendapat saudara tentang hal tersebut ? Jelaskan !

3. Berikut adalah beberapa istilah yang berkaitan dengan teori sosial. Siapa tokoh yang melahirkan teori tersebut ?, dalam konteks sosial yang bagaimana istilah tersebut muncul?.

Page 2: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

a. The Struggle For Liveb. Gemeinschaftc. Mode of Production and Suprastrukturd. Verstehen

Suicide

e. AGILf. Protestan Etic and Spirit of Capitalismg. Pattern Variabel

ooooooooooooooOOOOOOOOOOLGWOOOOOOOOOOooooooooo

Catatan : Dimohon tidak mengutip / mengopy jawaban teman yang lain.

Jika terdapat kasus demikian tidak mendapat nilai

Paradigma Fakta SosialPosted on April 24, 2009 by devirahman

Tokoh utama dari paradigma fakta social adalah Emile Durkheim Pokok persoalan dalam paradigma ini adalah fakta social. Paradigma ini muncul sebagai wujud rasa keprihatinan Durkheim terhadap pemikiran Comte dan Spencer karena telah membelokan sosiologi ke dalam cabang filsafat dengan mengedepankan ide-ide pemikiran tanpa didukung oleh data-data empiris. Durkheim menghendaki sosiologi menjadi disiplin ilmu otonom yang mempelajari kenyataan-kenyataan yang ada dalam masyarakat (fakta social).

Ritzer (2003:18) mengemukakan bahwa secara garis besar fakta social dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:

1.o

1. Stuktur sosial, yaitu jaringan hubungan social di mana interaksi social berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi

Page 3: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

social dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan.

2. Pranata sosial, yaitu norma-norma dan pola nilai yang terdapat dalam fakta social, misalnya: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, posisi, keluarga dll.

Ritzer (2003:21) juga mengemukakan empat teori dalam paradigma fakta social yaitu: teori fungsionalisme structural, teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro. Sebagaimana Ritzer (2003) dalam hal ini akan dibahas mengenai teori dominant atau yang disebut mula-mula yaitu:

o

1. Teori Fungsionalisme Structural, Tokoh utama teori ini adalah Robert K. Merton. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu system social yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu bagian akan mempengaruhi bagian yang lain.

2. Teori konflik, Tokoh utama teori ini adalah Ralp Dahrendorf. Menurut teori ini masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahanyang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya

Adapun metode yang biasa digunakan para penganut Paradigma Fakta Sosial adalah metode kuesioner dan interview.

Paradigma Definisi SosialPosted on April 24, 2009 by devirahman

Tokoh utama dari paradigma definisi social adalah Max Weber. Ritzer (2003:38) mengungkapkan bahwa pokok persoalan dalam paradigma ini adalah tindakan social. Tindakan social adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subjektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa Weber mengemukakan lima pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi, yaitu:

Page 4: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

1. Tindakan manusia, yang menurut si actor mengandung makna yang subjektif.

2. Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat subjektif.

3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.

4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.

5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Adapun tiga teori yang yang termasuk ke dalam paradigma definisi social adalah sebagai berikut:

1. Teori Aksi (Action theory), dalam teori ini diterangkan mengenai kesukarelaan.

2. Interaksionisme Simbolik (Simbolic Interaksionism), dalam teori ini diterangkan bahwa organisasi masyarakat manusia merupakan kerangka dimana terdapat tindakan social yang ditentukan oleh kelakuan individunya.

3. Fenomenology (Phenomenology), dalam teori ini diterangkan bahwa ada beberapa kerangka social yang nyata yang dapat dibedakan dari tindakan-tindakan manusia individual, namun demikian teori ini juga melihat bahwa manusia individual sebagai orang yang kreatif terhadap kenyataan dirinya sendiri.

Dari perbedaan teori paradigma definisi social di atas, terdapat persamaan sebagai berikut:

1. Manusia adalah merupakan actor yang kreatif dari realitas sosialnya.

2. Realitas social bukan merupakan alat yang statis daripada paksaan fakta social.

3. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas control dari fakta social.

Adapun metode yang biasa digunakan para penganut Paradigma Definisi Sosial adalah metode observasi.

Page 5: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Teori Sosial Dalam Tiga   Paradigma

Posted on 05 02, 2010 by divafz

(Upaya Memahami Pernik-pernik Sosial)

Realitas social merupakan realitas yang konpleks, oleh

karenanya kemudian manusia menjadi beragam dalam

menggambarkan dan menginterpretasikannya. Konpleksitas

realitas social ini paling tidak dapat kita buktikan dengan

banyaknya institusi, system, organisasi maupun norma social

yang dapat kita saksikan ditengah kehidupan kita. Dalam

perspektif fenomenologis misalnya mengatakan bahwa

konpleksitas itu berlaku karena secara individual manusia selalu

berusaha memaknai realitas yang dihadapi. Setiap manusia

memaknai realitas sekitarnya menurut kualitas individual yang

dimilikinya. Perbedaan individual (individual deferences)

merupakan sebuah kenyataan histories yang melekat dalam diri

manusia. Bahwa realitas social merupakan kumpulan individu-

individu yang syarat perbedaan.

Dengan demikian, konpliksitas realitas social sesungguhnya

konsekwensi logis dari konpleksitas individual. Konpleksitas

individual yang berimplikasi pada konpleksitas social tersebut

ternyata berpengaruh besar terhadap liku-liku tradisi ilmiah yang

telah dibangun oleh tokoh-tokoh masa lalu, mulai dari tradisi

filsafat sampai dengan tradisi ilmiah-positiv (modern) sekarang

ini, bahkan post modernisme sekalipun. Perbedaan bahkan

pertentangan yang terjadi antara Aristoteles dan gurunya Plato,

polemic rasionalisme, empirisme, idealisme, realisme,

pragmatisme dan lain-lain menegaskan betapa tradisi

pengetahuan dibangun diatas tradisi dialektika. Hegel

mengatakan bahwa selalu saja tesis itu disusul dengan

munculnya antitesis yang mengharuskan adanya sintesis,

Page 6: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

demikianlah kira-kira gambaran dialektika yang dimaksud. Dari

tradisi dealektika filosofis diataslah macam-macam paradigma

dan perspektif dalam ilmu sosial dibangun.

Dalam wacana sosiologi, Zainuddin Maliki dalam buku “Narasi

Agung: Tiga Teori Sosial Hegemonik” mengemukakan bahwa

paradigma teori social dapat dikelompokkan menjadi tiga

yakni paradigma Fakta Sosial, Definisi Sosial dan Perilaku

Sosial. Pada masing-masing paradigma terdapat beberapa

persepktif (teori) diantaranya:

A. Paradigma Fakta Sosial (August Comte, Herbert

Spencer) Perspektif Strukturalisme (Herbert Spencer)

Herbert Spencer pondasi strukturalnya dengan

memandang bahwa sebuah struktur masyarakat harus

melihat individu-individu yang ada di dalamnya sebagai

sebuah organisme. Hal ini berbeda dengan pandangan

pendahulunya Auguste Comte yang sangat anti-individual.

Memang ia bukanlah seorang yang ingin menjelaskan

masyarakat—tentang apa yang dibutuhkan mereka dan

apa yang harus mereka lakukan untuk memenuhinya—

namun ia memberikan pandangan-pandangannya dan

memfokuskannya kepada masalah objektif yang dihadapi

oleh masyarakat. Seperti masalah agama masyarakat

(yang juga menjadi masalah pelik bagi individu dalam

cosmos social); yang semula masyarakat pada masanya

menggunakan pandangan Teologis untuk melihat gejala-

gejala social yang ada disekitar mereka, ia ganti dengan

pandangan alami, ilmiyah dan positifistik untuk melihat

gejala-gejala social itu, itulah salah satu dari sekian banyak

usaha intelektual yang ia lakukan, untuk merubah struktur

sosial. Pada dasarnya ia banyak dipengaruhi oleh

Page 7: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

pandangan Naturalisme Darwin, terutama masalah seleksi

alam yang menjadi salah satu saduran dalam karya Darwin

The Origin Of Species, On The Natural Selection. Oleh

karena itulah ia menganggap bahwa kehiduapan

bermasyarakat merupakan hubungan organisme biologis—

atas landansan pandangan seperti itulah kemudian

Spencer kemudian tidak memperhatikan ranah mental

masyarakat. Sebagai organisme masyarakat tumbuh

layaknya organisme secara umum yang melewati

empat tahap; Tahap Pertambahan, Tahap Komplesifikasi,

Tahap Deferensiasi dan Tahap Integrasi. Pertama Tahap

Pertambahan, tidak seperti organisme yang mati,

masyarakat sebagai organsime hidup pasti akan

mengalami pertambahan atau penggandaan yang dimiliki

oleh organisme-organisme dalam kelompok-kelompok

social. Organisme kecil akan berevolusi menjadi organisme

besar, suku bangsa akan menjadi bangsa, desa akan

menjadi kota dan kelompok kecil akan menjadi kelompok

besar. Kedua Tahap Kompleksifikasi, setelah terjadinya

proses penggandaan atau pertambahan dalam organisme

hal selanjutnya yang akan terjadi adalah berubahnya

organisme tersebut menjadi lebih kompleks secara

simultan. Dari tahap inilah kemudian evolusi memasuki

tahap ketiga yaitu Tahap Deferensiasi, dimana secara

alami masing-masing organiseme akan menonjolkan

perbedaan struktur maupun fungsinya, seiring dengan

perkemabangan organisme tersebut. Dalam masyarakat

akan terlihat gejala (stratifikasi)—atau terbaginya

masyarakat kedalam kelas-kelas social. Tahap terakhir

Tahap Integrasi, yang merupakan titik tertinggi dari evolusi

masyarakat sebagai organsime, dimana masing-masing

organisme berdiri sendiri, yang disebabkan oleh perbedaan

Page 8: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

fungsi dan perbedaan status social yang terjadinya hal itu

tidak bisa terelakkan dalam masyarakat. Perspektif

Fungsionalisme (Talcott Parsons, William James)

Struktural Fungsional adalah sebuah paradigma yang bisa

dikatakan seumur dengan renaissance, atau bisa juga

dikatakan sebagai salah satu warna penghias ruang dan

utilitas renaissance. Paradigma ini muncul sebagai “adik

kecil” renaissance yang nantinya akan membesarkan nama

harum renaissance sebagai “kakak” yang baik dalam

mendidik adiknya. Dari analogi tadi kita mampu melihat

dengan jelas betapa dekat dan kuatnya hubungan yang

terjalin antara renaissance dengan teori fungsional itu.

Tidak hanya hubungan yang kita lihat namun juga

sumbangan teori itu kepada renaissance yang demikian

terasa sampai abad ini di seluruh belahan dunia terutama

barat yang merupakan Ibu kandung mereka. Teori ini

memandang bahwa masyarakat harus bertindak sesuai

dengan fakta social yang dialaminya bukan malah

menjauhi dan ingin kembali kemasa awal sejarah

dibangun. Namun mereka tidak akan mampu menghadapi

fakta itu dengan sehat dan menguntungkan tanpa adanya

media yang bisa dipergunakan untuk mensikapinya. Salah

satu tawaran Fungsionalisme untuk melihat atau

menghadapi fakta social adalah Positivistik. Dimana setiap

organ social memiliki peran-peran tertentu dalam tataran

positif tentunya. Tegasnya struktural fungsional adalah

penghargaan kepada setiap keberadaan dan fungsi

organisme dalam sturktur social untuk melakukan

peranannya masing-masing demi keberlangsungan

kehidupan social. Pandangan ini menekankan pada

keteraturan masing organisme atau kelompok social dalam

setiap interaksi yang terjadi diantara mereka. Perspektif

Page 9: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Struktural-konflik (Karl Marx) Hampir semua pandangan

dalam alat manalisis social (matter of social analysis)

terilhami dari teori Evolusi Darwin. Terutama—dalam

konteks social—perubahan, pertahanan diri maupun

kelompok, yang banyak mendapat wahyu dari seleksi alam

yang menjadi pemacu evolusi dalam pandangan Darwin.

Inilah pandangan yang terakhir dalam paradigma fakta

Sosial. Kalau ternyata kemudian dalam pandangan

Fungsional lebih menekankan pada keteraturan fungsi

dalam kaitannya dengan fungsi yang lain maka dalam

pandangan Struktural konflik ini lebih memperhatikan

ketegangan, komplik dan ketidak teraturan dalam fakta

social sebagai bahan kajiannya. Kami pikir adanya

perspektif ini lebih sebagai antitesis dari structural

fungsional, pandangan ini mengatakan bahwa pandangan

pendahulunya terlalu berbaik sangka (Positive Thinking)

terhadap Fakta social, yang menurutnya merupakan

keteraturan-ketaraturan dalam social, namun mereka tidak

melihat bahwa dibalik keteraturan itu terdapat berbagai

chaos yang melatari, itulah kemungkinan yang sekaligus

diyakini sebagai elemen yang paling penting dalam fakta

social untuk diperhatikan, itulah statemen yang terdapat

dalam pandangan sturktur komplik ini. Pandangan ini

mengatakan bahwa keberadaan komplik dalam

masyarakat atau social merupakan sebuah anak tangga

menuju kemajuan dan keperkembangan. Itulah sebabnya

komplik adalah bagian terpenting bahkan arti lain social

yang tidak bisa sangkal akan betapa perlu keberadaanya

dalam masyarakat sosial. Akhir dari paradigma ini

menemukan muaranya dalam pemikiran seorang Karl Marx

yang mencetuskan teori ekonomi-sosialis. Ia

menganalogikan social sebagai sebuah sekolah atau

Page 10: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

bangunan yang didalamnya terdapat kelas-kelas dan

persaingan yang ketat antara kelas yang satu dengan yang

lain, bahkan terdapat kwalisi-kwalisi di dalamnya untuk

saling menguasai demi kepentingan ekonomi. Konflik-

konflik itu dalam istilah yang lebih halus adalah Dealektika,

namun ia tidak selembut yang kita lihat ketika ia berada

atau diaplikasikan dalam konteks social (Social Current),

yang terjadi bukan persaingan manusia yang hanya

dengan tujuan perut, malah lebih dari itu; mirip seperti

binatang yang memiliki kecerdasan dan keteraturan dalam

persaingan yang mereka lakukan

B. Paradigma Definisi Sosial (Keikigard, Husserl, Jean Paul

Sartre) Perspektif Fenomenologis Sosial dalam segala

bentuknya adalah hal yang penuh makna yang masing-

masing bentuk social memilikinya. Dari banyak tokoh kita

telah mengetahui di atas dengan definisi social mereka

yang berbeda-beda. Yang kesemua pandangan itu

merupakan kualitas-kualitas parsial yang kalau dibenturkan

antara satu dengan yang lainnya pasti akan terjadi

ketimpang tindihan yang tidak menentu. Oleh karena

itulah Fenomenologi terlahir sebagai penyempurna semua

perspektif dalam fakta social kemudian bisa kami katakan

sebagai definisi-definisi social yang dilihat masing-masing

dari fakta yang terdapat dipermukaan social (social

current) yang masih bersifat sangat parsial. Fenomenologi

memandang social telah terpisah dari actor-aktornya atau

pelaku social di dalamnya. Oleh karena keterpisahan itulah

maka social harus dilihat bukan dari Struktur, fungsi dan

Konflik yang ada dipermukaan social itu, namun ia juga

harus dilihat dari spirit yang melatari terjadinya hal itu atau

melihat fenomena social bukan dari sisi empirisnya, namun

emosi-emosi yang melatarinya. Lagi sekali perlu kami

Page 11: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

tegaskan bahwa dalam perspektif ini yang ditekankan

adalah ontology dari social itu sendiri dan bukan

empirisnya. Fenomenologi melihat kontruksi social itu

sebagai bangunan ontology yang berarti fakta dan esensi

fakta tersebut belum tentu sama, sama halnya dengan

permainan politik atau catur sekalipun. Di dalam kedua

permainan itu—dalam konteks social—actor bisa saja

berada dalam posisi social yang tidak sesuai dengan

perannya, tidak seperti sinetron. Perspektif

Interaksionisme Simbolik Kami menemukan makna

interaksi simbolik ini di dalam sebuah buku yang berjudul

Manusia Satu Dimensi. Di dalam buku tersebut, kelompok-

kelompok social dalam melakukan interksi dengan

kelompok-kelompok social lainnya mengunakan Simbol

dalam berinteraksi. Symbol-simbol itulah kemudian yang

menyatukan manusia dalam satu paradigma social yang

sama. Dengan demikian semua manusia yang masuk

kedalam symbol itu kemudian seolah menjelma menjadi

satu dimensi yang sama, hubungan, kepentingan, dan

dasar pikiran yang sama serta dengan tujuan yang sama

pula. Dalam buku itu dipaparkan contoh symbol-simbol

yang sekarang menyatukan manusia dalam satu dimensi.

Yang paling jelas kami lihat dalam penjelasan itu adalah

symbol-simbol ekonomi. Setelah kami membaca sebagian

pembahasan dalam buku itu; ternyata metodologi yang

digunakan penulis sebagai alat analisa adalah

fenomenologi. Tapi kami menyimpulkan bahwa pe-

symbolan tersebut tidak hanya terjadi secara universal

namun terjadi didalam setiap aktifitas kita sebagai

individu-individu. Agensi dan Strukturasi (Antonio

Giddens) Karena penulis tidak memiliki pengetahuan yang

jelas tentang Agensi dan Strukturasi dan Agensi, maka

Page 12: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

untuk menemukan makna tersebut penulis menggunakan

analisa semiotika pada dua istilah tersebut. Pertama

Agensi adalah kata yang menunjukkan penyipatan kata

benda yaitu agen. Agen adalah person yang berperan

sebagai penjelas, penyampai, pengarah dan mungkin juga

penghukum. Selanjutnya; strukturasi juga merupakan

peralihan kata benda menjadi kata sifat. Yang mewakili

sebuah tatanan atau tingkatan-tingkatan tertentu. Jadi

dapat penulis katakan dari analisa pendek di atas bahwa

Agensi adalah penempatan person-person dalam tugas

atau wewenang tertentu dalam ranah social. Karena agen

tersebut tidak mungkin duduk dalam struktur yang tidak

pasti maka dalam setiap struktur social pasti tedapat agen

(Messenger) untuk mengendalikan, mengontrol setiap

struktur yang ia berada di dalamnya. Perspektif

Konstruksionisme (Max Weber) Weber melihat bahwa di

dalam masyarakat itu terdapat sebuah peraturan yang

menjadikan masyarakat tersebut menjadi lebih sadar akan

apa yang terjadi padanya dan apa yang akan

dilakukannya. Pandangan “keteraturan” inilah yang

kemudian oleh Weber ditelorkan menjadi sebuah kontruksi

yang memiliki satu titik pusat control yang seharusnya

kuat. Dari pandangan seperti itulah kemudian muncul teori

Kapitalisme dalam social yang orientasi dasarnya adalah

pemenuhan kebutuhan secara ekonomi. Teori kapital ini

adalah kelanjutan dari Kapital yang diserukan oleh Marx,

namun ada sedikit pembeda di antara keduanya, dimana

Marx memandang capital sebagai sesuatu yang hanya

terjadi di atas atau permukaan social namun Waber

memilihat bahwa Ia tidak sesederhana itu—kapitalisme

dalam pandangannya lebih kepada sikap atau moral yang

Page 13: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

darinya muncul kepermukaan menjadi sebuah aktifitas

social yang dilatari oleh kepentingan ekonomi.

C. Paradigma Perilaku Sosial (Ivan Pavlov, B.F Skinner,

Watson) a. Perspektif Pertukaran Sosial Istilah

pertukaran social sepertinya senada dengan Istilah

pertukaran pelajar dalam konteks pendidikan. Dimana

terjadi proses saling melengkapi “nilai” oleh kelompok

social kepada kelompok social lainnya. Nilai—adalah hal

yang sangat luas, kalau dibagi menurut pandangan

akademis Nilai bisa dilihat dalam dua bentuk yang pertama

Nilai dalam bentuk Kuantitas dan Nilai yang berbentuk

Kualitas. Adapun nilai yang berbentuk kuantitas dapat

dikenali dengan segala sesuatu yang dapat dikalkulasikan

secara nomerik dan matematis dan nilai yang berbentuk

kualitas merupakan kebalikan darinya.

SISTEM SOSIAL  BUDAYA INDONESIA

Sistem Sosial Indonesia

Bahwa setiap sistem sosial selalu ada hubungan timbal balik

yang konstan. Konstan artinya apa yang terjadi kemarin

merupakan perulangan dari yang sebelumnya, dan besok akan

diulang kembali dengan cara yang sama. Dan karena sifatnya

yang konstan itulah .maka pola hubungan interaksi itu memeliki

sistem tertentu. Organisasi sosial merupakan salah satu sistem

sosial, karena adanya serangkaian tindakan yang berulang tetap

secara teratur. Ada organisasi sosial seperti misalnya perguruan

tinggi yang rangkaian kegiatanya dapat diamati dalam kantor –

Page 14: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

kantor,dengan jadwal kerja yang teratur . Masyarakat merupakan

sistem sosial.

Perbedaan yang sangat menyolok antara keduanya adalah

bahwa adalah system social ,dimensi yang ditekankan adalah

dimensi objektif sedangkan dimensi yang ditetaknkan dalam

sisten interaksi dalah dimensi subjektif. Bahwa masyarakat itu

tidak lain dari pada system interaksi.Masyarakat itu tidak lain

dari pada pertukaran social semata- mata(social exchange).

Saling Ketergantungan dalam paradigma Fakta

Sosial

Dalam konsep saling ketergantungan ( Interdependency),paling

kurang ada dua bagian atau lebih,yang saling (inter) menjadi

gantungan bagi yang lainya.Kalau bagian gantungan adalah

dua,maka gantungan yang satunya adalah pasangan. Hubungan

interaksional adalah hubungan saling ketergantungan .Hal ini

mudah dimengerti ,karena A tidak mungkin berinteraksi dengan

B,kalau kiranya salah satu tidak ada.

Hipotesis yang dapat ditarik dari konsep saling ketergantungan

adalah bahwa semakin besar suatu system,atau semakin rumit

suatu system,semakin besar pula kemungkinan adanya satu atau

beberapa elemen yang walaupun penting tetapi

terabaikan.Hipotesis ini hanya berlaku untuk system yang

elemen – elemen dasarnya adalah manusia.Oleh karena itu ada

kecenderungan muncul koalisi yang mencakup elemen-elemen

yang sama  latar belekang dan kepentinganya,sehingga yang

tidak termasuk dalam proses pembentukan koalisi menjadi tidak

diperhatikan.

Page 15: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Nama lain yang diberikan oleh para ahli sosiologi untuk

paradigma fakta social adalah stuktural fungsional atau

fungsional structural.

DURKHEIM MENGENAL SALING KETERGANTUNGAN DALAM

MASYARAKAT

Masyarakat harus dilihat sebagai satu keseluruhan (whole).

Masyarakat bukan hanya sekedar kumpulan bagian – bagian

belaka,atau masyarakat itu bukan kumpulan individu belaka.Atau

dengan kata lain,masyaraka hanya sekedar kumpulan atau

tumpukan dan lain-lain. Dhurkeim merumuskan hipotesisnya

yang paling mendasar tentang masyarakat,yakni bahwa

kehidupan masyarakat adalah keteraturan moral,ketaturan moral

dalam hal ini dapat diartikan dengan keteraturan

social.Masyarakat tidak dapat ada hanya dengan persetujuan

rasional saja,karena persetujuan apapun yang dibau tidak

mungkin dapat dipertahankan dan dilaksanakan,kalau sekiranya

masing – masing pihak tidak saling mempercayai bahwa

merekan akan melaksanakan atau menjalankan apa yang sudah

dijanjikan itu. Kepercayaan menurut Durkheim dengan istilah

solidaritas social,suatu keadaan dimana individu dalam

masayarakat hidup dalam saing kepercayaan satu sama lain.Dan

karena mereka saling percaya,maka keduanya saling

bergantung.saling membutuhkan dan berharap bahwa janji yang

sudah dibuat pasti ditaati. Masyarakat lebih banyak didasarkan

pada suatu keteraturan moral/social bersama,dari pada

kepentingan pribadi yang bersifat rasional.

Setiap peraturan atau kebiasaan dalam masyarakat merupakan

fakat social. Jadi dalam suatu masyarakat pasti banyak fakta

social.Ada fakta social yang berhubungan dengan

keluarga,agama,perdangan dan sebagainya.Semua fakat ini

Page 16: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

saling berhubaungan satu sama lain,saling bergantung pula satu

sama lain.Yang tidak mungkin dalam fakta ini tidak dapat berdiri

sendiri.

Adanya perbedaan yang jelas antara Durkheim dan Spancer.

Durkheim menekankan keseluruhan sedangkan Spaacer hanya

berlaku untuk individu.Dalam pandangan Spancer individu itu

mempengaruhi keseluruhan ,sedangkan dalam pandangan

Dhurkeim justruh sebaliknya.Dasar kehidupan masyarakat

adalah keterstuan social.Ratio penting ,tetapi saling

percaya(saling tergantung ) jauh lebih penting lagi. Tidak sulit

untuk membuktikan bahwa keteraturan social bersama lebih

membawa keuntungan social dari pada kepentingan pribadi yang

menjadi dasar.

KESADARAN KOLEKTIF

Kata kesadaran diatas merupakan terjemehan dari istilah Inggris

Consciousness. Namun demikian ,arti yang dimaksud disini

bukan hanya menunjuk pada consciousness,melainkan juga pada

conscience. Istilah yang terakhir ini sesungguhnya menunjuk

pada pengertian yang agak berlainan dengan yang pertama.

Conseince itu berarti hatinurani,atau sering kali juga disebut

dengan istilah suara hati.

Elemen – elemen dasar yang terdapat dalam

konsep kesadaran kolektif

1. Adanya perasaan termasuk dalam satu komuitas bersama

dengan orang – orang lain, karena adanya perasaan seperti

itu,maka

2. Orang yang bersangkutan merasa adanya suatu kewajiban

moral untuk melaksanakan tuntutan yang diberikan oleh

komunitas itu.

Page 17: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Homo dumplek artinya bebasnya manusia yang berarti manusai

yang terdiri dari dua unsur : individu dan fakta social.S

DURKHEIM TENTANG SOLIDARITAS SOSIAL

Solidaritas merupakan keadaan menjadi satu atau menjadi

bersahabat yang muncul karena adanya tanggung jawab

bersama dengan kepentingan bersama diantara para

anggotanya.Istilah – istilah yang mirip dengan solidaritas adalah

antara lain Stabilitas,kepercayaan

kekuatan,persatuan,kesatuan,imigrasi dan sebagainya.Tekanan

yang terdapat dalam integrasi adalah pada

keseluruhan.Sedangkan tekanan pada konsep soidaritas dalah

persatuan dan kesatuan,tanpa harus memikirkan lebih lanjut

apakah persatuan dan kesatuan itu merupakan keseluruhan atau

tidak,walaupun dalam konsep solidaritas secara tessirat

keseluruhan itu sudah ada.

Dhurkeim mendifisiskan solidaritas social adalah keadaan saling

percaya antara  para anggota dalam kelompokatau

komunitas.Kalau orang saling percaya mereka akan menjadi

satu,menjdai bersahabat,menjadi saling menghormati,menjadi

mendorong untuk bertanggung jawab dan memperhatikan

kepentingan bersama. Hubungan social sebagai konsep berarti

pertaliam antar manusia yang ditandai oleh suatu pola tertentu.

Hubungan antara solidaritas social dan kesaran kolektif

Tipe Solidaritas

1.Solidaritas Mekanik

2. Solidaritas organik

Page 18: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

MASYARAKAT  MAJEMUK

Majemuk berarti banyak,atau lebih dari satu,dalam bahasa

Inggrisnya berarti plural.Ide pluralisme sesungguhnya

menunjukkan pada tekanan yang diberikan yang banyak,yang

beragam.

Butir – butir dalam hal ini antara lain

1. Terpenuhnya kebutuhan – kebutuhan individu dijamin oleh unit –

unit kecil pemerintahan,karena hanya unit – unit itulah yang

bersifat representative.

2. Kekuasaan pemerintah yang digunakan untuk tidak

representative akan terhalang.apabila badan – badan

pemerintahan tersebar secara geografis.

3. Masyarakat terd diri dari bermacam – macam asosiasi

( perkumpulan ) yang bersifat independen.berdiri sendiri, bebas

dari pengaruh asosiasi lainya.

4. Asosiasi –asosiasi swasta ini bersifat bebas ( voluntary )

sepanjang tidak ada yang beralifiasi secara penuh dengan hanya

salah satu bidang saja.

5. Kebijakan public yang dianggap mengikat semua asosiasi –

asosiasi itu,merupakan hasil dari interaksi yang bebas antara

mereka sendiri.

6. Pemerintah sipil( bukan militer ) diwjibkan untuk

mengamati,melihat dengan teliti akan kepentingan dan bertidak

sesuai dengan apa yang diminta oleh orng yang ditunjuk

bersama berdasarkan persetujuan kelompok atau asosiasi.

Salah satu difinisi institusi social yang diberikan Peter L Berger

adalah predefined pattern of conduct.

Page 19: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Fakta sosial

Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan

sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai

barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang

sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu

pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental

murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan

penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini

menurut Durkheim terdiri atas dua macam :

1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat

disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang

merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan

norma hukum.

2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap

nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya

muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme,

altruisme, dan opini.

Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian

penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta

sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,

masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara

lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan

masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga,

pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe

dasar dari fakta sosial :

1. Nilai-nilai umum ( common values )

2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam

subkultur.

Page 20: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam

paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :

1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang

menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan

konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat.

Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi

laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.

2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya

(fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa

berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh

pertentangan yang terus menerus diantar unsure-

unsurnya. Tokoh utama dari paradigma fakta social adalah

Emile Durkheim Pokok persoalan dalam paradigma ini

adalah fakta social. Paradigma ini muncul sebagai wujud

rasa keprihatinan Durkheim terhadap pemikiran Comte dan

Spencer karena telah membelokan sosiologi ke dalam

cabang filsafat dengan mengedepankan ide-ide pemikiran

tanpa didukung oleh data-data empiris. Durkheim

menghendaki sosiologi menjadi disiplin ilmu otonom yang

mempelajari kenyataan-kenyataan yang ada dalam

masyarakat (fakta social). Ritzer (2003:18) mengemukakan

bahwa secara garis besar fakta social dibedakan

menjadi dua tipe, yaitu:

a. Stuktur sosial, yaitu jaringan hubungan social di

mana interaksi social berproses dan menjadi

terorganisir serta melalui mana posisi-posisi social

dari individu dan sub kelompok dapat dibedakan.

b. Pranata sosial, yaitu norma-norma dan pola nilai

yang terdapat dalam fakta social, misalnya:

kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, posisi,

keluarga dll. Ritzer (2003:21) juga

mengemukakan empat teori dalam paradigma

Page 21: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

fakta social yaitu: teori fungsionalisme structural,

teori konflik, teori system dan teori sosiologi makro.

Sebagaimana Ritzer (2003) dalam hal ini akan

dibahas mengenai teori dominant atau yang disebut

mula-mula yaitu: Teori Fungsionalisme

Structural, Tokoh utama teori ini adalah Robert K.

Merton. Menurut teori ini masyarakat merupakan

suatu system social yang terdiri atas bagian-bagian

atau elemen yang saling berkaitan dan saling

menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang

terjadi pada suatu bagian akan mempengaruhi

bagian yang lain.

Teori konflik, Tokoh utama teori ini adalah Ralp

Dahrendorf. Menurut teori ini masyarakat senantiasa

berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh

pertentangan yang terus menerus diantara unsure-

unsurnya

Diposkan oleh http.awiek. blogspot,com di 20:49

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda

Pendahuluan

Buku yang menjadi resensi saya dibawah ini merupakan buku

pokok dalam mata kuliah dasar-dasar Sosiologi berjudul “

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang ditulis

oleh George Ritzer, seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini

memiliki nilai bobot ilmiyah yang sangat baik untuk dijadikan

sebagai buku pokok dan acuan mahasiswa yang mempelajari

konsep sosiologi ataupun berupa pengantar. Buku asli yang

Page 22: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

berjudul “ Sosiology A Multiple Paradsigm Science “ ini

diterjemahkan oleh Drs. Alimandan.

Bab I

Status Paradigma Sosiologi

Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan

menjelaskan tentang asal-usul lahirnya sebuah ilmu sosiologi.

Dimana penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya

cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat positif hingga

memiliki nilai empiris bahkan terbentuknya paradigma sosiologi.

Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang istilah

pertamakali paradigma menempati posisi sentral ditengah

perkembangan sosiologi hingga menempati kurun dekade yang

cukup lama.

Paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan

tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya

dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan. Gagasan Kuhn

mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi

setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips,

Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas oleh

Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu

tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu

pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok

persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.

Kemudian istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak

memiliki kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan

tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang

kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar

yaitu :

1. Paradigma Metafisik : Paradigma ini berfungsi

menunjukkan sesuatu yang ada, serta menunjukkan suatu

komunitas ilmuwan tertentu

2. Paradigma Sosiologi : Pardigma sosiologi terbentuk

Page 23: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

dari kebiasaan-kebiasaan nyata, keputusan-keputusan

hukum yang di terima, serta hasil-hasil nyata ilmu

pengetahuan yang di terima secara umum. (hasil dari ilmu

pengetahuan yang diterima secara umum.)

3. Paradigma Konstrak : Pemahaman paradigma yang

paling sempit karena hanya memperhatikan satu aspek

saja.

Sebab terjadinya perbedaan antar komunitas dalam suatu

cabang ilmu:

1. Karena dari semula pandangan filsafat yang mendasari

pemikiran ilmuwan itu berbeda-beda. (perbedaan pandangan

yang mendasar).

2. Teori-teori yang dikembangkan oleh komunitas ilmuwan

berbeda-beda.

3. Metode yang digunakan untuk memahami substansi ilmu juga

berbeda-beda.

Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi

itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana

diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang terjelma dalam

eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan

masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam

paradigma tertentu.

BAB II

Paradigma Fakta Sosial

Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan

sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai

barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang

sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu

pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental

murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan

Page 24: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini

menurut Durkheim terdiri atas dua macam :

1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat

disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang

merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan

norma hukum.

2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap

nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya

muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme,

altruisme, dan opini.

Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian

penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta

sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,

masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara

lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan

masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga,

pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua

tipe dasar dari fakta sosial :

1. Nilai-nilai umum ( common values )

2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam

subkultur.

Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut institution atau di

sini diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan

sosial di mana interaksi sosial berproses dan menjadi terorganisir

serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan

kelompok dapat dibedakan, sering diartikan sebagai struktur

sosial.

Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam

paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :

Page 25: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang

menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan

konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-

konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi

manifestasi, dan keseimbangan.

masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas

bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling

menyatu dalam keseimbangan. Kalau terjadi konflik, penganut

teori fungsionalisme struktural memusatkan perhatiannya

kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga

masyarakat tetap dalam keseimbangan

Golongan ini bersifat konservatif. Masyarakat menurut teori ini,

senantiasa berada dalam keadaan berubah secara berangsur-

angsur dengan tetap memelihara keseimbangan.

2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya

(fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa

berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh

pertentangan yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.

Setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disentegrasi

sosial.

Menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu

hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan

kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa

3. Teori Sistem, dan

4. Teori Sosiologi Makro

Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial

ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk

ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi

menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin

berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap

dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun

Page 26: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode

tersebut.

BAB III

Paradigma Definisi Sosial

Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan

oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti

tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang

dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai

makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada

tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam

paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action

theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan

Fenomenologi (Phenomenology).

1) Tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga

dapat berupa tindakan yang bersifat “membatin” atau bersifat

subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh posistif dari

situasi tertentu. Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Weber

membedakannya ke dalam 4 tipe. Semakin rasional tindakan

sosial itu semakin mudah dipahami.

1. Zwerk Rational yakni tindakan sosial murni. Aktor menentukan

nilai tujuan itu sendiri.

2. Werktrational action yakni aktor tidak dapat menilai apakah

cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat

ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan orang lain.

3. Affectual action, yakni tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi

oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor.

4. Traditional action, yakni tindakan yang didasarkan atas

kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

2) Social relationship, yakni Tindakan yang beberapa aktor

yang berbeda-beda, sejauh tindakan itu mengandung makna dan

Page 27: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Teori-

teori social relationship :

a) Teori Aksi (action theory)

Tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat

dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang

sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah

dipilih, yang kesemuanya itu dibatasi oleh kemungkinan-

kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-

norma, ide-ide, dan nilai-nilai sosial.

b) Teori Interaksionisme Simbolik

Fakta sosial bukanlah merupakan barang sesuatu yang

mengendalikan dan memaksakan tindakan manusia. Fakta sosial

yang sebagai aspek yang memang penting dalam kehidupan

masyarakat, ditempatkannya di dalam kerangka simbol-simbol

interaksi manusia.

3) Teori Fenomenologi yakni Tindakan manusia menjadi suatu

hubungan sosial bila manusia memberikan arti atau makna

tertentu dalam tindakannya itu, dan manusia lain memahami

pula tindakannya itu sebagai sesuatu yang penuh arti.

Pemahaman secara subyektif terhadap suatu tindakan sangat

menentukan terhadap kelangsungan proses interaksi sosial.

Ada 4 unsur pokok dalam teori ini:

1. Perhatian terhadap actor

2. Memusatkan perhatian kepada kenyatan yang penting atau

yang pokok dan kepada sikap yang wajar atau alamiyah (natural

attitude)

3. Memusatkan perhatian kepada masalah mikro

4. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan, dan proses

tindakan.

Page 28: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa

menurut pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang

kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga

pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk

bertindak diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang

terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan

respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah

merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang

menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga

secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang

termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan

sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang

relatif bebas didalam dunia sosialnya.

Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara

paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial.

Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia

dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat

pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan

paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat

tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh

kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).

BAB IV

Paradigma Perilaku Sosial

Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa

paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan

paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia

dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi

menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang

brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang

menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor

lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan

Page 29: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara

tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan

aktor.

Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada

proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali

memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan

oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi

tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan

dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.

Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.

1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan

perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku

yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor,

khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor. Teori ini

berusaha menerangkan tingkah laku yang terjadi itu melalui

akibat-akibat yang mengikutinya kemudian. Konsep dasar

Behavioral Sosiology yang menjadi pemahamannya adalah:

“reinforcement” yang dapat diartikan sebagai ganjaran (reward).

Tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat

menimbulkan ganjaran.

2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai

rekasi terhadap paradigma fakta sosial, Keseluruhan materi Teori

Exchange secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima

preposisi George Homan berikut:

1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam

konteks stimulus dan situasi tertentu memperoleh ganjaran,

maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang

mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan

terjadi atau dilakukan.

2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan

Page 30: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

atau tingkah laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa

yang sama pada waktu sekarang.

3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang

diarahkan oleh orang lain terhadap aktor.

4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari

orang lain, makin berkurang nilai dari setiap tindakan yang

dilakukan selanjutnya.

5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang

lain, makin besar kemungkinan orang tersebut akan

mengembangkan emosi.

Terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga

jurusan :

• Pandangannya tentang emergence

• Pandangannya tentang psikologi

• Metode penjelasan dari Durkheim

Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat

pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu

kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma

ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam

penelitiannya.

BAB V

Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)

Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka

tugas bab ini adalah mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi

diketiga paradigma diatas. Satu hal yang penting untuk diangkat

adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah dengan

membaginya menjadi beberapa pointer-pointer penting,

diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan

Page 31: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa

sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.

2. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme

struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu

lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya,

karena keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan

fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma

yang telah dibicarakan.

3. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode

yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain.

Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.

4. Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang

terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak

memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira

bahwa mereka beroposisi sama sekali antara yang satu dengan

yang lain (antara teori konflik dan fungsionalisme struktural),

nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat bahwa peneliti sering

memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan

penelitian mereka.

5. Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma

sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap

bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata

untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan

berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Seharusnya kita

mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang lawan

dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka.

Kita sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya

memanfaatkan pemikiran paradigma lain guna mengembangkan

perspektif yang lebih menyatu.

Page 32: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

BAB VI

Menuju Paradigma Sosiologi Yang Terpadu

Paradigma Sosiologi yang terpadu itu harus menjelaskan :

- kesatuan makro-obyektif seperti birokrasi,

- struktur makro-subyektif seperti kultur,

- fenomena mikro-obyektif seperti pola-pola imteraksi sosial, dan

- fakta-fakta mikro-subyektif seperti proses pembentukan

realitas.

Lalu hubungan antara keempat ini dapat diuraikan menjadi satu

bentuk tabel seperti dibawah ini :

Tingkatan realitas social Paradigma Sosiologi

Paradigma fakta sosial memusatkan perhatian terutama kepada

realitas sosial pada tingkatan makro-obyektif dan makro-

subyektif. Paradigma definisi sosial memusatkan perhatian

kepada realitas sosial pada tingkatan mikro-subyektif dan

sebagai mikro-obyektif yang tergantung kepada proses-proses

mental (tindakan). Paradigma perilaku sosial menjelaskan

sebagian realitas sosial pada tingkatan mikro-obyektif yang tak

tercakup kepada proses mental atau proses berfikir, yakni yang

menyangkut tingkahlaku yang semata-mata dihasilkan stimuli

yang dating dari luar diri actor, yang disini disebut sebagai

‘behavior’ itu.

Kesimpulan

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak,

mengapa dikatakan demikian ? hal ini dikarenakan, antara

paradigma yang satu dengan paradigma yang lain terdapat

perbedaan bahkan pertentangan pandangan tentang disiplin

Page 33: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

sosiologi sebagai suatu kebulatan dan tentang batas-batas

bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini

terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan

menjelaskan cabang-cabang paradigmanya dan spsesifikasi

bidangnya masing-masing. Setidaknya terdapat 3 paradigma

yang mendasari ilmu sosiologi ini diantaranya :

1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek

kajian :

a. struktur sosial, dan

b. pranata social

2. Paradigma Definisi Sosial, yang terbagi menjadi tiga teori

diantaranya :

a. Teori Aksi (action theory),

b. Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan

c. Fenomenologi (Phenomenology).

3. Paradigma Perilaku Sosial, terbagi menjadi dua teori

diantaranya :

a. Behavioral Sociology Theory

b. Exchange Theory

Ketiga paradigma teori tersebut telah dipaparkan penjelasannya

diatas beserta dengan cabang-cabang teori yang mendukung

kostrruk paradigmanya. Selain itu juga banyak spesifikasi yang

diberikan oleh para ahli dalam memberikaj suatu asumsi-asumsi

terhadap paradigma tersebut dengan penjelasannya masing-

masing.

Tanggapan

Substansi buku ini telah dapat dikatakan sempurna dikarenakan

Ritzer mengangkat tema-per temanya sesuai dengan penjelasan

yang tepat diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-masing.

Dalam buku ini Ritzer pun tak jarang memberikan bantahan-

Page 34: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

bantahannya, atau bahkan terkadang memberikan komparatif

terhadap satu paradigma dengan paradigma lainnya. Namun

mungkin yang ada adalah kelemahan dari penyadurnya, dimana

buku yang diterjemahkannya ini masih terdapat seringkali

keruwetan dalam penggunaan tanda baca. Dan juga seperti apa

yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu kelemahan dari buku

yang disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan

kemampuan dalam mencernakan ‘grand theories’ dari Ritzer ini.

Tapi secara totalitas di buku yang tipis ini penjelasan tentang

mengapa sosiologi menjadi terdiri dari berbagai paradigma telah

tercakup dengan lengkap dibuku ini dengan baik.

http://adjhee.wordpress.com/2007/12/12/resume-sosiologi-ilmu-

pengetahuan-berparadigma-ganda/

Pengantar Sosiologi

Sosiologi

adalah suatu ilmu sosial yang mempelajari tentang hubungan

yang terjadi dalam masyarakat (interaksi sosial) dan proses yang

terjadi akibat hubungan tersebut masyarakat, serta mempelajari

fakta-fakta yang ada dimasyarakat yang mungkin dapat dipakai

Page 35: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

untuk menyelesaikan masalah yang muncul dalam masyarakat

tersebut. Sehingga dalam pengantar sosiologi ini kita akan

mempelajari mulai dari masyarakat itu sendiri, proses interaksi

dalam masyarakat, proses sosialisasi, kebudayaan, stratifikasi,

perubahan sosial, kekuasaan, wewenang dan kepemimpinan

sampai pada masalah-masalah sosial.

Auguste Comte dan Positivisme

In Barat, Filsafat, Makalah, Positivisme on Februari 7, 2009 at

6:24 am

Bagi kalangan awam kata ’positif’ lebih mudah dimaknai sebagai

’baik’ dan ’berguna’ sebagai antonim dari kata negatif.

Pemahaman awam ini bukannya tanpa dasar, karena jika kita

membaca, misalnya, kamus saku Oxford kita akan menemukan

’baik’ dan ’berguna’ dalam daftar makna untuk kata positive.[1]

Dalam terma hukum, kita terbiasa mendengar hukum positif

yang sering diperlawankan dengan hukum agama, hukum adat

dan hukum-hukum yang lain. Hukum positif berarti hukum, dan

juga hukuman, yang dibuat dan dilaksanakan oleh manusia dan

berdasar rasionalitas. Disini, kata positif dimaknai secara

berbeda. Tapi, arti ini, sekali lagi, tidak bertentangan dengan

makna leksikal dari kata ini. Dalam kamus saku Oxford, makna

jelas adalah arti kelima bagi kata positive.

Dalam konteks epistemologi, kata positive, yang pertama kali

digunakan Auguste Comte, berperan vital dalam ”mengafirkan”

filsafat dan sains di Barat, dengan memisahkan keduanya dari

unsur agama dan metafisis, yang dalam kasus Comte berarti

mengingkari hal-hal non-inderawi.[2] Hal ini, yang kemudian

berkembangan menjadi paradigma positivistik ini, merasuk ke

perkembangan saintifik, dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu

Page 36: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

humaniora. Tulisan pendek ini akan mencoba memaparkan

Auguste Comte dan positivisme yang diperkenalkannya.

AUGUSTE COMTE

Auguste Comte, yang bernama lengkap Isidore Marie Auguste

Francois Xavier Comte, di lahirkan di Montpellier Prancis selatan

pada 17 Januari 1798. Setelah menyelesaikan pendidikan di

Lycee Joffre dan Universitas Montpellier, Comte melanjutkan

pendidikannya di Ecole Polytechnique di Paris.[3] Masa

pendidikannya di École Polytechnique dijalani selama dua tahun,

antara 1814-16. Masa dua tahun ini berpengaruh banyak pada

pemikiran Comte selanjutnya. Di lembaga pendidikan ini, Comte

mulai meyakini kemampuan dan kegunaan ilmu-ilmu alam.[4]

Pada Agustus 1817 Comte menjadi sekertaris, dan kemudian

menjadi anak angkat, Henri de Saint-Simon, setelah comte di usir

dan hidup dari mengajarkan matematika. Persahabatan ini

bertahan hingga setahun sebelum kematian Saint-Simon pada

1825. Saint-Simon adalah orang yang tidak mau diakui pengaruh

intelektualnya oleh Comte, sekalipun pada kenyataannya

pengaruh ini bahkan terlihat dalam kemiripan karir antara

mereka berdua. Selama kebersamaannya dengan Saint-Simon,

dia membaca dan dipengaruhi oleh, sebagaimana yang

diakuinya, Plato, Montesquieu, Hume, Turgot, Condorcet, Kant,

Bonald, dan De Maistre, yang karya-karya mereka kemudian di

kompilasi oleh menjadi dua karya besarnya, the Cours de

Philosophie Positive dan Systeme de Politique Positive. Selama

lima belas tahun masa akhir hidupnya, Comte semakin terpisah

dari habitat ilmiahnya dan perdebatan filosofis, karena dia

meyakini dirinya sebagai pembawa agama baru, yakni agama

kemanusiaan.[5]

Pada saat Comte tinggal bersama Saint-Simon, dia telah

Page 37: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

merencanakan publikasi karyanya tentang filsafat positivisme

yang diberi judul Plan de Travaux Scientifiques Necessaires pour

Reorganiser la Societe (Rencana Studi Ilmiah untuk Pengaturan

kembali Masyarakat). Tapi kehidupan akademisnya yang gagal

menghalangi penelitiannya. Dari rencana judul bukunya kita bisa

melihat kecenderungan utama Comte adalah ilmu sosial.[6]

Secara intelektual, kehidupan Comte dapat diklasifikasikan

menjadi tiga tahapan. Pertama, ketika dia bekerja dan

bersahabat dengan Saint-Simon. Pada tahap ini pemikirannya

tentang sistem politik baru dimana fungsi pendeta abad

pertengahan diganti ilmuwan dan fungsi tentara dialihkan

kepada industri. Tahap kedua ialah ketika dia telah menjalani

proses pemulihan mental yang disebabkan kehidupan pribadinya

yang tidak stabil. Pada tahap inilah, Comte melahirkan karya

besarnya tentang filsafat positivisme yang ditulis pada 1830-42.

Kehidupan Comte yang berpengaruh luas justru terletak pada

separuh awal kehidupannya.[7] Tahap ketiga kehidupan

intelektual Comte berlangsung ketika dia menulis A Sytem of

Positive Polity antara 1851-54.[8] Dalam perjalanan sejarah, alih-

alih dikenal sebagai filosof, Comte lebih dikenal sebagai praktisi

ilmu sejarah dan pembela penerapan metode saintifik pada

penjelasan dan prediksi tentang institusi dan perilaku sosial.

Pada 5 September 1857 tokoh yang sering disebut sebagai

bapak sosiologi modern ini meninggal dunia.[10]

KELAHIRAN FILSAFAT POSITIVISTIK[11]

Pada dasarnya positivisme adalah sebuah filsafat yang meyakini

bahwa satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang

didasarkan pada pengalaman aktual-fisikal. Pengetahuan

demikian hanya bisa dihasilkan melalui penetapan teori-teori

melalui metode saintifik yang ketat, yang karenanya spekulasi

Page 38: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

metafisis dihindari. Positivisme, dalam pengertian diatas dan

sebagai pendekatan telah dikenal sejak Yunani Kuno dan juga

digunakan oleh Ibn al-Haytham dalam karyanya Kitab al-

Manazhir. Sekalipun demikian, konseptualisasi positivisme

sebagai sebuah filsafat pertama kali dilakukan Comte di abad

kesembilan belas.[12]

Dalam karya besarnya, Comte mengklaim bahwa dari hasil studi

tentang perkembangan intelektual manusia sepanjang sejarah

kita bisa menemukan hukum yang mendasarinya. Hukum ini,

yang kemudian dikenal sebagai Law of Three Stages, yang setiap

konsepsi dan pengetahuan manusiawi pasti melewatinya, secara

berurutan adalah kondisi teologi yang bercorak fiktif, kondisi

metafisis yang bercorak abstrak, dan saintifik atau positive. Bagi

Comte, pikiran manusia berkembang dengan melewati tiga tahap

filsafati, yang berbeda dan berlawanan.[13] Dari tiga tahap

pemikiran manusia ini, yang pertama mestilah menjadi titik awal

pemahaman manusia dalam memahami dunia. Sedangkan tahap

ketiga adalah tahap akhir dan definitif dari intelektualitas

manusia. Tahap kedua hanyalah menjadi tahap transisi saja.[14]

Pengaruh terhadap pemikiran Comte tentang Hukum Tiga Tahap

bisa dilacak pada iklim intelektual abad delapan belas dimana

banyak ilmuan sampai pada simpulan tentang tahapan-tahapan

sejarah. Beberapa diantara pemikir yang berpengaruh adalah

Turgot, Quesnay, Condorcet, dan Robertson yang berpandangan

tentang multi-tahap perkembangan ekonomi dalam sejarah

manusia. Menjelang penemuan Hukum Tiga Tahap, Comte telah

akrab dengan skema yang mirip yang diadopsi oleh Condorcet

dari karya Turgot Second Discourse on Universal History, dan

oleh Saint-Simon dari Condorcet. Tentang tiga tahap

perkembangan intelektualitas manusia Turgot menulis:

Page 39: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

”Before men were conversant with the mutual interconnection of

physical effects, nothing was more natural than to suppose that

these were produced byintelligent beings, invisible and

resembling ourselves. Everything that happened…had its god…

When the philosophers had recognised the absurdity of these

fables…the idea struck them to explain the causes of phenomena

by way of abstract expressions like essences and faculties:

expressions which in fact explained nothing, and about which

men reasoned as if they were beings, new gods substituted for

the old ones. Following these analogies, faculties were

proliferated in order to provide a cause for each effect.

It was only much later, through observation of the mechanical

action which bodies have upon one another, that men derived

from this mechanics other hypotheses which mathematics was

able to develop and experiment to verify.”

Oleh Comte, skema Turgot disebut sebagai hukum mendasar

(great fundamental law) yang secara pasti memengaruhi

keseluruhan perkembangan intelektual manusia dalam seluruh

bidang pengetahuan.[15]

Sebenarnya kata positive tidak hanya digunakan oleh Comte.

Kata ini telah umum digunakan pada abad delapan belas,

khususnya pada paruh kedua. Namun Comte adalah orang yang

bertanggung jawab atas penerapan positivisme pada filsafat.[16]

Filsafat positivistik ini dibangun berdasarkan dua hal, yaitu

filsafat kuno dan sains modern (baca: capaian sains hingga

zaman Comte). Dari filsafat kuno, Comte meminjam pengertian

Aristoteles tentang filsafat, yaitu konsep-konsep teoritis yang

saling berkaitan satu sama lain dan teratur. Dari sains modern,

Comte menggunakan ide positivistik a la Newton, yakni metode

filsafati yang terbentuk dari serangkaian teori yang memiliki

tujuan mengorganisasikan realitas yang tampak. Sebagaimana

Page 40: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

diakui Comte sendiri, ada kemiripan antara antara filsafat

positivistik (philosophie positive) dan filsafat alam (natural

philosophy) di Inggris. Pemilihan terhadap filsafat positivistik

sebagai nama bagi sistem pemikiran yang dibangunnya karena

filsafat positivistik hanya mencoba untuk menganalisis efek dari

sebab-sebab sebuah fenomena dan menghubungkannya satu

sama lain.[17]

PENGARUH POSITIVISME COMTE

Positivisme yang diperkenalkan Comte berpengaruh pada

kehidupan intelektual abad sembilan belas. Di Inggris, sahabat

Comte, Jhon Stuart Mill, dengan antusias memerkenalkan

pemikiran Comte sehingga banyak tokoh di Inggris yang

mengapresiasi karya besar Comte, diantaranya G.H. Lewes,

penulis The Biographical History of Philosophy dan Comte’s

Philosophy of Sciences; Henry Sidgwick, filosof Cambridge yang

kemudian mengkritisi pandangan-pandangan Comte; John Austin,

salah satu ahli paling berpengaruh pada abad sembilan belas;

dan John Morley, seorang politisi sukses. Namun dari orang-orang

itu hanya Mill dan Lewes yang secara intelektual terpengaruh

oleh Comte.[18]

Di Prancis, pengaruh Comte tampak dalam pengakuan sejarawan

ilmu, Paul Tannery, yang meyakini bahwa pengaruh Comte

terhadapnya lebih dari siapapun. Ilmuwan lain yang dipengaruhi

Comte adalah Emile Meyerson, seorang filosof ilmu, yang

mengkritisi dengan hormat ide-ide Comte tentang sebab, hukum-

hukum saintifik, psikologi dan fisika. Dua orang ini adalah salah

satu dari pembaca pemikiran Comte yang serius selama

setengah abad pasca kematiannya. Karya besar Comte bagi

banya filososf, ilmuwan dan sejarawan masa itu adalah bacaan

wajib.[19]

Page 41: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Namun Comte baru benar-benar berpengaruh melalui Emile

Durkheim yang pada 1887 merupakan orang pertama yang

ditunjuk untuk mengajar sosiologi, ilmu yang diwariskan Comte,

di universitas Prancis. Dia merekomendasikan karya Comte

untuk dibaca oleh mahasiswa sosiologi dan mendeskripsikannya

sebagai ”the best possible intiation into the study of sociology”.

Dari sinilah kemudian Comte dikenal sebagai bapak sosiologi dan

pemikirannya berpengaruh pada perkembangan filsafat secara

umum.[20]

KRITIK ATAS POSITIVISME

Dalam sejarahnya, positivisme dikritik karena generalisasi yang

dilakukannya terhadap segala sesuatu dengan menyatakan

bahwa semua ”proses dapat direduksi menjadi peristiwa-

peristiwa fisiologis, fisika, atau kimia” dan bahwa ”proses-proses

sosial dapat direduksi ke dalam hubungan antar tindakan-

tindakan individu” dan bahwa ”organisme biologis dapat

direduksi kedalam sistem fisika”.[21]

Kritik juga dilancarkan oleh Max Horkheimer dan teoritisi kritis

lain. Kritik ini didasarkan atas dua hal, ketidaktepatan

positivisme memahami aksi sosial dan realitas sosial yang

digambarkan positivisme terlalu konservatif dan mendukung

status quo. Kritik pertama berargumen bahwa positivisme secara

sistematis gagal memahami bahwa apa yang mereka sebut

sebagai ”fakta-fakta sosial” tidak benar-benar ada dalam realitas

objektif, tapi lebih merupakan produk dari kesadaran manusia

yang dimediasi secara sosial. Positivisme mengabaikan pengaruh

peneliti dalam memahami realitas sosial dan secara salah

menggambarkan objek studinya dengan menjadikan realitas

sosial sebagai objek yang eksis secara objektif dan tidak

dipengaruhi oleh orang-orang yang tindakannya berpengaruh

Page 42: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

pada kondisi yang diteliti. Kritik kedua menunjuk positivisme

tidak memiliki elemen refleksif yang mendorongnya berkarakter

konservatif. Karakter konservatif ini membuatnya populer di

lingkaran politik tertentu.[22]

endnotes:

[1] Oxford Learner’s Pocket Dictionary, h. 333.

[2] Muhammad Ali Abu Rayyan, Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-

Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah, h. 225 dan

227-8.

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte di akses pada 6

Februari 2009

[4] Robert Brown, Comte and Positivism, dalam C. L. Ten,

Routledge History of Philosophy, vol. VII, The Nineteeth Century,

h. 123.

[5] Ibid.

[6] http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10

[7] Philip Stoke, Philosophy 100 Essential Thinkers, h. 117.

[8] http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf

[9] Robert Brown, op.cit., h. 122.

[10] http://fajar13.co.cc/1_10_Ideology.html

[11] Penggunaan kata positivistik sebagai ajektifa bagi filsafat

sebenarnya kurang tepat, yang tepat seharusnya filsafat positiv

(dengan ’v’ alih-alih ’f’). Penggunaan ini semata untuk

menghindari kesalahpahaman yang ditimbulkan dari kata positif

dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata positif

(dengan ’f’) memiliki arti berbeda dengan positive (positive).

[12] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

[13] Auguste Comte, The Positive Philosophy, terj. Harriet

Martineau, v. I, h. 27.

[14] Ibid., v. I, h. 28.

[15] Robert Brown, op.cit., h. 124-5.

Page 43: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

[16] Pierre Macherey, Comte al-Falsafah wa al-Ulum, terj. Sami

Adham, h. 14-5

[17] Ibid., h. 12-3 dan Robert Brown, op. cit., h. 126.

[18] Robert Brown, op.cit., h. 141.

[19] Ibid.

[20] Ibid., h. 141-3.

[21] Mary Pickering, Auguste Comte: An Intellectual Biography, v.

I, h. 566 dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

[22] http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

DAFTAR BACAAN

Abu Rayyan, Muhammad Ali. Aslamah al-Ma’rifah, al-Ulum al-

Insaniyah wa Manahijiha min Wijhah Nazhr Islamiyah. -. (Dar al-

Ma’rifah al-Jami’iyah).

Comte, Auguste. The Positive Philosophy. terj. Harriet Martineau.

1896. (George Bell & Sons: London).

Oxford Learner’s Pocket Dictionary. 2005. (Oxford University

Press: Oxford).

Stoke, Philip. Philosophy, 100 Essential Thinkers. 2006.

(Enchanted Lion Books: New York).

Ten, C. L. Routledge History of Philosophy, The Nineteeth

Century. 1994. (Routledge: London dan New York).

Macherey, Pierre. Comte, al-Falsafah wa al-Ulum. terj. Sami

Adham. 1994. (al- Muassasah al-Jami’iyah li al-Dirasat wa al-

Nasyr wa al-Tawzi’: Beirut).

Sumber Internet:

http://en.wikipedia.org/wiki/Auguste_Comte

http://fajar13.co.cc/index.php?p=1_10

http://fajar13.co.cc/web_documents/auguste_comte.pdf

Page 44: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

http://en.wikipedia.org/wiki/Positivism

allcot Parsons Fungsionalisme struktural

Rabu,07April

Pendahuluan

Teori Fungsional-struktural adalah sesuatu yang urgen dan

sangat bermanfaat dalam suatu kajian tentang analisa masalah

social. Hal ini disebabkan karena studi struktur dan fungsi

masyarakat merupakan sebuah masalah sosiologis yang telah

menembus karya-karya para pelopor ilmu sosiologi dan para ahli

teori kontemporer.

Biografi singkat Tallcot Parsons

Teori fungsional Struktural merupakan karya dari Talcott Parsons,

parsons lahir tahun 1902 di Colorado Spring, Colorado. Selama

hidupnya membuat sejulah besar karya teoritisi. Bahasan

tentang fungsionalisme struktural parson ini akan dimulai

dengan empat fungsi penting untuk semua sistem ”tindakan”

terkenal dengan skema AGIL (Adaptation goal attainment

integration latensi), secara bersama-sama, keempat imperatif

fungsional ini dikenal dengan skema AGIL Ritzer.

Tinjauan singkat tentang Teori Fungsional Struktural

Pokok-pokok para ahli yang telah banyak merumuskan dan

mendiskusikan hal ini telah menuangkan berbagai ide dan

gagasan dalam mencari paradigma tentang teori ini, sebut saja

George Ritzer ( 1980 ), Margaret M.Poloma ( 1987 ), dan Turner

( 1986 ). Drs. Soetomo ( 1995 ) mengatakan apabila ditelusuri

Page 45: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

dari paradigma yang digunakan, maka teori ini dikembangkan

dari paradigma fakta social. Tampilnya paradigma ini merupakan

usaha sosiologi sebagai cabang ilmu pengetahuan yang baru

lahir agar mempunyai kedudukkan sebagai cabang ilmu yang

berdiri sendiri.

Secara garis besar fakta social yang menjadi pusat perhatian

sosiologi terdiri atas dua tipe yaitu struktur social dan pranata

social. Menurut teori fungsional structural, struktur sosial dan

pranata sosial tersebut berada dalam suatu system social yang

berdiri atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling

berkaitan dan menyatu dalam keseimbangan.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa teori ini ( fungsional –

structural ) menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan

konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Asumsi

dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system sosial,

fungsional terhadap yang lain, sebaliknya kalau tidak fungsional

maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya.

Dalam proses lebih lanjut, teori inipun kemudian berkembang

sesuai perkembangan pemikiran dari para penganutnya. Robert

K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari

ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar

dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, ( ia ) adalah seorang

pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi

perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan ini ( fungsional-

struktural ) telah membawa kemajuan bagi pengetahuan

sosiologis. Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari

analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :

1.postulat pertama adalah kesatuan fungsional masyarakat

yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh

bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan

Page 46: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa

menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi

atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa

kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah

bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam

kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu

kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok

yang lain

2.postulat kedua yaitu fungionalisme universal yang

menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang

sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini

dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem

sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat

dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan

demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

Teori Funsionalisme structural

Parson adalah tokoh fungsionalisme struktural modern terbesar

hingga saat ini.Pendekatan fungsionalisme-struktural

sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Parsons dan para

pengikutnya, dapat dikaji melalu anggapan-anggapan dasar

berikut:a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari

bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama lainb.

Dengan demikian hubungan pengaruh mempengaruhi di antara

bagian-bagian tersebut bersifat timbal balikc. Sekalipun integrasi

sosial tidak pernah dapat dicapi dengan sempurna, namun

secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak

kearah ekuilibrium yang bersifat dinamis.

Page 47: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

d. Sistem sosial senantiasa berproses ke arah integrasi sekalipun

terjadi ketegangan, disfungsi dan penyimpangan.

e. Perubahan-perubahan dalam sistem sosial, terjadi secara

gradual, melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara

revolusioner.f. Faktor paling penting yang memiliki daya integrasi

suatu sistem sosial adalah konsensus atau mufakat di antara

para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan

tertentu.

Dengan kata lain, suatu sistem sosial, pada dasarnya, tidak lain

adalah suatu sistem dari tindakan-tindakan. Ia terbentuk dari

interaksi sosial yang terjadi di antara berbagai individu, yang

tumbuh berkembang tidak secara kebetulan, namun tumbuh dan

berkembang di atas consensus, di atas standar penilaian umum

masyarakat. Yang paling penting di antara berbagai standar

penilaian umum tersebut adalah norma-norma sosial. Norma-

norma sosial itulah yang membentuk struktur sosial. Sistem nilai

ini, selain menjadi sumber yang menyebabkan berkembangnya

integrasi sosial, juga merupakan unsur yang menstabilir sistem

sosial budaya itu sendiri. Oleh karena setiap orang menganut

dan mengikuti pengertian-pengertian yang sama mengenai

situasi-situasi tertentu dalam bentuk norma-norma sosial, maka

tingkah laku mereka kemudian terjalin sedemikian rupa ke dalam

bentuk suatu struktur sosial tertentu. Kemudian pengaturan

interaksi sosial di antara mereka dapat terjadi Karena komitmen

mereka terhadap norma-norma yang mampu mengatasi

perbedaan pendapat dan kepentingan individu. Dua macam

mekanisme sosial yang paling penting di mana hasrat-hasrat

para anggota masyarakat dapat dikendalikan pada tingkat dan

arah menuju terpeliharanya sistem sosial adalah mekanisme

sosialisasi dan pengawasan sosial (social control)

Page 48: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

B. Paradigma AGIL (Adaptation, Goal-Attainment,

Integration, Latent-Pattern-Maintenance)

Kehidupan sosial sebagai suatu sistem sosial memerlukan

terjadinya ketergantungan yang berimbas pada kestabilan sosial.

Sistem yang timpang, sebut saja karena tidak adanya kesadaran

bahwa mereka merupakan sebuah kesatuan, menjadikan sistem

tersebut tidak teratur. Suatu sistem sosial akan selalu terjadi

keseimbangan apabila ia menjaga Safety Valve atau katup

pengaman yang terkandung dalam paradigma AGIL . Paradigma

AGIL adalah salah satu teori Sosiologi yang dikemukakan oleh

ahli sosiologi Amerika, Talcott Parsons pada sekitar tahun

1950. Teori ini adalah lukisan abstraksi yang sistematis

mengenai keperluan sosial (kebutuhan fungsional) tertentu, yang

mana setiap masyarakat harus memeliharanya untuk

memungkinkan pemeliharaan kehidupan sosial yang stabil. Teori

AGIL adalah sebagian teori sosial yang dipaparkan oleh Parson

mengenai struktur fungsional, diuraikan dalam bukunya The

Social System, yang bertujuan untuk membuat persatuan pada

keseluruhan system sosial. Teori Parsons dan Paradigma AGIL

sebagai elemen utamanya mendominasi teori sosiologi dari

tahun 1950 hingga 1970.

AGIL merupakan akronim dari Adaptation, Goal Attainment,

Integration, dan Latency atau latent pattern-maintenance,

meskipun demikian tidak terdapat skala prioritas dalam

pengurutannya.a. Adaptation yaitu kemampuan masyarakat

untuk berinteraksi dengan lingkungan dan alam. Hal ini

mencakup segala hal; mengumpulkan sumber-sumber kehidupan

dan menghasilkan komuditas untuk redistribusi sosial. Misalnya

bagaimana seseorang bekerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya.b. Goal-Attainment adalah kecakapan untuk mengatur

dan menyusun tujuan-tujuan masa depan dan membuat

keputusan yang sesuai dengan itu. Pemecahan permasalahan

Page 49: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

politik dan sasaran-sasaran sosial adalah bagian dari kebutuhan

ini.c. Integration atau harmonisasi keseluruhan anggota sistem

sosial setelah sebuah general agreement mengenai nilai-nilai

atau norma pada masyarakat ditetapkan. Di sinilah peran nilai

tersebut sebagai pengintegrasi sebuah sistem sosial, misalnya

pemenangan hasil pemilu.d. Latency (Latent-Pattern-

Maintenance) adalah memelihara sebuah pola, dalam hal ini

nilai-nilai kemasyrakatan tertentu seperti budaya, norma, aturan

dan sebagainya.

Di samping itu, Parsons menilai, keberlanjutan sebuah sistem

bergantung pada persyaratan:a. Sistem harus terstruktur agar

bisa menjaga keberlangsungan hidupnya dan juga harus mampu

harmonis dengan sistem lainb. Sistem harus mendapat dukungan

yang diperlukan dari sistem lain

c. Sistem harus mampu mengakomodasi para aktornya secara

proporsionald. Sistem harus mampu melahirkan partisipasi yang

memadai dari para aktornyae. Sistem harus mampu untuk

mengendalikan perilaku yang berpotensi menggangguf. Bila

terjadi konflik menimbulkan kekacauan harus dapat

dikendalikang. Sistem harus memiliki bahasa Aktor dan Sistem

Sosial.Menurutnya persyaratan kunci bagi terpeliharanya

integrasi pola nilai dan norma ke dalam sistem ialah dengan

sosialisasi dan internalisasi. Pada proses Sosialisasi yang sukses,

nilai dan norma sistem sosial itu akan diinternalisasikan. Artinya

ialah nilai dan norma sistem sosial ini menjadi bagian kesadaran

dari aktor tersebut. Akibatnya ketika sang aktor sedang

mengejar kepentingan mereka maka secara langsung dia juga

sedang mengejar kepentingan sistem sosialnya.Sementara

proses sosialisasi ini berhubungan dengan pengalaman hidup

(dan spesifik) dan harus berlangsung secara terus menerus,

karena nilai dan norma yang diproleh sewaktu kecil tidaklah

cukup untuk menjawab tantangan ketika dewasa.

Page 50: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Pengaruh Teori ini dalam Kehidupan Sosial

Talcott Parsons dalam menguraikan teori ini menjadi sub-sistem

yang berkaitan menjelaskan bahwa diantara hubungan

fungsional-struktural cenderung memiliki empat tekanan yang

berbeda dan terorganisir secara simbolis : 1. pencarian

pemuasan psikis2. kepentingan dalam menguraikan pengrtian-

pengertian simbolis3. kebutuhan untuk beradaptasi dengan

lingkungan organis-fisis, dan4. usaha untuk berhubungan dengan

anggota-anggota makhluk manusia lainnya. Sebaliknya masing-

masing sub-sistem itu, harus memiliki empat prasyarat

fungsional yang harus mereka adakan sehingga bias

diklasifikasikan sebagai suatu istem. Parsons menekankan saling

ketergantungan masing-masing system itu ketika dia

menyatakan : “ secara konkrit, setiap system empiris mencakup

keseluruhan, dengan demikian tidak ada individu kongkrit yang

tidak merupakan sebuah organisme, kepribadian, anggota dan

sistem sosial, dan peserta dalam system cultural “

.Walaupun fungsionalisme struktural memiliki banyak pemuka

yang tidak selalu harus merupakan ahli-ahli pemikir teori, akan

tetapi paham ini benar-benar berpendapat bahwa sosiologi

adalah merupakan suatu studi tentang struktur-struktur social

sebagai unit-unit yang terbentuk atas bagian-bagian yang saling

tergantung. Fungsionalisme struktural sering menggunakan

konsep sistem ketika membahas struktur atau lembaga sosial.

System ialah organisasi dari keseluruhan bagian-bagian yang

saling tergantung. Ilustrasinya bisa dilihat dari system listrik,

system pernapasan, atau system sosial. Yang mengartikan

bahwa fungionalisme struktural terdiri dari bagian yang sesuai,

rapi, teratur, dan saling bergantung. Seperti layaknya sebuah

Page 51: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

sistem, maka struktur yang terdapat di masyarakat akan

memiliki kemungkinan untuk selalu dapat berubah. Karena

system cenderung ke arah keseimbangan maka perubahan

tersebut selalu merupakan proses yang terjadi secara perlahan

hingga mencapai posisi yang seimbang dan hal itu akan terus

berjalan seiring dengan perkembangan kehidupan manusia.

Penutup

Teori fungsional struktural bukan hal yang baru lagi didalam

dunia sosiologi modern, teori ini pun telah berkembang secara

meluas dan merata. Sehingga tak ayal banyak Negara yang

menggunakan teori ini di dalam menjalankan pemerintahannya

baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara

masyarakat. Dalam kesempatan ini setidaknya pemakalah dapat

mengambil keseimpulan bahwa secara singkat dan sederhana

teori sosial ini merupakan seperti rantai sosiologi manusia,

dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan

saling berhubungan. Juga adanya saling ketergantungan,

layaknya suatu jasad maka apabila salah satu bagian tubuh

jasad tersebut ada yang sakit ataupun melemah sangat ber-

implikasi pula pada bagian yang lain.

Sekiranya hanya ini yang dapat kami selesaikan dalam

penyusunan makalah ini, terasa bagi kami kesulitan dalam

mencari refrensi tentang pengertian yang mendalam dari teori

ini. Sehingga nantinya dapat dijadikan bahan pembelajaran yang

lebih mendalam bagi kawan-kawan yang haus akan suatu ilmu.

Kami memohon maaf bila banyak kekurangan dan mungkin ada

yang bingung terhadap bahsa yang dipergunakan dalam

penulisan. Oleh karena itu input kalian sangat berarti bagi kami

penyusun makalah.

Page 52: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Referensi

Poloma, M. Margaret, Sosiologi Kontemporer ( terj ), Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2003

Soetomo, Drs, Masalah Sosial dan Pembangunan, Jakarta:

Pustaka Jaya, 1995

Blog ini

Di-link Dari Sini

Web

Blog ini

Di-link Dari Sini

Web

Page 53: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Rabu, 04 Agustus 2010

Merajut Persekutuan (Gemeinschaft) dengan Konsep Per-Teman-an “GMKI bukanlah merupakan gesellschaft, melainkan ia adalah suatu gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya…” bukanlah sesuatu yang asing di telinga kita yang tergabung dalam persekutuan yang sering diistilahkan dengan “benang biru” yaitu Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.

Kutipan diatas disampaikan salah satu founding father GMKI, Johannes Leimena pada saat memproklamirkan bahwa sudah saatnya mahasiswa ikut ambil bagian dalam perjuangan pergerakan untuk kebaikan dan kepentingan negara dan bangsa Indonesia, serta memperjuangkan oikumenisme (eucumenical’s mission) dalam injil kehidupan, kematian dan kebaktian Yesus Kristus sebagai Sang Kepala Gerakan.

Berangkat dari terminologi diatas, gemeinschaft dan gesellschaft merupakan pada dasarnya pengertian dari teori sosial yang terjadi dalam masyarakat. Tonnies, tokoh sosiolog kenamaan yang satu ini membedakan dua tipologi persekutuan (asosiasi) yang ada di masyarakat, yaitu asosiasi Gemeinschaft dan Gesellschaft berdasarkan pada upaya untuk mengungkap motif dan sentimen yang ada di balik hubungan antar manusia atau masyarakat yang membuatnya tetap bersama dan melakukan kerja sama.

Gemeinschaft adalah masyarakat yang menjadi ciri desa kecil di pedalaman, memiliki tujuan kesatuan yang esensial, orang bekerja sama untuk kepentingan bersama, kehidupan sosial bercirikan: "hidup bersama yang karib, pribadi dan eksklusif”, mereka mengakui "kebaikan bersama, kejahatan bersama, sahabat bersama, musuh bersama", dalam diri mereka terkandung "we-ness" dan "our-ness", dan dipandang sebagai organisme hidup. Sedangkan, Gesellschaft adalah kumpulan (association) yang menjadi ciri kota besar, yang bercirikan perpecahan (individualisme dan mementingkan diri sendiri), tidak ada kebaikan bersama dan ikatan keluarga, lingkungan cenderung tidak banyak mempunyai arti mekanikal dan artifact (buatan manusia), lebih rasional, lebih memperhitungkan, dan eksistensi bergeser dari kelompok ke individual.

Berbeda halnya kalau kita merujuk dari teori yang dikemukakan oleh Durkheim. Tokoh sosiolog yang satu ini agak berbeda pemahaman dalam melihat sisi solidaritas sosialnya. Untuk itu, ia kemudian mengembangkan konsep tentang solidaritas mekanik dan solidaritas organik yang pada tataran tertentu dapat disamakan atau dibandingkan dengan Gemeinschaft dan Gesellschaft dari Tonnies.

Adapun ciri-ciri dari solidaritas mekanik dan organik adalah sebagai berikut: Solidaritas mekanik merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut mekanik, karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok lain. Sedangkan, Solidaritas organik menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat yang merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya kota. bersandar pada pembagian kerja (division of labor) yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda, seperti dalam organ tubuh, orang lebih banyak saling bergantung untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Dalam Division of Labor yang rumit ini, Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat: kemampuan untuk melakukan lebih banyak pilihan dalam kehidupan mereka. Meskipun Durkheim mengakui bahwa kota-kota dapat menciptakan impersonality (sifat tidak mengenal orang lain), alienasi, disagreement dan konflik, ia mengatakan bahwa solidaritas organik lebih baik dari pada solidaritas mekanik. Beban yang kami berikan dalam masyarakat modern lebih ringan daripada masyarakat pedesaan dan memberikan lebih banyak ruang kepada kita untuk bergerak bebas.

Page 54: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Kita harus jujur mengakui. Banyak dari kalangan kita tidak mampu lagi memaknai persekutuan yang dimaksud dalam terminologi diatas. Sudah sangat jelas bahwa GMKI adalah Gemeinschaft yang mengandung prinsip yang berbeda dengan Gesellschaft.

Hal ini jelas keliatan dalam aktivitas tugas pelayanan kita dalam menjalankan tugas-tugas organisasi. Kecurigaan subjektif dapat membiaskan semangat persekutuan dalam membina kasih persaudaraan sehingga berdampak pada susahnya mengoptimalkan kerja-kerja (program) guna pencapaian tantangan medan pelayanan GMKI (Perguruan Tinggi, Gereja dan Masyarakat). Ini merupakan salah satu dari banyak sebab yang dianggap penulis sebagai ketidakmampuan kita dalam mengaplikasikan semangat persekutuan yang sering kita singgung baik dalam forum resmi maupun dalam forum dan diskusi yang sifatnya tidak resmi.

Masih banyak soal-soal yang bisa menjadi koreksi pemahaman kita dalam memaknai persekutuan. Dalam berdebat misalnya, pernahkah kita menempatkan lawan bicara kita sebagai saudara sebagaimana prinsip sebuah persekutuan? Mungkin bagi kita merupakan kebanggaan tersendiri bila membuat lawan bicara kita yang notabenenya saudara sebenang biru merasa tersudut, keliatan bodoh, bereaksi marah karena argumentasi yang bersifat meyinggung hak pribadi (privillage). Atau pernahkah kita menganggap persoalan yang dihadapi kelompok lain di dalam kita merupakan persoalan kita bersama? Pernahkah kita berusaha untuk mendiskreditkan orang atau badan/lembaga yang nyata-nyatanya berada dalam persekutuan kita bersama?

Pertanyaan-pertanyaan diatas bukan merupakan suatu bentuk justifikasi tetapi lebih kepada bagaimana kita sebagai entitas-entitas hidup mengenal persoalan-persoalan yang terjadi di lingkungan kita yang mungkin bermuara pada kontradiksi atau semacam distorsi ide dengan kenyataan.

Bagi orang percaya hubungan dengan Tuhan adalah hal yang terpenting dan terutama. Kita rindu untuk mempunyai hubungan dan persekutuan yang indah dengan Tuhan. Tetapi hal yang tidak boleh diabaikan adalah hubungan di antara sesama kita. Karena suatu hubungan/persekutuan dengan Allah yang baik dan benar, secara otomatis orang tersebut seharusnya mempunyai hubungan yang baik dengan sesamanya, khususnya saudara-saudari seiman.

Adalah bahaya besar kalau dikatakan orang ini rohani, punya persekutuan yang indah dengan Tuhan, tetapi persekutuan dengan saudara seiman bermasalah. Jadi persekutuan antara sesama adalah cermin dari ibadah kita yang benar dan baik dengan saleh. Kalau hubungan vertikal baik, otomatis hubungan horisontal juga baik. Bisa jadi seorang yang mempunyai hubungan horisontal bagus, belum tentu memiliki hubungan vertikal yang bagus pula. Tetapi seorang yang mempunyai hubungan vertikal yang bagus, seharusnya hubungan horisontalnya juga bagus.

Dalam memahami persekutuan yang dimaksud diatas, penulis ingin mengajak kita menyederhanakan persoalan tetapi bukan dalam rangka mengurangi apa yang menjadi esensi yang kita bicarakan.

Persekutuan erat kaitannya dengan pertemanan. Mungkin banyak dari antara kita yang meragukan kesimpulan ini. Tapi itu sah-sah saja. Semua merupakan proses dialektika argumen dalam mencapai pengertian yang lebih mendalam untuk mencapai persamaan pemaknaan. Tapi setidaknya itulah yang dirasakan penulis hingga harus mengangkat tulisan ini untuk bahan evaluasi atau rekomendasi dalam menata hubungan interpersonal kita (persekutuan ala GMKI).

Kejujuran merupakan cikal bakal perubahan, merupakan kalimat sakti yang harus kita renungkan bersama-sama. Mungkin tidaklah sesuatu yang berlebihan bahwa pengingkaran terhadapa prinsip kejujuran merupakan tindakan yang kontra revolusioner (hegemoni pasca kemerdekaan Soekarno). Ketidakjujuran dalam melihat persoalan akan menghasilkan penyelesaian yang tidak menyentuh akar persoalan. Misalnya, ketidakjujuran mengakui

Page 55: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

kemampuan pengurus organisasi akan tugas-tugasnya berdampak susahnya organisasi mencari solusi persoalan dalam tubuh organisasi.

Banyak dari antara kita masih bergabung dalam organisasi ini dikarenakan hubungan pertemanan. Anggota-anggota dalam sebuah organisasi GMKI merupakan entitas-entitas yang diberi tugas untuk mewujudkan apa yang menjadi visi dan misi organisasi dalam balutan persekutuan. Apa jadinya kalau seorang entitas dalam organisasi merasa sudah tidak punya teman dalam organisasi tersebut? Akankah dia masih tetap memilih untuk aktif berkegiatan? Jawabannya ada dalam diri kita masing-masing. Sejauh mana motivasi kita dalam bergabung dalam persekutuan ini akan menentukan keputusan yang akan kita ambil bila terlibat dalam pengandaian tersebut.

Tetapi harus kita akui, hampir kebanyakan dari kita yang masih bertahan dalam perserkutuan ini lebih didasari oleh latar belakang pertemanan, baik itu dalam mencari teman biasa maupun teman yang luar biasa (maksudnya pacar atau yang lebih lagi teman hidup). Sulitnya rasanya menepis anggapan ini, apalagi sering kali kita sebagai entitas dalam organisasi ini memplesetkan istilah GMKI dengan Gerakan Mencari Kawan Intim yang mungkin bagi sebagian orang merupakan bahan gurauan sesaat yang bisa menghidupkan suasana pembicaraan atau barangkali ada pesan-pesan yang mau disampaikan dalam rangka menggugat realitas yang terjadi terhadap penyelewangan dari cita-cita luhur pendiri organisasi ini.

Tidak ada yang salah menggunakan pendekatan pertemanan dalam membangun persekutuan dalam tubuh organisasi ini. Terbukti, kehadiran GMKI sampai saat ini masih tetap eksis dikarenakan pendekatan pertemanan diatas. Barangkali kalau kita mau lebih serius menggali pemahaman tentang organisasi ini. Kita akan menemukan kesadaran yang lebih tinggi sifatnya mengarahkan kita pada apa yang dinamakan militansi berorganisasi. Bahwasanya kita masih tetap berdiri di GMKI dikarenakan panggilan-Nya untuk berbuat setelah anugerah (Sola Gratia) yang diberikan-Nya kepada kita sebagai warga Kerajaan Sorga bagi yang percaya pada-Nya (Roma 10: 9, Yohanes 5: 24, 1 Yohanes 5; 13, dan Yohanes 20: 31).

Penulis jadi teringat akan suatu kalimat bijak yang digunakan “saudara kita yang diseberang” dalam menarik perhatian mahasiswa-mahasiswa untuk bergabung dengan organisasi mereka ditengah pesatnya pemikiran pragmatisme mahasiswa dalam berburu organisasi yang mapan. Disebutkan “Jangan mencari hidup di Muhammadiyah, tetapi hidup-hidupilah Muhammadiyah” barangkali seperti itulah pesan yang dimanisfestasikan dalam susunan kalimat yang menggugah kesadaran pembacanya.

Tidak ada salahnya kalau kita belajar dari kata-kata bijak diatas.

Diposkan oleh Tampubolon's Triad di 22:46

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Berbagi ke Google Buzz

GEMEINSCHAFT DAN GESSELSCHAFTApril 10th, 2010 • Related • Filed Under

Nama : ANGGRIAWAN ADI KUSUMONPM : 24209921

Page 56: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

KELAS : 1EB11Sosiologi PerkotaanPengertian Umum KotaSosiologi perkotaan (urban sociology), sering juga disebut kajian sosiologis mengenai kota-kota (the sociology of cities). Sosiologi perkotaan terfokus pada kajian proses sosial ekonomi yang terjadi di pemukiman manusia yang bernama “kota” dan melihat proses tersebut sebagai produk dari kapitalisme (Saunders 1996; bandingkan Schwab 1992; Spates dan Macionis 1982).Kota (city) diartikan sebagai “an inhabited place of greater size or importance than a town” (suatu tempat hunian yang lebih besar dan penting dari sebuah kota kecil). Kota kecil (town) adalah “a heavily populated area as distinguished from surrounding rural territory” (kawasan padat penduduk yang dapat dibedakan dengan pedesaan sekitarnya). Pedesaan biasanya dikaitkan dengan perkampungan dan pekerjaan bertani (dalam bahasa Latin ruralis). Sedangkan istilah perkampungan biasanya dipahami sebagai hamparan tanah yang cukup luas dengan tingkat hunian jarang.David dan Julia Jary (1991: 71) mendefinisikan kota sebagai “an inhabited place which is differentiated from a town or village by its greater size and by the range of activities practiced within its boundaries, usually religious, military political, economic, educational and cultural”. Secara bebas definisi ini dapat diterjemahkan, bahwa kota tidak lain adalah kawasan hunian yang relatif besar, sehingga dapat dibedakan dengan kampung atau kota kecil, serta terdapat aktivitas yang relatif beragam di bidang ekonomi, kebudayaan, keagamaan, pendidikan, dan politik.Kegiatan Belajar 2Adakah Kota pada Masyarakat Kita Kini?Uraian di atas memperlihatkan bahwa pemahaman kota sebagai bentuk hunian yang dinamis dan lintas waktu – sebagaimana dipahami kalangan liberal-lebih mungkin kita terima. Sementara wujud kota yang dipahami oleh kalangan “konservatif” sebagai satu hunian yang dikelilingi oleh benteng pertahanan sehingga penghuninya dengan leluasa dan aman dapat melakukan berbagai aktivitasnya, lebih logis kita tempatkan sebagai sejarah pemikiran tentang kota yang tumbuh dalam konteks sosio-historis masyarakat Barat.Sekalipun demikian, gagasan tentang kota dari kalangan “konservatif” bisa kita jadikan sebagai titik tumpu untuk melihat sejarah perkembangan kota, baik dilihat dari aspek yang berlanjut (kontinu) maupun aspek yang berubah (diskontinu). Dengan memadukan dua gagasan itu, kita dapat memahami secara lebih baik tentang pola perkembangan dan posisi sosial ekonomi dan politik kota tersebut dalam konteks yang lebih luas. Uraian tentang kota-kota di Jerman khususnya Heidelberg diatas, memperlihatkan pola kontinuitas dan diskontinuitas. Kota ini masih memiliki struktur atau ciri kota abad pertengahan, disamping ciri baru yang tumbuh di era modern.Cara pemahaman di atas juga dapat diterapkan untuk menelaah “kota-kota” di Indonesia. Uraian tentang sejarah perkembangan Kota Jakarta dan Bogor di atas, memperlihatkan pola kontinu dan diskontinuitas. Warisan masa lalu Kota Jakarta dapat kita jumpai di sekitar Kota-Gambir, disela-sela ciri baru yang tumbuh pada paska kemerdekaan. Sementara warisan masa lalu di Bogor, dapat dijumpai di pusat kotanya, berdampingan dengan ciri baru yang tumbuh di era modern.

Page 57: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Kegiatan Belajar 3Bagaimana Kita Melihat KotaBagian terakhir dari Modul 1 ini memperlihatkan bahwa kapitalisme – dan bukannya kota – merupakan penyebab utama proses-proses sosial, ekonomi, budaya, dan politik di perkotaan. Sekalipun bukan penyebab utama, kota, dalam hal ini, harus dilihat sebagai kawasan atau area yang memungkinkan kapitalisme tumbuh dalam bentuk yang sangat nyata, secara cepat dan mendalam. Dan karenanya, proses-proses sosial, ekonomi, dan politik yang disinyalir oleh Marx, Weber, dan Durkheim berkembang di perkotaan.Gagasan tentang kapitalisme sebagai penggerak kunci berbagai dinamika di perkotaan di atas, dapat kita lacak bahkan pada para pendiri sosiologi: Karl Marx, Emile Durkheim, dan Max Weber. Mereka yang hidup pada era pertumbuhan dramatis kapitalisme, sadar betul bahwa kapitalisme yang menjadi agen penggerak berbagai dinamika kehidupan masyarakat. Dalam kaitan dengan gagasan di atas, kapitalisme mewujudkan dirinya secara bulat di kawasan perkotaan, atau dengan kata lain, kota merupakan kawasan yang membuat kapitalisme tumbuh subur, dan akhirnya mendorong proses pertumbuhan kota dengan lebih cepat.Proses pertumbuhan dan implikasi sosial ekonomi kapitalisme, yang keduanya terkait dengan kawasan perkotaan merupakan fokus utama ketiga sosiolog klasik di atas. Dalam pandangan Marx, kota adalah tempat tumbuhnya cara produksi kapitalisme yang bersifat eksploitatif terhadap kaum buruh. Pola eksploitasi demikian, tidak hanya terbatas hanya dalam bidang ekonomi, melainkan juga sangat menentukan berbagai dimensi kehidupan kota yang lain, seperti kebudayaan dan politik lokal. Pendek kata, infrasruktur ekonomi kota yang bersifat kapitalis dan bersifat eksploitatif itu juga sangat menentukan terbentuknya berbagai suprastruktur yang juga bersifat eksploitatif terhadap lapis terbawah penduduk perkotaan.Namun pada saat yang sama, Marx juga menaruh harapan pada kawasan perkotaan, sebagai hunian masyarakat yang sangat memungkinkan lahirnya perjuangan kelas, yang justru terdorong oleh watak kota yang bersifat eksploitatif itu. Pola eksploitasi yang merambah di segenap kehidupan kota akan melahirkan kesadaran kelas kaum proletar kota, dan akhirnya akan menggerakkan revolusi.Sementara dalam pandangan Durkheim, implikasi sosial ekonomi kapitalisme terlihat nyata pada division of labour. Pertama, kapitalisme dapat dilihat sebagai faktor penggerak lahirnya division of labour. Pertumbuhan urbanisasi yang didorong oleh kapitalisme telah membuat material density (dan kemudian moral density) meningkat. Urbanisasi, yang sesungguhnya merupakan fenomena semakin banyaknya jumlah penduduk di suatu kawasan bersama-sama dengan perkembangan transportasi dan komunikasi menjadi salah satu pendorong divison of labour. Hal itu karena bertalian dengan fakta bahwa jumlah penduduk yang semakin banyak di satu kawasan hanya dapat bertahan hidup melalui diferensiasi pekerjaan.Selain gagasannya tentang diferensiasi perkerjaan yang terjadi di kota sebagai respon terhadap peningkatan jumlah penduduk, gagasan lainnya yang terkandung dalam division of labour adalah solidaritas organik. Solidaritas ini merupakan sisi lain bahwa dalam division of labour terkandung realitas saling ketergantungan dan saling melengkapi. Semakin tinggi diferensiasi (semakin terspesialisasinya

Page 58: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

berbagai jenis pekerjaan itu), maka semakin tinggi pula realitas saling ketergantungan antara satu sektor pekerjaan dengan yang lain. Fakta semakin terspesialisasinya perkerjaan itu merupakan ciri suatu masyarakat yang sudah mengalami era kapitalisme yang lebih lanjut. Atau dengan kata lain (kedua), divison of labour tersebut pada akhirnya dapat mempercepat perkembangan kapitalisme.Sedangkan dalam pandangan Weber, kota merupakan hunian masyarakat manusia yang telah terlebih dahulu memapankan institusi yang memungkinkan sistem ekonomi kapitalisme berkembang. Segenap institusi ekonomi, politik, dan hukum pada masyarakat kota telah mengalami proses tranformasi pada dirinya sendiri, sehingga menjadi institusi yang digerakkan oleh asas rasionalitas.

Budaya kebersamaanhttp://id.shvoong.com/social-sciences/education/1913039-budaya-kebersamaan/

oleh: elrazie     Summary rating: 3 stars (10 Tinjauan) Kunjungan : 1458

kata:600 

More About : maksud gemeinschaft dalam konteks sosial  

Budaya makan enggak makan asal kumpul, gemeinschaft (paguyuban) atau mezzo-structures suatu bentuk interaksi sosial kekeluargaan, solidaritas sosial, perasaan menjadi satu kesatuan dalam rasa sepenanggungan, tenggang rasa atau tepa selira dengan nilai-nilai moral berupa penghormatan sesama manusia, tanggung jawab, kejujuran, kerukunan, dan kesetiakawanan. Disadari ataupun tidak disadari akhir-akhir ini telah menjauh dari kehidupan berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia. Kebersamaan yang indah yang mulai terkikis oleh budaya-budaya individualis. Pandangan hidup yang mengagung-agungkan kebebasan personal yang mendorong manusia untuk mendahulukan kepentingan dan kebebasan pribadi tanpa memikirkan hak-hak orang lain. Sikap ini acapkali menjerumuskan manusia ke dalam perbenturan dengan pihak lain dalam hidup sosial. Penyanjung kebebasan seakan-akan tinggal di luar entitas sosial dan seolah-olah mereka tidak berdampingan dengan sesama. Keberadaan budaya kebersamaan sekarang lebih menjadi nilai-nilai yang semu dan artifisial, Menjauh dari titik nyatanya dan hanya sekedar simbol dipermukaan. Pudarnya nilai-nilai luhur telah menjadikan masyarakat Indonesia menjadi ‘kasar’ dan tanpa perasaan, dan semakin menguat manakala hukum tidak lagi mempunyai kewibawaan untuk mengatur Kita. Jika terus sperti ini, apakah kita masih layak disebut sebagai suatu bangsa?

Page 59: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Bangsa pada dasarnya merupakan suatu bentuk solidaritas kolektif; yang mana lebih menonjolkan elemen kebersamaan dan tidak menyoroti masalah ketidaksamaan ataupun eksploitasi. dalam konteks definisi kelompok social, Ferdinand Tonnies mengemukakan bahwa kelompok sosial adalah suatu bentuk kehidupan bersama, dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Batasan ini disebut Tonnies sebagai paguyuban atau gemeinschaft.

Tonnies menyebutkan beberapa ciri peguyuban, yaitu; (1)intimate, hubungan menyeluruh yang mesra antar individu dalam kelompok masyarakat. (2)Private, hubungan yang bersifat pribadi antar sesama anggota masyarakat, karena faktor pertalian darah. Dan yang ketiga adalah exclusive, yakni hubungan yang tertutup antara segenap anggota masyarakat sebagai suatu paguyuban. Oleh karena itu di dalam gemeinschaft atau paguyuban terdapat suatu common will (kemauan bersama), dan juga ada suatu understanding (pengertian bersama), serta kaidah yang timbul dengan sendiri dari kelompok tersebut. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan (yang harmonis) antar anggota kelompok. Asas persaudaraan ini dijaga oleh institusi negara yang memiliki kemampuan menjangkau segenap anggota dari suatu bangsa. Fungsi lain dari suatu bangsa adalah merusmuskan dan menegakkan aturan permainan, entah dalam kehidupan ekonomi, dan politik, maupun kemasyarakatan yang disepakati oleh anggotanya. Bangsa dibentuk oleh unsur kebudayaan, sejarah dan warisan tradisi lain yang pernah ada sebelumnya. Dikatakan sebagai suatu solidaritas kolektif karena memiliki lambang-lambang budaya sendiri seperti bahasa yang digunakan dalam wilayah teritorial tertentu, yang sebenarnya mencerminkan suatu kesatuaan. Oleh karena itu, konsep bangsa menonjolkan persaudaraan dan atau kebersamaan. Yang mana kebersamaan ini akan membentuk suatu komunitas politik, bangsa dan negara yang senantiasa mengalami proses rekonstruksi terus menerus sepanjang sejarah perkembangannya.Diterbitkan di: Juli 13, 2009   Diperbarui: Oktober 05, 2010

Mohon Ringkasan ini dinilai : 1 2 3 4 5     

Nilai : 1 2 3 4 5      

o Link yang relevan :

o http://perjuanganku-elrazie.blogspot.com/

More About : maksud gemeinschaft dalam konteks sosial

Lebih lanjut tentang: Budaya kebersamaan

Page 60: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Etika Protestan dan Semangat KapitalismeDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

http://id.wikipedia.org/wiki/Etika_Protestan_dan_Semangat_Kapitalisme

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme (bahasa Inggris: The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism) adalah sebuah buku yang ditulis oleh Max Weber, seorang ekonom dan sosiolog Jerman pada 1904 dan 1905 yang mulai sebagai sebuah seri esai. Edisi awal dalam bahasa Jerman dan berjudul: Die protestantische Ethik und der 'Geist' des Kapitalismus. Terjemahan ke bahasa Inggris dibuat pada 1930 dan beberapa edisi telah diedarkan.

Weber menulis bahwa kapitalisme berevolusi ketika etika Protestan (terutama Calvinis) memengaruhi sejumlah orang untuk bekerja dalam dunia sekuler, mengembangkan perusahaan mereka sendiri dan turut beserta dalam perdagangan dan pengumpulan kekayaan untuk investasi. Dalam kata lain, etika Protestan adalah sebuah kekuatan belakang dalam sebuah aksi masal tak terencana dan tak terkoordinasi yang menuju ke pengembangan kapitalisme. Pemikiran ini juga dikenal sebagai "Thesis Weber".

Page 61: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Sampul dari salah satu edisi karya Weber.

Daftar isi[sembunyikan]

1 Isi buku 2 Daftar isi

3 Lihat pula

4 Buku serupa

5 Pranala luar

[sunting] Isi buku

Ada pendapat yang menyatakan bahwa buku ini tidak boleh dilihat sebagai studi yang terinci tentang Protestanisme melainkan lebih sebagai pengantar ke dalam karya-karya Weber yang belakangan, khususnya studinya tentang interaksi antara berbagai gagasan keagamaan dan ekonomi.

Dalam Etika Protestan dan Semganta Kapitalisme, Weber mengajukan tesis bahwa etika dan gagasan-gagasan Puritan telah memengaruhi perkembangan kapitalisme. Namun demikian, devosi keagamaan biasanya disertai dengan penolakan terhadap urusan-urusan duniawi, termasuk pengejaran akan harta kekayaan. Mengapa hal ini tidak terjadi dengan Protestanisme? Weber membahas apa yang kelihatan sebagai paradoks ini dalam bukunya.

Ia mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai gagasan dan kebiasaan yang menunjang pengejaran keuntungan ekonomi secara rasional. Weber menunjukkan bahwa semangat seperti itu tidaklah terbatas pada budaya Barat bila hal itu dipandang sebagai sikap individual, namun bahwa upaya individual yang heroik — demikian ia menyebutnya — tidak dapat dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi yang baru (kapitalisme). Kecenderungan-kecenderungan yang paling umum adalah keserakahan akan keuntungan dengan upaya yang minimal dan gagasan bahwa kerja adalah suatu kutukan dan beban yang harus dihindari khususnya ketika hasilnya melebihi dari kebutuhan untuk kehidupan yang sederhana. Seperti yang ditulisnya dalam esainya:

Agar suatu gaya hidup yang teradaptasi dengan sifat-sifat khusus dari kapitalisme… dapat mendominasi gaya hidup yang lainnya, ia harus muncul dari suatu tempat tertentu, dan bukan dalam pribadi-pribadi yang terpisah saja, melainkan sebagai suatu gaya hidup yang umum dari keseluruhan kelompok manusianya.

Setelah mendefinisikan 'semangat kapitalisme', Weber berpendapat bahwa ada banyak alasan untuk menemukan asal-usulnya di dalam gagasan-gagasan

Page 62: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

keagamaan dari Reformasi. Banyak pengamat seperti William Petty, Montesquieu, Henry Thomas Buckle, John Keats, dan lain-lainnya telah mengomentari kedekatan antara Protestanisme dengan perkembangan komersialisme.

Weber memperlihatkan bahwa tipe-tipe Protestanisme tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh makna spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari gagasan-gagasan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan — logika yang inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan advis yang didasarkan pada mereka baik yang baik secara langsung maupun tak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.

Weber menelusiri asal-usul etika Protestan pada Reformasi. Dalam pandangannya, di bawah Gereja Katolik Roma seorang idnvidu dapat dijamin keselamatannya melalui kepercayaan akan sakramen-sakramen gereja dan otoritas hierarkhinya. namun, Reformasi secara efektif telah menyingkirkan jaminan-jaminan tersebut bagi orang biasa, meskipun Weber mengakui bahwa seorang "genius keagamaan" seperti Martin Luther mungkin dapat memiliki jaminan-jaminan tersebut.

Dalam keadaan tanpa jaminan seperti itu dari otoritas keagamaan, Weber berpendapat bahwa kaum Protestan mulai mencari "tanda-tanda" lain yang menunjukkan bahwa mereka selamat. Sukses dunia menjadi sebuah ukuran keselamatan. Mendahului Adam Smith (tapi dengan menggunakan argumen yang sangat berbeda), Luther memberikan dukungan awal terhadap pembagian kerja yang mulai berkembang di Eropa. Karenanya, menurut penafsiran Weber atas Luther, suatu "panggilan" dari Tuhan tidak lagi terbatas kepada kaum rohaniwan atau gereja, melainkan berlaku bagi pekerjaan atau usaha apapun.

Namun demikian, Weber melihat pemenuhan etika Protestan bukan dalam Lutheranisme, yang ditolaknya lebih sebagai sebuah agama hamba, melainkan dalam bentuk Kekristenan yang Calvinis.

Dalam pengertian yang sederhana "paradoks" yang ditemukan Weber adalah:

Menurut agama-agama Protestan yang baru, seorang individu secara keagamaan didorong untuk mengikuti suatu panggilan sekular dengan semangat sebesar mungkin. Seseorang yang hidup menurut pandangan dunia ini lebih besar kemungkinannya untuk mengakumulasikan uang.

Namun, menurut agama-agama baru ini (khususnya, Calvinisme), menggunakan uang ini untuk kemeweahan pribadi atau untuk membeli ikon-ikon keagamaan dianggap dosa. Selain itu, amal umumnya dipandanga negatif karena orang yang tidak berhasil dalam ukuran dunia dipandang sebagai gabungan dari kemalasan atau tanda bahwa Tuhan tidak memberkatinya.

Page 63: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Cara memecahkan paradoks ini, demikian Weber, adalah menginvetasikan uang ini, yang memberikan dukungan besar bagi lahirnya kapitalisme.

Pada saat ia menulis esai ini, Weber percaya bahwa dukungan dari etika Protestan pada umumnya telah lenyap dari masyarakat. Khususnya, ia mengutip tulisan Benjamin Franklin, yang menekankan kesederhanaan, kerja keras dan penghematan, namun pada umumnya tidak mengandung isi rohani.

Weber juga mengatakan bahwa sukses dari produksi massal sebagian disebabkan oleh etika Protestan. Hanya setelah barang-barang mewah yang mahal ditolak, maka individu-individu dapat menerima produk-produk yang seragam, seperti pakaian dan mebel, yang ditawarkan oleh industrialisasi.

Perlu dicatat bahwa Weber menegaskan bahwa sementara gagasan-gagasan agama Puritan mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan tatanan ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, mereka bukanlah faktor satu-satunya (yang lainnya termasuk rasionalisme dalam upaya-upaya ilmiah, penggabungan antara observasi dengan matematika, aturan-aturan ilmiah dan yurisprudensi, sistematisasi rasional terhadap administrasi pemerintahan, dan usaha ekonomi. Pada akhirnya, studi tentang etika Protestan, menurut Weber, semata-mata hanyalah menyelidiki suatu tahap dari emansipasi dari magi, pembebasan dari ilusi dunia, yang dianggapnya sebagai ciri khas yang membedakan dari budaya Barat.

Weber menyatakan dalam catatan kaki terakhirnya bahwa ia meninggalkan penelitian terhadap Protestanisme karena rekannya Ernst Troeltsch, a seorang teolog profesional, telah mulai menulis buku Ajaran Sosial Gereja-gereja Kristen dan Sekte. Alasan lain untuk keputusan Weber ini ialah bahwa esainya telah memberikan perspektif untuk perbandingan yang luas antara agama dan masyarakat, yang dilanjutkannya dalam karya-karyanya berikutnya (studi tentang agama di Tiongkok, India, dan agama Yudaisme.)

Buku ini juga merupakan upaya pertama Weber dalam menggunakan konsep rasionalisasi. Gagasannya bahwa kapitalisme modern berkembang dari pengejaran kekayaan yang bersifat keagamaan berarti suatu perubahan terhadap cara keberadaan yang rasional, kekayaan. Pada suatu titik tertentu, rasional ini berhenti, mengalahkan, dan meninggalkan gerakan keagamaan yang mendasarinya, sehingga yang tertinggal hanyalah kapitalisme rasional. Jadi intinya, "Semangat Kapitalisme" Weber pada dasarnya adalah Semangat Rasionalisme, dalam pengertian yang lebih luas.

Esai ini juga dapat ditafsirkan sebagai salah satu kritik Weber terhadap Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx berpendapat, pada umumnya, bahwa semua lembaga manusia - termasuk agama - didasarkan pada dasar-dasar ekonomi, Etika Protestan memalingkan kepalanya dari teori ini dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan memperkuat kapitalisme, dan bukan sebaliknya.

Page 64: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

[sunting] Daftar isi

Bagian 1. Masalah

I. Afiliasi Agama dan Stratifikasi Sosial

Pekerjaan; Aturan Keagamaan; Etika Kerja; Rasionalisme Ekonomi; Protestantisme vs. Katolisisme; Semangat Bisnis; Wilayah-wilayah Kapitalis; Fokus Kota.

II. Semangat Kapitalisme

Individualitas Historis; Benjamin Franklin; Etos Kapitalis; Modern vs. Pra-modern Kapitalisme; Rasionalisme vs. Traditionalisme; Etos dan Gagasan Keagamaan; Gagasan tentang Panggilan.

III. Konsep Luther tentang Panggilan, Tugas Penyelidikan.

Asal-usul Panggilan; Pandangan Abad Pertengahan; Traditionalisme dan Mistisisme Luther; Calvinisme dan Puritanisme; Kekuatan Sejarah.

Bagian 2. Etika Praktis dari Cabang-cabang Asketik Protestantisme

IV. Dasar-dasar Keagamaan dari Asketisisme Dunia

Sejarah Asketisisme Protestan

A. Calvinisme

Predestinasi; Eliminasi Magi; Rasionalisasi Dunia; Kepastian Keselamatan; Lutheranisme vs. Calvinime; Katolisisme vs. Calvinisme; Monastisisme vs. Puritanisme; Etika Methodis; Gagasan tentang Bukti.

B. Pietisme

Emosionalisme; Spener; Francke; Zinzendorf; Pietisme Jerman.

C. Methodisme

D. Sekte-sekte Puritan

Baptis dan Quaker; Prinsip Sekte; Asketisisme Duniawi; Transformasi Dunia.

V. Asketisisme dan Semangat Kapitalisme

Richard Baxter; Makna Kerja; Pembenaran atas Keuntungan; Kapitalisme Yahudi vs. Puritan; Puritanisme dan Kebudayaan; Tabungan dan Modal; Paradoks Asketisisme dan Kekayaan; Melayani Kedua Dunia; Etika Kapitalistik Warga Negara; Kandang Besi Kapitalisme.

Page 65: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

EtikaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Filosofi

Cabang [tampilkan]

EpistemologiEstetika

EtikaFilosofi politik

LogikaMetafisika

Zaman [tampilkan]

KunoPertengahan

ModernKontemporer

Tradisi [tampilkan]

AnalitikKontinental

TimurIslam

MarxismePlatonisme

SkolastisismeFilsuf [tampilkan]

EstetikawanEpistemologian

EtikawanMetafisikawan

Page 66: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

LogikawanFilsuf politik dan sosial

Sastra [tampilkan]

EstetikaEpistemologi

EtikaLogika

MetafisikaPolitik filsafat

Daftar [tampilkan]

Garis besarTopikTeori

GlosariFilsuf

Daftar filsuf Indonesia

Portal l • b • s

Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral.[rujukan?] Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.[rujukan?]

Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita.[rujukan?] Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.[1] Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.[rujukan?]

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika.[rujukan?] Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi.[rujukan?] Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.[2]

Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).[rujukan?]

Page 67: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Daftar isi[sembunyikan]

1 Jenis Etika o 1.1 Etika Filosofis

o 1.2 Etika Teologis

o 1.3 Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

2 Reference

3 Pranala luar

[sunting] Jenis Etika

[sunting] Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.[rujukan?]

Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat.[rujukan?] Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:[3]

1. Non-empiris[rujukan?] Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

2. Praktis[rujukan?] Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.

Page 68: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

[sunting] Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing.[rujukan?] Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.[4]

Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis.[5] Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis.[rujukan?] Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi.[rujukan?] Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris.[6] Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia.[rujukan?] Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.[7]

Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.[rujukan?]

[sunting] Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika.[rujukan?] Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:[8]

Revisionisme [rujukan?]

Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.

Sintesis [rujukan?]

Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.

Page 69: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Diaparalelisme [rujukan?]

Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.

Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis.[rujukan?] Terhadap pandangan Thomas Aquinas, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.[rujukan?] Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.[9]

Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya.[10] Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[rujukan?] Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.

[sunting] Reference1. ̂ [K. Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 25.]2. ̂ Etika, 24-25

3. ̂ Etika, 27-29

4. ̂ [Eka Darmaputera. 1987. Etika Sederhana Untuk Semua: Perkenalan Pertama. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 94.]

5. ̂ [Paul L. Lehmann. 1963. Ethics in a Christian Context. New York: Harper & Row Publishers, 25.]

6. ̂ [J.A.B. Jongeneel. 1980. Hukum Kemerdekaan Jilid 1. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 15-16.]

7. ̂ [J. Verkuyl. 1982. Etika Kristen Bagian Umum, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 17.]

8. ̂ Ethics in a Christian Context, 254

9. ̂ Ethics in a Christian Context, 254

10. ̂ Hukum Kemerdekaan Jilid 1, 38.

Pemikiran Max   Weber Oleh Sarip hasan

Page 70: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Memahami Pemikiran Max Weber

Oleh: Saripuddin *

Diawali oleh esai etika protestan dan semangat kapitalisme, Weber menyebutkan agama adalah salah satu alasan utama perbedaan antara budaya barat dan timur. Ia mengaitkan efek pemikiran agama dalam kegiatan ekonomi, hubungan antara stratifikasi sosial dan pemikiran agama serta pembedaan karakteristik budaya barat. Tujuannya untuk menemukan alasan mengapa budaya barat dan timur berkembang dengan jalur yang berbeda. Weber kemudian menjelaskan temuanya terhadap dampak pemikiran agama puritan (protestan) memiliki pengaruh besar dalam perkembangan sistem ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat, namun tentu saja ini ditopang dengan faktor lain diantaranya adalah rasionalitas terhadap upaya ilmiah, menggabungkan pengamatan dengan matematika, ilmu tentang pembelajaran dan yurisprudensi, sistematisasi terhadap administrasi pemerintahan dan usaha ekonomi. Studi agama menurut Weber semata hanyalah meneliti satu emansipasi dari pengaruh magi, yaitu pembebasan dari pesona. Hal ini menjadi sebuah kesimpulan yang dianggapnya sebagai aspek pembeda yang sangat penting dari budaya yang ada di barat.

Max Weber dengan baik mengaitkan antara Etika Protestan dan Semangat

Kapitalis (Die Protestan Ethik Under Giest Des Kapitalis). Tesisnya tentang etika

protestan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi kapitalis. Ini sangat kontras

dengan anggapan bahwa agama tidak dapat menggerakkan semangat kapitalisme.

Studi Weber tentang bagaimana kaitan antara doktrin-doktrin agama yang bersifat

puritan dengan fakta-fakta sosial terutama dalam perkembangan industri modern

telah melahirkan corak dan ragam nilai, dimana nilai itu menjadi tolak ukur bagi

perilaku individu.

Karya Weber tentang The Protestan Ethic and Spirit of Capitalism

menunjukkan dengan baik keterkaitan doktrin agama dengan semangat

kapitalisme. Etika protestan tumbuh subur di Eropa yang dikembangkan seorang

yang bernama Calvin, saat itu muncul ajaran yang menyatakan seorang pada

intinya sudah ditakdirkan untuk masuk surga atau neraka, untuk mengetahui

apakah ia masuk surga atau neraka dapat diukur melalui keberhasilan kerjanya di

dunia. Jika seseorang berhasil dalam kerjanya (sukses) maka hampir dapat

dipastikan bahwa ia ditakdirkan menjadi penghuni surga, namun jika sebaliknya

Page 71: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

kalau di dunia ini selalu mengalami kegagalan maka dapat diperkirakan seorang

itu ditakdirkan untuk masuk neraka.

Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah

membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam komunitas

Protestan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna

merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan

ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja

yang tinggi di kalangan pengikut Calvinis. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi

individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial

ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia – akan menjadi

ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa

pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya

kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan

menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.

Upaya untuk merebut kehidupan yang indah di dunia dengan

“mengumpulkan” harta benda yang banyak (kekayaan) material, tidak hanya

menjamin kebahagiaan dunia, tetapi juga sebagai media dalam mengatasi

kecemasan. Etika Protestan dimaknai oleh Weber dengan kerja yang luwes,

bersemangat, sungguh-sungguh, dan rela melepas imbalan materialnya. Dalam

perkembangannya etika Protestan menjadi faktor utama bagi munculnya

kapitalisme di Eropa dan ajaran Calvinisme ini menebar ke Amerika Serikat dan

berpengaruh sangat kuat disana.

Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan

yang sangat mendukung pengejaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi.

Semangat seperti itu telah menjadi kodrat manusia-manusia rasional, artinya

pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada

memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti yang dikehendaki oleh

Kar Marx. Islam pun sebenarnya berbicara tentang kaitan antara makna-makna

doktrin dengan orientasi hidup yang bersifat rasional. Dalam salah satu ayat

disebutkan bahwa setelah menyelesaikan ibadah shalat, diperintahkan untuk

Page 72: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

bertebaran di muka bumi ini dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Namun

dalam Islam ada mekanisme penyeimbangan yang digunakan untuk membatasi

kepemilikan pribadi dengan kewajiban membayar zakat, infaq dan shadaqah.

Menurut Max Weber bahwa suatu cara hidup yang teradaptasi dengan baik

memiliki ciri-ciri khusus kapitalisme yang dapat mendominasi yang lainnya

merupakan kenyataan yang real ketika masa-masa awal revolusi industri, ketika

Weber hidup, kenyataan-kenyataan itu mejadi sesuatu yang benar-benar nyata

dipraktekkan oleh manusia. Hidup harus dimulai di suatu tempat dan bukan dari

individu yang terisolasi semata melainkan sebagai suatu cara hidup lazim bagi

keseluruhan kelompok manusia.

Kita perlu mengkritik mengenai teorinya Weber tentang etika protestan dan

semangat kapitalis ini. Dalam penelusuran sejarah, ternyata setelah Weber

mempublikasikan tulisannya mengenai etika protestan justru keadaan ekonomi

masyarakat protestan semakin menurun dan disisi lain mayoritas katolik justru

sedang bangkit. Ini adalah bola api yang bisa berbalik membakar teorinya Weber

sendiri, karna etika protestan dan semangat kapitalis yang menjadi teorinya tidak

dapat dijadikan ramalan masa depan.

Selain membicarakan tentang kaitan antara Protestan dan Kapitalisme,

Weber juga membicarakan tentang agama Tiongkok yakni Konfusionisme dan

Taoisme, perhatian Weber pada agama ini tampaknya menunjukkan besarnya

perhatian Weber atas kenyataan-kenyataan sosial dalam kehidupan manusia.

Dalam tulisan-tulisannya yang lain, Weber juga sempat membicarakan masalah-

masalah Islam. Hadirnya tulisan tentang Konfusionisme dan Taoisme dalam karya

Weber ini dapat dipandang sebagai perbandingan antara makna agama di Barat

dan di Timur. Ia banyak menganalisa tentang masyarakat agama, tentu saja

dengan analisa yang rasional dan handal serta sama sekali tidak ada maksud untuk

mendiskriminasikan agama tertentu. Agama Tiongkok; Konfusianisme dan

Taonisme merupakan karya terbesar kedua dari Weber dalam sosiologi tentang

agama.

Page 73: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Weber memusatkan perhatiannya pada unsur-unsur dari masyarakat

Tiongkok yang mempunyai perbedaan jauh dengan budaya yang ada di bagian

barat bumi (Eropa) yang dikontraskan dengan Puritanisme. Weber berusaha

mencari jawaban “mengapa kapitalisme tidak berkembang di Tiongkok?” dalam

rangka memperoleh jawaban atas pertanyaan sederhana diatas, Webar melakukan

studi pustaka atas eksistensi masyarakat tiongkok. Bagaiman eksistensi itu

dipahami Weber dalam rangka menuntaskan apa yang menjadi kegelisahan

empiriknya, maka yang dilakukana adalah memahami sejarah kehidupannya,

Dalam berbagai dokumen yang diteliti oleh Weber, bahwa masyarakat

Tiongkok memiliki akar yang kuat dengan kehidupan nenek-moyang mereka

sejak tahun 200 SM,

Tiongkok pada saat itu merupakan tempat tinggal para pemimpin kekaisaran yang

membentuk benteng-benteng di kota-kota Tiongkok, disitu juga merupakan pusat

perdagangan, namun sayangnya mereka tidak mendapatkan otonomi politik,

ditambah warganya yang tidak mempunyai hak-hak khusus, hal ini disebabkan

oleh kekuatan jalinan-jalinan kekerabatan yang muncul akibat keyakinan

keagamaan terhadap roh-roh leluhur. Hal lainnya adalah gilda-gilda yang bersaing

merebutkan perkenan kaisar. Sebagai imbasnya warga kota-kota Tiongkok tidak

pernah menjadi suatu kelas setatus terpisah. Namun jika kita cermati dinegara

beragamakan Taoisme dan Konfucuisme kini mampu berkembang dan banyak

kapitalis dimana-mana mungkin hal itu sudah tidak relevan lagi dengan fakta

sosial saat ini.

Pada bagian awal buku ini weber menuliskan tentang politik dan

kekuasaan, ada berbagai hal yang menarik untuk diulas bagi banyak teoritik

sosial. Tentang Negara Weber mendifinisikan negara sebagai sebuah lembaga

yang memiliki monopoli dalam penggunaan kekuatan fisik secara sah, definisi ini

menjadi sangat berharga karna sumbangsihnya dalam studi tentang ilmu politik

barat modern. Pada bagian satu buku ini diterangkan tentang adanya tiga

justifikasi batiniah yang menjadi legitimasi dasar bagi dominasi. Legitimasi dasar

bagi dominasi ini yang pertama ialah otoritas atas masa lalu abadi atau sering

Page 74: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

disebut sebagai dominasi tradisional, karma disini ada otoritas atas adat istiadat

yang dikeramatkan. Otoritas seperti ini dipakai patriach dan penguasa patrimonial

dimasa lalu, salah satunya adalah adat yang mengangkat seorang pemimpin atas

dasar darah keturunan atau dari suku tertentu. Yang kedua merupakan otoritas

kharismatik diantaranya; ketaatan personal absolut dan keyakinan personal pada

wahyu, heroisme, atau bisa juga kualitas lain yang istimewa dari kepemimpinan

individual. Sebagai contohnya seperti yang diperaktikan seorang Nabi, pangliama

perang terpilih, atau pemimpin-pemimpin politik yang memang mempunyai

sebuah kharisma. Yang ketiga merupakan dominasi karma legalitas, dominasi ini

didasari oleh sebuah hukum yang memang sudah terbentuk. Legalitas ini timbul

karena keyakinan pada keabsahan statula legal dan komnpetensi fungsional yang

beralas pranata yang dibuat secara rasional. Contohnya pemimpin yang dipilih

secara demokratis melalui pemilu yang berdasarkan undang-undang yang berlaku

seperti halnya Negara kita dan Negara-negara lain yang demokratis.

Ada yang perlu dikritik dalam karya Weber mengenai perkembangan

rasionalisasi hukum, menurutnya perkembangan hukum diawali pewahyuan ala

kharismatik, tahapan ini merupakan penciptaan hukum dari ketiadaan hukum

sama sekali. Tahapan ini ditandai dengan mode bersifat kharimatik. Tahapan yang

kedua menurut Weber adalah penciptaan hukum secara empiris, pengadaan

hukum empiris ini tercipta melalui proses teknis yang merupakann kreatifitas

manusia itu sendiri, tahapan kedua ini ditandai dengan metodenya yang bersifat

empirical. Selanjutnya adalah tahapan imposition atau pembebanan hukum oleh

kekuatan-kekuatan sekuler, dan yang terakhir merupakan tahapan profesional,

artinya hukum yang dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai

kemampuan didalamnya karna mereka mendapatkan pendidikian formal dengan

metode ilmiah dan logis formal. Kesimpulanya Weber melihat masyarakat selalu

akan berkembang dari kharismatik tradisional menuju tahapan-tahapan yang

sudah ditentukan diatas. Tapi jika kita melihat berbagai perkembangan hukum,

proses itu tak berjalan linier menaiki tangga secara berurutan, justru perubahannya

bisa saja terjadi secara gradual atau acak. Hal ini bisa ditemukan pada kondisi

masyarakat yang mengalami revolusi. Ditengah-tengah dunia modern kita masih

menemukan fakta banyaknya masyarakat tradisional yang begitu kesulitan dalam

Page 75: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

menyesuaikan hukum yang mengikatnya oleh hukum formal yang diciptakan

negara, ini mengakibatkan kementalan antara kualitas hukum dan kualitas

masyarakat, alasannya adanya masyarakat yang tak bisa mencerna hukum

sehingga terjadi pemboikotan secara tidak langsung.

Ada kasus yang lebih menarik dikaitkan dengan perkembangan hukum

manusia saat ini, contoh beberapa negara yang menggunakan syariat Islam, tentu

saja bisa merupakan penolakan mentah-mentah atas teorinya Weber. Apa yang

disebut sebagai hukum tuhan yang berpedoman pada wahyu dari teks-teks suatu

kitab suci masih berlaku sepanjang zaman yang dijadikan hukum manusia saat ini.

Tentu tidak serta merta dapat dikatakan ketinggalan, karna berada pada tahap satu

dari perkembangan manusia yang diungkapkan Weber sebelunya, justru

kharismatik tradisional mapu melampaui hukum manusia profesiaonal sekalipun.

Buku ini bisa di ibaratkan pohon yang memiliki beberapa tandan buah,

beberapa tandan dari buku yang berkafer biru ini diantaranya mengulas tentang

agama, kekuasaan, ilmu pengetahuan dan politik. Pada bagian yang kedua dalam

buku ini merupakan esai tentang kekuasaan, didalamnya ada banyak sekali

pembahasan diantaranya mengenai struktur kekuasaan, mengenai kelas social,

status dan partai, juga birokrasi.

Weber selain dari salah satu pendiri ilmu sosiologi juga merupakan pendiri

administrasi Negara modern, dalam karyanya weber banyak menulis tentang

ekonomi dan pemerintahan. Kaitannya dengan birokrasi weber mengutarakan

banyak hal termasuk didalamnya tentang karakteristik sebuah birokrasi. Ada

beberapa karakteristik sebuah birokrasi yang merupakan kepiawaian modern yang

berfungsi secara spesifik diantaranya : adanya prinsip area yurisdiksional yang

sudah ditetapkan dan resmi, adanya prinsip-prinsip hirarki jabatan dan tingkat-

tingkat kewenangan, manajemen yang yang didasarkan pada dokumen-dokumen

tertulis juga adanya menejemen yang benar-benar terspesialisai. Pada bagian yang

tak kalah pentingnya, Weber mengulas bagaimana pemangkuan jabatan itu

merupakan sebuah panggilan. Hingga pada sebuah kesimpulan Weber melihat

birokrasi sebagai contoh klasik rasionalisasi.

Page 76: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

Cukup banyak yang bisa ditemukan dari ide-ide cemerlang Max Weber

mengenai birokrasi, sehingga saya pikir ini adalah PR bagi pembaca untuk dapat

menghatamkan tulisan dalam buku yang penuh makna ini. Bagian ini memang

merupakan acuan mengapa Weber dikatakan sebagai salah satu pendiri adanya

administrasi modern.

Buku ini merupakan jendela melihat masa lalu untuk memahami kerangka

teoritik Weber. Ia tak kalahnya dengan hantu tua Karl Marx bahkan ia menjadi

salah seorang yang membalikan perspektif teoritik Marx. Diantaranya ketika

Weber mengatakan pada suatu kesimpulan bahwa faktor material bukanlah satu-

satunya faktor yang dapat mempengaruhi gagasan, namun sebaliknya gagasan itu

sendiri mempengaruhi struktur material. Weber juga mencoba melengkapi

kekurangan dari marx terbukti didalam karyanya mengenai stratifikasi dimana

stratifikasi sosial diperluas hingga mencakup stratifikasi berdasarkan prestis,

status atau kekuasaan. Pada dasarnya karya Weber lebih menekankan tentang

proses rasionalisasi yang selalu mendasari semua teoritiknya.

Isi buku yang diterbitkan oleh pustaka pelajar ini mempunayai bobot

nutrisi kaya teori, namun tingkat kesulitan dalam memahami bagaimana inti

permasalahannya menjadi kendala utama dalam menguasai teori dalam buku ini.

Masalah seperti ini memang sering kita temui ketika membaca karya-kaya

terjemahan asing. Banyak para tokoh yang menjelaskan teori weber ini dalam

bahasa yang sangat sderhana sehingga mudah untuk dipahami, Weber merupakan

penulis yang paling buruk dibandingkan dengan tokoh sosiologi lain dalam

menjelaskan ide gagasannya, makanya banyak kalangan begitu kesulitan

menangkap pemikiran Weber sehingga lebih memilih buku yang sudah dianalisa

oleh tokoh lain sesudah Weber. Namun dibalik itu semua Weber mempunyai ide

yang cemerlang, ia mempunyai pemikiran yang hebat yang bisa ditemukan dalam

buku ini. Kerumitan dalam memahami buku sosiologi Max Weber ini dapat

diatasi dengan kesungguhan mempelajarinya.

Buku ini seperti sebuah sumur yang dalam, dengan air sebagai gambaran

dari teorinya yang tak pernah kering sepanjang masa. Gagasan Max Weber seakan

Page 77: Tugas Mata Kuliah an Teori Sosial

tak pernah surut menghadapi musim silih berganti, ditengah-tengah bayak teoritis

baru bermunculan justru ia dapat berjasa dalam perkembangan sosiologi

sepanjang zaman.

Menurut hemat penulis, buku ini sangat penting dibaca oleh Dosen,

Mahasiswa, pemerhati masalah-masalah agama, politik, birokrasi dan siapa saja

yang memiliki perhatian pada dunia ilmu. Buku ini tidak hanya menjadi “wajib’

dibaca oleh ilmuan-ilmuan sosial, melainkan mereka yang concern pada masalah-

masalah agama dan politik.

Saripuddin adalah Mahasiswa Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunanan Kalijaga, Yogyakarta