Tugas Kgd Bedah Dalam .

7
Disusun Untuk Memenuhi Tugas KGD BEDAH DALAM Dosen pembimbing : Ns. Dwi Nuraini, S.Kep OLEH AHMAD JUPRI (10.7.004) PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA HUSADA SEMARANG 2012/2013

description

Tugas Kgd Bedah Dalam .

Transcript of Tugas Kgd Bedah Dalam .

Disusun Untuk Memenuhi Tugas KGD BEDAH DALAMDosen pembimbing : Ns. Dwi Nuraini, S.Kep

OLEHAHMAD JUPRI (10.7.004)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANSEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIDYA HUSADA SEMARANG2012/2013

Misteri Guillain Barre Syndrom Serang Saraf Sebabkan KelumpuhanJumat, 07/06/2013 |Pilihan:Kesehatan|Editor:admin

Jangan sepelekan penyakit flu yang tampaknya biasa. Demikian juga jika bagian tubuh tertentu kerap merasa kebas, kesemutan, atau nyeri. Bisa jadi itu tanda-tanda awal terjadinya sindrom Guillain-Barr, yaitu saat sistem kekebalan tubuh justru menjadi jahat dan menyerang tubuh.Sindrom Guillain-Barr atau SGB kerap juga disebut radang polineuropati demyelinasi akut (acute inflammatory demyelinating polyneuropathy/AIDP). Atau dengan bahasa lain, peradangan akut yang menyebabkan rusaknya sel saraf, yang tidak jelas penyebabnya.Penyakit itu dapat menyerang siapa saja. Belum ada yang bisa memprediksi kedatangannya, progresnya, hingga tingkat keparahannya. Pernah terjadi, dokter ahli saraf dan penyakit dalam pun meninggal karena sindrom ini.Georges Guillain, Jean-Alexandre Barr, dan Andr Strohl menemukan sindrom tersebut pada tahun 1916. Mereka mendiagnosis dua tentara yang menunjukkan keabnormalan pada peningkatan produksispinal fluid protein.Saat ini diagnosis SGB dapat dilakukan dengan menganalisis cairan otak. Kenaikan jumlah sel darah putih pada cairan otak mengindikasikan terjadinya infeksi. Selain itu, bisa juga dilakukan denganelectrodiagnostic,yaitu dengan memeriksa normal tidaknya konduksi sel-sel saraf. Kasus SGB terakhir terjadi di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pasien RS Islam Sultan Agung, Semarang, bernama Susanti (28) akhirnya meninggal dunia karena sindrom ini. Serangan SGB yang diderita Susanti rupanya sudah parah hingga menyerang otot paru-parunya dan menyebabkan infeksi. Kondisinya terus menurun, dan Susanti tidak tertolong lagi.Akhir-akhir ini banyak media yang memberitakan sebuah penyakit langka yang tengah diderita oleh salah satu mahasiswi FKIP UNS Solo, Aqin Rizka Ayanti. Penyakit yang diderita mahasiswi tersebut memang termasuk penyakit langka, berbahaya dan dengan biaya pengobatannya juga tidak sedikit.Dokter Spesialis Saraf Rumah Sakit Islam Yarsis Surakarta, Prof. DR. Dr. Rusdi Lamsudin, M.Med.Sc, SpS(K) mengatakan penyakit ini diawali dengan munculnya penyakit biasa, seperti didahului oleh radang tenggorokan maupun diare. Namun, setelah beberapa hari akan diikuti dengan rasa kesemutan dan kemudian mati rasa dari kaki dan bisa menjalar ke bagian tubuh lain. Awalnya memang seperti penyakit lain, seperti radang tenggorokan atau diare, tetapi diikuti dengan kesemutan di kaki, jelasnya.Dr Rusdi mengatakan bahwa penderita penyakit bisa kembali sembuh total, asalkan segera mendapatkan penanganan dan tidak terlambat di bawa ke rumah sakit. Penyebaran penyakit ini sangat cepat. Jika dalam lima hari penderita tidak tertangani, maka penderita akan mengalami kelumpuhan. Tetapi jika segera tertangani maka penderita bisa sembuh secara total. Jika saat merasa kesemutan dan kaki mulai merasakan mati rasa penderita segera dibawa ke rumah sakit, maka penderita masih bisa disembuhkan, paparnya.Dijelaskannya, pada kondisi normal, tubuh akan menghasilkan antibodi untuk melawan antigen (zat yang merusak tubuh) ketika tubuh terinfeksi penyakit, virus, atau bakteri. Pada kasus SGB, antibodi malah menyerang sistem saraf tepi dan menyebabkan kerusakan sel saraf. Hal ini ditimbulkan karena antibodi merusak selaputmyelinyang menyelubungi sel saraf (demyelinasi). Kerusakan yang ditimbulkan dimulai dari pangkal ke tepi atau dari atas ke bawah. Kerusakan tersebut akan menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensibilitas. Jika kerusakan terjadi sampai pangkal saraf maka dapat terjadi kelainan pada sumsum tulang belakang, ujarnya.Diungkapkan Prof Rusdi, gejala yang timbul pada penderita SGB adalah kehilangan sensitivitas, seperti kesemutan, kebas (mati rasa), rasa terbakar, atau nyeri, dengan pola persebaran yang tidak teratur dan dapat berubah-ubah. Kelumpuhan pada pasien SGB biasanya terjadi dari bagian tubuh bawah ke atas atau dari luar ke dalam secara bertahap, namun dalam waktu yang bervariasi. Penderita SGB parah, kerusakan dapat berdampak pada paru-paru dan melemahkan otot-otot pernapasan sehingga diperlukan ventilator untuk menjaga pasien agar tetap bertahan. Jika sudah menyerang paru-paru ini harus dipasang ventilator, supaya pasien bisa bertahan, paparnya. Kondisi penderita dapat bertambah parah karena kemungkinan terjadi infeksi di dalam paru-paru akibat berkurangnya kemampuan pertukaran gas dan kemampuan membersihkan saluran pernapasan. Kematian umumnya terjadi karena kegagalan pernapasan dan infeksi yang ditimbulkan.Diungkapkannya, penyebab penyakit GBS yang pasti sampai saat ini belum diketahui. Tetapi pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang paling sering menyebabkan penyakit ini adalahCytomegalovirus(CMV), HIV,MeaslesdanHerpes Simplex Virus. Sedangkan untuk penyebab bakteri paling sering olehCampylobacter Jejuni. Virus ini bisa diperoleh dari berbagai media, makanan, minuman, air maupun udara, ungkapnya.

Tidak terjadi infeksiSindrom ini, seperti penyakit autoimun yang lain, termasukself remittance disease.Sebenarnya penderita dapat sembuh dengan sendirinya dalam jangka waktu sekitar enam bulan. Dengan catatan, tidak terjadi infeksi pada tubuh penderita.Yang menyebabkan kematian biasanya karena terjadi gagal napas dan infeksi yang timbul. Namun, itu juga tidak dapat dipastikan, kata Amien. Penanganan pada penderita SGB biasanya dilakukan denganplasma exchange, tindakan yang mirip cuci darah, dengan mengganti plasma darah menggunakan alat bernamaplasmaferesis.Hal itu dapat menolong penderita untuk bertahan atau mencapai kondisi yang lebih baik. Namun, tidak semua rumah sakit memiliki alat ini.Alternatif lain adalah dengan pemberianintravenous immunoglobulin(IVIg) dosis tinggi selama lima hari untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Namun, obat ini tidak murah, bahkan tergolong sangat mahal, dan tak semua pasien mampu membeli.Ada satu cara lagi yang dimungkinkan, yaitu dengan pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Kortikosteroid biasanya diberikan sebagai antiradang. Walaupun dalam banyak literatur disebutkan pemberian kortikosteroid tidak dapat memberi pengaruh yang berarti, pada beberapa kasus, kata Amien, ternyata dapat membantu.Harga kortikosteroid pun jauh lebih murah dari padaimmunoglobulin. Dengan demikian, pasien yang tidak mampu biasanya diberikan terapi ini dan pada beberapa kasus ternyata berhasil.Bagi mereka yang berhasil sembuh, SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh. Sebab, sel saraf merupakan jaringan yang paling bodoh sehingga ketika rusak tidak bisa lagi kembali normal dengan sendirinya. Meski bisa disembuhkan tetapi pasien yang berhasil sembuh dari SGB tetap menyisakan kelemahan fungsi tubuh karena sel saraf merupakan jaringan yang tidak bisa kembali dengan sendirinya ketika mengalami kerusakan. Untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya kembali, seperti berjalan, makan, berbicara, atau menulis, pasien harus melakukan terapi dan latihan secara teratur. Dalam jangka waktu satu tahun atau lebih, 85 persen penderita SGB dapat kembali normal. Bisa sembuh secara normal jika pengobatan berhasil, dan harus melakukan terapi, jelasnya.Tri Sulistiyani