Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

31
TREN KONFLIK DAN KEKERASAN BARU DI INDONESIA SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA OLEH MANIK SUKOCO NIM 15730251008 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016

Transcript of Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Page 1: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

TREN KONFLIK DAN KEKERASAN BARU DI INDONESIA

SERTA IMPLIKASI KEBIJAKANNYA

OLEH MANIK SUKOCO NIM 15730251008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2016

Page 2: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  1      

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Proses demokratisasi di Indonesia saat ini sudah menjadi perhatian dunia

luar terutama sejak runtuhnya rejim otoriter Soeharto. Proses transisi demokrasi

ini tidak berlangsung secara mulus tanpa hambatan. Sejak proses reformasi

politik yang berlangsung pasca lengsernya Presiden Soeharto, beragam konflik

dan kekerasan masih terjadi di berbagai wilayah, mulai dari Sabang sampai

Merauke.

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan, telah menjadi

kajian banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal

manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai

wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat mendasar.

Konflik berskala besar di Indonesia secara statistik bisa dikatakan telah

berakhir atau setidaknya intensitasnya berkurang seiring dengan konsolidasi

demokrasi di Indonesia. Namun, jika meninjau kekerasan yang terjadi di

Indonesia selama 5 tahun terakhir, berbagai faktor yang memicu dan mendorong

beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik

lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Menilik dari data statistik Conflict and Development Program yang

dikembangkan oleh World Bank, kini muncul tren kekerasan baru yang cukup

mengkhawatirkan yaitu: 1) kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat

terhadap demokratisasi dan penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan

rutin baik berupa bentrokan antar kelompok geng (preman), pengeroyokan

terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan yang terjadi di beberapa

kawasan di Indonesia.

Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat terhadap demokratisasi

khususnya dalam penyelengaraan Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang

kurang akurat, pemilih ganda, persoalan pencalonan, penggantian pasangan

calon dalam proses perbaikan syarat administrasi, pembelian suara secara

massif, kampanye hitam, serta money politics, yang seringkali berakhir dengan

adanya kekerasan yang mengarah ke anarkisme.

Adapun kekerasan rutin berupa bentrokan antar kelompok geng

(preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian masalah lahan

merupakan fenomena penting bukan hanya karena dampak fisiknya, tapi juga

Page 3: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  2      

karena kekerasan tersebut berpotensi menciptakan budaya kekerasan dimana

keluhan sering diselesaikan dengan kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus

balas dendam dan menipiskan kepercayaan pada institusi negara.

Tingginya tingkat kekerasan rutin dan kekerasan politik yang belakangan

terjadi di Indonesia memerlukan perhatian dan penanganan yang lebih serius

karena potensi konflik dan kekerasan ini dapat mengarah pada pembentukan

jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang sewaktu-waktu dapat dimobilisasi

dan berkontribusi pada ketegangan-ketegangan sosial dan politik yang sudah

ada, sebagaimana terjadi pada berbagai konflik berskala besar pada masa

sebelumnya.

Dampak signifikan dan meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan

menekankan perlunya pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan

pencegahan konflik dalam agenda kebijakan.

Page 4: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  3      

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konflik

1. Definisi Konflik

Konflik merupakan serapan dari bahasa Inggris conflict yang berarti

percekcokan, perselisihan, pertentangan (Echols dan Hassan Shadily, 1990: 138).

Konflik juga diartikan sebagai, “…a state of disaggreement or argument between

opposing groups or opposing ideas or principles, war or battle, struggle to be in

opposition; disagree (LDOCE2, 1987: 212)”. Konflik dalam definisi ini diartikan

sebagai ketidakpahaman atau ketidaksepakatan antara kelompok atau gagasan-

gagasan yang berlawanan. Ia juga bisa berarti perang, atau upaya berada dalam

pihak yang berseberangan. Atau dengan kata lain, ketidaksetujuan antara

beberapa pihak. Apabila dikaitkan dengan istilah sosial, maka konflik sosial bisa

diartikan sebagai suatu pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat

menyeluruh dalam kehidupan. Dengan kata lain interaksi atau proses sosial

antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau setidaknya

membuatnya tidak berdaya. Konflik juga bisa diartikan sebagai situasi dimana

para aktor menggunakan perilaku konflik melawan satu sama lain dalam

menyelesaikan tujuan yang berseberangan atau mengekspresikan naluri

permusuhan (Susan, 2010: 63).

Konflik merupakan pertentangan yang ditandai oleh pergerakan dari

beberapa pihak sehingga terjadi persinggungan. Ia merupakan warisan

kehidupan sosial sebagai akibat adanya ketidaksetujuan, kontroversi atau

pertentangan antara dua atau lebih pihak yang berlangsung terus menerus.

(Susan 2010: 8). Sedangkan Wirawan (2010) mendefinisikan konflik sebagai

proses pertentangan yang diekspresikan di antara dua pihak atau lebih yang

saling tergantung mengenai objek konflik, menggunakan pola perilaku dan

interaksi konflik yang menghasilkan keluaran konflik. Secara sosiologis, konflik

lahir karena adanya perbedaan-perbedaan yang tidak atau belum dapat diterima

oleh satu individu dengan individu lain atau antara suatu kelompok dengan

kelompok tertentu. Perbedaan tersebut meliputi perbedaan antara individu-

individu (ciri-ciri badaniah), perbedaan unsur-unsur kebudayaan, emosi,

perubahan sosial yang terlalu cepat, perbedaan pola-pola perilaku, dan

perbedaan kepentingan.

Page 5: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  4      

Bagi Madjid (1993), konflik merupakan bentuk misinteraktif yang terjadi

pada tingkatan individual, interpersonal, kelompok atau pada tingkatan

organisasi. Konflik organisasi merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak

yang satu sama lain berhubungan dan saling tergantung, namun terpisahkan oleh

perbedaan tujuan. Konflik dalam organisasi sering terjadi tidak simetris terjadi

hanya satu pihak yang sadar dan memberikan respon terhadap konflik tersebut.

Atau, satu pihak mempersepsikan adanya pihak lain yang telah atau akan

menyerang secara negatif. Konflik merupakan ekspresi pertikaian antara individu

dengan individu lain, kelompok dengan kelompok lain karena beberapa alasan.

Dalam pandangan ini, pertikaian menunjukkan adanya perbedaan antara dua

atau lebih individu yang diekspresikan, diingat, dan dialami. Konflik dapat

dirasakan, diketahui, diekspresikan melalui perilaku-perilaku komunikasi.

Konflik senantisa berpusat pada beberapa penyebab utama, yakni tujuan yang

ingin dicapai, alokasi sumber-sumber yang dibagikan, keputusan yang diambil,

maupun perilaku setiap pihak yang terlibat. Interaksi yang disebut komunikasi

antara individu yang satu dengan yang lainnya, tak dapat disangkal akan

menimbulkan konflik dalam level yang berbeda-beda.

Pada tilikan sosiologis, manusia dalam hidupnya tidak bisa hidup sendiri.

Dibanding makhluk lain, sebutlah misalnya hewan atau tumbuhan, manusia

merupakan makhluk dengan tingkat ketergantungan paling tinggi. Dengan

demikian, interaksi dengan sesama manusia jelas tidak terhindarkan. Dalam pola

dan ragam interaksi muncul konflik sebagai konsekuensi perbedaan perasaan,

kebutuhan, keinginan, harapan-harapan dan lain-lain. Manusia makhluk sosial.

Ia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga lingkungan secara

keseluruhan. Dengan demikian, interaksi menjadi keniscayaan. Interaksi antar

manusia, kelompok atau antarnegara tidak pernah steril dari kepentingan,

penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Interaksi bermuatan konflik pada

prinsipnya setua sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk

konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan,

pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa (Susan, 2010: 8).

2. Konflik Sosial

Konflik sosial merupakan gambaran tentang terjadinya percekcokan,

perselisihan, atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan-perbedaan yang

muncul dari kehidupan masyarakat, baik perbedaan secara individual maupun

perbedaan kelompok. Menurut Irving (1995) pada umumnya konflik sosial

Page 6: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  5      

mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antara

pribadi, kelompok melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan

peperangan Internasional. Konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai

dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-

sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-

saingannya. Soerjono Soekanto (2006) menambahkan bahwa pertentangan

masyarakat mungkin pula menjadi penyebab terjadinya perubahan sosial dan

kebudayaan.

Konflik adalah kenyataan yang melekat pada masyarakat. Adanya tertib

sosial seperti adanya sistem nilai yang disepakati bersama tidak secara otomatis

dapat menghilangkan konflik. Bahkan merupakan cerminan adanya konflik yang

bersifat potensial dalam masyarakat (Munandar Soelaeman, 2008: 76).

Kenyataan konflik ini padat dibuktikan dengan fakta sebagai berikut:

a. Setiap struktur sosial di dalam dirinya mengandung konflik-konflik dan

kontradiksi yang bersifat internal, sehingga dapat merupakan sumber

terjadinya perubahan sosial.

b. Reaksi dari sistem sosial terhadap perubahan yang datang dari luar yang

tidak selalu bersifat mengatur.

c. Sistem sosial dalam waktu yang panjang dapat mengalami konflik-konflik

sosial yang bersifat melekat (kronis).

d. Perubahan sosial yang terjadi dalam suatu sistem tidak selamanya bersifat

perlahan tetapi dapat pula terjadi secara revolusioner.

3. Potensi Konflik

Giddens (dalam Susan, 2009) mengemukakan bahwa pendekatan

primordial menganggap konflik sebagai akibat dari pergesekan kepentingan

kelompok identitas, seperti; identitas yang berbasis pada etnis, keagamaan,

budaya, geografis, bangsa, bahasa, tribal, kepercayaan, religius, kasta, dan lain

sebagainya. Pendapat Giddens menyiratkan makna bahwa pendekatan

primordial melihat identitas-identitas tersebut merupakan potensi konflik,

dimana potensi konflik itu dibentuk melalui serangkaian proses panjang, yang

diwariskan secara turun-temurun melalui sosialisasi dalam institusi keluarga.

Adanya hal ini memperkuat asumsi bahwa potensi tersebut telah mengakar

dalam diri individu. Dalam konteks ini, konflik dalam pendekatan primordial

biasanya dapat muncul ke permukaan dengan melibatkan kebencian, dendam,

prasangka (prejudice), dan stereotip yang sifatnya ekstrim. Prasangka oleh

Page 7: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  6      

Soenarto (2003) didefinisikan sebagai sikap bermusuhan yang ditujukan pada

kelompok tertentu atas dasar dugaan bahwa kelompok tersebut mempunyai ciri-

ciri yang tidak menyenangkan. Prasangka umumnya bersifat tidak rasional serta

berada di bawah alam sadar, ini yang menyebabkan mengapa prasangka sulit

untuk dihilangkan meski kebenaran mengenai prasangka yang dianut telah

disangkal melalui bukti-bukti nyata.

Kornblum (dalam Soenarto, 2003) mengutarakan bahwa stereotip adalah

citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa

memperhatikan kebenaran citra tersebut. Dalam pandangan sosiologis, stereotip

memiliki dua sifat yakni positif dan negatif. Stereotip yang bersifat positif

biasanya membawa keuntungan, sedangkan stereotip yang bersifat negatif justru

menjadi potensi konflik antarkelompok, baik etnis maupun agama. Senada

dengan Kornblum, Thung Ju Lan (2006) mengatakan bahwa setiap etnik atau ras

cenderung mempunyai semangat dan ideologi yang etnosentris, yang

menyatakan bahwa kelompoknya lebih superior daripada kelompok etnik atau

ras lain. Terjadinya tidak saling mengenal identitas budaya orang lain, bisa

mendorong meningkatnya prasangka terhadap orang lain, berupa sikap antipati

yang didasarkan pada kesalahan generalisasi yang diekspresikan sebagai

perasaan. Selanjutnya, oleh Pelly (dalam Sitorus, 2003) perbedaan-perbedaan

tersebut dianggap akan mempengaruhi harmoni konsensus dan intensitas

potensi konflik karena picuan perbedaan kepentingan, terutama bila terdapat

kelompok-kelompok yang ingin tetap dominatif melalui kiat mengail di air keruh

dari suatu kondisi yang dipenuhi oleh ketegangan sosial.

4. Jenis-Jenis Konflik Sosial

Konflik pada hakikatnya terbagi atas dua jenis, yakni konflik vertikal atau

konflik antara kelas atas (penguasa) dan kelas bawah (yang dikuasai), serta

konflik horizontal atau konflik yang terjadi di antara kelas yang sama.

Abu Ahmadi (2007) membagi konflik menjadi 4 macam yaitu:

a. Konflik-konflik antara atau dalam peranan sosial. Misalnya antara peran-

peran dalam keluarga atau profesi, seperti peranan seorang suami dan istri

dalam mendapatkan penghasilan.

b. Konflik-konflik antara kelompok-kelompok sosial.

c. Konflik-konflik antar kelompok-kelompok yang terorganisasi dan tidak

terorganisasi.

Page 8: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  7      

d. Konflik-konflik antara satuan nasional, seperti antara partai politik. Antara

negara atu organisasi-organisasi internasional.

Adapun dilihat dari bentuknya, konflik sosial mempunyai bebarapa

bentuk, antara lain adalah sebagai berikut:

a. Konflik pribadi, yaitu pertentangan yang terjadi secara perorangan seperti

pertentangan antara dua orang teman, suami istri, pedagang dan pembeli,

atasan dan bawahan, dan sebagainya.

b. Konflik kelompok yaitu pertentangan yang terjadi antar kelompok seperti

pertentangan antara dua kelompok pelajar yang berbeda sekolah, antara dua

keseblasan sepak bola. Antara dua partai politik, dan sebagainya.

c. Konflik antara kelas sosial, yaitu petentangan yang terjadi antara dua kelas

sosial yang berbeda, seperti antara kelas orang kaya dengan kelas orang

miskin, antara masyarakat kulit putih dengan kulit hitam, antara pemerintah

(penguasa) dengan rakyat dan sebagainya.

d. Konflik rasial, yaitu pertentangan yang terjadi antar ras, seperti ras kulit

hitam dengan kulit putih (apartheid).

e. Konflik politik, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat karena

perbedaan paham dan aliran politik yang dianut, seperti pertentangan antara

masyarakat penjajah dengan yang dijajah, antar golongan politik dan

sebagainya.

f. Konflik budaya, yaitu pertentangan yang terjadi dalam masyarakat akibat

akibat perbedaan budaya. Seperti pertentangan antara, budaya modern,

antara budaya daerah yang satu dengan yang lainnya.

5. Situasi Konflik

Abu Ahmadi (2007) membagi situasi konflik menjadi 3 tipe situasi yaitu:

konflik inter-individu, konflik antar individu, konflik antara kelompok sosial

a. Konflik Inter-individu.

Konflik Inter-Individu adalah merupakan tipe yang paling erat kaitannya

dengan emosi individu hingga tingkat keresahan yang paling tinggi. Lebih

lanjut konflik muncul dari dua penyebab; karena kelebihan beban atau kerena

ketidaksesuaian seseorang dalam melaksanakan peranan (person role

incompatibilities). Kondisi pertama seseorang mendapat “beban berlebihan

“akibat status (kedudukan) yang memiliki, sedang dalam yang kedua

seseorang memang tidak memiliki kesesuain yang cukup untuk melaksanakan

peranansesuai dengan statusnya.

Page 9: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  8      

b. Konflik antara individu

Antara individu seseorang dengan satu orang atau lebih, sifatnya kadang-

kadang subtansif menyangkut perbedaan gagasan, pendapat, kepentingan;

atau bersifat emosional-menyangkut perbedaan selera, perasaan like/dislike

(suka tidak suka). Setiap orang pernah mengalami situasi konflik semacam ini,

ia banyak mewarnai tipe-tipe konflik kelompok maupun konflik oraganisasi.

Karena konflik tipe ini berbentuk konfrontansi dengan seseorang atau lebih,

maka konflik antar individu ini juga merupakan target yang perlu dikelola

secara baik.

c. Konflik antara kelompok sosial

Konflik ini merupakan konflik yang banyak dijumpai dalam kenyataan hidup

manusia sebagai mahluk sosial, karena mereka hidup dalam kelompok-

kelompok. Ada lima tipe kelompok sosial kategori statistik, kategori sosial,

kelompok sosial kelompok tidak teratur, dan organisasi formal.

Rothchild dan Sriram (dalam Wirawan, 2010) membagi konflik

antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya:

a. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi

namun dalam intensitas yang rendah. Factor structural, sosio-ekonomi,

kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai

tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.

b. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh

kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan

dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang

dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya

kekerasan makin tinggi.

c. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana

persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur,

politik, dan struktural) memicu terjadinya eskalasi. Fase ini ditandai dengan

adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi

antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama

lain dan merasa tidak dapat berkompromi.

d. Fase pascaskonflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami

penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali

hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat

konflik untuk menghindari terulangnya kekerasan. Fase ini terbagi atas dua

Page 10: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  9      

bagan yang terpisah, yakni: 1) fase keamanan jangka pendek (security-

building phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta 2) fase

keamanan jangka panjang (long-term institution building phase) dimana

rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali

hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.

6. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa steril dari interaksi, baik

sosial, politik, budaya, agama dan lain-lain. Perbedaan ciri-ciri bawaan individu

dalam suatu interaksi seperti ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat,

keyakinan, dan lain sebagainya menjadikan konflik sebagai situasi wajar dalam

setiap masyarakat. Dengan kata lain, konflik hanya akan hilang bersamaan

dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

Dalam ranah interaksi tersebut, konflik kepentingan dan penegasan

identitas akan muncul dalam skala berbeda seperti dikemukakan Novri dengan

konflik antar-orang (interpersonal conflict), konflik antar-kelompok (intergroup

conflict), konflik antar kelompok dengan negara (vertical conflict), dan konflik

antar negara (interstate conflict).

Konflik, terutama yang mengambil bentuk kekerasan telah menjadi kajian

banyak psikolog terutama dalam kaitannya dengan aspek-aspek internal

manusia. Sigmund Freud misalnya memandang konflik atau kekerasan sebagai

wujud frustasi dari suatu dorongan libidinal yang bersifat dasariyah. Konflik yang

mengambil bentuk kekerasan merupakan proyeksi dari bagian-bagian gelap yang

ditekan ke dalam bagian tidak sadar, yang kalau direpresi akan sangat berbahaya,

bersifat jahat kemudian diproyeksikan pada orang lain (Friedmad, 1988: 22).

Suatu konflik dapat terjadi apabila seseorang atau kelompok terhalang

upayanya dalam mencapai tujuannya. Hal ini dapat disebabkan karena

perbedaan paham terhadap tujuan itu sendiri, nilai-nilai sosial dan norma-

norrma sosial, maupun terhadap tindakan dalam masyarakat. Terlebih lagi

sanksi atas pelanggaran yang terjadi di atas nilai dan norma tidak dilaksanakan

dengan adil, konflik dapat berubah menjadi tindakan kekerasan.

Dewasa ini, konflik bisa disebabkan oleh adanya perpecahan bangsa,

perkembangan yang timpang, bentrokan kultural serta gerakan-gerakan

pembebasan. Simmel dalam Susan (2010: 56-71), menyebut sumber konflik

sebagai keagresifan atau permusuhan (hostile feeling) yang ada secara laten

dalam diri manusia. Namun demikian, hostile feeling belum tentu menyebabkan

Page 11: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  10      

konflik secara terbuka (covert conflict). Konflik terbuka bisa terjadi selain

memang karena adanya hostile feeling, juga adanya perilaku permusuhan (hostile

behavior) dalam masyarakat. Sedangkan bagi Nurcholis Madjid, diantara sebab

konflik ialah pandangan dunia atau vision de monde yang keliru (Madjid,

1993:3).

Konflik sosial dalam masyarakat menjadi keniscayaan yang bisa

disebabkan karena beberapa faktor seperti: Pertama, perbedaan pendirian atau

perasaan individu. Kedua, Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga

membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Ketiga, Perbedaan kepentingan antara

individu atau kelompok, baik menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya atau

agama, juga berpotensi konflik. Keempat, perubahan-perubahan nilai yang cepat

dan mendadak dalam masyarakat (Friedmad, 1988: 97-106).

Adapun faktor-faktor yang menjadi akar terjadinya konflik sosial menurut

adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan antar anggota masyarakat, baik secara fisik maupun mental, atau

perbedaan kemampuan, pendirian, dan perasaan sehingga menimbulkan

pertikain atau bentrokan antara mereka.

b. Perbedaan pola kebudayaan, seperti perbedaan adat istiadat, suku bangsa,

agama bahasa, paham politik, pandangan hidup dan budaya daerah lainnya,

sehingga mendorong timbulnya persaingan dan pertentangan bahkan

bentrokan di antara anggota masyarakat tersebut.

c. Perbedaan status sosial, seperti kesenjangan sosial antara si kaya dan si

miskin, generasi tua dan generasi muda dan sejenisnya,merupakan factor

penyebab terjadinya konflik sosial.

d. Perbedaan kepentingan antar-anggota masyarakat baik secara pribadi

maupun kelompok, seperti perbedaan kepentingan polik, ekonomi, sosial

budaya, agama dan sejenisnya merupakan faktor penyebab timbulnyaa

konflik sosial.

e. Terjadi perubahan sosial, antara lain berupa perubahan sistem nilai, akibat

masuknya sistem nilai baru yang mengubah masyarakat tradisional menjadi

masyarakat modern, juga menjadi faktor pemicu terjadinya konflik sosial

(Abu Ahmadi, 2007: 291).

Robbins Walton dalam Kenneth (1995: 220-225) mengemukakan bahwa

konflik terjadi disebabkan oleh berbagai jenis kondisi pendahulu enam kategori

penting dari kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) meliputi: a)

persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources), b)

Page 12: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  11      

ketergantungan tugas (task interdependence), c) kekaburan batas-batas bidang

kerja (jurisdictional ambiquity), d) masalah status (status problems), e) masalah

komunikasi (communication problems) dan f) sifat-sifat individu (individual

traits)

7. Dampak-Dampak Terjadinya Konflik Sosial

Konflik dapat memiliki dampak yang positif dan negatif. Kenneth (1995)

mengatakan bahwa akibat-akibat negatif dari konflik terutama terletak pada

kahancuran komunikasi, keterjalinan, serta kerja sama. Sedangkan dampak

positif konflik adalah menguji kemampuan individu atau kelompok untuk

mempertahankan ketegarannya serta menyesuaikan diri terhadap lingkungan

yang sedang berubah.

Memperjelas pernyataan Kenneth, Abu Ahmadi (2007) meyatakan bahwa

ada 2 akibat konflik sosial antara lain adalah sebagai berikut:

a. Yang bersifat konflik

1) Bertambahnya solidaritas dalam kelompok sendiri (in group

solidarity).

2) Muncul pribadi-pribadi yang kuat atau tahan uji menghadapi berbagai

situasi konflik.

3) Munculnya kompromi baru apabila pihak yang berkonflik dalam

kekuatan seimbang. Misalnya, adanya kesadaran dari pihak-pihak yang

berkonflik untuk bersatu kembali, karena dirasakan bahwa konflik

yang berlarut tidak membawa keuntungan bagi kedua belah pihak.

b. Yang bersifat destruktif

1) Retaknya persatuan kelompok

2) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia (bahwa konflik

sudah berubah menjadi kekerasan);

3) Berubahnya sikap dan kepribadian individu baik yang mengarah ke

hal-hal yang positif maupun ke hal-hal yang negatif. Munculnya

dominasi kelompok yang menang terhadap kelompok yang kalah.

B. Kekerasan

Berbicara mengenai kekerasan (violence) berarti kita harus

membicarakan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan kekerasan. Douglas

dan Waksler dalam Santoso (2002: 11) menjelaskan bahwa kekerasan digunakan

untuk menggambarkan perilaku baik yang terbuka atau tertutup dan baik yang

Page 13: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  12      

bersifat menyerang atau bertahan yang disertai penggunaan kekuatan kepada

orang lain, sehingga kekerasan dapat diidentifikasi menjadi: 1) kekerasan

terbuka, misalnya perkelahian; 2) kekerasan tertutup, misalnya mengancam: 3)

kekerasan agresif, missal untuk mendapatkan sesuatu; 4) kekerasan defensif,

misal untuk perlindungan.

Mahatma Gandhi berpendapat bahwa kekerasan bisa dihapus kalau kita

tahu penyebabnya. Penyebab kekerasan terletak pada struktur yang salah, bukan

pada aktor jahat di pihak lain (Santoso, 2002, 168).

Galtung (2002) menyatakan bahwa kekerasan didefinisikan sebagai

penyebab perbedaan antara potensial dan yang aktual artinya apa yang bisa atau

mungkin diaktualisasikan harus direalisasikan. Galtung juga membedakan antara

kekerasan personal dan kekerasan struktural. Kekerasan personal bersifat

dinamis, mudah diamati, dan memperlihatkan fluktuasi hebat yang dapat

menimbulkan perubahan. Sedangkan kekerasan struktural sifatnya statis,

memperlihatkan stabilitas tertentu, dan tidak tampak.

Lain halnya dengan Camara (2000) yang menjelaskan bahwa

ketidakadilan adalah sebuah kekerasan mendasar (kekerasan nomor 1),

kemudian kekerasan nomor 1 itu memancing kekerasan nomor 2 berupa

pemberontakan, selanjutnya kekerasan nomor 2 mengundang datangnya

kekerasan nomor 3 yaitu berbentuk represi. Proses dari ketiga kekerasan tersebut

seperti spiral karena kekerasan demi kekerasan saling mendorong atau terpilin-

pilin maka terbentuklah “spiral kekerasan”.

Gurr dalam Istania (2009: 3-4) membagi tiga macam kategori kekerasan

pada satu wilayah ataupun bangsa berdasarkan magnitude atau daya rusaknya,

yaitu: a) kerusuhan, ciri spontan, tidak terorganisir dengan tingkat partisipasi

populer cukup besar, termasuk mogok berujung kekerasan, kerusuhan, benturan

politik, dan pemberontakan lokal, b) konspirasi, ciri kekerasan politik

terorganisasi secara baik dengan partisipasi terbatas, terorisme skala kecil,

perang gerilya skala kecil, kudeta, dan pembangkangan militer, c) perang

internal, ciri kekerasan politik terorganisir rapih dengan partisipasi luas, didesain

menjatuhkan rejim atau menghancurkan negara dan disertai dengan kekerasan

meluas, termasuk terorisme skala besar dan perang gerilya, dan revolusi.

Selanjutnya studi yang dilakukan Gurr dalam Surwandono (2009: 10),

menguak bahwa kekerasan muncul sebagai akibat terciptanya deprivasi relatif,

yakni terdapatnya kesenjangan antara sesuatu yang diharapkan (expectation)

dengan sesuatu yang diperoleh (realities). Semakin lebar jarak kesenjangan

Page 14: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  13      

antara ekspektasi dengan apa yang diperoleh akan memperbesar peluang

terjadinya konflik dan kekerasan.

1. Kekerasan Terkait Pemilukada

Berbicara mengenai tren kekerasan terutama kekerasan politik yang

terjadi di Indonesia belakangan ini, lembaga pengkaji masalah sosial politik,

Internasional Crisis Group (ICG), mencatat sekitar 10% dari 200 Pemilukada

yang diselenggarakan pada 2010 telah diwarnai aksi kekerasan. Misalnya

kekerasan yang terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, Tana Toraja di Sulawesi

Selatan, dan Toli-toli di Sulawesi Tengah. Temuan lembaga ini menunjukkan

bahwa kekerasan dalam Pemilukada dipicu oleh lemahnya posisi penyelenggara

Pemilukada (KPUD) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang tidak

independen dan tidak cerdas, serta konflik antar peserta Pemilukada.

Data dari Crisis Group Asia Report N°197 (2010: i) menjelaskan bahwa

jumlah kekerasan yang terjadi dalam 224 Pemilukada yang terjadwal pada 2010

tidak sampai 10% (20 kasus kekerasan), sedangkan sepanjang Pilkada 2005-

2008 lembaga tersebut mencatat ada 13 kasus kekerasan. Penyebab dari kasus

kekerasan tersebut antara lain, kemarahan masyarakat atas politik kekerabatan

(incumbent mengajukan keluarga sebagai kandidat), buruknya tata

pemerintahan, termasuk kasus di Kabupaten Kaur Bengkulu pada 27 Juni 2005,

aksi kekerasan terjadi ketika muncul kekecewaan dari pasangan calon beserta

pendukungnya yang kalah dalam Pilkada (sejak 2010 istilahnya menjadi

Pemilukada), kemudian membakar kantor KPUD, gedung DPRD, kantor

Kecamatan Kaur Selatan, termasuk menghancurkan dokumen-dokumen,

termasuk membakar rumah dinas Ketua DPRD, Kantor Urusan Agama dan Dinas

Pekerjaan Umum, dlsb. Kekerasan juga terjadi dalam Pilkada di Kabupaten

Tuban Jawa Timur, setelah pelaksanaan Pilkada pada 29 April 2006, yaitu

pembakaran gedung-gedung milik pemerintah juga asset pribadi milik salah satu

calon (incumbent), penyebabnya ada calon yang merasa menang dan merasa di

atas angin ternyata kalah oleh incumbent, penyebab lainnya adalah kekecewaan

para elit lokal termasuk pengusaha lokal yang sudah lama termaginalkan oleh

keluarga incumbent (Marijan, 2007:4 & 6).

Sementara itu, hasil penelitian LIPI terhadap Pilkada di 491

kabupaten/kota antara Juni 2005 hingga 2008, menemukan sekitar 10-15%

Pilkada telah diwarnai aksi kekerasan. Konflik yang muncul dalam Pilkada

Page 15: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  14      

tersebut lebih banyak karena faktor ketidak-puasan terhadap kepala daerah

terpilih, yang diduga melakukan praktek politik uang.

Sedangkan beberapa kasus kekerasan yang muncul saat penyelenggaraan

Pemilukada sejak 2010, menurut data dari Crisis Group Asia Report N°197

adalah:

§ Kasus di Kabupaten Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat (10 April 2010),

massa dari bupati incumbent Zulkifli Muhadi dan lawannya Andi Azisi saling

melempar batu setelah kelompok sang penantang mencoba menghalangi

konvoi rivalnya. Pendukung Andi berunjuk rasa mempermasalahkan keaslian

ijazah sang incumbent. Pada tanggal 28 April, ratusan demonstran bentrok

dengan polisi ketika mereka menuntut KPUD untuk menghentikan proses

rekapitulasi setelah berita kemenangan sang incumbent mulai terhembus.

Mereka terus meminta polisi untuk menyelidiki keabsahan ijazah Zulkifli.

Ketika mereka hendak merangsek ke dalam kantor KPUD, polisi menahan

mereka dengan hantaman tongkat dan tembakan peringatan serta gas air

mata.

§ Kasus di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (12 Mei 2010).

Ribuan warga memblokir jalan menuju ibukota kabupaten di Larantuka

sehinga anggota KPU pusat dan propinsi tak bisa masuk kota. Mereka tadinya

ingin mengumumkan kebijakan menganulir keputusan KPUD Kabupaten

Flores Timur yang mendiskualifikasi pencalonan incumbent Simon Hayon.

Para demonstran menuntut agar proses Pemilukada diteruskan tanpa sang

bupati dan merasa pihak pusat ingin mengintervensi politik tingkat lokal.

Pada tanggal 14 Mei 2010, pendukung-pendukung Simon memaksa KPUD

untuk mengikuti keputusan KPU yang lebih tinggi dan polisi menemukan

mereka membawa bom Molotov. Pada bulan Juli 2010, KPU

memberhentikan empat dari lima orang anggota dari KPUD yang menolak

keputusan KPU itu. Pada tanggal 1 November 2010, KPUD baru dibentuk

dengan dengan mandate untuk melaksanakan Pemilukada pada tahun 2011.

§ Kasus di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (12 Mei 2010).

Ratusan demonstran merusak kantor KPUD saat proses rekapitulasi setelah

mendengar kabar bahwa incumbent Imran menang besar pada pemilu

tanggal 8 Mei 2010. Mereka menuduh sang bupati telah menyalahgunakan

jabatan dan membagi uang kepada pemilih. Pada bulan Juni, lawan politik

Imran membawa kasus ke Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perlu

dilakukan pemilihan ulang namun Imran tidak didiskualifikasi. Dalam

Page 16: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  15      

pemilihan ulang 11 Juli 2010, sang incumbent malahan mendapatkan suara

yang lebih banyak dan ini memicu protes yang lebih besar pada tanggal 19

Juli 2010 yang berakhir dengan bentrok antar pendukung.

§ Kasus di Kota Sibolga, Sumatra Utara (15 Mei 2010). Empat kantor

kecamatan yang menyimpan kotak-kotak suara dibakar dua hari setelah

pemungutan suara tanggal 13 Mei 2010 yang diwarnai pertarungan antara

wakil bupati Afifi Lubis dan mantan anggota DPR Syarfi Hutauruk yang

berpasangan dengan menantu bupati yang tak dapat maju lagi. Pendukung

Afifi menuduh sang bupati memakai jabatannya untuk menghalangi-halangi

pencalonan wakilnya itu namun protes ini hanya terdengar setelah quick

count meramalkan Syarfi unggul.

§ Kasus di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat (12 Mei 2010). Warga

merusak kantor KPUD dan Panwaslu setelah mereka mendengar lapo ran

sementara yang mengindikaskan kemenangan untuk Suryadman Gidot pada

pemungutan suara tanggal 19 Mei 2010 padahal wakil bupati itu diyakini

melakukan tindakan korupsi. Pada tanggal 18 Mei 2010, seorang pendukung

Suryadman tertangkap tangan membagikan uang kepada pemilih.

§ Kasus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat (21 Mei 2010). Sebuah

mobil milik KPUD dibakar orang tak dikenal setelah ada berita yang

meramalkan Yasir Ansyari, putra bupati yang tidak bisa maju lagi, gagal

mendapatkan 30 persen dari suara yang dibutuhkan untuk mencegah putaran

kedua walau ia unggul dari calon-calon lainnya. Dalam putaran kedua, Yasir

kalah dari Henrikus yang sebenarnya menempati urutan kedua di putaran

pertama.

§ Kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara (24 Mei 2010).

Polisi melontarkan gas air mata dan tembakan peringatan ke udara setelah

demonstran menyerang mereka dengan batu. Mereka menuntut penghentian

acara misi visi karena jagoan mereka tak diloloskan setelah terjadi suatu

kebingungan terhadap keabsahan dukungan partai. Ada dua pihak yang

mengatasnamakan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) yang mendukung

dua calon yang berbeda, sang incumbent dan bakal calon yang tidak lolos itu.

KPUD menerima pendukungan PPRN untuk incumbent dan memutuskan

calon yang lain gagal memenuhi syarat dukungan.

§ Kasus di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (9 Juni 2010).

Polisi menembakkan peluru karet ke demonstran yang menuntut

penghentian proses rekapitulasi yang dilakukan KPUD setelah terjadi

Page 17: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  16      

kerancuan penghitungan suara di kecamatan Sano Nggoang. Pada saat itu,

laporan sementara menyebutkan wakil bupati Agustinus Dula unggul di

pemungutan suara tanggal 3 Juni 2010.

§ Kasus di Kabupaten Samosir, Sumatra Utara (10 Juni 2010). Ratusan

pendukung seorang calon menghalangi kepergian bis-bis yang mengangkut

150 mahasiswa ketika mereka ingin keluar dari wilayah kabupaten setelah

ikut pemungutan suara tanggal 9 Juni 2010. Para pendukung tersebut

menuduh bupati incumbent, Mangindar Simbolon telah membayar

mahasiswa mahasiswa tersebut untuk menjadi pemilih gelap walau

sebenarnya mahasiswa-mahasiswa tersebut merupakan penduduk Samosir

yang tengah menempuh studi di Medan. Sang bupati mengaku mengongkosi

perjalanan mereka kembali ke kampung halaman.

§ Kasus di Kabupaten Kepulauan Anambas, Riau Islands (11 Juni 2010).

Demonstran anti incumbent, melempar batu ke sebuah gedung yang dipakai

KPUD untuk melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 26

Mei 2010. Mereka meruntuhkan pagar ketika memaksa masuk gedung

pertemuan KPUD. Proses penghitungan yang lambat terjadi karena

menunggu datangnya semua kotak suara ke tangan KPUD dari berbagai

tempat di kabupaten yang terletak di pulau-pulau terpencil yang memiliki

infrastruktur yang buruk. Padahal, berita bahwa bupati incumbent Tengku

Mukhtaruddin telah menang sudah tersebar beberapa jam setelah

pemungutan suara. Unjuk rasa sudah berlangsung sejak tanggal 27 Mei 2010

menuduh bupati melakukan penggelembungan suara dan menuntut hasil

pemilu dibatalkan. Intensitas terus bertambah seiiring lambannya proses

penghitungan yang memicu kecurigaan.

§ Kasus di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan 25 Juni dan Agustus-September

2010. Pendukung calon penantang Andi Maddussila memprotes suatu

ramalan kemenangan untuk bupati incumbent Ichsan Limpo yang keluar dua

hari setelah pemungutan suara. Mereka menuduh Ichsan memakai ijazah

palsu dan menyandera seorang pendukung sang bupati yang mengakibatkan

kelompok lawan untuk melakukan serangan balasan. Kedua kubu saling

lempar batu sampai polisi berusaha melerai. Kejadian-kejadian bermunculan

secara sporadis termasuk pembakaran bis, bangunan dan kantor cabang

Golkar oleh orang-orang tak dikenal serta perkelahian antar pendukung

setelah incumbent dilantik tanggal 14 Agustus 2010 yang meletup hingga

bulan September. Keluarga Limpo adalah keluarga yang dominan dalam

Page 18: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  17      

perpolitikan Sulawesi Selatan. Kakaknya Ichsan, Syahrul Limpo, adalah

guberner Sulawesi Selatan sedangkan saudara-saudaranya yang lain

menduduki kursi di DPRD. Mereka sebagian besar berasal dari Partai Golkar.

§ Kasus di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku (20 Juli 2010). Pendukung

bupati Abdullah Vanath dan lawannya Mukti Keliobas yang menjabat ketua

DPRD berbaku hantam di jalanan setelah sang incumbent menang mutlak

pada pemungutan suara 7 Juli 2010. KPUD menolak permintaan sang

penantang untuk penghitungan ulang di pulau terpencil Gorom dimana

penyelenggara pemilu ditenggarai telah menggelembungkan suara. Namun,

Mukti melapor ke KPU propinsi yang akhirnya memerintahkan KPUD untuk

memenuhi tuntutan itu. Ketika KPUD memutuskan untuk tak

menggubrisnya, pendukung Mukti menyerang markas lawan dan membakar

kantor-kantor pemerintahan. Pada bulan Agustus 2010, MK menolak

tuntutan penghitungan ulang itu dan memastikan kemenangan Vanath.

§ Kasus di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah 23-24 September 2010.

Pendukung Sugianto Sabran mengamuk setelah keluarnya Keputusan

Mahkamah Konstitusi untuk menganulir kemenangan calonnya dalam

pemungutan suara 5 Juni 2010 karena Mahkamah Konstitusi menganggap

terjadi usaha pembelian suara yang massif. Mahkamah Konstitusi dalam

putusannya, juga menetapkan bupati incumbent Ujang Iskandar sebagai

pemenang dan langkah ini memicu tuduhan suatu konspirasi dari Jakarta

untuk menggagalkan gerakan pro-perubahan di daerah itu. KPUD menolak

untuk mengeksekusi keputusan tertanggal 7 Juli 2010 di tengah

meningkatnya ketegangan di daerah itu. Hal ini mendorong KPU Pusat untuk

memberi peringatan kepada KPUD pada tanggal 22 September 2010.

Keputusan kedua yang berasal dari Jakarta ini memperkuat persepsi bahwa

kekuatan pusat sedang mengintervensi urusan daerah dan memicu

pembakaran monumen Adipura yang berada di ibukota kabupaten. Lembaga-

lembaga setempat menolak melaksanankan keputusan Mahkamah Konstitusi

itu karena takut menjadi target dari kemarahan kelompok Sugianto sehingga

daerah itu dipimpin seorang penjabat sementara sampai sekarang yang tak

memiliki hak menentukan anggaran. Pejabat di daerah telah meminta

Menteri Dalam Negeri untuk melaksanakan keputusan Mahkamah

Konstitusi, namun ia masih enggan. Inilah satu-satunya kasus kekerasan yang

diakibatkan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010.

Page 19: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  18      

§ Kasus di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (24 Oktober 2010). Sebuah

bom meledak di kantor KPUD tengah malam, beberapa jam setelah polisi

mendorong mundur demonstran yang menggugat kemenangan bupati

petahana Ferry Zulkarnain secara sporadis. Salah satu anggota tim sukses

dari sang bupati divonis telah melakukan pembelian suara lima hari sebelum

pelantikan tanggal 9 Agustus. Pengadilan memutuskan Ferry tidak terlibat

dalam tindak pidana tersebut.

§ Kasus di Kabupaten Karo, Sumatra Utara (1 November 2010). Ratusan orang

membakar ban di jalan dan melempar batu ke arah hotel dimana KPUD

sedang melakukan rekapitulasi setelah pemungutan suara tanggal 27 Oktober

2010. Para demonstran itu menuntut pemilu ulang dan menuduh kedua calon

yang mendapatkan suara terbanyak telah melakukan pembelian suara. Polisi

melontarkan gas air mata dan menggunakan tongkat untuk membubarkan

massa. Pada tanggal 6 November 2010, sebuah gedung pemerintahan dibakar

ditengah malam. Sengketa ini telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi sehingga

putaran kedua menjadi tertunda.

2. Kekerasan Rutin di Provinsi Rawan Konflik

Adapun konflik kekerasan lain yang timbul sejak proses transisi

demokrasi di Indonesia antara lain konflik separatis di Aceh yang mengakibatkan

ribuan korban tewas sebelum terselenggaranya perjanjian damai pada 2005, dan

konflik di Papua yang masih berlanjut dengan intensitas kekerasan rendah.

Konflik etnis di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Jakarta juga telah

merenggut ribuan korban jiwa. Kekerasan antaragama-etnis pecah pada 1999 di

Maluku dan di Maluku Utara serta pada 1998 dan 2000 di Sulawesi Tengah.

Aksi-aksi teroris, meski jarang terjadi, tetap memakan korban. Selain itu,

berbagai wilayah telah terkena dampak dari konflik kekerasan rutin berskala

kecil akibat persoalan perebutan sumber daya, masalah politik, dan identitas.

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya

berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, selama 5

tahun terakhir, data menunjukkan bahwa berbagai faktor yang memicu dan

mendorong beragam konflik tersebut belum sepenuhnya ditangani dan persoalan

konflik lama kerap memicu insiden kekerasan yang baru.

Pada enam provinsi rawan konflik, Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku,

Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat terdapat tingkat konflik kekerasan rutin

yang tinggi – yang seringkali berupa bentrokan antar kelompok geng (preman),

Page 20: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  19      

demonstrasi politik yang berujung ricuh, pengeroyokan terhadap pencuri, atau

pertikaian masalah lahan. Dari bentuk-bentuk konflik kekerasan tersebut, sejak

2011-2015 terjadi rata-rata 2.000 insiden konflik kekerasan per tahun. Kekerasan

pada enam provinsi yang dihuni 4 persen dari penduduk Indonesia tersebut telah

menelan korban tewas lebih dari 600 orang, 6.000 korban luka-luka, dan lebih

dari 1.900 bangunan hancur. Mengingat meluasnya kekerasan berskala besar

pada masa lalu diawali oleh insiden kekerasan berskala kecil, tingginya tingkat

kekerasan rutinmenandai potensi eskalasi konflik (Conflict and Development

Program, 2015: 18-23).

Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya

karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi

menciptakan budaya kekerasan di mana keluhan sering diselesaikan dengan

kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan

kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut

dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang

sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-

ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai

konflik berskala besar pada masa sebelumnya. Dampak signifikan dan

meningkatnya jumlah insiden konflik kekerasan menekankan perlunya

pengelolaan risiko yang terus menerus dan pengutamaan pencegahan konflik

dalam agenda kebijakan.

Sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan secara

gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi

kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang

kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas

akibat konflik pada beberapa tahun terakhir. Bentuk dari insiden kekerasan yang

marak terjadi pun berubah. Meski kerusuhan dan bentrokan antarkelompok

masih terjadi, frekuensinya telah berkurang, dan insiden penganiayaan dan

perkelahian yang paling banyak menyebabkan korban tewas pada beberapa

tahun terakhir. Isu penghakiman atas isu moral menyebabkan korban tewas

terbanyak. Satu setengah dekade yang lalu, kebanyakan korban tewas akibat

konflik separatis atau konflik antarsuku-agama berskala besar. Sebaliknya,

antara 2012 dan 2016, insiden terkait identitas walau hanya mencapai 2 persen

dari total insiden konflik, tetapi menyebabkan 10 persen dari korban tewas akibat

konflik (Conflict and Development Program, 2015: 24-40). Hal ini menunjukkan

bahwa meskipun jumlah insidennya lebih kecil, konflik kekerasan terkait

Page 21: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  20      

identitas memiliki risiko korban tewas yang tinggi. Isu-isu administratif, sumber

daya, dan politik juga ada, namun proporsi korban tewas yang ditimbulkannya

kecil.

Isu dominan dalam tindak kekerasan akhir-akhir ini dan yang berakibat

hampir setengah dari jumlah korban tewas (dan 55 persen dari jumlah insiden),

adalah isu moral/tersinggung. Kategori ini mencakup: reaksi kekerasan terhadap

hal yang dianggap pelanggaran moral seperti masalah seksual/selingkuh,

pemerkosaan, mabuk, utang, atau dukun santet (12 persen dari jumlah korban

tewas selama 2011-2015); reaksi kekerasan terhadap pelaku tindak kejahatan

seperti pencurian, penganiayaan, kecelakaan lalu lintas, dan pengerusakan (11

persen dari jumlah korban tewas); dan juga reaksi kekerasan karena rasa

tersinggung atau malu (27 persen dari jumlah korban tewas). Bentuk kekerasan

ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara kelompok pendatang dan

masyarakat setempat, sehingga menampilkan ketegangan-ketegangan identitas.

Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam persoalan kecil dan juga

kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan rendahnya kepercayaan

masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan sistem pengadilan (Conflict

and Development Program, 2015: 41-47).

Bentuk insiden kekerasan yang terjadi juga mengalami perubahan.

Kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang tadinya dominan, terus terjadi

pada kurun waktu 2011-2015, namun dalam jumlah kecil. Justru penganiayaan

dan perkelahian merupakan bentuk yang paling banyak menimbulkan korban

tewas akhir-akhir ini.

Kebanyakan konflik kekerasan selama 1999-2002 terjadi dalam bentuk

kerusuhan dan bentrokan antarkelompok yang mengakibatkan kehancuran

berskala besar. Sedangkan konflik antara tahun 2002-2008 sudah tidak begitu

didominasi oleh kerusuhan dan bentrokan antar kelompok namun oleh

kekerasan rutin yang terjadi di masyarakat. Adapun selama periode 2011-2015,

14 persen dari seluruh korban tewas terjadi akibat bentrokan antarkelompok,

sedangkan kerusuhan hanya menimbulkan persentase jumlah korban yang kecil

(demikian juga dengan serangan teroris, yang banyak diliput media nasional).

Sebaliknya, insiden berskala kecil seperti penganiayaan (kekerasan sepihak) dan

perkelahian menyebabkan lebih dari 75 persen korban tewas akibat konflik.

Penggunaan senjata api masih relatif kecil kecuali di Aceh. Data menunjukkan

bahwa senjata yang paling banyak digunakan dalam kasus kekerasan yang

menimbulkan korban tewas adalah senjata tajam seperti pisau. Penggunaan

Page 22: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  21      

senjata api oleh masyarakat biasa dalam insiden yang menimbulkan korban

tewas masih relatif rendah, kecuali di Aceh pasca penandatanganan perjanjian

damai dimana 7 persen insiden kekerasan melibatkan penggunaan senjata api.

Insiden-insiden ini mengakibatkan 19 persen dari jumlah korban tewas di Aceh

selama periode 2011-2015 (Conflict and Development Program: 2015: 48-55).

Adapun respon aparat keamanan terhadap konflik kekerasan masih

lemah. Hanya 7 persen konflik kekerasan yang terdata dalam database selama

2011-2015 ditangani secara langsung oleh pihak militer atau kepolisian, termasuk

Brimob. Konflik antarunsur atau elemen dalam tubuh militer atau kepolisian,

yang sempat menghambat efektivitas penegakan hokum selama periode konflik

berskala tinggi, terus terjadi dan menyebabkan insiden yang mematikan.

Untuk semua insiden kekerasan, ketika aparat berupaya melakukan

intervensi, intervensi tersebut berhasil menghentikan tindak kekerasan dalam

66% dari kasus yang ditangani. Akan tetapi, intervensi yang diupayakan untuk

menghentikan tindakan pengeroyokan dan kerusuhan kurang berhasil, dengan

tingkat keberhasilan hanya 32% untuk insiden pengeroyokan dan 57% untuk

insiden kerusuhan (Conflict and Development Program, 2015: 52-58).

Konflik antarunsur satuan keamanan, yang sempat menghambat

efektifitas penegakan hukum selama periode konflik berskala besar, masih

berujung pada insiden mematikan. Dari tahun 2011 hingga 2015, data yang

dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015), mencatat 107 insiden

kekerasan antara anggota polisi (termasuk Brimob) dan anggota militer yang

mengakibatkan 24 orang tewas.

Terdapat variasi yang besar antarprovinsi dalam frekuensi dan dampak

konflik kekerasan selama beberapa tahun terakhir. Papua tercatat memiliki

tingkat tertinggi konflik kekerasan, disusul Maluku. Selama 2011-2015,

dilaporkan 40 insiden kekerasan separatis di Papua, yang mengakibatkan korban

tewas 30 orang. Sebaliknya terdapat 3.308 insiden konflik kekerasan yang terkait

dengan isu lain, yang mengakibatkan 318 orang tewas (Conflict and Development

Program, 2015: 46-66).

Akan tetapi analisa kajian media memastikan bahwa banyak insiden

separatis tidak diberitakan oleh surat kabar lokal karena dianggap sensitif.

Pentingnya konflik separatis tidak terikat pada jumlah insiden tetapi tingginya

tingkat kekerasan rutin dalam konteks Papua yang disertai angka ketegangan

sosial terkail gerakan separatis, perasaan anti-pendatang, isu kesukuan dan isu

eksploitasi sumber daya, menandai risiko eskalasi konflik.

Page 23: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  22      

Peningkatan paling drastis pada frekuensi konflik kekerasan terjadi di

Maluku. Di Maluku, lokasi konflik kekerasan terkait agama paling besar di

Indonesia akhir-akhir ini. Jumlah insiden konflik kekerasan terus-menerus

meningkat sejak 2002. Yang paling sering terjadi adalah insiden terkait isu

moral/tersinggung, tetapi juga terjadi sejumlah insiden konflik akibat perebutan

sumber daya dan persoalan administratif.

Kekerasan separatis di Aceh berakhir dengan penandatanganan

perjanjian damai pada 2005, namun konflik kekerasan rutin terus meningkat,

dan seringkali terkonsentrasi di wilayah yang ‘panas’ selama konflik separatis.

Pada tahun 2011 terjadi 193 insiden konflik kekerasan, sedangkan pada 2015

jumlah insiden konflik telah meningkat menjadi 468 insiden. Isu

moral/tersinggung dan perebutan sumber daya adalah isu dominan. Kebanyakan

insiden pascaperjanjian damai di Aceh terjadi di kabupaten yang mengalami

tingkat kekerasan tertinggi selama konflik separatis yaitu: Bireuen, Aceh Utara,

dan Aceh Timur. Sedangkan kawasan Banda Aceh dan Lhokseumawe mengalami

kekerasan yang relatif lebih sedikit ketika konflik separatis karena keberadaan

aparat dalam jumlah besar.

Adapun variasi konflik kekerasan di dalam tiap provinsi dalam kurun

waktu 2011-2015 sangatlah beragam. Frekuensi, bentuk, dan dampak insiden

kekerasan sangat bervariasi antarkabupaten. Di Papua misalnya, dalam kurun

waktu tersebut, lebih dari setengah korban konflik di Papua tercatat di dua

wilayah: Kota Jayapura dan Kabupaten Mimika. Di Kabupaten Mimika, lebih dari

setengah dari korban tewas akibat konflik terkait identitas, biasanya dalam

bentuk bentrokan antarsuku, sering juga sebagai aksi balas dendam atas

kekerasan sebelumnya. Namun di Kota Jayapura, isu moral/tersinggung paling

banyak terjadi, dan bentuknya lebih berupa penganiayaan berskala kecil daripada

bentrokan antarkelompok. Demikian juga perbandingan antara dua wilayah yang

paling banyak mengalami konflik kekerasan di Provinsi Sulawesi Tengah,

mengungkapkan bahwa 58 persen insiden konflik kekerasan di Palu sejak 2006

terjadi dalam bentuk penganiayaan, sedangkan di Poso bentuk kekerasan yang

menonjol dalam periode yang sama adalah serangan teror yang menggunakan

alat peledak (43 persen). Variasi antarwilayah dalam provinsi tersebut

menandakan dengan jelas peran factor lokal dalam pola konflik (Conflict and

Development Program, 2015: 60-74).

Jumlah konflik kekerasan di Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku

Utara, Papua, dan Papua Barat telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir

Page 24: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  23      

ini. Di luar Provinsi Aceh, jumlah konflik kekerasan rutin meningkat secara

cukup signifikan. Setelah penandatanganan perjanjian damai di Aceh, jumlah

insiden kekerasan rutin justru meningkat dari 200 kasus pada 2011 menjadi lebih

dari 500 kasus pada 2015. Meski jumlah korban tewas akibat kekerasan komunal

berskala besar telah berkurang, konflik kekerasan rutin yang makin meluas

berdampak signifikan. Sejak 2011, terdapat rata-rata 200 korban tewas dan

2.400 korban luka-luka setiap tahun akibat konflik di enam provinsi, yang dihuni

hanya 4 persen penduduk Indonesia (Conflict and Development Program, 2015:

55-59). Adapun studi lain, yang dilakukan di Jawa Timur, NTT, Lampung, Bali,

dan Jawa Barat, menunjukkan bahwa konflik kekerasan serupa juga terjadi di

provinsi-provinsi selain keenam provinsi rawan konflik tersebut (Lihat ICG

2003; Barron dan Madden 2004; Welsh 2008; serta Barron, Diprose dan

Woolcock 2011).

Di antara enam provinsi yang menjadi subjek penelitian Conflict dan

Development Program (2015), Papua merupakan provinsi dengan tingkat jumlah

insiden kekerasan tertinggi dan Provinsi Maluku tercatat mengalami kenaikan

yang paling tajam dalam jumlah insiden kekerasan pada beberapa tahun terakhir.

Di Provinsi Aceh, kekerasan separatis berakhir pada 2005, namun sebaliknya

jumlah insiden terkait isu moral/tersinggung justru meningkat sejak saat itu.

Adapun kekerasan pasca perjanjian damai (penandatanganan MoU)

terkonsentrasi pada wilayah yang merupakan pusat kekerasan sebelum MoU

juga. Di keenam provinsi rawan konflik (Aceh, Sulawesi Tengah, Maluku, Maluku

Utara, Papua, dan Papua Barat), tingkat, bentuk dan dampak konflik kekerasan

sangat bervariasi antarkabupaten. Hal ini sekaligus memperlihatkan betapa

signifikannya faktor lokal dalam mendorong terjadinya insiden kekerasan.

C. Implikasi Kebijakan

Untuk membahas kasus-kasus kekerasan politik dalam Pemilukada,

menurut Ritzer (2003), ada tiga paradigma dalam sosiologi yang dapat dipakai,

yaitu: 1) paradigma fakta sosial yang menyatakan bahwa struktur yang terdalam

masyarakat mempengaruhi individu, 2) paradigma definisi sosial yang

menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi

struktur yang ada dalam masyarakat, 3) paradigma perilaku sosial yang

menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat

merupakan suatu pokok permasalahan, dalam hal ini interaksi antarindividu

dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang

Page 25: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  24      

bersangkutan. Dengan demikian, paradigma yang paling cocok untuk dipakai

dalam pembahasan kasus-kasus kekerasan mengenai Pemilukada adalah

paradigma definisi sosial. Sedangkan teori yang mendukung pembahasan ini

adalah teori tindakan komunikasi dari Jurgen Habermas.

Habermas (1990) menyatakan bahwa politik dapat dirasionalisasikan

dalam upaya membangun masyarakat atas dasar hubungan antar pribadi yang

merdeka dan memulihkan peran manusia sebagai subyek yang mengatur

sejarahnya. Hal ini sejalan dengan pandangan Weber dalam Siahaan (1983: 218-

220), bahwa tindakan sosial seseorang dipengaruhi oleh zweck rational, yaitu

tindakan sosial yang mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan manusia

yang rasional di dalam merespon kondisi eksternalnya (termasuk tanggapan

terhadap orang lain di luar dirinya dalam upaya mencapai tujuan yang maksimal

dengan pengorbanan yang seminimal mungkin). Sedangkan tindakan

komunikatif menurut Habermas (1971) adalah titik tolak dari kritik rekonstruksi

teori rasionalitas Weber, bahwa ada tindakan dasar manusia yang diarahkan oleh

norma-norma yang disepakati bersama berdasarkan harapan timbal balik antara

subyek yang saling berinteraksi. Kemudian dengan asumsi bahwa masyarakat

pada hakekatnya bersifat komunikatif, Habermas dalam Hardiman (1993: 116)

dengan paradigma komunikasi, mengutamakan peranan struktur-struktur

komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat.

Sejak Pemilukada digelar di kabupaten/kota di Indonesia, kerusuhan dan

kekerasan acapkali terjadi atau bahkan sudah menjadi bagian integral dari

pelaksanaan Pemilukada. Kondisi tersebut disebabkan karena penyelenggara

Pemilukada (KPUD) tidak melakukan komunikasi dua arah yang efektif dengan

peserta/calon/kandidat, sehingga terjadi kemacetan komunikasi bahkan KPUD

dapat dikatakan merupakan lembaga yang super body.

Hal ini menyebabkan massa pendukung calon/kandidat melakukan

protes dengan cara berdemonstrasi bahkan sampai menjurus ke arah kerusuhan

sosial karena sudah tidak ada lagi ruang untuk berdialog dan yang ada hanya

informasi-informasi yang tidak jelas. Dengan demikian kerusuhan sosial terkait

pelaksanaan Pemilukada sebenarnya merupakan akibat ketidakdewasaan rakyat

dalam menyikapi suatu komunikasi yang macet, yang sekaligus menggambarkan

level rasionalitas pelakunya dalam merespon kondisi tersebut.

Di sisi lain, Habermas dalam Hardiman (2009: 128) menjelaskan bahwa

ruang publik (public sphere) memiliki peran yang cukup berarti dalam proses

berdemokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana

Page 26: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  25      

diskursus masyarakat agar warga negara dapat menyatakan opini-opini,

kepentingan-kepentingan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif,

sebab ruang publik merupakan syarat penting dalam demokrasi.

Habermas dalam Hardiman (2010: 185) juga menjelaskan bahwa ruang

publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan

politis warga dan merupakan wadah dimana warganegara dengan bebas dapat

menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah.

Ruang publik tidak hanya diwujudkan dalam bentuk fisik, berupa sebuah

institusi atau organisasi yang legal, melainkan merupakan usaha warga untuk

menjalin komunikasi diantara mereka. Ruang publik harus bersifat bebas,

terbuka, transparan dan tidak ada intervensi pemerintah atau otonom di

dalamnya. Ruang publik harus mudah diakses semua orang. Dalam konteks

Pemilukada, rakyat yang terlibat dalam hingar bingar peristiwa politik, masih

berperan sebagai objek bukan subjek. Tingkat partisipasi rakyat dalam peristiwa

politik ini sangat rendah karena posisinya hanya sebagai pelengkap jika

dibandingkan dengan posisi calon/kandidat yang sangat dominan dan dikuasai

oleh kapitalistik. Dengan demikian rakyat yang terlibat dalam Pemilukada, jika

dikaitkan dengan teori masyarakat komunikatif Habermas, tidak memiliki power

reflective yang memadai. Akibatnya, rakyat tidak mampu untuk bertindak secara

otonom dalam ruang politik yang seharusnya dapat menciptakan kesepahaman

bagi kepentingan bersama, atau meyusun sebuah konsensus. Konsensus hanya

dapat dilahirkan jika rakyat mampu mengembangkan masyarakat komunikatif

yang memiliki otonomi.

Adapun meningkatnya konflik kekerasan rutin berskala kecil selama

beberapa tahun terakhir, dengan jumlah dampak yang signifikan, membawa

resiko eskalasi menuju konflik yang lebih besar. Terdapat pengakuan yang kian

menguat dari pemerintah dan masyarakat tentang perlunya sebuah perubahan

pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang

bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan

yang terpadu dan komprehensif yang mengadopsi pendekatan preventif.

Beberapa inisiatif sudah mulai dilakukan untuk menyusun sebuah

kerangka kebijakan tersebut, yang mencakup penyusunan draf Strategi Besar

Pencegahan dan Pengelolaan Konflik (Grand Strategy for Conflict Prevention

and Management) dan penyusunan Kerangka Pencegahan Konflik (Conflict

Prevention Framework). Data statistik mengenai konflik yang berkembang di

Indonesia, baik dari hasil penelitian ICG (2003), Barron dan Madden (2004),

Page 27: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  26      

Welsh (2008), Barron, Diprose, dan Woolcock (2011), Conflict and Development

Program (2011-2015), memberikan penegasan bahwa inisiatif-inisiatif tersebut

seyogyanya mempertimbangkan isu dan upaya kunci berikut ini:

1. Secara sistematis mengupayakan penyelesaian faktor-faktor struktural di

balik konflik kekerasan besar pada masa lalu sambil tetap

memprioritaskan pengelolaan secara efektif konflik kekerasan rutin di

masa mendatang.

2. Menetapkan pembagian tugas yang secara lebih jelas antara pemerintah

pusat dan pemerintah daerah, dan antara pemerintah dan masyarakat

madani, dalam mencegah konflik kekerasan.

3. Mengikutsertakan pemerintah daerah dalam merumuskan dan

melaksanakan kebijakan pencegahan dan pengelolaan konflik agar

persoalan-persoalan lokal ikut dipertimbangkan secara memadai dalam

kerangka kebijakan nasional.

4. Menginformasikan lembaga/institusi keamanan formal akan

perkembangan dinamika konflik di wilayahnya dan memperkuat

kemampuan mereka agar efektif dalam menangani kekerasan.

5. Memperkuat mekanisme-mekanisme informal untuk penyelesaian

sengketa dan akses terhadap keadilan di tingkat local dengan melatih

pemimpin local mengenai cara-cara resolusi konflik untuk mencegah

eskalasi sengketa menjadi konflik kekerasan.

6. Terus melakukan program pembangunan perdamaian (peace-building) di

provinsi-provinsi pascakonflik, secara khusus juga di Papua mengingat

wilayah ini mengalami tingkat kekerasan tinggi dengan konteks penuh

ketegangan yang sedang meningkat.

7. Melakukan kajian sistematik berkala untuk mengumpulkan informasi

terbaru mengenai pola dan dampak konflik kekerasan di propinsi lain dan

melakukan pemantauan secara kontinu terhadap perkembangan konflik

di wilayah-wilayah ‘panas’ seperti Papua dan Maluku. Upaya pemantauan

tersebut memerlukan kemitraaan yang kokoh antara lembaga pemerintah

dan nonpemerintah, dimana peran lembaga nonpemerintah sebaiknya

mencakup pengumpulan dan penganalisa data sehinggga dapat menjadi

panduan bagi penanganan konflik yang dilakukan pemerintah.

Page 28: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  27      

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konflik berskala besar telah berakhir atau setidaknya intensitasnya

berkurang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Namun, kekerasan

yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, menunjukkan bahwa

berbagai faktor yang memicu dan mendorong beragam konflik tersebut belum

sepenuhnya ditangani dan persoalan konflik lama kerap memicu insiden

kekerasan yang baru.

Tren kekerasan baru yang cukup mengkhawatirkan adalah: 1) kekerasan

terkait penyelenggaraan Pemilukada serta, 2) kekerasan rutin seperti bentrokan

antar kelompok geng (preman), pengeroyokan terhadap pencuri, atau pertikaian

masalah lahan yang terjadi di beberapa kawasan di Indonesia.

Kekerasan terkait dengan ketidakpuasan rakyat dalam penyelengaraan

Pemilukada dimulai dari daftar pemilih yang kurang akurat, pemilih ganda,

persoalan pencalonan, penggantian pasangan calon dalam proses perbaikan

syarat administrasi, pembelian suara secara massif, kampanye hitam, serta

money politics, yang seringkali berakhir dengan adanya kekerasan yang

mengarah ke anarkisme.

Konflik kekerasan rutin merupakan fenomena penting bukan hanya

karena dampak fisiknya, tapi juga karena kekerasan rutin berpotensi

menciptakan budaya kekerasan di mana keluhan sering diselesaikan dengan

kekerasan. Hal ini dapat menimbulkan siklus balas dendam dan menipiskan

kepercayaan pada institusi negara. Tingginya tingkat kekerasan rutin tersebut

dapat mengarah pada pembentukan jaringan aktor kekerasan seperti geng, yang

sewaktu-waktu dapat dimobilisasi dan berkontribusi pada ketegangan-

ketegangan sosial dan politik yang sudah ada, sebagaimana terjadi pada berbagai

konflik berskala besar pada masa sebelumnya.

Data yang dihimpun oleh Conflict and Development Program (2015)

mencatat bahwa sifat konflik kekerasan di Indonesia telah mengalami perubahan

secara gradual. Bila pada periode 1999-2004, isu-isu identitas melatarbelakangi

kebanyakan kasus kekerasan berskala besar, kini isu moral/tersinggung yang

kian mengemuka, dan menyebabkan lebih dari setengah jumlah korban tewas

akibat konflik pada beberapa tahun terakhir.

Page 29: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  28      

Bentuk kekerasan ini kadang terjadi antarkelompok etnik atau antara

kelompok pendatang dan masyarakat setempat, sehingga menampilkan

ketegangan-ketegangan identitas. Kecenderungan penggunaan kekerasan dalam

persoalan kecil dan juga kecenderungan untuk main hakim sendiri menunjukkan

rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan

sistem pengadilan.

B. Saran

Terkait dengan kekerasan Pemilukada, dapat disimpulkan bahwa telah

terjadi ketidakseimbangan atau kemacetan komunikasi antar lintas stakeholder

politik yang akhirnya menimbulkan kekerasan yang menjurus ke anarkisme

secara struktural. Oleh karena itu, berdasarkan teori Habermas, maka konsep

masyarakat komunikatif menjadi alternatif yang mampu melahirkan konsensus

baru yang harus ditaati dalam proses politik untuk menguraikan kekerasan dan

kerusuhan social dalam Pemilukada.

Sedangkan dari konflik kekerasan rutin yang terjadi di berbagai kawasan

di Indonesia dapat disimpulkan bahwa perlu adanya sebuah perubahan

pendekatan nasional terhadap pengelolaan konflik, dari pola penanganan yang

bersifat sementara (adhoc) menjadi pengembangan sebuah kerangka kebijakan

yang terpadu dan komprehensif dan mengadopsi pendekatan preventif.

Adapun hal-hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain: a)

investasi pada kegiatan pemantauan konflik secara sistematis, khususnya di

wilayah rawan konflik sebagai instrumen pendukung sistem peringatan dini, b)

upaya-upaya peningkatan kemampuan para penegak hukum agar efektif

menanggulangi dan menangani kekerasan, c) penguatan mekanisme lokal dalam

menyelesaikan sengketa untuk meningkatkan kohesi sosial masyarakat dan

mencegah eskalasi konflik, d) investasi terus-menerus pada program

pembangunan perdamaian (peace-building) di wilayah pascakonflik, dengan

mengedepankan kepemimpinan lokal, e) partisipasi dan keterlibatan penuh para

aktor lokal dalam perumusan kerangka kebijakan nasional.

Page 30: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  29      

DAFTAR PUSTAKA

Ashutosh Varshney, Mohammad Zulfan Tadjoeddin, and Rizal Panggabean (2008). Creating datasets in information-poor environments: patterns of collective violence in Indonesia, 1990-2003. Journal of East Asian Studies 8: 361-394.

Bridget Welsh (2008). Local and national: keroyakan mobbing in Indonesia. Journal of East Asian Studies 8 (3): 473-504.

Camara, Dom Helder. (2000). Spiral kekerasan. Terjemahan: Komunitas Apiru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Conflict and Development Program (C&D) (2008). “Using newspapers to understand variation in violent conflict: towards a database of violence in Indonesia.” Policy Brief: Understanding Conflict Dynamics and Impacts in Indonesia No. 1. Jakarta: World Bank.

Conflict and Development Program (C&D) (2015). Using newspapers to understand variation in violent conflict: towards a database of violence in Indonesia.” Policy Brief: Understanding Conflict Dynamics and Impacts in Indonesia No. 3. Jakarta: World Bank.

Echols dan Hassan Shadily. (1990). Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Friedmad, Maurce. (1988). Menggapai dunia damai. Diterjemahkan S. Maiman dkk dengan judul asli: The power of violence and the power of non-violence. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Gerry van Klinken (2007). Communal violence and democratization in Indonesia: small town wars. London: Routledge

Gurr, Ted Robert. (1998). Early warning of ethnopolitical rebellion: in preventive measures. Lanham, MD: Rowman & Littlefield.

__________ and Barbara Harff. (1996). Early warning of communal conflict and genocide. Tokyo: United Nations University Press.

Habermas, J. (1971). Toward a rational society. London: Heinemann.

__________. (1990). Ilmu dan teknologi sebagai ideologi. Alih Bahasa: Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.

Hardiman, Fresco Budi. (1993). Menuju masyarakat komunikatif. Yogyakarta: Kanisius

__________. (2009). Demokrasi deliberatif. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

__________. (2010). Ruang publik. Yogjakarta: Penerbit Kansius.

International Crisis Group (ICG) (2003). “The perils of private security in indonesia: guards and militias on Bali and Lombok.” Asia Report No. 67. Jakarta/Brussels: ICG.

Page 31: Tren Kekerasan Baru di Indonesia serta Implikasi Kebijakannya

Halaman  |  30      

Istania Ratri. (2009). Potensi konflik etnis-religius di tingkat lokal. bahan ajar mata kuliah dinamika politik lokal. Jakarta: STIA LAN.

Jacques Bertrand (2004). Nationalism and ethnic violence in Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press

John T. Sidel (2006). Riots, pogroms, jihad: religious violence in Indonesia. Ithaca, N.Y.:Cornell University Press

LDOCE2. (1987). Longman dictionary of contemporary english, new edition. UK: Longmans Group UK Limited

Madjid. (1993). Pandangan dunia alqur’an: ajaran tentang harapan kepada allah dan seluruh ciptaan. Alqur’an dan tantangan modernitas, cet. i. Yogyakarta: SIPRESS, 1993, h. 3

Marijan, Kacung. (2007). Resiko politik, biaya ekonomi, akuntabilitas politik, dan demokrasi lokal . Paper. Jakarta: Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Patrick Barron, Rachael Diprose, and Michael Woolcock (forthcoming 2011). Contesting development: participatory projects and local conflict dynamics in Indonesia. New Haven: Yale University Press

Patrick Barron and David Madden (2004). Violence and conflict resolution in ‘non-conflict’ regions: the case of Lampung, Indonesia. Indonesian Social Development Paper No. 2. Jakarta: World Bank

Ritzer, George. (2003). Sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda. ed.1., cet.4. Alih Bahasa: Alimandan, Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada

Santoso, Thomas. (2002). Teori-teori kekerasan. Jakarta: Ghalia Indonesia

Siahaan, Hotman (et al.). (1983). Struktur sosial kebudayaan masyarakat tepian kota. Surabaya: Lembaga Penelitian, Universitas Airlangga.

Surwandono. (2010). Studi EWS dalam Pemilukada. surwandono.staff.umy.ac.ic. Diakses 13 Juni 2016.

Susan, Novri. (2010). Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer. Jakarta: Kencana