Trauma Hipoksia
-
Upload
aduy-hudaya-widihastha -
Category
Documents
-
view
8 -
download
0
description
Transcript of Trauma Hipoksia
Hipoksia perinatal adalah kondisi terganggunya pertukaran gas selama periode intrapartum
yang apabila berkelanjutan akan mengakibatkan hipoksemia dan hiperkarbia, dan fetal asidosis.1,2
Trauma hipoksia terjadi akibat dari gangguan pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak
adekuatnya suplai oksigen dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin pada periode
intrapartum. Etiologi hipoksia perinatal meliputi faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri.
Faktor maternal dapat berupa infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik, penyakit
jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta adalah karena adanya insufisiensi plasenta,
oligohidramnion, polihidramnion, rupture uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali
pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin terdiri dari prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan
bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion. 1,3,4
Hypoxic ischemic encephalopathy/ Ensefalopati hipoksik iskemik (HIE), merupakan gangguan
tingkat kesadaran yang disebabkan oleh hipoksia berkelanjutan yang dipengaruhi aliran darah ke otak.1,5
Kondisi ini biasanya berupa gangguan neurologis berupa manifestasi penurunan tonus otot dan reflex
dan penurunan kesadaran. Proses terjadinya kerusakan otak yang disebabkan oleh gangguan hipoksik
iskemik terdiri dari 2 fase. Fase pertama terdiri dari early energy failure meliputi penurunan
metabolisme energi oksidatif dan menginisiasi terjadinya nekrosis sel. Fase kedua terdiri dari kematian
sel yang disebut late energy failure. Pada fase ini terjadi reperfusi dan reoksigenasi beberapa jam
setelah fase inisial.6 Gangguan reperfusi akan menyebabkan penurunan asupan oksigen dan glukosa
yang menyebabkan kegagalan energi dan menginisiasi gangguan biokimia yang menyebabkan disfungsi
sel bahkan kematian sel. Konsekuensi dari terjadinya reperfusi otak menyebabkan deteriorasi
metabolisme otak, ditandai dengan peningkatan stres oksidatif, peningkatan glutamat ekstraseluler,
aktivasi berlebihan reseptor glutamat, peningkatan kalsium dan radikal bebas.6 Gangguan hipoksia
iskemik juga akan menyebabkan membran depolarisasi, mempengaruhi eksositosis dan stres oksidatif
yang menunda proses apoptosis, serta pengeluaran mediator inflamasi seperti tumor necrosis factor,
interleukin. Depolarisasi membran persisten dapat menyebabkan pelepasan glutamat presinaps,
mengubah transport glutamat, mempengaruhi perubahan transpor glutamat pada glia dan terminal
neural. Hilangnya membran potensial mitokondrial disertai dengan peningkatan konsentrasi glutamate
akan mengaktivasi N-methyl D aspartic acid (NMDA) dan kanal kalsium sehingga masuk ke sel neuron.
Hal ini meningkatkan produksi radikal bebas dan aktivasi lipase, protease dan endonuklease dan
menyebabkan kematian sel. Efek dari ketiadaan sistosolik kalsium menyebabkan degradasi lipid seluler
dengan mengaktivasi fosfolipase DNA sel dengan aktivasi nukleus dan radikal bebas serta nitrit oksida
dengan peningkatan nitrit oxide synthase (NOS).7 Nitrit oksida akan bereaksi dengan superoksida
membentuk peroxynitrite. Reaksi ini menyebabkan peningkatan produksi radikal hidroksi sehingga
meningkatkan peroksidase lipid yang menyebabkan kerusakan otak lebih jauh.6
Berdasarkan waktu, jejas yang ditimbulkan oleh kejadian hipoksik iskemik dibagi menjadi dua
yaitu akut dan berkelanjutan. Kerusakan otak yang disebabkan oleh fase akut contohnya terjadinya
ruptur uterus, sering diikuti dengan adanya bradikardia, dan jejas otak yang ditimbulkan lebih ke arah
bagian tengah otak. Sebaliknya jejas otak yang disebabkan proses yang berkelanjutan akan disertai
terdeteksinya perlambatan denyut jantung janin (contohnya insufisiensi plasenta) lebih banyak
menyebabkan jejas otak pada daerah wathershed zone.8 Gangguan perkembangan lebih lanjut yang
disebabkan oleh jejas akut antara lain cerebral palsy, athetoid, spastik kuadriplegia, mikrosefal,
gangguan kognitif. Kerusakan pada watershed akan menyebabkan berbagai gangguan kognitif,
kerusakan penglihatan 8,9 Lamanya waktu terjadinya hipoksia serta tingkat keparahan gangguan
neurologisnya sangat berpengaruh menentukan dampak hipoksia tersebut.
Palsi serebral / cerebral palsy (CP) merupakan kerusakan permanen non progresif pada otak
yang terjadi sebelum, selama atau setelah lahir, namun intervensi dini dapat meminimalisasi kelainan
neurologis pada penderita CP. Diduga kerusakan terjadi pada daerah ganglia basalis, thalamus dan area
perirolandik akibat hipoksia perinatal berperan pada terjadinya CP di masa yang akan datang.10
Gangguan kognitif juga dapat terjadi akibat hipoksia yang dihasilkan dari jejas pada substansia alba,
thalamus, dan gangglia basalis.11 Gangguan kemampuan kognitif yang seringkali terdeteksi pertama kali
adalah keterlambatan membaca dan berhitung serta mulai tampak pada usia sekolah.9,10 Struktur ini
terkait dengan fungsi kognitif seperti ingatan dan perhatian yang merupakan patogenesis terjadinya
gangguan attention deficit hyperactive disorder (ADHD), autisme dan skizofrenia.5,11,12,13
Hal yang memperberat gangguan neurodevelopmental pada anak dengan riwayat hipoksia
adalah adanya gangguan fungsi indra antara lain penglihatan dan pendengaran. Beberapa hal yang perlu
terus dipantau pada anak yang memiliki risiko hipoksia perinatal antara lain adanya sensori hearing loss
pada tahun pertama serta gangguan penglihatan akibat jejas pada korteks lateral oksipitoparietal
bilateral yang mempengaruhi penglihatan.5 Tatalaksana yang tepat dengan monitoring ketat akan
mencegah terjadinya kasus amblyopia sekunder di masa yang akan datang dan mengoptimalkan
penglihatan. Hipoksia juga menyebabkan terjadinya hiperpolarisasi sel rambut dalam yang dapat
mengakibatkan perubahan pada neuron pendengaran. Pada hipoksia akan terjadi hiperpolarisasi dari sel
rambut yang akan mengakibatkan penurunan jumlah transmiter yang dilepaskan dan berakibat
penurunan dari aktivitas saraf. Dalam penelitian histopatologi tulang temporal, lesi koklea telah diamati
pada bayi dengan asfiksia berat. Kejadian HIE yang disertai hipertensi pulmonal juga memberikan risiko
lebih tinggi untuk keterjadian tuli sensorineural, sehingga penting dilakukannya skrining awal
pendengaran pada anak dengan riwayat hipoksia.8
DIAGNOSIS
Penegakan diagnosis hipoksia perinatal tidak hanya dibuat berdasarkan skor Apgar (Appearance,
Pulse, Grimace, Activity, Respiration) yang rendah, melainkan menggunakan penanda berupa indikator
distres pernapasan seperti ketuban tercampur mekonium, respons respirasi spontan yang terlambat,
skor Apgar yang rendah (kurang dari 6 atau 7 setelah 5 menit), asidosis metabolic dan diperlukannya
bantuan ventilasi tekanan positif sehingga didapatkan hasil yang lebih akurat. Berdasarkan The American
Academy of Pediatrics (AAP) dan The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG)
karakteristik hipoksia perinatal yaitu asidosis (pH<7.00), skor Apgar 0-3 menetap lebih dari 5 menit,
terdapat manifestasi neurologi: kejang, hipotoni, serta didapatkan disfungsi multiorgan.5,14
Penegakan diagnosis hipoksia perinatal dilakukan berdasarkan penilaian awal pada neonatus,
risiko yang dialami neonatus dengan Apgar skor yang rendah, gangguan pH, serta presentasi klinis.
Presentasi klinis dapat disebabkan oleh trauma lahir, aspirasi mekonium, hipertensi pulmonal.
Rendahnya Apgar skor lebih lanjut akan menggambarkan kerusakan integritas kardiovaskular, penilaian
ini apabila didapatkan Apgar skor ≤3 pada menit ke-10 termasuk faktor depresi akibat anestesi, trauma,
infeksi, dan gangguan kardiopulmonal. Gangguan asidosis berat didapatkan bila pH≤ 7, base defisit ≥16
mmol/L. Hipoksia perinatal yang perlu diwaspadai menjadi gangguan neurodevelopmental jangka
panjang apabila didapatkan denyut jantung <60 kali/menit, Apgar ≤3 pada 10 menit, memerlukan
ventilasi tekanan positif pada menit 1 atau belum menangis lebih dari 5 menit, kejang pada usia 12
sampai 24 jam, gambaran burst suppressed pada EEG.15 Adanya kejang yang terdeteksi pada awal jam
pertama kehidupan menunjukkan prognosis ke arah yang lebih buruk. Pada saat kejang, metabolisme
energi akan meningkatkan hiperaktivitas neuron dan berimplikasi pada eksitoksisitas. Pemantauan
kejang dapat dilakukan dengan menggunakan Electroencephalography (EEG), atau menggunakan
Cerebral Function Monitor (CFM) yang menggunakan metode Amplitude-Integrated
Electroencephalography (aEEG) 7,16
Gangguan ensefalopati sedang dan berat yang akan timbul pada 5 hari pertama, dengan
kerusakan yang tersering ditemukan adalah pada bagian fronto-parietal. Gambaran EEG yang tampak
abnormal minimal maupun normal pada kasus HIE dapat mengalami perubahan perburukan pada follow
up 2 tahun kemudian.17,18
Gejala klinis HIE sendiri dibagi menjadi 3 menurut Sarnat dan Sarnat. Gangguan jangka panjang
yang ditimbulkan pada HIE stadium 1 didapatkan lebih ringan dibandingkan pada gangguan yang
ditimbulkan HIE stadium 2 dan 3. Stadium 1 ditandai dengan hyperalert, EEG normal, moro dan refleks
regangan baik. Stadium 2 ditandai dengan hipotonia, fleksi distal, kejang multifokal, stadium 3 ditandai
dengan stupor, flaksid serta gambaran EEG abnormal.19
Tabel 1. Klasifikasi ensefalopati hipoksik iskemik
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3
Tingkat kesadaran Hyper alert/irritable Letargis Stupor
Tonus otot Normal Hipotoni Flaksid
Postur Normal Fleksi Deserebrasi
Refleks regangan Hiperaktif Hiperaktif Penurunan refleks/tidak
ada
Mioklonus Ada Ada Tidak ada
Sucking reflex Lemah Lemah Tidak ada
Moro Kuat Lemah Tidak ada
Occulovestibular Normal Tidak ada atau lemah
Tonic neck Berkurang Kuat Tidak ada
Function autonomic Dominan simpatik Dominan parasimpatik Terganggu parasimpatik
dan simpatik
Pupils Midriasis Miosis Bervariasi, refleks cahaya
berkurang
Denyut jantung Takikardi Bradikardi Bervariasi
Motilitas gastrointestinal Berkurang Berkurang Bervariasi
Kejang Tidak ada Fokal atau multi fokal Uncommon (deserebrasi)
EEG Normal Voltase rendah sampai
bangkitan kejang
Burst suppression ke
isoelektrik
Durasi <24 jam 24 jam sampai 14 hari Beberapa hari sampai
minggu
Sumber: Sarnat dan Sarnat19
PENATALAKSANAAN
Perinatal hipoksia memerlukan perawatan secara intensif. Perawatan suportif yang hendaknya
diperhatikan antara lain meliputi koreksi hemodinamik dan asidosis, memperhatikan kadar glukosa,
kalsium, magnesium dan elektrolit, memperhatikan kadar kecukupan oksigen. Kekurangan oksigen akan
menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskular yang menyebabkan aliran darah lebih banyak
pada bagian otak yang sehat, serta peningkatan jejas pada area substantia alba.15 Penggunaan terapi
oksigen jangka panjang dapat menyebabkan dysplasia bronkopulmonal. Tatalaksana komplikasi displasia
bronkopulmonal ini dapat mengurangi efek jangka panjang neurodevelopmental yang buruk.
Penggunaan neuroprotektif untuk mengurangi gejala sisa dari hipoksia perinatal masih
merupakan perdebatan. Tujuan dari terapi ini adalah untuk mengurangi jejas pada otak dengan
mengurangi pembentukan radikal bebas, menghambat influks kalsium yang berlebihan ke dalam neuron
dan meminimalkan edema serebral. Penggunaan N-acetylcysteine, magnesium glutamat receptor,
allopurinol, eritropoetin serta teknik hipotermia diduga dapat meminimalkan radikal bebas dan jejas
pada otak. 6
Terapi farmakologis digunakan untuk mengurangi radikal bebas dan menghambat influks
kalsium secara berlebihan utuk mengurangi terjadinya edema serebral, yang diantaranya adalah
allopurinol, magnesium sulfat, eritropoetin, statin, xenon dan cannabinoid.6 Allopurinol mampu
mengurangi pembentukan radikal bebas dan mampu menghambat kerja xanthine oksidase yang terlibat
pada kerusakan reperfusi. Xenon, yang merupakan zat antagonis non kompetitif dari N methyl D
aspartate (NMDA) dengan menghambat pelepasan neurotransmiter, menginhibisi kalsium/calmodulin
dependent protein kinase II.20 Magnesium sulfat berperan sebagai agen neuroprotektif dengan
mencegah terjadinya eksitotoksik dari jejas yang disebabkan oleh masuknya kalsium dengan
menginhibisi reseptor NMDA.5 Cannabinoid merupakan agen neuroprotektif dengan cara menginduksi
terjadinya penutupan kanal kalsium sehingga menginduksi neuroproteksi dengan mengurangi respons
glutamat.21
Terapi neuroprotektif lain yang dapat digunakan antara lain eritropoetin, melantonin,
desferoksamin, magnesium sulfat. Eritropoetin yang memiliki efek antiapoptotik dan angiogenik.
Melantonin memiliki efek antiapotosis dan antiinflamasi sehingga meningkatkan aktivasi mikroglia dan
meningkatkan sitokin pro inflamasi. Desferoksamin berfungsi meningkatkan metabolisme otak dan
membantu reperfusi.6
Pada teknik hipotermia (cooling therapy), dengan penuruhan suhu 3–5 derajat Celsius
diharapkan akan mampu mengurangi jejas pada otak dan meminimalkan penggunaan energi,
mengurangi ukuran infark yang disebabkan oleh hipoksia, mengurangi ameliorasi sel neuronal serta
struktur hipokampus dan diharapkan mampu meningkatkan kemampuan perkembangan neurologis.
Suhu yang digunakan untuk standar mengurangi jejas otak akibat hipoksik iskemik pada neonatus adalah
32–34˚C, dengan pengurangan 1˚C pada suhu inti akan membantu mengurangi laju metabolisme 6–7%. 6
Terapi hipotermi pada kepala dan badan ini akan mengurangi insidens jejas pada thalamus. Mekanisme
neuroproteksi dari hipotermi ini adalah mempertahankan neuron yang normal di gangglia basalis dan
supresi aktivasi caspase-3. Hipotermia akan menekan aktivasi mikroglia, dan lebih lanjut menekan
proses inflamasi dengan menurunkan produksi TNFα, IL-1β, dan IL-18. Proses hipotermia akan
meningkatkan suplai oksigen ke area iskemik otak sehingga mengurangi tekanan intracranial.22
Hipoksik iskemik
Menit Primary energy failure jam Secondary energy failure hari
- Melantonin - Hipotermi - Cannabinod
- Allopurinol - Magnesium sulfat - N-acetylcysteine
- Statin - Xenon - Iminobiotin
- Argon - Melatonin
- Deferoksamin - Eritropoetin
- Cannabinoid - Sel punca
Gambar 1. Terapi neuroprotektif, waktu pemberian dan hubungannya dengan mekanisme aksi hipoksik
iskemik
Sumber : Cerio,dkk.6
REFERENSI
1. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-6.
2. Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Tuttle D. Perinatal Asphyxia. 6. United States of America: The McGraw-Hill; 2009. p. 624-35.
3. Levene MI, Vries Ld. Hypoxic Ischemic Encephalopathy. In: Martin RJ, Fanaroff AA, Walsh MC, editors. Fanaroff and Martin's Neonatal Perinatal 8: Elseveir Mosby; 2006.
4. Martinez-Biarge M, Madero R, González A, Quero J, García-Alix A. Perinatal morbidity and risk of hypoxic-ischemic encephalopathy associated with intrapartum sentinel events. Am J Obstet Gynecol 2012;206(148):1-7.
5. Handel Mv, Swaab H, Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term cognitive and behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal asphyxia: a review. Eur J Pediatr 2007;166:645-54.
6. Cerio FGd, Lara-Celador I, Alvarez A, Hilario E. Neuroprotective Therapies after Perinatal Hypoxic-Ischemic Brain Injury. Brain Sci. 2013;3:191-214.
7. Lai M-C, Yang S-N. Perinatal Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. Hindawi publishing coorporation. 2010:1-6.
8. Robertson CM, Perlman M. Follow-up of the term infant after hypoxic-ischemic encephalopathy. Paediatr Child Health. 2006;11(5):278-82.
9. Vries LSd, Jongmans MJ. Long-term outcome after neonatal hypoxic ischemic encephalopathy. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2010;95:220–F4.
10. Perez A, Ritter S, Brotschi B, Werner H, Caflisch J, Martin E, et al. Long-Term Neurodevelopmental Outcome with Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. J Peds. 2013:1-7.
11. Armstrong-Wellsa J, Bernarda TJ, Boadaa R, Manco-Johnson M. Neurocognitive outcomes following neonatal encephalopathy. NeuroRehabilitation 2010;26:27-33.
12. deHaan M, Wyatt J, Roth S, Vargha-Khadem F, Gadian D, Mishkin M. Brain and cognitive behavioral development after asphyxia at term birth. Dev Sci. 2006;9(4):350-8.
13. Badawi N, Dixon G, Felix J, Keogh J, Petterson B, Stanley F, et al. Autism following a history of newborn encephalopathy: more than a coincidence? . Dev Med Child Neurol. 2006;48:85-9.
14. American AoP. The Apgar Score. The American college of obstetrician and gynecologists. 2006;117(4):1444-7.
15. Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald EC, Hansen AR, Stark AR, editors. Manual of Neonatal Care. 7. Philadelphia: Lippincott Williams and Witkins; 2012. p. 721-6.
16. Vasiljevi B, Maglajli-Djuki S, Gojni M. The prognostic value of amplitude-integrated electroencephalography in neonates with hypoxic-ischemic encephalopathy. Vojnosanit Pregl 2012;69(6):492–9.
17. Horn AR, Swingler GH, Myer L, Linley LL, Raban MS, Joolay Y, et al. Early clinical signs in neonates with hypoxic ischemic encephalopathy predict an abnormal amplitude-integrated electroencephalogram at age 6 hours. BMC Pediatrics 2013;13:52-62.
18. Murray DM, Boylan GB, Ryan CA, Connolly S. Early EEG findings in hypoxic-ischemic encephalopathy predict outcomes at 2 years. Pediatrics 2009;124:459-69.
19. Sarnat H, Sarnat M. Neonatal encephalopathy following fetal distress. A clinical and electroencephalographic study. Arch Dis Child Fetal Neonatal. 1976;75:145-51.
20. Ma D, Williamson P, Januszewski A, Nogaro M, M Hossain M, Ong L, et al. Xenon mitigates isoflurane-induced neuronal apoptosis in the developing rodent brain. Anaesthesiology. 2007;106:746–53.
21. Yager J. Animal models of hypoxic-ischemic brain damage in the newborn. Semin Pediatr Neurol. 2004;11:31-46.
22. Polderman KH. Mechanisms of action, physiological effects, and complications of hypothermia. Crit Care Med 2009;37(7):1-17.