Trauma

21

Click here to load reader

description

neuro

Transcript of Trauma

Page 1: Trauma

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang

Orang tidak akan hidup tanpa kepala, pernyataan tersebut menyatakan bahwa kepala

adalah salah satu bagian tubuh terpenting dari semua bagian tubuh. Hal tersebut dikarenakan

pada kepala terdapat otak yang memiliki peran yang sangat penting bagi sistem. Otak

memiliki jutaan sistem saraf yang berfungi mengatur, mengendalikan dan memberikan

perintah pada setiap sistim organ yang ada pada tubuh kita. Otak bekerja layaknya sistem

operasi pada laptop/pc anda. Apabila terjadi eror pada sistem operasi tersebut maka akan

berdampak pula pada bagian lainnya seperti contoh layar pada laptop/pc menjadi gelap/hang

out. Sama halnya seperti otak contah kerusakan kecil yang di akibatkan karena trauma kranial

yang berdampak pada kerusakan komponen sistem saraf yang ada pada otak dapat berakibat

terjadinya kebutaan, kelumpuhan, sulit bicara, hilang ingatan atau bahkan dapat

mengakibatkan kematian.

Trauma kranial adalah cedera yang terjadi dalam tempurung kepala. Trauma kranial atau

cedera kepala dinyatakan sebagai pembunuh nomor satu di dunia dalam sistim persarafan.

Karena rauma kepala dapat menyerang pada setiap umur, baik pada anak sampai lansia.

Trauma kranial dapat terjadi karena akibat benturan keras baik pukulan, terjatuh, kecelakaan

atau akibat tekanan darah yang sangat tinggi. Dalam kasusnya, Setiap tahun, sekitar 40.000

orang anak mengalami cedera kepala serius dan lebih dari 200 orang meninggal

(www.parentsindonesia.com).

Trauma kranial harus mendapatkan penanganan yang segera. Dilihat dari besarnya kasus

tersebut hal inilah yang melatarbelakangi pembuatan makalah ini.

B.       Tujuan

1.    Tujuan Umum

Tujuan umum dari penyusunan laporan ini adalah untuk mengupas dan membahas tuntas

tentang trauma kepala.

2.    Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penyusunan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas Sistem

Neuronbhavior I

1

Page 2: Trauma

D.      Sistematika Penulisan

Sistematika pada tugas ini diantaranya adalah sebagai berikut. BAB I berisi pendahuluan

yang meliputi : latar belakang, tujuan, ruang lingkup, dan sistematika. Kemudian pada BAB

II berisi tinjauan teori meliputi : definisi, jenis trauma kepala,klafikasi cedara kepala

berdasarkan GCS,etiologi,patofiologi,manifestasi klinik,komplikasi,penatalaksanaan medis,

pemeriksaan diagnotic. BAB III berisi pengkajian, diagnose yang mungkin muncul,

intervensi keperawatan, Untuk BAB IV penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

2

Page 3: Trauma

BAB II

Pembahasan

2.1 Definisi

Trauma kepala adalah ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala

sehingga dapat menimbulkan kelainanan structural dan atau gangguan fungsional

jaringan otak (Sastrodiningrat,2009).

Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu

kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi

disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau

mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).

Trauma kepala adalah cedera pada kepala yang mengenai kulit kepala

tulang tengkorak dan otak (Brunner dan Suddart,2002:65).

Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak

langsung pada kepala (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).

3

Page 4: Trauma

Menurut kelompok kami, trauma kepala ialah cidera pada kepala yang

meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung

maupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan

kesadaran bahkan dapat menyebabakan kematian.

2.2 Jenis-jenis cedera kepala

Cidera kepala dibagi menjadi dua :

1. Cidera kepala terbuka

Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau

luka penetrasi, besarnya cidera pada tipe ini ditentukan oleh velositas, massa dan

bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak

menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,

jaringan sel otak akibat benda tajam atau tembakan. Cidera kepala terbuka

memungkingkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak.

2. Cidera kepala tertutup

Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang

mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian

serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak, cairan akan tumpah. Cidera

kepala tertutup meliputi : komosio ( gegar otak), kontusio ( memar), dan laserasi.

Sumber, Smeltzer, 2001: 2211 ; long, 1996 : 203.

2.3 Klasifikasi cedera kepala berdasarkan nilai GCS

1. Cedera kepala ringan

Nilai GCS : 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai

dengan : nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur

neuro tengkorak, kontusio atau hematoma.

2. Cedera kepala sedang

Nilai GCS : 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit sampai 24 jam, dapat

mengalami fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung).

3. Cedera kepala berat

Nilai GCS : 3-8, kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi : kontusio

serebral, laserasi, hematoma dan edema serebral.

Sumber, Arif Muttaqin, 2008 : 150 dan Hudak dan Gallo, 1996 : 226.

4

Page 5: Trauma

2.4 Etiologi

1. Trauma tajam

Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana itu merobek otak,

misalnya terrembak peluru atau benda tajam.

2. Trauma tumpul

Kerusakan menyebar karna kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya.

3. Akselerasi cedera

Peristiwa yang hebat pada kepala yang disebabkan oleh pukulan maupun

bukan pukulan.

4. Kontak benturan (gonjatan langsung).

Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek.

5. Kecelakaan lalu lintas.

6. Jatuh.

7. Kecelakaan industri.

8. Serangan yang disebabkan karna olahraga.

9. Perkelahian.

Sumber, Smeltzer, 2001 : 2210, Long, 1996 : 203.

2.5 Patofisiologi

Cedera kepala terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada

permukaan otak, laserasi cedera robekan atau hemorogi, akibatnya akan terjadi

kemampuan auto regulasi serebral yang kurang atau tidak ada pada area cedera dan

konsekuensinya meliputi hiperemia. Peningkatan atau kenaikan salah satu otak akan

menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidak ada aliran cairan ke

otak dan sirkulasi pada otak, sehingga lesi yang terjadi menggeser dan mendorong

jaringan otak. Bila tekanan terus menerus miningkat, maka aliran darah dalam otak

menurun dan terjadilah perfusi yang tidak adekuat, sehinggan terjadi masalah

perubahan perfusi serebral. Perfusi yang tidak adekuatb dapat menimbulkan tingkatan

yang gawat, yang berdampak adanyab faso dilatasi dan cedera otak. Edema akan terus

bertambah menekan atau mendesak terhadap jaringan saraf, sehimgga terjadi

peningkatan intra cranial (Price, 1996).

5

Page 6: Trauma

Edema Jaringan otak akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra cranial

yang akan menyebabakan hemiasi dan penekanan pada batang otak. Dampak dari

cedera kepala :

1. Pola pernafasan

Trauma serebral ditandai dengan peningkatan tekanan intra cranial

yang menyebabkan hipoksia jaringan dan kesadaran menurun. Dan

biasanya menimbulkan hipoventilasi alveolar karna nafas dangkal,

sehingga menyebabkan kerusakan pertukaran gas (gagal nafas) dan atau

resiko ketidakefektifan napas yang akan menyebabkan laju mortalitas

tinggi pada klien cedera kepala. Cedera serebral juga menyebabkan

hemiasi hemisfer serebral sehingga terjadi pernapasan chyne stoke, selain

itu hemiasi juga menyebabkan kompresi otak tengah dan hipoventilasi

neurogenik sentral ( Long, 1996 ; Smeltzer, 2001, Price, 1996.)

2. Mobilitas fisik

Akibat trauma dari cedera otak berat dapat memepengarui gerakan

tubuh, sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu

juga dapat menyebabkan control vulunter terhadap gerakan terganggu

dalam memenuhi perawatan diri dalam kehidupan sehari-hari dan terjadi

gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, sehingga

menyebabkan kerusakan mobilitas fisik (Doengoes, 2000 ; Price, 1996).

3. Keseimbangan cairan

Trauma kepala yang berat mengakibatkan masalah untuk

mempertahankan status hidrasi hidrat yang seimbang, sehingga respon

terhadap status berkurang dalam keadaan stress fisikologis makin banyak

hornon antidiuretik dan makin banyak aldosteron dproduksi sehingga

mengakibatkan retensi cairan dan natrium pada trauma yang menyebabkan

fraktur tengkorak dan akan terjadi kerusakan terjadi pada kelenjar

hipifisise atau hipotalamus dan peningkatan tekanan intra cranial. Pada

keadaan ini terjadi disfungsi pada reproduksi dan penyimpanan ADH

sehingga terjadi penurunan jumlah air dan menimbulkan dehidrasi (Price,

1996).

4. Aktifitas menelan

Adanya trauma menyebabkan gangguan area motorik dan sensorik dari

menisfer serebral akan merusak kemampuan untuk mendeteksi adanya

6

Page 7: Trauma

makanan pada sisi mulut yang dipengaruhi dan untuk memanipulasinya

dengan gerakan pipi dan selain refleks menelan dan batang otak mungkin

hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali (Smeltzer, 2001 and

Price, 1996).

5. Kemampuan komunikasi

Pada pasien dengan trauma serebral disertasi gangguan komunikasi,

disfungsi ini paling sering menyebabkan kecacatan pada penderita cedera

kepala, kerusakan ini diakibatkan dari kombinasi efek-efek disorganisasi

dan kekacauan proses bahasa dan gangguan. Bila ada pasien yang telah

mengalami trauma pada area hemisfer serebral dominan dapat

menunjukkan kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam

beberapa hal bahkan mungkin semua bentuk bahasa sehingga dapat

menyebabkan gangguan komunikasi verbal (Price, 1996).

6. Gastrointestinal

Setelah trauma kepala perlukaan dan perdarahan pada lambung jarang

ditemukan, tapi setelah 3 hari pasca trauma terhadap respon yang berbeda

dan merangsang aktifitas hipotalamus dan stimulasi vagus yang dapat

menyebabkan hiperkardium. Hipotalamus merangsang anterior hipofisise

untuk mengeluarkan kortikosteroid dalam menangani cedera serebral.

Hiperkardium terjadi peningkatan pengeluaran katekolamin dalam

menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung (Price,

1996).

7

Page 8: Trauma

Pathway

8

Page 9: Trauma

2.6 Manifestasi klinis

1. Cedera kepala ringan

9

Page 10: Trauma

a. Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormaldan sebagian besar

pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari.

b. Pusing, kesulitan berkonsetrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya

berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan kesulitan bekerja.

2. Cedera kepala sedang

a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertasi dengan kebingungan atau

bahkan koma.

b. Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba, defisit neurologic,

perubahan tanda-tanda vital, gamgguan penglihatan dan pendengaran,

disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, dan ganggun pergerakan.

3. Cedera kepal berat

a. Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah

terjadinya penurunan kesadaran.

b. Pupil tidak adekuat, pemerikasaan mototik tidak adekuat, adanya cedera

terbuka, fraktur tengkorak dan penuruan niurologik.

Sumber, Smeltzer, 2001.

2.7 Komplikasi

Komplikasi cedera kepala ialah :

1. Peningkatan tekanan intra cranial (TIK).

2. Iskemia.

3. Infark.

4. Kerusakan otak irreversible.

5. Kematian.

6. Paralisis saraf focal i dan o, anomsia (tidak dapat mencium bau-bauan).

7. Infeksi sistemik (pneumonia, isk, septicemia).

8. Infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses

otak).

9. Osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi).

Sumber, Smeltzer 2001 ; Tucker, 1998.

10

Page 11: Trauma

2.8 Penatalaksanaan

1. Dexamethason atau kalmetason sebagai pengobatan antiedema serebral, dosis

sesuai dengan berat ringannya trauma.

2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat) untuk mengurangi vasodilatasi.

3. Pemberian analgetik.

4. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu manithol 20%, glukosa

40%, atau gliserol.

5. Anti biotic yang mengandung barier darah otak (pinichilin) atau untuk infeksi

anaerob diberikan metronidazole.

6. Makanan atau cairan infus dextros 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama

dari tejadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.

7. Pembedahan.

2.9.   PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan klien dengan trauma

kranial sebagai penunjang dan bukti fisik dalam menentukan diagnosis sebagai berikut :

1.    CT Scan (tanpa / dengan kontras) mengidentifikasi adanya sol, hemoragik, menentukan ventrikuler, pergeseran jaringan otak.

2.     MRI (Magnetic Resonance Imaging): sama dengan CT Scan dengan / tanpa kontras. Menggunakan medan magnet kuat dan frekuensi radio dan bila bercampur frelmensi radio radio yang dilepaskan oleh jaringan tubuh akan menghasilkan citra MRI yang berguna. dalam mendiagnosis tumor, infark dan kelainan pada. pembuhih darah.

3.  Angiografi serebral: Menunjukkan kelainan sirkula.si serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema., pendarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan menentukan kela.inan serebral vaskuler.

4.   Angiografi Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisa.si untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa. gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitamya.

5.   EEG: Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisansuperfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien.

6.  ENG (Elektronistagmogram) merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan sistem saraf pusat.

11

Page 12: Trauma

7.     Sinar X: Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.

8.      BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak.

9.  PET (Positron Emmision Tomografi): Menunjukkan perubahan aktifitas metabolisme batang otak. 10. Fungsi lumba1,

10.    CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid.11.    GDA (Gas Darah Arteri): Mengetahui adanya masalah ventilasi atau

oksigenasi yang akan meningkatkan TIK. 12.   Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang belperan dalam

peningkatan TIK / perubahan mental.13.  Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab

terhadap pentuunan kesadaran.14.    Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi

yang cukup efektif untuk mengatasi kejang.(Doenges 2000; Price & Wilson 2006)

BAB III

Asuhan Keperawatan

12

Page 13: Trauma

A. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut b.d agen cedera (fisik dan psikologis).

2. Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan neurologis.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual dan muntah dan anoreksia.

4. Hambatan mobilitas fisik b.d penurunan kekutan otot.

B. Intervensi Keperawatan

Diagnosa 1 : Nyeri akut b.d agen cedera (fisik dan psikologis).Intervensi RasionalisasiLakukan pengkajian nyeri. Untuk mengetahui skala nyeri.Ajarkan pasien tekhnik relaksasi napas dalam.

Agar meningkatkan asupan O2 sehingga akan menurunkan nyeri.

Berikan anagetik untuk mengurangi nyeri. Agar mengurangi nyeri pasien.Istirahatkan pasien dan berikan posisi yang nyaman.

Untuk merelaksasikan semua jaringan sehingga akan meningkatkan kenyamanan pada pasien.

Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri yang tidak berhasil

Untuk mengatasi nyeri yang dialami pasien.

Diagnosa 2 : Ketidakefektifan pola nafas b.d kerusakan neurologis.

Intervensi Rasionalisasi Berikan posisi semi fowler. Agar pola nafas pasien efektif.Pertahankan jalan nafas yang paten. Agar pasien bisa bernafas.Monitor aliran oksigen. Agar pasien bisa bernafas.Kolaborasi dalam pemberian pemberian analgetik dan fisioterapi dada.

Untuk mengevaluasi perbaikan kondisi pasien.

Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d mual muntah dan anoreksia.Intervensi RasionalisasiBerikan makanan kecil dan lunak. Agar memudahkan masuknya makanan.Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.

Agar kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.

Berikan makanan yang terpilih yang sudah dikonsultasikan dengan ahi gizi.

Agar makanan yang dikonsumsi pasien sesuai dengan yang dibutuhkan pasien.

Berikan diet yang di makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi.

Untuk mempertahankan otot-otot respirasi.

13

Page 14: Trauma

Diagnosa 4 : Hambatan mobilitas fisik b.d kekuatan otot. Intervensi RasionalisasiBerikan alat bantu jika pasien memerlukan. Agar pasien bisa beraktivitas.Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika perlu.

Agar pasien bisa beraktivitas dan merubah posisi sesuai yang diinginkan.Agar makanan yang dikonsumsi pasien sesuai dengan yang dibutu

BAB IV

Penutup

4.1 Kesimpulan

Trauma kepala telah didefinisikan sebagai kerusakan jaringan di kepala yang

diakibatkan oleh benturan kesobekan pada kulit kepala. Dan dari jenisnya dapat dilihat bahwa

trauma kepala dapat bersifat ringan, sedang maupun berat, hal ini dapat dilihat dari jenis

benturan yang terjadi misalnya pada waktu terjadi kecelakaan klien terbentur dan dapat

mengakibatkan luka dalam pada tulang tengkorak otak, hal ini dapat beresiko terjadinya

14

Page 15: Trauma

trauma kepala berat namun kita tidak bisa mendefinisikan hal tersebut sebagai trauma berat

apabila sebelum adanya diagnosa medis dari dokter terkait

4.2 Saran

Kami sangat menyadari bahwa penyusunan makalah kami ini sangatlah kurag dari

kesempurnaan, oleh karena itu bagai pembaca atau mahasiswa yang membaca makalah ini,

kami mohon maaf apabila ada kata-kata yang salah arti dan kami sebagai manusia membuka

hati kami untuk kritik dan saran yang membangun demi penyusunan makalah selanjutnya.

Daftar pustaka

Muttaqin, Arif.2008.Buku Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan.

Jakarta : Salemba Medika.

Buku Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis Dan Nanda Nic Noc.

Apri Ariani, Tutu.2012.Sistem Neurobehavior. Jakarta Selatan : Salemba Medika.

Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan, Jakarta :

EGC.

15

Page 16: Trauma

16