Tranfusi Darah

21
TRANFUSI DARAH Oleh : Dian Ristanti Sumber : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition , Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) edisi 5 PENDAHULUAN Tranfusi darah pada hakekatnya merupakan pemberian darah atau komponen darah dari satu individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi di sisi lain dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi. Oleh karena itu, pemberian tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan efisien, yaitu dengan memberikan hanya komponen darah atau derivat plasma yang dibutuhkan saja. Dengan demikian diharapkan manfaat yang didapat jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin terjadi. ANTIGEN DAN ANTIBODI SEL DARAH Penelitian antigen dan antibodi sel darah merah mendasari terapi tranfusi. Penelitian serologi awalnya memberi karakteristik pada antigen tersebut, tetapi dewasa ini berbagai komposisi dan struktur molekuler telah diketahui. Antigen, seperti halnya karbohidrat atau protein, menandai kelompok sistem komponen darah berdasarkan struktur dan kesamaan dari determinan epitop. Elemen sel darah yang lain dan protein plasma juga bersifat antigen dan dapat menimbulkan alloimunization, produksi antibodi secara langsung melawan antigen sel darah dari individu lain. Antibodi ini disebut alloantibodi.

Transcript of Tranfusi Darah

Page 1: Tranfusi Darah

TRANFUSI DARAH

Oleh : Dian Ristanti

Sumber : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition ,

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) edisi 5

PENDAHULUAN

Tranfusi darah pada hakekatnya merupakan pemberian darah atau komponen darah dari

satu individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi di

sisi lain dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi. Oleh karena itu,

pemberian tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan efisien, yaitu dengan

memberikan hanya komponen darah atau derivat plasma yang dibutuhkan saja. Dengan demikian

diharapkan manfaat yang didapat jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin

terjadi.

ANTIGEN DAN ANTIBODI SEL DARAH

Penelitian antigen dan antibodi sel darah merah mendasari terapi tranfusi. Penelitian

serologi awalnya memberi karakteristik pada antigen tersebut, tetapi dewasa ini berbagai komposisi

dan struktur molekuler telah diketahui. Antigen, seperti halnya karbohidrat atau protein, menandai

kelompok sistem komponen darah berdasarkan struktur dan kesamaan dari determinan epitop.

Elemen sel darah yang lain dan protein plasma juga bersifat antigen dan dapat menimbulkan

alloimunization, produksi antibodi secara langsung melawan antigen sel darah dari individu lain.

Antibodi ini disebut alloantibodi.

Antibodi yang secara langsung melawan antigen sel darah merah dapat dihasilkan dari

paparan “alamiah”, khususnya terhadap karbohidrat yang menyerupai beberapa antigen sel darah.

Antibodi tersebut dapat terjadi melalui rangsangan alami yang biasanya dihasilkan oleh sel T –

respon independen dan isotipe Ig M. Autoantibodi (antibodi yang melawan autolog antigen darah)

timbul secara spontan atau sebagai hasil dari infeksi sequele (misalnya Mycoplasma pneumonia) dan

juga Ig M. Antibodi ini secara klinis sering tidak berhubungan secara signifikan dengan rendahnya

afinitas terhadap antigen pada temperatur tubuh. Namun demikian, antibodi IgM dapat

mengaktifasi cascade komplemen dan menyebabkan hemolisis. Antibodi yang dihasilkan oleh proses

allogenic , seperti tranfusi atau kehamilan, biasanya adalah IgG. Antibodi IgG pada umumnya

Page 2: Tranfusi Darah

berikatan dengan antigen pada temperatur hangat dan dapat menyebabkan hemolisis RBC. Tak

seperti antibodi IgM, antibodi IgG dapat melewati plasenta dan mengikat eritrosit janin,

menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir atau hidropsfetalis.

Alloimunisasi pada leukosit, platelet dan protein plasma dapat juga timbul dalam komplikasi

tranfusi, berupa demam dan urtikaria, tetapi secara umum tidak menimbulkan hemolisis.

Pemeriksaan untuk alloantibodi yang lain tidak secara rutin dilakukan, tetapi mungkin dapat

dideteksi menggunakan pemeriksaan khusus.

SISTEM PENGGOLONGAN DARAH

Sistem ABO

Sistem pengelompokan darah pertama kali dikenal pada tahun 1900, yaitu sistem ABO, yang

paling penting dalam tranfusi darah. Penggolongan darah yang utama pada sistem ini adalah A, B, AB

dan O. Golongan darah O kurang antigen A atau B. Antigen ini berupa karbohidrat yang menyerang

prekursor sumsum tulang, yang dapat ditemukan pada membran sel seperti glikosfingolipid atau

glikoprotein, dan disekresi ke dalam plasma dan cairan tubuh sebagai glikoprotein. Substansi H

merupakan prekursor imediate yang merupakan zat antara antigen A dan B. Substansi H ini dibentuk

oleh penambahan dari fucose pada glikolipid atau glikoprotein sumsum tulang. Substansi tambahan

pada N-acetylgalactosamin membentuk antigen A, sedangkan tambahan pada galaktosa membentuk

antigen B.

Gen yang menyandi fenotip A dan B ditemukan pada kromosom 9p. Gen tersebut

menghasilkan glycosil transferase, yang menentukan kemampuan enzymatiknya dalam melawan

antigen karbohidrat spesifik. Seseorang yang kekurangan “A” dan “B” transferase memiliki golongan

darah “O”, sedangkan yang mengandung kedua transferase tersebut adalah golongan darah “AB”.

Sebagian kecil individu kekurangan gen H, yang menyandi fucose transferase, dan tidak dapat

membentuk substansi H. Individu tersebut mengandung alel h dan fenotipe Bombay (Oh).

Sistem penggolongan darah ABO sangat penting karena pada dasarnya seseorang

menghasilkan antibodi terhadap antigen karbohidrat. Secara alami, antibodi terhadap anti-A dan

anti-B disebut isoaglutinin. Seseorang dengan golongan darah A menghasilkan anti-B, sedangkan

golongan darah B membentuk anti-A. Kedua isoaglutinin tersebut tidak ditemukan pada golongan

darah AB, sedangkan golongan darah O menghasilkan anti-A dan anti-B. Seseorang dengan tipe AB

merupakan “resipien universal” karena mereka tidak mempunyai antibodi yang melawan fenotipe

ABO, sementara seseorang dengan golongan darah O dapat mendonorkan darah pada semua

resipien karena selnya tidak dikenal oleh isoaglutinin ABO. Beberapa individu dengan fenotipe

Page 3: Tranfusi Darah

Bombay membentuk antibodi terhadap substansi H seperti juga pada antigen A dan B, dan hanya

cocok dengan donor hh.

Pada sebagian besar orang, antigen A dan B disekresi oleh sel dan terdapat pada sirkulasi

darah. Berbagai jenis infeksi (seperti Candida albicans, Neisseria meningitidis, Streptococcus

pneumonia, Haemophilus influenza) dapat mengikat polisakarida pada sel.

Sistem Rhesus

Sistem Rhesus merupakan sistem penggolongan terpenting kedua dalam pemeriksaan

pretranfusi. Antigen Rhesus ditemukan pada 30-kDa sampai 32-kDa membran protein sel darah

merah. Walaupun telah dijelaskan >40 antigen yang berbeda dalam sistem Rhesus, terdapat lima

fenotipe yang utama. Terdapatnya antigen D disebut Rh positif, sedangkan seseorang tanpa antigen

D disebut Rh negatif. Dua pasang alel antigen, E/e dan C/c, juga ditemukan pada protein Rh. Tiga gen

Rh, E/e, D, dan C/c, disusun berurutan pada kromosom 1 dan terbentuk sebagai haplotipe, misalnya

cDE atao Cde. Dua haplotipe dapat dihasilkan oleh ekspresi dua sampai lima antigen Rh.

Antigen D merupakan alloantigen yang poten atau paling imunogenik. Sekitar 15% individu

tidak memiliki antigen D dan digolongkan sebagai Rh negatif. Paparan Rh negatif oleh Rh positif,

meskipun hanya dalam jumlah kecil, dalam tranfusi atau kehamilan, dapat menghasilkan produksi

alloantibodi anti-D, antibodi yang dapat menyebabkan reaksi hemolitik berat pada neonatus atau

“hemolytic disease of the newborn” (HDN).

Sistem Penggolongan Darah Lain dan Alloantibodi

Terdapat lebih dari 100 sistem golongan darah yang sudah diketahui, terdiri dari 500 antigen

lebih. Keberadaan dan ketiadaan antigen tertentu dihubungkan dengan berbagai penyakit dan

kelainan. Antigen juga berperan sebagai reseptor untuk agen infeksi. Alloantobodi yang penting

dalam praktek klinis rutin tercantum dalam tabel di bawah.

Antibodi dalam antigen karbohidrat sistem Lewis paling sering menyebabkan

incompatibilitas selama skreening pretranfusi. Produk dari gen lewis adalah flucosyl transferase dan

terdapat pada kromososm 19. Antigen bukan merupakan struktur membran utuh, tetapi itu diserap

ke dalam membran RBC dari plasma. Antibodi terhadap antigen Lewis biasanya berupa IgM dan

tidak dapat melewati plasenta. Antigen Lewis dapat diserap oleh sel tumor dan dapat menjadi target

terapi.

Page 4: Tranfusi Darah

Tabel Sistem Golongan Darah dan Alloantigen :

Sistem gol.darah Antigen alloantibodi Klinis khusus

Rh(D,C/c,E/e) RBC protein IgG HTR, HDN

Lewis(Le a, Le b) Oligosakarida IgM/IgG Rare HTR

Kell(K/k) RBC protein IgG HTR, HDN

Duffy (Fy a/ Fy b) RBC protein IgG HTR, HDN

Kidd (Jk a/ Jk b) RBC protein IgG HTR(sering delayed),HDN(mild)

I/i Karbohidrat IgM None

MNSsU RBC protein IgM/IgG Anti-M rare HDN, anti-S,-s dan

–U HDN, HTR

Antigen sistem I juga merupakan oligosakarida yang berhubungan dengan H, A, B dan Le. I

dan i bukan alel yang berpasangan tetapi merupakan antigen karbohisrat yang berbeda hanya pada

cabang tertentu. Antigen i merupakan rantai tak bercabang yang dibentuk oleh produk antigen I,

suatu glycosil transferase. Beberapa pasien dengan cold aglutinin disease atau limfoma dapat

menghasilkan autoantibodi anti-I yang menyebabkan kerusakan sel darah merah. Seseorang dengan

Mononucleosis atau Mycoplasma pneumonia dapat membentuk cold aglutinin dari anti-I atau anti-i.

Sebagian besar orang dewasa kekurangan ekspresi i, jadi menemukan donor dengan anti-i tidaklah

sulit. Walaupun sebagian besar orang dewasa mempunyai antigen I, pengikatan umumnya terjadi

pada suhu rendah. Dengan demikian, menjaga darah tetap hangat dapat mencegah isoaglutinasi.

Sistem P merupakan kelompok antigen karbohidrat lain yang dikontrol oleh glyco

transferase khusus. Manifestasi klinisnya dapat dijumpai pada kasus sifilis atau infeksi virus yang

mengawali paroxismal cold hamoglobinuria. Dalam kasus ini, suatu autoantibodi terhadap P

dihasilkan, dan dapat mengikat sel darah merah dalam suhu dingin dan memfiksasi komplemen

selama pemanasan. Antibodi yang bersifat bifasik itu disebut Donath-Landsteiner antibodi. Antigen P

merupakan reseptor sel dari parvovirus B19 dan bisa juga menjadi reseptor untuk ikatan Escherichia

coli pada sel urothelial.

Sistem MNSsU diatur oleh gen pada kromosom 4. M dan N nampak pada glycoprotein A,

suatu protein membran sel darah merah, sedangkan S dan s tampak pada glycoprotein b. Antibodi

IgG nti-S dan anti-s dapat dibentuk setelah kehamilan atau tranfusi, dan dapat menyebabkan

hemolisis. Antibodi anti-U jarang terjadi, tetapi menimbulkan masalah, kenyataannya hampir setiap

donor tidak cocok karena semua orang mengekspresikan U.

Page 5: Tranfusi Darah

Protein Kell sangat besar (720 asam amino), dan merupakan struktur sekunder yang terdiri

dari berbagai epitop antigen yang berbeda. Imunogenitas Kell merupakan yang ketiga terbanyak

setelah sistem ABO dan sistem Rh. Ketiadaan protein prekursor Kell (dikontrol oleh gen X)

berhubungan dengan achantositosis, suatu pemendekan umur eritrosit, serta distrofi otot jantung.

Keadaan yang jarang terjadi dinamakan fenotip McLeod. Gen Kx berikatan pada 91-kDa komponen

dari NADPH-oxidase pada kromososm X, terjadi delesi dan mutasi yang menimbulkan sekitar 60%

kasus penyakit granulomatous kronis.

Antigen Duffy merupakan alel kodominan. Fy a dan Fy b juga merupakan reseptor untuk

Plasmodium vivax. Lebih dari 70% orang pada endemik malaria kekurangan antigen ini, kemungkinan

berkaitan dengan pengaruh selektif infeksi pada populasi tersebut.

TES PRE TRANFUSI

Pemeriksaan alloantibodi mengidentifikasi antibodi yang melawan antigen sel darah merah

lain. Spesifisitas alloantibodi ditentukan oleh ada tidaknya antigen yang mengakibatkan aglutinasi.

Uji cocok silang (crossmatch) adalah prosedur yang paling penting dan paling sering

dilakukan sebelum tranfusi darah. Secara umum, uji cocok silang terdiri dari serangkaian prosedur

yang dilakukan sebelum tranfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien

dan untuk mendeteksi antigen ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau

mempengaruhi ketahanan hidup dari sel darah merah donor setelah tranfusi.

Uji cocok silang ada 2 jenis, yaitu mayor dan minor. Uji silang mayor menguji reaksi antara

sel darah merah donor dengan serum resipien, yaitu untuk mendeteksi antibodi resipien yang dapat

melisis sel darah merah donor dan menyebabkan reaksi tranfusi hemolitik. Uji silang minor yaitu

menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien. Uji cocok silang mayor

dilakukan pada tes pretranfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi,

sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiaglutinin. Sedangkan uji tranfusi silang minor tidak dilakukan

pretranfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah.

Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok silang. Kedua uji tersebut

biasa dikerjakan dalam 3 fase, yaitu medium NaCl 0,9%, medium albumin dan Coombs yang

keseluruhannya memerlukan waktu 2 jam.

Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat

bereaksi dengan sel darah merah donor. Namun permintaan darah dalam keadaan darurat dimana

tidak dilakukan uji cocok silang, harus dipertimbangkan kemungkinan besar terjadinya resiko

Page 6: Tranfusi Darah

tranfusi. Meskipun demikian, uji cocok silang juga tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau

mencegah imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing, atau

semua antibodi ireguler pada resipien serum.

KOMPONEN DARAH UNTUK TRANFUSI

Darah Utuh (Whole Blood)

Darah utuh berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah

utuh/lengkap berisi 450ml darah dan 65 gram hemoglobin. Suhu simpan antara 1’-6’Celcius. Lama

simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah. Pada

pemakaian sitrat fosfat dextrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin

(CPDA) lama simpan adalah 35 hari. Menurut cara simpan in vitro, ada 2 jenis darah lengkap, yaitu

darah segar dan darah baru. Darah segar merupakan darah yang disimpan sampai 48 jam, sedangkan

darah baru adalah darah yang disimpan sampai 5 hari.

Selama penyimpanan dingin, afinitas oksigen darah utuh meningkat seiring dengan

penurunan 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) sel darah merah. Baik afinitas oksigen maupun kadar 2,3-

difosfogliserat akan kembali normal dalam beberapa jam setelah tranfusi.

Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma

dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari

25-30% volume darah total. Namun pemberian darah lengkap pada kondisi tersebut hendaklah tidak

menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting daripada

penggantian sel darah merah, sedangkan persiapan darah untuk tranfusi memerlukan waktu. Darah

lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronis yang normovolemik atau yang

hanya bertujuan meningkatkan sel darah merah.

Pemberian darah utuh disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Pada orang dewasa, satu

unit darah lengkap diperkirakan dapat meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%,

sedangkan pada anak-anak darah lengkap 8ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl. Pemberian

darah lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis

pasien, namun sebaiknya setiap unitnya diberikan dalam 4 jam.

Sel Darah Merah Pekat (Packed Red blood Cell)

Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Sel darah

merah pekat ini didapatkan dengan cara memusingkan darah utuh dan mengeluarkan plasma ke

Page 7: Tranfusi Darah

dalam kentong lain, sehingga diperoleh sel darah merah dengan hematokrit sekitar 60-70% dengan

volume sel darah merah 200ml. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1’-6’ Celcius. Apabila

menggunakan antikoagulan CPDA, maka masa simpan dari sel darah merah tersebut adalah 35 hari

dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD maka masa simpan

sel darah merah ini sekitar 21 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan

tambahan (buffer, dextrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60% dengan masa simpan

42 hari.

Sel darah merah pekat merupakan terapi suportif untuk kehilangan darah praoperasi atau

untuk anemia kronis bila terapi definitif tidak tersedia, misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau

anemia karena keganasan. Pemberian PRC disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, bukan

tergantung pada nilai Hb atau hematokrit. PRC dapat memperbaiki oksigenasi jaringan dan jumlah

eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung. Sedangkan

pemberian PRC juga dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam

waktu singkat. Setiap satu unit sel darah merah pekat pada orang dewasa akan meningkatkan Hb

sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar

(170u). Penemuan faktor spesifik, eritropoitin manusia rekombinan secara dramatis telah

menurunkan penggunaan tranfusi sel darah merah pada pasien penyakit ginjal kronis

terminal.Eritropoitin rekombinan juga telah menggantikan tranfusi darah pada pasien tertentu yang

menderita kanker, AIDS dan mielodisplasia tergantung tranfusi.

Sel Darah Merah dengan Sedikit leukosit (Packed Red Cell Leukocyte Reduced)

Komponen sel darah merah dan trombosit mengandung leukosit (terutama lymfosit) dalam

jumlah yang bervariasi. Reaksi demam sering terjadi pada pasien tersensitisasi yang menerima

komponen lebih dari 5 x 10 8 leukosit, dan alloimunisasi terhadap antigen HLA pada limfosit residual

dapat terjadi bila dilakukan tranfusi lebih dari 10 6 limfosit. Virus tertentu yang terkait sel, misalnya

citomegalovirus dan HTLV-1 dan –II ditularkan melalui sejumlah kecil limfosit. Berdasarkan hal

tersebut, dilakukan upaya menciptakan komponen darah seluler dengan jumlah leukosit yang

dikurangi atau direduksi. Tindakan pencucian sel menghilangkan sebagian besar plasma, tetapi

hanya mengurangi leukosit sekitar 1 log, cukup untuk menghilangkan reaksi demam tetapi tidak

dapat mencegah penyulit lain.

Setiap unit sel darah ini mengandung 1-3 x 10 9 leukosit. Sel darah ini dapat diperoleh

dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau

degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Suhu simpannya 1’-6’ Celcius, sedangkan masa

Page 8: Tranfusi Darah

simpan tergantung pada cara pembuatannya. Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai

kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tetapi bila

dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).

Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering

mendapat/ tergantung pada tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi

panas yang berulang serta reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi leukosit.

Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD) sehingga

komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah hal itu adalah bila komponen darah

tersebut diradiasi.

Sel darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Cell Washed)

Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80% dengan

volume 180ml. Pencucian dengan salin mebuang hampir seluruh plasma (98%), menurunkan

konsentrasi leukosit dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya sering dilakukan dengan

sistem terbuka, maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1’-6’ Celcius.

Pada orang dewasa komponen darah ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang berat

atau alergi yang berulang, dapat pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri.

Komponen darah ini masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih

mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini juga tidak menjamin pencegahan

terjadinya GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.

Trombosit Pekat (Concentrat Platelet)

Komponen darah ini berisi trombosit, bebrapa leukosit, sel darah merah serta plasma.

Trombosit pekat diperoleh dengan cara pemusingan plasma kaya trombosit dari sebuah unit darah

untuk menghasilkan 6 x 10 10 trombosit, atau dengan tromboferesis otomatis untuk menghasilkan

sekitar 6 unit semacam itu dari donor individual. Bila disimpan dalam suhu kamar pada wadah yang

permiabel gas untuk mempertahankan metabolisme aerobik dan pH, trombosit dapat bertahan

hidup selama 5 hari. Satu unit trombosit dapat meningkatkan hitung trombosit dewasa paling sedikit

5000 sel per mikroliter, dan trombosit dapat beredar sekitar seminggu dalam tubuh pasien

trombositopenik yang mungkin tidak terimunisasi dan stabil.

Tranfusi trombosit pekat ini diindikasikan bila terjadi trombositopenia berat atau disfungsi

trombosit yang disertai perdarahan aktif atau mengancam jiwa. Tranfusi trombosit mengontrol

perdarahan pada pasien trombositopenik yang mengalami penekanan pembentukan trombosit,

Page 9: Tranfusi Darah

misalnya pada pasien leukemia, kemoterapi, atau radioterapi, atau yang mengalami

trombositopenia dilusional setelah tranfusi masif. Tranfusi trombosit kurang efektif bila terjadi

destruksi perifer, misalnya terjadi koagulopati konsumsi atau purpura trombositopenik imun (ITP),

dan tidak dianjurkan kecuali bila benar-benar mengancam jiwa. Pada kondisi ini, tranfusi trombosit

dapat mencegah perdarahan yang potensial fatal sampai penyebab destruksi trombosit dapat

diperbaiki.

Penggunaan tranfusi trombosit profilaksis untuk pasien trombositopenik yang stabil masih

diperdebatkan. Ambang hitung trombosit ketika terjadi perdarahan akan bervariasi sesuai dengan

penyebab trombositopenia dan sesuai dengan derajat disfungsi trombosit. Sebagian besar pasien

dengan hitung trombosit sekitar 10.000 sel permikroliter tidak mengalami komplikasi perdarahan

spontan. Faktor klinis tertentu yang menyulitkan misalnya sepsis, hitung trodiberikan untuk

mempertahankan hitungmbosit yang turun cepat, obat yang mengganggu fungsi trombosit, dan

mukositis, dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien yang mendapat terapi mielosupresif.

Dalam keadaan ini, tranfusi trombosit profilaktik sering diberikan untuk mempertahankan hitung

trombosit lebih dari 20.000 sel per mikroliter. Pasien yang berada pada keadaan pascaoperasi dan

yang mengalami defek kedua pada hemostasis mungkin memerlukan hitung trombosit 50.000

sampai 100.000 sel per mikroliter. Tranfusi trombosit harus dipantau dengan hitung trombosit pada

1 dan 24 jam pasca tranfusi.

Trombosit yang ditranfusikan idealnya berasal dari jenis ABO dan golongan Rh yang sama

dengan pasien. Trombosit yang tidak cocok sistem ABO nya dapat menyebabkan peningkatan jumlah

trombosit yang lebih rendah dan mjunbgkin berperan dalam menimbulkan refrakteritas trombosit.

Apabila digunakan donor golongan O untuk resipien A, B atau AB, plasma donor mjungkin

mengandung antibodi yang cukup untuk merusak sebagian sel darah merah resipien. Plasma yang

tidak cocok dapat dikurangi untuk infus pediatrik atau bila orang dewasa memerlukan sejumlah

besar trombosit donor tunggal. Walaupun trombosit tidak mengekspresikan antigen Rh, sel; darah

merah yang ada dapat mensensitisasikan resipien Rh negatif terhadap konsentrat trombosit Rh

positif. Pasien dengan Rh negatif harus mendapat trombosit dari donor dengan Rh negatif juga bila

mungkin. Tetapi apabila hal tersebut tidk dapat dilakukan, imunisasi Rh dapat dicegah dengan

penyuntikan globulin imun Rh. Hal ini sangat penting terutama untuk wanita usia subur.

Pada tranfusi trombosit dapat terjadi reaksi menggigil, panas dan reaksi alergi lain.

Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin, karena dapat menghambat agregasi dan

fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari tranfusi trombosit dapat menimbulkan alloimunisasi

terhadap HLA dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak

Page 10: Tranfusi Darah

meningkatnya jumlah trombosit. Pemberian yang terlalu cepat dapat menimbulkan kelebihan beban

serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya pada tranfusi komponen lain.

Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)

Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Komponen darah ini berisi

plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. Plasma ini

dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan

darah dari donor. Plasma segar beku disimpan pada suhu simpan -18’ Celcius atau kurang, dengan

masa simpan 1 tahun.

Plasma segar beku dindikasikan untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak

tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan

multipel, antara lain pada penyakit hati dan dilusi koagulopati akibat tranfusi masif. Plasma

sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volume karena risiko penularan

penyakit yang tinggi. Komponen darah ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan. Plasma harus

cocok golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, dan tidak memerlukan uji cocok silang. Jika

plasma diberikan sebagai faktor koagulasi, dosisnya adalah 10-20 ml/kg (4-6 unit untuk orang

dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, serta dapat pula meningkatkan faktor VIII

sebesar 2% (1 unit/kg).

KOMPLIKASI TRANFUSI DARAH

Komplikasi tranfusi darah dapat berupa komplikasi imunologi dan non imunologi, sebagai

berikut:

Komplikasi imunologi:

1. Aloimunisasi : antigen eritrosit, antigen HLA

2. Reaksi tranfusi hemolitik : segera dan delayed

3. Reaksi febris tranfusi

4. Kerusakan paru akut karena tranfusi

5. Reaksi tranfusi alergi

6. Purpura pasca tranfusi

7. Pengaruh imunosupresi

8. Penyakit graft versus host

Komplikasi non imunologi:

1. Kelebihan/ overload volume

Page 11: Tranfusi Darah

2. Tranfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru

3. Lainnya: plasticizer, hemosiderosis tranfusi

4. Infeksi: hepatitis A,B,C dan lainnya (HIV, virus Epstein Barr, sifilis, parasit malaria,dll)

Reaksi Tranfusi Hemolitik

Aloantibodi sel darah merah dapat melisiskan sel dalam sirkulasi atau melapisi sel darah

merah dan mempercepat pembuangan sel oleh sistem retikuloendotelial. Sekitar 1 dalam 100.000

unit yang ditranfusikan akan menimbulkan reaksi hemolitik fatal, biasanya akibat ketidakcocokan

ABO karena kesalahan identifikasi pasien atau spesimen darah. Kerusakan cepat sel biasanya

melibatkan sistem ABO, karena baik anti-A maupun anti-B dapat memfiksasi komplemen.

Pasien yang mengalami reaksi hemolitik akut dapat mengeluh adanya rasa panas di muka,

nyeri di tempat infus, nyeri dada atau punggung, gelisah, cemas, mual atau diare. Gejala lain berupa

demamatau menggigil, dan temuan khas berupa syok dan gagal ginjal. Pada pasien koma atau dalam

pengaruh obat anestesi, kemungkinan pertama terjadi hemoglobinuriaatau perdarahan generalisata

akibat koagulasi intravaskular diseminata.

Reaksi hemolisis paling sering disebabkan oleh antibodi sistem Rh, tetapi beberapa antibodi

lain, termasuk sistem Kell, Duffy dan Kidd, juga sering menjadi penyebab. Keluha berupa malaise,

ikterus dan demam dijumpai pada sekitar 1 dari 500 pasien yang ditranfusi. Keluhan ini biasanya

ringan, dapat timbul pada 5-10 hari setelah tranfusi. Masalah yang berupa syok atau gagal ginjal

sangat jarang terjadi. Sekitar 1 dari 150 pasien bersifat asimtomatik dan akan membentuk antibodi

baru pada sekitar seminggu setelah tranfusi. Walaupun jarang terjadi, tetapi pasien dapat

menghancurkan semua sel yang ditranfusikan tanpa memperlihatkan adanya antibodi.

Pemeriksaan awal pada reaksi hemolitik adalah pemeriksaan teliti identitas donor dan

resipien karena kesalahan klinis, terutama kesalahan pemberian label spesimen, sering sebagai

penyebab. Langkah berikutnya adalah membuktikan adanya destruksi sel darah merah, pemeriksaan

penyebabnya dan penatalaksanaan status klinis pasien. Pada hemolisis intravaskuler yang baru

terjadi, hemoglobin bebas dapat mewarnai plasma dan urin. Laboratorium dapat mengkonfirmasi

adanya hemoglobin bebas, adanya methemalbumin, atau penurunan haptoglobin jika perlu.

Indikator terbaik adanya hemolisis intravaskuler adalah peningkatan bilirubin indirek dan kegagalan

hematokrit mencapai kadar pascatranfusi yang diharapkan. Data pasien pratranfusi akan disimpan

sampai penentuan golongan darah resipien dan donor dapat diulang bersama dengan uji kecocokan.

Apabila terdeteksi adanya antibodi, maka spesimen pratranfusi akan digunakan untuk menentukan

Page 12: Tranfusi Darah

spesifisitasnya. Spesimen pascatranfusi mungkin tidak mengandung antibodi penyebab bila antibodi

tersebut telah terserap oleh sel darah merah yang ditranfusikan.

Penatalaksanan pasien yang mengalami reaksi hemolisis ekstravaskuler adalah konservatif.

Tranfusi lebih lanjut harus ditunda sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali

apabila nyawa pasien terancam. Hemolisis intravaskuler dapat menimbulkan bahaya yang lebih

besar, tetapi tidak terdapat terapi spesifik. Penatalaksanaan hipotensi, perdarahan serta gagal ginjal

bersifat konservatif.

Reaksi Lain yang berkaitan dengan Imunologi

Tanpa adanya kerusakan sel darah merah, sebagian besar reaksi demam dapat dijelaskan

oleh adanya destruksi imunologik leukosit atau trombosit. Sebagian besar reaksi ini bersifat ringan

dan dapat dicegah dengan menggunakan komponen sedikit leukosit. Dapat terjadi suatu edema paru

alergik yang berkaitan dengan sekuestrasi leukosit yang terselubungi oleh antibodi. Reaksi yang

jarang ini terjadi bila plasma donor mengandung antibodi yang bertiter tinggi yang bereaksi dengan

leukosit resipien. Reaksi alergi kulit seperti urtikaria dapat diatasi dengan memperlambat tranfusi

dan pemberian antihistamin.

Pasien yang mempunyai antibodi terhadap molekul Ig A mungkin mengalami reaksi

anafilaktik hipotensif apabila terpapar komponen yang mengandung plasma. Pasien seperti itu

sebaiknya ditangani dengan komponen darah defisiensi Ig A dari saudara. Apabila diperlukan,

komponen sel dapat dibersihkan untuk menyingkirkan adanya plasma penyebab. Akibatnya, tranfusi

sering menimbulkan aloimunisasi terhadap antigen sel darah, yang dapat mempersulit tranfusi

berikutnya dan transplantasi sumsum tulang atau organ padat.

Reaksi Tranfusi Non Imun

Reaksi tranfusi non imun yang paling penting selain komplikasi infeksi, adalah kelebihan

beban sirkulasi dan hemosiderosis tranfusi. Beban sirkulasi yang berlebihan bermanifestasi sebagai

edema paru yang merupakan resiko tersendiri bagi pasien tua, bayi, pasien dengan gangguan ginjal

dan jantung, serta pasien dengan anemia kronis dengan massa sel darah merah yang menurun

sedangkan volume plasmanya meningkat.

Unit darah utuh rata-rata mengandung sekitar 60 mEq natrium, sedangkan unit sel darah

merah rerata mengandung sekitar 10 sampai 20 mEq. Kelebihan besi sebagai akibat tranfusi sering

merupakan konsekuensi fatal dari tranfusi kronis untuk anemia refrakter. Anak yang menderita

Thalasemia minor merupakan satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang

Page 13: Tranfusi Darah

menderita anemia kongenital serta orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara

intensif juga beresiko. Setiap miiiliter sel darah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu sel

darah merah menua dan mati. Deposit besi julai mempengaruhifungsi sistem endokrin, hati dan

jantung apabila beban tubuh total naik menjadi lebih dari 20 gram, ekivalen dengan sekitar 100 unit

sel darah merah. Penyulit jantung letal dapat terjadi pada beban 60 mg atau sekitar 300 unit. Akan

tetapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang diperkirakan memerlukan sel

darah merah yang intensif.

Reaksi Infeksi

Berbagai macam virus, bakteri dan protozoa dapat ditularkan melalui tranfusi darah. Untuk

mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan penapisan faktor resiko donor berdasarkan

riwayat medis dan pemeriksaan dengan serangkaian uji laboratorium. Telah digunakan teknik

sterilisasi untuk beberapa komponen plasma dan produk fraksionasi, tetapi belum ada metode

untuk melakukan sterilisasi terhadap komponen sel.

Hepatitis

Penapisan donor dan pemeriksaan spesifik untuk virus hepatitis B dan anntibodi terhadap

hepatitis C telah menurunkan resiko hepatitis pascatranfusi di Amerika Serikat. Hepatitis A hampir

tidak pernah ditularkan melalui tranfusi darah. Insiden hepatitis B yang berkaitan dengan tranfusi

saat ini sangat rendah, dan tersedia vaksin hepatitis B untuk pasien rentan yang diperkirakan akan

mendapat tranfusi kronik. Sebagian besar kasus hepatitis yang berkaitan dengan tranfusi disebabkan

oleh virus hepatitis C. Hepatitis C biasanya hanya menimbulkan sedikit gejala dan tanda, tetapi bukti

serologik dan biokimia infeksi dapat terdeteksi pada 2 sampai 26 minggu setelah tranfusi. Walaupun

presentasinya ringan dan insidensinya menurun, hepatitis C pascatranfusi tetap merupakan masalah

kesehatan serius, karena lebih dari 50% pasien yang terinfeksi kemudian berkembang menjadi

penyakit hati kronis. Selain itu, bukti statistik mengkaitkan hepatitis B dan hepatitis C dengan

karsinoma hepatoseluler.

Infeksi Retrovirus

Beberapa retrovirus manusia mudah ditularkan melalui tranfusi darah. Human

inumodefficiiency vnginfeksi sekitar 90% virus tipe 1 (HIV-1), sebagai penyebab AIDS, menginfeksi

sekitar 90% pasien yang mendapat komponen darah yang tercemar. Sebelum dilakukan uji rutin

untuk donor darah, tranfusi diperkirakan merupakan penyebab pada 2-3% kasus AIDS total.

Page 14: Tranfusi Darah

Perbaikan kriteria seleksi donor dan uji penapisan spesifik tampaknya telah secara bermakna

menurunkan angka kejadian ini.

Kontaminasi Bakteri

Kontaminasi bakteri merupakan penyebab mayor fatalitas pada tranfusi. Sumber

kontaminasi ini bisa berasal dari kantong, donor, bakterimia asimtomatik, dan pembersihan kulit

yang tidak adekuat. Organisme yang sering menimbulkan kontaminasi pada tranfusi sreitrosit antar

lain yersinia, pseudomonas, enterobacter, dan seratia. Pada trombosit penyebab lebih bervariasi,

termasuk staphilococcus, streptococcus, klebsiela dan salmonella. Keluhan dapat berupa febris non

hemolitik sampai febris akut dengan panas, hipotensi sampai kematian. Keluhan yang berat

dihubungkan dengan mikroorganisme dengan endotoksin.

SELEKSI DONOR DARAH

Seseorang harus memenuhi beberepa persyaratan untuk dapat mendonorkan darahnya,

antara lain keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam,

frekuensi dan irama denyut jantung normal, tekanan darah normal, dan tidak didapatkan lesi kulit

berat. Persyaratan lain adalah donor terakhir minimal 8 minggu sebelumnya, tidak hamil, tidak

menderita asma bronkial simtomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka

operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan

mulut), tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, serta tidak mempunyai

penyakit yang menular lewat darah.

Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka pelayanan tranfusi darah

diharapkan dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin

multikomponen dengan donor tunggal. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisasi resiko

transmisi penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.