TRANFUSI DARAH
Oleh : Dian Ristanti
Sumber : Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition ,
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (PAPDI) edisi 5
PENDAHULUAN
Tranfusi darah pada hakekatnya merupakan pemberian darah atau komponen darah dari
satu individu (donor) ke individu lain (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi di
sisi lain dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang dapat terjadi. Oleh karena itu,
pemberian tranfusi hendaknya selalu dilakukan secara rasional dan efisien, yaitu dengan
memberikan hanya komponen darah atau derivat plasma yang dibutuhkan saja. Dengan demikian
diharapkan manfaat yang didapat jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko yang mungkin
terjadi.
ANTIGEN DAN ANTIBODI SEL DARAH
Penelitian antigen dan antibodi sel darah merah mendasari terapi tranfusi. Penelitian
serologi awalnya memberi karakteristik pada antigen tersebut, tetapi dewasa ini berbagai komposisi
dan struktur molekuler telah diketahui. Antigen, seperti halnya karbohidrat atau protein, menandai
kelompok sistem komponen darah berdasarkan struktur dan kesamaan dari determinan epitop.
Elemen sel darah yang lain dan protein plasma juga bersifat antigen dan dapat menimbulkan
alloimunization, produksi antibodi secara langsung melawan antigen sel darah dari individu lain.
Antibodi ini disebut alloantibodi.
Antibodi yang secara langsung melawan antigen sel darah merah dapat dihasilkan dari
paparan “alamiah”, khususnya terhadap karbohidrat yang menyerupai beberapa antigen sel darah.
Antibodi tersebut dapat terjadi melalui rangsangan alami yang biasanya dihasilkan oleh sel T –
respon independen dan isotipe Ig M. Autoantibodi (antibodi yang melawan autolog antigen darah)
timbul secara spontan atau sebagai hasil dari infeksi sequele (misalnya Mycoplasma pneumonia) dan
juga Ig M. Antibodi ini secara klinis sering tidak berhubungan secara signifikan dengan rendahnya
afinitas terhadap antigen pada temperatur tubuh. Namun demikian, antibodi IgM dapat
mengaktifasi cascade komplemen dan menyebabkan hemolisis. Antibodi yang dihasilkan oleh proses
allogenic , seperti tranfusi atau kehamilan, biasanya adalah IgG. Antibodi IgG pada umumnya
berikatan dengan antigen pada temperatur hangat dan dapat menyebabkan hemolisis RBC. Tak
seperti antibodi IgM, antibodi IgG dapat melewati plasenta dan mengikat eritrosit janin,
menyebabkan penyakit hemolitik pada bayi baru lahir atau hidropsfetalis.
Alloimunisasi pada leukosit, platelet dan protein plasma dapat juga timbul dalam komplikasi
tranfusi, berupa demam dan urtikaria, tetapi secara umum tidak menimbulkan hemolisis.
Pemeriksaan untuk alloantibodi yang lain tidak secara rutin dilakukan, tetapi mungkin dapat
dideteksi menggunakan pemeriksaan khusus.
SISTEM PENGGOLONGAN DARAH
Sistem ABO
Sistem pengelompokan darah pertama kali dikenal pada tahun 1900, yaitu sistem ABO, yang
paling penting dalam tranfusi darah. Penggolongan darah yang utama pada sistem ini adalah A, B, AB
dan O. Golongan darah O kurang antigen A atau B. Antigen ini berupa karbohidrat yang menyerang
prekursor sumsum tulang, yang dapat ditemukan pada membran sel seperti glikosfingolipid atau
glikoprotein, dan disekresi ke dalam plasma dan cairan tubuh sebagai glikoprotein. Substansi H
merupakan prekursor imediate yang merupakan zat antara antigen A dan B. Substansi H ini dibentuk
oleh penambahan dari fucose pada glikolipid atau glikoprotein sumsum tulang. Substansi tambahan
pada N-acetylgalactosamin membentuk antigen A, sedangkan tambahan pada galaktosa membentuk
antigen B.
Gen yang menyandi fenotip A dan B ditemukan pada kromosom 9p. Gen tersebut
menghasilkan glycosil transferase, yang menentukan kemampuan enzymatiknya dalam melawan
antigen karbohidrat spesifik. Seseorang yang kekurangan “A” dan “B” transferase memiliki golongan
darah “O”, sedangkan yang mengandung kedua transferase tersebut adalah golongan darah “AB”.
Sebagian kecil individu kekurangan gen H, yang menyandi fucose transferase, dan tidak dapat
membentuk substansi H. Individu tersebut mengandung alel h dan fenotipe Bombay (Oh).
Sistem penggolongan darah ABO sangat penting karena pada dasarnya seseorang
menghasilkan antibodi terhadap antigen karbohidrat. Secara alami, antibodi terhadap anti-A dan
anti-B disebut isoaglutinin. Seseorang dengan golongan darah A menghasilkan anti-B, sedangkan
golongan darah B membentuk anti-A. Kedua isoaglutinin tersebut tidak ditemukan pada golongan
darah AB, sedangkan golongan darah O menghasilkan anti-A dan anti-B. Seseorang dengan tipe AB
merupakan “resipien universal” karena mereka tidak mempunyai antibodi yang melawan fenotipe
ABO, sementara seseorang dengan golongan darah O dapat mendonorkan darah pada semua
resipien karena selnya tidak dikenal oleh isoaglutinin ABO. Beberapa individu dengan fenotipe
Bombay membentuk antibodi terhadap substansi H seperti juga pada antigen A dan B, dan hanya
cocok dengan donor hh.
Pada sebagian besar orang, antigen A dan B disekresi oleh sel dan terdapat pada sirkulasi
darah. Berbagai jenis infeksi (seperti Candida albicans, Neisseria meningitidis, Streptococcus
pneumonia, Haemophilus influenza) dapat mengikat polisakarida pada sel.
Sistem Rhesus
Sistem Rhesus merupakan sistem penggolongan terpenting kedua dalam pemeriksaan
pretranfusi. Antigen Rhesus ditemukan pada 30-kDa sampai 32-kDa membran protein sel darah
merah. Walaupun telah dijelaskan >40 antigen yang berbeda dalam sistem Rhesus, terdapat lima
fenotipe yang utama. Terdapatnya antigen D disebut Rh positif, sedangkan seseorang tanpa antigen
D disebut Rh negatif. Dua pasang alel antigen, E/e dan C/c, juga ditemukan pada protein Rh. Tiga gen
Rh, E/e, D, dan C/c, disusun berurutan pada kromosom 1 dan terbentuk sebagai haplotipe, misalnya
cDE atao Cde. Dua haplotipe dapat dihasilkan oleh ekspresi dua sampai lima antigen Rh.
Antigen D merupakan alloantigen yang poten atau paling imunogenik. Sekitar 15% individu
tidak memiliki antigen D dan digolongkan sebagai Rh negatif. Paparan Rh negatif oleh Rh positif,
meskipun hanya dalam jumlah kecil, dalam tranfusi atau kehamilan, dapat menghasilkan produksi
alloantibodi anti-D, antibodi yang dapat menyebabkan reaksi hemolitik berat pada neonatus atau
“hemolytic disease of the newborn” (HDN).
Sistem Penggolongan Darah Lain dan Alloantibodi
Terdapat lebih dari 100 sistem golongan darah yang sudah diketahui, terdiri dari 500 antigen
lebih. Keberadaan dan ketiadaan antigen tertentu dihubungkan dengan berbagai penyakit dan
kelainan. Antigen juga berperan sebagai reseptor untuk agen infeksi. Alloantobodi yang penting
dalam praktek klinis rutin tercantum dalam tabel di bawah.
Antibodi dalam antigen karbohidrat sistem Lewis paling sering menyebabkan
incompatibilitas selama skreening pretranfusi. Produk dari gen lewis adalah flucosyl transferase dan
terdapat pada kromososm 19. Antigen bukan merupakan struktur membran utuh, tetapi itu diserap
ke dalam membran RBC dari plasma. Antibodi terhadap antigen Lewis biasanya berupa IgM dan
tidak dapat melewati plasenta. Antigen Lewis dapat diserap oleh sel tumor dan dapat menjadi target
terapi.
Tabel Sistem Golongan Darah dan Alloantigen :
Sistem gol.darah Antigen alloantibodi Klinis khusus
Rh(D,C/c,E/e) RBC protein IgG HTR, HDN
Lewis(Le a, Le b) Oligosakarida IgM/IgG Rare HTR
Kell(K/k) RBC protein IgG HTR, HDN
Duffy (Fy a/ Fy b) RBC protein IgG HTR, HDN
Kidd (Jk a/ Jk b) RBC protein IgG HTR(sering delayed),HDN(mild)
I/i Karbohidrat IgM None
MNSsU RBC protein IgM/IgG Anti-M rare HDN, anti-S,-s dan
–U HDN, HTR
Antigen sistem I juga merupakan oligosakarida yang berhubungan dengan H, A, B dan Le. I
dan i bukan alel yang berpasangan tetapi merupakan antigen karbohisrat yang berbeda hanya pada
cabang tertentu. Antigen i merupakan rantai tak bercabang yang dibentuk oleh produk antigen I,
suatu glycosil transferase. Beberapa pasien dengan cold aglutinin disease atau limfoma dapat
menghasilkan autoantibodi anti-I yang menyebabkan kerusakan sel darah merah. Seseorang dengan
Mononucleosis atau Mycoplasma pneumonia dapat membentuk cold aglutinin dari anti-I atau anti-i.
Sebagian besar orang dewasa kekurangan ekspresi i, jadi menemukan donor dengan anti-i tidaklah
sulit. Walaupun sebagian besar orang dewasa mempunyai antigen I, pengikatan umumnya terjadi
pada suhu rendah. Dengan demikian, menjaga darah tetap hangat dapat mencegah isoaglutinasi.
Sistem P merupakan kelompok antigen karbohidrat lain yang dikontrol oleh glyco
transferase khusus. Manifestasi klinisnya dapat dijumpai pada kasus sifilis atau infeksi virus yang
mengawali paroxismal cold hamoglobinuria. Dalam kasus ini, suatu autoantibodi terhadap P
dihasilkan, dan dapat mengikat sel darah merah dalam suhu dingin dan memfiksasi komplemen
selama pemanasan. Antibodi yang bersifat bifasik itu disebut Donath-Landsteiner antibodi. Antigen P
merupakan reseptor sel dari parvovirus B19 dan bisa juga menjadi reseptor untuk ikatan Escherichia
coli pada sel urothelial.
Sistem MNSsU diatur oleh gen pada kromosom 4. M dan N nampak pada glycoprotein A,
suatu protein membran sel darah merah, sedangkan S dan s tampak pada glycoprotein b. Antibodi
IgG nti-S dan anti-s dapat dibentuk setelah kehamilan atau tranfusi, dan dapat menyebabkan
hemolisis. Antibodi anti-U jarang terjadi, tetapi menimbulkan masalah, kenyataannya hampir setiap
donor tidak cocok karena semua orang mengekspresikan U.
Protein Kell sangat besar (720 asam amino), dan merupakan struktur sekunder yang terdiri
dari berbagai epitop antigen yang berbeda. Imunogenitas Kell merupakan yang ketiga terbanyak
setelah sistem ABO dan sistem Rh. Ketiadaan protein prekursor Kell (dikontrol oleh gen X)
berhubungan dengan achantositosis, suatu pemendekan umur eritrosit, serta distrofi otot jantung.
Keadaan yang jarang terjadi dinamakan fenotip McLeod. Gen Kx berikatan pada 91-kDa komponen
dari NADPH-oxidase pada kromososm X, terjadi delesi dan mutasi yang menimbulkan sekitar 60%
kasus penyakit granulomatous kronis.
Antigen Duffy merupakan alel kodominan. Fy a dan Fy b juga merupakan reseptor untuk
Plasmodium vivax. Lebih dari 70% orang pada endemik malaria kekurangan antigen ini, kemungkinan
berkaitan dengan pengaruh selektif infeksi pada populasi tersebut.
TES PRE TRANFUSI
Pemeriksaan alloantibodi mengidentifikasi antibodi yang melawan antigen sel darah merah
lain. Spesifisitas alloantibodi ditentukan oleh ada tidaknya antigen yang mengakibatkan aglutinasi.
Uji cocok silang (crossmatch) adalah prosedur yang paling penting dan paling sering
dilakukan sebelum tranfusi darah. Secara umum, uji cocok silang terdiri dari serangkaian prosedur
yang dilakukan sebelum tranfusi untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk seorang pasien
dan untuk mendeteksi antigen ireguler dalam serum resipien yang akan mengurangi atau
mempengaruhi ketahanan hidup dari sel darah merah donor setelah tranfusi.
Uji cocok silang ada 2 jenis, yaitu mayor dan minor. Uji silang mayor menguji reaksi antara
sel darah merah donor dengan serum resipien, yaitu untuk mendeteksi antibodi resipien yang dapat
melisis sel darah merah donor dan menyebabkan reaksi tranfusi hemolitik. Uji silang minor yaitu
menguji reaksi antara serum donor dengan sel darah merah resipien. Uji cocok silang mayor
dilakukan pada tes pretranfusi, menggunakan metode yang akan menunjukkan antibodi aglutinasi,
sensitisasi, dan hemolisis, juga tes antiaglutinin. Sedangkan uji tranfusi silang minor tidak dilakukan
pretranfusi karena uji ini dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah pengumpulan darah.
Kombinasi beberapa prosedur dapat dilakukan untuk melakukan uji cocok silang. Kedua uji tersebut
biasa dikerjakan dalam 3 fase, yaitu medium NaCl 0,9%, medium albumin dan Coombs yang
keseluruhannya memerlukan waktu 2 jam.
Secara umum, uji cocok silang harus mendeteksi sebagian besar antibodi resipien yang dapat
bereaksi dengan sel darah merah donor. Namun permintaan darah dalam keadaan darurat dimana
tidak dilakukan uji cocok silang, harus dipertimbangkan kemungkinan besar terjadinya resiko
tranfusi. Meskipun demikian, uji cocok silang juga tidak menjamin sel darah donor tetap hidup atau
mencegah imunisasi resipien, tidak mendeteksi kesalahan penggolongan ABO, Rh-typing, atau
semua antibodi ireguler pada resipien serum.
KOMPONEN DARAH UNTUK TRANFUSI
Darah Utuh (Whole Blood)
Darah utuh berisi sel darah merah, leukosit, trombosit dan plasma. Satu unit kantong darah
utuh/lengkap berisi 450ml darah dan 65 gram hemoglobin. Suhu simpan antara 1’-6’Celcius. Lama
simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah. Pada
pemakaian sitrat fosfat dextrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD adenin
(CPDA) lama simpan adalah 35 hari. Menurut cara simpan in vitro, ada 2 jenis darah lengkap, yaitu
darah segar dan darah baru. Darah segar merupakan darah yang disimpan sampai 48 jam, sedangkan
darah baru adalah darah yang disimpan sampai 5 hari.
Selama penyimpanan dingin, afinitas oksigen darah utuh meningkat seiring dengan
penurunan 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) sel darah merah. Baik afinitas oksigen maupun kadar 2,3-
difosfogliserat akan kembali normal dalam beberapa jam setelah tranfusi.
Darah lengkap berguna untuk meningkatkan jumlah sel darah merah dan volume plasma
dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada perdarahan aktif dengan kehilangan darah lebih dari
25-30% volume darah total. Namun pemberian darah lengkap pada kondisi tersebut hendaklah tidak
menjadi pilihan utama, karena pemulihan segera volume darah pasien jauh lebih penting daripada
penggantian sel darah merah, sedangkan persiapan darah untuk tranfusi memerlukan waktu. Darah
lengkap sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronis yang normovolemik atau yang
hanya bertujuan meningkatkan sel darah merah.
Pemberian darah utuh disesuaikan dengan kondisi klinis pasien. Pada orang dewasa, satu
unit darah lengkap diperkirakan dapat meningkatkan Hb sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%,
sedangkan pada anak-anak darah lengkap 8ml/kg akan meningkatkan Hb sekitar 1g/dl. Pemberian
darah lengkap sebaiknya melalui filter darah dengan kecepatan tetesan tergantung keadaan klinis
pasien, namun sebaiknya setiap unitnya diberikan dalam 4 jam.
Sel Darah Merah Pekat (Packed Red blood Cell)
Sel darah merah pekat berisi eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Sel darah
merah pekat ini didapatkan dengan cara memusingkan darah utuh dan mengeluarkan plasma ke
dalam kentong lain, sehingga diperoleh sel darah merah dengan hematokrit sekitar 60-70% dengan
volume sel darah merah 200ml. Sel darah merah ini disimpan pada suhu 1’-6’ Celcius. Apabila
menggunakan antikoagulan CPDA, maka masa simpan dari sel darah merah tersebut adalah 35 hari
dengan nilai hematokrit 70-80%, sedangkan bila menggunakan antikoagulan CPD maka masa simpan
sel darah merah ini sekitar 21 hari. Komponen sel darah merah yang disimpan dalam larutan
tambahan (buffer, dextrosa, adenin, manitol) memiliki nilai hematokrit 52-60% dengan masa simpan
42 hari.
Sel darah merah pekat merupakan terapi suportif untuk kehilangan darah praoperasi atau
untuk anemia kronis bila terapi definitif tidak tersedia, misalnya pada pasien dengan gagal ginjal atau
anemia karena keganasan. Pemberian PRC disesuaikan dengan kondisi klinis pasien, bukan
tergantung pada nilai Hb atau hematokrit. PRC dapat memperbaiki oksigenasi jaringan dan jumlah
eritrosit tanpa menambah beban volume seperti pasien anemia dengan gagal jantung. Sedangkan
pemberian PRC juga dapat menyebabkan hipervolemia jika diberikan dalam jumlah banyak dalam
waktu singkat. Setiap satu unit sel darah merah pekat pada orang dewasa akan meningkatkan Hb
sekitar 1g/dl atau hematokrit 3-4%. Pemberian sel darah ini harus melalui filter darah standar
(170u). Penemuan faktor spesifik, eritropoitin manusia rekombinan secara dramatis telah
menurunkan penggunaan tranfusi sel darah merah pada pasien penyakit ginjal kronis
terminal.Eritropoitin rekombinan juga telah menggantikan tranfusi darah pada pasien tertentu yang
menderita kanker, AIDS dan mielodisplasia tergantung tranfusi.
Sel Darah Merah dengan Sedikit leukosit (Packed Red Cell Leukocyte Reduced)
Komponen sel darah merah dan trombosit mengandung leukosit (terutama lymfosit) dalam
jumlah yang bervariasi. Reaksi demam sering terjadi pada pasien tersensitisasi yang menerima
komponen lebih dari 5 x 10 8 leukosit, dan alloimunisasi terhadap antigen HLA pada limfosit residual
dapat terjadi bila dilakukan tranfusi lebih dari 10 6 limfosit. Virus tertentu yang terkait sel, misalnya
citomegalovirus dan HTLV-1 dan –II ditularkan melalui sejumlah kecil limfosit. Berdasarkan hal
tersebut, dilakukan upaya menciptakan komponen darah seluler dengan jumlah leukosit yang
dikurangi atau direduksi. Tindakan pencucian sel menghilangkan sebagian besar plasma, tetapi
hanya mengurangi leukosit sekitar 1 log, cukup untuk menghilangkan reaksi demam tetapi tidak
dapat mencegah penyulit lain.
Setiap unit sel darah ini mengandung 1-3 x 10 9 leukosit. Sel darah ini dapat diperoleh
dengan cara pemutaran, pencucian sel darah merah dengan garam fisiologis, dengan filtrasi atau
degliserolisasi sel darah merah yang disimpan beku. Suhu simpannya 1’-6’ Celcius, sedangkan masa
simpan tergantung pada cara pembuatannya. Bila pemisahan leukosit dilakukan dengan memakai
kantong ganda (sistem tertutup) masa simpannya sama dengan darah lengkap asalnya, tetapi bila
dengan pencucian/filtrasi (sistem terbuka) produk ini harus dipakai secepatnya (dalam 24 jam).
Produk ini dipakai untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang sering
mendapat/ tergantung pada tranfusi darah dan pada mereka yang sering mendapat reaksi tranfusi
panas yang berulang serta reaksi alergi yang disebabkan oleh protein plasma atau antibodi leukosit.
Komponen sel darah ini tidak dapat mencegah terjadinya graft versus host disease (GVHD) sehingga
komponen darah yang dapat diandalkan untuk mencegah hal itu adalah bila komponen darah
tersebut diradiasi.
Sel darah Merah Pekat Cuci (Packed Red Cell Washed)
Sel darah merah yang dicuci dengan normal salin memiliki hematokrit 70-80% dengan
volume 180ml. Pencucian dengan salin mebuang hampir seluruh plasma (98%), menurunkan
konsentrasi leukosit dan trombosit serta debris. Karena pembuatannya sering dilakukan dengan
sistem terbuka, maka komponen ini hanya dapat disimpan dalam 24 jam dalam suhu 1’-6’ Celcius.
Pada orang dewasa komponen darah ini dipakai untuk mencegah reaksi alergi yang berat
atau alergi yang berulang, dapat pula digunakan pada tranfusi neonatal atau tranfusi intrauteri.
Komponen darah ini masih dapat menularkan hepatitis dan infeksi bakteri lainnya. Karena masih
mengandung sejumlah kecil leukosit yang viable, komponen ini juga tidak menjamin pencegahan
terjadinya GVHD atau infeksi CMV pasca tranfusi.
Trombosit Pekat (Concentrat Platelet)
Komponen darah ini berisi trombosit, bebrapa leukosit, sel darah merah serta plasma.
Trombosit pekat diperoleh dengan cara pemusingan plasma kaya trombosit dari sebuah unit darah
untuk menghasilkan 6 x 10 10 trombosit, atau dengan tromboferesis otomatis untuk menghasilkan
sekitar 6 unit semacam itu dari donor individual. Bila disimpan dalam suhu kamar pada wadah yang
permiabel gas untuk mempertahankan metabolisme aerobik dan pH, trombosit dapat bertahan
hidup selama 5 hari. Satu unit trombosit dapat meningkatkan hitung trombosit dewasa paling sedikit
5000 sel per mikroliter, dan trombosit dapat beredar sekitar seminggu dalam tubuh pasien
trombositopenik yang mungkin tidak terimunisasi dan stabil.
Tranfusi trombosit pekat ini diindikasikan bila terjadi trombositopenia berat atau disfungsi
trombosit yang disertai perdarahan aktif atau mengancam jiwa. Tranfusi trombosit mengontrol
perdarahan pada pasien trombositopenik yang mengalami penekanan pembentukan trombosit,
misalnya pada pasien leukemia, kemoterapi, atau radioterapi, atau yang mengalami
trombositopenia dilusional setelah tranfusi masif. Tranfusi trombosit kurang efektif bila terjadi
destruksi perifer, misalnya terjadi koagulopati konsumsi atau purpura trombositopenik imun (ITP),
dan tidak dianjurkan kecuali bila benar-benar mengancam jiwa. Pada kondisi ini, tranfusi trombosit
dapat mencegah perdarahan yang potensial fatal sampai penyebab destruksi trombosit dapat
diperbaiki.
Penggunaan tranfusi trombosit profilaksis untuk pasien trombositopenik yang stabil masih
diperdebatkan. Ambang hitung trombosit ketika terjadi perdarahan akan bervariasi sesuai dengan
penyebab trombositopenia dan sesuai dengan derajat disfungsi trombosit. Sebagian besar pasien
dengan hitung trombosit sekitar 10.000 sel permikroliter tidak mengalami komplikasi perdarahan
spontan. Faktor klinis tertentu yang menyulitkan misalnya sepsis, hitung trodiberikan untuk
mempertahankan hitungmbosit yang turun cepat, obat yang mengganggu fungsi trombosit, dan
mukositis, dapat meningkatkan risiko perdarahan pada pasien yang mendapat terapi mielosupresif.
Dalam keadaan ini, tranfusi trombosit profilaktik sering diberikan untuk mempertahankan hitung
trombosit lebih dari 20.000 sel per mikroliter. Pasien yang berada pada keadaan pascaoperasi dan
yang mengalami defek kedua pada hemostasis mungkin memerlukan hitung trombosit 50.000
sampai 100.000 sel per mikroliter. Tranfusi trombosit harus dipantau dengan hitung trombosit pada
1 dan 24 jam pasca tranfusi.
Trombosit yang ditranfusikan idealnya berasal dari jenis ABO dan golongan Rh yang sama
dengan pasien. Trombosit yang tidak cocok sistem ABO nya dapat menyebabkan peningkatan jumlah
trombosit yang lebih rendah dan mjunbgkin berperan dalam menimbulkan refrakteritas trombosit.
Apabila digunakan donor golongan O untuk resipien A, B atau AB, plasma donor mjungkin
mengandung antibodi yang cukup untuk merusak sebagian sel darah merah resipien. Plasma yang
tidak cocok dapat dikurangi untuk infus pediatrik atau bila orang dewasa memerlukan sejumlah
besar trombosit donor tunggal. Walaupun trombosit tidak mengekspresikan antigen Rh, sel; darah
merah yang ada dapat mensensitisasikan resipien Rh negatif terhadap konsentrat trombosit Rh
positif. Pasien dengan Rh negatif harus mendapat trombosit dari donor dengan Rh negatif juga bila
mungkin. Tetapi apabila hal tersebut tidk dapat dilakukan, imunisasi Rh dapat dicegah dengan
penyuntikan globulin imun Rh. Hal ini sangat penting terutama untuk wanita usia subur.
Pada tranfusi trombosit dapat terjadi reaksi menggigil, panas dan reaksi alergi lain.
Antipiretik yang dipilih sebaiknya bukan golongan aspirin, karena dapat menghambat agregasi dan
fungsi trombosit. Tranfusi berulang dari tranfusi trombosit dapat menimbulkan alloimunisasi
terhadap HLA dan antigen lainnya serta dapat terjadi refrakter yang ditandai dengan tidak
meningkatnya jumlah trombosit. Pemberian yang terlalu cepat dapat menimbulkan kelebihan beban
serta penularan penyakit dapat terjadi seperti halnya pada tranfusi komponen lain.
Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Plasma digunakan untuk mengganti kekurangan faktor koagulasi. Komponen darah ini berisi
plasma, semua faktor pembekuan stabil dan labil, komplemen dan protein plasma. Plasma ini
dipisahkan dari darah lengkap yang kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan
darah dari donor. Plasma segar beku disimpan pada suhu simpan -18’ Celcius atau kurang, dengan
masa simpan 1 tahun.
Plasma segar beku dindikasikan untuk pasien dengan gangguan proses pembekuan bila tidak
tersedia faktor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada defisiensi faktor pembekuan
multipel, antara lain pada penyakit hati dan dilusi koagulopati akibat tranfusi masif. Plasma
sebaiknya tidak digunakan untuk mempertahankan ekspansi volume karena risiko penularan
penyakit yang tinggi. Komponen darah ini diberikan dalam 6 jam setelah pencairan. Plasma harus
cocok golongan ABO nya dengan sel darah merah pasien, dan tidak memerlukan uji cocok silang. Jika
plasma diberikan sebagai faktor koagulasi, dosisnya adalah 10-20 ml/kg (4-6 unit untuk orang
dewasa) dapat meningkatkan faktor koagulasi 20-30%, serta dapat pula meningkatkan faktor VIII
sebesar 2% (1 unit/kg).
KOMPLIKASI TRANFUSI DARAH
Komplikasi tranfusi darah dapat berupa komplikasi imunologi dan non imunologi, sebagai
berikut:
Komplikasi imunologi:
1. Aloimunisasi : antigen eritrosit, antigen HLA
2. Reaksi tranfusi hemolitik : segera dan delayed
3. Reaksi febris tranfusi
4. Kerusakan paru akut karena tranfusi
5. Reaksi tranfusi alergi
6. Purpura pasca tranfusi
7. Pengaruh imunosupresi
8. Penyakit graft versus host
Komplikasi non imunologi:
1. Kelebihan/ overload volume
2. Tranfusi masif: metabolik, hipotermi, pengenceran, mikroembolisasi paru
3. Lainnya: plasticizer, hemosiderosis tranfusi
4. Infeksi: hepatitis A,B,C dan lainnya (HIV, virus Epstein Barr, sifilis, parasit malaria,dll)
Reaksi Tranfusi Hemolitik
Aloantibodi sel darah merah dapat melisiskan sel dalam sirkulasi atau melapisi sel darah
merah dan mempercepat pembuangan sel oleh sistem retikuloendotelial. Sekitar 1 dalam 100.000
unit yang ditranfusikan akan menimbulkan reaksi hemolitik fatal, biasanya akibat ketidakcocokan
ABO karena kesalahan identifikasi pasien atau spesimen darah. Kerusakan cepat sel biasanya
melibatkan sistem ABO, karena baik anti-A maupun anti-B dapat memfiksasi komplemen.
Pasien yang mengalami reaksi hemolitik akut dapat mengeluh adanya rasa panas di muka,
nyeri di tempat infus, nyeri dada atau punggung, gelisah, cemas, mual atau diare. Gejala lain berupa
demamatau menggigil, dan temuan khas berupa syok dan gagal ginjal. Pada pasien koma atau dalam
pengaruh obat anestesi, kemungkinan pertama terjadi hemoglobinuriaatau perdarahan generalisata
akibat koagulasi intravaskular diseminata.
Reaksi hemolisis paling sering disebabkan oleh antibodi sistem Rh, tetapi beberapa antibodi
lain, termasuk sistem Kell, Duffy dan Kidd, juga sering menjadi penyebab. Keluha berupa malaise,
ikterus dan demam dijumpai pada sekitar 1 dari 500 pasien yang ditranfusi. Keluhan ini biasanya
ringan, dapat timbul pada 5-10 hari setelah tranfusi. Masalah yang berupa syok atau gagal ginjal
sangat jarang terjadi. Sekitar 1 dari 150 pasien bersifat asimtomatik dan akan membentuk antibodi
baru pada sekitar seminggu setelah tranfusi. Walaupun jarang terjadi, tetapi pasien dapat
menghancurkan semua sel yang ditranfusikan tanpa memperlihatkan adanya antibodi.
Pemeriksaan awal pada reaksi hemolitik adalah pemeriksaan teliti identitas donor dan
resipien karena kesalahan klinis, terutama kesalahan pemberian label spesimen, sering sebagai
penyebab. Langkah berikutnya adalah membuktikan adanya destruksi sel darah merah, pemeriksaan
penyebabnya dan penatalaksanaan status klinis pasien. Pada hemolisis intravaskuler yang baru
terjadi, hemoglobin bebas dapat mewarnai plasma dan urin. Laboratorium dapat mengkonfirmasi
adanya hemoglobin bebas, adanya methemalbumin, atau penurunan haptoglobin jika perlu.
Indikator terbaik adanya hemolisis intravaskuler adalah peningkatan bilirubin indirek dan kegagalan
hematokrit mencapai kadar pascatranfusi yang diharapkan. Data pasien pratranfusi akan disimpan
sampai penentuan golongan darah resipien dan donor dapat diulang bersama dengan uji kecocokan.
Apabila terdeteksi adanya antibodi, maka spesimen pratranfusi akan digunakan untuk menentukan
spesifisitasnya. Spesimen pascatranfusi mungkin tidak mengandung antibodi penyebab bila antibodi
tersebut telah terserap oleh sel darah merah yang ditranfusikan.
Penatalaksanan pasien yang mengalami reaksi hemolisis ekstravaskuler adalah konservatif.
Tranfusi lebih lanjut harus ditunda sampai serologi pasien dapat ditentukan dengan jelas, kecuali
apabila nyawa pasien terancam. Hemolisis intravaskuler dapat menimbulkan bahaya yang lebih
besar, tetapi tidak terdapat terapi spesifik. Penatalaksanaan hipotensi, perdarahan serta gagal ginjal
bersifat konservatif.
Reaksi Lain yang berkaitan dengan Imunologi
Tanpa adanya kerusakan sel darah merah, sebagian besar reaksi demam dapat dijelaskan
oleh adanya destruksi imunologik leukosit atau trombosit. Sebagian besar reaksi ini bersifat ringan
dan dapat dicegah dengan menggunakan komponen sedikit leukosit. Dapat terjadi suatu edema paru
alergik yang berkaitan dengan sekuestrasi leukosit yang terselubungi oleh antibodi. Reaksi yang
jarang ini terjadi bila plasma donor mengandung antibodi yang bertiter tinggi yang bereaksi dengan
leukosit resipien. Reaksi alergi kulit seperti urtikaria dapat diatasi dengan memperlambat tranfusi
dan pemberian antihistamin.
Pasien yang mempunyai antibodi terhadap molekul Ig A mungkin mengalami reaksi
anafilaktik hipotensif apabila terpapar komponen yang mengandung plasma. Pasien seperti itu
sebaiknya ditangani dengan komponen darah defisiensi Ig A dari saudara. Apabila diperlukan,
komponen sel dapat dibersihkan untuk menyingkirkan adanya plasma penyebab. Akibatnya, tranfusi
sering menimbulkan aloimunisasi terhadap antigen sel darah, yang dapat mempersulit tranfusi
berikutnya dan transplantasi sumsum tulang atau organ padat.
Reaksi Tranfusi Non Imun
Reaksi tranfusi non imun yang paling penting selain komplikasi infeksi, adalah kelebihan
beban sirkulasi dan hemosiderosis tranfusi. Beban sirkulasi yang berlebihan bermanifestasi sebagai
edema paru yang merupakan resiko tersendiri bagi pasien tua, bayi, pasien dengan gangguan ginjal
dan jantung, serta pasien dengan anemia kronis dengan massa sel darah merah yang menurun
sedangkan volume plasmanya meningkat.
Unit darah utuh rata-rata mengandung sekitar 60 mEq natrium, sedangkan unit sel darah
merah rerata mengandung sekitar 10 sampai 20 mEq. Kelebihan besi sebagai akibat tranfusi sering
merupakan konsekuensi fatal dari tranfusi kronis untuk anemia refrakter. Anak yang menderita
Thalasemia minor merupakan satu-satunya kelompok yang terkena, tetapi cukup banyak anak yang
menderita anemia kongenital serta orang dewasa dengan anemia refrakter yang diterapi secara
intensif juga beresiko. Setiap miiiliter sel darah mengendapkan 1,08 mg besi di jaringan sewaktu sel
darah merah menua dan mati. Deposit besi julai mempengaruhifungsi sistem endokrin, hati dan
jantung apabila beban tubuh total naik menjadi lebih dari 20 gram, ekivalen dengan sekitar 100 unit
sel darah merah. Penyulit jantung letal dapat terjadi pada beban 60 mg atau sekitar 300 unit. Akan
tetapi kelasi besi harus dipertimbangkan untuk semua pasien yang diperkirakan memerlukan sel
darah merah yang intensif.
Reaksi Infeksi
Berbagai macam virus, bakteri dan protozoa dapat ditularkan melalui tranfusi darah. Untuk
mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan penapisan faktor resiko donor berdasarkan
riwayat medis dan pemeriksaan dengan serangkaian uji laboratorium. Telah digunakan teknik
sterilisasi untuk beberapa komponen plasma dan produk fraksionasi, tetapi belum ada metode
untuk melakukan sterilisasi terhadap komponen sel.
Hepatitis
Penapisan donor dan pemeriksaan spesifik untuk virus hepatitis B dan anntibodi terhadap
hepatitis C telah menurunkan resiko hepatitis pascatranfusi di Amerika Serikat. Hepatitis A hampir
tidak pernah ditularkan melalui tranfusi darah. Insiden hepatitis B yang berkaitan dengan tranfusi
saat ini sangat rendah, dan tersedia vaksin hepatitis B untuk pasien rentan yang diperkirakan akan
mendapat tranfusi kronik. Sebagian besar kasus hepatitis yang berkaitan dengan tranfusi disebabkan
oleh virus hepatitis C. Hepatitis C biasanya hanya menimbulkan sedikit gejala dan tanda, tetapi bukti
serologik dan biokimia infeksi dapat terdeteksi pada 2 sampai 26 minggu setelah tranfusi. Walaupun
presentasinya ringan dan insidensinya menurun, hepatitis C pascatranfusi tetap merupakan masalah
kesehatan serius, karena lebih dari 50% pasien yang terinfeksi kemudian berkembang menjadi
penyakit hati kronis. Selain itu, bukti statistik mengkaitkan hepatitis B dan hepatitis C dengan
karsinoma hepatoseluler.
Infeksi Retrovirus
Beberapa retrovirus manusia mudah ditularkan melalui tranfusi darah. Human
inumodefficiiency vnginfeksi sekitar 90% virus tipe 1 (HIV-1), sebagai penyebab AIDS, menginfeksi
sekitar 90% pasien yang mendapat komponen darah yang tercemar. Sebelum dilakukan uji rutin
untuk donor darah, tranfusi diperkirakan merupakan penyebab pada 2-3% kasus AIDS total.
Perbaikan kriteria seleksi donor dan uji penapisan spesifik tampaknya telah secara bermakna
menurunkan angka kejadian ini.
Kontaminasi Bakteri
Kontaminasi bakteri merupakan penyebab mayor fatalitas pada tranfusi. Sumber
kontaminasi ini bisa berasal dari kantong, donor, bakterimia asimtomatik, dan pembersihan kulit
yang tidak adekuat. Organisme yang sering menimbulkan kontaminasi pada tranfusi sreitrosit antar
lain yersinia, pseudomonas, enterobacter, dan seratia. Pada trombosit penyebab lebih bervariasi,
termasuk staphilococcus, streptococcus, klebsiela dan salmonella. Keluhan dapat berupa febris non
hemolitik sampai febris akut dengan panas, hipotensi sampai kematian. Keluhan yang berat
dihubungkan dengan mikroorganisme dengan endotoksin.
SELEKSI DONOR DARAH
Seseorang harus memenuhi beberepa persyaratan untuk dapat mendonorkan darahnya,
antara lain keadaan umum baik, usia 17-65 tahun, berat badan 50 kg atau lebih, tidak demam,
frekuensi dan irama denyut jantung normal, tekanan darah normal, dan tidak didapatkan lesi kulit
berat. Persyaratan lain adalah donor terakhir minimal 8 minggu sebelumnya, tidak hamil, tidak
menderita asma bronkial simtomatik, pasca pembedahan (6 bulan setelah operasi besar, luka
operasi telah sembuh pada operasi kecil, minimal 3 hari setelah ekstraksi gigi atau pembedahan
mulut), tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat perdarahan abnormal, serta tidak mempunyai
penyakit yang menular lewat darah.
Dengan makin majunya teknologi aferesis saat ini, maka pelayanan tranfusi darah
diharapkan dapat lebih tepat memenuhi kebutuhan komponen darah melalui penggunaan mesin
multikomponen dengan donor tunggal. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisasi resiko
transmisi penyakit yang disebabkan oleh tranfusi darah.
Top Related