Strategi penanganan Kasus: Diamond Pet Shop & Toxic Dog Food
toxic epidermal necrolysis
-
Upload
irene-djedoma -
Category
Documents
-
view
326 -
download
13
Transcript of toxic epidermal necrolysis
BAB I
PENDAHULUAN
Dua golongan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTIs) seperti
zidovudine/stavudine+lamivudine, bersama dengan non-nucleoside reverse
trancriptase inhibitor (NNRTI), seperti Nevirapine (NVP), merupakan obat yang
sering digunakan dan diresepkan sebagai antiretroviral pada pasien HIV naive
karena dosisnya yang aman dan toleransi yang relatif bagus dan aman. Regimen
berbasis NNRTI lebih ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan regimen
berbasis protease inhibitor dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Pada
penelitian ketat yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)
merekomendasikan Nevirapine dan Efavirenz (EFV) sebagai obat lini pertama
pada terapi antiretroviral. NVP digunakan secara luas dengan harga yang lebih
murah dibandingkan EFV, tetapi insiden kemerahan pada kulit (rash) akibat
penggunaan NVP lebih tinggi dibandingkan dengan EFV. Ruam pada kulit
merupakan adverse drug reaction (ADR) tersering yang berhubungan dengan
NVP yang biasanya muncul dalam waktu 4-6 minggu terapi. Ruam akibat
penggunaan NVP dapat diklasifikasikan sebagai: (1)grade 1 – eritema dengan atau
tanpa pruritus; (2) grade 2 – makula eritema meluas atau maculopapular rash atau
deskuamasi kering denagn atau tanpa pruritus atau lesi target tipikal tanpa bulla
atau vesikel atau ulkus pada lesi; (3) grade 3- urtikaria atau makula eritema
meluas atau maculopapular rash atau deskuamasi basah dengan atau tanpa pruritus
bersama dengan adanya 4 temuan konstitusional yang berhubungan dengan
penggunaan obat, yaitu peningkatan test fungsi hati, demam, bulla dan lesi
mukosa; angioedema; dermatitis eksfoliatif; dan serum sickness-like reaction; dan
(4) grade 4- erupsi kutan yang luas yang biasanya dimulai pada wajah, batang
tubuh atau punggung terkadang disertai gejala prodormal ditambah satu dari :
Bulla kutan, Niklosky sign, Steven Jhonson (SJ) syndrome, erythema multiforme
major atau toxic epidermal necrolysis (TEN) atau dua atau lebih erosi mukosa
dengan lokasi anatomi berbeda. Penggunaan Nevirapine walaupun jarang terjadi
dapat berakibat fatal berupa terjadinya SJS dan TEN yang dapat membahayakan
nyawa dan komplikasi kulit.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1. Identitas pasien
Nama : SIIK
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Pendidikan : Tamat Akademi
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Polri
Alamat : Br. Lebih Asah Duren Perkutatan Jembrana
Tanggal MRS : 7 Juni 2012
Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2012
2.2. Anamnesis
Keluhan Utama : gelembung berair pada seluruh tubuh
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan gelembung (bulla) berisi cairan muncul pada seluruh
tubuh pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit (6 Juni 2012). Gelembung
diawali dengan kemerahan pada kulit yang muncul awalnya pada bagian
dada dan perut bersamaan dengan munculnya lecet pada bibir pasien lalu
menyebar pada seluruh bagian tubuh hingga wajah pasien serta daerah
kemaluan. Bercak merah merah yang timbul terasa panas dan nyeri tetapi
tidak gatal. Hari berikutnya, bercak merah berkembang menjadi
gelembung. Bulla pada tubuh menyebabkan rasa panas seperti terbakar
dan nyeri yang terasa pada seluruh tubuh dan wajah pasien. Bulla berisi
2
cairan berwarna bening kecoklatan. bulla pada awalnya berukuran kecil
lalu membesar seperti buji jagung. Beberapa bulla pada tubuh pasien
dikatakan saling menyatu dan membesar lalu pecah dan menyebabkan rasa
nyeri yang tidak bisa ditahan oleh pasien. Bulla yang telah pecah
menyebabkan kulit pasien terkelupas seperti luka bakar. Rasa nyeri dan
terbakar terasa sepanjang hari. Rasa nyeri dan terbakar memberat terutama
bila ada bulla baru yang pecah dan membaik dengan salep yang diberikan
oleh rumah sakit.
Pasien juga mengeluhkan luka pada bibirnya. Luka pada bibir terasa nyeri
dan berwarna kemerahan yang muncul bersamaan dengan bercak
kemerahan pada tubuh pasien. . Luka memenuhi seluruh bibir pasien dan
mulut pasien. Luka pada bibir menyebabkan pasien susah untuk makan
dan berbicara.
Pasien juga mengeluhkan panas badan yang dirasakan oleh pasien 1 hari
sebelum muncul kemerahanpada kulit. (5 Juni 2012). Panas dirasakan
sepanjang hari dan pasien tidak merasakan adanya penurunan suhu. Pasien
pun mengeluhkan rasa tidak nyaman saat menelan makanan.
Nafsu makan pasien dikatakan berkurang. Pasien menyangkal adanya rasa
nyeri saat BAK. BAK dan BAB pasien dikatakan normal.
Saat ini pasien berstatus infeksi B24 yang sedang menjalani pengobatan
sejak tanggal 24 Mei 2012.
Riwayat penyakit sebelumnya :
Pasien sebelumnya pernah masuk ke RSUP Sanglah pada tanggal 19 Mei
2012 di bagian Psikiatri dengan diagnosis 1.)Gangguan mental lain YDT
akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik (F 06.8) 2) Episode
depresi berat dengan gejala psikosis. 3.) Reaksi stres akut. Sebelumnya,
Pada saat pasien mengetahui dirinya serta anak dan istrinya terinfeksi B24,
pasien berusaha untuk melakukan tindakan bunuh diri dan membunuh
anak dan istrinya sehingga pasien dikonsulkan ke Bagian Psikiatri RSUP
Sanglah.
3
Pasien kemudian dirawat bersama dengan Bagian Tropik dengan
diagnosis B24 dan dilakukan rawat jalan mulai tanggal 24 Mei 2012. Dari
bagian psikiatri pasien diberikan Amitriptilin selama rawat jalan.Hingga
saat pasien masuk rumah sakit pada tanggal 7 Juni 2012, pasien sedang
menjalani terapi ARV yang terdiri dari Tenofovir, Lamivudine, dan
Nevirapine. Pasien menyangkal mengalami gejala yang sama sebelumnya.
Riwayat alergi obat disangkal oleh pasien tetapi pasien memiliki riwayat
alergi terhadap makanan (udang).
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit keluarga berupa kemerahan dan gelembung pada kulit
disangkal oleh pasien. Riwayat alergi makanan pada keluarga disangkal
oleh pasien. Anak dan istri pasien telah didiagnosis dengan B24 sejak 3
bulan yang lalu.
Riwayat Pribadi Dan Sosial
Pasien adalah seorang anggota Polri di Lombok. Paien jarang berada
dirumah karena sering bertugas jaga. Multipartner disangkal, drug user
disangkal, dan tranfusi (-).
2.3. Pemeriksaan Fisik
2.3.1. Bagian Interna
Status present:
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 x/mnt
Respirasi : 20x/mnt
Suhu aksila : 36,9 °C
VAS : 4/10
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 175 cm
BMI : 19,59
4
Status general:
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+,
edema palpebra -/-, conjuctiva vascular
injection (+/+), sekret (+/+)
THT : Luka pada bibir dan mulut. Plak (+) pada
lidah
Leher : JVP PR + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar
(-)
Thorax : simetris
Cor Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S
Perkusi : batas kiri : ICS V MCL S
batas kanan : PSL D
batas atas : ICS II
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)
Pulmo Inspeksi : Simetris
Palpasi : VF N/N
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ves +/+, rhonchi +/+, wheezing -/-
Abdomen Inspeksi : distensi (-)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Palpasi : Hepar : tidak teraba, Lien : tidak
teraba.
Perkusi : Shifting dullness (-)
Undulasi (-)
5
Ekstremitas :
Edema pitting : -/- Hangat : +/+
-/- +/+
Kulit : Terdapat bulla baru pada ekstremitas (tangan dan kaki) dan
kulit yang terkelupas pada seluruh tubuh yang mulai mengering.
3.2.2. Bagian Kulit Kelamin
Status dermatologi:
Lokasi:
Mukosa bibir
Erosi multipel, bentuk geografika, dengan diameter 0,1- 0,3
cm. Beberapa ditutupi krusta coklat kehitaman.
Badan (dada, perut, pinggang, punggung)
Purpura multipel batas tegas, bentuk bulat geografika,
ukuran 2x3 cm hingga 4x5 cm, diameter 1 cm x 3 cm
Bulla multipel bentuk bervariasi, bulat, oval, dengan
ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding kendor berisi
cairan jernih, Nikolsky sign (+).
Erosi multipel bentuk geografika multipel disertai
deskuamasi di sekitarnya terdapat makula
hiperpigmentasi.
Tangan dan kaki
Purpura multipel berbatas tegas bentuk bulat hingga
geografika dengan diameter 1 cm x 3 cm.
Bulla multipel bentuk bervariasi bulat, oval, dengan
ukuran 1 cm x 2 cm, dinding kendor berisi cairan
jernih, Nikolsky sign(+)
Erosi multipel bentuk geografika multipel disertai
deskuamasi di sekitarnya terdapat makula
hiperpigmentasi.
Genitalia
6
Erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
0,2 x 0,3 cm
Stigmata atopik (-)
Rambut : normal
Kuku : normal
Fungsi kelenjar keringat (hiperhidrosis, anhidrosis) : Normal
Kelenjar limfa : Pembesaran kelenjar limfa (-)
Syaraf (Penebalan syaraf perifer, parestesi, makula-anestesi) :
normal
7
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
WBC 2,73 103/μL Rendah 4,1-11,0
#Ne 2,03 103/μL 2-7.5
#Lym 0,44 103/μL 1,0-4,0
#Mo 0,15 103/μL 0,1 – 1,2
#Eo 0,10 103/μL 0 ,0 – 0,5
#Ba 0,10 103/μL 0,0 – 0,1
RBC 3,93 103/μL Rendah 4,5 – 5,9
HGB 9,50 g/dl Rendah 13,5 – 17,5
HCT 30,40 % Rendah 41,0 – 53,0
MCV 77,30 Fl Rendah 80,0 – 97,00
MCH 24,20 Pg Rendah 27,0 – 31,2
MCHC 31,3 g/dl 31,8 – 35,4
RDW 18,60 % Tinggi 11,6-14,8
PLT 250,00 103/μL 150,00-440,00
Pemeriksaan Darah lengkap
Pemeriksaan Kimia Darah
Parameter Hasil Unit Remarks Normal
SGOT 50,20 u/l Tinggi 11-33
8
SGPT 40,40 u/l 11-50
BUN 11,00 mg/dl 8-23
Creatinin 0,64 mg/dl 0,5- 0,9
Glukosa Sewaktu 94,00 mg/dl 70-140
Natrium 133,00 mmol/L Rendah 136-145
Kalium 3,60 mmol/L 3,5-5,1
Pemeriksaan Urin
Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks
PH 8 - 5 – 8
Leucocyte 100 Leu/µL negatif +2
Nitrite Neg - Negatif
Protein Neg mg/dL Negatif
Glucose Norm mg/dL Normal
Ketone Neg mg/dL Negatif
Urobilinogen Norm mg/dL 1 mg/dl
Bilirubin Neg mg/dL Negatif
Erythrocyte Neg ery/ µL Negatif +2
Spesific Gravity 1,015 1.005 – 1.020
Colour yellow - p.yellow – yellow
SEDIMEN URINE:
¥ Lekosit 10-13 /lp < 6 /lp
¥ Eritrosit 2-4 /lp < 3 /lp
¥ Sel epitel - - --
9
- Gepeng 3-5 /lp --
¥ Kristal Amorph+ /lp --
¥ Lain-lain Bakteri + /lp --
2.5. Diagnosis Kerja
-B24 stadium IV on ARV treatment (TDF 1x300 mg, 3TC 1x 100 mg,
Nevirapine)
Oral candidiasis
Wasting syndrome
- TEN ec. Susp. Nevirapine
- Anemia ringan Hipokromik mikrositer ec. B24 related
2.6. Penatalaksanaan
Stop obat yang dicurigai sebagai penyebab (Nevirapine)
Rencana : Ganti dengan 2NRTI + PI Tenofovir (TDF) 1x300
mg + Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100
mg.
IVFD NaCl 0,9% : 20 tetes per menit
Dexamethasone 3x 10 mg IV
Kompres Nacl 0,9% 2-3x/hari pada lesi bulla @15-20 menit dan
deskuamasi pada kulit badan dan ekstremitas
Dactarin oral gel pada lidah dan rongga mulut 2x/ hari
Kenalog in ora base pada bibir 2x/ hari setelah kompres
Desoksimethasone cream 0,25% pada deskuamasi di badan dan
ekstremitas 2x/hari
Salisil Talk pada purpura
10
2.7. Rencana diagnosis :
Hubungi imunologi untuk monitoring
Cek DL, Serum darah, SI, Feritrin, TIBC, UL
Biopsi kulit
2.8. Monitoring :
Observasi vital sign dan keluhan
CM-CK
2.9. Prognosis
Dubius at bonam
11
BAB III
PEMBAHASAN
2.1. DEFINISI
Toxic epidermal necrolysis atau lebih dikenal sebagai Lyell’s syndrome
pertama kali diperkenalkan oleh Lyell pada tahun 1965 untuk
mendeskripsikan 4 kasus erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan
atau infeksi stapilokokus atau penyebab yang tidak jelas berupa sindrom
atau kumpulan gejala berupa pengelupasan lapisan epidermis
(epidermolisis) yang luas (generalisata) dengan keterlibatan membran
mukosa berupa erosi , yang meninggalkan lapisan kulit yang terlihat
mengelupas. Necrolysis diartikan sebagai nekrosis dan pengelupasan
epidermis yang dalam atau full thickness detachment of epidermis. Toxic
berarti gejala konstitusional dan komplikasi yang berat. Steven Jhonson
syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan dua
reaksi cutaneous blistering yang berat yang saling berhubungan yang
terutama disebabkan oleh terapi obat-obatan. Gejala prodormal berupa
demam dan malaise biasanya mengikuti erupsi vesikobula di mana
terdapat pengelupasan kulit akibat separasi epidermis (Nikolsky sign
positif). Spesimen biopsi kulit dari area yang terkena secara tipikal
menunjukkan nekrosis epidermis (nekrolisis) dengan infiltrat monositik
epidermal yang tersebar ( Predominan sel T).1
TEN merupakan bentuk derajat terberat reaksi kulit yang diinduksi obat
dan didefinisikan sebagai pengelupasan epidermis sebesar 30% luas
permukaan tubuh. Penyakit yang sama dengan TEN termasuk di dalamnya
adalah SJS dan erythema multiforme. SJS merupakan reaksi pengelupasan
epidermis seluas 10% luas permukaan tubuh sedangkan apabila area tubuh
yang terlibat meliputi daerah seluas 10%-30% didefinisikan sebagai
SJS/TEN overlap.2
Tabel 1. Klasifikasi klinis SJS dan TEN4
12
Kategori Lesi Kulit Epidermal Detachment
(% luas permukaan tubuh)
SJS Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa
<10%
SJS-TEN overlap
Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa
10%-30%
TEN Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa
>30%
Pada kasus ini ditemukan lesi kulit yang meluas, berupa makula dengan
bulla yang tersebar pada tubuh dan ekstremitas. Bulla multipel bentuk
bervariasi, bulat, oval, dengan ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding
kendor berisi cairan jernih, Nikolsky sign (+). Terdapat pengelupasan
epidermis pada tubuh pasien terutama pada batang tubuh dan ekstremitas
pasien. Luas daerah tubuh yang mengalami pengelupasan pada hampir
seluruh luas permukaan tubuh dengan persentase >30%.
3.2. EPIDEMIOLOGI
TEN merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan kisaran sekitar 1,89
kasus TEN per 1 juta populasi per tahun berdasarkan Western Germany
and Berlin pada tahun 1996. Sedangkan berdasarkan La Grenade et al,
terdapat 1,9 kasus TEN per satu juta populasi per tahun berdasarkan kasus
yang dilaporkan pada FDA AERS database di Amerika. Sebagian besar
kasus SJS/TEN terjadi sebagai akibat konsumsi obat-obatan. TEN/SJS
juga berhubungan dengan kondisi imun yang berubah seperti pada infeksi
HIV, mycoplasma pneumonia, imunisasi, dan systemic lupus
erythematosus. Bastuji- Garinet, et al melaporkan insiden SJS/ TEN 2,7
kali lebih tinggi pada pasien dengan usia >65 tahun yang berhubungan
dengan penggunaan obat-obatan. Rasio antara wanita dan pria adalah
sebesar 1,7:1. TEN dan SJS dapat terjadi pada semua kelompok usia dan
ras. 3
13
Beberapa jenis infeksi memiliki dampak terhadap terjadinya TEN, dan
pada kasus HIV di mana insiden per tahun kira-kira 1000 kali lipat
daripada populasi umum, dengan rata-rata 1 kasus per 1000 per tahun pada
populasi HIV positif. Pada penelitian terhadap pasien HIV positif di Paris,
terdapat 15 kasus SJS/TEN yang dilaporkan pada pasien dengan AIDS
dibandingkan 0,04 kasus yang diharapkan. Pada penelitian lain terdapat 10
dari 50 kasus SJS/TEN pada pasien HIV yang sedang menjalani
pengobatan antiretroviral. Infeksi lain pun dilaporkan sebagai penyebab
terjadinya SJS/TEN. Infeksi Mycoplasma pneumoniae dilaporkan telah
menyebabkan SJS dan TEN tanpa terekspos obat-obatan terlebih dahulu.
Selain itu, SJS/TEN dilaporkan pada anak dengan Herpes simplex virus.5
Ruam pada kulit merupakan adverse drug reaction (ADR) tersering yang
berhubungan dengan NVP yang biasanya muncul dalam waktu 4-6 minggu
terapi. Ruam akibat penggunaan NVP dapat diklasifikasikan sebagai:
(1)grade 1 – eritema dengan atau tanpa pruritus; (2) grade 2 – makula
eritema meluas atau maculopapular rash atau deskuamasi kering dengan
atau tanpa pruritus atau lesi target tipikal tanpa bulla atau vesikel atau
ulkus pada lesi; (3) grade 3- urtikaria atau makula eritema meluas atau
maculopapular rash atau deskuamasi basah dengan atau tanpa pruritus
bersama dengan adanya 4 temuan konstitusional yang berhubungan
dengan penggunaan obat, yaitu peningkatan test fungsi hati, demam, bulla
dan lesi mukosa; angioedema; dermatitis eksfoliatif; dan serum sickness-
like reaction; dan (4) grade 4- erupsi kutan yang luas yang biasanya
dimulai pada wajah, batang tubuh atau punggung terkadang disertai gejala
prodormal ditambah satu dari : Bulla kutan, Niklosky sign, Steven Jhonson
(SJ) syndrome, erythema multiforme major atau toxic epidermal necrolysis
(TEN) atau dua atau lebih erosi mukosa dengan lokasi anatomi berbeda.
Penggunaan Nevirapine walaupun jarang terjadi dapat berakibat fatal
berupa terjadinya SJS dan TEN yang dapat membahayakan nyawa dan
komplikasi kulit.6
Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita B24 yang sedang menjalani
terapi ARV yang terdiri dari Tenofovir, Lamivudine, dan Nevirapine. 14
Nevirapine diduga sebagai penyebab utama terjadinya reaksi
hipersensitivitas berupa TEN pada pasien ini. Reaksi TEN merupakan
reaksi hipersensitivitas sitolisis yang dimediasi oleh sel T. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Department of Pharmacology and
Therapeutics, University of Liverpool pada tahun 2010, Nevirapine dapat
menyebabkan reaksi ruam pada kulit pada 17% hingga 32% pasien dengan
HIV meskipun 13% di antaranya merupakan kasus ringan. Insiden
terjadinya SJS dan TEN dilaporkan pada 0,37% resipien nevirapine.
Terdapat perbedaan etnik dalam insiden terjadinya SJS dan TEN yaitu 2,8
lebih tinggi pada orang Thailand dibandingkan bangsa kulit putih,7 di
mana orang Thailand itu sendiri merupaka ras Asia yang sama dengan
orang Indonesia. Berdasarkan hal ini, Nevirapine dicurigai sebagai
penyebab terjadinya SJS dan TEN di antara golongan antiretroviral
lainnya, yang juga diperkuat oleh data penelitian yang sama yang
dirangkum pada tabel berikut.
Tabel 2. Obat HIV yang berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas obat.7
15
3.3. ETIOLOGI
Banyak kasus TEN yang tidak diketahui secara pasti etiologinya, diduga
sebesar 50% etiologi SJS-TEN adalah idiopatik. TEN merupakan reaksi
yang terutama disebabkan oleh konsumsi obat-obatan. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Mansjoer, dkk.pada tahun 20008,
kebanyakan pasien memiliki riwayat menggunakan obat-obatan sebelum
timbulnya gejala-gejala TEN. Erupsi alergi obat secara sistemik adalah
reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat
pemberian obat.Roujeau et al menunjukkan bahwa hanya 4,5% kasus TEN
yang disebabkan tanpa konsumsi obat-obatan. Pada penelitian multisenter
yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa antibiotik terutama
sulfomanide, NSAIDs, anti konvulsan, dan allopurinol meningkatkan
resiko terjadinya TEN dan SJS. Pada golongan antibiotik non
sulfonamide,aminopenicillin, cephalosporin, tetracycline, dan imidazole
berhubungan secara signifikan dengan terjadinya TEN.
Pada penelitian yang dilakukan oleh EuroSCAR yang menganalisa resiko
relatif (RR) beberapa obat-obatan. Pada 74%-94% kasus, TEN disebabkan
oleh terapi obat-obatan yang sedang dijalani atau karena infeksi pada
saluran pernapasan atas. Di antara beberapa obat yang baru, terdapat
hubungan yang kuat antara nevirapine (RR>22), tramadol (RR=20),
Pantoprazole (RR=18), Lamotrigmine (RR>14), dan Sentraline (RR=14)
dan kejadian TEN. 9
Penggunaan Nevirapine (NVP) berhubungan dengan insiden ruam kulit,
SJS, dan hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibandingkan Efavirenz. Ruam
ada kulit akibat penggunaan NVP berkisar dari ringan-sedang hingga
berat, bahkan dapat mengancam nyawa. Dalam percobaan yang dilakukan
terhadap 1374 orang yang menggunakan substansi berbasis nevirapine dan
1331 kelompok kontrol, insiden ruam akibat penggunaan NVP mencapai
hingga 9,1% kasus. Angka kejadian ruam yang berat dan mengancam
nyawa terjadi pada 1,7% pasien yang diterapi menggunakan NVP dan
0,2% kelompok kontrol. Secara keseluruhan, 4,3% pasien menghentikan
16
penggunaan NVP karena alasan ruam pada kulit. Dalam keadaan reaksi
hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan dan tidak boleh
dimulai lagi.10
Tabel 3. Resiko Ruam pada kulit (%) akibat penggunaan Nevirapine10
Tabel 4. Panduan manajemen ruam10
17
Hal ini pun sejalan dengan kasus yang sedang dibahas pada resonsi ini,
dimana Nevirapine sebagai salah satu obat anti retroviral yang dicurigai
kuat sebagai penyebab TEN pada pasien dengan B24.
GENETIK
Beberapa faktor genetik mempengaruhi resiko terjadinya TEN/ SJS. Pada
kasus ini, pasien berkewarganegaraan Indonesia, suku Bali yang
merupakan kelompok ras yang beresiko atau penanda prediktif terjadinya
TEN. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Han China yang
menyebutkan terdapat peningkatan signifikan secara statistik Human
Leukocyte Antigen (HLA)-B12 phenotype di antara 44 pasien yang
menderita TEN yang telah dilaporkan. Di Han China, terdapat dua lokus
gen lain yang meningkatkan resiko TEN yaitu HLA-B*5081 yang
terdapat pada semua pasien dengan reaksi kutan yang berat terhadap
allopurinol dan pada 15% dari 135 pasien toleran. SJS/TEN yang diinduksi
Carbamazepine berhubungan kuat dengan HLA-B*1502 pada pasien
China. Pada penelitian yang dilakukan pada 12 pasien Eropa dengan
SJS/TEN yang diinduksi Carbamazepine, hanya 4 pasien yang memiliki
alel HLA-B*1502 dan keempat pasien tersebut memilki keturunan Asia,
sedangkan pasien lainnya tidak. Hal ini menunjukkan bahwa, HLA-
B*1502 merupakan marker (penanda) prediktif yang berguna pada
populasi Asia.2
3.4. PATOLOGI
Pada pemeriksaan histologi lesi kulit pasien ditemukan nekrosis pada
seluruh epidermis pasien TEN yang dimulai dari basal dan lapisan
Malpighian. Epitelium yang mengalami nekrosis terlepas dari lapisan
dermis yang mengalami perubahan yang minimal. Lapisan dermis bagian
atas munjukkan infiltrasi moderat sel mononuklear dan perubahan
epidermis yang diawali dengan edema intraseluler dengan eksositosis sel
mononuklear yang terpisah, terutama limfosit T CD8 dan makrofag dan
terkadang terdapat nekrosis sel satelit. Pola histologi menunjukkan pola
18
nekrosis predominan dengan nekrosis epidermal dan terdapat infiltrasi
inflamasi minimal.2
3.5. PATOFISIOLOGI
Patogenesis TEN sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan
dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV (delayed-type
hypersensitivity reactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T
yang spesifik .TEN merupakan reaksi imun sitotoksik dengan sasaran
destruksi keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan
antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14
hari). Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah dilihat secara in
vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh
(bullous drug eruption); adanya produksi yang tinggi dari interleukin-5.
Kerusakan epidermis berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat
ekspresi berlebih yang drastis dari TNFα pada epidermis. TNFα
memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan
menginduksi apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel-sel
efektor sitotoksik atau keduanya. Antigen penyebab berupa hapten akan
berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik
sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut
dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau
metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab
tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat
infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat
mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan
jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator
yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan
klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat
aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Bila pemberian obat
diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan
negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat
tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. TEN dapat muncul 19
dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan
yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.1,11
Walaupun kematian sel akibat nekrosis merupakan proses yang
disorganisasi dan nonspesifik, apoptosis merupakan kematian sel
terprogram yang disebabkan oleh satu dari beberapa mekanisme yang
mungkin terjadi. Gabungan atau ligasi beberapa surface death receptor,
termasuk tumor necrosis factor (TNF), Fas, dan TNF-related apoptosis-
inducing ligand, dapat meransang aktivasi sistem kaspase, yang
menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel. Sel sitotoksik T dapat
mengekspresikan dan melepaskan perforin dan granzyme B, yang
menyebabkan apoptosis baik melalui mekanisme dependen kaspase atau
independen kaspase. Kematian sel epidermis dan pengelupasan yang
terdapat pada TEN merupakan akibat proses apoptosis. Beberapa
mekanisme yang dicurigai terjadinya apoptosis sel epidermis termasuk
interaksi Fas-FasL, sel T sitotoksik, TNF-α, dan nitric-oxide synthatase.
Dalam keadaan normal, semua sel termasuk sel epidermal (keratinosit)
mengekspresikan Fas pada permukaan sel nya tetapi ligand Fas (FasL)
atau CD95 terutama diekspresikan pada sel T dan Natural killer. Agar
interaksi Fas-FasL dapat berperan, FasL aktif yang bersifat litik harus
diekspresikan pada sel epidermis yang telah mati. Oleh karena itu, Viard et
al melaporkan bahwa interaksi Fas-FasL merupakan patofisiologi yang
signifikan terhadap kejadian TEN. Terdapat soluble FasL (sFasL) pada
serum pasien TEN akibat pemecahan membrane-bound FasL pada sel
epidermis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nassif et al ditemukan
pula interaksi Fas-FasL. Terdapat konsentrasi yang tinggi IFN-γ, TNF-α,
dan sFasL pada blister pasien TEN. IFN-γ diketahui dapat meningkatkan
TNF-α dan level sFasL dan menyebabkan aktivasi keratinosit.
Terdapat pula peran CD8 dalam mekanisme apoptosis pada TEN. Pada
penelitian yang dilakukan oleh Posade et al pada 15 pasien TEN yang
diinduksi obat, ditemukan peningkatan ekpreso TNF-α, granzyme B,
perforin, dan FasL pada pasien TEN dibandingkan dengan kelompok
20
kontrol. TNF-α akan mengaktivasi sel T dan peningkatan marker
sitotoksik merefleksikan aktivasi sel T sitotoksik. Secara umum,
hipersensitivitas spesifik menyebabkan major histocompability class I-
restricted drug presentation dan diikuti oleh ekspansi limfosit T sitotoksik,
yang menyebabkan infiltrasi lesi kulit dengan limfosit T sitotoksik dan sel
natural killer.
Beberapa penelitian yang baru dilakukan menunjukkan level granulysin
pada sera pasien TEN lebih tinggi dibandingkan sengan pasien dengan
reaksi kulit yang biasa yang diinduksi obat. Level garnulysin berkorelasi
dengan tingkat keparahan klinis pasien TEN. Oleh karena mekanisme TEN
bukan simediasi oleh IgE, desensitisasi obat pencetus bukan merupakan
pilihan. Oleh karena itu, terapi TEN yang sedang berkembang saat ini
adalah intravena imunoglobulin (IVIG) yang menghambat interaksi Fas-
FasL dan cyclosporine yang menghambat aktivasi CD8.4
Pada pasien ini, terdapat gambaran klinis yang merefleksikan reaksi
hipersensitivitas tipe 4 yang melibatkan sel sitotoksik T yang dapat
mengekspresikan dan melepaskan perforin dan granzyme B. Kematian sel
epidermis dan pengelupasan yang terdapat pada TEN merupakan akibat
proses apoptosis.
3.6. GAMBARAN KLINIS
TEN atau Lyell’s syndrome melibatkan pengelupasan kulit lebih dari 30%
luas permukaan tubuh . TEN biasanya dimulai dengan gejala prodormal
sakit berat dengan demam tinggi dan lemas badan terkadang dengan suhu
tubuh mencapai 390c. Membran mukosa terlibat pada hampir semua kasus
TEN. Lesi kulit tersebar luas berupa makula eritema dan bercak, meskipun
50% kasus dimulai dengan eritema difus. Pada stadium awal, nyeri pada
kulit sangat prominen. Lesi kulit kemudian berkembang menjadi full-
thickness epidermal necrolysis. Lesi kulit dapat disertai lesi pada bibir dan
selaput mukosa mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga
terbentuk krusta berwarna merah kehitaman pada bibir. Kelainan semacam
21
ini dapat pula terjadi pada orifisium genitalia eksterna. Juga dapat
ditemukan kelainan pada mata.
Pada TEN yang penting adalah ialah terjadinya epidermolisis, yaitu
terlepasnya epidermis dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.
Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis
menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu
jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis
mudah dilihat pada tempat yang sering mendapat tekanan, yaitu punggung
dan bokong karena pasien biasanya berbaring.12
Gambaran ini sesuai dengan yang dialami oleh pasien. Pasien
mengeluhkan panas badan yang dirasakan oleh pasien 1 hari sebelum
muncul kemerahanpada kulit. (5 Juni 2012). Panas dirasakan sepanjang
hari dan pasien tidak merasakan adanya penurunan suhu. Setelah beberapa
hari kemudian, tepatnya setelah 19 hari mengkonsumsi ARV, pasien
mengeluhkan kemerahan pada kulitnya yang kemudian berkembang
menjadi lesi kulit yang nyeri dan terasa seperti terbakar berupa purpura,
yang diikuti oleh bulla, disertai tanda Nikolsky positif berkembang
menjadi erosi multipel terutama pada daerah punggung dan bokong, dan
mengalami fase akhir berupa kulit yang hiperpigmentasi.
Fase Akut
Gejala awal TEN dan SJS dapat bersifat nonspesifik dan gejalanya dapar
berupa demam, rasa seperti tersengat pada mata, dan rasa tidak nyaman
saat menelan. Gejala tersebut secara tipikal mendahului manifestasi kutan
beberapa hari sebelumnya. Lokasi awal manifestasi kutan adalah regio
presternal batang tubuh dan daerah wajah, serta telapak tangan dan telapak
kaki. Eritema dan erosi pada daerah buccal, genital, dan/atau mukosa
okular terjadi pada >90% kasus dan pada beberapa kasus melibatkan
traktus gastrointestinal dan respirasi. Keterlibatan okular dapat berupa
konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, ocular discharge,
hingga formasi membran konjungtiva atau pseudomembran atau erosi
kornea, dan ulserasi kornea. Morfologi lesi kulit awal berupa eritema dan
22
makula, yang terkadang memilki infiltrat, dan memiliki kecenderungan
untuk menyatu atau bergabung.
Hal ini sesuai dengan kasus ini, di mana terdapat kemerahan (purpura)
yang muncul 19 hari setelah konsumsi obat ARV yang muncul awalnya
pada bagian dada dan perut bersamaan dengan munculnya lecet pada bibir
pasien lalu menyebar pada seluruh bagian tubuh lain hingga wajah pasien
serta daerah kemaluannya. Purpura tersebut bersifat multipel dengan batas
tegas, bentuk bulat geografika, ukuran 2x3 cm hingga 4x5 cm, diameter 1
cm x 3 cm Purpura pada kulit kemudian berkembang menjadi bulla yang
berisi cairan yang diawali pada daerah dada dan perut kemudian muncul
pada bagian tubuh lain Bulla bersifat multipel dengan bentuk bervariasi,
bulat, oval, dengan ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding kendor berisi
cairan jernih, Nikolsky sign (+). Awalnya bulla pada tubuh pasien terpisah,
kemudian bulla yang berdekatan kemudian menyatu sehingga menjadi
bulla yang besar dan mudah rapuh.
Pada pasien ini, juga ditemukan conjuctiva vascular injection pada mata
kedua mata yang disertai sekret berwarna putih hingga kuning. Pada
pasien ini juga, lesi berupa kemerahan pada kulit disertai bulla terdapat
pula pada genitalia pasien, di mana bulla tersebut berisi cairan yang mudah
pecah. Bulla disertai erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran
0,2 x 0,3 cm Pada bibir dan rongga mulut pasien terdapat erosi multipel,
bentuk geografika, dengan diameter 0,1- 0,3 cm. Beberapa ditutupi krusta
coklat kehitaman.
Pada fase kedua, area pengelupasan epidermis meluas. Pada tampakan
klinis tanpa pengelupasan epidermis, pemeriksaan kulit yang lebih
mendetail dapat dilakukan dengan memberikan penekanan mekanik
tangensial pada beberapa zona eritema (Nikolsky sign). Nikolsky sign
positif bila penekanan menyebabkan pengelupasan epidermis, tetapi tidak
spesifik untuk SJS dan TEN. Perluasan area kulit yang terlibat merupakan
faktor prognostik utama. Perlu ditekankan bahwa hanya kulit yang
nekrosis, yang telah terkelupas (blister, erosi) atau dapat terkelupas
23
(Nikolsky +) yang dimasukkan dalam evaluasi perluasan area kulit yang
terlibat. Bastuji Garin et al. mengklasifikasikan pasien menjadi tiga
kelompok utama berdasarkan derajat pengelupasan kulit.
Pada pasien ini, bulla pada tubuh pasien yang berisi cairan bening dan
mudah rapuh ini mengalami penyatuan sehingga menjadi bulla yang cukup
besar. Nikolsky sign (+) dan terjadi pengelupasan kulit akibat pecahnya
bulla pada tubuh pasien. Bulla berisi cairan berwarna bening kecoklatan.
bulla pada awalnya berukuran kecil lalu membesar seperti buji jagung.
Beberapa bulla pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu dan membesar
lalu pecah dan menyebabkan rasa nyeri yang tidak bisa ditahan oleh
pasien. Bulla yang telah pecah menyebabkan kulit pasien terkelupas
seperti luka bakar. Rasa nyeri dan terbakar terasa sepanjang hari. Rasa
nyeri dan terbakar memberat terutama bila ada bulla baru yang pecah dan
membaik dengan salep yang diberikan oleh rumah sakit.
Tabel 5. Gambaran Klinis yang membedakan SJS dan TEN5
24
Fase Lanjut dan Gejala sisa (sekuel)
Gejala sisa merupakan gambaran tersering pada fase lanjut TEN.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Magina et al, gejala yang
ditemukan berupa hiper-/hipopigmentasi kulit (62,5%), distrofi kuku jari
(37,5%), dan komplikasi okular. Berdasarka penelitian Yip et al, 50%
pasien TEN mengalami komplikasi okular lanjut dengan urutan yang
makin menurun yaitu mata kering derajat berat (46%), trichiasis (16%),
symblepharon (14%), distichiasis (14%), kehilangan penglihatan (5%),
entropion (5%), dan ulserasi kornea (2%); Komplikasi jangka panjang
pada mukosa terjadi pada 73% pasien yang mengalami keterlibatan
mukosa pada fase akut, dan gejala sisa mukosa melibatkan mukosa oral
dan esofageal, bahkan hingga ke paru dan genital.5
Pada kasus ini, terdapat hiperpigmentasi kulit terutama pada bagian tubuh
yang sebelumnya mengalami lesi bula. Lesi kulit berupa erosi multipel
bentuk geografika multipel disertai deskuamasi di sekitarnya terdapat
makula hiperpigmentasi. Pada stadium ini dimana terdapat lesi berbentuk
makula hiperpigmentasi, rasa nyeri dan sakit sudah mulai berkurang.
25
Pasien sudah bisa beristirahat tanpa merasakan panas dan nyeri yang tidak
separah sebelumnya saat lesi masih berbentuk bulla dan rentan pecah.
3.7. DIAGNOSIS
Diagnosa merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang
akan dilakukan. Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar
perawatan dapat segera dilakukan sehingga hasilnya akan lebih
memuaskan dan prognosis yang buruk TEN dapat dihindarkan.
Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai
macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa TEN
terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan
penunjang.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan :
a) Anamnesis
Ada eksposur dari pasien dengan obat – obatan yang dapat memicu
terjadinya TEN. Penyakit dimulai secara akut dengan gejala
prodormal. Pasien tampak sakit berat dengan demam tinggi (>38oC),
kesadaran menurun (soporokromatosa),mialgia, rhinitis, athralgia,
batuk, anoreksia, nausea, vomit sekitar 2-3 hari sebelum timbulnya
lesi kulit.
b) Pemeriksaan fisik dan efloresensi kulit
Diagnosis TEN tidak sulit, sukup secara klinis. Kelainan kulit yang
utama ialah epidermolisis mirip kombustio dan pasien tampak sakit
berat. TEN mirip dengan SJS. Perbedaannya yaitu pada SJS tidak
terdapat epidermolisis seperti pada TEN.
c) Pemeriksaan penunjang
Tidak terdapat tes laboratorium yang spesifik yang mengindikasi
TEN
26
o Pemeriksaan darah ditemukan neutropenia ( tidak
digunakan sebagai landasan prognostik )
o Pemeriksaan elekrolit ditemukan proteinuria
o Tes enzim liver : untuk mengetahui apakah ada kerja
enzim – enzim liver efektif dalam metabolisme obat-
obatan.
o Pemeriksaan CD4 T limfosit pada fase akut, akan terjadi
penurunan karena adanya apoptosis
Pemeriksaan laboratorium dapat membantu perencanaan dalam
terapi simtomatik dan terapi suportif.
Pemeriksaan dermatopatologi terhadap hasil biopsi kulit:
o Fase awal: Terdapat vakuolisasi dan nekrosis dari
keratinosit pada stratum basal dan apoptosis pada
epidermis.
o Fase laten: Nekrosis total pada pada lapisan epidermis dan
terjadi robekan sehingga epidermis lepas dengan lapisan
subepidermal pada membran basalis. Terdapat infiltrat
limfosit yang tipis di dermis.
Analisa histopatologik terhadap biopsi pada kulit, dihasilkan pada
fase awal terjadinya epidermolisis, dan sangat penting untuk
menunjang tegaknya diagnosis yang akurat dan terarah.12,13,14
Pada kasus ini, penegakan diagnosis didasarkan atas riwayat penyakit yang
diperoleh dari anamnesis dan temuan klinis. Terdapat riwayat kemerahan
(purpura) yang muncul 19 hari setelah konsumsi obat ARV yang dimulai
dengan gejala prodormal sakit berat dengan demam tinggi dan lemas
badan yang diikuti oleh pengelupasan epidermis sebesar 30% luas
permukaan tubuh. Lesi kulit tersebar luas berupa makula eritema dan
bercak. Lesi kulit kemudian berkembang menjadi full-thickness epidermal
necrolysis berupa bulla pada tubuh pasien yang berisi cairan bening dan
27
mudah rapuh ini mengalami penyatuan sehingga menjadi bulla yang cukup
besar. Nikolsky sign (+) dan terjadi pengelupasan kulit akibat pecahnya
bulla pada tubuh pasien . Lesi kulit disertai lesi pada bibir dan selaput
mukosa mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga terbentuk
krusta berwarna merah kehitaman pada bibir dan terdapat keterlibatan
okular berupa conjuctiva vascular injection pada mata kedua mata yang
disertai sekret berwarna putih hingga kuning.
3.8. HUBUNGAN ANTARA TERAPI NEVIRAPINE DAN KEJADIAN
TEN
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau
toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi)
dan/ atau menghentikan pengobatan ARV. Pasien bahkan kadang
menghentikan terapinya sendiri karena adanya efek samping. Pada
penggunaan terapi ARV berupa Nevirapine sebagai komponen terapinya,
efek samping yang muncul dapat berupa ruam pada kulit atau bahkan
reaksi hipersensitivitas sistemik.
Dalam menangani toksisitas atau efek samping, perlu mengikuti langkah
sebagai berikut :
a) Tentukan derajat keseriusan toksisitas
b) Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah
toksisitasberhubungan dengan obat (-obat) ARV atau obat non-ARV
yang digunakan bersamaan
c) Pertimbangkan proses penyakit lain karena tidak semua masalah yang
terjadi selama terapi adalah diakibatkan oleh obat ARV
d) Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan
e) Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas
ringan dan sedang.
f) Berikan obat simtomatis sesuai gejala yang timbul jika diperlukan
28
g) Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang
mengancam jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien
stabil.
Tabel 6. Derajat toksisitas klinis pada kulit pada terapi ARV15
Uraian Tahap 1
(Ringan)
Tahap 2
(Sedang)
Tahap 3
(Berat)
Tahap 4 (Potensial
mengancam jiwa)
Ruam kulit hipersensitivitas
Eritema, gatal
Ruam
Makulopapular difus atau deskuamasi kering
Vesikulasi atau deskuamasi basah atau ulserasi
Salah satu dari :
Terkena membran mukosa. Suspek SJS, TEN, Eritema multiforme, dermatitis eksfolativa
Tabel 7. Tingkat toksisitas obat ARV15
Derajat Keadaan Tanda dan gejala Tatalaksana
1 Reaksi ringan Suatu perasaan tidak enak yang menetap; tidak ada keterbatasan gerak
Tidak perlu perubahan terapi
2 Reaksi sedang Sedikit ada keterbatasan bergerak kadang-kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan
Tidak perlu intervensi medis,kalau perlu sangat minimal
3 Reaksi berat Pasien tidak lagi bebas bergerak; biasanya perlu bantuan dan perawatan
Perlu intervensi medis atau perawatan rumah sakit.Susbtitusi obat penyebab tanpa menghentikan terapi ARV
4 Reaksi berat yang mengancam jiwa
Pasien berbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan RS
Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada (dengan terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebab pada saat pasien mulai tenang kembali
29
Bila terdapat reaksi hipersensitivitas berupa ruam hebat seperti pada TEN,
hentikan semua ARV sampai gejala teratasi. Hentikan sama sekali
Nevirapine yang menimbulkan ruam dengan gejala sistemik berupa
demam, ruam yang hebat dengan lesi pada mukosa atau gatal-gatal, atau
SJS/TEN; begitu teratasi, ganti obat terapi ARV dengan jenis ARV lain
( misalnya 3NRTI atau 2NRTI dan PI). Jika ruam tidak begitu hebat tanpa
gejala mukosa atau sistemik, ganti NNRTI (misalnya NVP dengan EFV)
dapat dipertimbangkan setelah ruam teratasi. 15
Pada kasus ini, pasien dicurigai mengalami reaksi hipersensitivitas berupa
TEN akibat penggunaan Nevirapine. TEN yang tergolong reaksi berat
yang mengancam jiwa (derajat 4), oleh karena itu terapi Nevirapine
dihentikan, sedangkan terapi NRTI ( Zidovudine dan Lamivudine)
dilanjutkan selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine lalu semua obat
dihentika, Hal tersebut guna mengisis waktu paruh NNRTI (Nevirapine)
yang panjang dan menurunkanresiko resisten NNRTI. Terapi kemudian
diganti dengan pemberian 2NRTI + PI yang terdiri dari Tenofovir (TDF)
1x300 mg + Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100 mg.
3.9. TERAPI
Semua obat pada terapi ARV dalam kasus ini dapat dicurigai sebagai
penyebab terjadinya reaksi walaupun berdasarkan penelitian nevirapine
merupakan jenis NNRTI yang paling berpotensi menyebabkan reaksi
hipersensitivitas berupa TEN ini. Bila terdapar reaksi toksisitas berupa
ruam kulit berat yang mengancam jiwa (TEN), penggunaan NVP
dihentikan dahulu, lalu golongan NRTI dihentikan 7 hari kemudian segera
hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dapat dimulai
dengan panduan terapi ARV yang lain.9
Terapi Nevirapine pada kasus ini dihentikan, sedangkan terapi NRTI
( Zidovudine dan Lamivudine) dilanjutkan selama 7 hari setelah
penghentian Nevirapine lalu semua obat dihentikan, Hal tersebut guna
mengisis waktu paruh NNRTI (Nevirapine) yang panjang dan
30
menurunkanresiko resisten NNRTI. Terapi kemudian diganti dengan
pemberian 2NRTI + PI yang terdiri dari Tenofovir (TDF) 1x300 mg +
Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100 mg.
Perawatan pasien TEN didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan
perawatan secara umum meliputi :14,15
1. Rawat Inap
Pasien yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau
elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta keadaan umum yang
buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap
bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan
penderita.
2. Preparat Kortikosteroid
Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.
Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya
dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik
dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka
dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis
mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,
misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian
diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian
obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira
berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus
dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek
samping yang besar bagi penderita. Penggunaan preparat kortikosteroid
harus di bawah pengawasan, mengingat kortikosteroid memiliki efek
samping berupa supresi daya tahan tubuh dan menekan aktivitas korteks
adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala, memperpendek durasi
penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total.
3. Infus
Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur
keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau 31
tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan
tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang
diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.
4. Obat Anabolik
Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat
penggunaan preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan
seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan
dosis untuk anak tergantung berat badan.
5. KCl
Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami
penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x
500 mg sehari peroral
6. Adenocorticotropic hormone (ACTH)
Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi
korteks kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang
diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg
7. Agen Hemostatik
Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang
luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K
8. Diet
Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan
kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka
waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,
dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam
dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani
diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang
lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.
9. Vitamin
Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.
Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit.
Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau1000 mg sehari ditujukan
32
terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga
pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler.
10. Perawatan pada Kulit
Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan
penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment
berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada
lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit
yang erosif dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim
sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam
salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit.
11. Perawatan pada Mata
Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres
dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan
ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunakan
untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown. Antibiotik
topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.
12. Perawatan pada Genital
Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area
genital penderita. Penderita TEN seringkali mengalami gangguan buang
air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi
sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.
13. Perawatan pada Rongga Mulut
Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian
anestetik topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung
lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara mengoleskan
secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton
swab.Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk
menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan
antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Menurut
Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir diobati dengan boraks-
gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid
merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa
33
digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan
saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar
lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan
spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta
larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum.Rasa nyeri
yang dialami penderita akibat adanya lesi oral menyebabkan penderita
mengalami sukar menelan makanan atau minuman. Apabila penderita
mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan
padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat
kumur seperti sodium bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi
dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin yang digunakan
untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain.
3.10. PROGNOSIS
Angka spesifik kesakitan TEN yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya
kesakitan dan luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan
meningkatnya mortalitas Sindrom Stevens-Johnson sampai Toksik
Epidermal Nekrolisis dimana Sindrom Stevens-Johnson <10% (1-5%
mortalitas), overlap SJS-TEN 10-30% dan TEN > 30% (25-35%
mortalitas). Tujuh faktor risiko pada Sindrom Stevens-Johnson dan Toksik
Epidermal Nekrolisis yaitu 4,16 :
1) Usia > 40 tahun
2) Keganasan
3) Takikardia >120/menit
4) Permukaan pengelupasan epidermal pada permulaan >10%
5) Urea > 28 mg/dl
6) Glukosa > 252 mg/dL
7) Bikarbonat < 20 mmol/L
Setiap parameter diberikan 1 poin bila positif sehingga jumlah SCORTEN
tingkatannya 0-7. Mortalitas berdasarkan nilai SCORTEN17yaitu :
34
- SCORTEN 0-1, mortalitas >3.2%
- SCORTEN 2, mortalitas >12.1%
- SCORTEN 3, mortalitas >35.3%
- SCORTEN 4, mortalitas >58.3%
- SCORTEN 5 atau lebih, mortalitas >90%
Pada kasus ini, berdasarkan skor SCORTEN, pasien hanya memenuhi
kriteria ke-4, sehingga skor yang diperoleh adalah SCORTEN 0-1, di mana
mortalitasnya adalah > 3,2%. Pasien ini, secara umum memiiki prognosis
yang baik. Keadaan pasien selama terapai suportif dan penghentian
penggunaan NVP sebagai obat yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya
TEN mulai membaik dan lesi pada kulit sudah mengalami perbaikan dan
memasuki fase lanjut atau gejala sisa berupa bekas lesi lama berbentuk
hiperpigmentasi pada kulit.
35
BAB IV
KESIMPULAN
Nevirapine (NVP), merupakan obat yang sering digunakan dan diresepkan
sebagai antiretroviral pada pasien HIV naive karena dosisnya yang aman
dan toleransi yang relatif bagus dan aman. Regimen berbasis NNRTI lebih
ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan regimen berbasis protease
inhibitor dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. World Health
Organization (WHO) merekomendasikan Nevirapine dan Efavirenz (EFV)
sebagai obat lini pertama pada terapi antiretroviral. NVP digunakan secara
luas dengan harga yang lebih murah dibandingkan EFV.
Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau
toksisitas ini sering menjadi lasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/
atau menghentikan pengobatan ARV. Pasien bahkan kadang menghentikan
terapinya sendiri karena adanya efek samping. Pada penggunaan terapi
ARV berupa Nevirapine sebagai komponen terapinya, efek samping yang
muncul dapat berupa ruam pada kulit atau bahkan reaksi hipersensitivitas
sistemik.dibandingkan dengan EFV.
Bila terdapat reaksi hipersensitivitas berupa ruam hebat seperti pada TEN,
hentikan semua ARV sampai gejala teratasi. Bila akibat penggunaan
Nevirapine terdapat gejala yang menimbulkan ruam dengan gejala
sistemik berupa demam, ruam yang hebat dengan lesi pada mukosa atau
gatal-gatal, atau SJS/TEN; Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana
kelainan yang ada (dengan terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV
kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang
menjadi penyebab pada saat pasien mulai tenang kembali. Begitu teratasi,
ganti obat terapi ARV dengan jenis ARV lain ( misalnya 3NRTI atau
2NRTI dan PI). Jika ruam tidak begitu hebat tanpa gejala mukosa atau
sistemik, ganti NNRTI (misalnya NVP dengan EFV) dapat
dipertimbangkan setelah ruam teratasi.
36