toxic epidermal necrolysis

56
BAB I PENDAHULUAN Dua golongan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTIs) seperti zidovudine/stavudine+lamivudine, bersama dengan non-nucleoside reverse trancriptase inhibitor (NNRTI), seperti Nevirapine (NVP), merupakan obat yang sering digunakan dan diresepkan sebagai antiretroviral pada pasien HIV naive karena dosisnya yang aman dan toleransi yang relatif bagus dan aman. Regimen berbasis NNRTI lebih ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan regimen berbasis protease inhibitor dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Pada penelitian ketat yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) merekomendasikan Nevirapine dan Efavirenz (EFV) sebagai obat lini pertama pada terapi antiretroviral. NVP digunakan secara luas dengan harga yang lebih murah dibandingkan EFV, tetapi insiden kemerahan pada kulit (rash) akibat penggunaan NVP lebih tinggi dibandingkan dengan EFV. Ruam pada kulit merupakan adverse drug reaction (ADR) tersering yang berhubungan dengan NVP yang biasanya muncul dalam waktu 4-6 minggu terapi. Ruam akibat penggunaan NVP dapat diklasifikasikan sebagai: (1)grade 1 – eritema dengan atau tanpa pruritus; (2) grade 2 – makula eritema meluas atau maculopapular rash atau deskuamasi kering denagn atau tanpa pruritus atau lesi target tipikal 1

Transcript of toxic epidermal necrolysis

Page 1: toxic epidermal necrolysis

BAB I

PENDAHULUAN

Dua golongan Nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTIs) seperti

zidovudine/stavudine+lamivudine, bersama dengan non-nucleoside reverse

trancriptase inhibitor (NNRTI), seperti Nevirapine (NVP), merupakan obat yang

sering digunakan dan diresepkan sebagai antiretroviral pada pasien HIV naive

karena dosisnya yang aman dan toleransi yang relatif bagus dan aman. Regimen

berbasis NNRTI lebih ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan regimen

berbasis protease inhibitor dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. Pada

penelitian ketat yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO)

merekomendasikan Nevirapine dan Efavirenz (EFV) sebagai obat lini pertama

pada terapi antiretroviral. NVP digunakan secara luas dengan harga yang lebih

murah dibandingkan EFV, tetapi insiden kemerahan pada kulit (rash) akibat

penggunaan NVP lebih tinggi dibandingkan dengan EFV. Ruam pada kulit

merupakan adverse drug reaction (ADR) tersering yang berhubungan dengan

NVP yang biasanya muncul dalam waktu 4-6 minggu terapi. Ruam akibat

penggunaan NVP dapat diklasifikasikan sebagai: (1)grade 1 – eritema dengan atau

tanpa pruritus; (2) grade 2 – makula eritema meluas atau maculopapular rash atau

deskuamasi kering denagn atau tanpa pruritus atau lesi target tipikal tanpa bulla

atau vesikel atau ulkus pada lesi; (3) grade 3- urtikaria atau makula eritema

meluas atau maculopapular rash atau deskuamasi basah dengan atau tanpa pruritus

bersama dengan adanya 4 temuan konstitusional yang berhubungan dengan

penggunaan obat, yaitu peningkatan test fungsi hati, demam, bulla dan lesi

mukosa; angioedema; dermatitis eksfoliatif; dan serum sickness-like reaction; dan

(4) grade 4- erupsi kutan yang luas yang biasanya dimulai pada wajah, batang

tubuh atau punggung terkadang disertai gejala prodormal ditambah satu dari :

Bulla kutan, Niklosky sign, Steven Jhonson (SJ) syndrome, erythema multiforme

major atau toxic epidermal necrolysis (TEN) atau dua atau lebih erosi mukosa

dengan lokasi anatomi berbeda. Penggunaan Nevirapine walaupun jarang terjadi

dapat berakibat fatal berupa terjadinya SJS dan TEN yang dapat membahayakan

nyawa dan komplikasi kulit.

1

Page 2: toxic epidermal necrolysis

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1. Identitas pasien

Nama : SIIK

Umur : 27 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Suku : Bali

Bangsa : Indonesia

Agama : Hindu

Pendidikan : Tamat Akademi

Status perkawinan : Menikah

Pekerjaan : Polri

Alamat : Br. Lebih Asah Duren Perkutatan Jembrana

Tanggal MRS : 7 Juni 2012

Tanggal Pemeriksaan : 11 Juni 2012

2.2. Anamnesis

Keluhan Utama : gelembung berair pada seluruh tubuh

Riwayat penyakit sekarang :

Pasien mengeluhkan gelembung (bulla) berisi cairan muncul pada seluruh

tubuh pasien 3 hari sebelum masuk rumah sakit (6 Juni 2012). Gelembung

diawali dengan kemerahan pada kulit yang muncul awalnya pada bagian

dada dan perut bersamaan dengan munculnya lecet pada bibir pasien lalu

menyebar pada seluruh bagian tubuh hingga wajah pasien serta daerah

kemaluan. Bercak merah merah yang timbul terasa panas dan nyeri tetapi

tidak gatal. Hari berikutnya, bercak merah berkembang menjadi

gelembung. Bulla pada tubuh menyebabkan rasa panas seperti terbakar

dan nyeri yang terasa pada seluruh tubuh dan wajah pasien. Bulla berisi

2

Page 3: toxic epidermal necrolysis

cairan berwarna bening kecoklatan. bulla pada awalnya berukuran kecil

lalu membesar seperti buji jagung. Beberapa bulla pada tubuh pasien

dikatakan saling menyatu dan membesar lalu pecah dan menyebabkan rasa

nyeri yang tidak bisa ditahan oleh pasien. Bulla yang telah pecah

menyebabkan kulit pasien terkelupas seperti luka bakar. Rasa nyeri dan

terbakar terasa sepanjang hari. Rasa nyeri dan terbakar memberat terutama

bila ada bulla baru yang pecah dan membaik dengan salep yang diberikan

oleh rumah sakit.

Pasien juga mengeluhkan luka pada bibirnya. Luka pada bibir terasa nyeri

dan berwarna kemerahan yang muncul bersamaan dengan bercak

kemerahan pada tubuh pasien. . Luka memenuhi seluruh bibir pasien dan

mulut pasien. Luka pada bibir menyebabkan pasien susah untuk makan

dan berbicara.

Pasien juga mengeluhkan panas badan yang dirasakan oleh pasien 1 hari

sebelum muncul kemerahanpada kulit. (5 Juni 2012). Panas dirasakan

sepanjang hari dan pasien tidak merasakan adanya penurunan suhu. Pasien

pun mengeluhkan rasa tidak nyaman saat menelan makanan.

Nafsu makan pasien dikatakan berkurang. Pasien menyangkal adanya rasa

nyeri saat BAK. BAK dan BAB pasien dikatakan normal.

Saat ini pasien berstatus infeksi B24 yang sedang menjalani pengobatan

sejak tanggal 24 Mei 2012.

Riwayat penyakit sebelumnya :

Pasien sebelumnya pernah masuk ke RSUP Sanglah pada tanggal 19 Mei

2012 di bagian Psikiatri dengan diagnosis 1.)Gangguan mental lain YDT

akibat kerusakan dan disfungsi otak dan penyakit fisik (F 06.8) 2) Episode

depresi berat dengan gejala psikosis. 3.) Reaksi stres akut. Sebelumnya,

Pada saat pasien mengetahui dirinya serta anak dan istrinya terinfeksi B24,

pasien berusaha untuk melakukan tindakan bunuh diri dan membunuh

anak dan istrinya sehingga pasien dikonsulkan ke Bagian Psikiatri RSUP

Sanglah.

3

Page 4: toxic epidermal necrolysis

Pasien kemudian dirawat bersama dengan Bagian Tropik dengan

diagnosis B24 dan dilakukan rawat jalan mulai tanggal 24 Mei 2012. Dari

bagian psikiatri pasien diberikan Amitriptilin selama rawat jalan.Hingga

saat pasien masuk rumah sakit pada tanggal 7 Juni 2012, pasien sedang

menjalani terapi ARV yang terdiri dari Tenofovir, Lamivudine, dan

Nevirapine. Pasien menyangkal mengalami gejala yang sama sebelumnya.

Riwayat alergi obat disangkal oleh pasien tetapi pasien memiliki riwayat

alergi terhadap makanan (udang).

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit keluarga berupa kemerahan dan gelembung pada kulit

disangkal oleh pasien. Riwayat alergi makanan pada keluarga disangkal

oleh pasien. Anak dan istri pasien telah didiagnosis dengan B24 sejak 3

bulan yang lalu.

Riwayat Pribadi Dan Sosial

Pasien adalah seorang anggota Polri di Lombok. Paien jarang berada

dirumah karena sering bertugas jaga. Multipartner disangkal, drug user

disangkal, dan tranfusi (-).

2.3. Pemeriksaan Fisik

2.3.1. Bagian Interna

Status present:

Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/mnt

Respirasi : 20x/mnt

Suhu aksila : 36,9 °C

VAS : 4/10

Berat badan : 60 kg

Tinggi badan : 175 cm

BMI : 19,59

4

Page 5: toxic epidermal necrolysis

Status general:

Mata : anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+,

edema palpebra -/-, conjuctiva vascular

injection (+/+), sekret (+/+)

THT : Luka pada bibir dan mulut. Plak (+) pada

lidah

Leher : JVP PR + 0 cm H2O, pembesaran kelenjar

(-)

Thorax : simetris

Cor Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V MCL S

Perkusi : batas kiri : ICS V MCL S

batas kanan : PSL D

batas atas : ICS II

Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur (-)

Pulmo Inspeksi : Simetris

Palpasi : VF N/N

Perkusi : sonor/sonor

Auskultasi : ves +/+, rhonchi +/+, wheezing -/-

Abdomen Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : Bising Usus (+) normal

Palpasi : Hepar : tidak teraba, Lien : tidak

teraba.

Perkusi : Shifting dullness (-)

Undulasi (-)

5

Page 6: toxic epidermal necrolysis

Ekstremitas :

Edema pitting : -/- Hangat : +/+

-/- +/+

Kulit : Terdapat bulla baru pada ekstremitas (tangan dan kaki) dan

kulit yang terkelupas pada seluruh tubuh yang mulai mengering.

3.2.2. Bagian Kulit Kelamin

Status dermatologi:

Lokasi:

Mukosa bibir

Erosi multipel, bentuk geografika, dengan diameter 0,1- 0,3

cm. Beberapa ditutupi krusta coklat kehitaman.

Badan (dada, perut, pinggang, punggung)

Purpura multipel batas tegas, bentuk bulat geografika,

ukuran 2x3 cm hingga 4x5 cm, diameter 1 cm x 3 cm

Bulla multipel bentuk bervariasi, bulat, oval, dengan

ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding kendor berisi

cairan jernih, Nikolsky sign (+).

Erosi multipel bentuk geografika multipel disertai

deskuamasi di sekitarnya terdapat makula

hiperpigmentasi.

Tangan dan kaki

Purpura multipel berbatas tegas bentuk bulat hingga

geografika dengan diameter 1 cm x 3 cm.

Bulla multipel bentuk bervariasi bulat, oval, dengan

ukuran 1 cm x 2 cm, dinding kendor berisi cairan

jernih, Nikolsky sign(+)

Erosi multipel bentuk geografika multipel disertai

deskuamasi di sekitarnya terdapat makula

hiperpigmentasi.

Genitalia

6

Page 7: toxic epidermal necrolysis

Erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran

0,2 x 0,3 cm

Stigmata atopik (-)

Rambut : normal

Kuku : normal

Fungsi kelenjar keringat (hiperhidrosis, anhidrosis) : Normal

Kelenjar limfa : Pembesaran kelenjar limfa (-)

Syaraf (Penebalan syaraf perifer, parestesi, makula-anestesi) :

normal

7

Page 8: toxic epidermal necrolysis

2.4. Pemeriksaan Penunjang

Parameter Hasil Unit Remarks Normal

WBC 2,73 103/μL Rendah 4,1-11,0

#Ne 2,03 103/μL 2-7.5

#Lym 0,44 103/μL 1,0-4,0

#Mo 0,15 103/μL 0,1 – 1,2

#Eo 0,10 103/μL 0 ,0 – 0,5

#Ba 0,10 103/μL 0,0 – 0,1

RBC 3,93 103/μL Rendah 4,5 – 5,9

HGB 9,50 g/dl Rendah 13,5 – 17,5

HCT 30,40 % Rendah 41,0 – 53,0

MCV 77,30 Fl Rendah 80,0 – 97,00

MCH 24,20 Pg Rendah 27,0 – 31,2

MCHC 31,3 g/dl 31,8 – 35,4

RDW 18,60 % Tinggi 11,6-14,8

PLT 250,00 103/μL 150,00-440,00

Pemeriksaan Darah lengkap

Pemeriksaan Kimia Darah

Parameter Hasil Unit Remarks Normal

SGOT 50,20 u/l Tinggi 11-33

8

Page 9: toxic epidermal necrolysis

SGPT 40,40 u/l 11-50

BUN 11,00 mg/dl 8-23

Creatinin 0,64 mg/dl 0,5- 0,9

Glukosa Sewaktu 94,00 mg/dl 70-140

Natrium 133,00 mmol/L Rendah 136-145

Kalium 3,60 mmol/L 3,5-5,1

Pemeriksaan Urin

Parameter Hasil Satuan Nilai Rujukan Remarks

PH 8 - 5 – 8

Leucocyte 100 Leu/µL negatif +2

Nitrite Neg - Negatif

Protein Neg mg/dL Negatif

Glucose Norm mg/dL Normal

Ketone Neg mg/dL Negatif

Urobilinogen Norm mg/dL 1 mg/dl

Bilirubin Neg mg/dL Negatif

Erythrocyte Neg ery/ µL Negatif +2

Spesific Gravity 1,015 1.005 – 1.020

Colour yellow - p.yellow – yellow

SEDIMEN URINE:

¥ Lekosit 10-13 /lp < 6 /lp

¥ Eritrosit 2-4 /lp < 3 /lp

¥ Sel epitel - - --

9

Page 10: toxic epidermal necrolysis

- Gepeng 3-5 /lp --

¥ Kristal Amorph+ /lp --

¥ Lain-lain Bakteri + /lp --

2.5. Diagnosis Kerja

-B24 stadium IV on ARV treatment (TDF 1x300 mg, 3TC 1x 100 mg,

Nevirapine)

Oral candidiasis

Wasting syndrome

- TEN ec. Susp. Nevirapine

- Anemia ringan Hipokromik mikrositer ec. B24 related

2.6. Penatalaksanaan

Stop obat yang dicurigai sebagai penyebab (Nevirapine)

Rencana : Ganti dengan 2NRTI + PI Tenofovir (TDF) 1x300

mg + Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100

mg.

IVFD NaCl 0,9% : 20 tetes per menit

Dexamethasone 3x 10 mg IV

Kompres Nacl 0,9% 2-3x/hari pada lesi bulla @15-20 menit dan

deskuamasi pada kulit badan dan ekstremitas

Dactarin oral gel pada lidah dan rongga mulut 2x/ hari

Kenalog in ora base pada bibir 2x/ hari setelah kompres

Desoksimethasone cream 0,25% pada deskuamasi di badan dan

ekstremitas 2x/hari

Salisil Talk pada purpura

10

Page 11: toxic epidermal necrolysis

2.7. Rencana diagnosis :

Hubungi imunologi untuk monitoring

Cek DL, Serum darah, SI, Feritrin, TIBC, UL

Biopsi kulit

2.8. Monitoring :

Observasi vital sign dan keluhan

CM-CK

2.9. Prognosis

Dubius at bonam

11

Page 12: toxic epidermal necrolysis

BAB III

PEMBAHASAN

2.1. DEFINISI

Toxic epidermal necrolysis atau lebih dikenal sebagai Lyell’s syndrome

pertama kali diperkenalkan oleh Lyell pada tahun 1965 untuk

mendeskripsikan 4 kasus erupsi kulit setelah mengkonsumsi obat-obatan

atau infeksi stapilokokus atau penyebab yang tidak jelas berupa sindrom

atau kumpulan gejala berupa pengelupasan lapisan epidermis

(epidermolisis) yang luas (generalisata) dengan keterlibatan membran

mukosa berupa erosi , yang meninggalkan lapisan kulit yang terlihat

mengelupas. Necrolysis diartikan sebagai nekrosis dan pengelupasan

epidermis yang dalam atau full thickness detachment of epidermis. Toxic

berarti gejala konstitusional dan komplikasi yang berat. Steven Jhonson

syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) merupakan dua

reaksi cutaneous blistering yang berat yang saling berhubungan yang

terutama disebabkan oleh terapi obat-obatan. Gejala prodormal berupa

demam dan malaise biasanya mengikuti erupsi vesikobula di mana

terdapat pengelupasan kulit akibat separasi epidermis (Nikolsky sign

positif). Spesimen biopsi kulit dari area yang terkena secara tipikal

menunjukkan nekrosis epidermis (nekrolisis) dengan infiltrat monositik

epidermal yang tersebar ( Predominan sel T).1

TEN merupakan bentuk derajat terberat reaksi kulit yang diinduksi obat

dan didefinisikan sebagai pengelupasan epidermis sebesar 30% luas

permukaan tubuh. Penyakit yang sama dengan TEN termasuk di dalamnya

adalah SJS dan erythema multiforme. SJS merupakan reaksi pengelupasan

epidermis seluas 10% luas permukaan tubuh sedangkan apabila area tubuh

yang terlibat meliputi daerah seluas 10%-30% didefinisikan sebagai

SJS/TEN overlap.2

Tabel 1. Klasifikasi klinis SJS dan TEN4

12

Page 13: toxic epidermal necrolysis

Kategori Lesi Kulit Epidermal Detachment

(% luas permukaan tubuh)

SJS Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa

<10%

SJS-TEN overlap

Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa

10%-30%

TEN Meluas; makula dengan blister atau target atipikal yang datar; erosi mukosa

>30%

Pada kasus ini ditemukan lesi kulit yang meluas, berupa makula dengan

bulla yang tersebar pada tubuh dan ekstremitas. Bulla multipel bentuk

bervariasi, bulat, oval, dengan ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding

kendor berisi cairan jernih, Nikolsky sign (+). Terdapat pengelupasan

epidermis pada tubuh pasien terutama pada batang tubuh dan ekstremitas

pasien. Luas daerah tubuh yang mengalami pengelupasan pada hampir

seluruh luas permukaan tubuh dengan persentase >30%.

3.2. EPIDEMIOLOGI

TEN merupakan penyakit yang jarang terjadi dengan kisaran sekitar 1,89

kasus TEN per 1 juta populasi per tahun berdasarkan Western Germany

and Berlin pada tahun 1996. Sedangkan berdasarkan La Grenade et al,

terdapat 1,9 kasus TEN per satu juta populasi per tahun berdasarkan kasus

yang dilaporkan pada FDA AERS database di Amerika. Sebagian besar

kasus SJS/TEN terjadi sebagai akibat konsumsi obat-obatan. TEN/SJS

juga berhubungan dengan kondisi imun yang berubah seperti pada infeksi

HIV, mycoplasma pneumonia, imunisasi, dan systemic lupus

erythematosus. Bastuji- Garinet, et al melaporkan insiden SJS/ TEN 2,7

kali lebih tinggi pada pasien dengan usia >65 tahun yang berhubungan

dengan penggunaan obat-obatan. Rasio antara wanita dan pria adalah

sebesar 1,7:1. TEN dan SJS dapat terjadi pada semua kelompok usia dan

ras. 3

13

Page 14: toxic epidermal necrolysis

Beberapa jenis infeksi memiliki dampak terhadap terjadinya TEN, dan

pada kasus HIV di mana insiden per tahun kira-kira 1000 kali lipat

daripada populasi umum, dengan rata-rata 1 kasus per 1000 per tahun pada

populasi HIV positif. Pada penelitian terhadap pasien HIV positif di Paris,

terdapat 15 kasus SJS/TEN yang dilaporkan pada pasien dengan AIDS

dibandingkan 0,04 kasus yang diharapkan. Pada penelitian lain terdapat 10

dari 50 kasus SJS/TEN pada pasien HIV yang sedang menjalani

pengobatan antiretroviral. Infeksi lain pun dilaporkan sebagai penyebab

terjadinya SJS/TEN. Infeksi Mycoplasma pneumoniae dilaporkan telah

menyebabkan SJS dan TEN tanpa terekspos obat-obatan terlebih dahulu.

Selain itu, SJS/TEN dilaporkan pada anak dengan Herpes simplex virus.5

Ruam pada kulit merupakan adverse drug reaction (ADR) tersering yang

berhubungan dengan NVP yang biasanya muncul dalam waktu 4-6 minggu

terapi. Ruam akibat penggunaan NVP dapat diklasifikasikan sebagai:

(1)grade 1 – eritema dengan atau tanpa pruritus; (2) grade 2 – makula

eritema meluas atau maculopapular rash atau deskuamasi kering dengan

atau tanpa pruritus atau lesi target tipikal tanpa bulla atau vesikel atau

ulkus pada lesi; (3) grade 3- urtikaria atau makula eritema meluas atau

maculopapular rash atau deskuamasi basah dengan atau tanpa pruritus

bersama dengan adanya 4 temuan konstitusional yang berhubungan

dengan penggunaan obat, yaitu peningkatan test fungsi hati, demam, bulla

dan lesi mukosa; angioedema; dermatitis eksfoliatif; dan serum sickness-

like reaction; dan (4) grade 4- erupsi kutan yang luas yang biasanya

dimulai pada wajah, batang tubuh atau punggung terkadang disertai gejala

prodormal ditambah satu dari : Bulla kutan, Niklosky sign, Steven Jhonson

(SJ) syndrome, erythema multiforme major atau toxic epidermal necrolysis

(TEN) atau dua atau lebih erosi mukosa dengan lokasi anatomi berbeda.

Penggunaan Nevirapine walaupun jarang terjadi dapat berakibat fatal

berupa terjadinya SJS dan TEN yang dapat membahayakan nyawa dan

komplikasi kulit.6

Pada kasus ini, pasien didiagnosis menderita B24 yang sedang menjalani

terapi ARV yang terdiri dari Tenofovir, Lamivudine, dan Nevirapine. 14

Page 15: toxic epidermal necrolysis

Nevirapine diduga sebagai penyebab utama terjadinya reaksi

hipersensitivitas berupa TEN pada pasien ini. Reaksi TEN merupakan

reaksi hipersensitivitas sitolisis yang dimediasi oleh sel T. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Department of Pharmacology and

Therapeutics, University of Liverpool pada tahun 2010, Nevirapine dapat

menyebabkan reaksi ruam pada kulit pada 17% hingga 32% pasien dengan

HIV meskipun 13% di antaranya merupakan kasus ringan. Insiden

terjadinya SJS dan TEN dilaporkan pada 0,37% resipien nevirapine.

Terdapat perbedaan etnik dalam insiden terjadinya SJS dan TEN yaitu 2,8

lebih tinggi pada orang Thailand dibandingkan bangsa kulit putih,7 di

mana orang Thailand itu sendiri merupaka ras Asia yang sama dengan

orang Indonesia. Berdasarkan hal ini, Nevirapine dicurigai sebagai

penyebab terjadinya SJS dan TEN di antara golongan antiretroviral

lainnya, yang juga diperkuat oleh data penelitian yang sama yang

dirangkum pada tabel berikut.

Tabel 2. Obat HIV yang berhubungan dengan reaksi hipersensitivitas obat.7

15

Page 16: toxic epidermal necrolysis

3.3. ETIOLOGI

Banyak kasus TEN yang tidak diketahui secara pasti etiologinya, diduga

sebesar 50% etiologi SJS-TEN adalah idiopatik. TEN merupakan reaksi

yang terutama disebabkan oleh konsumsi obat-obatan. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Mansjoer, dkk.pada tahun 20008,

kebanyakan pasien memiliki riwayat menggunakan obat-obatan sebelum

timbulnya gejala-gejala TEN. Erupsi alergi obat secara sistemik adalah

reaksi pada kulit atau daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat

pemberian obat.Roujeau et al menunjukkan bahwa hanya 4,5% kasus TEN

yang disebabkan tanpa konsumsi obat-obatan. Pada penelitian multisenter

yang dilakukan di Eropa menunjukkan bahwa antibiotik terutama

sulfomanide, NSAIDs, anti konvulsan, dan allopurinol meningkatkan

resiko terjadinya TEN dan SJS. Pada golongan antibiotik non

sulfonamide,aminopenicillin, cephalosporin, tetracycline, dan imidazole

berhubungan secara signifikan dengan terjadinya TEN.

Pada penelitian yang dilakukan oleh EuroSCAR yang menganalisa resiko

relatif (RR) beberapa obat-obatan. Pada 74%-94% kasus, TEN disebabkan

oleh terapi obat-obatan yang sedang dijalani atau karena infeksi pada

saluran pernapasan atas. Di antara beberapa obat yang baru, terdapat

hubungan yang kuat antara nevirapine (RR>22), tramadol (RR=20),

Pantoprazole (RR=18), Lamotrigmine (RR>14), dan Sentraline (RR=14)

dan kejadian TEN. 9

Penggunaan Nevirapine (NVP) berhubungan dengan insiden ruam kulit,

SJS, dan hepatotoksisitas yang lebih tinggi dibandingkan Efavirenz. Ruam

ada kulit akibat penggunaan NVP berkisar dari ringan-sedang hingga

berat, bahkan dapat mengancam nyawa. Dalam percobaan yang dilakukan

terhadap 1374 orang yang menggunakan substansi berbasis nevirapine dan

1331 kelompok kontrol, insiden ruam akibat penggunaan NVP mencapai

hingga 9,1% kasus. Angka kejadian ruam yang berat dan mengancam

nyawa terjadi pada 1,7% pasien yang diterapi menggunakan NVP dan

0,2% kelompok kontrol. Secara keseluruhan, 4,3% pasien menghentikan

16

Page 17: toxic epidermal necrolysis

penggunaan NVP karena alasan ruam pada kulit. Dalam keadaan reaksi

hepar atau kulit yang berat maka NVP harus dihentikan dan tidak boleh

dimulai lagi.10

Tabel 3. Resiko Ruam pada kulit (%) akibat penggunaan Nevirapine10

Tabel 4. Panduan manajemen ruam10

17

Page 18: toxic epidermal necrolysis

Hal ini pun sejalan dengan kasus yang sedang dibahas pada resonsi ini,

dimana Nevirapine sebagai salah satu obat anti retroviral yang dicurigai

kuat sebagai penyebab TEN pada pasien dengan B24.

GENETIK

Beberapa faktor genetik mempengaruhi resiko terjadinya TEN/ SJS. Pada

kasus ini, pasien berkewarganegaraan Indonesia, suku Bali yang

merupakan kelompok ras yang beresiko atau penanda prediktif terjadinya

TEN. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Han China yang

menyebutkan terdapat peningkatan signifikan secara statistik Human

Leukocyte Antigen (HLA)-B12 phenotype di antara 44 pasien yang

menderita TEN yang telah dilaporkan. Di Han China, terdapat dua lokus

gen lain yang meningkatkan resiko TEN yaitu HLA-B*5081 yang

terdapat pada semua pasien dengan reaksi kutan yang berat terhadap

allopurinol dan pada 15% dari 135 pasien toleran. SJS/TEN yang diinduksi

Carbamazepine berhubungan kuat dengan HLA-B*1502 pada pasien

China. Pada penelitian yang dilakukan pada 12 pasien Eropa dengan

SJS/TEN yang diinduksi Carbamazepine, hanya 4 pasien yang memiliki

alel HLA-B*1502 dan keempat pasien tersebut memilki keturunan Asia,

sedangkan pasien lainnya tidak. Hal ini menunjukkan bahwa, HLA-

B*1502 merupakan marker (penanda) prediktif yang berguna pada

populasi Asia.2

3.4. PATOLOGI

Pada pemeriksaan histologi lesi kulit pasien ditemukan nekrosis pada

seluruh epidermis pasien TEN yang dimulai dari basal dan lapisan

Malpighian. Epitelium yang mengalami nekrosis terlepas dari lapisan

dermis yang mengalami perubahan yang minimal. Lapisan dermis bagian

atas munjukkan infiltrasi moderat sel mononuklear dan perubahan

epidermis yang diawali dengan edema intraseluler dengan eksositosis sel

mononuklear yang terpisah, terutama limfosit T CD8 dan makrofag dan

terkadang terdapat nekrosis sel satelit. Pola histologi menunjukkan pola

18

Page 19: toxic epidermal necrolysis

nekrosis predominan dengan nekrosis epidermal dan terdapat infiltrasi

inflamasi minimal.2

3.5. PATOFISIOLOGI

Patogenesis TEN sampai saat ini belum jelas namun sering dihubungkan

dengan reaksi hipersensitivitas lambat tipe IV (delayed-type

hypersensitivity reactions) adalah reaksi yang dimediasi oleh Limfosit T

yang spesifik .TEN merupakan reaksi imun sitotoksik dengan sasaran

destruksi keratinosit. Pembentukan imun ditandai dengan kelambatan

antara paparan hingga permulaan penyakit (1 sampai 45 hari; rata-rata 14

hari). Aktivasi sel T (termasuk CD4+ dan CD8+) telah dilihat secara in

vitro pada sel-sel darah perifer dari pasien dengan erupsi obat berlepuh

(bullous drug eruption); adanya produksi yang tinggi dari interleukin-5.

Kerusakan epidermis berdasarkan pada induksi apoptosis. Terdapat

ekspresi berlebih yang drastis dari TNFα pada epidermis. TNFα

memainkan peranan penting dalam destruksi epidermis, dengan

menginduksi apoptosis secara langsung atau dengan menarik sel-sel

efektor sitotoksik atau keduanya. Antigen penyebab berupa hapten akan

berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun spesifik

sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut

dapat berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau

metabolitnya) atau produk yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab

tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat

infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun beredar dapat

mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan

jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.

Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator

yang dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan

klinis lokal di kulit dan mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat

aktivitas mediator serta produk inflamasi lainnya. Bila pemberian obat

diteruskan dan gejala klinis membaik maka hubungan kausal dinyatakan

negatif. Bila obat yang diberikan lebih dari satu macam maka semua obat

tersebut harus dicurigai mempunyai hubungan kausal. TEN dapat muncul 19

Page 20: toxic epidermal necrolysis

dengan episode tunggal namun dapat terjadi berulang dengan keadaan

yang lebih buruk setelah paparan ulang terhadap obat-obatan penyebab.1,11

Walaupun kematian sel akibat nekrosis merupakan proses yang

disorganisasi dan nonspesifik, apoptosis merupakan kematian sel

terprogram yang disebabkan oleh satu dari beberapa mekanisme yang

mungkin terjadi. Gabungan atau ligasi beberapa surface death receptor,

termasuk tumor necrosis factor (TNF), Fas, dan TNF-related apoptosis-

inducing ligand, dapat meransang aktivasi sistem kaspase, yang

menyebabkan disorganisasi DNA dan kematian sel. Sel sitotoksik T dapat

mengekspresikan dan melepaskan perforin dan granzyme B, yang

menyebabkan apoptosis baik melalui mekanisme dependen kaspase atau

independen kaspase. Kematian sel epidermis dan pengelupasan yang

terdapat pada TEN merupakan akibat proses apoptosis. Beberapa

mekanisme yang dicurigai terjadinya apoptosis sel epidermis termasuk

interaksi Fas-FasL, sel T sitotoksik, TNF-α, dan nitric-oxide synthatase.

Dalam keadaan normal, semua sel termasuk sel epidermal (keratinosit)

mengekspresikan Fas pada permukaan sel nya tetapi ligand Fas (FasL)

atau CD95 terutama diekspresikan pada sel T dan Natural killer. Agar

interaksi Fas-FasL dapat berperan, FasL aktif yang bersifat litik harus

diekspresikan pada sel epidermis yang telah mati. Oleh karena itu, Viard et

al melaporkan bahwa interaksi Fas-FasL merupakan patofisiologi yang

signifikan terhadap kejadian TEN. Terdapat soluble FasL (sFasL) pada

serum pasien TEN akibat pemecahan membrane-bound FasL pada sel

epidermis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Nassif et al ditemukan

pula interaksi Fas-FasL. Terdapat konsentrasi yang tinggi IFN-γ, TNF-α,

dan sFasL pada blister pasien TEN. IFN-γ diketahui dapat meningkatkan

TNF-α dan level sFasL dan menyebabkan aktivasi keratinosit.

Terdapat pula peran CD8 dalam mekanisme apoptosis pada TEN. Pada

penelitian yang dilakukan oleh Posade et al pada 15 pasien TEN yang

diinduksi obat, ditemukan peningkatan ekpreso TNF-α, granzyme B,

perforin, dan FasL pada pasien TEN dibandingkan dengan kelompok

20

Page 21: toxic epidermal necrolysis

kontrol. TNF-α akan mengaktivasi sel T dan peningkatan marker

sitotoksik merefleksikan aktivasi sel T sitotoksik. Secara umum,

hipersensitivitas spesifik menyebabkan major histocompability class I-

restricted drug presentation dan diikuti oleh ekspansi limfosit T sitotoksik,

yang menyebabkan infiltrasi lesi kulit dengan limfosit T sitotoksik dan sel

natural killer.

Beberapa penelitian yang baru dilakukan menunjukkan level granulysin

pada sera pasien TEN lebih tinggi dibandingkan sengan pasien dengan

reaksi kulit yang biasa yang diinduksi obat. Level garnulysin berkorelasi

dengan tingkat keparahan klinis pasien TEN. Oleh karena mekanisme TEN

bukan simediasi oleh IgE, desensitisasi obat pencetus bukan merupakan

pilihan. Oleh karena itu, terapi TEN yang sedang berkembang saat ini

adalah intravena imunoglobulin (IVIG) yang menghambat interaksi Fas-

FasL dan cyclosporine yang menghambat aktivasi CD8.4

Pada pasien ini, terdapat gambaran klinis yang merefleksikan reaksi

hipersensitivitas tipe 4 yang melibatkan sel sitotoksik T yang dapat

mengekspresikan dan melepaskan perforin dan granzyme B. Kematian sel

epidermis dan pengelupasan yang terdapat pada TEN merupakan akibat

proses apoptosis.

3.6. GAMBARAN KLINIS

TEN atau Lyell’s syndrome melibatkan pengelupasan kulit lebih dari 30%

luas permukaan tubuh . TEN biasanya dimulai dengan gejala prodormal

sakit berat dengan demam tinggi dan lemas badan terkadang dengan suhu

tubuh mencapai 390c. Membran mukosa terlibat pada hampir semua kasus

TEN. Lesi kulit tersebar luas berupa makula eritema dan bercak, meskipun

50% kasus dimulai dengan eritema difus. Pada stadium awal, nyeri pada

kulit sangat prominen. Lesi kulit kemudian berkembang menjadi full-

thickness epidermal necrolysis. Lesi kulit dapat disertai lesi pada bibir dan

selaput mukosa mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga

terbentuk krusta berwarna merah kehitaman pada bibir. Kelainan semacam

21

Page 22: toxic epidermal necrolysis

ini dapat pula terjadi pada orifisium genitalia eksterna. Juga dapat

ditemukan kelainan pada mata.

Pada TEN yang penting adalah ialah terjadinya epidermolisis, yaitu

terlepasnya epidermis dari dasarnya yang kemudian menyeluruh.

Gambaran klinisnya menyerupai kombustio. Adanya epidermolisis

menyebabkan tanda Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa, yaitu

jika kulit ditekan dan digeser, maka kulit akan terkelupas. Epidermolisis

mudah dilihat pada tempat yang sering mendapat tekanan, yaitu punggung

dan bokong karena pasien biasanya berbaring.12

Gambaran ini sesuai dengan yang dialami oleh pasien. Pasien

mengeluhkan panas badan yang dirasakan oleh pasien 1 hari sebelum

muncul kemerahanpada kulit. (5 Juni 2012). Panas dirasakan sepanjang

hari dan pasien tidak merasakan adanya penurunan suhu. Setelah beberapa

hari kemudian, tepatnya setelah 19 hari mengkonsumsi ARV, pasien

mengeluhkan kemerahan pada kulitnya yang kemudian berkembang

menjadi lesi kulit yang nyeri dan terasa seperti terbakar berupa purpura,

yang diikuti oleh bulla, disertai tanda Nikolsky positif berkembang

menjadi erosi multipel terutama pada daerah punggung dan bokong, dan

mengalami fase akhir berupa kulit yang hiperpigmentasi.

Fase Akut

Gejala awal TEN dan SJS dapat bersifat nonspesifik dan gejalanya dapar

berupa demam, rasa seperti tersengat pada mata, dan rasa tidak nyaman

saat menelan. Gejala tersebut secara tipikal mendahului manifestasi kutan

beberapa hari sebelumnya. Lokasi awal manifestasi kutan adalah regio

presternal batang tubuh dan daerah wajah, serta telapak tangan dan telapak

kaki. Eritema dan erosi pada daerah buccal, genital, dan/atau mukosa

okular terjadi pada >90% kasus dan pada beberapa kasus melibatkan

traktus gastrointestinal dan respirasi. Keterlibatan okular dapat berupa

konjungtivitis, edema kelopak mata, eritema, krusta, ocular discharge,

hingga formasi membran konjungtiva atau pseudomembran atau erosi

kornea, dan ulserasi kornea. Morfologi lesi kulit awal berupa eritema dan

22

Page 23: toxic epidermal necrolysis

makula, yang terkadang memilki infiltrat, dan memiliki kecenderungan

untuk menyatu atau bergabung.

Hal ini sesuai dengan kasus ini, di mana terdapat kemerahan (purpura)

yang muncul 19 hari setelah konsumsi obat ARV yang muncul awalnya

pada bagian dada dan perut bersamaan dengan munculnya lecet pada bibir

pasien lalu menyebar pada seluruh bagian tubuh lain hingga wajah pasien

serta daerah kemaluannya. Purpura tersebut bersifat multipel dengan batas

tegas, bentuk bulat geografika, ukuran 2x3 cm hingga 4x5 cm, diameter 1

cm x 3 cm Purpura pada kulit kemudian berkembang menjadi bulla yang

berisi cairan yang diawali pada daerah dada dan perut kemudian muncul

pada bagian tubuh lain Bulla bersifat multipel dengan bentuk bervariasi,

bulat, oval, dengan ukuran diameter 2 cm x 4 cm, dinding kendor berisi

cairan jernih, Nikolsky sign (+). Awalnya bulla pada tubuh pasien terpisah,

kemudian bulla yang berdekatan kemudian menyatu sehingga menjadi

bulla yang besar dan mudah rapuh.

Pada pasien ini, juga ditemukan conjuctiva vascular injection pada mata

kedua mata yang disertai sekret berwarna putih hingga kuning. Pada

pasien ini juga, lesi berupa kemerahan pada kulit disertai bulla terdapat

pula pada genitalia pasien, di mana bulla tersebut berisi cairan yang mudah

pecah. Bulla disertai erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran

0,2 x 0,3 cm Pada bibir dan rongga mulut pasien terdapat erosi multipel,

bentuk geografika, dengan diameter 0,1- 0,3 cm. Beberapa ditutupi krusta

coklat kehitaman.

Pada fase kedua, area pengelupasan epidermis meluas. Pada tampakan

klinis tanpa pengelupasan epidermis, pemeriksaan kulit yang lebih

mendetail dapat dilakukan dengan memberikan penekanan mekanik

tangensial pada beberapa zona eritema (Nikolsky sign). Nikolsky sign

positif bila penekanan menyebabkan pengelupasan epidermis, tetapi tidak

spesifik untuk SJS dan TEN. Perluasan area kulit yang terlibat merupakan

faktor prognostik utama. Perlu ditekankan bahwa hanya kulit yang

nekrosis, yang telah terkelupas (blister, erosi) atau dapat terkelupas

23

Page 24: toxic epidermal necrolysis

(Nikolsky +) yang dimasukkan dalam evaluasi perluasan area kulit yang

terlibat. Bastuji Garin et al. mengklasifikasikan pasien menjadi tiga

kelompok utama berdasarkan derajat pengelupasan kulit.

Pada pasien ini, bulla pada tubuh pasien yang berisi cairan bening dan

mudah rapuh ini mengalami penyatuan sehingga menjadi bulla yang cukup

besar. Nikolsky sign (+) dan terjadi pengelupasan kulit akibat pecahnya

bulla pada tubuh pasien. Bulla berisi cairan berwarna bening kecoklatan.

bulla pada awalnya berukuran kecil lalu membesar seperti buji jagung.

Beberapa bulla pada tubuh pasien dikatakan saling menyatu dan membesar

lalu pecah dan menyebabkan rasa nyeri yang tidak bisa ditahan oleh

pasien. Bulla yang telah pecah menyebabkan kulit pasien terkelupas

seperti luka bakar. Rasa nyeri dan terbakar terasa sepanjang hari. Rasa

nyeri dan terbakar memberat terutama bila ada bulla baru yang pecah dan

membaik dengan salep yang diberikan oleh rumah sakit.

Tabel 5. Gambaran Klinis yang membedakan SJS dan TEN5

24

Page 25: toxic epidermal necrolysis

Fase Lanjut dan Gejala sisa (sekuel)

Gejala sisa merupakan gambaran tersering pada fase lanjut TEN.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Magina et al, gejala yang

ditemukan berupa hiper-/hipopigmentasi kulit (62,5%), distrofi kuku jari

(37,5%), dan komplikasi okular. Berdasarka penelitian Yip et al, 50%

pasien TEN mengalami komplikasi okular lanjut dengan urutan yang

makin menurun yaitu mata kering derajat berat (46%), trichiasis (16%),

symblepharon (14%), distichiasis (14%), kehilangan penglihatan (5%),

entropion (5%), dan ulserasi kornea (2%); Komplikasi jangka panjang

pada mukosa terjadi pada 73% pasien yang mengalami keterlibatan

mukosa pada fase akut, dan gejala sisa mukosa melibatkan mukosa oral

dan esofageal, bahkan hingga ke paru dan genital.5

Pada kasus ini, terdapat hiperpigmentasi kulit terutama pada bagian tubuh

yang sebelumnya mengalami lesi bula. Lesi kulit berupa erosi multipel

bentuk geografika multipel disertai deskuamasi di sekitarnya terdapat

makula hiperpigmentasi. Pada stadium ini dimana terdapat lesi berbentuk

makula hiperpigmentasi, rasa nyeri dan sakit sudah mulai berkurang.

25

Page 26: toxic epidermal necrolysis

Pasien sudah bisa beristirahat tanpa merasakan panas dan nyeri yang tidak

separah sebelumnya saat lesi masih berbentuk bulla dan rentan pecah.

3.7. DIAGNOSIS

Diagnosa merupakan hal yang penting sehubungan dengan perawatan yang

akan dilakukan. Diagnosa sebaiknya dilakukan sedini mungkin agar

perawatan dapat segera dilakukan sehingga hasilnya akan lebih

memuaskan dan prognosis yang buruk TEN dapat dihindarkan.

Penegakkan diagnosis sulit dilakukan karena seringkali terdapat berbagai

macam bentuk lesi yang timbul bersamaan atau bertahap. Diagnosa TEN

terutama berdasarkan atas anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan

penunjang.

Diagnosis dapat ditegakkan dengan :

a) Anamnesis

Ada eksposur dari pasien dengan obat – obatan yang dapat memicu

terjadinya TEN. Penyakit dimulai secara akut dengan gejala

prodormal. Pasien tampak sakit berat dengan demam tinggi (>38oC),

kesadaran menurun (soporokromatosa),mialgia, rhinitis, athralgia,

batuk, anoreksia, nausea, vomit sekitar 2-3 hari sebelum timbulnya

lesi kulit.

b) Pemeriksaan fisik dan efloresensi kulit

Diagnosis TEN tidak sulit, sukup secara klinis. Kelainan kulit yang

utama ialah epidermolisis mirip kombustio dan pasien tampak sakit

berat. TEN mirip dengan SJS. Perbedaannya yaitu pada SJS tidak

terdapat epidermolisis seperti pada TEN.

c) Pemeriksaan penunjang

Tidak terdapat tes laboratorium yang spesifik yang mengindikasi

TEN

26

Page 27: toxic epidermal necrolysis

o Pemeriksaan darah ditemukan neutropenia ( tidak

digunakan sebagai landasan prognostik )

o Pemeriksaan elekrolit ditemukan proteinuria

o Tes enzim liver : untuk mengetahui apakah ada kerja

enzim – enzim liver efektif dalam metabolisme obat-

obatan.

o Pemeriksaan CD4 T limfosit pada fase akut, akan terjadi

penurunan karena adanya apoptosis

Pemeriksaan laboratorium dapat membantu perencanaan dalam

terapi simtomatik dan terapi suportif.

Pemeriksaan dermatopatologi terhadap hasil biopsi kulit:

o Fase awal: Terdapat vakuolisasi dan nekrosis dari

keratinosit pada stratum basal dan apoptosis pada

epidermis.

o Fase laten: Nekrosis total pada pada lapisan epidermis dan

terjadi robekan sehingga epidermis lepas dengan lapisan

subepidermal pada membran basalis. Terdapat infiltrat

limfosit yang tipis di dermis.

Analisa histopatologik terhadap biopsi pada kulit, dihasilkan pada

fase awal terjadinya epidermolisis, dan sangat penting untuk

menunjang tegaknya diagnosis yang akurat dan terarah.12,13,14

Pada kasus ini, penegakan diagnosis didasarkan atas riwayat penyakit yang

diperoleh dari anamnesis dan temuan klinis. Terdapat riwayat kemerahan

(purpura) yang muncul 19 hari setelah konsumsi obat ARV yang dimulai

dengan gejala prodormal sakit berat dengan demam tinggi dan lemas

badan yang diikuti oleh pengelupasan epidermis sebesar 30% luas

permukaan tubuh. Lesi kulit tersebar luas berupa makula eritema dan

bercak. Lesi kulit kemudian berkembang menjadi full-thickness epidermal

necrolysis berupa bulla pada tubuh pasien yang berisi cairan bening dan

27

Page 28: toxic epidermal necrolysis

mudah rapuh ini mengalami penyatuan sehingga menjadi bulla yang cukup

besar. Nikolsky sign (+) dan terjadi pengelupasan kulit akibat pecahnya

bulla pada tubuh pasien . Lesi kulit disertai lesi pada bibir dan selaput

mukosa mulut berupa erosi, ekskoriasi, dan pendarahan sehingga terbentuk

krusta berwarna merah kehitaman pada bibir dan terdapat keterlibatan

okular berupa conjuctiva vascular injection pada mata kedua mata yang

disertai sekret berwarna putih hingga kuning.

3.8. HUBUNGAN ANTARA TERAPI NEVIRAPINE DAN KEJADIAN

TEN

Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu

diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau

toksisitas ini sering menjadi alasan medis untuk mengganti (substitusi)

dan/ atau menghentikan pengobatan ARV. Pasien bahkan kadang

menghentikan terapinya sendiri karena adanya efek samping. Pada

penggunaan terapi ARV berupa Nevirapine sebagai komponen terapinya,

efek samping yang muncul dapat berupa ruam pada kulit atau bahkan

reaksi hipersensitivitas sistemik.

Dalam menangani toksisitas atau efek samping, perlu mengikuti langkah

sebagai berikut :

a) Tentukan derajat keseriusan toksisitas

b) Evaluasi obat lain yang digunakan dan tentukan apakah

toksisitasberhubungan dengan obat (-obat) ARV atau obat non-ARV

yang digunakan bersamaan

c) Pertimbangkan proses penyakit lain karena tidak semua masalah yang

terjadi selama terapi adalah diakibatkan oleh obat ARV

d) Tangani efek samping sesuai tingkat keparahan

e) Berikan motivasi untuk tetap makan obat terutama untuk toksisitas

ringan dan sedang.

f) Berikan obat simtomatis sesuai gejala yang timbul jika diperlukan

28

Page 29: toxic epidermal necrolysis

g) Apabila dinilai perlu penghentian ARV karena toksisitas yang

mengancam jiwa maka semua ARV harus dihentikan sampai pasien

stabil.

Tabel 6. Derajat toksisitas klinis pada kulit pada terapi ARV15

Uraian Tahap 1

(Ringan)

Tahap 2

(Sedang)

Tahap 3

(Berat)

Tahap 4 (Potensial

mengancam jiwa)

Ruam kulit hipersensitivitas

Eritema, gatal

Ruam

Makulopapular difus atau deskuamasi kering

Vesikulasi atau deskuamasi basah atau ulserasi

Salah satu dari :

Terkena membran mukosa. Suspek SJS, TEN, Eritema multiforme, dermatitis eksfolativa

Tabel 7. Tingkat toksisitas obat ARV15

Derajat Keadaan Tanda dan gejala Tatalaksana

1 Reaksi ringan Suatu perasaan tidak enak yang menetap; tidak ada keterbatasan gerak

Tidak perlu perubahan terapi

2 Reaksi sedang Sedikit ada keterbatasan bergerak kadang-kadang memerlukan sedikit bantuan dan perawatan

Tidak perlu intervensi medis,kalau perlu sangat minimal

3 Reaksi berat Pasien tidak lagi bebas bergerak; biasanya perlu bantuan dan perawatan

Perlu intervensi medis atau perawatan rumah sakit.Susbtitusi obat penyebab tanpa menghentikan terapi ARV

4 Reaksi berat yang mengancam jiwa

Pasien berbaring tidak dapat bergerak; jelas memerlukan intervensi medis dan perawatan RS

Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana kelainan yang ada (dengan terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang menjadi penyebab pada saat pasien mulai tenang kembali

29

Page 30: toxic epidermal necrolysis

Bila terdapat reaksi hipersensitivitas berupa ruam hebat seperti pada TEN,

hentikan semua ARV sampai gejala teratasi. Hentikan sama sekali

Nevirapine yang menimbulkan ruam dengan gejala sistemik berupa

demam, ruam yang hebat dengan lesi pada mukosa atau gatal-gatal, atau

SJS/TEN; begitu teratasi, ganti obat terapi ARV dengan jenis ARV lain

( misalnya 3NRTI atau 2NRTI dan PI). Jika ruam tidak begitu hebat tanpa

gejala mukosa atau sistemik, ganti NNRTI (misalnya NVP dengan EFV)

dapat dipertimbangkan setelah ruam teratasi. 15

Pada kasus ini, pasien dicurigai mengalami reaksi hipersensitivitas berupa

TEN akibat penggunaan Nevirapine. TEN yang tergolong reaksi berat

yang mengancam jiwa (derajat 4), oleh karena itu terapi Nevirapine

dihentikan, sedangkan terapi NRTI ( Zidovudine dan Lamivudine)

dilanjutkan selama 7 hari setelah penghentian Nevirapine lalu semua obat

dihentika, Hal tersebut guna mengisis waktu paruh NNRTI (Nevirapine)

yang panjang dan menurunkanresiko resisten NNRTI. Terapi kemudian

diganti dengan pemberian 2NRTI + PI yang terdiri dari Tenofovir (TDF)

1x300 mg + Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100 mg.

3.9. TERAPI

Semua obat pada terapi ARV dalam kasus ini dapat dicurigai sebagai

penyebab terjadinya reaksi walaupun berdasarkan penelitian nevirapine

merupakan jenis NNRTI yang paling berpotensi menyebabkan reaksi

hipersensitivitas berupa TEN ini. Bila terdapar reaksi toksisitas berupa

ruam kulit berat yang mengancam jiwa (TEN), penggunaan NVP

dihentikan dahulu, lalu golongan NRTI dihentikan 7 hari kemudian segera

hingga secara klinis sembuh. Pada saat pasien sembuh maka dapat dimulai

dengan panduan terapi ARV yang lain.9

Terapi Nevirapine pada kasus ini dihentikan, sedangkan terapi NRTI

( Zidovudine dan Lamivudine) dilanjutkan selama 7 hari setelah

penghentian Nevirapine lalu semua obat dihentikan, Hal tersebut guna

mengisis waktu paruh NNRTI (Nevirapine) yang panjang dan

30

Page 31: toxic epidermal necrolysis

menurunkanresiko resisten NNRTI. Terapi kemudian diganti dengan

pemberian 2NRTI + PI yang terdiri dari Tenofovir (TDF) 1x300 mg +

Lamivudine (3TC) 2x 150 mg + Lopinavir ( LPV) 2x 100 mg.

Perawatan pasien TEN didasarkan atas tingkat keparahan penyakit dan

perawatan secara umum meliputi :14,15

1. Rawat Inap

Pasien yang mengalami masa kritis akibat ketidakseimbangan cairan atau

elektrolit tubuh, kesadaran penderita menurun, serta keadaan umum yang

buruk, maka rawat inap di rumah sakit sangat diperlukan. Rawat inap

bertujuan agar dokter dapat memantau dan mengontrol setiap hari keadaan

penderita.

2. Preparat Kortikosteroid

Penggunaan preparat kortikosteroid merupakan tindakan life saving.

Kortikosteroid yang biasa digunakan berupa deksametason secara

intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Masa kritis biasanya

dapat segera diatasi dalam 2-3 hari, dan apabila keadaan umum membaik

dan tidak timbul lesi baru, sedangkan lesi lama mengalami involusi, maka

dosis segera diturunkan 5 mg secara cepat setiap hari. Setelah dosis

mencapai 5 mg sehari kemudian diganti dengan tablet kortikosteroid,

misalnya prednison, yang diberikan dengan dosis 20 mg sehari, kemudian

diturunkan menjadi 10 mg pada hari berikutnya selanjutnya pemberian

obat dihentikan. Lama pengobatan preparat kortikosteroid kira-kira

berlangsung selama 10 hari. Penurunan dosis kortikosteroid sistemik harus

dilakukan oleh setiap dokter karena kortikosteroid mempunyai efek

samping yang besar bagi penderita. Penggunaan preparat kortikosteroid

harus di bawah pengawasan, mengingat kortikosteroid memiliki efek

samping berupa supresi daya tahan tubuh dan menekan aktivitas korteks

adrenal. Kortikosteroid hanya mengurangi gejala, memperpendek durasi

penyakit, dan tidak menyembuhkan penyakit secara total.

3. Infus

Hal yang perlu diperhatikan pada penderita adalah mengatur

keseimbangan cairan atau elektrolit tubuh, karena penderita sukar atau 31

Page 32: toxic epidermal necrolysis

tidak dapat menelan makanan atau minuman akibat adanya lesi oral dan

tenggorokan serta kesadaran penderita yang menurun. Infus yang

diberikan berupa glukosa 5% dan larutan Darrow.

4. Obat Anabolik

Obat anabolik diberikan untuk menetralkan efek katabolik akibat

penggunaan preparat kortikosteroid. Obat anabolik yang sering digunakan

seperti nandrolon fenilpropionat dengan dosis 25-50 mg untuk dewasa dan

dosis untuk anak tergantung berat badan.

5. KCl

Penderita yang menggunakan kortikosteroid umumnya mengalami

penurunan kalium atau hipokalemia, maka diberikan KCl dengan dosis 3 x

500 mg sehari peroral

6. Adenocorticotropic hormone (ACTH)

Penderita perlu diberikan ACTH untuk menghindari terjadinya supresi

korteks kelenjar adrenal akibat pemberian kortikosteroid. ACTH yang

diberikan berupa ACTH sintetik dengan dosis 1 mg

7. Agen Hemostatik

Agen hemostatik terutama diberikan pada penderita disertai purpura yang

luas. Agen hemostatik yang sering digunakan adalah vitamin K

8. Diet

Diet rendah garam dan tinggi protein merupakan pola diet yang dianjurkan

kepada penderita. Akibat penggunaan preparat kortikosteroid dalam jangka

waktu lama, penderita mengalami retensi natrium dan kehilangan protein,

dengan diet rendah garam dan tinggi protein diharapkan konsentrasi garam

dan protein penderita dapat kembali normal. Penderita selain menjalani

diet rendah garam dan tinggi protein, dapat juga diberikan makanan yang

lunak atau cair, terutama pada penderita yang sukar menelan.

9. Vitamin

Vitamin yang diberikan berupa vitamin B kompleks dan vitamin C.

Vitamin B kompleks diduga dapat memperpendek durasi penyakit.

Vitamin C diberikan dengan dosis 500 mg atau1000 mg sehari ditujukan

32

Page 33: toxic epidermal necrolysis

terutama pada penderita dengan kasus purpura yang luas sehingga

pemberian vitamin dapat membantu mengurangi permeabilitas kapiler.

10. Perawatan pada Kulit

Lesi kulit tidak memerlukan pengobatan yang spesifik, kebanyakan

penderita merasa lebih nyaman jika lesi kulit diolesi dengan ointment

berupa vaselin, polisporin, basitrasin. Rasa nyeri seringkali timbul pada

lesi kulit dikarenakan lesi seringkali melekat pada tempat tidur. Lesi kulit

yang erosif dapat diatasi dengan memberikan sofratulle atau krim

sulfadiazine perak, larutan salin 0,9% atau burow. Kompres dengan asam

salisilat 0,1% dapat diberikan untuk perawatan lesi pada kulit.

11. Perawatan pada Mata

Perawatan pada mata memerlukan kebersihan mata yang baik, kompres

dengan larutan salin serta lubrikasi mata dengan air mata artificial dan

ointment. Pada kasus yang kronis, suplemen air mata seringkali digunakan

untuk mencegah terjadinya corneal ephithelial breakdown. Antibiotik

topikal dapat digunakan untuk menghindari terjadinya infeksi sekunder.

12. Perawatan pada Genital

Larutan salin dan petroleum berbentuk gel sering digunakan pada area

genital penderita. Penderita TEN seringkali mengalami gangguan buang

air kecil akibat uretritis, balanitis, atau vulvovaginitis, maka kateterisasi

sangat diperlukan untuk memperlancar buang air kecil.

13. Perawatan pada Rongga Mulut

Rasa nyeri yang disebabkan lesi oral dapat dihilangkan dengan pemberian

anestetik topikal dalam bentuk larutan atau salep yang mengandung

lidokain 2%. Penggunaan lidokain 2% dengan cara mengoleskan

secukupnya pada daerah lesi sampai merata dengan menggunakan cotton

swab.Campuran 50% air dan hidrogen peroksida dapat digunakan untuk

menyembuhkan jaringan nekrosis pada mukosa pipi. Antijamur dan

antibiotik dapat digunakan untuk mencegah superinfeksi. Menurut

Perdoski (2003), lesi oral terutama pada bibir diobati dengan boraks-

gliserin atau penggunaan triamsinolon asetonid. Triamsinolon asetonid

merupakan preparat kortikosteroid topikal. Kortikosteroid yang biasa

33

Page 34: toxic epidermal necrolysis

digunakan pada lesi oral adalah bentuk pasta. Pemakaian pasta dianjurkan

saat sebelum tidur karena lebih efektif. Sebelum dioleskan, daerah sekitar

lesi harus dibersihkan terlebih dahulu kemudian dikeringkan menggunakan

spons steril untuk mencegah melarutnya pasta oleh saliva. Apabila pasta

larut oleh saliva, obat tidak dapat bekerja dengan optimum.Rasa nyeri

yang dialami penderita akibat adanya lesi oral menyebabkan penderita

mengalami sukar menelan makanan atau minuman. Apabila penderita

mampu minum secara peroral, maka penderita diijinkan makan makanan

padat. Penderita tidak dapat menyikat gigi, maka diganti dengan obat

kumur seperti sodium bikarbonat. Lesi pada mukosa bibir dapat diolesi

dengan ointment berupa vaselin, polisporin, basitrasin yang digunakan

untuk menjaga kelembaban bibir agar tidak melekat satu sama lain.

3.10. PROGNOSIS

Angka spesifik kesakitan TEN yaitu SCORTEN, dengan meningkatnya

kesakitan dan luasnya pengelupasan epidermal berhubungan dengan

meningkatnya mortalitas Sindrom Stevens-Johnson sampai Toksik

Epidermal Nekrolisis dimana Sindrom Stevens-Johnson <10% (1-5%

mortalitas), overlap SJS-TEN 10-30% dan TEN > 30% (25-35%

mortalitas). Tujuh faktor risiko pada Sindrom Stevens-Johnson dan Toksik

Epidermal Nekrolisis yaitu 4,16 :

1) Usia > 40 tahun

2) Keganasan

3) Takikardia >120/menit

4) Permukaan pengelupasan epidermal pada permulaan >10%

5) Urea > 28 mg/dl

6) Glukosa > 252 mg/dL

7) Bikarbonat < 20 mmol/L

Setiap parameter diberikan 1 poin bila positif sehingga jumlah SCORTEN

tingkatannya 0-7. Mortalitas berdasarkan nilai SCORTEN17yaitu :

34

Page 35: toxic epidermal necrolysis

- SCORTEN 0-1, mortalitas >3.2%

- SCORTEN 2, mortalitas >12.1%

- SCORTEN 3, mortalitas >35.3%

- SCORTEN 4, mortalitas >58.3%

- SCORTEN 5 atau lebih, mortalitas >90%

Pada kasus ini, berdasarkan skor SCORTEN, pasien hanya memenuhi

kriteria ke-4, sehingga skor yang diperoleh adalah SCORTEN 0-1, di mana

mortalitasnya adalah > 3,2%. Pasien ini, secara umum memiiki prognosis

yang baik. Keadaan pasien selama terapai suportif dan penghentian

penggunaan NVP sebagai obat yang dicurigai sebagai penyebab terjadinya

TEN mulai membaik dan lesi pada kulit sudah mengalami perbaikan dan

memasuki fase lanjut atau gejala sisa berupa bekas lesi lama berbentuk

hiperpigmentasi pada kulit.

35

Page 36: toxic epidermal necrolysis

BAB IV

KESIMPULAN

Nevirapine (NVP), merupakan obat yang sering digunakan dan diresepkan

sebagai antiretroviral pada pasien HIV naive karena dosisnya yang aman

dan toleransi yang relatif bagus dan aman. Regimen berbasis NNRTI lebih

ditoleransi dengan baik dibandingkan dengan regimen berbasis protease

inhibitor dan memiliki efek samping yang lebih sedikit. World Health

Organization (WHO) merekomendasikan Nevirapine dan Efavirenz (EFV)

sebagai obat lini pertama pada terapi antiretroviral. NVP digunakan secara

luas dengan harga yang lebih murah dibandingkan EFV.

Efek samping atau toksisitas merupakan salah satu aspek yang perlu

diperhatikan dalam pemberian ARV. Selain itu, efek samping atau

toksisitas ini sering menjadi lasan medis untuk mengganti (substitusi) dan/

atau menghentikan pengobatan ARV. Pasien bahkan kadang menghentikan

terapinya sendiri karena adanya efek samping. Pada penggunaan terapi

ARV berupa Nevirapine sebagai komponen terapinya, efek samping yang

muncul dapat berupa ruam pada kulit atau bahkan reaksi hipersensitivitas

sistemik.dibandingkan dengan EFV.

Bila terdapat reaksi hipersensitivitas berupa ruam hebat seperti pada TEN,

hentikan semua ARV sampai gejala teratasi. Bila akibat penggunaan

Nevirapine terdapat gejala yang menimbulkan ruam dengan gejala

sistemik berupa demam, ruam yang hebat dengan lesi pada mukosa atau

gatal-gatal, atau SJS/TEN; Segera hentikan terapi ARV dan tatalaksana

kelainan yang ada (dengan terapi simtomatik dan suportif) dan terapi ARV

kembali diberikan dengan mengganti paduan pada salah satu obat yang

menjadi penyebab pada saat pasien mulai tenang kembali. Begitu teratasi,

ganti obat terapi ARV dengan jenis ARV lain ( misalnya 3NRTI atau

2NRTI dan PI). Jika ruam tidak begitu hebat tanpa gejala mukosa atau

sistemik, ganti NNRTI (misalnya NVP dengan EFV) dapat

dipertimbangkan setelah ruam teratasi.

36