PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

25
PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL NECROLYSIS DENGAN SUCRALFATE TOPIKAL DAN DRESSING CHLORHEXIDINE ACETATE 0,5% Oleh : Yuliwaty dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, Sp.KK PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH DENPASAR 2016

Transcript of PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

Page 1: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC

EPIDERMAL NECROLYSIS

DENGAN SUCRALFATE TOPIKAL DAN

DRESSING CHLORHEXIDINE ACETATE 0,5%

Oleh :

Yuliwaty

dr. Nyoman Suryawati, M.Kes, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH

DENPASAR

2 0 1 6

Page 2: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

1

PENDAHULUAN

Manifestasi kulit yang timbul akibat reaksi obat cukup bervariasi, mulai dari ruam

kulit makulopapular hingga reaksi yang fatal berupa Toxic Epidermal Necrolysis

(TEN). Toxic Epidermal Necrolysis atau sindrom Lyell adalah reaksi mukokutaneus

bersifat akut dan mengancam jiwa dengan karakteristik nekrosis dan pengelupasan

epidermis yang luas.1,2

Patofisiologi TEN masih belum jelas, namun obat merupakan

etiologi tersering (60%) pada pasien dewasa.3

Angka rata-rata kejadian TEN di dunia sebesar 0,4-1,3 kasus/1 juta orang/

tahun, sedangkan di Amerika Serikat tercatat 0,2-1,2 kasus/ 100.000 penduduk.3

Penyakit ini dapat mengenai semua kelompok umur, risiko meningkat setelah dekade

keempat, dan lebih sering terjadi pada perempuan dengan rasio 1,5:1.1 Penelitian oleh

Sanmarkan dkk di India (1998-2008) menyatakan bahwa mayoritas kasus TEN terjadi

pada usia 11-30 tahun dan lebih sering pada perempuan dengan kejadian hampir dua

kali lipat.9

Data di RSUP Sanglah Denpasar tahun 2011-2013 didapatkan jumlah

kasus TEN sebanyak 10 pasien.4

Angka mortalitas TEN berkisar antara 20-75%. Penyebab utama mortalitas

pada TEN adalah infeksi yang bisa diakibatkan oleh hilangnya jaringan epidermis,

sehingga menyebabkan sepsis (32%). Kuman patogen umumnya diakibatkan oleh

Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa. Angka mortalitas ini

meningkat seiring dengan peningkatan usia, keterlibatan kulit yang sangat luas serta

adanya faktor komorbiditas. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan

angka mortalitas ini, antara lain perawatan di ruangan khusus untuk luka bakar (sedini

mungkin; < 7hari), diagnosis secara dini, penanganan yang tepat (eliminasi obat yang

dicurigai dan perawatan kulit yang teratur), dikatakan mampu menurunkan angka

mortalitas TEN hingga < 20%.1,3,33

Berikut dilaporkan kasus perawatan luka pada TEN yang disebabkan oleh obat

dengan menggunakan sukralfat topikal dan dressing klorheksidin asetat 0,5%. Kasus

ini dilaporkan dengan tujuan agar lebih memahami obat-obat yang sering menjadi

penyebab, pilihan obat penggantinya serta penanganan yang lebih menyeluruh terkait

komplikasi dan juga manajemen perawatan luka yang tepat.

Page 3: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

2

KASUS

Seorang perempuan, usia 33 tahun, belum menikah, berasal dari Sumba Timur, warga

negara Indonesia, dengan nomor rekam medis 15.05.54.86, datang ke instalasi gawat

darurat RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal 11 November 2015 dengan keluhan

utama kulit terkelupas di hampir seluruh tubuh.

Keluhan kulit terkelupas dialami pasien sejak 5 hari yang lalu. Awalnya

pasien mengalami panas badan disertai sakit kepala dan diare sekitar 7 hari yang lalu

(tanggal 4 November 2015). Kemudian pasien berobat ke Puskesmas dan mendapat

obat minum asam mefenamat, kotrimoksazol, parasetamol, dan antasida. Dua hari

setelahnya (6 November 2015), pasien mengeluh muncul bercak kemerahan di area

wajah yang kemudian meluas ke badan, lengan dan tungkai. Kemudian masih pada

hari yang sama, area wajah dan punggung muncul gelembung-gelembung berair yang

kemudian pecah menimbulkan luka yang nyeri. Selain itu, pasien juga mengeluhkan

mata merah disertai kotoran mata, luka di bibir dan nyeri saat menelan, serta luka di

kelamin dan nyeri saat berkemih. Saat itu pasien berobat ke rumah sakit Waingapu

dan langsung dirawat inap, pengobatan yang diberikan antara lain Deksametason

3x10mg (intravena), Levofloxacin 1x500mg (intravena), cendo lyteers 6x2 tetes ODS,

Ciprofloxacin tetes mata, 4x1 tetes ODS, Triamsinolon asetonid topikal di bibir.

Selama 5 hari perawatan, kondisi pasien bertambah buruk (bercak merah-keunguan

meluas, gelembung berair bertambah banyak, masih demam, sulit makan dan minum)

sehingga pasien dirujuk ke rumah sakit Wangaya pada tanggal 11 November 2015,

namun karena seluruh kamar rawat inap penuh maka pasien langsung dirujuk ke

rumah sakit Sanglah.

Riwayat pengolesan minyak ataupun obat oles disangkal oleh pasien. Riwayat

konsumsi obat-obatan lainnya, vitamin, jamu dalam 8 minggu terakhir disangkal.

Riwayat sakit seperti ini sebelumnya juga disangkal. Riwayat asma, alergi obat dan

makanan pada pasien maupun keluarga disangkal. Riwayat keganasan pada pasien

dan keluarga disangkal. Riwayat penurunan berat badan, batuk lama, diare lama

dalam 6 bulan terakhir disangkal. Pasien seorang petani.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, kesadaran kompos

mentis. Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 78 kali/menit, frekuensi nafas 20

kali/menit, suhu aksila 360C, VAS (visual analog score) 2/10. Tinggi badan 162cm.

Berat badan 63kg. Status generalis pasien didapatkan kepala normocephali, mata

Page 4: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

3

tampak konjungtiva hiperemi +/+ disertai sekret, tidak didapatkan tanda anemia dan

ikterus pada kedua mata. Pada pemeriksaan telinga, hidung, tenggorokan tidak

ditemukan adanya kelainan. Pemeriksaan jantung didapatkan suara jantung (S1 dan

S2) tunggal, reguler, tidak terdapat murmur. Suara nafas vesikuler, tidak ditemukan

adanya ronkhi ataupun wheezing. Pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus

dalam batas normal, tidak terdapat distensi abdomen. Pada ekstremitas teraba hangat,

tidak ditemukan edema. Pembesaran kelenjar limfe regional tidak ditemukan.

Status dermatologi, pada regio fasialis didapatkan purpura, multipel, batas

tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,3-1,5cm hingga 0,3x0,5cm –

2x3cm, beberapa terdapat erosi multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran

0,5x1cm – 4x6 cm (gambar 1). Pada regio torakoabdominal dan toraks posterior

didapatkan purpura multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter

0,5-1,5cm hingga 0,5x1cm – 5x10cm, disertai erosi multipel, batas tegas, bentuk

geografika, ukuran 0,5x1cm – 2x3cm (gambar 2-3). Sedangkan pada ekstremitas

superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan adanya purpura, multipel, batas tegas,

bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5-1,5cm hingga 0,3x0,5cm – 4x7cm.

Tampak pula bula multipel, bentuk oval -geografika, ukuran 1x1,5cm – 2,5x3cm,

dinding kendor, berisi cairan serous (gambar 4-7). Pada kelopak mata, bibir dan vulva

didapatkan erosi multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,1-1

cm hingga 0,2x0,5cm – 1x2,5cm (gambar 8-10). Tes diaskopi menunjukkan lesi

purpura tidak menghilang dengan penekanan (gambar 11). Tanda Nikolsky positif

pada lesi pasien.

Gbr 1. Lesi purpura dan

erosi di fasialis

Gbr 2. Lesi purpura di

torakoabdominal

Gbr 3. Lesi purpura dan

erosi di toraks posterior

Page 5: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

4

Gbr 4. Lesi purpura di Gbr 5. Lesi purpura di Gbr 6. Lesi purpura di

lengan (ventral) lengan(dorsal) tungkai

Gbr 7. Lesi bula di lengan Gbr 8. Hiperemi konjungtiva +/+

Gbr 11. Tes diaskopi

Gbr 9. Lesi erosi di bibir Gbr 10. Lesi erosi di vulva

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka diagnosis sementara

adalah suspek Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) et causa obat (kotrimoksazol,

ciprofloxacin, levofloxacin, parasetamol, asam mefenamat dan antasida) dengan

diagnosis banding Steven Johnson syndrome (SJS)/SJS overlapping TEN.

Page 6: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

5

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain cek darah lengkap, urin lengkap

serta pemeriksaan Gram dari lesi erosi. Pemeriksaan darah lengkap (11 November

2015) didapatkan leukosit 9,14 (4,1-11,0x103/L), neutrofil 5,82 (2,5-7,5x10

3/L),

limfosit 2,44 (1,0-4,0x103/L), monosit 0,8 (0,1-1,2x10

3/L), eosinofil 0,09 (0,0-

0,5x103/L), basofil 0,069 (0,0-0,1x10

3/L), eritrosit 5,38 (4,00-5,20 x10

6/L),

hemoglobin 13,6 (12,0-16,0 g/dL), hematokrit 41 (36,0-46,0%), trombosit 342 (140-

440x103/L). Pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 37,1 (11,0-27,0 U/L),

SGPT 84,8 (11,0-34,0 U/L), albumin 3,23 (3,4-4,8 g/dL), BUN 16(8,0-23,0 mg/dL),

kreatinin 0,47 (0,5-0,9 mg/dL), glukosa darah sewaktu 91 (70-140 mg/dL), natrium

132 (136-145 mmol/L), kalium 3,8 (3,5-5,1 mmol/L).

Pemeriksaan urin lengkap (11 November 2015) didapatkan pH 6,0 (5,0-8,0),

leukosit 10 (negatif/L), nitrit negatif (negatif/L), protein negatif (negatif/L),

glukosa negatif (negatif), keton negatif (negatif), urobilinogen 0,5 (1 mg/dL),

bilirubin 1,0 (negatif mg/dL), eritrosit 5 (negatif/L), berat jenis 1,02 (1,005-1,02),

warna coklat (kuning). Sedangkan dari pemeriksaan sedimen urine didapatkan

leukosit 3-5 (<6/lp), eritrosit 1-2 (<3/lp), sel epitel gepeng negatif (negatif/lp), bakteri

-/lp. Pemeriksaan Gram pada dasar erosi terdapat leukosit 10-15/lpb, gram batang

negatif (+), gram kokus positif (-).

Diagnosis kerja adalah Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) et causa obat

(kotrimoksazol, ciprofloxacin, levofloxacin, parasetamol, asam mefenamat, dan

antasida). Penatalaksanaan yang diberikan yaitu rawat inap di bagian burn unit,

penghentian obat-obatan yang dicurigai, infus NaCl 0,9% 20 tetes/menit,

deksametason 10 mg @ 8 jam (intravena), kompres terbuka NaCl 0,9% 3 kali/hari

@15 menit pada erosi, triamsinolon asetonid topikal 2 kali/hari pada bibir.

Pemantauan secara ketat tanda-tanda vital, balance cairan serta perkembangan lesi

kulit. Rencana konsul bagian bedah plastik, mata dan THT. Konseling, informasi

dan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit, kemungkinan obat

penyebab, pengobatan, lama perawatan serta konsul ke bagian lain.

Hasil konsultasi ke bagian bedah plastik didapatkan diagnosis Toxic

Epidermal Necrolysis dengan penatalaksanaan berupa rawat bersama di ruang burn

unit, perawatan luka setiap 2 hari menggunakan bactigras (dressing chlorhexidine

acetate 0,5%) dan sukralfat suspensi, topikal pada lesi erosi, pemasangan kateter

urin dan nasogastric tube (NGT). Bagian mata mendiagnosis blefarokonjungtivitis

Page 7: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

6

okuli dekstra et sinistra (ODS) + erosi kornea et causa TEN, dengan terapi rawat

bersama dan diberikan tetes mata cendo lyteers 6x1 tetes/hari, gentamisin salep

mata 3 kali/hari pada ODS, dan eye toilet setiap hari. Hasil konsul ke bagian THT

didapatkan diagnosis mukositis grade II et causa TEN, dengan saran kumur NaCl

0,9% 3-4 kali/hari dan triamsinolon asetonid topikal pada lesi bibir dan bukal 2

kali/hari.

PENGAMATAN LANJUTAN I (hari rawat ke-5): 15 November 2015

Keluhan luka sudah mengering, tidak ada luka baru, nyeri berkurang, demam (-),

nyeri ulu hati (+), makan dan minum baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan

keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis (E4M6V5). Tekanan darah 110/70

mmHg, nadi 82 kali/menit, frekuensi nafas 19 kali/menit, suhu aksila 36,90C, VAS

(visual analog score) 1/10 dan status generalis tampak dalam batas normal.

Status dermatologi, lokasi pada regio fasialis didapatkan purpura yang

ukurannya mengecil, multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter

0,2-1cm hingga 0,2x0,3cm – 1x2cm, beberapa terdapat makula hiperpigmentasi,

multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,2x0,5cm – 0,5x1cm (gambar 12).

Regio torakoabdominal dan toraks posterior didapatkan purpura (ukuran mengecil),

multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5-1cm hingga

0,5x1cm – 1x2cm, disertai erosi multipel, batas tegas, bentuk oval, ukuran 0,5x1cm –

1x3cm. Tampak pula makula hipopigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk bulat-

geografika, ukuran diameter 0,2-0,7cm hingga 0,3x0,5cm – 2x3cm (gambar 13-14).

Lokasi ekstremitas superior et inferior dekstra et sinistra didapatkan adanya purpura,

multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5-1cm hingga

0,2x0,4cm – 3x4cm. Tampak pula bula multipel, bentuk bulat-oval, ukuran diameter

0,7-1cm hingga 0,5x1cm – 1x1,5cm, dinding kendor, berisi cairan serous (gambar 15-

17). Lokasi bibir dan vulva didapatkan erosi multipel, batas tegas, bentuk bulat-

geografika, ukuran diameter 0,1-0,5 cm hingga 0,2x0,5cm – 1x2cm, pada bibir

ditutupi krusta hitam tebal (gambar 12, 18).

Page 8: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

7

Gbr 12. Lesi fasialis Gbr 13.Lesi torakoabdominal Gbr 14. Lesi toraks posterior

Gbr 15. Lesi multipel bula Gbr 16. Multipel bula Gbr 17. Multipel purpura

Gbr 18. Tampak multipel erosi

Penilaian SCORTEN hari ke-3 didapatkan nilai 1 (luas area keterlibatan kulit

>30%). Hasil pemeriksaan kultur (tanggal 14 November 2015) dari dasar erosi

didapatkan organisme Acitenobacter baumanii (signifikan sebagai agen infeksi).

Bakteri ini termasuk Multidrug Resistant Organism (MDRO). Saran pemberian

antibiotika Ampisilin/sulbactam.

Diagnosis kerja Toxic Epidermal Necrolysis et causa suspek kotrimoksazol,

ciprofloxacin, levofloxacin, parasetamol, asam mefenamat, dan antasida hari ke-5

(membaik). Penatalaksanaan yang diberikan masih sama seperti sebelumnya, disertai

Page 9: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

8

dengan diet 2000 kkal (diet cair 3x250mL dan susu 3x250mL sesuai bagian gizi

klinik), deksametason di tappering off 10 mg @ 12 jam (intravena) hari I, sukralfat

sirup 10 ml @ 8 jam sebelum makan. Konseling, informasi dan edukasi kepada

pasien dan keluarganya mengenai perkembangan penyakit, rencana pengobatan

selanjutnya, pengaplikasian obat topikal dan cara kompres.

Hasil pengamatan bagian bedah plastik dan mata masih sama dan terapi

sebelumnya tetap dilanjutkan. NGT telah dilepas pada hari sebelumnya dikarenakan

asupan peroral sudah cukup baik.

PENGAMATAN LANJUTAN II (hari rawat ke-10): 20 November 2015

Sebagian besar luka sudah mengering, tidak ada keluhan luka baru, nyeri ulu hati

berkurang, makan dan minum baik. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan

umum baik, kesadaran kompos mentis (E4M6V5). Tekanan darah 110/70 mmHg,

nadi 84 kali/menit, frekuensi nafas 20 kali/menit, suhu aksila 36,80C, VAS (visual

analog score) 1/10 dan status generalis tampak dalam batas normal.

Status dermatologi, lokasi pada regio fasialis didapatkan makula

hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,3-

1cm hingga 0,2x0,5cm – 1x2cm (gambar 19). Pada regio torakoabdominal dan toraks

posterior didapatkan makula hipo-hiperpigmentasi, multipel, batas tegas, bentuk

bulat-geografika, ukuran diameter 0,5-1cm hingga 0,5x1cm – 4x7cm, disertai erosi

multipel, batas tegas, bentuk geografika, ukuran 0,5x1cm – 1x2cm pada beberapa

area ditutupi krusta kehitaman (gambar 20-21). Sedangkan pada ekstremitas superior

et inferior dekstra et sinistra didapatkan adanya makula hiperpigmentasi, multipel,

batas tegas, bentuk bulat-geografika, ukuran diameter 0,5-1,5cm hingga 0,3x0,5cm –

1,5x2cm. Tampak erosi multipel, bentuk oval -geografika, ukuran 0,5x1cm – 1x1,5cm

(gambar 22-23).

Page 10: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

9

Gbr 19. Makula

hiperpigmentasi

Gbr 21.Lesi toraks posterior

Gbr 20. Makula hipo-hiperpigmentasi

dan erosi disertai krusta hitam

Gbr 22.Makula hiperpigmentasi dan erosi Gbr 23. Makula hiperpigmentasi

Diagnosis kerja Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) et causa suspek

kotrimoksazol, ciprofloxacin, levofloxacin, parasetamol, asam mefenamat, dan

antasida hari ke-10 (membaik). Penatalaksanaan yang diberikan yaitu rawat poliklinis,

metilprednisolon tablet 12mg-8mg-0 (intraoral) hari I, sukralfat sirup 10 ml @ 8 jam

sebelum makan, oleum olivarum topikal, 2 kali/hari pada kulit yang terkelupas.

Konseling, informasi dan edukasi kepada pasien dan keluarganya mengenai obat-obat

pulang yang diberikan, rencana kontrol poliklinik kulit, catatan mengenai obat-obat

yang dicurigai sebagai penyebab.

Page 11: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

10

Dari bagian bedah plastik dan mata juga menyetujui rawat poliklinis, dengan

obat dari bagian mata berupa cendo lyteers 6x1 tetes/hari.

PEMBAHASAN

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) ditandai dengan adanya onset mendadak dari

gejala konstitusi seperti demam, nyeri kepala, rinitis, batuk, atau malaise selama 1-3

hari diikuti dengan erupsi vesikobulosa melibatkan daerah wajah, lengan, tungkai

bawah dengan pengelupasan kulit yang ekstensif, ulserasi dari mukosa bukal, lesi

okuler (terutama konjungtivitis) dan keterlibatan genital.1,2,3

Kasus TEN ini dialami seorang perempuan, usia 33 tahun. Keluhan diawali

dengan adanya gejala konstitusi (panas badan dan sakit kepala) lalu muncul lesi kulit

berupa makula eritema kemudian menjadi purpura dan bula berdinding kendor yang

mudah pecah dan menimbulkan erosi. Lesi diawali di area wajah dan meluas simetris

hingga ke hampir seluruh tubuh. Pasien juga terdapat hiperemi konjungtiva, erosi di

bibir dan kelamin.

Ruiz-Maldonado menggolongkan TEN dan SJS sebagai kelainan nekrolisis

epidermal dengan tanda Nikolsky positif, perbedaannya hanya berdasarkan luas

keterlibatan kulit (nekrolisis) yang terjadi. Luas <10% termasuk SJS, 10-30% SJS

overlapping TEN, dan >30% termasuk TEN. Obat penyebab tersering yaitu

antibiotika (golongan sulfa-), antikonvulsan, analgesik nonsteroidal anti-

inflammatory drug (NSAID) contohnya oxicam. Risiko ini terbatas pada konsumsi

obat dalam rentang 8 minggu terakhir.1,3,10

Antibiotika dengan risiko rendah sebagai

penyebab TEN, antara lain golongan aminopenisilin, sefalosporin, quinolon, -siklin

dan makrolid. Analgesik risiko rendah berupa asam asetat NSAID (diklofenak) dan

risiko meragukan contohnya parasetamol.1,11-13

Skala Naranjo secara umum

digunakan untuk menilai faktor kemungkinan suatu obat sebagai penyebab reaksi

simpang. Skala ini dinilai pada masing-masing obat yang dicurigai, terdiri atas 10

pertanyaan dengan total skor 13, disimpulkan bahwa skor 9 dikatakan definite, skor

5-8 probable, 1-4 possible dan 0 dianggap meragukan.15,16

Lesi terdapat Nikolsky positif. Penghitungan berdasarkan “Rule of Nines”

didapatkan luas detachment 32% (fasialis 3%, torakoabdominal 5%, toraks posterior

14%, ekstremitas superior dekstra et sinistra 4% dan ekstremitas inferior dekstra et

sinistra 6%). Riwayat mengkonsumsi obat dalam 8 minggu terakhir, antara lain

Page 12: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

11

kotrimoksazol (risiko tinggi), cipro/levofloxacin (risiko rendah), parasetamol, asam

mefenamat, dan antasida. Parasetamol dan asam mefenamat juga patut dicurigai

mengingat banyaknya laporan kasus beberapa tahun terakhir yang menyatakan bahwa

kedua obat tersebut dapat menyebabkan SJS/TEN. Antasida hingga saat ini, belum

terdapat laporan kasus maupun bukti ilmiah yang menyatakan sebagai obat penyebab

SJS/TEN. Berikut perhitungan skala Naranjo pada masing-masing obat:

SKALA NARANJO

Pertanyaan Ya Tidak Tidak Tahu K C L P AM A

1. Apakah telah terdapat

laporan yang konklusif

tentang reaksi ini?

+1 0 0 1 1 1 1 1 0

2. Apakah efek simpang

muncul setelah pemberian

obat yang dicurigai?

+2 -1 0 2 2 2 2 2 2

3. Apakah reaksi simpang

membaik ketika obat

tersebut dihentikan atau obat

antagonis spesifik diberikan?

+1 0 0 1 1 1 1 1 1

4. Apakah reaksi simpang

muncul kembali saat obat

diberikan lagi?

+2 -1 0 0 0 0 0 0 0

5. Apakah ada penyebab

lainnya (selain karena obat)

yang dapat menyebabkan

reaksi?

-1 +2 0 2 2 2 2 2 0

6. Apakah reaksi kembali

muncul bila diberikan

plasebo?

-1 +1 0 0 0 0 0 0 0

7. Apakah obat terdeteksi di

darah (atau cairan lainnya)

dalam konsentrasi yang

dianggap berbahaya?

+1 0 0 0 0 0 0 0 0

8. Apakah reaksi > saat dosis

ditingkatkan atau reaksi <

bila dosis diturunkan?

+1 0 0 0 0 0 0 0 0

9. Apakah pasien memiliki

reaksi yang sama terhadap

obat yang sama atau mirip

padapaparan sebelumnya?

+1 0 0 0 0 0 0 0 0

10.Apakah reaksi simpang

ini telah dikonfirmasi

dengan bukti objektif?

+1 0 0 1 1 1 1 1 1

TOTAL 7 7 7 7 7 4

Keterangan: K: Kotrimoksazol; C: ciprofloxacin; L: levofloxacin; P: parasetamol; AM: asam

mefenamat; A: antasida.

Page 13: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

12

Hasil penghitungan skala Naranjo disimpulkan bahwa kotrimoksazol, cipro/

levofloxacin, parasetamol dan asam mefenamat termasuk probable (skor 7) dan

antasida termasuk possible (skor 4). Skala Naranjo yang dikutip dalam bahasa inggris

terlampir pada halaman terakhir.

Patofisiologi TEN masih belum dipahami secara jelas, namun beberapa klinisi

meyakini bahwa ini merupakan mekanisme imunologis.1 Apoptosis dari keratinosit

yang diikuti dengan nekrosis merupakan dasar dari detachment pada TEN, terdapat

reaksi hipersensitivitas terhadap obat tertentu yang mengarah kepada adanya major

histocompatibility class I-restricted drug, yang kemudian diikuti dengan ekspansi

dari limfosit T sitotoksik, sel T natural killer (NKT) dan ekspansi klonal dari

limfosit T CD8+.1,17

Fas-L telah dinyatakan dapat menginduksi apoptosis keratinosit

pada epidermal nekrolisis (EN). Peran granulysin sangat penting sebagai mediator

kunci terjadinya apoptosis keratinosit diseminata pada TEN. Tingkat konsentrasi

granulysin berhubungan dengan derajat keparahan klinis.17

Reaksi idiosinkrasi pada

TEN tidak membutuhkan adanya sensitisasi sebelumnya terhadap agen kimia

tertentu.1

Pemeriksaan laboratorium penting dilakukan untuk memonitor kondisi pasien,

sekitar 50% kasus terdapat sedikit peningkatan serum aminotransferase dan

leukositosis ringan. Anemia, limfopenia, neutropenia dan trombositopenia juga bisa

ditemukan.18

Hilangnya cairan lewat kulit dapat mengakibatkan gangguan elektrolit,

hipoalbuminemia, insufisiensi renal ringan-sedang. Pemeriksaan lainnya disesuaikan

dengan klinis pasien.1,2

Kasus didapatkan peningkatan serum aminotransferase, hipoalbuminemia,

hiponatremia. Pemeriksaan Gram (dasar erosi) didapatkan leukosit 10-15/lpb, gram

batang negatif (+), gram kokus positif (-). Hasil kultur resistensi (dasar erosi)

ditemukan organisme Acinetobacter baumanii (signifikan sebagai agen infeksi).

Kuman ini merupakan bakteri aerob, batang gram negatif, umumnya berasal dari

lingkungan rumah sakit dan pasien yang dirawat inap. Sifat kuman ini suka dengan

lingkungan air, sehingga sering ditemukan pada kultur urin, luka serta sekret saluran

pernafasan. Pasien-pasien yang terintubasi, terpasang banyak akses intravena,

surgical drain dan kateter urin merupakan pasien yang berisiko tinggi terinfeksi.

Kuman ini seringkali resisten terhadap antibiotika, akan tetapi dengan tingkat

virulensi yang rendah, maka kejadian mortalitas biasanya dikaitkan akibat penyakit

multiorgan dan penyakit dasar dari pasien.34

Page 14: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

13

Penyakit TEN membutuhkan penanganan yang optimal, meliputi diagnosis

dini, penghentian obat penyebab, dan penanganan suportif selama rawat inap.

Kehilangan cairan yang signifikan akibat erosi yang luas membutuhkan penggantian

cairan melalui pemberian infus.2 Pemahaman mengenai diet dan nutrisi yang

mendukung proses penyembuhan kasus TEN serta luka yang terjadi sangatlah penting.

Hal ini berupa peningkatan kebutuhan kalori, terutama karbohidrat dan protein.

Penghitungan kalori basal menggunakan rumus Broca, dimana ditentukan terlebih

dahulu berat badan ideal (kg), selanjutnya dikali dengan 25 kkal (wanita). Hasil ini

masih dianalisa lagi dengan faktor lainnya (aktivitas, kondisi

stress/operasi/penyembuhan luka). Nutrisi yang dibutuhkan dalam penyembuhan luka

antara lain, protein, karbohidrat, vitamin (B, C, K, A) serta mineral (zinc). Khusus

untuk vitamin dan mineral, dikatakan efektif apabila diberikan pada seseorang dengan

kadar serum yang rendah, oleh karena pemberian ekstra di saat kadar serum normal

tidak meningkatkan hasil klinis.37

Pemberian kortikosteroid sistemik dimulai dalam

onset 24-48 jam. Dosis awal deksametason 8-16 mg/hari di-tapering secara cepat

dalam 7-10 hari.19

Tegelberg mulai dengan dosis prednison 200-400mg/hari

diturunkan bertahap selama 4-6 minggu.20

Beberapa laporan kasus menyimpulkan

bahwa terjadi perbaikan lesi setelah 2 minggu perawatan dengan pemberian

metilprednisolon intravena 20 mg @8jam.21

Penatalaksanaan pada kasus antara lain pasien dirawat inap (burn unit).

Eliminasi obat yang dicurigai (kotrimoksazol, cipro/levofloxacin, parasetamol, asam

mefenamat, dan antasida). Pemberian cairan infus NaCl 0,9% 20 tetes/menit karena

terdapat hiponatremi ringan. Diet cair yang diberikan berupa tinggi kalori dan protein

sebesar 2000 kkal. Deksametason 10 mg @ 8 jam (intravena) selama 4 hari kemudian

diturunkan menjadi 10mg @12 jam dan karena terdapat perbaikan klinis yang

signifikan (tidak ada lesi baru, luka sudah mengering, tanda vital baik) maka dosis

diturunkan secara cepat sebesar 5 mg/hari, hingga pada hari perawatan ke-10, pasien

dipulangkan dan deksametason diganti metilprednisolon tablet selama 8 hari (dosis 20

mg/hari selama 3 hari dan 8mg/hari selama 5 hari) secara peroral. Triamsinolon

asetonid topikal 2 kali/hari pada lesi erosi di bibir. Perawatan lesi kulit dilakukan

setiap 2 hari, dengan menggunakan sukralfat topikal pada lesi erosi kemudian ditutupi

bactigras. Pertimbangan bahwa pasien tidak diberikan antibiotika dikarenakan

berbagai hal, antara lain kasus pasien adalah TEN yang dicurigai obat, maka sebisa

mungkin klinisi membatasi penggunaan obat-obat yang dikonsumsi, kecuali

Page 15: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

14

kepentingan life saving. Pertimbangan lainnya kondisi pasien selama perawatan tidak

terdapat demam, tanda vital baik, serta hasil laboratorium tidak didapatkan

leukositosis. Luka yang terjadi pada TEN terletak superfisial dan akibat proses

imunologis serta umumnya tidak terkontaminasi kuman bila perawatan luka dilakukan

dengan baik, hal itu didukung dengan perawatan pasien selama di burn unit dengan

dressing yang steril. Pemantauan secara ketat tanda-tanda vital, balance cairan serta

perkembangan lesi kulit. Konseling, informasi dan edukasi kepada pasien dan

keluarganya terkait perkembangan penyakit dan rencana perawatan.

Pemahaman mengenai tahap penyembuhan luka, agen yang dapat membantu

proses tersebut (contohnya sukralfat) serta pemilihan dressing yang tepat sesuai jenis

dan tahapan luka sangatlah penting.5

Proses penyembuhan luka melalui 4 tahapan

penting, yaitu koagulasi dan hemostasis (berlangsung dalam beberapa menit setelah

cedera), inflamasi (dimulai dalam beberapa jam setelah cedera dan berlanjut hingga 2-

4 hari), proliferasi dan pembentukan jaringan granulasi (terjadi setelah hari ke-4 dapat

berlangsung hingga 21 hari), serta remodeling matriks ekstraseluler (dimulai dalam 4

minggu hingga 1 tahun setelah cedera). Penyembuhan luka yang superfisial hanya

berlangsung hingga tahap pembentukan jaringan granulasi (reepitelisasi), tanpa

remodeling matriks ekstraseluler. Hal ini yang membedakan dengan proses

penyembuhan luka yang letaknya dalam.5,22

Proses reepitelisasi mencakup 3 tahap

utama, yaitu migrasi sel epitelial dari tepi luka, proliferasi sel epitelial dan perbaikan

membran basalis. Hal-hal yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, antara lain

faktor sistemik (usia, nutrisi, diabetes) dan faktor lokal (ukuran luka, iskemia dan

infeksi berat).24,25

Lesi yang terjadi pada kasus letaknya superfisial (sebatas epidermis) dan tidak

terdapat jaringan nekrotik. Reepitelisasi terjadi pada hari ke-5 dan berlangsung hingga

beberapa minggu, umumnya 28 hari.

Sukralfat adalah garam aluminium hidroksida, bersifat tidak larut air, sintetik

yang berfungsi sebagai agen mukoprotektif ulkus gaster dan duodenum. Selain itu,

sukralfat juga berperan sebagai pelindung fisik dari bahan iritan dan memiliki

aktivitas antibakteri.6,7

Sukralfat pertama kali digunakan awal tahun 1980 sebagai

agen mukoprotektif oral. Mekanisme aksi sukralfat berbeda dengan agen alkalizing

seperti antasida ataupun histamine 2 receptor blocker dan juga proton pump inhibitor,

di mana sukralfat memiliki kelebihan sebagai mekanisme pertahanan alamiah pada

traktus gastrointestinal dan juga melindungi area yang ulserasi akibat asam dan

Page 16: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

15

pepsin.6,26

Mekanisme aksi sukralfat sebagai agen topikal, antara lain meningkatkan

bioavailabilitas fibroblast growth factor (FGF), induksi produksi prostaglandin,

proteksi proses apoptosis sel, mengurangi oxygen free radical, dan menginduksi

aktivitas antibakteri. Mekanisme aksi ini berperan pada proses penyembuhan luka

terutama fase 3, yaitu proliferasi dan pembentukan jaringan granulasi.5,27-29

Indikasi

penggunaan sukralfat topikal yaitu pada kelainan kulit, mukosa atau jaringan yang

meyebabkan iritasi, inflamasi atau luka bakar, kulit yang kontak dengan agen kimia

eksternal atau cairan sekret tubuh seperti urin atau keringat, serta matahari.

Kontraindikasi penggunaan sukralfat topikal adalah pada luka yang berdarah.

Berdasarkan bukti klinis yang ada, penggunaan preparat topikal sukralfat (bubuk,

emolien, krim, salep maupun suspensi) memberikan hasil yang baik untuk

penanganan luka bakar, luka perianal, erosi dan ulkus kutaneus, mukositis akibat

radioterapi, ulkus vena stasis dan stomatitis aftosa rekuren.5

Gambar 24. Mekanisme aksi sukralfat pada penyembuhan luka5

A. Pelepasan faktor pertumbuhan yang terlibat pada proses penyembuhan luka

B. Sukralfat meningkatkan bioavailabilitas faktor pertumbuhan dan prostaglandin dan

mengurangi produksi sintesis oxygen free radicals, sehingga meningkatkan angiogenesis,

jaringan granulasi dan reepitelisasi.

Penanganan luka pada kasus diberikan topikal suspensi sukralfat

(500mg/5mL). Indikasi pemberian sukralfat topikal sesuai dengan bukti klinis yang

ada yaitu untuk lesi erosi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan proliferasi dan

pembentukan jaringan granulasi. Kontraindikasi penggunaan sukralfat topikal pada

kasus tidak ditemukan.

Page 17: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

16

Pemilihan dressing yang tepat juga penting dalam mempercepat proses

penyembuhan luka, di mana prinsip dasar bahwa luka dengan lingkungan yang

lembab (moist) akan terjadi penyembuhan lebih cepat dibandingkan luka yang kering.

Lingkungan lembab ini bisa dicapai salah satunya dengan pengaplikasian dressing

yang mampu menjaga kelembaban luka, antara lain berbahan film, hidrogel,

hidrokoloid, foam, alginate dan hidrofiber. Syarat dressing yang ideal, antara lain

memenuhi karakteristik umum (mudah diaplikasikan, diterima secara estetik, biaya

terjangkau, mudah disimpan, nonalergenik), memfasilitasi proses penyembuhan

(mampu mempertahankan lingkungan yang lembab, tidak menyebabkan trauma atau

maserasi pada tepi luka, mampu menahan panas, sebagai sarana pertukaran gas), dan

meminimalkan risiko infeksi (mampu membersihkan jaringan nekrotik, menyerap

eksudat, meminimalkan kontaminasi eksternal). Masing-masing dressing digunakan

pada aplikasi klinis yang berbeda-beda dan memiliki kelebihan dan kekurangan

tersendiri.8 Dressing lainnya yaitu dressing dengan sifat antimikrobial, contohnya

dressing yang mengandung silver, madu, klorheksidin dan iodin. Dressing ini

umumnya untuk luka superfisial, memiliki aktivitas bakterisidal pada permukaan luka

hingga 7 hari. Prinsip penggunaan dressing antimikroba adalah pada luka tidak

nekrotik, namun berpotensi terjadi infeksi. Klorheksidin memiliki efek bakteriostatik

dan bakterisidal luas terhadap bakteri gram positif dan negatif, melalui ikatan dengan

dinding sel bakteri, selain itu memiliki keunggulan waktu penyembuhan lebih cepat

(11 hari) dibandingkan kombinasi dressing hidrokoloid dan krim silver sulfadiazin

(14 hari) pada kasus luka bakar minor. Kekurangannya dapat menempel kuat pada

luka sehingga bisa menyebabkan trauma, terbatas pada <15% luas permukaan tubuh.

Kontraindikasi pada pasien yang alergi terhadap klorheksidin (biasanya terdapat

dalam produk cairan desinfektan, kosmetik (krim, pasta gigi, deodoran) dan obat

(pengawet tetes mata, obat kumur antiseptik).8,31,32,36

Gambar 25 menunjukkan

algoritma asesmen luka dan pemilihan dressing yang tepat.

Aplikasi dressing bactigras diberikan pada lesi erosi setelah pemberian

sukralfat topikal. Bactigras termasuk dressing yang mengandung klorheksidin 0,5%

dengan sifat bakteriostatik dan bakterisidal luas untuk bakteri gram positif dan negatif.

Dressing ini termasuk dalam tipe dressing yang mengandung antimikroba, hal ini

mengacu pada jenis lesi TEN pada kasus yaitu tanpa jaringan nekrotik namun bisa

terjadi infeksi sehingga dressing ini merupakan pilihan yang tepat. Kontraindikasi

tidak ditemukan pada pasien. Penggantian dressing ini setiap 2 hari, dengan tujuan

Page 18: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

17

mencegah terjadinya penempelan yang kuat terhadap luka. Pengaplikasian dressing

maksimal 10% luas permukaan tubuh.

Gambar 25. Algoritma asesmen luka dan pemilihan dressing yang tepat.8

Pengaplikasian kombinasi antara preparat topikal dengan dressing umumnya

bertujuan untuk saling melengkapi berbagai faktor dalam upaya mempercepat proses

penyembuhan luka. Beberapa literatur yang ada, menyatakan bahwa umumnya

kombinasi preparat topikal dan dressing tersebut memiliki mekanisme kerja yang

berbeda. Contoh sukralfat topikal bertujuan untuk memicu fibroblast growth factor

sehingga meningkatkan aktivitas angiogenesis serta reepitelisasi jaringan luka;

sedangkan dressing klorheksidin asetat 0,5% sebagai antibakterial (bakteriostatik dan

bakterisidal).38

Perawatan luka pada kasus menggunakan kombinasi sukralfat topikal dan

dressing klorheksidin asetat 0,5% yang bertujuan proses penyembuhan luka (terutama

saat angiogenesis dan pembentukan jaringan granulasi) bisa berjalan maksimal oleh

karena efek dari sukralfat dan mengatasi kolonisasi kuman di luka sehingga tidak

terjadi infeksi, yang dapat menghambat proses penyembuhan luka. Peran yang

terakhir ini berasal dari efek bakteriostatik dan bakterisidal dressing klorheksidin

asetat 0,5%.

Page 19: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

18

Pemahaman dasar tentang prinsip kompres juga sangat penting. Selama ini,

kita mengenal istilah kompres tertutup dan terbuka, dimana definisi kompres tertutup

yaitu suatu cara kompres dengan bahan impermeable, misalnya plastik. Cara ini

bertujuan untuk mencegah evaporasi dan menahan panas, tetapi kekurangannya dapat

menyebabkan maserasi dan meningkatkan risiko infeksi. Kompres terbuka merupakan

cara kompres dengan bahan permeable, berupa beberapa lapis kain kasa tipis yang

bersifat absorben dan non iritan. Tujuan dari kompres terbuka adalah meningkatkan

penguapan dan absorpsi pada radang superfisial.8,30

Pemilihan teknik kompres yang

tepat bergantung dari sifat luka (kering/basah), ada/tidaknya eksudat, serta luasnya

luka. Penelitian terbaru cenderung memilih kompres terbuka dengan alasan

mengurangi risiko infeksi dan rasa nyeri. Jenis-jenis cairan kompres antara lain NaCl

0,9% (cairan fisiologis, bisa digunakan untuk dermatitis madidans, tidak diperuntukan

pada luka kotor dan nekrotik), Burowi (aluminium asetat yang diencerkan 1:10-1:40,

bisa digunakan pada kasus dermatitis atopik), kalium permanganat (sebagai antiseptik,

astringen, untuk membersihkan luka dengan perbandingan 1:4000-1:16.000 untuk

kompres dan 1:25.000 untuk mandi), silver nitrat dalam 0,5% aqueous solution

(berfungsi sebagai astringen, antimikroba pada ulkus stasis, eksim yang terinfeksi;

efek sampingnnya adalah methemoglobinemia), serta povidon iodin (sebagai

antimikroba, efek samping bersifat sitotoksik untuk jaringan sehat dan menyebabkan

iritasi).1,8,30,35

Kasus menggunakan teknik kompres terbuka dengan NaCl 0,9% untuk area

yang berkrusta dengan tujuan melunakkan krusta, selain itu kompres juga dilakukan

pada area erosi di kelamin. Dasar pemilihan cairan NaCl 0,9% pada kompres karena

lesi pada kasus tidak nekrotik. Rolling bandage menggunakan kasa steril selama 3

hari pertama dengan tujuan agar dressing tetap pada posisinya dan menghindari

penggunaan perekat.

Pemberian konseling, informasi dan edukasi pada pasien dan keluarga

sangatlah penting. Hal ini berkaitan dengan upaya mencegah berulangnya kejadian

TEN di kemudian hari. Tindakan swaterapi juga harus dihindari sebab terdapat obat-

obat yang menyebabkan reaksi silang dan banyaknya nama dagang dari masing-

masing obat. Pilihan antibiotika yang relatif aman dan belum terdapat laporan hingga

saat ini dapat menyebabkan SJS/TEN yaitu golongan aminoglikosida, antara lain

amikasin, gentamisin, kanamisin, neomisin, netilmisin, paromomisin, streptomisin

dan tobramisin. Golongan ini efektif pada kuman aerob dan bakteri gram negatif

Page 20: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

19

(Pseudomonas, Acinetobacter dan Enterobacter) serta mikobakteria, namun tidak

efektif untuk bakteri gram positif. Analgesik yang relatif aman yaitu aspirin, golongan

opioid (morfin, fentanil, kodein), namun umumnya obat golongan opioid ini ditujukan

pada pasien dengan skala nyeri berat (VAS>7) dan dalam penggunaannya

memerlukan pengawasan dari bagian anestesiologi.3,14

Pasien dan keluarga diberi edukasi serta informasi mengenai penyakitnya,

kemungkinan obat penyebab, serta pengobatan yang diberikan selama perawatan. Hal

penting saat pasien diperbolehkan pulang adalah pemberian kartu yang berisi nama-

nama obat yang kemungkinan menjadi penyebab, di mana kartu ini harus selalu

dibawa pasien selama berobat ke dokter. Pasien juga diedukasi untuk tidak melakukan

swaterapi, karena hal tersebut bisa menimbulkan kejadian TEN kembali akibat

ketidaktahuan pasien terkait obat medis.

Prognosis kasus TEN ditentukan dengan menggunakan SCORTEN yang

meliputi penilaian pada usia (>40 tahun), denyut nadi (>120 kali/menit), kanker atau

keganasan hematologi, luas permukaan tubuh yang terkena (>10%), kadar urea serum

>10 mM, kadar bikarbonat serum <20 mM, dan kadar glukosa serum >14 mM. Setiap

kondisi pasien yang sesuai memberikan nilai 1 dan akan diperoleh mortalitas penyakit

sesuai dengan perhitungan skor.1 Angka mortalitas meningkat seiring dengan

peningkatan usia, keterlibatan kulit yang sangat luas serta adanya faktor

komorbiditas.3

Kasus didapatkan luas permukaan tubuh 32%, sehingga total SCORTEN

adalah 1 setara dengan angka mortalitas 3,2%. Prognosis pasien bonam karena angka

mortalitas rendah, tidak didapatkan adanya komplikasi yang serius, tidak ada faktor

komorbiditas dan dengan pemberian terapi yang adekuat didapatkan adanya perbaikan

lesi yang signfikan. Selain itu, selama pengamatan lanjutan di poliklinik Kulit dan

Kelamin hingga 1 bulan paska onset TEN, tampak proses regenerasi kulit yang cukup

baik.

Page 21: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

20

SIMPULAN

Telah dilaporkan suatu kasus perawatan luka pada TEN dengan sukralfat topikal dan

dressing klorheksidin asetat 0,5% pada seorang perempuan usia 33 tahun. Kasus TEN

ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan skala Naranjo, reaksi TEN dicurigai akibat kotrimoksazol, ciprofloxacin,

levofloxacin, parasetamol, asam mefenamat (probable) dan antasida (possible).

Penatalaksanaan berupa rawat inap di burn unit, penghentian obat penyebab,

pemberian cairan infus (maintenance), diet 2000kkal, terapi steroid intravena (dosis

awal deksametason 10 mg @ 8jam yang diturunkan berkala). Perawatan luka secara

teratur (setiap 2 hari) menggunakan bactigras (dressing klorheksidin asetat 0,5%) dan

sukralfat topikal, serta kompres terbuka NaCl 0,9%. Respon terapi baik selama

perawatan 10 hari, sehingga pasien dirawat poliklinis.

Prognosis bonam karena angka mortalitas rendah, adanya perbaikan lesi

signifikan dan tidak adanya komplikasi organ sistemik yang serius serta tidak adanya

faktor komorbiditas pada pasien.

Page 22: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Valeyrie-Allanore L, Roujeau J-C. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson

Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,

Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's Dermatology in General

Medicine. 8th

ed. New York: McGraw Hill; 2012. p. 439–48.

2. Fadeyibi I, Ajose F, Akinola O, Ademiluyi S, Jewo P. Severe idiosyncratic drug

reactions with epidermal necrolysis: A 5-year study. Indian J Plast Surg

2011;44(3):467-73.

3. Cohen V. Toxic Epidermal Necrolysis. Oct 2015. Available at

http://www.emedicine.medscape.com/article/229698

4. Oematan H, Wijaya NA, Ari NMDP, Adiguna MS. Profil Reaksi Simpang Obat pada

Kulit di RSUP Sanglah Denpasar periode tahun 2011-2013. Bandung: Kongres

Nasional XIV.Perdoski; 2014.

5. Masuelli L, Tumino G, Turriziani M, Modesti A, Bei R. Topical Use of Sucralfate in

Epithelial Wound Healing: Clinical Evidence and Molecular Mechanisms of Action.

Recent Patents on Inflammation and Allergy Drug Discovery 2010;4:25-36.

6. Candelli M, Carloni E, Armuzzi A. Role of sucralfate in gastrointestinal disease.

Panminerva Med 2000;42:55-9.

7. McEvoy GK, Snow EK, Miller J, Kester L, Welsh OH. AHFS drug information 2008.

Bethesta: American Society of Health System; 2008.

8. Broussard KC, Powers JG. Wound dressings: Selecting the Most Appropriate Type.

Am J Clin Dermatol 2013;14:449-459.

9. Thappa D, Jaisankar T, Sanmarkan A, Sori T. Retrospective analysis of Stevens-

Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis over a period of 10 years. Indian J

Dermatol 2011;56(1):25-9.

10. Harr T, Frenh LE. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome.

Orphanet Journal of Rare Diseases 2010, 5:39.

11. Biswal S, Sahoo SS. Paracetamol induced Stevens-Johnson syndrome – Toxic

Epidermal Necrolysis overlap syndrome. Int J Dermatol. 2014 Aug;53(8):1042-4.

12. Rajagopalan S, Kaur S, Malhotra S. Toxic Epidermal Necrolysis induced by rarely

implicated drugs. Indian J Pharmacol. 2012 Mar-Apr;44(2):272-273.

13. Khawaja A, Shahab A, Hussain SA. Acetaminophen induced Steven johnson

Syndrome-Toxic Epidermal Necrolysis Overlap. Journal of Pakistan Medical

Association. 2013 May:524-7.

Page 23: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

22

14. Gilbert DN. Aminoglycosides. In: Principles and Practice of Infectious Diseases, 6th

ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill Livingstone, New York 2005.

p.238.

15. Naranjo CA, Busto U, Sellers EM, Sandor P, Ruiz I, roberts EA. A method for

estimating the probability of adverse drug reactions. Clin Pharmacol Ther

1981;30:239-45.

16. The use of the WHO-UMC system for standarised case casuality assessment.

Accessed from: http://www.who-umc.org/graphics/4409.pdf

17. Gerull R, Nelle M, Schaible T. Toxic Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson

Syndrome: A Review. Crit Care Med 2011, Vol.39:6.

18. Breathmach SM. Erythema Multiforme, Stevens Johnson Syndrome and Toxic

Epidermal Necrolysis. In: Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. United Kingdom:

Willey-Blackwell Science ltd, 2010. Ch. 76.

19. Brambilla G, Brucato F, Angrisano A, Palmieri G. Treatment of Toxic Epidermal

Necrolysis (TEN). Annals of Burns and Fire Disasters. Vol. XV. No.1.March. 2002.

20. Ghislain PD, Roujeau JC. Treatment of Severe Drug Reactions. Dermatol Online J

8(1).2002.

21. Paquet P, Pierard GE. New insight in toxic epidermal necrolysis (Lyell's syndrome).

Drug Saf 2010;3:189–212.

22. Gibran NS, Boyce S, Greenhalgh DG. Cutaneous wound healing. J Burn Care Res

2007; 28(4):577-9.

23. Li J, Chen J, Kirsner R. Patophysiology of acute wound healing. Clin Dermatol.

2007; 25(1):9-18.

24. Toriseva M, Kahari VM. Proteinases in Cutaneous wound healing. Cell Mol Life Sci

2009; 66(2): 203-224.

25. Braund R, Hook S, Medlicott NJ. The role of topical growth factors in chronic

wounds. Curr Drug Deliv 2007; 4(3):195-204.

26. Katzung S, Bertram G. Sucralfate. Basic and Clinical Pharmacology (9th ed).

2004;50:945-1212.

27. Yeh BK, Eliseenkova av, Plotnikov AN. Structural basis for activation of fibroblast

growth factor signaling by sucrose octasulfate. Mol Cell Biol 2002; 22(20):7184-

7192.

28. Stenson WF. Prostaglandins and epithelial response to injury. Curr Opin

Gastroenterol 2007;23(2):107-110.

29. Matsuu-Matsuyama M, Shichijo K, Okaichi K. Sucralfate protects intestinal epithelial

cells from radiation-induced apoptosis in rats. J Radiat Res (Tokyo) 2006;47(1):1-8.

Page 24: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

23

30. Li W, Dasgeb B, Phillips T, Li Y, Chen M, Garner W. Wound-healing perspectives.

Dermatol Clin. 2005;23(2):181-92.doi:10.1016/j.det.2004.09.004.

31. Wasiak J, Cleland H. Chlorhexidine-impregnated paraffin gauze dressing. January

2014. Available at http://bestpractice.bmj.com/best-

practice/evidence/intervention/1903/0/sr-1903-i2.html

32. Jones V, Grey JE, Harding KG. ABC of wound healing: Wound dressings. BMJ

2006;332:777-780, doi:10.1136/bmj.332.7544.777

33. Palmieri TL, Greenhalgh DG, Saffle JR, Spence RJ, Peck MD. A Multicenter Review

of Toxic Epidermal Necrolysis Treated in US Burn Centers at the End of the

Twentieth Century. Journal of Burn Care and rehabilitation 2002;23(2):87-96.

34. Cunha BA. Acinetobacter. July 2015. Available at

http://www.emedicine.medscape.com/article/236891

35. Gurjar V, Bharaney R. A Comparative study of Open Versus Closed dressing

method of surgical wound. European Journal of Patient Diagnosis and Clinical

Research 2013;2:135-6.

36. Muangman P, Nitimonton S, Aramwit P. Comparative Clinical study of bactigras and

Tefla AMD for Skin Graft Donor-site Dressing. Int J Mol Sci. 2011; 12(8): 5031–

5038.

37. Gray D, Cooper P. Nutrition and wound healing: what is the link? J Wound Care

2001 Mar;10(3):86-9.

38. Bradley M, Cullum N, Nelson EA, Petticrew M, Sheldon T, Torgerson D. Systematic

reviews of wound care management: (2) Dressings and topical agents used in the

healing of chronic wounds. Health Technology Assessment. 1999; Vol.3:No.17 (Pt 2)

Available at http://www.journalslibrary.nihr.ac.uk/_data/assets/pdf_file/0006/64806/

Page 25: PERAWATAN LUKA PADA KASUS TOXIC EPIDERMAL …

24