the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)
Transcript of the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)
TESIS
CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI
HERTATI ANRIANI LUBIS
PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2013
i
CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI
SISTISERKOSIS PADA SAPI
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan
Program Pascasarjana Universitas Udayana
HERTATI ANRIANI LUBISNIM 1192361012
PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2013
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 28 AGUSTUS 2013
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof.Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan, MS Prof.Dr.drh. I Made Damriyasa, MS NIP. 19581005 198403 1 002 NIP. 19621231 198803 1 017
Mengetahui,
Ketua Program Kedokteran Hewan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K)NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini telah Diuji pada
Tanggal 28 Agustus 2013
Panitia Penguji Tesis berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana, No.............Tanggal …………
Ketua : Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS.
Anggota :
1. Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS.
2. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes.
3. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP.
4. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si.
iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis Hertati Anriani Lubis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1988 di
Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga
bersaudara, putri dari pasangan suami istri Zufri Efendi Lubis dan Rosmaini
Daulay.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 23
Padangsidimpuan dan menamatkan pendidikan tahun 2000, Pendidikan Sekolah
Menengah Pertama di SMPN 3 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun 2003,
Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Padangsidimpuan, diselesaikan
pada tahun 2006. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di kedokteran
Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana
Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi
Dokter Hewan Tahun 2012.
Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2
Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2011. Selanjutnya penulis
melakukan penelitian di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul
“Crude Antigen Cysticercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi
Sistiserkosis pada Sapi.” Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program
Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku pembimbing I yang dengan
penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran
selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis
ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr.
drh.I Made Damriyasa, MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana yang juga bertindak sebagai Pembimbing II yang penuh
perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.
Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.
Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM) atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan
Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan
kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A
Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja,
M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana
Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang
diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya
menjadi penguji.
vi
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan
kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. dan
Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si. yang telah memberikan masukan, saran dan
sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang
tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis
dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran
Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana.
Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil, Ph.D. yang telah meluangkan
waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium.
Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis yaitu
bapak Zufri Efendi Lubis dan Ibu Rosmaini Daulay yang telah memberikan
dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Keluarga terutama kakak dan
keponakan yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan penulis
kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.
Terima kasih juga kepada Mariana Kresty Ferdinandez, Wa Ode Santa
Monica yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis.
Kepada drh. Pratiwi Devi GM yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama
penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan
satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada
semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta
kepada penulis dan keluarga.
vii
ABSTRAK
CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI
Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengevaluasi antigen Cysticercus T. saginata untuk deteksi sistisekosis pada sapi. Antigen Cysticercus T. saginata yang digunakan adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental Taenia saginata asal Bali. Penelitian dilakukan dengan optimalisasi ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) terhadap antigen dengan cara penentuan konsentrasi optimal antigen, pengenceran serum serta pengenceran konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cysticercus T. saginata isolat Bali bersifat antigenik dan dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, dengan konsentrasi optimal antigen 2 µg/ml, pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000.
Kata kunci: Cysticercus T. saginata, Antigen, ELISA.
viii
ABSTRACT
THE USE OF TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (BALI ISOLATE) FOR THE DETECTION OF CATTLE
CYSTICERCOSIS
The purpose of this study was to evaluate Taenia saginata cystisercus antigen for the detection of cattle cysticercosis. Taenia saginata Cysticercus antigen derived from local isolates, obtained from the experimental infection of Taenia saginata tape worms from Bali. The research was done by ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) optimization by determining the optimal concentration of antigen, optimal dilutions of serum and optimal dilutions of conjugate. The results showed that Taenia saginata Cysticercus crude antigen (Bali isolate) are antigenic and can be used to detect cattle cysticercosis. Optimal concentration of antigen: 2 ug/ml, optimal dilutions of serum: 1:80 and optimal dilution of conjugate: 1:4000.
Keywords: Taenia saginata cysticercus, Antigen, ELISA.
ix
RINGKASAN
Cysticercus T. saginata adalah larva atau fase metacestoda dari cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Kejadian infeksi T.saginata pada manusia di Bali relatif banyak ditemukan pada keluarga yang gemar mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Data kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali sampai sekarang belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA.
Protein antigen Cystisercus T. saginata yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental T. saginata asal Bali. Prosedur awal penelitian ini dimulai dengan mengekstraksi protein, konsentrasi protein dengan menggunakan kit, diperoleh hasil 113µg/ml. Selanjutnya, untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) yang meliputi: titrasi optimal antigen, titrasi optimal serum dan titrasi optimal konjugat antara kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen dalam uji imunologis untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis T. saginata pada sapi.
Hasil optimalisasi ELISA memperlihatkan bahwa nilai optimal konsentrasi antigen adalah 2µg/ml dengan nilai optical density 0.164, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dengan nilai optical density 0.279 dan pengenceran optimal konjugat adalah 1:4000 dengan nilai optical density 0.279. Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan tersebut dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.
x
DAFTAR ISI
HalamanSAMPUL DALAM ........................................................................................ i
PRASYARAT GELAR ................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ................................................................................................... ix
RINGKASAN.................................................................................................. x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5
2.1 T.saginata ............................................................................................... 5
2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit............................................................. 7
2.2.1 Kekebalan terhadap Parasit ....................................................... 8
2.2.2 Komponen Imunitas yang Berperan terhadap Parasit ............... 9
2.2.3 Faktor-Faktor Antigenitas............................................................ 10
2.3 Uji Imunologis............................................................................................ 12
xi
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 17
3.2 Kerangka Konsep....................................................................................... 19
BAB IV METODE PENELITIAN................................................................ 21
4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 21
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 21
4.3 Bahan Penelitian ........................................................................................ 21
4.4 Instrumen Penelitian................................................................................... 22
4.5 Prosedur Penelitian.................................................................................... 22
4.5.1 Ekstraksi Protein.......................................................................... 23
4.5.2 Optimalisasi ELISA..................................................................... 24
4.5.2.1 Titrasi Protein................................................................... 24
4.5.2.2 Titrasi Serum..................................................................... 24
4.5.2.3 Titrasi Konjugat................................................................ 25
4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada Serum................................................. 25
4.6 Analisa Data .............................................................................................. 26
BAB V HASIL PENELITIAN....................................................................... 27
5.1 Hasil Titrasi Antigen.................................................................................. 27
5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum........................................................................ 28
5.3 Hasil Titrasi Konjugat................................................................................ 29
BAB VI PEMBAHASAN............................................................................... 31
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN............................................................ 35
7.1 Simpulan .................................................................................................... 35
7.2 Saran........................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 36
LAMPIRAN .................................................................................................... 41
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Siklus Hidup Taenia sp.......................................................................... 7
2. Prinsip kerja ELISA............................................................................... 14
3. Konsep Penelitian................................................................................... 20
4. Prosedur Penelitian................................................................................. 23
5. Titrasi Antigen........................................................................................ 20
6. Titrasi Serum.......................................................................................... 28
7. Titrasi Konjugat...................................................................................... 29
8. Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada
berbagai pengenceran konjugat............................................................. 30
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cysticercus T. saginata.............. 42
2. Tahapan Optimalisasi ELISA...................................................................... 43
3. Dokumentasi Laboratorium........................................................................ 44
4. Pengenceran pada Plate ELISA.................................................................. 46
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cystisercus T. saginata merupakan bentuk larva cacing pita T. saginata.
Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata
yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila
mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang
mengandung Cysticercus T. Saginata. Menurut Soulsby (1982), Cysticercus T.
saginata berukuran 6-9 mm dengan diameter sekitar 5 mm. Kista ini paling sering
dijumpai pada otot masseter, jantung dan diafragma. Kejadian sistiserkosis pada
sapi kebanyakan diperoleh dari laporan pemeriksaan kesehatan daging yang
biasanya tidak seluruh negara melakukannya (Dharmawan, 2009). Sementara
laporan tentang kejadian taeniasis pada manusia di Bali dilaporkan secara
periodik. Di Bali Kabupaten Gianyar, prevalensinya mencapai 27,5% (Wandra et
al., 2006; 2007; 2011).
Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit,
salah satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber
infeksinya pada sapi. Permasalahannya sampai sekarang data tentang kejadian
sistiserkosis pada sapi di Bali tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini
akibat dari sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Pada
hewan besar diagnosis harus dilakukan secara post mortem dengan pemeriksaan
kesehatan daging. Sistiserkosis dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan
palpasi, bila positif akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau
1
intramuskular. Menurut Gonzalez et al. (2006), palpasi merupakan satu-satunya
cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di
negara berkembang, namun memiliki sensitifitas yang rendah. Pengembangan uji-
uji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit tersebut telah
dilakukan mulai puluhan tahun lalu.
Teknik-teknik yang telah dikembangkan tersebut ternyata memberi
kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya (Iskandar et
al., 2005). Selama ini uji-uji diagnostik yang dikembangkan untuk mendeteksi
keberadaan sistiserkosis pada hewan diantaranya adalah uji serologi dengan
metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengembangkan ELISA
untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan
antibodi anti-Cysticercus cellulosae pada serum telah berhasil dilakukan pada
tahun 1997-1998 (Sato et al., 2003). Harrison et al. (2005) menyatakan untuk
menunjukkan sebaran infeksi Cysticercus bovis dalam suatu wilayah dengan
wabah infeksi tinggi, metode ELISA dinilai cocok sebagai salah satu uji
serodiagnosis. Dorny et al. (2002) melaporkan perbedaan sensitifitas dan
spesifisitas beberapa uji untuk deteksi sistiserkosis. Pemeriksaan dengan teknik
palpasi lidah memiliki sensitifitas 16,1% dan spesifisitas 100%, pemeriksaan post
mortem memiliki sensitifitas 38,7% dan spesifisitas 100%, uji ELISA untuk
deteksi antibodi memiliki sensitifitas 45,2% dan spesifisitas 88,2%, dan uji
ELISA untuk deteksi antigen memiliki sensitifitas 64,5% dan spesifisitas 91,2%.
2
Dari laporan tersebut, terlihat bahwa ELISA merupakan uji dengan tingkat
sensitifitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik metode diagnosis
lainnya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik
diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA.
Tahap awal akan dicari berapa konsentrasi optimal antigen yang berasal dari
protein Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali, berapa pengenceran optimal
serum dan konjugat yang efektif digunakan untuk mendeteksi keberadaan
Cysticercus T. saginata pada sapi terinfeksi.
1.2 Rumusan Masalah
Pada penelitian ini akan digunakan uji ELISA. Permasalahan yang
diungkapkan adalah untuk mengetahui kemampuan antigen Cystisercus T.
saginata dalam mendeteksi sistiserkosis. Dalam uji ini ada 3 komponen penting
yang ingin diketahui, antara lain:
a. berapa konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali
untuk deteksi sistiserkosis pada sapi,
b. berapa pengenceran optimal serum yang dipakai mendeteksi sistiserkosis
pada sapi,
c. berapa konsentrasi optimal konjugat yang dipakai mendeteksi sistiserkosis
pada sapi.
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan memperoleh uji diagnostik untuk mendeteksi
sistiserkosis pada sapi dengan uji ELISA menggunakan crude antigen isolat lokal.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
a. mengetahui konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali
yang dapat dipakai sebagai antigen untuk mendeteksi sistiserkosis pada
sapi,
b. mengetahui pengenceran optimal dari serum yang akan diperiksa untuk
tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi, dan
c. untuk mengetahui konsentrasi optimal konjugat yang dapat dipakai untuk
tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi.
1.4 Manfaat penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah menyediakan antigen
spesifik berasal dari isolat lokal Bali untuk dipakai mendeteksi antibodi
Cystisercus T. saginata pada sapi Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode
diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk
diagnosis sistiserkosis pada sapi.
4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Taenia saginata
Taenia merupakan salah satu cacing pita yang termasuk dalam kerajaan
Animalia, filum Platyhelminthes, kelas Cestoda, bangsa Cyclophyllidea, famili
Teniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yang
menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau (Soulsby, 1982). Panjang dan tubuh
taenia terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut
proglotid (Huges et al., 1993). Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki
alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum). Larva dari cacing taenia
disebut metacestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan. Terdapat
tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu T. solium, T. saginata, dan T.
asiatica (Flisser et al., 2005). Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena
dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis.
Hospes definitif T. saginata adalah manusia dan predileksinya dalam
usus halus. Bentuk belum dewasa ditemukan pada sapi. Cacing pita T. saginata
memiliki ukuran panjang 5-10 meter, pernah dilaporkan lebih dari 15 meter.
Skoleks Taenia in tidak dipersenjatai. Proglotid memiliki percabangan uterus
lateral berjumlah 15-35 buah. Pada setiap proglotid bunting terdapat lebih dari
100 telur. Cacing T. saginata menjadi dewasa setelah 10-12 minggu sekitar 2
bulan (Wandra et al, 2006). Bentuk belum dewasa adalah Cystisercus dan tempat
predileksinya pada jantung, otot rangka, lemak, hati, maseter, diafragma, lidah
(Soulsby, 1982).
5
Diagnosis taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan
mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop.
Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung
embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan
menggunakan metode uji apung.
Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara
membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan
skoleks dan proglotidnya (Iskandar et al., 2005).
Wandra et al (2007) menyatakan cacing dewasa akan melepaskan segmen
gravid yang paling ujung dan bisa pecah didalam usus, sehingga telur cacing
dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang keluar bersama
feses mengkontaminasi tanaman rumput dan termakan oleh ternak sapi, telur
cacing kemudian akan pecah didalam usus sapi (hospes perantara) dan
mengakibatkan lepasnya onkosfer (Margono et al., 2006). Dengan bantuan kait,
onkosfer mampu menembus dinding usus, masuk kedalam aliran darah, lalu
menyebar ke organ-organ tubuh sapi, terutama ke otot lidah, leher, jantung dan
otot-otot gerak. Dalam waktu 12-15 minggu akan berubah menjadi bentuk
Cystisercus. Siklus hidup lengkap T. saginata tersebut dapat dilihat pada Gambar
1.
6
Gambar 1. Siklus hidup Taenia sp.
(http://www.asm.org/Division/c/photo/tapewrm1)
2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit
Kebal dalam parasitologi berarti bebas relatif dari infeksi atau infestasi
parasit. Parasit biasanya menyebabkan infeksi yang bersifat kronis. Terjadinya
kronisitas karena lemahnya kekebalan alami dan kemampuan parasit untuk
menghindarkan diri atau mempertahankan diri terhadap respon kekebalan
spesifik. Kemampuan ini dapat bersifat toksik serta dapat menimbulkan resistensi,
sehingga berakibat pencegahan dengan pemberian obat dalam jangka waktu
panjang tidak memuaskan (Mehlhorn, 1998).
Menetapnya parasit dalam tubuh menimbulkan reaksi imunologik yang
kronis mengakibatkan kerusakan jaringan dan regulasi imunitas yang abnormal.
Menurut Ketobapadah (2011) mekanisme antibodi spesifik dalam mengontrol
parasit antara lain: a) netralisasi, antibodi mempunyai kemampuan menetralisasi
7
parasit secara langsung setelah berikatan dengan substansi yang bersifat toksik
yang dikeluarkan oleh parasit dan parasit sendiri; b) lisis, melalui komplemen
dimana antibodi bereaksi dengan antigen membran parasit mengaktifkan
komplemen jalur klasik. Komplemen tersebut adalah C6, C7, C8, C9 yang dapat
merusak membran parasit Sprozoit dari Plasmodium, Tripanosoma dan cacing
usus; dan c) peningkatan fagositosis dan antibody dependent cell cytotoxicity
(ADCC).
2.2.1 Kekebalan Terhadap Parasit
Infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya
pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan immunologi
spesifik inang definitif (Tiuria, 2004). Cacing-cacing tertentu berusaha untuk
menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah antigen permukaannya atau
melapisi permukaannya dengan protein inang definitif, misalnya dengan
glikoprotein molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) dan IgG
sehingga dianggap sebagai self component. Cacing parasitik dapat juga
mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah
terjadinya ADCC.
Menurut Pratama (2012) kekebalan ada dua macam, yaitu: 1. Kekebalan
Bawaan (Non Sspesifik), disebabkan oleh a) spesifisitas inang; b) sifat
karakteristik fisik inang; c) sifat biokimia yang khas; d) kebiasaan inang; e)
genetis. 2. Kekebalan didapat (Spesifik), dibagi dua yaitu: a) didapat secara pasif;
b) didapat secara aktif : kekebalan seluler dan kekebalan humoral.
8
2.2.2 Komponen Imunitas yang Berperan Terhadap Parasit
Komponen-komponen yang berperan dalam parasit, menurut Tiuria (2004)
ada enam. Pertama: Antibodi IgE dan Eosinofil. Ig E memiliki afinitas yang
tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi parasit, maka
level Ig E dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus,
pertama kali akan dirusak oleh Ig G akibat adanya peradangan dan antigen
spesifik. Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran Ig E dan mekanisme
tanggap kebal sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme
tersebut mengakibatkan Ig E melekat pada permukaan cacing. Selanjutnya terjadi
perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang menimbulkan teraktivasinya sel
Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik untuk cacing
parasitik. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi dan
melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya
antara lain superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase D.
Kecenderungan sel Eosinofil melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan
bahwa peran utamanya adalah pertahanan jaringan terhadap invasi parasit.
Kedua: IgG dan Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat
mendekat serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain
dari granulanya yang dapat menyebabkan parasit mati atau rusak. Ketiga: IgE dan
Makrofag. IgE memperantarai magrofag sehingga bisa berikatan dengan larva.
Akibatnya larva bisa dihancurkan oleh makrofag. Keempat: Antibodi dan
Komplemen. Reaksi Ag dan Ab membentuk komplek Ag-Ab yang dapat
mengaktivasi komplemen sehingga memudahkan eosinofil melakukan fagositosis
9
terhadap parasit. Kelima: Antibodi dan Reaksi Hipersensitifitas Tipe I. Antibodi
dirangsang oleh antigen parasit yang bersifat lokal sehingga terbentuk antibodi
lokal terutama IgE dan timbul reaksi lokal hipersensitifitas tipe I akibatnya
permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga memudahkan IgG keluar
mencapai tempat infeksi untuk menangkap dan menghilangkan parasit. Contoh:
Trichomonas foetus, T. vaginalis, larva cacing pada usus, reaksi self cure pada
Haemonchus dan Oestertagia. Keenam: Limfosit T dan Makrofag.
2.2.3 Faktor-Faktor Antigenitas
Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh
sistem imun. Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan
parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat
berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung
berikatan dengan molekul reseptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop.
Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa epitop (Emantoko,
2001).
Antigen (antigenitas) membangkitkan respon imun baik respon imun
seluler maupun humoral yang merangsang sel B atan sel T atau keduanya.
Antigen disebut juga dengan imunogen. Sifat sebagai antigenitas kecuali
ditentukan oleh sifat asing dan berat molekul dari determinan antigen, masih
dipengaruhi oleh beberapa faktor (Dorta, 2000). Faktor-faktor tersebut adalah: a)
Spesies (misalnya zat dekstran, suatu polimer dari glukosa, bersifat antigen pada
manusia dan tikus tetapi tidak bersifat antigen pada kelinci dan marmut). b) Jenis
(di dalam suatu spesies binatang percobaan ditemukan perbedaan antara beberapa
10
jenis spesies itu ditinjau dari sudut kemampuan untuk mengenal suatu bahan
sebagai antigen). c) Cara dan dosis, dimana cara pemberian dosis suntikan dan
waktu yang berlalu diantara dua suntikan dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi selain jumlah antigen itu sendiri. d) Adjuvan yaitu bahan yang berupa
emulsi yang mampu memperkuat antigen dalam kemampuannya merangsang
terbentuknya antibodi. Sifat adjuvan memberi proteksi pada antigen terhadap
eliminasi tidak spesifik dari bahan dan dapat menyebabkan pembentukan antibodi
dalam jangka panjang karena pelepasan antigen secara bertahap. Contoh adjuvan:
emulsi air-minyak presipitat aluminium, emulsi partikel bentonit, dan minyak
mineral, air dan lanolin dan ditambahkan dengan kuman mikobakterium yang
dimatikan dengan pemanasan. e) Keasingan dimana tingkat keasingan antigen
akan berpengaruh terhadap daya imunogennya. Makin asing molekul makin
tinggi daya imunogennya. f) Ukuran Molekul yaitu zat-zat yag masuk ke dalam
tubuh yang memiliki berat molekul kurang dari 10.000 akan menyebabkan terjadi
imunogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali. g) Kompleksitas. Faktor-
faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik
maupun kimia molekul. Keadaan agregasi molekul misalnya dapat mempengaruhi
imunogenitas. Larutan proten-protein monometrik dapat benar-benar merangsang
terjadinya keadaan refraktair atau tolerans bila berada dalam bentuk monometrik,
tetapi sangat imunogen bila berada dalam polimetrik atau keadaan agregasi. h).
Bentuk-bentuk (Conformation). Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang
imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang,
serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.
11
Meskipun demikian antibodi yang dibentuk dari aneka macam kombinasi struktur
adalah sangat spesifik dan dapat dengan cepat mengenal perbedaan-perbedaan ini.
Bila bentuk antigen berubah, antibodi dirangsang dalam bentuk aslinya yang tidak
bergabung lagi. i) Muatan (charge) imunogenitas tidak terbatas pada molekuler
tertentu, tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif,
negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan
akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan. Telah terbukti bahwa imunitas
dengan beberapa imunogen bermuatan positif akan menghasilkan imunogen
bermuatan negatif. j) Kemampuan masuk. Kemampuan masuk suatu kelompok
determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun.
Perkembangan baru-baru ini telah memungkinkan penelitian untuk
mempersiapkan polipeptid imunogenik sintetik yang berisi sejumlah asam amino
terbatas dan yang susunan kimianya dapat ditentukan.
2.3 Uji Imunologis
Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem
kekebalan tubuh. Imunologi membuat kemajuan besar menjelang akhir abad
ke-19, melalui perkembangan yang pesat, pada penelitian imunitas humoral dan
kekebalan seluler karya Paul Ehrlich yang mengusulkan teori rantai-sisi untuk
menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi (Goldsby et al., 2000). Adapun
macam-macam pemeriksaan teknik imunologi antara lain: a) Radioimmunoassay
(RIA) didasarkan pada reaksi antara antibodi dengan berbagai konsentrasi antigen,
digunakan untuk menentukan antigen tunggal/antibodi dalam cairan biologis.
Teknik pemeriksaan untuk menentukan antibodi/antigen dengan reagen yang
12
bertanda zat radioaktif. b) Imunohistochemisty untuk medeteksi antigen seluler
dengan menggunakan antibodi, dimana mempelajari struktur/komponen
sel/jaringan yang berfungsi sebagai antigen. c) Imunoflurense merupakan metode
imunologi mendeteksi atibodi dari berbagai kelas imunoglobulin dalam serum,
saliva dan cairan otak. Prinsip mereaksikan antibodi dan antigen spesifik dan anti
antibodi berlabel FIT (flurense isothiocyonat). d) Enzim-linked immune sorbent
assay (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan
kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang
didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen (Satria, 2012).
Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi
untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel
seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi.
Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga
diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll (Brandt et al.,
1992). Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter
Perlmann dan Eva Engvall. Teknik ELISA ini digunakan dalam bidang imunologi
(ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di
dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan
suatu enzim yang berfungsi sebagai pelopor/reporter/signal.
13
Gambar 2. Prinsip Kerja ELISA
( http://Sarmoko31.wordpress.com )
Prinsip kerja ELISA menurut Satria (2012) seperti diilustrasikan pada
Gambar 2 diatas, adalah sebagai berikut: a) Siapkan plate ELISA dan plate layout
serta coating antigen yaitu serum : coating buffer (1:1), bungkus dengan
alumunium foil dan inkubasi dalam suhu 4oC selama semalam kemudian buang
cuci dengan PBS-Tween. b) Coating blocking buffer (supaya menutupi antigen
yang tidak diinginkan) 1% BSA-PBS 100 µl dan bungkus dengan alumunium foil
serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci
dengan PBS-Tween. c) Coating antibodi primer (mengikat antigen spesifik yang
sudah di coating sebelumnya) yaitu (leptin-rabbun Pab : blocking Buffer (1: 500)
dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 2 jam pada suhu
ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. d) Coating antibodi
sekunder (untuk mengikat antibodi spesifik yang sudah di coating sebelumnya,
dan memberikan tempat untuk molekul pewarnanya) antara lain: Anti rabbit IgG
Biotin konjugat : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil kemudian
inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan dan buang dan cuci dengan PBS-
14
Tween. e) Coating enzim yaitu SAHRP : PBS (1:1000) dan bungkus dengan
alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian
buang dan cuci dengan PBS-Tween. f) Substrat dan stop solution yaitu teteskan
substrat Tetramethyl benzydine (TMB) 50 µl dan inkubasi selama 30 menit dalam
suhu ruangan serta tambahkan H2SO4 2N @ 50 µl kemudian inkubasikan selama
10 menit pada suhu ruangan.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif
untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan
antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji
kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan
menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer atau dengan cara menentukan
jumlah penambahan atau kadar antibodi atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu
kurva standard kadar antibodi atau antigen yang tidak diketahui dapat ditentukan
(Ariputuamijaya, 2011). ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive
assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antibodi–enzim,
dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-
competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai
indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA (Yong
et al., 1993). Untuk melakukan teknik "sandwich" ELISA, diperlukan beberapa
tahap yang meliputi (Satria, 2012): a) well dilapisi atau ditempeli antigen, b)
sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan, c) ditambahkan antibodi kedua
yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase alkali. Antibodi
kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya, d) dimasukkan
15
substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi, e) intensitas
warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader
hingga mendapatkan hasil berupa optical density (OD).
Beberapa kelebihan dari teknik ELISA, antara lain (Ariputuamijaya,
2011): a) teknik pengerjaan relatif sederhana, b) relatif ekonomis (karena jenis
antibodi yang digunakan hanya satu saja, sehingga menghemat biaya untuk
membeli banyak jenis antibodi), c) hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup
tinggi, d) dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar
antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi
atau antigen yang bersifat sangat spesifik). Dalam teknik ELISA terdapat juga
kekurangan (Satria, 2012) antara lain: a) Jenis antibodi yang dapat digunakan
pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis antibodi monoklonal (antibodi yang
hanya mengenali satu antigen). b) Harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal
daripada antibodi poliklonal.
16
BAB III
KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva dari
cacing pita yang disebut Cystisercus. Salah satu Cystisercus yang ditemukan pada
sapi adalah Cystisercus T. saginata. Hospes defenitif cacing pita T. saginata
adalah manusia. Penyakitnya disebut taeniasis, merupakan zoonosis penting yang
dapat menimbulkan masalah kesehatan. Parasit ini pada ternak mengakibatkan
kerugian ekonomi karena daging yang terinfeksi tidak layak dikonsumsi dan harus
dimusnakan (Dharmawan et al, 2013). Penyakit ini sering timbul di negara-negara
berkembang yang sanitasi lingkungannya buruk serta ditemukan banyak hewan
berkeliaran tidak dikandangkan. Taeniasis bersifat endemis di beberapa daerah di
Indonesia. Tiga daerah endemis utama di Indonesia adalah Bali, Papua, dan
Sumatra Utara. Taeniasis dan sistiserkosis juga ditemukan di beberapa wilayah,
seperti Timor, Flores, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan
(Simanjuntak et al., 1997; Margono et al., 2006; Wandra et al., 2007; Dharmawan
et al., 2012). Hasil survei yang dilakukan di Bali pada 2002-2009 menemukan 80
kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011).
Dalam penanganan taeniasis sistiserkosis diperlukan adanya metode yang
mudah dan dapat dipercaya secara akurat. Untuk mencegah penyebaran
sistiserkosis dan taeniasis diperlukan pengembangan uji imunodiagnostik untuk
mendeteksi keberadaan agen penyakit, terutama dalam hal mendukung diagnosis
klinis neurosistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah
17
dicobakan untuk mendeteksi adanya Cystisercus adalah indirect haemaglutination
test (IHA) dan double diffusion agar, immunoelectrophoresis, enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode
tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (da Silva
et al., 2000; Pinto et al., 2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002).
ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam
bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam suatu
sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis,
patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri (Satria, 2012). ELISA
dapat mengevaluasi adanya antigen dan antibodi dalam suatu sampel, karenanya
merupakan metode yang sangat berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi
dalam serum dan juga untuk mendeteksi adanya antigen (Sarmoko, 2011). Metode
ini merupakan metode serologi yang paling banyak digunakan mendeteksi
sistiserkosis pada manusia dan ternak (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993).
Teknik tersebut umumnya memberikan hasil yang baik (Cho et al., 1992; Yong et
al., 1993). Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang
epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari
pemeriksaan serologis (Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza
et al., 2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Bukan berarti metode serologi
ini sudah sempurna. Diperlukan antigen yang cocok agar uji memberi nilai
sensitifitas dan spesifisitas tinggi.
Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode diagnostik yang dapat
dipakai mendeteksi sistiserkosis pada hewan hidup menggunakan antigen spesifik
18
yang berasal dari isolat lokal Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode
diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk
diagnosa sistiserkosis pada sapi.
3.2 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi oleh kepustakaan
dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep seperti tergambar pada
Gambar 3 berikut.
19
Gambar 3. Konsep Penelitian
Sapi Bali
Daging Darah
Cystisercus T. saginata Serum
Antigen Antibodi
ELISA
Optimalisasi Protein
Optimalisasi Serum
Optimalisasi Konjugat
20
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi kemampuan antigen
Cystisercus T. saginata isolat lokal dalam mendeteksi sistiserkosis pada sapi
menggunakan uji ELISA. Untuk mengevaluasi antigen tersebut dirancang
konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan.
Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD)
antara kontrol positif dan kontrol negatif.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.
pada bulan Mei 2013-Juli 2013.
4.3 Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Cysticercus
T. saginata yang diperoleh dari hasil eksperimental pada sapi bali yang diinfeksi
dengan Taenia saginata (Dharmawan et al., 2012). Bahan lainnya adalah: serum
positif, serum negatif, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit
(Sigma), substrat ABTS mengandung 2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-
sulfonic acid) hydrogen peroxydase (BIORAD), PBS, PBS-Tween, Aquades,
Susu skim 5 %, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan
karbonat pH 9,6), Alkohol 70 % dan tissue.
21
4.4 Instrumen Penelitian
Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pipet (multi chanel
30-300 µl single chanel 2-20 µl), vortex, refrigarator 4oC, ELISA washer, tabung
1.5 ml, inkubator, komputer, kamera, erlenmeyer, corong, spuite,
spektofotometrik, sentrifus, kit (invitrogen).
4.5 Prosedur Penelitian
Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini dapat dijelaskan
secara singkat dalam kerangka penelitian seperti Gambar 4 di bawah ini.
22
Gambar 4. Prosedur Penelitian
4.5.1 Ekstraksi Protein
Antigen diperoleh dengan cara ekstraksi protein Cystisercus T. saginata.
Ekstraksi dilakukan dengan cara menghomogenkan kista. Selanjutnya homogenat
disentrifus dengan kecepatan 1500 RPM selama 15 menit. Supernatan diambil dan
Ekstraksi Protein
Optimalisasi ELISA
Titrasi Protein Titrasi Serum Titrasi Konjugat
PemeriksaanELISA
Penentuan Nilai Optimal Antigen, Serum, Kunjugat
Analisis Data
23
ditampung dalam satu tabung 10 ml kemudian ditambahkan penicilin 10.000 IU
dan streptomisin 10.000µg/ml. Konsentrasi protein dihitung dengan menggunakan
kit invitrogen diperoleh hasil 113µg/ml. Protein antigen Cystisercus T. saginata
ini disimpan pada suhu -20o C sampai akan digunakan.
4.5.2 Optimalisasi ELISA
Optimalisasi ELISA dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui
konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal
konjugat. Dalam penelitian ini optimalisasi ELISA meliputi titrasi protein, titrasi
serum kontrol positif dan negatif serta titrasi konjugat.
4.5.2.1 Titrasi Protein
Larutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelapisan larutan 0.1
M karbonat pH 9.6. Titrasi protein dilakukan mulai dari konsentrasi 50 µg/ml
diencerkan sampai 0.1 µg/ml dimasukkan ke dalam plate ELISA. Kemudian
diinkubasi pada suhu 4o C selama 15 jam. Selanjutnya dilakukan uji ELISA
sehingga diperoleh konsentrasi antigen yang optimal.
4.5.2.2 Titrasi Serum
Serum positif dan serum negatif diencerkan dengan PBS-Tween 20
dimulai dari pengenceran 1 : 10 sampai 1:100 pada plate ELISA. Selanjutnya
dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan
sampai diperoleh pengenceran serum yang optimal.
24
4.5.2.3 Titrasi Konjugat
Titrasi konjugat dilakukan pada uji ELISA dengan menggunakan
konsentrasi antigen yang diperoleh pada poin 4.5.2.1 dan pengenceran serum
diperoleh pada poin 4.5.2.2. Titrasi Konjugat yang digunakan dalam penelitian
ini dimulai dari pengenceran 1: 3000 sampai 1:5000. Selanjutnya dilakukan
inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai
diperoleh pengenceran konjugat yang optimal.
4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada serum
Sembilan puluh enam well polystyrene ELISA plate dilapisi dengan crude
antigen dengan konsentrasi protein yang optimal, kemudian diinkubasi selama 15
jam pada suhu 4OC dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah
inkubasi dicuci dengan ELISA washer 3 kali dengan PBS-Tween 20 (PBS-0,5
Tween). Sampel serum diencerkan PBS-0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi
sampel kemudian diinkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar, setelah
inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya
ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi dan
diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Setelah dilakukan pencucian 3 kali
dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung
2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid ) dan 0,0012% hydrogen
peroxydase. Setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density
kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 405 nm. Dari hasil pembacaan tersebut
kemudian ditentukan index OD.
25
4.6 Analisa Data
Data yang berupa nilai optical density (OD) dari serum kontrol positif dan
serum kontrol negatif dibandingkan, lalu disajikan dalam bentuk grafik.
Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih masing-masing nilai
OD tersebut
26
BAB V
HASIL PENELITIAN
Hasil optimalisasi ELISA pada penelitian ini dinyatakan dalam bentuk
konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal
konjugat. Untuk menentukan konsentrasi dan pengenceran optimal ketiga
parameter tersebut telah dilakukan penghitungan titrasi menggunakan uji ELISA.
5.1 Hasil Titrasi Antigen
Titrasi dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi antigen yang optimal,
dilakukan dengan pelapisan antigen. Antigen yang digunakan berasal dari crude
antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali. Konsentrasi terakhir untuk
optimalisasi dibuat dalam empat tingkatan yaitu 1 µg/ml, 2 µg/ml, 3 µg/ml, dan 4
µg/ml. Serum kontrol positif diperoleh dari serum sapi yang terinfeksi Cystisercus
T. saginata secara buatan (Dharmawan et al., 2012). Serum kontrol negatif
diperoleh dari pedet yang dipotong di RPH Pesanggaran. Hasil optical density
(OD) antigen dengan uji ELISA pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.
Dari hasil tersebut diketahui bahwa antigen optimal ada pada konsentrasi 2 µg/ml.
27
Gambar 6: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada
berbagai pengenceran antigen.
5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum
Pengenceran serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibuat secara
seri yaitu 1:10, 1:20, 1:30, 1:40, 1:50, 1:60, 1:70, 1:80, 1:90 dan 1:100.
Pengenceran dilakukan dengan menambahkan serum kontrol positif dan kontrol
negatif dengan PBS-Tween 20. Pada penelitian ini, dari hasil optical density
(OD) uji ELISA titrasi serum kontrol positif dan serum kontrol negatif, diketahui
pengenceran optimal serum ada pada pengenceran 1:80. Selanjutnya hasil OD
titrasi serum pengenceran 1:80 tersebut, dapat digambarkan seperti berikut
(Gambar 7).
28
Gambar 7 : Optical density ELISA serum kontrol positif dan serum kontrol negatif pada berbagai pengenceran.
5.3 Hasil Titrasi Konjugat
Mengacu pada penelitian yang sama, namun menggunakan cairan
Cysticercus bovis sebagai antigen, Dharmawan et al. (2009) telah melakukan
pengenceran konjugat bertingkat, yaitu 1:3000, 1:4000 dan 1:5000. Tingkatan
pengenceran yang sama digunakan pada penelitian ini. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa nilai OD titrasi konjugat seperti pada Gambar 8. Dari ketiga
pengenceran konjugat tersebut diperoleh pengenceran paling optimal pada 1:400
29
Gambar 8: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada
berbagai pengenceran konjugat.
30
BAB VI
PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan uji diagnostik sistiserkosis
pada sapi, dengan mengevaluasi kemampuan crude antigen Cysticercus T.
saginata isolat Bali sebagai antigen. Langkah awal dilakukan dengan optimalisasi
ELISA dengan cara menetapkan konsentrasi optimal antigen, pengenceran
optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai optimal yang diperoleh untuk konsentrasi antigen, pengenceran serum
dan pengenceran konjugat berturut-turut sebagai berikut: antigen 2 µg/ml, serum
1:80 dan konjugat 1:4000.
Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan
Dharmawan et al., (2010) yang mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan
menggunakan cairan kista T. saginata sebagai antigen. Dharmawan et al., (2010)
melaporkan bahwa pengenceran optimal yang diperoleh untuk antigen adalah
1:60; pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Jika
hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Kandil et al. (2012) yang
menggunakan crude antigen T. saginata untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi,
ada sedikit perbedaan. Dari hasil checkerboard titration yang dilakukannya,
Kandil et al. (2012) menemukan konsentrasi optimal antigen adalah 5µg/ ml.
Sementara, Rodriguez et al. (2009) yang melakukan penelitian deteksi
antigen T. solium menggunakan ELISA dan deteksi antibodi anti T. solium
menggunakan enzyme-linked immunotransfer blot (EITB) pada sampel serum dan
sampel cairan cerebrospinal pasien neurosistiserkosis, melaporkan bahwa deteksi
31
antigen dengan ELISA lebih baik untuk cairan cerebrospinal dibandingkan sampel
serum. Pengenceran optimal serum yang dilakukan untuk penelitiannya adalah
1:50 (Rodriguez et al. 2009). Menurut Minozzo et al. (2008) yang
mengungkapkan crude antigen Cysticercus T. crassiceps efektif untuk deteksi
neurosistiserkosis pada manusia di Brazil, ternyata menggunakan pengenceran
optimal antigen 1:500, pengenceran optimal serum 1:800 dan pengenceran
optimal konjugat 1:4000.
Pada penelitian ini, rentang selisih OD dari serum kontrol positif dan
serum kontrol negatif relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan sampel
serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari Rumah Potong Hewan
Pesanggaran Denpasar. Walaupun sapi-sapi yang diambil darahnya diyakini
bebas sistiserkosis, belum tentu bebas dari infeksi parasit lainnya. Menurut Pinto
et al. (2000) yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya
reaksi silang. Huebner (2004) menyatakan reaksi silang (cross-reactivity) terjadi
apabila ada dua antigen yang memiliki epitop yang identik atau antibodi yang
spesifik untuk satu epitop juga mengikat epitop lain yang tidak berhubungan
tetapi memiliki sifat kimia yang sama.
Dharmawan (2009) melaporkan Hydatida cyst, Multiceps multiceps,
Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang
dengan antibodi Cystisercus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui
bahwa suatu antigen yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi
yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Antigen ini 80% mampu mendeteksi
sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan
32
Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan (2009) diketahui bahwa antigen-antigen
yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Hal
yang sama juga diungkapkan Kandil et al. (2012) yang menyebutkan bahwa
dalam studi yang dilakukannya, tingginya persentase serum positif yang terinfeksi
T. saginata kemungkinan karena adanya reaksi silang dengan parasit taenia lain.
Sehingga hal ini membutuhkan adanya penelitian lebih lanjut.
Mehlhorn (1998) menyatakan bahwa pada saat inang definitif terinfeksi
parasit, inang tersebut akan terpapar materi antigenik asal parasit yang terdiri dari
antigen permukaan, antigen ekskretori-sekretori dan antigen somatik.
Kompleksitas antigen parasit mengakibatkan interaksi antara parasit dan inang
definitif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi antara
genus dan famili parasit, tetapi juga dengan spesies (Mehlhorn, 1998). Sebagai
peran penting dalam immunodiagnosis, Mehlhorn (1998) juga melaporkan
meskipun sebagian dari antigen asal parasit bisa merangsang tanggap kebal
protektif inang definitif, namun sebagian lain tidak berfungsi untuk
mengembangkan tanggap kebal tersebut.
Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa crude antigen Cysticercus
T. saginata isolat Bali mampu digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada
sapi. Dengan tersedianya antigen isolat lokal, akan memudahkan melakukan
seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali pada khususnya, di
Indonesia pada umumnya. Menurut Allepuz et al. (2012) penentuan
seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi memberi nilai yang lebih tinggi
dibandingkan hanya dengan mengandalkan pemeriksaan inspeksi visual post
33
mortem. Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih perlu dievaluasi dan
dikembangkan untuk mengetahui adanya reaksi silang. Di samping itu, crude
antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali perlu diteliti kemungkinannya untuk
dipakai mendeteksi sistiserkosis pada manusia. Karena menurut Oliveira et al.
(2007) metacestoda T. saginata telah terbukti dapat digunakan sebagai alternatif
antigen dalam diagnosis neurosistiserkosis pada manusia.
34
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa crude antigen
Cystisercus T. saginata isolat Bali mempunyai sifat antigenik yang dapat
digunakan sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis pada sapi.
Optimalisasi ELISA menunjukkan bahwa nilai optimal untuk konsentrasi antigen
adalah 2 µg/ml, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dan pengenceran optimal
konjugat adalah 1:4000.
7.2 Saran
Penelitian terkait penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat
Bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi perlu dilanjutkan, khususnya untuk
mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu
dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata
isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.
35
DAFTAR PUSTAKA
Allepuz, A., Gabriel, S., Dorny, P., Napp, J.F., Vilar, M.J., Lives, L., Picart, L., Ortuna, A. 2012. Comparison of Bovine Cystisercosis Prevalene Detected by Antigen ELISA and Visual Inspection in the North East of Spain. Research in Veterinary Science 92:393-395.
Ariputuamijaya. 2011. Macam-macam Tekhnik Pelabelan Antibodi Pada ELISA. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http://ariputuamijaya.wordpress.com/2011/12/10/macam-macam-teknik-pelabelan-antibodi-pada-elisa/.
Brandt, J.R., Geerts, S., Deken, D., Kumar, V., Brijs, L., and Falla, N. 1992. A Monoclonal Antibody-Based ELISA for Detection of Circulating Excretory–Secretory antigens in Taenia saginata Cysticercosis. Int. J. Parasitol. 22: 471-477.
Bragazza, L.M., Vas, A.J., Passos, A.D., Takayanagui, O.M., Nakamura, P.M., Espindola, N.M., Pardini, A., Bueno, E.C. 2002. Frequency of Serum anti-Cysticercus Antibodies in the population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. 44 (1): 7-12.
Carrique-Mas, J., Iihoshi, N., Widdowson, M.A., Roca, Y., Morales, G., Quiroga, J., Cejas, F., Caihura, M., Ibarra, R., Edelsten, M. 2001. An epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): 229-235.
Cho, S.Y., Kong, Y., Kim, S.I., and Kang, S.Y. 1992. Measurement of 150 kDa protein of Taenia Solium metacestoda by enzyme-linked immuno electrotranfer blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): 299-307.
Das, S., Mahajan, R.C., Ganguly, N.K., Sawhney, I.M., Dhawan, V., Malla, N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.
Da Silva, A.D., Quagliato, E.M., Rossi, C.L. 2000. A quantitative enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): 87-92.
Dharmawan, N.S. 2009. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Tim Editor BPMU. Udayana University Press. 1(2):152-164.
36
Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Damriyasa, I.M. 2010. Evaluasi Cairan Kista Taenia saginata untuk uji Serologi Taenia Saginata sistiserkosis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Stategis Nasional Lembaga Penelitian Universitas Udayana. 38-47.
Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Swastika, K., Damriyasa, I.M., Oka, I.B.M., Agustina, K.K. 2012. Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional “Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional” Bali, 14 September 2012.
Dharmawan, NS, Dwinata, IM, Swastika, K, Damriyasa, IM., Oka,I.B.M., Astawa, I.N.M. 2013. Protein Spesifik Cairan Kista Cystisercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi dengan Taenia saginata. J.vet. 14(1):78-84.
Dorny, P., Gabriel, N., Speybroeck., and Vercuysse, J. 2002. A sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Zambia cattle. Vet. Parasitol.104:211-215.
Dorta, S. 2000. Pengenalan Molekul Antigen. [Accessed 2013 Jul 19] Available from: URL: http://www.scribd.com/ doc/ Molekul-Pengenalan-Antigen.
Emantoko, S. 2001. Antibodi Rekombinan: Perkembangan terbaru dalam Tekhnologi Antibodi. Unitas. 9(2):29-43.
Flisser, A., Correa, D., Avilla, G., and Marvilla, P. 2005. Biology of Taenia solium, Taenia saginata and Taenia saginata asiática. In: Murrel. K.D. (Ed.) WHO/FAO/OIE guidelines for the surveillance, prevention and control of taeniosis/cisticercosis. Paris, France. 1-8.
Goldsby, R.A., Kindt, T.J., Osborne, B.A. 2000. Kuby Immunology. Ed ke-4. New York : WH Freeman & Co. 63-172.
Gonzalez, L.M., N. Villalobos., Montero, E., Morales, J., Sanz, R.A., Muro, A., Harrison, L.J., Parkhouse, R.M., and Garate, T. 2006. Differential molecular identification of Taeniid spp. And Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet. Parasitol. 142: 95-101.
Harrison, L.J., Grate, T., Brsyce, D., Ganzalez, M., Foster, L.M., Wamae, L.W., and Onyango, J.A. 2005. Vaccination of cattle against Taenia saginata cysticercosis using an oncospheral adhesion protein (HP6). 37 (2): 103-120.
37
Huebner J. 2004. Antibody-antigen interactions and measurements of immunologic reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM, editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press. 207-232.
Huges, G., Hoque, M., Tewes, M.S., Wright, S.H., and Harrison, J.S. 1993. seroepidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Swiszerland. Res. Vet. Sci. 55: 287-291.
Husain, N., Jyotsna., Bagchi, M., Huasain, M., Mishra, M.K., Gupta, S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): 375-379.
Iskandar, T., Subekti, D.T., dan Suhardono. 2005. Isolasi Antigen Sistiserkosis Pada Babi dan sapi. Seminar nasional tekhnologi peternakan dan veteriner. Balai Penelitian Veteriner; Bogor.
Ito, A., Sako, Y., Ishikawa, Y., Nakao, M., Nakaya, K., Yamasaki, H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam. 147-155.
Kandil, M., Mona, S., Mahmoud., Shalaby, H.A. 2012. Value of Taenia Saginata Crude Antigen in Diagnosis of Bovine Cystisercosis With Reference ti its Characterization. Global Veterinaria. 9(4): 474-478.
Ketobapadah. 2011. Respon imunitas terhadap tubuh parasit. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http:// ketobapadah.com/2011/04/respons-imunitas-tubuh-terhadap-parasit.html.
Margono, S.S., Wandra, T., Swasono, M.F., Murni, S., Craig, P.S., Ito, A. 2006. Taeniasis cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148.
Mehlhorn, H. 1998. Parasitology in Focus. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany.
Miller, M. 1997. Taeniasaginata. [Accessed 2013 Nov 26] Available from: URL:.http://www.asm.org/Division/c/photo/ tapewrm1.JPG.
Minozzo, C.J., Moura, de.J., Almeida, M.S., Soccol, T.V. 2008. Crude Antigen from Taenia Crassiceps Cystisercus used As Heterologous Antigen in ELISA and In EITB for Neurocysticercosis Diagnosis of Patient from Parana-Brazil. Braz.arch.biol.technol. 51(6): 1127-1137.
38
Oliveira, B.H., Machhado, A.G., Cabral, D.D., Juliana, M., Cruz, C. 2007. Application of Taenia saginata metacestodes as an alternative antigen for the Serological Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Parasitol Res. 101:1007-1013.
Pinto, P.S., Vaz, A.J., Germano, P.M., Nakamura, P.M. 2000. Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.
Pratama, S. 2012. Reaksi imun terhadap infeksi bakteri dan parasit. [Accessed 2013 Mar 26] Available from: URL: http://www.slideshare.net/SuryaPratama3/r-eaksi-imun-terhadap-infeksi-bac-dan-par .
Rodriquez, S., Dorny, P., Victor, C.W, Tsang, E., Pretell, J., Brandt, J., Andres, G., Lescano., Gonzalez, A.E., Gilman, H.R., Garcia, H.H. 2009. Detection of Taenia solium Antigens and Anti–T. solium Antibodies in Paired Serum and Cerebrospinal Fluid Samples from Patient With Intraparenchymal or Extraparenchymal Neurocysticercosis. JID. 199:1345-52.
Sarmoko. 2011. Tinjauan tentang ELISA. [Accessed 2013 Feb 23] Available from: URL: http:// sar moko31. wordpress.com/ 2011/06/28/tinjauan-tentang-elisa .
Sato, M.O., Yamasaki, H., Sako, Y., Nakao, M., Plancarte, A., Kassuku, A.A., Dorny, P., Geerts, S., Benitez-Ortis, W., Hashiguchi, Y. 2003. Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium cysticercosis inswine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet. Parasitol. 111, 309-322.
Satria, A. 2012. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Program Magister Ilmu Biomedik. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Malang.
Simanjuntak, G.M., Margono, S.S., Okamoto, M., Ito, A. 1997. Taeniais/cysticercosis in Indonesia as an emerging diseases. Parasitol Today. 13: 321-323.
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoaof Domesticated Animals, Seventh Edition. Balliere, London.
Subahar, R., Hamid, A., Purba, W., Wandra, T., Karma. C., Sako, Y., Margono, S.S., Craig, P.S., Ito, A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.
39
Tiuria, R. 2004. Immunologi penyakit parasiter metazoa dan prospek pengembangan vaksin. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Institut Pertanian Bogor.
Wandra, T., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Margono, S.S, Sudewi, R., Suroso, T., Craig, P.S., and Ito, A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100: 346-353.
Wandra, T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Raka Sudewi, A.A., Depary, A.A., Yulfi, H., Darlan, D.M., Samad, I., Okamoto, M., Sato, M.O., Yamasaki, H., Nakaya, K., Craig, P.C., Ito, A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (1): 140-143).
Wandra, T., Raka Sudewi, A.A., Swastika, I.K., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Yulfi, H., Darlan, D.M., Kapti, I.N., Samaan, G., Sato, O.M., Okamoto, M., Sako, Y., Ito, A. 2011. Taeniasis / Cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 42 (4): 793-802.
Yong, T.S., Yeo, I.S., Seo, J.H., Chang, J.K., and Jeong, G.H. 1993. Serodiagnosis of cysticercosisby ELISA-inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 32(2): 149-156.
40
LAMPIRAN
41
Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cystisercus T.saginata
Perhitungan konsentrasi dilakukan dengan invitrogen. Adapun tahapan
yang dilakukan untuk penghitungan konsentrasi antigen Cystisercus T.saginata
adalah sebagai berikut:
a. Pembuatan buffer working solution dengan cara mengambil 1194 µl buffer
solution.
b. Masukkan masing masing 190 µl ke dalam ependorf.
c. Ependorf I diisi standart 0 µg/µl (P1) sebanyak 10 µg/µl, ependorf II diisi
standart 200 µg/µl (P2), ependorf III diisi standart 400 µg/µl (P3) dan
ependorf IV diisi crude antigen yang diencerkan 100 x (10µl antigen + 90 µl
PBS) sebanyak 10 µl+ 190 working solution
d. Vortex ke empat ependorf selama 2-3 detik.
e. Inkubasi ke empat ependorf pada suhu ruang selama 15 menit.
f. Step pembacaan ependorf (read tube) pada fluorometer.
g. Masukkan ependorf yang diisi standart 0 µg/µl ke dalam flurometer (tanda
bulatan hitam).
h. Tekan “GO”.
i. Setelah muncul kata “complete” lanjut dengan memasukkan ependorf yang
diisi standart 200 µg/µl.
j. Demikian pula untuk ependorf yang berisi standart µg/µl.
k. Masukkan ependorf yang berisi sampel (crude antigen)
l. Tekan”GO”
m. Baca hasil kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (100x).
42
Lampiran 2. Tahapan optimalisasi ELISA
Dengan menggunakan crude antigen Cystisercus T.saginata isolat Bali
yang dilakukan sebagai berikut:
a. Couting buffer dan penyimpanan antigen yang telah dicouting pada suhu 4oC .
b. Pencucian dengan ELISA washer sebanyak 3 kali.
c. Bloking dengan susu skim 5 %.
d. Penambahan serum positif dan negatif dengan pengenceran yang telah
ditentukan.
e. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali.
f. Penambahan konjugat dengan pengenceran yang telah ditentukan.
g. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali.
h. Penambahan substrat dan terakhir pembacaan pada ELISA reader.
43
Lampiran 3. Dokumentasi Laboratorium
Gambar 1. Cystisercus T.saginata Gambar 2. Ekstraksi antigen
Gambar 3. Buffer wolking solution Gambar 4. Invitrogen
Gambar 5. Couting buffer Gambar 6. ELISA washer
44
Gambar 7. Pengenceran serum (+)dan serum (-)
Gambar 8. Konjugat Gambar 9. Substrat
Gambar 10. Plate ELISA Gambar 11. ELISA reader
Lampiran 4. Pengenceran pada plate ELISA
45
Titrasi Antigen
1 2 3 4
Positif 0.524 0.631 0.519 0.459Negatif 0.396 0.467 0.505 0.299Selisih 0.128 0.164 0.014 0.160Pengenceran 1 2 3 4
Titrasi Serum
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Positif 0.58 0.593 0.529 0.596 0.575 0.588 0.571 0.716 0.582Negatif 0.378 0.394 0.365 0.365 0.369 0.392 0.43 0.437 0.463Selisih 0.202 0.199 0.164 0.231 0.206 0.196 0.141 0.279 0.119Pengenceran 80 80 80 80 80 80 80 80 80
TitrasiKonjugat
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Positif 0.596 0.575 0.616 0.579 0.716 0.572 0.464 0.444 0.502Negatif 0.365 0.369 0.348 0.400 0.437 0.347 0.315 0.292 0.295Selisih 0.231 0.206 0.266 0.179 0.279 0.225 0.149 0.152 0.207Pengenceran 1:3000 1:3000 1:3000 1:4000 1:4000 1:4000 1:5000 1:500 1:5000
46