the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

60
TESIS CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI HERTATI ANRIANI LUBIS PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 i

Transcript of the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Page 1: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

TESIS

CRUDE ANTIGEN CYSTISERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI

HERTATI ANRIANI LUBIS

PROGRAM PASCASARJANA KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

i

Page 2: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI

SISTISERKOSIS PADA SAPI

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kedokteran Hewan

Program Pascasarjana Universitas Udayana

HERTATI ANRIANI LUBISNIM 1192361012

PROGRAM MAGISTERPROGRAM STUDI KEDOKTERAN HEWAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR2013

ii

Page 3: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Lembar Pengesahan

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL 28 AGUSTUS 2013

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof.Dr.drh.Nyoman Sadra Dharmawan, MS Prof.Dr.drh. I Made Damriyasa, MS NIP. 19581005 198403 1 002 NIP. 19621231 198803 1 017

Mengetahui,

Ketua Program Kedokteran Hewan Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana Universitas Udayana

Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S(K)NIP. 19621231 198903 1 315 NIP. 19590215 198510 2 001

iii

Page 4: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Tesis Ini telah Diuji pada

Tanggal 28 Agustus 2013

Panitia Penguji Tesis berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.............Tanggal …………

Ketua : Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS.

Anggota :

1. Prof. Dr. drh. I Made Damriyasa, MS.

2. Prof. Dr. drh. I Ketut Puja, M.Kes.

3. Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, MP.

4. Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si.

iv

Page 5: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis Hertati Anriani Lubis dilahirkan pada tanggal 24 Januari 1988 di

Kota Padangsidimpuan, Sumatera Utara. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga

bersaudara, putri dari pasangan suami istri Zufri Efendi Lubis dan Rosmaini

Daulay.

Penulis menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SDN 23

Padangsidimpuan dan menamatkan pendidikan tahun 2000, Pendidikan Sekolah

Menengah Pertama di SMPN 3 Padangsidimpuan, diselesaikan pada tahun 2003,

Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAN 2 Padangsidimpuan, diselesaikan

pada tahun 2006. Selanjutnya penulis menempuh pendidikan di kedokteran

Kedokteran Hewan Universitas Udayana, menyelesaikan pendidikan Sarjana

Kedokteran Hewan (SKH) Tahun 2011 dan menyelesaikan Pendidikan Profesi

Dokter Hewan Tahun 2012.

Penulis diterima menjadi mahasiswa Program Magister Program Studi S2

Kedokteran Hewan di Universitas Udayana Pada Tahun 2011. Selanjutnya penulis

melakukan penelitian di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar berjudul

“Crude Antigen Cysticercus Taenia Saginata Isolat Bali untuk Deteksi

Sistiserkosis pada Sapi.” Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan pada Program Magister Program

Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana Universitas Udayana.

v

Page 6: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan rahmat-Nya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

Prof. Dr. drh. Nyoman Sadra Dharmawan, MS. selaku pembimbing I yang dengan

penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran

selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penyelesaian tesis

ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Prof. Dr.

drh.I Made Damriyasa, MS. selaku Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Udayana yang juga bertindak sebagai Pembimbing II yang penuh

perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana, Prof.

Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD. (KHOM) atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga ditujukan

kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A

Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk

menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas

Udayana. Terima kasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. drh. I Ketut Puja,

M.Kes. selaku Ketua Program Studi S2 Kedokteran Hewan Program Pascasarjana

Universitas Udayana dan juga sebagai penguji tesis, atas kesempatan yang

diberikan untuk belajar di Program Studi yang dipimpinnya dan kesediaannya

menjadi penguji.

vi

Page 7: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan

kepada para penguji tesis lainnya, yaitu Dr. drh. Nyoman Adi Suratma, M.P. dan

Prof. Dr. drh. I Ketut Berata, M.Si. yang telah memberikan masukan, saran dan

sanggahan sehingga tesis ini dapat terwujud seperti ini. Ucapan terima kasih yang

tulus juga penulis sampaikan kepada para dosen yang telah membimbing penulis

dalam mengikuti pendidikan Program Magister pada Program Studi Kedokteran

Hewan Program Pascasarjana Univesitas Udayana.

Pada kesempatan ini secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima

kasih kepada drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil, Ph.D. yang telah meluangkan

waktu memberikan bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di laboratorium.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada orang tua penulis yaitu

bapak Zufri Efendi Lubis dan Ibu Rosmaini Daulay yang telah memberikan

dukungan dan perhatian dalam penulisan tesis ini. Keluarga terutama kakak dan

keponakan yang dengan penuh pengorbanan telah memberikan penulis

kesempatan untuk lebih berkonsentrasi menyelesaikan tesis ini.

Terima kasih juga kepada Mariana Kresty Ferdinandez, Wa Ode Santa

Monica yang telah banyak membantu dan memberikan saran kepada penulis.

Kepada drh. Pratiwi Devi GM yang menjadi rekan dalam suka dan duka selama

penelitian dan penulisan tesis dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan

satu persatu yang telah banyak membantu hingga terwujudnya tesis ini.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan anugrah-Nya kepada

semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian Tesis ini, serta

kepada penulis dan keluarga.

vii

Page 8: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

ABSTRAK

CRUDE ANTIGEN CYSTICERCUS TAENIA SAGINATA ISOLAT BALI UNTUK DETEKSI SISTISERKOSIS PADA SAPI

Telah dilakukan penelitian dengan tujuan mengevaluasi antigen Cysticercus T. saginata untuk deteksi sistisekosis pada sapi. Antigen Cysticercus T. saginata yang digunakan adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental Taenia saginata asal Bali. Penelitian dilakukan dengan optimalisasi ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) terhadap antigen dengan cara penentuan konsentrasi optimal antigen, pengenceran serum serta pengenceran konjugat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Cysticercus T. saginata isolat Bali bersifat antigenik dan dapat digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi, dengan konsentrasi optimal antigen 2 µg/ml, pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000.

Kata kunci: Cysticercus T. saginata, Antigen, ELISA.

viii

Page 9: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

ABSTRACT

THE USE OF TAENIA SAGINATA CYSTICERCUS CRUDE ANTIGEN (BALI ISOLATE) FOR THE DETECTION OF CATTLE

CYSTICERCOSIS

The purpose of this study was to evaluate Taenia saginata cystisercus antigen for the detection of cattle cysticercosis. Taenia saginata Cysticercus antigen derived from local isolates, obtained from the experimental infection of Taenia saginata tape worms from Bali. The research was done by ELISA (Enzime Linked Immunosorbent Assay) optimization by determining the optimal concentration of antigen, optimal dilutions of serum and optimal dilutions of conjugate. The results showed that Taenia saginata Cysticercus crude antigen (Bali isolate) are antigenic and can be used to detect cattle cysticercosis. Optimal concentration of antigen: 2 ug/ml, optimal dilutions of serum: 1:80 and optimal dilution of conjugate: 1:4000.

Keywords: Taenia saginata cysticercus, Antigen, ELISA.

ix

Page 10: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

RINGKASAN

Cysticercus T. saginata adalah larva atau fase metacestoda dari cacing pita T. saginata. Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang mengandung Cysticercus T. Saginata. Kejadian infeksi T.saginata pada manusia di Bali relatif banyak ditemukan pada keluarga yang gemar mengonsumsi daging sapi mentah berupa lawar. Data kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali sampai sekarang belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA.

Protein antigen Cystisercus T. saginata yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat lokal yang diperoleh dari hasil infeksi eksperimental T. saginata asal Bali. Prosedur awal penelitian ini dimulai dengan mengekstraksi protein, konsentrasi protein dengan menggunakan kit, diperoleh hasil 113µg/ml. Selanjutnya, untuk mengevaluasi kemampuan antigen Cystisercus T. saginata isolat lokal dirancang konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan. Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD) yang meliputi: titrasi optimal antigen, titrasi optimal serum dan titrasi optimal konjugat antara kontrol positif dan kontrol negatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata mempunyai sifat antigenik yang dapat digunakan sebagai antigen dalam uji imunologis untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis T. saginata pada sapi.

Hasil optimalisasi ELISA memperlihatkan bahwa nilai optimal konsentrasi antigen adalah 2µg/ml dengan nilai optical density 0.164, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dengan nilai optical density 0.279 dan pengenceran optimal konjugat adalah 1:4000 dengan nilai optical density 0.279. Berdasarkan hasil penelitan yang dilakukan tersebut dapat disimpulkan bahwa crude antigen Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali dapat dimanfaatkan untuk mendeteksi sistiserkosis pada sapi. Disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut, khususnya untuk mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.

x

Page 11: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

DAFTAR ISI

HalamanSAMPUL DALAM ........................................................................................ i

PRASYARAT GELAR ................................................................................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN........................................................................... iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................ iv

UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................... vii

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................................... ix

RINGKASAN.................................................................................................. x

DAFTAR ISI .................................................................................................. xi

DAFTAR GAMBAR..................................................................................... xiv

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. xv

BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 3

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 4

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 5

2.1 T.saginata ............................................................................................... 5

2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit............................................................. 7

2.2.1 Kekebalan terhadap Parasit ....................................................... 8

2.2.2 Komponen Imunitas yang Berperan terhadap Parasit ............... 9

2.2.3 Faktor-Faktor Antigenitas............................................................ 10

2.3 Uji Imunologis............................................................................................ 12

xi

Page 12: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir ..................................................................................... 17

3.2 Kerangka Konsep....................................................................................... 19

BAB IV METODE PENELITIAN................................................................ 21

4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 21

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 21

4.3 Bahan Penelitian ........................................................................................ 21

4.4 Instrumen Penelitian................................................................................... 22

4.5 Prosedur Penelitian.................................................................................... 22

4.5.1 Ekstraksi Protein.......................................................................... 23

4.5.2 Optimalisasi ELISA..................................................................... 24

4.5.2.1 Titrasi Protein................................................................... 24

4.5.2.2 Titrasi Serum..................................................................... 24

4.5.2.3 Titrasi Konjugat................................................................ 25

4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada Serum................................................. 25

4.6 Analisa Data .............................................................................................. 26

BAB V HASIL PENELITIAN....................................................................... 27

5.1 Hasil Titrasi Antigen.................................................................................. 27

5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum........................................................................ 28

5.3 Hasil Titrasi Konjugat................................................................................ 29

BAB VI PEMBAHASAN............................................................................... 31

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN............................................................ 35

7.1 Simpulan .................................................................................................... 35

7.2 Saran........................................................................................................... 35

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 36

LAMPIRAN .................................................................................................... 41

xii

Page 13: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Siklus Hidup Taenia sp.......................................................................... 7

2. Prinsip kerja ELISA............................................................................... 14

3. Konsep Penelitian................................................................................... 20

4. Prosedur Penelitian................................................................................. 23

5. Titrasi Antigen........................................................................................ 20

6. Titrasi Serum.......................................................................................... 28

7. Titrasi Konjugat...................................................................................... 29

8. Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada

berbagai pengenceran konjugat............................................................. 30

xiii

Page 14: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cysticercus T. saginata.............. 42

2. Tahapan Optimalisasi ELISA...................................................................... 43

3. Dokumentasi Laboratorium........................................................................ 44

4. Pengenceran pada Plate ELISA.................................................................. 46

xiv

Page 15: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cystisercus T. saginata merupakan bentuk larva cacing pita T. saginata.

Sapi akan terinfeksi sistiserkosis bila menelan telur atau proglotid T. saginata

yang dikeluarkan manusia lewat feses. Manusia terinfeksi taeniasis bila

mengonsumsi daging sapi yang tidak dimasak atau di masak kurang matang yang

mengandung Cysticercus T. Saginata. Menurut Soulsby (1982), Cysticercus T.

saginata berukuran 6-9 mm dengan diameter sekitar 5 mm. Kista ini paling sering

dijumpai pada otot masseter, jantung dan diafragma. Kejadian sistiserkosis pada

sapi kebanyakan diperoleh dari laporan pemeriksaan kesehatan daging yang

biasanya tidak seluruh negara melakukannya (Dharmawan, 2009). Sementara

laporan tentang kejadian taeniasis pada manusia di Bali dilaporkan secara

periodik. Di Bali Kabupaten Gianyar, prevalensinya mencapai 27,5% (Wandra et

al., 2006; 2007; 2011).

Upaya penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis sebenarnya tidak sulit,

salah satunya dengan memutus siklus hidup parasit dengan menekan sumber

infeksinya pada sapi. Permasalahannya sampai sekarang data tentang kejadian

sistiserkosis pada sapi di Bali tidak ada atau belum pernah dilaporkan. Hal ini

akibat dari sulitnya melakukan diagnosis sistiserkosis pada hewan hidup. Pada

hewan besar diagnosis harus dilakukan secara post mortem dengan pemeriksaan

kesehatan daging. Sistiserkosis dapat dideteksi pada lidah sapi dengan melakukan

palpasi, bila positif akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau

1

Page 16: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

intramuskular. Menurut Gonzalez et al. (2006), palpasi merupakan satu-satunya

cara deteksi ante mortem pada hewan yang diduga terinfeksi sistiserkosis di

negara berkembang, namun memiliki sensitifitas yang rendah. Pengembangan uji-

uji imunodiagnostik untuk mendeteksi adanya agen penyakit tersebut telah

dilakukan mulai puluhan tahun lalu.

Teknik-teknik yang telah dikembangkan tersebut ternyata memberi

kemudahan dalam penggunaan reagen dan prosedur pengerjaannya (Iskandar et

al., 2005). Selama ini uji-uji diagnostik yang dikembangkan untuk mendeteksi

keberadaan sistiserkosis pada hewan diantaranya adalah uji serologi dengan

metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pengembangkan ELISA

untuk mendeteksi keberadaan Cysticercus cellulosae melalui pemeriksaan

antibodi anti-Cysticercus cellulosae pada serum telah berhasil dilakukan pada

tahun 1997-1998 (Sato et al., 2003). Harrison et al. (2005) menyatakan untuk

menunjukkan sebaran infeksi Cysticercus bovis dalam suatu wilayah dengan

wabah infeksi tinggi, metode ELISA dinilai cocok sebagai salah satu uji

serodiagnosis. Dorny et al. (2002) melaporkan perbedaan sensitifitas dan

spesifisitas beberapa uji untuk deteksi sistiserkosis. Pemeriksaan dengan teknik

palpasi lidah memiliki sensitifitas 16,1% dan spesifisitas 100%, pemeriksaan post

mortem memiliki sensitifitas 38,7% dan spesifisitas 100%, uji ELISA untuk

deteksi antibodi memiliki sensitifitas 45,2% dan spesifisitas 88,2%, dan uji

ELISA untuk deteksi antigen memiliki sensitifitas 64,5% dan spesifisitas 91,2%.

2

Page 17: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Dari laporan tersebut, terlihat bahwa ELISA merupakan uji dengan tingkat

sensitifitas dan spesifisitas yang terbaik dibandingkan teknik metode diagnosis

lainnya.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk pengembangan teknik

diagnostik sistiserkosis pada sapi bali dengan menggunakan metode ELISA.

Tahap awal akan dicari berapa konsentrasi optimal antigen yang berasal dari

protein Cysticercus T. saginata isolat lokal Bali, berapa pengenceran optimal

serum dan konjugat yang efektif digunakan untuk mendeteksi keberadaan

Cysticercus T. saginata pada sapi terinfeksi.

1.2 Rumusan Masalah

Pada penelitian ini akan digunakan uji ELISA. Permasalahan yang

diungkapkan adalah untuk mengetahui kemampuan antigen Cystisercus T.

saginata dalam mendeteksi sistiserkosis. Dalam uji ini ada 3 komponen penting

yang ingin diketahui, antara lain:

a. berapa konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali

untuk deteksi sistiserkosis pada sapi,

b. berapa pengenceran optimal serum yang dipakai mendeteksi sistiserkosis

pada sapi,

c. berapa konsentrasi optimal konjugat yang dipakai mendeteksi sistiserkosis

pada sapi.

3

Page 18: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memperoleh uji diagnostik untuk mendeteksi

sistiserkosis pada sapi dengan uji ELISA menggunakan crude antigen isolat lokal.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:

a. mengetahui konsentrasi optimal protein Cysticercus T. saginata isolat Bali

yang dapat dipakai sebagai antigen untuk mendeteksi sistiserkosis pada

sapi,

b. mengetahui pengenceran optimal dari serum yang akan diperiksa untuk

tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi, dan

c. untuk mengetahui konsentrasi optimal konjugat yang dapat dipakai untuk

tujuan deteksi sistiserkosis pada sapi.

1.4 Manfaat penelitian

Manfaat dari penelitian yang dilakukan adalah menyediakan antigen

spesifik berasal dari isolat lokal Bali untuk dipakai mendeteksi antibodi

Cystisercus T. saginata pada sapi Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode

diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk

diagnosis sistiserkosis pada sapi.

4

Page 19: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Taenia saginata

Taenia merupakan salah satu cacing pita yang termasuk dalam kerajaan

Animalia, filum Platyhelminthes, kelas Cestoda, bangsa Cyclophyllidea, famili

Teniidae. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata penting yang

menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau (Soulsby, 1982). Panjang dan tubuh

taenia terdiri atas rangkaian segmen-segmen yang masing-masing disebut

proglotid (Huges et al., 1993). Kepala cacing pita disebut skoleks dan memiliki

alat isap (sucker) yang mempunyai tonjolan (rostelum). Larva dari cacing taenia

disebut metacestoda, menyebabkan penyakit sistiserkosis pada hewan. Terdapat

tiga spesies penting cacing pita Taenia, yaitu T. solium, T. saginata, dan T.

asiatica (Flisser et al., 2005). Ketiga spesies Taenia ini dianggap penting karena

dapat menyebabkan penyakit pada manusia, yang dikenal dengan istilah taeniasis.

Hospes definitif T. saginata adalah manusia dan predileksinya dalam

usus halus. Bentuk belum dewasa ditemukan pada sapi. Cacing pita T. saginata

memiliki ukuran panjang 5-10 meter, pernah dilaporkan lebih dari 15 meter.

Skoleks Taenia in tidak dipersenjatai. Proglotid memiliki percabangan uterus

lateral berjumlah 15-35 buah. Pada setiap proglotid bunting terdapat lebih dari

100 telur. Cacing T. saginata menjadi dewasa setelah 10-12 minggu sekitar 2

bulan (Wandra et al, 2006). Bentuk belum dewasa adalah Cystisercus dan tempat

predileksinya pada jantung, otot rangka, lemak, hati, maseter, diafragma, lidah

(Soulsby, 1982).

5

Page 20: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Diagnosis taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan

mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses di bawah mikroskop.

Telur cacing Taenia berbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung

embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan

menggunakan metode uji apung.

Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara

membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan

skoleks dan proglotidnya (Iskandar et al., 2005).

Wandra et al (2007) menyatakan cacing dewasa akan melepaskan segmen

gravid yang paling ujung dan bisa pecah didalam usus, sehingga telur cacing

dapat dijumpai pada feses penderita. Apabila telur cacing yang keluar bersama

feses mengkontaminasi tanaman rumput dan termakan oleh ternak sapi, telur

cacing kemudian akan pecah didalam usus sapi (hospes perantara) dan

mengakibatkan lepasnya onkosfer (Margono et al., 2006). Dengan bantuan kait,

onkosfer mampu menembus dinding usus, masuk kedalam aliran darah, lalu

menyebar ke organ-organ tubuh sapi, terutama ke otot lidah, leher, jantung dan

otot-otot gerak. Dalam waktu 12-15 minggu akan berubah menjadi bentuk

Cystisercus. Siklus hidup lengkap T. saginata tersebut dapat dilihat pada Gambar

1.

6

Page 21: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 1. Siklus hidup Taenia sp.

(http://www.asm.org/Division/c/photo/tapewrm1)

2.2 Respon Imun pada Infeksi Parasit

Kebal dalam parasitologi berarti bebas relatif dari infeksi atau infestasi

parasit. Parasit biasanya menyebabkan infeksi yang bersifat kronis. Terjadinya

kronisitas karena lemahnya kekebalan alami dan kemampuan parasit untuk

menghindarkan diri atau mempertahankan diri terhadap respon kekebalan

spesifik. Kemampuan ini dapat bersifat toksik serta dapat menimbulkan resistensi,

sehingga berakibat pencegahan dengan pemberian obat dalam jangka waktu

panjang tidak memuaskan (Mehlhorn, 1998).

Menetapnya parasit dalam tubuh menimbulkan reaksi imunologik yang

kronis mengakibatkan kerusakan jaringan dan regulasi imunitas yang abnormal.

Menurut Ketobapadah (2011) mekanisme antibodi spesifik dalam mengontrol

parasit antara lain: a) netralisasi, antibodi mempunyai kemampuan menetralisasi

7

Page 22: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

parasit secara langsung setelah berikatan dengan substansi yang bersifat toksik

yang dikeluarkan oleh parasit dan parasit sendiri; b) lisis, melalui komplemen

dimana antibodi bereaksi dengan antigen membran parasit mengaktifkan

komplemen jalur klasik. Komplemen tersebut adalah C6, C7, C8, C9 yang dapat

merusak membran parasit Sprozoit dari Plasmodium, Tripanosoma dan cacing

usus; dan c) peningkatan fagositosis dan antibody dependent cell cytotoxicity

(ADCC).

2.2.1 Kekebalan Terhadap Parasit

Infeksi cacing parasitik berjalan kronis yang diakibatkan oleh lemahnya

pertahanan alamiah dan kemampuan mengelak dari pertahanan immunologi

spesifik inang definitif (Tiuria, 2004). Cacing-cacing tertentu berusaha untuk

menghindar dari reaksi imunologik dengan mengubah antigen permukaannya atau

melapisi permukaannya dengan protein inang definitif, misalnya dengan

glikoprotein molekul MHC (Major Histocompatibility Complex) dan IgG

sehingga dianggap sebagai self component. Cacing parasitik dapat juga

mengekspresikan ectoenzyme yang dapat merombak antibodi sehingga mencegah

terjadinya ADCC.

Menurut Pratama (2012) kekebalan ada dua macam, yaitu: 1. Kekebalan

Bawaan (Non Sspesifik), disebabkan oleh a) spesifisitas inang; b) sifat

karakteristik fisik inang; c) sifat biokimia yang khas; d) kebiasaan inang; e)

genetis. 2. Kekebalan didapat (Spesifik), dibagi dua yaitu: a) didapat secara pasif;

b) didapat secara aktif : kekebalan seluler dan kekebalan humoral.

8

Page 23: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

2.2.2 Komponen Imunitas yang Berperan Terhadap Parasit

Komponen-komponen yang berperan dalam parasit, menurut Tiuria (2004)

ada enam. Pertama: Antibodi IgE dan Eosinofil. Ig E memiliki afinitas yang

tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi parasit, maka

level Ig E dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus,

pertama kali akan dirusak oleh Ig G akibat adanya peradangan dan antigen

spesifik. Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran Ig E dan mekanisme

tanggap kebal sitotoksisitas seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme

tersebut mengakibatkan Ig E melekat pada permukaan cacing. Selanjutnya terjadi

perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang menimbulkan teraktivasinya sel

Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik untuk cacing

parasitik. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi dan

melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya

antara lain superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase D.

Kecenderungan sel Eosinofil melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan

bahwa peran utamanya adalah pertahanan jaringan terhadap invasi parasit.

Kedua: IgG dan Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat

mendekat serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain

dari granulanya yang dapat menyebabkan parasit mati atau rusak. Ketiga: IgE dan

Makrofag. IgE memperantarai magrofag sehingga bisa berikatan dengan larva.

Akibatnya larva bisa dihancurkan oleh makrofag. Keempat: Antibodi dan

Komplemen. Reaksi Ag dan Ab membentuk komplek Ag-Ab yang dapat

mengaktivasi komplemen sehingga memudahkan eosinofil melakukan fagositosis

9

Page 24: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

terhadap parasit. Kelima: Antibodi dan Reaksi Hipersensitifitas Tipe I. Antibodi

dirangsang oleh antigen parasit yang bersifat lokal sehingga terbentuk antibodi

lokal terutama IgE dan timbul reaksi lokal hipersensitifitas tipe I akibatnya

permeabilitas pembuluh darah meningkat sehingga memudahkan IgG keluar

mencapai tempat infeksi untuk menangkap dan menghilangkan parasit. Contoh:

Trichomonas foetus, T. vaginalis, larva cacing pada usus, reaksi self cure pada

Haemonchus dan Oestertagia. Keenam: Limfosit T dan Makrofag.

2.2.3 Faktor-Faktor Antigenitas

Antigen adalah substansi yang dapat dikenali dan diikat dengan baik oleh

sistem imun. Antigen dapat berasal dari organisme (bakteri, virus, jamur dan

parasit) atau molekul asing bagi tubuh. Tidak setiap bagian dari antigen dapat

berinteraksi dengan molekul sistem imun. Bagian dari antigen secara langsung

berikatan dengan molekul reseptor (seperti antibodi) yang dikenal dengan epitop.

Hal ini menandakan bahwa antigen mempunyai beberapa epitop (Emantoko,

2001).

Antigen (antigenitas) membangkitkan respon imun baik respon imun

seluler maupun humoral yang merangsang sel B atan sel T atau keduanya.

Antigen disebut juga dengan imunogen. Sifat sebagai antigenitas kecuali

ditentukan oleh sifat asing dan berat molekul dari determinan antigen, masih

dipengaruhi oleh beberapa faktor (Dorta, 2000). Faktor-faktor tersebut adalah: a)

Spesies (misalnya zat dekstran, suatu polimer dari glukosa, bersifat antigen pada

manusia dan tikus tetapi tidak bersifat antigen pada kelinci dan marmut). b) Jenis

(di dalam suatu spesies binatang percobaan ditemukan perbedaan antara beberapa

10

Page 25: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

jenis spesies itu ditinjau dari sudut kemampuan untuk mengenal suatu bahan

sebagai antigen). c) Cara dan dosis, dimana cara pemberian dosis suntikan dan

waktu yang berlalu diantara dua suntikan dapat mempengaruhi pembentukan

antibodi selain jumlah antigen itu sendiri. d) Adjuvan yaitu bahan yang berupa

emulsi yang mampu memperkuat antigen dalam kemampuannya merangsang

terbentuknya antibodi. Sifat adjuvan memberi proteksi pada antigen terhadap

eliminasi tidak spesifik dari bahan dan dapat menyebabkan pembentukan antibodi

dalam jangka panjang karena pelepasan antigen secara bertahap. Contoh adjuvan:

emulsi air-minyak presipitat aluminium, emulsi partikel bentonit, dan minyak

mineral, air dan lanolin dan ditambahkan dengan kuman mikobakterium yang

dimatikan dengan pemanasan. e) Keasingan dimana tingkat keasingan antigen

akan berpengaruh terhadap daya imunogennya. Makin asing molekul makin

tinggi daya imunogennya. f) Ukuran Molekul yaitu zat-zat yag masuk ke dalam

tubuh yang memiliki berat molekul kurang dari 10.000 akan menyebabkan terjadi

imunogenik lemah atau tidak imunogenik sama sekali. g) Kompleksitas. Faktor-

faktor yang mempengaruhi kompleksitas imunogen meliputi baik sifat fisik

maupun kimia molekul. Keadaan agregasi molekul misalnya dapat mempengaruhi

imunogenitas. Larutan proten-protein monometrik dapat benar-benar merangsang

terjadinya keadaan refraktair atau tolerans bila berada dalam bentuk monometrik,

tetapi sangat imunogen bila berada dalam polimetrik atau keadaan agregasi. h).

Bentuk-bentuk (Conformation). Tidak adanya bentuk dari molekul tertentu yang

imunogen. Polipeptid linear atau bercabang, karbohidrat linear atau bercabang,

serta protein globular, semuanya mampu merangsang terjadinya respon imun.

11

Page 26: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Meskipun demikian antibodi yang dibentuk dari aneka macam kombinasi struktur

adalah sangat spesifik dan dapat dengan cepat mengenal perbedaan-perbedaan ini.

Bila bentuk antigen berubah, antibodi dirangsang dalam bentuk aslinya yang tidak

bergabung lagi. i) Muatan (charge) imunogenitas tidak terbatas pada molekuler

tertentu, tidak terbatas pada molekuler tertentu, zat-zat yang bermuatan positif,

negatif, dan netral dapat imunogen. Namun demikian imunogen tanpa muatan

akan memunculkan antibodi yang tanpa kekuatan. Telah terbukti bahwa imunitas

dengan beberapa imunogen bermuatan positif akan menghasilkan imunogen

bermuatan negatif. j) Kemampuan masuk. Kemampuan masuk suatu kelompok

determinan pada sistem pengenalan akan menentukan hasil respon imun.

Perkembangan baru-baru ini telah memungkinkan penelitian untuk

mempersiapkan polipeptid imunogenik sintetik yang berisi sejumlah asam amino

terbatas dan yang susunan kimianya dapat ditentukan.

2.3 Uji Imunologis

Imunologi adalah ilmu yang mempelajari struktur dan fungsi sistem

kekebalan tubuh. Imunologi membuat kemajuan besar menjelang akhir abad

ke-19, melalui perkembangan yang pesat, pada penelitian imunitas humoral dan

kekebalan seluler karya Paul Ehrlich yang mengusulkan teori rantai-sisi untuk

menjelaskan spesifisitas reaksi antigen-antibodi (Goldsby et al., 2000). Adapun

macam-macam pemeriksaan teknik imunologi antara lain: a) Radioimmunoassay

(RIA) didasarkan pada reaksi antara antibodi dengan berbagai konsentrasi antigen,

digunakan untuk menentukan antigen tunggal/antibodi dalam cairan biologis.

Teknik pemeriksaan untuk menentukan antibodi/antigen dengan reagen yang

12

Page 27: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

bertanda zat radioaktif. b) Imunohistochemisty untuk medeteksi antigen seluler

dengan menggunakan antibodi, dimana mempelajari struktur/komponen

sel/jaringan yang berfungsi sebagai antigen. c) Imunoflurense merupakan metode

imunologi mendeteksi atibodi dari berbagai kelas imunoglobulin dalam serum,

saliva dan cairan otak. Prinsip mereaksikan antibodi dan antigen spesifik dan anti

antibodi berlabel FIT (flurense isothiocyonat). d) Enzim-linked immune sorbent

assay (ELISA) atau dalam bahasa indonesianya disebut sebagai uji penentuan

kadar immunosorben taut-enzim, merupakan teknik pengujian serologi yang

didasarkan pada prinsip interaksi antara antibodi dan antigen (Satria, 2012).

Pada awalnya, teknik ELISA hanya digunakan dalam bidang imunologi

untuk mendeteksi keberadaan antigen maupun antibodi dalam suatu sampel

seperti dalam pendeteksian antibodi IgM, IgG, dan IgA pada saat terjadi infeksi.

Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik ELISA juga

diaplikasikan dalam bidang patologi tumbuhan, kedokteran, dll (Brandt et al.,

1992). Teknik ELISA pertama kali diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Peter

Perlmann dan Eva Engvall. Teknik ELISA ini digunakan dalam bidang imunologi

(ELISA konvensional) untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di

dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan

suatu enzim yang berfungsi sebagai pelopor/reporter/signal.

13

Page 28: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 2. Prinsip Kerja ELISA

( http://Sarmoko31.wordpress.com )

Prinsip kerja ELISA menurut Satria (2012) seperti diilustrasikan pada

Gambar 2 diatas, adalah sebagai berikut: a) Siapkan plate ELISA dan plate layout

serta coating antigen yaitu serum : coating buffer (1:1), bungkus dengan

alumunium foil dan inkubasi dalam suhu 4oC selama semalam kemudian buang

cuci dengan PBS-Tween. b) Coating blocking buffer (supaya menutupi antigen

yang tidak diinginkan) 1% BSA-PBS 100 µl dan bungkus dengan alumunium foil

serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian buang dan cuci

dengan PBS-Tween. c) Coating antibodi primer (mengikat antigen spesifik yang

sudah di coating sebelumnya) yaitu (leptin-rabbun Pab : blocking Buffer (1: 500)

dan bungkus dengan alumunium foil serta inkubasikan selama 2 jam pada suhu

ruangan kemudian buang dan cuci dengan PBS-Tween. d) Coating antibodi

sekunder (untuk mengikat antibodi spesifik yang sudah di coating sebelumnya,

dan memberikan tempat untuk molekul pewarnanya) antara lain: Anti rabbit IgG

Biotin konjugat : PBS (1:1000) dan bungkus dengan alumunium foil kemudian

inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan dan buang dan cuci dengan PBS-

14

Page 29: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Tween. e) Coating enzim yaitu SAHRP : PBS (1:1000) dan bungkus dengan

alumunium foil serta inkubasikan selama 1 jam pada suhu ruangan kemudian

buang dan cuci dengan PBS-Tween. f) Substrat dan stop solution yaitu teteskan

substrat Tetramethyl benzydine (TMB) 50 µl dan inkubasi selama 30 menit dalam

suhu ruangan serta tambahkan H2SO4 2N @ 50 µl kemudian inkubasikan selama

10 menit pada suhu ruangan.

Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif

untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan

antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji

kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan

menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer atau dengan cara menentukan

jumlah penambahan atau kadar antibodi atau antigen, sehingga dapat dibuat suatu

kurva standard kadar antibodi atau antigen yang tidak diketahui dapat ditentukan

(Ariputuamijaya, 2011). ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive

assay yang menggunakan konjugat antigen–enzim atau konjugat antibodi–enzim,

dan non-competitive assay yang menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-

competitive assay, antibodi kedua akan dikonjugasikan dengan enzim sebagai

indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai "sandwich" ELISA (Yong

et al., 1993). Untuk melakukan teknik "sandwich" ELISA, diperlukan beberapa

tahap yang meliputi (Satria, 2012): a) well dilapisi atau ditempeli antigen, b)

sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan, c) ditambahkan antibodi kedua

yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti peroksidase alkali. Antibodi

kedua ini akan menempel pada antibodi sampel sebelumnya, d) dimasukkan

15

Page 30: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi, e) intensitas

warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA reader

hingga mendapatkan hasil berupa optical density (OD).

Beberapa kelebihan dari teknik ELISA, antara lain (Ariputuamijaya,

2011): a) teknik pengerjaan relatif sederhana, b) relatif ekonomis (karena jenis

antibodi yang digunakan hanya satu saja, sehingga menghemat biaya untuk

membeli banyak jenis antibodi), c) hasil memiliki tingkat sensitivitas yang cukup

tinggi, d) dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan antigen walaupun kadar

antigen tersebut sangat rendah (hal ini disebabkan sifat interaksi antara antibodi

atau antigen yang bersifat sangat spesifik). Dalam teknik ELISA terdapat juga

kekurangan (Satria, 2012) antara lain: a) Jenis antibodi yang dapat digunakan

pada uji dengan teknik ELISA ini hanya jenis antibodi monoklonal (antibodi yang

hanya mengenali satu antigen). b) Harga antibodi monoklonal relatif lebih mahal

daripada antibodi poliklonal.

16

Page 31: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB III

KERANGKA BERPIKIR DAN KERANGKA KONSEP PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Sistiserkosis adalah penyakit parasitik yang disebabkan oleh larva dari

cacing pita yang disebut Cystisercus. Salah satu Cystisercus yang ditemukan pada

sapi adalah Cystisercus T. saginata. Hospes defenitif cacing pita T. saginata

adalah manusia. Penyakitnya disebut taeniasis, merupakan zoonosis penting yang

dapat menimbulkan masalah kesehatan. Parasit ini pada ternak mengakibatkan

kerugian ekonomi karena daging yang terinfeksi tidak layak dikonsumsi dan harus

dimusnakan (Dharmawan et al, 2013). Penyakit ini sering timbul di negara-negara

berkembang yang sanitasi lingkungannya buruk serta ditemukan banyak hewan

berkeliaran tidak dikandangkan. Taeniasis bersifat endemis di beberapa daerah di

Indonesia. Tiga daerah endemis utama di Indonesia adalah Bali, Papua, dan

Sumatra Utara. Taeniasis dan sistiserkosis juga ditemukan di beberapa wilayah,

seperti Timor, Flores, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan dan Sumatra Selatan

(Simanjuntak et al., 1997; Margono et al., 2006; Wandra et al., 2007; Dharmawan

et al., 2012). Hasil survei yang dilakukan di Bali pada 2002-2009 menemukan 80

kasus taeniasis T. saginata dari 660 orang yang diperiksa (Wandra et al., 2011).

Dalam penanganan taeniasis sistiserkosis diperlukan adanya metode yang

mudah dan dapat dipercaya secara akurat. Untuk mencegah penyebaran

sistiserkosis dan taeniasis diperlukan pengembangan uji imunodiagnostik untuk

mendeteksi keberadaan agen penyakit, terutama dalam hal mendukung diagnosis

klinis neurosistiserkosis pada manusia. Beberapa metode serologi yang telah

17

Page 32: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

dicobakan untuk mendeteksi adanya Cystisercus adalah indirect haemaglutination

test (IHA) dan double diffusion agar, immunoelectrophoresis, enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) dan radioimmunoassay (RIA). Diantara metode

tersebut, ELISA ternyata merupakan uji yang paling banyak digunakan (da Silva

et al., 2000; Pinto et al., 2000; Husain et al., 2001; Das et al., 2002).

ELISA adalah suatu teknik biokimia yang terutama digunakan dalam

bidang imunologi untuk mendeteksi adanya antibodi atau antigen dalam suatu

sampel. ELISA telah digunakan sebagai alat diagnostik dalam bidang medis,

patologi tumbuhan, dan juga berbagai bidang industri (Satria, 2012). ELISA

dapat mengevaluasi adanya antigen dan antibodi dalam suatu sampel, karenanya

merupakan metode yang sangat berguna untuk menentukan konsentrasi antibodi

dalam serum dan juga untuk mendeteksi adanya antigen (Sarmoko, 2011). Metode

ini merupakan metode serologi yang paling banyak digunakan mendeteksi

sistiserkosis pada manusia dan ternak (Cho et al., 1992; Yong et al., 1993).

Teknik tersebut umumnya memberikan hasil yang baik (Cho et al., 1992; Yong et

al., 1993). Bahkan dewasa ini, telah umum diketahui bahwa laporan tentang

epidemiologi kejadian sistiserkosis di beberapa negara, datanya diperoleh dari

pemeriksaan serologis (Carrique-Mas et al., 2001; Subahar et al., 2001; Bragazza

et al., 2002; Dorny et al., 2002; Ito et al., 2002). Bukan berarti metode serologi

ini sudah sempurna. Diperlukan antigen yang cocok agar uji memberi nilai

sensitifitas dan spesifisitas tinggi.

Penelitian ini bertujuan mengembangkan metode diagnostik yang dapat

dipakai mendeteksi sistiserkosis pada hewan hidup menggunakan antigen spesifik

18

Page 33: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

yang berasal dari isolat lokal Bali. Dengan kata lain, menyediakan metode

diagnostik serologis yang mudah dapat diterapkan secara ante mortem untuk

diagnosa sistiserkosis pada sapi.

3.2 Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka berpikir di atas yang dilandasi oleh kepustakaan

dan dasar teori, maka dapat disusun kerangka konsep seperti tergambar pada

Gambar 3 berikut.

19

Page 34: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 3. Konsep Penelitian

Sapi Bali

Daging Darah

Cystisercus T. saginata Serum

Antigen Antibodi

ELISA

Optimalisasi Protein

Optimalisasi Serum

Optimalisasi Konjugat

20

Page 35: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini dirancang untuk mengevaluasi kemampuan antigen

Cystisercus T. saginata isolat lokal dalam mendeteksi sistiserkosis pada sapi

menggunakan uji ELISA. Untuk mengevaluasi antigen tersebut dirancang

konsentrasi dan pengenceran dalam beberapa tingkatan sebagai ulangan.

Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih optical density (OD)

antara kontrol positif dan kontrol negatif.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Besar Veteriner Denpasar.

pada bulan Mei 2013-Juli 2013.

4.3 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya adalah Cysticercus

T. saginata yang diperoleh dari hasil eksperimental pada sapi bali yang diinfeksi

dengan Taenia saginata (Dharmawan et al., 2012). Bahan lainnya adalah: serum

positif, serum negatif, konjugat (IgG-Peroxidase antibody produced in rabbit

(Sigma), substrat ABTS mengandung 2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-

sulfonic acid) hydrogen peroxydase (BIORAD), PBS, PBS-Tween, Aquades,

Susu skim 5 %, Larutan stopper (oxalic acid), coating buffer (0,1M larutan

karbonat pH 9,6), Alkohol 70 % dan tissue.

21

Page 36: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

4.4 Instrumen Penelitian

Peralatan yang digunakan pada penelitian adalah pipet (multi chanel

30-300 µl single chanel 2-20 µl), vortex, refrigarator 4oC, ELISA washer, tabung

1.5 ml, inkubator, komputer, kamera, erlenmeyer, corong, spuite,

spektofotometrik, sentrifus, kit (invitrogen).

4.5 Prosedur Penelitian

Langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini dapat dijelaskan

secara singkat dalam kerangka penelitian seperti Gambar 4 di bawah ini.

22

Page 37: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 4. Prosedur Penelitian

4.5.1 Ekstraksi Protein

Antigen diperoleh dengan cara ekstraksi protein Cystisercus T. saginata.

Ekstraksi dilakukan dengan cara menghomogenkan kista. Selanjutnya homogenat

disentrifus dengan kecepatan 1500 RPM selama 15 menit. Supernatan diambil dan

Ekstraksi Protein

Optimalisasi ELISA

Titrasi Protein Titrasi Serum Titrasi Konjugat

PemeriksaanELISA

Penentuan Nilai Optimal Antigen, Serum, Kunjugat

Analisis Data

23

Page 38: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

ditampung dalam satu tabung 10 ml kemudian ditambahkan penicilin 10.000 IU

dan streptomisin 10.000µg/ml. Konsentrasi protein dihitung dengan menggunakan

kit invitrogen diperoleh hasil 113µg/ml. Protein antigen Cystisercus T. saginata

ini disimpan pada suhu -20o C sampai akan digunakan.

4.5.2 Optimalisasi ELISA

Optimalisasi ELISA dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal

konjugat. Dalam penelitian ini optimalisasi ELISA meliputi titrasi protein, titrasi

serum kontrol positif dan negatif serta titrasi konjugat.

4.5.2.1 Titrasi Protein

Larutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelapisan larutan 0.1

M karbonat pH 9.6. Titrasi protein dilakukan mulai dari konsentrasi 50 µg/ml

diencerkan sampai 0.1 µg/ml dimasukkan ke dalam plate ELISA. Kemudian

diinkubasi pada suhu 4o C selama 15 jam. Selanjutnya dilakukan uji ELISA

sehingga diperoleh konsentrasi antigen yang optimal.

4.5.2.2 Titrasi Serum

Serum positif dan serum negatif diencerkan dengan PBS-Tween 20

dimulai dari pengenceran 1 : 10 sampai 1:100 pada plate ELISA. Selanjutnya

dilakukan inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan

sampai diperoleh pengenceran serum yang optimal.

24

Page 39: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

4.5.2.3 Titrasi Konjugat

Titrasi konjugat dilakukan pada uji ELISA dengan menggunakan

konsentrasi antigen yang diperoleh pada poin 4.5.2.1 dan pengenceran serum

diperoleh pada poin 4.5.2.2. Titrasi Konjugat yang digunakan dalam penelitian

ini dimulai dari pengenceran 1: 3000 sampai 1:5000. Selanjutnya dilakukan

inkubasi selama 1 jam pada suhu 37o C. Proses uji ELISA dilanjutkan sampai

diperoleh pengenceran konjugat yang optimal.

4.5.3 Pemeriksaan ELISA pada serum

Sembilan puluh enam well polystyrene ELISA plate dilapisi dengan crude

antigen dengan konsentrasi protein yang optimal, kemudian diinkubasi selama 15

jam pada suhu 4OC dengan konsentrasi sesuai dengan hasil titrasi antigen. Setelah

inkubasi dicuci dengan ELISA washer 3 kali dengan PBS-Tween 20 (PBS-0,5

Tween). Sampel serum diencerkan PBS-0,5 Tween sesuai dengan hasil titrasi

sampel kemudian diinkubasi selama 1 jam pada temperatur kamar, setelah

inkubasi dicuci lagi sebanyak 3 kali dengan PBS-0,5 Tween. Selanjutnya

ditambahkan konjugat dengan pengenceran sesuai dengan hasil titrasi dan

diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37 oC. Setelah dilakukan pencucian 3 kali

dengan PBS-0,5 Tween maka dilakukan penambahan substrat yang mengandung

2,2’–azino-di-(3-ethylbenzthiazoline-6-sulfonic acid ) dan 0,0012% hydrogen

peroxydase. Setelah inkubasi pada ruang gelap selama 15 menit. Optical density

kemudian dibaca pada ELISA-reader pada 405 nm. Dari hasil pembacaan tersebut

kemudian ditentukan index OD.

25

Page 40: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

4.6 Analisa Data

Data yang berupa nilai optical density (OD) dari serum kontrol positif dan

serum kontrol negatif dibandingkan, lalu disajikan dalam bentuk grafik.

Konsentrasi dan pengenceran optimal diperoleh dari selisih masing-masing nilai

OD tersebut

26

Page 41: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB V

HASIL PENELITIAN

Hasil optimalisasi ELISA pada penelitian ini dinyatakan dalam bentuk

konsentrasi optimal antigen, pengenceran optimal serum dan pengenceran optimal

konjugat. Untuk menentukan konsentrasi dan pengenceran optimal ketiga

parameter tersebut telah dilakukan penghitungan titrasi menggunakan uji ELISA.

5.1 Hasil Titrasi Antigen

Titrasi dimaksudkan untuk menentukan konsentrasi antigen yang optimal,

dilakukan dengan pelapisan antigen. Antigen yang digunakan berasal dari crude

antigen Cystisercus T. saginata isolat Bali. Konsentrasi terakhir untuk

optimalisasi dibuat dalam empat tingkatan yaitu 1 µg/ml, 2 µg/ml, 3 µg/ml, dan 4

µg/ml. Serum kontrol positif diperoleh dari serum sapi yang terinfeksi Cystisercus

T. saginata secara buatan (Dharmawan et al., 2012). Serum kontrol negatif

diperoleh dari pedet yang dipotong di RPH Pesanggaran. Hasil optical density

(OD) antigen dengan uji ELISA pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 6.

Dari hasil tersebut diketahui bahwa antigen optimal ada pada konsentrasi 2 µg/ml.

27

Page 42: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 6: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada

berbagai pengenceran antigen.

5.2 Hasil Titrasi Sampel Serum

Pengenceran serum kontrol positif dan serum kontrol negatif dibuat secara

seri yaitu 1:10, 1:20, 1:30, 1:40, 1:50, 1:60, 1:70, 1:80, 1:90 dan 1:100.

Pengenceran dilakukan dengan menambahkan serum kontrol positif dan kontrol

negatif dengan PBS-Tween 20. Pada penelitian ini, dari hasil optical density

(OD) uji ELISA titrasi serum kontrol positif dan serum kontrol negatif, diketahui

pengenceran optimal serum ada pada pengenceran 1:80. Selanjutnya hasil OD

titrasi serum pengenceran 1:80 tersebut, dapat digambarkan seperti berikut

(Gambar 7).

28

Page 43: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 7 : Optical density ELISA serum kontrol positif dan serum kontrol negatif pada berbagai pengenceran.

5.3 Hasil Titrasi Konjugat

Mengacu pada penelitian yang sama, namun menggunakan cairan

Cysticercus bovis sebagai antigen, Dharmawan et al. (2009) telah melakukan

pengenceran konjugat bertingkat, yaitu 1:3000, 1:4000 dan 1:5000. Tingkatan

pengenceran yang sama digunakan pada penelitian ini. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa nilai OD titrasi konjugat seperti pada Gambar 8. Dari ketiga

pengenceran konjugat tersebut diperoleh pengenceran paling optimal pada 1:400

29

Page 44: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 8: Optical density ELISA serum kontrol positif dan kontrol negatif pada

berbagai pengenceran konjugat.

30

Page 45: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB VI

PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk kepentingan uji diagnostik sistiserkosis

pada sapi, dengan mengevaluasi kemampuan crude antigen Cysticercus T.

saginata isolat Bali sebagai antigen. Langkah awal dilakukan dengan optimalisasi

ELISA dengan cara menetapkan konsentrasi optimal antigen, pengenceran

optimal serum dan pengenceran optimal konjugat. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa nilai optimal yang diperoleh untuk konsentrasi antigen, pengenceran serum

dan pengenceran konjugat berturut-turut sebagai berikut: antigen 2 µg/ml, serum

1:80 dan konjugat 1:4000.

Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan

Dharmawan et al., (2010) yang mendeteksi sistiserkosis pada sapi dengan

menggunakan cairan kista T. saginata sebagai antigen. Dharmawan et al., (2010)

melaporkan bahwa pengenceran optimal yang diperoleh untuk antigen adalah

1:60; pengenceran optimal serum 1:80 dan pengenceran konjugat 1:4000. Jika

hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Kandil et al. (2012) yang

menggunakan crude antigen T. saginata untuk diagnosis sistiserkosis pada sapi,

ada sedikit perbedaan. Dari hasil checkerboard titration yang dilakukannya,

Kandil et al. (2012) menemukan konsentrasi optimal antigen adalah 5µg/ ml.

Sementara, Rodriguez et al. (2009) yang melakukan penelitian deteksi

antigen T. solium menggunakan ELISA dan deteksi antibodi anti T. solium

menggunakan enzyme-linked immunotransfer blot (EITB) pada sampel serum dan

sampel cairan cerebrospinal pasien neurosistiserkosis, melaporkan bahwa deteksi

31

Page 46: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

antigen dengan ELISA lebih baik untuk cairan cerebrospinal dibandingkan sampel

serum. Pengenceran optimal serum yang dilakukan untuk penelitiannya adalah

1:50 (Rodriguez et al. 2009). Menurut Minozzo et al. (2008) yang

mengungkapkan crude antigen Cysticercus T. crassiceps efektif untuk deteksi

neurosistiserkosis pada manusia di Brazil, ternyata menggunakan pengenceran

optimal antigen 1:500, pengenceran optimal serum 1:800 dan pengenceran

optimal konjugat 1:4000.

Pada penelitian ini, rentang selisih OD dari serum kontrol positif dan

serum kontrol negatif relatif rendah. Hal ini kemungkinan disebabkan sampel

serum kontrol negatif yang digunakan berasal dari Rumah Potong Hewan

Pesanggaran Denpasar. Walaupun sapi-sapi yang diambil darahnya diyakini

bebas sistiserkosis, belum tentu bebas dari infeksi parasit lainnya. Menurut Pinto

et al. (2000) yang menjadi kendala utama dalam uji serologi adalah adanya

reaksi silang. Huebner (2004) menyatakan reaksi silang (cross-reactivity) terjadi

apabila ada dua antigen yang memiliki epitop yang identik atau antibodi yang

spesifik untuk satu epitop juga mengikat epitop lain yang tidak berhubungan

tetapi memiliki sifat kimia yang sama.

Dharmawan (2009) melaporkan Hydatida cyst, Multiceps multiceps,

Taenia spp. dan Schistosoma spp. masing-masing menunjukkan reaksi silang

dengan antibodi Cystisercus. Tetapi, dengan cara pemurnian antigen, diketahui

bahwa suatu antigen yaitu antigen B (Ag B), memperlihatkan reaksi imunologi

yang baik (Das et al., 2002). Penggunaan Antigen ini 80% mampu mendeteksi

sistiserkosis tanpa kelihatan adanya reaksi silang. Dari hasil penelitian Cheng dan

32

Page 47: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Ko, seperti dilaporkan oleh Dharmawan (2009) diketahui bahwa antigen-antigen

yang memberi reaksi silang itu, terdistribusi terutama pada tegumen Taenia. Hal

yang sama juga diungkapkan Kandil et al. (2012) yang menyebutkan bahwa

dalam studi yang dilakukannya, tingginya persentase serum positif yang terinfeksi

T. saginata kemungkinan karena adanya reaksi silang dengan parasit taenia lain.

Sehingga hal ini membutuhkan adanya penelitian lebih lanjut.

Mehlhorn (1998) menyatakan bahwa pada saat inang definitif terinfeksi

parasit, inang tersebut akan terpapar materi antigenik asal parasit yang terdiri dari

antigen permukaan, antigen ekskretori-sekretori dan antigen somatik.

Kompleksitas antigen parasit mengakibatkan interaksi antara parasit dan inang

definitif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reaksi silang tidak hanya terjadi antara

genus dan famili parasit, tetapi juga dengan spesies (Mehlhorn, 1998). Sebagai

peran penting dalam immunodiagnosis, Mehlhorn (1998) juga melaporkan

meskipun sebagian dari antigen asal parasit bisa merangsang tanggap kebal

protektif inang definitif, namun sebagian lain tidak berfungsi untuk

mengembangkan tanggap kebal tersebut.

Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa crude antigen Cysticercus

T. saginata isolat Bali mampu digunakan untuk mendeteksi sistiserkosis pada

sapi. Dengan tersedianya antigen isolat lokal, akan memudahkan melakukan

seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi di Bali pada khususnya, di

Indonesia pada umumnya. Menurut Allepuz et al. (2012) penentuan

seroprevalensi kejadian sistiserkosis pada sapi memberi nilai yang lebih tinggi

dibandingkan hanya dengan mengandalkan pemeriksaan inspeksi visual post

33

Page 48: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

mortem. Walaupun demikian, hasil penelitian ini masih perlu dievaluasi dan

dikembangkan untuk mengetahui adanya reaksi silang. Di samping itu, crude

antigen Cysticercus T. saginata isolat Bali perlu diteliti kemungkinannya untuk

dipakai mendeteksi sistiserkosis pada manusia. Karena menurut Oliveira et al.

(2007) metacestoda T. saginata telah terbukti dapat digunakan sebagai alternatif

antigen dalam diagnosis neurosistiserkosis pada manusia.

34

Page 49: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa crude antigen

Cystisercus T. saginata isolat Bali mempunyai sifat antigenik yang dapat

digunakan sebagai antigen untuk mendeteksi antibodi sistiserkosis pada sapi.

Optimalisasi ELISA menunjukkan bahwa nilai optimal untuk konsentrasi antigen

adalah 2 µg/ml, pengenceran optimal serum adalah 1:80 dan pengenceran optimal

konjugat adalah 1:4000.

7.2 Saran

Penelitian terkait penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata isolat

Bali untuk deteksi sistiserkosis pada sapi perlu dilanjutkan, khususnya untuk

mengetahui adanya reaksi silang dengan parasit lain. Selain itu, perlu

dikembangkan kemungkinan penggunaan crude antigen Cysticercus T. saginata

isolat Bali untuk deteksi sistiserkosis pada manusia.

35

Page 50: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

DAFTAR PUSTAKA

Allepuz, A., Gabriel, S., Dorny, P., Napp, J.F., Vilar, M.J., Lives, L., Picart, L., Ortuna, A. 2012. Comparison of Bovine Cystisercosis Prevalene Detected by Antigen ELISA and Visual Inspection in the North East of Spain. Research in Veterinary Science 92:393-395.

Ariputuamijaya. 2011. Macam-macam Tekhnik Pelabelan Antibodi Pada ELISA. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http://ariputuamijaya.wordpress.com/2011/12/10/macam-macam-teknik-pelabelan-antibodi-pada-elisa/.

Brandt, J.R., Geerts, S., Deken, D., Kumar, V., Brijs, L., and Falla, N. 1992. A Monoclonal Antibody-Based ELISA for Detection of Circulating Excretory–Secretory antigens in Taenia saginata Cysticercosis. Int. J. Parasitol. 22: 471-477.

Bragazza, L.M., Vas, A.J., Passos, A.D., Takayanagui, O.M., Nakamura, P.M., Espindola, N.M., Pardini, A., Bueno, E.C. 2002. Frequency of Serum anti-Cysticercus Antibodies in the population of rural Brazilian community (Cassia Dos Coqueiros, SP) determined by ELISA and immunoblotting using Taenia crassiceps antigens. Rev. Inst. Med. Trop. 44 (1): 7-12.

Carrique-Mas, J., Iihoshi, N., Widdowson, M.A., Roca, Y., Morales, G., Quiroga, J., Cejas, F., Caihura, M., Ibarra, R., Edelsten, M. 2001. An epidemiological study of Taenia solium cysticercuosis in a rural population in the Bolivian Chaco. Acta Trop. 80 (3): 229-235.

Cho, S.Y., Kong, Y., Kim, S.I., and Kang, S.Y. 1992. Measurement of 150 kDa protein of Taenia Solium metacestoda by enzyme-linked immuno electrotranfer blot technique. Korean J. Parasitol. 30(4): 299-307.

Das, S., Mahajan, R.C., Ganguly, N.K., Sawhney, I.M., Dhawan, V., Malla, N. 2002. Detection of antigen B of Cysticercus cellulosae in cerebrospinal fluid for the diagnosis of human neurocysticercosis. Trop Med Int Health. 7 (1): 53-58.

Da Silva, A.D., Quagliato, E.M., Rossi, C.L. 2000. A quantitative enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) for the immunodiagnosis of neurocysticercosis using a purified fraction from Taenia solium cysticerci. Diagn Microbiol Infec Dis. 37 (2): 87-92.

Dharmawan, N.S. 2009. Fenomena penyakit cacing pita daging babi di Bali dan peran laboratorium klinik dalam menegakkan diagnosis. Dalam Pemikiran Kritis Guru Besar Universitas Udayana. Bidang Agrokomplek. Tim Editor BPMU. Udayana University Press. 1(2):152-164.

36

Page 51: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Damriyasa, I.M. 2010. Evaluasi Cairan Kista Taenia saginata untuk uji Serologi Taenia Saginata sistiserkosis. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Hibah Stategis Nasional Lembaga Penelitian Universitas Udayana. 38-47.

Dharmawan, N.S., Dwinata, I.M., Swastika, K., Damriyasa, I.M., Oka, I.B.M., Agustina, K.K. 2012. Studi biologi perkembangan metacestoda Taenia saginata pada sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional “Peningkatan Produksi dan Kualitas Daging Sapi Bali Nasional” Bali, 14 September 2012.

Dharmawan, NS, Dwinata, IM, Swastika, K, Damriyasa, IM., Oka,I.B.M., Astawa, I.N.M. 2013. Protein Spesifik Cairan Kista Cystisercus bovis pada Sapi Bali yang Diinfeksi dengan Taenia saginata. J.vet. 14(1):78-84.

Dorny, P., Gabriel, N., Speybroeck., and Vercuysse, J. 2002. A sero epidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Zambia cattle. Vet. Parasitol.104:211-215.

Dorta, S. 2000. Pengenalan Molekul Antigen. [Accessed 2013 Jul 19] Available from: URL: http://www.scribd.com/ doc/ Molekul-Pengenalan-Antigen.

Emantoko, S. 2001. Antibodi Rekombinan: Perkembangan terbaru dalam Tekhnologi Antibodi. Unitas. 9(2):29-43.

Flisser, A., Correa, D., Avilla, G., and Marvilla, P. 2005. Biology of Taenia solium, Taenia saginata and Taenia saginata asiática. In: Murrel. K.D. (Ed.) WHO/FAO/OIE guidelines for the surveillance, prevention and control of taeniosis/cisticercosis. Paris, France. 1-8.

Goldsby, R.A., Kindt, T.J., Osborne, B.A. 2000. Kuby Immunology. Ed ke-4. New York : WH Freeman & Co. 63-172.

Gonzalez, L.M., N. Villalobos., Montero, E., Morales, J., Sanz, R.A., Muro, A., Harrison, L.J., Parkhouse, R.M., and Garate, T. 2006. Differential molecular identification of Taeniid spp. And Sarcocystis spp. cysts isolated from infected pigs and cattle. Vet. Parasitol. 142: 95-101.

Harrison, L.J., Grate, T., Brsyce, D., Ganzalez, M., Foster, L.M., Wamae, L.W., and Onyango, J.A. 2005. Vaccination of cattle against Taenia saginata cysticercosis using an oncospheral adhesion protein (HP6). 37 (2): 103-120.

37

Page 52: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Huebner J. 2004. Antibody-antigen interactions and measurements of immunologic reactions. Di dalam : Pier GB, Lyczak JB, Wetzler LM, editor. Immunology, infection, and immunity. Washington, DC : ASM Press. 207-232.

Huges, G., Hoque, M., Tewes, M.S., Wright, S.H., and Harrison, J.S. 1993. seroepidemiological study of Taenia saginata cysticercosis in Swiszerland. Res. Vet. Sci. 55: 287-291.

Husain, N., Jyotsna., Bagchi, M., Huasain, M., Mishra, M.K., Gupta, S. 2001. Evaluation of Cysticercus fasciolaris antigen for immunodiagnosis of neurocysticercosis. Neurol India. 49 (4): 375-379.

Iskandar, T., Subekti, D.T., dan Suhardono. 2005. Isolasi Antigen Sistiserkosis Pada Babi dan sapi. Seminar nasional tekhnologi peternakan dan veteriner. Balai Penelitian Veteriner; Bogor.

Ito, A., Sako, Y., Ishikawa, Y., Nakao, M., Nakaya, K., Yamasaki, H. 2002. Differential serodiagnosis for alveolar echinococcosisby Em18-immunoblot and Em18-ELISA in Japan and China. In P. Craig and Z. Pawlowski (Eds.) Cestode Zoonoses: Echinococcosis and Cysticercosis – An Emergent and Global Problem. IOS Press. Amsterdam. 147-155.

Kandil, M., Mona, S., Mahmoud., Shalaby, H.A. 2012. Value of Taenia Saginata Crude Antigen in Diagnosis of Bovine Cystisercosis With Reference ti its Characterization. Global Veterinaria. 9(4): 474-478.

Ketobapadah. 2011. Respon imunitas terhadap tubuh parasit. [Accessed 2013 Feb 26] Available from: URL: http:// ketobapadah.com/2011/04/respons-imunitas-tubuh-terhadap-parasit.html.

Margono, S.S., Wandra, T., Swasono, M.F., Murni, S., Craig, P.S., Ito, A. 2006. Taeniasis cysticercosis in Papua (Irian Jaya), Indonesia. Parasitol. Intl. 55: S143-S148.

Mehlhorn, H. 1998. Parasitology in Focus. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany.

Miller, M. 1997. Taeniasaginata. [Accessed 2013 Nov 26] Available from: URL:.http://www.asm.org/Division/c/photo/ tapewrm1.JPG.

Minozzo, C.J., Moura, de.J., Almeida, M.S., Soccol, T.V. 2008. Crude Antigen from Taenia Crassiceps Cystisercus used As Heterologous Antigen in ELISA and In EITB for Neurocysticercosis Diagnosis of Patient from Parana-Brazil. Braz.arch.biol.technol. 51(6): 1127-1137.

38

Page 53: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Oliveira, B.H., Machhado, A.G., Cabral, D.D., Juliana, M., Cruz, C. 2007. Application of Taenia saginata metacestodes as an alternative antigen for the Serological Diagnosis of Human Neurocysticercosis. Parasitol Res. 101:1007-1013.

Pinto, P.S., Vaz, A.J., Germano, P.M., Nakamura, P.M. 2000. Performance of the ELISA test for swine cysticercosis using antigens of Taenia solium and Taenia crassiceps cysticerci. Vet Parasitol. 88 (1-2): 127-130.

Pratama, S. 2012. Reaksi imun terhadap infeksi bakteri dan parasit. [Accessed 2013 Mar 26] Available from: URL: http://www.slideshare.net/SuryaPratama3/r-eaksi-imun-terhadap-infeksi-bac-dan-par .

Rodriquez, S., Dorny, P., Victor, C.W, Tsang, E., Pretell, J., Brandt, J., Andres, G., Lescano., Gonzalez, A.E., Gilman, H.R., Garcia, H.H. 2009. Detection of Taenia solium Antigens and Anti–T. solium Antibodies in Paired Serum and Cerebrospinal Fluid Samples from Patient With Intraparenchymal or Extraparenchymal Neurocysticercosis. JID. 199:1345-52.

Sarmoko. 2011. Tinjauan tentang ELISA. [Accessed 2013 Feb 23] Available from: URL: http:// sar moko31. wordpress.com/ 2011/06/28/tinjauan-tentang-elisa .

Sato, M.O., Yamasaki, H., Sako, Y., Nakao, M., Plancarte, A., Kassuku, A.A., Dorny, P., Geerts, S., Benitez-Ortis, W., Hashiguchi, Y. 2003. Evaluation of tongue inspection and serology for diagnosis of Taenia solium cysticercosis inswine: usefulness of ELISA using purified glycoproteins and recombinant antigen. Vet. Parasitol. 111, 309-322.

Satria, A. 2012. ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay). Program Magister Ilmu Biomedik. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; Malang.

Simanjuntak, G.M., Margono, S.S., Okamoto, M., Ito, A. 1997. Taeniais/cysticercosis in Indonesia as an emerging diseases. Parasitol Today. 13: 321-323.

Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoaof Domesticated Animals, Seventh Edition. Balliere, London.

Subahar, R., Hamid, A., Purba, W., Wandra, T., Karma. C., Sako, Y., Margono, S.S., Craig, P.S., Ito, A. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: a pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans R Soc Trop Med Hyg. 95: 388-390.

39

Page 54: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Tiuria, R. 2004. Immunologi penyakit parasiter metazoa dan prospek pengembangan vaksin. Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Institut Pertanian Bogor.

Wandra, T., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Margono, S.S, Sudewi, R., Suroso, T., Craig, P.S., and Ito, A. 2006. High prevalence of Taenia saginata taeniasis and status of Taenia solium cysticercosis in Bali, Indonesia, 2002-2004. Trans R Soc Trop Med Hyg. 100: 346-353.

Wandra, T., Margono, S.S., Gafar, M.S., Saragih, J.M., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Raka Sudewi, A.A., Depary, A.A., Yulfi, H., Darlan, D.M., Samad, I., Okamoto, M., Sato, M.O., Yamasaki, H., Nakaya, K., Craig, P.C., Ito, A. 2007. Taeniasis/cysticercosis in Indonesia, 1996-2006. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 38 (1): 140-143).

Wandra, T., Raka Sudewi, A.A., Swastika, I.K., Sutisna, P., Dharmawan, N.S., Yulfi, H., Darlan, D.M., Kapti, I.N., Samaan, G., Sato, O.M., Okamoto, M., Sako, Y., Ito, A. 2011. Taeniasis / Cysticercosis in Bali, Indonesia. Southeast Asian J. Trop. Med. Public Health. 42 (4): 793-802.

Yong, T.S., Yeo, I.S., Seo, J.H., Chang, J.K., and Jeong, G.H. 1993. Serodiagnosis of cysticercosisby ELISA-inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 32(2): 149-156.

40

Page 55: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

LAMPIRAN

41

Page 56: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Lampiran 1. Perhitungan Konsentrasi Crude Antigen Cystisercus T.saginata

Perhitungan konsentrasi dilakukan dengan invitrogen. Adapun tahapan

yang dilakukan untuk penghitungan konsentrasi antigen Cystisercus T.saginata

adalah sebagai berikut:

a. Pembuatan buffer working solution dengan cara mengambil 1194 µl buffer

solution.

b. Masukkan masing masing 190 µl ke dalam ependorf.

c. Ependorf I diisi standart 0 µg/µl (P1) sebanyak 10 µg/µl, ependorf II diisi

standart 200 µg/µl (P2), ependorf III diisi standart 400 µg/µl (P3) dan

ependorf IV diisi crude antigen yang diencerkan 100 x (10µl antigen + 90 µl

PBS) sebanyak 10 µl+ 190 working solution

d. Vortex ke empat ependorf selama 2-3 detik.

e. Inkubasi ke empat ependorf pada suhu ruang selama 15 menit.

f. Step pembacaan ependorf (read tube) pada fluorometer.

g. Masukkan ependorf yang diisi standart 0 µg/µl ke dalam flurometer (tanda

bulatan hitam).

h. Tekan “GO”.

i. Setelah muncul kata “complete” lanjut dengan memasukkan ependorf yang

diisi standart 200 µg/µl.

j. Demikian pula untuk ependorf yang berisi standart µg/µl.

k. Masukkan ependorf yang berisi sampel (crude antigen)

l. Tekan”GO”

m. Baca hasil kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran (100x).

42

Page 57: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Lampiran 2. Tahapan optimalisasi ELISA

Dengan menggunakan crude antigen Cystisercus T.saginata isolat Bali

yang dilakukan sebagai berikut:

a. Couting buffer dan penyimpanan antigen yang telah dicouting pada suhu 4oC .

b. Pencucian dengan ELISA washer sebanyak 3 kali.

c. Bloking dengan susu skim 5 %.

d. Penambahan serum positif dan negatif dengan pengenceran yang telah

ditentukan.

e. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali.

f. Penambahan konjugat dengan pengenceran yang telah ditentukan.

g. Inkubasi 1 jam pada suhu 37oC dan pencucian 3 kali.

h. Penambahan substrat dan terakhir pembacaan pada ELISA reader.

43

Page 58: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Lampiran 3. Dokumentasi Laboratorium

Gambar 1. Cystisercus T.saginata Gambar 2. Ekstraksi antigen

Gambar 3. Buffer wolking solution Gambar 4. Invitrogen

Gambar 5. Couting buffer Gambar 6. ELISA washer

44

Page 59: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Gambar 7. Pengenceran serum (+)dan serum (-)

Gambar 8. Konjugat Gambar 9. Substrat

Gambar 10. Plate ELISA Gambar 11. ELISA reader

Lampiran 4. Pengenceran pada plate ELISA

45

Page 60: the use of taenia saginata cysticercus crude antigen (bali isolate)

Titrasi Antigen

1 2 3 4

Positif 0.524 0.631 0.519 0.459Negatif 0.396 0.467 0.505 0.299Selisih 0.128 0.164 0.014 0.160Pengenceran 1 2 3 4

Titrasi Serum

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Positif 0.58 0.593 0.529 0.596 0.575 0.588 0.571 0.716 0.582Negatif 0.378 0.394 0.365 0.365 0.369 0.392 0.43 0.437 0.463Selisih 0.202 0.199 0.164 0.231 0.206 0.196 0.141 0.279 0.119Pengenceran 80 80 80 80 80 80 80 80 80

TitrasiKonjugat

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Positif 0.596 0.575 0.616 0.579 0.716 0.572 0.464 0.444 0.502Negatif 0.365 0.369 0.348 0.400 0.437 0.347 0.315 0.292 0.295Selisih 0.231 0.206 0.266 0.179 0.279 0.225 0.149 0.152 0.207Pengenceran 1:3000 1:3000 1:3000 1:4000 1:4000 1:4000 1:5000 1:500 1:5000

46