BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profile Protein Cacing Pita Taenia … · 2017. 4. 1. · Identifikasi...

23
7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profile Protein Cacing Pita Taenia sp. Identifikasi komponen aktif dari protein cacing pita taenia pada berbagai stadium perkembangan parasit diperlukan untuk mendapat protein yang imunogenik. Protein imunogenik sebagai antigen dapat memberi respon kekebalan yang tinggi, sehingga berpeluang dikembangkan sebagai kandidat vaksin dan alat uji serologis untuk tujuan diagnostik Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan taeniasis telah dilakukan (Lightowlers and Gauci, 2001; Gonzales et al., 2005; Assana et al., 2010; Lightowlers, 2010). Pengembangan vaksin dengan dua protein rekombinan dari onkosfir T. solium yaitu TSOL 18 dan TSOL 45-1A efektivitas protektif sebagai vaksin sebesar 99,5% dan 97 % terhadap babi yang diinfeksikan telur T. solium (Martinez-Ocana et al., 2011). Penelitian yang serupa dilakukan menggunakan peptida sintetik sebagai vaksin untuk sistiserkosis pada T. solium pada babi di mesiko dan vaksin mampu menurunkan jumlah sistiserkus 98,7 % dan menurunkan prevalensi sistiserkosis 52,6% (Huerta et al., 2001) Yang et al. (1998) telah menganalisis antigen spesifik dari cairan kista T. solium dengan immunoblot untuk mendiagnosis neurosistiserkosis dan deferensial serodiagnosis dengan infeksi stadium larva dari cestoda lain yaitu echinococcosis. Hasil penelitian ini dengan memeriksa 247 serum penderita neurosistiserkosis yang direaksikan dengan menggunakan antigen yang mempunyai berat molekul 7, 10, 15, 20, 40, 64, 95 dan 160 kDa menunjukkan hasil antigen 10 kDa mempunyai reaksi yang paling kuat (84,6%) dan hampir sebagian besar antigen yang lain menunjukan reaksi silang dengan alviolar echinococus dan hanya antigen dengan berat molekul 10 kDa tidak menunjukkan reaksi silang. Antigenik yang kuat dari protein 10 kDa ini juga

Transcript of BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Profile Protein Cacing Pita Taenia … · 2017. 4. 1. · Identifikasi...

  • 7

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Profile Protein Cacing Pita Taenia sp.

    Identifikasi komponen aktif dari protein cacing pita taenia pada berbagai stadium

    perkembangan parasit diperlukan untuk mendapat protein yang imunogenik. Protein imunogenik

    sebagai antigen dapat memberi respon kekebalan yang tinggi, sehingga berpeluang dikembangkan

    sebagai kandidat vaksin dan alat uji serologis untuk tujuan diagnostik

    Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan

    taeniasis telah dilakukan (Lightowlers and Gauci, 2001; Gonzales et al., 2005; Assana et al., 2010;

    Lightowlers, 2010). Pengembangan vaksin dengan dua protein rekombinan dari onkosfir T.

    solium yaitu TSOL 18 dan TSOL 45-1A efektivitas protektif sebagai vaksin sebesar 99,5% dan

    97 % terhadap babi yang diinfeksikan telur T. solium (Martinez-Ocana et al., 2011). Penelitian

    yang serupa dilakukan menggunakan peptida sintetik sebagai vaksin untuk sistiserkosis pada T.

    solium pada babi di mesiko dan vaksin mampu menurunkan jumlah sistiserkus 98,7 % dan

    menurunkan prevalensi sistiserkosis 52,6% (Huerta et al., 2001)

    Yang et al. (1998) telah menganalisis antigen spesifik dari cairan kista T. solium dengan

    immunoblot untuk mendiagnosis neurosistiserkosis dan deferensial serodiagnosis dengan infeksi

    stadium larva dari cestoda lain yaitu echinococcosis. Hasil penelitian ini dengan memeriksa 247

    serum penderita neurosistiserkosis yang direaksikan dengan menggunakan antigen yang

    mempunyai berat molekul 7, 10, 15, 20, 40, 64, 95 dan 160 kDa menunjukkan hasil antigen 10

    kDa mempunyai reaksi yang paling kuat (84,6%) dan hampir sebagian besar antigen yang lain

    menunjukan reaksi silang dengan alviolar echinococus dan hanya antigen dengan berat molekul

    10 kDa tidak menunjukkan reaksi silang. Antigenik yang kuat dari protein 10 kDa ini juga

  • 8

    diobservasi melalui immunopresipitation dan memberikan hasil dengan sensitifitas yang tinggi.

    Pada penelitian ini membuktikan antigen cairan kista T. solium dengan berat molekul 10 kDa

    merupakan salah satu komponen antigen yang spesifik dengan realibialitas dan effektivitas yang

    baik untuk uji serologis yang tidak berreaksi silang dengan alveolar echinococcosis.

    Penelitian untuk pengembangan protein antigenik dari cacing Taenia solium melalui

    peningkatan tehnik purifikasi protein sehingga dapat menghasilkan sebagai alat uji serologis yang

    lebih spesifik menggunakan enzym-linked immunoelectro transfer blot (EITB). Purifikasi

    glykoprotein dengan isoelectric telah menghasilkan antigen yang spesifik dapat digunakan untuk

    immunoblot dan ELISA. Sensitifitas dan spesifisitas dari ELISA cocok dengan immunoblot (Ito

    et al., 2002). Purifikasi antigen dari ekstrak kasar kista, skolek kista dan cairan kista T. solium

    dengan tehnik Sodium dedocyl sulphate polyacrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) dan

    berat molekul ditentukan menggunakan standar berat molekul marker yang dideteksi dengan

    EITB. Hasil purifikasi menunjukkan band antigenik dari ekstrak kasar kista adalah 23, 26, 29 dan

    43 kDa dan band 26, 43 kDa dari skolek kista dan band 14, 20, 34, 66 kDa dari cairan kista yang

    reaktif terhadap serum babi yang positif sistiserkosis (Dhanalakshmi et al., 2005). Protein antigen

    yang umumnya sudah dikenal dengan EITB dari serum babi yang terinfeksi adalah 23, 26, 29 dan

    43 kDa (Ito, et al., 1999). Protein dengan band 26 dan 43 kDa merupakan protein antigenik yang

    ideal untuk serodiagnosis. Protein dari ektrak kasar kista, antigen skolek dan cairan kista T. solium

    merupakan sumber antigen untuk pengembangan menjadi protein yang imunogenik.

    Protein spesifik dari antigen skolek sistiserkus telah dipurifikasi menggunakan

    polyacrylamide gel elekrophoresis dan elektoelution direaksikan dengan antibodi dari serum

    neurosistiserkosis menggunakan Western blots , diperoleh berat molekul protein 13, 17 dan 26

    kDa. Kemudian dengan uji ELISA protein tersebut mempunyai spesifitas 53%, 88% dan 100%

  • 9

    dengan nilai cut off serum 1:32 spesifik untuk immunodiagnosis untuk neurosistiserkosis (Lisiane

    et al.,1999). Ini menunjukkan Protein antigenik dengan berat molekul 26 kDa merupakan antigen

    yang spesifik untuk immunodiagnosis dengan sensitifitas dan spesifitas 100%. Pada penelitian

    yang lain melaporkan purifikasi antigen skolek T. solium ditemukan berat molekul 100, 95, 26

    kDa mempunyai sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk dapat dikembangkan dan digunakan

    sebagai alat tes diagnostik untuk sistiserkosis (Francesco et al., 2007).

    Deteksi protein dari crude kista T. saginata dengan SDS-PAGE didapatkan 10 band protein

    dengan berat molekul 14 kDa sampai 260 kDa dan setelah dilakukan imunobloting diperoleh 10

    protein 14, 18, 23, 50, 55, 60, 67, 130, 150 dan 260 kDa yang bersifat imunogenik. Band protein

    14 dan 18 kDa tidak cross reaksi dengan spesies Taenia sehingga sangat dikembangkan untuk

    imunodiagnostik. Sedangkan band protein dengan berat molekul 67 kDa dapat dikembangkan

    sebagai kandidat vaksin untuk Taenia sp. (Abasoir et al., 2013). Pengamatan profil elektroforesis

    terhadadap antigen skolek C. bovis ditemukan 6 band protein antara 20 sampai 50 kDa dan band

    dengan berat molekul 50 kDa merupakan band yang utama (Kordafshari et al., 2010). Lebih lanjut

    Kandill et al. (2012) yang melakukan penelitian tentang crude antigen T. saginata untuk diagnosis

    Bovine cysticercosis melaporkan bahwa protein yang paling sering ditemukan adalah yang

    memiliki bobot molekul 45, 73 dan 90 kDa. Dua band diantaranya, yaitu dengan berat molekul 45

    dan 73 kDa, merupakan band yang utama. Hasil elektroforesis SDS-PAGE terhadap cairan kista

    C. bovis yang diperoleh dari sapi bali yang terinfeksi sistiserkosis didapatkan 7 protein imunogenik

    dengan berat molekul berturut- turut adalah 16,81 kDa; 19,22 kDa; 20,98 kDa; 27,41 kDa; 34,02

    kDa, 38,31 kDa dan 54,94 k Da (Dharmawan et al., 2013)

    Penelitian pengembangan antigen kista T. solium sebagai antibodi monoklonal (AbMo)

    untuk melacak infeksi larva pada hewan terinfeksi telah dilaporkan antigen dari ekstrak kasar kista

  • 10

    yang diperoleh protein spesifik yang bereaksi dengan AbMo adalah protein antigen dengan berat

    molekul 78 KDa . AbMo ini dipakai untuk melacak antigen sistiserkus pada daging babi yang

    terinfeksi oleh sistiserkus , dengan uji ini tampak bahwa bekas larva cacing terwarnai coklat.

    Penggunaan AbMo dalam uji imunohistokimia untuk melacak antigen sistiserkus selulosa penting

    karena tidak semua larva dalam tubuh babi dalam keadaan hidup sehingga sulit dibedakan dengan

    lesi lainnya ( Oka et al., 2011)

    2.2 Taenia saginata

    Cacing pita dari genus Taenia yang umum menginfeksi manusia adalah T. saginata , T. solium dan

    T.asiatica. Ketiga spesies cacing pita ini dianggap penting karena dapat menyebabkan penyakit

    pada manusia, yang dikenal dengan taeniasis. Cacing ini sulit dibedakan berdasarkan pemeriksaan

    feses karena bentuk dan ukuran telurnya sama (Mayta et al., 2000). Hospes definitif dari T.

    saginata adalah manusia dan predeleksinya pada usus halus. Bentuk metacestoda ditemukan pada

    sapi yang disebut cysticercus bovis (Wandra et al., 2006).

    2.2.1 Morfologi Taenia saginata

    Cacing T. saginata berukuran panjang 5-10 meter dan pada skoleknya tidak dipersenjatai

    atau tanpa kait. Sekoleks berbentuk segiempat dengan garis tengah 1-2 milimeter, dan mempunyai

    empat alat isap (sucker). Proglotid dewasa memiliki percabangan uterus lateral berjumlah 15-35

    buah. Setiap proglotid bunting mengandung lebih dari dari 100 butir telur. T. solium dapat

    dibedakan dengan T. saginata karena T. solium memiliki skolek yang dipersenjatai oleh dua baris

    kait dan pada proglotid dewasa ditemukan percabangan uterus lateral berjumlah 7-12 buah

    (Soulsby, 1982). Segmen cacing ini dapat mencapat 2000 buah. Segmen matur mempunyai ukuran

    panjang 3-4 kali ukuran lebar. Segmen gravid paling ujung berukuran 0,5 cm x 2 cm. lubang

    genital terletak di dekat ujung posterior segmen. Uterus pada segmen gravid berbentuk batang

  • 11

    memanjang dipertengahan segmen, mempunyai 15-30 cabang disetiap sisi segmen. Segmen gravid

    dilepaskan satu demi satu, dan tiap segmen dapat bergerak sendiri diluar anus. Segmen gravid

    T.saginata lebih cendrung untuk bergerak dibandingkan dengan segmen gravid T. solium (CFSPH,

    2005).

    2.2.2 Morfologi Cysticercus bovis

    Sistiserkus adalah fase istirahat bentuk larva cacing Taenia yang terdapat pada tubuh

    hospes perantara, dan terdiri atas kantung tipis yang dindingnya mengandung sekoleks dan rongga

    ditengahnya mengandung sedikit cairan jernih (Soedarto, 2008). Sistiserkosis adalah penyakit

    parasitik yang disebabkan oleh sistiserkus. Sistiserkus yang ditemukan pada sapi (Cysticercus

    bovis), dan pada babi (Cysticercus cellulosa). Sistiserkosis ditandai adanya kista pada otot skeletal

    dari hospes (CFSPH, 2005).

    Kista sistiserkus bovis panjang berukuran 6 – 9 mm, dan diameternya sekitar 5 mm ketika

    telah berkembang sempurna. Kista paling sering dijumpai pada otot masseter, lidah dan

    diagfragma (Soedarto, 2008). Pada infeksi eksperiment T. saginata pada sapi Bali ditemukan kista

    terdistribusi pada seluruh karkas, terutama otot didaerah muka, intercostae, diafragma, jantung dan

    paha (Dharmawan, 2000).

    2.2.3 Siklus Hidup T. saginata

    Manusia dapat terinfeksi oleh cacing pita karena memakan daging yang mengandung

    sistiserkus yang kurang dimasak dengan sempurna. Dalam siklus hidupnya, cacing pita pada

    manusia melibatkan hewan ternak sebagai inang antara yaitu T. solium melibatkan babi sebagai

    inang antara , sedangkan T. saginata inang antaranya adalah sapi (Galan-Puchades dan Feuntes,

  • 12

    2000). Apabila telur cacing pita dimakan oleh sapi (T. saginata) dan babi (T. solium) maka didalam

    saluran usus onkosfer dilepaskan, kemudian bermigrasi melalui peredaran darah menuju tempat

    predeleksi yaitu pada otot, otak dan beberapa organ lainnya. bentuk metacestoda dari cacing pita

    disebut sistiserkus yang pada manusia dapat menimbulkan neurosistiserkosis dengan kista pada

    otak (Mayta et al., 2000; Verastegui et al., 2008). Bentuk larva dari cacing T. saginata pada sapi

    disebut sistiserkus bovis dan bentuk larva T. solium pada babi disebut sistiserkus selulose.

    Cacing dewasa T. saginata melepaskan segmen gravid yang paling ujung dan bisa pecah dalam

    usus, sehingga telur cacing dapat dijumpai pada feses penderita (Wandra et al., 2007). Apabila

    telur cacing yang dikeluarkan bersama feses mengkontaminasi tanaman rumput dimakan oleh

    ternak sapi, telur cacing akan pecah didalam usus sapi dan mengakibatkan lepasnya onkosfir

    (Margono et al., 2006). Apabila sapi memakan telur cacing yang mengandung onkosfir, maka

    didalam usus halus onkosfir akan menetas kemudian menembus mukosa usus halus untuk

    selanjutnya melalui sirkulasi darah menuju berbagai jaringan tubuh lain dan onkosfir akan

    berkembang membentuk sistiserkus (cacing gelembung) pada otot skletal, diaphragma, lidah, otot

    jantung dan organ visceral dalam waktu 10 minggu (Basem et al., 2009). Pada T. solium

    perkembangannya mirip dengan T. saginata, yang mengeluarkan segmen gravid bersama feses 8-

    12 minggu setelah babi terinfeksi. Apabila manusia secara tidak sengaja memakan makanan yang

    terkontaminasi telur T. solium maka kista akan dapat berkembang pada tubuh manusia yang

    predeleksinya pada otot sekletal, jaringan sub kutan, mata dan bila mencapai pada sistem saraf

    pusat (CNS) maka dapat menimbulkan penyakit yang disebut neusistiserkosis (Garcia et al., 2003).

    Siklus hidup lengkap T. saginata dapat dilihat pada gambar 2.1

  • 13

    Gambar 2.1 Siklus Hidup Taenia saginata.

    Sumber : www.cdc.gov/parasite/taeniasis/biology.html.

    Manusia terinfeksi dengan cara makan daging sapi yang kurang dimasak, yang

    mengandung larva sistiserkus. Di dalam usus manusia skoleks akan mengadakan eksvaginasi dan

    melekatkan diri dengan alat isapnya pada dinding usus, lalu tumbuh menjadi cacing dewasa dan

    kemudian membentuk strobila. Dalam waktu 10-12 minggu cacing T. saginata berkembang

    menjadi dewasa dan mulai mengeluarkan segmen yang gravid melalui feses. Cacing dewasa dapat

    mencapai panjang 4-25 m dan dapat hidup pada usus manusia 5-25 tahun (CFSPH, 2005).

    2.2.4 Epidemiologi Sistiserkosis Bovis

    Prevalensi taeniasis pada manusia adalah tinggi yang bervariasi diantara beberapa negara.

    Variasi dari prevalensi karena kebiasan kebersihan, kualitas pemeriksaan daging dan kebiasaan

  • 14

    makan (Cabaret et al., 2002). Penularan pada hewan terjadi karena kontaminasi makanan atau air

    oleh feses dari manusia yang terinfeksi. Kontaminasi material dapat diperoleh secara langsung dari

    feses manusia atau melalui tanaman yang pengairan dari pembuangan kotoran manusia (Abuseir

    et al., 2007). Siklus hidup dan penularan dari cacing ini umumnya terjadi pada karakteristik

    lingkungan yang sanitasinya buruk, sistem peternakan yang tradisional, pemeriksaan daging yang

    tidak dilakukan secara rutin dan kebijakan dalam managemen dan kontrol penyakit yang kurang

    (Gredaghi et al., 2011). Dampak ekonomi secara signifikan terjadi pada industri peternakan sapi

    di negara-negara yang sedang berkembang.

    Survei epidemiologi pada bovine sistisekosis di Eropa melalui pemeriksaan daging

    Ditemukan prevalensinya 0,007% sampai 6.8% (Cabaret et al., 2002). Namun pemeriksaan daging

    mempunyai sensitifitas yang rendah dalam mendeteksi adanya kista sistiserkosis. Prevalensi

    bovine sistiserkosis ditemukan meningkat dari tahun 2005-2007 sebesar 0,015% - 0,022%

    (Allepus et al., 2009). Rendahnya prevalensi ini disebabkan sistem pemeliharan sapi adalah secara

    intensif dengan dikandangkan, sehingga kontaminasi dari rumput oleh feses manusia dapat

    dihindari. Rumput pada padang pengembalaan sangat potensial tercemar secara langsung feses

    manusia atau saluran pembuangan kotoran yang langsung ke padang rumput , akses sapi ke tempat

    air permukaan seperti sungai, kanal dan tergenangnya rumput oleh air pembuangan yang dapat

    merupakan faktor risiko terjadinya bovine sistiserkosis (Boone et al., 2007) seroprevalensi

    sistiserkosis ditemukan berkaitan dengan umur sapi , makin meningkat umur seroprevalensi

    ditemukan lebih besar (Dorny and Praet, 2007).

    Penelitian lain tentang kejadian bovine sistiserkosis pada sapi dilakukan di Egypti melalui

    pemeriksaan daging sebesar 1,6 % yang predeleksi kista terutama ditemukan pada otot jantung

    (Basem et al., 2009 ). Di Iran, pada 500 ekor sapi yang dipotong dilaporkan prevalensinya 3%

  • 15

    dengan predeleksi kista ditemukan pada otot lidah, maseter, otot jantung , otot tricep, diagfragma,

    intercostae, hati dan limfe (Garedaghi et al., 2011). Pada sapi adanya sistiserkus pada daging dapat

    menimbulkan kelemahan pada otot, gangguan syaraf, menurunnya kondisi tubuh dan pengafkiran

    dari karkas yang terinfeksi (Ofukwu et al., 2009). Di negara Nigeria bovine sistiserkosis

    merupakan salah satu masalah kesehatan hewan yang dapat menimbulkan kerugian ekonomi

    dilaporkan prevalensi berkisar antara 0,7 % dan tidak ada perbedaan prevalensi dengan umur dan

    jenis kelamin sapi (Ofukwu et al., 2009). Variasi dari prevalensi yang dilaporkan dipengaruhi

    oleh beberapa faktor seperti perbedaan iklim, jumlah sampel yang diperiksa dan program eradikasi

    dan tindakan kontrol yang dilakukan pada masing-masing negara. Faktor lain seperti perbedaan

    skill dan motivasi dari pemeriksa daging, kecepatan aktivitas pemotongan dan fasilitas

    pemeriksaan daging (Garedaghi et al., 2011). Perbedaan hasil ini karena perbedaan lokasi

    penelitian yang berkaitan budaya daerah, kebersihan perseorangan, tingkat pendidikan dan

    program pemberantasan penyakit dari masing-masing lokasi.

    2.2.5 Pengendalian dan Pencegahan Taeniasis

    Pengendalian sistiserkosis dan taeniasis dapat dilakukan melalui peningkatan sanitasi dan

    kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat, di antaranya dengan pemanfaatan jamban

    yang optimal (Garcia et al., 2003). Pengendalian dapat juga dilakukan dengan pemberian obat

    cacing yang efektif seperti Praziquantel (Sarti et al., 2000; Peniche-Cardena et al., 2002;

    Wilingham and Engels, 2006). Kontrol sistiserkosis telah sukses dilakukan pada negara-negara

    berkembang melalui peningkatan hygiene, sanitasi dan memelihara babi komersil dengan baik.

    Namun pada negara berkembang dengan daerah endemis tinggi seperti Amerika latin, strategi

    pengobatan dengan cysticidal pada babi dan manusia tidak berjalan dengan baik (Huerta et al.,

  • 16

    2001; Verastequi et al., 2008). Walaupun strategi pengendalian telah diterapkan, penyakit ini

    masih tetap ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di daerah pedalaman. Strategi

    lain yang perlu dipertimbangkan adalah melakukan vaksinasi pada sapi dan babi sebagai sumber

    penularnya. Pemberian vaksin yang efektif pada hewan tersebut, akan meniadakan sumber

    penularan infeksi ke manusia, sehingga dapat memutus siklus hidup parasit. salah satu strategi

    untuk mengontrol penularan sistiserkosis adalah melakukan vaksinasi pada babi (Huerta et al.,

    2001). Kombinasi penggunaan pemberian antelmintik untuk carrier penderita cacing pita,

    vaksinasi pada babi dan pendidikan masyarakat tentang penyakit maka eradikasi parasit dapat

    dilakukan (Lightowlers, 2003). Dengan demikian, pelaksanaan vaksinansi pada hewan, sekaligus

    dapat mengeliminasi agen penyakit yang berdampak buruk pada manusia.

    Beberapa penelitian tentang efektivitas vaksin untuk penanggulangan sistiserkosis dan

    taeniasis telah dilakukan (Lightowlers and Gauci, 2001; Gonzales et al., 2005; Assana et al., 2010;

    Lightowlers, 2010;). Respon imun yang ditimbulkan oleh adanya infeksi larva cestoda dapat

    merupakan konsep dasar untuk menjelaskan bahwa stadium onkosfer dapat mengeliminasi

    melalui mekanisme imun. Sumber potensial untuk imunogenik dapat dilakukan dari sekresi

    maupun onkosfer kista yaitu diperoleh protein dengan berat molekul 22,5 kDa dan 31,3 kDa.

    Penggunaan antigen imunogenik dengan berat molekul 22,5 kDa dan 31,3 kDa ini protektif

    terhadap perkembangan kista dan dapat dikembangkan menjadi kandidat vaksin (Verastequi et al.,

    2008). Penggunaan vaksin sintetic peptide mampu menurunkan prevalensi sistiserkosis 52,6 %

    pada babi yang divaksin dan menurunkan intensitas infeksi kista sebesar 97,9 %, dan penurunan

    ini secara signifikan akan membebaskan daging babi terhadap sistiserkosis sehingga nilai jual

    daging akan meningkat dan lebih menguntungkan (Huerta et al., 2002).

  • 17

    Pengembangan menggunakan rekombinan vaksin untuk melawan infeksi cacing pita telah

    menggunakan antigen onkosfir dari T. solium yaitu TSOL 18 dan TSOL45-1A yang homolog

    dengan antigen onkosfir T. ovis (To18 dan To45W) dan T. saginata (TSA18 dan TSA9) dan semua

    antigen tersebut efektif menimbulkan tingkat proteksi yang tinggi terhadap T. solium (Flesser et

    al., 2004). Antigen protektif To18 dan To45 ditemukan pada sitoplasma dan granula sekretori dan

    sel glandular pada onkosfer T. ovis yang baru menetas (Lightowlers, 2010). Antigen vaksin TSO18

    dan TSO45-1A efektif untuk mencegah infeksi dari telur T. solium yang diperoleh dari mexico,

    Peru dan ekuador. Hal ini mengindikasikan antigen protektif untuk melawan isolat T. solium yang

    berasal dari lokasi geografi yang berbeda (Flesser et al., 2004). Antigen TSA18 dan TSA9 dari T.

    saginata, keduanya menimbulkan protektif yang tinggi terhadap infeksi telur T. saginata pada sapi

    secara eksperimen (Lightowlers, 2010). Penelitian yang serupa dilakukan vaksinasi pada babi

    menggunakan DNA ekspresi dari antigen B dari T. solium yang ditantang dengan telur T. solium,

    ditemukan protektif tinggi (84-99%) terhadap sistiserkosis pada babi (Cai et al., 2001).

    2.3 Respon Imun Antigen

    Antigen adalah suatu senyawa atau substansi yang dapat menggertak sistem imunitas

    dapatan pada inang atau individu. Antigen dapat berupa polisakarida, protein, lemak, asam inti

    atau lipopolisakarida, maupun lipoprotein (Baratawidjaja, 2010). Ciri pokok antigenisitas suatu

    bahan atau senyawa ditentukan dari limitasi fisikokimiawi serta derajat keasingan (Tizard, 2004).

    Protein merupakan antigen yang terbaik karena ukuran dan kerumitan strukturnya. Hampir semua

    protein yang berat molekulnya lebih besar dari 100.000 dalton bersifat antigenik. Pembentukan

    sifat antigenik tergantung kepada pengulangan kelompok molekul secara regular, yang disebut

    epitop (antigenik determinan) pada permukaan molekul besar (Subowo, 2009). Limitasi

    fisikokimiawi suatu bahan atau senyawa agar dapat bersifat imunogenik yaitu ukuran molekul

  • 18

    harus besar, kaku dan memiliki struktur kimia kompleks. Ciri pokok yang kedua yaitu derajat

    keasingan atau frekuensi paparan suatu bahan atau senyawa di dalam tubuh. Antigenisitas suatu

    bahan atau senyawa juga ditentukan oleh derajat suseptibilitas antigen di dalam tubuh (Kuby,

    2007).

    Proses respon imun diawali oleh pengenalan antigen, dimana mekanisme pengenalan

    merupakan peristiwa pengikatan molekul reseptor yang ada pada permukaan sistem imun dengan

    molekul imunogen. Bagian yang terikat oleh molekul reseptor dinamakan diterminan antigenik

    atau epitop dan hanya dapat diidentifikasi dengan antibodi, maka epitop selalu terdapat pada

    permukaan imunogen. Jumlah epitop pada sebuah molekul imunogen beragam mulai dari

    memiliki sebuah epitop disebut unideterminan dan yang memiliki lebih satu epitop dinamakan

    multideterminan (Subowo, 2009). Dalam proses respon imun dilibatkan berbagai jenis sel yang

    saling berinteraksi setelah terjadi pengenalan oleh limfosit melalui molekul reseptor masing-

    masing. Berbagai jenis sel tersebut yaitu sel pengenal antigen, sel penyaji antigen, sel pendukung

    dan sel efektor. Jika sel makrofag dalam respon imun alami dianggap sebagai sel pengenal antigen

    dan sekaligus sebagai sel efektor, maka dalam respon imun adaptif sel makrofag bertindak sebagai

    sel penyaji (Antigen Presenting Cell = APC). Didalam respon imun adaptif melibatkan 3 jenis sel

    yaitu limfosit T, limfosit B dan sel makrofag yang bertindak sebagai sel pelengkap (Baratawidjaja,

    2010).

    Sel limfosit T terdiri dari 2 subpopulasi utama yaitu sel limposit T helper (Th) dan sel

    limfosit T sitotosik (Abbas et al.,2000). Sel limfosit Th memiliki reseptor untuk IgM, sedangkan

    sel limfosit sitotosik memiliki reseptor Fc untuk IgG (Tizard, 2004). Sel limfosit Th berperan

    mensintesa sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan kelompok sel tertentu, sedangkan sel limfosit

    sitotosik mengenali antigen asing pada MHC klas I (Flint, et al., 2000). Sel limfosit Th dibagi atas

  • 19

    2 subset yaitu sel limfosit Th-1 dan sel limfosit Th-2. Sel limfosit Th-1 berperan dalam respon

    kekebalan seluler termasuk aktivasi makrofag dan sel NK. Sel limfosit Th-1 mensekresikan IL-2

    (interleukin-2) dan interferon ÿ (IFN-ÿ). Sedangkan sel limfosit Th-2 mensekresikan IL-4, IL-5

    dan IL-10 yang berperan dalam kekebalan humoral (Abbas et al., 2007).

    Antigen disajikan oleh Antigen Precenting Cell (APC) ke limfosit T merupakan tahap awal

    terjadinya respon imun. Antigen diproses di dalam makrofag dengan cara denaturasi atau

    proteolisis. Molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) yang terdapat dalam lisosom

    mengenali segmen antigen lalu dibawa ke permukaan sel dan disajikan kepada sel T. Makrofag

    yang memiliki CD38 merupakan penghubung antara makrofag dengan sel T. Molekul MHC pada

    APC bertindak sebagai reseptor primer antigen (Tizard, 2004; Baratawijaya, 2010).

    Pada fagolisosom terjadi pemrosesan antigen yang meliputi proses oksidasi, non oksidasi,

    dan degranulasi. Fragmen-fragmen antigen yang terbentuk, akan diikat oleh molekul MHC II

    selanjutnya dibawa ke permukaan sel untuk disajikan ke sel T. Sel T helper melalui reseptornya

    (TCR) akan mengenal antigen yang disajikan oleh makrofag. Ligan antara kompleks antigen-MHC

    II pada sel penyaji dengan kompleks CD3-TCR pada sel T helper membangkitkan aktivitas inositol

    pada membran sel T menjadi inositol trifosfat dan senyawa gliserol dalam sitoplasma. Inositol

    trifosfat akan meningkatkan ion Ca++ dalam sitoplasma, sedangkan diasilgliserol akan

    mengaktifkan enzim proteinkinase C. Keduanya merupakan sinyal untuk mengaktifkan sel T.

    Namun kedua sinyal itu belum cukup untuk mengaktifkan sel T, karena itu masih memerlukan

    sinyal ketiga yang diawali oleh IL-1 yang dilepaskan oleh makrofag. Aktivasi sel T helper dapat

    diamati dengan disekresikannya IL-2 yang berguna pada sel B untuk menghasilkan antibodi (Noss

    et al., 2001).

  • 20

    Aktivasi limfosit T berbeda dengan aktivasi sel B, aktivasi limfosit T, khususnya limfosit

    Th dimulai dengan interaksi antara reseptor sel T dengan komplek antigen MHC klas II yang

    terdapat pada permukaan APC. Selain menyajikan antigen, APC juga memproduksi IL-1 yang

    merangsang pertumbuhan sel T. Sebagian besar aktivasi APC terjadi melalui sitokin yang

    diproduksi oleh sel T, diantaranya yang paling penting adalah IFN-gama, GM-CSF dan TNF.

    Aktivasi limfosit mengakibatkan terjadinya dua proses yaitu proliferasi dan deferensiasi sel

    menjadi sel efektor (Kresno, 2010)

    2.4 Interleukin

    Pada reaksi imunologik atau reaksi inflamasi banyak substansi serupa hormone yang

    dilepaskan oleh limfosit T dan B maupun sel-sel lain, yang berfungsi sebagai sinyal interselular

    yang mengatur respons inflamasi lokal maupun sistemik terhadap rangsangan dari luar yang

    disebut dengan interleukin (Kresno, 2010). Interleukin merupakan suatu peptida pengatur yang

    dapat diproduksi oleh hampir semua jenis sel berinti dalam tubuh berfungsi dalam komunikasi

    antar sel. Mediator ini diperlukan untuk proliferasi dan diferensiasi sel-sel hematopoitik dan untuk

    mengatur dan menentukan respon imun (Subowo, 2009). Interleukin dalam menjalankan

    fungsinya sebagai mediator saling berinteraksi antara interleukin sendiri dan interaksi ini dapat

    berjalan sinergis dan antagonis (Dy et al., 1999).

    Interleukin biasanya berefek lokal atau sistemik, lokal bekerja pada sel yang

    memproduksinya. Bila diproduksi dalam jumlah banyak, interleukin dapat masuk kedalam

    sirkulasi dan bekerja jauh dari sel yang memproduksinya (Abbas, 2003). Interleukin mempunyai

    peranan yang penting untuk menentukan tipe respon imunitas tubuh yang efektif untuk melawan

    agen infeksius. Ada dua macam respon imun yang terjadi apabila mikroorganisme yang masuk

    kedalam tubuh, yaitu innate dan adaptive responses. Sel yang berperan dalam innate response

  • 21

    adalah sel fagosit (netrofil, monosit dan makrofag), sel yang melepaskan mediator inflamasi

    (basophil, sel mast dan eosinophil) serta sel natural killer. Adaptive responses meliputi proliferasi

    antigen –spesifik sel-T dan sel-B, yang terjadi apabila reseptor permukaan sel ini berikatan dengan

    antigen-prensenting cells (APC) memprensentasikan antigen pada MHC dan berikatan dengan

    reseptor limfosit. Sel-B akan memproduksi imunoglobulin, yang merupakan antibodi yang spesifik

    terhadap antigen yang dipresentasikan oleh sel APC (Delves and Roit, 2000; subowo, 2009).

    Interleukin-interleukin yang berfungsi sebagai mediator dan regulator respon imun didapat

    terutama diproduksi oleh limposit T yang telah mengenal suatu antigen spesifik untuk sel-T

    tersebut. Interleukin ini mengatur poliferasi dan defrensiasi limfosit pada fase pengenalan antigen

    dan mengaktifkan sel efektor. Antigen dapat merangsang sel-T helper CD4 untuk berdiferensiasi

    menjadi Th-1 dan Th-2 yang menghasilkan interleukin yang berbeda pula. Interleukin yang

    disekresi Th-1 adalah IL-2 dan IFN-γ, sedangkan interleukin yang disekresi oleh Th-2 adalah IL-

    4, IL-5, IL-6 dan IL-10 (Asadullah et al., 2003).

    2.4.1 Interleukin 2

    Struktur IL-2 terdiri dari protein dengan 123 asam amino (15,4 KDa) yang disentesis

    sebagai protein prekursur dengan 153 asam amino dan dengan 20 asam amino terminal sebagai

    sinyal sekuennya. Sedangkan gen yang mengkode IL-2 terletak pada kromosome 4q26-28, dimana

    regulasi dari sintesisnya terjadi pada level transcripsion. Pada sel-T dijumpai suatu molekul yang

    dapat menekan proses pasca transkripsional dari IL-2 mRNA sehingga hanya 2 % dari precursor

    IL-2 yang diproses menjadi IL-2 (Ibelgaufts, 2003).

  • 22

    Aktivitas biologis dari IL-2 dilakukan melalui ikatan dengan reseptor membran yang hanya

    diekspresikan pada sel yang aktif saja, sedangkan pada sel yang tidak aktif tidak didapatkan

    reseptor IL-2 yang lengkap. Sekali limfosit T dirangsang untuk melepaskan IL-2, mediator tersebut

    dapat berinteraksi dengan sel itu sendiri (efek autokrin) atau interaksi dengan sel lain yang

    memiliki reseptor untuk IL-2 (efek parakrin). Limfosit T yang teraktifkan oleh antigen yang

    melepaskan IL-2 dapat meningkatkan jumlah klonnya sendiri, meningkatkan perbanyakan limfosit

    T lain yang telah teraktifkan oleh antigen yang sama dan meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan

    limfosit T, tetapi memiliki reseptor IL-2 (subowo, 2009).

    Interleukin-2 adalah faktor pertumbuhan sel T yang dirangsang antigen dan berperan pada

    ekspansi klon sel T setelah antigen dikenal. Ekspresi reseptor IL-2 ditingkatkan oleh rangsangan

    antigen, oleh karena itu sel T yang mengenal antigen merupakan sel utama yang berproliferasi

    pada respons imun spesifik. IL-2 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T, sel B dan NK.

    IL-2 juga mencegah respons imun terhadap antigen sendiri melalui peningkatan apoptosis sel T

    (Baratawijaya, 2010). Hasil penelitian pada mencit yang diimplantasi dengan sistiserkus T. solium

    menunjukkan terjadinya proliferasi sel T dan peningkatan IL-2 (Lilian et al., 2005).

    Fungsi IL-2 dalam imunoregulasi adalah memacu proliferasi dan diferensiasi sel T helper.

    Semua subset limfosit T dapat mengekspresikan reseptor IL-2 dan memberikan respon terhadap

    IL-2 tetapi sel T juga memproduksi IL-2, sehingga dikatakan bahwa sel T tumbuh dengan

    mekanisme autocrine yang diatur oleh adanya rangsangan eksternal (Bratawidjaya, 2010).

    Disamping merangsang sel T, IL-2 juga mampu merangsang beberapa jenis limfokin antara lain

    interferon, colony stimulating factor (CSF) dan limfotoksin serta meningkatkan efek sitotoksik

    dari sel T sitotoksik. Selain merangsang limfosit, IL-2 ternyata juga memberikan rangsangan sel-

    sel non T, misalnya aktivasi sel NK dan mengaktivasi makrofag (Kresno, 2010)

  • 23

    Il-2 diproduksi terutama oleh limfosit T penolong (Th) atas rangsangan IL-1 yang

    dilepaskan oleh makrofag. Sel T dalam keadaan tidak teraktivasi tidak dapat berinteraksi dengan

    Il-2, tidak mengandung mRNA untuk IL-2 dan juga tidak memproduksi Il-2 secara spontan. Tetapi

    bila mendapat rangsangan antigen, mRNA untuk IL-2 dapat dibentuk dan dideteksi dalam waktu

    1 jam, mencapai jumlah maksimum dalam waktu 6-8 jam dan kemudian menurun kembali dalam

    waktu 24 jam. Ada beberapa bentuk reseptor IL-2, masing-masing dengan afinitas tinggi,

    intermidiet dan rendah yang pada umumnya diekspresikan pada permukaan sel yang teraktivasi.

    Ekspresi reseptor IL-2 afinitas tinggi menunjukkan bahwa IL-2 telah terikat dan mengalami

    internalisasi dengan konsentrasi fisiologis (Kresno, 2010)

    2.5 Antibodi

    Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai akibat interaksi

    antara Limfosit B teraktifasi dengan antigen spesifik. Antibodi memiliki kemampuan berikatan

    spesifik dengan antigen perangsangnya serta mempercepat penghancuran dan penyingkirannya.

    Antibodi terdapat dalam berbagai cairan tubuh dengan konsentrasi tertinggi terdapat pada serum

    darah. Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah dan pada proses peradangan akan

    masuk ke jaringan tubuh (Abbas et al., 2007; Tizard, 2004 ).

    Interaksi antigen dengan antibodi bersifat non-kovalen dan pada umumnya sangat spesifik.

    Antibodi hanya diproduksi oleh limfosit B dan disebarkan ke seluruh tubuh secara eksositosis

    dalam bentuk plasma dan cairan sekresi. Antibodi ditemukan dalam plasma berikatan dengan

    reseptor spesifik pada daerah konstan (Fc) dari imunoglobulin. Antibodi juga ditemukan dalam

    cairan sekresi seperti mukus, susu, dan keringat (Tizard, 2004; Abbas et al., 2007).

    Satu unit struktur antibodi merupakan glikoprotein (berat molekul sekitar 150.000 dalton)

    yang terdiri dari empat rantai polipeptida. Semua antibodi mempunyai bentuk struktur yang sama

  • 24

    yaitu dua rantai pendek (VL) dan dua rantai panjang (VH). Bentuk tersebut dihubungkan dengan

    bentuk kovalen (disulfida) dan erat hubungannya dengan sequens asam amino yang mempunyai

    struktur sekunder dan tertier (Tizard, 2004; Abbas et al., 2007).

    Rantai pendek (VL) berat molekulnya sekitar 25.000 dalton, dimana ada dua jenis rantai

    pendek yaitu lambda (λ) atau kappa (κ). Pada manusia terdiri dari 60% kappa dan 40% lambda,

    sedangkan pada mencit 95% kappa dan 5% lambda. Satu molekul antibodi hanya mengandung

    lambda saja atau kappa saja dan tidak pernah keduanya (Tizard. 2004; Baratawidjaya, 2010).

    Rantai panjang (VH) mempunyai berat molekul sekitar 50.000 dalton, yang terdiri dari

    daerah variabel (V) dan konstan. Rantai panjang (VH) dan rantai pendek (VL) terdiri dari sejumlah

    homolog yang mengandung kelompok sequence asam amino yang mirip tetapi tidak identik. Unit-

    unit homolog tersebut terdiri dari 110 asam amino yang disebut domain imunoglobulin. Rantai

    panjang mengandung satu domain variabel (VH) dan tiga dari empat domain konstan lainnya

    (CH1, CH2, CH3, CH4, bergantung pada klas, dan isotipe antibodi). Daerah antara CH1 dan CH2

    disebut daerah hinge (engsel), yang memudahkan pergerakan/fleksibilitas dari lengan Fab dari

    bentuk Y molekul antibodi tersebut. Hal itu menyebabkan lengan tersebut dapat membuka atau

    menutup untuk dapat mengikat dua antigen determinan yang terpisahkan oleh jarak diantara kedua

    lengan tersebut (Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).

    Rantai panjang juga dapat meningkatkan fungsi aktivitas dari molekul antibodi. Ada 5 klas

    antibodi yaitu: IgG, IgA, IgM, IgE, dan IgD, yang dibedakan menurut jenis rantai panjangnya

    masing-masing yaitu: γ, α, μ, ε, dan δ. Klas antibodi IgD, IgE, dan IgG terbentuk dari struktur

    tunggal, sedangkan IgA mengandung dua atau tiga unit dan IgM terdiri dari 5 unit yang

    dihubungkan dengan sambungan disulfida. Antibodi IgG dibagi menjadi 4 subklas atau dikenal

    isotipe yaitu IgG1, IgG2, IgG3, dan IgG4 (Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).

  • 25

    Respon imun terhadap cacing sebagian besar diperankan Th2 yang melepas IL-4, IL-5

    merangsang produksi IgE yang spesifik untuk cacing dan merupakan opsonin. IL-5 mengaktifkan

    eosinofil yang mengikat IgE yang melapisi permukaan cacing melalui Fc�-R. Eosinofil yang

    diaktifkan melepas Major Basic Protein (MBP) dan Monocyte –spesific Chemotactic Peptide

    (MCP) yang dapat merusak cacing. Kebanyakan sel mast juga mengekspresikan Fc�-R dan diikat

    IgE pada permukaan cacing dan menimbulkan degranulasi. Isi granul sel mast mengandung amin

    vasoaktif, sitokin seperti TNF dan mediator lipid yang menginduksi inflamasi lokal yang dapat

    menyingkirkan infeksi cacing. Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain karena eosinofil

    mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik yang diproduksi makrofag dan

    neutrofil. Cacing dan ekstrak cacing dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi

    inflamasi yang ditimbulkan dapat mencegah menempelnya cacing pada mukosa saluran cerna

    (Abbas et al., 2007; Baratawidjaya, 2010).

    Struktur dan fungsi IgG dapat dipecah oleh enzim pepsin dan papain menjadi beberapa

    fragmen yang mempunyai sifat biologi yang khas. Perlakuan dengan pepsin dapat memisahkan

    Fab2 dari daerah persambungan hinge (engsel), karena Fab2 adalah merupakan molekul bivalen

    sehingga dapat mempresipitasi antigen. Enzim papain dapat memutus daerah diantara CH1 dan

    CH2 untuk membentuk dua fragmen yang identik dan dapat bertahan dengan reaksi antigen-

    antibodi dan juga satu non-antigen-antibodi fragmen yaitu daerah fragmen kristalisabel (Fc).

    Bagian Fc ini adalah glikosilat yang mempunyai banyak fungsi efektor (Tizard, 2004;

    Baratawidjaya, 2010)

    2.6 Respon Imun Terhadap Parasit Cacing

    Pertahanan terhadap infeksi cacing yang hidup ekstraseluler terjadi melalui respon antibodi

    IgE dan eosinophil. Diduga bahwa IgE berfungsi merangsang mastosit untuk melepaskan granula

  • 26

    dan menimbulkan peradangan. Eosinofil mengandung butiran yang zat-zat yang bersifat toxik

    untuk parasit seperti metabolit oksigen reaktif, protein alkilic, neurotoxin eosinophylic,

    leucotriens, faktor pertumbuhan dan enzim yang mampu merusak kutikula cacing dan

    menghancurkannya (Kresno, 2010). Antigen presenting sel (APC) memainkan peran penting

    dalam respon imun bawaan, karena mereka mampu mengenali berbagai molekul yang disajikan

    patogen, yang disebut pathogen-asosociated molekuler pattern (PAMPs). Dalam beberapa tahun

    terakhir, telah diketahui bahwa APC dapat mengenali PAMPs ini melalui Reseptor Toll-like (TLR)

    dan NOD seperti reseptor (NLRs). Reseptor tersebut menginduksi signal melalui peradangan

    dengan memproduksi sitokin. TLRs adalah reseptor protein transmembrans tipe 1 yang berperan

    sebagai sensor pada respon kekebalan awal. TLRs ada pada permukaan banyak sel seperti pada

    permukaan sel dendritik (DC), makrofag, neutrofil, sel endotel dan limfosit. Pengikatan TLRs

    memicu serangkaian sinyal untuk aktivasi Nuclear faktor-kB (NF-kB) sehingga menyebabkan

    peradangan (Frank, 2002)

    Respon eosinophil pada infeksi parasit cacing tidak hanya ditentukan oleh respon imun

    pada inang tetapi juga ditentukan oleh distribusi, migrasi dan stadium pendewasaan parasit. Nilai

    eosinophil terutama berkorelasi dengan intensitas infeksi bentuk larva maupun dewasa dari parasit.

    Pada infeksi bentuk kronis dapat terjadi infeksi lokal eosinophil dan tidak adanya eosinophil pada

    saat stadium parasite cacing masuk kedalam jaringan, Pertahanan terhadap infeksi parasit

    melibatkan kekebalan humoral dan kekebalan seluler. Adanya antibodi sering dikorelasikan

    adanya aktivitas parasit pada tubuh. Adanya IgE yang dapat menginduksi degranulasi mastosit

    yang dapat menyebabkan sejumlah perubahan physiologi dan struktur epithel usus, sehingga dapat

    memproduksi sejumlah besar cairan, elektrolit dan sekresi mukus yang dapat meningkatkan

    permiabilitas epithel dan kontrasi otot polos pada saluran pencernaan. Hasil perubahan tersebut

  • 27

    dapat mengeliminasi bentuk larva maupun dewasa parasit cacing sebelum mencapai jaringan

    (Farthing, 2003).

    IgE memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan sel basofil. Pada saat inang terinfeksi

    parasit, maka level IgE dalam serum akan meningkat. Parasit yang masuk dalam lumen usus,

    pertama kali akan dirusak oleh IgG akibat adanya peradangan dan antigen spesifik.

    Peradangan ini terjadi diperantarai oleh peran IgE dan mekanisme tanggap kebal sitotoksisitas

    seluler tergantung antibodi (ADCC). Mekanisme tersebut mengakibatkan IgE melekat pada

    permukaan cacing. Selanjutnya terjadi perlekatan sel eosinofil melalui reseptor Fc yang

    menimbulkan teraktivasinya sel Eosinofil sehingga mensekresikan protein yang bersifat toksik

    untuk parasite cacing. Eosinofil dapat menyelimuti parasit sehingga eosinofil cepat mendekat

    serta Eosinofil mengeluarkan peroksidase dan enzim preoteolitik lain dari granulanya yang dapat

    menyebabkan parasit mati atau rusak. Pada saat berikatan tersebut, sel Eosinofil mendegranulasi

    dan melepaskan kandungan granulanya pada kutikula cacing. Kandungan granulanya antara lain

    superoksida, hidrogen peroksida, lisofosfolipase dan fosfolipase. Kecenderungan sel Eosinofil

    melepaskan peroksidase ekstraseluler menunjukkan bahwa peran utamanya adalah pertahanan

    jaringan terhadap invasi parasite (Tiuria, 2004). Eosinofil memproduksi mediator toksin

    inflamatori yang unik yang disimpan dalam granul-granul dan disentesis setelah sel ini teraktivasi,

    granul tersebut mengandung kristaloid yang terdiri dari Major Basic Protein (MBP) dan matrix

    yang terdiri dari Eosinophil Cationic Protein (ECP), peroxidase eosinophil dan Eosinophil

    Derived Neurotoxin (EDN) yang mengandung efek sitotoksin pada epitelium respiratori

    (Baratawijaya, 2010).

    Kekebalan seluler pada infeksi cacing ditandai dengan respon imun Th2. Limposit

    Th2CD4 memproduksi sitokin IL-4, IL-5 dan IL-10. IL-4 merangsang produksi antibodi IgE yang

  • 28

    dapat mengikat permukaan cacing dan membantu eosinophil untuk dapat mengenali dan

    menghancurkannya. IgE juga dapat mengikat mastocyte, mengaktivasi untuk menghasilkan

    sitokine dan menginduksi peradangan. Di sisi lain IL-5 dan IL-13 bereaksi merangsang

    pematangan dan aktivasi eosinophil. Sel T regulatori dapat menghasilkan IL-10 yang dapat

    mengakibatkan efek peradangan dan kemungkinan mempunyai peran respon pada sel TH2. IL-4

    dan IL-13 juga dapat mengaktivasi macrophage (Baratawijaya, 2010). Eosinofil lebih poten untuk

    membunuh cacing dibanding leukosit lain karena granula eosinophil berupa major basic protein

    (MBP) lebih toksik bagi cacing dibanding enzim proteolitik dan ROI yang diproduksi oleh

    neutrophil dan makrofag. Beberapa jenis cacing dapat merangsang sel B untuk memproduksi IgE

    poliklonal. IgE poliklonal ini tidak menguntungkan penjamu karena IgE akan melekat pada

    sebagian besar permukaan mastosit sehingga tidak ada tempat lagi bagi IgE spesifik yang

    diperlukan untuk respon imun spesifik (Kresno, 2010)

    Macrofag teraktivasi melalui IFN-γ dan TNF-α. Melepaskan Nitric Oxide (NO) yang toxic untuk

    cacing. Makrofag merupakan sel terpenting yang dapat menghasilkan NO sangat berperan untuk

    membunuh parasite. IFN-y merupakan sitokin penting yang dapat mengaktifkan respiratory burst

    yang menghasilkan NO. IFN-α dapat bekerja sinergik dengan IFN-y dalam meningkatkan NO

    dengan menginduksi sintase oksida nitrit (NOS), jalur NO penting dalam pembunuhan cacing

    ekstraseluler. Makrofage yang diaktifkan dapat oleh sitokin Th1 dapat membunuh larva yang tidak

    tergantung pada antibodi (Baratawijaya, 2010).

    Pada respon imun terhadap parasit pentingnya peran CD40 yang merupakan protein co-stimulasi

    yang diekspresikan pada APC dan berperan pada aktivasi sel. Reseptor CD154 merupakan ligan

    CD40 yang diekpresikan oleh sel TCD4 dan interaksi antara CD40 dengan CD154 dapat

    mengkontrol beberapa aspek signal pada respon imun humoral dan selular (Durie et al., 1994).

  • 29

    Polymorphisme CD154 kemungkinan dapat menentukan kerentanan terhadap infeksi parasit.

    Dalam menghindari respon imun hospes parasit dapat melakukan beberapa cara seperti cacing

    Fasciola spp. menghasilkan enzim suproxide dismutasis dan Glutation-S transferasis yang dapat

    menetralisasi superoxide yang bersifat toxic. Fasciola sp. juga melepaskan catepsin L-proteasis

    yang terikat antibodi IgE dan IgG melalui antibody–dependent cell cytotocycity (ADCC)( Moreau

    and Chauvin, 2010).

    Beberapa kelas imunoglobulin (Ig) diproduksi sebagai antibodi spesifik terhadap parasit

    sistiserkus T. solium yang paling sering adalah IgG, yang dapat dideteksi dalam serum, cairan

    serebrospinal (CSF) dan air liur, yang menunjukkan bahwa infeksi telah berlangsung lama.

    Adanya korelasi antara terdeteksinya antibodi dengan intensitas infeksi, serta kelangsungan hidup

    parasit dan antibodi paling sering terdeteksi pada kasus dengan kista hidup atau mati, dan jarang

    dalam kista yang mengalami kalsifikasi (Sotelo and Brutto, 2000).

    Salah satu fenomena paling menarik pada imunoparasitologi adalah penghindaran respon

    imun hospes oleh parasit . Sistiserkus mampu bertahan di dalam hospes manusia selama beberapa

    tahun sebelum mengalami degenerasi. Sistiserkus hidup dikaitkan dengan terjadinya sedikit

    peradangan sekitar tempat infeksi (Flisser et al., 1990). Hal ini memungkinkan untuk tetap

    hidupnya parasit. Mekanisme yang mendasari kelangsungan hidup parasit pada tempat

    predileksinya secara imunologis bersifat kompleks dan mungkin melibatkan tertutupnya antigen

    sistiserkus oleh imunoglobulin hospes definitif, kekebalan bersamaan, mimikri molekuler dan

    penekanan atau penyimpangan dari respon hospes (Arechavaleta et al., 1998).