The Legal Executorial Of The Credit Agreement With Fiduciary ...
-
Upload
phungtuong -
Category
Documents
-
view
222 -
download
0
Transcript of The Legal Executorial Of The Credit Agreement With Fiduciary ...
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Visi Pembangunan Nasional Jangka Panjang Tahun 2005 – 2025 mengarah
pada pencapaian tujuan pembangunan sebagaimana yang tercantum dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD 1945) yang telah dijelaskan bahwa Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasarkan atas asas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan
ekonomi nasional.
Berkaitan dengan hal tersebut, bangsa Indonesia telah melaksanakan
pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional, dengan salah satu tujuan
nasional yang ingin dicapai adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur secara materiil dan spritual berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945. Adapun usaha yang dilakukan untuk mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur dalam bidang ekonomi dan sosial adalah dengan memberikan
kredit atau pinjaman bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkannya, baik
itu untuk tambahan modal atau perluasan usahanya, dan salah satu wujud adalah
koperasi.1
1R.T Sutantya Raharja Hadhikusuma, 2000, Hukum Koperasi Indonesia, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 31
2
Koperasi selalu bertindak demi kepentingan anggotanya, secara umum
koperasi diartikan sebagai perkumpulan orang yang dengan rela menjadi satu
kesatuan untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Dasar hukum
keberadaan koperasi di Indonesia adalah Pasal 33 UUD 1945 dan Undang-
Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 212 dan Tambahan Lembaran Negara nomor
5355). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 menyatakan:
“Koperasi adalah badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau
badan hukum Koperasi, dengan pemisahan kekayaan para anggotanya sebagai
modal untuk menjalankan usaha, yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama
di bidang ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip Koperasi.”
Adanya pertambahan jumlah penduduk, kemajuan teknologi, taraf hidup
yang semakin meningkat, keadaan lingkungan, dan tingkat kebudayaan yang
meningkat memberi dampak pada kebutuhan terbatas, pendapatan yang diperoleh
relatif terbatas pula. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dengan adanya
koperasi sebagai lembaga pemberi kredit sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan usaha atau mencukupi kebutuhan hidupnya. Sesuai dengan hal
tersebut salah satu caranya yakni, dengan cara mengajukan pinjaman uang kepada
koperasi atau yang dikenal dengan pinjaman kredit. Kata kredit berasal dari
Romawi “Credere” artinya percaya. Ketentuan mengenai kredit diatur dalam
Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3790) yaitu: “Kredit adalah
3
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antar pihak bank dengan pihak
lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberi bunga.”
Sebelum memberikan kredit, pihak kreditur melakukan penelitian terlebih
dahulu terhadap Character (watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal),
Collateral (angunan), dan Condition of economic (prospek usaha debitur) atau
yang lebih dikenal dengan istilah 5C yaitu :2
1. Character adalah data tentang kepribadian dari calon pelanggan seperti
sifat-sifat pribadi, kebiasaan-kebiasaannya, cara hidup, keadaan dan latar
belakang keluarga maupun hobinya. Character ini untuk mengetahui
apakah nantinya calon nasabah ini jujur berusaha untuk memenuhi
kewajibannya.
2. Capacity merupakan kemampuan calon nasabah dalam mengelola
usahanya yang dapat dilihat dari pendidikannya, pengalaman mengelola
usaha, sejarah perusahaan yang pernah dikelola (pernah mengalami masa
sulit apa tidak, bagaimana mengatasi kesulitan). Capacity ini merupakan
ukuran dari ability to play atau kemampuan dalam membayar.
3. Capital adalah kondisi kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang
dikelolanya. Hal ini bisa dilihat dari neraca, laporan rugi-laba, struktur
permodalan, ratio-ratio keuntungan yang diperoleh seperti return on
equity, return on investment. Dari kondisi di atas bisa dinilai apakah layak
calon pelanggan diberi pembiayaan, dan beberapa besar plafon
pembiayaan yang layak diberikan.
4. Collateral adalah jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon
pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Collateral ini
diperhitungkan paling akhir, artinya bilamana masih ada suatu kesangsian
dalam pertimbangan-pertimbangan yang lain, maka bisa menilai harta
yang mungkin bisa dijadikan jaminan.
5. Condition of economic, pembiayaan yang diberikan juga perlu
mempertimbangkan kondisi ekonomi yang dikaitkan dengan prospek
usaha calon nasabah. Ada suatu usaha yang sangat tergantung dari kondisi
perekonomian, oleh karena itu perlu mengaitkan kondisi ekonomi dengan
usaha calon pelanggan.
2Muhammad Djumhana, 2000, Hukum Perbankan di Indonesia, PT Citra
Aditya Bakti, hal. 394
4
Penelitian yang dilakukan oleh bank dimaksudkan untuk menjaga
kemungkinan terjadinya tunggakan atau kredit bermasalah yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan bank itu sendiri. Oleh karena itu maka adanya
jaminan dalam pemberian dan perjanjian kredit amatlah penting, karena pada
dasarnya setiap perjanjian kredit atau pinjam uang pasti terdapat suatu jaminan.
Jaminan merupakan sesuatu yang diberikan oleh debitur kepada kreditur untuk
memberikan keyakinan atau kepastian kepada kreditur, bahwa debitur akan
mampu membayar utangnya dengan yang diperjanjikan. Hal ini bisa dimaklumi
karena setiap pemberian kredit melalui lembaga perkreditan memerlukan suatu
kepastian hukum. Seperti pendapat Sri Soedewi Maschoen Sofwan sebagai
berikut :
Dalam rangka pembangunan ekonomi yang tidak bisa dilepaskan dari
bidang hukum diantaranya ialah lembaga jaminan, karena perkembangan
ekonomi dan perdagangan akan diikuti oleh perkembangan kebutuhan akan
kredit dan pemberian fasilitas kredit ini memerlukan jaminan demi
keamanan pemberi kredit ini.3
Pembinaan hukum, dalam bidang hukum jaminan adalah sebagai
konsekuensi logis dan merupakan suatu perwujudan tanggung jawab pembinaan
hukum untuk mengimbangi lajunya kegiatan–kegiatan dalam bidang perdagangan,
perindustrian, perseroan, pengangkutan dan kegiatan–kegiatan seperti tersebut di
atas sering dilakukan oleh warga negara Indonesia pada umumnya untuk
meningkatkan pembangunan ekonomi kerakyatan karena sudah menjadi
3Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia
Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta,
hal. 2.
5
kebutuhan rakyat yang akhirnya kegiatan–kegiatan tersebut memerlukan fasilitas
kredit dalam usahanya, para pemberi modal mensyaratkan adanya jaminan bagi
pemberian kredit demi keamanan modal dan kepastian hukum. Adapun lembaga
jaminan yang ada adalah :
1. Gadai
2. Hak Tanggungan
3. Jaminan Fidusia
4. Hipotek (bukan tanah)
5. Penanggungan/borg tocht (jaminan perorangan)4
Kitab Undang–Undang Hukum Perdata (selanjutnya akan disebut
KUHPerdata), dikenal adanya hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan
dan hak kebendaan yang bersifat memberikan jaminan. Hak kebendaan yang
bersifat memberikan jaminan senantiasa tertuju kepada benda milik orang lain,
yang dapat berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Untuk benda
jaminan milik orang lain yang berupa benda bergerak, maka hak kebendaan
tersebut adalah hak gadai, sedangkan benda jaminan milik orang lain yang berupa
tanah, maka hak kebendaan tersebut adalah hipotik (Hak Tanggungan).
Fidusia merupakan sesuatu yang umum terjadi, fidusia adalah termasuk
salah satu lembaga jaminan yang dikenal di Indonesia. Undang-undang yang
khusus mengaturnya adalah Undang-Undang Jaminan Fidusia. Dengan demikian,
istilah “Fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia.
Akan tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga
dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”, hal ini karena fidusia
adalah berdasarkan atas kepercayaan.
4Khasadi, 2006, Materi Hukum Jaminan, Program Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang, hal. 5
6
Fidusia adalah Gadai yang diperluas, Gadai yang berselubung, fidusia
tersebut dijalankan dalam usaha supaya barangnya tetap bisa digunakan oleh
debitor untuk mendukung usahanya. Supaya peralihan sah dalam konstruksi
hukum tentang Fidusia ini, haruslah memenuhi syarat–syarat sebagai berikut :
a. Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk (kebendaan)
b. Adanya Title untuk suatu peralihan hak
c. Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang – orang yang
menyerahkan benda
d. Cara tertentu untuk menyerahkan, yakni dengan cara constitutum
possessorium yaitu jaminan yang barang jaminannya masih ada pada
pemberi fidusia (debitor) bagi benda yang bergerak yang berwujud atau
dengan cessie untuk piutang.5
Pengaturan mengenai Fidusia diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No.
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 168 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
nomor 3889) selanjutnya disebut UUJF. Pada Pasal 1 angka (2) UUJF ditentukan
bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik itu berwujud
maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-
Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak tanggungan (Lembaran Negara Tahun
1996 nomor 42 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor
3632) yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia sebagai agunan bagi
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada
penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
5Ibid, hal. 152.
7
Ada hal yang harus didasari bahwa pada Pasal 2 UUJF juga memberikan
suatu batasan terhadap ruang lingkup berlakunya setiap perjanjian yang bertujuan
untuk membebani benda dengan jaminan fidusia. Hal ini kembali dipertegas
dalam Pasal 3 UUJF yang menyatakan bahwa Undang-Undang Jaminan Fidusia
tidak berlaku terhadap :
1. Hak tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan,sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftarkan.
2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20 (dua
puluh) meter atau lebih.
3. Hipotik atas pesawat terbang.
4. Gadai
Berdasarkan penjelasan tersebut tentang jaminan fidusia, maka dalam hal ini
lembaga jaminan fidusia ini digunakan secara luas dalam berbagai transaksi
pinjam meminjam atau kredit karena proses pembebanannya dianggap sederhana,
mudah dan cepat, serta adanya kepastian hukum dengan cara mendaftarkan
jaminan fidusia tersebut. Pendaftaran jaminan fidusia tersebut memberikan hak
yang didahulukan (preferent) kepada penerima fidusia terhadap kreditur lain.
Karena jaminan fidusia memberikan hak kepada pemberi fidusia untuk tetap
menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia berdasarkan kepercayaan.
Salah satu kredit yang dijalankan oleh bidang perbankan adalah perjanjian
kredit dengan Jaminan Fidusia dimana hal tersebut merupakan kebijakan yang
diambil dalam rangka untuk menyesuaikan dengan perkembangan dunia usaha
dan kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks, dimana debitor untuk
menjamin barang jaminannya untuk mendapatkan sejumlah uang yang dipinjam
8
kepada kreditor. Barang jaminan tersebut masih bisa digunakan oleh debitor guna
mendukung usahanya.
Guna memenuhi kebutuhan masyarakat dalam memberikan pinjaman pihak
perbankan dapat menggunakan Jaminan Fidusia sebagai collateral, sehingga
debitur tetap bisa memanfaatkan barang jaminannya untuk mendukung usahanya.
Pemberian kredit pada koperasi tidak terlepas dari permasalahan jaminan fidusia
seperti: perlindungan hukum terhadap kreditur dengan akta jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan apabila terjadi wanprestasi, kekuatan mengikat dari perjanjian
kredit tersebut dikarenakan akta jaminan fidusia tersebut tidak didaftarkan atau
dengan akta fidusia dibuatkan dengan akta notariil tanpa adanya pendaftaran
jaminan fidusia.
Perjanjian dikatakan telah lahir jika telah ada kata sepakat atau persesuaian
kehendak di antara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Dengan adanya
janji timbul kemauan bagi para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk
saling mengikatkan diri. Kewajiban kontraktual tersebut menjadi sumber bagi
para pihak secara bebas menentukan isi kontrak dengan segala akibat hukumnya.
Berdasarkan kehendak tersebut, para pihak secara bebas mempertemukan
kehendak mereka masing-masing. Kehendak para pihak inilah yang menjadi dasar
kontrak. Terjadinya perbuatan hukum itu ditentukan berdasar kata sepakat
(konsensualisme). Dengan adanya konsensus dari para pihak, maka kesepakatan
itu menimbulkan kekuatan mengikat perjanjian sebagaimana layaknya undang-
undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang dalam suatu
hubungan hukum menjadi hukum bagi mereka yang membuatnya.
9
Pemberian kredit dikoperasi seringkali tidak mendaftarkan jaminan fidusia
pada kantor Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia maka apa yang terjadi
didalam faktanya dan apa yang diharapkan oleh Undang-Undang jaminan fidusia
tidak tercapai. Dari hal-hal tersebut maka diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai eksistensi dari jaminan fidusia tersebut. Praktek yang seharusnya
dilakukan oleh pihak perbankan tersebut sesuai dengan Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, dalam Pasal 1 angka
(5) UUJF yang berbunyi sebagai berikut : “Penerima Fidusia adalah orang
perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya
dijamin dengan Jaminan Fidusia”.
Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia.
Undang-undang yang khusus mengatur hal ini, yaitu Undang-Undang Jaminan
Fidusia yang juga menggunakan istilah “Fidusia”. Dengan demikian, istilah
“Fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum di Indonesia. Akan
tetapi kadang-kadang dalam bahasa Indonesia untuk fidusia ini disebut juga
dengan istilah “penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Akta Jaminan Fidusia
haruslah memenuhi syarat–syarat sebagaimana tertuang dalam UUJF sebagai
berikut :
a. Pasal 4
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
b. Pasal 5
1. Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris
dalam bahasa Indonesia dan merupakan Akta Jaminan Fidusia.
2. Terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1),dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
10
c. Pasal 6
Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang–
kurangnya memuat :
1. Identitas pihak pemberi dan penerima Fidusia;
2. Data perjanjian pokok yang dijamin Fidusia;
3. Uraian mengenai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia;
4. Nilai penjaminan; dan
5. Nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.
Setelah syarat-syarat tersebut di atas dipenuhi masih ada kewajiban untuk
mendaftarkan jaminan fidusia tersebut, hal ini merupakan syarat mutlak supaya
akta Jaminan Fidusia mempunyai kepastian hukum seperti yang diamanatkan
Undang-Undang Fiducia yang tertuang dalam Pasal 11 yaitu :
1. Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan
2. Dalam hal benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar
wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tetap berlaku.
Setelah didaftarkan oleh penerima Fidusia Akta Jaminan Fidusia seperti yang
tertuang di dalam Pasal 14 UUJF yaitu :
1. Kantor Pendaftaran Fidusia dan menyerahkan kepada penerima Fidusia
Sertifikat Jaminan Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan pendaftaran.
2. Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan salinan dari buku daftar
Fidusia memuat catatan tentang hal – hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13 ayat (2).
3. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya
Jaminan Fidusia dalam buku daftar Fidusia.
Untuk Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia diatur dengan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Dengan telah lahirnya Undang-Undang Fidusia maka setiap Jaminan Fidusia
11
harus dibuat secara akta notariil karena dengan akta notariil maka akta Fidusia
tersebut menjadi alat bukti yang otentik untuk suatu pembuktian.
Akta Jaminan Fidusia harus dibuat dengan bahasa Indonesia, supaya akta
Jaminan Fidusia tersebut mempunyai kepastian hukum bagi debitur (pemberi
Fidusia) dan kreditur (penerima Fidusia), maka akta Jaminan Fidusia yang dibuat
akta notariil dan dibuat dengan bahasa Indonesia tersebut harus didaftarkan ke
Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 12 ayat (1)
UUJF yaitu : “Pendaftaran Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia”. Pendaftaran Akta
Jaminan Fidusia tersebut dilakukan agar supaya kreditor terlindungi dari debitur
yang wanprestasi. Sesuai dengan amanat Pasal 13 ayat (1) UUJF menentukan
bahwa: “Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh penerima
Fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran
Jaminan Fidusia”.
Peraturan Undang-Undang Fidusia tersebut merupakan cita–cita yang ingin
dicapai yang merupakan Dassolen. Akan tetapi dalam kenyataannya (das sein)
banyak sekali Jaminan Fidusia tersebut tidak didaftarkan pada kantor Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kenyataan yang terjadi dalam praktek di
masyarakat keadaanya lain/menyimpang dari aturan yang ada. Dengan demikian
atau dengan latar belakang tersebut antara peraturan yang ada dengan kenyataan
atau faktanya dalam praktek di masyarakat serta kekuatan mengikatnya perjanjian
kredit terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam pelaksanaan
eksekusi tidak seperti yang diharapkan, dibutuhkan suatu solusi untuk
12
mengakomodasi hal–hal tersebut agar didapat suatu solusi/formula yang cocok
untuk menjembatani antara dassolen dan dassein, terjadi pertentangan antara
aturan dan kenyataan yang terjadi dalam dunia praktek dan dunia usaha.
Jaminan Fidusia merupakan permasalahan yang sangat menarik untuk di kaji
dan dijadikan obyek penelitian, karena sarat dengan permasalahan-permasalahan
baik dalam bentuk konflik norma, maupun norma kaburnya. Setelah ditelusuri
melalui judul-judul tesis yang ada di Indonesia melalui penelusuran dengan media
internet ditemukan beberapa judul tesis yang menyangkut jaminan fidusia.
Adapun judul-judulnya adalah sebagai berikut :
a. Tesis yang berjudul “Kajian Yuridis Perjanjian Kredit dengan Jaminan
Fidusia Pada Koperasi Swamitra di Medan”, oleh Rumiris Ramarito
Nainggolan, Universitas Sumatra Utara, Jenis Penelitian Yuridis Empiris,
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. bagaimana pelaksanaan perjanjian kredit pada koperasi swamitra
dengan menggunakan akta fidusia yang tidak didaftarkan?
2. bagaimana penyelesaian sengketa jika debitur wanprestasi sedangkan
akta fidusianya tidak didaftarkan?
b. Tesis yang berjudul “Tanggung Jawab Debitur Terhadap Musnahnya
Benda Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit Bank “, oleh Ni
Made Trisnadewi,Universitas Udayana, Penelitian Hukum Normatif,
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tanggung jawab debitur terhadap benda
jaminan fidusia yang musnah dalam suatu perjanjian kredit bank
13
menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia?
2. Bagaimana perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian
kredit bank terhadap masalah musnahnya benda jaminan fidusia?
Bahwa tesis-tesis yang diuraikan diatas sangat berbeda dengan penulisan tesis
ini yang menyangkut kajian yuridis empiris dan pernah dilakukan oleh penulis-
penulis lainnya tetapi lokasi dan cakupan penelitian berbeda, oleh sebab itu karya
ilmiah ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan masih
sangat relevan untuk penelitian lebih lanjut.
Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti, membahas
serta mengangkatnya menjadi sebuah karya tulis / tesis yang berjudul “Kekuatan
Eksekutorial Perjanjian Kredit Dengan Akta Fidusia Yang Tidak
Didaftarkan (Studi Kasus Pada Koperasi Di Wilayah Kota Denpasar)”
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat ditarik
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Mengapa perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan oleh
koperasi?
2. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan dalam perjanjian kredit koperasi?
3. Bagaimanakah eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan dalam perjanjian kredit koperasi ?
14
1.3.Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Secara umum penelitian atas permasalahan di atas adalah dalam kerangka
pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process
(ilmu sebagai suatu proses).6 Paradigma ilmu tidak akan berhenti dalam
penggaliannya atas kebenaran dalam bidang lembaga jaminan fidusia dan untuk
memahami gambaran Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia.Hal ini berkaitan dengan kewajiban untuk mendaftarkan jaminan fidusia
yang digunakan untuk menjamin hutang piutang dalam perjanjian kredit.
b. Tujuan Khusus
Dalam penelitian ini, selain untuk mencapai tujuan umum seperti yang telah
disebutkan di atas, juga terdapat tujuan khusus. Adapun tujuan khusus yang ingin
dicapai sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yakni:
1. Untuk memahami dan menganalisis yang menyebabkan perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan di koperasi;
2. Untuk memahami dan menganalisis kekuatan mengikat dari perjanjian
kredit dengan menggunakan akta fidusia yang tidak didaftarkan terhadap
koperasi ;
3. Untuk memahami dan menganalisis eksekusi pada perjanjian kredit
dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan .
6Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana,2007, Pedoman
Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi,, hal. 30.
15
1.4.Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain :
1. Untuk memberikan sumbangan pemikiran-pemikiran khususnya dalam
penemuan asas-asas, konsep-konsep dan teori-teori yang berhubungan
dengan permasalahan ini.
2. Untuk memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada
umumnya, maupun di bidang keperdataan dan jaminan pada
khususnya terutama di bidang hukum jaminan fidusia yang
keberadaannya sangat dibutuhkan dalam lembaga perbankan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
antara lain :
1. memberikan kontribusi yang berupa masukan bagi pemerintah
maupun lembaga perbankan dalam rangka melaksanakan ketentuan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan
Undang-Undang No.17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, terutama
ketentuan yang menyangkut akta jaminan fidusia yang di daftarkan
dalam perjanjian kredit di koperasi serta perlindungan hukum bagi
para pihak dalam perjanjian kredit dalam bidang perbankan
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta
bahan masukan bagi masyarakat.
16
1.5.Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
a. Landasan Teoritis
Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih,
atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan
sesuatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris.7 Oleh
sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan
hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.8
Menurut Snellbecker teori adalah sebagai perangkat proposisi yang
terintegrasi secara simbolis dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan
menjelaskan fenomena yang diamati. Sedangkan menurut Kerlinger, teori
adalah;“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and
propositions that present asystematic view of phenomena by specifying relations
among variables, with the purpose of explaining and predicting the phenomena” .
(Teori adalah suatu rangkaian konsep, difinisi, dan proposisi yang dipresentasikan
secara sistimatis dengan menspesifikasikan hubungan antara variable, dengan
tujuan menjelaskan dan memprediksi suatu fenomena).9 dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa teori-teori sebagai landasan untuk menjelaskan fenomena atau
sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian merupakan pijakan
untuk mewujudkan kebenaran ilmu hukum yang diperoleh dari rangkaian upaya
7Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hal.
19. 8Soerjono Soekanto, 2001, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I), hal. 30. 9Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hal. 140
17
penelusuran (controleur baar). Oleh karena itu, dalam suatu penelitian semakin
banyak teori-teori, konsep dan asas yang berhasil di identifikasi dan dikemukakan
untuk mendukung penelitian yang sedang dikerjakan maka semakin tinggi derajat
kebenaran yang bisa dicapai.
Landasan Teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu
teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi
sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Dalam setiap
penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena
ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan
dan pengolahan data, analisa serta konstruksi data. Dalam menganalisa penulisan
ini digunakan Teori Efektivitas Hukum, Teori Perlindungan Hukum, dan Teori
Perjanjian.
1. Teori Efektivitas Hukum
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau
perilaku yang pantas. Metode berpikir yang dipergunakan adalah metode
deduktif-rasional, menimbulkan jalan pikiran yang dogmatis. Di lain pihak ada
yang memandang hukum sebagai sikap tindak atau perilaku yang teratur (ajeg).
Efektivitas hukum dalam tindakan atau realita hukum dapat diketahui apabila
seseorang menyatakan bahwa suatu kaidah hukum berhasil atau gagal mencapai
tujuanya, maka hal itu biasanya diketahui apakah pengaruhnya berhasil mengatur
sikap tindak atau perilaku tertentu sesuai dengan tujuannya atau tidak. Efektivitas
hukum artinya efektivitas hukum akan disoroti dari tujuan yang ingin dicapai.
18
Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar supaya masyarakat mematuhi
kaidah hukum adalah dengan mencantumkan sanksi-sanksinya.
Menurut Black’s Law Dictionary, penegakan hukum (law enforcement),
diartikan sebagai “the act of putting something such as a law into effect; the
execution of a law; the carrying out of a mandate or command”.10
Secara
sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan usaha untuk
menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai yang
ada di belakangnya. Aparat penegak hukum hendaknya memahami benar-benar
jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan hukum yang harus
ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi dalam proses
pembuatan perundang-undangan (law making process).
Berdasarkan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono Soekanto,
efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor. Pertama; faktor
hukumnya sendiri (undang-undang). Kedua; faktor penegak hukum, yakni pihak-
pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Ketiga; faktor sarana atau
fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor masyarakat, yakni
lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa
manusia di dalam pergaulan hidup.11
Relevan dengan teori efektivitas hukum yang dikemukakan Soerjono
Soekanto tersebut, Romli Atmasasmita mengatakan faktor-faktor yang
10
Campbell Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, St. Paul
Minesota: West Publishing, hal.578. 11
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.8
19
menghambat efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental
aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi
juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan.12
Berkaitan
dengan kepatuhan masyarakat terhadap suatu produk hukum, sangat tepat apa
yang dikemukakan Ivor Jennings menyatakan bahwa:
The most law-abiding citizen in the world, particulary when the law seem to
him to be sensible; but no man is more ready to take offence when it broken.
He doesn’t obey orders because they are given by one person in authority; he
obeys orders when they are lawful orders, issued by a person who has legal
authority to issue them.(Memang penting otoritas hukum itu, tetapi perlu juga
didukung oleh kepatuhan terhadap hukum baik oleh pembuat hukum itu
sendiri maupun masyarakat).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa penegakan hukum merupakan
usaha menegakkan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sekaligus nilai-nilai
yang ada di belakangnya. Dengan demikian aparat penegak hukum hendaknya
memahami benar-benar jiwa hukum (legal spirit) yang mendasari peraturan
hukum yang harus ditegakkan, terkait dengan berbagai dinamika yang terjadi
dalam proses pembuatan perundang-undangan (law making process),13
untuk
menjawab permasalahan yang pertama mengenai hal-hal yang menyebabkan akta
jaminan fidusia tidak didaftarkan maka dapat digunakan Teori Efektifitas Hukum
sebagai pisau analisa. maka dengan tidak didaftarkannya benda jaminan fidusia
akan menimbulkan akibat hukum yaitu penerima fidusia tidak memiliki hak
preferece seperti yang dinyatakan dalam Pasal 27 UUJF
12
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal.55 13
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Cet
II, Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 69.
20
2. Teori Perjanjian
Perjanjian pada umumnya dibuat dengan maksud dan tujuan yang beraneka
ragam. Salah satu tujuannya adalah dalam rangka untuk pemberian kredit. Istilah
kredit dikenal dalam bahasa yunani yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Oleh
karena itu dasar pemberian kredit adalah kepercayaan si pemberi kredit ke pada
penerima kredit bahwa kredit yang disalurkannya akan dikembalikan sesuai
perjanjian, dalam pemberian kredit di Koperasi merupakan perikatan antara pihak
pemberi kredit (koperasi) dan pihak penerima kredit yang berdasarkan
kepercayaan. Sesuai dengan pengertian dari Pasal 1313 KUH Perdata tentang
perjanjian, bahwa yang menjadi dasar hukum mengikatnya suatu perjanjian,
adalah “perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya”. Perjanjian diatur dalam buku Ketiga KUHPerdata tentang perikatan
yaitu Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Perjanjian adalah “suatu
perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih”. Apabila antara dua orang atau lebih tercapai suatu
persesuaian kehendak untuk mengadakan suatu ikatan, maka terjadilah antara
mereka suatu persetujuan. Lebih lanjut dalam Pasal 1121 KUHPerdata dinyatakan
bahwa: “Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan
atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”. Sedangkan pendapat yang
dinyatakan oleh Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian
merupakan perbuatan hukum tentang harta benda kekayaan antara dua pihak,
dimana salah satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal
21
atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut dari
pelaksanaan janji tersebut.14
Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna memberikan definisi
bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan antara beberapa pihak,
dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas suatu jasa (prestasi)
sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.15
Pendapat lain
dikemukakan oleh Subekti mendefinisikan pengertian perjanjian sebagai berikut;
“perjanjian merupakan suatu peristiwa apabila seseorang berjanji kepada seorang
yang lain ataupun jika dua orang tersebut saling berjanji dan mengikatkan diri
untuk melaksanakan suatu hal”.16
Dari peristiwa ini muncul suatu hubungan
antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan
suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. O.W Holmes berpendapat
bahwa:“The duty on keep contract in common law means a prediction that you
must pay damages if you do not keep it, if you commit a tort, you are liable to pay
compensatory”.17
(Kewajiban untuk menjaga suatu perjanjian dalam hukum
masyarakat diartikan sebagai prediksi bahwa kamu harus membayar kerusakan
kerusakan, akan tetapi kalau kamu tidak menjaganya, apabila kamu komit dengan
14
Wirjono Prodjodikoro, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,
Cet VIII, Sumur, Bandung, hal 11. 15
Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 1982, Azas-Azas Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, hal. 53. 16
R. Soebekti, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 45 17
M.P Golding, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia
University, Random House, New York, hal. 180
22
gugatan tersebut, maka kamu bertanggung jawab untuk membayar kompensasi
tersebut).
Dipihak lain menurut Sucitthra Vasu, menberikan pengertian tentang tujuan
ditetapkannya kontrak yaitu :“The purpose of setting down the terms of contract
are; firstly, it stipulates the rights and obligations of the parties. Secondly, in the
event of a dispute between parties, it enables the cour to decide which is the
defaulting party so that the dispute can be resolved.”18
(Tujuan ditetapkannya
terminologi kontrak adalah, pertama dengan kontrak akan dapat menunjukkan hak
dan kewajiban masing-masing pihak, kedua suatu saat nanti ada perselisihan
antara pihak kontrak ini dapat memutuskan yang mana pihak yang menyalahi
kontrak, agar perselisihan itu dapat dipecahkan). Sedangkan menurut R. Subekti,
dalam bukunya Law In Indonesia, menyatakan bahwa; “The debtor has done
something what is in contravention of the contract, it is obvious that he is in
default. Also when in the contract is fixed a time limit for carrying out the duty
and the debtor has elapsed this time limit, it is clear that the debtor is in default.”
19(Debitur yang telah melakukan tindakan yang berlawanan dengan kontrak itu
dinyatakan menyalahi kontrak. Begitu pula apabila dalam kontrak ditentukan
batas waktu pemenuhan kewajiban, akan tetapi debitur tidak mengindahkan limit
waktu itu, itu jelas debitur dinyatakan bersalah).
18
Sucitthra Vasu, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore, hal 1. 19
R. Subekti, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International,
And Studies, third edition, Jakarta, hal 55
23
Mengenai kapan suatu perjanjian terjadi antara para pihak dalam hukum
kontrak mengenal beberapa teori antara lain :20
1. Teori Penawaran dan Penerimaan
Pada prinsipnya Suatu kesepakatan baru terjadi setelah adanya penawaran (offer)
dari salah satu pihak dan diikuti dengan penawaran tawaran (acceptance) oleh
pihak lain dalam perjanjian tersebut.
2. Teori Kehendak (Wilstheorie)
Menurut teori kehendak, perjanjian itu terjadi apabila ada persesuaian kehendak
antara kehendak dan pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah
yang menyebabkan terjadinya perjanjian.
3. Teori Pernyataan
Menurut teori ini kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui oleh
pihak lain dan kehendak merupakan yang menyebabkan terjadinya perjanjian.
Akan tetapi yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika
terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan, perjanjian tetap terjadi.
4. Teori Kepercayaan
Menurut teori ini, hanya pernyataan yang menyebabkan kepercayaanyang dapat
menimbulkan kepercayaan. Kepercayaan dalam arti bahwa pernyataan itu benar-
benar dikhendaki.
20
Salim, H.S, 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers,
Jakarta, hal166-168
24
5. Teori Pengiriman
Menurut teori pengiriman, kesepakatan penawaran terjadi jika pihak yang
mendapatkan penawaran menerima atau mengirimkan telegram.
6. Teori Pengetahuan
Teori pengetahuan berpendapat bahwa perjanjian ada jika salah satu pihak yang
menawarkan itu mengetahui adanya penerimaan, akan tetapi penerimaan itu
belum tidak diketahui secara langsung.
Pada umumnya suatu perjanjian dapat dibuat secara lisan dan dibuat secara
tertulis maka ini bersifat sebagai alat bukti jika terjadi permasalahan. Terdapat
perjanjian yang ditentukan oleh Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk
tertentu. apabila bentuk itu tidak sesuai, perjanjian tersebut dikatakan tidak
memenuhi syarat yang ditentukan oleh undang-undang, perjanjian dalam bentuk
tertulis tidak hanya digunakan sebagai pembuktian saja jika terjadi perselisihan
tetapi merupakan hal utama untuk adanya (bestnwaarde) perjanjian tersebut.
Perjanjian kredit yang telah ditetapkan oleh pihak kreditur merupakan bentuk
dari perjanjian baku, yang melahirkan hukum bagi keduanya. Bahwa pihak
kreditur dan debitur terikat untuk melaksanakan isi dari perjanjian yang
disepakati. Stein mengemukakan bahwa kontrak baku dapat diterima sebagai
perjanjian, berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan (fictie van will en
vertrouwen) yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan
diri pada perjanjian itu, jika debitur menerima dokumen itu berarti ia secara
25
sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut.21
Selain itu Aser Rutten mengatakan
bahwa :
Setiap orang yang menanda tangani perjanjian bertanggung jawab pada isi dan
apa yang ditandatangani. Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan
pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan
kepercayaan bahwa yang bertanda tangan mengetahui dan menghendaki isi
formulir yang ditanda tangani tidak mungkin seorang menanda-tangani apa
yang tidak diketahui isinya.22
Kegiatan usaha pinjaman yang dilakukan oleh koperasi sangat erat kaitannya
dengan kegiatan usaha kredit. Secara etimologis usaha kredit berasal dari bahasa
lain credere, credo, dan creditum yang artinya adalah kepercayaan, yang dalam
bahasa inggris disebut faith atau trust.23
Dalam Pasal 1 Angka 11 menyebutkan
Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”.
Dengan demikian, dalam perjanjian kredit terdapat kesepakatan para pihak
yang dituangkan dalam bentuk perjanjian kredit dimana akan melahirkan suatu
perikatan diantara kedua subjek hukum. Definisi perikatan tidak diatur dalam
Buku III KUHPerdata tentang Perikatan, tetapi definisi perikatan terdapat dalam
pengetahuan ilmu hukum. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam lapangan
harta kekayaan antar dua orang atau lebih, pihak yang satu berkewajiban atas
21
Ibid 22
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan
Pemerintah di bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 49. 23
Rachmandi Usman, 2001, Aspek-AspekHukum Perbankan Indonesia, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.236
26
sesuatu dan pihak lain berhak atas prestasi.24
Pinjaman (kreditur) kepada
masyarakat sebagai penerima kredit (debitur), yaitu :
1. Kepercayaan: merupakan keyakinan pihak kreditur, atas prestasi yang
diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur, yang akan dibayar sesuai
dengan waktu diperjanjikan.
2. Waktu: merupakan jangka waktu antara penerimaan kredit dan
pembayarannya, jangka waktu tersebut telah terlebih dahulu diperjanjikan
dan disepakati antara pihak kreditur dan debitur.
3. Prestasi: yaitu suatu adanya objek yang diperjanjikan yang berupa prestasi
pada saat terjadinya kesepakatan pemberian pinjaman oleh kreditur kepada
debitur.
4. Resiko: adalah adanya hal yang mungkin terjadi selama jangka waktu dari
penyaluran kredit hingga pelunasan pinjaman tersebut maka diperlukan
pengikatan jaminan atau agunan yang dimiliki debitur
Suatu perjanjian pinjam meminjam sah apabila kewajiban-kewajiban yang
timbul dari perjanjian itu tidak dapat dipenuhi dapat dipaksakan pelaksanaanya.
Apabila pihak yang berkewajiban tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan
apa yang diperjanjikan, maka dapat dikatakan bahwa pihak tersebut telah
melakukan wanprestasi. Dari uraian tersebut maka untuk menjawab permasalahan
yang kedua dan ketiga sangat relevan digunakan Teori Perjanjian untuk menjawab
permasalahan mengenai kekuatan mengikat jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan dan pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan.
24
Purwahid Patrik, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju,
Bandung, hal.2.
27
Perjanjian kredit, atau pengakuan hutang merupakan perjanjian pokok, dalam
praktik perbankan diperlukan suatu Jaminan, salah satunya yaitu jaminan Fidusia
yang merupakan perjanjian ikutan (accesoir). UUJF ditentukan Jaminan Fidusia
tersebut wajib dibuat dalam bahasa Indonesia dan dibuat dalam bentuk akta
otentik yang dibuat dihadapan Pejabat yang berwenang (notaris) yang dibuat
dalam bahasa Indonesia. Pasal 7 UUJF, fungsi jaminan fidusia adalah untuk
menjamin pelunasan hutang yang telah ada maupun hutang yang akan ada
dikemudian hari yang sudah diperjanjikan, maksud dari hutang yang telah ada,
adalah hutang saat pemberian Jaminan Fidusia sudah ada, sedangkan hutang yang
akan ada dikemudian hari berarti hutang-hutang saat pemberian Jaminan Fidusia
belum ada,tetapi sudah diperjanjikan.
3. Teori Perlindungan Hukum
Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana untuk
menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, dalam hubungan antar
anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya dapat dijaga kepentingannya.
Hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia yang berbentuk
norma atau kaedah. Hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah mengandung
isi yang bersifat umum dan normatif, umum karena berlaku bagi setiap orang, dan
normatif karena menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, serta
menentukan bagaimana cara melaksanakan kepatuhan pada kaedah.25
Wujud dari peran hukum dalam masyarakat adalah memberikan perlindungan
hukum kepada anggota masyarakat yang kepentingannya terganggu.
25
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta hal.39
28
Persengketaan yang terjadi dalam masyarakat harus diselesaikan menurut hukum
yang berlaku. Menurut Sudikno Mertokusumo, bahwa hukum itu bertujuan agar
tercapainya ketertiban dalam masyarakat, diharapkan kepentingan manusia akan
terlindungi untuk mencapai tujuannya dan bertugas membagi hak dan kewajiban
antar perorangan dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengutamakan
pemecahan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. Menurut Subekti
bahwa tujuan hukum itu mengabdi kepada tujuan Negara, yaitu mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyatnya.26
Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek
hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh
hukum, agar anggota masyarakat merasa aman dalam melaksanakan
kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan
sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan
mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, yang menyebabkan
bersangkutan merasa aman.
Menurut Philipus M Hadjon perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum
berbahasa belanda dikenal dengan sebutan rechtsbescherming van de burgers.27
Pendapat ini menunjukkan kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari
bahasa belanda yakni rechtbescherming. Dari pengertiannya, dalam kata
perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang
26
Ibid, hal. 57-61 27
Philipus M hadjon, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya, hal.1
29
dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Menurut Fitzgerald,
menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan
mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam
masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap
kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai
kepentingan di lain pihak.28
Kepentingan hukum yaitu mengurusi kepentingan dan
hak manusia, hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan
manusia yang perlu diatur dan dilindungi, Perlindungan terhadap kepentingan
tertentu hanya dapat dilakukan dengan membatasi berbagai kepentingan di pihak
lain, hukum memiliki tujuan untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
berbagai kepentingan dalam masyarakat.29
Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir
dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh
masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut
untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra berpendapat bahwa fungsi
hukum adalah untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar
adaptif dan fleksibel, tetapi juga prediktif dan antisipatif.30
Menurut Sunaryati
28
Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal.53. 29
Ibid, hal.69 30
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118.
30
Hartono menyatakan hukum diperlukan untuk mereka yang lemah dan belum kuat
secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial.31
Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata memberikan perlindungan
hukum kepada para pihak yang mengikatkan diri, yang menentukan: “Semua
Persetujuan yang dibuat secara sah sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya. “Kata semua menunjukkan
adanya kebebasan bagi orang untuk membuat suatu perjanjian dengan siapa saja
dan tentang apa saja asalkan tidak dilarang oleh hukum, artinya bahwa semua
ketentuan dalam perjanjian yang telah disepakati oleh para pihak mengikat dan
wajib dilaksanakan oleh para pihak yang membuatnya. Apabila salah satu pihak
tidak melaksanakan perjanjian maka pihak yang dirugikan dapat dapat menuntut
ganti rugi kepada pihak yang tidak melaksanakan, sedangkan kalimat yang dibuat
secara sah diartikan sebagai bahwa apa yang disepakati berlaku sebagai undang-
undang, jika tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan
kesusilaan, apabila kontrak bertentangan, perjanjian batal demi hukum. Ketentuan
Pasal 1338 ayat (2) menentukan bahwa: “Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh undang-undang”. Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) menentukan
bahwa : “Persetujuan harus dilaksanakan dengan ektikad baik” yaitu keinginan
subjek hukum untuk berbuat sesuatu, merupakan kesepakatan yang terdapat dalam
perjanjian yang harus ditaati sebagai suatu peraturan bersama.
31
Sunaryati Hartono, CFG, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, Alumni, Bandung, hal 55.
31
Guna mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan dari
masing-masing individu yaitu ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari
hukum yakni adanya kegunaan hukum, keadilan hukum, serta kepastian hukum
yang pada dasarnya ketiga nilai dasar harus dijalankan secara bersamaan. Fungsi
primer hukum adalah untuk melindungi rakyat dari tindakan yang dapat
merugikan hidupnya dari orang lain. Selain itu berfungsi untuk dapat mewujudkan
kesejahteraan bagi rakyat dan untuk memberikan keadilan serta menjadi sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Keadilan, perlindungan dan
kesejahteraan ditujukan kepada setiap orang, tidak terkecuali kaum wanita.32
Menjawab permasalahan ketiga mengenai eksekusi akta fidusia yang tidak
didaftarkan pada perjanjian kredit di koperasi dapat digunakan sebagai landasan
berpijak yaitu teori Perlindungan Hukum. Sesuai dengan prinsip memberikan
kepastian hukum, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia mengambil prinsip
pendaftaran jaminan fidusia. Fungsi jaminan fidusia adalah untuk memberikan
kepastian hukum kepada pemberi, penerima fidusia dan kepada pihak ketiga.
Jaminan Fidusia harus didaftarkan, seperti yang diatur dalam Pasal 11 UUJF.
Dengan adanya pendaftaran tersebut maka terpenuhinya asas publisitas.
Ketentuan tersebut dibuat bertujuan bahwa benda yang dijadikan obyek fidusia
benar merupakan milik debitor (pemberi fidusia), apabila pihak lain yang hendak
mengklaim benda tersebut, ia dapat mengetahuinya melalui pengumuman
tersebut.
32
Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, http//.supanto.staff.hukum.uns.co.id,
diakses pada tanggal 07 Oktober 2012
32
Eksekusi adalah pelaksanaan pengambilan barang jaminan debitur untuk
pelunasan hutangnya kepada kreditur atau keputusan pengadilan atau akta maka
pengambilan pelunasan kewajiban kreditor melalui hasil penjualan benda-benda
tertentu milik debitor. Sedangkan perjanjian fidusia adalah perjanjian jaminan
yang merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian utang piutang. Guna
menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh
notaris dan dibuatkan dalam bahasa indonesia serta didaftarkan pada kantor
Pendaftaran Fidusia (Kementrian Hukum dan HAM), selanjutnya kreditor akan
memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan demikian, memiliki kekuatan hak
eksekutorial langsung jika debitor wanprestasi (parate eksekusi), sesuai amanat
UUJF. Perjanjian yang dibuat di bawah tangan tidak memiliki nilai pembuktian
sempurna. Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang
berwenang serta memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Perjanjian yang
dibuat di bawah tangan, jika hendak dijadikan alat bukti harus diotentikan ulang
oleh para pihak, misalnya di pengadilan.
Jaminan fidusia memiliki sifat kebendaan dan berlaku asas droit de suite, dan
perkecualian terhadap pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek
jaminan fidusia hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 UUJF menyatakan bahwa:
“Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi objek Jaminan fidusia dalam tangan
siapapun Benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda tersebut, kecuali
pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek Jaminan Fidusia”.
33
Ketentuan Pasal 27 UUJF mengenai hak atas piutang yang didahulukan
yaitu :
1. Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor
lainnya.
2. Hak didahulukan sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) adalah hak
Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil
eksekusi Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
3. Hak yang didahulukan dan Penerima Fidusia tidak hapus karena adanya
kepailitan dan atau likuidasi Pemberi Fidusia.
Secara keseluruhan, hal yang dapat menunjukkan adanya perlindungan hukum
terhadap kreditur (Penerima Fidusia) menurut UUJF antara lain sebagai berikut:
a. untuk menjamin kepentingan pihak yang menerima fidusia, maka
diadakannya lembaga pendaftaran jaminan fidusia;
b. Pasal 17 UUJF yang mengatur adanya larangan pemberi fidusia untuk
memfidusiakan ulang obyek jaminan fidusia;
c. Ketentuan Pasal 23 ayat (2) menyatakan bahwa Pemberi Fidusia tidak
diperbolehkan untuk mengalihkan, menggadaikan atau menyewakan;
d. Kreditur yang hendak melaksanakan eksekusi atas objek jaminan fidusia
maka Pemberi fidusia berkewajiban menyerahkan benda jaminan.
e. Pengaturan dalam UUJF mengenai ketentuan pidana.
34
B.Kerangka Berpikir
Bagan Kerangka Berpikir :
Rumusan
Masalah Landasan
Teoritis
Metode
Penelitian
1 . Mengapa
perjanjian
kredit dengan
jaminan fidusia
tidak
didaftarkan
oleh koperasi
Teori Efektifitas
Hukum
Teori Perjanjian
1.Jenis Penelitian :Yuridis
empiris
2.Sifat Penelitian
:Deskriptif Analitis
3.Data dan Sumber Data:
a.Data Primer (Data
Lapangan)
b.Data Sekunder(Data
Kepustakaan)
4.Lokasi Penelitian,
Pengambilan Sampel dan
Penetapan Informan
a.Lokasi Penelitian :Kota
Denpasar.
b.Pengambilan
Sampel:Teknik Purposive
Sampling.
c.Penetapan Informan:
Teknik Snowball Sampling
5.Teknik Pengumpulan
Data
a.Data Lapangan : Teknik
Wawancara
b.Data Kepustakaan : Studi
dokumen
6.Teknik Pengolahan dan
Analisi Data
Setelah semua data
terkumpul baik data dari,
data kepustakaan maupun
lapangan, kemudian
diklsifikasikan secara
kualitatif sesuai dengan
masalah. Data tersebut
dianalisa sedemikian rupa
dikaitkan dengan teori-teori
yang relevan antara lain:
Teori Efektivitas Hukum,
Teori Perlindungan Hukum,
Teori Hukum dan Teori
Perjanjian. Kemudian
ditarik kesimpulan untuk
menjawab permasalahan.
Akhirnya data tersebut
disajikan secara deskriptif
analitis
Teori Perjanjian
2. kekuatan
mengikat dari
perjanjian
kredit pada
koperasi
dengan
menggunakan
akta fidusia
yang tidak
ddidaftarkan
3. Bagaimana eksekusi terhadap benda jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit di koperasi
Teori Perlindungan
Hukum
Latar
Belakang
1.Jaminan
fidusia
wajib
didaftarka
n (Pasal
11 UUJF)
2.Pada
kenyataan
ya banyak
jaminan
fidusia
yang tidak
didaftarka
n
SIMPULAN
1. Tidak dididaftarkannya jaminan fidusia disebakan oleh 2 faktor yaitu faktor
internal dan eksternal dari koperasi
2. Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan hanya mengikat para pihak yang
membuat perjanjian dan kekuatan eksekutorial dari jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan berlaku jika debitur hanya memiliki satu kreditur,
sedangkan jika memiliki lebih dari satu kreditur kekuatan eksekutorial
dimiliki oleh kreditur yang mendaftarkan jaminan fidusia tersebut..
3. Debitur yang memiliki satu kreditur pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan
dengan musyawarah, sedangkan debitur yang memiliki lebih dari satu
kreditur dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka pelaksanaan
eksekusi dengan menempuh upaya pengadilan
35
Adapun dari bagan kerangka berpikir tersebut diatas dapat dideskripsikan
sebagai berikut:
Kredit yang disalurkan Koperasi mengandung resiko, maka harus
menggunakan prinsip kehati hatian, karena adanya resiko tersebut, koperasi selalu
meminta jaminan untuk memberikan kepastian pelunasan piutang debitur.
Timbulnya pengikatan jaminan didasarkan atas adanya perjanjian kredit,
perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian accesoir atau perjanjian
ikutan. Pengikatan jaminan benda bergerak melalui lembaga jaminan fidusia.
Untuk pengikatan jaminan fidusia harus dibuat dengan akta notaris dan kemudian
wajib di daftarkan pada kantor pendaftaran jaminan Fidusia sesuai dengan Pasal
11 UUJF. Pemberian kredit dikoperasi seringkali tidak mendaftarkan jaminan
fidusia pada kantor Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, apa yang terjadi
didalam faktanya dan apa yang diharapkan oleh undang-undang jaminan fidusia
tidak tercapai. Maka untuk menjawab permasalahan yang pertama tentang faktor-
faktor yang menyebabkan akta jaminan fidusia tidak didaftarkan maka digunakan
Teori Efektifitas Hukum. Menurut teori efektivitas hukum yang dikemukakan
oleh Soerjono Soekanto, diberlakukannya hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor
yaitu Pertama; faktor hukumnya sendiri. Kedua: faktor penegak hukum. Ketiga;
faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Keempat; faktor
masyarakat, yaitu tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima; faktor
kebudayaan, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pergaulan hidup
manusia.33
33Soerjono Soekanto, Opcit, hal.8
36
Kekuatan mengikat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan dapat digunakan Teori Perjanjian. Perjanjian kredit yang telah
ditetapkan oleh pihak kreditur merupakan bentuk dari perjanjian baku, yang
melahirkan hukum bagi keduanya. Pihak kreditur dan debitur terikat untuk
melaksanakan isi dari perjanjian yang disepakati. Setiap orang yang menanda
tangani perjanjian wajib bertanggung jawab pada disepakati sesuai dengan amanat
Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Permasalahan yang ketiga mengenai eksekusi benda jaminan akta jaminan
fidusia yang tidak didaftarkan sangat relevan digunakan Teori Perjanjian dan
Teori Perlindungan Hukum. Dasar hukum mengikatnya suatu perjanjian, adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan
pihak lainnya. Perikatan yaitu suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antar dua orang atu lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu
Prestasi dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu (Pemenuhan prestasi). Dalam
Pasal 7 UUJF, jaminan fidusia dapat digunakan untuk menjamin pelunasan hutang
yang telah ada maupun hutang yang akan ada dikemudian hari yang sudah
diperjanjikan.Agar mendapat perlindungan hukum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Jaminan Fidusia, pembebanan benda dengan akta jaminan
fidusia harus dibuat dengan akta otentik dan dicatatkan dalam Buku Daftar
Fidusia. Jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, hak-hak kreditur tidak mendapat
perlindungan sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia,
apabila benda jaminan dibebankan fidusia dengan akta di bawah tangan, maka
kreditor penerima fidusia merupakan kreditor biasa, apabila terjadi wanprestasi
37
1.6. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang diajukan.
Berdasarkan landasan teori tersebut di atas, maka dapat diajukan hipotesis sebagai
berikut :
1. Jika koperasi tidak mendaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit
dikarenakan faktor faktor yaitu memerlukan biaya yang memberatkan
debitur yang rata-rata berasal dari golongan kecil dan menengah, pihak
koperasi tidak mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
2. Jika perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka
kekuatan mengikatnya hanya mengikat para pihak yang ada dalam
perjanjian tersebut, kesepakatan tersebut menimbulkan kekuatan mengikat
perjanjian sebagaimana undang-undang (pacta sunt servanda). Hal yang
dinyatakan seseorang dalam perjanjian menjadi hukum bagi mereka yang
membuatnya.
3. Apabila terjadi wanprestasi oleh pihak debitur maka penyelesaian eksekusi
terhadap jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dengan upaya mengajukan
gugatan perdata ke Pengadilan Negeri hingga turunnya putusan pengadilan
untuk pelaksanaan eksekusi dan dengan upaya perdamaian.
1.7. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penelitian hukum yuridis empiris adalah penelitian hukum tentang
pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif (kodifikasi undang-
38
undang atau kontrak) secara in actio pada setiap peristiwa hukum tertentu yang
terjadi dalam masyarakat.34
Jenis penelitian dalam penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis
empiris, karena mendekati masalah dari kenyataan yang ada dalam masyarakat
kemudian dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia mewajibkan
adanya pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran jaminan fidusia
sesuai amanat Pasal 11, sedangkan dalam kenyataannya banyak jaminan fidusia
tidak didaftarkan oleh koperasi, dalam kenyataan yang terjadi di masyarakat
menyimpang dari aturan yang ada.
b. Sifat Penelitian
Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif analitis.
Penelitian yang bersifat deskriptif analitis bertujuan untuk memberikan data yang
seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya,35
maka
dapat diambil data obyektif karena ingin menggambarkan kenyataan yang terjadi
pada Koperasi di Kota Denpasar.
c. Data dan sumber data
Data dalam penelitian ini berasal dari dua sumber, yaitu data lapangan dan
data kepustakaan. Data lapangan atau primer yaitu data yang didapat dari
penelitian lapangan dari informan yang mengalami langsung perjanjian kredit
34
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal.134 35
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta,
hal. 10.
39
dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan dalam hal diperoleh dari Koperasi
yang berada di wilayah kota denpasar. Sedangkan data kepustakaan atau data
sekunder terdiri dari :
1) Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan permasalahan, seperti Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 dan Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Fidusia, Undang-Undang Nomor 17 tentang
Perkoperasian. Bahan hukum primer yang merupakan bahan-bahan hukum
yang mengikat36
.
2) Bahan hukum sekunder yang merupakan bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer,. Dalam penulisan karya
ilmiah ini yang digunakan adalah bahan hukum sekunder yang bersumber
dari literatur yang ada kaitannya dengan masalah.
3) Bahan Hukum Tersier merupakan data penunjang yakni bahan-bahan yang
member petunjuk dan penjelasan terhadap data primer dan data sekunder,
diantaranya kamus dan ensiklopedi.37
d. Lokasi Penelitian, Pengambilan Sampel dan Penetapan Responden
dan Informan
Adapun lokasi penelitian dalam penyusunan penelitian ini pada Koperasi di
wilayah Kota Denpasar. Terpilihnya Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian
36
Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Penghantar Metode Penelitian Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.30 37
Bambang Sunggono, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal.114
40
karena Kota Denpasar merupakan salah satu kota di Bali yang berkembang dan
memiliki tingkat kepadatan penduduk dan aktifitas ekonomi tinggi dan memiliki
jumlah koperasi terbanyak diantara wilayah lainnya.
Populasi adalah keseluruhan dari objek pengamatan atau objek penelitian,
sedangkan sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti, yang
dianggap mewakili populasinya. Oleh karena populasi biasanya sangat besar dan
luas, maka kerapkali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu tetapi
cukup diambil sebagian saja untuk diteliti sebagai sampel yang memberikan
gambaran tentang objek penelitian secara tepat dan benar.38
Populasi dalam penelitian ini adalah Koperasi di wilayah Kota Denpasar yang
berjumlah 871 unit koperasi yang berdasarkan data perkembangan koperasi
sampai periode tahun 2010 oleh Dinas Koperasi dan Usaha kecil dan
menengah ,antara lain :
No. Wilayah Jumlah
1. Denpasar Utara 128 unit Koperasi
2. Denpasar Barat 210 unit Koperasi
3. Denpasar Selatan 230 unit Koperasi
4. Denpasar Timur 303 unit Koperasi
Sumber: Dinas Koperasi dan UMKM Denpasar
Dalam Penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah Purposive
Sampling yaitu teknik yang sengaja dipakai karena memilih karakter tertentu tidak
38
Rony Hatnijo Soemitro, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.10
41
dapat mengambil dalam jumlah besar. Dalam Penelitian ini ditetapkan 4 (empat)
Koperasi di Wilayah Kota Denpasar sebagai sampel penelitian yang telah dipilih
berdasarkan penelitian awal dan yang didasari dari konteks tingkat berkembang
kemajuan dari koperasi tersebut. Maka Koperasi yang dipilih adalah Koperasi
Tunas Sari di kecamatan Denpasar Barat, Koperasi Wisuda Guna Raharja di
kecamatan Denpasar Timur,Koperasi Pemogan dikecamatan Denpasar Selatan
dan Koperasi Bakti Rahayu pada kecamatan Denpasar Utara.
Penentuan informan dilakukan dengan teknik penentuan informan dengan
menggunakan metode snowball sampling yang dipilih berdasarkan penunjukan
atau rekomendasi dari sampel sebelumnya. Sampel pertama yang diteliti
ditentukan sendiri oleh peneliti yaitu dengan mencari informan kunci, kemudian
informan berikutnya yang akan dijadikan sampel tergantung dari rekomendasi
yang diberikan oleh informan kunci,39
yang diawali dengan menunjuk sejumlah
informan yaitu informan yang mengetahui, memahami, dan berpengalaman sesuai
dengan objek penelitian ini yakni Ketua Koperasi dan Bagian Kredit pada
Koperasi di wilayah Kota Denpasar. Sedangkan responden diperoleh dari yang
mengalami langsung perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan oleh koperasi dalam hal ini didapat dari informan kunci pada Koperasi
di wilayah Kota Denpasar.
Penetapan informan dan responden untuk penelitian ini adalah di Koperasi di
wilayah kota Denpasar yaitu pada Koperasi Tunas Sari di kecamatan Denpasar
39
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Pedoman
Pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Denpasar,
hal.62
42
Barat, Koperasi Wisuda Guna Raharja di kecamatan Denpasar Timur,Koperasi
Pemogan dikecamatan Denpasar Selatan dan Koperasi Bakti Rahayu pada
kecamatan Denpasar Utara.
e. Teknik Pengumpulan Data
Untuk pengumpulan data lapangan digunakan teknik wawancara dengan para
informan dan responden di Koperasi di wilayah kota Denpasar, Agar hasil
wawancara memiliki nilai validitas dan reabilitas dalam berwawancara
menggunakan alat berupa pedoman wawancara atau interview guide.40
Untuk
mengumpulkan data kepustakaan digunakan teknik studi dokumen yaitu dengan
penelusuran literatur dan mencatat bahan-bahan dari buku-buku literatur yang
terkait dengan masalah.
f. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah semua data terkumpul baik data dari, data kepustakaan maupun
lapangan, kemudian diklasifikasikan secara kualitatif sesuai dengan masalah. Data
tersebut dianalisa sedemikian rupa dikaitkan dengan teori-teori yang relevan
antara lain: Teori Efektivitas Hukum, Teori Perlindungan Hukum dan Teori
Perjanjian. Kemudian ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan.
Akhirnya data tersebut disajikan secara deskriptif analitis.
g. Teknik Penulisan atau Penyajian data
Dari Hasil pengolahan dan analisis data disusun suatu tulisan dalam bentuk
tesis secara deskriptif analitis dalam bentuk narasi atau uraian kata-kata secara
kualitatif.
40
ibid, hal.57
43
BAB II
TINJAUAN UMUM
2.1.Tinjauan Umum Perjanjian Kredit
2.1.1. Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah suatu hubungan atas dasar hukum kekayaan
(vermogenscrechtlijke bettrecking) antara dua pihak, dimana pihak yang satu
berkewajiban memberikan suatu prestasi atas nama pihak yang lain mempunyai
hak terhadap prestasi itu.41
Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi bahwa perjanjian itu
merupakan suatu perbuatan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua
pihak, dimana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu
hal atau tidak melakukan suatu hal, sedang pihak yang lain berhak menuntut
pelaksanaan janji itu.42
Bachsan Mustafa, Bewa Ragawino dan Yaya Priatna
memberikan pengertian bahwa perjanjian itu adalah hubungan hukum kekayaan
antara beberapa pihak, dimana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut atas
suatu jasa (prestasi) sedangkan pihak lainnya (debitur) berkewajiban untuk
memenuhi tuntutan tersebut (schuld) dan bertanggung jawab atas prestasi itu.43
Perjanjian menurut Abdulkadir Muhammad adalah hal yang mengikat
antara orang yang satu dengan orang yang lain. Hal yang mengikat tersebut yaitu
41
H. Mashudi dan Moch. Chidir Ali, Pengertian-Pengertian elementer
Hukum Perjanjian Perdata, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, 2001, hal.35. 42
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu,
Cet VIII, Sumur, Bandung, 1985, hal. 11. 43
Bacshan Mustafa, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, Azas-Azas Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung, 1982, hal. 53.
44
peristiwa hukum yang dapat berupa perbuatan misalnya jual beli, berupa kejadian
misalnya kelahiran, dan dapat juga berupa suatu keadaan misalnya pekarangan
yang berdampingan, hal mana semua peristiwa hukum tersebut akan menciptakan
suatu hubungan hukum.44
Berdasarkan definisi yang telah dikemukakan tersebut di atas, maka dapat
disebutkan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
dimana pihak yang satu berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal dan pihak yang
lain berhak menuntut hal (prestasi) tersebut. Pasal 1 Angka 7 Peraturan
pemerintah Nomor 9 Tahun 1995, menentukan: “Pinjaman adalah penyediaan
uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan
atau kesepakatan pinjam meminjam antar koperasi dengan pihak lain yang
mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelaha jangka waktu
tertentu disertai pembayaran sejumlah imbalan”.
Perjanjian pinjam-meminjam uang menurut KUHPerdata pasal 1754 yang
berbunyi :
Pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan
kepada pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah
tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam
dan keadaan yang sama pula.
Kegiatan usaha pinjaman yang dilakukan oleh koperasi sangat erat
kaitannya dengan kegiatan usaha kredit. Dalam pengertian yang luas kredit
44
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cet III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000 (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad I),
hal. 198.
45
sebagai suatu kepercayaan. Dalam bahasa Latin kredit berarti credere artinya
percaya. Maksud dari kepercayaan dari si pemberi kredit (koperasi) yaitu bahwa si
penerima kredit yang menerima kredit yang disalurkannya pasti akan
mengembalikan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan bagi debitur merupakan
penerimaan kepercayaan maka mempunyai kewajiban untuk membayar sesuai
dengan jangka waktu. Pengertian kredit menurut Undang-Undang Perbankan
Nomor 10 tahun 1998 Pasal 1 ayat (1) adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Menurut O.P Simorangkir, kredit adalah pemberian prestasi (uang/barang)
dengan kontra prestasi akan terjadi pada waktu mendatang. Prestasi yang
dimaksud adalah uang, maka transaksi kredit menyangkut uang sebagai alat
kredit. Kredit berfungsi sebagai koperatif antara pemberi kredit dan penerima
kredit. Kredit dalam arti luas didasarkan atas komponen-komponen kepercayaan,
resiko dan pertukaran ekonomi dimasa mendatang.45
Sedangkan menurut
Savelberg arti kredit adalah sebagai dasar dari setiap perikatan (verbintenis)
dimana seorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain dan sebagai jaminan
dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk
memperoleh kembali apa yang diserahkan.46
45
O.P Simorangkir, 1986, Seluk Beluk Bank Komersial, Aksara Persada
Indonesia, Jakarta, hal 91. 46
Edy Putra Tje’Aman, 1986, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis,
Liberty, Yogyakarta, hal.1
46
Berdasarkan pengertian kredit di atas, kredit adalah pemberian pinjaman
dalam jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh kreditur. Debitur melunasi
pinjamannya kepada kreditur, dengan cara mengembalikan uang pinjaman
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Pihak-pihak dalam perjanjian pinjam
meminjam, yaitu:
a. Pihak yang memberi pinjaman uang yang disebut pemberi kredit (kreditur)
b. Pihak yang menerima uang yang disebut penerima kredit (debitur).
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa pemberian kredit merupakan suatu
kepercayaan. Tanpa adanya keyakinan suatu lembaga kredit tidak akan ada
pemberian kredit. debitur akan mengembalikan pinjaman yang diterima sesuai
dengan jangka waktu sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Perjanjian
kredit pada umumnya dituangkan dalam bentuk dua jenis antara lain :
1. Perjanjian kredit dibawah tangan
Perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang sengaja dibuat oleh para
pihak untuk pembuktian tanpa bantuan dari seorang pejabat pembuat akta dengan
kata lain perjanjian di bawah tangan adalah perjanjian yang dimasukkan oleh para
pihak sebagai alat bukti, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum
pembuat akta.47
Mengenai akta di bawah tangan diatur dalam Rbg antara lain
dalam Pasal 286 sampai dengan Pasal 305 dan dalam KUH Perdata diatur dalam
Pasal 1874 sampai dengan Pasal 1880, dan dalam Stbl. 1867 No. 29.
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum juga menjadi akta di
bawah tangan, jika pejabat itu tidak berwenang untuk membuat akta itu jika
47
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, 2004, Grosse Akta
Dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta hal. 36.
47
terdapat cacat dalam bentuk akta itu, sebagaimana disebut dalam Pasal 1869 KUH
Perdata yang menyebutkan “Suatu akta, yang karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya dalam pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacat dalam
bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai akta otentik, namun demikian
mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.”
Ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata mengatur mengenai perjanjian dibawah
tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui
perantaraan pejabat yang berwenang untuk dijadikan alat bukti, dibuat semata-
mata dibuat para pihak yang berkepentingan.
2. Perjanjian kredit dengan Akta notariil
Menurut S. J. Fockema Andreae, dalam bukunya “Rechts geleerd
Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa Latin “acta” memiliki arti
geschrift48
yaitu surat sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam
bukunya Kamus Hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata
“actum” yang berasal dari bahasa Latin yang memiliki arti perbuatan-perbuatan.49
akta autentik diatur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan
Pasal 285 Rbg, yang berbunyi: “Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh
atau di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang
lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak
daripadanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai
48
S. J. Fockema Andreae, 1951, Rechtsgeleerd Handwoorddenboek,
diterjemahkan oleh Walter Siregar, Bij J. B. Wolter uitgeversmaat schappij, N. V.
Gronogen, Jakarta, hal. 9. 49
R. Subekti, dan R. Tjitrosoedibio, 1980, Kamus Hukum, Pradnya
Paramita, Jakarta, hal. 9.
48
pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu
berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu.50
Pengertian Pasal 165 HIR
jo Pasal 285 Rbg memiliki pengertian dan kekuatan pembuktian akta autentik
sekaligus.
Pasal 1868 KUH Perdata mengatur tentang pengertian akta otentik, yang
berbunyi: “suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang
berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat. Pengertian dalam Pasal 1868
KUHPerdata akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang
ditentukan undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuat”. Kekuatan pembuktian dari akta
itu dapat dibedakan menjadi tiga, antara lain :
1. Kekuatan pembuktian lahir (Uitendige Bewijskracth)
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir ialah suatu surat yang
kelihatannya seperti akta, harus diperlakukan sebagai akta, hingga dibuktikan
sebaliknya. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahir, sesuai dengan
asas “acta publica probant seseipsa”, yaitu satu akta yang lahirnya tampak
sebagai akta otentik, serta memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta
tersebut harus dianggap sebagai akta otentik, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
50
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
Jakarta, hal. 42.
49
Berbeda dengan akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang,
tanda tangan pejabat itu merupakan jaminan otentisitas dari akta itu, oleh karena
itu memiliki kekuatan pembuktian lahir, sedangkan perjanjian di bawah tangan
tidak mempunyai kekuatan pembuktian lahir. Perjanjian di bawah tangan baru
berlaku sah, apabila yang menandantanganinya mengakui kebenaran dari tanda
tangannya tersebut, apabila tanda tangan telah diakui kebenarannya oleh yang
para pihak, barulah perjanjian tersebut berlaku sebagai alat bukti sempurna bagi
para pihak yang bersangkutan sesuai ketentuan Pasal 1875 KUH Perdata.
2. Kekuatan pembuktian formil (Formil Bewijskracth)
Kekuatan pembuktian formal didasarkan pada pejabat pembuat akta
menyatakan dalam tulisan itu bahwa ada yang dinyatakan dalam akta itu
sebagaimana telah dicantumkan di dalamnya.51
Pada ambtelijke akten, pejabat
yang berwenang membuat akta yang menerangkan apa yang dikonstatir dan
dituliskan dalam suatu akta, oleh pejabat tersebut merupakan suatu kepastian bagi
siapapun seperti mengenai tanggal pembuatan, tempat pembuatan akta dan
keterangan dalam akta itu. Sedangkan partij akten menyatakan apapun yang
tertulis diatas tanda tangan para pihak bagi siapapun telah pasti sesuai dengan
yang tertulis di atas tanda tangan para pihak tersebut.52
Kebenaran dari apa yang
diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara mereka
sendiri. Akta di bawah tangan baru mempunyai kekuatan pembuktian formal, jika
tanda tangan di bawah akta itu diakui atau tidak disangkal kebenarannya. Dengan
diakuinya keaslian tanda tangan pada akta di bawah tangan, maka kekuatan
51
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op.cit, hal. 111. 52
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Opcit hal 112
50
pembuktian formal dari akta di bawah tangan itu sama dengan kekuatan
pembuktian formal dari akta otentik.
3. Kekuatan pembuktian materil (Materiele Bewijskracth).
Kekuatan pembuktian materil mengenai pemberian kepastian tentang
peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan seperti apa yang diterangkan
dalam akta, pembuktian materiil lebih menyangkut kepada pembuktian materi
suatu akta.53
Akta pejabat hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang
didengar, dilihat dan juga dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan
jabatannya. Menurut undang-undang, Akta yang dibuat oleh para pihak sebagai
bukti yang sempurna bagi para pihak yang membuatnya dan pihak ketiga yang
mendapat hak darinya. Akta di bawah tangan, jika tanda tangan di dalam akta itu
tidak dimungkiri keasliannya sesuai dengan partij akten, yaitu akta tersebut
sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian materil bagi para pihak
yang menandatanganinya, ahli warisnya serta pihak ketiga sesuai dengan yang
ditentukan dalam Pasal 1875 KUH Perdata (Pasal 288 Rbg).
Perjanjian akad kredit yang dilakukan oleh koperasi adalah perjanjian baku
karena ditentukan oleh pihak koperasi sendiri.Sedangkan yang dimaksud Kontrak
baku adalah kontrak yang dibuat oleh salah satu pihak saja dan dalam bentuk
formulir yang berisikan klausula-klausula yang telah ditentukan oleh salah satu
pihak, pada umumnya para pihak hanya mengisi data-data informatif saja.Pihak
yang diberikan kontrak baku hanya dalam posisi take it or leave it tidak ada
53
Viktor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Opcit hal 119
51
kesempatan untuk bernegosiasi. Ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus
Badrulzaman ialah:54
1. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu
2. Bentuk tertentu (tertulis)
3. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi
perjanjian
4. Dipersiapkan secara massal dan kolektif.
5. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat.
Pada asas Kebebasan berkontrak, para pihak dapat mengatur isi perjanjian
selama tidak dilarang oleh undang-undang, kepatutan dan yurisprudensi, dalam
kontrak tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Memenuhi syarat sebagai kontrak
Suatu kontrak untuk mengikat kedua belah pihak, syarat-syarat yang harus
dipenuhi antara lain :55
a. Syarat sah umum terdiri dari:
1. Pasal 1320 KUHPerdata mengenai Syarat sah umum ;
2. Syarat sah umum diluar Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata
b. Syarat sah yang khusus terdiri dari :
54
H. Salim, 2004, Perkembangan Hukum Kontrak Di Luar KUH Perdata, Raja
Grafindo Persada, hal 22 55
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Buku Kedua), Citra Aditya Bakti,
Bandung,hal 33-34
52
1. Untuk kontrak tertentu diperlukan Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan
notaris) ;
2. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu;
3. Syarat izin dari yang berwenang.
4. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu;
2. Tidak dilarang oleh Undang-undang yaitu Tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku
Ketentuan Pasal 1339 KUHPerdata menentukan pula bahwa suatu kontrak
tidak hanya mengikat terhadap isi dari kontrak tersebut, melainkan mengikat
dengan hal-hal yang merupakan kebiasaan.
4. Sepanjang kontrak tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu kontrak haruslah
dilaksanakan dengan itikad baik. Unsur itikad baik dalam Pasal 1338
KUHPerdata bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak tetapi disyaratkan
dalam pelaksanaan suatu kontrak, dengan adanya unsur itikad baik dalam suatu
kontrak sudah dapat dikatakan bahwa unsur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
tentang klausa yang legal telah terpenuhi. Dapat dikatakan bahwa suatu kontrak
telah dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat sahnya kontrak sesuai dengan Pasal
1320 KUHPerdata. Jika kontrak dalam pembuatannya telah dibuat dengan iktikad
baik oleh para pihak tetapi dalam pelaksanaan isi kontrak tersebut malah
merugikan pihak yang berkepentingan maka dapat dikatakan bahwa kontrak
tersebut telah dilaksanakan secara bertentangan dengan itikad baik.
53
Seperti halnya perjanjian pinjaman yang bersifat konsensuil, karena
perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak yaitu pihak
peminjam (koperasi) dan pihak anggota koperasi. Dengan adanya kata sepakat
tersebut maka perjanjian pinjaman mengikat kedua belah pihak, yaitu para pihak
tidak dapat membatalkan perjanjian pinjaman tanpa persetujuan pihak lainnya.
Apabila perjanjian pinjaman dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka
pihak yang lain dapat menuntut. Setelah uang yang menjadi objek yang
diperjanjikan tersebut telah diserahkan peminjaman dengan nyata kepada pihak
anggota koperasi. Pihak anggota koperasi harus atau mempunyai kewajiban untuk
mengembalikan pinjaman tepat waktu kepada pihak peminjaman sesuai dengan
kesepakatan yang ada dalam perjanjian. Selain bersifat konsensual perjanjian
pinjaman juga bersifat riil sebab harus diadakan penyerahan atau dengan kata lain
perjanjian tersebut baru dikatakan mengikat apabila telah dilakukan kesepakatan
kehendak dan telah dilakukan penyerahan sekaligus antara kedua belah pihak
yang membuat perjanjian itu.
Mariam Darus Badrulzaman mengatakan, “Asas konsensualisme yang
terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata berarti ada kemauan untuk saling
mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa
perjanjian itu dipenuhi”. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat
dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “Semua
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Selanjutnya menurut Mariam Darus Badrulzaman, “Asas
54
kebebasan berkontrak berhubungan kebebasan menentukan apa dan dengan siapa
perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus sesuai
dengan pasal 1320 KUHPerdata agar memiliki kekuatan mengikat bagi para
pihak.
2.1.2. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan syarat - syarat, yaitu :
a. Kesepakatan mereka yang mengikatan diri (agreement atau consensus).
Maksudnya adalah terjadinya persesuaian kehendak. Timbulnya kehendak
atau keinginan itu tidak didasarkan atas paksaan, kekhilafan, atau
penipuan dari salah satu pihak.
b. Kecakapan (Capacity).
Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian apabila ia oleh Undang-
Undang tidak dinyatakan tidak cakap, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1329
KUHPerdata. Orang yang tidak cakap untuk membuat perjanjian sesuai dengan
amanat Pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah :
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh dibawah Pengampuan
3. Orang perempuan yang sudah kawin.
Mengenai orang perempuan yang sudah kawin sebagaimana surat edaran
Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun 1963 telah dicabut dan sesuai dengan
pasal 31 ayat 2 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perempuan yang sudah kawin
55
berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Jadi yang tidak cakap menurut Pasal
1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sekarang hanyalah :
1. Orang yang belum dewasa dan ;
2. Yang ditaruh dibawah pengampuan
Orang belum dewasa dan yang ditaruh dibawah pengampuan apabila
melakukan perbuatan hukum harus diwakili oleh wali mereka. Menurut Pasal
1330 juncto Pasal 330 KUH Perdata bahwa usia dewasa adalah 21 tahun.
Sebaliknya terdapat juga pandangan bahwa usia dewasa adalah usia 18 tahun hal
ini berdasarkan rumusan pasal 47 juncto Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menegaskan bahwa :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orangtuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaanya.
2. Orangtua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum
didalam dan diluar pengadilan
Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Menyebutkan bahwa :
1. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan
orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.
2. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta
bendanya.
c. Hal yang tertentu (certainty of term )
Hal yang menjadi objek perjanjian harus jelas atau paling tidak dapat
ditentukan jenisnya, sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada
56
waktu dibuat perjanjian dengan ketentuan bahwa nanti dapat dihitung atau
ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Kejelasan mengenai pokok
perjanjian atau objek perjanjian ialah untuk memungkinkan pelaksanaan hak dan
kewajiban pihak-pihak.
d. Sebab yang halal ( legality )
Dalam membuat suatu perjanjian, isi daripada perjanjian tersebut yang
menggambarkan suatu tujuan yang hendak dicapai oleh para pihak itu, harus
dibenarkan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum
dan kesusilaan.56
Keempat syarat tersebut diatas merupakan syarat pokok bagi setiap
perjanjian. Setiap perjanjian harus memenuhi keempat syarat ini apabila ingin
menjadi perjanjian yang sah. Selain itu terdapat juga syarat tambahan bagi
perjanjian tertentu saja, misalnya perjanjian perdamaian yang diharuskan dibuat
secara tertulis.57
Keempat syarat tersebut selanjutnya dalam doktrin ilmu hukum
yang berkembang digolongkan kedalam :
a. Unsur subjektif, menyangkut subjek (pihak) yang mengadakan perjanjian.
b. Unsur objektif, menyangkut objek daripada perjanjian.
Unsur subjektif mencakup adanya kesepakatan dari para pihak dan
kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur
objektif meliputi keberadaan dari objek yang diperjanjikan dan causa dari objek
56
Zul Afdi Ardian dan An An Chandrawulan,1998, Hukum Perdata dan
Dagang, CV. Armico, Bandung, hal. 42. 57
Hardijan Rusli, 1993, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law,
Cetakan I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, (Selanjutnya disebut Hardijan Rusli I),
hal. 132.
57
berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang
tidak dilarang oleh undang-undang.58
Perbedaan unsur-unsur atas syarat-syarat
sahnya perjanjian tersebut digunakan untuk mengetahui apakah perjanjian itu
batal demi hukum (voib ab initio) atau merupakan perjanjian yang dapat
dimintakan pembatalannya (voidable).59
Dalam hal unsur subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat
dimintakan pembatalanya (voidable). Perjanjian itu sah atau mengikat selama
tidak dibatalakan (oleh hakim) oleh karena adanya permintaan pembatalan oleh
para pihak yang berkepentingan. Dalam hal syarat objektif tidak dipenuhi, maka
perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum
merupakan perjanjian yang dari awal sudah batal, hal ini berarti tidak pernah ada
perjanjian tersebut. Sedangkan perjanjian yang dimintakan pembatalannya
(voidable) yaitu perjanjian yang dari awal berlaku tetapi perjanjian itu dapat
dimintakan pembatalannya dan apabila tidak dimintakan pembatalnnya maka
perjanjian itu tetap berlaku.
Dari syarat sahnya perjanjian kredit yang telah dikemukakan diatas maka
dapat disimpulkan unsur-unsur dari perjanjian kredit yakni unsur essensialia,
unsur naturalia dan unsur accidentalia. Unsur essensialia adalah unsur perjanjian
yang harus terdapat dalam perjanjian, tanpa adanya unsur ini maka suatu
perjanjian tidak mungkin lahir atau ada. Seperti kecakapan para pihak yang
58
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Seri Hukum Perikatan
Yang Lahir Dari Perjanjian, Cetakan I, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta,
( selanjutnya disingkat Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II), hal. 91. 59
Hardijan Rusli I, Loc. Cit.
58
mengikatkan diri dalam suatu perjanjian. Unsur naturalia adalah unsur didalam
perjanjian yang oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat
digantikan. Misalnya pembuatan perjanjian kredit dengan akta notariil tetapi
menggunakan akta dibawah tangan. Sedangkan unsur accidentalia adalah unsur
perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, hal ini tidak diatur oleh Undang-
Undang tetapi para pihak dapat menambahkan dalam perjanjiannya contohnya
dalam penyelesaian permasalahan akibat perjanjian untuk diselesaikan
dipengadilan negeri tertentu.60
Menurut Gatot Supramono, kredit perbankan dapat dilihat dari beberapa
segi antara lain :61
1. Segi Jangka Waktu, terdapat tiga jenis kredit yaitu :
a) Kredit jangka pendek (short term loan)
Adalah kredit yang berjangka lama satu tahun, bentuknya dapat berupa
rekening koran atau kredit modal kerja.
b) Kredit jangka menengah (medium term loan)
Adalah kredit yang diberikan bank untuk jangka waktu antara satu tahun
hingga tiga tahun. Bentuk dapat berupa kredit investasi jangka menengah.
c) Kredit jangka panjang (long term loan)
Kredit jangka panjang adalah kredit yang mempunyai jangka waktu
melebihi dari jangka menengah, biasanya berupa kredit investasi untuk
menambah modal perusahaan.
60
J.Satrio, 2000, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 57. 61
Gatot Supramono, 2009, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan
di Bidang Yuridis, Rineka Cipta, Jakarta,hal 154
59
2. Berdasarkan Penggunaanya, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a) Kredit Modal Kerja
Adalah kredit jangka pendek yang diberikan untuk membiayai kebutuhan
modal kerja dari suatu perusahan, yang disediakan dalam bentuk kredit
rekening Koran.
b) Kredit investasi
Adalah kredit jangka menengah dan panjang dalam rangka membiayai
pengadaan aktiva tetap suatu perusahaan untuk kepentingan penanaman modal
yang bersifat ekspansi modernisasi dan rehabilitasi perusahaan.
c) Kredit Konsumsi
Adalah kredit yang pengembaliannya tidak berdasarkan pada barang yang
dibeli melainkan penghasilan debitur.62
3. Berdasarkan sector perekonomian, dapat digolongkan menjadi enam
antara lain :
a) Kredit pertanian
b) Kredit perindustrian
c) Kredit pertambangan
d) Kredit ekspor import
e) Kredit koperasi
f) Kredit profesi
62
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal 5.
60
4. Berdasarkan Penarikan dan pelunasan dapat digolongkan menjadi dua
antara lain :
a) Kredit Rekening Koran yaitu kredit yang dapat ditarik dan dilunasi setiap
saat, besarnya sesuai dengan kebutuhan, bunga dihitung dari penggunaan
kredit dan tidak dapat melebihi dari plafon kredit.
b) Kredit berjangka yaitu kredit yang sekaligus sebesar plafondnya,
pelunasanya dapat dilakukan setelah jangka waktu berakhir dengan cara
mengangsur atau mecicil sesuai yang telah disepakati.
5. Segi keberadaan jaminan
a) Secured loan, kredit yang dijamin dengan jaminan yang diikat
secara preferen
b) Unsecured loan, kredit yang tidak dijamin dengan jaminan yang
diikat secara preferen.
6. Segi bentuk kredit
a) Cash Loan, bentuk kredit dengan berupa uang tunai
b) Non cash loan, bentuk kredit tidak berupa dengan uang tunai tetapi
jaminan
c) Kombinasi, bentuk kredit berupa cash loan maupun non cash loan.
7. Mekanisme penandatanganan perjanjian kredit, dibagi menjadi empat
antara lain :
a) Bilateral, pemberian kredit yang dilakukan dengan perjanjian kredit
antara satu kreditor dengan satu debitur
61
b) Sindikasi, pemberian kredit yang dilandasi perjanjian kredit antara
lebih dari satu kreditur dengan satu debitur.
c) Club deal, perjanjian kredit antara satu atau lebih kreditur dengan satu
debitur, dimana masing-masing kreditur dan debitur menandatangani
satu perjanjian kredit.
d) Cessie, pemberian kredit yang didasari pengambilalihan salah satu
piutang oleh debitur baru.
8. Golongan Ekonomi, dapat dibedakan menjadi dua antara lain :
a) Kredit golongan ekonomi lemah (Kredit Usaha Kecil)
b) Kredit golongan ekonomi menengah dan konglomerat(kredit yang
diberikan untuk usaha besar dan menengah.
9. Dari segi penerimaanya dapat dibedakan menjadi dua antara lain :
a) Perorangan
b) Korporat
Kredit merupakan salah satu jenis fasilitas yang diberikan koperasi simpan
pinjam kepada anggotanya untuk mengembangkan atau meningkatkan taraf hidup
anggota koperasi menjadi lebih baik. Menurut Arifin Sitio Jenis-jenis kredit pada
koperasi simpan pinjam antara lain :63
1. Kredit (Pinjaman) di Bawah Simpanan
Suatu fasilitas pinjaman atau kredit yang diberikan oleh koperasi simpan
pinjam dimana jumlah kredit yang diberikan adalah sebesar 90% nya dari
simpanan wajib calon nasabah tersebut. Penggunaan kredit (Pinjaman) di
63
Arifin Sitio, 2001, Koperasi Teori dan Praktik, Jakarta, hal.119.
62
bawah simpanan biasanya digunakan untuk biaya sekolah, biaya hidup,
pembelian rumah, renovasi, biaya pengobatan dan lain-lain.
2. Kredit (Pinjaman di Atas Simpanan).
Fasilitas pinjaman atau kredit koperasi simpan pinjam, jumlah kredit yang
diberikan sebesar lima kali dari jumlah simpanan wajib calon nasabah tersebut
dengan harus menggunakan jaminan. Penggunaan kredit digunakan untuk
permodalan, pembelian, dan hal lain yang pengendaliannya cukup besar.
Koperasi dalam menjalankan usahanya memberikan Anggota koperasi yang
kekurangan modal pinjaman dari koperasi. Koperasi pada umumnya
memberikan kredit lunak kepada anggotanya. Kredit lunak artinya pinjaman
dengan bunga yang ringan. Uang pinjaman tersebut dapat dipergunakan oleh
anggota koperasi untuk mendukung usahanya.
Koperasi dalam menjalankan usahanya berbeda dengan badan usaha
lainnya. Tidak seperti badan usaha lain, koperasi memiliki karakteristik antara
lain:
1. Dalam koperasi yang lebih utama adalah anggota. Oleh sebab itu, setiap
anggota dianggap penting dalam koperasi Koperasi merupakan kumpulan
orang-orang, dan bukan kumpulan modal. Ini berbeda dengan badan usaha
yang lainnya. Bentuk usaha lainnya yang lebih dipentingkan adalah modal.
2. Tidak ada anggota koperasi yang lebih tinggi. Sebaliknya, tidak ada
anggota koperasi yang lebih rendah. Kedudukan anggota dalam koperasi
sederajat atau setara (sama tinggi). Dengan kesetaraan keanggotaan setiap
anggota koperasi mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka bekerja
63
bersama-sama dan melakukan tugas masing-masing dengan hak yang
sama.
3. Kegiatan koperasi Indonesia dilaksanakan atas kesadaran para
anggotanya, bukan karena paksaan. Kesadaran akan timbul dengan
sendirinya setalah merasakan keuntungan dari koperasi.
4. Tujuan Koperasi Indonesia adalah untuk meningkatkan kemakmuran para
anggotanya tujuan koperasi Indonesia merupakan kepentingan bersama
anggotanya.
Koperasi dalam menyalurkan dananya kepada masyarakat memiliki
tujuan yang berbeda dengan lembaga perbankan lainnya, dimana koperasi lebih
mengutamakan kesejahteraan anggotanya dan lebih mengedepankan pada
penyelesaian secara musyawarah mufakat.
2.1.3. Azas-Azas Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian, dikenal adanya beberapa azas penting yang
merupakan dasar kehendak masing-masing pihak di dalam mencapai tujuannya.
Azas-Azas tersebut antara lain :
a. Azas Kebebasan berkontrak (freedom of contract/ laissez faire)
Setiap orang bebas membuat perjanjian apa saja baik yang sudah diatur
atau belum oleh undang-undang, tetapi kebebasan itu dibatasi oleh tiga hal yaitu
tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum
dan kesusilaan.
64
Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.
Ketentuan Undang-Undang boleh tidak diikuti apabila pihak-pihak
mengkhendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak ditentukan lain maka
ketentuan Undang-Undang yang berlaku.
b. Azas Konsensualitas
Suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat diperoleh kata sepakat
antara para pihak mengenai perjanjian. Sejak saat itu, perjanjian dianggap telah
mengikat dan mempunyai akibat hukum. Azas konsensualisme suatu perjanjian
walaupun dibuat secara lisan antara dua orang atau lebih telah mengikat, dan telah
melahirkan kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut,
segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan (consensus), maka
perjanjian yang mengikat dan berlaku diantara para pihak tidak lagi membutuhkan
formalitas. Untuk menjaga kepentingan pihak debitur dibuat dalam bentuk-bentuk
formal atau dipersyaratkan adanya suatu tindakan nyata tertentu.
c. Azas Personalia
Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai
azas Personalia yang menyatakan “pada umumnya tak seorang pun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji selain
untuk dirinya sendiri”. Pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang
65
dalam kapasitasya sebagai individu (subjek hukum pribadi), hanya akan berlaku
dan mengikat untuk dirinya sendiri.64
Meskipun secara sederhana dikatakan bahwa ketentuan pasal 1315 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menunjuk pada azas personalia, namun lebih
jauh dari itu, ketentuan Pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata juga
menunjuk kewenangan bertindak dari seseorang yang membuat dan atau
mengadakan suatu perjanjian. Dengan kapasitas kewenangan tersebut setiap
tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan sebagai subjek hukum
pribadi yang mandiri, akan mengikat diri pribadi tersebut, dan dalam lapangan
perikatan, mengikat seluruh harta kekayaan yang dimliki olehnya secara pribadi.
d. Azas Obligator
Perjanjian yang dibuat para pihak baru dalam tahap menimbulkan hak dan
kewajiban saja dan belum memindahkan hak milik. Hak milik akan berpindah
apabila dilakukan dengan perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst), yaitu
melalui upaya levering.65
2.1.4. Pihak-Pihak dalam Perjanjian Kredit
Pihak dalam perjanjian disebut sebagai subjek hukum. Subjek hukum
tersebut ada dua, yaitu :
a. Orang
b. Badan Hukum (Legal entity).
64
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja II, Seri Hukum Bisnis Jaminan
Fidusia, Rajawali, Jakarta, hal.15 65
Abdulkadir Muhammad I, Op. Cit, hal. 226
66
Perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian itu
sendiri atau tidak mengikat pihak lain. Suatu perjanjian hanya meletakkan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Pihak yang
berkewajiban untuk melaksanakan prestasi disebut debitur sedangkan pihak yang
berhak atas pelaksanaan prestasi disebut kreditur. Sebagai pihak yang aktif,
kreditur dapat melakukan tindakan-tindakan debitur yang pasif yang tidak mau
memenuhi kewajibannya atau wanprestasi. Tindakan kreditur tersebut dapat
berupa memberi peringatan-peringatan atau menuntut di muka pengadilan dan
lain sebagainya.66
Dalam hal subjek hukum dalam perjanjian tersebut adalah badan hukum,
maka akan sangat berkaitan erat dengan kekuasaan (power) dari kapasitas
(capacity) badan hukum tersebut. Bila suatu badan hukum tidak mempunyai
kekuasaan untuk melakukan suatu perbuatan hukum, maka hal tersebut
menunjukkan bahwa badan hukum itu tidak berkapasitas untuk melakukan
perbuatan hukum. Kapasitas suatu perusahaan dibatasi dengan kekuasaan yang
terbatas atau ditentukan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan dalam
anggaran dasarnya yang dibuat secara bebas dan seluas-luasnya agar dapat
mencakup semua perbuatan hukum.
Apabila masalah kapasitas dan kekuasaan telah terpenuhi, maka sekarang
tinggal masalah otoritas bertindak untuk dan atas nama perusahaan. Para ahli
hukum di Indonesia dahulu menyatakan, apabila subjek hukumnya adalah badan
66
Purwahid Parik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Cet I, Mandar Maju,
Bandung, 1994, hal.2.
67
hukum (legal entity), biasanya menampilkan orang yang merupakan wakil dari
badan hukumnya.
2.2.Tinjauan Umum Tentang Jaminan Fidusia
2.2.1.Pengertian dan Dasar Hukum Fidusia
Undang-Undang Perbankan yang berlaku saat ini masih sangat
menekankan pada arti pentingnya collateral sebagai salah satu sumber pemberian
kredit dalam rangka pendistribusian dana nasabah yang terkumpul olehnya, serta
untuk menggerakkan roda perekonomian. Salah satu bentuk collateral yang
sangat dipertimbangkan adalah collateral dalam bentuk jaminan khusus diluar
dari jaminan yang berlaku umum menurut ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata.
Pranata jaminan yang ada dinegara kita dapat dibedakan kedalam :
1. Cara Terjadinya
a. Yang lahir karena undang-undang;
b. Yang lahir karena diperjanjikan;
2. Objeknya
a. Yang berobjek benda bergerak;
b. Yang berobjek benda tidak bergerak/benda tetap;atau;
c. Yang berobjek benda berupa tanah;
3. Sifatnya
a. Yang termasuk jaminan umum;
b. Yang termasuk jaminan khusus;
c. Yang bersifat kebendaan;
d. Yang bersifat perseorangan;
68
4. Kewenangan menguasai benda jaminannya
a. Yang menguasai benda jaminannya;
b. Tanpa menguasai benda jaminannya;
Jaminan tambahan diperlukan kreditor untuk menjamin utangnya dapat
dilunasi oleh debitor. Jika disamping perikatan yang telah ada diantara kreditor
dan debitor tidak ada suatu perjanjian tambahan apapun maka sesuai dengan Pasal
1139 dan 1149 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kreditor yang bersangkutan
bukanlah kreditor yang diistimewakan. Jika debitor lalai memenuhi kewajibannya
dan harta kekayaannya tidak mencukupi untuk melunasi semua hutangnya
terhadap beberapa kreditor, sesuai Pasal 1132 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata kreditor yang demikian hanya memiliki hak atau berkedudukan sebagai
kreditur konkuren artinya semua kreditor mempunyai kedudukan yang sama
masing-masing memperoleh pembayaran yang proposional dengan besarnya
piutangnya masing-masing.67
Pelunasan yang dilakukan secara proposional dapat mengakibatkan
kreditor tidak memperoleh kembali seluruh piutangnya. Kondisi ini akan
merugikan kreditor, untuk memecahkan masalah tersebut, disamping adanya
jaminan yang bersifat umum, kreditor dapat mengadakan perjanjian tambahan
dengan debitor yang merupakan perjanjian jaminan khusus dengan menunjuk
barang tertentu baik yang merupakan milik debitor maupun pihak ketiga sebagai
jaminan pelunasan hutang. Dengan adanya perjanjian jaminan khusus kedudukan
kreditor tersebut berubah menjadi kreditor preferent yaitu jika debitor lalai
67
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2007, Jaminan Fidusia, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal.91.
69
memenuhi kewajibannya, maka kreditor berhak menjual barang-barang yang
dijaminkan untuk melunasi hutang-hutanya tanpa perlu memperhatikan kreditor
lainnya.68
Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam
istilah Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan.
Dalam pelbagai literatur tentang fidusia istilah fidusia digunakan istilah fiduciare
eigendom overdracht tot zekerheid (FEO) yaitu penyerahan hak milik berdasarkan
atas kepercayaan.69
FEO atas benda bergerak berlaku dengan asas konkordansi di
Indonesia berdasarkan Yurisprudensi Arrest Hoggerechtshof (HGH) 18 Agustus
1932 dalam perkara Bataafsche Petroeum Maatschappij (BPM) – Pedro Clignett,
fidusia di sini sebagai hak kebendaan yaitu hak yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda dan berlaku terhadap setiap orang, terutama
memberikan hak preferensi kepada seorang Debitor di atas Debitor-Debitor
lainnya, hal ini disebabkan karena dalam Hukum Perdata sudah lama dianut suatu
sistem bahwa hak kebendaan terbatas jumlahnya dan hanya dapat diciptakan oleh
Undang-Undang, berlainan dengan suatu perikatan atau hak perseorangan yang
hanya memberikan hak-hak terhadap suatu pihak tertentu saja dan, yang tidak
dibatasi jumlahnya karena diserahkan kepada kebebasan para pihak. 70
Eksistensi perjanjian dengan jaminan fidusia, yang disusun dengan konsep
fidusia yang lama (fiduciare eigendom overdracht) tetap sah dan mengikat pada
68
Ibid 69
Salim H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal 55. 70
R. Subekti, 1982, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut
Hukum Indonesia, Alumni,Bandung, Hal 75-76.
70
kedua belah pihak yaitu antara kreditor dan Debitor, namun perjanjian itu tidak
lagi memberikan hak mendahului pada sang kreditor untuk mengambil pelunasan
terlebih dahulu dibanding kreditor lainnnya, menyebabkan kreditor hanya sebagai
kreditor konkuren lainnya. Sesuai asas kebebasan berkontrak para pihak bebas
mengikatkan diri selama syarat sahnya perjanjian terpenuhi.71
Asas Kebebasan
berkontrak dasar hukumnya adalah Pasal 1338 KUHPerdata yang tidak lain juga
mengandung asas Pacta Sunt Servanda atau disebut juga asas kepastian hukum
dimana hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, selayaknya sebuah undangundang.72
Dasar eksistensi asas
kebebasan kontrak atau kebebasan berkontrak harus juga memenuhi Pasal 1320
KUHPerdata (syarat sahnya perjanjian) terutama Pasal 1320 angka 4 KUHPerdata
Juncto Pasal 1337 KUHPerdata, yakni perjanjian tidak dilarang oleh Undang-
Undang, Kesusilaan dan Ketertiban Umum.73
Adapun sahnya tiap perjanjian FEO
tidak perlu barang jaminan dipindahkan dari tangan Debitor ketangan kreditor dan
akta FEO dapat dibuktikan dengan akta notariil atau akta dibawah tangan.74
Pengertian Jaminan Fidusia Menurut Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang
Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, adalah “hak
71
Jaminan dan Penagihan Hutang Fidusia, http://www. hukumonline.com,
diakses pada tanggal 14 Oktober 2013 72
Salim H.S, 2003, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak,
Sinar Grafika, Jakarta, hal 9-10. 73
Gunawan Widjaja, 2006, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend
Recht) Dalam Hukum Perdata, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal 275. 74
H.A. Chalik dan Marhainis Abdul Hay, 1981 Beberapa Segi Hukum Di
Bidang Perkreditan, Badan Penerbitan Yayasan Pembinaan Keluarga UPN
Veteran, Jakarta, hal 80.
71
jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud
dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak
tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya” dan Pasal 1
angka (4) UUJF dikemukakan yang dimaksud benda adalah “segala sesuatu yang
dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,
yang terdaftar maupun, yang bergerak maupun tidak bergerak yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan atau hipotik”.
Pengertian fidusia Menurut A. Hamzah dan Senjun Manulang, yaitu Suatu
cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (Debitur) berdasarkan adanya
perjanjian pokok (perjanjian utang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang
diserahkan hanya haknya saja secara juridische levering dan hanya dimiliki oleh
kreditor secara kepercayaan saja (sebagai jaminan utang Debitur), sedangkan
barangnya tetap dikuasai oleh Debitur, tetapi bukan lagi sebagai eigenaar
(penguasa benda untuk diri sendiri yang diperoleh secara sah) maupun bezitter
(penguasa benda untuk diri sendiri yang diperoleh secara cacat), melainkan hanya
sebagai detentor (penguasa benda untuk orang lain) atau hauder dan atas nama
kreditor eigenaar (definisi ini didasarkan konstruksi hukum adat, karena istilah
72
yang digunakan adalah pengoperan,pengoperan diartikan sebagai suatu proses
atau cara mengalihkan hak milik kepada orang lain).75
Menurut Pendapat P.A. Stein, Fidusia merupakan alas hak untuk
melakukan perpindahan hak milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584
KUHPerdata namun demikian kemungkinan perpindahan hak tersebut semata-
mata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata
dari barangnya dan perpindahan hak demikian tidak memberikan semua
akibatakibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang
normal.76
Menurut R. Subekti, perkataan fidusia berarti ”secara kepercayaan”
ditujukan kepada kepercayaan yang diberikan secara timbal balik oleh salah satu
pihak kepada pihak lain, terlihat ditampakkan sebagai pemindahan milik,
sebenarnya ke dalam hanya merupakan suatu jaminan saja untuk suatu hutang.
Dari pengertian mengenai jaminan fidusia, Undang-Undang Jaminan
Fidusia sendiri tidak menyebutkan secara tegas asas-asas hukum jaminan fidusia,
Menurut Tan Kamelo terdapat 13 asas hukum jaminan fidusia antara lain :
1. kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai kreditur yang diutamakan
dari kreditur lainnya (Asas Preferensi).
2. Asas jaminan fidusia mengikuti benda menjadi objek jaminan fidusia
dalam tangan siapapun benda tersebut berada.
3. Asas jaminan fidusia ialah perjanjian ikutan dari perjanjian pokoknya yang
disebut perjanjian accesoir
4. Asas jaminan fidusia dapat dilekatkan utang yang baru akan
ada(kontinjen)
5. Asas jaminan fidusia dapat dibebankan atas bangunan atau rumah yang
terdapat diatas tanah milik orang lain (asas pemisahan horizontal).
6. Asas bahwa jaminan fidusia harus didaftarkan ke kantor pendaftaran
fidusia(asas publicitas)
75Salim H.S, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal56 76
Ibid, hal 56,60.
73
7. Asas jaminan fidusia dibebankan terhadap benda yang akan ada.
8. Asas jaminan fidusia berisikan uraian detail terhadap subjek dan objek
jaminan fidusia
9. Asas benda yang dijadikan jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh
penerima jaminan fidusia, walaupun hal tersebut telah diperjanjikan
sebelumnya.
10. Asas pemberi jaminan fidusia (debitur) memiliki kewenangan atas objek
jaminan fidusia. Kewenangan hukum tersebut wajib ada saat jaminan
fidusia didaftarkan.
11. Asas ektikad baik dari pemberi jaminan fidusia yang tetap menguasai
benda jaminan.
12. Asas hak prioritas terhadap kreditur penerima fidusia yang mendaftarkan
terlebih dahulu jaminan fidusia ke kantor pendaftaran fidusia.
13. Asas jaminan fidusia mudah dieksekusi dikarenakan sertifikat jaminan
fidusia mencantumkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan
pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap.77
Salah satu jaminan khusus yang memberikan kedudukan yang diutamakan
adalah jaminan fidusia. Jaminan Fidusia sebelum berlakunya undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia sering disebut sebagai jaminan
penyerahan hak milik secara kepercayaan yang keberadaanya didasarkan pada
yurisprudensi berdasarkan keputusan Hooggerechtsh of (HGH). Pengaturan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objek jaminan
fidusia meliputi benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan
benda tidak bergerak khususnya bangunan-bangunan hak-hak atas tanah yang
tidak dapat dibebani Hak Tanggungan. Apabila mengkaji perkembangan
yurisprudensi dan peraturan perundangundangan, yang menjadi dasar hukum
berlakunya fidusia adalah sebagai berikut:
77
Tan Kamelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang
Didambakan, Alumni, Bandung hal 161-170.
74
1. Arrest Hoge Raad 1929, tertanggal 25 Januari 1929 tentang Bierbrouwerij
(negeri Belanda);
2. Arrest Hoggerechtshof 18 Agustus 1932 tentang BPM-Clynet Arrest
(Indonesia) dan;
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.
Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia dan PP Nomor 36 tahun 2000 tentang Tata Cara Jaminan Pendaftaran
Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia telah menghapus Pasal 1131-
1132 KUHPerdata berdasarkan asas Lex Posteriore Derogat Lex Priori (peraturan
yang berlaku kemudian membatalkan peraturan yang berlaku terlebih dahulu) dan
asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis (peraturan yang bersifat khusus
membatalkan peraturan yang bersifat umum) apabila jenis dan hal yang diatur
adalah sama.
2.2.2. Subyek dan Obyek Jaminan Fidusia
Ruang Lingkup berlakunya undang-undang jaminan fidusia menurut Pasal
2 UUJF yang menyatakan bahwa “Undang-Undang ini berlaku terhadap setiap
perjanjian fidusia yang bertujuan untuk membebani jaminan fidusia”. Sedangkan
Yang dapat menjadi subyek atau para pihak dari jaminan fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi.78
Menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia
objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang lebih luas antara lain :
1. Benda bergerak yang berwujud;
78
Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan
Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, hal 67.
75
2. Benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
3. Benda bergerak yang tidak berwujud;
Dalam Pasal 1 Angka (4) UUJF diberikan batasan yang menjadi objek
Jaminan Fidusia antara lain:
a. Benda tersebut harus dapat dialihkan dan dimiliki secara hukum;
b. Benda berwujud dan benda tidak berwujud
c. Benda tidak bergerak yang tidak dijaminkan dengan Hak Tanggungan
(HT).
d. Benda yang sudah ada dan Benda yang akan ada
e. Hasil benda yang menjadi Obyek Fidusia
f. Klaim Asuransi dari Obyek Fidusia
g. Benda Persediaan (Inventory/Stock Perdagangan).79
Dalam ketentuan Pasal 3 UUJF menegaskan mengenai Undang-Undang
ini tidak berlaku terhadap :
1. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang
peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas
benda-benda tersebut wajib didaftar.
2. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotor berukuran 20M atau
lebih;
3. Hipotek atas pesawat terbang dan;
4. Gadai.
Dalam penjelasan Pasal 3 huruf (a) dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia
menyatakan bahwa “berdasarkan ketentuan ini maka bangunan diatas tanah milik
orang lain yang tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan
objek jaminan fidusia”.
79
Arikanti Natakusumah, Pemahaman Terhadap Akta Perjanjian Kredit,
http://groups.google.co.id/group/NOTARISPPATINDONESIA/msg/fc6c894afef2
6e4b?dmode=ssource
76
2.2.3.Sifat-sifat Jaminan Fidusia:
Undang-Undang Jaminan Fidusia menentukan sifat-sifat jaminan fidusia
antara lain :
a. Jaminan Fidusia memiliki sifat accessoir (ada tidaknya fidusia bergantung
dari ada tidaknya perjanjian pokok, misalnya perjanjian kredit)
Sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 UUJF yang menegaskan bahwa “jaminan
fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi”. Prestasi
sebagaimana dalam Pasal 1234 KUHPerdata berupa berbuat sesuatu, memberikan
sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Sifat accesoir dari jaminan fidusia
memberikan akibat hukum antara lain :
1. Jaminan fidusia menjadi hapus dengan sendirinya karena hukum,
apabila perjanjian pokoknya itu berakhir atau karena sebab lainnya
yang menyebabkan perjanjian pokoknya menjadi hapus.
2. Fidusia yang menjaminnya karena hukum beralih pula kepada
penerima fidusia yang baru dengan dialihkannya perjanjian pokoknya
kepada pihak lain;
3. Fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari atau selalu
melekat pada perjanjian pokoknya, karena itu hapusnya fidusia tidak
menyebabkan hapusnya perjanjian pokok.80
80
Rachmadi Usman II, Opcit, hal 165
77
Sebagai suatu perjanjian yang bersifat accesoir, jaminan fidusia memiliki
sifat antara lain :
1. Sifat perjanjian ikutan terhadap perjanjian pokok;
2. Keabsahannya ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok;
3. Sebagai perjanjian yang memiliki syarat, maka dapat dilaksanakan
apabila ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah
dipenuhi.81
b. Perjanjian fidusia merupakan perjanjian obligatoir
Sebagaimana keentuan dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia jaminan fidusia merupakan agunan yang
bersifat kebendaan yang memberikan kedudukan yang diutamakan atau
didahulukan dari penerima fidusia (kreditur) lainnya. Sebagai hak kebendaan,
dengan sendirinya sifat dan ciri-ciri hak kebendaan melekat pada jaminan fidusia.
Oleh karena itu tidak ada alasan untuk menyatakan bahwa jaminan fidusia hanya
merupakan perjanjian obligatoir yang melahirkan hak yang bersifat perseorangan
bagi kreditur.82
c. Jaminan Fidusia memberikan Hak Preferent (hak untuk didahulukan)
Pasal 27 dan 28 UUJF yang menyatakan bahwa :
1. Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur
lainnya;
2. Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan
fidusia.
81
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani I, Loc.cit 82
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani I, Opcit, hal 131
78
3. Hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus karena
adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.
Pasal 28 UUJF menyebutkan bahwa “Apabila atas benda yang sama menjadi
objek jaminan fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian jaminan fidusia, maka hak
yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada
pihak yang lebih dahulu mendaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia”.
Penjelasan dari Pasal 27 dan 28 UUJF tersebut bahwa Penerima fidusia
merupakan kreditur yang memiliki kedudukan yang terkuat yang pelunasan
terhadap piutangnya harus dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan
kreditur lainnya, sama halnya dengan pemegang gadai, hipotek dan hak
tanggungan.
d. Jaminan Fidusia memiliki sifat droit de suite (hak kebendaan senantiasa
mengikuti bendanya ditangan siapa saja benda itu berada (Pasal 27 ayat
(2) UUJF).
Berdasarkan sifast droit de suite pada fidusia maka hak kreditur tetap
mengikuti bendanya kedalam siapapun ia berpindah, termasuk terhadap pihak-
pihak ketiga pemilik baru, yang berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi
jaminan.83
Dalam ketentuan Pasal 20 UUJF dinyatakan bahwa “Jaminan fidusia
tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun
benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi
objek jaminan fidusia. Pengecualian prinsip droit de suite berlaku bagi semua
agunan yang dinyatakan sebagai benda persediaan. Undang-Undang tidak
83
Rachmadi Usman, Opcit, hal 166.
79
mendefinisikan benda apa saja termasuk kategori benda persediaan. Bentuk
pembebanan fidusia tidak sesuai Undang-Undang terjadi karena kreditur merasa
kepentingannya terlindungi dengan pemblokiran bukti kepemilikan dan tanda
tangan kuitansi kosong oleh pemilik jaminan. Undang-Undang tidak mengatur
secara tegas dan tidak antisipatif terhadap kebutuhan praktis maka masih
ditemukan akta pembebanan tidak didaftar dan bentuk surat kuasa memberikan
jaminan fidusia. Undang-Undang seharusnya memberi definisi benda apa saja
termasuk benda persediaan, diatur hubungan antara instansi yang menangani bukti
kepemilikan suatu benda (seperti Kepolisian) dengan Kantor Pendaftaran Fidusia,
hendaknya Undang-Undang lebih tegas menentukan batas waktu pendaftaran dan
kemungkinan pengaturan bentuk Surat Kuasa Membebankan Jaminan Fidusia,
meniru Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan pada lembaga Hak
Tanggungan.
e. Fungsi Jaminan Fidusia adalah untuk menjamin utang yang sudah ada atau
yang akan ada dikemudian hari.
f. Pasal 11 ayat (1) UUJF mengatur Jaminan Fidusia memiliki kekuatan
eksekutorial.
g. Pasal 1, 2 UUJF menentukan Jaminan Fidusia mempunya sifat spesialitas
dan publisitas.
h. Pasal 1 angka (4) menentukan Objek jaminan fidusia berupa benda
bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan benda
tidak bergerak yang tidak dibebankan dengan Hak Tanggungan, serta
benda yang diperoleh dikemudian hari.
80
2.2.4.Fungsi Pendaftaran Jaminan Fidusia
a. Kewajiban Pendaftaran Jaminan Fidusia
Sesuai dengan amanat Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan “Benda yang dibebani jaminan
fidusia wajib didaftarkan”. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 Tentang Jaminan Fidusia yang menyatakan : “dalam hal benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia berada diluar wilayah Republik
Indonesia,kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku. Dari
ketentuan Pasal 11 UUJF tersebut agar pendaftaran benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik benda yang berada
didalam maupun diluar wilayah Negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas
publisitas dan merupakan jaminan kepastian terhadap kreditur lainnya mengenai
benda yang telah dibebani jaminan fidusia.
Tempat pendaftaran jaminan fidusia dinyatakan dalam Pasal 12 ayat (1)
UUJF yang menyatakan : “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada kantor pendaftaran Fidusia”. Hal ini lebih
lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 12 UUJF yang menurut rencananya
secara bertahap dan sesuai keperluan dengan Keputusan Presiden disetiap ibukota
daerah kota atau kabupaten akan dibentuk Kantor pendaftaran Fidusia yang
diwilayah kerjanya meliputi daerah Kota atau daerah Kabupaten yang
bersangkutan. Menurut Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
untuk pertama kali, Kantor pendaftaran fidusia didirikan di Jakarta dengan
wilayah mencakup seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, sebelum dibentuk
81
kantor-kantor pendaftaran fidusia lainnya. Penjelasan Pasal 12 tersebut
menegaskan bawa dalam hal kantor pendaftaran fidusia belum didirikan di tiap
daerah Kota/Kabupaten, maka wilayah kerja kantor pendaftaran fidusia di ibukota
Provinsi meliputi seluruh daerah Kota/Kabupaten yang berada di lingkungan
wilayahnya. Dalam Pasal 12 ayat (4) yang menyatakan : “ketentuan mengenai
pembentukan kantor pendaftaran jaminan fidusia untuk daerah lain dan penetapan
wilayah kerjanya diatur dengan keputusan Presiden”. Dalam rangka pembentukan
kantor pendaftaran fidusia didaerah lain dan sebagai tindak lanjut ketentuan
dalam Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, ditetapkan
Keputusan Presiden nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan kantor
pendaftaran fidusia disetiap ibukota Provinsi di wilayah Negara Republik
Indonesia yang menegaskan bahwa membentuk kantor pendaftaran fidusia
disetiap ibukota Provinsi di wilayah Negara Republik Indonesia, yang berada di
Kantor Wilayah Kementrian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Mengenai kedudukan kantor pendaftaran fidusia, ketentuan dalam Pasal
12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menegaskan kantor
pendaftaran fidusia dalam lingkup tugas Kementrian Kehakiman. Penjelasan atas
pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 menegaskan pula bahwa kantor
pendaftaran fidusia merupakan bagian dalam lingkungan Kementrian Kehakiman
bukan institusi yang mandiri atau unit pelaksana teknis84
84
Rachmadi Usman, Opcit, hal. 207
82
b.Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia
Sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 bahwa: “permohonan pendaftaran jaminan fidusia dilakukan oleh
penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan
pendaftaran jaminan fidusia”. Maksud dari ketentuan Pasal 13 angka (1) UUJF
adalah pendaftaran jaminan fidusia dengan pengajuan surat permohonan kepada
kantor pendaftaran fidusia atau Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia,
dengan surat pernyataan pendaftaran fidusia.
Pelaksanaan pencatatan pendaftaran jaminan fidusia, Kantor pendaftaran
fidusia menyediakan buku daftar fidusia. Kewajiban menyediakan Buku daftar
fidusia bagi kantor pendaftaran fidusia ini, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 13
angka (3) UUJF, bahwa jaminan fidusia dicatat di kantor pendaftaran fidusia
dalam suatu register khusus, yang dinamakan dengan buku daftar fidusia. Pejabat
pendaftaran jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia yang bersangkutan,
mencatat semua data yang berkaitan dengan pendaftaran jaminan fidusia tersebut
dalam buku daftar fidusia.
c. Fungsi Pendaftaran Jaminan Fidusia Dalam Perjanjian Kredit
Pada Koperasi Di Denpasar
Bertalian dengan kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 11 angka (1) UUJF, yang menyatakan “benda
yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan”. Pendaftaran benda yang
dibebani jaminan fidusia dilakukan pada tempat pemberi fidusia dan
pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada didalam maupun diluar
83
wilayah Negara republik Indonesia untuk memenuhi asas publicitas dan jaminan
kepastian hukum terhadap kreditur lainnya mengena benda yang telah dibebani
jaminan fidusia. Tujuan dari pendaftaran jaminan fidusia antara lain :
1. Untuk Memberikan kepastian hukum kepada para pihak, terutama
terhadap kreditur lain mengenai benda yang telah dibebankan dengan
jaminan fidusia.
2. Melahirkan ikatan jaminan fidusia bagi kreditur (penerima fidusia);
3. Memberikan hak yang didahulukan preferen kepada kreditur terhadap
kreditur lainnya.
4. Memenuhi asas publicitas.85
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUJF merupakan norma yang bersifat regulatif
atau mengatur yang harus dipatuhi karena kepastian hukum (legal certainty)
diperoleh dari dipatuhinya ketentuan yang telah ditetapkan dalam bentuk undang-
undang. Menurut H.L.A Hart “the most prominentgeneral feature of the law at all
time and places is that its existence means that certain kinds of human conduct
are no longer option, but in some sense obligatory.86
(sifat mengatur hukum yang
harus dipatuhi menyebabkan tuntutan berprilaku manusia pada situasi tertentu
bukan lagi merupakan pilihan melainkan menjadi suatu keharusan).
Tidak didaftarkannya jaminan fidusia pada koperasi di kota denpasar, maka
harapan dari pembentuk undang-undang untuk mampu memberikan kepastian
hukum tidak dapat terwujud oleh karena isi peraturan mengenai syarat
pendaftaran jaminan fidusia tersebut tidak dilaksanakan oleh koperasi di wilayah
kota denpasar. Dengan tidak adana pendaftaran jaminan fidusia maka tidak akan
mendapatkan sertifikat jaminan fidusia yang sama artinya bahwa jaminan fidusia
85
Rachmadi Usman II, Opcit, hal. 201 86
H.L.A Hart, 1972, The Concept of law, Claredon Press, Oxford, hal.6
84
tidak pernah lahir (Pasal 14 angka (3) UUJF). Dengan tidak adanya sertifikat
jaminan fidusia menyebabkan koperasi hanya sebagi kreditur konkuren, tidak
memiliki hak yang didahulukan pembayaran terhadap kreditur lainnya,
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1132 KUH Perdata bahwa “kebendaan
tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang mengutangkan
kepadanya, pendapatan-pendapatan, penjualan benda-benda itu dibagi-bagi
menurut keseimbangannya yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing,
kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah ntuk
didahulukan”.
2.3.Tinjauan Umum Tentang Koperasi
2.3.1.Pengertian Koperasi
Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 33 ayat (1) menyatakan
bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas
asas kekeluargaan. Koperasi mempunyai peranan penting dalam
membantu masyarakat golongan menengah kebawah untuk dapat
meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Undang–undang Nomor 17 tahun
2012, memberikan definisi “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang–orang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasar atas asas kekeluargaan”.
Koperasi terdapat unsur-unsur untuk golongan ekonomi lemah, kerjasama,
tidak mementingkan kepentingan diri sendiri dan adanya unsure demokrasi, yang
85
dapat dilihat dari pernyataan imbalan jasa kepada aggota diberikan sesuai dengan
jasa jasa atau partisipasi anggota dalam perkumpulan. Menurut Dr Fay Koperasi
adalah suatu perserikatan dengan tujuan berusaha bersama yang terdiri atas
mereka yang lemah dan diusahakan selalu dengan semangat tidak memikirkan
dari sendiri sedemikian rupa, masing-masing sanggup menjalankan kewajibannya
sebagai anggota dan mendapat imbalan sebanding dengan pemanfaatan mereka
terhadap organisasi. 87
Menurut R.M Margono Djojohadikoesoemo dalam bukunya berjudul “10
Tahun Koperasi,1941, yang mengatakan bahwa Koperasi adalah perkumpulan
manusia orang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerja sama untuk
memajukan ekonominya. Sedangkan menurut Prof. R.E. Soeriaatmadja (1957)
Koperasi adalah suatu badan usaha yang secara sukarela dimiliki dan dikendalikan
oleh anggota yang adalah juga pelanggannya dan dioperasikan oleh mereka dan
untuk mereka atas dasar laba atau dasar biaya. Menurut Dr. G Mladenata
Didalam bukunya “Histoire des Doctrines Cooperative” mengemukakan bahwa
koperasi terdiri atas produsen produsen kecil yang tergabung secara sukarela
untuk mencapai tujuan bersama ,dengan saling bertukar jasa secara kolektif dan
menanggung resiko bersama dengan mengerjakan sumber sumber yang
disumbangkan oleh anggota. Definisi Koperasi menurut Dr. Muhammad
Hatta (1947) dalam bukunya “The Movement in Indonesia” koperasi adalah usaha
bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarka tolong
87Andjar Pachta dkk, 2008, Hukum Koperasi Indonesia, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta,hal.16
86
menolong.88
Mereka didorong oleh keinginan memberi jasa pada kawan “ seorang
buat semua dan semua buat seorang” inilah yang dinamakan Auto Aktivitas
Golongan, terdiri dari:
a. Solidaritas
b. Individualitas
c. Menolong diri sendiri
d. Jujur
Koperasi adalah terdiri atas produsen-produsen kecil yang tergabung secara
sukarela untuk mencapai tujuan bersama dengan saling tukar jasa secara kolektif
dan menanggung resiko bersama dengan mengerjakan sumber-sumber yang
disumbangkan oleh anggota. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992
tentang Perkoperasian pada Bab I Pasal 1, yang dimaksud dengan koperasi adalah
badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi
dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai
gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2.3.2. Asas Koperasi
Bab IV Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 yang membahas masalah asas
dan sendi Dasar Koperasi, dimana dikatakan bahwa asas koperasi adalah kekeluargaan
dan kegotongroyongan.
1. Asas kekeluargaan
Asas ini mengandung makna adanya kesadaran dari hati nurani setiap anggota
koperasi untuk mengerjakan segala sesuatu dalam koperasi yang berguna untuk
88Andjar Pachta, Opcit, hal.19
87
semua anggota koperasi itu. Jadi bukan untuk diri sendiri maupun beberapa
anggota saja dan juga bukan dari satu anggota melainkan mencakup semuanya.
Dengan asas yang bersifat seperti ini maka semua anggota akan mempunyai hak
dan kewajiban yang sama.
2. Asas Kegotongroyongan
Asas ini mengandung arti bahwa dalam berkoperasi harus memiliki toleransi,
sifat mau bekerja sama, dan sifat-sifat lainnya yang mengandung unsur kerja sama,
bukan orang perorangan. Rochdale atau lebih dikenal “The Rochdale Society of
Equitable Pioneers” terdaftar pada tanggal 24 Oktober 1844 dan memulai
usahanya pada tanggal 21 Desember 1844, cita-cita dari Rochdale Pionners, yang
dinyatakan sebagai perkumpulan kemudian dikenal sebagai asas Rochdale atau
Rochdale Principles, telah menghilhami cara kerja dari gerakan-gerakan koperasi
sedunia. Adapun Asas Rochdale tersebut adalah :
a. Pengendalian secara demokrasi (Democratic control)
b. Keanggotaan yang terbuka) (Open membership)
c. Bunga terbatas atas modal (Limited interest on capital)
d. Pembagian sisa hasil usaha kepada anggota proporsional dengan
pembeliannya.
e. Pembayaran secara tunai atas transanksi perdagangan.
f. Tidak boleh menjual barang-barang palsu
g. Mengadakan pendidikan bagi anggota-anggotanya tentang asas-asas
koperasi dan perdagangan yang saling membantu.
h. Netral dalam aliran agama dan politik.
88
Mohammad Hatta dalam Alamanak Koperasi 1957-1958 membagi asas-asas
Rochdale tersebut dalam 2 bagian :
1. Dasar-dasar pokok :
a. Demokrasi koperatif, yang artinya bahwa kemudi (pengeloaan) dan
tanggung jawab adalah berada ditangan anggota sendiri.
b. Dasar persamaan hak suara
c. Tiap orang boleh menjadi anggota.
d. Demokrasi ekonomi, keuntungan dibagi kepada anggota menurut jasa-
jasanya.
e. Sebagian dari keuntungan diperuntukkan untuk pendidikan anggota.
Menurut Dr. Mohammad Hatta, untuk disebut koperasi, suatu organisasi itu
setidak-tidaknya harus melaksanakan 4 asas tersebut diatas.
2. Dasar-dasar moral :
a. Tidak boleh dijual dan dikedaikan barang-barang palsu.
b. Harga barang harus sama dengan harga pasar setempat.
c. Ukuran dan timbangan barang harus benar dan terjamin.
d. Jual beli dengan tunai. Kredit dilarang karena menggerakkan hati orang untuk
membeli diluar kemampuannya
2.3.3. Jenis Jenis Koperasi
Penjenisan koperasi dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor.12 tahun
1967, penjenisan koperasi didasarkan pada kebutuhan dari dan untuk efisiensi
suatu golongan dalam masyarakat yang homogen karena kesamaan
aktifitas/kepentingan ekonominya guna mencapai tujuan bersama. Untuk efisiensi
89
dan ketertiban guna perkembangan dan kepentingan koperasi Indonesia di tiap
daerah kerja hanya terdapat 1 koperasi yang sejenis dan setingkat, secara hukum
keberadaan koperasi dapat dibenarkan karena Undang-Undang Nomor 19 tahun
1967 mengatakan penjenisan koperasi didasarkan pada kebutuhan dari dan untuk
efisiensi suatu golongan yang homogen karena mempunyai kesamaan dan
kepentingan ekonominya. Dalam Pasal 2 PP Nomor 60 tahun 1959 tentang
perkembangan gerakan koperasi yaitu :
1. pada dasarnya yang dimaksud dengan penjenisan koperasi adalah perbedaan
yang didasarkan pada golongan dan fungsi prinsip koperasi.
2. Penjenisan koperasi ditekan pada lapangan usaha atau atau tempat tinggal para
anggota.
3. Berdasarkan ketentuan poin diatas maka terdapat 7 jenis koperasi
didalam pasal 3 PP No. 60 tahun 1959
a. Koperasi desa
b. Koperasi pertanian
c. Koperasi pertenakan
d. Koperasi perikanan
e. Koperasi kerajinan/produksi
f. Koperasi simpan pinjam
g. Koperasi konsumsi89
89Andjar Pachta, Opcit, hal25
90
Di dalam bukunya Dra. Ninik Widiyanti dan Y.W. Sunindhia (2003) yang
berjudul “Koperasi dan Prekonomian Indonesia” bahwa koperasi dapat dibagi
menjadi 5 antara lain :
1. Koperasi Konsumsi
Jenis koperasi yang menyediakan untuk kebutuhan sehari hari misalnya :
barang-barang pangan (beras, gula, minyak goreng, garam), barang-barang
sandang (kain, tekstil), maupun barang-barang lainnya seperti sabun, minyak
tanah maupun perabot rumah tangga Tujuan koperasi konsumsi ini agar para
anggota dapat membeli barang-barang dengan harga yang layak.
2. Koperasi Kredit/Koperasi Simpan Pinjam (KSP)
Koperasi kredit ini didirikan untuk memberi kesempatan kepada para
anggota-anggotanya memperoleh pinjaman dengan mudah dengan bunga yang
rendah. Kecuali itu kopersasi ini juga memberi kesempatan kepada anggotanya
untuk menyimpan uangnya secara bersama dan untuk dipinjamkan kembali
kepada anggota lainnya yang membutuhkan.Tujuan Koperasi Kredit/Simpan
Pinjam adalah :
a. Membantu keperluan kredit para anggotanya yang sangat membutuhkan
dengan syarat-syarat yang ringan.
b. Mendidik para anggota agar giat dalam menyimpan/menabung secara teratur
untuk membentuk modal sendiri.
c. Mendidik anggota untuk hidup hemat, dengan menyisihkan sebagian dari
pendapatan mereka.
d. Menambah pengetahuan tentang perkoperasian.
91
3. Koperasi Produksi
Koperasi produksi yaitu koperasi yang bergerak dibidang ekonomi
pembuatan dan penjualan barang-barang yang dilakukan oleh Koperasi sebagai
organisasi maupun orang-orang anggota koperasi. Contohnya : Koperasi Peternak
Sapi Perah, Koperasi Tahu Tempe, Koperasi Pembuat Sepatu, Batik maupun
Koperasi Pertanian.
4. Koperasi Jasa
Koperasi jasa adalah Koperasi yang berusaha dibidang penyediaan jasa tertentu
bagi para anggotanya maupun masyarakat umum. Contonya : Koperasi Angkutan,
Koperasi jasa untuk mengurus SIM, STNK, Paspor dan lain-lain.
5. Koperasi Serba Usaha
Koperasi Serba Usaha adalah koperasi yang bidang usahanya bermacam-macam.
Misalnya, unit usaha simpan pinjam, unit pertokoan untuk melayani kebutuhan
sehari-hari anggota juga masyarakat, unit produksi, unit wartel.
2.3.4. Bentuk Koperasi
Dalam PP Nomor 60 Tahun 1959 (Pasal 13 Bab IV) dikatakan bahwa yang
dimaksud dengan bentuk koperasi ialah tingkat-tingkat koperasi yang didasarkan
pada cara-cara pemusatan, penggabungan dan perindukannya. Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka terdapatlah 4 bentuk koperasi yaitu:
1. Primer.
2. Pusat
3. Gabungan.
4. Induk.
92
Keberadaan dari masing-masing bentuk koperasi tersebut, disesuaikan
dengan wilayah administrasi pemerintahan, seperti tersebut dalam pasal 18 dari
PP 60 Nomor 59, yang menyatakan bahwa:
a. Di tiap-tiap desa ditumbuhkan koperasi desa.
b. Di tiap-tiap daerah tingkat II ditumbuhkan pusat koperasi.
c. Di tiap-tiap daerah tingkat I ditumbuhkan gabungan induk koperasi.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perkoperasian
masih mengaitkan bentuk-bentuk koperasi itu dengan wilayah administrasi
pemerintahan (Pasal 16) tetapi tidak secara ekpresif mengatakan bahwa koperasi
pusat harus berada di ibukota kabupaten dan koperasi gabungan harus berada di
tingkat propinsi seperti yang tertera dalam PP Nomor 60 tahun 1959. Pasal 16
butir (1) Undang-undang No. 12 Tahun 67 hanya mengatakan daerah kerja
koperasi Indonesia pada dasarnya, didasarkan pada kesatuan wilayah administrasi
pemerintahan dengan memperhatikan kepentingan ekonomi.
2.3.5.Permodalan Koperasi
Pengertian modal dalam sebuah organisasi perusahaan termasuk badan
koperasi adalah sama, yaitu modal yang digunakan untuk menjalankan usaha.
Koperasi merupakan kumpulan dari orang-orang yang mengumpulkan modal untu
modal usaha dan setiap orang mempunyai hak yang sama. Sumber - Sumber
Modal Koperasi antara lain :
1. Modal Dasar
93
Tujuan utama mendirikan sebuah organisasi koperasi adalah untuk
mengakumulasikan potensi keuangan para pendiri dan anggotanya yang meskipun
pada awalnya berjumlah kecil tetapi tetap ada.
2. Modal Sendiri
a. Simpanan Pokok
Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang wajib disetorkan ke dalam kas
koperasi oleh para pendiri atau anggota koperasi pada saat masuk menjadi
anggota. Simpanan pokok tidak dapat ditarik kembali oleh anggota koperasi
tersebut selama yang bersangkutan masih tercatat menjadi anggota koperasi.
b. Simpanan Wajib
Konsekwensi dari simpanan ini adalah harus dilakukan oleh semua anggota
koperasi yang dapat disesuaikan besar kecilnya dengan tujuan usaha koperasi dan
kebutuhan dana yang hendak dikumpulkan, arena itu akumulasi simpanan wajib
para anggota harus diarahkan mencapai jumlah tertentu agar dapat menunjang
kebutuhan dana yang akan digunakan menjalankan usaha koperasi.
c. Dana Cadangan
Dana cadangan ialah sejumlah uang yang diperoleh dari sebagian hasil
usaha yang tidak dibagikan kepad anggota; tujuannya adalah untuk memupuk
modal sendiri yang dapat digunakan sewaktu-waktu apabila koperasi
membutuhkan dana secara mendadak atau menutup kerugian dalam usaha.
d. Hibah
Hibah adalah bantuan, sumbangan atau pemberian cuma-cuma yang tidak
mengharapkan pengembalian atau pembalasan dalam bentuk apapun. Siapa pun
94
dapat memberikan hibah kepada koperasi dalam bentuk apapun sepanjang
memiliki pengertian seperti itu; untuk menghindarkan koperasi menjadi
tergantung dengan pemberi hibah yang dapat mengganggu prinsip-prinsip dan
asas koperasi.
3. Modal Pinjaman
a. Pinjaman dari Anggota
Pinjaman yang diperoleh dari anggota koperasi dapat disamakan dengan
simpanan sukarela anggota. Kalau dalam simpanan sukarela, maka besar kecil
dari nilai yang disimpan tergantung dari kerelaan anggota. sebaliknya dalam
pinjaman, koperasi meminjam senilai uang atau yang dapat dinilai dengan uang
yang berasal dari anggota.
b. Pinjaman dari Koperasi Lain
Pada dasarnya diawali dengan adanya kerja sama yang dibuat oleh sesama
badan usaha koperasi untuk saling membantu dalam bidang kebutuhan modal.
Bentuk dan lingkup kerja sama yang dibuat bisa dalam lingkup yang luas atau
dalam lingkup yang sempit; tergantung dari kebutuhan modal yang diperlukan.
c. Pinjaman dari Lembaga Keuangan
Pinjaman komersial dari lembaga keuangan untuk badan usaha koperasi
mendapat prioritas dalam persyaratan. Prioritas tersebut diberikan kepada
koperasi sebetulnya merupakan komitmen pemerintah dari negara-negara yang
bersangkutan untuk mengangkat kemampuan ekonomi rakyat khususnya usaha
koperasi.
95
d. Obligasi dan Surat Utang
Untuk menambah modal koperasi juga dapat menjual obligasi atau surat
utang kepada masyarakat investor untuk mencari dana segar dari masyarakat
umum diluar anggota koperasi. Mengenai persyaratan untuk menjual obligasi dan
surat utang tersebut diatur dalam ketentuan otoritas pasar modal yang ada.
e. Sumber Keuangan Lain
Semua sumber keuangan, kecuali sumber keuangan yang berasal dari
dana yang tidak sah dapat dijadikan tempat untuk meminjam modal.90
90Andjar Pachta,Opcit, hal.117
96
BAB III
PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA YANG
TIDAK DIDAFTARKAN OLEH KOPERASI DI DENPASAR
3.1. Perjanjian Kredit Pada Koperasi di Denpasar
Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensual yang artinya dengan
ditandatanganinya perjanjian kredit antara debitur dan kreditur tidak
menyebabkan debitur langsung dapat mengambil kredit melainkan harus
memenuhi syarat-syarat penarikan terlebih dahulu (pengikatan dan penyerahan
barang jaminan). Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok karena tanpa
adanya perjanjian pokok maka tidak terdapat perjanjian pengikatan jaminan.
Menurut H. Moh Tjoekam unsur-unsur kredit antara lain :
1. Waktu, yaitu ada jarak antara saat persetujuan pemberian kredit dan pelunasan.
2. Kepercayaan, merupakan dasar utama yang dijadikan pegangan oleh krditur
kepada debitur dalam pemberian kredit yaitu pihak kreditur memberikan kredit
kepada debitur dan dalam jangka waktu tertentu debitur akan
mengembalikannya sesuai kesepakatan yang telah dibuat diantara para pihak.
3. Penyerahan, yaitu pihak kreditur memberikan nilai ekonomi kepada debitur
yang harus dikembalikan setelah jangka waktu tertentu.
4. Resiko, yaitu adanya resiko yang timbul antara jarak saat memberikan dan
pengembalian kredit.
5. Perjanjian yang menyatakan antara kreditur dan debitur terdapat suatu
kesepakatan yang dibuktikan dengan suatu perjanjian.91
Mengingat pemberian kredit mengandung resiko maka pemberian kredit
harus dilandasi dengan kehati-hatian kreditur dalam pemberian kredit kepada
91
H. Moh Tjoekam, 1999, Perkreditan Inti Bisnis Bank Komersial, Gramedia
Pustaka Utama, hal.2-3
97
debitur, prinsip-prinsip yang dipegang koperasi dalam pemberian kredit antara
lain :
a. Prinsip Kepercayaan
Dalam pemberian kredit dibarengi dengan kepercayaan dari kreditur
bahwa debitur akan mengembalikan kreditnya dalam jangka waktu tertentu yang
telah disepakati dan bermanfaatnya kredit bagi debitur
b. Prinsip Kehati-hatian
Prinsip ini merupakan salah satu wujud dari prinsip kepercayaan dalam
suatu pemberian kredit. Sebelum menyalurkan kredit, dilakukan beberapa
persyaratan dalam pemberian kredit, antara lain dengan melakukan pengumpulan
informasi, penilaian (analisis) kredit, keputusan kredit, pelaksanaan (pencairan)
kredit.92
Prinsip kehati-hatian sangat diperlukan terutama dalam hal penyaluran
kredit karena dana tersebut berasal dari masyarakat, Penerapan dalam pemberian
kredit harus dengan analisa yang mendalam dan akurat, perjanjian yang sah
menurut hukum, pengawasan yang baik dan pengikatan jaminan yang sesuai
dengan Undang-Undang.93
Prinsip kehati-hatian memiliki tujuan agar kredit
tersebut tidak macet dan dapat kembali dengan jangka waktu yang telah
diperjanjikan dalam perjanjian kredit. Jika kredit tersebut mengalami kendala
dengan tidak dibayar sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan, maka kredit
92
Muchdarsyah Sinungan, 1992, Manajemen Dana Bank, Bumi Aksara,
Jakarta, hal 240. 93
https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh pada
tanggal 22 Agustus tahun 2013
98
masuk dalam kriteria Non Performing Loan (NPL) Non Performing Loan (NPL).
Non Performing Loan (NPL) untuk unit koperasi hanya ada 4 (empat) yaitu :
1. Lancar (tidak ada tunggakan selama 3 kali)
2. Kurang Lancar (jika ada tunggakan sebanyak 4 sampai dengan 6 kali)
3. Diragukan (jika ada tunggakan sebanyak 7 sampai dengan. 9 kali)
4. Macet (jika memiliki tunggakan di atas 9 kali periode angsuran).
Penerapan prinsip kehati-hatian, memang tidak menjamin 100% tidak
akan timbul kredit macet (bermasalah), tapi setidaknya bisa meminimalisir
terjadinya kredit macet (bermasalah). 94
Lembaga keuangan termasuk koperasi memang sudah seharusnya
memiliki karakteristik kehati-hatian yang tinggi dan kesehatan koperasi yang
dapat meningkatkan kepercayaan dan memberikan manfaat pada para anggota
koperasi dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu koperasi tidak cukup jika hanya
berpedoman pada Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi. Koperasi
perlu upaya-upaya seperti pengawasan dalam penyelenggaraan organisasi dan
usaha Koperasi Simpan Pinjam (KSP) koperasi. Langkah tersebut dilakukan untuk
koperasi agar lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit
sekaligus menjaga keberlangsungan koperasi yang bersangkutan. Peraturan dalam
koperasi seharusnya terdapat point penting untuk menjaga kesehatan dari koperasi
yaitu aturan mengenai pengawasan dan pengendalian koperasi baik dilakukan
secara internal maupun eksternal oleh badan pengawas maupun pemerintah.95
Prinsip kehati-hatian dalam koperasi simpan pinjam diatur berdasarkan
Peraturan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik
Indonesia Nomor : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 tentang Perubahan Atas Peraturan
94
https://repository.usu.ac.id/Siagian, penerapan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit, diunduh pada tanggal 22 Agustus tahun 2013 95
https://susansutardjo. wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh
tanggal 22 Agustus 2013
99
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor
21/Per/M.KUKM/XI/2008 tentang Pedoman Penilaian Kesehatan Koperasi
Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi, diterangkan dalam hal
menimbang butir a yang menyebutkan bahwa :
Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi merupakan
lembaga koperasi yang melakukan kegiatan usaha penghimpunan dan
penyaluran dana dari dan untuk anggota, calon anggota, koperasi lain dan
atau anggotanya yang perlu dikelola secara professional sesuai dengan
prinsip kehati-hatian dan kesehatan Koperasi Simpan Pinjam dan Unit
Simpan Pinjam Koperasi, yang dapat meningkatkan kepercayaan dan
memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat
sekitarnya.
Prinsip kehati-hatian Koperasi tersebut ditegaskan dalam Pasal 2 Peraturan
Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
Nomor : 14/Per/M.KUKM/XII/2009 yang menyatakan bahwa : Pedoman
Penilaian Kesehatan KSP dan USP Koperasi bertujuan untuk memberikan
pedoman kepada pejabat penilai, gerakan koperasi dan masyarakat agar KSP dan
USP Koperasi dapat melakukan kegiatan usaha simpan pinjam, berdasarkan
prinsip koperasi secara professional, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan
kesehatan, yang dapat meningkatkan kepercayaan dan memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya kepada anggota dan masyarakat di sekitarnya.
c. Prisip 7P yaitu :
1. Personality
2. Purpose (Data tentang Penggunaan kredit)
3. Prospect (harapan masa datang bidang usaha kegiatan usaha peminjam)
4. Payment (bagaimana pembayaran kembali pinjaman)
100
5. Party (mengklasifikasikan nasabah kedalam identifikasi atau golongan tertentu
berdasarkan moral,karakter dan loyalitas)
6. Profitability (menganalisis kemampuan nasabah mendapatkan laba diukur
perperiode).
7. Protection (Usaha dan jaminan mendapatkan perlindungan).
d. Prinsip 5C antara lain :
1. Character (Watak)
2. Capacity (Kemampuan)
3. Capital (Modal)
4. Collateral (Agunan)
5. Condition of economic
Pada proses perjanjian pinjaman pada Koperasi, pihak Koperasi perlu
melakukan penilaian terhadap kemampuan anggota koperasi untuk
mengembalikan pinjaman atau melunasi pinjaman secara tepat waktu. Penerapan
prinsip kehati-hatian dalam memberikan pinjaman koperasi dimaksudkan untuk
menjaga stabilitas sistem keuangan dan melindungi koperasi serta anggota
koperasi sebagai penyimpan dana, Koperasi diharapkan senantiasa tetap berada
dalam kondisi yang sehat dan dapat memenuhi kewajibannya kepada anggota
koperasi penyimpan dana. Pemberian pinjaman dan melakukan usaha lainnya,
koperasi wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan kepentingan koperasi
itu sendiri dan anggota koperasi yang mempercayakan dananya kepada
101
Koperasi.96
Jadi dalam menyalurkan suatu pinjaman kepada anggota koperasi,
Koperasi di Kota Denpasar harus memperhatikan aspek keamanan bagi
kembalinya pinjaman tersebut. Setelah pinjaman diberikan Koperasi perlu
melakukan pemantauan terhadap penggunaan dana peminjaman tersebut, serta
kemampuan dan kepatuhan anggota koperasi tersebut dalam memenuhi
kewajibannya. Menghindari adanya kendala dalam pengembalian suatu pinjaman
maka dalam perjanjian disebutkan bahwa Koperasi Denpasar selalu meminta
jaminan yang berguna untuk keamanan suatu dana pinjaman yang diberikan
Koperasi. Jaminan dapat dikatakan sebagai sarana dalam mengupayakan suatu
pencegahan atau merupakan upaya preventif dalam perjanjian pinjaman yang
sangat berisiko tinggi.
Dalam memberikan pinjaman, Koperasi di denpasar wajib mempunyai
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan anggota koperasi untuk melunasi
hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Setiap permohonan pinjaman yang
diajukan oleh anggota koperasi, Koperasi senantiasa memperhatikan hal-hal yang
menyangkut keadaan internal koperasi dan keadaan anggota koperasi (peminjam).
Setelah Koperasi memperhatikan keadaan internalnya dan mampu menyediakan
dana untuk pemohon pinjaman, maka langkah selanjutnya adalah
mempertimbangkan permohonan pinjaman yang diajukan anggota koperasi. Hal-
hal yang perlu dipertimbangkan peminjaman di Koperasi di Denpasar adalah :
1. Pribadi peminjam;
96
Wawancara A.A.Ketut Nuraja, Ketua Koperasi Tunas Sari tanggal 21
Agustus 2013
102
2. Usahanya;
3. Kemampuan dan kesanggupan membayar kembali pinjaman dan hal-hal
lain;
4. Jaminan pinjaman. 97
Koperasi di Kota Denpasar mempunyai pertimbangan tertentu dalam
memberikan pinjaman kepada anggota koperasi. Koperai umumnya berpikir dan
bertindak dalam memberikan pinjaman setelah menilai persyaratan kredit dengan
analisa 5 C yang dimiliki calon debitur (anggota koperaasi), yakni collaterals,
capitals, capacities, caracters dan condition of economics. Seorang anggota
koperasi yang hendak meminjam dana dapat dikabulkan permohonannya jika
memiliki jaminan atau agunan (collateral) yang nilainya melebihi dari jumlah
pinjaman. Pemberian kredit oleh koperasi tidak akan melebihi 70% dari agunan
pada saat uang pinjaman koperasi telah diterima oleh debitur, anggota koperasi
harus menyerahkan bukti kepemilikan agunan tersebut kepada Koperasi. Bila
terjadi kemacetan dalam pengembalian kredit, agunan tersebut dijadikan Koperasi
Wisuda Guna Raharja merupakan pembayaran atas utang-utang atau agunan
tersebut akan dijual kepada pihak lain untuk melunasinya. Koperasi akan
memberikan pinjaman kepada calon anggota koperasi yang memiliki modal
(capital) walaupun hanya sedikit dan bukan kepada anggota koperasi yang tidak
mempunyai modal sama sekali. Pinjaman yang diberikan kreditur berfungsi
sebagai tambahan modal untuk memperlancar kegiatan produktif yang
97
Wawancara dengan Bapak Ketut Landuh Kepala Operasional Kredit
Koperasi Tunas Sari Tanggal 21 Agustus 2013
103
menyebabkan kegiatan tersebut semakin efektif dan efisien. Anggota koperasi
harus memiliki sejumlah dana yang dialokasikan secara khusus sebagai modal
awal bagi kegiatan produktif tersebut.
Kemampuan (capacities) anggota koperasi dalam memanfaatkan dan
mengembalikan pinjaman akan dinilai oleh koperasi yang akan menyalurkan
kredit. Koperasi menilai kemampuan calon anggota koperasi dengan menganalisis
kelayakan proposal yang anggota koperasi buat sewaktu mengajukan
permohonan. Bila anggota koperasi mengajukan pinjaman untuk usaha,
kemampuan anggota koperasi juga dinilai dari perjalanan usaha yang telah
anggota koperasi lakukan selama ini berdasarkan laporan keuangan yang anggota
koperasi miliki.
Koperasi juga akan menilai sifat-sifat (characters) anggota koperasi
dalam mengelola uang, kebiasaan dalam mengatur cash flow serta kejujuran,
kedisiplinan dalam membayar. Buku tabungan yang dimiliki oleh anggota
koperasi dapat pula sebagai sumber informasi bagi Koperasi dalam menilai sifat-
sifat anggota koperasi dalam mengelola uang. Hal yang tidak kalah pentingnya
adalah pertimbangan Koperasi terhadap kondisi ekonomi (condition of economic)
yang dihadapi oleh debitur. Kondisi ekonomi yang baik menyebabkan koperasi
memberikan kemudahan dalam pemberian kredit. Sebaliknya, kondisi ekonomi
yang sedang sulit mengakibatkan Koperasi agak ketat dalam memberikan
pinjaman kepada para anggota koperasi.98
98
Wawancara dengan staff kredit Koperasi Wisuda Guna Raharja tanggal 20
Agustus 2013
104
Koperasi dapat dikatakan sebagai suatu lembaga keuangan memiliki
lapangan usaha dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.
Koperasi simpan pinjam sebagai salah satu jenis koperasi yang memiliki usaha
menghimpun dana dan menyalurkannya melalui kegiatan simpan pinjam.
Kegiatan usaha simpan pinjam koperasi Tunas Sari dari dan untuk anggotanya
dan anggota koperasi lain. Dalam melakukan kegiatan usaha simpan pinjam
khususnya pinjaman terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota.
Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh anggota untuk memperoleh
pinjaman antara lain :99
1. Menjadi anggota minimun 1 tahun;
Dalam hal keanggotaan, calon anggota dapat diterima sebagai anggota jika
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Bersedia menerima dan mematuhi anggaran dasar (AD)/anggaran rapat
anggota(ART) serta peraturan lainnya dilingkungan koperasi simpan
pinjam Tunas Sari ;
b. Mengisi formulir yang telah disediakan;
c. Mendapatkan rekomendasi sekurang-kurangnya 1(satu) orang anggota;
d. Melampirkan kartu tanda penduduk, kartu keluarga dan pas foto ukuran
3x4 sebanyak 2 lembar;
e. Wajib mengikuti pendidikan dasar koperasi;
f. Melunasi simpanan pokok, simpanan wajib, biaya administrasi, dan biaya
pendidikan dasar koperasi.
99
Wawancara A.A. Ketut Nuraja, SE, Ketua Koperasi Tunas Sari tanggal 21
Agustus 2013
105
2. Mengisi formulir permohonan pinjaman;
3. Fotokopi kartu Tanda Penduduk (KTP) suami dan istri;
4. Fotocopy Kartu Keluarga (KK);
5. Slipgaji asli 3 bulan terakhir;
6. Jaminan;
Dalam hal ini, jaminan dapat berupa sertifikat tanah atau bukti pemilikan
kendaraan bermotor (BPKB). Jika jaminan yang diberikan adlah jaminan sertifikat
tanah maka harus menyertakan : fotocopy serifikat, SPPT/pajak tahun terakhir dan
ijin mendirikan bangunan (IMB). Jika jaminan yang diberikan adalah jaminan
berupa barang bergerak seperti sepeda motor dan mobil maka harus menyertakan :
fotocopy Bukti Kepemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), fotocoy Surat Tanda
Nomor Kendaraan (STNK) dan cek fisik kendaraan.
7. Laporan keuangan 3 bulan terakhir bagi pengusaha.
Tatacara permohonan kredit dilakukan melalui beberapa tahapan, antara
lain tahap persiapan yang meliputi segala kegiatan untuk mengumpulkan
informasi mengenai data-data tentang calon anggota yang akan meminjam uang
yang berguna bagi penilaian kredit. Dalam menimbulkan kepercayaan Koperasi
kepada anggota, maka terlebih dahulu meneliti tentang keadaan dan diri dari
anggota yang akan meminjam uang. Pada umumnya untuk menjadi peminjam di
Koperasi, pemohon harus menjadi anggota koperasi terlebih dahulu. Nasabah dari
Koperasi Tunas Sari bahwa anggota koperasi memiliki kemudahan-kemudahan
dalam meminjam uang pada koperasi dibandingkan dengan lembaga perbankan
106
lainnya dikarenakan koperasi bersifat kekeluargaan dan mengutamakan
kesejahteraan anggotanya.100
Anggota Koperasi yang ingin melakukan peminjaman di Koperasi, maka
yang bersangkutan harus mengajukan permohonan dalam bentuk pengisian
permohonan pinjaman yang memuat hal-hal yang diperlukan antara lain :
a. Nama, alamat, nomor telepon, dan pekerjaan dari pemohon, yang turut
menyetujui suami atau istri dari penjamin;
b. Jenis Pinjaman;
c. Jangka Waktu Pinjaman;
d. Tujuan Pinjaman atau jenis penggunaan pinjaman;
e. Fotocopy KTP suami atau istri, Kartu Keluarga, fotocopy jaminan, daftar
rincian gaji atau penghasilan 3 bulan terakhir.
Setelah mengisi permohonan pinjaman, anggota mengisi proposal pinjaman
yang didalamnya memuat :
a. Identitas calon peminjam (nama, alamat, nomor telepon, pekerjaan, alamat
kantor, status keanggotaan, status peminjam, status perkawinan, status
tempat tinggal, tanggungan dalam keluarga);
b. Informasi dasar (jumlah pinjaman, jangka waktu pinjaman, tujuan
pinjaman, kemampuan membayar perbulan, fasilitas pinjaman atau kredit
yang diperoleh dari pihak lain);
100
Wawancara A.A.Putu Hestiani (Anggota Koperasi Tunas Sari), Wawancara
8 Agustus 2013
107
c. Aspek keuangan (total penghasilan, total biaya pengeluaran, saldo sisa
penghasilan yang telah dikurangi oleh biaya pengeluaran).101
d. Apabila anggota ingin mengajukan permohonan pinjaman, maka si
pemohon dapat mengajukan permohonan pinjaman secaraa tertulis yang
telah dilengkapi dengan syarat-syarat sesuai dengan tujuan pinjaman itu
sendiri ke bagian pinjaman. Bagian pinjaman mencatatnya dalam dalam
buku administrasi pengajuan permohonan pinjaman. Sebagai bukti, bagian
pinjaman melaksanakan analisis keuangan dan survei jaminan. Adapun
jaminan yang dapat dijaminkan di koperasi berupa jaminan barang tidak
bergerak seperti tanah dan rumah dan jaminan barang bergerak seperti
kendaraan bermotor dan mobil.
Berdasarkan hasil analisa keuangan dan survei, maka bagian
pinjaman dapat menentukan layak atau tidaknya pemohon memperoleh
pinjaman. Bagi mereka yang tidak layak mendapat bantuan pinjaman,
bagian pinjaman melalui komunikasi via telepon dengan bahasa yang
membuat pemohon tidak tersinggung atas penolakannya. Bagi
permohonan pinjaman yang layak mendapat bantuan pinjaman, hasil
analisa keuangan dan survei diajukan kepengurus, setelah mendapat
persetujuan dari pengurus proses dilanjutkan ke bagian administrasi.
Setelah proses administrasi selesai, bagian peminjam mengundang
peminjam untuk menandatangani perjanjian pinjaman. Setelah perjanjian
101
Wawancara A.A.Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), wawancara
pada tanggal 18 April 2013
108
ditandatangani maka dana baru dapat dicairkan. Pada Koperasi Tunas Sari
pemberian pinjaman paling sedikit sebesar Rp. 500.000,00 dengan
jaminan buku tabungan dan pinjaman paling banyak sebesar
Rp.15.000.000,00. Besarnya pinjaman ditentukan oleh kemampuan
membayar debitur untuk mengembalikan.102
Dari hasil wawancara dengan informan pada koperasi denpasar, menurut
penulis, Walaupun undang-undang menjamin kebebasan berkontrak bagi para
pihak namun dalam praktek, dalam pembuatan perjanjian pinjaman, kedudukan
para pihak umumnya tidak seimbang dimana kedudukan anggota koperasi lebih
lemah dibandingkan kedudukan peminjam sebagai pemilik dana. Pada Koperasi
juga menerapkan prinsip 5 C dalam pemberian kredit hal ini merupakan kehati-
hatian dari pihak koperasi agar tidak terjadi permasalahan dikemudian hari yang
dapat merugikan Koperasi.
3.2 Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan
Kebutuhan dana oleh masyarakat adalah untuk memenuhi berbagai
kebutuhan sehari-hari baik untuk kebutuhan konsumtif maupun diberbagai bidang
lainnya. Dari sinilah timbul perjanjian kredit untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat yang kekurangan dana.
Pada dasarnya pemberian kredit dapat diberikan oleh siapa saja melalui
perjanjian utang piutang antara kreditur dengan debitur. Dengan adanya perjanjian
102
Wawancara Sebastianus Hayong (Ketua Koperasi Wisuda Guna Raharja),
wawancara pada tanggal 13 April 2013
109
utang piutang tersebut menimbulkan hak dan kewajiban dari masing-masing
pihak. Pihak kreditur lahir kewajiban untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan
kepada debitur dan debitur lair kewajiban untuk mengembalikan uang tersebut
tepat pada waktunya disertai dengan bunga yang telah disepakati.
Dalam Pasal 1 Angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan menyebutkan bahwa : “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan
yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga”. Sedangkan dalam Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dikatakan mengenai perjanjian pinjam meminjam adalah persetujuan
dengan mana pihak kesatu meberikan kepada pihak lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak
yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan
keadaan yang sama pula”.
Pada prinsipnya pemberian kredit koperasi mengandung empat unsur
yaitu :
1. Kepercayaan
2. Waktu
3. Degree of risk
4. Prestasi atau objek kredit.
Pada Koperasi di denpasar meminjam dana dapat dilakukan apabila debitur
adalah anggota koperasi, dikarenakan koperasi sendiri lebih mengutamakan
110
kesejahteraan anggotanya. Dalam pemberian kredit koperasi untuk mengurangi
resiko dalam pemberian kredit selalu diikuti dengan pemberian jaminan oleh
debitur, sebagai jaminan bahwa debitur akan membayar hutang-hutangnya.
Jaminan berasal dari kata jamin yang berarti tanggung. Dalam hal ini yang
dimaksud tanggungan adalah segala perikatan seseorang. Tanggungan atas segala
perikatan seseorang disebut sebagai jaminan secara umum sedangkan tanggungan
atas perikatan tertentu dari seseorang disebut jaminan secara khusus.103
Pengaturan umum tentang jaminan datur dalam ketentuan Pasal 1131 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dimana ditentukan bahwa segala kebendaan
pihak yang berutang (debitur) baik yang bergerak mapun tidak bergerak, baik
yang sudah ada maupun baru akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan
untuk segala perikatan perseorangan. Jaminan menurut Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan diberi arti sebagai keyakinan akan iktikad baik
dari debitur untuk melunasi hutangnya dan kemampuan serta kesanggupan
mengembalikan pinjamannya sesuai dengan yang diperjanjikan.104
Barang-barang yang diterima kreditur sebagai jaminan harus diikat secara
yuridis, kegunaan jaminan antara lain :
1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur apabila debitur cidera
janji tidak membayar kembali utangnya pada waktu yang diperjanjikan
2. Membuat debitur berperan dalam mengurus usahanya, untuk merugikan
diri sendiri dapat diperkecil terjadinya.
103
Oey Hoey Tiong, 1984, Fidusia Sebagai Jaminan Unsur-Unsur Perikatan,
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.14 104
Rachmadi Usman, 2001, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.282
111
3. Memberikan dorongan kepada debitur untuk melakukan pembayaran
utangnya sesuai dengan perjanjian dan untuk agar debitur tidak
kehilangan kekayaan yang dijaminkan.105
Menurut sifatnya ada jaminan yang bersifat umum yaitu jaminan dalam Pasal
1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan jaminan yang bersifat khusus
yaitu jaminan atas pelunasan kewajiban hutang debitur kepada kreditur. Jaminan
khusus timbul karena adanya perjanjian khusus antara debitur dan kreditur yaitu :
1. Jaminan Perorangan merupakan perjanjian antara seorang berpiutang
(kreditur) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban-
kewajiban si berhutang (debitur).
2. Jaminan kebendaan adalah suatu bagian dari kekayaan seseorang, si
pemberi jaminan dan menyediakannya guna pemenuhan (pembayaran)
kewajiban (hutang) seseorang debitur, baik berupa kekayaan si debitur
sendiri atau kekayaan kekayaan orang ketiga.
Salah bentuk jaminan khusus dalam pemberian kredit koperasi adalah jaminan
fidusia. Jaminan fidusia merupakan hak kebendaan yang memberikan jaminan
pelunasan (pembayaran) utang debitur kepada kreditur. Utang debitur kepada
kreditur dimaksud bisa teradi karena perjanjian maupun undang-undang yang
berupa :
1. Utang yang telah ada;
105
Thomas Suyatno, 1998, Dasar-Dasar Perkreditan, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta hal 88
112
2. Utang yang timbul dikemudian hari telah diperjanjikan oleh para pihak
dalam jumlah tertentu;
3. Utang saat dieksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian
pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.106
Pembebanan jaminan fidusia secara operasional dilakukan dengan dua tahap
yaitu tahap pertama pemberian jaminan fidusia dan tahap kedua pendaftaran
jaminan fidusia. Tahap pemberian jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk akta
notaris sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (1) UUJF. Sedangkan untuk tahap
pendaftaran jaminan fidusia sesuai dengan amanat Pasal 11 UUJF. Dalam praktek
pemberian kredit dikoperasi tidak melakukan pendaftaran jaminan fidusia
mengingat jumlah pinjaman yang diberikan oleh koperasi tidak besar dan anggota
koperasi tidak mau mendaftarkan jaminan fidusia tersebut karena akan
membutuhkan biaya lagi yang menyebabkan jumlah pinjaman dari anggota
koperasi berkurang. Hal ini tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam Pasal 3
Undang Undang Perkoperasian yaitu koperasi bertujuan memajukan koperasi
dengan tujuan mensejahterakan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut menyelaraskan pembangunan ekonomi nasional dalam
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.107
Persetujuan antara debitur dengan kreditur atas pemberian kredit yang
diberikan oleh pihak kreditur (koperasi) dengan jaminan fidusia telah disepakati
oleh kedua belah pihak, maka debitur harus menyerahkan surat asli dan fotokopi
106
Ridwan Syahrani, Opcit, hal.149-150 107
Wawancara Bapak Agung, Kepala Bagian Kredit Koperasi Pemogan,19
April 2013
113
benda yang dijadikan jaminan fidusia berupa BPKB, STNK kepada pihak
kreditur.108
Menurut hemat penulis, jika melihat dari aspek yuridis kewenangan
dari penerima fidusia (koperasi) untuk memproteksi dirinya dengan mendaftarkan
jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk memperoleh sertifikat
fidusia yang dapat memiliki hak preferent dibandingkan dengan kreditur lainnya
dan memiliki kekuatan eksekutorial dalam mengeksekusi jaminan fidusia apabila
terjadi wanprestasi, pendaftaran jaminan fidusia adalah untuk melindungi hak-hak
dari kreditur (koperasi)
3.3.Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Jaminan Fidusia Yang tidak
Didaftarkan Oleh Koperasi Di Denpasar
Jaminan Fidusia merupakan hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan. Jaminan fidusia sangat
populer dalam bidang perbankan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat yang
tidak dapat dilepaskan dari masalah perkreditan, hal ini dikarenakan objek
jaminan hutang secara fisik masih tetap dalam penguasaan Debitur.
Fungsi pendaftaran fidusia bagi masyarakat khususnya untuk memberikan
kepastian dan perlindungan hukum dalam hal pelunasan hutang bagi kepentingan
kreditur. Sedangkan penerima fidusia yang mendaftarkan jaminan fidusia di
kantor Pendaftaran Fidusia mendapatkan hak yang sudah diberikan Undang-
undang yakni memiliki kekuatan eksekutorial yang legal apabila terjadi
108
Wawancara Responden Yulia Rahadyanti Pada Koperasi Wisuda Guna
Raharja, tanggal 8 Agustus 2013
114
wanprestasi. Oleh sebab itu kreditur harus jeli dan sungguh-sungguh dalam
memanfaatkan lembaga pendaftaran yang telah disediakan dan diatur didalam
Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Adanya
kewajiban untuk mendaftarkan fidusia sesuai dengan yang diatur pada Pasal 11
ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, tetapi
dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan.
Perjanjian kredit dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan lagi oleh koperasi
ke Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia dikarenakan peminjam kredit
adalah anggota koperasi sendiri, anggota koperasi tidak mau mendaftarkan
jaminan fidusia tersebut karena koperasi adalah milik mereka juga. Selain itu
biaya pendaftaran memberatkan debitur, dikarenakan debitur sendiri biasanya
sudah kena potongan-potongan dalam meminjam kredit, seperti pemotongan
provisi, biaya administrasi dan lainnya. Selain itu Undang-Undang terkait jaminan
Fidusia perlu disosialisasikan kepada koperasi-koperasi agar masyarakat
mengetahui pentingnya pendaftaran jaminan fidusia.109
Jaminan fidusia tidak
didaftarkan lagi oleh koperasi di kantor departemen hukum dan hak asasi manusia
dikarenakan dana yang disalurkan oleh koperasi adalah untuk anggota, dengan
lingkup wilayah yang sudah jelas, mengetahui anggota koperasinya dengan sangat
baik dan apabila terjadi permasalahan dapat diselesaikan dengan kekeluargaan. 110
109
Wawancara dengan Bapak A.A Made Subur (Kepala Bagian Kredit
Koperasi Pemogan), tanggal 8 Mei 2013 110
Wawancara Bapak I Dewa Bagus Putu Budha, SE (Ketua Koperasi
Pemogan), tanggal 8 Mei 2013
115
Selain itu Faktor tidak efektifnya pendaftaran fidusia lainnya ialah masalah
lamanya waktu pengurusan. Kreditur-kreditur banyak yang mengeluhkan bahwa
pelaksanaan pengurusan pendaftaran fidusia tersebut memerlukan waktu yang
lama. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya ialah kurang lebih 3
Bulan, waktu-waktu tersebut meliputi waktu yang diperlukan untuk
menandatangani akta, pembuatan akta, pendaftaran akta dan menunggu hasil
pendaftaran akta yaitu terbitnya sertifikat fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia.
dikarenakan hambatan-hambatan dalam pendaftaran fidusia berasal dari faktor
ekstern pihak koperasi oleh karena itu koperasi lebih memilih perjanjian fidusia
dibawah tangan yang lebih mudah, cepat, dan tidak memerlukan biaya tinggi
daripada melaksanakan pendaftaran fidusia sebagaimana yang ditentukan didalam
Pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia111
,
tetapi dengan pembaharuan sistem dalam pendaftaran jaminan fidusia yang
dilakukan secara online seharusnya faktor mengenai lamanya waktu pengurusan
tidak lagi menjadi kendala dalam pendaftaran jaminan fidusia.
Faktor tidak efektifnya pendaftaran jaminan fidusia dikarenakan tidak ada
batas waktu masa berlaku akta jaminan fidusia yang harus didaftarkan,
menimbulkan persepsi bahwa jaminan fidusia baru akan didaftarkan apabila
terdapat permasalahan kredit yang dialami oleh koperasi. Hal ini berbeda dengan
SKMHT yang memiliki jangka waktu untuk pembebananya.112
, dari hasil
penelitian di koperasi hal ini sesuai dengan hipotesis yang pertama yaitu koperasi
111
Wawancara Bapak A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari),
Tanggal 9 Juni 2013 112
Wawancara A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari), tanggal 27
juni 2013
116
tidak mendaftarkan jaminan fidusia dalam perjanjian kredit dikarenakan faktor
faktor yaitu memerlukan biaya yang memberatkan debitur yang rata-rata berasal
dari golongan kecil dan menengah, pihak koperasi tidak mendaftarkan jaminan
fidusia tersebut.
Melihat efektif atau tidaknya suatu jaminan fidusia didaftarkan pada
Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia digunakan teori efektivitas hukum.
Efektifitas hukum dapat diketahui jika suatu kaidah hukum berpengaruh
mengatur sikap atau tindak perilaku masyarakat sesuai dengan tujuan hukum
tersebut. Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat dua faktor
yang menyebabkan pendaftaran jaminan fidusia tidak dilakukan oleh koperasi
yakni faktor internal dan faktor eksternal koperasi. Dalam Faktor internal
dikarenakan pihak koperasi kurang mengetahui mengenai pentingnya pendaftaran
jaminan fidusia karena pihak koperasi hanya menyerahkan pada Notaris untuk
dibuatkan akta jaminan fidusia tetapi tidak didaftarkan pada kantor pendaftaran
jaminan fidusia. Faktor eksternal yang mempengaruhi tidak didaftarkannya
jaminan fidusia oleh koperasi antara lain :
1. Faktor Masyarakat.
Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam
masyarakat, dan penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh karena itu,
maka masyarakat turut mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Sedangkan
fidusia sendiri lahir karena kebutuhan masyarakat. Fidusia adalah lembaga yang
berasal dari sistem hukum perdata barat yang eksistensi dan perkembangannya
selalu dikaitkan dengan civil law. Dalam menanggapi kehadiran lembaga fidusia
117
pada saat itu, ada 3 hal yang dapat disimpulkan oleh beberapa ahli hukum yaitu:
Pertama, perkembangan masyarakat dibidang perkreditan lebih tepat
dibandingkan dengan pengaturan hukum jaminan. Hukum jaminan harus
mengikuti faktor realita yang terjadi dalam masyarakat agar tidak terjadi
kekosongan hukum. Kedua, hukum jaminan dan masyarakat merupakan dua
variabel yang saling berkaitan satu sama lain dan bersifat saling pengaruh
mempengaruhi. Artinya, perubahan dalam masyarakat akan selalu diikuti oleh
perubahan hukum jaminan. Perubahan itu meliputi dua dimensi hukum yakni
dimensi realitas hukum merupakan bahan yang membentuk hubungan diantara
masyarakat dan lingkungannya dan dimensi idealitas hukum termuat cita hukum,
asas hukum yang dijadikan pedoman atau petunjuk arah dalam penyusunan
hukum positif. Kesimpulan yang ketiga adalah adanya penemuan hukum oleh
hakim. Hakim menemukan konstruksi baru dalam memecahkan problem hukum
yang memperluas kaidah hukum dari jaminan gadai. Sejak saat itu lembaga
fidusia menjadi populer dalam masyarakat yang memerlukan kredit dengan
jaminan benda bergerak tanpa melepaskan kekuasaan atas barang jaminan itu
secara fisik. Hal ini berarti merupakan sikap responsif dari kalangan perbankan
terhadap kebutuhan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999
tentang jaminan fidusia merupakan bukti betapa cepatnya perkembangan bidang
hukum ini didalam masyarakat Indonesia.
Dengan adanya Undang-Undang Fidusia ini diharapkan dapat menampung
permasalahan-permasalahan yang terdapat didalam masyarakat tentang
pengaturan Jaminan Fidusia untuk memberikan kepastian hukum dan
118
perlindungan hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Masyarakat dalam
hal ini adalah seluruh masyarakat Indonesia khususnya pihak yang
berkepentingan yaitu Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia. Kesadaran
masyarakat untuk melaksanakan pendaftaran fidusia sangat berpengaruh terhadap
efektifitas pendaftaran fidusia sesuai dengan yang diamanatkan didalam Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999. Pada koperasi di wilayah kota
denpasar , masyarakat yang meminjam kredit tidak mau mendaftarkan jaminan
fidusia dikarenakan tidak mau menambah biaya lagi untuk pendaftaran jaminan
fidusia, kesadaran masyarakat dalam hal pendaftaran jaminan fidusia masih
kurang.
2. Faktor Efektifitas Hukum dalam masyarakat.
Sebagai suatu sistem, menurut Hans Kelsen hukum mencakup struktur,
subtansi, dan budaya. Struktur terdiri dari bentuk dari sistem tersebut yang
mencakup tatanan lembaga lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya. Substansi terdiri dari isi norma-norma hukum beserta
perumusannya serta cara untuk menegakkan hukum yang berlaku dan apabila
Dikaitkan dengan masalah efektifitas pendaftaran fidusia ini sangat berkaitan erat,
Dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat masih awam dengan masalah fidusia
dan cenderung tidak mengerti mengenai jaminan fidusia.113
Permasalahan tersebut
disebabkan oleh masih kurang maksimal budaya hukum yang diciptakan oleh
petugas Kantor Pendaftaran Fidusia (Depkumham). Hal tersebut menunjukkan
113
Wawancara Bapak A.A. Ketut Nuraja (Ketua Koperasi Tunas Sari),
tanggal 30 Mei 2013
119
kesadaran hukum relatif masih rendah untuk menegakkan sistem Undang-undang
Nomor 42 tahun 1999 khususnya Pasal 11 ayat ( 1 ). Sedangkan upaya yang dapat
dilakukan untuk menanggulaginya yaitu dengan cara mengadakan penerangan dan
penyuluhan yang dilakukan secara berulang kali, yang menimbulkan suatu
penghargaan tertentu terhadap pentingnya dilakukan pendaftaran fidusia (cara ini
lazimnya dikenal dengan sebutan pervasion). Cara lainnya yaitu dengan cara
Compulsion yang menciptakan situasi tertentu yang menyebabkan masyarakat
tidak memiliki pilihan kecuali mematuhi hukum yang berlaku yaitu melakukan
pendaftaran fidusia dan semua itu bertujuan agar warga masyarakat secara mantap
mengetahui dan memahami mengenai pentingnya melakukan pendaftaran fidusia
sesuai dengan yang diamanatkan Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 pasal 11.
3. Tidak adanya jangka waktu jaminan kapan jaminan fidusia wajib untuk
didaftarkan
Faktor penghambatan tidak efektifnya pendaftaran fidusia lainnya ialah
masalah kapan jangka waktu jaminan fidusia tersebut wajib didaftarkan, akan
menimbulkan persepsi bahwa jaminan fidusia baru akan didaftarkan apabila
terdapat permasalahan kredit yang dialami oleh koperasi, dikarenakan hambatan-
hambatan dalam pendaftaran fidusia berasal dari faktor ekstern pihak koperasi,
koperasi lebih memilih perjanjian fidusia dibawah tangan yang lebih mudah,
cepat, dan tidak memerlukan biaya tinggi daripada melaksanakan pendaftaran
fidusia sebagaimana yang ditentukan didalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang
nomor 42 tahun 1999 tentang jaminan fidusia.
120
Dengan tidak adanya pendaftaran jaminan fidusia menimbulkan
ketidakpastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Hal ini jelas
bertentangan dengan amanat dari UUJF sendiri. Jika dikaitkan dengan
keberlakuan suatu hukum menurut menurut J.J.H. Bruggink, hukum yang baik
harus memenuhi tiga aspek yaitu memenuhi syarat sosiologis, yuridis dan
filosofis.114
Syarat Yuridis terpenuhi apabila persyaratan formal suatu undang-
undang terbentuk telah dipenuhi, syarat filosofis apabila hukum mempunyai
kekuatan hukum apabila normanya sudah sesuai dengan ciri hukum (rechtsidee),
dan memenuhi syarat sosiologis apabila hukum diterima dalam kehidupan
bermasyarakat.115
Menurut D beriyck Beyleveld dan Roger brownsword, “a norm
which can not be effective (applied and obeyed) can not be a valid norm (norma
yang tidak dapat diterapkan dan dipatuhi secara efektif bukanlah norma yang
valid). Selain itu dengan tidak didaftarkannya jaminan fidusia tidak akan
memenuhi asas publicitas yang dengan demikian tidak melahirkan kepastian
hukum apabila terjadi permasalahan dikemudian hari.
114
J.J.H. Bruggink, 1996, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief
Sidharta, Citra Aditya, Bandung, hal. 147 115
Sudikno Mertokusumo, Opcit, hal 87
121
BAB IV
KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN KREDIT YANG
MENGGUNAKAN AKTA FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN
4.1.Kekuatan Mengikat Perjanjian
Pasal 1315 KUH Perdata memberikan penjelasan tentang terhadap siapa
sajakah suatu perjanjian mempunyai pengaruh langsung. Bahwa perjanjian
mengikat para pihak sendiri adalah logis, dalam arti, bahwa hak dan kewajiban
yang timbul dari adanya suatu perjanjian hanyalah untuk para pihak saja. Menurut
Pasal 1315 KUH Perdata :“Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri
atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk diri
sendiri.”
Jadi orang bebas membuat perjanjian, bebas untuk menentukan isi, luas
dan bentuknya perjanjian sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi
mereka yang membuatnya”, Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali
selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh
undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, Suatu perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik
Azas kekuatan mengikat dari perjanjian, bahwa pihak-pihak harus memenuhi
apa yang telah dijanjikan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1338 KUH
Perdata; bahwa perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak.
Sedangkan Azas kebebasan berkontrak, dalam hal ini orang bebas membuat atau
tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat
122
perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih Undang-Undang
mana yang akan dipakai untuk perjanjian itu.116
Dapat ditarik kesimpulan dalam perjanjian mengandung asas kekuatan
mengikat. Para pihak yang terlibat pada perjanjian tidak hanya terikat pada apa
yang diperjanjikan akan tetapi terhadap beberapa unsur lain sepanjang tidak
bertentangan denga peraturan perundang-undangan, moral dan kepatutan, maka
asas-kepatutan, kebiasaan dan moral yang mengikat para pihak.117
Menurut Pasal
1339 KUH Perdata: “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang
dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-
undang”.
Suatu perjanjian tidak diperkenankan merugikan pihak ketiga, hal ini
sesuai dengan Pasal 1340 KUH Perdata yaitu “Suatu perjanjian hanya berlaku
antara pihak-pihak yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat membawa
rugi kepada pihak-pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata". Pihak
ketiga adalah mereka yang bukan merupakan pihak dalam suatu perjanjian dan
juga bukan penerima/pengoper hak (rechtsverkrijgenden), baik berdasarkan alas
hak umum maupun alasan hak khusus.
116
Rutten dalam Purwahid Patrik, 1986, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan
dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP Semarang, hal. 3 117
Mariam Darus Badrulzaman et.al, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan
(Dalam Rangka Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 87-88
123
Suatu perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban antara para pihak. Isi
hak dan kewajiban tersebut selain ditentukan oleh hukum yang memaksa juga
sudah tentu oleh sepakat para pihak. Namun disamping itu hukum yang
menambah juga mengisi kekosongan dalam perjanjian mereka, yaitu apabila
mereka tidak secara tegas mengaturnya secara menyimpang. Adanya kesempatan
kepada para pihak untuk menyimpangi ketentuan yang bersifat menambah itu, ada
kalanya memberikan kesempatan kepada si kuat untuk menyingkirkan tanggung
jawab tertentu, bahkan ada kalanya menggesernya kepihak lawan janjinya, dengan
memperjanjikan suatu klausula, yang biasa disebut exoneratie-clausul. Dengan
adanya kesempatan seperti itu sudah dapat diduga, bahwa kemungkinan terjadi,
bahwa klausula exoneratie mempunyai kaitan dengan penyalahgunaan keadaan.
4.2.Kekuatan Mengikat Akta Jaminan Fidusia Yang Tidak didaftarkan
dalam Perjanjian Kredit Koperasi
Perjanjian kredit pada umumnya melahirkan suatu perikatan. Istilah
Verbintenis dan Overeekomst dikenal Dalam hukum Belanda, sedangkan dalam
istilah bahasa Inggris dinamakan Agreement. Perjanjian kredit koperasi adalah
perjanjian yang dibuat oleh debitur dengan kreditur dalam bentuk perjanjian baku,
tetapi dalam bentuk perjanjian baku tidak menghilangkan syarat sahnya perjanjian
yang diatur dalam undang-undang. Pasal 1320 KUH Perdata menyatakan untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
124
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal;
Perjanjian jaminan fidusia adalah perjanjian kredit antara kreditor dengan
debitur yang terdapat jaminan dan Jaminan tersebut kedudukanya terdapat dalam
penguasaan debitur, untuk adanya perlindungan hukum dan kepastiaan hukum
bagi kreditur,maka dibuat akta jaminan fidusia yang dibuat oleh notaris dan
didaftarkan yang kemudian terbit sertifikat jaminan fidusia yang telah memiliki
kekuatan hak eksekutorial langsung apabila debitur melakukan wanprestasi
(parate eksekusi), sesuai amanat Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Akta dibawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat oleh para
pihak yang tidak memerlukan pejabat pembuat akta (notaris) Akta dibawah tangan
tidak memiliki nilai pembuktian yang sempurna. Akta yang dilakukan dibawah
tangan biasanya harus di otentikan ulang oleh para pihak jika akan dijadikan alat
bukti yang sah, misalnya dalam pengadilan. Sebaliknya, akta otentik adalah akta
yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang Undang dan
yang memiliki nilai pembuktian sempurna.
Pelaksanaan perjanjian pinjaman pada Koperasi di denpasar mangacu pada
Pasal 1233 KUHPerdata yang menyatakan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan
baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Sedangkan definisi
pinjam meminjam diatur dalam Pasal 1754 KUHPerdata yang menyatakan bahwa
“suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang
lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang meminjam akan mengembalikan sejumlah yang
125
sama dari barang-barang tersebut”. Dengan demikian perjanjian pinjaman
menimbulkan dan berisi ketentuan-ketentuan hak dan kewajiban antara dua pihak,
atau dapat pula dikatakan perjanjian tersebut berisi perikatan. Dasar hukum yang
dijadikan landasan dalam perjanjian pinjaman pada Koperasi di Kota Denpasar
adalah dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Pemberian pinjaman merupakan salah satu
sumber perjanjian, dan perjanjian merupakan sumber terpenting lahirnya suatu
perikatan. Dalam Pasal 1233 KUHperdata mengatakan bahwa tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang. Oleh karena
itu sumber suatu perikatan ada dua yaitu perjanjian dan undang-undang. Selain itu
perikatan tersebut sah apabila perjanjian yang dibuat oleh para pihak yang telah
memenuhi syarat-syarat terbentuknya perjanjian. Syarat-syarat tersebut tercantum
dalam Pasal 1320 KUHPerdata, Hal ini disebabkan pemberian pinjaman
dilakukan dengan cara melalukan perjanjian terlebih dahulu. Dengan demikian
perjanjian pinjaman yang dibuat oleh para pihak telah melahirkan perikatan yang
mengikat para pihak yang terkait. Selain itu dasar hukum dalam perjanjian
pinjaman Koperasi diatur pula dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dan Peraturan Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor
14/Per/M.KUKM/XII/2009. Perjanjian pinjaman antara koperasi simpan pinjam
dengan anggota koperasi merupakan suatu hubungan hukum yang didasari unsur
kepercayaan. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Jaminan Fidusia di
atas mengenai pengertian jaminan fidusia, Undang-Undang Jaminan Fidusia
secara tegas menyatakan bahwa jaminan fidusia adalah agunan atas kebendaan
126
atau jaminan kebendaan yang memberikan kedudukan kepada penerima fidusia
yaitu hak yang didahulukan terhadap peminjaman lainnya, Fidusia sebagai
jaminan adalah sebagai penerapan pengamanan peminjaman kredit Koperasi
Simpan Pinjam, yang dilahirkan dengan diawali oleh perjanjian pinjaman
Koperasi Simpan Pinjam. Hal ini melihat bahwa perjanjian jaminan fidusia
mempunyai karakter accessoir yaitu pemberian perjanjian jaminan diikuti dengan
adanya perjanjian kredit yang disebut dengan perjanjian pokok. Jaminan fidusia
tidak dapat berdiri sendiri harus mengikuti perjanjian pokoknya. Apabila
perjanjian pokok berakhir maka perjanjian jaminan fidusia akan berakhir.
Kekuatan mengikat akta fidusia yang tidak didaftaran di dalam perjanjian
kredit koperasi menggunakan Teori Perjanjian sebagai pisau analisa. Dalam teori
perjanjian pada perjanjian kredit yang dibuat oleh para pihak sah apabila
kewajiban-kewajiban yang timbul dari perjanjian tersebut dipenuhi atau
dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian kredit bersifat konsensuil, karena
perjanjian itu ada atau lahir sejak adanya kata sepakat antara kedua belah pihak
yaitu pihak peminjaman dan pihak anggota koperasi. Dengan adanya kata sepakat
tersebut maka perjanjian pinjaman mengikat kedua belah pihak artinya para pihak
tidak dapat membatalkan perjanjian pinjaman tanpa persetujuan pihak lainnya.
Apabila perjanjian pinjaman dibatalkan atau diputuskan secara sepihak maka
pihak yang lain dapat menuntut. Setelah uang yang menjadi objek yang
diperjanjikan tersebut telah diserahkan peminjaman dengan nyata kepada pihak
anggota koperasi. Pihak anggota koperasi harus atau mempunyai kewajiban untuk
mengembalikan pinjaman tepat waktu kepada pihak peminjaman sesuai dengan
127
kesepakatan yang ada dalam perjanjian. Selain bersifat konsensual perjanjian
pinjaman juga bersifat riil sebab harus diadakan penyerahan atau dengan kata lain
perjanjian tersebut baru dikatakan mengikat apabila telah dilakukan kesepakatan
kehendak dan telah dilakukan penyerahan sekaligus antara kedua belah pihak
yang membuat perjanjian itu. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan, “Asas
konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti
“kemauan” (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling
mengikatkan diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa
perjanjian itu dipenuhi”. Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat
dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menentukan: “Semua persetujuan
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya”. Selanjutnya menurut Mariam Darus Badrulzaman, “Asas
kebebasan berkontrak berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan
menentukan apa dan dengan siapa perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang
diperbuat sesuai dengan Pasal 1320 KUH Perdata ini mempunyai kekuatan
mengikat”.
Kekuatan mengikat perjanjian kredit dengan jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan tetap memiliki kekuatan mengikat yang sah dikarenakan dibuat
berdasarkan kesepakatan oleh para pihak. Pada Koperasi pemogan jaminan fidusia
sudah dibuatkan dengan akta notariil dan dianggap telah memiliki kekuatan
128
hukum untuk menarik benda jaminan apabila terjadi wanprestasi.118
Pendapat
lainnya kekuatan mengikat akta fidusia dalam perjanjian kredit yang dibuatkan
secara akta notariil sudah cukup kuat apabila terjadi wanprestasi dan biasanya
pada koperasi diselesaikan secara kekeluargaan, karena koperasi adalah milik
anggota dan untuk anggota.119
Kekuatan mengikat dari perjanjian kredit dipermasalahkan apabila terjadi
wanprestasi dari pihak debitur dengan tidak memenuhi kewajibannya khususnya
dalam hal penarikan benda jaminan fidusia karena jaminan fidusia tersebut tidak
didaftarkan oleh penerima fidusia (koperasi). Kekuatan mengikat akad kredit yang
dibuat oleh koperasi, menurut saya akta Jaminan fidusia tetap memiliki kekuatan
mengikat dan kekuatan eksekutorial muncul apabila didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Fidusia jika tidak didaftarkan maka tidak memiliki kekuatan
Eksekutorial. Secara yuridis bahwa munculnya sertifikat jaminan fidusia apabila
akta jaminan fidusia didaftarkan guna kepastian hukum untuk memiliki kekuatan
eksekutorial yang sempurna. Dengan tidak adanya Sertifkat jaminan Fidusia tidak
akan melahirkan hak preferen bagi kreditur (koperasi), seharusnya tidak dapat
melakukan eksekusi secara langsung, maka dari hasil penelitian mengenai
kekuatan mengikat akta fidusia yang tidak didaftarkan dalam perjanjian kredit,
hipotesis permasalahan kedua sesuai karena perjanjian kredit mengikat diantara
para pihak yang membuatnya sedangkan untuk kekuatan eksekutorialnya dengan
jaminan fidusia tidak didaftarkan tidak sesuai dengan aturan hukum terutama
118
Wawancara Bapak A.A. Made Subur (Kepala Bagian Kredit Koperasi
Pemogan), tanggal 20 Agustus 2013 119
Wawancara Bapak I Dewa Bagus Putu Budha, SE (Ketua Koperasi
Pemogan), 20 Agustus 2013
129
dalam Pasal 11 UUJF dan tatacara pelaksanaan eksekusi apabila terjadi
wanprestasi.
130
BAB V
EKSEKUSI TERHADAP PERJANJIAN KREDIT YANG
MENGGUNAKAN JAMINAN FIDUSIA YANG TIDAK DIDAFTARKAN
5.1.Eksekusi Jaminan Fidusia Pada Koperasi di Denpasar
5.1.1.Pengertian dan Dasar Hukum Eksekusi
Eksekusi dalam bahasa belanda uitvoering, sedangkan bahasa Inggris
disebut executie yang artinya pelaksanaan putusan pengadilan. Eksekusi menurut
Subekti yaitu upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna
mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan umum (polisi,
militer) guna memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan bunyi
putusan. Sedangkan Sudikno, eksekusi adalah pelaksanaan dari kewajiban pihak
yang bersangkutan untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan
tersebut. Eksekusi dalam pengertian di atas adalah eksekusi putusan hakim
(pengadilan). Selain putusan hakim, akta notariil memiliki pengertian yang sama
dengan eksekusi dalam pengertian putusan hakim yang memiliki kekuatan yang
sama dengan putusan hakim yang didalam akta tersebut terdapat irah-irah”DEMI
KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
Pedoman pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam HIR dan RBG. Tata cara pelaksanaan eksekusi diatur
lebih lanjut dalam Pasal 195 sampai dengan 208 dan Pasal 224 HIR atau Pasal
206 sampai dengan Pasal 240 dan Pasal 258 HIR. Selain pasal-pasal tersebut,
terdapat pasal mengatur eksekusi tentang putusan. pengadilan yang menghukum
131
Tergugat untuk melakukan suatu ”perbuatan tertentu” Pasal 225 HIR atau 259
HIR. Pasal 180 HIR atau Pasal 1919 HIR, yang mengatur pelaksanaan putusan
secara ”serta merta” (uitoverbaar bij voorraad) meskipun putusan tersebut belum
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
5.1.2. Macam-Macam Eksekusi
Macam-macam eksekusi menurut Peraturan Perundang-Undangan dalam
HIR dan Rbg antara lain :
a. Berdasarkan Obyeknya (apa yang dapat dieksekusi), dibedakan menjadi :
1. Eksekusi putusan hakim.
2. Eksekusi grosse surat utang notaril.
3. Eksekusi benda jaminan (Objek Gadai, Hak Tanggungan, Fidusia,
Cessie, Sewa Beli, Leasing).
4. Eksekusi piutang negara, baik yang timbul dari kewajiban (utang
pajak, utang bea masuk) maupun perjanjian kredit (bank pemerintah
yang macet, piutang BUMN maupun BUMD).
5. Eksekusi putusan lembaga yang memiliki wewenang untuk
menyelesaikan sengketa.
6. Eksekusi terhadap sesuatu yang mengganggu hak atau kepentingan.
7. Eksekusi terhadap bangunan yang melanggar Izin Mendirikan
Bangunan.
b. Berdasarkan prosedur, eksekusi dibedakan menjadi :
1. Eksekusi tidak langsung, terdiri dari :
132
a) Sanksi atau hukum membayar uang paksa, berdasar perjanjian atau
putusan hukum.
b) Sandera (gijzeling), Pasal 209-223 HIR.
c) Penghentian atau pencabutan langganan, ini didasarkan pada perjanjian
yang dapat ditemukan dalam perjanjian langganan telepon, listrik, air
minum dan lain sebagainya.
2. Eksekusi langsung, terdiri dari :
a) Eksekusi biasa (membayar sejumlah uang).
b) Eksekusi riil terhadap :
1) Putusan pengadilan;
2) Objek lelang.
c) Eksekusi melakukan perbuatan.
d) Eksekusi dengan pertolongan hakim.
e) Eksekusi parat.
f) Eksekusi penjualan di bawah tangan atas benda.
g) Eksekusi piutang sebagai jaminan (berdasarkan perjanjian).
h) Eksekusi dengan izin hakim.
i) Eksekusi oleh diri sendiri.
Adanya perbedaan eksekusi langsung dan tidak langsung didasarkan pada
hasil yang didapatkan setelah dilakukan paksaan terhadap debitur yang tidak mau
memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini paksaan terhadap debitur menjadikan hak
kreditur langsung terealisasi, maka eksekusi tersebut dinamakan eksekusi
langsung. Sebaliknya jika dengan paksaan terhadap debitur hasilnya berupa
133
dorongan kepada debitur untuk segera memenuhi kewajibannya, maka eksekusi
tersebut dikategorikan ke dalam eksekusi tidak langsung.
5.1.3Proses Eksekusi Fidusia
Secara umum Eksekusi artinya menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia
adalah pelaksanaan putusan hakim; pelaksanaan hukuman badan peradilan
khususnya hukuman mati atau pengertian lainnnya yaitu penjualan harta orang
karena berdasarkan penyitaan. Menurut Munir Fuady, salah satu ciri dari jaminan
hutang kebendaan yang baik adalah apabila pelaksanaan dieksekusi dengan
prinsip secara cepat dengan proses yang sederhana, efisien dan mengandung
kepastian hukum, misalnya Barang tersebut boleh dijual dimuka umum, atau
dijual di bawah tangan, asalkan dilakukan dengan beritikad baik dengan cara yang
commercially reasonable.120
Pengaturan pelaksanaan eksekusi dalam KUHPerdata dapat dilihat dalam
Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata dan Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Dalam
Pasal 1155 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa :
Apabila oleh para pihak tidak telah diperjanjikan lain, maka siberpiutang
adalah berhak jika siberutang atau sipemberi gadai bercidera janji, setelah
tenggang waktu yang diberikan lampau, stelah dilakukannya suatu peringatan
untuk membayar, menyuruh menjual barangnya gadai dimuka umum menurut
kebiasan-kebiasaan setempat serta atas syarat-syarat yang lazim berlaku dengan
maksud untuk mengambil pelunasan jumlah piutangnya beserta bunga dan
biaya dari pendapatan penjualan tersebut.
Pengaturan mengenai pelaksanaan eksekusi dalam ketentuan Pasal 1178 ayat
(2) KUHPerdata menyebutkan bahwa :
120
Munir Fuady, 2003, Jaminan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Hal.57
134
Namun diperkenankanlah kepada si berpiutang Hipotek pertama untuk, pada
waktu diberikannya hipotek, dengan tegas minta diperjanjikan bahwa, jika
uang pokok tidak dilunasi semestinya atau jika bunga yang terutan tidak
dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan menjual persil yang diperikatkan
dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok, maupun bunga serta
biaya, dari pendapatan penjualan itu. Janji tersebut harus dilakukan menurut
cara sebagaiamana diatur dalam Pasal 1211.
Fidusia sebagai salah satu jenis jaminan hutang juga harus memenuhi
unsur-unsur : cepat, murah dan pasti tersebut. Inilah yang sudah dikeluhkan sejak
lama dalam praktek, sebab selama ini (sebelum berlakunya UUJF), Pelaksanaan
tatacara eksekusi tidak jelas pengaturannya, banyak terjadi penafsiran. Oleh
karena itu UUJF mengambil pola eksekusi hak tanggungan yang dikembangkan
oleh Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996 yaitu dengan
mengatur eksekusi fidusia dengan cara yang bermacam-macam maka para pihak
dapat memilih cara eksekusi yang mereka sepakati. Model-model eksekusi
jaminan fidusia menurut UUJF Nomor 42 Tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Secara Fiat eksekusi (dengan memakai titel eksekutorial) yakni lewat
penetapan pengadilan. Pasal 15 UUJF Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan
“sertipikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
penuh, fiat eksekusi artinya eksekusi atas akta seperti mengeksekusi suatu
putusan pengadilan yang telah berkekuatan pasti”.
2. Secara parate eksekusi, yakni dengan menjual (tanpa perlu penetapan
pengadilan) didepan pelelangan umum.
3. Dijual di bawah tangan oleh pihak kreditor sendiri.
135
Menurut Pasal 29 UUJF Nomor 42 Tahun 1999, syarat agar suatu fidusia
dapat dieksekusi secara di bawah tangan yang eksekusinya tanpa lewat pengadilan
(secara parate eksekusi) adalah sebagai berikut:
a. Dilakukan dengan kesepakatan.
b. Jika dengan cara penjualan dibawah tangan dicapai harga tertinggi.
c. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
d. Pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu satu bulan sejak
pemberitahuan secara tertulis.
Selain eksekusi fidusia secara parate eksekusi berjualan dibawah tangan
dikenal juga istilah eksekusi secara mendaku yaitu eksekusi fidusia dengan cara
mengambil barang fidusia menjadi milik kreditor secara langsung tanpa lewat
suatu transaksi apapun, dan ketentuan Pasal 33 UUJF Nomor 42 Tahun 1999
melarang secara tegas eksekusi mendaku ini sebagaimana dikemukakan bahwa
setiap janji yang memberikan kewenangan pada penerima fidusia (kreditur) untuk
memiliki benda jaminan apabila Debitur cidera janji akan batal demi hukum (null
and void) akan tetapi apabila ketentuan tersebut dikaitkan dengan institusi hukum
fidusia sebagai penyerahan hak milik secara kepercayaan, maka benda obyek
fidusia sudah berpindah kepemilikannya kepada kreditur, sementara pihak
kreditur menyerahkan penguasaan benda obyek fidusia tersebut kepada Debitur
(constitutum possessorium) secara kepercayaan, mestinya larangan mendaku
dalam eksekusi tidak perlu ada.121
Terkait dengan fidusia yang dapat dieksekusi secara di bawah tangan, pada
prakteknya koperasi dalam meyalurkan kredit menggunakan jaminan fidusia,
121
Ibid, hal 57-62.
136
Tetapi tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia untuk mendapat sertifikat jaminan fidusia. Akta tersebut dapat
digolongkan sebagai akta jaminan fidusia dibawah tangan. Berdasarkan Pasal
1874 KUHPerdata yang dimaksud akta dibawah tangan merupakan akta yang
dibuat oleh pihak-pihak tanpa perantara seorang pegawai resmi dan keberadaan
fidusia dibawah tangan ini, Bank Indonesia Direktorat Bank Perkreditan Rakyat
tahun 2007 mengeluarkan surat edaran No.9/1/DpG/DPBPR tanggal 2 Mei 2007
mengenai solusi untuk mengatasi pengikatan jaminan yang lebih low cost.
5.2.Akibat Hukun Terhadap Akta Fidusia Yang tidak Didaftarkan Pada
Perjanjian Kredit Koperasi
Hubungan antar subjek hukum harus dilindungi oleh hukum, agar
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya dalam melakukan
tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Hal tersebut diatas
dapat menunjukkan bahwa perlindungan hukum para pihak aman untuk
melaksanakan kepentingannya oleh karena itu suatu pemberian jaminan atau
kepastian seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi kewajiban dan
haknya, Didalam konsideran UUJF menyatakan tujuan dibentuknya pengaturan
mengenai jaminan fidusia adalah memberikan perlindungan yang lebih baik bagi
yang berkepentingan, untuk mewujudkan hal tersebut benda yang telah dibebani
jaminan fidusia harus didaftarkan pada kantor pendaftaran jaminan fidusia.
Pendaftaran jaminan fidusia telah diatur didalam Pasal 11 sampai Pasal 18
UUJF dan Peraturan Pemerintah Nomor 86 tahun 2000 tentang Tata Cara
137
Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Didalam Pasal tersebut menjelaskan mengenai benda yang dibebani jaminan
fidusia wajib didaftarkan, tempat pendaftaran jaminan fidusia, cara pendafataran
hingga lahirnya sertipikat jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia
merupakan perwujudan dari asas publicitas dankepastian hukum.122
Tujuan
daripada UUJF adanya pendaftaran jaminan fidusia antara lain:
a. Untuk memberikan perlindungan hukum kepada kreditor;
b. Memberikan hak yang didahulukan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor yang lain
c. Memenuhi asas publisitas
Didalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
mensyarat bahwa benda yang dibebankan jaminan fidusia wajib didaftarkan,
manfat yang didapat dengan adanya pendafataran antara lain :
1. Mempunyai hak mendahului (preferent)
Jaminan yang memiliki hak mendahului artinya kreditor sebagai penerima
fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap kreditor lainnya untuk
menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak didahulukan untuk
mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda jaminan fidusia tersebut
dalam hal debitur wanprestasi sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 1 UUJF.
122
Tan Karmelo, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang
didambakan, Alumni, Bandung, hal 213.
138
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam suatu
perikatan.123
Seseorang dapat dikatakan wanprestasi, jika :
a. Tidak melakukan apa yang diperjanjikan
b. Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat
c. Melakukan yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana mestinya;
d. Melakukan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan berdasarkan
perjanjian.
2. Mempunyai kekuatan eksekutorial
Penerima fidusia memiliki hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda
jaminan apabila debitur wanprestasi. Eksekusi dapat dilakukan sendiri tanpa
menunggu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan
adanya pendaftaran jaminan fidusia akan lahir sertifikat jaminan fidusia
yangmemiliki irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”,
yang menyebabkan sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Dalam
Pasal 15 ayat (1) menyatakan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” dan dalam Pasal 15 ayat (2) yang menyatakan bahwa “sertifikat jaminan
fidusia sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJF telah memberikan kekuatan
eksekutorial bagi sertifikat jaminan fidusia, oleh karena itu pemegang sertifikat
123
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hal 241.
139
jaminan fidusia berkedudukan sama dengan orang yang telah memegang putusan
pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, pemegang sertifikat
jaminan fidusia dapat melakukan eksekusi apabila terjadi wanprestasi. Pendaftaran
jaminan fidusia telah memberikan banyak keuntungan yang bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi pihak kreditur. Perlindungan hukum yang
dimaksd yaitu terdapat usaha untuk memberikan hak-hak para pihak yang
dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Dengan adanya Undang-
Undang jaminan fidusia merupakan usaha dari pemerintah untuk melindungi
kreditur dengan memberikan hak seperti hak mendahului, dan memiliki keuatan
eksekutorial sesuai amanat Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 15 ayat (1) UUJF
Perlindungan hukum ada 2 yaitu perlindungan hukum preventif dan
perlindungan hukum represif. Pendaftaran jamian fidusia merupakan termasuk
perlindungan hukum preventif, hal ini dimasudkan untuk melindungi hak-hak dari
kreditur sebagai penerima fidusia sebelum terjadinya wanprestasi yang dilakukan
oleh debitur, karena jika terjadi wanprestasi pihak kreditur sudah memiliki hak
untuk mengeksekusi objek yang menjadi jaminan fidusia dengan adanya sertifikat
jaminan fidusia dan juga hak didahulukan dari kreditur lain dimana hak tersebut
tidak akan mungkin didapat jika kreditur tidak mendaftarkan benda yang dibebani
jaminan fidusia.
Pembebanan terhadap jaminan fidusia dilakukan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1)
yang menyatakan “pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia”. Dari
ketentuan Pasal 5 ayat (1) setiap perbuatan jaminan fidusia membebani benda
140
dengan jaminan fidusia dibuat dengan bentuk akta notaris. Tetapi dalam
prakteknya banyak sekali pihak kreditur tidak membebankan jaminan fidusia
kedalam akta notariil, maka jaminan fidusia tidak didaftarkan dan sudah barang
tertentu apabila jaminan fidusia tidak didaftarkan
5.3. Eksekusi Perjanjian Kredit Koperasi Dengan Jaminan Fidusia Yang
Tidak Didaftarkan
Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 menyatakan
bahwa : apabila debitur atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda
yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan cara :
a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat
(1) oleh penerima fidusia;
b. Penjualan benda yang menjadi jaminan fidusia berdasarkan kekuasaan
penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil
pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
c. Penjualan dibawah tangan dengan harga tertinggi yang menguntungkan
para pihak berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUJF telah mengatur beberapa
model pelaksanaan eksekusi atas benda yang menjadi jaminan fidusia antara lain :
a. Eksekusi berdasarkan grosse akta jaminan fidusia atau title
eksekutorial (secara fiat eksekusi) yang terdapat dalam sertipikat
jaminan fidusia, yang dilakukan oleh penerima fidusia.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub a UUJF, maka eksekusi
terhadap objek jaminan fidusia dapat dilakukan dengan grosse akta sertifikat
jaminan fidusia atau dengan title eksekutorial sertifikat jaminan fidusia. Dalam
ketentuan pasal 15 ayat (2) UUJF, sertipikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan
141
eksekutorial sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, karena sertipikat fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
tetap dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang
tetap maka pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia atau dengan title
eksekutorial sertifikat jaminan fidusia mengikuti pelaksanaan suatu putusan
pengadilan.124
Ada beberapa akta yang mempunyai title ekskutorial, yakni yang disebut
grosse akta, yaitu :
1. Akta Hipotek (pasal 224 HIR)
2. Akta Pengakuan Hutang (Pasal 224 HIR)
3. Akta Hak Tanggungan (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan)
4. Akta Fidusia (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan
Fidusia)
Pelaksanaan eksekusi objek jaminan fidusia berdasarkan grosse akta atau title
eksekutorial sertifikat jaminan fidusia, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 196
HIR/207 Rbg, diawali dengan pengajuan permohonan pelaksanaan eksekusi oleh
kreditor (penerima fidusia) kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan
untuk menjalankan eksekusi objek jaminan fidusia. Selanjutnya Ketua Pengadilan
Negeri akan memanggil debitur dan memerintahkan segera mungkin dalam tempo
8 hari supaya memenuhi kewajibannya. Apabila dalam jangka waktu 8 Hari tidak
memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan Pasal 197/209 Rbg, Ketua
124
Rachmadi Usman, Opcit, hal.232
142
Pengadilan akan memerintahkan kepada juru sita dengan surat perintah untuk
menyita sejumlah benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
b. Eksekusi Berdasarkan pelaksanaan parate eksekusi melalui pelelangan
umum oleh penerima fidusia.
Selain pelaksanaan eksekusi dengan grosse akta dapat pula dilakukan
dengan parate eksekusi (eksekusi langsung), yaitu para pemegang gadai atau
hipotek dengan adanya janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri dapat
melaksanakan haknya secara langsung tanpa melalui keputusan hakim atau grosse
akta notaris.125
Kewenangan untuk menjual atas kekuasaan sendiri pada gadai
timbul karena ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan pada hipotek timbul
karena memang diperjanjikan lebih dahulu. Janji yang demikian tercantum dalam
akta hipotek dan jika didaftarkan mempunyai sifat hak kebendaan. Salah satu
wujudnya dapat dilihat dalam pasal 29 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999, maka diberikan hak kepadanya untuk melakukan penjualan terhadap
benda yang menjadi objek jaminan fidusia, asalkan debitur (pemberi fidusia)
cidera janji dan itu pun harus dilakukan lewat pelelangan umum tanpa
memerlukan lagi persetujuan dari debitur.126
Berdasarkan ketentuan dalam asal 29 ayat (1) sub b juncto pasal 15 ayat
(3) Undang-Undang Fidusia, yang memberikan hak atau wewenang kepada
kreditor atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi) untuk menjual benda yang
menjadi objek jaminan fidusia guna mendapatkan pelunasan piutangnya. Dari
ketentuan tersebut mengandung makna yaitu tanpa meminta bantuan ketua atau
125
Sri soedewi Maschoen III, Opcit, hal 32 126
Rachmadi Usman, Opcit, hal 235
143
juru sita dari Pengadilan Negeri yang bersangkutan kreditur dapat mengeksekusi
langsung jaminan fidusia dengan cara meminta bantuan kantor lelang untuk
melakukan penjualan secara umum atau lelang atas benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.127
c. Eksekusi secara penjualan di bawah tangan oleh kreditor pemberi
fidusia sendiri.
Pelaksanaan eksekusi benda jaminan fidusia dapat dilakukan melalui
penjualan di bawah tangan, sepanjang ada kesepakatan antara kreditor dengan
debitur. Pada parate eksekusi penjualan yang menjadi objek jaminan fidusia
melalui pelelangan umum, namun belum dapat memberikan keuntungan bagi para
pihak. Ini berarti eksekusi terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia secara
parate eksekusi tidak harus melalui pelelangan umum, diberi kemungkinan untuk
melakukan eksekusi atas benda objek jaminan fidusia melalui penjualan dibawah
tangan.128
Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) sub c UUJF, dapat diketahui bahwa
eksekusi atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia dapat dilakukan
berdasarkan parate eksekusi secara penjualan dibawah tangan. Penjualan dibawah
tangan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia tersebut dapat dilakukan
bila memenuhi persyaratan tertentu sebagaimana telah diatur dalam ketentuan
pasal 29 ayat 1 huruf c dan pasal 29 ayat (2) UUJF. Syarat-syarat yang dimaksud
antara lain :
127
Rachmadi Usman, Loc.cit 128
Rachmadi Usman, Opcit, hal 236-237
144
1. Dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi fidusia dan penerima
fidusia ;
2. Dapat diperoleh harga yang tertinggi menguntungkan para pihak;
3. Diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau penerima fidusia
kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
4. Diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar didaerah
yang bersangkutan, dan;
5. Pelaksanaan penjualan dibawah angan tersebut dilakukan setelah waktu 1
bulan sejak diberitahukan secara tertulis.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum acara Perdata, setiap akta yang
mempunyai title eksekutorial dapat dilakukan fiat eksekusi. Pasal 224 HIR
tersebut menyatakan bahwa grosse akta dari akta hipotek dan surat hutang yang
dibuat dihadapan notaris dan berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” berkekuatan sama dengan kekuatan suatu putusan hakim. Jika
tidak dengan jalan damai, maka surat yang demikian dieksekusi dengan perintah
dibawah pimpinan ketua pengadilan Negeri, yang dalam daerah kedudukannya
yang dipilihnya yaitu menurut tata cara yang dinyatakan dalam pasal-pasal
sebelumnya.129
UUJF menyatakan dalam sertifikat jaminan fidusia terdapat kata-
kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Sertifikat jaminan fidusia tersebut memiliki kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pada dasarnya sebelum terjadinya eksekusi barang jaminan dalam
perjanjian kredit koperasi melakukan upaya-upaya agar debitur dapat membayar,
upaya-upaya tersebut antara lain :
1. Rescheduling
a. Memperpanjang jangka waktu pengembalian kredit
129
Munir Fuady, Opcit, hal 159
145
Dalam hal ini debitur diberikan kelonggaran dalam jangka waktu kredit
contohnya memberikan perpanjangan jangka waktu kredit dari 3 bulan menjadi 9
bulan.
b. Memperpanjang jangka waktu angsuran
Keringanan Pengembalian kredit dengan jangka waktu angsuran kredit
diperpanjang pembayarannya contoh 20 kali menjadi 50 kali
2. Reconditioning
Pengubahan berbagai persyaratan kredit agar debitur dapat membayar
utangnya seperti;
a) Kapitalisasi bunga, yaitu perubahan bunga dijadikan hutang pokok.
b) Penundaan pembayaran bunga dalam waktu tertentu.
Hanya bunga yang dapat ditunda pembayarannya, sedangkan pokok
pinjamannya tetap wajib dibayar yang dilakukan untuk meringankan debitur.
c) Penurunan suku bunga.
Penurunan suku bunga bertujuan untuk meringankan beban debitur.
contoh bunga per tahun sebelumnya dibebankan 10 % diturunkan menjadi 8 %.
Hal ini tergantung dari pertimbangan dari koperasi.
d) Pembebasan bunga.
Pembebasan suku bunga dapat dilakukan apabila debitur sudah tidak
mampu lagi membayar bunga tetapi tetapi berkewajiban untuk membayar pokok
pinjamannya .
3. Restructuring
a. Dengan menambah jumlah kredit
146
b. Dengan menambah equity:
- dengan menyetor uang tunai
- tambahan dari pemilik
4. Penyitaan jaminan
Penyitaan jaminan terjadi jika debitur tidak memiliki itikad baik ataupun
sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua hutangnya.130
Pelaksanaan
eksekusi jaminan fidusia yang tidak didaftarkan menggunakan teori perjanjian dan
teori perlindungan hukum. Teori perjanjian digunakan untuk pelaksanaan
eksekusi dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat oleh para pihak,
sedangkan untuk teori perlindungan hukum, hukum dilakukan dengan membatasi
berbagai kepentingan pihak lain, hukum memiliki tujuan untuk mengintegrasikan
dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan masyarakat. Cara penyelesaian
terhadap debitur yang tidak melaksanakan prestasinya dapat dilakukan dengan
penyitaan jaminan, dimana jaminan tersebut akan dijual untuk melunasi hutang
debitur. Penyitaan jaminan merupakan jalan terakhir apabila debitur tidak
memiliki itikad baik ataupun sudah tidak mampu lagi untuk membayar semua
hutang-hutangnya. Penyitaan jaminan dapat dilakukan bukan hanya barang-
barang yang telah dijadikan jaminan tapi juga seluruh harta kekayaan yang telah
dimiliki debitur apabila terjadi ketidaksanggupan membayar sesuai dengan yang
telah diperjanjikan. Penyitaan jaminan terhadap barang debitur dilakukan oleh
Bagian Kredit Koperasi Tunas Sari dan barang jaminan tersebut dijual dan hasil
penjualan diambil sebagai pelunasan utang debitur dan sisa penjualan
130
http://en.Wikipedia.org/wiki/blog.com, Wikipedia Foundation Inc,
diakses pada hari Minggu, 5 September 2010.
147
dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang jaminan disesuaikan dengan harga
pasar dari jaminan tersebut, agar tidak merugikan debitur.131
Pada Koperasi diwilayah kota denpasar pelaksanaan eksekusi biasanya
dilakukan dengan kekeluargaan dikarenakan jika dilanjutkan hingga tingkat
pengadilan menambah biaya yang relatif besar. Pelaksanaan eksekusi dapat
dilakukan dengan penjualan sendiri oleh debitur atau koperasi membantu
menjualkan barang jaminan tersebut dengan harga yang sesuai. Dari hasil
penjualan jaminan fidusia tersebut digunakan untuk pelunasan seluruh hutang-
hutang debitur kepada koperasi. Apabila terdapat ada sisa dari hasil penjualan
barang jaminan dikembalikan kepada debitur, sedangkan apabila terjadi
kekurangan bayar dari hasil penjualan barang jaminan debitur wajib untuk
melunasi sisa dari kekurangan tersebut.132
Apabila terjadi permasalahan dalam
penyelesaian tunggakan kredit maka diselesaikan secara kekeluargaan
dikarenakan koperasi merupakan milik seluruh anggota koperasi yang memiliki
tujuan untuk mensejahterakan anggotanya.133
Dari hasil penelitian pada koperasi
di wilayah denpasar yang melaksanakan eksekusi dengan cara kekeluargaan,maka
hasil hipotesis permasalahan yang ketiga yaitu Apabila terjadi wanprestasi oleh
pihak debitur maka penyelesaian eksekusi terhadap jaminan fidusia yang tidak
didaftarkan dengan upaya mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri
131
Wawancara Bapak I Wayan Landuh (Operasional Manajer Koperasi
Tunas Sari), Tanggal 30 Mei 2013 132
Wawancara Bapak A.A. Made Subur, (Kepala Bagian Kredit Koperasi
Pemogan), tanggal 8 Mei 2013 133
Wawancara Yulia Rahadyanti (anggota koperasi Wisuda Guna Raharja)
tanggal 8 Agustus 2013
148
hingga turunnya putusan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi tidak sesuai
dengan pelaksanaan dilapangan.
Eksekusi pada perjanjian kredit pada koperasi dengan jaminan fidusia
yang tidak didaftarkan, seharusnya tidak dapat dieksekusi sesuai dengan amanat
Pasal 27 ayat (1) UUJF yaitu dengan adanya pendaftaran jaminan fidusia kreditor
sebagai penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap
kreditor lainnya untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia dan hak
didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil eksekusi benda
jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur wanprestasi serta memiliki kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan, tetapi dalam kenyataanya
jaminan fidusia yang tidak didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia, tetap dapat dilakukan eksekusi oleh koperasi dengan cara kekeluargaan.
149
BAB VI
PENUTUP
6.1. Simpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian pembahasan diatas
adalah :
1. Tidak didaftarkannya jaminan fidusia dalam perjanjian kredit koperasi
disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal dari
koperasi. Pada faktor internal dikarenakan pihak koperasi kurang
mengetahui pentingnya pendaftaran jaminan fidusia dalam perjanjian
kredit yang dilakukan oleh koperasi untuk adanya jaminan kepastian
hukum dan kekuatan mengikat eksekutorial pada perjanjian tersebut.
Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi tidak didaftarkannya
jaminan fidusia antara lain :
a. Faktor Masyarakat : Adanya biaya tambahan dalam pembuatan akta
notaris dan dilanjutkan dengan biaya pendaftaran jaminan fidusia yang
dirasa membebani debitur yang merupakan anggota koperasi dan
pendaftaran jaminan fidusia membutuhkan biaya lagi selain biaya-
biaya administrasi yang telah dikurangi sebelumnya, oleh karena itu
tidak sesuai dengan amanat Pasal 3 Undang-Undang Pekoperasian
yang koperasi bertujuan untuk mensejahterakan anggotanya
b. Faktor Penegak Hukum : Kurang efektifnya sosialisasi yang dilakukan
oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mengenai
pentingnya pendaftaran jaminan fidusia.
150
c. Faktor Hukumnya Sendiri :Tidak Adanya ketentuan jangka waktu
yang pasti terhadap pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dalam
Pasal 11 UUJF mengatur mengenai kewajiban pendaftaran jaminan
fidusia
2. Jaminan fidusia yang tidak didaftarkan hanya mengikat para pihak yang
membuat perjanjian dan kekuatan eksekutorial dari jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan berlaku jika debitur hanya memiliki satu kreditur,
sedangkan jika memiliki lebih dari satu kreditur kekuatan eksekutorial
dimiliki oleh kreditur yang mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
3. Debitur yang memiliki satu kreditur pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan
dengan musyawarah, sedangkan debitur yang memiliki lebih dari satu
kreditur dengan jaminan fidusia yang tidak didaftarkan maka pelaksanaan
eksekusi dengan menempuh upaya pengadilan.
6.2.Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka dapat disarankan hal-hal sebagai
berikut :
1. Bagi Pemerintah : hendaknya pihak pemerintah lebih giat lagi melakukan
sosialisasi mengenai pentingnya pendaftaran jaminan fidusia untuk
menjamin adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi para
pihak.
2. Bagi Koperasi : untuk menjamin adanya kepastian hukum dan
perlindungan hukum hendaknya koperasi dikota denpasar dalam
melakukan perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia haruslah
151
dibuat dengan akta notariil dan melakukan pendaftaran jaminan fidusia
pada kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar koperasi
memiliki jaminan kepastian hukum dan memiliki kedudukan yang
preferen dari kreditur lainnya
3. Bagi debitur : Hendaknya pihak debitur mau untuk melakukan pendaftaran
jaminan fidusia, untuk adanya jaminan kepastian hukum dan memiliki
kekuatan eksekutorial, dalam melaksanakan eksekusi atas jaminan fidusia
apabila terjadi wanprestasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
152
DAFTAR PUSTAKA
A.BUKU :
Amirudin dan Zainal Asikin, 2006, Penghantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Atmasasmita, Romli, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan
Penegakan Hukum, Mandar Maju,Bandung.
Baswir, Revrisond, 2000, Koperasi Indonesia, BPFE , Yogyakarta.
Pusat Bahasa, 2002, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Campbell, Black Henry, 1999, Black’s Law Dictionary. Edisi VI. St. Paul
Minesota: West Publishing
Fuady, Munir, 2005, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era
Globalisasi, Citra Aditya Bakti, Bandung.
______, 2003, Jaminan Fidusia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Golding, M.P, The Nature of Law Readings in Legal Philosophy, Columbia
University, Random House, New York.
Hadjon, Philipus M, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya.
Hadhikusuma, R.T Sutantya Raharja, 2000 Hukum Koperasi Indonesia, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Hart, H.L.A, 1972, The Concept of Law,Claredon Press,Oxford.
Hutagalung, Arie Sukanti dan Markus Gunawan, 2008, Kewenangan Pemeerintah
di bidang Pertanahan, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Bruggink, J.J.H, 1996, Refleksi tentang Hukum, terjemahan Arief Sidharta, Citra
Aditya, Bandung
Kansil, CST, 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta.
Kartasapoetra dan A. G Kartasanoetra dan kawan, 2001, Koperasi Indonesia yang
Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, PT Rineka Cipta, Jakarta.
153
Kelsen, Hans sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul Mutaqien, 2006, Teori
Hukum Murni, Nuansa dan Nusamedia, Bandung.
_______, sebagaimana diterjemahkan oleh Somardi, 2007, General Theory Of
Law and State, Teori Umum Hukum dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum
Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif Empirik, BEE Media Indonesia,
Jakarta.
Khasadi, 2006, Materi Hukum Jaminan, Progaram Studi Magister Kenotariatan
Universitas Diponegoro Semarang.
Manullang,Hamzah Senjum, 1987, Lembaga Fidusia dan Penerapannya di
Indonesia, Indhill Co.Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan (Dalam Rangka
Menyambut Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta
Miru, Ahmadi, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo,
Jakarta.
Sinungan, Muchdarsyah, 1992, Manajemen Dana Bank, Bumi Aksara, Jakarta
Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Muhammad Abdulkadir, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Mustafa Bacshan, Bewa Ragawino, Yaya Priatna, 2004, Azas-Azas Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Edisi Pertama, Armico, Bandung.
Muladi. 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Cetakan
Kedua, Universitas Diponegoro, Semarang.
Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Tesis dan Disertasi, 2007, Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana.
154
Pound,Roscoe, 1996, Pengantar Filsafat Hukum (An Introduction to the
philosophy of Law) diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Bhratara Niaga
Media, Jakarta.
Prodjodikoro,Wirjono, 1985, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Cet
VIII, Sumur, Bandung.
Rahardjo,Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Ridwan HR, 2007, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Patrik Purwahid, 1986, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan
Penerbit UNDIP Semarang.
Soebekti, R, 2001, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta.
________, 1982, Law In Indonesia, Centre For Strategic And International, And
Studies, third edition, Jakarta.
Soemitro, Rony Hatnijo, 1998, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Soekanto, Soerjono, 2008, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum,PT. Raja Grafindo Persada,Jakarta
Sunaryati CFG, Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional , Alumni, Bandung
Sunggono, Bambang, 2003, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1980, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-
Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Penerbit Liberty,
Yogyakarta.
Karmelo Tan, 2006, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang didambakan,
Alumni, Bandung.
Vasu, Sucitthra, 2006, Contract Law For Business People, Rank Books,
Singapore.
155
B.PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
R.Soebekti dan Tjitrosudibio, 2003, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
PT.Pradnya Paramita, Jakarta.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3790).
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3632)
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 212 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5355).
C. INTERNET
Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, http//.supanto.staff.hukum.uns.co.id
Arikanti Natakusumah, Pemahaman Terhadap Akta Perjanjian Kredit,
http://groups.google.co.id/group/NOTARISPPATINDONESIA/msg/fc6c894
afef26e4b?dmode=ssource
http://en. Wikipedia.org/wiki/blog.com, Wikipedia Foundation Inc., diakses pada
hari Minggu, 5 September 2010.
https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh tanggal
22 Agustus 2013
https://susansutardjo.wordpress.com/tag/pengawasan-koperasi, diunduh pada
tanggal 22 Agustus tahun 2013
https://repository.usu.ac.id/Siagian:penerapan prinsip kehati-hatian dalam
pemberian kredit,diunduh pada tanggal 22 Agustus tahun 2013