RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12....

84
RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)

Transcript of RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12....

Page 1: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

RANCANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

TENTANG PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER,

AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK

MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG

ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)

Page 2: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

1

RANCANGAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR TAHUN

TENTANG

PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK

MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dalam Konferensi Food and Agriculture Organization sesi ke-36 di Roma pada tanggal 18 - 23 November 2009

telah diadopsi Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas

Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur);

b. bahwa Indonesia telah menandatangani Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang

Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur) di Roma pada tanggal 22

November 2009;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud

pada huruf a dan huruf b di atas, perlu mengesahkan Persetujuan tersebut dengan Peraturan Presiden;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut) (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76 Tahun

1985, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3319);

Page 3: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

2

3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012);

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073);

5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982 yang Berkaitan dengan Konservasi dan

Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 95, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5024);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGESAHAN

AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING (PERSETUJUAN TENTANG

KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN

YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR).

Pasal 1

Mengesahkan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan Untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas

Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur) yang naskah aslinya dalam Bahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia sebagaimana

terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Presiden ini.

Page 4: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

3

Pasal 2

Apabila terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Persetujuan dalam Bahasa Indonesia dengan naskah aslinya dalam Bahasa Inggris sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 1, yang berlaku adalah naskah aslinya dalam Bahasa Inggris.

Pasal 3

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan

penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

Yosanna H. Laoly

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN NOMOR

Page 5: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 0

NASKAH PENJELASAN

PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED

FISHING

(PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN

YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Sejak tahun 1990an, isu IUU Fishing telah disuarakan

masyarakat internasional pada berbagai fora. Semakin meningkatnya teknologi dan kapasitas penangkapan ikan telah menyebabkan

penurunan tajam sediaan sumber daya ikan di hampir seluruh belahan dunia, khususnya jenis-jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Hal itulah yang kemudian melatarbelakangi FAO Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate IUU Fishing (IPOA-IUU) pada tahun

2001, sebagai sebuah instrumen hukum international yang diharapkan menjadi acuan bagi negara-negara dalam menangani IUU Fishing.

Di samping IPOA-IUU, selanjutnya FAO juga telah mengadopsi

FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing (FAO Model Scheme) pada 26th Session of FAO Committee on Fisheries (COFI) Tahun 2005. FAO Model Scheme merupakan voluntary instrument yang yang memuat standar minimum untuk sejumlah aktivitas dan persyaratan. Dalam perkembangannya, keberadaan IPOA-IUU Fishing

maupun Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing sebagai sebuah instrumen hukum untuk penanganan IUU Fishing

dirasakan belum cukup. Penanganan terhadap IUU Fishing masih belum bisa dilaksanakan secara optimal, bahkan ancaman terhadap

keberlangsungan sumberdaya ikan semakin hari semakin memprihatinkan. Kondisi demikaian antara lain disebabkan oleh

IPOA-IUU Fishing yang bersifat non-legally binding, belum adanya keseragaman standar dan sistem hukum, serta kurangnya partisipasi aktif dari negara-negara pelabuhan dalam penanganan IUU Fishing.

Mengacu pada kondisi demikian, perhatian masyarakat internasional selanjutnya lebih difokuskan pada bagaimana

menciptakan suatu instrumen yang lebih memiliki kekuatan mengikat

Page 6: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 1

serta mengedepankan peran negara-negara pelabuhan dalam mencegah, menghalangi, dan membernatas IUU Fishing. Dalam hal ini

pelabuhan dianggap sebagai tempat paling strategis dimana pelaku IUU Fishing mendaratkan ikan, sehingga kontrol terhadap kegiatan

IUU Fishing oleh negara pelabuhan merupakan salah satu cara yang efektif untuk menangani IUU Fishing.

Sebagai kelanjutan dari upaya mencegah, menangkal, dan memberantas IUU Fishing, pada 27th Session of COFI Tahun 2007,

telah berhasil dirumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing sebagai suatu instrumen

hukum yang mengikat (legally binding instrument) yang substansinya mengacu pada IPOA-IUU Fishing dan FAO Model Scheme.

Setelah melalui serangkaian perundingan, pada FAO Conference 36th Session, yang berlangsung di Roma-Italia, tanggal 18–23 November 2009 berhasil dilaksanakan sesi penerimaan (adoption) dan

penandatanganan naskah Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, unreported, and Unregulated Fishing (selanjutnya disebut PSM Agreement). PSM Agreement ditandatangani oleh 10 negara pada tanggal 22 November 2009, yaitu Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia, Norwegia, Samoa, Amerika

Serikat, dan Indonesia. Negara penanda tangan selanjutnya adalah Selandia Baru (15 Desember 2009), Peru (3 Maret 2010), Gabon (26 April 2010), Australia (27 April 2010), Rusia (29 April 2010), Benin (28

September 2010), Ghana (28 Oktober 2010), Mozambique (4 November 2010), Turki (9 November), Kanada (19 November 2010),

Prancis (19 November 2010), Kenya (19 November 2010), dan Sierra Leone (23 November 2011).

Hingga saat ini PSM Agreement telah diratifikasi, diterima,

disetujui, atau diaksesi oleh 10 negara yaitu Chile (28 Agustus 2012),

Norwegia (20 Juli 2011), Uruguay (28 Februari 2013), Oman (1 Agutus 2013), Uni Eropa (7 Juli 2011), Myanmar (22 November 2010), Srilangka (20 Januari 2011), Seychelles (19 Juni 2013), Selandia Baru

(21 Februari 2014), dan Mozambik (19 Agustus 2014).

Indonesia sangat berkepentingan untuk menjadi pihak pada PSM Agreement mengingat Indonesia saat ini termasuk negara yang mengalami kerugian besar akibat aktifitas IUU Fihing baik yang

dilakukan di wilayah jurisdiksi Indonesia maupun di laut lepas. Berdasarkan data FAO, kerugian Indonesia akibat IUU fishing

diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian di luar nilai potensi yang hilang, seperti

menurunnya Industri perikanan, pengangguran, dan dampak sosial lainnya yang dialami masyarakat nelayan. Di samping itu, penandatanganan Agreement tersebut sangat penting dalam rangka

penguatan rezim hukum nasional, khususnya hukum laut dan perikanan, serta wujud kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global

dalam memberantas IUU Fishing melalui penguatan kerjasama antar negara pelabuhan. Keikutsertaan pada Persetujuan ini sekaligus

Page 7: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 2

melengkapi keanggotaan Indonesia sebagai pihak dalam UNCLOS 1982 dan United Nation Fish Stock Agreement 1995.

B. TUJUAN

Adapun tujuan pengesahan PSM Agreement bagi Indonesia

adalah:

1. untuk lebih mengefektifkan upaya dan kerjasama pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing melalui

penerapan ketentuan negara Pelabuhan secara efektif;

2. memperkuat mekanisme pengawasan perikanan nasional dalam

rangka mendukung kegiatan penangkapan ikan yang bertanggung jawab di laut lepas;

3. menunjukan komitmen Indonesia sebagai negara yang

bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.

C. SUBSTANSI POKOK PSM AGREEMENT

PSM Agreement terdiri atas 8 (delapan) Bagian dan 37 Pasal.

Adapun beberapa substansi pokok PSM Agreement, adalah:

1. Penerapan Persetujuan

a. Persetujuan ini wajib diterapkan oleh setiap Pihak, dalam

kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, terhadap kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan

masuk ke pelabuhan-pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya, serta untuk setiap kegiatan IUU Fishing, termasuk kegiatan-kegiatan terkait yang mendukungnya.

Kewajiban untuk menerapkan Persetujuan ini dikecualikan bagi:

1) kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah kekuasaan wilayah

tersebut.

2) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan

penangkapan ikan untuk mencari nafkah, apabila Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa kapal-kapal tersebut tidak terlibat

dalam IUU Fishing atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan

ikan dimaksud; dan

3) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan, hanya ikan yang

sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas untuk mencurigai bahwa kapal tersebut

Page 8: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 3

terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang berhubungan dengan IUU Fishing.

b. Persetujuan ini harus diterapkan secara adil, transparan, dan nondiskriminatif, sesuai dengan hukum internasional.

c. Pada prinsipnya Persetujuan ini berlaku untuk semua pelabuhan. Namun demikian, Negara Pelabuhan diberikan kewenangan untuk menetapkan secara bertahap pelabuhan-

pelabuhan mana yang akan ditunjuk untuk pelaksanaan Persetujuan ini.

d. Di samping mengikat bagi para Pihak, Persetujuan ini juga mendorong mereka yang tidak menjadi Pihak dalam

Persetujuan agar menunjukkan komitmen mereka untuk secara konsisten bertindak sesuai dengan Persetujuan.

2. Hubungan dengan instrumen hukum internasional lainnya

Persetujuan ini tidak boleh bertentangan dengan hak, yuridiksi dan kewajiban–kewajiban para pihak dalam hukum internasional,

khususnya terkait dengan kedaulatan dan hak-hak berdaulat di laut, termasuk pelaksanaan kedaulatan atas pelabuhan-pelabuhan dalam teritorinya sesuai dengan hukum internasional,

termasuk hak untuk menolak masuk kepelabuhan, serta penetapan ketentuan nasional yang lebih ketat dibandingkan

dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini. Para Pihak dalam Persetujuan ini tidak terikat oleh keputusan organisasi pengelolaan perikanan regional mana pun dimana negara pihak

tersebut tidak menjadi anggota atau apabila ketentuan/keputusan organisasi pengelolaan perikanan regional tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional.

3. Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional

Setiap Pihak harus, sebisa mungkin, mengintegrasikan atau

mengkoordinasikan ketentuan-ketentuan nasional mereka di bidang perikanan dengam dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas, termasuk ketentuan lain untuk

mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing, dengan mempertimbangkan secara tepat IPOA-IUU Fishing. Para pihak

juga harus mengadakan tukar informasi di antara instansi/lembaga nasional yang terkait dan mengkoordinasikan kegiatan instansi/lembaga tersebut dalam pelaksanaan

Persetujuan ini.

4. Kerja Sama dan Pertukaran Informasi

Persetujuan ini mewajibkan para pihak untuk bekerja sama dan bertukar informasi dengan Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi pengelolaan

perikanan regional. Para pihak juga harus mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan pengelolaan dan konservasi

Page 9: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 4

yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional yang terkait pada tingkat subregional, regional, dan global.

5. Penunjukan Pelabuhan

Para pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-

pelabuhan dimana kapal perikanan mungkin meminta izin untuk masuk dan menyerahkan daftar pelabuhan yang ditunjuk kepada FAO untuk diublikasikan. Setiap Pihak harus, sebisa

mungkin, memastikan bahwa setiap pelabuhan yang ditunjuk dan dipublikasikan tersebut memiliki kapasitas yang cukup

untuk melaksanakan pemeriksaan.

6. Masuk ke Pelabuhan

Ketentuan mengenai masuk pelabuhan mencakup permohonan

awal untuk masuk ke pelabuhan, prosedur memasuki pelabuhan, otorisasi atau penolakan, termasuk ketentuan mengenai force majeure atau keadaan sulit yang mengharuskan negara pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk memberikan bantuan kepada perorangan,

kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan.

7. Penggunaan Pelabuhan

Ketentuan mengenai penggunaan pelabuhan mencakup pengaturan mengenai penolakan oleh pihak terhadap kapal telah masuk ke pelabuhan, untuk menggunakan pelabuhan untuk

mendaratkan, mengalihmuatkan, mengemas, dan mengolah ikan yang sebelumnya belum didaratkan dan untuk menggunakan layanan pelabuhan lainnya, termasuk diantaranya, mengisi

bahan bakar, dan mengisi perbekalan, melakukan perawatan dan menggunakan kapal.

Penolakan demikian dapat dilakukan dengan syarat Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk menangkap ikan atau kegiatan terkait (baik

yang disyaratkan oleh negara pantai ataupun negara bendera), Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut

melanggar hukum yang berlaku di Negara pantai, negara bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar sesuai dengan permintaan Negara Pelabuhan, atau Pihak

memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kapal tersebut terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan terkait dengan

itu.

Sebagai pengecualian, pihak tidak boleh menolak kapal tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan yang penting bagi

keamanan atau kesehatan Anak Buah Kapal (ABK) atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini terbukti dibutuhkan, atau bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.

8. Pelaksanaan Pemeriksaan

Page 10: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 5

Ketentuan mengenai pelaksanaan pemeriksaan mencakup kewajiban bagi setiap Pihak untuk memeriksa jumlah kapal di

pelabuhannya, menyetujui tingkat minimum pemeriksaan, dan menentukan prioritas pemeriksanaan, pelaksanaan fungsi

pemeriksanaan sesuai dengan Annex B, serta penyampaian hasil pemeriksanaan kepada pihak lain, organiasi pengelolaan perikanan regional, dan FAO.

Prioritas pemeriksaan diterapkan pada kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau menggunakan pelabuhan, pemeriksaan

dasar permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, serta kapal yang diduga kuat terlibat IUU Fishing atau kegiatan terkait.

9. Pertukaran Informasi Elektronik

Berdasarkan Persetujuan ini, setiap Pihak harus, jika memungkinkan, membangun mekanisme komunikasi yang

memungkinkan pertukaran informasi elektronik secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan.

10. Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan

Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk

meyakini bahwa sebuah kapal telah terlibat IUU Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak yang

memeriksa harus segera memberitahu negara bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO, dan organisasi lainnya). Negara

tersebut juga harus menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhannya untuk mendaratkan, mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan yang belum didaratkan

sebelumnya dan layanan pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian bahan bakar dan pengisian perbekalan, melakukan pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal.

11. Peran Negara Bendera

Atas permintaan negara pelabuhan melakukan pemeriksaan

secara menyeluruh terhadap kapal yang berhak mengibarkan benderanya yang diduga kuat melakukan IUU Fishing atau

kegiatan terkait, dan dan bila bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-nunda sesuai dengan hukum dan peraturan. Setiap Pihak, dalam kapasitasnya sebagai Negara

Bendera, harus melapor kepada Pihak lain, Negara Pelabuhan yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, organisasi pengelolaan perikanan regional dan FAO atas tindakan yang telah

dilakukan terhadap kapal yang berhak mengibarkan benderanya yang, telah dinyatakan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan

terkait.

12. Persyaratan Bagi Negara Berkembang

Page 11: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 6

Persetujuan ini memuat pengaturan yag mewajibkan semua pihak memberikan pengakuan penuh terhadap persyaratan

khusus bagi Pihak negara yang sedang berkembang dalam hubungannya dengan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan.

Negara–negara pihak harus, baik secara langsung atau melalui FAO, badan khusus lain dari PBB atau organisasi internasional yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi pengelolaan

perikanan regional lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya:

(a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya negara miskin dan negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi

penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif;

(b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi internasional manapun yang mendorong pengembangan dan

penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; dan

(c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat

pengembangan dan penerapan ketentuan negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang relevan.

Pihak-pihak harus memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara Pelabuhan yang

berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang khususnya negara miskin dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk memastikan bahwa beban yang

tidak sebanding yang muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada mereka. Para Pihak juga harus bekerja sama untuk membentuk

mekanisme pendanaan yang memadai untuk membantu Negara yang sedang berkembang dalam penerapan Perjajian ini.

13. Penyelesaian Perselisihan secara Damai

Penyelesaian perselisihan dilakukan melalui konsultasi dengan pihak lain atau Pihak-pihak lain mengenai interpretasi atau

aplikasi ketentuan–ketentuan Persetujuan ini. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi ini dalam rentang waktu yang memadai, negosiasi, penyelidikan,

mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai lain sesuai pilihan mereka. Perselisihan yang tidak

terselesaikan harus, atas persetujuan seluruh pihak yang bersengketa, diajukan ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke Pengadilan Internasional untuk hukum laut atau

arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional, Pengadilan Internasional untuk hukum laut atau

arbitrasi, pihak-pihak tersebut harus terus berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk menyelesaikan

Page 12: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 7

persengketaan merujuk kepada aturan Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi sumber daya kelautan hayati.

14. Non-pihak Dalam Persetujuan Ini

Terkait dengan Non-Pihak dari persetujuan ini, Para pihak harus

mendorong Non-Pihak dalam Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan serta menerapkan langkah–langkah yang

konsisten dengan ketetapannya. Para pihak harus mengambil langkah-langkah yang adil, nondiskriminatif, dan transparan yang konsisten dengan Persetujuan ini dan hukum internasional

lain yang berlaku untuk menghalangi kegiatan Non-Pihak yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.

Page 13: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 8

BAB II

KEUNTUNGAN, KONSEKUENSI, DAN URGENSI PENGESAHAN

A. KEUNTUNGAN PENGESAHAN

Pengesahan PSM Agreement akan memberikan keuntungan bagi Indonesia, khususnya dalam:

1. mendorong konservasi dan pengelolaan perikanan yang

bertanggung jawab di laut lepas;

2. ikut serta dan lebih mengefektifkan upaya dan kerjasama

pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing di laut lepas melalui penerapan ketentuan negara Pelabuhan secara efektif;

3. memperkuat mekanisme pengawasan perikanan nasional dalam rangka mendukung kegiatan penangkapan ikan yang

bertanggung jawab;

4. penguatan kerangka hukum nasional dalam pencegahan, penghalangan, dan pembernatasan IUU Fishing;

5. mendorong tertib pelaporan data terkait dengan IUU Fishing;

6. mengefektifkan penanganan terhadap masalah transhipment hasil

tangkapan IUU Fishing di laut lepas;

7. dimungkiknan untuk mendapat bantuan teknis, pelatihan dan

kerja sama ilmiah, transfer teknologi dalam rangka penerapan Persetujuan ini;

8. menunjukan komitmen Indonesia sebagai negara yang

bertanggung jawab dalam mewujudkan perikanan internasional yang berkelanjutan.

B. KONSEKUENSI PENGESAHAN

Pengesahan PSM Agreement akan menimbulkan konsekwensi

sebagai berikut:

1. menyiapkan perangkat hukum, sarana dan prasarana dan

sumberdaya manusia untuk mendukung pelaksanaan Persetujuan ini;

2. menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan yang

ditujukan untuk pelaksanaan Persetujuan ini;

3. menerapkan Persetujuan ini sesuai dengan prinsip adil, transparan, non-diskriminatif, dan menjaga kerahasiaan

informasi yang diberikan kapal-kapal asing;

4. mengidentifikasi kapal perikanan Indonesia yang masuk ke

negara lain;

Page 14: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 9

5. menyampaikan informasi terkait dengan kegiatan sebagaimana dimaksud Persetujuan ini kepada FAO;

6. berpartisipasi aktif dalam kerja sama dalam penegakan hukum baik regional maupun internasional dalam rangka pelaksanaan

Persetujuan ini.

C. URGENSI PENGESAHAN

1. Landasan filosofis

Sumber daya ikan merupakan berkah dari Tuhan Yang Maha Esa

yang dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia. Karena itu, upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya perikanan, baik pada sekala global maupun regional

perlu didorong dan didukung pelaksanaannya. Bagi bangsa Indonesia sediri, potensi sumber daya perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan

perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan

taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan.

Bagi bangsa Indonesia, langkah untuk mengesahkan PSM Agreement sejalan dengan amanat UUD 1945, khususnya dalam upaya turut serta melaksanakan ketertiban dunia serta

memajukan kesejahteraan umum.

2. Landasan sosiologis

Sebagaimana disebutkan dalam konsideran PSM Agreement, lahirnya Persetujuan tersebut didorong oleh kesadaran masyarakat internasional akan ancaman praktek IUU Fishing

yang memiliki dampak yang sangat luas, tidak saja menyebabkan degradasi sumber daya ikan dan lingkungannya, tapi juga

mengancam ketersediaan pangan dunia, kerugian devisa negara (khusunya bagi negara berkembang yang secara ekonomi sangat bergantung pada sumber daya ikan), kelangsungan hidup

nelayan, serta kelangsungan industri perikanan dan industri terkait lainnya.

Sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya ikan, Indonesia masih dihadapkan pada keterbatasan kemampuan untuk menangani IUU Fishing, baik yang dilakukan di wilayah

jurisdiksi Indonesia maupun di laut lepas. Karena itu, adanya instrumen hukum ini diharapkan dapat membantu

mengoptimalkan pemberantasan kegiatan IUU Fishing.

Selain menempatkan Indonesia sebagai Negara pelabuhan yang berkewajiban melaksanakan prosedur penegakan hukum terkait

dengan IUU Fishing, Persetujuan ini juga menempatkan nelayan-nelayan Indonesia sebagai sasaran penegakan hukum apabila

Page 15: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 10

nelayan-nelayan tersebut melakukan aktifitas IUU Fishing. Karena itu, sebagai Negara bendera Indonesia berkewajiban untuk

mengontrol dan bertanggung jawab atas segala aktifitas nelayan Indonesia, khususnya yang melakukan penangkapan ikan di laut

lepas.

Potensi sumber daya ikan dunia saat ini mengalami degradasi yang sangat signifikan akibat praktek IUU Fishing. IUU Fishing

saat ini merupakan permasalahan global yang mengancam pencapaian perikanan berkelanjutan. Kerugian global akibat IUU Fishing diperkirakan mencapai US$ 10-23.5 milyar dolar pertahun dan merugikan negara-negara di dunia, terutama

negara berkembang yang secara ekonomi sangat bergantung pada sumber daya perikanan.

Bagi Indonesia, praktek IUU Fishing tidak hanya menimbulkan

kerugian bagi negara, tetapi juga mengancam kepentingan masyarakat nelayan, industri perikanan, dan usaha perikanan

nasional. Berdasarkan data FAO, kerugian Indonesia akibat IUU fishing diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian di luar nilai potensi yang

hilang, seperti menurunnya Industri perikanan, pengangguran, dan dampak sosial lainnya yang dialami masyarakat nelayan.

3. Landasan yuridis

Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, karena itu Indonesia mempunyai

kewajiban untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip dan ketentuan UNCLOS 1982, termasuk di dalamnya terkait dengan

kerja sama internasional dalam pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan, serta penegakan hukum oleh negara

pelabuhan terhadap segala aktifitas yang mengancam tujuan pengelolaan dan konservasi sumber daya perikanan secara berkelanjutan. Di samping itu, Indonesia juga telah meratifikasi

UNFSA 1995 dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009. Persetujuan tersebut didalamnya mengelaborasi peran dari hak dan juga kewajiban negara pelabuhan untuk melakukan

tindakan, sesuai dengan hukum internasional, untuk memajukan efektifitas konservasi dan pengelolaan yang disepakati secara

internasional.

Pada tataran hukum nasional, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 secara tegas menyatakan pentingnya Indonesia untuk bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan

pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas, antara lain dengan memberitahukan serta menyampaikan bukti-bukti terkait kepada

negara bendera asal kapal yang dicurigai melakukan kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan dalam konservasi dan

Page 16: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 11

pengelolaan sumber daya ikan, serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan

internasional dalam rangka kerja sama pengelolaan perikanan regional dan internasional.

Kehendak politik bangsa Indonesia di atas sejalan dengan tujuan PSM Agreement, yaitu untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara

Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya

kelautan hayati serta ekosistem kelautan yang berkelanjutan.

Bagi Indonesia, pengesahan PSM Agreement merupakan bagian

dari pelaksanaan amanat Konstitusi untuk melindungi sumberdaya alam Indonesia, utamanya kekayaan sumber daya perikanan, serta melengkapi penguatan rezim hukum nasional,

khususnya hukum laut dan perikanan. Selain itu, hal ini merupakan wujud kepedulian Indonesia atas upaya-upaya global dalam memberantas IUU Fishing melalui penguatan kerjasama

antar negara pelabuhan. Keikutsertaan pada Persetujuan ini sekaligus melengkapi keanggotaan Indonesia sebagai pihak dalam

UNCLOS 1982 dan UN Fish Stock Agreement 1995.

Page 17: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 12

BAB III

KETERKAITAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

A. KETERKAITAN PSM AGREEMENT DENGAN INSTRUMEN HUKUM

INTERNASIONAL LAINNYA

1. United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 (telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 1985)

UNCLOS 1982 tidak secara khusus memuat pengaturan tentang port state measures dalam konservasi dan pengelolaan perikanan.

UNCLOS 1982 hanya memberikan kewenangan kepada negara-negara terkait dengan pelabuhan mereka. Negara memiliki kewenangan penuh atas pelabuhan yang ada di wilayah teritorial

mereka dan berhak untuk mengatur syarat-syarat bagi kapal untuk masuk ke pelabuhan dan perairan pedalaman mereka.

Mereka dapat menuntut kepatuhan atas peraturan perundang-undangan nasional atau Persetujuan internasional. Peraturan ini bisa, misalnya, mengatur inspeksi dan pelarangan pemindahan

atau pendaratan ikan yang ditangkap secara bertentangan dengan tindakan konservasi yang disepakati secara internasional. Negara-negara juga memiliki hak untuk menolak akses kapal ke

pelabuhan mereka.

2. FAO Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993 (belum diratifikasi)

Persetujuan ini berlaku untuk semua kapal perikanan dengan

maksud untuk meningkatkan pentaatan kapal-kapal perikanan terhadap ketentuan-ketentuan konservasi sumber daya ikan di

Laut Lepas. Complaince Agreement 1993 merupakan Persetujuan internasional pertama yang khusus mengatur pengawasan negara pelabuhan. Menurut Persetujuan tersebut, apabila suatu kapal

yang diduga melakukan penangkapan ikan di wilayah konservasi masuk ke dalam pelabuhan suatu negara (pihak), maka negara

tersebut harus menginformasikan hal tersebut kepada negara bendera.

Berdasarkan Persetujuan ini, negara Pihak memiliki hak dan

kewenangan untuk menerbitkan izin kapal perikanan yang beroperasi di Laut Lepas. Negara pihak berwenang untuk

mengecualikan kapal-kapal perikanan yang panjangnya kurang dari 24 meter dari ketentuan-ketentuan Persetujuan, dengan catatan bahwa pengecualian tersebut tidak bertentangan dengan

tujuan yang hendak dicapai oleh Persetujuan. Walaupun demikian, pengecualian tidak diperkenankan terhadap kapal-

Page 18: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 13

kapal yang khusus beroperasi di suatu bagian Laut Lepas dimana negara pantainya belum mendeklarasikan ZEE atau zona

perikanan di bawah yurisdiksi nasionalnya. Dalam hal ini negara-negara pantai di region yang bersangkutan harus bersepakat

untuk menetapkan panjang kapal perikanan yang tidak diwajibkan untuk mentaati ketentuan di dalam Persetujuan.

3. Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea on 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks 1995 (telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2009)

UNFSA 1995 mengelaborasi peran dari Negara pelabuhan dalam

konteks penangkapan ikan. Pasal 23 UNFSA 1995 menyatakan bahwa negara pelabuhan memiliki hak (dan juga kewajiban) untuk

melakukan tindakan, sesuai dengan hukum internasional, untuk memajukan efektifitas konservasi dan tindakan pengelolaan yang

disepakati secara internasional.

Persetujuan tersebut menetapkan bahwa negara Pelabuhan dapat, antara lain, memeriksa dokumen-dokumen, alat tangkap dan

tangkapan diatas kapal ikan, apabila kapal-kapal tersebut secara sukarela berada di pelabuhannya atau pada terminal-terminal lepas pantainya.

Di samping itu, Persetujuan ini mengatur bahwa negara-negara dapat membuat peraturan-peraturan yang memberikan

kewenangan kepada otoritas nasional yang terkait untuk melarang pendaratan dan transhipment apabila telah ditentukan bahwa tangkapan telah diambil dengan cara yang mengurangi

efektivitas tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan sub regional, regional atau global di laut lepas.

4. Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

CCRF merupakan penjabaran secara terperinci untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam

UNFSA 1995. Walaupun demikian, substansi pengaturannya hanya sebagian kecil saja yang berkaitan dengan permasalahan

perikanan di Laut Lepas, karena sebagian besar pengaturannya berkaitan dengan masalah pengelolaan sumber-sumber perikanan di perairan nasional dan ZEE, baik budi daya maupun perikanan

tangkap, yang harus dilakukan secara bertanggung jawab.

CCRF memuat prinsip-prinsip dan standar perilaku internasional

dengan tujuan untuk menjamin agar upaya-upaya konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanan dapat berhasil secara efektif, termasuk perlindungan habitat dan ekosistem serta

keragaman jenis dan populasinya. Oleh karena itu, setiap negara, organisasi internasional, dan individu dihimbau untuk secara

Page 19: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 14

sukarela melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dirancang untuk memiliki kekuatan berlaku secara universal.

Terkait dengan port state measures, dalam CCRF diatur setiap negara harus menerapkan upaya-upaya jangka panjang dalam

konservasi dan pengelolaan sumber-sumber perikanannya. Negara-negara diwajibkan untuk mengembangkan mekanisme Monitoring, Controling and Survaillance (MCS) dan penegakan

hukum di dalam wilayah yurisdiksinya untuk menjamin pentaatan atas ketentuan konservasi, baik yang ditetapkan sendiri maupun

yang ditetapkan oleh organisasi perikanan regional;

5. International Plan of Action to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,

Unreported, and Unregulated Fishing (IPOA-IUU Fishing)

Ruang lingkup dari substansi IPOA–IUU Fishing mencakup segala hal yang terkait dengan IUU Fishing. Tujuan dari disusunnya

IPOA-IUU Fishing adalah untuk pencegahan, penangkalan, dan penghapusan IUU Fishing dengan menyediakan bagi semua negara

suatu alat (”toolbox”) yang komprehensif , transfaran, dan efektif. IPOA - IUU Fishing mengatur secara rincci tanggung jawab serta

tindakan yang harus dia,bil oleh negara bendera, negara pantai, dan negara pelabuhan terkait dengan IUU Fishing.

Khusus mengenai port state measures, IPOA-IUU Fishing memberikan memuat pengaturan mengenai mekanisme pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan,

penolakan untuk memasuki pelabuhan, mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki, pengumpulan data dan

informasi, penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan RFMO tentang kegiatan IUU Fishing, prosedur

dan strategi Port State Control, integrasi pengaturan mengenai port state control, tindakan terhadap kegiatan IUU Fishing oleh negara bukan anggota RFMO, serta kerjasama antar negara dan antar

RFMO.

6. FAO Port State Model Scheme 2005

FAO Model Scheme memuat pengaturan secara rinci mengenai komitmen dan kewajiban Negara Pelabuhan terkait dengan

penggunaan pelabuhan oleh kapal-kapal perikanan. Pemberlakuan FAO Model Scheme mencakup semua pelabuhan,

termasuk terminal lepas pantai dan instalasi lain yang digunakan untuk pendaratan, transshipment, pengisian bahan bakar, dan pengisian perbekalan. FAO Model Scheme diterapkan pada kapal

perikanan, termasuk setiap kapal yang digunakan atau dimaksudkan untuk tujuan penangkapan ikan, termasuk kapal

pendukung, kapal pengangkut, dan kapal lain yang secara langsung terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan.

Page 20: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 15

Substansi FAO Model Scheme ini mencakup tindakan apa yang harus diambil oleh negara pelabuhan, bagaimana negara

pelabuhan melakukan pemeriksanaan, bukti dari kegiaran IUU Fishing atau kegiatan yang mendukung IUU Fishing, tindakan

yang dapat dilakukan setelah pemeriksaan, informasi yang harus disampaikan kepada pihak terkait, serta ketentuan pengecualian

berkenaan dengan alasan force majeure atau bahaya atau kebutuhan untuk membantu orang, kapal, atau pesawat udara dari bahaya atau kecelakaan.

B. KETERKAITAN PSM AGREEMENT DENGAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL

1. UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009.

Dalam Pasal 10 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45 Tahun 2009 ditegaskan bahwa untuk kepentingan kerja sama internasional,

Pemerintah bekerja sama dengan negara tetangga atau dengan negara lain dalam rangka konservasi dan pengelolaan sumber

daya ikan di laut lepas, laut lepas yang bersifat tertutup, atau semi tertutup dan wilayah kantong. Sementara itu, dalam Pasal 36 diatur bahwa Kapal perikanan milik orang Indonesia yang

dioperasikan di WPPNRI dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Kapal perikanan yang telah terdaftar diberikan surat tanda kebangsaan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 42 ditegaskan bahwa Syahbandar di pelabuhan

perikanan mempunyai tugas dan wewenang, al.: mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan, memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan, memeriksa teknis dan

nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan, memeriksa log book

penangkapan dan pengangkutan ikan, mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan, dan mengawasi pemanduan.

2. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: PER.30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di WPPNRI sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

Kelautan dan Perikanan Nomor: 57/PERMEN-KP/2014

Dalam Peraturan Menteri ini diatur antara lain tentang jenis-jensis

usaha perikanan tangkap, jenis perizinan dan pembagian kewenangan penerbitannya, pengadaan kapal pengangkut ikan, pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut

ikan, daerah penangkapan. Dalam Peraturan Menteri ini juga diatur kewajiban untuk mendaratkan ikan hasil tangkapan di

Page 21: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 16

pelabuhan perikanan untuk pendaratan kapal perikanan yang telah ditetapkan serta sanksi berupa pencabutan SIPI/SIKPI bagi

kapal yang melanggar.

3. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 23/PERMEN-

KP/2013 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan

Peraturan Menteri ini terkait dengan pendaftaran dan penandaan kapal kapal perikanan berbendera Indonesia yang dioperasikan di

WPP-NRI atau laut lepas yang berukuran diatas 30 (tiga puluh) gross tonnage (GT).

Kewenangan tersebut berada pada Menteri Kelautan dan

Perikanan cq. Direktur Jenderal Perikanan Tangkap.

Berdasarkan Peraturan Menteri tersebut, setiap orang yang

mengoperasikan kapal perikanan berbendera Indonesia di WPP-NRI atau laut lepas yang telah memiliki SIPI/SIKPI harus mengajukan permohonan pendaftaran kapal perikanan kepada

Direktur Jenderal.

4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 10/PERMEN-

KP/2013 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan

Peraturan Menteri ini mengatur mengenai system pemantauan kapal perikanan dimana setiap kapal perikanan dengan ukuran >

30 GT yang beroperasi di WPP-NRI atau di laut lepas yang akan mengajukan permohonan SIPI atau SIKPI wajib memasang dan mengaktifkan transmiter SPKP online.

5. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 3/PERMEN-KP/2013 tentang Kesyahbandaran di Pelabuhan Perikanan

Dalam Peraturan Menteri tersebut juga diatur tugas dan wewenang Syahbandar di Pelabuhan Perikanan, antara lain mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan,

memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan, dan memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan.

Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan diangkat oleh Menteri yang membidangi urusan Pelayaran atas usulan Menteri Kelautan dan Perikanan setelah memiliki surat keterangan tanda lulus

pendidikan dan pelatihan kesyahbandaran

Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan mengatur kedatangan kapal perikanan berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan dari

nakhoda atau pemilik kapal/penanggung jawab perusahaan. Pemberitahuan disampaikan paling lama 48 (empat puluh

delapan) jam bagi kapal perikanan berbendera asing atau 2 (dua) jam bagi kapal perikanan berbendera Indonesia sebelum kapal perikanan memasuki pelabuhan perikanan Pemberitahuan

rencana kedatangan, dapat dilakukan secara langsung kepada Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan atau melalui radio

komunikasi. Berdasarkan pemberitahuan rencana kedatangan,

Page 22: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 17

Syahbandar Di Pelabuhan Perikanan menyiapkan tempat tambat labuh.

6. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.08/MEN/2012 Tentang Kepelabuhanan Perikanan

Dalam Peraturan Menteri ini diatur tentang jenis pelabuhan perikanan yang diklasifikasikan dalam 4 kelas, yaitu Pelabuhan Perikanan kelas A (Pelabuhan Perikanan Samudera), Pelabuhan

Perikanan kelas B (Pelabuhan Perikanan Nusantara), Pelabuhan Perikanan kelas C (Pelabuhan Perikanan Pantai), dan Pelabuhan Perikanan kelas D (Pangkalan Pendaratan Ikan). Dari keempat

jenis pelabuhan tersebut, hanya pelabuhan perikanan kelas A yang melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan

perikanan di laut lepas.

7. Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.12/MEN/2012 Tentang Usaha Perikanan Tangkap Di

Laut Lepas

Peraturan Menteri tersebut mengatur bahwa setiap orang yang

melakukan usaha perikanan tangkap di laut lepas, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap yang meliputi izin usaha perikanan (SIUP), izin penangkapan ikan (SIPI), dan izin kapal pengangkut

ikan (SIKPI). Setiap kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang beroperasi di laut lepas dapat mendaratkan ikan hasil tangkapannya di Indonesia atau di negara lain yang menjadi

anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama. Kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut ikan yang mendaratkan ikan hasil

tangkapannya di Indonesia diberikan 1 (satu) pelabuhan pangkalan.

Sedangkan untuk kapal penangkap ikan atau kapal pengangkut

ikan yang mendaratkan ikan hasil tangkapannya di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama harus memberitahukan kepada kepala pelabuhan pangkalan di

Indonesia sebagaimana tercantum dalam SIPI atau SIKPI melalui media elektronik tentang identitas kapal, jumlah tangkapan,

daerah penangkapan, dan negara tujuan, bukti pendaratan ikan, dan bukti pendaratan ikan yang asli paling lambat 48 jam setelah ikan didaratkan.

Dalam Peraturan Menteri tersebut juga diatur mengenai dimungkinkannya transhipment di laut lepas maupun di

pelabuhan di negara lain yang menjadi anggota RFMO pada wilayah RFMO yang sama dengan persyaratan tertentu.

Page 23: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

Naskah Penjelasan Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and

Eliminate Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing | 18

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. PSM Agreement disusun untuk membuat suatu kerangka hukum

untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, serta untuk memastikan konservasi jangka panjang dan

pemanfaatan sumber daya hayati laut serta ekosistemnya secara berkelanjutan

2. Penandatanganan dan pengesahan PSM Agreement akan membuktikan dukungan dan keikutsertaan Indonesia dalam

upaya global memerangi IUU Fishing melalui penguatan kerja sama antarnegara.

3. Sebagai negara yang mengalami dampak yang merugikan akibat

praktik IUU Fishing, Indonesia sangat berkepentingan untuk mengadopsi dan melaksanakan pengaturan port state measures

untuk mengefektifkan penanganan IUU Fishing oleh nelayan asing.

4. Pengesahkan terhadap PSM Agreement mengandung konsekuensi yang harus dihadapai Indonesia. Di satu sisi Indonesia akan memperoleh hak-hak, termasuk diantaranya berupa bantuan

baik finansial maupun teknis. Di sisi lain Indonesia juga terikat untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terkait dengan

pelaksanaan PSM Agreement, antara lain berupa pemenuhan standar sarana dan prasarana untuk mendukung pelaksanaan port state measures.

5. Indonesia telah terlibat aktif dalam penyusunan dan pembahasn PSM Agreement, hingga menjadi penandatangan persetujuan

tersebut. Sejalan dengan itu, Indonesia juga telah melakukan langkah-langkah persiapan implementasi port state measures

antara lain berupa penetapan lima pelabuhan perikanan sebagai pelaksana port state measures oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, pelatihan bagi sejumlah kepala pelabuhan, serta

pengadopsian prinsip-prinsip port sate measures dalam peraturan perundang-undangan nasional terkait.

B. REKOMENDASI

Secara keseluruhan pengesahan PSM Agreement banyak

memberikan manfaat bagi bangsa dan Negara Indonesia, maka dipandang perlu untuk mengesahkan Persetujuan ini. Pengesahan

Persetujuan ini dilakukan dengan Peraturan Presiden, karena materinya sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang Persetujuan Internasional.

Page 24: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

0

NASKAH TERJEMAHAN

AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER, AND ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED, AND UNREGULATED FISHING

(PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK

MENCEGAH, MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL, TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR)

Page 25: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

1

PERSETUJUAN TENTANG KETENTUAN NEGARA PELABUHAN UNTUK MENCEGAH,

MENGHALANGI, DAN MEMBERANTAS PENANGKAPAN IKAN YANG ILEGAL,

TIDAK DILAPORKAN, DAN TIDAK DIATUR

PEMBUKAAN

Pihak-pihak dalam Persetujuan ini,

Menaruh perhatian yang mendalam terhadap berlanjutnya penangkapan ikan yang ilegal, tidak

dilaporkan, dan tidak diatur (IUU Fishing) serta dampaknya yang merugikan terhadap persediaan

ikan, ekosistem kelautan dan mata pencaharian para nelayan yang sah, dan meningkatnya

kebutuhan terhadap keamanan pangan di seluruh dunia,

Menyadari peran Negara Pelabuhan dalam penerapan langkah yang efektif untuk memajukan

pemanfaatan yang berkelanjutan dan konservasi jangka panjang terhadap sumber daya kelautan

hayati,

Memahami bahwa langkah-langkah untuk memberantas IUU Fishing sepatutnya berdasar pada

tanggung jawab utama dari Negara Bendera dan sepatutnya menggunakan kewenangan yang ada

merujuk kepada hukum internasional, termasuk ketentuan Negara Pelabuhan, ketentuan Negara

Pantai, ketentuan yang berkaitan dengan pasar dan ketentuan untuk memastikan bahwa warga

negara tidak mendukung atau terlibat dalam IUU Fishing,

Memahami bahwa ketentuan Negara Pelabuhan memberikan sarana yang memiliki kekwenangan

besar dan berbiaya efektif untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing,

Menyadari perlunya peningkatan koordinasi di tingkat regional dan antarregional untuk melawan

IUU Fishing melalui ketentuan Negara Pelabuhan,

Mengakui bahwa cepatnya teknologi komunikasi yang sedang berkembang, basis data, jaringan

kerja, dan catatan-catatan global yang mendukung ketentuan Negara Pelabuhan,

Mengenali kebutuhan akan bantuan bagi Negara-negara yang sedang berkembang untuk

mengadopsi dan menerapkan ketentuan Negara Pelabuhan,

Memperhatikan seruan komunitas internasional melalui PBB, termasuk Sidang Umum PBB dan

Komite Perikanan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, yang selanjutnya disebut “FAO”,

sebagai dokumen internasional yang mengikat mengenai standar minimum ketentuan Negara

Pelabuhan, berdasarkan pada Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah,

Menghalangi, dan Memberantas IUU Fishing dan FAO Model Scheme tentang Ketentuan

Negara Pelabuhan untuk melawan IUU Fishing,

Mengingat bahwa, dalam praktik kedaulatan mereka terhadap pelabuhan–pelabuhan yang berada

di wilayahnya, Negara dapat menggunakan ketentuan yang lebih ketat, sesuai dengan hukum

internasional.

Mengingat ketetapan yang relevan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tanggal 10

Desember 1982, yang selanjutnya disebut sebagai “Konvensi”,

Page 26: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

2

Mengingat Persetujuan untuk Pelaksanaan Ketetapan Konvensi PBB mengenai Hukum Laut

tanggal 10 Desember 1982 tentang Konservasi dan Pengelolaan Persediaan Ikan yang Beruaya

Terbatas dan Persediaan Ikan yang Beruaya Jauh pada tanggal 4 Desember 1995, Persetujuan

untuk Meningkatkan Kepatuhan terhadap Ketentuan Pengelolaan dan Konservasi Internasional

oleh Kapal Perikanan di Laut Lepas tanggal 4 November 1993 dan Kode Etik FAO tahun 1995

tentang Perikanan yang Bertanggung Jawab,

Memahami pentingnya memberikan consent terhadap Persetujuan internasional dalam kerangka

kerja FAO, di bawah Pasal XIV Konstitusi FAO.

Telah menyetujui hal-hal sebagai berikut:

BAGIAN 1

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Penggunaan Terminologi

Demi tujuan Persetujuan ini:

(a) “ketentuan konsevasi dan pengelolaan” yaitu langkah-langkah untuk melestarikan dan

mengelola sumber daya kelautan hayati yang diambil dan diterapkan secara konsisten dengan

peraturan dalam hukum internasional yang relevan termasuk yang tercermin dalam Konvensi;

(b) “ikan” yaitu seluruh spesies sumber daya kelautan hayati, baik diproses maupun tidak;

(c) “penangkapan ikan” yaitu mencari, menarik, menempatkan, menangkap, mengambil, atau

memanen ikan atau suatu aktivitas yang secara logika bertujuan untuk menarik,

menempatkan, menangkap, mengambil, atau memanen ikan;

(d) “kegiatan yang berkenaan dengan penangkapan ikan” yaitu suatu kegiatan yang mendukung

atau dalam persiapan untuk, menangkap ikan, termasuk pendaratan, pengepakan, pengolahan,

pengalihangkutan atau pengangkutan ikan yang belum didaratkan di suatu pelabuhan, juga

penyerahan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan kebutuhan lain di laut;

(e) “IUU Fishing” mengacu kepada kegiatan-kegiatan yang tertera di paragraph 3 Rencana Aksi

Internasional FAO tahun 2001 untuk Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas

Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang selanjutnya disebut

sebagai “IUU Fishing”;

(f) “Pihak” yaitu Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang telah setuju untuk

tunduk di bawah Persetujuan ini dan dimana Persetujuan ini diberlakukan;

(g) “pelabuhan” meliputi terminal-terminal lepas pantai dan instalasi lain untuk pendaratan,

pengalihangkutan, pengepakan, pengolahan, pengisian bahan bakar atau pengisian

perbekalan;

(h) “organisasi integrasi ekonomi regional” yaitu organisasi integrasi ekonomi regional yang

Page 27: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

3

Negara anggotanya menyerahterimakan kompetensi terhadap hal-hal yang tersebut dalam

Persetujuan ini, termasuk kekuasaan untuk mengambil keputusan yang mengikat Negara

anggotanya mengenai hal-hal tersebut;

(i) “organisasi pengelola perikanan regional” yaitu organisasi atau lembaga perikanan

antarnegara atau yang disamakan, yang memiliki kompetensi untuk menerapkan ketentuan

konservasi dan pengelolaan; dan

(j) “kapal” yaitu kapal apapun, jenis kapal lain atau perahu yang digunakan untuk, yang

dilengkapi untuk, atau dimaksudkan untuk, menangkap ikan atau kegiatan-kegiatan lain yang

berkaitan dengan penangkapan ikan.

Pasal 2

Tujuan

Tujuan Persetujuan ini adalah untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing

melalui penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif, dan dengan demikian untuk

memastikan konservasi jangka panjang dan pemanfaatan sumber daya kelautan hayati serta

ekosistem kelautan yang berkelanjutan.

Pasal 3

Penerapan

1. Setiap Pihak wajib, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, menerapkan Persetujuan

ini bila ada kapal-kapal yang tidak berhak mengibarkan benderanya yang akan masuk ke

pelabuhan-pelabuhannya atau berada dalam salah satu pelabuhannya, kecuali untuk:

(a) kapal-kapal dari negara sekitar yang melakukan penangkapan ikan untuk mencari nafkah,

apabila Negara Pelabuhan dan Negara Bendera bekerja sama untuk memastikan bahwa

kapal-kapal tersebut tidak terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud; dan

(b) kapal-kapal kontainer yang tidak sedang mengangkut ikan atau, jika mengangkut ikan,

hanya ikan yang sebelumnya telah didaratkan, dalam hal ini tidak terdapat dasar yang jelas

untuk mencurigai bahwa kapal tersebut terlibat dalam kegiatan penangkapan ikan yang

berhubungan dengan IUU Fishing.

2. Pihak dapat, dalam kapasitasnya sebagai Negara Pelabuhan, memutuskan untuk tidak

menerapkan Persetujuan ini kepada kapal-kapal yang disewa oleh warga negaranya secara

khusus untuk menangkap ikan di wilayah kedaulatan negaranya dan beroperasi di bawah

kekuasaan wilayah tersebut. Kapal yang demikian wajib mempertimbangkan ketentuan dari

Pihak sebagaimana halnya ketentuan tersebut diterapkan dalam kaitannya dengan kapal-kapal

yang berhak untuk mengibarkan benderanya.

3. Persetujuan ini wajib diterapkan untuk penangkapan ikan yang dilakukan di wilayah laut

secara ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 (e)

Persetujuan ini, dan berlaku untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan

yang mendukung cara penangkapan ikan tersebut.

Page 28: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

4

4. Persetujuan ini wajib diterapkan secara adil, transparan, dan nondiskriminatif, sesuai dengan

hukum internasional.

5. Karena Persetujuan ini mencakup secara global dan berlaku untuk semua pelabuhan, Pihak-

Pihak wajib mendorong semua entitas yang lain untuk mengambil langkah-langkah yang

konsisten dengan ketetapannya. Bagi yang tidak menjadi Pihak dalam Persetujuan ini dapat

menunjukkan komitmen mereka untuk secara konsisten bertindak sesuai dengan ketetapan ini.

Pasal 4

Hubungan dengan Hukum Internasional dan Instrumen Internasional Lainnya

1. Tidak satu pun dalam Persetujuan ini yang bertentangan dengan hak, yuridiksi dan kewajiban–

kewajiban Pihak-Pihak dalam hukum internasional. Khususnya, tidak satu pun dalam

Persetujuan ini diartikan untuk mempengaruhi:

(a) kedaulatan Pihak-Pihak atas perairan dalam, kepulauan, dan perairan territorialnya atau

hak-hak yang berdaulat atas landas kontinen dan zona ekonomi eksklusifnya;

(b) pelaksanaan oleh Pihak-Pihak terhadap kedaulatannya atas pelabuhan-pelabuhan dalam

teritorinya sesuai dengan hukum internasional, termasuk hak untuk menolak masuk kesana

sebagaimana juga menerima ketentuan negara pelabuhan yang lebih ketat dibandingkan

dengan yang ditetapkan dalam Persetujuan ini, termasuk diterimanya beberapa ketentuan

yang mengikuti keputusan dari organisasi pengelolaan perikanan regional.

2. Dalam penerapan Persetujuan ini, Pihak tidak kemudian menjadi terikat oleh ketentuan –

ketentuan atau keputusan – keputusan, atau mengakui organisasi pengelolaan perikanan

regional mana pun yang tidak menjadi anggota di dalamnya.

3. Pihak dalam Persetujuan ini sama sekali tidak boleh memberikan consent terhadap ketentuan

atau keputusan suatu organisasi pengelolaan perikanan regional apabila ketentuan atau

keputusan tersebut tidak sesuai dengan hukum internasional.

4. Persetujuan ini wajib diartikan dan diterapkan sesuai dengan hukum internasional dengan

memperhatikan peraturan dan standar internasional yang berlaku, termasuk yang ditetapkan

oleh Organisasi Maritim Internasional, dan instrumen internasional lainnya.

5. Pihak-Pihak wajib mematuhi kewajiban yang dipikul sesuai dengan Persetujuan ini dengan

itikad baik dan wajib menggunakan hak – hak yang ada dalam Persetujuan ini dengan cara

yang tidak akan menimbulkan penyalahgunaan hak.

Pasal 5

Integrasi dan Koordinasi Pada Tingkat Nasional

Setiap Pihak wajib, dengan sebisa mungkin:

(a) mengintegrasikan atau mengkoordinasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan yang

berkaitan dengan perikanan dengan sistem kontrol Negara Pelabuhan yang lebih luas;

(b) mengintegrasikan ketentuan-ketentuan Negara Pelabuhan dengan ketentuan lain untuk

mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang berkaitan dengan

Page 29: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

5

penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian, dengan

mempertimbangkan secara tepat Rencana Aksi Internasional FAO tahun 2001 untuk

Mencegah, Menghalangi, dan Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak

Dilaporkan, dan Tidak Diatur; dan

(c) Mengadakan tukar informasi di antara badan nasional yang terkait dan mengkoordinasikan

kegiatan badan tersebut dalam pelaksanaan Persetujuan ini.

Pasal 6

Kerja Sama dan Pertukaran Informasi

1. Untuk melaksanakan penerapan Persetujuan ini dengan efektif dan atas pertimbangan

persyaratan kerahasiaan, Pihak-Pihak wajib bekerja sama dan bertukar informasi dengan

Negara terkait, FAO, organisasi internasional lainnya, dan organisasi – organisasi

pengelolaan perikanan regional, termasuk dalam ketentuan yang digunakan oleh organisasi

pengelolaan perikanan regional lain sehubungan dengan tujuan Persetujuan ini.

2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, mengambil langkah-langkah dalam mendukung tindakan

pengelolaan dan konservasi yang digunakan oleh negara lain dan organisasi internasional

yang terkait.

3. Pihak-pihak wajib bekerja sama, pada tingkat subregional, regional, dan global, dalam

penerapan Persetujuan ini secara efektif termasuk, bila perlu, melalui FAO atau organisasi

dan lembaga pengelolaan perikanan regional.

BAGIAN 2

MASUK KE PELABUHAN

Pasal 7

Penunjukkan Pelabuhan

1. Setiap Pihak wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan-pelabuhan dimana kapal

perikanan mungkin meminta izin untuk masuk sesuai dengan Persetujuan ini. Setiap Pihak

wajib menyerahkan daftar pelabuhan yang ditunjuk kepada FAO, yang akan

mempublikasikannya.

2. Setiap Pihak wajib, sebisa mungkin, memastikan bahwa setiap pelabuhan yang ditunjuk dan

dipublikasikan sehubungan dengan Paragraf 1 dalam Pasal ini memiliki kapasitas yang cukup

untuk melaksanakan pemeriksaan sesuai dengan Persetujuan ini.

Pasal 8

Permohonan Awal Untuk Masuk ke Pelabuhan

1. Setiap Pihak wajib meminta, sebagai standar minimum, informasi yang diminta dalam Annex

A untuk diberikan sebelum memberi izin masuk kepada kapal ke Pelabuhan.

Page 30: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

6

2. Setiap Pihak wajib meminta informasi yang tercantum dalam Paragraf 1 dalam Pasal ini untuk

diberikan seawal mungkin untuk memberi waktu yang cukup bagi Negara Pelabuhan untuk

mempelajari informasi tersebut.

Pasal 9

Masuk Pelabuhan, Otorisasi, atau Penolakan

1. Setelah menerima informasi terkait yang diperlukan sesuai dengan Pasal 8, juga informasi lain

yang mungkin diperlukan untuk menentukan apakah kapal yang akan masuk ke pelabuhan

terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang terkait penangkapan ikan yang mendukung

penangkapan ikan yang demikian, setiap Pihak wajib memutuskan apakah mengizinkan atau

menolak kapal tersebut untuk masuk ke pelabuhan dan wajib mengkomunikasikan keputusan

ini ke kapal tersebut atau yang mewakilinya.

2. Dalam hal izin masuk, nakhoda kapal atau yang mewakilinya wajib menyerahkan izin masuk

kepada pihak yang berwenang dari Pihak ketika tiba di Pelabuhan.

3. Dalam hal penolakan masuk, setiap Pihak wajib mengkomunikasikan keputusan yang diambil

sesuai dengan Paragraf 1 Pasal ini kepada Negara Bendera kapal tersebut dan, bila perlu dan

sebisa mungkin, Negara Pantai, organisasi pengelolaan perikanan regional, dan organisasi

internasional lainnya.

4. Tanpa mengurangi arti Paragraf 1 Pasal ini, ketika Pihak memiliki bukti yang cukup bahwa

suatu kapal yang akan masuk ke Pelabuhan terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang

berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan dimaksud, khususnya

kapal yang ada dalam daftar kapal yang pernah terlibat dalam penangkapan ikan yang

demikian, atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang digunakan oleh

organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait sesuai dengan peraturan dan prosedur

organisasi tersebut dan sesuai dengan hukum internasional, Pihak tersebut wajib menolak

kapal tersebut untuk memasuki pelabuhan, dengan mempertimbangkan Paragraf 2 dan 3

dalam Pasal 4.

5. Meskipun Paragraf 3 dan 4 dalam Pasal ini berbunyi demikian, Pihak dapat memberikan izin

masuk kepada kapal yang dimaksud dalam Paragraf tersebut ke Pelabuhan khusus untuk

tujuan memeriksa kapal tersebut dan mengambil tindakan yang perlu sesuai dengan hukum

internasional yang setidaknya berupa penolakan masuk ke Pelabuhan dalam usaha mencegah,

menghalangi, dan memberantas IUU Fishing dan kegiatan yang terkait penangkapan ikan

yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.

6. Bila sebuah kapal yang dimaksud Paragraf 4 atau 5 dalam Pasal ini berada dalam pelabuhan

untuk alasan tertentu, Pihak wajib menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhan

tersebut untuk mendaratkan, mengalih-angkutkan, mengemas, dan mengolah ikan dan untuk

layanan pelabuhan lainnya termasuk, mengisi bahan bakar dan mengisi perbekalan,

melakukan perawatan dan menggunakan galangan kapal. Paragraf 2 dan 3 Pasal 11

menerapkan mutatis mutandis (mengubah hal yang perlu diubah atau perubahan perlu yang

telah dibuat) dalam hal tersebut. Penolakan penggunaan pelabuhan harus sesuai dengan

hukum internasional.

Page 31: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

7

Pasal 10

Force majeure atau Keadaan Sulit

Tidak ada dalam Persetujuan ini yang mempengaruhi masuknya kapal ke pelabuhan yang sesuai

dengan hukum internasional atas alasan Force majeure atau keadaan sulit, atau mencegah

Negara Pelabuhan memberi izin masuk ke pelabuhan kepada kapal secara khusus untuk

memberikan bantuan kepada perorangan, kapal atau pesawat udara dalam bahaya atau kesulitan.

BAGIAN 3

GUNA PELABUHAN

Pasal 11

Guna Pelabuhan

1. Ketika sebuah kapal telah masuk ke pelabuhan, Pihak wajib menolak, sesuai dengan hukum

dan peraturan dan sesuai dengan hukum internasional, termasuk Persetujuan ini, kapal tersebut

untuk menggunakan pelabuhan untuk mendaratkan, mengalihmuatkan, mengemas, dan

mengolah ikan yang sebelumnya belum didaratkan dan untuk menggunakan layanan

pelabuhan lainnya, termasuk diantaranya, mengisi bahan bakar, dan mengisi perbekalan,

melakukan perawatan dan menggunakan kapal, apabila:

(a) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk

menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana

diminta oleh Negara Bendera;

(b) Pihak mengetahui bahwa kapal tersebut tidak memiliki izin yang resmi dan berlaku untuk

menangkap ikan atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan sebagaimana

diminta oleh Negara Pantai sesuai dengan wilayah di bawah kedaulatan nasional Negara

tersebut;

(c) Pihak menerima bukti yang jelas bahwa ikan yang diangkut melanggar hukum yang

berlaku di Negara Pantai sesuai dengan wilayah kedaulatan nasional Negara tersebut;

(d) Negara Bendera tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu yang wajar, atas

permintaan Negara Pelabuhan, bahwa ikan yang diangkut sesuai dengan peraturan yang

berlaku, organisasi pengelolaan perikanan regional terkait dengan mempertimbangkan

Paragraf 2 dan 3 Pasal 4; atau

(e) Pihak memiliki alasan yang masuk akal untuk meyakini bahwa kapal tersebut juga terlibat

dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang

mendukung penangkapan ikan yang demikian, termasuk mendukung kapal sebagaimana

dimaksud Paragraf 4 Pasal 9, kecuali jika kapal tersebut dapat menunjukkan:

(i) bahwa kapal tersebut bertindak sesuai dengan ketentuan pengelolaan dan konservasi

yang terkait; atau

Page 32: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

8

(ii) dalam hal penyediaan perlengkapan ABK, bahan bakar, alat tangkap, dan persediaan

lain di laut, bahwa kapal yang dibekali tersebut, pada saat melakukan kegiatan

dimaksud, bukan kapal yang dimaksud Paragraf 4 Pasal 9.

2. Meskipun Paragraf 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal

sebagaimana dimaksud dalam Paragraf tersebut untuk memperoleh layanan pelabuhan:

(a) yang penting bagi keamanan atau kesehatan ABK atau keamanan kapal, jika kebutuhan ini

terbukti dibutuhkan, atau

(b) bila diperlukan, untuk perbaikan kapal tersebut.

3. Apabila Pihak telah menolak penggunaan pelabuhannya sesuai dengan Pasal ini, Pihak wajib

segera memberi tahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai terkait, organisasi

pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional terkait atas keputusan itu.

4. Pihak wajib mencabut penolakannya atas penggunaan pelabuhan sesuai dengan Paragraf 1

Pasal ini terhadap suatu kapal hanya jika terdapat bukti bahwa dasar yang digunakan untuk

menolak tidak cukup atau keliru atau sudah tidak berlaku.

5. Jika Pihak telah mencabut penolakannya sesuai dengan Paragraf 4 Pasal ini, Pihak wajib

segera memberi tahu secepatnya kepada Pihak-Pihak dimana pemberitahuan tersebut

diberikan sesuai dengan Paragraf 3 Pasal ini.

BAGIAN 4

PEMERIKSAAN DAN PENINDAKLANJUTAN

Pasal 12

Tingkat dan Prioritas Pemeriksaan

1. Setiap Pihak wajib memeriksa jumlah kapal di pelabuhannya yang diperlukan untuk

memperoleh tingkat pemeriksaan tahunan yang cukup untuk mencapai tujuan Persetujuan ini.

2. Pihak-pihak wajib berupaya untuk menyetujui pada tingkat minimum pemeriksaan kapal

melalui, bila perlu, organisasi pengelolaan perikanan regional, FAO atau yang lainnya.

3. Dalam menentukan kapal mana yang akan diperiksa, Pihak wajib memberikan prioritas

kepada:

(a) kapal-kapal yang telah ditolak masuk atau menggunakan pelabuhan sesuai dengan

Persetujuan ini;

(b) permohonan-permohonan dari Pihak yang terkait, Negara atau organisasi pengelolaan

perikanan regional untuk memeriksa kapal tertentu, khususnya jika permohonan tersebut

didukung oleh bukti IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan

yang mendukung penangkapan ikan yang demikian oleh kapal yang sedang

Page 33: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

9

dipermasalahkan;

(c) kapal lain yang dengan dasar jelas dicurigai terlibat IUU Fishing atau kegiatan yang

berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian.

Pasal 13

Pelaksanaan Pemeriksaan

1. Setiap pihak wajib memastikan bahwa pemeriksa melaksanakan fungsi yang tertera dalam

Annex B sebagai standar minimum.

2. Setiap Pihak wajib, dalam melaksanakan pemeriksaan di pelabuhan:

(i) memastikan pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa yang berkualitas yang diberi

wewenang untuk tugas tersebut, dengan memperhatikan secara khusus Pasal 17;

(ii) memastikan bahwa, sebelum memeriksa, pemeriksa menyerahkan dokumen yang

menerangkan identitas pemeriksa kepada nakhoda kapal;

(iii) memastikan bahwa Pemeriksa memeriksa seluruh bagian kapal, ikan yang diangkut,

jaring dan alat tangkap lain, perlengkapan, dan dokumen atau catatan lain di kapal yang

relevan untuk menguji kepatuhan terhadap ketentuan pengelolaan dan konservasi yang

terkait;

(iv) mewajibkan nakhoda kapal memberikan semua bantuan dan informasi yang diperlukan

kepada Pemeriksa, dan apabila diperlukan menyerahkan bahan dan dokumen yang terkait

atau semua salinan dokumen yang sah dimaksud;

(v) dalam hal pengaturan tertentu dengan Negara Bendera kapal tersebut, mengundang

Negara itu untuk ikut serta dalam pemeriksaan;

(vi) mengusahakan semua kemungkinan untuk menghindari penundaan yang berlebihan kapal

tersebut untuk meminimalkan campur tangan dan ketidaknyamanan, termasuk kehadiran

pemeriksa di atas kapal yang tidak perlu, dan untuk menghindari tindakan yang secara

kontradiktif akan mempengaruhi kualitas ikan di kapal;

(vii) mengusahakan segala kemungkinan untuk memfasilitasi komunikasi dengan nakhoda

atau ABK senior kapal tersebut, termasuk bila pemeriksa dikawal seorang penterjemah

jika mungkin dan jika diperlukan;

(viii) memastikan bahwa pemeriksaan dilaksanakan dengan cara yang adil, transparan, dan

nondiskriminatif dan tidak akan menimbulkan gangguan terhadap kapal mana pun; dan

(ix) tidak mencampuri kemampuan nakhoda kapal, sesuai dengan hukum internasional, untuk

berkomunikasi dengan pihak berwenang Negara Bendera.

Page 34: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

10

Pasal 14

Hasil Pemeriksaan

Setiap Pihak wajib, sebagai standar minimum, memasukkan informasi yang tertera di Annex C

dalam laporan tertulis hasil pemeriksaan.

Pasal 15

Penyampaian Hasil Pemeriksaan

Setiap Pihak wajib menyampaikan hasil tiap pemeriksaan kepada Negara Bendera kapal yang

diperiksa, dan bila perlu, kepada:

(a) Pihak dan Negara terkait, termasuk:

(i) negara-negara dimana melalui pemeriksaan terdapat bukti bahwa kapal tersebut terlibat

IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan dengan penangkapan ikan yang

mendukung penangkapan ikan yang demikian dalam perairan di bawah kewenangan

nasional mereka, dan

(ii) negara dimana nakhoda kapal menjadi warganegara.

(b) organisasi pengelolaan perikanan regional yang terkait, dan

(c) FAO dan organisasi internasional yang terkait.

Pasal 16

Pertukaran Informasi Elektronik

1. Untuk memfasilitasi penerapan Persetujuan ini, setiap Pihak wajib, jika memungkinkan,

membangun mekanisme komunikasi yang memungkinkan pertukaran informasi elektronik

secara langsung, dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan.

2. Sebisa mungkin dan dengan mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, Pihak-

pihak wajib bekerja sama untuk membangun mekanisme berbagi informasi, lebih diutamakan

dibawah koordinasi FAO, sehubungan dengan inisiatif multilateral dan antar-Negara yang

terkait, dan untuk memfasilitasi pertukaran informasi dengan basis data yang ada yang relevan

dengan Persetujuan ini.

3. Setiap Pihak wajib menunjuk suatu otoritas yang akan bertindak sebagai pusat kontak untuk

pertukaran informasi di bawah Persetujuan ini. Setiap Pihak wajib memberi tahu penunjukkan

tersebut kepada FAO.

4. Setiap Pihak wajib menangani informasi yang akan disampaikan melalui mekanisme tertentu

yang dibuat di bawah paragraf 1 Pasal ini yang sesuai dengan Annex D.

5. FAO wajib meminta organisasi pengelolaan perikanan regional terkait untuk memberikan

informasi tentang langkah atau keputusan yang telah mereka gunakan dan terapkan yang

berhubungan dengan Persetujuan ini demi integrasi mereka, sebisa mungkin dan

Page 35: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

11

mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan yang relevan, ke dalam mekanisme berbagi

informasi sebagaimana tertuang dalam paragraf 2 Pasal ini.

Pasal 17

Pelatihan Pemeriksa

Setiap Pihak wajib memastikan bahwa pemeriksanya dilatih sebagaimana mestinya dengan

mempertimbangkan pedoman pelatihan pemeriksa dalam Annex E. Pihak-Pihak wajib berusaha

untuk bekerja sama dalam hal ini.

Pasal 18

Tindakan Negara Pelabuhan Setelah Pemeriksaan

1. Apabila, setelah pemeriksaan, terdapat dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal

telah terlibat IUU Fishing atau kegiatan yag berkaitan dengan penangkapan ikan yang

mendukung penangkapan ikan yang demikian, Pihak yang memeriksa wajib:

(a) segera memberitahu Negara Bendera dan, bila perlu, Negara Pantai terkait, organisasi

pengelolaan perikanan regional dan organisasi internasional lainnya, dan Negara dimana

nakhoda kapal tersebut menjadi warga Negara atas temuan tersebut; dan

(b) menolak kapal tersebut untuk menggunakan pelabuhannya untuk mendaratkan,

mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan yang belum didaratkan sebelumnya

dan layanan pelabuhan lainnya, termasuk antara lain, pengisian bahan bakar dan pengisian

perbekalan, melakukan pemeliharaan dan menggunakan galangan kapal, jika tindakan ini

belum dilakukan terhadap suatu kapal, dengan cara yang sesuai dengan Persetujuan ini,

termasuk Pasal 4.

2. Meskipun paragraph 1 Pasal ini berbunyi demikian, Pihak tidak boleh menolak kapal

sebagaimana yang dimaksud dalam paragraf tersebut untuk menggunakan layanan pelabuhan

yang sangat penting bagi keselamatan atau kesehatan ABK atau keselamatan kapal.

3. Persetujuan ini tidak mencegah Pihak untuk mengambil langkah yang sesuai dengan hukum

internasional disamping seperti yang dituangkan dalam paragraf 1 dan 2 dalam Pasal ini

termasuk ketentuan – ketentuan sebagaimana Negara bendera kapal tersebut telah meminta

atau yang telah menyetujui.

Pasal 19

Informasi Permintaan Bantuan di Negara Pelabuhan

1. Pihak wajib menjaga agar informasi yang relevan tersedia bagi masyarakat dan memberikan

informasi tersebut, atas permintaan tertulis, kepada pemilik kapal, operator, nakhoda atau

perwakilan dari kapal dengan mempertimbangkan permintaan bantuan yang dibuat sesuai

dengan hukum dan peraturan nasional tentang ketentuan Negara Pelabuhan dari Pihak tersebut

sesuai dengan Pasal 9, 11, 13 atau 18, termasuk informasi yang berkenaan dengan pelayanan

Page 36: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

12

umum atau lembaga hukum yang ada untuk tujuan ini, juga informasi mengenai ada tidaknya

hak untuk mendapatkan kompensasi sehubungan dengan hukum dan peraturan nasional ketika

terjadi kehilangan atau kerusakan yang timbul sebagai akibat dari tindakan ilegal yang

dituduhkan oleh pihak tersebut.

2. Pihak tersebut wajib memberi tahu Negara Bendera, pemilik, operator, nakhoda, atau

perwakilan, bila perlu, mengenai hasil permintaan bantuan. Ketika pihak, Negara atau

organisasi interansional lain telah diberi tahu tentang keputusan awal sesuai dengan Pasal 9,

11, 13, atau 18, Pihak tersebut wajib menginformasikan perubahan apapun dalam keputusan

itu kepada mereka.

BAGIAN 5

PERAN NEGARA BENDERA

Pasal 20

Peran Negara Bendera

1. Setiap pihak wajib meminta kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk bekerja sama

dengan Negara Pelabuhan dalam pemeriksaan yang dilaksanakan sesuai dengan Persetujuan

ini.

2. Jika Pihak memiliki dasar yang jelas untuk meyakini bahwa suatu kapal yang berhak

mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan

penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian dan hendak masuk ke

atau berada di pelabuhan Negara lain, Pihak tersebut wajib, bila perlu, meminta Negara

tersebut untuk memeriksa kapal itu atau mengambil langkah-langkah lain yang sesuai dengan

Persetujuan ini.

3. Setiap Pihak wajib mendorong kapal yang berhak mengibarkan benderanya untuk

mendaratkan, mengalihangkutkan, mengemas, dan mengolah ikan, dan menggunakan layanan

pelabuhan lainnnya di pelabuhan Negara yang bertindak sesuai dengan, atau dengan cara yang

konsisten dengan Perjajian ini. Pihak-Pihak didorong untuk mengembangkan, termasuk

melalui organisasi pengolahan perikanan regional, dan FAO, prosedur yang adil, transparan,

dan nondiskriminatif, untuk mengidentifikasi Negara manapun yang tidak bertindak sesuai

dengan, atau cara yang konsisten dengan Persetujuan ini.

4. Apabila setelah pemeriksaan Negara Pelabuhan, Pihak Negara Bendera menerima laporan

pemeriksaan yang menunjukkan adanya dasar yang jelas untuk meyakini bahwa sebuah kapal

yang berhak mengibarkan benderanya terlibat dalam IUU Fishing atau kegiatan yang

berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang demikian,

Pihak Negara Bendera wajib segera melakukan investigasi secara menyeluruh masalah

tersebut dan wajib, dan bila bukti cukup, mengambil tindakan penegakan tanpa menunda-

nunda sesuai dengan hukum dan peraturan.

5. Setiap Pihak wajib dalam kapasitasnya sebagai Negara Bendera, melapor kepada Pihak lain,

Negara Pelabuhan yang terkait dan, bila perlu, Negara lain yang relevan, organisasi

pengelolaan perikanan regional dan FAO atas tindakan yang telah dilakukan terhadap kapal

yang berhak mengibarkan benderanya yang, sebagai hasil penerapan ketentuan Negara

Page 37: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

13

pelabuhan sesuai dengan Persetujuan ini, telah dinyatakan terlibat dalam IUU Fishing atau

kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang mendukung penangkapan ikan yang

demikian.

6. Setiap Pihak wajib memastikan bahwa ketentuan yang diterapkan kepada kapal yang berhak

mengibarkan benderanya setidaknya sama efektifnya, dalam mencegah, menghalangi, dan

memberantas IUU Fishing atau kegiatan yang berkaitan dengan penangkapan ikan yang

mendukung penangkapan ikan yang demikian, sebagaimana ketentuan yang diterapkan pada

kapal yang tercantum pada paragraf 1 Pasal 3.

BAGIAN 6

PERSYARATAN BAGI NEGARA YANG SEDANG BERKEMBANG

Pasal 21

Persyaratan bagi Negara yang Sedang Berkembang

1. Pihak-pihak wajib memberikan pengakuan penuh terhadap persyaratan khusus bagi Pihak

negara yang sedang berkembang dalam hubungannya dengan penerapan ketentuan Negara

Pelabuhan yang konsisten dengan Persetujuan ini. Dalam pada itu, negara – negara pihak

wajib, baik secara langsung atau melalui FAO, badan khusus lain dari PBB atau organisasi

internasional yang relevan dan lembaga, termasuk organisasi pengelolaan perikanan regional

lain, memberikan bantuan kepada pengembangan Negara Pihak untuk, diantaranya:

(a) meningkatkan kemampuan mereka, khususnya negara miskin dan negara yang sedang

berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk membangun basis hukum dan kapasitas demi

penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif;

(b) memfasilitasi partisipasi mereka dalam organisasi internasional manapun yang mendorong

pengembangan dan penerapan ketentuan Negara Pelabuhan yang efektif; dan

(c) memfasilitasi bantuan teknis untuk memperkuat pengembangan dan penerapan ketentuan

negara Pelabuhan oleh mereka, melalui koordinasi dengan mekanisme internasional yang

relevan.

2. Pihak-Pihak wajib memberikan pertimbangan terhadap persyaratan khusus bagi Pihak Negara

Pelabuhan yang berklasifikasi sebagai negara yang sedang berkembang khususnya negara

miskin dan Negara yang sedang berkembang dalam bentuk pulau kecil, untuk memastikan

bahwa beban yang tidak sebanding yang muncul dari pelaksanaan Persetujuan ini tidak

dilimpahkan secara langsung atau tidak langsung kepada mereka. Dalam hal telah terjadi

pelimpahan atas beban yang tidak sebanding, Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk

memfasilitasi pelaksanaan dari Pihak Negara yang sedang berkembang terhadap kewajiban –

kewajiban khusus di bawah Persetujuan ini.

3. Pihak-Pihak wajib, secara langsung atau melalui FAO, menilai persyaratan khusus bagi Pihak

Negara yang sedang berkembang sehubungan dengan pelaksanaan Persetujuan ini.

Page 38: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

14

4. Pihak-Pihak wajib bekerja sama untuk membentuk mekanisme pendanaan yang memadai

untuk membantu Negara yang sedang berkembang dalam penerapan Perjajian ini. Mekanisme

ini wajib, diantaranya ditujukan secara khusus untuk:

(a) Mengembangkan ketentuan Negara Pelabuhan Nasional dan Internasional;

(b) Mengembangkan dan meningkatkan kapasitas, termasuk untuk memantau, mengendalikan

dan mengawasi serta untuk pelatihan bagi manajer pelabuhan, pemeriksa, serta aparat

penegakan dan pegawai hukum di level nasional dan regional;

(c) Memantau, mengendalikan, kegiatan – kegiatan kepatuah dan pengawasan yang relevan

dengan ketentuan Negara Pelabuhan, termasuk akses untuk teknologi dan perlengkapan;

dan

(d) Membantu Pihak Negara yang sedang berkembang dalam hal biaya yang berasal dari

sidang – sidang penyelesaian sengketa sebagai akibat dari tindakan – tindakan yang telah

mereka lakukan sebagaimana tertuang dalam Persetujuan ini.

5. Kerja sama dengan dan di antara Pihak Negara yang sedang berkembang untuk tujuan yang

tertera dalam Pasal ini dapat berupa ketentuan tentang bantuan teknis dan keuangan melalui

jalur bilateral, multilateral, dan regional, termasuk kerja sama selatan-selatan.

6. Pihak-pihak wajib membentuk kelompok kerja ad hoc untuk melaporkan secara berkala dan

membuat rekomendasi kepada Pihak-Pihak dalam pembentukan mekanisme pendanaan

termasuk sebuah skema untuk kontribusi, identifikasi, dan mobilisasi dana, pengembangan

kriteria dan prosedur untuk memandu pelaksanaan dan perkembangan penerapan mekanisme

pendanaan. Di samping pertimbangan-pertimbangan yang tertera dalam pasal ini, kelompok

kerja ad hoc wajib mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

(a) penilaian akan kebutuhan pengembangan Pihak Negara yang sedang berkembang,

khususnya negara miskin di antara mereka dan Negara yang sedang berkembang dalam

bentuk pulau kecil;

(b) ketersediaan dari pencairan dana yang tepat waktu;

(c) ketransparanan dalam pengambilan keputusan dan proses pengelolaan pengumpulan dan

alokasi dana; dan

(d) akuntabilitas Pihak Negara yang sedang berkembang sebagai penerima dalam penggunaan

dana yang disetujui. Pihak wajib mempertimbangkan laporan dan rekomendasi dari

kelompok kerja ad hoc dan mengambil langkah – langkah yang diperlukan.

Page 39: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

15

BAGIAN 7

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 22

Penyelesaian Perselisihan secara Damai

1. Pihak-pihak boleh melakukan konsultasi dengan pihak lain atau Pihak-pihak lain mengenai

interpretasi atau aplikasi ketentuan – ketentuan Persetujuan ini dengan maksud untuk

mencapai sebuah penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak sesegera mungkin.

2. Dalam hal perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan melalui konsultasi ini dalam rentang

waktu yang memadai, Pihak-pihak yang sedang bermasalah wajib berkonsultasi di antara

mereka sendiri sesegera mungkin dengan maksud untuk menyelesaikan perselisihan dengan

negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian hukum atau sarana damai

lain sesuai pilihan mereka.

3. Perselisihan yang tidak terselesaikan wajib, atas persetujuan seluruh pihak yang bersengketa,

diajukan ke Mahkamah Internasional untuk diselesaikan, ke Pengadilan Internasional untuk

Hukum Laut atau Arbitrasi. Apabila tidak dapat diselesaikan di Mahkamah Internasional,

Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut atau Arbitrasi, Pihak-pihak tersebut wajib terus

berkonsultasi dan bekerjasama dengan maksud untuk menyelesaikan persengketaan merujuk

kepada aturan Hukum Internasional yang berkenaan dengan konvensi sumber daya kelautan

hayati.

BAGIAN 8

NON-PIHAK

Pasal 23

Non-pihak Dalam Persetujuan Ini

1. Pihak-pihak wajib mendorong Non-Pihak dalam Persetujuan ini untuk menjadi Pihak dalam

Persetujuan ini dan/atau untuk mengadopsi hukum dan peraturan serta menerapkan langkah –

langkah yang konsisten dengan ketetapannya.

2. Pihak-pihak wajib mengambil langkah-langkah yang adil, nondiskriminatif, dan transparan

yang konsisten dengan Persetujuan ini dan hukum internasional lain yang berlaku untuk

menghalangi kegiatan Non-Pihak yang mengurangi keefektifan penerapan Persetujuan ini.

Page 40: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

16

BAGIAN 9

PEMANTAUAN, PENINJAUAN ULANG, DAN PENILAIAN

Pasal 24

Pemantauan, Peninjauan Ulang, dan Penilaian

1. Pihak-Pihak wajib, dalam kerangka kerja FAO dan badan terkaitnya, memastikan pemantauan

teratur dan sistematis dan peninjauan ulang terhadap penerapan Persetujuan ini serta penilaian

perkembangan yang diperoleh dalam mencapai tujuan.

2. Empat tahun setelah pemberlakuan Persetujuan ini, FAO wajib mengadakan persidangan dari

para Pihak untuk meninjau ulang dan menilai keefektifan Persetujuan ini dalam mencapai

tujuan. Pihak-pihak wajib menentukan sidang selanjutnya apabila diperlukan.

BAGIAN 10

KETENTUAN AKHIR

Pasal 25

Penandatanganan

Persetujuan ini terbuka untuk ditandatangani pada ** dari ** sampai ** oleh seluruh Pihak

dan organisasi integrasi ekonomi regional.

Pasal 26

Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan

1. Persetujuan ini wajib diratifikasi, diterima atau disetujui oleh yang menandatangani

Persetujuan ini.

2. Instrumen Ratifikasi, Penerimaan, atau Persetujuan wajib disimpan di Depositari.

Pasal 27

Aksesi

1. Setelah periode di mana Persetujuan terbuka untuk ditandatangani, Persetujuan ini terbuka

untuk aksesi oleh Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional manapun.

2. Instrumen aksesi wajib disimpan di Depositari.

Page 41: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

17

Pasal 28

Keikutsertaan Organisasi Integrasi Ekonomi Regional

1. Dalam hal dimana organisasi integrasi ekonomi regional yang merupakan organisasi

internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini tidak memiliki

kompetensi atas seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, Lampiran IX Konvensi ini

berlaku mutatis mutandis terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional

tersebut dalam Persetujuan ini, kecuali ketetapan-ketetapan Lampiran berikut ini:

(a) Pasal 2, kalimat pertama; dan

(b) Pasal 3, paragraph 1.

2. Dalam hal dimana organisasi kepaduan ekonomi regional yang merupakan organisasi

internasional sebagaimana dimaksud dalam Lampiran IX, Pasal 1 Konvensi ini memiliki

kompetensi akan seluruh hal yang diatur dalam Persetujuan ini, ketetapan berikut berlaku

terhadap keikutsertaan organisasi integrasi ekonomi regional dalam Persetujuan ini:

(a) pada saat penandatanganan atau aksesi, organisasi tersebut wajib membuat pernyataan

yang menyatakan:

(i) bahwa organisasi tersebut memliki kompetensi terhadap hal-hal yang diatur dalam

Persetujuan ini;

(ii) bahwa, untuk alasan ini, Negara anggotanya tidak wajib menjadi Negara Pihak, kecuali

atas wilayah mereka dimana organisasi tidak memiliki tanggung jawab; dan

(iii)bahwa organisasi menerima hak dan kewajiban Negara di bawah Persetujuan ini;

(b) keikutsertaan organisasi tersebut sama sekali tidak boleh memberikan hak apapun di

bawah Persetujuan ini pada Negara anggota organisasi.

(c) apabila terjadi pertentangan antara kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini dan

kewajiban di bawah Persetujuan yang membentuk organisasi tersebut atau undang –

undang apa pun yang berkenaan dengan itu, kewajiban organisasi di bawah Persetujuan ini

berlaku.

Pasal 29

Pemberlakuan Persetujuan

1. Persetujuan ini mulai berlaku 30 hari setelah tanggal penyimpanan di Depositari atas

instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi ke dua puluh lima sesuai dengan

Pasal 26 atau 27.

2. Bagi setiap penandatangan yang meratifikasi, menerima, atau menyetujui Persetujuan ini

setelah Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah tanggal

penyimpanan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau persetujuan.

Page 42: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

18

3. Bagi tiap Negara atau organisasi integrasi ekonomi regional yang melakukan aksesi

Persetujuan ini setelah Persetujuan ini berlaku, Persetujuan ini akan berlaku 30 hari setelah

tanggal penyimpanan instrumen aksesi.

4. Demi tujuan Pasal ini, instrumen apa pun yang disimpan oleh organisasi integrasi ekonomi

regional tidak dianggap sebagai tambahan kepada yang telah disimpan oleh Negara anggota.

Pasal 30

Pensyaratan dan Pengecualian

Pensyaratan dan pengecualian tidak diboleh dilakukan terhadap Persetujuan ini.

Pasal 31

Deklarasi dan Pernyataan

Pasal 30 tidak menghalangi suatu negara atau organisasi integrasi ekonomi regional, ketika

menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui, atau mengaksesi Persetujuan ini, dengan

melakukan deklarasi atau pernyataan, atau apapun namanya, dengan maksud untuk antara lain

harmonisasi hukum dan peraturan dengan ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini, apabila

deklarasi atau pernyataan tersebut tidak bermaksud mengenyampingkan atau untuk mengubah

pengaruh hukum ketetapan-ketetapan dalam Persetujuan ini dalam penerapannya kepada Negara

atau organisasi integrasi ekonomi regional.

Pasal 32

Pemberlakuan Sementara

1. Persetujuan ini berlaku untuk sementara waktu oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi

integrasi ekonomi regional yang setuju terhadap pemberlakuan sementara dengan

memberitahu Depositari secara tertulis. Pemberlakuan sementara tersebut menjadi efektif dari

tanggal penerimaan pemberitahuan tersebut.

2. Pemberlakuan sementara oleh Negara-negara atau organisasi-organisasi integrasi ekonomi

regional harus berakhir dengan berlakunya Persetujuan ini bagi Negara-negara atau

organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional atau atas pemberitahuan oleh Negara-negara

tersebut atau organisasi-organisasi integrasi ekonomi regional kepada Depositari secara

tertulis dengan maksud mengakhiri pemberlakuan sementara.

Pasal 33

Amandemen

1. Pihak manapun dapat mengajukan amandemen terhadap Persetujuan ini dua tahun setelah

berlakunya Persetujuan ini.

2. Amandemen yang diajukan terhadap Persetujuan ini wajib disampaikan secara tertulis kepada

Depositari bersama dengan permohonan untuk menyelenggarakan pertemuan para Pihak

untuk mempertimbangkan amandemen dimaksud. Depositori wajib mengkomunikasikan hal

tersebut kepada seluruh Pihak dan menjawab permohonan yang disampaikan oleh Pihak-

Page 43: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

19

pihak. Kecuali kalau dalam waktu enam bulan sejak tanggal pengkomunikasian tersebut, 1 ½

dari Pihak berkeberatan akan permohonan itu, Depositori wajib mengadakan pertemuan para

Pihak untuk mempertimbangkan amandemen yang diajukan.

3. Mengingat Pasal 34, amandemen terhadap Persetujuan ini hanya akan diadopsi melalui

kesepakatan Pihak-pihak yang hadir dalam sidang dimana amandemen tersebut diajukan untuk

diadopsi.

4. Mengingat Pasal 34, amandemen yang diadopsi dalam pertemuan para Pihak akan berlaku

setelah Pihak-pihak meratifikasi, menerima, atau menyetujuinya 90 hari setelah penyimpanan

instrumen ratifikasi, penerimaan atau persetujuan oleh 2/3 Pihak dihitung dari jumlah Pihak

pada tanggal adopsi amandemnen tersebut. Kemudian, amandemen akan berlaku bagi Pihak

yang lain 90 hari setelah Pihak tersebut menyimpan instrumen ratifikasi, penerimaan, atau

persetujuan terhadap amandemen tersebut.

5. Demi tujuan Pasal ini, instrumen yang disimpan oleh organisasi integrasi ekonomi regional

tidak dihitung sebagai tambahan dari yang telah disimpan Negara anggota.

Pasal 34

Lampiran - lampiran

1. Lampiran - lampiran tersebut membentuk bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Persetujuan

ini dan pengacuan kepada Persetujuan ini merupakan pengacuan kepada lampiran – lampiran.

2. Sebuah amandemen terhadap lampiran perjanian ini dapat dilaksanakan oleh 2/3 Pihak dalam

Persetujuan ini yang hadir dalam pertemuan dimana amandemen yang diajukan terhadap

lampiran dipertimbangkan. Setiap usaha wajib dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan

terhadap amandemen kepada lampiran melalui cara mufakat. Amandemen terhadap sebuah

lampiran wajib dibentuk dalam Persetujuan ini dan berlaku bagi Pihak-pihak yang telah

meyatakan penerimaan mereka pada tanggal Depositori menerima pemberitahuan penerimaan

dari 1/3 Pihak dalam Persetujuan ini berdasarkan jumlah Pihak pada tangal pelaksanan

amandemen. Amandemen akan berlaku bagi setiap pihak lainnya setelah Depositori menerima

pernyataan penerimaan.

Pasal 35

Penarikan Diri

Pihak mana pun dapat menarik diri dari Persetujuan ini sewaktu-waktu satu tahun setelah tanggal

berlakunya Persetujuan ini bagi Pihak-Pihak tersebut, dengan memberikan pemberitahuan

penarikan diri secara tertulis kepada Depositori. Penarikan diri berlaku satu tahun setelah

Depositori menerima pernyataan penarikan diri.

Page 44: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

20

Pasal 36

Depositori

Direktur Jenderal FAO akan menjadi Depositori dari Persetujuan ini. Depositori wajib:

a. memberikan salinan resmi Persetujuan ini kepada setiap penanda tangan dan Pihak:

b. mendaftarkan Persetujuan ini, setelah Persetujuan ini berlaku, kepada Sekretariat PBB sesuai

dengan Pasal 102 Piagam PBB;

c. segera memberitahu setiap penanda tangan dan Pihak dalam Persetujuan ini mengenai:

(i) tanda tangan dan instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi di bawah Pasal

25, 26, dan 27;

(ii) tanggal mulai berlakunya Persetujuan ini sesuai dengan Pasal 29;

(iii) pengajuan amandemen terhadap Persetujuan ini dan pelaksanaanya serta mulai berlakunya

sesuai dengan Pasal 33

(iv) pengajuan amandemen terhadap lampiran – lampiran dan pelaksanaannya serta mulai

berlakunya sesuai dengan Pasal 34;

(v) Penarikan diri dari Persetujuan ini sesuai dengan Pasal 35.

Pasal 37

Teks-Teks Otentik

Teks berbahasa Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol dari Persetujuan ini memiliki

keotentikan yang sama.

Saksi Persetujuan, duta yang berkuasa penuh yang bertanda tangan di bawah ini, yang

berwenang dengan semestinya telah menandatangani Persetujuan ini.

Ditandatangani pada hari ini, tahun 2009.

Page 45: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

21

ANNEX A Informasi yang harus disediakan oleh kapal yang meminta izin memasuki

pelabuhan

1. Pelabuhan tujuan

2. Negara Pelabuhan

3. Perkiraan tanggal dan waktu kedatangan

4. Maksud kedatangan

5. Pelabuhan dan tanggal permintaan izin masuk pelabuhan terakhir

6. Nama kapal

7. Negara bendera

8. Tipe kapal

9. Kode panggil radio internasional

10. Informasi kontak kapal

11. Pemilik kapal

12. Identitas sertifikat pendaftaran

13. Identitas kapal dari IMO, jika tersedia

14. Identitas External, jika tersedia

15. Identitas RFMO, jika tersedia

16. VMS Tidak Ya: Nasional Ya: RFMO(s) Tipe

17. Dimensi kapal Panjang Lebar Kedalaman

18. Nama dan kebangsaan Nakhoda kapal

19. Perizinan penangkapan ikan yang relevan

Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas Area Penangkapan Spesies Alat penangkapan

20. Perizinan transshipment yang relevan

Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas

Pemeriksa Dikeluarkan oleh Validitas

21. Informasi transshipment mengenai kapal donor

Tanggal Lokasi Nama Negara bendera

Nomor ID Spesies

Bentuk Produk

Area penangkapan Jumlah

22. Total tangkapan di kapal 23. Tangkapan yang akan diturunkan

Spesies Formulir Produk Area penangkapan Kuantitas Kuantitas

Page 46: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

22

ANNEX B

Prosedur inspeksi Negara pelabuhan

Pemeriksa wajib: a) Memverifikasi, sejauh mungkin, bahwa dokumen identifikasi kapal dan

informasi mengenai pemilik kapal adalah benar, lengkap, dan tepat,

termasuk melalui kontak dengan Negara bendera atau catatan kapal internasional jika diperlukan;

b) Memverifikasi bahwa bendera dan tanda kapal (seperti nama, nomor

registrasi eksternal, nomor identifikasi kapal dari IMO, kode panggil radio internasional dan tanda lainnya, dan juga dimensi utama dari

kapal) konsisten dengan informasi yang tercantum dalam dokumentasi; c) Memverifikasi, sejauh mungkin, bahwa perizinan untuk penangkapan

ikan dan aktivitas penangkapan ikan dan aktivitas terkait penangkapan

ikan adalah benar, lengkap, dan tepat, dan konsisten dengan informasi yang disediakan sesuai Lampiran A;

d) Meninjau semua dokumentasi lain yang terkait dan catatan yang ada di kapal, termasuk, sejauh mungkin, yang berbentuk format elektornik dan data system pemantauan kapal (vessel monitoring system/VMS) dari

Negara bendera atau RFMO yang terkait. Dokumentasi terkait tersebut dapat meliputi logbook, tangkapan, transshipment, dan dokumen perdagangan, daftar anak buah kapal, rencana pemadatan muatan

beserta bagan, deskripsi ikan yang dimuat, dan dokumen yang diperlukan terkait dengan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora;

e) Memeriksa, sejauh mungkin, semua alat penangkapan ikan terkait yang

ada di kapal, termasuk alat penangkapan ikan dan alat terkait yang disimpan, dan sejauh mungkin, memverifikasi bahwa alat tersebut sesuai dengan kondisi perizinan. Alat penangkapan ikan tersebut wajib,

sejauh mungkin, dicek untuk memastikan bahwa fitur seperti mesh and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots, dredges, hook sizes and numbers adalah sesuai dengan

peraturan yang berlaku dan bahwa tanda-tanda kapal sesuai dengan yang ditetapkan bagi kapal tersebut;

f) Menentukan, sejauh mungkin, apakah ikan di atas kapal ditangkap sesuai dengan perizinan yang berlaku;

g) Memeriksa ikan, termasuk dengan mengambil sampel, untuk

menentukan kuantitas dan komposisinya. Dalam melakukan hal tersebut, pemeriksa dapat membuka tempat penyimpanan dimana ikan

telah dikemas dan memindahkan tangkapan atau tempat penyimpanan untuk memastikan integritas ikan tersebut. Pemeriksaan tersebut dapat meliputi inspeksi atas tipe produk dan penentuan berat nominal;

h) Mengevaluasi apakah terdapat bukti yang nyata untuk menduga bahwa sebuah kapal telah terlinat dalam IUU Fishing atau aktivitas terkait

penangkapan ikan yang mendukung kegiatan IUU Fishing tersebut;

Page 47: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

23

i) Menyediakan Nakhoda kapal dengan laporan berisi hasil pemeriksaan, termasuk upaya-upaya yang mungkin akan diambil, untuk

ditandatangani oleh pemeriksa dan Nakhoda. Tanda tangan Nakhoda pada laporan tersebut hanya berfungsi sebagai tanda terima atas salinan

laporan tersebut. Nakhoda kapal akan diberikan kesempatan untuk menambahkan komentar atau keberatan atas laporan tersebut, dan, sebagaimana patut, menghubungi otoritas terkait dari Negara bendera,

khususnya dimana Nakhoda menghadapi kesulitan serius dalam memahami isi laporan tersebut. Salinan dari laporan tersebut wajib disediakan untuk sang Nakhoda;

j) Mengatur, jika dibutuhkan dan memungkinkan, untuk terjemahan atas dokumentasi terkait.

Page 48: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

24

ANNEX C

Laporan Hasil Pemeriksaan

1. No Hasil Pemeriksaan 2. Negara Pelabuhan

3. Otoritas yang memeriksa

4. Nama pemeriksa utama ID

5. Pelabuhan tempat diperiksa

6. Saat berlangsungnya pemeriksaan YYYY MM DD HH

7. Saat selesainya pemeriksaan YYYY MM DD HH

8. Pemberitahuan awal diterima Yes No

9. Maksud LAN TRX PRO OTH (specify)

10. Pelabuhan dan Negara dan tanggal permintaan izin masuk pelabuhan terakhir YY MM DD

11. Nama Kapal

12. Negara bendera

13. Tipe kapal

14. Kode panggil radio internasional

15. ID sertifikat pendaftaran

16. ID kapal IMO, jika tersedia

17. ID eksternal, jika tersedia

18. Pelabuhan tempat pendaftaran

19. Pemilik kapal

20. Penerima manfaat atas kapal, jika diketahui dan berbeda dari pemilik kapal

21. Operator kapal, jika berbeda dari pemilik kapal

22. Nama Nakhoda kapal dan kebangsaan

23. nama dan kebangsaan nahkoda

24. Agen kapal

25. VMS Tidak Ya: National Ya: RFMOs Tipe:

26. Status di wilayah RFMO dimana penangkapan ikan atau aktifitas terkait penangkapan ikan telah dilakukan, dan apakah termasuk daftar kapal IUU Fishing

Pemeriksa kapal RFMO Status Negara

bendera

Kapal dalam daftar kapal

yang diizinkan

Kapal dalam daftar IUU Fishing

27. Perizinan penangkapan ikan yang terkait

Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas

Daerah penangkapan Spesies Alat tangkap

28. Perizinan transshipment yang terkait

Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas

Pemeriksa Diterbitkan oleh Validitas

Page 49: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

25

29. Informasi transshipment mengenai kapal donor

Nama Negara bendera No ID Spesies

Formulir Produk

Daerah tangkapan Kuantitas

30. Evaluasi atas tangkapan yang diturunkan dari kapal (kuantitas)

Spesies Bentuk produk

Daerah tangkapan

Kuantitas yang dideklarasikan

Kuantitas yang diturunkan dari kapal

Perbedaan antara kuantitas yang dideklarasikan dan

kuantitas hasil pemeriksaan, jika ada

31. tangkapan yang dipertahankan di kapal (kuantitas)

Spesies Bentuk produk

Daerah tangkapan

Kuantitas yang dideklarasikan

Kuantitas yang dipertahankan

Perbedaan antara kuantitas yang dideklarasikan dan

kuantitas hasil pemeriksaan, jika ada

32. Pemeriksaan logbook dan dokumentasi lainnya Ya Tidak Komentar

33. Kepatuhan dengan skema dokumentasi tangkapan yang berlaku Ya Tidak

Komentar

34. Kepatuhan dengan skeman informasi perdagangan yang berlaku

Komentar

Tidak Komentar

35. Tipe alat tangkap yang digunakan

36. Alat tangkap diperiksa sesuai dengan huruf e Lampiran B Ya Tidak Komentar

37. Temuan oleh pemeriksa

38. Pelanggaran nyata dicatat termasuk rujukan kepada instrument hukum yang terkait

39. Komentar oleh Nakhoda

40. Tindakan yang diambil

41. Tanda tangan Nahkoda

42. Tanda tangan Pemeriksa

Page 50: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

26

ANNEX D

Sistem informasi mengenai tindakan Negara pelabuhan

Dalam mengimplementasikan persetujuan ini, setiap pihak wajib: a) mencoba membentuk komunikasi terkomputerisasi sesuai dengan Pasal

16; b) membentuk, sejauh mungkin, website untuk mempublikasikan daftar

pelabuhan yang ditunjuk sesuai dengan Pasal 7 dan tindakan-tindakan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terkait dari Persetujuan ini;

c) mengidentifikasi, sejauh mungkin, setiap laporan pemeriksaan dengan nomor referensi unik berawalan 3-kode alfa dari Negara pelabuhan dan identifikasi dari lembaga yang menerbitkan;

d) memanfaatkan, sejauh mungkin, sistem kode internasional dibawah ini dalam Lampiran A dan C dan menerjemahkan sistem kode lainnya ke

dalam sistem internasional tersebut. Negara/Wilayah: 3-kode alfa Negara ISO-3166

Spesies: 3-kode alfa ASFIS (juga dikenal FAO 3-kode alfa) Tipe Kapal: kode ISSCFV (juga dikenal sebagai kode alfa FAO)

Tipe Alat Tangkap: kode ISSCFG (juga dikenal sebagai kode alfa FAO)

Page 51: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

27

ANNEX E

Panduan bagi pelatihan pemeriksa

Elemen dari suatu program pelatihan bagi pemeriksa Negara pelabuhan setidaknya harus meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Etika; 2. Isu kesehatan, keselamatan dan keamanan; 3. Hukum dan peraturan nasional yang terkait, area kompetensi dan

upaya konservasi dan pengelolaan dari RFMO yang terkait, dan hukum internasional yang terkait;

4. Pengumpulan, evaluasi, dan pemeliharaan barang bukti; 5. Prosedur umum pemeriksaan seperti penulisan laporan laporan, dan

teknik wawancara;

6. Analisis informasi, seperti logbook, dokumentasi elektronik, dan sejarah kapal (nama, kepemilikan, dan Negara bendera), yang diperlukan bagi

validasi informasi yang diberikan oleh Nakhoda kapal; 7. Inspeksi dan menaiki kapal, termasuk mengadakan pemeriksaan

ruangan muatan dan perhitungan atas volume ruangan muatan kapal;

8. Verifikasi dan validasi informasi terkait pendaratan, transshipments, pengolahan, dan ikan yang masih berada di kapal, termasuk memanfaatkan factor konversi bagi berbagai produk dan spesies;

9. Identifikasi spesies ikan, dan pengukuran panjang ikan dan parameter biologis lainnya;

10. Identifikasi kapal dan alat tangkap, dan teknik inspeksi dan pengukuran alat tangkap;

11. Peralatan dan pengoperasian VMS dan sistem pelacak elektronik

lainnya; dan 12. Tindakan-tindakan yang akan diambil menindaklanjuti pemeriksaan.

Salinan asli yang disahkan dari versi bahasa Inggris Persetujuan tentang Ketentuan Negara Pelabuhan untuk Mencegah, Menghalangi, dan

Memberantas Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur yang disetujui pada 22 November 2009 dalam Sesi Ke-36 Konferensi FAO. Sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Bab 14 dari Konstitusi FAO, salinan

ini telah disahkan oleh Direktur Jenderal Organisasi dan Pimpinan Sidang Konferensi.

Jacques Diouf Kathleen Merrigan

Direktur Jenderal Pimpinan Sidang Konferensi Food and Agriculture Organization

Perserikatan Bangsa-Bangsa

Page 52: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

AGREEMENT ON PORT STATE MEASURES TO PREVENT, DETER AND

ELIMINATE ILLEGAL, UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING

PREAMBLE

The Parties to this Agreement,

Deeply concerned about the continuation of illegal, unreported and unregulated fishing

and its detrimental effect upon fish stocks, marine ecosystems and the livelihoods of

legitimate fishers, and the increasing need for food security on a global basis,

Conscious of the role of the port State in the adoption of effective measures to promote

the sustainable use and the long-term conservation of living marine resources,

Recognizing that measures to combat illegal, unreported and unregulated fishing should

build on the primary responsibility of flag States and use all available jurisdiction in

accordance with international law, including port State measures, coastal State measures,

market related measures and measures to ensure that nationals do not support or engage in

illegal, unreported and unregulated fishing,

Recognizing that port State measures provide a powerful and cost-effective means of

preventing, deterring and eliminating illegal, unreported and unregulated fishing,

Aware of the need for increasing coordination at the regional and interregional levels to

combat illegal, unreported and unregulated fishing through port State measures,

Acknowledging the rapidly developing communications technology, databases, networks

and global records that support port State measures,

Recognizing the need for assistance to developing countries to adopt and implement port

State measures,

Taking note of the calls by the international community through the United Nations

System, including the United Nations General Assembly and the Committee on Fisheries

of the Food and Agriculture Organization of the United Nations, hereinafter referred to as

‘FAO’, for a binding international instrument on minimum standards for port State

measures, based on the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter and

Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing and the 2005 FAO Model Scheme

on Port State Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing,

Page 53: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

2

Bearing in mind that, in the exercise of their sovereignty over ports located in their

territory, States may adopt more stringent measures, in accordance with international law,

Recalling the relevant provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea

of 10 December 1982, hereinafter referred to as the ‘Convention’,

Recalling the Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations

Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and

Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks of 4 December

1995, the Agreement to Promote Compliance with International Conservation and

Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas of 24 November 1993 and

the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries,

Recognizing the need to conclude an international agreement within the framework of

FAO, under Article XIV of the FAO Constitution,

Have agreed as follows:

PART 1

GENERAL PROVISIONS

Article 1

Use of terms

For the purposes of this Agreement:

(a) “conservation and management measures” means measures to conserve and

manage living marine resources that are adopted and applied consistently with

the relevant rules of international law including those reflected in the

Convention;

(b) “fish” means all species of living marine resources, whether processed or not;

(c) “fishing” means searching for, attracting, locating, catching, taking or

harvesting fish or any activity which can reasonably be expected to result in

the attracting, locating, catching, taking or harvesting of fish;

Page 54: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

3

(d) “fishing related activities” means any operation in support of, or in

preparation for, fishing, including the landing, packaging, processing,

transshipping or transporting of fish that have not been previously landed at a

port, as well as the provisioning of personnel, fuel, gear and other supplies at

sea;

(e) “illegal, unreported and unregulated fishing” refers to the activities set out in

paragraph 3 of the 2001 FAO International Plan of Action to Prevent, Deter

and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing, hereinafter

referred to as ‘IUU fishing’;

(f) “Party” means a State or regional economic integration organization that has

consented to be bound by this Agreement and for which this Agreement is in

force;

(g) “port” includes offshore terminals and other installations for landing,

transshipping, packaging, processing, refuelling or resupplying;

(h) “regional economic integration organization” means a regional economic

integration organization to which its member States have transferred

competence over matters covered by this Agreement, including the authority

to make decisions binding on its member States in respect of those matters;

(i) “regional fisheries management organization” means an intergovernmental

fisheries organization or arrangement, as appropriate, that has the competence

to establish conservation and management measures; and

(j) “vessel” means any vessel, ship of another type or boat used for, equipped to

be used for, or intended to be used for, fishing or fishing related activities.

Article 2

Objective

The objective of this Agreement is to prevent, deter and eliminate IUU fishing

through the implementation of effective port State measures, and thereby to ensure the

long-term conservation and sustainable use of living marine resources and marine

ecosystems.

Page 55: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

4

Article 3

Application

1. Each Party shall, in its capacity as a port State, apply this Agreement in respect of

vessels not entitled to fly its flag that are seeking entry to its ports or are in one of its

ports, except for:

(a) vessels of a neighbouring State that are engaged in artisanal fishing for

subsistence, provided that the port State and the flag State cooperate to ensure

that such vessels do not engage in IUU fishing or fishing related activities in

support of such fishing ; and

(b) container vessels that are not carrying fish or, if carrying fish, only fish that

have been previously landed, provided that there are no clear grounds for

suspecting that such vessels have engaged in fishing related activities in

support of IUU fishing.

2. A Party may, in its capacity as a port State, decide not to apply this Agreement to

vessels chartered by its nationals exclusively for fishing in areas under its national

jurisdiction and operating under its authority therein. Such vessels shall be subject to

measures by the Party which are as effective as measures applied in relation to vessels

entitled to fly its flag.

3. This Agreement shall apply to fishing conducted in marine areas that is illegal,

unreported or unregulated, as defined in Article 1(e) of this Agreement, and to fishing

related activities in support of such fishing.

4. This Agreement shall be applied in a fair, transparent and non-discriminatory

manner, consistent with international law.

5. As this Agreement is global in scope and applies to all ports, the Parties shall

encourage all other entities to apply measures consistent with its provisions. Those that

may not otherwise become Parties to this Agreement may express their commitment to

act consistently with its provisions.

Article 4

Relationship with international law and other international instruments

1. Nothing in this Agreement shall prejudice the rights, jurisdiction and duties of

Parties under international law. In particular, nothing in this Agreement shall be construed

to affect:

Page 56: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

5

(a) the sovereignty of Parties over their internal, archipelagic and territorial

waters or their sovereign rights over their continental shelf and in their

exclusive economic zones;

(b) the exercise by Parties of their sovereignty over ports in their territory in

accordance with international law, including their right to deny entry thereto

as well as to adopt more stringent port State measures than those provided for

in this Agreement, including such measures adopted pursuant to a decision of

a regional fisheries management organization.

2. In applying this Agreement, a Party does not thereby become bound by measures or

decisions of, or recognize, any regional fisheries management organization of which it is

not a member.

3. In no case is a Party obliged under this Agreement to give effect to measures or

decisions of a regional fisheries management organization if those measures or decisions

have not been adopted in conformity with international law.

4. This Agreement shall be interpreted and applied in conformity with international

law taking into account applicable international rules and standards, including those

established through the International Maritime Organization, as well as other international

instruments.

5. Parties shall fulfil in good faith the obligations assumed pursuant to this Agreement

and shall exercise the rights recognized herein in a manner that would not constitute an

abuse of right.

Article 5

Integration and coordination at the national level

Each Party shall, to the greatest extent possible:

(a) integrate or coordinate fisheries related port State measures with the broader

system of port State controls;

(b) integrate port State measures with other measures to prevent, deter and

eliminate IUU fishing and fishing related activities in support of such fishing,

taking into account as appropriate the 2001 FAO International Plan of Action

to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing;

and

Page 57: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

6

(c) take measures to exchange information among relevant national agencies and

to coordinate the activities of such agencies in the implementation of this

Agreement.

Article 6

Cooperation and exchange of information

1. In order to promote the effective implementation of this Agreement and with due

regard to appropriate confidentiality requirements, Parties shall cooperate and exchange

information with relevant States, FAO, other international organizations and regional

fisheries management organizations, including on the measures adopted by such regional

fisheries management organizations in relation to the objective of this Agreement.

2. Each Party shall, to the greatest extent possible, take measures in support of

conservation and management measures adopted by other States and other relevant

international organizations.

3. Parties shall cooperate, at the subregional, regional and global levels, in the

effective implementation of this Agreement including, where appropriate, through FAO

or regional fisheries management organizations and arrangements.

PART 2

ENTRY INTO PORT

Article 7

Designation of ports

1. Each Party shall designate and publicize the ports to which vessels may request

entry pursuant to this Agreement. Each Party shall provide a list of its designated ports to

FAO, which shall give it due publicity.

2. Each Party shall, to the greatest extent possible, ensure that every port designated

and publicized in accordance with paragraph 1 of this Article has sufficient capacity to

conduct inspections pursuant to this Agreement.

Page 58: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

7

Article 8

Advance request for port entry

1. Each Party shall require, as a minimum standard, the information requested in

Annex A to be provided before granting entry to a vessel to its port.

2. Each Party shall require the information referred to in paragraph 1 of this Article to

be provided sufficiently in advance to allow adequate time for the port State to examine

such information.

Article 9

Port entry, authorization or denial

1. After receiving the relevant information required pursuant to Article 8, as well as

such other information as it may require to determine whether the vessel requesting entry

into its port has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such

fishing, each Party shall decide whether to authorize or deny the entry of the vessel into

its port and shall communicate this decision to the vessel or to its representative.

2. In the case of authorization of entry, the master of the vessel or the vessel’s

representative shall be required to present the authorization for entry to the competent

authorities of the Party upon the vessel’s arrival at port.

3. In the case of denial of entry, each Party shall communicate its decision taken

pursuant to paragraph 1 of this Article to the flag State of the vessel and, as appropriate

and to the extent possible, relevant coastal States, regional fisheries management

organizations and other international organizations.

4. Without prejudice to paragraph 1 of this Article, when a Party has sufficient proof

that a vessel seeking entry into its port has engaged in IUU fishing or fishing related

activities in support of such fishing, in particular the inclusion of a vessel on a list of

vessels having engaged in such fishing or fishing related activities adopted by a relevant

regional fisheries management organization in accordance with the rules and procedures

of such organization and in conformity with international law, the Party shall deny that

vessel entry into its ports, taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4.

5. Notwithstanding paragraphs 3 and 4 of this Article, a Party may allow entry into its

ports of a vessel referred to in those paragraphs exclusively for the purpose of inspecting

it and taking other appropriate actions in conformity with international law which are at

least as effective as denial of port entry in preventing, deterring and eliminating IUU

fishing and fishing related activities in support of such fishing.

Page 59: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

8

6. Where a vessel referred to in paragraph 4 or 5 of this Article is in port for any

reason, a Party shall deny such vessel the use of its ports for landing, transshipping,

packaging, and processing of fish and for other port services including, inter alia,

refuelling and resupplying, maintenance and drydocking. Paragraphs 2 and 3 of Article

11 apply mutatis mutandis in such cases. Denial of such use of ports shall be in

conformity with international law.

Article 10

Force majeure or distress

Nothing in this Agreement affects the entry of vessels to port in accordance with

international law for reasons of force majeure or distress, or prevents a port State from

permitting entry into port to a vessel exclusively for the purpose of rendering assistance to

persons, ships or aircraft in danger or distress.

PART 3

USE OF PORTS

Article 11

Use of ports

1. Where a vessel has entered one of its ports, a Party shall deny, pursuant to its laws

and regulations and consistent with international law, including this Agreement, that

vessel the use of the port for landing, transshipping, packaging and processing of fish that

have not been previously landed and for other port services, including, inter alia,

refuelling and resupplying, maintenance and drydocking, if:

(a) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable

authorization to engage in fishing or fishing related activities required by its

flag State;

(b) the Party finds that the vessel does not have a valid and applicable

authorization to engage in fishing or fishing related activities required by a

coastal State in respect of areas under the national jurisdiction of that State;

(c) the Party receives clear evidence that the fish on board was taken in

contravention of applicable requirements of a coastal State in respect of areas

under the national jurisdiction of that State;

Page 60: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

9

(d) the flag State does not confirm within a reasonable period of time, on the

request of the port State, that the fish on board was taken in accordance with

applicable requirements of a relevant regional fisheries management

organization taking into due account paragraphs 2 and 3 of Article 4; or

(e) the Party has reasonable grounds to believe that the vessel was otherwise

engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing,

including in support of a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9, unless

the vessel can establish:

(i) that it was acting in a manner consistent with relevant conservation and

management measures; or

(ii) in the case of provision of personnel, fuel, gear and other supplies at sea,

that the vessel that was provisioned was not, at the time of provisioning,

a vessel referred to in paragraph 4 of Article 9.

2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall not deny a vessel referred

to in that paragraph the use of port services:

(a) essential to the safety or health of the crew or the safety of the vessel,

provided these needs are duly proven, or

(b) where appropriate, for the scrapping of the vessel.

3. Where a Party has denied the use of its port in accordance with this Article, it shall

promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States, regional

fisheries management organizations and other relevant international organizations of its

decision.

4. A Party shall withdraw its denial of the use of its port pursuant to paragraph 1 of

this Article in respect of a vessel only if there is sufficient proof that the grounds on

which use was denied were inadequate or erroneous or that such grounds no longer apply.

5. Where a Party has withdrawn its denial pursuant to paragraph 4 of this Article, it

shall promptly notify those to whom a notification was issued pursuant to paragraph 3 of

this Article.

Page 61: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

10

PART 4

INSPECTIONS AND FOLLOW-UP ACTIONS

Article 12

Levels and priorities for inspection

1. Each Party shall inspect the number of vessels in its ports required to reach an

annual level of inspections sufficient to achieve the objective of this Agreement.

2. Parties shall seek to agree on the minimum levels for inspection of vessels through,

as appropriate, regional fisheries management organizations, FAO or otherwise.

3. In determining which vessels to inspect, a Party shall give priority to:

(a) vessels that have been denied entry or use of a port in accordance with this

Agreement;

(b) requests from other relevant Parties, States or regional fisheries management

organizations that particular vessels be inspected, particularly where such

requests are supported by evidence of IUU fishing or fishing related activities

in support of such fishing by the vessel in question; and

(c) other vessels for which there are clear grounds for suspecting that they have

engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing.

Article 13

Conduct of inspections

1. Each Party shall ensure that its inspectors carry out the functions set forth in Annex

B as a minimum standard.

2. Each Party shall, in carrying out inspections in its ports:

(a) ensure that inspections are carried out by properly qualified inspectors

authorized for that purpose, having regard in particular to Article 17;

Page 62: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

11

(b) ensure that, prior to an inspection, inspectors are required to present to the

master of the vessel an appropriate document identifying the inspectors as

such;

(c) ensure that inspectors examine all relevant areas of the vessel, the fish on

board, the nets and any other gear, equipment, and any document or record on

board that is relevant to verifying compliance with relevant conservation and

management measures;

(d) require the master of the vessel to give inspectors all necessary assistance and

information, and to present relevant material and documents as may be

required, or certified copies thereof;

(e) in case of appropriate arrangements with the flag State of the vessel, invite

that State to participate in the inspection;

(f) make all possible efforts to avoid unduly delaying the vessel to minimize

interference and inconvenience, including any unnecessary presence of

inspectors on board, and to avoid action that would adversely affect the

quality of the fish on board;

(g) make all possible efforts to facilitate communication with the master or senior

crew members of the vessel, including where possible and where needed that

the inspector is accompanied by an interpreter;

(h) ensure that inspections are conducted in a fair, transparent and non-

discriminatory manner and would not constitute harassment of any vessel; and

(i) not interfere with the master’s ability, in conformity with international law, to

communicate with the authorities of the flag State.

Article 14

Results of inspections

Each Party shall, as a minimum standard, include the information set out in Annex

C in the written report of the results of each inspection.

Page 63: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

12

Article 15

Transmittal of inspection results

Each Party shall transmit the results of each inspection to the flag State of the

inspected vessel and, as appropriate, to:

(a) relevant Parties and States, including:

(i) those States for which there is evidence through inspection that the

vessel has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support

of such fishing within waters under their national jurisdiction; and

(ii) the State of which the vessel’s master is a national;

(b) relevant regional fisheries management organizations; and

(c) FAO and other relevant international organizations.

Article 16

Electronic exchange of information

1. To facilitate implementation of this Agreement, each Party shall, where possible,

establish a communication mechanism that allows for direct electronic exchange of

information, with due regard to appropriate confidentiality requirements.

2. To the extent possible and with due regard to appropriate confidentiality

requirements, Parties should cooperate to establish an information-sharing mechanism,

preferably coordinated by FAO, in conjunction with other relevant multilateral and

intergovernmental initiatives, and to facilitate the exchange of information with existing

databases relevant to this Agreement.

3. Each Party shall designate an authority that shall act as a contact point for the

exchange of information under this Agreement. Each Party shall notify the pertinent

designation to FAO.

4. Each Party shall handle information to be transmitted through any mechanism

established under paragraph 1 of this Article consistent with Annex D.

Page 64: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

13

5. FAO shall request relevant regional fisheries management organizations to provide

information concerning the measures or decisions they have adopted and implemented

which relate to this Agreement for their integration, to the extent possible and taking due

account of the appropriate confidentiality requirements, into the information-sharing

mechanism referred to in paragraph 2 of this Article.

Article 17

Training of inspectors

Each Party shall ensure that its inspectors are properly trained taking into account

the guidelines for the training of inspectors in Annex E. Parties shall seek to cooperate in

this regard.

Article 18

Port State actions following inspection

1. Where, following an inspection, there are clear grounds for believing that a vessel

has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, the

inspecting Party shall:

(a) promptly notify the flag State and, as appropriate, relevant coastal States,

regional fisheries management organizations and other international

organizations, and the State of which the vessel’s master is a national of its

findings; and

(b) deny the vessel the use of its port for landing, transshipping, packaging and

processing of fish that have not been previously landed and for other port

services, including, inter alia, refuelling and resupplying, maintenance and

drydocking, if these actions have not already been taken in respect of the

vessel, in a manner consistent with this Agreement, including Article 4.

2. Notwithstanding paragraph 1 of this Article, a Party shall not deny a vessel referred

to in that paragraph the use of port services essential for the safety or health of the crew or

the safety of the vessel.

3. Nothing in this Agreement prevents a Party from taking measures that are in

conformity with international law in addition to those specified in paragraphs 1 and 2 of

this Article, including such measures as the flag State of the vessel has expressly

requested or to which it has consented.

Page 65: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

14

Article 19

Information on recourse in the port State

1. A Party shall maintain the relevant information available to the public and provide

such information, upon written request, to the owner, operator, master or representative of

a vessel with regard to any recourse established in accordance with its national laws and

regulations concerning port State measures taken by that Party pursuant to Articles 9, 11,

13 or 18, including information pertaining to the public services or judicial institutions

available for this purpose, as well as information on whether there is any right to seek

compensation in accordance with its national laws and regulations in the event of any loss

or damage suffered as a consequence of any alleged unlawful action by the Party.

2. The Party shall inform the flag State, the owner, operator, master or representative,

as appropriate, of the outcome of any such recourse. Where other Parties, States or

international organizations have been informed of the prior decision pursuant to Articles

9, 11, 13 or 18, the Party shall inform them of any change in its decision.

PART 5

ROLE OF FLAG STATES

Article 20

Role of flag States

1. Each Party shall require the vessels entitled to fly its flag to cooperate with the port

State in inspections carried out pursuant to this Agreement.

2. When a Party has clear grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag has

engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing and is

seeking entry to or is in the port of another State, it shall, as appropriate, request that State

to inspect the vessel or to take other measures consistent with this Agreement.

3. Each Party shall encourage vessels entitled to fly its flag to land, transship, package

and process fish, and use other port services, in ports of States that are acting in

accordance with, or in a manner consistent with this Agreement. Parties are encouraged to

develop, including through regional fisheries management organizations and FAO, fair,

transparent and non-discriminatory procedures for identifying any State that may not be

acting in accordance with, or in a manner consistent with, this Agreement.

4. Where, following port State inspection, a flag State Party receives an inspection

report indicating that there are clear grounds to believe that a vessel entitled to fly its flag

Page 66: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

15

has engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing, it shall

immediately and fully investigate the matter and shall, upon sufficient evidence, take

enforcement action without delay in accordance with its laws and regulations.

5. Each Party shall, in its capacity as a flag State, report to other Parties, relevant port

States and, as appropriate, other relevant States, regional fisheries management

organizations and FAO on actions it has taken in respect of vessels entitled to fly its flag

that, as a result of port State measures taken pursuant to this Agreement, have been

determined to have engaged in IUU fishing or fishing related activities in support of such

fishing.

6. Each Party shall ensure that measures applied to vessels entitled to fly its flag are at

least as effective in preventing, deterring, and eliminating IUU fishing and fishing related

activities in support of such fishing as measures applied to vessels referred to in

paragraph 1 of Article 3.

PART 6

REQUIREMENTS OF DEVELOPING STATES

Article 21

Requirements of developing States

1. Parties shall give full recognition to the special requirements of developing States

Parties in relation to the implementation of port State measures consistent with this

Agreement. To this end, Parties shall, either directly or through FAO, other specialized

agencies of the United Nations or other appropriate international organizations and

bodies, including regional fisheries management organizations, provide assistance to

developing States Parties in order to, inter alia:

(a) enhance their ability, in particular the least-developed among them and small

island developing States, to develop a legal basis and capacity for the

implementation of effective port State measures;

(b) facilitate their participation in any international organizations that promote the

effective development and implementation of port State measures; and

(c) facilitate technical assistance to strengthen the development and

implementation of port State measures by them, in coordination with relevant

international mechanisms.

Page 67: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

16

2. Parties shall give due regard to the special requirements of developing port States

Parties, in particular the least-developed among them and small island developing States,

to ensure that a disproportionate burden resulting from the implementation of this

Agreement is not transferred directly or indirectly to them. In cases where the transfer of

a disproportionate burden has been demonstrated, Parties shall cooperate to facilitate the

implementation by the relevant developing States Parties of specific obligations under

this Agreement.

3. Parties shall, either directly or through FAO, assess the special requirements of

developing States Parties concerning the implementation of this Agreement.

4. Parties shall cooperate to establish appropriate funding mechanisms to assist

developing States in the implementation of this Agreement. These mechanisms shall,

inter alia, be directed specifically towards:

(a) developing national and international port State measures;

(b) developing and enhancing capacity, including for monitoring, control and

surveillance and for training at the national and regional levels of port

managers, inspectors, and enforcement and legal personnel;

(c) monitoring, control, surveillance and compliance activities relevant to port

State measures, including access to technology and equipment; and

(d) assisting developing States Parties with the costs involved in any proceedings

for the settlement of disputes that result from actions they have taken

pursuant to this Agreement.

5. Cooperation with and among developing States Parties for the purposes set out in

this Article may include the provision of technical and financial assistance through

bilateral, multilateral and regional channels, including South-South cooperation.

6. Parties shall establish an ad hoc working group to periodically report and make

recommendations to the Parties on the establishment of funding mechanisms including a

scheme for contributions, identification and mobilization of funds, the development of

criteria and procedures to guide implementation, and progress in the implementation of

the funding mechanisms. In addition to the considerations provided in this Article, the ad

hoc working group shall take into account, inter alia:

(a) the assessment of the needs of developing States Parties, in particular the

least-developed among them and small island developing States;

Page 68: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

17

(b) the availability and timely disbursement of funds;

(c) transparency of decision-making and management processes concerning

fundraising and allocations; and

(d) accountability of the recipient developing States Parties in the agreed use of

funds.

Parties shall take into account the reports and any recommendations of the ad hoc

working group and take appropriate action.

PART 7

DISPUTE SETTLEMENT

Article 22

Peaceful settlement of disputes

1. Any Party may seek consultations with any other Party or Parties on any dispute

with regard to the interpretation or application of the provisions of this Agreement with a

view to reaching a mutually satisfactory solution as soon as possible.

2. In the event that the dispute is not resolved through these consultations within a

reasonable period of time, the Parties in question shall consult among themselves as soon

as possible with a view to having the dispute settled by negotiation, inquiry, mediation,

conciliation, arbitration, judicial settlement or other peaceful means of their own choice.

3. Any dispute of this character not so resolved shall, with the consent of all Parties

to the dispute, be referred for settlement to the International Court of Justice, to the

International Tribunal for the Law of the Sea or to arbitration. In the case of failure to

reach agreement on referral to the International Court of Justice, to the International

Tribunal for the Law of the Sea or to arbitration, the Parties shall continue to consult and

cooperate with a view to reaching settlement of the dispute in accordance with the rules

of international law relating to the conservation of living marine resources.

Page 69: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

18

PART 8

NON-PARTIES

Article 23

Non-Parties to this Agreement

1. Parties shall encourage non-Parties to this Agreement to become Parties thereto

and/or to adopt laws and regulations and implement measures consistent with its

provisions.

2. Parties shall take fair, non-discriminatory and transparent measures consistent

with this Agreement and other applicable international law to deter the activities of non-

Parties which undermine the effective implementation of this Agreement.

PART 9

MONITORING, REVIEW AND ASSESSMENT

Article 24

Monitoring, review and assessment

1. Parties shall, within the framework of FAO and its relevant bodies, ensure the

regular and systematic monitoring and review of the implementation of this Agreement as

well as the assessment of progress made towards achieving its objective.

2. Four years after the entry into force of this Agreement, FAO shall convene a

meeting of the Parties to review and assess the effectiveness of this Agreement in

achieving its objective. The Parties shall decide on further such meetings as necessary.

PART 10

FINAL PROVISIONS

Article 25

Signature

This Agreement shall be open for signature at FAO from the Twenty-second day of

November 2009 until the Twenty-first day of November 2010 by all States and regional

economic integration organizations.

Page 70: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

19

Article 26

Ratification, acceptance or approval

1. This Agreement shall be subject to ratification, acceptance or approval by the

signatories.

2. Instruments of ratification, acceptance or approval shall be deposited with the

Depositary.

Article 27

Accession

1. After the period in which this Agreement is open for signature, it shall be open for

accession by any State or regional economic integration organization.

2. Instruments of accession shall be deposited with the Depositary.

Article 28

Participation by Regional Economic Integration Organizations

1. In cases where a regional economic integration organization that is an international

organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention does not have

competence over all the matters governed by this Agreement, Annex IX to the

Convention shall apply mutatis mutandis to participation by such regional economic

integration organization in this Agreement, except that the following provisions of that

Annex shall not apply:

(a) Article 2, first sentence; and

(b) Article 3, paragraph 1.

2. In cases where a regional economic integration organization that is an international

organization referred to in Annex IX, Article 1, of the Convention has competence over

all the matters governed by this Agreement, the following provisions shall apply to

participation by the regional economic integration organization in this Agreement:

(a) at the time of signature or accession, such organization shall make a

declaration stating:

(i) that it has competence over all the matters governed by this Agreement;

Page 71: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

20

(ii) that, for this reason, its member States shall not become States Parties,

except in respect of their territories for which the organization has no

responsibility; and

(iii) that it accepts the rights and obligations of States under this Agreement;

(b) participation of such an organization shall in no case confer any rights under

this Agreement on member States of the organization;

(c) in the event of a conflict between the obligations of such organization under

this Agreement and its obligations under the Agreement establishing the

organization or any acts relating to it, the obligations under this Agreement

shall prevail.

Article 29

Entry into force

1. This Agreement shall enter into force thirty days after the date of deposit with the

Depositary of the twenty-fifth instrument of ratification, acceptance, approval or

accession in accordance with Article 26 or 27.

2. For each signatory which ratifies, accepts or approves this Agreement after its entry

into force, this Agreement shall enter into force thirty days after the date of the deposit of

its instrument of ratification, acceptance or approval.

3. For each State or regional economic integration organization which accedes to this

Agreement after its entry into force, this Agreement shall enter into force thirty days after

the date of the deposit of its instrument of accession.

4. For the purposes of this Article, any instrument deposited by a regional economic

integration organization shall not be counted as additional to those deposited by its

Member States.

Article 30

Reservations and exceptions

No reservations or exceptions may be made to this Agreement.

Page 72: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

21

Article 31

Declarations and statements

Article 30 does not preclude a State or regional economic integration organization,

when signing, ratifying, accepting, approving or acceding to this Agreement, from

making a declaration or statement, however phrased or named, with a view to, inter alia,

the harmonization of its laws and regulations with the provisions of this Agreement,

provided that such declaration or statement does not purport to exclude or to modify the

legal effect of the provisions of this Agreement in their application to that State or

regional economic integration organization.

Article 32

Provisional application

1. This Agreement shall be applied provisionally by States or regional economic

integration organizations which consent to its provisional application by so notifying the

Depositary in writing. Such provisional application shall become effective from the date

of receipt of the notification.

2. Provisional application by a State or regional economic integration organization

shall terminate upon the entry into force of this Agreement for that State or regional

economic integration organization or upon notification by that State or regional economic

integration organization to the Depositary in writing of its intention to terminate

provisional application.

Article 33

Amendments

1. Any Party may propose amendments to this Agreement after the expiry of a period

of two years from the date of entry into force of this Agreement.

2. Any proposed amendment to this Agreement shall be transmitted by written

communication to the Depositary along with a request for the convening of a meeting of

the Parties to consider it. The Depositary shall circulate to all Parties such communication

as well as all replies to the request received from Parties. Unless within six months from

the date of circulation of the communication one half of the Parties object to the request,

the Depositary shall convene a meeting of the Parties to consider the proposed

amendment.

3. Subject to Article 34, any amendment to this Agreement shall only be adopted by

consensus of the Parties present at the meeting at which it is proposed for adoption.

Page 73: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

22

4. Subject to Article 34, any amendment adopted by the meeting of the Parties shall

come into force among the Parties having ratified, accepted or approved it on the

ninetieth day after the deposit of instruments of ratification, acceptance or approval by

two-thirds of the Parties to this Agreement based on the number of Parties on the date of

adoption of the amendment. Thereafter the amendment shall enter into force for any other

Party on the ninetieth day after that Party deposits its instrument of ratification,

acceptance or approval of the amendment.

5. For the purposes of this Article, an instrument deposited by a regional economic

integration organization shall not be counted as additional to those deposited by its

Member States.

Article 34

Annexes

1. The Annexes form an integral part of this Agreement and a reference to this

Agreement shall constitute a reference to the Annexes.

2. An amendment to an Annex to this Agreement may be adopted by two-thirds of the

Parties to this Agreement present at a meeting where the proposed amendment to the

Annex is considered. Every effort shall however be made to reach agreement on any

amendment to an Annex by way of consensus. An amendment to an Annex shall be

incorporated in this Agreement and enter into force for those Parties that have expressed

their acceptance from the date on which the Depositary receives notification of

acceptance from one-third of the Parties to this Agreement, based on the number of

Parties on the date of adoption of the amendment. The amendment shall thereafter enter

into force for each remaining Party upon receipt by the Depositary of its acceptance.

Article 35

Withdrawal

Any Party may withdraw from this Agreement at any time after the expiry of one

year from the date upon which the Agreement entered into force with respect to that

Party, by giving written notice of such withdrawal to the Depositary. Withdrawal shall

become effective one year after receipt of the notice of withdrawal by the Depositary.

Page 74: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

23

Article 36

The Depositary

The Director-General of FAO shall be the Depositary of this Agreement. The

Depositary shall:

(a) transmit certified copies of this Agreement to each signatory and Party;

(b) register this Agreement, upon its entry into force, with the Secretariat of the

United Nations in accordance with Article 102 of the Charter of the United

Nations;

(c) promptly inform each signatory and Party to this Agreement of all:

(i) signatures and instruments of ratification, acceptance, approval and

accession deposited under Articles 25, 26 and 27;

(ii) the date of entry into force of this Agreement in accordance with

Article 29;

(iii) proposals for amendment to this Agreement and their adoption and entry

into force in accordance with Article 33;

(iv) proposals for amendment to the Annexes and their adoption and entry

into force in accordance with Article 34; and

(v) withdrawals from this Agreement in accordance with Article 35.

Article 37

Authentic texts

The Arabic, Chinese, English, French, Russian and Spanish texts of this Agreement are

equally authentic.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned Plenipotentiaries, being duly authorized,

have signed this Agreement.

DONE in Rome on this Twenty-second day of November, 2009.

Page 75: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

24

ANNEX A

Information to be provided in advance by vessels requesting port entry

1. Intended port of call

2. Port State

3. Estimated date and time of arrival

4. Purpose(s)

5. Port and date of last port call

6. Name of the vessel

7. Flag State

8. Type of vessel

9. International Radio Call Sign

10. Vessel contact information

11. Vessel owner(s)

12. Certificate of registry ID

13. IMO ship ID, if available

14. External ID, if available

15. RFMO ID, if applicable

16. VMS No Yes: National Yes: RFMO(s) Type:

17. Vessel dimensions Length Beam Draft

18. Vessel master name and nationality

19. Relevant fishing authorization(s)

Identifier Issued by Validity Fishing

area(s)

Species Gear

20. Relevant transshipment authorization(s)

Identifier Issued by Validity

Identifier Issued by Validity

21. Transshipment information concerning donor vessels

Date Location Name Flag State ID

number

Species Product

form

Catch

area

Quantity

Page 76: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

25

22. Total catch onboard 23. Catch to be offloaded

Species Product form Catch area Quantity Quantity

Page 77: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

26

ANNEX B

Port State inspection procedures

Inspectors shall:

a) verify, to the extent possible, that the vessel identification documentation onboard

and information relating to the owner of the vessel is true, complete and correct,

including through appropriate contacts with the flag State or international records of

vessels if necessary;

b) verify that the vessel’s flag and markings (e.g. name, external registration number,

International Maritime Organization (IMO) ship identification number, international

radio call sign and other markings, main dimensions) are consistent with information

contained in the documentation;

c) verify, to the extent possible, that the authorizations for fishing and fishing related

activities are true, complete, correct and consistent with the information provided in

accordance with Annex A;

d) review all other relevant documentation and records held onboard, including, to the

extent possible, those in electronic format and vessel monitoring system (VMS) data

from the flag State or relevant regional fisheries management organizations

(RFMOs). Relevant documentation may include logbooks, catch, transshipment and

trade documents, crew lists, stowage plans and drawings, descriptions of fish holds,

and documents required pursuant to the Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora;

e) examine, to the extent possible, all relevant fishing gear onboard, including any gear

stowed out of sight as well as related devices, and to the extent possible, verify that

they are in conformity with the conditions of the authorizations. The fishing gear

shall, to the extent possible, also be checked to ensure that features such as the mesh

and twine size, devices and attachments, dimensions and configuration of nets, pots,

dredges, hook sizes and numbers are in conformity with applicable regulations and

that the markings correspond to those authorized for the vessel;

f) determine, to the extent possible, whether the fish on board was harvested in

accordance with the applicable authorizations;

g) examine the fish, including by sampling, to determine its quantity and composition.

In doing so, inspectors may open containers where the fish has been pre-packed and

move the catch or containers to ascertain the integrity of fish holds. Such

examination may include inspections of product type and determination of nominal

weight;

Page 78: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

27

h) evaluate whether there is clear evidence for believing that a vessel has engaged in

IUU fishing or fishing related activities in support of such fishing;

i) provide the master of the vessel with the report containing the result of the

inspection, including possible measures that could be taken, to be signed by the

inspector and the master. The master’s signature on the report shall serve only as

acknowledgment of the receipt of a copy of the report. The master shall be given the

opportunity to add any comments or objection to the report, and, as appropriate, to

contact the relevant authorities of the flag State in particular where the master has

serious difficulties in understanding the content of the report. A copy of the report

shall be provided to the master; and

j) arrange, where necessary and possible, for translation of relevant documentation.

Page 79: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

28

ANNEX C

Report of the results of the inspection

1. Inspection report no 2. Port State

3. Inspecting authority

4. Name of principal inspector ID

5. Port of inspection

6. Commencement of inspection YYYY MM DD HH

7. Completion of inspection YYYY MM DD HH

8. Advanced notification received Yes No

9. Purpose(s) LAN TRX PRO OTH (specify)

10. Port and State and date

of last port call

YYYY MM DD

11. Vessel name

12. Flag State

13. Type of vessel

14. International Radio Call Sign

15. Certificate of registry ID

16. IMO ship ID, if available

17. External ID , if available

18. Port of registry

19. Vessel owner(s)

20. Vessel beneficial owner(s), if

known and different from vessel

owner

21. Vessel operator(s), if different

from vessel owner

22. Vessel master name and nationality

23. Fishing master name and nationality

24. Vessel agent

25. VMS No Yes: National Yes: RFMOs Type:

26. Status in RFMO areas where fishing or fishing related activities have been

undertaken, including any IUU vessel listing

Vessel identifier RFMO Flag State

status

Vessel on authorized

vessel list

Vessel on IUU

vessel list

Page 80: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

29

27. Relevant fishing authorization(s)

Identifier Issued by Validity Fishing area(s) Species Gear

28. Relevant transshipment authorization(s)

Identifier Issued by Validity

Identifier Issued by Validity

29. Transshipment information concerning donor vessels

Name Flag State ID no. Species Product

form

Catch

area(s)

Quantity

30. Evaluation of offloaded catch (quantity)

Species Product

form

Catch

area(s)

Quantity

declared

Quantity

offloaded

Difference between quantity

declared and quantity

determined, if any

31. Catch retained onboard (quantity)

Species Product

form

Catch

area(s)

Quantity

declared

Quantity

retained

Difference between quantity

declared and quantity

determined, if any

32. Examination of logbook(s) and other

documentation

Yes No Comments

33. Compliance with applicable catch

documentation scheme(s)

Yes No Comments

34. Compliance with applicable trade

information scheme(s)

Yes No Comments

35. Type of gear used

36. Gear examined in

accordance with paragraph e)

of Annex B

Yes No Comments

37. Findings by inspector(s)

38. Apparent infringement(s) noted including reference to relevant legal

instrument(s)

Page 81: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

30

39. Comments by the master

40. Action taken

41. Master’s signature

42. Inspector’s signature

Page 82: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

31

ANNEX D

Information systems on port State measures

In implementing this Agreement, each Party shall:

a) seek to establish computerized communication in accordance with Article 16;

b) establish, to the extent possible, websites to publicize the list of ports designated in

accordance with Article 7 and the actions taken in accordance with the relevant provisions

of this Agreement;

c) identify, to the greatest extent possible, each inspection report by a unique reference

number starting with 3-alpha code of the port State and identification of the issuing

agency;

d) utilize, to the extent possible, the international coding system below in Annexes A and C

and translate any other coding system into the international system.

countries/territories: ISO-3166 3-alpha Country Code

species: ASFIS 3-alpha code (known as FAO 3-alpha code)

vessel types: ISSCFV code (known as FAO alpha code)

gear types: ISSCFG code (known as FAO alpha code)

Page 83: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

32

ANNEX E

Guidelines for the training of inspectors

Elements of a training programme for port State inspectors should include at least the following

areas:

1. Ethics;

2. Health, safety and security issues;

3. Applicable national laws and regulations, areas of competence and conservation and

management measures of relevant RFMOs, and applicable international law;

4. Collection, evaluation and preservation of evidence;

5. General inspection procedures such as report writing and interview techniques;

6. Analysis of information, such as logbooks, electronic documentation and vessel history

(name, ownership and flag State), required for the validation of information given by the

master of the vessel;

7. Vessel boarding and inspection, including hold inspections and calculation of vessel hold

volumes;

8. Verification and validation of information related to landings, transshipments, processing

and fish remaining onboard, including utilizing conversion factors for the various species

and products;

9. Identification of fish species, and the measurement of length and other biological

parameters;

10. Identification of vessels and gear, and techniques for the inspection and measurement of

gear;

11. Equipment and operation of VMS and other electronic tracking systems; and

12. Actions to be taken following an inspection.

Page 84: RANCANGAN PENGESAHAN AGREEMENT ON PORT STATE …jdih.kkp.go.id/peraturan/komplit.pdf · 2018. 12. 20. · rancangan peraturan presiden republik indonesia tentang pengesahan agreement

CERTIFIED TRUE COPY of the English version of the Agreement on Port State Measures to

Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing which was approved on

22 November 2009 at the Thirty-sixth Session of the FAO Conference. In accordance with the

provisions of paragraph 7 of Article XIV of the FAO Constitution, this has been certified by the

Director-General of the Organization and the Chairperson of the Conference.

Jacques Diouf Kathleen Merrigan

Director-General Chairperson of the Conference

Food and Agriculture Organization of

the United Nations