UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN AGREEMENT ON …
Transcript of UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN AGREEMENT ON …
0
UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN AGREEMENT
ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION TAHUN
2013-2015
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Mugi Ayu Ningtyas
1112113000048
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M/1440H
v
ABSTRAK
Skripsi ini membahas permasalahan kabut asap lintas batas yang menjadi
permasalahan lingkungan di kawasan Asia Tenggara dan menimbulkan dampak
serius bagi beberapa negara, termasuk Singapura. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisa upaya yang dilakukan oleh Singapura dalam ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) tahun 2013-2015.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif
analitis dengan teknik pengumpulan dan pengolahan data sekunder (library
research). Kemudian, untuk mengelaborasi secara mendalam, kerangka pemikiran
yang digunakan adalah kerangka teori kebijakan luar negeri dan konsep perjanjian
internasional. Dari hasil analisis menggunakan konsep dan teori di atas, dapat
disimpulkan bahwa terdapat faktor internal dari segi ekonomi, karakter geografis
dan opini masyarakat Singapura dan faktor eksternal yaitu ketidakefektifan ASEAN
dalam mengimplementasikan AATHP dan terdapat berbagai upaya
penanggulangan polusi kabut asap lintas batas dengan mengimplementasikan
penuh fungsi AATHP dan pembentukan Transboundary Haze Pollution Act 2014.
Kata kunci: Singapura, AATHP, Perjanjian Internasional, Kabut Asap Lintas Batas.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirabbil’alamiin, Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya dan keluarga penulis, Ibunda tercinta Yati
Ningsih, Ayah tersayang Mufid Samsul Ashar, dan adik Shandika Prasetyo yang
selalu memberikan kasih saying yang tulus dan setia mendukung baik moril dan
materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dan studi di jenjang
perguruan tinggi.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat akademis di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar sarjana. Penulis
sangat menyadari bahwa saat menyelesaikan skripsi ini banyak mendapat bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak yang sangat berarti bagi penulis. Oleh sebab itu,
pada kesempatan kali ini penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan
penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Ahmad Alfajri, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memotivasi
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M. selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih banyak atas kesabaran,
kepercayaan, ilmu, serta dukungan yang Bapak berikan kepada penulis.
3. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional. Terima kasih
atas ilmu yang sangat bermanfaat serta kemudahan administrasi yang telah
diberikan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.
4. Sahabat terbaik penulis yaitu Qiewari Jumwag Camendini, Arya Wirawan
Maulana, M. Rif’at Sauqi. Terima kasih atas kesetiaan dan tidak pernah bosan
mengingatkan penulis untuk menyelesaikan beban ini hingga akhir.
5. Teman-teman “Pejuang Terakhir”, Augusty, Niyomi, Arlinda, Djordi, Indra,
Dinda, Tasya, Sakina, Putri, dan Ismail terimakasih atas motivasi serta
kerjasama yang bermanfaat selama proses penulisan skripsi. Penulis
mengetahui banyak suka duka dan banyak air mata dalam penulisan skripsi
ini, but finally we did it!
6. Semua taman-teman Hubungan Internasional 2012 dan pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan
selama proses penulisan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis sadar bahwa skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan masukan dan kritik agar
nantinya skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh pihak.
Tangerang Selatan, 2 Mei 2019
Mugi Ayu Ningtyas
vii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ........................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ......................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ....................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ................................................................................. 1
B. Pertanyaan Masalah ................................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 8
E. Kerangka Teoritis .................................................................................. 11
F. Metode Penelitian .................................................................................. 17
G. Sistematika Penulisan ............................................................................ 19
BAB II PERMASALAHAN KABUT ASAP LINTAS BATAS DI ASIA
TENGGARA
A. Latar Belakang Terjadinya Kabut Asap Lintas Batas di Asia Tenggara 21
B. Dampak Kabut Asap Lintas Batas bagi Singapura ................................ 32
BAB III ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
(AATHP)
A. Latar Belakang Terbentuknya AATHP ................................................. 40
B. Gambaran Umum AATHP .................................................................... 47
BAB IV ANALISA UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN AGREEMENT
ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION 2013-2015
A. Mengimplementasikan AATHP ............................................................ 57
viii
B. Membentuk Transboundary Haze Pollution Act (THPA) ...................... 69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 74
LAMPIRAN..................................................................................................................... 84
ix
DAFTAR TABEL
Tabel II.A.1. Luas area yang terbakar tahun 1997/98 (dalam ha) ................... 27
Tabel II.B.1. Ukuran Nilai Indeks Standar Polutan (PSI) ............................... 33
Tabel II.B.2. Total Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Kabut Asap Lintas
Batas Tahun 1997 ...................................................................... 35
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1. Pemandangan Singapura pada malam hari bulan September
1997 ........................................................................................... 34
Gambar II.2. Perbandingan Langit di Bedok South Avenue 1, Singapura pada
Juni 2013 .................................................................................... 37
Gambar III.1. Inisiatif ASEAN terkait Kabut Asap ......................................... 47
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ........... 84
xii
DAFTAR SINGKATAN
AATHP ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
AHMS ASEAN Haze Monitoring System
ASEAN Association of Southeast Asian Nation
ASMC ASEAN Specialized Monitoring Center
ASOEN ASEAN Senior Officials on the Environment
COP Conference of the Parties
HTI Hutan Taman Industri
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Akut
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
MSD Meteorological Service Division
NEA National Environmental Agency
PSI Pollutant Standard Index
RHAP Regional Haze Action Plan
THPA Transboundary Haze Pollution Act
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Di era globalisasi saat ini, permasalahan lingkungan hidup merupakan salah
satu isu yang dianggap tidak kalah penting dalam tatanan hubungan internasional.
Melihat dampak yang ditimbulkan dari permasalahan lingkungan hidup memiliki
potensi untuk mengancam hubungan antarnegara yang bertetangga hingga di
kawasan. Terdapat faktor yang membuat isu permasalahan lingkungan ini dapat
menjadi fokus penting dalam dunia internasional saat ini, yaitu1 permasalahan
lingkungan yang terjadi di suatu negara turut menjadi permasalahan global, seperti
emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim di bumi. Selain itu, ada
pula permasalahan lingkungan yang berada di satu negara namun akibat yang
ditimbulkan bersifat transnasional/lintas batas negara, seperti pencemaran udara
dalam bentuk kabut asap akibat dari kebakaran hutan dan lahan.
Istilah kabut (haze) didefinisikan sebagai sebuah gumpalan asap, debu,
embun, dan uap melayang di udara dan menyebabkan berkurangnya jarak
pandang.2 Kabut asap ini dikategorikan sebagai polusi karena didalamnya
terkandung partikel-partikel berbahaya bagi kesehatan seperti karbon monoksida
1David Hughes, Environmental Law, 2nd edition (London: Butterworths, 1996), 60. 2Euston Quah dan Helena Varkkey, “The Political Economy of Transboundary Pollution: Mitigation Forest Fires Southeast Asia,” [jurnal on-line]; tersedia di https://umexpert.um.edu.my/file/publication/00009140_102526.pdf; Internet; diunduh pada 27 Maret 2019.
2
(CO), karbon dioksida (CO2), Sulfur dioksida (SO2), Particulate Matter (PM10) dan
Ozon (O3).3 Polusi kabut asap yang bersifat lintas batas merupakan polusi kabut
asap yang dihasilkan dari kebakaran lahan dan/atau hutan yang menyebabkan efek
merusak seperti membahayakan kesehatan manusia, membahayakan sumber daya
hayati dan ekosistem dan harta benda, dan merusak atau mengganggu fasilitas dan
penggunaan lingkungan yang sah lainnya hingga melewati batas teritorial sebuah
negara.45
Kebakaran hutan dan lahan bukan merupakan permasalahan yang baru bagi
negara-negara pemilik hutan yang luas. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
peristiwa ini, yaitu faktor alam dan faktor aktivitas manusia. Menurut Nina Yulianti
dalam penelitiannya, 10% penyebab kebakaran hutan dan lahan merupakan faktor
alam, sedangkan 90% nya berasal dari kegiatan manusia secara massif.6 Faktor
alam yang menjadi pemicu terjadinya kebakaran salah satunya adalah musim
kemarau menjadi panjang akibat adanya fenomena iklim El-Nino Southern
Oscillation (ENSO).7
Selain faktor alam, faktor lainnya seperti kegiatan manusia yang dapat
mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan adalah adanya praktik pembersihan
3Osamu Kunii, Shuzo Kanagawa, Iwao Yajima, Yoshiharu Hisamatsu, Sombo Yamamura, Takashi Amagai dan Ir T. Sachrul Ismail, “The 1997 Haze Disaster in Indonesia: Its Air Quality and Health Effects,” Archives of Environmental Health: An International Journal, 2002 [artikel on-line]; tersedia di https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00039890209602912; Internet; diunduh pada 26 Maret 2019. 4ASEAN Secretariat. “ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” (2002); tersedia di https://haze.asean.org/?wpfb_dl=32; Internet; diunduh pada 27 Maret 2019. 5 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 6Nina Yulianti, Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas (Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2018), 11. 7Yulianti, Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas, 12-13.
3
lahan melalui metode tebas-bakar yang seringkali dilakukan oleh masyarakat
hingga perusahaan.8 Metode ini dinilai efektif dan efisien dalam pembersihan lahan
yang dikonversi penggunaanya menjadi area Hutan Tanaman Industri (HTI) seperti
perkebunan pulp dan kertas, karet atau kelapa sawit.
Salah satu peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang menarik perhatian dunia
yaitu pada tahun 1997-1998 terjadi kombinasi fenomena El Nino dan praktik
pembakaran hutan yang tidak terkendali. Pada peristiwa ini membakar sebagian
besar hutan di berbagai negara seperti Indonesia, Australia, Brasil, Meksiko,
Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia bagian timur.9 Dengan jumlah dan tingkat
kebakaran hutan yang tidak terkendali selama 1997 dan 1998 menarik perhatian
media dan meningkatkan kesadaran publik tentang isu-isu seperti pembakaran
biomassa dan gas rumah kaca, hilangnya habitat untuk spesies tanaman dan satwa
liar yang terancam dan hampir punah, kabut lintas batas dan polusi udara, dan
membahayakan kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Di kawasan Asia Tenggara, kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi
masalah tahunan yang hampir terjadi setiap musim kemarau tiba, khususnya pada
wilayah Indonesia.10 Peristiwa kabut asap lintas batas pada tahun 1997 ini tidak
8Apichai Sunchindah, “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia: Reframing ASEAN’s Response,” ERIA Discussion Paper Series-82, 1 Desember 2015 [jurnal on-line]; tersedia di http://www.eria.org/publications/transboundary-haze-pollution-problem-in-southeast-asia-reframing-aseans-response/; Internet; diunduh pada 29 Maret 2019. 9Levine, J.S., Bobbe, T., Ray, N., Singh, A. and R.G. Witt, “Wildland Fires and the Environment: a Global Synthesis,” UNEP/DEIAEW/TR.99-1, 1999 [jurnal on-line]; tersedia di http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.566.8641&rep=rep1&type=pdf; Internet; diunduh pada 16 Mei 2019 10Daniel Heilmann, “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional Environmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol. 3, 2015 [jurnal on-line]; tersedia di https://journals.sub.uni-hamburg.de/giga/jsaa/article/download/907/914; Internet; diunduh pada 28 Maret 2019.
4
hanya terjadi di kawasan Asia Tenggara, namun juga dirasakan oleh sebagian besar
wilayah tenggara Amerika Serikat sebagai dampak dari kebakaran hutan dan lahan
di Mexico, Honduras dan Guatemala.11 Pada periode tahun yang sama, seluas 9,76
juta ha lahan hutan terbakar di Indonesia dan Malaysia.12 Alhasil, kabut asap dari
hasil kebakaran hutan dan lahan itu menyelimuti langit beberapa negara di kawasan
Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand bagian selatan,
hingga Filipina. Sekitar 20 juta orang di kawasan berada dalam bahaya karena
menghirup polutan berintensitas pekat yang menyebabkan masalah saluran
pernapasan atas dan asma.13 Bandara di beberapa negara yang terdampak ditutup
karena asap tebal dan total kerugian ekonomi di seluruh kawasan diperkirakan
sekitar US$9 miliar.
Di Indonesia, kabut asap yang menyebar ke negara-negara tetangga ini
disebabkan karena sebagian besar hutan dan lahan yang terbakar terletak di wilayah
Kalimantan, Papua, dan Sumatera. Ekonomi Indonesia, Malaysia dan Singapura
juga sangat terpengaruh dilihat dari keterlambatan penerbangan, kecelakaan,
menurunnya pendapatan di bidang pariwisata dan beberapa bisnis yang tutup. Pada
tahun itu, Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar dengan estimasi sekitar
US$ 4 miliar.14 Malaysia termasuk negara yang terdampak kabut asap cukup parah.
11 UNEP (1999), Wildland Fires and the Environment: a Global Synthesis, 2. 12Luca Tacconi, “Fires in Indonesia: Causes, Costs, and Policy Implications,” CIFOR Occasional Paper.No.38, 2003 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038.pdf; Internet; diunduh pada 29 Maret 2019. 13 Overseas Development Insitute, “Indonesia and The 1997-98 El Nino: Fire Problems and Long-term Solutions,” Natural Resource perspectives, No. 28 April 1998 [artikel on-line]; tersedia di https://www.odi.org/resources/docs/2913.pdf; Internet; diunduh pada 30 Maret 2019 14 David Glover dan Timothy Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe (Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1999), 110.
5
Pada September 1997, pemerintah Malaysia menyatakan keadaan darurat selama
10 hari untuk wilayah Sarawak dikarekan indeks kualitas udara Malaysia mencapai
angka 600 yang dikategorikan berbahaya untuk kesehatan manusia. Akibatnya,
beberapa sekolah dan perkantoran tutup dan dalam masa keadaan darurat itu
kerugiannya ditaksir mencapai US$325 juta atau setara dengan RM1 Miliar. 15
Selain itu, Singapura merasakan dampak yang tidak kalah parah dari
Malaysia. Indeks Standar Polusi (Pollutant Standards Index/PSI) merupakan
sebuah tolak ukur kualitas udara yang digunakan oleh Singapura menunjukkan
level kualitas udara pada saat itu mencapai angka 226 yang dapat dikategorikan
‘Sangat tidak sehat’. Singapura juga mengalami kerugian ekonomi yang cukup
signifikan terutama pada sektor bisnis dan pariwisata jika diestimasikan total
kerugiannya mencapai US$163,5 juta.16
Berkaca pada kejadian ini, Singapura bersama Malaysia membahas lebih
dalam mengenai penangangan polusi kabut asap pada agenda Malaysia-Singapore
Joint Committee on The Environment (MSJCE) tahun 1994 dan mencapai
kesepakatan untuk mengajukan proposal pada Pertemuan Tingkat Menteri ASEAN
untuk lingkungan yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya Regional Haze
Action Plan (RHAP).
Menteri Luar Negeri Singapura menyatakan bahwa RHAP belum berfungsi
secara baik dikarenakan tidak ada hukum yang mengikat dan denda/kompensasi,
sehingga menuntut ASEAN untuk mengambil langkah inisiatif dalam pencegahan
15Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 11. 16Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 12.
6
kabut asap lintas batas. Hal ini terwujud pada tahun 2002 dengan pembentukan
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) dan dengan cepat
diratifikasi oleh 7 negara anggota ASEAN, tidak termasuk Indonesia. Singapura
sangat menyayangkan Indonesia hanya menandatangani, belum meratifikasi
perjanjian tersebut.
AATHP dibuat sebagai wujud kerjasama ASEAN yang secara khusus
membahas tentang polusi kabut asap lintas batas. Dalam kerjasama ini dijelaskan
tujuan, prinsip-prinsip yang digunakan, hingga langkah-langkah teknis pencegahan
dan pengendalian polusi kabut asap lintas batas. Tidak hanya itu, AATHP juga
membentuk ASEAN Centre sebagai pusat penelitian dan pengendalian dampak
kabut asap dan membentuk Conference of the Parties (COP) sebagai fungsi
monitoring dan evaluasi pelaksanaan AATHP. Dengan adanya AATHP, Singapura
optimis bahwa perjanjian kerjasama ini dapat menanggulangi polusi kabut asap
lintas batas. Sebagai komitmen awal dalam pelaksanaan perjanjian ini, Singapura
mendonasikan US$50,000 melalui AATHP Haze Fund.17
Namun setelah peratifikasian AATHP hampir setiap tahun polusi kabut asap
menyelimuti udara di kawasan dan terdapat beberapa episode yang cukup
mengkhawatirkan yaitu pada tahun 2006, 2009, 2013.18 Pada 21 Juni 2013,
Singapura kembali dihantui oleh kabut asap tebal dengan catatan angka PSI lebih
parah dibandingan dengan yang terjadi pada tahun 1997 dan hal ini tercatat sebagai
17 Helena Varkkey, “Addressing Transboundary Haze Through ASEAN: Singapore’s Normative Constraints,” Jurnal of International Studies, 2011 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/256988971; diunduh pada 1 April 2019. 18Heilmann, After Indonesia’s Ratification, 7.
7
rekor tertingginya hingga mencapai angka 401.19 Angka ini menunjukkan bahwa
kualitas udara di Singapura memasuki kategori ‘sangat tidak sehat’ dan bahkan
‘berbahaya’ bagi kesehatan manusia. Hal ini membuat masyarakat Singapura
merasa terancam dari sisi kemanusiaan. Tidak hanya itu berbagai media di
Singapura juga mengambil peranan dalam meningkatkan kewaspadaan public
mengenai kualitas udara di Singapura. Sebagai respon bagi permasalahan ini,
pemerintah Singapura mengambil langkah tegas untuk menanggulangi bencana
yang melanda negaranya.
Berdasarkan paparan diatas penulis tertarik untuk membuat penelitian ini dan
membahas mengenai permasalahan polusi kabut asap lintas batas yang terjadi di
kawasan Asia Tenggara dan menganalisa upaya-upaya Singapura dalam ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).
B. Pertanyaan Masalah
Berdasarkan dari pemaparan pada penyataan masalah diatas, maka
pertanyaan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana upaya Singapura
dalam ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini, antara lain:
19 Erik Velasco dan Soheil Rastan, “Air quality in Singapore during the 2013 smoke-haze episode over the Strait of Malacca: Lessons learned,” Sustainable Cities and Society 17, April 2015 [artikel on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/275670693; Internet; diunduh pada 30 Maret 2019.
8
1. Menganalisa upaya Singapura dalam ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution melalui pendekatan perjanjian
internasional.
2. Menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan
luar negeri Singapura dalam menangani polusi kabut asap lintas batas;
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai kontribusi akademis khususnya pada bidang Hubungan
Internasional dan menjadi referensi tambahan bagi para peneliti
selanjutnya;
2. Memperkaya literatur ilmu hubungan internasional yang secara khusus
mengangkat isu-isu masalah lingkungan regional maupun global.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa upaya-upaya yang dilakukan oleh
Singapura dalam menanggulangi polusi kabut asap lintas batas melalui ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution. Terdapat beberapa penelitian
sebelumnya yang menyoroti tentang penanganan kabut asap lintas batas.
Pertama, pada skripsi yang ditulis oleh La Ode Muhammad Al-Jabar Mokado
pada tahun 2018 dengan judul Upaya ASEAN dalam Penanggulangan Kabut Asap
Lintas Batas melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2015.
Dalam penelitian tersebut menjelaskan tentang upaya yang dilakukan oleh ASEAN
terhadap masalah kabut asap lintas batas melalui kerangka kerjasama dan perjanjian
internasional antara negara-negara di Kawasan ASEAN yaitu ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tahun 2015. Penelitian ini
9
menggunakan metode penelitian kualitatif berdasarkan data sekunder yang
kemudian dianalisa melalui pendekatan organisasi internasional, kerjasama
internasional, dan perjanjian internasional.
Hasil analisia penelitian tersebut menjelaskan upaya ASEAN di Kawasan
Asia Tenggara bertindak untuk menanggulangi permasalahan tersebut dengan
mengimplikasikan penuh fungsi AATHP yang telah diratifikasi oleh Indonesia,
membentuk ASEAN Guidelines on Peatlands Fire Management, mengembangkan
Roadmap on ASEAN Cooperation Toward Transboundary Haze Pollution, dan
meningkatkan donasi anggota ASEAN melalui ASEAN Haze Fund.
Terdapat kesamaan antara penelitian penulis dan penelitian yang telah
dilakukan oleh La Ode Muhammad Al-Jabar Mokado. Kesamaan ini terletak pada
pembahasan mengenai penanganan kabut asap lintas batas di Asia Tenggara.
Namun yang membedakan adalah penelitian yang dilakukan penulis berfokus pada
negara di dalam kawasan yang merupakan bagian dari ASEAN, sedangkan
penelitian sebelumnya terfokus pada organisasi internasional yang melibatkan
negara-negara anggotanya. Dan juga perbedaan pada tahun penelitian, penulis lebih
melebarkan tahun penelitian yaitu 2013-2015 sedangkan penelitian sebelumnya
hanya berfokus di tahun 2015.
Selanjutnya, dalam International Journal of Education and Research tahun
2013 berjudul Haze Free Air in Singapore and Malaysia – The Spirit of the Law in
South East Asia yang ditulis oleh Ayyappan Palanissamy menjelaskan
permasalahan yang sama dengan penulis yaitu fenomena kabut asap lintas batas
yang melanda kawasan Asia Tenggara. Fokus pada penelitian tersebut adalah
10
meninjau efektifitas perjanjian yang telah ada untuk menanggulangi permasalahan
kabut asap lintas batas di kawasan ASEAN dan mencari solusi berupa kebijakan
yang dapat secara permanen mengatasi permasalahan ini. Dalam jurnal ini
menjelaskan bagaimana terbentuknya dan penjelasan singkat mengenai perjanjian
ASEAN tentang kabut asap lintas batas. Selanjutnya direlasikan dengan keadaan
saat ini dan melihat bahwa kerja sama dalam mengimplementasikan perjanjian ini
dibatasi oleh norma-norma kelembagaan ASEAN dan oleh politik dalam negeri
pemerintahan yang terlibat.
Seperti pemerintah Indonesia yang tak kunjung memberikan informasi
mengenai pelaku pembakaran hutan yang menimbulkan kabut asap hingga
Singapura dan Malaysia. Sedangkan pemerintah Singapura maupun Malaysia tidak
dapat berbuat lebih banyak jika tidak ada persetujuan dari Indonesia. maka
diperlukan hukum yang lebih mengikat aktor lainnya seperti perusahaan-perusahan
dan tidak hanya berlaku dalam negeri tetapi juga di luar batas negara. Dengan
menggunakan analisa pendekatan state responsibility dan hukum internasional,
jurnal ini merekomendasikan pemerintah Singapura dan Malaysia untuk dapat
menindaklanjuti permasalahan kabut asap lebih proaktif lagi demi mencapai
kepentingan bersama, salah satunya dengan mendorong Indonesia untuk
meratifikasi segera perjanjian ASEAN tentang kabut asap lintas batas. Dan salah
satu solusinya adalah dengan membentuk kerangka hukum yang lebih efektif
diantara negara-negara terdampak.
Ketiga, dalam jurnal skripsi yang berjudul Transformasi Sekuritisasi
Singapura terhadap Transboundary Haze Pollution (THP) dari Indonesia Tahun
11
1997-2016 oleh Afra Monica Anindya menjelaskan tindakan sekuritisasi yang
dilakukan oleh Singapura dalam mengahadapi isu THP, sebagai negara yang
terdampak akibat kebakaran hutan yang berasal dari Indonesia. Selain itu juga
Dalam penelitian ini menggunakan teori sekuritisasi dan teori keamanan non-
tradisional dengan metode penelitian deksriptif analisis, peneliti menemukan pola-
pola sekuritisasi yang digunakan oleh Singapura dalam memandang isu THP yang
sekaligus dianggap memberi ancaman keamanan eksistensial bagi negara yang
dapat dilihat berdasarkan dua indikator, yaitu jenis tindakan dan ruang lingkup yang
digunakan. Persamaan pada penelitian ini terletak pada subjek yang akan diteliti
yaitu Singapura sebagai negara yang terdampak dari polusi kabut asap lintas batas,
namun terdapat perbedaan penelitian ini yaitu pada teori yang digunakan.
E. Kerangka Teoritis
Dalam menganalisa pertanyaan penelitian di atas, penulis akan menggunakan
konsep kebijakan luar negeri dan konsep perjanjian internasional.
1. Konsep Kebijakan Luar Negeri
Dalam memahami konsep kebijakan luar negeri, menurut Yanyan
Mochamad Yani akan lebih baik memisahkan ke dalam dua komponen, yaitu
kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil atau dibuat
oleh seorang pelaku atau kelompok politik (pemerintahan), dalam usaha
memilih tujuan dan cara untuk mencapai tujuan pemerintah (nasional),
sedangkan luar negeri (foreign) dipahami sebagai kedaulatan dan konsep
“wilayah”. Maka dari itu dapat disimpulkan kebijakan luar negeri berarti
12
seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar wilayah
suatu negara.20
Kebijakan dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan
nasional sebuah negara. Kebijakan luar negeri merupakan strategi atau
rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam
menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya, dan
dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam
terminologi kepentingan nasional.21 Selain itu, pengertian kebijakan luar
negeri yaitu upaya suatu negara melalui keseluruhan sikap dan aktivitasnya
untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya.22
Menurut James N. Rosenau, terdapat faktor-faktor pendukung dalam
perumusan kebijakan luar negeri, yaitu:23 (1) Faktor Eksternal yaitu, Systemic
Sources seperti struktur hubungan antar negara, pola-pola aliansi dan factor
situasional yang terjadi di luar negara; (2) Faktor Internal, yaitu Societal
Source seperti kebudayaan dan sejarah, ekonomi, struktur sosial dan
perubahan opini publik; Govenmental Sources atau stuktur pemerintahan dan
political accountability; dan Idiosyncratic Sources yang merujuk pada latar
belakang kepribadian dari elit politik pemegang keputusan dalam
20 Yanyan Mochamad Yani, Disampaikan pada acara Ceramah Sistem Politik Luar Negeri bagi Perwira Siswa Sekolah Sekolah Staf dan Komando Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (Sesko TNI AU) Angkatan ke-44 TP 2007, Bandung, 16 Mei 2007. 21 Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Bandung: Abardin, 1999), 5. 22 A.A, Perwita., dan Y.M. Yani, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), 49. 23 James N. Rosenau, Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson. World Politics: An Intoduction (New York: The Free Press, 1976), 18.
13
menentukan kebijakan. Dengan adanya faktor-faktor ini, kebijakan luar
negeri merupakan bentuk perilaku atau aksi berupa langkah-langkah nyata
yang diambil oleh para pembuat keputusan sebagai respon dari situasi di
lingkungan eksternal.
Untuk memenuhi kepentingan nasionalnya itu, negara-negara maupun
aktor dari negara tersebut melakukan berbagai macam kerjasama diantaranya
adalah kerjasama bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.24 K. J. Holsti
mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai suatu aktivitas yang memiliki
tujuan dan dibentuk untuk mempertahankan, mengubah kondisi, dan praktek
lingkungan eksternal.25 Terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara, yaitu faktor domestik dan faktor eksternal.
Faktor domestik merupakan semua kondisi yang berasal dari negara
yang bersangkutan dengan kebutuhan sosio-ekonomi/keamanan,
karakteristik geografi dan topografi, atribut nasional, struktur/filosofi
pemerintah, opini publik, birokrasi, serta pertimbangan etis. Sementara faktor
eksternal merupakan semua kondisi yang berasal dari luar negara tersebut,
antara lain26: (a) struktur system internasional (structure of the system); (b)
karakteristik/struktur ekonomi internasional (charachteristic/structure of the
world economy); (c) kebijakan dan tindakan aktor lain (the politics and
actions of other states); (d) masalah global dan regional yang berasal dari
pihak swasta (global and regional private problems arising from private
24 Plano dan Olton, Kamus Hubungan Internasional, 5. 25 K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), 270. 26 K.J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis, 271-285.
14
activites); (e) hukum internasional dan opini dunia (international law and
world opinion).
Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis upaya singapura dalam
membentuk kebijakan luar negerinya berdasarkan faktor internal dan ekternal
yang dijabarkan oleh K.J.Holsti. Adapun faktor internal yang digunakan akan
dibatasi pada karakteristik geografi, sosio-ekonomi, dan opini publik. Dan
faktor eksternal yang digunakan adalah masalah global dan regional yang
berasal dari pihak swasta dimana permasalahan polusi kabut asap lintas batas
berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang dibuat oleh manusia baik petani
kecil hingga perusahaan.
2. Konsep Perjanjian Internasional
Perjanjian internasional menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah
perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.27 Anggota masyarakat
bangsa-bangsa yang dimaksud tidak hanya mengacu kepada negara tetapi
juga lembaga-lembaga internasional. Definisi perjanjian internasional
menurut Oppenheim-Lauterpacht sebagai berikut28:
“International treaties are agreement of contractual charter between
states, creating legal right and obligations between the treaties.”
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa perjanjian internasional
adalah suatu persetujuan antar negara yang menimbulkan hak dan kewajiban
27 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Binacipta, 1996), 38. 28 Oppenheim-Lauterpacht, International Law A treties. (London: Longmans Gren and Company, 1996), 877
15
bagi para pihak. Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada perjanjian
internasional akan menimbulkan hukum tertentu beserta hak dan kewajiban
yang akan dilaksanakan oleh para pihak yang terlibat di dalamnya.
Adapun sifat dan karakteristik dari Perjanjian Internasional, yang saat
ini sudah terdapat dua konvensi yang mengatur tentang perjanjian
internasional, yaitu Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Pada
Konvensi Wina 1969, perjanjian internasional menekankan bahwa hnaya
negara saja yang dapat membuat perjanjian internasional29. Sedangkan pada
Konvensi Wina Tahun 1986 meningkatkan peranan organisasi internasional
dalam melakukan perjanjian internasional dengan negara atau dengan
organisasi internasional lainnya.
Terdapat klasifikasi perjanjian yang dikemukakan oleh Mochtar
Kusumaatmadja, sebagai berikut30:
1. Klasifikasi berdasarkan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian yaitu,
Perjanjian antar negara; perjanjian antar negara dengan subyek hukum
internasional lainnya seperti organisasi internasional; dan perjanjian
antara subyek hukum internasional selain negara satu sama lain.
2. Klasifikasi berdasarkan para pihak yang membuatnya yaitu, perjanjian
bilateral (antar dua negara) dan perjanjian multilateral (banyak negara)
yang pada umumnya bersifat terbuka dan membentuk hukum.
29 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. 30 Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, 111.
16
3. Klasifikasi perjanjian ditinjau dari proses/tahap pembentukannya yaitu,
Perjanjian yang diadakan melalui tiga tahap pembentukannya
(perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi) dan Perjanjian yang
diadakan melalui dua tahap pembentukannya (perundingan dan
penandatanganan).
Melihat proses pembuatan Perjanjian Internasional biasanya melalui
tiga tahap, yaitu perundingan, penandatanganan dan rafitikasi. Perundingan
atau negotiation adalah situasi dimana negara akan berhubungan dengan
negara lain untuk membicarakan, bertukar pandangan dan memecahkan suatu
permasalahan yang timbul diantara para pihak. Kemudian masing-masing
negara akan menunjuk bagian/perseorangan di dalam pemerintahannya yang
kompeten untuk mengikuti atau mewakili negaranya dalam perundingan
tersebut. Berdasarkan Konvensi Wina tahun 1969 pasal 7, negara dapat
menunjuk seseorang yang ditunjuk untuk mewakili negara tersebut dalam
tahap-tahap pembuatan perjanjian internasional dengan membuat surat kuasa
penuh.
Selanjutnya jika sudah mencapai titik temu dari pihak-pihak yang
bersangkutan akan muncul sebuah treaty yang dilanjutkan dengan proses
penandatanganan dan ratifikasi. Pada pasal 18 Kovensi Wina tahun 1969
menjelaskan bahwa bila suatu negara yang telah ikut menandatangani suatu
perjanjian tetapi belum meratifikasinya berarti negara tersebut secara yuridis
belum merupakan peserta dalam perjanjian. Namun, negara tersebut tetap
memiliki kewajiban untuk tidak melakukan suatu tindakan yang bertentangan
17
dengan obyek dan tujuan perjanjian tersebut. Adapula prosedur perjanjian
internasional yang dapat dijalankan dan mengikat tanpa adanya ratifikasi.31
Tahap selanjutnya adalah pengesahan/ratifikasi. Pengesahan/ratifikasi
dapat diartikan sebagai sebuah ekspresi untuk terikat pada sebuah perjanjian
internasional. Dalam pasal 14 Kovensi Wina tahun 1969 menjelaskan bahwa
persetujuan negara untuk diikat dengan melakukan proses ratifikasi apabila
perjanjian tersebut mengharuskan adanya proses ratifikasi, negara-negara
yang ikut berunding menyetujui untuk diadakannya ratifikasi, dan perwakilan
negara menandatangani perjanjian tersebut dengan syarat untuk
meratifikasinya kemudian. Maka dari itu, dalam AATHP peratifikasian
perjanjian menjadi penting bagi negara-negara di dalamnya, termasuk
Singapura, untuk selanjutnya agar dapat diimplementasikan. Namun,
AATHP sebagai perjanjian internasional sendiri tidak dapat dengan mudah
menjadi hukum nasional dikarenakan adanya penyesuaian-penyesuaian oleh
hukum masing-masing negara peratifikasi.
F. Metode Penelitian
Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif
sebagai metode untuk menganalisa kasus yang akan dibahas. Penelitian kualitatif
adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam mengumpulkan data
melalui tinjauan dokumen berupa catatan dan arsip yang terdapat pada masyarakat,
31 Sinclair, I.M, The Vienna Convention on the Law of Treaties (Manchaster: Manchaster University Press, 1973), 36.
18
komunitas atau organisasi.32 Penelitian kualitatif digunakan untuk memahami
fenomena tentang hal yang diteliti seperti motivasi, tindakan, dan perilaku yang
secara utuh akan menjelaskan secara deskriptif dalam bentuk kata-kata.33
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif
dengan model deskriptif-analisis. Penelitian yang bersifat kualitatif dengan model
deskriptif-analisis yaitu suatu pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan suatu
fenomena sosial yang diteliti secara mendalam. Penelitian ini digunakan untuk
memahami dan menjelaskan fenomena sosial yang telah maupun yang sedang
terjadi dengan menggunakan data yang deskriptif berupa buku-buku, jurnal ilmiah,
dan artikel-artikel agar dapat lebih memahami secara mendalam mengenai kejadian
yang berhubungan dengan fokus masalah yang diteliti.34
Penelitian kualitatif memiliki fokus pada suatu studi kasus dengan memilih
lebih dari satu atau dua kasus serupa untuk dikaji lebih lanjut, dan selanjutnya
memberlakukan suatu batasan pada penelitian tersebut, seperti fokus substansi
penelitian, tahun penelitian, serta melakukan pengumpulan data secara mendalam
melalui berbagai sumber.35 Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan data
sekunder dimana peneliti akan menggunakan sumber-sumber kepustakaan berupa
buku, jurnal ilmiah, dokumen-dokumen resmi, dokumen-dokumen online serta
sumber-sumber lain yang berkenaan dan relevan dengan penelitian ini. Dengan
32 Catherine Marshall dan Gretchen B. Rossman, Designing Qualitative Research 3e, (California: Sage Publications Inc, 1999), 117. 33 Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1998), 6. 34 Dr. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2000), 6. 35 John. W Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Approaches (USA: Sage Publications, Inc, 2007), 73.
19
data-data yang ada maka penulis akan memverifikasi data untuk memilah bagian-
bagian atau informasi yang sesuai dengan fokus penelitian dan terbukti
kevalidannya. Selanjutnya dari keseluruhan data yang terkumpul akan
dikelompokkan sesuai dengan masalah yang diajukan guna menjawab
permasalahan yang diteliti. Kemudian mengolah informasi dan data yang telah
terkumpul dan menggunakan kerangka teori untuk menganalisa permasalahan,
sehingga menjadikannya sebuah uraian.
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang bertujuan agar penjelasan dalam
penelitian ini dapat dipahami dengan mudah sebagai kesatuan penelitian yang
terstruktur dengan baik. Terdapat lima bab dalam penelitian ini, yaitu:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan penggambaran penelitian secara umum yang
dimulai dari penyataan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, dan metode
penelitian. Terdapat dua konsep dalam kerangka teoritis yang akan
digunakan yakni konsep kebijakan luar negeri dan konsep perjanjian
internasional.
BAB II PERMASALAHAN KABUT ASAP LINTAS BATAS DI ASIA
TENGGARA
Bab ini berisi uraian tentang fenomena kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi di Indonesia sehingga menimbulkan permasalahan
polusi kabut asap lintas batas terjadi di kawasan Asia Tenggara.
20
Selain itu juga akan dibahas dampak apa saja yang timbul akibat dari
polusi kabut asap lintas batas bagi Singapura.
BAB III ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE
POLLUTION (AATHP)
Bab ini berisi uraian mengenai sejarah terbentuknya ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution, serta tugas, fungsi
dan action plan dalam penanggulangan polusi kabut asap lintas batas
yang terjadi di kawasan asia tenggara.
BAB IV ANALISA UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
(AATHP) TAHUN 2013-2015
Bab ini merupakan analisa dari upaya Singapura dalam ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada tahun
2013-2015 melalui konsep kebijakan luar negeri dan konsep
perjanjian internasional. Analisa ini berfokus pada langkah yang
Singapura ambil untuk menangani kabut asap lintas batas setelah
meratifikasi perjanjian tersebut.
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.
21
BAB II
PERMASALAHAN KABUT ASAP LINTAS BATAS DI ASIA TENGGARA
A. Latar Belakang Terjadinya Kabut Asap Lintas Batas di Asia Tenggara
Di kawasan Asia Tenggara, kabut asap bukanlah isu permasalahan
lingkungan yang baru. Awal mula kabut asap yang terjadi di Asia Tenggara
merupakan hasil dari kebakaran hutan dan lahan secara besar-besaran yang
menghanguskan sebagian besar hutan dan lahan di Indonesia, terutama wilayah
Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia
telah berlangsung sejak akhir 1800-an.36 Kemudian kembali berulang setiap
tahunnya dengan beberapa episode besar yaitu tahun 1982-1983, 1997/98, 2013 dan
2015.
‘Haze’ atau Kabut Asap merupakan gumpalan asap atau debu melayang di
udara dan menyebabkan berkurangnya jarak pandang.37 Kabut asap merupakan
pencemaran udara yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia seperti
iritasi mata dan kulit, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, bronkhitis,
pneuma (Radang paru) hingga dapat menyebabkan kematian.38 Angin yang bertiup
selama musim pembakaran (Juni-Oktober) mengangkut emisi gas dan partikel,
disebut 'kabut asap' yang menyelimuti langit di Indonesia hingga menyebar dan
berpindah sampai ke Brunei, Malaysia, Singapura dan Thailand yang juga
36 Lesley Marrianne Potter, “Drought, Fire and haze in the historical record of Malaysia,” dalam Forest Fires and regional haze in Southeast Asia, ed. Peter Eaton dan Miroslav Radojevic (New York: Nova Science Publishers, Inc, 2001) 37 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 1. 38 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 10.
22
menimbulkan biaya sosial dan ekonomi yang tinggi.39 Hal ini sesuai dengan definisi
polusi kabut asap lintas batas (transboundary haze pollution) dalam ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP), sebagai berikut:
“haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area
under the national jurisdiction of one Member state and which is transported into
the are under the jurisdiction of another Member State”
Adapun dua faktor yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia, yaitu faktor kegiatan manusia dan faktor alam. Faktor kebakaran hutan
dan lahan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dapat dibedakan menjadi dua hal,
yang tidak disengaja seperti tidak mematikan api unggun, membuang putung rokok
yang masih menyala apinya di sekitar hutan atau lahan yang sudah mengering dan
aktivitas pembakaran sampah.40 Sedangkan, yang disengaja adalah kebiasaan
petani kecil dan perusahaan perkebunan di Indonesia untuk membuka lahan yang
akan digunakan sebagai ladang perkebunan karet maupun kelapa sawit atau Hutan
Tanaman Industri (HTI) dengan menerapkan praktik tebas-bakar.41 Cara ini dinilai
efektif karena biayanya yang murah dan cepat untuk pembersihan lahan. Di
Indonesia, pembukaan hutan di lahan gambut dengan metode tebas-bakar
diperkirakan memerlukan biaya US$ 180 per ha, sedangkan jika menggunakan
39 Jamal Othman, Mazrura Sahani, Mastura Mahmud, dan Md. Khadzir Sheikh Ahmad, “Transboundary smoke haze pollution in Malaysia: inpatient health impacts and economic valuation,” Environmental Polution 189, 8 Maret 2014 [artikel on-line]; tersedia di https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24682070; Internet; diunduh pada 2 April 2019 40 Fachmi Rasyid, “Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan,” Jurnal Widyaswara Edisi 1 No. 4, 2014 [jurnal on-line]; tersedia di http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 41 Narayan Sastry. “Forest fires, Air Pollution and Mortality in Southeast Asia,” Demography, Volume 39-No.1, Februari 2002: 1-23 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.jstor.org/stable/3088361; Internet; diunduh pada 2 April 2019.
23
metode “zero-burning” kemungkinan menelan biaya hingga US$ 817 per ha.42
Dilihat dari biaya yang harus dikeluarkan tentu saja membuat petani-petani kecil,
perusahaan menengah bahkan hingga perusahaan besar tetap menggunakan praktik
tebas-bakar.
Perubahan penggunaan lahan yang sering dilakukan di Indonesia untuk
konversi menjadi perkebunan kelapa sawit meliputi konversi lahan gambut yang
masih asli, dan dari hutan bekas tebangan yang terdegradasi atau lahan pertanian
lama. Untuk mengkonversi lahan gambut untuk penanaman, rawa harus dibersihkan
dari tumbuh-tumbuhan, dikeringkan, dan dikeringkan sehingga muka air turun.
Setelah kayu berharga di lahan gambut dipindahkan dan dijual, gambut tersebut
biasanya dibakar untuk menghilangkan sisa vegetasi sebagai persiapan untuk
penanaman.43 Lahan gambut adalah penyerap karbon yang baik, sehingga ketika
gambut terbakar, karbon yang terperangkap dalam gambut ini dilepaskan ke
atmosfer, meningkatkan tingkat gas rumah kaca, memperburuk perubahan iklim.44
Lahan gambut yang terbakar juga turut menjadi penyumbang yang cukup besar
pada ketebalan kabut asap. Akibat dari kebakaran tahunan ini, Indonesia menjadi
salah satu penyembang emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, setelah Amerika
dan Cina.45
42 Tacconi, Moore, dan Kaimowitz, Fire in tropical forests, 9. 43 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 6-7. 44 Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, Koordinasi Kelembagaan Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia, [database on-line]; tersedia di http://www.menlh.go.id/koordinasi-kelembagaan-pengelolaan-lahan-gambut-di-indonesia/; diunduh pada 1 April 2019 45 “Indonesia Masuk Daftar Negara Penghasil CO2 Terbesar”, Viva News, http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/545625-indonesia-masuk-daftar-negara-penghasil-co2-terbesar, diunduh pada 29 Maret 2019
24
Selain itu, pada episode kebakaran dan kabut asap tahun 1997 salah satu
faktor pendukung lainnya adalah dengan adanya program transmigrasi yang
dicanangkan oleh pemerintah Indonesia sejak 1965 sebagai respon terhadap laju
pertumbuhan penduduk yang cepat dan tidak merata di Indonesia.46 Tujuan dari
program ini adalah untuk memindahkan setengah juta orang pertahun sehingga
dapat mengurangi kepadatan populasi di pulau Jawa dan Bali, ke daerah-daerah
yang masih jarang penduduknya, khususnya daerah di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi dan Papua. Untuk mendukung berjalannya program ini maka banyak
transmigran yang memerlukan lahan untuk pembangunan infrastruktur seperti
pembuatan jalan hingga membangun tempat tinggal.47
Adapun faktor alam seperti musim kemarau panjang akibat fenomena iklim
El Nino. Fenomena iklim El Nino secara umum akan menyebabkan curah hujan di
sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, dan naiknya suhu permukaan laut
yang berakibat pada turunnya tekanan udara sehingga membuat seluruh wilayah
Indonesia menjadi panas.48 Dengan naiknya suhu permukaan laut menyebabkan
perubahan arah hembusan angin pada masa El Nino yang mempengaruhi
penyebaran kabut asap dan memperpanjang waktu musim kemarau lebih lama dari
biasanya. Fenomena iklim El Nino, yang menyebabkan kekeringan berkepanjangan
46 Philip M. Fearnside, “Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental and Social Impacts,” Environmental Management 21(4):553-570, Juli 1997 [artikel on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/225540788_Transmigration_in_Indonesia_Lessons_from_Its_Environmental_and_Social_Impacts; internet; diunduh pada 1 April 2019. 47 Tacconi, Moore, dan Kaimowitz, Fire in tropical forests, 7. 48 Zulfahmi Sitompul dan Emilya Nurjani, “Pengaruh El Nino Southern Oscillation (ENSO) Terhadap Curah Hujan Musiman dan Tahunan di Indonesia,” Jurnal Bumi Indonesia, Vol. 2, No.1, 2013 [artikel on-line]; tersedia di http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/122/119; Internet; di unduh pada 1 April 2019
25
di Indonesia berlangsung setiap tiga hingga tujuh tahun. Akibatnya, Indonesia
sering mengalami kebakaran besar selama tahun-tahun El Niño, terutama di
provinsi Kalimantan dan Sumatra.49
Pada tahun 1982-1983 terjadi kebakaran hutan dan lahan di wilayah
Kalimantan seluas 3,2 juta ha akibat gabungan dari fenomena iklim El Nino yang
menyebabkan musim kering panjang dari Juli 1982 hingga April 1983 dan juga
banyaknya kegiatan pembersihan lahan dengan metode tebas-bakar.50 Perkiraan
total biaya a kibat kebakaran pada tahun ini sekitar US$9 miliar.51 Kebakaran hutan
di Indonesia kembali terjadi pada tahun 1991, Kementerian Kehutanan pada saat
ini memprediksikan total area yang terbakar lebih dari 500.000 ha dengan estimasi
kerugian lebih dari Rp173 miliar.52
Selanjutnya, pada tahun 1997/98 kebakaran hutan dan lahan yang sebagian
besar terjadi di daratan Kalimantan, Sumatera dan Papua Barat sebagian kecil
lainnya di Sulawesi, Jawa dan Bali merupakan yang terburuk dalam sejarah dan
menarik perhatian dunia internasional.53 Pasalnya fenomena ini menyebabkan
kabut asap hingga ke bagian selatan Thailand, Filipina, Singapura dan Malaysia.
49 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 3. 50 Johann G. Goldammer, “The Fire and Smoke Episodes of 1983 to 1998 in South East Asia: Ecological Background, Socio-Economic and Environmental Implications, and Challenges for Regional and Global Fire Research Programmes,” Malaysian XXI IUFRO World Congress Organising Committee, Agustus 2000 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.nrs.fs.fed.us/pubs/jrnl/2000/ne_2000_eav_001.pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019 51 Rona Dennis, A Review of Fire Projects in Indonesia (1982-1998) [buku on-line] (Bogor: Center for International Forestry Indonesia, 1999, diunduh pada 29 Maret 2019); tersedia di https://www.cifor.org/publications/pdf_files/firereport.pdf:Internet. 52 Dennis, A Review of Fire Projects in Indonesia (1982-1998), 9. 53 Michael Brauer dan Jamal Hisam-Hashim. “Fires in Indonesia: Crisis and reaction,” Environ. Sci. Technol., 1998 [jurnal on-line]; tersedia di https://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/es983677j; Internet; diunduh pada 2 April 2019.
26
Kabut akibat kebakaran pada tahun ini mendorong berbagai lembaga-lembaga
bantuan internasional untuk meningkatkan dukungannya melalui berbagai program
yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan ASEAN untuk pertama kalinya
mengangkat isu kebakaran yang terjadi di Indonesia menjadi suatu masalah
regional. Setidaknya sebanyak 20 juta orang di kawasan Asia Tenggara merasakan
dampak dari kebakaran dan kabut asap yang terjadi pada periode ini.54
Di Indonesia menggunakan indeks kabut untuk mengukur kualitas udara
dengan skala 1-6 dan kategori bagus sampai sangat berbahaya.55 Kabut asap akibat
kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini bertahan dari akhir Juli hingga Desember
1997 dengan kisaran angka indeks kabut di kategori 4-5 atau sangat tidak sehat dan
berbahaya. Kawasan penyumbang kebakaran terbanyak adalah Sumatera dan
Kalimantan. Walaupun di Papua Barat juga terjadi hal yang serupa namun kabut
asap yang ditimbulkan tidak sampai ke negara lainnya.
Terdapat berbagai perbedaan perhitungan mengenai total area yang terbakar
pada tahun 1997, menurut pemerintah Indonesia per Oktober 1997 estimasinya
seluas 80,000 ha, namun berbeda dengan perhitungan yang dilakukan oleh Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) seluas 1,714,000 ha hutan yang terbakar
sejak April sampai September 1997.56
Tabel II.A.1. Luas area yang terbakar tahun 1997/98 (dalam ha)
Tipe Vegetasi Sumatera Jawa Kalimantan Sulawesi Papua
Barat Total
54 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 131. 55 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 89. 56 Paul K. Gellert, “A Brief History and Analysis of Indonesia’s Forest Fires Crisis,” Indonesia, no. 65, 1998 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.jstor.org/stable/3351404;Internet; diunduh pada 1 April 2019.
27
Hutan pegunungan
Hutan dataran rendah
Hutan payau dan gambut
Semak dan rumput kering
Hutan Tanaman Industri
Perkebunan
Pertanian
383,000
624,000
263,000
72,000
60,000
669,000
25,000
25,000
50,000
213,194
2,690,880
1,100,000
375,000
883,988
382,509
2,481,808
200,000
1,000
199,000
100,000
300,000
400,000
100,000
3,000
97,000
313,194
3,598,880
2,124,000
763,000
955,988
446,509
3,496,808
Total 2,071,000 100,000 8,127,379 400,000 1,000,000 11,698,379
Sumber: Luca Tacconi, Fires in Indonesia: Causes, Costs, and Policy Implications,
CIFOR Occasional Paper.No.38, 2003
Pada tabel diatas, Luca Tacconi telah menggabungkan estimasi luas kawasan
yang terbakar pada tahun 1997/98 dari penelitian GTZ (Deutsche Gesellschaft fur
Technische Zusammenarbeit) yang didanai oleh pemerintah Jerman dan Asian
Development Bank (ADB) dan BAPPENAS dijelaskan secara rinci dari berbagai
vegetasi dengan total seluas 11,698,379 hektar. Pada tahun ini, kontribusi emisi
karbon sebanyak 60%-90% berasal dari terbakarnya lahan gambut. Kebakaran
lahan gambut di Provinsi Jambi, Riau dan Sumatera Selatan sebagai penyumbang
utama pencemaran kabut asap yang menyelimuti langit Singapura.57
Dampak dari kabut asap pada tahun ini dapat dilihat dari segi ekonomi,
kesehatan, dan ekologi. Di bidang ekonomi di tahun 1997, kabut asap menggangu
kegiatan transportasi seperti pembatalan penerbangan sebesar 7% dan menurunnya
sektor pariwisata sebesar 13%.58 Di bidang kesehatan banyak masyarakat yang
terkena gangguan kesehatan seperti ISPA sebesar 9%, alergi sebesar 2%, asma
57 Luca Tacconi, D. Kaimowitz, dan P.F. Moore, “Fires in tropical forests – what is really the problem? Lessons from Indonesia,” Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change Volume 12, Issue 1, Januari 2007 [jurnal on-line]; tersedia di https://link.springer.com/article/10.1007/s11027-006-9040-y; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 58 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 24.
28
sebesar 4%, dan iritasi mata sebesar 2%.59 Sedangkan pada bidang ekologi, yang
terdampak tidak hanya tanaman dan kayu, namun juga hewan-hewan liar dan
dilindung terancam kehilangan habitatnya. Data studi ADB dan BAPPENAS
mengestimasi kerugian yang dialami oleh Indonesia sebanyak US$4,861 miliar.60
Adapun studi lainnya yang dilakukan oleh Economy and Environment
Programme for South East Asia (EEPSEA) dan World Wildlife Fund (WWF) yang
dipublikasi pada tahun 1999 oleh Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) dan
International Development Research Centre (IDRC), menyebutkan biaya
kebakaran hutan untuk tahun 1997 saja sekitar US$4,5 miliar. Estimasi total
kerugian yang dialami Indonesia, Singapura, dan Malaysia dalam sektor kesehatan
jangka pendek ditaksir mencapai US$940 juta sedangkan dalam sektor pariwisata
mencapai US$256 juta.61 Sekitar 200,000 orang yang berada di Indonesia,
Malaysia, dan Singapura telah melakukan perawatan medis akibat menghirup
polusi kabut asap.62 Menurut Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, Sarwono
Kusumaatmadja, memperkirakan bahwa perusahaan perkebunan dan program
transmigrasi pemerintah bertanggung jawab atas lebih dari 90 persen kebakaran
hutan pada periode ini.63
59 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 21-23 60 BAPPENAS-ADB. Cause extend, Impact and Cost of 1997, 1998 Fire and Drought. Forest Fire Prevention and Drougt Management Project, Asian Development Bank TA 2999-INO. (Fortech: Pusat Pengembangan Agribisnis, 1999) 61 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fire and Haze: The Cost of a Catastrophe, 132. 62 Peter Dauvergne, “The Political Economy of Indonesia’s 1997 Forest Fires, Australian Journal of International Affairs 52, No. 1, 1998 [artikel on-line]; tersedia di https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357719808445234?journalCode=caji20; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 63 Dauvergne, The Political Economy of Indonesia’s 1997 Forest Fires, 14.
29
Kebakaran hutan dan lahan kembali lagi terjadi di tahun-tahun berikutnya
namun tidak seburuk yang telah terjadi pada tahun 1997. Pada tahun 2011,
Kementerian Kehutanan melalui satelit National Oceanic and Atmospheric
Administration (NOAA) dan ASEAN Specialized Monitoring Center (ASMC)
mendeteksi sebanyak 8.082 titik panas (hotspot) sepanjang bulan Januari-Juli
2011.64 Episode kabut lintas batas tahun 2013 dan 2015 dinilai sangat parah
menimbulkan konsekuensi serius pada kehidupan sehari-hari orang Indonesia yang
tinggal paling dekat dengan kebakaran dan negara-negara tetangga, terutama
Malaysia dan Singapura. Pada Juni 2013, kawasan Asia Tenggara kembali
diselimuti oleh peristiwa kabut asap yang parah selama tiga minggu. Pada episode
ini menyebabkan kualitas udara di Malaysia mencapai level berbahaya dengan nilai
Indeks Polusi Udara (API) 750 dan di Singapura berdasarkan Indeks Standar Polusi
(PSI) mencapai nilai 400 dimana nilai PSI 300 saja sudah dinyatakan berbahaya
bagi kesehatan.65 Pada puncak episode ini, banyak penerbangan dibatalkan, di
Malaysia beberapa daerah yang terdampak kabut asap dinyatakan darurat, dan
sejumlah sekolah dan perkantoran baik di Indonesia dan Malaysia terpaksa
diliburkan.66
64 Aditia Maruli, “Govt Determined to Fight Forest Fires As Hot Spots Proliferate,” Antra News, 9 September 2011 [media on-line]; tersedia di http://www.antaranews.com/en/news/75511/govt-determined-to-fight-forest-fires-as-hot-spots-proliferate; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 65 Janice Ser Huay Lee, Zeehan Jaafar, Alan Khee Jin Tan, dkk, “Toward clearer skies: Challenges in regulating transboundary haze in Southeast Asia,” Environmental Science and Policy 55, 2016 [artikel on-line]; tersedia di https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1462901115300770; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 66 Manirajan Ramasamy, Sharon Chen dan Yoga Rusmana, “Malaysia Imposes Emergency in Haze Areas: Singapore Improves.” Bloomberg, 23 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di http://www.bloomberg.com/news/2013-06-23/malaysia-imposes-emergency-in-haze-areas-singapore-improves-1-.html; diunduh pada 4 April 2019.
30
Akibat lain dari kebakaran dan kabut asap lintas batas pada periode ini
menyebabkan ketegangan diplomatik antara Singapura, Malaysia dan Indonesia.
Pejabat Singapura telah meminta tindakan pro-aktif dari pemerintah pusat
Indonesia untuk menekan terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang menimbulkan
kabut asap hingga ke negaranya. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan
Indonesia saat itu menyatakan bahwa perusahaan kelapa sawit yang memiliki basis
di Singapura dan Malaysia bersama-sama dengan petani lokal bertanggung jawab
atas kabut asap pada episode tahun ini karena melakukan metode tebas-bakar untuk
membuka lahan.67 Pernyataan tersebut memicu reaksi dari Menteri Lingkungan dan
Sumber Daya Air Singapura, Vivian Balakrishnan, yang meminta pemerintah
Indonesia untuk menyebutkan perusahaan yang bertanggung jawab.68 Adapun
tanggapan dari Golden Agri-Resources selaku perusahaan kelapa sawit yang
berbasis di Singapura yang menyatakan bahwa mereka tidak menggunakan metode
tebas-bakar untuk membersihkan lahannya dan sudah menerapkan “zero burning
policy” sejak tahun 1997.69
Selanjutnya, kabut asap kembali menyelimuti wilayah Indonesia dan kawasan
Asia Tenggara selama September-Oktober 2015. Episode kebakaran hutan dan
lahan kali ini merupakan yang terburuk kedua dalam dua dekade terakhir (setelah
67 Devianti Faridz, “Singapore, Malaysia share some blame for haze: Indonesian official,” Channel NewsAsia, 18 June 2013; tersedia di www.channelnewsasia.com/news/singapore/s-pore-m-sia-share-some/714786.html; diunduh pada 4 April 2019. 68 Kevin Lim, “Singapore pressures Indonesia to identify firms behind haze,” Bloomberg, 18 Juni 2013; tersedia di https://www.reuters.com/article/uk-southeastasia-haze/singapore-pressures-indonesia-to-identify-firms-behind-haze-idUKBRE95H0A920130618; diunduh pada 4 April 2019 69 Annabelle Liang, “Worsening haze from Indonesia angers Singapore, tourists,” AFP News, 19 Juni 2013; tersedia di https://sg.news.yahoo.com/worsening-haze-indonesia-angers-singapore-tourists-113550332.html; diunduh pada 4 April 2019.
31
peristiwa 1997-1998) dalam hal emisi gas rumah kaca.70 Pemerintah Indonesia
memperkirakan lahan dan hutan yang terbakar antara bulan Juni dan Oktober 2015
seluas 2,64 juta ha atau sekitar 4,5 kali luas pulau Bali.71 Sekitar 33 persen dari total
area (sekitar 618,574 ha) yang terbakar adalah lahan gambut, yang menyebabkan
kabut asap berbahaya bagi kesehatan serta menggangu transportasi, ekonomi, dan
pariwisata hingga penyumbang utama atas emisi gas rumah kaca.72 Berdasarkan
analisa citra satelit yang dilakukan oleh Forest Watch Indonesia (FWI)
menunjukkan sebagian besar kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sepanjang
Januari-Oktober 2015 terjadi di dalam kawasan hutan dan terdapat lebih dari 34.960
titik api. Sebanyak 29 persen dari jumlah titik api tersebut berada di wilayah konsesi
HTI.73
Dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun ini adalah
dampak buruk bagi kesehatan dapat dilihat dari semakin bertambahnya penderita
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di Sumatera dan Kalimantan. Data Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 503.874 jiwa yang
menderita ISPA di 6 provinsi sejak 1 Juli - 23 Oktober 2015. Sejauh ini, penderita
70 Luca Tacconi, “Preventing fires and haze in Southeast Asia,” Nature climate Change Vol. 6, Juli 2016 [artikel on-line]; tersedia di https://www.nature.com/articles/nclimate3008; Internet; diunduh pada 4 April 2019. 71 Yuan Lin, Lahiru S, Wijedasa dan Ryan A. Chisholm, “Singapore’s willingness to pay for mitigation of transboundary forest-fire haze from Indonesia,” Environmental Research Letter Vol.12 No.2, 15 Februari 2017 [artikel on-line]; tersedia di https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-9326/aa5cf6; Internet; diunduh pada 3 April 2019. 72 World Bank, “The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis,” Indonesia Sustainable Landscapes Knowledge Note: 1, Desember 2015; tersedia di http://pubdocs.worldbank.org/en/643781465442350600/Indonesia-forest-fire-notes.pdf; Internet; diunduh pada 3 April 2019 73 Forest Watch Indonesia dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, “Tata kelola buruk: Masyarakat Adat Terdampak Bencana Asap,” tersedia di http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Lembar-Fakta-KARHUTLA_final_02-des15.pdf; diunduh pada 3 April 2019.
32
ISPA yang tersebar di 6 propinsi yaitu di Provinsi Jambi dengan 129.229 orang, di
Sumatera Selatan dengan 101.333 orang, di Kalimantan Selatan ada 97.430 orang
penderita ISPA, 80.263 orang penderita di Riau, 52.142 orang di Kalimantan
Tengah, dan 43.477 orang di Kalimantan Barat.74
Pada bulan September 2015, keadaan darurat diumumkan di Riau, Sumatra,
provinsi Indonesia yang paling parah terkena dampak dan dekat dengan pusat
kebakaran.75 Di Pekanbaru, ibukota provinsi Riau, diselimuti oleh kabut asap tebal
yang menyebabkan berkurangnya jarak pandang sehingga tidak ada pesawat yang
dapat meninggalkan bandara Sultan Syarif Kasimm II. Bank Dunia memperkirakan
bahwa kebakaran tahun 2015 merugikan Indonesia setidaknya US$16,1 miliar (Rp
221 triliun).76 Citra satelit yang ditangkap selama dua episode kabut asap ini
mendeteksi ratusan hotspot di Kalimantan, Sumatra, dan pada tingkat lebih rendah
di Semenanjung Malaysia dan Sarawak. Sebagian besar hotspot ini berada di area
lahan gambut, dan kepulan asap yang keluar dari area ini terlihat jelas.77
B. Dampak Kabut Asap Lintas Batas bagi Singapura
Singapura, secara geografis merupakan negara dengan area seluas 721.5 km2
yang terletak diantara Malaysia dan Indonesia. Dengan letaknya yang berdekatan
dengan Indonesia tentu saja dalam permasalahan kebakaran hutan dan lahan yang
74 “Asap kebakaran hutan sampai Jakarta,” BBC Indonesia, 24 Oktober 2015; tersedia di https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesia_jakarta_kabutasap; diunduh pada 3 April 2019. 75 AFP, “Indonesia declares state of emergency over fire haze,” Aljazeera News, 14 September 2015; tersedia di https://www.aljazeera.com/news/2015/09/indonesia-declares-state-emergency-fire-haze-150914133806388.html; Internet; diunduh pada 4 April 2019. 76 World Bank, The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis, 4. 77 NASA, “Smoke Blankets Indonesia. Image of the Day,” tersedia di http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=86681; Internet; diunduh pada 29 Maret 2019.
33
menimpa Indonesia akan berdampak juga ke Singapura melalui polusi kabut asap
lintas batas. Singapura memiliki Indeks Standar Polutan (Pollutant Standard
Index/PSI) sebagai ukuran kualitas udara secara akurat secara berkala yang
diadopsi dari United States Environmental Protection Agency (USEPA).78 PSI
adalah indeks tingkat kualitas udara harian dan dihitung berdasarkan konsentrasi
partikel halus (PM2.5), polutan dominan selama episode kabut asap, bersama dengan
polutan lainnya (sulfur dioksida (SO2), partikel (PM10), nitrogen dioksida (NO2),
karbon monoksida (CO) dan ozon (O3).79
Tabel II.B.1 Ukuran Nilai Indeks Standar Polutan (PSI)
Nilai PSI 0 – 50 51 – 100 101 – 200 201 – 300 301 – 400 401-500
Kategori Bagus Sedang Tidak Sehat Sangat tidak
sehat Berbahaya
Sumber: The National Environment Agency, 2014.
Berdasarkan data pada tabel di atas menjelaskan PSI antara 101 dan 200
dianggap tidak sehat; antara 301 dan 400 hingga di atas 400 berbahaya bagi
kesehatan bahkan dapat mengancam nyawa orang sakit dan lanjut usia. Fenomena
kabut asap sudah menjadi masalah tahunan bagi Singapura maupun Asia tenggara
sejak tahun 1994. Hingga pada tahun 1997 kebakaran hutan dan lahan yang terjadi
di Indonesia tercatat sebagai yang terburuk sepanjang sejarah, kabut asap bertahan
selama dua bulan lebih menyelimuti udara di Singapura.80 Pada periode kabut asap
Agustus-Oktober 1997, nilai PSI menunjukkan pada kategori sedang-tidak sehat,
78 National Environment Agency, “Computation of the Pollutant Standards Index (PSI),” tersedia di https://www.haze.gov.sg/docs/default-source/faq/computation-of-the-pollutant-standards-index-(psi).pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 79 “Haze Watch,” Channel News Asia; tersedia di https://www.channelnewsasia.com/news/psi; Internet; diunduh pada 30 Maret 2019. 80 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 51.
34
hingga mencapai rekor tertingginya yaitu 226 pada 18 September 1997 yang
menunjukkan pada kategori sangat tidak sehat.81
Gambar II.1. Pemandangan Singapura pada malam hari bulan September 1997
Sumber: Straits Times Singapore, 2015.
Partikel halus (PM2,5) yang terdapat pada kabut asap dapat menyebar dalam
cahaya dan dapat mengganggu jarak pandang manusia sehingga menyebabkan
beberapa penerbangan di Singapura dibatalkan. Selain itu, akibat lainnya dari kabut
yang melanda Singapura merasakan dampak negatif yang signifikan terhadap
ekonomi melalui sektor bisnis, pariwisata, dan kesehatan. Dampak bagi kesehatan
masyarakat dapat dilihat dari jumlah masyarakat yang mendatangi rumah sakit
dengan kondisi terkait kabut asap meningkat sebanyak 30 persen.82 Secara hitungan
81 Elaine Lo, “Haze hits pollution index record of 226,” The Straits Times, 19 September 1997, hal. 1; tersedia di https://www.straitstimes.com/sites/default/files/attachments/2015/10/02/haze_hits_pollution_index_record_of_226.pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 82 Shanta Christina Emmanuel, “Impact to lung health of haze from forest fires: the Singapore experience,” Respirology Vol. 5(2), Juni 2000 [jurnal on-line]; tersedia di
35
luasan, kebakaran tahun 1997-1998 menghancurkan lebih dari 10 juta hektar hutan
dan lahan, yang setara dengan sekitar 143 kali luas daratan Singapura. Adapun
estimasi kerugian bagi Singapura akibat dari kabut asap dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel II.B.2 Total Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Kabut Asap Lintas Batas
Tahun 1997
Upper Bound
(Million)
% of
Total
Lower Bound (Million) % of
Total
S$ US$ S$ US$
Health 19,0 13,5 17,2 6,0 4,0 6,2
Airlines 9,7 6,9 8,8 9,7 6,9 9,9
Tourism 81,8 58,4 74,0 81,8 58,4 83,9
Total 110,5 78,8 100 97,5 69,3 100
Sumber: Priscilla M.L. Hon., 1999
Akibatnya banyak warga Singapura yang mengidap berbagai penyakit pada
saluran pernapasan, sehingga menimbulkan kerugian sebesar 4 hingga 13,5 juta
dollar AS.83 Berdasarkan data Priscillia M.L. Hon, total kerugian di bidang ekonomi
yang dialami Singapura pada kabut asap tahun 1997 sebesar US$69,3 sampai
US$78,8 juta, sekitar 80% dari total kerugian yang disebabkan oleh kerugian di
bidang pariwisata.84 Terdapat penelitian lainnya yang menaksirkan total kerugian
yang dialami oleh Singapura pada insiden 1997 ini adalah US$163.5–US$286.2
juta, dimana sekitar 98% dari kerugian ini merupakan dampak terhadap sektor
https://www.researchgate.net/publication/12425324_Impact_to_Lung_Health_of_Haze_from_Forest_Fires_The_Singapore_Experience; internet; diunduh pada 1 April 2019. 83 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 61. 84 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 79.
36
pariwisata dan menurunnya jarak pandang, dengan sebagian kecil lainnya dampak
pada kesehatan dan rekreasi.85 Pariwisata adalah sektor yang sangat penting dalam
perekonomian Singapura dan kabut asap telah menyebabkan gangguan besar pada
industri ini, karena wisatawan berkurang selama periode kabut asap.
Pada 2006, kabut asap diperkirakan menelan biaya ekonomi Singapura US$
50 juta pada bulan Oktober 2006 saja.86 Sebuah studi lainnya memperkirakan
kerugian selama kembalinya kabut asap yang parah pada tahun 2006 sebanyak
US$79 juta, sebagian besar karena penutupan bandara Changi.87
Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia kembali terjadi pada tahun 2013
hingga menyebabkan udara Singapura kembali diselimuti kabut asap. Episode
kabut asap tahun ini bermula pada tanggal 12 Juni 2013 terlihat dari kenaikan PSI
yang melewati batas kategori sedang. Hingga mencapai titik puncak pada 21 Juni
2013 nilai PSI mencapai 401 berdasarkan pantauan per tiga jam akibat kebakaran
hutan dan lahan di Sumatera dan mengalahkan rekor tertinggi pada kejadian tahun
1997.88 Dampak langsungnya adalah banyaknya antrian masyarakat di apotek-
apotek untuk membeli masker N95.89 Media massa Singapura, Straits Times,
85 Euston Quah, “Transboundary Pollution in Southeast Asia: The Indonesian Fires,” World Develompent Vol. 30 No. 3, 2002 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0305750X0100122X; diunduh pada 1 April 2019. 86 Lee Poh Onn, “No end in sight to haze dilemma,” ISEAS Perspective: Selection 2012-2013, 24 Juni 2013 [artikel on-line]; tersedia di https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2013_39.pdf; Internet; diunduh pada 2 April 2019 87 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 12. 88 Luis Roman Carrasco, “Silver Lining of Singapore’s Haze,” Sciencemag Vol 341, Juli 2013 [artikel on-line]; tersedia di https://science.sciencemag.org/content/341/6144/342.2; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 89 Charissa Yong, “Haze update: PSI 401 at noon; many pharmacies still out of masks,” The Straits Times, 21 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di https://www.straitstimes.com/singapore/haze-update-psi-401-at-noon-many-pharmacies-still-out-of-masks; diunduh pada 1 Aprl 2019.
37
menyatakan episode kabut asap kali ini merupakan yang terburuk dalam 16 tahun
belakangan, hingga PSI berada dalam kategori berbahaya.90
Gambar II.B.2. Perbandingan Langit di Bedok South Avenue 1, Singapura pada
Juni 2013
21 Juni 2013
24 Juni 2013
Sumber: The Straits Times, 2013.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Denis Tan Wei Han
memperkirakan kerugian yang ditanggung oleh Singapura pada episode kabut asap
2013 mencapai SGD 341 juta. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa kerugian
yang dialami Singapura tidak lebih banyak dari kabut asap tahun 1997 yaitu sekitar
SGD 50 juta.91 Pada periode asap tahun ini berdampak pula terhadap hubungan
Singapura–Indonesia, pasalnya Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, serta
Vivian Balakrishnan, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura,
menyatakan keprihatinan atas kabut asap dan meminta Indonesia untuk berbuat
90 “Haze in Singapore Hits New High, PSI at 321 at 10pm”, The Straits Times, 19 June 2013 [media on-line]; tersedia di http://www.straitstimes.com/breaking-news/singapore/story/haze-singapore-hits-new-high-psi-321-10pm-20130619; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 91 “Singapore GDP will take hit from haze as countries issue travel warnings,” The Straits Times , 7 Oktober 2015 [media on-line]; tersedia https://www.straitstimes.com/business/economy/singapore-gdp-will-take-hit-from-haze-as-countries-issue-travel-warnings; Internet; diunduh pada 2 April 2019.
38
lebih banyak untuk menyelesaikan masalah ini.92 Namun, Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat Indonesia, Agung Laksono, memberikan tanggapan
bahwa Singapura bersikap seperti “anak kecil” hanya karena kabut asap yang
melanda negaranya.93 Hal ini ditanggapi oleh Menteri Senior Singapura, Goh Chok
Tong, yang menyatakan bahwa sudah sewajarnya Singapura meminta Indonesia
untuk menyelesaikan masalah asap karena dinilai sangat merugikan Singapura.94
Peristiwa kabut asap parah selanjutnya terjadi pada tahun 2015, kabut asap
yang menyelimuti langit Singapura bertahan lebih lama dari sebelumnya. Selama
tiga bulan dimulai akhir Juni hingga awal Oktober, hal ini terjadi bertepatan dengan
fenomena iklim El Nino yang sedang melanda kawasan terutama Indonesia hingga
menyebabkan kekeringan berkepanjangan.95 Pada 25 September 2015 tercatat
selama 24 jam PSI di Singapura menunjukkan nilai 322 dan semakin meningkat
sampai 341 dan dikategorikan berbahaya. Akibatnya pada hari ini, Menteri
Pendidikan Singapura memerintahkan penutupan sekolah-sekolah di Singapura
terkait semakin buruknya kualitas udara. Dengan kualitas udara yang buruk
menyebabkan pembatalan beberapa acara internasional yang diselenggarakan di
92 Feng Zengkun, “Haze update: PM Lee says Singapore urging Indonesia to take action to reduce haze,” The Straits Times, 18 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di https://www.straitstimes.com/singapore/haze-update-pm-lee-says-singapore-urging-indonesia-to-take-action-to-reduce-haze; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 93 “Indonesia chides Singapore over reactions on haze situation,” Channel News Asia, 20 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di https://www.channelnewsasia.com/news/specialreports/hazewatch/news/indonesia-chides/717798.html; Internet; diunduh pada 30 Mei 2019. 94 “ESM Goh: "The Singapore Child is being suffocated", The Straits Times, 21 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di https://www.straitstimes.com/singapore/esm-goh-the-singapore-child-is-being-suffocated; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 95 Kenneth Paul Tan, “Singapore in 2015: Regaining Hegemony,” Asian Survey Vol. 56 No. 1, 2016 [artikel on-line]; tersedia di http://as.ucpress.edu/content/56/1/108; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
39
Singapura, salah satunya adalah Piala Dunia Renang FINA 2015 yang seharusnya
dilaksanakan pada 3 Oktober 2015.96 Perkiraan awal dampak dari peristiwa kabut
asap tahun 2015 oleh Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura
memakan biaya sebanyak US$510 juta.97
96 Tan, Singapore in 2015: Regaining Hegemony, 114. 97 Lin, Wijedasa, dan Chisholm, Singapore's willingness to pay for mitigation of transboundary forest-fire haze from Indonesia, 6.
40
BAB III
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
(AATHP)
A. Latar Belakang Terbentuknya AATHP
Association of South East Asian Nation (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia
Tenggara atau kemudian disebut dengan ASEAN) merupakan sebuah organisasi
kawasan Asia Tenggara yang didirikan pada tahun 1967 setelah ditandatanganinya
Deklarasi Bangkok. Tujuan awal ASEAN adalah untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi, mendorong perdamaian dan stabilitas wilayah, dan membentuk kerja
sama di berbagai bidang (ekonomi, politik, sosial dan budaya) demi mencapai
kepentingan bersama.98 Seiring berjalannya waktu, ASEAN menyesuaikan diri
dengan situasi yang sedang bergejolak di kawasannya, dengan menyepakati
pembentukan ASEAN Community (Komunitas ASEAN) yang terdiri atas 3 (tiga)
pilar, yaitu Komunitas Politik-Keamanan ASEAN (ASEAN Political-Security
Community/APSC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic
Community/AEC), Komunitas Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural
Community/ASCC).99
Komunitas sosial budaya ASEAN terdapat enam bidang yang dijadikan
fokusnya, salah satunya mengenai kelestarian lingkungan. Adapun Pertemuan Para
98 Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010, (Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010), 10 99 Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN, ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19 Tahun 2010, 4.
41
Menteri Lingkungan ASEAN (ASEAN Ministerial Meeting on Environment atau
AMME) yang dibentuk pada tahun 1981, dengan pertemuan formal diadakan setiap
dua tahun sekali. Kerjasama di bidang lingkungan hidup berada di bawah ASEAN
Senior Officials on the Environment (ASOEN) yang melakukan pertemuan sekali
dalam setahun.100 ASOEN melaporkan perkembangan kerjasama lingkungan di
ASEAN pada AMME. Tiga isu yang menjadi perhatian utama dalam kerja sama
ASEAN di bidang lingkungan hidup adalah masalah pencemaran kabut asap (haze),
konservasi keanekaragaman hayati, dan masalah perubahan iklim.
Permasalahan kabut asap (haze) yang terjadi di kawasan ASEAN sudah
berlangsung sejak tahun 1970an terutama selama musim kemarau. 101 Hingga pada
tahun 1990-an, dengan semakin meluasnya dampak dari kabut asap di kawasan,
ASEAN secara teratur mengadakan AMME untuk membahas dan menyelesaikan
permasalahan ini.102 Terdapat beberapa kesepakatan hasil dari AMME, yaitu Kuala
Lumpur Concord on Environment and Development pada 19 Juni 1990; Singapore
Resolution on Environment pada akhir AMME ke-5, 17-18 Februari 1992; dan
Bandar Seri Begawan Resolution on Environment and Development, 26 April
1994.103
100 “ASEAN Ministerial Meeting on Environment (AAME),” tersedia di https://asean.org/asean-socio-cultural/asean-ministerial-meeting-on-environment-amme/overview/; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 101 A. Heil dan J.G Goldammer, “Smoke-haze Pollution: A Review of the 1997 Episode in Southeast Asia”, Reg Environ Change Journal, Vol. 2, (Berlin: Springer-Verlag, 2001): 24. 102 Penjelasan Umum pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze. 103 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution [database on-line]; tersedia di https://www.jstor.org/stable/25770582 ; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
42
Pada Singapore Resolution on Environment tahun 1992 mengidentifikasikan
polusi lintas batas sebagai masalah lingkungan yang perlu mendapatkan perhatian
serius bagi ASEAN dan mencapai kesepakatan untuk menyelaraskan arah
kebijakan dan membangun kerja sama lingkungan baik secara teknis dan
operasional sebagai mitigasi polusi lintas batas.104 Kemudian pada tahun yang sama
para Menteri Lingkungan ASEAN mengadakan workshop pertama kali yang
membahas tentang Polusi Lintas Batas dan Kabut Asap di negara-negara ASEAN
yang diselenggarakan di Balikpapan, Indonesia.
Permasalahan kabut asap ini tidak akan berhenti tanpa adanya inisiatif dan
langkah pasti untuk menanggulangi bersama pada level regional hingga nasional.
ASEAN dinilai perlu untuk membuat suatu kebijakan dalam penanganan
permasalahan kabut asap lintas batas ini. Pertemuan informal para Menteri
Lingkungan ASEAN untuk pertama kalinya diselenggarakan di Kuching, Sarawak
pada 1994 dinilai sebagai langkah awal negara-negara ASEAN dalam mengatasi
permasalahan kabut asap yang berkepanjangan. Kesepakatan yang dicapai pada
momen ini adalah untuk meningkatkan kerja sama dalam mengelola sumber daya
alam dan mengendalikan polusi lintas batas di ASEAN, mengembangkan system
peringatan dini, serta untuk meningkatkan kapasitas negara anggota dalam
penanganan masalah ini.105
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan informal tahun 1994, pada Juni 1995
diselenggarakanlah ASEAN Meeting on The Management of Transboundary
104 Helena Varkkey, “The ASEAN Way and Haze Mitigation Efforts,” Journal of International Studies [artikel on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/256981800; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 105 Varkkey, The ASEAN Way and Haze Mitigation Efforts, 84.
43
Pollution di Kuala Lumpur.106 Pada pertemuan ini menghasilkan ASEAN
Cooperation Plan on Transboundary Pollution atau Rencana Kerja Sama ASEAN
tentang Pencemaran Lintas Batas dengan tiga program utama yaitu, Transboundary
atmospheric pollution (pencemaran udara lintas batas); Transboundary movement
of hazardous wastes (pergerakan lintas batas limbah berbahaya dan beracun); dan
Transboundary shipborne pollution (pencemaran lintas batas bersumber dari
kapal).107 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution ini meliputi
prosedur dan mekanisme untuk kerja sama pencegahan dan penanggulangan
pencemaran asap yang melintas batas negara.108 Adapun tujuan dari program
pencemaran udara lintas batas yang menjadi bagian dari ASEAN Cooperation Plan
on Transboundary Pollution, yaitu:109
a. Menganalisa sumber dan penyebab, sifat dan jangkauan dari insiden kabut
asap lokal dan regional;
b. Mencegah dan mengendalikan sumber kabut asap baik secara nasional
dan regional dengan memanfaatkan teknologi ramah lingkungan dan
memperkuat kapabilitas nasional dan regional dalam menganalisa,
mencegah dan pengendalian kabut asap;
c. Mengembangkan dan menerapkan rencana tanggap darurat pada tingkat
nasional dan regional.
106 Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke 22 Tahun 2017, (Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2017), 69-71. 107 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, 89. 108 Heil dan Goldammer Smoke-haze Pollution: A Review of the 1997 Episode in Southeast Asia, 26. 109 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, 90.
44
ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution juga memuat strategi
untuk mencapai tujuan dari program tersebut adalah dengan mencegah kebakaran
hutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti pembukaan lahan untuk HTI
dan program transmigrasi, selain itu dengan mempromosikan praktik ‘zero-
burning’ dan penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk pembukaan lahan
kepada seluruh pelaku ekonomi yang terlibat. Dalam program pencemaran udara
lintas batas, terdapat beberapa langkah-langkah untuk mengatasi masalah polusi
lintas batas, yaitu:
1. Pembentukan Focal Points di setiap negara yang berfungsi untuk
meningkatkan koordinasi di tingkat regional;
2. Memperluas peran ASEAN Specialized Meteorogical Centre (ASMC)
untuk mengembangkan sebuah metode untuk memprediksi risalah dan
sebaran kabut asap;
3. Memperluas peran ASEAN Institute of Forest Management (AIFM)
dengan meningkatkan keterampilan dan kapabilitas nasional di bidang
pengendalian kebakaran hutan melalui pelatihan-pelatihan.
Dalam ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution juga
mempertimbangkan untuk mencari dukungan dari negara-negara di luar kawasan
yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang system pengelolaan
kebakaran, seperti Selandaia Baru dan Amerika Serikat serta organisasi
internasional lainnya yang terkait.110 ASOEN berperan untuk mengawasi dan
melaporkan perkembangan dari implementasi ASEAN Cooperation Plan on
110 Simon S.C. Tay, ” South East Asian Forest Fires: Haze over ASEAN and International Environmental Law,” Review of European Community and International Environmental Law Vol. 7 Issues 2, 1998 [artikel on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/229775349_South_East_Asian_Forest_Fires_Haze_over_ASEAN_and_International_Environmental_Law; internet; diunduh pada 4 April 2019.
45
Transboundary Pollution kepada AMME, sehingga untuk mencapai tujuannya
memerlukan komitmen dan kerja sama baik di tingkat nasional hingga regional.111
Pada September 1995 di Bali, Indonesia, ASOEN kembali menyelenggarakan
pertemuan dan bersepakat untuk membentuk Haze Technical Task Force (HTTF)
sebagai tindak lanjut dan menerapkan langkah-langkah yang termasuk di ASEAN
Cooperation Plan on Transboundary Pollution.112
Namun terjadi kegagalan pada ASEAN Cooperation Plan on Transboundary
Pollution dalam pengimplementasiannya. Kembali terjadinya kebakaran hutan dan
kabut asap pada tahun 1997 di Indonesia dapat dinilai bahwa rencana kerja sama
yang ada sebelumnya tidak berjalan dengan baik, dimana sangat sedikit dari
langkah-langkah yang ada diimplementasikan.113 Sebaliknya, dibandingkan dengan
bekerja dalam sistem kerja sama yang disepakati di kawasan, negara-negara
cenderung melakukan kerja sama bilateral seperti yang dilakukan oleh Malaysia-
Indonesia dan Indonesia-Singapura.
Meskipun mengalami kegagalan pada ASEAN Cooperation Plan on
Transboundary Pollution, pada Desember 1997, ASEAN kembali membentuk
kebijakan dalam menanggapi bencana kebakaran hutan dan kabut asap terbesar
sepanjang sejarah yang disebut Regional Haze Action Plan (RHAP). RHAP
dibentuk di bawah HTTF dengan tujuan untuk mencegah kebakaran hutan dan
lahan melalui kebijakan pengelolaan sumber daya dan penegakan hukum yang lebih
111 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, 92. 112 Varkkey, The ASEAN Way and Haze Mitigation Efforts, 85. 113 Tay, South East Asian Forest Fires: Haze over ASEAN and International Environmental Law, 205.
46
baik serta memperkuat kapabilitas regional dalam melakukan pemantauan,
mekanisme pelaporan atau pertukaran informasi serta penanganan kebakaran hutan
dan lahan.114 Dengan adanya RHAP menandai awal pentingnya pembahasan
pencegahan dan penanggulangan kabut asap di tingkat ASEAN dan terpisah dari
masalah lingkungan lintas batas lainnya.
Dalam RHAP, negara-negara anggota diwajibkan untuk mengembangkan
rencana mereka sendiri (national plans) berdasarkan rencana regional, pedoman,
dan langkah-langkah lain untuk mencegah dan memantau kebakaran yang dapat
menyebabkan polusi asap lintas batas.115 Kemudian untuk memperkuat peran dalam
pencegahan kabut asap di kawasan maka dibagi sesuai dengan keahlian masing-
masing negara, seperti Malaysia dipercayakan dengan peran mengoordinasikan
langkah-langkah pencegahan (menyediakan peralatan pemadam kebakaran dan tim
pemadam kebakaran), Singapura dengan mengkoordinasikan mekanisme
pemantauan regional, dan Indonesia dengan meningkatkan kemampuan pemadam
kebakaran.116
114 S. Tahir Qadri, Fire, Smoke, and Haze: The ASEAN Response Strategy [buku on-line] (Philippines: Asian Development Bank, 2001); tersedia di https://www.adb.org/sites/default/files/publication/28035/fire-smoke-haze.pdf; Internet; diunduh pada 1 April 2019. 115 Varkkey, The ASEAN Way and Haze Mitigation Efforts, 85. 116 Onn, No end in sight to haze dilemma, 5.
47
Gambar III.1. Inisiatif ASEAN terkait Kabut Asap
Sumber: Verkkey, The Asean Way and Haze Mitigation Efforts
Pada tahun 1998, pelaksanaan Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN di
Vietnam mengeluarkan Hanoi Plan of Action yang menyerukan
pengimplementasian penuh dari RHAP pada tahun 2001.117 Secara khusus,
membentuk dua Sub-Regional Fire-Fighting Arrangements (SRFA) untuk
Kalimantan dan provinsi Sumatra/Riau di Indonesia di bawah RHAP untuk
memfasilitasi perpindahan sumber daya dari satu negara anggota ke negara lain
dalam rangka menanggulangi masalah kabut asap.
B. Gambaran Umum AATHP
AATHP yang diadopsi oleh semua negara anggota ASEAN pada tahun 2002
dan mulai berlaku pada tahun 2003, dimaksudkan untuk memberikan dukungan
yang mengikat secara hukum serta implementasi penuh pada dokumen ASEAN
sebelumnya, ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, RHAP dan
117 Nadzri Yahaya, “Transboundary Air Pollution: Haze Pollution in Southeast Asia and Its Significance,” Journal of Diplomacy and Foreign Relations Vol. 2 No. 2, Desember 2000 [jurnal on-line]; tersedia di http://digitaldoc.kln.gov.my/vital/access/manager/Repository/vital:290;jsessionid=3CA4D1CF7DFDCB6EE59A10A5AB238E2A?exact=sm_subject%3A%22Haze-Southeast+Asia%22; internet; diunduh pada 3 April 2019.
1992
Workshop on Trans-boundary Pollution and Haze
1995
Co-operation
Plan & Haze
Technical Task Force
1997
Regional Haze
Action Plan
1998
Hanoi Plan of Action
2002
ASEAN Peatland Manage-
ment Initiative
2003
Agreement on Trans-boundary
Haze Pollution
48
Hanoi Plan of Action.118 Berbeda dengan perjanjian sebelumnya, AATHP
diharapkan menjadi sebuah perjanjian yang memiliki kewajiban dan bersifat
mengikat para negara-negara yang meratifikasinya. AATHP dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan AATHP
merupakan wujud komitmen bersama negara ASEAN untuk mencegah dan
menanggulangi pencemaran kabut asap lintas batas sebagai akibat kebakaran hutan
dan lahan.119 Sebagai respon terkait penanggulangan kabut asap lintas batas,
Singapura meratifikasi AATHP pada tanggal 13 Januari 2003. Penandatanganan
Piagam Pengesahan (Instrument of Ratification) dilakukan di Singapura oleh S.
Jayakumar sebagai Menteri Luar Negeri Singapura saat itu. 120 AATHP
ditandatangani oleh enam negara melalui perwakilan dari masing-masing negara
yaitu Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Myanmar, dan Vietnam
pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Sesuai yang tertera pada
pasal 29 AATHP, persetujuan ini dinyatakan berlaku 60 hari setelah keenam negara
telah meratifikasi dan menyerahkan piagam pengesahan kepada Sekretariat
ASEAN yaitu pada 25 November 2003.
118 E.R. Florano, “Assessment of the “strengths" of the new ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution,” International Review for Environmental Strategies, Vol. 4 No.1, 2003 [jurnal on-line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/287584180_Assessment_of_the_strengths_of_the_new_ASEAN_agreement_on_transboundary_haze_pollution; Internet; diunduh pada 4 April 2019. 119 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze, 2. 120 ASEAN Legal Instrument, "ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution: Instrument of Ratification," tersedia di: http://agreement.asean.org/agreement/detail/238.html; Internet; diunduh pada 28 Maret 2019.
49
Walaupun AATHP telah berlaku sejak tahun 2003, namun pada kenyataannya
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang menimbulkan kabut asap lintas batas
tetap terjadi.121 Negara selanjutnya yang meratifikasi AATHP adalah Laos pada 13
Juli 2005, Kamboja pada 9 November 2006, dan Filipina pada 4 Maret 2010.122
Namun sangat disayangkan, Indonesia sebagai penyumbang terbesar atas kabut
asap lintas batas menjadi negara terakhir yang meratifikasi AATHP yaitu pada 14
Oktober 2014 dan menyerahkan piagam pengesahannya pada 20 Januari 2015.123
Indonesia meratifikasi AATHP dengan membentuk Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2014 tentang Pengesahan ASEAN Agreement On Transboundary Haze
Pollution (Persetujuan Asean Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas).124
Dalam perjanjian AATHP terdiri dari 32 pasal dan 1 lampiran persetujuan.
Setiap perjanjian internasional yang dibuat oleh subyek hukum internasional
memiliki maksud dan tujuan yang dituangkan dalam bagian pembukaan.125 Dapat
dilihat dari bagian pembukaan AATHP bahwa pembentukan perjanjian ini
didasarkan atas adanya pencemaran udara lintas batas di kawasan Asia Tenggara
yang berpotensi menimbulkan kerugian bagi negara-negara yang berada di kawasan
tersebut. Dan juga tujuan dari dibentuknya AATHP terdapat pada pasal 2 adalah
121 Alan Khee-Jin Tan, “The ‘Haze’ Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper 2015/002, February 2015 [jurnal on-line]; tersedia di http://law.nus.edu.sg/wps; internet; diunduh pada 1 April 2019. 122 “Status of Ratification,” Haze Action Online, 20 Januari 2015; tersedia di http://haze.asean.org/status-of-ratification/; diunduh pada 4 April 2019. 123 Lee, Jaafar, dan Tan, Toward clearer skies, 88. 124 Helena Varkkey, “National Responses In The Context of Asean Developments Over Peatfires and Haze,” 15th International Peat Congress, 14 - 19 August 2016 [artikel on-line]; tersedia di http://eprints.um.edu.my/id/eprint/16329; internet; diunduh pada 3 april 2019. 125 Jan Klabbers, The Concept of Treaty in International Law, (Netherlands: Kluwer Law International, 1998), 37.
50
untuk meningkatkan upaya nasional dan kerja sama regional maupun internasional
yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan persetujuan ini dalam pencegahan dan
pemantauan polusi kabut asap lintas di kawasan ASEAN akibat kebakaran hutan.126
Kemudian pada pasal 3 AATHP menjelaskan tentang prinsip-prinsip sebagai
panduan dalam melaksanakan isi perjanjian, yaitu:127 (1) para pihak memiliki hak
berdaulat atas eksploitasi sumber dayanya sesuai dengan kebijakan lingkungan dan
bertanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan dalan yurisdiksinya tidak
menyebabkan kerusakan lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia di
negara lain atau diluar batas yurisdiksinya; (2) prinsip kerja sama dan solidaritas
dalm berkoordinasi untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas
sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan yang harus ditanggulangi; (3) prinsip
pencegahan yaitu para pihak seharusnya mengambil tindakan untuk mengantisipasi,
mencegah dan memantau polusi kabut asap lintas batas akibat dari kebakaran lahan
dan hutan, untuk meminimalisir dampak kerugiannya; (4) prinsip pengelolaan dan
pemanfaaatan sumber daya alam, termasuk sumber daya hutan dan lahan, dengan
cara berkelanjutan dan ramah lingkungan; (5) prinsip sosialisasi dimana dalam
mengatasi polusi kabut asap lintas batas melibatkan semua pihak terkait, termasuk
masyarakat lokal, lembaga swadaya masyarakat, petani dan perusahaan swasta, jika
dianggap perlu.
Selanjutnya pada pasal 4 AATHP terdapat kewajiban-kewajiban bagi para
pihak dalam mencapai tujuan AATHP, yaitu:128
126 Varkkey, Addressing Transboundary Haze Through Asean: Singapore's Normative Constraints, 90. 127 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 4. 128 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution,5.
51
1. Bekerjasama dalam mengembangkan dan melaksanakan tindakan untuk
mencegah dan memantau polusi kabut asap lintas batas akibat kebakaran
lahan dan hutan, dan untuk mengendalikan sumber kebakaran, termasuk
mengidentifikasi kebakaran, pengembangan pemantauan, penilaian dan
sistem peringatan dini, pertukaran informasi dan teknologi, dan ketentuan
bantuan yang saling menguntungkan.
2. Apabila polusi kabut asap lintas batas berasal dari wilayah salah satu negara,
maka negara tersebut harus merespon secara cepat permintaan informasi yang
relevan atau konsultasi yang dibutuhkan oleh negara-negara yang terdampak
atau berpotensi terdampak polusi kabut asap lintas batas tersebut, dengan
tujuan untuk meminimalkan dampak dari polusi kabut asap lintas batas.
3. Mengambil tindakan legislatif, administratif dan/atau tindakan lainnya untuk
melaksanakan kewajiban berdasarkan perjanjian ini.
Sepintas perjanjian tersebut menunjukkan bahwa terkait dengan pengendalian
pencemaran udara lintas batas, diperlukan adanya kerja sama antara anggota
ASEAN. Salah satu kerjasama yang dilakukan antara anggota ASEAN yaitu pada
bulan November 2006, pemerintah Indonesia mengusulkan gagasan program
“Adopt-A-District” pada pertemuan sub-regional Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) meeting on haze di Cebu, di Filipina. Indonesia mengundang
empat anggota pertemuan sub-regional lainnya yaitu Malaysia, Singapura,
Thailand, dan Brunei untuk 'mengadopsi' beberapa kabupaten rawan kebakaran
untuk membantu pemerintah daerah dalam memperkuat kapasitas pencegahan dan
pemantauan kabut asap serta untuk mengimplementasikan langkah-langkah untuk
52
mencegah dan menekan kebakaran lahan dan hutan.129 Selanjutnya, Singapura
berkomitmen untuk mengadopsi Jambi dikarenakan sebagian besar kabut asap yang
menyelimuti langit Singapura berasal dari daerah itu. Pada kerjasama bilateral ini,
Singapura akan menyediakan dana sebanyak US$ 831,000 untuk Jambi untuk
periode dua tahun.130
Provinsi Jambi terletak di Sumatra Selatan dan memiliki populasi 2,7 juta
dengan luas lahan 5,3 juta hektar. Perusahaan kelapa sawit Singapura, Golden Agri
Resources adalah pemilik tanah utama di provinsi ini. Pada Januari 2007, pertama
kalinya satu tim petugas Singapura meninjau ke Jambi. Tujuannya adalah untuk
mengetahui dan menilai kondisi lapangan, prosedur peraturan dan pelaksanaan,
program kerja pencegahan dan pengurangan kebakaran di Jambi. Selain itu, tim
petugas Singapura mengadakan workshop untuk menyusun kerangka kerja dan
master plan dengan Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia dan Pemerintah
Provisi Jambi.131 Berdasarkan hasil tinjau lapangan dan workshop, Letter of Intent
(LOI) untuk Kerangka Master Plan untuk mencegah dan mengurangi kebakaran
hutan dan lahan di Kabupaten Muaro Jambi ditandatangani oleh Indonesia dan
Singapura pada November 2007 dan perjanjian ini berakhir pada 2009.
Di dalam Jambi Master Plan, Singapura berperan untuk membantu
pendanaan, menyediakan tenaga ahli untuk melatih petugas lokal dalam
129 Paruedee Nguitragool, “Environmental Cooperation in Southeast Asia: ASEAN’s regime for transboundary haze pollution,” [buku on-line] (Oxon: Routledge, 2011, diunduh pada 6 April 2019); tersedia https://www.researchgate.net/publication/331926890_Environmental_Cooperation_in_Southeast_Asia_ASEAN's_regime_for_transboundary_haze_pollution:Internet. 130 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 21. 131 Quah dan Varkkey, The Political Economy of Transboundary Pollution, 26.
53
penanggulangan kebakaran dan pengamatan gambar satelit dari stasiun-stasiun
pemantauan api, dan mensosialisasikan program-program mitigasi kabut asap
kepada masyarakat. Jambi Master Plan ini dibuat sebagai bentuk untuk
membangun kesadaran masyarakat dan mengkampanyekan pengelolaan hutan dan
lahan agar tidak terjadi kebakaran yang berakibat menimbulkan polusi kabut asap.
Dalam AATHP juga menyebutkan beberapa upaya dalam penanggulangan
polusi kabut asap lintas batas yaitu dengan membentuk ASEAN Coordinating
Centre for Transboundary Haze Control (ASEAN Centre) (pasal 5); membentuk
badan/lembaga sebagai Focal Point (pasal 6); dan menunjuk satu badan/lebih yang
berfungsi sebagai pusat pemantauan nasional (pasal 7). ASEAN Centre,
sebagaimana tercantum pada pasal 5 AATHP, merupakan pusat koordinasi ASEAN
untuk pengendalian polusi kabut asap lintas batas. Tujuan dari pembentukan
ASEAN Centre adalah untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi antar para
pihak dalam mengelola dampak dari kebakaran hutan dan lahan khususnya polusi
kabut asap.132 ASEAN Centre wajib bekerja atas dasar bahwa lembaga nasional
yang berwenang akan bertindak terlebih dahulu untuk memadamkan kebakaran.
Apabila lembaga nasional yang berwenang menyatakan suatu keadaan darurat,
lembaga tersebut dapat mengajukan permohonan bantuan kepada ASEAN Centre.
ASEAN Centre juga memiliki kewajiban untuk menerima, berkonsolidasi dan
menganalisa data yang telah diberikan oleh Focal Point atau Pusat Pemantauan
132 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 6.
54
Nasional dan bila memungkinkan menginformasikan kembali kepada para pihak
hasil analisanya.133
Pembentukan Focal Point yang dimaksud dalam pasal 6 AATHP berfungsi
sebagai yang diberikan wewenang oleh masing-masing negara peserta perjanjian
untuk menerima dan menyampaikan komunikasi, informasi dan data yang
berhubungan dengan ketentuan perjanjian. Selain itu, pada pasal 7, para pihak juga
wajib menunjuk satu badan/lebih di dalam negerinya, yang berfungsi sebagai Pusat
Pemantauan Nasional untuk melaksanakan tugas pemantauan bagi daerah yang
rawan kebakaran; memantau terjadinya kebakaran lahan/hutan; memantau kondisi
lingkungan yang mengakibatkan kebakaran hutan atau lahan; dan memantau pousi
kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Focal Point/Pusat
Pemantauan Nasional bersama dengan ASEAN Centre, saling berkomunikasi dan
bertukar informasi mengenai data daerah rawan kebakaran, daerah yang sedang
terjadi kebakaran lahan dan hutan, kondisi lingkungan yang mengakibatkan
kebakaran lahan dan hutan hingga dampak kabut asap yang ditimbulkan akibat
kebakaran tersebut.
Sesuai dengan pasal 6 dalam AATHP, bahwa setiap negara diwajibkan untuk
membentuk sebuah badan/lembaga yang akan menjadi focal point yang memiliki
kewenangan untuk menerima dan menyampaikan informasi terkait kabut asap lintas
batas. Pada 2002, Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura
membentuk sebuah lembaga nasional yang akan berfungsi menjadi Focal Point,
133 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 7.
55
yaitu Badan Lingkungan Nasional (National Environmental Agency/NEA) yang
bertanggung jawab atas operasi dan pelaksanaan kebijakan lingkungan.134 Adapun
Meteorological Service Division (MSD) di bawah koordinasi NEA memiliki tugas
untuk memonitoring kabut asap. MSD juga menjadi tuan rumah bagi pelaksanaan
kerja ASEAN Specialised Meteorological Centre (ASMC), yang merupakan
sebuah program kerja sama antara layanan meteorologi nasional negara-negara
anggota ASEAN.135
Selanjutnya pada pasal 9 AATHP menjelaskan langkah-langkah untuk
melakukan pencegahan dan pengendalian kegiatan yang dapat memicu kebakaran
hutan dan lahan hingga menyebabkan polusi kabut asap lintas batas. Melihat
kembali tujuan dari dibuatnya AATHP bahwa perjanjian ini mendorong negara-
negara yang terikat untuk saling bekerjasama dalam menanggulangi polusi kabut
asap lintas batas. Terdapat mekanisme mengenai pemberian atau permintaan
bantuan yang telah diatur dalam pasal 12 perjanjian ini. Bila suatu pihak
membutuhkan bantuan saat kebakaran hutan dan lahan atau polusi kabut asap
menyelimuti wilayahnya, pihak tersebut dapat memohon bantuan kepada pihak
lain, secara langsung atau melalui ASEAN Centre, dari negara lain ataupun
organisasi internasional. Namun, bantuan hanya dapat digunakan atas permohonan
atau persetujuan dari pihak pemohon.136 Dalam hal permohonan bantuan, pihak
pemohon perlu menjabarkan secara spesifik lingkup dan tipe bantuan yang
134 Varkkey, Addressing Transboundary Haze Through Asean: Singapore's Normative Constraints, 92. 135 Varkkey, Addressing Transboundary Haze Through Asean: Singapore's Normative Constraints, 84. 136 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 9.
56
dibutuhkan, sehingga pihak pemberi dapat menyediakan bantuan yang diperlukan
secara cepat dan tepat.137
Terdapat pengaturan kelembagaan dalam perjanjian AATHP, yaitu
Pembentukan pertemuan tingkat menteri yang disebut Conference of the Parties
(COP), penetapan fungsi secretariat, dan pengaturan pendanaan. Pertemuan COP
difungsikan sebagai wadah bagi para pihak untuk membahas, meninjau dan
melaporkan kondisi nasional para pihak serta mengevaluasi pelaksanaan perjanjian
AATHP (dapat juga mengadopsi perubahan-perubahan pada perjanjian ini).
Pertemuan COP diadakan setidaknya setiap satu tahun sekali. Selain itu, Sekretariat
ASEAN merangkap menjadi Sekretariat pada perjanjian ini. Dan untuk pendanaan
yang ditetapkan pada perjanjian ini disebut sebagai ASEAN Transboundary Haze
Pollution Control Fund. ASEAN Haze Fund akan dikelola oleh Sekretariat di
bawah pengawasan COP dan mewajibkan para pihak untuk memberikan kontribusi
sukarela.138 Dalam AATHP pasal 20 dijelaskan mengenai pendirian ASEAN Haze
Transboundary Haze Pollution Control Fund (AATHP Haze Fund) yang telah
disepakati oleh negara-negara anggota ASEAN yang terikat dalam perjanjian
AATHP akan berkontribusi dengan tujuan dana tersebut digunakan untuk
membantu pihak yang mengalami permasalahan secara sukarela dan mendukung
kegiatan yang terkait dengan pengimplementasian AATHP. Sebagai komitmen
awal dalam pelaksanaan perjanjian ini, Singapura mendonasikan sebesar
US$50,000 melalui AATHP Haze Fund.139 Dana yang terkumpul di AATHP Haze
137 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 10. 138 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 15. 139 Varkkey, Addressing Transboundary Haze Through ASEAN, 10.
57
Fund selanjutnya akan digunakan untuk berbagai kegiatan seperti pengembangan
dan mensosialisasikan teknik-teknik pembakaran terkendali kepada petani-petani
kecil dan melakukan lokakarya regional untuk berbagi praktik yang baik dalam
mengembangkan dan mengimplementasikan instrumen dan peraturan legislative.
Adapun penyelesaian sengketa dalam perjanjian ini akan diselesaikan dengan cara
damai melalui negosiasi dan konsultasi.140
140 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 17.
58
BAB IV
ANALISA UPAYA SINGAPURA DALAM ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION TAHUN 2013-2015
Bab ini membahas analisa upaya-upaya yang dilakukan Singapura dalam
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) terkait
menanggulangi permasalahan kabut asap lintas batas tahun 2013-2015. Singapura
merupakan salah satu negara peratifikasi AATHP. Untuk menjalankan berbagai
kebijakan luar negeri terkait permaslahan kabut asap lintas batas adapun faktor-
faktor yang mendorong Singapura dalam menentukan kebijakannya. Menurut
Holsti, terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara, yaitu faktor domestik/internal dan faktor eksternal/lingkungan
internasional. Pada kasus ini faktor domestik yang sangat mempengaruhi Singapura
dalam mengambil kebijakannya dari segi perekonomian, karakteristik geografis,
dan opini publik.
Dengan adanya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia
memberikan dampak buruk bagi Singapura terutama pada sektor ekonomi,
pariwisata, dan kesehatan masyarakat. Meskipun negara kecil, tidak menutup
kemungkinan bagi Singapura untuk memiliki kekuatan ekonomi yang besar
diantara negara-negara berkembang di kawasan. Dilihat dari Gross Domestic
Product (GDP) negara, pada tahun 2013 Singapura yaitu US$304.5 miliar, tahun
59
2014 sebesar US$ 311,5 miliar, dan tahun 2015 sebesar US$304,1 miliar.141 Sektor
Pariwisata telah lama menjadi bagian utama dari perekonomian Singapura sekitar
9-10% dari total GDP pada tahun 2013-2015. Pada peristiwa kabut asap tahun 1997
saja, sektor pariwisata menyumbang sekitar 80% dari total kerugian yang dialami
Singapura, yaitu sekitar US$58,4 juta.142 Akibatnya jumlah wisatawan asing yang
mengunjungi Singapura mengalami penurunan. Sebelumnya pada tahun 1996,
jumlah wisatawan yang datang ke Singapura sebanyak 7,292,145 dan menurun
sebanyak 1,3 persen pada tahun 1997 dan semakin merosot mencapai 13,3 persen
pada tahun 1998.143 Sedangkan jika dibandingkan dengan peristiwa kabut asap pada
2013-2015 pendapatan Singapura dibidang pariwisata mengalami penurunan cukup
signifikan dari US$ 31 miliar menjadi US$ 29 miliar dan kembali naik pada tahun
2016 menjadi US$32,3 miliar.144
Selnajutnya jika dibandingkan dengan peristiwa kabut asap yang terjadi pada
pertengahan Juni 2013 dengan ditutupnya berbagai pusat perbelanjaan, restoran,
dan tempat-tempat wisata menyebabkan menurunnya aktivitas ekonomi yang
diestimasikan menurun hingga 8-12 persen.145 Beberapa restoran yang memiliki
141 “Gross Domestic Product Singapore in 2013,” World Bank; tersedia di https://www.google.com/publicdata/explore?ds=d5bncppjof8f9_&met_y=ny_gdp_mktp_cd&idim=country:SGP:MYS:HKG&hl=en&dl=en; internet; diunduh pada 5 April 2019. 142 Glover dan Jessup, Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of Catastrophe, 79. 143 Alan A. Lew, “Tourism and the Southeast Asian Crises of 1997 and 1998: A View from Singapore,” Current Issues in Tourism Vol.2 No.4, 1999 [artikel on-line]; tersedia di https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13683509908667858; internet; diunduh pada 4 April 2019. 144 “Singapore - Contribution of travel and tourism to GDP in current prices,” tersedia di https://knoema.com/atlas/Singapore/topics/Tourism/Travel-and-Tourism-Total-Contribution-to-GDP/Contribution-of-travel-and-tourism-to-GDP; Internet; diunduh pada 20 Juni 2019. 145 Rachel Tan dan Maryam Mokhtar,” Haze update: Business down for shops and eateries,” The Straits Times, 22 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di https://www.straitstimes.com/singapore/haze-update-business-down-for-shops-and-eateries; Internet; diunduh pada 20 Mei 2019.
60
konsep outdoor mengakui mengalami penurunan jumlah pengunjung hingga 40
persen.
Selain perekonomian, karakteristik geografis menjadi salah satu faktor
domestik yang mempengaruhi sebuah negara dalam merumuskan kebijakan luar
negeri. Singapura hanya sebuah negara kecil dengan area seluas 721.5 km2 yang
terletak diantara Malaysia dan Indonesia. Dibandingkan dengan luas kedua negara
yang mengapitnya, membuat Singapura semakin kecil. Namun, pada kasus kabut
asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dengan mudahnya menyebar
dan menyelimuti langit Singapura. Dampaknya kualitas udara di Singapura
memburuk ketika musim kabut asap sedang berlangsung dan faktor fenomena iklim
El Nino yang menyebabkan berubahnya durasi musim kemarau dan perubahan arah
angin.
Sejak tahun 1997, permasalahan mengenai kabut asap telah mencuri perhatian
banyak media massa lokal maupun internasional. Di Singapura media massa
memiliki peran penting sebagai sumber informasi bagi masyarakat serta alat untuk
penyampaian kritik dan opini atas suatu kasus.146 Permasalahan kabut asap yang
menyelimuti Singapura merupakan sebuah permasalahan lingkungan dan kesehatan
yang menarik perhatian masyarakatnya. Dengan adanya media massa baik
tradisional dan digital semakin membuat masyarakat cepat mendapatkan informasi
terbaru dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya permasalahan lingkungan
yang ada. Media massa juga dapat menjadi kritik terhadap pemerintahan sehingga
146 Tim Forsyth, “Public concerns about transboundary haze: A comparison of Indonesia, Singapore, and Malaysia,” Global Environmental Change Vol. 25, 2014 [artikel on-line]; tersedia di https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0959378014000296; internet; diunduh pada 5 April 2019.
61
dapat mempengaruhi arah kebijakan negara. Hingga pada pertengahan Juni 2013,
krisis kabut asap di Singapura menjadi berita utama diberbagai media global
sebagai permasalahan lingkungan berupa polusi udara sehingga memicu reaksi
masyarakat Singapura ketika kabut asap memperburuk kualitas udara, mengganggu
kehidupan sehari-hari dan bahkan sementara beberapa pusat bisnis seperti mall,
restoran, dan tempat wisata terpaksa ditutup.147 The Straits Times merupakah salah
satu media massa yang cukup menyuarakan kabut asap ini. Tercatat sejak Juli 1997-
Juni 2013 telah menghasilkan berita terkait kabut asap sebanyak 2,082.148
Berdasarkan hasil pemungutan suara yang dilakukan oleh reach.gov.sg pada Juni
2013 menunjukkan bahwa 75,8% masyarakat Singapura mengkases berita
mengenai kabut asap dari media massa dan 45% dengan mengakses platform digital
atau sosial media resmi milik pemerintah. Dengan demikian, masyarakat semakin
peduli dengan permasalahan lingkungan dan menyuarakan opininya melalui
berbagai platform digital ataupun melalui diskusi online sehingga hal ini menjadi
pertimbangan bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan luar negerinya.
Faktor eksternal yang mempengaruhi kebijakan Singapura ini adalah
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia dan secara teritorial berada
diluar wilayah Singapura. Dampak yang diberikan tidak hanya mendiami wilayah
Indonesia namun juga negara-negara lainnya di Kawasan Asia Tenggara, termasuk
Singapura. Dan penyebab kebakaran hutan dan lahan ini kebanyakan disebabkan
oleh pembukaan lahan oleh petani kecil hingga perusahaan-perusahaan besar yang
147 Rachel Tan dan Maryam Mokhtar,” Haze update: Business down for shops and eateries,” The Straits Times, 22 Juni 2013. 148 Forysth, Public concerns about transboundary haze, 79.
62
akan mengalihfungsikan hutan menjadi lahan pertanian dan perkebunan. Melihat
hal tersebut mendorong Singapura untuk menyelesaikan masalah ini tidak hanya
sendirian namun juga dengan negara-negara lainnya yang terdampak akan peristiwa
tersebut. Namun dalam realitanya, negara-negara peratifikasi AATHP yang lainnya
tidak banyak turut membantu dalam penanggulangan permasalahan tersebut.
ASEAN sebagai organisasi internasional yang mewadahi perjanjian internasional
ini mengalami ketidakefektitasan dalam menjalankan fungsi dari AATHP. Salah
satu contohnya adalah dengan tidak adanya pengaturan yang terperinci mengenai
sanksi bagi pelaku/aktor penyebab kabut asap lintas batas.
Dengan adanya faktor internal dan eksternal dari peristiwa kabut kabut asap
lintas batas yang seringkali dialami oleh Singapura, membuat pemerintah
Singapura mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menentukan arah
kebijakan luar negerinya.
A. Mengimplementasikan AATHP
AATHP merupakan salah satu bentuk perjanjian internasional di bidang
lingkungan hidup. Dalam naskah perjanjian internasional biasanya mencantumkan
ketentuan mengenai cara untuk mengikatkan diri.149 Dalam pasal 28 AATHP, telah
menjelaskan bahwa untuk menjadi pihak yang tunduk dalam perjanjian ersebut
harus dilakukan dengan proses ratifikasi oleh negara-negara yang telah
menandatangani.150 Ratifikasi adalah penegasan kembali bahwa negara yang
terlibat dalam perjanjian internasional tersebut menyatakan diri tunduk dan terikat
149 Andreas Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, (Malang: Setara Pers, 2014),2. 150 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 18.
63
dalam aturan-aturannya.151 Dalam perjanjian internasional, setelah suatu negara
meratifikasi maka secara otomatis perjanjian tersebut akan bersifat mengikat.
Dalam AATHP, perjanjian tersebut berlaku setelah 60 hari sejak perjanjian
tersebut diratifikasi oleh keenam negara penandatangan 152 Salah satu upaya yang
dilakukan Singapura selaku negara yang meratifikasi perjanjian tersebut adalah
dengan mengimplementasikan penuh perjanjian tersebut agar dapat secara
maksimal memenuhi tujuannya. Adapun upaya-upaya yang dilakukan oleh
Singapura dalam mengimplementasikan AATHP adalah sebagai berikut;
1. Pembentukan ASEAN Haze Monitoring System (AHMS)
Pada Sub-Regional Ministerial Steering Committee on Haze ke-14 yang
diselenggarakan bulan Oktober 2012, Singapura mengusulkan kepada ASEAN
mengenai pembentukan ASEAN Haze Monitoring System (AHMS) untuk
mendukung pengoptimalan pencapaian tujuan dari AATHP, terutama dalam hal
implementasi kebijakan dan hukum lahan dan hutan. Haze Monitoring System atau
Sistem Pemantauan Kabut Asap merupakan sebuah platform/sistem yang telah
dikembangkan oleh Singapura dan memiliki tujuan untuk mengakses secara terbuka
peta penggunaan lahan digital dan peta konsesi daerah rawan kebakaran yang
menyebabkan kabut asap pada saat musim kemarau tiba. Selain itu, pemerintah
Singapura berpendapat bahwa dengan penggunaan Haze Monitoring System dapat
diperuntukkan sebagai pemantauan dan pengambilan tindakan penegakan hukum
bagi pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang berkontribusi pada kebakaran.153
151 Pramudianto, Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional, 3. 152 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 18. 153 Sekretaris Jenderal ASEAN, “Media Release of 15th Meeting of the Sub-Regional Ministerial Steering Committee (MSC) on Transboundary Haze Pollution,” tersedia di https://asean.org/15th-
64
Namun hal ini mendapat penolakan dari Indonesia dan Malaysia dikarenakan
peta konsesi lahan yang akan dimasukkan ke dalam AHMS merupakan data yang
bersifat rahasia dan butuh payung hukum yang jelas untuk menjadikannya terbuka
bagi publik. Selain itu, pada saat yang sama, pemerintah Indonesia sedang
meginisiasikan program Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy untuk peta
konsensi lahan yang ada di negaranya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
pemerintah Singapura dalam menjalankan fungsi penuh dari AATHP.154 AHMS
sendiri memiliki keterkaitan yang erat dengan undang-undang Singapura yaitu
Transboundary Haze Pollution Act (THPA). Dikarenakan dalam menindak tegas
para pihak-pihak yang meyebabkan polusi kabut asap di Singapura dibutuhkan peta
konsesi lahan yang akurat.
Sub-Regional Ministerial Steering Committee (MSC), yang terdiri dari
Menteri Lingkungan Hidup Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura
dan Thailand, dibentuk untuk menjalin kerja sama yang lebih erat di kawasan
selatan Asia Tenggara untuk memerangi pencemaran kabut asap. Selanjutnya, pada
MSC ke-14 pada Oktober 2012, para menteri menyetujui usulan pembentukan
Ministerial Steering Committee Technical Task Force/MTTF untuk
mengembangkan platform pemantauan kebakaran di tingkat MSC. Pada pertemuan
MTTF yang pertama kali diadakan di Singapura pada 20-21 Februari 2013,
Singapura kembali mengajukan diri untuk mengembangkan aplikasi berbasis web
yang dapat menampilkan berbagai sumber data hotspot/titik api, citra satelit, dan
meeting-of-the-sub-regional-ministerial-steering-committee-msc-on-transboundary-haze-pollution/; Internet; diunduh pada 2 April 2019. 154 Varkkey, National Responses in the Context of ASEAN Developments Over Peatfires and Haze, 3
65
peta dengan menggunakan visualisasi platform Google Earth. 155 Pada pertemuan
MTTF yang dihadiri oleh perwakilan dari Brunei, Malaysia, Singapura, Sekretariat
ASEAN, dan Pusat Meteorologi Khusus ASEAN untuk menilai dan
merekomendasikan pilihan teknologi terbaik yang tersedia untuk meningkatkan
pemantauan hotspot/titik api. Hasilnya, negara-negara MSC bersepakat bahwa
Singapura mendapat mandate untu mengembangkan aplikasi berbasis web tersebut.
Bersamaan dengan ini, negara-negara akan mengidentifikasi daerah rawan
kebakaran menggunakan kriteria nasional dan menyediakan peta tata guna lahan
untuk daerah rawan kebakaran, dan peta konsesi untuk area rawan kebakaran
prioritas tinggi untuk diaplikasikan ke dalam platform visualisasi berbasis web.
Dengan memanfaatkan teknologi, tentunya hal ini juga dapat berguna bagi negara-
negara yang terdampak kabut asap dan negara pendonor asap sehingga dapat
meningkatkan pemantauan kebakaran hutan dan meningkatkan kemampuan
pemadam kebakaran negara-negara dan tanggap darurat.
2. Pemberian bantuan kepada negara pendonor asap
Dalam pasal 12-15 AATHP mengatur mengenai pemberian bantuan bagi
negara yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi kebakaran hutan atau lahan di
wilayahnya. Negara tersebut dapat meminta bantuan kepada Negara-negara Peserta
lainnya baik secara langsung atau melalui ASEAN Centre. Namun, bantuan hanya
dapat digunakan atas permohonan atau persetujuan dari pihak pemohon.156 Dalam
155 National Environmental Agency, “Singapore Attends Emergency Haze Meeting Convened by Indonesia,” tersedia di http://www.nas.gov.sg/archivesonline/speeches/view-html?filename=20130627003.htm; Internet; diunduh pada 3 April 2019. 156 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 9.
66
hal permohonan bantuan, pihak pemohon perlu menjabarkan secara spesifik
lingkup dan tipe bantuan yang dibutuhkan, sehingga pihak pemberi dapat
menyediakan bantuan yang diperlukan secara cepat dan tepat.157
Singapura sebagai negara peratifikasi AATHP tentu memiliki kewajiban
untuk menawarkan bantuan kepada Indonesia. Namun, Singapura tidak dapat
memaksakan bantuan, sesuai yang tersebut di dalam pasal AATHP, Singapura
hanya dapat memberikan bantuan jika pihak penerima bantuan telah menyetujui
untuk menerima bantuan tersebut dan bantuannya pun harus sesuai dengan
kebutuhan yang diajukan oleh pihak penerima bantuan.
Maka dari itu, sejak tahun 2005, Singapura telah beberapa kali menawarkan
bantuan kepada Indonesia untuk mengatasi kebakaran hutan yang menyebabkan
polusi kabut asap lintas batas.158 Saat itu, Singapura menawarkan paket bantuan
berupa pesawat C-130 yang dapat difungsikan sebagai operasi penyemaian awan,
membantu mengidentifikasi lokasi kebakaran serta 54 tenaga ahli petugas pemadam
kebakaran yang difokuskan pada titik kebakaran di wilayah Riau. Tidak hanya
Sinapura, Malaysia pun turut menawarkan bantuan dengan mengirimkan tim
pemadam kebakaran, peralatan dan ahli penananganan bencana ke Indonesia untuk
memadamkan kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan.159 Namun, Indonesia
157 ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 10. 158 National Environmental Agency, Singapore Attends Emergency Haze Meeting Convened by Indonesia, annex a. 159 Poppy S. Winanti, Muhammad Rum, “50 Years of Amity and Enmity: The Politics of ASEAN Coorperation,” ,” [buku on-line] (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2018, diunduh pada 6 April 2019); tersedia https://books.google.co.id/books?id=LhN0DwAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage&q&f=false; Internet.
67
tidak menerima tawaran bantuan ini dikarekan menurut pemerintah Indonesia saat
itu belum begitu membutuhkan bantuan dan dapat menanganinya sendiri.
Hingga kembali terjadi kabut asap melanda Singapura pada 21 Juni 2013
dengan catatan angka PSI per tiga jam mencapai 401 atau dengan status
“berbahaya”. Sebagai tanggapan pemerintah Singapura dalam mengantisipasi
kembalinya kabut asap pada musim kemarau tahun 2014 yaitu dengan menawarkan
paket bantuan kepada pemerintah Indonesia yang sama dengan penawaran bantuan
pada tahun-tahun sebelumnya yaitu sebuah pesawat C-130 untuk operasi
penyemaian awan, untuk pengambilan gambar satelit dan koordinat hotspot dengan
resolusi tinggi dan dua buah pesawat C-130 untuk mengangkut tim bantuan
pemadam kebakaran dari Singapore Civil Defense Force (SCDF).160 Tidak hanya
menawarkan bantuan kepada pemerintah Indonesia, kali ini pemerintah Singapura
juga turut menawarkan bantuan kepada pemerintah Malaysia untuk membantu
memerangi kebakaran hutan dan lahan jika memang dibutuhkan. Kali ini Indonesia
kembali menolak segala tawaran bantuan dari Singapura. Menurut Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, jika tawaran
bantuan Singapura terlalu sedikit.
Hingga pada tahun 2015, Singapura kembali terkepung oleh kabut asap. Pada
September 2015, pemerintah Singapura kembali menawarkan paket bantuan yang
sama, namun Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya
Bakar, menyatakan bahwa Indonesia tidak memerlukan bantuan tersebut karena
160 National Environmental Agency, “Singapore’s Offer of Haze Assistance Packages to Indonesia and Malaysia,”tersedia di http://www.nas.gov.sg/archivesonline/data/pdfdoc/20140617001/(10_june)_haze_assistance_package_press_release.pdf; Internet; diunduh pada 5 April 2019.
68
sudah memiliki cukup pesawat dan peralatan untuk menangani krisis tersebut.161
Tidak hanya berdiam diri, Menteri Luar Negeri Singapura, Vivian Balakrishnan
terus melakukan diskusi dengan Menteri Luar Negeri Indonesia. Hingga pada 7
Oktober 2015, pemerintah Indonesia menyatakan keadaan darurat untuk
permasalahan ini dan memutuskan untuk menerima tawaran bantuan tersebut dan
juga beberapa bantuan lainnya dari Malaysia, Rusia, Jepang dan Australia. Pada 10
Oktober 2015, Singapura melalui Singapore Armed Forces (SAF) mengerahkan
bantuan untuk Indonesia dengan mengirimkan helikopter Chinook milik Angkatan
Udara Singapura beserta 34 personilnya yang didampingi oleh enam orang Disaster
Assistance and Rescue Team (DART) serta 5000 liter air untuk membantu
memadamkan api di Sumatera.162 Bantuan ini membuahkan hasil yang baik dan
signifikan, hingga pada akhir Okteber 2015 setelah tiga hari terus menerus turun
hujan di Sumatera dan Kalimantan sehingga dapat mengurangi jumlah titik panas
dan sebaran kabut asap. Berdasarkan hasil yang paparkan oleh Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, telah terjadi peningkatan kualitas udara dan jarak
pandang dan dari 1578 titik api telah menurun menjadi 291 titik api.163
161 “Jakarta declines help to fight fires,” The Straits Times, 13 September 2015 [media on-line]; tersedia di https://www.straitstimes.com/asia/se-asia/jakarta-declines-help-to-fight-fires; Internet; diunduh pada 30 Mei 2019. 162 Ministry of Defence Singapore, “SAF Deploys to Assist Indonesia to Fight Haze,”; tersedia di https://www.mindef.gov.sg/web/portal/mindef/news-and-events/latest-releases/article-detail/2015/october/2015oct10-news-releases-01670/; Internet; diunduh pada 4 April 2019. 163 Joe Cochrane, “Rain in Indonesia Dampens Forest Fires That Spread Toxic Haze,” The New York Times, 28 Oktober 2015 [media on-line]; tersedia di https://www.nytimes.com/2015/10/29/world/asia/indonesia-forest-fire-toxic-haze.html; Internet; diunduh pada 5 Mei 2019.
69
B. Membentuk Transboundary Haze Pollution Act (THPA)
Dalam rangka meningkatkan fungsi dan tujuan AATHP, bahwa setiap pihak
wajib mengambil tindakan untuk mencegah dan mengendalikan kegiatan yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan hingga mengakibatkan polusi kabut
asap lintas batas termasuk mengembangkan kebijakan lainnya yang sesuai untuk
menghambat aktivitas yang dapat mengakibatkan kebakaran hutan dan lahan. Pada
25 September 2014, Singapura telah memberlakukan kebijakannya yang disebut
sebagai Transboundary Haze Pollution Act (THPA). Bermula pada Juli 2013,
Menteri Luar Negeri Singapura bersama dengan Menteri Hukum dan Menteri
Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura memulai penelitian struktur legislatif
yang sesuai dan reformasi yang diperlukan untuk mencegah, dan mengambil
tindakan melawan badan yang bertanggung jawab untuk masalah kabut asap lintas
batas. Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura mempublikasikan
Rancangan Undang-Undang (RUU) THPA untuk mendapatkan masukan dari
publik sehingga masyarakat juga dapat memberikan kontribusinya, hal ini
berlangsung selama empat minggu dari 19 Februari 2014 dan 19 Maret 2014.164
THPA merupakan undang-undang lingkungan bersifat ekstrateritorial yang
menargetkan pertanggungjawaban pidana dan perdata atas entitas Singapura atau
non-Singapura baik perorangan, perusahaan, atau badan lain yang menyebabkan
atau berkontribusi terhadap polusi kabut lintas batas di Singapura.165 THPA juga
164 Tan, The ‘Haze’ Crisis in Southeast Asia, 5. 165 Parliament of Singapore, “Transboundary Haze Pollution Bill No. 18/2014,”; tersedia di https://sso.agc.gov.sg/Act/THPA2014?ViewType=Pdf&_=20181004124038; Internet; diunduh pada 1 April 2019.
70
mengatur mengenai denda yang harus dibayar bagi entitas yang terbukti bersalah
minimal SG$ 100,000 atau setara dengan US$79,900 setiap hari selama periode
kabut asap hingga denda maksimal SG$2 juta jika ada gugatan perdata dari pihak
yang mengatakan bahwa mereka telah mengalami kerugian akibat asap.166
Meninjau episode kabut asap pada tahun 2013 dan 2015, NEA Singapura
meminta informasi dari pemerintah Indonesia untuk memberikan perincian
perusahaan yang diduga menyebabkan pencemaran kabut asap bersamaan dengan
penawaran bantuan. Namun, hal tersebut tidak selalu digubris oleh pemerintah
Indonesia, dikarenakan menurut pemerintah Indonesia, pemerintah Singapura tidak
berhak untuk menghukum perusahaan yang berada di luar territorial negaranya dan
melanggar kedaaulatan pemerintah Indonesia. Hal ini juga mendapat tanggapan
dari pemerintah Malaysia yang tidak setuju akan gagasan THPA ini.
Hingga pada 25 September 2015, pemerintah Singapura mengirim
Pemberitahuan Tindakan Pencegahan ke empat perusahaan Indonesia sesuai
dengan Bagian 9 dari THPA, meminta mereka untuk: 167
a. mengerahkan personel pemadam kebakaran untuk memadamkan atau
mencegah penyebaran api di tanah yang dimiliki atau ditempati oleh mereka
b. menghentikan, atau tidak memulai, kegiatan pembakaran di tanah tersebut
166 Parliament of Singapore, Transboundary Haze Pollution Bill No. 18/2014, 11. 167 Ministry of Environment and Water Resources Singapore, “Singapore send notices to four Indonesian companies and seeks information from Singapore-Listed APP,” tersedia di https://www.gov.sg/~/sgpcmedia/media_releases/MEWR/press_release/P-20150925-2/attachment/Press%20Release%20-%20SINGAPORE%20SENDS%20NOTICES%20TO%20FOUR%20INDONESIAN%20COMPANIES%20AND%20SEEKS%20INFORMATION%20FROM%20SINGAPORE-LISTED%20APP.pdf.; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
71
c. tunduk kepada National Environmental Agency (NEA) rencana tindakan apa
pun untuk memadamkan api apa pun di tanah tersebut atau untuk mencegah
terulangnya kembali
THPA merupakan kebijakan yang diambil oleh Singapura dalam upayanya
untuk mencegah dan mengendalikan polusi kabut asap lintas batas yang berdampak
buruk bagi negaranya. THPA juga merupakan sebuah langkah nyata yang diambil
Singapura dalam menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam penyebab polusi
kabut asap lintas batas dan sebagai pelengkap dari AATHP yang tidak mengatur
mengenai adanya denda atau penindakan secara hukum. Atas dasar ini Singapura
yakin dengan adanya kebijakan ini dapat mencapai tujuan dari AATHP juga.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kabut asap lintas batas merupakan permasalahan tahunan bagi kawasan Asia
Tenggara terutama Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Kabut asap yang
menyelimuti Singapura merupakan permasalahan lingkungan berupa polusi udara
lintas batas negara yang diakibatkan dari terjadinya kebakaran hutan dan lahan di
beberapa wilyah Indonesia. Dengan adanya polusi kabut asap lintas batas ini, tentu
saja membawa dampak serius dalam bidang ekonomi, kesehatan dan lingkungan
tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga negara-negara disekitarnya, termasuk
Singapura.
Singapura sebagai negara tetangga dari Indonesia turut merasakan akibat dari
kabut asap lintas batas ini. Terdapat dua faktor yang mempengaruhi Singapura
sebelum merumuskan kebijakan luar negeri Singapura yaitu faktor internal dari segi
ekonomi sebagai negara dengan 9-10% pendapatan ekonomi yang bergantung pada
sektor pariwisata mengalami kerugian saat musim kabut asap dan kebakaran hutan
dan lahan datang, segi karakter geografis, dan opini masyarakat Singapura terkait
isu kabut asap lintas batas semakin mengalami peningkatan dengan adanya media
massa digital dan transparan. Selain itu faktor ekternalnya yaitu dengan
ketidakefektifan ASEAN dalam menerapkan fungsi dari ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP) semakin mendorong Singapura untuk
melakukan upaya dalam penanggulangan kabut asap lintas batas agar tidak terus
menerus merugikan negaranya.
73
Singapura juga tetap berupaya untuk mengimplementasikan
mengimplementasi perjanjian internasional tersebut dengan Singapura berhasil
membentuk ASEAN Haze Monitoring System (AHMS) yang sangat berguna dalam
membantu memetakan titik api dan memberikan bantuan kepada negara pendonor
asap hingga membentuk Transboundary Haze Pollution Act (THPA).
74
DAFTAR PUSTAKA
Buku
ASEAN Secretariat, ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. 2002.
tersedia di https://haze.asean.org/?wpfb_dl=32; Internet; diunduh pada 27
Maret 2019.
BAPPENAS-ADB, Cause extend, Impact and Cost of 1997, 1998 Fire and
Drought, Fortech: Pusat Pengembangan Agribisnis, 1999.
Creswell, John. W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among
Five Approaches. USA: Sage Publications, Inc., 2007.
Dennis, Rona. A Review of Fire Projects in Indonesia (1982-1998) [buku on-line]
Bogor: Center for International Forestry Indonesia, 1999, diunduh pada 29
Maret 2019; tersedia di
https://www.cifor.org/publications/pdf_files/firereport.pdf; Internet.
Glover, David dan Timothy Jessup. Indonesia’s Fires and Haze: The Cost of
Catastrophe. Singapore: Institute of Southeast Asia Studies, 1999.
Holsti, K.J. International Politics: A Framework for Analysis, 6th Edition. New
Jersey: Prentice Hall, 1992.
Hughes, David. Environmental Law, 2nd edition. London: Butterworths, 1996.
Klabbers, Jan. The Concept of Treaty in International Law. Netherlands: Kluwer
Law International, 1998.
Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Binacipta,
1996.
Marshall, Catherine dan Gretchen B. Rossman. Designing Qualitative Research 3e.
California: Sage Publications Inc, 1999
Moloeng, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
1998.
Nguitragool, Paruede, “Environmental Cooperation in Southeast Asia: ASEAN’s
regime for transboundary haze pollution,” [buku on-line] (Oxon: Routledge,
2011, diunduh pada 6 April 2019); tersedia
https://www.researchgate.net/publication/331926890_Environmental_Coop
eration_in_Southeast_Asia_ASEAN's_regime_for_transboundary_haze_pol
lution:Internet.
Oppenheim-Lauterpacht. International Law A treties. London: Longmans Gren and
Company, 1996.
75
Perwita, Anak Agung, dan Y.M. Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Plano, Jack C. dan Roy Olton. Kamus Hubungan Internasional. Bandung: Abardin,
1999
Potter, Lesley Marrianne. Drought, Fire and haze in the historical record of
Malaysia dalam Forest Fires and regional haze in Southeast Asia, ed. Peter
Eaton dan Miroslav Radojevic. New York: Nova Science Publishers, Inc,
2001.
Pramudianto, Andreas. Hukum Perjanjian Lingkungan Internasional. Malang:
Setara Pers, 2014.
Qadri, S. Tahir. Fire, Smoke, and Haze: The ASEAN Response Strategy [buku on-line]
(Philippines: Asian Development Bank, 2001); tersedia di
https://www.adb.org/sites/default/files/publication/28035/fire-smoke-haze.pdf;
Internet; diunduh pada 1 April 2019.
Rosenau, James N., Gavin Boyd, dan Kenneth W. Thompson. World Politics: An
Intoduction. New York: The Free Press, 1976.
Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke-19
Tahun 2010. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2010.
Sekretariat Direktorat Kerjasama ASEAN. ASEAN Selayang Pandang Edisi ke 22
Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2017.
Sinclair, I.M. The Vienna Convention on the Law of Treaties. Manchaster:
Manchaster University Press, 1973.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014 Tentang Pengesahan
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN
Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas).
Yulianti, Nina. Pengenalan Bencana Kebakaran dan Kabut Asap Lintas Batas.
Bogor: PT. Penerbit IPB Press, 2018.
Jurnal
ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution; tersedia di
https://www.jstor.org/stable/25770582 ; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
Brauer, Michael dan Jamal Hisam-Hashim, “Fires in Indonesia: Crisis and
reaction,” Environ. Sci. Technol., 1998 [jurnal on-line]; tersedia di
https://pubs.acs.org/doi/abs/10.1021/es983677j; Internet; diunduh pada 2
April 2019.
76
Emmanuel, Shanta Christina, “Impact to lung health of haze from forest fires: the
Singapore experience,” Respirology Vol. 5(2), Juni 2000 [jurnal on-line];
tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/12425324_Impact_to_Lung_Healt
h_of_Haze_from_Forest_Fires_The_Singapore_Experience; internet; di
unduh pada 1 April 2019.
Florano, E.R., “Assessment of the “strengths" of the new ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution,” International Review for Environmental
Strategies, Vol. 4 No.1, 2003 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/287584180_Assessment_of_the_st
rengths_of_the_new_ASEAN_agreement_on_transboundary_haze_pollutio
n; Internet; diunduh pada 4 April 2019.
Gellert, Paul K., “A Brief History and Analysis of Indonesia’s Forest Fires Crisis,”
Indonesia, no. 65, 1998 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.jstor.org/stable/3351404;Internet; diunduh pada 1 April 2019.
Goldammer, Johann G., “The Fire and Smoke Episodes of 1983 to 1998 in South
East Asia: Ecological Background, Socio-Economic and Environmental
Implications, and Challenges for Regional and Global Fire Research
Programmes,” Malaysian XXI IUFRO World Congress Organising
Committee, Agustus 2000 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.nrs.fs.fed.us/pubs/jrnl/2000/ne_2000_eav_001.pdf; Internet;
diunduh pada 2 April 2019
Heil, A. dan J.G Goldammer, “Smoke-haze Pollution: A Review of the 1997
Episode in Southeast Asia”, Reg Environ Change Journal, Vol. 2 (Maret
2001): 24-37.
Heilmann, Daniel, “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional
Environmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian
Affairs, Vol. 3, 2015 [jurnal on-line]; tersedia di https://journals.sub.uni-
hamburg.de/giga/jsaa/article/download/907/914; Internet; diunduh pada 28
Maret 2019.
Quah, Euston Quah dan Helena Varkkey, “The Political Economy of
Transboundary Pollution: Mitigation Forest Fires Southeast Asia,” [jurnal on-
line]; tersedia di
https://umexpert.um.edu.my/file/publication/00009140_102526.pdf;
Internet; diunduh pada 27 Maret 2019.
Quah, Euston, “Transboundary Pollution in Southeast Asia: The Indonesian Fires,”
World Development Vol. 30 No. 3, 2002 [jurnal on-line]; tersedia di
77
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0305750X0100122X
; Internet; diunduh pada 1 April 2019
Rasyid, Fachmi, “Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan,” Jurnal
Widyaswara Edisi 1 No. 4, 2014 [jurnal on-line]; tersedia di
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf; Internet; di unduh
pada 1 April 2019
Tacconi, Luca, “Fires in Indonesia: Causes, Costs, and Policy Implications,”
CIFOR Occasional Paper.No.38, 2003 [jurnal on-line]; tersedia di
https://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038.pdf;
Internet; diunduh pada 29 Maret 2019.
Tacconi, Luca, D. Kaimowitz, dan P.F. Moore, “Fires in tropical forests – what is
really the problem? Lessons from Indonesia,” Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change Volume 12, Issue 1, Januari 2007 [jurnal on-
line]; tersedia di https://link.springer.com/article/10.1007/s11027-006-9040-
y; Internet; diunduh pada 2 April 2019.
Tan, Alan Khee-Jin, “The ‘Haze’ Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore’s
Transboundary Haze Pollution Act 2014”, NUS Law Working Paper
2015/002, February 2015 [jurnal on-line]; tersedia di
http://law.nus.edu.sg/wps; internet; diunduh pada 1 April 2019.
Sastry, Narayan, “Forest fires, Air Pollution and Mortality in Southeast Asia,”
Demography, Volume 39-No.1, Februari 2002: 1-23 [jurnal on-line]; tersedia
di https://www.jstor.org/stable/3088361; Internet; diunduh pada 2 April
2019.
Sunchindah, Apichai, “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia:
Reframing ASEAN’s Response,” ERIA Discussion Paper Series-82, 1
Desember 2015 [jurnal on-line]; tersedia di
http://www.eria.org/publications/transboundary-haze-pollution-problem-in-
southeast-asia-reframing-aseans-response/; Internet; diunduh pada 29 Maret
2019.
Varkkey, Helena, “Addressing Transboundary Haze Through ASEAN: Singapore’s
Normative Constraints,” Jurnal of International Studies, 2011 [jurnal on-
line]; tersedia di https://www.researchgate.net/publication/256988971;
diunduh pada 1 April 2019.
Yahaya, Nadzri, “Transboundary Air Pollution: Haze Pollution in Southeast Asia
and Its Significance,” Journal of Diplomacy and Foreign Relations Vol. 2
No. 2, Desember 2000 [jurnal on-line]; tersedia di
http://digitaldoc.kln.gov.my/vital/access/manager/Repository/vital:290;jsess
78
ionid=3CA4D1CF7DFDCB6EE59A10A5AB238E2A?exact=sm_subject%3
A%22Haze-Southeast+Asia%22; internet; diunduh pada 3 April 2019.
Yani, Yanyan Mochamad, Disampaikan pada acara Ceramah Sistem Politik Luar
Negeri bagi Perwira Siswa Sekolah Sekolah Staf dan Komando Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Udara (Sesko TNI AU) Angkatan ke-44 TP
2007, Bandung, 16 Mei 2007.
Website
AFP, “Indonesia declares state of emergency over fire haze,” Aljazeera News, 14
September 2015 [media on-line]; tersedia di
https://www.aljazeera.com/news/2015/09/indonesia-declares-state-
emergency-fire-haze-150914133806388.html; diunduh pada 4 April 2019.
“Asap kebakaran hutan sampai Jakarta,” BBC Indonesia, 24 Oktober 2015 [media
on-line]; tersedia di
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151024_indonesi
a_jakarta_kabutasap; diunduh pada 3 April 2019.
ASEAN Legal Instrument, "ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution:
Instrument of Ratification," tersedia di:
http://agreement.asean.org/agreement/detail/238.html; Internet; diunduh
pada 28 Maret 2019.
“ASEAN Ministerial Meeting on Environment (AAME),” tersedia di
https://asean.org/asean-socio-cultural/asean-ministerial-meeting-on-
environment-amme/overview/; Internet; diunduh pada 1 April 2019.
Carrasco, Luis Roman, “Silver Lining of Singapore’s Haze,” Sciencemag Vol 341,
Juli 2013 [artikel on-line]; tersedia di
https://science.sciencemag.org/content/341/6144/342.2; Internet; diunduh
pada 1 April 2019.
“ESM Goh: "The Singapore Child is being suffocated", The Straits Times, 21 Juni
2013 [media on-line]; tersedia di
https://www.straitstimes.com/singapore/esm-goh-the-singapore-child-is-
being-suffocated; Internet; diunduh pada 1 April 2019.
Dauvergne, Peter, “The Political Economy of Indonesia’s 1997 Forest Fires,
Australian Journal of International Affairs 52, No. 1, 1998 [artikel on-line];
tersedia di
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357719808445234?journal
Code=caji20; Internet; diunduh pada 1 April 2019.
79
Faridz, Devianti, “Singapore, Malaysia share some blame for haze: Indonesian
official,” Channel NewsAsia, 18 June 2013 [media on-line]; tersedia di
www.channelnewsasia.com/news/singapore/s-pore-m-sia-share-
some/714786.html; Internet; diunduh pada 4 April 2019.
Fearnside, Philip M., “Transmigration in Indonesia: Lessons from Its
Environmental and Social Impacts,” Environmental Management 21(4):553-
570, Juli 1997 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/225540788_Transmigration_in_In
donesia_Lessons_from_Its_Environmental_and_Social_Impacts; internet;
diunduh pada 1 April 2019.
Forest Watch Indonesia dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, “Tata kelola
buruk: Masyarakat Adat Terdampak Bencana Asap,” tersedia di
http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2015/12/Lembar-Fakta-
KARHUTLA_final_02-des15.pdf; diunduh pada 3 April 2019.
Forsyth, Tim, “Public concerns about transboundary haze: A comparison of
Indonesia, Singapore, and Malaysia,” Global Environmental Change Vol. 25,
2014 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0959378014000296;
internet; diunduh pada 5 April 2019.
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia, “Koordinasi Kelembagaan
Pengelolaan Lahan Gambut di Indonesia,” [database on-line]; tersedia di
http://www.menlh.go.id/koordinasi-kelembagaan-pengelolaan-lahan-
gambut-di-indonesia/; diunduh pada 1 April 2019
Kunii, Osamu, Shuzo Kanagawa, Iwao Yajima, Yoshiharu Hisamatsu, Sombo
Yamamura, Takashi Amagai dan Ir T. Sachrul Ismail, “The 1997 Haze
Disaster in Indonesia: Its Air Quality and Heath Effects,” Archives of
Environmental Health: An International Journal, 2002 [artikel on-line];
tersedia di
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00039890209602912;
Internet; diunduh pada 26 Maret 2019.
“Haze Watch,” Channel News Asia [database on-line]; tersedia di
https://www.channelnewsasia.com/news/psi; Internet; diunduh pada 30
Maret 2019.
“Haze in Singapore Hits New High, PSI at 321 at 10pm”, The Straits Times, 19
June 2013 [media on-line]; tersedia di http://www.straitstimes.com/breaking-
news/singapore/story/haze-singapore-hits-new-high-psi-321-10pm-
20130619; Internet; diunduh pada 2 April 2019.
80
“Indonesia chides Singapore over reactions on haze situation,” Channel News Asia,
20 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di
https://www.channelnewsasia.com/news/specialreports/hazewatch/news/ind
onesia-chides/717798.html; Internet; diunduh pada 30 Mei 2019.
Lee, Janice Ser Huay, Zeehan Jaafar, Alan Khee Jin Tan, dkk, “Toward clearer
skies: Challenges in regulating transboundary haze in Southeast Asia,”
Environmental Science and Policy 55, 2016 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1462901115300770;
Internet; diunduh pada 1 April 2019
Lew, Alan A., “Tourism and the Southeast Asian Crises of 1997 and 1998: A View
from Singapore,” Current Issues in Tourism Vol.2 No.4, 1999 [artikel on-
line]; tersedia di
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13683509908667858;
internet; diunduh pada 4 April 2019.
Liang, Annabelle, “Worsening haze from Indonesia angers Singapore, tourists,”
AFP News, 19 Juni 2013; tersedia di https://sg.news.yahoo.com/worsening-
haze-indonesia-angers-singapore-tourists-113550332.html; diunduh pada 4
April 2019.
Lim, Kevin, “Singapore pressures Indonesia to identify firms behind haze,”
Bloomberg, 18 Juni 2013; tersedia di https://www.reuters.com/article/uk-
southeastasia-haze/singapore-pressures-indonesia-to-identify-firms-behind-
haze-idUKBRE95H0A920130618; diunduh pada 4 April 2019
Lin, Yuan, Lahiru S, Wijedasa dan Ryan A. Chisholm, “Singapore’s willingness to
pay for mitigation of transboundary forest-fire haze from Indonesia,”
Environmental Research Letter Vol.12 No.2, 15 Februari 2017 [artikel on-
line]; tersedia di https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1748-
9326/aa5cf6; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
Lo, Elaine, “Haze hits pollution index record of 226,” The Straits Times, 19
September 1997, hal. 1; tersedia di
https://www.straitstimes.com/sites/default/files/attachments/2015/10/02/haz
e_hits_pollution_index_record_of_226.pdf; Internet; diunduh pada 2 April
2019.
Maruli, Aditia, “Govt Determined to Fight Forest Fires As Hot Spots Proliferate,”
Antra News, 9 September 2011 [media on-line]; tersedia di
http://www.antaranews.com/en/news/75511/govt-determined-to-fight-
forest-fires-as-hot-spots-proliferate; Internet; diunduh pada 1 April 2019
Ministry of Defence Singapore, “SAF Deploys to Assist Indonesia to Fight Haze,”;
tersedia di https://www.mindef.gov.sg/web/portal/mindef/news-and-
81
events/latest-releases/article-detail/2015/october/2015oct10-news-releases-
01670/; Internet; diunduh pada 4 April 2019.
Ministry of Environment and Water Resources Singapore, “Singapore send notices
to four Indonesian companies and seeks information from Singapore-Listed
APP,” tersedia di
https://www.gov.sg/~/sgpcmedia/media_releases/MEWR/press_release/P-
20150925-2/attachment/Press%20Release%20-
%20SINGAPORE%20SENDS%20NOTICES%20TO%20FOUR%20INDO
NESIAN%20COMPANIES%20AND%20SEEKS%20INFORMATION%2
0FROM%20SINGAPORE-LISTED%20APP.pdf.; Internet; diunduh pada 3
April 2019.
Othman, Jamal, Mazrura Sahani, Mastura Mahmud, dan Md. Khadzir Sheikh
Ahmad, “Transboundary smoke haze pollution in Malaysia: inpatient health
impacts and economic valuation,” Environmental Pollution 189, 8 Maret
2014 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24682070; Internet; diunduh pada 2
April 2019
National Environment Agency, “Computation of the Pollutant Standards Index
(PSI),” tersedia di https://www.haze.gov.sg/docs/default-
source/faq/computation-of-the-pollutant-standards-index-(psi).pdf; Internet;
diunduh pada 2 April 2019.
National Environmental Agency, “Singapore Attends Emergency Haze Meeting
Convened by Indonesia,” tersedia di
http://www.nas.gov.sg/archivesonline/speeches/view-
html?filename=20130627003.htm; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
NASA, “Smoke Blankets Indonesia. Image of the Day,” tersedia di
http://earthobservatory.nasa.gov/IOTD/view.php?id=86681; Internet;
diunduh pada 29 Maret 2019.
Onn, Lee Poh, “No end in sight to haze dilemma,” ISEAS Perspective: Selection
2012-2013, 24 Juni 2013 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2013_39.pdf;
Internet; diunduh pada 2 April 2019.
Parliament of Singapore, “Transboundary Haze Pollution Bill No. 18/2014,”;
tersedia di
https://sso.agc.gov.sg/Act/THPA2014?ViewType=Pdf&_=20181004124038
; Internet; diunduh pada 1 April 2019.
Ramasamy, Manirajan, Sharon Chen dan Yoga Rusmana, “Malaysia Imposes
Emergency in Haze Areas: Singapore Improves.” Bloomberg, 23 Juni 2013
82
[media on-line]; tersedia di http://www.bloomberg.com/news/2013-06-
23/malaysia-imposes-emergency-in-haze-areas-singapore-improves-1-.html;
diunduh pada 4 April 2019.
Sekretaris Jenderal ASEAN, “Media Release of 15th Meeting of the Sub-Regional
Ministerial Steering Committee (MSC) on Transboundary Haze Pollution,”
tersedia di https://asean.org/15th-meeting-of-the-sub-regional-ministerial-
steering-committee-msc-on-transboundary-haze-pollution/; Internet;
diunduh pada 2 April 2019.
“Singapore GDP will take hit from haze as countries issue travel warnings,” The
Straits Times, 7 Oktober 2015 [media on-line]; tersedia
https://www.straitstimes.com/business/economy/singapore-gdp-will-take-
hit-from-haze-as-countries-issue-travel-warnings; Internet; diunduh pada 2
April 2019.
Sitompul, Zulfahmi dan Emilya Nurjani, “Pengaruh El Nino Southern Oscillation
(ENSO) Terhadap Curah Hujan Musiman dan Tahunan di Indonesia,” Jurnal
Bumi Indonesia, Vol. 2, No.1, 2013 [artikel on-line]; tersedia di
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/122/119; Internet; di
unduh pada 1 April 2019
“Status of Ratification,” Haze Action Online, 20 Januari 2015; tersedia di
http://haze.asean.org/status-of-ratification/; diunduh pada 4 April 2019.
Tacconi, Luca, “Preventing fires and haze in Southeast Asia,” Nature Climate
Change Vol. 6, Juli 2016 [artikel on-line]; tersedia di
https://www.nature.com/articles/nclimate3008; Internet; diunduh pada 4
April 2019.
Tan, Kenneth Paul, “Singapore in 2015: Regaining Hegemony,” Asian Survey Vol.
56 No. 1, 2016 [artikel on-line]; tersedia di
http://as.ucpress.edu/content/56/1/108; Internet; diunduh pada 3 April 2019.
Tay, Simon S.C. “South East Asian Forest Fires: Haze over ASEAN and
International Environmental Law,” Review of European Community and
International Environmental Law Vol. 7 Issues 2, 1998 [artikel on-line];
tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/229775349_South_East_Asian_Fo
rest_Fires_Haze_over_ASEAN_and_International_Environmental_Law;
internet; diunduh pada 4 April 2019.
Velasco, Erik dan Soheil Rastan, “Air quality in Singapore during the 2013 smoke-
haze episode over the Strait of Malacca: Lessons learned,” Sustainable Cities
and Society 17, April 2015 [artikel on-line]; tersedia di
83
https://www.researchgate.net/publication/275670693; Internet; diunduh pada
30 Maret 2019.
“The ASEAN Way and Haze Mitigation Efforts,” Journal of International Studies
[artikel on-line]; tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/256981800; Internet; diunduh pada
2 April 2019.
Varkkey, Helena, “National Responses In The Context of Asean Developments
Over Peatfires and Haze,” 15th International Peat Congress, 14 - 19 August
2016 [artikel on-line]; tersedia di http://eprints.um.edu.my/id/eprint/16329;
internet; diunduh pada 3 april 2019.
World Bank, “Gross Domestic Product Singapore in 1997,” [database on-line]
tersedia di
https://www.google.com/publicdata/explore?ds=d5bncppjof8f9_&met_y=n
y_gdp_mktp_cd&idim=country:SGP:MYS:HKG&hl=en&dl=en; internet;
diunduh pada 5 April 2019.
World Bank, “The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire
Crisis,” Indonesia Sustainable Landscapes Knowledge Note: 1, Desember
2015 [database on-line]; tersedia di
http://pubdocs.worldbank.org/en/643781465442350600/Indonesia-forest-
fire-notes.pdf; Internet; di unduh pada 3 April 2019
Yong, Charissa, “Haze update: PSI 401 at noon; many pharmacies still out of
masks,” The Straits Times, 21 Juni 2013 [media on-line]; tersedia di
https://www.straitstimes.com/singapore/haze-update-psi-401-at-noon-many-
pharmacies-still-out-of-masks; diunduh pada 1 Aprl 2019.
Zengkun, Feng, “Haze update: PM Lee says Singapore urging Indonesia to take
action to reduce haze,” The Straits Times, 18 Juni 2013 [media on-line];
tersedia di https://www.straitstimes.com/singapore/haze-update-pm-lee-
says-singapore-urging-indonesia-to-take-action-to-reduce-haze; Internet;
diunduh pada 1 April 2019.
84
LAMPIRAN
Lampiran 1
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY
HAZE POLLUTION
The Parties to this Agreement, REAFFIRMING the commitment to the aims and purposes of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) as set forth in the Bangkok Declaration of 8 August 1967, in particular to promote regional co-operation in Southeast Asia in the spirit of equality and partnership and thereby contribute towards peace, progress and prosperity in the region, RECALLING the Kuala Lumpur Accord on Environment and Development which was adopted by the ASEAN Ministers of Environment on 19 June 1990 which calls for, inter alia, efforts leading towards the harmonisation of transboundary pollution prevention and abatement practices, RECALLING ALSO the adoption of the 1995 ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution, which specifically addressed transboundary atmospheric pollution and called for, inter alia, establishing procedures and mechanisms for co-operation among ASEAN Member States in the prevention and mitigation of land and/or forest fires and haze, DETERMINED to give effect to the 1997 Regional Haze Action Plan and to the Hanoi Plan of Action which call for fully implementing the 1995 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, with particular emphasis on the Regional Haze Action Plan by the year 2001, RECOGNISING the existence of possible adverse effects of transboundary haze pollution,
2
CONCERNED that a rise in the level of emissions of air pollutants within the region as forecast may increase such adverse effects, RECOGNISING the need to study the root causes and the implications of the transboundary haze pollution and the need to seek solutions for the problems identified, AFFIRMING their willingness to further strengthen international co-operation to develop national policies for preventing and monitoring transboundary haze pollution, AFFIRMING ALSO their willingness to co-ordinate national action for preventing and monitoring transboundary haze pollution through exchange of information, consultation, research and monitoring, DESIRING to undertake individual and joint action to assess the origin, causes, nature and extent of land and/or forest fires and the resulting haze, to prevent and control the sources of such land and/or forest fires and the resulting haze by applying environmentally sound policies, practices and technologies and to strengthen national and regional capabilities and co-operation in assessment, prevention, mitigation and management of land and/or forest fires and the resulting haze, CONVINCED that an essential means to achieve such collective action is the conclusion and effective implementation of an Agreement, Have agreed as follows:
PART I. GENERAL PROVISIONS
Article 1 Use of Terms
For the purposes of this Agreement: 1. “Assisting Party” means a State, international organisation, any
other entity or person that offer and/or render assistance to a Requesting Party or a Receiving Party in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
3
2. “Competent authorities” means one or more entities designated and authorised by each Party to act on its behalf in the implementation of this Agreement.
3. “Controlled burning” means any fire, combustion or smouldering
that occurs in the open air, which is controlled by national laws, rules, regulations or guidelines and does not cause fire outbreaks and transboundary haze pollution.
4. “Fire prone areas” means areas defined by the national authorities as
areas where fires are most likely to occur or have a higher tendency to occur.
5. “Focal point” means an entity designated and authorised by each
Party to receive and transmit communications and data pursuant to the provisions of this Agreement.
6. “Haze pollution” means smoke resulting from land and/or forest fire
which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment.
7. “Land and/or forest fires” means fires such as coal seam fires, peat
fires, and plantation fires. 8. “Member State” means a Member State of the Association of
Southeast Asian Nations. 9. “Open burning” means any fire, combustion or smouldering that
occurs in the open air. 10. “Party” means a Member State of ASEAN that has consented to be
bound by this Agreement and for which the Agreement is in force. 11. “Receiving Party” means a Party that accepts assistance offered by
an Assisting Party or Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
12. “Requesting Party” means a Party that requests from another Party
or Parties assistance in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
4
13. “Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.
14. “Zero burning policy” means a policy that prohibits open burning
but may allow some forms of controlled burning.
Article 2 Objective
The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.
Article 3 Principles
The Parties shall be guided by the following principles in the implementation of this Agreement: 1. The Parties have, in accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment and harm to human health of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
2. The Parties shall, in the spirit of solidarity and partnership and in
accordance with their respective needs, capabilities and situations, strengthen co-operation and co-ordination to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated.
3. The Parties should take precautionary measures to anticipate,
prevent and monitor tranboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, to minimise its
5
adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage from transboundary haze pollution, even without full scientific certainty, precautionary measures shall be taken by Parties concerned.
4. The Parties should manage and use their natural resources,
including forest and land resources, in an ecologically sound and sustainable manner.
5. The Parties, in addressing transboundary haze pollution, should
involve, as appropriate, all stakeholders, including local communities, non-governmental organisations, farmers and private enterprises.
Article 4 General Obligations
In pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall: 1. Co-operate in developing and implementing measures to prevent
and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assistance.
2. When the transboundary haze pollution originates from within their
territories, respond promptly to a request for relevant information or consultations sought by a State or States that are or may be affected by such transboundary haze pollution, with a view to minimising the consequences of the transboundary haze pollution.
3. Take legislative, administrative and/or other measures to
implement their obligations under this Agreement.
6
PART II. MONITORING, ASSESSMENT, PREVENTION AND RESPONSE
Article 5 ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution
Control 1. The ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze
Pollution Control, hereinafter referred to as “the ASEAN Centre”, is hereby established for the purposes of facilitating co-operation and co-ordination among the Parties in managing the impact of land and/or forest fires in particular haze pollution arising from such fires.
2. The ASEAN Centre shall work on the basis that the national
authority will act first to put out the fires. When the national authority declares an emergency situation, it may make a request to the ASEAN Centre to provide assistance.
3. A Committee composed of representatives of the national
authorities of the Parties shall oversee the operation of the ASEAN Centre.
4. The ASEAN Centre shall carry out the functions as set out in
Annex and any other functions as directed by the Conference of the Parties.
Article 6 Competent Authorities and Focal Points
1. Each Party shall designate one or more Competent Authorities and
a Focal Point that shall be authorised to act on its behalf in the performance of the administrative functions required by this Agreement.
2. Each Party shall inform other Parties and the ASEAN Centre, of its
Competent Authorities and Focal Point, and of any subsequent changes in their designations.
7
3. The ASEAN Centre shall regularly and expeditiously provide to Parties and relevant international organisations the information referred to in paragraph 2 above.
Article 7 Monitoring
1. Each Party shall take appropriate measures to monitor:
a. all fire prone areas, b. all land and/or forest fires, c. the environmental conditions conducive to such land and/or
forest fires, and d. haze pollution arising from such land and/or forest fires.
2. Each Party shall designate one or more bodies to function as National Monitoring Centres, to undertake monitoring referred to in paragraph 1 above in accordance with their respective national procedures.
3. The Parties, in the event that there are fires, shall initiate immediate action to control or to put out the fires.
Article 8 Assessment
1. Each Party shall ensure that its National Monitoring Centre, at
agreed regular intervals, communicates to the ASEAN Centre, directly or through its Focal Point, data obtained relating to fire prone areas, land and/or forest fires, the environmental conditions conducive to such land and/or forest fires, and haze pollution arising from such land and/or forest fires.
2. The ASEAN Centre shall receive, consolidate and analyse the data communicated by the respective National Monitoring Centres or Focal Points.
3. On the basis of analysis of the data received, the ASEAN Centre shall, where possible, provide to each Party, through its Focal Point, an assessment of risks to human health or the environment
8
arising from land and/or forest fires and the resulting transboundary haze pollution.
Article 9 Prevention
Each Party shall undertake measures to prevent and control activities related to land and/or forest fires that may lead to transboundary haze pollution, which include:
a. Developing and implementing legislative and other
regulatory measures, as well as programmes and strategies to promote zero burning policy to deal with land and/or forest fires resulting in transboundary haze pollution;
b. Developing other appropriate policies to curb activities that
may lead to land and/or forest fires; c. Identifying and monitoring areas prone to occurrence of land
and/or forest fires; d. Strengthening local fire management and firefighting
capability and co-ordination to prevent the occurrence of land and/or forest fires;
e. Promoting public education and awareness-building
campaigns and strengthening community participation in fire management to prevent land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires;
f. Promoting and utilising indigenous knowledge and practices
in fire prevention and management; and
g. Ensuring that legislative, administrative and/or other relevant measures are taken to control open burning and to prevent land clearing using fire.
9
Article 10 Preparedness
1. The Parties shall, jointly or individually, develop strategies and
response plans to identify, manage and control risks to human health and the environment arising from land and/or forest fires and related haze pollution arising from such fires.
2. The Parties shall, as appropriate, prepare standard operating
procedures for regional co-operation and national action required under this Agreement.
Article 11 National Emergency Response
1. Each Party shall ensure that appropriate legislative, administrative
and financial measures are taken to mobilise equipment, materials, human and financial resources required to respond to and mitigate the impact of land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires.
2. Each Party shall forthwith inform other Parties and the ASEAN
Centre of such measures.
Article 12 Joint Emergency Response through the Provision of Assistance
1. If a Party needs assistance in the event of land and/or forest fires or
haze pollution arising from such fires within its territory, it may request such assistance from any other Party, directly or through the ASEAN Centre, or, where appropriate, from other States or international organisations.
2. Assistance can only be employed at the request of and with the
consent of the requesting Party, or, when offered by another Party or Parties, with the consent of the receiving Party.
3. Each Party to which a request for assistance is directed shall
promptly decide and notify the requesting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to render the assistance requested, and of the scope and terms of such assistance.
10
4. Each Party to which an offer of assistance is directed shall
promptly decide and notify the assisting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to accept the assistance offered, and of the scope and terms of such assistance.
5. The requesting Party shall specify the scope and type of assistance
required and, where practicable, provide the assisting Party with such information as may be necessary for that Party to determine the extent to which it is able to meet the request. In the event that it is not practicable for the requesting Party to specify the scope and type of assistance required, the requesting Party and assisting Party shall, in consultation, jointly assess and decide upon the scope and type of assistance required.
6. The Parties shall, within the limits of their capabilities, identify and
notify the ASEAN Centre of experts, equipment and materials which could be made available for the provision of assistance to other Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires as well as the terms, especially financial, under which such assistance could be provided.
Article 13 Direction and Control of Assistance
Unless otherwise agreed: 1. The requesting or receiving Party shall exercise the overall
direction, control, co-ordination and supervision of the assistance within its territory. The assisting Party should, where the assistance involves personnel, designate in consultation with the requesting or receiving Party, the person or entity who should be in charge of and retain immediate operational supervision over the personnel and the equipment provided by it. The designated person or entity should exercise such supervision in co-operation with the appropriate authorities of the requesting or receiving Party.
2. The requesting or receiving Party shall provide, to the extent
possible, local facilities and services for the proper and effective administration of the assistance. It shall also ensure the protection of personnel, equipment and materials brought into its territory by or on behalf of the assisting Party for such purposes.
11
3. A Party providing or receiving assistance in response to a request
referred to in paragraph (1) above shall co-ordinate that assistance within its territory.
Article 14 Exemptions and Facilities in Respect of the Provision of Assistance
1. The requesting or receiving Party shall accord to personnel of the
assisting Party and personnel acting on its behalf, the necessary exemptions and facilities for the performance of their functions.
2. The requesting or receiving Party shall accord the assisting Party
exemptions from taxation, duties or other charges on the equipment and materials brought into the territory of the requesting or receiving Party for the purpose of the assistance.
3. The requesting or receiving Party shall facilitate the entry into, stay
in and departure from its territory of personnel and of equipment and materials involved or used in the assistance.
Article 15 Transit of Personnel, Equipment and Materials in Respect of the
Provision of Assistance
Each Party shall, at the request of the Party concerned, seek to facilitate the transit through its territory of duly notified personnel, equipment and materials involved or used in the assistance to the requesting or receiving Party.
PART III. TECHNICAL CO-OPERATION AND SCIENTIFIC RESEARCH
Article 16 Technical Co-operation
1. In order to increase the preparedness for and to mitigate the risks to
human health and the environment arising from land and/or forest
12
fires or haze pollution arising from such fires, the Parties shall undertake technical co-operation in this field, including the following: a. Facilitate mobilisation of appropriate resources within and
outside the Parties;
b. Promote the standardisation of the reporting format of data and information;
c. Promote the exchange of relevant information, expertise,
technology, techniques and know-how;
d. Provide or make arrangements for relevant training, education and awareness-raising campaigns, in particular relating to the promotion of zero-burning practices and the impact of haze pollution on human health and the environment;
e. Develop or establish techniques on controlled burning
particularly for shifting cultivators and small farmers, and to exchange and share experiences on controlled-burning practices;
f. Facilitate exchange of experience and relevant information
among enforcement authorities of the Parties;
g. Promote the development of markets for the utilisation of biomass and appropriate methods for disposal of agricultural wastes;
h. Develop training programmes for firefighters and trainers to
be trained at local, national and regional levels; and
i. Strengthen and enhance the technical capacity of the Parties to implement this Agreement.
2. The ASEAN Centre shall facilitate activities for technical co-
operation as identified in paragraph 1 above.
13
Article 17 Scientific Research
The Parties shall individually or jointly, including in co-operation with appropriate international organisations, promote and, whenever possible, support scientific and technical research programmes related to the root causes and consequences of transboundary haze pollution and the means, methods, techniques and equipment for land and/or forest fire management, including fire fighting.
PART IV. INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS
Article 18 Conference of the Parties
1. A Conference of the Parties is hereby established. The first meeting
of the Conference of the Parties shall be convened by the Secretariat not later than one year after the entry into force of this Agreement. Thereafter, ordinary meetings of the Conference of the Parties shall be held at least once every year, in as far as possible in conjunction with appropriate meetings of ASEAN.
2. Extraordinary meetings shall be held at any other time upon the
request of one Party provided that such request is supported by at least one other Party.
3. The Conference of the Parties shall keep under continuous review
and evaluation the implementation of this Agreement and to this end shall:
a. Take such action as is necessary to ensure the effective
implementation of this Agreement;
b. Consider reports and other information which may be submitted by a Party directly or through the Secretariat;
c. Consider and adopt protocols in accordance with the Article 21 of this Agreement;
14
d. Consider and adopt any amendment to this Agreement;
e. Adopt, review and amend as required any Annexes to this Agreement;
f. Establish subsidiary bodies as may be required for the implementation of this Agreement; and
g. Consider and undertake any additional action that may be required for the achievement of the objective of this Agreement.
Article 19 Secretariat
1. A Secretariat is hereby established. 2. The functions of the Secretariat shall include:
a. Arrange for and service meetings of the Conference of the Parties and of other bodies established by this Agreement;
b. Transmit to the Parties notifications, reports and other information received in accordance with this Agreement;
c. Consider inquiries by, and information from, the Parties, and
to consult with them on questions relating to this Agreement;
d. Ensure the necessary co-ordination with other relevant international bodies and in particular to enter into administrative arrangements as may be required for the effective discharge of the Secretariat functions; and
e. Perform such other functions as may be assigned to it by the
Parties. 3. The ASEAN Secretariat shall serve as the Secretariat to this
Agreement.
15
Article 20 Financial Arrangements
1. A Fund is hereby established for the implementation of this
Agreement. 2. It shall be known as the ASEAN Transboundary Haze Pollution
Control Fund. 3. The Fund shall be administered by the ASEAN Secretariat under the
guidance of the Conference of the Parties. 4. The Parties shall, in accordance with the decisions of the
Conference of the Parties, make voluntary contributions to the Fund. 5. The Fund shall be open to contributions from other sources subject
to the agreement of or approval by the Parties. 6. The Parties may, where necessary, mobilise additional resources
required for the implementation of this Agreement from relevant international organisations, in particular regional financial institutions and the international donor community.
PART V. PROCEDURES
Article 21 Protocols
1. The Parties shall co-operate in the formulation and adoption of
protocols to this Agreement, prescribing agreed measures, procedures and standards for the implementation of this Agreement.
2. The Conference of the Parties may, at ordinary meetings, adopt
protocols to this Agreement by consensus of all Parties. 3. The text of any proposed protocol shall be communicated to the
Parties by the Secretariat at least six months before such a session.
16
4. The requirements for the entry into force of any protocol shall be established by that instrument.
Article 22 Amendments to the Agreement
1. Any Party may propose amendments to the Agreement. 2. The text of any proposed amendment shall be communicated to the
Parties by the Secretariat at least six months before the Conference of the Parties at which it is proposed for adoption. The Secretariat shall also communicate proposed amendments to the signatories to the Agreement.
3. Amendments shall be adopted by consensus at an ordinary meeting
of the Conference of the Parties. 4. Amendments to this Agreement shall be subject to acceptance. The
Depositary shall circulate the adopted amendment to all Parties for their acceptance. The amendment shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties.
5. After the entry into force of an amendment to this Agreement any
new Party to this Agreement shall become a Party to this Agreement as amended.
Article 23 Adoption and Amendment of Annexes
1. Annexes to this Agreement shall form an integral part of the
Agreement and, unless otherwise expressly provided, a reference to the Agreement constitutes at the same time a reference to the annexes thereto.
2. Annexes shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of
the Conference of the Parties. 3. Any Party may propose amendments to an Annex.
17
4. Amendments to an Annex shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the Conference of the Parties.
5. Annexes to this Agreement and amendments to Annexes shall be
subject to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted Annex or the adopted amendment to an Annex to all Parties for their acceptance. The Annex or the amendment to an Annex shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties.
Article 24 Rules of Procedure and Financial Rules
The first Conference of the Parties shall by consensus adopt rules of procedure for itself and financial rules for the ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund to determine in particular the financial participation of the Parties to this Agreement.
Article 25 Reports
The Parties shall transmit to the Secretariat reports on the measures taken for the implementation of this Agreement in such form and at such intervals as determined by the Conference of the Parties.
Article 26 Relationship with Other Agreements
The provisions of this Agreement shall in no way affect the rights and obligations of any Party with regard to any existing treaty, convention or agreement to which they are Parties.
Article 27 Settlement of Disputes
Any dispute between Parties as to the interpretation or application of, or compliance with, this Agreement or any protocol thereto, shall be settled amicably by consultation or negotiation.
18
PART VI. FINAL CLAUSES
Article 28 Ratification, Acceptance, Approval and Accession
This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary.
Article 29 Entry into Force
1. This Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the
deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession.
2. For each Member State ratifying, accepting, approving or acceding to the Agreement after the deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession, the Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the deposit by such Member State of its instrument of ratification, acceptance, approval or accession.
Article 30 Reservations
Unless otherwise expressly provided by this Agreement no reservations may be made to the Agreement.
Article 31 Depositary
This Agreement shall be deposited with the Secretary General of ASEAN, who shall promptly furnish each Member State a certified copy thereof.
19
Article 32
Authentic Text This Agreement shall be drawn up in the English language, and shall be the authentic text. IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorised by their respective Governments have signed this Agreement. Done at Kuala Lumpur, Malaysia on the tenth day of June in the year two thousand and two.
For the Government of Brunei Darussalam
For the Government of the Kingdom of Cambodia
H.E. Mr. Keo Puth Reasmey Ambassador Royal Embassy of the Kingdom of Cambodia in Malaysia For the Government of the Republic of Indonesia
Ms. Liana Bratasida Deputy Minister for Environment Conservation State Ministry of Environment
20
For the Government of Lao People’s Democratic Republic
H.E. Prof. Dr. Bountiem Phissamay Minister to the Prime Minister’s Office Chairman of Science, Technology and Environment Agency For the Government of Malaysia
H.E. Dato’ Seri Law Hieng Ding Minister of Science, Technology and the Environment For the Government of the Union of Myanmar
U Thane Myint Secretary, National Commission for Environmental Affairs Director-General of the Ministry of Foreign Affairs For the Government of the Republic of the Philippines
21
For the Government of the Republic of Singapore
H.E. Mr. Lim Swee Say Minister for the Environment For the Government of the Kingdom of Thailand
H.E. Mr. Chaisiri Anamarn Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary Royal Thai Embassy in Malaysia For the Government of the Socialist Republic of Viet Nam
H.E. Mr. Nguyen Van Dang Vice Minister of Agriculture and Rural Development
22
ANNEX
Terms of Reference of the ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control
The ASEAN Centre shall: 1. Establish and maintain regular contact with the respective National
Monitoring Centres regarding the data, including those derived from satellite imagery and meteorological observation, relating to: a. Land and /or forest fire; b. Environmental conditions conducive to such fires; and c. Air quality and levels of pollution, in particular haze arising from
such fires. 2. Receive from the respective National Monitoring Centres or Focal
Points the data above, consolidate, analyse and process the data into a format that is easily understandable and accessible.
3. Facilitate co-operation and co-ordination among the Parties to
increase their preparedness for and to respond to land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires.
4. Facilitate co-ordination among the Parties, other States and relevant
organisations in taking effective measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires.
5. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the
ASEAN region who may be utilised when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties.
6. Establish and maintain a list of equipment and technical facilities
from within and outside of the ASEAN which may be made available when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties.
23
7. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the ASEAN region for the purpose of relevant training, education and awareness-raising campaigns, and make the list available to the Parties.
8. Establish and maintain contact with prospective donor States and
organisations for mobilising financial and other resources required for the prevention and mitigation of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires and preparedness of the Parties, including fire-fighting capabilities.
9. Establish and maintain a list of such donors, and make the list
available to the Parties. 10. Respond to a request for or offer of assistance in the event of land
and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires by:
a. Transmitting promptly the request for assistance to other States and organisations; and
b. Co-ordinating such assistance, if so requested by the requesting
Party or offered by the assisting Party. 11. Establish and maintain an information referral system for the
exchange of relevant information, expertise, technology, techniques and know-how, and make it available to the Parties in an easily accessible format.
12. Compile and disseminate to the Parties information concerning their
experience and any other practical information related to the implementation of the Agreement.
13. Assist the Parties in the preparation of standard operating procedures
(SOP).