TEORI KONSTRUKTIVISME
-
Upload
elita-dwi-sanyoto -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
description
Transcript of TEORI KONSTRUKTIVISME
TEORI KONSTRUKTIVISMETEORI KONSTRUKTIVISME
I. Gambaran Umum Teori Konstruktivisme
Kontrustivistik merupakan suatu teori tentang pengetahuan
dan pembelajaran (knowledge and learning); pengetahuan dan
pembelajaran menggambarkan dua hal yaitu apakah pengetahuan itu
dan bagaimana pengetahuan itu datang? Teori konstruktivistik
mementingkan tiga aspek yaitu adaptasi sebagai ganti dari
penggambaran yang berasal dari biologi yaitu hubungan
antara kehidupan organisme dengan lingkungannya, kedua
adalah pemahaman pada lingkungan , dalam model ini lingkungan
lingkungan mempunyai makna yang jelas yaitu ketika berbicara pada
diri sendiri, maka lingkungan mengacu kepada pengalaman,
sedangkan pengalaman apabila perhatian kita pada unsur khusus,
maka lingkungan mengacu pada lingkungan sekitar. Aspek ketiga
adalah hubungan makna, dimana konstruktivistik lebih
berorientasi pada pembentukan makna apabila hal ini
dikaitkan dengan pembelajaran adalah bagaimana
menstransfer makna kepada peserta didik.
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah
pendidikan. Tokoh yang paling berpengaruh dalam mengembangkan
teori ini adalah Jean Piaget dan Vygotsky. Keduanya menekankan
bahwa perubahan kognitif kearah perkembangan terjadi ketika konsep-
konsep yang sebelumnya sudah ada mulai bergeser karena adanya
informasi baru yang diterima melalui proses ketidak seimbangan
(dissequillibrium). Selain itu mereka juga menekankan pentingnya
lingkungan sosial dalam belajar dengan menyatakan bahwa integrasi
kemampuan dalam belajar kelompok akan dapat meningkatkan
pegubahan secara konseptual. (Baharuddin, 2007:117)
Walaupun keduanya merupakan tokoh pada aliran konstruktivisme,
namun Piaget dan Vygotsky pada prinsipnya memiliki beberapa
perbedaan karakteristik. Piaget menyatakan proses pembelajaran
bersifat internal sedangkan Vygotsky menyatakan bersifat external.
Menurut Piaget, proses pendewasaan dalam diri menjadi faktor utama
yang mempengaruhi proses pembelajaran siswa sedangkan Vygotsky
lebih mengutamakan faktor dunia luar. Vygotsky menyatakan
pengetahuan dibangun siswa dalam konteks budaya dan atas dasar
interaksinya dengan teman sebaya atau faktor eksternal yang lain.
Vygotsky menyatakan bahwa konsep tidak bisa dibangun tanpa
melakukan suatu interaksi sosial (Howe, 1996 : 42).
II. Pemikiran-Pemikiran Vygotsky
Lev Vygotsky(1893-1934) adalah seorang psikolog Rusia yang
sering dipandang sebagai a social (atau a
sociocultural) constructivist. Ada banyak kemiripan antara teori piaget
dan vygotsky, salah satunya adalah tentang cara belajar yang efektif
melalui praktek nyata, anak-anak akan lebih mudah memahami
konsep-konsep baru ketika mereka mencoba memecahkan satu
masalah dengan objek konkrit, menurut vygotsky perkembangan
intelektual anak mencakup bagaimana mengkaitkan bahasa dengan
pikiran. Pada awal perkembangan anak antara bahasa dan pikiran
tidak ada keterkaitan misalnya seorang bayi yang mengoceh tanpa
memikirkan akibat ocehannya dan lain-lain.
Vygotsky menekankan besarnya pengaruh sosial budaya pada
perkembangan anak. Artinya peranan lingkungan sosial dimana anak
itu berkembang, dan interaksi yang terjadi di dalamnya sangat
mendukung pekembangan sosial anak. Selain itu ia juga
memperhatikan dua faktor penting dalam perkembangan anak, yaitu
pembawaan dan pengasuhan, keduanya saling berinteraksi satu sama
lain. Ia membedakan dua fungsi mental yaitu rendah dan tinggi. Fungsi
mental rendah yaitu; sensasi, reaksi perhatian, ingatan spontan dan
kecerdasan sensori motor. Menurut Vygotsky bahwa kemampuan
mental manusia dapat disamakan dengan hewan, dan itu berasal dari
faktor bawaan. Fungsi mental rendah mula-mula hanya bergantung
pada proses perkembangan. Fungsi mental tinggi adalah pemerolehan
pengetahuan melalui belajar dan pengajaran, seperti: persepsi,
perhatian, ingatan dan logika berfikir. (Sofia Hartati, 2005: 70)
Terkait dengan fungsi mental tingkat tinggi, secara bertahap
seorang anak mulai mengaitkan antara bahasa dengan pikiran . pada
usia SD ia akan memakai bahasa dalam proses belajar. Misalnya
pengertian tentang ukuran akan bertambah dengan pemakaian kata
kecil, lebih kecil, paling kecil, dsb.
Menurut Vygotsky adalah hal yang wajar jika seorang anak usia 5
tahun berbicara sendiri ketika sedang mempelajari sesuatu karena ini
akan memvbantunya untuk lebih mudah mengerti, semakin sulit
subjek yang sedamng dipelajari anak semakin sering anak-anak
berbicara sendiri untuk mengerti apa yang sedang dipelajari bahkan
hal ini masih terjadi juga pada orang dewasa ketika sedang
mempelajari sesuatu yang rumit walaupun berbicara di dalam hati.
Menurut vygotsky penggunaan bahasa bukan sekedar untuk alat
berekspresi tapi juga alat Bantu yang efektif dalam proses belajar
Vygotsky juga memberikan ide praktis bagaimana meningkatkan
perkembangan intelektual anak sehingga anak dapat berpikir mandiri.
Misalnya ketia seorang anak sedang mengerjakan sesuatu yang
mampu ia kerjakan sendiri sebaiknya guru maupun orang tua jangan
membantunya, namun apabila yang dipelajarinya sulit guru harus
memberikan arahan dan mendorong anak untuk berpikir.
Vygotsky memperkenalkan Zona of development (zo-ped). Vygotsky
used the term "zo-ped", zona of oroximal development, to describe the
place where a child,s spontaneous concepts meet the "syatematicy
and logic adult reasoning" yaitu bahwa anak lahir mempunyai rentangn
kemampuan persepsi, kemampuan memori yang ditransformasikan
dalam konteks social dan pendidikan melalui hokum social, sarana,
kebudayaan tertentu menjadi fungsi psycologis kognisi tinggi. Zo-ped
yaitu suatu tingkat perkembangan actual yang sifatnya belum jadi,
masih berupa potensi. Tingkat perkembangan potensial ditumbuhkan
melalui "scaffolding instruction" yaitu pembelajaran yang berjenjang.
Scaffolding instruction menganut tiga prinsip yaitu: holistic
meaningfull, konteks social yang ekuivalen dengan belajar, dan
peluang berubah dan berhubungan.
Konsep Belajar Konstrutivisme Vygotsky
Salah satu konsep dasar pendekatan konstrutivisme
dalam belajar menurut Vygtsky adalah adanya interaksi social
individu dengan lingkungannya. Menurutnya,belajar adalah
sebuah proses yang melibatkan dua elemen penting. Pertama,
belajar merupakan proses secara biologis sebagai proses
dasar. Kedua, proses secara psikososial sebagai proses yang
lebih tinggi dan esensinya berkaitan dengan lingkungan sosial
budaya. Sehingga, lebih lanjut ia menyatakan, munculnya prilaku
seseorang adalah karena intervening kedua elemen tersebut.
(Baharuddin dan Esa Nurwahyuni, 2007:124)
Pada saat seseorang mendapatkan stimulus dari lingkungannya,
ia akan menggunakan fisiknya berupa alat indranya untuk menangkap
atau menyerap stimulus tersebut, kemudian dengan menggunakan
saraf otaknya informasi yang telah diterima tersebut diolah.
Keterlibatan alat indra dalam menyerap stimulus dan saraf otak dalam
menyerap informasi yang diperoleh merupakan proses secara fisik dan
psikologi sebagai elemen dasar dalam belajar.
Pengetahuan yang telah ada sebagai hasil dari proses
elemendasar ini akan lebih berkembang ketika mereka berinteraksi
dengan lingkungan sosial budaya mereka. Oleh karena iti, ia sangat
menekankan pentingnya peran interaksi sosial bagi perkembangan
belajar seseorang.
Konstruktivisme Vygotskian memandang bahwa pengetahuan
dikonstruksi secara kolaboratif antar individual dan keadaan tersebut
dapat disesuaikan oleh setiap individu. Proses dalam kognisi diarahkan
melalui adaptasi intelektual dalam konteks sosial budaya. Proses
penyesuaian itu equivalen dengan pengkonstruksian pengetahuan
secara intra individual yakni melalui proses regulasi diri internal. Dalam
hubungan ini, para konstruktivis Vygotskian lebih menekankan pada
penerapan teknik saling tukar gagasan antar individual (Sheffer, 1996 :
274 - 275). Dua prinsip penting yang diturunkan dari teori
Vygotsky adalah : (1) mengenai fungsi dan pentingnya bahasa
dalam komunikasi sosial yang dimulai proses pencanderaan
terhadap tanda (sign) sampai kepada tukar menukar informasi
dan pengetahuan, (2) zone of proximal development. Guru
sebagai mediator memiliki peran mendorong dan
menjembatani siswa dalam upayanya membangun
pengetahuan, pengertian dan kompetensi (Dixon-Kraus, 1996 : 8).
Sumbangan penting teori Vygotsky adalah penekanan pada
hakikat pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky adalah
menekankan interaksi antara aspek internal dan eksternal dari
pembelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial
pembelajaran. Menurut teori Vygotsky, fungsi kognitif manusia
berasal dari interaksi sosial masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vygotsky juga yakin bahwa pembelajaran
terjadi saat siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum
dipelajari namun tugas-tugas tersebut masih dalam jangkauan
kemampuannya atau tugas-tugas itu berada dalam zone of
proximal development mereka. Zone of proximal
development adalah daerah antar tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan
memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai
kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang
dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu (Shaffer, 1996 :
274 - 275).
Teori Vygotsky yang lain adalah scaffolding. Scaffolding berarti
memberikan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan
selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian
mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan
kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang
semakin besar segera setelah mampu mengerjakan sendiri.
Bantuan yang diberikan guru dapat berupa petunjuk,
peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam bentuk
lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri. Vygotsky
mengemukakan tiga kategori pencapaian siswa dalam upayanya
memecahkan permasalahan, yaitu (1) siswa mencapai keberhasilan
dengan baik, (2) siswa mencapai keberhasilan dengan bantuan, (3)
siswa gagal meraih keberhasilan.Scaffolding berarti upaya guru
untuk membimbing siswa dalam upayanya mencapai suatu
keberhasilan. Dorongan guru sangat dibutuhkan agar
pencapaian siswa ke jenjang yang lebih tinggi menjadi
optimum (Vygotsky, 1978 :5).
Scaffolding Sebagai Bagian dari Teori Konstruktivisme Modern
scaffolding adalah suatu istilah dalam dunia pendidikan yang
merupakan pengembangan teori belajar konstruktivisme
modern. Scaffolding pertamakali disebut sebagai istilah dalam dunia
pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini oleh Vygotsky (1846).
Dalam pendidikan usia dini, scaffolding mengambil peran yang sangat
penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pada
pencapaian tahap perkembangan anak (child development). Setiap kali
seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan
terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak
membutuhkan scaffolding. Vygotsky (1962) menuliskan
bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang
juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi
saat anak-anak mengerjakan puzzle, membangun miniature bangunan,
mencocokkan gambar dan tugastugas pelajaran lainnya. Saat interaksi
belajar berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan
dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional.
Kebalikan dari scaffolding adalah interferensi. Seringkali langsung
muncul keinginan orang dewasa baik guru maupun orang tua untuk
dating membantu anak menyelesaikan tugas perkembangannya.
Akibatnya, bantuan malah menginterferensi proses pembelajaran
anak. Keinginan tersebut sesungguhnya wajar dan natural, karena
selain ungkapan kasih sayang, juga merupakan ungkapan
kekhawatiran orang dewasa terhadap anak. Namun, dengan porsi yang
tepat, tidak akan menjadi interferensi dan tidak akan merebut
peran scaffolding yang lebih dibutuhkan anak.
Telah kita ketahui bahwa teori belajar konstruktivisme modern secara
umum menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi menemukan dan
menerapkan informasi yang kompleks kemudian mengecek informasi
baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu
apabila tidak sesuai lagi. Dengan demikian guru tidak dapat hanya
semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan
siswa harus membangun pengetahuan ini di dalam benaknya sendiri.
Guru hanya membantu proses ini dengan caracara mengajar yang
membuat informasi menjadi sangat bermakna dan sangat relevan bagi
siswa; sedemikian hingga siswa mampu menarik kesimpulan untuk
menerapkan sendiri ide-ide.
Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme
modern oleh Vygotksy dibagi dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap Zona Perkembangan Terdekat Zona
perkembangan terdekat atau Zone of Proximal
Development (ZPD) yaitu suatu ide bahwa anak usia dini
belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam
zona perkembangan terdekat mereka. A range tasks too
difficult for the child to do alone but possible with help of
adults and more skilled peers (Berk, 2006). The zone of
proximal development is the Vygotskian concept that defines
development as the space between the child’s level of
independent performance and the child’s level of maximally
assisted performance(Bodrova &Leong, 1996; Vygotsky,
1978). Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah
dimiliki oleh anak dengan keterampilan baru yang diperoleh
dengan bantuan dari orang dewasa (adult/care
giver/parents/teacher) atau orang yang terlebih dahulu
menguasai keterampilan tersebut(knowledgeable
person/peer/siblings). Zona ini hadir di tengah lingkungan
dengan fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan
kesempatan melimpah bagi anak untuk membangun konsep
dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai
hal. Artinya, bila lingkungan di sekitar anak mampu
menghadirkan sekaya mungkin fitur tentang berbagai hal,
maka anak memperoleh rangsangan yang kuat untuk
mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya dengan cara
terbaik.
2. Tahap Pemagangan Kognitif Pemagangan kognitif
atau cognitive apprenticeshipadalah suatu istilah untuk proses
pembelajaran dimana guru menyediakan dukungan kepada
anak usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini
berhasil membentuk pemahaman kognitifnya. Pemagangan
kognitif ataucognitive apprenticeship juga merupakan suatu
budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui
interaksi satu sama lain sehingga membentuk suatu konsep
tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian
membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di
antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman 1989).
Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas
pemagangan kognitif yaitu “ heuristic content, situated
learning, modeling, coaching, articulation, reflection,
exploration, and order in increasing complexity”.
3. Scaffolding atau mediated learning Yaitu dukungan
tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah
sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran
konstruktivisme modern. Scaffolding is adjusting the support
offered during a teaching session to fit the child’s current level
of performance ”. Scaffolding sebagian besar ditemukan
dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher)
atau orang yang lebih dahulu tahu (knowledgeable
person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang
seharusnya dicapai oleh anak usia dini. (Upi Isabella : 2007)
Daftar Pustaka
Ratna Megawangi, dkk, Pendidikan Yang Patut dan Menyenangkan,
(Bogor: Indonesia Heritage Foundation) 2005.
Baharuddin dan Esa Nur Wahyuni, Teori Belajar dan
Pembelajaran, (Jogjakarta: Ar-Ruz Media) 2007
Anisa Basleman, Pembelajaran Konstruktivisme (makalah)
Upi Isabela, Scaffolding pada Program Pendidikan Anak Usia Dini, Jurnal Pendidikan Penabur - No.08/Th.VI/Juni 2007
Sofia Hartati, Perkembangan Belajar PAUD, (Jakarta: Depdiknas) 2005