teori kematian RJP

21
HENTI NAFAS Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti: - Tenggelam atau lemas - Stroke - Obstruksi jalan nafas - Epiglotitis - Overdosis obat-obatan - Tesengat listrik - Infark Miokard - Tersambar petir Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban HENTI JANTUNG Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.

description

jj

Transcript of teori kematian RJP

Page 1: teori kematian RJP

HENTI NAFAS

Henti nafas ditandai dengan tidak adanya gerakan dada dan aliran udara pernafasan dari korban atau pasien. Henti nafas merupakan kasus yang harus dilakukan tindakan Bantuan Hidup dasar. Henti nafas dapat terjadi dalam keadaan seperti:

- Tenggelam atau lemas- Stroke- Obstruksi jalan nafas- Epiglotitis- Overdosis obat-obatan- Tesengat listrik- Infark Miokard- Tersambar petir

Pada awal henti nafas, oksigen masih dapat masuk ke dalam darah untuk beberapa menit

dan jantung masih dapat mensirkulasikan darah ke otak dan organ vital lainnya, jika pada

keadaan ini diberikan bantuan resusitasi, ini sangat bermanfaat pada korban

HENTI JANTUNG

Henti jantung menjadi penyebab utama kematian di beberapa Negara. Terjadi baik di luar rumah sakit maupun di dalam rumah sakit. Diperkirakan 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat di resusitasi. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.

Henti jantung adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan, terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart Association,2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektifadalah suatu keadaan dimana jantung berhenti sehingga tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh. Beberapa penyebab henti jantung dan nafas adalah :

1. Infark miokard akut, dengan komplikasi fibrilasi ventrikel, cardiac standstill, aritmia lain,

renjatan dan edema paru.

2. Emboli paru, karena adanya penyumbatan aliran darah paru.

3. Aneurisma disekans, karena kehilangan darah intravaskular.

Page 2: teori kematian RJP

4. Hipoksia, asidosis, karena adanya gagal jantung atau kegagalan paru berat, tenggelam,

aspirasi, penyumbatan trakea, pneumothoraks, kelebihan dosis obat, kelainan susunan

saraf pusat.

5. Gagal ginjal, karena hiperkalemia

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan mempunyai risiko tinggi

untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi: a) Ada jejas di jantung akibat dari serangan jantung

terdahulu. b) Penebalan otot jantung (Cardiomyopathy). c) Seseorang yang sedang menggunakan

obat-obatan untuk jantung. d) Kelistrikan jantung yang tidak normal. e) Pembuluh darah yang

tidak normal. f) Penyalahgunaan obat.

Pada keadaan ini, jantung tidak dapat memompakan darah ke seluruh tubuh sehingga aliran

darah sistemik berhenti. Hal ini mengakibatkan kerusakan organ karena suplai darah ke seluruh

organ tubuh berhenti atau tidak tercapai. Organ yang paling pertama menerima efek buruk dari

keadaan ini adalah otak. Otak terdiri atas banyak sel-sel saraf dan sangat rentan mengenai

masalah kekurangan oksigen. Diperkirakan jika dalam 5-10 menit suplai oksigen darah ke otak

berhenti, maka otak sudah mengalami kematian atau Brain Death.

Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti nafas. Umumnya, walaupun

kegagalan pernafasan telah terjadi, denyut jantung masih dapat berlangsung terus sampai kira-

kira 30 menit. Pada henti jantung, dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil mulai

terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak terhenti dan dilatasi maksimal terjadi dalam waktu 1

menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi pupil maksimal, hal ini menandakan sudah terjadi 50 %

kerusakan otak irreversible.

Diagnosis

1. Tanda-tanda henti jantung

a. Kesadaran hilang (dalam 15 detik setelah henti jantung)

b. Tak teraba denyut arteri besar (femoralis dan karotis pada orang dewasa atau brakialis

pada bayi)

c. Henti nafas atau mengap-megap (gasping)

Page 3: teori kematian RJP

d. Terlihat seperti mati (death like appearance)

e. Warna kulit pucat sampai kelabu

f. Pupil dilatasi (setelah 45 detik).

2. Diagnosis henti jantung sudah dapat ditegakkan bila dijumpai ketidak sadaran dan tak teraba denyut arteri besara. Tekanan darah sistolik 50 mmHg mungkin tidak menghasilkan denyut nadi yang dapat

diraba.b. Aktivitas elektrokardiogram (EKG) mungkin terus berlanjut meskipun tidak ada kontraksi

mekanis, terutama pada asfiksia.c. Gerakan kabel EKG dapat menyerupai irama yang tidak mantap.

d. Bila ragu-ragu, mulai saja RJP.

Tatalaksana

Tindakan pertama yang harus dilakukan saat menemukan kasus

Henti  J an tung , ada l ah Resus i t a s i Ka rd iopu lmona l (RKP) un tuk

mengemba l ikan fungs i  jantung. Lakukan cepat dalam batas waktu paling lama 10 menit,

sambil menunggu datangnya pertolongan medis lebih lanjut.  J i ka be rha s i l , s t ab i l kan v i t a l

s i gn , l a l u l akukan obse rva s i pada pa s i en untuk menemukan sebab Henti

Jantungnya, dan tegakkan diagnosis bila ada penyak i t penye r t a , namun dengan

t e t ap menkonse rva s i keadaan umum pasien. Perlu diingat bahwa keadaan Henti

Jantung bukan merupakan diagnosis pasti dari Kematian. Kematian lebih didefinisikan

sebagai suatu keadaan d imana s e lu ruh o rgan , u t amanya o t ak , t e l ah menga l ami

keh i l angan fungsinya secara total dan irreversible.

RESUSITASI JANTUNG DAN PARU

Defenisi

Resusitasi jantung dan paru adalah suatu tindakan darurat sebagai usaha untuk

mengembalikan keadaan henti napas dan atau henti jantung (kematian klinis) ke fungsi optimal,

guna mencegah kematian biologis. Kematian klinis ditandai dengan terhentinya denyut jantung

Page 4: teori kematian RJP

dan napas. Sedangkan pada kematian biologis terjadi kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki

lagi yang terjadi kurang lebih 4 menit setelah kematian klinis.

Resusitasi yang berhasil setelah terjadinya henti jantung membutuhkan gabungan dari

tindakan yang terkoordinasi yang ditunjukkan dalam Chain of Survival, yang meliputi :

a. Pengenalan segera terhadap henti jantung dan aktivasi dari emergency response system

b. RJP yang awal dengan menekankan pada kompresi dadac. Defibrilasi yang cepatd. Advanced life support yang efektife. Perawatan post-cardiac arrest yang terintegrasi

Indikasi dan Kontraindikasi RKP

Indikasi RKP adalah semua pasien henti napas dan henti jantung yang tidak diharapkan

kematiannya. Dalam artian pasien yang sebelumnya dalam keadaan sehat. Contoh pasien yang

diindikasikan dilakukan RKP adalah korban tersengat listrik, tenggelam, keracunan, kecelakaan,

percobaan bunuh diri, shock anafilaktik, dan operasi.

Kontraindikasi RKP adalah pasien berada pada stadium terminal suatu penyakit.

Contohnya adalah pasien dengan penyakit DM yang telah berkomplikasi dan keganasan.

RJP secara tradisional telah menggabungkan kompresi dan nafas buatan dengan tujuan untuk mengoptimalkan sirkulasi dan oksigenasi. Karakteristik penolong dan penderita dapat mempengaruhi aplikasi yang optimal dari komponen RJP.

Semua orang dapat menjadi penolong untuk penderita henti jantung. Kompresi dada merupakan dasar dari RJP. Semua penolong, tanpa melihat telah mendapat pelatihan atau tidak, harus memberikan kompresi dada pada setiap penderita henti jantung. Karena sangat penting, kompresi dada harus menjadi tindakan awal pada RJP untuk setiap penderita pada semua usia. Penolong yang telah terlatih harus berkoordinasi dalam melakukan kompresi dada bersamaan dengan ventilasi, sebagai suatu tim.

Sebagian besar henti jantung pada dewasa terjadi secara tiba-tiba, sebagai akibat dari kelainan jantung, sehingga sirkulasi yang dihasilkan dari kompresi dada menjadi sangat penting. Berlawanan dengan hal itu, henti jantung pada anak-anak seringkali karena asfiksia, dimana

Page 5: teori kematian RJP

membutuhkan baik ventilasi maupun kompresi dada untuk hasil yang optimal. Dengan demikian nafas buatan pada henti jantung menjadi lebih penting untuk anak-anak daripada untuk dewasa.

I. Bantuan Hidup Dasar

Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar supaya sel-sel tidak rusak akibat kekurangan oksigen. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support) atau resusitasi ABC atau resusitasi kardiopulmoner berarti menjaga jalan napas tetap paten (A), membuat napas buatan (B) dan membuat sirkulasi buatan dengan pijatan jantung (C). Tindakan ini dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.

a. Dalam fase I ini terdiri dari langkah yang di A (airway), B (breathing), C (circulation). - A (airway ) : menjaga jalan nafas tetap terbuka- B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenasi yang adekuat- C (circulation) : mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru

b. Fase II : Advance Life Support (ALS), yaitu BLS ditambah dengan D (drug) dan E (EKG)- D ( drugs ) : pemberian obat-obatan termasuk cairan.

Pemberian obat-obatan bertujuan untuk mempertahankan aliran darah ke organ vital hingga tercapainya sirkulasi spontan yang adekuat. Obat-obat yang dapat diberikan :

(1) EphinephrineIndikasi : henti jantung oleh karena semua penyebabDosis : 0,2-0,3 mg, ulangi setiap 3-5 menitEfek : inotropik positif, konotropik positif, dan vasokonstriksi perifer(2) AmiodaroneIndikasi : fibrilasi ventrikel dan takikardi ventrikelDosis : 300 mg dilarutkan dalam 20 ml Dextrose 5%Efek : antiaritmia(3) Atropine Indikasi : sinus bradikardi pada pasien dengan hemodinamik tidak stabilDosis : 3 mg IV bolus, ulangi setiap 3-5 menit, maksimal 3 kali pengulangan.Efek : memblok saraf vagus pada SA node dan AV node, dan meningkatkan

konduksi AV node(4) Theophylline (aminophylline)Indikasi : Asistol dan peri-arrest bradikardi yang tidak respon pada atropinDosis : 250-500 mg IV

Page 6: teori kematian RJP

Efek : merangsang pengeluaran adrenalin dari medula adrenal.

- E ( EKG ) : diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin untuk mengetahuis fibrilasi ventrikel.

c. Fase III : Prolonged Life Support (PLS), yaitu penambahan dari BLS dan ALS, G (gauge), H (head), I (Intensive care).- G ( gauge ) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara

terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.- H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistem saraf

dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya neurologic yang permanen.

- I (Intensive Care ) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan dan tunjangan sirkulasi mengedalikan jika terjadinya kejang.

Sebelum melakukan tahapan A (airway) terlebih dahulu dilakukan prosedur awal pada pasien/korban, yaitu:

a. Memastikan keamanan lingkungan Aman bagi penolong maupun aman bagi pasien/korban itu sendiri.

b. Memastikan kesadaran pasien/korban Dalam memastikan pasien/korban dapat dilakukan dengan menyentuh atau menggoyangkan bahu pasien/korban dengan lembut dan mantap, sambil memanggil namanya atau Pak!!!/ Bu!!!!/ Mas!!!/Mbak!!!, dll.

c. Meminta pertolongan Bila diyakini pasien/korban tidak sadar atau tidak ada respon segera minta pertolongan dengan cara : berteriak ”tolong !!!!” beritahukan posisi dimana, pergunakan alat komunikasi yang ada, atau aktifkan bel/sistem emergency yang ada (bel emergency di rumah sakit).

d. Memperbaiki posisi pasien/korban Tindakan BHD yang efektif bila pasien/korban dalam posisi telentang, berada pada permukaaan yang rata/keras dan kering. Bila ditemukan pasien/korban miring atau telungkup pasien/korban harus ditelentangkan dulu dengan membalikkan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk mencegah cedera/komplikasi.

e. Mengatur posisi penolongPosisi penolong berlutut sejajar dengan bahu

pasien/korban agar

Page 7: teori kematian RJP

pada ssat memberikan batuan nafas dan bantuan sirkulasi penolong tidak perlu banyak pergerakan.

Gambar 1. Cek kesadaran dan Aktifkan Sistem Emergensi

A  (AIRWAY) Jalan NafasJika diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus segera dimulai.

Letakkan pasien pada posisi telentang pada alas keras ubin atau selipkan papan jika pasien diatas kasur. Jika tonus otot pasien hilang, lidah aan menyumbat faring dan epiglottis akan menyumbat laring. Lidah dan epiglottis penyebab utama tersumbatnya jalan napas pada pasien tidak sadar. Untuk menghindari hal ini, maka dilakukan beberapa tindakan atau parasat misalnya:1. Parasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver)

Parasat ini dilakukan jika tidak ada traumapada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi kebawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap keatas dan epiglottis terbuka, sniffing position, posisi cium, posisi hirup.

2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorongkedepan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher. Karena lidah melekat pada rahang bawah, maka lidah ikut tertarik dan jalan napas terbuka.

Jika henti jantung terjadi diluar rumah sakit: letakan pasien dalam posisi terlentang, lakukan ‘manuever triple airway’ (kepala tengadah, rahang didorong kedepan, mulut dibuka) dan jika mulut ada cairan, lender atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan napas buatan.

Page 8: teori kematian RJP

(a) (b)

Gambar 2. Pembebasan Jalan Nafas teknik Head tilt chin lift (a) dan tehnik jaw thrust manuver (b)

B  (BREATHING) Bantuan NafasPasien dengan henti napas, tidurkan dalam posisi terlentang. Napas buatan tanpa alat

dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the kiss of life, mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. a. Mulut ke mulut (mouth-to-mouth)

Merupakan cara yang  cepat dan efektif. Pada saat memberikan penolong tarik nafas dan mulut penolong menutup seluruhnya mulut pasien/korban dan hidung pasien/korban harus ditutup dengan telunjuk dan ibu jari penolong.Volume udara yang berlebihan dapat menyebabkan udara masuk ke lambung.

b. mulut ke hidung (mouth-to-nose),Direkomendasikan bila bantuan dari mulut korban tidak memungkinkan,misalnya pasien/korban mengalami trismus atau luka berat.Penolong sebaiknya menutup mulut  pasien/korban pada saat memberikan bantuan nafas. 

c. mulut ke stoma trakheostomiDilakukan pada pasien/korban yang terpasang trakheostomi atau mengalami laringotomi.

C  (CIRCULATION)  bantuan sirkulasi

Terdiri dari 2 tahap :

1.      Memastikan ada tidaknya denyut jantung pasien/korban

Ditentukan dengan meraba arteri karotis didaerah leher pasien/korban dengan cara dua atau tiga jari penolong meraba pertengahan leher sehingga teraba trakea, kemudian digeser ke arah penolong kira-kira 1-2 cm, raba dengan lembut selam 5 – 10 detik. Bila teraba penolong harus memeriksa pernafasan, bila tidak ada nafas berikan bantuan nafas 12 kali/menit. Bila ada nafas pertahankan airway pasien/korban.7,8

2.      Memberikan bantuan sirkulasi

Page 9: teori kematian RJP

Jika dipastikan tidak ada denyut jantung berikan bantuan sirkulasi atau kompresi jantung luar dengan cara:

- Tiga jari penolong ( telunjuk,tengan dan manis) menelusuri tulang iga pasien/korban yang dekat dengan sisi penolong sehingga bertemu tulang dada (sternum).

- Dari tulang dada (sternum) diukur 2- 3 jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk meletakkan tangan penolong.

- Letakkan kedua tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk satu telapak tangan diatas telapak tangan yang lain.Hindari jari-jari menyentuh didnding dada pasien/korban.

- Posisi badan penolong tegak lurus menekan dinding dada pasien/korban dengan tenaga dari berat badannya secara teratur sebanyak 30 kali dengan  kedalaman   penekanan 1,5 – 2 inchi ( 3,8 – 5 cm).

- Tekanan pada dada harus dilepaskan dan dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula setiap kali kompresi.Waktu penekanan dan melepaskan kompresi harus sama ( 50% duty cycle).

- Tangan tidak boleh berubah posisi.- Ratio bantuan sirkulasi dan bantuan nafas 30 : 2 baik oleh satu penolong maupun dua

penolng.Kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit. Dilakukan selama 4 siklus.  

Tindakan kompresi  yang benar akan menghasilkan tekanan sistolik 60 – 80 mmHg dan diastolik yang sangat rendah.Selang waktu mulai dari menemukan pasien/korban sampai dilakukan tindakan bantuan sirkulasi tidak lebih dari 30 detik.8

Gambar 3. Kompresi dada

Page 10: teori kematian RJP

D  (DEFIBRILATION)  terapi listrik

Terapi dengan memberikan energi listrik Dilakukan pada pasien/korban yang penyebab henti jantung adalah gangguan irama jantung. Penyebab utama adalah ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi.Pada penggunaan orang awam tersedia alat Automatic External Defibrilation (AED).3 Tahapan defibrilasi :

- Nyalakan AED- Ikuti petunjuk- Lanjutkan kompresi dada segera setelah syok (meminimalkan gangguan)

PENILAIAN ULANG

Sesudah 4 siklus ventilasi dan kompresi kemudian pasien/korban dievaluasi kembali :

- Jika tidak ada denyut jantung dilakukan kompresi dan bantuan nafas dengan ratio 30 : 2

- Jika ada nafas dan denyut  jantung teraba letakkan korban pada posisi  sisi mantap- Jika tidak ada nafas tetapi teraba denyut jantung, berikan bantuan nafas sebanyak 12

kali permenit dan monitor denyut jantung setiap saat.    

Gambar 4. Defibrilasi

PANDUAN RJP 2010

Menekankan pada RJP yang berkualitas secara terus menerus

Page 11: teori kematian RJP

AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 mengutamakan kebutuhan RJP yang berkualitas tinggi, hal ini mencakup:

a. Kecepatan kompresi paling sedikit 100 x/menit (perubahan dari ”kurang lebih” 100 x/menit)

b. Kedalaman kompresi paling sedikit 2 inchi (5 cm) pada dewasa dan paling sedikit sepertiga dari diameter anteroposterior dada pada penderita anak-anak dan bayi (sekitar 1,5 inchi [4cm] pada bayi dan 2 inchi [5cm] pada anak-anak) Batas antara 1,5 hingga 2 inchi tidak lagi digunakan pada dewasa, dan kedalaman mutlak pada bayi dan anak-anak lebih dalam daripada versi sebelumnya dari AHA Guidelines for CPR and ECC

c. Memberi kesempatan daya rekoil dada (chest recoil) yang lengkap setiap kali selesai kompresi

d. Meminimalisasi gangguan pada kompresi dadae. Menghindari ventilasi yang berlebihan

Tidak ada perubahan dalam rekomendasi untuk rasio kompresi-ventilasi yaitu sebanyak 30:2 untuk dewasa, anak-anak, dan bayi (tidak termasuk bayi yang baru lahir). AHA Guidelines for CPR and ECC 2010 meneruskan rekomendasi untuk memberikan nafas buatan sekitar 1 detik. Begitu jalan nafas telah dibebaskan, kompresi dada dapat dilakukan secara terus menerus (dengan kecepatan paling sedikit 100 x/menit) dan tidak lagi diselingi dengan ventilasi. Nafas buatan kemudian dapat diberikan sekitar 1 kali nafas setiap 6 sampai 8 detik (sekitar 8-10 nafas per detik). Ventilasi yang berlebihan harus dihindari.

Perubahan dari A-B-C menjadi C-A-BPerubahan yang utama pada BLS, urutan dari Airway-Breathing-Circulation berubah

menjadi Compression-Airway-Breathing. Hal ini untuk menghindari penghambatan pada pemberian kompresi dada yang cepat dan efektif. Mengamankan jalan nafas sebagai prioritas utama merupakan sesuatu yang memakan waktu dan mungkin tidak berhasil 100%, terutama oleh penolong yang seorang diri.

Mayoritas besar henti jantung terjadi pada dewasa dan penyebab paling umum adalah Ventricular Fibrilation atau pulseless Ventricular Tachycardia. Pada penderita tersebut, elemen paling penting dari Basic Life Support adalah kompresi dada dan defibrilasi yang segera. Pada rangkaian A-B-C, kompresi dada seringkali tertunda ketika penolong membuka jalan nafas untuk memberikan nafas buatan, mencari alat pembatas (barrier devices), atau mengumpulkan peralatan ventilasi. Setelah memulai emergency response system hal berikutnya yang penting yaitu untuk segera memulai kompresi dada. Hanya RJP pada bayi yang merupakan perkecualian dari protokol ini, dimana urutan yang lama tidak berubah. Hal ini berarti tidak ada lagi look, listen, feel, sehingga komponen ini dihilangkan dari panduan.

Dengan merubah urutan menjadi C-A-B kompresi dada akan dimulai sesegera mungkin dan ventilasi hanya tertunda sebentar (yaitu hingga siklus pertama dari 30 kompresi dada

Page 12: teori kematian RJP

terpenuhi, atau sekitar 18 detik). Sebagian besar penderita yang mengalami henti jantung diluar rumah sakit tidak mendapatkan pertolongan RJP oleh orang-orang disekitarnya. Terdapat banyak alasan untuk hal tersebut, namun salah satu hambatan yang dapat timbul yaitu urutan A-B-C, yang dimulai dengan prosedur yang paling sulit, yaitu membuka jalan nafas dan memberikan nafas buatan. Memulai pertolongan dengan kompresi dada dapat mendorong lebih banyak penolong untuk memulai RJP.

Rata-rata kompresiSebaiknya dilakukan kira – kira minimal 100 kali/ menit. Jumlah kompresi dada yang

dilakukan per menit selama RJP sangat penting untuk menentukan kembalinya sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation [ROSC]) dan fungsi neurologis yang baik. Jumlah yang tepat untuk memberikan kompresi dada per menit ditetapkan oleh kecepatan kompresi dada dan jumlah serta lamanya gangguan dalam melakukan kompresi (misalnya, untuk membuka jalan nafas, memberikan nafas buatan, dan melakukan analisis AED [Automated Electrical Defibrilator]).

Pada sebagian besar studi, kompresi yang lebih banyak dihubungkan dengan tingginya rata-rata kelangsungan hidup, dan kompresi yang lebih sedikit dihubungkan dengan rata-rata kelangsungan hidup yang lebih rendah. Kesepakatan mengenai kompresi dada yang adekuat membutuhkan penekanan tidak hanya pada kecepatan kompresi yang adekuat, tapi juga pada meminimalkan gangguan pada komponen penting dari CPR tersebut. Kompresi yang inadekuat atau gangguan yang sering (atau keduanya) akan mengurangi jumlah total kompresi yang diberikan per menit.

Kedalaman kompresiUntuk dewasa kedalaman kompresi telah diubah dari jarak 1½ - 2 inch menjadi minimal

2 inch (5 cm). Kompresi yang efektif (menekan dengan kuat dan cepat) menghasilkan aliran darah dan oksigen dan memberikan energi pada jantung dan otak. Kompresi menghasilkan aliran darah terutama dengan meningkatkan tekanan intrathorakal dan secara langsung menekan jantung. Kompresi menghasilkan aliran darah, oksigen dan energi yang penting untuk dialirkan ke jantung dan otak.

RJP Dengan Tangan Saja (Hands Only CPR)Secara teknis terdapat perubahan dari petunjuk RJP 2005, namun AHA mengesahkan

tehnik ini pada tahun 2008. Untuk penolong yang belum terlatih diharapkan melakukan RJP pada korban dewasa yang pingsan didepan mereka. Hands Only CPR (hanya dengan kompresi) lebih mudah untuk dilakukan oleh penolong yang belum terlatih dan lebih mudah dituntun oleh penolong yang ahli melalui telepon. Kompresi tanpa ventilasi (Hands Only CPR) memberikan hasil yang sama jika dibandingkan kompresi dengan menggunakan ventilasi.

Page 13: teori kematian RJP

Tabel perbandingan dasar BLS pada dewasa, anak-anak dan bayi (termasuk RJP pada neonatus).

Page 14: teori kematian RJP

DAFTAR PUSTAKA

1. Petunjuk Praktis Anestesi dari EGC, Buku Skill Lab Semester  4 tentang Resusitasi Jantung

Paru

2. Gray, Huon H, dkk.2002.Lecture Notes On Cardiology edisi ke-4. Jakarta: Erlangga. Hal

188-198.

3. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam jilid I edisi ke-4. Halaman 176-180.

4. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation

Journal.

5. American Heart Association. 2005. Part 4 Adult Basic Life Supprt in Circulation Journal

6. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta.

7. Siahaan, Olan SM. Resusitasi Jantung Paru dan Otak. Cermin Dunia Kedokteran. 1992.

8. Resusitasi Jantung dan Paru. Diaskes dari

http://itja.wordpress.com/2010/10/07/resusitasi-jantung-paru/.

9. Peter J. Safar. Diaskes dari http://www.laerdalfoundation.org/dok/Peter_Safar.pdf

10. American College of Surgeon.2005.Advanced Trauma Life Support.Halaman 32-74.

11. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai

Penerbit FKUI.Hal 283.