Makalah Het RJP 2011

62
Makalah RESUSITASI JANTUNG PARU 2010 Oleh: Agusti Nala Sari HET 10-XX1-324 HIPPOCRATES EMERGENCY TEAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS 2011 1

Transcript of Makalah Het RJP 2011

Page 1: Makalah Het RJP 2011

Makalah

RESUSITASI JANTUNG PARU 2010

Oleh:

Agusti Nala Sari

HET 10-XX1-324

HIPPOCRATES EMERGENCY TEAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2011

1

Page 2: Makalah Het RJP 2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan

karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul

“Resusitasi Jantung Paru 2010”. Shalawat beriringan salam kita sampaikan kepada junjungan

kita Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kebodohan ke alam yang

terang benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini. Makalah ini diajukan

dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar anggota khusus pada

Hippocrates Emergency Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Keberhasilan dalam pembuatan makalah ini tidak terlepas dari peran serta berbagai

pihak, baik itu bantuan, bimbingan, maupun semangat yang tidak pernah henti-hentinya

diberikan kepada penulis. Oleh sebab itu pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan kesempatan untuk menyelesaikan

makalah ini dan tidak lupa pula kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

2. Ayahanda dan ibunda tercinta serta kakak-kakak yang selalu memberikan doa dan

dukungannya kepada penulis.

3. Kakanda dr. Kino dan dr. Dedi Saputra sebagai penguji yang telah memberikan kritik

dan saran yang sangat bermanfaat bagi kesempurnaan makalah ini.

4. Kakanda Pratama Ananda, S.Ked dan Abdurrahman Arsyad As Siddiqi, S.Ked

sebagai pembimbing yang selalu memberikan masukan serta meluangkan waktunya

untuk membantu kelancaran penulisan makalah ini.

5. Ketua HET, Alfy Maydo Alius, dan ketua Ketua Pantia Pemantapan Utama dan

Pengondisian Khusus, Amalina Restia, beserta seluruh Panitia Pemantapan Utama

dan Pengondisian Khusus angkatan XXI yang telah mengangkatkan acara ini serta

2

Page 3: Makalah Het RJP 2011

kesabaran dalam menghadapi setiap masalah maupun kendala yang timbul selama

acara berlansung.

6. Rekan-rekan seperjuangan angkatan XX1 “Beloved XXI” (Bram Sesario Rendi, Ismul

Sadly Putra, Farid I Hussein, Romance De A.S., M. Ridho Aditya, Gerry Valdy,

Arrival Khadiva, Rully Perdana, Dandy Azmi Azwir, Vicca Rahmayani, Dian Rahma

Kasir, Faimmatul Syuhada, Fitri Amalia, Heri Fitrianto, Atika Putri Dewi, Amelia

Rahayu, Suci Chairiya Akmal, Tiara Wahyuni, Nadia Rahmah, Revi Naldi, Nitari

Rahmi Putri, Irnayana Oktariah, Finisia Novianti, Fani Faradila, Elmira Puspa Sari)

atas persahabatan, semangat, dukungan serta perjuangan yang tiada henti-hentinya

selama ini.

7. Semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan, bimbingan, saran, dan doa ataupun semua amal kebaikan

yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan pahala dan rahmat dari Allah SWT.

Dengan keterbatasan ilmu dan pengalaman yang dimiliki, penulis menyadari

sepenuhnya makalah ini masih kurang sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang

membangun sangat diharapkan. Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat

memberikan manfaat untuk kemajuan HET kedepan khususnya maupun ilmu pengetahuan

umumnya.

Padang, November 2011

Penulis

3

Page 4: Makalah Het RJP 2011

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama 50 tahun terakhir dasar-dasar pengenalan dini dan aktivasi, Resusitasi Jantung

Paru (RJP) dini, defibrilasi dini, dan akses awal untuk pelayanan darurat medis telah

menyelamatkan ratusan ribu nyawa di seluruh dunia. Hal ini menunjukkan pentingnya

penelitian resusitasi dan terjemahan klinis RJP. Meskipun teknologi sekarang, seperti yang

tergabung dalam defibrillator eksternal otomatis (Automated External Defibrillator / AED),

telah memberikan kontribusi dalam kelangsungan hidup yang tinggi dari korban serangan

jantung, tidak ada pertolongan awal yang dapat diberikan kepada korban serangan jantung

kecuali jika para penolong siap, bersedia, dan mampu bertindak.1

Para ilmuwan dan pelayanan kesehatan berpartisipasi dalam proses evaluasi bukti-

bukti yang komprehensif dalam menganalisis urutan dan prioritas langkah-langkah RJP

dalam lingkup kemajuan ilmiah saat ini untuk mengidentifikasi faktor-faktor dengan potensi

dampak terbesar pada kelangsungan hidup. Atas dasar kekuatan bukti yang tersedia, mereka

mengembangkan rekomendasi untuk mendukung intervensi yang paling menjanjikan. Ada

dukungan bulat untuk penekanan melanjutkan RJP berkualitas tinggi, dengan penekanan laju

dan kedalaman yang memadai, meminimalkan gangguan dalam penekanan dada dan

menghindari ventilasi berlebihan. RJP berkualitas tinggi adalah landasan dari sistem

perawatan yang dapat mengoptimalkan hasil dari kembalinya sirkulasi spontan. Kembali ke

kualitas hidup sebelumnya dan keadaan kesehatan yang fungsional adalah tujuan utama dari

sistem pelayanan Resusitasi Jantung Paru.1

The International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) dalam rekomendasi

terbarunya di Dallas, Februari 2010, terdapat perubahan mendasar dalam tata laksana

4

Page 5: Makalah Het RJP 2011

resusitasi. Yakni perubahan dari “A-B-C” (airway-breathing support-chest compressions) ke

“C-A-B” (chest compressions-airway-breathing support). Hal ini dikarenakan sebagian besar

serangan jantung terjadi pada orang dewasa, dan tingkat kelangsungan hidup tertinggi dari

serangan jantung dilaporkan antara pasien dari segala usia yang memiliki irama awal fibrilasi

ventrikel (VF) atau takikardia ventrikel (VT). Pada kasus ini, elemen awal yang penting pada

Basic Life Support (BLS) adalah kompresi dada dan defibrilasi awal. Dalam urutan A-B-C,

penekanan dada sering tertunda akibat membuka jalan napas untuk memberikan napas dari

mulut ke mulut, membebaskan jalan napas, atau mengumpulkan dan memasang peralatan

ventilasi. Dengan mengubah urutan ke C-A-B, penekanan dada akan dimulai cepat dan

meminimalisir keterlambatan dalam ventilasi (yaitu hanya diperlukan waktu sekitar 18 detik

untuk memberikan siklus pertama 30 kompresi dada).1.2

Maka dari itu, penulis mencoba menguraikan teknik Resusitasi Jantung Paru. Dengan

harapan makalah ini dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu anggota Hippocrates

Emergency Team dalam upaya mengatasi kegawatdaruratan medis.

1.2 Batasan Masalah

Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menguraikan teknik penatalaksanaan

Resusitasi Jantung Paru pada dewasa.

1.3 Tujuan Makalah

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui dan memahami teknik Resusitasi Jantung Paru.

1.3.2 Tujuan Khusus

Penulis menyusun makalah yang berjudul Resusitasi Jantung Paru guna

memenuhi syarat kenaikan tingkat khusus pada UKM Hippocrates Emergency

Team Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

5

Page 6: Makalah Het RJP 2011

1.4 Manfaat Makalah

Manfaat penulisan makalah ini adalah menambah pengetahuan mengenai teknik

Resusitasi Jantung Paru.

6

Page 7: Makalah Het RJP 2011

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Resusitasi Jantung Paru (RJP) adalah sekumpulan intervensi yang bertujuan untuk

mengembalikan dan mempertahankan fungsi vital organ pada korban henti jantung dan henti

nafas. Intervensi ini mencakup pemberian kompresi dada dan nafas buatan. Tindakan ini

memungkinkan penghantaran substrat untuk memenuhi kebutuhan metabolik terutama bagi

organ vital seperti otak dan jantung.3.4

Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem sirkulasi tubuh

secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi jantung saat sistolik. Henti jantung

dibedakan berdasarkan aktivitas listrik jantung (elektrokardiogram), yaitu asistol, aktivitas

elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity, PEA), fibrilasi ventrikel (VF), dan takikardia

ventrikel tanpa nadi (pulseless VT). Fibrilasi ventrikel merupakan depolarisasi dan

repolarisasi yang cepat dan tidak teratur dimana jantung kehilangan fungsi koordinasi dan

tidak dapat memompa darah secara efektif. Dalam penelitiannya 40% korban henti jantung

mendadak mengalami fibrilasi ventrikular saat pertama kali diperiksa.5 Henti paru adalah

keadaan tidak terjadinya inhalasi dan ekshalasi pernapasan.6

2.2 Indikasi dan Kontraindikasi RJP

Resusitasi Kardiopulmonal tidak dapat dimulai bila pasien memiliki keterangan

DNAR (do not attempt resuscitation), pasien memiliki tanda kematian yang ireversibel

(seperti rigormotis, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat fisiologis

yang dapat diharapkan karena fungsi vital telah menurun walau telah diberi terapi maksimal.5

7

Page 8: Makalah Het RJP 2011

RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik,

pelayanan dilanjutkan oleh tenaga medis ditempat rujukan atau ditingkat pelayanan yang

lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah terjadi kematian yang ireversibel,

penolong sudah tidak bisa meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan lingkungan

yang membahayakan atau meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan orang lain

cedera, atau keterangan DNAR diperlihatkan kepada penolong.5

Indikasi segera melakukan RJP adalah jika penolong menemukan korban tidak

responsif tidak bernapas atau tidak bernapas normal (yaitu, hanya terengah-engah). Penolong

harus memperlakukan korban yang telah terengah sesekali seolah-olah ia tidak bernapas.

Penolong harus mengasumsikan bahwa serangan jantung hadir dan harus mulai RJP jika

orang dewasa tiba-tiba jatuh atau korban tidak responsif tidak bernapas atau tidak bernapas

secara normal.7

2.3 Teknik Penatalaksanaan Resusitasi Jantung Paru

Perubahan yang terjadi dalan penatalaksanaan RJP tahun 2005 dengan 2010 adalah

pada BLS (Basic Life Support), dari urutan A-B-C menuju C-A-B kemudian dilanjutkan

dengan terapi elektrik, dan setelah itu ALS (Advanced Life Support):1.2

1. Bantuan hidup dasar (Basic Life Support)7.8

a. Menyadari segera adanya serangan jantung dan mengaktifkan sistem tanggap

darurat

b. Chest Compressions (Kompresi Dada)

c. Airway dan Breathing support

2. Terapi listrik (Electrical Therapies)9.10

a. Awal defibrilasi dengan AED (Automated External Defibrillator)

8

Page 9: Makalah Het RJP 2011

3. Pertolongan lanjutan (Advanced Life Support)12.13

a. Manajemen airway dan ventilasi

b. Bantuan lanjutan sirkulasi

2.4 Bantuan hidup dasar (Basic Life Support)

2.4.1 Menyadari segera adanya serangan jantung dan mengaktifkan sistem tanggap

darurat dengan jalur berikut:

Langkah pertama yang diperlukan dalam pengobatan serangan jantung adalah

menyadari segera setelah serangan. Sebelum mendekati korban, penolong harus

memastikan bahwa kondisi tersebut aman dan kemudian memeriksa respon korban.

Untuk melakukan hal ini, tekan korban di bahu dan berteriak, "Apakah anda baik-baik

saja?" Jika korban responsif dia akan menjawab, bergerak, atau mengerang. Jika korban

tetap responsif, penolong harus segera mengaktifkan sistem tanggap darurat. Tenaga

kesehatan juga harus memeriksa korban tidak bernapas atau tidak bernapas normal untuk

tanggap darurat, jika penolong menemukan korban tidak responsif, tidak bernapas atau

tidak bernapas normal, penolong harus mengasumsikan korban dalam serangan jantung

dan segera mengaktifkan sistem tanggap darurat. Penolong harus memperlakukan korban

yang telah terengah sesekali seolah-olah ia tidak bernapas.7

Penolong harus mengasumsikan bahwa serangan jantung telah terjadi dan harus

memulai RJP jika orang dewasa tiba-tiba jatuh atau korban tidak responsif, tidak

bernapas atau tidak bernapas secara normal. Penolong mungkin memakan waktu terlalu

lama untuk memeriksa nadi dan mengalami kesulitan menentukan apakah denyut nadi

teraba atau teraba lemah. Ada bukti, walaupun, bahwa memeriksa pernapasan, batuk,

atau gerakan yang superior untuk mendeteksi sirkulasi tapi karena keterlambatan

penekanan dada harus diminimalkan, tenaga kesehatan harus mengambil tidak lebih dari

9

Page 10: Makalah Het RJP 2011

10 detik untuk memeriksa denyut nadi, dan jika penyelamat tidak pasti merasa nadi

dalam periode waktu, penyelamat harus mulai penekanan dada.7

a. Jika korban bernapas normal8

Posisikan korban menjadi posisi mantap atau pemulihan, seperti pada gambar

dibawah ini:

Langkah 1 Langkah 2

Langkah 3 Langkah 4

Gambar 1. Posisi mantap8

Mencari bantuan dengan menelepon 118 atau nomor darurat lokal untuk

ambulans.

Terus menilai bahwa pernapasan tetap normal.

b. Jika pernapasan tidak normal atau tidak ada

Meminta seseorang untuk mencari dan membawa AED (Automated External

Defibrillator), jika penolong hanya sendiri segera penolong menelepon layanan

ambulan dan meninggalkan korban, dilakukan hanya jika tidak ada pilihan lain.

Penolong harus segera memulai kompresi dada .7.8

10

Page 11: Makalah Het RJP 2011

2.4.2 Chest Compressions (Kompresi Dada)

Saat henti jantung, kompresi dada dapat mengalirkan darah ke organ-organ vital

dan meningkatkan kemungkinan kembalinya sirkulasi spontan. Jika korban tidak

responsif dan tidak bernapas, berikan 30 kompresi dada. Berikut ini adalah karakteristik

RJP berkualitas tinggi :7.8

Kompresi dada dengan kekuatan dan kedalaman yang tepat. "Push fast": mendorong

pada kecepatan minimal 100 tekanan per menit. " Push hard ": mendorong dengan

kekuatan yang cukup untuk menekan setidaknya sepertiga anterior-posterior (AP)

diameter dada atau sekitar 1 ½ inci (4 cm) pada bayi dan 2 inci (5 cm) tapi tidak

melebihi 6 cm pada anak-anak dan dewasa.

Biarkan dada kembali setelah masing-masing kompresi untuk memungkinkan

jantung diisi dengan darah.

Minimalkan interupsi kompresi dada.

Hindari ventilasi berlebihan.

Untuk hasil terbaik, pastikan korban dibaringkan di permukaan yang keras.

Hasil resusitasi terbaik didapatkan apabila penekanan dada dikombinasikan dengan

ventilasi, tetapi jika penolong tidak terlatih dalam memberikan ventilasi, atau tidak dapat

melakukannya, penyelamat harus melanjutkan dengan penekanan dada (Hands-Only)

sampai bantuan tiba.7

Kompresi dada dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Penolong berlutut di sisi korban.8

2. Menempatkan satu tumit tangan di tengah dada korban (yang merupakan bagian

bawah tulang dada atau disebut sternum), seperti pada gambar dibawah ini:8

11

Page 12: Makalah Het RJP 2011

Gambar 2. Meletakkan tangan pada sternum8

3. Tempatkan juga tumit tangan lainnya di atas tangan pertama, seperti pada gambar

dibawah ini:8

Gambar 3. Menyatukan kedua tangan8

4. Jari-jari tangan dipautkan dan memastikan tekanan tidak dilakukan di atas tulang

rusuk korban. Jaga lengan penolong tetap lurus. Jangan menerapkan tekanan pada

bagian atas perut atau bagian bawah tulang sternum (tulang dada), seperti pada

gambar dibawah ini:8

Gambar 4. Mengaitkan jari-jari tangan dan meluruskan siku8

5. Memposisikan diri secara vertikal di atas dada korban dan tekan ke bawah pada tulang

dada minimal 5 cm tapi tidak melebihi 6 cm, seperti pada gambar dibawah ini:7.8

Gambar 5. Penekanan dada.8

12

Page 13: Makalah Het RJP 2011

6. Setelah kompresi dilakukan, lepaskan semua tekanan pada dada tanpa kehilangan

kontak antara tangan penolong dan mengulang kompresi minimal 100 kali permenit

(tapi tidak melebihi 120 kali permenit).7.8

7. Baik kompresi dan relaksasi harus memakai waktu yang sama. Selanjutnya kompresi

dada dikombinasikan dengan napas buatan.7.8

2.4.3 Airway dan Breathing support

Pembukaan jalan napas disini diikuti dengan memberikan napas bantuan.

1. Setelah 30 kali kompresi dada, dilanjutkan dengan membuka jalan napas dan

melakukan napas bantuan, seperti pada gambar dibawah ini:7.8

Gambar 6. Memberi napas buatan sambil melihat dada korban terangkat8

Menutup lubang hidung dengan menjepit bagian lunak dari hidung dengan jari

telunjuk dan ibu jari.8

Biarkan mulut untuk terbuka, tapi pertahankan dagu terangkat dengan teknik

chin lift.8

Gambar 7. Head tilt and chin lift8

Ambil napas panjang pada udara luar, dan meniupkan ke dalam mulut korban

diikuti dengan melihat dada korban apakah mengembang atau tidak, satu kali

13

Page 14: Makalah Het RJP 2011

hembusan setidaknya mengambil waktu sekitar 1 detik seperti pada

pernapasan normal, ini adalah suatu penyelamatan jalan napas yang efektif.7.8

Setelah hembusan pertama dilihat dada korban turun sebagai udara keluar,

kemudian dilakukan napas buatan yang kedua. Kedua napas tidak dari 5 detik.

Kemudian dilanjutkan kembali kompresi dada dan pastikan tempatnya tepat

diikuti dengan pemberian napas buatan dengan rasio 30:2.7.8

Berhenti untuk memeriksa kembali korban hanya jika korban sudah mulai

bangun untuk bergerak, membuka mata, dan bernapas normal. Jika saat

bantuan napas awal, dada tidak terangkat atau mengembang maka dilakukan

upaya berikutnya:8

a. Melihat ke dalam mulut korban dan menghilangkan sumbatan.

b. Memeriksa kembali jalan napas dengan head tilt dan chin lift.

c. Jangan mencoba lebih dari dua kali memberikan napas bantuan setiap kali

kembali melakukan kompresi dada.

2. Penolong yang berpengalaman bisa melakukan gabungan dua penolong RJP dan

dalam situasi ini mereka harus bertukar peran / tempat setiap 2 menit sekali untuk

menghindari kelelahan. Sangat bermanfaat untuk melakukan kompresi dada,

penolong menghitung dengan suara keras.8

3. Kompresi dada tanpa pemberian napas buatan dapat dipakai apabila:8

a. Jika penolong tidak terlatih, atau tidak bersedia untuk memberikan napas

buatan, dan hanya memberikan penekanan dada saja.

b. Jika hanya penekanan dada saja yang diberikan, ini harus berkelanjutan terus

menerus dalam 100 kali permenit (tapi tidak melebihi 120 kali per menit).

4. Kompresi dihentikan apabila: 7.8

a. Bantuan profesional datang dan mengambil alih, atau

14

Page 15: Makalah Het RJP 2011

b. Korban mulai bangun untuk bergerak, mata terbuka dan untuk bernapas normal,

atau

c. Terdapat tanda-tanda kematian (bernapas dan sirkulasi darah berhenti secara

pasti/ireversibel, telah terbukti terjadi mati batang otak, pada kasus darurat

setelah dilakukan resusitasi selama 15-30 menit pasien tetap tidak sadar dan

bernapas spontan, serta pupil berdilatasi atau dibawah pengaruh barbiturat atau

anestesi umum)

d. Penolong kelelahan.

2.5 Terapi listrik (Electrical Therapies): Defibrillator Eksternal Otomatis (Automated

External Defibrillator / AED)

Defibrilasi dini sangat penting untuk kelangsungan hidup dari serangan jantung

mendadak (sudden cardiac arrest / SCA) untuk beberapa alasan:9

1. Irama awal yang paling sering terjadi di luar rumah sakit untuk SCA adalah

ventrikel fibrilasi (VF).

2. Pengobatan untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.

3. Kemungkinan defibrilasi berhasil, berkurang dengan cepat dari waktu ke waktu.

4. VF cenderung memburuk menjadi asystole dari waktu ke waktu.

Beberapa penelitian telah mendokumentasikan efek waktu untuk defibrilasi dan efek

RJP korban pada kelangsungan hidup dari SCA. Untuk setiap menit yang lewat di antara

kolaps dan defibrilasi, tingkat kelangsungan hidup dari SCA VF terjadi penurunan 7%

sampai 10% jika tidak dilakukan RJP. Jika penolong memberikan RJP langsung, banyak

orang dewasa dengan VF dapat bertahan dengan fungsi neurologis utuh, terutama jika

defibrilasi dilakukan dalam waktu 5 sampai 10 menit setelah SCA.9

15

Page 16: Makalah Het RJP 2011

Defibrilasi adalah bagian dari sebuah arus listrik di seluruh miokardium yang

besarnya cukup untuk depolarisasi massa kritis pada miokardium dan memungkinkan

restorasi dari aktivitas listrik yang terkoordinasi. Defibrilasi didefinisikan sebagai pemutusan

fibrilasi atau lebih tepatnya tidak adanya VF / VT di 5 detik setelah kejutan diberikan,

Namun, tujuan defibrilasi adalah untuk mengembalikan irama yang terorganisir dan sirkulasi

spontan. Teknologi defibrillator maju dengan cepat, interaksi AED dengan penolong melalui

suara petunjuknya, sekarang dirancang dan dimungkinkan pada teknologi masa depan dengan

instruksi yang lebih spesifik untuk diberikan dengan suara tepat. Kemampuan berkembang

defibrillator untuk menilai sementara irama RJP yang berlangsung merupakan kemajuan

penting dan memungkinkan penyelamat untuk menilai irama tanpa mengganggu kompresi

dada. Di masa depan, analisis gelombang defibrilator juga dapat memungkinkan untuk

menghitung waktu yang optimal dalam memberikan kejutan.10

2.5.1 Defibrillator Eksternal Otomatis

Defibrillator Eksternal Otomatis yang canggih, dapat diandalkan lewat perangkat

komputer yang menggunakan suara dan visual yang meminta untuk membimbing

penolong dan tenaga kesehatan profesional untuk aman mencoba defibrilasi pada korban

serangan jantung. Beberapa AED menggabungkan bimbingan bagi defibrilasi dengan

bimbingan untuk melakukan penekanan dada yang optimal. Penggunaan AED oleh awam

atau penolong non-kesehatan dapat dibantu dalam banyak situasi, sebuah AED digunakan

untuk menyediakan defibrilasi awal tetapi kemudian ditukarkan dengan defibrilator

manual pada saat kedatangan tim kesehatan emergensi.10 Berikut dibawah ini gambar alat

AED dan pemasangannya:

16

Page 17: Makalah Het RJP 2011

`

Gambar 8. AED (automated external defibrillator)11

Gambar 9. Pemasangan AED11

2.6 Pertolongan lanjutan (Advanced Life Support)

Bantuan hidup lanjut (Advanced Life Support) dilakukan di fasilitas kesehatan.

Tindakan bantuan hidup dasar tetap dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut.

Pada manajemen jalan napas (airway) yang dapat dilakukan adalah mempertahankan patensi

jalan napas dengan head tilt-chin lift bila perlu gunakan oropharyngeal airway atau

nasopharyngeal airway. Tindakan lanjutan seperti intubasi endotrakeal atau penggunaan

laryngeal mask airway (LMA) dapat dilakukan. Untuk menjamin akses vaskular maka pasien

perlu dipasang jalur intravena. Lead EKG dipasang untuk memantau adanya aritmia atau

17

Page 18: Makalah Het RJP 2011

henti jantung (asistol, Pulseless electrical activity/PEA, VF, atau VT tanpa nadi). Sesuai

indikasi berikan cairan dan obat-obatan yang akan dijelaskan dibawah ini.5

2.6.1 Manajemen jalan napas (airway) dan ventilasi

Pasien yang diberi tindakan resusitasi sering akibat dari jalan napas yang terhambat,

biasanya penyebab sekunder karena kehilangan kesadaran, tapi kadang-kadang mungkin

menjadi primer akibat serangan kardiorespirasi. Maka dari itu, penilaian dengan kontrol

jalan napas dan ventilasi paru-paru, sangatlah penting. Hal ini akan membantu untuk

mencegah kerusakan sekunder dari otak dan organ vital lainnya akibat hipoksia. Tanpa

oksigenasi yang adekuat mungkin mustahil untuk memulihkan kembalinya cardiac output

secara spontan. Prinsip-prinsip ini mungkin tidak berlaku pada serangan jantung yang

membutuhkan defibrilator segera, dalam hal ini, prioritas defibrilasi merupakan yang

utama.12

1. Obstruksi jalan napas

Obstruksi jalan napas bisa terjadi secara parsial ataupun keseluruhan, dan bisa juga

terjadi pada berbagai level baik hidung, mulut, ataupun trakea. Obstruksi dapat disebabkan

oleh cairan muntah dan darah (regurgitasi dari isi lambung dan trauma). Pendekatan look,

listen, and feel adalah metode yang sederhana dan sistematis dalam mendeteksi obstruksi

saluran napas.12

• Lihat pergerakan dada dan abdomen.

• Dengarkan dan rasakan aliran udara di mulut dan hidung.

Pada obstruksi jalan napas parsial, udara yang masuk berkurang dan biasanya berisik.

Stridor inspirasi disebabkan oleh obstruksi pada tingkat laring. Ekspirasi mengi

menyiratkan obstruksi yang lebih rendah pada saluran napas, yang cenderung kolaps dan

obstruksi selama ekspirasi.

18

Page 19: Makalah Het RJP 2011

Karakteristik suara lain meliputi:12

• Gurgling disebabkan oleh benda asing berupa cair atau semi solid pada saluran

napas besar.

• Snoring muncul ketika faring sebagian tersumbat oleh palatum mole atau epiglotis.

• Crowing adalah suara kejang laring.

2. Manajemen dasar jalan napas

Head tilt dan chin lift (gambar 7)12

Jaw thrust

Jaw thrust merupakan alternatif manuver untuk membawa mandibula ke

depan dan menghilangkan obstruksi akibat palatum mole dan epiglotis. Keempat

jari penolong selain ibu jari ditempatkan pada sudut ujung mandibula dan

mendorong mandibula tersebut ke atas dan ke depan. Dengan menggunakan ibu

jari, dilakukan penekanan pada dagu sehingga mulut akan terbuka(gambar 11).

Metode sederhana ini berhasil dalam kebanyakan kasus pada obstruksi jalan napas

akibat relaksasi jaringan lunak. Jika pembukaan jalan napas tidak dapat dicapai,

maka cari penyebab lain dari obstruksi saluran napas. Gunakan finger sweep,

forsep, atau suction untuk menghilangkan benda asing padat yang terlihat di

mulut.12

Gambar 10. Teknik Jaw Thrust.12

19

Page 20: Makalah Het RJP 2011

Manajemen jalan nafas pada pasien dengan tulang belakang servikal yang diduga

cedera

Jika cedera tulang belakang dicurigai (misalnya, jika korban telah jatuh, telah

terkena pukulan di kepala atau leher, atau telah diselamatkan setelah menyelam ke

dalam air dangkal) jaga kepala, leher, dada dan daerah lumbal dalam posisi netral

selama resusitasi. Memiringkan kepala secara berlebihan bisa memperburuk cedera

dan kerusakan pada sumsum tulang servikal. Jika obstruksi jalan napas berlanjut

dan mengancam hidup meskipun telah mengaplikasikan head tilt dan chin lift,

tambahkan memiringkan kepala sedikit demi sedikit sampai jalan napas terbuka,

membuat jalan napas jadi paten merupakan prioritas di atas kekhawatiran tentang

potensi cedera tulang belakang servikal.13

Pemasangan OPA (Oropharyngeal airways) dan NPA (Nasopharyngeal airways)

OPA (Oropharyngeal airways)

Meskipun beberapa penelitian tidak secara spesifik mempertimbangkan

penggunaan OPA pada pasien dengan serangan jantung, OPA dapat membantu

dalam pengiriman ventilasi yang memadai dengan perangkat bag-mask dengan

mencegah lidah dari obstruksi jalan napas. Cara memasukkan yang salah pada

OPA dapat membuat lidah jatuh ke hipofaring dan akan menyebabkan obstruksi

jalan napas. Untuk memudahkan pemasukkan udara ke ventilasi dengan bag-mask,

OPA dapat digunakan dalam keadaan tidak sadar (tidak responsif) pasien sehingga

tidak ada refleks batuk atau muntah dan hanya boleh dilakukan oleh orang yang

terlatih dalam menggunakannya.13

NPA (Nasopharyngeal airways)

Saluran udara nasofaring digunakan pada pasien dengan obstruksi jalan

napas atau berisiko untuk obstruksi jalan napas, terutama pada kondisi seperti

20

Page 21: Makalah Het RJP 2011

rahang terkatup sehingga menutupi jalan napas oral. Saluran udara nasofaring lebih

baik digunakan daripada saluran udara mulut pada penderita dengan kesadaran

yang menurun. Perdarahan pada jalan napas dapat terjadi pada 30% dari pasien

setelah insersi nasofaring. Menurut laporan khusus menunjukkan bahwa saluran

udara nasofaring harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan cedera

parah kraniofasial.13

Oksigen

Berikan oksigen pada konsentrasi tertinggi (yaitu, 100%) selama resusitasi

awal. Setelah sirkulasi dipulihkan, memberikan oksigen yang cukup untuk

mempertahankan saturasi oksigen arteri (SaO2) pada kisaran 94-98%. Studi pada

neonatus menunjukkan beberapa keuntungan menggunakan udara ruangan selama

resusitasi. Pada anak yang lebih tua, tidak ada bukti manfaat dari udara yang bukan

oksigen, jadi gunakan oksigen 100% untuk resusitasi awal dan setelah kembalinya

sirkulasi spontan (ROSC), titrasi fraksi oksigen yang terinspirasi (FiO) untuk

mencapai SaO2 dalam kisaran dari 94-98%.12

Suction

Gunakan penghisap lebar dan sedikit kaku (Yankauer) untuk menghilangkan

cairan (darah, saliva, dan isi lambung) dari saluran udara bagian atas. Gunakan

penghisap secara hati-hati jika pasien memiliki refleks muntah, rangsangan faring

yang dapat menstimulasi refleks muntah.12

3. Ventilasi

a. Self-inflating bag

Self-inflating bag dapat terhubung ke facemask/sungkup muka, ETT atau

perangkat saluran napas supraglotik / supraglottic airway device (SAD). Tanpa

21

Page 22: Makalah Het RJP 2011

tambahan oksigen, kantong ini dapat menghantarkan oksigen ke dalam paru-paru

korban dengan udara luar (21% oksigen).12

Gambar 11. Mouth-to-mask ventilation.12

Gambar 12. Teknik dengan 2 orang12

4. Perangkat alternatif jalan napas

a. Supraglottic Airways

Supraglottic Airways adalah perangkat yang dirancang untuk mempertahankan

jalan napas tetap terbuka dan memfasilitasi ventilasi. Tidak seperti intubasi

endotrakeal, intubasi dengan supraglottic airways tidak membutuhkan visualisasi

glottis, sehingga pelatihan awal dan menjaga keterampilan tersebut lebih mudah. Juga,

karena visualisasi langsung tidak diperlukan, supraglottic airways dapat dimasukkan

tanpa mengganggu kompresi. Supraglottic airways yang telah dipelajari dalam

serangan jantung adalah Laryngeal Mask Airway (LMA), tabung trakea-esofagus

(Combitube) dan tabung laring (Laryngeal Tube atau King LT). Kegagalan dapat

terjadi, sehingga menjaga keterampilan ini harus melalui praktek yang sering dan

pengalaman adalah yang terpenting.13

22

Page 23: Makalah Het RJP 2011

Laryngeal mask airway (LMA)

LMA memberikan cara lebih aman dan ventilasi yang dapat diandalkan

daripada face-mask. Meskipun LMA tidak menjamin perlindungan mutlak terhadap

aspirasi, penelitian telah menunjukkan bahwa dengan LMA kecil kemungkinan

terjadi regurgitasi daripada face-mask dan aspirasi yang biasa.13

Gambar 13. Laryngeal mask airway(LMA)14

Gambar 14. Pemasangan LMA15

Bila dibandingkan dengan (Endotracheal Tube/tabung endotrakeal) ETT,

LMA menyediakan ventilasi setara dengan ventilasi yang sukses selama RJP telah

dilaporkan pada 72% sampai 97% dari pasien (gambar 13). Karena insersi LMA

tidak memerlukan laringoskop dan visualisasi dari pita suara, pelatihan dalam

penempatan dan penggunaannya lebih sederhana daripada intubasi endotrakeal.

LMA mungkin juga memiliki keuntungan daripada ETT ketika akses ke pasien

23

Page 24: Makalah Het RJP 2011

terbatas, ada kemungkinan cedera leher yang tidak stabil, atau posisi yang mustahil

dari pasien untuk dilakukan intubasi endotrakeal.13

Indikasi pemasangan LMA yaitu (1) sebagai alternatif dari ventilasi face

mask atau intubasi endotrakheal untuk manajemen airway (2)LMA bukanlah suatu

penggantian endotrakheal, ketika pemakaian endotrakheal menjadi suatu indikasi

(3) pada penatalaksanaan dificult airway yang diketahui atau yang tidak

diperkirakan, pada manajemen airway selama resusitasi pada pasien yang tidak

sadarkan diri.16.17.18

Kontraindikasi untuk LMA adalah pasien dengan kelainan faring (misalnya

abses), sumbatan faring, lambung yang penuh (misalnya kehamilan, hernia hiatal),

atau komplians paru rendah (misalnya penyakit restriksi jalan nafas) yang

memerlukan tekanan inspirasi puncak lebih besar dari 30 cm H2O. Secara

tradisional, LMA dihindari pada pasien dengan bronkhospasme aatau resistensi

jalan nafas tinggi, akan tetapi, bukti-bukti baru menunjukkan bahwa karena tidak

ditempatkan dalam trakhea, penggunaan LMA dihubungkan dengan kejadian 

bronchospasme lebih kurang dari pada dengan endotrakheal tube.19

24

Page 25: Makalah Het RJP 2011

Gambar 15. Insersi LMA20

Langkah-langkah pemasangan LMA (gambar 15):20

1. Persiapan: pemilihan ukuran LMA, pemeriksaan LMA, periksa deflasi

dan inflasi cuff, lumasi LMA, dan posisi airway.

2. LMA dipegang seperti pena pada tangan dominan.

3. Buka mulut korban dan pada LMA bagian belakang berupa bagian yang

datar dimasukkan bersentuhan dengan langit-langit mulut.

4. Menggunakan jari telunjuk penolong, LMA dimasukkan di sepanjang

langit-langit mulut pasien dan masuk ke tenggorokan sampai ada terasa

hambatan.

5. Stabilkan tabung dengan tangan yang lain dan keluarkan jari telunjuk

penolong dari mulut pasien.

6. Dengan menggunakan jarum suntik 5 ml kemudian hembuskan udara

sekitar 2-4 ml pada inflation line untuk mengembangkan cuff LMA dan

untuk fiksasi LMA.

Tabung Esofagus-Trakea (Combitube)

Indikasi pemakaian combitube adalah:21.22

1. Pasien tidak responsif tanpa refleks muntah.

2. Upaya intubasi endotrakeal tidak berhasil.

3. Potensi cedera C-spine dengan ketidakmampuan untuk memvisualisasikan

pita suara.

Kontraindikasi pemakaian combitube: 21.22

1. Pasien sadar atau tidak sadar dengan refleks muntah.

25

Page 26: Makalah Het RJP 2011

2. Penyakit esofagus (kanker, varises, atau striktur).

3. Paten tracheostomy.

4. Tinggi pasien kurang dari 4 kaki.

5. Usia pasien kurang dari 16 tahun (kecuali tinggi 5 kaki).

Kelebihan dari tabung esofagus-trakea (combitube) mirip dengan kelebihan

ETT dibandingkan dengan ventilasi bag-mask, yaitu: isolasi saluran napas,

mengurangi risiko aspirasi, dan ventilasi lebih baik. Keuntungan dari tabung

trakea-esofagus atas ETT adalah terkait kemudahan dalam pelatihan. Ventilasi dan

oksigenasi dengan tabung trakea-esofagus lebih baik dibandingkan dengan yang

ETT. Dalam beberapa uji klinis terkontrol yang melibatkan resusitasi di dalam dan

di luar rumah sakit, penolong/tenaga medis dengan semua tingkat pengalaman

mampu memasukkan tabung trakea-esofagus dan memberikan ventilasi yang

sebanding dengan yang dicapai dengan intubation endotrakeal (gambar 15).13

Gambar 16. Combitube 22

Gambar 17. Pemasangan Combitube22

Langkah-langkah pemasangan combitube:21.22

1. Berikan oksigen sebelum insersi selama 24 kali dalam 2 menit.

26

Page 27: Makalah Het RJP 2011

2. Pilih combitube yang sesuai dan lumasi.

3. Posisikan kepala secara netral, cegah cedera spinal jika ada indikasi.

4. Masukkan combitube ke dalam mulut korban dengan teknik tongue-jaw lift

sampai tanda black ring pada tube telah sejajar dengan gigi atau garis gusi.

5. Gunakan syringe 100 cc untuk menggembungkan proximal cuff dan 10-15 cc

untuk distal cuff.

6. Tanpa visualisasi, ada kemungkinan penempatan combitube pada esophagus.

Oleh karena itu, tes ventilasi dapat dilakukan:

a. Tabung biru, pada tabung ini udara tidak akan melewati ujung distal dari

lumen faring karena ujungnya tertutup. Karena mulut, hidung, dan

kerongkongan yang disegel oleh balon dan cuff, udara dapat masuk ke

trakea. Jika auskultasi atas paru-paru adalah positif (dan insuflasi

epigastrium negatif), ventilasi dapat dilanjutkan. Lumen tracheo-esofagus

berfungsi untuk dekompresi esofagus dan lambung(gambar 18).

Gambar 18. Penempatan dan ventilasi esophageal22

b. Tabung putih, pada beberapa kasus penempatan combitube dapat masuk

pada trakea. Dalam hal ini, ventilasi berubah menjadi tabung pendek, yang

mengarah ke lumen tracheo-esofagus. Udara ditiupkan langsung ke trakea

(gambar 19).

27

Page 28: Makalah Het RJP 2011

Gambar 19. Penempatan dan ventilasi trakea22

Dalam sebuah penelitian retrospektif tidak ada perbedaan dalam hasil

yang diamati pada pasien yang diobati dengan tabung trakea-esofagus

dibandingkan dengan mereka yang dirawat dengan tabung endotrakeal. Para

tabung trakea-esofagus dilaporkan memberikan ventilasi yang selama RJP yaitu

sebesar 62% sampai 100% dari pasien. Komplikasi fatal dapat terjadi dengan

penggunaan tabung trakea-esofagus jika posisi lumen distal tabung trakea-

esofagus dalam kerongkongan atau trakea tidak diidentifikasi dengan benar.

Untuk alasan ini, konfirmasi penempatan tabung sangat penting. Komplikasi lain

yang mungkin terkait dengan penggunaan tabung trakea-esofagus adalah trauma

esofagus, termasuk luka, memar, dan emfisema subkutan.13

Tabung Laring (Laryngeal Tube/ King LT)

Indikasi dan kontraindikasi pemakaian Laryngeal Tube ini secara umum

hampir sama dengan LMA. Salah satu faktor yang mungkin yang dapat

membedakan kemudahan penyisipan antara kedua alat ini adalah ruang faring.

Jika ruang faring menyempit, misalnya, amandel membengkak, penyisipan

Laryngeal Tube mungkin lebih mudah daripada LMA, karena lebar dari

Laryngeal Tube lebih sempit dibandingkan dengan LMA.23

Keuntungan dari Laryngeal hampir sama dengan tabung trakea-esofagus,

namun tabung laring lebih padat dan lebih rumit untuk dimasukkan (tidak seperti

tabung trakea-esofagus, tabung laring hanya dapat masuk ke kerongkongan).

Pada saat ini, terdapat data yang terbatas pada penggunaan tabung laring dalam

kejadian serangan jantung.13

28

Page 29: Makalah Het RJP 2011

Tabung laring dapat terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 20. Laryngeal tube12

Gambar 21. Pemasangan Laryngeal tube23

Langkah-langkah pemakaian laryngeal tube/king LT:23

1. Memegang king LT dengan tangan dominan seperti memegang pena yang

sebelumnya sudah dicocokkan dan dilumasi, sedangkan tangan yang lain

membuka mulut korban dengan teknik ibu jari dan jari telunjuk.

2. Dari sisi lateral mulut dimasukkan king LT, samapi ke pangkal lidah

kemudiaan diputar sehingga blue orientation line berhadapan dengan dagu

korban.

3. Tanpa kekuatan yang berlebihan, majukan tabung sampai pangkal

konektor sejajar dengan gigi atau gusi korban.

4. Mengembungkan cuff dengan syringe yang telah disesuaikan untuk

fiksasi.

5. Selanjutnya pangkal konektor bisa dihubungkan dengan resusitation bag.

29

Page 30: Makalah Het RJP 2011

b. Intubasi endotrakeal

Tabung endotrakeal pernah dianggap sebagai metode yang optimal dalam

pengelolaan jalan nafas selama serangan jantung. Namun, upaya intubasi oleh tenaga

medis tidak terampil dapat menimbulkan komplikasi, seperti trauma pada orofaring,

gangguan dari kompresi dan ventilasi untuk waktu yang lama, dan hipoksemia dari

upaya intubasi yang lama atau kegagalan untuk mengenali penempatan atau

perpindahan tabung. Sudah jelas sekarang bahwa kejadian komplikasi adalah sangat

tinggi saat intubasi dilakukan oleh tenaga medis yang kurang berpengalaman atau

pemantauan penempatan tabung yang tidak memadai.13

Tabung endotrakeal menjaga jalan napas tetap paten, pengisapan sekresi

saluran napas, memungkinkan pengiriman konsentrasi tinggi oksigen, menyediakan

jalur alternatif untuk pemberian beberapa obat, memfasilitasi pengiriman volume tidal

yang dipilih dan dengan menggunakan manset, dapat melindungi jalan napas dari

aspirasi.13

Indikasi untuk intubasi endotrakeal darurat adalah (1) ketidakmampuan

penolong untuk memberikan ventilasi yang adekuat bagi korban tidak sadar dengan

bag dan mask dan (2) tidak adanya refleks pelindung saluran napas (koma atau

serangan jantung). Penolong harus memiliki pelatihan dan pengalaman dalam intubasi

endotrakeal. Selama penyedia RJP harus meminimalkan jumlah dan durasi gangguan

dalam kompresi dada, dengan tujuan untuk membatasi interupsi yang tidak lebih dari

10 detik. Interupsi untuk penempatan saluran napas supraglotik seharusnya tidak perlu

sama sekali, sedangkan interupsi untuk intubasi endotrakeal dapat diminimalkan jika

penolong siap untuk memulai intubasi, yaitu dengan memasukkan laryngoscope blade

dengan tube siap di tangan, dan segera dilakukannya kompresi oleh penolong sewaktu

jeda. Kompresi seharusnya terganggu hanya untuk waktu yang diperlukan oleh

30

Page 31: Makalah Het RJP 2011

penolong untuk memvisualisasikan pita suara dan memasukkan tabung, ini adalah

idealnya kurang dari 10 detik. Penolong harus siap untuk melanjutkan penekanan

dada segera setelah tabung melewati pita suara. Jika usaha intubasi tidak berhasil pada

awal, upaya kedua mungkin masuk akal, tetapi pertimbangan awal harus diberikan

untuk menggunakan saluran napas supraglotik.13

2.6.2 Bantuan lanjutan untuk sirkulasi

1. Obat-obatan

A. Vassopressors

1. Adrenalin (epinefrin)

Indikasi:

a. Adrenalin adalah obat pertama yang digunakan dalam serangan

jantung dari setiap penyebab, ini termasuk dalam algoritma ALS

untuk menggunakan setiap 3-5 menit dalam RJP (Siklus alternatif).

b. Adrenalin lebih disukai dalam pengobatan anafilaksis

c. Adrenalin adalah pengobatan dini kedua untuk syok kardiogenik.12

Dosis:

Selama serangan jantung, awal IV / IO dosis adrenalin adalah 1

mg. Apabila akses IV/IO tertunda atau tidak dapat diberikan, adrenalin

dapat diberikan melalui endotrakeal dengan dosis 2 - 3 mg dilarutkan

dalam 10 ml aquades. Dalam beberapa kasus, infus adrenalin diperlukan

dalam periode pasca-resusitasi. Gunakan adrenalin hati-hati pada pasien

dengan serangan jantung yang terkait dengan kokain atau obat

simpatomimetik lainnya.12.13

31

Page 32: Makalah Het RJP 2011

Penggunaan adrenalin paling sering tersedia dalam dua pengenceran:

• 1 dalam 10.000 (10 ml larutan ini mengandung 1 mg adrenalin).

• 1 di 1000 (1 ml larutan ini mengandung 1 mg adrenalin).

Kedua pengenceran digunakan secara rutin di Eropa.12.13

B. Anti Aritmia

1. Amiodarone

Amiodarone adalah obat anti aritmia yang meningkatkan durasi aksi

potensial dan refraktori periode miokardium atrium dan ventrikel.

Amiodarone memiliki aksi inotropik negatif dan ringan menyebabkan

vasodilatasi perifer melalui efek non-kompetitif alphablocking.12

Indikasi Amiodaron ditunjukkan dalam:

Refraktori VF / VT

Hemodinamik stabil ventricular tachycardia (VT) dan tahanan

tachyarrhythmias lainnya.12

Pertimbangkan dosis intravena awal 300 mg atau 5 mg/kg BB

amiodarone, diencerkan dalam dekstrosa 5% atau lainnya pelarut yang

cocok) untuk sebuah volume 20 ml (atau dari jarum suntik sebelum diisi),

jika VF / VT berlanjut setelah kejutan ketiga. Berikan dosis lebih lanjut dari

150 mg jika VF / VT berlanjut.12.13

2. Lidokain

Sampai publikasi tahun 2000 pedoman ILCOR, lidokain adalah obat

anti-aritmia pilihan. Studi banding dengan amiodarone, lidokain sekarang

direkomendasikan hanya ketika amiodaron tidak tersedia. Amiodarone harus

32

Page 33: Makalah Het RJP 2011

tersedia di semua rumah sakit dan di lapangan juga harus tersedia tenaga

medis. Lidokain menekan aktivitas depolarisasi, jaringan arrhythmogenic

sementara mengganggu minimal dengan aktivitas listrik dari jaringan normal.

Oleh karena itu, efektif dalam menekan aritmia yang berhubungan dengan

depolarisasi (misalnya, iskemia, toksisitas digitalis) tapi relatif tidak efektif

terhadap aritmia yang terjadi secara normal sel terpolarisasi (misalnya atrial,

fibrilasi / bergetar). Lidokain meningkatkan ambang batas untuk VF.12

Efek samping:12

Menyebabkan toksisitas paraesthesia

Mengantuk

Kebingungan

Kejang

Dosis:12

Dosis yang aman lidokain tidak boleh melebihi 3 mg kg/BB selama jam

pertama.Jika ada tanda-tanda toksisitas, hentikan infus segera; obati

kejang jika terjadi.

Ketika amiodarone tidak tersedia, pertimbangkan dosis awal dari 100mg

(5 mg kg/BB), Berikan bolus tambahan 50mg jika perlu.

Indikasi:12

Lidokain ditunjukkan dalam refraktori VF / VT (bila amiodaron tidak

tersedia). Dosis total tidak boleh melebihi 3mg/kg BB selama jam

pertama.12.13

Lidokain kurang efektif jika terjadi hipokalemia dan hipomagnesaemia,

yang harus segera diperbaiki.

33

Page 34: Makalah Het RJP 2011

3. Magnesium

Indikasi:12

• Takikardia ventrikel atau supraventrikuler yang terkait dengan

hypomagnesaemia.

• Torsades de pointes (tidak teratur/ VT polimorfik yang terkait dengan

interval QT yang berkepanjangan).

• Toksisitas digoxin.

Dosis: 12.13

• Berikan dosis intravena awal 2 g (4 ml (8 mmol)) magnesium sulfat

50%) perifer selama 1-2 menit; mungkin diulangi setelah 10-15

menit.

C. Obat lain

Tidak ada bukti bahwa secara rutin memberi obat lain (misalnya,

atropin, prokainamid, bretylium, kalsium dan hormon) selama serangan jantung

manusia meningkatkan kelangsungan hidup setelah dikeluarkan dari rumah

sakit. Rekomendasi untuk penggunaan obat ini didasarkan pada terbatas studi

klinis, pemahaman kita tentang farmakodinamik obat sifat dan patofisiologi

serangan jantung.12.13 Berikut salah satu contoh:

1. Atropin antagonis merupakan aksi neurotransmitter parasimpatis asetilkolin

pada reseptor muskarinik. Oleh karena itu, blok efek dari saraf vagus pada

kedua sinoatrial (SA) node dan atrioventrikular (AV) node, otomatisitas

meningkatkan sinus dan memfasilitasi konduksi AV node. Efek samping

dari dosis atropin yang terkait (penglihatan kabur, mulut kering dan retensi

kandung kemih). Tidak ada uji klinis terkontrol prospektif telah meneliti

penggunaan atropin dalam detak jantung atau brakikardi. Tidak ada bukti

34

Page 35: Makalah Het RJP 2011

bahwa atropin memiliki efek merugikan pada saat penangkapan bradikardi

atau asystolik jantung. Bukti yang tersedia menunjukkan bahwa

penggunaan rutin atropin selama aktivitas listrik denyut jantung/Pulseless

electrical activity (PEA) atau detak jantung tidak mungkin memiliki

manfaat terapeutik. Untuk alasan ini atropin telah dihapus dari algoritma

serangan jantung.13

2. Shockable ritme (ventrikel fibrilasi / pulseless takikardia ventrikel)

Mengidentifikasi irama dan mengobati menurut algoritma ALS:12

• Jika VF / VT dikonfirmasi, hidupkan defibrilator, sementara penolong yang lain

terus melakukan kompresi dada. Setelah defibrilator siap, dan penolong siap

serta pasien, kemudian berikan satu kejutan (360-J monophasic atau 150-200 J

biphasic).

• Meminimalkan jeda antara pemberhentian kompresi dada dan pengiriman shock

(jeda preshock), bahkan keterlambatan 5-10 detik akan mengurangi

kemungkinan kejutan yang sukses.

• Tanpa menilai kembali ritme atau merasakan denyut nadi, lanjutkan RJP (rasio

30:2) segera setelah shock, dimulai dengan kompresi dada. Bahkan jika usaha

defibrilasi berhasil dalam mengembalikan ritme perfusing, dibutuhkan waktu

sampai shock pasca-sirkulasi stabil dan sangat langka untuk nadi yang teraba

segera setelah defibrillation. Selanjutnya, keterlambatan dalam mencoba untuk

meraba denyut nadi lebih lanjut akan membahayakan miokardium jika ritme

perfusing belum kembali.

• Lanjutkan RJP selama 2 menit, kemudian berhenti sebentar untuk menilai

irama, jika masih VF / VT, berikan kejutan kedua (360-J monophasic atau 150-

35

Page 36: Makalah Het RJP 2011

360-J biphasic). Tanpa menilai kembali ritme atau perasaan untuk denyut nadi,

lanjutkan RJP (rasio 30:2) segera setelah shock, mulai dengan penekanan dada.

• Lanjutkan RJP selama 2 menit, kemudian berhenti sebentar untuk menilai

irama; jika masih VF / VT, berikan kejutan ketiga (360-J monophasic atau 150-

360-J biphasic). Tanpa menilai kembali ritme atau perasaan untuk denyut nadi,

lanjutkan RJP (rasio 30:2) segera setelah shock, mulai dengan penekanan dada.

Jika IV / IO akses telah diperoleh, berikan 1 mg adrenalin dan 300 mg

amiodarone sekali dan lanjutkan penekanan dada kembali. Jika kembalinya

sirkulasi spontan (return of spontaneous circulation / ROSC) belum dicapai

dengan kejutan ke-3 adrenalin akan meningkatkan aliran darah miokard dan

dapat meningkatkan kesempatan defibrilasi sukses dengan kejutan selanjutnya.

BAB 3

PENUTUP

36

Page 37: Makalah Het RJP 2011

3.1 Kesimpulan

Resusitasi Jantung Paru (RJP) merupakan suatu prosedur emegensi yang penting yang

bertujuan untuk mengembalikan sirkulasi dan nafas spontan pada keadaan henti jantung dan

henti nafas. Pelatihan yang khusus dan adekuat harus diberikan terutama kepada petugas

kesehatan supaya dapat melakukan RJP dengan efek yang optimal. Ini karena dari penelitian

yang telah dilakukan, didapatkan bahwa hampir separuh dari kompresi yang diberikan adalah

tidak adekuat sehingga darah tidak dialirkan.

3.2 Saran

Pemberian RJP dini dapat meningkatkan angka keberhasilan untuk hidup tetapi tidak

semua mendapatkan RJP kualitas tinggi. Untuk itu perlu pelatihan yang khusus supaya

petugas kesehatan khususnya anggota Hippocrates Emergency Team dapat mengenali

kebutuhan RJP sedini mungkin serta memberikan RJP yang berkualitas tinggi untuk

meningkatkan angka keberhasilan RJP.

Lampiran:

37

Page 38: Makalah Het RJP 2011

Lampiran 1. Algoritma bantuan hidup dasar7

38

Page 39: Makalah Het RJP 2011

Lampiran 2. Algoritma AED10

39

Page 40: Makalah Het RJP 2011

Lampiran 3. Algoritma bantuan hidup lanjut13

40

Page 41: Makalah Het RJP 2011

DAFTAR PUSTAKA

1. Field JM, Hazinski MF, Sayre MR, Chameides L, Stephen M, Schexnayder, et all.

Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122:640-656.

2. Nolan JP, Soar J, Zideman DA, Biarent D, Deakin C, Koster RW, et all. European

Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 1. Executive summary.

Rescucitation 2010;81:1219-1276.

3. Jones KM. Advanced Paedriatic Life Support, The Practical Approach. London. BMJ,

2001;3:3-70.

4. Mcmillan JA. Oski’s Pediatrics-Principles and Practice. 3rd Ed. Lippincott Williams and

Wilkins Publishers, 1999.

5. Mansjoer A. Resusitasi Jantung Paru. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi

V. Jakarta: Internal Publishing, 2010:227-233.

6. Dorland.2000.Kamus Kedokteran edisi ke-29. Jakarta:EGC.

7. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF, et all. Adult

Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122:685-705.

8. Koster RW, Baubin MA, Bossaert LL, Caballero A, Castrén M, Granja C, et all.

European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 2. Adult

basic life support and use of automated external defibrillators. Rescucitation

2010;81:1277-1292.

9. Link MS, Atkins DL, Passman RS, Halperin HR, Samson RA, White RD, et all.

Electrical Therapies: Automated External Defibrillators, Defibrillation, Cardioversion,

and Pacing • 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary

Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122:706-719.

10.Deakin CD, Nolan JP, Sunde K, Koster RW. European Resuscitation Council Guidelines

for Resuscitation 2010 Section 3. Electrical therapies: Automated external defibrillators,

defibrillation, cardioversion and pacing. Rescucitation 2010;81:1293-1304.

11.National Heart Lung and Blood Institute of U.S. Departement of Health and Human

Service. Automated External Defibrillator, diunduh pada http://www.nhlbi.nih.gov

tanggal 12 oktober 2011.

41

Page 42: Makalah Het RJP 2011

12.Deakin CD, Nolan JP, Soar J, Sunde K, Koster RW, Smith GB, et all. European

Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section 4. Adult advanced life

support. Rescucitation 2010;81:1305-1352.

13. Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Shuster M, Callaway CW, et all. Adult

Advanced Cardiovascular Life Support: 2010. American Heart Association Guidelines for

Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation

2010;122:729-767.

14. Sarkar S, Snashi P, Paswan AK, Anupam RW, Suman S, Dube SK. Use of the pro-

seal laryngeal mask airway facilitates percutaneous dilatational tracheostomy in an

intensive care unit. Indian Journal of Critical Care Medicine. 2010;14:185-187.

15. Niijima K, Seto A, Aoyama K, Takenaka I, Kadoya T. An Illuminating Stylet as an

Aid for Tracheal Intubation Via the Intubating Laryngeal Mask Airway. Anesthesia &

Analgesia 1999;88:470.

16. Thomas J Gal. Airway Management in Miller’s Anesthesia. Elsivier. 2005;42:1617.

17. Verghese C, Brimacombe JR. Survey of Laryngeal mask airway usage in  11910

patients : safety and efficacy for conventional and nonconventional usage. Anesth Analg

1996;82:129-133.

18. Edward Morgan et all. Clinical Anesthesiology. McGraw-Hill Companies. 2006;4:98.

19. Dunn PF. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.

Lippincot Williams & Wilkins. 2007:213-217.

20.Clincon 2000, Airway Skills Lab, Orlando, Florida, Laryngeal MaskAirways (LMA),

Indications and Use for the Pre-Hospital Provider.

21.Walz R, Davis S, Panning B. Is the Combitube® a useful emergency airway device for

anesthesiologists. Anesth Analg 1999;88:233.

22.Urtubia RM, Aguila CM, Cumsille MA. “Combitube: A study for proper use”.

Anesthesia Analgesia 2000; 90:958-962.

23.Asai T, Shingu K. British Journal of Anaesthesia. The Laryngeal Tube. 2005;6:729-736.

42