tb paru

29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) (Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia (Depkes RI, 2006). Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010). Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases (IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short- course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), 1

Transcript of tb paru

Page 1: tb paru

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan

yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas)

(Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah

terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada

9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia (Depkes

RI, 2006).

Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di

dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus

TB baru dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia

pada tahun 2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih

dari 70% usia produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).

Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)

tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases

(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-

course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga

berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan

selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan

dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua

kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti

tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),

1

Page 2: tb paru

2

Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul

antara lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan

sampai rasa terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga

gangguan fungsi hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa

nekrosis jaringan hati. Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah

INH, Rifampisin dan Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan

kadar transaminase darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat

pemakaian INH dan/ Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996; Sudoyo,

2007).

Pembahasan lebih lanjut mengenai TB paru akan dibahas pada referat ini.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, etiologi,

patofisiologi, manifestasi klinik, diagnosis, dan penatalaksanaan TB paru.

Page 3: tb paru

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium

tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya.

Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan

granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang

diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang

aktif bisa menjadi kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan

pengobatan yang efektif (Daniel, 1999).

Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang

kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan

tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan

tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain

selain paru misalnya, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium),

kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat

kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran

sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).

Page 4: tb paru

4

(Daniel, 1999)Gambar 2.1

Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan

pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri

atas asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang

menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada

pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel,

1999).

Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit

intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah

aerob, sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit

tuberkulosis (Bahar, 2007).

2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+).

Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam

bentuk droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat

bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi

individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang

masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru

Page 5: tb paru

5

ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,

saluran pernafasan, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya

(Depkes RI, 2006).

2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection =

ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada

daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya

diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang

terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang

terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).

2.5 Patogenesis tuberkulosis

2.5.1 Infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman

tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat

melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke

alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil

berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan

radang dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di

sekitar hilus paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi

sampai pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi

dapat dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif

menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang

masuk dan besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada

umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan

Page 6: tb paru

6

kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap

sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan

tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya dalam

beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien tuberkulosis. Masa

inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan

waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

2.5.2 Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau

tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun

akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari tuberkulosis

pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas

atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).

2.6 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan

dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

radiologis.

2.6.1 Diagnosis klinis

Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau

tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah

batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala

tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa

nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa

kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan

demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).

Page 7: tb paru

7

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan

konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam

(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik

pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus dini

atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan

fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila

TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit

akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak,

auskultasi memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali.

Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai

dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji

tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).

2.6.3 Pemeriksaan radiologis

Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis

untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih

memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier yang

pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB umumnya

di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau daerah hilus

menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarang-

sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan

dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat

maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas dan disebut

tuberkuloma (Depkes RI, 2006).

Page 8: tb paru

8

Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat

dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas

dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun

pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-

bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam

bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas

maupun atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).

Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto

rontgen dada di bawah ini :

(Bahar, 2007)Gambar 2.2

Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada

2.6.4 Pemeriksaan bakteriologis

a. Sputum

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan

ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil

pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan

dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif (Depkes RI, 2006).

Hasil BTA + + + + + -

Page 9: tb paru

9

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut

yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau

hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai

penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka

pemeriksaan dahak SPS diulangi.

Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas

(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada

perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak

SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis

BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto

rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.

a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA

negatif rontgen positif

b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),

sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Tersangka Penderita TB (suspek TB)

Hasil BTA + + + + + -

Page 10: tb paru

10

Hasil BTA+ + ++ + -

Hasil BTA+ - -

Hasil BTA- - -

Periksa Rontgen Dada

Beri Antibiotik Spektrum Luas

Hasil Mendukung

TB

Hasil Tidak Mendukung

TB

Tidak Ada Perbaikan

Ada Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak SPS

Hasil BTA + + + + + -

Hasil BTA- - -

Periksa Rontgen Dada

Hasil Mendukun

g TB

Hasil Rontgen Negatif

Bukan TBC,

Penyakit Lain

TB BTA Negatif Rontgen Positif

Penderita Tuberkulosis BTA Positif

Gambar 2.3Alur Diagnosis TB paru

Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,

Sewaktu (SPS)

Page 11: tb paru

11

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria

pada pasien TB paru menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah

pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,

sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif

disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan

sputumnya positif disertai biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA

negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis

tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).

b. Darah

Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang

sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih

di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila penyakit

mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah limfosit masih

tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga

didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama

globulin meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).

c. Tes Tuberkulin

Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan

diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes

tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang individu sedang atau

pernah mengalami infeksi Mycobacterium tuberculosis atau Mycobacterium

patogen lainnya (Depkes RI, 2006).

Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D

(Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah

Page 12: tb paru

12

reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul

reaksi berupa indurasi kemerahan yang terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi

persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen tuberkulin. Cara penyuntikan

tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini (Bahar, 2007):

(Bahar, 2007)Gambar 2.4

Penyuntikan Tes Tuberkulin

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar,

2007): a). Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no

sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol. b). Indurasi 6-9

mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini peran antibodi

humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan

low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15

mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi

seluler paling menonjol.

Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux

yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada

pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium lain, negatif palsu pada

pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis, anergi, penyakit sistemik

serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang akut

(morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada

Page 13: tb paru

13

penyakit hodgkin, pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia,

dan penyakit keganasan. Untuk pasien dengan HIV positif, tes mantoux ± 5

mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

2.7 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan

komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,

empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut

dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor

pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi

pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).

2.8 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,

yaitu :

a. Kasus baru

Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau

sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (relaps)

Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian

kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.

c. Pindahan (transfer in)

Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita

pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).

Page 14: tb paru

14

d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)

Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang

sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian

datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil

pemeriksaan dahak BTA positif.

e. Gagal

Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen

positif pada akhir bulan kedua pengobatan.

f. Kasus kronis

Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif

setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.

g. Tuberkulosis resistensi ganda

Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan

resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes

RI, 2006).

2.9 Pengobatan Tuberkulosis Paru

2.9.1 Prinsip pengobatan

Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas

bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang tumbuh

(metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat membunuh

kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya kurang aktif).

Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat tersebut

Page 15: tb paru

15

membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan didapatkan

hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan). Aktivitas sterilisasi

diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan dihentikan. Hampir semua

OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali Etambutol dan Tiasetazon yang hanya

bersifat bakteriostatik dan masih berperan untuk mencegah resistensi kuman

terhadap obat. Rifampisin dan Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang

baik, sedangkan INH dan Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar &

Amin, 2007).

2.9.2 Kemoterapi TB

Program nasional pemberantasan TB di Indonesia sudah dilaksanakan

sejak tahun 1950-an. Ada 6 macam obat esensial yang telah dipakai yaitu

Isoniazid (H), Para Amino Salisilik Asid (PAS), Streptomisin (S), Etambutol

(E), Rifampisin (R) dan Pirazinamid (Z). Sejak tahun 1994 program pengobatan

TB di Indonesia telah mengacu pada program Directly observed Treatment

Short-course (DOTS) yang didasarkan pada rekomendasi WHO, strategi ini

memasukkan pendidikan kesehatan, penyediaan OAT gratis dan pencarian

secara aktif kasus TB. Pengobatan ini memiliki 2 prinsip dasar : Pertama, terapi

yang berhasil memerlukan minimal 2 macam obat yang basilnya peka terhadap

obat tersebut dan salah satu daripadanya harus bakterisidik. Obat anti

tuberkulosis mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mencegah terjadinya

resistensi terhadap obat lainnya. Obat H dan R merupakan obat yang paling

efektif, E dan S dengan kemampuan mencegah, sedangkan Z mempunyai

efektifitas terkecil. Kedua, penyembuhan penyakit membutuhkan pengobatan

Page 16: tb paru

16

yang baik setelah perbaikan gejala klinisnya, perpanjangan lama pengobatan

diperlukan untuk mengeleminasi basil yang persisten (Bahar & Amin, 2007).

Regimen pada pengobatan sekitar tahun 1950-1960 memerlukan waktu 18-

24 bulan untuk jaminan menjadi sembuh. Dengan metode DOTS pengobatan

TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari berbagai jenis OAT, dalam jumlah

yang cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman dapat

dibunuh. Pengobatan diberikan dalam 2 tahap, tahap intensif dan tahap lanjutan.

Pada tahap intensif penderita mendapat obat baru setiap hari dan diawasi

langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua jenis OAT

terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara

tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2

minggu. Sebagian besar penderita tuberkulosis BTA positif menjadi BTA

negatif pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap ini sangat

penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Pada tahap lanjutan

penderita mendapat jenis obat lebih sedikit tetapi dalam jangka waktu yang

lebih lama. Tahap ini bertujuan untuk membunuh kuman persisten (dormant)

sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan (Bahar & Amin, 2007;

Depkes RI, 2006).

2.9.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat

lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke

penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan pencegahan

resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid, Rifampisin,

Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua mencakup

Page 17: tb paru

17

Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,

Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini

dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat

tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan hamil adalah Isoniazid,

Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).

Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OATJenis OAT Sifat KeteranganIsoniazid

(H)Bakterisid

terkuatObat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerjanya adalah menghambat cell-wall biosynthesis pathway

Rifampisin (R)

bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah menghambat polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis

Pirazinamid (Z)

bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.

Streptomisin (S)

bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan organisme ekstraselular.

Etambutol (E)

bakteriostatik -

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

2.9.4 Regimen pengobatan (metode DOTS)

Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar

dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah

menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang berfungsi

secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan kepatuhannya.

Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan standar yang

Page 18: tb paru

18

membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut,

seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini (Bahar & Amin, 2007) :

Tabel 2.2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori PengobatanKategori

pengobatan TB

Pasien TBPaduan pengobatan TB alternatif

Fase awal(setiap hari / 3 x

seminggu)

Fase lanjutan

I Kasus baru TB paru dahak positif; kasus baru TB paru dahak negatif dengan kelainan luas di paru; kasus baru TB ekstra-pulmonal berat

2 EHRZ (SHRZ)2 EHRZ (SHRZ)2 EHRZ (SHRZ)

6 HE4 HR

4 H3 R3

II Kambuh, dahak positif; pengobatan gagal; pengobatan setelah terputus

2 SHRZE / 1 HRZE

2 SHRZE / 1 HRZE

5 H3R3E3

5 HRE

III Kasus baru TB paru dahak negatif (selain dari kategori I); kasus baru TB ekstra-pulmonal yang tidak berat

2 HRZ atau 2H3R3Z3

2 HRZ atau 2H3R3Z3

2 HRZ atau 2H3R3Z3

6 HE

2 HR/4H

2 H3R3/4H

IV Kasus kronis (dahak masih positif setelah menjalankan pengobatan ulang)

TIDAK DIPERGUNAKAN(merujuk ke penuntun WHO

guna pemakaian obat lini kedua yang diawasi pada pusat-pusat

spesialis)(Crofton, 2002; Bahar & Amin, 2007)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program

penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):

Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.

Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari

selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2

bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan

4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih positif setelah 2

Page 19: tb paru

19

bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah

sputum sudah negatif atau tidak.

Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z,

E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama.

Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera dimulai.

Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase inisial dengan 4

obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih positif,

semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji

kepekaan, obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.

Kategori III : 2HRZ/2H3R3

Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan

dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.

Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup

Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya

harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja

sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan TB resistensi ganda

(MDR-TB).

Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).

Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan

kategori II pada tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan

pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA

positif (Depkes RI, 2006).

2.9.5 Dosis obat

Page 20: tb paru

20

Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara

harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien (Bahar &

Amin, 2007):

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di IndonesiaJenis Dosis

Isoniazid (H) • harian : 5mg/kg BB

• intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z) • harian : 25mg/kg BB

• intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu Streptomisin (S) • harian = intermiten : 15 mg/kgBB

• usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari

• usia > 60 th : 0,50 gr/hari Etambutol (E) • harian : 15mg/kg BB

• intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu (Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.9.6 Kombinasi obat

Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan pemakaian obat

kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif dalam terapi TB untuk

menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian dari strategi DOTS. Paduan

OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan tujuan memudahkan

pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai selesai.

Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan OAT

kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat

dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan

berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1

masa pengobatan. Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan

dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes RI, 2006) :

Page 21: tb paru

21

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3

Berat badan Tahap Intensif tiap hari selama 56 hariRHZE (150/75/400/275)

Tahap Lanjutan 3x seminggu selama 16 mingguRH (150/150)

30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT

> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT (Depkes RI, 2006)

Tabel 2.5 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3Berat badan

Tahap Intensif tiap hari RHZE (150/75/400/275)

+ S

Tahap Lanjutan3x semingguRH (150/150) + E (400)

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg

Streptomisin inj2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab

Etambutol38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg

Streptomisin inj3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab

Etambutol55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab

Etambutol> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg

Streptomisin inj5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab

Etambutol(Depkes RI, 2006)

Tabel 2.6 Dosis OAT untuk SisipanBerat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)30 – 37 kg 2 tablet 4KDT38 – 54 kg 3 tablet 4KDT55 – 70 kg 4 tablet 4KDT≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

(Depkes RI, 2006)

2.9.7 Efek samping pengobatan

Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang

mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin

OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek

samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan dan

pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin 2007).

Page 22: tb paru

22

Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap

pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OATJenis Obat Ringan Berat

Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, nyeri otot dan gangguan kesadaran. Kelainan yang lain menyerupai defisiensi piridoksin (pellagra) dan kelainan kulit yang bervariasi antara lain gatal-gatal.

Hepatitis, ikhterus

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan kulit, sindrom flu, sindrom perut.

Hepatitis, sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas, kadang disertai dengan kolaps atau renjatan (syok), purpura, anemia hemolitik yang akut, gagal ginjal

Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : demam, mual dan kemerahan

Hepatitis, nyeri sendi, serangan arthritis gout

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : demam, sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit

Kerusakan saraf VIII yang berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran

Etambutol (E) Gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan

Buta warna untuk warna merah dan hijau

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan

pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):

a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol

b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin

Page 23: tb paru

23

c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,

darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan

Pirazinamid)

2.10 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan

penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :

a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya

negatif 2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir

pengobatannya.

b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan

sesuai jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau

hanya 1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir

pengobatan.

c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2

bulan dan seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih

positif pada akhir pengobatan.

Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA

terkhir masih positif.

Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2

dari pengobatan.

d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih

dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.

e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa

melihat sebab kematiannya.

Page 24: tb paru

24

2.11 Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang

bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :

a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2

minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir

pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan

pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan

bertambah, berat badan meningkat dll.

b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai

menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali

sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung

dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi

dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap

intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan

ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan

sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali

pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah

sembuh mulai kambuh lagi.

c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada

akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti

timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya

tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan

TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena

Page 25: tb paru

25

perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis,

evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama, 2007).

Page 26: tb paru

BAB 3

KESIMPULAN

1. Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian

besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.

2. Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.

3. Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri

menyebar ke udara dalam bentuk droplet.

4. Patogenesis TB paru adalah saat droplet terhirup melewati sistem pertahanan

mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana.

Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya tahan tubuh masing-masing

individu.

5. Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

penunjang.

6. Gejala klinis utama TB apru adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3

minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk

darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun,

berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam

walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan

7. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,

laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut dapat

menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor pulmonal,

amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi pada TB

milier dan kavitas TB)

8. Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus

baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis resistensi

ganda.

9. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan dengan

menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk kombinasi

dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat dibunuh.

Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT) yaitu :

26

Page 27: tb paru

27

Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan

Etambutol (E)

10. Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan lengkap,

gagal, putus berobat, dan meninggal.

11. Evaluasi pengobatan dapat mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan

radiologis.

Page 28: tb paru

28

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :

Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.

Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419

Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru

yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia

Kedokteran No. 110, 1996 15.

Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,

Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.

Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-

1000.

Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.

Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick &

Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:

Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.

Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.

Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13

Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,

Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.

Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku

Kedokteran EGC. Jakarta.

Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :

penerbit Buku Kedokteran EGC.

Page 29: tb paru

29

World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for

National programmes. Geneva : 3-15

World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses

pada 23 Maret 2010 pukul 14:39 WIB

<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-

indonesia/article/55/000100150017/2>