TB HIV

download TB HIV

of 10

Transcript of TB HIV

TB HIV

Perkembangan epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Indonesia termasuk yang tercepat di kawasan Asia meskipun secara Nasional angka prevalensinya masih termasuk rendah, diperkirakan pada tahun 2009 sekitar 0,2% pada orang dewasa. Dengan estimasi ini maka pada tahun 2009 di Indonesia diperkirakan terdapat 142.187 (97652 187.029) Orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Penggunaan jarum suntik merupakan cara transmisi HIV yang terbanyak (53%) diikuti dengan transmisi heteroseksual (42%). Salah satu masalah dalam epidemiologi HIV di Indonesia adalah variasi antar wilayah baik dalam hal jumlah kasus maupun faktor-faktor yang mempengaruhi. Epidemi HIV di Indonesia berada pada kondisi epidemi terkonsentrasi dengan potensi menjadi epidemi meluas pada beberapa Provinsi. Diperkirakan sepertiga dari 40 juta ODHA di seluruh dunia terinfeksi oleh Tuberkulosis (TB). Di Asia Tenggara sekitar 40-50% dari sekitar 6 juta orang ODHA dewasa memiliki kemungkinan terinfeksi TB. Orang dengan HIV/AIDS mempunyai risiko menjadi sakit TB sebesar enam kali lebih besar dari pada mereka yang tanpa HIV. Tingkat kematian ODHA dengan TB mencapai 20% sedangkan pada TB tanpa HIV hanya 5%. Di Indonesia, TB merupakan tantangan bagi pengendalian Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) karena merupakan infeksi oportunistik terbanyak (49%) pada ODHA. Sebaliknya diperkirakan sekitar 3% pasien TB dengan status HIV positif. Pada tingkat Dunia, berbagai upaya pengendalian dilakukan untuk merespons dampak ko-infeksi TB-HIV bagi kedua program. World Health Organization bekerja sama dengan Stop TB Partnership telah mengembangkan pedoman untuk pelaksanaan kegiatan kolaborasi TB-HIV yang disusun berdasarkan tingkat prevalens HIV. Di banyak negara yang telah melaksanakan kegiatan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP) HIV, kegiatan kolaborasi ini dimulai sebagai bagian dari upaya pengendalian TB dan upaya meningkatkan keberhasilan Program Pengendalian AIDS. Di Indonesia, kegiatan kolaborasi TB-HIV mulai diujicobakan di Provinsi DKI Jakarta (2004), di Kabupaten Merauke Provinsi Papua dan di Kota Denpasar Provinsi Bali (2006) yang merupakan wilayah dengan epidemi HIV AIDS yang terkonsentrasi. Kegiatan ini dikembangkan ke 9 Provinsi lainnya (2008) dan pada tahun 2010 diperluas ke 12 Provinsi (Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Papua Barat dan Papua) sedangkan sosialisasi kegiatan kolaborasi TB-HIV kepada stakeholder telah dilakukan di 33 Provinsi. Pada tahun 2012 akan dilakukan inisiasi kegiatan pemberian Isoniazid Preventive Therapy (IPT) pada ODHA di 2 Provinsi (DKI Jakarta dan Jawa Barat) di 4 fasilitas pelayanan kesehatan (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Hasan Sadikin dan Rumah Sakit Marzuki Mahdi)

Pada tahun 1994, Indonesia mengadopsi strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse) untuk penanggulangan TB, dan pada tahun 2001 seluruh propinsi dan lebih dari 95 % Puskesmas, dan 30% Rumah Sakit/BP.4 telah mengadopsi strategi DOTS. Dalam mendukung penerapan strategi DOTS, disediakan secara gratis paket OAT (Obat Anti TB) bagi penderita dewasa maupun anak, dan pada tahun 2003 dipergunakan OAT untuk penderita dewasa dalam dua bentuk yaitu OAT dalam bentuk Kombipaks dan OAT dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC), dan mulai tahun 2005/2006 secara bertahap semua daerah akan menggunakan OAT FDC. Untuk mendukung ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan) saat ini menjadi Kementerian Kesehatan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1190/Menkes/SK/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Viral (ARV) untuk HIV/AIDS. Pengadaan OAT dilakukan setiap tahun melalui APBN, dan pada tahun 2004/2005 dalam rangka percobaan penggunaan OAT FDC pengadaannya melalui bantuan hibah luar negeri. Pengelolaan OAT dalam menjamin ketersediaan dilaksanakan sebagai berikut : Perencanaan Kebutuhan Obat Rencana kebutuhan Obat TB dilaksanakan dengan pendekatan bottom up planning oleh kabupaten/kota. Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya yang berpedoman pada :

Pencapaian penemuan semua penderita TBC pada tahun sebelumnya berdasarkan kategori OAT dan sisipan); pengembangan cakupan; buffer-stock; Sisa stock OAT yang ada, perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi.

(perinci

Tingkat Unit Pelayanan Kesehatan Unit pelayanan kesehatan membuat perencanakan kebutuhan tahunan dan triwulan sebagai dasar permintaan ke Kabupaten/Kota. Tingkat Kabupaten/Kota Perencanaan kebutuhan OAT di kabupaten/kota dilakukan oleh Tim Perencanaan Obat Terpadu daerah kabupaten/kota yang dibentuk dengan keputusan Bupati / Walikota yang anggotanya minimal terdiri dari unsur Program, Farmasi dan GFK. Tingkat Propinsi

Propinsi merekapitulasi seluruh usulan kebutuhan masing-masing Kabupaten/Kota dan memhitung kebutuhan buffer stock untuk tingkat propinsi, perencanaan ini diteruskan ke pusat. Tingkat Pusat Pusat menyusun perencanaan kebutuhan OAT berdasarkan usulan dan rencana :

Kebutuhan kabupaten/kota Buffer stock propinsi Buffer stock ditingkat pusat.

Pengadaan OAT Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OAT merupakan Obat yang sangatsangat esensial (SSE). Kabupaten/Kota maupun propinsi yang akan mengadakan OAT perlu berkoordinasi dengan pusat (Dirjen PPM & PL Depkes RI) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Agar penyediaan obat lebih terkendali maka daftar obat untuk pelayanan kesehatan di kabupaten/kota dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, sebagai berikut:

Obat Sangat Sangat Esensial (SSE) yaitu obat yang berisiko tinggi apabila tidak tersedia atau terlambat disediakan, sulit didapat di daerah dan obat program yang harus dijamin ketersediaannya secara tepat waktu, tepat jenis dengan mutu terjamin untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan di kabupaten / kota, maka Depkes menggolongkan OAT kedalam obat SSE. Obat Sangat Esensial (SE) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta masih mengandung risiko dalam hal kemampuan suplainya di daerah. Obat Esensial (E) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta mudah di suplai di daerah kabupaten.

Penyimpanan dan pendistribusian OAT OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan rencana kebutuhan masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan oleh Panitia Penerima Obat tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat propinsi. OAT disimpan di GFK maupun Gudang Obat Propinsi sesuai persyaratan penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan agar dapat didistribusikan lebih dulu. Demikian juga pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di propinsi dilakukan untuk menjamin berjalannya system distribusi yang baik. Distribusi OAT dari GFK ke UPK dilakukan sesuai permintaan yang telah disetujui oleh Dinas Kesehatan. Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa. Monitoring dan Evaluasi

Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan. Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama GFK mencatat persediaan OAT yang ada dan melaporkannya ke propinsi setiap triwulan dengan menggunakan formulir TB-13. Pengelola program bersama Farmakmin Propinsi, merekap laporan TB-13 kabupaten/kota dan menyampaikannya ke pusat setiap triwulan. Pembinaan teknis dilaksanakan oleh Tim Pembina Obat Propinsi. Secara fungsional pelaksana program TBC propinsi dan daerah kabupaten / kota juga melakukan pembinaan pada saat supervisi. Pengawasan Mutu Pengawasan dan pengujian mutu OAT dimulai dengan pemeriksaan sertifikat analisis pada saat pengadaan. Setelah OAT sampai di daerah, pengawasan dan pengujian mutu OAT dilakukan oleh Program bersama dengan Ditjen Yanfar dan Badan/Balai POM. Pemantauan mutu OAT dilakukan dalam dua tahapan yaitu : 1. Pemantauan Mutu melalui fisik OAT oleh petugas. 2. Pemantauan mutu melalui uji laboratorium dilaksanakan oleh Balai POM. Tindak lanjut dapat berupa : 1. OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi, maka akan dilakukan recall atau batch tersebut akan ditarik dari peredaran. 2. Dilakukan tindakan sesuai kontrak. 3. Dimusnahkan. Secara umum proses sistem pengendalian ketersediasan OAT dapat digambarkan sbb :

Obat Anti TB (OAT)0 Comment Mar - 22 - 2012 Haziq

Pada tahun 1994, Indonesia mengadopsi strategi DOTS (directly observed treatment shortcourse) untuk penanggulangan TB, dan pada tahun 2001 seluruh propinsi dan lebih dari 95 % Puskesmas, dan 30% Rumah Sakit/BP.4 telah mengadopsi strategi DOTS. Dalam mendukung penerapan strategi DOTS, disediakan secara gratis paket OAT (Obat Anti TB) bagi penderita dewasa maupun anak, dan pada tahun 2003 dipergunakan OAT untuk

penderita dewasa dalam dua bentuk yaitu OAT dalam bentuk Kombipaks dan OAT dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC), dan mulai tahun 2005/2006 secara bertahap semua daerah akan menggunakan OAT FDC. Untuk mendukung ketersediaan Obat Anti Tuberkulosis Pemerintah Pusat (Departemen Kesehatan) saat ini menjadi Kementerian Kesehatan menerbitkan Surat Keputusan Nomor 1190/Menkes/SK/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Obat Anti Retro Viral (ARV) untuk HIV/AIDS. Pengadaan OAT dilakukan setiap tahun melalui APBN, dan pada tahun 2004/2005 dalam rangka percobaan penggunaan OAT FDC pengadaannya melalui bantuan hibah luar negeri. Pengelolaan OAT dalam menjamin ketersediaan dilaksanakan sebagai berikut : Perencanaan Kebutuhan Obat Rencana kebutuhan Obat TB dilaksanakan dengan pendekatan bottom up planning oleh kabupaten/kota. Perencanaan kebutuhan OAT dilakukan terpadu dengan perencanaan obat lainnya yang berpedoman pada :

Pencapaian penemuan semua penderita TBC pada tahun sebelumnya (perinci berdasarkan kategori OAT dan sisipan); pengembangan cakupan; buffer-stock; Sisa stock OAT yang ada, perkiraan waktu perencanaan dan waktu distribusi.

Tingkat Unit Pelayanan Kesehatan Unit pelayanan kesehatan membuat perencanakan kebutuhan tahunan dan triwulan sebagai dasar permintaan ke Kabupaten/Kota. Tingkat Kabupaten/Kota Perencanaan kebutuhan OAT di kabupaten/kota dilakukan oleh Tim Perencanaan Obat Terpadu daerah kabupaten/kota yang dibentuk dengan keputusan Bupati / Walikota yang anggotanya minimal terdiri dari unsur Program, Farmasi dan GFK. Tingkat Propinsi Propinsi merekapitulasi seluruh usulan kebutuhan masing-masing Kabupaten/Kota dan memhitung kebutuhan buffer stock untuk tingkat propinsi, perencanaan ini diteruskan ke pusat. Tingkat Pusat Pusat menyusun perencanaan kebutuhan OAT berdasarkan usulan dan rencana :

Kebutuhan kabupaten/kota Buffer stock propinsi Buffer stock ditingkat pusat.

Pengadaan OAT Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pusat mengingat OAT merupakan Obat yang sangatsangat esensial (SSE). Kabupaten/Kota maupun propinsi yang akan mengadakan OAT perlu berkoordinasi dengan pusat (Dirjen PPM & PL Depkes RI) sesuai dengan peraturan yang berlaku. Agar penyediaan obat lebih terkendali maka daftar obat untuk pelayanan kesehatan di kabupaten/kota dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, sebagai berikut:

Obat Sangat Sangat Esensial (SSE) yaitu obat yang berisiko tinggi apabila tidak tersedia atau terlambat disediakan, sulit didapat di daerah dan obat program yang harus dijamin ketersediaannya secara tepat waktu, tepat jenis dengan mutu terjamin untuk menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan di kabupaten / kota, maka Depkes menggolongkan OAT kedalam obat SSE. Obat Sangat Esensial (SE) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta masih mengandung risiko dalam hal kemampuan suplainya di daerah. Obat Esensial (E) yaitu obat yang diperlukan dan sering digunakan serta mudah di suplai di daerah kabupaten.

Penyimpanan dan pendistribusian OAT OAT yang telah diadakan, dikirim langsung oleh pusat sesuai dengan rencana kebutuhan masing-masing daerah, penerimaan OAT dilakukan oleh Panitia Penerima Obat tingkat kabupaten/ kota maupun tingkat propinsi. OAT disimpan di GFK maupun Gudang Obat Propinsi sesuai persyaratan penyimpanan obat. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First Expired First Out), artinya, obat yang kadaluarsanya lebih awal harus diletakkan didepan agar dapat didistribusikan lebih dulu. Demikian juga pendistribusian buffer stock OAT yang tersisa di propinsi dilakukan untuk menjamin berjalannya system distribusi yang baik. Distribusi OAT dari GFK ke UPK dilakukan sesuai permintaan yang telah disetujui oleh Dinas Kesehatan. Pengiriman OAT disertai dengan dokumen yang memuat jenis, jumlah, kemasan, nomor batch dan bulan serta tahun kadaluarsa. Monitoring dan Evaluasi Pemantauan OAT dilakukan dengan menggunakan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintan Obat (LPLPO) yang berfungsi ganda, untuk menggambarkan dinamika logistik dan merupakan alat pencatatan / pelaporan. Dinas Kesehatan kabupaten/kota bersama GFK mencatat persediaan OAT yang ada dan melaporkannya ke propinsi setiap triwulan dengan menggunakan formulir TB-13. Pengelola program bersama Farmakmin Propinsi, merekap laporan TB-13 kabupaten/kota dan menyampaikannya ke pusat setiap triwulan.

Pembinaan teknis dilaksanakan oleh Tim Pembina Obat Propinsi. Secara fungsional pelaksana program TBC propinsi dan daerah kabupaten / kota juga melakukan pembinaan pada saat supervisi. Pengawasan Mutu Pengawasan dan pengujian mutu OAT dimulai dengan pemeriksaan sertifikat analisis pada saat pengadaan. Setelah OAT sampai di daerah, pengawasan dan pengujian mutu OAT dilakukan oleh Program bersama dengan Ditjen Yanfar dan Badan/Balai POM. Pemantauan mutu OAT dilakukan dalam dua tahapan yaitu :1. Pemantauan Mutu melalui fisik OAT oleh petugas. 2. Pemantauan mutu melalui uji laboratorium dilaksanakan oleh Balai POM.

Tindak lanjut dapat berupa :1. OAT tersebut rusak bukan karena penyimpanan dan distribusi, maka akan dilakukan re-call atau batch tersebut akan ditarik dari peredaran. 2. Dilakukan tindakan sesuai kontrak. 3. Dimusnahkan.

Secara umum proses sistem pengendalian ketersediasan OAT dapat digambarkan sbb :

Dalam menjalankan fungsinya, Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasioanal menggunakan fasilitas yang ada dalam struktur pelayanan kesehatan nasional, yaitu Puskesmas. Dalam struktur Program Penanggulangan Tuberkulosis Nasional, Puskesmas dibagi menjadi tiga kategori menurut fungsi yang berbeda-beda, yaitu:

Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM): melatih para staf laboratorium dan melakukan pembacaan sediaan apus dahak untuk beberapa Puskesmas Satelit (PS): tidak memiliki fasilitas laboratorium sendiri, dan hanya membuat sediaan apus dahak dan difiksasi, kemudian dikirim ke PRM untuk dibaca hasilnya. Setelah mendapatkan hasil, Puskesmas Satelit akan menentukan rencana pengobatan. Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM): menyediakan layanan diagnosis dan pengobatan TBC, tanpa bekerja sama dengan Puskesmas Satelit.

Pelayanan TB di Kabupaten/Kota

Pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten/kota merupakan unit dasara dalam upaya penanggulangan TBC di Indonesia. Fasilitas Mikroskopis tersedia di Rumah Sakit Umum Daerah, Puskemas Rujukan Mikroskopis (PRM) dan Unit Pelayanan Kesehatan swasta. Penderita bisa melakukan pemeriksaan diagnosis di unit pelayanan kesehatan manapun untuk mendapatkan diagnosis, kecuali di Puskesmas Satelit. Pengobatan TB di tingkat kabupaten/kota disupervisi oleh Wakil Supervisor (WASOR) dari Dinas Kesehatan. WASOR akan mengunjungi semua sarana pelayanan kesehatan untuk mendapatkan data mengenai kasus baru. WASOR juga mempersiapkan laporan berkala, memastikan terjadinya koordinasi antar berbagai fasilitas pelayanan kesehatan serta memastikan persediaan obat cukup. Pengawasan menelan obat biasanya dilakukan oleh anggota keluarga penderita TB setelah menerima obat yang diberikan setiap minggu. Jika seorang pasien TB tidak datang sesuai jadwal berobatnya, maka akan dilakukan kunjungan langsung ke rumah pasien tersebut. Seorang WASOR seharusnya mengawasi tidak lebih dari 20 Puskesmas agar dapat menjalankan semua tugasnya dengan maksimal, sehingga di kabupaten/kota yang luas diperlukan lebih dari satu WASOR. Setiap RS dan Puskesmas setidaknya memiliki satu dokter dan satu staf poliklinik yang bertugas menangani TB, dan tiap PRM memiliki satu petugas laboratorium yang terlatih.Pelayanan TB di Propinsi

Tim TB di tingkat propinsi memiliki peran untuk memantau dan memberikan dukungan teknis bagi dinas kesehatan di kabupaten/kota. Oleh karena itu di tingkat propinsi dibentuk tim DOTS diperkuat dengan penambahan tenaga yang terdiri dari Provincial Project Officer (PPO), Provincial Training Coordinator (PTC), serta Provincial Technical Officer (PTO)

TBC MASALAH KESEHATAN DUNIA Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang masih menjadi perhatian dunia. Hingga saat ini, belum ada satu negara pun yang bebas TB. Angka kematian dan kesakitan akibat kuman Mycobacterium tuberculosis ini pun tinggi. Tahun 2009, 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan). Sepertiga dari populasi dunia sudah tertular dengan TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun). Demikian penjelasan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama pada acara temu media di kantor Kemkes, 18 Februari. Acara ini dilakukan sebagai rangkaian Hari TB Sedunia (HTBS) yang diperingati setiap tanggal 24 Maret. Tema Global HTBS adalah On the Move Against Tuberculosis, Transforming the Fight Towards Elimination. Sementara tema Nasional HTBS adalah Terobosan Melawan Tuberkulosis menuju Indonesia Bebas TB. Menurut Prof. Tjandra Yoga, sedikitnya ada 3 faktor yang menyebabkan tingginya kasus TB di Indonesia. Waktu pengobatan TB yang relatif lama (6 8 bulan) menjadi penyebab penderita TB sulit sembuh karena pasien TB berhenti berobat (drop) setelah merasa sehat meski proses pengobatan belum selesai. Selain itu, masalah TB diperberat dengan adanya peningkatan infeksi HIV/AIDS yang berkembang cepat dan munculnya permasalahan TB-MDR (Multi Drugs Resistant=kebal terhadap bermacam obat). Masalah lain adalah adanya penderita TB laten, dimana penderita tidak sakit namun akibat daya tahan tubuh menurun, penyakit TB akan muncul. Penyakit TB juga berkaitan dengan economic lost yaitu kehilangan pendapatan rumah tangga Menurut WHO, seseorang yang menderita TB diperkirakan akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 3 4 bulan. Bila meninggal akan kehilangan pendapatan rumah tangganya sekitar 15 tahun. Dari sini dapat dihitung kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh TB. TB sangat erat dengan program pengentasan kemiskinan. Orang yang miskin akan menyebabkan kekurangan gizi dan penurunan daya tahan tubuh sehingga rentan tertular dan sakit TB, begitu sebaliknya orang terkena TB akan mengurangi pendapatannya, ujar Prof. Tjandra. Dunia telah menempatkan TB sebagai salah satu indikator keberhasilan pencapaian MDGs. Secara umum ada 4 indikator yang diukur, yaitu Prevalensi, Mortalitas, Penemuan kasus dan Keberhasilan pengobatan. Dari ke-4 indikator tersebut 3 indikator sudah dicapai oleh Indonesia, angka kematian yang harus turun separuhnya pada tahun 2015 dibandingkan dengan data dasar (baseline data) tahun 1990, dari 92/100.000 penduduk menjadi 46/100.000 penduduk. Indonesia telah mencapai angka 39/100.000 penduduk pada tahun 2009. Angka Penemuan kasus (case detection rate) kasus TB BTA positif mencapai lebih 70%. Indonesia telah mencapai angka 73,1% pada tahun 2009 dan mencapai 77,3% pada tahun 2010. Angka ini akan terus ditingkatkan agar mencapai 90% pada tahun 2015 sesuai target RJPMN. Angka keberhasilan pengobatan (success rate) telah mencapai lebih dari 85%, yaitu 91% pada tahun 2009. Berdasarkan laporan WHO dalam Global Report 2009, pada tahun 2008 Indonesia berada pada peringkat 5 dunia penderita TB terbanyak setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Peringkat ini turun dibandingkan tahun 2007 yang menempatkan Indonesia pada posisi ke-3 kasus TB terbanyak setelah India dan China.

Menurut Prof. Tjandra Yoga, Program TB Nasional telah mencapai target dunia sejak tahun 2005 dengan penemuan kasus TB BTA (Basil Tahan Asam) positif sekitar 70% dan mencapai keberhasilan pengobatan lebih dari 85% bahkan sejak tahun 2000. Penemuan dengan lebih dari 70% dan keberhasilan pengobatan >85% secara berurut lebih dari 5 tahun akan menurunkan prevalensi dan penurunan insidens. Strategi nasional pengendalian TB telah sejalan dengan petunjuk internasional (WHO DOTS dan strategi baru Stop TB), serta konsisten dengan Rencana Global Penanggulangan TB yang diarahkan untuk mencapai Target Global TB 2005 dan Tujuan Pembangunan Milenium 2015. Strategi yang direkomendasikan untuk mengendalikan TB (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) terdiri dari 5 komponen yaitu komitmen pemerintah untuk mempertahankan control terhadap TB; deteksi kasus TB di antara orang-orang yang memiliki gejala-gejala melalui pemeriksaan dahak; pengobatan teratur selama 6-8 bulan yang diawasi; persediaan obat TB yang rutin dan tidak terputus; dan sistem laporan untuk monitoring dan evaluasi perkembangan pengobatan dan program. Selain itu, rencana global penanggulangan TB didukung oleh 6 komponen dari Strategi Penanggulangan TB baru yang dikembangkan WHO, yaitu mengejar peningkatan dan perluasan DOTS yang berkualitas tinggi, menangani kasus ko-infeksi TB-HIV, kekebalan ganda terhadap obat anti TB dan tantangan lainnya, berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan, menyamakan persepsi semua penyedia pelayanan, memberdayakan pasien TB dan masyarakat serta mewujudkan dan mempromosikan penelitian DOTS sangat penting untuk penanggulangan TB selama lebih dari satu dekade, dan tetap menjadi komponen utama dalam strategi penanggulangan TB yang terus diperluas, termasuk pengelolaan kasus kekebalan obat anti TB, TB terkait HIV, penguatan sistem kesehatan, keterlibatan seluruh penyedia layanan kesehatan dan masyarakat, serta promosi penelitian. Pada peringatan HTBS 2011 dilaksanakan beberapa acara diantaranya Kongres Nasional TB tanggal 25-26 Maret 2011, Pameran Kesehatan dan Bazar Kelompok Masyarakat Peduli TB, dan Senam Akbar di Monas tanggal 27 Maret 2011. Sementara Acara Puncak Peringatan HTBS, tanggal 24 Maret 2011 diselenggarakan di Istana Wakil Presiden. Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-500567, 30413700, atau alamat e-mail [email protected] , [email protected] , [email protected]