Tax Planning

21
Manajemen Perpajakan Pertemuan 7 TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA DAN PENGHASILAN LAINNYA OLEH KELOMPOK 6: Putu Nopita Piandari (1406315006 / 6) I G.A.A. Surya Cinitya Ardanari (1406315021 / 21) I Made Agus Setiawan (1406315022 / 22) Gst. Ayu Sonia Wina Laksmi (1406315026 / 26)

description

Pertemuan 7

Transcript of Tax Planning

Page 1: Tax Planning

Manajemen Perpajakan Pertemuan 7

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA

DAN PENGHASILAN LAINNYA

OLEH KELOMPOK 6:

Putu Nopita Piandari (1406315006 / 6)

I G.A.A. Surya Cinitya Ardanari (1406315021 / 21)

I Made Agus Setiawan (1406315022 / 22)

Gst. Ayu Sonia Wina Laksmi (1406315026 / 26)

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2014

Page 2: Tax Planning

TAX PLANNING DAN PENGENDALIAN ATAS PENGHASILAN USAHA

DAN PENGHASILAN LAINNYA

1. Tax Planning Pengelompokkan Jenis Penghasilan Untuk Menghitung

Angsuran Masa PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak atas penghasilan yang

diterima/diperoleh Wajib Pajak (WP) dalam satu tahun pajak. Penghitungan besarnya

penghasilan dan PPh yang terhutang untuk satu tahun pajak secara prinsip hanya bias

dilakukan manakala tahun pajak yang bersangkutan telah berakhir dan WP sudah

melakukan tutup pembukuan. Dengan demikian, perhitungan besarnya penghasilan

dan besarnya PPh yang terhutang tersebut baru dapat diketahui pada saat WP

membuat SPT Tahunan PPh.

Akan tetapi dalam konteks perpajakan Indonesia, WP tidak diperkenankan

melakukan pembayaran seluruh jumlah PPh yang terhutang sekaligus hanya pada saat

menyampaikan atau melaporkan SPT Tahunan PPh kepada kantor pajak. WP dalam

hal ini diwajibkan untuk mengangsur atau mencicil pembayaran PPh-nya selama

tahun pajak berjalan, sebelum membuat dan melaporkan SPT Tahunan PPh.

Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT

Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun

ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan

dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih

tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar

akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih

bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan

pembayaran pajak yang telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang

menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikurangi dengan kredit pajak

Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan

dalam bagian tahun pajak. Sebelum menghitung besarnya angsuran atau cicilan PPh

Pasal 25, dilakukan pengelompokkan jenis penghasilan terlebih dahulu.

Dalam kaitannya dengan PPh Pasal 25, pengelompokan jenis penghasilan

yang dilakukan adalah sebagai berikut:

a. Penghasilan Non Obyek (pasal 4 ayat 3)

Page 3: Tax Planning

b. Penghasilan Obyek Pajak (pasal 4 ayat 1)

Bersifat Tidak Final / Final (Pasal 4 ayat 2)

Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan

dengan penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak

Penghasilan pada SPT Tahunan. Jumlah PPh Final yang telah dipotong

pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak dapat dikreditkan pada SPT

Tahunan. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih

dan memelihara penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final

tidak dapat dikurangkan.

Objek pajak dari PPh Pasal 4 ayat (2) tersebut meliputi:

a) Bunga deposito/tabungan, diskonto SBI dan jasa giro

b) Penghasilan dari transaksi lainnya di bursa efek

c) Bunga/diskoto Obligasi

d) Hadiah Undian

e) Jasa Konstruksi

f) Persewaan Tanah/bangunan

g) Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah atau bangunan

h) Penghasila tertentu lainnya

Bersifat Tidak Teratur / Teratur

Penghasilan yang bersifat teratur merupakan penghasilan yang

lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala sekurang-kurangnya

sekali dalam setiap tahun pajak, yang bersumber dari kegiatan usaha,

pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal, kecuali penghasilan

yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Adapun

contoh penghasilan berdasarkan sumbernya adalah sebagai berikut:

1) Penghasilan dari Pekerjaan, contoh: gaji, honor, dan lain-lain.

2) Penghasilan dari Pekerjaan Bebas, contoh: dokter, akuntan,

konsultan, dan lain-lain.

3) Penghasilan dari Usaha, contoh: laba usaha

4) Penghasilan dari Harta/Modal, contoh: sewa, bunga, dividen, dan

lain-lain.

5) Penghasilan Lain-lain, contoh: pembebasan utang, hadiah, dan

lain-lain.

Page 4: Tax Planning

Sedangkan penghasilan tidak teratur dapat berupa keuntungan selisih

kurs dari utang/piutang dalam mata uang asing dan keuntungan dari

pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan

penghasilan dari kegiatan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang

bersifat insidentil. Dalam perhitungan PPh pasal 25, variabel

penghasilan-penghasilan yang tidak teratur harus dihitung ulang dari

Penghasilan Kena Pajak. Dimana variabel tersebut bisa ditambahkan

atau dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.

2. Foreign Exchange Revenue (Laba Selisih Kurs)

Pada prinsipnya wajib pajak yang pembukuannya menggunakan mata uang

rupiah tetapi terdapat transaksi dalam mata uang asing, maka dari transaksi tersebut

akan timbul keuntungan atau kerugian selisih kurs karena terdapat perbedaan kurs

antara tanggal pengakuan penghasilan atau biaya dengan tanggal diterima atau

dibayarnya penghasilan atau biaya tersebut.

Keuntungan atau kerugian selisih kurs juga memungkinkan timbul dari

transaksi utang-piutang, selisih kurs ini timbul akibat perbedaan kurs antara tanggal

pencatatan hutang atau piutang dengan kurs tanggal neraca atau tanggal akhir periode

akuntansi atau perbedaan juga timbul akibat selisih kurs mata uang asing pada tanggal

neraca dengan tanggal pelunasan.

Adapun jenis-jenis transaksi yang memungkinkan transaksi dalam mata uang

asing diantaranya adanya pendapatan atau pembelian barang dan jasa dimana

harganya ditetapkan dalam mata uang asing, adanya pembelian aktiva tetap, dan

adanya utang atau pinjaman dalam mata uang asing.

Dasar Hukum Laba Rugi Selisih Kurs

Laba rugi selisih kurs merupakan salah satu unsur yang mempengaruhi laba

perusahaan. Dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2008 tentang

perubahan ke empat atas UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

keuntungan selisih kurs merupakan salah satu bentuk penghasilan yang menjadi objek

pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf l. Dimana di dalamnya

disebutkan bahwa yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap

tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang

berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk

Page 5: Tax Planning

konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan

nama dan dalam bentuk apapun termasuk keuntungan karena selisih kurs mata uang

asing. Dalam penjelasannya ditegaskan bahwa keuntungan yang diperoleh karena

fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan

dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di

Indonesia dan dikenakan tarif sesuai Pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Dalam pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010

menegaskan kembali prinsip umum sebagaimana sudah dinyatakan dalam Undang-

undang PPh, yaitu bahwa keuntungan atau kerugian selisih kurs mata uang asing

diakui sebagai penghasilan atau biaya berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan

dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di

Indonesia (PSAK Nomor 10). Pasal 9 ayat (2) menegaskan bahwa keuntungan atau

kerugian selisih kurs yang terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak yang

dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, tidak diakui sebagai penghasilan

atau biaya. Sebaliknya, pada pasal 9 ayat (3) disebutkan bahwa keuntungan atau

kerugian selisih kurs yang tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak

yang dikenakan PPh final atau yang bukan objek pajak, diakui sebagai penghasilan

atau biaya sepanjang penghasilan tersebut dipergunakan untuk mendapatkan,

menagih, dan memelihara penghasilan.

3. Rekonsiliasi Peredaran Usaha dan Penghasilan Lainnya dengan DPP

PPN Keluaran dan DPP PPh yang Diotong/Dipungut

Rekonsiliasi PPN adalah proses pencocokan antara data di SPM PPN dengan

SPT Tahunan Perusahaan. Rekonsiliasi yang menyangkut PPN ini penting dengan

tujuan untuk memastikan semua peredaran usaha telah di laporkan di dalam SPT

PPN; dan untuk memberikan penjelasan kepada fiskus jika terdapat perbedaan antara

jumlah peredaran usaha yang dilaporkan di SPT PPh dan SPT PPN. Pada umumnya

perbedaan yang timbul antara pengakuan pendapatan perusahaan menurut SPT

Tahunan PPh Badan dengan nilai penyerahan menurut SPM PPN bisa timbul karena

dua kondisi, yaitu:

a. Karena karakteristik transaksi

b. Karena Peraturan yang berlaku memang mengakibatkan timbulnya

perbedaan.     

Page 6: Tax Planning

Perbedaan-perbedaan nilai peredaran usaha menurut SPT Tahunan PPh Badan

dan SPT Masa PPN, yang mungkin timbul antara lain dikarenakan oleh:

a. Terdapat Objek PPN yang tidak tercatat dalam Akun Penjualan

Tidak semua transaksi penyerahan barang atau jasa yang dilakukan oleh

Pengusaha Kena Pajak dapat dicatat sebagai account Penjualan, misalnya:

penjualan aktiva tetap bekas (Pasal 16D), pemakaian sendiri, pemberian cuma-

cuma, dan lain-lain.

b. Terdapat perbedaan kurs yang dipakai dalam mencatat Penjualan di laporan

keuangan dengan pembuatan Faktur Pajak.  

Kurs valuta asing yang digunakan untuk mengakui penjualan disesuaikan

dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia (PSAK), yang

dilakukan dengan taat asas. Berdasarkan PSAK Nomor 10 diatur bahwa setiap

transaksi dalam mata uang asing dibukukan dengan menggunakan kurs pada

saat terjadinya transaksi. Namun dalam praktek di lapangan, kurs yang dipakai

tidak selalu menggunakan kurs transaksi. Kadang kala Wajib Pajak

menggunakan kurs rata-rata dalam seminggu atau sebulan, menggunakan kurs

tengah BI, dan lain-lain. Sedangkan dalam membuat Faktur Pajak, penyerahan

BKP atau JKP yang menggunakan mata uang asing, harus menggunakan kurs

Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembuatan Faktur Pajak.

c. Pemberian Cash Discount

Pada umumnya PKP penjual sering memberikan diskon tambahan apabila

pembeli dapat membayar lebih cepat dari tanggal jatuh tempo/syarat

pembayaran yang telah disepakati sebelumnya. Diskon tambahan ini disebut

dengan Cash Discount. Cash Discount tidak mengurangi Dasar Pengenaan

Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak, sehingga dapat dipastikan ketika

pembeli memanfaatkan Cash Discount tersebut maka omset yang tercantum di

SPT Masa PPN akan lebih besar daripada omset yang dilaporkan dalam SPT

Tahunan PPh Badan.

d. Adanya kesalahan tulis atau hitung

Perbedaan omset menurut PPh dan PPN juga dapat timbul atas kesalahan tulis

atau kesalahan hitung (human error) dalam pembuatan Faktur Pajak atau

pengisian SPT Masa PPN. Ada baiknya pekerjaan rekonsiliasi PPN ini

dilakukan secara rutin tiap bulannya, karena apabila timbul perbedaan akan

jauh lebih mudah ditelusuri. Apabila ternyata perbedaan timbul karena human

Page 7: Tax Planning

error, maka dapat langsung diambil tindakan antisipasi untuk memperbaiki

kesalahan tersebut. 

Untuk melakukan rekonsiliasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dilakukan

dengan cara mengambil angka Penjualan kemudian dikalikan 10%. Apabila sudah

didapat nilai penjualan dan PPN keluarannya serta nilai pembelian dan PPN

masukannya, maka tinggal cross check dengan yang sudah dilaporkan dalam Surat

Pemberitahuan Masa (SPM) PPN setiap bulannya. Apabila masih ada yang tertinggal

belum dilaporkan, kalau itu ada pada sisi PPN keluaran maka harus segera dilakukan

pembetulan SPM dan dibayar kekurangan pajaknya. Meskipun hal ini tetap menjadi

exposure (potensi kena denda). Namun apabila ditemukan faktur pajak masukan yang

belum dilaporkan sebagai PPN masukan, maka pilihannya adalah melakukan

pembetulan SPM atau membiarkannya dengan tidak mengkreditkan dalam SPM dan

pembukuan accounting akan mencatat sebagai beban tambahan.

4. Berbagai Pengujian Untuk Menguji Kebenaran Perhitungan Peredaran

Usaha

Benchmarking (perbandingan) adalah suatu proses sistematik dalam

membandingkan produk, jasa atau praktik suatu organisasi terhadap kompetitor atau

pemimpin industri untuk menentukan apa yang harus dilakukan dalam mencapai

tingkat kinerja yang tinggi. Model benchmarking umumnya digunakan dalam dunia

bisnis. Namun oleh Direktorat Jenderal Pajak, model ini ini diadopsi dalam rangka

melaksanakan fungsinya memberikan bimbingan dan pengawasan terhadap Wajib

Pajak. Dengan asumsi bahwa Wajib Pajak yang memiliki karakteristik yang sama

akan cenderung memilki perilaku bisnis yang sama, kondisi keuangan dan perpajakan

masing-masing Wajib Pajak dapat dibandingkan dengan suatu benchmark yang

mewakili karakteristik Wajib Pajak yang bersangkutan. Benchmarking yang

dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak disusun dalam suatu konsep yang disebut

Total Benchmarking.

Karakteristik Total Benchmarking

Sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang

penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat

Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan

Page 8: Tax Planning

petunjuk pemanfaatannya disebutkan bahwa Rasio Total Benchmarking memiliki

karakteristik sebagai berikut:

1. Rasio total benchmarking disusun berdasarkan kelompok usaha;

2. Benchmarking dilakukan atas rasio-rasio yang berkaitan dengan ingkat laba

dan input-input perusahaan;

3. Ada keterkaitan antar rasio benchmark;

4. Fokus pada penilaian kewajaran kinerja keuangan dan pemenuhan kewajiban

perpajakan.

Tujuan Total Benchmarking

Tujuan Total benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-

11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang

menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang

Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:

1. Menjadi pedoman dan sebagai pembanding dengan kondisi SPT Tahunan

yang dilaporkan Wajib Pajak;

2. Membantu pengawasan kepatuhan Wajib Pajak, terutama menyangkut

kepatuhan materialnya.

Manfaat total benchmarking menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak

Nomor SE 11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang

menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor

SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya,

yaitu:

1. Supporting tools bagi program intensifikasi/ penggalian potensi pajak;

2. Alat bantu dalam penghitungan tax gap.

Proses dan Metode penetapan Benchmarking

Proses dan Metode penetapan Benchmarking menurut Surat Edaran Dirjen

Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II

yang menindaklanjuti ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009

tentang Rasio Total Benchmarking dan petunjuk pemanfaatannya, yaitu:

1. Nilai masing-masing benchmarking ditetapkan untuk masing-masing

kelompok usaha berdasarkan 5 digit kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU)

Page 9: Tax Planning

Wajib Pajak. Klasifikasi Lapangan Usaha dimaksud adalah KLU sesuai

Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP-34/PJ/2003 tanggal 14 Februari 2003;

2. Penetapan rasio-rasio benchmarking untuk keseluruhan kelompok usaha

dilakukan secara bertahap oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;

3. Sumber data yang digunakan dalam tahap awal pembentukan benchmarking

adalah data internal dalam sistem informasi perpajakan DJP, yang terdiri dari:

a. Elemen-elemen Surat pemberitahuan (SPT) Tahunan Badan;

b. Elemen-elemen Surat Pemberitahuan Masa PPN;

c. Elemen-elemen transkrip Laporan Keuangan.

Perhitungan semua rasio selain rasio PPN menggunakan elemen data hasil

perekaman Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan. Data penjualan, HPP,

Laba bersih dari operasi, Laba sebelum pajak diambil dari formulir 1771 Lampiran I,

sedangkan data PPh terutang diambil dari hasil perekaman induk formulir 1771. Data-

data gaji, sewa, bunga, penyusutan, dan biaya-biaya lain diambil dari perekaman

formulir 1771 Lampiran II. Apabila data perekaman formulir 1771 Lampiran II tidak

lengkap, maka data tersebut dilengkapi menggunakan data perekaman transkrip

Laporan Keuangan. Data Pajak Masukan diperoleh dari perekaman SPT PPN baik

formulir 1195 maupun 1107.

Rasio Total Benchmarking

Menurut pedoman Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-11/PJ/2010 tentang

penetapan Rasio Total Benchmarking tahap II yang menindaklanjuti ketentuan Surat

Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ/2009 tentang Rasio Total Benchmarking dan

petunjuk pemanfaatannya, rasio-rasio yang digunakan dalam total benchmarking

meliputi 14 rasio yang terdiri dari rasio-rasio yang mengukur kinerja operasional,

rasio input, rasio PPN dan rasio aktivitas luar usaha. Pemilihan 14 rasio tersebut

didasarkan pada pertimbangan bahwa rasio yang digunakan sedapat mungkin mampu

memberikan gambaran secara menyeluruh atas kegiatan operasional perusahaan

dalam satu periode dan berkaitan dengan semua jenis pajak yang menjadi kewajiban

Wajib Pajak. Rasio-rasio tersebut meliputi:

1. Gross Profit Margin (GPM)

2. Operating Profit Margin (OPM)

3. Pretax Profit Margin (PPM)

Page 10: Tax Planning

4. Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR)

5. Net Profit Margin (NPM)

6. Dividend Payout Ratio (DPR)

7. Rasio PPN (pn)

8. Rasio Gaji/Penjualan (g)

9. Rasio Bunga/ Penjualan (b)

10. Rasio Sewa/ Penjualan (s)

11. Rasio Penyusutan/ Penjualan (py)

12. Rasio Penghasilan Luar Usaha / Penjualan (pl)

13. Rasio Biaya Luar Usaha/ Penjualan (bl)

14. Rasio Input Lainnya/ Penjualan (x)

Dengan mengukur rasio GPM, OPM, PPM, CTTOR, NPM, pl, dan bl maka,

didapatkan gambaran yang utuh mengenai kegiatan/ operasi perusahaan dalam suatu

tahun pajak.

5. Pengendalian Atas Bea Keluar (Pajak Ekspor) atas Penjualan Ekspor

yang Terutang Bea Keluar

Bea keluar adalah pungutan Negara berdasarkan Undang-undang Kepabeanan

yang dikenakan terhadap barang ekspor. Harga ekspor adalah harga yang digunakan

untuk perhitungan Bea Keluar. Barang ekspor yang dikenakan bea keluar berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.011/2012, adalah:

a. Kulit dan kayu;

b. Biji kakao;

c. Kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya; dan

d. Bijih (raw material atau ore) mineral.

Terdapat 2 cara menghitung bea keluar, yaitu dengan cara Advalorum dan

Spesifik. Tarif advalorum adalah pajak yang dikenakan berdasarkan presentase

tertentu misalnya 5%, 10%, dan lain-lain. Sedangkan tariff spesifik merupakan

besaran pajak berdasarkan satuan barang misalnya Rp. 1000,- per batang, Rp. 2000,-

per keeping, dan lain-lain. Perhitungan bea keluar adalah sebagai berikut:

a. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan berdasarkan persentase dari Harga

Ekspor, Bea keluar dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Page 11: Tax Planning

Tarif Bea Keluar x Jumlah Satuan Barang x Harga Ekspor per Satuan

Barang x Nilai Tukar Mata Uang

b. Dalam hal tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, bea keluar dihitung

berdasarkan rumus sebagai berikut:

Tarif Bea Keluar per Satuan Barang Dalam Satuan Mata Uang

Tertentu x Jumlah Satuan Barang x Nilai Tukar Mata Uang.

Dalam perhitungan bea keluar khusus untuk barang campuran CPO dan

turunannya diatur harga dan tariff yang digunakan adalah harga dan tariff ekspor yang

tertinggi dari barang yang dicampur tersebut dengan jumlah barang adalah volume

dan atau berat total. Sedangkan untuk campuran bijih (raw material atau ore) mineral

harga yang digunakan adalah harga ekspor tertinggi dengan jumlah barang adalah

berat total.

Contoh Kasus:

Perhitungan PPh Pasal 25

PT Abadi yang bergerak pada bidang manufaktur, pada bulan April 2013 melaporkan

SPT Tahunan PPh Tahun Pajak 2012 dengan keterangan sebagai berikut:

1. Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Neto) yang dilaporkan di Induk SPT

Tahunan PPh sebesar Rp. 500.000.000,00 dan untuk PPh yang terutang

diasumsikan tarif PPh Badan yang digunakan adalah 25%.

2. Namun Penghasilan Kena Pajak tersebut terdiri dari penghasilan neto dari

kegiatan usaha setelah ditambah dengan laba penjualan aktiva Rp.

10.000.000,00 dan laba selisih kurs Rp. 5.000.000,00.

3. Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 yang dilaporkan berjumlah Rp.

100.000.000,00

4. Kredit PPh Pasal 24 yang dilaporkan berjumlah Rp 10.000.000,00

Bagaimana pengelompokan jenis penghasilan yang ada untuk menghitung

besarnya PPh Pasal 25 yang harus disetorkan PT Abadi setiap bulannya di Tahun

2013?

Pembahasan:

Page 12: Tax Planning

Dalam kasus ini, PT Abadi merupakan perusahaan yang tidak bergerak di

bidang jual beli valuta asing (money changer), maka laba-rugi selisih kurs yang

terjadi termasuk penghasilan yang bersifat tidak teratur, dan begitu pula dengan laba

dari penjualan aktiva yang diperoleh. Namun, apabila dalam setiap transaksi yang

dilakukan PT Abadi menggunakan mata uang asing, maka laba rugi kurs yang terjadi

merupakan penghasilan teratur meski PT Abadi bukan money changer.

Maka, perhitungan PPh Pasal 25 PT Abadi adalah sebagai berikut:

Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000,00

Laba Penjualan Aktiva (tidak teratur) (Rp 10.000.000,00)

Laba Selisih Kurs (tidak teratur) (Rp 5.000.000,00)

Penghasilan Kena Pajak (Penghasilan Teratur) Rp 485.000.000,00

PPh Terutang (Tarif Pajak diasumsikan 25%) Rp 121.250.000,00

Kredit PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23 (Rp 100.000.000,00)

Kredit PPh Pasal 24 (Rp 10.000.000,00)

PPh yang harus dibayar Rp 11.250.000,00

PPh Pasal 25 setiap bulannya Rp 937.500,00

Page 13: Tax Planning

REFERENSI

http://www.slideshare.net/puspa/tax-planning-peredaran-usaha, diakses tanggal 29

Oktober 2014.

http://www.pembayarpajak.com/index.php/articles/pajak-penghasilan/pph-umum/

202-menghitung-angsuran-pph-pasal-25, diakses tanggal 29 Oktober 2014.

http://ortax.org/ortax/?mod=studi&page=show&id=10&q=&hlm=, diakses tanggal 30

Oktober 2014.

http://tanyapajak1.wordpress.com/2013/11/26/pajak-penghasilan-final-atau-tidak-

final-pph/, diakses tanggal 30 Oktober 2014.

http://www.nusahati.com/2013/10/sekilas-tentang-laba-atau-rugi-selisih-kurs/, diakses

tanggal 29 Oktober 2014.

http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-penghasilan/pajak-penghasilan-atas-selisih-

kurs.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014.

http://masalahpajak.blogspot.com/2007/08/perlakuan-atas-selisih-kurs.html, diakses

tanggal 30 Oktober 2014.

http://www.himappi.com/2013/11/rekonsiliasi-ppn.html, diakses tanggal 30 Oktober

2014.

http://ar4pajak.blogspot.com/2012/01/benchmarking-ala-direktorat-jenderal.html,

diakses tanggal 30 Oktober 2014.

http://catatankecik.blogspot.com/2012/05/barang-ekspor-yang-dikenakan-bea-

keluar.html, diakses tanggal 30 Oktober 2014.

Page 14: Tax Planning