Tafsir Dan Takwil

3
Antara Tafsîr Dan Tawîl Contributed by Administrator Donnerstag, 24 Januar 2008 Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi hayatulislam.net - Pengantar Redaksi: Konsep tafsir dan takwil sangat perlu diketahui umat Islam, sebab al-Qur’an sebagai pedoman hidup tidak mungkin dipahami, kecuali dengan tafsir dan takwil. Dengan memahami konsep keduanya, pada gilirannya umat akan dapat mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan. Di samping itu, umat akan dapat pula menilai dengan kritis tafsir dan takwil yang sahih dan yang tidak. Sebab, tidak jarang atas nama “tafsir”, segelintir pihak tertentu menularkan pemahamannya yang keliru mengenai ayat al-Qur’an. Mereka berlindung di balik rupa-rupa argumentasi palsu agar tidak dinilai salah atau sesat, misalnya dengan mengatakan bahwa “al- Qur’an” memang mutlak benar, tetapi “tafsir al-Qur’an” adalah relatif dan nisbi (Mustaqim, 2001: 21). Telaah Kitab kali ini bertujuan untuk menelaah konsep tafsir dan takwil yang terdapat dalam sejumlah kitab ushul dan tafsir; yang mencakup persoalan definisi dan contoh-contohnya, ruang lingkup takwil, syarat-syarat takwil, serta beberapa hal lain yang terkait. Definisi Tafsîr Dan Ta’wîl Tafsir (tafsîr) dan takwil (ta’wîl) menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu), seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H), maknanya sama, sedangkan menurut ulama muta’akhirin (terkemudian), seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H), pengertian keduanya berbeda (Ash-Shabuni, 1983:66; Al-Hasan, 1983:139-140). Menurut Az-Zarkasyi (Al-Burhân, II/164), pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya. Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil. Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum sebagai penjelasan ayat al-Qur’an (bayân ayat al-Qur’ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya. Menurut pengertian bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fasara, yang berarti menjelaskan (al-bayân) dan menyingkapkan (al-kasyf) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau menampakkan (al-izh-hâr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/162). Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi. Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah (kosakata), nahwu, sharaf, ilmu bayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ’ât (bacaan al-Qur’an). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb an- nuzûl, serta nâsikh dan mansûkh (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/174; Al-Husaini, Zubdah Al-Itqân, hlm. 146). Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), definisi ini belum mencakup (jâmi’). Karena itu, menurut Al-Baghdadi, definisi tafsir yang lebih tepat adalah: ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad Saw dengan menggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baik untuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal), yang berkaitan dengan akidah, syariat, dan adab, kemudian mengggali (istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat dan waktu. Adapun takwil (ta’wîl), secara bahasa berasal dari akar kata awl, yang berarti kembali ke asal (ar-rujû’) (As- Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/164). Namun, menurut Az-Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk takwil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan (bayân) (Manâhil al-’Irfân, II/4). Sedangkan secara istilah, takwil menurut al-Jurjani (w. 816 H) adalah mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah (At-Ta‘rifât, hlm. 50). Menurut Al-Amidi takwil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapat dikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/37; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176) Dari uraian di atas, dapat diketahui segi perbedaan tafsir dan takwil. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan http://www.firdaus86.web.ugm.ac.id/c Powered by Joomla! Generated: 24 May, 2009, 23:23

Transcript of Tafsir Dan Takwil

Page 1: Tafsir Dan Takwil

Antara Tafsîr Dan Ta�wîl Contributed by AdministratorDonnerstag, 24 Januar 2008

Oleh: Muhammad Shiddiq al-Jawi

hayatulislam.net - Pengantar Redaksi:

Konsep tafsir dan takwil sangat perlu diketahui umat Islam, sebab al-Qur’an sebagai pedoman hidup tidakmungkin dipahami, kecuali dengan tafsir dan takwil. Dengan memahami konsep keduanya, pada gilirannya umat akandapat mengamalkan al-Qur’an dalam kehidupan. Di samping itu, umat akan dapat pula menilai dengan kritis tafsirdan takwil yang sahih dan yang tidak. Sebab, tidak jarang atas nama “tafsir”, segelintir pihak tertentumenularkan pemahamannya yang keliru mengenai ayat al-Qur’an. Mereka berlindung di balik rupa-rupaargumentasi palsu agar tidak dinilai salah atau sesat, misalnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an” memang mutlak benar, tetapi “tafsir al-Qur’an” adalah relatif dan nisbi(Mustaqim, 2001: 21).

Telaah Kitab kali ini bertujuan untuk menelaah konsep tafsir dan takwil yang terdapat dalam sejumlah kitab ushul dantafsir; yang mencakup persoalan definisi dan contoh-contohnya, ruang lingkup takwil, syarat-syarat takwil, sertabeberapa hal lain yang terkait.

Definisi Tafsîr Dan Ta’wîl

Tafsir (tafsîr) dan takwil (ta’wîl) menurut ulama mutaqaddimin (terdahulu), seperti Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H),maknanya sama, sedangkan menurut ulama muta’akhirin (terkemudian), seperti Az-Zarkasyi (w. 794 H),pengertian keduanya berbeda (Ash-Shabuni, 1983:66; Al-Hasan, 1983:139-140). Menurut Az-Zarkasyi (Al-Burhân, II/164),pendapat yang tepat ialah yang membedakan keduanya.

Istilah tafsir dipahami lebih umum daripada takwil. Jika disebut istilah tafsir, maka ia bermakna umum sebagaipenjelasan ayat al-Qur’an (bayân ayat al-Qur’ân) sehingga takwil termasuk ke dalamnya.

Menurut pengertian bahasa, tafsir (tafsîr) berasal dari akar kata fasara, yang berarti menjelaskan (al-bayân) danmenyingkapkan (al-kasyf) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau menampakkan (al-izh-hâr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/162).

Sedangkan menurut istilah, ada banyak definisi. Menurut As-Suyuthi (w. 911 H) dengan mengutip dari Az-Zarkasyi, tafsiradalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Rasulullah Saw untuk menjelaskan makna-maknanya,menyimpulkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya, dengan bantuan ilmu lughah (kosakata), nahwu, sharaf, ilmubayan, ushul fikih, dan ilmu qirâ’ât (bacaan al-Qur’an). Selain itu, dibutuhkan juga pengetahuan asbâb an-nuzûl, serta nâsikh dan mansûkh (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/174; Al-Husaini, Zubdah Al-Itqân, hlm. 146).

Menurut Al-Baghdadi (1988: 15-16), definisi ini belum mencakup (jâmi’). Karena itu, menurut Al-Baghdadi, definisitafsir yang lebih tepat adalah: ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Muhammad Saw denganmenggunakan pengetahuan bahasa Arab (menurut makna bahasa maupun makna syariatnya) dan as-Sunnah, baikuntuk memahami pengertian kata (lafazh) maupun susunan kalimatnya (tarkîb al-jumal), yang berkaitan dengan akidah,syariat, dan adab, kemudian mengggali (istinbâth) hukum untuk memecahkan berbagai problem di setiap tempat danwaktu.

Adapun takwil (ta’wîl), secara bahasa berasal dari akar kata awl, yang berarti kembali ke asal (ar-rujû’) (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173), atau akibat (al-‘aqîbah) dan kesudahan (al-mashîr) (Az-Zarkasyi, Al-Burhân, II/164). Namun,menurut Az-Zarqani, makna bahasa yang paling masyhur untuk takwil adalah sinonim dengan tafsir, yaitu menjelaskan(bayân) (Manâhil al-’Irfân, II/4).

Sedangkan secara istilah, takwil menurut al-Jurjani (w. 816 H) adalah mengalihkan kata dari makna lahiriahnya menujumakna lain yang masih dapat dikandungnya, yang sesuai dengan al-Kitab dan as-Sunnah (At-Ta‘rifât, hlm. 50).Menurut Al-Amidi takwil adalah mengartikan kata bukan ke makna lahiriahnya menuju makna lain yang masih dapatdikandungnya, karena adanya dalil yang menghendakinya (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/37; Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm.176)

Dari uraian di atas, dapat diketahui segi perbedaan tafsir dan takwil. Tafsir merujuk pada makna lahiriah, sedangkan

http://www.firdaus86.web.ugm.ac.id/c Powered by Joomla! Generated: 24 May, 2009, 23:23

Page 2: Tafsir Dan Takwil

takwil mengacu pada makna lain yang bukan makna lahiriah, yang masih dapat dikandung ayat, berdasarkan dalil (Az-Zuhaili, 2001: 313; Ushama, 2000: 5). Dengan ringkas An-Nabhani (1994: 290) mengatakan, tafsir merupakanpenjelasan apa yang dimaksud oleh kata (bayân al-murâd bi al-lafzh), sedangkan takwil merupakan penjelasan apa yangdimaksud oleh makna (bayân al-murâd bi al-ma’na) (Al-Qattan, 2001: 461).

Contoh tafsir dan takwil, firman Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan didalamnya). Jika diartikan, “lâ syakka fîhi (tidak ada kebimbangan di dalamnya),” maka ini adalah tafsir. Jikadiartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/15-16).

Contoh lain, misalkan firman Allah dalam surah al-An’âm [6] ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit(Allah mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Jika ayat ini diartikan, “Allah mengeluarkan burung (yangbernyawa) dari telur (yang mati/tidak bernyawa),” maka ini tafsir. Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmindari orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At-Ta‘rifât, hlm. 50-51).

Contoh lain, firman Allah dalam surah al-Fajr [89] ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (SesungguhnyaTuhanmu benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah benar-benar mengawasi segala perilaku para hamba-Nya, makaitu tafsir. Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah,maka ini adalah takwil (As-Suyuthi, Al-Itqân, I/173).

Menurut Az-Zuhaili (2001: 314), di antara contoh takwil ialah taqyîd al-muthlaq (pemberian batasan/syarat pada nashyang mutlak), takhshîsh al-’âmm (pengkhususan nash yang umum), dan pengalihan nash umum dari maknanyayang umum ke makna khusus. Az-Zuhaili (2001: 317) lalu mencontohkan takwil Imam Asy-Syafi’i terhadap firmanAllah SWT:

Janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. (Qs. an-Nûr [24]: 31).

Frasa illâ mâ zhahara minhâ asalnya bermakna umum (kecuali yang tampak darinya). Lalu Imam Asy-Syafi’imenakwilkannya dengan, “illâ al-wajh wa al-kaffayn” (kecuali wajah dan dua telapak tangannya). Takwil iniberdasarkan hadis yang dituturkan Aisyah r.a. bahwa Nabi Saw pernah berkata kepada Asma’ binti Abu Bakar:

Hai Asma’, sesungguhnya wanita itu, jika sudah haid, tidak pantas dilihat darinya kecuali ini dan ini (Nabi Sawmenunjuk pada wajah dan kedua telapak tangannya). [HR. Abu Dawud].

Ruang Lingkup Ta’wîl

Asy-Syaukani, dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan bahwa ada 2 (dua) ruang lingkup takwil (majâl al-ta’wîl):

1. Dalam kebanyakan masalah-masalah furû’ (cabang), yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Takwil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalanganulama.

2. Dalam masalah-masalah ushûl (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah SWT, bahwa Allah itu mempunyai yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya (Az-Zuhaili, 2001: 314).

Dalam takwil di bidang akidah itu, menurut Asy-Syaukani, terdapat tiga mazhab:

1. Mazhab yang berpendapat bahwa nash tidak boleh ditakwil dan harus dipahami secara lahiriahnya. Inilah pendapatMusyabihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).

2. Mazhab yang berpendapat bahwa nash akidah ada takwilnya, tetapi yang tahu takwilnya hanya Allah saja (Qs. Ali-Imran [3]: 7). Jadi nash tidak boleh ditakwilkan seraya tetap memurnikan akidah dari tasybîh (menyerupakan sifat Allahdengan sifat makhluk) dan ta’thîl (meniadakan sifat-sifat Allah).

3. Mazhab yang berpendapat bahwa nash akidah boleh ditakwilkan. Inilah mazhab al-Maturidiah, Ibn al-Jauzi, dan al-Ghazali.

Ibn Burhan memandang mazhab pertama adalah batil, sedangkan madzhab kedua dan ketiga diriwayatkankeberadaannya dari para sahabat. Mazhab kedua disebutnya mazhab salafush shâlih, sedang mazhab ketigadiriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176; Al-Husaini, Zubdah al-Itqân, hlm. 74-75).

http://www.firdaus86.web.ugm.ac.id/c Powered by Joomla! Generated: 24 May, 2009, 23:23

Page 3: Tafsir Dan Takwil

Syarat-Syarat Ta’wîl

Para ulama ushul telah menetapkan syarat-syarat takwil agar takwil yang dihasilkan dapat diterima (maqbûl) dan sahih.Ada 4 (empat) syarat, yaitu:

1. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (maknakebiasaan orang Arab). Misalnya, takwil kata qurû’ (dalam Qs. al-Baqarah [2]: 228) dengan arti haid atau suciadalah takwil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab untuk qurû’. Takwil yang tidak sesuai maknabahasa, syariat, atau ‘urfi, tidak diterima (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 177).

2. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih (kuat), misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalilpengkhusus (takhshîsh), atau memberikan batasan (taqyîd) nash mutlak berdasarkan dalil yang men-taqyîd-kan. Karenaitu, takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tetapi dalilnya marjûh (lemah), atau musawi (sederajat kekuatannya)dengan kata yang ditakwil, tidak diterima (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38).

3. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil li at-ta’wîl). Misalkan, katanya adalah kata umumyang dapat di-takhshîsh, atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki yang dapat diartikansecara makna majazi (metaforis), dan sebagainya. Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nashumum), tidak diterima (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/314).

4. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk melakukan takwil (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38). Karena itu,takwil yang dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma’ârif al-syar‘îyyah)tidak dapat diterima. Sebab, orang yang hendak melakukan takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekalilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syariat (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I/314).

Penutup

Berdasarkan syarat-syarat takwil di atas, kita akan dapat menilai sahih tidaknya suatu tafsir atau takwil. Jika suatupenakwilan ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil tersebut maka takwil yang dihasilkan adalah tidak sahih alias batil.Misalnya pendapat Muhammad Abduh tentang hakikat malaikat dalam kitabnya Tafsîr al-Manar (I/267-269), yangditakwilkannya sebagai kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia (Al-Muhtasib, 1982: 158-159). Jugatidak benar pendapat Al-Maraghi dalam Tafsîr al-Maraghi (X/243-244) tentang burung Ababil yang ditakwilkannyasebagai penyakit campak dan cacar. Juga batil pendapat Al-Maraghi (Tafsîr al-Maraghi, IV/175) yang mengingkari Adama.s. sebagai Bapak Manusia (Abu al-Basyar) karena dianggapnya berlawanan dengan teori ilmiah modern (Al-Baghdadi,1988: 10).

Semua itu adalah takwil batil, karena tidak ada dalil atau qarînah (indikasi) yang mendasarinya. Ini bukan sekadarkebodohan, tetapi bahkan dapat membawa pada kekufuran. Na’ûzhu billâh min dzâlik!

http://www.firdaus86.web.ugm.ac.id/c Powered by Joomla! Generated: 24 May, 2009, 23:23