MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

34
MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan Kontekstual Tarekat Menurut Kaum Tua di Minangkabau Nasrullah Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri E-mail: [email protected] Abstrak Artikel ini memfokuskan pada “pembacaan” atas pemahaman terhadap suatu sikap mempertahankan pendapat atas tradisi keagamaan dalam konteks tradisionalisme Islam. Tarekat dan tradisi pengamalannya merupakan bagian tak-terpisahkan dari kesadaran masyarakat muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah di Nusantara, seiring masuk dan berkembangnya islamisasi, tidak terkecuali di ranah Minangkabau. Kaum Tua sebagai elite agama mempunyai tanggung jawab mempertahankan sekaligus meyakinkan bahwa tarekat itu adalah absah untuk diamalkan dan sama sekali tidak bertentangan dengan syari’at sebagaimana dituduhkan oleh kelompok Kaum Muda yang modernis. Dalam membangun argumen, para ulama Kaum Tua, merujuk pada otoritas Nash al- Qur’an, beberapa ayat dalam Kitab Suci, khususnya dalam tafsir tekstual atas Surat al-Jin ayat 16. Begitu juga rujukan kepada sumber Hadis Rasullullah yang mendukung akan hal tersebut. Namun dalil yang diajukan Kaum Tua, tidak hanya berhenti pada tataran tekstual saja. Akan tetapi, tarekat juga dimaknai dalam pengertian tafsir kontekstual, di mana ia dipahami sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan (teleologis) dalam spritualitas agama. Dengan mengamalkan tarekat, anjuran-anjuran memperbanyak zikir, mengendalikan hawa nafsu (mujâhadah), menjaga kalbu dari maksiat batin, memperbanyak ibadah, dan selalu mendekatkan diri

Transcript of MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Page 1: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF:

Tafsir Tekstual dan Kontekstual Tarekat Menurut

Kaum Tua di Minangkabau

Nasrullah Dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indragiri

E-mail: [email protected]

Abstrak

Artikel ini memfokuskan pada “pembacaan” atas

pemahaman terhadap suatu sikap mempertahankan

pendapat atas tradisi keagamaan dalam konteks

tradisionalisme Islam. Tarekat dan tradisi pengamalannya

merupakan bagian tak-terpisahkan dari kesadaran

masyarakat muslim Ahlussunnah wal-Jama’ah di

Nusantara, seiring masuk dan berkembangnya islamisasi,

tidak terkecuali di ranah Minangkabau. Kaum Tua sebagai

elite agama mempunyai tanggung jawab mempertahankan

sekaligus meyakinkan bahwa tarekat itu adalah absah

untuk diamalkan dan sama sekali tidak bertentangan

dengan syari’at sebagaimana dituduhkan oleh kelompok

Kaum Muda yang modernis. Dalam membangun argumen,

para ulama Kaum Tua, merujuk pada otoritas Nash al-

Qur’an, beberapa ayat dalam Kitab Suci, khususnya dalam

tafsir tekstual atas Surat al-Jin ayat 16. Begitu juga rujukan

kepada sumber Hadis Rasullullah yang mendukung akan

hal tersebut. Namun dalil yang diajukan Kaum Tua, tidak

hanya berhenti pada tataran tekstual saja. Akan tetapi,

tarekat juga dimaknai dalam pengertian tafsir kontekstual,

di mana ia dipahami sebagai sarana untuk mencapai

tujuan-tujuan (teleologis) dalam spritualitas agama.

Dengan mengamalkan tarekat, anjuran-anjuran

memperbanyak zikir, mengendalikan hawa nafsu

(mujâhadah), menjaga kalbu dari maksiat batin,

memperbanyak ibadah, dan selalu mendekatkan diri

Page 2: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

28 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

(murâqabah) kepada Allah SWT. adalah di antara sekian

yang diperintahkan dalam al-Qur-an dan as-Sunnah. Jadi,

kontribusi artikel ini pada dasarnya adalah mempotret

suatu bagian sejarah sosial keagamaan sekaligus upaya

memahami rasionalitas atas sikap atau respon ulama

Kaum Tua dalam menjaga, merawat sekaligus

mempertahankan suatu nilai agama yang sudah

ditradisikan dalam pengamalan tarekat, khususnya tarekat

Naqsyabandiyah-Khalidiyah.

Kata Kunci: Tafsir, Tekstual, Kontekstual, Dalil, Tarekat,

Kaum Tua, Minangkabau

A. PENDAHULUAN

Sudah menjadi keyakinan historis bahwa masuknya Islam ke

Nusantara adalah Islam yang diwarnarnai pengaruh tasawuf atau

sufistik yang kental.1 Pendekatan tasawuf diakui berperan besar dalam

proses islamisasi tersebut. Maka dari itu sejarah masuknya tasawuf dan

pengaruhnya di daerah Minangkabau-sebagai lokus kajian ini, tentunya

tidak akan terlepas dari semenjak masuknya Islam ke daerah ini yang

dibawa oleh para saudagar/muballigh yang berdakwah ke wilayah ini.

Artinya, tasawuf sudah masuk ke Minangkabau seiring proses awal-

awal islamisasi. Berkat kaum sufi lah dengan strategi mereka yang

“menyentuh”, kawasan Nusantara tidak terkecuali Minangkabau,

berhasil sebagian besar masyarakatnya memeluk Islam. Tasawuf tidak

hanya mereka gunakan sebagai ilmu, tetapi juga sebagai pendekatan,

1 Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di

Indonesia, Bandung: Mizan, 2001, h. 10.

Page 3: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 29

Nasrulah

terutama ketika berhadapan dengan tradisi-tradisi lokal yang hidp dan

berjalan.

Akan lebih tepat barangkali dalam pembahasan ini, didudukkan

ketegasan peristilahan, antara tasawuf sebagai ilmu teoritis dan tasawuf

sebagai pendekatan praktis. Pada persoalan ini, penyusun sependapat

dengan Zamakhsyari Dhofier,2 bahwa dalam konsep penyebutan

tasawuf, biasanya istilah tersebut dimaknai sebagai istilah yang

berkaitan dengan aspek intelektual atau teoritis mengenai jalan untuk

“mendekatkan” diri pada Tuhan. Sedangkan dalam aspek praksis dan

etis yang justru terkadang lebih penting dari aspek teoritis sering

diistilahkan dengan tarekat. Konsep yang ingin dipotret di sini

sebenarnya adalah praktek dari ajaran tasawuf tersebut, yang

terlembaga dalam wadah tarekat. Oleh sebab itu, penyebutan istilah

tarekat daripada istilah tasawuf menurut hemat penyusun lebih tepat

dan lebih masuk akal.

Namun, juga perlu diingat bahwa tasawuf dalam konteks praktis

dan etis yang dikenal dengan tarekat itu, dalam sejarahnya

bertransformasi menjadi suatu institusi tasawuf yang sering diistilahkan

dengan tarekat (persaudaraan pengamal tasawuf). Secara insitusi,

tarekat belum dikenal secara istilah dalam, kecuali setelah abad ke-8

Hijriah. Hal ini menunjukkan, bahwa tarekat adalah sesuatu yang baru,

dan belum pernah ditemukan pada masa awal Islam atau masa

kenabian.3 Yang dikenal pada masa Nabi hanya suatu praktik hidup

2 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup

Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 135. 3 Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad XVII

dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994, h. 109.

Page 4: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

30 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

asketis dari Nabi dan para sahabat yang dikenal dengan ahl ash-Shuffah.

Sama sekali tarekat belum terkonotasi secara definitif. Maka bisa saja

dimaklumi, jika kemudian semua oganisasi tarekat dalam silsilah

jenjang patron guru-murid mendasarkan pada nama-nama para wali dan

sesepuh tarekat,yang justru hidup berabad-abad setelah Nabi wafat,

walaupun diyakini memiliki ketersambungan rohaniah dengan Nabi.

Tarekat yang di dalamnya mengusung visi dan misi ajaran-ajaran

tasawuf, adalah media rekruitmen minat islamisasi dan basis dalam

kaderisasi dakwah. Jadi, terkait dengan hipotesa di atas, maka logis

kiranya diungkapkan, bahwa keberhasilan islamisasi di tingkat kultural,

bahkan struktural, tergantung kepada sejauh mana berhasilnya

penyemaian ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat yang terdapat di wilayah

itu. Maka, setiap bentuk corak dan ajaran tarekat mempunyai fungsi dan

kedudukannya tersendiri dalam konteks islamisasi tersebut, termasuk

tentunya persoalan tarekat di Minangkabau.

Tulisan ini pada prinsipnya ingin mengetengahkan suatu bacaan

bagaimana memahami tafsiran tekstual atas legalitas dari sumber

agama (Al-Qur’an maupun Hadis maupun pendapat ulama yang

otoritatif) dari para mereka-pejuang sekaligus guru tarekat dari

kalangan ulama Kaum Tua di Minangkabau terhadap vitalnya tarekat

tersebut sekaligus tafsiran kontekstual dalam aras lokalitas budaya

Minangkabau awal abad 20. Sebab, di satu sisi mereka perlu

meyakinkan umat akan kebenaran tarekat itu sendiri sebagai bagian

integral dari kesempurnaan syariat agama-yang sama sekali tidak

bertentangan, di sisi lain ulama Kaum Tua juga berupaya

mempertahankan dari “kritik” pembaharuan dari ulama Kaum Muda

Page 5: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 31

Nasrulah

yang menolak eksistensi dan amaliah tarekat tersebut. Jadi pada posisi

ini, segala pendapat maupun argumen tarekat (khususnya

Naqsyabandiyah-Khalidiyah) yang mereka pertahankan pada dasarnya

bergerak pada dua variabel asumsi di atas.

B. Historisitaas Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Di

Minangkabau

Mengenai sejarah tentang eksistensi tarekat pada mulanya di

Minangkabau, setelah hampir ditelusuri sumber-sumber yang terkait,

telah menginformasikan bahwa kemunculannya dibawa oleh Syekh

Burhanuddin dari Ulakan, Pariaman.4 Putra Minang ini pulang

membawa ajaran tarekat Syattariyah5 ke kampung halamannya,

4Duski Samad, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau, Padang: The

Minangkabau Foundation Press, 2002, h. 19. 5 Nama Syattariyah dinisnatkan pada Syekh Abdullah asy-Syattari (w. 890

H/1485 M). Beliau adalah ulama yang masih mempunyai jalinan kekerabatan dengan Imam asy-Syuhrawardi (w. 632 H/1234 M), pendiri dari tarekat Syuhrawardiah.

Tarekat ini ternyata mempunyai relasi dengan tradisi Asia Tengah dan masih

terkaitdengan Abu Yazid al-‘Isyqi, dan juga terhubung dengan Abu Yazid al-Bistami

(w. 260 H/873 M) dan Imam Ja’far ash-Shadiq (w. 146 H/763 M). Di Iran tarekat ini

dikenal dengan sebutan tarekat ‘Isyqiyyah, dan di Turki dikenal dengan al-

Bistamiyah, terutama pada abad ke-5. Lihat Oman Fathurrahman, “Tarekat

Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal

dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media,

2005, h.153.

Page 6: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

32 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Ulakan, setelah menuntut ilmu di Kotaraja, Aceh berguru pada guru

utama-Syekh Abdurrauf Singkil6 dalam waktu kurang lebih 10 tahun.7

Karena otoritas keilmuannya yang tinggi, maka surau8 yang ia

dirikan di Ulakan, mampu menarik para murid dari berbagai wilayah di

6 Beliau adalah ulama dari daerah Fansur, Singkil di wilayah barat pantai Aceh.

Ayahnya adalah termasuk keturunan Arab, dan bernama Syekh Ali. Beliau

diperkirakan lahir pada tahun 1615 M, dan beliau wafat pada tahun 1693 M, serta

dimakamkan di dekat sungai kuala Aceh. Oleh sebab itu ia sering disebut dengan

Syiah Kuala. Makamnya dianggap sebagai salah sat tempat keramat di Aceh. Ia

setelah mengaji di daerahnya, kemudian berangkat menuju Tanah Suci, Mekkah dan madinah untuk mengaji kepada berbagai guru di sana. Namun, di antara sekian

gurunya hanya Syekh Ahmad Qusyasi dan Ibrahim al-Kurani, yang dianggap

berpengaruh besar dalam perjalanan intelektualnya. As-Sinkili pulang ke Aceh

diperkirakan tahun 1661, dan kemudian berhasil diangkat oleh Sultanah Safiyatuddin

sebagai qadhi di kerajaan Aceh. Di samping mempunyai banyak murid, ia juga

menulis beberapa karya tulis dalam bidang fikih, tasawuf, tafsir, hadis, dan lain

sebagainya. Lihat Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi

Terkemuka, Jakarta: Prenada Media, 2006, h. 99. 7 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, : Kasus Sumatera Thawalib,

Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995, h. 36. Ada juga sumber dan teori yang menyatakan,

bahwa Syekh ini yang membawa ajaran Islam setelah pulang dari Aceh, dan juga dari Mekkah, setelah beliau juga belajar di sana. Akan tetapi pendapat ini lemah. Banyak

kalangan meragukan bahwa Syekh Burhanuddin, sebagai pembawa Islam pertama ke

Minangkabau. Karena, mereka berasumsi bahwa, rasanya sulit dan tidak mudah bagi

orang yang baru memeluk agama Islam, dalam waktu yang tidak begitu lama

kemudian menjadi seorang alim besar dan tokoh tarekat pula. Kenyataan lain

sebagaimana ditemukan dalam sebuah sumber, terdapat tiga orang putra dari

Minangkabau, yang berdakwah ke daerah Sulawesi tahun 1603 M. Artinya tahun itu

lebih dahulu dari tahun kelahiran Syekh Burhanuddin, pada tahun 1646 M. Jadi,

berdasarkan data di atas ini saja, argumen tentang Syekh Burhanuddin sebagai

pembawa agama Islam ke ranah Minang, menjadi lemah. Dalam pengertian, mereka

banyak yang keberatan dengan pernyataan bahwa Syekh inilah sebagai pembawa

Islam di Minangkabau, berdasarkan beberapa catatan dan keberatan di atas. Adapun dari sisi peran Syekh Burhanuddin sebagai pendiri surau yang pertama dan

mempunyai banyak murid tarekat di ranah Minang, dan sekaligus penyemarak proses

islamisasi, kebanyakan para sejarawan, mempunyai kesepakatan. Lihat Mahmud

Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1982., h.

20. 8 Keberadaan surau sebenarnya bentuk dari sebuah kontiunitas dari tradisi dan

kebudayaan sebelumnya yang dipercaya pertama kali didirikan oleh Raja Pagaruyung,

Adityawarman tahun 1356 di kawasan Bukit Gombak. “Surau” ini, menjadi tempat

bagi tempat peribadatan Hindu-Budha dan tempat anak-anak untuk mempelajari ilmu

Page 7: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 33

Nasrulah

Minangkabau untuk menempa ilmu pengetahuan agama di bawah

bimbingan Syekh ini. Di antara muridnya yang terkenal adalah Tuanku

Mansiangan Nan Tuo, yang berasal dari Ladang Lawas, Padang

Panjang.9

Surau Ulakan ini telah menjadi sentral penyebaran Islam di

Minangkabau ketika itu sekitar abad 17 M. Basis dari pengajaran surau

ini, lebih banyak diprioritaskan bagi pengajaran dan pengembangan

tarekat Syattariyah yang memiliki jaringan dengan fenomena

perkembangan tarekat Syattariyah di Aceh.10 Hal ini juga semakin

mengungkapkan fakta bahwa awal-awal proses islamisasi di

sebagai bekal menempuh kehidupan. Surau adalah tempat yang merupakan bagian

dari sistem kehidupan tradisional masyarakat muslim di Minangkabau. Biasanya

surau itu, tidak hanya memiliki satu bangunan, malahan bisa seperti sebuah komplek

yang terdiri dari beberapa bangunan. Fungsi dari surau, bisa dikaitkan dengan tempat

ibadah seperti menjalankan salat dan suluk. Bisa juga tentunya fungsi untuk

transformasi intelektual, seperti tempat mengaji dan berdiskusi ilmu-ilmu agama.

Bahkan, surau juga berfungsi sebagai sarana kesenian, di mana surau dijadikan tempat bagi pelatihan pencak silat dan bermain qasidahan. Surau juga menjadi sarana

pemondokan di malam hari dan arena sosialisasi bagi para laki-laki Minangkabau,

baik dari golongan anak-anak, remaja, maupun para duda. Sebab anak laki-laki dalam

sistem kekerabatan Minangkabauyang matrilinial itu, pada dasarnya tidak memiliki

kamar di rumahnya. Anak laki-laki, memang telah dipeintahkan untuk mencari tempat

di luar rumah, yakni dalam konteks ini adalah surau tersebut. Bandingkan dengan

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, h. 117. 9 Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Haji Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangan Kaum Agama di Sumatera , Jakarta: Djajamurni, 1967, h. 18. 10 Cristine Dobbin, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang Sedang

Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, alih bahasa Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta:

INIS, 1992, h. 140. Bandingkan dengan Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal dan

Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005”,

h. 152.

Page 8: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

34 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Minangkabau lebih banyak dihiasi dengan warna Islam sufistik atau

Islam tarekat, sebagaiman dipaparkan sebelumnya.11

Dalam penilaian seorang sarjana Belanda, Martin van Bruinessen,

tarekat Syattariyah adalah sebagai bentuk tarekat yang cukup relatif

mudah dalam berpadu dengan berbagai tradisi setempat, ketimbang

tarekat lainnya waktu itu. Sehingga tidak begitu lama tarekat ini

berhasil menjadi tarekat yang berkembang.12Perkembangan tarekat

yang dibawa Syekh dari Ulakan ini, telah menjadi satu fondasi

keislaman dan menjadi bagian dalam struktur dan kultur muslim yang

terdapat di Minangkabau.

Sejak Syekh Burhanuddin yang merupakan murid sekaligus

khalifah dari Syekh Abdurrauf as-Sinkili, dipercaya sebagai penyebar

tarekat pertama di Minangkabau, telah memperlihat kecenderungan

corak tarekat Syattariyah yang berbeda dengan corak tarekat

Syattariyah di kawasan lain. Terutama dengan daerah di luar Nusantara.

Perbedaan ini, barangkali dipengaruhi oleh intensitas pergumulan

antara ajaran tarekat dan tradisi yang tidak sama antara daerah satu

dengan yang lainnya. Akibatnya corak tarekat pun diformat agar bisa

menyesuaikan dengan realitas tersebut, sebagaimana tesis Martin van

Bruinessen di atas. 13

Indikasi corak dari jenis Syattariyah ala Minangkabau atau lebih

tepatnya adalah Ulakan yang dipimpin oleh Syekh Burhanuddin ini

11 Alwi Shihab, Islam Sufistik, h. 12. 12 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-

tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 194. 13 Ibid. Lihat juga Nor Huda, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam

di Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007, h. 292.

Page 9: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 35

Nasrulah

adalah, telah “dilucutinya” aspek doktrin wahdah al-wujûd dalam

sistem ajarannya. Dalam konteks Ulakan, aspek ajaran itu praktis

ditiadakan, sebab dianggap bertentangan dengan doktrin ortodoksi

Islam serta tidak sesuai dengan syari’at.14 Fenomena ini terkait dengan

pengalaman tarekat Syattariyah yang diajarkan di Aceh oleh as-Sinkili

kepada murid-muridnya, tidak terkecuali Syekh Burhanuddin tentunya,

pada abad 17 Masehi. Ajaran wahdah al- wujûd oleh as-Singkili

diajarkan secara hati-hati dan dire-interpretasi maknanya.

Seperti kutipan puisi Syekh Abdurrauf dalam salah satu karyanya,

Sya’ir Ma’rifah dalam menjelaskan makna Man ‘Arafa Nafsahu Faqad

‘Arafa Rabbahu, sebagai berikut;15

“Jika tuan menuntut ilmu,

Ketahui dulu keadaanmu,

Man ‘arafa nafsahu kenal dirimu,

Faqad ‘arafa Rabbahu kenal Tuhanmu.

Kenal dirimu muhadas semata,

Kenal Tuhanmu qadim semata,

Tiada bersamaan itu keduanya,

Tiada semisal seumpanya.”

Juga dapat dilihat dalam rangakaian puisinya yang lain sebagai

berikut,

“Tuhan kita itu tiada bermakan,

Lahirnya nyata dengan rupa insan,

Man ‘arafa nafsahu suatu burhan,

Faqad ‘arafa rabbahu terlalu bayan.”

14 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah”, h. 172. 15 Oman Fathurrahman, “Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi

Mekkah”, dalam J.B. Kristanto (ed.), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta: Kompas, 2000,

h.463.

Page 10: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

36 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Dalam rangka membuktikan bahwa as-Singkili sangat berhati-

hati dan tidak “vulgar” dalam tafsiran mistiko-filosofisnya, maka bisa

dibandingkan dengan kutipan puisi dari Hamzah Fansuri sebagai

berikut;16

“Sabda Rasul Allah: Man ‘arafa nafsahu,

Bahwasanya mengenal akan Rabbahu,

Jika sungguh engkau abdahu,

Jangan kau cari illa wajhahu,

Wajah Allah itulah yang asal kata,

Pada wujudmu sekalian rata.”

Kondisi sangat berhati-hati ini disebabkan karena as-Singkili

merasakan dan paham betul pada era sebelumnya di lingkungan Aceh

telah terjadi perseteruan yang sengit antara kelompok Hamzah Fansuri

dan Syamsuddin as-Sumatrani yang berpaham wujûdiyah dengan

kelompok Nuruddin ar-Raniri yang berpaham ortodok. Apalagi posisi

as-Singkili berposisi sebagai seorang qadhi dalam lingkungan istana

yang bertanggung jawab dalam masalah penanganan aspek sosial

keagamaan. 17Maka hal ini memperlihatkan kecenderungan yang kuat,

bahwa Syattariyah di Ulakan ini lebih dekat kepada ajaran neo-sufisme,

atau ajaran praktek spritual yang tidak mempertentangkan dimensi

tasawuf dengan syari’ah. Ajaran neo-sufisme inilah yang menjadi trend

dari bentuk-bentuk ajaran tasawuf dan tarekat di wilayah Nusantara dan

Malaya pada abad 18 sampai awal abad 20.18

Di samping tarekat Syattariyah yang berkembang di

Minangkabau, pada tahun 1850-an, berkembang juga tarekat

16 Ibid., h. 464. 17 Ibid., h. 462. 18 Oman Fathurrahman, “Tarekat Syattariah”, h 172..

Page 11: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 37

Nasrulah

Naqsyabandiyah,19 yang kemudian menjadi “rival” dari tarekat

Syattariyah, sebagai tarekat pertama yang masuk ke Minangkabau.

Rivalitas itu di mulai menurut data sejarah, ketika tokoh tarekat

Syattariyah, yaitu Tuanku Nan Tuo, Cangking, yang merupakan murid

dari murid Syekh Burhanuddin di Ulakan, yakni Tuanku Nan Tuo,

Pemansiangan, “menyeberang” menjadi pengikut tarekat

Naqsyabandiyah. Surau Cangking, sebagai pusat kegiatan dan cabang

dari tarekat Syattariyah Ulakan sebelumnya, berubah haluan menjadi

tempat pengkaderan dari praktek-praktek ajaran Naqsyabandiyah. Pada

saat itu, rivalitas terkadang berubah menjadi konflik, dengan konstruksi

stigmatisasi dikotomik dengan simbol Islam Ulakan dan Islam

Cangking, sebagai representasi dan pertarungan dua tarekat terbesar di

ranah Minang kala itu.20

Ada juga sumber yang menyatakan bahwa, timbulnya eksodus

pengikut Syattariyah berpindah ke Naqsyabandiyah, lantaran terdapat

kesalahpahaman salah seorang murid dengan gurunya (khalifah/murid

Syekh Burhanuddin) di Ulakan, yang bernama Abdullah Arif,

Pariaman. Akibatnya ia dikucilkan dan mendapat sangsi tidak boleh

mengajar di wilayah pesisir Minangkabau. Karena sangsi yang cukup

berat itu, sang murid ini pindah mengajar ke daerah Koto Tuo Ampat

Koto di daerah Luhak Agam, sehingga ia masyhur dengan sebutan

Tuanku Koto Tuo. Dengan kepindahannya inilah kemudian

19 Tarekat ini sering dinisbatkan pada nama pendirinya Baha’uddin an-

Naqsyabandi (w. 1389 M). . Lihat pembahasan yang cukup panjang-lebar dari Martin

van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis,

dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1996, h. 47. 20 Hamka, Ayahku, h. 25.

Page 12: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

38 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

menandakan suatu perpindahan di mana ia sebelumnya dari tarekat

gurunya, Syattariyah, berpindah kepada tarekat baru, yaitu

Naqsyabandiyah.21

Motif dari persaingan dua tarekat di atas, di samping menyangkut

dimensi ajaran yang sedikit berbeda, juga diidentifikasi terdapat

persaingan aspek sosial-budaya dan geo-politik kedaerahan. Sebab,

tarekat Syattariyah dianggap mewakili komponen budaya pesisir, dan

banyak dipengaruhi oleh nilai dan tradisi Aceh. Sementara tarekat

Naqsyabandiyah, mewakili komponen budaya darat Minangkabau yang

dekat dengan pengaruh Pagaruyung.22

Tuanku Nan Tuo sebagai pimpinan tarekat surau Cangking,

dibantu oleh oleh muridnya yang setia, yaitu Syekh Jalaluddin. Waktu

muda, Syekh Jalaluddin bergelar Faqih Sagir. Sementara ketika sudah

tua beliau mendapat gelar lagi dengan panggilan Tuan Sami’.23

Muridnya yang bernama Jalaluddin inilah kemudian yang kelak

menggantikan Tuanku Nan Tuo dalam memimpin surau Cangking,

sebagai pusat tarekat baru, yakni Naqsyabandiyah. Peran Syekh

Jalaluddin sangat besar dan berpengaruh. Beliau banyak menarik massa

muslim Minangkabau untuk pindah dan berpaling kepada tarekat anyar

ini. Oleh sebab itu ia banyak terlibat konflik dengan pemuka-pemuka

tarekat Syattariyah dan tarekat lokal yang lebih kecil.24

21 Ibid. Bandingkan dengan Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h.

183. 22 Lihat Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad

Ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, h. 178. 23 Hamka, Ayahku, h. 25. 24 Konflik antara Syattariyah dan Naqsyabandiyah sampai pada persoalan

furu’iyah fikih, di samping tentunya aspek ajaran tarekat itu sendiri. Golongan

Page 13: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 39

Nasrulah

Memang diakui oleh Hamka, bahwa akibat pertentangan antar

tarekat dan terkadang berujung terjadi konflik, telah berdampak pada

terabaikannya peran ulama dalam mengurus umat. Oleh sebab itu

masyarakat Minangkabau yang masih “labil” ketika itu dalam praktek

ajaran agama, kembali mempraktekkan kebiasaan-kebiasaan lamanya

(adat), karena mengendornya “pengawasan” dan perhatian ulama, yang

“sibuk” dengan urusan konflik.25 Akibatnya pemberdayaan masalah

keummatan menjadi terbengkalai. Kondisi itu cukup mirip dengan

fenomena maraknya para kyai atau alim ulama saat ini yang terjun ke

kancah politik praktis, sehingga pesantren dan majlis taklim menjadi

terlantarkan. Maka hal ini, sekali lagi juga berdampak pada ummat yang

dirugikan, akibat egoisme para elit agama tersebut yang terkadang

dilandasi oleh semangat individualistik.

Melalui figur Tuanku Nan Tuo kemudian dibantu dan dilanjutkan

oleh Syekh Jalaluddin sebagai pemimpin tarekat Naqsyabandiyah,

gerakan pemurnian atau pembaharuan di mulai.26 Kecenderungannya

kepada usaha pemurrnian ini terkait dengan kondisi umat Islam

Minangkabau yang saat itu dianggap telah “longgar” keislamannya.

Seperti kegemaran, minum arak, berjudi, penjualan budak, dan

Naqsyabandiyah sering “mengejek” pada kelompok Syattariyah, bahwa mereka kurang fasih dalam melafalkan bahasa Arab. Di samping itu, orang Syattariyah sering

memilih lebih belakang dalam mengawali bulan Ramadhan, mungkin karena sistem

penghitungan falakiah yang berbeda antar kedua tarekat yang bersaing ini. Lihat juga

kembali Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 125. Bandingkan

dengan Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h. 182. 25 Hamka, Ayahku, h. 25. 26 Adrianus Chatib dan Erwiza Erman, “Gerakan Reformis Paderi”, dalam

Azyumardi Azra dan Bahtiar Effendy (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, jilid V,

Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2002”, h. 186.

Page 14: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

40 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

menyabung ayam. Di sisi lain juga terkait dengan adanya pengaruh

tarekat yang dianggap bernuansa singkretis dan menjurus pada bentuk

“syirik”.27 Namun, pembaharuan yang diserukan oleh Tuanku Nan Tuo

dan Syekh Jalaluddin, masih dianggap moderat dan tidak menganjurkan

pada kekerasan, jika ada pihak yang tidak menerimanya, sesuai dengan

watak dari tarekat yang “soft” pada justifikasi praksis syari’ah.

C. MENELISIK PROFIL KAUM TUA SEBAGAI GERAKAN

KEAGAMAAN DAN PENJAGA TRADISI AHLUSSUNNAH

WAL JAMA’AH

Gerakan ini sering diasosiasikan sebagai aliran konservatif,

ortodok, dan tradisionalis. Gerakan ini dikenal karena watak defensif

dalam mempertahankan tradisi dan nilai-nilai lama yang telah

mengakar kuat di masyarakat. Namun, menurut Martin van Bruinessen,

adalah kekeliruan besar jika watak konservatisme dan ortodoksi dalam

jiwa kaum tradisionalis seperti Kaum Tua, digeneralisasi dalam setiap

aspek kehidupan. Sementara Kaum Muda (baca: lawan ideologis

karena watak purifikatif dalam mengkritik tradisi keagamaan Kaum

Tua) diposisikan sebagai berwatak moderen dan progresif. Bahkan,

menurutnya dalam aspek sosial-politik, justru kenyataannya menjadi

terbalik. Justru Kaum Tua menunjukkan sikap kontra kolonialisme

bahkan, serinng melakukan tindakan perlawanan yang radikal dan non-

kooperatif.28

27 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 125. 28 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei

Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1996, h. 130.

Page 15: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 41

Nasrulah

Dalam konteks Minangkabau, gerakan ini adalah kontiunitas dari

gerakan atau aliran pengikut tarekat yang pada masa Paderi turut

dimusuhi bersama dengan kalangan adat. Adapun ciri-ciri dari

kelompok Kaum Tua dalam bidang agama, para pakar sering

mengidentikkan sebagai penganut dan pemegang teguh doktrin Ahl as-

Sunnah wa al-Jamâ’ah. Maka dari itu, Kaum Tua dalam praksis aspek

fikih biasanya bersandar pada referensi doktrin mazhab Syafi’i, dalam

teologi pada Imam Asy’ari, dan dalam bidang tasawuf bersandar pada

Imam Ghazali.

Kaum Tua, dengan sikap tradisionalisnya, dianggap sebagai

benteng paham Aswaja di atas. Karena dalam historisitas masuknya

Islam ke wilayah ini, telah didominasi oleh paham tersebut. Seperti

dominannya mazhab Syafi’i yang telah menjadi anutan taklid

masyarakat dalam aspek ibadah, mu’amalah, munakahat, dan lain

sebagainya.29 Begitu pun halnya dengan paham teologi Asy’ariyah

yang dikaji oleh masyarakat, paling tidak bisa dilihat nantinya dalam

kurikulum madrasah-madrasah Kaum Tua.30 Tidak ketinggalan juga

tentunya masalah tasawuf dan tarekat yang cukup “membumi” dalam

praktek masyarakat muslim Minangkabau.

Namun, dalam perjalanan sejarah, tatanan format keberagamaan

ala Aswaja tersebut, mendapat “gangguan” dari gerakan modernis atau

yang sering disebut kemudian sebagai Kaum Muda. Kehadiran Kaum

Muda ini berusaha mereformasi bahkan berupaya mendekonstruksi

29 Sanusi Latief, “ Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, disertasi doktor IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988. 30 Bandingkan dengan uraian Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren,

dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, Bandung: Mizan, 1995, h. 153.

Page 16: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

42 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

tatanan tersebut dengan menggantikannya melalui formula ijtihad dan

kembali pada sumber al-Qur’an dan Sunnah, bukan dengan cara

bertaklid ala paham Kaum Tua di atas.

Kondisi ini tentu saja menjadi ancaman tersendiri bagi Kaum

tradisionalis yang merasa “terganggu” dengan paham “baru” yang

diinspirasi oleh semangat pembaharuan dari Timur Tengah yang sedang

“booming” kala itu. Bagi pihak Kaum Tua, gerakan ini, telah dianggap

mengganggu tatanan paham yang sudah berurat-berakar dalam

pengamalan Islam di Minangakabau. Yakni, paham Ahl as-Sunnah wa

al-Jamâ’ah, baik dalam fiqih, kalam, dan tasawuf sebagaimana formasi

ajaran yang dianut dan menjadi pegangan oleh Kaum Tua di atas.

Menurut kalangan Kaum Tua, anjuran Kaum Muda untuk

menolak sikap taklid dan menganjurkan agar langsung berijtihad

merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah adalah berbahaya. Karena pada

saat ini sangat jarang orang yang memenuhi kualifikasi mujtahid

sebagaimana yang digariskan dalam Ushûl Fiqîh. Pada saat ini, tidak

mungkin ulama apalagi masyarakat tidak bertaklid kepada ulama,

dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah.31

Pada sisi lain, Kaum Tua juga merasa khawatir dan keberatan

dengan sikap ulama Kaum Muda dalam menolak paham tarekat.

Bahkan, Kaum Muda menuduh dan menganggap terekat dan ajarannya

adalah bersifat bid’ah karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi. Padahal

tarekat sudah menjadi “pakaian” ulama dan masyarakat Minangkabau

selama ini. Begitu juga pandangan Kaum Muda terhadap aspek adat,

31 Alaiddin, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-1970”,

disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1995, h. 42.

Page 17: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 43

Nasrulah

yang mereka identifikasi banyak yang tidak sesuai dengan garis al-

Qur’an dan Sunnah.

Dalam menghadapi gerakan Kaum Muda ini, Kaum Tua

kemudian berkumpul dalam satu wadah organisasi yang diharapkan

bisa menyatukan seluruh ulama Kaum Tua di wilayah Minangkabau

pada khususnya. Pada tanggal 5 Mei tahun 1928 bertempat di Candung,

Agam, ulama-ulama Kaum Tua bermufakat mendirikan suatu

organisasi (jam’iyyah) yang diberi nama Persatuan Tarbiyah Islamiyah

(PERTI).32

Organisasi ini menjadi induk bagi wadah persatuan madrasah-

madrasah Kaum Tua-sebagai lembaga keilmuan dan tempat re-generasi

kaderisasi ideologis yang tersebar di seluruh Minangkabau. Motif

mendirikan oranisasi ini didasari atas fakta kehadiran dan tantangan

sekolah-sekolah Kaum Muda yang lebih moderen. Dari kondisi ini

secara tidak langsung telah memotivasi sebahagian kalangan Kaum

Tua, untuk merubah dan “memodernisasi” sistem surau mereka

menjadi sistem madrasah dan sekolah.33

Beralihnya sistem surau menjadi madrasah dan sekolah yang

memakai sistem klasikal dan kurikulum, yang dilakukan oleh ulama

Kaum Tua melalui organisasi PERTI menurut Karel A. Steenbrink,

adalah bisa disebut bagian dari sikap menolak paham Kaum Muda di

32 Di antara tokoh-tokohnya antara lain: Syekh Sulaiman, Arrasuli, Syekh

Jamil Jaho, Syekh Abbas Ladang Lawas, Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang, Syekh

M. Arifin Batuhampar, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh Makhudum Solok, Syekh,

M. Yunus Pariaman, dan lain lain. Lihat dalam Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan,

h. 97. 33Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan, h. 114. Lihat dan bandingkan dengan

Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 97.

Page 18: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

44 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

satu sisi, tetapi mengikuti pada sisi lainnya. Diperkirakan pada tahun

1942, sudah terdapat 300 buah sekolah PERTI, yang memiliki sekitar

45.000 murid.34 Pada tanggal 20 Mei tahun 1930, baru lah PERTI

menjadi organisasi kemasyarakatan. Kemudian pada tanggal 22

Desember 1945, organisasi ini menjelma menjadi kekuatan salah partai

politik dan dinamakan dengan Partai Islam Perti.35 Ada empat faktor

yang menyebabkan PERTI menjadi partai politik;

Pertama, sebagai partai politik, maka PERTI akan semakin

punya “posisi tawar” dalam mempertahankan paham Aswaja. Kedua,

adanya relasi yang kurang mesra dengan anggota Majelis Islam Tinggi

Minangkabau yang didominasi oleh Kaum Muda, yang kemudian

melebur ke dalam Masyumi. Ketiga, untuk mengakomodir anggota

PERTI yang berambisi masuk dalam politik praktis pasca era

kemerdekaan. Keempat, sebagai respon atas anjuran Pemerintah RI,

pada tanggal 3 November 1945 yang memaklumatkan, agar mendirikan

partai politik untuk memperkuat perjuangan mempertahankan

kemerdekaan.36

Pada periode sebelum berakhir masa penjajahan, sekitar tahun

1940-an PERTI di samping sebagai organisasi pendidikan dan

kemasyarakatan juga merupakan organisasi yang menampung

kepentingan tarekat Naqsyabandiyah.37 Sebab, para pendirinya

termasuk Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Abbas Qadhi Ladang

34 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam

Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1986, h. 64. 35 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan, h. 99. 36 Ibid. Lihat juga Alaiddin, “Pemikiran Politik”, h. 314. 37 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah, h. 131.

Page 19: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 45

Nasrulah

Lawas. Keduanya adalah khalifah tarekat Naqsyabandiyah.38 Afiliasi

Kaum Tua terhadap tarekat lebih tepatnya dijatuhkan pilihan pada

tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah.39

Pada prinsipnya Kaum Tua tidak bisa dilepaskan dengan

organisasi PERTI. Sebab, dalam wadah organisasi inilah Kaum Tua

mengekspresikan gerakannya. Jadi, organisasi ini bisa disebut sebagai

mesin dan formula dalam menjalankan setiap doktrin dan ajaran

tradisional mereka. Pendirian organisasi ini terkait dengan ancaman dan

rongrongan arus pemikiran baru yang dianggap lebih moderen yang

kemudian dilancarkan oleh Kaum Muda.

Oleh sebab itu, salah satu motif pendirian organisasi PERTI,

adalah sebagai alat perjuangan kaum Tua dalam menghadapi penetrasi

ajaran dan propaganda pemikiran moderen kaum Muda. Dari organisasi

ini, kemudian lahir media-media massa dan sekolah-sekolah yang

mewakili visi dan misi perjuangan Kaum Tua untuk menandingi media

serupa dari Kaum Muda.

38 Syekh Sulaiman Arrasuli dan Syekh Abbas adalah khalifah dari Syekh

Yahya al-Khalidi yang telah diangkat oleh Syekh Sa’ad Mungka. Lihat Ibid. 39 Tarekat ini diduga pertama kali dibawa oleh Syekh Isma’il Simabur al-

Minangkabawi pada permulaan tahun 1850-an. Tarekat ini pada perjalanan waktu

sejak masuk ke Minangkabau, telah menjelma menjadi kekuatan sosial keagamaan

masyarakat. Bahkan, tarekat ini telah menggantikan peran besar tarekat Syattariyah

sebelumnya. Begitu besarnya pengaruh dari tarekat ini dalam menarik massa, seorang

residen Belanda di Minangkabau pada tahun 1869 mencatat, bahwa seperdelapan dari

keseluruhan masyarakat Minangkabau, telah masuk tarekat ini. Jadi bisa dibayangkan,

bahwa tarekat ini telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat tradisional

Minangkabau. Lihat Ibid. Bandingkan dengan Hawash Abdullah, Perkembangan

Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980, h.158.

Page 20: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

46 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

D. TAFSIR TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL TENTANG

TAREKAT MENURUT KAUM TUA

Secara bahasa, tarekat berasal dari bahasa Arab yang telah di

Indonesiakan. Dalam Ensiklopedia Islam, diartikan “jalan, cara, garis,

kedudukan, keyakinan dan agama”.40 Pengertian seperti ini terdapat

pada sembilan ayat Al Qur’an, yakni pada ayat 168 dan 169 surat An-

Nisa, ayat 63, 77 dan 104 surat Thaha, ayat 30 surat Al-Ahqaf, ayat 17

suart Al Mu’minin, serta ayat 11 dan 16 surat Al-Jin. Dalam Kamus al-

Munjid, Louis Ma’luf, mengartikan thariqah atau tarekat bermakna:

jalan, cara, metode, sistem, mazhab, aliran, haluan, pohon kurma yang

tinggi, tiang tempat berteduh, tongkat payung, yang mulia, terkemuka

dari kaum.41

Menurut istilah para sufi, tarekat berarti perjalanan seorang

salik/pengikut tarekat menuju Tuhan dengan cara mensucikan diri, atau

perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat

mendekatkan diri sedekat mungkin pada Tuhan. Al-Jurjâni mengatakan

bahwa tarekat adalah jalan atau tingkah laku tertentu bagi orang

beribadah pada Allah memulai tahapan menuju tingkat yang lebih

tinggi yang disebut maqâmât. 42 Dalam Mu’jam Alfâzh at-Tharîqah,

dikatakan bahwa tarekat adalah “upaya untuk memperoleh berkah dan

keutamaan dengan cara mengurangi ketergantungan kepada kehidupan

dunia dan senantiasa mengikatkan diri pada Allah dengan

40 Lihat Ensiklopedi Islam, Jilid V, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2002, hl.

66. 41 Louis Ma’luf, al- Munjid fi al- Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-

Masyriq, 1973, h. 165. 42 Al-Jurjâni, at-Ta’rifât, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1978, h. 259.

Page 21: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 47

Nasrulah

mencerminkan sikap tawadhu’ dalam segala hal seperti dalam

perkataan dan perbuatan. Dalam konteks tasawuf juga dimaknai

bertarekat ialah senantiasa berakhlak dengan akhlak Allah, senantiasa

dalam menta’ati peraturan Allah, meninggalkan semua yang

mengganggu hubungan (Ittishâl) dengan Allah dan selalu dalam

keadaan perbuatan zahir dan batin yang bernilai baik, benar dan

ikhlas.43 Dengan demikian yang dimaksud dengan tarekat dalam hal ini

adalah cara atau jalan tertentu yang dipilih oleh para sufi untuk

mensucikan diri dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah.

Dalam perkembangannya cara ini menjadi metode yang disusun

sedemikian rupa oleh seseorang sufi pimpinan tarekat, sehingga

menjadi ciri khas tertentu yang membedakannya dengan tarekat yang

lain. Lebih jauh dari itu, tarekat juga berkembang menjadi sebuah

sistem atau lembaga yang menyangkut keilmuan, amalan dan

pembentukan sikap yang memiliki pimpinan dan tempat tertentu yang

bertanggung jawab terhadap semua kegiatan dalam lembaga tarekat itu.

Karena itu setiap tarekat bisa berbeda dengan terkat lainnya terutama

metode amalnnya. Namun perlu dijelaskan bahwa semua tarekat

memiliki tujuan yang sama yakni untuk mensucikan jiwa agar dapat

dekat dengan Allah.

Tarekat sebagai sebuah cara atau jalan tidaklah sekedar

bagaimana cara yang harus dilakukan agar dapat lebih baik dan lebih

mudah dekat kepada Allah, tetapi lebih dari itu tarekat juga merupakan

43 Muhammad asy-Syarqâwi, Mu’jam Alfâz at-Tharîqah, Mesir: Muassasah

Mukhtar, 1992, h.. 200.

Page 22: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

48 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

kelompok, bahkan sebuah organisasi.44 Sebagai sebuah organisasi

setiap tarekat memiliki nama tersendiri yang berbeda dari yang lainnya,

memiliki pimpinan, anggota, tempat tinggal yang khusus, ajaran

tertentu dan cara melaksanakannya, bahkan tarekat sebagai sebuah

organisasi atau biasanya disebut aliran tasawuf cukup banyak

berkembang dangan nama dan ajaran yang berbeda-beda, seperti tarekat

Naqsabandiyah, Khalwatiyah, Sanusiyah, Maulawiyah, Sammaniyah,

Rifa’iyah, Qadariyah dan lain lain.

Ulama-ulama Kaum Tua sebagai ulama tradisional-konservatif

berusaha secara keras mempertahankan eksistensi tarekat, terutama

tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah. Mereka antara lain, Syekh Dalil,

Syekh Bayang, Syekh Sa’ad Mungka, Syekh Khatib Saidina Padang,

Syekh Abdul Wahab, Syekh Kumpulan, Syekh Bustami Tanah Datar,

Syekh Yunus Padang Panjang, Syekh Khatib Ali Padang, Syekh

Abdullah Khalidi Batusangkar, Syekh Amrullah Maninjau, Syekh

Abdul Manan Kamang, Syekh Djamil Jaho, Syekh Abdul Wahid Tabek

Gadang, Syekh Sulaiman Arrasuli Candung, dan lainnya.45

Para syekh tersebut di atas tidak hanya dikenal sebagai guru-guru

tarekat, akan tetapi mereka juga berusaha memperjuangkan dan

mengembangkan tarekat dengan penuh kesungguhan dan keyakinan.

Sebab mereka pada prinsipnya berkeyakinan bahwa pilihan terhadap

tarekat adalah bagian dari implementasi ajaran Islam. Mereka

berpendapat bahwa terdapat isyarat dari Nabi Muhammad SAW., yang

44 Louis Massignon, “Tharika”, dalam H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemer (ed.),

Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill and Luzc & Co., 1961, h. 573. 45 Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan, h. 180.

Page 23: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 49

Nasrulah

“memerintahkan” untuk masuk dan menjalankan tarekat. Karena

tarekat merupakan sebesar-besar ilmu, dasar amalan ibadah, dan

merupakan pilar penting bagi orang yang bermaksud menuju dan

mendekatkan diri kepada Allah SWT.46

Hal ini dilandasi atas keyakinan mereka terhadap beberapa buah

hadis yang mendukung terhadap legitimasi tarekat yang antara lain

seperti hadis Nabi yang menyatakan, bahwa شريعتي جاءت على ثلاثمائة إن

Artinya“Sesungguhnya yari’at yang . وست ين طريقة. ما سلك أحد منها إلا نجا

kubawa terdiri dari tiga ratus enam puluh tarekat, dan siapa saja yang

masuk akan salah satunya, maka selamatlah ia ”. Masuk terhadap suatu

tarekat tertentu, menurut mereka berarti memasuki bagian dari syari’at

yang dibawa oleh Nabi. Terdapat juga hadis yang menyatakan, bahwa,

“Rasulullah adalah sebagai gudang ilmu, dan Ali adalah sebagai

pintunya. Siapa yang ingin memiliki pengetahuan maka masukilah

pintu itu”. Dan dari ungkapan hadis ini bisa dibahasakan, bahwa siapa

yang memasuki tarekat berarti ia telah memasuki pintu itu. Adapun

hadis yang ketiga yang mereka pegangi adalah, bahwa “ilmu terbagi

dua, yaitu ilmu rohani dan ilmu lisan”. Menurut mereka tarekat adalah

termasuk dalam kelompok ilmu rohani. Tarekat berada pada posisi

penting dalam struktur keilmuan Islam yang mesti harus dipelajari dan

diamalkan. Tanpa tarekat amalan tidak dianggap sempurna.47

Sementara dalil naqli al-Qur’an, salah satu sampel di antara

sekian dalil yang mereka pegangi sebagai legitimasi tarekat adalah

berpatokan pada makna kata “at-tariqah”, dalam ayat ke-16 dari surah

46 Ibid. 47 Ibid.

Page 24: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

50 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

al-Jin. اء غدقاوأن لو استقاموا على الطريقة لأسقيناهم م

“Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus (istiqamah) di

atas jalan itu (tarekat), benar-benar kami akan memberi minum kepada

mereka air yang segar”. Dalam pemahaman Kaum Tua, ayat di atas

tidak hanya dipahami secara dalam konteks ayat itu diturunkan, terkait

himbauan al-Qur’an kepada orang orang kafir Mekkah ketika itu yang

labil keimanannya. Jika mereka tetap berada istiqamah agama Islam,

niscaya Allah akan meluaskan rezeki dengan cara diturunkan hujan

setelah Mekkah dilanda kemarau panjang selama tujuh tahun.48 Dengan

berkah istiqamah, ada limpahan keberkahan dari Allah, berupa

turunnya hujan yang merupakan karunia besar bagi daerah yang

gersang dan tandus seperti Mekkah.49

Namun, ungkapan ayat itu, oleh Kaum Tua dimaknai secara

“batin”, bahwa kata ath-thariqah adalah suatu jalan/tata cara

pendekatan kepada Allah yang harus dilakukan secara istiqamah.

Caranya bisa melalui riyâdhah, mujâhadah, zikir, khalwat, serta

menjalani tahapan-tahapan maqâmât.50 Melalui tarekat lah kebersihan

48 Dhamir jamak (waw jama’ah pada istaqâmû) diperselisihkan, ada juga kata

jamak itu di maksudkan mereka (para Jin). Simboli air hujan yaang tercurah itu

dimaknai sebagai keluasan rezeki dari Allah kepada mereka. Lihat Muhammad Bin

Ibrahim al-Baghdadi, Tafsîr al-Khâzin, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, h. 161. 49 Sedangkan Nawawi al Bantani, memaknai kata jamak di ayat 16 surat al-

Jin itu, kepada golongan Jin dan manusia. Lihat Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani, Tafsîr Marrâh Labîd, Juz II, Semarang: Mathba’ah Karya Thoha Putera, t.t.,

h. 405. 50 Menurut doktrin tarekat Naqsyabandiyah-Khalidiyah sebagai afiliasi tarekat

kaum Tua, yang ditambahkan oleh Imâm Rabbâni atau nama aslinya adalah Syekh

Fâruqi Sirhindi, terdapat tiga amalan tambahan; Pertama, zikir latâ’if. Adapun zikir

ini terbagi ada tujuh macam; latîfah qalbi, latîfah ruh, latîfah sirr, latîfah al-khaff,

latîfah al-akhaff, latîfah an-nafs, dan latîfah al-jasad. Kedua, murâqabah. Praktek

ritual ini adalah termasuk yang paling tinggi diajarkan bagi murid yang menguasai

zikir latâ’if diatas. Murâqabah ini adalah bagian dari teknik meditasi dalam upaya

Page 25: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 51

Nasrulah

jiwa/hati diasah agar bisa dekat dengan Allah dalam kesadaraan spritual

melalui murâqabah, ma’rifah dan mukâsyafah. Oleh sebab itu tarekat

adalah penting bagi seorang muslim yang berhasrat mencari kedekatan

hubungn yang “intim” dengan Allah. Adapun simbolisasi akan

diberikan “hujan” (maan ghadaqan) bisa ditafsirkan secara sufistik,

bahwa jika melazimi seorang sâlik terhadap suatu tarekat-yang mana

dimaksudkan untuk penyucian atau pembersihan jiwa dari nafsu rendah

dan segala penyakit-penyakit hati melalui latihan olah rohani yang

konsisten melaui bimbingan syekh mursyîd, maka kata “siraman” air

hujan itu adalah karunia Tuhan berupa rasa hilangnya kegersangan

jiwa/kalbu dengan tersingkapnya rahasia-rahasia Ketuhanan yang

disaksikan dalam wilayah spritual. Bagi seorang sufi pengalaman ini

(ahwal) adalah suatu kenikmatan dan keasyikan tersendiri yang sangat

pribadi dirasakan.

Dalam perspektif analisa tafsir kontekstual, pemahaman tentang

tarekat oleh Kaum Tua tersebut, dimaknai bahwa nilai dari legitimasi

tarekat Naqsyabandiyah itu tidak hanya cukup dilihat dari aspek legal

formal dan aspek deontologis yang didasarkan pada al-Qur’an dan

Sunnah saja. Namun, juga harus dilihat aspek teleologis dari segi

amalan-amalan tarekat yang dijalankan tersebut dalam upaya

meneguhkan sikap taqarrub kepada Allah SWT.

pengendalian diri untuk berharap-harap menunggu datangnya limpahan (faidl)

rahmat. Ada lima jenis murâqabah: Murâqabah af’âl, murâqabah. al-ma’iyah,

murâqabah. al-aqrabiyah, murâqabah. ahadiyah az-zât, murâqabah. az-zât as-shirf.

Ketiga, adalah rabitah, yaitu membayangkan rupa guru atau mursyid ketika zikir

dengan maksud sebagai perantara dalam meminta pertolongan Allah, SWT. Lihat

dalam Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, h. 189.

Page 26: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

52 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Salah seorang dari Kaum Tua, yakni Syekh Mungka, telah turut

ambil bagian dalam perdebatan ini. Syekh Mungka mengatakan, bahwa

esensi paling penting dalam seluruh amalan tarekat Naqsyabandiyah

ialah makrifatullah melalui amalan-amalan dan zikir yang

memungkinkan seseorang mencapai taqwa, ihsan, dan ikhlas. Zikir

adalah bagian yang ditekankan oleh al-Qur’an dan Sunnah, dan

merupakan salah satu media yang memungkinkan dirasakannya suatu

“aura” kehadiran Ilahiah secara kontinyu dalam hati (qalb) seseorang.51

Maka dari aspek ini, tarekat Naqsyabandiyah memiliki suatu dasar dan

legitimasi juga pada al-Qur’an dan Sunnah.

Tarekat menurut Syekh Mungka adalah “jalan” menuju Allah.

Supaya seseorang bisa sampai kepada Allah, tidak sempurna dengan

hanya mengandalkan trilogi ilmu klasik, yaitu tauhid, fiqih, dan tasawuf

an sich sebagaimana anggapan Syekh Ahmad Khatib dan Kaum

Muda.52 Maka dari itu, perlu ditambah dengan suatu bentuk amalan-

amalan batiniah yang dipelajari dari syekh-syekh tarekat dengan cara

masuk atau mengamalkan amaliah-amaliah tarekat tersebut yang sudah

menjadi bagian ijtihad syekh-syekh tarekat dalam silsilah-nya.53

Masalah râbitah yang dituduh sebagi “syirik” oleh Kaum Muda

juga mendapat tanggapan dari Syekh ini. Ia berpendapat bahwa râbitah

ini tidak mungkin semudah itu jatuh pada kesyirikan. Walaupun, dalam

51 Muhammad Sa’ad Mungka, Tanbîh al-‘Awâm ‘ala Taghrirât Ba’d al-Anâm,

Padang: t.t.p., 1910, h. 3. 52 Zaim Rais, Against Islamic Modernism: The Minangkabau Traditionalists

Responses to The Modernist Movement, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 71.

Bandingkan dengan Ahmad Khatib, Izhar Zaghl al-Kâżibîn fi Tasyabbuhihim bi as-

Sâdiqîn, Mesir: Matba’ah at-Taqaddum al-Ilmiyyah, 1344 H, h. 33. 53 Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm., h. 22.

Page 27: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 53

Nasrulah

prakteknya sang murid duduk bersimpuh, tunduk, dan hormat, seraya

membayangkan rupa guru/mursyid agar mendapat berkah dari Allah.

Pada hakekatnya, râbitah itu hanya sebagai wasilah54 di mana ketika

bersimpuh di depan guru, adalah sebagai bagian dari adab dan sopan

santun yang bisa dianalogikan bersimpuh dan menghinakan diri di

depan Allah. Dengan adanya rabitah sebenarnya hanya sekedar untuk

memantapkan hati seseorang yang beribadah. Sementara tujuannya

tetap Allah itu sendiri. Adapun larangan atau pantangan makan daging55

selama melakukan sulûk ditujukan agar peserta laku spritual menjadi

lebih khusyû’ dan bersikap tawâdhu’ serta membiasakan diri dalam

kebersahajaan hidup.56

Barangkali jika diinterpretasikan lebih jauh, pantangan makan

daging lebih diartikan sebagai menjauhi hidup yang mewah, karena

makan daging termasuk pada konsumsi yang cukup mahal. Sementara

dalam tarekat, hidup bermewah-mewah adalah sangat dihindari. Atau

barangkali bisa juga dikatakan, bahwa mengkonsumsi daging dalam

pendekatan medis bisa menimbulkan tingkat produksi kolesterol yang

tinggi akibat protein yang dikandung daging tersebut. Dalam sistem

54 Dalil yang mereka ketengahkan tentang legitimasi wasilah/rabitah ini adalah

firman llah dalam surat al-Mâidah ayat 35: ابتغوا إليه الوسيلة ياأيها الذين امنوا اتقوا الله و

,yang artinya: ”Hai orang-orang yang beriman وجاهدوا في سبيله لعلكم تفلحون

bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-

Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”. Lihat

dalam A. Fuad Said, Hakikat Tarekat, h. 71. 55 Doktrin larangan makan daging ini ditambahkan dalam ajaran

Naqsyabandiyah-Khalidiyah oleh Syekh Khalid al-Kurdi. Di samping larangan makan

daging, juga ditambah larangan tidak berhubungan suami-istri bagi yang sudah

menikah ketika dalam proses suluk dan harus menjaga sikap agar istiqamah terhadap

satu orang guru serta dilarang untuk berpindah-pindah syekh. Lihat Ibid. 56 Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm., h. 33.

Page 28: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

54 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

olah makanan di pencernaan, jika kolesterol itu tinggi, maka bisa

membuat tekanan darah menjadi tinggi dan naik. Jika tekanan darah

tinggi, maka bisa berakibat pada pengaruh psikologis seperti suka

marah dan stres. Dalam latihan spritual tarekat, sifat marah selalu

dihimbau untuk dihilangkan atau dikurangi.

Syekh Khatib Ali dari Padang, yang merupakan salah satu murid

Ahmad Khatib di Mekkah, juga berpendapat membantah pendapat

gurunya Syekh Khatib Ali tetap pada pendirian mempertahankan

tarekat dan berusaha meyakinkan dan melindungi tarekat dari ancaman

pendapat yang kontra terhadap tarekat Naqsyabandiyah ini.

Menurutnya, tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang berasal

dari ajaran syari’at dan sesuai dengan sumber al-Qur’an, as-Sunnah dan

praktek salaf as-shâlih.57

Amalan tarekat seperti zikir qalbi (zikir dalam hati) secara sirr,

rabitah, dan murâqabah, adalah bentuk upaya untuk mendekatkan diri

pada Allah. Setiap bentuk mendekatkan diri pada Allah sangat

dianjurkan pada dasarnya dalam syari’at. Maka bisa dinyatakan, bahwa

tarekat juga bisa dibenarkan di dalam syari’at, karena mengandung

aspek-aspek yang menjadi anjuran dari syari’at itu sendiri.58

57 Khatib Ali, Burhân al-Haqq, Padang: t.t.p., 1918, h. 57. 58 Ibid.

Page 29: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 55

Nasrulah

E. Kesimpulan

Islam di Nusantara, dalam kenyataan sejarah, diwarnai dengan

kentalnya nuansa sufistik. Hal ini, disebabkan proses keberhasilan

islamisasi pada awalnya, didukung dengan penerapan metode tasawuf

yang dipakai oleh para pendakwah yang sufi tersebut. Tidak terkecuali

tentunya juga terjadi hal itu di daerah Minangkabau. Islamisasi di

wilayah ini, menunjukkan hal yang demikian. Mulai dari peran Syekh

Burhanuddin Ulakan, Syekh Nan Tuo, Tuanku Pemansiangan, hingga

para Ulama yang tergabung dalam barisan Kaum Tua, yang teroranisir

pada awal abad 20 an. Mereka dikenal sebagai para ulama yang konsern

dalam mengajarkan dan membimbing masyarakat muslim

Minangkabau dalam bidang tasawuf dan pengmalan tarekat, khususnya

Syattariyah pada awalnya, dan Naqsyabandiyah yang kemudian

dilanjutkan oleh parra Ulama Kaum Tua. Para ulama yang disebutkan

terkhir ini, merasa perlu untuk mempertahankan tradisi tarekat, sebab

di samping tarekat berjasa dalam metode pendekatan islamisasi, juga

kemudian ia berkembang mentradisi menjadi kesadaran dan kebiasaan

dalam hidup mereka, bahkan sebagai salah satu pilar di samping adat

dan mazhab Syafi’i. Dan yang penting dalam mempertahankan tradisi

tarekat, menjaga ortodoksi dari “serangan” ulama Kaum Muda yang

mengkritik eksistensi tarekat sebagai hal “penyimpangan” dalam

beragama.

Maka dari itu, untuk mempertahankkan tarekat (khususnya

Naqsyabandiyah-Khalidiyah), Kaum Tua membangun suatu

argumentasi, bahwa secara tekstual dari nash al-Qur’an, tarekat bisa

dirujuk pada sembilan (9) ayat Al Qur’an, yakni pada ayat 168 dan 169

Page 30: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

56 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

surat An-Nisa, ayat 63, 77 dan 104 surat Thaha, ayat 30 surat Al-Ahqaf,

ayat 17 suart Al Mu’minin, serta ayat 11 dan 16 surat Al-Jin. Di antara

sampel dalil yang mereka gunakan adalah ayat 16 surat Al-Jinn, yang

dipahami secara batin, tidak hanya ditafsirkan secara lafzhiah. Namun

dikaitkan dengan sikap istiqamah dalam menjalankan agama Islam

dengan balasan mendapat karunia Allah. Di samping itu, dalam konteks

tafsir kontekstual, amaliah tarekat juga dimaknai dalam perspektif

teleologis (tujuan) dari praktik tarekat tersebut, yaitu memperbanyak

zikir dan menjaga diri dari nafsu rendah serta peneguhan taqarrub

kepada Allah yang memang dianjurkan dalam Islam. Bagi Kaum Tua,

tarekat dengan segala amaliahnya sama sekali tidak bertentangan

sebagaimana dituduhkan Kaum Muda, bahkan tarekat memperkuat

sendi-sendi ajaran agama Islam.

Page 31: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 57

Nasrulah

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hawash, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya

di Nusantara, Surabaya: Al-Ikhlas, 1980.

Alaiddin, “Pemikiran Politik Persatuan Tarbiyah Islamiyah 1945-

1970”, disertasi doktor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

1995.

Ali, Khatib, Burhân al-Haqq, Padang: t.t.p., 1918.

Amrullah, Abdul Karim, Izhâr Asâtir al-Mudhillîn fi Tasyabbuhihim bi

al-Muhtadîn, Sungai Batang: t.t.., 1326/1908.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Nusantara Abad

XVII dan XVIII, Bandung: Mizan, 1994.

_______, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium

Baru, Jakarta:: Logos Wacana Ilmu, 1999.

Baghdadi, Muhammad Bin Ibrahim al-, Tafsîr al-Khâzin, Beirut: Dar

al-Fikr, 1979.

Bantani, Muhammad Nawawi al-Jawi al-, Tafsîr Marrâh Labîd, Juz II,

Semarang: Mathba’ah Karya Thoha Putera, t.t.

Bruinessen, Martin van, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survey

Historis, Geografis, dan Sosiologis, Bandung: Mizan, 1992.

_______, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam

di Indonesia, Bandung: Mizan, 1996.

Chatib, Adrianus, dan Erwiza Erman, “Gerakan Reformis Paderi”,

dalam Azyumardi Azra dan Bahtiar Effendy (ed.), Ensiklopedi

Tematis Dunia Islam, jilid V, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,

2002.

Page 32: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

58 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Daya, Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus

Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1995.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan

Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1985.

Dobbin, Cristine, Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani Yang

Sedang Berubah: Sumatera Tengah 1784-1847, alih bahasa

Lilian D. Tedjasudhana, Jakarta: INIS, 1992.

Fathurrahman, Oman, “Tarekat Syattariah: Memperkuat Ajaran Neo-

Sufisme”, dalam Sri Mulyati (ed.), Mengenal dan Memahami

Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Jakarta: Prenada

Media, 2005.

______, “Abdurrauf Singkel: Ulama Santun dari Serambi Mekkah”,

dalam J.B. Kristanto (ed.), 1000 Tahun Nusantara, Jakarta:

Kompas, 2000.

Hamka, Ayahku: Riwayat Hidup DR. Haji Abdul Karim Amrullah dan

Perjuangan Kaum Agama di Sumatera , Jakarta: Djajamurni,

1967.

_______, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan

Nurul Islam, 1980.

Huda, Nor, Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di

Indonesia, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007.

Jurjâni, al, at-Ta’rifât, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halaby, 1978.

Khatib, Ahmad, Izhâr Zagl al-Kâżibîn fi Tasyabbuhihim bi as-Sâdiqîn,

Mesir: Matba’ah at-Taqaddum al-Ilmiyyah, 1344 H.

Latief, Sanusi (ed.), Riwayat Hidup dan Perjuangan 20 Ulama Besar

Sumatera Barat, Padang: Islamic Centre Sumatera Barat, 1981.

--------, “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau”, disertasi doktor IAIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, 1988.

Page 33: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

Mempertahankan Tradisi Tasawuf | 59

Nasrulah

Ma’luf, Louis, al- Munjid fi al- Lughah wa al- A’lam, Beirut: Dar al-

Masyriq, 1973.

Massignon, Louis, “Tharika”, dalam H.A.R. Gibb dan J.H. Kraemer

(ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam, Leiden: E.J. Brill and

Luzc & Co., 1961.

Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka,

Jakarta: Prenada Media, 2006.

_______, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di

Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.

Mungka, Muhammad Sa’ad, Tanbîh al-‘Awâm ‘ala Taghrîrât Ba’d al-

Anâm, Padang: t.p., 1910.

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:

LP3ES, 1985.

Rais, Zaim, Against Islamic Modernism: The Minangkabau

Traditionalists Responces to The Modernist Movement,

Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.

Said, A. Fuad, Hakikat Tarekat Naqsyabandiah, Jakarta: Al-Husna

Zikra, 1996.

Samad, Duski, Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau,

Padang: The Minangkabau Foundation Press, 2002.

Shihab, Alwi, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga

Kini di Indonesia, Bandung: Mizan, 2001.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam

dalam Kurun Moderen, Jakarta: LP3ES, 1986.

_______, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19,

Jakarta: Bulan Bintang, 1984.

Syarqâwi , Muhammad asy-, Mu’jam Alfâz at-Tharîqah, Mesir:

Muassasah Mukhtar, 1992.

Page 34: MEMPERTAHANKAN TRADISI TASAWUF: Tafsir Tekstual dan ...

60 | Jurnal Syahadah

Vol. V, No. 2, Oktober 2017

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:

Hidakarya Agung, 1982.