TAFSIR ZAMAN:Usulah Corak Tafsir Masa Depan

download TAFSIR ZAMAN:Usulah Corak Tafsir Masa Depan

of 22

Transcript of TAFSIR ZAMAN:Usulah Corak Tafsir Masa Depan

TAFSIR ZAMAN KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF Upaya Membangun Tafsir Masa Depan Yang Objektif Dan Menyeluruh

TUGAS MAKALAHDALAM MATA KULIAH SEJARAH PEMIKIRAN ALQURAN & HADITS; KLASIK, TENGAH DAN MODERN BIMBINGAN PROF. DR. H. MUHAMMAD CHIRZIN, MA.g

Oleh : Munawir Husni NIM : 10.213.005

KOSENTRASI STUDI QURAN HADITS PROGRAM PASCASARJANA STATE ISLAMIC UNIVERSITY SUNAN KALIJAGA (UIN) YOGYAKARTA 2010/ 2011TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 1}

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perbincangan tafsir dalam konteks metodologis, semakin hari semakin menarik saja dimana para konstruktor, rekonstruktor bahkan dekonstruktor epistemologi dan metodologi tampak berlomba mencari sebuah alternatif yang mampu mengakomodasi problematika sosial dari masa ke masa hingga di era modern ini. Tidak hanya itu, para ilmuan Barat dengan orientalisnya juga tuut serta memberi warna_terlepas dari motifasi penyerangan ataukah pembelaan atau mungkin saja pelurusan atas desain desain ilmu ilmu keislaman, yang jelas kesemuanya telah memberi pengaruh positif bagi ummat Islam berupa adanya motifasi pengkajian ulang secara insetntif dan elaboratif dalam upaya menemukan, menjawab, dan meperkenalkan kembali ilmu ilmu Islam yang sejatinya telah ada sejak permulaan al-Quran diturunkan. Islam adalah agama yang amat sangat terbuka denga kondisi apapun dan ramah akan dialektika serta kritik. Islam tidak hanya merekonstruksi struktur sosial, sistem kemasyarakatan, sistem moral dan sistem-sistem lainnya yang telah lama disalah gunakan bangsa-bangsa terdahulu, namun Islam juga telah membangun bangunan-bangunan ilmu pengetahuan baik apa yang disebut dengan epistemologi, teori dan istilah-istilah yang kita kenal sekarang ini. Dan hal ini bisa kita rasakan dengan munculnya ribuan disiplin ilmu mulai dari al-Quran dan cabang-cabangnya, Tafsir dan cabang-cabangnya, al-Hadits dan cabang-cabangnya, Fiqih dan cabang-cabangnya, Tasawwuf dan cabang-cabangnya, Filsafat dan cabang-cabangnya, Logika, Kalam, Tauhid, dan lain lain. Disiplin-disiplin ini berjalan secara evolutif mengikuti perkembangan zaman dimana disiplin ilmu itu berhadapan dengan kehidupan social. Tampa bermaksud mendesakralisasi ilmu, kenyataanya bahwa disiplin ilmu keislaman telah lama berevolusi dengan zamannya. Kita ketahui bagaimana corak ilmu masa kenabian_yang oleh beberapa peneliti ilmu pada masa ini digambarkan dengan puncak peradaban ilmu dan religiutas yang sangat praktis, kemudian lahirlah era Khulafa ar-Rosyidin yang dikenal dengan empat tipologi pemikiran, kemudian lahir lagi dua model pemerintahan yang sangat monumental dengan sistem yang berbeda, begitu selanjutnya sampai era modern dan kontemporer ini. Disiplin ilmu di masing masing priode ini memiliki corak yang berbeda dan bagai pohon yang memiliki cabang serta ranting-ranting yang semakin hari semakin tumbuh, namun tidak berarti tumbang sebagaimana pohon aslinya. TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 2}

Salah satu dilema yang dihadapi masyarakat yang sedang dalam proses modernisasi_sebagaimana tulis Tholhah Hasan adalah bagaiman menempatkan nilai nilai dan orientasi keagamaannya ditengah perubahan-perubahan yang terus terjadi dengan cepat dalam kehidupan sosialnya. Di satu pihak mereka ingin mengikuti gerak modernisasi yang kemudian menampilkan diri sebagai masyarakat modern. Dan say yang bersamaan secara berlawanan mereka tidak ingin kehilangan symbol kepribadiannya yang ditandai dengan berbagai nilai yang pernah dianutnya. Dan memang benar apa yang dikatakan bahwa dalam transisi seperti ini, kerap kali terjadi usaha pelompatan orientasi, dengan meningalkan segala system nilai klasik yang dipandang sebagai penghalangmodernisasi, namju di lain sisi dia belum menemukan system nilai baru yang sudah mapan, yang mampu dipakai sebagai ukuran wawasan dan sikap prilaku yang dibutuhkan. Maka terjadilah distorsi kepribadian yang membawa kelabilan dalam kehidupan sosialnya. Bila kita sadari bahwa, semangat kita dalam memahami ciri-ciri perubahan yang sedang terjadi dan tuntutan-tuntutan baru yang timbul. Sementara itu kita juga harus mempersiapkan metodologi serta pendekatan persepsionalis yang aspiratif-onal , sehingga kemungkinan untuk membuka cakrawala itu lebih luas untuk diwujudkan. Islam sebagai agen perubahan sosial kemasyarakatan melalui tafsir al-Qurannya, tentu sangatlah diharapkan bahkan satu satunya harapan dunia agar realitas social di dunia ini dapat terwujud secara adil dan menyeluruh tampa ada superioritas dan imperioritas terhadap strata social yang dianggap lebih rendah dari dirinya. Di samping itu upaya-upaya untuk membendung pertikaian yang sudah lama terjadi bahkan sebelum Islam lahir_dimana dekadensi moral, perbudakan, diskriminasi, hegemoni, belum lagi benturan benturan keyakinan, moral, etika dan ilmu pengetahuan meraja lela di mana mana, menuntut untuk diadakannya rekonstruksi bahkan dekonstruksi system social dan keagamaan. Oleh karna itulah Islam lahir dan merasa terpanggil untuk mengobati penyakit dunia yang sedang melanda masyarakat. Ilmu tafsir sebagai agen perubahan yang selama ini bahkan berabad abad seja lahirnya sampai abad ke-20 yang lalu, ilmu tafsir masih difahami dan dipelajari secara parsial sehingga sub bahasan antara satu dengan yang lainya dinilai terkesan kurang berkaitan; padahal semua pokok bahasan dalam ilmu tafsir merupakan satu kesatuan yang tak mungkin dipisahkan satu dari yang lain, melainkan hanyalah dipilah pilah agar memudahkan saja. TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 3}

Terhitung

sejak

zaman

Nubuwwah,

Mutaqaddimin,

Mutakhkhirin

sampai

kontemporer sekarang ini, realitas di atas tidak bisa dielakkan adanya. Dimana masing masing dari mereka berusaha beradaftasi dengan zamannya dan menjawab problematika zamanya sendiri dengan perangkat perangkat estimasi yang khas milik masyarakatnya. Sebutlah misalnya efolusi tafsir mulai dari Matsur Rayu Isyari. Masing-masing model ini memiliki metodologi dan corak yang berbeda terhitung mulai dari metode tahlili(analisis), ijmali(Global), Muqarran(komparatif), Maudui(tematik). Dan coraknya misalnya mulai dari fiqhy, falsify, ilmy, tarbawy, akhlaqy, Itiqody, sufy dan lain lain1. Kesemuanya ini merupakan bentuk keniscayaan bahwa efolusi tafsir dalam arti perangkat dan metodologi bukanlah metodologi berbasis pasif-ekslutif-, namun sebaliknya aktif-dinamis dalam arti memberi ruang konstrutif, rekonstruktif dan tidak berlebihan bila mengatakan dekonstruktif. Dengan demikian kita tidak memandang bangunan itu permanen yang kemudian dijadikan bagan abadi dalam kontek produktifitas. Namun sebaliknya kita berupaya menjalankan roda ilmu dan menaburkan pupuk pupuk ilmu di sudut sudut terpencil secara holistic, sehingga taburan ilmu itu tumbuh dan berkembeng yang pada akhirnya menghasilkan buah yang bisa dikonsumsi semua lapisan masyarakat. Inilah cita cita kita ummat Islam abad terakhir, bagaimana memberi pemahaman secara merata tampa diskriminasi hukum dan hegemoni sosial apalagi sampai pada titik superioritas-inperioritas. Karna kita sadari bahwa ketimpang siuran ummat Islam ini diakibatkan karna adanya pembekuan ilmju pengetahuan yang walaupun secara keseluruhan tidak mutlak demikian, namun sedikt banyak memberi pengaruh atas realita ummat ini. Kaitan dengan tulisan yang Insya Allah saya akan uraiakan ini, tidaklah bermaksud merubah dan menggeser perangkat mainstream, dan barang kali juga hal ini bukan hal yang baru. Melainkan sudah banyak studi studi yang menyemarakkan pemikiran progresif dalam semua bidang termasuk tafsir ini. Dalam tulisan ini, penulis berusaha memaparkan tawaran tawaran pasti yang menjamin kemestian integrative dari perangkat perangkat yang ada dengan perangkat perangkat ilmu ilmu baru, yang sebelumnya diawali dengan latar belakang berupa kronologi realitas dan kompleksitas dari sebuah keniscayaan sampai pada model perangkat integrative

Perbincangan tentang ini banyak dibicarakan di beberapa kitab manhaj. Baca az-DZahabi Tafsir alMufassirun(Qahirah:Darul Hadits,2005),III:417 dst. Baca Manna al-Qaththan Mabahits Fi Ulumi alQuran(Qahirah:Maktabah Wahbah,ttp),hlm.365-369. Ar-Rumi Buhutsun fi Ushulittafsir wa Manahijuhu (ttp: Maktabah Taubah,tt),hlm.91 dst.

1

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 4}

itu sendiri yang kemudiankami sempurnakan dengan relevansinya terhadap perkembangan zaman di era modern ini. B. RUMUSAN MASALAH Dari beberapa uraian di atas beberapa rumusan masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Kompleksitas Paradigma Tafsir? 2. Bagaimana Bentuk Paradigma Tafsir Integratif 3. Bagaimana Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di Era Modern? C. TUJUAN Melihat pentingnya tulisan ini, maka beberapa hal yang menjadi tujuan utama adalah sebagai berikut: 1. Ingin Mengetahui Bagaimana Kompleksitas Perangkat Tafsir 2. Ingin Mengetahui Bagaimana Bentuk Paradigma Tafsir Integratif 3. Ingin Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di Era Modern D. METODOLOGI Memandang bahwa, metodelogi merupakan Ilmu pengetahuan yang mempelajari cara-cara atau jalan yang ditempuh dalam mencari tujuan dengan hasil yang efektif dan efisien. 2 Dengan demikian, Metodologi yang digunakan dalam tulisan ini adalah Deskriptifi-analaitik. Dimana deskriptif itu sendiri diartikan kepada suatu yang bersifat menggambarkan, menguraikan satu hal menurut apa adanya. 3 Sedangkan analisis berarti menjelaskan data data yang sudah terdeskrifsikan secara mendetail. Kemudian barulah menyimpulkan kehendak deskrifsi yang sudah teranalisis. E. KAJIAN PUSTAKA Untuk memudahkan penulis dalam menemukan data, maka penulis menggunakan dua sumber yaitu primer dan skunder. Primer yaitu merujuk pada kitab kitab induk metodologi tafsir baik dama bentuk sistemtais maupun non sistemis. Kemudian skunder merupakan bentuk rujukan pada sejumlah catatan dalam format apapun yang terkait dengan pembahasan yang dimaksud.. Arnai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodelogi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press, cet I. 2002), hal. 87-88 [Mengutip Pendapat Asmuni Syukir, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islamiyah (Surabaya : Bina Ilmu. 1979), hal. 65] 3 . Achmad Maulana, dkk, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. (Yogyakarta : Absolut, cet II. 2004), hal. 872

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 5}

BAB II REFORMULASI PARADIGMA TAFSIR A. KOMPLEKSITAS PARADIGMA TAFSIR 1. Wujud Paradigma Tafsir Lebih jelasnya dalam pembahasan ini kami akan klasifikasi beberapa bagian secara priodatif. a. Era Nubuwwah wujud ilmu-ilmu tafsir pada masa ini masih menyatu dalam istilah al-Quran atau wahyu yang diturunkan dari Allah kepada Muhammad saw. Dimana peran Muhammad sebagai pembimbing ke jalan yang benar menjadi tolak ukur yang permanen dari setiap problematika sosial pada saat itu. Pada saat ini Nabi adalah pemegang otoritas dalam mengungkap sejumlah makna atau kalimat yang dianggap sulit oleh sahabat. Dengan demikian para sahabat selalu merujuk kepada penegasan Nabi tampa ada kritik yang dapat menyanggah pendapat Nabi, karna memang al-Quran sudah menegaskan akan pungsi Rasul dan kewajiban ummat Islam untuk mentaatinya. b. Era Shohabah Ketika memasuki periode ini, masa-masa nubuwwah masih terasa hangat dalam arti segala bentuk penalaran, metodologi masih menggunakan metodologi yang sudah diajarkan Nabi. Dalam arti mereka tetap merujuk kepada petunjuk yang sudah ditetapkan dahulu. Inilah barang kali yang menyebabkan tidak merasa penting untuk menyususun atau mengkonstruksi satu istilah keilmuan sebagaimana yang kita kenal sekarang. Disamping itu kafasitas serta kualitas para sahabat dalam memahami al-Quran cukup hebat mulai dari tingkat hafalan, pemahaman, pemaknaan dan sebagainya. Beberapa tahun kemudian terutama sepeninggal Rasulullah saw, ummat Islam ditimpa cobaan yang berkelanjutan sampai pada perang saudara yang mengakibatkan sejumlah tokoh-tokoh Islam wafat baik dalam peperanagn antar non Muslim juga termasuk sesame Muslimnya. Di sini muncul upaya pengkodifikasian al-Quran dalam bentuk penyatuan tulisan atas perintah Abu Bakar kepada Umar yang kemudian melibatkan beberapa penulis wahyu dulu seperti Zait bin Sabit. Perhatian mereka bukan saja tertuju pada pengumpulan tulisan, akan tetapi mereka berbenturan juga dengan system tanda baca yang mengakibatkan perbedaan bacaan antar sahabat satu dengan lainnya. Kasus ini kenmudian ditangani oleh Utsman yang sekaligus

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 6}

disebut sebagai periode kodifikasi dalam tahap final yang kemudian resmi menjadi Mushaf Utsmani4. c. Era Tabiin Era ini merupakan era perluasan Islam yang makin meluas, dimana para pembesarpebesar Tabiin menyebar keseluruh antero, mengajarkan mansuia al-Quran beserta isinya. Mereka pun mulai mengemabngakan pendidikan secara bertahap melalui pendirtian lebagalembaga pendidikan khususnya lembaga al-Quran. Menurut ar-Rumi lembaga-lembaga pendidikan yang tersebar di era ini banyak sekali jumlah, namu kami hany menyebut beberapa saja yang kami anggap bisa mewakili dari keseluruhan lembaga yang ada. Beberapa lembaga yang dimaksud adalah sebagai berikut: Madrasah Ibn Abbas di Makkah5, Madrasah Ubai bin Kaab di Madinah6, dan Madrasah Abdullah Ibn Masud di Kufah7. d. Era Perkembangan: Kemudian pada perkembangan berikutnya perkembangan ilmu mulai bermunculan susunan-susunan keseluruhan ilmu-ilmu termasuk ilmu Hadits, Tafsir, Ilmu Fiqih dan beberapa ilmu-ilmu lainnya. Pada tahapan pertama penyususunan ilmu-ilmu hanya berupa satu bab pembahasan saja yang kemudian diberikan penjelasan secara detail mengenai bab tersebut. Ilmu yang paling banyak dibahas adalah Ilmu Tafsir yang itu nantinya menjadi disiplin ilmu dari ilmu-ilmu tafsir. Pengelompokan itu dikemas menjadi satu bab dari bab bab Hadits. Kondisi ilmu Tafsir pada saat ini masih belum utuh dalam arti belum diakui sebagai cabang ilmu yang mandiri sebagaimana yang kita kenal sekarang. Karna seluruh kutipan dilakukan melalui system sanad. Ulama-ulama yang terkenal pada fase pertama ini adalah Yazid bin Harun as-Salami(w.117 H), Syubah bin al-Hajjaj(w.160 H), Waqi bin Jarrah(w.197 H), Sufyan bin Uyainah(w.198 H), Abdurrazzaq bin Human asShanani(w.211H). Dari tahapan ini pun meluas ke beberapa wilayah pembahasan sehingga corak ilmu itu seperti satu buku dan menjadi satu disiplin ilmu yang mandiri. Di sinilah berkembangnya ilmu Tafsir sedikit demi sedikit banyak diantar tokoh yang terkenal adalah Ibn Majjah(w.273 H), Ibn Jarir at-Thabari(w.310 H), Abu Bakar bin alPembahasan lengkap mengenai ras al-Utsmani dan Mushaf Utsmani baca Qaduri al-Hamad, Rasmu al-Mushaf(Bagdad:Jami al-Huquq, cet.I,1982), Tsuban Ismail, Rasmu al-Mushaf wa Dhobtuhu;Baina atTauqufy wa al-Istilahat al-Haditsi(Mesir:Dar as-Salam,ttp.). Fatah Ismail, Rasmu al-Mushaf alUtsmani(Qahirah:Maktabah Wahbah,cet.IV,1999). Thahir Bin Abd al-Qadir, Tarikh al-Quran wa Garaib Rasmihi wa Hukmihi(Jiddah: ttp,1465 H) 5 Ibid..Penjelasan mengenai ini juga dijelaskan Musa Syahin Lasyin al-Alai al-Hasan Fi Ulumi al-Quran(Qahirah:Daru asy-Syuruq,cet.I,2002),7-10 6 Ibid Manna al-Qaththan Mabahitshlm.7. Baca juga ar-Rumi Dirasat fi Ulumi al-Quran.Terj. (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, cet.II,1999),hlm.59 7 Ibid.ar-Rumi.hlm.594

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 7}

Munzir an-Nisaburi(w.318 H), Ibn Abi Hatim(w.327 H), Ibn Hibban(w.369 H), Al-Hakim (w.405 H), Ibn Mardawiyah(w.410 H).8 Pertumbuhan studi Ilmu-ilmu tafsir pada tahap ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, dimana lahir sejumlah kitab-kitab yang membahas ilmu-ilmu al-Quran secara keseluruhan seperti Abu Hasan al-Asyari, Muhammad bin Ali al-Adwafi, kemudian muncul lagi al-Quzwaini, Abu Syamah al-Maqdisi, selanjutnya lagi Ibn Taimiyah hingga pada abd kedelapan muncul az-Zarkasyi, kemduian diteruskan oleh as-Suyuti pada abd ke Sembilan dan sampai pada periode terakhir yakni zaman az-Zarqani, Abu Syuhbah, Subhi as-Sholih, Manna al-Qaththan, al-Jazairi dlll. Sedikit demi sedikit ilmu-ilmu al-Quran ini mengalami perkembangan yang sistematis terutama pada tahap kodifikasi dan pada awal abad ke VIII dan seterusnya. 2. Formulasi teori-teori Qurani Sebagai Paradigma Al-Quran Ada alasan yang kuat dalam konteks pengembangan gagasan-gagasan keniscayaan adanya formulasi teori seperti teori sosial yang berlandaskan al-Quran adalah sebagaimana tulis kuntowijoyo 9 pertama-tama kita harus memahami al-Quran sebagai paradigma 10 yang berarti suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan kita memahami realitas sebagaimana al-Quran memahaminya. Al-Quran membangun ini dengan tujuan agar kita memiliki hikmah yang dengan itulah kitadapat dibentuk dengan prilaku yang sejalan dengan nilai nilai normative al-Quran, baik pada level moral maupun pada level sosial. Hal ini juga sangat memungkinkan adanya konstruksi pengetahuan sebagai desain rumusan rumusan system Islam. Jadi di samping memberikan wawasan aksiologis, juga paradigm dapat berpungsi sebagai wawasan epistemologis. Dari sejumlah pendekatan-pendekatan yang dipakai dalam konteks memahami alQuran terdapat banyak teori teori yang komprehensif terhdap pemahaman itu sendiri. Salah satunya adalah_sebagaimana tulis Kuntowijoyo, pendekatan Sintetik Analitik 11 yang memandang al-Quran memiliki dua kandungan yaitu kandungan konsep dan sejarah, amtsal. Dan memang benar bahwa dalam al-Quarn banyak sekali tema tema yang menyangkut tentang konsep konsep baik secara abstaktif maupun kongkret.Ibidhlm. 60 Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu(Yogyakarta:Tiara Wacana,cet.II,2007)hlm.11 10 Paradigma sebagaimana Thomas Khun fahami bahwa pada dasarnya realitas sosial itu dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu. 11 Menurut beberapa ahli pendekatan Sintetik Analitik ini umumnya berpendapat bahwa pada dasarnya kandungan al-Quran itu terbagi menjadi dua bagian yakni pertama berisi tentang konsep-konsep dan kedua berisi tentang kisah kisah dan amtsal.9 8

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 8}

Konsep Abstrak misalnya mengenai Allah [2:164], [6:1,14,75,], [7:54,57,195], [10:3,5,6,], [12:101,105],dan lain lain. Malaikat[2:3,98,177], [4:136], [6:1,11,70], [37:164], dll. Hari akhir[1:4], [2:3,4,46], [3:9,25,114], [4:38,39,59], Surga Neraka[4:95], [6:127], [9:72], [10:9,25], [2:119,206], [3:12,162,197], [4:55,93,97], dll. Kemudian konsep kongkret yang identik dengan fakta fakta berupa data empiris misalnya seperti manusia, muslim, kafir, fuqara, masakin, Agniya, Adil, Dzlim, mufsid, muslih, Ashabul Yamin, Ashabusysyimal dll. Kesemuanya ada dalam al-Quran itu sendiri., Dari semua konsep ini memiliki makna bukan saja karna keunikannya akan tetapi juga karna kaitannya dengan matriks struktur normative dan etik tertentu yang melaluinya pesan pesan al-Quran difahami. Dan dalam kaitannya ini konsep al-Quran bertujuan memberikan gambaran utuh tentang doktrin Islam dan lebih jauh lagi tentang pandangan pandangan dunia. Selanjutnya_tegas Kuntowijoyo, bila dalam bagian konseptual kita dikenalkan dengan berbagai ide, maka dalam bagian kisah dan perumpamaan kita diajak untuk mengenali tentang kondisi kondisi yang universal semisal sosok terzalim digambarkan dengan kisah Firaun, sosok tersabar digambarkan dengan kisah Nabi Ayub, pembunuhan Unta yang dilakukan olh kaum Tsamud, dll. Kesemuanya itu dimaksudkan agar kita dapat menarik pelajaran pelajaran dalam kehidupan aplikatif kita, dan bukan data sejarah yang diutamakan dan bukan pula objek-objek empiris akan tetapi pesan moral dan tawil subjektif-normatif yang diinginkan. Nah inilah yang kemudian disebut dengan pemahaman sintetik dalam kontek merenungkan pesan pesan moral al-Quran dalam rangka mensintesiskan penghayatan dan pengalaman subjektif kita terhadap ajaran normative. Agar kesan pendekatan tidak terlalu subjektif, maka ada pendekatan yang lain sebagai gabungan dari pendekatan tersebut yakni pendekatan analitik yang bertigas untuk menganalisis ayat-ayat al-Quran yang merupakan pertanyan-pertanyaan normative pada level yang objektif, buka subjektif. Dan ini berarti_tulis Kuntowijoyo, al-Quran harus dirumuskan dalam bentuk-bentuk konstruk-konstruk teoritis. Dan elaborasi pada konstrukkonstruk teoritis inilah yang kemudian disebut dengan kegiatan formulasi teori teori atau kegiatan perumusan teori yang kemudian dari sana muncul paradigma al-Quran. Dan pungsi paradigma al-Quran adalah sebagaimana kita fahami untuk memabangun perspektif al-Quran dalam rangka memahami realita, yang walupun nantinya akan menyisakan pertanyaan pertanyaa epistemologis seperti apa itu realitas, dan mungkinkah bisa difahami tampa melibatkan subyektifitas dll. Dan pada saat yang sama, apakah bener itu

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 9}

murni perspektif al-Quan, tampa tercampur dengan formulasi konstruksi, latar belakang intlektual, kultur, strata sosial, ekonomi dan lain-lain. Jelasnya bahwa pertanyaan-pertanyaan filosofis mengeani problem-problem epistemologis semacam ini tidaklah terlalu membuat kita sibuk memperdebatkannya, kita dapat mengatakan bahwa bagaimanapun juga preposisi-preposisi al-Quran tetap merupakan unsur konstitutif yang sangat influentik. Selanjutnya dalam epistemology Islam wahyu merupakan bagian terpenting dalam memahami ralita. Inilah yang kemudian membedakan antara epistemology Barat dengan rasionalisme-empirisnya. Sedangkan epistemology Islam, unsur transendental berupa wahyu menjadi pengetahuan yang penting. Oleh karna itu menjadi pengetahuan apriori. Dan wahyu dalam Islam menjadi unsur konstitutif paradigma Islam, sebab ia merupakan petunjuk teks sebagai pedoman dalam fikiran dan perbuatan muslim. 3. Tantangan Sosial dan Peradaban Manusia sebagai masyarakat sosial tentu memiliki ciri dan khas dimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dan selama itupulalah ia pasti mengalami siklus perubahan perubahan system kemasyarakatan tersebut. Dengan demikia, sebagaimana disimpulkan Ibn Khaldun dalam Muqaddimahnya bahwa tiada masyarakat yang tidak berubah Dan factor perubahan perubahan sosial itu sendiri terjadi paling tidak beberapa hal seperti : perubahan geografis, perubahan politik yang dapat merombak struktur sosial, perubahan teknologi dan system komunikasi, perubahan ilmu pengetahuan akibat kemajuan pendidikan, perubahan kemakmuran karena kemajuan ekonomi dll12. Perubahan perubahan13 sosial semacam ini bisa saja terjadi di mana saja, dan secara bersamaan akan memberi pengaruh baik dan buruk bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri baik dalam bentuk Evolusi Sosial yang meliputi Evolusi Kosmis, Evolusi Organis, dan Evolusi Mental. Kemudian dalam bentuk gerakan sosial dan yang selanjutnya dalam bentuk Revolusi Sosial. Kesemuanhya ini terus berputas dengan perkembanganyang dimiliki masing masing dan mulai membentuk peradaban sosial yang baru.

12

Susanto Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat(Bandung:Bina Cipta,cet.II,1979),hlm,

188-191

Perubahan sosial juga dibedakan menjadi dua tipologi yaitu tipe Inventasi yang merupakan proses penemuan baru di dalam masyarakat baik bersifat idealitis maupun teoritis serta teknis yang kemudian dapat merubah norma-norma sosial system nilainya. Kedua tipe diffuse yang merupakan konsepsi dan penemuan tehnologi dari luar yang kemudian dibawa ke dalam masyarakat tersebut dengan durasi waktu yang sistenik sehingga menyatu dalam fikiran mereka yang akhirnya membentuk satu perubahan mandiri diluar kesadaran

13

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 10}

Tantangan pertama yang dihadapi tafsir adalah tantangan internal yakni problematika-problematika masyarakat Islam itu sendiri. Dalam hal ini terutama sekali ketika ummat Islam mengalami kemunduran akibat dari kelemahan Islam itu sendiri yang kemudian dimamfaatkan oleh bangsa Eropa dan secara cepat mengambil alih masa keemasan ummat Islam. Bahkan menurut al-Muhtasib hamper mayoritas negeri Islam hingga sampai abad ke-20 tetep terlelap di bawah buaian para imperialis 14 Pergesekan Islam Barat, perebutan otoritas, hegemonisasi dan superior-imperior terus saja berlanjut hingga yang pada akhirnya Islam secara jujur berada di bawah paying Barat sampai pada abad ini. Dan konsekuensi logisnya adalah terkotak-kotaknya ummat Islam dengan lebel masing masing kelompok dan memiliki corak khas masing masing. Dengan dmikian timbullah reaksi-reaksi yang variatif dalam menyikapi realita Islam atas Barat15, sebagiannya apriori16, sebagiannya lagi permisif17, dan sebagiannya lagi selektif. 18. Dan sampai sekarang ini, repleksi dari realita tersebut muncullah tafsir-tafsir yang bercorak aliran, kelompok, yang kemudian saling menghegemoni, takfir dan tabid. Bahkan sampai pada benturan fisik yang saling menghalalkan darah. Ini merupakan realita yang sangat memahitkan dari sepanjang sejarah yang terjadi. Padahal al-Quran tidak pernah sedikitpun mengajarkan demikian, apalagi sampai pada titik problem di atas. Lalu bila kita bertanya siapakah yang salah, apakah pada tafsirnya ataukah konsumen tafsir? Tentu pertanyaan ini sedikit membiongungkan karna kita sendiri masing bingung siapa sebenarnya yang memulai. Akibatnya pemahaman serat pembelajaranya terhadap al-Quran itu pun menjadi sedikit berbeda. Namun demikian, kita tidak bisa mengelakkannya karna hal tersebut juga disebabkan dari beberapa hal seperti : kedudukan al-Quran sebagai mukjizat yang aksiomatik dan universalis sedangkan kemampuan kita sangtlah temporal dan dan

14

Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib Ittijahatut Tafsir fi Ashrir Rahin.terj. (Jatim:al-Izzah,1997),

hlm.31

Sebagian perbinacangan yang selektif telah diuraikan oleh beberapa cendikian muslim. MIsalnya baca Adian Husaini Wajah Peradaban Barat(Jakarta:Gema Insani,cet.I,2005),hlm.1 dan setrusnya 16 Sikap sebagian kaum muslimin yang menolak mentah-mentah terhadap nilai-nilai Barat beserta konsekuensi-konsekuensinya, sehingga mereka mengisolasi diri dari dinamika modernisasi sama sekali. Dampaknya adalah mereka mengalami kemunduran & kejumudan serta keterasingan dalam kehidupan. Sikap ini tidak sesuai dengan Al-Quran & As-Sunnah (lih. QS Ali-Imran 190-191), 17 Ini merupakan sikap yang dominan di masyarakat, sikap menyerah kalah, tunduk patuh & silau, sehingga menjiplak habis-habisan tanpa proses penyaringan lagi. Sikap ini diikuti dengan sikap memandang rendah terhadap semua yang berasal dan berbau Islam. 18 Menerima & melaksanakan proses filterisasi kebudayaan Barat dengan paradigma berfikir Islami, mana yang sesuai dengan hukum dan nilai Islam diambil & mana yg bertentangan ditolak & dijauhi. Ini merupakan pemahaman yang benar dan dianut oleh para cendekia dan pemikir muslim mutakhir, sejak era kebangkitan Islam akhir-akhir ini, yg dipelopori oleh Rasyid Ridha (Mesir), Muhammad Iqbal (Palestina), Muhammad Abduh (Mesir), Abul Ala Maududi (Pakistan) & Hasan al-Banna (Mesir).

15

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 11}

terbatas. Disamping itu kedudukannya sebagai sumber keilmuan, sebagai fenomena bahasa, sebagai petunjuk dan penjelas dan lain lain. Terlepas dari itu, bila kita tarik salah satu muatan al-Quran adalah adanyahikmah di balik sejarah yang barang kali sejarah ini antara mesti terjadi ataukah tidak boleh terjadi. Yng jelas Allah memberikan kesempatan pada mansia agar menata kehidupannya secara mandiri terlebih lagi Nabi sebagai utusan telah tiada. Itulah barang kali satu keberuntungan Islam dimana mereka tidak terlalu bergantung pada seseorang, namun mereka diberi modal yang amat besar yakni al-Quran dan al-Hadits. Namun kemudian bagaimana al-Quran ini bisa berjalan berdasarkan pungsinya, tentu jawabanya adalah tafsir. Karna tafsir merupakan harapan masa depan manusia untuk memperoleh janji janji Allah serta kebahagiaan yang dicita citakannya. Akan tetapi kemudian bila tafsir itu tidak mampu menyelesaikan persoalan persoalan yang dihadapi dimana tafsir itu berada, tentu hal ini menjadi beban bathin bagi agama Islam. Terlebih lagi di masa kini, kita dihadapi dengan aneka kemajuan dalam semua bidang yang kemudian hal itu memberi pengaruh bagi manusia itu sendiri. Oleh karna itula uapaya rekonstruksi paradigma dan perangkat perangkat tafsir menjadi sebuah keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. B. FORMAT TAFSIR INTEGRATIF Format Tafsir Integratif yang dimaksud adalah menyusun kembali dalam arti menambah beberapa teori yang dimungkinkan bisa dipakai sebagai perangkat ilmu ilmu tafsir. Selain memakai perangkat-perangkat yang ada, terdapat juga perangkat perangkat umum yang memang bila ditiliki lebih mendalam ternyata dapat memberi pemahaman terhadap teks teks itu sendiri yang merujuk ke gejala gejala sosial 15 abad yang lalu di Arab pada masa konteks mama kini dan di sini. Ada jarak sosio-historis yang terjadi di kedua mastarakat tersebut. Di arab sendiri merupakan tipologi masyarakat pra industrial, masyarakat kesukuan dan masyarakat homogen19. Sedangkan kita sekarang mengahdapi masyarakat industrial, masyarakat kenegaraan dan masyarakat heterogen. Lebih jelasnya dalam uraian formulasi ini kami akan melalui beberapa pembahsan interkonektif satu sama lainnya. Dengan demikia, sebelum kita menemukan paradigm baru, maka akan dilakukan analisis definitive mengenai ilmu ilmu tafsir dan tafsir itu sendiri.

Baca Syaikh Shofiyyu ar-Rahman, ar-Rohiqu al-Makhtum.terj. (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,cet. Ke-30,2009),hlm.31

19

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 12}

1. Setting Definitif Ilmu-Ilmu Tafsir Istilah ini tergabung dalam dua kalimat yang berbeda dan menyatu membentuk satu pengertian yang spesifik. Untuk mengetahui makna utuh dari istilah ini kami akan melakuakn analisis dari dua kata tersebut, dikarnakan adanya perbedaan ontologism orientattif antara ilmu sebagai perangkat tafsir dan tafsir sebagai ilmu dalam arti pengertian tafsir yang sudah tergabung dengan ilmu itu sendiri. Kata ilmu itu sendiri yang kemudian kita pakai dengan satu isitilah disiplin ilmu menjadi ilmu ilmu tafsir saya sendiri lebih mengartikannya sebagai perangkat-perangkat yang dipakai dalam penafsiran. Dalam hal ini kita kenla dengan ilmu asbabunnuzul, Ilmu Munasabah, Ilmu Qiraat, Ilmu Fawatihus Suwar dll. Kesemuanya ini dijadikan sebagai perangkat atau rumus dalam melaksanakan aktifitas penafsiran. Inilah yang coba kita bahas selanjutnya nanti, bagaimana bentuk reformulasi ilmu ilmu tafsir sehingga dapat menghasilkan satu tafsiran yang soluftif dan objektif sehingga tidak lagi terkesan dengan tafsir otoritatif dari masing masing orang sebagai individu maupun kelompok dalam kulturnya. Secara etimologi, tafsir berarti al-Idhah20, at-Tibyan/at-Tabyin21, al-Kasyfu22, alIzhar23, al-Bayan24, dan at-Tafshil. Juga bisa berarti al-Ibanah25. Dan masih banyak lagi bberapa kata yang dijadikan sandaran Ulama dalam menggambarkan arti dan hakikat tafsir itu sendiri. Tafsir sebagaimana dalam pengertiannya adalah penjelasan maksud yang sukar dari lafaz26. Istilah ini juga diungkapkan umumnya para mufassirin dengan sebutan alIdhah wa at-Tabyin27. Dari sini kemudian berkembang menjadi alat untuk memahami alQuran untuk menjelaskan makna makna serta istikhraj hukum hukum serta hikmah hikmahnya28. Sedangkan az-Zarqani lebih memberi pengertian dengan objek pembahasan alQuran ari segi segi yang ada padanya 29

Khalid Utsman Qawaidu at-Tafsir(ttp:Daru Ibn Affan,cet.I,ttp),hlm.25 Syaikh Ali ash-Shobuni at-Tibyan fi Ulumi al-Quran(Jakarta:Darul Kutub al-Islamiyah,cet.I, 2003),hlm.65 22 Husain az-Zahabi Kitabuka Ilmu at-Tafsir(ttp:Darul Maarif,ttp), hlm.5-6 23 Syaikh Khalid Abdurrahman Usulut Tafsir wa Qawaiduha (Beirut:Daru an-Nafais,cet.II,1986), hlm.30 24 Husain al-Harabiy Qawaidut Tarjih Indal Mufassirin(Riyadh:Darul Qashim,cet.I,19996),hlm.29 25 Ibid. Ar-Rumi Buhutsun fi Ushulittafsir, hlm.7 26 Ibid..Ibn Manzur Lisanul Arab (Beirut:Dar ash-Shodir,t.t),V:55 27 az-DZahabi Tafsir al-Mufassirunhlm.17 28 Badruddin az-Zarkasyi al-Burhan Fi Ulumi al-Quran(Beirut:Dar al-Marifah,1972),hlm.13 29 Az-Zarqani Mabahitsun fi Ulumi al-Quran(t.tp:al-Babi al-Halabi,t.th),hlm.3. Lihat Musthafa Buhindiy at-Tatsirul Masihi fi Tafsiril Quran(Libanun:Daru at-Toliah,cet.I,2004),hlm.10.21

20

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 13}

Dari uraian dua kalimat tersebut, sederhananya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan ilmu tafsir adalah sekumpulan perangkat-perangkat teori yang digunakan dalam menjelaskan, ayat ayat atau serta kandungan al-Quran itu sendiri. Jadi ilmu tafsir membahas tentang teori yang dipakai menafsirkan ayat, sednagkan penafsiran adalah aktifitas penafsiran itu sendiri. 2. Hakikat Tafsir Pembicaraan tentang hakikat, dalam hal ini terdapat beberapa paradigma semisal paradigm teknis(dalam bahasanya Hamim Ilyas_yang dikutip Mustaqim), juga ada paradigm pungsional. Paradigma teknis itu sendiri lebih memandang tafsir sebagai satuan unit teknis serta metodologi baik dalam konteks pengucapan lafaz, istimbat hukum, mengungkap dalil madlul, dan hal hal pendukung semisal ilmu fawatih, ilmu nuzul dan lain lain. Sedangkan dalam pandangan paradigma pungsional, tafsir itu sendiri lebih dilihat sebagai pungsional dalam arti ilmu yang digunakan dalam memahami al-Quran itu sendiri serta hal hal yang terkait dengannya. Dan Paradigm Akomodatif, lebih melihat tafsir sebagai ilmu yang membahas tentang al-Quran dari segi dilalah dalam konteks memahami maksud firman Allah sesuai kemampuan manusia. Namun demikian, intinya adalah_sebagaimana tulis Mustaqim bahwa hakikat tafsir itu adalah uapaya meninjau kembali secara elaboratifontologis terhadap sifat dan realitas penafsiran dengan refleksi rasional serta analisis sintesis logik.30 Dengan demikian_lanjut Mustaqim, mufassir sebenarnya hanya mencari kebenaran melalui interpretasi teks, bukan penentu kebenaran itu sendiri secara mutlak. Dan memang benar bahwa hakikat tafsir pada dasarnya tafsir itu terbentuk atas dasar interaksi antara berbagai aspek dengan makan makan yang dikonsumsi atau diproduksi dari pembacaan atas al-Quran. Dengan demikian kebenarannya tidaklah mutlak sebagaimana kebenaran al-Quran. Dan secara sadar ia merupakan ijtihad manusia yang masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan sosial yang belum terjawab, sehingga tafsir selalu terbuka untuk direkonstruksi. Dan dalam rekonstruksi tersebut, maka hal yang mendasar adalah reformulasi ilmu ilmu yang dijadikan sebagai perangkat dalam aktifitas penafsiran. Pada saat yang sama, kita yang memiliki jarak cukup jauh dengan tafsir zaman Nabi, tafsir zaman, sahabat, tafsr zaman tabiin, begitu juga tafsir abad pertengahan, tafsir masa kebangkitan, tentu sedikit berbeda tingkat kebutuhan dari masyarakat tersebut. Dan barang kali yang lebih dekat dengan kita adalah tafsir modern dan tafsir kontemporer sekarang ini.30

Abdul Mustaqim Pergeseran Epistemologi Tafsir(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,cet.I,2008),hlm.1

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 14}

Namun saya tegaskan tidak berarti bahwa kita meninggalkan gaya tafsir masa lalu, akan tetapi kita lebih melihatnya sebagai tafsir representatif sebagai reprensi ketika kita menemukan suatu kesulitan walau secara bersamaan kita melakukan kritik terhadapnya. Hal ini dikarnakan, bahwa tidak mutlak semuanya tafsir terdahulu tidak relevan dengan kondisi zaman kita sekarang ini, dengan demikain mengambil yang relevan dan menimbang yang tidak relevan. Dengan memandang bahwa tafsir sebagai proses dan tafsir sebagai produk, niscaya benturan benturan subyektif paling tidak akan berkurang seiring dengan tekat bersama yang kita lakukan dlaam konteks penafsiran tersebut. Untuk itu tafsir dan ilmu ilmu tafsir masih terbuka memberi ruangan baru bagi para penelitinya dan ia selalu ramah dengan kritik dan saran serta tawaran tawaran metode baru sarat tidak melanggar prinsip-prinsip pokok esensi ajaran Islam itu sendiri. 3. Karakter Paradigma tafsir Tafsir Mainstream Dalam bab ini, saya akan menggambarkan garis besar beberapa metodologi tafsir yang sudah lama berkembang, kemudian akan dianalisis kelebihan dna kelemahan masing masing berdasarkan fakta dan relaita. Dengan demikian, pembahasan ini tidak terlallu panjang, mengingat beberapa pembahasan yang masih belum terjawab. Paradigma merupakan sistem keyakinan dasar atau pandangan yang membimbing seseorang termasuk penafsir dalam memilih metode dan cara-cara yang, secara ontologis dan epistemologis, sangat fundamental. Sebuah paradigma akan mampu membentuk dan mempengaruhi keyakinan teologis, teori maupun cara analisis seseorang. Paradigma merupakan tempat berpijak seseorang termasuk mufassir untuk melihat suatu realitas, yang dalam hal ini adalah realitas tekstual. Kalau kita lakukan tinjauan ulang secara global terhadap khazanah teks-teks tafsir alQuran sejak Al Farra(w.207 H) yang dianggap sebagai orang pertama yang mendiktekan tafsirnya, Maani al-Quran, sampai sekarang, maka paradigma yang dipakai oleh para mufassir dalam memandang al-Quran bisa dideskripsikan sebagai berikut : a. Paradigma yang memandang bahwa al-Quran adalah kalam Allah, yang oleh karenanya, yang mengetahui kebenaran maknanya hanya Allah semata. Oleh karena itu, jika ingin mengetahui maknanya diperlukan otoritas-otoritas tertentu yang telah diakui dekat dengan Allah, yakni al-Quran sendiri, Nabi, Sahabat dan Tabiin. Dari pandangan seperti inilah nantinya dikenal corak penafsiran bi-al matsur. Metode yang dipakai adalah metode periwayatan (manqul). Apabila tidak menemukan penjelasan dari otoritas-otoritas tersebut --setelah memeriksanya secara berjenjang TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 15}

dari pertama sampai terakhir-- maka mereka akan menafsirkan berdasarkan makna langsung (mantuq=literal) nya. Peranan akal disini sangat kecil, dalam hubungannya dengan dinamika masyarakat audiens. Sekedar contoh kitab-kitab tafsir (exegetes) yang mengikuti corak ini adalah : a). Kitab Jami al-Bayan fi Tafsir al-Quran karya al-Tabari (w.310 H.). Kitab ini penuh dengan qaul sahabat dan tabiin, dengan menyebutkan sanadnya secara lengkap, termasuk juga uraian tentang kebahasaan. b). Kitab Tafsir al-Quran al-Azim karya Ibnu Katsir (w.744 H.). Keistimewaan kitab ini, sangat detail dalam sanadnya, sederhana ungkapannya dan jelas dalam pemikirannya. c). Kitab al-Dur al-Mantsur fi Tafsir bi al-Matsur karya al-Sayuti (w. 911 H.); dan sebagainya. b. Paradigma yang memandang bahwa al-Quran adalah kalam Allah, tetapi meskipun demikian, yang mengetahui kebenaran maksudnya bukan hanya Allah, melainkan juga orang-orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam (al-rasikhun fi alilmi). Dalam literatur klasik, yang termasuk dalam term rasikhun ini adalah para filosuf, imam (Syiah) dan arifin; sedangkan dalam zaman modern, rasikhun lebih berkonotasi pada orang-orang yang mempunyai pengetahuan mendalam, baik pada bidang al-ulum al-syariyyah maupun al-ulum al-kauniyyah (Iptek). Metode penafsiran yang mereka pakai adalah penafsiran rasional dan tawil. Pro dan kontra dalam hal ini sempat menghiasi kitab-kitab ilmu tafsir. Paradigma kedua ini sering dikenal dengan tafsir bi al-rayi, misalnya kitab Mafatih al-Ghaib karya al-Razi (w. 606 H.), Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Tawil karya al-Baidlawi (w. 791 H.), Madarik al-Tanzil wa Haqiq al-Tawil karya al-Nasafi (w. 710 H.), dan sebagainya. Tafsir dari kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, pada hakekatnya, termasuk dalam kategori tafsir bi al-rayi ini, hanya saja ia terlalu jauh keluar dari maksud syariat yang benar, demi menuruti emosi dan membela hegemoni sektenya. c. Paradigma ketiga, yang memandang bahwa al-Quran sebagai kalam Allah, dan dalam pengertian biasa juga bersifat manusiawi. Pandangan ini sejalan dengan menguatnya historisme dan empirisme dalam keilmuan Islam kontemporer. Tentang Allah mengetahui makna al-Quran, sudah tidak menjadi persoalan dalam paradigma ini. Yang mendapatkan penekanan adalah pluralitas makna al-Quran dan kebermaknaannya bagi kehidupan manusia kontemporer secara lebih fungsional. Metode yang dipakai adalah penafsiran kontekstual atau historis-kritis. Paradigma semacam ini hanya mendasari hermeneutika neo-modernis al-Quran Fazlur TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 16}

Rahman, hermeneutika feminis al-Quran Riffat Hasan dan Amina Wadud Muhsin, hermeneutika al-Quran untuk pembebasan Asghar Ali Engineer serta hermeneutika populis al-Quran Hassan Hanafi dan sebagainya. Inilah beberapa paradigma yang ada, dan keniscayaannya sudah mengalami perubahan perubahan paradigma yang erat kaitannya dengan tingkat dan pola pemikiran masyarakat di era mana mereka berada. 4. Langkah-Langkah Paradigma Tafsir Integratif Sebagaimana pada pembahasan lalu, tafsir integrative ini menggunakan pendekatan Sintetik Analitik yang dimaksudkan untuk menemukan kembali hakikat dan esnensi paradigm tersebut yang relevan dan lebih objektif dalam konteks al-Quran sholihun likulli zaman. Untuk itu, akan dilakukan dua langkah yakni Integralisasi yang merupakan pengintegrasisan keilmuan manusia dengan wahyu beserta pelaksanaanya dalam Sunnah Nab, dan Objektifikasi ialah menjadikan pengilmuan Islam sebagai Rahmat untuk semua orang. a) Pengilmuan Islam Melalui Integralisasi Dalam perkembangannya, ada titik perbedaan antara ilmu ilmu sekuler dengan ilmu ilmu integralistik. Dan itu ditemukan dengan pengertian paradigma sebagaimana dimaksud Thomas Khun The Structure of Scientific Revolution dimana ilmu ilmu sekuler sebagai normal Sciences dan ilmu ilmu integralistik yang dirintis sebagai revolution. Namun demikian kita bisa memetakan bahwa ilmu ilmu sekuler adalah produk seluruh manusia, sedangkan ilmu ilmu integralistik adalah produk seluruh manusia beriman. Sedikit kami urutkan system kerja ilmu Sekuler dan Integralistik. Kalau Ilmu Sekular sebagaimana tulis Kunto, alur pertumbuhannya adalah Filsafat 31 Antroposentrisme32 menuju Diprensiiasi33Ilmu Sekular 34. Sedangkan Ilmu Integralistik, alur

Tempat berangkatnya ilmu secular adalah modernism dalam filsafat. Filsafat rasionalisme abad 15/16 menolak teosentrisme abad tengah. Rasio diagungkan dan wahyu dinistakan. Sumber kebenaran adalah fikiran bukan wahyu. Tuhan masih diakui keberadaannya, akan tetapi Tuhan yang lumpuh, tidak berkuasa, tidak membuat hukum 32 Dalam rasionlaisme manusia memiliki kedudukan yang tinggi, ia menajdi pusat kebenaran, etika, kebijaksanaan, dan pengetahuan. Manusia adalah pencipta, pelaksana dan konsumen priduk produk manusia sendiri 33 Sebagai konsekuensi Antroposentrisme, maka diadakannya proses diprensiasi dengan memisahkan unsure unsure dari agama seperti , etika, ekonomi, politik, hukum dan ilmu-ilmu yang dianggap harus dipisahkan dari agama. 34 Pengakuan pada tingkat objektif yang sebenarnya ilmu ilmu telah melampau dirinya. Ilmu yang semula ciptaan manusia telah menjadi penguasa atas manusia itu sendiri. Ilmu menggantikan kedudukan wahyu sebagai petunjuk kehidupan mansusia.

31

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 17}

pertumbuhannya Integralistik38.

adalah

Agama 35Teoantroposentrisme36Dedeprensisiasi37Ilmju

Sebagaiman kita ketahui bahwa, dalam ilmu ilmu secular terdapat terdapat secular subyektif dan secular obyejtif. Sekualr subyektif itu terjadi bila tingkat sosiokultural itu masuk ke dalam tingkat kesadarn berupa sekularisasi. Bila modernisme melahirkan diffrentiation dan autonomization, naka pascamodernisme melahirkan dediffrentation dan deautonomization. Dan di sinilah kita pun berhak menjadi manusia merdeka dengan menyelenggarakan proses kearah dediffrentation dan deautonomization dan desecularization. Inilah yang kemudian alasan kita untuk membangin kembali paradigma baru dalam ilmu paradigma Islam dan dalam hal ini adalah paradigma tafsir. b) Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi Selanjutnya adalah pengilmuan Islam melalui proses objektifikasi dengan melakukan penerjemahan nilai nilai internal ke dalam kategori objektif. Prose Objektifikasi ini misalnya bila kita lihat dalam al-Quran yang menekankan pada keharusan sesorang untuk melakukan proses hukum sesuai dengan hukum al-Quran seperti hukuam hukuman potong tangan, rajam dan lain lain. Dalam konteks ini, banyak dipakai di beberapa Negara Islam yang kemudian menerapkan hukum tersebut dengan menjadikan al-Quran secara tekstual sebagai rujukan hukum. Dan sebagai konsekuensinya bila ada yang melanggarnya, maka akan dibebani label label teologis seperti kafirun, fasiqun, dzolimun dll. Nah dalam proses objektifikasi ini, tidak menghilangkan hakikat, melainkan melakukan proses dengan menjadikan al-Quran terlebih dahulu sebagai hukum positif kemudian pembentukannya dilakukan berdasarkan kesepakatan masyarakat. Dengan demikian, tidak semua hukum syariat menjadi sumber hukum Negara, melainkan dilakukan proses objektifikasi

Al-Quran merupakan wahyu Tuhan yang mengatur hubungan mausia dengan Tuhannya, diri sendiri, serta lingkuang dalam segala aspek, yang sekaligus menjadi petunjuk etika dan kebijaksanaan. Dan alQuran tidak pernah mengklaim sebagai ilmu Qua ilmu. 36 Sebagai sumber kebenaran , al-Quran juga mengakui adanya kebenaran yang bisa diproleh dari manusia itu sendiri melalui proses perenungan, dan akal fikiran. 37 Bila modernism dalam diprensiasi menghendaki adanya pemisahan, maka dalam dediprensiasi menghedaki adanya penyatuan kembali ilmu ilmu tersebut. 38 Ilmu ilmu yang disatukan bukan hanya sekedar penyatuan saja, namum diharapkan ia sebagai solusi dalam menyelesaikan problematika masyarakat modern itu sendiri.

35

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 18}

C. RELEVANSI TAFSIR INTEGRATIF BAGI SELURUH ALAM Tidak dapat dipungkiri bahwa era sekarang adalah Era Amerika Serikat (al-Ashr alAmriki). Seluruh dunia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap AS, Israel dan sekutunya. AS dan Eropa yang beragama Nashrani dan Israel yang Yahudi sangat kuat mencengkeram dunia Islam. Bahkan sebagiannya dibawah kendali langsung mereka seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Irak dan lain-lain. Dari segi kehidupan sosial, sebagian besar umat Islam hampir sama dengan mereka. Hiburan yang disukai, mode pakaian yang dipakai, makanan yang dinikmati, film-film yang ditonton, bebasnya hubungan lawan jenis dan lainlain. Pola hidup sosial Yahudi dan Nashrani melanda kehidupan umat Islam dengan dipandu media massa khususnya televisi. Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba' yang sangat zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll mendikte semua laju perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam. Begitu juga pengekoran umat Islam terhadap Yahudi dan Nashrani terjadi dalam kehidupan politik. Politik dibangun atas dasar nilai-nilai sekuler, mencampakkan agama dan moral dalam dunia politik, bahkan siapa yang membawa agama dalam politik dianggap mempolitisasi agama. Begitu buruknya kehidupan politik umat Islam, sampai departemen yang mestinya mencerminkan nilai-nilai Islam, yaitu departemen agama, menjadi departemen yang paling buruk dan sarang korupsi. Dan masih banyak lainnya. Sebagai manusia modern, sudah barang tentu memiliki cirri dan khas yang mewaranai kehidupannya sebagai masyarakat sosial. Tidak hanya kelompok sosial tersebut, melainkan sudha mengarah pada kehidupan individual masyarakat secara perorangan. Kita lihat saja misalnya, dimana umunya orang orang kota, kadang sesame warganya yng hamper tembok rumahnya berdekatan terkadang jumpanya Cuma satu kalii, atau bahkan tidak pernah saling mengenal sama sekali. Ini kemudian memicu pada tingkat kerenggangan dan ketidak kompakan ummat Islam di perkotaan tersebut. Dan hal semacam ini sudah barang tentu dimaklumi, karna masing masing memiliki kepentingan dan kesibukan yang berbeda. Namun demikian, mereka juga bagian dari ummat Islam yang sama sama memndapat hak untuk hidup bersama al-Qurannya, sama sama memilik hak untuk merengguk ajaran agamannya. Namun kemudian ternyata kebanyakan masyarakat perkotaan yang super sibuk tidak pernah sempat untuk menjalankan tugas kewajibannya sebagai TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF { 19}

seorang muslim. Di satu sisi juga mereka ditimpa dengan wacana wacana perebutan dan hegemoni kebenaran kontruksi ajaran agama itu sendiri. Dan tidak mustahil pemikiran pemikiran kontradiktif tafsir masuk diruang fikiran mereka yang akhirany mereka memberikan satu kesimpulan bahwa semua tafsir tidak ada yang benar. Dan sayangnya sikap ini diwujudkan dengan tidak atau enggan melaksanakan kewajiban itu sendiri, yang berbeda dengan cendikiawan walaupun mereka dihadapi dengan persoalan persoalan keagamaan, namun mereka tidak membuat serta merta enggan untuk melaksanakan kewajiban, namun membuat mereka semakin terpompa dengan semangat ijtihadnya sendiri. Dengan demikian, benar adanya diperlukan satu paradigma baru dalam dunia tafsir sehingga muatan muatan tafsir itu bener bener menyeluruh dari tingkat dan strata sosial di mana saja. Dan inilah sebenarnya cita cita Islam ingin mewujudkan Ummatan Wahida dalam pengertian adanya penekanan terhadap kekompakan, kesatuan dan persaudaraan pada sesame muslim dan non muslim lainnya. Untuk persaudaraan sama non mjuslim tentu dalam engertian sebagai saudara setanah air, maupun saudara semakhluk sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Islam sendiri bila ditelaaah lebih jauh, tidak ada satupun anjran untuk mewujudkan pertikaian, pertentangan secara sengaja, namun hal itu menjadi bagian yang akan dihadapi oleh sekelompok manusia dalam mempertahankan kehidupan beragamanya. Tafsir yang merupakan harapan ummat harapan manusia secara keseluruhan, tentulah dapat bergaul secara ramah tampa adanya diskriminasi dan hegemoni satu dengan yang lainnya. Maka tidak berlebihan bila kita mengatakan lahirnya sejumlah karya karya yang diatasnamakan dengan sebuah keadilan seperti bintu Syati dengan tafsirnya, Amina Wadud dengan tafsirnya, dan lain lain, walaupun masih banyak menuai kritik. Dengan demikian diperlukan adanya paradigma baru dalam merumuskan kembali baik ilmu ilmu tafsir itu sedniri dan visi serta misinya yang dapa dianggap mampu mengakomodir semua jenis permasalahan ummat belakangan ini. Dan apa yang sednag kami rumuskan ini merupakan salah satu bentuk tawaran dalam konteks tersebut. Selain itu, dengan melakukan konstruksi paradigma Tafsir Integralistik melalui kedua cara tersebut, akan terjamin kesamaan hukum di antara agama agama. Dengan demikian, hilanglah ancaman stabilitas nasional. Dengan demikian, ungkapan menghukumi dengan hukum Allah, itu juga harus diobjektifkasikan dalam bentuk perundang undangan, peraturan pemerintah, instruksi, juklak dan juknis. Dan dari sinilah terletak usaha usaha ke jalan Tuhan dan jalan orang yang teraniyaya.

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 20}

BAB III KESIMPULAN Dari uraian di atas, kita bisa menarik beberapa kesimpulan yang kami urutkan berdasarkan urutan masalah di atas sebagai berikut : Pertama, bahwa kompleksitas Paradigma Tafsir itu pada hakikatnya juga mencerminkan adanya proses perubahan paradigma. Dimana kalu kita lihat corak paradigma tafsir mulai dari Era Nubuwwah, Era Shohabah, Era Tabiin, dan Era Perkembangan, menunjukkan selalu membutuhkan proses perubahan paradigma itu sendiri. Kemudian diadakannya formulasi teori-teori Qurani Sebagai Paradigma Al-Quran, menjadi suatu keniscayaan dalam tradisi paradigma itu sendiri. Kedua, Paradigma Tafsir Integratif ini, dilakukan melalui dua cara yakni : Pengilmuan Islam Melalui Integralisasi dan Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi. Pengilmuan Islam Melalui Integralisasi itu sendiri dilakuakn dengan cara melakukan langkah-langkah integralis itu sendiri seperti mulai dari Agama menuju tingkat Teoantroposentrisme menuju tingkat Dedeprensisiasi menuju tingkat Ilmu Integralistik. Sedangkan Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi. Sedangkan Pengilmuan Islam Melalui Objektifikasi dilakukan dengan cara pengilmuan Islam melalui proses objektifikasi dengan melakukan penerjemahan nilai nilai internal ke dalam kategori objektif. Ketiga, Relevansi Paradigma Tafsir Integratif Di Era Modern melalui kedua cara tersebut, akan terjamin kesamaan hukum di antara agama agama. Dengan demikian, hilanglah ancaman stabilitas nasional. Dengan demikian, ungkapan menghukumi dengan hukum Allah, itu juga harus diobjektifkasikan dalam bentuk perundang undangan, peraturan pemerintah, instruksi, juklak dan juknis. Dan dari sinilah terletak usaha usaha ke jalan Tuhan dan jalan orang yang teraniyaya.

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 21}

DAFTAR PUSTAKA 1. Abdurrahman Syaikh Khalid Usulut Tafsir wa Qawaiduha (Beirut:Daru an-Nafais,cet. II,1986) 2. al-Hamad, Qaduri Rasmu al-Mushaf(Bagdad:Jami al-Huquq, cet.I,1982) 3. al-Harabiy Husain Qawaidut Tarjih Indal Mufassirin(Riyadh:Darul Qashim,cet.I,19996) 4. al-Muhtasib Abdul Majid Abdussalam Ittijahatut Tafsir fi Ashrir Rahin.terj. (Jatim:alIzzah,1997) 5. al-Qadir, Thahir Bin Abd Tarikh al-Quran wa Garaib Rasmihi wa Hukmihi(Jiddah: ttp,1465 H) 6. al-Qaththan Manna Mabahits Fi Ulumi al-Quran(Qahirah:Maktabah Wahbah,ttp) 7. ar-Rahman, Syaikh Shofiyyu ar-Rohiqu al-Makhtum.terj. (Jakarta: Pustaka alKautsar,cet. Ke-30,2009) 8. Arief, Arnai Pengantar Ilmu dan Metodelogi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Press, cet I. 2002) 9. Ar-Rumi Buhutsun fi Ushulittafsir wa Manahijuhu (ttp: Maktabah Taubah,tt) 10. ash-Shobuni Syaikh Ali at-Tibyan fi Ulumi al-Quran(Jakarta:Darul Kutub alIslamiyah,cet.I, 2003) 11. az-Dzahabi Tafsir al-Mufassirun(Qahirah:Darul Hadits,2005) 12. _________ Kitabuka Ilmu at-Tafsir(ttp:Darul Maarif,ttp) 13. az-Zarkasyi Badruddin al-Burhan Fi Ulumi al-Quran(Beirut:Dar al-Marifah,1972) 14. Az-Zarqani Mabahitsun fi Ulumi al-Quran(t.tp:al-Babi al-Halabi,t.th) 15. Buhindiy Musthafa at-Tatsirul Masihi fi Tafsiril Quran(Libanun:Daru atToliah,cet.I,2004) 16. Husaini Adian Wajah Peradaban Barat(Jakarta:Gema Insani,cet.I,2005) 17. Ismail, Fatah Rasmu al-Mushaf al-Utsmani(Qahirah:Maktabah Wahbah,cet.IV,1999) 18. Ismail, Tsuban Rasmu al-Mushaf wa Dhobtuhu;Baina at-Tauqufy wa al-Istilahat al-Haditsi(Mesir:Dar as-Salam,ttp.) 19. Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu(Yogyakarta:Tiara Wacana,cet.II,2007) 20. Lasyin Musa Syahin al-Alai al-Hasan Fi Ulumi al-Quran(Qahirah:Daru asySyuruq,cet.I,2002) 21. Maulana, Achmad dkk, Kamus Ilmiyah Populer Lengkap. (Yogyakarta : Absolut, cet II. 2004) 22. Mustaqim Abdul Pergeseran Epistemologi Tafsir(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,cet.I, 2008) 23. Susanto Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Masyarakat(Bandung:Bina Cipta,cet. II,1979) 24. Syukir, Asmuni Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islamiyah (Surabaya : Bina Ilmu. 1979) 25. Utsman Khalid Qawaidu at-Tafsir(ttp:Daru Ibn Affan,cet.I,ttp)

TAFSIR ZAMAN: UPAYA KONSTRUKSI TAFSIR INTEGRATIF

{ 22}