Sumber Hukum Dalam Islam

43
SUMBER HUKUM DALAM ISLAM Disusun Oleh : (Ruang 402) 1. Citra Kartika Sari (111 0711 014) 2. Yunike Wirahmaningrum HS (111 0711 018) 3. Widya Putri Andini (111 0711 029) 4. Friska merlic Evianti (111 0711 032) 5. Nurul Hikmah (111 0711 033) 6. Made Ayu Rahmawati (111 0711 034) FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

description

sumber hukum dalam islam

Transcript of Sumber Hukum Dalam Islam

SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

Disusun Oleh : (Ruang 402)

1. Citra Kartika Sari (111 0711 014)

2. Yunike Wirahmaningrum HS (111 0711 018)

3. Widya Putri Andini (111 0711 029)

4. Friska merlic Evianti (111 0711 032)

5. Nurul Hikmah (111 0711 033)

6. Made Ayu Rahmawati (111 0711 034)

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAKARTA

2012

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil ‘alamin, puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan nikmat dan rahmatnya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah

Pendidikan Agama Islam yang berjudul ”Agama dan Golongan dalam

Masyarakat”. Dengan baik dan tepat pada waktunya.

Makalah ini dibuat dengan tujuan melengkapi tugas Pendidikan Agama

Islam S1 Keperawatan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Besar harapan kami, makalah ini dapat berguna bagi para mahasiswa sebagai

pegangan dalam mempelajari agama islam.

Adapun pengarahan serta dukungan yang kami dapat dalam penyusunan

makalah ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak

Nizom Zaini selaku dosen Pendidikan Agama Islam yang telah memberikan

arahannya dan pada rekan-rekan mahasiswa yang mendukung terselesaikannya

makalah ini.

Akhirnya, sesuai dengan pepatah “tak ada gading yang tak retak”, kami

mengharapkan saran dan kritik dari Dosen pembimbing serta rekan-rekan

mahasiswa yang bersifat membangun bagi penulis baik untuka makalah ini

ataupun untuk setiap penyusunan makalah selanjutnya. Kebenaran dan

kesempurnaan hanya Allah-lah yang Punya dan Mahakuasa.

Jakarta, 18 januari 2012

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ................................................ 1

B. TUJUAN ……………………………………………....... 1

C. SISTEMATIKA …..................................................... 2

BAB II SUMBER HUKUM DALAM ISLAM

A.PENGERTIAN AGAMA ………………………………… 3

B. PENGERTIAN GOLONGAN MASYATAKAT ………... 4

C. FUNGSI AGAMA DALAM MENGATASI PERSOA-

LAN DALAM MASYARAKAT ………………………… 5

D.PENGARUH BUDAYA TERHADAP : BUDAYA,

SISTEM SOSIAL, DAN KEPRIBADIAN ………………. 7

E. PENGARUH AGAMA TERHADAP GOLONGAN

MASYARAKAT …………………………………………. 9

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN ………........................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………… 14

LAMPIRAN ……………………………………………………… 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini kaum muslimin banyak belum mengerti dan memahami hakikat sumber hukum yang menjadi rujukannya dalam beragama. Ironisnya pernyataan sumber hukum Islam adalah Al-Qur‘ân dan Sunnah serta Ijtihad merupakan hal yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakikatnya, sehingga banyak da’i dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.

Padahal sangat jelas kedudukan Ijtihad dalam agama ini. Karena Ijtihad adalah salah satu dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini setelah Al-Qur‘ân dan Sunnah. Ijtihad bersumber dari Al-Qur‘ân dan Sunnah, menjadi penguat kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada di antara manusia dalam semua yang diperselisihkan.

Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyatakan, Ijtihad adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama. Seluruh amalan dan perbuatan manusia, baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama, mereka menimbangnya dengan ketiga sumber hukum ini. Ijtihad menjadi sesuatu yang ma‘shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.

Oleh karena itu, wajib bagi siapapun yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui Ijtihad (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama, sehingga ia dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syariat serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui Ijtihad tersebut.

B. Tujuan

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah agar kita umat manusia menyadari betapa pentingnya ketiga sumber hukum ini dalam

kehidupan umat beragama, baik dalam prilakunya sehari- hari maupun amal ibadahnya.

Selain itu dengan adanya 3 sumber hukum islam ini, maka diharapkan kita sebagai makhluk ciptaan Allah wajib untuk mengaplikasikan dan menjalankan dalam kehidupan. Dengan demikian terlahirlah seorang muslim yang berpegang teguh terhadap ketiga sumber hukum islam yang menjadi komitmen setiap umat muslim

C. Sistematika

BAB I Pendahuluan berisi Latar Belakang, Tujuan, dan SistematikaBAB II Sumber Hukum Dalam Islam, Al-Quran Sebagai Sumber

Hukum Pertama, Hadis sebagai Sumber Hukum ke Dua, Ijtihad Sebagai Sumber Hukum ke Tiga beserta Otoritasnya, Komitmen Seorang Muslim Terhadap Sumber hukum Islam

BAB III Penutup berisi Kesimpulan

BAB II

Sumber Hukum Dalam Islam

A. Al-Qur’an Sumber hukum islam yang pertama dan otoritas

1. Pengertian Al-Qur’an

a. Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qara-a (قرأ) yang

bermakna Talaa (تال) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna

Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi).

b. Secara Syari’at (Terminologi)

Merupakan Kitab Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul dan

penutup para Nabi-Nya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam,

diawali dengan surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Naas.

c. Ditinjau dari sudut tempatnya, Al-Qur’an turun di dua tempat yaitu:

1) Di Mekkah atau yang disebut Ayat Makkiyah.

Pada umumnya berisikan soal-soal kepercayaan atau ketuhanan,

mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, ayat-ayatnya

pendek dan ditujukan kepada seluruh ummat. Banyaknya sekitar

2/3 seluruh ayat-ayat Al-Qur’an.

2) Di Madinah atau yang disebut Ayat Madaniyah.

Ayat-ayatnya panjang, berisikan peraturan yang mengatur

hubungan sesama manusia mengenai larangan, suruhan, anjuran,

hukum-hukum dan syari’at-syari’at, akhlaq, hal-hal mengenai

keluarga, masyarakat, pemerintahan, perdagangan, hubungan

manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, air dan

sebagainya.

Al-Qur’an disampaikan kepada kita secara mutawatir, baik melalui

tulisan atau bacaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dan

terpelihara dari perubahan dan pergantian . Sebagaimana telah disebutkan

bahwa sedikitpun tidak ada keraguan atas kebenaran dan kepastian isi Al-

Qur’an itu, dengan kata lain Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.

Oleh karena itu hukum-hukum yang terkandung di dalam Al-Qur’an

merupakan aturan-aturan yang wajib diikuti oleh manusia sepanjang

masa. Banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-

benar datang dari Allah.

Dalam surah An Nisa ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya telah

kami turunkan kepada engkau (Muhammad) kitab Al-Qur’an dengan

membawa kebenaran”.

Surah An Nahl ayat 89, “Dan telah kami turunkan kepada engkau

(Muhammad) kitab Al-Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu dan ia

merupakan petunjuk, rahmat serta pembawa kabar gembira bagi orang-

orang yang berserah diri”. Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an

yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu benar-benar datang dari Allah.

2. Sebutan untuk al-Qur’an lainnya antara lain:

Dalam Al-Qur’an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan

nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur’an itu sendiri.

Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:

a. Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)

b. Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)

c. Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)

d. Al-Mau’idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)

e. Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)

f. Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)

g. Asy-Syifa’ (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)

h. Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)

i. At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)

j. Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)

k. Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)

l. Al-Bayan (penerang): QS(3:138)

m. Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)

n. Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)

o. An-Nur (cahaya): QS(4:174)

p. Al-Basha’ir (pedoman): QS(45:20)

q. Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)

r. Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

3. Mu’jizat Al-Qur’an

Al-Qur’an memiliki mu’jizat-mu’jizat yang membuktikan bahwa ia

benar-benar datang dari Allah SWT yang memilki mujizat pada 4

bidang yaitu:

a. Pada lafadz dan susunan kata. Pada zaman Rasulullah Syair sangat

trend pada saat itu maka Al-Qur’an turun dengan kata-kata dan

susunan kalimat yang maha puitis, sehingga Al-Qur’an memastikan

bahwa tak ada seorangpun yang dapat membuat satu surah sekalipun

semisal Al-Qur’an. Seperti yang termaktub dalam surah Al Isra ayat

88, Hud ayat 13-14, Yunus ayat 38 dan Al Baqarah ayat 23.

b. Pada keterangannya, selain pada kata-katanya Al-Qur’an juga

memiliki mu’jizat pada artinya yang membuka segala hijab tentang

hakikat manusiawi.

c. Pada ilmu pengetahuan. Di dalam terdapat sangat banyak

pengetahuan baik hal yang zahir maupun yang gaib, baik masa

sekarang maupun yang akan datang.

d. Pada penetapan hukum. Peraturan yang ada di dalam Al-Qur’an

bebas dari kesalahan karena ia berasal dari Tuhan Yang Maha Tahu

atas segala ciptaanNya.

4. Fungsi Al-Qur’an

Al-Qur’an berfungsi sebagai:

a. Sumber pokok dan utama dari segala sumber-sumber hukum yang

ada.

b. Penuntun manusia dalam merumuskan semua hukum, agar tercipta

kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman dan berwawasan

Al-Qur’an.

c. Petunjuk yang diturunkan Allah SWT kepada umat manusia dengan

penuh rahmat kepada kebahagiaan umat manusia baik didunia

maupun diakhirat dan sebagai ilmu pengetahuan

5. Keistimewaan Dan Keutamaan Al-qur’an :

a. Memberi pedoman dan petunjuk hidup lengkap beserta hukum-

hukum untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia seluruh

bangsa di mana pun berada serta segala zaman / periode waktu.

b. Memiliki ayat-ayat yang mengagumkan sehingga pendengar ayat

suci al-qur’an dapat dipengaruhi jiwanya.

c. Memberi gambaran umum ilmu alam untuk merangsang

perkembangan berbagai ilmu.

d. Memiliki ayat-ayat yang menghormati akal pikiran sebagai dasar

utama untuk memahami hukum dunia manusia.

e. Menyamakan manusia tanpa pembagian strata, kelas, golongan, dan

lain sebagainya. Yang menentukan perbedaan manusia di mata Allah

SWT adalah taqwa.

f. Melepas kehinaan pada jiwa manusia agar terhindar dari

penyembahan terhadap makhluk serta menanamkan tauhid dalam

jiwa.

6. Alasan mengapa Al-Quran menjadi sumber hukum islam menurut

Hadits yaitu :

Ali bin Abi Thalib berkata: Aku dengar Rasulullah SAW bersabda:

“Nanti akan terjadi fitnah  (kekacauan, bencana)”  Bagaimana jalan

keluar dari fitnah dan kekacauan itu Hai Rasulullah? Rasul menjawab:

“Kitab Allah, di dalamnya terdapat berita tentang orang-orang sebelum

kamu, dan berita umat sesudah kamu (yang akan datang), merupakan

hukum diantaramu, demikian tegas, barang siapa yang meninggalkan

al-Qur’an dengan sengaja Allah akan membinasakannya, dan barang

siapa yang mencari petunjuk pada selainnya Allah akan

menyesatkannya, Al-Qur’an adalah tali Allah yang sangat kuat, cahaya

Allah yang sangat jelas, peringatan yang sangat bijak, jalan yang lurus,

dengan al-Qur’an hawa nafsu tidak akan melenceng, dengannya lidah

tidak akan bercampur dengan yang salah, pendapat manusia tidak akan

bercabang, dan ulama tidak akan merasa puas dan kenyang dengan al-

Qur’an, orang-orang bertaqwa tidak akan bosan dengannya, al-Qur’an

tidak akan usang sekalipun banyak diulang, keajaibannya tidak akan

habis, ketika jin mendengarnya mereke berkomentar ‘Sungguh kami

mendengarkan al-Qur’an yang menakjubkan, barang siapa yang

mengetahui ilmunya dia akan sampai dengan cepat ke tempat tujuan,

barang siapa berbicara dengan landasannya selalu benar, barang siapa

berhukum dengannya hukumnya adil, barang siapa yang mengamalkan

al-Qur’an dia akan mendapatkan pahala, barang siapa yang mengajak

kepada al-Qur’an dia diberikan petunjuk ke jalan yang lurus” (HR

Tirmidzi dari Ali r.a.)

B. Al-Hadits sebagai sumber hukum islam kedua

1. Pengertian Al-Hadist

Hadits merupakan segala tingkah laku Nabi Muhammad SAW baik

berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir). Hadits merupakan

sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Allah SWT telah

mewajibkan untuk menaati hukum-hukum dan perbuatan-perbuatan yang

disampaikan oleh nabi Muhammad SAW dalam haditsnya.

Perintah meneladani Rasulullah SAW ini disebabkan seluruh perilaku

Nabi Muhammad SAW mengandung nilai-nilai luhur dan merupakan

cerminan akhlak mulia. Apabila seseorang bisa meneladaninya maka akan

mulia pula sikap dan perbutannya. Hal tersebut dikarenakan Rasulullah

SAW memilki akhlak dan budi pekerti yang sangat mulia. Hadits sebagai

sumber hukum Islam yang kedua, juga dinyatakan oleh Rasulullah SAW:

الكتاب التمسك على كنت طالما ضاللة تقم لم ، شيء كل شيئين لك تركت( مالك ". ( اإلمام رواه والسنة الله رسول سواء حد على

Artinya: “Aku tinggalkan dua perkara untukmu seklian, kalian tidak

akan sesat selama kalian berpegangan kepada keduanya, yaitu kitab

Allah dan sunah Rasulnya”. (HR. Imam Malik)

2. Jenis sunnah

a. sunnah Qauliyah, yaitu perkataan dari Rasul contohnya yang sudah

masyhur ialah Hadis :

“sesungguhnya setiap perbuatan itu tergantung kepada niat ” (H. R.

Bukhari Muslim)

b. sunnah fi'liyah, yaitu perbuatan Rasulullah saw, yang dapat

disimpulkan sebagai perintah atau larangan melalui contoh teladan

beliau.

Contoh seperti pelaksanaan ibadah shalat, puasa, haji dan sebagainya.

c. sunnah taqririyah, yaitu pengakuan dan penetapan pemberian

perseetujuan hal-hal yang dilakukan oleh para shahabat, baik yang

perkataan maupun perbuatan.

Contohnya seperti kisah dua orang shahabat dalam keadaan mufasir

tidak menemukan air, sedang keduanya ingin melaksanakan shalat.

Selesainya shalat keduanya melanjutkan perjalanan dan menemukan

air, sedangkan waktu shalat masih ada, saloah seorng dari keduanya

kemudian berwudhu dan mengulangi shalatnya, sedangkan yang

satunya tidak mengulangi shalatnya. Engkau telah mengikuti sunnahku

dan telah memenuhi kewajiban shalatmu, sedangkan beliau berkata:

engkau mendapat pahala dua kali.

d. sunnah hammiyah, ialah suatu amalan yang dikeehendaki atau

diinginkan Nabi saw, tetapi belum sampai beliau kerrjakan sesudah

wafat, misalnya puasa tanggal sembilan Muharram.

3. Fungsi hadist

Hadits merupakan sumber hukum Islam yang kedua memilki kedua fungsi

sebagai berikut:

a. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an,

sehingga kedunya (Al-Qur’an dan Hadits) menjadi sumber hukum

untuk satu hal yang sama.

Misalnya Allah SWT didalam Al-Qur’an menegaskan untuk menjauhi

perkataan dusta

b. Memberikan rincian dan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an yang

masih bersifat umum.

Misalnya, ayat Al-Qur’an yang memerintahkan shalat, membayar

zakat, dan menunaikan ibadah haji, semuanya bersifat garis besar.

Seperti tidak menjelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara

melaksanakan shalat, tidak merinci batas mulai wajib zakat, tidak

memarkan cara-cara melaksanakan haji. Rincian semua itu telah

dijelaskan oleh rasullah SAW dalam haditsnya. Contoh lain, dalam Al-

Qur’an Allah SWT mengharamkan bangkai, darah dan daging babi.

Bangkai itu haram dimakan, tetap tidak dikecualikan bangkai mana

yang boleh dimakan. Kemudian datanglah hadits menjelaskan bahwa

ada bangkai yang boleh dimakan, yakni bangkai ikan dan belalang.

Sabda Rasulullah SAW :

. السمك من نوعان جثث الدم من ونوعين الذبائح من نوعين لنا يسمح)" ... رواه والطحال والكبد الدم من النوعين هذين أن حين في والجراد،

( ماجة ابن

Artinya: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam

darah. Adapun dua macam bangkai adalah ikan dan belalalng,

sedangkan dua macam darah adalah hati dan limpa…” (HR Ibnu

Majjah)

c. Menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati dalam Al-

Qur’an. Misalnya, cara menyucikan bejana yang dijilat anjing, dengan

membasuhnya tujuh kali, salah satunya dicampur dengan tanah,

sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

منها واحدة مرات سبع يغسله أن التي السفينة الكلب يمسح يطهر( والبيهقي "( داود، وأبو وأحمد مسلم التربة مع مختلط

Artinya: “Menyucikan bejanamu yang dijilat anjing adalah dengan

cara membasuh sebanyak tujuh kali salah satunya dicampur dengan

tanah” (HR Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi)

4. Macam-macam kiualitas hadis

Secara garis besar, kualitas hadis dibagi menjadi dua: mutawatir

dan ahad. Yang dimaksud dengan hadis mutawatir adalah sebuah hadis

yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak yang tidak memungkinkan

melakukan kebohongan bersama. Sementara yang dimaksud dengan hadis

ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh perorangan yang jumlahnya

tidak mencapai jumlah mutawatir. Karena persyaratan hadis mutawatir

cukup ketat, maka jumlahnya bias dibilang sangat sedikit. Dengan kata

lain, riwayat hadis yang ada hamper didominasi hadis ahad.

Mengingat kualitas masing-masing orang yang meriwayatkan hadis

(perawi) berbeda satu sama lain, maka hadis ahad sendiri masih dibagi

tiga macam:

a. Shahih, hadis yang memiliki mata rantai sanad yang

bersambung, tidak bertentangan dengan riwayat hadis kebanyakan,

tidak mengandung cacat, serta diriwayatkan oleh seorang perawi

yang adil dan akurat.

b. Hasan, hadis yang tidak jauh berbeda dengan pengertian shahih.

Yang membedakan antara keduanya hanya pada kualitas

perawinya, di mana perawi hadis hasan tidak sepopuler perawi

hadis shahih.

c. Dha'if, sebuah hadis yang tidak memenuhi beberapa kriteria hadis

shahih maupun hasan. (para perawinya termasuk suka berbuat

fasik, pendusta, pelupa, berbuat dosa). Contoh: "Barangsiapa yang

berkata kepada orang miskin, bergembiralah, maka wajib baginya

surga." (HR. Ibnu 'Adi). Di antara perawi hadis tersebut ialah Abu

Mali bin Harun, menurut Imam Yahya ia sebagai pendusta dan bias

dikatakan sebagai pemalsu hadis.

Contoh lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam

Muslim: "Barang siapa mati karena mempertahankan hartanya,

maka ia mati syahid."

5. Kedudukan sunnah

a. Sunnah sebagai dasar hukum

Kaum muslimin sepakat bahwa sunnah sebagai dasar hukum yang

kedua sesudah al-Qur'an, kesimpulan ini diperoleh berdasarkan

dalil-dalil yang memberikan petunjuk tentang kedua kedudukan

dan fungsi sunnah, baik yang nash, ijma, ataupun pertimbangan

akal yang sehat.

1) Dalil yang berupa nash antara lain, firman allah dalam al-Qur'an:

artinya: apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia

dan yang ddilarangnya bagimu maka tinggalkan. (Q. S. al-Ashr:

7)

Artinya: barang siapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya

mentaati Allah swt. (Q. S. an-Nisa: 80)

2) Dalil akal

Bila sunnah tidak menjadi dasar hukum (hujjah) maka

seebagaimana cara melaksanakan perintak al-Qur'an yang masih

bersifat ijmal, seperti shalat, puasa, haji, dan sebagainya. Dalam

perintah shalat tersebut, melainkan Rasul langsung memberikan

contoh pelaksanaannya, dengan demikiawn tidak patut kita

sangkal mengenai kedudukan sunnah sebagai salah satu sumber

hukum.

b. Sunnah terhadap al-Qur'an meliputi tiga fungsi pokok yaitu:

1) menguatkan dan menegaskan hukum yang terdapat dalam al-

Qur'an contohnya seperti perintah melaksanakan shalat, puasa,

zakat dan haji, larangan menghadik orang tua, larangan

membunuh kecuali dengan jalan haq dicantumkan dalam al-

Qur'an ditegaskan juga dalam sunnah.

2) menguraikan dan merincikan yang global atau mujmal,

mengkaitkan yang mutlak dan mentaksiskan yang umum ('am),

tafsir, taqsid dan daqsis berfungsi penjelasan apa yang

dikehendaki al-Qur'an, rasulullah saw, memang mempunytai

tugas penjelas kitabullah al-Qur'an sebagaimwana firman Allah

swt:

artinya: dan kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu

menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan

kepada mereka dan upayaa mereka memikirkan. (Q. S. an-Nisa:

44)

Contohnya seperti penjelasan tata cara ibadah shalat, puasa, dan

Haji, penjelasan harta benda yang diwajibkan mengeluarkan

zakatnya dan nisabnya, masing-masing menjelasakan akan jual

beli yang mengandung riba, menentukan berbagai yang haram

dan yang tidak haram dan laain sebagainya.

3) menetapkan dan mengadakan hukum yang tidak disebutkan

dalam al-Qur'an hukum yang terjadi adalah merupakan produk

sunnah sendiri yang tidak ditunjukan oleh al-Qur'an contohnya

seperti haram memadu seseorang perempuan dengan bibinya

dari pihaak ibunya, haram makan daging burung yangberkuku

panjang, haram memakai sutra dan cincin emas bagi laki-laki

dan sebagainya.

5. Hadits menurut sifatnya mempunyai klasifikasi sebagai berikut:

1) Hadits Shohih, adalah hadits yang diriwayatkan oleh Rawi yang adil,

sempurna ingatan, sanadnya bersambung, tidak ber illat, dan tidak

janggal. Illat hadits yang dimaksud adalah suatu penyakit yang samar-

samar yang dapat menodai keshohehan suatu hadits.

2) Hadits Makbul, adalah hadits-hadits yang mempunyai sifat-sifat yang

dapat diterima sebagai Hujjah. Yang termasuk Hadits Makbul adalah

Hadits Shohih dan Hadits Hasan.

3) Hadits Hasan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang adil,

tapi tidak begitu kuat ingatannya (hafalannya), bersambung sanadnya,

dan tidak terdapat illat dan kejanggalan pada matannya. Hadits Hasan

termasuk hadits yang makbul biasanya dibuat hujjah untuk sesuatu hal

yang tidak terlalu berat atau tidak terlalu penting.

4) Hadits Dhoif, adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih

syarat-syarat hadits shohih atau hadits hasan. Hadits dhoif banyak

macam ragamnya dan mempunyai perbedaan derajat satu sama lain,

disebabkan banyak atau sedikitnya

7. Penilaian tingkatan-tingkatan hadits

Penilaian tentang tingkatan-tingkatan hadits ini ditentukan oleh

para Ahli ilmu hadits terutama berdasarkan kuat dan sehatnya para rawi

hadits. Hadits Dha’if yang tercatat memang betul-betul berasal dari

Muhammad, oleh beberapa ulama hadits dianggap dapat diterima

sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur‘an dan Hadits Maqbul: dan

tingkatannya naik menjadi atau sebagai hadits hasan.

8. Ayat-ayat al-Qur’an tentang dasar hukum hadits

68:4: 33:21: 21:108: 34:28; 7:158; 3:132: 4:80: 59:8: 3:31; 4:59: 6:64;

33:36; 24:56; 4:59, 64; 24:54.

C. Ijtihad sebagai sumber hukum islam ketiga dan otoritasnya

1. Pengertian idjad

Ijtihad ialah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk

memecahkan suatu masalah yang tidak ada ketetapannya, baik dalam

Al-Qur’an maupun Hadits, dengan menggunkan akal pikiran yang

sehat dan jernih, serta berpedoman kepada cara-cara menetapkan

hukum-hukumyang telah ditentukan. Hasil ijtihad dapat dijadikan

sumber hukum yang ketiga. Hasil ini berdasarkan dialog nabi

Muhammad SAW dengan sahabat yang bernama muadz bin jabal,

ketika Muadz diutus ke negeri Yaman. Nabi SAW, bertanya kepada

Muadz,” bagaimana kamu akan menetapkan hukum kalau dihadapkan

pada satu masalah yang memerlukan penetapan hukum?”, muadz

menjawab, “Saya akan menetapkan hukumdengan Al-Qur’an, Rasul

bertanya lagi, “Seandainya tidak ditemukan ketetapannya di dalam Al-

Qur’an?” Muadz menjawab, “Saya akan tetapkan dengan Hadits”.

Rasul bertanya lagi, “seandainya tidak engkau temukan ketetapannya

dalam Al-Qur’an dan Hadits”, Muadz menjawab” saya akan berijtihad

dengan pendapat saya sendiri” kemudian, Rasulullah SAW menepuk-

nepukkan bahu Muadz bi Jabal, tanda setuju. Kisah mengenai Muadz

ini menajdikan ijtihad sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam

setelah Al-Qur’an dan hadits. Untuk melakukan ijtihad (mujtahid)

harus memenuhi beberapa syarat berikut ini:

a. Mengetahui isi Al-Qur’an dan Hadits, terutama yang bersangkutan

dengan hukum

b. Memahami bahasa arab dengan segala kelengkapannya untuk

menafsirkan Al-Qur’an dan Hadits

c. Mengetahui soal-soal ijtihad

Menguasai ilmu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqih yang luas.Islam menghargai ijtihad, meskipun hasilnya salah, selama ijtihad itu dilakukan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan. Dalam hubungan ini Rasulullah SAW bersabda:

نتيجة يبدو ما وعلى االجتهاد لم القضية في البت في القاضي كان إذاقرر حال في قاض أصدر وإذا أجران حصلت ثم ، صحيحا كان االجتهادمكافأة انه استقبل ثم خاطئ، الجتهاد نتيجة يبدو ما وعلى االجتهاد القيام

( ومسلم"( البخاري رواه

Artinya: “Apabila seorang hakim dalam memutuskan perkara

melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya benar, maka ia

memperoleh dua pahala dan apabila seorang hakim dalam

memutuskan perkara ia melakukan ijtihad dan ternyata hasil ijtihadnya

salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (HR Bukhari dan Muslim)

Islam bukan saja membolehkan adanya perbedaan pendapat sebagai

hasil ijtihad, tetapi juga menegaskan bahwa adanya beda pendapat

tersebut justru akan membawa rahmat dan kelapangan bagi umat

manusia. Dalam hal ini Rasulullah SAWbersabda:

المقدس) النطر رواه( نعمة جلب شعبي بين الرأي في االختالفاتو

Artinya: ”… Perbedaan pendapat di antara umatku akan membawa

rahmat” (HR Nashr Al muqaddas)

Dalam berijtihad seseorang dapat menmpuhnya dengan cara ijma’ dan

qiyas. Ijma’ adalah kesepakatan dari seluruh imam mujtahid dan

orang-orang muslim pada suatu masa dari beberapa masa setelah

wafat Rasulullah SAW. Berpegang kepada hasil ijma’ diperbolehkan,

bahkan menjadi keharusan. Dalilnya dipahami dari firman Allah

SWT:

Artinya: “Hai orang-oran yang beriman, taatilah Allah dan rasuknya

dan ulil amri diantara kamu….” (QS An Nisa : 59)

Dalam ayat ini ada petunjuk untuk taat kepada orang yang mempunyai

kekuasaan dibidangnya, seperti pemimpin pemerintahan, termasuk

imam mujtahid. Dengan demikian, ijma’ ulam dapat menjadi salah

satu sumber hukum Islam. Contoh ijma’ ialah mengumpulkan tulisan

wahyu yang berserakan, kemudian membukukannya menjadi mushaf

Al-Qur’an, seperti sekarang ini Qiyas (analogi) adalah

menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dengan

kejadian lain yang sudah ada hukumnya karena antara keduanya

terdapat persamaan illat atau sebab-sebabnya. Contohnya,

mengharamkan minuman keras, seperti bir dan wiski. Haramnya

minuman keras ini diqiyaskan dengan khamar yang disebut dalam Al-

Qur’an karena antara keduanya terdapat persamaan illat (alasan), yaitu

sama-sama memabukkan. Jadi, walaupun bir tidak ada ketetapan

hukmnya dalam Al-Qur’an atau hadits tetap diharamkan karena

mengandung persamaan dengan khamar yang ada hukumnya dalam

Al-Qur’an. Sebelum mengambil keputusan dengan menggunakan

qiyas maka ada baiknya mengetahui Rukun Qiyas, yaitu:

a. Dasar(dalil)

b. Masalah yang akan diqiyaskan

c. Hukum yang terdapat pada dalil

d. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang

diqiyaskan

2. Bentuk Ijtihad yang lain

a. Istihsan/Istislah, yaitu mentapkan hukum suatu perbuatan yang

tidak dijelaskan secara kongret dalam Al-Qur’an dan hadits

yang didasarkan atas kepentingan umum atau kemashlahatan

umum atau unutk kepentingan keadilan

b. Istishab, yaitu meneruskan berlakunya suatu hukum yang telah

ada dan telah ditetapkan suatu dalil, sampai ada dalil lain yang

mengubah kedudukan dari hukum tersebut

c. Istidlal, yaitu menetapkan suatu hukum perbuatan yang tidak

disebutkan secara kongkret dalam Al-Qur’an dan Hadits

dengan didasarkan karena telah menjadi adat istiadat atau

kebiasaan masyarakat setempat. Termasuk dalam hal ini ialah

hukum-hukum agama yang diwahyukan sebelum Islam. Adat

istiadat dan hukum agama sebelum Islam bisa diakui atau

dibenarkan oleh Islam asalkan tidak bertentangan dengan ajaran

Al-Qur’an dan Hadits

d. Maslahah mursalah, ialah maslahah yang sesuai dengan maksud

syarak yang tidak diperoeh dari pengajaran dalil secara

langsung dan jelas dari maslahah itu. Contohnya seperti

mengharuskan seorang tukang mengganti atau membayar

kerugian pada pemilik barang, karena kerusakan diluar

kesepakatan yang telah ditetapkan.

e. Al ‘Urf, ialah urursan yang disepakati oelh segolongan manusia

dalam perkembangan hidupnya

f. Zara’i, ialah pekerjaan-pekerjaan yang menjadi jalan untuk

mencapai mashlahah atau untuk menghilangkan mudarat.

3. Pembagian Hukum dalam Islam

Hukum dalam Islam ada lima yaitu:

a. Wajib, yaitu perintah yang harus dikerjakan. Jika perintah

tersebut dipatuhi (dikerjakan), maka yang mebgerjakannya

akan mendapat pahala, jika tidak dikerjakan maka ia akan

berdosa

b. Sunah, yaitu anjuran. Jika dikerjakan dapat pahala, jika tidak

dikerjakan tidak berdosa

c. Haram, yaitu larangan keras. Kalau dikerjakan berdosa jika

tidak dikerjakan atau ditinggalkan mendapat pahala,

sebagaiman dijelaskan oleh nabi Muhammad SAW dalam

sebuah haditsnya yang artinya:

Jauhilah segala yang haram niscaya kamu menjadi orang yang

paling beribadah. Relalah dengan pembagian (rezeki) Allah

kepadamu niscaya kamu menjadi orang paling kaya.

Berperilakulah yang baik kepada tetanggamu niscaya kamu

termasuk orang mukmin. Cintailah orang lain pada hal-hal yang

kamu cintai bagi dirimu sendiri niscaya kamu tergolong

muslim, dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya

terlalu banyak tertawa itu mematikan hati. (HR. Ahmad dan

Tirmidzi)

d. Makruh, yaitu larangan yang tidak keras. Kalau dilanggar tidak

dihukum (tidak berdosa), dan jika ditinggalkan diberi pahala

e. Mubah, yaitu sesuatu yang boleh dikerjakan dan boleh pula

ditinggalkan. Kalau dikerjakan tidak berdosa, begitu juga kalau

ditinggalkan.

4. Pelaksanaan Al-Ijtihad

Tujuan diadakannya Al-Ijtihad bukan untuk kepentingan pribadi

tetapi dilaksanakan dengan tujuan yang bersifat kolektif yaitu untuk

kebaikan dan kemaslahatan umat

Ijtihad dilakukan sebagai kebiasaan (‘Urf) jika ada masalah-

masalah yang tidak jelas penyelesaiannya di dalam Al-Quran dan

Hadits.

Orang yang berijtihad disebut Mujtahid (jamaknya: Mujtahidun

atau Mujtahidin).

Ijtihad yang dilaksanakan oleh beberapa ulama secara kolektif

disebut Ijma’. sehingga dihasilkan suatu konsensus bersama.

Ijtihad yang dilaksanakan oleh seorang ulama secara pribadi lazim

disebut ijtihad saja.

D. Komitmen Seorang Muslim Terhadap Sumber Hukum Islam

Hasan Al-Bana menegaskan bahwa awal kesiapan seseorang untuk memasuki tahapan takwin dan tanfidz ialah jika ia memiliki At Tha’atu Kaamilah atau ketaatan yang sempurna. Oleh karena itu sasaran dalam berjamaah tidak akan terwujud tanpa adanya seorang yang komit atau beriltizam dalam melaksanakan suatu tindakan untuk mencapai tujuannya.

Iltizam adalah komitmen terhadap Islam dan hukum-hukumnya secara utuh dengan menjadikan Islam sebagai siklus kehidupan, tolak pikir, dan sumber hukum dalam setiap tema pembicaraan dan permasalahan (Fathi Yakan). Sebagaimana perintah Allah ta’ala dalam QS 2: 208 agar seorang mukmin masuk ke dalam Islam secara kaffah.

QS 2: 208: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

1. Dua Jenis Iltizam

Iltizam diklasifikasikan menjadi dua bagian:

a. Iltizam terhadap Syariat meliputi:2. Aqidah Salimah; Beriltizam atau memiliki komitmen terhadap

aqidah shahihah. Yang dimaksud dengan aqidah salimah ialah akidah yang sehat, bersih dan murni terbebas dari segala unsur nifaq dan kemusyrikan.

3. Ibadah Shahihah; Beriltizam atau berkomitmen terhadap ibadah yang salimah dan istimrar (kontinyu). Seorang a’dha sebagai muslim memiliki kewajiban untuk melakukan ibadah yang shahih terbebas dari segala bid’ah dan khurafat.

4. Akhlaq Hamidah, Memiliki komitmen atau beriltizam kepada akhlaq hamidah (akhlak terpuji). Akhlaq hamidah jelas harus dimiliki oleh seorang a’dha yang beriltizam. Dan akhlaq hamidah yang dimaksud tentu saja akhlak yang Islami dan qurani.

5. Dakwah wal Jihad, Komit atau memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad. Seorang a’dha yang memiliki komitmen terhadap jamaah dengan harakah, tentu saja harus memiliki iltizam terhadap dakwah dan jihad.Ada konsekuensi logis ketika seseorang beriltizam pada jihad yakni ia juga harus beriltizam terhadap segala sesuatu yang merupakan persiapan untuk itu seperti tarbiah takwiniah yang istimrar dan lain-lain.

6. Syumul wa Tawazun. Berkomitmen atau beriltizam untuk syumul wa tawazun. Dienul Islam ajaran yang syamil (integral, komprehensif) dan mutakamil (utuh) serta mutawazinah (seimbang). Islam melarang manusia kikir, tetapi juga tidak membolehkan berlaku boros, israf ataupun melakukan kemubadziran. Jadi seorang a’dha dalam Iltizamnya terhadap syariah harus memiliki komitmen pada syumuliatul dan ketawazunan Islam.

b. Iltizam terhadap Jamaah melingkupi:

1. Iltizam terhadap bai’ah. Transaksi ‘jual-beli’ antara Allah sebagai pembeli dan mukmin sebagai penjual ini erat kaitannya dengan masalah bai’ah. Sikap iltizam terhadap bai’ah yang telah diucapkan nampak jelas pada tokoh Anshar, Habibi bin Zaid. Ia disiksa Musailamah Al-Kadzab karena tidak mau mengakuinya sebagai nabi, tidak rela menodai bai’ah yang telah Habib bin Zaid diucapkannya walaupun untuk itu ia harus menebusnya dengan nyawa. Tubuhnya dicabik-cabik dan disayat-sayat selagi masih hidup. Sekali kita mengucapkan bai’ah seumur hidup kita terikat untuk beriltizam kepadanya.

2. Komit terhadap Ansyithah (kegiatan-kegiatan) baik yang kharijiah (eksternal) maupun dakhiliyah (internal). Kegiatan internal seperti berusaha selalu hadir dengan tepat waktu dalam acara rutinyang diadakan secara berkala.Intensitas keterlibatan kita yang tinggi dengan semua kegiatan jama’ah insya Allah akan membuat iltizam kita kepada jamaah semakin kokoh.

3. Beriltizam terhadap wazhifah (tugas-tugas) yang dibebankan jamaah kepadanya. Iltizam atau komitmen terhadap tugas yang dipikulkan pada kita merupakan aspek yang pokok dan mendasar dalam hubungan struktural tanzhim, seorang a’dha harus menyesuaikan diri dengan segala tugas yang dipikulkan ke pundaknya. Baik tugas itu disukai atau tidak dan baik ia sedang rajin maupun malas.

4. Iltizam atau komit terhadap infaq. Keutamaan berinfaq atau berjuang dengan harta dan jiwa (QS 9: 111, 61:10-11) sangat sering diungkapkan dalam firman-firman Allah. Bahwa ia akan membalasnya dengan beratus-ratus kali lipat, bahkan dengan

surga.Maka suatu kewajaranlah bila kita yang telah berbaiat ini terikat untuk memenuhi kewajiban berinfaq, baik yang wajib maupun yang sunnah.

5. Beriltizam terhadap Qararat (keputusan-keputusan) jamaah. Seorang a’dha harus berusaha menjalankan tugasnya sebaik-baiknya di manapun ia diputuskan oleh jamaah untuk ditempatkan. Ia terikat dengan keputusan-keputusan, kebijakan-kebijakan jamaah dengan perintah-perintah qiyadah. Sekalipun bertentangan dengan keinginan dan pendapat pribadi. Hendaknya kita harus selalu berprasangka baik bahwa keputusan tersebut adalah yang paling tepat untuk mendatangkan kemaslahatan.

6. Komit terhadap “Tha’atul Qiyadah”. Ketaatan seorang muslim yang total, utuh dan bulat, memang hanya kepada Allah dan Rasul-Nya (QS 3: 31, 32, 132, 4: 59, 80). Namun di ayat 4: 59 itu pun disebutkan kewajiban taat kepada pemimpin atau ulil amri yang beriman sepanjang tidak dalam rangka kemaksiatan dijalan Allah.Seorang a’dha yang telah mengucapkan bai’ah untuk taat dalam giat atau malas, suka atau tidak suka keadaan harus menaati qiyadahnya atau naqibnya sebagai sosok kepemimpinan dalam jamaah yang terdekat dengannya.

2. Penerapan Sikap dan Perilaku yang mencerminkan penghayatan

terhadap sumber hukum Islam adalah sebagai berikut:

a. Senantiasa berhati-hati dalam bertindak atau melakukan sesuatu,

apakah boleh dilakukan atau tidak.

b. Melaksanakan salat fardu, puasa, zakat, dan haji/umrah sesuai

dengan syariat yang telah ditentukan berdasarkan al-Quran dan

hadis Nabi saw.

c. Melaksanakan salat rawatib (qabliyah dan ba'diyah), atau salat-

salat sunnah lainnya.

d. Senantiasa berpuasa sunnah seperti hari Senin dan Kamis.

e. Menjauhi perbuatan-perbuatan yang hukumnya makruh karena

nantinya akan menjadi haram.

f. Melaksanakan perbutan-perbuatan baik dan menjauhi perbautan-

perbutan yang hukumnya haram.

g. Senantiasa berkonsultasi kepada yang layak diminta nasihat

mengenai perbuatan yang akan dilakukan tetapi masih ada

keraguan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT dengan selesainya makalah ini, kami menyimpulkan bahwa dalam “SUMBER HUKUM ISLAM”, sebaiknya kita mengetahui tata cara “SUMBER HUKUM ISLAM” dan mampu mempedomaninya dalam kehidupan sehari-hari agar proses “SUMBER HUKUM ISLAM” aman dan tidak merugikan satu sama lain. Serta kita dapat menjadikan Sumber Hukum Islam ini suatu komitmen dalam melaksanakan ibadah yang baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

H Daud Ali, Muhammad. 2007. Hukun Islam. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

http://mardiunj.blogspot.com/2010/06/sumber-sumber-hukum-islam.html

http://www.anneahira.com/ijtihad-sebagai-sumber-hukum-islam.htm

http://mubaroqdinata.blogspot.com/2011/11/iltizam-komitmen-seorang-mukmin-

sejati.html

http://irfanaseegaf.multiply.com/journal/item/3

LAMPIRAN 1

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 7 (KELAS A)

1. Citra Kartika Sari (111 0711 014)

2. Yunike Wirahmaningrum HS (111 0711 018)

3. Widya Putri Andini (111 0711 029)

4. Friska merlic Evianti (111 0711 032)

5. Nurul Hikmah (111 0711 033)

6. Made Ayu Rahmawati (111 0711 034)

FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

“VETERAN”

JAKARTA

25 NOVEMBER 2011

LAMPIRAN 2

DAFTAR PENANYA

NO NAMA NRP/ KELOMPOK PERTANYAAN

1

2

3

4

5

6

DAFTAR PENJAWAB (KELOMPOK 7)

NO NAMA NRP

1

2

3

4

5

6

7