stimulansia ssp
-
Upload
rere-arlita-sariningrum -
Category
Documents
-
view
614 -
download
19
description
Transcript of stimulansia ssp
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 1/6
1
Tujuan
Tujuan praktikun ini adalah untuk mengetahui prinsip kerja dari obat stimulansia SSP
dan gejala klinis yang menyertainya.
Latar Belakang
Stimulansia merupakan zat yang merangsang sistem saraf pusat (SSP). Pada hewan
percobaan, obat ini dapat meningkatkan aktivitas motorik dan kesadaran. Daya kerja
stimulansia SSP berdasarkan lokasi dan titik tangkap kerjanya dapat dibagi menjadi
stimulansia cortex cerebri, medulla oblongata, dan medulla spinalis.
Obat stimulansia cortex cerebri mampu meningkatkan persepsi, respon, tremor,
gelisah, dan delerium. Konvulsi yang ditimbulkan bersifat aspontan, simetris, dan klonis.
Konvusi aspontan terjadi apabila ada ransangan terlebih dahulu. Simetris ditandai dengan
tremor yang terjadi bersamaan pada anggota tubuh kanan dan kiri, sedangkan klonis terjadi
apabila kontraksi ada fase istirahatnya. Contohnya yaitu caffein.
Obat stimulansia medulla oblongata dapat menyebabkan hiperaktivitas, peningkatan
frekuensi pernapasan dan jantung serta tremor. Konvulsi yang ditimbulkan adalah spontan
(tanpa ransangan), asimetris, dan klonis. Contoh stimulansia medulla oblongata yaitu
cardiazol.
Obat stimulansia medula spinalis dapat merangsang medulla spinalis dan bagian lainSSP. Obat ini biasanya juga mempengaruhi reflek. Sifat konvulsinya adalah aspontan,
simetris, dan tetanis. Contoh dari stimulansia medulla spinalis adalah striknin.
Tinjauan Pustaka
Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum
medula dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otak-depan oleh se-nyawa
stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan semangat
bertambah. Obat stimulan saraf pusat dibagi menjadi tiga yaitu stimulant cortex cerebri,
stimulant medulla oblongata, dan stimulant medulla spinalis.
Stimulant cortex cerebri adalah stimulant yang bekerja pada cortex cerebri yang
bekerja meningkatkan persepsi, respon, tremor, gelisah dan delitium. Salah satu obat
stimulant cortex cerebri adalah caffeine dan amphetamine. Kafein adalah stimulan yang
ditemukan dalam banyak makanan dan minuman. Kafein juga ditemukan dalam resep dan
obat tanpa resep. Kafein adalah zat alami yang ditemukan dalam daun, biji, dan buah-buahan
lebih dari 60 tanaman. Efek utama kafein meningkat kewaspadaan. Dalam 1 jam konsumsi
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 2/6
2
kopi, kafein biasanya mencapai tingkat puncaknya dalam aliran darah dan tetap di sana
selama 4-6 jam. Kafein juga merangsang pelepasan asam dalam perut, kadang-kadang
menyebabkan sakit perut. Kafein juga merupakan diuretik, yang berarti membantu
menghilangkan cairan dari tubuh dan dapat menyebabkan hilangnya air dan kalsium (Savitz,
DA, et al. 2008).
Obat yang kedua yaitu amfetamin adalah kelompok obat psikoaktif sintetis yang
disebut stimulan sistem saraf pusat (SSP). Obat yang termasuk dalam golongan amfetamin
adalah amfetamin, dextroamphetamine, dan methamphetamine. Amfetamin terdiri dari dua
senyawa yang berbeda: dextroamphetamine murni dan levoamphetamine murni. Karena
dextroamphetamine lebih kuat daripada levoamphetamine, dextroamphetamine murni juga
lebih kuat daripada campuran amfetamin. Obat-obatan yang mengandung amfetamin
diresepkan untuk narkolepsi, obesitas, dan perhatian eficit / hyperactivity disorder. Nama
resep untuk obat-obat ini termasuk Adderall, Dexedrine, DextroStat, dan Desoxyn (Brands,
B., et al. 1998).
Stimulan medulla spinalis adalah obat-obat yang bekerja pada medulla spinalis yang
mampengaruhi reflek. Contoh obat ini adalah striknin. Stiknin adalah bubuk kristal putih
tidak berbau, pahit yang dapat masuk ke dalam tubuh melalui mulut, dihirup melalui hidung,
atau dicampur dalam larutan dan diberikan secara intravena (disuntikkan langsung ke
pembuluh darah).Striknin adalah racun yang kuat, hanya sejumlah kecil diperlukan untuk
menghasilkan efek yang parah pada orang. Keracunan striknin dapat menimbulkan efek
kesehatan yang sangat serius yang merugikan, termasuk kematian (Mistretta, 2010).
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah spuid 1 mL, jam dan kandang hewan. Bahan yang
digunakan yaitu, katak, mencit, caffein, striknin, cardiazol, dan amphetamin.
Metodologi
A. Stimulansia Cortex Cerebri
Dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Setelah itu, caffein disuntikan secara
subcutan (SC) pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus femoralis dengan
dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterusnya. Setiap 10 menit
diamati perubahan pada setiap dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan
dihentikan setelah terjadi konvulsi pada katak. Kemudian bagian otak dari katak
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 3/6
3
dirusak satu per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata, dan medulla
spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat tersebut.
B. Stimulansia Cortex Cerebri
Dilakukan pemeriksaan fisiologis mencit normal (aktivitas motorik tubuh,
reflek, saliva, defekasi, tonus otot, frekuensi napas dan jantung). Setelah itu,
disuntikan amphetamin secara SC pada daerah punggung dengan dosis bertingkat
mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterusnya. Setiap 10 menit diamati perubahan
pada setiap dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah
terjadi konvulsi pada mencit.
C. Stimulansia Medulla oblongata
Dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Setelah itu, cardiazol disuntikan secara
subcutan (SC) pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus femoralis dengan
dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterusnya. Setiap 10 menit
diamati perubahan pada setiap dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan
dihentikan setelah terjadi konvulsi pada katak. Kemudian bagian otak dari katak
dirusak satu per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata, dan medulla
spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat tersebut.
D. Stimulansia Medulla spinalis
Dilakukan pemeriksaan fisiologis katak normal (posisi tubuh, reflek, rasa
nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung). Setelah itu, striknin disuntikan secara
subcutan (SC) pada daerah abdominal melalui saccus limphaticus femoralis dengan
dosis bertingkat mulai 0,05 mL, 0,1 mL, 0,2 mL dan seterusnya. Setiap 10 menit
diamati perubahan pada setiap dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan
dihentikan setelah terjadi konvulsi pada katak. Kemudian bagian otak dari katak
dirusak satu per satu mulai dari cortex cerebri, medulla oblongata, dan medulla
spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Tabel 1. Stimulansia Cortex Cerebri pada Katak (caffein)Menit Dosis
(mL)PosisiTubuh
Reflek Rasanyeri
Tonus Frek.napas
Frek. jantung
Konvulsi
0 0,05 40o
+ + + 64 60 -5 0,1 40
o+ ++ + 72 64 -
10 0,2 45o
++ ++ ++ 72 64 -
15 0,4 45o ++ ++ +++ 72 64 -20 0,8 60
o+++ ++ ++++ - - +++
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 4/6
4
Tabel 2. Stimulasia Cortex Cerebri pada Mencit (Amphetamin)Menit Dosis
(mL)Aktivitastubuh
Reflek Salivasi/defekasi/urinasi
Tonusotot
Frek.napas
Frek. jantung
Konvulsi
0 0,05 +++ ++ +++ ++ 200 104 -
5 0,1 ++++ ++ ++++ +++ 236 112 +++10 0,2 - - - - - - -
Tabel 3. Stimulansia Medulla Oblongata pada Katak (Cardiazol)Menit Dosis
(mL)
Posisi
Tubuh
Reflek Rasa
nyeri
Tonus Frek.
napas
Frek.
jantung
Konvulsi
0 0,05 45o
+++ +++ +++ 124 108 -5 0,1 40o ++++ ++++ ++++ 126 108 -
10 0,2 40o
++++ ++++ ++++ 96 80 -15 0,4 35
o++++ ++++ ++++ 100 80 -
20 0,8 35o
+++ +++ +++ 104 100 -25 1,6 - - - - - - +++
Tabel 4. Stimulansia Medulla Spinalis pada Katak (Striknin)Menit Dosis
(mL)PosisiTubuh
Reflek Rasanyeri
Tonus Frek.napas
Frek. jantung
Konvulsi
0 0,05 45o
++ ++ ++ 65 61 -5 0,1 45o ++ ++ +++ 124 104 -
10 0,2 40o
+++ ++ +++ 140 108 +++15 0,4 - - - - - - -
Caffein yang disuntikkan secara SC pada daerah abdominal melalui saccus
limphaticus femoralis dengan dosis bertingkat bekerja dengan menstimulasi pada daerah
cortex cerebri. Hal ini dibuktikan saat katak mengalami konvulsi dengan ciri-ciri kaki katak
mengalami kekejangan secara simetris pada dosis 0,8 mL. Setelah kejang, maka dimulailah
pengrusakan otak katak pada bagian cerebrum dan didapatkan hasil bahwa kaki katak tidak
mengalami kekejangan lagi dan hal ini membuktikan bahwa caffein bekerja dengan
menstimulasi bagian cortex cerebri katak yang menyebabkan konvulsi. Bila konvulsi
diteruskan tanpa penanggulangan, maka katak tersebut akan mengalami sesak nafas yang
mengakibatkan kifosis pada punggung katak.
Katak yang disuntikan cardiazol mengalami konvulsi spontan, tidak seperti konvulsi
yang terjadi pada pemberian striknin dan caffein. Konvulsi yang terjadi berbentuk asimetris
dan klonis. Konvusi tampak saat pemberian dosis cardiazole 1,6 mL. Setelah dibandingkan
dengan kelompok lain, semua katak mengalami konvulsi pada dosis yang sama.hal ini dapa
disebabkan karena bobot badan yang hampir sama. Cardiazol termasuk dalam obat
analeptika yang mampu menstimulasi bagian sistem saraf tertentu, terutama pusat pernapasan
dan pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Oleh sebab itu, saat terjadi konvulsi dan
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 5/6
5
bagian otak di rusak satu per satu, konvulsi berhenti saat bagian medulla oblongata katak
dihilangkan.
Pada katak yang disuntikan striknin secara subcutan, reaksi yang terjadi adalah
penurunan posisi tubuh, peningkatan gerak refleks, peningkatan tonus otot, peningkatan
frekuensi nafas, peningkatan frekuensi jantung serta terjadi konvulsi. Pada pemakaian obat
ini konvulsi terjadi sangat cepat yaitu pada menit ke 10. Hal tersebut menandakan bahwa
striknin merupakan obat-obatan stimulansia yang kuat. Konvulsi yang terjadi adalah simetris
aspontan dan tetanis, dimana katak mengalami konvulsi hebat ketika disentuh atau
dirangsang bagian tubuhnya dan tremor bersamaan antara anggota tubuh kanan dan kiri
secara terus menerus. Setelah terjadi konvulsi kemudian otak katak dirusak berturut-turut dari
cotex cerebri, medula oblongata, dan medula spinalis untuk melihat titik tangkap kerja
striknin. Ketika dirusak cotex cerebri dan medulla oblongata, konvulsi masih terjadi tetapi
setelah dirusak medula spinalis konvulsi langsung berhenti dan ekstremitas katak langsung
lemas sampai akhirnya katak mati. Hal tersebut menandakan jika titik tangkap dari striknin
adalah di medula spinalis. Frekuensi konvulsi akan bertambah hebat dengan adanya
perangsangan sensorik yang menimbulkan rasa nyeri hebat dan pasien takut mati pada
rangsangan berikutnya.
Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonisme kompetitif terhadap transmiter
penghambatan yaitu glisin di daerah pascasinaps. Striknin menyebabkan perangsangan pada
semua bagian SSP. Striknin mudah diserap oleh saluran cerna dan tempat suntikan, lalu
dengan cepat meningggalkan sirkulasi dan masuk ke jaringan. Striknin akan segera
dimetabolisme oleh mikrosom sel hati dan diekskresikan melalui urin. Walaupun katak tidak
dirusak bagian-bagian otaknya, katak akan mati secara perlahan-lahan. Striknin biasanya
digunakan untuk euthanasi anjing yang terkena rabies. Tetapi sekarang ini penggunaannya
sudah dilarang karena striknin memiliki efek yang sangat toksik (Gunawan 2007).
Simpulan
Pada percobaan ini, diketahui bahwa obat stimulansia SSP bekerja pada bagian –
bagian tertentu di sistem saraf pusat. Caffein mempunyai titik tangkap di bagian cortex
cerebri. Efek yang ditampilkan pada katak yaitu adanya konvulsi yang aspontan, asimetri dan
klonis. Cardiazol mempunyai titik tangkap di bagian medulla oblongata dan mempunyai efek
konvulsi spontan, asimetris, dan klonis. Sedangkan striknin mempunyai titik tangkap di
bagian medulla spinalis dan mempunyai efek konvulsi aspontan, simetri, dan tetani.
7/16/2019 stimulansia ssp
http://slidepdf.com/reader/full/stimulansia-ssp 6/6
6
Daftar Pustaka
Brands, B., Sproule, B., and Marshman, J. (Eds.). (1998). Drugs & Drug Abuse (3rd ed.).
Addiction Research Foundation.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru.
Mistretta, Paul. 2010. Strychnine Human Health and Ecological Risk Assessment. New York:
Syracuse Environmental Research Associates, Inc.
Savitz, DA, et al. 2008. Caffeine and miscarriage risk. Epidemiology 19(1):55-62.